Ceritasilat Novel Online

Gaung Keheningan 2

Gaung Keheningan Eloquent Silence Karya Sandra Brown Bagian 2


Betty datang bersama kedua anaknya menjelang siang. Wanita itu lincah dan banyak omong, menyenangkan, dan amat sangat ingin tahu.
"Aku tinggal di sini sudah tiga tahun dan tidak pernah tahu siapa pemilik rumah ini. Setahuku tak seorang pun pernah tinggal di sini. Bayangkan bagaimana perasaanku waktu aku tahu si pemilik adalah Dokter Glen Hambrick-tentu saja itu bukan nama aslinya. Siapa namanya tadi""
"Drake Sloan nama profesionalnya. Rivington nama aslinya " jawab Lauri sambil tersenyum geli. Betty terpesona.
"Ya! Oh, aku nyaris semaput waktu Mrs. Truitt memberitahuku! Aku senang sekali ketika mengetahui akan punya tetangga yang memiliki anak kecil. Lalu waktu tahu tetangga itu adalah Glen Ham-maksudku, Drake Sloan, ia mungkin tidak bakal mau meninggalkan aku sendirian di rumah lagi!" dia tertawa.
Kelihatannya Betty selalu mengakhiri kalimatnya dengan tanda seru. Dia sudah bercerita pada Lauri bahwa suaminya bekerja di pertambangan antara Whispers dan Santa Fe. Pria itu pulang hanya di akhir pekan, sehingga Betty sering kesepian karena tidak ada orang dewasa di dekatnya.
Kedua anak Betty seheboh ibunya. Berambut hitam dan bermata cokelat, mereka bagai miniatur sang ibu. Anak-anaknya itu bernama Sam, lima tahun, dan Sally, seumur Jennifer. Mereka segera menyayangi Jennifer dan sekarang sedang bermain-main di kamarnya di atas. Sally mengagumi rambut ikal pirang Jennifer dan menepuk-nepuknya seperti boneka kesayangan.
"Aku tidak ingin mengecewakanmu, Betty, tapi Drake masih di New York. Dia takkan tinggal di sini."
"Oh, aku tahu. Tapi pasti dong dia akan berkunjung kemari! Bisa kaumintakan tanda tangannya untukku" Aku rela mati untuk mendapatkannya!"
"Aku yakin aku bisa mengusahakan pertemuanmu dengan dia kalau dia datang. Kalau kau mau," goda Lauri.
"Kalau aku mau-" Betty menertawakan dirinya sendiri ketika melihat cengiran usil Lauri.
"Anaknya manis, ya"" kata Betty setelah mereka tertawa. "Sayang dia tuna rungu. Aku bahkan tidak tahu! Dan kau gurunya. Persis seperti wanita di The Miracle Worker! Kau pasti pandai, tahu segala macam bahasa isyarat itu."
"Kakakku tuna rungu. Aku belajar bahasa isyarat berbarengan dengan belajar bicara." "Ada bedanya""
"Yah, begitulah," jawab Lauri sabar. "Bagaimana kalau kau dan anak-anak belajar bahasa isyarat0 Kalian bisa datang kemari tiap siang dan aku akan mengajarkan kalian."
"Kau serius" Asyik sekali. Dengan begitu anak-anak akan bisa ngobrol-hm, maksudku-" "Ngobrol tidak apa-apa," kata Lauri. "Oke, ngobrol dengan Jennifer juga." "Anak-anakmu biasa tidur siang"" "Aku bakal kerepotan kalau tidak." Lauri tertawa. "Bagaimana kalau tiap hari setelah tidur siang""
"Wah, hebat sekali, Lauri! Terima kasih." Betty melompat turun dari bangku dan mengambil salah satu buku masak, membalik-balik halamannya. "Aku yakin kau tidak pernah makan makanan seenak ini. Kau sangat kurus! Aku ingin sekali selangsing dan semungil kau. Kau beruntung. Setelah melahirkan, berat badanmu mungkin bakal turun, bukan naik lima belas kilo seperti aku. Menurutmu kulitmu jenis yang berbekas setelah kau hamil" Dokterku bilang kulitku akan tetap mulus. Aku kesal sekali ketika kenyataannya tidak begitu. Kau mungkin akan selalu mulus. Aku juga menyusui. Temanku mengatakan menyusui sangat bagus untuk bentuk tubuh. Dan memang benar waktu anak-anak masih menyusu. Setelah itu, hih!" Dia melambai dengan gerakan mengejek. "Payudara kita jadi kendor! Menurutmu setelah kau punya anak nanti, tubuhmu akan melar atau tidak"" Betty bertanya tanpa basa-basi.
Lauri takjub Betty bisa bicara sederas itu dan menggant
i topik pembicaraan begitu cepat, dan dia mendengarkan dengan penuh kekaguman. Ketika menyadari - Betty bertanya, dia tersipu dan berkata tenang, "Kurasa aku tidak akan pernah punya anak."
"O, ya" Aku tidak bisa membayangkan tidak punya anak! Memangnya Drake tidak mau punya anak""
"Apa"" seru Lauri, dan menjatuhkan buku yang akan diletakkannya di rak di atas kompor.
"Dia mungkin tidak mau punya anak lagi karena Jennifer tuna rungu sejak lahir," kata Betty bersimpati. "Kurasa kau tidak bisa menyalahkannya. Barangkali kalau kau bujuk dia, dia akan mau punya anak lagi."
"Betty," Lauri tergagap, menelan ludah, dan akhirnya bisa bicara lagi. "Aku-kami-Drake dan aku tidak... punya hubungan apa-apa. Aku tutor Jennifer. Cuma itu."
"Yang benar!" Mata bulat Betty membelalak. "Wah, maafkan aku, Lauri. Aku memang sering asal ngomong. Kupikir kalian... yah, kau tahu.
Maksudku di zaman sekarang semua orang berbuat begitu. Aku tidak bermaksud jelek. Sungguh."
Betty tampak begitu menyesal sehingga mau tidak mau Lauri merasa kasihan padanya. "Tidak apa-apa. Betty. Kurasa sebagian besar orang memang akan menganggap aneh tindakan Drake menyuruh kami tinggal di rumah ini."
"Tidak akan begitu aneh kalau kau tidak secantik ini."
Lauri tertawa terbahak-bahak mendengarnya, tapi langsung teringat saat ia pertama kali bertemu Drake. Kenangan itu begitu pedih sehingga hatinya serasa teriris, dan tawanya mendadak hilang. Kapankah dia berhenti merindukan laki-laki itu" Baru kemarin mereka berpisah, tapi rasanya sudah lama sekali. Dia lega waktu Betty mengganti topik pembicaraan.
Hari-hari diisi dengan berbagai kegiatan rutin. Di pagi hari Lauri dan Jennifer menghabiskan beberapa jam di ruang kelas. Lauri senang anak itu secerdas perkiraannya sejak awal. Tiap hari membentangkan horison baru bagi Jennifer karena dia belajar berkomunikasi dengan gurunya, yang diyakininya sebagai orang paling hebat di dunia selain Drake.
Setiap hari Jennifer menanyakan pria itu dan tidak pernah melewatkan satu episode pun sinetronnya. Ketika gambar Drake muncul di layar, dia berteriak "Auwy, Auwy," dan dengan penuh semangat menunjuk Drake sambil mengisyaratkan namanya. Lauri juga sudah mengajarkan kata daddy, dan dia menghubungkan keduanya. Ketika belajar kata ibu, dia bertanya pada Lauri apakah dia ibunya. Lauri berusaha menjelaskan kata ke-matian dengan menunjukkan dua jangkrik; yang satu sudah mati dan yang lain masih hidup. Jennifer menangkap penjelasannya, tapi Lauri tidak yakin dia paham ibunya sudah meninggal. Anak itu tidak memiliki gambaran yang mengasosiasikan kata itu dengan seseorang. Mungkin dia harus minta foto Susan pada Drake.
Mereka berjalan-jalan di kaki perbukitan yang dialiri kali jernih. Lauri mengajari Jennifer bahasa isyarat untuk segala hal. Biasanya dia cuma perlu mengajarkannya sekali, dan anak itu dapat langsung mengingatnya, biarpun begitu mereka tetap berkali-kali mengulangi setiap isyarat.
Siang harinya Betty, Sam, dan Sally bergabung di kelas bahasa isyarat Jennifer. Saat itu merupakan saat yang menyenangkan, penuh tawa, dan anak-anak mengubah pelajaran jadi permainan. Tak lama kemudian mereka sudah berkomunikasi dengan Jennifer dengan keriangan dan kewajaran yang hanya dimiliki anak-anak.
"Lihat, Jennifer," teriak Lauri ketika membuka kotak surat. Mereka menuruni bukit sampai kota dan pergi ke toserba untuk belanja keperluan dapur. "Ada surat! Untuk siapa, ya"" Seperti biasa Lauri mengucapkan yang diisyaratkannya.
"Jen-fa," kata anak itu dengan omongan yang tidak jelas tapi menggemaskan. Dia menunjuk dirinya sendiri dan tersenyum lebar.
sering menghabiskan waktu bersama-sama. Lau mensyukuri persahabatan yang tumbuh di antara mereka, walaupun latar belakang mereka begitu berbeda.
"Hei," kata Betty, membuka sebungkus kue kering dan memasukkan sebuah ke mulut, "aku mau mengajak anak-anak menonton Sleeping Beauty siang nanti. Disney, kau tahu" Kau dan Jennifer mau ikut""
"Tentu. Kedengarannya seru."
Bani kali ini Betty ragu-ragu bicara. "Aku tidak tahu apakah anak tuna rungu bisa menont
on film atau tidak."
"Tentu saja bisa," kata Lauri. "Kami menonton Sesame Street kok, dan dia belajar dari film itu. Dia tidak dapat mendengar suaranya, tapi kan bisa menikmati cahaya, warna, dan gerakannya. Dia akan senang sekali."
Jennifer memang menikmati film itu. Kalau ada yang ingin ia tanyakan ia menyampaikannya pada Lauri dengan bahasa isyarat, dan Lauri menjawabnya. Dia betul-betul terpesona pada film kartun hebat itu. Ketika si nenek sihir berubah jadi naga, dia ketakutan; lalu naik ke pangkuan Lauri dan memeluknya kuat-kuat. Lauri menjelaskan bahwa naga itu cuma bohong-bohongan. Penjelasan itu tampaknya memuaskannya untuk saat itu, tapi Lauri memutuskan akan mencoba mengajarinya konsep sungguhan dan pura-pura pada pelajaran yang akan datang.
Hari itu penuh kegiatan dan Lauri merasa capek.
Film tadi memang menghabiskan waktu hampir sepanjang siang, tapi dia dan Betty tidak langsung pulang. Jim Groves tinggal di pegunungan akhir pekan itu, jadi Betty tidak terlalu bersemangat pulang karena cuma ada Sam dan Sally.
Mereka menyusuri jalan-jalan kota Whispers yang berbukit-bukit dan berpemandangan indah dengan diikuti ketiga anak itu. Mereka mampir di beberapa toko seni yang menarik minat Lauri. Jennifer memikat semua orang yang melihatnya. Selama sebulan mereka tinggal di komunitas kecil itu, dia sudah berteman dengan beberapa pemilik toko. Semua orang tahu wanita cantik berambut merah itu dan si anak kecil berambut pirang ikal yang selalu bersamanya.
Dia dan Betty memutuskan untuk memanjakan anak-anak dengan mengizinkan mereka menikmati hamburger dan milk shake untuk makan malam, lalu terseok-seok mendaki bukit menuju rumah-rumah mereka dengan diganduli anak-anak yang sudah kelelahan dan rewel.
Dalam beberapa menit Jennifer sudah dimandikan dan ditidurkan di kamarnya. Lauri merasa dia pantas berendam air hangat berlama-lama di bathtub mewah.
Ada suasana sensual dan memikat pada kamar mandi ini. Lantai dan dinding marmernya putih bersih, sangat kontras dengan tub-nya yang hitam pekat. Bak air dan pancurannya terbuat dari material yang sama, dan pintu pancurannya dari kaca bening, tidak buram seperti yang biasa dilihat Lauri. Setiap kali mandi dia merasa tergelitik karena bisa melihat bayangannya di cermin-cermin yang berjajar di dinding seberang.
Ketika membenamkan diri dalam air tub yang mengepul-ngepul dan berbusa, dia kembali mengagumi ukurannya. Dalamnya paling tidak tiga kaki dan panjangnya tujuh kaki. Dia menyelonjorkan tubuh dan menikmati kehangatannya yang menenteramkan.
Selesai berendam, dia keramas dan membelitkan handuk bagai sorban di kepala. Merasa lapar- hamburger yang dimakannya tadi sudah habis karena berjalan kaki-dia cuma melilitkan handuk di tubuhnya, menyelipkan ujungnya di antara payudara, dan pergi ke bawah, sengaja tidak menyalakan satu lampu pun.
Di dapur dia meletakkan di piring beberapa kue yang dibuatnya bersama Jennifer tadi pagi, menuangkan segelas susu, dan meletakkannya di piring lain, dan berjalan melewati pintu ruang tamu.
Dia tak pernah tahu apa yang membuatnya melihat ke arah kursi santai. Namun-jantungnya serasa melompat ke tenggorokan, dan dia nyaris saja menjerit. Dia terlonjak begitu kaget sehingga susu tumpah dari tepi gelas, dan handuk yang menutupi tubuhnya merosot.
"Sebaiknya kau berhati-hati, kalau tidak kau takkan punya rahasia lagi dariku," geram Drake.
Bab Lima Lauri ingin percaya bahwa jantungnya berdentam-dentam dan kaki serta tangannya lemas karena perasaan takut. Tapi ketakutan cuma salah satu penyebab. Penyebab lain, lebih kuat dan berpengaruh, adalah kehadiran Drake Rivington.
Kaki pria itu terulur di depannya sementara dia duduk santai di kursi. Topi koboinya dipasang rendah sampai di atas alis, tapi matanya menembus keremangan dan tampak seperti bersinar dari bawah tepi topi yang lebar. Dia bangkit dari kursi pelan-pelan, malas-malasan, tidak bergegas.
Pria itu memakai jins dan jaket denim. Anehnya, dia tidak kelihatan seperti pria-pria yang berparade di Fifth Avenue dengan mengenakan pakaian Western ba
ru yang trendi dan baru keluar dari toko Saks. Pakaian Drake sudah pudar dan usang, dan dia tampak pantas memakainya.
Pria itu maju bagai harimau yang siap menerkam dan berhenti hanya beberapa inci dari Lauri. Kedekatannya mendebarkan jantung. Tak sadar Lauri menarik napas dalam-dalam, dan ketika dia mengembuskannya, handuknya turun sedikit lagi. Dia tidak bisa meraih dan menahannya. Satu tangan memegang piring kue, tangan yang lain gelas susu. Jika dia berjalan ke meja untuk meletakkan keduanya, dia takut handuknya malah akan lepas dan jatuh ke bawah.
Drake menyadari kesulitannya dan lesung pipinya makin dalam ketika dia tersenyum jail dan mendorong topi koboinya ke belakang dengan ibu jari. "Wah, aku harus berbuat apa, ya, ma'am"" ia bertanya geli. "Kalau kuambil kuenya, kau pasti akan menumpahkan susu karena buru-buru menyambar handuk. Kalau kuambil susunya, kue-kue itu akan meluncur dari piring, dan takkan bisa dimakan lagi. Sayang sekali, baunya enak." Dia membungkuk dan membaui kue-kue itu. Kepalanya sangat dekat dengan kepala Lauri, dan harum cologne-nya mengalahkan aroma sedap kue-kue dan jauh lebih menggiurkan.
Pria itu menegakkan tubuh dan maju selangkah. "Di lain pihak aku bisa mengambil handuk itu dan menyelesaikan semua masalah kita," dia berkata serak.
Napas Lauri tertahan di tenggorokan ketika tangan Drake bergerak ke belahan dadanya, tempat ujung handuk diselipkan sekadarnya. Pria itu menekan bagian atas payudaranya dengan telunjuk. "Tahukah kau," suaranya cuma bisikan, "bahwa kau punya lima bintik persis di sini"" Dia menunjukkan titik itu dengan mengusapkan jarinya di kulit Lauri. "Aneh. Kulit orang-orang berambut merah biasanya penuh bintik. Tapi kau cuma punya lima. Tapi tempatnya begitu nakal dan bagus."
Lauri terpesona mendengar nada merayu dalam suara pria itu. Napas harum pria itu berembus di wajahnya, seolah memberinya oksigen. Lauri ingin menghirup napas itu ke dalam tubuhnya sendiri. Jari-jari yang mengusap-usap itu terus bergerak ke balik handuk. Ketika ia merasakan tekanannya di bagian lembut tubuhnya, api gairah yang sejak tadi membakarnya langsung padam. Kemarahan mengalahkan nafsu.
Dia cepat-cepat mundur dan mendesis, "Kau bikin aku takut setengah mati! Kenapa tidak kau-beritahu aku tentang kedatanganmu""
"Yah, aku akan melakukannya, tapi kau sedang mandi. Kau mau aku menyerbu kamar mandi untuk memberitahumu tentang kedatanganku" Kau tak bakal punya handuk untuk menutupi tubuhmu," ejek Drake sementara matanya menjelajahi tubuh Lauri dengan kurang ajar. "Aku tidak tahu kau berjalan ke sana kemari di rumahku seperti ini. Kukira gadis baik-baik macam kau setelah mandi selalu mengenakan mantel kamar mandi atau sesuatu yang lebih sopan."
Lauri tidak memedulikan kata-kata pria itu dan kembali ke pertanyaannya. "B-bagaimana kau tahu aku sedang mandi""
Drake mengangkat alis dengan penuh arti. "Nah, menurutmu sendiri bagaimana"" dia bertanya dengan mata berkilat geli. Lauri terkesiap dan merah padam. "Aku mendengar suara air mengalir," Drake berkata santai.
Reaksi Lauri persis seperti dugaannya. Wanita itu mengentakkan kaki dengan marah, dan dia tertawa ketika Lauri berteriak tertahan. Wanita itu sesaat lupa soal handuknya, tapi diingatkan tentang keadaannya yang gawat ketika merasa handuk itu makin melorot di payudaranya sampai nyaris lepas.
"Tolong berhentilah tertawa dan ambil ini dari tanganku. Aku kedinginan."
"Tidak heran. Berjalan-jalan telanjang begitu," goda Drake, tapi ia mengambil juga susu dan kuenya. Lauri buru-buru mencengkeram handuk dengan tangan terkepal. Ingin sekali dia meninju mulut mencibir laki-laki itu.
"Mr. Rivington, aku mau pergi sebentar, setelah itu aku ingin tahu untuk apa kau kemari."
"Sebaiknya kau berhati-hati kalau bicara denganku," Drake memperingatkan. "Kau masih harus naik tangga. Handuk itu tidak menutupi semuanya. Aku bisa bersikap sopan dengan memalingkan kepala atau aku bisa berdiri di kaki t-"
"Mr. Rivington, maukah kau mengizinkan aku pergi supaya aku bisa berpakaian lebih pantas sebelum ditanyai orangtua muridku
"" Lauri bertanya dengan suara semanis madu.
"Tentu, Ms. Parrish. Aku akan menunggumu di dapur."
"Aku takkan lama." Tanpa menunggu untuk melihat apakah pria itu memandang ke atas tangga atau tidak-dia tidak ingin tahu-Lauri berlari ke atas dan masuk ke kamar.
Jari-jarinya gemetar ketika dia memakai celana panjang jins dan kemeja flanel. Udara malam di pegunungan sekarang makin dingin.
Apa yang dilakukan Drake di sini" Kenapa pria itu tidak memberitahukan kedatangannya" Dia melepas handuk dari rambut dan menyisirnya. Rambutnya terjuntai basah di bahu, tapi sudah bergelung sesuai aslinya. Dia tidak mau repot-repot mengeringkannya dengan hair dryer. Dia ingin bertemu Drake-tapi cuma untuk menanyakan mengapa dia datang, katanya dalam hati.
Kakinya seolah sudah berubah jadi jeli ketika Lauri menuruni tangga. Ketika dia masuk dapur, Drake sedang berdiri di depan kompor, membuat telur orak-arik. Kopi menggelegak di alat pembuat kopi, dan ada dua iris roti di panggangan. Jaket dan topi pria itu tergantung di cantelan baju di belakang pintu.
"Aku lapar. Makanan di penerbangan kemari tidak enak, dan aku tidak berhenti untuk makan sebelum tiba di sini. Kau mau sesuatu""
"Ya, aku ingin tahu apa yang kaulakukan di sini.
Drake menuangkan telur dari wajan antilengket ke piring yang sudah tersedia. Dia berkacak pinggang dan memandang Lauri beberapa detik sebelum berjalan melewatinya ketika menuju ruang tamu. Lauri mengikuti, kesal dan bingung.
Pria itu pergi ke pintu depan, membukanya, dan melewatinya. Memandang ke atas pintu, ia berkata, "Empat kosong tiga. Sudah kuduga. Ini rumahku." Dia masuk kembali dan menutup pintu, tidak memedulikan kemarahan Lauri ketika dia berjalan santai ke dapur.
"Lucu sekali," kata Lauri sambil membuntutinya. "Kupikir juga begitu," Drake menoleh ke belakang sambil membuka pintu kulkas. "Kita punya keju""
"Kita"" tanya Lauri, menekankan kata itu.
"Oke. Kau punya keju, Ms. Parrish""
Lauri tidak sanggup menatap mata menggoda yang memandangnya dari atas pintu kulkas. "Di rak paling bawah," gumamnya, memandang kakinya yang telanjang. Apa dia tadi lupa memakai sepatu"
"Bagaimana kalau selai stroberi""
Lauri betul-betul tidak mengerti. "Apa"" dia bertanya tak sabar.
"Kita-maaf, kau punya selai anggur, apricot, dan stroberi. Menurutmu yang stroberi lebih enak""
Cukup sudah. "Bisakah kau berhenti berbasa-basi, menyelesaikan makananmu, dan duduk supaya aku bisa bicara denganmu""
Lauri mengetuk-ngetukkan kaki dengan sebal dan bersidekap. Saat itulah dia sadar tadi tidak sempat juga memakai pakaian dalam.
"Oke, oke," kata pria itu ketus, menaruh piring di meja. "Kau tidak pernah ramah, ya"" Dia menuangkan secangkir kopi dan bertanya pada Lauri dengan mengangkat sebelah alis apakah dia juga mau. Lauri menggeleng.
Setelah pria itu duduk dan mulai melahap makanannya, tanpa berusaha memulai percakapan, Lauri mengempaskan diri kuat-kuat ke kursi di seberangnya. Drake bahkan tidak memandangnya. Yah, pikir Lauri, aku tidak sudi bicara duluan.
Sesudah piringnya licin, Drake membersihkan mulut dengan serbet kertas dan berlama-lama meminum kopi yang sudah dingin.
"Apa rumah ini memuaskan"" dia bertanya.
Lauri tidak menyangka dia memulai dengan pembicaraan tentang rumah. "Ya," jawabnya singkat. Ketika Drake mengangkat alis dengan kesal, sikapnya agak melunak. Bagaimanapun, pria ini orangtua muridnya. "Lebih dari memuaskan. Rumah ini indah, dan kau tahu itu. Whispers lingkungan yang sempurna untuk Jennifer. Dia mempelajari begitu banyak hal, dan orang-orang sini baik dan tidak terburu-buru."
"Bagaimana kabarnya, Lauri"" Semua godaan dan kelakarnya telah berhenti. Dia serius. Lauri berusaha mengabaikan sensasi yang menggelitik dirinya ketika pria itu mengucapkan namanya. Dia berusaha sama kerasnya untuk tidak terkagum-kagum memandangi kumis pria itu. Kumis itu turut hadir dalam khayalannya.
Dia mengalihkan pandangan dan menjawab dengan sungguh-sungguh, "Dia baik-baik saja, Drake. Betul. Dia pintar dan cerdas. Pelajarannya berjalan lebih cepat daripada yan
g kukira. Kemajuan kemampuan bicaranya masih sangat lamban, tapi ada perubahan. Perbendaharaan kata dalam bahasa isyaratnya dan penguasaannya empat kali lipat dari sejak kami meninggalkan New York." Ia lalu tersenyum dan bertanya, "Kabarmu sendiri bagaimana""
Pria itu mengisyaratkan bahwa dia ikut kursus tiga malam seminggu dan belajar secepat yang bisa dilakukan pria berumur 35 tahun yang sudah kelelahan.
Lauri tertawa. "Bagus sekali! Kau dan Jennifer bisa mendiskusikan segala macam hal sekarang."
"Kau merindukan New York"" tanya Drake dengan kening berkerut.
"Tidak," Lauri menjawab perlahan. Aku cuma merindukanmu, pikirnya. Ketika melihat ekspresi skeptis Drake, dia menambahkan, "Kita punya tetangga sangat baik yang ternyata penggemar beratmu dan mungkin akan menyerbu rumah ini kalau tahu kau ada di sini. Dia memiliki dua anak yang senang bermain dengan Jennifer."
Drake tampak terkejut dan bertanya, "Apa me-reka-maksudku, mereka tidak-" Dia mencari kata-kata yang tepat, Lauri membantunya.
"Apakah mereka menganggapnya aneh" Tidak, Drake," dia menenangkan pria itu. "Mereka memperlakukannya sebagai teman bermain biasa. Mereka bertengkar dan berbaikan persis seperti anak-anak lain. Betty dan. anak-anak itu sedang belajar bahasa isyarat. Mereka sekarang sudah cukup lancar berbicara dengan Jennifer."
"Baguslah," kata Drake, mengangguk ke cangkir kopi. Mengharukan melihatnya begitu lega. Lauri menahan keinginan untuk mengulurkan tangan dan menyentuh rambut perak-cokelat yang berantakan karena lama tertutup topi koboi. Kerut-kerut halus di sekeliling matanya tampak makin nyata, seakan sudah beberapa lama dia tidak bisa tidur nyenyak. Apakah dia begitu merindukan anaknya" Ataukah kedatangannya ke Whispers mengingatkannya pada saat-saat yang dihabiskannya di sini bersama Susan" Pikiran menyakitkan itu nyaris tak tertahankan. Lauri dapat merasakan wajahnya menunjukkan emosinya, sehingga dia cepat-cepat menyembunyikannya.
"Berapa lama kau akan tinggal di Whispers"" tanyanya.
Pria itu mendongak dan memandangnya sesaat sebelum berdiri dan berjalan ke teko kopi untuk mengisi cangkirnya lagi. "Tidak bisa dipastikan," kata Drake. Lauri memandangnya kaget. Apa maksudnya dengan tidak bisa dipastikan" "Aku tidak mengerti," katanya. Drake minum kopi seteguk dan berbalik untuk menatapnya. "Kepalaku sakit sekali. Maukah kau memijat leherku""
Pergantian topik pembicaraan yang secepat itu betul-betul mengejutkan Lauri. Secara refleks dia mengangguk dan pergi ke belakang kursi Drake ketika pria itu duduk. Dengan hati-hati dia meletakkan tangan di bahunya dekat leher dan memijat lembut otot-otot tegang di balik kemeja katun yang menutupinya.
"Ah, terima kasih. Enak sekali." Drake menyesap kopinya lagi. Ketika mulai berbicara, dia terdengar merenung. "Aku bosan dengan omong kosong yang harus kulakukan dan kuucapkan di sinetron Aku muak. Selama tujuh tahun aku menikah empat kali dan sangat sering berselingkuh, dan mengalami kecelakaan mobil yang menyebabkan ingatanku lenyap. Aku hampir menikahi adik perempuan-yang telah lama hilang sebelum kami mengetahui hubungan darah kami. Putraku meninggal karena" leukemia, dan izin praktekku dicabut karena putri seorang pria kaya menuduhku menggugurkan janin yang menurutnya adalah anakku. Aku hampir muntah dengan Dokter Hambrick. Tujuh tahun melakonkan skenario seperti itu sudah cukup."
"Maksudmu kau mengundurkan diri"" Lauri bertanya kaget, dan seketika berhenti memijat lehernya.
"Tidak juga. Tolong jangan berhenti." Setelah jari-jarinya kembali bekerja, Drake melanjutkan, "Kuberitahu Murray bahwa aku ingin pergi beberapa lama untuk menjernihkan pikiran. Selama ini aku cuma memperoleh libur beberapa hari, jadi aku berhak cuti beberapa minggu. Hari Rabu minggu ini, kami membuat episode di mana kepala Dokter Hambrick dipukul penodong waktu dia dan kekasihnya sedang berjalan-jalan di Central Park. Sang dokter koma. Kekasihnya diperkosa, jadi untuk sementara waktu semua perhatian akan terpusat padanya. Wanita itu pasti akan jatuh cinta setengah mati pada dokter lain," dia b
erkomentar sambil mendengus sebal.
"Mereka membungkus kepalaku dengan perban, membaringkanku di tempat tidur rumah sakit dan mengambil gambarku tergeletak tak bergerak di sana sepanjang beberapa menit. Setiap adegan yang berkaitan dengan Dokter Hambrick, mereka tinggal memutar rekaman itu. Dan sementara mereka melakukannya, aku di sini bersama Jennifer menikmati musim gugur di New Mexico."
"Kau bisa berbuat begitu"" Lauri cuma samar-samar tahu kekuatan jaringan televisi dan mengira Drake mempertaruhkan kariernya.
Pria itu cuma mengangkat bahu. Ketika berbuat begitu, kepalanya rebah ke payudara empuk Lauri. Jari-jari Lauri menyusuri rahang pria itu, tiba di pelipis, dan memijatnya dengan ritmis. Kesannya Lauri yang sengaja menyandarkan kepala Drake di dadanya.
"Selama beberapa waktu," kata Drake, akhirnya menjawab pertanyaannya. "Dengan segala kerendahan hati aku membuat film itu bertahan selama bertahun-tahun. Aku kenal beberapa orang berpengaruh. Lagi pula, semua toh tahu betapa temperamentalnya sang aktor." Dia bercanda, tapi kata-kata itu bagai menampar wajah Lauri. Ya, aku tahu, pikirnya.
Untuk mengganti topik pembicaraan dia bertanya, "Kau akan tinggal di mana""
Drake tertawa dan mencondongkan kepala ke belakang untuk melihatnya-gerakan yang menyebabkan napas Lauri tercekat di tenggorokan. Apakah Drake sadar kepalanya menekan payudara Lauri"
"Di mana aku akan tinggal"" ejeknya. "Yah, kamar luas di lantai atas itu kamarku. Yang memiliki tempat tidur besar dan cermin-cermin di pintu lemari."
Lauri melompat menjauhinya seolah kena tembak Suasana lembut hatinya beberapa menit yang lalu lenyap sama sekali. "Tidak mungkin kau berniat tinggal di sini!"
"Yang jelas aku tidak bakal menginap di Mountain View Motel, Ms. Parrish," kata Drake sinis. 'Tentu saja, aku akan tinggal di sini."
"Tapi tidak bisa. Aku kan tinggal di sini. Kita akan-" Lauri menjilat bibir dengan gugup dan menggenggam kedua tangannya. "Pokoknya tidak bisa." Perkataannya terdengar kekanak-kanakan, bahkan di telinganya sendiri.
"Apa kau tadi mau bilang bahwa kita akan tinggal serumah"" Drake nyaris tidak bisa menyembunyikan nada geli dalam suaranya. "Ya, kurasa. Bisa dibilang begitulah." "Itu mustahili" Lauri berteriak. "Kenapa"" tanya Drake pura-pura tidak tahu. Kemudian mata hijaunya menyipit mencurigakan. "Ms. Parrish, aku terkejut padamu. Kau tidak bermaksud menimbulkan konotasi tak pantas pada situasi ini, kan" Kau tidak akan memanfaatkan aku, bukan" Apa aku dalam situasi berbahaya""
"Tidak. Jelas tidak!" seru Lauri dingin. "Paling tidak bukan karena aku. Tapi kau bersiap-siap saja dimasukkan ke rumah sakit jiwa kalau kaupikir aku mau tetap tinggal di rumah ini selama kau ada. Kalau kau di sini, aku akan pergi"
"Tidak, tidak akan," katanya yakin sambil berdiri dan meregangkan otot-otot bahu yang barusan dipijat Lauri. "Jennifer membutuhkanmu, dan kau terlalu menyayanginya sehingga takkan tega meninggalkannya. Ngomong-ngomong, aku ingin bertemu dia. Dia tidur di kamar kecil di atas""
Dengan kesombongan khasnya Drake mengabaikan argumen-argumen Lauri dan berjalan tenang keluar dapur, meninggalkannya berdiri di tengah ruangan, menahan kemarahan menggelegak.
Drake benar, tentu saja. Dia takkan mau meninggalkan Jennifer. Dia baru saja memperoleh kepercayaan utuh dan kasih sayang anak itu. Jika dia pergi, Jennifer mungkin akan mengalami kekacauan psikologis yang tidak bisa diperbaiki. Vital bagi perkembangan dan pendidikan anak itu jika Lauri tinggal bersamanya dan melanjutkan kegiatan mereka selama ini.
Tapi dia tidak bisa tinggal di sini dengan Drake! Dia bisa tetap bersikap dingin terhadap laki-laki mana pun. Tapi tinggal di bawah atap yang sama dengan Drake, yang sanggup meluluhkannya dengan satu sentuhan, satu tatapan, sama sekali tak mungkin. Kesombongan Drake yang menjengkelkan akan terus-menerus membuatnya dongkol. Siksaan macam apa yang akan dihadapinya jika tetap tinggal di sini"
Tapi dia akan tetap di sini. Sejak awal dia sudah tahu itu, begitu juga Drake. Satu-satunya harapannya adalah pria itu a
kan segera bosan dengan kehidupan tenang di Whispers dan buru-buru pulang ke New York. Sampai saat itu tiba, sebisa mungkin dia akan menjauhi pria itu Pasti Drake takkan lama di sini. Seminggu" Dua minggu"
Pelan-pelan dia menaiki tangga dan masuk ke kamar Jennifer, di mana lampu redup memberikan penerangan lembut. Drake duduk di tempat tidur, memeluk Jennifer erat-erat. Dia mengayun-ayunnya, menepuk-nepuk punggungnya. Lauri menjauh dan masuk ke kamar yang sekarang akan ditempati Drake. Dia mulai mengumpulkan beberapa benda untuk dibawa ke bawah.
"Apa yang kaulakukan"" Suara dalam itu mengejutkannya. Dia berbalik dan melihat pria itu bersandar di ambang pintu.
Lauri menghindari tatapan dan pertanyaannya ketika bertanya, "Dia sudah tidur lagi""
"Yeah," pria itu terkekeh. "Kurasa dia tidak betul-betul bangun, tapi sekarang dia tahu aku di sini."
Lauri mengangguk dan berpaling untuk mengambil pakaian-pakaian yang diletakkannya di tempat tidur. "Apa yang kaulakukan"" ulang pria itu.
"Aku tidak mau merecokimu," jawab Lauri. "Kalau kau bersedia menunggu sampai besok pagi untuk membongkar tasmu, saat itu aku akan memindahkan barang-barangku ke bawah. Aku sekarang cuma mengangkut apa-apa yang kubutuhkan."
"Tidak perlu. Biarkan semua tetap di tempatnya," kata Drake tegas.
"Tapi sudah kubilang-"
"Aku akan tidur di ruangan bawah. Masa kau harus pindah lagi."
"Tapi ini kan kamarmu, Drake. Aku akan merasa tidak enak menempatinya, karena kamar yang satu lagi begitu kecil."
"Aku akan menyesuaikan diri. Lagi pula," kata Drake, berjalan memasuki kamar, "aku senang memikirkan kau ada di kamarku. Di tempat tidurku." Suaranya berubah jadi serak ketika dia makin dekat. Suaranya seolah mengatakan dia juga akan tidur di tempat tidur itu. Darah Lauri menggelegak bagai lava cair, dan kakinya nyaris tak mampu menopang tubuhnya ketika pria itu mengulurkan kedua tangannya dan memegang kepalanya, menyusupkan jari-jari ke dalam rambut Lauri.
"Rambutmu sudah hampir kering," bisik Drake. "Aku juga suka waktu rambutmu dalam keadaan basah." Dia membelai pipinya dengan bibirnya. "Jangan kaukira kemeja gombrong itu menyembunyikan bentuk tubuhmu. Aku tahu persis bagaimana bentuk payudaramu karena telah melihatnya hanya ditutupi handuk basah yang tak seberapa lebar itu."
Kemudian bibirnya mengulum bibir Lauri, bagai pemain musik menyelaraskan alat musiknya sebelum konser, mempersiapkannya sebelum dinikmatinya secara total. Ketika dia akhirnya melumatnya, bibir Lauri sudah siap, dan menyambut ciuman yang menggetarkan jiwanya itu.
Tangan Drake perlahan-lahan menyusuri punggung Lauri sampai ke bawah. Berhenti sebentar untuk memijat, tangannya menyelinap ke pinggul Lauri dan menariknya ke dekatnya. Lauri merasakan gairah Drake bangkit. Ia membalas dengan kerinduan alamiah yang sama. ia menggesekkan tubuhnya dan mendengar pria itu mendesah nikmat
ia melepaskan sikap hati-hatinya, dan membalas ciuman Drake dengan gairah berkobar-kobar. Bibirnya seolah tak pernah puas. Ketika pria itu mengangkat kepala untuk membelai pipinya dengan tangannya yang sebelah lagi, Lauri berjinjit dan, dengan ujung lidah, menyapu bibir atas pria itu, persis di bawah kumisnya.
"Lauri," erangnya, sebelum mencium bibir Lauri berulang-ulang bagai tak terpuaskan.
Tangan Drake kemudian mengelus-elus tengkuk Lauri dengan jari-jari yang sensitif. Lalu jari-jari itu bergerak turun sampai dia menemukan kancing pertama kemeja Lauri. Dia membukanya dengan lihai dan mengusap bagian atas payudaranya, yang makin menonjol karena tertekan dadanya. Jari-jari pria itu bagai beludru hangat terasa di kulit Lauri yang semulus satin. Sambil melumat bibir Lauri, Drake membuka kancing kedua semudah yang pertama.
Lauri mendesahkan namanya waktu Drake membenamkan wajah di dasar leher Lauri dan mulai membelai payudaranya. Ia membelai dan menggelitiknya, sampai payudaranya menggelenyar dan menimbulkan kenikmatan yang menyebar ke tubuh Lauri.
Drake mengelus lagi dan mengeluarkannya dari kemeja Lauri. "Aku mengagumi bintik-bintik ini," bisiknya dan menundukkan k
epala. Ciumannya membuat kepala Lauri serasa berputar, dan dia mencengkeram rambut pria itu, menariknya makin dekat.
Kumisnya yang menggelitik dan bibirnya yang mengulum membuat Lauri tak mampu berpikir, tak sanggup melawan. Dia tak ingin keluar dan lautan kenikmatan ini. Dia ingin tinggal di dalamnya sampai mencapai puncak kenikmatan bercinta dengan Drake.
Seolah membaca pikirannya, pria itu menjauhkan bibirnya dari payudaranya yang mendambakan sentuhannya, tapi harus puas dengan belaian kumisnya saja.
"Lauri, biarkan aku merasakan manisnya tubuhmu," dia memohon. "Sekarang. Kumohon. Aku membutuhkan kelembutanmu. Aku menginginkanmu."
Kata-kata pria itu membuyarkan belitan sensualitas yang dirajutnya di sekeliling Lauri dan menusuk otaknya bagai sinar laser.
Membutuhkan. Menginginkan. Ya, Drake memang menginginkannya. Reaksi fisiknya terhadap pelukan mereka sangat nyata ketika dia memeluknya seerat ini. Kalau begitu, mengapa Lauri ragu untuk menyerah seutuhnya"
Pengakuan bahwa Drake tidak menginginkan keterlibatan emosional tidak perlu diragukan lagi. Yang diinginkan dan dibutuhkannya bukanlah Lauri Parrish sebagai manusia, sebagai sosok berperasaan; Drake menginginkan tubuhnya-dan hanya itu. Dia hanya membutuhkan penyaluran hasratnya yang tidak bisa dibendung. Jika Lauri menurutinya, kebutuhan Drake akan terpenuhi. Tapi yang tersalurkan bukanlah pikiran-atau perasaan-pria itu.
Drake Rivington tidak mencintainya. pria itu masih mencintai istrinya. Ketika bicara tentang Susan, perasaan kehilangannya begitu jelas sehingga membuat orang yang menyaksikannya jadi trenyuh dan tidak enak hati.
Meskipun sangat menginginkannya, Lauri tidak dapat menerimanya. Tapi bagaimana dia dapat menolaknya sekarang" Gairahnya sudah tidak dapat disembunyikan lagi. Bisa dibilang Drake telah memeluknya dalam keadaan telanjang dan pasrah. Jari-jari ahli pria itu tengah membuka kancing-kancing kemejanya. Dia takkan percaya jika di-beritahu bahwa Lauri mendadak sadar dan merasa bersalah. Satu-satunya jalan adalah berpura-pura marah. Itu akan dipercayanya.
Dan Lauri memang marah. Dia membenci dirinya sendiri karena tidak bisa menerima pria itu ketika tubuhnya mendambakannya. Tapi dia sudah pernah merasakan pengalaman berbahaya itu. Paul memanfaatkannya secara seksual sebagai obat bagi penderitaannya, kemarahannya. Bagaimana dengan penderitaan dan kemarahannya sendiri" Siapa yang akan meringankan kesengsaraannya"
Dia tidak mau melakukan kesalahan yang sama. "Drake, Drake," Lauri berkata dengan susah payah dan mengerahkan tenaganya yang masih tersisa untuk mendorong laki-laki itu. "Tidak."
Mata pria itu bercahaya karena gairah, dan dia butuh waktu sesaat untuk menjernihkan pikiran dan menyadari bahwa Lauri melarangnya mengakhiri siksaan fisik ini.
"Ada apa"" tanyanya, masih terpana dengan penolakan tak terduga wanita itu.
Lauri mengancingkan kemeja dengan gemetar ketika menjauh dari pria itu dan memunggunginya. "Aku tidak bisa-aku tidak mau tidur denganmu," katanya tak jelas.
"Sedikit pun aku tidak percaya," kata Drake, menyerbunya. Lauri menghindar dan mengangkat kedua tangannya sehingga pria itu berhenti. "Jangan sentuh aku lagi. Aku tidak main-main," katanya cepat-cepat.
Mata Drake mengilat bagai es hijau. Dia mengerti sekarang. "Dan aku juga tidak main-main," geramnya. "Kita saling menginginkan."
"Aku tidak," bantah Lauri sengit.
"Tubuhmu bilang sebaliknya, Lauri," kata Drake dengan ketenangan menakjubkan. "Aku bisa merasakan betapa kau sangat menginginkan aku. Tanganku telah membuatmu mendidih, dan mulutku bisa berbuat lebih dari itu."
"Tidak-" "Dan aku ingin berbuat lebih dari itu. Aku ingin melakukan segala hal. Aku ingin-"
"Seks!" potong Lauri dengan teriakan yang diharapkannya bisa mengalahkan nada sensual pria itu. "Aku tidak suka kau mengira aku akan pasrah menyerahkan diriku padamu padahal kau terang-terangan menunjukkan cuma menginginkan seks dari wanita." Dia menarik napas dalam-dalam beberapa kali.
"Sudah kubilang aku tidak menginginkan keterlibatan emosional. Itu tidak berar
ti kalau aku memeluk wanita cantik dan menggairahkan aku tidak ingin bercinta dengannya."
"Cinta!" teriak Lauri. "Kau bilang kau mencintai istrimu-"
"Jangan bawa-bawa istriku," geram Drake. Reaksinya begitu garang sehingga Lauri mundur selangkah. Mestinya dia tidak menodai kenangannya tentang istrinya dengan melibatkan wanita itu dalam pembicaraan tidak senonoh ini. Pikiran tersebut membuatnya marah, dan dia mengangkat dagu dengan gaya menantang.
"Aku bukan salah satu penggemar sintingmu," kata Lauri pedas. "Aku pegawaimu-dan kuharap kau memperlakukan aku sebagai pegawaimu." Dia berharap kata-katanya terdengar lebih meyakinkan daripada perasaannya. Sekarang pun, ketika rambut pria itu berantakan dan pakaiannya kusut karena gerakan tangannya, dia ingin berlari mendatanginya dan memohon agar dicium lagi. Pria itu tidak boleh mengetahui pikirannya barusan, jadi ia berusaha tidak memperlihatkan hal itu di wajahnya.
"Baik," kata Drake kaku. "Dokter Hambrick pun tidak akan sampai memerkosa, dan Drake Rivington tidak perlu berbuat begitu." Dia berbalik dan berjalan cepat ke pintu. Sebelum melewati pintu, dia memandang wanita itu lagi sambil tersenyum mencemooh. "Jangan merasa menang dulu. Kau menginginkan aku, dan aku pasti akan men-dapatkanmu. Ini cuma masalah waktu." Dia pun menutup pintu kuat-kuat.
Bab Enam Berani-beraninya dia bicara seperti itu padaku! pikir Lauri berulang kali.
Dia mengira kemarahannya akibat kata-kata perpisahan Drake itu akan berkurang setelah tidur semalaman, namun ternyata ketika dia bangun, amarahnya malah bertambah. Pria itu memanfaatkan kondisinya yang rapuh dan tidak siap karena ke-pergiannya yang mendadak. Dia memikat, amat sangat tampan, gagah, dan terbiasa dengan para wanita yang bertekuk lutut di hadapannya.
Yah, dia akan segera tahu bahwa Lauri Parrish kebal terhadap pesonanya. Setelah neraka membeku barulah Lauri mau tidur seranjang dengan Drake Sloan.
Lauri memasang tampang muram ketika menuruni tangga dan berjalan menuju dapur. Lirikan selintas ke dalam kamar Jennifer membenarkan ramalannya bahwa gadis kecil itu pasti sudah bangun dan bersama sang ayah.
Dia mendorong pintu ruang bar yang memisahkan dapur dari ruang makan dan berjalan dengan gaya acuh tak acuh ke ruangan yang bermandikan cahaya matahari tersebut. Pemandangan yang me nyambutnya begitu tenang dan menyejukkan sehingga kemarahannya langsung lenyap, dan ke-kesalannya pelan-pelan mencair.
"Selamat pagi," sapa Drake sambil tangannya memperagakan bahasa isyarat. "Jennifer sarapan sereal, dan aku makan roti panggang dan kopi. Kau mau apa"" Ya Tuhan, dia tampan sekali, pikir Lauri. Rambutnya berkilau karena cahaya perak sinar matahari yang menerobos jendela. Lengan kemeja sportnya digulung sampai siku dan ujung kemejanya mencuat dari jins. Ancaman yang dilihatnya di wajah pria itu ketika dia meninggalkannya tadi malam telah digantikan senyum cerah yang bahkan lebih memperdaya.
"Selamat pagi," balas Lauri, lalu membungkuk untuk memeluk Jennifer yang asyik menyendokkan sereal ke dalam mulut.
Anak itu menoleh pada Lauri dengan penuh semangat dan berkata dalam bahasa isyarat, "Ada Daddy, Lauri."
"Aku tahu," jawab Lauri. "Apa kau merasa sedih""
"Tidaaak," kata Jennifer. Dia senang mengucapkan kata itu dan kata itu mudah diucapkan, jadi dia memanjangkan pengucapannya.
"Apa kau marah"" tanya Lauri. Beberapa hari yang lalu mereka belajar tentang emosi-emosi dasar, jadi Lauri sekarang menguji muridnya.
Jennifer mengikik dan berkata, "Tidaaak."
"Kalau begitu bagaimana perasaanmu karena ada Daddy""
Jennifer diam sebentar dan mengingat-ingat bahasa isyarat yang benar. "Aku bahagia," katanya, dan tertawa waktu Lauri bertepuk tangan. Lalu ia bertanya pada gurunya, Apa kau bahagia ada Daddy"
Lauri cepat-cepat menegakkan tubuh, berharap Drake tidak mengawasinya. Harapan tinggal harapan. Alis tebal dan ekspresif pria itu terangkat.
"Bagaimana" Jawab pertanyaan Jennifer. Apa kau bahagia aku ada di sini""
Pria itu memojokkannya. Jennifer mendongak memandangnya dengan penuh harap.
Dengan segan-segan Lauri mengisyaratkan dan berkata, "Ya. Aku bahagia ada Drake." Jennifer puas dan kembali memakan sereal.
"Mungkin kau perlu mengecek alat bantu dengarnya. Aku tidak yakin sudah memasangnya dengan benar," kata Drake. Lauri menyibakkan rambut ikal Jennifer dan mengecek penempatan dan tombol volume alat itu, yang dimasukkan ke dalam telinga Jennifer. "Benar kok," katanya.
"Bagus. Kau mau sarapan apa"" Drake bertanya sambil mengoleskan mentega banyak-banyak di roti.
"Aku tidak biasa sarapan," ujar Lauri. "Kopi saja sudah cukup."
Mata Drake menyusuri tubuhnya dengan pandangan menilai yang membuat Lauri merah padam. "Kau begitu langsing apa karena menahan nafsu makan""
Untuk menghindari tatapan Drake yang tajam, Lauri pergi ke meja dapur menuang kopi dengan tangan gemetar. Ketika melewati Drake, pria itu menepuk bokongnya dan selama beberapa detik tangannya menempel di situ. "Menahan nafsu bisa membuatmu gelisah, marah-marah, dan cepat tua."
Lauri sudah siap membalas omongannya, tapi Betty memilih saat itu untuk membuka pintu bela. kang dan berjalan masuk dengan riang seperti biasanya. Rol-rol rambut warna pink mencuat ke berbagai arah dari kepalanya. Mantel quilt diikat sekadarnya di pinggangnya yang gemuk. Sandal bulu menyebabkan ukuran kakinya jadi besar sekali.
Dia langsung berhenti dan terpaku ketika melihat Drake duduk di meja. Mata cokelat lebarnya me-lotot dan mulutnya membuka dan menutup seperti ikan tercampak ke darat. Kalau saja ekspresinya tidak selucu itu, Lauri pasti kasihan pada temannya.
Dia menahan tawa waktu mengenalkan mereka.
"Betty Groves, ini Drake Rivington. Drake, ini tetangga yang kuceritakan padamu."
"Selamat pagi, Mrs. Groves," kata Drake, berdiri dan mendekati Betty dengan tangan terulur. Betty mengangkat tangan bagai robot dan Drake menjabatnya. "Lauri memberitahuku betapa kau banyak membantu dia dan Jennifer. Aku ingin mengucapkan terima kasih karena kau telah menjaga gadis-gadisku selama aku tidak ada."
Lauri tersentak mendengar kata-kata yang bersayap itu, tapi sebelum dia sempat memprotes, Betty mengerang keras, "Oh, Tuhanku! Penampilanku berantakan! Aku mampir cuma untuk meminjam secangkir gula. Aku tidak tahu kau ada di sini, Dokter Ham-Mr. Sloan-Mr. Rivington. Kenapa tidak kauberitahu aku dia akan datang, Lauri"" tanyanya ketus. "Aku ti-"
"Kau cantik kok, Betty. Boleh kupanggil kau Betty"" Drake menyela Lauri sebelum dia bisa membela diri. "Mana gula kita, Lauri""
Kita" Gula kita" Drake berusaha sekuat tenaga menimbulkan kesan mereka sepasang kekasih yang sudah tinggal serumah. Lauri memandang tajam pria itu dari atas bahu Betty, namun mata Drake cuma berkilat geli dan sama sekali tidak tampak bersalah.
"Ada di sepen," jawabnya dingin, yang tidak disadari Betty maupun Drake.
"Tolong ambilkan untuk Betty, ya, sementara aku menuangkan secangkir kopi untuknya," Drake berkata santai sambil membimbing Betty yang terpesona ke meja. Dia tengah memainkan perannya sebagai selebriti dan Lauri jijik melihatnya.
"Kau tampan seperti biasanya," kata Betty lirih ketika duduk di meja setelah disilakan Drake. "Aku tidak ingin merepotkan. Anak-anakku sudah menunggu-"
"Kumohon, demi aku, minum kopi dululah dengan kami." Senyum memabukkan Drake pasti mampu membuat malaikat rela menyerahkan sayapnya. "Tadi malam Lauri bercerita kau punya dua anak."
Tadi malam! Lauri marah sekali. Sementara Betty asyik berceloteh tentang topik favoritnya, Drake melirik Lauri dan tersenyum jail. Dia tahu dia telah menimbulkan kesan bahwa malam itu mereka tidur seranjang, bukan di kamar yang terpisah. Hati Lauri panas sekali ketika dia membanting pintu lemari setelah mengambilkan gula untuk Betty.
Wanita itu akhirnya pulang, berjanji pada Drake bahwa dia, Sam, dan Sally akan kembali nanti untuk belajar bahasa isyarat. Sekali ini Lauri senang melihat tetangganya pergi. Dia kesal sekali melihat Betty tergila-gila pada Drake, dan omongan-omongan pria itu yang mengesankan bahwa hubungan mereka memang seperti yang diduga Betty.
"Sementara kau dan Jennifer be
lajar pagi ini, aku akan membongkar barang-barangku." Lauri melihat ada mobil lain diparkir di jalan masuk di sebelah Mercedes. Drake menjelaskan dia menyewanya dan akan mengembalikannya ke Albuquerque kalau Lauri dan Jennifer bisa meluangkan waktu untuk pergi bersamanya dan mengantarkannya pulang.
Dia sedang menyuruh Jennifer melakukan sesuatu di kelas ketika Drake muncul di ambang pintu. "Lauri, lemari-lemari dinding di kamar itu hanya cocok untuk pakaian liliput. Bisakah kau memberi tempat untukku di salah satu lemari di kamarmu""
Lauri memandangnya dengan curiga. "Ini tipu muslihat, atau kau benar-benar perlu tempat""
"Aku betul-betul perlu tempat," kata Drake sepolos malaikat. Lalu dia tersenyum cerah yang membuat lesung pipinya kelihatan. Dasar aktor. Dia bisa menampilkan ekspresi atau emosi apapun dengan cepat. Tapi meskipun sudah menahan diri, Lauri membalas senyumnya.
"Salah satu lemari kosong, cuma berisi setumpuk kotak di ujung. Biar kupindah, kalau itu maumu."
"Jangan sentuh kotak-kotak itu," bentak Drake.
Lauri telah bangkit dari kursi dan terkejut mendengar nada kasar dan melihat wajah pria itu sudah tidak berseri-seri lagi. Wajahnya sekarang keras dan dingin. Ketika melihat Lauri tercengang, dia berkata pelan, "Beberapa barang Susan disimpan di situ. Jangan diutak-atik."
Tubuh Lauri langsung kaku. Selama beberapa detik yang menyiksa, dunia serasa berhenti berputar, lalu bergerak lagi-tapi tanpa semangat, lamban, dan dengan susah payah.
"Tentu, Drake," dia tergagap. "Aku cuma-"
Dia bicara dengan angin. Ketika dia mengangkat kepala, ambang pintu telah kosong.
Lauri dan Jennifer biasa berada di kelas sepanjang pagi, cuma istirahat sebentar supaya Jennifer bisa makan camilan. Lauri memanfaatkan saat itu untuk mengajarinya juga. Jennifer mempelajari nama dan rasa berbagai makanan.
Selama seminggu mereka belajar tentang ceri. Dia mempelajari bahasa isyaratnya, tulisannya, dan dalam pelajaran bicara Lauri mengajarkan bunyinya. Dia diberi jeli ceri, jus ceri, dan permen ceri. Dia belajar mengasosiasikan rasa dan bau tertentu dengan namanya. Ketika Lauri dan Jennifer keluar kelas tak lama setelah pukul 12.00 hari itu, Drake sudah menyiap, kan makan siang untuk mereka berupa roti isi dan sup. Di antara alas piring dan serbet di meja tampak sebuah boneka bulu kelinci berwarna pink.
Jennifer memekik dan berlari melintasi ruangan, sambil memeluk boneka itu dengan gembira. "Kurasa kau berhasil merebut hatinya," komentar Lauri.
"Sudah kuduga dia akan menyukainya," Drake tersenyum pada putrinya.
Lauri berlutut di samping Jennifer. "Siapa nama kelincimu""
Jennifer memandangnya dengan bingung. Dibelainya telinga panjang boneka itu dan bergumam. Lauri mengeja Bunny.
Jennifer mengangguk dan tertawa, mengisyaratkan huruf-huruf itu dengan jari-jarinya yang pendek dan menepuk kepala si kelinci.
"Kurasa dia sudah dinamai," kata Drake.
Dia tetap penuh kasih sayang dan lembut terhadap Jennifer, tapi dingin pada Lauri. Dia muram dan tidak banyak bicara selama makan.
Memangnya apa yang diharapkannya" Secara tidak sengaja dia telah mengingatkan Drake pada Susan dan memicu depresinya. Dia sering melihat Paul menutup, diri dan merenung-renung selama berhari-hari bagai Hamlet atau pahlawan tragis lain. Suasana hati Paul yang jelek memaksanya memikirkan setiap patah kata, menimbang semua yang diucapkan atau dilakukannya karena takut menyinggung perasaannya yang sensitif.
Yah, dia tidak sudi mengalami situasi seperti itu lagi. Diperhatikannya Jennifer dan diabaikannya Drake. Ketika Betty dan anak-anaknya datang siang itu untuk belajar bahasa isyarat, Drake ikut duduk di meja dapur bersama mereka.
Dia tidak lagi cemberut seperti waktu menghidangkan makan siang. Pria itu melucu dan bercanda; senyumnya memikat; matanya berkilat-kilat jenaka. Bagaimana dia bisa berubah begitu drastis hanya dalam beberapa jam"
Lalu Lauri ingat kepandaiannya; untuk itulah Drake dibayar. Pria itu mampu berganti emosi secepat orang berganti pakaian. Paul bisa tampak serius dan enerjik ketika bertemu
agen atau produser rekaman, kemudian tenggelam dalam depresi yang amat dalam ketika pulang.
Lauri tidak menyukai suasana hati Drake yang berubah-ubah ini; dia jadi bertanya-tanya yang mana yang asli. Sampai seberapa dia dapat mempercayai omongannya" Perbuatannya" Ketika pria itu menciumnya, apakah dia bersungguh-sungguh ataukah cuma memainkan adegan percintaan" Dia telah melihat Drake mencium aktris itu di studio, dan aktingnya sangat meyakinkan.
Lauri bertekad takkan membiarkan peristiwa itu terjadi padanya lagi. Pelukan mereka tak berarti apa-apa bagi pria itu, namun baginya sangat penting. Dan anggapan pentingnya terhadap pelukan itu menakutkan.
Pikiran-pikiran ini berputar di benaknya sementara dia mengajarkan bahasa isyarat. Dia tak sadar bahwa dia lama memandangi Drake, dan pria itu mengetahui perbuatannya. Ketika dia menyadarkan diri, mata pria itu menatapnya. Lauri berusaha membuang muka, tapi tertahan tatapan tajam Drake Mata cokelat mudanya terfokus pada pria itu, dan selama sepersekian detik, dia tahu Drake bisa membaca kerinduan di dalamnya.
Pria itu mengatakan dalam bahasa isyarat, Aku belum melupakan bintik-bintik itu. Mata Drake turun tanpa ragu ke payudaranya dan Lauri merasakan dorongan konyol untuk menutupinya.
Dia merah padam dan buru-buru memandang Betty dan anak-anak, berharap mereka tidak melihat atau mengerti. Mereka sedang berdiskusi tentang rencana mereka membeli sepatu baru.
Tanpa sadar kepala Lauri berpaling kembali pada Drake, bibir pria itu membentuk senyum kurang ajar di bawah kumisnya. Kau punya bintik-bintik lain yang perlu kuketahui" isyaratnya.
Tidak! Lauri menjawab tegas dengan gelengan kepala.
Aku ingin memastikannya sendiri, pria itu mengisyaratkan dengan kemampuan bahasa isyarat yang mendadak terasa meresahkan. Drake sekarang terlalu pandai menggunakan bentuk komunikasi ini. Tapi sebetulnya dia tidak membutuhkan tangannya untuk menyampaikan pikiran-pikirannya. Matanya sudah mengatakan semuanya.
Kapan kau akan menghentikan ini" desak Lauri dengan tangannya.
Kapan kauizinkan aku mencari tempat-tempat rahasia di tubuhmu itu" Dan setelah kutemukan, maukah kau mengizinkan aku menyentuhnya" Menciumnya"


Gaung Keheningan Eloquent Silence Karya Sandra Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gelombang panas melanda Lauri bagai air bab mendidih. Jantungnya berdentam-dentam di dada dan menggetarkan kaus yang menutupinya. Drake melihat semua itu dan menatap payudaranya yang naik-turun dengan cepat seirama napasnya. Mata pria itu kembali ke mata Lauri, dan alisnya mendesak minta jawaban dengan melengkung tajam di atas mata.
Tidak! Lauri menggeleng, menjilat bibir dengan gugup. Gerakan itu membangkitkan gairah Drake ketika dia mengamati lidah wanita itu menghilang ke dalam mulutnya. Ekspresi wajahnya memberi-tahu Lauri bahwa dia ingin mengikutinya dengan lidahnya sendiri.
Kalau begitu berarti aku harus membayangkan tempat-tempat tersembunyi itu, Drake mengisyaratkan, dan mata zamrudnya melumpuhkan Lauri. Daya khayalku hebat.
Lauri bersyukur ketika Jennifer mengalihkan perhatiannya dengan menarik lengannya. "Auwy, Auwy," katanya dan menunjuk sepatu tenisnya, yang talinya telah terurai.
"Ya," kata Lauri sambil lalu dan berpaling.
"Auwy," kata Jennifer lebih keras dan agak marah.
Lauri cuma memandang sepatu itu dan mengangguk, tapi tidak berbuat apa-apa dan sibuk menumpuk buku-buku pelajaran yang barusan mereka gunakan.
"Auwy"" Kali ini tarikan di lengan Lauri kuat sekali dan suara Jennifer tinggi dan melengking.
"Dia ingin kau mengikatkan tali sepatunya," kata Drake tidak sabar.
Lauri memandangnya dengan tenang, walaupun sebetulnya tidak menyukai campur tangan pria itu dalam persoalan yang menurutnya merupakan tanggung jawabnya.
"Aku tahu apa yang diinginkannya, Drake. Aku mau dia meminta aku mengikatkan tali sepatunya dalam kalimat lengkap."
"Apakah itu selalu perlu"" tanya pria itu. Nada tajam suaranya mengindikasikan dia berpendapat sebaliknya.
"Kau menginginkan dia belajar bicara atau kau ingin dia seumur hidup cuma bisa menunjuk-nunjuk dan mendengus"" sembur Lauri. Kerut-kerut di sekeliling mulut pria itu menger
as, tapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi.
Jennifer sudah nyaris menangis dan masih menarik-narik lengan Lauri Sam. Sally, dan Betty cuma bisa memandangi situasi menegangkan ini. Kali ini mereka kehabisan kata-kata.
"Mari kita lanjutkan pelajaran," kata Lauri tenang dan tenis mengabaikan Jennifer, cuma melirik sepatunya dan mengangguk untuk membenarkan bahwa talinya memang terurai.
Jennifer, marah bukan main, duduk di lantai menendang kaki kursi Lauri, dan membenamkan kepala.
"Sam, ceritakan soal anak anjingmu pada kami dalam bahasa isyarat," perintah Lauri "Apa warna nya""
Sam memandang Jennifer dengan perasaan kasihan, lalu melirik ragu ibunya. Betty mengangguk dan dia terpatah patah menggunakan bahasa isyarat untuk bercerita tentang anjingnya. Perhatiannya terpecah. Sebetulnya perhatian semua orang juga terpecah ke gadis kecil yang tersedu-sedu di lantai.
"Lauri, demi Tuhan-" Drake mulai bicara tepat ketika Jennifer mendadak bangun dan berdiri di samping kursi Lauri lagi.
Lauri, ikatkan tali sepatuku, anak itu mengisyaratkan. Ketika Lauri tetap tidak bergerak, Jennifer menggosok dadanya dengan gerakan memutar yang merupakan bahasa isyarat yang berarti tolong Kemudian ia mengulangi lagi.
Lauri tersenyum, memangkunya, dan memeluknya erat-erat. "Aku ingin mengikatkan tali sepatumu, Jennifer. Tapi kau harus memintaku. Bagaimana aku tahu apa yang kauinginkan kalau kau tidak memintaku"" Jennifer memahami isyaratnya dan mengalungkan lengannya yang gemuk di leher Lauri. Ketika menarik tubuhnya, dia mengisyaratkan, Aku sayang padamu, Lauri, dan mengucapkan nama gurunya.
Aku juga sayang padamu, Lauri mengisyaratkan dan mencium puncak kepala Jennifer.
Betty dan anak-anaknya tampak sangat lega dan mulai berbicara serentak. Drake tidak berkomentar, tapi Lauri menatap matanya di atas kepala anaknya. Mata hijau itu kelihatan menantang dan samar-samar iri. Tapi di mata Lauri tampak jelas pesannya: Jangan pernah ikut campur lagi.
Ketika keributan berikutnya terjadi beberapa hari kemudian, efeknya lebih hebat dari yang pertama.
Lauri menulis surat untuk orangtuanya setelah sarapan. Dia ingin memasukkannya ke kotak surat sebelum tukang pos datang. Setelah menjelaskan pada Jennifer bahwa pelajaran pagi ini agak terlambat, dia menyuruhnya bermain di kamarnya. Drake sedang asyik sendiri di halaman belakang.
Lauri menyelesaikan suratnya, memasukkannya ke kotak surat, dan naik ke lantai atas untuk menjemput Jennifer yang, dia mendadak sadar, telah menghilang secara misterius dan tidak biasanya tenang selama setengah jam terakhir.
Jennifer tidak ada di kamarnya, dan Lauri tahu anak itu juga tidak ada di bawah. Ketika masuk ke kamarnya sendiri dia mendengar gumaman pelan dari kamar mandi. Dan ketika melewati pintu, dia terkesiap melihat pemandangan di hadapannya.
Jennifer telah membuka semua wadah makeup Lauri, mengambil isinya, memakainya di wajahnya, lalu membiarkan wadah-wadah itu tetap terbuka dan berserakan di meja rias. Wajah malaikatnya tampak seperti palet pelukis. Pemulas mata, pensil alis, dan maskara berlepotan di matanya. Pipi dan pelipisnya diwarnai pemulas pipi, lip gloss, dan foundation aneka warna. Berbagai lotion, krim, dan bedak berceceran di permukaan meja rias marmer.
Ketika melihat wajah Lauri di cermin, Jennifer tahu saat bermainnya sudah selesai. Dia berusaha menutup kembali botol krim malam yang diusap-kannya banyak-banyak ke lututnya, tapi gagal. Dengan sia-sia dia mengambil tisu dan mencoba membersihkan meja. Ketika dia tidak berhasil, malah membuat semuanya makin berantakan, bibir bawahnya mulai bergetar, dan dia memandang gurunya dengan pasrah.
"Jennifer," kata Lauri galak, "kau nakal! Ini bukan perbuatan yang baik, dan aku marah padamu!" Dia mengisyaratkan kata-kata itu dengan tegas, untuk memastikan gadis kecil itu betul-betul mengerti. "Kau tahu kenapa aku marah padamu"" dia bertanya.
Jennifer mengangguk dan mulai tersedu-sedu malu.
Lauri memaksanya memandangnya. "Aku akan memukulmu supaya lain kali kau ingat untuk tidak mengutak-atik barang orang lain. Ka
u suka kalau aku mengobrak-abrik kamarmu" Kau suka kalau aku merusak mainanmu""
Jennifer menggeleng. Lauri memangku anak itu tengkurap di pangkuannya, lalu memukul bokongnya tiga kali. Jennifer menangis keras sekali.
"Astaga, apa-apaan kau ini"" tanya Drake marah dari ambang pintu.
Lauri mengangkat Jennifer dan berusaha memeluknya, tapi anak itu lari dari pelukannya, pindah ke sang ayah tersayang, yang melotot pada Lauri.
Lauri berkata tenang, "Menurutku cukup jelas. Aku memukul Jennifer karena dia nakal."
"Jangan pernah kau memukulnya lagi," perintahnya ketus sambil terus menepuk-nepuk punggung si anak. Jennifer terisak-isak di bahunya.
"Aku akan memukulnya lagi kalau dia bandel dan aku akan berterima kasih kalau kau tidak ikut-ikutan dan menolongnya ketika aku sedang menghukumnya."
"Dia tidak bisa memahami kenapa kau memukulnya."
"Tentu saja bisa!" protes Lauri, sekarang jadi marah. "Kaupikir aku akan membiarkannya melakukan perbuatan seperti ini tanpa dihukum" Batasannya apa""
Drake mengangkat Jennifer dan membiarkannya berdiri, lalu memandang Lauri sambil berkacak pinggang. "Manusia macam apa sih kau" Manusia sadis" Kau senang memukuli anak-anak kecil yang cacat, ya""
Seumur hidup Lauri tidak pernah semarah ini dan dia merasa kemarahan mendidih di sekujur tubuhnya meskipun wajahnya pucat pasi. "Dasar sok tahu," desisnya dari balik gigi yang dikertak-kan. "Berani-beraninya kau menuduhku seperti itu." Dia maju selangkah dengan tangan siap menampar. "Berani-beraninya kau-"
Perhatiannya terpecah karena Jennifer, yang menarik-narik kaki jinsnya. "Auwy," dia memohon. Lauri melirik dan melihat Jennifer mengacungkan tabung lipstik yang sudah dibersihkan dan ditutup kembali. Anak itu mengisyaratkan Aku menyesal.
Lauri melupakan ayah Jennifer dan berjongkok untuk memeluk gadis kecil itu. Diusapnya rambut ikal dari wajah bersimbah air mata itu. "Aku juga menyesali kejadian itu. Maukah kau membantuku membersihkan semua ini"" dia bertanya, dan Jennifer mengangguk penuh semangat dan mulai memungut tisu-tisu kotor yang bertebaran di lantai.
Lauri berdiri berhadap-hadapan dengan Drake, siap melanjutkan amukannya, tapi wajah pria itu sudah berubah. Dia tidak menantangnya. Dia tidak marah. Dia memandangi anaknya. Pelan-pelan ditatapnya Lauri.
Matanya mengatakan sesuatu yang tidak bisa ditangkapnya. Dia melihat kilau pemahaman di dalam mata hijau itu. Drake tahu maksudnya, dan kurang-lebih mengerti tujuannya. Tapi dia tidak seratus persen mengerti, dan mencari-cari elemen yang tidak dapat dimengertinya itu di wajah dan mata Lauri.
Sedetik kemudian, pria itu tampak malu dengan kelemahannya ini. Lauri melihat kabut menyelubungi matanya sebelum pria itu cepat-cepat membuang muka. "Aku pergi dulu," gumam Drake pelan sebelum dia meninggalkan kamar.
Bab Tujuh Selama beberapa hari berikutnya tidak ada kejadian luar biasa. Lauri terus mengajari Jennifer di pagi hari sementara Drake sengaja tidak mau mengganggu.
Lauri senang karena kerut-kerut kelelahan di sekitar mata pria itu sedikit demi sedikit menghilang, dan pria itu tampak lebih rileks daripada ketika datang. Drake tidak lagi memakai mantel gaya Eropa dan kemeja bermonogram. Pakaiannya sekarang jins belel yang malah menampilkan keperkasaannya. Kemeja dan topi koboi membuatnya tampak seperti penduduk asli pegunungan.
Drake menggodanya dan melontarkan berbagai sindiran, tapi tidak lagi melakukan pendekatan terang-terangan. Lauri merasa lega. Tapi kadang-kadang ia kesal pada kemampuan pria itu mengabaikannya saat ia sedang memperhatikan pria tampan itu.
Suatu pagi menjelang siang Betty meminta izin untuk membawa Jennifer dan kedua anaknya piknik. Lauri senang dengan tawaran itu dan tahu Jennifer pasti suka jalan-jalan. Tanpa ragu sedikit pun dia mempercayakan pengawasan Jennifer pada Betty.
Berjalan-jalan di hutan bukanlah ide yang jelek, pikir Lauri sambil mengunyah roti isi yang merupakan makan siangnya. Udara musim gugur menyenangkan, dan pohon-pohon aspen berwarna keemasan. Dia memutuskan untuk menikmati hari ini.
Lauri lalu ke ruang cuci untuk untuk memberi-tahu Drake bahwa dia akan pergi, tapi ia terperangah ketika melihat apa yang tengah dilakukan pria itu.
"Sedang apa kau"" Lauri terkesiap.
Mendengar suaranya, Drake berpaling dan meringis. "Hai, mana Jennifer""
"Pergi piknik dengan Betty," jawab Lauri sekena-nya. Lalu dia menegakkan tubuh dan bertanya lagi dengan nada tajam. "Sedang apa kau"" Pria itu tengah memegang salah satu bra tipisnya.
"Kelihatannya sedang apa"" Drake bertanya kasar, menekankan tiap kata. "Aku sedang memilah-milah cucian. Rumah ini demokratis. Aku tidak keberatan ikut bekerja." Dia mengangkat tali bra itu dan mengamatinya dengan alis berkerut.
"Tapi-letakkan-itu punyaku-" Dia begitu terpana melihat Drake memegang pakaian dalamnya sehingga tidak sanggup bicara.
"Yah, aku tahu ini bukan milik Jennifer," ejek Drake. "Dan aku tahu pasti ini bukan punyaku." Dia membaca label bra itu. "Dusty rose. Kenapa mereka tidak menamainya 'pink' saja sih" Dan ini," dia meraih celana dalam tipis dan mungil "'daffodil'. Kenapa bukan 'kuning' saja" Begitu kan lebih gampang diucapkan."
"Berhentilah memegang-megang pakaian dalamku, seperti psikopat!" teriaknya. "Akan kucuci sendiri pakaianku."
"Tenang, Lauri," kata Drake dengan ketenangan menjengkelkan. "Aku tahu pakaian-pakaian dalam seperti ini tidak boleh dicuci dengan mesin. Aku bahkan tahu semua ini harus dicuci dengan air dingin dan deterjen lembut. Kau lupa aku bintang opera sabun" Tidak percuma aku bertahan di situ sampai tujuh tahun!" Dia mengolok-oloknya, dan Lauri mengentakkan kaki dengan kesal.
"Drake-" Lauri menggeram.
Pria itu melihat label bra lagi. "'Tiga puluh empat B'. Tidak terlalu besar, bukan"" dia bertanya. Matanya berhenti di payudara Lauri dan memandangnya dengan kritis. Kalaupun pria itu betul-betul menyentuhnya, efeknya tak mungkin lebih terasa dari ini. "Tapi, kalau dipikir-pikir," dia melanjutkan dengan objektif, "kurasa kau akan kelihatan lucu kalau punya payudara besar. Bisa-bisa kau terjungkal karena keberatan."
Drake berbicara dengan suara tak peduli, tapi kilat di matanya menunjukkan sebaliknya. "Coba kita lihat," katanya, dan melemparkan pakaian dalam tadi ke mesin cuci.
Sebelum Lauri dapat menebak maksudnya, Drake sudah mendekat sambil memejamkan mata. Dengan berpatokan pada perasaan, tangannya secara akurat menemukan payudara Lauri dan diam di situ. Telapak tangan Drake perlahan-lahan membuat gerakan berputar. Dia membelainya dengan lembut, menekan jari-jarinya. Ketika merasakankan reaksi yang diharapkannya akibat godaan ibu jarinya, dia membuka sebelah mata dan menatap Lauri.
"Persis dugaanku," bisiknya. "Tiga puluh empat B yang sempurna." Bibirnya melumat bibir Lauri. Bibir wanita itu merekah dan siap menerimanya, membalas dengan gairah yang sama. Tangan Drake meninggalkan payudaranya, dan lengannya melingkari punggung Lauri dan menariknya dalam pelukan erat.
Otot-otot paha pria itu menegang di balik denim jinsnya dan menekan Lauri ketika dia melengkungkan tubuh ke arahnya. Punggung Lauri ditelusuri tangan yang bergerak ke sana kemari sebelum berhenti di lekuk pinggulnya.
Tangan Lauri memeluk leher Drake dan menarik kepalanya. Dia memalingkan wajah dengan gerakan perlahan supaya setiap sudut wajahnya dibelai kumis sehalus sutra itu. Kumis Drake mengelus dagu, bibir, dan hidung Lauri. Begitu juga dengan tulang pipi dan kelopak matanya.
Pria itu membiarkan Lauri sampai gairahnya tak tertahankan lagi. Diciumnya mulut Lauri dan dilumatnya, membuat Lauri tergelitik oleh sensasi yang baru kali ini dirasakannya.
"Lauri, kau tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya perasaanku karena ini," dia menggeram setelah menghentikan ciumannya dan menempelkan bibir di telinga Lauri. Untuk memperjelas ucapan nya, Drake memegang bokong Lauri dan menekan nya ke tubuhnya.
Api gairah begitu cepat membakar sekujur tubuhnya sampai Lauri jadi takut sendiri memikir kan bagaimana reaksinya nanti. Drake, Lauri tahu, sudah tidak bisa diajak bicara, tapi salah satu dan mereka harus tetap waras. Jika ini diterus
kan, kerinduannya pada pria itu mungkin akan tersalurkan, tapi konsekuensinya terlalu berat. Dia tak boleh membiarkannya terjadi.
"Drake," kata Lauri terpatah-patah, "kita tidak boleh melakukannya."
Napas pria itu menderu ketika dia berkata parau di telinganya, "Ya, boleh. Kalau kita tidak melakukannya, aku bakal meledak."
"Drake, tolonglah," kata Lauri putus asa, dan berusaha mendorongnya. "Tidak, tidak," dia memohon. Dia masih dalam bahaya, karena sewaktu-waktu bisa kembali ke alam impian di mana nafsu membutakan semua pikiran rasional.
Drake mengangkat kepala dan menatapnya tajam. Tangan yang mencengkeram lengan atas Lauri bagai gelang baja. "Kenapa" Sialan, kenapa"" Dia mengguncangnya sedikit. "Kau senang melakukan ini terhadapku, ya"" Ditempelkannya pangkal pahanya lagi.
Lauri menelan ludah dengan malu dan mengalihkan pandangan dari tatapannya yang menusuk. Dia telah merasakan bangkitnya gairah pria itu, dan hal itu membuat gairahnya sendiri timbul kembali. Dia ingin bilang, "Kalau kau mencintaiku, aku akan langsung bercinta denganmu. Tapi aku tidak mau jadi bayang-bayang istrimu. Aku tidak mau disakiti lagi oleh orang yang membutuhkan aku cuma kalau dia sedang ingin." Dia tak sanggup mengatakan semua itu. Bahkan kalaupun sanggup, tak ada bedanya; keadaan mereka akan tetap sama. Dia tetap mencintai Susan.
"Drake, kau tahu tidak bijaksana jika kita bermain api seperti ini. Kalau kita menjalin hubungan asmara, aku harus meninggalkan Jennifer. Aku tinggal bersamamu, tapi hanya dalam pengertian kita memiliki alamat yang sama. Paul berusaha membujukku supaya tinggal bersamanya sebelum kami menikah. Aku tidak bisa melakukannya saat itu. Sekarang juga tidak. Pandanganku kuno, aku tahu, tapi begitulah aku dibesarkan."
"Yeah"" desis Drake. "Yah, ngomong-ngomong soal besar, akhir-akhir ini hasratku juga sering membesar."
Lauri terkesiap mendengar omongan kasarnya. "Menjijikkan," semburnya. "Lepaskan aku!"
Dengan kasar Drake mendorongnya sambil mundur selangkah. Mereka sama-sama kaget ketika Lauri terseret dan menubruk dada Drake. Lengan pria itu memeluknya supaya dia tidak jatuh.
"Apa-" tukas Lauri sementara Drake tertawa terbahak-bahak.
"Aku tidak tahu siapa yang salah, tapi kelihatannya kita telah menyatu."
"Apa"" tanya Lauri bingung.
"Gesper ikat pinggang kita saling mengait," Drake menjelaskan.
Lauri memandang sekilas pinggangnya dan melihat pria itu memang benar. Drake memakai jins dengan ikat pinggang koboi dari kulit dengan gesper besar berhiasan banyak. Lauri juga memakai jins, dan walaupun gespernya tidak bergaya koboi seperti pria itu, entah bagaimana gesper mereka saling mengait waktu mereka berpelukan.
Lauri memandang pria itu dengan kalut. "Apa yang harus kita lakukan"" tanyanya.
Drake geli memikirkan situasi mereka. "Kita bisa bersenang-senang." Dia diam waktu melihat mata Lauri membelalak cemas. "Atau kita bisa berusaha melepaskannya," dia menambahkan dengan tenang. "Yang mana pun, aku tidak bisa melihat apa yang kulakukan. Miringkan tubuhmu ke kiri sedikit supaya aku bisa melihat."
Ketika payudaranya bersentuhan dengan dada pria itu, serentak Lauri menyentakkan kepala ke atas untuk melihat apakah pria itu menyadarinya, dan cengiran senang dan konyol Drake menunjukkan dugaannya benar. "Betul, kan, ini mengasyikkan"" godanya.
"Tolong cepatlah," Lauri mengingatkan. "Bagaimana kalau rumah ini terbakar""
"Kita akan memberi para petugas pemadam kebakaran bahan omongan selama bertahun-tahun."
"Drake-" "Oke, oke, pencemas." Dia mengamati gesper-gesper logam mereka. "Masukkan tanganmu ke dalam jinsku," katanya akhirnya.
Lauri mendongak dengan skeptis. "Oh, memang itu maumu," katanya ketus.
Pria itu tidak bisa menahan cengiran lebarnya. "Aku tidak main-main. Masukkan tanganmu ke balik gesperku, dan begitu kukomando, dorong tanganmu."
Lauri menghela napas dan memandangnya dengan sebal sambil menyusupkan tangannya dengan ragu-ragu ke balik jins ketat pria itu. Ujung kemejanya tersibak di bawah pinggang, dan tangannya menyentuh kulit hangat yang tertut
up bulu sehalus satin. Tanpa sadar matanya beralih ke bagian leher kemeja Drake, tempat bulu-bulu ikal berwarna gelap itu kering dan menggumpal. Kekontrasan keduanya terasa mengejutkan. Secara refleks jari-jarinya bergerak di balik jins ketat untuk menyelidik lebih jauh.
Mata pria itu menggelap sesaat, dan otot di rahangnya berdenyut, tapi dia cepat-cepat memandang gesper-gesper yang saling mengait itu. "Sekarang aku melakukan ini," katanya sambil menyusupkan tangan ke balik pinggang celana Lauri. Lauri terkesiap dan napasnya tersentak, hingga menimbulkan cekungan di perut, membuat tangan pria itu lebih leluasa bergerak.
"Aku cuma melakukan apa yang harus dilakukan," katanya sok polos. Namun jari-jarinya bergerak-gerak di kulit mulus perut Lauri, dan Lauri dapat merasakan jantungnya berdentam-dentam.
"Miringkan kepalamu ke kiri lagi," kata pria itu di dekat kepalanya. Napasnya meniup helai-helai rambut merah di pelipis Lauri. Sebagai reaksi terhadap jari-jari yang terus bergerak di balik jinsnya itu, payudaranya menegang. Dia tak sanggup menatap mata Drake.
"Oke... sekarang dorong gesperku," kata Drake. Lauri melakukan perintahnya sementara jari-jari pria itu melakukan hal yang sama di gespernya. Beberapa detik kemudian terdengar suara logam bergesekan, dan gesper-gesper itu pun terpisah.
Lauri buru-bum menarik tangannya. Tangan Drake jauh lebih lambat meninggalkan kehangatan di dalam jinsnya, tapi dia cepat-cepat menjauhi pria itu.
Ia bertanya kesal sambil berkacak pinggang, "Apanya yang sulit" Kenapa kita tidak bisa mendorong gesper masing-masing serentak berbarengan""
Pria itu mengangkat bahu dengan tak acuh dan bersandar di mesin cuci. "Kurasa memang bisa, tapi siku kita akan menghalangi, dan aku mungkin tidak dapat melihat apa yang kulakukan." Matanya mulai berbinar. "Dan rasanya pasti tidak seasyik tadi"
"Kau-kau-" Lauri tergagap, mengentakkan kaki dan menyingkirkan pria itu untuk mengambil pakaian dalam berendanya. "Mulai sekarang biar kucuci sendiri pakaianku!"
Ketika dia bergegas keluar dari ruang cuci, tawa Drake mengikutinya.
"Aku saja," seru Lauri sambil melintasi ruang tamu untuk membuka pintu depan setelah terdengar bunyi bel. Dia meninggalkan Drake di dapur untuk mencuci piring-piring bekas sarapan sementara dia dan Jennifer masuk ke kelas untuk mulai belajar.
Tiga hari sudah berlalu sejak insiden di ruang cuci, namun ingatan tentang kejadian itu selalu dengan cepat membuat napas terengah-engah dan jantung berdebar-debar. Lauri sengaja sedapat mungkin sengaja menghindari Drake. Dia kesal sekali karena pria itu menganggap kelakuannya ini sangat menggelikan.
Drake mengawasinya. Dia mengamati setiap gerakannya dan memperhitungkan reaksinya terhadap situasi apa pun. Sebagai balasan, Lauri sering marah-marah padanya, tapi pria itu cuma nyengir santai, membuatnya makin kesal.
Lauri membuka pintu depan dan menyapa pria besar berjanggut yang berdiri di depan pintu. "John! Masuklah."
"Terima kasih, Lauri. Semoga aku tidak mengganggu."
"Tidak. Jennifer dan aku baru akan memulai pelajaran, tapi bisa menunggu. Dia pasti ingin bertemu kau. Kau salah satu favoritnya, kau tahu." Lauri tersenyum pada pria yang diam-diam dijulukinya "si raksasa berhati lembut".
Suatu siang dia dan Jennifer berjalan-jalan di jalanan berbukit Whispers dan tertarik pada sebuah toko kerajinan kayu. Pemiliknya John Meadows. Dia pria-bertubuh besar dengan bahu lebar dan dada bidang. Rambut cokelat tuanya tergerai hampir sebahu dan membaur dengan janggutnya yang lebat.
Mata cokelatnya sayu dan alisnya berantakan.
Sikapnya lembut dan baik hati, juga suaranya yang halus, kontras dengan tubuhnya yang bisa menakutkan orang itu. Pria itu segera menyukai wanita muda berambut merah yang masuk ke tokonya sambil menggandeng seorang anak secantik bidadari.
Tokonya kecil, penuh sesak, dan berbau kayu dan pernis. Selain kerajinan tangan indah dari kayu, John juga membuat perabotan. Tangannya yang besar dan berbulu dengan luwes memegang alat-alat kecil itu.
Lauri senang ketika John berbicara dalam ba
hasa isyarat pada Jennifer, dan mereka bertiga langsung akrab. Beberapa hari seminggu, kalau Lauri ada keperluan di kota, dia dan Jennifer mengunjungi John.
Jennifer keluar dengan gembira dari kelas setelah Lauri memberitahunya tentang tamu mereka. Dia berlari mendatangi John, yang membungkuk dan mengangkat gadis kecil itu tinggi-tinggi dengan lengannya yang tegap. Jennifer menjerit senang.
Tawa melengkingnya membuat Drake keluar dari dapur. Dengan mata menyipit dia mengamati pria bercelana terusan yang begitu akrab menggendong putrinya.
Aku membawa hadiah untukmu, Jennifer, John mengisyaratkan setelah meletakkan anak itu di lantai dan bertumpu di satu lutut di sampingnya. Dia merogoh saku besar celana terusannya dan mengeluarkan sebuah kotak terbungkus tisu.
Jennifer menerimanya dengan malu-malu dan memandang Lauri untuk minta petunjuk dan izin.
"Kau harus bilang apa padanya, Jennifer"" tanya Lauri.
Terima kasih, Jennifer mengisyaratkan. John membalasnya dengan Sama-sama. "Bukalah," perintah Lauri ketika Jennifer cuma mempermainkan pita merah yang diikatkan di sekeliling kotak itu. Jennifer mengikik sementara para orang dewasa memperhatikan. Dibukanya pita dan kertas dari kotak dan diangkatnya tutupnya. Di dalam terdapat tiga patung mini anggota keluarga beruang. Jennifer mendesah kagum waktu dengan hati-hati mengeluarkan patung-patung ukiran kayu itu dari kotak.
"Kupikir kau bisa memanfaatkan mereka dalam suatu cerita. Ada ayah, ibu, dan bayi beruang," kata John halus sambil tersenyum lembut. "Oh, John, bagus sekali," puji Lauri, mem-bungkuk untuk mengamati patung-patung tersebut. "Aku pasti bisa menggunakannya, dan ikut berterima kasih bersama Jennifer. Dia akan menyukainya, aku yakin."
"Kurasa kita belum berkenalan," potong Drake dengan suara bernada tajam.
Dia mendekati John dan mengulurkan tangan. "Drake Rivington, ayah Jennifer."
Apakah cuma khayalan Lauri, atau betulkah dia menekankan hubungannya dengan putrinya"
"Maafkan aku, Drake. Aku tadi tidak melihatmu, kalau tahu kau ada pasti aku sudah memperkenal-kanmu," kata Lauri. "Ini John Meadows, temanku dan Jennifer. Dia perajin kayu dan memiliki toko bagus di Whispers. Jennifer dan aku berkenalan dengannya pada minggu pertama kami di sini, dan sejak itu sering mengunjunginya."
"Halo, Mr. Rivington." Tangan John menggenggam dan menenggelamkan tangan Drake. "Senang berkenalan dengan Anda. Anak Anda cantik. Aku senang berteman dengannya, juga dengan Lauri." Alis cokelatnya terangkat ketika dia memandang Lauri dengan hangat. Baik dia maupun Lauri tidak melihat denyutan di rahang Drake dan kilat kemarahan yang bersinar di mata hijaunya.
"Sudah berapa lama Anda tinggal di Whispers"" Drake bertanya.
John mengalihkan perhatiannya ke Drake dan dengan sopan memandangnya. "Sejak lulus kuliah. Sekitar delapan tahun yang lalu."
"Anda kuliah berapa tahun" Anda pasti memperoleh beberapa gelar, ya." Lauri kaget mendengar kekasaran Drake. Pria itu sengaja menyerang John, dan dia tidak bisa menebak alasannya. Dipandangnya Drake dengan kesal, tapi pria itu menatap John dan mengabaikannya.
John kelihatannya tidak marah diperlakukan begitu kasar dan menjawab ramah, "Aku cuma memiliki satu gelar, di bidang filosofi."
"Hmm," kata Drake, sengaja tidak mengatakan maksud sebenarnya. "Pantas."
Lauri marah sekali padanya, tapi menahan diri ketika bertanya pada John, "Kau mau duduk dulu dan minum kopi""
"Tidak, aku harus pulang dan membuka toko. Aku sudah terlambat satu jam, tapi aku ingin mengantarkan ini pada Jennifer." Dia memandang si anak, yang duduk di lantai bersama keluarga beruangnya dan mengobrol dengan mereka, tak terpengaruh dengan ketegangan di antara ketiga orang dewasa itu. "Aku juga ingin memberitahumu bahwa aku tidak bisa menepati janji kencan kita Selasa malam ini. Aku harus pergi ke Santa Fe dan mengambil beberapa barang. Mungkin aku akan di sana selama beberapa hari."
Dari sudut matanya Lauri melihat Drake makin menegakkan tubuh dan menyilangkan tangan di dada dengan gaya kesal.
"Tidak apa-apa, John. Kami akan
mengunjungimu setelah kau kembali."
"Bagus." Dia tersenyum lembut, lalu menoleh pada Drake. "Senang bertemu Anda, Mr. Rivington. Silakan kapan-kapan mampir ke tokoku."
"Saya ragu akan punya waktu untuk itu, tapi akan saya ingat tawaran Anda." Dia memandang licik pada Lauri sebelum menambahkan, "Karena saya sekarang tinggal di sini, saya rasa Lauri dan Jennifer tidak bisa sering-sering menemui Anda lagi. Saya merencanakan untuk membuat mereka sibuk."
Lauri sesak napas menahan marah dan malu. Maksud terselubung Drake begitu jelas, dan John pun mengetahuinya. Pria itu memandang Lauri dengan ekspresi bertanya. Kemudian alis beranta-kannya kembali lurus di atas mata cokelatnya. Di mata itu hanya ada pengertian, tanpa celaan sedikit pun. Ingin Lauri memeluknya karena begitu baik dan toleran.
John berjongkok supaya sama tinggi dengan Jennifer dan mereka mengisyaratkan beberapa kalimat. Lauri berusaha menarik perhatian Drake, tapi pria itu sengaja tidak mau memandangnya dengan mengamati kuku ibu jarinya.
"Aku minta maaf telah membuat pelajaranmu tertunda, Lauri," kata John sambil berdiri, menjulang di atasnya. "Aku berharap kita bisa segera bertemu lagi."
"Terima kasih sekali lagi karena kau telah mampir dan membawakan hadiah untuk Jennifer. Kembalilah kapan-kapan," kata Lauri tulus.
John memandang Drake dengan hati-hati, tapi pria itu cuma mengangguk dan berkata singkat, "Mr. Meadows," dan tidak menegaskan undangan Lauri pada John.
John membalas anggukan Drake, dan berkata, "Lauri," kemudian melangkah melewati pintu dan berjalan pelan menuruni tangga teras.
Lauri menutup pintu pelan-pelan, menahan keinginan untuk membantingnya dengan kemarahan menggelegak yang ingin ditumpahkannya pada Drake. Dia perlahan-lahan berbalik untuk menghadapi pria itu. Drake menunggunya sambil ber-kacak pinggang.
Lauri marah sekali, dan suaranya bergetar ketika dia berkata, "Kau tadi amal sangat kasar pada pria baik dan penuh pengertian itu, dan aku ingin tahu sebabnya."
"Dan aku ingin tahu kenapa kau membawa putriku ke mana-mana dengan hippie tua itu."
"Hippie!" teriak Lauri marah. "Dari buku sejarah mana kau mengetahuinya""
"Demi Tuhan, sudah jelas dia lahir tahun enam puluhan. Jorok, gondrong. Ajaib di lehernya tidak ada kalung manik-manik. Dan namanya pasti John. Sang Kekasih," ejek Drake. "Tipe seperti dia takkan berhasil di dunia nyata, jadi mereka menjadi mahasiswa abadi atau menyepi di kota-kota pegunungan dan menyebut diri mereka seniman. Dia tampak seperti yeti. Atau Grizzly Adams." "Kau sendiri berkumis, Mr. Rivington," seru Lauri. "Kumisku tidak berlepotan pasta gigi, tahu," Drake balas berteriak.
"Sama saja. Barusan kau juga bilang dia jorok! Mana yang benar""
Drake melotot marah dan mendatanginya dalam dua langkah panjang. Dicengkeramnya lengan atas Lauri dan ditariknya wanita itu ke arahnya. "Apa maksudnya dengan janji kencan Selasa malam, hah" Kau membawa Jennifer juga""
Lauri membebaskan diri dari cengkeramannya dan menjauh. "Ya. Tiap Selasa malam John menutup tokonya satu jam lebih cepat. Kami menemuinya ketika dia menutup toko dan pergi makan malam bersama." "Aku yakin, karena baik dan penuh pengertian"
cemooh Drake, "dia pasti mengantarkanmu pulang Berapa lama dia di sini" Apa dia terlambat satu jam membuka toko kecilnya keesokan harinya"" Suaranya semanis madu meskipun wajahnya kaku. Kecurigaannya itu begitu konyol sehingga, kalau saja Lauri tidak semarah ini, dia pasti menertawa-kannya.
"Itu bukan urusanmu," bentak Lauri.
"Enak saja. Ini rumahku!"
"Tidak semua orang dikuasai nafsu birahinya- seperti kau, Mr. Rivington," Lauri menuduh sengit.
"Akan kutunjukkan nafsu birahiku padamu," geram Drake. "Sudah lama aku ingin melakukannya." Dia memeluknya lagi, dan kali ini tak ada jalan untuk meloloskan diri. Lengan pria itu menjepit lengannya. Usaha untuk melepaskan pelukannya akan sia-sia saja, tapi Lauri tidak mau menciumnya. Dirapatkannya bibirnya, dilawannya keinginannya untuk menyambut ciuman pria itu.
Beberapa saat kemudian Drake mengangkat kepala. Lauri sejak tadi
memejamkan mata rapat-rapat, tapi rasa ingin tahunya menang, dan dia membuka mata sedikit. Wajah pria itu tak jauh dari wajahnya. "Kau takut menciumku, kan" Kau tahu apa yang terjadi padamu tiap kali kau menciumku, dan kau melawan keinginanmu, kan""
Lauri tercengang mendengar kesombongannya. "Tidak!" serunya. Drake tersenyum malas dan melepaskan pegangannya.
"Kalau begitu, buktikan," tantang Drake. "Cium dan yakinkan aku bahwa sekujur tubuhmu tidak akan jadi bergairah." Matanya menantang ketika menjelajahinya, berhenti di tempat-tempat yang dia tahu akan bereaksi terhadap ciumannya.
Jika dia mencoba memaksanya untuk menciumnya, Lauri pasti sanggup melawan. Tapi tantangan mencemooh itu justru berhasil memancingnya. Dia tidak bisa mengelak dari tantangan itu. Kemarahannya sudah mencapai titik didih. Jelas Lauri takkan menang jika berkelahi secara fisik dengannya, tapi dia bisa mengalahkannya dengan cara lain. Dia akan menunjukkan pada pria itu bahwa dia tidak takluk pada pesonanya seperti wanita-wanita lain yang ditemuinya. Akan ditunjukkannya pada Drake bahwa dia kebal terhadap keseksiannya.
Matanya menyipit dan tampak seperti bara ketika dia mengangkat tangan dan memegang kepala pria itu. Dia ragu-ragu sesaat, tapi ketika Drake mengangkat sebelah alis dengan ekspresi bertanya, Lauri melanjutkan dengan tekad makin bulat. Ini tetap merupakan permainan bagi pria itu.
dengan lembut bibirnya menyentuh bibir Drake. Pria itu tidak bereaksi, menyerahkan semua inisiatif padanya. Dikulumnya sudut bibir Drake, persis di bawah kumis. Dia merasa tubuh pria itu bergetar sedikit, yang membuatnya tambah berani. Pria itu mulai terpengaruh.
Dia menenangkan diri bahwa cuma reaksi refleks dan bukan gelombang kejut gairah yang membuat tangannya makin kuat mencengkeram kepala Drake dan menariknya makin dekat. Itu hanya reaksi fisik, bukan kebutuhan emosional, yang mendekatkan tubuhnya ke tubuh pria itu sampai payudaranya menekan dadanya yang bidang.
Dia menjelajahi mulut Drake, merasakan dan menikmati pria itu. Drake masih belum memeluknya. Dia tidak memprotes, tapi juga tidak berpartisipasi.
Perasaan Lauri kacau-balau. Dia tadi menerima tantangan pria itu tapi sekarang berjuang supaya tidak jadi korban ulahnya sendiri. Sejauh ini dia belum berhasil menggoyahkan Drake. Darahnya yang menggelora; dan bukan kepala pria itu yang berdentum-dentum bagai drum. Perasaan meng-gelenyar di tubuhnya merupakan bukti yang sangat jelas bahwa dia wanita yang memberikan respons terhadap laki-laki.
Lauri tidak boleh membiarkan Drake tahu. Dia harus membuat pria itu bereaksi dan menyembunyikan reaksinya sendiri. Tujuannya takkan pernah tercapai kalau dia tidak memenangkan pertempuran ini.
Bibirnya terus menggoda mulut laki-laki itu, sebelum bergerak ke dagu dan lehernya. Dengan malu-malu tangannya turun dan mengusap leher Drake. Penuh rasa ingin tahu Lauri menyusuri bulu-bulu di dadanya. Melupakan semua rasa sungkan dan menegaskan bahwa tindakannya didorong oleh tekad untuk menang-dan bukan keinginan kuat untuk menyentuhnya-dia menyusupkan tangan ke balik kemeja pria itu dan mengusapkan jari-jarinya di otot-otot di bawah hamparan bulu berwarna gelap itu.
Napas Drake makin cepat, dan dia mendengar desis pelan. Bagus! pikir Lauri. Tekniknya berhasil. Tidak mempercayai keberaniannya, bibirnya bergerak ke cekungan di leher Drake yang sudah sangat dikenal jari-jarinya dan menciumnya dengan mesra. Tangannya terus mengusap-usap dada pria itu.
Geraman pelan terdengar dari tenggorokan Drake sedetik sebelum lengan pria itu membelit Lauri dan memeluknya dengan kekuatan yang menakjubkan. Lengan Lauri memeluk lehernya sementara bibir mereka saling melumat. Tubuh mereka menyatu.
Drake menciumnya dengan ganas, membuyarkan segala protes. Hilang sudah keinginan untuk membuktikan ketidakpeduliannya. Lauri tahu pertandingan telah berakhir, dan dia bersedia mengaku kalah kalau Drake mau terus menciumnya seperti ini. Dengan senang hati dia akan bertekuk lutut akibat serangan penuh kenikmatannya.
Jennifer-lah yang menyadarkan mereka kembali
. Tadi dia asyik dengan mainan baru dari John, lalu melihat ayahnya dan Lauri berciuman. Dia berdiri dan menarik-narik kaki celana Drake, ingin merebut perhatian dan ikut dalam permainan baru yang mengasyikkan ini.
Drake menjauh dari Lauri dan lama menatapnya. Mata pria itu diselubungi gairah, dan Lauri sadar bahwa tak satu pun dari mereka yang menang. Drake sama kacau dan terangsangnya dengan Lauri.
Jennifer tidak mau diabaikan dan memprotes lebih keras karena tidak dipedulikan. Drake mengalihkan pandangan dari Lauri dan membungkuk untuk menggendong anaknya.
"Siapa ini" Siapa ini yang terus merecoki aku, hah"" tanya Drake bercanda, dan menggelitik perut Jennifer, Sebelah tangan anak itu meraih leher ayahnya dan yang sebelah lagi meraih leher Lauri, lalu menyatukan ketiga kepala mereka dan mencium kedua orang dewasa itu kuat-kuat. Dia tertawa melengking, kemudian menyatukan mereka lagi. Upacara cium-mencium ini diulang beberapa kali sampai mereka semua tertawa.
"Kurasa lupakan saja sekolah untuk hari ini, ya"" tanya Drake pada Lauri dari atas rambut ikal pirang Jennifer. "Mobil sewaan itu terus menguras uangku, padahal cuma kuparkir di luar. Bagaimana kalau kita pergi ke Albuquerque dan mengembalikannya ke agen penyewaan mobil" Setelah itu kita makan malam dan pulang. Menurutmu Jennifer sanggup melakukan perjalanan itu""
"Tentu. Dia memang butuh jalan-jalan. Aku mesti pakai apa"" Lauri bertanya karena tidak tahu apakah akan memakai jins saja karena nanti cuma makan hamburger atau berpakaian rapi karena akan makan di restoran yang lebih mahal.
Mata Drake menyusuri tubuhnya dan naik kembali. "Aku tak peduli," geramnya. Matanya mengatakan dia lebih suka Lauri tidak memakai apa pun.
Meskipun baru beberapa saat yang lalu dia bersikap penuh gairah, Lauri merah padam dan menarik Jennifer ke dalam pelukannya. "kami akan siap setengah jam lagi," katanya cepat-cepat, dan bergegas menaiki tangga.
Bab Delapan Hari itu ternyata menyenangkan bagi mereka semua. Jennifer bersama Drake menaiki mobil sewaan sementara Lauri mengikuti mereka naik Mercedes.
Lauri mensyukuri kesempatan untuk sendirian. Dia jadi punya waktu untuk menganalisis pikiran-pikirannya yang kacau-balau. Berbahaya baginya dan Drake untuk berciuman seperti tadi. Dia mem-beritahu pria itu mereka tidak boleh bermain api, tapi ternyata mereka tetap melakukannya.
Ribuan kali dia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa takkan ada akibat apa pun dari semua itu, cuma sekadar ciuman. Tapi itu bukanlah sekadar ciuman, dan dia mengetahuinya. Sejujurnya dia tidak tahu berapa lama dapat menahan Drake atau apakah dia ingin berbuat begitu. Jika mereka berpacaran, artinya dia tidak bisa meneruskan mengajar Jennifer. Itu akan merupakan situasi yang menyedihkan bagi mereka semua, terutama bagi si anak. Jennifer akan jadi korban tak berdosa atas kelakuan dua orang dewasa yang mestinya tahu mereka tidak boleh mengacaukan masa depannya dengan cara seperti ini.
Dalam ketenangan di dalam Mercedes yang meluncur di jalan-jalan pegunungan menuju kota mudah baginya untuk berjanji takkan mau jatuh ke dalam pelukan Drake lagi. Kalau ia memang bertekad melawan bujukan tangan dan bibir pria itu. ini hanya masalah disiplin, dan Lauri Parrish selalu bangga pada dirinya karena memiliki hal itu.
Takkan dibiarkannya Drake menyentuhnya lagi. Dia sudah mengambil keputusan. Dan itu sama sekali tak berarti apa-apa. Begitu mereka sampai di tujuan, pria itu berjalan ke mobilnya dan membantunya turun. Tangannya yang terulur disambut tanpa ragu, dan tubuh Lauri menyentuh tubuhnya ketika mereka berjalan, ingin sekali merasakan kekuatan mantap tubuh pria itu di sampingnya.
Persoalan mobil selesai dengan cepat. Mereka belanja di toko-toko paling eksklusif di Albuquerque. Drake membelikan Jennifer jaket ski biru cerah, yang menurut Lauri terlalu mahal. Pria itu tak menghiraukan protes Lauri. Jennifer ingin memakainya dalam perjalanan pulang, tapi meskipun udara di musim gugur itu dingin, Lauri menjelaskan bahwa jaket baru itu terlalu tebal untuk dipakai saaat itu. Anak
itu baru mau membiarkan jaketnya dimasukkan ke dalam kotaknya setelah Drake membelikannya sweter cardigan dengan tudung berhias bulu.
Seperti biasa, para gadis pramuniaga langsung sibuk dan ramah berlebihan waktu melayani mereka Pembeli-pembeli di toko berhenti belanja untuk memandangi mereka dengan tatapan membuat Lauri merasa sangat kikuk.
Beberapa wanita terang-terangan memelototinya dengan iri. Ekspresi mereka penuh rasa permusuh an. Drake tidak membantunya merasa lebih enak. Pria itu terus-menerus minta pendapatnya dan mem perlakukannya dengan cara yang bisa menimbulkan dugaan macam-macam.
Lauri merasa sangat senang karena satu hal: Drake berbicara dalam bahasa isyarat pada Jennifer tanpa perasaan malu atau tidak suka. Pria itu tampak sama sekali tak peduli para penggemarnya melihatnya bersama anaknya yang cacat.
Dalam penampilan kali ini Lauri mengambil jalan tengah. Pakaiannya tidak terlalu santai ataupun terlalu resmi. Dia mengenakan rok wol cokelat muda dan blus sutra hijau giok. Ketika mereka keluar dari mobil untuk masuk ke restoran, dia menganggap udara cukup dingin sehingga ia memakai blazer wol putih.
Wanita Gagah Perkasa 11 Pendekar Pulau Neraka 43 Setan Seribu Nyawa Pendekar Wanita Penyebar Bunga 6

Cari Blog Ini