Eldest Seri 2 Eragon Karya Christhoper Paolini Bagian 9
Dengan putus asa Roran bertanya, "Apa tidak ada cara lain wtuk mengirim barang dari sini ke Teirm" Tidak harus cepat atau nyaman."
"Well," kata pria itu, sambil mengangkat kotak ke bahunya, kalau tidak harus cepat dan kau hanya pergi ke Teirm, coba sajalah dengan Clovis yang di sebelah sana itu." Ia menunjuk sederetan gubuk yang mengambang di antara kedua dermaga tempat perahu-perahu bisa disimpan. "Ia memiliki beberapa bargas yang digunakannya untuk mengirim biji-bijian di musim gugur. Selebihnya, Clovis mencari ikan sebagai mata pencaharian, seperti sebagian besar orang di Narda." Lalu ia mengerutkan kening. "Kalian membawa barang apa" Domba-domba sudah diberangkatkan, dan belum ada hasil bumi yang masuk."
"Ini dan itu," kata Horst. Ia melemparkan sekeping tembaga pada orang itu.
Pekerja pelabuhan itu mengantunginya sambil mengedipkan sebelah mata dan menyikut Horst. "Benar sekali, Sir. Ini dan itu. Aku tahu yang mana penyelundup ketika melihatnya. Tapi tidak perlu takut pada Ulric tua; selalu menjaga mulutnya, sungguh.
Sampai ketemu lagi, Sir." Ia berjalan pergi, sambil bersiul-siul.
Ternyata Clovis tidak ada di dermaga. Sesudah mendapat petunjuk arah, mereka harus berjalan setengah jam ke rumahnya di sisi seberang Narda, di mana mereka mendapati Clovis tengah menanam umbi bunga iris di sepanjang jalan menuju pintu depannya. Ia pria kekar dengan pipi terbakar matahari dan janggut kemerahan. Satu jam berlalu sebelum mereka bisa meyakinkan pelaut itu bahwa mereka benar-benar tertarik pada bargasnya, biarpun musimnya tidak pas, lalu kembali ke gubuk bersamanya. Clovis membuka pintunya untuk menunjukkan tiga bargas yang identik, Merrbell, Edeline, dan Red Boar.
Setiap bargas panjangnya tujuh puluh lima kaki, lebamya dua puluh kaki, dan dicat merah karat. Ketiganya memiliki palka terbuka yang bisa ditutup terpal, tiang layar yang bisa didirikan di tengah bargas untuk selembar layar, dan sejumlah kabin geladak di bagian belakang-atau buritan, seperti kata Clovis-bargas.
"Kedalaman kapal ini lebih daripada kapal berujung persegi," Clovis
menjelaskan, "jadi kalian tidak perlu khawatir terbalik dalam cuaca buruk, sekalipun lebih baik menghindari badai hebat. Bargas-bargas ini tidak dibuat untuk lautan terbuka: Bargas ini dibuat untuk berlayar menyusuri pantai. Dan sekarang merupakan masa yang buruk untuk berlayar dengannya. Demi kehormatanku, kami terus dilanda badai setiap sore selama sebulan."
"Kau memiliki awak kapal untuk ketiganya"" tanya Roran.
"Well... begini, ada masalah. Sebagian besar orang yang kupekerjakan pergi berminggu-minggu yang lalu untuk berburu anjing laut, seperti yang biasa mereka lakukan. Karena aku hanya membutuhkan mereka sesudah panen, mereka bebas untuk datang dan pergi sesuka hati sepanjang tahun sisanya... Aku yakin kalian, tuan-tuan, memahami posisiku." Clovis ber,saha tersenyum, lalu memandang Roran, Horst, dan Baldor, seakan tidak yakin harus bicara pada siapa.
Roran berjalan sepanjang Edeline, memeriksa kerusakannya. Bargas itu tampak tua, tapi kayunya masih bagaas dan catnya baru. "Kalau kami menggantikan awakmu yang pergi, berapa biaya ke Teirm dengan ketiga bargas ini""
"Tergantung," kata Clovis. "Para kelasi mendapat lima belas keping tembaga per hari, plus makanan sebanyak yang bisa mereka makan dan sebotol wiski. Berapa bayaran anak buahmu adalah urusanmu sendiri. Aku tidak akan menggaji mereka. Biasanya, kami juga mempekerjakan pengawal untuk setiap bargas, tapi mereka--"
"Mereka pergi berburu, ya," kata Roran. "Kami juga akan menyediakan pengawal."
Jakun di tenggorokan Clovis yang kecokelatan naik-turun saat ia menelan ludah. "Itu lebih dari cukup... begitulah. Sebagai tambahan gaji awak kapal, aku mengenakan biaya dua ratus crown, plus ganti rugi untuk setiap kerusakan pada bargas akibat anak buahmu, plus--sebagai pemilik sekaligus kapten--dua belas persen dari total keuntungan penjualan kargo."
"Perjalanan kami tidak menghasilkan keuntungan."
Itu, lebih dari apa pun, tampak mengguncang Clovis. Ia menggosok lesung pipi di dagunya dengan ibu jari kiri, mencoba berbicara dua kali, berhenti, lalu akhirnya berkata, "Kalau begitu keadaannya, empat ratus crown lagi saat perjalanan selesai. Apa--kalau aku boleh memberanikan diri bertanya yang ingin kalian kirimkan""
Kami membuatnya takut, pikir Roran. "Ternak."
Apakah domba, sapi, kuda, kambing, kerbau...""
Ternak kami terdiri atas berbagai jenis hewan."
Dan kenapa kalian ingin membawanya ke Teirm""
"Kami memiliki alasan." Roran nyaris tersenyum melihat kebingungan Clovis.
"Kau mau mempertimbangkan berlayar lebih jauh dari Teirm""
"Tidak! Teirm batasku. Aku tidak tahu perairan selebihn dan aku juga tidak ingin pergi lebih lama lagi dari istri dan putriku."
"Kapan kau bisa siap""
Clovis ragu-ragu dan maju dua langkah kecil. "Mungkin lima atau enam hari. Tidak... tidak, lebih baik seminggu; ada urusan yang harus kubereskan sebelum berangkat."
"Kami bayar sepuluh crown lagi kalau bisa berangkat lusa."
"Aku tidak--" "Dua belas crown."
"Lusa kalau begitu," janji Clovis. "Dengan satu atau lain cara, aku akan siap pada waktu itu."
Sambil mengelus pagar tepi bargas, Roran mengangguk tanpa berpaling memandang Clovis dan berkata, "Bisa aku bicara sebentar dengan rekan-rekanku""
"Silakan, Sir. Aku akan ada di dermaga sesudah kau selesai nanti." Clovis bergegas ke pintu. Tepat pada saat hendak keluar dari gubuk, ia bertanya, "Maaf, tapi siapa namamu tadi" Aku khawatir tidak mendengarnya tadi, dan ingatanku terkadang agak kacau."
"Stronghammer. Namaku Stronghammer."
"Ah, tentu saja. Nama yang bagus."
Sesudah pintu tertutup, Horst dan Baldor mengerumuni Roran. Baldor berkata, "Kita tidak mampu menyewanya.
"Kita tidak bisa tidak menyewa dirinya," jawab Roran. "Kita tak memiliki emas untuk membeli bargas-bargasnya, dan aku tidak ingin belajar cara mengendalikannya di saat keselamatan semua orang tergantung pada hal itu. Lebih cepat dan lebih aman membayar awak kapal."
"Tetap saja terlalu mahal," kata Horst.
Roran mengetuk-ngetukkan jari ke pagar kapal. Kita bisa membayar biaya awal Clovis sebanyak dua ratus Crown. Tapi begitu tiba di Teirm, kusarankan kita en
tah mencuri bargas-bargasnya menggunakan keahlian yang kita pelajari selama perjalanan atau melumpuhkan Clovis dan anak buahnya hingga kita bisa meloloskan diri dengan jalan lain. Dengan begitu, kita tidak perlu membayar tambahan empat ratus Crow, juga upah kelasi."
"Aku tidak senang menipu orang yang bekerja dengan jujur," ata Horst. "Itu tidak sesuai dengan prinsipku."
"Aku juga tidak suka, tapi kau bisa memikirkan alternatifnya""
"Bagaimana caramu menaikkan semua orang ke bargas""
"Minta mereka menunggu kita di pantai sekitar satu mil laut dari dermaga, tidak terlihat dari Narda."
Horst mendesah. "Baiklah, kita lakukan, tapi mulutku terasa pdak enak karenanya. Panggil Clovis kemari, Baldor, dan kita pastikan perjanjian ini."
Malam itu, para penduduk desa berkerumun di sekeliling api unggun kecil untuk mendengar apa yang terjadi di Narda. Dari tempatnya berlutut di tanah, Roran menatap bara yang berkobar-kobar sambil mendengarkan Gertrude dan ketiga bersaudara menceritakan petualangan masing-masing. Berita mengenai poster Roran dan Eragon memicu gumaman tidak enak di antara para pendengarnya.
Sesudah Darmmen selesai, Horst mengambil tempatnya dan, dengan kalimat-kalimat singkat, menceritakan tidak adanya kapal yang layak di Narda, bagaimana pekerja pelabuhan menyarankan Clovis, dan perjanjian yang mereka buat sesudah itu, Tapi, begitu Horst menyebut kata bargas, para penduduk desa berteriak-teriak takut dan tidak puas hingga menenggelamkan suaranya.
Setelah berjalan ke depan kelompok, Loring mengangkat dengan meminta perhatian. "Bargas"" kata tukang sepatu itu.
Bargas" Kami tidak menginginkan bargas!" Ia meludah dekat kakinya sementara orang-orang ribut menyetujui.
"Semuanya, diam!" kata Delwin. "Kita akan kedengaran kalau terus begini." Sesudah tinggal derak api unggun yang menjadi suara terkeras, ia melanjutkan dengan lebih lambat.
Aku setuju dengan Loring. Bargas tidak bisa diterima. Bargas tambat dan rapuh. Dan kita akan berjejalan bersama-sama tanpa ada privasi sedikit pun dan tanpa perlindungan, entah untuk berapa lama. Horst, Elain hamil enam bulan. Kau tidak bisa berharap ia dan orang-orang lain yang sakit untuk duduk di bawah terik matahari selama berminggu-minggu.
"Kita bisa membentangkan terpal menutupi palka," jawab Horst. "Tidak terlalu bagus, tapi itu akan melindungi kita dari matahari dan hujan."
Suara Birgit mengalahkan gumaman pelan orang-orang, "Ada keprihatinanku yang lain." Orang-orang memberi jalan sewaktu ia melangkah ke api unggun. "Dengan diberikannya dua ratus crown untuk Clovis dan uang yang dipakai Darmmen dan saudara-saudaranya, kita sudah menggunakan sebagian besar koin kita. Tidak seperti orang-orang di kota besar, kekayaan kita bukan pada emas tapi pada hewan dan tanah. Tanah kita telah lenyap dan hanya sedikit hewan yang tersisa. Bahkan kalau kita menjadi bajak laut dan mencuri bargas-bargas itu, bagaimana cara kita membeli pasokan di Teirm atau meneruskan perjalanan ke selatan""
"Yang penting," geram Horst, "adalah mencapai Teirm dulu. Begitu tiba di sana, kita bisa mengkhawatirkan tindakan kita selanjutnya... Ada kemungkinan kita terpaksa mengambil tindakan yang lebih drastis."
Wajah Loring yang kurus semakin keriput. "Drastis" Apa maksudmu, drastis" Kita sudah melakukan tindakan yang drastis. Seluruh petualangan ini drastis. Aku tidak peduli apa katamu; aku tidak akan menggunakan bargas-bargas itu, apalagi sesudah apa yang kita alami di Spine. Bargas untuk biji-bijian dan hewan. Yang kami inginkan adalah kapal dengan kabin dan ranjang di mana kita bisa tidur dengan nyaman. Kenapa tidak menunggu seminggu lagi dan melihat apakah kita bisa menyewa salah satu kapal yang datang" Apa ruginya begitu, eh" Atau kenapa tidak--" Ia terus berceloteh selama lima belas menit lebih, mengajukan segunung keberatan sebelum beralih pada Thane dan Ridley, yang mendukung argumentasinya.
Percakapan itu terhenti saat Roran berdiri dan meneg ri tubuh, membungkam para penduduk desa hanya dengan kehadirannya. Mereka menunggu, tanpa bernapas, berharap akan menyampaikan pidato berwawasannya lagi.
"Cara ini atau berjalan kaki," katanya.
Lalu ia pergi tidur. TURUNNYA MARTIL Bulan melayang tinggi di antara bintang-bintang sewaktu Roran meninggalkan tenda darurat yang dihuninya bersama Baldor, berjalan ke tepi perkemahan, dan menggantikan Albriech berjaga.
"Tidak ada yang perlu dilaporkan," bisik Albriech, lalu menyelinap pergi.
Roran memasang tali busur dan menghunjamkan tiga anak panah berbulu angsa di tanah liat, dalam jangkauan, lalu menyelimuti diri dan meringkuk pada permukaan batu di sebelah kirinya. Posisinya memungkinkan ia memandang jelas ke bawah dan ke seberang bukit-bukit.
Seperti kebiasaannya, Roran membagi pemandangan menjadi kwadran-kwadran, memeriksa setiap kwadran selama semenit penuh, selalu mewaspadai gerakan sekilas atau cahaya sepintas yang mungkin menunjukkan mendekatnya musuh. Dalam waktu singkat benaknya mulai melayang, berpindah dari satu subjek ke subjek lain dengan logika samar mimpi, mengalihkan perhatiannya dari tugas. Ia menggigit bagian dalam pipinya untuk memaksa diri berkonsentrasi. Tetap terjaga sangat sulit di cuaca sedingin ini....
Roran senang tidak kena dua kali giliran jaga sebelum subuh, karena kalau begitu ia tidak mendapat kesempatan mengganti tidur yang hilang sesudahnya dan akan merasa lelah sepanjang hari.
Hembusan angin melintasinya, menggelitik telinga dan menyebabkan bulu kuduknya meremang karena firasat adanya kejahatan. Sentuhan halus itu menakutkan Roran, menghapus segalanya kecuali keyakinan bahwa dirinya dan para penduduk desa terancam bahaya besar. Ia merintih seakan terseran demam, jantungnya berdebar-debar, dan ia harus bejuang keras untuk menekan keinginan keluar dari tempat persembunyiannya dan melarikan diri.
Ada apa denganku" Bahkan memasang anak panah saja terasa sangat sulit.
Di sebelah timur, ada bayangan yang melepaskan diri dari kaki langit. Hanya tampak seperti kekosongan di sela bintang-bintang, bayangan itu melayang seperti robekan cadar melintasi langit hingga menutupi bulan, di mana bayangan itu berhenti, mengambang. Dengan diterangi cahaya dari belakang, Roran bisa melihat sayap-sayap tembus pandang salah satu tunggangan Ra'zac.
Makhluk hitam itu membuka paruhnya dan menjerit melengking, panjang. Roran meringis kesakitan akibat hebatnya lengkingan itu. Lengkingan tersebut menusuk gendang telinganya, membekukan darahnya, dan mengubah harapan dan suka cita menjadi keputusasaan. Teriakan itu membangunkan seisi hutan. Burung-burung dan hewan-hewan buas sejauh bermil-mil beterbangan panik, termasuk, yang mengejutkan Roran, sisa ternak penduduk desa.
Sambil terhuyung dari pohon ke pohon, Roran kembali ke perkemahan, berbisik, "Ra'zac ada di sini. Diam dan jangan ke mana-mana," kepada setiap orang yang ditemuinya. Ia melihat para penjaga lain berjalan di antara para penduduk desa yang ketakutan, menyebarkan pesan yang sama.
Fisk muncul dari tenda sambil membawa tombak dan meraung, "Apa kita diserang" Apa yang memicu--" Roran menerjang tukang kayu itu agar diam, mengerang tertahan saat mendarat pada bahu kanannya dan menyakiti luka lamanya.
"Ra'zac," erang Roran pada Fisk.
Fisk membeku dan dengan suara pelan bertanya, "Apa yang harus kulakukan""
"Bantu aku menenangkan hewan-hewan."
Bersama mereka melintasi perkemahan ke padang sebelah tempat tempat kambing, domba, keledai, dan kuda ditambatkan. Para petani yang memiliki sebagian besar ternak itu tidur bersama hewan masing-masing dan telah terjaga, berusaha menenangkan ternak mereka. Roran bersyukur telah bersikap paranoid, yang menyebabkan ia berkeras hewan-hewan itu disebar di sepanjang tepi padang, di mana pepohonan dan sesemakan membantu menyembunyikan mereka dari pandangan yang tidak bersahabat.
Sambil berusaha menenangkan sekelompok domba, Roran menengadah sekilas memandang bayangan hitam menakutkan yang masih menutupi bulan, seperti kelelawar raksasa. Yang membuatnya ngeri, bayangan itu mulai bergerak ke tempat persembunyian mereka. Kalau makhluk itu menjerit lagi, kami hancur.
Saat Ra'zac terbang berputar-putar di atas kepala, sebagian besar hewan telah diam, kecuali seekor ke
ledai, yang terus meringkik serak. Tanpa ragu-ragu, Roran bertumpu pada salah satu lututnya, memasang anak panah, dan memanah keledai itu di sela rusuknya. Bidikannya tepat, dan hewan itu jatuh tanpa suara.
Tapi ia terlambat; ringkikan keledai menarik perhatian Ra'zac. Monster tersebut berpaling ke padang dan turun ke sana dengan cakar terulur, didahului baunya yang busuk luar biasa.
Sekarang tiba waktunya melihat apakah kami bisa membantai mimpi buruk, pikir Roran. Fisk, yang berjongkok di sebelahnya di rerumputan, mengangkat tombak, siap melontarkannya begitu makhluk itu berada dalam jangkauan.
Tepat pada saat Roran menarik anak panah--dalam usaha memulai dan mengakhiri pertempuran dengan anak panah yang dipasang dengan baik--perhatiannya teralih oleh keributan di hutan.
Sekelompok rusa menghambur keluar dari sesemakan dan berderap menyeberangi padang, mengabaikan para penduduk desa dan ternaknya dalam kepanikan meloloskan diri dari Ra'zac. Selama hampir semenit, rusa-rusa itu berderap melewati Roran, melubangi tanah liat dengan kuku-kuku mereka yang tajam dan memantulkan cahaya bulan dengan mata mereka yang bertepi putih. Mereka begitu dekat hingga ia bisa mendengar napas mereka.
Kawanan rusa itu pasti menyembunyikan para penduduk desa karena, sesudah terbang memutari padang sekali lagi, si monster bersayap berbelok ke selatan dan melayang semakin jauh ke dalam Spine, melebur dengan malam.
Roran dan teman-temannya tetap membeku di tempat, seperti kelinci yang diburu, takut kepergian Ra'zac itu mungkin tipuan untuk memancing mereka keluar ke tempat terbuka atau bahwa kembaran makhluk itu ada dekat di belakangnya. Mereka menunggu selama berjam-jam, tegang dan gelisah, nyaris tidak bergerak kecuali memasang tali busur.
Sewaktu bulan hendak terbenam, lengkingan Ra'zac yang membekukan tulang terdengar menggema di kejauhan... lalu tidak terdengar apa-apa lagi.
Kami mujur, pikir Roran sewaktu terjaga keesokan paginya.
Dan kami tidak bisa mengandalkan kemujuran untuk menyelamatkan kami lain kali.
Sesudah kemunculan Ra'zac, tidak satu pun penduduk desa yang keberatan menempuh perjalanan dengan bargas. Mereka begitu ingin pergi hingga banyak yang bertanya pada Roran apakah mungkin untuk berlayar hari itu dan bukannya besok.
"Seandainya saja bisa," kata Roran, "tapi terlalu banyak yang harus dilakukan."
Tanpa sarapan, ia, Horst, dan sekelompok pria lain turun ke Narda. Roran tahu dirinya mengambil risiko dikenali dengan menemani mereka, tapi misi mereka terlalu penting baginya sehingga ia tidak tega menolaknya. Lagi pula, ia yakin penampilannya saat ini cukup berbeda dengan gambarnya di poster Kekaisaran sehingga tak ada yang akan membandingkan satu dengan yang lainnya.
Mereka tidak menemui kesulitan untuk masuk, karena penjaga gerbang kota bukan para prajurit yang kemarin. Setelah itu mereka ke pelabuhan dan memberikan dua ratus crown pada Clovis, yang sibuk mengawasi sekelompok orang menyiapkan bargas-bargas untuk berlayar.
"Terima kasih, Stronghammer," kata Clovis, sambil mengikat sekantung koin ke sabuknya. "Tidak ada yang mengalakuning untuk mencerahkan hari." Ia mengajak mereka ke meja kerja dan membuka gulungan peta perairan di sekitar Narda, lengkap dengan notasi-notasi mengenai kekuatan berbagai arus; lokasi karang, beting pasir, dan bahaya-bahaya lain; serta pengukuran-pengukuran yang bernilai puluhan tahun. Setelah menggambar garis dengan jarinya dari Narda ke teluk kecil tepat di selatannya, Clovis berkata, "Di sini kita akan menemui ternakmu. Arusnya sekarang lemah, tapi kita tetap tidak ingin melawannya, jadi kita harus langsung ke sana begitu arus pasang."
"Arus pasang"" kata Roran. "Apa tidak lebih mudah menunggu hingga arus surut dan membiarkan kita hanyut keluar""
Clovis mengetuk hidung dengan mata berkilau. "Aye, memang, dan begitulah caraku memulai banyak pelayaran. Tapi yang tidak kuinginkan adalah merapat ke pantai, memuat temakmu, pada saat arus kembali pasang dan mendorong kita semakin jauh ke darat. Dengan begini tidak ada bahayanya, tapi kita harus pandai bergerak agar tidak terdampar se
waktu air surut. Dengan anggapan begitu, laut akan bekerja untuk kita, eh""
Roran mengangguk. Ia memercayai pengalaman Clovis. "Dan berapa banyak orang yang kaubutuhkan untuk awak kapalmu""
"Well, aku berhasil mendapatkan tujuh orang--kuat, jujur, dan semuanya pelaut yang baik--yang setuju untuk ikut dalam Perjalanan ini, sekalipun aneh. Omong-omong, sebagian besar dari mereka sedang mabuk sewaktu kusudutkan mereka semalam, menghabiskan upah dari pelayaran terakhir mereka, tapi mereka akan sesadar penenun besok pagi; aku berjanji. Mengingat hanya tujuh yang bisa kutemukan, aku ingin empat orang lagi."
Kau mendapatkannya," kata Roran. "Anak buahku tidak tahu banyak mengenai berlayar, tapi mereka mampu dan bersedia belajar."
Clovis mendengus. "Biasanya aku memang membawa orang baru setiap kali berlayar. Selama mereka mematuhi perintah, mereka akan baik-baik saja; kalau tidak, mereka akan dihajar, ingat kata-kataku. Sedang mengenai pengawal, aku ingin ada sembilan--tiga per perahu. Dan mereka sebaiknya tidak plonco pelautmu, kalau ya, aku tidak akan meninggalkan dermaga, biarpun demi seluruh wiski di dunia."
Roran tersenyum muram. "Setiap orang yang pergi bersamaku sudah membuktikan diri dalam pertempuran berulang kali."
"Dan mereka semua patuh padamu, eh, Stronghammer muda"" kata Clovis. Ia menggaruk dagunya, menatap Gedric, Delwin, dan lainnya yang baru pertama kali ke Narda. "Berapa orang yang bersamamu""
"Cukup." "Cukup, katamu. Aku heran." Ia melambaikan satu tangan "Jangan pedulikan aku; lidahku bergerak terlalu cepat mendului akal sehatku, atau begitulah kata ayahku dulu. Mualim satuku, Torson, sekarang ada di tempat pedagang, mengawasi pembelian barang-barang dan peralatan. Kau harus memberi makan ternakmu, bukan""
"Begitulah." "Kalau begitu sebaiknya kau ambil sekarang. Kita bisa memuatnya ke palka begitu tiang layar dipasang."
Sepanjang sisa pagi dan sore harinya, Roran dan penduduk desa yang bersamanya bekerja keras memindahkan pasokanyang dibeli para putra Loring-dari gudang tempat pasokan itu disimpan ke gubuk tempat bargas-bargas berada.
Saat Roran berjalan di papan kayu ke Edeline dan menurunkan kantung terigunya ke kelasi yang menunggu di dalam palka, Clovis berkata, "Sebagian besar barangmu bukan makanan ternak, Stronghammer."
"Ya," kata Roran. "Tapi diperlukan." Ia senang Clovis cukup cerdas untuk tidak bertanya lebih jauh.
Sewaktu barang terakhir telah disimpan, Clovis memanggil Roran. "Sebaiknya kau pergi. Aku dan anak-anak akan membereskan sisanya. Ingat saja untuk berada di dermaga tiga jam sesudah subuh bersama setiap orang yang kaujanjikan padaku, kalau tidak kita akan tertinggal arusnya."
"Kami akan ada di sana."
Sekembalinya di kaki bukit, Roran membantu Elain dan yang lair, bersiap-siap berangkat. Tidak membutuhkan waktu lama, karena mereka telah terbiasa membongkar perkemahan setiap pagi. Lalu ia memilih dua belas orang untuk menemaninya ke Narda keesokan harinya. Mereka semua mampu bertempur dengan baik, tapi ia meminta yang terbaik, seperti Horst dan Delwin, untuk tetap bersama penduduk desa lain seandainya para prajurit menemukan mereka atau Ra'zac kembali.
Begitu malam turun, kedua kelompok itu berpisah. Roran berjongkok di batu besar dan mengawasi Horst memimpin iring-iringan orang menuruni kaki bukit ke teluk tempat mereka akan menunggu kedatangan bargas-bargas.
Orval mendekatinya dan bersedekap. "Menurutmu mereka akan aman, Stronghammer"" Kegelisahan memenuhi suaranya seperti tali busur yang direntang kencang.
Sekalipun ia juga khawatir, Roran berkata, "Ya. Aku berani bertaruh satu tong cider denganmu bahwa mereka masih tidur sewaktu kita merapat di pantai besok. Kau bisa mendapat kesenangan dengan membangunkan Nolla. Bagaimana"" Orval tersenyum mendengar istrinya disebut dan mengangguk, tampak yakin.
Kuharap aku benar. Roran tetap tinggal di batu, membungkuk seperti patung setan yang suram, hingga sosok gelap para penduduk desa menghilang dari pandangannya.
Mereka terjaga satu jam sebelum matahari terbit, sewaktu langit baru bertambah terang dengan warna hijau pucat d
an udara malam yang basah membuat jemari mereka kebas. Roran menyiram wajahnya dengan air lalu menyandang busur dan tabung anak panah, martilnya yang selalu ada, salah satu Perisai buatan Fisk, dan salah satu tombak buatan Horst. Yang juga berbuat begitu, dengan tambahan pedang yang diperoleh dalam pertempuran di Carvahall.
Sambil berlari menuruni bukit secepat yang berani mereka lakukan, ketiga belas orang itu dalam waktu singkat tiba di Narda dan, tidak lama sesudahnya, di gerbang utama kota. Yang mengecewakan Roran, kedua prajurit yang merepotkan mereka sebelumnya berdiri berjaga di pintu masuk. Seperti sebelumnya, kedua prajurit itu menurunkan tombak berkapaknya untuk menghalangi jalan.
"Kali ini kalian banyak juga," kata pria berambut putih. "Dan tidak semuanya sama. Kecuali kau." Ia memusatkan perhatian pada Roran. "Kurasa kau berharap aku percaya bahwa tombak dan perisai itu juga untuk tembikar""
"Bukan. Kami disewa Clovis untuk melindungi bargas-bargasnya dari serangan dalam perjalanan ke Teirm."
"Kalian" Serdadu bayaran"" Prajurit itu tertawa. "Katamu kalian pedagang."
"Ini bayarannya lebih baik."
Pria berambut ubanan itu merengut. "Kau bohong. Aku pernah mencoba menjadi orang bayaran dulu. Aku lebih sering kelaparan semalaman daripada tidak. Lagi pula, berapa banyak pedagangmu" Tujuh kemarin dan dua belas hari ini--tiga belas termasuk dirimu. Rasanya terlalu banyak untuk ekspedisi dari sekelompok pemilik toko." Matanya menyipit saat mengamati wajah Roran. "Aku rasanya mengenalmu. Siapa namamu, eh""
"Stronghammer."
"Bukannya Roran--"
Roran menusukkan tombaknya ke depan, menembus tenggorokan prajurit beruban itu. Darah merah menyembur. Setelah melepaskan tombaknya, Roran mencabut martil dan berputar sambil menggunakan perisai untuk menangkis tombak berkapak prajurit kedua. Ia mengangkat martilnya dan menghancurkan helm prajurit itu.
Ia berdiri terengah-engah di antara kedua mayat. Sekarang aku sudah membunuh sepuluh orang.
Orval dan yang lain menatap Roran dengan kaget. Karena tidak mampu membalas tatapan mereka, Roran berbalik memunggungi mereka dan memberi isyarat ke selokan yang mengalir di bawah jalan. "Sembunyikan mayat-mayat itu sebelum ada yang melihat," perintahnya, tegas dan kasar. Sementa mereka bergegas mematuhi, ia memeriksa jalur jalan di Puncak dinding, mencari penjaga. Untungnya, tidak seorang pun terlihat di sana atau di jalan di balik gerbang. Ia membungkuk mencabut tombak, membersihkan darahnya di rerumputan.
"Selesai, kata Mandel, sambil naik dari selokan. Sekalipun tertutup janggut, wajah pemuda itu tampak pucat.
Roran mengangguk dan, setelah menguatkan diri, memandang kelompoknya. "Dengar. Kita akan berjalan ke dermaga Seeepat mungkin tanpa tergesa-gesa. Kita tidak akan lari. Sewaktu alarm dibunyikan--dan mungkin ada yang mendengar perkelahian tadi--berpura-puralah terkejut dan tertarik tapi jangan takut. Apa pun yang kalian lakukan, jangan beri alasan pada orang-orang untuk mencurigai kita. Keselamatan keluarga dan teman-teman kalian tergantung pada sikap kalian. Kalau kita diserang, tugas kalian hanyalah memastikan bargas-bargasnya berlayar. Tidak ada lagi yang penting. Apa aku jelas""
"Aye, Stronghammer," jawab mereka.
"Kalau begitu ikut aku."
Ketika berjalan melintasi Narda, Roran merasa begitu tegang hingga khawatir akan meledak berkeping-keping. Jadi apa aku ini" pikirnya penasaran. Ia melirik setiap pria dan wanita, anak-anak, anjing-anjing, dalam usahanya mengenali musuh potensial. Segala sesuatu di sekitarnya tampak terang dan penuh detail di luar kewajaran; rasanya ia seperti bisa melihat setiap helai benang pada pakaian orang-orang.
Mereka tiba di dermaga tanpa kejadian apa-apa. Clovis berkata, "Kau lebih awal, Stronghammer. Aku suka itu. Dengan begitu kita mendapat kesempatan merapikan segalanya sebelum berangkat."
"Bisa kita berangkat sekarang"" tanya Roran.
"Kau seharusnya lebih tahu daripada itu. Kita harus menunggu hingga arus pasang berlalu, jadi kita menunggu." Clovis diam sejenak saat itu, mengamati ketiga belas orang dengan cermat, dan berkata, "Wah, ada
masalah apa, Stronghammer" Kalian tampak seperti melihat hantu Galbatorix tua sendiri."
Tidak ada yang tak bisa disembuhkan dengan beberapa jam dalam udara laut," kata Roran. Karena keadaannya sekarang, ia tidak bisa tersenyum, tapi ia membiarkan ekspresinya melunak untuk menenangkan si kapten.
Dengan siulan, Clovis memanggil kedua kelasi dari perahu. Keduanya secokelat hazelnut. "Yang ketiga Torson, mualim tamaku," kata Clovis, sambil memberi isyarat pada pria di sebelah kanannya. Bahu Torson yang telanjang dihiasi tato naga terbang yang melingkarinya. "Ia nahkoda Merrybell. Dan anjing hitam ini Flint. Ia nahkoda Edeline. Selama kalian di perahu, kata-kata mereka adalah hukum, sebagaimana katau kataku di Red Boar. Kalian harus patuh padanya dan padaku bukan pada Stronghammer... Well, coba katakan aye, aye yang benar."
"Aye, aye," kata mereka.
"Nah, siapa di antara kalian yang akan membantuku dan siapa yang menjadi pengawalku" Demi hidupku, aku tidak bisa membedakan kalian."
Tanpa memedulikan peringatan Clovis bahwa ia komandan mereka, bukan Roran, para penduduk desa memandang Roran untuk memastikan apakah mereka harus mematuhinya. Roran mengangguk menyetujui, dan mereka membagi diri menjadi dua kelompok, yang oleh Clovis dibagi-bagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil saat ia menugaskan sejumlah penduduk desa tertentu ke setiap bargas.
Selama setengah jam berikutnya, Roran bekerja bersama para kelasi menyelesaikan persiapan Red Boar untuk berlayar, dengan telinga mewaspadai isyarat pertama tanda bahaya.
Kami akan tertangkap atau dibunuh kalau tinggal lebih lama lagi, pikirnya, sambil memeriksa ketinggian air di dermaga. Ia mengusap keringat dari alis.
Roran terkejut sewaktu Clovis mencengkeram lengan bawahnya.
Sebelum ia sempat menahan diri, Roran mencabut martilnya hingga separo keluar dari sabuk. Udara yang pekat bagai menyumbat tenggorokannya.
Clovis mengangkat alis melihat reaksinya. "Aku sudah lama mengawasimu, Stronghammer, dan aku sangat tertarik untuk mengetahui caramu memenangkan kesetiaan seperti itu dari anak buahmu. Aku pernah mengabdi pada lebih banyak kapten daripada yang ingin kuingat, dan tidak satu pun mampu mendapatkan tingkat kepatuhan seperti dirimu tanpa angkat pipa."
Roran tidak mampu menahan diri; ia tertawa. "Kuberitahukan caranya; aku menyelamatkan mereka dari perbudakan dan dari disantap.
Alis Clovis terangkat hingga nyaris menyentuh batas rambutnya, "Sungguh" Aku ingin mendengar ceritanya."
"Tidak, kau tidak ingin."
Semenit kemudian, Clovis berkata, "Ya, mungkin aku tidak ingin mendengarnya." Ia melirik ke balik pagar. "Wah, aku akan digantung. Aku yakin kita bisa berangkat. Ah, dan ini Galina kecilku, tepat waktu seperti biasa."
Pria kekar itu melompat ke papan penghubung dan, dari sana, turun ke dermaga. Ia memeluk gadis berambut hitam yang berusia sekitar tiga belas tahun dan wanita yang menurut tebakan Roran adalah ibu gadis itu. Clovis mengacak rambut si gadis dan berkata, "Nah, jadilah anak baik sementara aku pergi. Kau mau, Galina""
"Ya, Ayah." Saat menyaksikan Clovis mengucapkan selamat berpisah pada keluarganya, Roran teringat pada kedua prajurit yang tewas di gerbang. Mereka mungkin memiliki keluarga juga. Istri dan anak-anak yang menyayangi mereka dan rumah tujuan mereka pulang setiap hari... Ia merasa akan muntah dan memaksa diri memikirkan dermaga lagi agar tidak mual.
Di bargas-bargas, semua orang tampak gelisah. Takut mereka kehilangan keberanian, Roran sengaja mondar-mandir di geladak, melemaskan tubuh, dan melakukan apa pun agar tampak santai. Akhirnya Clovis melompat naik kembali ke Red Boar dan berseru, "Lepaskan tambatannya, anak-anak! Kedalaman Sudah cukup bagi kita."
Dalarn waktu singkat, papan-papan penghubung ditarik ke bargas, tali-tali tambatan dilepaskan, dan layar dibentangkan di ketiga bargas. Udara dipenuhi teriakan-teriakan perintah dan lantunan heave-ho saat para kelasi menarik tali-temali.
Di belakang mereka, Galina dan ibunya tetap mengawasi sementara bargas-bargas bergerak menjauh, tidak bergerak dan membisu berkerudung dan muram.
"Kita beruntung, Stronghammer, kata Clovis, sambil memukul bahunya. "Ada angin yang mendorong kita hari ini. Kita mungkin tidak perlu mendayung untuk mendayung untuk mencapai teluk sebelum arus berubah, eh!"
Sewaktu Red Boar telah berada di tengah teluk Narda masih sepuluh menit dari kebebasan laut terbuka, yang ditakuti Roran terjadi: suara lonceng dan terompet mengalun melintasi perairan dari sela bangunan-bangunan batu.
"Apa itu"" tanyanya.
"Entahlah," kata Clovis. Ia mengerutkan kening sambil menatap kota, berkacak pinggang. "Bisa jadi kebakaran, tapi tidak ada asap di udara. Mungkin mereka menemukan Urgal di kawasan ini." Keprihatinan terpancar di wajahnya. "Apa kau kebetulan melihat siapa pun di jalan pagi ini""
Roran menggeleng, tidak memercayai dirinya sendiri untuk berbicara.
Flint menjajarkan Edeline dengan bargas mereka dan berteriak dari geladaknya, "Apa sebaiknya kita kembali, Sir"" Roran mencengkeram pagar begitu kuat hingga serpihan kayunya menusuk ke bawah kuku, siap menyela tapi takut tampak terlalu gelisah.
Setelah mengalihkan pandangan dari Narda, Clovis balas berteriak. "Tidak. Kita akan tertinggal arus kalau begitu."
"Aye, aye, Sir! Tapi aku rela memberikan gajiku sehari untilk mencari tahu penyebab keributan itu."
"Aku juga," gumam Clovis.
Sementara rumah-rumah dan bangunan-bangunan mengedl di belakang mereka, Roran berjongkok di buritan kiri bargas, memeluk lutut, dan menyandar ke kabin. Ia memandang ke langit, terpesona melihat kedalaman, kejernihan, dan warnanya lalu memandang ombak kehijauan di belakang Red Boar, di mana pita-pita rumput laut meliuk-liuk. Sentakan-sentakan bargas menenangkannya seperti goyangan buaian. Hari yang indah sekali pikirnya, bersyukur dirinya ada di sana untuk melihatnya.
Sesudah mereka meninggalkan teluk-yang melegakan, Roran menaiki tangga ke geladak di belakang kabin-kabin, tempat Clovis berdiri memegangi kemudi, mengarahkan bargas mereka. Kapten berkata, "Ah, hari pertama pelayaran selalu menggairahkan, sebelum kau sadar betapa buruk makananya dan mulai merindukan rumah."
Karena ingat ia butuh mempelajari bargas sebisa mungkin, Roran menanyakan nama dan fungsi berbagai benda di kapal pada Clovis, dan ia ditanggapi dengan kuliah penuh semangat mengenai cara kerja bargas, kapal, dan seni berlayar pada umumnya.
Dua jam kemudian, Clovis menunjuk semenanjung sempit yang membentang di depan mereka. "Teluknya ada di balik itu." Roran menegakkan tubuh dari pagar dan menjulurkan leher, sangat ingin memastikan para penduduk desa selamat.
Sewaktu Red Boar mengitari tonjolan daratan berbatu-batu itu, pantai terlihat di ujung seberang teluk, tempat para pengungsi dari Lembah Palancar berkumpul. Mereka bersorak dan melambai-lambai sewaktu bargas-bargas muncul dari balik karang.
Roran mengendur. Di sampingnya, Clovis memaki-maki. "Aku tahu ada yang tidak beres begitu melihatmu, Stronghammer. Ternak yang hebat. Bah! Kau mempermainkanku seakan aku orang bodoh, sungguh."
"Kau keliru," jawab Roran. "Aku tidak berbohong; ini kawananku dan aku gembala mereka. Apa aku tidak berhak menyebut mereka 'ternak', kalau aku mau""
"Terserah kau menyebut mereka apa, aku tidak menyetujui mengangkut orang-orang ke Teirm. Aku heran kenapa kau tidak memberitahukan kargomu yang sebenarnya, dan satu-satunya jawaban di kaki langit adalah apa pun yang kaulakukan berarti masalah... masalah bagimu dan masalah bagiku. Sebaiknya kulempar kalian semua ke laut dan kembali ke Narda."
Tapi kau tidak akan berbuat begitu," kata Roran, sangat Pelan.
Oh" Kenapa tidak""
"Karena aku membutuhkan bargas-bargas ini, Clovis, dan aku bersedia melakukan apa saja untuk mempertahankannya. Apa saja. Horrnati perjanjian kita, maka kau akan menjalani pelayaran yang damai, dan kau akan bisa bertemu Galina lagi. Kalau tidak...." Ancamannya kedengaran lebih buruk daripada itu; Roran tidak berniat membunuh Clovis, sekalipun kalau terpaksa, ia akan meninggalkan Clovis di suatu tempat di pantai.
Wajah Clovis memerah, tapi ia mengejutkan Roran den mendengus dan berkata, "Cukup adil, Stronghammer." Dengan perasaan
puas, Roran kembali memerhatikan pantai.
Di belakangnya, ia mendengar bunyi klik.
Bertindak berdasarkan naluri, Roran meliuk, berjongkok, berputar, dan melindungi kepala dengan perisai. Lenganya bergetar saat sebatang pasak patah menghantam perisainya, Ia menurunkan perisai dan menatap Clovis yang kecewa, yang mundur menyeberangi geladak.
Roran menggeleng, tidak mengalihkan pandangan dari lawannya. "Kau tidak bisa mengalahkanku, Clovis. Kuulangi: Kau mau menghormati perjanjian kita" Kalau tidak, akan kuturunkan kau di pantai, mengambil alih bargas, dan memaksa awakmu bekerja padaku. Aku tidak ingin menghancurkan hidupmu, tapi akan kulakukan kalau kau memaksa... Ayo. Ini bisa menjadi pelayaran yang normal, tanpa kejadian apa-apa, kalau kau memutuskan membantu kami. Ingat, kau sudah dibayar."
Setelah menegakkan diri, Clovis berkata, "Kalau aku setuju, kau harus menjelaskan kenapa tipuan ini diperlukan, dan kenapa orang-orang ini ada di sini dan dari mana asal mereka. Tidak peduli berapa banyak emas yang kautawarkan padaku, aku tidak mau membantu kegiatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsipku; tidak, aku tidak mau. Apakah kalian bandit" Atau kalian mengabdi pada raja terkutuk itu""
"Kau bisa terancam bahaya besar kalau tahu."
"Aku memaksa." "Kau pernah mendengar tentang Carvahal di Lembah Palancar"" tanya Roran.
Clovis mengibaskan tangan. "Satu atau dua kali. Kenapa""
"Kau melihatnya sekarang di pantai. Para prajurit Galbatorix menyerang kami tanpa sebab. Kami melawan dan, sewaktu posisi kami tidak bisa dipertahankan, kami menyeberangi Spine dan menyusuri pantai ke Narda. Galbatorix berjanji bahwa setiap pria, wanita, dan anak-anak dari Carvahall akan dibunuh atau diperbudak. Satu-satunya harapan kami untuk selamat adalah mencapai Surda." Roran tidak menyinggung Ra'zac; ia tidak ingin membuat Clovis terlalu ketakutan.
Pelaut berpengalaman itu memucat. "Apa kalian masih dikejar""
"Aye, tapi Kekaisaran belum menemukan kami."
"Apa kau yang menyebabkan tanda bahaya dibunyikan tadi""
Dengan sangat pelan, Roran berkata, "Aku membunuh dua prajurit yang mengenaliku." Pemberitahuan itu mengejutkan Clovis: matanya terbelalak, ia melangkah mundur, dan otot-otot lengannya bergerak-gerak saat ia mengepalkan tangan. "Tentukan pilihanmu, Clovis; pantai semakin dekat."
Ia tahu sudah menang sewaktu bahu kapten itu merosot dan keberanian menghilang dari sikapnya. "Ah, biar wabah menyerangmu, Stronghammer. Aku bukan teman raja; akan kuantar kau ke Teirm. Tapi sesudah itu aku tidak ingin berhubungan lagi denganmu."
"Kau mau berjanji tidak akan berusaha menyelinap pergi di malam hari atau tipuan-tipuan seperti itu""
"Aye. Aku berjanji."
Pasir dan bebatuan menggesek dasar lunas Red Boar saat bargas itu melaju ke pantai, diikuti kedua rekannya di kedua sisinya. Deburan air memukul daratan tanpa henti, terdengar seperti napas monster raksasa. Begitu layar digulung dan papan-papan penghubung dibentangkan, Torson dan Flint berjalan ke Red Boar dan menghadapi Clovis, ingin tahu apa yang terjadi.
"Ada perubahan rencana," kata Clovis.
Roran membiarkan ia menjelaskan situasinya-menghindari alasan sebenarnya para penduduk desa meninggalkan Lembah Palancar--dan melompat turun ke pasir, di mana ia mencari Horst di antara kerumunan orang. Sewaktu menemukan tukang besi itu, Roran menariknya ke samping dan menceritakan kematian di Narda padanya. "Kalau ketahuan aku pergi bersama Clovis, mereka mungkin mengirim prajurit berkuda untuk mengejar kita. Kita harus menaikkan semua orang ke bargas secepatnya "
Horst menatapnya selama semenit yang terasa lama. "Kau menjadi orang yang keras, Roran, lebih keras daripada yang bisa kucapai."
"Terpaksa." "Asal kau jangan lupa siapa dirimu."
Roran menghabiskan tiga jam berikutnya memindahkan dan mengemasi barang-barang milik penduduk desa di Red goar hingga Clovis menyatakan puas. Buntalan-buntalan itu harus diikat erat-erat agar tidak bergeser tiba-tiba dan melukai seseorang, juga dibagi rata untuk menjaga keseimbangan bargas di air, yang bukan tugas mudah karena buntalan-buntalan tersebut berbe
da ukuran dan kepadatan. Lalu hewan-hewan dibujuk naik ke bargas--dan diikat ke cincin-cincin besi di palka.
Yang terakhir naik adalah orang-orang, yang, seperti kargo lain, harus diorganisir secara simetris dalam bargas agar bargas tidak terbalik. Clovis, Torson, dan Flint akhirnya terpaksa berdiri di depan bargas masing-masing, meneriakkan arah pada kumpulan penduduk desa di bawah.
Sekarang apa" pikir Roran sewaktu mendengar ada pertengkaran di pantai. Setelah menerobos ke sumber keributan, ia melihat Calitha berlutut di samping ayah tirinya, Wayland, berusaha menenangkan pria tua itu.
"Tidak! Aku tidak mau naik ke sana! Kau tidak bisa memaksaku!" seru Wayland. Ia meronta-ronta dengan lengannya yang kurus dan menjejakkan tumitnya ketika berusaha membebaskan diri dari pelukan Calitha. Liur berhamburan dari mulutnya. "Lepaskan, kataku. Lepaskan!"
Sambil mengernyit akibat pukulan ayah tirinya, Calitha berkata, "Sikapnya tidak logis sejak kita berkemah semalam.
Akan lebih baik bagi semua yang terlibat kalau ia meninggal di Spine, mengingat segala kesulitan yang ditimbulkannya, pikir Roran. Ia membantu Calitha, dan bersama-sama mereka berhasil menenangkan Wayland hingga pria itu tidak lagi menjerit dan memukul-mukul. Sebagai upah untuk sikap baiknya, Calitha memberinya sepotong dendeng, yang menyibukkan pria tua itu. Sementara Wayland sibuk mengunyah dendeng, Calitha dan Roran mampu membimbingnya naik ke Edeline dan mendudukkannya di sudut kosong tempat pria tua itu tidak akan mengganggu.
"Cepat, kalian pemalas," teriak Clovis. "Arus sudah hampir berbalik. Cepat, cepat."
Sesudah bergegas untuk terakhir kalinya, papan-papan penghubung ditarik, meninggalkan dua puluh orang berdiri di Pantai di depan setiap bargas. Ketiga kelompok itu berkumpul di dekat haluan dan bersiap-siap mendorong bargas kembali ke air.
Roran memimpin usaha di Red Boar. Sambil berteriak bersama, ia dan anak buahnya berusaha keras mendorong bargas besar yang berat itu, pasir kelabu melesak dir bawah kaki mereka, balok-balok kayu dan tali berderit, dan bau keringat menguar di udara. Sejenak, usaha mereka tampak sia-sia, lalu Red Boar tersentak dan mundur satu kaki.
"Sekali lagi!" teriak Roran. Kaki demi kaki, mereka masuk ke laut, hingga air dingin mencapai pinggang. Ombak besar menerpa Roran, memenuhi mulutnya dengan air laut, yang diludahkannya mati-matian, jijik pada rasa asinnya; rasanya jauh lebih asin daripada dugaannya.
Sewaktu bargasnya terlepas dari dasar laut, Roran berenang di samping Red Boar dan naik menggunakan salah satu tali yang menjuntai melewati pagar. Sementara itu, para pelaut menggunakan tongkat-tongkat panjang untuk mendorong Red Boar ke perairan yang lebih dalam, begitu pula para awak Merrybell dan Edeline.
Begitu mereka cukup jauh dari pantai, Clovis memerintahkan menyimpan tongkat-tongkat itu dan membagikan dayung, yang digunakan para pelaut untuk mengarahkan haluan Red Boar ke mulut teluk. Mereka menaikkan layar, mengarahkannya untuk menangkap angin pelan, dan, dengan berlayar sejajar, menuju Teirm.
AWAL KEBIJAKSANAAN Hari-hari yang dilalui Eragon di Ellesmera berbaur menjadi satu tanpa batas; waktu seperti tidak berkuasa di kota hutan pinus. Musim seperti tidak berganti, bahkan sekalipun sore dan malam bertambah panjang, menyelimuti hutan dengan keremangan yang pekat. Bunga-bunga segala bulan mekar karena dorongan sihir elf, mendapat makanan dari mantra yang menyebar di udara.
Eragon akhirnya menyukai Ellesmera dengan keindahan dan ketenangannya, bangunan-bangunan anggun yang tumbuh dari pepohonan, lagu-lagu yang berkumandang saat senja, karyakarya seni yang tersembunyi dalam tempat-tempat tinggal misterius, dan introspeksi para elf sendiri, yang mereka baurkan dengan letupan-letupan keriangan.
Hewan-hewan liar Du Weldenvarden tidak takut terhadap pemburu. Sering Eragon memandang keluar dari tempat tinggalnya dan melihat elf menepuk-nepuk anak rusa atau rubali kelabu, atau bergumam pada beruang pemalu yang terhuyunghuyung di tepi lapangan, enggan menampilkan diri. Beberapa hewan tidak memiliki bentuk yang bisa dik
enali. Mereka muncul di malam hari, bergerak dan mendengus-dengus di sesemakan dan melarikan diri kalau Eragon memberanikan dan mendekat. Pernah ia melihat sekilas makhluk seperti ular berbulu dan sekali seorang wanita berjubah putih yang tubuhnya gemetar dan menghilang lalu digantikan serigala betina jadi-jadian yang menyeringai.
Eragon dan Saphira terus menjelajahi Ellesmera kalau ada kesempatan. Mereka pergi berdua saja atau bersama Arya, karena Arya tidak lagi menemani mereka, dan Eragon tidak berbicara dengannya sejak peri itu memecahkan fairth buatannya. Sesekali ia masih melihat Arya, bergerak cepat di sela pepohonan, tapi setiap kali Eragon mendekat--dengan niat meminta maaf--Arya menghilang, meninggalkannya seorang diri di antara pinus-pinus tua. Akhirnya Eragon menyadari dinnya harus mengambil inisiatif kalau ingin mendapat kesempatan memperbaiki hubungannya dengan Arya. Jadi pada suatu malam, ia mengambil seikat bunga dari jalan setapak dekat pohonnya dan berjalan ke Tialdari Hall, di mana ia menanyakan arah ke kamar Arya pada seorang elf di ruang bersama.
Pintu kasanya terbuka sewaktu ia tiba di kamar Arya. Tidak seorang pun menjawab ketukannya. Ia melangkah masuk, mendengarkan suara langkah kaki mendekat sambil memandang ruang duduk luas tertutup sulur-suluran itu, yang terbuka ke kamar tidur kecil di satu sisi dan ruang kerja di sisi lain. Dua Pirth menghiasi dinding-dindingnya: gambar seorang elf tegas dan berwibawa dengan rambut perak, yang menurut tebakan Eragon adalah Raja Evandar, dan elf wanita yang lebih muda dan tidak dikenalinya.
Eragon menjelajahi apartemen itu, melihat-lihat tanpa menyentuh, menikmati kesempatan melihat sekilas kehidupan Arya, mempelajari apa pun yang bisa didapatnya mengenai minat dan hobi Arya. Di dekat ranjang Arya, ia melihat bola kaca berisi bunga morning glory hitam yang diawetkan; di meja Arya terdapat deretan gulungan dokumen dengan judul seperti Osilon: Harvest Report dan Activity Noted by Gil'ead Watchtower; di kusen jendela cembung, tiga pohon mini tumbuh membentuk huruf bahasa kuno, huruf untuk kedamaian, kekuatan, dan kebijaksanaan; dan di dekat pepohonan terdapat sehelai kertas berisi puisi yang belum selesai, dipenuhi kata-kata yang dicoret dan tanda-tanda. Bunyinya:
Di bawah bulan, bulan putih yang terang,
Terdapat kolam, kolam keperakan yang datar,
Di sela-Sela tanaman dan rumpun duri,
Dan pinus-pinus berhati hitam.
Jatuhlah sebutir batu, batu yang hidup,
Retaklah bulan, bulan putih yang terang,
Di sela-sela tanaman dan rumpun duri,
Dan pinus-pinus berhati hitam.
Berkas cahaya, pedang sinar, Riak di kolam,
Danau yang tenang, kolam yang diam,
Danau yang kesepian di sana.
Di malam hari, malam yang gelap dan pekat,
Bayang-bayang bergetar, bayang-bayang yang bingung,
Di mana dulu.... Setelah melangkah ke meja kecil dekat pintu masuk, Eragon meletakkan buketnya di sana dan berbalik hendak pergi. Ia membeku saat melihat Arya berdiri di ambang pintu. Arya tampak terkejut melihat kehadirannya, lalu menutupi emosinya dengan ekspresi pasif.
Mereka saling menatap dalam kebisuan.
Eragon mengangkat buketnya, setengah mengulurkannya pada Arya. "Aku tidak tahu bagaimana memekarkan bunga untukmu, seperti yang dilakukan Faolin, tapi ini bunga yang tulus dan terbaik yang bisa kutemukan."
"Aku tidak bisa menerimanya, Eragon."
"Ini bukan... ini bukan hadiah seperti itu." Ia diam sejenak. "Ini bukan alasan, tapi aku tidak menyadari sebelumnya bahwa fairth yang kubuat akan begitu menyulitkan dirimu. Untuk itu aku menyesal, dan memohon maafmu... Aku hanya berusaha membuat fairth, bukan menimbulkan masalah. Aku mengerti pentingnya pelajaranku, Arya, dan kau tidak perlu takut aku akan mengabaikannya untuk memburu dirimu." Ia bergoyang goyang dan menyandar ke dinding, terlalu pusing untuk tetap berdiri tanpa sandaran. "Hanya itu."
Arya menatapnya cukup lama, lalu perlahan-lahan mulurkan tangan dan menerima buketnya, yang diangkatnya dekat hidungnya. Mata Arya tidak pernah beralih dari matanya. "Ini bunga yang tulus," Arya mengakui. Tatapannya beralih sejenak ke kaki
Eragon lalu kembali menengadah. "Kau sakit""
"Tidak. Punggungku."
"Aku sudah mendengar, tapi tidak kuduga..."
Eragon mendorong diri menjauhi dinding. "Aku harus pergi."
"Tunggu." Arya ragu-ragu, lalu membimbingnya ke jendela cembung, tempat Eragon duduk di bangku berbantalan yang diukir dari dinding.
Setelah mengambil dua gelas dari lemari, Arya meremukkan dedaunan kering ke dalamnya, lalu mengisi gelas dengan air dan--dengan mengucapkan "Rebus" --memanaskan air untuk menyeduh teh.
Ia memberikan salah satu gelas kepada Eragon, yang memegangnya dengan dua tangan agar kehangatannya meresap ke dalam dirinya. Ia melirik keluar jendela, ke tanah dua puluh kaki di bawahnya, tempat para elf berjalan di sela-sela kebun kerajaan, bercakap-cakap dan bernyanyi, dan kunang-kunang beterbangan di udara senja.
"Seandainya...," kata Eragon, "Seandainya keadaan bisa selalu seperti ini. Begitu sempurna dan tenang."
Eldest Seri 2 Eragon Karya Christhoper Paolini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Arya mengaduk tehnya. "Bagaimana keadaan Saphira""
"Sama saja. Dan kau""
"Aku sedang bersiap-siap untuk kembali ke kaum Varden."
Eragon terkejut. "Kapan""
"Sesudah Perayaan Sumpah Darah. Aku sudah terlalu lama bersantai di sini, tapi aku tak suka pergi dan Islanzadi berharap aku tinggal. Selain itu... aku tidak pernah menghadiri Perayaan Sumpah Darah dan itu perayaan paling penting bagi kami." Ia mengamati Eragon dari balik tepi gelasnya. "Apakah tidak ada yang bisa dilakukan Oromis bagimu""
Eragon memaksa dirinya mengangkat bahu. "Ia mencoba dengan segenap pengetahuannya."
Mereka menghirup teh dan mengawasi kelompok-kelompok dan pasangan-pasangan melangkah di jalan setapak kebun. "Tapi Pelajaranmu berjalan dengan baik"" tanya Arya.
"Memang." Dalam ketenangan sesudah itu, Eragon mengambil sehelai kertas dari sela pepohonan dan mempelajari stanza Arya, seakan membacanya untuk pertama kali. "Kau sering menulis puisi""
Arya mengulurkan tangan meminta kertas itu dan, sewaktu Eragon memberikannya, menggulungnya hingga tulisannya tidak lagi terlihat. "Sudah menjadi kebiasaan bagi siapa pun yang menghadiri Perayaan Sumpah Darah untuk membawa puisi, lagu, atau karya seni yang mereka buat dan membagikannya pada yang hadir. Aku baru saja mulai menulis puisiku."
"Kupikir cukup bagus."
"Kalau kau pernah membaca cukup banyak puisi--"
"Memang." Arya diam sejenak, lalu menunduk dan berkata, "Maafkan aku. Kau bukan orang pertama yang kutemui di Gil'ead."
"Ya. Aku..." Eragon terdiam dan memutar-mutar gelas di kedua tangannya sambil mencari kata yang tepat. "Arya... kau akan pergi sebentar lagi. Kupikir sayang sekali kalau ini terakhir kalinya aku bertemu denganmu antara sekarang dan saat itu. Bisakah kita bertemu sesekali, seperti sebelumnya, dan kau dapat menunjukkan Ellesmera lebih banyak lagi pada Saphira dan diriku""
"Itu tidak bijaksana," kata Arya dengan lembut tapi tegas.
Eragon menengadah memandangnya. "Apa aku harus membayar persahabatan kita dengan menutupi perasaanku" Aku tidak bisa menghentikan perasaanku terhadapmu, tapi aku lebih suka menderita luka lain dari Durza daripada membiarkan kebodohanku menghancurkan persahabatan di antara kita. Aku terlalu menghargainya."
Arya mengangkat gelas dan menghabiskan tehnya sebelum menjawab, "Persahabatan kita akan bertahan, Eragon. Sedangkan mengenai kita menghabiskan waktu bersama...." Bibir melengkungnya menampilkan senyum samar. "Mungkin. Tapi, kita harus menunggu dan melihat apa yang akan terjadi di masa depan, karena aku sibuk dan tidak bisa menjanjikan apa-apa."
Eragon tahu kata-kata Arya merupakan pertanda maksimal pemulihan hubungan yang akan diterimanya, dan ia berterima kasih untuk itu. "Tentu saja, Arya Svit-kona," katanya, dan membungkuk memberi hormat.
Mereka berbasa-basi lagi sebentar, tapi jelas bahwa Arya telah bertindak sejauh yang diinginkannya hari itu, jadi Eragon kembali menemui Saphira, harapannya pulih karena apa yang berhasil dilakukannya. Sekarang tergantung pada nasib untuk memutuskan hasilnya, pikirnya sambil duduk di hadapan gulungan dokumen terbaru dari Oromis.
Setelah memasukkan tangan ke kantong di sabuknya, Eragon mengeluarkan kotak
batu berisi lilin lebah nalgask yang dicampur minyak hazelnut dan mengoleskannya di bibir untuk melindunginya dari angin dingin yang menerpa wajahnya. Ia menutup kantongnya, lalu memeluk leher Saphira dan membenamkan wajah di ceruk bahu naga itu untuk mengurangi sorotan cahaya yang memantul pada awan-awan di bawah mereka. Kepakan tak kenal lelah sayap Saphira mendominasi pendengarannya, semakin tinggi dan semakin cepat dari Glaedr, yang diikutinya.
Mereka terbang ke barat daya sejak subuh hingga menjelang sore, sering berhenti sejenak untuk latih-tanding penuh semangat antara Saphira dan Glaedr. Selama latih-tanding itu Eragon terpaksa mengikat lengannya ke pelana agar tidak terlempar oleh gerakan-gerakan akrobatik yang mengaduk isi perut. Ia lalu membebaskan diri dengan menarik simpul-simpul dengan gigi.
Perjalanan berakhir di empat pegunungan yang menjulang di atas hutan, pegunungan pertama yang dilihat Eragon di Du Weldenvarden. Dengan puncak-puncak tertutup salju dan disapu angin, pegunungan-pegunungan itu menembus tirai awan dan celah-celah mereka menantang matahari, yang tidak terasa panas di ketinggian ini.
Pegunungan-pegunungan ini tampak kecil kalau dibandingkan Beor, kata Saphira.
Seperti yang menjadi kebiasaannya selama berminggu-minggu bermeditasi, Eragon mengembangkan benaknya ke segala arah, menyentuh kesadaran-kesadaran yang ada di sekitarnya untuk merasakan seekor marmut ang hangat dalam liangnya, burung-burung gagak, nuthatch, dan rajawali, puluhan bajing berlarian di sela pepohonan, dan, lebih jauh lagi di pegunungan, ular-ular batu naik-turun di sesemakan mencari tikus yang menjadi mangsa mereka, juga kawanan serangga.
Sewaktu Glaedr turun ke tebing gersang di pegunungan pertama, Saphira harus menunggu hingga Glaedr melipat sayapnya yang besar supaya ada cukup ruang baginya untuk mendarat. Padang yang dipenuhi bongkahan batu besar tempat mereka mendarat tampak kuning cerah karena lapisan jamur batu yang mengeras. Di atas mereka menjulang tebing hitam tegak lurus. Tebing itu berfungsi sebagai pembatas dan bendungan bagi es biru yang mengerang dan pecah tertiup angin menjatuhkan bongkahan-bongkahan bergerigi yang hancur berantakan ketika menghantam granit di bawahnya.
Puncak ini dikenal sebagai Fionula, kata Glaedr. Dan yang lainnya adalah Ethrundr, Merogoven, dan Griminsmal. Masingmasing memiliki kisah sendiri, yang akan kuceritakan dalam perjalanan pulang nanti. Tapi untuk saat ini, akan kuberitahukan tujuan perjalanan ini, yaitu sifat ikatan yang terbentuk antara naga dengan elf dan, kemudian, manusia. Kalian berdua mengetahui sedikit tentang hal itu--dan aku sudah mengisyaratkan implikasi sepenuhnya ikatan itu pada Saphira--tapi telah tiba waktunya untuk mempelajari arti serius dan luar biasa hubungan kalian agar kalian bisa mempertahankannya sesudah Oromis dan aku tidak ada.
"Master"" tanya Eragon, sambil melilitkan jubah pada dirinya agar tetap hangat.
Ya, Eragon. "Kenapa Oromis tidak bersama kita sekarang""
Karena, kata Glaedr dengan menggemuruh, sudah menjadi kewajibanku--sebagaimana kewajiban naga yang lebih tua berabad-abad yang lalu--untuk memastikan generasi terbaru Penunggang memahami arti penting yang sebenarnya dari posisi mereka. Dan karena Oromis tidaklah sesehat kelihatannya.
Bebatuan berderak pelan saat Glaedr melompat, menempatkan diri di lereng karang curam dan meletakkan kepala di tanah sejajar dengan Eragon dan Saphira. Ia mengamati mereka dengan satu mata emas yang sama besarnya dengan perisai bulat mengilap dan dua kali lebih cemerlang. Asap kelabu mengepul dari cuping hidungnya dan buyar diembus angin.
Sebagai dari apa yang akan kuberitahukan merupakan rahasia umum di antara para elf, Penunggang, dan manusia terpelajar, tapi mayoritas hanya diketahui pemimpin Penunggang, beberapa elf, penguasa manusia saat ini, dan, tentu saja, para naga.
Dengarkan sekarang, anak-anakku. Sewaktu ada perdamaian antara naga dan elf di akhir perang kami, para Penunggang diciptakan untuk memastikan tidak akan terjadinya konflik lain di antara kedua Ratu Tarmunora dari para elf dan naga
yang dipilih untuk mewakili kami, yang bernama--ia diam sejenak dan menyampaikan sejumlah gambaran pada Eragon: gigi panjang, gigi putih, gigi somplak; pertempuran dimenangkan, pertempuran kalah; puluhan Shrrg dan Nagra yang disantap; dua puluh tujuh telur dibuahi dan sembilan belas anak tumbuh dewasa tidak bisa dijelaskan dalam bahasa mana pun, memutuskan bahwa perjanjian biasa tidak akan mencukupi. Kertas yang ditandatangani tidak berarti apa-apa bagi naga. Darah kami panas juga kental dan, kalau diberi cukup waktu, kami pasti akan berselisih lagi dengan elf, seperti yang terjadi di antara kami dan para kurcaci selama beribu-ribu tahun. Tapi tidak seperti dengan para kurcaci, baik kami maupun elf tidak bisa mengalami perang yang lain lagi. Kami berdua terlalu kuat, dan akan saling menghancurkan. Satu cara untuk mencegahnya dan untuk menyusun perjanjian yang berarti adalah dengan mengaitkan kedua ras menggunakan sihir.
Eragon menggigil, dan dengan sedikit keheranan bercampur gembira, Glaedr berkata, Saphira, kalau kau bijak, kau akan memanaskan salah satu batu ini dengan api dari perutmu agar Penunggangmu tidak membeku.
Mendengarnya Saphira melengkungkan leher, dan semburan api kebiruan terpancar dari sela-sela taringnya dan membanjiri karang, menghanguskan lumutnya, yang menebarkan bau tajam saat terbakar. Udara berubah begitu panas hingga Eragon terpaksa berpaling. Ia merasakan serangga-serangga di balik karang terpanggang dalam neraka. Semenit kemudian, Saphira menutup rahangnya, meninggalkan lingkaran batu yang merah membara selebar lima kaki.
Terima kasih, kata Eragon padanya. Ia membungkuk di tepi batu yang hangus dan menghangatkan tangan di sana.
Ingat, Saphira, gunakan lidahmu untuk mengarahkan semburann tegur Glaedr. Nah... para penyihir elf yang paling bijaksana membutuhkan waktu sembilan tahun untuk menyusun mantra, Sesudah selesai, mereka dan para naga berkumpul bersama di Ilirea. Para elf menyediakan susunan mantranya, para naga menyediakan kekuatannya, dan bersama-sama mereka menggabungkan jiwa elf dan naga.
Persatuan itu mengubah kami. Kami para naga mampu menggunakan bahasa itu dan berbagai perangkap peradaban lainnya, sementara para elf berubah menjadi seabadi kami, karena sebelum saat itu, hidup mereka sama singkatnya seperti manusia. Pada akhirnya, para elf yang paling terpengaruh. Sihir kami, sihir naga--yang ada dalam seluruh keberadaan kami--menyebar ke para elf dan, pada waktunya, memberi mereka kekuatan dan keanggunan yang sangat diinginkan Manusia tidak pernah terpengaruh sekuat itu, karena kalian ditambahkan pada mantranya sesudah mantra itu selesai dan tidak cukup panjang waktu untuk menerapkannya pada kalian manusia seperti pada elf. Sekalipun begitu--di sini mata Glaedr berkilau mantra itu telah melembutkan ras kalian dari orang-orang biadab dan kasar yang pertama kali mendarat di Alagaesia, sekalipun kalian mulai mengalami kemunduran sejak Kejatuhan.
"Apa para kurcaci merupakan bagian dari mantra ini"" tanya Eragon.
Tidak, dan itu sebabnya tidak pernah ada kurcaci Penunggang. Mereka tidak peduli pada naga, dan kami juga tidak peduli pada mereka, dan mereka menganggap gagasan bergabung dengan kami menjijikkan. Mungkin untung juga mereka tidak terlibat dalam persekutuan kita, karena mereka selamat dari kemunduran manusia dan elf.
Kemunduran, Master" tanya Saphira dengan nada yang Eragon berani bersumpah merupakan nada yang menggoda.
Aye, kemunduran. Kalau salah satu dari ketiga ras kita menderita ketiganya menderita. Dengan membunuh para naga, Galbatorix menyakiti rasnya sendiri, juga ras elf. Kalian berdua belum pernah melihat ini, karena kalian baru di Ellesmera, tapi para elf sedang lemah; kekuatan mereka tidak lagi seperti dulu. Dan manusia hilangan banyak kebudayaan mereka dan tenggelam dalam kekacauan dan korupsi. Hanya dengan memulihkan keseimbangan di antara ketiga ras kita, keteraturan akan kembali ke dunia.
Naga tua itu menggurat karang dengan cakar, mengubahnya menjadi kerikil hingga ia lebih nyaman. Di dalam mantra itu terdapat lapisan yang dimasukkan Ratu Tarmunora, mek
anisme yang memungkinkan anak naga yang baru menetas terhubung dengan Penunggang-nya. Sewaktu seekor naga memutuskan memberikan sebutir telur pada Penunggang, kata-kata tertentu diucapkan pada telur itu--yang akan kuajarkan pada kalian kelak--yang mencegah naga di dalamnya menetas sampai terhubung dengan orang yang pada siapa ia memutuskan untuk terikat. Karena naga bisa berada dalam telur mereka selama apa pun, waktu tidak menjadi masalah, dan janin di dalamnya tidak terluka. Kau sendiri merupakan contoh hal ini, Saphira.
Ikatan yang terbentuk antara Penunggang dan naga merupakan versi yang lebih maju daripada ikatan yang ada antara ras kita. Manusia atau elf menjadi lebih kuat dan lebih halus, sementara beberapa sifat buas naga dijinakkan pikiran yang lebih logis... Kulihat ada yang ingin kaukatakan, Eragon. Apa itu"
"Hanya..." Eragon ragu-ragu. "Aku sulit membayangkan Anda atau Saphira lebih buas lagi. Bukannya," ia menambahkan dengan gelisah, "hal itu buruk."
Tanah terguncang seakan ada longsor sewaktu Glaedr tergelak, memutar bola matanya yang besar di balik kelopaknya yang keras bagai tanduk. Kalau kau pernah bertemu naga yang tidak terikat, kau tidak akan mengatakan begitu. Naga tidak bertanggung jawab pada siapa pun dan apa pun, mengambil apa saja yang disukainya, dan tidak memikirkan kebaikan kecuali pada sesamanya. Naga-naga liar buas dan bangga, bahkan sombong... Kaum betinanya begitu perkasa hingga naga-naga Penunggang dianggap meraih Prestasi kalau bisa berpasangan dengan naga betina liar.
Tidak adanya ikatan inilah yang menyebabkan hubungan Galbatorix dengan Shruikan, naga keduanya, merupakan penggabungan yang begitu menyimpang. Shruikan tidak memilih Galbatorix sebagai rekannya; ia diubah ilmu hitam untuk melayani kesintingan Galbatorix. Galbatorix membuat tiruan yang tidak sempurna dari hubungan yang kau, Eragon, dan kau, Saphira miliki dan yang hilang darinya waktu para Urgal membunuh naga aslinya.
Glaedr diam sejenak dan memandang mereka berdua. Hanya matanya yang bergerak. Yang menghubungkan kalian lebih daripada sekadar kaitan antara kedua benak kalian. Jiwa kalian, identitas kalian--terserah kalian menyebutnya apa--menyatu pada tigkat yang paling mendasar. Matanya beralih pada Eragon. Kau percaya jiwa seseorang terpisah dari tubuhnya"
"Entahlah," kata Eragon. "Saphira pernah membawaku keluar dari tubuhku dan membiarkan aku melihat dunia melalui matanya... Rasanya seolah aku tidak lagi terhubung dengan tubuhku. Dan kalau roh-roh yang dipanggil penyihir bisa ada mungkin kesadaran kami juga tidak terikat pada daging."
Sambil menjulurkan ujung cakar depannya yang setajam jarum, Glaedr membalik sebongkah batu untuk menampakkan tikus liar yang meringkuk ketakutan di sarangnya. Ia menyambar tikus itu dengan gerakan cepat lidahnya yang merah; Eragon meringis saat merasakan nyawa hewan itu sirna.
Sewaktu daging dihancurkan, jiwa turut hancur, kata Glaedr.
"Tapi hewan bukan manusia," Eragon memprotes.
Sesudah meditasimu, kau benar-benar percaya bahwa ada di antara kita yang begitu berbeda dari tikus liar" Bahwa kita diberkahi kehebatan ajaib yang tidak dinikmati makhluk lain dan entah bagaimana mengawetkan keberadaan kita sesudah mati"
"Tidak," gumam Eragon.
Sudah kuduga. Karena kita bergabung menjadi satu, sewaktu naga atau Penunggang terluka, mereka harus mengeraskan hati dan memutuskan hubungan di antara mereka untuk saling melindungi dari penderitaan yang tidak perlu, bahkan dari kesintingan. Dan karena jiwa tidak bisa dicabut dari daging, kau harus menahan godaan untuk mencoba memasukkan jiwa rekanmu ke tubuhmu sendiri dan menampungnya di sana, karena itu akan mengakibatkan kematian kalian berdua. Bahkan kalau hal itu mungkin dilakukan, memiliki kesadaran ganda dalam satu tubuh merupakan penghujatan.
"Mengerikan sekali," kata Eragon, "meninggal seorang diri terpisah bahkan dari mereka yang paling dekat denganmu."
Semua orang meninggal sendirian, Eragon. Entah kau raja di medan tempur atau petani rendahan di ranjangnya di antara keluarga, tidak ada yang bisa menemanimu ke kehampaan... Sekaran
g kalian harus berlatih memisahkan kesadaran kalian. Dimulai dengan &
Eragon menatap baki makan malam yang ditaruh di ruang tamu rumah pohonnya. Ia mengamati isinya: roti dengan mentega hazelnut, berry, kacang, semangkuk dedaunan hijau, dua telur rebus--yang, menurut keyakinan para elf, tidak subur--dan seguci air dari mata air. Ia tahu setiap hidangan disiapkan dengan sangat hati-hati, para elf mengerahkan segenap keahlian tata boga mereka ke dalam hidangannya, dan bahkan Islanzadi tidak bersantap lebih baik daripada dirinya.
Ia tidak tahan melihat baki itu.
Aku ingin daging, gerutunya, sambil berjalan masuk ke kamar tidur. Saphira menengadah dari ranjangnya. Aku bahkan puas kalau dapat ikan atau unggas, apa pun selain sayur mayur yang tidak ada hentinya ini. Ini tidak mengenyangkan bagiku. Aku bukan kuda; kenapa aku diberi makan seperti kuda"
Saphira meluruskan kakinya, berjalan ke tepi lubang berbentuk air mata yang menghadap ke Ellesmera, dan berkata, Aku perlu makan selama beberapa hari terakhir ini. Kau mau menemaniku" Kau bisa memasak daging sebanyak yang kau suka dan para elf tidak akan pernah tahu.
Aku mau, kata Eragon, berubah cerah. Apa sebaiknya kuambil pelana"
Kita tidak akan pergi sejauh itu.
Eragon mengambil persediaan garam, akar-akaran, dan bumbu lain dari tasnya, lalu, dengan hati-hati agar tidak terlalu mengerahkan tenaga, naik ke celah di antara duri-duri di sepanjang tulang punggung Saphira.
Setelah melompat ke udara, Saphira menumpang arus udara naik untuk membubung tinggi di atas kota, di mana ia melayang menghindari tiang udara hangat, meluncur turun menyamping mengikuti sungai yang berliku-liku membelah Du weldenyarden ke kolam beberapa mil dari sana. Ia mendarat dan membungkuk rendah ke tanah, memudahkan Eragon turun.
Ia berkata, Ada kelinci di rerumputan di tepi air. Coba lihat apakah kau bisa menangkap mereka. Sementara itu, aku mau berburu rusa.
Apa kau tidak ingin membagi mangsamu"
Tidak, tidak mau, Saphira menggerutu. Tapi akan kubagi kalau tikus-tikus kegendutan itu berhasil lolos darimu.
Eragon tersenyum sementara Saphira membubung, lalu memandang kumpulan rerumputan dan cow parsnip mengelilingi kolam, bersiap-siap mendapatkan makan malamnya.
Kurang dari semenit kemudian, Eragon mengumpulkan seumpuk bangkai kelinci dari sarang mereka. Ia hanya membutuhkan waktu sesaat untuk menemukan kelinci-kelinci itu dengan benaknya lalu membunuh mereka dengan salah satu dari dua belas kata mematikan. Apa yang dipelajarinya dari promis menghilangkan tantangan dan gairah dari perburuan ini. Aku bahkan tidak perlu mengintai mereka, pikirnya, teringat bertahun-tahun yang dihabiskannya untuk mengasah kemampuan melacaknya. Ia meringis masam. Aku akhirnya bisa mendapatkan hewan buruan mana pun yang kuinginkan dan rasanya tidak berarti bagiku. Setidaknya waktu aku berburu dengan kerikil bersama Brorn, tantangannya masih ada, tapi ini... ini pembantaian.
Peringatan Rhunon si pembuat pedang terngiang di telinganya: "Kalau kau bisa mendapatkan apa pun yang kauinginkan dengan mengucapkan beberapa patah kata, tujuannya tidak penting, hanya proses pencapaiannya yang penting."
Aku seharusnya lebih memerhatikan dirinya, pikir Eragon tersadar.
Dengan gerakan terlatih, ia mencabut pisau berburu lamanya, menguliti dan membersihkan isi perut kelinci-kelinci, kemudian--setelah menyingkirkan jantung, paru-paru, ginjal, dan hati--menguburkan isi perut itu agar baunya tidak menarik binatang buas. Lalu ia menggali lubang, mengisinya dengan kayu, dan menyalakan api unggun kecil dengan sihir, karena ia tidak ingat untuk membawa batu api dan bajanya. Ia membiarkan api unggun hingga menjadi hamparan bara. Setelah memotong sebatang ranting dogwood, ia mengulitinya dan memanasi kayunya untuk membakar habis getahnya yang pahit lalu menusukkan bangkai-bangkai kelinci ke kayu itu dan meletakkannya di antara dua ranting bercabang yang dipakukan ke tanah. Untuk organ-organnya, ia meletakkan batu pipih di atas sebagian bara dan mengolesinya dengan lemak sebagai penggorengan darurat.
Saphira mendapati Eragon berjongkok dek
at perapian, perlahan-lahan memutar tongkat agar dagingnya matang rata. Saphira mendarat dengan rusa terkulai di rahangnya dan sisa-sisa rusa kedua dalam cengkeraman cakarnya. Setelah menjulurkan dirinya di rerumputan yang harum, ia menelan mangsanya menyantap rusa seutuhnya, termasuk kulitnya. Tulang-tulang rusa berderak di sela giginya yang setajam pisau cukur, seperti cabang-cabang yang patah tertiup angin kencang.
Saat kelinci-kelincinya matang, Eragon melambai-lambaikannya di udara untuk mendinginkannya, lalu menatap daging yang kemilau keemasan itu; baunya sangat menggoda. Sewaktu ia membuka mulut untuk menggigit, pikirannya kembali ke meditasinya tanpa tertahan. Ia teringat perjalanan-perjalanan singkatnya ke dalam benak berbagai burung dan bajing serta tikus, betapa mereka terasa penuh energi dan semangat untuk berjuang mempertahankan hak untuk tetap bertahan di depan bahaya. Dan kalau hanya hidup ini yang mereka miliki....
Dilanda perasaan jijik, Eragon mendorong dagingnya menjauh, tertegun oleh fakta bahwa membunuh kelinci-kelinci itu terasa seperti membunuh dua manusia baginya. Perutnya bergolak dan siap muntah.
Saphira berhenti makan dan mengamatinya dengan prihatin.
Setelah menghela napas dalam, Eragon menekankan tinju ke lutut dalam usaha menguasai diri dan memahami kenapa ia begitu terpengaruh. Ia pernah makan daging, ikan, dan unggas. Ia menikmatinya. Dan tapi, sekarang, memikirkan menyantap kelinci-kelinci itu saja cukup memualkan baginya. Ia memandang Saphira. Aku tidak bisa, katanya.
Sudah menjadi aturan dunia bahwa segala makan segala yang lain. Kenapa kau menolak aturan itu"
Ia mempertimbangkan pertanyaan Saphira. Ia tidak membenci mereka yang menyantap daging--ia tahu itu satu-satunya cara bertahan hidup bagi banyak petani miskin. Tapi ia sendiri tidak bisa melakukannya kecuali kalau kelaparan. Sesudah memasuki kelinci dan merasakan apa yang dirasakan binatang itu & menyantap kelinci terasa sama seperti menyantap dirinya sendiri. Karena kita bisa meningkatkan diri, jawabnya pada Saphira. Apakah kita harus mengikuti dorongan hati untuk melukai atau membunuh siapa pun yang menimbulkan kemarahan kita, mengambil apa pun yang kita inginkan dari mereka yang lebih lemah, dan pada umumnya, mengabaikan perasaan makluk lain" Kita dibuat tidak sempurna dan harus waspada terhadap kelemahan kita kalau tidak ingin kelemahan kita menghancurkan kita. Ia memberi isyarat ke arah kelinci-kelinci itu. Seperti yang dikatakan Oromis, kenapa kita harus menimbulkan penderitaan yang tidak perlu"
Kalau begitu, kau mau mengingkari semua keinginanmu" Aku akan mengingkari keinginan yang merusak. Kau yakin mengenai hal ini"
Aye. Kalau begitu, kata Saphira, sambil mendekatinya, ini akan menjadi pencuci mulut yang lezat. Dalam sekejap, ia menelan kelinci-kelinci itu lalu menjilat batu tempat organ-organ kelinci berada hingga bersih, menggesek batu pipih itu dengan lidahnya yang kasar. Aku tidak bisa hidup dengan makan tanaman semata--itu makanan bagi mangsa, bukan bagi naga. Aku menolak merasa malu mengenai caraku mempertahankan hidup. Segala sesuatu memiliki tempat di dunia. Bahkan kelinci pun tahu itu.
Aku bukannya berusaha membuatmu merasa bersalah, kata Eragon, sambil menepuk-nepuk kaki Saphira. Ini keputusan pribadi. Aku tidak akan memaksakan pilihanku pada siapa pun.
Bijaksana sekali, kata Saphira agak sinis.
TELUR YANG PECAH DAN SARANG YANG BERANTAKAN
Konsentrasi, Eragon," kata Oromis, dengan nada yang tidak bisa dibilang tak ramah.
Eragon mengerjapkan mata dan menggosoknya dalam usaha memusatkan perhatian pada huruf-huruf yang menghiasi perkamen di hadapannya. "Maaf, Master." Kelelahan membebaninya seperti timah yang diikatkan pada tangan dan kakinya. Ia menyipitkan mata memandang lengkungan dan tonjolan huruf, mengangkat pena bulu angsa, dan mulai menulis salinannya lagi.
Dari balik jendela di belakang Oromis, hamparan hijau di Puncak Tebing Tel'naeir dihiasi bayang-bayang yang ditimbulkan matahari yang terbenam. Di baliknya, awan setipis bulu tergantung di langit.
Tangan Eragon tersentak saat rasa sakit me
nyengat kakinya, dan ia mematahkan ujung pena serta mencipratkan tinta ke kertas, merusaknya. Di depannya, Oromis juga terkejut, mencengkeram lengan kanannya.
Saphira! seru Eragon. Ia menjangkau naga itu dengan benaknya dan, yang membuatnya kebingungan, menemui penghalang tak tertembus yang didirikan Saphira di sekeliling dirinya. Ia nyaris tidak bisa merasakan kehadiran naga itu. Rasanya seperti berusaha mencengkeram bola granit mengilap berlapis minyak. Saphira terus terlepas dari jangkauannya.
Ia memandang Oromis. "Ada yang terjadi pada mereka, bukan""
"Aku tidak tahu. Glaedr pulang, tapi ia menolak berbicara denganku." Setelah mengambil pedangnya, Naegling, dari dinding, Oromis berjalan keluar dan berdiri di tepi tebing, kepala terangkat sambil menunggu kemunculan naga emasnya.
Eragon menggabungkan diri bersamanya, memikirkan segala hal--yang mungkin dan yang tidak mungkin terjadi--yang bisa menimpa Saphira. Kedua naga itu berangkat tengah hari tadi, terbang ke utara menuju tempat bernama Batu Telur Pecah, di mana naga-naga liar bersarang ribuan tahun Yang lalu. Perjalanan yang mudah. Tidak mungkin Urgal; elf tidak mengizinkan mereka masuk ke Du Weldenvarden, katanya dalam hati.
Akhirnya Glaedr muncul tinggi di langit bagai bintik berkelap-kelip di sela awan-awan yang semakin gelap. Ketika ia turun untuk mendarat, Eragon melihat luka di bagian belakang kaki depan kanan naga itu, cabikan pada sisiknya yang selebar telapak tangan Eragon. Darah merah mengalir di ceruk di sela sisik-sisik di sekitarnya.
Begitu Glaedr menyentuh tanah, Oromis bergegas mendekatinya, tapi langsung berhenti sewaktu naga itu menggeram padanya. Sambil melompat-lompat pada kakinya yang terluka, Glaedr merangkak ke tepi hutan. Di sana ia meringkuk di bawah naungan cabang-cabang besar, memunggungi Eragon, dan menjilati lukanya hingga bersih.
Oromis mendekat dan berlutut di rumpun semanggi dekat Glaedr, menjaga jarak dengan kesabaran yang tenang. Jelas sekali ia bersedia menunggu selama diperlukan. Eragon bergerak-gerak gelisah seiring berlalunya waktu. Akhirnya, dengan isyarat yang tak diucapkan, Glaedr mengizinkan Oromis mendekat dan memeriksa kakinya. Sihir berpendar dari gedwey ignasia Oromis saat ia menempelkan tangan di luka pada sisik Glaedr.
"Bagaimana dia"" tanya Eragon sesudah Oromis menjauh.
"Lukanya tampak menakutkan, tapi tidak lebih daripada guratan bagi naga sebesar Glaedr." "Tapi bagaimana dengan Saphira" Aku masih tidak menghubunginya."
"Kau harus menemuinya," kata Oromis. "Ia terluka, dari satu cara. Glaedr tidak banyak memberitahu apa-apa tapi aku menebak sendiri, dan sebaiknya kau bergegas."
Eragon memandang sekitarnya untuk mencari transportasi dan mengerang gusar sewaktu melihat tidak ada satu pun. "Bagaimana aku bisa menemuinya" Terlalu jauh untuk lari, tidak ada jalan setapak, dan aku tidak bisa-"
"Tenanglah, Eragon. Siapa nama tunggangan yang membawamu kemari dari Silthrim"" '
Eragon membutuhkan waktu sejenak untuk mengingatnya. "Folkvir."
"Kalau begitu panggil ia dengan keahlian gramarye-mu. Sebut namanya dan kebutuhanmu akan dirinya dalam bahasa yang paling kuat ini, dan ia akan datang membantumu."
Dengan membiarkan sihir memenuhi suaranya, Eragon berseru memanggil Folkvir, menggemakan permohonannya ke bukit-bukit berhutan ke arah Ellesmera dengan segenap nada mendesak yang bisa dikerahkannya.
Oromis mengangguk, puas. "Bagus sekali."
Dua belas menit kemudian, Folkvir muncul seperti hantu keperakan dari bayang-bayang gelap di sela pepohonan, mengibaskan surainya dan mendengus penuh semangat. Bagian samping tubuh kuda jantan itu naik-turun karena cepatnya perjalanannya.
Sambil mengayunkan satu kaki menaiki kuda elf kecil itu, Eragon berkata, "Aku akan kembali secepat mungkin."
"Lakukan apa yang harus kaulakukan," kata Oromis.
Lalu Eragon menyentuhkan tumit ke rusuk Folkvir dan berteriak, "Lari, Folkvir! Lari!" Kuda itu melompat maju dan berlari masuk Du Weldenvarden, meliuk-liuk dengan kesigaparl luar biasa di sela pinus-pinus. Eragon mengarahkannya ke Saphira dengan bantuan bayangan-bayangan dalam benak
nya. Karena tidak ada jalan setapak di sesemakan, kuda seperti Snowfire membutuhkan waktu tiga atau empat jam untuk tiba di Batu Telur Pecah. Folkvir mencapainya hanya dalam waktu satu jam lebih sedikit.
Di dasar tiang batu basalt--yang menjulang dari dasar hutan seperti pilar berbintik-bintik hijau dan seratus kaki lebih tinggi daripada pepohonan--Eragon menggumam, "Berhenti, lalu turun ke tanah. Ia memandang ke puncak Bukit Telur Pecah, Saphira ada di atas sana.
Ia mengitari batu itu, mencari cara untuk memanjatnya tapi sia-sia, karena formasi yang termakan cuaca itu tak bisa dilalui.
Tidak ada retakan, ceruk, atau apa pun yang cukup dekat dengan tanah hingga bisa digunakannya untuk memanjat.
Ini mungkin menyakitkan, pikirnya.
"Tunggu di sini," katanya pada Folkvir. Kuda itu memandangnya dengan tatapan mata yang cerdas. "Merumputlah kalau mau, tapi tetap di sini, oke""
Folkvir meringkik dan, dengan moncongnya yang sehalus beludru, menyentuh lengan Eragon. "Ya, anak baik. Kau sudah bekerja dengan baik."
Sambil mengarahkan tatapan ke puncak monolith itu, Eragon mengerahkan tenaganya, lalu berkata dalam bahasa kuno, "Naik!"
Belakangan ia menyadari bahwa kalau ia tidak terbiasa terbang dengan Saphira, pengalaman ini mungkin cukup menggelisahkan hingga ia kehilangan kendali atas mantranya dan jatuh hingga tewas. Tanah menjauh di bawah kakinya dengan kecepatan tinggi, sementara batang-batang pohon menyempit saat ia melayang ke sisi bawah kanopi dan langit senja yang memudar di atasnya. Cabang-cabang menjulur bagai jemari yang berusaha menyambar wajah dan bahunya saat ia mew, bos ke tempat terbuka. Tidak seperti salah satu tukikan Saphira, ia tetap merasakan berat tubuhnya, seakan dirinya masih berdiri di tanah liat di bawah.
Setelah membubung melewati tepi Batu Telur Pecah, Eragon memajukan diri dan melepaskan sihirnya, mendarat di sepetak lumut. Ia merosot kelelahan dan menunggu apakah pengerahan tenaga itu memicu serangan di punggungnya, lalu mendesah lega sewaktu hal itu tidak terjadi.
Puncak tiang batu itu teriri atas beberapa menara bergerigi yang dibagi-bagi oleh selokan dalam dan lebar yang ditumbuhi beberapa rumpun bunga liar. Gua-gua hitam menghiasi menara-menara itu, beberapa alamiah, yang lainnya dicakar dari basalt oleh cakar-cakar setebal kaki Eragon. Lantainya tertutup lapisan tebal tulang-belulang berlumut, sisa-sisa korban naga. Burung-burung sekarang bersarang di tempat naga dulu bersarang rajawali dan falcon serta elang, yang mengawasi dirinya dari tempat bertengger mereka, siap menyerang kalau ia mengancam telur-telur mereka.
Eragon berjalan melintasi pemandangan yang suram itu, berhati-hati agar tidak terkilir akibat batu lepas atau terlalu dekat dengan retakan yang memisahkan tiang-tiangnya. Kalau jatuh ke salah satunya, ia akan terlempar ke ruang kosong. Beberapa kali ia harus memanjat tebing yang tinggi, dan dua kali ia harus mengangkat diri dengan sihir.
Bukti-bukti keberadaan naga terlihat di mana-mana, dari guratan-guratan dalam di basalt hingga kubangan bebatuan yang mencair dan sejumlah sisik pudar tanpa warna yang terjepit di ceruk-ceruk, bersama sisa-sisa lainnya. Ia bahkan menginjak benda tajam yang, sewaktu ia membungkuk untuk memeriksanya, ternyata pecahan telur naga hijau.
Di sisi timur monolith berdiri menara tertinggi, yang di tengahnya, seperti lubang hitam direbahkan, terdapat gua terbesar. Di sanalah Eragon akhirnya melihat Saphira, meringkuk di ceruk dinding seberang, memunggungi mulut gua. Saphira gemetar. Dinding-dinding gua dipenuhi bercak hangus, dan tumpukan tulang yang rapuh berhamburan seakan telah terjadi pertempuran.
"Saphira," kata Eragon, berbicara dengan suara keras karena naga itu menutup diri darinya.
Kepala Saphira tersentak, dan menatap Eragon seakan orang asing, pupil Saphira menipis menjadi segaris hitam sementara matanya menyesuaikan diri dengan cahaya dari matahari terbenam di belakang Eragon. Saphira menyeringai sekali, seperti anjing buas, lalu berbalik. Saat melakukannya, ia mengangkat sayap kirinya dan menunjukkan luka yang panjang bergerigi di p
aha atasnya. Hati Eragon tercekat melihatnya.
Eragon tahu Saphira tidak mengizinkan dirinya mendekat, di ia mengikuti tindakan Oromis dengan Glaedr; ia berlutut tulang-belulang yang hancur dan menunggu. Ia menunggu tanpa bicara atau bergerak hingga kakinya terasa kebas dan tangannya kaku karena dingin. Tapi ia tidak membenci ketidaknyamanan itu. Ia melakukannya dengan dengan senang hati kalau itu berarti ia bisa membantu Saphira.
Sesudah beberapa waktu, Saphira berkata, Aku bodoh sekali.
Kita semua terkadang bodoh.
Rasanya tidak lebih mudah kalau giliranmu-lah yang bersikap bodoh.
Kurasa begitu. Selama ini aku selalu tahu apa yang harus kulakukan. Sewaktu Garrow meninggal, aku tahu memburu Ra'zac merupakan tindakan yang benar. Sewaktu Brom meninggal, aku tahu kita harus pergi ke Gil'ead dan dari sana ke kaum Varden. Dan sewaktu Ajihad meninggal, aku tahu kau harus bersumpah setia pada Nasuada. Jalannya selalu jelas bagiku. Kecuali sekarang. Dalam hal ini saja, aku tersesat.
Ada apa, Saphira" Bukannya menjawab, naga itu mengalihkan pembicaraan dan berkata, Kau tahu kenapa tempat ini disebut Batu Telur Pecah" Tidak.
Karena selama perang antara naga dan elf, para elf melacak kami hingga kemari dan membunuh kami sewaktu kami tidur. Mereka menghancurkan sarang kami, lalu menghancurkan telur-telur kami dengan sihir mereka. Hari itu, hujan darah tercurah ke hutan di bawah. Tidak ada naga yang tinggal di sini sejak itu.
Eragon tetap membisu. Bukan itu alasan kedatangannya kemari. Ia akan menunggu hingga Saphira mau membicarakan apa yang terjadi.
Bicaralah! kata Saphira. Kau mau kakimu kusembuhkan"
Sebaiknya biarkan saja. Kalau begitu aku akan sebisu patung dan duduk di sini hingga berubah jadi debu, karena aku memiliki kesabaran naga darimu.
Sewaktu Saphira akhirnya berbicara, kata-katanya terpatah-patah, pahit, dan mengejek diri sendiri: Aku malu mengakuinya. Sewaktu kita tiba di si pertama kali dan aku melihat Glaedr, aku merasa begitu bersuka cita karena ada anggota lain rasku yang bertahan hidup selain Shruikan. Aku belum pernah melihat naga lain, kecuali dalam kenangan Brom. Dan kupikir Glaedr juga dengan keberadaanku, sebagaimana diriku dengan keberadaannya.
Tapi ia memang senang. Kau tidak mengerti. Kupikir ia pasangan yang tidak pernah kuduga akan kumiliki dan bersama-sama kami akan membangun kembali ras kami. Ia mendengus, dan api menyembur dari cuping hidungnya. Aku keliru. Ia tidak menginginkan diriku.
Eragon memilih jawabannya dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Saphira dan menghiburnya. Itu karena ia tahu kau ditakdirkan untuk naga lain: salah satu dari kedua telur yang tersisa. Mungkin juga ia merasa tidak layak berpasangan denganmu karena ia mentormu.
Atau mungkin menurutnya aku tidak cukup menarik.
Saphira, tidak ada naga yang buruk, dan kau naga yang tercantik.
Aku bodoh, kata Saphira. Tapi ia mengangkat sayap kirinya dan membiarkannya terangkat sebagai izin bagi Eragon untuk merawat lukanya.
Eragon tertatih-tatih ke sisi Saphira. Ia memeriksa luka kemerahan itu, senang karena Oromis telah memberinya begitu banyak dokumen mengenai anatomi untuk dibaca. Luka itu--akibat cakar atau gigi, ia tidak yakin--mencabik otot kuadrisep di bawah kulit Saphira, tapi tidak begitu parah hingga memutusnya dari tulang. Hanya menutup permukaan luka, seperti yang berulang kali dilakukan Eragon, tidak mencukupi. Otot-otot Saphira harus disatukan kembali.
Mantra yang digunakan Eragon panjang dan rumit, bahkan ia sendiri tidak memahami keseluruhan bagian-bagiannya, karena ia menghapalnya dari teks kuno yang hanya memberi sedikit penjelasan, cuma pernyataan bahwa, asalkan tidak ada yang yang patah dan organ dalam masih utuh, "mantra ini mengobati luka apa pun akibat kekerasan, kecuali kematian." Begitu mengucapkannya, Eragon mengawasi dengan terpesona saat otot-otot Saphira menggeliat di bawah tangannya--pembuluh darah, saraf, dan serat-seratnya terjalin menjadi satu--dan kembali utuh. Lukanya cukup besar hingga, dalam kondisinya yang telah lemah ia tidak berani menyembuhkannya dengan menggunakan te
naganya semata, jadi ia juga menggunakan tenaga Saphira sesudah ia selesai.
Eragon mendesah dan menyandar ke basalt yang kasar, memandang matahari terbenam dari balik bulu matanya. Aku khawatir kau harus membawaku turun dari batu ini. Aku terlalu lelah untuk bergerak.
Diiringi suara gemeresik kering, Saphira berputar di tempat dan meletakkan kepala di tulang di samping Eragon. Aku memperlakukan dirimu dengan buruk sejak tiba di Ellesmera. Aku tidak mengacuhkan saranmu sewaktu aku seharusnya mendengarnya. Kau sudah memperingatkan aku soal Glaedr, tapi aku terlalu angkuh untuk melihat kebenaran dalam kata-katamu... Aku gagal menjadi pendamping yang baik bagimu, mengkhianati arti menjadi naga, dan menodai kehormatan para Penunggang.
Tidak, yang itu tidak pernah, kata Eragon keras. Saphira, kau tidak pernah gagal dalam melakukan kewajibanmu. Kau mungkin melakukan kesalahan, tapi kesalahan yang polos, dan kesalahan yang pasti dilakukan siapa saja yang berada dalam posisimu.
Itu bukan alasan untuk sikapku terhadapmu.
Eragon mencoba menatap mata Saphira, tapi naga itu menghindari pandangannya hingga Eragon menyentuh lehernya dan berkata, Saphira, anggota keluarga saling memaafkan, bahkan di saat mereka tidak selalu memahami kenapa seseorang bertindak dengan cara tertentu... Kau keluargaku, sama seperti Roran. Tidak ada tindakan apa pun yang kaulakukan yang bisa mengubah hal itu.
Tidak ada. Sewaktu Saphira tidak bereaksi, Eragon mengulurkan tangan ke belakang rahang Saphira dan menggelitik sepetak kulit di bawah salah satu telinganya. Kau dengar aku, eh" Tidak ada!
Saphira terbatuk pelan dengan perasaan geli yang enggan lalu melengkungkan leher dan mengangkat kepala untuk menghindari jemari Eragon yang menari-nari. Bagaimana aku bisa menemui Glaedr lagi" Ia sangat murka... Seluruh batu bergoncang karena kemarahannya.
Sedikitnya kau bertahan sewaktu ia menyerangrnu.
Karenar terkejut, Eragon mengangkat alis. Well, pokoknya satu-satunya cara hanyalah meminta maaf.
Minta maaf! Aye. Beritahu Glaedr bahwa kau menyesal, bahwa kejadian ini tidak akan terulang lagi, dan kau ingin melanjutkan latihanmu dengannya. Aku yakin ia akan bersimpati kalau kau memberinya kesempatan.
Baiklah, kata Saphira pelan.
Kau akan merasa lebih baik sesudah meminta maaf. Eragon tersenyum. Aku tahu dari pengalaman.
Saphira mendengus dan melangkah ke tepi gua, tempat ia berjongkok dan mengamati hutan yang membentang. Kita harus pergi, Cuaca akan gelap sebentar lagi. Sambil mengertakkan gigi, Eragon memaksa diri bangkit--setiap gerakan sangat berat bagi-nya--dan naik ke punggung Saphira, dua kali lebih lama daripada biasanya. Eragon"... Terima kasih sudah datang. Aku tahu apa yang kaupertaruhkan dengan punggungmu.
Eragon menepuk bahu Saphira. Kita menyatu lagi"
Kita selalu satu. HADIAH DARI PARA NAGA Hari-hari menjelang Agaeti Blodhren merupakan saat-saat terbaik dan terburuk bagi Eragon. Punggungnya semakin merepotkan, menurunkan kesehatan dan daya tahannya, dan menghancurkan ketenangan pikirannya; ia selalu dicengkeram ketakutan akan mendapat serangan lagi. Tapi, sebaliknya, ia dan Saphira tidak pernah sedekat itu. Mereka boleh dikatakan hidup dalam pikiran satu sama lain sebagaimana dalam pikiran masing-masing. Dan sesekali Arya berkunjung ke rumah pohon dan berjalan-jalan di Ellesmera bersama Eragon dan Saphira. Tapi ia tidak pernah datang sendiri, selalu bersama Orik atau Maud si kucing jadi-jadian.
Selama perjalanan mereka, Arya memperkenalkan Eragon dan Saphira pada elf-elf terkemuka: para pejuang hebat, penulis puisi, dan seniman. Ia mengajak mereka menyaksikan konser di bawah atap dedaunan pinus. Dan ia menunjukkan banyak keajaiban tersembunyi Ellesmera pada mereka.
Eragon memanfaatkan setiap kesempatan untuk bercakap-cakap dengan Arya. Ia menceritakan masa dirinya tumbuh di Lembah Palancar, tentang Roran, Garrow, dan bibinya Marian, kisah-kisah tentang Sloan, Ethlbert, dan para penduduk desa lain, dan kesukaannya pada pegunungan yang mengelilingi Carvahall serta tirai cahaya yang menutupi langit musim dingin di malam hari. Ia bercer
ita tentang rubah betina yang jatuh ke cairan penyamak Gedric dan terpaksa dijaring keluar am jala. Ia menceritakan suka cita yang dirasakannya dari menanam gandum, menyiangi dan merawatnya, dan menyaksikan pucuk-pucuk hijau merekah karena perawatannya--suka cita yang ia tahu bisa dihargai Arya, selain semua orang.
Sebaliknya Eragon berusaha memancing informasi mengenai kehidupan Arya sendiri. Ia mendengar Arya menceritakan masa kanak-kanaknya, teman-teman dan keluarganya, dan pengalamannya di antara kaum Varden, yang paling bebas aibicarakannya, menjabarkan serangan-serangan dan pertempuran-pertempuran di mana ia terlibat, perjanjian-perjanjian di mana ia turut bernegosiasi, perselisihannya dengan para kurcaci, dan berbagai kejadian penting yang disaksikannya dalam tugas sebagai duta besar.
Berada di antara Arya dan Saphira, kedamaian merasuki hati Eragon, tapi kedamaian yang labil dan pengaruh paling kecil apa pun akan mengacaukannya. Waktu itu sendiri merupakan musuh, karena Arya harus meninggalkan Du Weldenvarden sesudah Agaeti Blodhren. Dengan begitu, Eragon sangat menghargai kebersamaannya dengan Arya dan takut akan kedatangan perayaan itu.
Seluruh kota tampak sibuk saat para elf bersiap-siap merayakan Agaeti Blodhren. Eragon belum pernah melihat mereka sebersemangat itu. Mereka menghiasi hutan dengan lentera-lentera berwarna-warni, terutama di sekitar pohon Menoa, sementara pohon itu sendiri dihiasi lentera di setiap ujung cabangnya, di mana lentera-lentera tersebut menjuntai seperti air mata yang bercahaya. Bahkan tanaman-tanaman, Eragon menyadari, tampak berpesta dengan serangkaian bunga baru yang berwarna-warni. Ia sering mendengar para elf bernyanyi pada bunga-bunga itu di larut malam.
Setiap hari ratusan elf tiba di Ellesmera dari kota-kota mereka yang tersebar di hutan, karena tidak ada elf yang mau melewatkan upacara tahunan memperingati perjanjian mereka dengan naga ini. Eragon menebak banyak di antara mereka yang juga datang untuk menemui Saphira. Rasanya aku tidak berbuat apa-apa selain mengulangi sapaan mereka, pikirnya. Elf-elf yang tidak bisa hadir karena tanggung jawab mereka akan menyelenggarakan perayaan sendiri secara bersamaan dan akan berpartisipasi dalam upacara-upacara di Ellesmera melalui cermin yang telah disihir dan mirip dengan mereka menonton, agar tidak ada yang merasa dimata-matai.
Seminggu sebelum Agaeti Blodhren, sewaktu Eragon Saphira hendak kembali ke kamar mereka dari Tebing Tel'naeir dan Oromis berkata, "Kalian berdua harus memikirkan apa yang bisa kalian bawa ke Perayaan Sumpah Darah. Kecuali karya kalian membutuhkan sihir untuk dibuat atau difungsikan, kusarankan kalian menghindari penggunaan gramarye. Tidak ada yang menghargai karya kalian kalau dibuat dengan mantra dan bukan dengan tangan kalian sendiri. Aku juga menyarankan kalian membuat karya terpisah. Itu kebiasaannya."
Di udara, Eragon bertanya pada Saphira, Kau punya gagasan"
Mungkin. Tapi kalau kau tidak keberatan, aku ingin melihatnya berhasil dulu sebelum kutunjukkan padamu. Eragon menangkap sebagian gambaran sebongkah batu yang mencuat di dasar hutan sebelum Saphira menutupinya.
Eragon tersenyum. Kau tidak mau memberiku petunjuk"
Api. Api yang sangat banyak.
Di rumah pohon mereka, Eragon menelaah berbagai keahliannya dan berpikir, Aku lebih tahu tentang bertani daripada lainnya, tapi aku tidak tahu bagaimana mengubahnya sehingga menguntungkanku. Dan aku tidak bisa berharap untuk bersaing dengan para elf dengan sihir atau menyamai prestasi mereka dengan karya-karya yang kuketahui. Bakat mereka melebihi seniman terbaik di Kekaisaran.
Tapi kau memiliki satu kualitas yang tidak dimiliki siapa pun, kata Saphira.
Oh" Identitasmu. Sejarahmu, perbuatan dan situasimu. Gunakan untuk membentuk ciptaanmu dan kau akan menghasilkan sesuatu yang unik. Apa pun yang kaubuat, buatlah berdasarkan apa yang paling penting bagimu. Baru pada saat itu karyamu memiliki kedalaman dan arti, dan baru pada saat itu yang lain bisa menghagainya.
Eragon memandang Saphira dengan terkejut. Aku tidak pernah sadar kau tahu sebanyak itu te
ntang seni. Memang tidak, kata Saphira. Kau lupa aku pernah melewati satu sore menyaksikan Oromis melukis dokumennya sementara dengan Glaedr. Oromis membicarakan topik ini cukup panjang.
Ah ya. Aku lupa. sesudah Saphira pergi untuk melakukan proyeknya, Eragon mondar-mandir di tepi portal terbuka kamar tidur, mempertimbangkan kata-kata Saphira. Apa yang penting bagiku" Tanyanya sendiri. Saphira dan Arya, tentu saja, dan menjadi Penunggang yang baik, tapi apa yang bisa kukatakan mengenai subjek-subjek itu yang belum cukup jelas" Kuhargai keindahan alam, tapi, sekali lagi, elf-elf sudah mengekspresikan segala sesuatu dari topik itu. Ellesmera sendiri merupakan monumen pengabdian mereka. Ia mengalihkan pikiran ke dalam dirinya dan menanyai diri sendiri untuk menentukan apa yang menyentuh bagian terdalam, tergelap dirinya. Apa yang menggugahnya dengan cukup semangat entah cinta atau benci--yang sangat ingin dibagikannya dengan orang lain"
Tiga hal terlintas dalam benaknya: lukanya di tangan Durza, ketakutannya melawan Galbatorix suatu hari nanti, dan epos elf yang begitu menguasainya.
Semburan semangat berkobar dalam diri Eragon saat kisah yang mengkombinasikan elemen-elemen tersebut terbentuk dalam benaknya. Dengan langkah-langkah ringan, ia berlari menaiki tangga spiral--dua anak tangga sekaligus--ke ruang kerja, di mana ia duduk di depan meja tulis, mencelupkan pena bulu ke tinta, dan mengacungkannya dengan gemetar di atas sehelai kertas pucat.
Ujung pena berdesir saat ia mulai menulis:
Di kerajaan dekat laut, Dl Pegunungan yang berselimut kebiruan....
Kata-kata yang mengalir dari penanya terasa seperti muncul dengan sendirinya. Ia merasa seolah tidak menciptakan kisahnya, tapi sekadar sebagai sarana untuk memindahkannya dalam bentuk seutuhnya ke dunia. Karena tidak pernah menulis puisi, Eragon dicengkeram gairah yang biasa muncul dalam petualangan baru--terutama karena sebelumnya ia tidak menduga akan menikmati kegiatan menulis.
Ia bekerja keras, tidak berhenti untuk makan atau minum, tuniknya digulung melewati siku agar tidak terkena cipratan tinta dari pena bulu akibat cepatnya ia menulis. Perhatiannya begitu terpusat hingga ia tidak mendengar apa pun kecuali detak puisinya, tidak melihat apa pun kecuali kertas kertas kosong, dan tidak memikirkan apa pun kecuali bait-bait yang terukir dalam barisan api di belakang matanya.
Satu setengah jam kemudian, ia meletakkan pena bulu dari tangannya yang kram, mendorong kursi menjauhi meja, dan berdiri. Empat belas halaman terhampar di hadapannya. Ini tulisan terpanjang yang pernah ditulisnya dalam sekali duduk. Eragon tahu puisinya tidak bisa menyamai karya penulis besar elf atau kurcaci, tapi ia berharap karyanya cukup jujur hingga para elf tidak menertawakan kerja kerasnya.
Ia membacakan puisinya pada Saphira sewaktu naga itu kembali. Sesudahnya, Saphira berkata, Ah, Eragon, kau banyak berubah sejak kita meninggalkan Lembah Palancar. Kurasa kau tidak akan mengenali bocah belum teruji yang pertama kali berniat membalas dendam itu. Eragon itu tidak akan bisa menulis dengan gaya seperti elf. Aku berharap bisa melihat bagaimana dirimu lima puluh atau seratus tahun mendatang.
Eragon tersenyum. Kalau aku hidup selama itu.
"Kasar tapi jujur," itulah yang dikatakan Oromis sewaktu Eragon membacakan puisinya.
"Kalau begitu Anda menyukainya""
"Ini penggambaran yang bagus tentang keadaan mentalmu saat ini dan bacaan yang menarik, tapi bukan mahakarya. Apakah kau berharap ini akan menjadi mahakarya"
"Kurasa tidak."
"Tapi, aku terkejut kau bisa memberi suara pada puisimu dalam bahasa ini. Tidak ada hambatan untuk menulis dalam bahasa kuno. Kesulitan timbul kalau seseorang berusaha mengucapkannya, karena dengan begitu kau harus menceritakan apa yang bukan kebenaran, yang tidak dimungkinkan oleh sihir."
"Aku bisa mengatakannya," jawab Eragon, "karena aku yakin ini benar."
"Dan itu memberi kekuatan tambahan pada tulisanmu & Aku terkesan, Eragon-finiarel. Puisimu merupakan tambahan yang bernilai bagi Perayaan Sumpah Darah." Sambil mengangkat satu jari, Oromis meraih ke balik j
ubahnya dan memberi Eragon gulungan dokumen yang diikat erat-erat dengan pita. Di kertas ini tertulis sembilan ward yang harus kaudirikan di sekitarmu dan si kurcaci Orik. Seperti yang kau lihat di Sthrim, pesta-pesta kami begitu kuat dan bukan bagi mereka yang lebih lemah daripada kami. Tanpa terlindung, kau menanggung risiko kehilangan dirimu dalam jaring sihir kami. Aku pernah melihatnya terjadi. Bahkan dengan langkah penjagaan ini, kau harus berhati-hati agar tidak terhanyut pesona yang dibawa angin. Selalu waspada, karena pada saat itu, kami elf cenderung sinting--kesintingan yang luar biasa dan megah, tapi tetap saja sinting."
Pada malam Agaeti Blodhren--yang berlangsung selama tiga hari--Eragon, Saphira, dan Orik menemani Arya ke pohon Menoa, tempat puluhan elf berkumpul, rambut hitam dan perak mereka berbinar-binar ditimpa cahaya lentera. Islanzadi berdiri di akar yang lebih tinggi di dasar pohon, sejangkung, sepucat, dan sehalus pohon birch. Blagden bertengger di bahu kiri Ratu, sementara Maud, si kucing jadi-jadian, mengintai di belakangnya. Glaedr ada di sana, juga Oromis yang mengenakan pakaian merah dan hitam, dan elf-elf lain yang dikenali Eragon seperti Lifaen dan Nari dan, yang tidak disukainya, Vanir. Di atas kepala, bintang-bintang berkelap-kelip di langit yang bagai beludru.
"Tunggu di sini," kata Arya. Ia menyelinap menerobos kerumwan dan kembali membawa Rhunon. Tukang besi itu mengerjapkan mata seperti burung hantu ketika memandang sekitarnya. Eragon menyapanya, dan si tukang besi mengangguk padanya dan Saphira. "Selamat bertemu, Sisik Terang dan Pembantai Shade." Lalu ia menatap Orik dan berbicara pada kurcaci itu dalam Bahasa Kurcaci, yang dijawab Orik dengan antusias, Jelas gembira dapat bercakap-cakap menggunakan bahasa ibunya.
"Apa katanya"" tanya Eragon, sambil membungkuk.
"Ia mengundangku ke rumahnya untuk melihat hasil karyanya dan mendiskusikan pengerjaan logam." Orik tampak terpesona. "Eragon, ia pertama kali belajar pertukangan pada Futhark sendiri, salah seorang grimstborithn legendaris dari Durgrimst Ingeitum! Aku bersedia memberikan apa saja untuk bisa bertemu dengannya."
Bersama-sama mereka menunggu hingga tengah malam, sewaktu Islanzadi mengangkat lengan kirinya yang telanjang hingga menunjuk ke bulan baru seperti sebatang tombak marmer. Bola putih lembut muncul dengan sendirinya di atas telapak tangannya dari cahaya yang dipancarkan lentera-lentera yang bergantungan di pohon Menoa. Lalu Islanzadi berjalan di sepanjang akar ke batang pohon yang besar dan meletakkan bola itu dalam lubang di kulit kayu, tempat bola itu tetap tinggal, berpendar-pendar.
Eragon berpaling pada Arya. "Sudah mulai""
"Sudah mulai!" Arya tertawa. "Dan akan berakhir sewaktu api siluman padam sendiri."
Para elf membagi diri menjadi kelompok-kelompok tidak resmi di seluruh hutan dan lapangan yang mengelilingi pohon Menoa. Seakan dengan begitu saja, mereka mengeluarkan mejameja tempat bertumpuk tinggi aneka hidangan fantastis, yang dari penampilannya yang tidak membumi tampaknya merupakan hasil karya para perapal mantra selain para koki.
Lalu para elf mulai bernyanyi dengan suara mereka yang jernih bagai suling. Mereka melantunkan banyak lagu, tapi setiap lagu merupakan bagian dari melodi yang lebih besar dan menjalin mantra di malam yang bagai mimpi itu, menajamkan indra, menyingkirkan hambatan, dan mengobarkan pujian dengan sihir. Bait-bait mereka tentang tindakan-tindakan kepahlawanan dan petualangan dengan kapal dan kuda ke tanah-tanah yang terlu akan dan penderitaan akibat keindahan yang hilang. Musik yang berdenyut-denyut menyelimuti Eragon dan ia merasakan keliaran mencengkeram dirinya, keinginan untuk berlari bebas dari hidupnya dan menari di rawa-rawa elf selamanya. Di sampingnya, Saphira bersenandung seirama lagu, matanya yang kemilau tampak seperti mengantuk.
Apa yang terjadi sesudahnya, Eragon tidak pernah bisa mengingatnya dengan baik. Ia bisa ingat beberapa kejadian dengan sangat jelas--kilasan-kilasan terang dan pekat penuh keriangan--tapi ia tidak mampu menyusun urutan kemunculannya. Ia ti
dak tahu apakah saat itu siang atau malam, karena kapan pun waktunya, senja seperti menguasai hutan. Ia juga tidak bisa mengatakan apakah dirinya tertidur, atau perlu tidur, selama perayaan....
Ia ingat berputar-putar sambil memegangi tangan elf wanita berbibir semerah ceri, dengan rasa madu di lidahnya dan bau juniper di udara....
Ia ingat elf-elf bertengger di cabang-cabang pohon Menoa yang menjulur, seperti kawanan bintang. Mereka memainkan harpa emas dan menyerukan teka-teki pada Glaedr di bawah dan, sesekali, menunjuk ke langit, tempat bara berwarna-warni akan meledak dalam berbagai bentuk sebelum memudar....
Ia ingat duduk di lapangan kecil, menyandar ke Saphira, dan menonton elf wanita yang sama bergoyang-goyang di depan penonton sambil bernyanyi:
Jauh, jauh, kau akan terbang jauh,
Melewati puncak-puncak dan lembah-lembah
Ke tanah-tanah di baliknya.
Jauh, jauh, kau akan terbang jauh,
Dan tidak pernah kembali padaku.
Hilang! Kau akan hilang dariku,
Dan aku tidak akan pernah bertemu lagi denganmu.
Hilang! Kau akan hilang dariku,
Sekalipun aku menunggumu selamanya.
Ia ingat puluhan puisi, beberapa sedih, beberapa gembira sebagian besar keduanya. Ia mendengar puisi Arya selengkapnya dan menganggap puisi itu benar-benar bagus, dan puisi Islanzadi, yang lebih panjang tapi sama bagusnya. Semua elf berkumpul mendengarkan kedua karya itu...
Ia ingat keajaiban-keajaiban yang dibuat elf untuk perayaan itu, banyak di antaranya sebelum ini dianggapnya mustahil, bahkan dengan bantuan sihir. Teka-teki dan mainan, karya seni dan senjata, dan benda-benda yang entah apa gunanya Satu elf memantrai bola kaca hingga setiap beberapa detik bunga yang berbeda mekar di tengahnya. Elf lain menghabiskan berpuluh-puluh tahun menjelajahi Du Weldenvarden dan menghafal suara-suara elemen, yang paling indah sekarang dilantunkan dari kerongkongan seratus lili putih.
Rhunon menyumbangkan perisai yang tidak akan pecah, sepasang sarung tangan yang dirajut dari benang baja dan memungkinkan pemakainya memegang timah cair dan benda-benda sejenis tanpa terluka, dan ukiran burung wren yang terbang dari sebongkah logam dan dicat dengan begitu ahlinya hingga burung itu tampak hidup.
Piramid bertingkat setinggi delapan inci dan terbuat dari lima puluh delapan bagian yang saling menyambung merupakan pemberian Orik, yang menggembirakan para elf, yang berkeras membongkar dan memasang piramid itu sesering yang diizinkan Orik. "Master Janggut Panjang", begitu mereka menggelarinya, dan berkata, "Jemari yang pandai berarti benak yang pandai."....
Teror Melanda Kelas 9a 2 Naga Pembunuh Lanjutan Golok Maut Karya Batara Terjebak Di Gelombang Maut 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama