Monk Sang Detektif Genius Karya Lee Goldberg Bagian 2
"Rencana yang cerdik, memang," angguk Monk. "Begitu jelasnya motif ini sehingga orang tak akan menduga bahwa kalian yang melakukan walau memang kalian yang melakukan."
"Kami sedang makan malam di Ruggerios bersama dua pasangan lain saat kebakaran terjadi," sanggah Neal. "Kalau saja saya tahu apa yang terjadi saat itu, saya bakal memesan tambahan anggur dua botol dan mentraktir semua orang."
"Seorang wanita tua kesepian terbunuh dalam kebakaran itu," aku menyela. "Apa Anda tidak punya perikemanusiaan""
"Hei, Anda tak kenal siapa Esther Stoval atau bagaimana rasanya hidup bertetangga dengan wanita itu. Jadi jangan lancang menghakimi kami!"
Aku tak suka orang-orang ini. Begitu egois dan tak malu mengakui ketamakan. Apa mereka juga menjual jiwa pada Lucas Breen selain rumah mereka"
Aku teringat rumahku sendiri dan betapa berartinya tempat itu buatku. Mitch dan aku mencari dan menemukannya bersama, jatuh cinta dengan rumah itu, membelinya bersama-sama. Putri kami lahir di bawah atapnya. Sampai sekarang masih terasa kehadiran Mitch di tembok, di udara, di larik cahaya yang menembusi kaca jendela. Di samping Julie, rumah itu adalah peninggalan terakhir dan satu-satunya, yang benar-benar
mendekatkanku pada Mitch. Tak akan mungkin kujual, betapa pun tekanan para tetangga.
"Pernahkah terpikir barang sebentar bahwa mungkin ia menolak menjual rumah bukan karena senang menyulitkan Anda untuk mendapatkan kekayaan"" protesku getir. "Mungkin karena rumah itu menyimpan kenangan teramat dalam buatnya Mungkin ia begitu suka tinggal di sini dan benar-benar tak mau pindah."
"Seharusnya ia pindah," balas Kate sambil membawa beberapa peti lagi dari dalam rumah. "Pihak pengembang menawarkan salah satu kondo di gedung yang akan dibangun nanti secara gratis-bebas sewa seumur hidup, plus pembayaran untuk harga rumahnya. Dermawan sekali, kan" Tapi ia tetap keras kepala."
"Tetap saja tidak sama," desisku jijik, sambil menjauh sampai lepas dari jangkauan suara tapi masih tetap bisa melihat Monk, kalau-kalau ia butuh bantuan. Tak tahan rasanya lebih lama bersama manusia-manusia itu.
Monk bertahan untuk mengajukan beberapa pertanyaan lagi. Aku sudah tak peduli. Mungkin Monk menanyakan bagaimana rasanya hidup tanpa jiwa atau sikap lebih menghargai uang ketimbang hak orang lain untuk hidup bahagia. Tapi setelah agak tenang, kupikir Monk akan lebih cenderung meminta mereka menata ulang isi truk menjadi tumpukan genap-delapan kotak
untuk setiap tumpukan dengan sisi yang sama menghadap keluar.
*** Aubrey Brudnick adalah seorang intelektual profesional berumur empat puluhan yang bekerja di San Francisco dan termasuk s
alah seorang tetangga mendiang Esther Stoval.
"Saya dibayar berdasarkan isi pikiran," katanya dengan suara hidung sambil mengunyah pipa rokok. "Kalau saya tak bisa berpikir, saya bakal kelaparan. Itu sebabnya saya benci Esther Stoval."
Melihat dagu berlemak dan perut buncit, kupikir tak ada salahnya ia sedikit kelaparan. Brudnick mengenakan sweter wol biru dengan kemeja cokelat, celana korduroi, dan sepatu joging kulit merek Ecco. Kakinya ditumpangkan ke atas meja yang penuh serakan buku, menghadap ke jendela terbuka berpemandangan puing-puing rumah Esther.
"Anda tak bisa berpikir kalau ada dia"" tegas Monk.
"Masalah utamanya bukan hanya dia," jawab Brudnick, "tapi kucingnya."
"Ya, kami dengar Esther suka memelihara banyak kucing jalanan," kataku.
"Jumlahnya lusinan," angguk Brudnick. "Dan bukan sembarang kucing jalanan. Banyak di antaranya terhitung
jenis eksotis. Dia kerap berkeliling ke berbagai penampungan binatang, mencari kucing-kucing keturunan yang langka. Beberapa hari lalu dia membawa pulang Turkish Van, seekor kucing campuran berbulu lebat jenis White Ringtail-kucing berekor pendek warna putih, dan satu lagi jenis Russian Longhair-kucing Rusia berbulu panjang."
Ia mengambil sebuah buku besar dari meja, mencari-cari halaman sebentar, lalu ditunjukkan padaku. Ini buku tentang macam-macam jenis kucing campuran. Halaman yang ditunjukkan berisi daftar kucing jenis Turkish Van- kucing putih berbulu.
"Anda melacak jenis kucingnya"" tanya Monk.
"Ini kebiasaan jelek saya. Kalau ada burung terbang, misalnya, saya harus tahu jenis apa itu. Kalau ada mobil diparkir di depan situ, saya harus tahu sejarahnya. Kalau kebetulan mendengar orang bersenandung, saya harus tahu judul dan biografi lengkap komposernya," jelas Brudnick. "Keingintahuan intelektual saya merupakan cacat sekaligus anugerah."
"Ya, saya tahu rasanya," angguk Monk.
"Ini salah satu alasan kenapa saya menganggap kucing-kucing Esther begitu mengganggu, karena setiap kali saya melihat mereka saya tak tahan untuk meriset binatang sialan itu," sungut Brudnick. "Hal lain, tentu saja baunya. Rumah itu sudah seperti pispot raksasa. Kalau hari sedang berangin, baunya menyebar ke mana-mana."
"Anda tidak berusaha protes atau semacam itu"" tanya Monk.
"Saya sudah coba bicara padanya," desah Brudnick. "Tapi malah dimaki agar jangan ikut campur urusan orang. Komentar ini jelas ironis."
"Oh" Kenapa begitu""
"Karena tua bangka itu selalu mengintipi jendela saya, mengacak-acak surat saya di kotak pos, bahkan membaca majalah saya dari kotak pos juga!" erang Brudnick. "Saya sampai harus telanjang ria di rumah agar ia enggan mengintip lagi."
Monk bergidik mendengarnya. Aku juga.
"Anda tak pernah mencoba mengambil tindakan langsung""
"Maksud Anda seperti membakar rumahnya, begitu""
Monk mengangguk. Brudnick tersenyum.
"Terpikir begitu setiap hari," aku Brudnick. "Tapi lebih baik saya jual saja rumah ini pada Lucas Breen dan mencari rumah baru di masa depan. Jauh dari gangguan Esther dan gerombolan kucingnya."
"Jadi, mendiang Esther tak hanya membuat hidup Anda tak nyaman," ujarku berkesimpulan, "dia juga menghalangi Anda menjadi kaya"
"Dia sama sekali bukan tetangga favorit di seluruh blok, itu saya akui. Tapi saya tak pernah mengharapkan kekerasan apa pun terjadi."
"Di mana Anda antara jam sembilan dan sepuluh malam pada hari Jumat lalu"" tanya Monk.
"Menikmati berendam air hangat sambil membaca American Spectator edisi terakhir," tandas Brudnick.
Bayangan ini membuatku bergidik lagi.
"Anda sendirian waktu itu"" kejar Monk.
"Sayangnya, iya," ujar Brudnick. "Sudah lama tak ada wanita yang mau berbagi dalam satu bak mandi sambil membaca American Spectator"
Brudnick menoleh ke arahku sambil tersenyum. Kuanggap sebagai pujian-plus mengerahkan kemampuan luar biasa untuk mengendalikan diri agar tidak langsung muntah atau berlari jejeritan dari rumah ini.
"Anda tidak mendengar atau melihat apa pun yang tidak biasa pada malam itu"" tanya Monk lagi.
"Tidak... sampai rumahnya terbakar api," ujar Bridnick. "Itu sama sekali bukan pemandangan normal."
*** Sungguh menyebalkan. Tetangga-tet
angga lain di deretan rumah Esther juga bersikap serupa seperti keluarga Finney dan Brudnick. Tak ada yang melihat, mendengar, atau peduli apa pun. Semua menanti kiriman cek masingmasing dengan bergairah dan hari di mana rumah mereka dihancurkan.
Kami pergi ke deretan rumah di seberang jalan untuk memastikan apakah mereka serupa. Toh deretan ini tidak memiliki plang bertanda "dijual" di depan rumah dan tidak mengambil keuntungan secara langsung dari kematian Esther.
Kami bertemu Burton Joyner, seorang ahli perangkat lunak pengangguran bertubuh kerempeng. Ia sedang berada di garasi, sibuk mengutak-atik mobil AMC Pacer tua yang lebih mirip Ford Pinto dalam keadaan hamil (jenis mobil pertama yang kumiliki waktu remaja, sampai ayahku mendengar bahwa mobil ini bisa meledak kalau kaca depannya terbentur serangga. Sebagai gantinya, aku dibelikan Plymouth Duster). Joyner juga memiliki AMC Gremlin dan AMC Ambassador terparkir di sudut.
"Sejujurnya, Mr. Monk, saya lega dia sudah pergi," tandas Joyner sambil mengencangkan sesuatu dengan kunci inggris.
"Dia tidak pergi" aku menyela. "Anda mengatakan seolah dia sekadar pindah ke Palm Springs. Esther Stoval dibunuh orang, Mr. Joyner."
"Dengar ya, Esther adalah korban karma buruk yang dia bikin sendiri," tukas Joyner. "Dia wanita kejam dan pendendam yang menyusahkan hidup semua orang di lingkungan ini. Anda bisa rasakan sendiri atmosfer di sini sekarang. Tingkat stres jauh menurun."
"Sementara nilai properti naik," sambung Monk. "Apalagi begitu proyek pembangunan dimulai."
"Ah, proyek itu tak penting. Tak akan banyak mengubah keadaan saya, jadi saya tidak ikut campur. Saya jenis orang yang tidak suka cari ribut." Joyner berhenti sebentar dari kesibukan, mengelap tangan ke celana jins yang segera hitam oleh oli. "Biarlah hidup mengalir apa adanya, begitu menurut saya."
"Saya juga begitu," ujar Monk sambil menunjuk, "Anda mengelap tangan kotor ke celana.".
"Esther tidak seperti kebanyakan orang," sambung Joyner tak peduli. "Dia jenis, orang yang suka duduk di jendela dengan teropong, mencatat dan memotret, mencampuri urusan orang. Pernah dia melihat saya menonton pertandingan bola ESPN dan segera menelepon perusahaan TV kabel, mengadukan perbuatan saya membajak sinyal dengan konverter ilegal."
"Anda lakukan itu"" aku bertanya.
"Taruhlah iya, tapi bukan itu masalahnya," elak Joyner. "Apa urusan dia kalau saya menonton TV di ruang tamu saya sendiri" Toh tidak menyakiti dia."
"Anda mengotori celana Anda," sekali lagi Monk menunjuk.
"Tak apa. Ini memang celana kerja," tukas Joyner. "Saya beri contoh lain. Hobi saya mengoleksi dan memperbaiki mobil-mobil AMC tua. Beberapa di
antaranya harus saya jual untuk memutar arus kas sampai mendapat pekerjaan baru. Esther memotret para pembeli -mobil saya lalu mengadu ke balai kota sampai saya kena denda dua ribu dolar karena mengaryakan rumah untuk bisnis tanpa izin."
"Kenapa ia membenci Anda" Anda pernah menyakitinya"",
"Sama sekali tidak. Saya tak pernah menyakiti atau berbuat apa pun terhadapnya. Memang begitu sifat Esther. Memaksakan prinsip dan pandangan pribadinya kepada semua orang. Gila, kan""
"Supergila," jawab Monk. "Sekarang gantilah celana Anda. Kami tunggu di sini."
"Hah" Saya tak ingin ganti celana."
"Anda harus ganti celana," desak Monk.
"Tidak mau. Celana ini nyaman, kok."
"Ayolah. Anda akan berterima kasih pada saya nanti."
"Tidak mau!" tegas Joyner kesal. "Anda punya pertanyaan lain" Saya harus kembali kerja."
"Di mana Anda pada Jumat malam antara jam sembilan dan jam sepuluh"" tanya Monk.
"Di rumah, mengurus cucian."
"Oh, begitu...," desah Monk. "Jadi Anda tidak menyangkal memiliki celana bersih yang bisa dipakai ganti, ya""
"Anda ini kenapa, sih"" ketus Joyner, mulai sadar bahwa lawan bicaranya punya kelainan.
"Pikirkan karma buruk yang dibuat oleh celana kotor ini," lanjut Monk. "Omong-omong, apakah Anda lihat ada orang yang mengunjungi Esther pada Jumat malam itu""
Joyner menggeleng. "Saya tak suka memata-matai tetangga, jadi saya tak tahu siapa yang keluar masuk atau apa yang ditonton mereka di TV."
Joyner mengelap tangan be
lepotan oli itu dengan sengaja dan perlahan-lahan ke baju, mengambil kunci inggris, lalu kembali bekerja.
"Kenapa Anda lakukan itu"" desis Monk. "Sekarang Anda harus ganti baju juga."
"Ayo kita pergi, Mr. Monk," kataku melerai. "Masih banyak tetangga lain yang harus ditanyai."
"Tapi kita tak bisa meninggalkan dia begitu saja dengan pakaian kotor!" kata Monk.
"Ayooo!" kutarik mantelnya, menyeretnya pergi.
Monk menurut dengan perasaan tak puas. Berkali-kali ia menoleh menatap rumah itu. "Kok bisa ya, kau menutup mata melihat penderitaan orang lain"
"Dia tidak menderita," jawabku.
"Dia tidak, tapi aku iya," tandas Monk.
*** Setelah mendengar kisah Joyner dan para tetangga lainnya di deretan seberang itu, aku mulai meragukan ketidaksukaanku pada Neal dan Kate Finney. Mendiang Esther tampaknya memang gagal menarik simpati dan pengertian lingkungan. Aku jadi ingin tahu, bagaimana kira-kira perasaanku kalau hidup bertetangga dengannya bertahun-tahun. Mungkin sekarang aku juga akan menari kegirangan.
Ada satu rumah terakhir yang ingin ditanyai Monk. Blok itu memuat enam rumah di kedua sisi jalan, dan Monk enggan mengakhiri kegiatan dengan angka ganjil.
Lizzie Draper tinggal di rumah gaya Victoria di sudut jalan, yang sekaligus berfungsi sebagai studio seni pribadi. Rumah itu terang, terbuka, dan punya banyak ruangan luas berisi aneka buket bebungaan-salah satunya dipakai sebagai model untuk lukisan yang sedang dikerjakan Lizzie. Aku paham kenapa buket itu yang dipilih. Gabungan bebungaannya indah sekali. Campuran antara anggrek hijau, semak biru hydrangea, lili merah dan kuning, mawar Jingga, peoni koral, trachelium ungu, selosia kuning dan berumbi merah.
Sayangnya Lizzie tak berbakat menangkap keindahan warna-warni alami buket itu. Sampel-sampel lukisan, sketsa, dan patung buatannya juga berserakan, tapi karya-karya seni milik sekolah Julie masih jauh lebih baik.
Satu-satunya karya yang layak diapresiasi hanya buah dada Lizzie. Hasil karya impian berukuran besar itu seperti dua bola basket yang disesakkan begitu saja di balik kemeja denim longgar. Tiga kancing bagian atas sengaja dibuka, memperlihatkan belahan dada yang... provokatif.
"Nama saya Adrian Monk, dan ini Natalie Teeger," Monk memperkenalkan diri. "Kami membantu penyelidikan polisi tentang pembunuhan Esther Stoval."
Monk menatap langsung ke dadanya. Lizzie jelas tersanjung, tapi aku tahu persis ini bukan soal buah dada, tapi tiga kancing itu. Ini angka ganjil. Kalau saja dibuka satu kancing lagi atau ditutup satu ke atas, tak akan jadi masalah.
"Saya ingin mengajukan tiga kancing pertanyaan," gagap Monk.
"Tiga apa"" tanya Lizzie tak mengerti.
"Maksudnya tiga pertanyaan," susulku cepat. "Iya kan, Mr. Monk""
"Anda melihat atau mendengar hal yang tidak biasa pada Jumat malam lalu"" tanya Monk. Masih tak lekang menatap kancing.
"Saya tidak di rumah waktu itu," jawab Lizzie. "Saya sedang bekerja. Saya bartender di Flaxx Club."
Aku tahu tempat itu. Klub terkenal di Market Street. Tempatnya orang-orang kaya, muda, dan elok pergi untuk bernarsis ria mengagumi diri sendiri. Aku pernah melamar
ke sana tapi tidak memenuhi kualifikasi. Kualifikasi yang kini sedang dipelototi Monk.
"Lho, bukannya Anda seniman"" aku bertanya. "Saya memang seniman, tapi tidak menjadi pekerjaan. Seni memang menopang hidup, tapi saya tidak hidup dari situ. Seni adalah...."
"Saya mengerti," potongku cepat. Lizzie menatap Monk yang masih terpaku menatap kancing.
"Kapan Anda pulang kerja waktu itu"" makin sulit buat Monk berkonsentrasi atau bahkan bernapas.
"Lewat tengah malam," jawab Lizzie. "Jalanan sudah sepi dan toko-toko tutup. Petugas pemadam kebakaran di mana-mana. Saya tak percaya apa yang terjadi."
Perhatian Monk yang berlebihan mulai membuat Lizzie heran-tak pasti, apa sebenarnya yang dilihat lelaki Itu. Ia menekuk lutut untuk menyejajarkan pandangan, tapi Monk malah mengikuti gerak tubuhnya, agar fokus tidak bergeser dari kancing.
"Mr. Monk, Anda tidak menatap mata saya sejak masuk rumah ini," protes Lizzie.
"Maaf, tapi ini soal kancing Anda," ujar Monk. "Sangat mengganggu."
"Kancing saya" Manisnya." Lizzie menegakkan tubuh sambil sok tersenyum merendah. "Saya tidak bermaksud
membuat Anda tak nyaman. Ini masih baru dan saya jadi suka sedikit pamer."
"Mestinya dua saja," ujar Monk.
"Tuhan memang membuatnya begitu."
"Atau empat," racau Monk.
"Empat"" "Tapi ini tidak normal." Monk menunjuk belahan dada itu. "Mestinya Anda perbaiki."
"Anda bilang apa barusan "" senyum Lizzie berubah jadi seringai marah. Jelek sekali.
"Saya... saya rasa ada kesalahpahaman di sini," selaku cepat. Tapi ini reaksi terlambat-ibarat mencoba menghentikan kereta api yang sudah terlanjur berjalan. "Dia tidak bermaksud mengatakan apa yang Anda kira dia katakan."
"Tak ada alasan untuk kesal. Ini sangat mudah dibetulkan," ujar Monk. "Anda bisa lakukan sendiri."
Lizzie melangkah gegas membuka pintu depan. "Keluar. Sekarang juga."
Monk mengangkat tangan tanda menyerah, menatapku, lalu pergi. Aku mencoba minta maaf, tapi Lizzie mendesakku keluar dan membanting pintu.
"Beberapa orang bisa sangat keterlaluan, ya"" geleng Monk tak percaya. "Jengkel hanya gara-gara masalah sepele."
8 MR. MONK BERBENAH Julie duduk di pinggir bak mandi, memandangku berdiri di muka cermin saat menata rambut dan merias wajah untuk acara kencan dengan Joe. Pintu kamar mandi tertutup, jadi tak mungkin Monk nyelonong begitu saja. Privasi kami aman. Julie juga tahu itu.
"Mama tak benar-benar akan meninggalkanku berduaan dengan Mr. Monk, kan"" tanya Julie.
"Memangnya kenapa" Mr. Monk orang baik," ujarku.
"Dia aneh." "Lebih aneh dari Mrs. Throphamner"" balasku, mengacu pada nyonya yang biasa mengasuh kalau aku tak ada. "Setidaknya Mr. Monk tak punya kebiasaan mencopot dan menaruh gigi palsu ke dalam gelas sambil nonton TV."
"Ma, dia melarangku mengikat tali sepatu pagi ini hanya karena kedua ujungnya tidak sejajar. Dan setelah
kupasang ulang, dia ukur ujung untaiannya untuk memastikan bahwa keduanya sejajar."
"Memang begitu cara dia menunjukkan kasih sayang padamu."
"Aku tak percaya. Sama sekali bukan itu. Dia memaksa mengikatkan sepatuku karena simpul yang kubuat tidak simetris."
"Semua akan baik-baik saja malam ini kalau kau mematuhi beberapa aturan sederhana: jangan minta dia memilih, jangan membuat berantakan macam apa pun, dan yang terpenting, jangan membuat berondong jagung."
"Kenapa"" "Tiap butirannya tak ada yang sama. Itu bikin dia sinting."
"Wah, kok Mama tahu"" ujar Julie dengan sarkasme khas anak seusianya saat frustrasi menghadapi otoritas orang tua.
"Mr. Monk suka sereal Wheat Thins. Bentuk butirannya persegi. Ada sekotak yang belum dibuka di pantry"
"Kenapa aku tak boleh ikut Mama"" "Karena ini kencan "jawabku lembut. "Siapa bilang tak boleh mengajak putri sendiri saat kencan""
"Kau juga tak suka kalau mama ikut saat kau tidur di rumah teman, kan""
"Mama akan tidur dengan kencan Mama malam
ini"" "Tidak, tentu saja tidak, Julie," jawabku cepat. "Bukan itu maksud mama. Mama cuma bilang bahwa kadang-kadang mama butuh waktu untuk sendiri. Kau mau diekori mama kalau sedang kencan""
"Aku tidak pacaran," ujar Julie tegas. "Kan belum boleh."
"aruhlah sudah boleh, kau mau mama kuntit""
"Ya sudah," desah Julie dengan nada mengerang. "Apa yang kami lakukan sementara Mama senang-senang di luar""
Aku membereskan kembali peralatan rias dari wastafel. "Lakukan saja yang seperti biasa. Nonton film, baca buku, chatting dengan temanmu."
"Mr. Monk bagaimana""
Kupandangi handuk basah yang tergantung di tiang penyangga tirai pancuran, alat cukur yang kupakai untuk mencukur bulu kaki, dan gulungan-gulungan kapas di lantai yang luput dari tong sampah. Mendadak aku diserang ide jahat untuk membiarkan semua ini begitu saja buat Monk.
"Tak usah memikirkan Mr. Monk," jawabku sambil mencium pipi Julie. "Besok pagi dia bakal sibuk menjelang mandi."
Aku memeriksa hasil riasan sekali lagi di cermin, mengangguk pasti bahwa tak ada lagi yang bisa
dilakukan-kecuali bedah plastik jutaan dolar, tentu saja. Lalu keluar dari kamar mandi. Tepat saat itu Joe mengetuk pintu depan.
Monk membuka pintu dengan sapu tangan. Mungkin karena takut terinfeksi wabah pes yang ditinggalkan seseorang di
pegangan pintu. Joe tampak ganteng dalam balutan jaket kulit pilot tempur, kemeja polo, dan celana dinas berbahan korduroi. Aku yakin ia memang tampan mengenakan apa pun. Satu tangan menggenggam buket berisi tatanan mawar, anyelir, dan morning glories, sementara tangan satunya memegang kotak kado kecil.
"Anda tepat waktu." Monk mengetuk jam tangan. "Bahkan sampai detiknya. Mengesankan sekali."
"Mr. Monk"" gagap Joe. Alisnya mengerut bingung. "Saya tak tahu kalau Anda dan Natalie...."
"Kami tidak menikah," aku memotong. "Mr. Monk tinggal sementara di sini sampai apartemennya selesai diasapi. Omong-omong, kau tampan sekali. Ini bukan asal bunyi, lho. Maksudku, aku sudah langsung tahu. Bukan berarti...."
"Ma," sergap Julie. Ia tahu aku suka meracau kalau gugup dan berusaha membantu-sering kali agar tidak malu punya ibu sedemikian ketimbang benar-benar menolongku.
"Ini buat kalian," ujar Joe seraya memberi buket bunga untukku, dan kotak kado untuk Julie.
"Ini apa"" tanya Julie.
"Buka dan lihatlah sendiri," jawab Joe.
Julie menjerit kecil ketika melihat isi kotak itu. Sebuah lencana kecil berwarna merah, mirip lencana pemberian Kapten Mantooth untuk Monk, namun dengan tambahan emblem tulang anjing.
"Ini lencana anjing pemadam milik Sparky!" seru julie. 'Tak mungkin kuterima."
"Terimalah, Julie," ujar Joe, "Karena sudah begitu menyayangi Sparky sampai menyewa detektif terbaik di San Francisco untuk menangkap pembunuhnya."
Tak soal apa pun perkataan atau perbuatan Joe Inalam ini, ia sudah memenangkan hatiku. Julie juga demikian. Ia memeluk Joe.
"Mama bilang aku boleh ikut."
"Tidak, mama tidak bilang begitu," tukasku cepat, sebelum Joe sempat menjawab. "Kau tetap di sini bersama Mr. Monk."
"Pasti menyenangkan, Julie." Monk tersenyum. "Kita bisa main LEGO."
"Umurku dua belas!" jawab Julie marah. "Dan aku tak punya LEGO!"
"Kalau begitu, untung saja aku bawa," ujar Monk kalem.
"Mr. Monk masih mainan LEGO"" seru Julie.
"Tak percaya" Aku ini fanatik LEGO. Paling suka membuat gedung persegi."
Julie menatapku dengan pandangan memelas, seolah aku hendak mengumpankannya ke mulut serigala. "Mama, tolong. Orang ini punya LEGO."
"Memang bisa sangat mengasyikkan," sambung Monk. "Kita bisa mulai dari struktur sederhana dulu sebelum meningkat jadi lebih menyenangkan."
"Jangan terlalu senang," ujarku pada Monk. "Besok dia masih harus sekolah."
Aku mengecup pipi Julie lalu menyeret Joe keluar secepat mungkin.
*** Ini bukan kisah tentang aku atau kehidupan asmaraku. Ini tentang Adrian Monk dan bagaimana ia menuntaskan dua kasus pembunuhan pelik, jadi aku tak akan membuatmu bosan dengan detail kencanku bersama Joe. Tapi... kenapa harus pusing" Ini kan bukuku dan aku bebas bertutur apa pun. Kalau tak suka, longkapi saja beberapa halaman.
Ada laki-laki yang kerap berusaha membuat kesan pada kencan pertama dengan membawa kita ke restoran mahal, tempat trendi, atau tempat pelesir lain yang lebih kreatif. Tapi menurutku, kencan adalah memperkenalkan
siapa diri kita, hal-hal apa yang penting buat kita, dan apa pendekatan kita terhadap hidup dan kehidupan. Dalam beberapa hal, ini bisa tercapai ketika seorang laki-laki mencoba mengesankan kita dengan kemewahan atau kepandaian. Laki-laki macam ini tak cocok buatku.
Joe mengajakku ke restoran favoritnya di Pecinan. Mejanya ukuran sepuluh orang, restoran keluarga dengan mayat-mayat bebek digantung di etalase sebagai daya tarik bagi pengunjung dan sampel dari apa yang tercantum di buku menu. Monk bisa jejeritan melihat ini.
Semua orang di tempat itu mengenal Joe, jadi rasanya hampir seperti makan malam dengan keluarga. Makanannya enak, dan murah. Wanita lain mungkin akan segera berpaling karena menganggap Joe pelit. Tapi aku tidak. Ini malah menunjukkan Joe sebagai sosok yang percaya diri, supel, disukai orang, dan nyaman dengan pilihan hidupnya. Lagi pula, sebagai orang tua tunggal dengan kocek terbatas, aku juga selalu mencari tempat makan yang terjangkau. Di pihak lain, pilihan tempat ini juga menunjukkan Joe sebagai sosok yang stabil dan dapat diandalkan. Lelaki yang cenderung lari dari hubungan dan ko
mitmen tak akan pergi ke restoran yang sama sampai bertahun-tahun. Apalagi sampai akrab dengan para pegawai di situ
Kami bicara tentang hal-hal yang biasa terucap pada kencan pertama. Saling memberi versi singkat kisah hidup
masing-masing. Aku mencoba menuturkan kisahku tanpa bicara terlalu banyak seputar kematian Mitch agar tidak membuat tertekan diriku sendiri atau Joe. Sementara itu, Joe berkisah bahwa ia tumbuh dan dibesarkan di Berkeley, bahwa ayahnya seorang penyair dan ibunya seorang polisi taman, dan ia belum pernah menikah.
Pembicaraan kemudian beralih ke soal pemadam kebakaran. Joe menceritakan beberapa kisah seru tentang usaha memadamkan kebakaran dan sejarah yang penuh warna dari stasiun pemadam kebakaran tempatnya bekerja. Konon stasiun itu dibangun setelah gempa bumi tahun 1906, di lokasi bekas rumah kos yang sempat jadi tempat persembunyian buronan Roderick Turlock- perampok terkenal spesialis kereta api yang mencundangi gerombolan Pinkerton dalam kasus pencurian emas.
Bicara soal stasiun pemadam kebakaran tentu saja mengangkat diskusi seputar penyelidikan kematian Sparky. Aku menuturkan apa yang telah kami pelajari sejauh ini bahwa pada malam pembunuhan itu, Gregorio Dumas mengaku melihat seorang petugas pemadam meninggalkan stasiun setengah jam-setelah para penghuninya pergi memadamkan kebakaran di rumah Esther Stoval.
Joe berkata bahwa Gregorio pasti bohong, karena semua petugas yang ada saat itu sedang berada di lokasi kebakaran. Tak ada yang tertinggal di stasiun atau disuruh kembali untuk alasan apa pun.
Bisa kulihat bahwa pembicaraan mengenai Sparky membuat Joe sedih, jadi kututurkan beberapa kisah hebat tentang Monk yang membuat kagum karena mampu memecahkan banyak misteri pembunuhan pelik dan kompleks tapi takut masuk bilik telepon umum.
Akhirnya kami meninggalkan restoran dan berjalan santai tanpa tujuan mengeliling Pecinan selama beberapa Waktu, lalu mampir ke toko buku City Lights di persimpangan Broadway & Colombus untuk sekadar melihat-lihat. Aku suka mendapati kenyataan bahwa kami mampu menikmati kehadiran masing-masing, bahkan saat tak saling bicara. Hanya berdiri berdekatan, membaca buku.
Hampir tengah malam saat kami berkendara pulang. Baru beberapa blok, mobil melambat di Taman Dolores, di sudut jalan Church & Twentieth. Taman ini terkenal menakutkan saat malam. Sarat gelandangan dan penjual narkoba.
"Kok berhenti"" aku bertanya gugup. "Aku ingin memberi penghormatan," jawab Joe. Joe menepi, keluar dari mobil dan pergi ke sebuah hidran pemadam bercat emas. Aku ikut sambil celingukan guna memastikan tidak ada pembunuh, pemerkosa, atau pemadat mendekati kami.
"Untuk apa kita kemari"" tanyaku.
"Ini adalah hidran kecil yang menyelamatkan San Francisco setelah gempa bumi tahun 1906," jawab Joe sambil tepekur takzim.
Aku menengok sang hidran legendaris. Menurutku biasa saja, walaupun selama bertahun-tahun aku pasti melihatnya-khususnya saat dikencingi anjing.
"Hidran ini"" aku bertanya lagi. "Kok jauh sekali dari pusat kota."
"Gempa telah menghancurkan hidran lain pada waktu itu. Tapi air dari hidran ini yang akhirnya menjinakkan amukan api. Tiap tahun setelannya, jam lima pagi tanggal delapan belas April, orang-orang yang selamat dari gempa hadir di sini dan memberi lapisan cat emas baru. Beberapa orang masih melakukannya, tapi kebanyakan tinggal anggota kelompok St. Francis Hook dan Ladder Society yang melanjutkan tradisi. Aku sendiri melewatkan beberapa kali peringatan."
Kupikir ia bakal memberi salut pada hidran itu atau bagaimana, tapi Joe hanya mengangguk singkat dan kami kembali ke mobil. Hmm... apakah semua petugas pemadam di kota ini juga sesentimental itu soal legenda kebakaran San Francisco.
Joe mengantarku dari taman sampai rumah dalam waktu sekitar dua menit, sampai ambang pintu. Agar tidak kaku di saat klasik seperti ini, kuberanikan diri mengambil
inisiatif lebih dulu mendaratkan ciuman persahabatan di bibirnya.
"Aku senang sekali malam ini," aku berkata. "Sungguh malam yang hebat."
"Aku juga," timpal Joe. "Kuharap kita bisa jalan-jalan lagi lain kali."
Aku tak hendak menyia- nyiakan waktu begitu saja. "Kapan kau bebas tugas lagi""
Joe tersenyum lebar. "Rabu."
"Jadilah," aku mengangguk. "Waktu yang sama""
"Ya." Ia menciumku. Kali ini sedikit lebih hangat dari yang tadi.
Kunci pintu kubuka, lalu aku melangkah ke dalam rumah. Aku langsung kaku. Ada yang tak beres. Maksudku, ini memang rumahku-barang-barangnya juga milikku-tapi terasa ada yang salah. Ganjil. Aneh. Seperti masuk ke dunia lain. Seolah sama sekali bukan rumahku, tapi rumahku yang dibuat ulang dengan genius layaknya panggung film.
Aku berkedip dan melihat lagi berkeliling. Apa tepatnya yang menimbulkan perasaan aneh ini"
Monk muncul dari arah dapur dengan segelas susu. "Bagaimana kencannya" Baik""
"Joe manis sekali," jawabku.
Kuceritakan padanya tentang obrolan kami, legenda perampok kereta dan alasan Joe menduga Gregorio
berbohong tentang kesaksiannya malam itu. Monk mendengarkan tanpa komentar.
"Bagaimana acara Anda malam ini bersama Julie"" giliranku bertanya.
"Kami main LEGO sebentar."
Monk menunjuk ke dapur. Aku melongok dan melihat sebuah puri LEGO besar nan kompleks, lengkap dengan jembatan tarik, menara-menara kecil dan parit, didirikan di atas meja makan. Aku bakal butuh waktu setahun membuat yang seperti itu.
"Dia punya bakat," ujar Monk bangga.
"Benarkah""
"Dengan arahan yang tepat dan banyak latihan, aku rasa dia bisa jadi master LEGO." "Seperti Anda""
"Aku tak suka menyombongkan diri." "Jadi, apa yang Anda lakukan sepanjang sisa malam ini"" tanyaku, masih gamang dengan situasi rumah. Monk angkat bahu. "Hanya sedikit berbenah." Itu dia!
Aku melihat berkeliling sekali lagi, kali ini memastikan apa yang tadi hanya terasa di alam bawah sadar. Monk telah melakukan persis seperti yang ia katakan: membenahi tempat ini sedemikian rupa. Semua, tanpa terkecuali, dan seolah dilakukan dengan penggaris T dan meteran. Barang-barangku masih utuh, hanya saja
disesuaikan. Lebih tepatnya: disejajarkan. Mebel-mebel diluruskan dan diposisikan dengan jarak seragam satu sama lain. Lukisan-lukisan dinding ditata ulang agar jarak antar mereka konsisten. Pernik-pernik dan bingkai foto di meja serta lemari dikelompokkan berdasarkan tinggi dan bentuk, dengan jarak antara yang persis sama. Majalah ditumpuk berdasarkan nama dan kronologi. Buku-buku disusun alfabetis, berdasarkan ukuran dan bahkan mungkin urutan tahun hak cipta.
Ruang keluarga-dan seluruh rumah tampak bersih, rapi, dan sangat steril. Rasanya seperti di rumah model atau rumah boneka. Aku benci.
"Mr. Monk, seluruh benda di tempat ini begitu sejajar, rapi, dan teratur sempurna"
"Terima kasih." Dada Monk menggembung karena bangga. Ini makin membuatku kesal dan marah.
"Tidak! Ini salah. Apa tidak lihat" Anda telah merampas kepribadian dan nyawa rumah saya."
"Barang-barangmu masih utuh, kok," sergah Monk. "Kecuali segala kotoran, debu, remah bekas keju dan roti isi yang kutemukan di bawah sofa."
"Tapi tak ada lagi yang berantakan!" protesku. "Rasanya seperti rumah robot saja."
"Apa itu buruk""
"Manusia yang tinggal di sini, Mr. Monk! Delapan tahun perkawinan, dua belas tahun menjadi orang tua,
seorang ibu dan putrinya tinggal bersama-semua itu meninggalkan jejak. Saya suka jejak itu. Membuat nyaman. Kekacauan penataan foto di lemari, buku setengah terbaca yang dibiarkan terbuka di lengan kursi, dan... ya, bahkan remah-remah bekas roti isi keju... keberantakan dan disorganisasi... semua itu tanda-tanda kehidupan. Dan memang itulah hidup!"
"Bukan hidup saya," timpal Monk.
Tiga kata itu membawa kesedihan teramat dalam yang membuatku terenyuh. Sesaat aku lupa pada rasa frustrasiku sendiri dan memikirkan perasaannya.
Hidup Monk adalah pengejaran seumur hidup akan tatanan keteraturan. Aku yakin, pasti itu sebabnya ia jadi detektif dan kenapa ia begitu hebat memecahkan misteri pembunuhan. Monk mampu mengenali ketidaksesuaian apa pun dalam suatu peristiwa atau TKP dan menaruhnya kembali ke posisi semula. Menciptakan solusi, mengembalikan keteraturan.
Satu-satunya misteri yang gagal ia pecahkan berada di jantung kekacauan hidupnya sendiri.... Pembunuhan Trudy. Istrinya.
Segala yang ia lakukan, s
eperti membenahi rumahku atau memastikan kesejajaran ujung tali sepatu Julie, tak lebih dari sekadar kompensasi dari kesempurnaan keteraturan yang hilang bersama kematian Trudy.
Di pihak lain, tak mungkin kukatakan semua ini padanya. Yang bisa kulakukan hanya menggamit tangannya.
"Hidup Anda lebih kacau dari dugaan Anda. Saya memang berantakan, tapi saya bagian dari hidup Anda, kan""
"Kau dan Julie," angguk Monk. "Aku... senang kalian ada buatku."
"Saya juga, Mr. Monk." "Sebenarnya, aku sudah agak santai." "Benarkah""
"Aku tak selalu rileks seperti yang kau lihat hari ini," ujar Monk. "Ada kalanya aku begitu kaku."
"Bisa saya bayangkan." Kuremas tangannya sebagai tanda persahabatan, lalu kulepas. "Tolong, jangan benahi rumah saya lagi."
Ia mengangguk. "Selamat malam, Mr. Monk."
"Selamat malam, Natalie."
Aku pergi ke kamarku. Begitu ambruk ke kasur dan nyaris lelap, aku baru sadar bahwa aku tadi memegang tangannya dan ia tidak kalang kabut minta lap. Pun bila ia cuci tangan kemudian, setidaknya tidak dilakukan di depanku. Wah, ini peristiwa besar. Apa pun artinya, kurasa ini hal yang baik.
Monk Sang Detektif Genius Karya Lee Goldberg di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
9 MR. MONK DAN LANTAI TIGA PULUH
Berbenah rumah pasti sangat menguras energi Monk karena di Minggu pagi ini Julie bangun lebih dulu dan berhasil menyalip ke kamar mandi dengan jeda beberapa detik. Jam enam pagi mereka nyaris bertubrukan di depan pintu
"Aku harus memakai kamar mandi lebih dulu," ujar Monk.
"Satu atau dua jam"" tanya Julie.
"Rasanya aku punya hak konstitusional untuk tidak menjawab pertanyaan itu."
"Aku harus tahu berapa lama Bapak memakai kamar mandi," tegas Julie sambil menggenggam gagang pintu dengan satu tangan. Pakaian sekolah terlipat di lengan.
"Tidak lebih lama dari biasanya," jawab Monk.
"Tak bisa menunggu selama itu," ketus Julie. "Sekolah dimulai jam delapan lima belas. Tidak lebih."
Julie masuk dan menutup pintu. Monk menatap pintu itu sebentar, lalu menatapku. Aku sedang berdiri di depan kamarku sendiri dengan senyum lebar, tak tahan melihat drama barusan.
"Apa dia harus memakai kamar mandi sesering itu"" protes Monk.
"Anda lebih suka kalau dia tidak mandi""
"Tapi kamar mandi itu sudah kusiapkan. Aku bersihkan sendiri tadi malam."
"Anda membersihkan segalanya tadi malam," jawabku kalem sambil berlalu ke dapur.
Kastel LEGO sudah tidak ada. Pasti sudah dibongkar dan diberesi Monk sebelum tidur. Tak heran ia kesiangan. Aku membuka pantry untuk mengambil donat bagel. Monk juga telah menata ulang semua kotak dan kaleng makanan di situ berdasarkan jenis serta tanggal kedaluwarsa.
Monk masuk ke dapur dan langsung meraih melewatiku, mengambil kotak sereal Chex favorit. Butiran sereal gandum itu berbentuk persegi. Butiran yang tidak sempurna atau retak selalu dipisah dari mangkuk sebelum ia menuang susu.
Kubuka lemari makan untuk mengambil mangkuk buat Monk dan kaget melihat isinya kosong. Tak ada mangkuk, piring, atau apa pun di dalam situ. Kosong melompong.
Aku menoleh menatap Monk yang duduk di meja, sibuk menyortir butiran Chex satu demi satu dan hati-hati sekali dari kotak, lalu langsung dimakan.
"Ke mana perginya semua piring saya""
Monk tak berani menatap mataku. Malah pura-pura meningkatkan konsentrasi menyortir Chex.
"Masalahnya agak rumit," ujar Monk.
"Saya tidak melihat kerumitan apa pun, Mr. Monk. Yang saya tahu, semalam saya punya piring dan sekarang tidak. Dikemanakan""
"Kau punya tujuh mangkuk, dan itu tidak benar. Mestinya enam atau delapan. Tidak boleh tujuh. Karena itu, satu mangkuk harus dibuang. Di pihak lain, kau juga punya delapan piring. Ini masalah besar."
"Sekarang saya tidak punya piring. Itu baru masalah besar."
"Semua orang tahu bahwa kita tidak boleh punya enam mangkuk dan delapan piring, jadi dua piring harus dibuang. Lalu kulihat ada beberapa mangkuk dan piring yang cacat, dan tidak semua cacatnya berada di satu tempat. Satu set perangkat makanmu sama sekali tidak sesuai. Aku dihadapkan pada situasi yang dengan cepat bergulung menjadi kekacauan total. Satu-satunya hal logis yang harus dilakukan adalah membuang semuanya."
Barulah Monk berani menatap balik, memohon simpati dan pengerti
an. Darahku sudah mengepul di ubun-ubun. Persetan dengan simpati, apalagi pengertian.
"Logis" Membuang semua piring makan saya dibilang logis"!"
"Penuh pengertian, berkesadaran tinggi, dan bertanggung jawab mungkin lebih tepat," jawab Monk. "Tapi kurasa logis lebih bisa menggambarkan situasinya."
Aku memejamkan mata mengatur napas. "Baik. Ini yang harus kita lakukan sebelum Anda memecahkan kasus pembunuhan atau menangkap penjahat," geramku. "Begitu selesai mandi dan berpakaian, kita pergi ke Pottery Barn dan Anda harus membelikan saya satu perangkat makan yang baru, atau silakan makan di lantai selama tinggal di rumah ini."
Aku menggapai laci tempat perangkat makan perak untuk mengambil pisau buat memotong bagel, tapi berhenti di tengah jalan.
"Apa lagi yang dibenahi di laci ini"" aku mendesis.
"Tergantung kau mau cari apa."
"Pisau, misalnya," jawabku. "Dan omong-omong, bagaimana dengan perangkat makan perak di dalamnya""
Monk menggeser pantat dengan gelisah. "Uh, kalau begitu... kau tak ingin membuka laci itu."
"Tambahkan perangkat makan perak ke daftar barang yang harus Anda beli buat saya hari ini," aku berkata. Lalu aku membuka lemari es, menyambar karton jus jeruk dan langsung kutenggak.
Monk meringis. Aku tahu ia bakal begitu. "Mestinya jangan ditenggak begitu."
"Baik." Aku berbalik, mengerahkan tatapan paling dingin, paling sadis, dan paling menuduh padanya. "Apa saya masih punya gelas buat minum""
Pantat Monk bergeser lagi. Gelisah.
"Rasanya tidak." Aku membawa karton jus dan membanting pintu kulkas. "Saya harap kartu kredit Anda valid, Mr. Monk. Anda harus membayar semuanya hari ini."
Aku menghentakkan kaki kembali ke kamar tidur, membawa kotak jus dan donat bagel. Meninggalkan Monk sendirian di dapur yang kini tanpa piring, tanpa pisau, dan tanpa gelas.
*** Jalanan lembap dan kabut sepenuhnya mengaburkan pemandangan langit di Minggu pagi itu, namun kota tetap sibuk. Trotoar di pusat kota sarat oleh para profesional muda mengenakan pakaian terkini dan barang elektronik menempel di kuping.
Tak ada satu kuping pun yang telanjang.
Kecuali kami, tampaknya semua orang mengenakan earphone iPod atau salah satu unit ponsel Bluetooth mirip Q-tip seperti yang dipakai Letnan Uhura dalam film Star Trek.
Lewat jam dua belas siang, kami selesai belanja piring, perangkat makan perak, dan gelas di Pottery Barn.
Aku tak akan pernah mengakui secara langsung, tapi begitu marahku mereda, aku senang Monk membuang barang-barangku. Aku kerap malu mengundang orang makan di rumah karena kami punya piring gempil dan perangkat makan perak yang sudah rusak. Masalahnya, aku tak punya uang buat membeli yang baru. Kini Monk membelikan aku peralatan makan lengkap dan baru. Oh, senangnya (oh ya, kalau saja Monk tidak menyarankan untuk melihat-lihat perangkat memasak, aku tak akan tahu ia juga telah membuang semua panci dan wajanku).
Jahatnya, aku mulai mempertimbangkan gagasan untuk "tidak sengaja" membiarkan Monk melihat lemari pakaianku juga. Biar dia buang dan aku bisa menuntut yang baru.
Agar kegiatan berbelanja berjalan selancar mungkin, aku sengaja memilih warna-warna solid untuk piring-piring dan membiarkan Monk membuka semua kotak di toko untuk diperiksa kesempurnaan barangnya. Kerap kali saat ini terjadi, aku sempat merasa bersalah. Serasa memanfaatkan atau bagaimana. Tapi segera kuingatkan diri bahwa dialah yang lancang mengacak-acak dapur dan membuang semua barangku. Saat itu aku kembali marah, perasaan bersalah menyingkir dan aku berdamai dengan diri sendiri.
Kami baru selesai mengisi bagasi Cherokee-ku dengan barang belanjaan ketika Stottlemeyer menelepon.
Si kapten sedang dalam perjalanan untuk mewawancarai Lucas Breen, sang pengembang yang berencana menggusur seluruh blok di permukiman Esther Stoval. Ia bertanya apakah kami mau ikut. Kami ikut.
Breen Development Corporation terletak di gedung Rubik's Cube berlantai lima yang membahui jalan di antara dua gedung lain di Distrik Finansial dengan pemandangan ke arah pelabuhan. Lobinya berupa atrium Kaca dan punya toko bunga, toko cokelat, dan toko roti Boudin Bakery (roti adonan
masamnya terkenal paling enak di San Francisco-atau bahkan mungkin di seluruh dunia).
Stottlemeyer sedang menyesap kopi buatan Boudin dan menunggu kami di depan toko bunga Flo's Floral Design. Aroma roti masam yang enak membuatku mau pingsan saking kepinginnya.
"Pagi, Natalie. Monk. Kudengar kalian bicara pada semua orang di blok Esther. Ada petunjuk yang terlewat oleh kami""
"Tidak," jawab Monk.
"Menyebalkan," sungut Stottlemeyer. "Bagaimana dengan kasus yang satu lagi... pembunuhan anjing itu" Ada kemajuan""
"Rasanya saya mulai mendapat petunjuk," angguk Monk.
Aku menoleh kaget. Aku malah belum tahu itu. Tapi Monk memang tak selalu berbagi pikiran. Dan aku sendiri, sejujurnya, bersyukur karenanya.
"Ingin bertukar kasus"" usul Stottlemeyer.
"Tidaklah," tolak Monk. "Tapi kau bisa membantuku kalau mau. Minta tolong Letnan Disher untuk mencari informasi apa saja tentang perampok terkenal Roderick Turlock."
"Setidaknya itu bisa kulakukan," angguk Stottlemeyer. "Si Turlock ini... dia terkenal karena apa"" "Merampok kereta," aku menjawab.
"Apa masih ada penjahat seperti itu""
Rasanya tak akan banyak membantu kalau kukatakan bahwa Turlock sudah diringkus pada tahun 1906. Monk tampaknya juga setuju. Kami pun memperlakukan pertanyaan Stottlemeyer sebagai pertanyaan retoris yang tak butuh jawaban. Bagusnya, Stottlemeyer tidak menunggu jawaban.
"Oke, jadi bagaimana" Monk, kau siap"" Stottlemeyer mendongak ke atas.
Monk melongok ke atas, berusaha melihat apa yang dimaksud si kapten. "Siap untuk apa""
"Menemui Breen," jawab Stottlemeyer. "Dia orang kaya dan berkuasa. Tak akan membiarkan kita begitu saja mengaitkannya dengan pembunuhan Esther Stoval."
"Dia tinggal di atas sana""
"Lantai tiga puluh," jawab Stottlemeyer. "Biasalah, orang kaya suka melihat ke bawah... memandang rendah orang lain."
Stottlemeyer mendekati petugas keamanan-seorang pria gemuk berhidung bengkok yang menjaga meja resepsionis beralas marmer di depan lift. Stottlemeyer memperlihatkan lencananya, memperkenalkan kami dan berkata bahwa kami ingin bertemu Lucas Breen. Si petugas keamanan menelepon ruang kantor Breen, lalu mengangguk pada si kapten.
"Mr. Breen akan menerima Anda sekarang," kata si penjaga.
"Hebat," ujar Monk. "Kapan dia turun""
"Dia tidak turun," sela Stottlemeyer. "Kita yang naik."
"Akan lebih baik kalau dia yang turun."
Stottlemeyer menggeram kesal lalu berbalik menghadap si petugas keamanan. "Bisa mohon Mr. Breen untuk menemui kami dan minum kopi di lobi" Saya yang traktir."
Si petugas keamanan menelepon lagi, bicara sebentar, lalu menutup telepon. "Mr. Breen sangat sibuk dan tidak bisa meninggalkan ruangannya saat ini. Kalau ingin bertemu, pergilah ke ruang kantornya."
"Sudah kucoba, Monk," ujar Stottlemeyer. "Ayo, kita naik."
Kami menuju lift, tapi Monk berhenti di belakang. "Aku punya ide. Kita lewat tangga saja."
"Tiga puluh lantai"" pekikku kaget. Yang benar saja.
"Pasti menyenangkan," bujuk Monk.
"Pasti fatal!" ketus Stottlemeyer. "Aku bisa bicara dengan Breen tanpamu. Kau tak harus hadir."
"Aku ingin hadir," tegas Monk.
"Tapi aku naik lift." Stottlemeyer menunjuk. "Ikut atau tidak""
Aku menatap Monk. Ia menatap pintu lift, menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. "Baiklah."
Bertiga kami masuk lift. Stottlemeyer menekan tombol lantai tiga puluh. Pintu menutup. Monk mengalasi jemari dengan lengan baju dan menekan tombol lantai dua, plus semua tombol sampai lantai tiga puluh.
Stottlemeyer menggulung mata sambil mendesah kesal.
Begitu pintu membuka di lantai dua, Monk melangkah keluar, mengambil napas, lalu masuk lagi.
"Begini boleh juga," ujar Monk.
Di lantai empat, Monk keluar sambil jejerkan, mengejutkan orang-orang di ruang tunggu Crocker Advertising Agency.
"Ini neraka!" jerit Monk.
Monk menarik napas beberapa kali, lalu masuk lagi ke lift seperti orang hendak menyelam.
Begitu tiba di lantai enam, Monk melempar tubuh ke lobi firma hukum Ernst, Throck, dan Fillburton sambil meracau soal "ketidakadilan dan kekejaman" dunia.
Lantai delapan, Stottlemeyer dan aku sudah pasrah. Bersandar ke susuran tangan dan berusaha serileks mungkin. Ka
mi main Tetris di ponsel Stottlemeyer sementara Monk mondar-mandir, mengeluh, menangis, dan menjambaki lintah imajiner di rambutnya.
Berhenti di setiap lantai memakan waktu empat puluh menit untuk mencapai kantor Breen di lantai tiga puluh. Aku menang enam ronde Tetris dan Stottlemeyer delapan ronde. Jelas ia menang teknik karena sering diasah saat bertugas melakukan pengintaian. Ketika pintu lift akhirnya membuka di lantai tujuan, Monk terhuyung keluar, megap-megap menghirup napas. Wajahnya berpeluh dan langsung ambruk di sofa kulit hitam di ruang tunggu.
"Ya ampun," keluhnya "Akhirnya sampai juga." Kuberi dia sebotol air mineral merek Sierra Springs dari tas yang, omong-omong, besarnya sekitar tas bayi yang biasa kubawa saat Julie masih bayi. Isinya air mineral, tisu basah Wet Ones, Baggies, bahkan sereal Wheat Thins kalau dia lapar. Cuma popok yang tidak kubawa.
Stottlemeyer langsung menuju resepsionis-seorang wanita Asia cantik di kursi beroda berpunggung rendah, membuat ia tampak seperti pembaca berita TV pukul sebelas. Latar belakang pemandangan kota di belakangnya sungguh mempesona.
"Kapten Stottlemeyer, Adrian Monk, dan Natalie Teeger ingin bertemu Mr. Breen," ujar sang kapten.
"Sudah hampir satu jam kami menunggu Anda,!' kata si resepsionis.
"Sama kalau begitu," jawab Stottlemeyer.
Monk menenggak air sampai habis dan membuang botolnya melewati bahu. Pipinya mulai merona lagi. Kening disekanya dengan sapu tangan, yang juga langsung dibuang.
"Perjalanan turun akan jauh lebih mudah," aku coba meyakinkan.
"Ya, karena aku bakal lewat tangga.."
Sang resepsionis berkata, "Mr. Breen akan menemui Anda sekarang."
Ia menunjuk sebuah pintu kembar raksasa yang mengingatkanku pada gerbang Kota Emerald di film Wizard of 0z,cuma yang ini minus penjaga bertubuh kerdil. Sebagai gantinya, Breen menaruh seorang supermodel Asia di pinggir pintu. Aku yakin si penyihir di film Oz juga bakal lebih memilih ini ketimbang manusia kerdil.
Pintu membuka sendiri begitu kami mendekat. Intimidatif sekali. Pintu-pintu di Wal-Mart memang begitu juga, tapi rasanya beda saat kita tidak mendorong kereta belanjaan.
Di balik pintu, terbentang ruang kantor yang amat luas seperti gua yang terbuat dari kaca, kayu mahoni, dan stainless steel. Di tengahnya berdiri sang pengembang real estate Lucas Breen dengan tangan terbuka, senyum menyambut, dan kilauan gigi seputih gading.
10 MR. MONK MEMBELI BUNGA Segalanya di ruang kantor Lucas Breen menjeritkan uang dan kekuasaan. Jendela membentang dari lantai sampai langit-langit, menawarkan pemandangan menakjubkan ke seluruh kota sampai pelabuhan. Detail rumit berbagai model arsitektur menara buatannya berpendar dramatis dan megah di atas panggung marmer. Ukiran mebelnya seperti pahatan patung. Salah satu sisi dinding disarati foto-foto Breen bersama istrinya yang cantik dan penuh perhiasan, tengah bersalaman dengan presiden, raja-raja, bintang film, dan politikus lokal.
Pun bila kantor itu tidak menjeritkan uang serta kekuasaan, kita tinggal menengok jas yang dibuat khusus, kemeja dengan manset berinisial nama, jam tangan anggun, dan sepatu mahal yang memekikkan citra serupa. Merek-mereknya bakal membuatmu ternganga kalau kusebut satu per satu. Toh standar mode dan perhiasanku memang tak pernah melebihi tempat-tempat sederhana seperti Mervyn's, JC Penney, dan Target.
Breen berumur empat puluhan, sangat sehat dan berkulit kecokelatan--jenis tubuh dan kulit yang didapat dari bermain tenis di istana Marin County, berjemur di dek kapal pesiar pribadi di Karibia, dan praktik seks spiritual.
Oke, taruhlah aku tak yakin soal seks itu. Pokoknya ia tampak seperti lelaki yang tak malu sesumbar bahwa ia memang melakukannya, meski sebenarnya tidak.
"Terima kasih sudah menyempatkan diri bertemu kami, Mr. Breen," ujar Stottlemeyer sambil menjabat tangan.
"Sama-sama, Kapten. Saya senang bisa membantu Departemen Kepolisian San Francisco," jawab Breen. "Itu sebabnya saya merasa terhormat menjadi anggota Komisi Kepolisian."
Patut dikagumi betapa lihai Breen membawa diri. Seolah Stottlemeyer belum tahu bahwa atasan Stottlemey
er dan departemen kepolisian tunduk pada komite pengawas internal yang disebut Breen.
"Anda pasti Adrian Monk. Saya mengagumi Anda sejak lama." Breen mengajak jabat tangan, Monk menyambut dan segera mencariku untuk minta tisu.
"Ini saja', Mr. Monk," ujar Breen cepat. Ia memberi tisu desinfektan dari kantongnya. Monk memicingkan mata, melihat bahwa tisu itu bermerek Magic Fresh.
"Tidak, terima kasih," tolak Monk.
"Ini tisu basah," angsur Breen sekali lagi.
"Ini merek Magic Fresh" tukas Monk.
"Sama saja, kan""
"Tidak. Itu sama dengan mengatakan bahwa bentuk butir berondong jagung semua sama," jawab Monk. "Memang sama"
"Saya lebih suka Wet Ones" tandas Monk sambil mengangsurkan tangan padaku. Kuberi sebungkus. "Saya tak percaya apa pun yang berbau gaib."
Breen memaksa tersenyum dan melempar bungkus tisu ke atas meja. Duh, bakal ada yang dipecat karena salah menyediakan tisu.
"Kami menyelidiki kasus pembunuhan Esther Stoval," Stottlemeyer memulai. "Dan untuk alasan yang kiranya cukup jelas, nama Anda muncul."
"Anda tentu sadar bahwa saya tidak pernah bertemu Esther Stoval secara langsung atau menginjakkan kaki di rumahnya. Orang-orang dari perusahaan sayalah yang berinteraksi dan mencoba menjawab keluhannya," ujar Breen diplomatis. "Tapi dari apa yang saya dengar, dia memang pribadi yang sulit, ya""
"Ini proyek yang akan dibangun itu"" unjuk Stottlemeyer dengan ujung dagu.
"Ya, benar," angguk Breen, lalu menuntun kami ke panggung miniatur proyek pembangunan di blok Esther.
Miniatur gedung tiga lantai itu merupakan penggabungan cerdas berbagai gaya arsitektur-Victoria, Renaissance Spanyol, chateau Prancis, dan lusinan gaya
lain. Tampak klasik sekaligus modern. Pesonanya juga memancarkan nuansa penuh perhitungan, komersil, dan sentuhan Disney. Aku sadar bahwa proyek ini kelak tak hanya berupa gedung, tapi bakal meluas sampai ke kompleks kereta bawah tanah, jalan raya utama, Fisherman's Wharf, dan Golden Gate. Yang bikin aku tambah benci adalah, harus kuakui bahwa proyek ini hebat dan pasti akan berhasil. Rancangan tata kotanya dahsyat sekali. Mungkin itu sebabnya Esther Stoval juga membenci proyek ini.
Sementara Stottlemeyer dan aku mengagumi model gedung, Monk mengamati seluruh foto di dinding, tentang Breen dan istri tercinta bersama para selebritas dan politikus.
"Berapa harga per kondo"" aku bertanya, walau bukan berarti kocekku cukup memodali.
"Enam ratus ribu dolar dan masih terus naik. Tanpa menyebut angka persisnya, ini kira-kira setara dengan jumlah yang kami bayarkan kepada para pemilik rumah di lingkungan Esther sebagai ganti rugi penggusuran... atau lebih tepatnya, kami membeli properti mereka Tapi kelak bukan hanya mereka yang diuntungkan. Jika Anda berhasil merevitalisasi satu sudut saja dari lingkungan itu, akan tercipta efek domino beautification atau pengindahan yang dengan sendirinya memajukan seluruh komunitas.
Semua pihak menang. Sayangnya, selalu ada Esther Stoval di setiap lingkungan."
"Apa nasib mereka selalu berakhir dengan kematian"" tanya Monk tiba-tiba.
Stottlemeyer memperingatkan dengan pandangan melotot. "Maksud Mr. Monk..."
Breen memotong, "Saya tahu apa maksudnya. Mr. Monk, harap Anda sadari bahwa betapa pun menguntungkannya proyek yang saya bangun pada suatu komunitas, selalu saja ada oposisi. Entah dari kelompok lingkungan, pemerhati sejarah sosial, asosiasi pemilik rumah, dan/atau individu-individu keras kepala. Kebanyakan waktu saya dihabiskan untuk mengompromikan jalan menyatukan warga serta menghidupkan lingkungan."
"Tampaknya Anda gagal dengan Esther Stoval," timpal Monk sinis.
"Kami sudah menawarkan harga premium buat propertinya, plus bebas biaya sewa seumur hidup atas kondominium di proyek saya yang boleh dia pilih sendiri," tutur Breen. "Ini sangat adil... malah agak berlebihan. Tapi dia bahkan tak sudi bernegosiasi. Akhirnya, sikap oposisi ini menjadi tidak relevan."
"Karena dia tewas," tandas Monk.
"Karena kami berencana untuk maju terus tanpa melibatkan dia," balas Breen.
"Bagaimana mungkin"" aku bertanya. "Rumahnya kan persis di tengah blok."
"Miss Teeger, saya tak mungkin ber
tahan di dunia real estate kalau tidak kreatif." Breen pergi ke meja kerja dan menggelar gulungan cetak biru yang amat mirip dengan model miniatur tadi. "Proyek akan dibangun mengelilingi rumah Esther."
Cetak biru hasil revisi itu menunjukkan rencana pembangunan gedung mengelilingi rumah Esther di tiga sisi.-Menaungi sedemikian rupa sampai sekeliling rumah menjadi gelap dan merampas privasi. Dengan rencana seperti ini, rumah Esther sama sekali tidak merusak pemandangan keseluruhan. Menjadi tak lebih dari elemen yang lucu. Memang alternatif solusi yang kejam. Tapi ini jauh lebih baik ketimbang pembunuhan.
"Esther tak harus diusir keluar rumah kalau begini," aku berkata.
"Boleh dibilang, dia tak akan punya pilihan," timpal Breen. "Komisi Perencanaan sudah menjadwalkan voting untuk pelaksanaan proyek ini minggu depan, dan hanya Esther yang memberi suara menentang. Saya yakin bahwa kami akan memenangkan persetujuan komisi dengan suara bulat. Proyek akan tetap berjalan dengan atau tanpa Esther.".
"Anda berencana mendepak Esther keluar dengan membuat hidupnya sengsara," desis Monk.
"Justru sebaliknya. Saya bisa memastikan bahwa kami akan menjadi tetangga yang baik," ujar Breen. "Esther dan kucing-kucingnya boleh tinggal di situ selama mereka mau. Dan apabila dia meninggal, rancangan gedung kami membuat kami tetap punya pilihan untuk membiarkan rumah itu tetap berdiri atau dirubuhkan untuk dijadikan plaza."
"Jadi maksud Anda, pembunuhan Esther Stoval sama sekali tidak berpengaruh pada Anda"" tanya Stottlemeyer.
"Sejauh masalah proyek, saya rasa tidak," akur Breen."Namun sebagai warga San Francisco dan sebagai sesama manusia, saya turut prihatin dengan musibah ini. Baya pikir pembunuhan terhadapnya sama sekali tidak berhubungan dengan proyek. Kemungkinan besar dia dibunuh oleh pemadat gila saat hendak mencuri sesuatu buat beli narkoba."
Aku tak ingat pernah melihat pemadat, orang gila, atau sejenisnya di jalanan ketika melakukan wawancara lingkungan itu bersama Monk. Tapi setidaknya teori ini lebih masuk akal ketimbang teori Disher bahwa pembunuh Dan pembakar rumah Esther adalah kucing-kucing peliharaannya.
"Yah," desah Stottlemeyer, "saya rasa wawancara ini sudah selesai. Iya kan, Monk""
"Di mana Anda pada Jumat malam antara jam sembilan dan jam sepuluh"" tanya Monk.
"Lho, saya pikir kita baru saja sepakat bahwa saya tidak terkait-baik langsung maupun tidak langsung- dengan kematiannya"" protes Breen. "Keberadaan saya pada malam itu rasanya tidak relevan dalam kasus ini."
"Ehm, sebenarnya... Monk benar. Ini salah satu pertanyaan prosedural yang selalu kami tanyakan," bela Stottlemeyer. "Lagi pula, saya tak ingin Anda, Komisi Kepolisian, dan lain-lain, berpikir bahwa saya tidak melaksanakan tugas dengan baik."
"Baiklah," ujar Breen. "Malam itu saya sedang menghadiri acara penggalangan dana Save The Bay di Hotel Menara Excelsior, dari jam delapan sampai tengah malam."
"Bersama istri Anda"" Monk menunjuk foto-foto di dinding. "Ini istri Anda, kan""
"Ya, saya bersama istri saya. Juga bersama wali kota, gubernur, dan sekitar lima ratus warga kota," tandas Breen. "Kalau tidak ada pertanyaan lagi, saya harus kembali bekerja."
Ia mengambil sebuah remote kecil dari saku, diarahkan ke pintu dan gerbang besar itu membuka lagi. Breen mengusir kami secara halus.
"Terima kasih atas bantuan Anda," angguk Stottlemeyer. Kami meninggalkan ruangan kantor. Monk mengekor di belakang, tapi sempat menoleh ke arah Breen.
"Ada perbedaan besar antara butir berondong jagung yang satu dan yang lain," ujar Monk, "Percayalah."
Tiba di lift, jauh dari pendengaran resepsionis dan orang lain, Stottlemeyer berbalik menghadap Monk, yang malah menuju ke pintu tangga darurat.
"Bisa jelaskan, kenapa kau mendesak Breen"" Stottlemeyer meninju tombol lift seperti meninju muka orang. "Jangan bilang ini cuma" gara-gara perbedaan merek tisu basah atau karena dia tak mau turun ke lobi menemuimu."
"Dia orangnya" Monk melapisi tangan dengan lengan baju, membuka pintu tangga darurat. "Orang apa""
"Orang yang membunuh Esther Stoval," ujar Monk. "Dia pembunuhnya."
Persis sa at itu lift kami tiba dan Monk menghilang di balik pintu. Stottlemeyer sudah hendak mengejar, tapi kutarik lengannya sambil berkata, "Mau mengejar dia tiga puluh lantai ke bawah"" aku bertanya. "Percayalah, hal ini bisa menunggu"
Stottlemeyer menatapku, mendesah lemas, lalu berjalan gontai masuk lift.
"Kadang ingin rasanya kubunuh saja dia," gerutu si kapten. "Aku yakin tak ada yang keberatan."
*** Setelah Stottlemeyer menelepon kantor untuk meminta Disher mengonfirmasi alibi Breen dan melacak latar belakang perampok kereta api bernama Roderick Turlock, kami menikmati makan siang santai di Boudin Bakery di lobi.
Kami sama-sama memesan sup kepiting kental khas Boston plus seporsi roti susu dan mengambil kursi dekat jendela. Di situ kami bisa melihat lalu-lalang para akuntan, pialang saham, bankir, dan gelandangan yang lewat.
Kami mengobrol tentang anak-anak kami dan sekolah mereka, bagaimana anak-anak sekarang tak lagi bermain keluar rumah dan kesibukan orang tua mengatur jadwal bermain mereka. Aku tahu, ini pasti terdengar sangat biasa dan membosankan sekali. Itu sebabnya aku tidak menuliskan runutan percakapan kami.
Tapi ada satu alasan penting kenapa aku menyinggung hal ini: Pagi itu adalah pertama kalinya kami benar-benar mengobrol-meski barangkali tak bisa dibilang percakapan intim atau penting, setidaknya tak lagi membahas soal Monk atau pembunuhan atau penegakan hukum. Kami bicara tentang kehidupan.
Demikianlah, pagi itu aku melahap semangkuk sup dan roti, untuk pertama kalinya melihat Leland Stottlemeyer sebagai manusia ketimbang seorang polisi.
Kami sengaja duduk di meja yang pasti akan terlihat Monk begitu ia tiba di lobi, kira-kira setengah jam setelah ia meninggalkan kami di lantai tiga puluh.
Monk terhuyung keluar dari pintu tangga darurat Seperti orang yang baru saja menempuh jalan kaki melewati padang pasir Mojave. Dua kancing bagian atas kemejanya dibuka. Tanpa menyapa kami, ia langsung masuk ke toko bunga Flo's Floral Design.
"Apa dia tidak melihat kita"" tanya Stottlemeyer.
"Entahlah," jawabku singkat.
Tak satu pun dari kami-yang sudi memastikan. Kami belum selesai makan. Lagi pula, Monk pasti akan melewati kami kalau ingin meninggalkan gedung. Tapi insiden ini sudah terlanjur membunuh percakapan. Kami diam, menatap toko bunga, menunggu apa yang akan-terjadi.
Beberapa menit kemudian, Monk keluar toko sambil menenteng sebuah buket bunga yang indah dan langsung meluruk, ambruk ke kursi kosong di meja kami.
"Air," pinta Monk.
Kuberi ia sebotol Sierra Springs dari dalam tas. Monk menenggak habis dan tenggelam di kursi. "Bagaimana perjalanannya"" aku bertanya. "Menyenangkan," jawab Monk tersengal-sengal "Bunga itu buat siapa"" tanya Stottlemeyer. "Buatmu."
Monk menyerahkan buket itu ke Stottlemeyer, yang menerima dengan wajah bingung. Aku sendiri ragu apa ia mampu mengapresiasi penggabungan apik dari lili,
mawar, anggrek, dan hydrangea dalam buket itu. Indah sekali.
"Ini semacam permintaan maaf""
"Ini bukti bahwa Lucas Breen memang melakukan pembunuhan."
Stottlemeyer menatap bolak-balik antara Monk dan buket. "Aku tak paham. Apa hubungan bunga dengan semua ini""
Saat itulah aku mengenali buket itu. Aku pernah lihat susunan buket macam ini dan ingat persis di mana melihatnya.
"Aku sempat bicara dengan Flo," jempol Monk menunjuk toko bunga. "Buket ini salah satu rancangan orisinalnya dan sangat dibanggakan. Tak ada di toko lain."
"Baguslah," angguk Stottlemeyer yang masih belum paham.
"Lucas Breen membeli buket seperti ini dari Flo pada hari Kamis," lanjut Monk. "Terus kenapa""
"Bunga itu untuk wanita simpanannya, Lizzie Draper," tutur Monk. "Aku melihat buket yang sama di rumahnya kemarin."
Aku tak tahu bagaimana Monk sempat memperhatikan buket itu. Seingatku perhatiannya terarah penuh ke dada Lizzie saat kami di sana. Monk pasti punya ingatan,
fotografis yang luar biasa. Buket ini sama persis dengan yang dipakai Lizzie sebagai model lukisan waktu itu.
"Pun bila kau benar," ujar Stottlemeyer, "apa hubungannya dengan pembunuhan Esther Stoval"" .
"Esther Stoval hobi memata-matai tetangga. Memakai teropong un
tuk mengintip rumah tetangga, bahkan memotret," lanjut Monk. "Dia pernah mengadukan seorang tetangga ke perusahaan TV kabel karena menonton ESPN dengan unit konverter ilegal."
"Mengherankan juga dia bisa hidup cukup lama," timpal Stottlemeyer. "Tak boleh ada yang menghalangi laki-laki dari olahraga favoritnya."
"Kurasa Esther menyimpan barang bukti foto Lucas breen dan Lizzie Draper, lalu mengancam akan menunjukkan foto-foto itu kepada istrinya kalau proyek tidak dihentikan. Perceraian akan membuat Breen rugi puluhan juta dolar. Itu motif Breen membunuh Esther."
Stottlemeyer menggeleng. "Ini lompatan simpulan yang terlalu jauh, Monk. Bahkan buatmu."
"Memang itu yang terjadi," tegas Monk.
Aku yakin Monk benar. Stottlemeyer juga begitu. Monk tak pernah salah soal pembunuhan. Monk tahu. bahwa kami mengakui simpulannya, meski tidak dikatakan langsung. Ini membuat sang kapten makin pusing.
Stottlemeyer mengangkat buket ke tengah meja. "Cuma ini bukti yang kau dapat""
"Kita juga punya kancing Lizzie," ujar Monk. "Kancing""
"Aku sempat memperhatikan," jawab Monk.
Sempat" Duh, kalau saja Stottlemeyer melihat sendiri bagaimana Monk mendefinisikan perhatian waktu itu.
"Ada huruf LB di permukaan kancing," Monk berkata. "Semula kupikir itu singkatan merek, tapi ternyata tidak. Itu inisial nama. Kemeja yang Lizzie pakai dibuat khusus untuk Lucas Breen."
11 MR. MONK DAN AROMA TERSANGKA
Kami berkumpul di ruang kantor Stottlemeyer. Buket diletakkan dalam sebuah piala kosong Big Culp Cup sebelum diisi air. Sulit mencari vas bunga di bagian pembunuhan SFPD.
Disher masuk, menatap Monk dengan pandangan cemas. "Ada apa" Kau tidak apa-apa, Monk""
"Aku baik-baik saja," jawab Monk.
"Yakin"" "Sangat yakin," jawab Monk lagi. "Memangnya kenapa""
"Aku tak pernah melihatmu begitu... begitu..." Disher berusaha mencari kata yang tepat. "Melepas kancing."
"Melepas kancing"" tanya Monk.
Disher menunjuk kerah Monk. "Dua kancing atas
itu" "Astaga!" Wajah Monk langsung panik dan ia segera menutup kancing. "Sudah berapa lama aku telanjang" Kenapa tak ada yang mengingatkan""
"Cuma dua kancing, Mr. Monk,-" aku berkata.
"Mungkin sekarang gosipnya sudah tersebar ke seluruh departemen ini!" racau Monk.
"Aku yakin tak ada yang tahu," timpal Stottlemeyer menenangkan.
"Aku masuk kemari setengah telanjang. Mereka tidak buta!" protes Monk sambil mendekap wajah dengan kedua tangan. "Aku malu sekali."
"Tenang, Monk. Kami semua temanmu." Stottlemeyer berputar keluar dari meja, meremas bahu Monk sebagai tanda simpati. "Tak akan ada yang berkomentar apa pun. Aku jamin."
Monk mendongak. Wajahnya panik. "Bisa tolong bicara dengan mereka" Demi aku""
"Tentu," jawab Stottlemeyer. "Bicara dengan siapa""
"Semua orang," jawab Monk. "Semua petugas di gedung ini!"
"Baik, bisa kulakukan." ujar Stottlemeyer. "Tapi sebaiknya tunggu sampai kita selesai membahas bagaimana membuktikan bahwa Lucas Breen membunuh Esther Stoval."
"Bukan persoalan gampang," celetuk Disher. "Tak ada bukti fisik yang membuktikan bahwa dia berada di rumah Esther pada saat wanita itu dibunuh."
"Yah," sungut Stottlemeyer. "Lebih tepatnya: Tak ada bukti apa pun yang membuktikan kehadiran siapa pun di rumah itu pada malam pembunuhan."
"Pokoknya dia pelakunya," tandas Monk. "Kalau dilacak ke belakang dari apa yang kita punya sekarang, pasti kita bisa menemukan sesuatu."
"Alibinya sangat kuat." Disher mendekat ke komputer di meja Stottlemeyer, menekan beberapa tombol. "Aku dapat lusinan foto pers dari internet yang membuktikan bahwa Breen bersama istrinya memang hadir pukul delapan malam dan pulang tengah malam. Aku sudah bicara dengan para fotografer dan mengonfirmasi kapan persisnya foto-foto itu dibuat."
"Bagus," puji Stottlemeyer.
Disher memiringkan monitor agar kami bisa melihat secara lebih jelas. Memang benar, ada foto-foto dari berbagai sisi dan dari berbagai fotografer yang menunjukkan Breen beserta istri dengan mengenakan mantel hujan dan sepayung berdua, berlari ke lobi. Foto-foto lain menunjukkan Breen meninggalkan acara saat tengah malam bersama gubernur dan istrinya.
"Ada sekitar lima ratus undangan
di acara itu. Aku tak yakin ada yang mampu memastikan apa saja yang dia lakukan sepanjang malam," ujar Monk. "Hotel Excelsior punya lusinan pintu keluar. Bisa saja dia keluar dan kembali lagi tanpa disadari siapa puri."
"Tarik rekaman kamera keamanan dari hotel," perintah Stottlemeyer pada Disher. "Mungkin ada sesuatu. Dan coba bicara dengan beberapa undangan dan staf hotel. Siapa tahu ada yang sempat menyadari kepergiannya."
"Breen sendiri yang membangun Excelsior. Saya yakin dia tahu bagaimana caranya keluar-masuk tanpa terlihat," ujar Disher pada sang kapten. "Lagi pula, kalaupun dia meninggalkan hotel, bukan berarti dia bisa langsung berada di rumah Esther Stoval dan menekan bantal ke wajah wanita itu."
"Kita pecahkan satu per satu, Disher," tukas Stottlemeyer.
"Baik, Pak," ujar Disher. "Omong-omong, apa hubungannya kasus ini dengan perampok kereta yang tewas tahun 1906""
"Tidak ada hubungannya," jawab Monk. "Itu untuk kasus pembunuhan anjing di stasiun pemadam kebakaran."
"Kau coba memecahkan pembunuhan seekor anjing seratus tahun silam""
"Sparky dibunuh Jumat malam lalu," aku menyela.
"Oleh hantu"" tanya Disher.
"Wow! Tunggu dulu!" Stottlemeyer mengangkat tangan. "Tolong jelaskan apa maksud kalian""
"Di akhir abad kesembilan belas, Roderick Turlock dan gengnya merampok sejumlah kereta yang membawa koin emas," Disher menjelaskan. "Biro detektif Pinkerton berhasil melacak mereka sampai ke sebuah rumah kontrakan di San Francisco. Turlock tewas dalam baku tembak, membawa serta rahasianya ke liang kubur."
Monk Sang Detektif Genius Karya Lee Goldberg di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Rahasia apa"" tanya Monk.
"Tempat persembunyian emas hasil rampokannya," jawab Disher. "Kebanyakan tak pernah berhasil ditemukan. Entah disembunyikan di mana."
"Menarik sekali, tapi bisakah kita bahas kekayaan sejarah San Francisco lain kali saja"" tukas Stottlemeyer. "Sekarang kita punya kasus pembunuhan, dan tak ada bukti sama sekali."
"Jangan lupa, kita punya bukti kancing-kancing itu," ujar Monk. "Juga bunganya."
"Benar. Tentu saja... bunga." Stottlemeyer menyambar buket dari piala. "Begini saja, Randy. Biar kubawa bunga ini ke jaksa wilayah sekarang juga sementara kau dan Monk menangkap Breen," sinis Stottlemeyer.
Stottlemeyer melangkah ke pintu. Disher beku di tempat Bingung.
"Anda minta saya untuk... maksud saya, apakah saya harus..."" Disher melongok Monk. "Dia serius""
"Tidak, aku tidak serius!" Stottlemeyer memutar tubuh, bicara sambil mengibaskan buket sampai daun bunganya rontok. "Demi Tuhan, harap disadari bahwa Lucas Breen itu anggota Komisi Kepolisian! Kita butuh DNA-nya tersebar di seluruh TKP, dua puluh dua saksi mata yang memastikan bahwa dia berada di sana, plus rekaman video saat dia membekap Esther. Baru setelah itu, mungkin... mungkin kita punya peluang untuk mengusut lebih jauh."
Stottlemeyer mendorong Disher agar menyingkir, membanting buket kembali ke dalam piala, lalu duduk di kursinya. Ia menghela napas panjang, menatap Monk.
"Katakan, menurutmu bagaimana dia melakukannya""
"Kurasa dia menyelinap keluar hotel, membunuh Esther, membakar rumahnya, lalu kembali ke pesta."
"Bukan rencana yang cerdas," ujar Disher.
"Tapi sukses, kan"" ketus Stottlemeyer. "Kau sudah periksa alibi Lizzie Draper""
Disher mengangguk. "Malam itu sedang ada semacam acara Coyote Ugly di Flaxx. Ada seratus lelaki yang melihatnya menari mengenakan kaos basah di bar, menuang minuman dan melambung-lambungkan botol sampai tengah malam."
Itu salah satu alasan lain kenapa aku tidak diterima kerja di Flaxx. Aku tidak bisa menari telanjang atau melambungkan botol seperti pesulap sirkus.
"Anggaplah Anda benar, Mr. Monk," aku mulai beranalisis, lalu berhenti sebentar melihat pandangan tajam Monk. "Maaf, maksud saya, dengan kebenaran teori Anda, Breen tidak mungkin menyelinap membawa mobil tanpa tepergok petugas parkir dan wartawan. Dan dia tidak mungkin memanggil taksi karena wajahnya bakal diingat si sopir taksi. Jadi, bagaimana cara Breen ke rumah Esther dan kembali lagi""
Stottlemeyer mengangguk setuju. "Kau mulai paham, Natalie."
"Dia pasti jalan kaki," ujar Monk.
"Apa itu mungkin"" aku tepekur. "Maksud saya, apa -bisa di
a lakukan semua itu dalam waktu satu jam dengan berjalan kaki""
Monk angkat bahu. "Hanya ada satu cara untuk membuktikannya"
Saat meninggalkan kantor polisi, Monk memohon maaf kepada semua petugas yang kami lewati tentang "ketelanjangannya" tadi, dengan alasan kebingungan karena sedang menjalani pengobatan sinus. Tidak ada yang bertanya atau peduli.
"Aku alergi," begitu kata Monk kepada mereka.
Kami berkendara ke Excelsior di jalan Montgomery, beberapa blok di timur laut alun-alun Union Square. Walau gedungnya terhitung masih baru dan dibangun pada
dekade lalu, bentuknya bergaya Beaux Arts kesukaan kalangan elite San Francisco awal tahun 1900-an. Semua sentuhan elite yang memerikan kekayaan ada di sana; pintu gerbang lengkung raksasa, tiang-tiang batu monumental, susuran tangga berpahat, jendela-jendela lengkung berhias mahkota-mahkota ukiran daun, dan panggung berornamen.
Dengan enggan aku menitipkan mobil Cherokee-ku di garasi bawah tanah hotel, karena biaya parkir per harinya jauh lebih mahal ketimbang menyewa ruang parkir sendiri. Persis seperti perkiraan Disher, dengan sekilas pandang saja terlihat lusinan akses untuk keluar-masuk gedung, termasuk pintu-pintu di setiap struktur lantai parkiran dan service exit-akses keluar-masuk khusus staf dan pelayan yang mengarah ke sebuah gang gelap.
Pandangan dari jalan raya ke service exit yang tembus ke gang itu juga terhalang oleh beberapa tong sampah besar. Kalau Breen memakai jalur ini untuk menyelinap, ia mampu melongkapi satu blok penuh sebelum akhirnya tembus ke jalan raya, dalam jarak aman dari hotel dan wartawan yang berjaga di depan gedung. Monk setuju bahwa ini memang jalur yang paling mungkin diambil Breen, maka kami coba telusuri. Tapi dari titik ini, ada beberapa percabangan jalan. Entah mana yang diambil Breen. Monk memilih yang paling praktis, mengarah lurus ke Montgomery. Setidaknya sebagai langkah awal.
Hari sudah mulai gelap saat kami mulai berjalan. Gerimis juga mulai turun. Perjalanan membawa kami melewati menara-menara di Distrik Finansial. Para pebisnis dan karyawan berhamburan keluar kantor untuk memulai ritual kemacetan. Para gelandangan juga mulai bergerak. Mencari naungan di cekungan gedung, toko, dan ambang pintu, mengoreki tong sampah, mengemis kepada para pejalan kaki.
Monk tak mau memberi uang. Setiap gelandangan yang kami lewati ia beri sebungkus Wet Ones dari tasku. Sayangnya tak seorang pun menghargai sikap ini, khususnya seorang gelandangan yang sedang asyik tiduran di selembar kardus dan mengenakan mantel rombeng di atas berlapis-lapis kemeja gombal.
Ketika Monk melempar sebungkus Wet Ones ke dekat kakinya, si gelandangan langsung bangkit.
"Apa gunanya ini buatku"" ia berkata gusar sambil menggamit tisu basah itu dengan jijik. Rambut dan jenggotnya acak-acakan, kulitnya gosong dan cemong oleh debu. Bau tubuhnya busuk, seperti habis tidur di tong sampah. Aroma ini menjadi perisai energi tak terlihat yang membuat Monk selalu menjaga jarak tiga kaki darinya.
"Kau benar," tukas Monk. "Mestinya aku lebih bijaksana."
Monk menggapai ke dalam tasku, mengambil dua genggam Wet Ones dan melemparkannya ke kaki si gelandangan.
"Satu memang tidak cukup," ujar Monk kalem, lalu segera berlalu sambil bersin-bersin. Si gelandangan memaki-maki di belakang.
Kuberi Monk selembar Kleenex. Monk membuang ingus, lalu menaruh tisu bekas pakai itu ke kantung plastik Ziploc, dikunci dan dimasukkan ke saku.
"Orang itu tidur sama kucing," kata Monk. "Saya rasa dia jauh lebih menderita dari itu."
Aku menoleh ke belakang, melihat si gelandangan mengumpulkan dan mengantongi tisu basah pemberian Monk. Ia melihatku memandang dan segera memberi lambaian tangan tanda mengusir.
Kami berjalan ke utara, mengikuti jalan Montgomery sampai menembus Colombus Avenue dan menanjak ke Telegraph Hill Gedung-gedung kantor dan restoran makin lama berubah menjadi deretan galeri-galeri menjulang serta kompleks-kompleks permukiman. Kami berzig-zag sepanjang sisi jalan ke segitiga kompleks permukiman bergaya Victoria dan apartemen-apartemen bertaman, berbatasan dengan Colombus Avenue, jalan
Montgomery, dan jalan Filbert. Dari sini, jalur menanjak tajam. Tidak, setajam yang biasa kutempuh ke Taman Dolores setiap Minggu pagi, tapi cukup membuat napas terengah-engah sampai kami tiba di puncak bukit, menghadap ke stasiun pemadam kebakaran tempat Joe bekerja. Fakta ini cukup mengejutkan buatku.
"Keberatan kalau kita mampir sebentar menyapa Joe"" aku bertanya. Kupikir Breen pasti juga harus istirahat pada titik ini, walau dalam keadaan terburu-buru sekalipun. Kami sudah melongkapi delapan atau sepuluh blok dari Excelsior, dan ini ditempuh dalam waktu sekitar dua puluh menit.
"Ide bagus," akur Monk. Tampaknya ia juga butuh istirahat. Sekalian mengeringkan badan, karena kami sudah basah kuyup oleh keringat.
Di pihak lain, kami telah membuktikan bahwa Breen memang mungkin menyelinap keluar dari Excelsior, lalu ke rumah Esther yang hanya beberapa blok dari stasiun pemadam kebakaran-jadi, sekitar setengah jam total waktu perjalanan dari hotel ke rumah Esther.
Segalanya di stasiun pemadam kebakaran tentu saja selalu berkilau. Bahkan termasuk jalan masuk mobil serta peralatan pemadam yang tergantung di rak-rak terbuka. semua bersih dan mengilap, sampai ke palang-palang, gerendel, dan resleting.
Para petugas sedang berada di dapur, menikmati pizza. Aku masih melihat keranjang tidur Sparky dan mainan tulang karet di bawah meja. Monk juga melihatnya. Sepertinya Joe masih belum bisa menerima kematian Sparky. Aku tahu rasanya Aku juga menyimpan baju-baju Mitch di lemari selama hampir setahun setelah ia wafat. Dan aku tahu Monk masih menyimpan bantal
yang biasa ditiduri istrinya. Bantal itu dibungkus plastik di lemari pakaian.
Joe tersenyum lebar begitu melihatku, melompat dari kursi dan segera menyambut kami. Tapi begitu tiba di depanku, ia tak yakin harus berbuat apa. Mencium" Memeluk" Menjabat tangan" Akhirnya kami putuskan untuk berpelukan biasa, layaknya teman.
"Natalie, Mr. Monk... sungguh kejutan menyenangkan. Kalian tepat waktu untuk bergabung bersama kami menikmati pizza." Joe melirik Kapten Mantooth, yang tengah mengiris bagian untuk Monk di atas serbet.
"Tidak, terima kasih," ujar Monk. "Kami hanya mampir sebentar untuk mengajukan beberapa pertanyaan."
Sekali lagi aku kehabisan kata-tak tahu harus beralasan apa. Sungguh kebetulan yang menyenangkan bisa begitu saja muncul persis di depan stasiun.
"Kapten Mantooth, sebelum malam Jumat itu, apa Anda sempat menyadari kehilangan dua lembar handuk""
"Tentu. Handuk selalu hilang," jawab Mantooth. "Biasalah. Seperti kaos kaki, tahu-tahu menghilang saat dibutuhkan. Benar kan, Mr. Monk""
"Tidak, saya tidak pernah kehilangan kaos kaki," tandas Monk bingung.
"Semua orang pernah kehilangan kaos kaki," ujar Mantooth. Semua pria di ruangan itu mengangguk. Aku juga. "Anda tak pernah kehilangan kaos kaki""
"Bagaimana bisa" Kalau tidak di kaki saya, pasti di keranjang cucian kotor. Lantas bolak-balik antara keranjang, mesin cuci, dan laci kaos kaki," ujar Monk. "Saya sungguh tak mengerti bagaimana orang bisa sampai kehilangan kaos kaki."
"Percayalah, ini salah satu misteri besar dalam hidup," timpal Joe. "Coba, ke mana kiranya kaos kaki itu pergi""
"Mungkin ke tempat yang sama dengan handuk-handuk kita," Mantooth tertawa.
"Dan celana dalam," aku menambahkan. Senyum Mantooth menghilang. Aku melihat berkeliling. Semua menatapku. "Ayolah, semua orang pasti pernah kehilangan celana dalam."
Semua saling pandang, menggeleng dan menatapku lagi dengan tatapan bingung. Khususnya Monk dan Joe.
"Ini fakta, lho," aku berkeras.
"Ehem, tolong ingat sesuatu, Kapten," sela Monk, menyelamatkan mukaku agar tidak lebih malu lagi. Walau aku yakin itu bukan alasan sebenarnya. "Secara umum, apakah Anda cenderung menyadari adanya kehilangan barang-dalam hal ini handuk, setelah kembali dari bertugas""
Mantooth tepekur sebentar. "Kalau dipikir-pikir, mungkin Anda benar. Tapi kalau mau lebih pastinya, harus melihat di catatan."
"Anda mencatat kehilangan handuk di buku catatan"" tanyaku tak percaya.
"Saya lakukan itu sebagai dasar justifikasi biaya kalau harus membeli yang baru," jawab Mantooth. "Saya ber
tanggung jawab atas setiap sen yang terpakai."
Aku rasa memang demikian, meski pasti lebih karena kebiasaan ketimbang peraturan. Tak heran Monk ingin jadi petugas pemadam. Mantooth "nyaris sama konyolnya dengan Monk-yang membuatku berpikir lebih jauh, kira-kira seperti apa sisi gelap Joe. Aku ingat ia begitu tepat waktu ketika menjemput kencan. Apa itu sisi konyolnya" Bagaimana kalau aku yang terlambat jika suatu saat janjian ketemu"
Monk beralih ke Joe. "Apa Sparky hanya berkeliaran di sekeliling perumahan ini jika kalian sedang bertugas""
"Ya, benar," angguk Joe.
"Kenapa tidak diikat""
"Sparky selalu pulang lagi," jawab Joe. "Saya tak ingin membatasi kebebasannya "
"Setiap kali dia pulang," lanjut Monk," seperti apa baunya""
Joe tampak bingung ditanya begitu. Aku juga. "Baunya seperti sampah. Saya tidak tahu dia main ke mana sampai bau begitu."
"Separah apa baunya""
"Biasanya segera saya mandikan begitu dia pulang, atau Kapten bakal marah-marah."
"Saya ingin stasiun saya bersih," bela Mantooth. "Kebersihan adalah ekspresi nyata dari keteraturan."
"Amin, saudaraku," timpal Monk, lalu tersenyum padaku. Aku kenyang melihat senyum yang satu ini. Biasanya persis sebelum ia menangkap dan memenjarakan seseorang.
"Mari kita bicara dengan Mr. Dumas," ajak Monk.
Kuikuti Monk menyeberang jalan ke rumah Gregorio Dumas, lalu mengetuk pintu. Monk berdiri persis di belakangku, menggunakanku sebagai perisai. Tangannya berjaga di kemaluan agar tidak diserang lagi. Gagah sekali, pikirku lemas sambil memutar mata.
Gregorio membuka pintu, mengenakan jaket warna merah, celana piyama, dan aksesori kalung yang begitu banyak sampai mengalahkan Mr. T The A-Team, Sammy Davis Jr., dan Liberace. Aku tahu nama-nama seleb ini sudah lawas, tapi setelah lulus kuliah, aku rada kuper. Kalau teringat ini, jadi enggan mengakui betapa jauhnya aku dengan budaya pop Amerika. Rasanya jadi seperti ibu-ibu, dan itu menakutkan.
Kita kembali ke Gregorio. Monk bertanya apakah anjingnya ada di belakang rumah, dan kalau iya, ia mohon dipersilakan masuk dan berbicara sebentar.
Gregorio menyilakan dengan enggan. Kami duduk di sofa sementara ia duduk di kursi di depan kami. Wajahnya tulus memerikan ketidaksukaan menerima kedatangan kami.
"Obrolannya bisa dipercepat" Acara Jeopardy sedang main di TV," ketus Gregorio.
"Itu acara di mana mereka memberi jawaban dan kita dituntut membuat pertanyaan dari jawaban itu, ya"" tanya Monk.
"Benar." "Baguslah," ujar Monk. "Ayo kita main."
"Apa maksud Anda"" sungut Gregorio. "Anda ingin nonton TV bersama saya""
"Tidak. Kita buat permainan sendiri saja. Saya kasih jawaban dan Anda menyahut dengan pertanyaan. Siap" Ini jawaban saya: Emas Roderic Turlock"
Gregorio tersentak, seperti baru ditampar.
"Ayolah, Mr. Dumas," desak Monk. "Tebak pertanyaannya"
Gregorio tidak menjawab, tapi kulit di bawah wignya mulai berpeluh. Monk menirukan suara bel.
"Teeet! Waktu habis! Pertanyaannya adalah: Kenapa Anda membuat terowongan dari rumah ini ke got bawah tanah dan dari got ke stasiun pemadam" Pasti menyenangkan, ya" Oke, ini jawaban yang lain: Untuk menghapus jejak kaki Anda dari lantai stasiun
pemadam. Bisa kasih pertanyaan untuk jawaban yang ini""
Gregorio menjilat bibir. Tangannya menyeka keringat di alis.
"Anda bahkan tidak berusaha menjawab, Mr. Dumas," ujar Monk.
"Bukan begitu," jawab Dumas, "saya tidak tahu pertanyaannya. Jawaban Anda tidak masuk akal."
"Saya tahu, saya tahu...," aku berkata, sambil melambaikan tangan ke udara dengan bersemangat.
Monk tersenyum dan menunjuk padaku. "Ya, Natalie, apa pertanyaanmu""
"Kenapa Mr. Dumas mencuri handuk"" aku mencoba.
"Tepat sekali!" salut Monk. "Dia menggali terowongan ke stasiun pemadam kebakaran untuk mencari emas legendaris itu setiap kali para petugas pergi bertugas. Tapi karena tak ingin Sparky menggonggong dan menarik perhatian umum, jadilah dia memancing Sparky dengan mainan karet hotdog-mainan favorit Sparky. Ada satu yang seperti itu di pekarangan Mr. Dumas. Sangat mirip dengan yang ada di keranjang Sparky."
Seluruh fakta yang semula terpisah, segala yang telah kami lihat dan dengar
, kini masuk akal buatku. Rasanya seru sekali. Aku jadi mafhum kenapa seorang detektif amat mencintai pekerjaannya
"Sparky masuk ke rumah ini melalui terowongan dan pasti lewat got," lanjutku. "Itu sebabnya dia mampu melewati pagar kawat berduri dan menghamili Letitia. Itu pula sebabnya Sparky selalu pulang ke stasiun dengan badan berbau busuk. Bodoh sekali tak menyadari ini dari dulu."
Keringat Gregorio mengucur makin deras.
"Natalie menang di ronde ini, Mr. Dumas," ujar Monk.. "Anda harus menebak pertanyaan yang tepat berikut ini kalau ingin tetap bermain. Ini jawabannya: Lima belas tahun hukuman penjara."
"Bicara apa Anda"" pekik Gregorio.
Monk menggeleng kalem. "Maaf, pertanyaan Anda salah. Pertanyaan yang benar adalah: Apa hukuman bagi orang yang mengajukan tuntutan hukum palsu dan bertindak kejam terhadap binatang""
"Saya memperlakukan Letitia seperti ratu!" salak Gregorio.
"Tapi Anda membunuh Sparky," tandasku.
"Kalian semua salah," elak Gregorio. "Memang benar saya menggali terowongan untuk mencari emas Turlock, dan saya memang ada di stasiun pemadam Jumat malam itu, tapi saya tidak membunuh Sparky."
"Kalau begitu, tolong jelaskan," pintaku.
"Sebenarnya Letitia memang sudah tidak prima lagi. Satu-satunya alasan dia memenangkan pertunjukan
terakhir dua tahun lalu adalah karena saya sudah bersusah-payah membuang dua puluh ribu dolar untuk memermaknya"
"Anjing itu dioperasi plastik"" tanya Monk.
"Cukup memberi peluang sampai pertunjukan anjing setahun lagi. Tidak lebih," angguk Gregorio. "Para juri itu jeli. Operasi plastik macam apa pun tak bisa menutupi penurunan kecantikan alami. Selama ini kami hidup dari koin emas yang berhasil saya gali dari ruang bawah tanah stasiun. Rencana saya, begitu seluruh koin habis, kami akan hidup dari uang hasil tuntutan hukum terhadap stasiun pemadam."
"Tuntutan hukum palsu," tegasku. "Anda sendiri yang memanfaatkan Letitia untuk menyibukkan dan mengalihkan perhatian Sparky sementara Anda berburu emas."
"Katakan apa yang sebenarnya terjadi pada Jumat malam itu, Mr. Dumas," desak Monk.
Gregorio mendesah panjang dan berat. "Dimulai seperti biasa. Begitu mobil pemadam pergi, saya pergi ke terowongan yang tembus ke ruang bawah tanah stasiun. Terdengar gonggongan Sparky, tapi waktu saya tiba di ruang bawah tanah, tak terdengar apa-apa lagi. Jadi saya ambil dua lembar handuk, membersihkan kaki, dan naik untuk memeriksa situasi. Saat itu saya melihat Sparky
terbujur kaku, sementara petugas pemadam yang saya lihat waktu itu melangkah pergi."
Aku mendengus jijik. "Masih berkeras dengan cerita bahwa petugas pemadam yang membunuh Sparky" Lucu sekali. Cobalah jujur mengakui kesalahan untuk kali ini. Kenapa bohong terus""
"Saya menceritakan yang sebenarnya," ujar Gregorio. Matanya sembab oleh air mata. "Tidak mungkin saya membunuh Sparky."
"Kenapa tidak"" balasku, berusaha memberi tekanan menyindir dan jijik sekuat mungkin.
"Karena itu akan menyakiti perasaan Letitia." Ia menyeka air mata di pipi. "Dan perasaan saya juga. Saya menyukai anjing sialan itu."
Monk menelengkan leher dari sisi ke sisi, lalu mengangkat pundak. "Ya, rasanya itu masuk akal."
Setelah itu ia langsung berdiri dan berjalan ke pintu tanpa berkata apa-apa lagi. Aku memburunya keluar rumah.
"Anda tidak menangkapnya"" aku bertanya.
"Baru saja kulakukan," jawab Monk sambil berjalan ke arah Hotel Excelsior.
"Iya, tapi itu hukuman ringan karena mencuri handuk dan mengajukan tuntutan palsu. Bagaimana dengan pembunuhan Sparky""
"Dia tidak membunuh Sparky," ujar Monk.
"Hah" Lantas siapa""
"Sudah jelas, kan"" jawab Monk. "Pembunuh Sparky adalah Lucas Breen."
12 MR. MONK BERAKSI Hari sudah gelap. Kami napak tilas kembali ke
Excelsior, di mana tarif parkirnya cukup buat jadi motif pembunuhan. Heran juga petugasnya tidak mengenakan rompi antipeluru dan duduk di kerangkeng berkaca antipeluru.
"Kenapa Lucas Breen ingin membunuh anjing pemadam"" aku bertanya.
"Dia tidak bermaksud membunuh," jawab Monk. "Terpaksa saja. Breen tak tahu ada anjing di situ ketika menyelinap ke stasiun."
"Untuk apa dia ke stasiun"" tanyaku lagi. Makin dekat
ke Distrik Finansial, orang-orang makin sedikit. Jalanan makin gelap dan dingin.
"Dia bermaksud mencuri mantel dan helm pemadam kebakaran," jawab Monk. "Breen adalah petugas yang dilihat Mr. Dumas malam itu."
"Saya sama sekali tidak mengerti," aku berkata. "Kenapa Breen""
"Karena dia pihak yang paling memiliki sarana, motif, dan peluang untuk melakukannya," jawab Monk lagi, lalu menjelaskan padaku teorinya tentang apa yang terjadi pada Jumat malam itu.
Lucas Breen menyelinap keluar dari Excelsior sekitar jam sembilan lima belas, jalan kaki ke rumah Esther dan membekapnya dengan bantal. Ia membuat situasinya seolah-olah perempuan itu ketiduran sementara rokok masih menyala, lalu bersembunyi di luar sampai yakin bahwa ruang tamu sudah habis terbakar. Breen segera kembali ke hotel, tapi tiba-tiba teringat telah meninggalkan barang bukti penting di TKP.
Untuk masuk ke rumah Esther jelas tidak mungkin karena api masih menyala dan pemadam kebakaran sudah ada di tempat Di pihak lain, ia tak ingin mengambil risiko. Ia harus memastikan bahwa apa pun yang tertinggal di dalam sudah musnah dilalap api. Kemudian ia teringat bahwa stasiun pemadam kebakaran jaraknya tidak jauh. Ia putuskan untuk mencuri pakaian dan perangkat pemadam kebakaran, kembali ke rumah Esther, mengambil kembali apa yang tersisa dari kebakaran, lalu secepat mungkin mengembalikan pakaian pemadam ke stasiun dalam perjalanan pulang ke hotel.
"Breen tak mengetahui keberadaan Sparky di stasiun pemadam," ujar Monk berkesimpulan. "Ketika disergap, dia terpaksa menyambar kapak untuk mempertahankan diri."
Ini persis dengan gambaran Monk saat pertama kali kami ke stasiun.
Begitu sibuknya kami bicara sampai tak menyadari kondisi sekitar. Kewaspadaanku kembali saat melewati gang di antara dua buah gedung, ditambah terpaan angin dingin menampar wajah.
Hutan pencakar langit menyaput apa yang tersisa dari sinar rembulan. Angin bertiup di antara gedung-gedung, menerbangkan pembungkus makanan cepat saji dan sampah lain di jalanan... gambaran alang-alang sebuah kota modern.
Kupeluk jaket lebih erat. Bukan hanya angin yang membuatku gemetar. Melihat berkeliling, hanya tinggal Monk dan aku di jalanan. Mengagumkan melihat betapa cepat gedung-gedung di Distrik Finansial ini kosong. Kecuali lalu-lalang beberapa mobil dan bus, rasanya tinggal kami manusia yang tersisa di muka bumi.
"Apa yang membuat Anda sadar bahwa Breen datang ke stasiun untuk mencuri perlengkapan pemadam"" aku bertanya.
"Waktu pertama kali kita ke sana, kulihat ada salah satu mantel pemadam di gantungan baju yang salah
posisi," jawab Monk. "Aku betulkan, tapi tetap jadi pikiran sejak itu."
Hanya Monk yang bakal terganggu oleh hal remeh begitu Aku pernah membeli selusin roti di toko Winchell, dan sampai sekarang Monk masih syok membayangkan ekstra roti ketiga belas yang kuterima.
"Kapten Mantooth suka keteraturan," imbuh Monk. "Para petugas pemadam cukup tahu diri untuk tidak menggantung mantel sembarangan atau menghadap ke arah yang salah. Tapi Breen tidak demikian. Mantel yang kubereskan itu adalah mantel yang dia pakai pada hari pembunuhan Esther."
"Kalau begitu, sidik jarinya pasti tertinggal," aku berkata.
Monk menggeleng. "Mantel dan helm selalu dibersihkan sehabis bertugas untuk mengikis racun sisa kebakaran."
Kalau saja para petugas pemadam kebakaran tidak sedemikian kolot membersihkan dan mengilapkan segala sesuatu, kami pasti sudah memegang bukti kunci yang dibutuhkan untuk meringkus Lucas Breen. Sekarang kami tidak punya apa-apa-kecuali kalau Monk menyembunyikan hal lain yang aku belum tahu.
"Jadi, bagaimana membuktikan bahwa Lucas Breen ada di lokasi kebakaran pada saat itu""
Belum sempat Monk menjawab, seseorang menyergapku dari belakang, menyeret kasar ke gang dan menempelkan ujung pisau ke leher.
"Jatuhkan dompetmu!" bisik sebuah suara serak di telingaku.
Monk melongok. Matanya membelalak kaget. "Lepaskan dia!"
"Diam dan ikut kemari kalau tak mau lehernya kugorok sekarang juga."
Monk menurut. Kami meluruk makin dalam ke kegelapan gang. Aku takut untuk bernapas atau bahkan untuk gemetar. Takut pisau
itu mengiris, biarpun tak sengaja.
"Kau!" salak si penodong pada Monk. "Berikan dompet dan jam tanganmu."
Monk mengeluarkan dompet, membuka dan mulai meneliti isinya dengan cermat.
"Apa-apaan kau"" tanya si penodong heran. Aku juga. Apa Monk tak melihat pisau yang menempel di leherku"
"Aku menyortir isi dompetku buatmu," ujar Monk.
"Bisa kulakukan sendiri!" bentak si penodong. Alkohol dan kenekatan tercium di napas dan keringatnya Atau barangkali keputusasaanku sendiri yang kucium" Entahlah.
"Tapi kalau aku yang melakukannya," jawab Monk, "aku bisa menyimpan apa yang nantinya pasti kau buang."
"Berikan dompet sialan itu!"
"Kau pasti ingin mengambil uang dan kartu kredit, tapi aku ingin menyimpan foto mendiang istriku." Monk menunjukkan foto Trudy ukuran kecil.
"Terserah. Simpanlah. Berikan sisanya. Sekarang. Atau kugorok lehernya!"
Kurasakan tangan si penodong gemetar oleh rasa gugup dan frustrasi sampai pisaunya ikut bergetar di leherku. Sedikit tekanan saja, aku bakal bersimbah darah.
"Tolong, lakukan perintahnya, Mr. Monk."
Monk tak acuh dan malah mengeluarkan kartu hijau dan emas dari dompetnya, diacungkan ke depan hidung si penodong. "Apa gunanya Kartu Diskon Barnes and Noble buatmu" Kelihatannya kau bukan tipe orang yang suka baca, jadi tak butuh diskon sepuluh persen untuk membeli buku. Iya, kan" Kurasa tidak."
"Akan kugorok leher perempuan ini, brengsek!" jerit si penodong. Aku percaya itu. Ia makin gugup dan kesal.
"Bagaimana dengan kartu Klub Ralphs-ku" Apa gunanya buatmu" Diskon belanjamu paling-paling didapat dari mencuri, kan""
Perhatian si penodong terpusat seluruhnya pada Monk. Tekanan di leherku mengendur. Juga cengkeramannya di pinggangku. Refleks, kusambar
pergelangan tangannya dengan satu tangan, kuhajar wajahnya dengan punggung tangan yang lain, lalu kuinjak kakinya sekeras mungkin. Kurasakan derak tulang patah.
Si penodong menjerit, melepaskan cengkeraman dan menjatuhkan pisau. Kutendang barang sialan itu jauh-jauh, lalu berputar dan melayangkan lutut ke selangkangannya sampai ia terjungkir. Aku segera membenturkan kepalanya ke tembok. Si penodong terpental dan jatuh terjengkang. Belum puas, kuhunjamkan lutut ke selangkangannya, kutelikung lengannya dengan kedua tangan dan kutatap Monk.
Ia masih di sana, asyik membereskan kembali isi dompet. Jantungku berdebar keras, terengah-engah didera adrenalin.
"Terima kasih banyak," ujarku sinis. "Bantuan Anda besar sekali."
"Kualihkan perhatiannya sampai kau beraksi."
"Beraksi" Anda sendiri bagaimana""
"Aksiku ya itu tadi." Monk mengembalikan dompet ke kantong belakang celana. "Kau belajar silat di mana""
"Ya, aku juga mau tahu," erang si penodong. "Saya sering menonton putri saya kursus Tae Kwon Do." Kulirik Monk sambil memberi kode ke dompetku. "Ambil ponsel saya, telepon polisi."
"Nanti dulu" Monk menghampiri dan ikut berjongkok di sampingku. "Maaf, tuan penodong. Kau tahu seluk-beluk jalanan sini" Ini daerahmu""
Si penodong tak menjawab. Kutekan lutut ke testikelnya sampai ia melenguh. Rasanya puas sekali.
"Jawab!" aku mengancam.
Si penodong mengangguk. "Yeah. Ini daerahku."
"Jumat malam lalu, kau bekerja"" tanya Monk lagi.
"Tak banyak liburan di profesi ini," jawab si penodong.
"Apa korbanmu malam itu termasuk seorang pria bernama Lucas Breen"" "Persetan!"
Kutingkatkan tekanan lututku. "Jangan main-main kalau tak mau cacat. Jawab yang benar!"
Kedengarannya seperti seorang tokoh di film polisi murahan, tapi aku masih gerah oleh adrenalin dan jengkel setiap kali teringat pisaunya di leherku. Makin kasar bicara, makin enak rasanya. Sekalian mengusir rasa takut.
"Yeah, aku merampok Breen," aku si penodong. Matanya mendelik kesakitan sampai seolah hendak mencelat keluar. Kuringankan tekanan lututku. "Jam berapa itu"" lanjut Monk.
"Tidak tahu. Aku tak punya jam."
"Lho, kau kan merampok ratusan jam selama berkarier. Tak pernah terpikir menyimpan satu buat diri sendiri""
"Tak ada alasan untuk itu."
"Apa Breen tampak kehilangan sesuatu""
"Ya, setelah kurampok." "Tapi sebelumnya tidak""
"Aku merampas dompet dan jam tangannya. Cincin kawinnya kubiarkan saja." "Ke
napa"" aku bertanya.
"Karena orang cenderung konyol dan nekat soal itu. Mempertaruhkan nyawa demi cincin kawin." Ia menatap Monk. "Tapi aku tak pernah lihat yang demikian demi Kartu Anggota Klub Ralphs."
"Lumayan buat berhemat," jawab Monk sambil lalu. "Kau sempat memperhatikan sesuatu dari Breen""
"Dia tampak buru-buru. Malah tergesa-gesa memberi apa yang kuminta," jawab si penodong. "Badannya juga bau asap. Seperti habis berkubang di lokasi kebakaran atau apa."
*** Monk segera menghubungi Stottlemeyer. Sementara memberi keterangan, dua petugas meringkus dan memasukkan si penodong ke mobil. Aku meminta ponsel dari tangan Monk untuk menghubungi Mrs. Throphamner dan memintanya mengawasi Julie selama beberapa jam sampai kami selesai memproses keterangan si penodong. Sejak aku bekerja untuk Monk, Mrs. Throphamner jadi terbiasa menerima panggilan daruratku untuk menunggui Julie.
Kami baru selesai memberi laporan kepada petugas polisi ketika Stottlemeyer muncul dan memanggil kami ke mobilnya
"Mau ke mana kita"" aku bertanya
"Kurasa sudah waktunya kita bicara lagi dengan Lucas Breen," jawab Stottlemeyer. Ia menelepon beberapa kali dan beroleh keterangan bahwa Breen masih di kantornya, beberapa blok dari sini.
Tiba di tujuan, Stottlemeyer memakai telepon di meja satpam untuk menghubungi ruang kantor Breen. Pada sekretaris yang menjawab, sang kapten meminta Breen untuk turun menemui kami. Stottlemeyer tersenyum mendengar penolakan si sekretaris.
"Boleh saja," jawab Stottlemeyer. "Tapi tolong sampaikan bahwa kita bisa membicarakan soal Lizzie Draper di rumah Mr. Breen, di depan istrinya"
Stottlemeyer memutus pembicaraan lalu menunjuk Boudin Bakery. "Mau kutraktir minum kopi sementara menunggu Breen turun""
Aku setuju saja asal ditambah seporsi roti Prancis. Monk cukup puas dengan sebotol Sierra Springs dari tasku.
Lima menit kemudian Lucas Breen muncul sendirian dari lift dan langsung bergabung bersama kami.
"Ada kepentingan apa sampai menyeret saya keluar kantor"" tukas Breen.
"Anda tak harus turun kemari sebenarnya," ujar Stottlemeyer. "Tapi saya rasa Anda tak ingin istri Anda mendengar soal Lizzie Draper."
"Siapa itu" Saya tidak kenal."
"Dia wanita simpanan Anda," tegas Stottlemeyer.
Breen menyeringai penuh percaya diri. Jemarinya menarik-narik manset kemeja yang berinisial LB. "Apa dia bilang begitu""
Stottlemeyer menggeleng. "Nah, terbukti kan"" ujar Breen.
"Kami tahu Anda membelikannya sebuket bunga dari toko bunga di lobi ini," sambung Stottlemeyer.
"Benarkah" Saya sering membeli bunga dari toko Flo. Untuk istri saya, sekretaris, klien, dan mempercantik ruangan kantor. Dari mana Anda yakin buket yang Anda katakan tadi memang dari saya" Bisa dari siapa saja di gedung ini, kan" Atau bahkan dibeli sendiri oleh wanita itu"
Setan Gila Lereng Ungaran 1 Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Satria Penggali Kubur 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama