Ceritasilat Novel Online

Gaung Keheningan 3

Gaung Keheningan Eloquent Silence Karya Sandra Brown Bagian 3


Drake berjalan dengan memegangi blazernya, sementara terus merangkul bahu Lauri ketika mereka berjalan memasuki restoran. Lauri merasa mereka seperti keluarga bahagia waktu kepala pelayan mengantarkan mereka ke meja, lalu segera memarahi dirinya sendiri karena mengkhayal ngawur begitu. Dia tahu bagaimana perasaan Drake; pria itu sudah jelas-jelas mengatakan tujuannya. Dia akan menikmati hubungan fisik, tapi hatinya selalu milik Susan. Dalam perjalanan pulang Jennifer mengantuk dan membaringkan kepalanya di pangkuan Lauri. Bunny, teman setianya, ikut dibawa, dan diselipkan di bawah lengannya.
Drake mengulurkan tangan ke tombol radio dan menemukan stasiun FM yang memutar musik tenang. Tangannya lalu berhenti di rambut ikal lembut Jennifer, dan ditepuk-tepuknya kepala anaknya beberapa menit sampai dia tahu anak itu sudah pulas.
Lauri mengira pria itu akan kembali memegang kemudi, dan jantungnya berdebar-debar waktu Drake meletakkan tangannya di pahanya, di belakang kepala Jennifer. Pria itu meremasnya lembut. Lauri. Lauri menatap pemandangan remang-remang di luar, dashboard mobil, anak yang tidur di pangkuannya-apa saja selain pria di sebelahnya.
Tanpa bisa dikontrol matanya menyusuri interior mobil dan memandang profil sempurna Drake. Pria itu tampaknya bisa merasakan tatapannya dan menoleh untuk menatap matanya. Dia melihat kehangatan yang memancar dari mata cokelat muda Lauri dan tersenyum lembut.
Tangannya bergerak ke atas paha wanita itu dan menyentuhnya dengan keintiman yang menggoyahkan tekad Lauri semula. Tangan itu tetap di tempatnya sampai lampu-lampu kota Whispers kelihatan, dan ia harus memegang kemudi dengan dua tangan supaya bisa menyetir mobil dengan aman di jalan yang berkelok-kelok dan naik-turun.
Tanpa kesulitan mereka mengangkat Jennifer ke tempat tidur. Karena mengantuk, anak itu menurut saja ketika Lauri membuka pakaiannya dan menye limutinya. Setelah berdoa bersama dan menciumnya, Drake mematikan lampu kamar.
"Kau mau duduk-duduk di depan perapian malam ini"" tanya Drake ketika mereka berdiri di koridor.
"Kedengarannya asyik. Aku tidak keberatan bersantai sebentar sebelum tidur. Hari ini melelahkan sekali."
"Ada yang bisa kulakukan untuk membantumu lebih nyaman"" tanya Drake sambil nyengir nakal.
"Dasar!" omel Lauri, tapi dia tersenyum. "Aku akan mandi dulu, nanti aku bergabung denganmu di bawah."
"Waktu kau turun, apinya pasti sudah berkobar-kobar. Aku dulu ikut Pramuka, kau tahu."
"Kau" Mustahil!" godanya tepat sebelum menutup pintu kamar, membuat pria itu tak sempat membalas.
Setelah mandi Lauri memakai mantel flanel hangat dan mengikatkan talinya di pinggang. Warna peach mantel itu menonjolkan warna rambut dan kulit wajahnya, dan kerah satinnya membuat kulit lehernya berkilau.
Perasaan sungkannya setelah dia tinggal bersama Drake selama beberapa hari ini agak berkurang. Dia tidak lagi terbirit-birit kalau pria itu memergokinya cuma m
emakai mantel atau tanpa makeup. Semacam keakraban telah tumbuh di antara mereka. Dengan perasaan santai dia turun, sambil menyisir rambut merahnya yang masih basah setelah mandi.
Dia melintasi ruang tamu dan menutup gorden. Saat otomatis meraih sakelar lampu, dia terpaku ketika mendengar suara Drake. "Bagaimana kalau lampunya tidak usah dinyalakan" Cahaya api sudah cukup."
Pria itu datang dari dapur, membawa dua gelas anggur dan sebotol anggur putih dalam wadah berisi es. Melodi lembut balada yang dinyanyikan Johnny Mathis berkumandang dari stereo system di lemari buku. Sesuai janjinya, Drake sudah membuat api di perapian berkobar-kobar.
"Begini memang rileks," kata Lauri gugup. Rileks dan sensual, pikirnya waswas. Drake sudah mengganti celana panjang kain dan jaket sportnya dengan jins lama yang sudah pudar dan sweter putih berkerah tinggi.
Lauri duduk melipat kaki di salah satu sudut sofa, menghadap perapian. Drake meletakkan anggur dan dua gelas yang dibawanya di meja kopi di depan Lauri.
"Kau mau minum satu gelas anggur denganku"" Drake bertanya sambil duduk di sampingnya. "Aku-"
"Kumohon. Satu gelas" Efeknya bagus untukmu."
Karena dia toh sudah menuangkannya, Lauri ber-kata, "Baiklah. Satu gelas." Jari-jari mereka bersentuhan sesaat ketika Drake memberikan gelas anggur itu padanya. Lauri menyesapnya dengan hati-hati. Pria itu mengamatinya. Mengalihkan pandangan dari tatapannya yang menghunjam, Lauri memandang api di dalam perapian.
"Apinya bagus, Drake Terima kasih kau telah menyalakannya."
"Sama-sama. Tapi karena telah bersusah payah menyalakannya, aku sekarang malah jadi kepanas-an. kau keberatan"" Sebelum Lauri sempat menye-tujui atau tidak, pria itu sudah membuka sweter putihnya lewat kepala.
Lauri sering melihatnya bertelanjang dada dalam beberapa hari ini, tapi setiap kali menatap dadanya yang bidang dan berbulu, jantungnya selalu ber-debar lebih cepat. Dada pria itu menyempit ke perut datar yang kencang. Jinsnya dua inci di bawah pusar. Tenggorokan Lauri serasa tercekik ketika dia melihat bentuk samar kejantanan pria itu di balik celananya yang ketat. Cepat-cepat dia meneguk anggurnya lagi.
"Kau harum," kata Drake, agak mencondongkan tubuh ke arahnya. Dia tidak menyentuhnya, melainkan mendekatkan wajah ke leher Lauri. "Wangi apa sih""
"Aku-Mh-" Lauri tidak mampu berkata-kata. Dia menelan ludah dan mencoba lagi. "Bukan parfum istimewa atau mahal. Aku membelinya di toserba." "Tak perlu panik. Baunya enak kok." Kata-kata pria itu-ataukah kedekatan tubuhnya"-membuat seluruh tubuh Lauri dialiri sensasi aneh. Dengan tangan gemetar dia menyisir rambutnya untuk terakhir kali dan menaruh sikatnya di meja kopi. Dia sudah dapat merasakan efek anggur, walaupun baru minum setengah gelas. Dia meneguk anggurnya lagi dan mengembalikan gelasnya ke meja. Ketika dia bersandar kembali di sofa, Drake sudah bergeser jauh lebih dekat dengannya.
Dia menoleh ke arah Drake dan melihat pria itu sedang memandangi rambutnya. "Bagus sekali," bisiknya. "Diterangi cahaya api, rambutmu tampak jualan indah." Diletakkannya tangannya di puncak kepala Lauri dan dielusnya rambut Lauri yang berkilauan sampai bahu.
Cahaya api menimbulkan bayang-bayang gelap di wajah pria itu. Matanya nyaris tak kelihatan di bawah alisnya yang tebal, tapi Lauri tahu matanya tengah mengamati wajahnya. Dia seolah dapat merasakan sentuhannya ketika mata Drake berhenti di mulutnya. Drake mencelupkan telunjuk di gelas anggur dan menempelkannya di bibir Lauri. Di-sapukannya cairan keemasan itu, bergerak pelan di bibir atas, lalu bibir bawah. Karena tekanan lembut jarinya, bibir Lauri membuka.
Drake menunduk dan mencium bibirnya, menyesap anggur yang menempel di situ, kemudian melumatnya dalam ciuman menggetarkan yang menyebabkan Lauri lemas dan terengah-engah.
"Kau lebih enak daripada anggur. Dan dua kali lebih memabukkan," desah Drake ketika akhirnya menjauhinya. Dia meletakkan gelasnya di samping gelas Lauri di meja. Wanita itu mengira Drake akan kembali padanya dan memeluknya.
Ternyata dia malah telentang di sofa, ber
baring lurus, dan meletakkan kepala di pangkuan Lauri. Diangkatnya sebelah tangan wanita itu, diciumnya telapak tangannya dengan mesra, dan ditekannya ke perutnya, ditutupinya dengan tangannya sendiri. "Ini pasti surga," katanya, mendongak memandang Lauri. "Pemandangan dari sini tidak boleh dilewat-kan." Matanya berkilat ketika menatap payudara Lauri yang menonjol dari balik mantel. Dia tertawa waktu Lauri merah padam. Lalu dia menarik napas dalam-dalam, puas. "Aku suka sekali tempat ini. Kau juga, Lauri"" Lauri terkejut mendengar suaranya mendadak serius.
"Whispers" Ya, memang indah. Tapi harus ku-akui, kukira kau takkan bertahan selama ini di sini""
"Kadang-kadang aku merindukan lampu-lampu dan kamera-kamera. Aku bohong kalau bilang se baliknya. Tapi aku betul-betul tidak senang kembali ke kehidupan dan kisah-kisah cinta Dokter Glen Hambrick. Sebetulnya sejak awal aku tidak pernah menginginkan peran itu." "O, ya""
Keheranannya pasti terdengar jelas karena pria itu membuka mata, yang sejak tadi tertutup, dan menjawab, "Ya."
"Kalau begitu kenapa-Kok bisa"" Lauri tergagap.
"Susan membujukku supaya ikut audisi." Lauri langsung bereaksi ketika Drake menyebut nama istrinya, tapi tampaknya pria itu tidak sekalut dulu.
"Aku orang yang mereka cari," lanjut Drake "Kucium aktris yang waktu itu jadi pemeran utamanya. Mereka menganggap kami serasi. Aku langsung mendapat peran itu."
"Apa yang sebenarnya ingin kaulakukan, Drake""
"Aku bercita-cita terjun ke dunia teater. Tidak sekadar berakting, aku ingin menyutradarai. Tapi, setelah beberapa tahun tinggal d. New York, aku menyadari bahwa orang harus membayar sewa apartemen, makan, hal-hal seperti itulah," dia tertawa pahit. "Aku harus bekerja selama masih bisa, bukan mengikuti kursus-kursus yang kubutuhkan."
Tanpa sadar Lauri membelai rambut perak-cokelatnya. Rasanya wajar sekali kepala Drake berbaring di pangkuannya dan mereka menikmati suasana tenang ini. "Dari mana asalmu, Drake" Kau punya keluarga"" Aneh, Drake tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang masa lalunya.
"Aku besar di Illinois. Kau lihat, aku juga dari Midwest seperti kau." Drake menggerakkan kepala untuk mendongak memandang Lauri dan tekanan di paha Lauri menimbulkan sensasi menyenangkan. "Ayahku pegawai asuransi yang sukses, tapi kami tidak kaya. Beliau meninggal waktu aku masih SMA. Ibu meninggal dua tahun yang lalu. Aku punya saudara laki-laki yang bekerja sebagai pengacara. Kurasa dengan caranya sendiri dia juga aktor." Drake terkekeh. "Setelah kuliah dua tahun di liberal arts college, aku pergi ke New York, lulus dari American Academy of Dramatic Arts, aku mulai mengikuti berbagai audisi, berharap mendapat pekerjaan."
"Aku pernah menonton A Chorus Line. Kurasa aku takkan sanggup menjalani semua itu dan tetap waras," komentar Lauri.
Drake tertawa. "Kurasa orang waras takkan mau menjalani semua itu. Pengalaman yang sangat melelahkan. Aku ingat waktu ikut audisi untuk peran Danny dalam Grease. Aku yakin aku pas untuk peran itu. Berminggu-minggu aku ke sana kemari memakai jaket kulit hitam. Aku bicara dengan kata-kata kasar dan di bibirku selalu tergantung sebatang rokok. Di audisi waktu mereka memintaku bernyanyi dan menari, aku mempermalukan diriku sendiri. Saat itulah aku tahu komedi musikal bukan bidangku. Tapi mereka bahkan tidak mengizinkan aku ikut audisi untuk peran salah satu anak di adegan kerumunan anak muda. Kata mereka ram-butku tampak keperakan di bawah cahaya lampu dan mereka tidak butuh orang tua. Aku berjanji akan mengecatnya jadi hitam kalau mereka mem perbolehkan aku memainkan peran figuran apa pun. Mereka sama sekali menolak."
Drake diam sejenak dan mengusap-usap punggung tangan Lauri, yang masih menempel di perutnya yang terbuka. "Di sanalah aku bertemu Susan-di audisi itu. Dia mendatangiku sesudahnya dan mengatakan senang aku tidak mendapat peran itu. Dia akan benci kalau aku mengecat rambutku."
Perasaan sesak di dada Lauri makin terasa, Suara Drake makin pelan. Susan masih memiliki hatinya, walaupun telah tiga tahun meninggal. Lauri sudah tahu jawaba
nnya, tapi entah mengapa masih bertanya perlahan, "Cantikkah dia""
"Ya," jawab Drake tanpa ragu, dan memejamkan kelopak mata seperti tirai yang menutupi mata hijaunya. "Dia penari, siswa balet yang serius.
Audisi pertunjukan apa pun yang diikutinya, seperti tari kelompok, tidak cocok dengan gayanya yang terlalu klasik. Dia selalu kembali ke balet. Akhirnya dia terpilih untuk bergabung dengan American Ballet Theatre."
Balerina! Itu lebih buruk daripada perkiraan Lauri. Wanita itu pasti halus, feminin, anggun, dan, seperti kata Drake tadi, cantik.
Dia harus mengubah topik pembicaraan. Tiba-tiba terasa penting bahwa suasana beberapa waktu sebelumnya harus dikembalikan secepatnya. "Siapa karakter favoritmu, Drake" Peran apa yang paling ingin kaumainkan""
"Brick di Cat on a Hot Tin Roof, sudah pasti," kata Drake. "Aku pernah memerankannya di kelas akting. Karakter itu luar biasa. Semua hubungan dalam hidup Brick dieksplorasi selama dua setengah jam itu. Hubungan dengan istri, ayah, ibu, saudara laki-laki, temannya." Suaranya makin bersemangat. "Tapi aku juga ingin sekali menyutradarainya. Bisa kaubayangkan betapa asyiknya mengeluarkan semua nuansa tokoh-tokoh hebat itu" Ya Tuhan, tantangan yang luar biasa." Dia diam sementara pandangannya menerawang, seakan melihat para aktor siap menuruti arahannya. Lalu dia melirik Lauri dan lama memandanginya.
Rambut Lauri membingkai wajahnya ketika dia menatap pria itu. Cahaya api membuat rambutnya berkilauan. Kulit lehernya di bagian mantelnya yang terbuka masih lembap karena habis mandi, dan kini tampak lembut dan mengundang.
"Kau tidak kelihatan seperti guru," kata Drake lembut.
"Kau sangat kelihatan seperti aktor," bisik Lauri Drake bangkit sedikit dan menopang tubuhnya dengan meletakkan sebelah lengan di sisi lain pinggul Lauri. "Bisa kau lebih spesifik"" tanyanya "Maksudku, Ernest Borgnine seorang aktor, tapi Robert Redford juga aktor."
Lauri tertawa. "Aku mengerti. Yah, sebentar," dia memicingkan mata ketika mengamati wajah dan dada pria itu. "Menurutku kau di antara mereka."
"Oh, yeah"" goda Drake. "Boleh saya beraudisi untuk peran utama pria yang romantis, Ms. Producer" Saya mohon" Saya pasti akan menikmati audisinya."
Sambil berbicara, dia menarik ikat pinggang mantel Lauri, dan ikat pinggang itu pun terbuka. "Seperti Anda bisa lihat saya sudah menjiwai peran saya." Tangannya menyusup ke balik mantel Laun dan menggenggam payudaranya. "Yang saya butuhkan sekarang cuma pemeran pembantu," katanya, dan bibirnya mencium bibir Lauri yang ternyata menyambutnya.
Ciumannya panas dan lama. Sementara tangan yang satu membelai-belai payudara Lauri, tangan yang lain mengelus rambut merah wanita itu. Lengan Lauri memeluk bahu telanjang Drake dan mengusap otot-ototnya yang keras. Tangannya yang sebelah lagi menyusuri rusuknya sampai berhenti di lekuk pinggang pria itu.
Drake akhirnya menghentikan ciumannya untuk bergumam, "Kuharap di balik mantel ini cuma ada tubuhmu" Dilepaskannya mantel itu dari bahu Lauri dan diciuminya kulitnya yang harum. "Ketika kau bersikap hangat, pasrah, dan tenang seperti ini, ada aura keibuan pada dirimu yang kubutuhkan." Bibirnya menuruni dada Lauri sampai ke bagian atas payudaranya, yang diusapnya dengan kumisnya. Menyusupkan lengan ke balik mantel, dia menariknya makin dekat. "Aku ingin menjadi bayimu, Lauri," katanya parau.
Ketika mulut Drake mencium payudaranya, Lauri mencengkeram kepala pria itu dan melengkungkan rubuh ke arah pria itu. Lidah Drake beraksi dengan panas. Lauri mengerang waktu pria itu menciumi bagian bawah payudaranya sebelum kembali ke bagian yang seakan tak pernah puas diciuminya itu.
Lauri menempelkan pipi di puncak kepala Drake dan menyusuri dada dan perut pria itu dengan gerakan lembut tapi penuh hasrat. Dengan takut-takut Lauri meletakkan tangannya di pinggang jins pria itu. Drake membenamkan kepala di antara payudara Lauri dan menggerak-gerakkannya karena tersiksa sekaligus merasa nikmat.
"Oh, ya," bisiknya serak dengan suara bergetar yang makin tidak jelas karena tertutup payudara Lauri it
u. "Sentuhlah aku." Lauri membuka kancing jinsnya. Denting bel pintu kedengaran seperti dentang lonceng katedral di antara suara napas mereka yang terengah-engah, suara biola dari stereo set, dan suara api yang meretih di perapian.
Drake memaki-maki sambil berusaha duduk dan menunduk kesal. "Siapa sih-"
"Mungkin mereka akan pergi kalau pintunya tidak dibukakan," kata Lauri penuh harap.
Dering bel sekali lagi menunjukkan bahwa tamu mereka, siapa pun orangnya, tidak mau menyerah Drake memaki-maki lagi, tapi bersusah payah bangun dan berjalan ke ruang depan, menyebabkan Lauri tidak bisa melihat pintu. Dia akan mengingat, kan pria itu bahwa dia tak berkemeja tapi tidak sempat karena sudah mendengarnya membuka pintu.
"Oh! Kami tidak mengira akan melihatmu di sini. Ini benar-benar kejutan."
Begitu mendengar suara familier itu Lauri melompat dari sofa. Kakinya yang gemetar nyaris membuatnya tak sanggup berdiri. Dengan jari-jari lemas, dia merapikan mantel dan mengikat tali pinggang. "Oh, Tuhan," teriaknya dalam hati, dan nyaris menangis.
"Siapa-" Drake akan bertanya, tapi dipotong orang itu.
"Saya Pendeta Andrew Parrish, ayah Lauri. Dia ada""
Bab Sembilan "Uh, selamat malam," Lauri mendengar Drake bicara. "Saya-"
"Kami tahu siapa kau, anak muda. Lauri sudah menceritakan segalanya tentang kau pada kami. Istriku sibuk ke sana kemari seperti kumbang, memberitahu semua orang bahwa anaknya bekerja pada Drake Sloan."
"Tak percaya rasanya aku bisa bicara dengan kau langsung. Ibu-ibu di tempat kami pasti akan-"
"Sudahlah, pria ini tidak memakai kemeja dan kita membuatnya kedinginan. Boleh kami masuk, Mr. SI-maksudku, Mr. Rivington""
Lauri terpana mendengarkan percakapan ini. Tubuhnya terpaku di depan sofa. Reaksi pertamanya adalah ingin lari ke atas dan bersembunyi, tapi tangganya kelihatan dari pintu depan. Tak mungkin dia bisa mencapai tangga tanpa terlihat orangtuanya.
Untuk apa mereka kemari" Mereka akan berpikir-mereka akan tahu-Apa yang bisa dilakukannya" Dirapikannya mantelnya sebisa-bisanya dan diusapnya rambutnya yang berantakan. Tidak ada waktu lagi. Drake sedang membawa orangtuanya ke ruangan ini.
"Ibu! Daddy!" Lauri berseru dengan kegembiraan palsu dan bergegas melintasi ruangan untuk menyambut mereka. Dia harus bertebal muka. Jangan kelihatan bersalah, dia memperingatkan dirinya.
"Lauri, anakku sayang. Apa kabar"" Alice Parrish memeluk putrinya erat-erat, dan Lauri tahu ibunya dapat merasakan bahwa dia tidak memakai apa-apa di balik mantel. Diliriknya Drake dari atas bahu ibunya. Pria itu mengangkat bahu dengan tak berdaya dan tampak agak pucat juga. Rambutnya, Lauri melihat dengan gugup, sama berantakan-nya dengan rambutnya sendiri. Lebih dari itu, karena Drake cuma memakai jins yang kancingnya terbuka, hasratnya yang tadi bangkit kelihatan jelas. Oh, Tuhan!
Ibunya mencium bibirnya yang melembut akibat ciuman-ciuman Drake barusan. Bisakah ibunya merasakan Drake di bibirnya" Lauri bertanya-tanya dalam hati. Lalu ayahnya memeluknya, dan Lauri dengan pasrah menerima pelukan sepenuh hati ayahnya itu. Keheningan tidak enak menyelimuti mereka setelah berpelukan, sementara orangtua Lauri mengamati ruangan. Suasana sensual terasa jelas, seakan kata itu tertulis di dinding. Musik lembut masih mengalun dari sound system, menimbulkan suasana intim. Nyala api, memandikan ruangan dengan cahaya lembut dan menciptakan bayang-bayang, bagai merahasiakan sesuatu. Wadah berisi es untuk anggur dan gelas-gelas setengah kosong menuding mereka seperti jari-jari yang menuduh. Yang paling mencurigakan adalah sofa yang berantakan. Satu alas duduknya tertendang ke lantai waktu Drake menjulurkan kakinya yang panjang.
Kalau saja tidak galau karena situasi ini, Lauri pasti senang bertemu orangtuanya. Dia selalu akrab dengan mereka dan tahu dia beruntung punya orangtua yang selalu menyayanginya.
Dipandangnya ibunya, yang bertubuh mungil, tidak sampai sebahu ayahnya. Rambut Alice Parrish cokelat kemarahan seperti Lauri, tapi telah memudar karena usia sehingga warnanya tidak terlalu cerah l
agi. Wajahnya bisa dibilang tanpa keriput, kalaupun ada hanyalah keriput karena sering tertawa, menunjukkan sifatnya yang periang.
Andrew Parrish selalu berdiri tegap dan menjaga sikap. Rambutnya yang berwarna gelap dan mulai beruban disisir rapi ke belakang dari keningnya yang tinggi. Dia memiliki mata kelabu tajam yang tenang dan ramah, dan berbicara dengan suara dalam dan menenangkan. Dia mampu menenteramkan jemaatnya, tapi pendapatnya tentang moralitas tak tergoyahkan, tak peduli zaman sudah berubah.
Kegembiraan awal mereka karena bertemu si putri bungsu berkurang karena pemandangan yang tampak di hadapan mereka. Lauri bisa melihat kekecewaan membayangi wajah orang-orang yang disayanginya itu. Hatinya jadi sedih dan dia tahu apa yang ada di dalam pikiran mereka. "Kalian sudah berkenalan dengan Drake, kurasa," kata Lauri karena tidak tahu mesti mengatakan apa lagi dan untuk memecahkan keheningan yang mencekam. "Kenapa kalian kemari" Bukannya aku tidak senang bertemu kalian," dia buru-buru menambahkan. "Hanya saja aku-"
"Kami ingin memberimu kejutan. Sayang. Ibu dan aku akan menghadiri konferensi pendeta yang dimulai besok malam di Santa Fe. Kami memutuskan datang sehari lebih cepat supaya bisa bersamamu." "Aku senang kalian melakukannya," kata Lauri. "Kami tidak mengira akan melihat Mr. Rivington di sini," kata Andrew, memandang Drake. Pria itu telah mengambil sweternya dari ujung sofa tempatnya tadi dicampakkan dan memakainya lewat kepala.
Memang sudah sifat ayahnya untuk langsung ke pokok permasalahan, meskipun Lauri berharap dia punya waktu lebih banyak agar dapat memberikan penjelasan yang masuk akal. Tapi bisakah dia melakukannya" Rasanya tidak. Apakah cuma khayalannya, atau bibir bawah ibunya memang mulai bergetar" Kenapa mereka datang malam ini" Bagaimana kalau mereka tiba lima belas menit lebih lambat" Lauri bergidik dan memeluk tubuhnya sendiri. Kemungkinan itu terlalu mengerikan untuk dipikirkan.
Dia menjilat bibir dan berkata setenang mungkin, "Drake... dia datang beberapa hari yang lalu untuk menjenguk Jennifer. Ibu harus melihat anak itu," kata Lauri dengan suara gemetar. "Ibu pasti akan menyukainya." Ketika tidak ada yang berkomentar, dia melanjutkan, "Kalian tahu, Drake sangat merindukannya... Dia beristirahat main sinetron... Jennifer senang sekali bertemu dengannya..." Suara Lauri menghilang. Omongannya ngawur dan mengelak dari masalah yang dia tahu ada dalam pikiran setiap orang.
Andrew menatap kedua gelas anggur di meja kopi. "Dia tinggal di sini bersamamu." Lauri melihat ekspresi terluka di mata ayahnya ketika pria itu bicara. Ingin sekali dia menghilangkan perasaan terluka itu. Mereka takkan pernah dapat memahami perbuatannya. Lauri memejamkan mata supaya tidak melihat ekspresi menuduh di wajah orang-tuanya.
"Lauri, Sayang, kita beritahu saja mereka," kata Drake santai, lalu mendekatinya, memeluk mesra bahunya, dan menariknya ke dekatnya. Lauri memandangnya, ngeri membayangkan apa yang akan dikatakannya. Drake tersenyum lembut ketika menatapnya. "Aku tahu kita telah sepakat untuk merahasiakannya dulu, tapi waktu kita mengambil keputusan itu, kita kan tidak tahu orangtuamu akan memberi kita kejutan seperti ini. Kurasa mereka pasti sudah mengira yang tidak-tidak." Dan mereka benar, Lauri ingin bilang begitu, tapi terdiam karena kata-kata dan sikap sopan Drake. "Sir," kata Drake formal ketika berpaling pada Mr. Parrish. "Lauri dan saya menikah hari ini di Albuquerque. Anda memergoki kami sedang berbulan madu."
Lauri pasti sudah terduduk di lantai kalau saja lengan Drake tidak menahannya. Semua darah di tubuhnya mengalir deras ke kepala, dan dia dapat merasakan setiap denyut nadi yang berdentam-dentam di pembuluh darahnya. Telinganya menggemuruh dengan bunyi hiruk-pikuk yang menenggelamkan seruan orangtuanya, walaupun dia bisa melihat mereka gembira dan lega mendengar berita itu.
Mereka tertawa dan ribut mengucapkan selamat. Ibunya mendekati Drake dan tanpa malu-malu memeluknya, mencium pipinya, dan berkata, "Selamat datang di keluarga kami, Drake." Andrew menepuk-nepuk pung
gungnya dan berkata, "Kau sempat membuatku gundah. Aku bahkan tidak mau memberitahumu apa yang ada dalam pikiranku tadi."
Lalu mereka memeluk Lauri. Rasa percaya mereka pada putri mereka timbul kembali. Lauri pun hanyut dalam gelombang kasih sayang orangtuanya. Ia masih terlalu kaget untuk bicara atau bereaksi.
"Andrew, kau sadar bahwa sekarang kita punya satu cucu lagi"" Alice bertepuk tangan ketika memikirkan fakta menggembirakan itu. "Boleh kami melihatnya, Lauri" Aku berjanji takkan membangunkannya, tapi kau sudah bercerita padaku betapa manisnya dia. Aku memang sangat ingin menemuinya, dan sekarang dia jadi keluarga kita." Mata cokelat Alice berbinar-binar, dan Lauri tidak tega untuk mengecewakannya lagi.
"Dia di atas, Ibu. Di kamar yang lebih kecil. Bagaimana kalau Ibu dan Daddy naik dan melihatnya" Aku akan membuat kopi. Kurasa kedatangan kalian begitu mengejutkan sampai aku jadi lupa sopan santun," Lauri berkata lemah. Otaknya nyaris tidak sanggup berpikir jernih, apalagi mengutarakannya.
"Ayo, Andrew." Alice menarik tangan suaminya, dan pria itu membelalak, pura-pura kesal. "Wanita ini tergila-gila pada anak-anak, Drake. Kau harus membiasakan diri dengan sikapnya yang terlalu memanjakan anak-anak."
"Aku tidak keberatan, dan aku tahu Jennifer pun begitu." Dia berbicara dengan tenang. Mengapa dia tidak kelihatan kalut" Apa dia tidak sadar bahwa kepura-puraan ini takkan bisa bertahan" Apa motivasinya mengucapkan kebohongan tadi"
Ketika orangtuanya menaiki tangga dan menghilang di koridor atas, Lauri menatap curiga pada Drake, yang memandangnya tanpa perasaan bersalah. Tangan Lauri mengepal. Gaya pria itu memiringkan kepala membangkitkan kemarahannya. Drake menikmati penderitaannya!
"Kenapa, Drake"" desak Lauri dengan bisikan tertahan, tidak ingin orangtuanya mendengar pembicaraan ini. "Kenapa kau memberitahukan kebohongan sekonyol itu pada mereka""
"Aktingku kelas Oscar, kan" Kukira kau bakal berterima kasih karena aku telah menyelamatkan lehermu, Lauri. Semua bukti memberatkanmu. Mereka menarik kesimpulan yang benar, dan kurasa kau tidak menginginkan hal itu, kan" Dan sekarang sudah terlambat untuk membahasnya," balas Drake ketika Lauri menyalakan lampu. "Sebaiknya kau terima saja. Kelihatan sekali bahwa kau baru dicium habis-habisan dan -"
"Bisa berhenti, tidak"" desis Lauri sambil mengentakkan kaki. "Drake, aku mesti bagaimana" Orangtuaku mengira aku sudah menikah denganmu! Apa yang akan kita katakan kalau mereka mengetahui yang sebenarnya""
"Katakan kita ternyata tidak cocok dan terpaksa berpisah," kata Drake datar.
Lauri mengempaskan diri ke sofa dan menutupi wajahnya dengan tangan. "Mereka kecewa sekali waktu Paul dan aku berpisah. Aku tidak mau membuat mereka susah lagi."
Drake terdiam beberapa lama, lalu berkata pelan, "Kalau begitu akan kuberitahu mereka bahwa aku cuma menggodamu. Kau bisa menjelaskan sebab-sebab aku tinggal di sini bersamamu. Mereka pasti akan mengerti. Bukankah ayahmu memang bertugas memaafkan orang"" Nada bercanda dalam suara Drake lebih membuat Lauri marah daripada kebohongannya.
"Tidak, Drake." Matanya menyorot marah, dan bukan pantulan api di perapian yang menyebabkannya berkilauan. "Jangan pernah kau mengolok-olok aku atau mereka," Lauri memperingatkan dengan suara dalam dan tegas.
Ketika melihat ekspresi dingin dan menakutkan wanita itu, Drake langsung serius. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menganggap enteng kesulitan-mu atau pekerjaan ayahmu."
Lauri melihat ketulusan di wajahnya, tapi dia mendesah dan berkata pasrah, "Sudahlah. Aku yakin ini tampak seperti adegan film romantis bagimu, tapi ini nyata bagiku. Aku tidak sanggup melihat mereka kecewa."
"Lauri, kau kan sudah hampir tiga puluh tahun," Drake membujuk. "Kau berhak mengatur hidupmu sendiri. Mereka mungkin tidak menyukai semua yang kaulakukan. Tidak ada orangtua yang suka. Tapi mereka hidup sesuai standar mereka dan kau sesuai standarmu."
"Kau tidak mengerti." Lauri mengerang. "Aku tidak pernah mengkhianati kepercayaan mereka. Jika aku memutuskan untuk melakukan sesuatu
yang kutahu takkan mereka setujui, aku akan merahasiakannya untuk melindungi perasaan mereka, bukan perasaanku. Aku takkan pernah membeberkan kecerobohanku di depan batang hidung mereka."
"Tapi kau kan tidak berbuat apa-apa!" kata Drake marah, lalu memelankan suara. "Percayalah, aku tahu betapa kau sangat menjaga dirimu. Aku sampai menderita karenanya."
Meskipun sedang menghadapi konflik, kata-kata pria itu membuat jantung Lauri bagai berhenti berdetak. Dia membuang muka. "Aku memang tidak bersalah, dan kalau kuceritakan fakta-fakta masalah ini pada mereka, mereka akan mempercayaiku. hanya saja-" dia melambaikan tangan seolah mencari kata-kata yang tepat "-akan lain rasanya, itu saja. Mereka berasal dari generasi yang berbeda.
Dalam keadaan bagaimanapun, mereka takkan pernah setuju aku hidup bersama laki-laki di luar pernikahan. Kau belum pernah begitu menyayangi orang sehingga peduli pada pendapat mereka tentang dirimu."
Lauri mestinya tidak bicara begitu, dan dia menyadarinya begitu kata-kata itu meluncur dari mulutnya. Wajah Drake langsung kaku, dan mulutnya mencibir di bawah kumisnya. Pria itu menjejalkan tangannya ke dalam saku jins dan mendadak berbalik untuk menatap api yang mulai padam.
Mereka mendengar suami-istri Parrish keluar dari kamar Jennifer, dan Drake berkata tenang tanpa memandangnya, "Kuserahkan segalanya padamu. Akan kudukung semua omonganmu."
Alice sudah bicara sebelum sampai di anak tangga paling bawah. "Drake, dia betul-betul malaikat. Aku langsung sangat menyayanginya dan tidak sabar menunggunya bangun besok pagi untuk bermain dengannya." Wajah Alice berseri-seri, dan hati Lauri bagai diremas ketika dia memikirkan harus melanjutkan kebohongannya.
"Maafkan aku," kata Lauri cepat-cepat. "Aku belum membuat kopinya." Dia akan berjalan ke dapur, tapi ayahnya menghentikannya.
"Jangan bikin kopi hanya karena kami. Kami terlalu tua untuk meminumnya malam-malam begini. Bisa-bisa tidak tidur kami semalaman. Sebaiknya kami mencari tempat menginap untuk malam ini. Kami akan kembali besok pagi kalau boleh."
"Nonsens," tukas Drake. "Kalian akan tinggal di rumahku. Di sini banyak tempat kok."
"Oh, jangan," protes Alice. "Kau dan Lauri kan sedang berbulan madu."
"Aku tidak keberatan, kalau Lauri juga tidak," kata Drake sambil mengangkat bahu. "Iya, kan, Sayang""
"Aku-ya. Maksudku, tidak, aku tidak keberatan," Lauri tergagap sambil berusaha menebak tujuan Drake.
"Ada kamar kecil di sisi lain dapur. Di sanalah aku tidur beberapa hari ini. Malam ini aku memang akan pindah ke kamar tidur utama kok."
"Aku bisa memahami," kata Andrew menggelegar, dan menepuk punggung Drake kuat-kuat. "Aku sendiri sih lebih suka menginap di sini daripada di motel. Bu, menurutmu bagaimana"" tanya Andrew pada Alice. Semua orang seperti melupakan Lauri, yang nyaris menolak mati-matian ketika Drake mengatakan akan pindah ke kamar tidur utama. Sekarang dia menyadari maksud pria. itu, dan jadi marah sekali karenanya.
"Yah, aku sebetulnya lebih senang di sini bersama Lauri," kata Alice sungguh-sungguh.
"Kalau begitu masalahnya beres," kata Drake tegas. "Biar kuambil dulu beberapa barangku sementara Lauri mengganti seprai. Setelah itu kami persilakan kalian tidur. Kalian pasti lelah sekali."
Setengah jam berikutnya penuh kebingungan. Drake pergi ke kamar cadangan dan muncul kembali di ruang tamu sambil membawa sekotak perlengkapan bercukur dan barang-barang pribadi.
Mantel beludru tersampir di bahunya. Dia terang-terangan mengedipkan mata pada Lauri ketika wanita itu mendengarkan cerita mendetail orangtuanya tentang penerbangan mereka ke Albuquerque dan perjalanan bermobil ke Whispers. Lauri memelototi-nya waktu orangtuanya tidak melihat.
Dia memasang seprai baru di tempat tidur, sengaja berlambat-lambat dan berharap Drake kembali ke kamar. Dia berniat mengomeli pria itu soal di mana "suaminya" itu tidur malam ini, tapi Drake menghindarinya. Waktu orangtuanya mengucapkan selamat tidur, pria itu memeluk pinggangnya dan dengan posesif merapatkan punggung Lauri ke dadanya.
"Aku senang pun ya menantu kau, Drake. Jaga putriku dan cintailah dia. Cuma itu permintaanku," kata Andrew.
"Baik, Sir," kata Drake serius. Ingin sekali Lauri menendang tulang keringnya.
Pasangan yang lebih tua itu masuk kamar. Dengan manis Lauri mengikuti Drake menaiki tangga, tapi begitu sudah menutup pintu kamar tidur luasnya, dia memandang pria itu dengan marah. "Aku tahu apa yang kaupikirkan, Drake, dan rencana licikmu itu takkan berhasil."
"Apa yang kupikirkan"" Drake bertanya sambil membuka sweter untuk kedua kalinya malam itu.
"Kaupikir aku akan tidur di ranjang itu bersama-mu.
"Pikiran itu tak pernah melintas di benakku," kata Drake enteng dan membuka kancing jins.
"Apa yang kaulakukan"" tanya Lauri panik. "Membuka pakaian. Kelihatannya apa"" Sambil melanjutkan perbuatannya, Drake berkata, "Pada suatu musim panas aku ikut tur kelompok drama yang mementaskan Hair, dan sejak saat itu, tidak segan-segan telanjang. Kalau kau tidak suka, berbaliklah saja."
Pakaian dalamnya berwarna biru muda, ketat, dan mini, dan Lauri dengan susah payah menelan ludah waktu pria itu menanggalkan jins dan dengan santai melemparkannya ke kursi. Drake memunggunginya dan mulai membuka tutup tempat tidur besar itu.
"Aku tidur di sofa saja," gumam Lauri sambil membuka lemari tempat menyimpan selimut-selimut ekstra.
"Terserah. Ayahmu memang pendeta, tapi jelas dia menyadari fakta-fakta kehidupan. Kau akan bilang apa pada mereka kalau melihatmu di sana besok pagi" Kita sedang bertengkar""
Lauri ingin menampar mukanya yang sombong ketika dia berbalik dan melihat pria itu bersandar santai di bantal, berselimut sampai pinggang. "Aku akan bangun lebih dulu dari mereka.". "Yah, aku senang kau sudah memikirkan segala kemungkinan." Drake menguap dan berbaring. "Selamat malam."
Supaya tidak melontarkan komentar pedas, Lauri cepat-cepat keluar kamar sambil membawa selimut. Dia mengendap-endap menuruni tangga dan, diterangi cahaya perapian yang nyaris padam, berhasil sampai ke bawah.
Dia terlonjak kaget ketika lampu di langit-langit dinyalakan.
"Oh, Sayang, kuharap aku tidak mengejutkanmu. Aku mau meminta selimut tambahan," Alice menjelaskan. "Aku terpaksa tidur di sofa. Ayahmu mendengkur keras sekali, aku takkan bisa tidur di dekatnya. Dia memang begitu kalau kecapekan, kau tahu, kan. Mau kauapakan selimut-selimut itu"" Alice melihat selimut-selimut yang dibawa Lauri.
"Aku-uh-kupikir mungkin Ibu dan Daddy membutuhkannya. Biarpun masih awal musim gugur, udara malam di sini sangat dingin." Ibuku tidur di sofa! jerit Lauri dalam hati.
"Yah, aku akan baik-baik saja. Biar nanti ku-tambah kayu di perapian. Ayahmu takkan terbangun biarpun ada badai salju, jadi kembalilah kau ke suamimu di atas dan berhentilah mengkhawatirkan kami." Ibunya mencium pipinya, lalu berbalik. Dia memakai mantel quilt yang dihadiahkan Lauri Hari Natal lalu. Wangi krim wajahnya mengingatkan Lauri pada masa kanak-kanaknya ketika ibunya datang ke kamar Ellen dan kamarnya untuk menyelimuti mereka sebelum tidur.
"Selamat malam, Ibu," kata Lauri lembut sambil berjalan ke atas.
Lauri berhenti sebentar di depan pintu kamar tidur utama. Dia menimbang-nimbang untuk pergi ke kamar Jennifer dan tidur dengannya, tapi tempat tidur anak itu kecil. Kalau dia membuat Jennifer terbangun tengah malam begini, akan timbul lagi keributan yang harus dijelaskan. Dia tidak punya pilihan selain bergabung dengan Drake di tempat tidur luas itu.
Dibukanya pintu pelan-pelan, berharap pria itu sudah pulas. Harapannya buyar ketika Drake me-nelentang dan menatapnya dengan pandangan bertanya. Lauri tidak menyalakan lampu, namun sinar bulan masuk dari jendela, dan dia dengan mudah dapat melihat lekuk tubuh pria itu di balik selimut. Jantungnya berdegup kencang. "Berubah pikiran""
"Tidak," katanya tegas. "Ibu tidur di sofa untuk menghindari dengkuran Ayah."
"Kebiasaan yang kuharap tidak kauwarisi," gerutu Drake, lantas memalingkan kepala di bantal dan memunggunginya.
Oh! desis Lauri dalam hati. Dasar brengsek. Lauri menimbulkan suara seribut mungkin ketika menyikat gigi
dan mencuci muka. Lalu dengan masih memendam marah ia membuka mantel tidur, dan tanpa berpikir berjalan ke kamar. Apa-apaan ini! Lauri tidak pernah memakai baju ketika tidur, tapi tidak mungkin ia seranjang dengan Drake seperti ini.
Ia lalu mengambil celana dalam dan bra dari laci dan memakainya. Memang tidak terlalu berarti, tapi daripada tidak memakai apa-apa sama sekali. Kalau ia memakai mantel tidur, besok pagi bisa basah kuyup karena mandi keringat. Lampu-lampu sudah dimatikan; Drake tidak akan bisa melihatnya.
Dia berjingkat-jingkat ke tempat tidur dan menyusup ke balik selimut, sengaja berbaring di pinggir. Dibaringkannya kepala di bantal dan di-pejamkannya mata rapat-rapat, diperintahkannya tubuhnya supaya rileks. Dia nyaris berhasil waktu suara Drake terdengar dalam kegelapan. "Sudah kaupakai baju besimu""
"Tutup mulut dan jangan ganggu aku," ancam Lauri, tapi tidak terlalu meyakinkan.
"Aku berniat begitu," balas Drake. "Untuk saat ini. Tapi kau akan menyerah." Dia menepuk bokong Lauri dari balik selimut sebelum berbalik dan membelakanginya.
Yah, setidaknya dia tidak memaksakan kehendaknya. Lauri senang. Benarkah"
Cahaya lembut fajar menerobos jendela. Tapi bukan itu yang membangunkan Lauri dari tidur pulasnya. Dia berbaring menelungkup, wajah terbenam di bantal. Sesuatu yang hangat dan basah membelai punggungnya perlahan. Dia bangun dengan enggan, menikmati kabut menyenangkan antara keadaan sadar dan tidur. Dia ingin perasaan melayang ini tak pernah berakhir.
Kait branya terbuka karena gerakan jari-jari yang lihai. Dia langsung terjaga, dan otot-ototnya menegang akibat pijatan nikmat yang membuatnya tetap pasrah.
"Drake"" bisik Lauri.
"Hmm"" cuma itu tanggapannya.
Sulit untuk merasa marah sementara pria itu melanjutkan pijatannya. "Apa yang kaulakukan"" Lauri bertanya dengan napas tertahan.
"Sarapan," gumam Drake sambil menciumi kulit bahu Lauri yang lembut. Tangannya mengusap-usap punggung wanita itu dan meluncur di pinggulnya. "Rasanya enak."
Suaranya tidak lebih keras dari embusan napas. Lauri mengerang dan makin membenamkan wajah ke bantal waktu merasakan tekstur basah lidah Drake yang selembut beludru menjilati punggungnya.
Kaki berat berbulu menindih bagian belakang pahanya supaya dia tidak bergerak sementara pria itu terus membelai-belai punggungnya dengan mulut dan tangan. Drake bergerak turun ke pinggangnya, lantas naik lagi. Kali ini dia menciumi bagian samping tubuh Lauri, di sepanjang tulang rusuk.
Ketika sampai di ketiak, dengan lembut dia membalik Lauri sehingga tertelentang dan menatap mata cokelat muda sayu wanita itu sambil mengusap rambutnya yang berantakan di wajahnya.
"Selamat pagi," sapa Drake.
"Selamat pagi."
Diturunkannya tali bra Lauri dari lengannya, dilepaskannya dengan sigap. Dipandangnya kulit wanita itu, yang hangat dan kemerahan karena baru bangun tidur. Lauri memejamkan mata, tidak sanggup membalas tatapan tajam pria itu.
Drake mengangkat lengan Lauri ke atas kepala, dan mulai mencium dan mengulum bagian dalam lengan atasnya yang sensitif sehingga Lauri ingin berteriak karena nikmat. Mulut Drake menyusuri tulang selangka dan lehernya sampai dia berhenti di atas bibirnya yang membuka dan menunggu.
Kesabarannya dalam membangkitkan gairah Lauri memperoleh imbalan yang setimpal ketika wanita itu membalas ciumannya dengan panas, membuat mereka berdua hanyut. Lidah, gigi, dan bibir mereka bergerak begitu serasi sehingga keduanya merasakan kenikmatan yang luar biasa.
Gairah yang sudah lama dirasakan Drake terhadap Lauri belum tersalurkan, dan dia jadi ganas. Mulut dan tangannya memohon agar kerinduan yang mencengkeramnya sejak dia pertama kali bertemu Lauri dipuaskan.
"Kau luar biasa. Manis... hangat... lembut," bisiknya sambil beringsut turun dan memusatkan perhatian pada payudara Lauri, yang menunggu kenikmatan yang hanya dapat diberikan bibir pria itu. Drake memberikan yang ditunggu-tunggu Lauri, dan Lauri pun mendesahkan namanya sambil mencengkeram bahunya.
Lauri menyingkirkan pikiran-pikiran yang bisa melenyapkan saa
t penuh kebahagiaan ini, tapi pikiran-pikiran itu muncul di benaknya tanpa bisa dicegah. Bahkan ketika merasakan kejantanan pria itu menekannya, dia teringat bahwa ini tidak punya arti lain-cuma nafsu. Drake tidak-tidak bisa- mencintainya. Setelah nafsunya tersalurkan, lalu apa" Apakah pria itu akan pergi begitu saja, meninggalkannya dalam keadaan patah hati" Tidak! Dia tidak boleh membiarkan ini terjadi. Dia dapat mentolerir kesombongannya, kepura-puraannya, ejekannya, kemarahannya, tapi dia takkan sanggup jika pria itu meninggalkannya begitu saja.
Tapi, Lauri mendambakan pria itu. Pikirannya membantah apa yang dirindukan tubuhnya. Dia melengkungkan tubuh ke arah tubuh Drake yang perkasa dan menggeliat ketika mulut pria itu membelai perutnya.
Jari-jari Drake mengusap kulit perutnya dan terus ke bawah. Napas Lauri tersentak. Tindakan pria itu melontarkannya kembali ke alam nyata. Apakah Drake sadar bahwa dialah yang berbaring di bawahnya" Apakah dia memikirkan Susan" MembayangkanLauri memegang bahu Drake, lalu mendorongnya dengan kekuatan yang timbul dari perasaan panik dan tidak suka. "Tidak, Drake. Kumohon. Jangan." Pria itu mengangkat kepala dan melihat wajah Lauri yang memelas dan basah dengan air mata- yang tidak disadari Lauri. Air matanya mengalir dari sudut matanya dan menghilang di antara helai-helai rambut cokelat kemerahan kusut yang terhampar di bantal.
"Lauri"" Drake bertanya lembut. Ia menumpukan tubuh di siku dan membungkuk ke arahnya, menghentikan sebutir air mata Lauri yang hendak jatuh dengan jarinya. Air mata di pipi yang satu lagi diciumnya dengan mesra.
"Aku tidak akan memaksamu, Lauri," katanya lembut. Tidak ada nada mengejek dalam suaranya.
"Aku tahu bahwa aku, juga merasa ada yang mengganjal. Orangtuamu menerimaku dengan tulus. Aku akan merasa tidak enak jika bercinta denganmu-meskipun sangat menginginkannya-sementara mereka di bawah, mengira kita sudah menikah." Dibelainya pelipis Lauri dan berbisik, "Jangan kau pernah merasa takut padaku." Diciumnya bibirnya dengan lembut.
Lauri dapat merasakan napas Drake di hidungnya, di mulutnya, waktu pria itu berkata, "Kumohon. Izinkan aku menikmati tubuhmu sekali lagi." Dia menyentuh payudara Lauri dan menciumnya. Tindakannya sama sekali tanpa nafsu, tapi penuh dengan kerinduan. Lauri bisa merasakannya di setiap sel tubuhnya.
Drake bangun dan meninggalkan tempat tidur. Ketika memakai jins, dia berkata sambil menoleh, "Rasanya aku mendengar Jennifer bangun. Biar kuganti pakaiannya dan kita ketemu lagi di bawah." Dia berhenti di pintu. "Setelah apa yang kurelakan pagi ini, aku tidak boleh dimarahi atau dihukum." Dia tersenyum lembut sebelum keluar kamar. Untuk sementara semua beres.
Bab Sepuluh Tapi itu tidak benar, dan tidak ada gunanya berpura-pura sebaliknya. Lauri merasa seperti hipokrit ketika duduk di meja makan untuk sarapan bersama orangtuanya, Drake, dan Jennifer. Alice berkeras membuatkan sarapan bermacam-macam untuk menghormati si pengantin baru. Untuk alasan itu saja Lauri sudah merasa bersalah.
Alice bercerita penuh semangat pada mereka tentang keluarga Ellen, menunjukkan foto-foto kedua putranya, yang dengan patuh diamati Drake. Dia menceritakan pada Drake kisah-kisah lucu masa kecil Lauri yang membuat anaknya tersipu-sipu dan pria itu tertawa. Kalau saja tidak mengenal sifat pria itu, Lauri pasti mengira Drake menikmati semua ini. Pria itu bersikap seperti menantu baru yang ingin sekali menyenangkan keluarga mempelainya.
Drake memuji ibu Lauri dan mendengarkan cerita ayah Lauri yang membosankan dengan penuh perhatian. Karena desakan mereka, Drake mengungkapkan gosip-gosip seputar sinetronnya. Alice ingin tahu tentang semua kisah cinta di balik layar-siapa yang menikah, siapa yang tidak. Apakah aktris ini aslinya secantik di film" Apakah mereka boleh memiliki pakaian yang mereka kenakan" Siapa yang memasak makanan yang mereka pakai di setting" Dan seterusnya. Drake menjawab semuanya dengan sabar, bahkan membumbui beberapa ceritanya supaya lebih seru.
Percakapan mereka dilakukan dalam bahasa isyar
at untuk melibatkan Jennifer, meskipun mereka tahu tidak semuanya dipahami anak itu. Karena Ellen, suami-istri Parrish biasa memakai- bahasa isyarat dan secara otomatis menggunakannya. Jennifer segera menerima mereka, dan orangtua Lauri pun membalasnya.
Jika Jennifer punya kakek-nenek lain, Lauri tidak mengetahuinya. Orangtua Drake sudah meninggal. Sangat sedikit yang diketahuinya tentang Susan sehingga dia tidak tahu apakah orangtua wanita itu pernah melihat cucu mereka atau tidak.
Drake berkeras membantu Alice mencuci piring-piring bekas sarapan sementara Lauri membereskan tempat tidur. Andrew pergi ke ruang tamu untuk membaca koran. Jennifer duduk di pangkuannya dan melihat-lihat komik.
Lauri pergi ke atas untuk melakukan tugas-tugas paginya. Tenggorokannya terasa seperti tercekik dan dengan susah payah dia menahan air mata yang membasahi matanya. Alangkah indahnya jika semua ini memang nyata. Tapi ini hanya pura-pura, kebohongan. Drake mengerahkan segenap kemampuan beraktingnya untuk peran sulit ini dan tampil dengan cemerlang. Dia berhak bangga pada dirinya sendiri.
Merapikan tempat tidur besar yang semalam mereka tiduri membangkitkan kenangan-kenangan yang terpatri dalam ingatannya. Sikap Drake mesra dan lembut; dan seumur hidup tidak pernah Lauri menanggapi pria seperti dia menanggapi pria itu.
Pada malam pengantinnya dulu Lauri naik ke tempat tidur Paul dalam keadaan perawan. Dengan bimbingan tidak sabar pria itu, pengalaman bercinta pertamanya tidak menyenangkan, tapi waktu itu dia berasumsi orang terlalu melebih-lebihkan seks. Apakah seks kehilangan daya tariknya karena harapan yang terlalu tinggi" Apakah keadaan yang sebenarnya meredup akibat antisipasi yang berlebihan"
Dia dapat mengingat dengan jelas suatu malam ketika Paul uring-uringan karena lagu yang tengah digarapnya. Sesuai kebiasaannya kalau sedang frustrasi, suaminya itu naik ke tempat tidur untuk menyalurkan kekesalannya. Paul membangunkannya, dan Lauri dengan mengantuk melayaninya. Setelah nafsunya terpuaskan, pria itu bangun dan memakai jinsnya sambil berkata marah, "Kau sama sekali tidak mau repot, ya""
Lauri tersinggung mendengar kata-katanya. Paul tadi tidak menunjukkan kelembutan ataupun cinta. Tidak ada belaian, tidak ada usaha untuk membangkitkan gairahnya. Tapi pria itu mengharapkan Lauri langsung menanggapi dengan penuh gairah. Saat itu dia sudah terjaga sepenuhnya, dan duduk tegak di tempat tidur lalu berkata sengit, "Paul, aku bukan lampu yang bisa langsung dinyalakan ketika kau ingin berhubungan seks. Kalau kau betul-betul peduli, kau akan menyempatkan diri untuk-"
"Jangan mengajari aku cara bercinta!" "Kalau begitu ajari aku!" teriak Lauri. "Aku ingin mempelajari cara memberimu kenikmatan. Ajari aku." Dia sangat menginginkan cinta Paul. Tubuh dan jiwanya berteriak memintanya mencintainya.
Pria itu mengancingkan jinsnya dengan gerakan tegas. "Apa gunanya" Kau akan tetap jadi si anak pendeta yang polos." Dia membelakangi Lauri dan meninggalkan kamar; Lauri menangis sampai tertidur kecapekan.
Sekarang, ketika merapikan tutup tempat tidur Drake, dia bergidik waktu teringat bagaimana rasanya sentuhan pria itu. Drake membelai dari mengelusnya dengan cara yang tak pernah dilakukan Paul. Pria itu memandangi tubuhnya, mengamatinya, mengaguminya, bukan cuma menggunakannya. Dia selalu takut saat-saat ketika Paul dengan kasar dan mendadak menyatukan tubuh mereka. Baginya percintaan mereka merupakan inyasi, pemaksaan.
Instingnya tahu, dengan Drake tidak akan seperti itu. Pria itu akan memperlakukannya bagai hadiah yang dihargainya. Setelah mengagumi hadiah itu habis-habisan dan memperkayanya dengan penerimaannya, dia akan membalasnya dengan cara yang tak pernah dirasakan Lauri sebelumnya. Disingkirkannya pikiran-pikiran yang seakan meremas-remas hatinya itu, lalu cepat-cepat berganti pakaian, dan pergi ke bawah. Jennifer tidak suka ketika harus turun dari pangkuan Andrew dan mengikuti Lauri ke kelas. Lauri berkeras mereka belajar hari ini karena kemarin waktu pergi ke Albuquerque mereka tidak belajar. Betulkah itu k
emarin" Andrew membuat murid yang ogah-ogahan itu lebih bersemangat dengan meminta izin untuk ikut belajar. Lauri setuju, tahu ayahnya dulu berpartisipasi dalam pendidikan Ellen dan akan membantunya menangani Jennifer.
Drake bertanya pada Alice apakah wanita itu ingin melihat-lihat kota dan Alice senang dengan tawarannya. Mereka pergi setelah berjanji akan kembali saat makan siang.
Makan siang ternyata lebih meriah dan rileks daripada sarapan. Semua orang merasa gembira, kecuali Lauri. Dia diliputi perasaan bersalah karena kebohongan ini, yang tidak berusaha diungkapkannya. Ini tidak boleh diteruskan! Tapi bagaimana caranya menghentikannya"
Alisnya berkerut karena pikirannya yang galau, dan ketika Drake menatap matanya, wajah pria itu tampak bingung. Kau seperti tidak tahu masalahku saja, pikir Lauri sambil memandangnya tajam.
"Kau pernah memancing di salah satu kali itu, Drake"" tanya Mr. Parrish, membuyarkan pikiran-pikiran marah putrinya. "Ya, Sir. Anda ingin memancing sebentar siang ini""
"Aku tidak membawa pakaian yang cocok, walaupun aku pasti akan menyukainya." Suaranya menunjukkan kekecewaannya.
"Kita tidak usah seserius itu," Drake tertawa. "Kita kan bisa berdiri di tepi dan melemparkan kail dari sana. Bagaimana"" Senyum Drake amat memikat dan Lauri jengkel pria itu bisa menangani situasi ini begitu gampang sementara dia gelisah dan bingung.
"Kenapa tidak, Sayang"" komentar ibunya. "Kau akan sibuk ikut konferensi tiga hari yang akan datang. Udara pegunungan ini baik untukmu."
Andrew mengusap-usap hidung dengan ibu jari dan telunjuk ketika berusaha memutuskan. Matanya memandang Jennifer. Dia mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk kepala anak itu. "Aku mau asal Jennifer ikut dengan kami," katanya. Kau mau pergi" dia mengisyaratkan.
Anak itu memandang Lauri penuh semangat. Seperti anak-anak lain, dia tahu persis kata pergi Pergi ke mana, Lauri" tanyanya, secepat tangannya bisa bergerak.
Pergi memancing, Lauri menjelaskan, tapi dia tahu dari tatapan bingung Jennifer bahwa anak itu tidak memahami kata yang terakhir.
"Ikutlah, Lauri. Acara ini akan jadi pelajaran yang bagus untuknya," kata Drake.
"Tidak, aku harus tinggal di sini bersama Ib-" "Jangan tinggal karena aku," Alice cepat-cepat menukas, memotong omongannya. "Aku akan merajut, setelah itu rasanya aku ingin tidur sebentar.
Karena telepon di rumah selalu berdering, aku jarang punya kesempatan untuk tidur siang."
"Kalau begitu semua beres," kata Drake, seraya berdiri. "Ayo, Andrew, mari kita periksa peralatan. Semua disimpan di gudang belakang."
Andrew tidak perlu diajak dua kali, dia bergegas mengikuti Drake, dan Jennifer membuntuti mereka.
"Lauri sayang, sebaiknya kau berganti pakaian. Biar aku saja yang mencuci piring," kata Alice sambil mulai membersihkan meja.
"Oke," kata Lauri lesu. Situasi berkembang di luar kontrol, dan dia tidak berdaya menghentikannya.
Dia lalu mengenakan jinsnya yang paling tua, dan sepatu yang tidak akan rusak karena lumpur. Dia mengambil jaket untuk Jennifer dan dirinya sendiri, mengumpulkan beberapa selimut lama, dan pergi ke bawah. Alice sudah memasukkan kue-kue, buah-buahan, dan minuman dingin, juga se-termos kopi ke dalam tas besar.
"Ibu, kami kan cuma pergi sekitar satu jam," protes Lauri.
"Aku tahu. Tapi kau juga tahu bagaimana laparnya orang kalau berada di alam terbuka," Alice membela diri. "Ibu yakin tidak apa-apa sendirian"" tanya Lauri. "Ya Tuhan, ya! Aku malah akan menikmati kesendirianku. Beberapa hari yang akan datang ini aku bakal harus ngomong terus." Mereka berempat melambaikan tangan padanya
sambil berjalan kaki ke arah kaki bukit dengan dipimpin Drake. Pria itu membawa sebagian besar peralatan memancing, tapi karena Andrew ngotot ingin membawa juga, dia kebagian selimut dan kotak joran. Jennifer memegang keranjang anyaman kecil dan Bunny, sedang Lauri menenteng tas berisi makanan yang disediakan ibunya.
Tidak sulit untuk menemukan tempat memancing yang menyenangkan. Kaki bukit bagai menyala dengan pepohonan aspen keemasan. Daun-daun yang bergugura
n berkeresak di bawah kaki waktu mereka berjalan menerobos hutan. Kali yang dipilih Drake berdeguk dari pegunungan dan berkilauan disinari cahaya matahari sementara airnya yang sebening kristal berdesir di atas bebatuan yang terhampar di dasar sungai. Langit tampak seperti mangkuk biru yang terbalik ke bumi; udara segar dan sejuk. Betul-betul hari musim gugur yang sempurna.
Kedua pria itu asyik memancing, meskipun seperti kata Drake tadi, mereka tidak terlalu serius melakukannya. Mereka menikmati acara ini dengan melemparkan tali pancing ke kali dan menggulungnya. Hanya beberapa kali ikan trout kecil terkait di kail mereka, dan ikan-ikan ini pun mereka lemparkan kembali ke kali begitu Jennifer selesai mengamatinya dengan hati-hati.
Anak itu haus ilmu pengetahuan. Dia menanyakan nama segala macam hal pada Lauri, dan gurunya harus bekerja keras untuk memuaskan rasa ingin tahunya yang tak ada habis-habisnya.
Acara memancing ini menarik minatnya, tapi waktu Lauri menjelaskan bahwa ikan-ikannya biasanya diawetkan dan dimakan, bibir bawahnya mula) bergetar, dan Lauri buru-buru mengalihkan perhatian anak itu ke tingkah tupai yang melompat dari pohon ke pohon. Mereka belajar tentang dari mana asal makanan, tapi rupanya melihat makanan dalam keadaan hidup membuat hati gadis kecil itu trenyuh. Mereka akan membicarakannya di lain waktu kalau Jennifer tidak seemosional sekarang.
Para pria bergabung dengan mereka untuk menikmati makanan kecil dan beristirahat di atas selimut-selimut, yang untung tadi dibawa Lauri. Ketika Drake berdiri dan berjalan kembali ke arah kali, Andrew berkata, "Kurasa untukku sudah cukup. Bagaimana kalau kubawa Jennifer pulang, dan kami akan membaca buku atau melakukan sesuatu yang tidak terlalu melelahkan." "Aku ikut," kata Lauri cepat. "Tidak, tidak," tukas ayahnya. "Aku tahu jalan kok, lagi pula aku ingin bersama cucuku. Kau tinggal di sini dengan suamimu. Aku belum lupa bahwa kalian sedang berbulan madu. Aku tahu kapan harus menyingkir."
Andrew mengedipkan sebelah mata pada Drake, yang menanggapi dengan cengiran jail. Ingin sekali Lauri menamparnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain setuju untuk berduaan dengannya di hutan ini. Dia sengaja pelan-pelan mengancingkan sweter Jennifer, memperlama kepergian mereka. Andrew menerangkan soal daun-daun di musim gugur ketika mereka berjalan di antara pepohonan dan meninggalkan Lauri dengan Drake.
"Asyik, ya"" kata pria itu, bergeser mendekatinya di atas selimut. "Ayo kita bergulung di balik selimut."
Lauri mengusirnya dengan mendorong bahunya. "Jangan sok manis dan lucu denganku. Kau boleh berhenti berakting sekarang. Di sini tidak ada lagi orang menonton aktingmu yang menakjubkan sebagai pengantin dimabuk asmara. Jangan ganggu aku."
"Aku betul-betul membuatmu sebal, ya"" Wajah Drake terlalu dekat. Lauri dapat melihat bintik-bintik berwarna emas dan cokelat di mata hijaunya.
"Ya, betul!" sembur Lauri.
"Sebaiknya kau berhati-hati," Drake memperingatkan dengan suara berirama dan menggoyang-goyang telunjuknya di depan batang hidung Lauri. "Itu berbahaya."
"Bicara apa kau ini""
Dicengkeramnya rahang Lauri dengan jari-jari yang kuat dan dipaksanya wanita itu memandangnya. Ditariknya wajah wanita itu makin dekat. Dengan suara sangat pelan Drake berbisik, "Kalau kau tidak begitu bernafsu padaku, tidak mungkin aku bisa membuatmu semarah ini." Sebelum Lauri dapat membalas omongannya, pria itu menciumnya dengan ganas dan cepat, lalu melompat berdiri.
Lauri duduk di atas selimut dan mengamati ketika pria itu berjalan santai kembali ke pinggir kali dan memungut alat pancingnya. Dalam hati Lauri marah sekali, tapi kata-kata Drake benar Kenapa ia menyiksa dirinya sendiri" Kemarahan cuma salah satu dari sekian banyak emosi yang dibangkitkan pria itu, dan dia terlalu gampang dan sering menunjukkan semuanya padanya.
Dengan gaya pura-pura tidak peduli, Lauri berbalik dari Drake dan berbaring di atas selimut. Ia berbaring telentang, sehingga bisa merasakan hangatnya sinar matahari yang menyirami wajahnya. Di-pejamkannya matanya supaya tid
ak silau karena cahaya terangnya. Drake tidak mungkin tahu bahwa dia menikmati kenangan setiap ciuman, setiap sentuhan. Pria itu tidak mungkin tahu bahwa jantungnya berdebar-debar setiap dia memikirkan pagi itu ketika berbaring telanjang di bawah tangan dan bibirnya yang lihai. Tangannya... bibirnya... matanya.
Lauri tersentak bangun ketika sesuatu menggelitik telinganya. Dia berusaha menepisnya, tapi tangan Drake mencengkeram pergelangan tangannya dan menahan tangannya di dada sementara pria itu melanjutkan menciumi telinganya. Bibirnya bergerak menyusuri leher Lauri, menghujaninya dengan ciuman-ciuman singkat dan ringan yang membuatnya merasa melayang-layang.
Pria itu berbaring telungkup, tubuhnya memanjang di belakang kepala Lauri sehingga mereka membentuk garis lurus dengan kepala saling bertemu. Disingkapkannya kerah kemeja wanita itu supaya dia bisa leluasa menciumi lehernya. Tak sadar Lauri melengkungkan leher dan memberikan lebih banyak mang untuk dijelajahinya. Akhirnya Drake mengangkat kepala dan menatapnya.
"Membangunkanmu lama-lama jadi kebiasaanku. Terbalik begini pun kau luar biasa cantik," kata Drake.
"Dan kau pembohong. Aku berantakan. Aku selalu berantakan kalau baru bangun."
"Tidak benar," bantah Drake mesra. "Aku menganggapmu luar biasa cantik pada hari pertama aku melihatmu berdiri dengan tampang ketakutan-tapi tidak gentar-di samping meja perlengkapan syuting."


Gaung Keheningan Eloquent Silence Karya Sandra Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lauri tertawa, teringat. "Kau jahat pada... Lois" Itu namanya"" Drake mengangguk. "Kau jahat padanya hari itu ketika mengatakan dia terasa seperti piza anchovy"
"Aku tidak pernah mengatakan hal sejahat itu!" Drake kedengaran tersinggung.
"Jelas pernah. Murray sampai harus-" Dia terdiam waktu melihat pria itu ternyata cuma menggodanya. Mereka berdua tertawa. "Aku bisa melihat kapan orang sulit mencium seseorang yang tidak disukainya padahal harus membuatnya tampak sungguh-sungguh. Aku tidak pernah mengerti bagaimana para aktor melakukannya."
"Oh, kau bisa mempelajarinya di pelajaran Dasar-dasar Mencium," kata Drake. "Itu pelajaran wajib di sekolah akting."
"O, ya"" tanya Lauri naif.
"Tentu," jawab Drake seenaknya. "Sini, duduklah sebentar."
Lauri duduk, dan mereka berhadap-hadapan di atas selimut.
"Nah," pria itu bicara dengan nada profesional, "ciuman pertama yang kaupelajari adalah ciuman sekadarnya yang dilakukan suami sembrono atau tak pedulian. Biasanya tidak betul-betul kena. Seperti ini." Dia mendemonstrasikan dengan mencium udara di dekat pelipis Lauri. "Atau seperti ini," katanya, dengan ringan menyapu pipinya sebelum cepat-cepat memalingkan kepala. "Ciuman itu bisa dilakukan dengan sedikit lebih berperasaan untuk menyambut bibi yang masih gadis waktu ada reuni keluarga atau menyambut teman akrab keluarga."
"Kau tidak main-main"" Lauri bertanya datar.
"Tidak. Kami diuji melakukan ciuman itu."
"Ujian mencium"" "Aku dapat nilai sempurna." Giginya mengilat dari balik kumis.
"Aku yakin begitu."
"Bisa kita lanjutkan pelajarannya"" Drake bertanya kesal. Lauri mengangguk.
"Ada ciuman yang terburu-buru dan brutal. Biasanya timbul karena emosi kuat seperti ketakutan atau kemarahan atau keputusasaan. Ciumannya seperti ini." Jari-jarinya menghunjam lengan atas Lauri, dan wanita itu tenggelam dalam pelukannya
ketika dia menciumnya dengan kasar.
Lauri terpana ketika pria itu mendorongnya menjauh. "Mengerti maksudku" Mulut selalu tertutup dalam ciuman itu," kata Drake mantap.
"Untung saja," gumam Lauri sambil dengan hati-hati menyentuh bibirnya yang barusan dilumat pria itu.
"Ciuman yang paling penting, tentu saja, adalah ciuman sepasang kekasih," dengan tenang Drake melanjutkan. "Butuh latihan berjam-jam supaya sempurna. Ciuman itu harus meyakinkan. Semua penonton harus bisa merasakannya.
"Si aktor biasanya memeluk si gadis seperti ini." Dipeluknya Lauri dengan hangat. "Lalu bibirnya berhenti di atas bibir gadis itu sampai penonton menahan napas menunggu bibir mereka bersentuhan. Lalu si aktor-" Dia tidak menyelesaikan kalimatnya karena bibirnya telah mencium bibir Lauri. Seman
gat Lauri bangkit untuk mengikuti permainan ini, Lauri mengangkat tangan dan memeluk leher pria itu. Drake menciumnya tapi tidak meningkatkan intensitasnya.
Pria itu mengangkat kepala dan menatapnya dengan mata hijaunya, yang lurus-lurus menghunjam mata Lauri. Suaranya parau. "Kemudian ada ciuman yang tanpa ragu mengatakan, 'Mari kita akhiri omong kosong ini dan langsung ke pokok masalah.' Ciumannya seperti ini."
Dia bersandar di tubuh Lauri sampai wanita itu telentang di selimut karena ditindih tubuhnya yang tegap. Lidahnya menjilat sudut mulutnya dan membelai bibir bawah sebelum menjelajahi rongga mulutnya. Lauri membalas ciumannya dengan sama panasnya, menggoda, dan menyelidik sampai mereka memisahkan diri dan terengah-engah karena kehabisan napas.
Kau bukan cuma murid Dasar-dasar Mencium yang pandai, tapi juga guru yang hebat," kata Lauri dengan suara bergetar.
"Hanya kalau mengajari murid-murid paling berbakat," pria itu nyengir.
Lauri menyusupkan jari-jarinya di antara helai-helai perak-cokelat rambut Drake. "Dan sudah berapa orang muridmu"" dia bertanya cemburu.
"Ribuan, paling tidak." Ditelusurinya bibir wanita itu dengan jari yang provokatif. "Ketika sedang belajar akting, Susan-"
Jarinya menghentikan siksaan mesranya, dan nama itu menggantung di antara mereka, tidak tampak namun sangat berpengaruh. Di mata hijau yang tadi lembut dan hangat tampak tatapan keras dan dingin. Selama detik-detik yang penuh ketegangan, mereka berbaring tak bergerak sedikit pun. Lalu Drake bergeser.
"Mungkin sebaiknya kita pulang sekarang," katanya, bergerak bangun.
Lauri tidak mampu menjawab. Tenggorokannya yang bagai tercekik tak sanggup mengeluarkan suara sepelan apa pun. Dia mengangguk setuju.
Mereka mengemasi barang-barang dalam keheningan. Hilang sudah semua kegembiraan tadi; Lauri merasa tenggelam dalam kegelapan. Susan. Selalu Susan.
Mereka menyusuri jalan setapak yang tertutup dedaunan menuju rumah. Drake berusaha memulai pembicaraan, tapi ketika merasakan suasana hati Lauri, dia menyerah.
Ketika mendekati rumah, mereka melihat ada station wagon kecil di jalan masuk. Mobil itu diparkir di samping Mercedes dan mobil sewaan suami-istri Parrish.
"Siapa, ya"" tanya Drake sementara mereka berjalan di trotoar. "Entah. Itu bukan mobil Betty." Drake membuka pintu dan menyilakannya masuk. Lauri disambut kilatan lampu blitz kamera. Terperanjat dan sesaat tak bisa melibat apa pun akibat cahaya terang itu, dia tersentak mundur dan bersandar di dada tegap Drake. Lengan pria itu secara refleks memeluk pinggangnya. "Apa-apaan ini"" serunya. Blitz kamera menyambar lagi. "Cukup dulu untuk sekarang, Nak. Biarkan mereka masuk ke rumah," tegur Andrew.
Setelah mata mereka menyesuaikan dengan bagian dalam rumah yang temaram, dan titik-titik ungu terang di hadapan mereka telah memudar jadi kuning pucat, barulah Lauri dan Drake dapat melihat pria muda yang memegang kamera itu. Dia memakai jins dan sepatu lari, dipasangkan asal-asalan dengan jaket sport, kemeja sport, dan dasi.
"Hai, Mr. Sloan. Saya Bob Scott dari The Scoop Sheet. Wow, ini hebat sekali!" Rambut keritingnya bergerak-gerak seperti spons raksasa di kepalanya ketika dia mengangguk-angguk gembira.
Lauri tidak bisa membayangkan mengapa pria muda ini berada di sini bersama orangtuanya dan Jennifer, yang duduk di pangkuan Andrew dan mengamati situasi dengan penuh minat. Tapi Lauri tahu nama penerbitan yang disebutkan Bob Scott tadi. Jtu nama majalah mingguan yang dijual berjuta-juta copy di berbagai toserba di seluruh negeri. Judul-judul berita majalah itu sensasional, berita-beritanya miring, sering merugikan subjek berita mereka. Para editornya menyukai kebocoran skandal dan rahasia, serta gosip-gosip. Apa yang dilakukannya di sini"
Ketika pria penuh semangat itu mengarahkan kamera lagi, Drake berkata galak, "Tolong singkirkan-" dia tidak jadi mengucapkan kata itu setelah melirik cepat Andrew dan Alice "-tolong singkirkan kameramu dan beritahu aku apa yang kaulakukan di rumahku."
Untuk pertama kalinya semangat Bob Scott berkurang sediki
t. Lauri tidak terkejut. Ekspresi Drake bisa membuat Attila the Hun gentar.
"Saya-uh-yah, Sir, sudah berminggu-minggu saya mencari Anda. Orang-orang ribut berspekulasi tentang sebab Anda tidak berada di lokasi syuting The Hearts Answer. Produser atau sutradara itu atau apa pun jabatannya-Murray"-yah, dia tidak mau mengatakan apa-apa. Dia sebisu patung. Saya akhirnya berhasil mengorek informasi dari juru kamera bahwa Anda pergi ke New Mexico untuk menghabiskan waktu bersama putri Anda. Saya melacak jejak Anda-bandara, mobil sewaan, hal-hal semacam itu-dan menemukan Anda di sini hari ini."
"Well, karena sudah menemukan aku, apa yang ingin kau ketahui"" Drake sudah lama mengetahui bahwa para reporter media sensasional ini bisa ulet sekali dan bahwa, jika tidak dituruti, mereka bisa berbuat keji.
"Yah, Anda harus mengakui bahwa berita tentang pernikahan Anda bakal membuat para wanita menangis sampai terkencing-kencing!" Dia nyengir, tapi Drake cuma menatapnya tanpa ekspresi. Sadar omongannya keterlaluan, pemuda itu menelan ludah dan bergumam, "Maaf," pada Alice dan Lauri.
Lauri tak habis pikir. Bagaimana ini bisa terjadi" Drake pasti akan membantah soal hubungan mereka, tapi apa yang akan dikatakannya pada orangtuanya"
Alice berdiri dan mendekati Drake, memegang lengannya untuk menyabarkannya. "Drake, kuharap kau tidak marah padaku. Dia datang ke rumah ini tidak lama setelah kalian pergi. Dia bicara begitu cepat dan mengajukan begitu banyak pertanyaan sehingga tanpa sadar aku mengungkapkan fakta bahwa kau dan Lauri telah menikah. Aku tahu kau pernah bilang ingin merahasiakannya dulu." .Suaranya mulai bergetar. "Aku minta maaf-"
"Sudah, sudah," kata Drake sambil mengitari Lauri dan memegang bahu Alice supaya wanita itu tenang. "Aku tahu bagaimana kelakuan reporter kalau mencium adanya berita eksklusif. Anda membuatku tidak perlu repot-repot memberitahu pers."
Jika sebelum saat ini dia tidak mencintainya, maka sekarang Lauri mencintainya. Drake bisa saja memarahi ibunya, karena di balik sikap tenang itu, dia tahu pria itu pasti marah besar karena perkembangan ini.
Bob Scott tampak lega melihat sikap santai Drake dan berkata, "Jika saya boleh berkomentar, Anda menikahi wanita yang cantik, Mr. Sloan." Dia mengedipkan mata pada Lauri, yang masih belum sanggup bereaksi terhadap apa yang tengah terjadi. "Kau boleh berkomentar, tapi jangan disebarluaskan," geram Drake, dan mengerutkan alis untuk memperingatkan. "Aku ingin memilikinya untuk diriku sendiri dulu." Dia menggunakan kemampuan aktingnya lagi. Reporter muda yang berani itu sekarang sudah takluk padanya. "Kurasa kau sudah bertemu orangtua istriku"" kata Drake sopan. Bob Scott mengangguk. "Dan ini putriku, Jennifer." Drake menggendong anak kecil itu dan menepuk punggungnya dengan penuh kasih sayang. "Kami semua tahu Anda punya anak, tapi Anda selalu menjauhkan kami darinya. Apakah karena dia tuli""
Lauri terkesiap dan mengira Drake akan menghajar reporter itu. Ternyata dia cuma melihat otot di rahang pria itu berdenyut ketika menjawab tenang, "Tidak. Aku ingin melindunginya dari orang-orang pers yang tidak sesensitif kau, Mr. Scott. Aku memasukkannya ke sekolah swasta berasrama bukan karena malu."
Reporter itu menjilat bibir dengan gugup dan berkata, "Wah, Mr. Sloan. Saya tidak-maksud saya-"
"Bilang halo pada Bob," kata Drake, memotong perkataan terbata-bata si reporter sambil mengisyaratkan perintahnya pada Jennifer.
Jennifer menurut, melontarkan senyum manis yang memikat semua orang yang melihatnya. Bob Scott bertanya, "Bagaimana cara saya bilang hai juga""
Drake menunjukkannya, dan Jennifer tertawa waktu pria itu dengan kaku mengisyaratkannya. Duduklah di samping Kakek, Drake mengatakannya dalam bahasa isyarat setelah menurunkan Jennifer di sebelahnya dan menepuk bokongnya ketika anak itu mematuhi perintahnya. Waktu berdiri tegak lagi, dia berkata, "Dan ini Lauri. Dia guru Jennifer." Dia pindah ke samping Lauri dan memeluk pinggangnya dengan posesif, menarik wanita itu ke dekatnya.
"Wow. Bisa Anda beritahu saya bagaimana kalian ber
temu"" Drake membumbui ceritanya habis-habisan, tapi begitu lancar dan penuh perasaan ketika mengisahkannya sehingga Lauri sendiri jadi hampir mempercayai kebohongannya. Setelah Drake selesai bicara, reporter itu bertanya, "Boleh saya memotret lagi""
"Sebentar saja, lalu aku harus memintamu pergi. Orangtua Lauri akan pergi ke Santa Fe sore ini, dan kami ingin bersama mereka selama mungkin."
"Yeah, tentu. Terserah apa kata Anda, Mr. Sloan." Karena sekarang sudah punya berita besar, Bob Scott mendadak jadi penurut.
Selama beberapa menit berikutnya Lauri merasa tersiksa ketika difoto bersama Drake, lalu bersama Jennifer. Dia merasa konyol karena bersandiwara seperti ini dan risau memikirkan cara mengoreksi akibat yang ditimbulkan berita ini.
Tepat ketika si reporter tengah mengemasi peralatannya, Betty Groves berlari memasuki ruangan dari dapur. "Ada apa, Lauri"" tanyanya heboh seperti biasa. "Aku melihat banyak mobil di jalan masuk. Kami baru pulang dari Albuquerque." Tadinya Lauri bersyukur Betty pergi mengunjungi keluarganya selama beberapa hari. Dia jadi tidak perlu memperkenalkan wanita itu pada orangtuanya, yang, dalam situasi seperti sekarang, bisa menimbulkan kekacauan.
Saat ini, ketika Betty memandangnya dengan mata bulat berbinar-binar sambil nyengir gembira campur penasaran, rasanya Lauri seperti berada dalam mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Apa lagi yang bisa terjadi" Seolah menjawab pertanyaannya, Sam dan Sally berlari memasuki ruangan bagai tornado mini dan menyerbu Jennifer, yang sama riangnya dalam menyambut teman-temannya.
"Siapa orang-orang ini"" tanya Betty di antara jeritan anak-anak.
Drake mengangkat tangan pasrah dan tertawa keras. Andrew dan Alice berdiri dan mendatangi Betty untuk memperkenalkan diri. Suasana tambah kacau ketika cahaya blitz menyambar-nyambar karena Bob Scott sibuk memotret mereka.
"Orangtua Lauri"" Lauri mendengar Betty berseru. "Wah, senang berkenalan-"
"...pernikahan mereka..." Dia mendengar suara ibunya.
"...sudah menikah..." Itu ucapan Andrew. "Ya Tuhan, betul-betul kacau." Ini omongan Drake, diucapkan pelan.
Lalu Lauri tenggelam dalam pelukan Betty. "Kalian sudah menikah! Oh, Lauri! Drake! Oh, aku bahagia sekali! Sejak dulu aku sudah bilang- tanya Jim kalau kalian tidak percaya-bahwa kalian berdua berjodoh. Aku tahu kalian saling mencintai! Dan Jennifer kecil! Bagaimana pendapatnya" Oh, aku jadi ingin menangis!" Dan setelah mengatakan itu, tangis Betty pecah dan dia menangis tersedu-sedu sampai lama sesudah Drake mengantar Bob Scott ke mobilnya.
Reporter yang gembira itu menjanjikan foto di halaman depan dan berita di halaman tengah yang komplet dengan foto-foto berwarna "pasangan yang berbahagia" itu. Drake menanggapi dengan kalimat-kalimat singkat sambil dengan ramah, tapi tegas, menyilakan Mr. Scott masuk mobil.
Betty menawarkan untuk membawa Jennifer ke rumahnya sebentar supaya Lauri, Drake, dan suami-istri Parrish bisa menenangkan diri setelah keriuhan tadi. Orangtua Lauri pergi ke kamar mereka untuk mulai berkemas-kemas. Mereka harus berangkat satu jam lagi supaya bisa menghadiri pertemuan pertama konferensi pendeta yang dijadwalkan untuk malam itu.
Lauri kembali ke atas dan membuka pakaian. Dia masuk ke bilik pancuran dan berdiri di bawah siraman air panas, berharap air bisa mengurangi ketegangan ototnya.
Ketika akhirnya mematikan keran dan membuka pintu kaca bening untuk mengambil handuk, dia tersentak kaget waktu melihat Drake berdiri di ambang pintu, memandanginya.
Disambarnya handuk dan dipeluknya erat-erat. "Jangan repot-repot. Aku sudah melihat semuanya," pria itu berkata serak dan berjalan mendatanginya.
"Baik. Tidak akan kulakukan," balas Lauri ketus sambil mulai mengeringkan tubuh. Kemarahan yang tampak di sikap bahu dan dagunya menghentikan langkah Drake. Lauri menghanduki tubuhnya sampai kering, sampai tuntas, tidak memedulikan Drake, dan itu lebih membuat pria itu merasa tidak keruan daripada kalau dia lari bersembunyi.
"Aku pernah memperingatkanmu soal berjalan ke sana kemari di dalam rumah dalam
keadaan seperti itu," kata Drake.
"Aku tadi kan mandi. Aku tidak mengira ada penonton."
Setelah selesai mengeringkan tubuh, Lauri mengambil celana dalam dari laci dan mengenakannya, melewatkannya di pahanya yang mulus dan langsing. Drake bersandar di meja rias, tidak sedetik pun mengalihkan pandangan darinya.
Lauri merogoh laci dan mengeluarkan bra berenda. Sebelum dia sempat memakainya, Drake menyentak-kannya dari tangannya dan melemparkannya ke lantai. Reaksi Lauri cuma mengangkat bahu tidak peduli dan sebagai gantinya mengambil dan mengenakan sweter. Tetap mengabaikan pria itu, dia mengenakan celana panjang yang tadi dibawanya ke kamar mandi.
Begitu dia selesai mengancingkan ritsletingnya, Drake menyerbu dan memeluknya kuat-kuat. Bibir pria itu melumat bibirnya. Tangannya bergerak tanpa henti di punggungnya. Lauri berusaha setengah mati untuk tidak menanggapi dan membuat tubuhnya kaku. Akhirnya pria itu mengangkat kepala dan berkata, "Kau marah."
Lauri menjauh. "Boleh dibilang begitu." Mengambil sikat rambut, dia mulai menyisir rambutnya.
"Semua berkembang tak terkendali, ya"" tanya Drake setelah lama terdiam.
"Ya, memang." Lauri meletakkan sikat rambut di meja rias dan menghadap pria itu. "Kau punya gambaran tentang kekacauan yang kautimbulkan dalam hidupku" Hidup orangtuaku" Apa kau cuma peduli pada dirimu sendiri"" Dia menarik napas panjang dan bergetar. "Aku minta maaf atas kecerobohan ibuku, meskipun sebetulnya itu kesalahan tak disengaja. Semua ini takkan terjadi kalau kau tidak mengucapkan kebohongan besar itu." Dagunya naik dengan gaya membangkang.
"Memangnya aku menyalahkan orang lain"" tanya Drake tenang. "Apakah saat ini aku seharusnya mengatakan 'Siapa yang menabur angin, akan menuai badai'""
"Kau selalu tahu cara menjawab, ya"" Lauri melewatinya ketika berjalan marah keluar kamar mandi, tapi tangan Drake mencengkeram lengannya dan menariknya.
"Lauri, si darah panas. Selalu defensif, selalu siap berkelahi. Bagaimana kalau sekali-sekali kau menyerah"" Bibirnya menyapu pelipis wanita itu. "Pernahkah terlintas di benakmu bahwa aku suka kalau orang-orang mengira kau istriku" Itu jelas akan melindungiku dari biang gosip. Dan kita bisa-"
Lauri begitu ngotot memberontak darinya sehingga pria itu tercengang. "Kita bisa apa"" teriaknya. "Kita bisa terus hidup dalam dunia pura-pura yang kau bangun ini"" Dia tertawa pahit. "Arogansi, kecongkakan, dan ketidakpekaanmu selalu membuatku takjub, Drake. Kaupikir aku mau berpura-pura jadi istrimu meskipun cuma sedetik""'
Drake memunggunginya dan menjejalkan tangan ke saku dengan gerakan yang sudah dikenal Lauri. Pria itu berbuat begitu untuk menutup diri.
"Aku pernah punya istri," gumamnya. "Aku pernah bercerita padamu-"
"Oh, ya," ejek Lauri. "Kau sudah bercerita banyak tentang istrimu. Kau mencintainya. Dan sekarang kau tidak menginginkan keterlibatan emosio-nal."
Dihampirinya Drake dari belakang dan dipaksanya pria itu berbalik supaya mau tidak mau menghadapinya. "Yah, sekarang giliranku memberitahu-mu. Aku tidak mau jadi istrimu, pura-pura atau tidak. Menurutku lamaranmu tidak menarik, Mr. Sloan. Dan aku tidak mengerti kenapa kau ngotot berusaha tidur denganku. Tidakkah menurutmu tempat tidurmu akan sesak karena ada kau, aku, dan hantu istrimu di sana""
Kulit pipi Drake begitu tegang dan kerut-kerut di sekeliling mulutnya menegang begitu jelas sehingga Lauri takut pria itu menyerangnya. Drake mencengkeram bahu Lauri dan menyentakkannya ke dekatnya. Lauri dapat merasakan kemarahan yang mendidih di dalam tubuh pria itu.
"Lauri, Drake, kalau boleh aku ingin bicara sebentar dengan kalian berdua." Suara Andrew mengikuti ketukan ragu-ragu di pintu kamar.
Baru beberapa detik kemudian suara itu bisa menembus kemarahan Drake, tapi pelan-pelan Lauri merasa cengkeraman di lengannya mengendur sampai pria itu menarik tangannya.
"Daddy," kata Lauri dengan suara bergetar, "ada apa""
"Aku tidak ingin mengganggu kalian, tapi masalah ini penting. Setidaknya begitu bagi Ibu dan aku."
Lauri menoleh pada Drake dengan pandangan wa
swas sambil masuk ke kamar dan berkata, "Masuklah."
Andrew bergegas masuk dan minta maaf lagi karena mengganggu mereka. "Kami harus segera berangkat, dan aku ingin tahu apakah kalian bersedia mengabulkan permintaan orang tua ini."
Dari sudut matanya, Lauri melihat Drake berjalan untuk berdiri di dekatnya. Lauri bersidekap seakan ingin melindungi diri. "Ada apa, Daddy"" Lauri bertanya dengan suara tenang.
"Aku selalu merasa kau dan Paul bisa punya kesempatan yang lebih baik jika kalian kunikahkan di gereja kita. Aku tahu ini kuno," katanya buru-buru waktu Lauri akan memprotes. "Kumohon, Lauri, Drake, izinkan aku melaksanakan upacara pernikahan singkat untuk kalian sebelum aku pergi."
Bab Sebelas Lauri menatap ayahnya, mencerna makna kata-katanya. Drake berdiri di dekatnya. Lauri nyaris dapat merasakan tatapan matanya di puncak kepalanya. Ayahnya menunggu tanggapannya. Dia tertawa gugup dan berkata, "Daddy, itu tidak perlu."
"Aku tahu, Lauri, tapi tolong penuhi permintaanku. Ibumu dan aku tidak senang kau menikahi orang yang tidak pernah kami jumpai dalam upacara di catatan sipil yang dingin. Ketika pernikahanmu ternyata begitu tidak membahagiakanmu- dan jangan coba-coba bilang sebaliknya, aku tahu yang sebenarnya-kami merasa bertanggung jawab sebab tidak lebih mendekatkan diri dengan kau dan suamimu. Kali ini, aku ingin jadi bagian dari pernikahanmu, keluargamu."
Tatapan matanya melunak, dan dia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan anaknya yang terasa dingin. "Sejak dulu aku amat sangat berharap dapat menikahkan kau dan Ellen. Aku memimpin upacara pernikahan Ellen, ingat"" Tenggorokan Lauri serasa tercekik ketika dia mengangguk.
"Kumohon izinkan aku memimpin upacara per nikahanmu dengan Drake."
Lauri mencoba bicara, tapi dadanya terlalu sesak; air mata memburamkan pandangannya. Betapa bencinya dia menipu pria baik hati dan penyayang yang telah memberinya kehidupan dan selalu menginginkannya bahagia. Dia membuka mulut untuk memberitahukan yang sebenarnya, namun bibirnya terasa kaku dan tidak bisa digerakkan.
Dia merasakan dukungan kuat lengan Drake ketika pria itu merangkul bahunya. "Kami akan merasa tersanjung, Sir. Aku bicara atas nama kami berdua."
"Bagus. Bagus," kata Andrew, menggenggam kedua tangan Drake dengan penuh perasaan. Mata kelabunya bersinar gembira. "Biar kuberitahu Ibu. Dia pasti akan senang sekali. Kami akan menunggu kalian di bawah." Dia cepat-cepat keluar dari kamar dan menutup pintu.
Tidak jelas siapa yang memulai, tapi Lauri tiba-tiba sudah berada dalam pelukan Drake, wajahnya tersembunyi di lekuk bahu pria itu. Semua perasaan frustrasi, marah, dan bersalah tertumpah dalam tangisan deras sampai bagian depan kemeja pria itu basah karenanya.
Drake tidak berkata apa-apa, melainkan terus memberinya dukungan dan hiburan. Mengusap-usap rambut cokelat kemerahan dan menepuk-nepuk punggungnya, dia menunggu sampai air mata Lauri kering dan wanita itu bersandar padanya, kelelahan dan putus asa.
kata-katanya tidak jelas ketika dia bicara, dan Drake menunduk supaya bisa mendengarnya. "Aku orang paling munafik sedunia. Aku mencercamu karena kebohonganmu, tapi ternyata aku malah mempertahankannya dengan segala yang kulakukan." Lauri terisak keras. "Aku tidak sanggup melukai hatinya."
"Terserah kau mau percaya omonganku ini atau tidak, dan aku ragu kau mau, tapi aku juga tidak ingin melihat mereka kecewa gara-gara aku. Waktu kulihat kau berusaha memberanikan diri untuk mengatakan yang sebenarnya padanya, aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Aku harus ikut campur."
Dengan lembut didorongnya Lauri, dan dihapusnya air mata yang membasahi pipinya. "Mari kita jalani upacara pernikahan ini dengan tenang. Kita tahu pernikahan ini tidak berarti apa-apa. Pernikahan ini tidak sah. Nanti kita cari jalan untuk memberi tahu mereka." Dia melihat kilatan marah di mata wanita itu dan menebak sebabnya. "Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku juga akan ikut bertanggung jawab. Sekarang, cucilah mukamu. Mereka sudah menunggu kita." Dia mencium sekilas kening Lauri sebelum wanita
itu pergi untuk membersihkan muka.
"Dengan ini kunyatakan kalian sebagai suami-istri. Apa yang telah disatukan Tuhan, tidak boleh dipisahkan manusia." Andrew mengucapkan kata-kata yang, jika saja pernikahan ini sah, akan menyatukan hidupnya dengan Drake. "Kau boleh mencium mempelaimu, Nak."
Drake memegang bahu Lauri dan memutarnya ke arahnya. Matanya menjelajahi wajah wanita itu, berusaha membacanya sebelum menunduk dan mencium mesra bibirnya. Ciumannya sebentar, tapi penuh perasaan, dan Lauri merasakan efeknya di sekujur tubuhnya.
Mereka dikelilingi Andrew dan Alice, juga Betty dan ketiga anak-anak, yang diminta Alice supaya hadir juga. Dia menelepon Betty dan mengundang-nya datang ke upacara ini. Betty menangis selama upacara singkat ini, namun anak-anak berdiri tenang, mendengarkan dengan terpesona dan mengamati tangan Andrew ketika pria" itu dengan hikmat mengisyaratkan kata-katanya untuk Jennifer. Lauri dan Drake pun menggunakan bahasa isyarat untuk janji perkawinan mereka.
Di lain waktu, Lauri pasti menganggap ini upacara pernikahan paling indah. Meskipun tempat dan pakaiannya bukan seperti dalam upacara konvensional, dia tahu bahwa ketika mengucapkan janji perkawinan pada Drake, dia bersungguh-sungguh. Kesadaran itu sangat menyentuh. Pada pria itu dia menjanjikan cintanya dan kesetiaan lahir maupun batin, dan itu bukan karena para saksi mengharapkan dia mengucapkan kata-kata yang tepat. Dia mengucapkannya karena ingin mengatakannya pada Drake dan memberitahu pria itu bahwa dia serius. Bibirnya mengejawantahkan apa yang sudah diketahui hatinya. Kerinduan mendalam, tak tertahankan, dan menyenangkan yang dirasakannya terhadap Drake ini pasti cinta. Cinta. Ya, dia mencintai Drake. Dia mengetahui kelemahan-kelemahan pria itu, dan mengenal temperamennya, tapi semua itu tidak mengubah perasaannya. Drake bisa membuatnya sangat marah, tapi dia tetap mencintainya.
Semua ini sia-sia, Lauri memperingatkan dirinya. Karena Drake pernah mencintai seseorang, cintanya dalam dan abadi, dan tak ada tempat di hatinya bagi wanita lain selain mendiang Susan. Dia jujur pada Lauri; Lauri tidak bisa berbuat lain. Dia mengakui cintanya; jika bukan pada pria itu, maka pada dirinya sendiri.
Drake mencium Betty, dan wanita itu pura-pura akan pingsan. Lalu Drake tertawa dan memeluk Alice, bersalaman dengan Andrew yang menepuk-nepuk punggungnya. Dia berlutut dan menggendong Jennifer, menggelitik pipi gadis kecil itu dengan kumisnya, perbuatan yang selalu membuat si anak mengikik.
Orang-orang pasti percaya ini acara gembira bagi semua orang sampai mereka melihat wajah mempelai wanita. Wajahnya pucat, dan berkali-kali sekujur tubuhnya bergetar, seolah berusaha keras menahan emosi.
Tak berapa lama kemudian suami-istri Parrish berangkat. Tas-tas mereka sudah dimasukkan ke bagasi mobil sewaan, dan mereka berdiri di teras depan untuk mengucapkan salam perpisahan. Mata Alice berkaca-kaca waktu dia mencium Jennifer, yang membalas ciumannya tanpa malu-malu. Lauri memeluk orangtuanya satu per satu, begitu erat seolah mereka pelampung yang dapat menyelamatkannya. Setelah masuk mobil dan meluncur di jalan masuk yang curam, mereka melambai dan berseru-seru mengucapkan salam perpisahan dan janji untuk menelepon dan mengirim surat. Selama itu Drake berdiri di samping Lauri, berperan sebagai suami penuh cinta. Di tangan yang satu dia menggendong Jennifer. Tangan yang lain memeluk pinggang Lauri.
"Wah, hari yang luar biasa, Jennifer," kata Drake sambil menghela napas, menjatuhkan diri ke sofa dan memangku anaknya. "Lauri, jangan masak apa-apa untuk makan malam. Kita makan seadanya saja malam ini. Aku tahu kau pasti lelah juga."
"Baiklah, Drake. Biar kusiapkan dulu beberapa makanan." Lauri masuk ke dapur cepat-cepat. Kenapa dia mendadak gelisah berada semangan dengan pria itu"
Setelah mereka menikmati makanan seadanya, Jennifer dimandikan dan dibaringkan di tempat tidur. Anak itu kecapekan karena berbagai peristiwa hari ini. Ia sudah mulai menampakkan kelelahannya saat makan tadi, ketika dia jadi gampang marah.
Lauri lega ket ika anak yang sedang rewel itu akhirnya tidur. Dia kembali ke dapur untuk mencuci piring, tapi melihat Drake telah mendahuluinya. Pekerjaan itu sudah hampir selesai.
"Mestinya kau tidak usah repot-repot begitu, Drake. Aku pasti akan membereskan semua ini."
Pria itu tersenyum sambil menoleh. "Kau kan harus mengurus Jennifer. Aku memilih pekerjaan yang gampang."
"Dia kecapekan. Tidak biasanya dia bandel begitu, terutama kalau ada kau. Kuharap dia tidak sakit."
Drake tertawa ketika mendatanginya dan memeluknya. "Omonganmu persis omongan seorang ibu," bisiknya serak di rambut Lauri.
"O, ya"" dia bertanya tak acuh, lalu menjauh dari pria itu dan pergi ke wastafel. Ia pura-pura sibuk ketika mengisi gelas dengan air dan meminumnya.
Drake tak gentar dengan sikap dingin wanita itu dan mendekatinya dari belakang, menopangkan tubuhnya di permukaan konter dengan meletakkan kedua tangannya di kiri dan kanan Lauri. Dengan hidungnya dia disibakkannya rambut di leher wanita itu dan mulai menggodanya dengan gigitan-gigitan mesra. "Drake-"
"Ini lembut sekali," gumam. Drake. Perasaan nikmat menyambar sekujur tubuh Lauri ketika dia merasakan ujung lidah pria itu membelai bagian belakang telinganya.
"Kumohon, Drake-" Dia berusaha berbalik, dan pria itu mengizinkannya cuma supaya mereka berhadap-hadapan. Sekarang bokong Lauri menekan konter, dan Drake memenjarakannya dengan tubuh tegapnya.
Pria itu meraih tangan Lauri dan meletakkannya di dadanya, menekan telapak tangannya sampai Lauri bisa merasakan debar jantungnya, kehangatan yang memancar dari kulitnya, dan tekstur kasar bulu dadanya di balik kemeja.
"Lauri, tahukah kau bahwa dalam masyarakat tertentu suatu pernikahan tidak dianggap sah kalau pasangan itu tidak menikah di gereja dan diberkati Tuhan" Kalau begitu kita sudah menikah. Upacara formal sering tidak ada artinya."
Tangannya menyisir rambut Lauri. Drake menghentikan jari-jarinya di kulit kepala wanita itu dan memijat pelipisnya dengan ibu jari dengan ritme yang membuatnya terbuai.
Mulai dari kening, dia mencium Lauri lembut sebelum bergerak di atas kelopak matanya yang terpejam menuju pipi. Setiap ciuman perlahan dan penuh perasaan, seakan dia ingin melekatkan bibirnya di kulit wanita itu.
Dia menempelkan bibirnya di bibir Lauri, menggodanya, memikatnya, sebelum betul-betul menciumnya. Drake menggesekkan tubuhnya ke tubuh wanita itu. Secara fisik jelas ciumannya cuma melambangkan sebagian kecil gairah yang menggelegak dalam dirinya, untuk memiliki Lauri secara total.
Kaki Lauri tak berdaya karena perangkap tubuh Drake; otot-ototnya seakan lumer. Namun lengannya terasa bertenaga ketika dia menyusuri dada pria itu dan memeluk lehernya. Dia bergerak makin dekat, merasakan tubuh keras pria itu kontras dengan kontur lembut tubuhnya sendiri. Sekali lagi dia jadi menyadari betapa serasinya tubuh mereka, tubuh jantan Drake berpadu dengan tubuh femininnya.
"Lauri," kata Drake parau, "kau membuatku berada di antara surga dan neraka. Tapi aku berani bersumpah bahwa neraka ini lebih nikmat dari apa pun yang pernah kuketahui." Diciumnya leher Lauri, tapi wanita itu tidak melawan, menyerah pada bibir, gigi, dan lidah Drake, yang seakan lebih mengetahui tubuhnya daripada Lauri sendiri. Dia tidak mencari titik-titik yang sensitif, melainkan tahu secara instingstif dan langsung menyerangnya dengan gairah yang tak ada habis-habisnya.
Lauri bisa menjadi istrinya dalam setiap arti kata itu. Dia ingin menjadi istrinya, dan dalam hati dia sudah menjadi istrinya. Secara moral perasaannya tanpa beban. Di hadapan Tuhan dan pendeta yang berhak menikahkan, dia telah menjanjikan hidup dan cintanya pada pria ini. Tidak ada yang dapat menggoyahkan keyakinannya bahwa janji-janji yang diberikannya pada pria ini sahih dan mengikat.
Namun Drake tidak memberikan janji-janji seperti itu.
Dia mengucapkan kata-kata puitis itu, mengulangi kalimat-kalimat familier itu, tapi semua itu tidak berasal dari hatinya. Untuk melindungi Lauri dan karena menghormati orangtuanya, Drake memainkan perannya dan melakukannya dengan
meyakinkan. Tapi Lauri tahu motivasinya, yang jelas bukan cinta. Cintanya telah hilang, terkubur, dan Lauri tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengubahnya.
Drake membutuhkannya sekarang. Dia dapat merasakan keputusasaan dalam cara pria itu memeluknya. Ciumannya yang panas mengindikasikan gairahnya. Jika dia mau bercinta dengannya sekarang, berapa lama gairah itu akan sanggup bertahan" Berapa lama sebelum Drake menarik diri ke dalam dunianya sendiri seperti Paul dulu" Ketika dia membutuhkan cinta Drake untuk mengobati lukanya, apakah pria itu akan memberikannya" Dia tidak mau mengambil risiko. Lebih baik dia hidup tanpa cintanya sama sekali daripada cuma memperoleh jiplakannya.
Drake butuh waktu beberapa detik untuk menyadari bahwa gerakan-gerakan Lauri bukan karena gairah. Wanita itu memberontak. Dia begitu kaget sehingga segera membebaskannya. Lauri mendorongnya dan berlari keluar ruangan. Ketika wanita itu sudah menaiki setengah tangga, dia memanggilnya.
Suaranya lembut, tapi justru jadi lebih berpengaruh. "Lauri."
Lauri langsung berhenti. Dia tidak berbalik. Jika dia melihat pria itu, tekadnya pasti akan buyar. Sekarang pun, kalau saja Drake mengatakan bahwa dia mencintainya, dia akan terbang ke pelukan pria itu -dan menemukan akhir dari siksaan yang mencengkeramnya ini. Katakan kau mencintaiku! jeritnya dalam hati.
Pendekar Lembah Naga 25 Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes Pedang Dan Kitab Suci 6

Cari Blog Ini