The Name Of The Rose Karya Umberta Eco Bagian 4
Kami meninggalkan kloster. Para pelayan dan novis mulai keluar dari gereja setelah misa. Dan sementara kami berjalan menyusuri sisi barat
gereja itu, sekilas kami melihat Berengar keluar dari pintu samping dan menyeberang makam menuju Aedificium. William memanggilnya, ia berhenti, dan kami menyusulnya. Ia justru tampak lebih putus asa daripada ketika berada di tempat koor, dan sebagaimana halnya dengan Benno, jelas William memutuskan untuk memanfaatkan keadaannya yang sedang lemah semangat ini.
"Jadi, agaknya kau orang terakhir yang melihat Adelmo dalam keadaan hidup," katanya.
Berengar terhuyung-huyung, seolah-olah hampir jatuh pingsan.
"Aku"" tanyanya dengan suara lemah. William
seakan tidak sengaja mengajukan pertanyaan ini, mungkin karena Benno sudah menceritakan bahwa ia melihat Berengar dan Adelmo mengobrol di dalam kloster
setelah vespers. Tetapi ini pasti kena sasaran, dan tampak jelas Berengar sedang memikirkan Adelmo, memang pertemuan terakhir, karena ia mulai berbicara dengan suara tersendatsendat.
"Kenapa kau bisa bilang begitu" Aku memang melihatnya sebelum pergi tidur, seperti setiap orang lainnya!"
Lalu William memutuskan mungkin ada gunanya menekannya tanpa ampun. "Tidak, kau bertemu lagi dengannya, dan kau mengetahui lebih banyak daripada yang mau kau akui. Tetapi ada dua kematian yang terjadi di sini, dan kau tidak bisa tinggal diam lagi. Kau tahu benar ada banyak cara untuk memaksa orang mau bicara."
William sudah sering mengatakan kepadaku bahwa, bahkan ketika ia menjadi inkuisitor, ia selalu menghindari penyiksaan, tetapi Berengar salah paham (atau William ingin Berengar salah mengerti). Bagaimanapun juga, tindakan itu efektif.
"Ya, ya," kata Berengar, sambil mulai mencucurkan air mata.
"Aku melihat Adelmo malam itu, tetapi aku melihatnya sudah mati."
"Di mana"" tanya William. "Di kaki bukit itu""
"Tidak, tidak, aku melihatnya di sini, di makam ini. Ia sedang berjalan di antara nisan-nisan, sesosok hantu di antara hantuhantu.
Aku bertemu dengannya dan langsung menyadari bahwa yang ada di hadapanku bukan seseorang yang hidup: wajahnya seperti wajah mayat, matanya sudah menyaksikan hukuman abadi. Tentu saja, baru pagi harinya aku mendengar tentang kematiannya, namun bahkan pada saat itu aku menyadari bahwa aku mendapat suatu penampakan dan bahwa ada suatu roh terkutuk di hadapanku, salah satu lemur .... Ya Tuhan, betapa ia bicara kepadaku dengan suara seperti dari dalam kubur!"
"Dan apa yang dikatakannya""
'"Aku terkutuk!' Itulah yang ia katakan kepadaku. 'Seperti kau menyaksikan aku di sini, kau menyaksikan seseorang pulang dari neraka, dan ke neraka aku harus kembali.' Begitu katanya kepadaku. Dan aku berteriak kepadanya, 'Adelmo, apa kau sungguhsungguh pulang dari neraka" Seperti apa siksa neraka itu"' Dan aku gemetaran, karena aku baru saja meninggalkan ibadat komplina di mana aku mendengar bacaan tentang kisah-kisah murka Allah yang mengerikan. Dan ia mengatakan kepadaku, 'Siksa neraka jelas sekali lebih besar daripada yang bisa diutarakan oleh lidah kita.
Kau tahu,' katanya, 'tudung orang sesat yang telah kukenakan sampai sekarang" Ini menindasku dan memberatiku seakan aku menggendong menara tertinggi Paris atau gunung dunia di atas unggungku, dan aku tidak pernah lagi dapat melepaskannya. Dan siksa ini diberikan kepadaku oleh keadilan Tuhan karena kesombonganku, karena
telah memercayai tubuhku sebagai tempat kenikmatan, dan karena telah mengira tahu lebih banyak daripada orang-orang lain, dan karena telah menikmati gambar aneh, yang, karena membusur dalam imajinasiku, telah menghasilkan gambar aneh yang jauh lebih aneh di dalam jiwaku dan sekarang aku harus hidup bersama gambar-gambar itu dalam keabadian. Kau lihat lipatan jubah ini" Ini seakan semuanya bara dan api yang menyala-nyala, dan api itulah yang membakar tubuhku, dan hukuman ini diberikan kepadaku karena dosa daging yang tidak jujur, yang kejahatannya kuketahui dan kugarap, dan api ini sekarang menyala-nyala tanpa henti dan membakar diriku! Ulurkan tanganmu, Guruku yang manis,' katanya lebih lanjut kepadaku, 'sehingga pertemuanku denganmu dapat menjadi suatu pelajaran yang berguna, sebagai balas jasa atas banyak pelajaran yang kauberikan kepadaku. Tangan
mu, Guruku yang manis!' Dan ia menggoyangkan jari dari tangannya yang membara, dan di atas tanganku terasa setetes kecil peluhnya dan seakanakan itu menghunjam tanganku. Aku merasakan bekas ini selama berhari-hari, hanya saja kusembunyikan dari orang-orang lain.
Kemudian ia menghilang di antara nisan-nisan, dan keesokan harinya aku mendengar bahwa tubuhnya, yang sudah membuatku begitu ketakutan, sudah mati di kaki jurang."
Berengar terengah-engah sambil tersedu. William bertanya kepadanya, "Dan mengapa dia menyebutmu guruku yang manis" Kau seusia
dengannya. Mungkin kau pernah mengajarinya sesuatu""
Berengar menyembunyikan kepalanya dengan menarik tudungnya ke atas wajahnya, dan jatuh berlutut sambil memeluk kaki William.
"Aku tidak tahu mengapa ia memanggilku seperti itu. Aku tidak pernah mengajarinya apa pun!" Dan ia terisak-isak. "Aku takut, Bapa. Aku ingin mengaku dosa kepadamu. Kasihanilah aku, setan tengah menggerogoti isi perutku."
William mendorong Berengar dan mengulurkan satu tangannya untuk menariknya agar berdiri. "Tidak, Berengar," katanya kepada rahib itu, "jangan minta aku memberikan pengakuan. Jangan mematri mulutku dengan membuka mulutmu. Apa yang ingin kuketahui darimu, ceritakan kepadaku dengan cara lain. Dan jika kau tidak mau menceritakannya kepadaku, aku akan mencarinya dengan caraku sendiri.
Kau boleh saja minta dikasihani, tetapi jangan minta aku diam.
Terlalu banyak yang tidak mau bicara dalam biara ini. Lebih baik katakan kepadaku, bagaimana kau bisa melihat wajahnya pucat jika waktu itu malam paling gelap, dan bagaimana ia dapat membakar tanganmu jika malam itu turun hujan, dan es dan salju, dan apa yang tengah kaulakukan di makam itu. Ayolah" dan William mengguncang bahu Berengar keras-keras-"paling sedikit ceritakanlah ini."
Seluruh tubuh Berengar gemetaran. "Aku tidak
tahu apa yang sedang kulakukan di makam itu. Aku tidak ingat, aku tidak tahu bagaimana aku melihat wajahnya, mungkin aku punya lampu, tidak ... ia yang punya lampu, ia membawa sebuah lampu, mungkin aku melihat wajahnya dalam cahaya nyala api
"Bagaimana ia bisa membawa lampu jika malam itu hujan dan turun salju""
"Waktu itu setelah ibadat komplina, langsung setelah komplina, ketika itu belum ada salju, salju baru mulai turun sesudah itu .... Aku ingat bahwa salju pertama mulai turun ketika aku sedang lari ke arah asrama. Aku lari ke arah asrama sementara hantu itu pergi ke arah yang berlawanan ... dan setelah itu aku tidak tahu apa-apa lagi; kumohon, jangan menanyai aku lebih jauh, jika kau tidak mau memberiku pengakuan."
"Baiklah," kata William, "sekarang pergilah, pergilah ke kapel, pergilah untuk bicara dengan Allah, karena kau tidak mau bicara dengan manusia, atau carilah seorang rahib yang mau mendengarkan pengakuanmu, karena sejak itu kau belum mengaku dosa, kau harus menerima sakramen dengan suci. Pergilah. Kita akan bertemu lagi."
Berengar lari menjauh dan menghilang. Dan William mengusap kedua tangannya seperti yang sudah kusaksikan pada banyak kesempatan kalau ia sedang senang hati.
"Bagus," katanya. "Sekarang banyak hal menjadi jelas."
"Jelas, Guru"" tanyaku. "Sekarang jelas bahwa
kita juga punya hantu Adelmo""
"Adso terkasih," kata William, "hantu itu tidak tampak terlalu seperti hantu bagiku, dan bagaimanapun juga ia mengucapkan satu halaman yang sudah kubaca dalam suatu buku yang disusun untuk panduan para pengkhotbah. Para rahib itu mungkin terlalu banyak membaca, dan manakala mereka bersemangat, apa yang mereka pelajari dari buku-buku menjadi hidup. Aku tidak tahu apakah Adelmo benar-benar mengatakan hal-hal tersebut atau Berengar sekadar mendengarnya karena ia butuh mendengar kata-kata itu.
Tetap menjadi kenyataan bahwa kisah ini mempertegas serangkaian dugaanku. Misalnya saja: Adelmo mati bunuh diri, dan kisah Berengar menceritakan kepada kita, bahwa sebelum meninggal, Adelmo berjalan-jalan dalam cengkeraman kegelisahan besar, dan dalam penyesalan atas suatu tindakan yang telah ia lakukan. Ia gelisah dan ketakutan tentang dosanya karena seseorang telah menakut-nakutinya, dan mungkin telah menc
eritakan episode dari penampakan neraka sehingga ia menceritakan kembali kepada Berengar dengan semacam keahlian yang terhalusinasi. Dan ia melalui makam karena ia akan meninggalkan kapel, di mana ia telah berterus terang (atau mengaku) kepada seseorang yang telah membuat hatinya amat sedih dan menyesal. Dan dari makam ia berjalan, seperti yang diceritakan Berengar, ke arah yang berlawanan dari asrama. Jadi, ke arah Aedificium, tetapi juga (mungkin saja) ke arah dinding luar di
balik kandang-kandang, dan aku sudah menyimpulkan bahwa dari situ ia pasti menjatuhkan dirinya ke dalam jurang. Dan ia menjatuhkan dirinya ke bawah sebelum badai datang, ia meninggal di kaki dinding itu, dan baru kemudian tanah longsor membawa mayatnya sampai di antara menara utara dan menara timur."
"Tetapi bagaimana dengan tetesan peluh yang panas itu""
"Itu merupakan bagian dari cerita yang ia dengar dan ulangi, atau apa yang dibayangkan oleh Berengar, dalam kegelisahan dan penyesalannya. Karena, sebagai lawan bait dari penyesalan Adelmo, terasa ada penyesalan Berengar; kau dengar sendiri. Dan jika Adelmo keluar dari kapel, mungkin ia sambil membawa sebuah lilin, dan tetesan pada tangan temannya itu hanyalah setetes lilin panas. Tetapi Berengar merasa itu membakar jauh lebih mendalam karena Adelmo jelas memanggil Berengar gurunya. Jadi, itu suatu pertanda bahwa Adelmo menuduh Berengar telah mengajarkan sesuatu yang sekarang menyebabkan ia putus asa sampai ingin mati. Dan Berengar tahu itu, ia menderita karena tahu bahwa ia telah mendorong Adelmo kepada kematian dengan menyuruh Adelmo melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Dan ini tidak sukar untuk dibayangkan, Adsoku yang malang, setelah apa yang sudah kita dengar tentang asisten pustakawan kita."
"Kukira aku mengerti apa yang telah terjadi di antara kedua orang itu," kataku, rasanya dipermalukan oleh kebijaksanaanku sendiri, "tetapi tidakkah kita semua percaya akan Tuhan Yang Maharahim" Adelmo, menurut Anda, mungkin sudah mengaku dosa; mengapa ia justru berusaha menghukum dosa pertamanya dengan suatu dosa yang jelas masih lebih besar lagi, atau paling sedikit yang beratnya setara""
"Karena ada orang yang mengucapkan kata-kata amat menyedihkan kepadanya. Seperti sudah kukatakan, suatu halaman yang belum lama diucapkan oleh seorang pengkhotbah sudah tentu mendorong seseorang untuk mengulangi kata-kata yang menakutkan itu dan dengan itu Adelmo menakuti Berengar. Selama beberapa tahun terakhir ini, dulunya belum pernah, untuk merangsang kegairahan, teror dan kealiman jemaat, dan ketaatan kepada hukum suci dan hukum manusia, para pengkhotbah telah menggunakan kata-kata yang keras, ancaman mengerikan. Dulunya belum pernah, seperti pada zaman kita, di tengah perarakan orang-orang yang mendera diri untuk mendapat pengampunan, terdengar lauda suci yang diilhami oleh kesedihan Kristus dan Perawan Maria. Dulu belum pernah ada kebutuhan mendesak semacam yang ada pada zaman sekarang untuk memperkuat iman orang biasa melalui penggambaran siksa neraka."
"Mungkin itu adalah kebutuhan untuk memperoleh pengampunan," kataku.
"Adso, aku belum pernah mendengar begitu banyak keinginan untuk memperoleh pengampunan,
dalam suatu periode ketika, sekarang ini, pengkhotbah maupun uskup maupun saudara-saudaraku dari ordo Spiritual tidak ada yang mampu lagi mengilhami penyesalan yang sesungguhnya
"Tetapi pada zaman ketiga, Paus Sesuci Malaikat itu, pertemuan Perugia itu kataku kebingungan.
"Nostalgia. Abad besar pengampunan dosa sudah lewat, dan untuk alasan ini bahkan cabang ordo pada umumnya bisa bicara tentang pengampunan dosa. Waktu itu, seratus, dua ratus tahun yang lalu, terjadi angin pembaruan yang hebat. Ada suatu masa ketika mereka yang bicara tentang itu dibakar, entah santo entah orang bidah.
Sekarang semua bicara tentang itu. Dalam suatu artian tertentu, bahkan Paus mendiskusikannya. Jangan memercayai pembaruan dari ras manusia manakala kuria dan pengadilan bicara tentang itu semua."
"Tetapi Fra Dolcino," aku menukas, ingin sekali tahu lebih banyak tentang nama yang kudengar sudah beb
erapa kali diucapkan sehari sebelumnya.
"Ia meninggal, meninggal secara mengerikan, juga hidup secara mengerikan, karena ia juga datang terlalu terlambat. Dan, omongomong, apa yang kauketahui tentang dia""
"Aku sama sekali tidak tahu. Itulah sebabnya aku menanyakannya
"Aku lebih suka tidak pernah bicara tentang dia. Seharusnya akan menangani beberapa orang yang disebut Para Rasul, dan aku telah mengamati
mereka dengan cermat. Suatu kisah menyedihkan. Ini akan membuatmu sedih. Bagaimanapun juga, kemampuanku menilai membuatku sedih, dan membuatmu akan amat lebih sedih lagi. Ini kisah tentang seseorang yang melakukan hal-hal gila karena mempraktikkan apa yang telah dikhotbahkan oleh banyak santo. Pada titik tertentu aku tidak bisa lagi memahami itu salah siapa, aku seakan ... seakan dibuat pening oleh suatu suasana pertalian keluarga yang mengembus di atas kedua kubu yang bertentangan itu, kubu para santo yang berkhotbah tentang pengampunan dosa, dan kubu para pendosa yang mempraktikkan khotbah itu, sering dengan mengorbankan yang lain-lainnya .... Tetapi aku akan bicara tentang sesuatu yang lain. Atau mungkin tidak. Kiranya lebih tepat begini: ketika kisah sejarah penyesalan sudah lewat, bagi yang menyesali dosanya, kebutuhan untuk diampuni dosanya menjadi suatu kebutuhan untuk mati. Dan mereka yang membunuh rasa sesal yang hebat itu, membayar kembali kematian dengan kematian, untuk mengalahkan penyesalan yang sebenarnya, yang menyebabkan kematian. Artinya, menggantikan penyesalan jiwa dengan penyesalan khayalan. Mereka terpanggil kepada bayangan supraalami dari penderitaan dan darah, dengan menyebut semua bayangan itu 'cermin' pengampunan dosa yang nyata. Suatu cermin yang menghidupkan siksa neraka bagi khayalan orang biasa dan kadang-kadang khayalan orang terpelajar. Karena itu konon tak seorang pun mau berdosa. Mereka berharap
menjauhkan jiwa dari dosa melalui ketakutan, dan percaya bahwa ketakutan akan menggantikan pemberontakan."
"Tetapi apa mereka lalu tidak benar-benar berdosa"" tanyaku dengan penuh semangat.
"Tergantung pada apa yang kaumaksud dengan berbuat dosa, Adso," kata guruku. "Aku tidak suka bersikap tidak adil kepada penduduk negeri ini, karena aku sudah beberapa tahun tinggal di sini, tetapi bahwasanya orang Italia pantang berbuat dosa karena takut kepada suatu berhala, meskipun berhala itu mereka sebut santo, menurutku suatu kebajikan khas yang langka. Mereka lebih takut kepada Santo Sebastian atau Santo Antonius daripada kepada Kristus. Jika kau berharap menjaga agar suatu tempat tetap bersih, dengan mencegah siapa saja kencing di situ, yang dengan seenaknya dilakukan orang Italia sebagaimana halnya anjing, kau beri saja lukisan Santo Antonius membawa sebatang kayu, dan ini akan mengusir orang yang mau kencing. Jadi, orang Italia, berkat para pengkhotbah mereka, tidak mau kembali kepada takhayul kuno; dan mereka tidak lagi percaya kepada kebangkitan daging, tetapi justru amat takut kepada kemalangan dan luka jasmaniah, dan karenanya mereka lebih takut kepada Santo Antonius daripada kepada Kristus."
"Tetapi Berengar bukan orang Italia," aku menunjukkan.
"Tidak masalah. Yang kubicarakan adalah suasana yang telah disebarkan oleh gereja dan ordo-ordo yang suka berkhotbah itu di seluruh semenanjung ini, dan dari situ menyebar ke mana-mana. Dan bahkan mencapai suatu biara mulia dari para rahib terpelajar, seperti di sini."
"Tetapi, seandainya mereka tidak berbuat dosa," desakku, karena aku sudah mau dipuaskan hanya oleh jawaban ini.
"Andaikan biara ini suatu speculum mundi[Tempat suci- penerj.], tentu kau sudah memperoleh jawabannya."
"Tetapi ya kan"" tanyaku.
"Agar ada suatu cermin dunia di sana, dunia perlu mempunyai suatu bentuk," William, yang sudah seperti seorang filsuf yang terlalu hebat bagi pikiran remajaku itu, menyudahi pembicaraan. []
Tersiat Dalam cerita ini para tamu menyaksikan percekcokan di kalangan orang-orang brutal, Aymaro dari Alessandria membuat beberapa sindiran, dan Adso merenungkan tentang kesucian dan tentang tahi Iblis. Selanjutnya William dan Adso kembal
i ke skriptorium, William melihat sesuatu yang menarik, untuk ketiga kalinya berbincang tentang haramnya tawa, tetapi akhirnya jadi binggung sendiri.
Sebelum naik ke skriptorium, kami mampir ke
dapur untuk menyegarkan diri karena kami -belum makan apa-apa sejak bangun tidur. Aku minum semangkuk susu hangat dan langsung merasa segar. Perapian besar di sebelah selatan sudah menyala-nyala sementara roti untuk hari itu sedang dipanggang di dalam oven. Dua orang gembala sedang menurunkan seekor kambing yang baru saja disembelih. Di antara para tukang masak aku melihat Salvatore, yang tersenyum kepadaku dengan mulut serigalanya. Dan aku memergokinya mengambil sepotong ayam sisa tadi malam di atas meja dan dengan diam-diam memberikannya kepada gembala itu, yang lalu menyembunyikan makanan tersebut dalam jubah bulu kambingnya sambil menyeringai senang. Tetapi kepala tukang masak melihatnya dan memarahi Salvatore.
"Pengurus gudang, pengurus gudang," katanya, "kau harus menjaga barang-barang biara ini, bukan
menghambur-hamburkannya."
"Mereka itu filii Dei,"[Anak-anak Allah- penerj.] kata Salvatore. "Yesus sudah mengatakan bahwa apa yang kaulakukan terhadap orang miskin ini, kau melakukan bagi-Nya."
"Fraticello busuk, kentut Minorit!" teriak tukang masak itu kepada Salvatore. "Kau sudah tidak hidup di antara rahib rahibmu yang penuh-kutu lagi! Abbas sudah bermurah hati untuk memerhatikan makanan anak-anak Allah!"
Wajah Salvatore menjadi murung dan ia memutar tubuhnya, dengan amat marah, "Aku bukan Minorit! Aku seorang rahib Santi Benedicti! Merdre a toy. Bogomil de merdre!"[Bogomil bangsat! - penerj.]
"Sebut saja Bogomil si pelacur yang malam itu kau desak, dengan kokang bidahmu, babi kau!" teriak tukang masak itu.
Salvatore mendorong para gembala itu keluar dan, sementara lewat di dekat kami, memandang kami dengan cemas. "Bruder," katanya kepada William, "kau membela ordo yang bukan ordoku; katakan kepadanya bahwa anak-anak Francesco bukan bidah!" Kemudian ia berbisik di telinga William, "Dia pembohong, puah!" dan meludah ke tanah.
Tukang masak itu mendekati kami dan dengan kasar mendorong Salvatore keluar, sambil mengunci pintu di belakangnya. "Bruder," katanya kepada William dengan hormat, "aku tidak memburukkan ordomu atau orang-orang paling suci yang menjadi anggotanya. Aku bicara tentang Minorit palsu dan
Benediktin palsu yang bukan manusia dan bukan unggas."
"Aku tahu dari mana asalnya," kata William menghibur. "Tetapi sekarang ia seorang rahib seperti kau sendiri dan kau harus menghormatinya sebagai rahib."
"Tetapi ia selalu ikut campur dalam hal yang bukan urusannya hanya karena ia dilindungi oleh Kepala Gudang dan merasa dirinya Kepala Gudang. Ia menganggap biara ini seakan miliknya sendiri, siang dan malam."
"Malam bagaimana"" tanya William. Tukang masak itu membuat gerakan seakan mau mengatakan bahwa ia tidak bersedia bicara tentang hal-hal yang tidak baik. William tidak menanyainya lebih lanjut dan mereguk susunya sampai habis.
Rasa ingin tahuku makin lama jadi makin besar. Pertemuan dengan Ubertino, kasak-kusuk tentang Salvatore dan Kepala Gudangnya; selama beberapa hari itu aku telah mendengar kata Fraticelli dan Minorit bidah makin lama makin sering disebut-sebut, guruku yang enggan menceritakan tentang Fra Dolcino .... Serangkaian bayang-bayang mulai muncul lagi dalam benakku. Misalnya saja, di tengah perjalanan, paling sedikit dua kali kami bertemu dengan perarakan orang-orang yang mendera diri. Kali pertama penduduk setempat memandang mereka seakan mereka santo; kali kedua terdengar bisik-bisik bahwa mereka bidah. Dan toh mereka orang yang sama. Mereka berjalan dalam barisan berdua-dua, menyusuri jalan-jalan di kota, hanya
bagian bawah tubuh mereka yang tertutup, karena mereka sudah melakukannya tanpa malu. Masing-masing membawa seutas cambuk kulit dan melecut bahunya sendiri sampai berdarah; dan mereka mengeluarkan banyak sekali air mata seakan menyaksikan Sengsara Sang Penebus dengan mata kepala sendiri; sambil dengan sedih melantunkan permohonan belas kasihan Allah dan perantaraan Bunda All
ah. Tidak hanya pada siang hari, tetapi juga pada malam hari, dengan lilin menyala, dalam musim dingin yang keras, mereka berjalan berduyun-duyun dari gereja ke gereja, sambil menelungkup dengan rendah hati di depan altar-altar, didahului para imam yang membawa lilin dan bendera, dan mereka tidak hanya lelaki dan perempuan awam, tetapi juga kaum ningrat dan saudagar .... Dan sesudah itu mereka harus memperlihatkan tindakan penyesalan luar biasa; yang telah mencuri mengembalikan barang curiannya, yang lain-lainnya mengakui kejahatannya .... Tetapi William hanya menonton dengan sikap dingin dan mengatakan kepadaku bahwa ini bukan penyesalan dosa yang nyata. Lalu ia bicara banyak seperti yang dikatakannya beberapa saat yang lalu, pagi tadi: zaman besar pengampunan dosa sudah tidak ada lagi, dan itu semua adalah cara-cara pengkhotbah masa kini untuk mengatur ketaatan orang banyak, secara tepat sehingga mereka tidak akan mau menyerah kepada suatu hasrat untuk diampuni dosanya yang bagaimanapun juga sungguh-sungguh bersifat bidah dan membuat semua
orang takut. Tetapi aku tidak bisa memahami bedanya, andaikan memang ada. Bagiku, perbedaan itu tampaknya tidak terletak pada tindakan dari seseorang atau yang lainnya, tetapi dalam sikap gereja ketika mengadili tindakan ini atau itu.
Aku teringat diskusi dengan Ubertino. Tidak diragukan lagi bahwa William secara tidak langsung menuduh, telah berusaha mengatakan kepada Ubertino, bahwa iman Ubertino yang mistik (ortodoks) hampir tidak ada bedanya dari iman orang bidah yang menyimpang. Ubertino sudah menyanggah, karena ia bisa melihat perbedaan itu dengan jelas. Aku sendiri mendapat kesan bahwa Ubertino berbeda karena dia yang bisa melihat perbedaan tersebut.
William sudah mengundurkan diri sebagai inkuisitor karena tidak bisa melihat perbedaan itu lagi. Karena itulah ia tidak bisa menceritakan kepadaku tentang Fra Dolcino yang misterius itu.
Tetapi kemudian, sudah jelas (kataku dalam hati), William sudah tidak mendapat bantuan dari Allah, yang tidak hanya mengajarkan caranya melihat perbedaan itu, tetapi juga mengisi pilihannya dengan kemampuan membedakan ini. Ubertino dan Clare dari Montefalco (yang dulu, bagaimanapun juga, dikelilingi para pendosa) tetap suci, tepatnya karena mereka tahu caranya membedakan. Ini dan hanya ini yang suci.
Tetapi mengapa William tidak tahu caranya membedakan" Ia begitu pintar, dan sejauh berkaitan dengan fakta-fakta alam, ia dapat
menangkap perbedaan paling tipis atau hubungan persaudaraan paling tipis di antara hal-hal ....
Aku terhanyut dalam pikiran-pikiran tersebut, dan William sudah hampir menghabiskan susunya, ketika kami mendengar seseorang menyapa kami. Ternyata Aymaro dari Alessandria, yang pernah kami jumpai di skriptorium, dan yang ekspresi wajahnya sudah membuatku kagum, suatu seringai abadi, seakan ia tidak mungkin lagi merekonsiliasi dirinya sendiri dengan kebodohan semua manusia dan tetap tidak memberi makna penting kepada tragedi kosmis ini. "Nah, Bruder William, apakah kau sudah kerasan dalam sarang orang gila ini""
"Bagiku kelihatannya ini tempat orang-orang mulia yang saleh dan berpengetahuan," kata William dengan hati-hati.
"Dulunya memang. Ketika para Abbas bertindak sebagai Abbas dan para pustakawan bertindak sebagai pustakawan. Sekarang kau sudah menyaksikan, di atas sana" dan ia mengangguk ke arah lantai atas "orang Jerman setengah-mati dengan mata seorang buta, dengan tekun mendengarkan ocehan orang Spanyol buta itu dengan mata seorang mati; ini akan terlihat seakan Antikristus akan tiba kapan saja. Mereka mencoret-coret perkamen mereka, tetapi sedikit buku baru yang datang .... Kami tinggal di atas sini, dan mereka hidup seperti di kota di bawah sana. Biara kami dulu pernah menguasai dunia. Sekarang kau sudah menyaksikan situasinya: Kaisar memanfaatkan kami, dengan mengirimkan teman-temannya kemari untuk
menjumpai musuh-musuhnya. (Aku tahu sesuatu tentang misimu, para rahib omong dan omong, dan tidak melakukan apa-apa lagi.); tetapi jika ingin mengendalikan masalah-masalah negeri ini, kenapa Kaisar tetap tinggal di ko
ta. Kami sibuk mengumpulkan gandum dan beternak unggas, dan di bawah sana mereka menukar sutra yang panjang dengan sepotong linen, dan sepotong linen ditukar dengan berkarung-karung rempah-rempah, dan semua itu untuk mendapat uang banyak. Kami menjaga harta kami, tetapi di bawah sana mereka menumpuk harta. Dan juga buku-buku. Lebih indah pula dari pada buku-buku kami."
"Yang jelas, banyak hal baru tengah terjadi di dunia. Tetapi mengapa kau mengira Abbas itu yang harus disalahkan""
"Karena ia telah menyerahkan perpustakaan itu kepada orangorang asing dan merahasiakan biara ini bagaikan suatu benteng yang dibangun untuk mempertahankan perpustakaan tersebut. Suatu biara Benediktin di dalam wilayah Italia ini seharusnya merupakan suatu tempat di mana orang Italia sendiri memutuskan masalah Italia. Apa yang dilakukan orang Italia sekarang, kalau mereka justru sudah tidak punya paus lagi" Mereka melakukan perdagangan dan membangun pabrik, dan mereka lebih kaya daripada Raja Prancis. Jadi, karena itu, marilah kita melakukan hal yang sama; karena kita tahu caranya menulis buku yang cantik, kita harus menulis buku untuk universitas-universitas dan hanya memprihatinkan apa yang tengah terjadi di
dalam lembah itu maksudku bukan Kaisar, dengan segala hormat kepada misimu, Bruder William, tetapi bagaimana kabarnya orang Bologna atau Florence. Dari sini kami dapat mengontrol rute pelancong dan saudagar dari Italia ke Provence dan sebaliknya. Kami dapat membuka perpustakaan itu untuk menerima teks-teks dalam bahasa lokal, dan mereka yang tidak bisa berbahasa Latin lagi juga akan datang ke sini. Tetapi sebaliknya, kami justru dikuasai oleh sekelompok orang asing yang akan terus mengelola perpustakaan itu seakan pada masa imam Cluny, Odo, yang baik itu masih jadi Abbas
"Tetapi abbasmu orang Italia," kata William.
"Abbas di sini sama sekali tidak berguna," kata Aymaro, tetap menyeringai. "Di tempat yang seharusnya ada kepala, dipakai oleh sekotak buku. Digerogoti cacing. Untuk membuat Paus jengkel, ia membiarkan biara ini dikuasai oleh orang Fraticelli ... maksudku yang bidah, Bruder, mereka yang telah meninggalkan ordomu yang paling suci ... dan untuk menyenangkan Kaisar ia mengundang rahib-rahib dari semua biara dari Utara, seakan negeri kami tidak punya penyalin yang baik dan orang-orang yang tahu bahasa Yunani dan Arab, dan seakan tidak ada putra-putra saudagar, kaya dan murah hati di Florence atau Pisa, yang dengan senang hati mau masuk ordo itu, andaikan ordo itu menawarkan kemungkinan meningkatkan martabat dan kekuasaan ayah mereka. Tetapi di sini, kegemaran akan masalah sekular baru dikenal ketika orang-orang
Jerman diizinkan untuk .... Ya, Allah yang baik, pukullah lidahku, karena aku sudah mulai mengatakan hal-hal yang tidak pantas!"
"Apa di biara ini terjadi hal-hal yang tidak pantas"" tanya William seenaknya sambil menuang sedikit susu lagi.
"Seorang rahib juga manusia," Aymaro membuat pernyataan. Kemudian ia menambahkan, "Tetapi di sini mereka kurang manusiawi dibandingkan di tempat-tempat lain. Astaga, bilang apa aku tadi: lupakan bahwa aku tidak mengatakan ini."
"Amat menarik," kata William. "Dan apakah itu pendapatmu pribadi, atau banyak yang berpikir seperti dirimu""
"Banyak, banyak. Banyak yang sekarang meratapi Adelmo yang malang, tetapi andaikan ada lagi yang jatuh ke dalam jurang itu, seseorang yang berjalan-jalan lebih jauh dari yang seharusnya di sekitar perpustakaan itu, tentunya mereka tidak akan sedih."
"Apa maksudmu""
"Aku sudah bicara terlalu banyak. Di sini kami bicara terlalu banyak. Kau pasti sudah memerhatikan hal itu. Di sini, di satu pihak, tak seorang pun menghormati sikap diam lagi. Di lain pihak, sikap diam amat dihargai. Di sini, daripada bicara terus atau tinggal diam, seharusnya kami berbuat sesuatu. Pada zaman keemasan ordo kami, jika seorang Abbas tidak punya perangai seorang Abbas, sebuah piala indah berisi anggur beracun akan memberi jalan untuk seorang pengganti. Aku
sudah mengatakan semua ini kepadamu, Bruder William, jelas bukan untuk menggosip tentang Abbas itu atau saudara-sau
dara lain. Tuhan menyelamatkan aku, karena untungnya aku tidak punya kebiasaan buruk menggosip.
Tetapi aku akan sedih jika Abbas minta kau untuk menyelidiki aku atau beberapa lainnya seperti Pacificus dari Trivoli atau Petrus dari Sant' Albano. Kami tidak bisa berkata apa-apa tentang masalah perpustakaan. Tetapi kami akan bersedia mengemukakan sedikit. Jadi, bukalah sarang ular ini, kau yang telah membakar begitu banyak orang bidah."
"Aku belum pernah membakar siapa pun," jawab William pedas.
"Ini cuma bergurau," Aymaro mengakui sambil tersenyum lebar.
"Selamat berburu, Bruder William, tapi berhati-hatilah pada malam hari."
"Mengapa tidak pada siang hari""
"Karena di siang hari tubuh kita dipelihara dengan obat obat manjur di sini, tetapi di malam hari pikiran kita menjadi sakit oleh obat-obat yang buruk. Jangan percaya bahwa Adelmo didorong ke dalam jurang oleh tangan seseorang atau bahwa tangan seseorang memasukkan Venantius ke dalam darah. Di sini ada orang yang tidak ingin para rahib memutuskan sendiri mau pergi ke mana, apa yang mau dilakukan, dan apa yang mau dibaca. Dan memanfaatkan kekuatan neraka, atau kekuatan tukang sihir, sahabat-sahabat neraka, untuk mengacaukan pikiran orang yang ingin tahu
"Maksudmu rahib herbalis itu""
"Severinus dari Sankt Wendel itu orang baik. Tentu saja ia juga orang Jerman, seperti Maleakhi yang Jerman Dan setelah sekali lagi
menunjukkan bahwa ia tidak suka menggosip, Aymaro berangkat kerja.
"Apa sih yang ingin ia katakan kepada kita"" tanyaku.
"Segalanya dan tidak sama sekali. Biara adalah suatu tempat di mana para rahib saling bertikai di antara mereka sendiri untuk memperoleh kekuasaan dalam komunitas. Juga di Melk, tetapi sebagai seorang novis kau belum mampu menyadarinya. Tetapi di negerimu, memperoleh kekuasaan di suatu biara berarti mendapatkan kedudukan yang membuat kau berurusan langsung dengan Kaisar.
Sebaliknya di negeri ini, situasinya berbeda; Kaisar itu jauh sekali, bahkan jika ia berusaha untuk pergi ke Roma. Di sini tidak ada pengadilan, bahkan tidak ada pengadilan paus. Kau tentunya sudah melihat bahwa di sini ada kota-kota."
"Tentu saja, dan aku terkesan oleh kota-kota itu. Kota di Italia berbeda dari kota di negeriku .... Ini bukan hanya tempat untuk tinggal, tapi juga untuk mengambil keputusan, orang selalu berkumpul di alun-alun, dewan kota lebih dihargai daripada Kaisar dan Paus. Kota-kota itu bagaikan ... begitu banyak kerajaan
"Dan raja-rajanya adalah para saudagar. Dan senjata mereka adalah uang. Uang, di Italia, punya
fungsi yang berbeda daripada di negerimu, atau di negeriku. Uang beredar di mana-mana, tetapi banyak dari kehidupan di tempat-tempat lain masih didominasi dan diatur oleh tukar-menukar barang, ayam, atau gantang gandum, atau sabit besar, atau gerobak, dan uang hanya dipakai untuk mendapatkan barang-barang tersebut. Dalam kota Italia, sebaliknya, kau pasti sudah memerhatikan bahwa barang-barang itu dipakai untuk mendapatkan uang. Dan bahkan imam, uskup, bahkan ordo-ordo religius harus memperhitungkan uang. Ini sebabnya, dengan sendirinya, pemberontakan melawan kekuasaan mengambil bentuk suatu panggilan kepada kemiskinan. Yang memberontak terhadap kekuasaan adalah mereka yang sama sekali tidak mau berhubungan dengan uang, dan karenanya setiap panggilan kepada kemiskinan mendorong ketegangan dan argumentasi hebat. Maka seluruh kota, dari uskup sampai dewan kota, menganggap orang yang terlalu banyak berkhotbah tentang kemiskinan adalah musuh pribadi. Para inkuisitor mencium bau busuk Iblis kalau ada seseorang telah bereaksi terhadap bau tahi Iblis. Dan sekarang kau juga bisa mengerti apa yang tengah dipikirkan Aymaro. Suatu biara Benediktin, pada masa kejayaan ordo itu, merupakan suatu tempat dari mana para gembala menguasai kawanan domba yang setia.
Aymaro ingin kembali kepada tradisi itu. Sayangnya, kehidupan kawanan itu sudah berubah, dan biara itu hanya dapat kembali kepada tradisi
(kepada kemuliaannya, kepada kekuasaannya yang semula) jika mau menerima cara hidup baru kawanan domba itu, mau mengubah dirinya sendiri. Sekaran
g ini, karena kawanan domba di sini didominasi, tidak dengan senjata atau kehebatan ritual, tetapi dengan kendali uang, Aymaro ingin seluruh struktur biara ini, dan perpustakaan itu sendiri, menjadi suatu bengkel kerja, suatu pabrik untuk menghasilkan uang."
"Dan apa hubungannya ini dengan kejahatan-kejahatan, atau kejahatan itu""
"Aku belum tahu. Tetapi sekarang aku mau ke lantai atas. Ayolah."
Para rahib sudah bekerja. Kesunyian menguasai skriptorium, tetapi itu bukan karena semua bekerja dengan tekun dan damai di hati. Berengar, yang telah mendahului kami beberapa saat sebelumnya, menyambut kami dengan malu. Para rahib lainnya mendongak dari pekerjaan mereka. Mereka tahu bahwa kami ke sana untuk menemukan sesuatu tentang Venantius, dan pandangan mereka sendiri mengarahkan perhatian kami kepada satu meja tulis yang kosong, di bawah sebuah jendela yang membuka ke sebelah dalam, oktagon pusat itu.
Meskipun pagi itu amat dingin, temperatur di dalam skriptorium agak nyaman. Bukannya kebetulan bahwa skriptorium itu berada di atas dapur, dari mana muncul panas yang cukup, terutama karena cerobong asap kedua tungku di bawahnya itu melewati sebelah dalam pilar-pilar yang menyangga dua tangga melingkar di menara
barat dan menara selatan. Akan halnya menara utara, di seberang ruangan luas itu, tidak ada tangganya, tetapi ada sebuah perapian besar yang menyala dan menyebarkan kehangatan yang nyaman. Lebih-lebih lagi, lantai itu ditutupi dengan jerami, yang meredam bunyi langkah kaki kami. Dengan lain kata, sudut yang paling kurang hangat adalah menara timur, dan aku memang memerhatikan bahwa, meskipun ada beberapa tempat yang dibiarkan kosong, mengingat jumlah rahib yang bekerja, semua rahib cenderung menghindari meja-meja yang berlokasi di bagian itu. Ketika aku kelak menyadari bahwa tangga melingkar dari menara timur itu satusatunya yang, tidak hanya turun ke ruang makan, tetapi juga naik ke perpustakaan, aku bertanya dalam hati apakah pengaturan panas di ruangan itu dikalkulasi dengan cermat, sehingga para rahib tidak punya keberanian untuk memeriksa tempat itu dan pustakawan bisa lebih mudah mengawasi pintu masuk ke perpustakaan.
Meja Venantius yang malang itu membelakangi perapian besar tersebut, dan mungkin itu meja yang paling diinginkan. Waktu itu aku baru melewatkan sedikit sekali dari hidupku di sebuah skriptorium, tetapi kelak aku banyak bekerja di skriptorium, dan jadi tahu betapa beratnya pekerjaan sarjana, penulis, rubrikator di mejanya selama musim dingin, dengan jari-jemari kaku memegang pena (bahkan dalam suhu normal, setelah menulis selama enam jam, para rahib itu mengalami penderitaan mengerikan karena jari-jari mereka menjadi amat
tegang dan ibu jari mereka sakit seperti baru saja diinjak-injak). Maka dapat dimaklumi mengapa dalam garis tepi suatu naskah kita sering menemukan ungkapan yang ditinggalkan oleh penulisnya sebagai pernyataan akan penderitaannya (dan ketidaksabarannya) seperti, "Syukurlah sebentar lagi gelap akan tiba," atau "Oh, andaikan aku punya segelas anggur," atau juga "Hari ini dingin, cahaya redup, perkamen ini berbulu, ada yang tidak beres." Pepatah kuno mengatakan, tiga jari memegang pena, tetapi seluruh tubuh bekerja. Dan terasa sakit.
Tetapi aku akan menceritakan tentang meja tulis Venantius.
Meja itu agak kecil, ditata di seputar dinding yang berbentuk oktagonal itu seperti meja lainnya, karena tempat itu memang diperuntukkan sarjana. Meja yang lebih besar untuk para pelukis dan penyalin ditata sepanjang dinding di bawah jendela. Venantius juga bekerja dengan sebuah penyangga buku, karena ia mungkin mempelajari naskah yang dipinjamkan kepada biara itu untuk disalin. Di bawah meja ada serangkaian rak pendek penuh dengan perkamen lepas, dan karena semua dalam bahasa Latin, aku menyimpulkan itu semua adalah terjemahannya yang paling baru. Perkamen itu ditulis dengan tergesa-gesa dan belum berupa halaman buku, karena masih harus diserahkan kepada seorang penyalin dan seorang pelukis. Karena itu semua perkamen tersebut sulit dibaca. Di antara tumpukan perkamen itu ada beberapa buku,
dalam bahasa Yunani. Sebuah buku berbahasa Yunani lainnya terbuka di atas penyangga buku, agaknya akhir-akhir ini Venantius telah mempraktikkan keterampilannya sebagai penerjemah. Waktu itu aku belum bisa bahasa Yunani, tetapi guruku membaca judulnya dan mengatakan bahwa ini karangan seorang bernama Lucian dan berkisah tentang seorang manusia yang berubah menjadi seekor keledai. Aku teringat dongeng binatang yang serupa karangan Apuleius, yang, seperti biasanya, dilarang keras untuk dibaca oleh para novis.
"Mengapa Venantius menerjemahkan ini"" tanya William kepada Berengar yang berdiri di samping kami.
"Biara ini diminta menerjemahkannya oleh bangsawan Milan, dan untuk itu biara ini akan mendapatkan suatu hak istimewa atas produksi anggur dari beberapa ladang yang letaknya di sebelah timur sana." Berengar menunjuk dengan tangannya ke arah kejauhan.
Tetapi segera menambahkan, "Bukannya biara ini disuap untuk melaksanakan tugas bagi orang biasa. Namun, bangsawan yang telah memberi kami komisi ini telah bersusah payah mendapatkan manuskrip Yunani berharga ini untuk dipinjamkan kepada kami dari Doge dari Venesia, yang menerimanya dari Kaisar Byzantium, dan kalau pekerjaan itu sudah diselesaikan oleh Venantius, tentunya kami punya dua salinan, satu untuk bangsawan Milan itu dan satu untuk perpustakaan kami."
"Yang oleh karenanya bukan sesuatu yang hina untuk menambah koleksi dongeng penyembah berhala tentang binatang," kata William.
Saat itu terdengar suatu suara di belakang kami, "Perpustakaan adalah kesaksian terhadap kebenaran dan terhadap kekeliruan." Itu suara Jorge. Sekali lagi aku dibuat heran oleh (tetapi aku akan sering dibuat heran selama hari-hari selanjutnya) cara orang tua itu muncul secara tiba-tiba, tak terduga, seakan kami tidak melihatnya dan dia melihat kami. Aku juga ingin tahu apa sebenarnya yang dikerjakan orang tua itu dalam skriptorium, tetapi nantinya aku menyadari bahwa Jorge berada di mana-mana di semua sudut biara itu. Dan ia sering berada dalam skriptorium, duduk di atas bangku dekat perapian, dan seolah mengikuti segala sesuatu yang tengah terjadi dalam ruangan itu. Pernah aku mendengarnya bertanya dari tempat duduknya, dengan suara keras, "Siapa yang mau naik ke lantai atas"" dan ia menoleh kepada Maleakhi, yang sedang berjalan ke arah perpustakaan, langkahnya diredam oleh jerami. Semua rahib itu amat menghormatinya dan sering bercakap-cakap dengannya, membacakan tulisan yang sulit dipahami, minta pertimbangan untuk suatu warna, atau minta saran tentang caranya menggambarkan seekor binatang atau seorang santo.
Dan ia akan menatap alam kosong dengan matanya yang buta, seakan menatap jelas halaman-halaman dalam memorinya, dan ia akan
menjawab bahwa nabi palsu mengenakan baju seperti uskup dan katakkatak keluar dari mulutnya, atau akan menyebutkan batu-batu apa yang dipakai untuk menghiasi dinding-dinding Jerusalem yang indah, atau bahwa pada peta, Arimaspi harus digambarkan di dekat negerinya Prester John, seorang imam dan raja legendaris pada zaman pertengahan yang diduga telah memerintah keraja-an Kristiani di Timur Jauh atau Ethiopia sambil memperingatkan agar gambargambar aneh mereka jangan dibuat terlalu menggoda, karena sudah cukup digambarkan sebagai lambang, dapat dikenali, tetapi tidak diinginkan, atau menjijikkan sampai titik menimbulkan tertawa.
Pernah aku mendengarnya menasihati seorang sarjana tentang caranya menginterpretasi rekapitulasi dalam tulisan-tulisan Tyconius menurut pemikiran Santo Agustinus, sehingga kebidahan aliran Donatis dapat dihindari. Pada kesempatan lain aku mendengar ia memberikan nasihat tentang bagaimana, dalam menyusun komentar, caranya membedakan kebidahan dari skismatika. Atau lagi, ia memberi tahu seorang sarjana yang bingung, buku apa yang harus dicari dalam katalog perpustakaan, atau buku itu kira-kira terdaftar pada halaman berapa, sambil meyakinkan sarjana itu bahwa pustakawan pasti akan memberikan buku itu kepadanya karena itu suatu karya yang diilhami oleh Tuhan. Akhirnya, pada kesempatan lain aku mendengar Jorge bilang bahwa sebuah buku yang
seperti ini dan seperti itu tidak usah dicari, karena
tidak ada dalam katalog, dan sudah digerogoti tikus lima puluh tahun sebelumnya, dan sekarang pasti akan hancur bagai bubuk kalau disentuh jari siapa saja. Dengan kata lain, Jorge adalah memori perpustakaan itu dan roh skriptorium itu. Berkali-kali ia memperingatkan rahib-rahib yang ia dengar tengah saling bercakap-cakap, "Cepatlah, dan serahkan kesaksian kepada kebenaran, karena saatnya hampir tiba!" Ia mau mengacu kepada kedatangan Antikristus.
"Perpustakaan adalah kesaksian terhadap kebenaran dan terhadap kekeliruan," kata Jorge.
"Tidak diragukan lagi bahwa Apuleius dan Lucian mendapat reputasi sebagai tukang sihir," kata William. "Tetapi dongeng binatang ini, di balik cadar fiksinya, juga mengandung moral yang baik, karena mengajarkan bagaimana kita membayar untuk kesalahan kita, dan lebih jauh lagi, aku yakin cerita tentang manusia yang berubah menjadi seekor keledai mengacu kepada metamorfosis jiwa yang jatuh ke dalam dosa."
"Itu mungkin saja," kata Jorge.
"Tetapi sekarang aku mengerti mengapa, dalam percakapan yang diceritakan kepadaku kemarin, Venantius begitu tertarik pada masalah komedi.
Nyatanya, fabel semacam ini juga bisa dianggap sejenis dengan komedi orang zaman dulu. Komedi dan fabel tidak menceritakan tentang orang-orang yang sungguh-sungguh ada, sebagaimana tragedi. Sebaliknya, seperti dikatakan oleh Isodorus, keduanya adalah fiksi: 'fabulas poetae a
fando nominaverunt, quia non sunt res factae sed tantum loquendo fictae ....'"['Para penyair menceritakan kisah-kisah dari omongan, sebab semua itu bukan fakta melainkan hanya direka-reka dengan bicara...'-penerj.]
MULA-mula aku tidak dapat memahami mengapa William sampai pada diskusi ilmiah ini, dan dengan seseorang yang kelihatannya tidak menyukai masalah itu, tetapi jawaban Jorge menyatakan kepadaku betapa pandai guruku selama ini.
"Hari itu kami tidak mendiskusikan komedi, tetapi hanya tentang haramnya tertawa," kata Jorge lirih. Aku ingat betul bahwa ketika Venantius menyinggung tentang diskusi tersebut, baru kemarin, Jorge telah menyatakan bahwa ia tidak ingat.
"Ah," kata William santai. "Kukira kau telah membicarakan tentang kebohongan para penyair dan teka-teki pintar
"Kami membicarakan tentang tertawa," bentak Jorge. "Komedi ditulis oleh penyembah berhala untuk membuat penonton tertawa, dan tindakan mereka keliru Tuhan kita Yesus tidak pernah menceritakan komedi atau fabel, tetapi hanya perumpamaan jelas yang secara alegoris memberi kita petunjuk tentang bagaimana memenangkan firdaus, dan memang begitu adanya."
"Aku ingin tahu," kata William, "mengapa kau begitu menentang gagasan bahwa Yesus mungkin pernah tertawa. Aku yakin tertawa adalah obat
yang baik, seperti mandi, untuk menghibur dan mengobati sakit tubuh lainnya, khususnya kemurungan."
"Mandi itu baik," kata Jorge, "dan Aquinas sendiri menyarankan mandi untuk menghilangkan kesedihan, yang akan menjadi gairah buruk kalau tidak ditujukan kepada suatu kejahatan yang dapat dihilangkan melalui keberanian. Mandi mengembalikan keseimbangan humor. Tertawa membuat tubuh bergetar, membuat raut muka jadi jelek, membuat manusia serupa dengan kera."
"Kera tidak tertawa; tertawa itu cocok buat manusia, suatu pertanda akal sehat manusia," kata William.
"Kemampuan bicara juga pertanda akal sehat manusia, dan seseorang dapat menghujat Allah dengan kemampuan bicara. Segala sesuatu yang cocok bagi manusia itu tidak harus bagus. Dia yang tertawa tidak memercayai apa yang ia tertawakan, tetapi juga tidak membencinya. Oleh karena itu, menertawakan kejahatan tidak berarti menyiapkan diri sendiri untuk memeranginya, dan menertawakan cara-cara yang baik mengingkari kekuatan yang dipakai oleh kebaikan untuk menyebarkan dirinya sendiri. Inilah sebabnya Regula mengatakan, "Derajat kesepuluh dari kerendahan hati tidak akan cepat jadi tertawa, seperti tertuliskan: 'stultus in risu exaltat vocem suam.'"['Dengan tertawa orang bodoh mengangkat suaranya'- penerj.]
"Quintilian," tukas guruku, "mengatakan bahwa tertawa harus ditekan dalam panagerik, demi
martabat, tetapi dalam banyak kasus harus didorong. Pliny si Younger menulis, 'Kadang-kadang aku tertawa, aku membadut, aku bermain, karena aku seorang manusia.'"
"Mereka itu penyembah berhala," jawab Jorge. "Regula melarang hal-hal sepele ini dengan kata-kata keras: 'Scurrilitates vero vel verba otiosa et risum moventia aeterna clausura in omnibus locis damnamus, et ad talia eloquia discipulum aperire os non permittitur.'"['Namun kami menyalahkan yang lucu-lucu atau omong kosong dan kata-kata yang membangkitkan tertawa dengan pagar abadi di semua tempat, dan kami tidak mengizinkan murid membuka mulut ke arah kefasikan'- penerj.]
"Tetapi setelah sabda Kristus menang di atas bumi, Synesius dari Kirene mengatakan bahwa ketuhanan bisa mengombinasi komedi dan tragedi secara harmonis, dan Aelius Spartianus bicara tentang Kaisar Hadrian, orang yang perilakunya sombong dan suka menetralkan semangat Kristen itu, bahwa Kaisar itu dapat mencampur saatsaat gembira dengan saat-saat sedih. Dan akhirnya, Ausonius menyarankan pemakaian secara moderat hal yang serius dan yang menimbulkan tertawa."
"Tetapi Paulinus dari Nola dan Clement dari Alexandria menyuruh kita berhati-hati terhadap ketololan semacam itu, dan Sulpicius Severus mengatakan bahwa tak seorang pun pernah melihat Santo Martinus amat sangat murka atau amat sangat gembira."
"Tetapi ia ingat akan beberapa jawaban dari santo spiritualiter salsa[Santo yang sudah banyak makan garam di bidang rohani- penerj.] itu," kata William.
"Itu jawaban yang tepat dan bijaksana, tidak lucu. Santo Ephrain membuat tulisan yang memperingatkan rahib untuk tidak tertawa, dan dalam De habitu et conversatione monachorum ada peringatan keras untuk menghindari percabulan dan gurauan seakan keduanya racun ular kecil berbisa."
"Tetapi Hildebertus sudah mengatakan, 'Admit-tenda tibi ioca sunt post seria quaedam, sed tamen et dignis et ipsa gerenda modis.'['Diperbolehkan bagimu sekadar hal-hal yang lucu setelah yang serius, tetapi itu pun harus dilakukan dengan cara yang pantas'- penerj.] Dan Johannes dari Salisbury sudah mengizinkan orang diam-diam merasa gembira. Dan akhirnya, Kitab Surah Perjanjian Lama, di tempat yang kaukutip dalam bab yang diacu oleh Regulamu, mengatakan bahwa tertawa itu cocok bagi orang tolol, paling sedikit mengizinkan orang tertawa dalam hati, dalam suasana hati yang saleh."
"Suasana hati hanya saleh kalau hati merenungkan kebenaran dan bergembira dalam kebaikan yang dicapai, dan kebenaran serta kebaikan tidak untuk ditertawakan. Itulah sebabnya Kristus tidak tertawa. Tertawa mendorong keraguan."
"Tetapi kadang-kadang meragukan itu benar."
"Aku tidak bisa melihat alasannya. Manakala kau sedang ragu, kau harus minta nasihat kepada seorang ahli, kepada kata-kata seorang ayah atau seorang dokter; maka tidak ada alasan untuk ragu lagi. Bagiku kau seakan mendalami doktrin yang dapat diperdebatkan, seperti doktrin para logis
Paris. Tetapi Santo Bernardus tahu benar caranya menghalangi Abelard yang mengebiri itu, yang ingin menyerahkan semua persoalan kepada penelitian cermat dari akal budi yang tidak hidup, dingin, yang tidak dipercerah oleh Kitab Suci, dengan mengucapkan Ini-begini dan Initidak begini. Orang yang menerima ide-ide berbahaya tentu saja juga dapat mengapresiasi gurauan seorang bodoh yang menertawakan kebenaran tunggal yang seharusnya diketahui seseorang, yang sudah dikatakan sekali dan untuk selamanya. Sambil tertawa orang bodoh mengatakan dalam hati, 'Deus non est.'"['Tuhan tidak ada'- penerj.]
"Jorge yang mulia, bagiku agaknya tidak adil kalau kau menyebut Abelard sudah mengebiri, karena kau tahu bahwa ia menimbulkan kondisi
menyedihkan ini melalui kekejaman orang-orang lain..."
"Karena dosa-dosanya. Karena imannya yang angkuh kepada akal sehat manusia. Jadi, ia mengejek iman orang biasa, menguraikan misteri Tuhan (atau paling sedikit berusaha menguraikan, tolol mereka yang mencobanya), memperlakukan dengan seenaknya pertanyaan tentang hal-hal paling mulia, mencemooh para penatua karena menganggap pertanyaan semacam itu seharusnya diredam, dan tidak d
ikemukakan." "Aku tidak setuju, Jorge yang mulia. Tuhan menuntut agar kita menerapkan akal budi kita kepada banyak hal tidak jelas yang tentang itu Kitab Suci memberi kita kebebasan untuk
menentukan. Dan manakala seseorang menyarankan agar kau memercayai suatu dalil, pertama-tama dalil itu harus diteliti dulu apakah dapat diterima, karena akal budi kita diciptakan oleh Tuhan, dan apa pun yang memuaskan akal budi kita hanya bisa memuaskan akal budi suci. Dari situ, dalam hal itu, kita hanya tahu apa yang kita duga dari proses akal budi kita sendiri melalui analogi dan sering melalui penyangkalan. Jadi, kau lihat, untuk menganggap rendah wewenang palsu dari suatu dalil absurd yang melawan akal sehat, kadang-kadang tertawa juga bisa menjadi suatu alat yang cocok. Dan tertawa dipakai untuk mengutuk kejahatan dan membuat ketololan mereka tampak jelas. Konon, ketika para penyembah berhala memasukkan Santo Maurus ke dalam air mendidih, ia mengeluh bahwa air mandi itu terlalu dingin; maka gubernur penyembah berhala itu dengan tolol mencelupkan tangannya ke dalam air untuk menguji, dan tangannya terbakar. Suatu tindakan bagus dari martir suci itu untuk menertawakan musuh-musuh orang beriman."
Jorge mencibir. "Bahkan dalam episode yang diceritakan oleh para pengkhotbah, ada banyak dongeng nenek-nenek. Seorang santo yang dibenamkan ke dalam air mendidih menderita bagi Kristus dan menahan kesakitannya, ia tidak melakukan muslihat kekanak kanakan terhadap para penyembah berhala."
"Nah, nah"" kata William. "Bagimu cerita itu itu
seakan menentang akal budi dan kau menuduhnya sebagai lucu! Sementara mengendalikan bibirmu, dengan pintar kau menertawakan sesuatu, juga tidak menginginkan aku menganggapnya serius. Kau menertawakan tawa, tetapi kau tertawa."
Jorge membuat gerakan jengkel sekali. "Dengan bergurau tentang tertawa, kau mendorongku ke dalam perdebatan sia-sia. Tetapi kau tahu bahwa Kristus tidak tertawa."
"Aku tidak yakin tentang itu. Ketika Kristus mengundang kaum Farisi untuk melemparkan batu pertama, sewaktu ia bertanya gambar siapa yang tertera pada keping uang yang akan dipakai membayar pajak, sewaktu ia bermain dengan kata-kata dan berkata: 'Tu es petrus,'['Kau adalah petrus'- penerj.] dan petrus berarti batu karang, aku yakin Kristus sedang bergurau untuk mengutuk para pendosa, untuk memberi semangat kepada rasul-rasulnya. Kepada Kaiffas, Kristus juga bicara dengan Jenaka, 'Kau sendiri yang mengatakannya.' Dan kau tahu benar bahwa pada momen paling panas dalam pertikaian antara ordo Cluny dan ordo Cistersia, yang pertama menuduh, untuk meledek, yang kedua, karena tidak mengenakan pantalon di bawah jubah mereka. Dan dalam Speculum stultorum, konon keledai Brunellus membayangkan apa yang bakal terjadi pada malam hari jika angin mengangkat selimut para rahib dan mereka melihat pudenda mereka sendiri
Para rahib yang berkerumun di sekeliling tertawa, dan Jorge menjadi marah sekali. "Kau mau
membujuk saudara-saudaraku ini ikut pesta orang tolol. Aku tahu bahwa rahib Fransiskan punya kebiasaan membujuk orang banyak untuk cari muka dengan omong kosong seperti ini, tetapi tentang trik semacam itu, aku akan mengatakan kepadamu yang dikatakan dalam suatu puisi yang kudengar dari salah seorang pengkhotbahmu: Tum podex carmen extulit horridulum."[Ketika itu dubur mengeluarkan nyanyian yang kasar- penerj.]
Teguran itu agak terlalu keras. Sedari tadi William bersikap kurang sopan, tetapi sekarang Jorge menuduhnya kentut melalui mulut. Aku ingin tahu apakah jawaban keras ini bukan isyarat bahwa rahib tua itu mengusir kami dari skriptorium. Tetapi aku melihat William, yang tadinya begitu berapi-api, sekarang jadi lembek.
"Aku mohon maaf, Jorge yang mulia," katanya. "Mulutku telah mengkhianati pikiranku. Aku tidak ingin menunjukkan sikap kurang hormat kepadamu. Mungkin yang kaukatakan betul, dan aku salah."
Jorge, dihadapkan pada tindakan yang jelas merendahkan diri itu, sekadar menggumamkan suatu gerutu yang boleh jadi mengungkapkan kepuasan atau memaafkan, lalu kembali ke tempat duduknya.
Sementara itu, para rahib lainnya,
yang lama-kelamaan berkerumun selama perdebatan tadi, kembali ke tempat kerja mereka. Sekali lagi William berlutut di depan meja tulis Venantius dan mulai mencari-cari di antara tumpukan perkamen itu. Dengan jawabannya yang rendah hati itu, William tidak diusik lagi selama beberapa detik. Dan apa
yang ia lihat selama beberapa detik itu mengilhami penyidikannya selama malam nanti.
Tetapi itu memang hanya beberapa detik. Benno langsung mendekatinya, pura-pura penanya ketinggalan di atas meja sewaktu ia tadi mendekat untuk mendengarkan percakapan William dengan Jorge; dan ia berbisik kepada William bahwa ia harus segera berbicara dengan William, sambil menetapkan untuk bertemu di belakang klinik. Ia menyuruh William pergi lebih dulu, dan ia akan bergabung sebentar lagi.
William tertegun sejenak, kemudian memanggil Maleakhi, yang, dari meja pustakawannya di dekat katalog, telah mengikuti apa yang terjadi di situ. William mohon kepada Maleakhi, sesuai dengan perintah yang diterima dari Abbas (dan dengan tegas ia memberi tekanan kepada hak istimewa ini) untuk menyuruh seseorang menjaga meja Venantius, karena William menganggap meja itu penting bagi penyidikannya sehingga tak ada yang mendekati meja itu sepanjang hari, sampai ia sendiri kembali ke situ. Ia mengatakan hal ini dengan suara keras, dan dengan begitu tidak hanya meminta Maleakhi mengawasi para rahib, tetapi juga minta para rahib sendiri mengawasi Maleakhi. Pustakawan itu hanya bisa mengiyakan, dan William keluar bersamaku.
Ketika kami tengah menyeberangi kebun dan mendekati tempat pemandian di samping klinik, William mengatakan, "Agaknya banyak yang takut kalau aku menemukan sesuatu yang ada di atas
atau di bawah meja tulis Venantius." "Bagaimana bisa""
"Aku dapat kesan bahwa mereka yang takut itu justru tidak tahu."
"Jadi, Benno sebenarnya tidak mau bicara dengan kita, dan ia hanya mendorong kita menjauh dari skriptorium""
"Sebentar lagi kita akan tahu," kata William. Nyatanya, tidak lama kemudian Benno datang menemui kami. []
Sexta Dalam cerita ini, Benno menceritakan suatu kisah aneh yang dari itu dapat dipelajari hal-hal yang tidak mendorong moral kehidupan biara tersebut.
Apa yang diceritakan Benno kepada kami amat membingungkan. Memang kelihatannya ia mengajak kami ke sini hanya untuk menjauhkan kami dari skriptorium, tetapi agaknya, karena tidak mampu menemukan suatu dalil yang masuk akal, ia juga menceritakan sepotong demi sepotong dari suatu kebenaran yang dimensinya lebih luas daripada yang ia ketahui.
Ia mengakui bahwa pagi tadi ia merasa enggan, tetapi sekarang, setelah memikirkannya masak-masak, ia merasa William harus mengetahui seluruh kebenaran itu. Selama percakapan yang terkenal tentang tertawa itu, Berengar sudah mengacu kepada "finis Africae".
Apa itu" Perpustakaan tersebut penuh rahasia, dan terutama penuh buku yang belum pernah diberikan para rahib untuk dibaca. Tadi Benno tersentak oleh kata-kata William tentang penelitian cermat dari akal budi. Ia menganggap bahwa
seorang rahib-sarjana punya hak untuk mengetahui segala sesuatu isi perpustakaan, ia mengecam pedas Dewan Soissons, yang telah mengutuk Abelard, dan sementara ia bicara, kami menyadari bahwa rahib ini masih muda, dan sudah dengan susah payah berusaha menerima batasan-batasan disiplin biara itu yang menghalangi rasa ingin tahu intelektualnya. Aku sudah selalu berusaha untuk tidak memercayai rasa ingin tahu seperti itu, tetapi tahu betul bahwa sikap ini tidak menyenangkan guruku, dan aku melihat William menaruh simpati kepada Benno dan mau memercayainya. Singkat kata, Benno memberi tahu bahwa ia tidak tahu rahasia apa yang telah didiskusikan oleh Adelmo, Venantius, dan Berengar, tetapi ia tidak akan menyesal jika sebagai akibat kisah menyedihkan ini, cara kerja perpustakaan itu akan mendapat sedikit lebih banyak cahaya. Ia berharap bahwa guruku, betapapun mungkin bisa menguraikan kekusutan penyidikan itu, tentunya punya alasan untuk mendesak agar Abbas mau melonggarkan disiplin intelektual yang menindas para rahib. Beberapa rahib dari tempat-tempat yang jau
h, seperti dirinya sendiri, tambahnya, telah datang dengan tujuan tegas untuk memperkaya pikiran dengan kehebatan yang tersembunyi dalam rahim luas perpustakaan itu.
Aku yakin Benno jujur dalam mengharapkan penyidikan apa yang ia katakan itu. Bagaimanapun juga, seperti sudah diduga oleh William, sejalan dengan itu mungkin Benno ingin mendapatkan bagi
dirinya sendiri kesempatan untuk paling dulu mengobrak-abrik meja tulis Venantius, untuk memuaskan rasa ingin tahunya, dan dalam upaya menjauhkan kami dari meja tulis itu, ia bersedia menukarnya dengan informasi. Dan inilah yang terjadi.
Berengar begitu dikuasai, seperti yang sekarang diketahui banyak dari para rahib itu, oleh hasrat gila terhadap Adelmo, hasrat yang sama seperti yang menyebabkan murka suci Tuhan menghukum Sodom dan Gomorah. Jadi, Benno bicara blak-blakan, mungkin tanpa memerhatikan usiaku yang masih muda. Tetapi siapa saja yang telah melewatkan masa remajanya dalam suatu biara, bahkan jika ia menjaga kemurnian dirinya, sering mendengar percakapan tentang hasrat semacam itu, dan berkali-kali ia harus melindungi dirinya sendiri dari sindiran mereka yang diperbudak oleh hasrat itu. Meskipun aku seorang novis kecil, bukankah aku sudah menerima dari seorang rahib tua, di Melk, gulungan perkamen dengan puisi-puisi yang bicara bahwa lelaki biasa lazim menyayangi seorang perempuan" Sumpah rahib menjaga agar kami menjauhi kolam asusila, yaitu tubuh perempuan, tetapi sumpah itu sering membawa kami dekat dengan kesalahan-kesalahan lain. Dapatkah aku pada akhirnya menyembunyikan kenyataan dalam diriku sendiri bahwa bahkan sekarang ini, usia tuaku masih tergoda oleh iblis di siang bolong manakala mataku, di kapel, tanpa sengaja
menatap wajah seorang novis yang tak berjanggut, murni dan segar seperti wajah seorang gadis"
Hal ini kukatakan bukannya untuk melemparkan keraguan pada pilihan yang sudah kubuat untuk setia kepada kehidupan membiara, tetapi untuk membenarkan kesalahan banyak orang yang merasa bahwa beban suci ini ternyata berat. Mungkin untuk membenarkan kejahatan Berengar yang mengerikan. Tetapi menurut Benno, rahib ini nyata-nyata menuruti perbuatan buruknya dalam suatu gaya yang lebih tercela lagi, dengan menggunakan senjata pemerasan untuk memperoleh dari orang lain, apa yang oleh kebajikan dan kesopanan tentunya disarankan untuk tidak diberikan.
Jadi, selama beberapa waktu para rahib telah mulai dengan sarkastis mengamati pandangan kasih-sayang yang dilontarkan Berengar kepada Adelmo, yang, agaknya, begitu tampan. Sedangkan Adelmo, yang hanya menekuni pekerjaannya, karena agaknya ia memperoleh kenikmatan satu-satunya dari situ, hanya memberi sedikit perhatian kepada hasrat Berengar. Tetapi mungkin siapa tahu"
Adelmo tidak sadar bahwa jiwanya, secara diam-diam, cenderung menginginkan perbuatan tercela yang sama. Nyatanya, kata Benno, ia telah ikut mendengarkan suatu percakapan antara Adelmo dan Berengar ketika Berengar, sambil mengacu kepada rahasia yang ditanyakan oleh Adelmo, mengusulkan suatu barter menjijikkan, yang bisa dibayangkan oleh bahkan pembaca yang tidak terpelajar.
Dan dari bibir Adelmo, agaknya Benno mendengar kata kata mengiyakan, diucapkan seakan dengan kelegaan. Benno berspekulasi bahwa hati Adelmo seakan tidak menginginkan apa-apa, dan sudah cukup baginya untuk menemukan suatu alasan selain hasrat jasmaniah dengan tujuan menyetujui. Suatu tanda, Benno menyanggah, bahwa rahasia Berengar pasti berkaitan dengan misteri pengetahuan, sehingga Adelmo sampai pada ilusi untuk menyerah kepada dosa daging untuk memuaskan hasrat inteleknya. Dan Benno menambahkan sambil tersenyum, betapa ia sendiri harus banyak kali menyuruh dirinya sendiri untuk tidak tergoda oleh hasrat intelek yang begitu kuat sehingga untuk memuaskannya ia seharusnya menyetujui hasrat jasmaniah rahib lainnya, meski bertentangan dengan kecenderungannya sendiri.
"Apa tidak ada saat-saat," tanyanya kepada William, "ketika kau juga akan melakukan hal-hal memalukan untuk mendapatkan sebuah buku yang sudah kaucari selama bertahun-tahun""
"Sylvester II yang bijaksana dan pali
ng saleh, berabad abad yang lalu, memberi hadiah sebuah bola dunia amat mahal untuk ditukar dengan sebuah naskah kuno, kalau tidak salah dari Statius atau Lucan," kata William. Ia lalu menambahkan, dengan bijaksana, "Tetapi itu sebuah bola dunia, bukan kebajikannya."
Benno mengakui bahwa antusiasmenya telah membuatnya terhanyut, dan ia melanjutkan ceritanya.
Malam sebelum kematian Adelmo, terdorong oleh rasa ingin tahu, Benno mengikuti pasangan Berengar dan Adelmo, dan ia melihat mereka, setelah komplina, berjalan bersama ke asrama. Ia menunggu lama sekali, sambil tetap membuka pintu biliknya, yang tidak jauh dari bilik mereka, dan ketika kesunyian telah melingkupi tidurnya para rahib, dengan jelas ia melihat Adelmo menyelinap ke dalam bilik Berengar. Benno tetap terjaga, tidak bisa tidur, sampai ia mendengar pintu bilik Berengar terbuka lagi dan Adelmo buru-buru keluar, sementara temannya berusaha mencegahnya. Berengar mengikuti Adelmo turun ke lantai bawah. Dengan hati-hati, Benno mengikuti di belakang mereka, dan pada mulut gang di lantai bawah ia melihat Berengar, gemetaran, meringkuk di suatu sudut, sambil menatap bilik Jorge.
Benno menduga Adelmo telah berlutut di kaki saudara mulia itu untuk mengaku dosa. Dan Berengar gemetaran, karena tahu rahasianya hampir terungkap, meskipun di bawah meterai sakramen.
Kemudian Adelmo keluar, wajahnya pucat, mendorong Berengar yang berusaha bicara kepadanya, dan bergegas keluar dari asrama, berjalan mengitari dinding gereja yang menonjol dan memasuki kapel dari pintu utara (yang tetap terbuka pada malam hari).
Mungkin ia ingin berdoa. Berengar mengikuti Adelmo tetapi tidak masuk ke dalam gereja; ia mondar-mandir di antara nisan-nisan di makam,
sambil menggoyangkan kedua tangannya.
Benno baru membayangkan mau berbuat apa ketika menyadari bahwa ada orang keempat muncul di sekitar tempat itu. Orang itu, juga, telah membuntuti pasangan tersebut dan sudah jelas belum memergoki kehadiran Benno, yang memepetkan tubuhnya pada batang pohon oak yang tumbuh di tepi makam. Orang keempat itu adalah Venantius.
Melihat Venantius, Berengar merangkak di antara nisannisan, karena Venantius juga masuk ke kapel. Pada saat itu, karena takut ketahuan, Benno kembali ke asrama. Keesokan harinya mayat Adelmo ditemukan di kaki jurang. Dan lebih dari itu, Benno tidak tahu.
Jam makan hampir tiba, Benno meninggalkan kami, dan guruku tidak bertanya lebih jauh kepadanya. Kami tinggal sebentar di balik klinik, kemudian berjalan-jalan sebentar di kebun, sambil merenungkan pengakuan orang yang satu tadi.
"Frangula," kata William tiba-tiba sambil membungkuk untuk mengamati sebatang tanaman yang, pada musim dingin, ia mengenali semak yang tidak berdaun itu. "Kulit kayunya bisa dibuat cairan suntikan yang bagus, untuk perdarahan. Dan itu arctium lappa; kataplasma yang baik dari akarnya yang segar menyembuhkan eksim kulit."
"Anda lebih pintar daripada Severinus," kataku kepadanya, "tetapi sekarang aku ingin tahu pendapat Anda tentang apa yang sudah kita
dengar." "Adso terkasih, kau harus belajar berpikir dengan kepalamu sendiri. Mungkin Benno bercerita jujur kepada kita. Ceritanya cocok dengan apa yang diceritakan Berengar pagi ini, dengan segala halusinasinya. Berengar dan Adelmo bersama-sama melakukan sesuatu yang amat jahat; kita sudah menduga itu. Dan Berengar harus mengungkapkan kepada Adelmo agar rahasia itu tetap, astaga, dirahasiakan. Adelmo, setelah melakukan kejahatan melawan kesopanan dan hukum alam, hanya berpikir untuk mengaku dosa pada seseorang yang dapat memberinya abolusi, pengampunan, dan ia bergegas menghadap Jorge. Jorge, seperti kita tahu dari pengalaman, karakternya amat keras dan sudah tentu ia menegur dengan keras sampai Adelmo merasa tertekan. Mungkin ia tidak mau memberi absolusi, mungkin ia memberi Adelmo denda yang mustahil dilakukan; kita tidak tahu, dan Jorge juga tidak akan memberi tahu kita. Yang tetap menjadi kenyataan adalah bahwa Adelmo bergegas masuk gereja dan menelungkup di depan altar, tetapi rasa berdosanya tidak hilang. Pada saat ini, ia didekati oleh Venantius.
Kita tidak tahu apa yang mereka katakan satu sama lain. Mungkin Adelmo menceritakan kepada Venantius rahasia yang diteri manya dari Berengar sebagai suatu hadiah (atau pembayaran), yang sudah bukan masalah lagi baginya, karena sekarang ia punya suatu rahasia yang jauh lebih membara dan mengerikan. Apa yang terjadi dengan
Venantius" Mungkin, karena dikuasai oleh keingintahuan yang sama kuatnya dengan yang hari itu juga mencekam teman kita Benno, Venantius puas dengan apa yang sudah didengarnya, lalu meninggalkan Adelmo untuk menyesali dirinya sendiri. Adelmo sadar bahwa dirinya disingkirkan, bertekad untuk bunuh diri, masuk ke makam dengan putus asa, dan di sana bertemu dengan Berengar. Ia mengucapkan kata-kata mengerikan kepada Berengar, melemparkan tanggung jawabnya kepada Berengar dengan menyebut Berengar gurunya dalam kekejian. Sebenarnya aku yakin bahwa cerita Berengar, dikurangi semua halusinasinya, persis. Adelmo mengulangi kata-kata penuh putus asa yang didengarnya dari Jorge kepada Berengar. Dan sekarang, Berengar, dicekam ketakutan, lari ke salah satu arah, dan Adelmo mengambil arah lain, untuk bunuh diri. Kemudian kisah itu berlanjut, dan yang akan hampir kita saksikan. Semua yakin bahwa Adelmo dibunuh, jadi Venantius mendapat kesan bahwa rahasia perpustakaan itu lebih penting daripada yang sudah ia duga, dan ia melanjutkan penyelidikan itu sendiri. Sampai seseorang menghentikan tindakannya, entah sebelum atau sesudah ia menemukan apa yang ia inginkan."
"Siapa yang membunuhnya" Berengar""
"Mungkin. Atau Maleakhi, yang harus menjaga Aedificium itu.
Atau orang lain. Berengar adalah tersangka karena ia ketakutan, dan waktu itu ia tahu bahwa Venantius memegang rahasianya.
Maleakhi adalah tersangka: sebagai penjaga agar perpustakaan itu tidak diusik, ia menemukan seseorang telah mengusiknya, dan ia membunuh. Jorge tahu segala sesuatu tentang setiap orang, memegang rahasia Adelmo, tidak ingin aku menemukan apa yang mungkin telah ditemukan oleh Venantius .... Banyak fakta bisa mengarah kepadanya. Tetapi coba katakan kepadaku bagaimana seorang buta dapat membunuh orang lain yang kondisinya amat kuat"
Dan bagaimana seorang yang sudah tua dapat, bahkan jika tubuhnya kuat, menggendong mayat ke belanga" Namun akhirnya, mengapa pembunuhnya tidak mungkin Benno sendiri" Mungkin saja ia bohong kepada kita, terdorong oleh alasan yang tidak bisa diakui. Dan mengapa membatasi kecurigaan kita hanya kepada mereka yang ikut ambil bagian dalam diskusi tentang tertawa itu" Bisa jadi kejahatan itu punya motif lain, yang tidak ada hubungannya dengan perpustakaan. Bagaimanapun juga, kita membutuhkan dua hal: caranya masuk perpustakaan itu pada malam hari, dan sebuah lampu.
Kau cari lampu itu. Tinggal agak lama di dapur pada jam makan malam, ambil satu
"Mencuri""
"Pinjam, demi lebih memuliakan Allah." "Kalau begitu, beres."
"Bagus. Akan halnya cara memasuki Aedificium itu, kita sudah melihat tempat Maleakhi muncul tadi malam. Hari ini aku akan mengunjungi gereja, dan
The Name Of The Rose Karya Umberta Eco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
khususnya kapel itu. Satu jam lagi kita akan makan. Setelah itu, kita rapat dengan Abbas. Kau akan ikut, karena aku sudah minta izin membawa sekretaris untuk mencatat apa yang kami bicarakan." []
Nona Dalam cerita ini Abbas menyatakan bahwa ia bangga akan kekayaan biaranya dan takut kepada orang
bidah, dan ujung-ujungnya Adso ingin tahu apakah ia telah melakukan kesalahan dalam memilih jalan hidupnya di dunia
Kami menemukan Abbas itu di dalam gereja, di altar utama. Ia tengah mengawasi peker
jaan beberapa novis yang mengambil sejumlah sibori suci, piala, patena, dan monstran, dan sebuah salib yang belum kulihat selama ibadat pagi dari suatu tempat rahasia. Aku tidak tahan untuk tidak berseru takjub melihat benda-benda suci yang begitu indah. Waktu itu tengah hari dan cahaya menyilaukan masuk lewat jendela-jendela kapel, dan bahkan lebih banyak cahaya masuk melalui jendela-jendela teras, sehingga menciptakan air terjun putih yang bersimpang-siur ke pelbagai tempat gereja itu sementara menyelimuti altar itu sendiri, bagaikan arus mistik sesuatu ya
ng suci. Jambangan, piala itu, masing-masing jelas dari bahan mahal: di antara kuningnya warna emas, putih metahnya gading, dan kebeningan kristal, aku melihat permata berkilauan dengan segala warna dan dimensi yang sudah kukenal: topas, mirah,
safir, zamrud, krisolit, onyx, delima merah Jingga, jasper, dan akik.
Berbarengan dengan itu aku menyadari betapa, pagi itu, setelah mula-mula terhanyut oleh doa dan kemudian dicekam kengerian, banyak hal yang lepas dari perhatianku: bagian depan altar dan tiga panel penyangga lainnya ternyata semua terbuat dari emas
murni, dan akhirnya seluruh altar itu seakan terbuat dari emas, dari arah mana pun aku memandangnya.
Abbas itu tersenyum melihat aku terpukau. "Kekayaan yang kaulihat ini," katanya, sambil menyambut guruku dan aku, "dan lainlainnya yang kelak akan kaulihat, sudah berabad-abad merupakan pusaka kesalehan dan pengabdian, saksi dari kekuatan dan kesalehan biara ini. Para pangeran dan raja-raja di bumi, kardinal dan uskup telah mengunjukkan kurban kepada altar ini dan menghiasnya dengan barang-barang yang ditetapkan ketika mereka ditahbiskan, emas dan batu-batu berharga yang merupakan simbol kehebatan mereka, dibawa ke sini untuk dilebur demi lebih memuliakan Allah. Meskipun hari ini biara ini dibuat sedih oleh kejadian menyedihkan lainnya, kita tidak boleh lupa, ingat akan kelemahan kita berarti ingat akan kekuatan dan kekuasaan dari Yang Mahakuasa. Perayaan Kelahiran Suci sudah dekat, dan kelahiran itu perlu dirayakan dengan semua kemegahan dan kehebatan yang sepadan dan pantas. Segala sesuatunya harus tampak betul-betul megah," tambahnya sambil menatap tajam ke
arah William, dan sesudah itu aku paham mengapa ia bersikeras untuk dengan begitu bangga membenarkan tindakannya, "karena kami percaya bahwa itu berguna dan tidak pantas disembunyikan, dan justru harus menyatakan kemurahan Tuhan."
"Tentu saja," kata William dengan sopan, "jika Yang Tersuci merasa bahwa Allah harus begitu dimuliakan, biaramu sudah pantas dipuji sebagai paling hebat."
"Dan memang harus begitu," kata Abbas itu. "Jika ada kebiasaan menggunakan banyak guci dan piala yang terbuat dari emas dan suasa, atas kehendak Tuhan atau perintah para nabi, untuk mengumpulkan darah kambing atau anak lembu atau kijang di Kuil Salomo, maka ada alasan lebih besar mengapa jambangan emas dan batu-batu berharga, dan benda-benda paling mahal yang diciptakan, harus dipakai dengan ketakziman dan pengabdian penuh terusmenerus untuk menerima darah Kristus! Jika dalam suatu penciptaan kedua, hakikat kita harus sama seperti hakikat para Cerubim dan Serafin, maka misa yang bisa diadakan untuk kurban luar biasa itu akan tetap kurang berarti
"Amin," kataku.
"Banyak yang protes bahwa pikiran yang sungguh sungguh terilhami, hati yang murni, kemauan yang dibimbing oleh iman, sudah cukup untuk mengadakan misa suci ini. Kami adalah yang pertama menyatakan secara terang-terangan dan dengan mantap bahwa semua ini amat penting, tetapi kami yakin bahwa penghormatan juga harus
diberikan melalui ornamen sisi luar sibori suci itu, karena memang layak dan sepantasnya kalau kita melayani Penyelamat kita dalam semua hal, secara total. Karena Dia tidak menolak memberikan karunianya kepada kita, secara total dan tanpa pamrih."
"Ini selalu merupakan pendapat orang-orang agung dalam ordomu," William mengiyakan, "dan aku ingat hal-hal indah yang tertulis pada hiasan gereja-gereja oleh Abbas Suger yang begitu agung dan mulia."
"Betul," kata Abbas itu. "Kau lihat salib suci ini" Ini belum sempurna Ia memegangnya seakan
dengan cinta tak terbatas, menatapnya, wajahnya berseri oleh kegembiraan. "Beberapa mutiara belum terpasang di sini, karena aku belum menemukan yang ukurannya pas. Santo Andreas pernah mengatakan bahwa salib Golgota dihiasi dengan kaki-kaki Kristus bagaikan dihiasi mutiara. Dan mutiara harus menghiasi patung sederhana yang luar biasa ajaib ini. Namun, di sini, di atas kepala sang penyelamat ini, menurutku cocok kalau dipasangi berlian paling indah yang pernah kaulihat." Tangannya yang saleh, jari jemarinya yang putih dan pa
njang, membelai bagian-bagian paling berharga dari salib suci itu, atau lebih tepatnya, gading suci itu, karena lengan salib tersebut terbuat dari bahan anggun ini.
"Kalau aku menikmati semua keindahan dalam rumah Tuhan ini, ketika pesona dari batu-batuan berwarna-warni itu telah melepaskan aku dari
masalah sehari-hari dan mengajak aku merenungkan suatu meditasi khusus, sementara apa yang bersifat materi berubah menjadi yang bersifat bukan materi, tentang keanekaragaman kebajikan suci, rasanya aku menemukan diriku sendiri, boleh dikata, seakan berada dalam suatu wilayah alam semesta yang aneh, tidak lagi sepenuhnya terkurung dalam lumpur dunia atau sepenuhnya bebas dalam kemurnian surga. Dan rasanya, demi keagungan Tuhan, aku seakan terangkat dari dunia bawah ini ke dunia lebih tinggi itu secara mistik
Sementara bicara, Abbas itu menoleh ke jalan-tengah gereja.
Sekilas cahaya dari atas, berkat kemurahan hati cahaya siang, menerangi raut wajahnya dan kedua tangannya yang merentang bagai salib, setiap kali terangkat kalau ia makin bersemangat. "Setiap makhluk," katanya, "yang tampak atau tidak tampak, adalah suatu cahaya, dibuat ada oleh bapa cahaya. Gading ini, onyx ini, tetapi juga batu yang mengelilingi kita, adalah suatu cahaya, karena menurutku semua itu bagus dan indah, bahwa keberadaan dari semua itu sesuai dengan aturan proporsi mereka sendiri, bahwa jenis dan spesies dari semua itu berbeda dari semua jenis dan spesies lainnya, bahwa semua itu ditentukan oleh jumlah mereka sendiri, bahwa semua itu menurut urutan mereka sendiri yang betul, bahwa semua mencari tempat khas yang sesuai dengan berat mereka sendiri. Dan bagiku, semakin benda-benda itu terungkap, semakin aku menatapnya menurut nilai
alaminya yang khusus, dan lebih diterangi dalam kuasa suci penciptaan. Karena jika aku harus berusaha keras menangkap sublimitas perkara itu, yang tak bisa dimasuki dalam kepenuhannya, melalui sublimnya efek itu, aku akan mendapat penjelasan yang jauh lebih baik tentang sebab-akibat suci oleh suatu efek seindah emas dan berlian, jika bahkan tahi hewan atau seekor semut bisa bicara kepadaku tentang itu! Dan kemudian, manakala aku memandang batu-batu tersebut sebagai benda yang sedemikian agung, jiwaku menangis, terharu karena gembira, dan bukan karena kesia-siaan duniawi atau cinta harta, tetapi karena cinta paling murni akan perkara yang paling utama, yang luar biasa itu."
"Ini benar-benar teologi paling indah," kata William, dengan rendah hati, dan kukira William tengah menggunakan gaya bahasa busuk yang oleh penganut retorika disebut ironi, yang biasanya selalu didahului oleh ucapan, yang mewakili pertanda dan pembenaran sesuatu yang belum pernah dilakukan William. Karena itulah sang Abbas, yang makin cenderung memakai gaya bahasa, menerima kata-kata William secara harfiah, sementara masih tenggelam dalam kekuasaan lamunan mistiknya, menambahkan, "Ini jalan paling langsung bagi kita untuk berhubungan dengan Yang Mahakuasa: masalah teosofanik."
William terbatuk-batuk dengan sopan. "Eeee ... hmmm...," katanya. Ini yang ia lakukan manakala mau mengganti topik pembicaraan. Ia berhasil
melakukannya dengan anggun karena sudah terbiasa dan aku yakin ini ciri khas orang-orang dari negerinya untuk memulai setiap ucapan dengan erangan panjang sebagai pengantar, seakan-akan mau mengutarakan suatu gagasan yang sulit sehingga secara mental dia harus berusaha keras. Sementara itu, aku sekarang yakin, semakin panjang erangan yang keluar sebelum menyatakan sesuatu, ia semakin yakin akan kuatnya saran yang akan ia ungkapkan.
"Eh ... oh William melanjutkan. "Kita harus bicara tentang pertemuan dan perdebatan tentang kemiskinan."
"Kemiskinan kata Abbas itu, masih terbuai oleh pikirannya sendiri, seakan sulit sekali turun dari kawasan indah alam semesta tempat ia dipindahkan oleh permata permatanya. "Ah, ya, pertemuan
Dan mereka memulai suatu diskusi yang hangat tentang hal-hal yang sebagian sudah kuketahui dan sebagian dapat kutangkap sewaktu mendengarkan percakapan mereka. Seperti sudah kukatakan pada pembukaan kronik yang urut ini
, ini berkaitan dengan dua macam pertikaian: di satu pihak, Kaisar melawan Paus, dan, di lain pihak, Paus melawan rahib Fransiskan, yang dalam rapat umum Perugia, meskipun baru setelah bertahun-tahun, telah mendukung teori-teori Spiritual tentang kemiskinan Kristus. Diskusi ini juga berkait dengan keruwetan yang timbul ketika kaum Fransiskan memihak Kaisar, sehingga pertikaian segitiga yang sekarang ini ada telah berubah menjadi pertentangan dan
persekutuan segiempat, berkat campur tangan, bagiku masih amat membingungkan, para Abbas Benediktin.
Aku tidak pernah menangkap jelas alasan mengapa Abbas Benediktin telah memberi suaka dan perlindungan kepada rahib Fran siskan Spiritual, beberapa waktu sebelum ordo mereka sendiri sampai taraf tertentu mau menyatakan pendapat mereka. Karena jika rahib Spiritual berkhotbah tentang penolakan terhadap semua benda duniawi, maka Abbas-Abbas dari ordoku aku sendiri juga hadir pada hari ketika hal itu ditegaskan dengan jelas mengikuti suatu jalan yang tidak kurang saleh, meskipun persis sebaliknya. Tetapi aku percaya bahwa Abbas-Abbas itu merasa bahwa kekuasaan Paus yang berlebihan berarti kekuasaan berlebihan bagi para uskup dan kotakota, sedangkan ordoku telah berhasil mempertahankan kekuasaannya tetap utuh selama berabad-abad, tepatnya dengan menentang biarawan sekular dan saudagar kota, dengan cara menempatkan dirinya sendiri sebagai penengah langsung antara surga dan bumi, dan sebagai penasihat para penguasa.
Aku sudah berulang kali mendengar moto yang menyatakan bahwa umat Tuhan terbagi atas gembala (imam), anjing (kesatria), dan domba (penduduk). Tetapi kelak aku baru tahu bahwa kalimat ini punya beberapa arti. Sudah sering dikatakan bahwa rahib Benediktin dibagi, bukan menjadi tiga, tetapi dua. Satu meliputi administrasi hal-hal duniawi, dan lainnya administrasi hal-hal
surgawi. Sejauh berkaitan dengan hal-hal duniawi, secara sahih mereka dibagi atas imam, bangsawan biasa, dan penduduk, tetapi tiga urutan ini didominasi oleh keberadaan ordo gerejawi, hubungan langsung antara rakyat Tuhan dan surga. Rahib tidak ada hubungannya dengan gembala sekular itu, imam dan uskup, bodoh dan korup, sekarang takluk kepada kepentingan kota, di mana dombanya bukan lagi petani baik dan setia tetapi, justru, saudagar dan artisan. Ordo Benediktin tidak menyesal bahwa penguasaan atas orang biasa harus dipercayakan kepada imam sekular, asalkan rahib yang menetapkan peraturan pasti dari pemerintah ini. Rahiblah yang punya hubungan langsung dengan sumber dari semua kekuasaan duniawi, kekaisaran, sama seperti hubungan mereka dengan sumber dari semua kekuasaan surgawi. Ini sebabnya, aku yakin, banyak Abbas Benediktin, dengan tujuan mengembalikan kewibawaan kaisar atas pemerintah kota (uskup yang bersekutu dengan saudagar), sepakat untuk melindungi rahib Fransiskan Spiritual. Mereka tidak menyetujui gagasannya, tetapi keberadaan rahib Fransiskan Spiritual itu berguna bagi mereka, karena menawarkan silogisme yang baik kepada kekaisaran untuk melawan kekuasaan Paus yang berlebihan.
Kemudian aku menyimpulkan bahwa inilah sebabnya mengapa sekarang Abo mulai bersedia berkolaborasi dengan William, utusan Kaisar itu, dan bertindak sebagai penengah antara ordo Fransiskan dan takhta suci. Nyatanya, bahkan di tengah
hebatnya pertikaian yang begitu membahayakan kesatuan gereja, Michael dari Cesena, setelah beberapa kali dipanggil Paus Yohanes ke Avignon, akhirnya mau menerima undangan tersebut karena tidak ingin ordonya dengan sendirinya berada dalam konflik tak henti-hentinya dengan Paus.
Sebagai jenderal Fransiskan, ia ingin melihat posisi mereka menang sekaligus memperoleh persetujuan Paus, sedikitnya karena ia menduga bahwa tanpa persetujuan Paus ia tidak akan mampu bertahan lama sebagai ketua ordo itu.
Namun, banyak yang telah meyakinkan Michael bahwa Paus menunggunya di Prancis untuk menjeratnya, menuduhnya bidah, dan mengajukannya ke pengadilan. Oleh karena itu, mereka menasihati agar kedatangan Michael di Avignon didahului dengan perundingan. Marsillius punya suatu gagasan yang lebih bagus: mengusul
kan agar Michael diantar oleh seorang pejabat kerajaan yang akan menyajikan sudut pandangan para pendukung Kaisar kepada Paus.
Maksudnya bukan semata untuk meyakinkan para Cahor tua, tetapi untuk memperkuat posisi Michael, yang, sebagai anggota duta kaisar, tidak lalu menjadi mangsa empuk balas dendam Paus.
Bagaimanapun juga, gagasan ini, karena punya banyak sekali kelemahan maka tidak bisa langsung dilaksanakan. Untuk itu diajukan gagasan tentang suatu pertemuan pendahuluan antara duta Kaisar dan beberapa utusan Paus, untuk menjabarkan posisi masing-masing dan menyusun kesepakatan
untuk suatu tindak lanjut, di mana keselamatan tamu Italia itu akan terjamin. William dari Baskerville telah ditunjuk untuk menyelenggarakan pertemuan pertama itu. Kelak ia akan menyajikan pandangan para teolog kekaisaran itu di Avignon, jika ia menganggap perjalanan itu dimungkinkan tidak berbahaya. Ini sama sekali bukan urusan enteng, karena diduga bahwa Paus, yang menginginkan Michael datang sendiri dengan tujuan bisa dibujuk agar mau lebih taat, akan mengirim suatu misi ke Italia yang dibekali instruksi untuk sedapat mungkin mengusahakan agar rencana perjalanan duta kekaisaran ke pengadilannya itu gagal. Sampai sekarang William telah bertindak dengan bagus sekali. Setelah banyak berkonsultasi dengan berbagai Abbas Benediktin (karena itu kami mampir-mampir sepanjang perjalanan kami), William telah memilih biara tempat kami berada sekarang, persisnya karena Abbas di sini terkenal patuh kepada kaisar dan karena keterampilan diplomatiknya hebat, tetap disukai oleh pengadilan takhta suci. Jadi, biara ini merupakan kawasan netral di mana dua kelompok itu dapat bertemu.
Tetapi Paus tidak berhenti berupaya. Ia tahu bahwa, begitu berada di wilayah Abbas itu, dutanya akan tunduk kepada yurisdiksi Abbas tersebut; dan karena dutanya termasuk beberapa imam sekular, ia tidak mau menerima kontrol ini, dengan menyatakan kekhawatirannya kalau-kalau duta kaisar mungkin punya rencana jahat. Karenanya Paus membuat persyaratan bahwa keselamatan dutanya
dipercayakan kepada sepasukan pemanah Raja Prancis, di bawah pimpinan seseorang yang dipercaya oleh Paus.
Samar-samar aku sudah mendengar ketika William mendiskusikan ini dengan seorang duta Paus di Bobbio: tentang masalah menetapkan formula untuk menyusun tugas-tugas dari pasukan pemanah itu atau, tepatnya, menetapkan apa yang dimaksud dengan menjamin keselamatan utusan Paus. Akhirnya, formula yang diusulkan oleh orang Avignon diterima, karena agaknya masuk akal: pasukan bersenjata dan opsir mereka akan punya yurisdiksi "atas semua orang yang entah dengan cara bagaimana berupaya membunuh anggota delegasi kepausan atau dengan cara kekerasan mencoba memengaruhi perilaku atau penilaian mereka". Waktu itu pakta tersebut seakan hanya diilhami oleh kesibukan formal belaka. Sekarang, dengan adanya hal-hal yang belum lama terjadi di biara itu, Abbas itu menjadi gelisah, dan ia mengungkapkan keraguannya kepada William. Jika delegasi itu tiba, sementara otak di balik kedua kejahatan itu masih belum diketahui (dan esok harinya Abbas itu menjadi semakin cemas lagi, karena kejahatan itu mungkin akan bertambah menjadi tiga), sudah tentu mereka harus mengakui bahwa di antara dindingdinding itu, ada seseorang yang mampu memengaruhi penilaian dan perilaku dari delegasi kepausan dengan tindak kekerasan.
Upaya mengungkapkan kejahatan yang terjadi itu tidak boleh gagal, karena jika terjadi
pembunuhan lagi, delegasi kepausan akan mencurigai adanya rencana jahat terhadap mereka. Dan karenanya hanya ada dua solusi. William sudah harus menemukan pembunuhnya sebelum delegasi itu tiba (dan di sini Abbas itu menatap William seakan diam-diam menuduh kenapa William belum juga menyelesaikan masalah itu), atau delegasi Paus tersebut harus diberi tahu secara jujur dan diupayakan agar mau berkolaborasi, untuk menempatkan biara itu di bawah pengawasan ketat selama diskusi berlangsung. Abbas tidak menyukai solusi kedua, karena ini berarti melepaskan sebagian kekuasaannya dan menyerahkan rahib-rahibnya di bawah pengawasan pasukan Prancis.
Tetapi ia tidak mau ambil risiko. William dan Abbas itu keduanya kesal bahwa akan terjadi perubahan rencana; namun mereka tidak punya banyak pilihan. Oleh karena itu, mereka mengusulkan untuk mengambil keputusan terakhir keesokan harinya. Sementara itu mereka hanya dapat pasrah kepada belas kasihan Tuhan dan kebijaksanaan William.
"Aku akan melakukan segala sesuatu yang mungkin kukerjakan, Yang Tersuci," kata William. "Tetapi di lain pihak, aku tidak bisa melihat bagaimana masalah ini benar-benar akan mengom-promi pertemuan tersebut. Bahkan delegasi kepausan akan memahami perbedaan antara tindakan seorang gila dan tindakan seorang beriman, atau mungkin hanya suatu jiwa yang sesat, dan masalah menyedihkan yang akan didiskusikan dalam
pertemuan orang-orang jujur itu."
"Kau pikir begitu"" tanya Abbas itu sambil menatap William dengan tajam. "Ingat: orang-orang Avignon tahu bahwa mereka akan bertemu dengan kaum Minorit, dan karenanya orang-orang yang amat berbahaya, hampir seperti Fraticelli dan lain-lainnya dan mungkin justru lebih gila daripada orang Fraticelli, orang-orang bidah yang berlumur kejahatan" di sini Abbas itu melirihkan suaranya "dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sini, meskipun mengerikan, tetapi pucat bagai embun di siang hari."
"Ini bukan hal yang sama!" seru William melengking. "Anda tidak dapat menyamakan kaum Minorit dari rapat umum Perugia itu dengan beberapa kelompok orang bidah yang telah salah memahami pesan Injil, sehingga mengubah perjuangan melawan orang kaya menjadi serangkaian pembunuhan pribadi atau kehausan darah yang tolol
"Baru beberapa tahun yang lalu, tidak sampai bermil-mil dari sini, salah satu kelompok itu, seperti istilahmu, melakukan pembakaran dan merusak wilayah perkebunan Uskup Bercelli dan gunung-gunung di luar Novara," kata Abbas itu ketus.
"Kau berbicara tentang Fra Dolcino dan para
Rasul "Rasul palsu," Abbas itu membetulkan. Dan sekali lagi aku mendengar Fra Dolcino dan Rasul Palsu disebut-sebut, dan sekali lagi dalam suatu nada sangat berhati-hati, dan dengan sekilas kengerian.
"Rasul Palsu," William segera mengiyakan. "Tetapi tidak punya hubungan dengan kaum Minorit
"... dengan siapa mereka sama-sama amat menghormati Joachim dari Calabria," Abbas itu bersikeras, "dan tanya saja kepada saudaramu Ubertino."
"Yang Tersuci jangan lupa bahwa sekarang ia seorang bruder dari ordo Anda sendiri," kata William, sambil tersenyum dan membungkukkan badan, seakan untuk memuji kebaikan ordo Abbas itu yang telah bersedia menerima seseorang yang begitu terkenal.
"Aku tahu, aku tahu." Abbas itu tersenyum. "Dan kau tahu bahwa dengan kasih sayang seorang bapa, ordo kami menyambut baik kaum Spiritual ketika mereka membuat Paus murka. Aku tidak hanya bicara tentang Ubertino, tetapi juga tentang banyak lainnya, saudara-saudara yang lebih bersahaja, yang tidak banyak dikenal, dan mungkin kita harus mengetahui lebih banyak tentang mereka.
Kami tidak sengaja menerima kedatangan pelarian berjubah Minorit itu. Setelah itu aku baru tahu bahwa berbagai perubahan dalam hidup mereka telah membuat mereka, suatu ketika, amat dekat dengan pengikut Dolcino
"Juga di sini"" tanya William.
"Juga di sini. Aku mau mengungkapkan kepadamu sesuatu yang, terus terang saja, hanya sedikit kuketahui, sehingga aku tidak punya cukup alasan untuk melontarkan tuduhan. Namun, lantaran kau mau menyelidiki kehidupan di biara ini, sebaiknya
kau juga harus mengetahuinya. Aku akan menceritakan kepadamu, lebih jauh, bahwa berdasarkan hal-hal yang sudah kudengar atau kusangka, aku menduga ingat, hanya menduga bahwa ada suatu momen amat gelap dalam kehidupan Kepala Gudang kita, yang terus terang saja datang ke sini dua tahun yang lalu, bersama pengungsian kaum Minorit."
"Kepala Gudang" Remigio dari Varagine itu seorang Dolcinian"
Kelihatannya ia makhluk paling lembut, dan, tampaknya, amat tidak tertarik kepada Biarawati Dina sehingga aku pernah melihat kata William.
"Aku tidak bisa mengatakan hal-hal buruk tentang dia, dan aku memanfaatkan pelayanannya yang baik, untuk itu seluruh komunitas jug
a berterima kasih kepadanya. Aku ingin kau bisa mengerti betapa mudahnya menemukan hubungan antara seorang rahib kami dan Fraticello."
"Sekali lagi kemurahan hatimu salah tempat, jika aku boleh berkata begitu," tukas William. "Kita tadi membicarakan kaum Dolcinian, bukan Fraticelli. Dan banyak yang bisa dikatakan tentang kaum Dolcinian tanpa ada seorang pun yang benar-benar tahu siapa yang sedang dibicarakan, karena jenisnya banyak. Toh, mereka tidak bisa dianggap beriman. Paling banter mereka bisa dipersalahkan karena tanpa merenungkan dalam-dalam, telah mempraktikkan khotbah rahib Spiritual, yang disampaikan dengan semangat lebih besar, didorong oleh kasih sejati kepada Tuhan, dan di sini aku
sepakat bahwa garis batas antara satu kelompok dan lainnya itu amat tipis
"Tetapi Fraticelli itu bidah!" tukas Abbas itu dengan tajam.
"Mereka tidak hanya membatasi diri untuk mempertahankan kemiskinan Kristus dan para rasul, suatu doktrin yang meskipun aku tidak bisa membujuk diriku sendiri untuk ikut ambil bagian secara berguna dapat dipakai untuk menentang keangkuhan Avignon.
Namun, Fraticelli mengambil suatu silogisme praktis dari doktrin tersebut: mereka merasa berhak melakukan revolusi, perampokan, dan perbuatan tercela."
"Tetapi Fraticelli yang mana""
"Semua, pada umumnya. Kau tahu bahwa mereka berlumur kejahatan yang tidak bisa disebutkan, mereka tidak mengakui ikatan perkawinan, mereka menyangkal neraka, melakukan sodomi, mereka memeluk kebidahan Bogomil dari ordo Bulgaria dan ordo Drygonthie
"Kumohon," kata William, "jangan mencampur aduk hal-hal yang terpisah-pisah! Kau bicara seakan kaum Fraticelli, Patarin, Waldesian, Kataris, dan juga semua kaum Bogomil dari Bulgaria dan orang bidah dari Dragovitsa, semua sama!"
"Memang," bentak Abbas itu, "mereka sama karena memang bidah, dan mereka sama karena membahayakan aturan dunia beradab itu sendiri, demikian pula aturan kaisar yang menurutku kaujunjung tinggi. Seratus tahun lalu atau lebih,
pengikut Arnold dari Brescia membakar rumah para bangsawan dan para kardinal, dan inilah hasil dari kebidahan Lombard dari kaum Patarin."
"Dengan bersikeras agar sakramen tidak boleh diterimakan oleh imam yang tidak saleh
"Dan mereka salah, tetapi itu hanya kesalahan doktrin mereka.
Mereka tidak pernah mengusulkan untuk mengubah hukum Allah
"Tetapi rahib Patarin berkhotbah tentang Arnold dari Brescia, di Roma, lebih dari dua ratus tahun yang lalu, mendorong orang banyak menjadi marah dan membakar rumah-rumah para bangsawan dan kardinal."
"Arnold berusaha menarik dewan kota ikut gerakan reformasinya.
Mereka tidak mau dan ia memperoleh dukungan di kalangan penduduk miskin dan terbuang. Ia tidak bertanggung jawab atas kekerasan dan kemarahan yang merupakan tanggapan kepada imbauannya agar korupsi di kota itu dikurangi."
"Kota itu selalu korup."
"Kota itu adalah tempat yang sekarang didiami umat Allah, yang kamu, aku, adalah gembalanya. Juga tempat skandal yang di dalamnya para prelat kaya berkhotbah tentang kebajikan kepada penduduk miskin dan lapar. Kekacauan Patarin lahir dari situasi ini. Kaum Kataris lain lagi masalahnya. Ini suatu kebidahan Dunia Timur, di luar doktrin gereja. Aku tidak tahu apakah mereka benar-benar terlibat atau sudah melakukan kejahatan yang
dituduhkan kepada mereka. Aku tahu bahwa mereka menolak ikatan pernikahan, mereka menyangkal neraka. Aku membayangkan bahwa mereka dituduh melakukan banyak tindakan yang belum mereka lakukan hanya karena ide-ide (jelas tidak dapat dikatakan) yang telah mereka junjung tinggi."
"Dan kau ingin mengatakan bahwa kelompok Kataris belum bergabung dengan kelompok Patarin, dan bahwa keduanya bukan sekadar dua dari sekian wajah yang tak terhitung banyaknya, dari fenomena jahat yang sama""
"Menurutku, banyak dari orang bidah ini, lepas dari dokrin yang mereka pakai, memperoleh sukses di kalangan orang biasa karena menyarankan suatu kemungkinan kehidupan yang lain kepada orang biasa seperti itu. Menurutku, orang biasa sering sekali tidak tahu banyak tentang doktrin. Aku berani mengatakan bahwa orang biasa yang banyak itu
sering bingung, itu khotbah orang Kataris atau khotbah orang Patarin, dan khotbah keduanya digabung khotbah orang Spiritual. Kehidupan orang biasa, Abo, tidak diterangi oleh pengetahuan dan semangat kepekaan membedakan yang membuat kita bijaksana. Kehidupan mereka dihantui oleh penyakit dan kemiskinan, kelu lidah karena tidak tahu apa-apa. Banyak yang bergabung dengan suatu kelompok bidah, sering hanya sebagai cara lain untuk meneriakkan keputusasaan mereka. Kau boleh bakar rumah seorang kardinal karena kau ingin menyempurnakan kehidupan biarawan itu, tetapi juga karena kau percaya bahwa neraka yang ia
khotbahkan itu tidak ada. Ini selalu terjadi karena di atas bumi tidak ada neraka, di mana tinggal kawanan yang kita bukan gembalanya. Tetapi Anda tahu betul bahwa, kalau mereka tidak bisa membedakan antara gereja Bulgaria dan pengikut imam Liprando, maka pejabat kerajaan dan pendukung mereka juga sering tidak bisa membedakan antara rahib Spiritual dan orang bidah. Bukannya tidak sering pula terjadi, para pejabat kekaisaran, untuk melawan musuh mereka, mendorong kecenderungan Kataris di kalangan penduduk.
Menurut pendapatku tindakan mereka itu keliru. Tetapi sekarang aku tahu bahwa para pejabat yang sama itu, untuk membebaskan diri dari musuh-musuh yang gelisah dan berbahaya dan terlalu 'sederhana' ini, sering mengaitkan satu kelompok dengan kebidahan kelompok lainnya, dan melemparkan mereka semua ke atas onggokan kayu bakar. Aku sudah melihat, aku bersumpah kepadamu, Abo, aku telah melihat dengan mata kepalaku sendiri ada orang yang hidupnya saleh, pengikut setia kemiskinan dan kesahajaan, namun karena dianggap musuh uskup, diserahkan oleh uskup ke tangan pasukan sekular, entah itu pasukan kerajaan atau pasukan kota-kota bebas, dengan tuduhan orang itu melakukan penyimpangan seksual, sodomi, praktik-praktik yang tak pantas disebutkan yang mungkin dilakukan oleh orang-orang lain, tetapi bukan oleh mereka. Orang miskin dianggap daging sembelihan, untuk dimanfaatkan mana
kala mereka berguna untuk menimbulkan masalah bagi kekuatan lawan, dan untuk dikorbankan manakala tidak terpakai lagi."
"Oleh karena itu," kata sang Abbas, jelas dengan hati yang kejam, "apa Fra Dolcino dan orang-orang gilanya, dan Gherardo Segarelli dan para pembunuhnya yang kejam, Kataris keji atau Fraticelli yang saleh, Bogomil yang sodomit atau Patarin itu, kaum pembaru" Coba katakan kepadaku, William, kau yang tahu begitu banyak tentang orang bidah sampai seakan kau salah seorang dari mereka, di mana letak kebenarannya""
"Tidak ada di mana-mana, seringnya," kata William, dengan sedih.
"Nah" Kau sendiri tidak bisa lagi membedakan antara kelompok yang bidah dan lainnya. Setidak-tidaknya aku punya pedoman. Aku tahu bahwa orang bidah adalah yang membahayakan ordo penjaga umat Tuhan. Dan aku membela kekaisaran karena ini menjamin ordo ini bagiku. Aku memerangi Paus karena ia menyerahkan kekuasaan spiritual kepada uskup di kota-kota, yang bersekutu dengan saudagar dan pemilik pabrik dan tidak akan berhasil mempertahankan ordo ini. Kami sudah mempertahankannya selama berabad-abad. Dan akan halnya orang bidah, aku juga punya pedoman, dan ini diringkas dalam jawaban yang diberikan oleh Arnald Amalaricus, Uskup CTteaux, kepada mereka yang menanyakan harus diapakan warga kota Beziers itu: Bunuh mereka semua, Tuhan akan mengenali umat-Nya sendiri."
William menundukkan pandangannya dan berdiam diri sejenak. Lalu ia berkata, "Kota Beziers ditaklukkan dan pasukan kita tidak punya martabat untuk menghargai jenis kelamin atau usia, dan hampir dua puluh ribu penduduk dibunuh dengan pedang. Setelah dibantai habis-habisan, kota itu dirampok dan dibakar."
"Perang suci tetap suatu perang."
"Untuk alasan ini mungkin seharusnya tidak usah ada perang suci. Tetapi aku mau berkata apa" Aku datang ke sini untuk membela hak-hak Louis, yang juga menyebabkan Italia berperang.
Aku pun, ternyata menemukan diriku sendiri terperangkap dalam kancah permainan persekutuan aneh. Persekutuan aneh antara orang Spiritual dan kekaisaran, dan persekutuan aneh Kaisar dengan Marsilius, y
ang mengupayakan penyerahan kedaulatan kepada rakyat.
Dan persekutuan aneh antara kita berdua, dengan ide-ide dan tradisi kita yang begitu berbeda. Tetapi kita punya tugas sama: mengupayakan keberhasilan pertemuan itu dan menemukan seorang pembunuh. Marilah kita berusaha melaksanakannya dalam damai."
Abbas itu membuka kedua lengannya. "Beri aku ciuman damai, Bruder William. Dengan seseorang sarjana seperti kau, aku bisa berdebat tanpa ada habisnya tentang masalah teologi dan moral yang rumit. Bagaimanapun juga, kita tidak boleh sekadar menikmati perbantahan, seperti yang dilakukan guru-guru dari Paris. Kau benar: kita punya tugas
penting, dan kita harus bersepakat melaksanakannya. Tetapi aku telah membicarakan hal-hal ini karena aku yakin di situ ada suatu hubungan. Kau paham" Suatu kemungkinan hubungan atau, tepatnya, suatu hubungan yang dapat dibuat oleh hal-hal lain antara kejahatan yang telah terjadi di sini dan tesis dari saudara-saudaramu. Inilah sebabnya aku telah memperingatkan kau, dan inilah sebabnya kita harus mewaspadai setiap kecurigaan atau tuduhan tak langsung dari pihak orang Avignon."
"Apa aku tidak boleh menduga Yang Tersuci telah menyarankan suatu garis untuk penyelidikanku" Apa kau percaya bahwa sumber kejadian akhir-akhir ini dapat ditemukan dalam suatu kisah jelas yang dapat ditelusur kembali kepada kebidahan masa lalu salah seorang rahibmu""
Abbas itu terdiam untuk beberapa saat, sambil memandang William tetapi tidak menunjukkan ekspresi wajah yang jelas. Kemudian ia berkata, "Dalam persoalan yang menyedihkan ini kau adalah inkuisitor.
Adalah tugasmu untuk mencurigai, bahkan mengambil risiko kecurigaan yang tidak adil. Di sini aku hanyalah seorang bapa biasa. Dan dapat kutambahkan, andaikan aku tahu bahwa masa lalu salah seorang rahibku memberi kemungkinan kepada kecurigaan yang cukup beralasan, aku sendiri akan bersedia mencabut pohon yang tidak sehat itu. Apa yang kuketahui, kau sudah tahu. Apa yang tidak kuketahui, tentunya akan secara memadai diperjelas oleh kebijaksanaanmu." Ia mengangguk kepada kami dan meninggalkan gereja.
"CERITANYA mulai tambah rumit, Adso terkasih," kata William, sambil mengerenyitkan kening. "Kita memburu sebuah naskah, tetapi justru tertarik pada omongan beberapa rahib yang terlalu aneh dan aksi para rahib lainnya, yang nafsunya terlalu besar. Sekarang, makin lama makin gawat, muncul suatu jejak yang benar-benar berbeda. Kepala Gudang itu, waktu itu .... Dan bersama Kepala Gudang itu, ikut juga binatang ganjil Salvatore ke sini ....
Tetapi sekarang kita harus meninggalkan tempat ini dan beristirahat, karena kita punya rencana untuk tetap melek sepanjang malam."
"Jadi, Guru masih ingin memasuki perpustakaan malam ini" Guru tidak akan meninggalkan jejak pertama itu, kan""
"Sama sekali tidak. Hai, siapa bilang kedua jejak itu terpisah" Dan akhirnya, masalah Kepala Gudang ini mungkin saja sekadar kecurigaan Abbas itu."
William mulai berjalan ke penginapan. Waktu sampai ke teras, ia berhenti dan berbicara, seakan mau melanjutkan kata-katanya sebelumnya.
"Bagaimanapun juga, Abbas itu minta agar aku menyelidiki kematian Adelmo ketika ia mengira bahwa ada sesuatu yang tidak sehat tengah terjadi di kalangan rahib muda. Tetapi sekarang kematian Venantius justru membangkitkan kecurigaan lain, mungkin Abbas itu telah mengendus bahwa kunci misteri itu terletak di dalam perpustakaan, dan ia
Gerbang Nasib 2 Gento Guyon 3 Sang Cobra Pohon Kramat 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama