If I Stay Karya Gayle Forman Bagian 2
Dokter-dokter terus berdatangan dan membuka kelopak mataku serta menggerak-gerakkan senter. Mereka kasar dan tergesa-gesa, seakan tidak menganggap kelopak mata pasien layak diperlakukan dengan lembut. Membuatmu menyadari betapa kecil kesempatan kita saling menyentuh mata dalam kehidupan. Mungkin orangtua kita memegangi kelopak mata kita untuk mengeluarkan
debu, atau mungkin pacarmu mencium kelopak matamu, seringan kupu-kupu, persis sebelum kau tertidur lelap. Tapi kelopak mata tidak seperti siku atau lutut atau bahu, bagian tubuh yang biasa disentuh.
Si pekerja sosial sekarang berada di sebelah tempat tidurku. Dia mempelajari berkasku dan bicara pada salah satu perawat yang biasanya duduk di meja besar di tengah ruangan. Luar biasa sekali melihat bagaimana mereka mengawasimu di sini. Jika tidak mengarahkan senter pena ke matamu atau membaca printout yang dimuntahkan mesin cetak di sebelah tempat tidur, mereka mengawasi tanda-tanda vitalmu melalui layar komputer sentral. Kalau ada sedikit saja yang tampak salah, salah satu monitor akan mengeluarkan suara bip panjang. Selalu ada alarm yang berbunyi di mana-mana. Mulanya itu membuatku takut, tapi sekarang aku tahu bahwa setengah kejadian menandakan kerusakan mesin, bukan manusianya.
Si pekerja sosial tampak letih, seolah sudah ingin meringkuk di salah satu tempat tidur yang kosong. Aku bukan satu-satunya pasien yang ditanganinya. Dia berkeliaran dari satu pasien ke pasien lain dan dari satu keluarga ke keluarga lain sepanjang siang. Dialah jembatan antara dokter dengan masyarakat, dan kau bisa melihat beban yang ditanggungnya untuk menyeimbangkan dua dunia itu.
Setelah membaca berkasku dan bicara pada para perawat, dia kembali ke keluargaku, yang sudah berhenti bicara dengan nada rendah dan sekarang melakukan kegiatan sendiri-sendiri. Gran merajut, Gramps pura-pura tidur. Bibi Diane bermain sudoku. Sepupu-sepupuku bergantian main Game Boy, suaranya dimatikan.
Kim sudah pergi. Ketika kembali ke ruang tunggu sehabis dari kapel, dia mendapati Mrs. Schein dalam keadaan histeris tingkat tinggi. Kim tampak malu sekali dan mendorong ibunya keluar. Sebenarnya, kurasa keberadaan Mrs. Schein di sini mungkin membantu. Menenangkannya membuat semua orang merasa punya pekerjaan, cara untuk merasa berguna. Sekarang mereka kembali merasa tak berdaya, kembali ke situasi menunggu tanpa akhir.
Ketika si petugas sosial melangkah memasuki ruangan, semua orang berdiri, seperti menyambut ratu. Wanita itu tersenyum tipis, yang kulihat dilakukannya beberapa kali hari ini. Kurasa itu sinyalnya untuk mengatakan segalanya baik-baik saja, atau tidak ada perubahan, dan dia ke sini hanya akan menyampaikan perkembangan, bukan menjatuhkan bom.
"Mia masih tidak sadarkan diri, tapi tanda-tanda vitalnya membaik," dia memberitahu kerabatku yang berkumpul, yang segera meninggalkan aktivitas mereka dengan sembarangan di kursi-kursi. "Dia bersama para terapis pernapasan sekarang. Mereka melakukan beberapa tes untuk melihat bagaimana fungsi paru-parunya dan apakah ventilatornya bisa dicabut."
"Kalau begitu, ini kabar baik, kan"" tanya Bibi Diane. "Maksudku, jika dia bisa bernapas sendiri, sebentar lagi dia akan sadar""
Si pekerja sosial memberikan anggukan simpatik yang sudah terlatih. "Jika dia bisa bernapas sendiri, berarti itu kemajuan. Tandanya paru-parunya menyembuh dan luka-luka dalamnya stabil. Yang masih jadi pertanyaan adalah memar di otaknya."
"Kenapa"" tanya Heather, sepupuku.
"Kami tidak tahu kapan dia akan sadar sendiri, atau seberapa jauh kerusakan otaknya. Dua puluh empat jam pertama saat yang paling kritis dan Mia mendapatkan perawatan yang paling baik."
"Bisakah kami menjenguknya"" tanya Gramps.
Si petugas sosial mengangguk. "Itulah alasan aku ke sini. Kurasa akan baik bagi Mia jika ada yang menjenguk sebentar. Hanya satu atau dua orang."
"Kami," kata Gran, melangkah maju. Gramps di sisinya.
"Ya, begitulah menurutku," ujar si petugas sosial. "Kami tidak akan lama," dia berkata pada anggota keluarga yang lain.
Ketiganya melangkah tanpa bicara, menelusuri lorong. Di elevator, si petugas sosial berusaha mempersiapkan kakek-nenekku untuk menghadapiku, menjabarkan luka-luka luarku, yang kelihatan parah tapi masih bisa ditangani. Luka-luka dalamlah yang perlu dicemaskan, katanya.
Dia bersikap seolah kakek-nenekku anak kecil. Tapi mereka lebih tangguh daripada kelihatannya. Gramps pernah jadi paramedis saat
perang Korea. Dan Gran, dia selalu menyelamatkan makhluk hidup: burung dengan sayap patah, berang-berang yang sakit, rusa yang tertabrak mobil. Rusa itu akhirnya dirawat di penangkaran hewan liar, yang cukup aneh karena biasanya Gran tidak menyukai rusa; rusa merusak kebunnya. "Tikus cantik," komentar Gran tentang rusa. "Tikus lezat," adalah versi Gramps ketika dia memanggang steak menjangan. Tapi rusa yang satu itu, Gran tidak tahan melihatnya menderita, maka dia menyelamatkannya. Sebagian diriku curiga Gran mengira rusa itu salah satu malaikatnya.
Tapi tetap saja, ketika memasuki pintu dobel otomatis ke ruang ICU, keduanya berhenti mendadak, seakan dihalangi sesuatu yang tidak kasatmata. Gran menggenggam tangan Gramps, dan aku berusaha mengingat kapan mereka pernah berpegangan tangan sebelumnya. Gran mencari-cariku di antara beberapa tempat tidur, tapi persis ketika si petugas sosial mulai menunjukkan di mana aku berada, Gramps melihatku dan menyeberangi ruangan menuju tempat tidurku.
"Halo, Itik," sapanya. Sudah lama sekali dia tidak memanggilku seperti itu, sejak aku masih lebih kecil daripada Teddy. Gran melangkah pelan-pelan ke tempatku berada, menarik napas pendek-pendek sambil bergerak maju. Mungkin hewan-hewan yang terluka itu tidak cukup mempersiapkan dirinya.
Petugas sosial mengambilkan dua kursi, meletakkannya di kaki tempat tidur. "Mia, kakek-nenekmu ada di sini." Dia mengisyaratkan agar mereka duduk. "Aku akan meninggalkan kalian sekarang."
"Bisakah dia mendengar kami"" tanya Gran. "Jika kami bicara padanya, dia akan mengerti""
"Sejujurnya, aku tidak tahu," jawab si petugas sosial. "Tapi kehadiran kalian bisa menenangkan selama kalian mengucapkan hal-hal yang menenangkan." Kemudian dia menatap mereka dengan galak, seakan ingin memperingatkan agar mereka tidak mengucapkan hal-hal buruk sehingga membuatku gundah. Aku tahu pekerjaannya mengharuskannya memperingatkan mereka tentang hal-hal seperti ini, dan dia sangat sibuk menangani ribuan hal serta tidak bisa selalu bersikap sensitif, tapi selama sedetik, aku membencinya.
Setelah si petugas sosial pergi, Gran dan Gramps duduk tanpa bicara selama semenit. Kemudian Gran mulai mengoceh tentang anggrek yang ditanamnya di rumah kaca. Aku menyadari Gran sudah mengganti celemek berkebunnya dengan celana korduroi dan sweter. Pasti ada yang mampir ke rumahnya untuk membawakan pakaian bersih. Gramps duduk diam sekali, dan kedua tangannya gemetar. Dia bukan orang yang banyak bicara, maka pasti sulit baginya disuruh mengobrol denganku sekarang.
Perawat datang lagi. Rambutnya gelap dan matanya yang juga gelap dipulas riasan tebal yang gemerlapan. Kukunya dilapis akrilik dan dibubuhi gambar hati. Dia pasti bekerja keras untuk menjaga tangannya tetap cantik. Aku mengagumi itu.
Dia bukan perawatku, tapi tetap menghampiri Gran dan Gramps. "Jangan ragu sedetik pun bahwa dia bisa mendengar Anda berdua," dia memberitahu mereka. "Dia menyadari semua yang terjadi." Si perawat berdiri di sana sambil berkacak pinggang. Aku hampir bisa membayangkannya meletupkan balon permen karet. Gran dan Gramps menatapnya, menyerap kata-katanya. "Anda berdua mungkin mengira para dokter atau perawat atau mesin-mesin ini yang menentukan," katanya, menunjuk perlengkapan medis yang berjajar di dinding. "Bukan. Dialah yang menentukan. Mungkin dia hanya menunda waktu. Jadi Anda berdua sebaiknya bicara padanya. Katakan dia boleh menunda selama yang diinginkannya, tapi dia harus kembali. Bahwa Anda menunggunya."
---oOo--- Mom dan Dad takkan pernah menyebutku atau Teddy kesalahan. Atau kecelakaan. Atau kejutan. Atau entah eufimisme bodoh apa lagi. Tapi kami berdua memang tidak direncanakan, dan mereka tak pernah berusaha menyembunyikan kenyataan itu.
Mom mengandung aku ketika masih muda. Bukan pada usia belasan, tapi muda jika dibandingkan teman-teman mereka. Mom berusia 23 dan dia serta Dad sudah menikah setahun.
Dengan cara yang aneh, Dad selalu menjadi jenis orang yang mengenakan dasi kupu-kupu, selalu sedikit lebih tradisional daripada yang mungkin kaubayangkan. Karen
a meski berambut biru, punya tato, mengenakan jaket kulit, dan bekerja di toko musik, Dad sudah ingin menikahi Mom sementara teman-teman mereka masih suka melakukan kencan semalam sambil mabuk-mabukan. "Pacar itu kata yang tolol," katanya. "Aku tidak tahan menyebut ibumu seperti itu. Maka, kami menikah, jadi aku bisa menyebutnya 'istri'."
Sedangkan Mom memiliki keluarga berantakan. Dia tidak menceritakan detail-detail mengerikan padaku, tapi aku tahu ayahnya sudah lama pergi dan selama beberapa waktu Mom kehilangan kontak dengan ibunya, meski sekarang kami mengunjungi Grandma dan Papa Richard, sebutan kami untuk ayah tiri Mom, beberapa kali dalam setahun.
Jadi Mom bukan hanya bergabung dengan Dad, tapi juga dengan keluarga besarnya-yang sebagian besar utuh dan normal. Mom setuju untuk menikah dengan Dad meski mereka baru pacaran setahun. Tentu saja, mereka tetap melakukannya semau mereka. Mereka dinikahkan hakim lesbian sementara teman-teman mereka memainkan Wedding March dengan gitar listrik. Pengantin wanita mengenakan gaun putih berenda dan sepatu bot hitam berpaku. Pengantin pria mengenakan jaket kulit.
Mom mengandung diriku karena acara pernikahan seseorang. Salah satu teman main musik Dad yang pindah ke Seattle menghamili pacarnya, maka mereka menikah terburu-buru. Mom dan Dad menghadiri pernikahan itu, dan saat resepsi, mereka menjadi agak mabuk lalu kembali ke hotel dengan sikap tidak sehati-hati biasanya. Tiga bulan kemudian ada garis tipis biru di alat tes kehamilan.
Dari cara mereka bercerita, sepertinya saat itu mereka sama-sama belum siap menjadi orangtua. Mereka sama-sama belum merasa dewasa. Tapi tidak ada keraguan apakah mereka akan mempertahankanku. Mom orang yang sangat pro-pilihan. Dia punya stiker di bumper mobilnya yang berbunyi Jika kau tidak bisa percaya aku dapat melakukan pilihan yang baik, bagaimana kau bisa memercayakan seorang anak padaku" Tapi dalam kasusnya, pilihannya adalah mempertahankanku.
Dad lebih ragu-ragu. Lebih ketakutan. Sampai dokter mengeluarkanku, dan Dad mulai menangis.
"Omong kosong," katanya jika Mom mengulangi cerita itu. "Aku tidak begitu kok."
"Kalau begitu, kau tidak menangis"" Mom bertanya dengan sarkastis dan geli.
"Aku berkaca-kaca. Aku tidak menangis." Kemudian Dad mengedipkan mata padaku dan berpantomim menangis seperti bayi.
Karena aku satu-satunya anak kecil dalam kelompok pertemanan Mom dan Dad, aku jadi istimewa. Aku dibesarkan komunitas musik, dengan puluhan bibi dan paman yang menganggapku anak mereka sendiri, bahkan setelah aku menunjukkan keanehan dengan tertarik pada musik klasik. Aku juga tidak mengharapkan keluarga sungguhan. Gran dan Gramps tinggal tidak jauh dari kami, dan mereka dengan senang hati merawatku sepanjang akhir pekan sementara Mom dan Dad pergi berbuat gila-gilaan dan berpesta semalam suntuk dalam salah satu pertunjukan Dad.
Ketika aku berumur empat tahun, kurasa orangtuaku tersadar bahwa mereka benar-benar melakukannya-membesarkan anak-meski mereka tidak punya banyak uang atau pekerjaan "betulan". Kami tinggal di rumah yang bagus dengan sewa murah. Aku punya pakaian (meski lungsuran dari sepupu-sepupuku) dan aku tumbuh dengan bahagia serta sehat. "Kau seperti eksperimen," kata Dad. "Dan sukses secara mencengangkan. Menurut kami, itu kebetulan saja. Kami butuh satu anak lagi agar bisa dijadikan kelompok kontrol (supaya eksperimennya lengkap)."
Mereka mencoba selama empat tahun. Mom hamil dua kali tapi dua kali itu pula keguguran. Mereka sedih, tapi tidak punya uang untuk menjalani tes kesuburan yang dilakukan orang lain. Saat usiaku sembilan tahun, mereka memutuskan mungkin ini yang terbaik. Aku sudah mandiri. Mereka berhenti mencoba.
Dan seakan demi meyakinkan diri bahwa mereka senang sekali tidak dibebani bayi, Mom dan Dad membeli tiket jalan-jalan ke New York selama seminggu bagi kami. Seharusnya itu menjadi perjalanan musikal. Kami akan mengunjungi CBGB's dan Carnegie Hall. Tapi ketika dengan terkejut Mom mendapati dirinya hamil, dan lebih mengejutkan lagi, tetap hamil melampaui trimester pertama, sehi
ngga kami harus membatalkan perjalanan itu. Mom selalu letih dan mual serta begitu pemarah sehingga Dad bercanda orang-orang New York bakal ketakutan padanya. Lagi pula, keperluan bayi mahal dan kami perlu menabung.
Aku tidak keberatan. Aku senang sekali karena akan punya adik. Dan aku tahu Carnegie Hall tidak akan ke mana-mana. Aku akan mengunjunginya suatu hari nanti.
17.40 AKU agak ketakutan sekarang. Gran dan Gramps pergi beberapa waktu lalu, tapi aku tetap di ICU. Aku duduk di salah satu kursi, mengingat kembali pembicaraan tadi, yang sangat menyenangkan, normal, dan tidak menggusarkan. Sampai mereka pergi. Ketika Gran dan Gramps keluar dari ICU, aku mengikuti mereka, Gramps menoleh pada Gran dan berkata, "Apakah menurutmu dia memutuskan""
"Memutuskan apa""
Gramps tampak tidak nyaman. Dia menggerak-gerakkan kaki. "Kau tahu. Memutuskan," bisiknya.
"Apa maksudmu"" Gran kedengaran frustrasi sekaligus lembut.
"Aku tidak tahu apa yang kumaksud. Kaulah yang percaya pada malaikat."
"Apa hubungannya dengan Mia"" tanya Gran.
"Jika mereka sudah meninggal, tapi masih ada di sini, seperti yang kaupercayai, bagaimana jika mereka ingin dia bergabung dengan mereka" Bagaimana kalau dia ingin bergabung""
"Bukan seperti itu caranya," balas Gran.
"Oh," hanya itu yang diucapkan Gramps. Dan percakapan itu selesai.
Setelah mereka pergi, aku berpikir bahwa suatu hari nanti mungkin aku akan berkata pada Gran bahwa aku tidak pernah memercayai teorinya bahwa burung dan hewan-hewan lain bisa saja merupakan malaikat pelindung manusia. Dan sekarang aku jadi semakin yakin bahwa hal itu tidak benar.
Orangtuaku tidak ada di sini. Mereka tak menggenggam tanganku, atau menyemangatiku. Aku cukup mengenal mereka sehingga tahu bahwa jika bisa, mereka akan melakukannya. Mungkin tidak keduanya sekaligus. Mungkin Mom akan bersama Teddy dan Dad mengawasiku. Tapi keduanya tidak ada di sini sekarang.
Dan sementara merenungkan ini, aku memikirkan apa yang diucapkan si perawat. Dialah yang menentukan. Dan mendadak saja aku memahami apa sesungguhnya yang ditanyakan Gramps pada Gran. Gramps juga mendengarkan perawat itu. Dia memahaminya sebelum aku.
Apakah aku tinggal. Apakah aku hidup. Itu tergantung pada diriku.
Segala urusan tentang koma medis ini hanya omongan dokter. Ini semua bukan tergantung pada dokter. Ini semua bukan tergantung pada malaikat-malaikat yang tidak hadir. Bahkan bukan tergantung pada Tuhan yang, jika Dia memang ada, tak ada di sini sekarang. Semua ini tergantung padaku.
Bagaimana aku bisa memutuskan" Bagaimana mungkin aku hidup tanpa Mom dan Dad" Bagaimana aku bisa pergi tanpa Teddy" Atau Adam" Ini membingungkan. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana prosesnya, mengapa aku ada di sini dalam keadaan begini atau bagaimana keluar dari situasi ini jika aku mau. Jika aku ingin tinggal, aku ingin bangun, bukankah seharusnya aku sudah sadar sekarang" Aku sudah mencoba menggerakkan kaki untuk mencari Teddy dan berusaha meluncurkan diri ke Hawaii, tapi tidak berhasil. Ini kelihatan lebih rumit daripada perkiraanku.
Meski demikian, aku percaya inilah kebenarannya. Aku mendengar kata-kata perawat itu lagi. Akulah yang menentukan. Semua orang menungguku.
Aku yang memutuskan. Aku tahu ini sekarang.
Dan ini membuatku lebih ketakutan daripada apa pun yang terjadi hari ini. Adam di mana sih"
---oOo--- Seminggu sebelum Halloween ketika aku masih kelas tiga, Adam muncul di pintu rumahku dengan penuh kemenangan. Dia menjinjing kantong pakaian dan nyengir selebar-lebarnya.
"Persiapkan diri untuk meradang karena iri. Aku mendapatkan kostum yang paling keren," katanya. Dia membuka ritsleting kantong pakaian. Di dalamnya terdapat blus putih berenda, sepasang celana selutut, dan mantel wol panjang dengan tanda pangkat di bagian bahu.
"Kau akan menjadi Seinfeld yang memakai kemeja berenda"" tanyaku.
"Huh. Seinfeld. Dan kau menganggap dirimu musisi klasik. Aku akan jadi Mozart. Tunggu, kau belum melihat sepatunya." Dia meraih ke dalam kantong dan mengeluarkan sepatu kulit berhak dengan bat
angan besi di atasnya. "Keren," kataku. "Kurasa Mom punya yang seperti itu."
"Kau hanya iri karena tidak punya kostum seasyik ini. Dan aku juga akan mengenakan stoking. Aku sangat percaya diri soal kemaskulinanku. Juga, aku punya wig."
"Dari mana kau mendapatkan ini semua"" tanyaku, meraba wignya. Rasanya seperti terbuat dari karung goni.
"Online. Cuma seratus dolar."
"Kau membelanjakan seratus dolar untuk kostum Halloween""
Begitu mendengar kata Halloween, Teddy meluncur menuruni tangga, mengabaikanku dan menarik rantai dompet Adam. "Tunggu di sini!" serunya, kemudian berlari lagi menaiki tangga dan kembali beberapa detik kemudian sambil membawa tas. "Apa ini kostum yang bagus" Atau bakal membuatku kelihatan seperti anak kecil"" Teddy bertanya, mengeluarkan garpu trisula, sepasang telinga setan, ekor merah, dan piama merah ketat.
"Ohh." Adam melangkah mundur, matanya melebar. "Kostum itu membuatku ketakutan setengah mati padahal kau belum memakainya."
"Sungguh" Kau tidak menganggap piama ini tampak tolol" Aku tidak mau orang-orang menertawaiku," Teddy berkata, alisnya berkerut dalam sikap serius.
Aku nyengir pada Adam, yang juga menahan senyum. "Piama merah plus garpu trisula plus telinga setan dan ekor lancip amat sangat mirip setan sehingga tidak akan ada yang berani menantangmu, takut terkena kutukan selamanya," Adam menenangkannya.
Wajah Teddy merekah akibat cengiran superlebar, menampakkan gigi depannya yang ompong. "Itu seperti yang Mom bilang, tapi aku cuma ingin memastikan Mom tidak berkata begitu supaya aku tidak mengganggunya tentang kostum ini. Kau akan mengantarku trick-or-treat, kan"" Dia menatapku sekarang.
"Seperti setiap tahun," jawabku. "Bagaimana lagi aku bisa mendapatkan permen"" "Kau juga ikut"" Teddy bertanya pada Adam. "Aku takkan melewatkannya."
Teddy berbalik dan lari menaiki tangga. Adam menoleh padaku. "Masalah Teddy sudah beres. Apa yang akan kaukenakan""
"Ahh. Aku bukan cewek yang suka berkostum."
Adam memutar bola mata. "Well, jadilah cewek berkostum. Ini Halloween pertama setelah kita pacaran. Shooting Star akan manggung malam itu. Konser kostum, dan kau sudah berjanji mau datang."
Aku mengerang dalam hati. Setelah pacaran dengan Adam selama enam bulan, aku baru mulai terbiasa menjadi pasangan aneh di sekolah-orang-orang menyebut kami si Keren dan si Kuper. Dan aku mulai merasa nyaman bersama teman-teman band Adam, bahkan sudah belajar beberapa kosakata rock. Sekarang aku bisa berbaur jika Adam membawaku ke House of Rock, rumah bobrok dekat kampus tempat teman-teman band Adam tinggal. Aku bahkan bisa ikut berpartisipasi di acara pesta pot-luck punk-rock mereka, karena setiap orang harus membawa sesuatu yang sudah hampir kedaluwarsa dari kulkas mereka. Kami mengambil semua bahan makanan dan mengolahnya jadi sesuatu. Aku cukup mahir mencari cara agar daging sapi vegetarian, bir, keju feta, dan aprikot menjadi hidangan yang layak makan.
Tapi aku masih membenci pertunjukan dan membenci diri sendiri karena membenci pertunjukan. Kelab-kelabnya berasap, membuat mataku sakit dan bajuku bau. Pengeras suara selalu dinyalakan dalam volume tinggi sehingga musiknya membahana, membuat telingaku berdengung parah sesudahnya sampai-sampai dengungan bernada tinggi itu membuatku tidak bisa tidur. Aku berbaring di tempat tidur, membayangkan kembali malam canggung itu dan merasa semakin merana setiap kali bayangan itu terulang.
"Jangan bilang kau mau membatalkannya," kata Adam, tampak kecewa dan kesal pada taraf yang sama.
"Bagaimana dengan Teddy" Kita berjanji akan membawanya trick-or-treat-"
"Yeah, pukul lima sore. Kita tidak perlu ke tempat pertunjukan sebelum pukul sepuluh. Aku ragu Master Ted sekalipun sanggup trick-or-treat sampai lima jam penuh. Jadi kau tidak punya alasan. Dan sebaiknya kau mencari kostum yang bagus, karena aku bakal tampak keren, dalam gaya abad kedelapan belas."
Setelah Adam pergi untuk bekerja mengantar piza, aku merasakan perutku mulas. Aku pergi ke atas untuk berlatih karya Dvorak yang ditugaskan Profesor Christie padaku,
dan untuk mencari tahu apa sebenarnya yang membuatku gelisah. Kenapa aku tidak menyukai pertunjukan-pertunjukan Adam" Apakah karena Shooting Star mulai populer dan aku iri" Apakah cewek-cewek groupie yang semakin banyak membuatku kesal" Ini kedengarannya penjelasan yang cukup logis, tapi bukan itu alasannya.
Setelah bermain sekitar sepuluh menit, aku sadar: Keenggananku menonton pertunjukan Adam sama sekali tidak berhubungan dengan musik atau groupie atau iri. Keengganan itu berhubungan dengan keraguan. Keraguan meresahkan tentang tidak berada di tempat yang benar yang selalu kurasakan. Aku tidak merasa pantas berada di keluargaku, dan sekarang aku tidak merasa pantas berada bersama Adam, namun tidak seperti keluargaku, yang terpaksa bersamaku, Adam memilihku, dan aku tidak memahami ini. Kenapa dia jatuh cinta padaku" Rasanya tidak masuk akal. Aku tahu musiklah yang menyatukan kami pada awalnya, membawa kami ke tempat yang sama sehingga bisa saling lebih mengenal. Dan aku tahu Adam menyukaiku karena aku begitu terhanyut oleh musik. Dan dia mengerti selera humorku yang "begitu gelap sampai hampir-hampir tidak kelihatan", katanya. Dan, omong-omong soal gelap, aku tahu dia suka cewek berambut gelap karena semua mantan pacarnya berambut cokelat. Dan aku tahu ketika kami berdua saja, kami bisa mengobrol sampai berjam-jam, atau duduk berdampingan sambil membaca selama berjam-jam, masing-masing memasang iPod, tapi masih tetap merasa bersama. Aku mengerti itu semua dalam kepalaku, tapi aku masih tidak memercayainya dalam hati. Saat bersama Adam, aku merasa dipilih, spesial, dan itu hanya membuatku semakin sering bertanya-tanya kenapa aku"
Dan mungkin inilah sebabnya meski Adam mau-mau saja mendengarkan simfoni Schubert dan menghadiri setiap resitalku, membawakanku bunga lili stargazer kesukaanku, aku masih tetap memilih ke dokter gigi daripada menghadiri salah satu pertunjukan Adam. Aku sangat tidak sopan. Aku memikirkan apa yang kadang-kadang dikatakan Mom ketika aku merasa rendah diri: "Berpura-puralah sampai bisa." Saat sudah memainkan lagu tiga kali, aku memutuskan bahwa bukan saja aku akan menghadiri pertunjukan Adam, kali ini aku juga bakal berusaha sekuat tenaga memahami dunianya seperti dia berusaha mengerti duniaku.
"Aku perlu bantuan," aku berkata pada Mom malam itu setelah makan dan kami berdiri berdampingan sambil mencuci piring.
"Kurasa kita sudah sepakat bahwa aku tidak begitu mahir trigonometri. Mungkin kau bisa mencoba tutor online atau apalah," kata Mom.
"Bukan matematika. Ini soal lain."
"Aku akan berusaha sebaik mungkin. Apa yang kauperlukan""
"Nasihat. Siapa rocker cewek yang paling keren, tangguh, dan seksi yang bisa Mom pikirkan"" "Debbie Harry," jawab Mom.
"Itu-" "Aku belum selesai," Mom memotong. "Kau tidak bisa berharap aku cuma memilih satu. Itu terlalu Sophie's Choice. Kathleen Hanna. Patti Smith. Joan Jett. Courtney Love, dengan caranya yang gila dan destruktif. Lucinda Williams, yang meski penyanyi country, dia setangguh cadas. Kim Gordon dari Sonic Youth, hampir lima puluh tahun tapi masih oke. Si cewek Cat Power itu. Joan Armatrading. Kenapa, ini salah satu proyek untuk kelas IPS""
"Begitulah," kataku, mengelap piring yang gompal. "Ini untuk Halloween."
Mom menepukkan tangannya yang bersabun dengan girang. "Kau berencana menjadi salah satu dari kami""
"Yeah," jawabku. "Mom bisa membantu""
Mom pulang kerja lebih cepat sehingga kami bisa menjelajahi toko-toko pakaian vintage. Mom memutuskan kami akan mendandaniku dengan gaya rocker campuran, tidak meniru salah satu artis saja. Kami membeli celana ketat motif kadal. Wig pirang model bob dengan poni penuh, ala Debbie Harry awal delapan puluhan, yang diberi nuansa biru oleh Mom menggunakan cat Manic Panic. Untuk aksesori, kami membeli gelang kulit hitam untuk satu tangan dan sekitar dua puluh gelang perak untuk tangan yang satu lagi. Mom mencari-cari T-shirt Sonic Youth miliknya- memperingatkanku agar tidak membukanya, takut ada yang bakal menyambarnya dan menjualnya di eBay seharga beberapa ratus dolar-serta sepat
u bot kulit hitam runcing berpaku yang dikenakannya saat menikah.
Pada hari Halloween, Mom merias wajahku, memakaikan eyeliner cair hitam tebal yang membuat mataku tampak galak. Bedak putih yang membuat kulitku tampak pucat. Warna merah darah di bibirku. Cincin hidung tempelan. Ketika becermin, aku seakan melihat wajah Mom menatap balik padaku. Mungkin karena wig pirangnya, tapi inilah kali pertama aku berpikir tampak mirip dengan keluarga intiku.
Orangtuaku dan Teddy menunggu Adam di bawah sementara aku tetap di kamar. Aku merasa seperti akan berangkat ke prom. Dad memegang kamera. Mom nyaris menari-nari kegirangan. Ketika Adam masuk melalui pintu depan, menghujani Teddy dengan permen Skittles, Mom dan Dad memanggilku turun.
Aku melangkah gemulai sebaik mungkin dalam sepatu hak tinggi. Aku menduga Adam bakal menggila ketika melihatku, pacarnya yang biasa mengenakan jins dan sweter berubah menjadi glamor. Tapi dia hanya menyunggingkan senyumnya yang biasa, tergelak kecil. "Kostum keren," hanya itu yang diucapkannya.
"Quid pro quo. Supaya adil," kataku, menunjuk atribut ala Mozart-nya.
"Kurasa kau tampak menakutkan, tapi cantik," komentar Teddy. "Aku juga bakal bilang kau tampak seksi, tapi aku adikmu, jadi itu agak menjijikkan."
"Bagaimana kau tahu apa arti seksi"" sahutku. "Kau kan baru enam tahun."
"Semua orang tahu apa arti seksi," balasnya.
Semua orang kecuali aku, kurasa. Tapi malam itu, aku mempelajarinya. Ketika kami pergi trick-or-treat bersama Teddy, tetangga-tetanggaku sendiri yang bertahun-tahun mengenalku jadi tidak
mengenaliku. Cowok-cowok yang tidak pernah melihatku dua kali mendadak menoleh. Dan setiap kali itu terjadi, aku merasa semakin menjadi cewek pemberontak seksi yang pura-pura kuperankan ini. Pura-pura sampai bisa benar-benar berhasil.
Kelab tempat Shooting Star manggung sangat penuh. Semua orang mengenakan kostum, sebagian besar cewek berpenampilan agak seronok-pelayan Prancis yang mempertontonkan belahan dada, dominatrix yang membawa-bawa cambuk, bergaya Dorothy dari Wizard of Oz yang tampak murahan dengan rok superpendek untuk mempertontonkan tali stoking mirah delima mereka-cewek-cewek seperti itu biasanya membuatku merasa culun. Tapi malam itu aku sama sekali tidak merasa begitu, meski tak ada orang yang sadar aku memakai kostum.
"Kau seharusnya berdandan," seorang cowok kerangka mengomeliku sebelum menawariku bir.
"Aku SUKA SEKALI celana itu!" cewek berpakaian ala tahun 1920-an memekik di telingaku. "Kau membelinya di Seattle""
"Bukankah kau salah satu anggota Crack House Quarter"" cowok bertopeng Hillary Clinton bertanya padaku, maksudnya band hardcore yang disukai Adam dan kubenci.
Ketika Shooting Star main, aku tidak ke belakang panggung, tempat biasanya aku berada. Di belakang panggung aku bisa duduk di kursi dan menonton tanpa gangguan serta tidak perlu bicara dengan siapa-siapa. Kali ini, aku tetap di sekitar bar, kemudian, ketika si cewek 1920-an menyambar tanganku, aku bergabung dengannya untuk berdansa di mosh pit-tempat penonton saling tubruk gila-gilaan.
Aku belum pernah ke mosh pit. Aku tidak tertarik berlarian dalam lingkaran sambil mabuk, bersama cowok-cowok kekar berjaket kulit yang menginjak kakiku. Tapi malam itu, aku sangat terhanyut. Aku jadi mengerti apa artinya menyatukan energimu dengan kerumunan orang dan menyerap energi mereka juga. Keadaan di mosh pit, jika suasana sudah mulai panas, tidak akan membuatmu bisa melangkah atau menari, tapi bagaikan terisap ke dalam pusaran air.
Ketika Adam menyelesaikan lagu-lagunya, aku terengah-engah dan berkeringat seperti dirinya. Aku tidak pergi ke belakang panggung untuk menyambutnya sebelum orang lain menghampirinya. Aku menunggunya sampai memasuki lantai kelab, menghampiri penggemar-penggemarnya seperti yang dilakukannya setiap habis manggung. Dan ketika dia keluar, handuk tersampir di leher, menenggak sebotol air, aku melontarkan diri ke dalam pelukannya dan menciumnya dengan bibir terbuka dan penuh gairah di depan semua orang. Aku bisa merasakannya tersenyum ketika membalas ciuman
ku. "Well, well, tampaknya ada yang dirasuki semangat Debbie Harry," katanya, mengelap noda lipstikku dari dagunya.
"Kurasa begitu. Bagaimana denganmu" Apakah kau merasa seperti Mozart""
"Aku cuma tahu tentang dirinya dari film yang kutonton. Tapi aku ingat dia gampang 'panas', jadi setelah ciuman itu, kurasa aku juga begitu. Sudah siap untuk pergi" Aku akan berkemas dan kita bisa cabut dari sini."
"Tidak, kita tinggal sampai pertunjukan terakhir." "Sungguh"" kata Adam, alisnya mencuat heran. "Yeah. Aku bahkan akan ke mosh pit bersamamu." "Kau habis minum-minum, ya"" dia menggodaku. "Cuma Kool-Aid," jawabku.
Kami berdansa, sesekali berhenti untuk berciuman, sampai kelab tutup.
Di perjalanan pulang, Adam menggenggam tanganku sementara mengemudi. Sedikit-sedikit dia menoleh ke arahku dan tersenyum sambil menggeleng-geleng.
"Jadi, kau suka aku seperti ini"" tanyaku.
"Hmm," jawabnya.
"Itu artinya ya atau tidak""
"Tentu saja aku menyukaimu."
"Bukan, seperti ini. Kau menyukaiku malam ini""
Adam menegakkan tubuh. "Aku suka kau menikmati pertunjukan dan tidak berkeras untuk pergi sesegera mungkin. Dan aku suka sekali berdansa denganmu. Dan aku suka sekali melihatmu merasa nyaman bersama gerombolanku yang liar."
"Tapi apakah kau suka aku berpenampilan seperti ini" Lebih menyukaiku"" "Daripada apa"" dia bertanya. Dia tampak benar-benar bingung.
"Daripada normal." Aku mulai kesal sekarang. Aku merasa begitu lepas malam ini, seakan kostum Halloween ini memberiku karakter baru, yang lebih layak mendapatkan Adam, lebih layak bagi keluargaku. Aku berusaha menjelaskan itu padanya, dan dengan ngeri aku merasa hampir menangis.
Adam tampaknya sadar aku sedang galau. Dia menghentikan mobil di jalan kecil dan menoleh padaku. "Mia, Mia, Mia," katanya, mengusap anak rambut yang terlepas dari wigku. "Inilah dirimu yang kusuka. Kau memang berpakaian lebih seksi dan, kau tahu, pirang, dan itu berbeda. Tapi dirimu malam ini sama dengan dirimu yang membuatku jatuh cinta kemarin, sama dengan dirimu yang akan membuatku jatuh cinta besok. Aku suka kau bisa menjadi rapuh dan tangguh, pendiam dan liar. Astaga, kau salah satu cewek paling punk yang kukenal, tidak peduli musik apa yang kaudengar dan apa yang kaukenakan."
Setelah itu, kapan pun aku mulai meragukan perasaan Adam, aku memikirkan wigku, disimpan di lemari dan mulai berdebu, dan akan mengembalikan memori tentang malam itu. Setelah itu aku takkan merasa terlalu rendah diri. Aku hanya akan merasa beruntung.
19.13 DIA di sini. Sejak tadi aku berkeliaran di kamar kosong rumah sakit di bangsal bersalin, ingin berada sejauh mungkin dari kerabat-kerabatku, bahkan menjauh dari ICU dan perawat tadi, atau lebih tepatnya menjauh dari kata-kata yang diucapkan perawat itu, yang kumengerti sekarang. Aku perlu berada di tempat orang-orang tidak akan bersedih, dan suasananya berbau kehidupan, bukan kematian. Maka aku datang ke sini, negeri bayi yang menangis. Sebenarnya, lolongan bayi yang baru lahir sangat menenangkan. Belum apa-apa mereka sudah memiliki semangat hidup tinggi.
Tapi sekarang ruangan ini hening. Jadi aku duduk di ambang jendela, menatap malam di luar. Ada mobil berdecit mengerem di tempat parkir, membuatku terjaga dari lamunan. Aku mengintip ke bawah tepat waktu untuk melihat sekelebat lampu belakang mobil pink lenyap ke dalam kegelapan. Sarah, pacar Liz, pemain drum Shooting Star, punya Dodge Dart warna pink. Aku menahan napas, menunggu Adam muncul dari terowongan. Kemudian dia di sana, melangkah di jalur melandai, memeluk jaket melawan udara malam musim dingin. Aku bisa melihat rantai dompetnya mengilap diterpa cahaya lampu sorot. Dia berhenti dan berbalik untuk bicara pada seseorang di belakangnya. Aku melihat sosok perempuan muncul dari balik bayangan. Mulanya, aku mengira itu Liz. Tapi kemudian aku melihat kepang rambutnya.
Aku berharap bisa memeluknya. Untuk berterima kasih karena dia selalu satu langkah lebih maju daripada yang kubutuhkan.
Tentu saja Kim menemui Adam, memberitahunya sendiri alih-alih menyampaikan kaba
r melalui telepon, kemudian membawanya ke sini, kepadaku. Kim tahu Adam sedang manggung di Portland. Kim yang pastinya entah bagaimana berhasil membujuk ibunya untuk mengantarnya ke pusat kota. Kim yang, melihat ketidakhadiran Mrs. Schein sekarang, pasti meyakinkan ibunya untuk pulang, dan membiarkannya tinggal di sini bersama Adam serta aku. Aku ingat bagaimana Kim butuh dua bulan untuk mendapatkan izin agar bisa naik helikopter bersama pamannya itu, maka aku terkesan melihat kemajuan sebesar ini berlangsung hanya dalam jangka waktu beberapa jam. Kim yang harus memberanikan diri untuk menghadapi sekian banyak tukang pukul galak dan penggemar-penggemar brutal untuk menemukan Adam. Dan Kim yang harus menghimpun keberanian untuk memberitahu Adam.
Aku tahu ini kedengaran konyol, tapi aku lega bukan aku yang harus melakukan itu. Kurasa aku takkan mampu. Kim harus menanggung itu semua.
Dan sekarang, berkat Kim, akhirnya Adam ada di sini.
Sepanjang hari, aku membayangkan kedatangan Adam, dan dalam fantasiku, aku berlari menyambutnya, meski dia tidak bisa melihatku dan meski, sejauh yang kuketahui, ini sama sekali tidak seperti film Ghost: kau bisa melangkah menembus orang-orang yang kusayangi sehingga mereka bisa merasakan keberadaanmu.
Tapi sekarang setelah Adam ada di sini, aku membeku. Aku takut bertemu dengannya. Melihat wajahnya. Aku pernah melihat Adam menangis dua kali. Ketika kami menonton It's a Wonderful Life. Lalu waktu kami berada di stasiun kereta Seattle dan melihat seorang ibu meneriaki serta memukuli putranya yang menderita Down syndrome. Dia langsung jadi pendiam dan ketika kami melangkah pergi, barulah aku melihat air mata mengalir di pipinya. Dan hal itu nyaris membuat hatiku tercabik-cabik. Jika dia benar-benar menangis sekarang, itu akan membunuhku. Lupakan saja bahwa ini semua soal pilihanku. Hal itu saja akan membuat jantungku berhenti.
Aku memang pengecut. Aku menatap jam dinding. Sudah pukul tujuh lewat sekarang. Shooting Star tidak akan menjadi band pembuka Bikini. Sayang sekali. Ini kesempatan besar bagi mereka. Selama sedetik, aku bertanya-tanya apakah anggota band yang lain akan terus main tanpa Adam. Tapi aku sangat meragukannya. Bukan hanya karena dia penyanyi dan pemain gitar utama. Shooting star punya semacam peraturan. Loyalitas terhadap perasaan adalah hal yang penting. Musim panas yang lalu, ketika Liz dan Sarah putus (yang ternyata hanya berlangsung selama sebulan) dan Liz terlalu gundah untuk main, mereka membatalkan tur lima hari mereka, meski ada cowok bernama Gordon yang main drum di band lain menawarkan diri untuk menjadi pengganti Liz.
Aku menyaksikan Adam menuju pintu masuk utama rumah sakit, Kim mengikuti. Persis sebelum tiba di awning dan pintu otomatis, Adam menengadah ke langit. Dia menunggu Kim tapi aku ingin berpikir dia mencariku. Wajahnya, tertimpa cahaya, tampak kosong, seakan ada orang yang menyedot semua karakternya, hanya meninggalkan topeng. Adam tidak tampak seperti dirinya. Tapi setidaknya dia tak menangis.
Itu memberiku keberanian untuk menghampirinya sekarang. Atau dia yang menghampiriku, ke ICU, ke tempat yang kutahu ingin ditujunya. Adam kenal Gran dan Gramps serta sepupu-sepupuku, dan aku membayangkannya akan bergabung dengan mereka untuk berjaga-jaga nanti. Tapi sekarang dia ada di sini untukku.
Di ICU, waktu berhenti seperti biasanya. Salah satu ahli bedah yang menanganiku tadi siang- yang banyak berkeringat dan, ketika tiba gilirannya memilih musik, menyalakan Weezer- memeriksaku.
Lampu dinyalakan redup dan terasa artifisial serta dijaga agar berada dalam level yang sama setiap saat, namun ritme circadian-siklus biologis-tidak mampu dilawan dan keheningan malam hari menyelimuti tempat itu. Suasana tidak sesibuk siang hari, seakan para perawat serta mesin-mesin mulai letih dan berada dalam kondisi hemat energi.
Maka ketika suara Adam bergema dari lorong di luar ICU, semua orang tersentak.
"Apa maksudmu aku tidak boleh masuk"" suaranya membahana.
Aku menyeberangi ICU, berdiri persis di sisi lain pintu otomatis. Aku mendengar
petugas di luar menjelaskan pada Adam bahwa dia tidak diizinkan masuk ke bagian rumah sakit yang ini.
"Omong kosong!" Adam berteriak.
Di dalam bangsal, semua perawat melihat ke arah pintu, mata mereka waspada. Aku cukup yakin apa yang mereka pikirkan: Kami sudah punya cukup banyak kesibukan tanpa perlu menenangkan orang gila di luar. Aku ingin menjelaskan bahwa Adam tidak gila. Bahwa dia tidak pernah berteriak, kecuali dalam situasi-situasi tertentu.
Si perawat paruh baya dengan rambut kelabu yang tidak merawat pasien tapi hanya duduk dan mengamati komputer serta menangani telepon, mengangguk kecil dan berdiri seolah akan menerima nominasi. Dia merapikan celana panjang putihnya yang kusut dan melangkah ke pintu. Dia bukan orang yang tepat untuk bicara pada Adam. Aku berharap bisa memperingatkan mereka untuk mengirimkan Perawat Ramirez saja, yang tadi menenangkan kakek-nenekku (dan membuatku ketakutan). Dia akan mampu menenangkan Adam juga. Tapi perawat yang ini hanya akan membuat masalah tambah buruk. Aku mengikutinya melalui pintu ganda tempat Adam dan Kim berdebat dengan petugas. Petugas itu menatap si perawat. "Aku sudah bilang mereka tidak diizinkan berada di sini," lelaki itu menjelaskan. Si perawat menyuruhnya pergi dengan lambaian tangan.
"Bisa kubantu, anak muda"" dia bertanya pada Adam. Suaranya kedengaran kesal dan tidak sabaran, seperti beberapa rekan kerja Dad di sekolah yang kata Dad hanya tinggal menghitung hari sampai masa pensiun.
Adam berdeham, berusaha menenangkan diri. "Aku ingin mengunjungi pasien," katanya, menunjuk ke pintu yang menghalanginya dari ruang ICU.
"Sayangnya tidak bisa," jawab si perawat.
"Tapi pacarku, Mia, dia-"
"Dia ditangani dengan baik sekali," potong si perawat. Dia kedengaran letih, terlalu letih untuk bersimpati, terlalu letih untuk tergerak oleh cinta remaja.
"Aku mengerti. Dan aku sangat berterima kasih," kata Adam. Dia berusaha sekuat tenaga mengikuti permainan si perawat, untuk terdengar dewasa, tapi aku mendengar suaranya tersekat ketika berkata, "Aku perlu melihatnya."
"Maaf, anak muda, tapi kunjungan hanya dibatasi untuk keluarga inti."
Aku mendengar napas Adam tersentak. Keluarga inti. Si perawat tidak bermaksud jahat. Dia hanya tidak tahu, tapi Adam tak menyadarinya. Aku merasa perlu melindunginya dan melindungi si perawat dari apa yang mungkin akan dilakukan Adam terhadapnya. Aku meraihnya, secara insting, meski aku tidak bisa benar-benar menyentuhnya. Tapi dia memunggungiku sekarang. Bahunya turun, kedua kakinya mulai gemetar.
Kim, yang berdiri dekat dinding, tiba-tiba berada di sisi Adam, kedua lengannya menangkap tubuh Adam yang mulai lemas. Dengan kedua lengan menahan pinggang Adam, Kim menoleh ke arah si perawat, matanya menyala-nyala karena marah. "Kau tidak mengerti!" dia berseru.
"Apakah aku perlu memanggil sekuriti"" tanya si perawat.
Adam mengibaskan tangan, menyerah pada si perawat, pada Kim. "Jangan," bisiknya pada Kim.
Jadi Kim tidak melakukan apa-apa. Tanpa berkata-kata lagi, Kim menghela lengan Adam ke bahunya dan menopangnya. Adam setengah meter lebih tinggi dan dua puluh kilo lebih berat daripada Kim, tapi setelah terhuyung sejenak, Kim menyeimbangkan beban ekstra itu. Dia menanggungnya.
---oOo--- Kim dan aku punya teori bahwa hampir segala hal di dunia bisa dipisahkan ke dalam dua kategori.
Ada orang yang menyukai musik klasik. Ada orang yang suka pop. Ada orang kota. Dan orang desa. Peminum Coke. Peminum Pepsi. Ada konformis dan pemikir bebas. Perawan dan bukan perawan. Dan ada jenis cewek yang memiliki pacar di SMU, ada jenis cewek yang tidak.
Kim dan aku selalu berasumsi kami berada dalam kategori terakhir. "Bukannya kita bakal masih perawan pada usia empat puluh atau bagaimana," dia menenangkan. "Kita hanya akan masuk kelompok cewek yang bakal punya pacar saat kuliah."
Menurutku, itu masuk akal, bahkan aku lebih memilih begitu. Mom jenis cewek yang punya banyak pacar di SMA dan sering berkata dia menyesal saat itu membuang-buang waktu. "Cewek lama-lama bosan kalau cuma mabuk-mabukan di Mi
ckey's Big Mouth, menjaili ternak, dan bermesraan di bak belakang truk pikap. Dan menurut cowok-cowok yang kupacari pada zaman sekolah, itu berarti malam romantis."
Sebaliknya, Dad baru berkencan saat kuliah. Dia pemalu ketika SMA, tapi kemudian mulai main drum dan pada tahun pertamanya kuliah Dad bergabung dengan band punk, dan jreng, tahu-tahu punya banyak pacar. Atau setidaknya punya beberapa pacar sampai dia bertemu Mom, dan jreng, tahu-tahu dia punya istri. Aku mengira aku pun akan seperti itu.
Maka, baik aku maupun Kim terkejut ketika aku berakhir di Grup A, bersama cewek-cewek yang punya pacar. Mula-mula aku berusaha menyembunyikannya. Setelah pulang dari konser Yo-Yo Ma, aku bercerita pada Kim dengan samar. Aku tidak menyebut-nyebut ciuman kami. Aku punya alasan untuk tidak menceritakannya: Tidak ada gunanya menghebohkan sebuah ciuman. Satu ciuman tidak mensahkan hubungan. Aku pernah mencium cowok, dan biasanya keesokan harinya ciuman itu menguap seperti embun yang terpapar cahaya matahari.
Tetapi, aku tahu ciumanku dengan Adam memang perkara besar. Aku tahu dari kehangatan yang mengalir ke seluruh tubuhku malam itu setelah dia mengantarku pulang, menciumku sekali lagi di depan pintu. Aku tahu karena aku tidak mampu memejamkan mata sampai fajar, memeluk bantal. Aku tahu karena aku tidak bisa makan keesokan harinya, tidak mampu mengusir senyum dari wajahku. Aku sadar ciuman itu bagaikan pintu yang sudah kulewati. Dan aku tahu aku telah meninggalkan Kim di sisi lain.
Setelah seminggu berjalan, dan beberapa ciuman diam-diam lagi, aku tahu harus mengaku pada Kim. Kami pergi minum kopi sepulang sekolah. Saat itu bulan Mei, tapi hujan membasahi bumi seperti bulan November. Aku merasa agak sesak napas karena sesuatu yang akan kulakukan.
"Aku yang bayar. Kau mau salah satu minuman bancimu itu"" aku bertanya. Ini satu lagi kategori yang kami yakini: ada orang yang minum kopi pahit dan orang yang minum kafein yang disamarkan seperti latte mint-chip kegemaran Kim.
"Kurasa aku mau mencoba cinnamon-spice chai latte," katanya, menatapku tajam yang berarti, aku tidak akan malu pada pilihan minumanku.
Aku membeli minuman kami dan sepotong pai marion-berry dengan dua garpu. Aku duduk di hadapan Kim, mengorek-ngorek bagian tepi pai yang garing menggunakan garpu.
"Ada yang ingin kuceritakan," kataku.
"Soal punya pacar"" Suara Kim kedengaran geli, dan meski aku merunduk, aku tahu dia memutar bola matanya.
"Kok kau tahu"" tanyaku, menatapnya.
Dia memutar bola matanya lagi. "Please deh. Semua orang tahu. Ini gosip terpanas sejak Melanie Farrow berhenti sekolah karena hamil. Seperti calon presiden partai Demokrat menikahi calon presiden partai Republik.
"Siapa yang bilang tentang pernikahan""
"Itu cuma metafora," ujar Kim. "Lagi pula, aku sudah tahu. Aku sudah tahu bahkan sebelum kau sendiri tahu."
"Bohong." "Sudahlah. Cowok seperti Adam pergi ke konser Yo-Yo Ma" Dia melakukan pendekatan." "Bukan seperti itu," bantahku, meski tentu saja memang seperti itu.
"Aku cuma tidak mengerti kenapa kau tidak memberitahuku lebih cepat," katanya dengan suara dengan lirih.
Aku akan memberi alasan bahwa satu ciuman tidak berarti ada hubungan dan menjelaskan bahwa aku tidak ingin membesar-besarkan masalah, tapi aku menghentikan diri. "Aku takut kau marah," aku mengakui.
"Aku tidak marah," kata Kim. "Tapi aku akan marah kalau kau berbohong lagi." "Oke," sahutku.
"Atau jika kau berubah jadi cewek yang selalu menempel pada cowoknya, dan bicara menggunakan kata ganti orang pertama jamak. ' Kami suka sekali musim dingin. Kami menganggap Velvet Underground seminal'."
"Kau tahu aku tidak akan bicara dalam bahasa rock padamu. Menggunakan kata ganti orang pertama tunggal maupun jamak. Janji."
"Bagus," sahut Kim. "Karena kalau kau berubah jadi cewek seperti itu, aku akan menembakmu."
"Kalau aku berubah jadi cewek seperti itu, aku yang akan memberimu senapannya."
Kim terbahak-bahak mendengarnya, dan ketegangan pun mencair. Dia memasukkan sepotong besar pai ke mulut. "Bagaimana reaksi orangtuamu
"" "Dad memasuki lima fase berkabung-penolakan, kemarahan, penerimaan, entah apa lagi- dalam satu hari. Kurasa dia lebih panik menghadapi kenyataan dia sudah cukup tua untuk memiliki anak yang punya pacar." Aku berhenti sejenak, menyesap kopi, membiarkan kata pacar mengambang di udara. "Dan dia mengaku tidak percaya aku mengencani musisi."
"Kau kan musisi," Kim mengingatkan.
"Kau tahu, musisi punk, rock."
"Shooting Star itu emo-core," Kim mengoreksi. Tidak seperti aku, dia peduli pada pembagian berbagai jenis musik pop: punk, indie, alternatif, hard-core, emo-core.
"Dad cuma asal omong, kau tahu, bagian dari perannya sebagai ayah yang berdasi kupu-kupu. Kurasa Dad menyukai Adam. Mereka bertemu ketika Adam menjemputku untuk menonton konser. Sekarang Dad ingin aku mengajak Adam ke rumah untuk makan malam, tapi hubungan kami kan baru seminggu. Aku belum siap untuk acara bertemu orangtua."
"Kurasa aku takkan pernah siap." Kim bergidik membayangkannya. "Bagaimana dengan ibumu""
"Mom menawarkan diri mengantarku ke pusat kesehatan dan menyuruhku meminta Adam dites terhadap berbagai penyakit. Sementara itu, Mom menyuruhku berhati-hati pacaran. Dia bahkan memberiku sepuluh dolar untuk berjaga-jaga."
"Dan kau menggunakannya"" Kim terkesiap.
"Tidak, hubungan kami baru seminggu," kataku. "Kita masih berada di kategori yang sama untuk urusan itu."
"Untuk sementara ini," balas Kim.
Satu lagi kategori yang Kim dan aku tetapkan adalah orang-orang yang berusaha menjadi keren dan orang-orang yang tidak berusaha. Dalam masalah ini, aku menganggap Adam, Kim, dan aku ada di kategori yang sama, karena meski Adam keren, dia tidak berusaha. Dia tidak perlu berusaha. Maka, aku mengira kami bertiga bisa menjadi sahabat baik. Aku mengharapkan Adam mencintai semua yang kucintai sebesar diriku mencintai mereka.
Dan memang terjadi seperti itu dalam keluargaku. Adam praktis menjadi anak ketiga. Tapi dia tidak pernah nyambung dengan Kim. Adam memperlakukannya sebagaimana kubayangkan dia memperlakukan gadis seperti diriku. Adam cukup baik-sopan, ramah, tapi berjarak. Dia tidak berusaha masuk ke dunia Kim atau membuat Kim terkesan. Aku menduga Adam menganggap Kim tidak cukup cool dan itu membuatku marah. Setelah kami berpacaran sekitar tiga bulan, kami bertengkar hebat mengenai itu.
"Aku bukan mengencani Kim. Aku mengencanimu," kata Adam, setelah aku menuduhnya tidak cukup ramah terhadap Kim.
"Maksudmu apa" Kau punya banyak teman cewek. Kenapa tidak menambahkan Kim dalam daftar temanmu""
Adam mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Kami hanya tidak nyambung." "Kau sok sekali!" seruku, mendadak murka.
Adam menatapku dengan alis berkerut, seakan aku soal matematika di papan tulis yang berusaha dipecahkannya. "Bagaimana itu membuatku jadi sok" Kau tidak bisa memaksakan pertemanan. Kami hanya tidak punya banyak kesamaan."
"Itulah yang membuatmu sok! Kau hanya menyukai orang-orang yang sama sepertimu!" aku berseru. Aku menghambur keluar, mengharapkannya mengejarku, memohon maaf, dan ketika dia tidak melakukannya, kemarahanku jadi berlipat ganda. Aku mengendarai sepeda menuju rumah Kim untuk memuntahkan kekesalan. Dia mendengarkan omelanku, ekspresinya menunjukkan ketidaktertarikan.
"Konyol sekali kalau dia cuma menyukai orang-orang yang sama seperti dirinya," kata Kim ketika aku selesai mengoceh. "Dia menyukaimu, dan kau tidak seperti dirinya."
"Itulah masalahnya," aku bergumam.
"Well, hadapi saja. Jangan menyeretku ke dalam masalah kalian," katanya. "Lagi pula, aku juga tidak terlalu suka padanya."
"O ya"" "Ya, Mia. Tidak semua orang tergila-gila pada Adam." "Maksudku bukan seperti itu. Aku hanya ingin kalian berteman."
"Yeah, well, aku mau tinggal di New York dan punya orangtua normal. Seperti kata orang bijak, 'Kau tidak bisa selalu mendapatkan yang kauinginkan'."
"Tapi kalian dua orang yang paling penting dalam hidupku."
Kim menatap wajahku yang merah serta sembap dan ekspresinya melembut menjadi senyum ramah. "Kami tahu itu, Mia. Tapi kami berada di tempat berbeda dalam kehidupanmu, per
sis seperti musik dan aku adalah hal-hal berbeda dalam hidupmu. Dan itu bukan masalah. Kau tidak perlu memilih salah satu, setidaknya sejauh itu menyangkut aku."
"Tapi aku ingin hal-hal berbeda dalam kehidupanku itu menyatu."
Kim menggeleng. "Bukan begitu caranya. Dengar, aku menerima Adam karena kau mencintainya. Dan kurasa dia menerimaku karena kau menyayangiku. Jika ini membuat perasaanmu lebih baik, cintamu menyatukan kami. Dan itu sudah cukup. Aku dan dia tidak harus saling mencintai juga."
"Tapi mauku begitu," aku merengek.
"Mia," kata Kim, ada nada mengancam dalam suaranya yang menandakan kesabarannya habis. "Kau mulai menjadi seperti cewek-cewek itu. Apa kau perlu mengambilkan senapan untukku""
Malam itu, aku mampir ke rumah Adam untuk meminta maaf. Dia menerima maafku dengan kecupan ringan di hidung. Dan setelah itu tidak ada yang berubah. Dia dan Kim tetap bersikap sopan tapi berjarak, tidak peduli seberapa keras usahaku menyatukan mereka. Lucunya, aku tidak pernah benar-benar percaya pada omongan Kim bahwa mereka disatukan melalui diriku- sampai saat ini, ketika aku melihat Kim setengah membopong Adam melintasi koridor rumah sakit.
21.06 "AKU punya waktu persis dua puluh menit sebelum manajer kami mulai blingsatan." Suara parau Brooke Vega menggelegar di lobi rumah sakit yang sekarang sepi. Jadi inilah ide Adam: Brooke Vega, sang dewi musik indie dan penyanyi utama Bikini. Dalam balutan pakaian punk-glamor cirri khasnya-malam ini berupa rok pendek menggembung, stoking jala, bot kulit hitam tinggi, T-shirt Shooting Star yang dirobek dengan artistik, dilengkapi syal bulu model kuno dan kacamata hitam Jackie O-dia tampak mencolok di lobi rumah sakit seperti burung unta di kandang ayam. Dia dikelilingi orang-orang: Liz dan Sarah; Mike dan Fitzy, gitaris rhythm dan pemain bas Shooting Star, plus beberapa penggemar punk Portland yang samar-samar kukenal. Dengan rambut warna magenta, Brooke seperti matahari, dikelilingi planet-planet yang mengaguminya. Adam seperti bulan, berdiri agak terpisah di samping, mengusap-usap dagu. Sementara itu, Kim tampak terenyak, seakan segerombolan makhluk Mars baru saja memasuki gedung. Atau mungkin karena Kim memuja Brooke Vega. Sebenarnya, Adam juga. Selain diriku, ini salah satu dari sedikit hal yang sama-sama mereka sukai.
"Aku akan memastikan kau keluar dari sini dalam lima belas menit," Adam berjanji, melangkah ke pusaran galaksi Brooke.
Brooke menghampirinya. "Adam, baby," katanya lembut. "Bagaimana keadaanmu"" Brooke merengkuhnya dalam pelukan seolah mereka sahabat lama, meski aku tahu mereka baru pertama kali bertemu hari ini; baru kemarin Adam berkata dia sangat gugup akan bertemu dengan Brooke. Tapi sekarang Brooke bersikap seakan Adam karibnya. Kurasa Brooke hanya mencari perhatian. Ketika dia memeluk Adam, aku melihat semua cowok dan cewek di lobi menyaksikan dengan mata mendamba, dalam bayanganku mereka berharap ada orang terkasih mereka yang tergeletak di lantai atau dalam keadaan menyedihkan sehingga merekalah yang dihadiahi rangkulan menenangkan dari Brooke.
Aku tidak kuasa bertanya-tanya, jika aku ada di sini, jika aku menyaksikan adegan ini sebagai Mia yang biasa, apakah aku akan cemburu juga" Tetapi, jika aku Mia yang dulu, Brooke Vega tidak akan datang ke lobi rumah sakit sebagai bagian rencana Adam untuk bertemu denganku.
"Oke, anak-anak. Waktunya rock-and-roll. Adam, bagaimana rencananya"" tanya Brooke.
"Kaulah rencananya. Aku belum memikirkan lebih jauh daripada dirimu pergi ke ICU dan menimbulkan keributan."
Brooke menjilat bibirnya yang penuh. "Membuat keributan adalah salah satu kegiatan favoritku. Menurutmu, apa yang seharusnya kita kerjakan" Menjerit sekeras-kerasnya" Buka baju" Merusak gitar" Tunggu, aku tidak membawa gitarku. Sial."
"Kau bisa menyanyikan sesuatu"" usul seseorang.
"Bagaimana kalau lagu lama Smiths Girlfriend in a Coma"" seseorang berseru.
Adam memucat begitu tersadar akan situasi ini dan Brooke mengangkat alis dengan ekspresi galak. Semua orang menjadi serius.
Kim berdeham. "Hm, tidak
ada gunanya Brooke melakukan pengalihan perhatian di lobi. Kita perlu ke lantai atas, ke ICU dan mungkin ada yang bisa berseru-seru bahwa Brooke Vega ada di sini. Barangkali akan berhasil. Kalau tidak, maka menyanyilah. Kami hanya ingin membujuk keluar beberapa perawat yang penasaran, supaya kepala perawat yang judes itu mengejar mereka. Begitu dia sudah berada di luar ICU dan melihat kita semua di lorong, dia akan terlalu sibuk menangani kita untuk menyadari Adam menyelinap ke dalam."
If I Stay Karya Gayle Forman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Brooke mengamati Kim. Kim dengan celana hitamnya yang kusut dan sweter butut. Kemudian Brooke tersenyum dan bergandengan tangan dengan sahabat karibku. "Rencana yang bagus. Ayo beraksi, anak-anak."
Aku sengaja berlama-lama di belakang mereka, menyaksikan iring-iringan anak punk ini melenggang melintasi lobi. Keberisikan mereka, sepatu bot mereka yang berat, dan suara mereka yang lantang, didorong ketergesaan mereka, memantul pada keheningan rumah sakit dan meniupkan kehidupan pada tempat ini. Aku ingat pernah menonton program TV tentang panti wreda yang membawa masuk kucing dan anjing untuk menyuntikkan kegembiraan pada orang-orang tua dan para pasien yang sekarat. Mungkin semua rumah sakit harus mengimpor sekelompok anak punk-rock berisik untuk memacu kembali jantung pasien yang melemah.
Mereka berhenti di depan elevator, menunggu lama sekali sampai ada bilik yang cukup kosong untuk membawa mereka semua sekaligus. Aku memutuskan ingin berada di sebelah tubuhku ketika Adam berhasil masuk ke ICU. Aku bertanya-tanya apakah akan bisa merasakan sentuhannya. Sementara mereka menunggu elevator, aku berlari menaiki tangga.
Sudah dua jam lebih aku meninggalkan ICU, dan telah banyak terjadi perubahan. Ada pasien baru di salah satu tempat tidur yang tadinya kosong, pria setengah baya yang wajahnya tampak seperti lukisan surealis: setengahnya tampak normal, bahkan tampan, setengahnya lagi penuh darah, kain kasa, dan jahitan, seolah ada yang meledakkannya. Mungkin luka tembak. Banyak terjadi kecelakaan akibat berburu di sekitar sini. Salah satu pasien lain, yang tertutup begitu banyak kain kasa dan perban sehingga aku tidak bisa melihat apakah dia pria atau wanita, sudah tidak ada. Di tempat tadinya dia berada, sekarang tergeletak wanita yang lehernya disangga benda mirip kerah tebal itu.
Sedangkan aku, sudah tidak ada ventilator yang membantuku. Aku ingat si petugas sosial berkata pada kakek-nenekku dan Bibi Diane bahwa ini langkah positif. Aku berhenti untuk memeriksa apakah aku merasa berbeda, tapi aku tidak merasakan apa-apa, setidaknya secara fisik. Aku tidak merasakan apa-apa sejak di mobil tadi pagi, mendengarkan Cello Sonata no.3 karya Beethoven. Sekarang setelah aku bisa bernapas sendiri, mesin-mesin monitorku lebih jarang berbunyi, maka aku tidak terlalu sering dikunjungi perawat. Perawat Ramirez, yang punya kuku cantik, menoleh ke arahku sesekali, tapi dia sibuk menangani pria berwajah setengah tadi.
"Demi dewa, apakah itu Brooke Vega"" Aku mendengar seseorang bertanya dalam nada palsu dan dramatis dari luar pintu otomatis ICU. Aku belum pernah mendengar teman-teman Adam bicara disensor seperti itu. Itu versi bersih ala rumah sakit mereka untuk "Demi setan dan anjing kudisan."
"Maksudmu Brooke Vega dari Bikini" Brooke Vega yang ada di sampul majalah Spin bulan kemarin" Di sini, di rumah sakit ini"" Kali ini Kim yang bicara. Dia kedengaran seperti anak enam tahun yang menghafal dialog drama sekolah tentang kelompok makanan: Maksudmu, kita harus makan lima porsi buah dan sayur setiap hari"
"Yeah, benar," kata suara parau Brooke. "Aku ada di sini untuk menawarkan pertolongan ala rock-and-roll ke seluruh Portland."
Dua perawat yang lebih muda, yang mungkin mendengarkan radio pop atau nonton MTV dan pernah mendengar tentang Bikini, menengadah, wajah mereka tampak bertanya-tanya dengan antusias. Aku mendengar mereka berbisik-bisik, ingin tahu apakah itu benar-benar Brooke, atau mungkin saja senang karena bisa beristirahat sebentar dari pekerjaan.
"Yeah. Benar. Maka rasanya aku akan menyanyikan sebuah lagu. Salah sat
u favoritku. Judulnya Eraser," kata Brooke. "Salah satu dari kalian bisa membantuku dengan ketukan""
"Aku butuh sesuatu untuk diketuk," jawab Liz. "Ada yang punya pulpen atau sejenisnya""
Sekarang para perawat dan petugas di ICU menjadi sangat penasaran dan melangkah ke pintu. Aku menyaksikan semua ini terjadi, seperti film di layar bioskop. Aku berdiri di sebelah tempat tidurku, mata terpaku pada pintu dobel, menunggunya terbuka. Aku gelisah karena tegang. Aku memikirkan Adam, bagaimana sentuhannya membuatku tenang, bagaimana dengan santai dia mengelus-elus tengkukku atau meniupkan udara hangat ke tanganku, dan aku bisa meleleh menjadi kubangan.
"Apa yang terjadi"" perawat yang lebih tua bertanya. Tiba-tiba setiap perawat dalam ruangan menoleh ke arahnya, tidak lagi ke arah Brooke. Tak ada yang berusaha menjelaskan bahwa bintang pop terkenal ada di luar. Momennya sudah lewat. Aku merasakan keteganganku mengempis menjadi kekecewaan. Pintu tidak akan terbuka.
Di luar, aku mendengar Brooke mulai melantunkan lirik Eraser. Bahkan secara a cappella, meski terhalang dua pintu otomatis, dia kedengaran bagus sekali.
"Panggil sekuriti sekarang," si perawat menggeram.
"Adam, sebaiknya kau masuk saja!" teriak Liz. "Sekarang atau tidak sama sekali. Serangan penuh."
"Pergi!" jerit Kim, tiba-tiba menjadi jenderal pasukan. "Kami akan melindungimu."
Pintu terbuka. Lebih dari enam anak punk merangsek masuk, Adam, Liz, Fitzy, beberapa orang yang tidak kukenal, kemudian Kim. Di luar, Brooke masih bernyanyi, seakan mengadakan konser untuk Portland.
Ketika Adam dan Kim menyerang melalui pintu, mereka berdua tampak penuh tekad, bahkan gembira. Aku terkagum-kagum melihat keganasan mereka, kekuatan tersembunyi mereka. Aku ingin melonjak-lonjak dan menyoraki mereka seperti yang kulakukan pada pertandingan-pertandingan T-ball Teddy ketika anak itu berada di putaran ketiga dan berlari menuju home. Sulit dipercaya, tapi menyaksikan Kim dan Adam beraksi, aku hampir merasa gembira juga.
"Di mana dia"" teriak Adam. "Di mana Mia""
"Di pojok, di sebelah lemari peralatan!" seru seseorang. Aku butuh semenit untuk menyadari bahwa yang berseru itu Perawat Ramirez.
"Sekuriti! Tangkap dia! Tangkap dia!" si perawat pemarah berteriak. Dia melihat Adam di antara penyerbu dan wajahnya berubah merah jambu karena marah. Dua sekuriti rumah sakit dan dua petugas berlari masuk. "Dude, apakah itu tadi Brooke Vega"" salah satu bertanya sambil menyambar Fitzy dan melemparkannya ke luar.
"Rasanya ya," satu lagi menjawab, menyambar Sarah dan menyeretnya keluar.
Kim melihatku. "Adam, dia di sini!" jeritnya, kemudian saat menoleh untuk melihatku, teriakannya terhenti. "Dia di sini," katanya lagi, tapi kali ini dengan suara mengerang.
Adam mendengarnya dan menghindari beberapa perawat untuk mengarah kepadaku. Kemudian dia di sana, di kaki tempat tidurku, tangannya terulur untuk menyentuhku. Tangannya akan menyentuhku. Tiba-tiba aku memikirkan ciuman pertama kami setelah konser Yo-Yo Ma, bagaimana aku tidak menyadari betapa aku menginginkan bibirnya menyatu dengan bibirku sampai ciuman itu hampir terjadi. Aku tidak menyadari betapa aku sungguh ingin dia menyentuhku, sampai sekarang ketika aku nyaris bisa merasakannya.
Nyaris. Tapi tiba-tiba Adam bergerak menjauh dariku. Dua sekuriti menyambar bahunya dan menariknya mundur. Salah satu sekuriti yang sama menarik siku Kim dan menyeretnya keluar. Kim sekarang lesu, tidak melawan.
Brooke masih bernyanyi di lorong. Ketika melihat Adam, dia berhenti. "Sori, Sayang," katanya. "Aku harus pergi sebelum terlambat ke pertunjukanku. Atau ditangkap polisi." Kemudian dia berlari melintasi lorong, diikuti beberapa petugas yang meminta tanda tangannya.
"Telepon polisi!" si perawat tua berteriak. "Tahan dia."
"Kami akan membawanya ke kantor sekuriti. Protokol," kata salah satu penjaga.
"Bukan kami yang memutuskan apakah dia ditahan atau tidak," satu lagi menambahkan.
"Bawa saja dia keluar dari bangsalku." Dia menggeram dan berbalik. "Miss Ramirez, sebaiknya bukan kau yang mendukung
keributan ini." "Tentu saja bukan. Tadi aku sedang di lemari penyimpanan. Aku ketinggalan keributan ini," jawab Perawat Ramirez. Dia pembohong yang mahir karena wajahnya tidak mengkhianatinya.
Si perawat tua menepukkan tangan. "Oke. Pertunjukan bubar. Kembali bekerja."
Aku mengejar Adam dan Kim, yang dibawa ke elevator. Aku melompat masuk bersama mereka. Kim tampak terpana, seakan ada yang menekan tombol reset-nya dan dia masih dalam kondisi reboot. Bibir Adam berupa garis tipis keras. Aku tidak tahu apakah dia hendak menangis atau menjotos penjaga. Demi dirinya sendiri, kuharap yang pertama. Demi diriku, kuharap yang kedua.
Di lantai bawah, para penjaga mendorong Adam dan Kim menuju lorong yang penuh ruangan kantor yang sudah gelap. Mereka hendak masuk ke salah satu dari sedikit ruang kantor yang lampunya masih menyala ketika aku mendengar seseorang memekikkan nama Adam.
"Adam. Stop. Kaukah itu""
"Willow"" Adam berseru. "Willow"" gumam Kim.
"Permisi, ke mana kalian akan membawa mereka"" Willow berseru pada para penjaga sambil berlari menghampiri.
"Maaf, tapi dua anak ini tertangkap ketika memaksa masuk ke ICU," salah satu penjaga menjelaskan.
"Hanya karena mereka tidak mengizinkan kami masuk," Kim menjelaskan dengan lemah.
Willow tiba di hadapan mereka. Dia masih mengenakan baju perawat, dan itu aneh, karena biasanya dia menggantinya dengan apa yang disebutnya "gaya ortopedis" sesegera mungkin. Rambutnya yang merah, keriting, dan panjang tampak lepek dan berminyak, seakan lupa dicuci beberapa minggu belakangan. Dan pipinya, yang biasanya semerah apel, sekarang tampak pucat. "Maaf, aku perawat di Cedar Creek. Aku dilatih di sini, maka kalau kalian mau, aku bisa membereskan masalah ini dengan Richard Caruthers."
"Siapa dia"" tanya salah satu penjaga.
"Direktur humas," jawab penjaga satu lagi. Kemudian dia menoleh kepada Willow. "Dia tidak ada di sini. Sekarang sudah bukan jam kerja."
"Well, aku punya nomor teleponnya," kata Willow, menghunuskan ponsel seperti senjata. "Aku ragu dia akan senang jika aku meneleponnya sekarang dan memberitahunya bagaimana rumah sakit memperlakukan orang yang berusaha mengunjungi pacarnya yang luka parah. Kalian tahu direktur menganggap rasa welas asih sepenting efisiensi, dan ini bukan cara memperlakukan kekasih yang sedang cemas."
"Kami hanya melaksanakan tugas, Ma'am. Menuruti perintah."
"Bagaimana kalau aku membebaskan kalian dari masalah dan mengambil alih dari sini" Keluarga pasien berkumpul di atas. Mereka menunggu dua anak ini untuk bergabung bersama mereka. Nih, kalau kalian tertimpa masalah, katakan pada Mr. Caruthers untuk menghubungiku." Dia merogoh tas dan mengeluarkan kartu nama kemudian menyerahkannya. Salah satu penjaga menatap kartu itu, menyerahkannya kepada penjaga satu lagi, yang menatap kartu lalu mengangkat bahu.
"Lebih enak jika kami bisa menghindari tugas laporan tertulis," katanya. Dia melepaskan Adam, yang tubuhnya melorot seperti boneka jerami diturunkan dari tiang. "Sori, Nak," kata si penjaga kepada Adam, menepuk-nepuk bahunya.
"Semoga pacarmu baik-baik saja," gumam yang satu lagi. Kemudian mereka menghilang menuju pendar cahaya mesin makanan otomatis.
Kim, yang pernah bertemu Willow dua kali, segera memeluk wanita itu. "Terima kasih!" gumamnya di leher Willow.
Willow membalas pelukannya, menepuk bahu Kim sebelum melepaskannya. Dia menggosok-gosok mata dan tergelak kecil. "Apa yang ada dalam pikiran kalian berdua"" dia bertanya.
"Aku ingin bertemu Mia," kata Adam.
Willow menoleh pada Adam dan seakan ada yang melepas penyumbat dari tubuhnya, mengeluarkan seluruh udara darinya. Dia tampak mengempis. Dia meraih dan menyentuh pipi Adam. "Tentu saja." Dia mengusap mata menggunakan pangkal tangan.
"Kau tidak apa-apa"" tanya Kim.
Willow mengabaikan pertanyaan itu. "Coba kita lihat apakah kau bisa melihat Mia."
Adam langsung berdiri tegak mendengar ini. "Menurutmu, kau bisa" Perawat tua itu tidak menyukaiku."
"Jika si perawat tua adalah orang yang kuduga, tidak masalah apakah dia menyukaimu. Bukan
dia yang berkuasa. Ayo kita bertemu kakek-nenek Mia, kemudian aku akan mencari orang yang bisa mengubah peraturan di sini dan membawamu bertemu pacarmu. Mia membutuhkanmu sekarang. Lebih daripada sebelumnya."
Adam memutar tubuh dan memeluk Willow begitu erat sampai kaki wanita itu terangkat dari lantai.
Willow sang penyelamat. Seperti dia pernah menyelamatkan Henry, sahabat dekat Dad dan teman satu grup musiknya, yang dulu playboy pemabuk berat. Ketika Henry dan Willow baru berkencan beberapa minggu, Willow memintanya sadar dan bertobat atau selamat tinggal. Dad bilang sudah banyak cewek yang member ultimatum kepada Henry, berusaha memaksanya berubah, dan banyak cewek yang akhirnya ditinggalkan dalam keadaan menangis. Tapi ketika Willow mengemasi sikat giginya dan berkata pada Henry bahwa dia harus menjadi dewasa, Henry-lah yang menangis. Kemudian dia mengeringkan air matanya, menjadi dewasa, tidak mabuk lagi, dan setia. Delapan tahun kemudian, mereka di sini, bahkan punya anak. Willow sangat tegas dalam hal itu. Mungkin itulah sebabnya setelah dia dan Henry bersama-sama, dia menjadi sahabat karib Mom; Willow juga wanita setangguh baja, selembut anak kucing, perempuan feminis. Dan mungkin itu sebabnya dia salah satu orang favorit Dad, meski Willow benci The Ramones dan menganggap bisbol permainan membosankan, sementara Dad hidup demi The Ramones dan menganggap bisbol bagai institusi keagamaan.
Sekarang Willow ada di sini. Willow sang perawat. Willow yang tak mau menerima tidak sebagai jawaban, dia ada di sini. Dia akan membawa Adam menjengukku. Dia akan mengatasi semuanya. Hore! Aku ingin berteriak. Willow ada di sini!
Aku begitu sibuk merayakan kedatangan Willow sehingga penyebab keberadaannya di sini butuh beberapa lama untuk kusadari, tapi ketika menyadarinya, aku bagaikan tersengat listrik.
Willow ada di sini. Dan jika dia ada di sini, jika dia ada di rumah sakitku, artinya tidak ada alasan baginya untuk tetap berada di rumah sakitnya. Aku cukup mengenalnya sehingga yakin dia takkan bisa meninggalkannya di sana. Bahkan dengan keadaanku di sini, Willow akan tetap menemaninya di sana. Dia terluka, dan dibawa ke sana untuk dirawat Willow. Dia pasien Willow. Prioritas Willow.
Aku memikirkan fakta bahwa Gran dan Gramps ada di Portland bersamaku. Dan semua orang yang berada di ruang tunggu membicarakan aku, mereka menghindari perbincangan mengenai Mom, Dad, atau Teddy. Aku memikirkan wajah Willow, yang semua kegembiraannya seakan tersapu bersih. Dan aku memikirkan apa yang dikatakannya pada Adam, bahwa aku membutuhkannya sekarang. Lebih daripada sebelumnya.
Dan begitulah aku tahu. Teddy. Dia juga telah tiada.
-oOo- Mom melahirkan tiga hari sebelum Natal, dan berkeras kami pergi belanja Natal bersama-sama. "Tidakkah seharusnya Mom berbaring atau pergi ke bidan"" tanyaku.
Mom mengernyit menahan kram. "Tidak. Kontraksinya belum parah dan jedanya masih sekitar dua puluh menit. Aku membersihkan seluruh rumah, dari atas sampai bawah, ketika hendak melahirkanmu."
"Bekerja untuk mengejan," candaku.
"Dasar anak sok pintar," kata Mom. Dia menarik napas beberapa kali. "Aku masih punya banyak waktu. Ayo kita naik bus ke mal. Aku tidak bisa menyetir."
"Bukannya lebih baik menelepon Dad"" usulku.
Mom tertawa mendengarnya. "Tolong deh, sudah cukup harus melahirkan anak ini. Aku tidak butuh berurusan dengan Dad juga. Kita akan meneleponnya jika bayinya hampir keluar. Aku lebih memilih bersamamu sekarang."
Maka Mom dan aku berkeliling mal, berhenti setiap beberapa menit agar Mom bisa duduk dan menarik napas dalam-dalam sambil meremas pergelangan tanganku begitu kuat sampai bertanda merah. Tapi tetap saja pagi itu menyenangkan dan produktif, meski aneh. Kami membeli hadiah untuk Gran dan Gramps (sweter bergambar malaikat dan buku baru tentang Abraham Lincoln) serta mainan untuk si bayi dan sepasang sepatu bot hujan untukku. Biasanya kami menunggu ada diskon liburan untuk belanja hal-hal semacam itu, tapi Mom berkata tahun ini kami akan terlalu sibuk mengganti popok. "Sekarang bukan saatnya untuk
pelit. Aw, setan. Sori, Mia. Ayo, kita makan pai."
Kami pergi ke Marie Callender's. mom memesan sepotong pai labu dan sepotong pai krim pisang. Aku memilih pai blueberry. Ketika selesai, Mom mendorong piringnya dan memberitahukan dia siap pergi ke bidan.
Kami tidak pernah membicarakan keberadaanku atau ketidakberadaanku di sana waktu itu. Aku selalu pergi ke mana-mana bersama Mom dan Dad, maka orang-orang menyangka aku selalu ada. Kami bertemu dengan Dad yang gelisah setengah mati di klinik bersalin, yang sama sekali
tidak tampak seperti ruang praktik dokter. Klinik itu berada di lantai dasar rumah, bagian dalamnya penuh tempat tidur dan bak Jacuzzi, peralatan kedokteran disembunyikan. Sang bidan yang hippie membawa Mom masuk dan Dad bertanya apakah aku mau ikut. Saat itu aku sudah bisa mendengar jeritan-jeritan Mom yang terdiri atas sumpah serapah.
"Aku bisa menelepon Gran dan dia akan menjemputmu," kata Dad, mengernyit mendengar makian Mom. "Ini mungkin agak lama."
Aku menggeleng. Mom membutuhkanku. Mom yang bilang begitu. Aku duduk di salah satu sofa bermotif bunga-bunga dan mengambil majalah bersampul bayi botak berwajah culun. Dad menghilang ke dalam ruangan yang berisi tempat tidur.
"Musik! Sialan! Musik!" Mom memekik.
"Kami punya lagu-lagu Enya yang bagus. Sangat menenangkan," ujar si bidan.
"Bodo amat dengan Enya!" teriak Mom. "Melvins. Earth. Sekarang!"
"Aku bawa," kata Dad. Kemudian dia memasang CD musik yang paling keras, memekakkan, penuh suara gitar listrik yang pernah kudengar. Musik itu membuat lagu-lagu punk bertempo cepat yang biasa disetel Dad kedengaran seperti music harpa. Musik ini berperan penting dan tampaknya berhasil membuat Mom merasa lebih baik. Dia mulai mengeluarkan suara-suara rendah seperti menggeram. Aku duduk di sana diam-diam. Beberapa kali Mom meneriakkan namaku dan aku bergegas masuk. Mom menatapku, wajahnya bersimbah peluh. Jangan takut, bisiknya. Wanita bisa menanggung rasa sakit yang paling buruk. Kau akan mengetahuinya suatu hari nanti. Kemudian dia memekikkan setan lagi.
Aku pernah melihat beberapa proses persalinan di TV kabel, dan biasanya orang-orang berteriak sebentar; kadang mereka memaki dan suara mereka harus disensor, tapi tampaknya tidak pernah berlangsung lebih dari setengah jam. Setelah tiga jam, Mom dan band Melvins masih berteriak-teriak bersama. Seluruh klinik bersalin terasa selembap daerah tropis, meski udara di luar hanya empat derajat.
Henry mampir. Ketika masuk dan mendengar jeritan-jeritan Mom, dia mendadak membeku. Aku tahu hal-hal yang berhubungan dengan anak membuatnya ketakutan setengah mati. Aku pernah mendengar Mom dan Dad membicarakan itu, dan keengganan Henry menjadi dewasa. Henry rupanya shock begitu Mom dan Dad memilikiku, dan sekarang sangat bingung karena mereka memilih untuk memiliki anak kedua. Mom dan Dad sangat lega begitu Henry dan Willow pacaran lagi. "Akhirnya, ada orang dewasa dalam kehidupan Henry," Mom pernah berkata begitu.
Henry menatapku; wajahnya pucat dan berkeringat. "Buset, Mee. Bolehkah kau mendengar ini" Bolehkah aku mendengar ini""
Aku mengangkat bahu. Henry duduk di sebelahku. "Aku kena flu, tapi ayahmu menelepon untuk memintaku membawa makanan. Jadi di sinilah aku," katanya, menawariku kantong Taco Bell yang menguarkan bau bawang. Mom mengerang lagi. "Sebaiknya aku pergi. Aku tidak ingin menyebarkan virus." Mom menjerit lebih keras dan Henry terlonjak dari tempat duduk. "Kau yakin mau tetap di sini" Kau bisa ke rumahku. Ada Willow, merawatku." Henry nyengir ketika menyebut nama Willow. "Dia akan merawatmu juga." Dia berdiri untuk pergi.
"Tidak usah. Aku baik-baik saja. Mom membutuhkanku. Tapi Dad agak gugup sih."
"Ayahmu sudah muntah"" tanya Henry, duduk kembali di sofa. Aku tertawa, tapi kemudian aku melihat wajahnya yang serius.
"Dia muntah waktu kau lahir. Hampir tergeletak pingsan di lantai. Aku tidak bisa menyalahkannya. Tapi ayahmu benar-benar kacau, dokter-dokter ingin melemparkannya keluar... berkata mereka akan mengusirnya kalau kau tidak lahir juga dalam setengah jam. It
u membuat ibumu marah dan mendorongmu keluar lima menit kemudian." Henry tersenyum, bersandar kembali di sofa. "Begitulah kisahnya. Tapi biar kuberitahu ini ya: ayahmu menangis seperti bayi sialan ketika kau lahir."
"Begitu yang kudengar."
"Dengar apa"" tanya Dad sambil tersengal-sengal. Dia menyambar kantong dari tangan Henry.
"Taco Bell, Henry""
"Hidangan untuk para pemenang," kata Henry.
"Lumayanlah. Aku kelaparan. Menegangkan sekali di dalam sana. Harus menjaga kekuatan."
Henry mengedipkan sebelah mata padaku. Dad mengeluarkan burrito dan menawarkan satu untukku. Aku menggeleng. Dad mulai membuka bungkus makanannya ketika Mom menggeram kemudian mulai menjerit-jerit pada bidan bahwa dia siap mengejan.
Si bidan melongokkan kepala dari balik pintu. "Kurasa sudah dekat, jadi mungkin sebaiknya kau makan nanti saja," katanya. "Kembalilah ke dalam."
Henry benar-benar melesat kabur melalui pintu depan. Aku mengikuti Dad ke dalam kamar tempat Mom sekarang dalam posisi duduk, tersengal-sengal seperti anjing sakit. "Kau mau menyaksikan"" si bidan bertanya pada Dad, tapi Dad hanya terhuyung dan wajahnya berubah pucat kehijauan.
"Mungkin sebaiknya aku di atas sini saja," katanya, meremas tangan Mom, yang dengan kasar menepiskannya.
Tidak ada yang bertanya padaku apakah aku mau menyaksikan. Aku otomatis melangkah ke samping bidan. Lumayan menjijikkan, kuakui. Banyak darah. Dan aku belum pernah melihat Mom setelanjang ini. Tapi rasanya normal saja aku ada di sana. Bidan menyuruh Mom mendorong, kemudian tahan, lalu dorong lagi. "Ayo bayi, ayo bayi, ayo bayi ayo," si bidan merayu. "Kau hampir keluar!" dia bersorak. Mom tampak ingin menjotosnya.
Ketika Teddy meluncur keluar, wajahnya menengadah, mengarah ke langit-langit, jadi yang pertama dilihatnya adalah aku. Dia tidak keluar sambil menangis, seperti yang biasa dilihat orang di TV. Dia diam saja. Matanya terbuka, menatap langsung padaku. Dia tetap memandangku ketika bidan menyedot hidungnya. "Laki-laki!" seru bidan.
Bidan meletakkan Teddy di perut Mom. "Kau mau memotong tali pusarnya"" bidan bertanya pada Dad. Dad melambaikan tangan tanda tidak mau, entah terlalu terharu atau mual untuk bicara.
"Aku yang potong," aku menawarkan.
Bidan merentangkan tali pusar dan memberitahuku di mana harus memotong. Teddy berbaring diam, matanya yang kelabu masih terbuka, masih menatapku.
Mom selalu berkata karena Teddy melihatku lebih dulu, dan karena aku yang memotong tali pusarnya, maka jauh di dalam lubuk hati, Teddy menganggapku ibunya. "Seperti anak-anak angsa itu," canda Mom. "Lebih dekat pada si ahli hewan, alih-alih pada induk angsa, karena si ahli hewanlah yang pertama mereka lihat ketika menetas."
Mom melebih-lebihkan. Teddy tidak benar-benar menganggapku ibunya, tapi ada beberapa hal untuknya yang hanya aku yang bisa melakukannya. Ketika dia masih bayi dan dalam masa-masa rewel saat tengah malam, dia baru bisa tenang setelah aku memainkan ninabobo dengan cello-ku. Ketika dia mulai tergila-gila pada Harry Potter, hanya aku yang boleh membacakannya satu bab setiap malam. Dan jika lututnya terluka atau kepalanya terbentur, kalau aku ada di sekitarnya, dia tidak akan berhenti menangis sampai aku memberinya ciuman ajaib pada lukanya, dan setelah itu dia sembuh secara menakjubkan.
Aku tahu semua ciuman ajaib di dunia mungkin takkan mampu menolongnya hari ini. Tapi aku rela melakukan apa saja demi bisa memberinya ciuman ajaib.
20.12 AKU menyaksikan Adam dan Kim menghilang ke ujung lorong. Aku bermaksud mengikuti mereka tapi terpaku di lantai, tidak mampu menggerakkan kaki hantuku. Setelah mereka menghilang di tikungan, barulah aku menguatkan diri dan mengikuti, tapi mereka sudah lenyap ke dalam elevator.
Sekarang aku tahu bahwa aku tidak memiliki kemampuan supernatural. Aku tidak bisa melayang menembus tembok atau meluncur ke bawah menembus tangga. Aku hanya bisa melakukan hal-hal yang biasa kulakukan dalam kehidupan nyata, kecuali tampaknya apa yang kulakukan di duniaku sekarang tidak kasatmata bagi orang lain. Setidaknya begitul
ah yang terjadi karena tidak ada orang yang menoleh waktu aku membuka pintu atau menekan tombol elevator. Aku bisa menyentuh benda-benda, bahkan menggerakkan gagang pintu dan sejenisnya, tapi aku tidak bisa benar-benar merasakan apa-apa atau orang lain. Seakan aku mengalami segalanya dari dalam akuarium. Tidak begitu masuk akal bagiku, tapi semua yang terjadi hari ini memang terasa tidak masuk akal.
Aku menduga Kim dan Adam menuju ruang tunggu untuk bergabung dengan orang-orang yang berjaga di sana, tapi ketika aku tiba di sana, keluargaku tidak ada. Yang ada hanya tumpukan mantel dan sweter di kursi-kursi dan aku mengenali jaket bulu domba jingga terang milik sepupuku Heather. Dia tinggal di pedesaan dan suka berjalan-jalan di hutan, jadi dia berkata warna-warna menyala diperlukan agar para pemburu mabuk tidak menyangkanya beruang.
Aku melihat jam di dinding. Mungkin saja mereka sedang makan malam. Aku kembali ke lorong untuk pergi ke kantin, yang beraroma gorengan dan sayuran rebus, sama seperti kantin di mana saja. Meski aromanya tidak enak, kantin itu penuh manusia. Meja-meja dijejali para dokter, perawat, dan mahasiswa kedokteran yang gugup dalam balutan jaket putih pendek dan stetoskop yang begitu mengilap sehingga tampak seperti mainan. Mereka semua menyantap piza dan kentang tumbuk beku yang dipanaskan. Aku butuh waktu untuk menemukan keluargaku, berkumpul di salah satu meja. Gran mengobrol dengan Heather. Gramps mengawasi sandwich kalkunnya lekat-lekat.
Bibi Kate dan Bibi Diane duduk di pojok, berbisik-bisik tentang sesuatu. "Luka ringan dan memar. Dia sudah boleh pulang dari rumah sakit," Bibi Kate berkata, dan selama sedetik aku mengira dia membicarakan Teddy dan aku jadi begitu gembira sehingga hampir menangis. Tapi kemudian aku mendengar bahwa tidak ada alkohol dalam darahnya, bahwa mobil kami tergelincir ke jalur sebelah dan orang bernama Mr. Dunlap berkata dia tidak sempat berhenti, kemudian aku sadar bukan Teddy yang mereka bicarakan; tapi si pengemudi satunya.
"Polisi berkata mungkin salju, atau rusa yang menyebabkan mobil mereka tergelincir," Bibi Kate melanjutkan. "Dan rupanya kecelakaan yang tidak imbang ini sering terjadi. Satu pihak tidak apa-apa sementara pihak lain mengalami luka berat..." Suaranya menghilang.
Aku mungkin takkan menyebut Mr. Dunlap "tidak apa-apa", tidak peduli seberapa ringan luka-lukanya. Aku memikirkan apa yang pasti dirasakannya, bangun pada Selasa pagi dan masuk ke truk lalu berangkat kerja ke penggilingan atau mungkin ke toko pakan hewan atau ke Loretta's Diner untuk sarapan telur dadar. Mr. Dunlap, yang mungkin saja hidup bahagia atau merana, menikah dan punya putra-putri atau masih bujangan. Tapi apa pun dan siapa pun dirinya tadi pagi, dia bukan lagi orang yang sama. Kehidupannya juga sudah jungkir balik. Jika apa yang diucapkan bibi-bibiku benar, dan kecelakaan itu bukan salah Mr. Dunlap, lelaki itu menjadi orang yang kata Kim "si sial yang malang," yang berada di tempat dan waktu yang salah. Karena nasib buruk dan sedang berada di dalam truknya, mengemudi ke arah timur di Rute 27 pagi tadi, ada dua anak yang sekarang yatim-piatu dan setidaknya salah satu dari mereka berada dalam kondisi menyedihkan.
Bagaimana kau bisa menanggung itu dalam hidupmu" Selama sedetik, aku membayangkan diriku sembuh dan keluar dari sini lalu mengunjungi rumah Mr. Dunlap, untuk melepaskan beban di bahunya, meyakinkan bahwa ini bukan salahnya. Mungkin kami akan berteman.
Tentu saja, barangkali keadaan tidak akan seperti itu. Suasana akan sangat canggung dan sedih. Lagi pula, aku belum memutuskan apa yang akan kulakukan, masih belum tahu bagaimana aku bisa memilih untuk tinggal atau pergi. Sampai berhasil memecahkan masalah itu, aku harus membiarkan keadaan berada dalam tangan takdir, atau para dokter, atau siapa pun yang memutuskan permasalahan seperti ini ketika orang yang seharusnya memilih terlalu bingung mau memilih elevator atau tangga.
Aku perlu Adam. Aku mencari Adam dan Kim sekali lagi tapi mereka tidak ada di sini, maka aku kembali naik ke ICU.
Aku menemukan mereka bersembunyi di bagian trauma, beberapa lorong jauhnya dari ICU. Mereka berusaha tampak santai ketika memeriksa beberapa pintu menuju berbagai lemari penyimpanan. Ketika akhirnya menemukan yang tidak terkunci, mereka menyelinap masuk. Mereka berkutat dalam kegelapan untuk mencari sakelar lampu. Aku tidak ingin memberitahukan kabar buruk pada mereka bahwa sebenarnya sakelar itu ada di luar, di lorong.
"Aku tidak yakin hal seperti ini akan berhasil selain di film-film," Kim berkata sambil meraba-raba dinding.
"Setiap fiksi punya dasar fakta," sahut Adam.
"Kau tidak kelihatan seperti dokter," kata Kim.
"Aku akan menyamar jadi petugas. Atau petugas kebersihan."
"Untuk apa petugas kebersihan masuk ICU"" tanya Kim. Dia memang selalu mendetail.
"Bilang saja ada bohlam yang pecah. Entahlah. Tergantung bagaimana kau mencari alasan."
"Aku masih tidak mengerti kenapa kau tidak mendatangi keluarganya saja," kata Kim, pragmatis seperti biasa. "Aku yakin kakek-neneknya bisa menjelaskan, bisa meyakinkan mereka agar mengizinkanmu menjenguk Mia."
Adam menggeleng. "Kau tahu, ketika perawat tadi mengancam akan memanggil sekuriti, pikiran pertamaku adalah 'Aku akan menelepon orangtua Mia untuk membereskan ini'." Adam berhenti, menarik napas beberapa kali. "Pikiran itu terus menyerangku, dan rasanya setiap kali seperti baru pertama kali mendengarnya," katanya dengan suara parau.
"Aku tahu," Kim menjawab dengan bisikan.
"Yah," Adam berkata, meneruskan kegiatannya mencari sakelar lampu, "aku tidak bisa meminta bantuan kakek-neneknya. Aku tidak mau menambah beban mereka. Ini harus kulakukan sendiri."
Aku yakin kakek-nenekku akan senang sekali menolong Adam. Mereka sudah bertemu dengannya berkali-kali, dan mereka sangat menyukainya. Saat Natal, Gran selalu memastikan ada fudge mapel untuk Adam karena Adam pernah bilang sangat menyukainya.
Tapi aku juga tahu bahwa kadang-kadang Adam perlu melakukan sesuatu dengan cara dramatis. Dia penggemar tindakan spektakuler. Misalnya, betapa dia menabung selama dua minggu untuk membawaku ke konser Yo-Yo Ma alih-alih hanya mengajakku kencan biasa. Atau mendekorasi jendela kamarku dengan bunga-bunga setiap hari selama seminggu ketika aku menderita cacar air yang menular.
Sekarang aku bisa melihat bahwa Adam berkonsentrasi untuk tugas barunya. Aku tidak yakin apa yang ada dalam pikirannya, tapi apa pun rencananya, aku bersyukur, meski hanya agar dia terbebas dari kondisi shock yang kulihat di luar ICU. Aku pernah melihatnya seperti ini, ketika dia menulis lagu baru atau berusaha meyakinkanku agar melakukan sesuatu yang tidak kuinginkan-seperti kemping bersamanya-dan tidak ada apa pun, termasuk meteor yang menabrak bumi, atau pacar di ICU, yang bisa menggentarkan dirinya.
Lagi pula, si pacar ICU-lah yang memicu tindakan Adam sekarang. Dan dari yang bisa kutebak, ini tipuan rumah sakit paling tua dalam sejarah, dicomot langsung dari film The Fugitive, yang baru saja kutonton bersama Mom di saluran TNT. Aku meragukan keberhasilannya. Begitu pula Kim.
"Memangnya perawat yang tadi tidak akan mengenalimu"" kata Kim. "Kau tadi kan membentaknya."
"Dia tidak bakal mengenaliku kalau tidak melihatku. Sekarang aku mengerti, kau dan Mia memang sebelas-dua belas. Sepasang cewek gampang panik."
Adam belum pernah bertemu Mrs. Schein, jadi dia tidak mengerti bahwa menyebut Kim pencemas artinya minta dihajar. Kim memberengut, tapi kemudian aku bisa melihatnya menyerah. "Mungkin rencana tololmu ini akan lebih berhasil jika kita bisa melihat apa yang kita lakukan." Dia mengaduk-aduk isi tas dan mengeluarkan ponsel yang dipaksa ibunya untuk dibawanya ketika dia masih berumur sepuluh tahun-alat pelacak anak-anak, Kim menyebutnya-dan menyalakan monitornya. Seberkas cahaya mengurangi kegelapan.
"Nah, sekarang kau lebih mirip gadis brilian yang sering dibanggakan Mia," kata Adam. Dia menyalakan ponselnya sendiri dan ruangan diterangi pendar samar.
Sayangnya, pendar cahaya menunjukkan lemari kecil itu berisi beberapa sapu, ember, dan pel, tapi tidak ada alat-alat penyamaran
yang dicari Adam. Jika bisa, aku akan memberitahu mereka bahwa rumah sakit ini punya ruang loker, tempat para dokter dan perawat menyimpan pakaian sehari-hari dan tempat mereka berganti seragam bedah atau jas laboratorium. Satu-satunya pakaian rumah sakit yang ada di sana hanya baju longgar memalukan yang mereka kenakan pada pasien. Adam mungkin bisa berkeliaran di rumah sakit mengenakan baju longgar itu di kursi roda tanpa ada yang curiga, tapi tetap saja itu tidak akan membawanya ke ICU.
"Sial," maki Adam.
"Kita bisa mencoba terus," kata Kim, mendadak jadi penyemangat. "Gedung ini punya sekitar sepuluh lantai. Aku yakin masih ada beberapa lemari yang tidak dikunci."
Adam duduk melorot di lantai. "Tidak. Kau benar. Ini tolol. Kita harus memikirkan rencana yang lebih baik."
"Kau bisa pura-pura overdosis narkoba atau apalah agar mereka bawa ke ICU," usul Kim.
"Ini Portland. Kau beruntung kalau kasus overdosis narkoba bisa membawamu ke ICU," jawab Adam. "Tidak, aku memikirkan sesuatu yang bisa dijadikan pengalih perhatian. Kau tahu, misalnya menyalakan alarm kebakaran sehingga para perawat berlarian keluar."
"Menurutmu, siraman air dan perawat-perawat panik bagus untuk kondisi Mia"" tanya Kim.
"Well, tidak harus seperti itu, tapi sesuatu yang bisa membuat mereka menoleh setengah detik saja agar aku bisa menyelinap masuk."
"Kau akan langsung ketahuan. Mereka akan melemparkanmu sampai terjengkang." "Aku tidak peduli," sahut Adam. "Aku hanya butuh sedetik." "Kenapa" Maksudku, bisa apa kau dalam sedetik""
Adam terdiam sejenak. Matanya, yang biasanya berwarna campuran abu-abu, cokelat, dan hijau, sekarang berubah gelap. "Agar aku bisa menunjukkan pada Mia bahwa aku ada di sini. Bahwa seseorang masih di sini."
Kim tidak lagi mengajukan pertanyaan setelah itu. Mereka duduk di sana dalam keheningan, masing-masing sibuk berpikir, dan ini mengingatkanku betapa Adam dan aku bisa bersama-sama tapi diam dan terpisah, dan aku sadar bahwa mereka berteman sekarang, sungguh-sungguh berteman. Tidak peduli apa yang terjadi, setidaknya aku membuat mereka berteman.
Setelah sekitar lima menit, Adam menepuk dahi.
"Tentu saja," katanya.
"Apa"" "Sudah waktunya menyalakan Sinyal Kelelawar."
"Hah"" "Ayo. Akan kutunjukkan."
---oOo--- Ketika aku baru mulai main cello, Dad masih main drum di bandnya, meski mereka mulai bubar dua tahun kemudian ketika Teddy lahir. Tapi sejak hari pertama, aku bisa melihat ada yang berbeda tentang jenis musikku, sesuatu yang lebih daripada kebingungan orangtuaku terhadap selera musik klasikku. Musik soliter. Maksudku, Dad mungkin bisa menggebuk drum beberapa jam secara solo atau menulis lagu sendirian di meja dapur, memetik nada pada gitar akustiknya yang sudah dimakan usia, tapi dia selalu berkata bahwa lagu benar-benar ditulis ketika kau memainkannya. Itulah yang menjadikannya menarik.
Ketika aku bermain, biasanya aku sendirian saja, di kamarku. Bahkan ketika aku berlatih bersama berbagai mahasiswa, selain selama latihan, tetap saja aku biasanya bermain solo. Dan jika aku ikut konser atau resital, aku sendirian, di panggung, cello-ku, diriku sendiri, dan penonton. Dan tidak seperti pertunjukan-pertunjukan Dad, yang para penggemarnya antusias melompat ke panggung kemudian terjun bebas ke arah penonton, selalu ada dinding di antara penonton dan diriku. Setelah beberapa lama bermain seperti ini, aku merasa kesepian. Juga agak bosan.
Maka pada musim semi kelas delapan aku memutuskan berhenti. Aku berencana berhenti diam-diam, dengan berangsur-angsur mengurangi latihan-latihanku yang obsesif, tidak ikut resital. Aku menduga jika berhenti perlahan-lahan, pada saat masuk SMA ketika musim gugur, aku bisa memulai kehidupanku yang baru, tidak lagi dikenal sebagai "si pemain cello". Mungkin pada saat itu aku akan memilih instrumen lain, gitar atau bas, atau bahkan drum. Plus, karena Mom terlalu sibuk dengan Teddy untuk menyadari durasi latihan cello-ku, dan Dad terkubur jadwal mengajar serta memeriksa tugas-tugas murid dalam pekerjaannya yang baru sebagai guru, aku mengi
ra semua orang takkan menyadari aku berhenti bermain sampai sudah berhenti total. Setidaknya itulah yang kukatakan pada diri sendiri. Sesungguhnya, aku tidak mampu berhenti begitu saja main cello, sama seperti tidak bisa mendadak berhenti bernapas.
Aku mungkin saja benar-benar berhenti, jika bukan karena Kim. Suatu petang, aku mengajaknya pergi ke pusat kota sepulang sekolah.
"Besok kan sekolah. Kau tidak perlu latihan"" dia bertanya sambil memutar nomor kombinasi pintu lokernya.
"Aku bisa membolos hari ini," kataku, pura-pura mencari buku ilmu bumi.
"Apakah ada alien yang menculik Mia" Mula-mula tidak ada resital. Kemudian kau bolos latihan. Ada apa sih""
"Aku tidak tahu," jawabku, mengetukkan jemari pada loker. "Aku berpikir-pikir untuk mencoba instrumen baru. Seperti drum. Milik Dad ada di gudang bawah tanah, berdebu."
"Yeah, benar. Kau main drum. Kocak sekali," Kim berkata sambil tergelak. "Aku serius."
Kim menatapku, mulutnya terbuka lebar, seakan aku baru memberitahunya bakal membuat tumis siput untuk makan malam. "Kau tidak bisa berhenti main cello," katanya setelah beberapa detik terdiam karena terperangah.
"Kenapa tidak""
Dia tampak berjuang keras menjelaskan. "Aku tidak tahu, tapi rasanya cello bagian dirimu. Aku tidak bisa membayangkanmu tanpa benda itu di antara kakimu."
"Konyol. Aku bahkan tidak bisa main di marching band sekolah. Maksudku, siapa sih yang main cello" Orang tua. Itu instrumen tolol untuk cewek. Sangat culun. Dan aku mau punya lebih banyak waktu luang, melakukan hal-hal mengasyikkan."
"'Hal mengasyikkan' seperti apa"" tantang Kim.
"Hm, kau tahulah. Belanja. Nongkrong bersamamu..."
"Yang benar saja," kata Kim. "Kau benci belanja. Dan kau sering nongkrong bersamaku. Tapi tidak apa-apa, bolos latihan sajalah hari ini. Aku mau menunjukkan sesuatu kepadamu." Dia mengajakku ke rumahnya dan mengeluarkan CD Nirvana MTV Unplugged lalu menyetel lagu Something in the Way.
"Dengarkan itu," katanya. "Dua pemain gitar, seorang pemain drum, dan seorang pemain cello. Namanya Lori Goldston dan aku berani taruhan sewaktu masih remaja, dia berlatih dua jam sehari seperti cewek yang kukenal karena jika kau ingin main bersama philharmonic, atau Nirvana, itulah yang harus kaulakukan. Dan kurasa tidak ada yang berani menyebutnya culun."
Aku membawa CD itu pulang dan mendengarkannya berulang kali selama seminggu berikutnya, merenungkan perkataan Kim. Aku mengeluarkan cello beberapa kali, mengikuti lagu. Ini jenis musik berbeda daripada yang biasa kumainkan, menantang, dan anehnya menyegarkan. Aku berniat memainkan Something in the Way untuk Kim minggu depan ketika dia datang untuk makan malam.
Tapi sebelum aku punya kesempatan, di meja makan Kim dengan santai berkata pada orangtuaku bahwa aku sebaiknya ikut perkemahan musim panas.
"Apa, kau berusaha membuatku pindah agama supaya aku pergi bersamamu ke perkemahan Torah"" tanyaku.
"Bukan. Perkemahan musik." Dia mengeluarkan brosur panjang Konservatorium Franklin Valley, program musim panas di British Columbia. "Ini untuk musisi-musisi serius," kata Kim. "Kau harus mengirimkan rekaman permainanmu untuk bisa masuk. Aku sudah menelepon. Batas waktu aplikasinya tanggal satu Mei, maka masih ada waktu." Dia menoleh untuk menatapku lekat-lekat, seakan menantangku untuk marah karena ikut campur.
Makam Bunga Mawar 20 Suro Bodong 01 Pedang Jitu Sakti Patung Dewa Aneh 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama