Rumah Bercat Putih A Painted House Karya John Grisham Bagian 5
"Empat puluh detik!" Delilah berkata, jam berputar jauh lebih lambat, dengan Samson berbaring telentang, ia menendang beberapa kali, sia-sia, kemudian ia memakai gerakan "JerseyFlip", suatu gerakan cepat dengan menggerakkan kaki ke atas dan menjepit kuping Grunt, lalu menggulingkannya ke belakang. Samson melompat berdiri, sementara Delilah terus menguraikan gerakan-gerakannya. Satu guntingan "Flying Dropkick" mengejutkan Grunt.
"Lima belas detik!" Delilah berkata, jam sekali lagi bergerak dengan cepat Grunt menerjang bak banteng gila. dan dua laki-laki itu terjatuh kembali. Orang banyak bersorak lagi. Horsefly melompat-lompat di luar ring, melambung kegirangan. Mereka bergulat beberapa saat. lalu Delilah berkata, "Sepuluh detik."
Terdengar teriakan mencemooh diarahkan pada pencatat waktu. Samson memelintir dan menarik lengan Grunt ke belakang, menarik satu kaki, dan menggelincirkan pemuda malang itu melintasi ring dan menerobos tambang. Ia mendarat di kaki ayahnya. Horsefly berteriak, "Kau curang, bangsat!"
Samson tersinggung oleh umpatannya dan memberi tanda pada Horsefly agar ia sendiri masuk ke dalam ring. Horsefly maju selangkah dan Samson membentangkan tambang. Delilah, yang jelas sudah berkali-kali menyaksikan ancaman seperti itu, berkata, "Aku tidak akan melakukannya kalau aku jadi Anda. Dia bisa menyakiti orang bila marah."
Sampai di situ. Horsefly mulai mencari-cari alasan untuk bertahan. Samson tampak menjulang sepuluh kaki berdiri di pinggir ring, tersenyum mencemooh ke bawah. Horsefly membungkuk untuk memeriksa Grunt, yang sedang menggosok-gosok pundak dan kelihatan akan menangis. Samson tertawa pada mereka ketika mereka berjalan pergi, lalu untuk mencemooh kami, ia mulai menegangkan otot lengannya dan berjalan-jalan mengitari ring. Beberapa orang di antara kerumunan itu mendesis padanya, dan itulah yang ia harapkan.
ia menangani beberapa penantang lain. lalu Delilah mengumumkan bahwa Samson harus makan malam. Mereka akan kembali satu jam lagi untuk pertunjukan terakhir.
Sekarang sudah gelap. Udara dipenuhi oleh segala macam bunyi dari pasar malam itu; pekik gembira anak-anak yang menunggang komidi putar, teriakan dan sorakan para pemenang di stand-stand, musik yang melengking dari selusin speaker aneka ragam, semuanya memainkan lagu yang berbeda, celoteh tanpa putus dari para penjaja sirkus, yang membujuk orang-orang agar berpisah dari uang mereka untuk melihat penyu terbesar di dunia atau untuk memenangkan hadiah lain, dan, di atas itu semua, gelora gairah orang banyak itu. Orang-orang melimpah begitu kental, sehingga tak mungkin mengaduknya dengan tongkat sekalipun, demikian Gran suka berkata. Kerumunan orang berdesakan di sekitar stand-stand, menonton dan bersorak. Antrean-antrean panjang terbentuk di seputar segala macam komidi putar Rombongan-rombongan orang Meksiko hilir-mudik perlahan-lahan, menatap segalanya dengan takjub, tapi kebanyakan tak mau membelanjakan uang mereka. Belum pernah aku melihat begitu banyak orang berkumpul di satu tempat.
Aku menemukan orangtuaku di dekat jalan raya. minum limun dan menyaksikan pemandangan itu dari jarak yang aman. Pappy dan Gran sudah berada di truk, siap berangkat tapi bersedia menunggu. Pasar malam itu hanya datang sekali setahun.
"Berapa uangmu yang tersisa"" ayahku bertanya
"Kurang-lebih satu dolar," kataku.
"Kincir itu kelihatannya tidak begitu aman, Luke," ibuku berkata.
"Aku naik dua kali. Tidak apa-apa."
"Kau akan kuberi satu dolar lagi, kalau kau janji tidak akan naik lagi."
"Janji." Ia menyodorkan selembar satu dolar pad
aku. Kami setuju bahwa aku akan kembali sekitar satu jam lagi. Aku menemui Dewayne lagi, dan kami memutuskan sudah tiba saatnya memeriksa pertunjukan wanita itu. Kami menyelinap-nyelinap di antara orang banyak di sepanjang jalan, dan mengendurkan langkah di dekat trailer-trailer gipsi itu. Di belakang sana keadaan jauh lebih gelap. Di depan tenda ada beberapa laki-laki sedang merokok, dan di pintunya ada seorang wanita muda dengan kostum minim sedang melenggak-lenggokkan pinggul dan menari dengan gerakan nakal.
Sebagai umat Baptis, kami tahu bahwa segala tarian bukan hanya mengandung keburukan, tapi benar-benar dosa. lemparnya dalam daftar dosa berada setara dengan minum minuman keras dan menghujat
Penari itu tidak begitu menarik dibandingkan dengan Delilah, tidak menampilkan lebih banyak dan tidak bergerak lebih anggun. Jelas. Delilah sudah punya pengalaman bertahun-tahun dan sudah berkelana ke seluruh penjuru dunia.
Kami menyelinap di kegelapan, maju perlahan-lahan hingga suatu suara asing, entah dari mana. berkata, "Itu sudah cukup jauh. Kalian anak-anak menyingkirlah dari sini." Kami tertegun diam dan menoleh ke belakang, dan pada saat itulah kami mendengar suara yang sudah kami kenal di belakang kami, "Bertobatlah, kalian para pendosa! Bertobatlah!"
Itu ternyata Pendeta Akers, berdiri tinggi dengan Kitab Suci di satu tangan, dan satu jari bengkok, panjang, menuding dari tangan yang lain.
"Kalian kawanan ular beludak!" ia berteriak sekuat paru-parunya.
Aku tidak tahu apakah wanita muda itu berhenti menari atau apakah para laki-laki itu menyingkir tercerai-berai. Aku tidak mau ambil risiko untuk melihat Aku dan Dewayne menjatuhkan diri bertiarap di tanah dan merayap seperti binatang buruan di antara labirin trailer dan truk itu, hingga kami melihat cahaya di antara dua stand. Kami berdiri dan lenyap di tengah orang banyak.
"Apa menurutmu dia melihat kita"" Dewayne bertanya ketika kami sudah aman.
"Entahlah. Aku sangsi."
Kami mengitar dan bergentayangan kembali ke satu tempat aman di dekat trailer-trailer gipsi itu. Pendeta Akers berpakaian rapi. Ia sudah bergerak maju hanya tiga puluh kaki dari tenda, dan mengusir iblis dengan sekeras suara. Dan ia mulai berhasil. Penari itu sudah menghilang, demikian pula para laki-laki yang berkeliaran di sana sambil merokok. Ia telah membunuh pertunjukan itu, meskipun aku curiga bahwa mereka semua ada di dalam, meringkuk bersembunyi dan menunggunya menyingkir.
Tapi Delilah sudah kembali, memakai kostum lain lagi. Pakaian itu terbuat dari kulit macan tutul dan hanya menutup bagian-bagian terpenting saja, dan aku tahu bahwa Pendeta Akers pasti akan mengatakan sesuatu tentang itu besok pagi. ia suka pasar malam, sebab pasar malam itu memberinya begitu banyak bahan untuk dibicarakan di atas mimbar.
Di sekitar ring gulat sudah ada kerumunan orang banyak, ternganga memelototi Delilah dan menunggu Samson. Sekali lagi Delilah memperkenalkannya dengan kalimat-kalimat yang sudah pernah kami dengar. Samson akhirnya melompat ke dalam ring, dan ia pun memakai kulit macan tutul. Celana pendek ketat, tanpa kemeja, sepatu lars kulit hitam mengilat. Ia berjalan hilir-mudik, berpose dan mencoba memancing kami untuk meneriakinya.
Yang pertama merayap ke dalam ring adalah temanku Jackie Moon, dan seperti kebanyakan korban, ia mengambil strategi untuk tenis berkelit. Ia menghindar kian kemari dengan efektif selama dua puluh detik, sampai Samson merasa sudah saatnya menyudahinya. Kuncian "Guillotine", lalu "Turkish Roll-Down", demikian Delilah menjelaskan, dan Jackie pun sudah berada di atas rumput, tak jauh dari tempatku berdiri. Ia tertawa. "Lumayan tadi itu."
Samson tidak akan melukai siapa pun; itu akan merugikan pertunjukannya. Tapi makin lama ia makin pongah dan terus berseru-seru pada kami. "Apakah ada laki-laki di antara kalian"" Aksennya terdengar eksotis; suaranya dalam dan menakutkan. "Apa tidak ada ksatria di Black Oak. Arkansas""
Aku berangan-angan seandainya tinggiku tujuh kaki, aku akan melompat ke sana dan menyerang Samson sementara orang banyak bersorak sorai. Aku akan m
embuatnya tak berdaya, melemparkannya terbang, dan menjadi pahlawan terbesar di Black Oak. Tapi, untuk sementara ini, aku hanya bisa berteriak mengejeknya.
Hank Spruill muncul. Ia berjalan di sepanjang tepi ring di antara pertarungan, dan berhenti cukup lama untuk mendapatkan perhatian Samson. Orang banyak terdiam ketika dua orang ini saling beradu pandang. Samson berjalan ke pinggir ring dan berkata, "Ayo naiklah, bocah kecil."
Hank tentu saja hanya mencemooh. Kemudian ia berjalan menghampiri Delilah dan mengambil uang dari sakunya.
"O la la, Samson," Delilah berkata sambil mengambil tiang itu. "Dua puluh lima dolar!"
Setiap orang sepertinya menggumamkan sesuatu dengan perasaan tak percaya "Dua puluh lima dolar!" kata seorang laki-laki dari belakang. "Itu upah seminggu kerja."
"Yeah, tapi dia mungkin bisa memenangkan dua ratus lima puluh," kata seorang laki-laki lain.
Ketika orang banyak itu saling merapat berdesakan, aku dan Dewayne bergeser ke depan, sehingga kami bisa menonton di antara orang-orang dewasa
"Siapa namamu"" Delilah bertanya, sambil menyorongkan mikrofon.
"Hank Spruill," ia menggeram. "Kau masih membayar sepuluh banding satu""
"Begitulah perjanjiannya, bocah besar. Apa kau yakin hendak mempertaruhkan dua puluh lima dolar""
"Yep. Dan yang harus kulakukan hanyalah tetap bertahan di dalam ring selama satu menit""
"Ya. enam puluh detik. Kau tahu Samson belum pernah kalah dalam pertarungan lima tahun ini. Terakhir kali dia kalah adalah di Rusia, dan mereka mencuranginya."
"Siapa peduli dengan Rusia," Hank berkata sambil menanggalkan kemeja. "Ada aturan lain""
"Tidak." Delilah menoleh kepada orang banyak, dan dengan penuh drama ia berseru, "Saudara-saudara. Samson yang tak terkalahkan ditantang dalam pertarungan terbesarnya. Mr. Hank Spruill mempertaruhkan dua puluh lima dolar dengan imbalan sepuluh kali lipat bila memenangkan pertarungan. Belum pernah terjadi dalam sejarah ada yang mengajukan tantangan sebesar itu."
Samson sedang mondar-mandir dan bergaya di ring. mengguncang-guncang rambut dan menunggu pertarungan itu dengan penuh harap.
"Coba aku lihat uangnya," Hank menggeram pada Delilah.
"Ini," kata Delilah, menggunakan mikrofon. "Tidak, aku mau lihat dua ratus lima puluh dolar itu."
"Tapi kita tidak akan memerlukannya," sahut Delilah sambil tertawa agak cemas. Tapi ia menurunkan mikrofon, dan mereka melakukan tawar-menawar mengenai detail-detailnya. Bo dan Dale muncul dari antara orang banyak, dan Hank .menyuruh mereka berdiri di samping meja kecil tempat Delilah menyimpan uang. Setelah yakin uang itu sudah ada di tempatnya, ia melangkah ke dalam ring, di mana Samson berdiri dengan lengannya yang kekar terlipat di depan dada.
"Bukankah dia yang membunuh pemuda Sisco itu"" seseorang bertanya dari belakang kami.
"Benar dia," datang jawabannya.
"Dia hampir sebesar Samson."
Hank beberapa inci lebih pendek, dan dadanya tidak setebal dada Samson, tapi Hank sepertinya tidak menyadari adanya bahaya. Samson mulai menari-nari di salah satu sisi ring, sementara Hank mengawasinya dan meregangkan kedua lengannya.
"Kalian siap"" Delilah berseru ke mikrofon, dan orang banyak mendesak maju. Ia memukul bel. Dua petarung itu saling menatap tajam. Namun Hank tetap tinggal di sudutnya. Jam itu berada di sebelahnya. Sesudah beberapa menit, Samson, yang sepertinya tahu bahwa ia menghadapi lawan yang setanding dengannya, beringsut maju, menari-nari dan merunduk naik-turun seperti layaknya seorang pegulat sejati. Hank diam tak bergerak.
"Ayo keluar sini, boy!" Samson menantang dengan suara menggelegar dari jarak lima kaki, tapi Hank tetap berada di sudutnya.
"Empat puluh lima detik," Delilah berkata.
Kekeliruan Samson adalah menganggap ini sebagai pertandingan gulat, bukan pertarungan jalanan Ia maju sambil merunduk rendah, dalam upaya memakai salah satu teknik kuneian atau tangkapannya, dan dalam sepersekian detik ia membiarkan wajahnya terbuka. Hank meluncurkan pukulan bagai patukan ular. Tangan kanannya melesat ke depan dengan pukulan yang nyaris terlalu cepat untuk dilihat, dan pukulan itu mendarat
telak pada rahang Samson yang perkasa.
Kepala Samson tersentak keras ke belakang, rambutnya yang indah menyebar ke segala penjuru. Benturan itu menimbulkan suara berderak. Stan Musial tak mungkin memukul bola bisbol lebih keras dari itu.
Mata Samson terputar ke belakang di dalam kepalanya yang besar. Karena ukurannya, tubuh Samson butuh waktu satu detik untuk menyadari bahwa kepalanya telah tak berdaya. Satu kakinya goyah dan lututnya tertekuk. Kemudian kaki satunya lagi lemas, dan Pegulat Terakbar di Dunia, Asli dari Mesir, itu ambruk telentang dengan suara berdebam. Ring kecil itu bergetar dan tambang-tambangnya bergoyang. Samson kelihatan seperti sudah mati.
Hank bersantai di sudutnya dengan menopangkan kedua lengannya di atas tambang. Ia tidak terburu-buru. Delilah yang malang tak dapat bersuara. Ia mencoba mengucapkan sesuatu untuk meyakinkan kami bahwa ini hanyalah bagian dari pertunjukan.
tapi pada saat yang sama ia ingin melompat ke dalam ring dan merawat Samson. Orang banyak itu tertegun.
Di tengah ring, Samson mulai mengerang dan mencoba bangkit berdiri, ia berhasil merangkak, dan bergoyang-goyang beberapa kali sebelum ia mampu menarik satu kaki maju ke depan. Dengan entakan kuat ia mencoba berdiri, tapi kakinya tak mau menurut ia terhuyung ke arah tambang dan berhasil menangkapnya untuk menahan tubuh agar tidak terjatuh. Ia memandang lurus ke arah kami, tapi laki-laki malang itu tidak melihat apa pun. Matanya merah dan liar, dan ia sepertinya tidak tahu sedang berada di mana. Ia bertahan di tambang, terhuyung-huyung, mencoba menyadarkan diri, sambil mencari-cari keseimbangan pijakan.
Mr. Horsefly Walker lari mendekati ring dan berteriak pada Hank. "Bunuh bajingan itu! Ayo, habisi dia!"
Tapi Hank tidak bergerak. Sebaliknya, ia hanya berseru. "Waktu!" tapi Delilah sudah lupa melihat jam.
Terdengar satu-dua sorakan dan cemooh dari orang banyak, tapi kebanyakan berdiam diri. Penonton terkejut menyaksikan Samson terjungkal, tak sadarkan diri.
Samson berbalik dan mencoba memusatkan pandangan mata pada Hank. Sambil memegangi tambang sebagai topangan, ia terhuyung satu-dua langkah, kemudian sekali lagi menerjang dengan putus asa. Hank hanya berkelit menyingkir, dan Samson mendarat keras pada tiang di sudut. Tambang-tambang itu menegang menyangga berat badannya, dan tiga tiang lainnya seperti akan copot. Samson mengerang dan memukul serabutan seperti seekor beruang yang baru saja tertembak, ia menggeser kaki dan menegakkan badan, cukup untuk berbalik. Ia seharusnya tetap tinggal di atas matras. Hank menerjang masuk dan melontarkan tinju kanan, suatu pukulan yang dimulai di tengah ring dan mendarat tepat di bekas pukulan pertama. Karena sasarannya sama sekali tak berdaya, ia mengambil ancang-ancang dan mendaratkan pukulan ketiga dan terakhir. Samson terjungkal jatuh. Delilah menjerit, dan dengan panik naik ke dalam ring. Hank bersantai di sudutnya, lengannya direntangkan bertopang tambang, tersenyum menyeringai, sama sekali tak peduli dengan nasib lawannya.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, dan kebanyakan penonton pun diam tak bersuara. Di satu pihak, senang rasanya melihat seorang pemuda Arkansas menghabisi raksasa Mesir itu. Tapi, di lain pihak, orang itu adalah Hank Spruill, dan ia memakai tinjunya. Kemenangannya bernoda, meskipun ia tak peduli dengan hal itu. Kami semua tentu akan merasa lebih lega seandainya ada pemuda setempat yang bertarung melawan Samson secara jantan.
Ketika Hank yakin bahwa waktunya sudah lewat, ia melangkahi tambang dan melompat ke tanah. Bo dan Dale sudah membawa uang itu, dan mereka bertiga menghilang.
"Dia membunuh Samson," seseorang di belakangku berkata. Pegulat Terbesar di Dunia itu tergeletak telentang, lengan dan kakinya terpentang lebar, istrinya meringkuk di atasnya, mencoba menyadarkannya. Aku merasa kasihan pada mereka. Mereka penghibur yang penuh warna, sesuatu yang tidak akan kami saksikan lagi untuk waktu lama, atau tidak sama sekali. Bahkan aku sangsi Samson dan Delilah akan pernah kembali ke Black Oak, Arkansas.
Ketika Samson duduk, kami pun merasa le
ga. Beberapa orang yang berhati baik bertepuk tangan pelan untuknya, kemudian kerumunan itu mulai bubar.
Mengapa Hank tidak bergabung saja dengan pasar malam itu" Ia bisa mendapat bayaran untuk memukuli orang, dan itu akan membuatnya pergi dari pertanian kami. Aku memutuskan untuk menyebutkan hal itu pada Tally.
Samson yang malang, bekerja keras sepanjang hari di udara panas, dan dalam sedetik kehilangan seluruh upahnya hari itu. Sungguh cara yang berat untuk mencari nafkah. Aku akhirnya melihat pekerjaan yang lebih parah daripada memetik kapas.
Sembilan Belas DI musim semi dan musim dingin. Minggu siang kerap kali digunakan sebagai waktu berkunjung. Kami menyelesaikan makan siang dan tidur sebentar, lalu naik pickup dan pergi ke Lake City atau Paragould, dan mampir tanpa pemberitahuan lebih dulu ke rumah sanak keluarga atau sahabat-sahabat lama, yang selalu senang menerima kami. Atau mungkin mereka yang mampir ke rumah kami. "Kalian semua mampirlah ke rumah kami," merupakan kalimat yang lumrah, dan orang-orang menanggapinya secara harafiah. Tidak perlu membuat janji atau memberitahu lebih dulu, apalagi itu tidaklah mungkin. Kami tidak punya telepon, tidak pula sanak saudara atau teman-teman kami.
Akan tetapi pergi mengunjungi teman bukan merupakan prioritas di akhir musim panas dan musim gugur, sebab pekerjaan jadi lebih berat dan siang hari begitu panas. Untuk sementara itu, kami melupakan para bibi dan paman, tapi kami tahu bahwa kami akan membayarnya nanti.
Aku sedang duduk di teras depan, mendengarkan pertandingan The Cardinals sambil memandangi ibuku dan Gran mengupas kacang polong dan kacang kuning, ketika aku melihat debu berkepul-kepul mendatangi dari jembatan. "Ada mobil datang ke sini," kataku, dan mereka melihat ke arah itu.
Jarang ada kendaraan lewat di jalan kami. Kalau ada, maka itu hampir selalu salah satu anggota keluarga Jeter di seberang jalan, atau keluarga Tolliver di sebelah timur kami. Sekali-sekali memang ada mobil atau truk tak dikenal lewat, dan kami memandanginya tanpa sepatah kata pun, sampai debu turun, lalu kami akan membicarakannya selama makan malam dan berspekulasi siapakah orang itu dan apa yang mereka kerjakan di Craighead County. Pappy dan ayahku akan menyebutkannya di Co-op, dan ibuku serta Gran akan menceritakannya pada semua wanita sebelum sekolah Minggu dimulai, dan cepat atau lambat mereka akan menemukan orang lain yang juga melihat kendaraan tersebut. Biasanya misteri berhasil dipecahkan, tapi sekali-sekali ada seseorang yang lewat dan kami tidak pernah mendapat tahu dari mana kendaraan itu berasal.
Mobil ini bergerak lamban. Aku melihat setitik warna merah yang makin lama makin besar dan makin jelas, dan tak lama kemudian sebuah sedan dua pintu yang mengilat berbelok memasuki jalan depan rumah kami. Kami bertiga kini berdiri di teras, terlalu kaget untuk bergerak. Pengemudinya memarkir mobil itu di belakang pickup kami. Dari halaman depan, semua anggota Spruill melongo memandanginya juga.
Si pengemudi membuka pintunya dan keluar. Gran berkata, "Wah, ternyata Jimmy Dale."
"Benar," kata ibuku, kehilangan sebagian gairahnya.
"Luke, lari dan panggil Pappy serta ayahmu," Gran berkata. Aku berlari kencang menerobos rumah, sambil berteriak-teriak memanggil mereka, tapi mereka sudah mendengar pintu dibanting dan sedang mendatangi dari halaman belakang.
Kami semua bertemu di depan mobil yang masih baru dan bersih, dan tak disangsikan lagi merupakan mobil terindah yang pernah kulihat. Semua saling berpelukan, berjabat tangan, dan bertukar sapa, lalu Jimmy Dale memperkenalkan istri barunya, perempuan kurus yang kelihatan lebih muda daripada Tally. Namanya Stacy, ia dari Michigan, dan bila ia berbicara kata-katanya keluar dari hidung, ia memotong kata-katanya dengan cepat dan efisien, dan dalam beberapa detik ia membuatku merinding.
"Kenapa dia bicara seperti itu"" aku berbisik pada ibuku ketika rombongan itu beranjak ke teras.
"Dia seorang Yankee," begitulah penjelasannya se cara sederhana.
Ayah Jimmy Dale adalah Ernest Chandler, kakak Pappy. Ernest dulu bertani di
Leachville, sampai meninggal karena serangan jantung beberapa tahun yang lalu. Aku sendiri tidak ingat pada Ernest, atau Jimmy Dale, meskipun aku pernah mendengar banyak cerita tentang mereka. Aku tahu bahwa Jimmy Dale kabur meninggalkan pertanian itu dan bermigrasi ke Michigan, di mana ia mendapatkan pekerjaan di pabrik mobil Buick dengan penghasilan tiga dolar per jam, upah yang sangat mencengangkan menurut standar Black Oak. Ia pernah membantu pemuda-pemuda setempat mendapatkan pekerjaan di sana.
Dua tahun lalu, sesudah panen yang gagal, ayahku melewatkan musim dingin yang menyedihkan di Flint, memasang kaca depan pada mobil-mobil Buick baru. Ia membawa pulang seribu dolar dan menghabiskan seluruhnya untuk melunasi utang yang tersisa.
"Mobil yang bagus," ayahku berkata sewaktu mereka duduk di tangga depan. Gran ada di dapur, membuat es teh. Ibuku mendapat tugas yang tak menyenangkan untuk menemani Stacy bercakap-cakap. Stacy sama sekali tidak cocok berada di tempat itu, sejak ia melangkah keluar dari mobil.
"Seratus persen baru," Jimmy Dale berkata bangga. "Aku mendapatkannya minggu lalu, tepat pada waktunya untuk dibawa pulang. Aku dan Stacy menikah sebulan yang lalu, dan mobil itu adalah hadiah pernikahan kami."
"Stacy dan aku menikah, bukan aku don Stacy," kata istri baru itu, memotong ucapan Jimmy dari teras. Percakapan itu terhenti sejenak, sementara kami semua mencerna fakta bahwa Stacy baru saja membetulkan tata bahasa suaminya di depan orang lain. Aku belum pernah mendengar yang seperti ini seumur hidupku.
"Apakah ini model '52"" Pappy bertanya. "Bukan, ini model '53, keluaran paling baru. Aku membangunnya sendiri." "Benarkah""
"Ya. Buick memperkenankan kami memesan mobil sesuai keinginan kami sendiri, dan kami mengawasi pembuatannya saat dirakit. Aku sendiri yang memasang dasbornya."
"Berapa harganya"" aku bertanya; mendengar itu,
sepertinya ibuku ingin mendatangi dan mencekik leherku.
"Luke!" ia berteriak. Ayahku dan Pappy memandang tajam padaku, dan aku sudah hendak mengucapkan sesuatu ketika Jimmy Dale menjawab tanpa pikir panjang, "Dua ribu tujuh ratus dolar. Itu bukan rahasia. Setiap dealer di negeri ini tahu berapa harganya."
Sampai di situ, para anggota keluarga Spruill sudah mendatangi dan mengamati mobil tersebut - setiap Spruill kecuali Tally, yang tidak terlihat di mana pun. Saat itu Minggu siang dan, menurut pemikiranku, saat untuk mandi air dingin di Sungai Siler Aku tinggal di teras, menunggunya muncul.
Trot melangkah terseok-seok mengitari mobil itu. Bo dan Dale mengelilinginya juga. Hank mengintip ke dalam, mungkin mencari-cari kuncinya. Mr. dan Mrs. Spruill mengaguminya dari kejauhan.
Jimmy Dale mengamati mereka dengan cermat. "Orang-orang pegunungan""
"Yeah, mereka dari Eureka Springs."
"Orang-orang yang menyenangkan""
"Kebanyakan," Pappy berkata.
"Apa yang dikerjakan oleh si besar itu""
"Mana kita tahu."
Pagi itu, di gereja, kami mendengar bahwa Samson akhirnya berhasil bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan ring. Berarti Hank tidak menambah korban lain dalam daftarnya. Pendeta Akers sudah satu jam berkhotbah tentang betapa berdosanya pasar malam itu taruhan, perkelahian, percabulan, kostum vulgar, bergaul dengan para gipsi, segala macam kekotoran.
Aku dan Dewayne mendengarkan setiap patah kata, tapi nama kami tidak pernah disebut-sebut.
"Kenapa mereka hidup seperti itu"" Stacy bertanya, sambil memandang ke Kamp Spruill. Kata-katanya yang tajam mengiris udara.
"Di mana lagi mereka harus tinggal"" Pappy bertanya. Ia pun sudah mengambil keputusan bahwa ia tidak menyukai Nyonya Jimmy Dale Chandler yang baru itu. Stacy duduk bertengger seperti burung kecil di tepi kursi goyang, memandang rendah segala sesuatu di sekitarnya.
"Tidak bisakah kalian menyediakan rumah untuk mereka"" ia bertanya.
Aku bisa tahu bahwa Pappy mulai kesal.
"Omong-omong, Buick bersedia membiayai kami untuk membeli mobil itu selama dua puluh empat bulan," Jimmy Dale berkata.
"Benarkah"" kata ayahku, sambil masih menatapnya. "Rasanya ini mobil paling bagus yang pernah kulihat."
Gran membawa nampan ke teras dan menyajikan gelas-gelas tinggi berisi es teh manis. Stacy menolak. "Teh dengan es," katanya. "Tidak untukku. Apa kalian punya teh panas""
Teh panas" Siapa yang pernah dengar ketololan seperti itu"
"Tidak, kami tidak minum teh panas di sini." Pappy berkata dari ayunannya, sambil berapi-api memandang Stacy.
"Well, di Michigan kami tidak minum teh dengan es," kata Stacy.
"Ini bukan Michigan," balas Pappy.
"Apa kau mau melihat-lihat kebunku"" ibuku tiba-tiba berkata.
"Yeah, itu gagasan bagus," Jimmy Dale menanggapi. "Pergilah, Sayang, Kathleen punya kebun paling bagus di Arkansas."
"Aku akan ikut dengan kalian," Gran berkata dalam upaya untuk menyingkirkan perempuan itu dari teras, dan dari perdebatan. Begitu tiga wanita itu menghilang, Pappy langsung berkata, "Dari mana kau mendapatkan dia, Jimmy Dale""
"Dia wanita yang baik, Paman Eli," Jimmy menjawab, tidak terlalu yakin.
"Dia seorang Yankee."
"Yankee sebenarnya tidak terlalu buruk. Mereka cukup pintar untuk menghindari kapas. Mereka tinggal di rumah-rumah bagus, dengan jaringan pipa di dalam, telepon, dan televisi. Mereka punya penghasilan besar, dan mereka membangun sekolah-sekolah yang baik. Stacy pernah dua tahun belajar di college. Keluarganya sudah tiga tahun punya televisi. Baru minggu lalu aku menyaksikan pertandingan The Indians dan Tigers. Bisakah kau percaya, Luke" Menonton pertandingan bisbol di televisi."
"Tidak, Sir." "Well, aku percaya. Bob Lemon menjadi pitcher untuk The Indians. The Tigers tidak terlalu hebat; mereka menduduki tempat terakhir lagi."
"Aku tidak begitu tertarik dengan Liga Amerika," kataku, mengulangi ucapan yang kudengar dari ayah dan kakekku sejak hari pertama aku mulai bisa mengingat.
"Sungguh suatu kejutan." Jimmy Dale berkata sam bil tertawa "Bicaramu seperti penggemar sejati The Cardinals. Aku pun dulu begitu, sampai aku pindah ke Utara. Tahun ini aku sudah menyaksikan sebelas pertandingan di Tiger Stadium, dan Liga Amerika makin lama makin menarik. Kelompok Yankee ada di sana dua minggu yang lalu; semua tempat duduk terjual habis. Mereka punya pemain baru. Mantle. Mickey Mantle, pemain paling hebat yang pernah kusaksikan. Tenaganya bagus, kecepatannya hebat, banyak melakukan strike out, tapi bila dia memukul, bola itu akan hilang. Dia akan jadi pemain besar. Dan mereka punya Berra dan Rizzuto."
"Aku tetap tidak suka mereka," kataku, dan Jimmy Dale tertawa lagi.
"Kau masih ingin main untuk The Cardinals"" ia bertanya.
"Ya, Sir." "Kau tidak hendak bertani"" "Tidak, Sir." "Bocah pintar."
Aku pernah dengar orang-orang dewasa itu bicara tentang Jimmy Dale, ia agak congkak karena berhasil meninggalkan ladang kapas dan hidup lebih makmur di Utara sana. ia suka bicara tentang uangnya. Ia telah menemukan kehidupan yang lebih baik, dan cepat mengumbar nasihat untuk pemuda-pemuda petani di seluruh county ini.
Pappy berpendapat bahwa bertani adalah satu-satunya cara terhormat bagi seorang laki-laki untuk bekerja, mungkin dengan satu perkecualian, yaitu jadi pemain bisbol profesional.
Kami meneguk teh beberapa lama. lalu Jimmy Dale berkata, "Jadi, bagaimana kapasnya""
"Sejauh ini cukup bagus." kata Pappy. "Sebentar lagi kami akan menyelesaikan petikan pertama."
"Lalu kami akan bekerja lagi," ayahku menambahkan "Mungkin akan selesai sekitar satu bulan lagi."
Tally muncul dari dalam Kamp Spruill, sambil memegangi handuk dan kain entah apa. Ia memutar jauh mengelilingi mobil merah itu, di mana keluarganya masih berdiri terpesona; mereka tidak memperhatikannya. Ia memandangku dari kejauhan, tapi tidak membuat tanda apa pun. Aku tiba-tiba merasa bosan dengan omongan tentang bisbol, kapas, mobil, dan segala macam itu, tapi aku tidak bisa begitu saja pergi. Tidak sopan meninggalkan tamu dengan cara seperti itu, dan ayahku akan curiga. Jadi, aku duduk saja di sana dan melihat Tally menghilang melewati rumah.
"Bagaimana dengan Luther"" tanya ayahku.
"Baik-baik saja," kata Jimmy Dale. "Aku membantunya mendapatkan pekerjaan di pabrik. Penghasilannya tiga dolar per jam. lima puluh jam seminggu. Belum pernah Luth
er melihat uang sebanyak itu."
Luther adalah sepupu lain, seorang sanak jauh dari marga Chandler. Aku pernah bertemu dengannya satu kali, di suatu pemakaman.
"Jadi, dia tidak akan pulang"" tanya Pappy.
"Kurasa begitu."
"Apa dia akan menikah dengan perempuan Yankee""
"Aku tidak pernah menanyakan. Kurasa dia akan berbuat apa pun yang diinginkannya."
Mereka terdiam, dan ketegangan sepertinya reda sesaat. Lalu Jimmy Dale berkata, "Kau tidak bisa menyalahkannya kalau dia memutuskan tinggal di sana. Maksudku, aduh, mereka kehilangan tanah pertanian mereka. Dia memetik kapas di sini untuk orang lain, mendapatkan seribu dolar setahun, tidak punya sepeser pun tersisa. Sekarang penghasilannya enam ribu setahun, ditambah bonus dan pensiun."
"Apa dia bergabung dalam serikat buruh"" ayahku bertanya.
"Tentu saja. Semua pemuda dari sini kuajak bergabung."
"Apa arti serikat"" aku bertanya.
"Luke, pergilah melihat ibumu," Pappy berkata. "Ayo."
Lagi-lagi aku diusir, padahal aku cuma mengajukan pertanyaan biasa. Aku meninggalkan teras, lalu berlari ke belakang rumah sambil berharap bertemu dengan Tally. Tapi ia sudah pergi, pasti ke sungai kecil itu. untuk mandi tanpa penjaganya yang setia.
Gran berdiri di gerbang kebun, bersandar pada pagar, mengamati ibuku dan Stacy berjalan dari satu tanaman ke tanaman lain. Aku berdiri di sebelahnya, dan ia mengacak-acak rambutku. "Pappy bilang dia Yankee," kataku pelan.
"Jangan mengumpat"
"Aku tidak mengumpat Aku cuma mengulangi."
"Mereka orang-orang baik, cuma beda dari kita." Pikiran Gran berada di tempat lain. Sering kali di musim panas itu ia berbicara padaku tanpa melihatku. Matanya yang letih diarahkan ke tempat lain, sementara pikirannya meninggalkan tanah pertanian kami.
"Mengapa dia bicara seperti itu"" tanyaku. "Dia mungkin berpendapat bahwa cara kita juga aneh." "Benarkah"" "Tentu saja."
Aku tidak bisa memahami ini.
Seekor ular hijau yang panjangnya kurang dari tiga puluh senti menyembulkan kepala dari petak mentimun, lalu meluncur cepat di jalan setapak, ke arah ibuku dan Stacy. Mereka melihatnya pada saat yang hampir bersamaan. Ibuku menunjuk dan berkata dengan tenang, "Ada ular hijau kecil."
Stacy bereaksi dengan cara berbeda. Mulutnya ternganga, tapi ia terlalu ketakutan, sehingga butuh satu-dua detik sebelum bisa mengeluarkan suara. Kemudian ia melepaskan jeritan yang mungkin bisa didengar sampai ke tempat keluarga Latcher, pekik melengking yang lebih menakutkan daripada ular paling mematikan.
"Ular!" ia menjerit lagi sambil melompat ke belakang ibuku. "Jimmy Dale! Jimmy Dale!"
Ular itu berhenti tak bergerak di jalan setapak, dan kelihatan seperti mendongak memandangnya. Itu cuma ular hijau kecil yang tidak berbahaya. Bagaimana orang bisa ketakutan" Aku berlari ke dalam kebun dan mengambilnya; pikirku dengan begitu aku akan membantu memperbaiki keadaan. Tapi melihat seorang bocah kecil memegangi mahluk mematikan itu membuat Stacy lebih tidak tahan lagi. Ia pingsan dan jatuh menimpa kacang polong, sementara para laki-laki berlarian mendatangi dari teras depan
Jimmy Dale mengangkatnya, sementara kami mencoba menjelaskan apa yang terjadi. Ular malang itu lemas; kukira ia ikut pingsan juga. Pappy tak mampu menahan senyum ketika kami mengikuti Jimmy Dale dan istrinya ke teras belakang, di mana Jimmy membaringkannya di atas bangku panjang, sementara Gran pergi mengambil obat-obatan.
Stacy akhirnya sadar, wajahnya pucat pasi, kulitnya lembap. Gran berdiri di dekatnya dengan kain basah dan garam amoniak.
"Apa di Michigan tidak ada ular"" aku berbisik pada ayahku.
"Kukira tidak."
"Itu cuma ular hijau kecil," kataku. "Untung dia tidak melihat ular tikus. Bisa mati dia."
Ibuku menjerang air dan menuangkannya ke dalam sebuah cangkir, dengan teh celup. Stacy duduk dan meneguknya, dan untuk pertama kali dalam sejarah, teh panas dikonsumsi di pertanian kami. Ia ingin ditinggalkan sendiri, maka kami kembali ke teras depan, sementara ia beristirahat.
Tak lama kemudian, para pria menghampiri Buick itu. Kap mesinnya dibuka, dan mereka melongokkan kepala di sekitar mesin. Ketik
a tak ada yang memperhatikanku, aku menyingkir dari teras dan pergi ke belakang rumah, mencari-cari Tally. Aku bersembunyi di samping silo, tempat favorit di mana aku tidak bisa terlihat. Aku mendengar mesin dihidupkan, bunyi halus yang penuh tenaga, dan aku tahu itu bukan truk tua kami. Mereka akan pergi naik mobil, dan kudengar ayahku memanggil-manggil namaku. Tapi ketika aku tidak menjawab, mereka pun pergi.
Aku berhenti berharap menemukan Tally, dan berjalan kembali ke rumah. Stacy sedang duduk di kursi kecil di bawah pohon, memandang sedih ke ladang kami, lengannya dilipat, seolah-olah ia sangat tidak senang. Buick itu sudah pergi.
"Kau tidak ikut pergi naik mobil"" ia bertanya padaku.
"Tidak, Ma'am."
"Kenapa tidak""
"Tidak saja." "Pernahkah kau naik mobil"" Nada suaranya mencemooh, maka aku mulai berbohong. "Tidak, Ma'am." "Berapa umurmu"" "Tujuh."
"Kau sudah tujuh tahun, dan kau belum pernah naik mobil""
"Belum, Ma'am." "Pernah lihat televisi"" "Tidak, Ma'am." "Pernah pakai telepon"" "Tidak, Ma'am."
"Sungguh mencengangkan." Ia menggelengkan kepala dengan muak. dan aku menyesal, kenapa aku tidak tetap tinggal di sebelah sih. "Apa kau sekolah""
"Ya, Ma'am." "Syukurlah. Kau bisa membaca""
"Ya, Ma'am. Aku bisa menulis juga."
"Apa kau akan menyelesaikan sekolah menengah""
"Tentu saja." "Ayahmu"" "Ya" "Dan kakekmu"" "Tidak, Ma'am."
"Sudah kuduga. Apa di sini ada yang pernah belajar di college"" "Belum ada." "Apa maksudmu""
"Ibuku bilang aku akan masuk college."
"Kau akan jadi petani kapas miskin, seperti ayah dan kakekmu."
"Kau tidak tahu itu," kataku. Ia menggelengkan kepala dengan sangat kesal.
"Aku pernah dua tahun belajar di college," katanya bangga.
Itu tidak membuatmu jadi lebih pintar, aku ingin berkata. Kami terdiam beberapa lama. Aku ingin pergi, tapi tidak tahu pasti bagaimana melepaskan diri dari percakapan itu. Ia duduk bertengger di kursi, menatap kejauhan, mengumpulkan lebih banyak racun.
"Aku sungguh tidak bisa percaya, betapa terbelakangnya orang-orang di sini," katanya.
Aku memandangi kaki. Dengan Hank Spruill sebagai perkecualian, belum pernah aku bertemu seseorang yang begitu tidak kusukai seperti Stacy. Apa yang akan dilakukan Ricky dalam keadaan seperti itu" Ia mungkin akan mengata-ngatai Stacy, dan karena aku tidak bisa melakukan itu tanpa dihukum, maka aku memutuskan untuk pergi.
Buick itu kembali, dengan ayahku di belakang kemudi. Ia memarkirnya, dan semua orang dewasa itu keluar Jimmy Dale berseru memanggil keluarga Spruill. Ia mengangkut Bo. Dale, Trot di jok belakang, Hank di depan, dan pergilah mereka, terbang di jalan batu kami, menuju sungai.
Hari sudah menjelang sore ketika Jimmy Dale menyebut-nyebut akan pulang. Kami sudah berharap mereka pulang, dan aku sudah khawatir mereka akan tinggal sampai saat makan malam. Aku tak bisa membayangkan diriku duduk di meja makan, berusaha menelan makanan sementara Stacy mengomentari makanan dan kebiasaan kami. Sejauh ini ia benci segala sesuatu tentang kehidupan kami, jadi kemungkinan besar saat makan malam pun ia akan bersikap sama.
Kami bergerak lambat-lambat ke Buick itu; acara perpisahan kami berlangsung sangat lama, seperti biasanya.
Tak seorang pun bergegas bila tiba saat untuk pergi. Salah seorang akan mengatakan bahwa hari sudah sore, lalu ucapan itu diulangi lagi, kemudian seseorang mengambil langkah pertama menuju mobil atau truk di tengah gelombang pertama ucapan selamat berpisah. Berjabat tangan, berpelukan, bertukar janji. Semua bergerak maju sampai tiba di kendaraan, dan pada saat itu seluruh iring-iringan berhenti ketika salah satu di antara mereka teringat satu cerita pendek lain. Pelukan lagi, diiringi janji untuk datang kembali. Sesudah usaha susah payah, orang-orang yang akan pulang itu masuk ke dalam kendaraan, kemudian para pengantar menjulurkan kepala ke dalam kendaraan untuk satu ronde salam perpisahan lagi. Mungkin satu cerita pendek lagi. Sesudah beberapa protes, akhirnya mesin dihidupkan, dan mobil atau truk itu mundur perlahan-lahan, semua orang masih saling melambaikan tangan.
Ketika rumah i tu hilang dari pandangan, seseorang selain si pengemudi akan berkata, "Untuk apa tergesa-gesa""
Dan seseorang di halaman rumah, sambil masih melambaikan tangan, akan berkata, "Mengapa mereka harus terburu-buru pergi""
Ketika kami sampai ke mobil. Stacy membisikkan sesuatu pada Jimmy Dale. Ia kemudian berpaling kepada ibuku dan berkata lirih. "Dia perlu ke kamar mandi."
Ibuku tampak khawatir Kami tidak punya kamar mandi. Kami buang air di kakus, sebuah kloset kayu ditempatkan di atas lubang dalam, tersembunyi di belakang gudang perkakas, di tengah-tengah antara teras belakang dan gudang.
"Ikutlah denganku," ibuku berkata kepadanya, dan mereka berlalu. Jimmy Dale tiba-tiba teringat satu cerita lain, tentang pemuda setempat yang pergi ke Flint dan ditahan karena mabuk di luar sebuah bar. Aku menyelinap pergi dan berjalan melalui rumah. Kemudian aku menyelinap dari teras belakang dan berlari di antara dua kandang ayam, ke tempat aku bisa melihat ibuku mengantar Stacy ke kakus. Stacy berhenti dan memandangi kakus itu, tampaknya sangat enggan untuk masuk. Namun ia tidak punya pilihan lain.
Ibuku meninggalkannya dan kembali ke halaman depan.
Aku bergerak cepat. Begitu ibuku sudah berada di luar jarak dengar, aku mengetuk pintu kakus. Aku mendengar jeritan pelan, lalu pertanyaan tak berdaya, "Siapa itu""
"Miss Stacy, ini aku, Luke."
"Aku ada di dalam sini!" ia berkata, ucapannya yang biasanya jelas kini terdengar tergesa-gesa dan tertahan dalam udara lembap mencekik di dalam kakus. Keadaan di sana gelap, satu-satunya cahaya berasal dari celah-celah sempit di antara papan.
"Jangan keluar sekarang!" kataku sambil berpura-pura panik.
"Apa"" "Ada ular hitam besar di luar sini!"
"Oh Tuhan!" ia terengah, ia mungkin akan pingsan lagi, tapi ia sudah duduk.
"Jangan bersuara!" kataku. "Kalau tidak, dia akan tahu kau ada di dalam sana."
"Ya Tuhan!" katanya, suaranya menggeletar. "Lakukanlah sesuatu!"
"Tidak bisa. Dia terlalu besar, dan dia suka menggigit"
"Dia mau apa"" Stacy berkata dengan nada memelas, seperti akan menangis.
"Tidak tahu. Ini ular WC, dia selalu tinggal di sini." "Panggilkan Jimmy Dale!"
"Oke, tapi jangan keluar. Dia tepat berada di samping pintu. Kurasa dia tahu kau ada di dalam sana."
"Oh Tuhan," kata Stacy, dan ia mulai menangis. Aku merunduk kembali di antara kandang ayam, lalu mengitari kebun di sisi timur rumah. Aku bergerak perlahan-lahan dan diam-diam sepanjang pagar hijau yang merupakan garis batas tanah, hingga sampai ke semak belukar di mana aku bisa bersembunyi dan mengamati halaman depan. Jimmy Dale bersandar pada mobilnya, menuturkan sebuah cerita, sambil menunggu istrinya menyelesaikan hajat.
Waktu terus berjalan. Orangtuaku, Pappy, dan Gran mendengarkan dan tertawa, sementara satu cerita berlanjut ke cerita lainnya. Sekali-sekali salah satu di antara mereka menoleh ke halaman belakang.
Ibuku akhirnya merasa khawatir dan meninggalkan kelompok itu untuk memeriksa Stacy. Satu menit kemudian terdengar kegaduhan, dan Jimmy Dale berlari ke arah kakus. Aku membenamkan diri lebih dalam di antara belukar.
Hari hampir gelap ketika aku memasuki rumah. Sejak tadi aku mengamati dari kejauhan, dari belakang sih* dan aku tahu ibuku serta Gran sedang menyiapkan makan malam. Aku sudah punya banyak masalah; terlambat makan hanya akan memperburuk keadaan.
Mereka semua sudah duduk, dan Pappy sudah hendak berdoa memberkati makanan ketika aku memasuki pintu dari teras belakang, dan diam-diam mengambil tempat duduk. Mereka memandangku, tapi aku memilih untuk memandangi piringku. Pappy memanjatkan doa pendek, dan makanan dibagikan. Sesudah suasana hening cukup lama untuk membangun ketegangan, ayahku berkata, "Dari mana saja kau, Luke""
"Ke sungai," kataku.
"Apa yang kaukerjakan di sana""
"Tidak ada. Cuma melihat-lihat "
Jawaban ini kedengaran cukup mencurigakan, tapi mereka membiarkannya. Ketika suasana hening kembali, Pappy, dengan pengaturan waktu yang tepat dan dengan nada nakal dalam suaranya, berkata. "Kau melihat ada ular WC di sungai""
Baru saja mengeluarkan kata-kata itu, ia langsung tertawa.
Aku melihat sekeliling meja. Gran mengatupkan rahang, seolah-olah ia bertekad untuk tidak tersenyum. Ibuku menutupi mulut dengan serbetnya, tapi matanya tak dapat mengingkari: ia ingin tertawa juga. Ayahku sedang mengulum sepotong besar makanan dalam mulutnya, dan ia mengunyahnya sambil menahan senyum.
Tapi Pappy bertekad untuk tertawa lepas. Ia terbahak-bahak di ujung meja, sementara yang lain berusaha keras untuk bersikap sungguh-sungguh. "Itu bagus, Luke!" ia berhasil berkata sambil mengambil napas. "Biar dia tahu rasa."
Aku akhirnya tertawa juga, tapi bukan menertawakan tindakanku sendiri. Melihat Pappy tertawa begitu keras, sementara tiga orang lainnya berusaha keras menahan senyum, tampak sangat menggelikan bagiku.
"Cukup, Eli," kata Gran. yang akhirnya menggerakkan juga rahangnya.
Aku menyuap sesendok kacang polong dan menatap piring. Suasana kembali hening, dan untuk beberapa lama kami makan tanpa berbicara.
Sesudah makan malam, ayahku membawaku ke gudang perkakas. Di pintunya ia menyimpan sebatang kayu hikori, yang ia potong sendiri dan dipelitur hingga mengilat. Batang itu disiapkan untukku.
Selama ini aku diajar untuk menerima hukuman seperti layaknya seorang laki-laki. Menangis adalah perbuatan terlarang, setidaknya menangis secara terbuka. Dalam saat-saat menyesakkan ini, Ricky selalu menjadi inspirasi bagiku. Aku pernah mendengar cerita-cerita horor tentang hajaran yang pernah diberikan Pappy padanya, dan menurut orangtuanya serta orangtuaku, tak pernah sekali pun ia meneteskan air mata. Ketika Ricky masih kanak-kanak, pukulan merupakan suatu tantangan.
"Yang kaulakukan terhadap Stacy itu jahat," ayahku memulai. "Dia tamu di pertanian kita, dan dia menikah dengan sepupumu." "Ya, Sir." "Kenapa kau melakukannya""
"Karena dia mengatakan kita tolol dan terbelakang." Sedikit melebih-lebihkan di sini tentu tak ada salahnya.
"Benarkah""
"Ya. Aku tidak suka padanya, begitu pula Dad dan yang lain-lainnya."
"Itu mungkin benar, tapi kau tetap harus menghormati orang yang lebih tua. Menurutmu, berapa pukulan yang layak untuk itu"" Perbuatan salah dan hukumannya selalu dibicarakan lebih dulu Ketika aku membungkukkan badan, aku tahu persis berapa pukulan yang akan kuterima.
"Satu," kataku. Begitulah penilaianku, seperti biasanya.
"Kukira dua," katanya. "Sekarang bagaimana dengan kata-kata tak pantas""
"Rasanya itu tidak terlalu buruk," kataku.
"Kau memakai kata-kata yang tidak sopan." "Ya, Sir."
"Berapa pukulan untuk itu"" "Satu."
"Bisakah kita sepakat dengan tiga. seluruhnya"" ia bertanya, ia tidak pernah memukulku saat sedang marah, jadi biasanya ada sedikit peluang untuk bernegosiasi. Tiga kedengarannya cukup adil. tapi aku selalu mencoba menawar. Apalagi akulah pihak yang menerima pukulan itu. Mengapa tidak menawar"
Rumah Bercat Putih A Painted House Karya John Grisham di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dua lebih adil," kataku.
"Tiga. Sekarang membungkuklah."
Aku menelan ludah, mengenakkan gigi, berbalik. membungkuk, dan memegangi pergelangan kaki. ia memukul pantatku tiga kali dengan tongkat kayu hikori itu. Rasanya sakit luar biasa, tapi ayahku tidak serius memukulku Aku pernah menerima yang jauh lebih berat dari itu.
"Sekarang pergilah tidur, sekarang juga," katanya, dan aku berlari ke rumah.
Dua Puluh KINI, setelah mendapatkan uang Samson sebanyak $250 di kantongnya, Hank jadi makin tidak antusias untuk memetik kapas. "Mana Hank"" Pappy bertanya pada Mr. Spruill ketika kami mengambil karung dan memulai pekerjaan di pagi hari Senin. "Tidur, barang kali," demikianlah jawabannya, dan tak ada komentar apa-apa lagi setelah itu.
Hank tiba di ladang menjelang siang. Aku tidak tahu kapan persisnya, sebab aku berada di ujung jauh sederet kapas, tapi tak lama kemudian aku mendengar suara ribut, dan tahulah aku bahwa keluarga Spruill sedang berperang lagi.
Sekitar satu jam sebelum makan siang, langit mulai gelap, dan angin bertiup pelan dari arah barat. Kemudian matahari menghilang, aku berhenti memetik dan mengamati awan. Seratus meter dari sana kulihat Pappy melakukan hal yang sama -tangan pada pinggang, topi jeraminya dimiringkan ke satu sisi, wajahnya berkerut memanda
ng ke atas. Angin bertiup makin kuat dan langit makin gelap, dan tak berapa lama kemudian hawa panas menghilang. Semua badai di tempat kami berasal dari Jonesboro, yang dikenal sebagai Tornado Alley atau Lorong Badai Tornado.
Yang pertama turun adalah es, butiran-butiran keras sebesar kacang polong, dan aku berlari ke traktor. Langit di sebelah barat daya berwarna biru kelam, nyaris hitam, dan awan bergantung rendah mencurahkan hujan. Para anggota keluarga Spruill bergerak cepat di lajur mereka, semua menuju trailer. Orang-orang Meksiko itu berlarian ke gudang.
Aku mulai berlari juga. Hujan es itu menyengat tengkukku dan melecutku untuk berlari lebih kencang lagi. Angin melolong di antara pepohonan sepanjang sungai, dan mendorong batang-batang kapas meliuk ke samping. Halilintar menggelegar di suatu tempat di belakangku, dan aku mendengar salah satu Spruill, mungkin Bo, menjerit.
"Kita tidak perlu dekat-dekat ke trailer," Pappy berkata ketika aku tiba. "Tidak dengan halilintar seperti ini."
"Lebih baik masuk ke rumah," kata ayahku.
Kami naik ke trailer, semua merayap tergesa-gesa, dan baru saja Pappy memutar traktor itu, hujan tercurah deras. Air hujan itu dingin dan tajam, dan jatuh menyerong diterpa angin kencang. Kami langsung basah kuyup; seandainya aku melompat ke dalam sungai, aku tidak mungkin lebih basah lagi daripada sekarang.
Keluarga Spruill berkumpul jadi satu, dengan Tally di tengah. Hanya beberapa meter dari sana, ayahku memelukku ke dadanya, seakan-akan angin itu akan merenggutkanku. Ibuku dan Gran sudah meninggalkan ladang tak lama sebelum badai datang.
Hujan menerpa kami dalam gelombang. Begitu lebat, sehingga aku nyaris tak bisa melihat deretan-deretan kapas beberapa meter di hadapanku. "Cepatlah, Pappy!" aku terus berkata. Badai itu begitu bergemuruh, sehingga aku tak bisa mendengar bunyi berisik mesin traktor. Halilintar menggelegar lagi. kali ini jauh lebih dekat, begitu dekat sehingga kupingku terasa pekak. Kupikir kami semua akan mati.
Rasanya berabad-abad untuk sampai ke rumah, tapi ketika kami tiba. hujan sekonyong-konyong berhenti. Langit jadi lebih gelap lagi, hitam di segala penjuru. "Puting beliung!" Mr. Spruill berkata keras ketika kami baru saja turun dari trailer. Di sebelah barat, jauh di seberang sungai dan tinggi di atas deretan pohon, segumpal awan berbentuk corong meliuk ke bawah. Warnanya kelabu muda, nyaris putih, dengan latar belakang langit hitam pekat, makin lama makin besar dan makin keras sewaktu bergeser perlahan-lahan ke tanah. Puting beliung itu ada beberapa mil di sebelah barat. dan karena jauhnya, ia tidak kelihatan terlalu berbahaya.
Tornado sudah lumrah di wilayah Arkansas tempat kami tinggal, dan sepanjang hidupku aku sudah mendengar berbagai kisah tentangnya. Beberapa dasawarsa yang lalu. ayah Gran katanya pernah selamat diterpa puting beliung yang berpusar dan melewati pertanian kecil yang sama itu lebih dari sekali. Tapi sepertinya itu cuma dongeng, dan Gran pun tidak terlalu yakin ketika menuturkannya. Puting beliung adalah bagian dari hidup, tapi aku belum pernah melihatnya sampai sekarang ini.
"Kathleen!" ayahku berseru ke arah rumah. Ia tak ingin ibuku melewatkan pemandangan hebat itu. Aku menoleh ke arah gudang, tempat orang-orang Meksiko itu berdiri tertegun dan terheran-heran seperti kami. Beberapa di antara mereka sedang menunjuk-nunjuk.
Kami menyaksikan awan berbentuk corong itu dengan terkagum-kagum bisu, tanpa takut atau ngeri, sebab ia begitu jauh dari pertanian kami dan akan pergi, ke utara dan timur. Ia bergerak perlahan-lahan, seolah-olah mencari tempat yang tepat untuk turun. Ekornya jelas terlihat di atas cakrawala, jauh di atas tanah, dan ia bergerak di udara, kadang menari-nari saat memutuskan ke mana dan kapan akan menghantam. Puting beliung itu berpusar rapat, berbentuk kerucut terbalik yang sempurna dalam pusaran spiral yang ganas.
Pintu kasa terbanting di belakang kami. Ibuku dan Gran ada di tangga, keduanya menyeka tangan dengan lap.
"Dia menuju -kota," Pappy berkata dengan sikap penuh wibawa, seolah-olah ia bisa meramalkan ke m
ana tornado itu akan menerjang.
"Kurasa begitu," ayahku menambahkan; tiba-tiba saja ia menjadi pakar peramal cuaca.
Fkor puting beliung itu turun lebih rendah dan berhenti bergeser. Tampaknya ia benar-benar mendarat di suatu tempat yang jauh, sebab kami tidak bisa lagi melihat ujungnya.
Gereja, pabrik pengolahan kapas, gedung bioskop, toko Pop dan Pearl aku menghitung-hitung kerusakan ketika tiba-tiba puting beliung itu mengangkat diri, dan sepertinya sama sekali menghilang.
Di belakang kami terdengar suara gemuruh lain.
Di seberang jalan, jauh di lahan Jeter, satu tornado lain mendatangi. Ia merayap ke arah kami sewaktu kami memandangi yang pertama. Ia hanya sekitar satu atau dua mil dari tempat kami, dan tampaknya langsung menuju rumah kami. Kami memandangnya dengan ngeri, selama satu-dua detik tak mampu bergerak.
"Ayo masuk ke gudang!" Pappy berteriak. Beberapa anggota keluarga Spruill sudah berlarian ke perkemahan mereka, seolah-olah mereka akan aman di dalam tenda.
"Ke sini!" Mr. Spruill berteriak dan menunjuk ke gudang, tiba-tiba saja setiap orang berteriak-teriak, menunjuk-nunjuk, dan berlarian hilir-mudik. Ayahku meraih tanganku, dan kami mulai berlari ke arah gudang. Tanah bergetar dan angin menjerit. Orang-orang Meksiko itu bertebaran ke segala penjuru; beberapa di antaranya merasa paling baik bersembunyi di ladang, yang lain menuju rumah kami, sampai mereka, melihat kami berlarian ke gudang. Hank terbang melewatiku sambil memanggul Trot. Tally pun berlari mendahului kami.
Sebelum kami sampai ke gudang, puting beliung itu meninggalkan tanah dan naik dengan tepat ke angkasa. Pappy berhenti dan menyaksikan, kemudian semua orang lainnya berbuat sama. Puting beliung itu berbelok sedikit ke timur pertanian kami dan bukannya melakukan serangan frontal, ia hanya meninggalkan pereikan air hujan berwarna cokelat kental dan bercak-bercak lumpur. Kami menyaksikannya naik ke udara, mencari tempat lain untuk turun, sama seperti yang pertama Selama beberapa menit kami terlalu kaget dan takut untuk berbicara banyak.
Aku mengamati awan di segala penjuru, bertekad untuk tidak terkecoh lagi. Aku bukan satu-satunya yang celingukan melihat sekeliling.
Kemudian hujan mulai turun kembali, dan kami pergi ke rumah.
Badai itu mengamuk selama dua jam, dan melemparkan hampir segala macam amunisi alam itu pada kami: angin topan dan hujan yang membutakan mata, puting beliung, butiran es, dan kilat yang begitu cepat dan begitu dekat, sampai kami kadang kala bersembunyi di kolong ranjang. Keluarga Spruill berlindung di ruang duduk kami, sementara kami meringkuk ciut di bagian lain rumah itu. Ibuku tinggal dekat denganku, ia sangat takut dengan badai, dan ini membuat seluruh cobaan itu terasa lebih berat lagi.
Aku tidak tahu pasti bagaimana kami akan. mati- terempas oleh angin, atau terkoyak oleh halilintar, atau tersapu oleh air- tapi jelas bagiku bahwa saat terakhir sudah tiba. Namun ayahku tidur sepanjang badai itu, dan sikapnya yang tak acuh itu merupakan penghiburan yang menenangkan. Ia pernah tinggal di lubang-lubang perlindungan dan ditembaki oleh tentara Jerman, maka tidak ada lagi yang bisa membuatnya takut. Kami bertiga berbaring di lantai kamar tidur mereka - ayahku mendengkur, ibuku berdoa, dan aku berada di tengah, mendengarkan segala bunyi badai itu. Aku membayangkan Nuh dan hujan lebat selama empat puluh hari, dan aku menunggu rumah kami yang kecil itu terangkat dan mulai mengapung.
Ketika hujan angin itu akhirnya reda. kami pergi ke luar untuk memeriksa kerusakan. Sungguh mencengangkan bahwa selain kapas yang basah, ternyata hanya terjadi sedikit kerusakan-cabang-cabang pohon berserakan, selokan-selokan tersapu banjir, dan beberapa tanaman tomat yang ambruk di kebun. Kapas itu akan kering besok pagi. dan kami akan kembali bekerja.
Saat makan siang, Pappy berkata. "Kukira sebaiknya aku pergi memeriksa pabrik pemisah biji kapas." Kami setengah mati ingin pergi ke kota. Bagaimana kalau puting beliung itu membuat kota rata dengan tanah"
"Aku ingin melihat gereja," Gran berkata. "Aku juga," kataku.
"Mengapa ka u ingin melihat gereja"" ayahku bertanya.
"Untuk memeriksa apakah puting beliung itu mengenainya."
"Ayo pergi," Pappy berkata, dan kami melompat dan kursi masing-masing. Piring dan peralatan makan ditumpuk di wastafel dan dibiarkan tak dicuci, sesuatu yang belum pernah kusaksikan.
Jalan kami penuh lumpur, dan di beberapa bagian tertentu tersapu air. Kami tergelincir-gelincir dan terseok-seok sepanjang seperempat mil, sampai kami tiba di sebuah kubangan sebesar kawah. Pappy menghantamnya terus dan mencoba mengarungi parit di sisi kiri. di sebelah tanaman kapas keluarga Jeter.
Truk itu berhenti dan bertengger di sana, dan kami terperangkap di situ Ayahku kembali ke rumah untuk mengambil traktor John Deere, sementara kami menunggu. Seperti biasa, aku duduk di belakang truk, maka aku punya banyak ruang untuk bergerak. Ibuku berdesakan di depan bersama Pappy dan Gran. Kukira Gran-lah yang mengatakan bahwa mungkin bukan gagasan bagus untuk pergi ke kota. Pappy hanya bersungut-sungut muram.
Ketika ayahku kembali, ia mengaitkan rantai sepanjang dua puluh kaki ke bemper depan, dan perlahan-lahan menarik kami keluar dari parit. Para pria itu memutuskan bahwa yang paling baik adalah memakai traktor itu untuk menarik kami semua sampai ke jembatan. Ketika kami sampai di sana. Pappy melepaskan rantai, dan ayahku terus mengendarai traktor. Lalu kami menyeberang di dalam truk. Menurut mereka, jalan di sisi seberang jauh lebih parah keadaannya, maka mereka mengaitkan kembali rantai itu, dan traktor kembali menarik truk sejauh dua mil, sampai kami tiba ke jalan batu. Kami meninggalkan traktor John Deere itu di sana dan berangkat ke kota, kalau memang kota itu masih ada. Hanya Tuhan yang tahu, kerusakan apa yang menunggu kami di sana. Aku hampir tak bisa menyembunyikan gejolak perasaanku.
Kami akhirnya berhasil mencapai jalan raya. dan ketika berbelok menuju Black Oak, kami meninggalkan jejak lumpur yang panjang di aspal. Kenapa tidak semua jalan dilapis aspal" aku bertanya pada diri sendiri.
Keadaan tampak normal sewaktu kami melaju ke kota. Tidak ada pohon atau tanaman yang roboh, tidak ada puing bertebaran sejauh bermil-mil, tidak ada lubang-lubang menganga di mana pun. Semua rumah kelihatan baik-baik saja. Ladang-ladang itu kosong karena kapas itu basah, tapi selain itu kehidupan sama sekali tak terusik.
Berdiri di belakang truk, melihat dari atas kepala truk bersama ayahku, aku menajamkan mata untuk bisa melihat kota. Tak berapa lama tibalah kami. Pabrik pemisah biji kapas itu berderu seperti biasa. Tuhan ternyata melindungi gereja itu. Toko-toko di sepanjang Main Street tetap utuh. "Puji Tuhan," ayahku berkata. Aku bukannya tidak senang menyaksikan semua bangunan itu tak terusik, tapi keadaan sebenarnya bisa lebih menarik.
Kami bukan satu-satunya yang merasa ingin tahu. Lalu lintas di Main Street ternyata padat, dan orang-orang berjejalan di trotoar. Kejadian seperti ini tak pernah terdengar pada hari Senin. Kami parkir di gereja, dan begitu kami memastikan bahwa tempat itu tidak terlanda angin puyuh, aku lari ke toko Pop dan Pearl, di mana lalu lintas pejalan kaki tampak sangat padat. Mr. Red Fletcher sedang berkumpul bersama sekelompok orang, dan aku tiba di sana tepat pada waktunya.
Menurut Mr. Red, yang tinggal di sebelah barat kota, ia sudah tahu akan datang angin puyuh, sebab anjing beagle tuanya terus bersembunyi di bawah meja dapur, suatu pertanda buruk. Mengamati tingkah anjingnya, Mr. Red mulai mengamati langit, dan tidak terkejut melihatnya berubah hitam, ia mendengar suara puting beliung itu sebelum melihatnya. Angin itu menukik entah dari mana, mendatangi langsung ke pertaniannya, dan turun cukup lama untuk meratakan dua kandang ayam dengan tanah dan mengangkat atap rumahnya. Sekeping kaca mengenai istrinya hingga berdarah, maka kami pun menemukan korban yang dapat dipercaya. Di belakangku aku mendengar orang-orang berbisik penuh gairah untuk pergi ke rumah Fletcher dan memeriksa kerusakan.
"Seperti apa puting beliung itu"" seseorang bertanya.
"Hitam seperti arang," Mr. Red berkata. "Suaranya seperti gemu
ruh kereta api barang."
Ini lebih menarik lagi, sebab puting beliung yang kami lihat berwarna kelabu, nyaris putih. Puting beliung Mr. Red hitam. Rupanya segala macam tornado telah menerjang county kami.
Mrs. Fletcher muncul di sampingnya, lengannya dibalut perban dan disangga, dan mau tak mau kami menatapnya. Ia sepertinya bisa pingsan di trotoar itu. Ia mempertontonkan lukanya dan menerima banyak perhatian, sampai Mr. Red menyadari bahwa ia kehilangan penontonnya, maka ia melangkah maju dan kembali meneruskan ceritanya. Ia mengatakan bahwa tornadonya meninggalkan tanah dan mulai melompat-lompat. Ia naik truknya dan mencoba mengikuti. Ia memburu tornado itu di tengah hujan es dan nyaris berpapasan ketika tornado itu memutar kembali.
Truk Mr. Red lebih tua daripada milik Pappy. Beberapa orang dalam kerumunan itu mulai celinguk-an dengan perasaan tak percaya. Aku ingin salah satu di antara orang-orang dewasa itu bertanya, "Apa yang akan kaulakukan seandainya kau berhasil mengejarnya, Red"" Namun Mr. Red berkata ia segera menghentikan pengejaran itu dan kembali ke rumah untuk melihat keadaan Mrs. Fletcher. Ketika ia terakhir melihatnya, tornado itu sedang menuju kota.
Pappy belakangan berkata padaku bahwa Mr. Red Fletcher suka menceritakan kebohongan, padahal kebenarannya lebih baik.
Banyak kebohongan beredar di Black Oak siang itu, atau mungkin sekadar bualan berlebihan. Kisah-kisah tentang angin topan dituturkan dan diulangi kembali dari ujung ke ujung Main Street. Di depan Co-op, Pappy menguraikan apa yang kami lihat, dan kebanyakan ia menceritakan fakta sebenarnya. Cerita tentang dua puting beliung itu untuk sementara mendapat perhatian semua orang, sampai Mr. Dutch Lamb maju ke depan dan mengatakan telah melihat tiga! Istrinya membenarkan, dan Pappy pergi ke truk.
Pada waktu kami meninggalkan kota. sungguh suatu mukjizat bahwa tidak ada ratusan orang yang tewas sebagai korban.
Iringan awan terakhir itu sudah pergi ketika hari gelap, tapi hawa panas belum kembali. Kami duduk di teras sesudah makan malam, dan menunggu siaran pertandingan The Cardinals. Udara bersih dan segar - tanda-tanda pertama datangnya musim gugur.
Masih ada enam pertandingan tersisa, tiga melawan The Reds dan tiga melawan The Cubs, semuanya dimainkan di kandang sendiri di Sportsman's Park, tapi dengan The Dodgers memimpin tujuh pertandingan pada tempat pertama, maka musim pertandingan ini sebenarnya sudah berakhir. Stan the Man Musial memimpin liga ini dalam batting dan slugging, dan ia pun melakukan lebih banyak hit serta double dibanding siapa pun. The Cardinals tidak akan memenangkan kompetisi, tapi kami masih punya pemain terbaik dalam permainan ini. Berada di kandang sendiri sesudah lawatan ke Chicago, para pemain itu merasa gembira kembali berada di St. Louis, demikian menurut Harry Caray, yang sering kali menyampaikan salam dan gosip dari mereka, seolah-olah semua pemain itu tinggal di rumahnya.
Musial memukul satu single dan satu triple, dan skor tetap bertahan pada tiga sesudah sembilan inning. Malam sudah cukup larut, tapi kami tidak letih. Badai itu telah mengusir kami dari ladang, dan udara sejuk perlu dinikmati. Keluarga Spruill duduk-duduk di sekeliling api unggun, bercakap-cakap pelan dan menikmati suasana tanpa Hank. Ia kerap kali menghilang sesudah makan malam.
Di akhir inning kesepuluh, Red Schoendienst menghasilkan single, dan ketika Stan Musial sampai ke plate, para penggemar bersorak sorai, demikian menurut Harry Caray, yang kata Pappy sering kali menyaksikan satu pertandingan dan menguraikan pertandingan lain. Jumlah penonton kurang dari sepuluh ribu orang; kami bisa tahu bahwa tidak banyak penonton di sana. Akan tetapi Harry membuat cukup kegaduhan untuk mewakili dua puluh ribu lainnya. Sesudah melaporkan 148 pertandingan, ia masih tetap bersemangat seperti pada pertandingan pembukaan. Musial memukul double, pukulan ketiganya adalah puncak permainan itu, Schoendienst mencetak angka dan memenangkannya dengan angka empat lawan tiga.
Seandainya kemenangan ini terjadi sebulan yang lalu, kami tentu akan merayakannya d
i teras depan itu, bersama Harry. Aku akan berlari mengitari setiap base di halaman, meluncur ke base kedua, sama seperti yang dilakukan Stan the Man. Kemenangan dramatis seperti itu tentu akan mengantar kami ke tempat tidur dengan perasaan gembira, meskipun Pappy pasti tetap ingin memecat manajernya.
Tapi keadaannya berbeda sekarang. Kemenangan itu tidak berarti banyak; musim kompetisi sudah akan berakhir dengan The Cardinals menduduki tempat ketiga; halaman depan diduduki oleh keluarga Spruill; musim panas sudah berlalu.
Pappy mematikan radio dengan Harry terus mengoceh berlarut-larut. "Tak mungkin Baumholtz bisa mengejarnya," Pappy berkata. Frankie Baumholtz dari The Cubs tertinggal enam angka di belakang Musial dalam jumlah pukulan.
Ayahku menggerutu setuju. Selama pertandingan, dua laki-laki ini lebih pendiam dari biasanya. Badai dan hawa sejuk menghantam mereka seperti penyakit Musim sedang berubah, tapi hampir sepertiga kapas itu masih di luar sana, belum terpetik. Selama tujuh bulan kami menikmati cuaca yang nyaris sempurna; tentu sudah saatnya ada perubahan.
Dua Puluh Satu MUSIM gugur hanya berlangsung kurang dari dua puluh empat jam. Menjelang siang keesokan harinya, hawa panas sudah kembali, kapas kering, dan tanah sudah mengeras. Segala angan-angan menyenangkan akan hari-hari sejuk dan daun yang berguguran terlupakan sudah. Kami kembali ke pinggir sungai untuk masa petik kedua. Petikan ketiga mungkin akan berlangsung nanti di musim gugur istilahnya adalah "petikan Natal", saat kapas yang masih tersisa dikumpulkan. Pada waktu itu, orang-orang pegunungan dan orang-orang Meksiko tentu sudah lama pergi.
Sepanjang siang itu aku terus berdekatan dengan Tally, dan bekerja keras agar bisa mengikutinya. Entah mengapa ia jadi menjaga jarak, dan aku sangat ingin tahu sebabnya. Keluarga Spruill tampak tegang, tidak menyanyi ataupun tertawa di ladang, dan sedikit sekali berlangsung percakapan di antara mereka. Hank datang bekerja agak siang, dan mulai memetik dengan irama santai. Para anggota keluarga Spruill lainnya seperti menghindarinya.
Menjelang sore, aku menyeret diri kembali ke trailer untuk terakhir kalinya, kuharap. Masih satu jam lagi sebelum jam kerja berakhir, dan aku mencari-cari ibuku. Namun aku malah melihat Hank bersama Bo dan Dale di ujung trailer, menunggu Pappy atau ayahku untuk menimbang kapas mereka. Aku merunduk rendah di antara batang-batang kapas, sehingga mereka tidak melihatku, dan menunggu suara-suara yang lebih ramah.
Hank berbicara keras, seperti biasanya. "Aku jemu memetik kapas," katanya. "Bosan .setengah mati! Aku sedang memikirkan pekerjaan lain. dan aku sudah membayangkan cara baru untuk mendapatkan uang. Banyak-banyak. Aku akan mengikuti pasar malam itu, pergi dari kota ke kota, bersembunyi di kegelapan, sementara Samson dan istrinya mengeruk uang. Aku akan ,tunggu sampai uangnya terkumpul; aku akan menonton dia melempar-lemparkan petani-petani pe-ngais tanah itu ke luar ring, dan kemudian di waktu malam, saat dia sudah letih, aku akan keluar tiba-tiba, menaruh lima puluh dolar, menghajarnya lagi, dan pergi dengan seluruh uangnya. Kalau aku melakukannya sekali seminggu, itu berarti dua ribu dolar sebulan, dua puluh empat ribu setahun. Tunai. Wah, aku bakal kaya."
Ada nada nakal dalam suaranya, dan Bo serta Dale tertawa saat ia selesai bicara. Bahkan aku pun terpaksa mengakui bahwa itu lucu.
"Bagaimana kalau Samson bosan"" Bo bertanya.
"Kau bercanda" Dia pegulat terbesar dari Mesir. Samson tidak takut siapa pun. Ah, mungkin akan kuambil juga istrinya. Dia lumayan cantik, bukan""
"Sekali-sekali kau harus membiarkannya menang," Bo berkata. "Kalau tidak, dia tidak akan mau melawanmu."
"Aku suka dengan gagasan untuk mengambil istrinya," Dale berkata. "Aku suka tungkainya."
"Bagian lainnya bagus juga," Hank berkata. "Tunggu... aku ada gagasan! Aku akan mengusirnya, dan aku sendiri jadi Samson baru! Akan kupanjangkan rambutku sampai ke pantat, mengecatnya hitam, beli celana pendek dari kulit macan tutul, bicara dengan aksen aneh, dan petani-petani di sini akan mengira ak
u berasal dari Mesir juga. Delilah pasti tidak mau lepas dariku."
Mereka tertawa keras dan panjang, dan kegembiraan mereka menular. Aku tertawa sendiri membayangkan Hank mondar-mandir di atas ring dalam celana pendek ketat, mencoba meyakinkan orang bahwa ia berasal dari Mesir. Tapi ia terlalu tolol untuk jadi orang panggung, ia akan menyakiti orang dan membuat para penantangnya mundur ketakutan.
Pappy tiba di trailer dan mulai menimbang kapas. Ibuku mendatangi juga, dan berbisik padaku bahwa ia sudah siap pulang ke rumah. Aku pun demikian. Kami berjalan bersama-sama tanpa berbicara, sama-sama gembira bahwa hari itu sudah hampir berakhir.
Pengecatan rumah itu kembali berlanjut. Kami memperhatikannya dari kebun, dan setelah mengamati lebih cermat, kami melihat bahwa si tukang cat - kami masih menduga Trot pelakunya - sudah maju sampai papan kelima dari bawah, dan memulaskan lapisan pertama pada bagian sebesar jendela kecil. Ibuku menyentuhnya dengan hati-hati; cat itu menempel di jarinya.
"Masih baru," ia berkata sambil menoleh ke halaman depan: seperti biasa, tidak terlihat tanda-tanda adanya Trot di sana.
"Ibu masih berpendapat dia pelakunya"" aku bertanya
"Ya." "Dari mana dia mendapatkan catnya"" "Tally membelikannya, dari upahnya memetik kapas."
"Siapa yang mengatakannya""
"Aku tanya Mrs. Foley dari toko perkakas. Dia bilang ada seorang bocah cacat dari pegunungan dan saudara perempuannya membeli dua liter cat enamel putih untuk rumah, dan kuas kecil. Dia pikir itu aneh -orang-orang gunung membeli cat rumah."
"Seberapa yang bisa dicat dengan dua liter""
"Tidak terlalu banyak."
"Apa Ibu akan memberitahu Pappy""
"Ya." Kami bekerja cepat di kebun, hanya mengumpulkan yang perlu-tomat, mentimun, dan dua paprika merah yang terlihat oleh ibuku. Tak lama lagi semua pemetik akan kembali dari ladang, dan aku menunggu dengan cemas ledakan-ledakan yang bakal timbul saat Pappy mengetahui bahwa rumahnya sedang dicat.
Dalam beberapa menit, di luar terdengar bisik-bisik dan pembicaraan pendek. Aku diperintahkan mengiris mentimun di dapur, suatu taktik untuk menyisihkanku dari percakapan itu. Gran mendengarkan siaran berita di radio, sementara ibuku memasak. Akhirnya ayahku dan Pappy berjalan ke sisi timur rumah dan memeriksa pekerjaan Trot yang belum selesai.
Kemudian mereka masuk ke dapur. Kami duduk bersama dan berdoa memberkati makanan, lalu mulai bersantap tanpa membicarakan apa pun kecuali cuaca. Tidak ketahuan apakah Pappy marah mengenai pengecatan itu; ia tidak memperlihatkan reaksi apa pun. Mungkin ia terlalu letih.
Keesokan harinya ibuku menahanku dan menyibukkan diri di rumah selama mungkin. Ia mencuci piring bekas sarapan dan pakaian, dan kami bersama-sama mengawasi halaman depan. Gran berangkat ke ladang, tapi aku dan ibuku tetap tinggal, membereskan rumah dan menyibukkan diri.
Trot tidak terlihat. Ia sudah menghilang dari halaman depan. Hank keluar dari tenda sekitar pukul delapan, menubruk kaleng-kaleng dan buyung-buyung hingga ia menemukan biskuit sisa. Ia maka sampai tidak ada apa pun yang tersisa, lalu bersendawa dan memandang ke rumah kami, seakan-akan hendak menyerbu ke sini untuk mencari makanan. Akhirnya ia berjalan berat melewati sih, menuju trailer kapas.
Kami menunggu, mengintip dari jendela depan. Masih tidak ada tanda-tanda Trot. Akhirnya kami menyerah dan berjalan ke ladang. Ketika tiga jam kemudian ibuku kembali ke rumah untuk menyiapkan makan siang, ternyata sudah ada cat yang masih basah pada beberapa bilah papan di bawah jendela kamarku. Trot mengecat lambat-lambat, mengarah ke belakang rumah, pekerjaannya dibatasi oleh jangkauan tangannya, dan oleh keinginannya untuk tidak diketahui orang. Dengan kecepatan seperti ini, ia akan menyelesaikan sekitar setengah dinding timur sebelum tiba saatnya bagi keluarga Spruill untuk berkemas dan kembali ke pegunungan.
Sesudah tiga hari kedamaian dan kerja keras, muncul konflik lagi. Miguel menemui Pappy di traktor, sesudah sarapan, dan mereka berjalan ke arah gudang, di mana beberapa orang Meksiko lain sedang menunggu. Dalam keremangan fajar a
ku menguntit, sekadar cukup dekat untuk mendengar mereka tanpa diperhatikan. Luis sedang duduk di tunggul pohon, kepalanya tertunduk rendah, seakan-akan ia sedang sakit. Pappy memeriksanya dengan cermat, ia tampaknya menderita luka entah apa.
Ceritanya, seperti dituturkan Miguel dengan cepat dalam bahasa Inggris seadanya, malam itu seseorang melemparkan gumpalan tanah ke gudang. Yang pertama mendarat pada dinding loteng penyimpan jerami, tepat sesudah orang-orang Meksiko itu berangkat tidur. Suaranya seperti letusan senapan - papan-papan gemeretak, dan seluruh gudang itu serasa bergetar. Beberapa menit lewat, kemudian mendarat satu gumpalan lagi. Lalu disusul lainnya. Sekitar sepuluh menit berlalu, dan mereka pikir gangguan itu sudah berakhir, namun satu lemparan lagi mendarat, kali ini di atap seng tepat di atas kepala mereka. Mereka marah dan takut; tak mungkin untuk tidur. Melalui celah-celah dinding, mereka melihat ke ladang kapas di belakang gudang. Pengganggu mereka ada entah di mana di luar sana, di antara tanaman kapas, tak terlihat dalam kegelapan malam, bersembunyi seperti pengecut.
Luis perlahan-lahan membuka pintu loteng untuk melihat lebih jelas, dan pada saat itulah sebuah peluru mendarat tepat di wajahnya. Kali ini adalah batu dari jalan di depan rumah kami. Siapa pun pelempar itu, ia sengaja menyimpannya untuk kesempatan tersebut, tembakan langsung pada salah satu orang Meksiko itu. Gumpalan tanah memang memadai untuk menimbulkan kegaduhan, tapi batu itu dipergunakan untuk melukai.
Hidung Luis tergores, patah, dan bengkak hingga dua kali ukuran normalnya. Pappy berteriak memanggil ayahku agar menjemput Gran.
Miguel meneruskan ceritanya. Segera setelah mereka merawat Luis dan membantunya agar merasa lebih nyaman, lemparan-lemparan itu berlanjut. Setiap sekitar sepuluh menit, begitu mereka mulai diam untuk beristirahat, satu lemparan lagi menerpa dan kegelapan. Mereka mengamati dengan cermat melalui celah-celah, tapi tidak melihat gerakan apa pun di ladang. Terlalu gelap untuk melihat apa pun. Akhirnya penyerang mereka mulai bosan dengan permainannya dan menghentikan serangan. Tidur mereka jadi resah.
Gran tiba dan mengambil alih. Pappy pergi dengan kesal, mengumpat dengan suara tertahan. Aku bimbang memilih di antara dua drama itu: Apakah aku mau menyaksikan Gran mendokteri Luis, atau mau mendengarkan Pappy mengumbar kemarahan"
Aku mengikuti Pappy kembali ke traktor, di mana ia menggeram pada ayahku dengan kata-kata yang tidak dapat kupahami. Kemudian ia menyerbu ke trailer tempat keluarga Spruill sedang menunggu dalam keadaan masih mengantuk.
"Mana Hank"" bentaknya pada Mr. Spruill.
"Tidur, kukira "
"Apa dia akan bekerja hari ini"" Kata-kata Pappy tajam.
"Tanyailah sendiri." jawab Mr. Spruill, sambil berdiri berhadapan dengan Pappy.
Pappy maju selangkah lebih dekat. "Orang-orang Meksiko itu tidak bisa tidur tadi malam, karena ada yang melempari gudang dengan gumpalan tanah Kira-kira tahu siapa pelakunya""
Ayahku, dengan kepala lebih dingin, mulai melangkah di antara mereka berdua.
"Tidak. Kau menuduh seseorang"" Mr. Spruill bertanya.
"Aku tidak tahu," sahut Pappy. "Semua orang bekerja keras, tidur lelap, letih setengah mati di waktu malam. Semua orang, kecuali Hank. Rasanya dialah satu-satunya yang punya banyak waktu. Dan dia punya kemungkinan melakukan perbuatan tolol semacam ini."
Aku tidak suka konflik terbuka semacam ini dengan keluarga Spruill. Seperti kami, mereka pun sama kesalnya terhadap Hank, tapi mereka tetaplah keluarganya. Dan mereka pun orang-orang pegunungan-buat mereka marah, dan mereka akan berkemas dan pergi Pappy sudah hampir terlalu banyak bicara.
"Aku akan bicara dengannya," Mr. Spruill berkata, agak lembut, seakan-akan tahu bahwa memang Hank-lah yang paling mungkin melakukannya. Dagunya turun satu-dua inci, dan ia memandang Mrs. Spruill. Keluarga itu kacau gara-gara Hank. dan mereka tidak siap untuk membelanya.
"Ayo kita bekerja," ayahku berkata, sambil melangkah di antara mereka berdua. Mereka resah, ingin konfrontasi itu segera berakhir. Aku melirik Tally, tapi
ia memandang ke arah lain, tenggelam dalam lamunannya, tak menghiraukan aku atau siapa pun. Pappy naik ke atas traktor, dan kami berangkat untuk memetik kapas.
Luis berbaring di teras belakang sepanjang pagi, dengan kompres es pada wajahnya. Gran hilir-mudik dan berulang kali mencoba memaksakan obat-obatan nya pada Luis, namun Luis bersikukuh. Menjelang siang ia sudah jemu dengan perawatan gaya Amerika ini, dan tak sabar ingin kembali ke ladang, dengan hidung patah atau tidak.
Hasil petikan kapas Hank sudah menurun dari sekitar empat ratus pon sehari sampai kurang dari dua ratus Dengan uang Samson di sakunya, ia sama sekali kehilangan motivasi. Pappy sangat gusar akan hal ini. Hari demi hari, situasinya makin parah, dan ada bisik-bisik di antara orang-orang dewasa itu. Pappy tidak pernah mendapatkan $250 dengan mudah.
"Berapa banyak yang dia petik hari ini""- ia bertanya pada ayahku saat makan malam. Kami baru saja selesai berdoa dan membagikan makanan.
"Seratus sembilan puluh pon."
Ibuku memejamkan mata dengan kesal. Makan malam seharusnya adalah saat-saat yang menyenangkan bagi keluarga untuk berkumpul dan merenung. Ia benci konflik saat bersantap. Gosip-gosip kosong -omongan ringan tentang orang-orang yang kami kenal atau mungkin tidak kami kenal-tidak jadi masalah.
tapi ia tidak suka konflik. Makanan tidak akan tercerna dengan baik, kecuali tubuhmu rileks.
"Aku rasanya ingin pergi ke kota besok, menemui Stick Powers, dan mengatakan padanya bahwa aku sudah selesai dengan bocah itu," Pappy berkata sambil menggoyangkan garpu di udara.
Tapi ia tidak bakal melakukan ini, dan kami tahu itu. Ia pun tahu, seandainya Stick entah bagaimana berhasil memborgol Hank Spruill dan memasukkannya ke belakang mobil patrolinya-suatu adegan yang ingin sekali kusaksikan-semua anggota keluarga Spruill akan berkemas dan pergi hanya dalam hitungan menit. Pappy tidak akan mengambil risiko mengorbankan panen gara-gara idiot semacam Hank. Kami akan mengertakkan gigi dan mencoba bertahan dengan kehadirannya di pertanian kami. Kami akan berharap dan berdoa mudah-mudahan ia tidak membunuh orang lain lagi dan tidak ada orang yang membunuhnya; beberapa minggu lagi panen selesai, dan ia akan pergi.
"Kau tidak bisa memastikan dia pelakunya." Gran berkata. "Tak seorang pun melihatnya melempari gudang."
"Ada hal-hal yang tidak perlu dilihat," Pappy menyalak. "Kita tidak akan melihat Trot mengecat, tapi kita cukup puas untuk percaya bahwa dialah yang mengecat. Benar, bukan""
Ibuku, dengan perkiraan waktu yang sempurna, berkata. "Luke, The Cardinals bertanding melawan siapa hari ini"" Itu adalah kalimat standar, cara yang tidak terlalu samar-samar untuk memberitahu yang lain bahwa ia ingin makan dengan damai.
"The Cubs," kataku.
"Berapa game lagi"" ia bertanya.
"Hanya tiga lagi."
"Seberapa jauh Musial memimpin""
"Enam angka. Dia mencetak tiga ratus tiga puluh enam angka. Baumholtz tiga ratus tiga puluh. Dia tidak akan bisa mengejar Musial."
Sampai di sini ayahku selalu diharapkan membantu istrinya dan menjauhkan percakapan dari urusan-urusan yang lebih berat. Ia berdeham dan berkata, "Aku kebetulan bertemu dengan Lou Jeffcoat Sabtu lalu - aku lupa menceritakannya padamu. Dia bilang tim Methodis punya pitcher baru untuk pertandingan hari Minggu."
Pappy sudah lebih tenang, dan bisa berkata, "Dia bohong. Mereka selalu bilang begitu tiap tahun."
"Mengapa pula mereka butuh pitcher baru"" Gran bertanya dengan senyum kecil, dan kupikir ibuku hendak tertawa.
Hari Minggu ini adalah hari Piknik Musim Gugur, suatu peristiwa besar yang melibatkan seluruh Black Oak. Sesudah kebaktian yang biasanya sangat panjang, setidaknya bagi kami kaum Baptis, kami akan bertemu di sekolah, di mana kaum Methodis berkumpul. Di bawah pohon-pohon rindang di sana. para wanita akan menggelar makanan yang banyaknya cukup untuk memberi makan seluruh negara bagian ini, dan sesudah makan siang yang panjang, para pria akan bertanding bisbol.
Ini bukan permainan biasa, sebab yang dipertaruhkan adalah hak-hak untuk membual membanggakannya. Pemenangnya akan mengolok-olok
pecundangnya sepanjang tahun. Di tengah sepinya musim dingin, aku pernah mendengar para pria di Tea Shoppe saling mengejek tentang Pertandingan itu.
Pihak Methodis sudah empat tahun terakhir ini memenangkannya, tapi mereka selalu memulai desas-desus bahwa mereka punya pitcher baru.
"Siapa yang akan jadi pitcher kita"" ayahku bertanya. Pappy melatih tim Baptis setiap tahun, meskipun sesudah empat kekalahan berturut-turut, orang-orang mulai mengomel.
"Ridley, kukira." Pappy berkata tanpa ragu. Sudah setahun penuh ia memikirkan pertandingan ini
"Aku bisa memukul lemparan bola Ridley!" kataku.
"Kau punya gagasan yang lebih baik"" Pappy menukas.
"Ya. Sir." "Well, aku sudah tak sabar untuk mendengarnya."
"Pasang saja si Koboi sebagai pitcher." kataku, dan semuanya tersenyum. Sungguh gagasan hebat.
Namun demikian, orang-orang Meksiko itu tidak bisa bermain dalam Pertandingan ini. tidak pula orang-orang pegunungan. Daftar pemainnya terdiri atas anggota gereja saja-tidak ada buruh tani, tidak ada sanak keluarga dari Jonesboro, tidak ada pemain gadungan apa pun. Peraturannya begitu banyak, sehingga seandainya semua ditulis, maka buku peraturan itu akan setebal Alkitab. Wasit-wasitnya didatangkan dari Monette dan dibayar lima dolar untuk setiap game, ditambah makan siang sebanyak yang bisa mereka makan. Katanya tidak ada yang kenal dengan para wasit itu, tapi sesudah kekalahan tahun lalu terdengar desas-desus, setidaknya di sekitar gereja kami.
bahwa wasit-wasit ini adalah orang-orang Methodis, atau menikah dengan mereka.
"Pasti bakal hebat, ya"" ayahku berkata, membayangkan si Koboi membabat lawan-lawan kami. Strikeout demi strikeout. Bola-bola lengkung berjatuhan dari segala penjuru.
Dengan kembalinya percakapan itu ke wilayah yang menyenangkan, para wanita pun mengambil alih. Bisbol disisihkan saat mereka membicarakan piknik itu, makanannya, apa yang akan dikenakan perempuan-perempuan Methodis, dan seterusnya. Makan malam itu berakhir dengan penutupan yang tenang seperti biasa, dan kami beranjak ke teras.
Aku sudah memutuskan akan menulis surat untuk Ricky dan bercerita tentang Libby Latcher. Aku yakin tak satu pun dari orang-orang dewasa itu akan memberitahunya; mereka terlalu sibuk mengubur rahasia tersebut. Tapi Ricky perlu tahu apa yang dituduhkan Libby kepadanya. Ia perlu menanggapinya, entah bagaimana. Kalau ia tahu apa yang terjadi, mungkin ia akan mendapat izin pulang dan bisa membereskan situasi ini. Dan makin cepat makin baik. Sejauh yang kami ketahui, keluarga Latcher terus menyendiri, tidak bicara pada siapa pun, tapi rahasia sangat sulit disimpan di Black Oak.
Sebelum berangkat ke Korea, Ricky pernah menuturkan pada kami cerita tentang temannya, seorang pemuda dari Texas yang ia jumpai di kamp latihan militer. Pemuda ini baru berumur delapan belas tahun, tapi ia sudah menikah, dan istrinya sedang mengandung. Angkatan Darat mengirimnya ke California untuk mengerjakan urusan administrasi selama beberapa bulan, agar ia tidak sampai tertembak. Ini adalah kasus berhalangan khusus, dan pemuda itu akan kembali ke Texas sebelum istrinya melahirkan.
Ricky pun kini dalam keadaan yang sama; hanya saja ia tidak tahu-menahu tentang keadaan itu. Akulah yang akan memberitahukan hal itu kepadanya. Aku minta diri dari teras, dengan alasan letih, dan pergi ke kamar Ricky, tempat aku menyimpan buku catatan Big Chief milikku. Aku membawanya ke meja dapur, di mana cahayanya lebih baik, dan mulai menulis perlahan-lahan dalam huruf besar-besar.
Aku menulis sedikit tentang bisbol, perebutan panji kemenangan, lalu pasar malam itu dan Samson, lalu menulis beberapa kalimat tentang tornado awal ming-gu ini. Aku tidak punya waktu atau keberanian untuk bicara tentang Flank, maka aku hanya menulis inti ceritanya. Kuceritakan padanya bahwa Libby Latcher telah melahirkan seorang bayi, meskipun aku tidak mengaku bahwa aku sebenarnya ada di dekat sana ketika bayi itu lahir.
Ibuku melangkah masuk dari teras dan menanyakan apa yang sedang kukerjakan. "Menulis surat untuk Ricky," kataku.
"Bagus sekali." katanya. "Kau harus pergi ti
dur." "Ya, Ma'am." Aku sudah menulis satu halaman penuh, dan cukup bangga dengan diriku sendiri. Besok aku akan menulis satu halaman lagi. Lalu mungkin satu lagi. Aku sudah bertekat bahwa suratku ini akan menjadi surat paling panjang yang pernah diterima Ricky selama ini.
Dua Puluh Dua AKU sedang mendekati ujung deretan tanaman kapas yang panjang, dekat ke semak belukar yang membatasi Sungai Siler, ketika aku mendengar suara-suara. Batang-batang kapas di sana tinggi, dan aku tenggelam di tengah dedaunan yang rimbun. Karungku sudah setengah penuh, dan aku memimpikan siang hari di kota. film di Dixie dengan Coca Cola dan popcorn. Matahari hampir sampai di atas kepala; pasti saat itu sudah mendekati tengah hari. Aku sudah berniat berbalik dan kemudian menuju trailer, bekerja keras dan menyelesaikan hari ini dengan puas.
Ketika mendengar suara orang berbicara, aku menjatuhkan diri pada satu lutut, kemudian perlahan-lahan duduk di tanah tanpa menimbulkan suara apa pun. Lama aku sama sekali tidak mendengar apa pun, dan kupikir mungkin tadi aku keliru; tapi pada saat itu terdengar suara samar-samar seorang gadis menerobos batang-batang kapas tempatku bersembunyi. Ia ada di suatu tempat di sebelah kananku; aku bisa memastikan berapa jauhnya.
Perlahan-lahan aku berdiri dan mengintip di antara kapas, tapi tak melihat apa pun. Lalu aku mendekam lagi dan mulai merayap di lajur itu, sampai ke ujung, karung kapasku untuk sementara kutinggalkan. Tanpa bersuara aku merangkak dan berhenti, merangkak dan berhenti, sampai aku mendengarnya lagi. Ia terpisah beberapa lajur dariku, bersembunyi di kerimbunan kapas, pikirku. Aku diam beberapa menit, sampai aku mendengarnya tertawa, tawa lirih yang teredam oleh tanaman kapas, dan tahulah aku bahwa itu Tally.
Lama aku bergoyang-goyang pelan dengan posisi merangkak, mencoba membayangkan apa yang ia lakukan sambil bersembunyi di ladang, sejauh mungkin dari trailer kapas. Kemudian aku mendengar suara lain, suara laki-laki. Kuputuskan untuk bergeser lebih dekat.
Aku menemukan celah paling lebar di antara dua batang kapas, dan menerobos lajur pertama tanpa menimbulkan suara. Saat itu tak ada angin yang membuat dedaunan dan bunga kapas bergemeresik, jadi aku harus benar-benar diam. Dan sabar. Lalu aku berhasil mencapai deretan kedua dan menunggu suara-suara itu.
Lama mereka tak bersuara, dan aku mulai khawatir bahwa mereka mungkin sudah mendengarku. Kemudian terdengar suara tawa kecil, dua suara sekaligus, dan percakapan lirih tertahan yang nyaris tak bisa kudengar. Aku bertiarap dan mengamati situasi dari tanah, di tempat batang-batang kapas itu paling besar dan tidak ada daun ataupun bunga kapas. Aku hampir bisa melihat sesuatu, beberapa lajur dari sana, mungkin rambut Tally, mungkin tidak. Kuputuskan bahwa aku sudah cukup dekat.
Tidak ada siapa pun di dekat sana. Orang-orang lain- keluarga Spruill dan Chandler- sedang kembali ke arah trailer. Orang-orang Meksiko itu jauh dari sana, yang terlihat hanya topi-topi jerami mereka.
Meskipun ternaung, keringatku bercucuran. Jantungku berdebar-debar kencang, mulutku kering. Tally sedang bersembunyi di antara tanaman kapas dengan seorang laki-laki, melakukan sesuatu yang buruk; kalau tidak, mengapa ia bersembunyi" Aku ingin melakukan sesuatu untuk menghentikan mereka, tapi aku tidak berhak. Aku cuma seorang bocah, seorang mata-mata yang melanggar urusan pribadi mereka. Aku berniat mundur, tapi suara-suara tersebut menahanku.
Ular itu adalah seekor water moccasin, cotton-mouth, salah satu jenis yang paling banyak dijumpai di daerah Arkansas sini. Mereka tinggal di sekitar sungai kecil dan besar, dan sekali-sekali mengembara ke darat untuk berjemur atau mencari makan. Setiap musim semi, ketika kami menanam, biasalah melihat ular semacam itu di belakang mesin atau bajak kami. Ular itu pendek, hitam, tebal, agresif, dan penuh dengan racun. Gigitannya jarang mematikan, tapi aku sudah mendengar banyak cerita tentang ke-matian yang mengerikan.
Kalau melihat ular semacam itu, kita mesti membunuhnya dengan tongkat, atau cangkul, atau apa
pun yang bisa kita raih. Mereka tidak secepat ular rattler, jarak serangnya pun tidak sejauh itu, tapi mereka ular yang jahat dan keji.
Ular yang satu ini kini merayap di lajur itu, lurus ke arahku, tidak sampai lima kaki jauhnya. Kami saling berhadapan. Aku tadi begitu asyik memperhatikan Tally dan apa yang sedang ia lakukan, sehingga aku lupa akan sekitarku. Aku menggumamkan sesuatu dengan perasaan ngeri dan melonjak berdiri, lalu berlari menerobos satu lajur kapas, lalu lajur berikutnya.
Seorang laki-laki mengucapkan sesuatu dengan suara lebih keras, tapi saat itu aku lebih khawatir dengan ular tersebut Aku menjatuhkan diri ke tanah, di dekat karung kapasku, menyandangkannya di pundak, dan mulai merangkak seperti anjing ketakutan, menuju trailer. Ketika yakin ular itu sudah jauh. aku berhenti dan mendengarkan. Tidak ada suara apa pun. Sunyi senyap. Tak seorang pun mengejarku.
Perlahan-lahan aku berdiri dan mengintip di antara tanaman kapas. Di sebelah kananku, terpisah beberapa lajur, terlihat Tally memunggungi aku dengan karung kapas tersandang di pundak, topi jeraminya miring ke samping, berjalan dengan irama biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
Dan di sebelah kiriku tampak si Koboi merunduk rendah menerobos tanaman kapas, kabur seperti pencuri.
Hari Sabtu siang, Pappy biasanya selalu bisa menemukan alasan untuk menunda perjalanan kami ke kota. Kami menyelesaikan makan siang, dan aku menang gung penderitaan mandi berendam, lalu ada saja yang dilakukan Pappy, karena ia bertekad untuk membuat kami menunggu. Traktor mendadak mengalami gangguan yang perlu dibereskan. Ia akan me-rangkak-rangkak dengan kunci pas tua miliknya, ribut mengomel bahwa traktor itu harus diperbaiki saat itu juga, supaya ia bisa membeli suku cadang yang diperlukan di kota. Atau truk tidak jalan, dan Sabtu sesudah makan siang adalah saat yang paling tepat untuk mengotak-atik mesinnya. Atau pompa air memerlukan perhatiannya. Kadang-kadang ia duduk di meja dapur dan sibuk mengurusi pekerjaan administrasi yang dibutuhkan untuk mengelola pertanian.
Akhirnya, ketika semua orang sudah siap dan kesal, ia akan berlama-lama mandi, dan baru setelah itulah kami berangkat ke kota.
Ibuku tak sabar ingin melihat "bayi terbaru di Craighead County, meskipun bayi itu seorang Latcher. Maka. sementara Pappy sibuk di gudang perkakas, kami mengangkut empat kotak sayur-mayur dan berangkat ke seberang sungai. Entah bagaimana, ayahku menghindari perjalanan itu. Orang yang diperkirakan sebagai ayah bayi itu adalah adiknya sendiri, dan itu berarti ayahku menjadi pamannya; ayahku sama sekali tidak siap menerima hal ini. Dan aku yakin ia tidak berminat untuk bertemu lagi dengan Mr. Latcher
Ibuku mengemudi, aku berdoa, dan kami pun selamat menyeberangi jembatan. Kami berhenti di seberang sungai. Truk itu macet, dan mesinnya mati. Sewaktu ibuku menarik napas dalam-dalam, aku memutuskan untuk bicara, "Mom. ada sesuatu yang perlu kuceritakan."
"Bisa nanti saja"" ia bertanya sambil mengulurkan tangan ke kunci kontak.
"Tidak." Kami duduk di dalam truk yang panas, tak berapa jauh dari jembatan, di jalan tanah satu jalur, tanpa ada rumah atau kendaraan lain yang terlihat. Terlintas dalam pikiranku tempat ini sempurna untuk suatu percakapan penting.
"Ada apa"" ibuku berkata sambil melipat tangan di dada. seolah-olah ia sudah memutuskan bahwa aku telah melakukan sesuatu yang keterlaluan.
Ada begitu banyak rahasia. Hank dan penganiayaan terhadap pemuda Sisco itu. Tally di sungai. Kelahiran bayi Libby. Tapi semua itu untuk sementara ini tersimpan rapat. Aku jadi terbiasa menyimpan rahasia. Namun yang ini harus disampaikan pada ibuku.
"Kukira Tally dan si Koboi saling menyukai," kataku, dan seketika itu juga aku merasa lebih ringan.
"Benarkah"" ibuku berkata sambil tersenyum, seolah-olah aku tidak tahu banyak, sebab aku cuma seorang bocah. Kemudian senyum itu perlahan-lahan menghilang ketika ia mempertimbangkan ucapan ini. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah ia pun tahu sesuatu tentang cinta rahasia tersebut.
"Ya, Ma'am." "Apa yang membuatmu berpen
dapat begitu"" "Aku memergoki mereka di ladang pagi ini."
"Apa yang mereka lakukan"" ia bertanya, kelihatannya agak ketakutan bahwa aku mungkin telah menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya kulihat.
"Aku tidak tahu, tapi mereka bersama-sama."
"Apa kau melihat mereka""
Aku menceritakan kisahnya, dimulai dengan suara-suara itu, lalu ular cottonmouth. lalu bagaimana mereka kabur. Aku tidak menyembunyikan detail apapun, dan sungguh mencengangkan, aku tidak melebih-lebihkan apa pun. Mungkin cuma tentang besar ular itu, tapi sebagian besar aku berpegang pada kejadian sebenarnya.
Ibuku mencernanya, dan kelihatan benar-benar terkejut.
"Apa yang mereka lakukan. Mom"" tanyaku. "Aku tidak tahu. Kau tidak melihat apa pun. bukan""
"Tidak, Ma'am. Apa menurut Mom mereka berciuman""
"Mungkin," ibuku menyahut cepat.
Ia meraih kunci kontak lagi dan berkata, "Oh, sudahlah, aku akan bicara dengan ayahmu mengenai ini."
Kami melanjutkan perjalanan dengan terburu-buru. Sesudah beberapa saat, aku sama sekali tak bisa mengatakan apakah aku merasa lebih lega. Berkali-kali ia mengatakan padaku bahwa anak kecil tidak boleh menyimpan rahasia dari ibunya. Namun setiap kali aku mengakui sesuatu, ia dengan cepat menepiskannya dan menceritakan kembali ceritaku pada ayahku. Aku tidak tahu pasti, apa untungnya aku bersikap begitu terus terang. Tapi hanya itu yang bisa kulakukan. Kini orang-orang dewasa itu tahu tentang Tally dan si Koboi. Biar mereka yang memikirkan masalah itu.
Keluarga Latcher sedang memetik di dekat rumah mereka, jadi ketika kami berhenti, sudah ada orang yang menyambut. Mrs. Latcher keluar dari rumah dan memaksakan seulas senyum, lalu ia membantu kami menurunkan kotak-kotak sayur ke teras depan.
"Kurasa kau ingin melihat bayi itu," ia bekata lirih pada ibuku.
Aku pun ingin melihatnya, tapi aku tahu peluangku sangat kecil. Dua wanita itu masuk ke dalam rumah Aku menemukan tempat di bawah pohon, dekat truk kami. dan aku merencanakan untuk melewatkan waktu seorang diri, mengurus urusanku sendiri sementara menunggu ibuku. Aku tak ingin menemui anggota keluarga Latcher mana pun. Kenyataan bahwa kami kini mungkin punya pertalian darah membuatku mual.
Mereka bertiga tiba-tiba muncul dari balik truk- tiga anak laki-laki, yang dipimpin oleh Percy Dua lainnya lebih muda dan lebih kecil, tapi sama kurus tak terurus seperti Percy. Mereka menghampiriku tanpa sepatah kata pun.
"Apa kabar, Percy"" aku menyapa, mencoba untuk sedikitnya bersikap sopan
"Apa kerjamu di sini"" ia menggeram. Dua saudaranya berdiri di kanan-kirinya; mereka bertiga berjajar menghadapiku.
"Aku disuruh ikut oleh ibuku," kataku
"Kau tidak ada urusan apa pun di sini." Ia berbicara mendesis dengan gigi terkatup, dan aku ingin mundur. Aku bahkan ingin melipat ekor dan kabur.
"Aku sedang menunggu ibuku," kataku.
"Kami akan menghajarmu." kata Percy, dan mereka bertiga mengepalkan tinju.
"Kenapa"" aku berhasil bersuara.
"Sebab kau seorang Chandler, dan Ricky-lah yang melakukan itu terhadap Libby."
"Bukan salahku," kataku.
"Tidak peduli." Yang paling kecil tampak sangat buas. ia menyipitkan mata dan menekuk sudut mulutnya ke atas, mengancamku, dan kuperhitungkan pukulan pertama akan berasal darinya.
"Tiga lawan satu tidak adil," kataku.
"Yang terjadi pada Libby juga tidak adil." sahut Percy, kemudian, cepat seperti kucing, ia meninju perutku. Seekor kuda tak mungkin bisa menendang lebih keras dari itu, dan aku terjungkal sambil menjerit.
Aku pernah beberapa kali berkelahi di sekolah - saling dorong di lapangan bermain, yang kemudian dilerai oleh guru sebelum pukulan serius mendarat. Mrs. Emma Enos. guru kelas tiga, menghadiahiku tiga sabetan karena mencoba berkelahi dengan Joey Stallcup. dan Pappy sangat bangga. Ricky dulu juga biasa bermain kasar denganku, bergulat dan bertinju. Aku tidak asing dengan kekerasan. Pappy sangat suka berkelahi, dan ketika aku jatuh ke tanah, pikiranku melayang kepadanya. Seseorang menendangku; aku menangkap satu kaki. dan seketika itu juga setumpuk petarung kecil menimpaku, semuanya menendang, mencakar, dan mencaci maki d
i tanah. Aku mencengkeram rambut bocah yang berukuran sedang, sementara dua lainnya memukuli punggungku. Aku bertekad untuk menarik lepas kepalanya ketika Percy mendaratkan satu pukulan berat ke hidungku. Sedetik aku tak bisa melihat, dan mereka meraung-raung seperti binatang buas, menyerbu kembali.
Aku mendengar para wanita berteriak dari teras. Sudah waktunya! pikirku. Mrs. Latcher yang pertama sampai dan mulai menarik anak-anaknya dari tumpukan itu, memarahi mereka dengan keras sambil melempar-lemparkan mereka. Karena aku berada paling bawah, aku yang terakhir berdiri. Ibuku memandangku dengan ngeri. Pakaianku yang bersih sudah berlepotan tanah; hidungku mengucurkan darah hangat.
"Luke, kau tidak apa-apa"" kata ibuku, sambil merengkuh pundakku.
Mataku berair dan aku mulai kesakitan. Aku menganggukkan kepala, ya, tidak ada masalah.
"Potongkan ranting!" Mrs. Latcher berteriak pada Percy. Ia menggeram dan masih mengempas-empas-kan dua anak yang lebih kecil. "Apa maksudmu memukulinya seperti itu" Dia tidak melakukan apa-apa."
Darah benar-benar mengalir sekarang, menetes-netes dari daguku dan menodai kemejaku. Ibuku menyuruhku berbaring dan mendongakkan kepalaku ke belakang untuk menghentikan perdarahan; sementara itu, Percy mengangsurkan sebatang ranting.
"Aku ingin kau melihat ini." Mrs. Latcher berkata ke arahku.
Suling Emas Dan Naga Siluman 28 Kampung Setan Karya Khulung Putri Ular Putih 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama