Ceritasilat Novel Online

Eragon 2

Eragon Karya Christhoper Paolini Bagian 2


Eragon menunggu dengan sabar sementara Brom menjejalkantembakau. Ia menyukai Brom. Pria tua itu terkadang menjengkelkan, tapi ia tampaknya tidak pernah keberatan untuk membuang waktu bagi Eragon. Eragon pernah menanyakan dari mana asalnya, dan Brom tertawa, lalu menjawab, "Desa yang sangat mirip Carvahall, hanya kalah menarik." Karena penasaran, Eragon menanyakannya pada pamannya. Tapi Garrow hanya bisa memberitahu bahwa Brom membeli rumah di Carvahall hampir lima belas tahun berselang dan sejak itu tinggal di sana dengan tenang.
Brom menggunakan pemantik untuk menyalakanpipa. Ia mengepulkan asapnya beberapa kali, lalu berkata, "Nah... kita tidak perlu berhenti, kecuali untuk minum teh. Sekarang, mengenai para Penunggang, atau Shur'tugal, sebagaimana para elf memanggil mereka. Dari mana mulainya" Mereka hidup selama bertahun-tahun dan, di puncak kekuatan mereka, dua kali memegang kekuasaan atas tanah-tanah Kekaisaran. Puluhan cerita telah disampaikan mengenai mereka, sebagian besar omong kosong. Kalau kau memercayai segala sesuatu yang dikatakan orang, kau pasti menduga mereka memiliki kekuatan dewa rendahan. Orang-orang terpelajar mengabdikan seluruh hidup mereka untuk memisahkan fiksi ini dari faktanya, tapi meragukan apakah ada di antara mereka yang bisa berhasil. Tapi, bukan tugas yang mustahil kalau kita membatasi diri ke tiga bidang yang kau sebutkan tadi bagaimana para Penunggang berawal, kenapa mereka dipandang begitu tinggi, dan dari mana asalnya naga. Akan ku mulai dengan yang terakhir."
Eragon menyandar ke belakang dan mendengarkan suara pria itu yang memesona.
"Naga tidak memiliki awal, kecuali kalau awalnya ada dalam penciptaan Alagaesia sendiri. Dan kalau mereka memiliki akhir, itu adalah saat dunia ini musnah, karena mereka menderita bersama-sama dengan tanah ini. Mereka, para kurcaci, dan beberapa makhluk lainnya merupakan penduduk asli tanah ini. Mereka tinggal di sini jauh sebelum makhluk-makhluk lain datang, kuat dan bangga dalam kemegahan elemental mereka. Dunia mereka tidak berubah hingga elf pertama melayari lautan dengan kapal-kapal perak mereka."
"Dari mana asalnya elf"" sela Eragon. "Dan kenapa mereka disebut makhluk halus" Apakah mereka benar-benar ada""
Brom merengut. "Kau mau pertanyaan awalmu dijawab atau tidak" Pertanyaan awalmu tidak akan terjawab kalau kau ingin mengetahui setiap potong pengetahuan yang tersembunyi."
"Maaf," kata Eragon. Ia menunduk dan berusaha tampak menyesal.
"Tidak, kau tidak menyesal," kata Bromgeli. Ia mengalihkan tatapannya ke api dan mengawasi api itu menjilat-jilat sisi bawah ketel. "Kalau kau harus mengetahuinya, elf bukanlah legenda, dan mereka disebut makhluk halus karena mereka lebih anggun daripada ras-ras lain. Mereka berasal dari tempat yang mereka sebut Alalea, sekalipun tidak satu makhluk pun kecuali mereka sendiri yang mengetahui apa, atau bahkan di mana, tempat itu.
"Nah," ia melotot dari bawah alis matanya yang lebat untuk memastikan Eragon tidak menyela lagi, "para elf merupakan ras yang tinggi hati waktu itu, dan memiliki sihir yang kuat. Mula-mula mereka menganggap naga sebagai sekadar hewan biasa. Dari anggapan itu timbul kesalahan fatal. Seorang pemuda elf yang nekat, memburu seekor naga seperti memburu rusa, dan membunuhnya. Karena murka, para naga menyergap dan membantai elf itu. Sialnya, pembunuhan tidak berhenti di sana. Para naga ber
kumpul dan menyerang seluruh penjuru negara elf. Gundah karena kesalahpahaman yang mengerikan itu, para elf mencoba mengakhiri permusuhan, tapi tidak bisa menemukan cara untuk berkomunikasi dengan para naga.
"Demikianlah, untuk meringkas habis-habisan serangkaian kejadian yang rumit, timbul peperangan panjang dan berdarah, yang kemudian disesali kedua belah pihak. Pada awalnya elf bertempur hanya untuk membela diri, karena mereka enggan meningkatkan pertempurannya, tapi kebuasan para naga akhirnya memaksa mereka menyerang demi keselamatan diri sendiri. Hal ini berlangsung selama lima tahun dan pasti akan berlangsung jauh lebih lama lagi kalau elf bernama Eragon tidak menemukan sebutir telur naga."
Eragon mengerjapkan mata karena terkejut.
"Ah, kulihat kau tidak mengetahui asal namamu," kata Brom.
"Ya." Ketel teh bersiul nyaring. Kenapa aku diberi nama seperti elf"
"Kalau begitu kau pasti akan mendapati semua ini lebih menarik lagi," kata Brom. Ia mengambil ketel dari perapian dan menuangkan air mendidih ke dua cangkir. Sambil memberikan salah satunya kepada Eragon, ia memperingatkan, "Dedaunan ini tidak perlu direndam terlalu lama, jadi minumlah secepatnya sebelum rasanya terlalu kuat."
Eragon mencoba menghirupnya, tapi lidahnya terasa terbakar. Brom mengesampingkan cangkirnya sendiri dan terus mengisap pipa.
"Tidak ada seorang pun yang mengetahui kenapa telur itu ditinggalkan. Ada yang mengatakan induknya terbunuh dalam serangan elf. Yang lain percaya bahwa para naga sengaja meninggalkan telur itu di sana. Yang mana pun, Eragon melihat pentingnya membesarkan naga yang bersahabat. Dengan diam-diam ia memeliharanya dan, sesuai kebudayaan bahasa kuno, menamainya Bid'Daum. Sewaktu Bid'Daum telah tumbuh cukup besar, mereka bepergian bersama-sama di antara para naga dan meyakinkan para naga untuk hidup damai bersama para elf. Perjanjian-perjanjian pun dibentuk di antara kedua ras. Untuk memastikan perang tidak akan pernah pecah lagi, mereka memutuskan perlunya mendirikan para Penunggang.
"Mula-mula para Penunggang hanya ditujukan sebagai sarana komunikasi antara elf dan naga. Tapi seiring berlalunya waktu, manfaat mereka disadari dan mereka mendapat wewenang yang lebih besar lagi. Akhirnya mereka menjadikan pulau Vroengard sebagai rumah dan membangun kota di sana-Dorta Areaba. Sebelum Galbatorix mengalahkan mereka, para Penunggang memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada seluruh raja di Alagaesia. Sekarang aku yakin sudah menjawab dua pertanyaanmu."
"Ya," kata Eragon setengah sadar. Rasanya seperti kebetulan yang luar biasa bahwa dirinya dinamai seperti Penunggang pertama. Entah untuk alasan apa, namanya tidak lagi terasa sama. "Apa arti Eragon""
"Entahlah," kata Brom. "Sudah lama sekali. Aku ragu ada yang masih mengingatnya kecuali para elf, dan keberuntungan harus tersenyum lebar padamu sebelum kau bisa bercakap-cakap dengan elf. Tapi itu nama yang bagus; kau seharusnya merasa bangga. Tidak setiap orang mendapat kehormatan seperti itu.
Eragon mengesampingkan masalah itu dari pikirannya dan berfokus pada apa yang didapatnya dari Brom; ada yang terlewatkan. "Aku tidak mengerti. Di mana kita sewaktu para Penunggang diciptakan""
"Kita"" tanya Brom, sambil mengangkat satu alis mata.
"Kau tahu, kita semua." Eragon melambai sambil lalu. "Manusia pada umumnya."
Brom tertawa. "Kita bukanlah penduduk asli tempat ini, sama seperti para elf. Para leluhur kita membutuhkan waktu tiga abad lagi sebelum tiba di sini dan bergabung dengan para Penunggang."
"Tidak mungkin," Eragon memprotes. "Selama ini kita selalu tinggal di Lembah Palancar."
"Mungkin itu benar untuk beberapa generasi, tapi lebih dari itu, tidak. Bahkan bagimu hal itu tidak benar, Eragon," kata Brom lembut. "Biarpun kau menganggap dirimu sebagai bagian dari keluarga Garrow, dan memang benar begitu, tapi leluhurmu bukan berasal dari tempat ini. Tanyakan pada orang-orang dan kau akan mendapati bahwa banyak di antara mereka yang belum lama berada di sini. Lembah ini tua dan tidak dari dulu merupakan milik kita."
Eragon merengut dan menenggak teh. Minumannya masih cukup pana
s untuk membakar tenggorokannya. Ini rumahnya, terlepas dari siapa pun ayahnya! "Apa yang terjadi dengan para kurcaci sesudah para Penunggang dihancurkan""
"Tidak ada yang benar-benar mengetahuinya. Mereka bertempur bersama para Penunggang dalam beberapa pertempuran pertama, tapi sewaktu menjadi jelas bahwa Galbatorix akan menang, mereka menutup semua pintu masuk ke terowongan mereka yang diketahui orang dan menghilang ke bawah tanah. Sepanjang sepengetahuanku, tidak ada satu pun kurcaci yang pernah terlihat lagi sejak itu."
"Dan para naga"" tanya Eragon. "Bagaimana dengan mereka" Jelas tidak mungkin semuanya dibunuh."
Brom menjawab dengan sedih, "Itu misteri terbesar di Alagaesia hari-hari ini. Berapa banyak naga yang berhasil selamat dari pembantaian Galbatorix" Ia membiarkan mereka yang setuju mengabdi padanya, tapi hanya naga sinting para Terkutuk yang mau membantu kesintingannya. Kalau ada naga selain Shruikan yang masih hidup, mereka menyembunyikan begitu baik hingga tidak akan pernah ditemukan Kekaisaran.
Jadi dari mana asalnya nagaku" pikir Eragon penasaran.
apakah para Urgal ada di sini sewaktu para elf tiba di Alagaesia" tanyanya.
"Tidak, mereka mengikuti para elf menyeberang lautan, seperti kutu yang mencari darah. Merekalah salah satu alasan para Penunggang menjadi berharga karena keahlian mereka bertempur dan kemampuan menjaga perdamaian.... Banyak yang bisa dipelajari dari sejarah ini. Sayang sekali Raja menjadikannya subjek yang sangat peka," kata Brom.
"Ya, aku mendengar ceritamu terakhir kali aku ke kota."
"Cerita!" raung Brom. Kilat menyambar di matanya. "Kalau itu cerita, maka isu mengenai kematianku benar dan kau berbicara dengan hantu! Hormatilah masa lalu, kau tidak pernah mengetahui bagaimana masa lalu mempengaruhi dirimu."
Eragon menunggu hingga ekspresi Brom melunak sebelum memberanikan diri bertanya, "Seberapa besar naga-naga itu""
Kepulan asap hitam bergulung-gulung di atas Brom seperti awan mendung mini. "Lebih besar daripada rumah. Bahkan naga yang kecil bentangan sayapnya bisa mencapai lebih dari seratus kaki; mereka tidak pernah berhenti tumbuh. Beberapa yang sangat tua, sebelum Kekaisaran membunuh mereka, bisa keliru dianggap sebagai bukit besar."
Kekecewaan merayapi Eragon. Bagaimana caraku menyembunyikan nagaku di tahun-tahun mendatang" Diam-diam ia merasa kesal, tapi menjaga suaranya tetap tenang. "Kapan mereka mencapai kedewasaan""
"Well, " kata Brom, sambil menggaruk-garuk dagu, "mereka tidak bisa mengembuskan napas api hingga sekitar lima atau enam bulan, yang kurang-lebih bersamaan dengan waktu mereka mulai mencari pasangan. Semakin tua naganya, semakin lama mereka mampu menyemburkan api. Beberapa di antaranya bisa menyemburkan api terus-menerus selama beberapa menit." Brom mengembuskan cincin asap dan mengawasi cincin itu melayang ke langit-langit.
"Ku dengar sisik mereka berkilau seperti batu permata."
Brom mencondongkan tubuh ke depan dan menggeram, "Yang kau dengar memang benar. Sisik mereka berwarnaWarni. Katanya sekelompok naga bisa tampak seperti pelangi yang hidup, terus bergerak dan berpendar. Tapi siapa yang memberitahukan hal itu padamu""
Eragon membeku sejenak, lalu berbohong. "Seorang pedagang.
"Siapa namanya"" tanya Brom. Alis matanya yang lebat bertemu membentuk garis putih tebal; kerut-kerut di dahinya mendalam. Karena tak diperhatikan, pipanya padam.
Eragon pura-pura berpikir. "Entahlah. Ia berbicara di tempat Mom, tapi aku tidak pernah mengetahui siapa dirinya."
"Sayang kau tidak mengetahuinya," gumam Brom.
"Ia juga mengatakan Penunggang bisa mendengar pikiran naganya," kata Eragon tergesa-gesa, berharap pedagang fiktif itu bisa melindungi dirinya dari kecurigaan.
Mata Brom menyipit. Perlahan-lahan ia mengeluarkan pemantik dan menyalakannya. Asap mengepul, dan ia mengisap pipanya dalam-dalam, mengembuskan asapnya perlahan-lahan. Dengan suara datar ia berkata, "Ia keliru. Itu tidak ada dalam cerita mana pun, dan aku mengetahui semuanya. Apakah ada lagi yang dikatakannya""
Eragon mengangkat bahu. "Tidak." Bagi Eragon, Brom terlalu berminat pada pedagang itu, ia jadi
tidak bisa melanjutkan kebohongannya karena berbahaya. Dengan sikap biasa ia melanjutkan, "Apakah naga hidup sangat lama""
Brom tidak seketika menjawab. Dagunya turun ke dada sementara jemarinya mengetuk-ngetuk pipa sambil berpikir, cahaya memantul pada cincinnya. "Maaf, aku melamun. Ya, naga bisa hidup cukup lama, bahkan selamanya, sepanjang ia tidak dibunuh dan Penunggangnya tidak meninggal."
"Bagaimana bisa ada orang yang mengetahui hal itu"" kata Eragon keberatan. "Kalau naga tewas sewaktu Penunggangnya meninggal, mereka hanya bisa hidup enam puluh atau tujuh puluh tahun. Katamu sewaktu kau... bercerita, para Penunggang hidup hingga ratusan tahun, tapi itu mustahil." Eragon merasa terganggu memikirkan kemungkinan hidup lebih lama daripada keluarga dan teman-temannya.
Senyum tipis merekah di bibir Brom saat mengatakan, "Sesuatu yang mungkin terjadi itu subjektif. Ada orang yang akan mengatakan kau tidak bisa melintasi Spine dengan selamat, tapi kau bisa melakukannya. Itu hanya masalah sudut pandang. Kau pasti sangat bijak untuk mengetahui begitu banyak di usia semuda ini." Wajah Eragon memerah, dan pria tua itu tergelak. "Jangan marah," katanya. "Kau tidak mungkin diharapkan bisa mengetahui hal-hal seperti itu. Kau lupa naga merupakan makhluk ajaib-mereka mempengaruhi segala sesuatu di sekitar mereka dengan cara-cara yang aneh. Para Penunggang berada dekat dengan mereka dan mendapat pengaruh terbesar. Pengaruh sampingan yang paling umum adalah bertambah panjangnya usia. Raja kita sudah hidup cukup lama sebagai buktinya, tapi sebagian besar orang menganggap hal itu karena kemampuan sihirnya sendiri. Juga ada perubahan lain yang tidak semencolok itu. Semua Penunggang memiliki tubuh yang lebih kuat, otak yang lebih tajam, dan pandangan yang lebih baik daripada orang-orang normal. Selain ini, manusia Penunggang telinganya akan meruncing perlahan-lahan, walau tidak pernah semenonjol telinga elf."
Eragon harus menahan tangannya untuk tidak terangkat dan meraba ujung atas telinganya. Bagaimana lagi naga ini akan mengubah kehidupanku" Bukan hanya memasuki kepalaku, tapi ia juga mengubah tubuhku! "Apakah naga sangat pandai""
"Apakah kau tidak memperhatikan kata-kataku tadi!" tuntut Brom. "Bagaimana para elf bisa menyusun persetujuan dan perjanjian damai dengan makhluk tolol" Mereka sama cerdasnya seperti dirimu atau diriku."
"Tapi mereka hewan," Eragon berkeras.
Brom mendengus. "Mereka sama hewannya seperti kita. Entah mengapa orang-orang memuja segala sesuatu yang dilakukan para Penunggang, tapi mengabaikan naganya, menganggap naga tidak lebih daripada cara yang eksotis untuk pergi dari satu kota ke kota lain. Sebenarnya tidak. Para Penunggang hanya mampu melakukan berbagai perbuatan yang hebat karena naga-naga itu. Berapa banyak orang yang akan mencabut pedangnya kalau mengetahui ada kadal raksasa bernapas api kadal dengan kecerdikan dan kebijakan alamiah yang lebih besar bahkan daripada yang bisa diharapkan seorang raja akan muncul tidak lama lagi untuk menghentikan kekerasan" Hmm"" Ia kembali mengembuskan cincin asap dan mengawasinya melayang-layang pergi.
"Kau pernah melihat naga""
"Tidak," kata Brom, "itu jauh sebelum aku dilahirkan."
Dan sekarang mencari nama. "Aku sejak tadi berusaha mengingat-ingat nama naga tertentu, tapi tetap tidak ingat. Ku pikir aku mendengarnya sewaktu para pedagang ada di Carvahall, tapi aku tidak yakin. Kau bisa membantuku"" Brom mengangkat bahu dan dengan cepat menyebutkan sederetan nama. "Ada Jura, Hirador, dan Fundor-yang bertempur melawan ular laut raksasa. Galzra, Briam, Ohen si Kuat, Gretiem, Beroan, Roslarb..." Ia menambahkan banyak nama lainnya. Nama terakhir ia ucapkan begitu pelan hingga Eragon nyaris tidak mendengarnya, "...dan Saphira." Brom mengosongkan pipanya sambil membisu. "Apakah salah satu dari mereka""
"Sayangnya tidak," kata Eragon. Brom telah memberinya banyak hal untuk dipikirkan, dan waktu semakin larut. "Well, Roran mungkin sudah selesai berurusan dengan Horst. Sebaiknya aku kembali, sekalipun sebenarnya tidak ingin."
Brom mengangkat alis matanya. "Apa, begitu saja" K
ukira aku harus terus menjawab pertanyaan-pertanyaanmu hingga Roran datang menjemputmu. Tidak ada pertanyaan mengenai taktik tempur naga atau permintaan cerita tentang pertempuran udara yang menegangkan" Kita sudah selesai""
"Untuk saat ini," kata Eragon sambil tertawa. "Aku sudah mempelajari lebih daripada yang ingin kuketahui." Ia bangkit dan Brom mengikutinya.
"Baiklah, kalau begitu." Brom mengantar Eragon ke pintu. "Selamat tinggal. Hati-hati. Dan jangan lupa, kalau kau ingat siapa pedagang itu, beritahu aku."
"Pasti. Terima kasih." Eragon melangkah ke cahaya matahari musim dingin yang terang benderang, memicingkan mata. Perlahan-lahan ia berjalan pergi, sambil mempertimbangkan apa yang baru saja didengarnya.
NAMA YANG PUNYA KEKUATAN Dalam perjalanan pulang Roran berkata, "Ada orang asing dari Therinsford di tempat Horst hari ini."
"Siapa namanya"" tanya Eragon. Ia melangkah menghindari sepetak es dan terus berjalan dengan tergesa-gesa. Pipi dan matanya terasa terbakar karena udara dingin.
"Dempton. Ia datang kemari untuk meminta Horst membuatkan tempat lilin," kata Roran. Kaki-kakinya yang kekar menginjak tumpukan salju, membuka jalan bagi Eragon.
"Therinsford memiliki tukang besinya sendiri, bukan""
"Ya," jawab Roran, "tapi kurang ahli." Ia melirik Eragon. Sambil mengangkat bahu ia menambahkan, "Dempton membutuhkan tempat-tempat lilin itu untuk penggilingannya. Ia akan mengembangkan usaha dan menawariku pekerjaan. Kalau kuterima, aku akan pergi bersamanya sewaktu ia mengambil tempat-tempat lilin itu."
Tukang giling bekerja sepanjang tahun. Di musim dingin mereka menggiling apa saja yang dibawa orang-orang ke tempat mereka, tapi di musim panen mereka membeli gandum dan menjualnya sebagai tepung. Pekerjaan yang berat dan berbahaya, para pekerja sering kehilangan jari atau tangan akibat tergiling batu penggilingan raksasa. "Apakah kau akan memberitahu Garrow"" tanya Eragon.
"Ya." Senyum geli yang muram merekah di wajah Roran.
"Untuk apa" Kau tahu apa pendapatnya mengenai kita pergi dari rumah. Kalau kau memberitahunya kau akan mendapat masalah. Lupakan saja agar kita bisa menyantap makan malam nanti dengan damai."
"Tidak bisa. Aku akan menerima pekerjaan itu."
Eragon berhenti melangkah. "Kenapa"" Mereka berhadapan, napas mereka terlihat di udara. "Aku tahu kita sulit mendapatkan uang, tapi selama ini kita selalu bisa bertahan. Kau tidak perlu pergi."
"Ya, memang tidak. Tapi uang itu untuk diriku sendiri."
Roran mencoba melanjutkan perjalanan, tapi Eragon bergeming. "Untuk apa kau membutuhkan uang itu"" tanyanya. Bahu Roran agak menegak. "Aku ingin menikah." Kebingungan dan ketertegunan menguasai Eragon. Ia teringat melihat Katrina dan Roran berciuman sewaktu para pedagang datang, tapi menikah" "Katrina"" tanyanya lemah, sekadar mengkonfirmasi. Roran mengangguk. "Kau sudah melamarnya""
"Belum, tapi begitu musim semi tiba, sewaktu aku bisa mendirikan rumah, aku akan melamarnya."
"Terlalu banyak pekerjaan di pertanian kalau kau pergi sekarang," Eragon memprotes. "Tunggu hingga kita siap menanam."
"Tidak," kata Roran, sambil tertawa pelan. "Musim semi adalah waktu yang paling kubutuhkan. Tanah harus dibajak dan ditanami. Tanaman harus disiangi-belum lagi berbagai tugas lainnya. Tidak, sekarang inilah waktu yang terbaik bagiku untuk pergi, sementara yang kita lakukan sebenarnya hanyalah menunggu pergantian musim. Kau dan Garrow bisa melakukannya tanpa diriku. Kalau semuanya berjalan lancar, aku akan segera kembali untuk bekerja di tanah pertanian, bersama seorang istri."
Eragon dengan enggan mengakui kata-kata Roran masuk di akal. Ia menggeleng, tapi entah karena terpesona atau marah, ia sendiri tidak mengetahuinya. "Kurasa aku hanya bisa mendoakan semoga kau beruntung. Tapi Garrow mungkin tidak bisa menerimanya dengan baik."
"Kita lihat saja nanti."
Mereka melanjutkan perjalanan, kebisuan menjadi penghalang di antara mereka. Hati Eragon gundah. Ia membutuhkan waktu untuk bisa menerima perkembangan ini. Sewaktu mereka tiba di rumah, Roran tidak memberitahukan rencananya pada Garrow, tapi Eragon merasa yakin tidak lama la
gi ia akan mengungkapkannya. Eragon pergi menemui naganya untuk pertama kali sejak makhluk itu berbicarapadanya. Ia mendekatinya dengan agak takut, menyadari sekarang makhluk itu sebanding dengannya.
Eragon. "Apa hanya itu yang bisa kaukatakan"" sergah Eragon.
Ya. Mata Eragon membelalak mendengar jawaban yang tidak terduga-duga itu, dan ia duduk dengan kasar. Sekarang makhluk ini memiliki selera humor. Selanjutnya apa" Secara naluriah, Eragon mematahkan sebatang cabang mati dengan kakinya. Pemberitahuan Roran menyebabkan suasana hatinya muram. Pertanyaan muncul dalam benaknya dari naga itu, jadi ia memberitahukan apa yang terjadi. Saat ia berbicara suaranya semakin lama semakin keras hingga akhirnya ia berteriakteriak tanpa tujuan ke udara. Eragon berceloteh hingga emosinya terkuras, lalu dengan sia-sia meninju tanah.
"Aku tidak ingin ia pergi, hanya itu," katanya tanpa daya. Naga itu mengawasinya dengan datar, mendengarkan dan belajar. Eragon menggumamkan beberapa makian dan menggosokmata. Ia memandang naga itu sambil berpikir. "Kau membutuhkan nama. Aku mendengar beberapa nama yang menarik hari ini; mungkin ada yang kau sukai." Ia dalam hati mengingat rangkaian nama yang diberitahukan Brom hingga mendapat dua nama yang menurutnya bernada kepahlawanan, mulia, dan enak didengar. "Bagaimana pendapatmu mengenai Vanilor atau penerusnya, Eridor" Keduanya naga yang hebat."
Tidak, kata naganya. Kedengarannya makhluk itu geli melihat usahanya. Eragon.
"Itu namaku; kau tidak boleh menggunakannya," kata Eragon, sambil menggosok-gosok dagu. " Well, kalau kau tidak menyukai nama-nama itu, masih ada nama yang lain." Ia terus mengingatingat kembali daftarnya, tapi naga itu menolak setiap nama yang ditawarkan kepadanya. Makhluk itu sepertinya menertawakan sesuatu yang tidak dipahami Eragon, tapi Eragon mengabaikannya dan terus menyarankan nama-nama. "Ada lngothold, naga jantan yang membantai..." Kesadaran menghentikan dirinya. Itu masalahnya! Sejak tadi aku memilih nama-nama jantan. Kau betina!
Ya. Naga itu melipat sayapnya dengan sombong.
Sekarang sesudah Eragon mengetahui apa yang harus dicarinya, ia teringat setengah lusinnama. Ia mempertimbangkan nama Miremel, tapi tidak cocok-bagaimanapun juga, itu nama naga cokelat. Opheila dan Lenora jugaditolaknya. Ia hendak menyerah sewaktu teringat nama terakhir yang diberitahukan Brom. Eragon menyukainya, tapi apakah naganya juga begitu"
Ia menanyakannya. "Kau Saphira"" Naga itu memandangnya dengan mata yang cerdas. Jauh di dalam benaknya Eragon merasakan kepuasannya.
Ya. Seperti ada bunyi klik dalam kepala Eragon dan suara naganya menggema di sana, seakan dari tempat yang sangat jauh. Eragon nyengir sebagai balasan. Saphira mulai bersenandung.
CALON TUKANG GILING Matahari telah terbenam sewaktu makan malam disajikan. Angin kencang melolong di luar, mengguncang rumah.
Eragon menatap tajam Roran dan menunggu apa yang tidak terelakkan.
Akhirnya "Aku ditawari pekerjaan di penggilingan Therinsford... yang akan kuterima."
Garrow menelan makanan di mulutnya dengan kelambanan yang disengaja dan meletakkan garpu. Ia menyandar di kursinya, lalu mengaitkan jemari di belakang kepala dan melontarkan sepatah kata dengan datar, "Kenapa""
Roran menjelaskan sementara Eragon memainkan makanan.
"Aku mengerti," hanya itu komentar Garrow. Ia terdiam dan menatap langit-langit. Tidak ada yang bergerak sementara mereka menunggu jawaban. " Well, kapan kau berangkat""
"Apa"" tanya Roran.
Garrow mencondongkan tubuh ke depan dengan mata berkilau-kilau. "Apakah kau mengira aku akan melarangmu" Aku memang berharap kau segera menikah. Senang rasanya melihat keluarga ini berkembang lagi. Katrina beruntung mendapatkan dirimu." Ketertegunan menyebar di wajah Roran, lalu ia nyengir lega, "Jadi kapan kau berangkat"" tanya Garrow.
Roran bisa kembali bicara. "Sewaktu Dempton datang kembali untuk mengambil tempat lilin untuk penggilingannya."
Garrow mengangguk. "Dan itu...""
"Dua minggu lagi."
"Bagus. Dengan begitu kita memiliki cukup waktu untuk
bersiap-siap. Pasti berbeda rasanya kalau penghuni rumah ini berkurang. Tapi jik
a semua berjalan lancar, seharusnya itu tidak terlalu lama." Ia memandang ke seberang meja dan bertanya, "Eragon, kau mengetahui tentang hal ini""
Eragon mengangkat bahu dengan menyesal. "Baru hari ini.... Ini sinting."
Garrow mengusap wajahnya dengan satu tangan. "Ini sudah sewajarnya dalam hidup." Ia berdiri. "Semuanya akan beres, waktu akan membereskan segala sesuatunya. Tapi untuk sekarang, kita bersihkan piring-piring." Eragon dan Roran membantunya sambil membisu.
Beberapa hari berikutnya benar-benar berat. Kemarahan Eragon mudah tersulut. Kecuali jawaban-jawaban singkat untuk pertanyaan langsung, ia tidak berbicara dengan siapa pun. Di manamana ada tanda Roran akan pergi Garrow membuatkan ransel untuknya, benda-benda menghilang dari dinding, dan kekosongan aneh yang mengisi rumah. Hampir seminggu sebelum ia menyadari adanya jarak yang tumbuh di antara Roran dan dirinya. Ketika mereka berbicara, kata-katanya tidak terlontar dengan mudah dan percakapan mereka terasa tidak nyaman.
Saphira menjadi obat untuk perasaan frustrasi yang dirasakan Eragon. Ia bisa bercakap-cakap bebas dengannya emosi Eragon terbuka sepenuhnya bagi benak Saphira, dan Saphira lebih memahami dirinya daripada siapa pun. Selama minggu-minggu sebelum keberangkatan Roran, Saphira kembali mengalami ledakan pertumbuhan. Bahunya bertambah dua belas inci, sekarang lebih tinggi daripada bahu Eragon. Eragon mendapati ceruk kecil di sambungan leher dan bahu Saphira merupakan tempat yang sempurna untukduduk. Ia sering beristirahat di sana di malam hari dan menggaruk leher Saphira sambil menjelaskan arti berbagai kata. Tidak lama kemudian Saphira memahami segala sesuatu yang diucapkannya dan sering mengomentarinya.
Bagi Eragon, bagian kehidupan yang ini terasa menggembirakan. Saphira senyata dan serumit manusia mana pun. Kepribadiannya eksentrik dan terkadang asing sepenuhnya, tapi mereka saling memahami dalam tingkat yang cukup tinggi. Tindakan dan pemikiran Saphira terus-menerus mengungkapkan aspek baru karakteristiknya. Pernah ia menangkap seekor elang dan bukannya menyantapnya, ia justru melepaskan elang itu, dengan alasan, Tidak ada pemburu di langit yang boleh berakhir sebagai mangsa. Lebih baik mati saat terbang daripada mati terjepit di tanah.
Rencana Eragon untuk membiarkan keluarganya melihat Saphira dikacaukan pengumuman Roran dan peringatan Saphira sendiri. Saphira merasa enggan dilihat, dan Eragon, sebagian karena keegoisan, menyetujuinya. Saat keberadaan Saphira terungkap, Eragon mengetahui berbagai teriakan, tuduhan, dan ketakutan akan dilontarkan pada dirinya... jadi iamenunda-nunda. Ia menyuruh dirinya sendiri menunggu tanda yang menunjukkan waktunya telah tepat.
Malam sebelum keberangkatan Roran, Eragon berniat mengajaknya bercakap-cakap. Ia berjalan diam-diam menyusuri lorong ke pintu kamar tidur Roran yang terbuka. Lampu minyak berada di meja samping ranjang, menghiasi dinding dengan cahaya yang menari-nari hangat. Tiang ranjang melontarkan bayangan panjang ke rak-rak kosong yang berjajar hingga langit-langit. Roran-matanya tampak redup dan tengkuknya tegang-tengah menggulung selimut untuk menutup pakaian dan barang-barang miliknya. Ia berhenti sejenak, lalu mengambil sesuatu dari bantal dan melempar-lemparkannya. Benda itu batu mengilap yang diberikan Eragon padanya bertahun-tahun yang lalu. Roran hendak menjejalkan batu itu ke dalam gulungan selimut, lalu berhenti dan meletakkannya di rak. Eragon merasa tenggorokannya tercekat, ia pun berlalu.
ORANG-ORANG ASING DI CARVAHALL
Sarapannya dingin, tapi tehnya panas. Es di dalam jendela-jendela mencair karena api pagi dan meresap ke dalam kayu lantai, menodainya dengan genangan-genangan gelap. Eragon memandang Garrow dan Roran di dekat tungku dapur dan berpikir bahwa saat ini merupakan terakhir kali ia melihat mereka bersama-sama hingga beberapa bulan mendatang.
Roran duduk di kursi, mengikat tali sepatu botnya. Ranselnya yang penuh berada di lantai di sampingnya. Garrow berdiri di antara mereka dengan kedua tangan dijejalkan dalam di saku celananya. Kemejanya menjuntai kendur kulitnya tamp
ak pucat. Biarpun dibujuk kedua anak muda itu, ia menolak ikut pergi bersama mereka. Sewaktu didesak mengenai alasannya, ia hanya mengatakan itu yang terbaik. "Kau sudah membawa semua yang kau perlukan"" tanya Garrow kepada Roran.
"Ya." Garrow mengangguk dan mengambil kantong kecil dari sakunya. Koin-koin berdenting sewaktu ia memberikannya kepada Roran. "Aku menyimpan ini untukmu. Tidak banyak, tapi kalau kau ingin membeli pernik-pernik atau apa, ini cukup."
"Terima kasih, tapi aku tidak akan menghamburkan uang untuk benda-benda sepele," Roran menukas.
"Terserah itu uangmu," kata Garrow. "Tidak ada lagi yang bisa kuberikan padamu, kecuali restu seorang ayah. Terimalah kalau kau mau, tapi tidak banyak nilainya." Suara Roran terdengar sarat dengan emosi. "Aku merasa tersanjung menerimanya."
"Kalau begitu terimalah, dan pergilah dengan damai," kata Garrow, lalu mencium dahi Roran. Ia berbalik dan berkata dengan suara yang lebih keras, "Jangan mengira aku melupakan dirimu, Eragon. Ada yang ingin kukatakan pada kalian berdua. Sekarang waktunya untuk mengatakannya, karena kalian akan memasuki dunia. Patuhi nasihatku dan kalian akan baik-baik saja." Ia mengarahkan tatapannya yang tajam kepada mereka. "Pertama, jangan biarkan siapa pun menguasai pikiran atau tubuhmu. Jagalah agar pikiranmu tidak terpengaruh. Seseorang bisa jadi orang merdeka tapi lebih terkekang daripada budak. Berikan telingamu pada orang-orang, tapi jangan berikan hatimu. Tunjukkan penghormatan pada mereka yang berkuasa, tapi jangan mengikuti mereka dengan membabi buta. Nilailah dengan logika dan pertimbangkan, tapi jangan berkomentar.
"Jangan menganggap siapa pun lebih unggul daripada dirimu, tidak peduli pangkat maupun tempat mereka dalam kehidupan ini. Perlakukan semuanya dengan adil atau mereka akan membalas dendam. Berhati-hatilah dengan uangmu. Pertahankan kepercayaanmu sekuat mungkin dan orang-orang lain akan mendengarkan." Ia melanjutkan dengan kecepatan yang lebih lambat, "Mengenai masalah cinta... satu-satunya nasihatku hanyalah bersikap jujur. Itu alatmu yang paling kuat untuk membuka hati atau mendapatkan pengampunan. Hanya itu yang perlu kukatakan." Ia tampak agak malu atas ceramahnya.
Ia mengangkat ransel Roran. "Sekarang kau harus pergi. Subuh sudah mendekat, dan Dempton akan menunggumu."
Roran menyandang ransel itu di bahunya dan memeluk Garrow. "Aku akan kembali secepat mungkin," katanya.
"Bagus!" jawab Garrow. "Tapi sekarang pergilah dan jangan mengkhawatirkan kami."
Mereka berpisah dengan enggan. Eragon dan Roran melangkah ke luar, lalu berbalik dan melambai. Garrow mengangkat tangannya yang sangat kurus, pandangannya muram, dan mengawasi mereka bersusah payah menuju ke jalan. Setelah beberapa lama ia menutup pintu. Saat suara pintu itu terdengar dalam udara pagi, Roran menghentikan langkah.
Eragon berpaling dan mengamati lahan di sekitarnya. Pandangannya terpaku ke bangunan-bangunan terpisah. Bangunan-bangunan itu tampak kecil, rapuh, dan menyedihkan. Asap tipis yang membubung dari rumah merupakan satu-satunya bukti bahwa tanah pertanian yang dikepung salju itu berpenghuni.
"Ini seluruh dunia kita," kata Roran muram.
Eragon menggigil tidak sabar dan menggerutu, "Dunia yang bagus." Roran mengangguk, lalu menegakkan bahu dan melangkah ke masa depan barunya. Rumah menghilang dari pandangan saat mereka menuruni bukit.
Hari masih pagi sewaktu mereka tiba di Carvahall, tapi mereka mendapati pintu bengkel telah dibuka. Udara di dalamnya terasa hangat dan menyenangkan. Baldor membimbing dua sapi besar yang terikat di samping tungku peleburan dari batu yang dipenuhi bara menyala-nyala. Di depan tungku terdapat kuda-kuda besi hitam dan tong bertepi besi yang penuh air garam. Di jajaran tiang setinggi leher yang mencuat di dinding tergantung sederetan benda tang raksasa, tang kaka tua, palu dalam berbagai bentuk dan berat, pahat, kaitan, landasan, kikir, parut, bubut, batangan besi dan baja yang siap dibentuk, penjepit, gunting, penusuk, dan sekop. Horst dan Dempton berdiri di samping meja panjang.
Dempton mendekat sambil tersenyum di bawah kumis mer
ahnya yang lebat. "Roran! Aku senang kau datang. Banyak pekerjaan yang tidak bisa kutangani dengan batu penggilingan baruku. Kau siap berangkat""
Roran mengangkat ranselnya. "Ya. Kita segera berangkat""
"Ada beberapa hal yang harus kubereskan terlebih dulu, tapi kita akan berangkat kurang dari satu jam lagi."
Eragon bergerak-gerak saat Dempton berpaling memandangnya, sambil menarik-narik salah satu ujung kumisnya.
"Kau pasti Eragon. Aku juga ingin menawarimu pekerjaan, tapi Roran mendapatkan satu-satunya lowongan yang ada. Mungkin satu atau dua tahun lagi, eh""
Eragon tersenyum tidak enak dan menjabat tangan Dempton. Pria itu ramah. Dalam situasi lain Eragon pasti akan menyukai dirinya, tapi pada saat itu, ia dengan masam berharap tukang giling itu tidak pernah datang ke Carvahall.
Dempton mendengus. "Bagus, bagus sekali." Ia kembali memandang Roran dan mulai menjelaskan cara kerja penggilingan. Sudah siap, sela Horst, sambil memberi isyarat ke meja tempat beberapa bungkusan berada. "Kau bisa mengambilnya kapan saja." Mereka berjabatan tangan, lalu Horst meninggalkan bengkeinya, sambil memanggil Eragon ketika berjalan ke luar.
Karena tertarik, Eragon mengikutinya. Ia mendapati tukang besi itu berdiri di jalan sambil bersedekap. Eragon menggerakkan ibu jarinya ke belakang ke arah tukang giling dan bertanya, "Apa pendapatmu mengenai orang itu""
Horst berkata, "Orang yang baik. Ia akan memperlakukan Roran dengan baik." Tanpa sadar Horst membersihkan serpihan logam dari celemeknya, lalu tangannya yang besar memegang bahu Eragon. "Nak, kau ingat pertengkaranmu dengan Sloan""
"Kalau kau menanyakan pembayaran untuk dagingnya, aku masih belum lupa."
"Tidak, aku percaya padamu, Nak. Yang ingin kuketahui adalah apakah kau masih memiliki batu biru itu""
Jantung Eragon berdebar-debar. Kenapa Horst ingin mengetahuinya" Mungkin ada yang melihat Saphira! Dengan bersusah payah agar tidak panik, ia berkata, "Masih, tapi kenapa kau tanyakan""
"Begitu kau tiba di rumah, buang batu itu." Horst tidak memedulikan seruan Eragon. "Kemarin ada dua orang datang kemari. Orang-orang asing berpakaian hitam dan menyandang pedang. Memandang mereka saja sudah membuat bulu kudukku meremang. Semalam mereka mulai menanyai orang-orang apakah ada yang menemukan batu seperti batumu itu. Mereka kembali melakukannya hari ini." Eragon mengernyit. "Tidak ada orang cukup waras yang bersedia mengatakan apa pun. Mereka mengetahui akan ada masalah, tapi aku bisa menyebutkan beberapa orang yang akan membuka mulut."
Ketakutan memenuhi hati Eragon. Siapa pun yang mengirimkan batu itu ke Spine akhirnya berhasil melacaknya. Atau mungkin Kekaisaran telah mengetahui tentang Saphira. Ia tidak mengetahui mana yang lebih buruk Pikir! Pikir! Telur itu sudah lenyap. Mustahil mereka menemukannya sekarang. Tapi kalau mereka mengetahui benda apa batu itu sebenarnya, akan jelas apa yang terjadi... Saphira mungkin terancam bahaya!
Eragon mengerahkan segenap kemampuan mengendalikan dirinya untuk menampilkan sikap biasa. "Terima kasih sudah memberitahuku. Kau tahu di mana mereka"" Ia merasa bangga karena suaranya nyaris tidak bergetar.
"Aku memperingatkan dirimu bukan karena kuanggap kau perlu menemui kedua orang itu! Tinggalkan Carvahall. Pulanglah."
"Baiklah," kata Eragon untuk menenangkan si tukang besi, "kalau menurutmu itu yang harus kulakukan."
"Memang." Ekspresi Horst melunak. "Aku mungkin bereaksi berlebihan, tapi orang-orang asing ini membuatku merasa tidak nyaman. Akan lebih baik kalau kau tetap di rumah hingga mereka pergi. Akan kucoba menjauhkan mereka dari tanah pertanianmu, walaupun mungkin tidak ada gunanya."
Eragon memandangnya dengan tatapan berterima kasih. Ia berharap bisa memberitahu Horst mengenai Saphira. "Aku pulang sekarang," katanya, dan bergegas kembali ke Roran. Eragon mencengkeram lengan sepupunya dan mengucapkan selamat jalan padanya. "Kau tidak menunggu"" tanya Roran terkejut.
Eragon nyaris tertawa. Entah kenapa, pertanyaan itu terasa lucu baginya. "Tidak ada yang harus kulakukan di sini, dan aku tidak berniat berdiam diri menunggu keberangkatanmu."
"Well ," kata Roran ragu. "Kurasa ini terakhir kalinya kita bertemu hingga beberapa bulan mendatang."
"Aku yakin tidak akan terasa selama itu," kata Eragon tergesa-gesa. "Berhati-hatilah dan segera pulang." Ia memeluk Roran, lalu pergi. Horst masih ada di jalan. Menyadari tukang besi itu memperhatikannya, Eragon menuju ke tepi kota Carvahall. Begitu tukang besi itu tidak terlihat lagi, ia bergegas ke belakang rumah dan menyelinap kembali ke desa.
Eragon bertahan dalam bayang-bayang sambil mencari-cari di setiap jalan, mendengarkan suara yang paling pelan sekalipun. Pikirannya kembali ke kamar tidurnya, tempat busurnya berada ia berharap membawa busurnya sekarang. Ia terus menyeberangi Carvahall, menghindari siapa pun hingga mendengar suara mendesis dari balik sebuah rumah. Sekalipun telinganya tajam, ia harus berjuang keras untuk bisa mendengar apa yang dikatakan.
"Kapan terjadinya"" Kata-katanya halus, seperti kaca yang diberi minyak, dan rasanya seperti merayap menerobos udara.
Desisan aneh yang terdengar mengiringi suara itu menyebabkan kulit kepala Eragon meremang.
"Sekitar tiga bulan yang lalu," jawab seseorang lainnya. Eragon mengenali suara Sloan.
Deffi darah Shade, Ia memberitahu mereka.... Ia membulatkan tekad untuk memukul Sloan kalau mereka bertemu lagi.
Orang ketiga berbicara. Suaranya dalam dan basah. Suara itu memicu gabungan bayangan kebusukan, jamur, dan benda-benda lain yang sebaiknya tidak diusik. "Kau yakin" Kami tidak suka kalau kau melakukan kesalahan. Kalau itu sampai terjadi, akan sangat tidak... menyenangkan." Eragon bisa membayangkan apa yang mungkin akan mereka lakukan. Adakah orang selain dari Kekaisaran yang berani mengancam seperti itu" Mungkin tidak ada, tapi siapa pun yang mengirim telur itu mungkin cukup berkuasa untuk menggunakan kekuatan tanpa dihukum karenanya.
"Yeah, aku yakin. Ia memilikinya waktu itu. Aku tidak berbohong. Banyak orang yang mengetahui hal itu. Tanyakan saja pada mereka." Sloan kedengaran terguncang. Ia berbicara lagi tapi Eragon tidak bisa mendengarnya."Mereka agak... kurang bekerja sama." Kata-kata itu terdengar mengejek. Sejenak kebisuan timbul. "Informasimu sangat membantu. Kami tidak akan melupakan dirimu." Eragon memercayainya. Sloan menggumam tidak jelas, lalu Eragon mendengar suara orang bergegas pergi. Ia mengintip ke balik sudut rumah untuk melihat apa yang terjadi. Dua pria jangkung berdiri di jalan. Keduanya mengenakan mantel hitam panjang yang terangkat karena sarung pedang yang menjulur melewati kaki-kaki mereka. Di kemeja mereka terdapat lencana rumit dari benang perak. Kerudung menutupi wajah mereka, dan kedua tangan mereka terbungkus sarung tangan. Punggung mereka membungkuk dengan aneh, seakan pakaian mereka dijejali bantalan.
Eragon bergeser sedikit untuk bisa melihat lebih jelas. Tubuh salah satu orang asing itu menegang dan ia menggerung aneh pada rekannya. Mereka berdua berputar balik dan berjongkok. Napas Eragon tertahan. Ketakutan hebat mencengkeram dirinya. Pandangannya terpaku ke wajah mereka, dan kekuatan yang melumpuhkan menguasai benaknya, menyebabkan ia terpaku ditempat. Ia berjuang keras untuk melawan dan menjerit dalam hati, Pergi! Kaki-kakinya terayun, tapi sia-sia. Orang-orang asing itu berjalan mendekatinya dengan gaya berjalan yang halus tanpa suara. Eragon mengetahui mereka bisa melihat wajahnya sekarang. Mereka nyaris tiba di sudut rumah, tangan meraih pedang...
"Eragon!" Ia tersentak sewaktu mendengar namanya dipanggil. Orang-orang asing itu membeku di tempat dan mendesis. Brom bergegas mendekati Eragon dari samping, dengan kepala tak tertutup dan membawa tongkat. Orang-orang asing itu tidak terlihat dari tempat pria tua tersebut. Eragon ingin memperingatkannya, tapi lidah dan lengannya tidak mampu digerakkan. "Eragon!" Brom kembali berseru. Orang-orang asing itu memandang Eragon untuk terakhir kalinya, lalu menyelinap pergi di sela-sela rumah.
Eragon jatuh ke tanah, menggigil. Keringat menitik di dahinya dan menyebabkan telapak tangannya terasa lengket. Pria tua itu mengulurkan tangan kepada Eragon dan menariknya berdiri dengan lengan
yang kuat. "Kau tampak sakit semua baik-baik saja""
Eragon menelan ludah dan mengangguk tanpa berbicara. Pandangannya berputar, mencari-cari apa pun yang tidak biasa. "Aku hanya merasa pusing tiba-tiba... sudah berlalu. Rasanya aneh sekali-aku tidak tahu apa yang terjadi."
"Kau akan pulih," kata Brom, "tapi mungkin lebih baik kau pulang."
Ya, aku harus pulang! Harus tiba di rumah sebelum mereka.
"Kurasa kau benar. Mungkin aku sakit."
"Kalau begitu rumah adalah tempat yang terbaik untukmu. Perjalanannya jauh, tapi aku yakin kau akan merasa lebih baik saat tiba di sana. Izinkan aku menemanimu ke jalan." Eragon tidak memprotes sewaktu Brom meraih lengannya dan membimbingnya pergi dengan langkah-langkah yang cepat. Tongkat Brom meremukkan salju saat mereka melewati rumah-rumah.
"Kenapa kau mencariku"" Brom mengangkat bahu. "Sekadar penasaran. Aku kebetulan mengetahui kau ada di kota dan ingin tahu apakah kau sudah mengingat nama pedagang itu."
Pedagang" Apa maksudnya" Eragon menatapnya dengan pandangan kosong; kebingungannya menarik pandangan Brom yang menyelidik. "Tidak," kata Eragon, lalu memperbaiki kata-katanya sendiri, "sayangnya aku masih belum ingat."
Brom mendesah serak, seakan ada yang telah dikonfirmasikannya, dan menggosok-gosok hidung elangnya. "Well, kalau begitu... kalau kau sudah mengingatnya, tolong beritahu aku. Aku sangat tertarik pada pedagang yang berpura-pura mengetahui begitu banyak tentang naga itu." Eragon mengangguk tak sadar. Mereka berjalan sambil membisu ke jalan, lalu Brom berkata, "Cepatlah pulang. Kurasa bukan gagasan bagus untuk berlambat-lambat di jalan." Ia mengulurkan tangannya yang keriput.
Eragon menjabatnya, tapi saat melepaskannya tangan Brom terkait pada sarung tangan Eragon dan menariknya. Sarung tangannya jatuh ke tanah. Pria tua itu mengambilnya. "Aku benar-benar ceroboh," katanya meminta maaf, dan mengembalikannya. Saat Eragon mengambil sarung tangannya, jemari Brom yang kuat melilit pergelangannya dan memuntirnya dengan keras. Telapak tangan Eragon sejenak menghadap ke atas, menampilkan tanda berwarna keperakan. Mata Brom berkilau, tapi ia membiarkan Eragon menarik tangannya kembali dan menjejalkannya ke sarung tangan.
"Selamat tinggal," kata Eragon gundah, dan bergegas menyusuri jalan. Di belakangnya ia mendengar Brom bersiul-siul riang.
TERBANG Benak Eragon berputar kencang saat ia bergegas menyusuri jalan. Ia berlari secepat mungkin, menolak berhenti bahkan sewaktu napasnya terengah-engah. Saat kakinya berderap di jalan yang dingin, ia memanggil Saphira dengan pikirannya, tapi Saphira terlalu jauh untuk bisadihubungi. Ia memikirkan apa yang akan dikatakannya kepada Garrow. Tidak ada pilihan lain sekarang ia harus mengungkapkan keberadaan Saphira.
Ia tiba di rumah, tersengal-sengal menghirup udara dan jantungnya berdebar-debar. Garrow berdiri di dekat lumbung bersama kuda-kuda. Eragon merasa ragu. Apakah sebaiknya aku berbicara dengannya sekarang" Garrow tidak akan memercayaiku kalau Saphira tidak ada di sini sebaiknya kucari Saphira terlebih dulu. Ia menyelinap mengitari tanah pertanian dan masuk ke hutan. Saphira! teriaknya dengan pikirannya.
Aku datang, begitu jawabannya yang samar. Melalui kata-kata itu Eragon bisa merasakan keterkejutan Saphira. Ia menunggu dengan sabar, sekalipun tidak lama kemudian suara kepakan sayap Saphira terdengar memenuhi udara. Saphira mendarat di tengah kepulan asap. Apa yang terjadi" tanya makhluk itu.
Eragon menyentuh bahu Saphira dan memejamkan mata. Setelah menenangkan pikiran, ia bergegas memberitahu Saphira apa yang terjadi. Sewaktu ia menyinggung tentang orang-orang asing tersebut, Saphira melompatmundur. Ia mengangkat kaki depan dan meraung memekakkan telinga, lalu melecutkan ekor di atas kepala Eragon. Eragon bergegas mundur dengan terkejut, merunduk saat ekor Saphira menghantam gundukan salju, Perasaan haus darah dan ketakutan memancar dari tubuh Saphira dalam gelombang-gelombang yang mengerikan. Api!
Musuh! Maut! Pembunuh! Ada apa" Eragon mengerahkan seluruh kekuatannya ke dalam kata-kata, tapi dinding besi mengelilingi benak Saphira
, rnenutupi pikirannya. Saphira kembali meraung dan melukai bumi dengan cakar-cakarnya, mencabik-cabik tanah beku. Hentikan! Garrow akan mendengarnya!
Sumpah dikhianati, jiwa-jiwa dibunuh, telur-telur dipecahkan! Darah di mana-mana. Para pembunuh!
Dengan panik, Eragon memblokir berbagai emosi Saphira dan berhati-hati dengan ekornya. Sewaktu ekor Saphira melecut melewati dirinya, Eragon melesat ke samping makhluk itu dan menyambar salah satu duri di punggungnya. Dengan mencengkeramnya, ia mengangkat diri ke ceruk kecil di pangkal leher Saphira dan berpegangan erat-erat sewaktu Saphira kembali mengangkat kaki depannya. "Cukup, Saphira!" lolong Eragon. Aliran pikiran Saphira berhenti tiba-tiba. Eragon mengelus-elus sisiknya. "Semuanya akan baik-baik saja." Saphira berjongkok dan sayap-sayapnya terbentang ke depan. Kedua sayapnya menggantung di sana sejenak, lalu mengepak ke bawah saat ia melompat ke udara.
Eragon menjerit saat tanah semakin menjauh di bawahnya dan mereka membubung ke atas pepohonan. Pusaran angin menghantamnya, membuat napasnya tersentak dari mulutnya. Saphira mengabaikan kengeriannya dan berbelok ke Spine. Eragon sekilas melihat tanah pertanian dan Sungai Anora di bawahnya. Perutnyabergolak. Ia mengeratkan pelukannya di leher Saphira dan memusatkan perhatian pada sisik-sisik di depan hidungnya, berusaha tidak muntah sementara Saphira terus membubung. Sewaktu Saphira mensejajarkan diri, Eragon mendapat keberanian untuk melirik sekitarnya.
Udara begitu dingin hingga es seketika menggumpal di bulu matanya. Mereka tiba di pegunungan lebih cepat daripada yang diduga Eragon bisa mereka lakukan. Dari udara, puncak-puncak tampak seperti gigi-gigi raksasa setajam pisau cukur yang menunggu untuk menghancurkan mereka hingga berkeping-keping. Saphira tanpa terduga goyah, dan Eragon condong kesamping. Ia mengusap bibirnya, merasa hampir muntah, dan membenamkan kepala di leher Saphira.
Kita harus kembali, katanya memohon. Orang-orang asing itu akan datang ke tanah pertanian. Garrow harus diperingatkan. Putar balik! Tidak ada jawaban. Eragon berusaha menjangkau pikiran Saphira, tapi dihalangi dinding ketakutan dan kemarahan yang bergulung-gulung. Dengan membulatkan tekad untuk memaksa Saphira berputar balik, Eragon dengan muram berusaha menembus perisaimentalnya. Ia mendorong di tempat-tempat yang lemah, berusaha melewati bagian-bagian yang lebih kuat, dan berjuang untuk memaksa Saphira mendengarkan, tapi sia-sia.
Tidak lama kemudian pegunungan mengepung mereka, membentuk dinding putih raksasa yang ditembus granit di sana-sini. Gletser biru membentang di sela-sela puncaknya seperti sungai yang membeku. Lembah dan ngarai yang panjang terbuka di bawahmereka. Ia mendengar jeritan jengkel burung-burung di bawah saat Saphira muncul. Eragon melihat sekawanan kambing berbulu lebat yang berlompatan dari tonjolan-tonjolan batu di dinding karang.
Eragon dihajar angin kencang yang bergulung dari sayapsayap Saphira, dan setiap kali Saphira menggerakkan leher, Eragon tersentak dari satu sisi ke sisi yang lain. Saphira seperti tidak mengenal lelah. Eragon merasa takut Saphira akan terbang sepanjang malam. Akhirnya, seiring turunnya kegelapan, Saphira menukik landai.
Eragon memandang ke depannya dan melihat mereka menuju lapangan kecil di lembah. Saphira terbang berputar-putar turun, dengan santai melayang di pucuk-pucukpepohonan. Ia menahan diri sewaktu tanah mendekat, mengisi sayap-sayapnya dengan udara, dan mendarat pada kaki belakangnya. Otot-ototnya yang kuat bergelombang sewaktu menyerap benturannya. Ia menjatuhkan diri pada keempat kakinya dan maju selangkah untuk mempertahankan keseimbangan. Eragon merosot turun tanpa menunggu Saphira melipat sayapnya.
Saat kakinya menjejak tanah, lutut Eragon terlipat, dan pipinya menghantam salju. Ia tersentak saat sakit yang luar bias" merobek-robek kakinya, menyebabkan air matanya menitik. Otot-ototnya, kram karena mencengkeram begitu lama, gemetarhebat. Ia berguling telentang, menggigil, dan meregangkan tangan dan kakinya sebisa mungkin. Lalu ia memaksa diri memandang ke bawah. Dua bercak
besar menggelapkan celana wol di bagian pahadalamnya. Ia menyentuh kainnya. Basah.
Dengan terkejut, ia menanggalkan celananya dan meringis.
Bagian dalam kakinya memar dan berlumuran darah. Kulitnya hilang, tergosok sisik-sisik Saphira yang keras. Dengan hati-hati ia menyentuh lukanya dan mengernyit. Hawa dingin menggigit dirinya saat ia mengenakan celananya kembali, dan ia menjerit sewaktu kain celananya menggesekluka-lukanya. Ia mencoba berdiri, tapi kaki-kakinya tidak mampu mendukungnya.
Malam yang semakin gelap menghalangi pemandangan di sekitarnya pegunungan yang remang-remang tidak dikenalinya. Aku ada di Spine, entah di sebelah mana, di tengah musim dingin, bersama naga sinting, tidak mampu berjalan atau menemukan tempat berlindung. Malam turun. Aku harus kembali ke tanah pertanian besok. Dan satu satunya cara untuk Itu hanyalah dengan terbang, yang tidak bisa lagikulakukan. Ia menghela napas dalam. Oh, seandainya Saphira bisa mengembuskan napasapi. Ia berpaling dan melihat Saphira di sampingnya, berjongkok rendah ke tanah. Eragon menyentuh sisi tubuhnya dan mendapati makhluk itu gemetaran. Penghalang dalam benak Saphira telah hilang. Tanpa penghalang itu, ketakutan Saphira membakar Eragon. Eragon menekannya dan perlahan-lahan menenangkan Saphira dengan gambaran-gambaran yang lembut. Kenapa orang-orang asing itu membuatmu ketakutan"
Para pembunuh, desis Saphira.
Garrow dalam bahaya dan kau menculikku dalam perjalanan yang konyol ini! Apakah kau tidak mampu melindungi diriku" Saphira menggeram dalam dan mengertakkan rahang. Ah, tapi kalau menurutmu kau mampu, kenapa melarikan diri"
Maut itu racun. Eragon bertumpu ke salah satu siku dan menekan perasaan frustasinya. Saphira, lihat di mana kita berada! Matahari sudah terbenam, dan penerbanganmu menguliti kakiku semudah aku menguliti ikan. Apakah itu yang kau inginkan"
Tidak. Kalau begitu kenapa kau melakukannya" tanya Eragon. Melalui hubungannya dengan Saphira, ia merasakan penyesalan makhluk itu atas penderitaannya, tapi tidak atas tindakannya. Saphira membuang muka dan menolak menjawab. Suhu yang sedingin es membuat kaki Eragon mati rasa sekalipun sakitnya berkurang, ia mengetahui kondisinya tidakbagus. Ia mengubah taktik. Aku akan membeku kecuali kau membuatkan tempat berlindung atau lubang untukku agar aku bisa tetap hangat Bahkan setumpuk daun dan cabang pinus sudah mencukupi.
Saphira tampak lega karena Eragon berhenti menginterogasi dirinya. Tidak perlu. Aku akan meringkuk di sekitarmu dan menutupimu dengan sayap-sayapku-api, di dalam diriku akan mengusir hawa dingin.
Eragon membiarkan kepalanya kembali tergeletak ke tanah.
Baik, tapi tolong singkirkan saljunya. Dengan begitu akan
terasa lebih nyaman. Sebagai jawaban, Saphira menyingkirkan salju dengan menggunakan ekornya, membersihkannya dengan satu ayunan yangkuat. Ia menyapu tempat itu sekali lagi untuk menyingkirkan beberapa inci salju keras yang tersisa. Eragon memandang sebal ke tanah yang terbuka itu. Aku tidak bisa berjalan ke sana. Kau harus membantuku. Kepala Saphira, lebih besar daripada dada Eragon, berayun ke arahnya dan diletakkannya di sampingnya. Eragon menatap mata Saphira yang besar dan berwarna biru safir, melilitkan tangan ke salah satu duri gading Saphira. Saphira mengangkat kepalanya dan perlahan-lahan menyeret Eragon ke tanah terbuka.
Pelan pelan, pelan pelan. Bintang bagai menari-nari di mata
Eragon saat ia bergeser melewati batu, tapi ia berhasil bertahan. Sesudah Eragon melepaskan diri, Saphira menyamping, menampilkan perutnya yang hangat. Eragon meringkuk ke sisik-sisik halus di sisi bawah tubuh Saphira. Sayap kanan makhluk itu membentang di atas Eragon dan menyelimutinya dengan kegelapan, membentuk tenda hidup. Nyaris seketika udara tidak lagi terasa dingin.
Eragon memasukkan lengan ke balik mantelnya dan mengikatkan dengan mantel yang kosong di sekeliling lehernya. Untuk pertama kalinya ia menyadari lapar yang menyerang perutnya. Tapi hal itu tidak mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran utamanya. Bisakah ia kembali ke tanah pertanian sebelum orang-orang asing itu tiba di sana" Da
n kalau tidak, apa yang akan terjadi" Bahkan kalau aku bisa memaksa diri untuk menunggang Saphira sekali lagi, setidaknya kami baru tiba di sana menjelang tengah hari Orang-orang asing Itu mungkin sudah tiba di sana jauh sebelumitu. Ia memejamkan
mata dan merasakan setetes air mata bergulir menuruni wajahnya. Apa yang telah kulakukan"
KEHANCURAN ORANG YANG TIDAK BERSALAH
Sewaktu Eragon membuka mata di pagi hari, ia mengira langit telah runtuh. Sesuatu berwarna biru membentang tanpa putus di atas kepalanya dan miring ke tanah. Masih setengah mengantuk, ia mengulurkan tangan dengan hati-hati dan merasa jemarinya menyentuh membran tipis. Ia membutuhkan waktu semenit untuk menyadari apa yangdilihatnya. Ia memiringkan kepala dan memelototi daging bersisik yang disandari kepalanya. Perlahan-lahan ia menjulurkan kaki dari posisi meringkuk, lukanya yang mengering pecah kembali. Sakitnya sudah mereda dari kemarin, tapi ia agak takut berjalan. Kelaparan yang hebat mengingatkan dirinya bahwa sudah beberapa kali ia tidakmakan. Ia mengerahkan energi untuk bergerak dan memukul-mukul sisi tubuh Saphira dengan lemah. "Hei! Bangun!" teriaknya.
Saphira terjaga dan mengangkat sayap sehingga cahaya matahari membanjir masuk. Eragon memicingkan mata saat salju sejenak membutakan dirinya. Di sampingnya Saphira menggeliat seperti kucing dan menguap, memamerkan sederetan gigi yang Putih. Sewaktu pandangan Eragon telah beradaptasi, ia mengamati tempat mereka berada. Pegunungan yang menjulang dan tidak dikenalinya mengepung mereka, menebarkan bayangbayang yang gelap di lapangan. Di satu sisi, ia melihat jalan tapak yang membelah salju dan masuk ke hutan, dari sana bisa mendengar gelegak teredam air sungai. Sambil mengerang, ia berdiri, bergoyang-goyang, lalu dengan ku terhuyung-huyung ke sebatangpohon. Ia meraih salah satu cabangnya dan menyandarkan tubuh ke sana. Cabang itu bertahan, lalu patah diiringi derakankeras. Ia mencabuti ranting-rantingnya, menyelipkan salah satu ujung cabang ke ketiaknya, dan menekankan ujung yang lain dengan mantap ke tanah. Dengan bantuan kruk buatan sendiri itu, ia tertatih-tatih ke sungai yang tertutup es. Ia memecahkan lapisan es dan meraup air yang jernih dan pahit. Setelah puas, ia kembali ke lapangan. Saat muncul dari balik pepohonan, ia akhirnya mengenali pegunungan dan tata letak tanahnya.
Di sinilah, diiringi suara yang memekakkan telinga, telur Saphira muncul pertama kalinya. Ia merosot ke batang pohon yang kasar. Tidak mungkin keliru, karena sekarang ia melihat pepohonan kelabu yang dedaunan jarumnya gundul akibat ledakan. Bagaimana Saphira bisa mengetahui tempat ini" Ia masih berwujud telur waktu itu. Kenanganku pasti memberinya cukup informasl untukmenemukannya. Ia menggeleng dalam keheranan bisu.
Saphira menunggu dirinya dengan sabar. Kau akan membawaku pulang" tanya Eragon pada makhluk itu. Saphira memiringkan kepala. Aku tahu kau tidak menginginkannya, tapi kau harus melakukannya. Kita berdua memiliki kewajiban terhadap Garrow. Ia sudah merawatku dan, melalui diriku, kau. Kau mau mengabaikan utang budi itu" Apa yang akan dikatakan orang tentang kita bertahun-tahun yang akan datang kalau kita tidak kembali kalau kita bersembunyi seperti pengecut sementara pamanku terancam bahaya" Aku bisa mendengarnya sekarang, kisah Penunggang dan naganya yang penakut! Kalau akan ada pertempuran, sebaiknya kita menghadapinya dan bukannya menghindarinya. Kau naga! Bahkan Shade melarikan diri dari hadapanmu! Tapi sekarang kau bersembunyi di pegunungan seperti kelinci yang ketakutan.
Eragon berniat membangkitkan kemarahan Saphira, dan ia berhasil. Geraman pelan terdengar dari tenggorokan Saphira saat kepalanya maju hanya beberapa inci dari wajah Eragon. Saphira memamerkan taring-taringnya dan memelototi dirinya asap mengepul dari cuping hidungnya. Eragon berharap ia tidak keterlaluan. Pikiran Saphira menjangkau dirinya, penuh kemarahan. Darah akan bertemu darah. Aku akan bertempur Wyrd kita-takdir kita mengikat kita, tapi jangan menguji diriku. Akan kuantar kau karena utang budi, tapi kita terbang menuju kebodohan.
"Keb odohan atau bukan," kata Eragon ke udara, "tidak ada pilihan lain-kita harus pergi." Ia mencabik kemejanya menjadi dua dan menjejalkan setiap potong di masing-masing kaki celananya. Dengan hati-hati, ia naik ke Saphira dan berpegangan erat-erat pada lehernya. Kali ini, katanya pada Saphira, terbanglah lebih rendah dan lebih cepat. Waktu sangat penting jangan lepaskan peganganmu, Saphira memperingatkan, lalu membubung ke angkasa. Mereka terbang ke atas hutan dan dalam waktu singkat terbang horisontal, nyaris mengenai pucuk-pucuk pepohonan. Perut Eragon bergolak, ia bersyukur perutnya kosong.
Lebih cepat lagi, lebih cepat lagi, desaknya. Saphira tidak mengatakan apa-apa, tapi kepakan sayapnya bertambah cepat. Eragon memejamkan mata rapat-rapat dan membungkukkan bahu. Tadinya ia berharap bantalan tambahan dari kemejanya akan melindungi dirinya, tapi setiap gerakan menimbulkan sakit yang menyengat kakinya. Tidak lama kemudian darah yang panas mengalir menuruni tungkainya. Keprihatinan terpancar dari Saphira. Ia sekarang terbang lebih cepat lagi, sayap-sayapnya bekerja keras. Tanah melesat lewat, seakan ditarik dari bawah mereka. Eragon membayangkan bahwa bagi orang di tanah, mereka hanyalah bayangan yang samar.
Menjelang sore, Lembah Palancar telah membentang di depan mereka. Awan-awan menghalangi pandangan Eragon ke selatan. Carvahall berada di utara. Saphira melayang turun sementara Eragon mencari-cari tanah pertaniannya. Sewaktu melihatnya, ketakutan menyentakkan dirinya. Asap hitam diiringi api oranye yang menari-nari di kakinya membubung dari tanah pertanian.
Saphira! Ia menunjuk. Turunkan aku ke sana. Sekarang!
Saphira memantapkan sayap-sayapnya dan menukik tajam, meluncur ke tanah dengan kecepatan yang menakutkan. Lalu ia membelokkan tukikannya sedikit hingga mereka melesat ke arah hutan. Eragon berteriak mengatasi udara yang bagai menjerit-jerit, "Mendarat di ladang!" Ia berpegangan lebih erat sementara mereka meluncur. Saphira menunggu hingga mereka hanya beberapa ratus kaki dari tanah sebelum mengarahkan sayap-sayapnya ke ke bawah dengan beberapa kepakan yang kuat. Ia mendarat dengan keras, menyebabkan Eragon kehilangan pegangan. Eragon terempas ke tanah, lalu terhuyung-huyung bangkit, terengah-engah kehabisan napas.
Rumahnya hancur berantakan. Balok-balok dan papan-papan yang tadinya merupakan dinding dan atap rumah bertebaran menutupi areal yang cukup luas. Kayunya luluh lantak, seakan dihancurkan martil raksasa. Genteng-genteng yang hangus tergeletak di mana-mana. Tungkunya hanya tinggal beberapa pelat logam yang terpuntir. Salju berlubang-lubang karena kepingan-kepingan bata dari cerobong. Asap tebal berminyak mengepul dari lumbung, yang terbakar hebat. Hewan-hewan pertanian telah lenyap, entah dibunuh atau lari ketakutan.
"Paman!" Eragon berlari ke reruntuhan itu, mencari Garrow di ruangan-ruangan yang telah hancur. Garrow tidak terlihat di mana pun. "Paman!" seru Eragon sekali lagi. Saphira berjalan mengelilingi rumah dan berhenti di sampingnya.
Kesengsaraan lahir di sini, katanya.
"Ini tidak akan terjadi kalau kau tidak melarikan diri bersamaku!"
Kau tidak akan hidup kalau kita tinggal.
"Lihat ini!" jerit Eragon. "Kita mestinya bisa memperingatkan Garrow! Karena salahmu ia tidak menyelamatkan diri!" Ia menghantamkan tinjunya ke sebatang tiang, merobek kulit di buku-buku jarinya. Darah menetes turun dari jemarinya saat ia bergegas keluarrumah. Ia terhuyung-huyung ke jalan setapak yang menuju jalan dan membungkuk untuk memeriksa saljunya. Ada sejumlah jejak di sana, tapi pandangannya kabur dan ia nyaris tidak bisa melihat. Apakah aku akan buta" pikirnya penasaran. Dengan tangan gemetar, ia menyentuh pipinya dan mendapati pipinya basah.
Bayangan menutupi dirinya saat Saphira menjulang di atas kepalanya, melindungi dirinya dengan sayap. Tenanglah, mungkin tidak semuanya hilang. Eragon menengadah memandangnya, mencari-cari harapan. Periksa jalan setapaknya mataku hanya melihat dua pasang jejak Garrow tidak mungkin dibawa pergi.
Eragon memusatkan perhatian pada salju yang terinjak-injak. Jejak samar dua pasang sep
atu bot kulit menuju ke rumah. Di atasnya terdapat jejak dua pasang sepatu bot yang sama meninggalkan rumah. Dan siapa pun yang menimbulkan jejak kepergian itu membawa beban yang sama seperti sewaktu datang. Kau benar, Garrow pasti masih berada di sini! Ia melompat bangkit dan bergegas kembali ke rumah.
Aku akan mencari di sekitar bangunan dan di hutan, kata Saphira.
Eragon bergegas masuk ke sisa-sisa dapur dan dengan panik mulai menggali tumpukan puing. Potongan-potongan kayu yang dalam keadaan normal tidak bisa diangkatnya sekarang seperti bergeser dengan sendirinya. Lemari pendek, sebagian besar masih utuh, menghalanginya sejenak, lalu ia mengerahkan tenaga dan melemparkan lemari itu. Saat ia menarik sekeping papan, terdengar suara dari belakangnya. Ia berputar balik, siap menghadapi serangan.
Sebuah tangan terjulur dari bagian atap yang runtuh. Tangan itu bergerak lemah, dan ia menyambarnya sambil berseru. "Paman, kau bisa mendengarku"" Tidak ada jawaban. Eragon menyingkirkan selembar papan, tidak memedulikan serpihan kayu yang menusuktangannya. Ia bergegas menyingkirkan puing-puing hingga melihat lengan dan bahu, tapi terhalang balok yang berat. Ia mendorongnya dengan bahu, mengerahkan segenap tenaga, tapi balok itu bertahan. "Saphira! Aku membutuhkanmu!"
Saphira datang dengan cepat. Kayu berderak terinjak kakinya saat ia merayap melewati dinding yang hancur. Tanpa mengatakan apa pun ia melewati Eragon dan menempelkan sisi tubuhnya ke balok itu. Cakar-cakarnya menancap pada apa yang tersisa dari lantai; otot-ototnya bekerja keras. Diiringi deritan, balok itu terangkat, dan Eragon bergegas menerobos ke bawahnya. Garrow berbaring menelungkup, pakaiannya sebagian besar robek. Eragon menariknya keluar dari reruntuhan. Begitu mereka bebas, Saphira melepaskan baloknya, yang jatuh ke lantai dengan suara keras.
Eragon menyeret Garrow keluar dari rumah yang hancur dan membaringkannya dengan hati-hati di tanah. Dengan perasaan khawatir, perlahan-lahan ia menyentuh pamannya. Kulit paman-nya pucat, mati, dan kering, seakan demam membakar habis keringatnya. Bibir pamannya pecah, dan ada goresan panjang di tulang pipinya, tapi itu bukan yang terburuk. Luka-luka bakar yang dalam dan kasar menutupi nyaris seluruh tubuhnya. Luka-luka itu seputih kapur dan mengeluarkan cairan jernih. Bau yang sangat menusuk, memuakkan, menebar di sekitar tubuh pamannya-bau buah busuk. Napas pamannya pendek tersentak-sentak, setiap tarikan kedengaran seperti genta kematian.
Para pembunuh, desis Saphira, jangan berkata begitu. Ia masih bisa diselamatkan! Kita harus membawanya ke Gertrude. Tapi aku tidak bisa menggendongnya ke Carvahall.
Saphira menyampaikan gambar Garrow yang menggantung di bawahnya sementara ia terbang.
Kau bisa mengangkat kami berdua"
Harus bisa. Eragon menggali puing-puing hingga menemukan sebilah papan dan tali kulit. Ia meminta Saphira melubangi setiap sudut papan dengan cakarnya, lalu melilitkan tali kulit melalui setiap lubang dan mengikatkannya ke kaki depan Saphira. Sesudah memastikan simpulnya erat, ia menggulingkan Garrow ke papan dan mengikatnya. Saat berbuat begitu, sepotong kain hitam jatuh dari tangan pamannya. Kain tersebut cocok dengan pakaian orang-orang asing itu. Dengan marah ia menjejalkannya ke dalam saku, naik ke Saphira, dan memejamkan mata sementara tubuhnya mulai terasa sakit. Sekarang!


Eragon Karya Christhoper Paolini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saphira melompat, kaki belakangnya menghunjam tanah. Sayapnya mencakar udara saat ia perlahan-lahan membubung. Urat-urat tendonnya menegang kencang saat ia berjuang melawan gravitasi. Untuk beberapa detik yang terasa sangat lama, tidak terjadi apa pun, tapi lalu Saphira menerjang maju sekuat tenaga dan mereka membubung lebih tinggi. Begitu mereka berada di atas hutan, Eragon memberitahu, Ikuti jalannya.
Dengan demikian kau memiliki cukup ruang kalau harus mendarat.
Aku akan kelihatan. Sekarang itu tidak penting! Saphira tidak mendebat lagi sementara ia berbelok ke jalan dan menuju Carvahall. Garrow terayun-ayun liar di bawah mereka, hanya seutas tali kulit tipis yang mencegahnya jatuh.
Beban tambahan itu memperlambat Saphira.
Dalam waktu singkat kepalanya tertunduk, dan busa keluar dari mulutnya. Ia berjuang keras untuk tetap terbang, tapi mereka masih hampir tiga mil dari Carvahall sewaktu ia mengunci sayap-sayapnya dan meluncur ke tanah.
Kaki belakangnya mendarat diiringi hamburan salju. Eragon jatuh dari atasnya, mendarat dengan keras di sisi tubuhnya
agar tidak menyakiti kakinya. Ia berjuang untuk bangkit dan berusaha melepaskan tali kulit dari kaki-kaki Saphira. Napasnya yang terengah-engah memenuhi udara. Cari tempat yang aman untuk beristirahat, katanya. Aku tidak tahu berapa lama aku akan pergi, jadi kau terpaksa harus menjaga dirimu sendiri untuk sementara waktu.
Akan kutunggu, kata Saphira.
Eragon mengertakkan gigi dan mulai menyeret Garrow menyusuri jalan. Beberapa langkah pertama menyebabkan ia sangat kesakitan. "Aku tidak bisa melakukannya!" lolongnya ke langit, lalu maju lagi beberapa langkah. Mulutnya menyeringai. Ia menatap tanah di sela-sela kakinya saat memaksa dirinya untuk terus berjalan denganmantap. Ia berjuang mengatasi tubuhnya yang tidak mau menurut Eragon tidak mau menyerah dalam perjuangan ini. Menit demi menit berlalu dengan sangat lambat. Setiap yard yang berhasil dilewatinya terasa berlipat-lipat lebih jauh. Dengan putus asa ia bertanya-tanya apakah Carvahall masih ada atau apakah orang-orang asing itu juga sudah membakarnya hingga rata dengan tanah. Sesudah beberapa lama, dari balik sakit yang mengaburkan pandangannya, ia mendengar teriakan-teriakan, dan menengadah.
Brom berlari-lari mendekatinya, matanya membelalak, rambutnya berantakan, dan salah satu sisi kepalanya tertutup darahkering. Ia melambai-lambaikan tangan dengan liar sebelum membuang tongkat dan menyambar bahu Eragon, berbicara dengan suara keras. Eragon mengerjapkan mata tanpa memahami. Tiba-tiba, tanah melesat menyambut dirinya. Ia merasakan darah, lalu pingsan.
MENANTI KEMATIAN Berbagai mimpi mengaduk-aduk benak Eragon, berkembang dan hidup berdasarkan hukum-hukum mereka sendiri. Ia menyaksikan sekelompok orang menunggang kuda kuda yang anggun mendekati sungai. Banyak yang berambut perak dan menyandang tombak panjang. Kapal yang aneh menunggu mereka, kemilau ditimpa cahaya bulan yang terang benderang. Sosok-sosok itu perlahan lahan naik ke kapal; dua di antaranya, lebih jangkung daripada yang lain, berjalan bergandengan tangan. Wajah mereka tersembunyi kerudung, tapi ia bisa meliha salah satunya wanita. Mereka berdiri di geladak kapal dan memandang ke pantai. Seorang pria berdiri sendirian di pantai berkerikil, satu-satunya yang tidak naik ke kapal. Ia menengadah dan menjerit panjang, kesakitan. Saat jeritannya memudar, kapal berlayar di sungai, tanpa angin atau dayung, meluncur ke tanah yang rata dan kosong. Visi itu memudar, tapi tepat sebelum menghilang, Eragon sekilas melihat dua naga di langit Eragon pertama-tama menyadari deritannya bolak-balik, bolak-balik. Suara yang terus-menerus itu menyebabkan ia membuka mata dan menatap sisi bawah atap jerami. Sehelai selimut kasar membungkus dirinya, menutupi ketelanjangannya. Ada yang memerban kakinya dan mengikatkan sehelai kain bersih di buku-buku jari tangannya.
Ia berada dalam pondok berkamar tunggal. Tampak alu dan lumpang di meja, bersama beberapa mangkuk dan tanaman.
Berderet-deret tanaman obat menjuntai di dinding dan memenuhi udara dengan aroma tanah yang kuat. Api menggeliat-geliat di dalam perapian, di depannya duduk wanita gemuk pendek di kursi goyang rotan, dukun kota, Gertrude. Kepalanya terkulai, matanya terpejam. Sepasang jarum rajut dan segulung wol berada di pangkuannya.
Walaupun Eragon merasa kehabisan semangat, ia berhasil memaksa diri untuk duduk. Tindakan yang membantu menjernihkan pikirannya. Ia mengingat-ingat kejadian selama dua hari terakhir. Pikiran pertamanya mengenai Garrow, dan yang kedua mengenai Saphira. Kuharap ia berada di tempat yang aman. Ia mencoba menghubungi Saphira tapi tidak bisa. Di mana pun Saphira berada, tempat itu cukup jauh dari Carvahall.
Setidaknya Brom berhasil membawaku ke Carvahall. Aku ingin tahu apa yang terjadi padanya. Wajahnya berdarah-darah
begitu. Gertrude terjaga dan membuka matanya yang kemilau. "Oh," katanya. "Kau sudah bangun. Bagus!" Suaranya dalam dan hangat. "Bagaimana perasaanmu""
"Cukup baik. Di mana Garrow""
Gertrude menyeret kursinya lebih dekat ke ranjang. "Di rumah Horst. Tidak cukup tempat di sini untuk menampung kalian berdua. Dan biar kuberitahu, aku jadi capek, karena terpaksa mondar-mandir, memeriksa apakah kalian berdua baik-baik saja."
Eragon menelan kekhawatirannya dan bertanya, "Bagaimana keadaannya""
Gertrude tidak seketika menjawab, ia malah memandangi kedua tangannya. "Tidak bagus. Ia terserang demam yang tidak juga turun, dan luka-lukanya tidak sembuh."
"Aku harus menemuinya." Eragon mencoba bangkit.
"Kau harus makan dulu," kata Gertrude tegas, memaksanya kembali berbaring. "Aku tidak menghabiskan waktu dengan duduk di sampingmu begini agar kau bisa bangkit dan melukai dirimu sendiri. Separo kulit di kakimu tercabik, dan demammu baru mereda semalam. Jangan memikirkan Garrow. Ia akan baik-baiksaja. Ia tangguh." Gertrude menggantung ketel di atas api, lalu mulai memotong-motong tanaman parsnip untuk sup.
"Sudah berapa lama aku di sini"" "Dua hari penuh."
Dua hari! Itu berarti ia terakhir kali makan empat pagi yang lalu! Memikirkannya saja menyebabkan Eragon merasa lemah. Saphira sendirian selama ini; kuharap ia baik-baik saja.
"Seluruh kota ingin mengetahui apa yang terjadi. Mereka mengirim orang ke tanah pertanianmu dan mendapati tempat itu hancur." Eragon mengangguk, ia sudah menduganya. "Lumbungmu terbakar habis.... Apakah itu yang menyebabkan Garrow terluka""
"Aku... aku tidak tahu," kata Eragon. "Aku tidak ada di sana sewaktu peristiwanya terjadi."
"Well, tidak penting. Aku yakin semuanya akan terungkap." Gertrude kembali merajut sementara supnya dimasak. "Bekas luka di telapak tanganmu hebat juga."
Secara refleks Eragon mengepalkan tangan. "Ya."
"Bagaimana kau bisa mendapatkannya""
Beberapa, jawaban yang mungkin melintas dalam kepala Eragon. Ia memilih yang paling sederhana. "Sepanjang yang bisa kuingat, bekas luka itu sudah ada. Aku tidak pernah menanyakan pada Garrow bagaimana aku bisa terluka seperti itu."
"Mmm." Kebisuan tidak terpecahkan hingga sup mendidih. Gertrude menuangkan semangkuk dan memberikannya kepada Eragon bersama sebuah sendok. Eragon menerimanya dengan berterima kasih dan menghirupnya dengan hati-hati. Sup itu lezat.
Sesudah makan, ia bertanya, "Boleh aku mengunjungi Garrow sekarang""
Gertrude mendesah. "Kau keras kepala, ya" Well, kalau kau benar-benar menginginkannya, aku tidak akan melarangmu. Kenakan pakaianmu dan kita berangkat."
Gertrude berbalik sementara Eragon mengenakan celana panjangnya dengan susah payah, mengernyit saat kainnya menggesek perban, dan mengenakan kemeja. Gertrude membantunya berdiri. Kaki Eragon terasa lemah, tapi tidak menyakitinya seperti sebelumnya.
"Cobalah berjalan beberapa langkah," kata Gertrude, lalu berkata datar, "setidaknya kau tidak perlu merangkak ke sana.
Di luar, angin kencang meniup asap dari bangunan-bangunan di dekat situ ke wajah mereka. Awan badai menyembunyikan Spine dan menyelimuti lembah dengan tirai salju yang bergerak mendekati desa, mengaburkan kaki bukit. Eragon menyandar dengan berat pada Gertrude saat mereka berjalan melintasi Carvahall.
Horst membangun rumah dua lantai di bukit agar bisa menikmati pemandangan pegunungan. Ia mengerahkan seluruh keahliannya dalam membangun rumah itu. Atap gentengnya menaungi balkon berpagar yang menjulur dari jendela panjang di lantai dua. Setiap mulut saluran airnya berbentuk gargoyle yang menyeringai, dan setiap jendela serta pintunya dibingkai ukiran ular, rusa jantan, gagak, dan sulur yang menjalin menjadi satu.
Pintunya dibuka Elain, istri Horst, wanita kecil dan ramping dengan raut muka halus dan rambut pirang selembut sutra yang diikat ekor kuda. Pakaiannya sederhana dan rapi, dan gerakannya anggun. "Silakan masuk," katanya lembut.
Mereka melangkah masuk ke ruangan yang terang benderang. Tangga dengan pagar mengilap meliuk ke lantai bawah. Dindingnya berwarna madu. Elain melontarkan senyum sedih kepada Eragon,
tapi berbicara kepada Gertrude. "Aku baru saja hendak memanggilmu. Kondisinya tidak baik. Sebaiknya kau periksa dirinya sekarang juga."
"Elain, kau harus membantu Eragon ke atas," kata Gertrude, lalu bergegas menaiki dua anak tangga sekaligus.
"Tidak apa-apa, aku bisa berjalan sendiri."
"Kau yakin"" tanya Elain. Eragon mengangguk, tapi Elain tampak ragu-ragu. " Well... begitu kau selesai mengunjunginya, temui aku di dapur. Aku punya kue, baru saja kupanggang, yang bisa kau nikmati."
Begitu Elain berlalu, Eragon kembali merosot ke dinding, menikmati dukungan yang diberikan dinding. Lalu ia mulai mendaki tangga, satu langkah demi satu langkah yang menyakitkan. Sewaktu tiba di puncak, ia memandang ke lorong panjang yang dipenuhi pintu. Pintu terakhir agak terbuka. Setelah menghelanapas, ia masuk ke sana.
Katrina berdiri di samping perapian, merebuskain. Ia menengadah, rnenggumamkan keprihatinannya, lalu kembali bekerla. Gertrude berdiri di sampingnya, menggerus tanaman obat "tuk salep. Ember di dekat kakinya berisi salju yang mencair menjadi air es.
Garrow berbaring di ranjang yang penuh selimut. Keringat membasahi alisnya, dan bolamatanya bergerak-gerak liar di balik kelopaknya. Kulit wajahnya menyusut seperti kulitmayat. Ia tidak bergerak, hanya tampak getaran kecil dari napasnya yang pendek-pendek. Eragon menyentuh dahi pamannya dengan perasaan tidak nyata. Tangannya terasa seperti terbakar. Dengan takut ia mengangkat tepi selimut dan melihat sekian banyak luka di tubuh Garrow telah ditutup lembaran-lembaran kain. Di tempat-tempat perbannya tengah diganti, luka bakarnya terbuka. Luka-luka itu belum mulai sembuh. Eragon memandang Gertrude dengan tatapan penuh harap. "Ada yang bisa kau lakukan untuk mengatasi ini""
Gertrude mencelupkan sehelai kain ke ember air es, lalu melampirkan kain yang dingin itu di kepala Garrow. "Aku sudah mencoba segalanya: salep, cairan, tapi tidak ada yang berhasil. Kalau luka-lukanya menutup, ia memiliki kesempatan yang lebih baik. Sekalipun begitu, mungkin kondisinya akanmembaik. Ia keras kepala dan kuat."
Eragon pindah ke sudut dan merosot ke lantai. Seharusnya bukan begini kejadiannya! Kesunyian menelanpikirannya. Ia menatap ranjang dengan pandangan kosong. Sesudah beberapa waktu ia menyadari Katrina berlutut di sampingnya. Katrina memeluknya dengan satu tangan. Ketika Eragon tidak bereaksi, ia berlalu.
Beberapa waktu kemudian pintu terbuka dan Horst melangkah masuk. Ia bercakap-cakap pelan dengan Gertrude, lalu mendekati Eragon. "Ayo. Kau harus keluar dari sini." Sebelum Eragon sempat memprotes, Horst telah menariknya berdiri dan keluar melalui pintu.
"Aku ingin tinggal," tukas Eragon.
"Kau membutuhkan istirahat dan udara segar. Jangan khawatir, kau bisa kembali sebentar lagi," kata Horst menghiburnya.
Sambil menggerutu Eragon membiarkan pandai besi itu membantunya menuruni tangga ke dapur. Bau yang sedap dari setengah lusin hidangan-kaya akan rempah dan tanaman obat memenuhi udara. Albriech dan Baldor ada di sana, bercakap-cakap bersama ibu mereka yang tengah membuat roti. Kedua bersaudara itu terdiam sewaktu melihat Eragon, tapi Eragon telah mendengar cukup banyak untuk mengetahui mereka sedang mendiskusikan Garrow.
"Ini, duduklah," kata Horst, sambil menyodorkan kursi.
Eragon mengempaskan tubuh ke sana dengan penuh rasa syukur, "Terima kasih." Kedua tangannya agak gemetar, jadi ia menangkupkannya di pangkuan. Piring penuh makanan diletakkan di hadapannya.
"Kau tidak perlu memakannya," kata Elain, "tapi makanan itu ada di sana kalau kau menginginkannya." Ia kembali memasak sementara Eragon mengambil garpu. Ia hanya mampu menelan beberapa suap.
"Bagaimana perasaanmu"" tanya Horst.
"Sangat buruk."
Pandai besi itu menunggu sejenak. "Aku tahu sekarang bukan saat yang terbaik, tapi kami perlu mengetahui... apa yang terjadi""
"Aku tidak terlalu ingat."
"Eragon," kata Horst, sambil mencondongkan tubuh ke depan. "Aku salah seorang yang pergi ke tanah pertanianmu. Rumahmu bukan hanya berantakan-ada yang mencabik-cabik rumahmu hingga berkeping-keping. Di sekelilingnya ada jejak makhluk raksasa yang
belum pernah kulihat atau kudengar. Yang lain juga melihatnya. Nah, kalau ada Shade atau monster yang berkeliaran di sini, kami harus mengetahuinya. Kau satu-satunya yang bisa memberitahu kami."
Eragon mengetahui ia harus berbohong. "Sewaktu aku pulang dari Carvahall...," ia menghitung waktunya, "empat hari yang lalu, ada... orang-orang asing di kota yang menanyakan batu seperti yang kutemukan." Ia memberi isyarat ke arah Horst. "Kau yang memberitahuku tentang mereka, dan karena itu, aku bergegas pulang." Semua orang mengawasidirinya. Ia menjilat bibir. "Tidak... tidak terjadi apa-apa malam itu. Keesokan paginya kuselesaikan tugasku dan pergi berjalan-jalan di hutan. Tidak lama sesudah itu aku mendengar ledakan dan melihat asap di atas pepohonan. Aku bergegas kembali secepat mungkin, tapi siapa pun yang melakukannya sudah pergi. Kugali reruntuhannya dan... menemukan Garrow."
"Jadi lalu kau meletakkan ia di papan dan menyeretnya kemari"" tanya Albriech.
"Ya," kata Eragon, "tapi sebelum aku pergi, kuperiksa jalan
setapak ke jalan. Ada dua pasang jejak di sana, keduanya jejak manusia." Ia memasukkan tangan ke saku dan mengeluarkan potongan kain hitam. "Ini dicengkeram Garrow. Kupikir ini cocok dengan pakaian yang dikenakan orang-orang asing itu." Ia meletakkan kain tersebut di meja.
"Memang," kata Horst. Ia tampak penuh pikiran dan marah. "Bagaimana dengan kakimu" Bagaimana kakimu bisa terluka""
"Aku tidak tahu pasti," kata Eragon, sambil menggeleng, "Kupikir itu terjadi sewaktu aku mengeluarkan Garrow, tapi aku tidak tahu. Baru sesudah darahnya menetes-netes di kakiku aku menyadarinya."
"Mengerikan!" seru Elain.
"Kita harus mengejar orang-orang itu," kata Albriech panas. "Mereka tidak boleh lolos begitu saja! Dengan kuda-kuda kita bisa mengejar mereka besok pagi dan membawa mereka kembali kemari."
"Singkirkan kebodohan itu dari kepalamu," kata Horst. "Mereka akan bisa menangkapmu seperti bayi dan melemparkan dirimu ke pohon. Ingat apa yang terjadi pada rumahmu" Kita tidak ingin menghalangi orang-orang seperti itu. Lagi pula, mereka sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan sekarang." Ia memandang Eragon. "Mereka mengambil batunya, bukan""
"Batu itu sudah tidak ada di rumah."
"Kalau begitu tidak ada alasan bagi mereka untuk kembali kemari sesudah mendapatkannya." Ia menatap Eragon dengan tajam. "Kau tidak menyinggung mengenai jejak-jejak aneh itu sama sekali. Kau tahu dari mana asalnya""
Eragon menggeleng. "Aku tidak melihatnya."
Baldor tiba-tiba berbicara. "Aku tidak suka ini. Terlalu banyak yang berbau sihir. Siapa orang-orang itu" Apakah mereka Shade" Kenapa mereka menginginkan batu itu, dan bagaimana mereka bisa menghancurkan rumah kalau tidak dengan kuasa kegelapan" Kau mungkin benar, Ayah, mungkin mereka hanya menginginkan batu itu, tapi kupikir kita akan bertemu lagi dengan mereka."
Kesunyian mengikuti kata-katanya.
Ada yang terlewatkan, sekalipun Eragon tidak yakin apa itu. Lalu ia menyadarinya. Dengan hati gundah, ia menyuarakan kecurigaannya. "Roran tidak tahu, bukan"" Bagaimana aku bisa melupakan Roran"
Horst menggeleng. "Ia dan Dempton berangkat tidak lama sesudah kepulanganmu. Kalau tidak menemui kesulitan di jalan, mereka sudah berada di Therinsford dua hari yang lalu. Kami akan mengirim pesan padanya, tapi kemarin dan kemarin cuaca terlalu dingin."
"Baldor dan aku baru saja akan berangkat sewaktu kau terjaga tadi," kata Albriech.
Horst mengelus janggutnya. Pergi ah, kalian berdua. Akan kubantu kalian mempelanai kuda-kuda."
Baldor berpaling kepada Eragon. "Akan kusampaikan berita ini padanya selembut mungkin," katanya berjanji, lalu mengikuti Horst dan Albriech keluar dari dapur.
Eragon tetap tinggal di meja, pandangannya terfokus pada simpul di kayu. Setiap rinciannya terlihat jelas di matanya seratnya yang terpilin, tonjolan yang asimetris, tiga ceruk kecil dengan warna seperti noda. Simpul itu penuh rincian tanpa akhir semakin teliti ia mengamatinya semakin banyak yang dilihatnya. Ia mencari-cari jawaban di sana, tapi kalaupun ada, jawaban-jawaban itu berhasil menghindari dirinya.
Panggilan samar menerobo s lamunannya. Kedengarannya seperti teriakan dari luar. Ia mengabaikannya. Biar orang lain yang menanganinya. Beberapa menit kemudian ia mendengarnya lagi, lebih keras daripada sebelumnya. Dengan marah, ia memblokirnya. Kenapa mereka tidak bisa tenang" Garrow sedang beristirahat. Ia melirik Elain, tapi tampaknya wanita itu tidak terganggu oleh keributannya.
ERAGON Raungan itu begitu kuat hingga ia nyaris jatuh dari kursi. Eragon memandang sekitarnya dengan terkejut, tapi tidak ada yang berubah. Tiba-tiba ia menyadari teriakan-teriakan itu berasal dari dalam kepalanya.
Saphira" tanyanya hati-hati.
Sejenak sunyi. Ya, kuping panci.
Kelegaan meresapi Eragon. Kau di mana"
Saphira mengirimkan bayangan sekelompok kecil pepohonan.
Aku berulang kali berusaha menghubungimu, tapi kau tidak bisa dijangkau.
Aku sakit... tapi sekarang sudah lebih baik. Kenapa aku tidak bisa merasakan kehadiranmu sejak tadi"
Sesudah menunggu selama dua malam, kelaparan menguasai diriku. Aku harus berburu.
Ada yang berhasil kau tangkap"
Rusa muda. Ia cukup bijaksana untuk berjaga jaga terhadap pemangsa darat, tapi tidak terhadap pemangsa dari udara. Sewaktu pertama kali kutangkap ia dengan rahangku, ia menendang mati matian dan berusaha meloloskan diri. Tapi aku lebih kuat, dan sewaktu kekalahan tidak terelakkan, ia menyerah dan mati. Apakah Garrow juga melawan yang tidak terelakkan"
Entahlah. Eragon menceritakan rinciannya, lalu berkata, Masih akan lama sekali, kalaupun bisa, sebelum kita pulang. Aku tidak akan bisa menemuimu selama sedikitnya dua hari. Mungkin sebaiknya kau mencari tempat yang nyaman.
Dengan tidak gembira, Saphira berkata, Akan kupatuhi perintahmu. Tapi jangan terlalu lama.
Mereka berpisah dengan enggan. Eragon memandang keluar jendela dan terkejut melihat matahari telah terbenam. Merasa sangat kelelahan, ia tertatih-tatih mendekati Elain, yang membungkus kue daging dengan kain minyak. "Aku akan kembali ke rumah Gertrude untuk tidur," katanya.
Elain selesai membungkus dan bertanya, "Kenapa kau tidak tidur di sini saja" Dengan begitu kau akan lebih dekat dengan pamanmu, dan Gertrude bisa mendapatkan ranjangnya kembali."
"Ada cukup ruangan"" tanya Eragon, mulai goyah.
"Tentu saja." Elain mengusap tangannya. "Ikut aku, akan kusiapkan segala sesuatunya." Ia menemani Eragon ke lantai atas, ke kamar kosong. Eragon duduk di tepi ranjang. "Ada lagi yang kau butuhkan"" tanya Elain. Eragon menggeleng. "Kalau begitu, aku akan ke bawah. Panggil aku kalau kau perlu bantuan.
Eragon mendengarkan suara Elain menuruni tangga. Lalu ia membuka pintu dan menyelinap menyusuri lorong ke kamar Garrow. Gertrude melontarkan senyum kecil padanya dari atas jarum rajutnya yang bergerak cepat.
"Bagaimana keadaannya"" bisik Eragon.
Suara Gertrude serak karena kelelahan. "Ia lemah, tapi demamnya agak mereda dan beberapa luka bakarnya tampak mulai pulih. Kita hanya bisa menunggu, tapi ini bisa berarti ia akan pulih."
Berita itu meringankan suasana hati Eragon, dan ia kembali ke kamarnya. Kegelapan terasa tidak ramah saat ia meringkuk di balik selimut. Akhirnya ia jatuh tertidur, menyembuhkan luka-luka di tubuh dan jiwanya.
KESINTINGAN HIDUP Cuaca telah gelap sewaktu Eragon tersentak bangun di ranjang, terengah-engah. Kamarnya terasa sangat dingin; bulu-bulu di lengan dan bahunya meremang. Saat itu beberapa jam sebelum subuh, waktu ketika tidak ada yang bergerak dan kehidupan menunggu sentuhan pertama matahari yang hangat.
Jantungnya berdebar-debar kencang saat firasat mengerikan mencengkeram dirinya. Rasanya seperti ada selimut yang dibentangkan menutupi dunia, dan sudut-sudut tergelapnya menutupi kamarnya. Tanpa suara ia turun dari ranjang dan berpakaian. Dengan perasaan takut ia bergegas menyusuri lorong. Ia terkejut sewaktu melihat pintu kamar tidur Garrow terbuka dan orang-orang berkerumun di dalam.
Garrow berbaring damai diranjang. Ia mengenakan pakaian bersih, rambutnya disisir ke belakang, dan wajahnya tenang. Ia mungkin dikira hanya tidur kalau bukan karena kalung perak yang melilit di lehernya dan seikat tanaman hemlock di dadanya, hadiah terakhir dari or
ang yang masih hidup kepada seseorang yang telah meninggal.
Katrina berdiri di samping ranjang, wajahnya pucat dan menunduk. Eragon mendengarnya berbisik, "Tadinya aku berharap bisa memanggilnya Ayah suatu hari nanti..."
Memanggilnya Ayah, pikir Eragon pahit, hak yang bahkan hak kumiliki Ia merasa seperti hantu, kehilangan seluruh vitalitasnya. Segala sesuatu terasa tidak penting kecuali wajah Garrow. Air mata membanjiri pipi Eragon. Ia berdiri di tempatnya, dengan bahu terguncang, tapi tidak bersuara dalam tangisnya. Ibu, bibi, paman-ia telah kehilangan mereka semua. Beban kedukaannya sangat berat, kekuatan raksasa yang menyebabkan ia terhuyung-huyung. Seseorang membimbingnya kembali ke kamar tidurnya, sambil menggumamkan ucapan belasungkawa.
Ia menjatuhkan diri ke ranjang, memegang kepalanya, dan menangis terisak-isak. Ia merasa Saphira menghubungi dirinya tapi ia mengesampingkannya dan membiarkan dirinya hanyut dalam penderitaan. Ia tidak bisa menerima Garrow telah pergi. Kalau Garrow meninggal, apa lagi yang tersisa untuk dipercayai" Hanya dunia yang tidak kenal ampun dan tidak peduli yang memadamkan kehidupan seperti lilin di hadapan angin. Dengan perasaan frustrasi dan ketakutan, ia menengadahkan wajahnya yang dibasahi air mata ke langit dan berteriak, "Dewa mana yang tega berbuat begini" Tunjukkan dirimu!" Ia mendengar suara orang-orang berlarian ke kamar tidurnya, tapi tidak terdengar jawaban dari atas. "Ia tidak layak bernasib seperti ini!"
Tangan-tangan yang menghibur menyentuhnya, dan Eragon menyadari Elain duduk di sampingnya. Elain memeluknya sementara ia menangis, dan akhirnya, karena kelelahan, ia jatuh tertidur tanpa menginginkannya.
PEDANG PENUNGGANG Kesedihan menyelimuti Eragon saat ia terjaga. Walaupun tetap memejamkan mata, ia tidak mampu menghentikan tangis yang kembali pecah. Ia mencari-cari gagasan atau harapan untuk mempertahankan kewarasannya. Aku tidak bisa hidup dengan situasi seperti ini, erangnya. Kalau begitu jangan. Kata-kata Saphira menggema dalam kepala Eragon.
Bagaimana caranya" Garrow sudah pergi untuk selamanya! Dan pada waktunya nanti aku akan menemui nasib yang sama. Cinta, keluarga, keberhasilan semuanya dirampas, tidak menyisakan apa pun. Apa gunanya apa pun yang kita lakukan"
Yang penting adalah bertindak. Nilai dirimu berhenti kalau kau menghentikan kemauan untuk berubah dan menjalani kehidupan. Tapi kau memiliki pilihan, pilih salah satunya dan dedikasikan hidupmu untuk itu. Perbuatan perbuatanmu akan memberimu harapan dan tujuan baru. Tapi apa yang bisa kulakukan"
Satu-satunya pemandu sejati hanyalah hatimu. Tidak kurang dari keinginan hatimu yang tertinggilah yang bisa membantu dirimu.
Saphira membiarkan Eragon mempertimbangkan kata-kataya. Eragon mempelajari emosinya sendiri. Ia terkejut bahwa, lebih dari kedukaan ia mendapati kemarahan yang hebat. Kau magil aku melakukan apa... memburu orang-orang asing itu"
Ya. Jawaban Saphira yang terus terang membingungkan Eragon. Ia menghelanapas dalam, gemetar. Kenapa"
Ingat apa yang kau katakan di Spine" Bagaimana kau mengingatkan diriku akan tugasku sebagai naga, dan aku kembali denganmu biarpun bertentangan dengan apa yang dikatakan, naluriku" Kau juga harus mengendalikan diri. Aku berpikir lama dan mendalam selama beberapa hari terakhir, dan kusadari apa artinya menjadi naga dan Penunggang. Sudah menjadi takdir kita untuk mencoba yang mustahil, untuk melakukan perbuatan-perbuatan besar tanpa memedulikan rasa takut. Itulah tanggung jawab kita kepada masa depan.
Aku tidak peduli dengan apa yang kau katakan itu bukan alasan untuk pergi! seru Eragon.
Kalau begitu itu alasan yang lain. Jejak-jejakku sudah terlihat, dan orang-orang mewaspadai kehadiranku. Pada akhirnya keberadaanku akan terungkap. Lagi pula, tidak ada apa-apa lagi bagimu di sini. Tidak ada tanah pertanian, tidak ada keluarga, dan Roran belum mati! tukas Eragon panas.
Tapi kalau kau tetap tinggal, kau akan terpaksa menjelaskan apa yang terjadi. Ia berhak mengetahui bagaimana dan kenapa "Aayahnya tewas. Apa yang mungkin akan dilakukannya begitu ia mengetahui tentang dirik
u" Argumentasi Saphira berputar-putar dalam kepala Eragon, tapi ia menghindari gagasan meninggalkan Lembah Palancar, lembah ini rumahnya. Tapi pikiran akan membalas dendam terhadap para orang asing itu sangat menghibur. Apakah aku cukup kuat untuk melakukannya",. Tanya Eragon dalam benaknya. Ada aku!. Jawab Safira tegas.
Keraguan mengepung Eragon. Pembalasan dendam merupakan tindakan yang liar dan putus asa. Kekesalan karena kebimbangan mencuat, dan senyum keras tampak di bibirnya. Saphira benar. Tidak ada yang penting lagi kecuali tindakan membalas dendam itu sendiri. Yang penting adalah melakukannya. Dan apa lagi yang bisa memberinya kepuasan melebihi membunuh orang-orang asing itu" Energi dan kekuatan luar biasa mulai tumbuh dalam dirinya. Energi dan kekuatan yang mencengkeram emosi-emosinya dan mengubahnya menjadi batangan kemarahan yang kokoh dengan sepatah kata di sana pembalasan. Kepalanya berdenyut-denyut saat ia berkata yakin, Akan kulakukan.
Ia memutuskan hubungan dengan Saphira dan berguling turun dari ranjang, tubuhnya tegang seperti pegas yang ditekan. Saat itu masih pagi, ia hanya tidur beberapa jam. Tidak ada yang lebih berbahaya daripada musuh yang tidak takut kehilangan apa-apa, pikirnya. Itulah keadaanku sekarang.
Kemarin ia sulit berjalan tegak, tapi sekarang ia bergerak dengan yakin, bertahan karena kemauannya yang membaja. Sakit yang dipancarkan tubuhnya ditantang dan diabaikannya.
Saat menyelinap keluar dari rumah, ia mendengar gumaman dua orang bercakap-cakap. Karena penasaran, ia berhenti dan mendengarkan. Elain berbicara dengan suaranya yang lembut, "...tempat tinggal. Kita memiliki kamar." Horst menjawab tidak jelas dengan suaranya yang berat menggemuruh. "Ya, bocah yang malang," jawab Elain.
Kali ini Eragon bisa mendengar jawaban Horst. "Mungkin..." Horst diam cukup lama. "Aku sudah memikirkan apa yang dikatakan Eragon, dan aku tidak yakin ia memberitahukan segala sesuatunya kepada kita."
"Apa maksudmu"" tanya Elain. Terdengar keprihatinan dalam suaranya.
"Sewaktu memulai perjalanan ke tanah pertanian, kami mengikuti jejak halus bekas papan yang digunakannya untuk menyeret Garrow. Lalu kami tiba di tempat di mana saljunya terinjak-injak dan kacau balau. Jejak kaki dan papannya berhenti di sana, tapi kami juga melihat jejak-jejak raksasa yang sama seperti yang kami lihat di tanah pertanian. Dan bagaimana dengan kakinya" Aku tidak percaya ia tidak menyadari kulitnya terkelupas sebanyak itu. Aku tidak ingin mendesak jawaban darinya sebelum ini, tapi sekarang kupikir sebaiknya aku mendesaknya."
"Mungkin apa yang dilihatnya begitu menakutkan hingga ia tidak ingin membicarakannya," Elain mengajukan kemungkinan. "Kau melihat betapa kacaunya ia."
"Tapi tetap saja tidak menjelaskan bagaimana ia berhasil membawa Garrow kemari nyaris tanpa meninggalkan jejak."
Saphira benar, pikir Eragon. Sudah tiba waktunya pergi. Terlalu banyak pertanyaan dari banyak orang. Cepat atau lambat mereka akan menemukan jawabannya. Ia terus keluar dari rumah, menegang setiap kali mendengar suara lantai berderit.
Jalan-jalan kosong, hanya sedikit orang yang sudah bangun sepagi ini. Ia berhenti sejenak dan memaksa diri untuk memfokuskan pikiran. Aku tidak membutuhkan kuda. Saphira bisa menjadi tungganganku, tapi ia membutuhkan pelana. Ia bisa berburu bagi kami berdua, jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan makanan meskipun sebaiknya aku membawa persediaan. Barang-barang lain yang kubutuhkan bisa kutemukan terkubur di rumahku.
Ia pergi ke tempat penyamakan kulit Gedric di tepi kota Carvahall. Bau kulit menyebabkan ia mengernyit, tapi ia terus berjalan, menuju gubuk yang didirikan di samping bukit tempat kulit-kulit yang telah disamak disimpan. Ia memotong tiga helai kulit sapi yang besar dari deretan kulit yang menjuntai dari langit-langit. Pencurian ini menimbulkan perasaan bersalah dalam dirinya, tapi ia beralasan, ini tidak benar-benar mencuri. Suatu hari nanti akan kubayar Gedric, juga Horst. Ia menggulung kulit yang tebal itu dan membawanya ke sekelompok pepohonan yang jauh dari desa. Ia menjejalkan kulit-kulit itu di sela-s
ela cabang sebatang pohon, lalu kembali ke Carvahall.
Sekarang mencari makanan. Ia pergi ke kedai, berniat mengambil makanan dari sana, tapi lalu tersenyum tegang dan berbalik. Kalau ia akan mencuri, lebih baik mencuri dari Sloan. Ia menyelinap ke dalam rumah tukang jagal itu. Pintu depan selalu dipalang setiap kali Sloan tidak ada di rumah, tapi pintu samping hanya diamankan dengan seutas rantai tipis, yang bisa dipatahkannya dengan mudah. Kamar di dalam gelap. Ia terhuyung-huyung membabi buta hingga tangannya menemukan tumpukan keras daging yang dibungkus kain. Ia menjejalkan sebanyak mungkin ke balik kemejanya, lalu bergegas kembali ke jalan dan menutup pintu dengan diam-diam.
Seorang wanita meneriakkan namanya di dekatnya. Eragon mencengkeram bagian bawah kemejanya agar daging-dagingnya itu tidak jatuh dan menyembunyikan diri di balik sudut rumah. Ia menggigil sementara Horst berjalan di sela dua rumah kurang dari sepuluh kaki jauhnya.
Eragon berlari begitu Horst tidak terlihat lagi. Kaki-akinya bagai terbakar saat ia berderap menyusuri lorong dan kembali ke pepohonan. Ia menyelinap ke sela-sela batang pohon, lalu berpaling untuk melihat apakah ada yang mengejarnya. Tidak ada seorang pun di sana. Dengan perasaan lega, ia mengembuskan napas dan merogoh pohon tempat ia menyembunyikan kulit-kulitnya. Kulit-kulit itu telah lenyap. Mau pergi".
Eragon berputar balik. Brom merengut marah kepadanya, luka yang mengerikan menghiasi sisi kepalanya. Sebilah pedang pendek menjuntai di sabuknya dalam sarung cokelat. Kulit-kulit itu ada di tangannya.
Mata Eragon menyipit karena jengkel. Bagaimana orang tua itu bisa berhasil menyelinap mendekati dirinya" Segala sesuatu begitu sunyi, ia bersumpah pasti mendengar kalau ada orang di dekatnya. "Kembalikan kulit itu," sergahnya.
"Kenapa" Agar kau bisa pergi bahkan sebelum Garrow dimakamkan"" Tuduhan itu sangat pedas.
"Itu bukan urusanmu!" raung Eragon, kemarahannya meledak. "Kenapa kau mengikutiku""
"Aku tidak mengikutimu," kata Brom. "Aku menunggumu di sini sejak tadi. Sekarang kau mau ke mana""
"Tidak ke mana-mana." Eragon menerjang ke arah kulit-kulit itu dan berusaha merampasnya dari tangan Brom. Brom tidak menghentikannya.
"Kuharap kau memiliki daging cukup banyak untuk memberi makan nagamu."
Eragon membeku. "Apa maksudmu""
Brom bersedekap. "Jangan berpura-pura bodoh denganku. Aku tahu dari mana asal tanda di tanganmu itu, gedweyignasia, telapak kemilau, kau menyentuh naga yang baru saja menetas. Aku tahu kenapa kau datang menemuiku dengan pertanyaan-pertanyaan itu, dan aku tahu para Penunggang hidup sekali lagi."
Eragon menjatuhkan kulit dan dagingnya. Akhirnya terjadi... aku harus melarikan diri! Aku tidak bisa lari lebih cepat daripada dirinya dengan kaki terluka seperti ini, tapi kalau... Saphira! panggilnya.
Selang beberapa detik yang terasa menyakitkan, Saphira tidak menjawab, tapi lalu, Ya.
Kita ketahuan! Aku membutuhkan dirimu! Ia mengirimkan bayangan di mana dirinya berada, dan Saphira seketika terbang. Sekarang ia hanya perlu mengulur waktu menghadapi Brom.
Maria kau tahu" tanyanya dengan suara hampa.
Pandangan Brom menerawang, dan bibirnya bergerak-gerak tanpa suara seakan berbicara kepada orang lain. Lalu ia berkata, "Ada petunjuk dan isyarat di mana-mana, aku hanya perlu memperhatikan. Siapa pun yang memiliki pengetahuan yang benar bisa melakukannya. Katakan, bagaimana keadaan nagamu""
"Naga betina itu," kata Eragon, "baik-baik saja. Kami tidak berada di tanah pertanian sewaktu orang-orang asing itu datang."
"Ah, kakimu. Kau terbang"". Dari mana Brom menduganya" Bagaimana kalau orang-orang asing itu berhasil membujuknya untuk melakukan ini" Mungkin mereka ingin Brom mengetahui tujuanku agar mereka bisa menyergap kami. Dan mana Saphira" Ia berusaha menjangkau dengan pikirannya dan mendapati Saphira terbang berputar-putar di atas kepala mereka. Turunlah!
Tidak, aku akan mengawasi untuk sementara waktu. Kenapa!
Karena pembantaian di Doru Areaba. Apa"
Brom menyandar ke sebatang pohon sambil tersenyum tipis. "Aku sudah berbicara dengan nagamu, dan ia setuju untuk tetap di at
as hingga kita membereskan perbedaan-perbedaan kita. Seperti yang bisa kau lihat, kau benar-benar tidak memiliki pilihan kecuali menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Sekarang katakan, kau mau ke mana""
Dengan kebingungan, Eragon memegang keningnya dengan satu tangan. Bagaimana Brom bisa berbicara pada Saphira"
Bagian belakang kepalanya berdenyut-denyut dan berbagai gagasan berputar-putar dalam benaknya, tapi ia terus mencapai kesimpulan yang sama ada yang harus diceritakannya pada orang tua ini. Ia berkata, "Aku akan mencari tempat yang aman hingga luka-lukaku sembuh."
"Dan sesudah itu""
Pertanyaan itu tidak bisa diabaikan. Denyutan di kepala Eragon terasa semakin buruk. Mustahil untuk berpikir, tidak ada yang terasa jelas sekarang. Ia hanya ingin bercerita pada seseorang mengenai kejadian-kejadian yang berlangsung selama beberapa bulan terakhir. Ia merasa sangat tersiksa karena rahasianya menyebabkan kematian Garrow. Ia menyerah dari berkata dengan suara gemetar, "Aku akan memburu orang-orang asing itu dan membunuh mereka."
"Tugas yang luar biasa berat untuk orang semuda dirimu," kata Brom dengan nada normal, seakan Eragon mengutarakan tindakan yang paling jelas dan paling sesuai untuk dilakukan. "Jelas usaha yang layak dan cocok untuk kau laksanakan, tapi kurasa bantuan tidak akan ditolak." Ia meraih ke balik semak-semak dan mengeluarkan ransel besar. Suaranya berubah serak. Omong-omong, aku tidak akan berdiam diri sementara pemuda tanggung berkeliaran bersama naga."
Apakah Ia benar-benar mau membantu, atau ini hanya jebakan" Eragon takut akan apa yang bisa dilakukan musuh-musuhnya yang misterius. Tapi Brom berhasil meyakinkan.
Saphira untuk memercayai dirinya, dan mereka sudah bercakap-cakap melalui sentuhan pikiran. Kalau Saphira tidak merasa khawatir... Eragon memutuskan untuk mengesampingkan kecurigaannya untuk saat ini. "Aku tidak membutuhkan bantuan," kata Eragon, lalu menambahkan dengan enggan, "tapi kau boleh ikut."
"Kalau begitu paling baik kita segera berangkat," kata Brom. Wajahnya sejenak berubah tanpa ekspresi. "Kurasa kau akan mendapati nagamu mau mendengarmu lagi." Saphira" tanya Eragon.
Ya. Eragon menahan dorongan untuk menanyai naganya. Bisa kau tunggu kami di tanah pertanian" Ya. Jadi kalian sudah mencapai persetujuan" Kurasa begitu.
Saphira memutuskan hubungan dan membubung pergi. Eragon melirik Carvahall dan melihat orang-orang berlarian dari rumah ke rumah.
"Kurasa mereka mencariku."
Brom mengangkat satu alis matanya. "Mungkin. Kita berangkat""
Eragon ragu-ragu. "Aku ingin meninggalkan pesan untuk Roran. Rasanya tidak benar untuk melarikan diri tanpa memberitahukan alasannya pada dirinya."
Sudah dibereskan," kata Brom menenangkannya. "Aku suda meninggalkan surat untuknya pada Gertrude, menjelaskan beberapa hal. Aku juga telah memperingatkan dirinya agar berjaga-jaga terhadap bahaya-bahaya tertentu. Apakah itu cukup"
Eragon mengangguk. Ia melilitkan kulit di sekeliling dagingnya dan berangkat. Mereka berhati-hati agar tidak terlihat siapa pun hingga tiba di jalan, lalu mempercepat langkah sangat ingin menjauhkan diri dari Carvahall. Eragon melangkah maju dengan tekad bulat, kakinya terasa seperti terbakar. Langkahnya yang berirama membebaskan benaknya untuk berpikir.
Begitu tiba di rumah, aku tidak akan pergi ke manapun bersama Brom sebelum mendapat jawaban, katanya sendiri dengan tegas. Kuharap ia bisa memberitahuku lebih banyak mengenal para Penunggang dan siapa yang kuhadapi.
Saat reruntuhan rumah pertanian terlihat, alis mata Brom mengerut marah. Eragon merasa jengkel melihat betapa cepatnya alam menguasai kembali tanah pertaniannya.
Salju dan tanah bertumpuk-tumpuk di dalam rumah, menutupi kebrutalan serangan orang-orang asing itu. Yang tersisa dari lumbung hanyalah petak jelaga yang dengan cepat berkurang.
Kepala Brom tersentak menengadah sewaktu mendengar suara kepakan sayap Saphira dari atas pepohonan. Saphira menukik melewati mereka dari belakang, nyaris menyerempet kepala mereka. Mereka terhuyung-huyung saat dinding udara menghajar mereka. Sisik-sisik Saphira tampak kemilau sewaktu ia berputa
r balik di atas tanah pertanian dan mendarat dengan anggun.
Brom melangkah maju dengan ekspresi khidmat sekaligus suka cita. Matanya berkilau-kilau, dan air mata tampak berkilat di pipinya sebelum menghilang ke dalam janggutnya. Ia berdiri diam cukup lama, napasnya terengah-engah sementara ia mengawasi Saphira, dan Saphira mengawasi dirinya. Eragon mendengar Brom menggumam dan bergeser mendekat untuk mendengarkan.
"Nah... dimulai lagi. Tapi bagaimana dan di mana berakhirnya" Pandanganku terhalang; aku tidak tahu apakah ini akan menjadi tragedi atau kehancuran, karena elemen keduanya ada di sini.... Apa pun yang akan terjadi, posisiku tidak berubah dan aku..."
Apa pun yang akan dikatakannya lagi memudar sementara Saphira mendekati mereka dengan bangga. Eragon menewari Brom, berpura-pura tidak mendengar apa-apa, dan menyapa Saphira. Ada sesuatu yang berbeda di antara mereka sekarang, seakan mereka saling mengenal lebih dalam lagi, namun masih asing satu sama lain. Eragon menggosok leher Saphira, dan telapak tangannya terasa geli saat benak mereka bersentuhan. Rasa penasaran yang kuat memancar dari diri Saphira.
Aku tidak melihat satu manusia pun kecuali dirimu dan Garrow, dan ia terluka parah, kata Saphira.
Kau melihat orang-orang melalui mataku.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 15 Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah Pedang 3 Dimensi 7

Cari Blog Ini