Ceritasilat Novel Online

Monk Sang Detektif Genius 1

Monk Sang Detektif Genius Karya Lee Goldberg Bagian 1


Monk Sang Detektif Genius Mr. Monk Goes to the Firehouse
Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
Pengantar Penulis Pertama sekali, saya ingin berterima kasih kepada Andy Breckman yang telah menciptakan Adrian Monk- salah satu detektif paling kocak dan orisinal dalam sejarah pertelevisian, dan karena telah mengizinkan saya menggarap cerita, serial TV-nya, dan kini dalam bentuk novel. Benar-benar pengalaman menyenangkan buat saya.
Saya juga ingin berterima kasih kepada William Rabkin, juga para staf penulis serial Monk di TV-Tom Scharpling, David Breckman, Daniel Dratch, Hy Conrad, dan Joe Toplyn. Terima kasih atas inspirasi dan canda kalian.
Saya berutang budi pada Richard Yokley, Kesley Lancaster, dan Dr. D.P. Lyle atas saran teknisnya. Kepada Gina Maccoby dan Kerry Donovan untuk antusiasme dan dukungan editorial mereka. Kepada Told Goldberg untuk kesediaan membaca seluruh naskah awal, dan khususnya
kepada istri saya Valerie serta putri saya Madison, atas kesabaran mereka menoleransi obsesi saya terhadap buku iri
Saya lahir dan tumbuh di Bay Area, namun warga San Francisco pasti bisa langsung tanggap bahwa ada beberapa perubahan geografis yang saya lakukan dalam menggambarkan kota tersebut. Semoga saya masih bisa diterima dengan baik saat berkunjung lain kali.
1 MR. MONK DAN RAYAP Namaku Natalie Teeger. Kau pasti belum pernah
dengar. Tak apa. Aku memang bukan siapa-siapa. Maksudku, aku bukan orang beken. Tidak pernah melakukan apa pun yang bisa membuatku dikenal orang. Aku hanya orang biasa. Tak beda dengan para pembeli yang sering kau lihat mendorong kereta belanjaan di supermarket.
Seperti orang lain, aku punya banyak rencana besar untuk diri sendiri. Waktu umur sembilan tahun aku mimpi menjadi salah seorang karakter film seri Charlie s Angels. Bukan karena ingin memberantas kejahatan atau wara-wiri tanpa bra. Aku mengagumi Charlie's Angels karena mereka adalah sosok-sosok tegar, mandiri, bisa bertingkah seenaknya, dan terutama karena mereka mampu jaga diri.
Mimpiku jadi kenyataan setidaknya dalam satu hal itu-walau tidak persis benar. Boleh dibilang, profesiku
saat ini adalah bagaimana menjaga diri sendiri, Julie-putri tunggalku yang berumur dua belas tahun, dan satu orang lagi, yaitu Adrian Monk.
Kau pasti belum pernah dengar namaku, tapi kalau tinggal di San Francisco dan sering nonton berita atau baca koran, kau mungkin pernah tahu tentang Mr. Monk. Ia orang terkenal. Detektif swasta hebat dan ahli memecahkan berbagai kasus pembunuhan yang membingungkan polisi. Sebenarnya justru ini yang membingungkan buatku, karena Mr. Monk adalah orang yang sama sekali tak mampu menangani rutinitas keseharian-yang paling sederhana sekalipun. Kalau memang itu harga sebuah kegeniusan, sungguh senang aku tidak genius.
Biasanya kegiatan merawat Mr. Monk hanya kulakukan siang hari, tapi kini berubah sejak minggu pertama ia menemukan rayap di gedung apartemennya. Mr. Monk mendapati sebuah lubang-tidak, lebih tepatnya setitik lubang di salah satu bagian dinding gedung. Ia yakin bahwa lubang itu tidak ada sebelumnya. Ia tahu karena ia selalu mencatat ketidakteraturan apa pun di sekujur gedung.
Saat kutanya kenapa begitu, ia menoleh dengan tatapan bingung sembari berkata, "Lho, bukankah semua orang juga begitu""
Begitulah yang namanya Mr. Monk.
Karena apartemen hendak dikosongkan dan diasapi untuk mengatasi keluhan tersebut, pemilik gedung menyuruhnya tinggal di rumah teman atau di hotel selama beberapa hari. Ini jadi masalah, karena sahabat Mr. Monk hanyalah Kapten Leland Stottlemeyer dan Letnan Randy Disher di Departemen Kepolisian San Francisco, lalu tentu saja aku. Tapi aku juga tidak bisa dibilang sahabat. Kalau dilihat dari kecilnya gaji yang ia berikan, rasanya enggan mengakui demikian. Apalagi sampai mengantar berkeliling dengan mobil dan menuruti kemauannya.
Pertama-tama, aku mengunjungi Stottlemeyer karena dulu ia mitra Monk di kepolisian. Aku memohon agar ia bersedia menerima Monk untuk sementara. Stottlemeyer langsung berkilah bahwa ia bakal diceraikan istrinya kalau sampai membawa Mon
k ke rumah. Bahkan ia sendiri juga akan pergi kalau Mr. Monk jadi menginap. Okelah. Bisa dimengerti.
Aku lanjut mengunjungi Disher. Masalahnya, si Letnan tinggal di apartemen yang hanya punya satu kamaf tidur, jadi tak mampu menerima tambahan orang. Tapi aku berani bertaruh bahwa ia bakal berjuang mencari kamar lain kalau aku yang menginap"-atau perempuan lain di bawah usia tiga puluh dan masih hidup.
Jadilah aku dan Monk berkeliling kota mencari hotel. Untuk manusia normal mestinya ini bukan masalah, tapi Adrian Monk bukan manusia normal. Lihat saja caranya berpakaian.
Kemeja dikancing rapat sampai leher, bagian kerah dikanji, bahan harus 100% katun, putih bersih dengan jumlah kancing delapan buah, leher ukuran enam belas dan dua kancing lengan. Semua harus genap. Catat itu.
Lipatan celana harus tepat dan diberi manset, jahitan penahan sabuk berjumlah delapan buah (umumnya celana hanya punya tujuh, jadi celananya harus dibuat khusus), pinggang ukuran tiga puluh empat dan panjang celana juga tiga puluh empat. Setelah bagian kaki dilipat dan dijahit, keliman bagian dalam harus berukuran tiga puluh dua. Koleksi sepatunya dua belas pasang dan sama persis. Berwarna cokelat, ukuran sepuluh. Jumlah genap lagi. Ini bukan kebetulan atau ketidaksengajaan. Fakta ini penting buat Mr. Monk.
Jelaslah bahwa Mr. Monk punya kelainan obsesif-kompulsif akut. Aku tak tahu persis apa jenis atau istilah tepatnya karena aku bukan perawat-seperti asisten sebelum aku, Sharona, yang langsung kabur untuk menikahi kembali mantan suaminya (konon tidak ganteng-ganteng amat, tapi setelah bekerja untuk Monk selama beberapa waktu, aku amat paham betapa tak berartinya semua itu. Aku sendiri bakal kembali ke mantan suamiku kalau saja ia masih hidup).
Aku tak punya kualifikasi profesional apa pun. Pekerjaanku sebelum ini adalah menjadi bartender. Tapi aku pernah jadi pelayan restoran, instruktur yoga, penjaga rumah, pembagi kartu di meja Blackjack, dan banyak lagi.
Stottlemeyer pernah meyakinkanku bahwa Mr.- Monk sebenarnya tidak jahat. Kelainannya makin parah sejak istrinya tewas dibunuh beberapa tahun lalu.
Aku turut prihatin dan bersimpati. Mendiang suamiku, Mitch, seorang pilot pesawat tempur, tewas di Kosovo. Gara-gara itu aku juga sempat sinting cukup lama. Tapi bukan kesintingan macam Monk. Sinting yang normal-normal saja.
Mungkin itu sebabnya aku dan Monk bisa lebih akur di luar dugaan siapa pun (aku sendiri masih selalu heran kalau ingat fakta ini). Ia memang menyebalkan, tapi aku maklum bahwa semua itu berasal dari kesedihan batin teramat dalam yang mestinya tak boleh dialami siapa pun.
Jadi, katakanlah aku lebih mampu menoleransinya, tapi itu pun ada batasnya.
Sekarang kita kembali ke usaha menemukan hotel buat Monk. Dari awal saja sudah menyebalkan. Hotel bintang empat menjadi satu-satunya pilihan karena empat adalah bilangan genap. Benar bahwa bintang dua juga genap, tapi tak akan mampu memenuhi standar kebersihan Monk. Tak mungkin ia mengajak masuk anjingnya ke hotel bintang dua-itu pun kalau ia punya anjing. Oho, tidak dan tak akan pernah mungkin, karena anjing di mata Monk adalah binatang yang suka menjilati badan sendiri dan minum dari toilet.
Tempat pertama yang kami kunjungi di hari Jumat bergerimis itu adalah Hotel Belmont di Union Square. Salah satu hotel terbaik di San Francisco.
Monk berkeras menginspeksi setiap kamar kosong di hotel itu sebelum memutuskan untuk menginap. Plus, ia hanya mau melihat kamar bernomor pintu genap dan di lantai-lantai genap saja. Walau semua kamar persis sama di setiap lantai, ia selalu menemukan ada yang salah di setiap kamar tersebut dengan alasan kurang simetris, terlalu simetris, atau tidak simetris sama sekali.
Kamar mandi di setiap kamar yang kami periksa berdekor kertas tembok motif bunga yang mahal dari Italia. Kalau ada satu saja garis kertas tembok tersebut yang tidak rata, atau gambar atau warna bunganya tidak sesuai antara kedua potongan, Monk langsung menyatakan bahwa kamar tersebut tidak layak huni.
Di kamar kesepuluh, manajer hotel langsung menyambar botol vodka dari minibar, saking lela
h dan jengkelnya, tapi tak bisa berkata apa-apa. Aku nyaris tergoda untuk ikutan. Monk sedang berlutut memeriksa kertas tembok di bawah wastafel kamar mandi-bagian yang tak akan bisa dilihat siapa pun kecuali kau berlutut di bawah situ, sambil menunjuk "sambungan gambar yang tidak pas yang benar-benar parah."
Aku tak tahan lagi. Akibatnya, aku melakukan sesuatu yang tak mungkin kulakukan kecuali dalam
tekanan batin yang ekstrem. Kukatakan pada Monk bahwa ia boleh tinggal di rumahku, bersamaku dan putriku.
Aku bilang begitu karena ingin mengakhiri penderitaan saat ini tanpa memikirkan akibatnya di kemudian hari, yang pasti mengerikan. Sialnya, sebelum aku sempat menarik tawaranku, Monk langsung menerima. Manajer hotel hampir menciumku saking leganya.
"Tapi saya tak mau dengar keluhan apa pun tentang kondisi rumah atau keluhan lain soal kebersihan atau ketidaksesuaian kertas tembok atau apalah!" kataku pada , Monk saat turun tangga menuju lobi.
"Aku yakin rumahmu pasti sempurna." ujar Monk.
"Persis itu yang saya maksud, Mr. Monk. Anda mulai konyol lagi."
Ia menatapku dengan tatapan polos, membela diri. "Lho, aku cuma bilang rumahmu pasti sempurna. Biasanya orang menganggap ini sebagai pujian."
"Ya, tapi umumnya orang tidak harfiah memaksudkan sempurna sebagai sempurna"
"Ah, tentu saja begitu."
"Tidak," tegasku. "Umumnya orang memaksudkan Sempurna' sebagai sesuatu yang menyenangkan, baik, atau nyaman. Tidak benar-benar memaksudkan 'sempurna' dalam konteks bahwa segalanya harus sempurna"
"Rasanya aku tidak beda dengan umumnya orang." Monk menggeleng.
Aku membelalak tak percaya. "Anda tak mau tinggal di kamar yang baru kita tengok hanya karena pola bunga-di kertas tembok di bawah wastafel tidak pas!"
"Itu beda." kilahnya cepat. "Keluhanku berkaitan dengan keamanan gedung."
"Keamanan gedung bagaimana""
"Potongan gambar antara dua bagian kertas tembok yang tidak pas menunjukkan cara pemasangan yang sembrono. Kalau kertas tembok saja mereka begitu tidak peduli, bayangkan seperti apa pengerjaan konstruksi gedungnya," imbuh Monk. "Aku berani bertaruh, sedikit gempa bumi saja, gedung ini pasti rubuh."
"Hanya gara-gara potongan kertas gambarnya tidak pas""
"Mestinya segera dikosongkan. Tak boleh ada yang tinggal di sini."
Tiba di lobi, Monk mematung. "Apa lagi"" tanyaku.
"Kita harus mengingatkan yang lain," ujar Monk. "Yang lain siapa"" tanyaku lagi.
"Tamu-tamu hotel," jawab Monk. "Mereka harus diberi tahu."
"Bahwa kertas temboknya tidak pas"" aku bertanya lemas.
"Ini masalah keamanan." Monk berkeras. "Akan kutelepon nanti."
Aku enggan berdebat lebih jauh. Bisa keluar dari hotel tanpa tersandung mayat saja sudah lega. Mungkin kedengarannya konyol, tapi kalau kau lama bersama Adrian Monk, selalu saja ada mayat yang muncul. Tapi kelegaanku tidak bertahan lama.
*** Monk tinggal di gedung apartemen bergaya Deco dijalan Pine-daerah elite di sudut paling utara distrik barat San Francisco. Tempatnya keluarga-keluarga golongan menengah ke atas, berbatasan dengan tepi barat daya Pacific Heights yang terkenal dengan uang kuno, rumah-rumah Victoria, dan taman-taman lebat di atas gedung.
Di Sabtu pagi nan cerah ini, Monk sedang menungguku di trotoar yang licin oleh hujan, memandang iring-iringan para pengasuh bayi dari Pacific Heights dalam seragam putih dan nyonya-nyonya muda kaya dari Distrik Barat membawa bayi-bayi mereka dalam kereta dorong Peg-Perego naik-turun bukit ke Taman Alta Plaza. Pemandangan di seberang menampakkan pangkalan perahu, semenanjung, dan selat Golden Gate.
Monk berdiri dikepit dua koper besar yang sama persis dengan wajah sedih. Mengenakan mantel panjang cokelat berkancing empat dan kedua tangan rapat di saku mantel. Ini membuatnya tampak lebih pendek.
Entah kenapa, pose ini mengundang haru. Monk tampak seperti anak kecil yang sedih menjelang liburan kemping untuk pertama kali. Ingin rasanya memeluk, tapi untung saja perasaan itu segera berlalu.
Akhir pekan di daerah ini membuat orang tak mungkin parkir sembarangan. Jadilah aku parkir sementara di depan gedung apartemen yang begitu ramping sehingga tampak lebih aero
dinamis ketimbang mobilku.
Aku keluar mobil sambil menunjuk dua koper itu. "Anda hanya menginap beberapa hari, kan""
"Ya," jawab Monk. "Itu sebabnya aku hanya berkemas sedikit."
Bagasi mobil Cherokee-ku kubuka, lalu kuraih salah satu kopernya. Kontan bahuku hampir keseleo. "Isinya apa" Batangan emas""
"Delapan pasang sepatu," jawab Monk.
"Sebanyak itu" Berarti satu pasang setiap hari... selama lebih dari seminggu"" "Aku berhitung kasar saja," ujar Monk.
"Tak mungkin cuma itu isinya." Aku berjuang memasukkan koper ke bagasi. "Ini berat sekali."
"Aku juga mengepak empat belas pasang kaos kaki, empat belas kemeja, empat belas celana panjang, empat belas...."
"Empat belas"" aku menukas. "Kenapa harus empat belas""
"Memang agak nekat... mengepak sesedikit ini, tapi begitulah aku. Suka bertindak nekat. Menyenangkan," ujar Monk. "Menurutmu jumlah ini memadai""
"Ini sudah cukup banyak."
"Mungkin sebaiknya ditambah."
'Tidak. Ini sudah cukup."
"Barangkali perlu ditambah dua pasang."
"Dua pasang apa""
"Dua pasang untuk setiap barang," jawab Monk.
"Lho, katanya Anda suka nekat"" kataku memancing.
"Kalau nanti ternyata kurang, bagaimana""
'Tidak akan," tukasku cepat.
'Terserahmulah," balas Monk. 'Tapi seandainya iya, hari ini bakal kacau."
Aku jadi jengkel. Ini saja sudah kacau. Mau tambah kacau bagaimana lagi"
Monk tetap berdiri. Koper satunya lagi masih di sisi. Aku menunjuk. "Yang itu tidak dimasukkan ke bagasi" Atau mau ditinggal saja""
"Maksudmu, kau ingin aku yang menaruh koper ini di bagasi""
"Anda pikir, saya yang akan mengangkatnya"" "Ini kan mobilmu." Ia berkelit. "Terus kenapa""
Monk mengangkat pundak. "Kupikir kau pirnya peraturan sendiri, karena ini mobilmu."
"Satu-satunya peraturan saya: Anda menaruh sendiri koper Anda di bagasi."
"Tapi tadi kau sudah memasukkan satu koper ke mobil." Kembali ia berkelit.
"Yang tadi sekadar sopan santun," jawabku. "Bukan berarti saya yang harus mengangkut koper ke mobil."
"Oh, begitu." Monk mengangkat koper, menaruhnya di sisi koper yang lain. "Aku sekadar menghormati privasimu, lho."
Alasan! Bilang saja malas. Meski belum pasti juga. Pun kalau iya, aku tak mungkin menyebutnya pemalas karena ia tetap bos dan aku masih butuh pekerjaan. Lagi pula, ini membuka peluang untuk menyinggung topik lain yang lebih sensitif. .
'Tentu," aku menjilat. "Itu bagus sekali. Sangat saya hargai, karena Julie dan saya punya kebiasaan yang tidak sama dengan Anda."
"Misalnya""Alamak! Harus mulai dari mana" "Eh,*nisalnya...
kami tidak merebus sikat gigi setiap kali pakai."
Monk mendelik. "Wah, tidak benar itu!"
"Setelah cuci tangan, kami tidak selalu menggunakan
handuk baru dan steril untuk mengelap."
"Apa orang tuamu tidak mengajari tentang kebersihan""
"Begini saja. Pokoknya selama tinggal bersama kami, mohon Anda menghormati perbedaan di antara kita dan menerima kami apa adanya."
"Dasar hippies" desis Monk.
Itu ejekan lawas, dan aku tak pernah dicap gelandangan seumur hidup. Aku pura-pura tak mendengar saja.
"Saya hanya ingin agar kita bertiga bisa akur," aku berkata.
"Kau tidak mengisap ganja, kan""
"Tidak, tentu saja tidak. Anda pikir saya orang macam apa" Tunggu... jangan dijawab. Maksud perkataan saya tadi, Mr. Monk, adalah bahwa di rumah saya, sayalah bos-nya."
"Selama tak harus menghirup asap ganja, tak apalah."
'Tidak, tidak akan," tegasku.
"Hore," timpal Monk sinis.
Demikianlah, kami masuk ke mobil dan mengencangkan sabuk pengaman.
2 MR. MONK PINDAH RUMAH Aku tinggal di Noe Valley. Daerah sebelah selatan San Francisco, tepatnya di Distrik Castro yang terkenal lebih "berwarna" dengan komunitas gay yang energik dan warga multietnis di sebelah barat Distrik Mission yang pasti akan segera tergilas oleh gelombang restorasi keluarga baik-baik, dengan katalog Williams-Sonoma tergenggam di tangan mereka.
Kendati Civic Center di pusat kota yang selalu penuh oleh politikus dan gelandangan hanya berjarak dua puluh blok di sisi utara perbukitan curam, Noe Valley tetap terasa seperti kota kecil. Jauh dari kebisingan daerah penyangga atau kekacauan khas San Francisco.
Waktu Mitch dan aku membeli rumah, No
e Valley masih merupakan lingkungan warga kelas pekerja. Semua orang mengendarai Volkswagen Rabbit dan rumah-rumah tampak agak terbengkalai-butuh cat baru dan sedikit perhatian.
Kini, semua orang membawa minivan atau SUV. Ada kanopi berperancah di depan setiap rumah dan 24th Street-distrik perbelanjaan yang dulu didereti toko-toko roti, restoran, dan kios tukang cukur, kini disarati toko roti Prancis, bistro, dan salon. Namun daerah ini tidak seluruhnya berubah. Masih tetap ada rumah-rumah kecil yang agak kumuh (seperti punyaku), toko-toko kado kecil, toko buku bekas, dan warung-warung pizza keluarga yang berhasil dipertahankan warga Noe dari serbuan karakterisasi Bohemian nan aneh (dengan kata lain, tetap menjadi pemandangan yang kini terasa autentik dan asli). Noe Valley masih terasa sebagai sebuah komunitas guyub yang penuh kaum muda, keluarga buruh, dan pensiunan. Nyaman dan nyaris tak pernah dihinggapi turis.
Sepanjang jalan Divisadero menuju rumah, Monk meminta agar aku memundurkan kursi agar sejajar dengan kursinya. Kujelaskan bahwa kalau itu kulakukan, aku tak akan mampu menjangkau hal-hal remeh seperti pedal gas, rem, dan setir. Waktu aku balik mengusulkan agar kursinya saja yang dimajukan, ia berlagak cuek dan malah sibuk meluruskan kaca spion di sisinya agar sejajar dengan spion di sisiku. Mungkin maksudnya sebagai kompensasi atas ketidakseimbangan kursi kami.
Aku tak pernah paham logika Monk. Itu sebabnya aku selalu menyimpan botol aspirin di laci mobil. Bukan buat dia, tentu saja. Itu buatku.
Tiba di rumah mungilku yang bergaya Victoria, kubiarkan Monk mengangkut sendiri koper-koper dari mobil sementara aku menghambur ke dalam rumah untuk memeriksa situasi atau apa pun yang bisa membuat sintingnya kumat. Monk memang pernah mampir, tapi ini kali pertama ia akan tinggal selama lebih dari dua jam. Hal-hal kecil yang dulu bisa ia abaikan, sekarang bakal jadi bencana.
Berdiri di ambang pintu sambil menatap ruang keluarga, aku baru sadar betapa rumahku bisa terlihat seperti ladang ranjau di mata Monk. Dekor bergaya thrift-shop chick (ini sehutanku sendiri), perabot dan lampu serta peralatan listrik merupakan paduan berbagai gaya dari berbagai zaman. Beberapa gaya Art Deco dan Chintz era tujuh puluhan juga tampak di sana-sini karena aku biasa menyambar apa pun yang terlihat mata dan mampu kubeli. Selera interiorku tak memiliki pendekatan apa pun.
Dengan kata lain, seluruh rumah ini dan seluruh hidupku, merupakan antitesis Adrian Monk. Apa daya, saat ini aku tak bisa berbuat lain. Yang bisa kulakukan hanya membuka pintu lebar-lebar, menyambutnya masuk, dan menyiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk.
Persis demikian yang kulakukan. Monk masuk, melihat berkeliling seolah baru sekali ini ia masuk, lalu tersenyum.
"Kita membuat putusan yang tepat," ia berkata. "Ini jauh lebih baik daripada tinggal di hotel."
Aku tak percaya mendengarnya. "Benarkah" Kenapa""
"Rumah ini terasa ditinggali" ujar Monk.
"Saya pikir Anda malah tak suka apa pun yang seperti itu," desakku.
"Ada perbedaan antara kamar hotel yang selalu diisi ribuan orang yang berbeda dan rumah yang...." Suaranya melirih sejenak. Lalu ia menatapku sambil berkata, "Yah, pokoknya rumah."
Aku tersenyum. Dengan caranya sendiri, mungkin ini komentar paling manis yang pernah ia katakan buatku. "Kalau begitu, mari saya tunjukkan kamar Anda."
Kupandu ia menyusuri koridor. Melewati pintu kamar Julie yang tertutup, berpalang sebuah papan peringatan besar berwarna kuning bertajuk: "MILIK PRIBADI. DILARANG MASUK TANPA IZIN. KETUK PINTU SEBELUM MASUK." Karena biasanya cuma kami berdua yang tinggal di sini, buatku ini tak lebih dari kekonyolan remaja. Aku juga memalang tanda sejenis di pintu kamar waktu seumurannya, khusus untuk kakak laki-lakiku yang suka nyelonong tanpa permisi. (Dipikir-pikir, agak kurang ajar juga ya... aku kan ibunya.) Di bawah papan peringatan itu, Julie masih menambahkan
sebuah stiker bertuliskan: "BERBAHAYA! LIMBAH BERACUN!" Entah ia dapat dari mana.
Monk melirik tulisan-tulisan itu, lalu memandangku. "Ini guyonan, kan""
Aku mengangguk. "Lucu se kali. Ha ha." Ia mencoba tertawa, tapi malah terdengar seperti orang tersedak. "Kau sering memastikan sendiri hal ini, kan""
"Memastikan apa""
"Bahwa ini cuma guyonan," ia berkata. "Anak-anak bisa sangat nakal, lho. Waktu umur delapan tahun, aku pernah main seharian tanpa mencuci tangan."
"Untung Anda masih tetap hidup sampai sekarang," aku menyindir.
Monk tak menangkap sindiran itu. Ia malah mengangguk serius sambil mendesah, "Usia muda cenderung membuat kita merasa abadi."
Aku menunjuk ke kamar di samping kamar putriku. "Ini kamar tidur untuk tamu."
Sebenarnya, sampai tadi malam, kamar ini aslinya gudang. Tempat kami menyimpan apa pun yang tak cocok ditaruh di ruangan lain. Seluruh isinya untuk sementara telah disingkirkan ke garasi.
Monk masuk beberapa langkah, melihat berkeliling mengobservasi perabotan. Ada ranjang besar-ranjang pertama yang Mitch dan aku beli dulu, tembok berdekor
sketsa-sketsa murahan panorama kota London, Paris, dan Berlin yang kami beli dari seniman jalanan waktu kami melancong ke Eropa, dan sebuah meja rias lengkap dengan laci baju yang kami beli dari obralan garasi. Sebuah pegangan lacinya hilang. Aku berharap Monk tak menyadari hal ini, meski pasti tidak demikian. Monk terkenal sebagai detektif justru karena kemampuan observasinya yang luar biasa.' Sekali lirik ia bisa memastikan bahwa sketsa Notre-Dame itu dibuat oleh seniman bertangan kiri atau kanan, apa menu makan siangnya, dan apakah orang itu pernah menyekap neneknya pakai bantal sampai mati.
Monk meletakkan koper di kaki ranjang. "Sangat mengesankan."
"Benarkah""
Hmm... reaksi Monk jauh lebih baik dari yang kuharap sebelumnya, meski aku juga sadar bahwa Monk sengaja mengalihkan pandangan dari laci yang cacat itu seperti orang menghindari sorotan senter.
"Oh, ya," ia melanjutkan, "Sangat membuncahkan pesona."
Sebelum sempat bertanya apa maksudnya dengan membuncahkan, terdengar dering bel pintu. Aku permisi untuk melihat siapa yang datang.
Seorang lelaki tinggi besar berdiri memegang clipboard di teras rumah. Di belakangnya dua orang
pekerja sibuk menurunkan kulkas dari sebuah truk di depan rumah.
"Mr. Adrian Monk tinggal di sini"" tanpa basa-basi ia bertanya. Tubuhnya mengambangkan aroma rempah dan pelitur. Aku bingung, mana yang lebih menjengahkan: campuran aroma ini atau fakta bahwa aku mampu mengenalinya.
"Tidak. Saya yang tinggal di sini," aku menjawab. "Mr. Monk hanya bertamu."
"Terserah Anda saja," jawab si lelaki, lalu berbalik bersiul memanggil dua pekerja tadi. "Bongkar muatan!" serunya.
"Eh, eh, nanti dulu," kataku sambil melangkah ke teras. "Kalian bongkar muatan apa""
"Barang-barang Anda," jawab si lelaki sambil menyorongkan berkas dan pena. "Tanda tangan di sini."
Kubaca kertas itu. Faktur perusahaan angkut barang itu memetakan daftar perabot, peralatan makan, peralatan tidur, dan tetek bengek lain yang mereka pindahkan dari kamar apartemen Monk ke rumahku. Apa-apaan ini"
"Sudah waktunya kalian datang." Terdengar suara Monk. Aku berbalik melihat ia menahan pintu agar dua pekerja itu bisa masuk membawa kulkas. "Hati-hati membawanya."
"Tunggu dulu!" aku berseru menahan mereka, lalu berbalik menatap Monk. "Apa maksud semua ini""
"Hanya sedikit keperluan pribadi."
"Ada perbedaan besar antara menginap di rumah orang dan pindah rumah!" Aku hampir histeris.
"Aku tahu itu," jawab Monk kalem.
"Kalau begitu, apa maksudnya ini"" aku menunjuk kulkas itu.
"Kebutuhan dietku agak khusus."
"Jadi sekalian Anda boyong kulkas dan seluruh makanan di dalamnya""
"Aku tidak ingin merepotkan," jawab Monk.
Kulambatkan clipboard di depan Monk.
"Ini berisi daftar seluruh barang Anda, Mr. Monk," desisku. "Kalau saya terima, berarti saya harus membuang barang-barang saya sendiri."
Monk menunjuk para pekerja. "Aku yakin mereka pasti mau membantu. Mereka kan profesional."
Aku berpejam mata menghela napas dalam-dalam, mencoba tetap sabar. Clipboard kudesak ke dada si tinggi besar sambil berkata, "Kau bawa kembali semua ini ke asalnya."
"Tak bisa begitu," tukas Monk cepat. .
"Kenapa"" "Gedungnya kan sedang direnovasi," lanjut Monk. "Pasti penuh racun di
mana-mana." "Kalau begitu digudangkan saja. Atau taruh di pekarangan, atau terserah di mana. Pokoknya tidak di rumah ini!"
Aku berbalik masuk membanting pintu. Meninggalkan Monk di luar dengan para pekerja.
Saat berjuang meredakan amarah di ruang keluarga, aku baru sadar bahwa sudah lima belas menit sejak tiba di rumah ini dan aku belum melihat atau mendengar putriku. Aku pergi ke kamarnya, mengetuk pintu dengan lembut
"Julie"" Kutekan telinga ke daun pintu. "Kau di dalam""
"Iya," jawab Julie lemah. "Jangan menguping di pintu."
Aku mundur dengan kagok. Merasa tertangkap basah. Heran, kok bisa tahu" Padahal kan ia di balik pintu.
"Kau tidak apa-apa, sayang"" tanyaku lembut. "Baik, Ma."
"Mr. Monk sudah datang," aku berkata. "Iya, sudah tahu," jawab Julie. "Lantas, kenapa sembunyi di kamar"" "Aku tidak sembunyi." "Mama pikir kau suka Mr. Monk." "Suka, kok "jawabnya lagi. Aku hanya manusia biasa dan kenyang bertahun-tahun jadi orang tua tunggal. Setelah jengkel oleh ulah
Monk dan para pekerja tadi, aku sedang tidak mood melayani rajukan anak.
"Kalau begitu keluarlah dan sambut dengan sopan."
"Tidak bisa," jawab Julie.
"Kenapa"" "Karena ia balcal menganggapku seperti bayi." Terdengar suara isak tertahan.
Julie menangis" Aku langsung merasa bersalah. Mestinya aku lebih bersabar. Kuputuskan mengabaikan papan peringatan di pintu dan masuk menengok putriku.
Julie duduk di ranjang dengan air mata berlinang. Koleksi boneka binatang yang ia simpan di lemari enam bulan lalu kini bertebaran di kasur. Julie menyimpannya setelah mengumumkan bahwa ia sudah "terlalu dewasa" untuk main boneka. Kini ia memeluk erat salah satu boneka tersebut.
Aku duduk di pinggir ranjang, memeluk pundak Julie. "Ada apa, sayang""
"Kalau aku cerita, pasti Mama anggap bodoh," ia tersedu.
Kucium pipinya. "Mama janji tidak akan begitu."
"Maddie tadi telepon," tutur Julie, menyebut salah seorang teman sekelasnya. "Dia bilang, Sparky mati dibunuh."
Julie terisak lebih keras. Tubuhnya terguncang sesenggukan. Aku benar-benar luluh. Kupeluk dan kusisiri
rambutnya dengan tangan. Ragu aku bertanya, "Siapa Sparky""
Julie mendongak, tersedu keras sambil menyeka air mata. "Dia anjing dalmatian milik pemadam kebakaran yang biasa dibawa Petugas Joe ke sekolah setiap tahun saat berpidato tentang pengamanan terhadap kebakaran."
"Oh, Sparky yang itu." Aku masih belum tahu siapa yang dimaksud. "Apa yang terjadi""
"Tadi malam, ada orang memukul kepalanya dengan kapak," ujar Julie sambil bergidik. "Orang macam apa yang tega membunuh anjing lucu dan tak bersalah""
"Mama tidak tahu," jawabku.
Julie mulai menangis lagi, memelukku erat-erat.
"Akan aku selidiki." Terdengar suara lembut Mr. Monk.
Julie dan aku mendongak melongok Monk di ambang pintu. Sejak kapan ia berdiri di situ" "Sungguh"" tanya Julie.
"Ini pekerjaanku." Monk menggeser posisi berdiri. "Memecahkan kasus pembunuhan adalah bidangku."
Julie meraih tisu Kleenex di meja samping ranjang, membersihkan hidung keras-keras, lalu melempar benda itu ke tong sampah plastik dekat ranjang. Lemparannya luput.
"Benar kau bisa menangkap pembunuh Sparky"" tanya Julie lagi.
Monk menatap tisu di lantai itu seolah berharap bakal merayap sendiri masuk tong sampah. "Ya."
Julie menatapku. "Kita mampu menyewa Mr. Monk, Ma""
Pertanyaan bagus. Aku menatap balik ke arah Monk, yang masih nanar menatap tisu seperti orang tersedak.
"Akan kuseret si pembunuh ke pengadilan dengan satu syarat."
"Apa"" tanya Julie.
Aku harap ia tak akan menyaratkan untuk memindahkan seluruh barangnya ke rumahku, karena itu tak akan terjadi. Tak peduli berapa banyak anak anjing, bayi anjing laut, atau kelinci imut yang dibunuh.
"Ambil tisu itu, masukkan ke kantong plastik, dan segera singkirkan jauh-jauh dari rumah ini."
"Boleh banget," angguk Julie sambil langsung bergerak.
"Terima kasih." Monk menatapku, lalu menyorongkan kepala ke palang kuning di depan pintu. "Ternyata bukan guyonan."
3 MR. MONK DAN MOBIL PEMADAM KEBAKARAN
Hari Sabtu adalah "hari aktivitas" buat Julie. Mulai dari Tae Kwon Do, latihan sepak bola, kursus hip-hop, dan pesta ulang tahun. Jujur sa
ja, tak ada orang tua yang mau menghabiskan akhir minggu mengurusi anak, jadi kuatur jadwal jemputan dengan ibu-ibu lain (selalu kami, kaum ibu, yang terjebak mengurusi tetek bengek seperti ini). Tapi kebetulan Sabtu ini bukan jadwalku, jadi ada ibu lain yang mengantar anak-anak ke kelas masing-masing. Menemani berlatih, kursus, dan ikutan pesta ulang tahun.
Aku selalu ingin menghabiskan waktu "menyendiri" di hari Sabtu untuk memanjakan diri membaca buku, sekadar jalan-jalan, atau mandi busa dengan air hangat berjam-jam. Tapi selalu saja aku terjebak rutinitas rumah tangga seperti mengurus cucian, belanja dapur, membersihkan rumah, dan membayar tagihan.
Baru sore hari aku bebas membantu Monk, yang kini resmi disewa putriku untuk mengusut misteri pembunuhan
seekor anjing dalmatian milik dinas pemadam kebakaran kota.
Pemberhentian pertama kami tentu saja stasiun pemadam kebakaran. Terletak di North Beach, di tengah-tengah antara Chinatown dan Fisherman's Wharf. Tak ada pantai di sini karena tergusur oleh proyek galian dan tepian pantai sudah terdorong jauh ke utara sejak puluhan tahun lalu, jadi nama Fisherman 's Wharf sebenarnya sudah tidak cocok-bahkan terasa agak menipu. Sekarang lebih dikenal sebagai Little Italy, meski jumlah warga China-nya sudah nyaris menyamai warga Italia yang ada. Jadi nama Little Italy sebenarnya juga sudah tidak tepat lagi.
North Beach juga dikenal sebagai tempat tinggal penulis kawakan Jack Kerouac dan penari telanjang Carol Doda yang biasa tampil di Condor Club. Kadang masih terlihat sisa-sisa pemberontakan sosial kaum muda di masa lalu, umumnya dipertahankan demi menarik turis. Beberapa kalangan masih bertahan dengan kehidupan di Broadway, tapi daya tarik mereka sudah kedaluwarsa dan habis digilas cafe serta galeri seni.
Perubahan sosial ke lingkungan keluarga baik-baik, pemolesan lingkungan dan renovasi terlihat jelas di mana-mana. Tak hanya terhadap gedung dan lingkungan, tapi juga orang-orangnya. Coba saja melancong ke L.A. Anda pasti akan segera mendapati kenyataan tak terelakkan ini.
Jalanan masih basah oleh gerimis Jumat kemarin, tapi langit tampak cerah dan jernih. Angin dingin sepoi-sepoi
mengembusi atap-atap terpal putih kapal-kapal di dermaga. Tercium bau laut bercampur setitik aroma jajanan yang menguap dari Chinatown.
Stasiun dinas pemadam kebakaran berada di puncak bukit dengan pemandangan indah gedung Piramida Transamerica dan Menara Coit. Stasiun pemadamnya sendiri berupa gedung batu bata merah dari pertengahan era '90-an, lengkap dengan pahatan panjang emblem SFFD (Departemen Pemadam Kebakaran San Francisco). Patung seekor elang yang cakarnya mencengkeram dua kapak bersilang di atas kobaran api, diusung di atas dua lapis pintu garasi.
"Waktu kecil," lamun Monk, "aku ingin jadi pemadam kebakaran."
"Masa"" "Aku suka segala sesuatu tentang pemadam," lanjut Monk. "Kecuali bagian memadamkan kebakaran." "Lalu, apa yang Anda sukai"" "Ini."
Monk menatap bangunan itu, mengembangkan tangan seolah hendak merangkul pemandangan di hadapannya. Pintu garasi terbuka, membiarkan desir angin menyejukkan bagian dalam gedung. Ada enam orang petugas yang asyik memoles dan mengilapkan dua unit mobil pemadam. sinar matahari memantul gemilang dari lapisan krom dan cat merah terang mobil-mobil tersebut.
"Hebat, ya"" desah Monk.
Kuikuti arah matanya saat menyusuri jalur selang pemadam kebakaran yang tergulung rapi di atap setiap mobil, lantai semennya begitu mengilap seperti lapisan marmer, topi khusus pemadam kebakaran digantung berjejer rapi, berikut mantel dan helm dalam rak-rak terbuka dari besi, juga ada kapak, sekop, dan peralatan lain digantung di tembok dalam berbagai ukuran, bentuk, dan fungsi. Sungguh sebuah pameran keindahan dari kebersihan, efisiensi, serta keteraturan.
Mata Monk-membesar seperti anak kecil, penuh kekaguman dan apresiasi. Seperti balik ke usia sepuluh tahun, meski aku sendiri ragu kalau ia pernah benar-benar dewasa dalam banyak hal.
Monk mendekati kapten pemadam kebakaran yang sedang berdiri di sisi sebuah kereta dorong berisi tumpukan handuk putih yang terlipat rapi dan
sebuah keranjang cucian. Asyik mengawasi anak buahnya bekerja. Seragam biru lengan pendeknya klimis, bersih, dan kaku. Lencananya berkilau begitu terang sampai nyaris seperti sumber cahaya. Sang kapten berusia lima puluhan, berwajah keras dengan perawakan tegap khas tentara. Seperti patung atau tokoh-tokoh jagoan di buku komik.
"Ada yang bisa saya bantu"" tanya si kapten.
"Sebenarnya, justru kami yang ingin membantu," ujar Monk. "Nama saya Adrian Monk dan ini asisten saya, Natalie Teeger."
"Saya Kapten Mantooth." Tangannya terulur mengundang salam. "Anda detektif terkenal itu, ya""


Monk Sang Detektif Genius Karya Lee Goldberg di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Monk menjabat salam, lalu mengulurkan tangan ke arahku, minta tisu pembersih. Kuberi satu. Mantooth tidak tampak tersinggung.
"Saya disewa untuk menyelidiki kasus pembunuhan Sparky," lanjut Monk sambil mengelap tangan.
"Anda bekerja untuk Joe"" tanya Mantooth.
"Joe siapa"" Monk balik bertanya. Tisu bekas pakai diserahkan kembali padaku.
"Petugas pemadam," aku menimpali, sambil memasukkan tisu ke kantong khusus di dalam tas. Di penghujung hari, biasanya tasku sudah sesak oleh kantong-kantong berisi tisu bekas pakai. "Kami dengar, dia dan Sparky satu tim."
"Lebih dari itu, Miss Teeger," ujar Mantooth. "Joe Cochran menyelamatkan anjing itu dari penampungan sepuluh tahun lalu, dan sejak itu mereka tidak terpisahkan. Sparky bukan anjing saya, tapi rasanya seperti kehilangan seorang kolega. Kami semua prihatin."
Monk mengambil selipat handuk dari kereta dorong sambil menunjuk ke salah satu mobil pemadam. "Boleh""
Mantooth mengangguk. "Silakan."
Monk mendekati mobil itu lalu mengelap permukaan krom lampu suar di bagian depan. Saat ia berbalik, mulutnya mengembangkan senyum lebar seperti anak kecil.
"Wow," katanya.
Kapten dan aku menonton Monk. Para petugas lain juga ikut menonton. Sepertinya kami bakal di sini cukup lama, jadi aku mencoba melanjutkan sendiri wawancara kami.
"Bisa ceritakan kejadian tadi malam""
"Waktu itu kami sedang menjawab panggilan kebakaran sekitar empat blok dari sini. Mungkin sekitar jam sepuluh malam, tapi untuk pastinya akan saya periksa sendiri di catatan harian kami. Kasusnya, seorang wanita -ketiduran di sofa tapi lupa mematikan rokoknya. Konyol memang. Ini penyebab kebakaran paling umum di seluruh dunia dan biasanya justru paling mudah dicegah," tutur Mantooth. "Kami berhasil memadamkan api dan kembali ke sini sekitar jam dua pagi. Kami tahu ada yang tidak beres begitu masuk garasi. Biasanya Sparky selalu menyambut dengan ekor bergoyang, tapi kali itu tidak...."
Monk mendekat, tapi bukan untuk bertanya atau berpartisipasi dalam penyelidikan. Ia menaruh handuk bekas pakai ke keranjang cucian dan mengambil yang baru.
"Ini keren sekali." Senyumnya terkembang lagi, lalu sibuk memoles pegangan pintu mobil yang sudah mengilap. Mantooth tak tahan untuk tidak bengong menatapnya.
"Ada tanda-tanda perusakan seperti gembok dibongkar atau semacam itu"" aku bertanya.
"Tidak," Mantooth menjawab, memaksa menarik tatapannya dari Monk. "Stasiun ini tidak dikunci."
"Tidakkah aneh meninggalkan anjing sendirian dalam markas yang tidak dikunci""
"Sama sekali tidak," ujar Mantooth. "Justru itu salah satu alasan kami memelihara dalmatian. Fungsi mereka untuk menjaga stasiun. Joe sangat percaya itu. Ia bisa cerita banyak tentang dalmatian."
"Pernah ada peristiwa pencurian di sini sebelumnya"" "Tidak pernah. Tadi malam pun tidak," jawab Mantooth. "Sepengetahuan saya, tak ada yang hilang. Ini lingkungan yang aman... setidaknya dulu begitu."
Aku tak tahu harus-tanya apa lagi, jadi aku menoleh ke arah Monk, yang notabene adalah detektifnya. "Mr. Monk"" panggilku. Ia tetap asyik mengelap.
"Mr. Monk!" ulangku lebih tegas. Monk menoleh. "Ada yang ingin ditanyakan pada Kapten Mantooth""
Monk menjentikkan jari. "Tentu saja. Terima kasih sudah diingatkan."
Monk melempar handuk ke keranjang cucian, menatap si kapten. "Anda punya lencana kehormatan Dinas Pemadam Kebakaran""
"Maksud Anda, yang biasa kami berikan kepada anak-anak""
"Tidak. Yang biasa Anda berikan kepada petugas pemadam sebagai tanda kehormatan," jawab Monk.
"Ada," angguk Mantooth. "Anda
mau"" Monk mengangguk. Mantooth masuk ke ruang kantor. Monk menatapku.
"Wow." "Hanya itu""
"Yippie." "Anda tak ingin mengajukan pertanyaan tentang pembunuhan ini" Misalnya, apa yang terjadi pada malam itu""
"Aku sudah tahu." "Sudah tahu""
"Aku sudah tahu sejak pertama kali kita masuk kemari," imbuh Monk. "Bagaimana""
Jarinya menggambar segitiga imajiner di udara. "Ini geometri sederhana."
Bagiku tak ada yang sederhana tentang geometri. Aku gagal di mata pelajaran itu semasa sekolah. Bahkan masih suka terbangun oleh mimpi buruk bahwa Mr.
Ross-guru matematika waktu SMA, mengejar dan memaksaku ikut ujian lagi.
"Jangan pakai analogi aneh-aneh. Maksudnya apa"" "Si anjing duduk di situ." Monk menunjuk sisi kanan bagian dalam garasi. "Titik pertama dari segitiga geometri yang kumaksud, sekaligus tempat berbaring favorit si anjing saat mobil pemadam sedang tugas." "Bagaimana Anda bisa tahu"" "Kau bisa lihat sendiri bekas cakaran kukunya di tembok," jawab Monk.
Kuikuti arah tunjukan dan memicingkan mata. Memang ada guratan-guratan tipis yang pasti dibuat si anjing saat mengulat, bergulingan, atau tidur bersandar tembok.
"Saat mobil pemadam pergi, posisi itu memungkinkan Sparky melihat jelas ke pintu garasi," lanjut Monk. "Sebaliknya, pandangan akan terhalang jika ada mobil pemadam, jadi ia juga biasa tidur di keranjangnya di dapur. Di situ ia dapat makanan sisa dari meja, sekalian menikmati lalu-lalang orang."
Monk mendongakkan kepala ke arah dapur. Aku melihat ujung keranjang si anjing di bagian dalam bukaan pintu ke arah dapur. Sebuah mainan kunyah dan karet berbentuk hotdog tergeletak di dalamnya.
Entah bagaimana Monk menyadari goresan dan ranjang si anjing. Yang kutahu, sejak awal datang seluruh
perhatiannya melulu soal mobil pemadam. Rupanya aku salah.
Monk melongok lagi, melihat sekeliling stasiun, lalu maju beberapa langkah seolah menjejakkan kaki ke sebuah jejak kaki di atas pasir.
"Si pembunuh masuk dari pintu garasi yang terbuka dan tiba di titik ini-titik kedua dari segitiga kita. Saat itulah si anjing melihatnya dan menyerang," tutur Monk. "Si pembunuh celingukan mencari sesuatu untuk mempertahankan diri dan menemukan itu."
Monk berputar menghadap deretan kapak, sekop, dan sikat yang berjejer rapi di sebelah kiri kami. Semua rapi pada tempatnya. Setidaknya aku tahu kenapa ini mampu menarik perhatian Monk.
"Si pembunuh memburu ke sana sementara si anjing makin dekat. Ia ambil kapak dari tembok dan mengayunkannya ke arah si anjing pada detik-detik terakhir." Monk maju beberapa langkah lagi dan berhenti dekat sebuah rak terbuka berisi jejeran mantel, helm, dan sepatu bot. Kakinya menjejak lantai. "Sparky tewas tepat di sini. Titik ketiga dari segitiga kita."
"Kok Anda bisa yakin""
"Geometri sederhana," ulang Monk.
"Dia benar, Miss Teeger," ujar Kapten Mantooth yang tiba-tiba muncul di belakangku. "Itu memang lokasi persis di mana kami menemukan Sparky sepulang tugas.
Tepat di depan perangkat pemadam kebakaran. Semua peralatan yang biasa kami pakai dalam bertugas."
Monk melihat ke sisi lain di belakangku. "Aduh."
"Aduh apa"" kembali aku bertanya.
Monk mendekat ke rak berisi mantel tebal pemadam kebakaran yang ditumpuk rapi dari depan ke belakang. Salah satu mantel tergantung dalam kondisi terbalik.
Sintingnya kumat, Monk mengambil mantel itu dari gantungan, membalik arah gantung, mengembalikan serta merapikan posisi mantel dengan hati-hati agar bagian bahu sejajar dengan jejeran mantel di depan dan belakang.
Mantooth menggelengkan kepala tak habis pikir. "Ia lebih kolot soal kerapian dan keteraturan ketimbang saya."
"Ketimbang siapa pun," aku menimpali.
"Kuharap semua anak buah saya bisa seperti dia," kata Mantooth lagi.
"Hati-hati dengan harapan Anda," lirihku. Serius.
Monk kembali ke tengah-tengah kami, mengangsurkan kedua tangan meminta tisu. Kurogoh tas, mengambil dua lembar.
"Anda benar-benar yakin tak ada yang dicuri dari stasiun ini"" tanya Monk sambil mengelap tangan.
"Semua peralatan masih lengkap, dan tak ada petugas yang melaporkan kehilangan apa pun dari lemari masing-masing," jawab Mantooth.
"Bagaimana ji ka sesuatu itu bukan hal yang Anda anggap penting"" desak Monk. "Sesuatu yang begitu remeh, tidak disadari siapa pun jika hilang""
"Kalau begitu, bagaimana kami tahu benda itu hilang"'
"Saya pernah memecahkan kasus pembunuhan di mana si pembunuh ternyata mengincar secarik kertas yang macet di mesin fotokopi."
"Kami tidak punya mesin fotokopi."
"Saya pernah memecahkan kasus pembunuhan di mana si pembunuh ternyata mengincar sebongkah batu dalam akuarium ikan mas."
"Kami tidak punya ikan mas."
Monk menatapku. "Ini bakal sulit."
"Dipikir lagi," imbuh Mantooth, "sebenarnya kami kehilangan dua lembar handuk. Itu yang Anda maksud""
"Handuk macam apa"" tanya Monk.
"Handuk yang biasa dipakai untuk membersihkan dan mengilapkan mobil pemadam," jawab Mantooth. "Kami punya tiga puluh empat lembar sebelum kebakaran, dan sekarang tinggal tiga puluh dua. Saya tahu ini konyol, tapi saya agak kompulsif soal handuk."
"Wajar saja, kok," ujar Monk. Aku memutar mata ke atas. Monk menemukan kawan sehati.
"Anda pikir ada yang masuk kemari hanya untuk mencuri handuk"" tanya Mantooth.
Monk angkat bahu. "Biasanya disimpan di mana""
"Di gudang bawah tanah, dekat mesin cuci dan pengering pakaian."
Rasanya arah percakapan ini mulai konyol. Tak mungkin ada orang membunuh anjing hanya gara-gara handuk. Demi menghentikan kegilaan ini, aku mengajukan pertanyaan sendiri.
"Kapten Mantooth, siapa kira-kira yang tega menyakiti Sparky""
"Wah, Anda harus tanya Joe," jawab Mantooth. "Ia yang paling dekat dengan anjing itu. Jika sedang tak bertugas, Sparky suka ia bawa pulang."
"Di mana kami bisa temui dia""
"Sebenarnya ia masih bertugas, tapi tak tahan berada di sini. Tanpa Sparky, ia terpukul sekali," ujar Mantooth. "Jadi kukirim ia ke lokasi kebakaran untuk mengawasi kegiatan pembersihan, sekalian membantu petugas penyelidik kebakaran. Mestinya ia masih di sana."
"Terima kasih, Kapten," ujar Monk. "Kunjungan ini sungguh menyenangkan."
"Silakan kembali kapan saja, Mr. Monk."
Monk baru hendak pergi ketika Mantooth memanggil, "Tunggu, Anda belum boleh pergi sebelum menerima ini."
Sang kapten menyematkan sebuah lencana ke kerah jas Monk. Lencana berbentuk helm merah di atas emblem
pemadam kebakaran dalam lingkaran sebuah selang emas bertuliskan: "PEMADAM JUNIOR " Di bawahnya ada tulisan lagi: "DEPARTEMEN PEMADAM KEBAKARAN SAN FRANCISCO."
Monk menatap lencana itu sambil tersenyum. "Wow."
4 MR. MONK DAN AKHIR PEKAN YANG BURUK
Karena lokasi kebakaran malam lalu hanya berjarak empat blok dan hari sedang cerah, kupikir sedikit mengobrol akan menyenangkan, walau harus berjalan menanjak menuju mobil. Aku bahkan tak keberatan melihat Monk menghitung dan menyentuh setiap meteran parkir yang kami lewati sepanjang jalan. Otakku sibuk mengulas apa yang baru saja kami pelajari.
Kalau si pembunuh memang merencanakan membunuh Sparky, kenapa tidak membawa senjata sejak awal" Kalau ia datang untuk mencuri sesuatu dan terpaksa membunuh Sparky demi mempertahankan diri, kenapa tidak ada yang hilang"
Aku menanyakan hal ini pada Monk. Sambil tetap menghitung meteran parkir, ia menjawab.
"Kemungkinan ia sudah mengintai stasiun pemadam sejak berhari-hari sebelumnya. Menunggu mereka pergi bertugas agar bisa membunuh si anjing," ujar Monk.
"Kenapa ia tega lakukan itu"" "Mungkin karena si anjing telah mengencingi kebun bunganya."
Yeah. Kalau buat orang macam Monk, itu memang bisa jadi motif kuat membunuh orang. Aku tak hirau, jadi kulanjutkan beranalisis.
"Jadi, taruhlah bahwa si tukang kebun gila ini memang berniat membunuh Sparky," kataku. "Kenapa harus menunggu sampai dikejar Sparky" Kenapa tidak langsung dekati saja dan habisi dengan tongkat bisbol atau apalah""
"Kalau begitu, ia harus membawa tongkat bisbol sewaktu masuk," bantah Monk. "Lalu dibuang kemudian. Ini berisiko suatu saat ditemukan orang dan dilacak balik ke arahnya."
"Sementara kalau disimpan, berisiko dihubungkan dengan kejahatan yang ia lakukan," aku menimpali. Monk mengangguk.
Masuk akal. Kasus ini tidak serumit dugaan semula.
"Di pihak lain," potong Monk, "mungkin si pembunuh tidak menyangka ada Sparky di situ."
" Tapi Sparky kan selalu di situ," aku balik membantah.
"Hanya kalau Joe sedang bertugas," tukas Monk. "Kalau tidak, selalu dibawa pulang oleh Joe."
Ugh. Baru beberapa menit lalu hal ini dikatakan oleh Kapten Mantooth dan aku sudah lupa. Aku memang tidak cocok jadi detektif.
"Jadi, menurut Anda pembunuhan Sparky tidak disengaja"" tanyaku. "Anda pikir si pembunuh mengincar hal lain tapi tepergok si anjing""
"Tidak harus begitu," ujar Monk. "Bisa jadi ia pergi ke sana memang untuk membunuh Sparky."
Aku bingung lagi. "Bagaimana mungkin membunuh anjing saat ia tidak di tempat""
"Dengan meracuni makanannya, misalnya"
Kurenungkan. Si pembunuh mengintai stasiun sehari sebelum Joe keluar bertugas, menunggu semua orang pergi memadamkan api, lalu menyelinap masuk untuk meracuni makanan Sparky. Sialnya, ia malah tepergok anjing yang hendak dibunuh-anjing yang semestinya tak ada di stasiun pada saat itu. Terpaksalah si pembunuh mempertahankan diri dengan kapak.
Ya, kemungkinan begitu. Atau mungkin dengan cara lain.
Bagaimanapun itu, rasanya tidak terlalu rumit. Aku bisa memahami.
"Atau bisa jadi si anjing tidak sengaja dibunuh," ujar Monk, membuatku bingung lagi. "Dan si pembunuh ada di stasiun untuk alasan yang sama sekali berbeda."
"Alasan apa misalnya"" aku bertanya lemas. Menyerah. Ini pekerjaan Monk, bukan aku.
"Entahlah," sambung Monk. "Tapi aku pernah memecahkan pembunuhan yang dilakukan hanya gara-gara uang seperak...."
*** Rumah korban kebakaran kemarin masih berdiri, tapi lantai dasarnya sudah porak-poranda. Jendela-jendela hancur dan hitam hangus terkena jilatan api. Daerah sekeliling dibatasi pita kuning polisi. Beberapa petugas pemadam sibuk menggali puing sementara yang lain menyemprot bagian-bagian yang masih panas.
Bau asap kental di udara. Jalanan dan selokan digenangi air yang ikut menghitam. Saluran air tersumbat puing. Ada mobil pemadam, mobil polisi, sedan dinas pemadam San Francisco, dan sebuah mobil detektif polisi diparkir di depan rumah.
Warga sekitar mengamati dari teras masing-masing sampai ke trotoar, menonton kejadian sambil riuh berkomentar. Kebakaran memang cenderung menyatukan komunitas.
Rumah korban kebakaran itu adalah salah satu dari setengah lusin rumah di pinggir kota yang bentuknya serupa dan dibangun bersisian di era '50-an. Dulu pasti dibangun oleh orang yang sangat menyukai "gaya modern
internasional" yang dipopulerkan oleh Le Corbusier, Richard Neutra, dan Mies Van Der Rohe. Hanya saja kali ini dilakukan tanpa cita rasa seni dan semurah mungkin (dari deskripsi ini mungkin Anda bisa lihat bahwa aku sempat mengambil kursus arsitektur dan sejak lama menunggu peluang menyombongkan apa yang pernah kupelajari). Rumah-rumah tipikal ini dihiasi berbagai cetakan dan gaya fungsi minimalis. Pintu serta jendela dikelilingi tembok datar di sekeliling, membuat tempat ini begitu mencolok (bahkan agak menyinggung mata kalau menurutku) bila dibandingkan dengan bubungan atap, hiasan pilar, dan jendela rumah-rumah gaya Victoria nan anggun di seberang jalan.
Aku bertanya-tanya, berapa banyak warga sekitar yang berpikiran sama sepertiku bahwa secara arsitektur, sungguh sayang bahwa kebakaran tidak membumihanguskan saja sekalian keenam rumah petak nan jelek di pinggir jalan ini. Soalnya rumah-rumah warga sekitar bahkan jauh lebih bagus, dengan rangka kayu gaya Eastlike Victorian berjejer bahu-membahu, tampak sempit di depan, memanjang ke belakang dan tinggi. Setiap rumah tersebut diwajibkan memasang jendela untuk menambah asupan sinar matahari, atap rumah dekoratif menambah artistifikasi individual, plus garasi-garasi kecil yang nyaris tak mampu memuat sebuah mobil.
Polisi berseragam yang menjaga lokasi kebakaran langsung mengenali Monk. Ia mengangkat pita kuning dan mengangguk mengizinkan kami lewat.
Interior ruang tamu tinggal kerangka, hitam dan hangus. Sisa-sisa mebel dan TV meleleh masih berdiri di tempatnya. Memberi kesan menakutkan. Seorang wanita afro-amerika dalam balutan jaket SFFD berwarna cerah bertuliskan PENYELIDIK KEBAKARAN dalam huruf-huruf besar warna kuning di bagian punggung, tengah memeriksa
puing di pojok ruangan. Rambutnya dikepang dengan hiasan manik-manik putih dan merah jambu. Jadi teringat Julie. Sudah lama aku ingin mengepang rambutnya seperti itu, kalau saja biayanya tak sampai $120.
Kapten Leland Stottlemeyer berdiri di satu sisi, mengisap cerutu. Dasi dan kerahnya dilonggarkan. Ia jenis orang yang selalu kelihatan capek, dengan kumis yang lebih lebat ketimbang rambut yang kian menipis. Ia tak suka melihat kami.
"Untuk apa kau kemari, Monk"" tanya si kapten.
"Kami datang untuk bicara dengan salah seorang petugas pemadam,"Jawab Monk. "Anjing maskot mereka dibunuh semalam."
"Jadi sekarang kau juga menyelidiki pembunuhan hewan peliharaan"" sindir Stottlemeyer.
"Sekadar bantuan untuk seorang klien khusus," ujar Monk diplomatis.
Aku tersenyum. Stottlemeyer langsung tahu bahwa yang dimaksud adalah aku, atau seseorang yang dekat denganku. Jelek-jelek, dia juga detektif, jadi tak sulit mengambil sedikit simpulan.
"Katanya kebakaran ini kecelakaan"" aku bertanya.
"Kemungkinan begitu," jawab Stottlemeyer. "Tapi karena nyonya pemilik apartemen ini tewas,'kami harus memperlakukan lokasi sebagai TKP sampai penyelidik kebakaran berkata lain. Jadilah kami mengirim petugas kemari sampai putusan itu tiba. Rutin saja kok."
"Kalau begitu, kenapa tak mengutus Letnan Disher""
Stottlemeyer mendengus. "Sudah seminggu ini hujan dan sekarang hari cerah. Aku sedang ingin keluar. Cari kesempatan mengisap cerutu."
Monk bersin. Lalu bersin lagi.
"Siapa pun yang tinggal di sini pasti punya kucing," desah Monk.
"Kok tahu"" tanya Stottlemeyer. "Aku alergi kucing."
"Ah, kau kan juga alergi buah-buahan plastik, dandelion, beras merah... dan itu belum semuanya," protes Stottlemeyer. "Bagaimana bisa kau pastikan bersin kali ini gara-gara kucing""
Monk bersin lagi. "Tak mungkin salah. Bersin yang ini karena kucing!"
"Anda bisa membedakan setiap bersin"" aku bertanya, setengah tak percaya.
"Tentu," tegas Monk. "Semua orang juga bisa, kan""
Stottlemeyer mengisap cerutu dalam-dalam, lalu menjentikkan abunya ke lantai..
Monk menatap. "Kenapa"" tanya Stottlemeyer.
"Abu rokok itu. Nanti dipungut lagi, kan""
"Cuma abu, Monk. Lihat sekelilingmu. Tempat ini penuh abu."
"Iya, tapi yang itu abu rokok," bantah Monk.
"Oh," Stottlemeyer mengangguk maklum. "Tidak sama dengan abu lain yang ada di sini, ya""
Monk tersenyum. "Aku tahu kau pasti bisa mengerti."
"Tidak juga." Stottlemeyer menjentik lagi. Monk langsung meluncur menadah jatuhan abu dengan dua telapak tangan menungkup sebelum abu menyentuh lantai.
Monk mendesah lega. Lalu bersin, tapi ia berhasil menahan agar tidak membuyarkan abu yang baru ditangkap. "Ada yang punya kantong plastik""
Stottlemeyer melotot kesal. Cerutu ia matikan di tembok terdekat yang hitam gosong, lalu menjatuhkan puntungnya ke tangan Monk.
"Kau memang perusak suasana, Monk. Sana, bicara dengan Gayle. Dia penyelidik kebakaran," ujarnya sambil
mendongakkan kepala ke arah wanita afro-amerika dalam balutan jaket SFFD. "Dia pasti bisa membantumu."
Monk mendekati wanita itu. Berjalan lambat dan ekstra hati-hati seperti orang membawa bom nitro di tengah padang ranjau. Berusaha agar pakaian tidak terkena kotoran sekeliling atau menjatuhkan abu rokok di tangkupan tangan.
Stottlemeyer dan aku menonton pertunjukan itu dengan takjub.
"Bagaimana kondisi syarafmu selama Monk menginap"" tanya Stottlemeyer tanpa melepas pandangan.
"Baru beberapa jam," jawabku mengangkat bahu.
"Beberapa jam bersama Monk rasanya bisa tahunan," timpal Stottlemeyer. Ia mengambil pulpen dari saku kemeja, menulis sesuatu di bagian belakang kartu namanya, lalu diberikan padaku. "Ini nomor telepon rumah. Kalau syarafmu sudah tak kuat, telepon saja. Biar kubawa dia jalan-jalan ke tempat cuci mobil."
"Terima kasih, Kapten," tukasku. "Anda baik sekali."
"Kau dan aku adalah satu-satunya orang yang rela menjaga Monk. Kita harus saling membantu."
"Kita jadi mitra kalau begitu."
"Macam itulah."
"Monk suka ke pencucian mobil"" "Sangat"
Monk akhirnya tiba di tujuan. Sang penyelidik kebakaran masih asyik memunggungi, menyelidiki sesuatu di lantai. Kudengar Monk berd
ehem memanggil. Gayle langsung berdiri dan berbalik.
"Halo, Gayle. Nama saya Adrian Monk. Saya konsultan khusus kepolisian." Monk sengaja menyentak bahu untuk menarik perhatian ke lencana kehormatan pemadam kebakaran di dadanya. "Saya juga teman sejawat Anda."
Gayle mengangkat alis. "Begitukah""
"Boleh minta kantong plastik""
Gayle mengambil selembar kantong plastik khusus barang bukti dari saku jaket.
"Bisa tolong dibuka""
Gayle menurut. Monk menuang abu dan puntung cerutu ke kantong tersebut, lalu menepuk kedua tangan untuk membersihkan sisa mikroskopik apa pun yang mungkin tertinggal. Ia menepis lagi kedua tangan dua belas kali agar yakin.
"Terima kasih," ujar Monk. Gayle dibiarkan bengong memegang kantong plastik sementara perhatian Monk beralih ke meja tamu. Permukaan kaca tebal dan keempat kaki meja itu masih terbilang utuh. Terletak di depan setumpuk puing dan abu yang kurasa tadinya pasti sofa. Di kedua sisi meja itu ada dua puing dan abu lagi, bekas kursi berlengan.
Gayle menyegel kantong plastik tapi tak tahu harus dibuang ke mana. Terpaksa ia kantongi dulu untuk dibuang kemudian. Aku tahu persis bagaimana perasaannya.
"Mayatnya ditemukan di mana"" tanya Monk sambil berjongkok di samping meja dan menyipit mata ke arah asbak, sebuah gelas, dan segumpal lelehan plastik yang menyerupai remote TV.
Gayle melirik Stottlemeyer, minta persetujuan. Stottlemeyer mengangguk. "Di sofa," ia berkata.
"Tepatnya di sebelah mana"" desak Monk.
Gayle menunjuk ke ujung sofa, di posisi terjauh dari Monk. "Korban duduk di pojok situ, sebelah tangan di lengan kursi. Rokok yang masih menyala jatuh dari jari dan membakar tumpukan koran di lantai. Api menyebar dari situ, membakar sofa, gorden, dan akhirnya seluruh ruangan. Korban punya banyak sekali tumpukan koran berserakan di mana-mana. Juga korek dan puntung rokok. Seperti tinggal tunggu waktu sampai akhirnya terjadi kebakaran."
Monk bergeser ke dekat TV, memandang dari belakang sofa, lalu ke puing bekas kursi.
"Anda sudah menemukan jejak akseleran-bekas sulutan awal"" tanya Stottlemeyer pada si penyelidik kebakaran.
"Belum," geleng Gayle. "Bisa dipastikan bahwa penyebab kebakaran adalah rokok. Tampaknya kecelakaan."
Monk mengangguk setuju. "Tampaknya begitu."
"Baguslah," desah Stottlemeyer. "Aku bisa pulang lebih awal malam ini dan menikmati akhir pekan."
"Tapi sebenarnya tidak demikian," sambung Monk.
"Maaf, apa maksud Anda"" tanya Gayle dengan kening berkerut. Merasa integritasnya dipertanyakan. Ia berkacak pinggang.
"Aduh," keluh Stottlemeyer lemas.
"Dia salah," tuding Gayle pada Monk sambil menatap Stottlemeyer.
"Tidak," jawab Stottlemeyer sebal. "Kalau soal pembunuhan, dia tak pernah salah."
"Saya sudah berpengalaman sepuluh tahun," protes Gayle sambil membuka jaket, menunjukkan lencananya pada Monk. "Ini lencana sungguhan, Mr. Monk. Dan saya memastikan bahwa sama sekali tak ada tanda-tanda arson atau pembakaran disengaja."
Monk melangkah ke ujung sofa. "Anda tadi bilang korban tewas tepat di sini."
"Benar," jawab Gayle. "Namanya Esther Stoval, umur enam puluh empat tahun, seorang janda. Tetangga menyatakan bahwa mendiang Esther memang seorang
perokok berat. Selalu ada rokok tersulut di mulut atau di tangannya."
"Apa dia tinggal sendiri"" tanya Monk.
"Bersama sekitar selusin kucing." jawab Gayle. "Mereka kabur saat terjadi kebakaran dan sekarang mulai kembali lagi. Kami kumpulkan mereka di belakang sampai orang dari Departemen Pengendalian Binatang Liar tiba"
"Sial," erang Stottlemeyer. Lalu menatapku. "Kau bisa membedakan bersinmu, tidak""
"Tidak." Aku menggeleng.
"Aku juga tidak, desah Stottlemeyer lega. "Jadi bukan cuma aku."
"Memang bukan cuma Anda," kataku lagi. "Kalau korban tinggal sendiri, kenapa duduk di sini"" tanya Monk. "Di tepi sofa ini""
"Mungkin karena lebih nyaman"" ujar Gayle. "Apa bedanya""
"Gelas kopi, remote TV, dan asbak ada di atas meja, berseberangan dengan sofa, khususnya dari posisi duduk* korban."
Kuikuti arah tunjukan Monk. Remote TV sudah jadi gumpalan plastik di permukaan kaca pelapis meja, tapi gelas dan asbak masih utuh.
"Kalau korban duduk di
sini, ia bisa melihat TV," tunjuk Monk ke ujung lain dari sofa. "Tapi kalau duduk
di sini, di mana korban ditemukan, TV bakal terhalang kursi itu. Kenapa korban menonton kursi""
Stottlemeyer melihat bolak-balik antara sofa dan TV, lalu ke puing-puing kursi.
"Korban tak akan melakukan hal itu, kecuali ada seseorang yang duduk di kursi ini," sambung Stottlemeyer. "Berarti ada orang lain di tempat ini sebelum kebakaran."
Gayle menatap Monk dengan mulut setengah ternganga "Astaga."
Ia terkesan. Aku juga terkesan, tentu saja. Dua kali dalam sehari ini aku melihat Monk mengekstrapolasi rentetan peristiwa hanya berdasarkan posisi duduk seseorang-atau anjing.
Siapa yang menyangka bahwa posisi duduk bisa begitu penting"
Stottlemeyer langsung mengaktifkan ponsel. "Randy" Ini aku. Cepat pergi ke kamar mayat. Suruh Pemeriksa Medis memindahkan jadwal otopsi Esther Stoval ke "urutan pertama. Ini kasus pembunuhan. Kalau kau punya rencana akhir pekan, batalkan saja."
Sang kapten menutup lagi ponselnya, menatap Monk. "Senang kau mampir, Monk. Kasus ini nyaris terlewat begitu saja."
Aku baru ingat untuk apa kami datang.
5 MR. MONK BELAJAR BERBAGI Kami menemukan Petugas Joe Cochran sedang duduk di atas sebuah ember terbalik di pekarangan belakang, menuang susu ke mangkuk sementara selusin kucing mengerubung di sekeliling. Sebagian bahkan naik ke punggung dan bahu. Ia seorang lelaki tegap tinggi besar berusia tiga puluhan. Memancarkan kekuatan dan ketegaran-kualitas pribadi yang kontras dengan kelembutan yang ditunjukkannya terhadap kucing-kucing itu. Tangannya membelai lembut, menciumi hidung, menggemasi mereka ke pipinya yang belepotan jelaga sambil ikut mendengkur kesenangan. Sejenak aku berharap bisa bertukar tempat dengan salah satu kucing itu.
Lamunan ini membuatku kaget. Aku sempat berhubungan dengan beberapa lelaki sejak kematian Mitch, tapi tak ada yang serius. Akhir-akhir ini malah tak ada calon sama sekali. Aku berhasil tidak memikirkan soal pendamping sejak lama (demi Julie) dan jadi sedikit gugup
saat mendapati betapa kuatnya keinginan ke arah itu. Terpancing keluar begitu melihat petugas pemadam nan kasar dan perkasa tapi manis dan lembut itu.
Ya Tuhan, memangnya kenapa" Perempuan waras mana pun pasti bakal merasakan hal serupa. Lelaki itu adalah perwujudan nyata seorang lelaki impian dalam sampul-sampul novel roman picisan. Kuharap suaranya tidak melengking atau cadel.
Monk menghentikan langkah dengan wajah jijik. "Kok bisa ya, mengelusi kucing seperti itu""
"Tampaknya ia memang penyayang binatang," aku berkata.
"Aku tidak," tandas Monk.
"Masa"" sindirku dengan mimik terkejut.
"Tolong kau saja yang bicara," ujar Monk. "Aku tetap di sini."
"Anda tak ingin bertanya sendiri""
"Aku bisa membaca bibir."
"Benarkah""
"Kalaupun tidak, ini saat yang tepat untuk belajar," jawab Monk.
Aku sama sekali tidak berbakat jadi detektif, tapi di pihak lain, rasanya sayang melewatkan peluang mengobrol dengan Joe tanpa diganggu Monk. "Saya bisa minta dia mendekat," tawarku lemas.
"Tidak. Jangan," tukas Monk cepat. "Kucing-kucing itu pasti mengekor. Aku bisa bersin sampai mati. Sungguh, sama sekali bukan kematian yang enak."
"Baiklah," jawabku sambil kembali memusatkan perhatian ke arah Joe. Jantungku berdebar. Rasanya seperti anak SMA lagi. "Ada nasihat buat saya""
"Ya Bicara yang jelas."
Aku menghirup napas dalam-dalam, lalu melangkah mendekati petugas pemadam yang gagah itu. Gagah. Persis kata itu yang terlintas di benakku. Bagaimana mungkin mengajukan pertanyaan cerdas sementara mentalku menciut jadi gadis puber"
"Ehem. Joe Cochran""
Ia menoleh. "Ya, Bu""
Bu. Sopan sekali. Dan senyuman itu... demi Tuhan. "Saya Natalie Teeger," kataku memperkenalkan diri. "Saya bekerja untuk detektif Adrian Monk."
Aku menunjuk Monk, yang membalas dengan lambaian tangan.
Joe bangkit membalas lambaian. Kucing-kucing berlompatan dari tubuhnya. "Kenapa ia tidak mendekat
kemari"" "Ceritanya panjang," jawabku mengelak. "Kami kemari karena putri saya, Julie, adalah seorang murid di salah satu SMP yang biasa Anda kunjungi tiap tahun. Ia mendengar kabar tentang Spa
rky." Begitu mendengar nama anjingnya, mata Joe langsung berembun. Aku makin luluh.
"Julie begitu sayang padanya, ya"" ia berkata.
"Sangat. Sampai ia menyewa Mr. Monk untuk menemukan pembunuhnya."
"Permisi sebentar." Ia berbalik memunggungi, melangkah sedikit menjauh sebelum menyeka air mata. Betapa ingin aku memeluk, menghibur, dan menyeka air mata itu dengan tanganku sendiri.
Aku menelan ludah, menunggu. Setelah beberapa saat, ia kembali menghadapku. "Maaf, Miss Teeger."


Monk Sang Detektif Genius Karya Lee Goldberg di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak apa. Tapi tolong panggil saya Natalie saja."
"Boleh. Tapi panggil saya Joe." Ia membalik sebuah ember lain dan menjejerkannya di sebelah ember tempat ia tadi duduk. Tangannya menawarkan. Aku menurut.
Monk bersiul-siul sambil memberi kode dengan tangan di udara. Aku paham maksudnya.
"Keberatan kalau kita sedikit geser posisi"" tanyaku sambil berbalik menghadapkan wajahku ke arah Monk.
"Kenapa"" tanya Joe.
"Mr. Monk ingin melihat wajah kita," jawabku. "Ia membaca bibir." "Apa dia tuli"" 'Tidak."
"Baiklah," ujar Joe hati-hati. "Apa dia detektif yang baik""
"Yang terbaik, malah," kataku. "Hanya agak nyentrik."
"Jika dia mampu menemukan pembunuh Sparky, aku tak peduli kalau dia suka berlari telanjang mengitari Taman Golden Gate sambil bersiul." Joe segera sadar. Pipinya memerah malu. "Ya ampun. Aku lupa. Apa dia benar-benar bisa membaca bibir""
"Rasanya tidak," kataku sambil melambai ke arah Monk. Monk membalas dengan mengangkat jempol ke atas.
Joe mendesah lega sambil menggendong seekor kucing. "Oke. Sekarang, kau ingin tahu apa, Natalie""
Aku suka mendengarnya menyebut namaku. Suaranya sama sekali tidak mendecit, cempreng, atau cadel..
"Baik," aku memulai. "Tahukan kau, siapa kiranya yang tega menyakiti Sparky""
Wajahnya mengeras, tapi tangannya tak henti membelai si kucing. "Hanya satu orang. Gregorio Dumas. Ia tinggal tak jauh dari stasiun pemadam."
Hmm... kalau begitu, akan sangat mungkin buat orang itu untuk bisa memastikan kapan stasiun sepi, saat penghuninya sedang bertugas.
"Kenapa ia membenci Sparky""
"Cinta," jawab Joe. "Sparky berhubungan intim dengan Letitia, pudel Prancis milik Gregorio."
"Mr. Dumas tidak menyetujui hubungan tersebut""
"Letitia adalah anjing pertunjukan," lanjut Joe. "Gregorio takut Sparky bakal menghancurkan kariernya. Ia pernah memperingatkanku bahwa kalau Sparky tertangkap basah di pekarangannya lagi, ia akan membunuhnya."
"Ada orang lain yang mungkin punya masalah dengan Sparky""
Joe menggeleng. 'Tidak. Sparky anjing cerdas, manis, dan penurut. Aku pernah membawanya ke bangsal kanker di rumah sakit anak. Ia begitu akrab dan bisa berlaku hati-hati dengan anak-anak. Bahkan terhadap yang paling kecil dan rapuh. Semua orang menyukainya."
"Jelas tidak semua," spontan aku memotong. Aku langsung menyesal.
Mata Joe mulai basah lagi, tapi kali ini ia tidak mencoba menyembunyikannya. "Ia bukan sekadar anjing buatku, Natalie. Ia sahabat sejati. Aku tahu betapa konyol dan klise kedengarannya-'seorang bocah dan anjingnya'. Tapi pekerjaan sebagai petugas pemadam berikut jam kerjanya tidak bisa dibilang kondusif untuk membina hubungan. Kau tahu maksudku, kan""
Aku mengerti. Menjadi orang tua tunggal yang bekerja untuk seorang detektif obsesif-kompulsif juga tidak menunjang kehidupan sosial.
"Aku sering sendirian. Tapi aku tak pernah benar-benar merasa kesepian kalau ada Sparky," lanjut Joe. "Sekarang aku benar-benar sendirian. Ia segalanya buatku. Rasanya seperti dicincang dan terapung. Kau tahu seperti apa itu""
Kugenggam dan kuremas tangannya sambil mengangguk. "Ya, aku tahu persis."
Aku tersentak, sadar. Segera kutarik tangan dan berdiri.
"Mr. Monk akan menemukan siapa pun pelakunya, Joe."
"Bagaimana kau bisa begitu yakin""
"Karena dia Mr. Monk," jawabku tulus.
"Kudengar dia punya riwayat panjang," kata Joe. "Kalau boleh, aku ingin dengar kapan-kapan."
"Ini nomor teleponku," ujarku sambil menulis di secarik kertas. "Teleponlah kalau teringat sesuatu atau apa saja yang bisa membantu penyelidikan Mr. Monk." Aku menarik napas panjang. "Atau... kalau ingin mendengar cerita yang kau bilang tadi."
"Pasti," jawab Joe sambil tersenyu
m. Aku tak tahu harus berkata apa lagi, jadi aku balas tersenyum dan kembali ke Monk. Orang itu tidak bergeser sedikit pun dari posisinya.
"Berapa banyak yang Anda tangkap dari pembicaraan barusan"" tanyaku.
"Hanya bagian tentang suntikan obat pencahar, rumput palsu, dan rambut Wayne Newton."
"Hah" Kami sama sekali tidak membahas itu."
"Begitukah"" ujar Monk. "Kalau begitu pasti aku membaca yang tersirat."
Memang ada yang tersirat dari obrolan tadi, tapi rasanya bukan itu.
*** Untuk makan malam, aku menyajikan dada ayam Dijon, kacang polong, dan bubur kentang. Monk membantu dengan menghitung tiap butir kacang polong di piring kami (masing-masing persis dua puluh empat kacang polong) lalu menjejerkan dalam satu baris di atas piring. Ia juga menyajikan bubur kentang bersama satu sendok es krim agar bentuk bolanya rapi, yang kemudian lebih dirapikan lagi dengan pisau mentega.
Julie memerhatikan dengan perhatian penuh. Yah, setidaknya lumayan buat mengalihkan kesedihan.
Sambil makan, aku menuturkan apa yang telah kami pelajari sejauh ini. Aku pribadi merasa biasa-biasa saja, tapi Julie amat terkesan. Ia memeluk Monk lalu masuk kamar untuk ber-chatting ria bersama teman-temannya.
Aku pernah mengatakan bahwa waktu aku seusianya fasilitas semacam itu belum ada. Kami memakai telepon. Tahu dia bilang apa"
"Untung saja aku tinggal di zaman modern."
Aku merasa seperti dinosaurus.
Monk mendesak agar diizinkan mencuci piring setelah makan malam. Aku tak keberatan. Sementara ia sibuk, aku duduk ruang keluarga, bersantai bersama segelas anggur. Hmm... ada untungnya juga punya tamu seorang maniak kebersihan. Jadi terpikir bagaimana jika ia kubawa ke binatu. Tapi lantas terbayang betapa ia pasti akan berusaha memilah-milah bra dan celana dalam kami tanpa menyentuh atau bahkan melihat benda-benda itu. Aku segera mendesah dan memutuskan bahwa ini sama sekali bukan ide bagus, kendati lucu buat ditonton.
Telepon berdering. Pedagang Bangladesh mana lagi yang hendak menawarkan jualan malam-malam begini" Sempat terpikir agar Monk saja yang menjawab telepon, biar si Rajid di seberang sana merasa sengsara barang sedikit. Tapi aku tak tega, jadi kuangkat gagang telepon.
"Halo," salamku.
"Natalie Teeger"" sahut lelaki di seberang telepon tanpa basa-basi. "Ini Joe Cochran. Maaf mengganggumu."
Sebenarnya memang mengganggu, tapi aku senang. Kuteguk anggur untuk menenangkan debaran jantung, tapi tak berhasil.
"Oh, tidak apa-apa, kok," aku berbohong.
"Emm... aku ingin tahu, sekiranya kau bersedia makan malam bersamaku kapan-kapan," ujar Joe.
"Boleh...," jawabku seolah biasa saja, padahal ingin menjerit kegirangan.
"Besok bisa" Atau terlalu cepat" Soalnya baru beberapa hari ke depan aku libur lagi."
"Besok... boleh juga." Sepuluh menit dari sekarang pun oke, tapi aku tak ingin terkesan memburu. Jadilah kami tentukan waktu dan kuberikan alamatku.
Saat menutup telepon, Monk sedang mengelap piring sambil menatapku.
"Apa"" Sebelah alisku terangkat.
"Kau mau kencan dengan Joe""
"Tampaknya begitu," jawabku sambil meringis senang.
"Lalu siapa yang mengurus Julie""
Aku lebih cemas perihal siapa yang akan mengurus Monk. Soal Julie, bisa kujelaskan sendiri empat mata tanpa masalah.
"Saya pikir Anda bersedia mengawasi untuk sementara," kataku. Kulanjutkan dengan sedikit berbohong, "Sulit cari pengasuh saat mendadak begini. Keberatan membantu""
"Tidak pakai macam-macam, ya""
"Tidak akan," jawabku meyakinkan.
"Ada jadwal kegiatan tertentu yang harus kuatur""
"Rasanya tak perlu. Ia bakal seharian di kamar," lanjutku lagi. "Wajaruntuk anak seusianya"
"Saya juga begitu dulu," lirih Monk.
*** Minggu pagi, biasanya aku dan Julie membungkus diri dengan sweater tua, membawa Sunday Chronicles ke teras, lalu pergi ke Valley Bakery. Di sana kami memesan muffin blueberry, segelas kopi untukku dan cokelat panas untuknya, lalu sibuk membaca.
Julie suka baca komik dan resensi film di kolom Datebook-lebih dikenal sebagai "kolom merah jambu" karena warna halamannya. Tiap resensi dihiasi gambar kartun seorang lelaki kecil mengenakan topi boling sedang duduk di kursi bioskop. Kalau
filmnya bagus, ia melompat dengan tangan bertepuk di udara, mata mendelik dan topi lepas. Kalau filmnya jelek, ia ambruk di kursi, tidur mendengkur.
Kadang, dari minggu ke minggu, kubayangkan lelaki kartun itu duduk di kursinya, meresensi hidupku seperti sedang menonton film. Sering kali ia duduk tegak kalau minatnya sedikit tersengat, lalu memberi resensi sebagai film biasa saja. Jarang kubayangkan ia melompat bertepuk tangan.
Setelah sarapan kami biasa berjalan menanjak menyusuri bukit ke Taman Delores, di mana pemandangan dari situ ke arah Castro, Civic Center, dan Distrik Bisnis terpampang begitu indah. Tapi bukan untuk itu kami ke sana. Kami suka duduk di bawah pohon palem di atas rumput segar bersama warga lain yang juga asyik piknik, melihat berbagai macam orang dari berbagai ras dan kombinasi.
Berbagai kombinasi-pasangan hadir di sini-pria bersama wanita, pria bersama pria, wanita bersama wanita, dan sisanya jatuh dalam kategori di tengah-tengah semua itu. Ada tukang pantomim, anak-anak bermain, keluarga berpiknik, band-band bermain musik, kelompok demo... menjadi panggung unik berlatar belakang panorama pusat kota. Pertunjukan terbaik di San Francisco.
Biasanya kami bertahan sampai satu atau dua jam di taman itu, mengobrol tentang hal-hal yang terjadi selama seminggu lalu dan apa yang mungkin terjadi seminggu berselang. Setelah jenuh, kami berjalan santai menuruni bukit. Tiba di rumah-sekitar siang, kami mandi, berganti pakaian, dan melakukan pekerjaan rumah apa pun yang harus dilakukan.
Tak ayal, rutinitas Minggu pagi kali ini terguncang oleh beberapa hal. Pertama karena cuaca. Seluruh kota diliputi kabut tebal dan gerimis panjang. Lalu Mr. Monk.
Jam enam pagi ia membangunkanku dengan suara kerikan terus-menerus. Kuseret badan dari ranjang, hanya mengenakan kaos dan mantel tidur, menyusuri asal suara sampai ke kamar mandi.
Monk mengenakan sarung tangan karet yang biasa kupakai mencuci piring, berlutut di bak mandi, mengeriki saluran pembuangan. Ia mengenakan satu setel piyama dan selop kulit domba yang pasti imut kalau saja ia bukan orang dewasa
Tak usah dikatakan, sudah pasti aku membersihkan kamar mandi sebelum ia datang, tapi tidak keterlaluan kampai kau harus mengenakan kacamata gelap agar tidak silau oleh kilapan linolium bak mandi-seperti yang ia lakukan sekarang. Di wastafel ada sebatang sabun yang "masih terbungkus, sebuah sikat gigi baru dalam kantong plastik kecil, dan pasta gigi yang juga masih baru. Alat cukur listrik menancap di stop kontak.
"Ini jam enam pagi, Mr. Monk," aku berbisik agar tidak membangunkan Julie.
"Aku tak tahu kau suka bangun pagi."
"Memang tidak," tandasku. "Anda sedang apa""
"Bersiap untuk mandi," jawabnya.
"Selalu begini sebelum mandi""
"Dan sesudahnya," jawab Monk.
Aku menggeleng menyerah, berjalan lemas ke dapur. Ia masih di sana dua jam kemudian. Julie tentu saja terbangun. Anak malang itu duduk di meja makan dalam balutan mantel mandi, makan sepiring sereal sambil menggoyang dan menyilang kaki.
"Aku harus ke kamar mandi, Ma."
"Sabarlah. Mr. Monk keluar sebentar lagi."
"Mama bilang begitu satu jam lalu," tukas Julie. "Aku sudah minum dua gelas jus jeruk sejak tadi."
"Nah, mestinya tidak, kan""
"Mana kutahu ia bakal selamanya di kamar mandi," bantah Julie. "Mama tak coba ketuk pintunya"" "Separah itukah""
"He-eh," angguk Julie sambil meringis.
Kami menyusul ke kamar mandi. Pintu kuketuk.
"Mr. Monk"" panggilku. "Kami juga harus mandi."
"Apa harus di sini"" tanya Monk dari dalam.
"Kamar mandinya hanya ini," jawabku.
Monk membuka pintu, masih memegang sikat gigi. Kamar mandi tetap mengilap seperti kulihat jam enam pagi tadi. Tak ada tanda-tanda bekas dipakai. Julie menyilang kaki sambil memindahkan bobot tubuh berganti-ganti.
"Seberapa dekat kau dengan tetangga"" Monk bertanya.
"Tidak begitu dekat," jawabku. "Kita harus gantian memakai kamar mandi."
"Waduh, rasanya tidak bisa begitu," ujar Monk.
Julie mengerang frustrasi, mendorong paksa melewati Monk, langsung ke toilet. Monk melompat keluar ketakutan sambil membanting pintu, bahkan sebelum Julie mengangkat tutup toilet.
M onk berdiri menatapku. Kutatap balik.
"Kamar mandi hanya satu, sementara kita tinggal bertiga," aku berkata.
"Barbar!" seru Monk. "Apa Departemen Kesehatan tahu akan hal ini""
"Anda harus membiasakan diri."
"Bagaimana kau bisa hidup seperti ini"" kejar Monk penasaran.
"Kalau Anda mau membayar saya lebih tinggi," aku menjawab kalem, "akan saya buatkan kamar mandi ekstra."
Ini langsung membuatnya tutup mulut. Aku tahu itu.
Satu-satunya kompulsi yang lebih kuat dari kegilaan Monk soal kebersihan adalah kepelitannya mengeluarkan uang.
6 MR. MONK BERTEMU SANG RATU
Satu jam kuhabiskan waktu bertindak sebagai sekretaris sosial Julie, mengatur jadwal bermain di rumah temannya agar ia tetap dalam pengawasan orang dewasa selama aku membantu Monk melanjutkan penyelidikan.
Dan karena secara teknis Monk bekerja untuknya, Julie tidak keberatan "dibuang" sementara. Bagaimana tidak keberatan kalau kawannya itu punya Xbox, PlayStation, GameBoy, dan tetek bengek mainan komputer lain yang pernah dibuat manusia. Jeleknya, saat pulang nanti Julie pasti bakal merengek untuk keseratus kalinya bahwa aku juga harus membelikan semua itu.
Monk dan aku keluar rumah jam sepuluh pagi. Monk menetapkan kediaman Gregorio Dumas sebagai kunjungan pertama. Orang yang tinggal di seberang stasiun pemadam dan satu-satunya musuh Sparky menurut kesaksian Joe. Logis kalau ia jadi tersangka utama.
Kami mengetuk pintu depan rumah Gregorio Dumas setengah jam kemudian. Tampangnya mengejutkanseperti sengaja dimiripkan dengan anjingnya. Rambut pirang lebat nan halus dibentuk sedemikian rupa bergaya pompador Prancis abad ke-17. Secara keseluruhan, siluetnya mirip anjing pudel Prancis. Dan kalau tidak salah dengar, anjing peliharaannya juga pudel Prancis.
Kebetulan" Rasanya tidak.
Tubuhnya pendek gemuk, semua jari bercincin emas, plus kalung dan medalion memberati leher. Seluruh aksesori ini bertema anjing. Yang paling mencolok adalah kalung emas berbentuk rantai besar berbandul tulang berhias permata. Ia berdiri di ambang pintu dalam balutan kimono sutra, menyeringai angkuh dan sama sekali tidak menutupi pandangan jijik terhadap tamunya, yaitu Mr. Monk dan aku. Persis di belakang kami, di seberang jalan, adalah stasiun pemadam kebakaran di mana Sparky mati dibunuh.
"Anda jelas menyukai anjing," ujar Monk setelah memperkenalkan diri kami dan menjelaskan maksud kedatangan.
"Anda sungguh detektif, ya"" ujar Gregorio dengan nada dan gaya bicara gabungan antara Ricardo Montalban dan Fran Drescher. "Apa semua simpulan Anda secerdas itu""
Ia menyingkir membiarkan kami masuk. Perabot rumahnya seperti warisan seorang kerabat yang dulu
rsering belanja di Levitz, tahun 1978. Pelapis temboknya mengingatkanku pada station wagon Impala milik orang tuaku dulu.
Tembok dipenuhi rak berisi piala dan piagam penghargaan lomba anjing, dan berbingkai-bingkai foto Letitia bersama sang majikan. Melihat foto-foto itu aku jadi makin yakin bahwa keduanya pasti satu keturunan. "Kalau Anda sangat menyukai anjing," ujar Monk, "pasti sedih mendengar kabar tentang Sparky."
"Anjing itu penjahat kelamin!" tukas Gregorio. "Pemerkosa."
"Oh, masa begitu"" balasku cepat. "Kita bicara soal anjing, lho. Bukan manusia."
"Letitia itu bukan sekadar anjing," bantah Gregorio. "Ia simbol kesempurnaan dan keindahan-ratu penguasa dunia anjing," suaranya meninggi. "Setidaknya sebelum dirusak Sparky."
Gregorio mengembangkan tangan, berputar menunjuk pada tembok piagam di sekeliling kami. "Ia telah memenangkan ratusan pertandingan American Kennel Club, termasuk penghargaan Best in Show di Turnamen Kejuaraan Nasional. Tahun lalu saja, Letitia telah menghasilkan lebih dari enam puluh ribu dolar uang hadiah dan sponsor."
"Pendek kata, anjing Anda dikaryakan. Begitu"" tanya Monk.
"Dia juga menikmati buah kesuksesannya, kok," tukas Gregorio. "Gaya hidupnya bahkan lebih baik dari saya."
"Tak mungkin lebih buruk," gerutu Monk.
Gregorio menuntun kami ke dapur. Ruang cucian tampaknya merupakan kamar pantry yang dimodifikasi. Monk berhenti menatap tumpukan pakaian, celana dalam, dan handuk yang dilipat di atas mesin penge
ring. "Mr. Monk," ujarku berusaha mengalihkan perhatian sebelum ia bergerak melipat ulang tumpukan itu, atau bahkan lebih parah lagi-berkhotbah tentang pentingnya memisahkan pakaian berdasarkan jenis kain ke tumpukan terpisah.
Gregorio membuka pintu ke halaman belakang. Tempat ini didominasi miniatur rumah-rumah ala Victoria beratap kayu cedar, lengkap dengan bubungan segitiga, atap lengkung, jendela ventilasi, dan teras berlilit tumbuhan rambat dengan kotak-kotak pot bunga. Teras mini itu berisi macam-macam mainan kunyah dari karet. Ada yang berbentuk tulang, bola, hotdog, dan kucing. Tembok pembatas halaman belakang dibatasi pagar penghalang tinggi berlapis kawat silet
"Makhluk ningrat sudah sepantasnya mendapat pelayanan ningrat juga," ujar Gregorio menjelaskan.
"Ada berapa kamar mandi di dalam situ"" tanya Monk iseng.
"Anjing pertunjukan dinilai berdasarkan gigi, alunan gerakan otot, struktur tulang, tekstur bulu, dan yang paling penting adalah bagaimana ia membawa diri. Gaya jalan, keseimbangan-pokoknya keterpaduan seluruh elemen tersebut. Anjing yang tinggal di istana harus berjalan bak seorang ratu. Dulunya, Letitia adalah ratu."
"Anda terus menyebut dulunya" ujar Monk. "Apa yang terjadi padanya sekarang""
"Nafsu berahi Sparky," sungut Gregorio. Ia bersiul memanggil.
Letitia melompat keluar dari istananya. Pudel Prancis itu masih tampak anggun dengan bulu halus putih berombak, sampai gaya berdirinya pun anggun. Tapi ia juga hampir segendut sang majikan.
"Sparky menghamilinya," umpat Gregorio.
Letitia langsung menuju ke Monk, mendengus dan mendesakkan moncong ke kemaluan Monk. Panik, Monk menghalangi dengan tangan dan melenguh jijik ketika moncong basah itu menyentuh kulitnya.
"Aku diserang!" seru Monk sambil kabur ke ruang tengah sementara si anjing terus mendesak mengekor.
"Sekarang ia tak lebih dari anjing bunting," lanjut Gregorio bersungut-sungut sambil mengikuti ke ruang tengah bersamaku. "Tak lama lagi ia bakal bengkak. Tapi itu belum apa-apa ketimbang tampangnya kelak setelah beranak."
Aku bisa saja membantu Monk kalau mau, tapi setelah peristiwa di kamar mandi pagi tadi, aku merasakan ini sebagai balas dendam yang manis.
"Tubuhnya masih bisa dikembalikan seperti semula, kan"" selaku. Toh aku juga begitu setelah hamil Julie. Ya, kan"
"Puting susu menjuntai, kulit keriput, mata berkantung dan memerah. Itulah masa depannya," tutur Gregorio. "Tak lebih dari bayangan menyedihkan masa lalu. Sudah kuperingatkan petugas-petugas pemadam itu agar jangan meninggalkan anjing mereka berkeliaran saat bertugas."
Ada cermin di salah satu sisi tembok. Kucermati bayanganku sendiri di situ. Cemas apakah itu yang bakal dilihat Joe di kencan kami malam ini: puting susu menjuntai, kulit keriput, mata berkantung dan memerah.
"Masih mending kalau Letitia kawin dengan sesama anjing pertunjukan. Sparky kan cuma anjing gelandangan biasa," lanjut Gregorio. "Bayangkan seperti apa monster kampung yang bakal lahir nanti" Terus terang saja, saya tak akan menangisi nasib Sparky. Biar rasa!"
Letitia melompat ke sofa di samping Monk, menjilati pipi si detektif.
"Tolong," seru Monk lemah.
"Sepertinya Anda begitu membenci Sparky... bahkan mungkin bisa sampai membunuhnya," kataku menyelidik.
"Benci memang iya. Tapi saya tidak membunuhnya," tandas Gregorio.
"Hanya itu pembelaan Anda"" desakku. "Tolong," seru Monk lagi.
Kusentak peneng Letitia dan kutarik agar menjauhi Monk. Sang detektif langsung ngacir ke pintu depan dan membanting pintu.
"Kalau saya yang membunuh Sparky, mestinya saya lakukan sebelum ia menghamili Letitia," ujar Gregorio sambil mengambil Letitia dari tanganku. "Buat apa kulakukan sekarang" Percuma, kan""
"Balas dendam, mungkin"" ujar Monk dari luar. Suaranya teredam pintu.
"Jujur saja, bukannya tak terpikir demikian," jawab Gregorio.
"Apa"" tanya Monk.
"Sempat terpikirr seru Gregorio. "Tapi lebih baik saya menuntut SFFD karena telah merampas potensi Letitia mencari nafkah. Dan itu sudah saya lakukan."
"Di mana Anda tadi malam antara jam sepuluh dan jam dua pagi"" aku bertanya.
"Di sini," jawab Gregorio. "Sendirian."
"Tak p unya alibi"" "Tak butuh alibi," tukas Gregorio. "Karena saya tidak melakukan."
"Bisa bicara lebih keras"" seru Monk.
"Bukan saya pelakunya!" balas Gregorio. "Tanya saja petugas pemadam itu!"
Monk membuka sedikit pintu depan, cukup untuk menyembulkan wajah dan bertanya, "Petugas yang mana""
"Petugas yang saya lihat keluar dari stasiun malam itu sekitar jam sepuluh tiga puluh," jawab Gregorio.
"Tapi mereka kan pergi jam sepuluh untuk menjawab panggilan kebakaran"" aku menyela.
"Saya tahu itu!" tukas Gregorio. "Anda kira saya tak punya kuping" Itulah nikmatnya tinggal persis di seberang jalan stasiun pemadam kebakaran. Sirene meraung jam sepuluh malam, lalu setengah jam kemudian anjing sialan mereka mulai melolong. Saya mengintip ke jendela untuk memastikan apakah ia hendak menyelinap kemari untuk merusak Letitia lagi, tapi mendadak lolongan berhenti dan saya tak melihat apa-apa lagi. Lima menit kemudian, giliran Letitia menggonggong, jadi saya intip lagi ke jendela, berpikir bahwa kali ini pasti Sparky. Saat itulah saya lihat seorang petugas pemadam berjalan keluar dari stasiun."
"Bagaimana Anda tahu pasti bahwa itu petugas pemadam"" tanya Monk.
"Dari helm dan jaket tebal kuningnya," jawab Gregorio.
"Anda tak melihat wajahnya"" aku menyusul bertanya.
"Posisinya membelakangi saya," jawab Gregorio. "Lagi pula, saat itu gelap karena hari sudah malam. Orang itu lalu menyeberang jalan. Sekarang tolong permisi, saya masih banyak pekerjaan."
Ia menggiringku ke pintu. Begitu kakiku menginjak teras, Monk langsung melambaikan kedua tangan ke depan wajahku dengan panik, seolah sedang dikerubungi semut.
"Lap, lap, lap...," begitu ia berkata. Kuberi sekitar tiga puluh lembar tisu sambil berjalan ke mobil yang kuparkir di depan stasiun pemadam kebakaran.
"Aku harus mandi," racau Monk. "Selama setahun!" "Berani sekali ia membodohi kita," ujarku tak hirau. "Dia pikir kita bakal percaya begitu saja bahwa pembunuh Sparky adalah seorang petugas pemadam" Konyol sekali! Dia hanya mencoba mengalihkan perhatian agar tidak dituduh."
"Bukan dia pelakunya," ujar Monk. "Bagaimana mungkin" Sparky menghamili sapi perahnya... atau pudel perah, atau apalah. Pokoknya, Gregorio kehilangan pendapatan enam puluh ribu dolar setahun. Itu sangat bisa dijadikan motif pembunuhan. Apalagi ia tinggal persis di seberang jalan, jadi pasti tahu persis keluar-masuknya para petugas pemadam." "Bukan dia pelakunya," ujar Monk.
"Dia mengaku membenci Sparky dan tahu bahwa para petugas pemadam pergi jam sepuluh malam," bantahku. "Mungkin kejadiannya persis seperti kata Anda, bahwa dia pergi ke sana untuk meracuni makanan anjing atau apalah, lalu tiba-tiba Sparky muncul mengejutkannya"
"Bukan dia pelakunya," ujar Monk.
"Aduh, berhenti bilang begitu, dong!" bentakku kesal. "Anda tak lihat rambutnya tadi" Pasti dia pelakunya. Bagaimana Anda bisa bilang bukan dia""
"Dia terlalu gemuk," jawab Monk. "Tak mungkin dia mampu mencapai kapak sebelum ambruk diterkam Sparky. Tapi dia memang berbohong."
"Soal apa""
"Dia ada di stasiun pemadam pada malam pembunuhan Sparky." "Kok tahu""
"Cuciannya," desis Monk. "Aku sempat melihat dua lembar handuk yang hilang dari stasiun pemadam, terlipat bersama tumpukan kaos kaki. Kau percaya itu" Ditumpuk bersama kaos kaki!"
"Kok tidak bilang apa-apa tadi""
"Aku sibuk membela diri dari serangan binatang buas. Belum lagi leleran liurnya yang menjijikkan." Monk bergidik.
Kurasa memang leleran liur itulah yang paling membuatnya panik. Tapi pendapatnya juga sama kalau melihat aku menjilat bibir.
"Gregorio Dumas tetap bersalah karena menyimpan barang curian," tegasku. "Meskipun tetap saja jadi pertanyaan: buat apa ia mencuri handuk""
"Ya," kata Monk. "Aku juga heran, bagaimana Sparky menghamili Letitia""
"Saya bisa menjelaskan, kalau Anda mau," jawabku kikik. "Tapi apa memang harus dijelaskan"" "Bukan bagaimana yang saya persoalkan. Tapi bagaimana bisa anjing itu menghamili Letitia."
"Bagaimana sih" Sparky anjing jantan. Letitia anjing betina. Wajar, kan"" bantahku bingung. "Namanya juga anjing."
"Aduh. Maksudku, coba pikir: halaman belakang itu dilindu
ngi pagar tinggi dengan gulungan kawat silet. Bagaimana Sparky bisa masuk""
"Mungkin pagar itu baru dipasang setelah kematian Sparky""
Kami tak sempat mempertimbangkan pertanyaan lebih jauh karena ponselku berdering. Panggilan dari Stottlemeyer. Ia ingin bertemu Monk di kantornya secepat mungkin.
Kantor Stottlemeyer bukan sekadar kantor buat yang bersangkutan. Tempat itu juga berfungsi sebagai tempat mengungsi. Di sini ia bebas melakukan apa yang dilarang istrinya di rumah. Ia bisa mengisap cerutu, makan junk-food, ngupil, mencopot sepatu, mengangkat kaki ke atas meja sambil membaca majalah Sports Illustrated edisi pakaian renang. Kantor itu juga berisi barang-barang yang tak diizinkan istrinya ditampilkan di rumah, seperti koleksi memorabilia bisbol, poster film Serpico, koleksi merek cerutu dan peluru yang pernah bersarang di pundaknya beberapa tahun silam.
Jadi, betapa pun parah atau seringnya Stottlemeyer mengeluh soal lembur atau keharusan untuk tetap bekerja pada akhir pekan, aku tahu bahwa ia merasa jauh lebih kerasan berada di kantor, meski tak mungkin diakuinya sendiri.
"Aku benci datang ke sini pada hari libur," gerutu Stottlemeyer saat kami berkumpul di ruangannya. Ruang bullpen (ruang utama tempat meja-meja para petugas lain) di luar ruangan itu hanya berisi tiga atau empat orang detektif.
Stottlemeyer mengenakan mantel penyerap keringat, celana jins, dan sepatu tenis untuk mengingatkan diri dan orang lain yang melihatnya bahwa saat ini mestinya ia bersantai di rumah.
Sebaliknya, Letnan Randall Disher malah mengenakan setelan kemeja seperti biasa kalau sedang bertugas.
Setelan yang selalu tampak tidak pas dan aneh, lengkap Ldengan dasi. Ia mengidolakan Stottlemeyer, jadi maklum kalau ia tak pernah benar-benar "bebas" berada di sekitar orang tua itu. Sikap dan gemetar khas ingin-inenyenangkan-bos menyaput setiap perkataan dan
tindak-tanduknya. "Kami butuh bantuanmu dalam kasus ini, Monk," ujar stottlemeyer. "Dan karena kau yang membawa kasus pembunuhan tak terpecahkan ini ke hadapan kami, sudah
sepantasnya kau yang tuntaskan buat kami."
"Tak terpecahkan"" tanya Monk. 'Tak ada hal seperti itu."
"Semangat yang bagus," ujar Stottlemeyer. "Jelaskan badanya perkembangan kita, Randy."
Disher melongok buku catatan. "Biasanya, dalam Insiden seperti ini, di mana korban tewas akibat ketiduran sambil merokok, bukan api yang menjadi pembunuh, tapi asap."
"Apa petugas medis menemukan asap atau partikel jelaga di paru-paru atau saluran pernapasan korban"" tanya Monk.
"Tidak," jawab Stottlemeyer. "Berarti Esther Stoval sudah tewas sebelum terjadi kebakaran."
"Nah, itu dia," ujar Monk. "Pembunuhan, kan" sudah dipecahkan. Bagian mana yang tak terpecahkan""
"Baru mau disampaikan," tukas Stottlemeyer. "Teruskan, Randy. Ceritakan sisanya."
"PM atau Petugas Medis menemukan partikel bahan kain di tulang saluran pernapasan dan akumulasi bercak darah di bawah kulit akibat perdarahan di jembatan mata-dekat tulang rawan hidung, berasal dari tekanan yang semakin meningkat di urat darah ketika...."
"Bla, bla, bla" potong Stottlemeyer tak sabar. "Pokoknya, korban ditekap dengan bantal."
"Tapi kami tak bisa menemukan petunjuk apa pun tentang senjata pembunuh karena musnah dibakar api," lanjut Disher. "Api juga melenyapkan sidik jari atau jejak bukti apa pun yang ditinggalkan si-pembunuh di kamar itu."
"Kami juga tak punya saksi," ujar Stottlemeyer. "Kami telah menyisir daerah sekitar, menanyai para tetangga. Tak ada yang melihat atau mendengar apa pun."
"Jadi maksudmu, kau bisa membuktikan terjadinya pembunuhan tapi tidak bisa melacak siapa pelakunya"" simpul Monk. "Pun andai bisa melacak dan tahu siapa orang tersebut, tak akan pernah bisa dibuktikan karena barang bukti habis dimakan api""
"Tepat," jawab Stottlemeyer. "Sebuah pembunuhan sempurna."
Monk menelengkan kepala dari satu sisi ke sisi lain. Aku kenyang melihat ia begitu. Sekilas seperti sekadar
meluruskan leher yang pegal, tapi aku lebih curiga ini sebagai reaksi fisik ketidaksediaannya menerima fakta kang belum pernah dilihat atau didengarnya sendiri.
"Aku tidak setuju," ujar
Monk. "Kau mampu melihat kesalahan yang dibuat si pembunuh"" tanya Stottlemeyer.
Monk mengangguk. "Mestinya ia tidak membunuh Esther Stoval."
"Tak bisa lebih substansial lagi, ya"" tanya Stottlemeyer gemas.
"Aku belum bisa menyampaikan lebih pada saat ini," bela Monk. "Tapi pasti akan aku temukan bukti."
"Baguslah," ujar Stottlemeyer. "Buat permulaan."
"Apa yang kita ketahui tentang korban"" aku menyela
"Dari pembicaraan dengan tetangga sekitar, kami tahu bahwa mendiang Esther adalah seorang perokok berat nan cerewet dan menyebalkan yang tidak disukai semua orang," jawab Stottlemeyer. "Lebih buruk lagi, ia menghalangi niat warga sekitar untuk menjadi kaya."
Stottlemeyer menjelaskan bahwa Lucas Breen- seorang pengembang terkenal yang sering meremajakan lingkungan perumahan kumuh dengan konstruksi campuran barang bekas yang inovatif, ingin menggusur enam rumah petak jelek di daerah itu untuk membangun
kondominium gaya Victoria dan proyek pertokoan. Esther Stoval adalah satu-satunya orang yang tak bersedia menjual rumahnya. Ini membuat marah warga yang sudah menjual rumah mereka pada Breen, sementara kontrak tertulis menyebutkan bahwa kesepakan dianggap sah apabila Esther juga menjual rumahnya.
"Yah, setidaknya kita tidak kekurangan tersangka," kataku.
"Semua berpotensi melakukan," imbuh Stottlemeyer. "Boleh dibilang, ibarat antre menunggu giliran menekap korban dengan bantal. Tapi kita tak punya cara membuktikan keberadaan mereka pada malam kebakaran itu."
"Mungkin karena bukan mereka pelakunya," sela Disher.
"Maksudmu apa, Randy"" desah Stottlemeyer kesal.
"Saya punya teori, Pak," lanjut Disher bergairah. "Mungkin bakal terdengar agak nyeleneh." "Tak apa. Bicaralah," tukas Stottlemeyer.
"Bagaimana kalau pelakunya ternyata kucing-kucing itu-maksud saya, korban kan. memelihara banyak kucing."
"Kucing"" tanya Stottlemeyer. "Bagaimana ceritanya kucing jadi pembunuh""
"Maksud saya, ini seperti film hebat yang dibintangi Robert Culp. Dalam film itu, ada sejumlah ilmuwan yang melakukan riset di lab terpencil di Kutub Utara tentang
dampak isolasi terhadap monyet. Para ilmuwan itu terbunuh satu demi satu tanpa ketahuan siapa pembunuhnya Ilmuwan yang tersisa jadi saling curiga dan tak berani lengah satu sama lain," tutur Disher. "Akhirnya jumlah ilmuwan menyusut sampai tinggal Robert Culp dan satu orang lagi, dan...."
"Pembunuhnya monyet-monyet itu," potong Monk. "Monyet-monyet itu membalik efek percobaan terhadap ilmuwan-ilmuwan itu dan memanipulasi mereka agar saling membunuh."
"Kok tahu"" tanya Disher.
Stottlemeyer mendesah lemas, campur kesal. "Karena ulahmu menceritakan cerita konyol ini untuk mendukung teori bodoh yang menunjuk kucing sebagai pembunuh Esther Stoval!"
"Lho, siapa tahu kucing-kucing itu sengaja menggulingkan bantal ke wajahnya" Lalu, sementara yang satu menduduki bantal, yang lain menjatuhkan rokok dari tangan Esther ke tumpukan koran. Bisa begitu, kan"" ujar Disher yakin. "Bagaimana bila semua ini adalah tindakan pemberontakan kucing terhadap majikan mereka yang kejam""
"Ini bukan sekedar nyeleneh, Randy," sahut Stottlemeyer. "Ini sinting."
"Lho, kucing itu binatang cerdas, Pak," bantah Disher.
"Stop," tegas Stottlemeyer sambil mendelik.


Monk Sang Detektif Genius Karya Lee Goldberg di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Disher sudah hendak berkoar lagi, tapi Stottlemeyer mengangkat telunjuk memperingatkan.
"Satu patah kata lagi, akan kutembak kau," ancam Stottlemeyer. Pelototannya beralih memohon ke arah Monk. "Lihat sendiri kan, betapa kami membutuhkan bantuanmu dalam kasus ini""
7 MR. MONK DAN KANCING Kabut mengangkat keceriaan Minggu siang itu. Awan gelap membayang di sekitar kota, didorong angin dingin yang membuat pita kuning polisi di sekitar puing-puing rumah Esther berdansa seperti surai gadis pom-pom.
Meski sebenarnya tidak ada pesta, pasangan muda di sebelah rumah-tersebutlah Neal dan Kate Finney, tampak sibuk mengisi truk U-Haul mereka dengan peti dan tetek bengek khas orang pindahan. Mereka adalah penghuni salah satu dari lima rumah yang akan digusur sang pemborong Lucas Breen demi janji membangun kondominium dan kompleks pertokoan.
"Keluhan di rumah kami hanya seputar asap dan
suplai air, tapi dengan kematian Mrs. Stoval, tak ada alasan untuk bertahan lebih lama," ujar Kate sambil mendorong kereta dorong berisi tumpukan peti nan berat ke bak truk. "Sekarang rumah ini jadi milik perusahaan Lucas Breen. Itu berarti, akhirnya kami jadi menerima pembayaran sesuai kontrak."
"Honolulu, kami datang!" seru Neal dari dalam truk. Belum-belum ia sudah mengenakan kemeja Hawaii kebesaran dan celana pendek. Padahal cuaca dingin. Menunjukkan betapa antusiasnya ia.
"Anda bahkan tak berusaha menyembunyikan perasaan gembira perihal kematian Mrs. Stoval, ya"" ujar Monk.
"Memang tidak," tandas Neal.
"Kalian tetangga sebelah rumah, korban diketahui sebagai sosok yang menghalangi pembangunan kompleks kondominium, plus bayaran kalian dari kontrak penggusuran lokasi, dan sekarang ia mati sementara kalian pindah ke Hawai," ujar Monk lagi. "Apa tidak khawatir bagaimana simpulan umum terhadap gambaran ini""
"Kami tak akan lupa meninggalkan alamat baru kami pada polisi." Kate mendorong tumpukan peti yang baru ke dekat suaminya, mengosongkan kereta dorong lalu kembali ke dalam rumah untuk mengangkut barang-barang lain.
"Kalian punya motif yang paling memungkinkan untuk membunuhnya, tapi sama sekali tidak berusaha menyembunyikan fakta ini," desak Monk.
"Justru jadi pertahanan yang paling baik, kan"" sahut Neal sambil menata peti-peti di dalam truk. "Dengan hasil yang kami dapat sekarang, membakar rumahnya dengan sengaja adalah tindakan idiot."
Rahasia Kampung Setan 3 Pendekar Slebor 38 Lamaran Berdarah Pembunuhan Di Sungai Nil 4

Cari Blog Ini