Rumah Bercat Putih A Painted House Karya John Grisham Bagian 6
"Tidak, Darla," kata ibuku. "Kami akan pergi."
"Tidak, aku ingin anakmu menyaksikan ini," katanya. "Sekarang membungkuklah. Percy."
"Aku tidak akan melakukannya, Ma," Percy berkata, jelas tampak ketakutan.
"Membungkuklah, atau kupanggil ayahmu. Kuajari kau sedikit sopan santun. Memukuli anak itu, seorang tamu di tempat kita."
"Tidak," Percy berkata, dan ibunya memukul kepalanya dengan ranting itu. Percy menjerit, dan Mrs. Latcher memukul telinganya.
ia memaksa Percy membungkuk dan memegangi pergelangan kaki. "Kalau kaulepaskan, aku akan mc-mukulimu seminggu penuh," ancamnya. Percy sudah menangis ketika ia mulai mencambuk. Aku dan ibuku sama-sama tertegun oleh kemarahan dan keganasannya. Sesudah delapan atau sepuluh pukulan yang sangat keras, Percy mulai menjerit-jerit. "Diam!" ibunya berteriak.
Lengan dan kaki Mrs. Latcher sekurus ranting itu. tapi ia sangat gesit. Pukulannya mendarat seperti tembakan senapan mesin, cepat dan keras, meledak-ledak seperti cemeti. Sepuluh, dua puluh, tiga puluh lecutan, dan Percy melolong-lolong, "Berhenti, Ma! Aku menyesal!"
Pemukulan itu berlanjut tenis, jauh melebihi ukuran hukuman. Setelah tangannya lelah, ia mengempaskan Percy ke tanah. Percy bergelung seperti bola dan menangis. Sampai di situ, dua anak lainnya sudah bercucuran air mata. Mrs. Latcher menjambak rambut anak yang kedua. Ia memanggilnya Raytbrd dan berkata, "Membungkuk." Rayford perlahan-lahan memegangi pergelangan kakinya dan menahan deraan yang datang.
"Ayo kita pergi," bisik ibuku. "Kau bisa berbaring di belakang."
Ia membantuku naik ke bak truk, dan sampai di situ Mrs. Latcher sudah menarik anak yang lain, menjambak rambutnya. Percy dan Rayford tergeletak di tanah, menjadi korban atas pertempuran yang tadi mereka mulai. Ibuku memutar truk, dan sewaktu kami berlalu, Mrs. Latcher sedang menghajar anak paling kecil. Lalu terdengar suara-suara keras; aku duduk, sekadar cukup untuk melihat Mr. Latcher berlari di luar rumah, diikuti anak-anaknya. Ia berteriak-teriak pada istrinya; sang istri tak menghiraukannya dan terus memukul. Setelah sampai pada istrinya, Mr. Latcher menangkapnya. Anak-anak berdatangan dari mana-mana, masing-masing sepertinya menjerit atau menangis.
Debu bergulung di belakang kami, dan aku tak bisa lagi melihat mereka. Sambil berbaring kembali dan mencoba agar nyaman, aku berdoa semoga aku tidak pernah lagi menginjakkan kaki di tanah mereka. Aku tak ingin bertemu lagi dengan orang-orang itu sepanjang sisa hidupku. Dan aku berdoa panjang dengan segenap hati, agar jangan seorang pun pernah mendengar desas-desus bahwa keluarga Chandler dan keluarga Latcher punya pertalian keluarga.
Kepulanganku benar-benar sempurna. Keluarga Spruill sudah rapi dan siap berangkat ke kota. Mer
eka duduk di bawah sebatang pohon, minum es teh bersama Pappy, Gran, dan ayahku, ketika kami berhenti tak lebih dua puluh kaki dari mereka. Sedramatis mungkin aku berdiri di belakang truk, dan merasa sangat puas menyaksikan reaksi kaget mereka melihat keadaanku. Aku berdiri di sana-bekas dipukuli, berdarah-darah, kotor, pakaian robek, tapi tetap berdiri.
Aku turun, dan semua orang mengerumuniku. Ibuku mendatangi dan dengan sangat marah berkata, "Kalian takkan percaya apa yang terjadi! Mereka bertiga menyerang Luke! Percy dan dua anak lain memukulinya ketika aku sedang di dalam rumah. Bajingan-bajingan kecil itu! Kami membawakan makanan ke sana, dan mereka berbuat seperti ini."
Tally prihatin juga, dan kurasa ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuhku, untuk memastikan aku baik-baik saja.
"Bertiga"" Pappy mengulangi, matanya menari-nari.
"Ya, dan mereka semua lebih besar dari Luke." kata ibuku, dan legenda itu mulai berkembang. Sosok tiga penyerangku itu makin lama makin besar bersama lewatnya hari dan bulan.
Gran memeriksa wajahku, memandangi hidungku yang tergores sedikit. "Mungkin patah," katanya, dan meskipun hatiku tergetar mendengarnya, aku sama sekali tidak berharap mendapatkan perawatannya.
"Kau tidak lari, bukan"" Pappy bertanya. Ia pun bergeser lebih dekat.
"Tidak. Sir," kataku bangga. Tapi mungkin aku akan lari seandainya ada kesempatan.
"Dia tidak lari," kata ibuku tegas, "Dia menendang dan mencakar sekeras mereka."
Pappy berseri-seri, ayahku tersenyum.
"Kita akan kembali besok dan membereskan mereka," Pappy berkata.
"Tidak," kata ibuku. Ia kesal karena Pappy gemar berkelahi. Tapi ia memang berasal dari keluarga yang penuh dengan perempuan. Ia tidak mengerti perkelahian.
"Apa kau juga mendaratkan pukulan"" tanya Pappy.
"Mereka semua menangis ketika aku pergi." kataku.
Ibuku memutar mata. Hank menerobos maju di antara kerumunan itu dan membungkukkan badan, memeriksa lukaku. "Katamu mereka bertiga, eh"" ia menggeram padaku.
"Ya, Sir." kataku sambil menganggukkan kepala.
"Bagus untukmu. Nak. Itu akan membuatmu tangguh "
"Ya, Sir." kataku.
"Kalau kau mau, akan kutunjukkan beberapa teknik berkelahi satu lawan tiga," katanya sambil tersenyum.
"Ayo berberes." ibuku berkata.
"Kurasa hidungnya patah," ujar Gran.
"Kau tidak apa-apa, Luke"" Tally bertanya.
'Tidak," kataku, segagah mungkin.
Mereka menggiringku pergi dalam barisan megah merayakan kemenanganku.
Dua Puluh Tiga PlKNIK Musim Gugur selalu diadakan pada Minggu -terakhir bulan September, meski tak seorang pun tahu apa sebabnya, itu sekadar tradisi di Black Oak, suatu ritual yang sudah berakar, sama seperti pasar malam dan kebaktian kebangkitan rohani di musim semi. Acara itu mungkin dimaksudkan untuk menggabungkan datangnya musim baru. awal dari berakhirnya masa panen, dan akhir turnamen bisbol. Tidak jelas apakah semua ini terlaksana dengan satu piknik, tapi setidaknya ada upaya untuk itu.
Satu hari itu kami bersama-sama dengan umat Methodis, teman-teman dan rival bersahabat kami. Black Oak terlalu kecil untuk musuh-musuh serius. Di sana tidak ada kelompok-kelompok etnis, tidak ada orang kulit hitam atau Yahudi atau Asia, tidak ada orang asing permanen macam apa pun. Kami semua keturunan Inggris-Irlandia, mungkin satu-dua campuran darah Jerman, dan semua orang bertani atau menjual barang untuk para petani itu. Semuanya Kristen atau menyatakan diri demikian. Perselisihan berkobar bila seorang penggemar regu The Cubs berbicara terlalu banyak di Tea Shoppe, atau kalau ada orang tolol yang mengatakan bahwa traktor John Deere tidak sebaik traktor merek lain. Tapi kebanyakan kehidupan di sini damai. Anak-anak yang lebih besar dan laki-laki muda suka berkelahi di belakang Co-op pada hari Sabtu, tapi itu lebih berupa olah raga daripada apa pun. Penganiayaan seperti yang dilakukan Hank terhadap Sisco bersaudara merupakan kejadian yang sangat jarang, sehingga kota itu masih terus membicarakannya.
Sakit hati atau dendam perorangan akan berlangsung seumur hidup; Pappy membawa sakit hati semacam itu lebih dari semestinya. Namun tida
k pernah ada musuh serius. Ada tatanan sosial yang jelas, dengan para petani bagi hasil di tempat paling bawah dan para pedagang di puncaknya, dan semua orang diharapkan tahu tempat masing-masing. Namun orang-orang bergaul satu sama lain.
Garis batas antara umat Baptis dan Methodis tak pernah lurus dan tegas. Cara mereka beribadat sedikit berbeda, dan menurut kami, ritual mereka mempermandikan bayi merupakan penyimpangan yang paling mencolok dari Kitab Suci. Mereka juga tidak berkumpul sesering kami, yang tentu saja berarti mereka tidak begitu serius dengan iman mereka. Tak ada yang berkumpul sesering kami, jemaat Baptis. Kami sangat bangga dengan ibadat kami yang terus-menerus. Pearl Watson, penganut Methodis favoritku, mengatakan ia ingin menjadi penganut Baptis, tapi secara fisik ia tak mampu.
Ricky pernah mengatakan padaku secara pribadi bahwa saat ia meninggalkan tanah pertanian kami, ia
363 mungkin akan menjadi orang Katolik, sebab mereka hanya berkumpul sekali seminggu. Aku tidak tahu apa arti Katolik, dan ia mencoba menjelaskannya, tapi omongan Ricky tentang teologi sangat meragukan.
Ibuku dan Gran menghabiskan waktu lebih banyak untuk menyetrika pakaian kami Minggu pagi itu. Dan sudah tentu aku dimandikan dengan lebih cermat. Sungguh mengecewakan, ternyata hidungku tidak patah, tidak ada bengkak, dan luka gores itu nyaris tak terlihat.
Kami harus tampil sebaik mungkin, sebab wanita-wanita Methodis punya gaun sedikit lebih bagus. Meskipun demikian, dengan segala kerepotan itu hatiku sangat bergelora dan tak sabar untuk pergi ke kota.
Kami mengundang keluarga Spruill. Ini dilakukan hanya karena perasaan bersahabat dan nurani Kristen, meskipun aku ingin memilih. Bagiku, Tally tentu bisa diterima dengan senang hati; sisanya bolehlah tinggal di halaman depan saja. Tapi, ketika mengamati kamp mereka sesudah sarapan, aku tidak melihat banyak gerakan. Truk mereka belum dilepaskan dari segala macam kawat dan tali yang mengikat naungan mereka agar tegak. "Mereka tidak akan ikut," aku melapor pada Pappy, yang sedang meneliti pelajaran Sekolah Minggu-nya.
"Bagus," katanya pelan.
Membayangkan Hank hilir-mudik dalam acara piknik itu, mencari makanan dari satu meja ke meja lain, mencaplok makanan dengan rakus dan mencari gara-gara untuk berkelahi, sama sekali tidak menyenangkan.
Orang-orang Meksiko itu tidak punya pilihan. Ibuku sudah menyampaikan undangan pada Miguel awal minggu ini, lalu dengan makin mendekatnya hari Minggu, ia beberapa kali mengingatkan mereka. Ayahku menjelaskan pada Miguel bahwa akan ada ke-baktian khusus dalam bahasa Spanyol, lalu ada banyak makanan lezat. Tidak banyak yang mereka kerjakan pada hari Minggu.
Mereka bersembilan naik di bak belakang truk kami; hanya si Koboi yang tidak hadir. Ini membuat imajinasiku berkobar. Di mana dia dan apa yang ia lakukan" Di mana Tally" Aku tidak melihatnya di halaman depan ketika kami berangkat. Hatiku runtuh ketika teringat mereka berada di ladang itu. bersembunyi dan berbuat apa saja yang ingin mereka lakukan. Bukannya pergi ke gereja bersama kami. Tally mungkin mencuri-curi lagi. melakukan hal-hal buruk. Bagaimana kalau sekarang ia memanfaatkan si Koboi sebagai pengawasnya saat ia mandi di Siler's Creek" Aku tidak tahan dengan pikiran itu, dan sepanjang jalan ke kota aku tenis mengkhawatirkannya.
Pendeta Akers. dengan senyum yang jarang tersungging pada wajahnya, naik ke mimbar. Bagian di dekat altar penuh sesak, orang-orang duduk di lorong-lorong dan berdiri di sepanjang dinding belakang. Jendela-jendela terbuka, dan di sisi utara gereja itu, di bawah pohon ek yang tinggi, orang-orang Meksiko itu berkumpul, topi ditanggalkan, kepala-kepala berambut gelap itu membentuk lautan cokelat.
Pendeta Akers menyambut tamu-tamu kami. para pendatang dari pegunungan, dan juga orang-orang Meksiko itu. Ada beberapa orang pegunungan di sana, tapi tak banyak jumlahnya. Seperti biasa. Pendeta Akers minta mereka berdiri dan memperkenalkan diri. Mereka berasal dari berbagai tempat seperti Hardy, Mountain Home, dan Calico Rock, dan mereka pun berdandan rapi
seperti kami. Pengeras suara sudah dipasang di salah satu jendela, dengan demikian kata-kata Pendeta Akers tersiar keluar dari ruang dalam gereja ke arah orang-orang Meksiko itu, di mana Mr. Carl Durbin mendengarkan dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Spanyol. Mr. Durbin adalah pensiunan misionaris dari Jonesboro. ia pernah tiga puluh tahun bekerja di Peru. di antara orang-orang Indian asli di pegunungan. Sering kali ia datang dan berbicara dengan kami saat minggu misi, memperlihatkan foto-foto serta slide tentang negeri aneh yang telah ia tinggalkan. Selain bahasa Spanyol, ia juga bisa berbicara dalam salah satu dialek Indian, dan hal ini selalu membuatku terpesona kagum.
Mr. Durbin berdiri di bawah pohon, rindang, dengan orang-orang Meksiko itu duduk di rumput di sekitarnya. Ia memakai jas putih dan topi anyam putih, suaranya terbawa kembali ke dalam gereja, hampir sekeras suara Pendeta Akers dengan pengeras suara itu. Ricky pernah mengatakan bahwa Mr. Durbin jauh lebih punya nalar daripada Pendeta Akers; ia mengemukakan pendapat ini saat makan malam hari Minggu, sehingga timbul masalah lagi. Dosa mengkritik pengkotbahmu, setidaknya bila dilakukan secara terbuka.
Aku duduk di ujung bangku, di sebelah jendela, sehingga aku dapat menyaksikan dan mendengarkan Mr. Durbin. Aku tidak mengerti sepatah kata pun yang ia ucapkan, tapi aku tahu bahasa Spanyol-nya lebih lamban daripada orang-orang Meksiko itu. Mereka bicara begitu cepat, sehingga aku sering bertanya-tanya sendiri, bagaimana mereka saling memahami. Kalimat-kalimat Mr. Durbin mengalir tenang dan diwarnai aksen Arkansas yang kental. Meskipun aku sama sekali tidak tahu apa yang ia ucapkan, ia tetap lebih memesona daripada Pendeta Akers.
Tidaklah mengejutkan, dengan jumlah pengunjung yang begitu besar, kotbah pagi itu berkembang dan menjadi suatu maraton. Lebih sedikit pengunjungnya, lebih pendek kotbahnya. Pada waktu pengunjung berlimpah, seperti saat Paskah, Hari Ibu, dan Piknik Musim Gugur ini, Pendeta Akers merasa ia perlu beraksi. Sampai pada suatu titik, di tengah bicaranya yang bertele-tele, Mr. Durbin sepertinya bosan dengan semua itu. Ia tak menghiraukan pesan yang tersiar dan dalam gereja dan mulai menyampaikan kotbahnya sendiri. Ketika Pendeta Akers berhenti sebentar untuk menenangkan napas, Mr Durbin terus berkotbah. Dan ketika Pendeta Akers sedang berkobar-kobar mengabarkan api neraka dan batu belerangnya, Mr. Durbin malah beristirahat dengan segelas air. Ia duduk di tanah bersama orang-orang Meksiko itu, menunggu teriakan di dalam gereja berhenti.
Aku juga menunggu. Aku melewatkan waktu dengan membayangkan makanan yang tak lama lagi akan kami nikmati- tumpukan ayam goreng di piring dan bergalon-galon es krim.
Orang-orang Meksiko itu mulai melirik ke jendela gereja. Aku yakin mereka berpikir bahwa Pendeta Akers sudah gila. "Tenanglah," aku ingin berkata pada mereka, "yang seperti ini sudah biasa."
Kami menyanyikan lima bait "Just As I Am" untuk mengiringi pemberkatan. Tak seorang pun berjalan ke lorong, dan Pendeta Akers dengan enggan membubarkan kami. Aku bertemu Dewayne di pintu depan, dan kami berlari di jalan menuju lapangan bisbol, untuk melihat apakah orang-orang Methodis sudah berada di sana. Tentu saja mereka sudah ada: mereka tidak pernah beribadat selama kami.
Di belakang backstop, di bawah tiga batang pohon elm yang sudah jutaan kali tertimpa bola nyasar. makanan sedang diatur di meja-meja piknik yang dilapisi taplak kotak-kotak merah-putih. Jemaat Methodis sibuk hilir-mudik. para pria dan anak-anak mengangkut makanan, sementara para wanita mengatur peralatan makan. Aku menemukan Pearl Watson dan berbincang-bincang dengannya. "Pendeta Akers masih terus berkotbah"" ia bertanya dengan senyum lebar.
"Dia baru saja selesai berkotbah," kataku. Pearl memberikan dua kue cokelat padaku dan Dewayne. Aku menghabiskan bagianku dalam dua gigitan
Akhirnya jemaat Baptis pun mulai berdatangan, di tengah sapaan-sapaan "Halo" dan "Dari mana saja"" dan "Mengapa begitu lama"" Mobil-mobil dan truk-truk berdatangan, dan tak lama kemudian diparkir
bemper beradu bemper di sepanjang pagar sekitar lapangan. Sedikitnya satu atau mungkin dua mobil akan tertimpa bola nyasar. Dua tahun sebelumnya, kaca depan sedan Chrysler baru milik Mr. Wilber Shifflett hancur ketika Ricky melakukan pukulan home run melewati pagar lapangan sebelah kiri. Ledakan itu hebat luar biasa -bunyi berdebuk keras, disusul riuhnya kaca yang hancur berantakan. Tapi Mr. Shifflett kaya, jadi tak ada yang terlalu khawatir, ia tahu risikonya ketika memarkir mobil itu di sana. Tahun itu regu Methodis juga mengalahkan kami, tujuh-lima, dan Ricky berpendapat bahwa si manajer, Pappy, seharusnya mengganti pelempar bolanya pada inning ketiga.
Mereka tidak saling bicara selama beberapa waktu.
Tak lama kemudian, meja-meja itu sudah penuh dengan mangkuk-mangkuk besar berisi sayuran, piring-piring dengan tumpukan ayam goreng, dan keranjang-keranjang penuh dengan roti jagung, roti tawar, dan roti-roti lain. Di bawah pengarahan istri pendeta Gereja Methodis, Mrs. Orr. peralatan makan dipindahkan ke sana dan ke sini, sampai terbentuk pola tertentu. Satu meja hanya berisi sayur-mayur - tomat segala jenis, mentimun, acar bawang putih dan kuning. Di sampingnya adalah kacang-kacangan- polong black-eyed. crowder. kacang hijau dimasak dengan ham, dan kacang polong kuning. Ada salad kentang pada masing-masing meja, dan setiap koki punya resep sendiri. Aku dan Dewayne menghitung ada sebelas mangkuk besar berisi makanan ini, dan tak ada satu pun yang sama dengan lainnya. Telur bumbu hampir sama populernya, dan ada berpiring-piring telur bumbu memenuhi setengah meja. Terakhir, dan yang paling penting adalah ayam goreng. Ada cukup ayam goreng untuk mengenyangkan seluruh kota selama satu bulan.
Para wanita hilir-mudik, repot mengurusi makanan sementara para pria bercakap-cakap, tertawa-tawa, dan saling menyapa, tapi selalu dengan satu mata tertuju ke ayam goreng. Anak-anak ada di mana-mana, dan aku serta Dewayne pergi ke satu pohon tertentu, tempat para wanita itu mengatur makanan pencuci mulut. Aku menghitung ada enam belas wadah pendingin es krim. semuanya dibungkus rapat dengan handuk dan es.
Begitu segala persiapan sudah disetujui oleh Mrs. Orr, maka suaminya. Pendeta Vernon Orr, berdiri di tengah meja-meja tersebut bersama Pendeta Akers, dan orang banyak pun berangsur-angsur diam. Tahun sebelumnya, Pendeta Akers yang memanjatkan syukur pada Tuhan atas segala berkatNya; tahun ini kehormatan itu dialihkan pada kaum Methodis. Ada pola baku dalam piknik itu yang tidak pernah dibicarakan. Kami menundukkan kepala dan mendengarkan Pendeta Orr berdoa mengucapkan syukur pada Tuhan atas kebaikanNya. atas semua makanan itu, cuaca, panen kapas, dan seterusnya dan seterusnya. Ia tidak menyisakan apa pun; Black Oak memang benar-benar bersyukur atas segalanya.
Aku bisa mencium bau ayam goreng itu. Aku bisa merasakan brownies dan es krim. Dewayne menendangku, dan aku ingin sekali membalasnya. Tapi itu tidak kulakukan, sebab aku pasti dihukum seminggu penuh karena berkelahi saat berdoa.
Ketika Pendeta Orr akhirnya selesai, para pria mengumpulkan orang-orang Meksiko itu dan mem-bariskan mereka untuk dilayani Ini suatu tradisi; yang pertama adalah orang-orang Meksiko, kedua orang-orang pegunungan, ketiga anak-anak, barulah orang-orang dewasa. Stick Powers muncul entah dan mana berseragam, tentu saja, dan menempatkan diri dalam antrean antara orang-orang Meksiko dan orang-orang pegunungan. Kudengar ia menjelaskan bahwa ia sedang bertugas dan tidak punya banyak waktu. Ia membawa dua piring- satu penuh dengan ayam, dan satu lagi penuh dengan segala lainnya yang bisa ia ambil. Kami tahu ia akan makan sampai kenyang, lalu mencari sebatang pohon di pinggir kota dan mencerna makan siangnya sambil tidur.
Beberapa orang Methodis menanyaiku tentang Ricky- bagaimana kabarnya, apakah kami mendengar sesuatu darinya. Aku mencoba bersikap menyenangkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, tapi sebagai satu keluarga, kami para Chandler tidak menyukai perhatian seperti ini. Dan kini, karena kami ngeri kalau rahasia Latcher terungkap, m
aka setiap kali Ricky disebut-sebut di depan umum kami pun ketakutan.
"Sampaikan padanya bahwa kami memikirkannya." kata mereka. Mereka selalu mengucapkan ini, seolah-olah kami punya telepon dan menghubungi Ricky setiap malam.
"Kami berdoa untuknya," mereka berkata.
"Terima kasih," aku selalu menjawab.
Saat-saat yang begitu menyenangkan seperti Piknik Musim Gugur bisa rusak gara-gara satu pertanyaan tak terduga mengenai Ricky. Ia ada di Korea, di parit-parit perlindungan, bertiarap menghindari peluru dan membunuh orang, tak tahu apakah ia akan pernah pulang kembali untuk pergi ke gereja bersama kami, untuk berpiknik bersama seluruh kota, bermain melawan jemaat Methodis lagi. Di tengah segala kegembiraan itu, aku tiba-tiba merasa sangat sendirian, dan sangat ketakutan.
"Tabahlah," Pappy akan berkata. Makanan itu sangat membantu. Aku dan Dewayne membawa piring kami dan duduk di belakang base pertama, di mana ada sedikit naungan. Tilam-tilam digelar di seluruh penjuru outfield, dan para keluarga duduk-duduk bersama di bawah matahari. Payung-payung dibuka; para wanita mengipasi wajah, anak-anak mereka yang masih kecil, dan piring mereka. Orang-orang Meksiko berkerumun bersama di bawah sebatang pohon, di garis batas rightfield, jauh dari kami semua Tahun lalu Juan pernah mengaku padaku bahwa mereka tidak yakin mereka suka ayam goreng. Belum pernah aku mendengar omong kosong seperti itu. Ayam goreng jelas jauh lebih lezat daripada tortilla, pikirku waktu itu.
Orangtua dan kakek-nenekku makan bersama-sama di sehelai tilam di dekat base ketiga. Sesudah tawar-menawar dan negosiasi panjang, aku diizinkan makan bersama sahabat-sahabatku, satu langkah besar bagi seorang anak umur tujuh tahun.
Antrean tidak pernah berhenti. Pada waktu para pria sampai di meja terakhir, para remaja sudah kembali untuk tambah lagi. Satu piring sudah cukup bagiku. Aku ingin menyisakan tempat untuk es krim. Tak berapa lama kemudian, kami menghampiri meja makanan penutup, yang dijaga oleh Mrs. Irene Flanagan untuk mencegah terjadinya vandalisme dari anak-anak seperti kami.
"Ada berapa banyak cokelatnya"" aku bertanya sambil melihat ke deretan termos kotak pendingin es krim yang tengah menunggu di bawah keteduhan.
Ia tersenyum dan berkata, "Oh, tidak tahu. Ada beberapa."
"Apa Mrs. Cooper membawa es krim selai kacang"" Dewayne bertanya.
"Ya," sahut Mrs. Flanagan sambil menunjuk ke sebuah kotak pendingin di tengah. Mrs. Cooper mencampurkan cokelat dan selai kacang dengan es krimnya, dan hasilnya sungguh luar biasa. Orang-orang ramai membicarakannya sepanjang tahun. Tahun se belumnya, dua orang remaja, satu Baptis dan satu Methodis, nyaris bertengkar gara-gara berebut tentang siapa yang akan dilayani lebih dulu. Sewaktu Pendeta Orr mendamaikan mereka, Dewayne berhasil mengambil dua mangkuk es krim itu. ia membawanya lari ke jalan dan bersembunyi di belakang gudang, melahap setiap tetes. Selama satu bulan tidak banyak hal lain yang ia bicarakan selain kejadian tersebut.
Mrs. Cooper seorang janda. Ia tinggal di sebuah rumah mungil yang indah, dua blok di belakang toko Pop dan Pearl. Bila butuh pekerja untuk membersihkan halaman, ia cukup membuat satu termos es krim selai kacang. Anak-anak remaja akan muncul entah dari mana, dan ia akan mendapatkan halaman paling rapi di kota. Bahkan orang-orang dewasa pun diketahui pernah mampir dan mencabut beberapa rumput liar.
"Kau harus menunggu," kata Mrs. Flanagan.
"Sampai kapan"" tanyaku.
"Sampai semua orang selesai."
Kami menunggu lama. Beberapa anak yang lebih besar dan pemuda-pemuda mulai meregangkan otot dan melempar-lempar bola bisbol di outfield. Yang dewasa bereakap-eakap dan saling berkunjung, lalu bercakap-cakap lagi dan berkunjung lagi, dan aku yakin es krim itu mulai meleleh. Dua wasit dari Monette tiba, dan ini memicu kegairahan orang ba nyak itu. Mereka tentu saja harus lebih dulu diberi makan, dan untuk beberapa lama mereka lebih sibuk dengan ayam goreng daripada bisbol. Perlahan-lahan tilam dan payung diambil dari outfield. Piknik mulai berakhir. Saat untuk pertandingan hampir tiba.
Para wanita berkumpul di sekitar meja makanan penutup dan mulai melayani kami. Akhirnya Dewayne mendapatkan es krim selai kacangnya. Aku lebih memilih dua sendok cokelat daripada fudge brownies buatan Mrs. Lou Kiner. Selama dua puluh menit, di seputar meja makanan penutup seperti terjadi keributan, tapi segalanya tetap teratur. Dua pendeta berdiri di tengah orang banyak, keduanya makan es krim sebanyak orang-orang lainnya. Para wasit menolak, dengan alasan bahwa dalam hawa panas seperti itu, mereka harus berhenti makan.
Seseorang berteriak, "Main bola!" dan orang banyak pindah ke backstop. Regu Methodis dilatih oleh Mr. Duffy Lewis, seorang petani dari barat kota yang, menurut Pappy, cuma punya kepintaran terbatas mengenai bisbol. Tapi sesudah empat kali kekalahan berturut-turut, pendapat Pappy tentang Mr. Lewis nyaris tak terdengar. Wasit memanggil dua pelatih untuk rapat di belakang home plate, dan mereka lama membicarakan peraturan-peraturan bisbol versi Black Oak. Mereka menunjuk ke pagar, tonggak-tonggak, dan ranting pohon yang menggelantung di lapangan- masing-masing punya peraturan dan sejarahnya sendiri. Pappy tidak setuju dengan hampir semua yang dikatakan para wasit itu, dan tawar-menawar itu berlanjut lama.
Tahun lalu regu Baptis adalah tim tuan rumah. maka kami yang lebih dulu memukul. Pitcher tim Methodis adalah Buck Prescott, anak laki-laki Mr. Sap Prescott, salah satu pemilik tanah paling luas di Craighead County. Buck berusia dua puluhan awal dan pernah dua tahun kuliah di Arkansas State - hal yang cukup jarang terjadi. Ia pernah mencoba menjadi pitcher di college, tapi ia punya masalah dengan pelatihnya. Ia kidal, semua lemparannya adalah bola lengkung, dan tahun lalu timnya mengalahkan kami dengan angka sembilan lawan dua. Ketika ia berjalan ke tempat melempar bola, aku tahu bahwa pertandingan ini akan panjang- Lemparan pertamanya adalah bola pelintir yang melengkung lamban, yang sebenarnya terlalu tinggi dan di luar jangkauan, tapi dikatakan layak pukul. Pappy langsung berteriak memprotes wasit. Lemparan Buck berhasil dipukul oleh dua pemain pertama, dua berikutnya tersisih, lalu ia mengumpani ayahku dengan bola tinggi ke lapangan tengah.
Pitcher kami adalah Duke Ridley, seorang petani muda dengan tujuh anak dan lemparan cepat yang aku sekalipun bisa memukulnya. Ia mengaku pernah menjadi pitcher di Alaska selama perang, tapi hal ini belum pernah dipastikan kebenarannya. Menurut Pappy itu bohong, dan sesudah menyaksikannya dipecundangi tahun lalu, aku pun sangat meragukannya.
Ia meloloskan tiga pemain lawan dan hanya berhasil melempar satu strike; kupikir Pappy akan menyerbu dan menghabisinya di sana. Batter terbaik mereka memukul bola kurang telak, sehingga bola tertangkap oleh catcher. Orang berikutnya lari ke lapangan dekat base kedua. Kami beruntung ketika pemukul nomor enam mereka, Mr. Lester Hurdle-di umurnya yang lima puluh dua tahun merupakan pemain tertua dalam daftar pemain kedua belah pihak-memukul bola tinggi ke kanan, di mana penjaga kami, Bennie Jenkins, tanpa sarung tangan maupun sepatu, menangkapnya dengan tangan kosong.
Pertandingan bertumpu pada duel antar pitcher, bukan karena lemparan bolanya tajam, tapi karena tak satu pun dari kedua tim itu bisa memukul. Kami mengeluyur kembali ke tempat es krim, di mana sisa-sisa terakhir yang sudah meleleh dibagikan. Sampai pada inning ketiga, para wanita dari kedua sekte gereja itu bergerombol dalam kelompok-kelompok kecil, berbincang-bincang. Bagi mereka, pertandingan itu tidak begitu penting. Tidak jauh dari sana, sebuah radio mobil dihidupkan, dan aku bisa mendengar suara Harry Caray. The Cardinals sedang bertanding melawan The Cubs dalam permainan terakhir musim kompetisi ini.
Aku dan Dewayne meninggalkan meja makanan penutup dengan cangkir es krim terakhir. Kami berjalan di belakang sebuah hamparan tilam, di mana setengah lusin wanita muda sedang beristirahat dan bercakap-cakap. "Wah, berapa umur Libby"" kudengar salah satunya berkata.
Aku berhenti, menyendok es krim sesuap, dan melihat ke arah permainan bisbol di belakang me
reka, pura-pura tidak tertarik dengan apa yang mereka bicarakan.
"Dia baru lima belas tahun," seorang wanita lainnya berkata.
"Dia seorang Latcher. Sebentar lagi dia pasti punya anak lain."
"Bayi itu laki-laki atau perempuan"" "Kudengar laki-laki." "Dan ayahnya""
"Tidak ada yang tahu. Dia tidak mau mengatakannya pada siapa pun."
"Ayolah," Dewayne berkata sambil menyodokku dengan siku. Kami berjalan ke dekat base pertama. Aku tidak tahu pasti, apakah aku merasa lega atau takut. Desas-desus sudah beredar bahwa bayi Latcher itu sudah lahir, tapi ayahnya belum diketahui.
Tidak lama lagi pasti ketahuan juga, pikirku. Dan habislah kami. Aku akan punya sepupu yang termasuk keluarga Latcher, dan semua orang akan tahu.
Duel ketat melempar bola berakhir pada inning kelima, ketika dua tim itu melakukan enam run Selama tiga puluh menit bola berterbangan ke mana-mana -line drive, lemparan liar, bola jatuh di celah outfield Kami dua kali mengganti pitcher, dan aku tahu bahwa kami mengalami masalah ketika Pappy pergi ke tempat melempar bola dan menunjuk ayahku. Ayahku bukan seorang pitcher, tapi tidak ada orang lain yang bisa ditunjuk. Ia terus melemparkan bola rendah, dan tak lama kemudian kami menyelesaikan inning tersebut.
"Musial melempar bola!" seseorang berseru. Kalau bukan lelucon, itu pasti suatu kekeliruan. Stan Musial memang pemain hebat, tapi ia belum pernah bermain sebagai pitcher. Kami lari di belakang bangku penonton, ke tempat mobil-mobil itu diparkir. Sekelompok kecil orang mulai mengerumuni mobil Dodge '48 milik Mr. Duffy Lewis. Radionya disetel dengan volume penuh, dan Harry Caray berteriak-teriak seru-Stan the Man memang benar sedang berada di mound, melempar bola menghadapi The Cubs, menghadapi Frankie Baumholtz yang sepanjang tahun itu terus bertarung dengannya, memperebutkan kedudukan sebagai pemukul bola terbanyak. Penonton di Sportsman's Park bersorak sorai. Harry berteriak ke mikrofon. Kami tertegun-tegun membayangkan Musial berdiri di mound.
Baumholtz memukul bola rendah menuju base tiga, dan mereka mengembalikan Musial ke center field Aku lari ke tempat tunggu base pertama dan mem-beritahu Pappy bahwa Stan the Man benar-benar melempar bola, tapi Pappy tidak percaya. Aku bercerita pada ayahku, dan ia pun kelihatan curiga. Tim Methodis memimpin delapan-enam pada akhir inning ketujuh, dan semua pemain Baptis tegang di tempat tunggu. Banjir besar pasti tidak menimbulkan ketegangan sehebat itu, sedikitnya tidak pada saat itu.
Suhu udara sedikitnya mencapai sembilan puluh lima derajat. Para pemain sudah basah kuyup oleh keringat, overall dan kemeja hari Minggu mereka yang putih bersih sudah menempel ke kulit. Mereka bergerak lebih lamban - akibat kebanyakan makan ayam goreng dan salad kentang-dan tidak seberingas yang dikehendaki Pappy.
Ayah Dewayne tidak ikut bermain, maka mereka pulang sesudah beberapa jam. Beberapa lainnya sudah pergi. Orang-orang Meksiko itu masih berada di bawah pohon mereka di dekat tiang right field, tapi mereka bergeletakan sekarang dan tampaknya tertidur. Para wanita lebih asyik lagi bertukar gosip di bawah naungan pohon; mereka sama sekali tak peduli siapa yang memenangkan pertandingan.
Aku duduk seorang diri di bangku penonton, menyaksikan tim Methodis mencetak tiga angka lagi dalam inning kedelapan. Aku memimpikan hari ketika aku berada di sana, memukul home run dan bermain hebat di center field. Pemain-pemain Methodis yang menyebalkan itu takkan punya kesempatan saat aku sudah cukup besar nanti.
Mereka menang dengan angka sebelas-delapan, dan untuk kelima kalinya dalam lima tahun berturut-turut, Pappy memimpin regu Baptis dalam kekalahan. Para pemain saling berjabat tangan dan tertawa-tawa ketika permainan berakhir, lalu berjalan ke tempat teduh, di mana es teh sudah menunggu. Pappy tidak tersenyum atau tertawa, tidak pula berjabat tangan dengan siapa pun. Ia menghilang beberapa lama. dan aku tahu ia akan cemberut muram selama seminggu.
The Cardinals juga kalah, tiga-nol. Mereka menyelesaikan musim kompetisi ini dengan empat game di belakang The Giants dan delapan g
ame di belakang The Brooklyn Dodgers, yang akan menghadapi The Yankees dalam all-New York World Series.
Sisa-sisa makanan dikumpulkan dan dibawa kembali ke mobil dan truk. Meja-meja dibersihkan, sampah yang berserakan dipunguti. Aku membantu Mr. Duffy Lewis menggaru rata gundukan mound dan home plate dan ketika kami selesai, lapangan itu tampak sebagus semula. Perlu waktu satu jam untuk mengucapkan selamat tinggal pada semua orang. Seperti biasa, ada ancaman dari tim pecundang tentang apa yang akan terjadi tahun depan, dan ada ejekan dari pemenangnya. Sejauh yang kulihat, tak ada yang kesal kecuali Pappy.
Ketika kami meninggalkan kota, aku memikirkan akhir musim itu. Kompetisi bisbol dimulai pada musim semi, saat kami menanam dan saat berbagai harapan melambung tinggi. Bisbol membuat kami bisa bertahan sepanjang musim panas, dan kerap kali menjadi satu-satunya hiburan dari pekerjaan menjemukan di ladang. Kami mendengarkan setiap pertandingan, lalu berbincang tentang permainan, pemain, dan strateginya, sampai kami mendengarkan pertandingan berikutnya. Kompetisi bisbol adalah bagian dari kehidupan sehari-hari kami selama enam bulan, lalu tiba-tiba musim kompetisi itu berakhir. Habis. Tak ubahnya seperti kapas itu.
Hatiku sedih ketika kami tiba di rumah. Tidak ada pertandingan untuk didengarkan di teras" depan. Enam bulan tanpa suara Harry Caray. Enam bulan tanpa Stan Musial. Aku mengambil sarung tangan dan pergi menyusuri jalan ladang, melempar-lempar bola ke udara, sambil dalam hati bertanya-tanya, apa yang akan kulakukan sampai April nanti.
Untuk pertama kali dalam hidupku, bisbol membuat hatiku sedih.
Dua Puluh Empat HAWA panas mereda pada beberapa hari pertama bulan Oktober. Malam jadi sejuk, dan perjalanan dini hari ke ladang terasa dingin. Udara lengas yang mencekik menghilang, dan matahari kehilangan teriknya Menjelang tengah hari hawa panas kembali, tapi tidak seperti panas bulan Agustus, dan menjelang gelap udara terasa ringan. Kami menunggu, tapi hawa panas tidak kembali. Musim sedang berganti; siang hari jadi lebih pendek.
Karena matahari tidak menyedot kekuatan kami sebanyak sebelumnya, kami bekerja lebih keras dan memetik lebih banyak. Dan, tentu saja, pergantian cuaca itulah yang dibutuhkan Pappy untuk mulai lebih prihatin. Berhubung musim dingin akan tiba, ia kini teringat cerita-cerita tentang bagaimana orang memandangi hamparan lajur-lajur tanaman kapas yang berlumpur, membusuk, dan tidak terpetik di Hari Natal.
Sesudah satu bulan bekerja di ladang, aku merindukan sekolah. Pelajaran akan dimulai kembali di akhir bulan Oktober, dan aku mulai memikirkan betapa menyenangkan duduk di belakang bangku sepanjang hari, dikelilingi teman-teman ketimbang batang-batang tanaman kapas, tanpa perlu mengkhawatirkan keluarga Spruill. Kini, setelah kompetisi bisbol berakhir, aku harus memimpikan sesuatu. Hanya sekolah yang bisa kurindukan untuk menghibur kesedihanku.
Kedatanganku kembali ke sekolah akan megah, sebab aku akan memakai jaket bisbol The Cardinals yang baru dan mengilat. Di dalam kotak cerutu di laci paling atas lemariku tersimpan uang $14,50, hasil kerja keras dan berhemat. Aku dengan enggan memberikan uang perpuluhan pada gereja dan meng-investasikan uang dengan bijaksana untuk film dan popcorn hari Sabtu, tapi hampir semua upahku tersimpan aman di samping kartu bisbol Stan Musial dan pisau lipat bergagang mutiara yang dihadiahkan Ricky padaku pada hari keberangkatannya ke Korea.
Aku ingin memesan jaket itu dari Sears, Roebuck, tapi ibuku bersikeras menyuruhku menunggu sampai panen selesai. Kami masih menegosiasikan hal ini. Pengirimannya butuh waktu dua minggu, dan aku bertekad untuk kembali ke kelas memakai jaket merah The Cardinals
Suatu sore Stick Powers menunggu kami. Aku sedang bersama Gran dan ibuku, dan kami meninggalkan ladang beberapa menit mendahului yang lain. Seperti biasa, Stick duduk di bawah pohon yang berdiri di samping truk Pappy, matanya yang mengantuk menunjukkan bahwa ia baru saja tidur siang.
Ia memegang pinggir topinya, memberi hormat pada ibuku dan Gran, ser
ta berkata, "Sore, Ruth, Kathleen."
"Halo, Stick," sapa Gran. "Ada yang bisa kami bantu""
"Aku mencari Eli atau Jesse."
"Sebentar lagi mereka datang. Ada urusan apa""
Stick mengunyah batang rumput yang menjulur dari bibirnya, dan lama memandangi ladang, seolah-olah hatinya dibebani oleh beratnya berita yang mungkin tidak cocok disampaikan pada perempuan.
"Ada apa, Stick"" Gran bertanya. Dengan satu anak pergi berperang, setiap kunjungan orang ber-seragam jadi menakutkan. Pada tahun 1944, salah satu pendahulu Stick pernah menyampaikan kabar bahwa ayahku terluka di Anzio.
Stick memandang dua wanita itu, dan memutuskan bahwa mereka dapat dipercaya, ia berkata, "Grady, anak sulung keluarga Sisco yang dipenjarakan karena membunuh orang di Jonesboro... well, dia kabur minggu lalu. Kata mereka, dia kembali ke daerah ini."
Beberapa saat dua wanita itu tidak mengatakan apa pun. Gran lega bahwa kabar itu tidak mengenai Ricky. Ibuku sudah jemu dengan urusan keluarga Sisco.
"Sebaiknya kauceritakan saja pada Eli," kata Gran. "Kami harus menyiapkan makan malam."
Mereka minta diri dan masuk ke rumah. Stick memandangi mereka, tak disangsikan lagi tentu membayangkan makan malam.
"Siapa yang dibunuhnya"" tanyaku pada Stick, tak lama sesudah dua wanita itu masuk ke dalam.
"Aku tidak tahu."
"Bagaimana dia membunuhnya""
"Menurut yang kudengar, dia memukuli orang itu dengan sekop."
"Wah, itu pasti pertarungan hebat." "Kukira begitu." .
"Apa menurutmu dia datang mengincar Hank""
"Dengar, aku sebaiknya pergi menemui Eli. Di mana dia sekarang""
Aku menunjuk ke suatu tempat jauh di tengah ladang. Trailer kapas itu nyaris tak terlihat
"Itu cukup jauh," gumam Stick. "Menurutmu aku bisa naik mobil ke sana""
"Tentu saja," kataku sambil berjalan ke mobil patroli. Kami naik.
"Jangan sentuh apa pun," kata Stick ketika kami sudah duduk di jok depan. Aku melongo melihat berbagai tombol dan radio di situ, dan Stick memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memamerkannya. "Ini radionya," katanya sambil mengambil mike. "Yang ini untuk menghidupkan sirene, ini untuk lampu sorot."
"Dengan siapa kau berbicara di radio"" tanyaku.
"Terutama dengan Mabes. Markas besar."
"Di mana markas besarnya""
"Di Jonesboro."
"Bisakah kau menghubungi mereka sekarang juga""
Stick dengan enggan mengambil mike, mendekatkannya ke mulut, memiringkan kepala ke samping, dan sambil mengernyit serius, berkata, "Unit empat ke pusat. Masuk." Suaranya lebih rendah, dan kata-katanya lebih cepat, dengan lagak lebih penting.
Kami menunggu. Ketika Mabes tidak menanggapi, ia memutar kepala ke sisi lain, menekan tombol pada mike, dan mengulangi, "Unit empat ke pusat Masuk."
"Kaukah unit empat""
"Itulah aku." "Ada berapa unit semuanya"" "Tergantung."
Aku menatap ke radio dan menunggu mabes menanggapi Stiek. Rasanya mustahil bagiku bahwa seseorang yang sedang duduk-duduk di Jonesboro bisa berbieara langsung kepadanya, dan bahwa Stiek bisa balas berbicara.
Dalam teori begitulah seharusnya cara kerjanya, tapi rupanya mabes tidak terlalu peduli di mana Stick berada. Untuk ketiga kalinya ia berbicara ke mike, "Unit empat ke pusat. Masuk." Kata-katanya sedikit lebih tegas sekarang.
Dan untuk ketiga kalinya mabes tidak memedulikannya. Sesudah beberapa detik yang panjang, ia menggantungkan kembali mike itu ke radio dan berkata, "Barangkali si Theodore itu tidur lagi."
"Siapa Theodore"" aku bertanya.
"Salah satu operator. Setengah waktu kerjanya dia pakai tidur."
Kau juga, pikirku dalam hati. "Bisakah kau menghidupkan sirenenya"" aku bertanya.
"Tidak. Nanti ibumu takut."
"Bagaimana dengan lampunya""
"Tidak, itu menghabiskan baterai." ia mengulurkan tangan ke kunci kontak; mesin itu mendengus dan mengejan, tapi tak mau menyala
Ia mencoba lagi. dan sebelum sama sekali macet, mesin itu hidup dan menyala, terbatuk-batuk dan berguncang-guncang. Mabes jelas hanya memberi Stick sisa paling parah dari armada mereka. Black Oak sama sekali bukan sarang kegiatan kriminal.
Sebelum ia sempat memasukkan gigi, aku melihat traktor itu bergerak perlahan-lahan di jalan ladang. "M
ereka datang," kataku. Ia menyipitkan mata dan memandang tajam-tajam, lalu mematikan mesin. Kami keluar dari mobil dan berjalan kembali ke pohon tadi.
"Kau mau jadi deputi"" Stick bertanya.
Dan mengendarai mobil patroli bobrok, tidur sepanjang siang, dan berurusan dengan orang-orang seperti Hank Spruill dan Sisco bersaudara" "Aku akan jadi pemain bisbol," kataku.
"Di mana""
"St. Louis." "Oh, begitu," katanya dengan senyum lucu yang biasa diberikan orang-orang dewasa kepada anak-anak yang sedang bermimpi. "Semua anak kecil ingin jadi pemain Cardinals."
Aku masih punya banyak pertanyaan untuknya, kebanyakan berkaitan dengan pistolnya serta peluru-peluru di dalamnya. Dan selama ini aku selalu ingin melihat-lihat borgolnya, untuk memeriksa bagaimana borgol itu dikunci dan dibuka. Ketika ia mengamati trailer tersebut mendekat, aku mengamati revolver dan sarungnya, ingin sekali menanyainya.
Namun Stick sudah menghabiskan cukup banyak waktu bersamaku. Ia ingin aku pergi. Aku menahan deretan pertanyaanku.
Ketika traktor itu berhenti, semua anggota keluarga Spruill dan orang-orang Meksiko itu turun dari trailer.
Pappy dan ayahku langsung menghampiri kami. dan sewaktu mereka berhenti di bawah pohon, suasana sudah penuh ketegangan.
"Apa maumu, Stiek"" Pappy menyalak galak.
Pappy yang terutama merasa kesal dengan Stick dan kehadirannya yang mengusik hidup kami. Masih banyak kapas yang harus kami panen; tak ada urusan lain di luar itu. Stick terus membayang-bayangi kami di kota dan di tempat kami sendiri.
"Ada apa. Stick"" Pappy berkata. Suaranya jelas mengandung nada mencemooh. Ia baru saja menghabiskan sepuluh jam memetik lima ratus pon kapas, dan ia tahu bahwa deputi kami ini tak pernah meneteskan keringat setitik pun selama bertahun-tahun.
"Grady, anak sulung keluarga Sisco yang dipenjarakan karena melakukan pembunuhan, dia kabur minggu lalu. dan kurasa dia kembali ke sini."
"Kalau begitu, pergi dan tangkaplah dia," kata Pappy.
"Aku sedang mencarinya. Kudengar mereka mungkin akan membuat masalah." "Masalah apa misalnya""
"Siapa tahu apa yang akan dilakukan keluarga Sisco" Tapi mereka mungkin akan mencari Hank."
"Coba saja mereka datang kemari," kata Pappy, tak sabar menanti perkelahian seru. "Kudengar mereka punya senjata api."
"Aku pun punya senjata. Stick. Sampaikan pada Sisco bersaudara itu bahwa kalau aku sampai melihat mereka dekat-dekat tempat ini, akan kuledakkan kepala tolol mereka." Pappy praktis mendesis pada Stick ketika menyelesaikan ucapannya. Bahkan ayahku tampak bersemangat dengan gagasan melindungi hak milik dan keluarganya.
"Itu takkan terjadi di sini," kata Stick. "Katakan pada anakmu itu agar tidak ke kota."
"Kauberitahulah sendiri," Pappy membentak. "Dia bukan anakku. Aku tidak peduli apa yang terjadi padanya."
Stick melihat ke halaman depan, tempat keluarga Spruill sedang sibuk menyiapkan makan malam. Ia tidak berniat pergi ke sana.
ia memandang Pappy dan berkata, "Beritahu dia, Eli." ia berbalik dan berjalan ke mobilnya.
Mobil itu merengek dan terbatuk-batuk, dan akhirnya menyala; kami menyaksikannya kembali ke jalan dan berlalu.
Sesudah makan malam, aku sedang menyaksikan ayahku menambal ban dalam traktor kami ketika Tally muncul di kejauhan. Hari sudah menjelang malam, tapi belum gelap, dan ia sepertinya terus mencari tempat terlindung saat bergerak ke arah sih. Aku mengamatinya dengan cermat, sampai ia berhenti dan melambai padaku agar mengikutinya. Ayahku menggumam bahwa tambalan itu kurang baik, dan aku menyelinap pergi ke arah rumah. Lalu aku lari di belakang truk kami, menemukan tempat terlindung, dan dalam beberapa detik kami sudah berjalan di deretan ladang, kurang-lebih ke arah Sungai Siler.
"Mau ke mana kau"" aku bertanya, sesudah jelas bahwa ia tidak akan bicara lebih dulu
"Aku tidak tahu. Cuma jalan-jalan."
"Kau mau pergi ke sungai""
Ia tertawa lirih dan berkata, "Kau suka ya, Luke" Kau ingin melihatku lagi, bukan""
Pipiku terasa panas, dan aku tidak tahu mesti mengucapkan apa.
"Mungkin nanti," katanya.
Aku ingin menanyainya soal si Koboi, tapi soal itu rasanya
begitu buruk dan pribadi, sehingga aku tidak berani mengungkit-ungkitnya. Dan aku ingin menanyai bagaimana ia tahu Libby Latcher mengatakan bahwa Ricky-lah ayah bayinya, tapi untuk hal satu ini pun aku tak berani "menanyakan. Tally selalu misterius, selalu muram, dan aku sangat menyanjungnya. Berjalan bersamanya di jalan setapak sempit itu membuatku merasa seperti berumur dua puluh tahun.
"Apa yang diinginkan deputi itu"" tanyanya.
Kuceritakan semuanya kepadanya. Stick tidak menyampaikan rahasia apa pun. Sisco bersaudara omong besar, dan mereka cukup sinting untuk mencoba berbuat sesuatu. Kusampaikan semua itu pada Tally.
Ia merenungkan itu sementara kami berjalan, lalu bertanya, "Apa Stick akan menangkap Hank karena membunuh pemuda itu""
Aku harus hati-hati di sini. Keluarga Spruill memang sedang berperang satu sama lain, tapi begitu ada sedikit saja tanda ancaman dari luar. mereka akan bersatu padu. "Pappy khawatir kalian semua akan pergi." kataku.
"Apa kaitannya dengan Hank"" "Kalau dia ditangkap, kalian semua mungkin akan pergi."
"Kami tidak akan pergi, Luke. Kami butuh uang." Kami sudah berhenti berjalan, ia memandangiku.
dan aku mengamati kakiku yang telanjang. "Kukira Stick mau menunggu sampai kapas selesai dipetik," kataku.
Ia mendengarkan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, lalu berbalik dan mulai berjalan kembali ke arah rumah. Aku mengikutinya, yakin bahwa aku sudah bicara terlalu banyak, ia mengucapkan selamat malam di sih dan menghilang dalam kegelapan.
Berjam-jam kemudian, saat aku seharusnya sudah tidur, melalui jendela yang terbuka kudengar keluarga Spruill saling menggeram dan membentak. Hank selalu ada di tengah setiap perkelahian. Aku tidak selalu bisa mendengar apa yang mereka katakan atau omelkan, tapi rasanya setiap pertengkaran baru pasti disebabkan oleh apa yang dikatakan atau dilakukan Hank. Mereka letih; ia tidak. Mereka bangun sebelum fajar dan membanting tulang di ladang, sedikitnya sepuluh jam; ia tidur selarut yang ia inginkan, lalu memetik kapas dengan kecepatan semaunya.
Dan jelaslah bahwa ia bergentayangan lagi di waktu malam. Miguel sudah menunggu di tangga belakang ketika ayahku dan aku membuka pintu dapur, dalam perjalanan mengumpulkan telur dan susu untuk sarapan. Ia memohon pertolongan. Lemparan-lemparan itu kembali terjadi; seseorang telah melempari gudang dengan gumpalan-gumpalan besar tanah sampai sesudah tengah malam. Orang-orang Meksiko itu kelelahan dan gusar, dan akan terjadi perkelahian entah apa.
Inilah satu-satunya topik percakapan kami selama sarapan, dan Pappy begitu gusar, sehingga ia hampir tidak makan. Diputuskan bahwa Hank harus pergi, dan walau seandainya seluruh keluarga Spruill ikut pergi bersamanya, kami pasti bisa membereskan panen, entah dengan cara bagaimana. Sepuluh orang Meksiko yang bekerja keras dan cukup beristirahat jauh lebih berharga daripada keluarga Spruill.
Pappy beranjak meninggalkan meja dan langsung pergi ke halaman depan dengan ultimatumnya, tapi ayahku menenangkannya. Mereka memutuskan akan menunggu sampai selesai kerja, dengan demikian masih mendapatkan satu hari kerja penuh dari keluarga Spruill. Ditambah lagi, kecil kemungkinan mereka akan membongkar perkemahan menjelang gelap.
Aku hanya mendengarkan. Aku ingin ikut bicara dan menguraikan percakapanku dengan Tally, terutama ucapannya bahwa keluarganya butuh uang. Menurutku, mereka sama sekali tidak akan pergi, tapi akan dengan senang hati menyingkirkan Hank. Namun pendapatku tidak pernah diharapkan dalam pembicaraan keluarga yang tegang seperti ini. Aku mengunyah biskuit dan mendengarkan setiap patah kata.
"Bagaimana dengan Stick"" Gran bertanya.
"Bagaimana apa"" Pappy menyalak ke arahnya.
"Kau semula akan memberitahu Stick begitu kau beres dengan Hank."
Pappy menggigit sepotong daging panggang dan merenungkan ini.
Gran selangkah lebih maju, tapi itu karena ia mampu berpikir tanpa rasa marah. Ia meneguk kopi dan berkata, "Menurutku kau harus memberitahu Mr. Spruill bahwa Stick akan menahan Hank Biarkan bocah itu menyelinap pergi di waktu malam. Dia akan pergi, dan i
tulah yang penting, dan keluarga Spruill akan berterima kasih karena kau melindunginya agar tidak ditahan"
Rencana Gran sangat masuk akal. Ibuku bahkan tersenyum sedikit. Sekali lagi para wanita itu menganalisis situasi lebih cepat daripada para pria.
Pappy tidak mengucapkan apa-apa lagi. Ayahku cepat-cepat menyelesaikan sarapan dan pergi ke luar. Matahari belum lagi naik di atas pepohonan di kejauhan, namun hari itu sudah begitu seru.
Sesudah makan siang. Pappy tiba-tiba berkata, "Luke, kita akan pergi ke kota. Trailer sudah penuh."
Trailer itu belum sepenuhnya penuh, dan kami tidak pernah membawanya ke pabrik pemisah biji di tengah hari. Tapi aku tidak berniat menolak. Pasti ada sesuatu.
Hanya ada empat trailer di depan kami ketika kami tiba di pabrik. Biasanya, pada saat seperti ini di tengah musim panen, sedikitnya ada sepuluh trailer, tapi kami selalu datang sesudah makan malam, ketika tempat itu penuh sesak dengan para petani. "Siang memang saat yang baik untuk pergi ke pabrik," kata Pappy.
Ia meninggalkan kuncinya di truk, dan sewaktu kami berjalan pergi ia berkata, "Aku perlu pergi ke Co-op. Ayo kita ke Main Street." Aku senang mendengarnya.
Kota Black Oak berpenduduk tiga ratus orang, dan mereka semua tinggal dalam jarak lima menit dari Main Street. Aku sering kali membayangkan betapa senangnya punya rumah kecil yang rapi, di tepi jalan berpohon rindang, hanya selemparan batu dari toko Pop dan Pearl dan teater Dixie, tanpa harus melihat tanaman kapas di mana pun.
Setengah jalan di Main Street, kami mendadak berbelok. "Pearl ingin ketemu denganmu," kata Pappy sambil menunjuk ke rumah keluarga Watson di sebelah kanan. Aku belum pernah datang ke rumah Pop dan Pearl, belum pernah punya alasan untuk masuk ke sana. tapi aku pernah melihatnya dari luar. Rumah itu satu dari beberapa rumah di kota ini yang memakai bata.
"Apa"" aku bertanya keheranan.
ia tidak mengucapkan apa-apa lagi, dan aku hanya mengikuti.
Pearl sedang menunggu di pintu. Ketika kami masuk, aku bisa mencium aroma manis dan sedap dari sesuatu yang sedang dipanggang, meskipun aku masih terlalu bingung untuk menyadari bahwa ia sedang menyiapkan sesuatu untukku, ia membelai kepalaku dan mengedip pada Pappy. Di satu sudut ruangan itu. Pop sedang membungkuk memunggungi kami, mengotak-atik sesuatu. "Kemarilah, Luke," katanya tanpa menoleh.
Aku pernah mendengar bahwa mereka punya televisi. Televisi pertama di county kami dibeli setahun sebelumnya oleh Mr. Harvey Gleeson, pemilik bank, tapi ia seorang penyendiri, dan sejauh yang kuketahui, tak seorang pun pernah melihat televisinya. Beberapa anggota gereja punya sanak di Jonesboro yang memiliki televisi, dan tiap kali pulang dari berkunjung ke sana. mereka tak henti-hentinya bicara tentang penemuan baru yang luar biasa ini. Dewayne pernah melihatnya di balik jendela toko di Blytheville, dan di sekolah ia berjalan pongah membanggakan hal ini sampai cukup lama.
"Duduklah di sini," Pop berkata sambil menunjuk ke suatu tempat di lantai, tepat di depan pesawat televisi itu. Ia masih menyetel tombol-tombolnya. "Ini adalah pertandingan World Scries," katanya. "Pertandingan ketiga, Dodgers di Yankee Stadium."
Aku tersentak; mulutku ternganga. Aku terlalu tercengang untuk bergerak. Tiga kaki dariku ada sebuah layar kecil dengan garis-garis menari di permukaannya. Layar itu ada di. tengah kotak kayu berwarna gelap, dengan tulisan Motorola berlapis krom di bawah deretan tombol. Pop memutar salah satu tombol, dan tiba-tiba kami mendengar suara gemeresik seorang penyiar menjelaskan suatu pukulan groundball ke shortstop. Kemudian Pop memutar dua tombol sekaligus, dan gambar itu pun menjadi jelas.
Itu adalah pertandingan bisbol. Siaran langsung dari Yankee Stadium, dan kami menyaksikannya di Black Oak, Arkansas!
Kursi-kursi bergeser di belakangku, dan aku bisa merasakan Pappy beringsut mendekat. Pearl bukan penggemar bisbol. Ia menyibukkan diri di dapur selama beberapa menit, lalu muncul dengan sepiring kue cokelat dan segelas susu. Aku mengambilnya dan mengucapkan terima kasih. Kue itu baru keluar dari
oven dan aromanya lezat. Tapi aku tidak bisa makan, tidak saat ini.
Ed Lopat melempar bola untuk The Yankees, Preacher Roe untuk The Dodgers. Mickey Mantle, Yogi Berra, Phil Rizzuto, Hank Bauer, Billy Martin bersama The Yankees, dan Pee Wee Reese, Duke Snider. Roy Campanella, Jackie Robinson, dan Gd Hodgers bersama The Dodgers. Mereka semua ada di sana, di dalam ruang duduk Pop dan Pearl, bermain di hadapan enam puluh ribu penggemar di Yankee Stadium. Aku begitu tersihir hingga bisu Aku hanya menatap televisi itu, menonton tapi tak mempercayainya.
"Makan kuenya, Luke," Pearl berkata ketika ia melewati ruangan. Ucapannya lebih berupa perintah daripada tawaran, dan aku mengambil sepotong.
"Siapa yang kaujagokan"" tanya Pop.
"Aku tidak tahu," gumamku, dan memang benar aku tidak tahu. Selama ini aku diajar untuk membenci dua tim itu. Dan memang gampang membenci mereka bila mereka berada jauh di New York sana, di dunia lain. Tapi kini mereka ada di Black Oak, memainkan permainan yang kucintai, disiarkan langsung dari Yankee Stadium. Kebencianku pun sirna. "Dodgers, kukira," kataku.
"Selalu pilih Liga Nasional," Pappy berkata di belakangku.
"Kukira begitu," kata Pop enggan. "Tapi sulit sekali untuk berpihak pada The Dodgers."
Pertandingan itu disiarkan ke dunia kami oleh Saluran 5 di Memphis, stasiun yang berafiliasi dengan National Broadcasting Company, apa pun arti semua itu. Ada iklan rokok Lucky Strike, Cadillac, Coca-Cola, dan Texaco. Di antara satu inning ke inning lain, pertandingan itu menghilang dan diselingi dengan iklan dan bila siaran iklan selesai, layar berganti lagi, dan kami pun kembali ke dalam Yankee Sta dium. Sungguh pengalaman mencengangkan, pengalaman yang sepenuhnya menyerap perhatianku. Selama satu jam aku dibawa melancong ke dunia lain.
Pappy ada urusan, dan sesudah beberapa lama ia meninggalkan rumah itu dan berjalan ke Main Street. Aku tidak mendengarnya pergi, tapi saat siaran iklan, aku menyadari bahwa ia sudah pergi.
Yogi Berra memukul home run, dan ketika menyaksikannya mengelilingi base demi base di hadapan enam puluh ribu penggemar fanatik, aku tahu aku takkan pernah lagi bisa membenci The Yankees. Mereka adalah legenda, pemain-pemain terbesar pada tim-tim terbesar dalam permainan yang kuketahui. Aku jadi jauh lebih lembek tentang itu. tapi aku bersumpah akan menyimpan perasaan baru itu dalam hati. Pappy tidak akan membiarkan seorang simpatisan Yankee di rumahnya.
Di puncak inning kesembilan, Berra membiarkan satu lemparan melewatinya. The Dodgers mencetak dua home run dan memenangkan permainan. Pearl membungkus kue-kue itu dengan foil dan menyuluhku membawanya. Aku mengucapkan terima kasih pada Pop karena telah memperkenankan aku menikmati petualangan mencengangkan ini, dan aku bertanya apakah aku bisa kembali lagi kelak, bila The Cardinals bermain.
"Tentu," katanya, "tapi itu mungkin masih lama."
Rumah Bercat Putih A Painted House Karya John Grisham di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Berjalan kembali ke pabrik pemisah biji kapas, aku mengajukan beberapa pertanyaan pada Pappy tentang dasar-dasar siaran televisi. Ia bicara tentang sinyal dan menara dalam istilah-istilah yang tidak jelas dan membingungkan, dan akhirnya mengakui bahwa ia tidak tahu banyak tentang itu, mengingat televisi adalah penemuan yang masih sangat baru. Aku bertanya kapan kami akan punya televisi. "Kapan-kapan nanti," katanya, seolah-olah itu takkan pernah terjadi. Aku merasa malu menanyakannya.
Kami menarik trailer yang sudah kosong kembali ke ladang, dan aku memetik kapas sampai usai jam kerja. Selama makan malam, para orang dewasa memberikan kesempatan padaku untuk berbicara. Aku pun bicara nonstop tentang pertandingan itu, tentang pariwara, dan segala yang kusaksikan di televisi Pop dan Pearl.
Amerika modern perlahan-lahan mulai menyerbu pedalaman Arkansas.
Dua Puluh lima MENJELANG gelap, ayahku dan Mr. Leon Spruill pergi berjalan-jalan melewati sih. Ayahku menjelaskan bahwa Stick Powers sedang bersiap-siap menahan Hank karena membunuh Jerry Sisco. Lagi pula, karena Hank menimbulkan banyak masalah, mungkin sekarang adalah saat yang tepat baginya untuk menyelinap pergi di waktu malam
dan kembali ke pegunungan. Rupanya Mr. Spruill menerima penjelasan tersebut dengan baik dan tidak mengancam untuk pergi. Tally benar; mereka butuh uang. Dan mereka sudah muak dengan Hank. Tampaknya mereka akan tinggal dan menyelesaikan panen.
Kami duduk di teras depan sambil mengamati dan mendengarkan. Tidak terdengar kata-kata keras, tidak ada tanda-tanda mereka akan membongkar perkemah-an. Tidak pula ada tanda-tanda bahwa Hank mungkin akan pergi. Dalam keremangan, kami bisa sekali-sekali melihatnya hilir-mudik di perkemahan mereka, duduk di sebelah perapian, membongkar-bongkar mencari sisa makanan. Satu demi satu anggota keluarga Spruill pergi tidur. Demikian pula kami.
Aku menyelesaikan doaku dan berbaring di ranjang Ricky, tak bisa tidur memikirkan The Yankees dan The Dodgers, ketika terdengar pertengkaran merebak di kejauhan. Aku merayap di lantai dan mengintip melalui jendela. Semua gelap dan diam, dan beberapa saat aku tak bisa melihat siapa pun. Bayang-bayang bergerak, dan di samping jalan aku bisa melihat Mr. Spruill dan Hank berdiri berhadap-hadapan, keduanya berbicara bersamaan. Aku tidak mengerti apa yang mereka ucapkan, tapi mereka berdua jelas sedang marah.
Ini terlalu bagus untuk dilewatkan. Aku merayap ke gang dan berhenti cukup lama untuk memastikan bahwa semua orang dewasa sudah tertidur. Kemudian aku merangkak melintasi ruang duduk, melewati pintu kasa, menuju teras, menuruni tangga, dan berlari ke pagar hijau di sisi timur tanah kami. Bulan sabit dan awan berserakan di langit, dan sesudah beberapa menit mengendap-endap, aku sampai cukup dekat ke jalan. Mrs. Spruill sudah bergabung dalam pembicaraan itu. Mereka bertengkar tentang penganiayaan Sisco. Hank bersikeras menyatakan diri tak bersalah. Orang-tuanya tak ingin ia ditahan.
"Akan kubunuh deputi gemuk itu," geramnya
"Pulanglah ke rumah, Nak, biarkan suasana mendingin dulu," Mrs. Spruill terus berkata.
"Keluarga Chandler ingin kau pergi." Mr. Spruill berkata.
"Aku punya uang lebih banyak daripada yang pernah dimiliki para pengais tanah itu," tukas Hank.
Pertengkaran itu melebar ke berbagai jurusan. Hank mengucapkan kata-kata kasar tentang kami, orang-orang Meksiko, Stick Powers, Sisco bersaudara, seluruh penduduk Black Oak, dan ia bahkan punya beberapa kata pilihan untuk orangtuanya sendiri serta Bo dan Dale. Hanya Tally dan Trot yang tidak disinggung-singgung. Bahasanya makin kasar dan suaranya makin keras, tapi Mr. dan Mrs. Spruill tidak mundur.
"Baiklah, aku akan pergi," akhirnya ia berkata, dan ia berjalan marah ke tenda untuk mengambil sesuatu. Aku menyelinap ke pinggir jalan, lalu cepat-cepat menyeberanginya dan masuk ke dalam ladang kapas Jeter di sisi lain jalan tersebut. Aku bisa dengan jelas melihat halaman depan kami. Hank sedang menjejalkan makanan dan pakaian ke dalam sebuah tas kanvas tua. Menurut dugaanku, ia tentu akan berjalan ke jalan raya dan mulai mencari tumpangan. Aku menerobos deretan tanaman kapas dan merangkak menyusuri pinggiran selokan yang dangkal, menuju ke arah sungai. Aku ingin melihat Hank saat ia berjalan lewat.
Mereka masih bertengkar beberapa saat lagi. lalu Mrs. Spruill berkata, "Dalam beberapa minggu kita akan pulang." Pembicaraan berhenti, dan Hank melangkah marah melewatiku, di tengah jalan, dengan tas tersandang di pundak. Aku beringsut ke ujung deretan kapas dan mengamatinya menuju jembatan.
Aku tak bisa menahan senyum. Kedamaian akan pulih kembali di pertanian kami. Aku masih berjongkok di sana, lama sesudah Hank menghilang, dan bersyukur kepada bintang-bintang bahwa ia akhirnya pergi.
Aku sudah hendak kembali ketika tiba-tiba sesuatu bergerak tepat di seberang jalan di depanku. Batang-batang kapas bergoyang gemeresik sedikit, dan seorang laki laki bangkit berdiri dan melangkah ke depan. Ia merunduk rendah dan cepat, jelas mencoba agar tidak terlihat. Ia menengok ke belakang, ke arah rumah kami. dan sedetik itu cahaya rembulan menyinari wajahnya. Ternyata si Koboi.
Beberapa detik aku terlalu ketakutan untuk bergerak Aku aman di seberang jalan, di lahan Jeter, tersembunyi oleh tanaman kapas
mereka. -Aku ingin mundur, bergegas kembali ke rumah, naik ke ranjang Ricky.
Tapi aku pun ingin melihat apa yang hendak dilakukan si Koboi.
Si Koboi tetap berada di parit sedalam lutut, bergerak cepat, tanpa suara. Ia maju, lalu berhenti dan mendengarkan. Bergerak maju. lalu berhenti lagi. Aku tertinggal seratus kaki di belakangnya, masih di lahan Jeter, bergerak secepat yang berani kulakukan. Kalau ia mendengarku, aku akan menyelinap di antara tanaman kapas yang rimbun.
Tak lama kemudian, aku bisa melihat sosok Hank yang besar, masih di tengah jalan, pulang ke rumah tanpa tergesa-gesa. Si Koboi memperlambat pengejarannya, dan aku pun mengendurkan langkah.
Aku bertelanjang kaki, dan seandainya aku menginjak seekor ular cottonmouth, aku akan mati secara mengerikan. Pulanglah, hatiku berkata Menyingkirlah dari sana.
Kalau si Koboi ingin berkelahi, mengapa ia menunggu" Tanah pertanian kami kini sudah di luar jangkauan penglihatan dan pendengaran. Tapi sungai itu ada di depan sana, dan mungkin itulah yang diinginkan si Koboi.
Ketika Hank mendekati jembatan, si Koboi mempercepat langkah dan mulai berjalan di tengah jalan. Aku tetap tinggal di tepi hamparan tanaman kapas, berkeringat dan terengah-engah, dan dalam hati bertanya mengapa aku begitu tolol.
Hank sampai ke sungai dan mulai melangkah di jembatan. Si Koboi mulai berlari. Ketika Hank sampai di tengah, si Koboi berhenti cukup lama untuk mengayunkan lengan dan melemparkan sepotong batu. Batu tersebut mendarat pada papan kayu di dekat Hank, yang kemudian menghentikan langkah dan memutar badan. "Ayo. kau Meksiko kecil," ia menggeram.
Si Koboi tidak menghentikan langkah, ia berada di atas jembatan, mendaki bagian yang agak menanjak, tak memperlihatkan perasaan takut sedikit pun. sementara Hank menunggu dan mengumpatnya. Hank tampak dua kali lebih besar daripada si Koboi. Mereka akan bertemu di tengah jembatan, dan tak disangsikan lagi bahwa salah satu di antara mereka akan basah kuyup
Ketika mereka sudah dekat, si Koboi tiba-tiba mengayunkan tangan kembali dan melemparkan batu lagi, dalam jarak yang amat dekat. Hank merunduk, dan entah bagaimana berhasil menghindarinya. Kemudian ia menerjang si Koboi. Belati itu berdetak membuka, dan dalam sekejap sudah terlibat perkelahian. Si Koboi memegangnya tinggi-tinggi. Hank mengatur posisi cukup lama untuk mengayunkan tasnya dengan ganas. Tas itu menyerempet si Koboi dan menjatuhkan topinya. Mereka saling mengitari di jembatan sempit itu. sama-sama mencari kesempatan. Hank menggeram dan mengumpat, pandangan matanya terus tertuju pada belati, lalu ia meraih sesuatu di dalam tas dan mengeluarkan sebuah guci kecil entah apa. Ia memegangnya seperti bola bisbol dan bersiap melemparkannya. Si Koboi tetap merunduk rendah, menekuk lutut dan pinggang, menunggu saat yang tepat. Keduanya saling mengitar perlahan-lahan, masing-masing hanya beberapa inci dari tepi jembatan.
Hank melenguh keras dan melemparkan guci itu sekeras-kerasnya ke arah si Koboi, yang hanya terpisah kurang dari sepuluh kaki. Botol itu mengenainya di leher atau tenggorokan. aku tidak tahu persis, dan sedetik itu si Koboi terhuyung-huyung, seolah-olah akan terjatuh. Hank melemparkan tas ke arahnya dan menerjang maju. Namun dengan kecepatan menakjubkan si Koboi memindahkan belatinya dengan tangan yang lain, mengambil batu dari saku kanan, dan melemparkannya lebih keras daripada bola bisbol yang pernah ia lemparkan. Batu itu mengenai bagian wajah Hank. Aku tidak bisa melihatnya, tapi aku mendengarnya dengan jelas. Hank menjerit dan memegangi wajahnya, dan saat ia berhasil memulihkan diri, segalanya sudah terlambat.
Si Koboi merunduk rendah, lalu menyergap dan menusukkan pisau belatinya ke perut dan dada Hank. Hank melepaskan lolong kesakitan, penuh kengerian dan kekagetan.
Kemudian si Koboi mencabut belatinya dan me-nikamkannya lagi berkali-kali. Hank jatuh bertumpu di satu lutut, lalu dua. Mulutnya ternganga, tapi tak ada suara yang keluar. Ia hanya menatap si Koboi, wajahnya membeku ketakutan.
Dengan tikaman-tikaman cepat dan keji, si Koboi membantai dan m
enyelesaikan pekerjaan itu. Ketika Hank ambruk dan tak bergerak lagi, si Koboi dengan cepat menggeledah saku celana Hank dan merampoknya. Lalu ia menyeret Hank ke pinggir jembatan dan mendorongnya. Mayat itu mendarat disertai percikan air, dan langsung tenggelam ke bawah. Si Koboi memeriksa tas itu, tak menemukan apa pun yang ia inginkan, dan melemparkannya juga ke sungai, ia berdiri di pinggir jembatan dan lama mengamatinya.
Aku tidak punya niat untuk bergabung dengan Hank, maka aku menenggelamkan diri di antara dua lajur tanaman kapas dan bersembunyi begitu rendah, sehingga aku sendiri pun takkan dapat menemukan diriku sendiri. Jantungku berdebar lebih kencang daripada kapan pun. Aku gemetar dan berkeringat, menangis dan berdoa sekaligus. Aku seharusnya berada di ranjang, aman dan tidur bersama orangtuaku di kamar sebelah dan kakek-nenekku di kamar di dekatnya. Tapi mereka serasa begitu jauh. Aku sendirian di lubang persembunyian yang dangkal, sendiri dan ketakutan dan dalam bahaya besar. Aku baru saja menyaksikan sesuatu yang masih belum bisa kuper-cayai.
Aku tidak tahu berapa lama si Koboi berdiri di jembatan itu, mengawasi aliran air, memastikan Hank sudah menghilang. Awan menutupi bulan sabit, dan aku nyaris tak dapat melihatnya. Ketika awan itu tersibak lagi, itu dia, masih berdiri, topi koboinya yang kotor miring ke satu sisi. Sesudah lama berdiri di sana, ia berjalan meninggalkan jembatan dan berhenti di tepi sungai untuk mencuci belatinya, ia mengamati sungai itu beberapa lama, lalu berbalik dan mulai melangkah menyusuri jalan. Ketika melewatiku, ia terpisah sekitar dua puluh kaki. dan aku merasa seperti terkubur sedikitnya dua kaki di dalam tanah.
Lama sekali aku menunggu, sampai ia menghilang dari pandangan, sampai tak mungkin lagi ia bisa mendengarku, lalu aku merangkak keluar dari lubang persembunyianku yang kecil dan mulai menempuh perjalanan pulang. Aku tidak tahu pasti apa yang akan kulakukan itu aku tiba di sana, tapi aku akan aman. Aku akan memikirkan sesuatu.
Aku terus merunduk rendah, bergerak di antara rumput ilalang tinggi di sepanjang pinggiran ladang. Sebagai petani, kami benci ilalang, tapi untuk pertama kali dalam hidupku aku bersyukur ada ilalang itu. Aku ingin bergegas, berlari di tengah jalan dan pulang secepatnya, tapi aku ketakutan, dan kakiku terasa berat. Keletihan dan ketakutan mencengkeram diriku, dan kadang-kadang aku hampir tak bisa bergerak. Lama sekali sebelum aku melihat bayangan rumah dan gudang kami. Aku mengawasi jalan di depanku, yakin bahwa si Koboi ada di sana, entah di mana, mengawasi belakang dan sekelilingnya. Aku mencoba tidak memikirkan Hank. Hatiku terlalu resah ingin segera sampai ke rumah.
Ketika berhenti untuk menenangkan napas, aku menangkap bau yang dapat dipastikan bau orang Meksiko. Mereka jarang mandi, dan sesudah beberapa hari memetik kapas, tubuh mereka mengeluarkan bau khas.
Bau itu lewat dengan cepat, dan sesudah satu-dua menit terengah-engah, dalam hati aku bertanya apakah itu cuma bayanganku saja. Tak mau mengambil risiko, aku mundur sekali lagi ke tengah tanaman kapas Jeter dan perlahan-lahan menuju ke timur, menerobos lajur demi lajur, tanpa suara. Ketika aku bisa melihat tenda putih perkemahan Spruill. tahulah aku bahwa aku sudah hampir tiba di rumah.
Apa yang akan kukatakan mengenai Hank" Yang sebenarnya, tanpa kebohongan. Aku sudah cukup terbebani dengan banyak rahasia; tak ada tempat lagi untuk rahasia lain, terutama yang seberat ini. Aku akan merangkak masuk ke kamar Ricky, mencoba tidur, dan kalau ayahku membangunkan aku untuk mengumpulkan telur dan susu, aku akan menuturkan seluruh kisahnya. Setiap langkah, setiap gerakan, setiap tikaman belati - ayahku akan mendengar semuanya. Ia dan Pappy akan pergi ke kota untuk melaporkan pembunuhan tersebut kepada Stick Powers, dan sebelum makan siang, mereka tentu sudah mengurung si Koboi di penjara. Mereka mungkin akan menggantungnya sebelum Natal.
Hank sudah mati. Si Koboi akan masuk penjara. Keluarga Spruill akan berkemas dan pergi, tapi aku tak peduli. Aku tak ingin bertemu lagi dengan a
nggota keluarga Spruill mana pun, bahkan dengan Tally pun tidak. Aku ingin semua orang menyingkir dari pertanian kami dan hengkang dari hidup kami.
Aku ingin Ricky pulang dan keluarga Latcher pindah, lalu segalanya akan kembali normal.
Ketika sudah dalam jarak lari cepat ke teras depan, aku memutuskan untuk bergerak Sarafku kacau balau, kesabaranku menghilang. Aku sudah berjam-jam bersembunyi, dan aku muak. Aku lari ke ujung deretan kapas dan melangkahi selokan, menuju jalan. Aku merunduk rendah, mendengarkan sebentar, dan mulai berlari. Sesudah dua langkah, mungkin tiga, terdengar suara dari belakang, lalu sebuah tangan menarik kakiku dan aku pun terjungkal. Si Koboi berada di atasku, satu lutut menindih dadaku, belati itu hanya terpisah satu inci dari hidungku. Matanya menyala-nyala. "Diam!" ia mendesis.
Kami berdua tersengal-sengal dan bercucuran keringat, dan bau badannya menerpaku dengan keras; tak salah lagi, bau yang sama seperti yang tercium olehku beberapa menit sebelumnya. Aku berhenti meronta dan mengertakkan gigi. Lututnya meremukkan aku.
"Dari sungai"" ia bertanya.
Aku menggelengkan kepala menyangkal. Keringat dari dagunya menetes ke mataku dan terasa pedih, ia menggoyang belati itu sedikit, seolah-olah aku belum bisa melihatnya.
"Kalau begitu, dari mana kau tadi"" ia bertanya.
Aku menggelengkan kepala lagi; aku tak mampu berbicara. Kemudian kusadari bahwa seluruh tubuhku gemetar, menggigil ketakutan.
Ketika sudah jelas bahwa aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, ia menggeser ujung mata pisaunya dan menepuk keningku. "Kau buka mulut tentang malam ini," katanya perlahan-lahan, matanya berbicara lebih banyak daripada mulutnya, "akan kubunuh ibumu. Mengerti""
Aku mengangguk keras-keras. Ia berdiri dan berjalan pergi, dengan cepat menghilang dalam kegelapan, meninggalkan aku di atas debu dan tanah jalan kami. Aku mulai menangis dan merangkak, dan berhasil mencapai truk kami sebelum jatuh tak sadarkan diri.
Mereka menemukanku di kolong ranjang mereka. Dalam kebingungan, dengan orangtuaku berseru-seru memanggilku dan menanyaiku tentang segalanya - pakaianku yang kotor, goresan pada lenganku, mengapa aku tidur di kolong ranjang mereka - aku berhasil mengarang cerita bahwa aku mimpi buruk. Hank tenggelam! Dan aku pergi memeriksanya.
"Kau tidur berjalan!" ibuku berkata dengan perasaan tak percaya, dan aku langsung menyambar kesempatan ini.
"Kurasa begitu," kataku sambil mengangguk. Setelah itu segalanya terasa kabur-aku letih dan ketakutan luar biasa, dan tidak tahu pasti apakah yang kusaksikan di sungai itu benar-benar terjadi atau sekadar mimpi. Aku merasa ngeri membayangkan berhadapan lagi dengan si Koboi.
"Ricky dulu suka begitu," Gran menambahkan dari lorong. "Suatu malam pernah dia tidur jalan melewati sih."
Ini agak membantu menenangkan situasi. Mereka membawaku ke dapur dan mendudukkanku di depan meja. Ibuku menggosok-gosok badanku, sementara Gran mengobati luka gores pada tanganku karena ilalang. Para pria melihat bahwa urusan sudah terkendali, maka mereka pergi untuk mengumpulkan telur dan susu.
Halilintar bergemuruh keras, tepat ketika kami akan makan, dan suara itu sungguh melegakan hatiku. Kami tidak akan pergi ke ladang selama beberapa jam. Aku tidak akan dekat-dekat si Koboi.
Mereka mengawasi saat aku makan sedikit demi sedikit. "Aku baik-baik saja," kataku akhirnya.
Hujan turun deras dan keras menimpa atap seng kami. menenggelamkan percakapan sehingga kami makan tanpa berbicara, para pria mengkhawatirkan nasib kapas itu, para wanita khawatir denganku.
Aku sudah punya cukup kekhawatiran untuk meremukkan kami semua.
"Boleh aku menghabiskannya nanti"" aku bertanya sambil mendorong sedikit piringku. "Aku ngantuk sekali."
Ibuku memutuskan bahwa aku mesti kembali tidur dan beristirahat selama yang kubutuhkan. Ketika para wanita itu membereskan meja, aku berbisik pada ibuku dan bertanya apakah ia mau berbaring-baring menemaniku. Tentu saja ia bersedia.
Ia jatuh tertidur sebelum aku. Kami berbaring di ranjang orangtuaku. di kamar mereka yang remang-remang, tenang, dan sejuk,
mendengarkan hujan, sementara para pria duduk di dapur tak jauh dari sana, meneguk kopi dan menunggu, dan aku merasa aman
Aku ingin hujan turun selamanya. Orang-orang Meksiko dan keluarga Spruill akan pergi. Si Koboi akan dikirim pulang ke kampungnya, kembali ke tempat ia bisa mengiris dan menusuk segala yang ia inginkan, dan aku takkan pernah mengetahuinya. Dan suatu saat nanti, di musim panas, ketika rencana panen disusun, aku akan memastikan bahwa Miguel dan rekan-rekan Meksiko-nya tidak akan kembali ke county kami.
Aku ingin ibuku berada di sampingku, bersama ayahku di dekat sana. Aku ingin tidur, tapi ketika memejamkan mata, aku melihat Hank dan si Koboi di atas jembatan. Sekonyong-konyong aku berharap Hank masih di sana, masih di perkemahan Spruill, mengobrak-abrik barang untuk mencari biskuit, masih melempari batu ke gudang di waktu malam. Dengan begitu, berarti semua ini hanyalah mimpi.
Dua Puluh Enam AKU menempel terus pada ibuku sepanjang hari, sesudah badai berlalu, sesudah makan siang, sesudah mereka semua pergi ke ladang dan kami tinggal di rumah. Ada bisik-bisik di antara orangtuaku dan kerutan kening dari ayahku, tapi ibuku tak tergoyahkan. Ada saatnya anak kecil butuh bersama ibu mereka. Aku takut membiarkannya lepas dari pandangan.
Memikirkan akan menceritakan apa yang kulihat di jembatan itu saja sudah membuatku lemas. Aku mencoba tidak memikirkan pembunuhan tersebut, atau kemungkinan menceritakannya, tapi mustahil untuk memikirkan apa-apa lainnya.
Kami mengumpulkan sayur-mayur dari kebun. Aku mengikuti ibuku dengan keranjang anyaman, mataku terarah ke segala penjuru, berjaga kalau-kalau si Koboi melompat entah dari mana dan membantai kami berdua. Aku bisa mencium baunya, merasakannya, mendengarnya. Aku bisa melihat matanya yang keji mengawasi setiap gerakan kami. Bobot belati itu jadi makin berat di keningku.
Aku tidak memikirkan hal lain kecuali dirinya, dan aku terus melekat dekat pada ibuku.
"Ada apa, Luke"" ia bertanya lebih dari satu kali. Aku sadar bahwa aku tidak berbicara, tapi aku tak bisa memaksakan kata-kata keluar dari mulutku. Telingaku mendengar dering lamat-lamat. Dunia bergerak lebih lamban. Aku cuma menginginkan suatu tempat untuk bersembunyi
"Tidak apa-apa," kataku. Bahkan suaraku pun terdengar lain-rendah dan parau.
"Kau masih lelah""
"Ya, Ma'am." Dan aku akan terus lelah selama satu bulan, kalau itu bisa menjauhkanku dari ladang dan si Koboi.
Kami berhenti untuk mengamati hasil kerja Trot mengecat rumah. Karena kami ada di sana dan tidak memetik kapas. Trot pun tidak terlihat. Bila kami meninggalkan rumah, ia akan kembali meneruskan proyeknya. Pada dinding timur kini ada garis putih setinggi sekitar tiga kaki, melintang dari depan sampai hampir ke belakang. Bagian itu bersih dan rapi, jelas hasil pekerjaan seseorang yang tidak didesak oleh waktu.
Dengan kecepatan seperti sekarang, tak mungkin Trot menyelesaikan rumah itu sebelum keluarga Spruill pergi. Apa yang akan terjadi sesudah mereka berlalu" Kami tidak bisa tinggal di rumah dengan dinding timur yang memiliki dua warna.
Tapi ada hal-hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan.
Ibuku memutuskan akan mengawetkan atau mengalengkan tomat Selama musim panas dan awal musim gugur, ia dan Gran menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengawetkan sayur-mayur dari kebun kami- tomat, kacang polong, kacang okra, sesawi, jagung. Pada tanggal satu November, rak-rak sepen akan penuh sesak dengan stoples-stoples makanan, cukup untuk persediaan kami melewati musim dingin dan awal musim semi. Dan, sudah tentu, mereka pun mengawetkan cukup banyak untuk siapa saja yang mungkin butuh sedikit pertolongan. Aku yakin kami akan sering mengirim makanan pada keluarga Latcher dalam beberapa bulan mendatang, karena sekarang kami jadi kerabat.
Memikirkan hal itu membuatku sangat gusar, tapi sekali lagi. aku tidak terlalu khawatir lagi dengan keluarga Latcher.
Tugasku adalah mengupas tomat. Begitu dikupas, tomat-tomat itu diiris dan dimasukkan ke dalam panci-panci besar, dan dimasak sekadar untuk me-ngempukkannya, lalu dikemas d
alam stoples Kerr. dengan sesendok makan garam, dan ditutup dengan penutup baru. Kami memakai stoples-stoples yang sama dari tahun ke tahun, tapi kami selalu membeli tutup baru. Sedikit saja kebocoran pada segelnya, stoples itu akan rusak. Tidak menyenangkan kalau di musim dingin Gran atau ibuku membuka satu stoples dan isinya tak dapat dimakan. Tapi hal itu tidak sering terjadi.
Sesudah dikemas dan ditutup, stoples-stoples itu ditempatkan berderet di dalam sebuah pressure cooker besar yang setengah terisi air. Mereka akan digodok dengan tekanan selama satu jam, untuk menghilangkan udara yang tersisa dan untuk lebih merapatkan tutupnya. Gran dan ibuku sangat teliti dalam mengawetkan makanan. Itu adalah sumber kebanggaan diantara kaum wanita, dan aku sering mendengar perempuan-perempuan di sekitar gereja membual bahwa mereka sudah mengawetkan sekian stoples kacang kuning atau ini dan itu.
Proses pengawetan itu dimulai segera sesudah kebun mulai berproduksi. Aku kadang-kadang diperintahkan membantu, dan aku selalu benci melakukannya. Tapi hari ini lain. Hari ini aku cukup gembira berada di dapur bersama ibuku, sementara si Koboi berada di ladang, jauh di luar sana.
Aku berdiri di dekat wastafel dapur, dengan sebilah pisau pengupas yang tajam. Ketika mengiris tomat pertama, aku pun memikirkan Hank di atas jembatan itu. Darah, belati, dan jerit kesakitan sesudah tikaman pertama, lalu tatapan bisu penuh kengerian ketika tikaman-tikaman lain menyusul. Pada saat itulah kurasa Hank tahu bahwa ia akan dicabik-cabik oleh seseorang yang sudah pernah melakukan hal itu. ia tahu ia akan mati.
Kepalaku membentur kaki kursi. Ketika aku siuman di sofa, ibuku sedang mengompres benjolan di atas telinga kananku dengan es. Ia tersenyum dan berkata, "Kau pingsan, Luke."
Aku mencoba mengucapkan sesuatu, tapi mulutku terlalu kering. Ia memberiku seteguk air dan berkata bahwa sementara ini aku tidak boleh pergi ke mana-mana. "Apa kau lelah"" ia bertanya.
Aku mengangguk dan memejamkan mata.
Dua kali dalam setahun, pemerintah county mengirim beberapa truk kerikil ke jalan kami. Truk-truk itu membongkar muatannya, dan tepat di belakang mereka, sebuah mesin perata jalan membuntuti dan meratakannya. Perata jalan itu dioperasikan oleh seorang laki-laki tua yang tinggal dekat Caraway. Salah satu matanya memakai penutup hitam, bagian kiri wajahnya codet dan rusak, hingga membuatku bergidik ngeri melihatnya. Ia terluka dalam Perang Dunia Pertama, demikian menurut Pappy, yang menyatakan bahwa ia tahu lebih banyak tentang lelaki tua itu daripada yang bersedia ia ceritakan. Nama orang itu Otis.
Otis punya dua ekor monyet yang membantunya meratakan jalan di sekitar Black Oak. Monyet-monyet hitam, kecil, dan berekor panjang; mereka suka berlarian di rangka mesin perata jalan itu, kadang-kadang melompat ke atas pengeruknya, hanya beberapa inci di atas tanah dan kerikil. Kadang-kadang mereka duduk di pundaknya, atau di sandaran tempat duduknya, atau pada batang besi panjang antara setir dan ujung depan. Sementara Otis mengemudikannya mondar-mandir di jalan, menggerakkan berbagai tuas, mengganti sudut dan ketinggian pengeruknya, meludahkan kunyahan tembakau, monyet-monyet itu berlompatan dan berayun-ayun tak kenal takut, dan sepertinya bersenang-senang.
Seandainya, karena alasan yang menyedihkan, kami anak-anak tidak berhasil jadi pemain Cardinals, banyak di antara kami ingin menjadi operator mesin perata jalan itu. Mesin yang begitu besar dan bertenaga di bawah kendali satu orang, dan semua tuas itu harus dioperasikan dengan ketepatan - tangan dan kaki bergerak dengan koordinasi luar biasa. Plus, jalanan yang rata adalah sarana amat penting bagi petani di pedesaan Arkansas. Beberapa pekerjaan memang lebih penting daripada lainnya, setidaknya begitulah menurut pendapatku.
Kami tidak tahu berapa upahnya, tapi kami yakin pekerjaan itu pasti lebih menguntungkan daripada bertani.
Ketika mendengar suara mesin diesel. tahulah aku bahwa Otis sudah kembali. Aku berjalan bergandengan tangan dengan ibuku ke pinggir jalan, dan seperti sudah diduga, d
i antara rumah kami dan jembatan sudah ada tiga gundukan kerikil baru. Otis sedang menggelarnya, perlahan-lahan meratakannya maju ke arah kami. Kami mundur ke bawah sebatang pohon dan menunggu.
Otakku sudah jernih, dan aku merasa kuat. Ibuku terus memegangi pundakku, seolah-olah aku akan pingsan lagi. Ketika Otis makin mendekat, aku melangkah lebih dekat ke jalan. Mesin itu bergemuruh; pengeruknya mendorong tanah dan kerikil. Jalanan kami sedang diperbaiki, dan itu suatu peristiwa yang amat penting.
Kadang Otis melambaikan tangan, kadang-kadang tidak. Aku melihat bekas luka pada wajahnya dan penutup mata hitam itu. Oh, betapa banyak pertanyaan yang ingin kuajukan pada laki-laki ini!
Dan aku hanya melihat seekor monyet. Ia duduk di rangka utama, di dekat kemudi, dan ia tampak sangat sedih. Aku memeriksa mesin penggiling batu itu, meneari rekannya yang kecil, tapi ternyata tidak ada monyet lain.
Kami melambaikan tangan pada Otis, yang menengok ke arah kami tapi tidak balas melambai. Ini merupakan tanda ketidaksopanan paling buruk di dunia kami. tapi Otis memang berbeda. Karena luka-luka perangnya, ia tidak punya istri, tidak punya anak. tak punya apa-apa selain keterasingan.
Sekonyong-konyong mesin perata itu berhenti. Otis berpaling dan memandang ke arahku dengan satu matanya yang baik, lalu memberi tanda padaku agar naik. Aku langsung bergerak ke arahnya, dan ibuku memburu maju untuk melarang. Otis berseru. "Tidak apa-apa! Dia tidak akan apa-apa." Itu tidak jadi soal: aku sudah naik ke atas.
Ia menarik tanganku dan mengangkatku ke platform tempat ia duduk. "Berdirilah di sana," katanya serak, sambil menuding tempat sempit di sebelahnya. "Ber-peganganlah di sini," ia menggeram, dan aku mencengkeram pegangan di samping tuas yang kelihatan sangat penting dan tak berani kusentuh. Aku memandang ke arah ibuku yang bertolak pinggang, ia menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan mau mencekikku, tapi kemudian kulihat ia tersenyum samar.
Ia menginjak gas, dan mesin di belakang kami menderu. Ia menginjak kopling dengan kaki. memasukkan gigi, dan kami pun bergerak. Aku sebenarnya bisa berjalan lebih cepat dari itu, tapi dengan gemuruh mesin dicsel, rasanya kami melaju dengan kecepatan tinggi.
Aku berada di sebelah kiri Otis, sangat dekat dengan wajahnya, dan aku mencoba untuk tidak melihat bekas lukanya. Sesudah beberapa menit, ia seperti tak lagi menyadari kehadiranku di sana Akan tetapi monyet itu merasa sangat ingin tahu. Ia mengawasi aku, seolah-olah aku seorang pengacau, lalu ia merayap dengan empat kaki, perlahan-lahan, siap menerjang ke arahku setiap saat. Ia melompat ke pundak kanan Otis, berjalan di punggung lehernya, dan bertengger pada pundak kiri, menatap ke arahku.
Aku balas menatapnya, ia tak lebih besar dari bayi tupai, dengan bulu hitam lembut dan mata hitam kecil yang hanya sedikit dipisahkan oleh pangkal hidung. Ekornya yang panjang menggelantung di depan kemeja Otis. Otis sedang sibuk mengoperasikan berbagai tuas, memindahkan kerikil, menggumam pada diri sendiri, sepertinya tak menyadari bahwa monyet itu ada di pundaknya.
Ketika jelas bahwa monyet itu sudah cukup puas dengan sekadar mengamatiku, aku pun mengalihkan perhatian pada cara kerja mesin perata jalan tersebut. Otis menurunkan pengeruknya ke dalam parit yang dangkal, memiringkannya membentuk sudut tajam, sehingga lumpur, rumput, dan gulma terangkat dan dibuang ke jalan. Dari pengamatan terdahulu, aku tahu bahwa ia akan menjalankan mesin itu mondar-mandir beberapa kali, membersihkan selokan, meratakan bagian tengahnya, menggelar pasir. Pappy berpendapat bahwa Otis dan county ini seharusnya lebih sering memperbaiki jalan kami, tapi memang kebanyakan petani merasakan hal yang sama.
Otis memutar mesin itu, menjulurkan pengeruknya ke dalam parit lain, dan kembali menuju ke arah rumah kami Monyet itu tidak bergerak.
"Mana monyet satunya"" aku berkata keras, tak jauh dari telinga Otis.
Ia menunjuk ke bawah, pada pengeruk, dan berkata, "Jatuh."
Ucapan itu perlu satu-dua detik untuk mengendap dalam benakku, dan kemudian aku pun merasa ngeri m
embayangkan monyet kecil yang malang itu terjatuh di atas pengeruk, menjemput maut dengan cara yang begitu menyedihkan. Hal itu sepertinya tidak mengusik Otis, tapi monyetnya yang masih hidup jelas bersedih hati oleh kematian sahabatnya. Ia hanya duduk di sana, kadang-kadang memandang ke arahku, kadang-kadang menerawang, sangat kesepian. Dan sudah pasti ia tidak mau dekat-dekat pengeruk itu.
Ibuku belum bergeser dari tempatnya. Aku melambai padanya, dan ia melambai padaku, dan sekali lagi Otis sama sekali tidak peduli dengan itu semua. Ia meludah begitu sering, hingga terbentuk aliran panjang air tembakau pada tanah di depan roda belakang. Ia menyeka mulut dengan lengan kemeja yang kotor, kiri dan kanan, tergantung tangan mana yang kebetulan sibuk mengoperasikan tuas. Kata Pappy, Otis sangat waras-air tembakau merembes dari sudut-sudut mulutnya.
Saat melewati rumah, aku bisa melihat, dari posisiku yang tinggi, trailer kapas di tengah ladang dan beberapa topi jerami bertebaran. Aku mencari-cari sampai menemukan para pekerja Meksiko itu. kurang-lebih di daerah yang sama seperti biasanya, dan aku memikirkan si Koboi di sana, dengan belati di saku, tak disangsikan lagi pasti bangga dengan pembunuhannya yang terakhir. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah ia menceritakan hal ini pada teman-temannya. Barangkali tidak.
Sesaat aku merasa ketakutan karena ibuku adu di belakang kami, seorang diri. Ini tidak nalar, dan aku tahu itu, tapi sebagian besar pikiranku memang tidak rasional.
Ketika melihat jajaran pohon di sepanjang sungai.
rasa takut baru mencekam diriku. Aku tiba-tiba takut melihat jembatan, tempat kejahatan itu terjadi. Pasti ada noda darah di sana, bukti bahwa sesuatu yang mengerikan baru saja terjadi. Apakah hujan sudah membasuhnya" Berhari-hari sering berlalu tanpa ada satu mobil atau truk pun melewati jembatan tersebut. Adakah orang yang melihat darah Hank" Peluangnya cukup besar bahwa bukti itu sudah hilang.
Benarkah telah terjadi pertumpahan darah" Ataukah semua itu cuma mimpi buruk"
Aku pun tak ingin melihat sungai itu. Airnya bergerak begitu lamban pada bulan-bulan seperti ini, sementara tubuh Hank begitu besar. Mungkinkah ia sudah terdampar ke pinggir sekarang" Tersapu ke tepian pasir seperti ikan paus yang terdampar di pantai" Sudah pasti aku tak ingin menjadi orang yang menemukannya.
Hank ditikam berkali-kali. Si Koboi punya belati dalam jangkauan, dan banyak motif untuk melakukannya. Itu suatu tindak kejahatan yang Stick Power sekalipun bisa memecahkannya.
Aku saksi mata satu-satunya, tapi aku sudah memutuskan akan membawa rahasia ini sampai mati.
Otis memindahkan gigi dan berputar, dan kulihat bukan pekerjaan remeh mengoperasikan mesin perata jalan semacam itu. Jembatan itu sepintas terlihat olehku, tapi kami terlalu jauh untuk melihat dengan teliti. Monyet itu mulai jemu memandangiku, dan berpindah dari pundak satu ke pundak lainnya, ia mengintipku dari balik kepala Otis sekitar satu atau dua menit, lalu duduk saja di sana, bertengger seperti burung hantu, mengamati jalan.
Oh, kalau saja Dewayne bisa melihatku sekarang! Ia pasti terbakar oleh perasaan iri. ia akan merasa dipermalukan. Ia akan merasa begitu kalah, sehingga takkan mau bicara denganku sampai lama. Aku sudah tak sabar menunggu datangnya hari Sabtu. Akan kusebarkan kabar di sepanjang Main Street bahwa aku naik mesin perata jalan dengan Otis-dan monyetnya. Tapi cuma ada satu monyet, dan aku akan dipaksa menceritakan apa yang terjadi pada monyet satunya. Dan semua tuas dan pengendali itu, yang dari* tanah tampak sangat mengancam, tapi dalam kenyataannya sama sekali tidak jadi masalah bagiku. Aku sudah belajar mengoperasikannya! Ini akan menjadi saat-saat terindah bagiku.
Otis berhenti di depan rumah kami. Aku merayap turun dan berseru, "Terima kasih!" Tapi ia berlalu begitu saja, tanpa mengangguk atau mengucapkan apa pun.
Pikiranku tiba-tiba teringat pada monyet yang mati itu, dan aku mulai menangis. Aku tak ingin menangis, dan aku berusaha menahannya, tapi air mataku terus mengalir keluar, dan aku tak dapat mengendali
kan diri. Ibuku berlari dari rumah, menanyakan ada masalah apa. Aku tidak tahu ada masalah apa; aku cuma menangis. Aku ketakutan dan lelah, nyaris pingsan lagi, dan aku hanya ingin segalanya kembali normal; aku ingin orang-orang Meksiko serta keluarga Spruill menyingkir dari hidup kami, Ricky kembali ke rumah, keluarga Latcher pergi dari sana, dan mimpi buruk tentang Hank terhapus dari ingatanku. Aku jemu dengan rahasia, muak melihat kejadian-kejadian yang tak seharusnya kulihat.
Maka aku pun menangis. Ibuku memelukku erat-erat. Ketika kusadari bahwa ia ketakutan, kuceritakan padanya tentang monyet yang mati itu.
"Apa kau melihatnya"" ia bertanya ngeri.
Aku menggelengkan kepala dan terus menjelaskan. Kami berjalan kembali ke teras, dan lama duduk di sana.
Kepergian Hank dikonfirmasikan siang itu. Saat makan malam, ayahku berkata bahwa Mr. Spruill memberitahukan bahwa Hank sudah pergi di waktu malam. Ia akan mencari tumpangan pulang ke rumah mereka di Eureka Springs.
Hank sedang hanyut terseret air di dasar Sungai St. Francis, dan ketika aku membayangkannya di sana dengan ikan-ikan lele besar, seleraku langsung lenyap. Orang-orang dewasa mengawasiku lebih cermat daripada biasanya. Dalam dua puluh empat jam ini aku pingsan, bermimpi buruk, beberapa kali menangis, dan sejauh yang mereka ketahui, aku berjalan-jalan jauh dalam tidur. Ada yang tidak beres denganku, dan mereka khawatir.
"Entah dia bisa pulang atau tidak." kata Gran. Ucapannya ini memicu cerita tentang orang-orang yang pernah menghilang. Pappy punya seorang sepupu yang pindah bersama keluarganya dari Mississippi ke Arkansas. Mereka menempuh perjalanan itu dengan dua truk tua. Mereka sampai pada persimpangan rel kereta api. Truk pertama, yang dikemudikan oleh si sepupu, menyeberang lebih dulu. Sebuah kereta api menderu datang, dan truk kedua menunggunya lewat. Kereta itu panjang, dan ketika akhirnya lewat, tidak terlihat tanda-tanda truk pertama di seberang rel. Truk kedua menyeberang dan sampai ke sebuah jalan bercabang. Sang sepupu tak pernah terlihat lagi, dan itu kejadian tiga puluh tahun yang lalu. Tak ada tanda-tanda darinya atau truk itu.
Sudah berkali-kali aku mendengar kisah ini. Aku tahu Gran-lah yang berikutnya bercerita, dan seperti sudah diduga, ia menuturkan cerita tentang ayah dari ibunya, seorang laki-laki beranak enam yang naik ke sebuah kereta api dan kabur ke Texas. Seseorang dalam keluarga itu kebetulan bertemu dengannya dua puluh tahun kemudian. Ia ternyata sudah punya istri lain dan enam anak lagi.
"Kau tidak apa-apa, Luke"" tanya Pappy ketika makan malam selesai. Semua kegalakannya hilang. Mereka saling bercerita untukku, mencoba menghiburku, sebab aku membuat mereka khawatir.
"Cuma lelah, Pappy," sahutku.
"Kau mau tidur lebih awal"" ibuku bertanya, dan aku mengangguk.
Aku pergi ke kamar Ricky sementara mereka mencuci peralatan makan. Kini suratku kepadanya sudah dua halaman penuh, suatu usaha monumental. Surat itu masih di dalam buku tulis, tersembunyi di bawah kasur, dan surat tersebut mencakup sebagian besar konflik dengan keluarga Latcher. Aku membacanya lagi dan merasa cukup puas dengan diriku sendiri. Aku bermain-main dengan gagasan untuk bercerita pada Ricky mengenai si Koboi dan Hank, tapi akhirnya memutuskan untuk menunggu hingga ia pulang. Pada waktu itu, pekerja-pekerja Meksiko itu tentu sudah pergi, keadaan kembali aman, dan Ricky tentu tahu apa yang harus dilakukan.
Aku memutuskan bahwa surat itu sudah siap diposkan, lalu mulai repot memikirkan bagaimana aku bisa mengeposkannya. Kami selalu mengirim surat-surat kami pada saat bersamaan, kadang-kadang -dalam satu amplop manila besar Aku memutuskan untuk bertanya pada Mr. Lynch Thornton di kantor pos di Main Street.
Ibuku membacakan kisah Daniel di gua singa, salah satu favoritku. Begitu hawa berganti dan malam menjadi dingin, kami lebih sedikit melewatkan waktu di teras dan lebih banyak membaca sebelum tidur. Aku dan ibuku membaca, yang lain tidak. Ia lebih menyukai cerita-cerita dari Kitab Suci, dan ini cukup cocok dengan keinginanku. Ia membaca beberapa lama,
lalu memberikan penjelasan. Lalu membaca lagi. Ada pelajaran dalam setiap cerita, dan ia memastikan aku memahaminya. Aku kesal sekali kalau Pendeta Akers mengacau isi cerita itu dalam kotbahnya yang panjang bertele-tele.
Ketika sudah siap untuk tidur, aku bertanya apakah ibuku mau menemaniku di sini, di ranjang Ricky, sampai aku tidur.
"Tentu saja," katanya.
Dua Puluh Tujuh SESUDAH istirahat sehari, tidak mungkin ayahku mentolerir ketidakhadiran lagi di ladang. Ia menarikku turun dari ranjang pada pukul lima. dan kami melakukan pekerjaan rutin mengumpulkan telur dan susu.
Aku tahu aku tidak bisa terus bersembunyi di rumah dengan ibuku, maka aku dengan gagah berani bersiap-siap pergi memetik kapas. Bagaimanapun, aku tetap harus menghadapi si Koboi suatu saat nanti, sebelum ia pergi. Lebih baik membereskannya sekarang, dan melakukannya dengan banyak orang di sekitarku.
Orang-orang Meksiko berjalan kaki ke ladang, tidak ikut bersama kami naik trailer. Mereka bisa mulai memetik beberapa menit lebih pagi, dan itu akan menjauhkan mereka dari keluarga Spruill. Kami meninggalkan rumah tepat sebelum fajar. Aku duduk dekat Pappy di traktor, dan mengamati wajah ibuku perlahan-lahan menghilang di jendela dapur. Malam sebelumnya aku sudah memanjatkan doa panjang dan khusyuk, dan perasaanku mengatakan bahwa ia aman.
Sewaktu kami melaju di jalan ladang, aku mengamati traktor John Deere itu. Aku sudah menghabiskan waktu berjam-jam di atasnya, membajak, menggaru, menanam, bahkan menarik muatan kapas ke kota bersama ayahku atau Pappy, dan pengoperasiannya selalu terasa cukup rumit dan menantang. Kini, sesudah tiga puluh menit di atas mesin perata jalan, dengan berbagai macam tuas dan pedal yang membingungkan, traktor itu rasanya lebih sederhana. Pappy cuma duduk di sana, tangannya pada kemudi, kakinya tak bergerak, setengah tertidur-sementara Otis terus bergerak tanpa henti - satu alasan lain mengapa aku ingin jadi operator mesin perata jalan dan bukan jadi petani, tentu saja kalau karier bisbol ternyata gagal, suatu kemungkinan yang sangat kecil.
Orang-orang Meksiko itu sudah lebih dulu memetik setengah lajur, tenggelam di antara tanaman kapas, dan tak menghiraukan kedatangan kami. Aku tahu bahwa si Koboi ada bersama mereka, tapi dalam keremangan pagi aku tak bisa membedakan satu orang Meksiko dengan lainnya.
Aku menghindarinya sampai kami istirahat makan siang. Jelaslah bahwa ia melihatku pagi itu, dan kurasa ia berpendapat ada baiknya memberikan peringatan kecil padaku. Ketika semua rekannya melahap sisa makanan di bawah naungan trailer kapas, si Koboi ikut bersama kami. ia duduk seorang diri di satu sisi, dan aku tak menghiraukannya hingga kami hampir sampai ke rumah.
Bende Mataram 1 Jaka Sembung 6 Si Cakar Rajawali Terror Di Akhir Pekan 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama