Ceritasilat Novel Online

Eragon 7

Eragon Karya Christhoper Paolini Bagian 7


Eragon memusatkan perhatian pada prajurit di hadapannya. Pria itu terengah-engah, putih matanya terlihat. Ia tampaknya memahami dirinya dibiarkan tetap hidup.
"Kau sudah melihat apa yang bisa kulakukan," kata Eragon
dengan suara serak. "Kalau kau tidak menjawab pertanyaanku, sepanjang sisa hidupmu akan kauhabiskan dalam penderitaan dan siksaan. Sekarang mana pedangku sarung dan bilahnya merah dan di sel mana elf itu ditahan""
Pria itu menutup mulutnya rapat-rapat.
Telapak tangan Eragon berpendar saat ia menjangkau kekuatan sihirnya. "Itu jawaban yang salah," sergahnya. "Kau tahu seberapa hebat kesakitan yang bisa ditimbulkan sebutir pasir kalau ditancapkan dalam keadaan panas membara di perutmu" Terutama kalau butir pasir itu tidak mendingin selama dua puluh tahun mendatang dan perlahan-lahan turun membakar jemari kakimu! Pada saat pasir tersebut keluar dari tubuhmu, kau sudah menjadi orang tua." Ia diam sejenak untuk memberi efek dramatis. "Kecuali kau memberitahukan apa yang ingin kuketahui."
Mata prajurit itu membelalak, tapi ia tetap membisu. Eragon mengerik tanah dari lantai batu dan mengamatinya tanpa emosi, "Ini agak lebih banyak daripada sebutir pasir, tapi tenanglah; tanah sebanyak ini akan lebih cepat menembus tubuhmu. Tapi ia akan meninggalkan lubang yang lebih besar." Sementara ia berbicara, tanah di tangannya berubah merah membara, meskipun tangannya tidak terbakar.
"Baiklah, tapi jangan masukkan tanah itu ke tubuhku!" teriak si prajurit. "Elf ada di sel terakhir sebelah kiri. Aku tidak tahu mengenai pedangmu, tapi mungkin ada di ruang jaga di lantai atas. Semua senjata ada di sana."
Eragon mengangguk, lalu menggumam, "Slytha." Mata prajurit itu berputar ke atas, dan ia terkulai lemas.
"Kau membunuhnya""
Eragon memandang orang asing itu, yang sekarang hanya beberapa langkah jauhnya. Ia menyipitkan mata, berusaha
melihat wajah di balik janggutnya. "Murtagh! Kau, ya"" serunya.
"Ya," kata Murtagh, sekilas mengangkat janggut dari wajahnya yang dicukur bersih. "Aku tidak ingin wajahku kelihatan. Kau membunuhnya""
"Tidak, ia hanya tidur. Bagaimana caramu masuk""
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Kita harus naik ke lantai atas sebelum ada yang menemukan kita. Akan ada rute melarikan diri bagi kita beberapa menit lagi. Kita tidak ingin melewatkannya."
"Kau tidak mendengar apa yang tadi kukatakan"" tanya Eragon, sambil memberi isyarat ke prajurit yang pingsan! "Ada elf di penjara ini. Aku melihatnya! Kita harus menyelamatkannya. Aku membutuhkan bantuanmu."
"Elf...!" Murtagh bergegas menyusuri lorong, sambil menggerutu, "Ini kesalahan. Kita seharusnya melarikan diri mumpung masih ada kesempatan." Ia berhenti di depan sel yang diberitahukan prajurit tadi dan mengeluarkan seikat anak kunci dari balik mantel lusuhnya. "Kuambil dari salah satu penjaga," katanya menjelaskan.
Eragon meminta kunci-kunci itu. Murtagh mengangkat bahu dan memberikannya. Eragon menemukan anak kunci yang tepat dan pintunya terayun membuka. Seberkas cahaya bulan menerobos miring melalui jendela, menerangi wajah elf itu dengan cahaya keperakan yang sejuk.
Elf itu memandangnya, tegang dan meringkuk, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Ia menegakkan kepala dengan sikap seorang ratu. Matanya, hijau tua nyaris hitam, dan agak miring seperti mata kucing, terarah kepada Eragon. Eragon merasa hawa dingin merayapi tubuhnya.
Mereka beradu pandang sejenak, lalu elf itu gemetar dan terkulai tanpa suara. Eragon nyaris tidak sempat menangkapn
ya sebelum ia menghantam lantai. Elf tersebut ternyata ringan. Aroma daun pinus yang baru saja remuk mengelilingi tubuhnya.
Murtagh memasuki sel. "Ia cantik!" "Tapi terluka."
"Kita bisa merawatnya nanti. Kau cukup kuat untuk mendorongnya"" Eragon menggeleng. "Kalau begitu biar aku saja," kata Murtagh dan mengangkat elf itu ke bahunya.
Sekarang, ke atas!" Ia memberi Eragon sebilah pisau, lalu bergegas kembali ke lorong tempat mayat-mayat prajurit bergeletakan.
Diiringi suara langkah sepatu bot yang berat Murtagh membimbing Eragon ke tangga batu di ujung lorong. Sewaktu mereka menapakinya, Eragon bertanya, "Bagaimana kita bisa keluar tanpa ketahuan""
memang tidak akan bisa," dengus Murtagh.
Eragon makin takut. Dengan gelisah ia mendengarkan suara para prajurit atau siapa pun yang mungkin berada di dekat tempat itu, takut akan apa yang mungkin terjadi kalau mereka bertemu Shade. Di puncak tangga terdapat ruang pesta berisi meja-meja kayu lebar. Perisai-perisai menjajari dindingnya, dan langit-langit kayunya didukung kayu melengkung. Murtagh membaringkan elf tersebut di salah satu meja dan memandang langit-langit dengan khawatir. "Kau bisa berbicara dengan Saphira untukku""
"Ya." "Beritahu ia agar menunggu lima menit lagi."
Terdengar teriakan-teriakan di kejauhan. Para prajurit berderap melewati pintu masuk ruang pesta. Mulut Eragon berkerut karena tegang. "Apa pun yang kaurencanakan, kupikir kita tidak memiliki banyak waktu."
"Katakan saja pada Saphira, dan bersembunyilah," sergah Murtagh, sambil berlari pergi.
Saat menyampaikan pesan itu, Eragon terkejut mendengar suara orang-orang menaiki tangga. Sambil melawan kelaparan dan kelelahan, ia menyeret elf itu dari meja dan menyembunyikannya dibawahnya. Ia berjongkok di sampingnya, menahan napas, mencengkeram pisau erat-erat.
Sepuluh prajurit memasuki ruangan. Mereka memeriksanya dengan tergesa-gesa, hanya melihat ke kolong dua meja, dan melanjutkan perjalanan mereka. Eragon menyandar ke kaki, mendesah. Kesempatan beristirahat itu menyebabkan ia tiba-tiba menyadari perutnya yang bagai melilit dan tenggorokannya kering. Guci dan piring berisi makanan yang baru dihabiskan separo di seberang ruangan menarik perhatiannya.
Eragon melesat keluar dari tempat persembunyian, menyambar makanan itu, lalu bergegas kembali ke bawah meja.
Ada bir kemerahan di dalam guci, yang ditenggaknya, dalam dua tegukan. Kelegaan merayapi dirinya saat cairan tersebut mengalir turun di tenggorokannya, menenangkan tubuhnya yang kehausan. Ia menahan sendawa sebelum melahap sebongkah roti dengan rakus.
Murtagh kembali dengan membawa Zar'roc, busur yang aneh, dan sebilah pedang yang anggun tanpa sarung. Murtagh memberikan Zar'roc kepada Eragon. "Kutemukan pedang yang lain dan busurnya di ruang jaga. Aku belum pernah melihat senjata seperti ini, jadi kuanggap ini milik si elf."
"Kita lihat saja," kata Eragon dengan mulut penuh roti. Pedangnya-tipis dan ringan dengan batang penahan melengkung, yang ujungnya tajam-cocok dengan sarung pedang elf itu. Tidak mungkin memastikan apakah busurnya milik si elf, tapi bentuknya begitu anggun hingga Eragon ragu senjata itu milik orang lain. "Sekarang apa"" tanyanya, sambil menjejalkan makanan lagi ke mulut. "Kita tidak bisa berdiam di sini selamanya. Cepat atau lambat para prajurit akan menemukan kita."
"Sekarang," kata Murtagh, mengeluarkan busurnya sendiri dan memasang sebatang anak panah pada talinya, "kita menunggu. Seperti yang kukatakan tadi, pelarian kita sudah dirancang."
"Kau tidak mengerti; ada Shade di sini! Kalau ia menemukan kita, hancurlah kita."
"Shade!" seru Murtagh. "Kalau begitu, beritahu Saphira untuk datang secepatnya. Tadinya kita akan menunggu hingga pergantian penjaga, tapi menunda selama itu berbahaya sekarang." Eragon menyampaikan pesannya dengan singkat menahan diri untuk tidak mengalihkan perhatian Saphira dengan pertanyaan-pertanyaan. "Kau mengacaukan rencanaku dengan melarikan diri sendiri," kata Murtagh, mengatasi pintu masuk ruangan kalau-kalau ada prajurit yang datang.
Eragon tersenyum. "Kalau begitu, mungkin sebaiknya, menunggu. Tapi peng
aturan waktumu memang sempurna. Kalau dipaksa melawan para prajurit itu dengan sihir, aku pasti tidak akan mampu bergerak lagi walau cuma merangkak."
"Senang mendengar diriku ternyata berguna, kata Murtagh. ia mengejang saat mereka mendengar suara orang berlari-lari di dekat tempat itu. "Semoga saja Shade tidak menemukan kita."
Tawa dingin memenuhi ruang pesta. "Sayangnya sekarang sudah terlambat."
Murtagh dan Eragon berbalik. Shade berdiri seorang diri di ujung ruangan. Di tangannya terdapat pedang pucat dengan guratan tipis dibilahnya. Ia menanggalkan jubah dan membiarkan kain itu jatuh ke lantai. Tubuhnya seperti tubuh pelari, langsig dan padat, tapi Eragon teringat pada peringatan Brom dan mengetahui bahwa penampilan Shade menipu; ia berlipat kali jauh lebih kuat daripada manusia normal.
"Nah, Penunggang mudaku, kau mau menguji dirimu melawan aku"" Shade bertanya sambil mencibir. "Seharusnya aku tidak memercayai kapten itu sewaktu ia mengatakan kau memakan seluruh makananmu. Aku tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi."
"Biar kuhadapi," kata Murtagh dengan suara pelan, sambil meletakkan busur dan mencabut pedang.
"Tidak," kata Eragon sambil mengertakkan gigi. "Ia menginginkan diriku hidup-hidup, bukan dirimu. Aku bisa menahannya sebentar, tapi sebaiknya kau memiliki jalan keluar untuk kita."
"Baik, pergilah," kata Murtagh. "Kau tidak perlu menahannya terlalu lama."
"Kuharap tidak," kata Eragon denganmuram. Ia mencabut Zar'roc dan perlahan-lahan melangkah maju. Mata pedangnya yang merah berkilau ditimpa cahaya dari suluh-suluh di dinding.
Mata Shade yang merah manyala bagai bara. Ia tertawa pelan. "Kau benar-benar mengira mampu mengalahkan diriku, Du Sundavar Freohr" Benar-benar nama yang menyedihkan. Tadinya kukira aku akan mendengar nama yang lebih bagus darimu tapi kurasa hanya sebatas itu kemampuanmu."
Eragon menolak membiarkan dirinya terpancing. Ia menatap ke arah Shade, menunggu matanya berkedip atau bibirnya berkedut apa pun yang akan mengungkapkan langkah selanjutnya. Aku tidak bisa menggunakan sihir karena takut akan kemampuan Shade menggunakan sihir juga. Ia harus mengira dirinya mampu menang tanpa mengandalkan sihir yang mungkin memang bisa dilakukannya.
Sebelum salah satu dari mereka bergerak, langit-langit menggelegar keras dan terguncang. Debu mengepul dari sana dan mengubah udara menjadi kelabu sementara serpihan kayu berjatuhan di sekitar mereka, hancur berantakan di lantai. Dari atap terdengar jeritan dan suara logam beradu. Takut terhantam balok yang jatuh, Eragon sekilas memandang ke atas. Shade memanfaatkan beralihnya perhatian Eragon dan menyerang.
Eragon nyaris tidak sempat mengangkat Zar'roc untuk menangkis ayunan pedang ke rusuknya. Pedang mereka beradu diiringi dentangan keras yang menggetarkan gigi-gigi Eragon dan melumpuhkan lengannya. Sialan! Ia kuat! Ia mencengkeram Zar'roc dengan dua tangan dan mengayunkannya sekuat tenaga ke kepala Shade. Shade menangkisnya dengan mudah, mengayunkan pedang membelah udara lebih cepat daripada yang dikira Eragon.
Deritan mengerikan terdengar di atas mereka, seperti suara paku besi digoreskan ke batu. Tiga retakan panjang membelah langit-langit. Genteng-genteng dari atap yang miring berjatuhan melalui celah-celah itu. Eragon mengabaikannya, bahkan sewaktu salah satunya jatuh berantakan di lantai di sampingnya. Walaupun telah berlatih dengan pakar pedang, Brom, dan dengan Murtagh yang juga pemain pedang yang mematikan, ia belum pernah dikalahkan seperti ini. Shade mempermainkan dirinya.
Eragon mundur mendekati Murtagh, lengannya gemetar saat ia menangkis serangan-serangan Shade. Setiap serangan rasanya lebih kuat daripada sebelumnya. Eragon tidak lagi cukup kuat untuk mengerahkan sihir sebagai bantuan meskipun ia menginginkannya. Lalu, dengan kibasan pergelangan tangan penuh kebencian, Shade menjatuhkan Zar'roc dari tangan Eragon. Kekuatan pukulan itu menyebabkan Eragon jatuh berlutut, lalu terpaku, terengah-engah. Jeritannya terdengar lebih keras lagi. Apa pun yang tengah terjadi, kejadiannya semakin dekat.
Shade menatapnya dengan sombong. "Kau mungkin
potongan yang kuat dalam permainan yang sedang berlangsung ini, tapi aku kecewa hanya sejauh ini kemampuan terbaikmu. Kalau para Penunggang lain selemah ini, mereka pasti mengendalikan Kekaisaran semata-mata karna jumlah mereka banyak."
Eragon menengadah dan menggeleng. Ia memahami rencana Murtagh sekarang. Saphira, sekarang waktu yang baik.
"Tidak, ada yang kaulupakan."
"Apa itu"" tanya Shade dengan nada menghina.
Getaran menggemuruh terdengar saat sebongkah langit-langit bangunan itu robek hingga memperlihatkan langit malam. "Para Naga! raung Eragon mengatasi keributan itu, dan membuang diri menjauhi jangkauan Shade. Shade menggeram murka, mengayunkan pedangnya mati-matian. Serangannya meleset dan ia menerjang. Keterkejutan tampak di wajahnya saat salah satu anak panah Murtagh mencuat keluar dari bahunya.
Shade tertawa dan mematahkan anak panah itu dengan dua jari. "Kalian harus berbuat lebih baik daripada ini kalau ingin menghentikan diriku." Anak panah berikutnya menancap tepat di antara matanya. Shade melolong kesakitan dan menggeliat-geliat, menutupi wajahnya. Kulitnya berubah kelabu. Kabut terbentuk di udara di sekelilingnya, menutupi sosoknya. Terdengar jeritan melengking; lalu kabut itu menghilang.
Di tempat Shade tadi berada, tidak ada yang tersisa kecuali jubahnya dan setumpuk pakaian. "Kau membunuhnya!" seru Eragon. Ia mengetahui hanya dua pahlawan dalam legenda yang berhasil selamat sekaligus membantai Shade.
"Aku tidak akan seyakin itu," kata Murtagh.
Seseorang berteriak, "Cukup. Ia gagal. Masuk dan tangkap mereka!" Para prajurit yang membawa faring dan tombak berhamburan memasuki ruang pesta dari kedua ujungnya. Eragon dan Murtagh berdiri memunggungi dinding, menyeret si elf bersama mereka. Para prajurit membentuk setengah lingkaran yang berbahaya di sekeliling mereka. Lalu Saphira menjulurkan kepala melalui lubang di langit-langit dan meraung. Ia mencengkeram tepi lubang dengan cakar-cakarnya yang kuat dan mencabik sebagian lagi dari langit-langit.
Tiga prajurit berbalik dan melarikan diri, tapi sisanya tetap bertahan di tempat. Diiringi suara keras, balok tengah penahan langit-langit berderak patah dan genteng-genteng berat berhamburan turun. Kebingungan mengacau-balaukan para prajurit itu. sementara mereka berusaha menghindari hujan yang mematikan tersebut. Eragon dan Murtagh mendesakkan tubuh ke dinding, agar tidak tertimpa reruntuhan yang jatuh. Saphira kembali meraung, dan para prajurit melarikan diri, beberapa terinjak-injak.
Diiringi usaha susah payah terakhir, Saphira menarik lepas langit-langit yang tersisa sebelum melompat turun ke pesta dengan sayap-sayap terlipat. Berat tubuhnya meluluh-lantakkan meja diiringi derakan keras. Sambil berseru lega, Eragon membentangkan lengan dan memeluknya. Saphira menggumam puas. Aku rindu padamu, makhluk kecil.
Sama. Ada orang lain bersama kita. Kau bisa membawa tiga orang"
Tentu saja, kata Saphira, sambil menendang untuk menyingkirkan genteng dan meja agar ia bisa lepas landas. Murtagh dan Eragon menarik elf itu keluar dari tempat persembunyian. Saphira mendesis terkejut sewaktu melihat wanita itu, Elf!
Ya, dan wanita yang kulihat dalam mimpi-mimpiku, kata Eragon, sambil mengambil Zar'roc. Ia membantu Murtagh mengikatkan elf itu ke pelana, lalu mereka berdua naik ke punggung Saphira. Kudengar ada pertempuran di atap. Apakah ada orang di sana"
Tadinya, tapi sekarang tidak lagi. Kau siap" Ya.
Saphira melompat keluar dari ruang pesta ke atap benteng, tempat mayat-mayat pasukan jaga bergeletakan. "Lihat!" kata Murtagh, sambil menunjuk. Sederetan pemanah berhamburan keluar dari menara di seberang ruangan yang tidak lagi beratap.
"Saphira, kau harus terbang, sekarang!" Eragon memperingatkan.
Saphira membentangkan sayap-sayapnya, berlari ke tepi gedung, dan melompat dengan dorongan kaki-kakinya yang kuat. Beban tambahan di punggungnya menyebabkan ia meluncur jatuh mengejutkan. Saat ia berjuang keras untuk membubung, Eragon mendengar dentingan bagai musik dari tali-tali busur yang dilepaskan.
Anak-anak panah berdesingan ke arah mereka dalam kegelapan. Saphira merau
ng kesakitan saat ia terpanah dan bergegas berbelok ke kiri untuk menghindari hujan anak panah berikutnya. Lebih banyak anak panah mencabik-cabrik langit, tapi malam melindungi mereka dari gigitan batang-batang yang mematikan itu. Dengan galau Eragon membungkuk di atas leher Saphira. Kau terluka di bagian mana"
Sayapku tertembus... salah satu anak panah masih menancap di sana. Napasnya berat dan susah payah.
Seberapa jauh kau bisa membawa kami"
Cukup jauh. Eragon memegangi elf itu erat-erat sementara mereka terbang rendah di atas kota, lalu meninggalkan kota di belakangnya dan berbelok ke timur, membubung ke langit malam.
PEJUANG DAN PENYEMBUH Saphira melayang turun ke tempat terbuka, mendarat di lereng bukit, dan mengistirahatkan sayapnya yang terbentang di tanah. Eragon bisa merasakan makhluk itu gemetaran di bawahnya. Mereka tak sampai dua mil dari Gil'ead.
Snowfire dan Tornac ditambatkan di tempat terbuka itu, keduanya mendengus-dengus gugup sewaktu Saphira mendekat. Eragon merosot turun ke tanah dan seketika memeriksa luka-luka Saphira, sementara Murtagh menyiapkan kuda-kuda.
Karena tidak mampu melihat dengan baik dalam kegelapan, Eragon meraba-raba sayap Saphira dengan membabi buta. ia menemukan tiga tempat di mana anak panah menembus membran tipisnya, meninggalkan lubang berlumuran darah setebal ibu jari. Sepotong sayap juga tercabik dari bagian belakang sayap kiri Saphira. Saphira menggigil sewaktu jemari Eragon menyapu luka-lukanya. Eragon dengan kelelahan menyembuhkan luka-luka itu menggunakan bahasa kuno. Lalu ia menemukan anak panah yang tertancap di salah satu otot besar lengan terbang Saphira. Kepala anak panahnya mencuat di bagian bawah. Darah hangat menetes dari sana.
Eragon memanggil Murtagh dan memberinya instruksi, "Pegangi sayapnya. Aku harus mencabut anak panah ini." Ia memberitahukan di mana Murtagh harus memegang. Ini akan menyakitkan, katanya memperingatkan Saphira, tapi selesai. Cobalah untuk tidak meronta kau akan menyakiti kami.
Saphira menjulurkan leher dan menggigit seb atang pohon muda yang tinggi. Dengan sekali menyentakan kepala, ia mencabut pohon itu dari tanah dan menggigitnya kuat-kuat.
Oke, kata Eragon. "Tahan," bisiknya pada Murtagh, lalu mematahkan anak panahnya. Sambil berusaha agar tidak memperluas luka, dengan sigap ia mencabut anak panah itu dari Saphira. Saat anak panah itu meninggalkan ototnya, Saphira menyentakkan kepala ke belakang dan merintih dari sela-sela pohon di mulutnya. Sayap-sayapnya tersentak tanpa sadar, menghantam dagu Murtagh dan menjatuhkannya ke tanah.
Sambil menggeram, Saphira menggoyang-goyang pohonnya, menghujani mereka dengan tanah, sebelum membuangnya. Sesudah Eragon menutup luka Saphira, ia membantu Murtagh bangkit. "Ia mengejutkanku," Murtagh mengakui, sambil menyentuh rahangnya yang tergores.
Maaf. "Ia tidak bermaksud menghantammu," kata Eragon. Ia memeriksa elf yang pingsan. Kau harus membawanya lagi, katanya pada Saphira. Kita tidak bisa membawanya berkuda cukup cepat. Terbang seharusnya lebih mudah bagimu sekarang sesudah anak panahnya dicabut
Saphira menunduk. Akan kulakukan.
Terima kasih, kata Eragon. Ia memeluk Saphira erat-erat.
Apa yang kaulakukan tadi benar-benar luar biasa; aku tidak akan pernah melupakannya.
Pandangan Saphira melunak. Aku akan pergi sekarang.
Eragon melangkah mundur saat Saphira membubung dalam Pusaran udara, rambut si elf berkibar-kibar ke belakang. Beberapa detik kemudian mereka menghilang. Eragon bergegas mendekati Snowfire, mengangkat diri ke pelana, dan berderap pergi bersama Murtagh. Sementara mereka berkuda, Eragon mencoba mengingat-ingat apa yang diketahuinya tentang para elf. Mereka berusia panjang. Fakta yang terlalu sering diulang-ulang sekalipun ia tidak mengetahui seberapa panjang. Mereka berbicara dalam bahasa kuno, dan banyak yang bisa menggunakan sihir.
Sesudah kejatuhan Penunggang, para elf menyembunyikan diri. Tidak satu dari mereka pernah terlihat di Kekaisaran
sejak itu. Jadi kenapa ada satu di sini sekarang" Dan bagaimana Kekaisaran bisa menangkapnya" Kalau ia bisa menggunakan sihir, ia mungkin dibius
seperti diriku. Mereka terus berjalan sepanjang malam, tidak berhenti bahkan sewaktu kekuatan mereka yang terkuras mulai memperlambat mereka. Mereka terus berjalan sekalipun mata mereka seperti terbakar dan gerakan mereka kikuk. Di belakang mereka, jajaran pasukan berkuda yang membawa obor mencari-cari jejak mereka di sekitar Gil'ead.
Sesudah berjam-jam yang melelahkan, subuh merekah menerangi langit. Dengan kesepakatan yang tidak diucapkan Eragon dan Murtagh menghentikan kuda-kuda. "Kita harus berkemah," kata Eragon lelah. "Aku harus tidur-tidak peduli mereka akan menangkap kita atau tidak."
"Setuju," kata Murtagh, sambil menggosok mata. "Minta Saphira mendarat. Kita akan menemuinya."
Mereka mengikuti petunjuk Saphira dan mendapati dirinya minum dari sungai kecil di kaki tebing kecil, si elf masih terkulai di punggungnya. Saphira menyapa mereka dengan geraman pelan sementara Eragon turun dari kuda.
Murtagh membantunya menurunkan elf itu dari pelana Saphira ke tanah. Lalu mereka merosot ke permukaan karang, kelelahan. Saphira memandangi elf tersebut dengan penasaran. Aku ingin tahu kenapa Ia belum juga terjaga. Sudah berjam-jam kita meninggalkan Gil'ead. Siapa yang mengetahui apa yang mereka lakukan terhadapnya" Kata Eragon muram.
Murtagh mengikuti arah pandangan mereka. "Setahuku, ia elf pertama yang pernah ditangkap Raja. Sejak mereka bersembunyi, Raja mencari mereka tapi tidak berhasil, hingga sekarang jadi entah ia menemukan tempat persembunyian mereka, atau elf ini tertangkap secara kebetulan. Kupikir kebetulan. Kalau sudah menemukan tempat persembunyian elf, ia pasti menyatakan perang dan mengirim pasukan untuk memburu para elf. Karena itu tidak terjadi yang menjadi pertanyaan adalah, Apakah anak buah Galbatorix sempat mendapatkan informasi mengenai lokasi Para elf sebelum kita menyelamatkan elf ini""
"Kita tidak akan mengetahuinya sebelum ia sadar kembali. Katakan apa yang terjadi sesudah aku tertangkap. Bagaimana aku bisa berada di Gil'ead""
"Para Urgal bekerja untuk Kekaisaran," kata Murtagh singkat, sambil menyibakkan rambutnya ke belakang. "Dan, tampaknya, Shade juga. Saphira dan aku melihat para Urgal menyerahkan dirimu padanya, sekalipun aku tidak mengetahui siapa dirinya waktu itu dan sekelompok prajurit. Merekalah yang membawa dirimu ke Gil'ead."
Memang benar, kata Saphira, yang meringkuk di samping mereka.
Benak Eragon kembali berputar ke para Urgal yang diajaknya berbicara di Teirm dan mengenai "majikan" yang mereka singgung. Yang mereka maksudkan adalah Raja! Aku menghina orang yang paling berkuasa di Alagaesia! ia menyadarinya dengan ketakutan. Lalu ia teringat kengerian melihat para penduduk desa yang dibantai di Yazuac. Kemarahan yang memuakkan mengembang dalam perutnya. Para Urgal berada di bawah perintah Galbatorix! Kenapa Ia melakukan kesintingan seperti itu pada rakyatnya sendiri"
Karena ia jahat, kata Saphira datar.
Dengan marah, Eragon berseru, "Ini berarti perang! Begitu orang-orang Kekaisaran mengetahuinya, mereka akan memberontak dan mendukung kaum Varden."
Murtagh bertopang dagu. "Bahkan kalau mereka mendengar tentang kesintingan ini, hanya sedikit yang akan berhasil menggabungkan diri dengan Varden. Dengan menguasai Urgal, Raja memiliki cukup banyak pasukan untuk menutup perbatasan Kekaisaran dan tetap berkuasa, tidak peduli seberapa kacaunya orang-orang. Dengan kepemimpinan teror seperti itu, ia akan bisa membentuk Kekaisaran sebagaimana yang diinginkannya. Dan sekalipun ia dibenci, orang-orang bisa didorong untuk bergabung dengannya kalau mereka memiliki musuh bersama."
"Siapa itu"" tanya Eragon, kebingungan.
"Para elf dan Varden. Dengan isu yang tepat, mereka bisa digambarkan sebagai monster yang paling jahat di Alagaesia. musuh yang menunggu kesempatan untuk merampas tanah hartamu. Kekaisaran bahkan bisa mengatakan Urgal salah dipahami selama ini dan mereka sebenarnya teman dan sekutu dalam menghadapi musuh-musuh yang begitu menakutkan. Aku hanya ingin tahu apa yang dijanjikan Raja kepada Para Urgal sebagai ganti jasa mereka."
"Tidak akan berhasil," kata Eragon, sambil menggeleng.
"Ti dak ada yang bisa ditipu semudah itu, mengenai Galbatorix dan para Urgal. Lagi pula, kenapa ia berbuat begitu" Ia sudah berkuasa."
"Tapi kekuasaannya ditentang kaum Varden, orang-orang bersimpati pada mereka. Juga ada Surda, yang menentangnya sejak memisahkan diri dari Kekaisaran. Galbatorix kuat di dalam Kekaisaran, tapi lengannya lemah di luar. dan mengenai orang-orang yang melihat melalui kebohongannya, mereka akan memercayai apa pun yang Galbatorix ingin mereka percayai. Sudah pernah terjadi." Murtagh membisu dan menatap murung ke kejauhan.
Kata-katanya merisaukan Eragon. Saphira menyentuh Eragon dengan pikirannya. Ke mana Galbatorix mengirim para Urgal" Apa"
Baik di Carvahall maupun Teirm, kau mendengar para Urgal meninggalkan ka wasannya dan bermigrasi ke tenggara, seakan untuk menantang Padang Pasir Hadarac. Kalau Raja memang benar-benar mengendalikan mereka, kenapa ia mengirim mereka ke sana" Mungkin ada pasukan Urgal yang dikumpulkan untuk digunakannya sendiri atau mereka sedang membangun kota Urgal
Eragon menggigil memikirkannya. Aku terlalu kelelahan untuk bisa menebaknya. Apa pun rencana Galbatorix, yang pasti, itu hanya akan menyusahkan kita. Aku hanya berharap kita mengetahui di mana kaum Varden berada. Ke sanalah kita seharusnya pergi, tapi kita tersesat tanpa Dormnad. Tidak peduli apa pun yang kita lakukan; Kekaisaran akan menemukan kita.
Jangan menyerah, Saphira memberi semangat, lalu menambahkan dengan datar, meskipun kau mungkin benar Terima kasih. Eragon memandang Murtagh. "Kau mempertaruhkan keselamatanmu sendiri untuk menyelamatkan diriku, aku berutang budi padamu untuk itu. Aku tidak bisa melarikan diri sendirian." Tapi ada sesuatu yang lebih daripada itu. Ada ikatan di antara mereka sekarang, diperkuat persaudaraan dalam pertempuran dan ditempa kesetiaan yang ditunjukkan Murtagh.
"Aku hanya senang bisa membantu. Itu..." Murtagh terdiam dan mengusap wajahnya. "Kekhawatiran utamaku sekarang adalah bagaimana kita akan melanjutkan perjalanan sementara begitu banyak orang mencari kita. Para prajurit Gil'ead akan memburu kita besok; begitu mereka menemukan jejak kuda, mereka akan mengetahui kau tidak terbang pergi dengan Saphira."
Eragon menyetujui dengan muram. "Bagaimana caramu masuk ke istana""
Murtagh tertawa pelan. "Dengan membayar suap yang gila-gilaan dan merangkak melalui lubang pembuangan. Tapi rencana itu tidak akan berhasil tanpa Saphira. Ia," Murtagh
berhenti dan mengarahkan kata-katanya kepada naga itu, "kau, adalah satu-satunya alasan mengapa kita bisa melarikan diri dengan selamat."
Eragon dengan khidmat menyentuh leher Saphira yang bersisik. Sementara Saphira menggumam puas, Eragon menatap wajah elf itu, terpesona. Dengan enggan, ia memaksa diri bangkit. "Kita harus membuat tempat tidur untuk elf ini."
Murtagh berdiri dan menghamparkan selimut untuk elf itu. Sewaktu mereka mengangkat si elf ke sana, pergelangan tangan bajunya tercabik sebatang ranting. Eragon hendak menjepit kain yang robek itu, lalu tersentak.
Lengan elf itu dipenuhi memar dan luka; beberapa setengah sembuh, lainnya masih baru dan mengucurkan darah. Eragon menggeleng marah dan menggulung lengan baju elf itu lebih tinggi. Luka-lukanya terus hingga ke bahu. Dengan jemari gemetar, ia membuka bagian punggung kemeja elf tersebut, takut pada apa yang ada di baliknya.
Saat baju kulitnya terbuka, Murtagh memaki. Punggung elf itu kuat dan berotot, tapi dipenuhi bekas luka kering yang menyebabkan kulitnya tampak seperti lumpur kering yang pecah-pecah. Elf itu telah dicambuki tanpa ampun dan ditempeli besi panas berbentuk cakar. Kulitnya yang masih utuh berwarna ungu kehitaman akibat pukulan berulang. Dibahu kirinya terdapat tato dari tinta biru. Tato itu sama seperti simbol yang ada pada batu safir cincin Brom. Eragon diam-diam bersumpah akan membunuh siapa pun yang bertanggung jawab atas penyiksaan elf itu.
"Kau bisa menyembuhkannya"" tanya Murtagh.
Entahlah," kata Eragon. Ia menahan perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul. "Begitu banyak." Eragon memanggil Saphira dengan tajam. Ia elf Ia tidak boleh dibiarkan tewas. Lelah
atau tidak, lapar atau tidak, kau harus menyelamatkan dirinya. Akan kugabungkan kekuatanku dengan kekuatanmu, tapi kau yang harus mengerahkan sihirnya.
"Ya... kau benar, gumam Eragon, tidak mampu mengalihkan pandangan dari si elf. Dengan tekad bulat, ia menanggalkan sarung tangan dan berkata pada Murtagh. "Ini akan membutuhkan waktu. Bisa kau carikan makanan untukku" Juga tolong rebuskan kain untuk perban; aku tidak bisa menyembuhkan semua lukanya."
"Kita tidak bisa menyalakan api tanpa terlihat," Murtagh memprotes. "Kau harus menggunakan kain yang tidak direbus, dan makanannya dingin." Eragon meringis tapi menerimanya, Saat ia meletakkan tangan dengan lembut ke tulang punggung elf itu, Saphira duduk di sampingnya, matanya yang berkilau-kilau terpaku ke elf tersebut. Eragon menghela napas dalam, lalu menjangkau kekuatan sihirnya dan mulai bekerja.
Ia mengucapkan kata-kata kuno, "Waise heill!" Panas membara di bawah telapak tangannya, dan kulit baru yang mulus muncul di bawah telapak tangannya, menyatu tanpabekas. Ia melompati beberapa memar dan luka yang tidak berbahaya-menyembuhkan semuanya akan menguras energi yang dibutuhkannya untuk luka-luka yang lebih serius. Saat berusaha, Eragon kagum karena elf itu masihhidup. Ia disiksa berulang-ulang hingga nyaris tewas, Eragon jadi menggigil.
Walaupun mencoba mempertahankan kesopanan, ia mau tidak mau menyadari bahwa di balik luka-luka itu, tubuh si elf luar biasa indah. Eragon kelelahan dan tidak memikirkan lebih jauh hal itu, sekalipun telinganya terkadang memerah dan ia mati-matian berharap Saphira tidak mengetahui apa yang dipikirkannya.
Ia bersusah payah sepanjang subuh, hanya sesekali berhenti sejenak untuk makan dan minum, mencoba memulihkan kondisinya sesudah berpuasa, melarikan diri, dan sekarang menyembuhkan elf itu. Saphira tetap berada di sampingnya meminjamkan kekuatannya kalau bisa. Matahari telah tinggi saat di langit sewaktu Eragon akhirnya berdiri, mengeram saat otot-ototnya yang kaku meregang. Kedua tangannya dan matanya terasa kering dan pedih. Ia berjalan terhuyung-huyung ke atas pelana dan minum anggur cukup banyak.
"Selesai"" tanya Murtagh.
Eragon mengangguk,gemetaran. Ia tidak berani berbicara. Kemah bagai berputar-putar di hadapannya; ia nyaris pingsan. Kau berhasil dengan baik, Saphira menghiburnya.
"Apakah ia akan bertahan hidup""
"entahlah," kata Eragon dengan suara serak. "Elf kuat, tapi bahkan mereka pun tidak bakal mampu menahan siksaan seperti ini. Kalau lebih tahu tentang penyembuhan, aku mungkin bisa membantu membangunkan dirinya, tapi..." Ia memberi isyarat tidak berdaya. Kedua tangannya gemetar begitu hebat hingga ia menumpahkan sebagiananggur. Ia kembali meminumnya untuk menenangkan diri. "Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan"
"Tidak! Kau harus tidur," Murtagh memprotes.
"Aku... bisa tidur di pelana. Tapi kita tidak bisa tetap tinggal di sini, tidak sementara para prajurit itu mengejar kita."
Murtagh menyerah dengan enggan. "Kalau begitu biar aku yang membimbing Snowfire sementara kau beristirahat." Mereka memelanai kuda-kuda kembali, mengikatkan elf itu ke punggung Saphira, dan meninggalkan perkemahan. Eragon makan sambil berkuda, mencoba mengembalikan energinya yang terkuras sebelum menyandar ke depan pada Snowfire dan memejamkan mata mencoba sejenak untuk bisa tidur meski sebentar.
AIR DARI PASIR Sewaktu mereka berhenti malam harinya, Eragon tidak merasa lebih baik dan suasana hatinya memburuk.
Hampir sepanjang hari mereka habiskan untuk melakukan perjalanan-perjalanan yang meleset jauh untuk menghindari deteksi para prajurit yang membawa anjing pemburu. Ia turun dari Snowfire dan bertanya pada Saphira, Bagaimana keadaan elf itu"
Kupikir sekarang tidak lebih buruk daripada sebelumnya. Ia bergerak beberapa kali, tapi hanya itu. Saphira berjongkok rendah di tanah agar Eragon bisa menurunkan elf itu dari pelana. Sejenak sosok elf yang lembut menekan tubuh Eragon. Lalu ia bergegas membaringkan wanita tersebut. Ia dan Murtagh menyiapkan sedikit makan malam. Sulit bagi mereka untuk mengalahkan keinginan tidur. Sesudah makan, Murtagh berkata,
"Kita tidak bisa terus berjalan seperti ini; kita tidak semakin jauh dari para prajurit itu. Satu atau dua hari lagi seperti ini dan mereka pasti berhasil mengejar kita."
"Apa lagi yang bisa kita lakukan"" sergah Eragon. "Kalau hanya kita berdua dan kau bersedia meninggalkan Tornac' Saphira bisa menerbangkan kita dari sini. Tapi dengan elfnya juga" Mustahil."
Murtagh memandangnya dengan hati-hati. "Kalau kau ingin pergi sendiri, aku tidak akan melarangmu. Aku tidak bisa mengharapkan kau dan Saphira tetap tinggal dan mengambil risiko dipenjara."
"Jangan menghinaku," gumam Eragon. "Satu-satunya alasan aku bisa bebas adalah dirimu. Aku tidak akan meninggalkanmu untuk diserahkan pada Kekaisaran. Ucapan terima kasih macam apa itu!"
Murtagh menunduk. "Kata-katamu menggembirakanku." Ia diam sejenak. "Tapi tidak memecahkan masalah kita."
"Apa yang bisa"" tanya Eragon. Ia memberi isyarat ke arah elf. Seandainya ia bisa memberitahu kita di mana para elf berada, mungkin kita bisa berlindung di tempat mereka."
"Mengingat cara para elf melindungi diri sendiri, aku ragu ia bersedia mengungkapkan lokasi mereka. Bahkan kalau ia memberitahukannya, para elf yang lain mungkin tidak menerima kehadiran kita. Lagi pula kenapa mereka harus melindungi kita" Penunggang terakhir yang berhubungan dengan mereka adalah Galbatorix dan para Terkutuk. Aku ragu hubungan itu meninggalkan kenangan yang tidak menyenangkan. Dan aku bahkan tidak mendapat kehormatan untuk menjadi Penunggang seperti dirimu. Tidak, mereka tidak akan menginginkan diriku sama sekali."
Mereka akan menerima kita, kata Saphira yakin sambil menggeser sayap ke posisi yang lebih nyaman.
Eragon mengangkat bahu. "Bahkan kalau mereka bersedia melindungi kita, kita tidak bisa menemukan mereka, dan mustahil menanyakan tempat mereka pada elf ini sebelum ia sadar kembali. Kita harus melarikan diri, tapi ke arah mana utara, selatan, timur, atau barat""
Murtagh menggenggam jemarinya sendiri dan menekankan ibu jarinya ke kening. "Kupikir satu-satunya tindakan yang bisa kita ambil adalah meninggalkan Kekaisaran. Beberapa tempat yang aman di dalam Kekaisaran berada jauh dari sini. Kita sulit mencapainya tanpa tertangkap atau diikuti.... Tidak ada apa pun bagi kita di utara kecuali hutan Du Weldenvarden-di sana kita mungkin bisa bersembunyi, tapi tidak suka kembali melintasi Gil'ead. Hanya Kekaisaran
dan laut yang ada di sebelah barat. Di selatan ada Surda, di mana kau mungkin bisa menemukan orang yang bisa menunjukkan arah ke kaum Varden padamu. Sedang ke timur..."
Ia mengangkat bahu. "Ke timur, Padang Pasir Hadarac membentang di antara kita dan tanah apa pun yang ada di arah itu. Kaum Varden ada di suatu tempat di seberangnya, tapi tanpa petunjuk arah kita bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menemukan mereka."
Tapi kita akan aman, kata Saphira. Selama kita tidak menemui Urgal.
Eragon mengerutkan kening. Pusing mengancam akan menenggelamkan pikirannya dalam denyutan-denyutan panas. Terlalu berbahaya untuk pergi ke Surda. Kita harus melintasi sebagian besar wilayah Kekaisaran, menghindari setiap kota dan desa. Terlalu banyak orang di antara tempat kita sekarang dan Surda untuk bisa tiba di sana tanpa menarik perhatian."
Murtagh mengangkat alis. "Jadi kau mau menyeberangi padang pasir""
"Aku tidak melihat ada pilihan lain. Lagi pula, dengan begitu kita bisa meninggalkan Kekaisaran sebelum Ra'zac tiba di sini. Dengan tunggangan terbang mereka, mereka mungkin akan tiba di Gil'ead dalam dua hari, jadi kita tidak memiliki banyak waktu."
"Bahkan kalau kita bisa mencapai padang pasir sebelum mereka tiba di sini," kata Murtagh, "mereka masih bisa mengejar kita. Sulit menjauhi mereka sama sekali."
Eragon menggosok-gosok sisi tubuh Saphira, sisik-sisik Saphira terasa kasar di bawah jemarinya. "Itu dengan anggapan mereka bisa mengikuti jejak kita. Tapi, untuk menangkap kita, mereka harus meninggalkan para prajurit di belakang, yang menguntungkan kita. Kalau terpaksa bertempur, kupikir kita bertiga bisa mengalahkan mereka... selama kita tidak disergap sebagaimana yang kualami bersama Brom."
"Kalau kita bisa mencapai sisi seberang Hadarac dengan aman," 'kata Murtagh perlahan-lahan, "kita akan ke mana. Tanah itu berada di luar Kekaisaran. Hanya ada sedikit kota, kalau ada. Lalu padang pasirnya sendiri. Apa yang kau ketahui mengenai padang pasir itu""
"Hanya bahwa tempat itu panas, kering, dan penuh pasir," Eragon mengakui.
"Kurang-lebih memang begitu," jawab Murtagh. "Tempat itu penuh tanaman beracun yang tidak bisa dimakan ular dkalajengking beracun, dan matahari yang sangat menyengat. Kau melihat dataran luas dalam perjalanan kita ke Gil'ead""
Pertanyaan itu tidak memerlukan jawaban, tapi Eragon tetap menjawabnya, "Ya, dan sekali sebelumnya."
"Kalau begitu kau tahu luasnya. Padang itu merupakan jantung Kekaisaran. Sekarang bayangkan sesuatu yang dua atau tiga kali lipat itu, dan kau akan memahami luasnya padang Pasir Hadarac. Itulah yang hendak kau seberangi."
Eragon mencoba membayangkan kawasan seluas itu tapi tidak mampu memahami jarak yang ada. Ia mengambil peta Alagaesia dari, tas pelana. Perkamen itu berbau busuk sewaktu ia membentangkannya ditanah. Ia memeriksa dataran itu dan menggeleng takjub. "Tidak heran Kekaisaran berakhir di padang pasir. Segala sesuatu di seberang padang pasir terlalu jauh untuk bisa dikendalikan Galbatorix."
Murtagh menyapukan tangan di sebelah kanan perkamen. "Semua tanah di seberang padang pasir, yang kosong dalam peta ini, berada di bawah satu kekuasaan sewaktu para Penunggang masih hidup. Kalau Raja berhasil membuat para penunggang berada di bawah perintahnya, ia akan bisa memperluas Kekaisaran hingga lebih luas daripada kapan pun. Tapi bukan itu yang ingin kusampaikan padamu. Padang Pasir Hadarac begitu luas dan berisi begitu banyak bahaya, tipis kemungkinan kita bisa menyeberanginya tanpa terluka. Itu jalur yang sangat berat."
"Kita memang nekat," kata Eragon tegas. Ia mempelajari peta dengan hati-hati. "Kalau berjalan melewati tengah padang pasir, kita bakal membutuhkan waktu lebih daripada sebulan, atau bahkan dua bulan, untuk bisa menyeberanginya. Tapi kalau kita mengarah ke tenggara, ke Pegunungan Beor, kita bisa melintasinya jauh lebih cepat. Lalu kita bisa menyusuri Pegunungan Beor lebih jauh ke timur ke dalam hutan atau ke Surda di barat. Kalau peta ini akurat, jarak antara tempat ini dan Beor kurang-lebih sama seperti yang kita tempuh untuk menuju Gil'ead."
"'Tapi, perjalanan itu memakan waktu nyaris sebulan!"
Eragon menggeleng tidak sabar. "Perjalanan kita ke Gil'ead lambat karena luka-lukaku. Kalau memaksa diri, kita hanya memerlukan sepersekian dari perjalanan yang lalu untuk tiba Pegunungan Beor."
"Cukup. Kau benar," Murtagh mengakui. "Tapi sebelum menyetujui, ada masalah yang harus dipecahkan. Seperti yang aku yakin kau sadari, aku membeli pasokan untuk kita dan kuda-kuda sementara kita di Gil'ead. Tapi bagaimana cara mendapatkan air" Suku-suku nomaden yang tinggal di Hadarac biasanya menyamarkan sumur dan oase mereka agar tidak ada yang bisa mencuri air. Dan membawa air yang cukup banyak untuk perjalanan lebih dari sehari tidak praktis. Pikirkan saja berapa banyak yang diperlukan Saphira untuk minum! Ia dan kuda-kuda sekali minum mengkonsumsi air lebih banyak daripada yang kita butuhkan untuk seminggu. Kecuali kau bisa menurunkan hujan setiap kali kita membutuhkannya, aku tidak tahu bagaimana kita bisa menempa arah yang kau sarankan."
Eragon bergoyang-goyang dengan bertumpu pada tumit. Menurunkan hujan jauh di luar kemampuannya. Ia menduga Penunggang yang paling kuat pun tidak sanggup melakukannya. Memindahkan air sebanyak itu sama seperti mencoba mengangkat gunung. Ia membutuhkan solusi yang tidak akan menguras seluruh energinya. Aku ingin tahu apakah mungkin mengubah pasir menjadi air" Dengan begitu masalah kita akan terpecahkan, tapi hanya kalau usaha itu tidak menguras banyak tenaga.
"Aku ada gagasan," katanya. "Biarkan aku melakukan percobaan, lalu akan kuberitahukan jawabannya padamu." Eragon berjalan keluar dari perkemahan, Saphira mengikuti rapat di belakangnya.
Apa yang akan kaulakukan" tanya Saphira.
"Entahlah," gumam Eragon. Saphira, kau bisa membawa air se
cukupnya untuk kita"
Saphira menggelengkan kepalanya yang besar. Tidak bisa, aku tidak akan mampu mengangkat beban seberat itu, apalagi terbang membawanya.
Sayang sekali. Ia berlutut dan mengambil batu yang berlubang cukup besar untuk menampung seteguk air. Ia menjajalkan segumpal tanah ke dalam lubang itu dan mengamatinya dengan teliti. Sekarang tiba bagian yang sulit. Entah bagaimana ia harus mengubah tanah itu menjadi air. Tapi kata apa yang harus kugunakan" Ia memikirkannya sejenak, lalu memilih dua kata yang diharapkannya akan berhasil. Sihir sedingin es mengaliri dirinya saat ia menembus penghalang yang dikenalinya dalam benaknya dan memerintahkan, "Deloi moi!"
Seketika tanah mulai menyerap kekuatannya dengan kecepatan yang luar biasa. Eragon kembali teringat peringatan Brom bahwa tugas-tugas tertentu bisa menyerap semua kekuatannya dan menghabisi nyawanya. Kepanikan merekah di dadanya. Ia mencoba melepaskan sihirnya tapi tidak bisa. Sihir itu terkait dengan dirinya hingga tugas itu selesai atau ia tewas. Ia hanya bisa berdiam diri, semakin lama semakin lemah.
Tepat pada saat ia yakin dirinya akan tewas dalam keadaan berlutut di sana, tanah berpendar dan berubah menjadi air.
Dengan perasaan lega, Eragon menyandar, terengah-engah.
Jantungnya berdebar-debar menyakitkan dan lapar menggerogoti perutnya.
Apa yang terjadi" tanya Saphira.
Eragon menggeleng, masih shock akibat terkurasnya tenaga dalam dirinya. Ia bersyukur karena tidak berusaha mengubah apa pun yang lebih besar lagi. Ini... ini tidak bisa, katanya.
Aku bahkan tidak memiliki kekuatan untuk minum.
Kau seharusnya lebih hati-hati, tegur Saphira. Sihir bisa mendatangkan hasil yang tidak terduga kalau kata-kata kuno dikombinasikan dengan cara baru.
Eragon memelototi Saphira. Aku tahu itu, tapi hanya ini satu-satunya cara untuk menguji gagasanku. Aku tidak akan menunggu sesudah kita berada di padang pasir! Ia mengingatkan diri bahwa Saphira hanya berusaha membantu. Bagaimana caramu mengubah makam Brom menjadi berlian tanpa membunuh dirimu sendiri" Aku nyaris tidak mampu menangani sebongkah tanah, apalagi semua batu pasir itu.
Aku tidak tahu bagaimana caraku melakukannya, kata Saphira tenang, Terjadi begitu saja.
Kau bisa melakukannya lagi, tapi kali ini membuat air"
Eragon, kata Saphira, memandang lurus ke wajah Eragon.
Aku sama tidak bisa mengendalikan kemampuanku, seperti labah juga. Hal-hal seperti itu terajadi baik aku menginginkannya atau tidak Brom pernah membertahumu bahwa kejadian-kejadian yang tidak biasa berlangsung di sekitar naga. Ia mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak menjelaskan, dan aku juga tidak bisa menjelaskan. Terkadang aku bisa mengubah hanya dengan perasaanku, nyaris tanpa berpikir. Saat-saat lain seperti sekarang ini aku sama tidak berdayanya seperti Snowfire.
Kau tidak pernah tidak berdaya, kata Eragon lembut, Sambil memegang leher Saphira. Mereka sama-sama membisu dalam waktu yang lama. Eragon teringat makam yang dibuatnya dan bagaimana Brom terbaring didalamnya. Ia masih bisa melihat batu pasir mengalir menutupi wajah pria tua. "Setidaknya kita memberinya pemakaman yang layak," bisiknya.
Sambil melamun ia menggores-gores tanah, membuat beberapa ceruk yang berliku-liku. Dua ceruk itu membentuk miniatur lembah, jadi ia menambahkan pegunungan di sekelilingnya. Dengan kuku jarinya ia menggurat sungai di lembah, lalu memperdalamnya karena sungai itu tampak terlalu dangkal. Ia menambahkan beberapa rincian hingga ia mendapati dirinya menatap reproduksi Lembah Palancar yang cukup mirip. Kerinduan akan rumah menggumpal dalam dirinya, dan ia memusnahkan lembah itu dengan sapuan tangan. Aku tidak ingin membicarakannya, gumamnya marah, menolak pertanyaan Saphira. Ia bersedekap dan melotot ke tanah. Hampir di luar kehendaknya, pandangannya terarah kembali ke tempat ia tadi menggalitanah. Ia menegakkan tubuh, terkejut. Walaupun tanah kering, ceruk yang dibuatnya dilapisi kelembapan. Penasaran, ia menggaruk tanah lagi dan mendapati lapisan basah beberapa inci di bawah permukaan. "Lihat ini!" serunya penuh semangat.
Saphira menundukkan kepala ke arah p
enemuan itu. Bagaimana ini bisa membantu kita" Air di padang pasir Jelas terkubur begitu dalam hingga kita harus menggali selama berminggu-minggu untuk menemukannya.
Ya, kata Eragon dengan gembira, tapi selama airnya ada di sana, aku bisa mendapatkannya. Perhatikan! Ia memperdalam lubangnya lalu meraih kekuatan sihirnya. Bukannya mengubah tanah menjadi air, ia mengumpulkan kelembapan yang sudah ada di dalam tanah. Diiringi gemericik pelan, air mengalir ke dalam lubang. Ia tersenyum dan mencicipi air itu. Cairan itu sejuk dan murni, sempurna untuk diminum. Lihat! Kita bisa mendapatkan semua yang kita butuhkan.
Saphira mengendus genangan itu. Di sini, ya. Tapi di padang pasir" Mungkin tidak banyak air di tanah yang bisa kita tarik ke permukaan.
Ini bisa berhasil, Eragon meyakinkannya. Aku hanya perlu mengangkat airnya, tugas yang cukup mudah. Selama aku melakukannya perlahan-lahan, kekuatanku akan bertahan. Bahkan kalau aku harus menarik air dari kedalaman lima puluh langkah, tidak menjadi masalah. Terutama kalau kau membantuku.
Saphira menatapnya ragu. Kau yakin" Pikirkan jawabanmu dengan hati-hati, karena kalau kau keliru keselamatan kitalah yang dipertaruhkan.
Eragon ragu-ragu, lalu berkata tegas, Aku yakin.
Kalau begitu beritahu Murtagh. Aku akan berjaga sementara kalian tidur.
Tapi kau sudah berjaga sepanjang malam seperti kami, Eragon memprotes. Kau harus beristirahat.
Aku baik-baik saja aku lebih kuat daripada yang kauketahui, kata Saphira lembut. Sisik-sisiknya bergemerisik saat ia meringkuk dengan pandangan waspada terarah ke utara, ke arah para pengejar mereka. Eragon memeluknya, dan Saphira menggumam dalam, sisi-sisinya bergetar. Pergilah.
Eragon masih berdiri di tempatnya, lalu dengan enggan kembali ke Murtagh, yang bertanya, " Well" Apakah padang pasirnya terbuka bagi kita""
"Ya," kata Eragon. Ia berbaring di atas selimut dan menjelaskan apa yang barusan diketahuinya. Sesudah selesai, Eragon berpaling memandang si elf. Wajah elf itu adalah pemandangan terakhir yang dilihatnya sebelum ia tidur.
SUNGAI Ramr Mereka memaksa diri untuk terjaga lebih awal menjelang subuh. Eragon menggigil dalam udara dingin. "Bagaimana cara kita membawa elf ini" Ia tidak bisa menunggang Saphira lebih lama lagi tanpa terluka akibat sisik-sisik Saphira. Saphira tidak bisa membawanya dengan cakar-itu membuatnya kelelahan dan menyebabkan pendaratan menjadi berbahaya. Tandu juga tidak akan berhasil; tandunya akan hancur berantakan sementara kita berkuda, dan aku tidak ingin kuda-kuda diperlambat oleh berat orang lain lagi."
Murtagh mempertimbangkan masalah itu sambil memasang pelana Tornac. "Kalau kau menunggang Saphira, kita bisa mengikat elf itu di Snowfire, tapi kita menghadapi masalah yang sama dengan lukanya."
Aku ada solusi, kata Saphira tanpa terduga. Bagaimana kalau kalian mengikatkan saja elf itu ke perutku" Aku masih bisa bergerak bebas, dan ia akan lebih aman daripada di tempat lain mana pun. Satu-satunya bahaya hanyalah kalau para prajurit memanahku, tapi aku bisa dengan mudah terbang lebih Kuat daripada jangkauan panah.
Tidak satu pun dari mereka yang mendapat gagasan yang lebih baik, jadi mereka bergegas melaksanakan usul Saphira. Eragon melipat salah satu selimut hingga separo panjangnya melilitkannya pada tubuh elf yang mungil, lalu menggendongnya ke Saphira. Selimut dan pakaian cadangan dikorbankan menjadi tali-tali yang cukup panjang untuk mengelilingi tubuh Saphira. Dengan tali-tali itu, elfnya terikat memunggungi perut Saphira, kepalanya berada di sela kaki depan naga itu. Eragon memandang hasil kerja mereka.
"Aku khawatir sisik-sisikmu akan memotong talinya."
"Kita harus sering memeriksanya untuk memastikan tidak ada yang putus," kata Murtagh.
Kita berangkat sekarang" tanya Saphira, dan Eragon mengulanginya.
Mata Murtagh berkilau-kilau berbahaya, senyum kaku merekah di wajahnya. Ia memandang kembali ke arah kedatangan mereka, tempat asap perkemahan para prajurit terlihat jelas, dan berkata, "Sejak dulu aku menyukai lomba adu cepat."
"Dan sekarang kita berlomba demi keselamatan kita!"
Murtagh naik ke pelana Tornac
dan berderap meninggalkan perkemahan. Eragon mengikuti rapat di belakangnya di punggung Snowfire. Saphira melompat ke udara bersama si elf. Ia terbang rendah di permukaan tanah agar tidak terlihat para prajurit. Dengan cara ini, mereka bertiga melanjutkan perjalanan ke tenggara menuju Padang Pasir Hadarac di kejauhan.
Sambil berkuda Eragon selalu mewaspadai para pengejarnya. Benaknya berulang kali melayang ke si elf. Elf! Ia melihat elf, dan elf itu sekarang bersama mereka! Ia ingin tahu pendapat Roran mengenai hal itu. Terlintas dalam benaknya bahwa kalau ia pernah kembali ke Carvahall, ia pasti sulit meyakinkan orang-orang bahwa petualangannya benar-benar terjadi.
Sepanjang sisa hari itu Eragon dan Murtagh melaju kencang melintasi kawasan, mengabaikan ketidaknyamanan dan kelelahan. Mereka memacu kuda-kuda sekeras mungkin tanpa membunuh kedua hewan itu. 'Terkadang mereka turun dan berlari agar Tornac dan Snowfire bisa beristirahat. Hanya dua kali mereka berhenti-keduanya demi memberi kesempatan pada kuda-kuda untuk makan dan minum.
Sekalipun para prajurit dari Gil'ead berada jauh di belakang, bagian dan Murtagh ternyata harus menghindari prajurit baru setiap kali melintasi kota atau desa. Entah bagaimana peringatan telah dikirim mendului mereka. Dua kali mereka nyaris disergap di sepanjang jalan setapak, mereka berhasil meloloskan diri hanya karena Saphira kebetulan mencium bau orang di depan mereka. Sesudah kejadian kedua, mereka, meninggalkan jalan setapak sepenuhnya.
Senja mengaburkan daerah pedalaman saat malam membentangkan selimut hitam menutupi langit. Mereka berjalan sepanjang malam, tanpa kenal lelah melintasi bermil-mil. Di tengah malam, tanah di bawah mereka mulai meninggi membentuk bukit-bukit rendah yang dihiasi kaktus.
Murtagh menunjuk ke depan. "Ada kota di sana, Bullridge, beberapa kilometer ke depan, yang harus kita lewati. Mereka pasti sudah menyiapkan para prajurit, berjaga-jaga terhadap kedatangan kita. Kita harus mencoba menyelinap melewati mereka sekarang mumpung cuaca masih gelap."
Tiga jam kemudian mereka melihat deretan lentera kuning Bullridge. Prajurit berpatroli di antara obor-obor yang bertebaran di seluruh kota. Eragon dan Murtagh menutupi sarung pedang dan dengan hati-hati turun dari kuda. Mereka membimbing kuda-kuda jauh mengitari Bullridge, sambil mendengarkan dengan penuh perhatian agar tidak melewati perkemahan prajurit.
Sesudah kota berada di belakang mereka, Eragon merasa agak santai. Pagi akhirnya memenuhi langit dengan sapuan warna yang halus dan menghangatkan udara malam yang dingin. Mereka berhenti di puncak bukit untuk mengamati sekeliling. Sungai Ramr mengalir di sebelah kiri mereka, tapi juga ada di lima mil di kanan mereka. Sungai terus mengalir ke selatan sejauh beberapa mil, lalu berputar balik dalam lengkungan sempit sebelum meliuk ke barat. Mereka menempuh 48 mil dalam satu hari.
Eragon menyandar ke leher Snowfire, merasa gembira karena jarak yang mereka lalui. "Kita cari ceruk tempat kita bisa tidur tanpa terganggu. Mereka berhenti di sekelompok kecil pohon juniper dan menghamparkan selimut di bawa mereka. Saphira menunggu dengan sabar sementara mereka melepaskan ikatan elf dari perutnya.
"Aku yang akan berjaga duluan dan akan kubangunkan kau menjelang siang nanti, kata Murtagh, sambil meletakkan pedang terhunus melintang di lututnya. Eragon menyetujui dan menarik selimut hingga menutupi bahu"
Saat malam tiba mereka masih lelah dan mengantuk tapi bertekad bulat untuk melanjutkan perjalanan. bersiap-siap berangkat, Saphira berkata pada Eragon, Ini malam ketiga sejak kami menyelamatkan kau dan Gil'ead, dan elf ini, masih belum juga siuman. Aku khawatir. Dan, lanjutnya, ia tidak makan atau minum selama ini. Hanya sedikit yang kuketahui tentang para elf, tapi ia ramping, dan aku ragu ia mampu bertahan lebih lama lagi tanpa nutrisi.
"Ada apa"" tanya Murtagh dari belakang Tornac.
"Elfnya," kata Eragon, sambil menunduk memandang wanita itu. "Saphira merasa resah karena ia belum siuman atau makan, aku juga merasa risau karenanya. Luka-lukanya sudah kusembuhkan, setidaknya di pe
rmukaan, tapi rasanya tidak berguna."
"Mungkin Shade mengutak-atik benaknya," tebak Murtagh.
"Kalau begitu kita harus membantunya."
Murtagh berlutut di samping elf itu. Ia memeriksanya dengan teliti, lalu menggeleng dan berdiri. "Sepanjang yang bisa kukatakan, ia hanya tidur. Tampaknya aku bisa membangunkannya dengan sepatah kata atau dengan menyentuhnya, tapi ia terus tidur. Komanya mungkin jenis yang dipicu sendiri, semacam kemampuan elf untuk menghindari sakit akibat luka, tapi kalau benar begitu, kenapa ia tidak mengakhirinya" Tidak ada bahaya yang mengancamnya sekarang."
"Tapi apakah ia mengetahuinya"" tanya Eragon dengan suara pelan.
Murtagh memegang bahu Eragon. "Ini harus menunggu. Kita harus pergi sekarang, kalau tidak kita menanggung risiko kehilangan keuntungan jarak yang kita dapatkan dengan susah payah ini. Kau bisa merawatnya nanti kalau kita berhenti."
"'Memang harus satu per satu, ya," kata Eragon. Ia merendam sehelai kain, lalu memeras kain itu hingga airnya menetes di bibir si elf. Ia melakukannya beberapa kali dan mengusap dahi di atas alis si elf yang lurus, dengan perasaan melindungi yang terasa aneh.
Mereka menuju perbukitan, menghindari puncaknya karena takut terlihat para penjaga. Saphira mendampingi mereka di darat untuk alasan yang sama. Sekalipun tubuhnya besar ia bisa bergerak tanpa suara; hanya ekornya yang terdengar menggeser di tanah, seperti ular biru raksasa.
Akhirnya langit di timur terang-benderang. Bintang pagi Aiedail muncul saat mereka tiba di tepi sungai yang curam dan tertutup sesemakan. Air menderu di bawahnya saat melintasi bongkahan-bongkahan batu dan menerjang cabang-cabang.
Ramr" kata Eragon mengatasi keributan.
Murtagh mengangguk. "Ya! Kita harus menemukan tempat untuk bisa menyeberanginya dengan aman."
Tidak perlu, kata Saphira. Aku bisa menyeberangkan kalian, selebar apa pun sungainya.
Eragon menatap sosok Saphira yang biru kelabu. Bagaimana dengan kuda-kuda" Kita tidak bisa meninggalkan kuda-kudanya. Mereka terlalu berat bagimu.


Eragon Karya Christhoper Paolini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selama kalian tidak menungganginya dan mereka tidak terlalu meronta-ronta, aku yakin bisa membawa mereka. Kalau aku bisa menghindari anak panah sementara tiga orang menunggangi punggungku, aku jelas bisa menerbangkan seekor kuda dalam garis lurus menyeberangi sungai.
Aku percaya, tapi sebaiknya tidak kita coba kecuali terpaksa. Itu terlalu berbahaya.
Saphira menuruni tepi sungai. Kita tidak bisa membuang-buang waktu di sini.
Eragon mengikutinya, sambil membimbing Snowfire. Tepi sungai berakhir tiba-tiba di Ramr, di mana sungainya mengalir hitam dan deras. Kabut putih melayang di atas permukaan air, seperti darah yang menguap di musim dingin. Mustahil untuk melihat sisi seberang. Murtagh melemparkan sebatang cabang ke arus dan mengawasinya melesat pergi, timbul tenggelam dalam derasnya air.
"Menurutmu seberapa dalamnya"" tanya Eragon.
"Entahlah," kata Murtagh, kekhawatiran menghiasi suaranya. "Kau bisa melihat seberapa jauh tepi seberang dengan sihir""
"Kurasa tidak, tidak tanpa menerangi tempat ini seperti mercusuar."
Diiringi embusan udara, Saphira lepas landas dan membubung di atas Ramr. Beberapa saat kemudian, ia berkata, Aku ada di seberang. Lebar sungainya lebih dari setengah mil. kalian tidak bisa memilih tempat yang lebih buruk lagi untuk menyeberang, Ramr berbelok di sini dan ini yang paling lebar.
"Setengah mil!" seru Eragon. Ia memberitahu Murtagh mengenai tawaran Saphira untuk menerbangkan mereka.
"Aku lebih suka tidak mencobanya, demi kuda-kuda. Tornac tidak seterbiasa Snowfire dalam menghadapi Saphira. Ia panik dan melukai mereka berdua. Minta Saphira mencari tempat dangkal di mana kita bisa berenang dengan aman. Kalau tidak ada satu pun dalam radius satu mil ke kedua arah, kurasa tak ada pilihan lain kecuali ia menyeberangkan kita."
Sesuai permintaan Eragon, Saphira setuju mencari bagian sungai yang dangkal. Sementara ia menjelajah, mereka duduk di samping kuda-kuda dan menyantap roti kering. Saphira kembali tidak lama kemudian, sayapnya yang bagai beludru berbisik di langit subuh. Sungainya dalam dan panjang, ke hilir maupun ke hulu.
Begitu diberitahu, Murtagh berkata, "Sebaiknya aku yang menyeberang lebih dulu, agar aku bisa mengawasi kudakuda." Ia bergegas naik ke punggung Saphira. "Hati-hati dengan Tornac. Aku sudah bertahun-tahun memilikinya. Aku tidak ingin terjadi apa-apa padanya." Lalu Saphira membubung.
Sewaktu ia kembali, elf yang pingsan telah dilepaskan dari perutnya. Eragon membimbing Tornac mendekati Saphira, mengabaikan ringkikan pelan hewan itu. Saphira mengangkat kedua kaki depannya untuk mencengkeram kuda itu di bagian perut. Eragon menatap cakar-cakarnya yang besar dan berkata, "Tunggu" Ia mengatur kembali posisi selimut pelana Tornac, mengikatkannya ke perut hewan itu agar melindungi bagian bawahnya yang lunak, lalu memberi isyarat kepada saphira agar melanjutkan.
Tornac mendengus ketakutan dan mencoba melarikan diri sewaktu kedua kaki depan Saphira menjepit sisi-sisi tubuhnya, tapi Saphira memeganginya erat-erat. Kuda itu memutar bola matanya dengan liar, bagian putihnya mengelilingi pupilnya yang mengecil. Eragon mencoba menenangkan Tornac dengan pikirannya, tapi kepanikan kuda itu menolak sentuhannya. Sebelum Tornac sempat melarikan diri, Saphira melompat ke udara, kaki belakangnya mendorong begitu kuat hingga cakar-cakarnya membekas pada bebatuan di bawahnya. Sayapnya mengepak mati-matian, berjuang keras mengangkat beban yang luar biasa itu. Sejenak tampaknya ia akan jatuh kembali ke tanah. Lalu, dengan menerjang, ia melesat ke udara. Tornac meringkik ngeri, sibuk menendang dan meronta. Suaranya mengerikan, seperti deritan logam.
Eragon memaki, bertanya dalam hati apakah ada orang di dekatnya yang bisa mendengar. Sebaiknya kau bergegas, Saphira ia mendengarkan suara kedatangan prajurit saat menunggu mengamati sekitarnya yang gelap untuk mencari cahaya obor. Tidak lama kemudian ia melihat barisan penunggang kuda yang menuruni tanjakan tiga mil jauhnya.
Saat Saphira mendarat, Eragon membimbing Snowfire mendekatinya. Hewan bodoh Murtagh histeris. Murtagh terpaksa mengikat Tornac agar tidak melarikan diri. Ia mencengkeram Snowfire dan membawanya terbang, tidak memedulikan protes ribut yang dilontarkan hewan itu. Eragon mengawasi kepergiannya, merasa kesepian di malam hari. Para penunggang kuda hanya satu mil lagi jauhnya.
Akhirnya Saphira menjemputnya, dan tidak lama kemudian mereka kembali menjejak tanah, dengan Sungai Ramr di belakang. Begitu kuda-kuda tenang dan pelana diperbaiki posisinya, mereka melanjutkan pelarian ke Pegunungan Beor. Udara dipenuhi jeritan burung-burung yang bangun menyambut hari baru.
Eragon tertidur bahkan sewaktu berjalan. Ia nyaris tidak menyadari Murtagh juga sama mengantuknya. Ada saat ketika tidak satu pun dari mereka mengarahkan kuda-kuda, dan hanya keawasan Saphira yang menyebabkan mereka tidak berubah arah.
Akhirnya tanah menjadi lunak dan melesak di bawah mereka, memaksa mereka berhenti. Matahari telah tinggi di atas kepala. Sungai Ramr tidak lebih dari garis samar dibelakang mereka.
Mereka tiba di Padang Pasir Hadarac.
PADANG PASIR HADARAC Bukit-bukit pasir yang luas membentang ke kaki langit seperti riak lautan. Semburan angin memutar pasir merah keemasan ke udara. Pepohonan yang kering kerontang tumbuh di petak-petak tanah keras yang ada di mana-mana, tanah yang pasti dinyatakan tidak layak ditanami petani mana pun. Di kejauhan terdapat sederet bercak keunguan. Di kawasan yang kosong itu tidak ada hewan apa pun kecuali seekor burung yang melayang-layang di udara.
"Kau yakin kita bisa menemukan makanan untuk kuda-kuda kita di sana"" tanya Eragon, kata-katanya agak melantur. Udara yang panas dan kering menyengat tenggorokannya.
"Kau lihat itu"" tanya Murtagh, sambil menunjuk bercak-bercak ungu. "Ada rumput yang tumbuh di sekitarnya. Rumputnya pendek dan keras, tapi cukup bagi kuda-kuda."
"Kuharap kau benar," kata Eragon, sambil memicingkan mata memandang matahari. "Sebelum kita lanjutkan, sebaiknnya kita beristirahat. Benakku selamban siput, dan aku nyaris tidak bisa menggerakkan kakiku."
Mereka melepaskan elf dari perut Saphira, makan, lalu membaringkan diri di bayang-bayang bukit pasir unt
uk tidur sejenak. Saat Eragon membaringkan diri di pasir, Saphira meringkuk di sampingnya dan membentangkan sayap-sayapnya menutupi mereka. Tempat Ini luar biasa, katanya. Aku bisa menghabiskan bertahun-tahun di sini dan tidak menyadari berlalunya waktu.
Eragon memejamkan mata. Ini tempat yang menyenangkan untuk terbang, katanya, menyetujui dengan mengantuk.
Bukan hanya itu, aku merasa seperti diciptakan untuk pasir ini. Padang pasir ini memiliki ruang yang kubutuhkan, pegunungan tempat aku bisa bersarang, dan mangsa-mangsa terkamuflase yang bisa membuat aku menghabiskan berhari-hari untuk memburunya. Dan kehangatannya! Dingin tidak menggangguku, tapi panas ini membuatku merasa hidup dan penuh energi.
Ia menjulurkan kepala ke langit, menggeliat gembira.
Kau begitu menyukainya" gumam Eragon.
Ya. Kalau begitu sesudah semua ini selesai, mungkin kita bisa kembali.... Ia tertidur begitu habis berbicara. Saphira merasa senang dan menggumam lembut sementara ia dan Murtagh beristirahat.
Saat itu pagi hari keempat sejak mereka meninggalkan Gil'ead. Mereka telah menempuh jarak tiga puluh lima mil laut.
Mereka tidur hanya cukup lama untuk menjernihkan pikiran dan mengistirahatkan kuda-kuda. Tidak ada prajurit yang tampak di belakang mereka, tapi hal itu tidak menyebabkan mereka tergoda untuk memperlambat kecepatan. Mereka mengetahui Kekaisaran akan terus mencari hingga mereka jauh di luar jangkauan Raja. Eragon berkata, "Mereka pasti sudah mengirim kurir untuk menyampaikan berita lolosnya diriku kepada Galbatorix. Ia pasti telah menyiagakan Ra'zac. Mereka jelas mengikuti jejak kita sekarang. Mereka akan membutuhkan waktu untuk mengejar kita bahkan kalau terbang sekalipun, tapi sebaiknya kita selalu siaga menghadapi kedatangan mereka."
Dan kali ini mereka akan mendapati diriku tidaklah semudah dulu untuk bisa diikat rantai, kata Saphira.
Murtagh menggaruk dagu. "Kuharap mereka tidak akan bisa mengikuti kita selepas Bullridge. Ramr merupakan cara yang efektif untuk menghindari pengejaran; ada kemungkinan bagus jejak kita tidak akan ditemukan lagi."
"Sesuatu yang cukup pantas diharapkan," kata Eragon sambil memeriksa si elf. Kondisi elf itu tidak berubah; ia masih tidak bereaksi terhadap perawatan Eragon. "Tapi aku tidak akan mengandalkan keberuntungan sekarang ini. Ra'zac bisa saja menemukan dan mengikuti jejak kita saat ini juga."
Saat matahari terbenam, mereka, tiba di bercak yang mereka lihat di kejauhan pagi tadi. Bukit batu menjulang di atas mereka, menebarkan bayang-bayang tipis. Areal di sekitarnya bersih dari bukit pasir hingga sejauh setengah mil. Panas menyerang Eragon seperti tinju saat ia turun dari Snowfire ke tanah yang terpanggang hingga pecah-pecah. Tengkuk dan wajahnya terbakar matahari; kulitnya terasa panas seperti demam.
Sesudah mengikat kuda-kuda di tempat mereka bisa menyantap sedikit rumput yang ada, Murtagh menyalakan api unggun. "Menurutmu sudah berapa jauh kita berjalan"" tanya Eragon, sambil melepaskan elf dari Saphira.
"Entahlah!" sergah Murtagh. Kulitnya gosong, matanyamerah. Ia mengambil panci dan memaki pelan. "Kita tidak memiliki cukup air. Dan kuda-kuda harus minum."
Eragon sama jengkelnya akibat panas dan kekeringan, tapi ia menahan emosi. "Bawa kemari kuda-kudanya." Saphira menggali lubang untuknya dengan cakar, lalu Eragon memejamkan mata, mengucapkan mantra. Walaupun tanah kering, ada cukup banyak kelembapan bagi tanaman sehingga bisa bertahan hidup dan ia bisa mengisi lubang itu hingga berkali-kali.
Murtagh mengisi kembali kantong air sementara air menggenangi lubang, lalu melangkah ke samping dan membiarkan kuda-kuda minum. Hewan-hewan yang kehausan itu menenggak bergalon-galon. Eragon terpaksa menarik cairan lebih jauh lagi dari dalam tanah untuk memuaskan dahaga mereka. Hal itu menguras tenaganya hingga hampir habis sesudah kuda-kuda akhirnya puas, ia berkata pada Saphira, kalau kau perlu minum, lakukan sekarang. Kepala Saphira meliuk mengitari Eragon dan ia menenggak air dua kali, tidak lebih.
Sebelum membiarkan air meresap kembali ke dalam tanah, Eragon minum sebanyak mungkin, lalu mengawa
si saat tetes-tetes terakhir menghilang lagi ke tanah. Menahan air di permukaan ternyata lebih berat daripada yang diduganya. Tapi setidaknya aku masih bisa melakukannya, pikirnya, teringat dengan geli bagaimana ia dulu berjuang keras hanya untuk mengangkat sebutir kerikil.
Udara terasa dingin menusuk sewaktu mereka terjaga keesokan harinya. Pasir tampak merah muda di bawah cahaya pagi dan langit bagai berlapis kabut, menutupi kaki langit. Suasana hati Murtagh tidak membaik meskipun ia sudah tidur, dan Eragon mendapati suasana hatinya sendiri dengan cepat merosot. Sewaktu sarapan, ia bertanya, "Menurutmu apakah kita akan lama di padang pasir ini""
Murtagh mendengus. "Kita hanya melintasi sebagian kecil padang pasir, jadi sepertinya tidak mungkin kita bisa melewatinya dalam dua atau tiga hari."
"Tapi lihat sudah berapa jauh kita berjalan."
"Baiklah, mungkin tidak selama itu! Sekarang ini aku hanya peduli soal meninggalkan Hadarac secepat mungkin. Apa yang kita lakukan sudah cukup berat tanpa harus mengambil pasir dari mata kita setiap beberapa menit sekali."
Mereka selesai sarapan, lalu Eragon mendekati elf. Wanita itu terbaring seperti orang mati, mayat yang bernapas teratur. "Di mana letak lukamu"" bisik Eragon, sambil menyibakkan seberkas rambut dari wajah elf tersebut. "Bagaimana kau bisa tidur seperti ini tapi tetap hidup"" Bayangan wanita ini, siaga dan waspada dalam sel penjara, masih jelas dalam benaknya. Dengan galau ia mempersiapkan elf itu untuk menempuhi perjalanan, lalu memelanai dan menunggangi Snowfire.
Sewaktu mereka meninggalkan perkemahan, sederet bercak kehitaman terlihat di kaki langit, samar-samar di udara yang berkabut. Murtagh mengira bercak itu perbukitan di kejauhan, Eragon tidak yakin, tapi ia tidak bisa melihat detail lain.
Keadaan elf itu memenuhi pikirannya. Ia yakin harus ada tindakan yang diambil untuk membantu elf itu, kalau tidak wanita tersebut akan tewas. Tapi ia tidak mengetahui tindakan apa yang harus ia lakukan. Saphira sama prihatinnya. Mereka membicarakan hal itu selama berjam-jam, tapi tidak satu pun dari mereka memiliki cukup pengetahuan dalam bidang penyembuhan untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.
Tengah hari mereka berhenti untuk beristirahat sejenak. sewaktu mereka melanjutkan perjalanan, Eragon menyadari kabut menipis sejak pagi tadi, dan bercak di kejauhan terlihat jelas.
Bercak itu bukan lagi gumpalan ungu kebiruan yang samar, tapi lebih merupakan gundukan luas tertutup hutan yang terlihat jelas batas-batasnya. Udara di atasnya putih pucat, tanpa warna-warna seperti biasanya-semua warna tampaknya bocor keluar dari petak langit horisontal yang berada di atas perbukitan dan membentang hingga tepi kaki langit.
Eragon menatap, kebingungan, tapi semakin berusaha memahaminya, semakin ia kebingungan. Ia mengerjapkan mata dan menggeleng, mengira apa yang dilihatnya hanyalah semacam ilusi udara padang pasir. Tapi sewaktu ia membuka mata, keanehan yang mengganggu itu masih ada di sana. Bahkan warna putihnya menutupi separo langit di depan mereka. Jelas ada yang sangat keliru, ia hendak mengatakan hal ini kepada Murtagh dan Saphira sewaktu tiba-tiba memahami apa yang dilihatnya.
Apa yang mereka anggap sebagai perbukitan sebenarnya adalah kaki pegunungan raksasa, yang bermil-mil lebarnya. Selain hutan lebat di bagian bawahnya, pegunungan itu tertutup salju dan es sepenuhnya. Itulah yang menipu Eragon hingga menganggap langitnya putih. Ia menjulurkan leher, mencari-cari puncaknya, tapi tidak terlihat. Pegunungan menjulang ke langit hingga tidak kelihatan. Lembah-lembah sempit gerigi dengan tebing-tebing yang nyaris bersentuhan membelah pegunungan seperti ceruk-ceruk yang dalam. Tampaknya seperti dinding bergigi yang menghubungkan Alagaesia dengan surga.
Tidak ada ujungnya! pikirnya, tertegun. Kisah-kisah yang menyebutkan Pegunungan Beor selalu menekankan ukurannya yang besar, tapi ia mengakui kebenaran cerita-cerita tersebut. Merasakan keheranan dan keterkejutan Eragon, Saphira mengikuti arah tatapan Eragon. Dalam beberapa detik ia mengenali pegunungan itu. Aku merasa seperti bar
u menetas lagi. Dibandingkan pegunungan itu, aku sekalipun merasa kecil!
Kita pasti sudah dekat dengan tepi padang pasir, kata Eragon. Hanya tinggal dua hari dan kita akan bisa melihat sisi seberang dan selebihnya!
Saphira terbang berputar-putar di atas bukit pasir. Ya, tapi mengingat ukuran puncak-puncak itu, pegunungan ini bisa saja masih 150 mil jauhnya dari sini. Sulit memperkirakan jarak terhadap sesuatu sebesar itu. Pegunungan tersebut bisa menjadi tempat persembunyian yang sempurna bagi para elf atau kaum Varden, bukan"
Kau bisa menyembunyikan lebih daripada sekadar elf dan Varden, kata Eragon. Seluruh negara bisa diam di sana, tersembunyi dari Kekaisaran. Bayangkan bagaimana rasanya tinggal di tempat di mana raksasa itu menjulang di atasmu! Ia membimbing Snowfire ke Murtagh dan menunjuk, sambil tersenyum.
"Apa"" kata Murtagh, sambil mengamati sekitar.
"Perhatikan baik-baik," desak Eragon.
Murtagh memandang ke kaki langit dengan teliti. Ia mengangkat bahu. "Apa, aku tidak" Kata-katanya terhenti di bibir dan digantikan keheranan yang membuatnya ternganga. Murtagh menggeleng, menggumam, "Mustahil!" Ia menyipitkan mata begitu kuat hingga sudut matanya mengeriput. Ia kembali menggeleng. "Aku tahu Pegunungan Beor besar, tapi tidak seraksasa ini!"
"Semoga saja hewan-hewan yang tinggal di sana tidak proporsional dengan pegunungannya," kata Eragon ringan.
Murtagh tersenyum. "Pasti enak kalau bisa menemukan keteduhan dan menghabiskan beberapa minggu dengan bersantai. Aku muak dengan perjalanan sulit dan melelahkan ini."
"Aku juga kelelahan," Eragon mengakui, "tapi aku ingin berhenti sebelum elf itu sembuh... atau meninggal.
"Aku tidak melihat bagaimana melanjutkan perjalanan bisa membantu dirinya," kata Murtagh muram. "Berbaring di ranjang akan lebih baik baginya daripada bergantungan di bawah Saphira sepanjang hari."
Eragon mengangkat bahu. "Mungkin.... Sesudah
di pegunungan nanti, aku bisa membawanya ke Surda tidak akan terlalu jauh. Pasti ada tabib di sana yang membantunya; kita jelas tidak bisa."
Murtagh menaungi matanya dengan tangan dan menatap pegunungan. "Kita bisa membicarakannya nanti. Untuk saat ini tujuan kita adalah mencapai Beor. Paling tidak di sana Ra'Zac akan sulit menemukan kita, dan kita akan aman dari Kekaisaran."
Seiring berlanjutnya hari, Pegunungan Beor ternyata tidak tampak semakin dekat, walaupun pemandangan di sekitar mereka berubah drastis. Pasir perlahan-lahan berubah menjadi tanah kemerahan yang lunak hingga tanah keras. Sebagai ganti bukit-bukit pasir, sekarang terdapat berbagai rumpun tanaman dan ceruk-ceruk yang dalam di tanah tempat banjir pernah terjadi. Angin sejuk berembus di udara, membawa kesegaran yang mereka sambut. Kuda-kuda merasakan perubahan pada iklim dan bergegas maju dengan penuh semangat.
Sewaktu malam meredupkan matahari, kaki pegunungan hanya tinggal tiga mil jauhnya. Kawanan gazelle berlari melintasi padang rumput yang segar dan subur. Eragon melihat Saphira memandang kawanan itu dengan lapar. Mereka berkemah di dekat sungai, merasa lega karena telah keluar dari Padang Pasir Hadarac yang berat.
JALAN YANG TERBUKA Kelelahan dan lusuh, tapi tersenyum penuh kemenangan, mereka duduk mengelilingi api unggun, memberi selamat pada satu sama lain. Saphira menggeram gembira, mengejutkan kuda-kuda. Eragon menatap api unggun. Ia merasa bangga mereka berhasil menempuh nyaris 180 mil dalam lima hari. Keberhasilan yang mengesankan, bahkan bagi penunggang yang bisa mengganti kudanya secara teratur. Aku di luar Kekaisaran. Pikiran itu terasa aneh. Ia dilahirkan di Kekaisaran, menjalani seluruh hidupnya di bawah perintah Galbatorix, kehilangan teman-teman terdekat dan keluarganya karena para pelayan Raja, dan nyaris tewas beberapa kali di dalam wilayah Raja. Sekarang Eragon bebas. Ia dan Saphira tidak perlu lagi menghindari para prajurit, menghindari kota, atau menyembunyikan siapa mereka yang sebenarnya. Kenyataan yang pahit, karena konsekuensinya adalah kehilangan seluruh dunianya.
Ia memandang bintang-bintang di langit. Dan meskipun pikiran membangun rumah yang terpencil dan aman me
narik baginya, ia telah menyaksikan terlalu banyak kesalahan yang dilakukan atas nama Galbatorix, dari pembunuhan hingga perbudakan, untuk bisa melupakan Kekaisaran. Sekarang masalahnya bukan lagi pembalasan dendam-atas kematian Brom juga kematian Garrow-yang mendorongnya. Sebagai penunggang, sudah menjadi tugasnya untuk membantu mereka yang tidak memiliki kekuatan untuk melawan tekanan Galbatorix.
Sambil mendesah ia menghentikan lamunan dan mengamati elf yang dibaringkan Saphira. Cahaya oranye api unggun menyebabkan wajah elf itu memancarkan kehangatan.
Bayang-bayang lembut menari-nari di bawah tulang pipinya. Sementara Eragon menatapnya, suatu gagasan perlahan-lahan muncul dalam benaknya. Ia bisa mendengar pikiran manusia dan hewan dan berkomunikasi dengan cara itu kalau ia mau tapi ia jarang melakukannya kecuali dengan Saphira. Ia selalu teringat teguran Brom agar tidak menerobos pikiran orang lain kecuali benar-benar diperlukan. Kecuali ketika mencoba memasuki pikiran Murtagh, selama ini ia berhasil menahan diri untuk tidak melakukannya.
Tapi sekarang ia bertanya-tanya apakah mungkin menghubungi elf itu dalam keadaan koma. Aku mungkin bisa belajar dan kenangannya kenapa Ia tetap seperti ini. Tapi kalau ia pulih, apakah ia akan memaafkan diriku karena menerobos seperti itu". Entah ia mau memaafkan atau tidak, aku harus mencobanya. Ia sudah berada dalam kondisi ini hampir seminggu. Tanpa membicarakan niatnya kepada Murtagh atau Saphira, ia berlutut di samping elf itu dan meletakkan telapak tangannya ke alis wanita tersebut.
Eragon memejamkan mata dan mengulurkan sulur-sulur pikirannya, seperti jemari yang meraba-raba, menuju ke benak si elf. Ia menemukannya tanpa kesulitan. Benaknya tidak kacau dan penuh penderitaan seperti yang diduganya, melainkan hidup dan jelas, seperti nada lonceng kristal. Tiba-tiba sebilah pisau es menghunjam benaknya. Sakit meledak di belakang matanya diiringi berbagai warna. Ia mundur dari serangan itu tapi mendapati dirinya tercengkeram jepitan besi, tidak mampu mengundurkan diri.
Eragon berjuang sekuat mungkin dan menggunakan semua pertahanan yang muncul dalam ingatannya. Pisau itu kembali menghunjam ke dalambenaknya. Ia mati-matian menghadapinya, berusaha menangkis serangan itu. Sakitnya tidak sehebat serangan pertama, tapi tetap saja mengacaukan konsentrasinya. Elf itu menggunakan kesempatan ini untuk menghancurkan pertahanannya habis-habisan.
Selimut yang kaku menekan Eragon dari segala arah, mencekik pikirannya. Kekuatan yang hebat itu perlahan-lahan mendesaknya, memeras kehidupan keluar dari dirinya sepotong demi sepotong, walaupun ia bertahan, tidak mau menyerah.
Elf itu semakin mengeratkan cengkeramannya, seakan hendak memadamkan dirinya seperti lilin yang ditiup, Eragon mati-matian menjerit dalam bahasa kuno, "Eka ai fricai un Shur'tugal!" Aku Penunggang dan teman! Cengkeraman yang mematikan itu tidak mengendur, tapi tekanannya berhenti dan keterkejutan memancar dari elf tersebut.
Kecurigaan muncul sesaat kemudian, tapi Eragon mengetahui wanita itu memercayai dirinya; ia tidak bisa berbohong dalam bahasa kuno. Tapi, meski ia mengaku dirinya teman, tidak berarti ia tak berniat mencelakakan wanita itu. Sepanjang yang diketahui wanita tersebut, Eragon percaya dirinya adalah teman wanita itu, dengan begitu pernyataannya benar bagi dirinya sendiri, sekalipun wanita itu mungkin tidak menganggap dirinya sebagai teman. Bahasa kuno memang memiliki keterbatasan, pikir Eragon, berharap si elf cukup penasaran sehingga mengambil risiko membebaskan dirinya.
Memang. Tekanannya mereda, dan penghalang di sekeliling pikiran elf itu diturunkan dengan ragu-ragu. Elf itu, dengan waspada, membiarkan pikiran mereka bersentuhan, seperti dua hewan liar yang bertemu untuk pertama kalinya. Hawa dingin menelusuri sisi tubuh Eragon. Benak wanita itu benar-benar asing. Rasanya luas dan kuat, dibebani kenangan dari tahun-tahun yang tak terhitung banyaknya. Pikiran-pikiran gelap mengintai tidak terlihat dan tersentuh, artefak-artefak dari rasnya yang menyebabkan Eragon mengernyit sewaktu pikiran itu menyapu kesadar
annya. Tapi dari semua sensasi itu terpancar melodi keindahan yang liar dan memikat yang membentuk jati diri wanita tersebut.
Siapa namamu" tanya wanita itu, berbicara dalam bahasa kuno. Suaranya terdengar kelelahan dan dipenuhi keputusasaan.
Eragon. Dan namamu" Kesadaran wanita itu membujuknya untuk mendekat, mengundangnya meleburkan diri ke dalam aliran darahnya. Eragon menolak panggilan itu dengan susah payah sekalipun hatinya sangat mengharapkannya. Untuk pertama kalinya ia memahami daya tarik para elf. Mereka makhluk sihir, tidak terikat hukum fana tanah ini, sama berbedanya dari manusia seperti naga berbeda dari hewan-hewan lain.
...Arya. Kenapa kau menghubungiku dengan cara ini" Apakah aku masih menjadi tawanan Kekaisaran"
Tidak kau sudah bebas! kata Eragon. Walaupun pengetahuan bahasa kunonya terbatas, ia berhasil mengatakan: Tadinya aku ditawan di Gil'ead, sama seperti dirimu, tapi aku berhasil melarikan diri dan menyelamatkan dirimu. Lima hari sejak itu, kita menyeberangi tepi Padang Pasir Hadarac dan sekarang berkemah di dekat Pegunungan Beor. Kau belum terjaga atau mengatakan apa-apa selama Itu.
Ah.., jadi tempat itu Gil'ead. Elf itu diam sejenak. Aku tahu luka-lukaku sudah sembuh. Pada waktu itu aku tidak mengerti kenapa persiapan untuk siksaan baru, itu keyakinanku sekarang kusadari kau yang menyembuhkan diriku. Dengan lembut ia menambahkan, Meski begitu, aku tidak terjaga, dan kau kebingungan.
Ya. Selama aku ditawan, racun yang langka, Skilna Bragh, diberikan padaku, bersama obat untuk menekan kekuatanku. Setiap pagi penangkal untuk racun hari sebelumnya diberikan padaku, dengan paksa kalau aku menolak menelannya. Tanpa penangkal itu aku akan tewas dalam beberapa jam. Itu sebabnya aku berada dalam kondisi seperti ini kondisi ini memperlambat pengaruh Skilna Bragh, sekalipun tidak menghentikannya.... Aku sempat mempertimbangkan untuk terjaga dengan tujuan mengakhiri hidupku dan mengingkari Galbatorix, tapi kutahan diriku untuk berbuat begitu dengan harapan kau mungkin sekutu.... Suaranya terdengar melemah.
Berapa lama kau bisa tetap dalam kondisi seperti ini" Tanya Eragon.
Selama berminggu-minggu tapi aku khawatir aku tidak memiliki waktu selama itu. Kondisi ini tidak bisa mencegah kematian selamanya... aku bisa merasakan racunnya dalam pembuluh darahku bahkan sekarang ini. Kecuali aku menerima penangkalnya, aku akan tewas karena racunnya dalam tiga atau empat hari.
Di mana penangkalnya bisa ditemukan"
Hanya ada di dua tempat di luar Kekaisaran: di antara orang-orangku sendiri dan di tempat kaum Varden. Tapi rumahku berada diluar jangkauan terbang naga.
Bagaimana dengan kaum Varden" Tadinya kami ingin membawamu langsung ke sana, tapi kami tidak mengetahui tempatnya.
Akan kuberitahu kalau kau mau berjanji tidak akan pernah mengungkapkan lokasi mereka pada Galbatorix atau siapa pun yang mengabdi padanya. Sebagai tambahan kau juga harus bersumpah tidak akan menipuku dengan cara apa pun dan bahwa kau tidak berniat buruk pada para elf, kurcaci, Varden, atau ras naga.
Yang diminta Arya sebenarnya cukup sederhana-kalau saja tidak diungkapkan dalam bahasa kuno. Eragon mengetahui wanita itu menginginkan sumpah yang lebih mengikat daripada kehidupan sendiri. Begitu diucapkan, sumpah tersebut tidak akan pernah bisa dilanggar. Hal itu sangat membebaninya sewaktu ia mengucapkan persetujuannya.
Setuju.... Serangkaian gambaran yang memicu vertigo tiba-tiba melintas dalam benak Eragon. Ia mendapati dirinya melayang di atas Pegunungan Beor, melaju ke timur bermil-mil jauhnya. Eragon berusaha sebaik-baiknya untuk mengingat rutenya sementara pegunungan dan perbukitan melintas lewat. Ia menuju ke selatan sekarang, masih terus menyusuri pegunungan. Lalu segala sesuatu berputar tiba-tiba, dan ia memasuki lembah yang sempit dan berliku-liku. Lembah itu meliuk-liuk melintasi pegunungan hingga ke kaki air terjun yang berbuih masuk ke danau yang dalam.
Bayangan itu berhenti. Tempatnya jauh, kata Arya, tapi jangan biarkan jarak mempengaruhimu. Sesudah kau tiba di danau Kostha-merna di ujung Sungai Beartooth, ambil sebongkah batu, p
ukulkan ke karang di samping air terjun, dan teriakkan, ai varden abr du Shur'tugals gata vanta. Kau akan diterima. Kau akan ditantang, tapi jangan goyah, seberapa beratpun tantangan itu tampaknya.
Apa yang harus mereka berikan padamu untuk menghentikan racunnya" tanya Eragon.
Suara Arya bergetar, tapi lalu kekuatannya pulih kembali.
Beritahu mereka- agar memberiku Serbuk Sari Tunivor. Kita harus berpisah sekarang.. aku telah menguras terlalu banyak tenaga. Jangan berbicara lagi denganku kecuali tidak ada harapan untuk mencapai kaum Varden. Kalau itu yang terjadi, akan ada informasi yang harus kuberikan padamu agar kaum Varden bisa selamat.
Selamat tinggal, Eragon, penunggang para naga... nyawaku ada di tanganmu.
Arya memutuskan hubungan mereka. Ketegangan nonduniawi yang bergema melintasi hubungan mereka menghilang. Eragon menghela napas sambil gemetaran dan memaksa matanya terbuka. Murtagh dan Saphira duduk di kedua sisinya, mengawasi dengan prihatin. "Kau baik-baik saja"" tanya Murtagh. "Kau berlutut di sini selama hampir lima belas menit."
"Sungguh"" tanya Eragon, sambil mengerjapkan mata.
Ya, dan meringis seperti gargoyle yang kesakitan, kata Saphira.
Eragon berdiri, mengernyit saat lutut-lututnya yang kram teregang. "Aku berbicara dengan Arya!" Murtagh mengerutkan kening dengan pandangan kebingungan, seakan bertanya-tanya apakah Eragon sudah sinting. Eragon menjelaskan, "Elf itu Arya namanya."
Dan apa yang menyebabkan ia sakit" tanya Saphira tidak sabar.
Eragon dengan sigap memberitahukan seluruh diskusinya kepada mereka. "Seberapa jauh tempat kaum Varden"" tanya Murtagh.
"Aku tidak tahu pasti," Eragon mengakui. "Dari apa yang ditunjukkannya padaku, kupikir tempat itu bahkan lebih jauh lagi daripada tempat ini ke Gil'ead."
"Dan kita harus menempuh jarak sejauh itu dalam tiga atau empat hari"" tanya Murtagh marah. "Kita membutuhkan waktu lima hari untuk tiba di sini! Apa yang ingin kaulakukan, membunuh kuda-kuda" Sekarang ini saja mereka sudah kelelahan."
"Tapi kalau kita tidak berbuat apa-apa, ia akan tewas! Kalau perjalanan itu terlalu berat bagi kuda-kuda, Saphira bisa terbang mendului kita membawa Arya dan aku; setidaknya kami akan tiba di tempat kaum Varden tepat pada waktunya. Kau bisa menyusul kami beberapa hari kemudian.
Murtagh menggeram dan bersedekap. "Tentu saja. Murtagh si penjaga kawanan. Murtagh si pemimpin kuda. Seharusnya aku ingat hanya itu manfaat diriku akhir-akhir ini. Oh, dan sebaiknya jangan lupa, setiap prajurit di kekaisaran mencari-cari diriku sekarang karena kau tidak bisa mempertahankan diri dan aku harus pergi menyelamatkan dirimu. Ya, kurasa sebaiknya kuikuti saja instruksimu dan membawa kuda-kuda di belakang seperti pelayan yang baik."
Eragon kebingungan mendengar kebencian yang tiba-tiba dalam suara Murtagh. "Kenapa kau" Aku berterimakasih untuk semua yang kaulakukan. Tidak ada alasan untuk marah padaku! Aku tidak memintamu menemaniku atau menyelamatkan diriku dari Gil'ead. Kau yang memilih untuk berbuat begitu. Aku tidak pernah memaksamu melakukan apa pun."
"Oh, tidak secara terus terang, tidak. Apa lagi yang bisa kulakukan kecuali membantumu menghadapi Ra'zac" Dan sesudahnya, di Gil'ead, bagaimana aku bisa pergi dengan nurani yang bersih" Masalahnya dengan dirimu," kata Murtagh, sambil menyodok Eragon di dada, "adalah kau begitu tidak berdaya hingga kau memaksa semua orang untuk memperhatikan dirimu."
Kata-kata itu menyengat harga diri Eragon; ia menyadari sedikit kebenaran dalam kata-kata itu. "Jangan sentuh aku," katanya.
Murtagh tertawa, nadanya kasar. "Kalau tidak apa, kau akan memukulku" Kau bahkan tidak bisa memukul dinding bata." Ia lalu mendorong Eragon lagi, tapi Eragon menyambar lengannya dan menghantam perutnya.
"Jangan menyentuhku, kataku!"
Murtagh meringkuk, memaki-maki. Lalu ia berteriak dan menerjang Eragon. Mereka jatuh dalam keadaan saling terbelit, saling memukul. Eragon menendang pinggug kanan Murtagh luput, dan menyerempet api unggun. Bunga api dan berhamburan ke udara.
Mereka berguling-guling di tanah, berusaha mengalahkan yang lain. Eragon berhasil menempatka
n kakinya di bawah dada Murtagh dan menendang sekuat tenaga. Murtagh melayang terbalik melewati kepala Eragon, mendarat telentang diiringi debuman keras.
Napas Murtagh tersentak. Ia berguling kaku, bangkit, lalu berputar balik untuk menghadapi Eragon, terengah-engah Mereka kembali saling menyerang. Ekor Saphira melayang ke sela mereka, diiringi raungan yang memekakkan telinga. Eragon tidak mengacuhkannya dan mencoba melompati ekornya, tapi cakar menangkapnya di udara dan mengempaskan dirinya kembali ke tanah.
Cukup! Eragon dengan sia-sia berusaha menyingkirkan kaki Saphira yang berotot dari dadanya dan melihat Murtagh juga dijepit dengan cara yang sama. Saphira kembali meraung, mengertakkanrahangnya. Ia mengayunkan kepala ke arah Eragon dan memelototinya. Kau, di antara semua orang, seharusnya lebih tabul Berkelahi seperti anjing-anjing kelaparan memperebutkan Sepotong daging. Apa yang akan dikatakan Brom"
Eragon merasa pipinya seperti terbakar dan mengalihkan pandangannya. Ia mengetahui apa yang akan dikatakan Brom. Saphira menjepit mereka di tanah, membiarkan mereka menggeliat-geliat, lalu berkata pada Eragon. Nah, kalau kau tidak ingin melewatkan sepanjang malam di bawah kakiku, kau akan menanyakan dengan sopan kepada Murtagh apa yang menjadimasalahnya. Ia mengayunkan kepala ke arah Murtagh dan menatapnya dengan mata biru yang pasif. Dan beritahu dia bahwa aku tidak ingin mendengar kalian saling menghina. Kau mau membiarkan kami berdiri" keluh Eragon.
Tidak. Dengan enggan Eragon berpaling memandang Murtagh, merasakan darah di sisi mulutnya. Murtagh menghindari pandangannya dan memandang ke langit. " Well, apakah ia akan melepaskan kita""
"Tidak, kecuali kita bicara.... Ia memintaku menanyakan padamu apa yang sebenarnya menjadi masalah," kata Eragon, malu.
Saphira menggeram menyetujui dan terus menatap Murtagh. Mustahil bagi Murtagh untuk menghindari tatapanya yang tajam. Akhirnya Murtagh mengangkat bahu, anggumam pelan. Cakar Saphira semakin menjepit dadanya
dan ekornya melecut-lecut di udara. Murtagh memelototinya dengan marah, lalu sambil menggerutu berkata dengan suara yang lebih keras "Sudah kukatakan padamu: aku tidak ingin pergi ke kaum Varden."
Eragon mengerutkan kening. Apakah hanya itu masalahnya"
"Kau tidak mau... atau tidak bisa""
Murtagh menyerah menyingkirkan kaki Saphira dari dirinya, lalu menyerah sambil memaki. "Tidak mau! Mereka akan mengharapkan sesuatu dariku yang tidak bisa kulakukan."
"Apakah kau mencuri dari mereka""
"Seandainya sesederhana itu."
Eragon memutar bola matanya, jengkel. "Well, kalau begitu apa" Apakah kau membunuh orang penting atau meniduri wanita yang salah""
"Tidak, aku dilahirkan," kata Murtagh membingungkan. Ia kembali mendorong kaki Saphira. Kali ini Saphira melepaskan mereka berdua. Mereka bangkit di bawah pengawasannya dan membersihkan tanah dari punggung masing-masing.
"Kau menghindari pertanyaanku," kata Eragon, sambil menyentuh bibirnya yang pecah.
"Lalu kenapa"" sergah Murtagh sambil mengentakkan kaki ke tepi perkemahan. Semenit kemudian ia mendesah. "Tidak penting kenapa aku berada dalam masalah ini, tapi bisa kuberitahu bahwa Varden tidak akan menerima diriku seandainya aku datang membawa kepala Raja sekalipun. Oh, mereka mungkin akan menyambutku dengan cukup ramah dan membiarkan aku menemui dewan mereka, tapi mempercayaiku" Tidak akan pernah. Dan kalau aku tiba dalam kondisi yang lebih buruk, seperti sekarang ini, mereka akan memborgolku."
"Bisa kauberitahukan kenapa begitu"" tanya Eragon. "Aku juga pernah melakukan hal-hal yang tidak membuatku merasa bangga, jadi aku tidak akan menghakimimu."
Murtagh menggeleng perlahan-lahan, matanya berkilau. "Tidak seperti itu. Aku belum melakukan apa pun untuk layak diperlakukan seperti ini, walau akan lebih mudah untuk menyesuaikan diri kalau sudah. Tidak... satu-satunya kesalahanku adalah terlahir ke dunia ini." Ia terdiam dan menghela napas gemetar. "Kau tahu, ayahku-"
Desis tajam Saphira menghentikan kata-katanya dengan tiba-tiba. Lihat! Mereka mengikuti tatapannya yang mengarah ke barat.
Wajah Murtagh memucat. "Setan di
atas dan di bawah!" Sekitar tiga mil jauhnya, paralel dengan jajaran Pegunungan, tampak barisan yang berjalan ke timur. Barisan prajurit, ratusan jumlahnya, membentang nyaris sepanjang satu mil. Debu mengepul dari tumit mereka.
tampak kemilau ditimpa cahaya sore. Pembawa panji berada didepan mereka dalam kereta kuda hitam, membawa sehelai panji merah.
"Kekaisaran," kata Eragon lelah. "Mereka menemukan kita... entah bagaimana. Saphira menjulurkan kepala dari balik bahu Eragon dan menatap iring-iringan itu.
"Ya... tapi itu Urgal, bukan manusia," kata Murtagh.
"Dari mana kau tahu""
Murtagh menunjuk panji. "Pembawa bendera itu simbol pribadi kepala suku Urgal. Ia kejam, sangat mudah melakukan kekerasan dan kesintingan."
"Kau pernah bertemu dengannya""
Pandangan Murtagh mengeras. "Sekali, sejenak. Aku masih menyandang bekas luka dari pertemuan itu. Urgal-Urgal ini mungkin dikirim kemari bukan untuk memburu kita, tapi aku yakin kita sudah terlihat sekarang dan mereka akan mengikuti kita. Kepala suku mereka bukan jenis Urgal yang akan membiarkan naga lolos dari tangannya, terutama kalau ia sudah mendengar apa yang terjadi di Gil'ead."
Eragon bergegas ke api unggun dan menutupinya dengan tanah. "Kita harus melarikan diri! Kau tidak ingin ke Varden, tapi aku harus membawa Arya ke sana sebelum ia tewas. Begini saja: ikutlah denganku hingga aku tiba di danau Kbstha-merna, lalu kau bebas untuk pergi." Murtagh ragu-ragu. Eragon bergegas menambahkan, "Kalau kau pergi sekarang, sesudah terlihat mereka, Urgal akan mengikuti dirimu. Lalu ke mana kau akan pergi, seorang diri menghadapi mereka""
"Baiklah," kata Murtagh, sambil meletakkan tas pelana di punggung Tornac, "tapi sesudah kita mendekati Varden, aku akan pergi."
Eragon sangat ingin menanyai Murtagh lebih jauh, tapi tidak sementara Urgal-Urgal sedekatitu. Ia mengumpulkan barang-barangnya dan memelanai Snowfire. Saphira mengepakkan sayapnya bergegas terbang, dan berputar-putar di atas kepala. Ia berjaga-jaga di atas Murtagh dan Eragon sementara mereka meninggalkan perkemahan.
Aku harus terbang ke mana" tanya Saphira.
Timur, sepanjang Beor. Dengan menghentikan gerakan sayapnya, saphira membubung dengan bantuan udara panas dan terbang di tepi pilar udara panas, melayang di langit di atas kuda-kuda. Aku ingin tahu kenapa Urgal-Urgal itu berada di sini. Mungkin mereka dikirim untuk menyerang Varden.
Kalau begitu kita harus berusaha memperingatkan mereka, kata Eragon, sambil memandu Snowfire melewati berbagai hambatan yang hampir tidak kelihatan. Sementara malam semakin larut, para Urgal menghilang dalam keremangan di belakang mereka.
PERSELISIHAN KEMAUAN Sewaktu pagi hari tiba, pipi Eragon terasa sakit akibat bergesekan dengan leher Snowfire, dan tubuhnya terasa tidak nyaman akibat perkelahiannya dengan Murtagh semalam. Mereka tidur bergantian di atas pelana masing-masing sepanjang malam. Dengan begitu mereka bisa menjauhkan diri dari pasukan Urgal, tapi tidak satu pun dari mereka mengetahui apakah mereka masih bisa meninggalkan para Urgal tersebut. Kuda-kuda begitu kelelahan sampai hampir berhenti berjalan, tapi mereka terus berderap tanpa henti. Apakah mereka akan berhasil meloloskan diri atau tidak, tergantung pada seberapa lama para monster itu telah beristirahat.... dan apakah kuda-kuda Eragon serta Murtagh bisa bertahan hidup.
Pegunungan Beor menebarkan bayang-bayang luas di tanah, mencuri kehangatan matahari. Di sebelah utara terdapat Padang Pasir Hadarac, sebaris pita tipis yang sama cerahnya seperti salju di tengah hari.
Aku harus makan, kata Saphira. Sudah berhari hari sejak aku terakhir berburu. Kelaparan menggerogoti perutku. Kalau mulai merangsang, aku mungkin bisa menangkap cukup banyak rusa yang berlari itu hingga kenyang.
Eragon tersenyum mendengar Saphira melebih-lebihkan keadaannya. Pergilah kalau memang harus, tapi tinggalkan Arya di sini.
Aku akan cepat. Eragon melepaskan elf itu dari perut Saphira dan memindahkannya ke pelana Snowfire. Saphira membubung pergi, menghilang ke arah pegunungan. Eragon berlari di samping kuda-kuda, cukup dekat dengan Snowfire untuk me
njaga agar Arya tidak jatuh. Ia maupun Murtagh tidak memecahkan kebisuan di antara mereka. Perkelahian kemarin tidak lagi terasa penting karena kehadiran para Urgal tapi memar-memarnya masih ada.
Saphira mendapatkan buruannya dalam waktu kurang dari satu jam dan memberitahu Eragon mengenai keberhasilannya, Eragon merasa senang karena Saphira akan segera kembali. Ketidak hadiran Saphira menyebabkan ia merasa gugup.
Mereka berhenti di kolam untuk memberi kesempatan kuda-kuda minum. Eragon melamun sambil mencabuti rumput, memutar-mutarnya seraya menatap si elf. Ia dikejutkan dari lamunan karena bunyi logam pedang yang dicabut dari sarungnya. Secara naluriah ia menyambar Zar'roc dan berputar balik mencari musuh. Yang ada hanya Murtagh, pedang panjangnya siap ditangan. Ia menunjuk bukit di depan mereka, tempat pria jangkung berkerudung cokelat duduk di atas kuda merah bata, menggenggam gada. Di belakangnya terdapat sekitar dua puluh penunggang kuda. Tidak ada yang bergerak.
"Mungkinkah mereka kaum Varden"" tanya Murtagh.
Eragon diam-diam memasang tali busurnya. "Menurut Arya, mereka masih bermil-mil jauhnya dari sini. Mungkin ini salah satu kelompok patroli atau penyerbu mereka."
"Dengan anggapan mereka bukan bandit." Murtagh melompat ke punggung Tornac, menyiapkan busurnya sendiri.
"Apakah sebaiknya kita coba meninggalkan mereka" tanya Eragon, sambil melampirkan selimut menutupi Arya. Para penunggang kuda itu pasti melihat Arya, tapi Eragon berharap bisa menyembunyikan fakta bahwa Arya elf.
"Tidak akan ada gunanya," kata Murtagh, sambil menggeleng. "Tornac dan Snowfire kuda perang yang bagus, tapi mereka kelelahan dan bukan pelari. Lihat kuda-kuda mereka kuda-kuda itu ditakdirkan untuk berlari. Mereka akan mengejar kita sebelum kita mencapai setengah mil. lagi pula, mungkin ada hal penting yang harus mereka katakan. Sebaiknya kau beritahu Saphira agar segera kembali."
Eragon telah melakukannya. Ia menjelaskan situasinya, lalu memperingatkan. Jangan menunjukkan diri kecuali terpaksa. Kita tidak berada di Kekaisaran, tapi aku tetap tidak ingin ada yang mengetahui tentang dirimu. Jangan pedulikan itu, jawab Saphira. Ingat , sihir bisa melindungimu kalau kecepatan dan keberuntungan gagal Eragon merasakan Saphira lepas landas dan melesat ke arah mereka, terbang rendah di atas permukaan tanah.
Kelompok orang itu mengawasi mereka dari bukit.
Eragon mencengkeram Zar'roc dengan gugup. Tangkai berlilit kawatnya menempel rapat di balik sarung tangannya. Ia berkata dengan suara pelan, "Kalau mereka mengancam kita, aku bisa menakut-nakuti mereka dengan sihir. Kalau itu gagal, ada Saphira. Aku ingin tahu bagaimana reaksi mereka menghadapi Penunggang. Begitu banyak cerita yang disampaikan mengenai kekuatan Penunggang.... Mungkin cukup untuk menghindari pertempuran."
"Jangan mengandalkannya," kata Murtagh datar. "Kalau terjadi pertempuran, sebaiknya kita bunuh mereka, cukup banyak untuk meyakinkan bahwa kita tidak sebanding dengan susah payahnya." Wajahnya terkendali dan tanpa emosi.
Pria di kuda merah bata memberi isyarat dengan gadanya, memicu para penunggang berderap mendekati mereka. Orang-orang itu mengayun-ayunkan kapak di atas kepala, yang mendengung keras saat mereka semakin dekat. Sarung pedang lusuh menjuntai di sisi mereka. Senjata mereka karatan dan kotor. Empat di antaranya mengarahkan panah kepada Eragon dan Murtagh.
Pemimpin mereka memutar-mutar gada di udara, dan anak buahnya menjawab dengan teriakan-teriakan sementara mereka mengepung Eragon dan Murtagh. Bibir Eragon bergerak-gerak. Ia nyaris melontarkan sihir ke tengah mereka, lalu menahan diri. Kami masih belum mengetahui apa yang mereka inginkan katanya mengingatkan diri sendiri, menahan ketakutannya yang semakin besar.
Begitu Eragon dan Murtagh terkepung sepenuhnya, si pemimpin menahan kudanya, lalu melipat lengan dan mengamati mereka dengan teliti. Ia mengangkat alis. "Well, mereka lebih baik dari gelandangan yang biasa kita temukan! Sedikitnya kali ini kita mendapatkan yang sehat. Dan kita bahkan tidak perlu memanah mereka. Grieng akan senang."
Anak buahnya tergelak. Mendengar kata-katanya, Eragon merasa perutnya melilit. Kecurigaan berputar-putar dalam benaknya. Saphira....
"Nah, kalian berdua," kata si pemimpin, berbicara pada Eragon dan Murtagh, "kalau kalian mau membuang senjata, kalian tidak akan diubah menjadi tabung panah hidup oleh anak buahku."
Para pemanah menyeringai menyetujui; yang lain kembali tertawa.
Satu-satunya gerakan Murtagh hanyalah menggeser pedangnya. "Siapa kau dan apa yang kauinginkan" Kami orang-orang bebas yang bepergian melintasi tanah ini. Kalian tidak berhak menghentikan kami."
"Oh, aku sangat berhak," kata pria itu marah. "Dan mengenai namaku, budak tidak berbicara dengan cara seperti itu pada majikannya, kecuali mereka ingin dihajar."
Eragon memaki sendiri. Pedagang budak! Ia ingat jelas orang-orang yang dilihatnya dalam pelelangan di Dras-Leona. Kemurkaan menggelegak dalam dirinya. Ia memelototi orang-orang di sekitarnya dengan kebencian dan kejijikan baru.
Kerut-kerut di wajah si pemimpin bertambah dalam. "Buang pedang kalian dan menyerahlah!" Anak buahnya menegang, menatap mereka dengan pandangan dingin sementara Eragon dan Murtagh tidak menurunkan senjata. Telapak tangan Eragon terasa tergelitik. Ia mendengar gemerisik di belakang mereka, lalu makian keras. Dengan terkejut, ia berbalik.
Salah seorang pedagang budak menyingkap selimut yang menutupi Arya, menampakkan wajahnya. Pria itu ternganga terkejut, lalu berteriak, "Torkenbrand, yang satu ini elf! . Orang-orang terkejut sementara si pemimpin menjejak kudanya agar mendekati Snowfire. Ia menunduk memandang Arya dan bersiul.
" Well, berapa harganya"" tanya salah seorang anak buahnya.
Torkenbrand terdiam sejenak, lalu membentangkan dan berkata, "Minimal" Bertumpuk-tumpuk harta. Kekaisaran akan membayar gunungan emas untuk elf ini!"
Para pedagang budak berteriak-teriak gembira dan saling menepuk punggung. Raungan memenuhi benak Eragon saat Saphira menikung tajam jauh di atas kepala. Serang sekarang! jeritnya. Tapi biarkan mereka lolos kalau mereka melarikan diri. Saphira seketika melipat sayap dan menukik. Eragon menarik perhatian Murtagh dengan isyarat tajam. Murtagh memahami petunjuknya. Ia menghantamkan sikunya ke wajah seorang pedagang budak, menjatuhkannya dari pelana, dan menjejakan tumitnya ke Tornac.
Sambil mengibaskan surai, kuda perang itu melompat maju, berputar balik, dan mengangkat kaki depannya. Murtagh mengayunkan pedang sementara Tornac turun kembali, menghunjamkan kuku-kuku depannya ke punggung pedagang budak yang jatuh dari kudanya. Pria itu menjerit.
Sebelum para pedagang budak tersadar dari keterkejutannya, Eragon bergegas keluar dari keributan dan mengangkat kedua tangannya, melontarkan kata-kata bahasa kuno. Segumpal api biru menghantam tanah di tengah kekacauan, meledak menjadi semburan tetes-tetes cair yang menguap seperti embun yang dihangatkan sinar matahari. Sedetik kemudian, Saphira menukik dari langit dan mendarat di sampingnya. Ia membuka rahangnya, menampilkan taring-taringnya yang besar, dan melolong. "Dengar!" raung Eragon mengatasi keributan, "aku Penunggang!" Ia mengangkat Zar'roc ke atas kepala, dan mata pedang merah itu tampak berkilau ditimpa cahaya matahari, lalu mengarahkannya kepada para pedagang budak. "Pergi kalau masih ingin hidup!"
Orang-orang itu berteriak-teriak tanpa bisa dipahami dan berhamburan, bertabrakan dalam ketergesa-gesaan ketika melarikan diri. Dalam kebingungan itu, kening Torkenbrand terhantam gada. Ia jatuh ke tanah, tertegun. Anak buahnya mengabaikan pemimpin mereka yang jatuh dan berhamburan melarikan diri, sambil melirik ketakutan ke arah Saphira.
Torkenbrand berusaha bangkit. Darah mengalir dari keningnya, mengalir bercabang di pipinya. Murtagh turun dari kuda dan melangkah mendekatinya, pedang di tangan.
kenbrand dengan lemah mengangkat lengan seakan untuk menangkis pukulan. Murtagh menatapnya dingin, lalu mengayunkan Pedang ke leher Torkenbrand.
Tidak!." Teriak Eragon, tapi terlambat.
Tubuh Torkenbrand yang tidak lagi berkepala merosot ke tanah, mengepulkan debu. Kepalanya mendarat diiringi bunyi keras. Eragon bergegas mendekati Mur
tagh, rahangnya bergerak-gerak marah. "Apakah otakmu sudah membusuk"" teriaknya, murka. "Kenapa kau membunuhnya""
Murtagh membersihkan pedang dengan bagian belakang kemeja Torkenbrand. Baja pedang itu meninggalkan noda gelap. "Aku tidak mengerti kenapa kau sejengkel itu-" "Jengkel!" seru Eragon. "Aku sudah lebih dari jengkel! Apakah pernah melintas dalam benakmu kita bisa meningalkan ia di sini dan melanjutkan perjalanan" Tidak! Kau malah berubah menjadi algojo dan memenggal kepalanya. Ia tidak berdaya!"
Murtagh tampak kebingungan melihat kemarahan Eragon. "Well, kita tidak bisa membiarkan ia tetap hidup-ia berbahaya. Yang lain sudah melarikan diri... tanpa kuda ia tidak akan bisa pergi jauh. Aku tidak ingin para Urgal menemukan dirinya dan mengetahui tentang Arya. Jadi kupikir-"
"Tapi membunuhnya"" sela Eragon. Saphira mengendus kepala Torkenbrand dengan penasaran. Ia membuka mulutnya sedikit, seakan hendak menyantapnya, lalu tampaknya berubah pikiran dan melangkah ke samping Eragon.
"Aku hanya berusaha tetap hidup," kata Murtagh. "Tidak ada nyawa orang asing yang lebih penting daripada nyawaku sendiri."
"Tapi kau tidak bisa melakukan kekerasan secara membabi buta. Di mana empatimu"" raung Eragon, sambil menunjuk kepala itu.
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 3 Wiro Sableng 024 Penculik Mayat Hutan Roban Titisan Dewi Kwan Im 2

Cari Blog Ini