The Name Of The Rose Karya Umberta Eco Bagian 5
tidak menginginkan penyelidikan apa pun di sana.
Jadi, ia menawarkan saran tentang Kepala Gudang itu, untuk memindahkan perhatianku dari Aedificium
"Tetapi mengapa ia tidak ingin-"
"Tidak usah terlalu banyak bertanya. Sejak
awal Abbas itu sudah memberi tahu agar aku tidak
menyentuh perpustakaan itu. Ia tentunya punya
alasan sendiri yang bagus. Mungkin saja ia terlibat
dalam semacam masalah yang ia duga tidak ada
hubungannya dengan kematian Adelmo, dan
sekarang ia menyadari bahwa skandal itu telah
menyebar dan juga bisa melibatkan dirinya. Dan ia
tidak ingin kebenarannya ditemukan, atau
setidaknya ia tidak ingin aku yang menemukannya..."
"Kalau begitu, kita sedang berad
a dalam suatu tempat yang ditinggalkan oleh Allah," kataku dengan kecil hati.
"Apa kau sudah menemukan suatu tempat di mana Tuhan akan merasa betah"" tanya William kepadaku sambil memandang ke bawah dari tubuhnya yang amat tinggi itu.
Kemudian ia menyuruhku beristirahat. Sementara berbaring di atas dipanku, aku menyimpulkan bahwa tidak seharusnya ayah mengirimku masuk ke dunia itu, yang lebih rumit daripada yang sudah kubayangkan. Aku mulai belajar terlalu banyak.
"Salva me ab ore leonis."["Selamatkanlah aku dari mulut singa"- penerj.] Aku berdoa sementara jatuh tertidur. []
Setelah Vespers Dalam cerita ini, meski singkat, Alinardo tua menceritakan hal-hal amat menarik tentang cara memasukinya.
Aku terjaga saat lonceng makan malam hampir berbunyi. Aku merasa lesu dan mengantuk, tidur pada siang hari serasa seperti dosa daging : makin banyak tidur kau makin ingin tidur terus, dan toh tidak merasa nyaman, rasanya seperti kenyang sekaligus tidak senang. William tidak ada dalam biliknya, sudah jelas ia bangun jauh lebih awal. Setelah mencari-cari sebentar, aku melihat dia keluar dari Aedificium. Katanya ia sudah agak lama berada di skriptorium, menyisiri halaman-halaman katalog dan mengamati para rahib yang tengah bekerja, sementara berusaha mendekati meja Venantius dan melanjutkan pemeriksaannya. Tetapi entah karena alasan apa, setiap rahib seakan terus berusaha mencegahnya meneliti perkamen tersebut. Mula-mula Maleakhi mendatanginya, untuk menunjukkan beberapa ilustrasi yang bagus sekali. Kemudian Benno menyibukkannya dengan dalil-dalil tidak penting. Nantinya, ketika ia
sudah membungkuk untuk melanjutkan pemeriksaannya, Berengar mulai mondar-mandir di dekatnya sambil menawarkan untuk membantu.
Akhirnya, karena melihat guruku tampak sungguh sungguh bertekad memeriksa barang-barang Venantius, Maleakhi langsung menegur bahwa, sebelum menggeledah perkamen milik orang mati itu, mungkin guruku perlu minta izin dulu dari Abbas. Ia sendiri, katanya, biarpun pustakawan, demi disiplin dan sikap menghormati, telah menahan diri untuk tidak memeriksa. Bagaimanapun juga, seperti permintaan William sendiri agar tak seorang pun mendekati meja itu, maka tak seorang pun bisa mendekatinya sebelum diperintahkan oleh Abbas. William menyadari bahwa ia tidak perlu uji kekuatan dengan Maleakhi, meskipun semua kegelisahan dan ketakutan tentang perkamen Venantius itu sudah tentu meningkatkan hasratnya untuk membacanya.
Tetapi ia begitu bertekad untuk kembali ke sana malam itu, meskipun tidak tahu caranya, sehingga tidak ingin menciptakan keributan.
Namun demikian, pikiran tentang balas dendam, yang, jika bukan diilhami oleh rasa haus akan kebenaran, sudah tentu kelihatan amat bandel dan mungkin memalukan.
Sebelum memasuki ruang makan, kami jalan-jalan lagi sebentar di kloster, untuk menghilangkan rasa kantuk dalam udara malam yang dingin itu. Beberapa rahib masih berjalan-jalan di sana sambil bermeditasi. Di kebun yang membuka dari kloster kami memergoki Alinardo dari Grottaferrata yang,
karena sekarang tubuhnya sudah renta, kalau tidak berdoa di dalam gereja, menghabiskan sebagian besar waktunya di antara pepohonan. Ia sedang duduk di teras luar dan tidak tampak kedinginan.
William mengucapkan beberapa patah kata untuk menyapanya, dan orang tua itu terlihat bahagia bahwa ada seseorang yang mau menemaninya sebentar.
"Hari ini rasanya damai," kata William.
"Berkat keagungan Tuhan," jawab orang tua itu.
"Damai di surga, tetapi menyedihkan di bumi. Apa kau kenal baik Venantius""
"Venantius siapa"" kata orang tua itu. Kemudian suatu cahaya memancar dalam matanya. "Ah, pemuda yang mati itu. Binatang buas tengah berkeliaran di sekitar biara ini
"Binatang buas apa""
"Binatang buas besar yang muncul dari lautan .... Berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh dan tiga nama penghujatan tertera pada ujung sepuluh tanduknya dan di atas tujuh kepalanya.
Binatang buas itu amat menyerupai seekor macan kumbang, dengan kaki seekor beruang, dan mulut seekor singa ... aku sudah melihatnya."
"Kau lihat di mana" Dalam perpustakaan""
"Per pustakaan" Kenapa di sana" Aku sudah bertahun tahun tidak masuk ke skriptorium dan belum pernah masuk ke perpustakaan itu.
Tak seorang pun masuk ke perpustakaan. Aku kenal mereka yang memang naik ke perpustakaan itu..."
"Siapa" Maleakhi" Berengar""
"Oh, bukan...," kata orang tua itu. "Sebelumnya. Pustakawan sebelum Maleakhi, bertahun-tahun yang lalu..."
"Siapa itu""
"Aku tidak ingat; ia meninggal sewaktu Maleakhi masih muda.
Dan pustakawan yang datang sebelum guru Maleakhi, dan ada seorang asisten pustakawan muda waktu aku masih muda .... Tetapi aku belum pernah menginjakkan kaki dalam perpustakaan. Labirin
"Perpustakaan itu sebuah labirin""
"Hunc mundum tipice labyrinthus denotat ille," kata orang tua itu tanpa emosi. "Intranti largus, redeunti sed nimis artus.["Labirin itu secara kias menggambarkan dunia ini," kata orang tua itu tanpa emosi. "Lebar bagi yang masuk, tetapi sangat sempit bagi yang kembali"- penerj.]
Perpustakaan itu sebuah labirin besar sekali, simbol labirin dunia. Coba saja masuk dan kau tidak tahu apa kau akan keluar.
Kau tidak boleh melewati pilar-pilar Herkules
"Jadi, kau tidak tahu cara memasuki perpustakaan manakala pintu-pintu Aedificium sudah ditutup""
"Oh, ya." Orang tua itu tertawa. "Banyak yang tahu. Masuk saja melalui osarium (ruang tengkorak). Kau bisa masuk lewat osarium, tetapi kau tentu tidak ingin masuk lewat osarium itu. Tempat itu terus dijaga oleh rahib-rahib yang sudah mati."
"Hantu rahib-rahib yang terus menjaga itu apa bukan orangorang yang mondar-mandir di seluruh perpustakaan sambil membawa lampu pada malam hari""
"Membawa lampu"" Orang tua itu tampak keheranan. "Aku belum pernah dengar cerita ini. Rahib-rahib yang sudah mati itu tinggal di osarium, tulang-tulangnya berjatuhan sedikit demi sedikit dari makam dan terkumpul di situ, untuk menjaga lorong tersebut. Apa kau belum pernah melihat altar kapel yang menuju ke osarium""
"Yang ketiga dari kiri, setelah sekat, ya kan""
"Yang ketiga" Mungkin. Itu altar yang batunya ditatah dengan ukiran seribu tengkorak. Tengkorak keempat di sebelah kanan: tekan kedua matanya ... dan kau akan berada dalam osarium. Tetapi jangan pergi ke sana; aku belum pernah ke sana. Abbas tidak mengizinkannya."
"Dan binatang buas itu" Di mana kau melihatnya""
"Binatang buas" Ah, Antikristus itu .... Ia sudah hampir datang, milenium sudah lewat; kami tengah menantikannya
"Tetapi milenium itu sudah tiga ratus tahun yang lalu, dan waktu itu ia tidak datang
"Antikristus itu tidak datang setelah seribu tahun telah lewat. Kalau sudah lewat seribu tahun, keadilan mulai berkuasa; baru Antikristus itu datang, untuk mengacau keadilan, dan kemudian akan terjadi pertempuran terakhir
"Tetapi keadilan akan berkuasa selama seribu
tahun," kata William.
"Atau mereka akan berkuasa sejak kematian Kristus sampai akhir milenium pertama, dan dengan begitu Antikristus itu seharusnya sudah datang waktu itu. Kalau begitu, keadilan belum lagi berkuasa, dan Antikristus masih jauh."
"Milenium itu tidak dihitung sejak kematian
Kristus, tetapi sejak sumbangan dari Konstantin,
tiga abad kemudian. Sekarang sudah seribu tahun..."
"Jadi, kekuasaan keadilan hampir berakhir""
"Aku tidak tahu .... Aku tidak tahu apa-apa lagi; aku lelah.
Perhitungan itu sukar. Beatus dari Liebana yang membuatnya; tanya saja Jorge, ia masih muda, ia masih bisa mengingat dengan baik .... Tetapi sekarang sudah malam. Apa kau tidak mendengar ketujuh sangkakala itu""
"Mengapa ketujuh sangkakala""
"Apa kau tidak dengar bagaimana pemuda itu mati, pelukis itu"
Malaikat pertama membunyikan sangkakala pertama, dan hujan es dan api bercampur darah, Dan malaikat yang kedua meniup sangkakala kedua, dan sepertiga dari laut menjadi darah .... Bukankah pemuda yang kedua mati dalam lautan darah" Berhati-hatilah untuk sangkakala ketiga! Sepertiga dari makhluk di laut akan mati.
Tuhan menghukum kita. Seluruh dunia di sekitar biara ini setara dengan kebidahan. Kudengar di atas takhta Roma sekarang duduk seorang paus
jahat yang memanfaatkan hosti untuk praktik nekromansi, nujum, dan memberikannya k
epada ikan lelenya sebagai makanan .... Dan di tengah kita, seseorang telah melanggar batas, telah merusak meterai labirin itu
"Siapa yang mengatakan itu kepadamu""
"Aku dengar itu. Semua berbisik-bisik bahwa dosa sudah memasuki biara ini. Apa kau membawa kacang""
Pertanyaan yang diajukan kepadaku itu membuatku terkejut. "Tidak, aku tidak membawa kacang," kataku, bingung.
"Lain kali, bawakan aku sedikit kacang. Aku mengulum kacang itu dalam mulutku kau lihat mulutku yang tak bergigi" sampai empuk.
Kacang merangsang ludah, aqua fons vitae.[Air sumber kehidupan- penerj.] Maukah kau membawakan sedikit kacang untukku besok""
"Besok akan kubawakan sedikit kacang," kataku kepadanya. Tetapi ia sudah mendengkur. Kami meninggalkan dia dan pergi ke ruang makan. []
Komplina Dalam cerita ini mereka berhasil masuk Aedificium, memergoki seorang tamu misterius, menemukan pesan rahasia dengan simbol nujum, dan juga sebuah buku, tetapi lalu langsung lenyap, harus dicari lewat banyak ruang yang berurutan : dicurinya lensa berharga William juga bukan perubahan yang terakhir
Makan malam itu tidak menggembirakan dan sepi. Mayat Venantius baru ditemukan dua
belas jam lalu. Semuanya yang hadir mencuricuri melirik ke kursinya yang kosong di meja makan. Ketika tiba saatnya untuk komplina, prosesi yang berbaris menuju koor itu bagaikan arakan pemakaman. Kami mengikuti ibadat itu sambil berdiri di jalan-tengah gereja dan terus mengamati sebuah mata pada kapel ketiga. Lilin yang dinyalakan tidak banyak, dan waktu kami melihat Maleakhi muncul dari kegelapan untuk menuju bangkunya, kami tidak tahu persis darimana ia datang. Kami beringsut ke balik bayang-bayang, bersembunyi agak jauh di samping jalan-tengah gereja itu, agar tak akan ada orang yang memergoki kalau kami tidak ikut keluar setelah ibadat berakhir. Di bawah skapularku aku membawa lampu yang kucomot dari dapur setelah makan malam.
Nanti kami dapat menyalakannya dari tripod
tembaga besar yang menyala sepanjang malam. Aku sudah menyimpan seutas sumbu baru dan sebotol kecil minyak. Kami akan punya penerangan untuk waktu yang lama.
Aku merasa terlalu bergairah membayangkan petualangan luar biasa itu sehingga tidak memerhatikan ibadat, yang rasanya tibatiba saja sudah berakhir. Para rahib menurunkan tudung kepala ke atas wajah mereka dan pelan-pelan berbaris keluar, menuju bilik mereka. Gereja itu sekarang sepi, diterangi oleh cahaya dari tripod tersebut.
"Sekarang," kata William, "mulai kerja."
Kami menghampiri kapel ketiga. Kaki altar itu benar-benar menyerupai osarium, sederet tengkorak dengan lubang mata yang menjorok ke dalam, yang membuat orang yang memandangnya dikuasai kengerian, dipasang di atas setumpuk apa yang, dengan rasa lega sekali, terlihat sebagai tibias. Dengan suara lirih William mengulangi kata-kata yang sudah ia dengar dari Alinardo (tengkorak keempat di sebelah kanan, tekan kedua matanya). Ia menempelkan jari-jarinya ke dalam kedua lubang mata dari wajah tak berdaging itu, dan segera kami mendengar semacam derak kasar.
Altar itu bergerak, berputar pada suatu pasak tersembunyi, dan sekilas tampak suatu lorong gelap. Ketika aku mengangkat lampu untuk mene-ranginya, kami melihat beberapa anak tangga yang lembap. Kami memutuskan untuk turun, setelah berdebat apa harus menutup lagi jalan di belakang
kami. Lebih baik jangan, kata William: kami tidak tahu apa nanti akan bisa dibuka lagi. Dan akan halnya risiko ketahuan, andaikan siapa saja datang pada jam itu untuk menjalankan mekanisme yang sama, itu berarti ia tahu caranya masuk, dan jalan yang tertutup tidak akan menghalanginya.
Mungkin kami sudah menuruni dua belas anak tangga dan sampai ke suatu gang yang pada kedua sisinya ada beberapa lubang relung horizontal, seperti yang kelak kulihat dalam banyak katakomba.
Tetapi sekarang aku baru pertama kalinya memasuki suatu osarium, dan aku amat sangat takut. Tulang-belulang para rahib sudah terkumpul di sana selama berabad-abad, digali dari dalam tanah dan ditumpuk dalam relung-relung itu tanpa upaya untuk menyusun kembali bentuk tubuh mereka. Bebe
rapa relung hanya berisi tulangtulang kurus, lainnya hanya tengkorak, dengan rapi ditata menjadi semacam piramida, sehingga satu tengkorak tidak akan menggelinding ke atas tengkorak lain: dan itu suatu pemandangan yang sungguh-sungguh mengerikan, terutama dalam permainan bayangbayang yang diciptakan oleh lampu yang terus kami bawa sambil berjalan. Dalam satu relung aku melihat tulang tangan-tangan saja, banyak tangan, sekarang tak pelak lagi saling berkait dalam jari-jari mati yang ruwet. Aku menjerit kecil dalam tempat orang mati itu, karena untuk sejenak merasakan ada sesuatu di atas, suatu lengkingan, suatu gerakan cepat dalam kegelapan.
"Tikus," kata William untuk membesarkan hatiku.
"Apa yang dilakukan tikus di sini""
"Cuma lewat, seperti kita: karena osarium itu menuju Aedificium, dan kemudian ke dapur. Dan menuju buku buku lezat dalam perpustakaan. Dan sekarang kau paham mengapa wajah Maleakhi begitu angker. Tugasnya mengharuskan dia lewat sini dua kali sehari, pagi dan petang. Nyatanya, tidak ada yang bisa ia tertawakan."
"Tetapi mengapa Injil tidak pernah mengatakan bahwa Kristus tertawa"" tiba-tiba saja aku bertanya. "Apa Jorge betul""
"Banyak sekali sarjana yang ingin tahu apa Kristus tertawa.
Pertanyaan itu tidak terlalu menarik bagiku. Aku yakin Ia tidak pernah tertawa, karena, sebagai putra Tuhan Ia tentu mahatahu, Ia tahu bagaimana seharusnya perilaku kita orang Kristen. Nah, sekarang kita sudah sampai."
Memang, gang itu sudah berakhir, puji Tuhan; anak tangga lain dimulai. Setelah mendaki anak-anak tangga itu, kami tinggal mendorong sebuah pintu berlapis besi dan akan menemukan diri kami sendiri berada di balik perapian di dapur, persis di atas tangga melingkar yang menuju ke skriptorium. Waktu kami naik, rasanya kami mendengar suatu suara di atas kami.
Kami berdiam diri sejenak, lalu aku berkata, "Ini tidak mungkin. Tak seorang pun masuk sebelum kita."
"Anggap saja ini satu-satunya jalan memasuki Aedificium. Pada abad-abad yang lalu ini suatu
benteng, dan tentu punya lebih banyak jalan masuk rahasia daripada yang kita ketahui. Kita akan naik pelan-pelan. Tetapi kita hanya punya sedikit pilihan. Jika lampunya dimatikan, kita tidak bisa melihat arah; jika dibiarkan menyala, kita memberi tanda bahaya kepada siapa saja yang berada di lantai atas. Satu-satunya harapan kita adalah bahwa jika memang ada seseorang di sana, ia akan takut kepada kita."
Kami sudah sampai di skriptorium, muncul dari menara selatan.
Meja Venantius tepat di seberang. Ruangan itu begitu luas sehingga, sementara kami berjalan, setiap kali kami hanya bisa menerangi sampai beberapa yard ke dinding. Kami berharap tidak ada orang di dalam serambi, yang akan melihat cahaya lewat jendela. Meja itu terlihat masih rapi, tetapi William langsung membungkuk untuk memeriksa lembaran perkamen di atas rak di bawah, dan ia berseru dengan kecewa.
"Ada yang hilang"" tanyaku.
"Hari ini aku melihat dua buah buku di sini, salah satunya dalam bahasa Yunani. Dan itu yang tidak ada. Seseorang sudah mengambilnya, dan dengan amat terburu-buru, karena satu lembar jatuh di atas lantai sini."
"Tetapi meja itu diawasi
"Tentu saja. Mungkin baru diambil beberapa saat yang lalu.
Mungkin ia masih berada di sini." William berba-lik ke arah bayang-bayang dan suaranya menggema
di antara tiang-tiang. "Andaikan kau ada di sini, hati-hatilah." Bagiku itu seakan suatu gagasan yang bagus: seperti sudah dikatakan William sebelumnya, selalu lebih baik kalau orang yang menakuti kami juga takut kepada kami.
William meletakkan halaman yang ia temukan itu di atas meja dan menundukkan kepala ke atasnya. Ia minta lampuku didekatkan.
Aku memegang lampu itu lebih dekat kepadanya dan melihat satu halaman, setengahnya kosong, setengahnya yang lain penuh dengan huruf-huruf kecil yang dengan susah payah bisa kukenali asalnya.
"Bahasa Yunani"" tanyaku.
"Ya, tetapi aku tidak memahaminya dengan jelas." Ia mengeluarkan lensanya dari jubahnya dan memasangnya dengan kuat pada hidungnya, kemudian menundukkan kepalanya lagi.
"Ini tulisan Yunani, ditulis tangan dengan amat ha
lus, namun tidak rapi. Meski pakai lensa, aku masih sulit membacanya.
Cahayanya kurang terang. Lebih dekat lagi Ia harus mengangkat halaman perkamen itu dan didekatkan ke wajahnya; dan sebagai ganti melangkah di belakangnya dan mengangkat lampu tinggi-tinggi di atas kepalaku, dengan tolol aku berdiri tepat di hadapannya. William menyuruhku bergeser ke samping, dan sewaktu melakukannya, nyala lampu itu menggesek bagian belakang kertas tersebut. William mendorongku sambil bertanya apa
aku ingin membantunya membakar naskah itu. Kemudian ia berseru, dengan jelas aku melihat bahwa suatu simbol samar-samar, dalam warna kuning-kecokelatan, muncul di bagian atas halaman itu.
William meminta lampu itu dan memindahkan lampu itu ke belakang halaman sambil mengangkat nyalanya sampai dekat sekali pada permukaan perkamen tersebut. Dengan itu ia memanaskan perkamen tersebut tanpa membakarnya. Pelan-pelan, seakan ada suatu tangan tak kelihatan mulai menulis "Mane, Tekel, Peres", aku melihat beberapa simbol muncul satu per satu pada sisi berwarna putih halaman itu sewaktu William menggerakkan lampunya, dan sewaktu asap yang muncul dari ujung nyala lampu itu menghitamkan rekto itu; simbol-simbol itu tidak menyerupai alfabet apa saja, kecuali alfabet pernujuman.
"Fantastik!" kata William. "Makin lama makin menarik!" Ia memandang sekeliling. "Tetapi lebih baik tidak menunjukkan penemuan ini kepada teman misterius kita yang bisa melakukan muslihat, andaikan ia masih di sini Ia melepas lensanya, menaruhnya di atas meja, kemudian dengan cermat menggulung perkamen itu dan menyembunyikannya di bagian dalam jubahnya. Kami terpesona oleh urutan kejadian yang sangat ajaib ini dan aku baru mau minta penjelasan lebih lanjut ketika secara tiba-tiba kami dikagetkan oleh suatu bunyi tajam. Bunyi itu datang dari kaki anak tangga timur yang menuju perpustakaan.
"Teman kita di sana! Kejar dia!" teriak William, dan kami langsung lari ke arah itu. William bergerak dengan cepat, aku lebih lambat karena membawa lampu. Aku mendengar bunyi kelontang seseorang tersandung dan jatuh. Aku lari, dan menemukan William di kaki anak tangga, tengah mengamati sebuah buku tebal, jilidnya diperkuat dengan paku-paku metal. Pada saat yang sama kami mendengar bunyi lain, arahnya dari mana kami telah datang. "Tolol aku!" teriak William. "Cepat! Ke meja Venantius!"
Aku paham: seseorang, tampak dari bayangannya di belakang kami, telah melemparkan buku itu untuk menyingkirkan kami.
Sekali lagi William lari lebih cepat daripada aku dan lebih dulu sampai ke meja. Sementara mengikuti William, sekilas aku melihat suatu bayangan berlari di antara tiang-tiang, sambil mengambil anak tangga dari menara barat.
Karena dikuasai oleh semangat tempur, aku menyerahkan lampu itu ke tangan William dan lari membabi buta ke arah anak tangga yang sudah dituruni oleh pelarian itu. Waktu itu aku merasa bagaikan seorang serdadu Kristus tengah bertempur melawan pasukan neraka, dan aku terbakar oleh hasrat untuk memukul orang asing itu, untuk menyerahkannya kepada guruku. Aku tergelincir dan meluncur menuruni hampir seluruh tangga itu, karena menginjak ujung bawah jubahku sendiri (itu satu-satunya dalam hidupku, sumpah, ketika aku menyesal telah masuk suatu ordo biara!); tetapi
pada saat yang sama dan itu hanya pikiran sesaat aku menghibur diri sendiri dengan gagasan bahwa musuhku juga mengalami malapetaka yang sama. Dan lebih jauh lagi, andaikan ia sudah mengambil buku itu, tentu tangannya penuh. Dari belakang panggangan roti aku hampir menyelam masuk ke dalam dapur, dan dalam cahaya bintang yang samar-samar menerangi pintu masuk yang besar itu, aku melihat bayangan yang tengah kukejar tepat menyelip melewati pintu ruang makan, kemudian menutupnya. Aku bergegas menuju pintu itu, setelah beberapa menit membukanya dengan susah payah, aku masuk, memandang sekeliling, tetapi tidak melihat siapa-siapa. Pintu sebelah luar masih dipalang. Aku membalikkan badan. Hanya ada bayang-bayang dan kesunyian. Tampak olehku suatu cahaya maju dari dapur dan aku menempelkan tubuhku pada dinding. Di ambang pintu ga
ng di antara kedua ruangan itu, sesosok tubuh muncul, diterangi oleh sebuah lampu. Aku berteriak.
Oh, William. "Tidak ada siapa-siapa" Sudah kuduga. Ia tidak keluar melalui sebuah pintu" Ia tidak melalui gang lewat osarium""
"Tidak, ia keluar lewat sini, tetapi aku tidak tahu di mana!"
"Sudah kubilang: ada jalan-jalan lainnya, dan tidak ada gunanya bagi kita untuk mencari jalan-jalan itu. Mungkin teman kita itu akan muncul di suatu tempat yang jauh. Dan membawa lensaku."
"Lensa Anda""
"Ya. Teman kita itu tidak bisa mengambil halaman tersebut dariku, tetapi dengan pikiran yang cerdas, sambil bergegas lewat, ia merenggut kacamataku dari atas meja."
"Mengapa""
"Karena ia tidak bodoh. Setelah mendengar aku bicara tentang isi perkamen ini, ia menyadari bahwa itu penting, ia menduga bahwa tanpa lensa aku tidak akan berhasil menguraikannya, dan ia tahu pasti bahwa aku tidak akan menyerahkannya kepada siapa pun.
Terus terang saja, rasanya sekarang aku seakan tidak memiliki catatan tersebut."
"Bagaimana ia bisa tahu tentang lensa itu""
"Ayolah. Lepas dari kenyataan bahwa kita membicarakannya kemarin dengan si pandai-kaca, pagi tadi kupakai di dalam skriptorium untuk memeriksa perkamen Venantius. Jadi, ada banyak orang yang tahu betapa berharganya benda itu bagiku. Sebenarnya, aku bisa membaca naskah biasa, tetapi yang ini tidak." Dan sekali lagi ia membuka gulungan perkamen misterius itu. "Bagian yang dalam bahasa Yunani ditulis terlalu kecil dan bagian atasnya terlalu buram
Ia menunjukkan kepadaku simbol-simbol misterius yang seolaholah telah muncul secara ajaib karena panas nyala lampu itu.
"Venantius ingin membukakan suatu rahasia penting, dan ia menggunakan salah satu tinta yang tidak meninggalkan bekas kalau dipakai menulis
tetapi tulisannya akan muncul kalau perkamennya dihangatkan. Kalau tidak, ia menggunakan sari jeruk nipis. Namun, karena aku tidak tahu bahan apa yang ia gunakan dan bagaimana simbol-simbol itu dapat muncul lagi: cepat, kau yang masih punya mata bagus, salin segera setepat tepatnya, mungkin dengan agak dibesarkan sedikit."
Demikianlah maka aku mengerjakannya, tanpa mengerti apa yang tengah kusalin. Itu serangkaian empat atau lima baris tulisan, benar-benar pernujuman, dan aku hanya akan menuliskan kembali simbol-simbol paling pertama, agar pembaca dapat membayangkan bentuk teka-teki yang ada di depan mataku ini: Setelah selesai menyalin, William memeriksanya sambil memegang buku catatanku agak jauh dari hidungnya, sayangnya tanpa lensa.
"Tidak diragukan lagi ini suatu alfabet rahasia yang akan harus diuraikan," katanya. "Simbol-simbol ini ditulis dengan amat buruk, dan mungkin kau akan lebih buruk lagi menyalinnya, tetapi ini jelas suatu alfabet mintaku'lburuj. Lihatlah" Pada baris pertama kita dapat" ia menjauhkan catatanku lagi dan memicingkan matanya untuk memusatkan perhatian "Sagitarius, Matahari, Merkurius, Skorpio
"Dan apa itu artinya""
"Andaikan Venantius mau jujur, tentunya ia menggunakan alfabet mintaku'lburuj yang biasa: A setara dengan Matahari, B setara dengan Jupiter ... Jadi, baris pertama dapat dibaca .... Coba transkrip ini: RAIQASVL William berhenti. "Tidak, ini tidak ada artinya, dan Venantius tidak berterus terang.
Ia memformulasikan kembali alfabet itu dengan kunci lain. Aku harus menemukannya."
"Apa mungkin"" tanyaku kagum.
"Ya, jika kau tahu sedikit bahasa Arab. Risalah terbaik tentang kriptografi adalah karya para sarjana penyembah berhala, dan aku bisa minta seseorang di Oxford membacakannya. Bacon benar ketika mengatakan bahwa penaklukan ilmu pengetahuan akan tercapai melalui pengetahuan tentang bahasa-bahasa. Berabad-abad yang lalu, Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Washiya an-Nabati menulis Book of the Frenzied Desire of the Devout to Learn the Riddles of Ancient Writings (Buku tentang Hasrat Ingar-Bingar dari Orang Saleh untuk Mempelajari Teka-teki Tulisan Kuno), dan secara terperinci ia menguraikan banyak aturan untuk menyusun dan menguraikan alfabet misterius, yang tidak hanya berguna untuk praktik nujum tetapi juga untuk korespondensi antarpasukan tentara, at
au antara seorang raja dan para dutanya. Aku sudah melihat buku-buku Arab lainnya yang memuat daftar serangkaian muslihat yang amat rahasia. Misalnya saja, kau dapat mengganti satu huruf dengan yang berikutnya, atau menulis satu kata ke belakang, bisa juga membalik urutan huruf itu, atau dengan hanya menggunakan setiap huruf lain; dan kemudian memulainya lagi. Seperti dalam hal ini, kau dapat mengganti huruf dengan simbol minta-ku'lburuj, tetapi nilai numeriknya dihubungkan dengan huruf-huruf yang tersembunyi, dan kemudian, menurut alfabet lainnya, mengubah angka-angka
menjadi huruf-huruf lainnya ..."
"Dan Venantius telah menggunakan sistem yang mana""
"Kita harus menguji semua sistem itu, dan ada hal-hal lain di samping itu. Tetapi, aturan pertama untuk menguraikan suatu pesan adalah mengira-ngira apa artinya."
"Kalau begitu tidak perlu diuraikan!" Aku tertawa.
"Tidak persis begitu. Beberapa hipotesis dapat dibentuk berdasarkan kemungkinan huruf-huruf pertama dari pesan itu. Kemudian kauperiksa apakah aturan yang kauduga dipakai dari huruf-huruf itu dapat diterapkan pada teks yang selebihnya. Sebagai contoh, di sini Venantius dengan pasti sudah menuliskan kunci untuk menembus akhir Afrika. Jika aku berusaha berpikir bahwa pesan itu tentang ini, maka tiba-tiba aku diterangi oleh suatu ritme ....
Coba perhatikan tiga kata pertama ini, tidak usah mempertimbangkan huruf-hurufnya, tetapi jumlah simbolnya ... IIIIIIII IIIII IIIIIII .... Sekarang coba bagi ke dalam suku kata dari paling sedikit dua simbol masing masing, dan ucapkan keraskeras : ta-ta-ta, ta-ta, ta-ta-ta .... Apa ada yang muncul dalam benakmu""
"Tidak." "Bagiku, ya. 'Secretum finis Africae' .... Tetapi andaikan ini betul, maka huruf terakhir seharusnya punya huruf pertama dan keenam yang sama, dan nyatanya memang begitu: Simbol dari Bumi adalah dua kali. Dan huruf pertama dari kata pertama,
huruf S, seharusnya sama seperti huruf pertama dari kata kedua: dan cukup meyakinkan, simbol dari Virgin juga diulangi. Mungkin ini jejak yang betul. Tetapi bisa juga ini hanya serangkaian kebetulan.
Aturan korespondensinya harus ditemukan
"Ditemukan di mana""
"Dalam kepala kita. Gali saja. Dan kemudian periksa apa itu betul. Tetapi dengan mengujinya berkali-kali, permainan ini akan menghabiskan waktu sehari penuh. Tidak lebih dari itu karena ingat ini tidak ada tulisan rahasia yang tidak dapat diuraikan dengan sedikit kesabaran. Tetapi sekarang kita punya risiko kehabisan waktu, dan kita ingin mengunjungi perpustakaan.
Terutama karena, tanpa kacamata, aku tidak akan pernah bisa membaca bagian kedua dari pesan itu, dan kau tidak dapat membantuku karena simbol ini, bagi matamu
"Graecum est, non legitur,"["Memang bahasa Yunani, tak terbaca"- penerj.] aku menyelesaikan kalimat William, rasanya kecil hati. "Bagiku ini Yunani."
"Persis; dan kau tahu bahwa Bacon betul. Belajarlah! Tetapi kita tidak boleh berkecil hati. Kita singkirkan dulu perkamen dan buku catatanmu, dan kita akan naik ke perpustakaan. Karena malam ini, bahkan sepuluh legiun dari neraka tidak akan berhasil mengusir kita."
Aku membuat tanda salib."Tetapi kira-kira siapa dia, orang yang sudah mendahului kita di sini" Benno""
"Benno terbakar oleh hasrat untuk mengetahui apa yang ada di antara perkamen Venantius, tetapi menurutku ia bukan orang yang punya keberanian untuk memasuki Aedificium pada malam hari."
"Berengar kalau begitu" Atau Maleakhi""
"Menurutku, Berengar agaknya punya keberanian untuk melakukan hal-hal seperti itu. Dan, bagaimanapun juga, ia juga ikut bertanggung jawab atas perpustakaan ini. Ia dipenuhi penyesalan karena ada suatu rahasia yang tidak ia ketahui di perpustakaan ini; ia mengira Venantius telah mengambil buku itu, dan mungkin ia ingin mengembalikannya ke tempat asal buku itu. Ia tidak bisa naik ke lantai atas, dan sekarang ia menyembunyikan buku itu di suatu tempat."
"Tetapi bisa juga Maleakhi, untuk motif yang sama."
"Menurutku tidak. Maleakhi bebas kapan saja untuk membongkar meja Venantius sewaktu ia tinggal sendirian untuk mengunci Aedificium.
Aku tahu benar hal i tu, tetapi mungkin sekali ia menghindarinya.
Sekarang kita tahu bahwa ia tidak melakukannya. Dan jika kau berpikir dengan cermat, kita tidak punya alasan untuk mengira Maleakhi tahu bahwa Venantius telah memasuki perpustakaan dan mengambil sesuatu. Berengar dan Benno tahu ini, dan kau dan aku tahu ini. Setelah Adelmo mengaku dosa, Jorge juga bisa tahu, tetapi jelas ia bukan orang yang bisa lari begitu terbirit-birit menuruni tangga melingkar itu
"Kalau begitu, hanya Berengar atau Benno "Dan mengapa bukan Pacificus dari Tivoli atau rahib lainnya yang kita lihat berada di sini hari ini" Atau Nicholas si pandaikaca, yang tahu tentang kacamataku" Atau Salvatore yang karakternya aneh itu, yang kata orang, suka berkeliaran pada malam hari untuk keperluan yang hanya Tuhan yang tahu" Kita harus berhati-hati untuk tidak membatasi bidang tersangka hanya karena apa yang telah diungkapkan Benno telah mendorong kita dalam satu arah saja; mungkin Benno ingin menyesatkan kita."
"Tetapi kelihatannya ia jujur."
"Tentu saja. Tetapi ingat bahwa tugas pertama seorang inkuisitor yang baik adalah khusus mencurigai mereka yang kelihatannya jujur kepadanya."
"Jadi, inkuisitor itu pekerjaan kotor."
"Itulah sebabnya aku mengundurkan diri. Dan seperti katamu, aku terpaksa bertindak seperti itu lagi. Tetapi ayolah: ke perpustakaan." []
Malam Dalam cerita ini akhirnya para penyeludup itu menjelajahi labirin, dan mendapatkan penampakan aneh-aneh dan, seperti biasa terjadi dalam labirin, tersesat.
Kami kembali naik ke skriptorium, kali ini melalui tangga timur, yang juga naik ke lantai terlarang itu. Sambil memegangi lampu tinggi-tinggi di depan kami, aku memikirkan kata-kata Alinardo tentang labirin itu, dan mengharapkan hal-hal yang menakutkan.
Aku heran, saat kami muncul ke dalam tempat yang seharusnya tidak boleh kami masuki itu, karena ternyata kami berada dalam suatu ruangan bersisi tujuh yang tidak terlalu luas, tidak berjendela, yang dikuasai oleh sepertinya, dalam hal ini, di seluruh lantai suatu bau stagnasi atau lumut yang menyengat. Sama sekali tidak menakutkan.
Ruangan itu, seperti sudah kukatakan, punya tujuh dinding, tetapi hanya empat yang punya celah seperti suatu gang yang diapit dua kosen kecil yang dipasang dalam dinding. Celah dinding itu cukup lebar, dengan pelengkung bulat di atasnya. Pada dinding-dinding buntu itu berdiri rak-rak buku
yang besar, sarat oleh buku-buku yang tertata rapi. Masing-masing kotak buku diberi suatu gulungan perkamen dengan satu nomor, dan begitu pula masing-masing rak itu; jelas nomornya sama dengan yang sudah kami lihat di katalog. Di tengah ruangan itu ada sebuah meja, juga penuh buku. Semua buku itu tertutup lapisan debu tipis, pertanda buku-buku itu dibersihkan pada waktu-waktu tertentu. Juga tidak ada kotoran apa pun di atas lantai. Di atas salah satu pelengkung itu ada suatu bentuk gulungan perkamen besar, dilukiskan pada dinding, dengan kata-kata "Apocalypsis Iesu Christi".[Wahyu Yesus Kristus- penerj.] Tulisan itu tidak terlihat buram meskipun sudah tua sekali. Sesudah itu kami melihat, juga di ruang-ruang lainnya, bahwa bentuk gulungan perkamen itu benar-benar diukir dalam batu, dicukil cukup dalam, dan kemudian lekukannya diisi dengan warna, seperti yang dilakukan para pelukis waktu membuat fresko di gereja-gereja.
Kami masuk melalui salah satu celah itu. Ternyata kami lalu berada di ruang lain, di mana ada satu jendela yang, daun jendelanya tidak terbuat dari kaca tetapi dari potongan-potongan pualam beraneka warna, dengan dua dinding buntu dan satu celah, seperti celah yang tadi kami lewati. Celah ini membuka ke ruang lain, yang juga punya dua dinding buntu dan gang lain yang membuka di depan kami. Dalam kedua ruangan ini, bentuk kedua gulungan kertas di situ sama dengan yang tadi kami lihat, tetapi dengan kata-kata yang berbeda.
Gulungan perkamen dalam ruang pertama berbunyi: "Super thronos viginti quatuor",[Di atas takhta-takhta dua puluh empat- penerj.] dan yang ada pada ruang kedua: "Nomen illi mors".[Nama dia itu kematian- penerj.] Yang selebihnya, meskipun ke
dua ruang ini lebih kecil daripada ruang ketika pertama kali kami masuk ke perpustakaan itu (sebenarnya, yang satu itu heptagonal, sedangkan dua ruang ini segiempat), perabotannya sama.
Kami memasuki ruang ketiga. Di situ tidak ada buku dan tidak ada gulungan perkamennya. Di bawah jendela, ada sebuah altar batu. Di situ ada tiga pintu: satu yang kami lewati untuk masuk; dua lainnya, yang masuk ke ruang lain, sama seperti yang lainlainnya kecuali gulungan perkamennya yang berbunyi: "Obscuratus est sol et aer", yang menyatakan makin gelapnya mentari dan hari.
Dari sini kami masuk ke suatu ruang lain, yang gulungan perkamennya berbunyi: "Facta est grando et ignis", yang mengancam timbulnya huru-hara dan kebakaran. Ruang ini tidak ada celahnya: begitu masuk, kami tidak bisa maju lebih jauh dan harus kembali.
"Mari kita pikirkan hal ini," kata William. "Lima ruang seakan segiempat dengan dua sisinya searah, masing masing dengan satu jendela, ditata di sekitar suatu ruangan heptagonal tak berjendela yang dimasuki oleh tangga itu. Kelihatannya elementer bagiku. Kita berada di menara timur. Dari luar, masing-masing menara menunjukkan lima
jendela dan lima sisi. Tepat. Ruang yang kosong itu adalah yang menghadap timur, ke arah yang sama seperti tempat koor di gereja; mentari subuh menerangi altar, yang kukira pas dan suci. Menurutku, satu-satunya ide yang pintar, adalah penggunaan potongan pualam. Pada siang hari, cahaya tipis bisa masuk, dan pada malam hari sinar bulan sama sekali tidak bisa menembus. Sekarang mari kita lihat, menuju ke mana kedua pintu dari ruang heptagonal itu."
Guruku salah, mereka yang membangun perpustakaan itu lebih pintar daripada yang kami perkirakan. Aku tidak bisa menerangkan dengan jelas apa yang telah terjadi, tetapi ketika kami meninggalkan ruang menara, urutan ruang-ruang itu menjadi lebih membingungkan. Ada yang punya dua pintu, ada yang tiga. Semuanya masing-masing punya satu jendela, bahkan ruang-ruang yang kami masuki dari ruang berjendela satu itu, karena mengira kami menuju ke bagian-dalam Aedificium tersebut. Masing-masing selalu berisi jenis kotak dan meja yang sama; buku-buku yang dijajar rapi itu semua terlihat sama dan sudah tentu tidak membantu kami untuk segera mengenali lokasi kami. Kami berusaha mengorientasi diri lewat gulungan-gulungan perkamen itu. Kami menyeberangi ruang yang bertulisan "In diebus illis" atau "Pada hari-hari itu", dan setelah berputar-putar sebentar, rasanya kami harus kembali ke situ. Tetapi kami ingat bahwa pintu di seberang jendela itu menuju ke ruang yang gulungan perkamennya berbunyi "Primogenitus mortuorum", atau "Kelahiran pertama orang mati", sedangkan sekarang kami sampai ruang lain lagi yang gulungan perkamennya berbunyi "Apocalypsis Iesu Christi", meskipun itu bukan ruang heptagonal dari mana kami mulai tadi. Kenyataan ini meyakinkan kami bahwa kata-kata dalam gulungan perkamen itu kadang-kadang diulangi dalam ruang yang berbeda. Kami menemukan dua ruang berturutan yang ditandai dengan kata "Apocalypsis", dan langsung setelah itu, satu ruang ditandai perkamen yang berbunyi "Cecidit de coelo Stella magna", atau "Sebuah bintang besar jatuh dari langit".
Sumber dari frasa pada gulungan perkamen itu jelas bait-bait dari Wahyu kepada Yohanes tetapi sama sekali tidak jelas mengapa kata-kata itu dilukis pada dinding atau logika apa yang dipakai untuk mengurutkannya. Yang membuat kami makin bingung, kami menemukan bahwa ada beberapa gulungan perkamen, tidak banyak, yang berwarna merah dan bukan hitam.
Pada suatu saat tertentu kami ternyata berada lagi dalam ruang heptagonal yang pertama (dengan mudah dikenali karena lubang anak tangga itu dimulai di sana) dan kami kembali berjalan ke arah kanan kami, sambil berusaha langsung berjalan dari satu ke ruang lain. Kami melewati tiga ruang dan kemudian ternyata kami menghadapi sebuah dinding kosong. Satu-satunya jalan keluar adalah menuju suatu ruang baru yang hanya punya satu celah, lalu kami lewati, dan, kemudian, setelah empat ruang lagi, dan ternyata kami kembali menghadapi
sebuah dinding kosong. Kami
kembali ke ruang sebelumnya, yang punya dua jalan keluar, dengan mengambil satu yang belum pernah kami coba, kami masuk ke suatu ruang baru, dan kemudian ternyata kami berada lagi di bagian-luar ruang heptagonal itu.
"Apa nama ruang yang terakhir, ruang tempat kita mulai melacak kembali jalan kita"" tanya William.
Aku memeras ingatanku dan terbayang seekor kuda putih. "Equus albus".
"Bagus. Mari kita cari lagi." Dan itu mudah. Dari situ, jika tidak ingin kembali lagi seperti tadi, kami hanya dapat melewati ruang yang bertuliskan "Gratia vobis et pax", dan dari situ, di sebelah kanan, kami mengira menemukan suatu lorong baru, yang tidak membawa kami kembali. Nyatanya kami justru sampai ke ruang "In diebus illis" dan "Prirno-genitus mortuorum" (bukankah itu nama ruang-ruang yang belum lama ini kami masuki"); lalu akhirnya kami sampai ke sebuah ruang yang rasanya belum pernah kami kunjungi sebelumnya: "Tertia pars terrae combusta est."["Sepertiga bumi terbakar"- penerj.] Namun, bahkan kalau telah mendengar bahwa sepertiga bumi sudah terbakar, kami masih tidak tahu posisi kami berkaitan dengan menara timur itu.
Sambil memegang lampu di depanku, aku menjelajah ke dalam ruang-ruang selanjutnya. Seorang raksasa yang ukurannya amat besar, suatu bentuk yang berayun dan bergetar menuju ke arahku, seperti hantu.
"Setan!" teriakku dan hampir menjatuhkan lampu itu ketika memutar tubuh dan mencari perlindungan dalam pelukan William. Ia merenggut lampu itu dari tanganku dan, sambil mendorongku ke samping, melangkah maju dengan kebulatan tekad yang menurutku tampak sublim. Ia juga telah melihat sesuatu, karena ia buru-buru mundur. Kemudian ia mengajukan tubuhnya lagi dan mengangkat lampu itu. Lalu tertawa terbahak-bahak.
"Betul-betul pintar. Sebuah cermin!" "Sebuah cermin""
"Ya, kesatriaku yang pemberani. Belum lama tadi dengan begitu berani kau mau menangkap seorang musuh yang nyata di skriptorium, dan sekarang kau takut kepada pantulanmu sendiri. Sebuah cermin yang memantulkan bayanganmu sendiri, diperbesar dan bergoyanggoyang."
Ia membimbing tanganku dan mengajakku berjalan ke dinding yang menghadap pintu masuk ke ruang itu. Pada selembar kaca berombakombak, sekarang terkena cahaya lampu yang lebih dekat, aku melihat dua bayangan, bentuknya begitu tidak keruan, dan manakala kami mendekat atau melangkah mundur, bentuk dan tinggi pantulannya berubah.
"Kau harus membaca suatu risalah tentang optik," kata William bergurau, "seperti jelas dilakukan oleh pencipta perpustakaan ini. Yang terbaik adalah tulisan seorang Arab. Alhazen menulis sebuah risalah, De aspectibus, yang di dalamnya, dengan peragaan geometris yang persis, ia bicara tentang
kekuatan cermin, beberapa di antaranya, tergantung pada ketebalannya, dapat memperbesar benda paling kecil (apalagi kalau bukan kacamataku"), sementara yang lainnya membuat pantulannya muncul terbalik, atau mencong, atau menunjukkan dua objek sebagai ganti satu objek, atau empat sebagai ganti dua. Masih ada lainnya, seperti yang ini, mengubah orang kerdil menjadi seorang raksasa, atau seorang raksasa menjadi orang kerdil."
"Yesusku!" seruku. "Apakah ini semua, kalau begitu, bayangan yang oleh beberapa orang dikatakan tampak di dalam perpustakaan""
"Mungkin. Suatu ide yang betul-betul pintar." Ia membaca gulungan perkamen pada dinding di atas cermin itu: "Super thronos viginti quator". '"Dua puluh empat tua-tua di takhta mereka.'
Kita sudah melihat tulisan ini sebelumnya, tetapi di dalam suatu ruang tanpa cermin. Di samping itu, yang ini tidak ada jendelanya, dan juga tidak heptagonal. Di mana kita ini"" Ia memandang sekeliling dan menghampiri sebuah kotak buku. "Adso, tanpa oculi ad legendum yang ajaib itu, aku tidak dapat membayangkan apa yang tertulis pada buku-buku ini. Coba bacakan beberapa judulnya."
Aku mengambil sebuah buku secara acak. "Guru, ini tidak ada tulisannya!"
"Apa maksudmu" Aku bisa melihat ada tulisannya. Apa yang kaubaca""
"Aku tidak bisa membaca. Tidak ada huruf alfabetnya, dan ini bukan tulisan Yunani. Aku akan mengenalinya. Huruf-huruf itu seperti cacing, ular,
lalat, lubang "Ah, itu tulisan Arab. Apa yang lainnya seperti
itu"" "Ya, beberapa. Tetapi ini ada satu dalam huruf Latin, syukurlah. Al ... Al-Kuwarizmi, Tabulae."
"Tabel astronomi Al-Kuwarizmi, diterjemahkan oleh Adelard dari Bath! Suatu karya langka! Teruskan."
"Isa ibnu-Ali, De oculis; Alkindi, De radiis stellatis "Sekarang periksa yang di atas meja itu."
Aku membuka sebuah buku besar yang tergeletak di atas meja, De Betiis. Kebetulan aku membuka suatu halaman bergambar indah yang menunjukkan seekor unicorn yang amat cantik.
"Digambar dengan amat indah," komentar William karena bisa melihat ilustrasi itu dengan baik. "Dan itu""
Aku membaca, "Liber monstrorum de diversis generibus. Gambargambarnya juga bagus, tetapi rasanya lebih tua." William menundukkan wajahnya ke dekat teks itu. "Dilukis oleh rahib-rahib Irlandia, paling sedikit lima abad yang lalu.
Sebaliknya, buku unicorn itu, jauh lebih baru; menurutku seperti dibuat dalam gaya Prancis." Sekali lagi aku mengagumi pengetahuan guruku. Kami memasuki ruang sebelahnya dan menyeberangi empat ruang sesudah itu, semuanya berjendela, dan semua penuh dengan buku dalam bahasa yang tak dikenal, di samping beberapa teks tentang ilmu klenik. Kemudian kami sampai pada sebuah dinding,
yang memaksa kami untuk balik, karena lima ruang terakhir itu saling membuka, tanpa kemungkinan jalan keluar yang lain.
"Dengan menaksir sudut-sudut dinding itu, aku berani bilang kita berada dalam pentagon dari menara lain," kata William, "tetapi di sini tidak ada ruang heptagonal pusat. Mungkin kita salah."
"Tetapi bagaimana dengan jendela-jendela itu," tanyaku.
"Bagaimana mungkin ada begitu banyak jendela" Tidak mungkin semua ruang itu menghadap ke luar."
"Kau melupakan sumur pusat. Banyak dari jendela yang sudah kita lihat menghadap oktagon itu, sumur itu. Di siang hari, perbedaan cahayanya akan menunjukkan kepada kita mana jendela yang menghadap ke dalam, mana jendela yang menghadap ke luar, dan mungkin sinar matahari bahkan dapat mengungkapkan kepada kita posisi suatu ruang. Tetapi setelah gelap, bedanya tidak tampak.
Ayo kita kembali." Kami kembali ke ruang yang ada cerminnya dan berjalan menuju ambang pintu ketiga, yang kami kira belum kami lewati sebelumnya.
Di depan kami tampak sederet ruangan, tiga atau empat, dan ke arah yang terakhir kami melihat suatu cahaya.
"Ada orang di sana!" aku berseru dengan suara tertahan.
"Jika begitu, ia sudah melihat lampu kita," kata William, ia pun lalu melindungi nyala lampu itu
dengan tangannya. Kami terhenyak satu dua detik. Nyala itu terus berkedip pelan, tetapi tanpa menjadi lebih kuat atau melemah.
"Mungkin itu cuma lampu," kata William, "ditaruh di sini untuk meyakinkan para rahib bahwa perpustakaan ini dihuni oleh roh-roh orang mati. Tetapi kita harus memeriksanya. Kau di sini saja, dan tetap tutupi lampu itu. Aku akan ke sana dengan hati-hati."
Karena masih merasa malu pada figur malang yang kutabrak di depan cermin, aku ingin memperbaiki citra diriku sendiri di depan mata William. "Tidak, aku saja," kataku. "Guru di sini saja. Aku akan maju dengan hati hati. Aku lebih kecil dan lebih enteng.
Begitu sudah yakin tidak ada risiko, aku akan memanggil Anda."
Maka aku melakukannya. Aku maju melewati tiga ruang, sambil tetap mepet ke dinding, dengan langkah seringan kucing (atau seperti seorang novis turun ke dapur untuk mencuri keju dari almari makan: suatu keterampilan yang amat kukuasai di Melk). Aku sampai di ambang ruangan dari mana cahaya agak redup itu berasal. Aku menelusuri sepanjang dinding ke sebuah pilar yang berfungsi sebagai penyangga bagian kanan, dan mengintip ke dalam ruang itu. Tak ada siapa-siapa di sana. Di atas meja ada semacam lampu menyala, dan lampu itu berasap, berkedip-kedip. Kelihatannya lampu itu tidak seperti yang kami bawa; justru semacam wiruk tanpa tutup.
Tidak ada nyala api di situ, tetapi ada bara abu tipis yang membakar sesuatu. Aku mengumpulkan keberanianku dan masuk. Di atas meja, di samping wiruk, tergeletak sebuah buku dengan warnawarni cerah yang terbuka. Aku mendekat dan melihat e
mpat garis dengan warna berbeda-beda pada halaman tersebut: kuning, merah tua, pirus, cokelat bata. Seekor binatang buas tertera di sana, tampak amat mengerikan, seekor naga besar dengan sepuluh kepala, sedang menyeret bintang-bintang di langit dan dengan ekornya mengibaskan bintang-bintang itu agar jatuh ke bumi. Dan tiba-tiba aku melihat naga itu bertambah banyak, dan sirip pada kulitnya menjadi semacam hutan pecahan kaca yang mengilat-ngilat muncul dari halaman itu dan mulai mengitari kepalaku. Aku melemparkan kepalaku ke belakang dan melihat langit-langit ruangan itu melorot dan turun menekan ke arahku, kemudian aku mendengar sesuatu seperti desis seribu ular, tetapi tidak menakutkan, hampir menggoda, dan seorang perempuan muncul, bermandi cahaya, dan mendekatkan wajahnya ke wajahku, napasnya mengembusi wajahku.
Aku mengulurkan kedua tanganku dan mengusirnya, dan tanganku seakan menyentuh buku-buku pada rak di seberangnya, atau seakan jadi amat memanjang. Aku tidak lagi menyadari di mana aku berada, mana bumi, mana langit. Di tengah ruangan aku melihat Berengar menatapku dengan senyum penuh kebencian, nafsu membunuh. Aku menutupi wajahku dengan kedua tanganku, dan
tanganku seakan-akan seperti cakar katak, kurus dan berselaput. Aku menjerit, aku yakin itu; mulutku terasa asam. Aku terlempar ke dalam kegelapan abadi, yang rasanya makin lama makin melebar di bawahku; dan kemudian aku tidak tahu apa-apa lagi.
Aku terjaga lagi setelah rasanya berabad-abad lamanya, karena mendengar tepukan berdentam dalam kepalaku. Aku telentang di atas lantai dan William sedang menepuk-nepuk pipiku. Aku tidak lagi berada di ruang itu, dan di depan mataku ada gulungan perkamen yang berbunyi: "Requiescant a laboribus suis" ("Semoga mereka beristirahat dari pekerjaan mereka").
"Adso, ayolah, Adso," bisik William kepadaku. "Tidak ada apaapa
The Name Of The Rose Karya Umberta Eco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada segala sesuatu kataku, masih mengigau. "Di sana, binatang buas itu
"Tidak ada binatang buas. Aku menemukan kau mengoceh di bawah meja bergambar wahyu Mozarabic yang indah, terbuka pada halaman dengan mulier amicta sole,[Perawan berselubung matahari- penerj.] menghadapi naga itu. Tetapi dari aroma di situ aku menyadari bahwa kau telah menghirup sesuatu yang berbahaya dan langsung kugendong kau ke sini. Kepalaku juga sakit."
"Tetapi apa yang telah kulihat""
"Kau tidak melihat apa-apa. Nyatanya, ada semacam bahan yang mampu merangsang penampakan dibakar di sana. Aku mengenali baunya
: ini bahan dari Arab, mungkin sama dengan yang diberikan Petapa Tua dari Gunung itu kepada para pembantainya untuk dihirup sebelum menggagalkan misi mereka. Jadi, kita harus menjelaskan misteri dari penampakan itu. Seseorang menaruh ramuan magis di sana pada waktu malam agar tamu-tamu tak diundang yakin bahwa perpustakaan ini dijaga oleh makhluk-makhluk kejam. Oh, ya, apa yang kaualami""
Dengan bingung, sebisa mungkin yang kuingat, aku menceritakan tentang penampakan itu, dan William tertawa, "Untuk setengahnya kau mulai mengembangkan apa yang sepintas sudah kaulihat dalam buku itu, dan untuk selebihnya kau membiarkan hasrat dan ke takutanmu bicara. Ini cara kerja ramuan tertentu yang mulai beraksi. Besok kita harus membicarakan ini dengan Severinus; aku yakin ia tahu lebih banyak daripada yang ia ingin kita memercayainya.
Itu cuma ramuan, cuma ramuan, tidak memerlukan persiapan nujum seperti yang diceritakan pandai kaca itu kepada kita.
Ramuan, cermin .... Tempat pengetahuan terlarang ini dijaga oleh sarana yang banyak dan paling lihai. Pengetahuan dipakai untuk menutupi, dan bukan untuk memberi pencerahan. Aku tidak suka ini.
Pertahanan suci perpustakaan ini dikuasai oleh suatu pikiran yang terbalik. Namun, ini malam yang melelahkan; sekarang kita harus meninggalkan tempat ini. Kau ketakutan dan kau butuh air dan
udara segar. Tidak ada gunanya berusaha membuka jendela-jendela itu: terlalu tinggi, dan mungkin sudah puluhan tahun tertutup.
Bagaimana mereka bisa mengira Adelmo telah menjatuhkan dirinya ke bawah dari sini""
Meninggalkan tempat ini, kata William. Sepertinya mudah. Kami tahu bahwa perpustakaan it
u hanya dapat dicapai dari satu menara, menara timur. Tetapi di mana kami sekarang ini" Kami sudah benarbenar kehilangan orientasi. Kami mulai menjelajah, sementara takut tidak pernah bisa keluar lagi dari tempat ini: aku masih gemetar, tercengkam oleh rasa pingin muntah: dan William, sedikit banyak mencemaskan diriku dan jengkel karena pengetahuannya kurang memadai; tetapi penjelajahan ini memberi kami, atau dia, suatu gagasan untuk hari berikutnya. Kami bisa kembali ke perpustakaan ini, dengan perkiraan kami akan bisa keluar dari sini, dengan sebuah puntung berapi, atau sesuatu bahan lain yang bisa meninggalkan tanda-tanda pada dinding.
"Untuk mencari jalan keluar dari suatu labirin," kata William, "hanya ada satu cara. Pada setiap persimpangan jalan baru, yang belum pernah dilihat, jalan yang telah kita ambil harus diberi tiga tanda. Jika, karena tanda yang dibuat sebelumnya pada beberapa jalan di persimpangan itu, kau melihat bahwa persimpangan jalan itu sudah pernah dikunjungi, beri satu tanda saja pada jalan yang kauambil. Jika semua celah sudah dilewati telah ditandai, maka kau harus melacak kembali
langkahmu. Tetapi jika satu atau dua celah pada persimpangan itu masih belum bertanda, maka pilih salah satu, sambil membuat dua tanda di situ. Sementara melewati satu celah yang hanya punya satu tanda, kau akan membuat dua tanda lagi, sehingga semua celah sekarang punya tiga macam tanda. Semua bagian dari labirin itu pasti sudah pernah dikunjungi jika, ketika sampai pada suatu persimpangan jalan, kau tidak pernah melalui jalan dengan tiga tanda, kecuali tidak ada jalan lain yang sekarang tidak bertanda."
"Bagaimana Guru bisa tahu itu" Apa Guru ahli labirin""
"Tidak, aku mengutip suatu teks kuno yang pernah kubaca."
"Dan Guru keluar dengan menaati aturan ini""
"Hampir tidak pernah, sejauh aku tahu. Tetapi kita akan mencobanya, toh sama saja. Dan di samping itu, dalam waktu sekitar sehari lagi aku akan punya kacamata dan waktu untuk lebih menekuni buku-buku itu. Mungkin urutan dari gulungan perkamen itu yang membuat kita bingung, penataan buku-buku itu akan memberi kita aturan."
"Guru akan punya kacamata" Bagaimana guru akan menemukannya kembali""
"Aku bilang aku bakal punya kacamata. Aku akan menyuruh untuk membuat yang baru. Aku yakin pandai kaca itu ingin sekali mendapat kesempatan untuk mencoba sesuatu yang baru semacam ini.
Asalkan ia punya alat yang tepat untuk
menggerinda beberapa potong kaca. Ia toh punya banyak potongan kaca dalam bengkelnya."
Sementara menjelajah, sambil mencari-cari jalan, tiba tiba, di tengah satu ruang, aku merasa ada tangan tidak tampak membelai pipiku, sementara suatu erangan, bukan manusia bukan binatang, menggema dalam ruang itu sekaligus ruang berikutnya, seakan seorang hantu yang bergentayangan dari satu ruang ke ruang lainnya. Seharusnya aku sudah siap menghadapi kejutan-kejutan perpustakaan itu, tetapi sekali lagi aku ketakutan dan melompat mundur. William tentu mendapat pengalaman yang serupa, karena ia menyentuh pipinya sambil mengangkat lampu dan memandang ke sekeliling.
William mengangkat satu tangannya, memeriksa nyala lampu, yang sekarang sepertinya lebih terang, kemudian membasahi satu jarinya dengan ludah dan mengangkatnya lurus di depannya.
"Sudah jelas," katanya kemudian, dan menunjukkan kepadaku dua titik, pada dinding seberang, setinggi orang. Di sana ada dua celah sempit, dan jika kau menaruh tanganmu ke situ kau bisa merasakan udara dingin masuk dari luar. Kalau mengarahkan telingamu ke situ, kau dapat mendengar bunyi bergemeresek seakan ada angin bertiup dari luar.
"PERPUSTAKAAN ini harus, tentu saja, punya sistem ventilasi," kata William. "Kalau tidak, maka atmosfer di sini akan pengap, terutama pada musim panas. Di
samping itu, dua celah sempit itu memberi kelembapan yang memadai, sehingga perkamen itu tidak mengering. Tetapi kepandaian mereka yang membangun tempat ini tidak berhenti sampai di sini. Dengan menempatkan celah-celah sempit pada sudut tertentu, mereka memastikan bahwa pada malam-malam penuh angin, embusan angin yang menembus dari celah-ce
lah ini akan berhadapan dengan embusan angin lain, dan berputar di dalam urutan ruang-ruang, sehingga menimbulkan bunyi-bunyi yang sudah kita dengar. Yang, ditambah cermin dan ramuan itu, membuat orang gugup yang tidak kenal baik tempat ini menjadi lebih takut.
Dan untuk sejenak kita sendiri mengira hantu-hantu mengembuskan napas ke wajah kita. Kita baru menyadarinya sekarang karena baru sekarang angin itu berembus naik. Jadi, misteri ini, juga sudah teratasi. Tetapi kita masih belum tahu caranya keluar!"
Sementara kami bercakap-cakap, kami menjelajah tanpa tujuan, karena sekarang gelisah, kami merasa tidak perlu membaca gulungan-gulungan perkamen itu lagi, yang semuanya terlihat serupa. Kami sampai ke dalam suatu ruang heptagonal baru, kami berjalan lewat ruang ruang di dekatnya, kami tidak menemukan jalan keluar. Kami menelusuri kembali langkah kami dan berjalan hampir satu jam, tanpa berusaha menemukan di mana kami berada.
Pada suatu saat tertentu William memutuskan bahwa kami kalah; kami hanya bisa tidur di suatu tempat dan berharap keesokan hari Maleakhi akan
menemukan kami. Sementara kami meratapi akhir menyedihkan dari petualangan kami yang berani itu, tiba-tiba kami menemukan lagi ruang dari mana tangga itu turun. Dengan penuh syukur kami berterima kasih kepada surga dan turun dengan semangat tinggi.
Begitu sampai di dapur, kami bergegas menuju perapian dan memasuki gang osarium, dan aku bersumpah bahwa seringai mati dari kepala-kepala tak berdaging itu memandangku bagaikan senyum sahabat lama. Kami memasuki gereja lagi dan keluar lewat pintu utara, akhirnya duduk dengan bahagia di atas batu-batu nisan. Udara malam yang indah bagaikan balsem suci. Bintang-bintang bersinar di seputar kami dan aku merasa bayang-bayang perpustakaan sudah jauh sekali.
"Betapa indahnya dunia ini, dan betapa jeleknya labirin itu," kataku dengan lega.
"Betapa dunia akan menjadi indah jika ada suatu prosedur untuk berjalan-jalan lewat labirin itu," jawab guruku.
Kami berjalan sepanjang sisi kiri gereja itu, melewati gerbang besar (aku memalingkan wajah, agar jangan melihat tua-tua dari kitab Wahyu: "Super thronos viginti quatuor"!), dan menyeberangi kloster untuk menuju penginapan tamu.
Di pintu bangunan itu berdiri sang Abbas, sambil menatap kami dengan angker. "Aku telah mencari-carimu sepanjang malam," katanya kepada William. "Aku tidak menemukan kau di dalam bilikmu, aku tidak menemukan kau di dalam gereja
"Kami sedang melacak jejak .kata William pelan, nyata dengan malu. Abbas itu memandangnya lama-lama, kemudian berkata dalam suara yang pelan pelan dan keras, "Aku mencarimu segera setelah komplina. Berengar tidak berada dalam koor."
"Kau bilang apa"" kata William dengan raut muka ceria. Terus terang, sekarang jelas baginya siapa yang tadi bersembunyi dalam skriptorium.
"Ia tidak berada di koor selama komplina," ulang Abbas itu, "dan belum kembali ke biliknya. Sebentar lagi matina, dan sekarang akan kita lihat apa ia muncul lagi. Kalau tidak, aku cemas akan ada musibah lagi."
Pada matina Berengar tidak hadir. []
HARI KETIGA Dari Lauda Sampai Prima Dalam cerita ini ditemukan sehelai kain berlumur darah dalam bilik Berengar, yang lalu hilang; dan hanya itu.
Ketika mulai menuliskan kata-kata ini, aku merasakan lagi keletihan seperti yang kurasakan malam itu, atau, lebih tepatnya, pagi itu. Apa boleh dikata" Setelah matina, Abbas menyuruh hampir semua rahib, sekarang dalam keadaan amat gelisah, untuk mencari ke mana-mana, tetapi tanpa hasil.
Menjelang lauda, sewaktu menggeledah bilik Berengar, seorang rahib menemukan secarik kain putih berlumur darah di bawah dipan.
Ia menunjukkannya kepada Abbas, yang menarik pertanda paling mengerikan dari situ. Jorge juga ada di situ, dan begitu diberi tahu, ia bilang, "Darah"" seakan benda itu tampak mustahil baginya. Mereka memberi tahu Alinardo, yang menggelengkan kepala dan berkata, "Tidak, tidak, pada trompet ketiga akan datang air
William memeriksa kain itu, kemudian berkata, "Sekarang segalanya sudah jelas."
"Di mana Berengar"" tanya mereka.
"Entahl ah," jawabnya. Aymaro mendengar kata William dan mengangkat matanya ke langit sambil bergumam kepada Petrus dari Sant' Albano. "Khas orang Inggris."
Menjelang prima, ketika mentari sudah tinggi, para pelayan disuruh menjelajahi kaki jurang, di sekitar semua dinding. Mereka kembali pada saat tersiat, karena tidak menemukan apa-apa.
William mengatakan kepadaku bahwa kami tidak bisa melakukan yang lebih baik. Kami harus menunggu kejadian lainnya. Dan ia pergi ke bengkel kaca, lalu bercakap-cakap lama dengan Nicholas, pandai-kaca itu.
Aku duduk di dalam gereja, dekat pintu utama, ketika misa berlangsung.
Dan aku merasa sangat mengantuk dan tidur lama sekali, karena orang muda agaknya butuh tidur lebih lama daripada orang tua, yang sudah tidur begitu banyak dan mulai menyiapkan diri untuk tidur selamanya. []
Tersiat Dalam cerita ini Adso, di dalam skriptorium, merenungkan kisah ordonya dan nasib buku-buku.
Aku keluar dari gereja dengan rasanya sudah tidak terlalu lelah lagi, tetapi pikiranku bingung: tubuh ini tidak bisa menikmati istirahat yang tenang kecuali pada jam-jam malam. Aku naik ke skriptorium dan, setelah mendapat izin dari Maleakhi, mulai membuka-buka halaman katalog. Namun, ketika aku memandangi halaman-halaman yang lewat di depan mataku, sebenarnya aku tengah mengamati para rahib itu.
Aku kagum akan ketenangan mereka, akan kedamaian mereka. Tekun bekerja, mereka seakan-akan lupa bahwa salah seorang saudara mereka dengan penuh tanda tanya sedang dicari-cari di seluruh tempat, dan bahwa dua lainnya telah lenyap dalam keadaan mengerikan.
Di sini, kataku dalam hati, letak kehebatan ordo kami: selama berabad-abad dan berabad-abad, orang-orang seperti ini telah menyaksikan pengacau barbarian menyerang, merampok biara mereka,
melontarkan kerajaan-kerajaan ke dalam nyala api liar, dan toh mereka tetap memperindah perkamen dan tinta, tetap membaca, menggerakkan bibir mereka di atas kata-kata yang telah mereka warisi selama berabad-abad dan akan mereka wariskan selama berabad-abad mendatang. Mereka terus membaca dan menyalin sementara milenium mendekat; kenapa mereka tidak mau berhenti berbuat begitu sekarang"
Sehari sebelumnya, Benno telah mengatakan bahwa ia akan bersedia melakukan dosa dalam rangka memperoleh sebuah buku langka. Ia tidak bohong dan ia tidak bergurau. Seorang rahib seharusnya sungguh mencintai bukunya dengan kerendahan hati, mengharapkan kebaikan buku-buku itu dan bukan kemuliaan dari rasa ingin tahu mereka sendiri; tetapi kalau orang miskin tergoda untuk berzina dan pejabat gereja sekular mendambakan kekayaan, maka rahib tergoda untuk memperoleh pengetahuan.
Aku membuka-buka semua halaman katalog itu, dan suatu pesta judul misterius menari-nari di depan mataku: Quinti Sereni de medicamentis, Phaenomena, Liber Aesopi de natura animalium, Liber Aethici peronymi de cosmographia, Libri tre quos Arculphus episcopus adamnano escipiente de locis Sanctis ultramarinis designavit conscribendos, Libellus Q. Iulii Hilarionis de origine mundi, Solini Polyhistor de situ orbis terrarum et mirabilibus, Almagesthus .... Aku tidak heran kalau misteri dari kejahatan kejahatan itu sudah tentu melibatkan
perpustakaan itu. Bagi orang-orang yang mengabdi kepada penulisan, perpustakaan merupakan Jerusalem surgawi sekaligus dunia bawah tanah pada batas antara terra incognita dan dunia gelap Hades di bawah tanah. Mereka dikuasai oleh perpustakaan itu, oleh janji-janji dan larangannya. Mereka hidup bersama perpustakaan, untuk itu, dan mungkin melawan itu, sementara dengan penuh dosa berharap suatu hari dapat merampas semua rahasianya. Mengapa mereka tidak boleh mengambil risiko kematian untuk memuaskan suatu keingin tahuan dari pikiran mereka, atau membunuh untuk mencegah jangan sampai ada orang yang mengambil rahasia mereka sendiri yang dijaga dengan cermat"
Godaan, dapat dipastikan: kesombongan intelektual. Amat berbeda dengan rahib-penulis yang diangankan oleh santo pendiri kami, mampu menyalin tanpa memahami, pasrah kepada kehendak Allah, menulis seakan berdoa, dan berdoa sedikit banyak sama denga
n sedang menulis. Mengapa hal ini tidak lagi seperti itu"
Oh, ini sudah tentu bukan karena kemerosotan ordo kami! Ordo kami sudah menjadi terlalu kuat, abbas-abbasnya bersaing dengan para raja: dalam diri Abo, apa tidak mungkin aku tidak melihat contoh dari seorang raja yang, dengan sikap seorang raja, berusaha menyelesaikan kontroversi di antara para raja" Pengetahuan itu sendiri, yang sudah dikumpulkan biara-biara tersebut, sekarang digunakan sebagai barang tukar-menukar, alasan
untuk bangga, motif untuk pamer dan punya martabat; persis seperti para kesatria memamerkan senjata dan standar kecekatan, maka abbas kami memamerkan naskah-naskah bergambar .... Dan sekarang makin begitu (gila sekali!) ketika biara-biara kami juga sudah tidak lagi unggul di bidang ilmu pengetahuan: sekolah-sekolah katedral, usaha dagang di kota. Sekarang universitas mulai menyalin buku, mungkin lebih banyak dan lebih baik daripada kami, dan menghasilkan buku-buku baru, dan mungkin ini yang selama ini menimbulkan banyak kemalangan.
Biara tempat aku menginap sekarang ini mungkin biara paling akhir yang memamerkan kehebatan dalam produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan. Tetapi mungkin untuk alasan ini juga, para rahib sudah tidak lagi puas dengan pekerjaan suci menyalin buku; mereka juga ingin menghasilkan kelengkapan alam yang baru, didorong oleh hasrat akan hal-hal baru. Dan mereka tidak menyadari, seperti yang samar-samar kurasakan pada saat itu (dan tahu dengan jelas pada hari ini, karena sekarang sudah tua dalam usia dan pengalaman), bahwa dengan berbuat begitu mereka mendukung hancurnya kehebatan mereka. Karena jika pengetahuan baru yang ingin mereka hasilkan ini akan beredar dengan bebas di luar dinding-dinding tersebut, maka tidak ada lagi yang akan membuat tempat suci itu mencolok dibandingkan suatu sekolah katedral atau suatu universitas di kota. Di lain pihak, karena tetap terpencil, biara ini dengan
kuat mempertahankan martabat dan kekuatannya, tidak dirusak oleh intrik, oleh kecongkakan karena amat menyenangi apa saja sehingga setiap misteri dan setiap kehebatan harus tunduk pada pemeriksaan cermat dari sic et non. Itu sebabnya, kataku dalam hati, mengapa suasana perpustakaan itu sunyi dan gelap; itu adalah pelestarian pengetahuan namun pengetahuan itu hanya akan tetap tidak ternoda jika siapa saja, bahkan rahib-rahib itu sendiri, sama sekali dicegah untuk menjamahnya. Pengetahuan bukan sekeping koin, yang secara fisik tetap utuh bahkan setelah melalui transaksi paling keji; ini, lebih tepatnya, seperti sepotong gaun yang indah, yang menjadi lapuk setelah berkali-kali dipakai dan dipamerkan. Bukankah dalam kenyataannya buku juga demikian"
Jika banyak disentuh, halamannya menjadi kumal, tinta dan warna emasnya menjadi buram. Aku melihat Pacificus dari Tivoli, membuka-buka sebuah buku kuno yang halamannya sudah lengket karena lembap. Ia membasahi jempol dan telunjuknya dengan ludah agar bisa membuka seluruh buku itu, dan setiap sentuhan ludah akan mengurangi kesehatan perkamen itu; membukanya berarti mulai melipatnya, membuatnya kena gerakan kasar udara dan debu, yang akan mempertajam kerutan tipis dari perkamen itu, dan akan tumbuh jamur pada ujung perkamen di mana ludah itu telah melunakkan tetapi juga melemahkan. Kalau kemanisan mengakibatkan kesatria jadi lemah semangat dan tidak cekatan, maka cinta yang ingin tahu dan ingin
memiliki ini akan mengakibatkan buku tersebut rentan kepada penyakit yang ditakdirkan untuk membunuhnya.
Lalu bagaimana" Jangan dibaca dan hanya dilestarikan" Apa kecemasanku betul" Apa yang akan dikatakan guruku"
Di dekatku aku melihat seorang rubrikator, Magnus dari Iona, yang telah selesai menggosok perkamennya dengan batu apung dan sekarang sedang melunakkannya dengan kapur, sebentar lagi melicinkan permukaannya dengan sebatang penggaris. Yang lain, di sampingnya, Rabano dari Toledo, telah membeber perkamen itu di atas meja, mulai membuat lubang-lubang kecil pada tepinya dengan sebatang stilus, dan di antara lubang-lubang itu ia sekarang mulai menggambar garis-garis horizontal yang amat tipis. Sebe
ntar lagi kedua halaman itu akan diisi dengan warna dan bentuk-bentuk, lembaran itu akan menjadi semacam relikui, berkilauan dengan permata yang ditaburkan di atas apa yang kelak akan menjadi teks tulisan yang saleh. Kedua saudara itu, kataku kepada diri sendiri, melewatkan jam-jam surga dunia mereka. Mereka mulai menghasilkan buku-buku baru, persis seperti buku-buku yang mustahil tidak dihancurkan oleh waktu .... Oleh karena itu, perpustakaan itu tidak dapat diancam oleh kekuatan jasmaniah apa pun, karena perpustakaan itu sendiri suatu benda hidup .... Namun jika itu hidup, mengapa tidak mau menerima risiko terbukanya pengetahuan" Apa ini yang diinginkan Benno dan yang mungkin sudah
diinginkan Venantius"
Aku merasa bingung, takut akan pikiranku sendiri. Mungkin ini bukan pikiran yang cocok buat seorang novis, yang seharusnya hanya mengikuti Regula dengan rajin dan rendah hati selama seluruh tahun-tahun mendatang yang dengan sendirinya sudah kulakukan, tanpa mempertanyakan lebih jauh kepada diriku sendiri, sementara dunia di sekitarku mulai terbenam makin dalam dan makin dalam lagi ke dalam badai darah dan kegilaan.
Waktu itu jam makan pagi. Aku pergi ke dapur di mana aku sekarang sudah berteman dengan tukang-tukang masak, dan mereka memberiku beberapa potong kue paling lezat. []
Sexta Dalam cerita ini Adso menerima kepercayaan dari Salvatore, yang tidak dapat diringkas menjadi beberapa patah kata, tetapi yang membuatnya merenung lama dan penuh keprihatinan.
Waktu sedang makan, aku melihat Salvatore di satu pojok, jelas sudah berdamai dengan tukang masak itu, dengan ia tengah menikmati sepotong pai daging dengan gembira. Ia makan seolah-olah tidak pernah makan sepanjang hidupnya, tidak membiarkan sepotong remah pun jatuh, dan tampak bersyukur kepada Tuhan untuk peristiwa luar biasa ini.
Ia mengerdipkan mata kepadaku dan berkata, dalam bahasanya yang kacau, bahwa ia makan untuk membayar puasanya selama bertahun-tahun. Aku bertanya kenapa. Lalu ia cerita tentang masa kecilnya yang amat menyedihkan dalam suatu desa yang iklimnya buruk, sering sekali hujan, di mana ladang-ladang membusuk sementara udara dikotori oleh racun rawa yang mematikan. Dari musim ke musim terjadi banjir di sana, atau begitu yang bisa kutangkap, ketika sawah-sawah tidak punya pematang dan dengan segantang benih kau hanya
memanen satu sektari, seperenam bagian, dan kemudian hasil satu sektari itu menurun menjadi nol. Bahkan wajah para tuan tanah pucat seperti orang miskin, meskipun, menurut Salvatore, jumlah orang miskin yang mati lebih besar daripada orang berpunya, mungkin (ia tersenyum) karena jumlah orang miskinnya lebih banyak .... Satu sektari harganya lima belas pence, satu gantang enam puluh pence, para pengkhotbah mengumumkan tentang akhir dunia, tetapi orangtua dan kakek Salvatore juga ingat bahwa kisah yang sama itu sudah dikhotbahkan di masa lalu, maka mereka sampai pada kesimpulan bahwa dunia selalu hampir berakhir. Dan setelah mereka makan semua bangkai burung dan semua binatang tidak bersih yang bisa ditemukan, terdengar desas-desus di desa bahwa ada orang yang mulai menggali mayat manusia. Salvatore menjelaskannya dengan kemampuan dramatik yang hebat, bagaikan seorang aktor, bagaimana perilaku "homeni malissimi"[Kanibal keji-penefj.] itu, orang-orang kejam yang mengeruk tanah kuburan dengan jari-jari mereka sehari setelah mayat dimakamkan. "Nyam!" katanya, dan menggigit sepotong pai dagingnya, tetapi di wajahnya aku bisa melihat seringai orang putus asa yang sedang menyantap mayat. Dan kemudian, karena tidak puas menggali di tanah yang disucikan, berbuat lebih buruk lagi, seperti perompak, mengendapendap dalam hutan dan tiba-tiba mencegat para pejalan. "Kuek!" kata Salvatore sambil menaruh belatinya pada tenggorokannya, dan "Nyam!" Dan yang paling buruk di antara anak paling jahat, mulai menawarkan sebutir telur atau apel, dan kemudian mengambilnya kembali, namun, seperti diterangkan Salvatore kepadaku dengan amat sedih, selalu menghabiskannya lebih dulu. Ia menceritakan tentang seorang lelaki yang datang ke des
a itu untuk menjual daging matang dengan harga beberapa pence, dan tak seorang pun bisa memahami keberuntungan yang besar ini, tetapi kemudian seorang imam mengatakan bahwa itu daging manusia, dan orang itu dirajam habis oleh orang banyak yang marah. Bagaimanapun juga, pada malam itu juga, seorang penduduk desa pergi dan menggali makam korban yang terbunuh itu dan makan daging kanibal itu, yang kemudian, karena ketahuan, orang desa membunuhnya pula.
Tetapi Salvatore tidak hanya menceritakan kisah ini. Dengan kata patah-patah, sehingga aku terpaksa mengingat-ingat sedikit yang kuketahui tentang dialek Provencal dan Italia, ia menceritakan tentang pelariannya dari desa asalnya dan berkelana di segala penjuru dunia. Dan dalam kisahnya ini, aku mengenali banyak orang yang sudah kukenal atau kutemui sepanjang jalan, dan sekarang aku mengenali banyak lagi yang belum pernah kujumpai sejak itu, sehingga setelah ini, aku mungkin justru menghubungkan petualangan dan kejahatan orang-orang lain dengannya, sebelum dia dan sesudah dia, dan yang sekarang, dalam pikiranku yang letih, yang membentang rata untuk
membentuk satu gambaran tunggal. Terus terang ini kekuatan dari imajinasi, yang, dengan menggabungkan ingatan akan emas dengan ingatan akan gunung, dapat menyusun gagasan tentang suatu gunung emas.
Selama perjalanan kami, aku sering mendengar William menyebutkan "orang biasa", suatu istilah yang oleh saudara-saudaranya tidak hanya dianggap sebagai penduduk biasa, tetapi pada waktu yang sama, mereka yang tidak berpendidikan. Bagiku, ungkapan ini selalu terlihat generik, karena dalam kota-kota Italia aku telah bertemu dengan saudagar dan artisan yang bukan orang gereja tetapi bukannya tidak berpendidikan, bahkan jika pengetahuan mereka diungkapkan melalui pemakaian bahasa dialek. Dan, untuk masalah itu, beberapa dari tiran yang pada masa itu menguasai semenanjung tersebut justru tidak mengenal pengetahuan teologis, dan medis, dan logika, dan tidak tahu bahasa Latin, tetapi mereka jelas bukan orang biasa atau bodoh. Jadi, aku yakin bahwa bahkan guruku, kalau bicara tentang orang biasa, menggunakan konsep yang agak sederhana. Tetapi Salvatore sudah jelas orang biasa. Ia berasal dari tanah pertanian yang selama berabad-abad menderita kelaparan dan dikuasai arogansi tuan-tuan tanah feodal. Ia orang biasa, tetapi tidak bodoh. Ia mendambakan suatu dunia yang berbeda, yang, waktu lari dari rumah keluarganya, aku menyimpulkan, mengambil aspek tanah Cockaigne, sebagai tempat di mana bongkahan-bongkahan keju
dan sosis lezat tumbuh pada pohon-pohon yang mengucurkan madu.
Terdorong oleh harapan semacam itu, seakan-akan tidak mau mengenali dunia ini sebagai sebuah cawan air mata di mana (seperti yang mereka ajarkan kepadaku) bahkan ketidakadilan sudah ditakdirkan sebelumnya oleh Allah untuk menjaga keseimbangan segala sesuatu, yang rencananya sering tidak mencapai kita, Salvatore melakukan perjalanan ke berbagai negeri, dari desa asalnya Montferrat menuju Liguria, kemudian memasuki tanah-tanah Raja Prancis melalui Provence.
Salvatore berkelana di seluruh dunia, mengemis, mencopet, pura-pura sakit, sambil bekerja tidak tetap pada seorang tuan tanah, kemudian pergi lagi ke hutan atau ke jalan raya. Dari kisah yang ia ceritakan kepadaku, aku membayangkan ia berada di tengah gerombolan gelandangan yang pada tahun-tahun berikutnya kulihat makin lama makin banyak berkeliaran di sekitar Eropa: rahib palsu, orang yang mengaku punya keterampilan yang sebenarnya tidak ia miliki, penipu, pembohong, pengemis dan mereka yang berpakaian compang camping, penderita lepra dan cacat tubuh, pemain sulap, tentara invalid, orang Yahudi yang keluyuran kehilangan semangat karena melarikan diri dari orang kafir, orang gila, pelarian dari pembuangan, narapidana dengan satu telinga dipotong, sodomit, dan bersama mereka ada artisan, penenun, tukang patri, tukang reparasi kursi, tukang asah pisau, penganyam keranjang, tukang batu, dan juga
segala macam orang jahat, pemalsu, bajingan, pemain kartu yang curang, pencoleng, penodong, orang tak beriman, gadungan, penip
u, buaya darat, pejabat gereja dan imam yang memperjualbelikan indulgensi (pengurangan siksa neraka) dan menggelapkan uang, orang yang hidup dari belas kasihan orang lain, pemalsu bulla dan cap kepausan, penjaja kenikmatan, orang yang berbaring pura-pura lumpuh di depan pintu gereja, pengemis pelarian dari biara, penjual relikui, penjual pengampunan, tukang ramal, ahli nujum, tukang obat, pemintaminta, segala macam pezina, perusak biarawati dan gadis-gadis dengan tipuan dan dengan cara kekerasan, orang yang berlagak sakit gembur-gembur, ayan, perdarahan, encok, dan luka-luka, maupun pura pura gila dan sedih, mereka semua berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Ada orang yang melekatkan plester pada tubuhnya untuk meniru bisul yang tak bisa disembuhkan, ada pula yang memenuhi mulutnya dengan bahan berwarna darah untuk meniru orang sakit paru-paru, bajingan yang berpu ra-pura salah satu kakinya lumpuh, sambil membawa kruk yang tidak perlu dan meniru segala macam penyakit, scabies, bubu, bengkak, sambil mengenakan pembalut, tetesan obat merah, sambil membawa besi, kepala mereka diperban, menyelip masuk gereja dengan bau busuk, dan tiba-tiba pingsan di tempat terbuka, sambil mengeluarkan ludah dan mata membelalak-belalak, dari hidungnya keluar darah yang terbuat dari sari blackberry dan
vermilion, untuk merampas makanan atau uang dari orang-orang ketakutan yang ingat akan pesan imam untuk memberi sedekah: Bagi rotimu dengan orang lapar, bawa orang yang tak punya rumah ke dekat perapianmu, maka kita mengunjungi Kristus, kita memberi Kristus rumah, kita memberi Kristus pakaian, karena bagaikan air memadamkan api begitu pula sedekah menghapuskan dosa kita.
Lama setelah kejadian-kejadian yang kuceritakan ini, sepanjang tepian Danube aku melihat banyak, dan masih melihat beberapa, dukun klenik yang menggunakan nama dan cabang devisi mereka dalam legiun, seperti legiun setan.
Ini bagaikan lumpur yang mengalir di atas jalan-jalan dunia kita, dan bercampur bersama mereka ada para pengkhotbah dalam iman yang baik, orang bidah yang mencari korban baru, para penghasut perselisihan. Adalah Paus Yohanes selalu mencemaskan gerakan orang biasa yang mungkin berkhotbah dan mempraktikkan kemiskinan yang mengecam pedas para pengkhotbah dina ini, karena, katanya, mereka menimbulkan keingintahuan dengan mengibarkan bendera dengan gambar-gambar berwarna, berkhotbah, dan menarik uang.
Apa Paus yang korup dan memperjualbelikan pengampunan itu benar kalau menganggap para rahib pengemis yang berkhotbah tentang kemiskinan itu setara dengan segerombolan perampok dan orang buangan" Pada masa itu, karena telah melakukan perjalanan singkat di Semenanjung Italia, aku tidak lagi punya pendapat tegas
terhadap masalah itu: aku sudah mendengar tentang rahib dari Altopascio, yang, ketika berkhotbah, mengancam ekskomunikasi dan menjanjikan indulgensi, mengampuni mereka yang melakukan perampokan dan membunuh ayah sendiri, membunuh orang lain, dan mengucapkan sumpah palsu, demi uang; mereka membiarkan orang percaya akan kemurahan hati dengan mengadakan misa sampai seratus kali setiap hari, untuk itu mereka mengumpulkan dana, dan mereka bilang bahwa dengan dana itu mereka bisa memberi derma kepada dua ratus gadis melarat. Dan aku telah mendengar kisah Bruder Paolo Zoppo, yang hidup sebagai petapa di Hutan Rieti dan membual bahwa karena telah menerima pencerahan langsung dari Roh Kudus yang menyatakan bahwa tindakan duniawi bukan dosa maka ia merayu korban-korbannya, menyebut mereka saudara perempuan, memaksa mereka pasrah menerima cambukan pada daging mereka yang telanjang, membuat lima pemujaan di atas tanah dalam bentuk sebuah salib, sebelum ia menyerahkan mereka kepada Tuhan dan menuntut dari mereka apa yang ia sebut cium damai. Tetapi apa itu betul"
Dan apa hubungannya antara para petapa yang konon beroleh pencerahan tersebut dan rahib dina yang berkeliaran sepanjang jalan-jalan semenanjung itu untuk melakukan pertobatan, tidak disukai oleh imam dan uskup yang mereka cela karena mencuri dan kejam"
Dari kisah Salvatore, karena lalu bercampur
de ngan hal hal yang sudah kuketahui dari pengalamanku sendiri, perbedaan ini tidak muncul dengan jelas: segalanya terlihat sama seperti segala sesuatu yang lain. Bagiku, berkali-kali Salvatore terlihat seperti salah seorang pengemis cacat dari Turin yang, seperti yang diceritakan orang, melarikan diri ketika iringan jenazah Santo Martinus yang menakjubkan mendekat, karena takut santo itu akan menyembuhkan mereka dan dengan demikian mereka akan kehilangan sumber mata pencarian, dan tanpa belas kasihan santo itu menyelamatkan mereka sebelum mereka mencapai perbatasan, menghukum kejahatan mereka dengan membuat mereka mau menggunakan anggota tubuh mereka lagi. Bagaimanapun juga, wajah Salvatore buruk itu berkali-kali menjadi cerah dengan pancaran manis ketika menceritakan bagaimana, sewaktu hidup di antara gerombolan-gerombolan itu, ia mendengarkan kata-kata para pengkhotbah Fransiskan, yang ditolak masyarakat seperti dirinya sendiri, dan memahami bahwa ia harus menjalani kehidupan miskin dan sebagai pengelana, tidak usah dengan murung, tetapi menganggapnya sebagai tindakan dedikasi yang penuh kegembiraan, dan ia bergabung dengan sekte dan kelompok pengampunan yang namanya tidak bisa ia ucapkan dengan betul dan yang doktrinnya ia jelaskan dalam istilah-istilah yang amat tidak bisa dipercaya. Aku menyimpulkan bahwa ia telah bergabung dengan kelompok Patarin dan Waldensian, dan mungkin Kataris, Arnoldis, dan Umiliati, dan bahwa, sambil
menjelajahi dunia, ia telah pindah dari satu kelompok ke kelompok lain, sedikit demi sedikit mau menerima keadaannya yang miskin sebagai suatu misi, dan mau melakukan bagi Allah apa yang sampai saat itu sudah ia lakukan demi perutnya.
Tetapi bagaimana, dan untuk berapa lama" Sejauh bisa kupahami, sekitar tiga puluh tahun sebelumnya, ia masuk suatu Biara Minorit di Tuskania, dan di sana ia telah mengenakan jubah Santo Fransiskus, tanpa menjadi anggota ordo. Aku yakin, di sanalah ia mempelajari bahasa Latin kacau yang digunakannya untuk bicara, sambil mencampurnya dengan bahasa dari semua tempat di mana ia menjadi pengelana tunawisma miskin, dan dari semua teman gelandangan yang ia temui, dari tentara bayaran dari negeriku sampai kelompok Bogomil dari Dalmatia. Dalam biara ia membaktikan dirinya kepada suatu hidup pertobatan, katanya (Penitenziagite, katanya kepadaku dengan mata cerah, dan aku mendengar lagi ungkapan yang telah menimbulkan rasa ingin tahu William itu), tetapi juga jelas bahwa para rahib yang tinggal bersamanya punya ide-ide membingungkan, karena, gusar kepada imam paroki gereja tetangga, suatu hari mereka menyerbu rumah imam itu dan membuatnya jatuh menuruni tangga, dan pendosa itu mati: kemudian mereka menjarah rumahnya. Karenanya uskup mengirimkan pasukan pengawal bersenjata, para rahib itu bubar, dan Salvatore lama berkeliaran di Italia Utara dengan suatu kelompok Fraticelli, atau Minorit pengemis, waktu
itu tanpa peraturan atau disiplin.
Dari situ mereka mencari perlindungan di wilayah Toulouse dan suatu pengalaman aneh menimpanya, karena ia terbakar waktu mendengar cerita tentang kegiatan besar-besaran tentara perang salib.
Suatu hari sekelompok gembala dan banyak sekali penduduk biasa dikumpulkan untuk disuruh menyeberang lautan dan bertempur melawan musuh iman. Mereka disebut Pastoureaux, Gembala. Terus terang mereka memang ingin lari dari negeri mereka sendiri yang rusak. Ada dua orang pemimpin, yang mengisi kepalanya dengan teori-teori salah; seorang imam yang telah dipecat dari gerejanya karena kelakuannya, dan seorang rahib yang keluar dari ordo Benediktin. Pasangan ini dengan gila-gilaan mendorong orang-orang yang tidak tahu apa-apa itu sampai mereka bersama-sama lari mengikuti keduanya, bahkan anak-anak berusia enam belas tahun, meski dilarang orangtua mereka, sambil hanya membawa buntelan dan tongkat, semua tanpa uang, meninggalkan ladang mereka, untuk mengikuti kedua pemimpin itu bagai kawanan domba, dan mereka membentuk gerombolan besar. Pada saat itu mereka tidak lagi memedulikan alasan atau kebenaran, hanya kekuatan dan semangat mereka sendiri. Dikumpulkan ber
sama dan akhirnya bebas, dengan suatu harapan kecil akan tanah-tanah terjanji, mereka seakan mabuk. Mereka menerjang lewat desa-desa dan kota, mengambil apa saja, dan jika salah seorang dari mereka
tertangkap, mereka akan menyerang penjara dan membebaskannya. Dan mereka membunuh semua orang Yahudi yang mereka temui dan melucuti hartanya.
"Mengapa orang Yahudi"" tanyaku kepada Salvatore. Ia menjawab, "Dan kenapa tidak"" Ia menjelaskan kepadaku bahwa seumur hidupnya para pengkhotbah mengatakan kepadanya bahwa orang Yahudi adalah musuh orang Kristen dan mengumpulkan kekayaan yang telah membuat orang Kristen miskin. Bagaimanapun juga, aku bertanya kepadanya, bukankah tuan tanah dan uskup juga mengumpulkan kekayaan lewat zakat, sehingga para Gembala tidak mau memerangi musuh mereka yang sebenarnya. Ia menjawab bahwa kalau musuhmu yang nyata terlalu kuat, kau harus memilih musuh yang lebih lemah. Aku merenungkan bahwa ini sebabnya mereka disebut orang biasa. Hanya yang kuat yang selalu tahu dengan amat jelas siapa musuh mereka yang nyata. Tuan tanah itu tidak ingin para Gembala membahayakan harta mereka, dan akan sangat menguntungkan bagi mereka kalau para pemimpin Gembala mau menyebarkan pandangan bahwa harta terbesar itu milik orang Yahudi.
Aku menanyakan kepadanya siapa yang memasukkan ide untuk menyerang orang Yahudi ke dalam benak orang banyak itu. Salvatore tidak ingat. Aku yakin bahwa bila orang banyak seperti itu berkumpul, terpikat oleh suatu janji dan langsung mau menuntut sesuatu, tidak pernah
diketahui siapa di antara mereka yang bicara. Aku ingat bahwa para pemimpin mereka telah dididik dalam biara dan sekolah-sekolah katedral, dan mereka bicara dengan bahasa tuan tanah, meskipun mereka terjemahkan ke dalam istilah yang bisa dipahami para Gembala itu. Para Gembala itu tidak tahu di mana Paus berada, tetapi tahu di mana rumah orang Yahudi. Toh, mereka mengepung menara besar yang tinggi milik Raja Prancis, tempat orang Yahudi ketakutan itu telah lari tanpa membawa apaapa untuk mencari suaka. Dan orang Yahudi itu tiba-tiba bergerak di bawah dinding-dinding menara itu untuk membela diri dengan berani dan tanpa belas kasihan, sambil melemparkan kayu dan batubatu.
Tetapi para Gembala itu melemparkan api ke gerbang menara, menyerang orang Yahudi dengan asap dan nyala api. Dan orang Yahudi, karena tidak mampu mengalahkan penyerangnya, lebih suka bunuh diri daripada mati di tangan mereka yang tidak disunat, dengan minta salah seorang dari kelompok mereka, yang agaknya paling berani, untuk membunuh mereka semua dengan pedang. Ia menyetujui dan membunuh hampir lima ratus dari mereka. Kemudian ia keluar dari menara dengan anak-anak Yahudi, dan minta para Gembala itu membaptisnya. Tetapi para Gembala itu berkata kepadanya: Kau telah membantai bangsamu dan kini kau ingin menghindari kematian" Dan mereka mencincangnya sampai hancur, tetapi tidak membunuh anak-anak itu yang lalu mereka baptis.
Kemudian mereka melanjutkan ke Carcassonne, sambil melakukan perampokan berdarah sepanjang perjalanan. Lalu Raja Prancis memperingatkan bahwa mereka sudah bertindak terlalu jauh dan memerintahkan agar setiap kota yang dilalui harus melawan mereka, dan mengumumkan bahwa bahkan orang Yahudi harus dibela seakan mereka anak buah Raja ....
Mengapa Raja itu menjadi begitu memikirkan orang Yahudi pada waktu itu" Mungkin karena ia sudah mulai menyadari apa yang mungkin bakal dilakukan para Gembala di seluruh kerajaannya, dan ia prihatin karena jumlah mereka bertambah dengan pesat. Lebih jauh lagi, ia tergerak oleh kasih sayang kepada orang Yahudi, karena orang Yahudi membantu perdagangan kerajaan itu, sekaligus para Gembala sekarang perlu dibasmi, dan semua orang Kristen yang baik harus punya suatu alasan yang baik untuk menangisi kejahatan mereka.
Namun banyak orang Kristen tidak menaati Raja, karena mengira bahwa membela orang Yahudi itu salah, karena mereka selalu menjadi musuh iman Kristen. Dan di banyak kota, orang biasa, yang dulunya harus membayar upeti kepada orang Yahudi, merasa senang melihat para Gembala menghukum mereka karena h
arta mereka. Lalu Raja memerintahkan, dengan amat sedih, bahwa para Gembala tidak akan diberi bantuan apa saja. Ia mengumpulkan banyak sekali tentara dan menyerang mereka, dan banyak dari mereka terbunuh, sementara yang lainnya menyelamatkan diri dengan
melarikan diri dan mencari perlindungan di hutan-hutan, tetapi mereka mati kelaparan. Tidak lama kemudian semua terbantai.
Jenderal Raja menangkap dan menggantung mereka, setiap kali dua puluh atau tiga puluh orang, dari pohon-pohon yang paling tinggi, sehingga jenazah mereka dapat ditonton dan menjadi contoh abadi dan tidak ada lagi yang berani mengganggu kedamaian kerajaan itu.
Yang tidak lazim, Salvatore menceritakan kisah ini seakan menggambarkan suatu upaya yang amat luhur. Dan nyatanya ia tetap percaya bahwa gerombolan yang disebut para Gembala itu telah bertujuan menguasai makam Kristus dan membebaskannya dari penyembah berhala. Tidak mungkin bagiku untuk meyakinkannya bahwa upaya menguasai ini sudah tercapai, pada masa-masa Petrus si petapa dan Santo Bernardus, dan di bawah pemerintahan Santo Louis dari Prancis.
Bagaimanapun juga, Salvatore tidak sampai bertemu dengan para penyembah berhala, karena harus bergegas meninggalkan wilayah Prancis. Ia pergi ke kawasan Novara, katanya kepadaku, tetapi ia amat tidak jelas tentang apa yang terjadi pada saat itu. Dan akhirnya ia sampai di Casale, di mana ia diterima oleh Biara Minorit (dan aku yakin di sinilah ia bertemu dengan Remigio) tepat pada waktu banyak dari mereka, karena dihukum oleh Paus, mengganti jubah dan mencari perlindungan di biara milik ordo lainnya, untuk menghindari hukuman bakar. Seperti yang, memang, sudah diceritakan
oleh Ubertino kepada kami. Berkat lamanya ia terbiasa dengan banyak tugas manual (yang sudah ia lakukan baik untuk tujuan tidak terhormat waktu berkelana dengan bebas, maupun untuk tujuan suci, waktu berkelana demi cinta kepada Kristus), Salvatore langsung diterima oleh Kepala Gudang sebagai pembantu pribadinya. Dan itulah sebabnya mengapa ia sudah tinggal di sini lama sekali, tidak terlalu berminat dalam kemegahan ordo itu, tetapi amat sangat berminat dalam mengurus gudang dan tempat penyimpanan makanan, di mana ia bebas makan tanpa mencuri dan bisa memuji Tuhan tanpa takut bakal dibakar.
Aku memandangnya dengan rasa ingin tahu, bukan karena pengalamannya yang aneh, tetapi karena bagiku, apa yang telah terjadi padanya seakan ringkasan luar biasa dari begitu banyak peristiwa dan gerakan yang membuat Italia pada waktu itu menakjubkan dan tak mudah dipahami.
Apa yang telah muncul dari kisah-kisah tersebut" Gambar seorang lelaki yang telah menjalani suatu hidup penuh petualangan, bahkan mampu membunuh seorang manusia lain tanpa menyadari kejahatannya sendiri. Tetapi, meskipun satu serangan terhadap hukum suci waktu itu menurutku terlihat sama seperti serangan lainnya, aku sudah mulai memahami beberapa fenomena yang kudengar didiskusikan, dan aku berpendapat bahwa ada satu hal bagi suatu kelompok orang banyak, dalam kegairahan yang hampir ekstatik, karena salah menafsirkan hukum Setan sebagai hukum Allah,
untuk melakukan pembantaian; tetapi ada hal lain bagi seorang individu yang melakukan kejahatan dengan darah dingin, dengan perhitungan, tanpa bicara. Dan kulihat Salvatore tidak mungkin menodai jiwanya dengan kejahatan semacam itu.
Di lain pihak, aku ingin menemukan sesuatu tentang sindiran Abbas itu, dan aku terobsesi oleh gagasan tentang Fra Dolcino, yang tentang itu aku hampir tidak tahu apa-apa, meskipun hantunya seakan selalu berada di dekat banyak percakapan yang kudengar selama beberapa hari terakhir ini.
Maka aku terus terang bertanya kepada Salvatore, "Apa kau pernah bertemu dengan Fra Dolcino dalam perjalananmu""
Reaksinya hampir aneh. Ia membelalakkan matanya, seakan ia mampu membuka mata itu lebih lebar daripada yang seharusnya, berulang kali ia membuat tanda salib, menggumamkan beberapa ungkapan patah-patah dalam suatu bahasa yang kali ini benar-benar tidak bisa kupahami. Tetapi ungkapan itu kedengarannya menyangkal. Sampai saat itu ia memandangku dengan kepercayaan y
ang bersifat baik, boleh dikatakan bersahabat. Saat itu ia memandangku hampir dengan jengkel. Kemudian, dengan alasan yang dibuat-buat, ia pergi.
Sekarang aku tidak bisa tahan lagi. Siapa rahib ini yang membuat siapa saja jadi amat ketakutan kalau mendengar namanya disebut" Aku memutuskan untuk tidak bisa lagi tinggal dalam cengkeraman keinginanku untuk tahu. Suatu gagasan muncul di benakku. Ubertino! Ia sendiri
yang telah menyebutkan nama itu, pada malam pertama kami menemuinya; ia tahu segala sesuatu dari biara itu, yang terbuka dan yang rahasia, tentang para rahib, imam, dan spesies lainnya dari tahun-tahun lalu. Di mana aku bisa menemuinya pada jam ini" Tentu saja di dalam gereja, khusyuk dalam doa. Dan karena aku sedang menikmati saat bebas, aku pergi ke sana.
Aku tidak menemukannya, sungguh, aku tidak menemukannya sampai malam. Dan karenanya, keingintahuanku tetap mengendon dalam benakku, karena terjadi peristiwa lainnya yang harus kuceritakan sekarang. []
Nona Dalam cerita ini William berbicara tentang sungai besar kebidahan kepada Adso, tentang fungsi orang biasa di dalam gereja, tentang keraguannya berkaitan dengan kemungkinan menyaksikan hukum universal;
dan hampir seperti seorang ayah, ia menceritakan bagaimana ia memecahkan tanda-tanda nujum yang ditinggalkan oleh Venantius.
Aku menemukan William di bengkel, sedang
bekerja bersama Nicholas, keduanya asyik -bekerja. Mereka sudah menjajar sejumlah lempengan kaca kecil di atas meja, mungkin aslinya dimaksudkan sebagai bagian-bagian dari sebuah jendela; mereka telah menipiskan beberapa kaca ini dengan alat sampai ketebalan yang diinginkan. William sedang mengangkat kaca itu satu per satu di depan matanya untuk menguji. Nicholas sendiri sedang memberikan instruksi kepada tukang besi untuk membuat kerangka yang akan dipasangi lensa yang betul.
William menggerutu, jengkel karena sejauh ini kaca yang paling memuaskan berwarna zamrud, dan, seperti katanya, ia tidak ingin perkamen terlihat seperti padang rumput di matanya. Sementara William menguji berbagai lempengan kaca, aku menceritakan percakapanku dengan Salvatore.
"Orang itu punya berbagai pengalaman," kata
William. "Mungkin ia benar-benar hidup bersama kaum Dolcinian. Biara ini sebenarnya suatu mikrokosmos, dan kalau duta Paus Yohanes dan Bruder Michael sudah datang, kita akan lengkap."
"Guru," kataku kepadanya. "Aku tidak mengerti apa-apa."
"Tentang apa, Adso""
"Pertama, tentang perbedaan di kalangan kelompok orang bidah.
Tapi aku akan menanyakannya kelak. Sekarang aku tersiksa oleh masalah perbedaan itu sendiri. Waktu Anda bercakap-cakap dengan Ubertino, aku mendapat kesan bahwa Anda berusaha membuktikan kepadanya bahwa semua itu sama, santo dan orang bidah. Tetapi kemudian, ketika bicara dengan Abbas itu, Anda berusaha keras menjelaskan kepadanya tentang perbedaan antara satu kelompok bidah dan lainnya, dan antara yang bidah dan yang ortodoks. Dengan kata lain, Anda mencela Ubertino karena menganggap mereka yang pada dasarnya sama itu berbeda, dan mencela Abbas itu karena menganggap mereka yang pada dasarnya berbeda itu sama."
William meletakkan lensa-lensa itu di atas meja sebentar.
"Adso yang baik," katanya, "sekarang kita akan berusaha membuat beberapa perbedaan, dan mungkin kita bisa menggunakan istilah istilah dari aliran Paris untuk membuat perbedaan kita. Jadi, mereka katakan semua orang punya bentuk jasmaniah yang sama, betul kan""
"Tentu saja," kataku bangga akan pengetahuanku, "manusia adalah binatang tetapi rasional, dan yang melengkapi manusia adalah kapasitas untuk tertawa."
"Bagus sekali. Tetapi Thomas tidak sama dengan Bonaventura.
Thomas gemuk sementara Bonaventura kurus, dan bahkan mungkin juga Hugh jahat sementara Fransiskus baik, dan Aldemar acuh tak acuh sementara Agiluff suka marah. Betul, kan""
"Betul, memang begitu, tidak diragukan lagi."
"Jadi, ini berarti ada identitas dalam orang-orang yang berbeda berkaitan dengan bentuk jasmaniah mereka, dan keanekaragaman berkait dengan kebetulan, atau berkait dengan bentuk palsu mereka."
"Memang begitu, tidak
bisa diperdebatkan."
"Waktu aku bilang kepada Ubertino bahwa sifat manusia itu sendiri, dalam kerumitan cara kerjanya, memiliki cinta kepada kebaikan sekaligus cinta kepada kejahatan, aku berusaha meyakinkan Ubertino tentang identitas sifat manusia. Bagaimanapun juga, waktu aku bilang kepada Abbas itu bahwa ada perbedaan antara seorang Kataris dan seorang Waldensian, aku mau menegaskan tentang keanekaragaman kebetulan mereka. Dan aku menegaskan itu karena seorang Waldensian bisa dibakar setelah perbuatan seorang Kataris kebetulan dituduhkan kepadanya dan sebaliknya. Dan ketika kau membakar seseorang, kau membakar substansi individunya dan membuatnya habis sama
sekali apa yang tadinya suatu tindakan keberadaan yang konkret, yang dengan sendirinya baik, paling sedikit di mata Tuhan, yang memelihara orang itu. Apa kau masih ingin tetap membicarakan tentang perbedaan""
"Masalahnya adalah," kataku, "aku sudah tidak bisa lagi melihat jelas perbedaan yang kebetulan ada di antara orang Waldensian, Kataris, Lyon Miskin, Umiliati, kaum Beghard, Joachimit, Patarin, Apostel, Lombard Miskin, Arnoldis, Williamis, Pengikut Ruh Bebas, dan Luciferin. Apa yang harus kulakukan""
"Oh, Adso yang malang," kata William sambil tertawa dan menepuk tengkukku dengan penuh kasih sayang, "kau tidak sepenuhnya salah! Kau tahu, selama dua abad terakhir, dan bahkan lebih awal lagi, dunia kita ini seakan telah diserang oleh badai ketidaktoleranan, harapan, dan keputus-asaan, semuanya berbarengan .... Tidak, ini bukan analogi yang bagus. Bayangkan saja ada sebuah sungai, lebar dan mengagumkan, yang mengalir sepanjang bermil-mil dan bermil-mil di antara tepian yang kukuh, karena tanahnya padat. Pada suatu titik tertentu, sungai itu, karena keletihan, karena sudah mendekati lautan, yang dengan sendirinya akan melenyapkan semua sungai, tidak tahu lagi siapa dirinya, kehilangan identitasnya. Sungai itu menjadi deltanya sendiri.
Mungkin masih ada cabang utamanya, tetapi banyak anak sungai yang menjebol dari delta itu ke setiap arah, dan beberapa lalu mengalir bersamasama lagi, masuk ke dalam satu sama lain, dan kau tidak bisa mengatakan apa mendapat apa, dan kadang-kadang kau tidak bisa mengatakan apa yang masih berupa sungai dan apa yang sudah berupa lautan
"Jika aku tidak salah memahami perumpamaan Anda, sungai itu adalah kota Tuhan, atau kerajaan keadilan, yang mulai mendekati milenium, dan dalam ketidakpastian ini jadi tidak kukuh lagi, lahir nabi benar dan nabi palsu, dan segala sesuatu mengalir ke dalam dataran luas di mana Armageddon akan terjadi
"Itu persisnya yang tengah kupikirkan. Aku sedang berusaha menjelaskan kepadamu bagaimana tubuh gereja, yang selama berabadabad juga merupakan tubuh dari semua masyarakat, umat Tuhan, telah menjadi terlalu kaya, dan menyebar luas, dan membawa serta sampah dari semua negeri yang dilewatinya, dan telah kehilangan kemurniannya sendiri. Anak-anak sungai dari delta itu adalah, kalau kau setuju, begitu banyak upaya dari sungai itu untuk mengalir secepat mungkin ke lautan, yakni, menuju momen pemurnian. Dengan perumpamaan ini aku hanya ingin mengatakan kepadamu bagaimana cabang kebidahan dan gerakan pembaruan, pada saat sungai itu tidak lagi utuh, jadi banyak sekali dan semakin ruwet. Kau juga bisa menambahkan pada perumpamaanku yang miskin ini dengan kisah tentang seseorang yang ingin mencoba membangun kembali tepian sungai dengan kekuatan besar, tetapi tidak bisa.
Dan beberapa anak sungai dari delta itu tertimbun lumpur, lainnya diarahkan kembali ke sungai itu oleh kanal-kanal buatan, masih ada lainnya yang dibiarkan mengalir, karena tidak mungkin menahan segala sesuatu dan sungai itu lebih baik kehilangan sebagian dari airnya dan tetap mempertahankan jalannya, jika ingin punya jalan yang bisa dikenali."
"Aku makin lama makin tidak paham."
"Begitu pula aku. Aku tidak pandai bercerita dengan perumpamaan.
Lupakan saja kisah sungai itu. Sebaliknya, berusahalah mengerti bahwa banyak dari gerakan yang tadi kausebutkan itu lahir paling sedikit dua abad yang lalu dan sudah mati, namun lain-lainnya baru
"Tet api ketika membicarakan tentang orang bidah, mereka semua masih disebutkan."
"Betul, dan ini salah satu cara bagaimana kebidahan menyebar dan salah satu cara bagaimana kebidahan dihancurkan."
"Sekali lagi aku tidak mengerti."
"Bagus. Sukar sekali, ya. B aiklah. Bayangkan kau seorang pembaru moral dan kau mengumpulkan beberapa teman di atas puncak sebuah gunung, untuk hidup melarat. Dan setelah beberapa lama, kau melihat bahwa banyak orang datang kepadamu, bahkan dari tanah-tanah yang amat jauh, dan mereka menganggapmu seorang nabi, atau seorang rasul baru dan mereka mengikutimu. Apa mereka betulbetul datang ke sana untuk mencarimu dan karena apa yang kaukatakan""
"Aku tidak tahu. Kuharap begitu. Mengapa harus sebaliknya""
"Karena dari ayah mereka. Orang-orang itu sudah mendengar cerita tentang pembaru lainnya, dan legenda dari komunitas yang sedikit banyak sempurna, dan mereka percaya ini adalah itu dan itu adalah ini."
"Dan begitulah maka setiap gerakan mewarisi munculnya gerakan lain""
"Tentu saja, karena mayoritas dari mereka yang berkumpul mengikuti para pembaru itu adalah orang biasa, yang tidak peduli akan doktrin. Dan toh gerakan pembaru moral dimulai dalam tempat dan jalan yang berbeda-beda dan dengan doktrin yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, orang Kataris dan Waldensian sering dicampur aduk. Tetapi ada suatu perbedaan besar di antara mereka. Kaum Waldensian berkhotbah tentang pembaruan moral di dalam gereja, dan kaum Kataris berkhotbah tentang gereja yang lain, tentang suatu pandangan lain tentang Tuhan dan moralitas. Kaum Kataris berpendapat bahwa gereja dibagi antara kekuatan baik dan jahat yang bertentangan, dan mereka telah membangun sebuah gereja yang di dalamnya penganut yang sempurna dibedakan dari penganut biasa, dan mereka punya sakramen dan ritus sendiri; mereka telah membangun suatu hierarki yang amat kaku, hampir seperti hierarki Ibu Suci kita sendiri, dan sejenak pun mereka tidak berpikir untuk menghancurkan setiap bentuk kekuasaan. Ini sebabnya
maka mereka yang memegang kekuasaan, pemilik tanah, bangsawan feodal, juga bergabung dengan Kataris. Mereka juga tidak berpikir untuk memperbaiki dunia, karena bagi mereka, pertentangan antara baik dan jahat tidak pernah bisa diselesaikan. Kaum Waldensian, sebaliknya (dan bersama mereka ada kaum Arnoldis, atau Lombard Miskin), ingin menyusun suatu dunia lain berdasarkan cita-cita kemiskinan, dan itulah sebabnya mereka menerima orang-orang buangan dan hidup dalam komunitas dari hasil kerja tangan mereka."
"Tetapi kemudian, mengapa mereka dikacaukan dan tetap disebutsebut seperti benih jahat yang sama""
"Sudah kubilang: apa yang membuat mereka hidup adalah juga yang membuat mereka mati. Gerakan-gerakan itu tumbuh, dengan mengumpulkan orang biasa yang sudah pernah tertarik kepada gerakan lainnya, dan yang percaya bahwa semua gerakan itu punya naluri memberontak dan harapan yang sama; dan mereka dihancurkan oleh para inkuisitor, yang menuduh mereka melakukan salah satu kesalahan dari gerakan lainnya, dan jika salah seorang anggota suatu gerakan melakukan kejahatan, maka setiap anggota dari setiap gerakan ikut dituduh. Bicara dengan akal sehat, para inkuisitor itu keliru, sebab mereka menumpuk doktrin-doktrin yang berlawanan itu menjadi satu. Menurut orang lain yang tidak rasional, mereka betul, sebab kalau suatu gerakan, misalnya saja Arnoldis, muncul di suatu kota, gerakan itu jadi
Jago Pedang Tak Bernama 1 Mencari Seikat Seruni Karya Leila S. Chudori Kisah Dua Naga Di Pasundan 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama