Ceritasilat Novel Online

The Broker 6

The Broker Karya John Grisham Bagian 6


duduk di tepi meja dan melotot pada Susan Penn. "Aku sulit percaya kita tidak
tahu apa-apa." "Jujut saja, say a juga. Dan itu bukan karena kami tak petnah betusaha. Itu
salah satu alasan Teddy betusaha keras agar Backman diampuni. Ya, pada
dasarnya ia menginginkan Backman mati-mereka punya sejarah dan Teddy
selalu menganggap Backman pengkhianat. Namun ia juga sangat yakin bahwa
pembunuhan Backman akan memberitahukan sesuatu kepada kita." "Apa""
"Tergantung siapa yang membunuhnya. Kalau Rusia yang melakukannya, kita
boleh percaya sistem satelit Itu milik Rusia. Begitu juga dengan
Cina. Tapi kalau Israel yang membunuhnya, ada kemungkinan Backman dan
Hubbard berusaha menjual produk mereka kepada Saudi. Bila Saudi yang
menghabisinya, kita bisa yakin bahwa Backman mengkhianati mereka. Kami
cukup yakin bahwa Saudi mengira mereka sudah mendapat kesepakatan."
"Tapi Backman mengelabui mereka""
"Barangkali tidak. Menurut kami, kematian Hubbard mengubah segalanya.
Backman mengemasi tasnya dan kabur masuk ke penjara. Semua kesepakatan
batal." Presiden berjalan kembali ke meja kopi dan mengisi cangkirnya Ia duduk di
depan Susan Penn dan menggeleng. "Kau berharap aku percaya bahwa tiga
hacker Pakistan itu membobol sistem satelit yang begitu canggih tanpa
sepengetahuan kita""
"Ya. Mereka sangat pintar, tapi juga beruntung. Lalu mereka bukan saja
membobol sistem, tapi juga membuat program luar biasa yang
memanipulasinya" "Dan itu yang disebut JAM"" "Begitulah mereka menamainya." "Ada yang
pernah melihat perangkat lunak itu""
"Saudi. Karena itulah kami tahu, bukan hanya perangkat lunak itu sungguh-sungguh ada, tapi mungkin juga bekerja seperti yang diiklankan."
"Di mana perangkat lunak itu sekarang"" Tidak ada yang tahu, kecuali
mungkin Backman sendiri." Suasana sunyi cukup lama sementara Presiden menyesap kopinya yang
suam-suam kuku. Lalu ia menumpukan kedua sikunya di atas lutut dan berkata,
"Apa yang paling baik bagi kita, Susan" Apa yang paling baik untuk kepentingan
kita"" Susan Penn tidak ragu-ragu. "Mengikuti rencana Teddy. Backman akan
dilenyapkan. Perangkat lunak itu tak pernah terlihat selama enam tahun, jadi
mungkin juga sudah tidak ada. Sistem satelit itu ada di atas sana, tapi siapa
pun yang memilikinya tidak bisa menggunakannya."
Diam lagi. Sesapan kopi lagi. Presiden menggeleng-geleng dan berkata,
"Jadilah." Neal Backman tidak membaca The New York Times, tapi pagi itu ia
melakukan pencarian nama ayahnya di Internet. Sewaktu mendapatkan tulisan
Frick, ia melampirkannya pada e-mail yang dikirimnya dari
Jerrys Java. Di meja kerjanya, ia membaca lagi tulisan tersebut, dan teringat desas-desus tentang berapa banyak uang yang disembunyikan sang broker ketika
bitonya runtuh. Ia tidak pernah mempertanyakan hal itu dengan lugas pada
ayahnya, karena ia tahu 431 tidak akan mendapat jawaban yang jelas. Selama bertahun-tahun, ia mulai
menerima keyakinan umum bahwa Joel Backman adalah pesakitan yang tak
punya uang. Lalu mengapa ia merasakan sesuatu yang mengusik, bahwa skandal jual-beli
pengampunan hukuman iru ada benarnya" Karena bila ada orang yang terkubur
begitu dalam di penjara federal tapi bisa melakukan keajaiban semacam itu,
ayahnyalah orangnya. Tapi bagaimana ia bisa sampai di Bologna, Italia" Dan
mengapa" Siapa yang memburunya"
Pertanyaan-pertanyaan menumpuk, jawaban-jawabannya tak bisa
didapatkan. Sambil menyesap double mocha dan memandangi pintu ruang kantornya
yang terkunci, sekali lagi ia mengajukan pertanyaan besar itu pada diri sendiri:
Bagaimana orang bisa menemukan bankir Swiss tertentu tanpa menggunakan
telepon, faks, surat, atau e-mail"
Ia sudah menemukan caranya. Ia hanya perlu waktu.
Tulisan di 77""" itu dibaca oleh Efraim ketika ia naik kereta dari Florence ke
Bologna. Panggilan telepon dari Tel Aviv memberitahunya, dan ia
menemukannya di Internet. Amos empat kursi di belakangnya, juga sedang
membaca di laptop-nya. Rafi dan Shaul tiba keesokan harinya pagi-pagi sekali-Rafi dengan pesawat
dari Milan, Shaul naik kereta dari Roma. Keempat anggota kidon yang
berbahasa Italia itu sudah sampai di Bologna, dengan segera menyiapkan dua
rumah persembunyian yang mereka perlukan untuk proyek tersebut.
Rencana awal adalah metingkus
Backman di bawah portico gelap sepanjang
Via Fondazza atau jalan kecil yang sesuai, lebih disukai pagi-pagi sekali atau
setelah gelap. Mereka akan membiusnya, memasukkannya ke van,
membawanya ke rumah persembunyian, dan menunggu pengaruh obat biusnya
lenyap. Mereka akan menginterogasinya, akhirnya membunuhnya dengan racun,
dan membawa mayatnya dengan mobil selama dua jam ke Lake Garda, tempat
ia akan menjadi makanan ikan.
Rencana itu kasar dan penuh bahaya, tapi lampu hijau sudah diberikan.
Tidak ada lagi jalan kembali. Setelah Backman mendapat begitu banyak
perhatian sekarang, meteka harus menyerang dengan cepar.
Perlombaan itu juga dipacu fakta bahwa Mossad memiliki alasan untuk yakin
bahwa Sammy Tin betada di Bologna, atau di suatu tempat tak jauh dari sana.
H Restoran yang paling dekat dengan apartemen Francesca adalah trattoria
tua menarik bernama Nino's. Francesca tahu benar tempat itu dan sudah
bertahun-tahun mengenal dua putra Nino tua. Ia menjelaskan kesulitannya, dan
ketika ia tiba, kedua pria itu sudah menanti dan boleh dibilang
menggendongnya masuk. Mereka mengambil alih tongkat, tas, mantel, dan
mengantarnya perlahan-lahan ke meja favorit, yang mereka dekatkan ke
perapian. Mereka membawakan kopi dan air minum untuknya, lalu menawarkan
apa pun yang mungkin dikehendakinya. Saat itu menjelang sore, pengunjung
makan siang sudah sepi. Nico serasa hanya menjadi milik Francesca dan
muridnya. Ketika Marco tiba beberapa menit kemudian, dua bersaudara itu
menyambutnya seolah ia anggota keluarga. "La professoressa la sta
aspettando," salah satunya berkata. Guru sudah menunggu.
Peristiwa di jalan setapak berbatu di San Luca dan pergelangan kaki yang
terkilir itu telah mengubah Francesca. Lenyap sudah sikap tak peduli yang
dingin itu. Lenyap sudah k^edihan itu, paling tidak untuk sekarang ini. Ia
tersenyum ketika melihat Marco, bahkan mengulurkan tangan, meraih tangan
Marco, dan menariknya supaya mereka bisa saling mengecup kedua belah pipi,
kebiasaan yang sudah diamati Marco selama dua bulan namun belum
pernah melibatkannya. Lagi pula, Francesca kenalan wanita yang pertama
di Italia, la memberi isyarat ke arah kursi di depannya. Dua bersaudara tadi
datang merubung, mengambil mantelnya, bertanya apakah ia mau minum kopi,
bersemangat ingin melihat seperti apa kursus bahasa Italia itu.
"Bagaimana kakimu"" tanya Matco, dan membuat kesalahan dengan
berbahasa Inggris. Francesca menyentuhkan jarinya ke bibir, menggeleng, dan
berkata, "Non inglese, Marco. Solamente Italiano"
Marco mengerutkan kening dan' berkata, "Aku sudah khawatir."
Kaki Francesca masih sakit sekali. Ia mengompresnya dengan es kalau
sedang membaca atau menonton televisi, dan bengkaknya sudah hilang
sekatang. Perjalanan ke restotan dilakukannya lambat-lambat, tapi penting
baginya untuk betgerak terus. Atas desakan ibunya, ia menggunakan tongkat.
Baginya, benda itu betguna sekaligus membuatnya malu.
Kopi dan air putih kembali datang, dan sewaktu dua bersaudara itu yakin
betul bahwa segalanya memadai bagi teman tersayang mereka Francesca dan
muridnya yang orang Kanada, dengan enggan mereka kembali ke bagian depan
restotan. "Bagaimana kabar ibumu"" tanya Marco dalam
bahasa Italia. Sangat baik, sangat lelah. Sudah sebulan ia me-rawat Giovanni, dan tanda-tanda keletihannya sudah mulai tampak.
Jadi, pikir Marco, sekarang kita sudah boleh membicarakan Giovanni.
Bagaimana keadaannya"
Kanker otak yang tak bisa dioperasi, jawab Francesca, dan butuh beberapa
pengulangan sampai kalimat itu diterjemahkan dengan tepat. Sudah hampir
setahun ia sangat menderita, dan akhirnya sudah dekat. Ia sudah tak sadar lagi.
Sayang sekali. Apa profesinya dulu, apa pekerjaannya"
Ia mengajar sejarah abad pertengahan di universitas selama bertahun-tahun. Mereka bertemu di sana-Francesca mahasiswa, Giovanni profesornya.
Pada saat itu, Giovanni masih menikah dengan seorang wanita yang amat tidak
disukainya. Mereka mempunyai dua putra. Francesca dan profesornya saling
jatuh cinta dan menjalin kisah cinta rahasia yang berlangsung hampir sepuluh
tahun sebelum Giovanni menceraikan istrinya dan m
enikahi Francesca. Anak" Tidak, sahut Francesca sedih. Giovanni sudah punya dua anak, ia
tidak ingin punya anak lagi. Francesca memiliki penyesalan, banyak
penyesalan. Jelaslah bahwa perkawinan itu bukan perkawinan yang bahagia. Tunggu saja
sampai kita membahas perkawinanku, batin Marco.
Tak lama mereka sampai ke topik tersebut. "Ceritakan tentang dirimu," kata
Francesca. "Bicaralah perlahan-lahan. Aku ingin mendengar aksen yang
sebaik mungkin." "Aku hanya pengusaha dari Kanada," ujar Marco
dalam bahasa Italia. "Tidak, yang sebenarnya. Siapa namamu yang
sebenarnya"" "Tidak." "Apa""
"Untuk sementara ini, Marco. Aku punya sejarah panjang, Francesca, dan
aku tidak bisa membicarakannya." "Baiklah. Kau punya anak"" Ah, ya. Untuk
beberapa waktu yang panjang, : Marco membicarakan ketiga anaknya-nama,
umur, pekerjaan, tempat tinggal, pasangan, anak-anak mereka. Ia
membumbuinya dengan sedikit fiksi untuk memperlancar kisahnya, dan
menciptakan keajaiban kecil dengan membuat keluarganya tampak seperti
keluatga yang cukup normal. Francesca mendengarkan dengan penuh
perhatian, menunggu menyela kesalahan pengucapan atau konjugasi kau kerja
yang keliru. Salah satu putra Nino datang membawakan cokelat dan tinggal
sebentar untuk berkomentar, diiringi senyum lebar, "Paria molto bene,
signore." Anda berbicara dengan sangat baik, Tuan. I
Francesca mulai gelisah setelah satu jam dan Marco menyadari ia mulai
merasa tidak nyaman. Akhirnya Marco berhasil meyakinkannya untuk pulang,
dan dengan sangat gembira ia mengantar Francesca ke Via Minzoni, tangan
kanannya erat menggenggam siku kiri Marco sementara tangan kirinya
memegangi tongkat. Mereka berjalan selambat mungkin. Francesca enggan
kembali ke apartemennya, kembali berjaga, menunggu ke-matian. Marco ingin
berjalan bermil-mil jauhnya, memperpanjang sentuhannya, merasakan tangan
seseorang yang membutuhkan dirinya.
Di apartemen Francesca, mereka saling mengecup sebagai ucapan selamat
berpisah dan mengatut pertemuan di Nino's besok, jam yang sama, meja yang
sama. Jacy Hubbard melewatkan hampir 25 tahun hidupnya di Washington;
seperempat abad penuh perburuan agresif kelas kakap dengan sejumlah besar
wanita yang gampang digantikan. Yang terakhir adalah Mae Szun, wanita cantik
yang tingginya hampir 180 sentimeter, dengan tubuh sempuma, mata hitam
yang mematikan, dan suara parau yang tidak mendapat banyak kesulitan
mengajak Jacy keluar dari bar dan naik mobil. Setelah satu jam seks yang
kasar, ia menyerahkan jacy kepada Sammy Tin, yang menghabisinya dan meninggalkan mayatnya di
makam kakaknya. Kalau seks diperlukan untuk menjebak mangsa, Sammy memilih Mae Szun.
Wanita itu agen MSS yang hebat, tapi tungkai dan wajahnya menambah dimensi
yang sudah terbukti mematikan pada tiga peristiwa. Sammy memanggilnya ke
Bologna, bukan untuk merayu tapi untuk menggandeng tangan agen lain dan
berpura-pura menjadi pasangan turis yang berbahagia. Tentu saja, rayuan
mungkin diperlukan. Terutama dengan Backman. Pria malang itu baru bebas
dari enam tahun di penjata, jauh dari wanita.
Mae melihat Marco ketika ia bergerak bersama kerumunan di Strada
Maggiore, berjalan menuju arah Via Fondazza. Dengan kegesitan
mengagumkan, ia mempercepat langkah, mengeluarkan ponsel, dan berhasil
menyusul Marco sambil tetap terlihat seperti turis yang bosan melihat-lihat
toko. Lalu Marco menghilang. Dengan tiba-tiba ia mengambil tikungan ke kiri,
berbelok di gang kecil, Via Begatto, dan menuju arah utara, menjauhi Via
Fondazza. Sewaktu Mae Szun berbelok, Marco sudah lenyap dari pandangan.
25 Musim semi akhirnya tiba di Bologna G . salju terakhir sudah berlalu. Suhu
mencapai sepuluh derajat kemarin, dan ketika Marco melangkah ke luar
sebelum fajar, ia sempat berpikir untuk mengganti jaket palkanya dengan jaket
yang lain. berjalan beberapa langkah di bawah naungan yang gelap, mencoba
merasakan suhu, dan memutuskan saat itu masih cukup dingin untuk
mengenakan paria, la akan kembali ke apartemen beberapa jam lagi dan masih
bisa ganti jaket kalau mau. Dijejalkannya kedua tangan ke dalam saku, dan ia
memulai acara jalan-jalan paginya.
Tak ada hal lain yang menguasai pikirannya selain tulisan di Times itu.
Melihat namanya rerpampang di halaman depan menggugah ke" nangan lama
yang menyakitkan, dan itu cukup
mengganggu. Namun dituduh menyuap Presiden adalah sesuatu yang
berkonsekuensi hukum, dan dalam kehidupannya yang lain, ia akan memulai
harinya dengan menembakkan tuntutan hukum pada semua orang yang terlibat.
Ia bisa saja memiliki The New York Times.
Namun yang membuatnya tak bisa tidur adalah pertanyaan lajn. Perhatian
yang ditujukan padanya itu, apa artinya bagi dirinya sekarang" Apakah Luigi
akan menjemputnya dengan paksa dan membawanya kabur lagi"
Dan yang paling penting: Apakah bahaya yang mengancamnya hari ini lebih
besar daripada kemarin"
Ia sudah bertahan hidup dengan baik, tersembunyi di kota yang indah tanpa
seorang pun mengetahui nama aslinya. Tidak ada yang mengenali wajahnya.
Tidak ada yang peduli. Bolognesi sibuk menjalani hidup mereka sendiri tanpa
mencampuri I urusan orang lain.
Bahkan ia tidak mengenali dirinya sendiri. Setiap pagi ketika selesai
bercukur dan mengenakan kacamata serta topi korduroi cokelatnya, ia berdiri
di depan cermin dan menyapa Marco. Hilang sudah pipi tembam dan mata
hitam yang sembap, rambutnya yang lebih tebal dan lebih panjang. Hilang
sudah cibiran dan kesombongan. Sekarang ia hanyalah lelaki biasa yang
pendiam di jalan. Marco menjalani hidupnya hari demi hari, d^ hari-hari itu semakin banyak.
Orang-orang yang membaca tulisan di Times itu tidak tahu di mana Marco
berada atau apa yang dilakukannya.
Ia melewati seorang pria bersetelan gelap dan langsung tahu bahwa masalah
membayanginya. Setelan jas itu tidak cocok. Asalnya dari tempat lain, dibeli
obralan di toko pakaian murah, yang dulu oUlihatnya setiap hari pada
kehidupan yang lain. Kemeja putih itu kemeja button-down membosankan yang
telah dilihatnya selama tiga puluh tahun di" D.C. Dulu ia pernah
mempertimbangkan mengedarkan memo di kantor, yang melarang penggunaan
kemeja button-down katun biru-putih, tapi Carl Pratt berhasil membujuknya
untuk membatalkan niat. Ia tidak melihat warna dasinya.
Itu bukan setelan jas yang biasa terlihat di bawah naungan trotoar Via
Fondazza sebelum fajar merekah, atau kapan pun. Ia melangkah lagi, melirik
ke belakang, dan melihat setelan jas itu tidak mengikutinya. Pria kulit putih,
tiga puluh tahun, badan kekar, atletis, pemenang lomba lari atau pertandingan
tinju. Jadi Marco menerapkan strategi lain. Tiba-tiba ia berhenti, berbalik, dan
bertanya, "Kau butuh sesuatu""
Orang lain menjawab pertanyaan itu, "Kemari Backman."
Mendengar nama itu, ia seketika bergeming. Sesaat lututnya tetasa seperti
karet, bahunya melorot, dan ia meyakinkan diri sendiri bahwa ia tidak
bermimpi. Sekejap ia memikirkan segala kengerian yang menyertai kata
"Backman". Betapa menyedihkan merasa takut mendengar nama sendiri.


The Broker Karya John Grisham di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ada dua orang. Yang menjawab tadi masuk ke adegan dari seberang Via
Fondazza. Setelan jasnya kurang-lebih serupa, tapi ia mengenakan kemeja
putih tanpa kancing di ketannya. Ia lebih tua, lebih pendek, dan jauh lebih
kurus. Mutt and Jeff. Thick 'n' Thin.
"Kau mau apa"" tanya Matco. Perlahan-lahan tangan meteka menjangkau
saku. "Kami dari FBI," kata si kekai. Inggris Amerika, mungkin Midwest. "Tentu
saja," tukas Marco. Mereka melakukan ritual mengibaskan tanda i pengenal,
namun di bawah kegelapan atap trotoar, [ Marco tidak bisa membaca apa pun.
Penerangan redup di atas pintu sebuah apattemen tidak banyak membantu.
"Aku tidak bisa melihatnya," ujarnya. "Mari kita jalan-jalan," kata si kurus.
Boston, I Irlandia. "Kalian tersesat"" kata Matco, tetap bergerningr Ia tidak ingin bergerak, lagi
pula kakinya sangat berat. "Kami tahu benat di mana kami B^^m
"Aku tidak yakin. Kalian punya surat perin-tahi"
"Tidak perlu." Si kekar melakukan kesalahan dengan menyentuh siku kiri Marco, seolah
hendak membantunya berjalan ke mana pun mereka mau. Marco menyentakkan
lengannya. "Jangan sentuh aku! Kalian tersesat. Kalian tidak bisa melakukan
penangkapan di sini. Yang bisa kalian lakukan cuma bicara."
"Baiklah, mari kita mengobrol," kata si kurus.
"Aku tidak perlu bicara." "Ada warung kopi beberapa blok dari sini," kata si kekar.
"Bagus, silakan minum kopi. Dan makan pastri. Tapi tinggalkan aku."
Thick 'n Thin bertukar pandang, lalu melirik ke sekeliling, tidak yakin harus
berbuat apa, tidak tahu apakah Rencana B diperlukan.
Marco tidak bergerak; bukan berarti ia merasa lebih aman di tempatnya,
tapi ia hampir bisa melihat mobil gelap menunggu di tikungan.
Di mana Luigi sekarang" ia bertanya pada diri sendiri. Apakah ini bagian dari
persekongkolannya" la ketahuan, ditemukan, dibuka topengnya, dipanggil dengan nama aslinya
di Via Fondazza. Ini jelas membutuhkan strategi baru, rumah persembunyian
baru. Si kurus memutuskan untuk mengambil alih kendali pertemuan ini. "Tentu,
kita bisa bicata di sini. Ada banyak orang di rumah yang ingin bicara
denganmu." "Barangkali itu sebabnya aku ada di sini." "Kami sedang menyelidiki
pengampunan hukuman yang kaubeli."
"Kalau begitu kalian sedang menghabiskan banyak waktu dan uang, yang
memang tidak mengherankan semua orang."
"Kami punya beberapa pertanyaan mengenai transaksi tersebut."
"Penyelidikan tolol," kata Marco, menyemburkan umpatan itu pada si kurus.
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia metasa seperti sang broker
lagi, menghina birokrat sombong atau anggota Kongres yang bodoh. "FBI
menghabiskan banyak uang mengirim dua badut seperti kalian jauh-jauh ke
Bologna, Italia, untuk mencegatku di jalan supaya kalian bisa mengajukan
pertanyaan yang tidak akan dijawab orang bodoh mana pun yang otaknya
waras. Kalian ini sepasang idiot, tahu" Pulang sajalah dan katakan pada bosmu
bahwa ia juga idiot. Dan sementara kalian mengobrol dengannya, katakan
padanya bahwa ia menghambur-hamburkan banyak uang dan waktu kalau ia
mengira aku membeli pengampunan hukuman itu." "Jadi kau menyangkal-"
"Aku tidak menyangkal apa pun. Aku tidak mengakui apa pun. Aku tidak
mengatakan apa pun, kecuali bahwa kali ini FBI benar-benar parah. Kalian
berdua berada di air yang dalam padahal kalian tidak bisa berenang."
Di tanah air, mereka pasti akan bermain-main dengannya, mendesaknya,
mencaci-makinya, menghinanya. Namun di tanah asing, mereka tidak tahu
harus bertindak apa. Perintah mereka adalah menemukan Backman, melihat
apakah ia memang berada di tempat yang diberitahukan CIA kepada mereka.
Dan kalau ia ditemukan, mereka harus membuatnya terkejut, membuatnya
ketakutan, menyerangnya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang transfer
kawat dan rekening-rekening luar negeri.
Mereka sudah merencanakan semuanya dan sudah mektihnya beberapa kali.
Namun di bawah portico di Via Fondazza, Mr. Lazzeri menumpas habis rencana
mereka. "Kami tidak akan meninggalkan Bologna sampai kita bicara," kata si kekar.
"Selamat, kalian akan melewatkan liburan yang panjang."
"Kami mendapat perintah, Mr. Backman." "Aku juga."
"Hanya beberapa pertanyaan," kata si kurus. "Temui saja pengacaraku," ujar
Marco sambil berjalan pergi, ke arah apartemennya.
"Siapa pengacaramu"" "Cari Prau."
pereka tidak betgerak, tidak mengikutinya, dan j^arco mempercepat
langkah. Ia menyeberang jalan, melirik cepat ke arah rumah persembunyian,
tapi tidak melambat. Kalau mereka ingin mengikutinya, mereka menunggu
terlalu lama. Sewaktu melesat ke Via del Piombo, ia tahu meteka tidak akan
pet-nah menemukannya. Jalanan ini miliknya sekarang, .gang-gangnya, pintu-pintunya menuju toko-toko
yang tidak akan buka sampai tiga jam lagi. Mereka menemukannya di Via
Fondazza hanya karena mereka mengetahui alamatnya.
Di tepi tenggara kota lama Bologna, di dekat Porta San Stefano, ia naik bus
kota selama setengah jam, sampai ia turun di dekat stasiun kereta di lingkar
luar utara. Di sana ia naik bus lain dan menuju pusat kota. Bus-bus mulai
penuh; orang-orang yang berangkat kerja pagi-pagi. Bus ketiga membawanya
menyeberangi kota lagi menuju Porta Saragozza, tempat ia mulai mendaki
tanjakan 3,6 kilometet menuju San Luca. Pada lengkung keempat ratus, ia
berhenti untuk mengatut napas, dan di antara tiang-tiang ia melihat ke bawah
dan menunggu sesemang menyelinap di belakangnya. Tidak ada, seperti yang ia
harapkan. Ia memperlamb at langkah dan menyelesaikan pendakian itu dalam 55
menit. Di belakang Santuario di San Luca, ia mengikuti jalur sempit tempat
Francesca jatuh, dan akhirnya menempatkan diri di bangku tempat Francesca
dulu menunggu. Dari sana, pemandangan Bologna di pagi hari tampak
mengagumkan. Ia menanggalkan jaket untuk menyejukkan diri. Matahari sudah
menanjak, udara ringan dan bersih, dan untuk waktu lama Marco duduk
seorang diri dan mengamati kota itu beranjak hidup.
Ia menikmati kesendiriannya, dan rasa aman yang cUtimbulkannya. Mengapa
ia tidak bisa mendaki setiap pagi, dan mungkin membaca koran" Barangkali
menelepon teman dan bergosip"
Sebelum itu, ia harus mencari teman dulu.
Mimpi yang tidak akan pernah terwujud.
Dengan ponsel Luigi yang amat terbatas, ia menelepon Ermanno dan
membatalkan sesi pelajaran pagi. Kemudian ia menelepon Luigi dan
menjelaskan ia sedang tidak ingin belajar.
"Ada sesuatu""
"Tidak. Aku hanya ingin istirahat."
"Baik, Marco, tapi kami membayar Ermanno untuk mengajarmu, oke" Kau
harus belajar setiap hari."
"Sudahlah, Luigi. Aku tidak mau belajar hari ku."
"Aku tidak menyukainya."
"Dan aku tidak peduli. Skots saja aku. Keluarkan
dari sekolah." "Ada yang mengganggumu""
"Tidak, Luigi, aku baik-baik saja. Ini hari yang indah, musim semi di
Bologna, dan aku sedang jalan-jalan jauh." "Ke mana""
"Tidak usah, Luigi. Aku tidak ingin ditemani."
"Bagaimana dengan makan siang""
Perut Marco perih karena lapar. Makan siang dengan Luigi selalu nikmat dan
ia selalu membayar tagihannya. "Baik."
"Beri aku waktu untuk beipikir. Aku akan meneleponmu." "Tentu, Luigi.
Ciao" Mereka bertemu pukul setengah satu siang di Caffe Atene, gua kecil di gang
sempit, beberapa undakan turun dari jalan utama. Tempat itu kecil, dengan
meja-meja persegi mungil yang nyaris berdempetan. Para pelayan meliuk-liuk
mencari jalan sambil membawa nampan makanan yang diangkat tinggi-tinggi.
Pata koki berteriak dari dapur. Ruang makan yang sempit itu penuh asap, riuh
rendah, dan penuh dengan orang-orang lapar yang senang bicara sekeras-kerasnya sambil makan. Luigi menjelaskan bahwa restoran ini sudah ada sejak
beberapa abad yang lalu, mustahU mendapat
meja, dan makanannya, tentu saja, luar biasa. U mengusulkan mereka
berbagi sepiring caLtmari untuk membuka acara makan.
Setelah sepagian berdebat dengan diri sendiri di San Luca. Marco
memutuskan untuk tidak memberitahu Luigi tentang pertemuannya dengan FBI.
Setidaknya untuk saat ini, siang ini. Bisa saja ia akan melakukannya besok, atau
lusa, tapi sementara ini ia masih menimbang-nimbang. Alasan utamanya tidak
buka mulut adalah ia tidak ingin berkemas-kemas dan kabur lagi. mengikuti
kemauan Luigi. Kalau mau kabur, ia akan kabur sendiri. Ia tidak bisa
menemukan alasan mengapa FBI ada di Bologna, jelas tanpa sepengetahuan
Luigi atau siapa pun atasannya. Ia berasumsi Luigi tidak mengetahui
keberadaan mereka di sini. Ia tampak lebih peduli pada menu dan daftar
anggur. Hidup menyenangkan. Semuanya normal.
Lampu-lampu mari. Mendadak, Cafft Atcne gelap total, dan sekejap
kemudian, pelayan yang sedang membawa nampan berisi makan siang orang
lain menabrak meja mereka, berteriak, mengumpat, jatuh - ke atas Luigi dan
Marco. Kaki meja tua itu goyah dan pinggirnya patah di atas pangkuan Marco.
Pada saat yang sama ada kaki atau sesuatu yang memukul bahu kirinya dengan
keras. Semua orang berteriak Gelas-gelas pecah. Tubuh didorong ke sana
kemari, lalu riari danur wnniw U-- " "v i i i"
Seniua berhamburan ke luar dan ke jalan" dan udak ada yang tcrluka serius.
Orang yang terakhir fcluar adalah Marco, yang menunduk rendah untuk
menghindari diinjak-injak orang sambil mencari-cari tas Silvio biru tuanya.
Seperti biasa, ia menggantungkan talinya di belakang kursi, tasnya terletak tak
jauh dari tubuhnya sehingga ia bisa merasakannya. Tas itu hilang dalam
kehebohan. Orang-orang Italia itu berdiri di jalan dan memandang kafe dengan tak
percaya. Makan siang mereka ada di dalam sana, belum habis dan sekarang
sudah kacau. Akhirnya asap tipis muncul dan keluar dari pintu. Seorang pelayan
berlari di dekat meja-meja depan sambil memba
wa tabung pemadam api. Lalu
ada asap lagi, tapi tidak tebal.
Tasku hilang," Marco memberitahu Luigi ketib mereka menonton dan
menunggu. "Yang biru""
Berapa banyak tas yang kubawa ke mana-mana, Luigi" "Ya, yang biru." Ia
sudah curiga ras itu dicuri.
Truk pemadam kebakaran kecil dengan sirene besar muncul, berhenti, dan
tetap meraung-raung sementara para petugas berlari masuk. Menit-menit berlalu, dan orang-orang Itu mulai pergi. Yang lebih tegas memutuskan untuk mencari makan siang
di tempat lain sementara masih ada waktu. Yang lain . . n melon" meHhaj
ketidakadilan ini. Sirene akhirnya dimatikan. Begitu juga kebakaran-nya, dan tanpa perlu air
disemprotkan ke seluruh restoran. Setelah saru jam berdiskusi, berdebat, dan
sedikit memadamkan api, situasi kembali terkendali. "Sesuatu di kamar mandi,"
teriak seorang pelayan pada temannya, salah saru pengunjung yang masih
belum beranjak dan belum diberi makan. Lampu-lampu kembali menyala.
Mereka diizinkan masuk untuk mengambil mantel. Beberapa yang tadinya
pergi mencari makan di tempat lain, kembali untuk mengambil barang-barang
mereka. Luigi sangat bersusah payah membantu mencari ras Marco. Ia
membicarakan situasi tersebut pada kepala pelayan, dan rak lama kemudian
setengah stafnya mencari-cari di seluruh penjuru restoran. Di antara celotehan
ramai, Marco mendengar seorang pelayan mengatakan sesuatu rentang "bom
asap". Tas itu lenyap, dan Marco sudah menduganya. Mereka makan panino dan
minum bir di kafe tepi jalan, di bawah sinar matahari tempat mereka bisa
memandangi gadis-gadis cantik Jewat. Marco sibuk memikirkan pencurian itu,
tapi berusaha keras agar tidak tampak peduli. 'Maaf tasmu hilang," kata Luigi, .
"Tidak apa-apa. "Aku akan memberimu ponsel lain."
"Trims" ["Apa lagi yang hilang"" Tidak ada. Hanya peta kota, aspirin, dan be-P
berapa euro." Di sebuah kamar hotel beberapa blok jauhnya, Zellman dan Krater
meletakkan tas i tu di ranjang, ! isinya diatur dengan rapi. Selain smartphone
Ankyo itu, ada dua peta Bologna, keduanya ditandai dan tampak sering dipakai
tapi tidak menyatakan apa-apa, empat lembar seratus dolar, ponsel pinjaman
dari Luigi, sebotol aspirin, dan buku manual Ankyo. i^m
Zellman, yang lebih mengerti komputer di antara keduanya,
menghubungkan smartphone itu ke colokan akses Internet dan langsung
bermain-main dengan menu. "Ini barang bagus," komentarnya, cukup terkesan
dengan alat tersebut. "Mainan terbaru di pasaran."
Tak mengherankan, langkahnya terhambat password. Meteka harus
membedah alat itu di Langley. Dengan laptop-nya, ia mengirim e-mail ke Julia
Javier, menyertakan nomor seri dan informasi
lain. Dalam waktu dua jam setelah pencurian itu, seorang agen CIA sudah duduk
di tempat parkir di luar Chatter, tepi kota Alexandria, menunggu
toko buka, I 26 Dari kejauhan, ia mengawasi wanita itu terseok-seok dengan berani*
dibantu tongkat, sepanjang trotoar Via Minzoni. Ia mengikutinya dan segera
berhasil menyusul tak sampai lima belas meter jauhnya. Hari ini Francesca
mengenakan bot suede cokelat, pasti untuk mendukung kakinya. Sepatu itu
berhak rendah. Sepatu datar jelas lebih nyaman, tapi toh ia orang Italia dan
faktor gaya selalu mendapat prioritas lebih tinggi. Rok cokelat yang melambai
itu berhenti di lututnya. Ia mengenakan sweter wol tipis, warnanya merah
manyala, dan baru kali ini Marco melihatnya tanpa pakaian berlapis-lapis tebal
untuk cuaca dingin. Tanpa mantel luar yang menyembunyikan bentuk tubuhnya
yang benar-benar indah. Francesca berjalan hati-hati dan agak pincang.
tapi dengan tekad yang menyentuh hatinya, mi cuma acara minum kopi di
Nino's, satu-dua jam berbahasa Italia. Dan semua itu dilakukan untuk-! nya!.
Dan untuk uang juga. Sesaat Marco berpikir tentang keuangan Francesca. Bagaimanapun sulitnya
situasi dengan suaminya yang miskin dan pekerjaan serabutan sebagai pemandu
wisata, Francesca bisa berpakaian dengan gaya dan hidup dalam apartemen
yang didekorasi bagus. Giovanni dulunya bekerja sebagai dosen. Mungkin ia
menabung dengan hati-hati selama bertahun-tahun, dan sekarang penyakitnya
menyita banyak anggaran mereka.
Terserah. Marco p unya masalah sendiri. Ia baru saja kehilangan uang tunai
empat *m *k!" satu-satunya tali penghubung dengan f* " Orang-orang yang
seharusnyaM ^ keberadaannya, sekarang tahu |||||| | men. ^mpat
tinggalnya. Sembilan if^^d^ dengar nama aslinya disebut di ^biarkan Ia
memperla mbat ^ i Ugj Francesca masuk ke "g g| p""*^
disambut bak IMI M B M mereka kesemPa"* j||j|g m
mengurus keperluan mengobrol sedikit
reka. Sepuluh menit setelah Francesca tiba di sana, Marco masuk melalui
pintu dan mendapat pelukan j hangat dari putra bungsu Nino. Teman Francesca
] adalah teman selamanya.
Suasana hati Francesca berubah begitu drastis sehingga Marco tidak tahu
apa yang diharapkannya, j Ia masih tersentuh kehangatannya kemarin, tapi ia
tahu sikap dingin itu bisa kembali hari ini. Ketika | Francesca tersenyum,
menyambut tangannya, dan mulai saling mengecup pipi, Marco tahu sesi
pelajaran ini akan menjadi pelipur lara suatu hari yang menyebalkan.
Sewaktu mereka akhirnya ditinggal berdua, Marco bertanya tentang suami
Francesca. Belum berubah. "Tinggal hitungan hari," jawab Francesca dengan
bibir kaku, seolah ia sudah menerima ke-matian dan siap berkabung.
Marco bertanya tentang ibunya, Signora Altonelli, dan mendapat laporan
lengkap. Ia membuat tom buah pir, salah satu kesukaan Giovanni, kalau-kalau
Giovanni bisa mencium aromanya dari dapur. "Dan bagaimana harimu"" tanya


The Broker Karya John Grisham di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Francesca. Mustahil mengarang serangkaian kejadian yang lebih buruk daripada
yang telah terjadi. Dari keterkejutan mendengar namanya disebut di dalam
kegelapan, hingga menjadi korban pencurian yanf direncanakan dengan
saksama, ia tidak bisa tam bayangkan hari yang lebih menarikan
"Ada kejadian seru waktu makan siang," ujarnya.
"Ceritakanlah."
Marco menjelaskan pendakiannya ke San Luca, ke tempat Francesca jatuh,
bangkunya, pemandangan, sesi dengan Ermanno yang dibatalkan, makan siang
dengan Luigi, kebakaran, tapi bukan hilangnya tasnya. Francesca tidak
menyadari hal itu hingga Marco menceritakan kisahnya.
"Tidak banyak kriminalitas di Bologna," ujat Francesca, setengah meminta
maaf. "Aku tahu Cafre Atene. Itu bukan tempat yang banyak copetnya."
Barangkali bukan orang Italia, Marco ingin menimpali, tapi ia hanya
mengangguk muram, seolah berkata: Ya, ya, apa jadinya dunia ini"
Ketika basa-basi selesai, Francesca mengubah peisneling sepetti guru yang
tegas dan berkata ia sedang ingin menguasai beberapa kata kerja. Marco
bilang, ia tidak merasa dernikian, tapi suasana hatinya tidak penting. Ftancesca
memberondongnya dengan bentuk masa depan abitare (hidup, tinggal) dan
vedere (melihat). Lalu ia menyuruhnya menggabungkan kedua kata itu dalam
segala bentuk dalam setatus kalimat acak. Bukannya tidak berkonsentrasi,
Francesca menyerbu setiap pengucapan yang tidak benar. Kesalahan tata
bahasa langsung mendapat teguran, seolah Marco baru saja mpnerhina seluruh
ba Franceses melewatkan harinya terkurung sedang meregang nyawa dan ibunya yang sibuk. Pelajaran bahasa ini satu-satunya kesempatan untuk melepaskan energi, Marco, sebaliknya, amat lelah.
Tekanan-tekanan hari ini mulai menampakkan akibatnya, tapi tuntutan-tuntutan tinggi Francesca mengalihkan pikiran dan kebingungannya. Satu jam
berlalu cepat. Mereka mengisi ulang baterai dengan minum kopi lagi, lalu
Francesca memasuki dunia yang keruh dan sulit bernama subjunctive-masa
depan, imperfect, past perfect. Akhirnya, Marco mulai kewalahan. Francesca
berusaha menghibur dengan meyakinkannya bahwa subjunctive memang sering
menenggelamkan banyak murid. Tapi Marco sudah kecapekan dan siap
tenggelam. Marco menyerah setelah dua jam, terkuras dan buruh jalan-jalan. Butuh
waktu lima belas menit untuk berpamitan dengan Nino bersaudara. Dengan
gembira, ia mengantar Francesca pulang ke apartemennya. Mereka berpelukan
sebentar dan saling mencium pipi, berjanji untuk bertemu lagi besok.
Kalau Marco langsung pulang, apartemennya ha-nya sejauh 25 menit
berjalan kaki. Namun sudah fcb* dari sebulan ini ia tidak berjalan langsung k* i
tujuan mana pun, Marco mulai bertanya-tanya.
Pada pukul empat sore, delapan orang anggota
Iddon sudah ada di Via Fondazza, di berbagai "posisi-satu sedang minum kopi di kafe tepi jalan, satu
sedang berjalan tak tentu arah satu blok jauhnya, satu mondar-mandir di atas
skuter, dan satu lagi melihat ke luar jendela dari lantai tiga.
Setengah mil jauhnya, di luar pusat kota, di lantai dua toko bunga yang
dimiliki seorang Yahudi tua, empat anggota kidon yang lain sedang bermain
kartu dan menunggu dengan gelisah. Seorang di antaranya, Ari, adalah salah
satu interogator berbahasa Inggris paling piawai di Mossad.
Mereka bermain tanpa banyak bercakap-cakap. Malam nanti akan panjang
dan tidak menyenangkan. Sepanjang hari, Marco bergumul dengan pertanyaan apakah ia akan kembali
ke Via Fondazza. Orang-orang FBI tadi pasti masih ada di sana, siap dengan
konfrontasi keras. Ia yakin mereka tidak akan semudah itu dipatahkan. Mereka
tidak akan naik pesawat dan pergi begitu saja. Mereka punya atasan yang
menuntut hasil. Walau jauh dari yakin, ia punya firasat Luigi-lah dalang di balik pencurian
tas Stfvio-nya. Kebakaranitu bukan kebakaran sungguh an; hanya pengalih
perhatian, alasan untuk mematikan listrik dan memberi kesempatan seseorang
menyambar ras itu. Ia tidak memercayai Luigi, karena ia tidak memercayai seorang pun.
Mereka mendapatkan smartphone-nya. yang kecil itu. Password-password
Neal ada di sana. Bisakah mereka membongkarnya" Bisakah jejak itu mengarah
pada anaknya" Marco sama sekali tidak tahu cara kerja alat tersebut, apa yang
mungkin dilakukan, apa yang tidak bisa.
Dorongan untuk pergi dari Bologna sangat mendesak Ke mana dan
bagaimana adalah pertanyaan-pertanyaan yang belum dipecahkannya. Ia mulai
meracau sekarang, dan merasa rentan, hampir tak berdaya. Setiap wajah yang
meliriknya seperti orang yang mengetahui nama aslinya. Di halte bus yang
padat, ia memutuskan untuk naik, tidak tahu ke mana akan pergi. Bus itu
penuh pelaju yang kelelahan, bahu menempel dengan bahu sementara mereka
terguncang-guncang bersama. Lewat jendela ia mengamati lalu lintas pejalan
kaki di bawah atap trotoar yang menakjubkan di pusat kota.
Pada detik terakhir ia melompat turun, lalu berjalan tiga blok sepanjang Via
San Vitale hingga ia melihat bus lain. Ia berputar-putar selama hampir satu
jam, lalu akhirnya berhenti di dekat stasiun kereta. Ia bergabung dengan
gelombang penumpang lain, lalu melesat menyeberangi Via deh" Indipendenza menuju
terminal bus. Di sana ia menemukan area keberangkatan, melihat bus yang
akan berangkat sepuluh menit lagi menuju Piacenza, satu setengah jam
jauhnya dengan lima perhentian. Ia membeli tiket seharga tiga puluh euro dan
bersembunyi di kamar kecil hingga saatnya berangkat. Bus itu hampir penuh.
Kursi-kursinya lebar dengan sandaran kepala, dan ketika bus bergerak perlahan
dalam lalu lintas yang padat, Marco hampir terangguk-angguk tertidur. Lalu ia
menyiagakan diri. Tidur tidak masuk hitungan.
Ini dia-pelarian yang sudah cbpertimbangkannya sejak hari pertama di
Bologna. Ia semakin yakin bahwa untuk bertahan hidup ia harus menghilang
meninggalkan Luigi dan hidup mandiri. Sering kali ia bertanya-tanya bagaimana
dan kapan pelarian itu akan dimulai. Apa yang akan memicunya" Seraut wajah"
Ancaman" Ia akan naik bus atau kereta, taksi atau pesawat" Ke mana ia akan
pergi" Di mana ia akan bersembunyi" Apakah bahasa Italianya yang seadanya ini
memadai" Berapa banyak uang yang akan dimilikinya saat itu"
Inilah saatnya. Ini sudah terjadi. Tidak ada jalan kembali lagi sekarang.
Perhentian pertama adalah desa kedi Bazzano, lima belas kilometer sebeJah
barat Bologna. Marco turun dari bus dan tidak naik kembali. Sekali lagi,
ia bersembunyi di kamar kecil terminal sampai busnya pergi, lalu
menyeberangi bar tempat ja memesan bir dan menanyakan hotel terdekat pada
bartender. Sambi) menikmati bir kedua, ia menanyakan letak stasiun kereta, dan
mendapat jawaban bahwa Bazzano tidak memiliki stasiun kereta. Hanya bus,
kata si bartender. Albergo Cantino letaknya dekat pusat desa, lima atau enam blok jauhnya.
Hari sudah gelap ketib ia mendatangi meja depan, tanpa membawa tas,
sesuatu yang tak lepas dari perhatian signora yang m
engurusi segala sesuatu. "Ada kamar"" tanya Marco dalam bahasa Italia.
"Berapa malam""
"Satu malam saja."
"Sewanya lima puluh lima euro."
"Baik." "Paspor Anda""
"Maaf, paspor saya hilang."
Alisnya yang dicabut dan diwarnai langsung melengkung tinggi penuh
kecurigaan, dan ia mulai menggeleng "Maaf."
Marco meletakkan dua lembar seratus euro di meja di depannya Ini jelas-jelas penyuapan-ambil saja uangnya, tanpa dokumen macam-macam, dan
berikan kuncinya padaku. Gelengan kepala, kerutan dahi.
"Anda harus punya paspor," tegasnya. Lalu wa-' nita itu bersedekap,
menaikkan dagunya, bersiap membalas serangan berikut Tidak mungkin ia akan
menyerah. Di luar, Marco menyusuri jalanan kota yang tak dikenalnya. Ia menemukan
bar dan memesan kopi-tidak boleh ada alkohol lagi, ia perlu menjaga
pikirannya jernih. "Di mana aku bisa mendapat taksi"" ia bertanya pada bartender.
"Di terminal bus."
Pada pukul sembilan malam, Luigi mondar-mandir di apartemennya,
menunggu Marco pulang ke apartemen sebelah. Ia menelepon Francesca dan
wanita itu melaporkan mereka belajar tadi siang; bahkan pelajaran mereka
menyenangkan. Bagus, pikirnya.
Pelarian itu merupakan bagian dari rencana, tapi Whitaker dan Langley
mengira ia akan melakukannya beberapa hari lagi. Apakah mereka sudah
kehilangan dia" Secepat itu" Ada lima agen yang berada di sini sekarang-Luigi,
Zeliman, Krarer, dan dua lagi dikirim dari Milano.
Luigi selalu mempertanyakan rencana itu. Di kota sebesar Bologna, mustahil
melakukan penguntitan fisik selama 24 jam sehari. Luigi membantah keras
bahwa Sfttu-satunya cara agar rencana itu
berhasil adalah menyembunyikan Backman di a kecil tempat gerakannya
terbatas, pilihannya sedi^ dan tamu-tamunya lebih bisa dikenali. Begitulah
rencana awalnya, tapi rincian-rinciannya mendadak diubah di Washington.
Pada pukul 21.12, ada bunyi berdengung di dapur. Luigi bergegas
menghampiri monitor di dapur. Marco pulang. Pintu depannya terbuka. Luigi
memandangi gambar digital dari kamera tersembunyi di langit-langit ruang
duduk apartemen sebelah. Dua orang tak dikenal-bukan Marco. Dua pria berusia tiga puluhan,
berpakaian seperti orang biasa. Mereka menutup pintu dengan cepat, pelan,
profesional, lalu mulai melihat berkeliling. Salah satunya membawa tas kecil
hitam. Hebat juga mereka, sangat hebat. Bisa membobol kunci rumah
persembunyian, berarti mereka sangat bagus.
Luigi tersenyum penuh semangat. Dengan sedikit keberuntungan, kamera-kameranya akan segera merekam Marco diringkus. Mungkin mereka akan
membunuhnya di ruang duduk itu juga, terekam ^ Sim. Barangkali rencana ini
bisa berhasil akhirnya. voW^r^ t0mbo1 audio dan mengerasi digun^anaT-PCntin8 menS^ui bahasa |
g ^Unakan- Dari mana mereka berasal" Apa bahasa
u , Namun ternyata tidak terdengar suara
asli mereka- i dakm diam. Mereka sa-sernent^ ^ dua kaUj tapi Luigi nyaris tak
S mendengarnya. 27 Taksi itu berhenti mendadak di Via Gramsri, di dekat stasiun kereta dan
terminal bus. Dari bangku belakang, Marco memberikan uang yang cukup, lalu
merunduk di antara dua mobil yang diparkir dan segera lenyap dalam
kegelapan. Pelariannya dari Bologna singkat saja, tapi belum sepenuhnya
selesai. Ia berzig-zag karena begitulah kebiasaannya, memutar balik,
mengawasi jejaknya sendiri.
Di Via Minzoni, ia berjalan cepat di baw naungan dan berhenti di depan
gedung aParteI^ Francesca. Ia tidak punya kemewahan waktu uj^ berpikir
ulang, atau ragu-ragu, atau men* nebak. Ia memencet bel dua kali, berharap^
sepenuh hati Francesca-lah yang akan meAl bukan Signora Aitoncili.
"Siana>" ____"M wr,cr mCrdu ft"*
"Francesca, ini Marco. Aku perlu bantuan. Sunyi yang benar-benar sejenak,
lalu, "Ya, tentu jaja." Francesca menyambutnya di pintu apartemennya di lantai dua dan
mengundangnya masuk Dengan kecewa, Marco melihat Signora Akonelli masih
ada di sana, berdiri di pintu dapur dengan serbet di tangan, mengawasi
kedatangannya dengan penuh perhatian.
"Kau baik-baik saja"" tanya Francesca dalam bahasa Italia.
"Bahasa Inggris saja," kata Marco, menoleh dan
tersenyum pada ibu Francesca. "Ya, tentu saja."
"Aku perlu tempat menginap malam ini. Aku t
idak bisa mendapat kamar karena tidak punya paspor. Aku bahkan tidak bisa menyuap penjaga penginapan
kecil." "Memang begitulah hukum di Eropa." "Ya, sekarang aku sudah tahu."
Francesca memberi isyarat ke arah sofa, lalu berpaling pada ibunya- dan
memintanya membuat kopi. Mereka duduk. Marco memerhatikan Francesca
bertelanjang kaki dan berjalan ke sana kemari tanpa tongkat, meskipun jelas ia
masih membutuhkannya. Ia mengenakan jins ketar dan sweter longgar dan
penampilannya sama menggemaskan seperti mahasiswa.
"Bagaimana kalau kau memberitahuku apa yam, terjadi"" katanya.
"Gentanya rumit dan sebagian besar tidak bisa kuberitahukan padamu.
Katakan saja aku tidak merasa aman sekarang, dan aku perlu meninggalkan
Bologna, secepat mungkin." "Kau akan pergi ke mana"" "Aku belum tahu. Ke
suatu tempat di luar Italia, di luar Eropa, tempat aku akan bersembunyi lagi."
"Berapa lama kau akan bersembunyi"" "Lama sekali. Aku tidak yakin." Francesca
memandanginya dengan dingin, tanpa mengerjap. Marco balas menatapnya,
karena meskipun dingin, mata itu indah sekali. "Siapa kau sebenarnya"" tanya
Francesca. " Well, yang jelas aku bukan Marco Lazzeri." "Kau lari dari apa""
"Masa laluku, yang sekarang sedang memburuku dengan cepat. Aku bukan
penjahat, Francesca. Aku dulu pengacara. Aku terlibat kesulitan. Aku sudah
dipenjara. Aku sudah mendapat pengampunan penuh. Aku bukan orang jahat*"
"Mengapa ada orang yang mengejarmu"" "Ini menyangkut bisnis enam tahun
yang lalu. Ada orang-orang kejam yang tidak senang dengan kesepakatan itu.
Mereka menyalahkan aku. Mereka ingin menemukanku." "Untuk dibunuh""
"Ya. Itulah yang ingin mereka lakukan."
"Benar-benar membingungkan. Mengapa kau kemari" Mengapa Luigi
membantumu" Mengapa mereka mempekerjakanku dan Ermanno" Aku tidak
mengerti." "Dan aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Dua bulan lalu
aku ada di dalam penjara, dan kukira aku akan tetap di sana selama empat
belas tahun lagi. Tiba-tiba, aku bebas. Aku diberi identitas baru, dibawa ke
sini, pertama disembunyikan di Treviso, lalu Bologna Kurasa mereka ingin
membunuhku di sini." "Di sini! Di Bologna!"
Marco mengangguk dan berpaling ke dapur ketika Signora Altonelli muncul
dengan nampan berisi kopi, juga torta pir yang belum diiris. Ketika wanita tua
itu meletakkannya dengan hati-hati di piring kecil untuk Marco, Marco baru
menyadari ia belum makan sejak siang.
Makan siang dengan Luigi. Makan siang dengan sandiwara kebakaran dan
pencurian smartphone itu. la teringat Neal lagi dan mengkhawatirkan
keselamatannya. "Enak sekali" katanya pada ibu Francesca dalam bahasa Italia. Francesca
tidak makan. Ia mengamati setiap gerakan Marco, setiap suapan, setiap
sesapan kopi. Ketika ibunya sudah kembali ke dapur, ia berkata, "Luigi bekerja
untuk siapa"" "Aku tidak yakin. Mungkin CIA. Kau tahu GIA""
ia. Aku membaca novel spionase. CIA yang menempatkanmu di sini""
"Menurutku, CIA mengeluarkanku dari penjara, ke luar negeri, dan ke
Bologna, tempat mereka menyembuayikanku di rumah persembunyian
sementara mereka berunding apa yang akan mereka perbuat terhadap diriku."
"Apakah mereka akan membunuhmu""
"Mungkin." "Luigi"" "Bisa jadi." Francesca meletakkan cangkirnya di meja dan memainkan rambutnya
sebentar. "Kau mau minum ak"" ia bertanya sambil beranjak.
Tidak, terima kasih."
"Aku perlu bergerak sedikit," katanya sambil menapakkan kaki kiri dengan
hati-hati. Ia berjalan lambat-lambat ke arah dapur, tempat keadaan tenang
sejenak sebelum perdebatan mulai timbul.
Ia dan ibunya bertengkar agak seru, tapi mereka
terpaksa melakukannya dalam bisikan-bisikan tajam
dan tegang. Hal itu berlangsung selama beberapa menit, mereda, lalu membara lagi
ketika kedua belah pihak sepertinya tidak mau menyerah. Akhirnya francesca
terpincang-pincang kembali sambil mem
bawa sebotol San Pcttegrino dan duduk lagi di
sofa. "Ada apa tadi"" tanya Marco.
"Aku memberitahunya bahwa kau ingin tidur di
sini malam ini. Ia salah paham." "Ayolah. Aku mau saja tidur di dalam


The Broker Karya John Grisham di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lemari. Aku tidak peduli." "Ia sangat kolot."
"la akan menginap di sini malam ini""
"Sekarang ya." "Beri saja aku bantal
. Aku akan tidur di meja dapur." Signora Altonelli berubah perangai ketika kembali untuk mengambil
nampan. Ia melotot pada Marco seolah ia sudah mencelakai putrinya. Ia
melotot pada Francesca seolah ingin menamparnya.
Ia kembali ke dapur selama beberapa menit, lalu
masuk ke suatu tempat di apartemen. "Kau mengantuk"" tanya Francesca.
"Tidak. Kau""
"Tidak. Mari kita bicara saja."
"Oke." "Ceritakan semuanya padaku."
Marco tidur selama beberapa jam di sofa, dan terbangun ketika Francesca
menepuk bahunya. "Aku punya ide" katanya. "Ayo ikut aku."
Marco mengikutinya ke dapur, di sana jam dinding menunjukkan pukul
04.15. Di dekat bak cud terdapat pisau cukur sekali pakai, sekaleng krim cukur,
kacamata, dan sebotol produk untuk rambut-ia tidak bisa menerjemahkannya.
Francesca memberinya semacam dompet kulit warna merah tua dan berkata,
"Ini paspor. Milik Giovanni."
Marco nyaris menjatuhkannya. 'Tidak, aku tidak bisa-"
"Bisa. Ia tidak akan membutuhkannya. Ayolah."
Marco membuka paspor itu lambat-lambat dan melihat wajah seorang pria
yang tak pernah ditemuinya. Tanggal berlakunya tinggal tujuh bulan, jadi foto
itu sudah hampir lima tahun usianya. Ia membaca tanggal lahirnya-Giovanni
sekarang berumur 68 tahun, dua puluh tahun lebih tua daripada istrinya.
Dalam perjalanan kembali dari Bazzano tadi, hanya paspor yang memenuhi
pikirannya. Ia berpikir untuk mencuri dari turis yang tidak curiga. Ia berpikir
untuk membeli di pasar gelap, tapi tidak tahu ke mana harus mencari. Dan ia
sempat memikirkan paspor Giovanni, paspor yang,
sayangnya, sebentar lagi tak akan berguna. Kosong
dan hampa. Namun ia menyingkirkan gagasan itu karena takut menempatkan Francesca
dalam bahaya. Bagaimana kalau ia terungkap" Bagaimana kalau petugas
imigrasi di bandara mencurigainya dan memanggil atasannya" Namun
ketakutannya yang terbesar adalah tertangkap oleh orang-orang yang sedang
memburunya. Paspor itu bisa melibatkan Francesca, dan Marco tidak mau hal
itu terjadi pada wanita itu.
"Kau yakin"" tanya Marco. Setelah memegang paspor itu, sekarang ia benar-benar ingin mempertahankannya.
"Ayolah, Marco, aku Ingin membantu. Giovanni
pasti akan mendesakmu juga."
"Aku tidak tahu harus berkata apa"
Kita punya pekerjaan. Ada bus menuju Parma yang akan berangkat dua jam
lagi. Itu cara aman keluar dari kota."
"Aku ingin pergi ke Milano," ujar Marco.
"Ide bagus." Francesca meraih paspor itu dan membukanya. Mereka mempelajari foto
suaminya. " "Mari mulai dengan yang ada di sekitar mulutmu itu," kata
Francesca. Sepuluh menit kemudian, kumis dan jenggot pendek itu sudah hilang,
wajahnya dicukur bersih. Francesca memegangkah cermin di depannya
sementara ia mencondongkan tubuh di atas bak cuci. Rambut kelabu Giovanni
pada usia 63 tahun lebih sedikit daripada rambut kelabu Marco yang berumur
52 tahun. Tapi kan ia tidak pernah divonis
hukuman penjara federal dan menjalani enam tahun di dalam penjara.
Marco menganggap Francesca menggunakan semacam pewarna rambut, tapi
ia tidak bertanya, Hasilnya terlihat satu jam kemudian. Ia duduk di kursi
menghadap meja, dengan handuk menyelimuti bahunya, sementara dengan
lembut Francesca mengusapkan cairan itu di rambutnya. Tak banyak yang
diucapkan. Ibunya masih tidur. Suaminya diam dan tenang dan dalam pengaruh
obat-obatan keras. Beberapa waktu yang lalu, Giovanni sang profesor mengenakan kacamata
kulit penyu bundar, cokelat muda, bergaya akademis. Ketika Marco
memakainya dan mengamati penampilannya yang baru, ia terkejut melihat
perbedaannya. Rambutnya lebih gelap, matanya berubah banyak. Ia nyaris tak
mengenali dirinya sendiri.
"Lumayan" adalah penilaian Francesca aras hasil kerjanya, "Cukuplah untuk
sementara ini." Ia membawa masuk jaket sport korduroi biru tua, dengan tambalan kulit
yang sudah kusam di sikunya. "Ia lebih pendek sekitar lima sentimeter daripada
dirimu," Francesca memberi tahu. Lengan jaket itu kurang panjang dua
setengah sentimeter dan agak ketat di sekitar dada, tapi Marco sekarang begitu
kurus sehingga apa pun yang dikenakannya akan membuatnya tenggelam di
dalamnya. "Siapa nama aslimu"" tanya Francesca sembari
mena rik ujung lengan jaket dan membenahi kerahnya. "Joel."
"Kurasa kau harus bepergian dengan membawa
koper. Supaya kelihatan normal."
Marco tidak membantah. Kemurahhatian Francesca sungguh luar biasa, dan
ia memang membutuhkan setiap detailnya. Francesca keluar, lalu masuk lagi
dengan membawa koper tua yang bagus, kulit cokelat muda dengan gesper
perak. "Aku tidak tahu harus berkata apa," gumam Marco.
"Ini koper favorit Giovanni, hadiah dariku dua
puluh tahun yang lalu. Kulit Italia."
Tentu saja." Kalau kau tertangkap karena paspor itu, apa yang akan kaukatakan"" tanya
Francesca. "Aku mencurinya. Kau guruku. Aku berkunjung ke rumahmu sebagai tamu.
Aku berhasil menemukan 1 aci berisi dokumen-dokumen, dan aku mencuri
paspor suamimu." "Kau pembohong yang hebat."
"Pada suatu ketika, aku salah satu yang paling terbaik. Kalau aku
tertangkap, Francesca, aku akan melindungimu. Janji. Aku akan berbohong
untuk membuat semua orang bingung."
"Kau tidak akan tertangkap. Tapi gunakan paspor itu sesedikit mungkin."
"Jangan khawatir. Aku akan melenyapkanya secepat aku mampu,
"Kau butuh uang"" Tidak."
"Sungguh" Aku punya seribu euro." Tidak, Francesca, terima kasih." "Lebih
baik kau segera berangkat," Marco mengikutinya ke pintu depan, tempat
mereka berdiri dan berpandangan. "Kau sering buka Internet"" tanya Marco.
"Beberapa saat setiap hari." "Cari nama Joel Backman, mulailah dengan The
Washington Post. Ada banyak informasi di sana, tapi jangan percaya semua
yang kaubaca. Aku bukan monster seperti yang mereka gambarkan. "Kau sama
sekali bukan monster, Joel. "Aku tidak tahu bagaimana harus mengucapkan
terima kasih." Francesca meraih tangannya dan meremasnya e-ngan kedua tangannya
sendiri. "Apakah kau akan Pernah kembali ke Bologna"", ia bertanya. Lebih
berupa undangan daripada pertanyaan.
"Aku tak tahu. Aku benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi
mungkin saja. Boleh kah aku mengetuk pintumu kalau aku bisa kembali
kemari" tentu saja Berhati-hatilah di luar sana" ia berdiri di bawah bayang-bayang Via minzoni
Lama beberapa menit, tidak ingin meninggalkan francesca ,tidak siap
memulai perjalanan yang pan-jang
lalu terdengar suara batuk dari bawah naungan di seberang jalan dan
Giovanni Ferro pun tabur.
28 Sementara jam-jam berlalu dengan kelambatan yang menyiksa,
kekhawatiran Luigi berangsur-angsur berubah menjadi panik. Satu dari dua hal
telah terjadi: pembunuhan itu sudah dilakukan, atau Marco menyadari sesuatu
dan berusaha melarikan diri. Luigi mencemaskan tas yang dicuri itu. Apakah
tindakan mereka terlalu keras" Apakah langkah tersebut membuat Marco begitu
ketakutan sehingga ia memutuskan untuk kabur"
Smartphone mahal itu membuat kaget semua oran,orang yang mereka amati
ternyata melakukan banyak kegiatan selain belajar bahasa ltalia berjalan-jalan,
dan menjajal setiap kafe dan bar dikota ini. ia telah membuat rencana, dan
berkomunikai smartphone itu sekarang ada di laboratorium
bawah tanah Kedutaan Amerika di Milan, dan me-Inorut Whitaker, yang
meneleponnya setiap lima I belas menit, para teknisi di sana belum berbasil f.'
memecahkan sandinya. Beberapa menit selewat tengah malam, dua penyusup di apartemen sebelah
akhirnya sudah f jemu menunggu. Ketika sedang keluar, mereka I mengucapkan
beberapa kata cukup keras untuk ditangkap alat perekam. Bahasa Inggris
dengan sedikit aksen. Luigi langsung menelepon Whitaker dan melaporkan
mereka mungkin dari Israel
Luigi benar. Kedua agen tersebut diberi instruksi oleh Efraim untuk
meninggalkan apartemen dan mengambil posisi lain.
Ketika mereka pergi, Luigi memutuskan untuk mengirim Krater ke Terminal
bus dan Zellman ke stasiun kereta. Tanpa paspor, Marco tidak akan bisa
membeli tiket pesawat. Luigi mengambil keputusan untuk tidak mengawasi
bandara. Namun, seperti yang dikatakannya pada Whitaker, kalau sasaran
mereka entah bagaimana mampu mendapatkan Ponsel/PC canggih yang
harganya sekitar seribu dolar, barangkali ia juga bisa mendapatkan paspor pada
pukul tiga dini hari whitaker berteriak-teriak di Milano,luigi yg tidak bisa balas
berteriak untuk alasan-alasan keamanan hanya bisa men
yumpah-nyumpah, yg dilakukanya dalam bahasa Inggris dan Italia, dan mempertahankan diri
dengan kedua bahasa itu. "Kau kehilangan dia, sialan.'" umpat Whitaker.
"Belum!" "Ia sudah mati!"
Luigi menutup teleponnya lagi, untuk ketiga kalinya dini hari itu.
Kidon itu undur diri pada sekitar pukul 03.30. Mereka akan beristirahat
selama beberapa jam, lalu membuat rencana untuk keesokan harinya.
Ia duduk di samping gelandangan pemabuk di bangku taman, di Via deh"
Indipendenza, tidak jauh dari terminal bus. Gelandangan itu memegangi
sebotol cairan merah jambu yang dinikmatinya hampir semalaman, dan setiap
lima menit ia berhasil mengangkat kepala dan menggumamkan sesuatu pada
Marco yang duduk tak sampai dua meter jaraknya. Marco balas bergumam, dan
apa pun yang ia katakan sepertinya membuat si gelandangan senang. Dua
rekannya sudah tak sadarkan diri dan meringkuk bersama di dekat mereka,
seperti dua mayat serdadu di bawah tenda. Marco tidak merasa terlalu aman
bersama mereka, tapi ia punya masalah-masalah lain yang lebih serius.
Beberapa orang mondar-mandir di depan terminal bus. Sekitar pukul
setengah enam, aktivitas meningkat ketika segerombol orang yang tampak seperti kaum Gipsi datang
berbondong-bondong, t semua berbicara bersamaan dengan suara keras,
tampak gembira bisa turun dari bus setelah perjalanan " panjang dari suatu
tempat. Lebih banyak lagi penumpang berdatangan, dan Marco memutuskan
sudah saatnya ia meninggalkan si gelandangan pemabuk. Ia masuk ke terminal
di belakang sepasang pria dan wanita serta anak mereka, lalu mengikuti
mereka menuju loket penjualan tiket, mendengarkan dengan saksama ketika
mereka membeli tiket ke Parma. Ia melakukan hal yang sama, lalu cepat-cepat
menuju kamar kecil dan sekali lagi bersembunyi di dalam bilik.
Krater duduk di warung yang buka sepanjang malam di dalam stasiun,
minum kopi tidak enak sambil mengamati penumpang datang dan pergi dari
balik surat kabar. Ia melihat Marco berjalan lewat. Ia memerhatikan tingginya,
bentuk tubuhnya, usianya. Gaya berjalan itu tampak familier, walau lebih
lambat. Marco Lazzeri yang telah dibayanginya selama beberapa minggu ini
bisa berjalan secepat orang berlari kecil. Orang ini jalannya jauh lebih lambat,
tapi ia toh memang tak punya tujuan. Untuk apa tergesa-gesa" Di jalanan,
Lazzeri selalu berusaha melarikan diri dari kuntitan mereka, dan sering kali ia
berhasil. Namun wajah itu sangar berbeda. Warna ram-butnya lebih gelap. Topi korduroi cokelat itu sudah hilang, namun itu toh
cuma aksesori dan bisa disingkirkan dengan mudah. Kacamata kulit penyu
itulah yang menarik perhatian Krater. Bingkai kacamata Armani yang bergaya
milik Marco sangat cocok di wajahnya, sedikit mengubah penampilannya tanpa
menarik perhatian. Kacamata bundar orang ini justru memanggil minta
diperhatikan. Kumis dan jenggot sudah hilang; pekerjaan gampang, sesuatu yang pasti
akan ia lakukan. Kemejanya tidak pernah Krater lihat sebelumnya, padahal ia
ada di apartemen Marco bersama Luigi ketika mereka menyapu apartemen dan
memerhatikan setiap potong pakaiannya. Jins pudar itu cukup umum, dan
Marco pernah membeli jins semacam itu. Namun jaket sport biru tua dengan
tambalan kulit di siku yang sudah kusam, serta koper kerja yang sangat bagus
buatannya, menahan Krater tetap di tempat duduknya. Jaket itu jelas sudah
panjang usianya, dan mustahil Marco bisa mendapatkannya. Lengannya agak
kependekan, tapi itu bukan sesuatu yang aneh. Koper itu terbuat dari kulit
yang bagus. Marco mungkin bisa mendapatkan uang dan membeli smartphone,
tapi untuk apa ia menghambur-hamburkan uang untuk membeli koper mahal"
Tasnya yang terakhir, tas Silvio biru tua yang menjadi miliknya sampai sekitar
enam belas jam lalu ketika Krater men-\ jurinya dalam kehebohan di Carre Atene, harganya
t cuma enam puluh euro.9 Krater mengawasinya sampai ia berbelok dan hilang dari pandangan. Bisa
jadi-tidak lebih dari sekadar kemungkinan. Ia menghirup kopinya dan selama
beberapa menit merenungkan pria yang baru saja dilihatnya.
Marco berdiri di dalam bilik dengan jinsnya teronggok lepas di sekitar
pergelangan kaki, merasa amat
tolol, tapi samaran yang bagus jauh lebih
penting saat ini. Pintu terbuka. Ada empat urinoar pada dinding di sebelah kiri
pintu, di seberangnya terdapat enam wastafel, dan di sebelahnya ada empat
bilik. Tiga bilik yang lain kosong. Tidak banyak kegiatan pagi itu. Marco
memasang relinga tajam-tajam, menunggu suara orang melepas hajat-bunyi
ritsleting, denting gesper ikat pinggang desah lega yang biasa dilakukan kaum
pria saat kencing, suara gemercik urine.
Tidak ada suara apa pun. Tidak terdengar sesuatu dari wastafel, tidak ada
orang yang sedang mencuci tangan. Pintu ketiga bilik di sebelahnya tidak
terbuka. Mungkin itu cuma petugas kebersihan yang sedang memeriksa, dan
melakukannya tanpa SU Di depan wastafel, Krater membungkuk serendah mungkin dan melihat
jins yang teronggok di pergelangan kaki di dalam bilik paling ujung. Di
sebelah jins itu terdapat koper bagus tadi. Pria itu
sedang melakukan urusannya dan tidak terburu-buru.
Bus berikut berangkat pukul enam menuju Parma, setelah itu ada
keberangkatan pukul 06.20 menuju Florence. Krater segera menghampiri loket
dan membeli tiket untuk kedua tujuan tersebut. Si petugas memandangnya
aneh, tapi Krater tidak ambil pusing. Ia kembali ke kamar kecil. Pria di dalam
bilik paling ujung itu masih ada di sana.
Krater keluar dan menelepon Luigi. Ia memberikan deskripsi orang yang
bersangkutan, dan menjelaskan sepertinya ia tidak terburu-buru meninggalkan
kamar kecil. Tempat terbaik untuk bersembunyi," komentar Luigi.
"Aku juga sering melakukannya." "Menurutmu itu Marco"" "Entahlah. Kalau
ya, samarannya sangat bagus." Luigi yang terkaget-kaget dengan ditemukannya
smartphone, uang tunai empat ratus dolar Amerika, dan pelarian Marco, kini
tidak mau ambil risiko. "Buntuti dia," perintahnya.
Pada pukul 05.55, Marco mengenakan jitunya kembali, mengguyur toilet,
meraih koper, dan menghampiri bus. Di pelataran, Krater sudah menunggu,
dengan tak acuh makan apel dari satu tangan dan memegang koran dengan
tangan yang lain. Sewaktu
Marco mendekati bus yang menuju Parma, Krater
pun melakukan hal yang sama.
Sepertiga kursi yang tersedia masih kosong. Marco mengambil kursi di sisi


The Broker Karya John Grisham di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kiri, di bagian [tengah, dekat jendela. Kratet membuang muk! ketib
mdewatinya, lalu duduk empat baris di belakangnya.
Perhentian pertama adalah Modena, tiga puluh menit kemudian. Sewaktu
mereka memasuki kota, Marco memutuskan untuk melihat-lihat wajah di
belakangnya. Ia pun berdiri dan berjalan ke bagian belakang, ke kamar kecil,
dan melirik sambil lalu ke wajah-wajah para pria.
Ketika ia sudah terkunci di dalam kamar kecil, dipejamkannya matanya dan
ia berkata pada diri sendiri, "Ya, aku pernah melihat wajah itu."
Tak sampai 24 jam sebelumnya, di Caffe Atene, beberapa menit sebelum
lampu padam. Wajah [ itu terlihat di cermin panjang yang terpajang di dinding,
di dekat gantungan mantel tua, di atas meja-meja. Wajah itu duduk tak jauh,
di belakang-nya, bersama pria lain. ; .
Wajah itu tidak asing. Bahkan mungkin ia pernah melihatnya disusatu
tempat di Bologna. Marco kembali ke kursinya ketika bis mulai melambat dan memasuki
terminal,cepat pikir,bung
ancamannya berkali-kaJi pada diri sendiri, tapi jaga kepalamu tetap dingin.
Jangan panik. Mereka sudah menguntitmu keluar dari Bologna, tapi kau tidak
boleh membiarkan mereka mengikutimu keluar dari negara ini.
Ketika bus berhenti, sopir mengumumkan mereka sudah riba di Modena.
Perhentian singkat, berangkat lagi dalam lima belas menit. Empat penumpang
terhuyung-huyung menyusuri gang dan turun dari bus. Yang lain tetap di
tempat, kebanyakan tertidur. Marco memejamkan mata dan membiarkan
kepalanya meneleng ke samping, ke arah jendela, tertidur lelap. Semenit
berlalu dan dua penduduk setempat naik, dengan mata membelalak dan
membawa tas-tas kain yang berat.
Sewaktu sopir kembali dan menempatkan diri di belakang kemudi,
mendadak Marco bergeser keluar dari tempat duduknya, merayap cepat di
sepanjang gang dan melompat turun dari bus tepat pada saat pintu sedang
menutup. Ia bergegas masuk ke terminal, kemudian berbaiik dan melihat bus
itu sedang mundur. Pengejarnya masih berada
di atas bus. Reaksi pertama Krater adalah cepat turun dari bus, mungkin berdebat
sedikit dengan sopir, tapi toh tak ada sopir yang mau berjuang mati-matian
untuk mencegah penumpang turun. Ia menahan diri, karena Marco jelas-jelas
tahu ia sedang dibuntuti. Pelariannya pada detik ter masukan kecurigaan Krater. Berarti
memang benar R itu tadi Marco, yang berlari seperti hewan terjuka.
Masalahnya, saat ini Marco bebas di Modena, ': sedangkan Krater tidak. Bus
itu berbelok ke jalan lain, lalu berhenti di lampu merah. Krater segera
menghampiri sopir, memegangi perutnya, memohon diperbolehkan rurun
sebelum ia muntah ke segala penjuru. Pintu otomatis langsung terbuka, Krater
melompat turun dan berlari kembali ke terminal.
Marco tidak membuang-buang waktu. Begini bus itu hilang dari pandangan,
ia bergegas ke halaman terminal, tempat tiga taksi sedang menunggu. Ia naik
ke kabin belakang taksi pertama dan berkata, "Bisakah kau mengantarku ke
Milano"" Bahasa Italia-nya sangat bagus. "Milano"" "Si, Milano."
"" molto caro!" Mahal sekali.
"Quanto"" "Duecente euro." Dua ratus euro.
"Andiamo." Sesudah satu jam menjelajahi terminal bus Modena dan dua jalan di
sampingnya, Krater menelepon Luigi untuk menyampaikan berita yang tidak
bagus, tapi juga "dak buruk sama sekaii. Ia kehilangan
orang yang dibuntutinya, tapi pelarian mendadak ku membuktikan bahwa
pria itu memang Marc Reaksi Luigi campur aduk. Ia frustrasi karena Krater bisa dikelabui seorang
amatir. Ia terkesan Marco berbasil mengubah penampilannya dengan efektif
dan lolos dari kejaran sekelompok kecil pembunuh. Dan ia geram pada
Whitaker dan orang-orang goblok di Washington yang terus-menerus mengubah
rencana dan sekarang menciptakan bencana yang pastilah kesalahannya akan
ditimpakan kepada Luigi. Ia menelepon Whitaker, berteriak dan menyumpah-nyumpah lagi, lalu
segera menuju stasiun kereta bersama Zellman dan dua agen lain. Mereka akan
bergabung dengan Krater di Milano, dan di sana Whitaker sudah menjanjikan
penjagaan ketat dengan seluruh tenaga yang bisa dikerahkannya.
Ketika meninggalkan Bologna menumpang Eurostar, Luigi mendapat gagasan
hebat, yang tidak bisa dilontarkannya. Bagaimana kalau mereka memberitahu
pihak Israel dan Cina bahwa Backman terakhir kali terlihat di Modena, ke arah
barat menuju Parma, dan bisa jadi tujuan akhirnya Milano" Ketimbang Langley,
merekalah yang l"jf menginginkan Backman. Dan jelas mereka lebih mampu
menemukannya. , TaPl Perintah tetap perintah, walaupun perintah itu berubah-ubah.
banyak jalan menuju Milano.
488 29 Taksi itu berhenti satu blok dari stasiun kereta. utama Milano. Marco
membayar si sopir, berterima kasih sekali lagi, mendoakan ia selamat kembali
ke Modena, lalu berjalan melewati belasan taksi lain yang sedang menunggu
penumpang. Di dalam sta-s'un raksasa itu, ia mengikuti arus orang banyak, naik
eskalator, memasuki kekacauan peron yang terkendali, tempat terdapat
belasan jalur rel. Ia menemukan papan pengumuman keberangkatan dan
mempelajari pilihan-pilihannya. Ada kereta menuju Stuttgart yang berangkat
empat kali sehari, dan perhentianya ketujuh adalah Zurich,ia mengambil
jadwal keberangkatan,membeli brosur panduan dan peta kota yg murah,lalu
menemukan meja kosong dikafe diantara deretan toko,waktu tidak boleh di
buang buang,tapi ia perlu membuat rencana. Ia memesan dua esprtsso dan pastri, sementara
matanya terus mengamati kerumunan. Ia menyukai kerumunan, gerombolan
orang yang datang dan pergi. Ada rasa aman dalam
keramaian. Rencana pertamanya adalah berjalan-jalan, sekitar tiga puluh menit,
menuju pusat kota. Entah di mana ia bisa mendapatkan toko pakaian murah
dan mengganti semuanya-jaket, kemeja, celana panjang, sepatu. Mereka
sudah melihatnya di Bologna. Ia tidak bisa meAgambiJ risiko lagi.
Di suaru tempat di pusat kota, dekat Piazza del Duomo, pastilah ada kafe
Internet tempat ia bisa menggunakan komputer selama lima belas menit. Ia
tidak terlalu percaya dengan kemampuannya duduk di depan mesin asing,
menyalakannya, dan bukan saja meloloskan diri dari hutan belantara Internet,
namun juga mengirim pesan kepada Neal. Saat itu p
ukul 10.15 di Milan, pukul
04.15 di Culpeper, Virginia. Neal akan memeriksa pesan pada pukul 07.50.
Ia harus berhasil mengirim e-maii entah bagaimana caranya. Ia tidak punya
pilihan lain. Rencana kedua adalah melarikan diri, yang tampak semakin bagus
sementara ia mengamati ribuan orang naik dengan santai ke kereta-kereta yang
akan menyebarkan mereka ke seluruh penjuru Eropa dalam beberapa jam. Beli
tiket sekarang dan keluar dari Milano serta Italia secepat mungkin. Warna rambutnya yang
sudah berubah dan kacamata Giovanni serta jaket tua ala profesor tidak
[mampu mengelabui mereka yang ada di Bologna. Kalau mereka sehebat itu,
mereka tentu akan bisa menemukannya di mana pun.
Ia berkompromi dengan berjalan memutari blok tersebut. Udara segar selalu
membantu, dan setelah empat blok darahnya mulai terpompa lagi. Seperti di
Bologna, jalanan Milano menyebar keluar ke segala jurusan seperti sarang laba-laba Lalu lintas padat dan beberapa kali nyaris tidak bisa bergerak Ia menyukai
lalu lintas tersebut, dan terurama ia menyukai trotoar yang penuh sesak dan
menyediakan tempat persembunyian baginya.
Toko itu bernama Roberto's, toko pakaian pria yang terjepit di antara toko
perhiasan dan toko roti. Dua etalasenya penuh pajangan pakaian yang bisa
bertahan sekitar seminggu, yang sangat sesuai dengan kerangka waktu Marco.
Penjaga toko yang berasal dari Timur Tengah itu bahasa Italia-nya lebih parah
daripada Marco, tapi dengan fasih menuding dan menggumam, dan ia bertekad
akan mengubah dandanan tamunya. Jaket biru tua itu diganti jaket cokelat
tua. Baju barunya adalah sweter putih lengan pendek. Celana panjangnya dari
wol berkualitas rendah warna biru tua gelap. Butuh waktu seminggu untuk
permak, jadi Marco bertanya apakah si penjaga toko mempunyai gunting. Dalam ruang ganti
yang berbau lembap, ia mengukur sebisanya, lalu menggunting celana panjang
itu sendui. Ketika ia keluar dengan kostumnya yang baru, si penjaga toko
melihat ujung celana yang bergerigi dan nyaris menangis.
Semua sepatu yang dicoba Marco bisa membuatnya lumpuh sebelum tiba di
stasiun kereta, jadi ia tetap mengenakan sepatu botnya sementara ini. Barang
terbaik yang dibelinya adalah topi anyaman yang dibeli Marco karena ia
melihatnya sebelum memasuki toko itu.
Pada saat ini, peduli apa ia dengan soal mode"
Keseluruhan pakaian baru itu memaksanya mengeluarkan uang hampir
empat ratus euro, yang dengan berat hati dibayarkannya, tapi ia tidak punya
pilihan lain. Ia berusaha menukarnya dengan koper Giovanni, tapi si penjaga
toko terlalu sedih dengan celana panjang yang dicincang tadi. Ia hampir rak
sanggup mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal dengan lemah. Marco
keluar dengan jaket biru, jins pudar, dan kemeja lamanya terlipat dalam tas
plastik merah, sesuatu yang berbeda untuk dibawa-bawa.
Ia berjalan beberapa menit dan melihat toko sepatu. Ia membeli sepatu
yang mirip dengan sepatu boling yang sudah dimodifikasi, tak ragu lagi sepatu
paling jelek di toko yang bagus itu. Warnanya
hitam dengan garis merah keunguan, semoga dibuat dengan mementingkan
segi kenyamanan, bukan penampilan. Ia membayar 150 euro, hanya karena
sepatu itu sudah banyak dicoba. Setelah berjalan dua blok, barulah ia mampu
mengerahkan keberanian untuk menunduk dan melihatnya.
Luigi mendapat penguntit ketika keluar dari Bologna. Pemuda yang
mengendarai skuter itu melihatnya keluar dari aparremen di sebelah apar-remen Backman, dan tindak-tanduknyalah yang menarik perhatian. Ia berlari,
semakin cepar seiring setiap langkah. Tidak ada orang yang berlari di bawah
naungan Via Fondazza. Skuter itu menunggu sampai Luigi berhenti dan segera
masuk ke dalam Fiat merah. Ia mengemudi beberapa blok, lalu melambar
sedikit untuk memberi kesempatan pria lain melompat naik. Mereka melesat
dengan kecepatan penuh, tapi dalam lalu lintas kota, skuter itu tidak
mendapat kesulitan mengikutinya. Ketika mereka memasuki stasiun kereta dan
parkir di tempat terlarang, pemuda berskuter itu melihat semuanya dan
melapor lewat radio pada Efraim.
Dalam lima belas menit, dua agen Mossad yang mengenakan seragam polisi
lalu lintas membobol apartemen Luigi, menyiagakan alarm-alarm- beberapa
tak bersuara, beberapa hampir
493 rak terdengar. Sementara tiga agen lain menunggu di jalan, sebagai
perlindungan, tiga agen di dalam menendang pintu dapur dan menemukan
koleksi peralatan pengintaian elektronik yang menakjubkan.
Pada saat Luigi, Zellman, dan agen ketiga naik ke Euros tar yang menuju
Milano, si pemuda ber-skuter juga sudah membeli tiket. Namanya Paul, anggota
kidon termuda dan paling fasih berbahasa Italia. Di balik gaya rambut dan
wajah kekanak-kanakan itu, ia adalah veteran berusia 26 tahun yang sudah
mencatatkan belasan pembunuhan. Ketika ia melapor lewat radio bahwa ia
sudah berada atas di kereta yang bergerak, dua agen lain memasuki apartemen
Luigi dan membantu membedah peralatan tersebut. Namun satu alarm tidak
bisa dimatikan. Deringnya yang konstan menembus tembok-tembok dan
berhasil menarik perhatian beberapa retangga di jalan tersebut.
Sepuluh menit kemudian, Efraim menarik anak-anak buahnya yang
membobol apartemen. Agen-agen tersebut menyebar, lalu bergabung kembali
di salah satu rumah persembunyian mereka. Mereka belum dapat memastikan
siapa Luigi sebenarnya atau untuk siapa ia bekerja, tapi tak diragukan lagi ia
telah memata-matai Backman sepanjang hari dan malam.
Ketika jam-jam berlalu tanpa tanda-tanda keber-Laan Backman, mereka
mulai yakin Backman sudah kabur. Dapatkah Luigi membawa mereka
padanya" I I Di pusat kota Milano, di Piazza del Duomo, Marco melongo memandangi
katedral raksasa bergaya ' Gotik yang hanya membutuhkan waktu tiga ratus
tahun untuk selesai dibangun. Ia berjalan sepanjang Galleria Vittorio
Emanuele, koridor berkubah kaca mengagumkan yang terkenal di Milano.
Dengan deretan kafe dan toko buku, galeri itu adalah pusat kehidupan kota,
tempat pertemuan yang paling populer. Dengan temperatur mencapai lima
belas derajat, Marco makan sandwich dan minum cola di luar, burung-burung
merpati merubung setiap remah yang tercecer. Ia memandangi seorang
Milanesi tua yang berjalan-jalan di galeri, dua wanita saling mengaitkan
lengan, para pria berhenti untuk mengobrol seolah waktu bukan sesuatu yang
relevan. Betapa beruntungnya, pikir Marco.
Apakah sebaiknya ia pergi saat itu juga, atau diam di sini dulu Sehari atau
dua hari" Irulah pertanyaan yang paling mendesak Di kota yang padat dengan
empat juta penduduk ia bisa menghilang selama mungkin. Ia bisa membeli
peta, mempelajari jalan jalanya, menghabiskan berjam-mempeiajan
jam bersembunyi di kamar dan berjam-jam menjelajahi gang-gang kecil.
Tapi anjing-anjing pemburu di belakangnya akan mendapat kesempatan
mengumpulkan kekuatan. Apakah ia harus pergi sekarang, saat mereka sedang kewalahan dan
menggaruk-garuk kepala"
Ya, ia memutuskan. Ia membayar makanannya dan melirik sepatu bolingnya.
Memang nyaman, rapi ia sudah tak sabar ingin segera membakarnya. Di dalam
bus kota, ia melihat iklan kafe Internet di Via VerrL Sepuluh menit kemudian,
ia memasuki tempat itu. Papan di dinding mencantumkan harga sewanyasepuluh euro per jam, minimum tiga puluh menit. Ia memesan jus jeruk dan
membayar untuk setengah jam. Petugas jaga memberi isyarat ke arah meja
dengan beberapa komputer. Tiga di antara delapan komputer yang tersedia
digunakan oleh orang-orang yang tahu benar apa yang mereka lakukan. Marco
sudah merasa tersesat. Namun dipasangnya tampang sok tahu. Ia duduk, meraih keyboard, menatap
monitor, dan ingin berdoa, tapi nekat terjun seolah sudah bertahun-tahun
melakukannya. Ternyata mudah saja; ia masuk ke situs KwyteMail,
mengetikkan user name, 'Grinch456", lalu password-nya, "post hoc ergo Fopter
hoc", menunggu sepuluh detik, dan mun-cuUah pesan dari Neal:
Marco: Mikel Van Thiessen masih benam ! Ehineland Bank, sekarang menjadi
wakil direktur pelayanan klien. Apa lagi" Grinch.
Tepat pukul 07.50 EST, Marco mengetik pesan:
Grinch: Ini Marco-aku ada di sini, langsung.
Kau ada di sana" Ia menyedot jus jeruknya dan menatap layar monitor. Ayo, baby, jangan
sampai gagal. Ia menyedot lagi. Wanita di meja seberang berbicara kepada
monitornya. Lalu muncul pesan:
Aku ada di sini. Ada apa"
Marco mengetik: Mereka mencuri Ankyo 850-ku. Ada kemungkinan besar
orang-orang itu mendapatkannya dan membongkarnya. Bisakah mereka
mengetahui keterlibatanmu"
Neal: Hanya kalau mereka punya user name dan passwordnya. Mereka
memilikinya" Marco: Tidak, sudah kumusnahkan. Mungkinkah mereka mengakali
password-nya" Neal: Dengan KwyteMail tidak bisa. KwyteMail sepenuhnya aman dan
tersandi. Kalau mereka hanya mendapatkan PC-nya, tak ada gunanya.
Marco: Jadi kita benar-benar aman sekarang"
Neal: Ya, sungguh. Tapi apa yang kaugunakan
sekarang" Marco: Aku ada di kafe Internet, menyewa komputer, seperti hacker
sungguhan. Neal: Kau mau smartphone Ankyo baru"
Marco: Tidak, sekarang tidak perlu, mungkin nanti. Begini. Temuilah Carl
Pratt. Aku tahu kau tidak menyukainya, tapi saat ini aku membutuhkan dia.
Pratt sangat dekat dengan mantan senator Ira Clayburn dari North Carolina.
Clay burn mengelapai Komite Intelijen Senat selama bertahun-tahun. Aku
membutuhkan Clayburn sekarang. Hubungi dia lewat Pratt.


The Broker Karya John Grisham di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Neal: Di mana Clayburn berada"
Marco: Aku tidak tahu-aku hanya berharap ia masih hidup. Ia berasal dari
Outer Banks North Carolina, tempat terpencil yang indah. Ia pensiun setahun
setelah aku masuk kamp federal. Pratt bisa menemukannya.
Neal: Tentu, aku akan melakukannya begitu bisa menyelinap kabur.
Marco: Berhati-hatilah. Awasi belakangmu. " Neal: Kau baik-baik saja"
Marco: Dalam pelarian. Aku meninggalkan
Bologna tadi pagi. Aku akan berusaha online pada
saat yang sama besok. Oke"
Neal: Bersembunyilah terus. Aku akan ada di sini besok.
Marco melakukan sign off dengan tampang bangga. Misi terlaksana.
Ternyata gampang saja. Selamat datang di dunia peralatan teknologi canggih.
Ia memastikan ia keluar sepenuhnya dari KwyteMail, lalu menghabiskan jus
jeruknya, dan keluar dari kafe. Dalam perjalanan ke stasiun kereta, ia mampir
di toko kulit, tempat ia berhasil menukar koper Giovanni yang bagus dengan
koper kulit hitam mengilap berkualitas lebih rendah; lalu di toko perhiasan
murah tempat ia membayar delapan belas euro untuk arloji bundar besar
dengan tali merah manyala, sesuatu yang akan mengalihkan perhatian orang
yang sedang mencari Marco Lazzeri yang berasal dari Bologna; kemudian di
toko buku bekas, dengan uang dua euro ia membeli buku hardcover lusuh berisi
puisi-puisi Czeslaw Milosz, dalam bahasa Polandia tentu saja, untuk
mengacaukan anjing-anjing pemburu itu; dan akhirnya, di toko aksesori bekas
ia membeli kacamata gelap dan tongkat kayu, yang langsung digunakannya
begitu ia keluar di trotoar.
Tongkat itu mengingatkannya pada Francesca, juga memperlambat
langkahnya, mengubah gaya berjalannya. Dengan waktu tersisa, ia terpincang-pincang menuju Milano dan membeli tiket ke Stuttgart.
Whitaker mendapat pesan mendesak dari Langley bahwa rumah
persembunyian Luigi telah dibobol orang, tapi tak ada apa pun yang bisa
dilakukannya. Semua agen dari Bologna sekarang ada di Milano, geragapan
dengan panik. Dua agen ada di stasiun kereta, mencari jarum di antara
timbunan jerami. Dua di Bandara Malpensa, 43 kilometer jauhnya dari pusat
kota. Dua ada di Bandara Linate, yang lebih dekat dan terutama melayani
penerbangan Eropa. Luigi ada di terminal bus pusat, masih berdebat di ponsel
bahwa bisa saja Matco tidak berada di Milano. Hanya karena ia naik bus dari
Bologna ke Modena, lalu ke arah barat laut, bukan berarti ia akan pergi ke
Milano. Namun kredibilitas Luigi saat itu sudah buruk, paling tidak dalam
penilaian Whitaker, jadi ia dibuang ke terminal bus untuk mengamati ribuan
orang datang dan pergi. Krater yang berada paling dekat dengan jarum itu.
Marco membeli tiket kelas saru seharga enam puluh euro, dengan harapan
bisa menghindarkan dirinya terekspos di kelas ekonomi. Untuk perjalanan ke
utara, gerbong kelas satu ada di paling ujung, dan Marco naik pada pukul
17.30, 45 menit sebelum jam keberangkatan. Ia duduk di kursinya,
menyembunyikan wajahnya sebisa mungkin di balik kacamata dan topi
anyaman, membuka buku puisi Polandia, dan memandang ke arah peron tempat para penumpang
melewati keretanya. Beberapa tak sampai dua meter jauhnya, semua
terbutu-bu ru. Kecuali satu orang. Pria yang di bus itu muncul lagi; wajah yang terlihat di
Cafte Atene; mungkin si tangan panjang yang mencopet tas Silvio birunya;
anjing pemburu yang terlambat turun dari bus di Modena sekitar sebelas jam
lalu. Ia berjalan namun tanpa tujuan. Matanya disipitkan, keningnya berkerut
dalam. Untuk ukuran profesional, ia terlalu mencolok, pikir Giovanni Ferro,
yang sayangnya sekarang mengetahui lebih banyak daripada yang ia inginkan
tentang cara bersembunyi dan menghilangkan jejak.
Krater sudah diberitahu bahwa Marco mungkin akan menuju selatan ke
Roma, tempat ia memiliki lebih banyak pilihan, atau ke utara ke Swiss,
Jerman, Prancis-ke mana pun tujuan yang dipilihnya di seluruh benua. Sudah
lima jam Krater mondar-mandir di dua belas peron tersebut, mengamati kereta
datang dan pergi, bergabung dengan kerumunan, sama sekali tidak
memedulikan otang-otang yang turun tapi memberikan perhatian besar pada
siapa pun yang naik kereta. Setiap jaket bitu dengan segala nuansa dan model
menarik perhatiannya, tapi ia belum melihat yang di sikunya terdapat tambalan
kulit yang sudah lusuh. 501 Jaket itu berada di dalam koper hitam m ii yang terjepit di antara kaki
Marco, di kursi no tujuh puluh di gerbong kelas satu menuju Stuttgart Marco
mengawasi Krater mondar-mandir di peron mengamati dengan saksama kereta
yang tujuan akhirnya Stuttgart. Di tangannya ia memegang sesuatu yang mirip
tiket, dan ketika ia lenyap dari pandangan, Marco bersumpah ia melihat orang
itu naik ke kereta. Marco menahan dorongan untuk melompat turun. Pintu kabinnya terbuka,
dan Madame masuk 30 begitu sudah dipastikan bahwa Backman menghilang, dan bukannya mati di
tangan orang lain, lima jam penuh kepanikan berlalu sebelum ]ulia Javier
menemukan informasi yang sebenarnya tak jauh-jauh darinya. Informasi
tersebut ditemukan di arsip yang disimpan dalam tempat terkunci di kantor
direktur, dan dulunya dijaga oleh Teddy Maynard sendiri. Kalaupun pernah
melihat informasi tersebut, Julia tidak bisa mengingatnya. Dan, dalam
kekacauan itu, tentu saja ia tidak akan mengakui apa pun. .
Informasi tersebut datangnya dengan eg-, dari FBI beberapa ^.^IZnZZ
Backman di bawah penyelidikan. ^ ^ keuangannya diperiksa dengan sang^ ^
menipu ada rumor santer yang men&a
seorang klien dan mengubur kekayaannya. Jadi di mana uang itu" Demi
mencarinya, FBI me-'j nyusun potongan-potongan sejarah perjalanan 1 Backman
ketika mendadak ia mengaku bersalah i dan dijebloskan ke penjara. Pengakuan
bersalah itu tidak seketika memetieskan kasus Backman, tapi yang jelas
mengangkat beban yang selama ] itu menekannya. Seiring waktu, riset
perjalanan Backman itu pun lengkap, dan akhirnya diberikan kepada Langley.
Pada bulan sebelum Backman dikenai dakwaan, ditangkap, dan dibebaskan
dengan pengaturan jaminan yang sangat ketat, ia melakukan dua kali
perjalanan singkat ke Eropa. Yang pertama, ia naik penerbangan kelas bisnis
Air France bersama sekretaris favoritnya ke Paris, tempat mereka bermain-main dan melihat-lihat selama beberapa hari. Belakangan wanita itu
memberitahu para penyelidik bahwa Backman melewatkan satu hari penuh di
Berlin untuk urusan bisnis singkat, tapi kembali pada waktunya untuk makan
malam di restoran Alain Ducasse. Wanita itu tidak pergi bersamanya.
Tidak ada catatan Backman menggunakan penerbangan komersial ke Berlin,
atau ke mana pun di "luruh Eropa, selama minggu itu. Pihak maskapai pasti
akan meminta paspor, dan FBI yakin Backman tidak menggunakan paspornya.
Perjalanan dengan kereta tidak membutuhkan paspor. Jenewa,
Bein> Lausanne, dan Zurich, semua berjarak empat jjm perjalanan kereta
dari Paris. perjalanan ke Eropa yang kedua berlangsung hanya dalam 72 jam, dari
Dulles menuju Frankfurt dengan Lufthansa di kabin kelas satu, sekali lagi untuk
urusan bisnis, walau tidak ada kontak bisnis yang ditemukan di sana. Backman
membayar dua malam di hotel mewah di Frankfurt, dan tidak ada bukti bahwa
ia pernah tidur di tempat lain. Seperti Paris, Frankfurt hanya beberapa jam
perjalanan kereta jauhnya dari pusat-pusat perbankan Swiss.
Sewaktu Julia Javier akhirnya mene
mukan arsip tersebut dan membaca
laporannya, ia langsung menelepon Whitaker dan memberitahu, "Ia menuju
Swiss." Barang bawaan Madame cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan lima
anggota keluarga yang kaya. Portir yang kewalahan membantunya menaikkan
koper-koper yang berat itu ke keteta dan ke dalam gerbong kelas satu, yang ia
penuhi dengan dirinya, barang-barang miliknya, dan bau parfumnya. Di dalam
kabin itu ada enam tempat duduk, paling sedikit empat di antaranya
dikuasainya sendiri. Ia duduk di seberang Marco dan menggoyang-goyang
bokongnya yang penuh seolah hendak melonggarkannya lagi. Ia melirik Marco
yang menciut di dekat jendela dan dengan sensual \ mendesahkan "Bonsoir".
Orang Prancis, pikir 1 Marco, dan karena sepertinya tidak pas menjawab j
dengan bahasa Italia, ia menanggapi dengan "Halo" I yang biasa. "Ah, Amerika."
Dengan segala bahasa, identitas, nama, budaya, latar belakang,
kebohongan, kebohongan, dan ke- I bohongan lain terpilin-pilin kusut, Marco
berhasil j berkata tanpa keyakinan sedikit pun, "Bukan, j Kanada."
"Ah, ya," ujar wanita itu, masih mengatur tas- i tasnya dan menempatkan
diri dengan nyaman. Jelas bahwa Amerika lebih disukai ketimbang Kanada.
Madame adalah wanita bertubuh subur berusia enam puluh tahun, mengenakan
gaun merah ketat, betisnya tebal, dan sepatu pantofel hitamnya tampak sudah
melakukan perjalanan jutaan mil jauhnya. Matanya yang dirias tebal kelihatan
sembap, dan tak lama kemudian Marco tahu sebabnya. Jauh sebelum kereta
mulai bergerak, wanita itu mengeluarkan termos besar, membuka tutupnya
yang bisa dijadikan cangkir, dan menuangkan cairan yang tampak ampuh, la
menenggaknya sekaligus, lalu tersenyum pada Marco dan menawari, "Mau
minum"" "Tidak, terima kasih." "Ini brendi yang bagus sekali."
"Tidak, terima kasih."
"Ya sudah." Ia menuang lagi, menenggaknya sampai habis, lalu menyimpan
termos tersebut. Perjalanan yang panjang ini akan semakin panjang.
"Kau mau ke mana"" tanya wanita itu dalam bahasa Inggris yang sangat
bagus. "Stuttgart. Anda""
"Stuttgart, lalu ke Strasbourg. Tidak bisa tinggal lama-lama di Stuttgart, kau
tahu." Hidungnya berkerut seolah seluruh kota itu terendam dalam selokan bau.
"Aku suka Stuttgart," ujar Marco, sekadar ingin melihat hidung itu tidak
berkerut lagi. "Oh, well!' Wanita itu sekarang memusatkan perhatian pada sepatunya. Ia
menendang lepas keduanya, tanpa peduli ke mana mereka akan mendarat.
Marco ancang-ancang akan diserang bau kaki, tapi kemudian menyadari bau
apa pun tidak akan sanggup menandingi aroma parfum murahan itu.
Untuk mempertahankan diri, ia pura-pura terkantuk-kantuk. Wanita itu
mengabaikannya selama beberapa menit, lalu bertanya keras-keras, "Kau bisa
bahasa Polandia"" Ia menatap buku puisi Marco.
Kepala Marco tersentak seolah ia baru saja terjaga. "Tidak, tidak juga. Aku
sedang belajar. Keluargaku dari Polandia." Marco menahan napas,
setengah berharap wanita itu akan membanjirinya" dengan bahasa Polandia
yang baik dan benar, lalu j menenggelamkannya.
"Begitu," ujar wanita itu, sepertinya tak setuju. Pada pukul 18.15 tepat,
seorang kondektur yang \ tak terlihat meniup peluit dan kereta pun mulai 1
beranjak. Untung saja, tidak ada penumpang lain ] yang masuk ke kabin
Madame. Beberapa orang j menyusuri gang dan berhenti, melirik ke dalam, \
melihat kesesakan itu, lalu berjalan terus mencari j kabin lain yang lebih
lapang. Marco mengamati peron dengan saksama ketika mereka mulai bergerak.
Pria yang di bus itu tidak terlihat di mana pun.
Madame menikmati brendinya sampai mulai mendengkur. Ia dibangunkan
kondektur yang melubangi tiket mereka. Seorang portir lewat dengan kerera
dorong penuh berisi minuman. Marco membeli bir dan menawarkannya pada
rekan sekabinnya. Penawaran itu disambut dengan kemyitan hidung yang
dahsyat, seolah Madame lebih memilih minum air kencing.
Perhentian pertama adalah Como/San Giovanni, perhentian dua menit dan
tak seorang pun naik ke kereta. Lima menit kemudian mereka berhenti di
Chiasso. Saat itu hampir gelap, dan Marco mem-pemmbangkan kabur lagi. Ia
mempelajari jadwal 11 K P^tian lagi sebelum mereka
iiba di Zuric h, satu di Italia dan tiga di Swiss. Ulayah negara mana yang
lebih menguntungkan"
Ia tidak bisa mengambil risiko dibuntuti lagi sebiang. Kalau orang-orang itu
ada di kereta, mereka sudah mengikutinya sejak Bologna, lalu Modena, dan
Milano, dengan berbagai penyamaran. Mereka profesional, dan Marco tak
sebanding dengan me-teka. Sambil menghirup birnya, Marco merasa seperti
amatir yang payah. Madame memandangi ujung celana pantalonnya yang tercincang. Kemudian
Marco melihatnya melirik sepatu boling modifikasi itu, dan Marco sama sekali
tidak menyalahkannya. Lalu jam tangan bertali merah menarik perhatian
Madame. Mimik wajahnya menyatakan apa yang sudah jelas-ia tidak setuju
dengan selera mode Marco yang rendah. Biasalah, orang Amerika, atau Kanada,
atau dari mana pun dia. Mral
Marco melihat sekilas cahaya yang berkelip-kelip dari Danau Lugano. Mereka
mehuk-liuk melalui wilayah sekitar danau itu, semakin menanjak. Swiss tidak
jauh lagi. Sesekali ada orang lewat di gang di luar bbin. Mereka menoleh, memandang
melalui pintu kaca, lalu terus ke belakang, mencari kamar kecil. Madame
menumpangkan kedua kakinp di kursi di depannya, tidak jauh dari Marco. Sam
jam sesudah berangkat, ia menebarkan wadah, majalah,
dan pakaiannya di seluruh kabin. Marco takut me ninggalkan tempat
duduknya. Akhirnya keletihan menguasainya, dan Marco 1 jatuh tertidur. Ia terbangun
karena keriuhan di stasiun Bellinzona, perhentian pertama di Swiss. | Seorang
penumpang memasuki gerbong kelas satu j dan tidak bisa menemukan tempat.
Ia membuka " pintu kabin Madame, mengedarkan pandang, tidak menyukai
yang dilihatnya, lalu keluar untuk memanggil kondektur. Mereka menemukan
kursi untuknya di tempat lain. Madame nyaris tidak mendongak dari majalah
mode yang dibacanya. Perjalanan berikut satu jam empat puluh menit lamanya, dan ketika
Madame kembali mengambil termos, Marco berkata, "Aku mau sedikit." Wanita
itu tersenyum untuk pertama kalinya selama berjam-jam. Walau ia tidak
keberatan minum sendiri, selalu lebih menyenangkan menikmati minuman
bersama teman. Namun dua gelas kemudian, Marco kembali terangguk-angguk
oleh kantuk. Kereta tersentak-sentak ketika melambat di perhentian Arth-Goldau. Kepala
Marco ikut tersentak, dan topinya jatuh. Madame mengawasinya Wm-lekat.
Sewaktu Marco akhirnya berhasil membuka mau, wanita itu memberitahu, "Ada
orani aneh yang udi memandangimu."
"Di mana""
"Di mana" Ya di sini, tentu saja, di atas kereta Ia lewat paling tidak tiga
kali. Berhenti di pintu, memandangimu dengan teliti, lalu menyelinap pergi."
Mungkin karena sepatuku, pikir Marco. Atau celana pantalonku. Arlojiku" Ia
menggosok-gosok mata dan betlagak seolah itu sering terjadi. "Seperti apa
tampangnya"" "Rambut pirang, sekitar tiga puluh lima, manis, jaket cokelat.
Kau kenal dia""
"Tidak, aku tidak kenal." Pria di bus di Modena itu rambutnya tidak pitang
dan ia tidak mengenakan jaket cokelat, tapi hal-hal kecil itu tidak relevan
sekarang. Marco sudah cukup ketakutan sehingga ingin mengubah rencananya.
2^ Zug tinggal 25 menit lagi, perhentian terakhir sebelum Zurich. Ia tidak bisa
mengambil risiko membawa mereka ke Zurich. Sepuluh menit ke-I mudian, ia
mengumumkan ia perlu ke kamar kecil. Di antata kursinya dan pintu tersebar
segala 1 halangan milik Madame. Ketika melompat-lompat I mencari jalan,
ia meletakkan koper dan tongkatnya 1 di kursi.
Ia melewati empat kabin, masing-masing berisi I sedikitnya tiga penumpang,
tak seorang pun 1 tampak mencurigakan. Ia pergi ke kamar kecil,
j menguncinya, dan menunggu sampai kereta mulai
melambat. Lalu kereta itu berhenti. Perhentian di Zug ini cuma dua menit,
dan sejauh ini kereta 1 selalu tepat waktu. Satu menit ia biarkan berlalu, 1 lalu
ia kembali ke kabin, membuka pintu, tidak 1 mengucapkan apa pun pada
Madame, mengambil 1 koper dan tongkatnya, yang sudah disiapkannya se- j
bagai senjata, dan berlari ke bagian belakang kereta, : lalu melompat ke
peron. Stasiun itu kecil, lebih tinggi daripada jalan di 1 bawah. Marco berlari
menuruni tangga ke trotoar, i mendekati satu-satunya taksi dengan sopir yang i
terlelap di belakang kemud
i. "Ke hotel," katanya j mengagetkan si sopir, yang
secara instingtif meraih kunci kontak. Ia menanyakan sesuatu dalam bahasa
Jerman dan Marco mencoba bahasa Italia. "Aku mau ke hotel kecil. Aku belum
memesan tempat." "Tidak masalah," timpal sopir itu. Saat mereka berangkat, Marco mendongak
dan melihat kereta itu bergerak. Ia melongok ke belakang, dan tak melihat


The Broker Karya John Grisham di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang pun mengejarnya. Perjalanan itu empat blok jauhnya, dan ketika mereka berhenti di depan
bangunan berbentuk A di jalan kecil yang sunyi, sopir taksi berkata dalam
bahasa Italia, "Hotel, ini sangat bagus."
tampaknya lumayan. Trims. Berapa lama perjalanan naik mobil ke Zurich""
"Dua jam, kuang-lebih. Tergantung lalu lin-tas.
"Besok pagi, aku harus sampai di pusat kota Zurich pada pukul sembilan
pagi. Bisakah kau mengantarku ke sana""
Sopir itu ragu-ragu sejenak, benaknya sudah membayangkan uang tunai.
"Barangkali," jawabnya. "Berapa ongkosnya""
Sopir itu menggosok-gosok dagunya, lalu mengangkat bahu dan berkata,
"Dua ratus euro." "Bagus. Kita berangkat dari sini pukul enam." "Enam, ya, aku
akan ada di sini." Marco mengucapkan terima kasih lagi dan melihat taksi itu
menjauh. Bel berdering ketika ia memasuki pintu depan hotel. Meja konter
kecil itu kosong, tapi terdengar suara televisi tak jauh dari sana. Seotang
remaja dengan mata mengantuk akhirnya muncul dan berusaha tersenyum.
"Guten abend," sapanya.
"Paria inglese"" tanya Marco. Pemuda itu menggeleng, tidak. "Italiano""
"Sedikit." "Aku juga bisa sedikit," kata Marco dalam bahasa Italia. "Aku mau menginap
satu malam." Petugas jaga itu memberikan formulir registrasi, dan berdasarkan ingatan,
Marco mengisi nama yang ada di paspor, juga nomornya. Ia menulis alamat
karangan di Bologna, dan nomor telepon palsu juga. Paspor itu ada di saku
mantelnya, de-kat jantungnya, dan walau enggan ia siap mengluarkannya.
Namun saat itu sudah larut dan sipetugas meja depan terpaksa kehilangan
tontonan televisi Dengan kecerobohan yang tidak sesuai dengan karakter Swiss,
ia berkata, juga dalam bahasa italia "Empat puluh dua euro," dan tidak
menyebut-nyebut soal paspor.
Giovanni meletakkan uang di meja, dan pe tugas jaga itu memberinya kunci
kamar nomor i 26. Dengan bahasa Italia yang bagus, Giovanni mengatur agar ia
dibangunkan pada pukul lima pagi. Seolah baru teringat, ia menambahkan,
"Sikat gigiku hilang. Apakah ada sikat gigi cadangan""
Pemuda itu menarik laci dan mengambil sekotak penuh berbagai keperluan
-sikat gigi, pasta gigi, alat cukur sekali pakai, krim cukur, aspirin, tampon,
krim tangan, sisir, bahkan kondom. Giovanni , memilih beberapa di antaranya
dan memberikan sepuluh euro.
Suite mewah di Ritz pun tidak akan lebih disyukuri daripada kamar nomor
26. Kecil, bersih, BE dengan kasur yang mantap, dan pintu yang lili dua kali
untuk mengusir wajah yang telah
menghantuinya sejak dini hari. Ia mandi lama di
bawah pancuran, Lalu bercukur dan menggosok gigi
lama sekali. Semakin ^legakan ketika ia menemukan rnini- " ai bawah televisi. Ia makan sebungkus di lemari tomya ^ botol ked
biskuit. merayap ke balik selimut, mental-wiski, * wbuhnya kelelahan. Tongkat itu
nf* tef sana di dekatnya. Konyol memang, j di atas ranjang, * t tidak
bisa menahan diri. 31 Jauh di kedalaman penjara, ia memimpikan Zurich dengan sungai-sungainya
yang biru, jalan-jalan yang bersih dan teduh, toko-toko yang modern, dan
penduduknya yang elegan, semua bangga menjadi orang Swiss, semua
mengerjakan pekerjaannya dengan kesungguhan yang menyenangkan. Di
kehidupan lain, ia pernah naik trem listrik yang berdengung pelan bersama
orang-orang itu menuju distrik keuangan. Dulu ia terlalu sibuk untuk sering
bepergian, terlalu penting untuk meninggalkan urusan-urusan yang rawan di
Washington, tapi Zuri adalah salah satu dari sedikit tempat yang Petuah
dilihatnya. Kota itu sesuai dengannya: tldak turis dan lalu lintas, tidak bersedia
m^iskan waktunya memelototi katedral dan UI sertj memuja kurun waktu
dua ratus yang sudah berlalu- Sama sekali ^ seperti Ju Se8ala hal tentang Zurich
adalah uar"g, mana-Len uang canggih yang pernah dikuasai Backman [ingga
sempu rna, kebalikan dari uang tunai yang Jiambil begitu saja.
Ia berada di atas trem itu lagi, yang dinaikinya di dekat stasiun kereta, dan
sekarang bergerak dengan keceparan rerap di sepanjang BahnhorTstrasse, jalan
utama pusat kota Zurich, kalaupun ada yang disebut demikian di sana. Saat itu
hampir pukul sembilan pagi. Ia berada di antara gelombang terakhir para
bankir muda yang berpakaian apik, menuju UBS dan Credit Suisse dan ribuan
institusi yang tidak setenar itu namun sama-sama kaya. Setelan bernuansa
gelap, kemeja berbagai warna rapi hanya sedikir warna putih, dasi mahal
dengan simpul yang lebih tebal dan desain yang lebih sederhana., sepatu
cokelat dengan tali, tak ada yang bet-tassel. Gayanya hanya berubah sedikit
Melacak Topeng Hitam 3 Pendekar Naga Putih 39 Putera Harimau The Truth About Forever 3

Cari Blog Ini