Ceritasilat Novel Online

Sang Penyihir Beraksi 1

Sang Penyihir Beraksi Wizard At Work Karya Vivian Vande Velde Bagian 1


VIVIAN VANDE VELDE Sang Penyihir Beraksi Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
Manis dan Asam "Aku datang untuk menolongmu."
Sang putri cemberut. "Ayah mengutusmu, kan""
"Tidak," sang penyihir menjelaskan, "sebenarnya yang mengutusku adalah pangeran dari Talahandra."
Sang putri melempar sebutir permen ke udara dan menangkapnya dengan mulut. "Aku tak pernah dengar tentang dia."
Sang penyihir memerhatikannya mengunyah, mengunyah, dan mengunyah. Kemudian, ia memerhatikan sang putri memilih permen lain dan kembali melemparnya ke dalam mulut. Biasanya, usaha penyelamatan tidak berlangsung seperti ini. Akhirnya, sang penyihir berkata, "]adi, bagaimana""
"Bagaimana apanya"" "Kau mau ikut""
Sang putri bertanya, "Maksudmu: Apakah aku setuju untuk diselamatkan"" "Ya." "Tidak." "Tidak"" "Ya."
Sang penyihir menggeleng-gelengkan kepala sambil berusaha memahami. "Apa maksudmu tidak""
Untuk Gloria, si ahli aksara Isi Buku Bagaimana Semuanya Berawal 9
Putri Cantik. Ibu Tiri Kejam.
dan Saudari Tiri Buruk Rupa 20
Amukan Makhluk Buas 49 Menyelamatkan Seorang Putri 75
Sang Penyihir dan Hantu 102
Sang Putri dan Petualangan
Mencari Timun Emas 152 1. Bagaimana Semuanya Berawal
SANG PENYIHIR sedang sibuk dengan urusannya sendiri-kurang lebih begitu ketika seorang penyihir wanita menjatuhkan sebuah kutukan padanya-atau mungkin juga tidak begitu.
Kejadiannya seperti ini: Sang penyihir adalah seorang pria muda yang dengan kekuatan sihir sering menjelma menjadi pria tua. Penampilan seperti itulah yang diharapkan khalayak ramai dari seorang penyihir. Ia mengelola sebuah sekolah untuk para penyihir muda dan selama satu tahun ajaran sekolah, ia berpenampilan seperti pria tua berjanggut. Alasannya, ia merasa kurang dihormati bila para murid tahu dirinya hanya sedikit lebih tua dari mereka. Jadi, begitu tahun ajaran sekolah berakhir, ia merasa lega karena bisa melepaskan penyamarannya dan bersantai-seperti ketika kita melepaskan sepatu yang sangat ketat dan pakaian indah yang kita khawatirkan akan terkait atau ketumpahan sesuatu.
Setelah melewati musim dingin yang benar-benar buruk dan musim semi yang tiba lebih telat dari biasanya, sang penyihir mengirim semua muridnya pulang. Hari ini adalah hari pertama liburan musim semi. Ia-dengan kekuatan sihirnya- mengirim dirinya sendiri ke Desa Saint Wayne the Stutterer. Saint Wayne bukanlah seorang tokoh suci yang penting dan desa itu sendiri berukuran kecil. Sang penyihir kenal sebagian besar penduduk desa itu dan sebagian besar dari mereka mengenal si penyihir dalam wujud aslinya. Ia perlu membeli persediaan untuk kebunnya, termasuk sebuah pacul baru. Ia sedang mengantri di toko pandai besi
ketika seorang penyihir wanita-yang tak dikenalnya-tiba-tiba muncul bersama ketiga anaknya.
Muncul dengan kekuatan sihir.
Seperti begini: Detik ini, tidak ada- detik berikutnya, ada.
Mereka muncul tepat di depan sang penyihir kurang lebih lima detik sebelum si pandai besi selesai dengan pelanggan sebelumnya, mengangkat muka, dan bertanya, "Siapa berikutnya""
"Aku," kata si penyihir wanita sambil menghampiri si pandai besi.
Sang penyihir tak ingin berburuk sangka. Ia percaya bahwa si penyihir wanita- dengan kekuatan sihir-telah mengirim dirinya ke mana pun yang diinginkan dan secara tidak sengaja telah memotong antrean di depannya. Ia bahkan bersedia membiarkan wanita itu dilayani terlebih dahulu karena ia sendiri tidak sedang terburu-buru. Ia ingin menghabiskan hari-harinya dengan tenang, damai, dan penuh kehangatan.
Anak-anak penyihir wanita itu-dua laki-laki dan satu perempuan-sedang menyodok, menabrak, mengejek, dan menggoda satu sama lain. Anak laki-laki yang lebih tua sangat jahil. Anak yang lebih kecil sangat cengeng, sementara yang perempuan suka merengek. Ketiga anak itu tak henti-hentinya berteriak, "Bu!" dengan suara melengking dan menjengkelkan- seperti, "Bu, dia melakukannya lagi!" dan "Bu, dia yang mulai!" dan "Bu, sudah selesai atau belum""
Si penyihir wanita mengabaikan tingkah anak-anaknya sambil menjelaskan kepada si pandai besi tentang gerendel pagar
yang ingin ia perbaiki. Sang penyihir tidak memiliki anak kandung, tapi menurutnya memiliki murid hampir sama dengan memiliki anak. Dalam hatinya ia berkata, takkan pernah kubiarkan anak-anakku berperilaku buruk seperti ini. Memang, murid termudanya berusia dua belas tahun, sementara yang tertua dari anak-anak ini baru berusia
tujuh tahun, tapi hal itu sama sekali bukan alasan bagi perilaku buruk mereka.
Anak laki-laki yang lebih besar memukul adiknya sampai terdorong ke belakang dan menginjak jemari kaki sang penyihir.
"Hati-hati," kata sang penyihir sambil memegang bahu sang anak yang sepertinya tidak menyadari bahwa dirinya sudah tidak menginjak tanah lagi.
Anak itu memalingkan kepala dan memandang sekilas ke arah sang penyihir. Ia seakan bertanya, "Mengapa kakimu berada di bawah kakiku"" Kakaknya mengambil kesempatan itu untuk memukul bagian belakang kepalanya. "Bu!" rengek anak laki-laki yang kecil sambil menyikut saudara perempuannya.
"Bu," si anak perempuan merengek.
"Bu!" anak laki-laki yang besar ikut berseru, seakan-akan dirinya yang diganggu.
Sementara si pandai besi sedang mengerjakan gerendel, si penyihir wanita menengok dan membelalakkan mata ke arah
sang penyihir. "Ada apa"" kata wanita itu, antara menggertak dan membentak.
Sang penyihir sedang tidak ingin terlibat dalam pertikaian sehingga ia hanya menggelengkan kepala sebagai isyarat bahwa ia tidak tahu-menahu. Kemudian, ia menatap langit-langit dan dinding bagian belakang toko.
Si penyihir wanita memandang tajam selama beberapa saat sebelum kembali memerhatikan si pandai besi.
Anak-anak itu menjadi semakin ribut.
Si penyihir wanita seperti tidak mendengar mereka.
Walaupun demikian, ia mendengar desahan sang penyihir.
Ia berbalik untuk kedua kalinya dan bertanya, "Apakah Anda mempunyai masalah dengan anak-anakku""
"Tidak," sang penyihir meyakinkannya. Ia tidak tahan untuk bertanya, "Bagaimana dengan Anda""
"Beraninya Anda!" si penyihir wanita menimpali dengan galak. "Beraninya Anda
mengkritik padahal Anda tidak tahu apa pun tentang kami" Apa menurut Anda anak-anakku menyebalkan" Apakah Anda pernah berpikir bahwa mungkin ada alasan mengapa mereka bertingkah-laku buruk" Akankah Anda memaklumi tingkah mereka yang ribut dan tidak lazim ini seandainya mereka baru saja terkurung di rumah selama dua minggu karena sakit" Bagaimana seandainya ayah mereka mungkin tidak akan sembuh, dan seandainya adik mereka baru saja meninggal""
"Aku benar-benar menyesal," sang penyihir berkata. Walaupun cenderung cepat menjadi tidak sabar, ia tak ingin menyakiti siapa pun. "Aku sungguh tidak tahu."
Si penyihir wanita mendengus dan berbalik ke si pandai besi yang sudah selesai mengerjakan gerendelnya.
Sang penyihir merasa betul-betul menyesal karena sudah menganggap keluarga itu menjengkelkan, padahal mereka telah melalui begitu banyak kesusahan. Karena itulah, ia bersedia memaafkan mereka,
bahkan memaafkan anak perempuannya yang sedang menjulurkan lidah kepadanya.
Anak laki-laki yang kecil masih merengek, tapi sekarang sang penyihir sadar bahwa anak itu sedang pilek. Ia menyadari hal tersebut ketika anak itu men-cucukkan jari ke dalam hidungnya, mengeluarkan jari tersebut, dan menyekanya di lengan baju sang kakak laki-laki. Si abang sama sekali tidak tahu karena sedang dengan diam-diam mengikat jalinan rambut saudara perempuannya menjadi satu.
Penyihir wanita itu membayar si pandai besi dan berkata, "Ayo, anak-anak, mari kita pergi ke tempat penggilingan gandum."
Sang penyihir ingin wanita itu tahu kalau dirinya menyesal telah memandang rendah mereka. Jadi, ia berdiri diam di tempat dan berkata, "Aku benar-benar menyesal."
Si penyihir wanita menjadi marah terhadap sikap sang penyihir. "Mengapa" Apa lagi yang telah Anda lakukan sekarang""
"Tidak ada," jawab sang penyihir sambil tergagap. "Maksudku, aku menyesal atas apa yang telah terjadi pada Anda."
Si penyihir wanita itu memandang sekilas ke sekeliling dengan curiga.
"Apa yang terjadi"" ia bertanya.
Sang penyihir menjadi bingung. "Ayah anak-anak ini sakit. Adik mereka baru meninggal."
"Aku tak pernah bilang ada yang sakit
atau meninggal," si penyihir wanita itu berkata dengan geram, seakan-akan sang penyihir dengan sengaja tidak mengerti. "Aku bilang, 'Seandainya Sebenarnya, anak-anakku bertingkah laku seperti ini karena mereka memang manja." Si penyihir wanita menggeleng-gelengkan kepala dan berlalu dengan cepat dari hadapan sang penyihir sambil bergumam, "Penyihir dungu." Ia menambahkan, "Anda takkan pernah menemukan kebahagiaan sejati sampai Anda belajar untuk tidak terlalu cepat menghakimi orang lain dan menilai suatu hal bukan dari permukaannya saja."
Kalau itu memang hanya sebuah ucapan biasa, tentu tidak akan ada akibat di kemudian hari. Dan kalau itu adalah sebuah mantra, biasanya sang penyihir akan merasakan kekuatan sihirnya, khususnya kalau mantra itu ditujukan pada dirinya. Tapi anak-anak itu mendorongnya saat mereka berdesakan ke luar, dan sang penyihir mungkin tidak merasakan kekuatan sihir mantra itu.
Walaupun demikian, kalau ucapan itu memang sebuah kutukan, itu bukan kutukan yang buruk. Sang penyihir cukup senang dengan hidupnya. Ia bisa mengurus kebunnya di musim panas-jika tidak diinjak-injak kelinci-dan memancing serta mengerjakan hal-hal sepele lain yang menyenangkan. Dan kalaupun sesekali ia merasa kesepian, itu biasanya bertepatan dengan saat di mana murid-muridnya akan segera kembali di musim gugur. Kemudian, ketika mereka mulai membuatnya kesal, liburan musim panas pun tiba kembali.
Hidup ini cukup memuaskan dan juga bisa ditebak, pikir sang penyihir sambil menghampiri si pandai besi untuk memberikan pesanannya.
Kebahagiaan sejati-menurutnya-terlalu berlebihan.
2. Putri Cantik, Ibu Tiri Kejam, dan Saudari Tiri Buruk Rupa
SEKEMBALINYA KE rumah, ketika sang penyihir dengan ceria sedang merawat kebun, seekor burung gagak dengan sepucuk pesan terikat di kaki datang dan tidak mau beranjak pergi.
"Tolong," demikian bunyi pesan itu. (Pesan itu ditulis dengan tinta ungu di atas kertas surat merah muda yang harum dan ditutup dengan segel lilin berbentuk mawar mungil.) "Aku dikurung oleh ibu tiriku yang kejam dan saudari tiriku yang buruk rupa menyihirku serta tunanganku. Tolong, tolong, tolonglah aku."
Surat itu diakhiri dengan, "Tertanda, Putri Rosalie." Siapa pun Putri Rosalie ini, ia membubuhi gambar mawar mungil sebagai titik di atas huruf 'i' dalam namanya.
Sang penyihir memang pemarah, namun ia tidak sampai hati untuk tidak menolong orang yang sedang berada dalam kesulitan, dan ini sepertinya masalah serius. "Berapa jauh"" ia bertanya pada si burung gagak.
Si burung gagak, yang sedang berdiri di lengan kiri orang-orangan sawah di kebun sang penyihir, menggaruk lengan baju orang-orangan itu-dua kali.
Pasti bukan dua mil. Sang penyihir kenal semua orang di sekitar sini dan tak ada yang bernama Putri Rosalie. "Dua jam perjalanan"" ia bertanya dengan penuh harap. Sang penyihir mempunyai kekuatan sihir yang bisa membuatnya memindahkan diri secepat kilat ke tempat tertentu. Tapi kekuatan sihir itu hanya berlaku untuk pergi ke tempat yang sudah
pernah ia kunjungi. Karena ia tidak tahu siapa dan di mana sang putri berada, ia harus berjalan atau berkuda. Kuda-dengan gigi besar dan kuning serta kaki besar dan aneh-bukanlah binatang yang disukai sang penyihir. "Apakah sang putri berada dua jam perjalanan dari sini"" tanyanya lagi.
Burung gagak itu melompat ke atas kepala orang-orangan sawah dan mematuk matanya yang terbuat dari kancing.
Sang penyihir mendesah. "Dua hari""
Si gagak mengembangkan sayap dan terbang ke arah timur laut. Kemudian, ia berputar kembali dan mendarat di kepala orang-orangan sawah.
Sang penyihir kembali mendesah. Begitu banyak yang harus ia lakukan untuk membenahi kebunnya. Ia mencoba untuk memusatkan pikiran pada berbagai masalah yang ia hadapi-pada berbagai alasan yang membuatnya berpikir untuk tidak pergi, seperti kelinci-yang sudah tidak takut lagi pada orang-orangan sawah dan
yang telah menganggap kebunnya sebagai sarang mereka. Tapi pandangan sang penyihir kembali tertuju pada surat berwarna merah muda dan ungu itu. "Tolong, tolong, tolonglah aku," bacanya lagi.
Setelah sekali lagi mendesah,
sang penyihir menggumamkan mantra yang mengubah penampilannya menjadi pria tua yang terlihat seratus tahun lebih tua dan yang mengganti pakaian kerjanya dengan jubah dan topi kerucut bertabur motif bintang yang selalu ia kenakan saat berada di depan umum. Kalau ia tidak berpenampilan seperti itu, sepertinya tak seorang pun akan percaya kalau ia benar-benar seorang penyihir.
Ia menjulurkan lengan ke arah si gagak yang segera hinggap sambil mengepakkan sayap hitamnya. Kemudian, burung itu mengangkat ekor dan buang kotoran di lengan bajunya.
"Dasar bodoh," gumam sang penyihir.
Tapi seketika itu juga, mereka sudah pindah ke lumbung Petani Seymour, di
mana ada seekor kuda betina berperangai buruk yang disewakan si petani dengan harga selangit, kapan pun sang penyihir membutuhkan tunggangan.
Setelah berkuda selama dua hari, si burung gagak akhirnya memandu sang penyihir ke sebuah kastil kecil yang dikelilingi oleh sebuah kota kecil, di tengah-tengah sebuah lembah nan hijau dan damai.
Dan di sana, si ibu tiri kejam (sang penyihir yakin itu orangnya) dan saudari tiri buruk rupa sedang berjalan santai di sebuah jalan besar dari arah kastil.
Sang ibu berperawakan tinggi, kurus, dan berpakaian serba hitam. Matanya, pikir sang penyihir, tampak seperti musang jahat. Si ibu dan anak berjalan terus- sambil melihat ke kiri dan kanan-memerhatikan serta menilai segala yang terjadi di sekitar mereka.
Sang anak adalah versi muda dari sang ibu. Namun, pakaiannya berwarna-warni terang dan suara tawanya yang keras mengingatkan sang penyihir pada suara babi yang menguik.
Sang penyihir tidak ingin masuk ke kastil secara terang-terangan karena ia tidak tahu bagaimana si ibu tiri kejam akan bereaksi-ibu tiri kejam biasanya tak bisa ditebak. Lebih baik ia mengitari kastil dan masuk lewat jalan belakang. Jadi, dengan memasang tampang yang menurutnya terlihat acuh tak acuh serta agak bosan, ia berkuda melewati orang-orang yang sedang berkumpul di sekitar kedua wanita itu.
Akan tetapi, tampaknya burung gagak yang membawa pesan Putri Rosalie tak mengerti tindakan sang penyihir. Saat melihat sang penyihir melenceng dari jalan masuk kastil, si gagak terbang dari tempatnya bertengger-di atas pantat kuda- dan mulai mengitari kepala sang penyihir sambil berkaok kalut.
"Shhh!" sang penyihir mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya agar si gagak tidak terbang terlalu dekat.
Burung itu menukik ke arah kepala sang penyihir, lalu berhenti ketika nyaris menabraknya dan memekik marah. Kemudian, ia kembali membumbung ke udara dan menukik lagi ke arah sang penyihir. Dan lagi. Dan lagi.
Orang-orang memerhatikan mereka. Sang ratu yang kejam dan anak perempuannya, para pejalan kaki, para pedagang di kedai masing-masing-semuanya berhenti untuk memerhatikan sang penyihir dan si gagak. Seorang pesulap jalanan, yang merasa terganggu, menjatuhkan salah satu tongkat lemparnya. Ia kemudian memasukkan semua tongkatnya ke balik lengan baju satinnya yang berwarna merah hijau. Ia tidak ingin bersaing mencari perhatian dari kerumunan orang yang bertambah ramai dalam waktu singkat.
"Hentikan!" desis sang penyihir pada si gagak.
Ia menelungkupkan bahunya dan membungkuk ke sadel kuda agar dirinya tidak begitu kelihatan. Namun, hal itu malah membuat anak-anak di antara kerumunan menunjuk ke arahnya dan berteriak, "Lihat, si bungkuk dan burungnya yang terlatih!"
Sang penyihir menghentakkan kakinya ke perut si kuda, tapi binatang pemarah itu malah melonjak-lonjak dan berusaha menggigitnya. Ia menggerakkan kakinya ke belakang agar jauh dari gigi-gigi besar milik si kuda. Usahanya sia-sia karena kuda itu terus berusaha menggigitnya. Binatang itu berputar-putar seperti seekor anjing yang sedang mengejar ekornya sendiri atau seperti si burung gagak, yang masih saja berulang kali menukik ke arahnya. Akhirnya, ia mengangkat dan menyilangkan kedua kakinya di atas sadel.
Orang-orang yang berkerumun bertepuk tangan sebagai tanda kagum.
Sang penyihir melepaskan topi dan berusaha menangkap si gagak dengan topi itu. Ia hampir saja jatuh dari kuda. Setelah mencoba tiga kali, ia akhirnya berhas
il menangkap burung itu. Dengan cepat ia
menggerakkan tangan untuk menutup topinya dari atas.
Kerumunan orang bersorak. Sang penyihir mendengar seseorang berterima kasih pada sang ratu karena telah memberikan atraksi yang sangat menghibur pada hari itu.
Sambil memegang topi yang berguncang hebat dan mengabaikan jeritan penuh kemarahan dari dalam topi itu, sang penyihir berusaha sebisa mungkin tersenyum dengan tenang dan manis. Ia membungkuk ke arah para penonton yang sangat terhibur. Ia memandang sekilas ke arah sang ratu. Wanita itu memicingkan matanya sehingga yang tampak hanya sepasang garis tipis. Ia juga mengernyitkan alisnya sehingga tampak seram. Sambil menahan napas, sang penyihir berbisik pada kudanya, "Cepat jalan, kuda bodoh."
Bagaikan sebuah pawai, sekarang sang penyihir dibuntuti oleh serombongan anak kecil. Mereka terus mengikutinya sampai jauh dari kastil. "Tuan!" mereka terus berteriak memanggil. "Hei, Tuan! Apa lagi yang akan Tuan lakukan dengan burung itu"
Tapi akhirnya, setelah hampir satu mil jauhnya dari rumah terakhir di kota itu, karena ia tetap diam dan tidak memberikan tontonan, anak-anak itu satu per satu berhenti mengikutinya.
Ketika sudah tidak ada seorang anak pun yang mengikutinya, ia memegang ujung topinya dan menggoyangkannya. Si burung gagak menjerit marah dan melesat terbang ke arah kastil.
Sang penyihir segera membaca mantra untuk mengubah wujudnya menjadi seekor burung.
Kuda milik Petani Seymour pasti merasa merinding akibat kekuatan sihir yang menyertai mantra itu. Binatang itu meringkik dan pandangannya menjadi liar seperti yang selalu terjadi bila ia ingin menggigit sang penyihir. Akan tetapi, pada saat itu sang penyihir sudah terbang menjauh ke arah kastil.
Kalau aku beruntung, pikirnya, kuda itu akan berlari pulang sebelum aku kembali.
Sang penyihir hanya bisa bertahan dalam wujud yang berbeda untuk beberapa saat. Dan sekarang, bahunya sudah terasa pegal karena terus dikepakkan untuk terbang. Si gagak yang diikutinya seolah tahu penderitaan sang penyihir dan dengan kejam sengaja mengitari kastil itu sebanyak dua kali sebelum akhirnya terbang masuk melalui sebuah jendela di menara yang tinggi. Dengan sisa kekuatannya, sang penyihir mendarat di tubir jendela dan mengubah diri ke wujud aslinya secepat kilat sehingga hampir terjatuh.
Seseorang di dalam ruangan itu menjerit.
Sang penyihir mencengkeram pinggiran jendela dan melompat masuk.
Ruang itu adalah sebuah kamar tidur seorang wanita; dan meskipun saat itu sudah sekitar jam dua siang, wanita yang dimaksud sedang berbaring di tempat tidur.
Ia mencengkeram seprai di sekitar lehernya dan tampak siap untuk menjerit lagi.
"Tolong, jangan lakukan itu," sang penyihir memohon sambil menutup telinga dengan kedua tangannya. Wanita itu sangat besar-dan suaranya juga besar.
Tapi ia menjadi heran karena wanita itu segera menjadi tenang. Ia bisa melihat bahwa mulut wanita itu bergerak, tapi untuk berbicara, bukan untuk menjerit.
"Maaf. Apa katamu"" tanya sang penyihir sambil secara perlahan melepaskan tangannya dari telinga.
Wanita itu menaikkan seprai untuk menutupi bagian terbawah dagunya yang berlipat-lipat. "Aku bilang, Anda sang penyihir, bukan"'" Ia tak menunggu jawaban sang penyihir, tapi malah menarik seprai ke atas dengan satu tangan untuk menutupi wajahnya, dan dengan tangan lain melepas topi tidurnya serta mengembungkan rambutnya yang berwarna gelap. Ia mengambil sebuah cermin dari meja kecil di samping tempat tidur, dan-masih sambil bersembunyi di balik seprai-mulai merapikan diri.
"Jangan repot-repot," sang penyihir bergumam. "Aku hanya sekedar lewat."
Tanpa memedulikan ucapan sang penyihir, wanita itu menjelaskan, "Aku tidak tahu kalau Anda akan datang secepat ini. Kalau tahu, aku pasti bisa bersiap-siap."
"Begini," lanjut sang penyihir seakan-akan tak mendengar wanita itu, "Aku tadi sedang mengikuti burung gagak ini. Ia terbang masuk ke sini-kau pasti melihatnya tadi, bukan"" Ia melirik burung kejam itu. Makhluk tersebut sedang bertengger di salah satu tiang tempat tidur sambil membelalak marah. "Dan aku tadi tidak sadar kala
u ini adalah kamar tidur seseorang. Aku benar-benar minta maaf. Aku akan segera pergi dari sini sekarang."
Sambil terus mengabaikan kata-kata sang penyihir, wanita itu terus berbicara, "Tadinya kupikir mungkin harus ada sesuatu atau mungkin selembar layar untuk menyekat ruangan ini pada saat kita bertemu pertama kali sebelum aku menjelaskan apa yang telah terjadi."
"Begini, aku sedang ada urusan penting ...."
"Tapi ternyata begini jadinya. Tolong tunggu sebentar saja ya ...."
"Aku harus menyelamatkan seorang putri-"
Wanita itu muncul dari balik seprai sambil tersenyum dan mengenakan sebuah mahkota. "Beginilah."
"Putri Rosalie," sang penyihir menyelesaikan kalimatnya.
"Ya," kata wanita itu sambil agak menundukkan kepala seperti layaknya seorang bangsawan.
Sang penyihir, yang sudah memegang gagang pintu, tertegun. Ia menatap wanita yang tampak hampir sebundar bola itu, kemudian melihat ke arah pintu, dan kemudian ke arah wanita itu lagi. Ia men-deham. "Putri Rosalie"" ulangnya pelan.
Kesabaran wanita itu akhirnya habis. "Kalau ini benar-benar membuat Anda
terkejut, bayangkan bagaimana perasaanku," kata wanita itu dengan ketus.
"Maaf, maksudmu""
"Kutukan itu, Penyihir, ini adalah kutukan saudari tiriku yang buruk rupa."
"Oh!" Putri Rosalie kembali mengambil cermin. "Apakah benar-benar seburuk itu"" Ia menatap bayangannya di cermin, dan kemudian menyeka air mata yang menitik.
"Tidak," sang penyihir cepat-cepat menimpali. "Tidak, sungguh." Wanita itu memang besar, tapi wajahnya sebenarnya lumayan manis. Walau begitu, ia merasa wanita itu tidak akan senang bila ia mengungkapkan hal itu.
Putri Rosalie menggapai sandaran kepala tempat tidur perunggunya dan memukulkan pinggiran cermin ke dinding. "Bernard!" teriaknya. Kemudian, ia berkata pada sang penyihir, "Kalau menurut Anda keadaanku ini buruk, tunggu sampai Anda melihat Pangeran Bernard."
Sebelum sempat berpikir untuk memberikan tanggapan, sang penyihir mendengar suara garukan di pintu.
"Bisa tolong buka pintunya"" kata sang putri sambil menunjuk ke arah pintu.
Secara perlahan dan hati-hati, sang penyihir membuka pintu itu dan seekor anjing Saint Bernard yang sangat besar melompat masuk serta mendorongnya sampai terjatuh.
"Pangeran Bernard, ini adalah Tuan Penyihir," sang putri memperkenalkan keduanya. "Tuan Penyihir, ini adalah Pangeran Bernard."
"Ah paling tidak, ia cukup ramah," ia akhirnya berkata, sementara anjing itu duduk di dadanya dan menjilati wajahnya.
Putri Rosalie mulai meratap dengan keras.
Seolah ingin menghibur sang putri, Pangeran Bernard mendekat dan mulai menjilati tangannya, tapi sang putri mendorongnya dengan kasar. "Lihatlah dia! Dan air liurnya. Dan kutu-kutunya."
Tanpa menghiraukan perlakuan sang putri, pangeran berwujud anjing itu duduk sambil mengibaskan ekornya di lantai.
"Aku mengerti masalahmu." Sang penyihir kembali berdiri. "Katamu tadi, saudari tirimu yang melakukan ini""
"Ya," jawab Putri Rosalie kesal. "Dan sekarang ia beserta kekasihnya yang jahat itu berkomplot dengan ibu tiriku untuk mengurungku di sini."
Sang penyihir baru saja mau menjelaskan bahwa melawan kekuatan sihir milik seseorang yang tidak mau sihirnya dilawan adalah pekerjaan teramat sulit-tapi ia akan berusaha sebisanya-ketika ia mendengar ada yang datang.
Putri Rosalie juga mendengarnya. Dengan tergagap ia berkata, "Mereka datang! Cepat, sembunyi!"
Sang penyihir melihat sekilas ke sekeliling ruangan, sementara Pangeran Bernard tetap tenang dan menggaruk bagian belakang telinganya.
"Cepat!" teriak sang putri.
Sang penyihir membuka pintu sebuah lemari besar, tapi lemari itu penuh sesak dengan gaun, sepatu, dan topi berbulu sehingga tak ada ruang bagi dirinya dan si anjing untuk bersembunyi.
"Oh, ya ampun!" Putri Rosalie melempar selimutnya ke samping dan melompat dari tempat tidur. Akan tetapi, ia malah mengambang di udara-secara perlahan- ke langit-langit. Sang penyihir menganga tak percaya. Sang putri menendang dinding dengan putus-asa dan melambung anggun menjauhi dinding.
Pangeran Bernard mendongak dan mulai melolong.
"Apa yang kaulakukan"" tanya sang penyihir.
"Ini aki bat dari mantra jahat itu!" Putri Rosalie tersedu. "Saudari tiriku berkata, 'Jadikanlah saudaraku besar dan gemuk dan menggelembung seperti balon udara'-begitulah tepatnya yang ia katakan. Dan sekarang lihatlah aku."
Pintu kamar terhempas terbuka dan sang ratu bertampang kejam melangkah masuk, diikuti oleh anak perempuannya yang bermata licik. "Rosalie, kami tadi dengar kau berteri-" Mata sang ratu memicing ke arah sang penyihir. Bibirnya yang tipis berkerut. Untuk sesaat, sang penyihir merasa was-was. Mungkin saja wanita ini bisa sihir karena putri sulungnya bisa. Sang ratu mungkin akan menjatuhkan mantra kepadanya sebelum ia sempat bereaksi. Tapi kemudian, perhatian sang ratu kembali tertuju pada anak tiri-nya, yang baru saja membentur meja rias dan menjatuhkan beberapa sisir serta parfum. "Rosalie! Cepat turun dari sana sekarang juga sebelum kau terluka."
Sambil mengumpulkan harga diri yang tersisa, sang putri yang mengambang berkata, "Ada yang bisa tolong ...""
Sang penyihir meraih pergelangan kaki sang putri dan menariknya turun.
"Terima kasih." Putri Rosalie duduk di tepi tempat tidur. Dengan anggun, ia
merapikan gaun kamar dan memastikan agar lututnya tertutup. Namun, ia tetap memegang sebuah bantal berenda sebagai pemberat.
"Ya," kata si ratu bengis sambil ber-balik memandang sang penyihir, "terima kasih, Tuan yang baik." Ia kembali memicingkan mata ke arah sang penyihir. "Sepertinya aku pernah melihat Anda sebelumnya""
"Ah," Putri Rosalie menimpali, "tidak. Aku rasa tidak. Penyihir ini tadi hanya mampir untuk menawarkan bantuan untuk mencari Pangeran Bernard. Bukan begitu, Tuan Penyihir""
Sang penyihir menatap si saudari tiri buruk rupa, yang sedang menggaruk-garuk kepala si anjing-yang memang seperti Putri Rosalie katakan tadi, sangat berliur. Sang penyihir kemudian memandang si ibu tiri kejam yang masih terus menatapnya dengan mata terpicing. Tiba-tiba, ia sadar bahwa wanita itu rabun jauh, dan ia memicingkan mata agar bisa melihat
dengan jelas. "Aku rasa," katanya, "Aku rasa aku perlu petunjuk sebelum bisa menebak apa yang sedang terjadi di sini. Apakah kalian berdua mengurung Putri Rosalie""
"Rosalie yang malang ini menjadi korban sebuah mantra sihir," si saudari tiri menjelaskan. Walaupun buruk rupa dan bertampang jahat, suaranya terdengar sedih dan prihatin.
"Bukan mantra sihirmu""
Si saudari tiri tak bisa menjawab karena terlalu kaget. Mulutnya terbuka dan tertutup dua kali, sebelum ia akhirnya menggelengkan kepala.
"Mantra sihir miliknya," kata sang ratu sambil menunjuk ke arah Putri Rosalie.
"Rasanya aku jadi sakit kepala," kata sang putri yang besar itu. "Mungkin sebaiknya kalian semua meninggalkan tempat ini sekarang."
"Apa yang telah kauceritakan kepada pria ini"" tanya sang ratu dengan nada kesal.
Putri Rosalie menggeliat.
"Begini," kata si saudari tiri, "Francis- ia adalah Pengrajin Kepala dari Serikat Kerja Pemahat Kayu-Francis telah berpacaran denganku dan minggu lalu ia memberi kami seekor angsa gemuk yang bagus untuk makan malam."
Sang penyihir tak bisa menangkap hubungan cerita ini dengan apa yang sedang terjadi, tapi ia tak mau berburuk sangka pada si saudari tiri. Oleh karena itu, ia mengangguk padanya supaya melanjutkan cerita.
"Ia mendapatkan angsa itu dari seorang wanita tua mungil yang tinggal di sebuah pondok dekat tembok kota. Wanita itu dikenal sebagai seorang penyihir, tapi kami tidak menanggapinya dengan serius. Ia memang agak aneh, tapi banyak juga kan yang seperti itu. Nah, ia memberi angsa itu pada Francis sebagai ongkos pembuatan sebuah kursi dan Francis membawanya ke sini-angsa itu, bukan kursi. Kemudian, kami menyantapnya untuk makan malam, walaupun wanita itu mengatakan bahwa angsa itu adalah angsa ajaib. Ia memang suka mengatakan hal yang bukan-bukan. Setelah makan malam, kami menemukan tulang garpu angsa itu. Rosalie dan aku memutuskan untuk membuat permohonan dengan tulang itu. Jadi, aku memegang ujung tulang yang satu dan Rosalie memegang yang satunya lagi dan kami berdua menariknya-"
"Baiklah," desak sang penyihir yang sudah mulai tak sabar lagi. "Dan kemudian""
"-da n tulang itu patah tepat di tengah. Jadi, kupikir itu berarti permohonan kami masing-masing dikabulkan, tapi menurut Rosalie itu berarti permohonan kami tidak terkabul. Dan ketika kami menanyakan hal itu pada si wanita tua mungil, ia berkata, 'Itu berarti kalian akan saling mendapat permohonan masing-masing."
"Oh! Permohonan yang tertukar." Sang penyihir berbalik menatap Putri Rosalie. "Benarkah itu""
Lagi-lagi sang putri menggeliat, tapi sang penyihir tak mengalihkan pandangan darinya. "Bagaimana ya ..." kata sang putri berkata. Sang penyihir masih terus menatapnya. "Begitulah kira-kira." Dan sang penyihir masih saja menatapnya. "Iya, memang begitu!" teriak sang putri.
Jadikanlah saudaraku besar dan gemuk dan menggelembung seperti balon udara. Sebelumnya, Rosalie mengatakan bahwa itu adalah mantra yang dikatakan saudari tirinya. Berarti itu adalah permohonannya sendiri. Pasti ia juga menambahkan, Dan sekaligus ubah pacarnya menjadi seekor anjing. Tapi saat itu, sang penyihir sedang merasa penasaran pada hal lain. Ia ber-balik pada si saudari tiri. "Apa permohonanmu""
Si saudari tiri menjadi malu, tapi kemudian menjelaskan. "Begini, walaupun Rosalie memang sangat cantik, berbakat, dan terkenal, ia selalu sedih dan selalu berkata seandainya saja ia bisa begini dan begitu. Jadi, walaupun hubungan kami
tidak begitu baik, aku merasa prihatin padanya sehingga permohonanku adalah agar ia mendapat kesehatan dan cinta serta kebahagiaan. Menurutku, itu semua adalah hal terpenting dalam hidup ini. Karena permohonan itu harus dirahasiakan dan karena aku tidak tahu apa yang ia mohonkan-"
"Dan apakah kau mendapatkan apa yang kau sendiri mohonkan"" sela sang penyihir.
Ia tersipu-sipu, sampai-sampai hal itu terlihat dalam matanya yang bulat kecil. "Begini, Francis-Pengrajin Kepala dari Serikat Kerja Pemahat Kayu-"
"Iya"" "-Francis sedang mengupayakan usaha pencarian Pangeran Bernard. Pangeran Bernard adalah tunangan Rosalie, tapi secara mendadak ia menghilang minggu lalu, tepat saat semua masalah ini mulai. Kami lalu bertanya kepada wanita tua mungil itu-yang menurut banyak orang adalah seorang penyihir. Ia mengaku tak tahu apa-apa tentang sang pangeran dan tak bisa berbuat apa-apa. Sekarang Francis sedang mencarinya ke segala penjuru karena kami sangat khawatir ia terluka atau tersesat, tapi aku yakin mereka akan menemukannya dan ia akan baik-baik saja. Kalau mereka sudah kembali, Francis telah memintaku untuk menikah dengannya, hal yang sudah lama aku harapkan, dan aku setuju untuk menikahinya."
Semua yang baru dikatakannya benar-benar panjang dan ia sendiri akhirnya harus berhenti untuk mengambil napas. Sang penyihir kembali memandang si anjing besar yang sedang menggaruk-garuk badannya. Putri Rosalie membuat suara rengekan yang tertahan sehingga sang penyihir merasa kasihan kepadanya. "Baiklah, karena ini hanyalah mantra tulang garpu, aku akan dengan mudah melenyapkan-nya.
Putri Rosalie bersama saudari dan ibu tirinya menghela napas lega.
"Dan mengenai Pangeran Bernard, aku juga akan menolongnya. Jadi, sebaiknya kau menghubungi Francis"-ia tak tahan untuk tak menambahkan-"Pengrajin Kepala dari Serikat Kerja Pemahat Kayu, dan memintanya untuk segera pulang."
"Oh, terima kasih!" si saudari tiri bertampang jahat itu melingkarkan tangannya untuk memeluk sang penyihir dan mencium pipinya, sementara ibunya membungkukkan badan untuk memberi hormat kepadanya.
"Semoga kalian berdua selalu beruntung," katanya saat kedua wanita itu beranjak pergi. Dan jika mereka memang sempat memerhatikan gerakan tangan sang penyihir saat ia melontarkan mantra atau mendengar kata-kata aneh yang menyertainya, mereka tidak mengatakan apa-apa.
Bahkan sebelum pintu tertutup, ia telah mengayunkan tangan untuk melontarkan sihir yang disertai beberapa ucapan mantra.
Sang putri maha besar, yang sedang duduk di tepi tempat tidur, menciut menjadi kira-kira seperempat dari ukuran sebelumnya dan terjatuh ke atas kasur.
Anjing Saint Bernard-yang sedang duduk di lantai di dekat kaki sang putri dengan lidah yang terjulur-juga jatuh terjerembab. Sebelum menyentuh lantai
, ia telah berubah wujud kembali menjadi seorang pria muda. "Aku setuju," kata sang pangeran sambil menggaruk kepala. Dan kemudian sekali lagi, "Aku setuju." Tatapannya yang kosong dan ramah ternyata lebih cocok sewaktu ia masih berwujud anjing. Tapi menurut sang penyihir, itu masalah Putri Rosalie.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada mereka, sang penyihir mulai bersiap dan mengucapkan mantra untuk berpindah tempat serta kembali ke rumahnya. Tapi kemudian, ia berhenti-hanya sejenak-untuk menunjuk sebuah jarinya ke arah sang putri. "Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga untukmu," ujarnya.
Dan saat tiba di rumahnya, ia menambahkan dengan perlahan, "Yang pasti bagiku, peristiwa tadi adalah sebuah pelajaran berharga."
3. Amukan Makhluk Buas SANG PENYIHIR sedang berada di tengah kolam di belakang kebunnya. Tepatnya di atas perahu, yang tetap utuh lebih karena kekuatan mantra daripada karena tambalan. Hari-hari di bulan Juli sebenarnya panjang, tapi sepertinya tidak cukup panjang bagi sang penyihir untuk memperbaiki perahu itu sekaligus memancing. Setiap kali harus memilih antara memperbaiki perahu dan memancing, ia cenderung lebih suka memancing.
Untuk berjaga-jaga kalau kehangatan sinar matahari di pertengahan musim panas dan ayunan lembut perahu membuatnya mengantuk dan jatuh tertidur, ia membawa serta sebuah bantal. Ia menutup wajahnya dengan topi jerami agar terlindung dari sengatan sinar matahari. Hal terakhir yang diharapkannya pada saat yang sempurna ini adalah gigitan ikan pada umpan kailnya. Namun, tiba-tiba seseorang berseru, "Halooo!"
Tidak, sang penyihir tiba-tiba tersadar, tamu adalah hal terakhir yang diinginkannya.
Mungkin, pikirnya, ini hanya suara yang terbawa angin dari tempat lain karena keadaan saat itu sangat sunyi. Mungkin, siapa pun yang sedang berteriak, sebenarnya sedang memanggil orang lain.
"Halooo, Tuan Penyihir!" suara itu kembali memanggil.
Masa bodohi pikir sang penyihir. Ia memutuskan untuk pura-pura tidur, tapi ia curiga orang ini tak akan menyerah dan akan terus berteriak sampai ia benar-benar terganggu.
Atau aku bisa berpura-pura tak mendengar, pikirnya, dan mendayung menjauh. Tapi kolam itu tidak begitu besar. Jika ia mendayung ke seberang, siapa pun orang ini bisa saja berjalan mengelilingi kolam dan menemuinya di sana.
Ia tergoda untuk membaca mantra berpindah tempat, tapi hal itu benar-benar bodoh: kabur dari rumahnya sendiri untuk menghindari tamu tak diundang. Dan ke mana ia akan pergi" Dan berapa lama ia akan menghindar agar orang ini pergi" Sambil menghela napas panjang, ia berdiri, meletakkan topinya di atas kepala, dan mulai mendayung ke tepi kolam. Mungkin ini tidak akan lama, ia berkata pada dirinya sendiri. Ia tetap tampil dalam wujud aslinya dengan harapan penampilannya yang muda akan membuat sang tamu kecil hati. Tapi tamunya sendiri adalah seorang pria muda dan tidak mudah kecil hati.
Sang tamu mencoba membantunya turun dari perahu, walaupun ia benar-benar
mampu dan terbiasa melakukannya sendiri. Akibatnya, mereka berdua malah terendam genangan lumpur setinggi mata kaki di tepi kolam.
"Aku betul-betul senang bisa menemui Anda di rumah," kata pria itu padanya. "Aku datang dari Desa Saint Wayne the Stutterer dan kami membutuhkan pertolongan Anda."
Paling tidak, Saint Wayne the Stutterer berada dekat sini, hanya di balik bukit. Sang penyihir benar-benar berharap agar masalah ini tak banyak memakan waktu.
"Apa masalahnya"" tanyanya.
"Amukan mahkluk buas," kata pria itu.
"Makhluk buas apa"" Sang penyihir mengira-ngira. Serigala rabieskah" Tak seperti serigala sehat, serigala rabies biasanya sering menyerang orang. Babi hutan liarkah" Para penduduk desa baru-baru ini menebangi sebidang hutan, dan mungkin, karena tempat hidupnya dirusak, sekelompok babi hutan-yang pada dasarnya memang binatang agresif-menyerang mereka. Serombongan anjing liarkah" Nagakah" Ular raksasa purbakala"
Kata pria dari Saint Wayne itu, "Kuda bercula satu."
Sang penyihir merinding. Katanya, "Aku akan ke sana secepatnya."
Walikota Saint Wayne the Stutterer adalah seorang wanita bernama Enid.
Ia terpilih ketika suaminya, walikota terdahulu, kabur dengan dana kas kota. Enid adalah wanita besar yang jujur, blak-blakan, dan berakal sehat-karakter yang sama sekali tidak dimiliki suaminya.
Sang penyihir memindahkan dirinya ke rumah Enid dan menemukan wanita itu sedang membuat adonan roti di dapur. Tanpa ada dana kas, warga tak mampu membayar gaji walikota sehingga Enid harus mencari uang sendiri.
"Halo, Penyihir," kata Enid sambil berhenti sejenak dari pekerjaannya. "Terima kasih sudah datang begitu cepat."
"Aku tahu bagaimana sifat kuda bercula satu," kata sang penyihir. "Apakah mereka kuda-kuda dewasa yang berubah jahat, ataukah yang masih muda"
"Yang masih muda," jawab Enid sambil mencopoti potongan adonan roti yang melekat di tangannya, "sekitar setengah lusin. Yang jantan memamerkan diri pada para betina-yang semuanya berpenampilan garang. Surai mereka ditata seperti paku-paku tajam. Mereka menertawakan dan menghasut para jantan. Makhluk-makhluk itu menjadi mabuk karena makan buah-buahan yang sudah meragi. Kemudian, mereka ke kota dan menakuti anak-anak, mengunyah tembakau dan me-ludahkannya ke trotoar, membuat pola-pola berbentuk lingkaran di ladang dengan menggunakan cula, mencipratkan lumpur ke kuda-kuda di peternakan serta meledek mereka dengan sebutan 'kuda tak bercula.' Tadinya kami berharap mereka akan pergi dari sini, tapi masalahnya malah jadi bertambah. Mereka berjalan beriring sambil mengancam orang-orang supaya tak menghalangi jalan mereka. Mereka juga mengancam orang-orang tua dengan cula mereka. Memecahkan jendela-walaupun selalu pada malam hari- sehingga tidak ada bukti kalau mereka yang melakukannya. Sejumlah pakaian juga menghilang dari tali jemuran. Tapi tadi malam..."
Enid berhenti sejenak dan sang penyihir bisa menebak apa yang akan dikatakannya kemudian. Semua yang terjadi memang sudah ada polanya.
"Tadi malam," lanjutnya, "mereka mendobrak masuk ke peternakan Petani Sey-mour, mengambil salah satu babinya, dan berpesta babi panggang di pantai."
Sang penyihir menggeleng-gelengkan kepala. "Kuda bercula satu yang makan daging pasti akan bertambah liar."
"Itulah alasan kami memanggil Anda."
"Di mana kira-kira mereka berada sekarang""
"Wah, itu masalah lain lagi," kata Enid. "Anak laki-lakiku, Jack, belakangan ini sering bergaul dengan mereka. Anak itu tampaknya sudah tidak memakai akal sehat lagi. Sudahlah, jangan membuatku membahasnya."
Sang penyihir menggelengkan kepala untuk mengisyaratkan kalau ia tak berniat membuat wanita itu membahas anaknya.
"Aku coba memberi Jack tanggung jawab, dengan harapan membuatnya lebih dewasa agar ia bisa berpikir dengan benar, bersikap selayaknya orang yang rasional, dan bukan seperti ayahnya." Ia kembali berkata, "Sudahlah, jangan membuatku membahasnya."
Sang penyihir mencoba menebak, "Jadi, ... maksudmu Jack sedang bersama kuda-kuda bercula satu itu"
"Cobalah cari di tempat bilyar," saran Enid. "Itu tempat yang paling menyenangkan untuk menyia-nyiakan waktu di musim panas yang indah ini."
"Terima kasih," kata sang penyihir sambil beranjak dari dapur sebelum wanita itu mulai membahas putranya yang berumur enam belas tahun atau suaminya yang menghilang atau kuda-kuda bercula satu yang jahat.
Jack sedang berada di tempat bilyar, tapi para kuda bercula satu itu tidak. Sang penyihir memang tak yakin kalau mereka akan berada di situ. Entah makhluk gaib atau bukan, kuda-kuda bercula satu itu pasti tidak bisa menggenggam tongkat bilyar dan pengelola tempat itu telah memasang sebuah pengumuman yang berbunyi:
DILARANG MENYODOK BOLA DENGAN BENDA APA PUN SELAIN DENGAN TONGKAT BILYAR YANG TELAH DISEDIAKAN.
Jack sedang duduk di salah satu meja bar. Kepalanya rebah di atas lengan. Sang penyihir merasa bahwa bukan cuma kuda-kuda bercula satu yang terlalu banyak
makan buah-buahan yang sudah meragi. Ia tahu hal terbaik yang harus dilakukannya adalah mengabaikan Jack dan bertanya pada orang lain kalau-kalau mereka tahu di mana kuda-kuda bercula satu itu berada. Tapi anak muda itu tampak begitu tertekan sehingga ia turut prihatin. Ia mendekati remaja itu dan duduk di
sampingnya.

Sang Penyihir Beraksi Wizard At Work Karya Vivian Vande Velde di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ibuku," ucap Jack tanpa mengangkat muka, "akan membunuhku."
Sang penyihir mempertimbangkan ucapan tersebut. "Yah, menurutku itu mungkin saja terjadi. Tapi kalau dipikir-pikir, agaknya tidak juga."
"Tidak," ujarnya bersikeras. "Ibu pasti akan membunuhku."
"Apakah ini ada hubungannya dengan kuda-kuda bercula satu"" tanya sang penyihir sambil berpikir mungkin saja mereka telah lancang atau menantang Jack untuk melakukan hal yang semestinya tidak dilakukan.
"Kurasa tidak." Jack berdiri dan menatapnya. "Apakah kuda-kuda bercula satu
biasa berlaku curang ketika bermain kartu judi""
"Sepertinya tidak," jawab sang penyihir. "Pasti sulit kan untuk menyelipkan kartu as di balik lengan baju jika kau tak punya lengan baju."
Jack memandangnya dengan pandangan muak. "Aku tidak berjudi dengan kuda-kuda bercula satu itu. Aku berjudi dengan sekelompok pria. Kaulah yang menyebut-nyebut tentang kuda-kuda bercula satu. Tadinya kupikir maksudmu adalah kuda-kuda bercula satu itu yang mengirim para pria itu untuk memenangkan semua uangku." Jack mengernyit. "Sebenarnya, itu uang ibuku. Ia seharusnya tak memercayaiku. Ini semua salahnya. Selain itu, kurasa para pria itu memang bermain curang."
"Mengapa kau bisa bilang begitu"" tanya sang penyihir.
Jack memandangnya seolah ia idiot dan berkata, "Karena mereka memenangkan semua uangku."
Sang penyihir ingin mengatakan mungkin saja itu karena mereka pemain judi yang lebih baik dari Jack. Dan tampaknya, anak muda itu termasuk tipe yang suka menyalahkan orang lain atas masalah yang dihadapinya.
Jack bertanya, "Apa menurutmu ibuku akan percaya kalau aku bilang aku dirampok dengan todongan pisau""
"Sebagai seorang walikota," jelas sang penyihir, "ia akan merasa bertanggung jawab untuk melindungi warga dari para bandit bersenjata. Jadi, jika ada laporan seperti itu, ia pasti akan menyelidikinya."
"Bagaimana kalau badai topan yang dahsyat"" tanya Jack. "Badai topan bukan tanggung jawab seorang walikota. Aku bisa bilang kalau uangnya tersapu angin sebelum aku sempat menyimpannya."
"Kau bisa saja mengatakan yang sebenarnya," saran sang penyihir.
"Bisa saja sih," Jack termenung. "Atau bagaimana kalau begini: Aku bertemu seorang anak yatim piatu malang yang kelaparan serta sakit-sakitan dan kupikir, 'Kami punya jauh lebih banyak dari dia,' jadi kuberikan uang itu kepadanya""
Sang penyihir bisa saja meninggalkan Jack untuk terus mengasihani diri sendiri, tapi ia tidak ingin Enid bersedih karena kelakuan anaknya. "Mungkin kalau kau membantuku menemukan dan mengatasi kuda-kuda bercula satu, ibumu akan memaafkanmu."
"Apa yang akan kauberikan sebagai imbalan untukku""
"Tidak ada," kata sang penyihir.
"Yah kalau begitu, itu bukan sebuah tawaran yang menggiurkan," kata Jack.
Aku seharusnya membiarkannya sendiri dan bertanya pada orang lain, pikir sang penyihir sambil beranjak berdiri.
Tapi Jack juga ikut berdiri. "Baiklah, aku akan menolongmu," katanya. "Mungkin kalau aku terbunuh, ibuku akan memaafkanku."
"Kuda-kuda bercula satu itu," cerita Jack pada sang penyihir, "mungkin berada
di bagian utara peternakan Petani Seymour. Makhluk-makhluk itu gemar mengganggu Petani Seymour karena kalau sedang marah, wajahnya bersemu ungu lucu."
Ketika sang penyihir dan Jack tiba di bagian utara peternakan, mereka bisa mencium aroma daging bakar yang menggoda.
"Wah," kata Jack, "sepertinya mereka sudah menyembelih satu babi lagi."
Sang penyihir mencium bau itu. Bukan babi, pikirnya. Daging sapi. Kuda-kuda bercula satu itu bertingkah semakin buruk saja. Jika tak ada yang bisa menghentikan mereka, mereka akan mulai menginginkan daging naga. Bisa dimengerti kalau naga-naga akan menjadi marah dan mengobarkan perang dengan kuda-kuda bercula satu itu-semburan api naga melawan kekuatan sihir kuda bercula satu. Itu berarti akhir dari keberadaan lahan pertanian dan para petani di mana pun mereka berada karena terjebak di antara kedua pihak yang bertikai.
Dan kuda-kuda bercula satu yang paling jahat pada akhirnya akan memburu mangsa yang paling menantang: manusia.
Tapi saat ini, kuda-kuda tersebut telah mengalihkan perhatia
n mereka pada lumbung Petani Seymour, yang atapnya gampang dinaiki. Dengan tujuan menarik perhatian para betina, yang jantan bergantian menantang satu sama lain untuk melompat dari atas atap itu.
Ketika Jack dan sang penyihir sampai di tempat para kuda bercula satu sedang memanggang sapi, keenam kuda itu serentak berdiri di depan panggangan, seakan-akan khawatir sang penyihir akan mencoba mengambil makanan bergaya karni-fora milik mereka. Mereka mulai bersiul dan mencemooh. "Hei, Jack," teriak mereka, "siapa temanmu yang tua ini""
Padahal saat itu, sang penyihir sedang tidak menyamar sebagai pria tua.
Tapi ia lega begitu tahu kalau ternyata Enid memang benar. Kuda-kuda bercula satu ini masih muda. Perilaku mereka mungkin akan membaik setelah dewasa, dengan catatan: kalau mereka belum menyebabkan kekacauan di mana-mana.
Ia berkata kepada mereka, "Mengapa kalian tidak pulang saja dan meninggalkan penduduk di sini" Pasti orangtua kalian merindukan kalian."
"Pasti tak seorang pun merindukanmu," salah seekor kuda itu mengejek. Yang lain terbahak-bahak, seakan-akan apa yang dikatakannya tadi sangat cerdas.
Kalau saja ia tahu di mana orangtua mereka berada, sang penyihir bisa menggunakan mantra pemindahan tempat untuk mengirim mereka ke sana. Orangtua mereka pasti akan langsung tahu berapa banyak buah-buahan meragi yang sudah mereka makan, dan ia ragu kalau kuda-kuda muda ini akan diizinkan keluar tanpa pengawalan.
Tapi karena ia tidak tahu di mana orangtua mereka berada, hal itu tidak bisa dilakukannya.
Ia bisa saja memindahkan mereka dari Saint Wayne the Stutterer, tapi hal itu hanya akan memindahkan masalah ke orang lain.
"Mengapa kalian tidak menyalurkan energi kalian untuk melakukan sesuatu yang berguna"" sarannya.
"Oh, tentu," ujar salah seekor betina dengan nada mendayu. "Ayo kita pergi memetik bunga-bunga cantik." Ia lalu tertawa meringkik. Sang penyihir bertanya-tanya apakah kuda itu sadar kalau suaranya mirip suara keledai.
"Jack, temanmu ini membosankan," kata yang lain. "Ayo kemari dan nikmati daging sapi panggang bersama kami."
Jack sepertinya hendak menghampiri mereka, tapi tidak jadi saat melihat sebuah tali kekang tergeletak di tanah. Tali kekang itu bertuliskan sebuah nama.
"Bessie!" teriaknya.
"Oh ow," ujar salah seekor kuda sambil mencungkil gigi dengan ujung tulang rusuk sapi, "temanmu yang lain, ya""
"Bessie itu sapi kami!" seru Jack. "Aku baru saja menjualnya di pasar pagi ini."
"Oh ow," ulang kuda itu. "Kami baru saja mencurinya dari pasar siang ini. Kau mau mengambilnya kembali"" Ia menyodorkan tulang rusuk yang dipegangnya pada Jack. "Tapi harus dirakit dulu, ya."
"Sudah, cukup," perintah sang penyihir. "Pulanglah sekarang atau aku akan bertindak."
"Bertindak seperti apa"" tanya yang lain. "Membuat sebuah wajah jelek seperti ini"" Ia mendorong kepalanya ke belakang, membelalak, melebarkan lubang hidung, dan menjulurkan lidah.
"Oh " teriak kelima ekor kuda yang lain, "kami jadi takut!
Sang penyihir sadar tidak ada gunanya berdebat dengan mereka. Ia kemudian melontarkan sebuah mantra ke arah kuda-kuda muda itu untuk membuat mereka menjadi lebih tua dan dewasa.
Karena merupakan makhluk gaib, kuda-kuda bercula satu itu merasakan getaran
sihir pada saat mantra itu terlepas dari ujung jemari sang penyihir. Dua dari mereka yang paling sigap segera melontarkan mantra pertahanan untuk melindungi mereka berenam dari sang penyihir.
Kedua mantra beradu kurang dari sejengkal di depan hidung kuda-kuda itu. Hamburan bintang perak berjatuhan di ladang itu seperti sisa kembang api. Sang penyihir kembali melontarkan mantra, kali ini melambung tinggi jauh di udara, supaya nanti bisa jatuh di atas kepala para kuda. Tapi kedua kuda yang sama mengangkat tabir pelindung ke atas kepala untuk menutupi mereka berenam. Seekor betina-yang tak tahu apa sebenarnya tujuan mantra sang penyihir-mengeluarkan energi penyembuh dari culanya.
Kali ini, bintang-bintang berwarna emas berjatuhan di atas tanah.
"Jack," sang penyihir bergumam, "alihkan perhatian mereka."
"Ehm," kata Jack, "coba lihat di belakang kalian. Petani Seymour sed
ang menuju ke mari" "Memangnya kaupikir kami ini sedungu apa"" tanya para kuda bercula satu itu.
Sang penyihir melontarkan mantra melewati para kuda, ke atas api yang sedang memanggang Bessie malang. Ia membuat api itu berwujud seperti Petani Seymour dan mengubah suara percikan api agar terdengar seperti suara Petani Seymour. Kata suara itu, "Aku tak tahu sedungu apa kalian, tapi kurasa sangat dungu."
Karena terkejut, kuda-kuda bercula satu itu menoleh ke belakang dan sang penyihir kembali melontarkan mantra yang membuat mereka tumbuh satu tahun lebih tua.
Dalam sekejap mata, mereka tumbuh menjadi sedikit lebih tinggi dan tak tampak montok lagi. Mereka berdiri tegak dan gagah, tidak lagi membungkuk.
Salah seekor betina berkata pada yang jantan, "Kalian ini sangat kekanak-kanak-an.
"Sebenarnya," sahut salah seekor jantan dengan suara baru yang lebih berat, "tidak lagi."
Betina yang lainnya berujar, "Daging ini membuatku ngeri."
"Aku juga," balas jantan lainnya. "Memangnya, apa sih yang ingin kita buktikan""
Semua setuju bahwa tidak ada yang perlu mereka buktikan, dan betapa tidak bertanggungjawabnya mereka karena telah pergi begitu jauh dari keluarga tanpa mengatakan ke mana tujuan mereka. Semua setuju bahwa pulang ke rumah adalah hal terbaik harus dilakukan sebagai makhluk dewasa. Selamat tinggal, Jack," seru mereka sambil beranjak pergi. "Maaf ya atas perbuatan kami dan mengenai sapimu."
Sang penyihir mendatangi tempat di mana tiga kekuatan sihir bertemu: mantra tumbuh dewasa miliknya dan mantra pelindung serta penyembuh milik para kuda bercula satu. Hampir semua bintang emas telah menguap sebelum menyentuh tanah, tapi ada seberkas kilauan di atas rumput yang menunjukkan sisa-sisa sihir yang telah berubah menjadi bentuk fisik nyata.
Ia memungut benda-benda berkilau itu. Semuanya ada tiga, masing-masing mulus dan tak lebih besar dari sebutir kacang.
"Bolehkah aku memintanya"" tanya Jack. "Sebagai imbalan karena telah membantumu""
Tapi kekuatan sihir pada benda-benda itu telah menguap. Kilauan emasnya sudah pudar. Yang tertinggal di telapak tangan sang penyihir hanyalah tiga butiran kecil berwarna cokelat tanah.
"Ah," kata Jack. "Sudahlah, tidak usah."
Sang penyihir tak yakin apakah butiran-butiran itu masih menyimpan kekuatan sihir, tapi ia memasukkan benda-benda itu ke dalam saku untuk berjaga-jaga. Kemudian, ia berbalik menuju desa.
Jack berlari mengejarnya. "Aku bahkan tak bisa membawa pulang daging sapi bakar untuk ibuku-semuanya hangus. Ia benar-benar akan membunuhku. Apa menurutmu ia akan percaya kalau kukatakan bahwa para kuda bercula satu itu mencuri Bessie dariku sebelum aku sempat menjualnya ke pasar dan karena oleh itu, aku tidak dapat uang sepeser pun""
Sang penyihir berpikir untuk melontarkan mantra tumbuh dewasa pada Jack, tapi akibatnya lebih bahaya pada manusia daripada pada hewan. Selain itu, Enid mungkin akan jengkel bila sekembalinya nanti, Jack tiba-tiba harus bercukur setiap hari.
"Apakah kau pernah berpikir untuk mengatakan yang sebenarnya"" ia bertanya. "Mengakui kesalahanmu" Meminta maaf" Dan bertekad untuk tidak bersikap bodoh lagi lain kali" Kupikir saat ibumu melihatmu sudah berubah, ia tentu akan memaafkanmu."
"Kurasa begitu," Jack mengiyakan sambil merengut. Tapi kemudian, ia terlihat ceria. Ia melingkarkan lengan pada bahu sang penyihir. "Kau tahu," katanya, "itu usul yang bagus. Aku berhutang pada-mu.
Sang penyihir merasa terkejut dan puas karena nasihatnya berdampak dalam pada anak muda itu. Dengan ceria ia kembali ke rumah Walikota Enid. Di sana ia mendapati Enid sedang mengibas-ngibaskan keset dapur di pekarangan.
"Para kuda bercula satu itu telah pulang," katanya. Karena menurutnya Jack sudah benar-benar berubah, ia kemudian menambahkan, "Jack ikut membantuku."
"Terima kasih," kata Enid padanya. Dan pada Jack ia berkomentar, "Itu sebuah kejutan." Kemudian, ia bertanya pada anak itu, "apakah kau mendapat harga yang bagus untuk sapi kita""
"Begini, ada hal menarik mengenai api itu ...," kata Jack sambil mengajak ibunya masuk ke rumah.
Sang penyihir menunggu sebentar untuk mendenga
r reaksi Enid atas pengakuan Jack. Ia berharap semoga dirinya telah memberi Jack nasihat yang benar.
Dari dalam rumah, terdengar suara Enid yang meninggi dan marah. "Kacang ajaib"" teriaknya. "Kacang ajaib" Apa kau sudah gila-menukarkan seekor sapi dengan kacang ajaib""
Sang penyihir menepukkan sakunya dan sadar sakunya telah kosong. Jack telah mencopet sakuku! katanya dalam hati.
Tiga butir benda kecil terbang ke luar dari jendela kamar dan hampir mengenai kepala sang penyihir. Untuk sesaat, mereka terlihat berkilauan, tapi ia meyakinkan diri kalau itu hanya tipuan mata, efek dari pantulan sinar matahari.
Ia bisa saja berusaha mencarinya di tengah keremangan, tapi untuk apa" Kekuatan sihir benda-benda itu pasti sudah lenyap sekarang dan tidak akan menimbulkan masalah bagi Jack maupun ibunya.
Jadi, ia membaca mantra memindahkan diri dan pulang.
4. Menyelamatkan Seorang Putri
SANG PENYIHIR sedang duduk di gudang rumah menaranya. Ia sedang memikirkan tempat untuk meletakkan semua brokoli yang telah ditanamnya selama musim panas. Akan tetapi, tiba-tiba ia sadar kalau dirinya tak begitu suka brokoli dan heran mengapa ia telah menanam begitu banyak-selain karena alasan bahwa brokoli gampang tumbuh. Secara kebetulan, pandangannya jatuh ke luar jendela. Ada yang datang.
Ia melihat seseorang sedang meniti jalan setapak yang curam. Seorang pangeran, pikirnya, karena anak muda itu menunggang kuda. Rakyat jelata biasanya berjalan kaki. Saat anak muda itu mendekat, ia bisa melihat pakaiannya yang terbuat dari satin dan sutra. Ya, pikirnya, seorang pangeran. Saat si tamu semakin mendekat, ia bisa melihat wajahnya yang congkak dan penuh percaya diri. Ya, pikirnya, pastilah seorang pangeran.
Sang penyihir benci pada kunjungan tak diharapkan seperti ini, apalagi dari para bangsawan. Ia meringkuk ke bawah pinggiran jendela dan mengintip. Ia berniat untuk berpura-pura sedang tak ada di rumah.
Di bawah sana, sang pangeran mengeluarkan pedang dan mengaca pada mata pedangnya yang berkilau. Kemudian, ia mengetuk pintu dengan pangkal pedangnya.
Sang penyihir mengernyit karena pintu kayunya baru saja dicat.
"Hei!" teriak sang pangeran. "Bukalah! Aku datang ke sini untuk urusan penting."
"Mereka memang selalu datang untuk urusan penting," keluhnya pada diri sendiri. Pada saat yang sama, sang pangeran kembali mengetuk pintu dan membuat catnya terkelupas akibat hantaman pangkal pedang. Sang penyihir benar-benar berniat melempar sesuatu-kalau bisa yang dingin, basah, dan benar-benar berlendir-ke atas kepala sang pangeran.
Dari arah belakang, ia mendengar suara mendesis, "Ssst! Bodoh! Menunduklah sebelum ia melihatmu." Suara itu berasal dari sebuah cermin ajaib, benda kuno yang ia dapat dari hasil bekerja selama setahun untuk seorang bangsawan berwatak pemarah. Bangsawan itu mengatakan bahwa benda itu mempunyai sejarah dan kesaktian hebat-yang sama sekali tak pernah dijelaskan lebih lanjut. Sejauh ini, bagi sang penyihir, cermin itu tak berguna dan sangat menyebalkan. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan benda itu dengan baik adalah mengumumkan secara berkala -tanpa ditanya-bahwa seorang wanita
tertentu adalah yang tercantik di seluruh negeri.
Bahkan sekarang, peringatan cerminku bukannya menolong, tapi malah membuatnya lebih bermasalah. Sang pangeran ternyata mendengar suara cermin itu dan melihat ke atas, tepat ke arahnya. "Kau. Anak muda. Cepat buka pintu dan panggil tuanmu ke sini. Aku pangeran dari Talahandra dan aku sedang terburu-buru."
Sang penyihir berniat untuk mengabaikannya, tapi ia khawatir pintunya akan rusak. Dan kalau ia mengubah pangeran ini menjadi kodok, seseorang pasti akan datang mencarinya-lebih banyak gangguan dari yang diharapkan. "Terima kasih banyak," gumamnya pada cermin itu.
Ia kemudian menuruni tangga dan membuka palang pintu.
Pangeran dari Talahandra melangkah masuk dan memandang sekeliling dengan raut wajah menghina. Secara sekilas ia melihat bayangannya sendiri pada permukaan baju zirah yang digunakan sang penyihir
sebagai tempat menggantung jubah dan ia kemudian menepuk-nepuk rambutnya yang sudah sangat rapi.
"Jadi," katanya, "di mana sang penyihir""
Sang penyihir tersenyum tanpa bermaksud untuk bersikap ramah. "Akulah sang penyihir."
Hidung sang pangeran kempas kempis karena jengkel. "Oh, begitu." Ia memonyongkan bibirnya. "Aku mempunyai sebuah tugas yang harus dikerjakan."
"Tugas yang harus dikerjakan," kata sang penyihir, "tempat yang harus didatangi, orang-orang yang harus ditemui."
Sang pangeran memerhatikannya dengan curiga. Ia yakin sang penyihir tidak menanggapinya dengan serius. Namun, ia berkata, "Ya. Lebih tepatnya, kukira begini 'tempat yang harus didatangi dan tugas yang harus dikerjakan.' Ada seorang putri yang harus diselamatkan."
Sang penyihir berpikir semestinya ia sudah bisa menduga. Tapi ia tak mengatakannya. Ia bertanya, "Dari apa""
"Seekor naga." Sang penyihir mencoba tidak berpikir tentang bagaimana takutnya gadis malang
itu. Ia bertanya, "Apakah kautahu namanya"" "Putri Gilbertina dari Mustigia." Sang penyihir mendesah. "Maksudku naganya."
"Oh." Sang pangeran mengangkat bahu. "Memangnya naga punya nama""
Sang penyihir tak mau menjawab. "Apakah kautahu kalau naga tersebut memiliki sihir atau tidak""
Sang pangeran kembali mengangkat bahu. "Napasnya mengeluarkan api."
"Semua naga mengeluarkan api."
"Oh, begitu. Wah, aku tak tahu apa hal itu ada bedanya."
"Tentu ada bedanya bagi orang yang akan pergi untuk menolong sang putri."
"Oh begitu," ujar sang pangeran dengan nada yang mengisyaratkan bahwa mungkin saja dirinya yang akan menyelamatkan sang putri dan kalau memang
benar begitu, ia tak akan peduli apakah si naga memiliki sihir atau tidak. "Tahu tidak, ia sangat cantik." "Si naga""
"Si putri. Aku diberi tahu bahwa ia wanita tercantik di seluruh negeri."
Dari lantai atas, si cermin ajaib menye-lutuk, "Tercantik kedua. Yang tercantik adalah gadis pemerah susu Aspasia di rumah Petani Seymour."
Sang pangeran menengadah untuk melihat ke atas. "Apa yang baru saja kaukatakan"" tanyanya.
"Jangan pedulikan," sela sang penyihir. "Maksudmu kau diberi tahu kalau ia yang tercantik" Kau sendiri tak mengenalnya""
Sang pangeran menggeleng.
"Jadi, apa sebenarnya hubunganmu dengannya""
"Ayahnya telah berjanji bahwa siapa pun yang berhasil menolong sang putri akan dinikahkan dengannya dan mendapat separuh wilayah kerajaan."
"Tapi kau memintaku untuk menyelamatkannya," tegas sang penyihir. "Ya, begitulah."
"Apakah hal itu sebagai balas jasa karena kita sudah berteman sejak lama""
Sang pangeran cemberut. "Begini, aku sudah mencobanya. Tapi naga itu tinggal di sebuah puncak gunung yang hanya bisa dicapai dengan terbang."
"Coba aku simpulkan duduk perkaranya. Kau memintaku untuk membahayakan jiwaku untukmu-seseorang yang tak kukenal sama sekali-untuk menyelamatkan seorang putri, yang juga tak kukenal, agar kau bisa menikah dengannya dan mewarisi separuh dari wilayah kerajaan ayahnya."
"Ya, betul begitu."
"Dan untuk apa aku melakukan semua ini" Demi ketenaran pribadi""
"Ya, sebenarnya bukan begitu. Kita tak mungkin mengumumkan bahwa kau yang melakukannya untukku. Nanti aku tidak berhak menikahi sang putri dan
mendapatkan separuh wilayah kerajaan, bukan""
Sang penyihir memejamkan mata. "Tepat sekali. Jadi, mengapa aku harus menolongmu""
"Demi kepuasan pribadi karena telah berhasil menyelamatkan seorang putri""
Mengapa pada akhirnya mereka selalu mengatakan hal seperti itu" Sang penyihir terus membayangkan rasa takut yang mencekam sang putri karena ditawan naga jahat. "Siapa namanya""
Sang pangeran menatapnya dengan bingung. "Kalau si naga, aku tidak tahu. Kalau si putri, Gilbertina," ia mengingatkan.
Sang penyihir mendesah. "Puncak gunungnya."
"Oh, puncak gunungnya. Tidak, aku tidak tahu namanya. Tapi aku bisa mengantarmu ke sana."
Sang penyihir tadinya berharap bisa menggunakan mantra memindahkan diri daripada harus menunggangi kuda Petani Seymour melalui jalan yang berbatu-batu. Ia mendesah lagi dan berharap-seperti yang sering ia lakukan-seandainya ilmu sihir yang ia miliki tak terbatas. "Kalau begitu sebaiknya kita segera pergi," katanya.
Tapi sebelum mereka beranjak pergi, si cermin ajaib berteriak, "Hei, penyihir!
Kuharap kau sudah membuat surat wasiat. Aku tak mau menghabiskan lima tahun ke depan menunggu di loteng berdebu ini sementara para pengacara memilah-milah hartamu."
"Temanmu di atas sangat tidak menyenangkan, ya," bisik sang pangeran di telinganya. "Omongannya tidak masuk akal, kan" Wanita tercantik katanya." Ia menatap bukit yang memisahkan tanah milik sang penyihir dan Desa Saint Wayne the Stutterer. "Apakah kita kebetulan berada di dekat peternakan Petani Seymour"" tanyanya.
"Sekarang kita memang akan pergi ke sana untuk meminjam kuda," kata sang
penyihir. Sang pangeran ternyata tak cukup pandai untuk membawa dua kuda sekaligus. "Mengapa""
Sang pangeran mengempiskan perutnya dan menepuk-nepuk rambutnya yang masih sangat rapi. "Tidak apa-apa," katanya. "Hanya ingin tahu."
Mereka menghabiskan sisa hari itu dan sebagian besar waktu pada keesokan hari untuk mencapai gunung di mana sang naga menawan Putri Gilbertina. Pangeran dari Talahandra, yang bersandar di punggung kudanya, sedang memerhatikan sang penyihir dan terlihat bosan.
Sang penyihir sedang memegang segumpal awan biru di tangan kirinya. Tangan kanannya menarik-narik awan itu. Awan itu bukannya semakin menipis malah menjadi semakin tebal dan panjang. Ia kemudian menggerakkan tangannya ke arah berlawanan sehingga awan itu menjadi semakin mengembung.
Sang pangeran menguap, tapi mendadak berhenti dan kembali memerhatikan sang penyihir.
Ahli sihir itu terus menarik gumpalan awan di tangannya sehingga menjadi semakin panjang: tangan kiri mendorong ke atas dan tangan kanan menarik ke samping. Awan itu menjadi sebesar ikan paus-dan sang penyihir terus berkutat dengannya.
"Ehm ujar sang pangeran sambil bergerak dengan gelisah.
Sang penyihir menambahkan leng-kungan, lekukan, sebuah kaki di sini, dan sebuah ekor berduri di sana.
"Seekor naga," kata sang pangeran akhirnya. "Kau membuat seekor naga lagi. Masuk akal juga sih. Mengapa cuma berkelahi melawan satu naga kalau bisa melawan dua sekaligus."
"Shhh," kata sang penyihir sambil menambahkan beberapa detail ekstra.
Mungkin sebelumnya, tak ada seorang pun yang pernah menyuruh sang pangeran
untuk diam dengan 'shhh.' Ia mengabaikan peringatan sang penyihir dan bertanya, "Apa yang akan dilakukannya" Berkelahi dengan naga itu""
"Ini hanya sebentuk awan. Sebuah ilusi.
"Sepertinya akan sangat membantu."
Sang penyihir melihat sekilas ke arahnya sambil berpikir mungkin belum terlalu terlambat untuk mengubahnya menjadi kodok. Tapi ia malah berkata, "Para naga biasanya sangat peduli pada wilayah kekuasaan mereka. Aku akan meluncurkan awan ini ke arah barat di sebelah sana, dan naga yang menawan putrimu itu akan segera mendatanginya untuk mencari tahu. Sementara itu, aku akan mengubah diriku menjadi seekor burung elang dan terbang ke puncak gunung untuk menemui sang putri. Kemudian, aku akan memindahkan kita semua ke rumah menaraku."
"Kuda-kudanya juga," sang pangeran mengingatkan. "Tahu tidak, kuda sangat
mahal. Jadi, jangan lupa membawa mereka."
Sang penyihir berpikir, Kalau memang ada yang lupa kubawa, pasti bukanlah kuda. Tapi ia tidak mengatakan hal tersebut. Ia hanya melambungkan naga buatannya ke arah pegunungan nan jauh.
Dari atas, mereka mendengar sebuah pekikan marah.
Sang penyihir merentangkan tangan, membisikkan sebuah mantra, dan merasakan bulu-bulunya mulai tumbuh. Ia meloncat dari tepi tebing, melayang dalam embusan angin, dan sudah berada setengah jalan ke puncak gunung sebelum mengepakkan sayap.
Gua yang tak terlihat dari bawah, kini mudah ditemukan. Sang penyihir hinggap di tempat yang sepertinya sering dipakai oleh sang naga untuk mendarat. Kemudian, ia mengubah diri ke wujud asli sebelum memasuki gua itu-agar tidak mengagetkan sang putri-karena biasanya
seorang putri sangat rapuh. Setelah itu, ia berjalan ke dalam.
Sang putri sedang berbaring di atas tumpukan bantal berbordir benang emas dan berisi bulu anak angsa. Di samping sikunya ada sekotak besar permen. Ia baru saja akan melemparkan sebuah permen ke dalam mulut saat sadar akan kehadiran sang penyihir. "Halo," kata sang putri- tangannya menggantung d
i udara. "Ada apa ini""
"Aku datang untuk menolongmu."
Sang putri cemberut. "Ayah mengutusmu, bukan""
"Tidak," sang penyihir menjelaskan, "sebenarnya yang mengutusku adalah pangeran dari Talahandra."
Sang putri melempar sebutir permen ke udara dan menangkapnya dengan mulut. "Aku tak pernah dengar tentang dia."
Sang penyihir memerhatikannya mengunyah, mengunyah, dan mengunyah. Kemudian, ia memerhatikan sang putri memilih permen lain dan kembali melemparnya ke dalam mulut. Biasanya, usaha penyelamatan tidak berlangsung seperti ini. Akhirnya, sang penyihir berkata, "Jadi, bagaimana""
"Bagaimana apanya""
"Kau mau ikut""
Sang putri bertanya, "Maksudmu: Apakah aku setuju untuk diselamatkan"" "Ya." "Tidak." "Tidak"" "Ya."
Sang penyihir menggeleng-gelengkan kepala sambil berusaha memahami. "Apa maksudmu tidak""
Sang putri mengambil sebuah piring emas dan bercermin untuk memastikan tidak ada yang terselip di antara giginya. Ia tersenyum pada dirinya sendiri dan menepuk-nepuk rambut pirangnya yang indah. "Maksudku," katanya, seakan-akan akhirnya baru sadar kalau ada sang penyihir di sana, "Aku sangat bahagia di sini. Naga itu baik padaku. Ia membawakanku
berbagai camilan manis yang kumau dan mengajakku terbang ke seluruh pelosok negeri ini. Di sini, aku bahkan mendapat barang yang lebih bagus daripada yang kudapat di rumah-dan aku harus berbagi dengan kedua saudariku yang buruk rupa." Ia menunjuk ke arah timbunan harta milik sang naga, di bawah tumpukan bantalnya. "Bisa kubayangkan ayahku telah berjanji untuk menikahkanku dengan siapa pun yang bisa menyelamatkanku. Iya kan" Ayah memang kuno. Begini, aku tak memilih untuk diselamatkan oleh seorang pangeran gemuk yang terlalu malas untuk datang dan menyelamatkanku sendiri." Ia memerhatikan kotak permen dan mengambil sebutir lagi. "Maaf," gumamnya dengan mulut penuh.
Sang penyihir mengentakkan kaki dengan tak sabar. Ia sadar jika ia langsung pulang ke rumah, sang pangeran pasti akan mengikutinya dan tak akan membiarkannya tenang. "Coba dengar," katanya dengan nada letih, "pangeran dari Talahandra tidak gemuk atau tua. Ia sangat tampan dan lumayan kaya."
Sang putri terlihat mulai tertarik, tapi masih ragu-ragu.
Sang penyihir menambahkan, "Pangeran ini juga sangat pandai dan banyak akal. Daripada datang sendiri, ia memintaku menyelamatkanmu karena itu akan lebih aman bagimu."
"Bagaimana ya", kata sang putri. "Aku sangat menikmati terbang dengan sang naga."
"Selain itu," kata sang penyihir dengan halus sambil berbohong, "beberapa pembuat permen terbaik di dunia berada di Kerajaan Talahandra. Ayolah," desaknya. "Sang naga bisa kembali kapan saja."
Dengan lamban dan ragu-ragu, sang putri berdiri sambil mengapit kotak. "Apa menurutmu aku akan menyukai pangeran ini"" ia bertanya.
Kali ini, sang penyihir bisa menjawab dengan jujur. "Percayalah padaku, kalian tercipta untuk satu sama lain." Kemudian, saat sang putri memasukkan sisir bertabur berlian dan perhiasan kecil lain ke dalam saku, ia menambahkan, "Dan aku punya sebuah cermin bagus yang akan menjadi hadiah pertunangan sempurna untuk kalian berdua."
"Oh, terima kasih," ujar sang putri sambil mengunyah sebutir permen karamel.
Seminggu kemudian, sang penyihir sedang berbaring setengah terlelap di tempat tidur ayun di halaman belakang rumah menaranya. Musim panas sudah hampir berlalu. Beberapa minggu lagi, murid-muridnya akan kembali untuk semester musim gugur. Ia tersenyum saat sadar bahwa ia merindukan mereka, walaupun hal itu tidak akan pernah dikatakannya.
Sesuatu yang besar dan berat jatuh di atas dadanya. "Halo, sobat lama," terdengar suara cermin ajaib yang tak asing, namun yang sama sekali tak diharapkannya. "Rupanya kau sedang bermalas-malasan di hari tuamu."
Ia membuka mata dan melihat Putri Gilbertina sedang berdiri di dekatnya. Gadis itu mengentak-entakkan kaki dan tangannya terlipat di depan dada dengan sikap menantang.
"Tidak berhasil," katanya. "Pertunanganku batal, dan aku mau kau mengambil kembali sampah ini dari tanganku."
Sang penyihir benar-benar terkejut dan napasnya tercekat sehingga tak sadar kalau sampah yang di
maksud sudah tidak lagi berada di tangan sang putri tapi sedang bertengger di atas dadanya sendiri.
Ia menyingkirkan cermin berat itu sampai terjatuh dari pinggiran tempat tidur ayun.
"Hati-hati, sobat," gerutu cermin itu.
Sang penyihir akhirnya bisa bernapas lagi. "Apa masalahnya""
"Cermin bodohmu inilah yang menjadi biang keladinya."
"Tidak!" sang penyihir tergagap dan mencoba untuk terdengar kaget.
"Cermin ini menjejalkan berbagai gagasan gila ke dalam kepala pangeran dari Talahandra. Mestinya ia menikahiku, tapi ia malah menghabiskan waktu di sekitar peternakan Petani Seymour. Ia mendesah dan menulis puisi-puisi jelek tentang gadis pemerah susu itu, yang sebenarnya-kalau boleh kutambahkan-tidak begitu hebat."
"Aku mengerti," kata sang penyihir.
"Lagi pula," sang putri mulai menggembungkan rambutnya, "cermin bodoh ini bahkan mengatakan bahwa aku gadis tercantik kedua di seluruh negeri, dan pangeran dari Talahandra hanyalah pria tertampan kedelapan. Begitu kata cermin ini.
"Aku minta maaf karena semua hal antara kau dan pangeran tak berjalan seperti yang diharapkan," kata sang penyihir. "Tapi aku tak mengerti mengapa kau ada di sini."
"Aku mau kembali pada nagaku."
"Oh." Ia menatap wajah sang putri yang cemberut namun penuh tekad. "Ehm-"
"Dan kau akan mengantarku ke sana."
Ia baru mau membuka mulut untuk protes, tapi sang putri mulai berbicara semakin keras dan cepat sambil mengacungkan telunjuk padanya. "Ini semua salahmu. Kaulah yang membujukku untuk pergi, dan kaulah yang memberiku cermin sial ini." Ia mengangkat dagu dan berbicara dengan penuh wibawa. "Sekarang, aku siap diantar pulang."
Ilmu Ulat Sutera 18 Lima Sekawan 08 Petualangan Di Sungai Ajaib Miss Pesimis 3

Cari Blog Ini