Fear Street Akhir Segalanya Fearhall The Conclusion Bagian 2
aku tahu," aku berbisik pelan. "Darryl..."
"Kau menyuruh dia supaya jangan datang lagi," Angel berkata.
"Kau memberitahu dia bahwa kau menginginkan dia pergi dari
kehidupanmu." Aku menelan ludah dengan susah payah. "Itu tidak berarti apaapa bagi Darryl. Dia tidak percaya kepadaku. Dan... dan..." Suaraku
tercekat di tenggorokanku. "Dia berpikir aku ingin dia membunuh
gadis-gadis itu. Melanie dan Margie."
"Kau harus berbicara kepadanya lagi," Angel mendesak. "Kau
harus menjelaskannya kepada Darryl..."
"Kau tahu Darryl!" aku berseru. "Dia tak bisa dikendalikan! Dia
tidak mendengarkan sepatah kata pun yang kuucapkan."
Jasmine memungut majalahnya. Ia mendorong rambut
pirangnya yang bergelombang ke balik bahunya dan duduk kembali di
sofa. "Kau tidak akan merasa aman di sekitar Chris," ia berkata
dengan lembut, "kecuali kau berbuat sesuatu terhadap Darryl."
Aku tahu Jasmine benar. Tetapi apa yang dapat kulakukan"
Aku mulai menjawab"tetapi malah berteriak kaget ketika
mendengar suara berisik di pintu depan.
Aku terpaku saat mendengar pintu depan terbanting membuka.
Terdengar suara-suara. Seorang pria, kemudian seorang wanita.
Siapa" aku bertanya-tanya dalam hati. Siapa yang mau datang
kemari di malam yang larut begini"
"Cepat! Bersembunyi!" aku berbisik kepada teman-teman
sekamarku. Aku menunduk di balik sofa. Kemudian aku merangkak ke
ruang makan. Aku tetap berdiam di lantai. Berputar. Mengintip kembali ke
ruang depan. Sinar lampu senter jatuh di atas lantai, menyapu dindingdinding.
Siapa itu" aku bertanya-tanya dalam hati. Siapa" Apa yang
mereka lakukan di sini"
Kemudian aku mendengar suara seorang pria, dekat, sangat
dekat. Ia berkata, "Kita sudah menemukannya."
bab 13 KATA-KATA itu membuatku takut.
Aku mendongak. Aku terpaku, berpikir keras.
Apakah mereka melihatku"
Haruskah aku berusaha berdiri dan berlari" Bisakah aku
mencapai pintu belakang sebelum mereka menangkapku"
"Ya. Kita benar-benar sudah menemukannya." Suara si wanita
kali ini. "Kita telah menemukan rumah yang kita cari-cari," kata pria itu.
"Terima kasih telah menunjukkannya kepada kami lagi. Maaf harus di
larut malam seperti ini."
"Tidak masalah," jawab wanita lainnya. "Aku tahu rumah tua
ini tepat untuk kalian berdua. Aku tidak keberatan untuk menunjukkan
rumah pada jam berapa saja, kalau aku tahu orang itu benar-benar
tertarik." "Yah, Myrna dan aku benar-benar tertarik," kata pria itu. "Tentu
saja, kami ingin kembali lagi dan melihatnya di siang hari."
"Tentu saja," terdengar jawaban si wanita itu.
Aku mengembuskan napas panjang. Aku duduk di lantai dan
menyandarkan punggungku pada dinding. Dan menunggu detak
jantungku kembali normal.
Hampir saja, aku berkata kepada diriku sendiri.
Dan mereka akan datang kembali.
Aku tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi. Terlalu berbahaya.
Aku harus menyatukan kembali hidupku. Aku harus kembali ke
hidupku. Mungkin Chris bisa menolongku....
Aku mendengarkan langkah-langkah kaki ketiga orang itu saat
mereka berjalan ke depan. Aku menahan napasku sampai pintunya
terbanting menutup di belakang mereka.
Kemudian dengan gemetar aku berdiri, masih berpegangan ke
dinding"dan telepon berdering.
"Hei"!" aku berteriak keras. "Aku tidak mengira telepon di
rumah ini tersambung."
Pasti salah sambung, aku memutuskan.
Tak ada yang tahu aku ada di sini. Tak ada yang akan mencoba
meneleponku di sini. Aku menyeberangi ruang duduk menuju ke meja dekat tungku
perapian, dan mengangkat telepon itu. "Halo?"
"Hope, ini aku. Darryl."
"Darryl"tidak"!" aku mulai berkata.
Ia tidak membiarkan aku berkata-kata lagi.
"Hei, jangan khawatir," ia berkata. "Aku belum lupa. Aku akan
membunuh Margie dan Melanie untukmu. Aku akan membereskan
mereka untukmu." "Darryl"kumohon!" aku berteriak. "Aku mohon, dengarkan
aku. Aku memohon kepadamu..."
"Berhenti khawatir, Hope," katanya. Ia terdengar begitu
bergairah, begitu bersemangat, begitu... gila.
"Tak ada yang perlu dikhawatirkan," Darryl mengulang. "Kau
tahu aku tidak akan mengecewakanmu."
bab 14 Darryl MARGIE membuatku tegang. Benar-benar tegang. Karena ia terus-menerus melihat ke
belakang, dan aku harus terus berusaha bersembunyi agar dia tak
dapat melihat diriku. Kenapa ia terus-menerus melakukan itu" Apakah ia tahu ia
sedang diikuti" Kurasa tidak. Trotoar di Pine Street cukup ramai. Banyak mahasiswa yang
sedang berjalan kembali ke asrama setelah kuliah sore mereka.
Banyak orang yang belanja keluar-masuk dari deretan panjang tokotoko kampus. Anak-anak dari sekolah swasta anak laki-laki di Elm
Street berlari-larian, saling berkejaran, saling bertabrakan di trotoar,
membuat suara-suara berisik.
Jika salah satu dari mereka menabrakku, aku akan memecahkan
kepala mereka seperti melon masak, pikirku.
Seperti itulah suasana hatiku saat ini. Tegang. Begitu tegangnya
sampai aku menancapkan kuku-kuku jariku ke dalam telapak
tanganku dan membuatnya berdarah. Dan aku bahkan tidak
menyadarinya sampai aku mengangkat satu tangan untuk menyeka
hidungku dan melihatnya berlumuran darah.
Aku benci melihat darah... kalau darah itu adalah darahku
sendiri! Ha-ha! Namun demikian, aku yakin Margie tidak tahu aku
mengikutinya. Aku sudah mengikuti dia selama beberapa hari. Kau tahu, kan.
Mendapatkan jadwalnya. Membuat rencanaku.
Aku seorang pekerja keras. Seorang perencana yang baik.
Memang, kadang-kadang aku cepat naik darah, sedikit di luar kendali.
Tetapi aku tidak begitu saja terburu-buru melakukan sesuatu.
Aku mengerjakan semuanya dalam otakku. Langkah demi
langkah. Mungkin aku lupa melakukannya saat aku menyembelih dua
laki-laki itu. Dan Eden. Tetapi sulit untuk merencanakannya lebih
dulu jika kau sedang cemburu.
Hope selalu mengujiku. Selalu mencoba untuk melihat seberapa
jauh aku akan bertindak untuk menunjukkan kepadanya bahwa aku
menyayanginya. Kadang-kadang aku berhasil lulus dari ujian itu. Kadangkadang aku gagal.
Hari ini aku berharap untuk lulus. Seperti yang kukatakan, aku
sudah merencanakan semuanya.
Aku menunduk rendah di balik sebuah mobil yang diparkir
waktu Margie terlihat ragu-ragu di depan binatu tempat ia bekerja.
Marv'lous Dry Cleaners. Bisakah kau bekerja di tempat yang bernama
Marv'lous Dry Cleaners" Tidakkah nama itu membuatmu ingin
menampar seseorang" Aku sudah memeriksa tempat itu dengan teliti. Tempat itu
dijalankan oleh seorang laki-laki bernama Marv. Mengerti"
Marv'lous"mengagumkan" Ha-ha.
Beberapa hari yang lalu, aku membawa masuk beberapa kaus
untuk di dry-clean. Hanya supaya aku bisa memeriksa tempat itu. Jadi
aku akan punya alasan untuk datang kembali ketika Margie ada di
sana. Ia bekerja di sana empat kali sore dalam satu minggu. Itu lho.
Menuliskan bon laundry. Menjalankan mesin hitung. Kebanyakan ia
berada di belakang. Membereskan pakaian-pakaian bersih,
memasukkannya ke dalam plastik.
Margie seorang yang mungil seperti sebuah kancing. Dengan
suara nyaring melengking seperti tikus dan hidung kecil yang
mancung ke atas seperti hidung peri sehingga rasanya kau ingin
menonjoknya sampai menjadi merah dan lumat seperti serpihanserpihan kertas koran.
Aku akan menonjok hidungnya, pikirku, saat melihat dia
memasuki toko itu. Hidungnya" dan semuanya.
Hei, aku tahu itu berdarah dingin. Aku seorang laki-laki yang
benar-benar berdarah dingin. Kau harus menjadi berdarah dingin jika
kau ingin terus bersama dengan Hope.
Hope terus-menerus perlu tahu bahwa aku menyayanginya.
Bahwa aku selalu ada di sana untuknya.
Aku harus menjadi berdarah dingin untuk Hope. Aku berjalan
di blok itu beberapa kali. Aku ingin memberi waktu kepada Margie
untuk tenang. Aku harus memastikan dia sedang bekerja di ruang
belakang. Tidak mungkin aku dapat membereskan dia apabila dia berada
di luar, tempat semua orang bisa melihatnya.
Kira-kira untuk keempat kalinya aku melewati binatu itu, aku
berhenti dan mengintip ke dalam jendela depan yang besar. Aku dapat
melihat Marv"lous Marv di balik konter. Seorang diri.
Bagus, pikirku. Margie sedang bekerja di belakang.
Kadang-kadang sesuatu harus berjalan sesuai dengan
keinginanmu. Aku tersenyum. Hari ini mungkin salah satu hari yang
bagus itu. Bagus bagiku. Tidak bagi Margie. Ha-ha.
Aku memasukkan tangan ke dalam saku jaketku dan menarik
keluar bon laundry berwarna merah jambu. Aku harus siap. Aku harus
melakukan tepat pada waktunya.
Tahu apa yang keren banget"
Membereskan Margie"dan mengambil kaus-kausku kembali
pada saat yang bersamaan!
Tetapi itu terlalu banyak berharap"ya, kan" Ha-ha!
Orang-orang bolak-balik dengan terburu-buru di sepanjang
trotoar. Menjelang malam adalah waktu yang sibuk di Pine Street
dekat kampus. Seorang wanita sedang memandang ke jendela toko dan nyaris
melindasku dengan kereta bayinya. Aku harus melompat
menghindarinya. Dan ia bahkan tidak meminta maaf.
Ada dorongan mendadak untuk merebut kereta bayi itu dari
tangannya dan menggelindingkannya menuruni bukit.
Tetapi aku tidak melakukannya. Kadang-kadang aku bisa
menahan dorongan-dorongan mendadak seperti ini. Kadang-kadang"
tidak selalu. Aku berjalan kembali ke binatu dan menunggu sampai tiga atau
empat pelanggan telah mengantre di depan konter.
Marv sedang sibuk, aku melihat. Jadi, sambil memegang bon
laundry, aku mendesak masuk ke dalam toko itu.
Aku cukup yakin Marv bahkan tidak melihatku. Aku
memegang bon itu sehingga ia tidak curiga. Tetapi ia sedang sibuk
berdebat dengan seorang wanita tentang setitik noda pada sebuah
sweter, dan ia bahkan tidak mendongak.
Sambil menarik napas dalam-dalam, aku menyelinap masuk di
sekitar konter itu dan menunduk melewati pintu sempit ke dalam
ruang belakang. Sejauh ini, semua berjalan dengan baik.
Ruang belakang itu memiliki dua barisan panjang pakaian
bersih, semuanya dibungkus dalam plastik, bergantungan pada ban
berjalan pembawa barang yang menempel di langit-langit. Di
sebelahnya terdapat mesin setrika uap, bentuknya seperti sebuah
papan setrika raksasa, tingkapnya berdiri tegak lurus.
"Di mana kau, Margie?" aku berbisik, merasakan aliran
perasaan bergairah. "Di mana kau, Sayang?"
Aku membiarkan bon laundry itu terjatuh ke lantai ketika
melihat dia. Ia sedang berdiri membelakangiku di antara dua barisan
pakaian yang tergantung. Ia memegang sebuah stapler di atas
kepalanya dan sedang mengulurkan tangannya ke atas untuk
menstapler bon laundry ke atas pembungkus plastik jaket-jaket
olahraga. Sempurna. Sempurna. Bisakah aku merencanakannya lebih baik lagi"
Aku bergerak maju dengan cepat sekarang. Gairah itu
membuatku bergerak cepat dan waspada. Aku hampir-hampir bisa
merasakan darah yang mengalir di sekujur tubuhku. Kulitku
bergelenyar. Bagian atas kepalaku terasa seolah-olah ingin melesat
terbang seperti sebuah peluru yang ditembakkan dari meriam.
Aku tiba di belakang Margie.
Membelitkan satu tangan di sekeliling pinggangnya.
Menekannya keras-keras supaya tidak bisa bernapas.
Merebut stapler itu darinya dengan tanganku yang lain.
Menghantamkan stapler itu keras-keras pada sisi kepalanya.
Itu hanya membuatnya pingsan. Tetapi itu dapat mencegahnya
berteriak minta tolong. Matanya berputar. Ia terlihat pusing. Aku kembali memukulnya
dengan keras. Kemudian melempar stapler itu ke samping.
Dan menyeret Margie. Satu tangan menutup mulutnya. Satu
tangan di sekeliling pinggangnya.
Menyeretnya ke mesin setrika uap.
Kegairahan itu membuatku menjadi kuat. Margie terasa ringan
seperti seekor burung. ebukulawas.blogspot.com
Aku menyeretnya. Kemudian mengangkatnya dengan mudah ke
atas mesin itu. Aku menurunkan tingkapnya dengan cepat.
Mesin itu mengeluarkan suara hissssssssssss yang keras dan
panjang seraya aku menekannya, menekannya....
Uap panas mengalir keluar dari bawah tingkap mesin itu.
Satu tangan dan satu kaki terkulai lemas keluar dari mesin itu.
Dan sekali lagi untuk keberuntungan.
Sekali lagi untuk Hope. Hope, belahan jiwaku. Hope, milikku.
Aku berharap kau ada di sini bersamaku sekarang, Hope,
pikirku. Aku berharap kau bisa berada di sini untuk melihatku bekerja
keras untukmu. bagian tiga Hope bab 15
Fear Street Akhir Segalanya Fearhall The Conclusion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
DALAM perjalananku menuju ke kedai kopi, aku terusmenerus berpikir, Chris tidak akan ada di sana. Dia tidak benar-benar
ingin bertemu denganku. Dia sudah melupakan semuanya sekarang.
Aku telah membuat diriku menjadi gila. Meyakinkan diriku
sendiri bahwa dia hanya menggodaku pada malam sebelumnya.
Bahwa dia sama sekali tidak tertarik dengan diriku.
Kenapa ada orang yang ingin bertemu denganku"
Aku tidak langsing dan seksi seperti Angel. Dan aku tidak
memiliki mata Jasmine yang seperti zamrud atau senyumnya yang
menawan. Dia tidak mungkin ada di sana, aku berkata kepada diriku
sendiri, hampir-hampir berlari menuju ke Pine Street. Jangan biarkan
dirimu kecewa. Dia tidak akan menunggumu di sana....
Jadi ketika aku menarik pintu kaca itu hingga terbuka dan
melihat Chris sedang duduk di konter, aku nyaris berteriak.
Ia menurunkan korannya ketika melihat diriku, dan senyuman
mengembang di wajahnya. Ia menepuk-nepuk bangku vinyl merah di
sampingnya. "Hai!" aku berseru, terlalu keras. Aku bergegas mendatanginya
dan duduk di sebelahnya. "Apa kabar?"
"Baik," ia menjawab. Tetapi senyumannya menghilang. "Agak
sedikit sedih, sebenarnya. Apakah kau sudah membaca koran?"
Ia mengangkatnya dan aku mengulurkan tanganku untuk
mengambilnya. PEMBUNUHAN BARU DI KAMPUS. Kepala berita
hitam dan besar itu nyaris membuatku mati terkejut.
"Seorang gadis lagi dari asramaku," Chris bergumam pelan. Ia
menggelengkan kepalanya. "Aku kenal dia. Maksudku, aku baru
berjumpa dengannya. Wow... aku tidak percaya seseorang yang baru
saja kujumpai sudah dibunuh."
Chris melanjutkan bicaranya, tetapi kata-katanya menghilang di
balik pikiranku. Aku menatap pada foto di bawah kepala berita itu.
Sebuah foto buku tahunan SMU. Foto Margie.
Margie. Margie. Jadi Darryl sudah membunuh lagi. Pekerjaan kotor lainnya atas
namaku. Tiba-tiba aku merasa muak. Foto itu menjadi kabur. Restoran
itu menjadi kabur dan mulai terlihat miring gila-gilaan. Telingaku
penuh dengan suara raungan keras. Aku memegang bagian atas konter
itu supaya tidak terjatuh dari bangku.
"Hei"apa yang terjadi dengan tanganmu?" suara Chris
memecahkan suara raungan itu.
"Hah?" aku mengejapkan mata beberapa kali, berusaha untuk
melihat dengan jelas. Chris meraih tangan kananku dan membalikkan telapak
tanganku ke atas. Kami sama-sama menatap pada barisan luka-luka
merah kecil di tengah-tengah telapak tanganku.
"Apakah kau melukai dirimu sendiri?" tanya Chris.
"Di dalam tidurku, kurasa," aku memberitahu dia. "Aku
menancapkan kuku jariku ke dalam kulitku. Pasti karena bermimpi
buruk." Ia memeriksa telapak tanganku, memegang tanganku dengan
lembut. Aku menyukai cara dia memegang tanganku. Gelenyarnya
terasa sampai ke lenganku.
"Mimpinya pasti benar-benar buruk," ia berkata, akhirnya
melepaskan tanganku. "Aku tidak heran kau bermimpi buruk, Karen.
Dengan adanya pembunuhan-pembunuhan yang mengerikan di
kampus ini." Aku merasa bersalah karena tidak memberitahunya nama
asliku. Meskipun begitu, mungkin lebih baik bertindak aman. Ia bisa
saja tidak sengaja bercerita kepada seseorang bahwa ia bertemu
dengan seorang gadis bernama Hope. Kemudian aku akan berada
dalam kesulitan besar. Lebih baik membiarkan dia terus mengira
bahwa namaku adalah Karen.
Chris menyingkirkan koran itu. "Kau percaya itu" Dua gadis
dari kamar asrama yang sama?"
Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hampir saja berkata
tanpa berpikir bahwa aku juga mengenal mereka.
Tetapi tentu saja itu akan menjadi hal bodoh untuk diakui. Akan
menimbulkan banyak pertanyaan lainnya. Sudah pasti aku tidak ingin
memberitahu Chris bahwa aku mengenal Mary dan Margie karena aku
pernah tinggal berseberangan kamar dengan mereka.
Itu akan membuat Chris menyadari dengan cepat bahwa aku
adalah gadis yang sedang dicari-cari polisi. Jadi aku hanya
menggeleng dengan sedih dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Kurasa kita harus berbicara tentang hal lain," Chris
mengusulkan. "Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa tidak
enak." "Tidak apa-apa," kataku. "Aku juga sedang berpikir tentang
pembunuhan-pembunuhan itu."
Kami memesan es kopi mocha yang tinggi dan berbagi sepiring
kue. Kurasa dia sama pemalunya dengan diriku. Tetapi ketika kami
akhirnya mulai berbincang-bincang dengan mudah, kami tidak bisa
berhenti. Aku menceritakan kepadanya beberapa cerita tentang Jasmine
dan Angel. Setelah aku menggambarkan Angel kepadanya, ia mulai
menggodaku, dengan mengatakan sebaiknya aku mengajak dia kali
berikutnya. Kali berikutnya" aku berpikir.
Apakah benar-benar akan ada waktu berikutnya" Apakah dia
cukup menyukaiku untuk bertemu denganku lagi"
Kami memesan lagi es kopi dan sepiring kue lainnya. Ia
bercerita kepadaku mengenai Big Al, teman sekamarnya di
apartemennya yang sudah terbakar. Chris berkata bahwa Big Al pintar
bicara untuk bisa keluar dari masalah apa pun yang dihadapinya.
"Kau tidak akan percaya bagaimana Big Al berbicara kepada
seorang perwira polisi yang memberinya surat tilang karena
mengebut," kata Chris, sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Apa yang diucapkannya?" aku bertanya.
"Al memberitahu polisi itu bahwa bukan salahnya dia mengebut
karena dia tertidur di balik kemudinya, sehingga dia tidak mungkin
bisa tahu seberapa cepat dia mengendarai mobilnya!"
Kami berdua tertawa. "Dan polisi itu percaya alasan itu?" aku berseru. "Dia tidak
memberikan surat tilang itu kepada temanmu?"
"Tidak," Chris menjawab. "Dia hanya berjalan kembali ke
mobil polisi, sambil menggaruk-garuk kepalanya."
Kami tertawa lagi. Dan ngobrol lebih banyak lagi.
Hari sudah jauh larut malam ketika kami akhirnya berjalan
keluar dari kedai kopi. Aku merasa sangat bahagia. Merasa hangat.
Aku meraih lengan Chris dan melilitkannya ke sekeliling
pinggangku. Kami agak berdempetan saat berjalan. Di sudut jalan, aku
mencondongkan diriku mendekat dan menciumnya.
Ciuman itu berlangsung lama. Aku tidak memedulikan orangorang yang lalu lalang memandangi kami. Aku merasa begitu senang.
"Aku akan mengantarmu pulang," Chris berkata, saat kami
akhirnya saling melepaskan diri.
Kata-katanya merusak perasaan hangatku. "Tidak!" aku berseru,
terlalu tajam. Aku dapat melihat kekagetannya.
"Tidak usah. Tidak apa-apa," kataku lebih lembut. "Aku tinggal
di jalan itu." Aku menunjuk jauh dari Fear Hall. "Tempatnya jauh
berada di sisi lain kampus. Terlalu jauh dari jalan pulangmu. Kau
tidak usah mengantarku."
"Oke. Kapan aku bisa menemuimu lagi?" ia bertanya.
Yesssss! pikirku. Dia memang benar-benar menyuka iku!
Aku berkata kepadanya aku akan meneleponnya di asrama. Ia
memberikan nomornya kepadaku. Kemudian aku berputar dan berlari
pergi sebelum ia mendesak lagi untuk mengantarku pulang.
Aku hampir-hampir merasa terbang pulang ke rumah. Aku
menyeberangi jalan tanpa melihat-lihat.
Aku tidak yakin, tetapi aku mungkin saja sudah bernyanyi
dengan suara yang sangat keras.
Aku tahu dia pasangan yang tepat untukku, aku berkata kepada
diriku sendiri. Aku tahu itu pada saat pertama kali aku bertemu
dengannya. Cinta pada pandangan pertama. Konsep yang indah.
Aku berlari-lari di sepanjang Vermont. Kemudian aku berlarilari kecil menaiki jalan retak dan rusak ke rumah perkumpulan yang
sudah ditinggalkan itu. Halaman rumput liarnya tampak gelap dan
dingin. Tetapi aku tidak peduli. Tempat itu terlihat seperti sebuah
istana bagi seorang putri peri pada malam ini.
Aku menarik pintunya hingga terbuka. Aku sudah tidak sabar
untuk menceritakannya kepada Jasmine dan Angel mengenai waktuku
bersama Chris. Aku menerobos masuk ke dalam ruang duduk.
Beberapa langkah dari pintu masuk, aku berhenti"dan berseru.
"Oh"!" Aku menekankan tanganku pada sisi wajahku. "Darryl! aku
berteriak. "Apa yang sedang kaulakukan di sini?"
bab 16 IA mengerutkan dahinya kepadaku. Ia bernapas dengan susah
payah, dan wajahnya merah padam. Ia melepas jaket kulitnya dan
melemparkannya ke dinding.
Aku menekankan tanganku ke dadaku dan balas memelototinya.
Aku tetap berdiri di tempat. Aku tidak mundur. Aku pernah melihat
Darryl seperti ini sebelumnya.
"Jadi?" aku bertanya. "Apa yang kaulakukan di rumahku?"
Bibirnya berubah menjadi mencemoohkan. "Rumahmu"
Rongsokan tua ini sekarang menjadi rumahmu?"
Aku mencoba untuk menahan amarahku. Tetapi itu tidak
mudah. "Darryl, semua ini salahmu sehingga aku harus tinggal di
sini," aku memberitahu dia, memuntahkan kata-kata itu. "Salahmu aku
harus lari dari asrama."
Mata biru pucatnya semakin menjadi dingin. "Aku melakukan
semuanya demi kau, Hope. Kau tahu itu."
"Aku tidak memintamu membunuh Margie dan Mary," aku
berseru. "Aku tidak memintamu membunuh gadis-gadis itu!"
"Kau tidak memintaku," ia membentak. "Tetapi kau ingin aku
melakukannya. Akuilah itu."
"Aku tidak mau mengakuinya," teriakku sambil bersedekap.
"Aku marah kepada mereka. Tetapi aku tidak ingin mereka mati. Itu"
itu gila!" Ia menatapku dalam waktu yang lama, tanpa bicara. Kemudian
ia berkata dengan lembut, "Aku tidak datang kemari untuk
membicarakan hal itu."
"Aku ingin kau berhenti membunuh...," aku bersikeras.
"Aku melihatmu bersama laki-laki itu," kata Darryl. Pipinya
menggelap menjadi ungu. "Aku melihat kau bersama dia, Hope. Kau
tahu aku tidak bisa mengizinkan hal itu."
"Mengizinkan hal itu?" aku memekik. "Maaf" Apakah kau
berkata kau tidak bisa mengizinkan hal itu?"
Aku mengepalkan tanganku keras-keras. Kuku-kuku jariku
menancap ke dalam luka-luka di telapak tanganku, tetapi aku hampir
tidak memperhatikan rasa sakitnya.
Aku ingin cepat-cepat menghampiri dan mencekik Darryl. Aku
ingin membelitkan tanganku di sekeliling lehernya, dan mencekiknya,
mencekiknya, dan mencekiknya.
Bagaimana aku bisa sangat menyayangi dia"
Bagaimana aku bisa merasa begitu dekat kepadanya"
"Kau tidak memiliki diriku!" Aku berteriak. "Kau tidak bisa
berkata apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Apakah kau pikir
kau bisa mengontrol hidupku" Apakah kau benar-benar berpikir kau
bisa mengontrol siapa yang aku temui dan siapa yang tidak boleh
kutemui?" Pada saat aku selesai berbicara, aku terengah-engah mengambil
napas. Darryl balas menatapku dengan tenang. Wajahnya tidak
menunjukkan emosi sama sekali, tapi pipinya merah. "Aku tidak bisa
membiarkan dirimu menemui laki-laki ini," katanya dengan gigi
terkatup. "Dia hanya akan menyakitimu, Hope."
Aku membuka tutup kepalan tanganku. "Darryl, pergilah," aku
memerintah dengan suara gemetar. "Aku menginginkan kau pergi dan
jangan kembali. Aku bersungguh-sungguh."
Ia tidak bereaksi. Hanya menatapku dengan dingin, begitu
dinginnya sampai aku dapat merasakan rasa dingin itu.
"Pergilah, Darryl," aku mengulang, sambil menggoyanggoyangkan tinjuku. "Pergilah. Dan jangan membunuh lagi. Kau
dengar aku" Jangan lagi. Dan jangan ganggu Chris. Jangan pernah
berani mendekatinya."
Darryl akhirnya bersuara. Ia mendongak dan tertawa, gelak
tawa yang dingin dan kejam. "Apakah kau benar-benar berpikir si
Chris ini menyukaimu?" ia bertanya.
"Ya. Aku..." "Apakah kau sudah melupakan Mark?" Darryl berseru. "Jangan
bilang kepadaku kau sudah melupakan Mark Grazer."
Tentu saja aku belum melupakan Mark.
Dengan hanya mendengar namanya saja sudah membuat semua
kenangan"kenangan-kenangan buruk"mengalir kembali ke dalam
pikiranku. Mark Grazer.... Aku sangat tidak populer di SMU. SMU Shadyside. Terletak di
sebuah kota bernama Shadyside, kira-kira delapan puluh kilometer
dari Ivy State College. Tahun-tahun SMU-ku tidaklah menyenangkan. Aku tidak
cantik. Aku juga sangat pemalu dan kelebihan berat badan. Dan Mom
tak pernah membiarkan aku lupa untuk sesaat pun bahwa aku adalah
orang yang gagal. Kemudian datanglah Mark. Dia laki-laki pertama yang pernah
menyukaiku. Setidaknya, kupikir dia menyukaiku.
Bahkan setelah ibuku menghalangiku untuk pergi ke pesta
dansa bersamanya, Mark mengajakku pergi lagi. Ia begitu manis
kepadaku. Ia memperkenalkan aku kepada semua teman-temannya. Ia
mengucapkan hal-hal yang indah mengenai diriku.
Kami pergi keluar untuk makan malam bersama beberapa
temannya. Kami mengobrol selama berjam-jam. Kami tertawa dan
bercanda. Mark terus-menerus memelukku sepanjang waktu.
Betapa bahagianya! Aku tidak pulang ke rumah sampai pukul 02.00. Aku tahu ibuku
akan marah, tetapi aku tidak peduli. Untuk pertama kalinya di dalam
hidupku, aku merasa normal. Menjadi bagian dari sebuah kelompok.
Bagian dari pasangan-pasangan.
Aku mengira hidupku sudah berubah. Aku mengira aku sedang
jatuh cinta. Bisakah kaubayangkan bagaimana perasaanku ketika aku
mengetahui bahwa Mark mengajakku keluar hanya untuk sebuah
lelucon" Sehari setelah kencan kami, seseorang mengirimkan sebuah
pesan kepadaku. Tanpa nama.
Pesan itu berkata bahwa aku harus tahu kebenarannya. Bahwa
Mark telah kalah taruhan dengan teman-temannya. Orang yang kalah
taruhan harus mengajakku pergi dan berpura-pura menyukai diriku.
Fear Street Akhir Segalanya Fearhall The Conclusion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itu adalah sebuah lelucon yang kejam. Dan seluruh sekolah tahu
akan hal itu. Mereka semua menertavyakan aku di belakangku. Semuanya.
Aku mengunci diri di kamarku dan menangis selama berjamjam. Betapa teganya Mark melakukan hal itu kepadaku" Betapa
teganya semua orang membiarkan dia melakukan hal itu"
Aku tidak bisa kembali ke sekolah itu. Aku tidak tahan melihat
tatapan mata dan muka-muka yang tersenyum itu.
Semua orang tahu. Semua orang.
Aku diam di rumah selama satu minggu berikutnya. Aku
berdiam diri di kamarku, menangis dan berpikir. Berpikir mengenai
betapa aku membenci semua orang di dunia ini. Khususnya diriku
sendiri. Untungnya, aku memiliki Eden, Jasmine, dan Angel. Mereka
menemaniku. Mereka mengobrol bersamaku siang malam. Mereka
teman-teman yang baik. Mereka mencoba untuk menghiburku. Mereka mencoba untuk
membujukku agar aku kuat, agar aku kembali ke SMU itu dan
berpura-pura tak ada sesuatu pun yang terjadi.
Tetapi aku tidak bisa melakukan hal itu. Hatiku sakit. Dan aku
merasa begitu... tolol dan malu.
Kemudian Darryl muncul. Darryl sangat baik. Laki-laki yang dapat kupercaya.
Darryl benar-benar menyayangiku. Ia mengajakku keluar. Ia
mengajakku berkeliling bersamanya.
Darryl mengerti akan diriku dari awal. Ia tahu tentang semua
lelucon Mark. Ia sependapat bahwa Mark adalah seorang yang sangat
menyebalkan. Aku merasa amat senang berkeliling di Shadyside di dalam
mobilku dengan Darryl yang mengemudikan. Begitu santai. Begitu
nyaman dan bahagia. Kami melihat Mark sedang berjalan-jalan di Park Drive, dua
atau tiga blok dari SMU itu. Darryl terlihat tegang dan bersandar ke
depan. Ia mencengkeram kemudi dengan dua tangan.
Ia menunggu Mark mulai menyeberangi jalan.
Kemudian menekankan kakinya pada pedal gas"dan
menabrakkan mobil itu kepada Mark.
Mark tak pernah tahu apa yang menghantamnya.
Bagian depan mobil itu menghantam pinggang Mark dan
membuatnya melayang. Tangan dan kakinya terpentang lebar. Ia
membentur jalan aspal pada wajah dan perutnya. Dan terpental
beberapa kali. Aku takkan pernah bisa melupakan perasaan benturan di bawah
ban mobil kami saat Darryl mengemudikan mobil itu menggilas tubuh
Mark. Pertama ban depan terpental, kemudian ban belakang.
Kemudian Darryl memasukkan persneling mundur"dan
memundurkan mobil itu menggilas Mark. Duk. Duk.
Dan kemudian kami maju menggilas Mark lagi. Duk. Duk.
Kemudian mundur menggilasnya lagi. Duk. Duk.
Kemudian kami melajukan mobil dengan cepat, sambil
memekik dengan gelak tawa, tertawa sampai air mata mengalir di pipi
kami. Hari yang luar biasa. Kenangan yang luar biasa....
Aku mengejapkan mataku beberapa kali, mengusir pergi
pikiran-pikiran itu. Aku melihat berkeliling di ruang tamu yang gelap
dari rumah perkumpulan yang sudah tidak dipakai itu, dan menyadari
bahwa Darryl sudah menghilang.
Apakah dia sudah pergi untuk selamanya" tanyaku dalam hati.
Aku rasa tidak. Darryl tidak mungkin dapat dikendalikan. Tidak
mungkin. Aku ingat Melanie dan teman sekamarnya di Fear Hall berkata
bahwa aku gila. Itulah sebabnya mereka memberitahu polisi.
Tetapi aku tidak gila. Aku membutuhkan teman-temanku. Teman-teman baikku.
Teman-teman yang takkan pernah meninggalkanku, tidak pernah
membiarkanku seorang diri.
Aku memeluk diriku erat-erat, merasa sangat kedinginan. Saat
aku memandang berkeliling, ruangan itu tampaknya semakin gelap.
Apa yang akan dilakukan Darryl sekarang" aku bertanya-tanya
dalam hati. Ia sedang marah besar. Apakah ia akan mencoba untuk melukai
Chris" Apakah ia akan mencoba untuk membunuh Chris"
"Kuharap tidak," aku bergumam keras.
Chris sangat baik. Dia tidak patut dibunuh Darryl. Ia tidak patut
mengalami apa yang dialami yang lain.
Tetapi, tentu saja, aku tidak bisa mengendalikan Darryl.
Bisakah aku" Bab 17 Chris WILL dan aku sudah bermain biliar beberapa kali di tempat
bermain biliar yang terletak di Elm di seberang kampus. Tempat itu
amat berisik dan ramai seperti biasanya, dan Will dan aku sedang
bersenang-senang. Bermain biliar membantu kami untuk melepaskan pikiran kami
dari semua kejadian mengerikan yang sudah terjadi dalam beberapa
hari belakangan ini. Ketika kau harus berkonsentrasi untuk memukul
bola biliar dengan lurus, kau tidak punya waktu untuk memikirkan
tentang pembunuhan gila-gilaan yang menghantui kampus.
Will dan aku sudah menjadi teman baik. Kami semakin sering
bermain bersama. Ia seorang pemain biliar yang buruk sama seperti
aku, jadi pertandingan itu berlangsung ketat dan menyenangkan.
Tentu saja, aku bertemu Big Al di sana. Pada mulanya, ia
berpura-pura tidak mengenalku. Menurutnya itu lelucon yang lucu.
Kemudian ia bergabung dengan Will dan aku di meja kami.
Ia mengosongkan meja sebelum kami bisa memasukkan satu
bola pun. Big Al menghabiskan banyak waktu di tempat main biliar.
"Aku harus menang, man," ia berkata, setelah menepuk
punggungku dengan begitu kerasnya sampai-sampai mataku serasa
akan melompat keluar. "Kalian bukan tandinganku."
"Kami hanya akan mempermainkanmu," Will bercanda.
"Mainkan satu game lagi, dan kami akan memperlihatkan kepadamu
betapa buruknya permainan kami!"
"Apakah kau juga tinggal di Fear Hall?" tanya Al kepada Will.
Will mengangguk. "Chris dan aku teman sekamar."
Big Al menghabiskan isi kaleng birnya dan bersendawa keraskeras. "Aku akan segera keluar dari sana sekarang jika aku jadi
dirimu," ia menasihati, hanya setengah bercanda. "Aku rasa ceritacerita mengenai tempat itu benar. Anak-anak yang berada di dalam
asrama itu sedang berjatuhan seperti lalat."
Will dan aku bertukar pandang. Kami sudah berhasil melupakan
rasa takut itu untuk beberapa menit. Tetapi kata-kata Big Al
membawa kembali rasa ngeri itu.
"Sampai nanti," kata Al, sambil memberi hormat seperti militer
dengan dua jari kepada kami. Kami mengawasi dia berjalan
menembus kerumunan menuju ke pintu.
"Apakah dia selalu berisik dan kasar seperti itu?" Will bertanya.
"Kau akan terbiasa," aku menjawab.
Beberapa menit kemudian, kami menyelesaikan permainan
kami dan keluar dari ruang biliar. Malam itu dingin dan berawan.
Tidak ada bulan atau bintang di langit. Udara bergantung berat dan
basah, bisa-bisa turun hujan atau mungkin salju.
Aku menarik kerah jaketku ke atas dan menundukkan kepalaku
ke dalam angin. Will menarik ke bawah topi ski wol hitam yang selalu
ia kenakan. "Jadi bagaimana dengan gadis yang kauceritakan kepadaku?"
tanyanya, sambil bergegas untuk tetap bisa mengikutiku. Aku selalu
berjalan cepat kalau dingin.
"Maksudmu Karen?" tanyaku. Aku merasakan setetes air hujan
yang dingin pada dahiku. "Yeah. Karen. Kau bertemu dengannya lagi?" tanya Will.
Aku menggeleng. "Tidak sejak malam yang lalu itu. Dia agak
sedikit aneh." Will menyeringai kepadaku. "Seberapa aneh?"
"Aku"aku tidak benar-benar bermaksud aneh," aku tergagap.
"Maksudku... aneh!"
Ia tertawa. Kami menyeberangi tempat parkir gedung biliar dan berbelok
ke jalanan. "Dia sangat pemalu," aku menjelaskan. "Maksudku, sangat sulit
untuk mendapatkan keterangan dari dirinya. Sulit untuk bisa meminta
dia menceritakan sesuatu tentang dirinya sendiri. Dia bahkan tidak
ingin memberitahukan nama keluarganya kepadaku!"
"Mungkin dia tidak ingin berbicara," Will menggoda. "Mungkin
dia hanya menginginkan beberapa tindakan!"
Aku menggeleng. "Dia tidak mau memberikan nomor
teleponnya," aku mengeluh. "Dan dia tidak mau memberitahuku di
mana dia tinggal." "Aneh," Will bergumam. "Hei"sudah mulai hujan."
"Malam itu, aku menawarkan untuk mengantarnya pulang," aku
meneruskan. "Dan dia bersikap... aku tidak tahu... seperti hampir
ketakutan." Senyum Will menghilang. "Mungkin dia punya pacar," ia
mengira. "Mungkin dia menyelinap keluar bersamamu di belakang
pacarnya. Itu bisa menjelaskan kenapa dia tidak menginginkanmu
untuk meneleponnya atau datang ke rumahnya."
"Hmmm... mungkin," jawabku, sambil berpikir keras tentang
hal itu. "Tidak"tunggu." Aku berhenti berjalan. "Dia berkata
kepadaku dia baru saja putus dengan seorang laki-laki. Itu betul. Pada
malam aku bertemu dengannya. Dia berkata dia putus dengan seorang
laki-laki yang sangat pencemburu dan posesif."
"Apakah kau pikir dia berkata jujur?" tanya Will.
Aku tak punya kesempatan untuk menjawabnya.
Aku melihat lampu-lampu besar mobil menyoroti kami.
Aku mendengar suara decitan ban mobil.
"Hei"!" Aku membuka mulutku dalam sebuah teriakan kaget.
Lampu-lampu besar itu menyapu diriku. Mesin mobil itu
meraung-raung. Pengemudi mobil itu tidak akan membanting kemudinya! aku
tersadar. Terpaku. Tak berdaya.
Mobil itu tidak akan berbelok.
Mobil itu akan langsung menabrak diriku!
bab 18 SAMBIL menjerit ketakutan, aku mengulurkan tanganku,
meregangkannya ke depan"dan meloncat ke sisi jalan.
Aku mendarat keras pada perut dan tanganku, dan meluncur
kira-kira dua meter di atas aspal basah.
"Auww!" Kerikil-kerikil menyemprot ke wajahku. Jalanan itu
menggarut kulit tangan kananku hingga terkelupas.
Aku berpaling seraya melihat mobil itu berdecit berhenti.
Aku menggelengkan kepalaku, mencoba untuk menghilangkan
rasa pusing. Mobil siapa itu" Siapa yang mengemudikannya" Kenapa lakilaki atau perempuan itu mencoba menggilas kami"
Pertanyaan-pertanyaan melayang menembus otakku, berpacu
secepat detak jantungku. Will! aku berpikir. Di mana Will" Apakah ia baik-baik saja"
Masih tertelungkup pada perutku, aku melihat Will di sisi lain
mobil itu. Ia meneriakkan sesuatu. Berteriak dengan marah.
Aku berdiri, tanganku berdenyut kesakitan, jantungku berdebardebar.
Will menarik membuka pintu pengemudi mobil itu. Ia berteriak
dan memaki-maki. Aku berjalan terhuyung-huyung ke arahnya, kakiku gemetaran,
jantungku masih berdebar-debar.
Aku sudah hampir sampai di mobil ketika melihat Matt keluar
dari balik kemudi. Ia tertawa seperti orang gila.
Will merenggut bagian depan jaketnya. "Kau hampir
membunuh kami!" ia berteriak.
Matt menggelengkan kepalanya, sambil masih tertawa. Ia
menarik dirinya membebaskan diri dari cengkeraman Will. "Kalian
seharusnya melihat wajah kalian!" ia berteriak. "Aku dapat melihat
kau sedang mengucapkan doa-doamu!"
"Kau sudah gila?" Will menjerit. "Matt" bagaimana jika Chris
dan aku tidak meloncat" Lalu bagaimana?"
"Pembunuhan di jalan!" Matt tertawa. "Kentang tumbuk di
jalan!" Aku bersandar pada kap mobil itu, sambil menarik napas. Aku
mengamati tanganku yang terluka dalam terang sinar lampu mobil itu.
Tidak terlalu parah. Aku mencungkil sisa tanah dan kotoran dari luka
itu. Tidak terlalu dalam seperti yang kukira.
Will dan aku menyipitkan mata kami pada Matt.
"Hei, teman-teman..." Ia mengangkat kedua tangannya ke udara
dan mundur. "Jangan melihat aku seperti itu. Aku tadi akan berhenti
kok. Sungguh. Aku bisa berhenti dalam sekejap."
Kami tidak menjawab. Kami hanya mengerling kepadanya
dengan marah. "Sungguh. Aku akan berhenti," ia bersikeras, sambil
menyeringai. "Aku hanya ingin menakut-nakuti kalian."
Ia mulai kembali ke mobil. "Ayo. Masuk. Aku akan mengantar
kalian kembali ke asrama."
Sambil menggeleng-geleng marah, aku naik ke kursi belakang.
Tidak mungkin aku mau duduk di depan bersama orang gila itu!
"Matt, tadi itu sungguh-sungguh berbahaya," aku menarik napas
panjang. Tentu saja, aku tidak mengira betapa berbahayanya situasi yang
kuhadapi. Tidak terbayangkan betapa mengerikannya kehidupanku
dalam beberapa hari selanjutnya nanti.
bagian empat Darryl bab 19 MELANIE yang menjadi masalah.
Selalu Melanie yang menjadi masalah.
Ia yang membawa polisi masuk ke dalam kamar asrama Hope.
Ia yang mengatakan kepada polisi bahwa aku tidak nyata. Bahwa tak
ada satu pun teman-teman Hope yang nyata.
Bahwa Hope sudah gila. Hope tidak pernah menyukai Melanie.
Melanie memang sangat sombong. Selalu berjalan-jalan seperti
orang sombong dengan hidungnya yang sempurna mendongak. Selalu
berpakaian dengan begitu rapinya. Seorang murid teladan. Potongan
rambut hitamnya begitu sempurna, selalu terjatuh pada tempatnya.
Bibirnya selalu dalam keadaan basah yang sempurna, tidak pernah
kering dan pecah-pecah. Kulitnya yang bersih begitu merah.
Berani-beraninya dia mengatakan bahwa Hope gila" Bagaimana
dia bisa berkata seperti itu tentang seseorang yang baru saja
dikenalnya" Ya, Melanie yang menjadi masalah.
Tetapi tidak untuk waktu yang lama....
Dia gadis terakhir yang masih hidup di dalam kamar 13-A. Jika
aku membereskan dia, Hope akan sangat berterima kasih. Hope akan
menyambutku kembali dengan senyuman dan pelukan.
Fear Street Akhir Segalanya Fearhall The Conclusion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan Hope dan aku akan bersama-sama lagi. Semuanya akan
kembali seperti semula. Hope berkata ia tidak ingin aku membunuh lagi. Tetapi aku
tahu dia tidak bersungguh-sungguh.
Aku mengenal Hope lebih baik daripada dia mengenal dirinya
sendiri. Tentu saja dia ingin Melanie mendapatkan apa yang pantas
didapatkannya. Tentu saja dia ingin membalas Melanie.
Tentu saja dia ingin Melanie tewas.
Malam ini terasa sangat dingin. Aku dapat merasakan rasa
dingin menembus jaket berkerudung dan dua sweterku. Tanah
berderak keras di bawah sepatuku saat aku menyeberangi The
Triangle. Bintang-bintang di langit di atas kampus terlihat seperti
bongkahan-bongkahan es. Tak lama lagi, sebentar lagi, Melanie akan menjadi lebih dingin
daripada es. Aku merasa ragu di pintu-pintu depan yang menuju ke Fear
Hall. Aku mundur dan membiarkan dua cewek masuk ke dalam. Salah
satu dari mereka mengerling kepadaku tetapi tidak tersenyum.
Malam sudah larut. Sudah hampir tengah malam. Aku
mengintip melalui kaca ke dalam lobi depan yang bersinar terang.
Ollie, si penjaga tua yang lemah, sedang bersandar pada meja depan,
setengah tertidur. Bisakah aku melewatinya tanpa membuatnya terbangun"
Aku memasukkan tanganku ke dalam saku jaket berkerudungku
dan mencoba terlihat seolah aku tinggal di sini. Aku berjalan dengan
cepat, tetapi tidak terlalu cepat, mataku menatap lurus ke depan pada
lift, bibirku tersenyum datar.
Ollie mendongak. Aku bisa melihat ia sedang mengamat-amati diriku.
Hanya sebentar saja. Kemudian ia menurunkan kelopak matanya lagi.
Yesssss! Jantungku berdebar-debar, aku terus berjalan ke lift. Tanganku
gemetar saat menekan tombolnya. Tetapi aku berhasil sejauh ini.
Sejauh ini, berjalan dengan sangat mudah.
Aku heran perguruan tinggi ini tidak meningkatkan keamanan
di asrama. Kenapa mereka tidak menambahkan beberapa penjaga
lagi" Kenapa mereka tidak menggantikan Ollie dengan seseorang
yang bisa terus terjaga"
Mereka mungkin tidak percaya bahwa ini benar-benar terjadi.
Itu yang aku kira. Pembunuhan-pembunuhan yang begitu mengerikan di kampus
kecil yang damai seperti Ivy State College"
Para dekan tidak percaya bahwa hal ini benar-benar terjadi. Dan
mungkin mereka tidak percaya ini akan terjadi lagi.
Tetapi pembunuhan akan terjadi lagi.
Sebentar lagi. Lift berdengung lembut saat mulai bergerak naik. Aku
menyandarkan punggungku pada dinding lift dan menarik napas
dalam-dalam untuk beberapa kali.
Asrama itu sepi. Saat meluncur ke atas, aku tidak mendengar
suara musik, tidak terdengar suara-suara. Hanya dengung lift dan
desahan napasku yang keras.
Melanie pasti sudah tertidur, aku mengira. Seorang murid yang
sempurna seperti dia tidak perlu belajar malam-malam dengan
tergesa-gesa untuk sebuah ujian.
Ia pasti sudah tertidur nyenyak, aku tahu. Seorang diri sekarang.
Teman-teman sekamarnya sudah tidak ada lagi. Margie dan Mary
yang malang. Aku membayangkan Melanie seorang diri di dalam kamar
asrama yang besar itu. Semua tempat tidur bersusunnya sudah kosong
sekarang, kecuali tempat tidurnya.
Liftnya melambung berhenti. Jantungku melambung bersama
lift itu. Tenang saja, Darryl, kataku pada diri sendiri.
Kau punya tugas yang harus dilakukan demi Hope. Jadi
lakukanlah. Jangan mempermasalahkan hal itu.
Pintu lift bergeser terbuka. Aku menatap keluar ke lorong yang
bersinar terang. Aku melihat ke kiri-kanan, memastikan bahwa tidak
ada siapa pun di sana. Tak ada seorang pun di lorong itu. Hampir semua pintu kamar
asrama tertutup. Bagus. Aku berputar dan berjalan dengan cepat tanpa suara menuju ke
kamar 13-A. tanganku terkepal keras di dalam saku jaketku. Bagian
atas kepalaku mulai terasa menggelenyar.
Aroma asam memenuhi hidungku.
Aroma kematian" Lorong itu kelihatannya lebih panjang dari biasanya. Aku dapat
melihat kamar 13-A di ujung, tetapi kelihatannya jauh sekali.
Ada suara di belakangku yang membuatku berpaling.
Tak ada seorang pun di sana. Hanya gedung tua yang
berkeriutan, kurasa. Aku berhenti di luar kamar 13-A. Aku memandang sekilas ke
seberang lorong itu ke kamar Hope yang lama. Pintunya tertutup. Aku
tergoda untuk membukanya dan melihat kalau-kalau ada orang yang
sudah pindah ke sana sejak Hope dan teman-teman sekamarnya harus
pergi. Tetapi tidak ada waktu untuk itu, aku mengingatkan diriku
sendiri. Aku punya tugas yang harus dilakukan.
Bagian atas kepalaku terasa menggelenyar dan gatal. Pelipisku
berdenyut-denyut. Aku mengabaikannya. Itu terjadi sebelum aku...
harus membereskan seseorang.
Aku memegang tombol pintu kamar 13-A dan dengan
perlahan... perlahan... memutarnya. Dan mendorongnya.
Pintu itu meluncur terbuka tanpa suara.
Kamar itu gelap. Sinar pucat hijau-kekuningan melayang masuk
dari jendela kembar. Cahaya itu menyapu kamar itu seperti air
samudra. Sesaat aku melihat ombak-ombak hijau bergulung di kamar itu.
Aku harus mengejapkan mata beberapa kali untuk menghilangkan
ombak-ombak itu. Kepalaku berdenyut-denyut menyakitkan sekarang.
Aku menekankan ibu jariku pada pelipisku, mencoba
meringankan rasa sakit itu. Kemudian aku menyeberangi ruang depan
dan berjalan ke ruang tidur.
Melanie sedang tidur dengan punggung menghadap padaku di
tempat tidur bawah pada dinding belakang. Ia mengenakan piama
bergaris-garis, garis-garisnya tampak hitam dalam cahaya hijau yang
redup. Kain penutupnya acak-acakan. Satu kaki bersandar pada bagian
atas selimut. Kakinya yang tak beralas tampak ramping dan hijau
dalam cahaya mengerikan dari luar.
Aku mengabaikan denyutan kuat yang menyakitkan yang
membuatku merasa seolah-olah kepalaku sebentar lagi akan meledak.
Aku mengangkat sebuah bantal dari tempat tidur bawah yang
terdekat. Aku mencengkeram bantal itu dengan dua tangan. Aku bisa
melihat diriku yang sedang menekankan bantal itu ke atas wajahnya.
Menahannya di sana. Menahannya ke bawah. Menekannya... menekan
bantal itu... sampai ia berhenti meronta-ronta.
Sampai ia berhenti bernapas.
Melanie membalikkan tubuh tetapi tetap tertidur.
Aku maju dengan perlahan-lahan dan tanpa suara menyeberangi
kamar tidur itu menuju ke tempat tidurnya.
Aku mengangkat bantal itu ke dadaku.
Aku membungkuk ke bawah, sambil menurunkan bantal itu.
Ini akan berlangsung dengan sangat mudah.
Sangat mudah.... bab 20 TANGANKU meremas ujung-ujung bantal itu.
Aku menurunkan bantal itu ke dalam kolam cahaya hijau.
Semuanya memancarkan cahaya hijau sekarang. Tanganku.
Bantal. Selimut. Rambut hitam dan panjang Melanie.
Rambut panjang" Ia mengerang dalam tidurnya.
Aku melompat mundur satu langkah.
Lengannya berguling di sampingnya. Ia bergerak. Berputar
telentang. Mulutnya terbuka. Satu mata terbuka.
Rambut panjang" Rambut Melanie pendek. Aku menatap ke dalam gelombang cahaya hijau. Ke dalam
ombak lautan yang bergulung.
Menatapnya sambil merasakan denyutan... denyutan keras...
ayunan keras ombak dalam kepalaku.
Menatap gadis yang berada di tempat tidur.
Itu bukan Melanie! Aku bergerak mundur terhuyung-huyung.
Ia menatap ke atas ke arahku, kedua matanya terbuka lebar
sekarang. Lebih lebar lagi.
Ia menurunkan pandangannya ke bantal, yang masih
tergenggam di antara kedua tanganku.
Ia membuka mulutnya"dan menjerit.
Sesaat aku terpaku. Aku balas menatapnya, mencoba untuk
membuatnya terlihat seperti Melanie. Mencoba untuk membuat
segalanya menjadi normal lagi.
Siapa dia" Jeritan lainnya membuatku terperanjat. Sebuah jeritan nyaring
dari belakangku. Aku berputar dan melihat gadis lainnya. Di tempat tidur atas
pada dinding depan. Ia sudah terduduk. Kepalanya mendongak sambil
menjerit lagi. Kemudian menjerit lagi.
"Tidak! Ini tidak benar!" aku berteriak. Aku tidak tahu kenapa.
Jeritan mereka membuat kepalaku berdenyut semakin keras.
Aku melempar bantal ke wajah gadis itu.
Aku berputar ke pintu. Lari, kaki! Aku mencoba untuk memerintahkan kakiku untuk
cepat pergi. Tetapi kakiku terperangkap di dalam gelombang yang besar.
Cahaya hijau itu mengelilingiku. Aku tertawan. Aku terjebak di
dalamnya. Lari! Lari! Akhirnya, aku melangkah dengan berat menuju ke pintu.
"Tidak!" aku berteriak saat ada tangan yang memeluk
pinggangku. Aku mendengar suara menggerutu. Dan suara teriakan.
Gadis yang satu itu"gadis yang berada di tempat tidur atas"
sudah melompat ke bawah. Tangannya menangkap pinggangku. Ia
memegangku dari belakang. Ia mendorongku dengan bahunya.
Mencoba untuk mendorongku ke dinding.
"Lepaskan... aku!" aku tersedak.
"Pergi ke bawah!" ia memekik kepada temannya. "Panggil
keamanan! Becky"panggil dia!"
Becky" Semuanya anak baru di kamar ini. Dan salah satu dari mereka
sedang memegang pinggangku dan mencoba untuk menjatuhkan
diriku ke lantai. Tidak! Aku berkata kepada diriku sendiri. Darryl, kau tidak bisa
membiarkan ini terjadi. Kau tidak boleh membuat Hope kecewa. Kau
tidak boleh tertangkap. Hope sangat membutuhkan dirimu.
Aku berbalik. Aku mengangkat tanganku... dan menampar
muka gadis itu dengan punggung tanganku.
Ia terisak kaget. Segumpal air liur mengalir ke bawah di sisi
mulutnya. Aku menamparnya lagi, dan tangannya terlepas.
Dan aku berlari sekarang. Berlari menembus cahaya hijau.
Menarik diriku melawan ombak itu, menembus arus yang berdenyutdenyut itu.
Aku sudah berada di luar pintu dan berlari dengan bunyi
langkah yang keras di sepanjang lorong itu.
Aku tahu seharusnya aku tidak boleh membuat keributan seperti
ini. Tetapi aku tak peduli sekarang. Aku harus mencapai ke lift. Atau
mungkin tangga. Aku harus berlari kencang. Dan tidak boleh melambat. Terus
berlari sampai akhirnya aku bebas.
Mereka tidak bisa menangkapku. Mereka tidak bisa.
Aku mendengar jeritan-jeritan di belakangku sekarang.
"Hentikan gadis itu!"
"Siapa saja"hentikan gadis itu!"
"Jangan sampai gadis itu melarikan diri!"
Gadis" Kenapa mereka menyebutku gadis"
Apakah mereka benar-benar mengira aku seorang cewek"
Teriakan-teriakan mereka membuatku bingung. Aku nyaris
berhenti berlari. Aku ingin berhenti dan berputar ke belakang. Aku ingin
berteriak, "Kenapa kalian mengira aku cewek" Namaku Darryl!
Apakah aku terlihat seperti cewek?"
Tetapi tentu saja aku tidak bisa berhenti.
Aku memandang ke belakang dan melihat gadis-gadis dalam
gaun tidur dan piama, berlari-lari di lorong panjang itu. Berlari
mengejar diriku, menjerit dan berteriak menyuruhku berhenti.
Tak ada waktu untuk menunggu lift. Aku melompat ke ruangan
tangga darurat. Nyaris mencapai tangga dengan kepala lebih dulu.
Tetapi aku berhasil menyeimbangkan tubuhku, begitu
senangnya bisa keluar dari ombak hijau. Dan aku meluncur dengan
cepat menuruni tangga. Apakah aku sedang bernapas" Aku tidak
yakin. Aku sedang terbang sekarang. Terbang ke bawah, sepatuku
bergedebuk pada tangga-tangga beton. Aku berbelok dan berlari lagi.
Turun. Ke bawah. Seperti sebuah mobil yang turun dengan
membabi-buta pada rel roller coaster. Semuanya berwarna abu-abu
kabur. Aku mendengar teriakan-teriakan di atasku. Teriakan-teriakan
dan kata-kata ketakutan. Jauh di atasku.
Sebentar lagi aku akan berhasil meloloskan diri. Aku akan
berhasil membebaskan diri dari mereka, aku sadar. Aku akan berlari
menyeberangi kampus dalam beberapa detik. Aku akan menghirup
udara malam yang dingin" dan berteriak girang karena berhasil
meloloskan diri. Aku berhenti hanya beberapa detik saat berhasil mencapai lantai
dasar. Aku mendorong dengan keras pintu yang menuju lobi depan.
Pintunya tidak bisa bergerak.
Apakah pintunya macet"
"Tidak!" aku terperanjat.
Aku mendorongnya lebih keras lagi. Menyandarkan bahuku
pada pintu. Mendorongnya dengan sekuat tenagaku.
Tidak. Tidak. Tidak. Pintunya tidak mau terbuka.
Apakah aku akan terjebak di sini" Terjebak di ruangan tangga
Fear Street Akhir Segalanya Fearhall The Conclusion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
darurat" Aku mendengar teriakan-teriakan marah di atasku. Langkahlangkah kaki tanpa alas yang berdentam keras menuruni tangga
mengejar diriku. Sudah dekat. Mereka sudah semakin dekat.
Apakah aku terjebak di sini" Benarkah"
Tidak. Tidak. Tidak. bab 21 AKU mendorong pintu itu dengan keras sekali lagi. Tidak bisa.
Pintunya tak mau bergerak.
Aku berputar. Gadis-gadis itu sudah berada di lantai atasku.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Rasa panik membuat
sekujur tubuhku gemetaran.
Aku menarik pintunya. Yes! Betapa tololnya. Kenapa aku menjadi begitu tolol"
Aku melewati pintu itu. Masuk ke lobi depan. Ollie mendongak
dari mejanya. Aku berlari menyeberangi lantai granit yang mengilap.
Ollie terlonjak berdiri. "Miss...?" ia memanggil. "Hei"Miss?"
Ia juga mengira aku cewek!
Aku tidak berhenti untuk memikirkan hal itu. Aku menoleh ke
belakang dan melihat dia sedang berteriak-teriak pada telepon hitam.
Kemudian aku mendorong pintu kaca hingga terbuka. Dan aku
sudah berada di luar. Berlari kencang melawan angin. Kepalaku
menunduk rendah. Rambutku melambai di wajahku.
Menghirup udara segar dan dingin. Dan berlari... berlari....
Berlari ke rumah tua perkumpulan itu... berlari melewati
bayangan-bayangan pohon-pohon hijau dan gedung-gedung gelap.
Tanahnya keras, rumput-rumput di The Triangle begitu basah, basah
dan licin karena embun yang dingin.
Dan aku terus berlari, berlari....
Sampai akhirnya semua gedung itu berangsur-angsur hilang.
Dan pohon-pohon menghilang. Dan lampu-lampu jalanan yang
berwarna kuning juga turut menghilang.
Kampus itu menghilang sama sekali, dan aku menghilang
bersamanya.... bab 22 Hope AKU berlari menembus kegelapan. Kakiku membentur tanah
dengan keras dan meluncur pada rumput-rumput yang berembun.
Aku berlari... berlari melewati pohon-pohon dan gedunggedung kampus yang gelap. Jantungku berdebar-debar. Kepalaku
berdenyut-denyut pada setiap langkahku yang berat.
Aku memperlambat langkahku. Kemudian aku berhenti di
samping air mancur di tengah The Triangle.
Aku berhenti dan melihat berkeliling, dadaku naik-turun,
leherku terasa terbakar. Di mana aku" Apa yang sedang kulakukan di sini"
Aku mengejapkan mataku beberapa kali, mencoba untuk
mengusir adegan itu. Lututku tiba-tiba terasa lemah dan elastis, dan
aku memegang dinding kolam air mancur itu untuk menopang diriku.
Kenapa aku berlari" aku bertanya kepada diriku sendiri.
Kenapa aku berada di luar sini di tengah-tengah The Triangle
pada malam yang selarut ini" Kenapa aku berlari menyeberangi
kampus sekarang" Dari mana aku" Kenapa aku merasa begitu aneh,
begitu... ketakutan"
Pertanyaan demi pertanyaan masuk ke dalam kepalaku yang
berdenyut-denyut. Tetapi aku tak punya jawaban.
Aku tidak ingat. Aku tidak ingat bagaimana aku sampai kemari atau kenapa.
Sambil berpegangan pada bagian atas air mancur yang terbuat dari
batu itu, aku memejamkan mataku. Dan berusaha untuk berpikir.
Kapan aku meninggalkan rumah perkumpulan" Ke mana aku
pergi" Apakah aku berencana untuk menjumpai seseorang" Apakah
aku berencana untuk menjumpai Chris"
Tak ada jawaban. Sama sekali tidak ada. Tak ada satu petunjuk
pun. Apakah aku terkena amnesia" tanyaku dalam hati. Aku mulai
menanyakan berbagai pertanyaan pada diriku sendiri, melihat apa saja
yang masih kuingat. Siapa namamu" Hope Mathis.
Di mana kau tinggal" Di sebuah rumah tua perkumpulan di
ujung Vermont Avenue, karena aku terpaksa harus meninggalkan Fear
Hall. Siapa nama ibumu" Helayne.
"Helayne. Berima dengan insane"gila."
Aku ingat ekpresi wajah ibu ketika aku menulis pada kartu
ulang tahun yang kuberikan kepadanya. Dan aku ingat aku tertawa
seperti setan. Ia terlihat shock dan terluka.
Ia berkata ia tidak akan memaafkan aku. Dan aku tidak bisa
menahan diriku. Aku tertawa lagi.
Tentu saja, aku sudah lebih tua pada waktu itu. Aku bukan anak
kecil lagi. Aku sudah SMU. Ia tidak bisa mengurungku di kamarku
selama satu minggu. Ia tidak bisa membuatku kelaparan berhari-hari,
seperti yang biasa ia lakukan ketika aku masih lebih muda.
Kenangan. Kenangan yang jelas sekali.
"Aku tidak menderita amnesia," aku bergumam keras. Aku
masih ingat semuanya. Semuanya kecuali malam ini.
Aku merasa kedinginan. Malam yang dingin.
Aku memeriksa diriku. Ya ampun, pakaian apa yang
kukenakan" Jaket bulu berkerudungku. Dan dibawahnya... dua
sweter" Apakah aku ingat aku mengenakan dua sweter" Tidak. Apakah
aku ingat aku mengenakan jaket berkerudung dan meninggalkan
rumah" Tidak. Tetapi inilah aku di tengah-tengah The Triangle, menggigil
dalam dingin, bertanya-tanya dalam hati apakah aku sudah gila.
"Pulang ke rumah, Hope," aku memerintah diriku sendiri.
"Pulanglah, ke rumahmu yang hangat. Dan sedikit lebih aman. Dan
mungkin Jasmine atau Angel akan menolongmu. Mungkin salah satu
dari mereka akan menjelaskan semuanya kepadamu."
Aku meninggalkan air mancur itu dan melangkah ke atas
rumput. Kakiku terasa bergetar. Tetapi kepalaku sudah tidak
berdenyut-denyut lagi, dan jantungku sudah melambat dan berdetak
normal lagi. Sambil memasukkan tanganku ke dalam saku jaket, aku
merendahkan kepalaku melawan angin dan mulai berjalan dengan
cepat menuju ke rumah perkumpulan itu.
Dekat Pine Street, dua pelajar"seorang cowok dan seorang
cewek, saling berpelukan" berjalan dengan pelan mendatangiku.
Cewek itu menyandarkan kepalanya pada bahu si cowok. Mereka
berkata pelan, "Halo," saat melintas.
Aku bergumam, "Hai." Dan aku ingat Chris. Aku berharap aku
sedang berjalan bersama dia malam ini, kepalaku bersandar di
bahunya, saling memeluk pinggang.
Ya. Itu akan menyenangkan sekali, aku berkata kepada diriku
sendiri. Jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan berjalanjalan seorang diri di dalam keadaan bingung, tidak tahu dari mana aku
tadi atau apa yang sudah kulakukan.
Aku masih memikirkan Chris ketika berjalan di halaman
rumput rumah perkumpulan itu. Tetapi dia lenyap dari pikiranku"dan
aku berhenti dan terperanjat ketika melihat pintu depan rumah itu
terbuka lebar. Apakah aku telah meninggalkannya dengan pintu terbuka
seperti itu" Atau apakah aku kedatangan tamu sementara aku pergi"
Sambil menarik napas dalam-dalam, aku berlari ke beranda.
Aku menerobos masuk ke dalam rumah itu. Membanting pintu di
belakangku. Dan bergegas menuju ke ruang duduk.
"Ada orang di sini?" aku berseru. "Ada orang..."
Aku tidak menyelesaikan pertanyaanku.
Saat mataku menyapu ruangan itu, aku menutup wajahku
dengan tangan dan menjerit ketakutan.
bab 23 "TIDAAAAAAK! Oh tidaaaaaak!" aku meraung.
Perabot rumah, tirai-tirai, semua... semua yang ada di ruangan
itu"sudah diacak-acak.
Sebuah kursi berlengan terbalik dan bersandar pada bagian
belakangnya, kursinya dirobek-robek, isi kursi itu ditarik keluar. Sofa
itu sudah dibanting berkali-kali, kulitnya terkelupas dari rangkanya
dalam potongan-potongan yang tidak rata.
Ujung-ujung kaki-kaki meja sudah dipatah-patahkan. Bekas
potongan-potongan yang dalam terlihat di bagian atas meja. Tirai-tirai
dirobek dari jendela dan di koyak-koyak.
"Siapa?"" aku tersedak lemah.
"Siapa?"" ebukulawas.blogspot.com
Kemudian aku melihat pesan. Yang ditancapkan pada sebuah
pisau pada dinding di samping jendela.
Aku bergerak cepat-cepat menyeberangi ruangan dan menarik
pisau dapur besar itu dari dinding. Aku melemparkannya ke lantai.
Kemudian aku mendekatkan pesan itu ke wajahku dan
membaca kata-kata yang dituliskan dengan tangan:
Kau tidak bisa lari dariku.
Lama aku menatapnya, dan membaca kata-kata itu berulang
kali tanpa suara. Siapa yang sudah datang kemari" tanyaku kepada diri sendiri.
Siapa yang tahu aku tinggal di sini"
Siapa yang melakukan ini kepadaku"
********** Malam itu, aku tidur dengan melekuk rapat di bawah jaketku
dan semua pakaianku, di balkon yang berada di luar kamar-kamar
tidur atas. Malam itu dingin, dan aku menggigil sampai tertidur.
Balkon itu lembap dan reyot. Jeruji-jeruji kayunya sudah
hampir patah. Tetapi aku tidak masuk ke dalam. Aku ingin berada
sejauh mungkin dari pintu depan. Jauh dari pengacau yang mungkin
akan datang mencari-cari diriku.
Aku sudah tidak aman lagi di rumah ini, pikirku tersadar,
sambil menarik jaket ke atas kepalaku. Aku harus mencari tempat
persembunyian yang baru. Tetapi aku terlalu letih untuk berpikir jernih mengenai hal itu.
Aku tertidur di bawah jaket, kepalaku bersandar pada sweter yang
digulung-gulung menjadi bantal.
Keesokan paginya, aku bangun dengan masih merasa
terguncang dan ketakutan. Aku perlu menjernihkan otakku, kataku
kepada diri sendiri. Aku butuh rencana baru. Tempat baru untuk
tinggal. Aku harus mendapatkan uang. Aku perlu membeli makanan
lagi segera. Aku menyisir rambutku, sambil memandangi diriku di cermin,
masih terkejut melihat diriku berambut cokelat. Begitu banyak
perubahan... tiba-tiba aku merasa seolah-olah aku bukan lagi orang
yang sama. Aku berjalan di sepanjang Vermont untuk beberapa saat,
memeriksa rumah-rumah tua perkumpulan mahasiswa dan mahasiswi.
Hari yang kelabu dan dingin. Udara terasa basah dan berat. Embun
melayang rendah di antara pohon-pohon gundul di sepanjang jalan itu.
Aku berharap dapat menemukan rumah tua yang sudah
ditinggalkan lainnya lagi tempat aku bisa tinggal. Tetapi tempattempat yang kulewati semuanya sudah terisi.
Ke mana aku harus pergi" Pikiranku sama berkabutnya dengan
langit. Tanpa sadar, aku mendapatkan diriku sedang menyeberangi The
Triangle. Berpakaian tebal untuk melawan rasa dingin, para pelajar
berjalan cepat-cepat ke kelas mereka. Di dalam sebuah stan kayu yang
terletak di tengah lapangan berumput, terdapat dua cewek dalam
pakaian badut sedang menjual karcis kepada seorang mahasiswa
jurusan musik. Sebuah pengeras suara mengumandangkan lagu
pertunjukan itu, "Serahkan Badut-badut."
Kehidupan yang normal. Aku mengembuskan napas panjang. Aku tak bisa menahan
diriku sendiri. Aku harus menahan air mataku keluar.
Hanya itu yang kuinginkan. Sebuah kehidupan yang normal.
Aku mendongak ke atas pada gedung Seni Bahasa, menonjol seperti
sebuah kastil gelap yang menembus gumpalan kabut. Aku
membayangkan diriku sedang duduk di kelas, sedang mencatat,
mendiskusikan Othello atau Mark Twain atau pengarang kuno yang
belum pernah kudengar. Itulah sebabnya mengapa aku kuliah di Ivy State College.
Untuk sebuah kehidupan yang normal.
Sekarang inilah aku, tanpa rumah dan uang. Bersembunyi dari
polisi karena pacarku seorang pembunuh.
Ini tidak adil! kataku pada diri sendiri.
Aku menyeberangi jalan"dan berhenti.
Chris! Aku melihat Chris sedang mengobrol dengan seseorang
di samping perpustakaan. Terdorong oleh perasaan gembira, aku mulai berlari-lari kecil
ke arah dia. Aku membuka mulutku untuk memanggil namanya.
Tetapi aku malah menjerit kaget.
Ia sedang berbicara dengan Melanie.
Aku berhenti berlari dan menunduk di balik dahan lebar sebuah
pohon. Apakah mereka sudah melihatku"
Aku bersandar pada batang pohon yang dingin itu dan
mengintai mereka. Tidak. Mereka belum melihatku. Kepala mereka berdekatan,
dan keduanya tampaknya sedang mengobrol dengan gembira.
Chris menarik ke atas kerudung jaketnya hingga menutupi
kepalanya. Tetapi aku bisa melihat mata hitamnya memandang tajam
pada Melanie. Ia menggerak-gerakkan tangannya. Melanie terusmenerus mengangguk dan berbicara bersamaan dengan Chris.
"Aku"aku tidak percaya ini," aku bergumam keras.
Apakah Chris dan Melanie saling mengenal" Apa yang sedang
mereka bicarakan" Sambil mengintip keluar dari balik pohon, aku mencoba untuk
berkonsentrasi. Aku bisa mendengar suara-suara mereka. Tetapi
embusan angin menenggelamkan kata-kata mereka.
Apakah mereka sedang membicarakan diriku" tanyaku dalam
hati. Apakah Melanie sedang memberitahu Chris bahwa aku pernah
tinggal di seberang kamarnya" Apakah ia sedang memberitahu Chris
apa yang ia beritahukan kepada polisi" Bahwa aku gila"
Chris satu-satunya cowok baik hati yang ada di hidupku
sekarang. Satu-satunya hal yang menggembirakan hatiku.
Apakah Melanie akan merusaknya juga"
Aku membutuhkan Chris. Aku sangat membutuhkannya.
Kenapa Chris berbicara kepada Melanie"
Aku sudah tidak tahan lagi memperhatikan mereka.
Aku mendorong diriku mejauh dari pohon, berputar, dan mulai
berlari kembali menyeberangi The Triangle. Aku berlari secepatcepatnya. Udara yang dingin dan basah terasa begitu menyegarkan di
daguku. Wajahku terasa seolah habis terbakar.
Aku pasti habis menangis. Atau mungkin ekpresi pada wajahku
Fear Street Akhir Segalanya Fearhall The Conclusion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terlihat aneh. Karena beberapa pelajar berpaling melihat diriku saat
aku berlari melewati mereka. Beberapa melompat menyingkir dari
jalanku. Aku tidak berhenti berlari sampai akhirnya aku mencapai ke
Pine Street. Kemudian aku pergi dari kampus dan terus berjalan,
sambil membuat langkah-langkah panjang dan cepat, bernapas keras,
tak mampu melarikan diri dari gambaran Melanie dan Chris yang
sedang bersama-sama... bersama-sama... bersama-sama.
Kenapa bukannya Chris dan aku yang bersama-sama"
Tanpa menyadari ke mana aku pergi, aku mendapati diriku
sedang menarik pintu kaca Java Jim's hingga terbuka dan menjatuhkan
diri ke atas kursi di ujung konter.
Jantungku berdebar-debar. Dadaku terasa sakit. Aku menahan
napasku, menantikan rasa sakitnya menghilang.
"Kau baik-baik saja?" pelayan wanita kedai itu bertanya, sambil
membersihkan konter di hadapanku dengan sebuah lap.
Aku memberitahu dia bahwa aku baik-baik saja dan memesan
satu kopi. Aku mencoba menyisir rambutku dengan kedua tanganku.
Kemudian aku menekankan tanganku yang dingin pada pipiku yang
terasa terbakar. Wow. Melihat Chris dan Melanie benar-benar sudah
mengacaukan diriku. Aku menggeleng-geleng, mencoba untuk
menjernihkan kepalaku. Mereka mungkin bertemu di asrama, aku
memutuskan. Mereka berdua sama-sama tinggal di Fear Hall. Jadi
mungkin mereka bertemu di pertemuan asrama atau sesuatu.
Bukan masalah besar. Kecuali Melanie bercerita kepada Chris mengenai diriku....
Apakah Chris sudah mengerti" Apakah ia sudah menyadari
sekarang bahwa gadis yang ia kira Karen sebenarnya adalah Hope"
seorang buronan kriminal"
Hope, kau harus berpikir, kataku kepada diri sendiri. Kau harus
membuat sebuah rencana baru. Rencana untuk mempertahankan
hidup. Pelayan itu menaruh kopiku ke konter. Saat meraih tempat gula,
aku melirik dua cewek di pojok restoran yang merapat ke dinding.
Mereka berdua sedang menatapku. Salah satu dari mereka
menunjuk ke arahku. Ketika mereka melihatku balas menatap kepada mereka, mereka
langsung berpaling. Jantungku berhenti berdetak sejenak.
Apakah mereka mengenaliku" tanyaku dalam hati. Apakah
fotoku sudah masuk koran-koran" Apakah kedua gadis itu tahu siapa
diriku" Aku melompat turun dari bangku. Mendarat dengan tidak
seimbang. Menyeimbangkan diriku dengan berpegangan pada konter.
Kemudian aku pergi. Saat mencapai pintu, aku mendengar pelayan wanita itu
berteriak kepadaku, "Hei" kopimu!"
Tetapi aku menarik pintu itu hingga terbuka dan berlari keluar.
Aku merendahkan kepalaku dan mulai berlari. "Whoooa!" aku
berteriak saat nyaris menabrak kereta bayi.
"Lihat-lihat kalau jalan!" ibu di balik kereta bayi itu
membentak. "Maaf!" aku tersedak. Dan terus berlari. Jaketku yang terbuka
berkibar-kibar di belakangku. Toko-toko dan restoran-restoran yang
kulewati terlihat kabur. Kemudian aku sudah kembali berada di Vermont. Masih berlari
sekuat tenagaku. Kakiku terasa sakit. Setiap kali aku bernapas, dadaku
berdenyut-denyut dengan rasa sakit.
Sebuah klakson berbunyi seraya aku mulai menyeberangi jalan.
Aku mundur terhuyung-huyung, dan sebuah mobil minivan biru
berdecit di dekatku, dan pengemudinya melambaikan tinjunya di
udara. "Lihat-lihat kalau jalan, idiot!"
Aku mengambil napas dalam-dalam, melihat ke kiri-kanan,
kemudian menyeberangi jalan itu. Rumah tuaku terletak di simpang
berikutnya. Aku bisa saja berhenti berlari sebentar, kataku kepada diri
sendiri saat rumah itu mulai terlihat. Aku harus menenangkan diriku,
supaya bisa berpikir jernih.
"Oh"!" teriakku saat melihat seseorang di jalan masuk di
halaman. Seseorang berlari dari rumah.
Chris! bab 24 CHRIS" Di rumahku, di tempat persembunyianku"
Aneh sekali, pikirku. Apa yang sedang dia lakukan di sini" Bagaimana dia bisa
menemukan tempatku tinggal"
Dan kenapa dia berlari dari tempat itu"
Aku memperhatikannya untuk beberapa detik, mencoba untuk
memutuskan apa yang harus dilakukan.
Aku tak bisa membiarkannya pergi, putusku. Aku harus
berbicara dengannya. Aku harus mengetahui apa yang sedang
berlangsung. "Chris"! Hei, Chris!" aku berteriak.
Ia berhenti ketika ia mendengar panggilanku. Mulutnya
ternganga. Aku bisa melihat ekpresi terkejut pada wajahnya.
Terkejut dan... bersalah"
Pipinya merah padam. "Karen"hai!" ia berseru, memaksakan
sebuah senyuman yang lemah. Setidaknya ia belum tahu nama asliku.
Aku berlari kecil mendekatinya, jantungku berdebar-debar lagi.
"Chris"apa yang kaulakukan di sini?" tanyaku tanpa berpikir.
Pipinya semakin merah padam. "Aku... aku datang untuk
menemuimu," ia tergagap. "Tetapi kau tidak di rumah. Jadi aku
langsung..." Suaranya semakin melemah. Ia mengangkat bahu.
"Tetapi, Chris"bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?"
tanyaku sambil menahan napas.
"Yah..." Ia terlihat ragu-ragu. Matanya menatap tajam pada
mataku. "Sebaiknya aku mengaku saja," akhirnya ia berkata. "Aku
membuntutimu pada suatu malam."
"Apa?" aku berseru.
Sebuah senyuman melintas di wajahnya yang tersipu-sipu.
"Aku hanya penasaran," ia menjelaskan. "Kau tidak mau
memberitahuku di mana kau tinggal, jadi aku berusaha untuk
menemukannya sendiri."
Kemudian, yang membuatku terkejut, ia mencondongkan
tubuhnya ke depan dengan canggung"dan menciumku. Sebuah
ciuman singkat tetapi indah, bibirnya kering dan hangat.
Ia menarik diri sebelum aku puas.
Apakah ia menciumku untuk menghentikan pertanyaanpertanyaanku" tanyaku dalam hati. Atau karena ia menyukai diriku"
Ia menyipitkan matanya kepadaku. "Kenapa kau tinggal di
rumah tua seperti ini, Karen?" ia bertanya.
Aku menarik napas panjang. Apa yang dapat kukatakan"
Aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Tidak mungkin.
Dan aku tidak bisa memikirkan sebuah cerita bohong yang
bagus. "Aku tidak mengerti," kata Chris, sambil memandang pada
rumah yang rusak itu. "Kenapa kau tinggal di sini?"
Sebelum aku bisa memikirkan sebuah jawaban, aku mendengar
suara lainnya lagi. Suara anak laki-laki.
"Kau terlalu banyak bertanya, Chris!" katanya marah.
Darryl! "Tidak! Darryl"jangan ganggu dia!" aku memekik. "Darryl"
jangan kau sentuh dia!"
Tetapi Darryl mengabaikan teriakanku.
Sambil menggeram marah, ia menjulurkan kedua tangannya.
Menangkap leher Chris. Dan mulai mencekiknya.
bab 25 "LEPASKAN dia!" aku meraung. "Darryl"lepaskan dia!"
Darryl mencengkeram leher Chris erat-erat.
Chris berteriak tertahan. Matanya terbelalak. Sekujur tubuhnya
meronta-ronta dan tangannya terulur, berusaha membebaskan diri.
Tetapi Darryl sangatlah kuat pada saat dia sedang marah. Rasa
cemburunya memberikannya tenaga yang luar biasa.
"Karen...?" kata Chris dengan suara tertahan. Ia jatuh berlutut,
meronta-ronta... meronta- ronta... tak mampu bernapas.
"Lepaskan! Lepaskan! Lepaskan!" aku memohon pada Darryl.
Dengan sebuah teriakan nekat, Chris menundukkan kepalanya.
Membentur tanah. Dan berguling membebaskan diri dari cengkeraman
Darryl. Ia melompat berdiri dengan cepat dan mengangkat kedua
tangannya untuk mengusap-usap lehernya. "Karen"aku tidak
mengerti!" ia tersengal.
"Darryl"pergilah!" aku berseru. "Aku bersungguh-sungguh,
Darryl! pergi! Biarkan kami sendiri!"
Chris menatapku, mencoba untuk memijat-mijat rasa sakit pada
lehernya. "Aku tidak menyukai ini, Karen," ia bergumam pelan,
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak mengerti."
"Darryl"menjauhlah dari dirinya!" aku memohon. Aku
berputar ke arah Chris. "Darryl seorang yang sangat pencemburu," aku
mencoba menjelaskan. "Dia tidak bisa menahan dirinya, lihat" Dia
menjadi cemburu lalu mengamuk. Ini bukan salahnya, Chris. Dia..."
"Aku tidak suka ini," Chris mengulang. Ia menatap tajam
padaku, seolah ia baru pertama kali melihatku. "Aku tidak suka ini.
Aku sangat bingung."
Ia terus menatapku, sambil memijat-mijat lehernya. "Apa yang
terjadi di sini, Karen?" ia bertanya. "Apa yang terjadi di sini" Katakan
kepadaku?" "Ini salah Darryl," aku bersikeras. "Jangan melihat padaku
seperti itu. Aku mohon"Chris. Kau membuatku bingung. Kau benarbenar membuatku bingung. Ini salah Darryl. Lihat kan" Selalu Darryl.
Dia... dia sangat jahat. Tetapi dia sangat menyayangiku. Dia hanya
tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri."
Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Chris berbalik dan
pergi, tersandung di atas rumput. Kemudian ia mulai berlari di
halaman rumput depan. "Chris"tunggu!" aku berteriak memanggilnya. "Tunggu"aku
mohon!" Ia sudah mencapai jalanan dan terus berlari. Ia memandang ke
belakang satu kali, wajahnya penuh dengan rasa takut dan bingung.
"Chris"aku mohon!" aku memanggil. Aku mulai berlari
mengejarnya. "Aku akan menyingkirkan Darryl!" aku berseru dengan
penuh ketakutan. "Aku bisa melakukannya. Sungguh, aku bisa! Aku
akan menyingkirkan Darryl jika kau mau kembali!"
Chris berbelok di sudut dan menghilang di balik pagar tanaman
yang tinggi. Aku berdiri di tengah-tengah halaman rumput itu, dadaku naikturun, air mata hangat mengalir ke bawah di pipiku.
"Chris" Chris?" aku memanggil-manggil namanya, meskipun
sadar ia tak bisa mendengarku.
"Maafkan aku, Chris," aku berbisik. "Aku sangat menyesal.
Maaf. Maaf. Maaf." Kesedihanku dengan cepat berubah menjadi kemarahan. Sambil
mengepalkan tinjuku, aku berputar kepada Darryl.
"Teganya kau melakukan hal itu kepadanya?" aku berteriak.
"Teganya kau melakukan hal itu kepadaku?"
Tetapi Darryl juga sudah menghilang.
Aku mencari-cari dia di halaman depan itu.
"Darryl?""
Mataku menyapu ke atas dan bawah jalanan itu. Kemudian aku
berputar kembali ke rumah itu. Apakah dia sudah masuk ke dalam"
Pintu depan berdiri dalam keadaan tertutup. Aku mengintip ke
dalam jendela ruang duduk. Gelap gulita di dalam. Aku tidak bisa
melihat apa-apa. Apa yang akan kulakukan terhadap Darryl" tanyaku dalam hati,
sambil menarik pintu depan hingga terbuka dan melangkah masuk. Ia
sudah mengacaukan semuanya dalam hidupku. Semuanya.
Aku berjalan ke ruang duduk. "Darryl" Kau ada di sini?"
Tak ada jawaban. Aku berhenti di balik sofa yang sudah terkoyak-koyak. Aku
menggigil. Rasa dingin dalam ruangan nyaris sama dengan di luar.
Aku sudah memindahkan semua sofa dan kursi kembali ke
tempatnya masing-masing. Tetapi semuanya sudah dalam keadaan
robek dan rusak tanpa bisa diperbaiki.
Aku beranjak menjauh dari sofa itu"dan melihat secarik kertas
pada meja pendek di sampingnya.
Sebuah pesan lagi" Pesan lagi" Ya. Aku memungutnya dengan tangan yang gemetar dan
mengangkatnya mendekat untuk membacanya:
Tidak ada jalan keluar, Hope. Kau tidak bisa lari dari dirimu
sendiri. Aku menggigil lagi saat menatap tulisan tangan itu.
Apakah Chris yang menulis ini" tanyaku kepada diri sendiri.
Apakah itu sebabnya Chris lari dari rumah ini" Apakah dia yang
selama ini meninggalkan pesan-pesan yang menakutkan ini"
Tidak. Tidak. Bukan Chris. Sambil menatap tajam pada tulisan tangan yang kecil dan kurus
itu, membaca kata-kata itu berulang kali, aku mengenali tulisan tangan
tersebut. Tulisan tangan yang sangat kukenal dengan baik.
Karena tulisan itu adalah tulisanku.
bab 26 AKU tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu. Bisa saja
sudah berlalu beberapa menit atau beberapa jam.
Duduk di kursi berlengan yang sudah disayat-sayat,
memandang keluar pada langit yang mulai gelap oleh kumpulan awan
badai. Aku lupa waktu. Aku memegangi pesan itu di pangkuanku.
Aku memegangnya erat-erat di satu tangan, begitu eratnya sampai
tanganku terasa sakit. Setiap beberapa menit aku memandang ke bawah pada pesan
itu. Aku membaca kata-kata itu lagi, sambil berharap bahwa kali ini
tulisan tangan itu akan terlihat berbeda. Berdoa supaya tulisan tangan
itu milik orang lain. Tidak ada jalan keluar, Hope. Kau tidak bisa lari dari dirimu
sendiri. Pesan itu begitu jelas. Tetapi kapan aku menulisnya" Dan
kenapa" Dan apakah diriku yang memorak-morandakan rumah ini dan
menghancurkan semua perabot rumahnya"
Kenapa aku tidak bisa mengingatnya"
Apakah aku sudah mulai gila"
Aku tidak ingin mempercayainya. Ketika Darryl tiba-tiba
muncul di hadapanku, ekpresinya begitu keras dan dingin, matanya
seperti es biru, aku mengangkat pesan itu kepadanya.
"Apakah kau yang menulis ini?" tanyaku letih. Tiba-tiba aku
merasa sangat bosan. Bosan merasa takut. Bosan berlari.
Fear Street Akhir Segalanya Fearhall The Conclusion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bosan terhadap Darryl dan semua kesulitan serta rasa sakit hati
yang ditimbulkannya. "Benar tidak?" tanyaku, menyorongkan tulisan itu ke wajahnya.
"Apakah ini pesanmu untukku?"
Bibir Darryl mencibir mencemooh. "Aku akan bertindak lebih
buruk jika aku menjumpaimu bersama Chris lagi," katanya pelan.
"Kau tidak bisa bertindak seperti itu terhadapnya!" teriak Angel
dari sofa yang sudah robek.
"Darryl, sekarang sudah waktunya kau menyerahkan diri,"
Jasmine menambahkan. "Kau sadar kau membutuhkan pertolongan.
Kau sadar kau di luar kendali. Menyerahlah, Darryl. Sudah waktunya.
Kau tahu sudah waktunya."
Darryl berteriak marah. Ia meludah di lantai. Matanya yang
dingin membuatku terpaku karena pandangannya yang menakutkan.
"Angel dan Jasmine benar," kataku lembut. "Dengarkan kami,
Darryl. Sudah waktunya."
"Tidak"!" ia memekik. "Tidak! Tidak! Tidak! Aku tidak mau
mendengarkanmu! Aku tidak mau mendengarkan kalian semua! Apa
yang kautahu" Apa saja yang kautahu?"
"Darryl, kumohon...," aku memohon dengan sangat, sambil
melompat berdiri. "Apa yang kauketahui tentang diriku?" Darryl berteriak.
"Apakah kau tahu apa yang kupikirkan" Bagaimana perasaanku" Jika
kau benar-benar peduli terhadap perasaanku"terhadap diriku"
mungkinkah kau berdiri di luar di tengah-tengah halaman depan dan
mencium laki-laki itu, si Chris?"
"Darryl...," aku sudah nekat untuk menghentikan dia sebelum ia
menjadi lebih marah lagi.
"Jika kalian memang menyayangiku," Darryl menjerit, "kalian
tidak akan menyuruhku untuk menyerahkan diri. Kalian tahu bahwa
apa yang kulakukan, kulakukan demi kalian!"
"Dan sekarang sudah waktunya untuk berhenti," Angel
bersikeras. "Tidaaaak!" Darryl meraung parau, wajahnya merah karena
marah. "Aku tidak mau berhenti. Aku tidak mau. Aku akan tunjukkan
kepadamu. Aku akan membunuh Chris sekarang! Aku akan
membunuhnya nanti malam!"
"Aku tidak akan membiarkanmu!" aku memekik. Aku
merenggut bagian depan T-shirt-nya dengan dua tangan. "Aku tidak
akan membiarkanmu! Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti
Chris!" Sebuah ketukan di pintu depan membuat kami semua berpaling.
Aku melompat ke jendela dan mengintip keluar. Tetapi aku
tidak bisa melihat siapa yang berada di beranda.
Sebuah ketukan lagi. Lebih keras. Lebih bertubi-tubi.
Aku menjauh dari Darryl dan bergegas ke pintu. "Siapa?" aku
berteriak. "Ini aku. Chris," terdengar jawaban.
Sebuah senyuman suram mengembang di wajah Darryl.
"Bagus!" ia berseru pelan, matanya menari-nari. "Ini dia. Bagaimana
dia bisa tahu bahwa aku sedang mencari-cari dia?"
"Tidak"Chris! Pergi!" aku berteriak menembus pintu itu.
"Pergi"sekarang!"
"Aku tidak mau pergi," Chris berteriak balik. "Bukalah
pintunya. Aku sungguh-sungguh ingin menemuimu."
Senyuman Darryl semakin lebar. Ia membuka kepalan tinjunya,
bersiap-siap. "Chris"kau tidak bisa masuk!" aku berteriak. "Aku mohon..."
"Bukalah! Ayo!" Chris memohon.
Darryl berjalan ke pintu. "Biarkan dia masuk, Hope," ia
berbisik, tersenyum gembira. "Kau dengar dia. Dia ingin masuk.
Jadi... biarkan dia masuk."
Ia menabrakku menyingkirkan aku dari jalannya"dan menarik
pintu itu hingga terbuka.
bab 27 CHRIS masuk dengan enggan, ekspresinya tegang. Matanya
melihat-lihat ke kiri-kanan dan akhirnya menatapku, kemudian
melihat melewati bahuku ke ruang duduk.
"Chris, kumohon," aku mulai bicara, "sebaiknya kau tidak
kemari, kau harus pergi sebelum..."
Tetapi saat ia melangkah masuk dengan malu-malu, aku shock
melihat bahwa ia tidak seorang diri.
Melanie berjalan masuk di belakang Chris, sambil menggigit
bibir bawahnya, tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket kulit
dombanya yang berwarna cokelat.
Dan di belakang Melanie terdapat empat perwira polisi yang
berpakaian gelap, wajah mereka suram, mereka berkacak pinggang
dengan kaku, tangan mereka berada dekat dengan sarung kulit hitam
pistol mereka. "Hei"!" aku berteriak. "Apa yang kalian lakukan di sini" Apa
yang kalian inginkan?"
"Ya. Itu dia," Melanie memberitahu polisi-polisi itu, suaranya
hanya sedikit lebih keras dari bisikan. Ia terus menatap Chris dan
menghindari pandangan marahku.
"Itu Hope," kata Melanie, wajahnya kosong, tanpa terlihat satu
emosi pun. "Dia merubah warna rambutnya. Tetapi aku
mengenalinya." "Kurasa juga begitu," gumam Chris. Ia juga takut melihat pada
mataku. "Aku berharap aku salah. Aku ingin mempercayai namanya
benar-benar Karen. Tetapi, setelah Melanie menggambarkan Hope,
aku menjadi tidak yakin. Kemudian ketika dia bersikap aneh di
halaman depan tadi sore, aku sadar dialah orang yang sedang kalian
cari." Seorang polisi yang bertubuh tinggi, dengan mata biru seperti
baja dan rambut pirang ikal yang tergerai keluar dari bawah topi
seragamnya, melangkah maju. Ia mengulurkan satu tangannya, seolaholah sedang mengajakku berdansa. "Tolong ikut dengan kami, Hope,"
katanya lembut. "Tidaaaaaaaak!" Lolongan binatang ketakutan keluar dari
kerongkonganku. Ia mengulurkan tangannya untuk meraih diriku.
Tetapi aku menampar tangannya.
Aku berputar dan lari ke tangga.
"Hope"berhenti!" Angel berteriak. "Kau tidak bisa melarikan
diri dari mereka!" "Ya! Lari! Kami akan melindungimu!"
Jasmine berteriak. "Kami semua akan melindungimu!"
Dan kemudian aku mendengar Darryl berada dekat di
belakangku. "Aku akan membunuh mereka! Aku akan membunuh
mereka semua!" katanya marah.
Dan sekarang kami semua berempat berlari, menggerakkan kaki
kami sekuat tenaga, memegang susuran tangga kayu tua, berlari
dengan putus asa menaiki tangga yang panjang.
Aku memandang ke belakang dan melihat keempat polisi naik
tangga di belakangku. "Tolong berhenti. Kami tidak akan menyakitimu!" teriak salah
satu dari mereka. "Kami ingin menolongmu," seorang polisi lainnya
menyambung. Di bawah mereka, aku melihat Chris dan Melanie di dasar
tangga, dengan mata terbelalak, memandang ke atas padaku dalam
ketakutan. Aku berputar dari mereka dan berlari. Diikuti ketiga temanku.
Sahabat-sahabatku. Masuk ke ruang tidur. Dan keluar melalui pintu sempit yang
menuju ke balkon. Balkon kecil tempat aku tidur semalam. Tidur berselimut
jaketku seperti seorang anak yatim-piatu miskin yang tak punya
rumah. "Berhenti! Tolong berhenti!" teriak seorang polisi dari ambang
pintu ruang tidur. "Kami ingin berbicara denganmu!" temannya bersikeras.
Jantungku berdebar-debar karena berlari ke atas menaiki
tangga, aku menarik Jasmine dan Angel ke dalam pelukanku. Dan
memeluk mereka erat-erat. Sangat erat.
"Kalian sudah menjadi sahabatku yang baik," aku memberitahu
mereka. Kalian sudah menjadi sahabatku yang luar biasa. Yang
terbaik yang pernah kumiliki."
Aku memeluk mereka erat-erat dan menarik Darryl ke dalam
pelukan juga. "Kau juga sudah menjadi sahabatku yang baik, Darryl,"
aku memberitahu. "Aku tahu kau hanya mencoba untuk menolongku."
Dan kemudian kami semua berempat saling berpelukan.
Berpelukan sampai akhirnya seorang polisi mendadak
melangkah ke balkon. Dan teman-temanku dan aku bersandar ke belakang. Bersandar
pada jeruji kayu tua. Aku mendengar suara krak.
Aku mendengar jeruji itu patah.
Aku mencoba untuk menyelamatkan diri. Aku mencoba untuk
menyelamatkan kami semua.
Tetapi kami berpelukan dengan begitu eratnya. Begitu eratnya.
Aku tidak bisa membebaskan diri dari teman-temanku.
Aku tidak bisa melepaskan pelukan itu. Akhirnya jeruji balkon
itu ambruk. Dan kami berempat jatuh. bab 28 Chris KEJADIAN itu sangat mengerikan. Kurasa aku akan terus
mengingatnya seumur hidupku.
Kalau saja Melanie dan aku tidak berbelok ke sisi jendela itu.
Kalau saja kami tidak melihat keluar saat Hope terjatuh.
Mulanya aku tidak menyadari apa yang terjadi.
Aku melihat sesuatu meluncur ke bawah dengan cepat.
Seberkas warna. Tangan dan kaki.
Kemudian aku mendengar suara gedebuk keras.
Dan suara krak yang memualkan.
Dan saat menatap keluar dengan ngeri pada jendela yang
berlapiskan debu, aku sadar bahwa itu Hope.
Dan aku sadar Hope jatuh dengan kepalanya ke bawah.
Suara krak yang memualkan itu... itu... itu...
Perutku terkocok-kocok. Aku terengah-engah.
Aku... aku tidak bisa memikirkan hal itu Aku tidak bisa
melukiskannya dengan kata-kata.
Tetapi aku terus-menerus melihatnya. Dan mendengarnya.
Berulang kali. Aku tahu aku takkan pernah bisa menghapus bayangan tubuh
Hope yang patah dan terkulai tergeletak dalam genangan darah.
Melanie memalingkan wajahnya dari jendela dengan
terperanjat. Ia membenamkan wajahnya di bagian depan jaketku.
Ia terisak, sekujur tubuhnya gemetar. Aku belum terlalu
mengenalnya. Tetapi aku memeluk tubuhnya untuk mencoba
menenangkannya. Aku tidak yakin berapa lama kami berdiri seperti itu, saling
berpelukan. Tetapi aku melangkah mundur saat polisi-polisi yang
bermuka muram itu kembali memasuki rumah.
"Apakah dia... mati?" tanyaku, suaraku terputus-putus.
Polisi yang bertubuh tinggi dan berambut pirang mengangguk.
"Kalian berdua bisa pergi sekarang," kata temannya pelan.
"Kami ingin bicara dengan kalian nanti. Tetapi sekarang sudah cukup.
Kalian tidak perlu berada di sini."
"Terima kasih sudah menghubungi kami secepatnya," kata
polisi berambut pirang itu ke padaku. Ia berpaling ke Melanie. "Dan
terima kasih kalian sudah setuju untuk datang dan mengenali dia."
Kami meninggalkan nama kami kepada mereka dan
memberitahu mereka bahwa kami tinggal di Fear Hall.
"Fear Hall," gumam salah satu polisi itu, sambil menggelenggelengkan kepalanya. "Sudah kuduga."
Sambil berpegangan rapat, Melanie dan aku berjalan dengan
gemetar dari ruang duduk. Saat berjalan melewati sofa yang sudah
koyak itu, perhatianku tertarik pada secarik kertas di lantai.
Aku membungkuk dan memungutnya.
"Wow," aku bergumam, menggeleng-gelengkan kepalaku saat
membaca pesan yang bertuliskan tangan itu. Aku memberikan kertas
itu ke Melanie. "Ini... ini jadi kenyataan," kataku dengan suara
tertahan. Dalam suara bisikan rendah, Melanie membaca pesan itu keraskeras:
Tidak ada jalan keluar, Hope. Kau tidak bisa lari dari dirimu
sendiri.END Dibalik Keheningan Salju 2 Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi Pecut Sakti Bajrakirana 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama