Ceritasilat Novel Online

First Horror 1

Fear Street Rumah Setan The House Of Evil First Horror Bagian 1


Prolog 1960 "AWAS! Hati-hati!"
Jimmy Lunt tersandung hampir jatuh di tengah kegelapan.
Dipegangnya erat-erat pegangan tangga.
"Hati-hati," temannya, Andy Skowski, mengingatkan dari atas
tangga. "Jangan sampai terjadi kecelakaan lagi di sini."
"Kenapa ruang bawah tanah ini tidak ada lampunya, sih?" seru
Jimmy sambil menoleh ke belakang. Ia melangkah lebih hati-hati,
menuruni tangga sempit itu.
"Kenapa" Ya, kenapa tidak ada yang beres dalam pekerjaan
ini?" sahut Andy dengan nada pahit. Sepatu botnya berdetak-detak
keras sementara ia mengikuti Jimmy turun ke ruang bawah tanah.
"Kenapa semua jadi kacau" Kenapa kita bisa kehilangan tiga orang
hanya untuk membuat rumah jelek ini?"
"Morrison keluar dari rumah sakit hari ini," Jimmy
memberitahu. "Setelah mengalami kejadian mengejutkan itu, kukira ia
tak akan bisa bernapas lagi." Jimmy bergidik. "Muka Morrison sudah
biru waktu itu. Aku lihat sendiri. Betul-betul biru."
"Aku tidak mau memikirkannya," kata Andy, cahaya lampu
senternya bergerak-gerak di lantai semen ruang bawah tanah. "Kau
tahu, aku ada di sana waktu si Jones yang badannya besar itu jatuh
dari atap. Tidak ada angin tidak ada hujan"tahu-tahu jatuh begitu
saja, dengan kepala lebih dulu. Kasihan."
"Untung minggu depan sekolah sudah mulai lagi, jadi kita bisa
meninggalkan pekerjaan musim panas yang jelek ini," kata Jimmy,
memindahkan kaleng besar dan berat yang dibawanya dari satu tangan
ke tangan lain. "Mana sih retakan yang harus kita tambal itu?"
"Pondasinya baru dicor dua bulan yang lalu. Sekarang sudah
retak-retak. Pekerjaan kali ini banyak sialnya," gumam Andy, masih
memikirkan masalah-masalah yang mereka alami.
"Ya, memang," Jimmy setuju. "Fear Street nomor sembilan
puluh sembilan. Aku tak sudi tinggal di sini. Walaupun dibayar.
Tempat ini sial." "Kau tahu sendiri cerita orang tentang Fear Street. Dan kau juga
dengar tentang mayat-mayat yang mereka temukan sewaktu menggali
pondasi." "Hah" Mayat?" Jimmy kaget.
"Ya. Sampai mereka harus menghentikan buldosernya.
Rupanya banyak kuburan tanpa batu nisan di sini." Andy menunjuk
lurus ke bawah. "Uh... Andy... sudah jangan bicara tentang itu lagi," kata Jimmy
merinding. "Jangan cerita yang aneh-aneh lagi, oke" Aku cuma mau
menambal retakan-retakan itu, lalu aku mau melompat masuk ke
Impala-ku dan ngebut ke Waynesbridge. Malam ini ada konser Beach
Boy." "Hah?" Andy merenggut lengan temannya. "Sejak kapan kau
punya mobil Impala?"
"Punya ayahku," Jimmy mengaku dengan enggan. "Aku boleh
meminjamnya hari ini."
Lampu senter Andy menyapu dinding. "Itu retakannya,"
katanya. "Buka kalengnya. Kita kerjakan sekarang."
Jimmy berlutut di dekat dinding. Andy menerangi dengan
lampu senter. Jimmy mulai mencongkel tutup kaleng dempul dengan
obeng. "Aduh!" Jimmy berteriak kesakitan ketika obeng itu tergelincir
dan ujungnya menancap cukup dalam di tangannya sendiri.
"Brengsek!" "Hati-hati!" seru Andy, namun sudah terlambat.
Jimmy menarik obeng dari tangannya yang berdenyut-denyut.
Ketika Andy menyinari dengan lampu senter, terlihat darah menetes
ke lantai semen. "Aduuuh! Sakitnya bukan main!!"
Andy membungkuk, memeriksa luka itu. "Kau menusuk dirimu
sendiri, Jimmy. Sebaiknya kau cepat ke atas, cari perban."
"Ya," sahut Jimmy, menatap tangannya. "Dasar obeng jelek!"
Dilemparkannya obeng itu ke dinding. "Heran, kok bisa begini!"
Ia berdiri sambil menggeram marah, dan menendang dinding
dengan ujung sepatu botnya yang berat.
Kedua cowok itu berseru kaget ketika sebuah retakan muncul di
dinding. "Waduh, tambahan pekerjaan lagi!" keluh Andy.
Di bawah lingkaran cahaya kuning lampu senter mereka melihat
retakan itu semakin lebar. Tiga senti. Lima senti.
Lalu mereka mendengar suara-suara. Suara kaki-kaki kecil.
"Hei...," seru Jimmy ketika seekor tikus bermoncong runcing
menjulurkan kepalanya dari retakan dinding itu. "Ini rumah baru. Kok
sudah ada tikusnya?"
Tikus itu merangkak keluar dari dinding. Diikuti seekor tikus
lain. Lalu tiga ekor lagi.
Jimmy ternganga, menatap mata-mata hitam kecil mereka, bulu
kelabu, dan ekor merah muda yang bergerak-gerak seperti ular.
"Hei... pergi sana!" usir Andy. Ia menendang tikus yang
terdekat. Tidak kena. Lalu ia menengadah dan melihat bayangan gelap itu mulai
menggeliat keluar dari retakan.
Jimmy melihatnya juga. Kedua cowok itu melangkah mundur,
mata mereka membelalak keheranan.
Awalnya mereka mengira itu ular.
Tapi bayangan itu semakin besar dan bentuknya berubah.
Bayangan itu melayang keluar dari retakan dinding, warnanya
menghitam, mengapung ke atas"berputar-putar di atas kepala
mereka. Putarannya semakin lama semakin cepat. Mengelilingi kedua
cowok itu. Lalu turun dan menyelimuti mereka bagaikan sehelai
selimut gelap dan berat. Mereka bahkan tidak sempat berteriak.
Ketika bayangan gelap itu mengapung lagi ke atas beberapa
detik kemudian, mereka sudah mati. Kedua-duanya. Terkapar dengan
mulut ternganga dan mata mendelik di lantai semen itu.
Dikelilingi tikus-tikus yang mencicit-cicit.
Bab 1 "SUDAH setua apa rumah itu?" tanya Cally Frasier. "Apa betulbetul sudah tua?"
"Sudah cukup tua," sahut Mr. Frasier. Ia melambatkan mobil,
siap berhenti di depan lampu merah. "Kalau tidak salah dibangun awal
tahun enam puluhan."
"Perlu perbaikan," ibu Cally ikut bicara, matanya menatap ke
luar jendela mobil, memandangi halaman-halaman berumput. "Rumah
itu sudah bertahun-tahun tidak dihuni."
"Kurasa belum pernah dihuni," kata Mr. Frasier, membelokkan
mobilnya ke kiri ke jalan bernama Park Drive.
"Apa" Rumah umur tiga puluh tahun tapi tidak pernah dihuni?"
saudara kembar Cally, Kody, bertanya dengan suara nyaring,
menjulurkan tubuhnya ke depan dari tempat duduk belakang. "Kok
bisa?" "Jangan dorong-dorong aku." James, adik lelaki mereka yang
berusia sembilan tahun mengomel. Ia duduk di antara Cally dan Kody,
dan sejak tadi tidak berhenti mengomel. "Jangan mendesak-desakku."
"Aku tidak mendesak-desakmu," ujar Kody.
"Memang, kau mendesak aku!" James berkeras. "Sana, geser
sedikit!" "Aku tidak sudi menyentuhmu. Kau berkutil!" kata Kody.
"Napasmu seperti napas anjing!" teriak James. "Bau!"
"Berhenti, James!" bentak Mr. Frasier. "Kita hampir sampai"
kalau tidak salah." Ia menengok pada istrinya. "Tolong lihat petanya.
Betul tidak arah kita."
"Sekolah apa itu?" tanya Cally, melihat bangunan sekolah yang
panjang, berdinding bata merah.
"Kurasa itu sekolah menengah," sahut ibunya yang sedang repot
membuka peta. "Itu Shadyside High?" seru Cally. "Aku tidak
membayangkannya seperti itu. Kelihatannya..."
"Kuno," Kody menyelesaikan kalimat saudara kembarnya.
Cally dan Kody saudara kembar, dua-duanya perempuan"tidak
identik. Tapi mereka selalu saling menyelesaikan kalimat saudaranya
dan punya pikiran sama pada saat yang sama.
Mereka sudah melewati gedung sekolah itu. Jendela-jendelanya
gelap, pintu-pintunya tertutup rapat. Cally sekilas melihat stadion
sepak bola yang kosong di belakang sekolah. Dua gadis remaja
bersepeda lambat-lambat di trotoar, tertawa-tawa riang.
Cally menghela napas. Ia membayangkan bagaimana rasanya
memulai kelas sebelas di sekolah yang baru.
Ah, nanti saja kupikirkan, sekarang kan masih libur musim
panas, katanya dalam hati.
"Rumah di sini bagus-bagus," komentar Kody. "Rumah kita
juga di sekitar sini?"
"Aku boleh memelihara anjing?" James menuntut. "Janjinya
dulu boleh kalau kita pindah rumah."
"Kita salah jalan," kata Mrs. Frasier sambil menggigit bibir
bawah. "Kita harus berputar. Fear Street ke arah sebaliknya."
Mr. Frasier mengerang. "Namanya kok Fear Street sih?" tanya Kody. "Nama aneh.
Siapa sih yang kasih nama Fear Street, Jalan Seram?"
"Kapan aku dapat anjing" Bisa hari ini?" tanya James.
"Kalau tidak salah nama jalan itu diambil dari nama salah
seorang yang pertama-tama menghuni tempat ini," sahut Mrs. Frasier,
masih meneliti peta. "Diambil dari nama Mister Street," Cally bercanda. Ia bangga
dengan sifat lucunya. Ia selalu melucu dan bercanda. Itu salah satu
perbedaannya dari saudara kembarnya. Kody cerdas dan cepat. Tapi
tidak suka bercanda. James mendorong pundak Kody keras-keras. "Jangan
mendorongku!" teriaknya. Lalu ia menjulurkan tubuh ke depan.
"Bagaimana anjingku?"
"Anjing itu akan jadi milik kita semua," kata Kody padanya.
"Tidak!" bantah James. "Itu anjingku! Dad dan Mom sudah
janji!" Mr. Frasier mengerem mobil dan menepikannya ke pinggir.
"Jangan bertengkar!" serunya. "Tidak bisakah semua diam lima menit
saja" Sampai kutemukan rumah itu" Bisa, tidak?"
Semua diam selama sekitar sepuluh detik.
Lalu, sementara ayahnya menjalankan mobil lagi, James
bertanya, "Jadi kapan aku dapat anjingnya?"
********** Mr. Frasier membelok ke halaman sebuah rumah kira-kira
sepuluh menit kemudian. Cally menjulurkan kepala, ingin melihat
rumah barunya dari kaca depan.
Tapi begitu banyak pohon-pohon besar di halaman depan
sehingga rumah itu hampir terbenam dalam kegelapan.
"Fear Street nomor sembilan puluh sembilan! Kita sudah
sampai!" ayah Cally mengumumkan dengan riang.
Mereka semua turun dari mobil, meregangkan tubuh dan
memandang melalui sela-sela pohon-pohon ke rumah besar yang
menunggu mereka. "Yah"setidaknya rumah itu besar," ujar Kody perlahan. Cally
bisa melihat kekecewaan di wajah saudaranya.
"Sangat besar," kata Mr. Frasier antusias. "Tunggu saja sampai
kalian melihat kamar tidur kalian!"
"Ya, coba pikir," ibu mereka menyumbang suara, "kalian tidak
perlu lagi berdua satu kamar. Apartemen kita yang dulu sudah terlalu
sempit. Sekarang kita punya rumah yang luas, sampai kalian tidak
akan tahu mau kalian apakan semua ruangan itu!"
"Aku tahu mau aku apakan!" seru James. "Aku mau punya
ruang main sendiri, yang ada TV besar untuk Super Nintendo"dan
mesin pinball betulan!"
"Selamat, kalau begitu!" Cally mengejek James. Digosokgosoknya rambut keriting James yang merah.
James menghindar dan melayangkan tinjunya, pura-pura mau
memukul kakaknya. "Hebat!" seru Mr. Frasier, matanya bercahaya di balik
kacamatanya yang berbingkai perak. "Bukan main! Rumah kita
sendiri!" Cally memaksakan senyum di wajahnya. Ia tahu anggota
keluarganya yang lain juga memaksa diri tersenyum.
Rumah itu tidak terlalu hebat.
Bahkan gelap dan menyesakkan.
Di sela-sela pohon-pohon tua itu, semak-semak liar tumbuh
subur di tengah rumput panjang tak terurus. Patahan ranting pohon
berserakan di tanah. Rumah berlantai dua setengah itu hampir selebar
pekarangannya. Atapnya, yang warna aslinya kelabu, sudah
berbercak-bercak cokelat. Daun jendelanya sudah retak-retak,
beberapa malah sudah hilang.
Dua jendela di tingkat atas seperti dua mata yang melotot
menatap Cally. Pipa air hujan di samping rumah sudah bengkokbengkok dan tergantung lepas.
Jendela kaca berwarna-warni di kedua sisi pintu depan itu pasti
dulunya cantik. Tapi sekarang kacanya sudah luntur dan retak-retak.
Pilar penyangga atap teras miring dan kelihatan hampir roboh.
Cally menyapu rambut pirangnya ke belakang bahunya yang
ramping. Bulu kuduknya merinding.
Ini hari yang cerah dan indah, pikirnya sambil memandang ke
atas melalui sela-sela pepohonan. Tapi tak ada seberkas cahaya
matahari pun yang menembus ke rumah. Sama sekali tak ada cahaya.
Di halaman rumah ini gelapnya hampir seperti malam hari. Dan
rumah itu begitu dingin tanpa kehangatan.
"Memang perlu perbaikan," kata Mr. Frasier tiba-tiba, seakan
membaca jalan pikiran Cally. "Tapi justru itu kita bisa mendapatkan
dengan harga murah."
"Menurutku asyik!" James ikut bicara. Diambilnya batu dan
dilemparkannya ke salah satu pohon besar. Batu itu mengenai batang
pohon, menimbulkan suara "duk" keras.
"Sudah, jangan terlalu kuatir," kata Mrs. Frasier pada Cally dan
Kody. "Kita perbaiki rumah ini sampai jadi seperti rumah." Ia
memandang ke atas, ke pohon-pohon yang sangat lebat itu. "Pertamatama yang kita kerjakan adalah menebang beberapa pohon agar
cahaya matahari bisa menembus masuk."
"Rumah ini ada penunggunya! Sudah terasa olehku!" seru
Kody. Cally tertawa. "'Hantu... hantu!' Itu saja yang ada di pikiranmu,"
katanya. "Kau juga pernah bilang apartemen kita ada penunggunya"
iya, kan" Ternyata cuma seekor tupai yang terperangkap di dinding."
"Tapi ini rumah tua!" Kody berkeras. "Tua dan menyeramkan.
Aku sudah membaca banyak buku tentang rumah hantu. Ada buku
yang mengatakan..." "Kau harus berhenti membaca buku-buku semacam itu,"
gumam Mrs. Frasier. "Banyak rumah tua yang ada penunggunya, hantu orang-orang
yang dulu pernah tinggal di rumah itu," Kody meneruskan,
mengabaikan kata-kata ibunya. "Banyak sekali!"


Fear Street Rumah Setan The House Of Evil First Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi tidak ada orang yang pernah tinggal di rumah ini!" kata
Cally. "Kau yang pertama kali akan jadi setan penunggunya, Kody!"
Cally mengangkat kedua lengannya, jari-jarinya membentuk cakar,
lalu ia menjerit nyaring dan panjang seperti jeritan hantu.
"Huuuuuuuuuuuu!"
"Tidak lucu!" seru Kody kesal. "Aku bosan jadi sasaran
leluconmu yang tidak lucu, Cally!"
Cally segera menghentikan jeritannya, terkejut oleh kemarahan
Kody. "Sori deh," katanya.
Cally tidak pernah mau menyinggung perasaan saudara
kembarnya. Ia tahu dalam beberapa hal Kody agak iri kepadanya.
Cally lebih cantik. Cally lebih lucu. Cally lebih banyak teman.
Itu keluhan Kody setiap kali ia merasa rendah diri dan iba pada
dirinya sendiri. Cally selalu mencoba membesarkan hati saudaranya,
selalu mencoba menaikkan semangatnya, mengingatkannya akan
kelebihan-kelebihannya sendiri.
"Siapa tahu ada hantu di kamarku!" seru James bergairah. "Jadi
aku punya teman bicara malam hari."
"Cukup, jangan bicara lagi tentang hantu. Kalian membuatku
merinding saja," kata Mr. Frasier. Ditaruhnya satu tangan di pundak
Cally dan satu tangan lagi di pundak Kody, mengajak mereka kembali
ke mobil. "Ayo, kita mulai turunkan barang-barang, kita bawa
masuk." "Ya!" seru James penuh antusias, mengikuti mereka ke trailer
pengangkut barang yang digandengkan di belakang mobil mereka.
"Aku mau lihat kamar baruku. Juga kamar mainku. Dan aku mau cari
tempat untuk tempat tidur anjingku!"
"Waduh, waduh," kata Mrs. Frasier perlahan. "Satu-satu, dong."
Mr. Frasier membuka pintu trailer. Diberikannya kotak karton
pertama pada Cally. "Wah, ini berat!" seru Cally.
"Hati-hati," ibunya mengingatkan. "Isinya barang-barang
porselen kita yang bagus-bagus."
James menjulurkan kakinya, pura-pura mau menjegal Cally.
"Dasar badut!" kata Cally sambil cemberut. "Ingatkan aku
untuk ketawa nanti, ya."
Agak terhuyung-huyung, dengan kedua belah tangan
memegang dasar kotak karton itu, Cally berjalan ke pintu depan.
"Apa yang bisa kubawa" Aku mau yang berat juga!" Cally
mendengar adik laki-lakinya berkata di belakangnya, di dekat mobil.
Cally sudah hampir sampai di pintu depan ketika didengarnya
bunyi berderak keras di atas kepalanya.
Bunyinya seperti pakaian sobek. Tapi jauh lebih keras.
Ia menengok ke atas, dan melihat sebuah cabang besar patah
dari dahannya. Tidak ada waktu untuk menjerit.
Ia berlutut, dan mengangkat kedua belah tangannya untuk
melindungi kepala. Mula-mula bayang-bayang cabang itu jatuh ke tubuhnya.
Lalu cabang itu sendiri"mendarat diiringi benturan keras.
Bab 2 CALLY mendengar jeritan melengking anggota keluarganya.
Jantungnya memukul kencang. Ia menarik napas dalam,
memenuhi paru-parunya dengan udara sejuk.
Matanya mengedip. Satu kali. Dua kali.
Cally memaksa diri menghela napas dalam sekali lagi. Lalu
sekali lagi. Sampai napasnya mulai normal kembali.
Ia menunduk. Dilihatnya suara tadi adalah suara hancurnya
barang-barang porselen. Ketika cabang pohon itu jatuh, rupanya ia
menjatuhkan kotak karton yang dibawanya.
Ia menengok ke cabang pohon itu. Salah satu ujungnya
tersangkut di atap teras. Atap teras itu yang menahan sehingga cabang
pohon itu tidak menimpanya.
Dilihatnya atap itu rusak. Cabang pohon yang berat itu
membuatnya berlubang. Suara hancurnya porselen. Suara cabang pohon melubangi atap
teras. Bukan suara remuknya kepalanya.
Aku masih hidup, pikir Cally.
Ia menoleh, menatap keluarganya. Kakinya gemetar, lututnya
serasa dari karet. Ia tidak tahu apakah ia kuat berdiri.
Sambil berseru-seru lega, mereka mengelilinginya.
Ibunya memeluknya erat-erat.
"Kau tidak apa-apa" Kau baik-baik saja?" tanya ayahnya
berulang-ulang seperti sedang membaca mantra.
Mereka berdiri diam beberapa lama di bawah bayang-bayang di
depan rumah. Berterima kasih. Bersyukur karena masih hidup.
"Kau memecahkan porselen-porselen itu," suara James yang
bernada menuduh akhirnya memecah kesunyian.
Cally memandang adik laki-lakinya. James membungkuk di
atas kotak karton yang sudah terbuka, menggeleng-gelengkan kepala,
memeriksa isi kotak yang sudah hancur.
Lalu mereka bicara serempak.
"Ucapan selamat yang hebat sekali!" kata Cally, suaranya masih
bergetar. Ia menatap cabang pohon yang masih tersangkut di atap
teras. Mr. Frasier mendekati cabang pohon itu, dan, setelah berusaha
cukup keras, menarik cabang itu turun dan menaruhnya di tanah.
"Sekarang kita punya tambahan pekerjaan," katanya sambil menghela
napas. "Kita harus membetulkan juga terasnya."
Cally membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu"tapi
urung ketika melihat pria itu muncul begitu saja di belakang ayahnya.
Orang itu melangkah keluar dari kegelapan, wajahnya hampir
seluruhnya tertutup bayang-bayang. Matanya menatap Cally. Dan
ketika ia semakin dekat, Cally melihat senyum yang sangat aneh,
senyum kaku yang seperti tercetak di wajahnya.
"Halo" Semua baik-baik saja?" orang itu menyapa dengan suara
kecil namun nyaring. Mr. Frasier berbalik, terkejut. Tapi raut wajahnya cepat kembali
seperti biasa. "Mr. Lurie" Kapan Anda datang?" tanyanya.
Mr. Lurie, Cally ingat, adalah agen real estate. Orang yang
menjual rumah itu ke orangtuanya.
Sementara ia melangkahi cabang pohon yang baru jatuh itu dan
berjalan ke arah mereka, senyumnya tidak berubah. Ia bertubuh
pendek kurus, jas kelabunya terbuat dari bahan mahal. Tampaknya ia
masih muda, tapi rambutnya sudah putih dan dipotong sangat pendek,
hampir seperti sikat kawat. Matanya yang bulat-hitam terus
memandang Cally. "Aku ke sini untuk mengucapkan selamat datang," kata agen
real estate itu, akhirnya mengalihkan pandangannya ke orangtua
Cally. "Tapi, persis ketika aku sampai tadi, kulihat cabang pohon itu
jatuh. Maaf." Ia menggelengkan kepala, tapi senyumnya tidak
memudar. "Kami baik-baik saja," sahut ayah Cally. Ia bersalaman dengan
Mr. Lurie. "Anak-anak baru kali ini melihat rumah ini."
"Dan kalian kecewa?" tanya Mr. Lurie, menatap lagi ke arah
Cally. "Agak," jawab Cally terus terang. "Suasananya gelap."
"Dan tidak terpelihara," sahut Kody cemberut.
"Aku yakin orangtua kalian akan membuatnya seperti baru
lagi," kata Mr. Lurie. "Rumah ini sebetulnya sangat kokoh. Cuma
belum pernah didiami."
"Kenapa?" tanya James. "Kenapa tidak ada yang pernah tinggal
di rumah ini?" Senyum Mr. Lurie memudar. "Cuma nasib sial saja,"
gumamnya, menunduk ke tanah.
Cally tidak mengerti maksudnya. Apakah si pemilik rumah
yang sial" Atau rumah itu" Atau penjualnya"
Siapa yang sial" Ia mau bertanya, tapi Mr. Lurie sudah memberikan serangkai
kunci duplikat pada ayahnya dan berpamitan. "Aku tidak ingin
mengganggu kesibukan Anda," katanya. "Aku hanya ingin
mengucapkan selamat datang di Shadyside."
Sambil melambai cepat, ia pergi, berjalan bergegas, kedua
tangannya tergantung kaku di sisi badannya. Cally mengamatinya
sampai ia lenyap di balik bayang-bayang pepohonan yang memagari
jalan. Lalu Cally mengambil kotak karton berisi porselen itu dan
mengguncangnya. Pecahan porselen bergemerincing di dalam.
"Maaf," ia berkata pada ibunya.
"Taruh saja kotak itu, yuk kita ke dalam," sahut Mrs. Frasier.
"Aku ingin kalian melihat rumah baru kalian."
******** Suasana di dalam rumah lebih tidak menarik lagi dibanding
dengan di luar, pikir Cally.
Sementara seluruh keluarga melihat-lihat rumah baru mereka,
mau tidak mau Cally memperhatikan setiap noda di plesteran tembok,
retakan di dinding, lantai kayu yang berderak-derak terinjak kakinya.
Rumah ini gelap sekali, pikir Cally murung. Gelap dan lembap.
Rasanya seperti matahari tidak pernah bersinar di sini, seakan rumah
ini diselimuti kegelapan.
Cally bergidik. Bagaimana aku bisa kerasan di tempat sejelek
dan segelap ini" pikirnya.
"Cally, ada apa?" Suara ibunya menembus lamunannya.
"Hah?" Cally mengerjapkan mata. "Apa, Mom?"
"Wajahmu masam," kata Mrs. Frasier sambil menaruh
tangannya ke bahu Cally. "Kau baik-baik saja?"
"Yah, tentu saja, Mom," sahut Cally cepat. Ia tidak mau
mengatakan bahwa rumah itu mirip setting film horor. Apa gunanya"
Orangtuanya sudah membeli rumah itu. Mereka sudah tidak bisa
menghindar lagi. "Mungkin aku cuma capek," katanya.
"Lihat, ini kamarmu," kata Mrs. Frasier, membuka sebuah
pintu. Lantai kayu berderak-derak ketika mereka semua berbaris
masuk ke kamar baru Cally. Cally berhenti di ambang pintu. Dinding
kamar gelap dan plesterannya mengelupas. Pintu lemari dinding
melengkung, tidak bisa ditutup rapat. Noda bundar gelap mengotori
karpet lantai yang berwarna cokelat di tengah kamar.
"Besar, ya?" kata Mr. Frasier dengan suara riang berlebihan
sambil tersenyum pada Cally.
"Ya, memang besar," sahut Cally tanpa gairah.
"Jauh lebih besar daripada kamarku," Kody protes. "Kenapa
Cally dapat kamar yang paling besar?"
Cally bersusah payah mencoba menutup pintu lemari dinding.
Tapi pintunya sudah terlalu melengkung. "Mau tukar?" tanyanya pada
saudara kembarnya. "Emmh"tidak jadi deh," Kody memutuskan. "Tapi aku tidak
mengerti kenapa kau otomatis mendapat kamar yang lebih besar."
"Berhentilah berkeluh kesah, Kody," tegur Mrs. Frasier. "Kita
semua sudah lelah. Dan aku tahu rumah ini tidak seperti yang kalian
bayangkan. Tapi nanti juga kalian akan kerasan."
"Betul," Mr. Frasier cepat-cepat menambahkan. "Dicat sedikit,
diberi kertas dinding, beberapa karpet baru, dan..."
"Mana kamar mainku?" potong James. "Kita sudah melihat
semua kamar tidur. Di mana kamar mainku?"
"Uh... sebetulnya bukan kamar," sahut Mr. Frasier. "Maaf,
James, tapi..." "Bagaimana kalau ruang bawah tanah" Bisakah kita punya
ruang main di bawah tanah, Dad" Ingat rumah Billy Marcus" Dia
punya meja pingpong dan meja biliar di ruang bawah tanah. Ingat?"
"Aku tidak tahu," kata Mr. Frasier sambil berpikir. "Ruang
bawah tanah rumah ini belum selesai dikerjakan. Banyak yang harus
dilakukan untuk menyelesaikannya, James."
"Ayo, kita lihat ruang bawah tanahnya!" seru James.
Didorongnya Cally ke pinggir sambil berlari ke pintu. "Ayo! Kita
periksa! Aku berani bertaruh ada tempat untuk mesin pinball dan lainlainnya di ruang bawah tanah."
"Gadis-gadis... temani dia," perintah Mr. Frasier.
"Dan hati-hati," tambah ayah mereka lagi. "Di bawah sana
mungkin kotor sekali."
Cally dan Kody dengan patuh cepat-cepat mengikuti adik
mereka. James sudah setengah
jalan menuruni tangga ke lantai dasar, pegangan tangga
bergoyang-goyang sedikit sementara tangannya menelusurinya.
Mereka menemukan tangga ke ruang bawah tanah di balik
pintu, di koridor di bagian belakang rumah. James menekan tombol
lampu, dan sebuah bola lampu remang-remang menyala di bawah
tangga. Sambil berpegangan ke dinding, mereka bertiga menuruni
tangga kayu yang sempit dan terjal itu. Cally paling depan, diikuti
James, lalu Kody. Beberapa saat kemudian barulah Cally sadar mengapa wajahnya
gatal-gatal. "Ih! Sarang labah-labah!" serunya, setengah panik
tangannya mengusap-usap wajahnya, mencoba menyapu benangbenang lengket itu.
"Betul-betul seram," kata James perlahan.
Mereka berhenti di bawah cahaya kuning bola lampu tanpa kap
itu. Cally sudah menyapu hampir semua benang sarang labah-labah
dari wajahnya, tapi masih tetap merasa gatal. Ia menatap ke ruang
bawah tanah berwarna kelabu yang terhampar di depan mereka.
Sarang labah-labah tergantung dari balok-balok logam di atas.
Di dinding sebelah sana berdiri tungku pembakaran besar yang
tersaput debu, pipa-pipanya menjulur sampai ke langit-langit bagaikan
tangan-tangan yang meraih ke atas.
Cally yang pertama kali mendengar suara menggaruk-garuk.
"Suara apa itu?" tanyanya, mencekal pundak James.
"Hah" Ada apa sih?" teriak James.
"Sssttt. Dengar," perintah Cally.
"Aku juga dengar," kata Kody.
Suara menggaruk-garuk lembut.
Cally tanpa sadar menahan napas ketika tiga ekor tikus
berlarian. Mata mereka bersinar merah. Ekor mereka yang panjang
dan berwarna pink menyapu-nyapu lantai sementara mereka berlari.
"Ohhh!" Cally mendengar Kody menjerit di belakangnya.
"Tikus!" teriak James.
Dengan mata bersinar-sinar marah, ketiga tikus itu berlari cepat
sambil mengeluarkan suara mendesis-desis.
"Mereka... mereka menyerang!" jerit Kody.
"Cepat ke atas!" Cally mendorong James ke arah tangga.
Dan ia menjerit ketakutan ketika tikus yang paling besar
menerkam kakinya. Bab 3 "TIIDAAAAK!" Melupakan rasa takutnya, Cally menendangkan kakinya sekuatkuatnya.
Tikus itu berdesis nyaring, terlempar melayang, keempat
kakinya meraih-raih udara. Lalu jatuh ke lantai dengan suara plok
yang menjijikkan. Cally buru-buru naik ke tangga sementara kedua tikus yang lain
mengejarnya. Kody dan James sudah lebih dulu tiba di atas, keduanya
sibuk menjerit-jerit.

Fear Street Rumah Setan The House Of Evil First Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cally menaiki tangga sempit itu menuju koridor di dalam
rumah. Dengan napas terengah-engah, ia membanting pintu ruang
bawah tanah. "Kenapa" Ada apa?" tanya Mr. Frasier, bergegas menghampiri
mereka. "Kenapa menjerit-jerit?"
"Tikus!" Mereka bertiga berteriak berbarengan.
"Tikus di ruang bawah tanah!" seru Cally sambil terengahengah.
"Yang satu menerkam kaki Cally!" seru James. "Tikusnya
gemuk-gemuk. Ih, jijik!"
"Tiga ekor tikus! Mereka menyerang kami!" Kody
menambahkan. "Apakah mereka menggigitmu?" seru Mrs. Frasier, yang
menyusul di belakang suaminya. "Kau tidak apa-apa?"
Cally menggeleng. "Tidak menggigit. Cuma menerkam."
"Aku belum pernah mendengar tikus berbuat seperti itu!" kata
ibunya sambil menggeleng-geleng keheranan.
Mr. Frasier menghela napas, melepas kacamatanya dan
mengusap matanya. "Tambahan satu masalah lagi dalam daftar. Kita
harus segera memanggil pembasmi hama."
"Ya. Secepatnya," Mrs. Frasier setuju sambil menggigit bibir. Ia
memaksakan senyum. "Kalian belum lapar?" tanyanya. "Kita makan
di kota saja." Sebelum ada yang menjawab, bel pintu berbunyi.
"Siapa itu?" kata Mr. Frasier, mengerutkan kening.
Cally mengikuti yang lain menuju ke pintu depan. Jantungnya
masih berdebar-debar. Ia merinding. Masih terasa bagaimana kakikaki tikus tadi mencengkeram kakinya, masih terdengar desis tikus itu
di telinganya. Mr. Frasier membuka pintu depan. Seorang pria muda
tersenyum pada mereka dari balik pintu kasa.
Rambutnya hitam lurus sampai ke kerah T-shirt-nya yang
kelabu. Ia memakai overall dari bahan denim kelabu. Matanya kecil
dan hitam di bawah alis tebal, dan ia berkumis hitam.
"Ya?" tanya Mr. Frasier.
"Saya melihat trailer pengangkut barang itu," kata pria itu
sambil menunjuk. "Anda baru saja pindah?"
Mr. Frasier mengangguk. Cally melihat pria itu bertubuh besar, atletis. "Nama saya Glen
Hankers," katanya, mata hitamnya memandang ke dalam, menembus
pintu kasa. "Saya seorang tukang. Maksud saya, saya bisa melakukan
pekerjaan apa pun. Barangkali..."
"Banyak sekali yang bisa dikerjakan di sini!" seru Mrs. Frasier
tanpa menunggu pria itu menyelesaikan kata-katanya. "Kami bisa
membuat Anda sibuk selama berbulan-bulan, Mr. Hankers!"
Mr. Hankers tersenyum. Ayah Cally mempelajari wajahnya. "Anda punya surat-surat
keterangan?" tanyanya.
Mr. Hankers mengangguk. "Bisa saya berikan. Saya sudah
sering bekerja untuk orang-orang di Fear Street."
"Bisa membunuh tikus juga?" tanya James yang berdiri di
samping Cally. "James...!" tegur Mrs. Frasier.
"Punya masalah dengan tikus?" tanya Mr. Hankers, sambil
mengelus kumisnya. "Anak-anak melihat tikus di ruang bawah tanah," jelas Mr.
Frasier. "Saya bisa menanganinya," kata Mr. Hankers. "Saya punya
perangkap, dan semprotan."
"Ya, kami memang perlu bantuan," kata Mr. Frasier, dengan
pandangan agak curiga. "Tapi kalau tarif Anda mahal..."
Mr. Hankers menggeleng. "Tarif saya terjangkau, Mr...."
"Frasier." "Tarif saya sangat terjangkau, Mr. Frasier. Anda bisa membayar
saya per jam, atau mingguan, atau bahkan bulanan."
Ayah Cally menoleh pada istrinya. Istrinya mengangguk. Ia
menoleh kembali pada Mr. Hankers dan membuka pintu kasa. "Kurasa
Anda punya banyak pekerjaan di sini. Mulai dengan membasmi tikus.
Kapan Anda bisa mulai?"
"Sekarang juga," sahut Mr. Hankers, tersenyum. Ia menjabat
tangan Mr. Frasier. "Tunjukkan saja jalan ke ruang bawah tanah.
Tikus itu segera tamat riwayatnya, tinggal sejarah."
Malam itu, malam pertamanya di kamar tidur barunya, Cally
duduk di tempat tidur, menulis di buku hariannya.
Buku Harian Sayang, Aku ingin mengatakan kepadamu betapa bahagianya aku, dan
betapa sayangnya aku pada rumah baruku. Tapi aku tidak bisa. Aku
tidak pernah membayangkan tempat separah, segelap, dan sesuram
ini! Percayakah bahwa pada hari pertama saja kepalaku hampir
kejatuhan pohon"dan diterkam tikus"!! Memikirkannya saja aku
sudah merinding. Kody juga kelihatannya sama tertekannya seperti aku. James
satu-satunya yang kelihatan girang. Tapi ya, begitulah James. Dapat
permen karet rasa baru saja girangnya bukan main!
Truk pengangkut barang tiba satu jam setelah kami. Lalu kami
semua bekerja membongkar kotak-kotak sampai malam. Berantakan
sekali! Tidak pernah aku melihat semua orang tegang seperti itu.
Sekarang aku ada di kamarku yang besar dan jelek, menulis di tempat
tidur. Saat Pengakuan: Sepanjang hari aku selalu memikirkan Rick.
Aku baru satu hari di Shadyside, dan aku sudah kangen padanya. Aku
bertanya-tanya, apakah dia juga memikirkan diriku. Beberapa kali aku
hampir mengatakan pada Kody bahwa aku sangat rindu padanya"tapi
masih sempat kutahan. Aku selalu saja lupa kalau Kody yang pertama kali kencan
dengan Rick. Aku selalu saja lupa kalau Kody menuduhku mencuri
Rick darinya. Maksudku, mereka kan baru satu kali berkencan! Dan
Rick yang memilih pacaran denganku. Aku tidak pernah memaksanya.
Kody yang malang. Mudah-mudahan dia akan lebih mujur di
kota ini. Sikapnya merugikan dirinya sendiri, sih. Selalu menyalahkan
diriku kalau dia punya masalah. Aku sebal kalau dia iri terus padaku!
Apa yang harus kulakukan"
Besok kami berdua akan ke kota, mencari pekerjaan musim
panas. Mudah-mudahan aku bisa mendapat pekerjaan bagus! Mudahmudahan Kody juga.
Cally masih ingin menulis, tapi matanya sudah terasa berat, dan
tangannya mulai pegal. Ia menaruh buku hariannya ke lantai,
mematikan lampu, dan masuk ke balik selimut.
Langit-langit kamar berderik di atasnya. Rumah itu seakan
mengeluarkan keluhan panjang.
Kenapa rumah tua suka begini" pikir Cally dalam kantuk.
Mungkin ia mau menakut-nakuti penghuninya"
Silakan saja, aku tidak akan takut, kata Cally dalam hati,
memejamkan mata. Aku terlalu mengantuk untuk merasa takut.
Suara-suara membuatnya membuka mata. Suara-suara
menggaruk-garuk. Di atas kepalanya.
Ia bergidik. Apakah ada tikus juga di langit-langit"
Tikus-tikus jelek berbulu berlari-lari di atas kepalanya"
Apakah seluruh rumah ini penuh makhluk-makhluk
menjijikkan" Mr. Hankers harus memeriksa langit-langit rumah besok,
pikirnya. Dicobanya melupakan suara-suara kaki berlarian itu dan
dipaksanya dirinya berpikir tentang Rick. Beberapa menit kemudian ia
tertidur lelap. ******** "Kau mau mencari pekerjaan, dan kau memakai pakaian seperti
itu?" tanya Mrs. Frasier, matanya membelalak.
Cally duduk membungkuk di meja kecil yang dipasang ayahnya
di dapur. Ia mengedip-ngedipkan mata mengusir kantuk. "Celana
jeans ini bersih," katanya kesal pada ibunya. "Kausnya juga.
Pakaianku yang lain masih di koper."
"Kesannya tidak bagus," Mrs. Frasier mulai pidato.
Ayah Cally memutus kata-katanya. "Pakaian Cally sudah
bagus," katanya. "Begitu juga Kody."
"Terima kasih," kata Kody sambil menguap. Ia muncul di dapur
dengan memakai kaus polo pink muda dan celana jeans putih. Rambut
pirangnya yang pendek disisir rapi ke belakang dan ditahan dengan
ikat kepala putih. "Sarapan kita sereal dingin," kata ibu Cally. "Aku harus belanja
dulu pagi ini. Mangkuk-mangkuknya juga belum ketemu. Jadi kalian
pakai piring saja." Cally tertawa. "Cereal dingin di piring. Apa boleh buat!"
"Lucu sekali," kata ibunya, menaruh sekotak cornflakes di
depan Kody. "Tampangku kacau nih," keluh Kody, melihat bayangannya di
piring. "Aku tidak bisa tidur tadi malam. Aku mendengar suara-suara
menakutkan. Aku tahu tempat ini ada hantunya. Aku tahu!"
Cally mengabaikan saudara kembarnya. "Aku akan
mendapatkan pekerjaan hebat hari ini," katanya, memberi semangat
pada dirinya sendiri. "Aku akan mencari pekerjaan di tempat aku bisa
bertemu orang-orang hebat, orang-orang menarik, dan yang akan
membuatku kaya dan terkenal sebelum musim panas berakhir."
Kedua orangtua Cally tertawa. Mereka sudah biasa mendengar
angan-angan Cally yang hebat-hebat.
Kody masih menatap piringnya. "Mudah-mudahan aku bisa jadi
pelayan restoran," gumamnya.
"Kalian yakin kalian ini kembar?" tanya Mr. Frasier sambil
meraih kotak cornflakes. Itu pertanyaan yang sudah sering
ditanyakannya. "Mana James?" tanya Cally.
"Masih tidur," jawab ibunya sambil menempati tempat
duduknya di meja kecil itu. "Mungkin dia takut kalau turun dia akan
disuruh membongkar kotak-kotak karton."
"Bisa-bisa dia tidur terus seharian!" kata Cally.
Mereka makan cornflakes di piring tanpa bicara selama
beberapa saat. "Kau tahu, apa yang kita perlukan di sini?" kata Mrs. Frasier,
menaruh sendoknya. "Dapur ini lembap dan dingin. Kita perlu udara
segar." Ia menoleh pada Kody. "Tolong buka jendelanya, barangkali
lebih nyaman." "Kita tebang saja pohon maple yang di depan jendela," kata Mr.
Frasier sementara Kody menyeberangi dapur, menuju ke jendela.
"Sedikit sinar matahari akan banyak pengaruhnya."
Cally memperhatikan Kody mendorong jendela ke atas. Sambil
berpegangan pada kusen, Kody memandang ke halaman belakang,
menghirup udara segar. "Cuacanya cerah," katanya, memberitahu.
Cally mengalihkan perhatiannya kembali ke sarapannya. Ia
sedang menyendok cornflakes ke mulutnya ketika ia mendengar
bantingan keras. Suaranya seperti bacokan pisau besar tukang daging.
Sedetik kemudian Cally mendengar saudara kembarnya
menjerit kesakitan. "Tanganku! Aduh, tanganku!"
Bab 4 MRS. FRASIER yang pertama sampai ke jendela. Suaminya
persis di belakangnya. Kody tidak lagi menjerit sekeras tadi, sekarang ia mendesis
kesakitan. "Tanganku! Tanganku!"
Mrs. Frasier mengangkat jendela. Kody melangkah mundur,
tangannya terentang kaku seperti boneka.
Cally menutupi mulutnya. Ngeri. Ia berdoa mudah-mudahan
saudara kembarnya tidak apa-apa.
"Ohhh... pergelangan tanganku!" Kody mengerang, posisi
tangannya masih aneh, seperti anjing yang mengulurkan kedua kaki
depannya hendak meminta sesuatu. "Pergelangan tanganku..."
Mrs. Frasier memeluk Kody. "Bagaimana, sakit sekali?"
tanyanya. "Coba gerakkan tanganmu," perintah Mr. Frasier. "Lihat, apa
kau bisa menggerakkan tanganmu. Kalau patah..."
"Tidak. Aku bisa menggerakkannya," kata Kody. Ia mengernyit
kesakitan sambil menggerak-gerakkan tangan, menunjukkannya pada
yang lain. "Syukur tidak ada yang patah," kata ayahnya, mengembuskan
napas lega. Ia melepas kacamatanya dan menggosok-gosok batang
hidungnya. "Kita kompres dengan es," kata Mrs. Frasier. Ia melangkah ke
lemari es, tapi lalu berhenti. "Oh, kita tidak punya es. Belum buat."
"Tidak, sudah tidak apa-apa kok," kata Kody masih menggerakgerakkan pergelangan tangannya, pertama yang satu, lalu yang lain.
"Aku... aku cuma kaget. Jendela itu jatuh cepat sekali. Sebetulnya
tidak terlalu sakit." Ia terus memutar-mutar pergelangan tangannya.
"Bagaimana terjadinya?" tanya Cally, akhirnya bisa bersuara
lagi. "Kejadiannya aneh banget," jawab Kody, kembali ke meja.
"Jendelanya sudah naik. Tidak ada masalah. Aku berpegangan sambil
memandang ke luar, menghirup udara segar. Tiba-tiba jendelanya
turun keras sekali seperti ada yang mendorongnya!"
Mr. Frasier mengamati jendela itu. Diangkatnya, lalu
diturunkan lagi, beberapa kali. "Aneh," komentarnya. "Kelihatannya
oke-oke saja." Ia menoleh pada anggota keluarga yang lain. "Setelah
selesai berurusan dengan tikus, aku akan menyuruh Mr. Hankers
memeriksa jendela ini."
Kody mengerang, mengusap-usap pergelangan tangannya.
"Pokoknya," gumamnya pada Cally, "apa pun yang akan terjadi nanti,
mesti lebih baik!" ********* Jam lima sore Cally menemukan tempat ia dan Kody sudah
berjanji untuk bertemu. Tempat itu sebuah coffee shop bernama The
Corner, terletak beberapa blok dari gedung sekolah menengah.
Cally melangkah masuk, menghirup aroma hamburger dan
kentang goreng, matanya mencari-cari saudara kembarnya.
Ternyata belum ada. Ia agak kecewa. Ia sudah tidak sabar untuk
bercerita pada Kody. Ia duduk di meja di dekat jendela dan memandang berkeliling.
Restoran itu kosong, hanya ada dua remaja di meja dekat dinding.
Mereka sedang tertawa-tawa sambil mendorong botol garam kian
kemari seolah-olah botol itu bola hoki.
Apakah mereka anak-anak Shadyside High" pikir Cally.
Ia terkejut ketika melihat seorang cowok berdiri di samping
mejanya. Cowok itu tampan, rambutnya hitam berombak, matanya
berwarna gelap dan bersinar ramah, sudut matanya agak berkerut,
hidungnya seperti pernah patah paling tidak satu kali.
Di salah satu telinganya ada anting perak kecil. Selembar
celemek putih berlumur minyak menutupi bagian depan celana jeans
belel dan kausnya yang biru.
"Apa kabar?" tanyanya pada Cally.
"Baik!" sahut Cally, segera merasa agak malu karena terlalu
antusias. "Kau... uh... mau pesan sesuatu?" tanyanya, tangannya memberi
isyarat ke arah dapur di belakang meja layan.
"Coke saja, satu," kata Cally. "Aku sedang menunggu
saudaraku." Ia menoleh ke jendela. Kody masih belum kelihatan.


Fear Street Rumah Setan The House Of Evil First Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hei, Anthony! Bawa ini!" Suara serak seorang lelaki berteriak
dari dapur. Melalui jendela kecil di belakang meja layan, Cally
melihat dua buah tangan menaruh piring-piring berisi hamburger.
"Namamu Anthony?" tanya Cally pada cowok itu.
"Hei... kok tahu?" anak itu menyeringai.
Cally tertawa. "Aku Psychic"cenayang, punya kekuatan
batin." Ia menatap dengan pandangan menggoda pada cowok itu.
"Coba tebak namaku."
Mata hitam Anthony bersinar. "Kau sudah bilang tadi," katanya.
"Namamu Psychic. Nama aneh!"
Cally tertawa. "Aku belum pernah melihatmu di sini," kata cowok itu, jarijarinya memain-mainkan celemeknya.
"Aku baru pindah ke Shadyside," kata Cally. "Namaku yang
sebenarnya Cally. Cally Frasier."
"Kau akan sekolah di Shadyside High musim gugur nanti?"
tanya Anthony. Cally sudah mau menjawab, tapi terpotong oleh suara tidak
sabar dari dapur. "Anthony! Bawa ini!"
"Oke, oke!" teriak Anthony. Ia menoleh lagi pada Cally. "Aku
ambilkan Coke-mu." Ia cepat-cepat pergi ke belakang meja layan
untuk mengambil piring-piring hamburger itu.
Kody datang beberapa detik kemudian. Ia agak berkeringat. Ikat
kepalanya sudah dilepas, rambutnya kusut tertiup angin. Ia mengusapusap salah satu pergelangan tangannya.
"Bagaimana?" tanyanya sambil duduk di depan Cally. "Kau
sudah mendapat pekerjaan?"
Cally mengangguk. Ia tersenyum lebar. "Aku mendapat
pekerjaan bagus," katanya. "Di butik yang namanya Two Cute."
"Hah" Two Cute" Apa artinya itu?" tanya Kody.
"Itu toko pakaian untuk pasangan. Sepasang kan dua. Jadi Two
Cute, Dua yang Manis. Pasangan Manis. Jelas?"
Kody menusukkan jarinya ke tenggorokan dan pura-pura mau
muntah. "Benar-benar manis," gumamnya. Lalu ia menambahkan.
"Aku sudah tahu kau akan dapat pekerjaan."
"Kau sendiri bagaimana?" tanya Cally.
Kody menggeleng. "Belum mujur."
"Ya, tidak apa-apa, mungkin besok kau akan dapat," kata Cally
cepat-cepat. Kody menatap Cally di depannya. "Kau belum capek juga
mencoba menyemangatiku?" tukasnya.
Cally sudah hendak menjawab, tapi Anthony membungkuk di
atas meja, mendahuluinya. "Ini Coke-mu, Cally," katanya, menaruh
Coke di atas meja. Ia menoleh pada Kody. "Hai, saudaranya Cally.
Mau pesan apa?" "Uh... kentang goreng dan Sprite," jawab Kody, matanya
memandang Cally. Begitu Anthony pergi, Kody membungkuk ke depan dan
berbisik pada saudaranya. "Dia tahu namamu" Kau sudah kenalan
sama cowok" Dia tahu aku saudaramu?"
Cally tidak bisa menyembunyikan senyumnya. "Kami cuma
ngobrol sebentar sebelum kau datang," katanya. "Dia manis, ya?"
Kody memandang ke arah Anthony. "Yah... lumayan," katanya.
Ia memandang Cally lagi, keningnya berkerut. "Kenapa bukan aku
yang lebih dulu ke sini?" ia ngomel sendiri. "Kenapa nasibmu selalu
mujur?" "Kami cuma berkenalan, aku bukannya diajak kencan atau
semacam itu," sahut Cally membela diri.
"Dia akan mengajakmu kencan," kata Kody murung, tidak bisa
menyembunyikan rasa irinya. "Pasti."
******** Matahari baru saja turun di balik puncak-puncak pepohonan
sewaktu Cally dan Kody sampai di rumah. Tapi begitu mereka masuk
ke halaman, Cally memperhatikan bahwa suasana sudah gelap seperti
malam. "Kami pulang!" seru Cally sambil masuk ke rumah.
Dilemparkannya tasnya ke lantai di samping lemari mantel dan
berjalan ke ruang keluarga yang gelap.
"Kami di dapur!" Mrs. Frasier berseru menjawab.
"Ada hasilnya?" teriak ayah Cally.
"Ada. Hasil buruk," gumam Kody di belakang Cally.
"Kenapa lampunya tidak dinyalakan?" tanya Cally.
Cally berjalan menyeberangi ruangan yang gelap itu. Perabotan
mereka yang sudah tua kelihatan kecil di ruang besar itu.
Sementara Cally bergegas menuju ke dapur untuk menceritakan
kabar baik kepada orangtuanya, ia tidak melihat makhluk kecil yang
mendekam di lengan sofa. Ia tidak melihat sampai makhluk itu melompat ke dadanya.
Bab 5 SEBUAH lampu menyala. Makhluk itu mengangkat moncongnya ke tenggorokan Cally.
"Turun, Cubby!" Cally mendengar James berteriak. "Turun,
Cubby!" Anak anjing! Cally baru sadar, dan ia tertawa.
Anjing kecil itu menjilat-jilat leher Cally. Lalu ia terjun ke
lantai dan berjalan ke arah James sambil menggoyang-goyangkan
ekornya. James mengangkat dan menggendongnya.
"Tadinya kukira..." Cally tidak meneruskan kata-katanya.
Di belakangnya, Kody tertawa. "Kau kira itu tikus, ya" Tapi
memang mirip tikus!"
"Jangan bilang Cubby kayak tikus!" bentak James marah.
"Cubby bukan tikus. Cubby anjing Labrador." Diciuminya anak anjing
itu. "Dari mana kau mendapatkannya?" tanya Cally, jantungnya
masih berdebar-debar. "Dad mendapatkannya dari yayasan perlindungan hewan. Ini
anjingku," kata James sambil memeluknya erat-erat. Anak anjing itu
meronta-ronta untuk turun ke lantai.
"Lucu," kata Kody. "Kenapa kaunamakan dia Cubby?"
"Karena tampangnya seperti anak anjing," sahut James.
Cally merasa lebih baik tidak menyanggah logika James.
******** "Makan malam pertama kita di rumah baru," kata Mrs. Frasier
sambil tersenyum. Ia menarik kursinya lebih dekat ke meja makan.
"Hebat, bukan?"
"Mulai terasa seperti rumah," kata Mr. Frasier, membuka
lipatan serbetnya. "Masa Cally mengira Cubby seekor tikus," kata James, matanya
mendelik. "Jangan bicarakan tikus di meja makan," ujar ibunya. "Kita
makan yang sopan, ya James?"
James sengaja bersendawa keras-keras, lalu tertawa terkekehkekeh.
"Tidak lucu," bentak Cally.
"Lucu banget," James balik membentak.
"Apakah Mr. Hankers sudah membasmi tikus-tikus itu dari
ruang bawah tanah?" tanya Kody.
"Belum selesai," sahut Mr. Frasier. "Dia bekerja di bawah sana
seharian penuh." "Kenapa sih kita bicara tentang tikus terus?" protes Mrs.
Frasier. "Aku sudah siapkan makan malam istimewa. Daging sapi
panggang"favorit kalian. Kita bicara yang enak-enak saja."
"Cubby anjing paling lucu di dunia," James menyombongkan
anjingnya. "Baguslah kalau kau suka dia," sahut Mr. Frasier, tersenyum
dari seberang meja. "Kita mendapat pembantu rumah tangga hari ini," Mrs. Frasier
memberitahu kedua putrinya. "Percaya tidak, dia muncul begitu saja
di depan pintu, persis seperti Mr. Hankers."
"Siapa namanya?" tanya Kody sambil menyendok kentang
tumbuk ke piringnya. "Namanya Mrs. Nordstrom," jawab ibunya. "Dia mulai bekerja
besok pagi. Orangnya keras, dan wajahnya masam. Tapi aku punya
perasaan dia pembantu rumah tangga yang bagus."
Mr. Frasier menarik piring berisi daging sapi panggang dan
mengambil pisau besar pemotong daging. "Hei, aku punya ide,"
katanya, matanya memandang Kody. "Kody, bagaimana kalau kau
bekerja di sini saja?"
Mata Kody melebar penuh tanda tanya. Ditaruhnya kembali
sendok ke mangkuk kentang. "Hah" Apa maksud Daddy?"
"Di sini banyak yang harus dikerjakan," kata Mr. Frasier,
menggerak-gerakkan tangannya yang memegang pisau. "Terlalu
banyak bagiku dan Mr. Hankers. Lagi pula kau kan suka pekerjaan
tukang kayu dan mengecat dan semacamnya."
Kody menyipitkan matanya, memandang ayahnya. "Maksud
Daddy, Daddy ingin aku bekerja di rumah saja?"
Mr. Frasier mengangguk. "Ya."
"Sementara Cally berpakaian rapi dan pergi ke kota setiap hari,
bertemu banyak orang?" desak Kody.
"Kau kan suka pekerjaan-pekerjaan pertukangan," Mrs. Frasier
ikut bicara. "Daddy akan membayarmu per jam," Mr. Frasier menawarkan.
"Seperti kerja sungguhan. Ada waktu istirahat makan siang, dan
sebagainya." "Hmm...," Kody berpikir. "Mungkin memang sulit mencari
pekerjaan karena musim panas sudah separuh jalan," ia menggumam.
"Maksudku, tidak semua orang semujur Cally."
"Aku yang mujur," James menyela. "Aku punya Cubby."
"Oke, Dad, aku setuju," Kody mengambil keputusan, tersenyum
untuk pertama kalinya malam itu.
"Bagus. Sekarang potong dagingnya, Sayang," kata Mrs. Frasier
tidak sabar pada suaminya.
Mr. Frasier berdiri lalu membungkuk di atas piring daging sapi
panggang, dengan garpu di tangan kiri dan pisau di tangan kanan.
"Wah, kayaknya sedap," katanya.
"Akan dingin kalau tidak segera kita makan," desak ibu Cally.
Lalu ia menoleh pada Cally. "Aku lupa membawa botol garam dan
merica. Tolong ambilkan di dapur."
"Oke." Cally mendorong kursinya ke belakang dan berjalan
mengitari meja. "Jangan injak Cubby!" seru James.
"Di mana sih anak anjing itu?" tanya Mrs. Frasier.
"Di bawah meja," jawab James. "Sedang menjilat-jilat
sepatuku." James terkekeh-kekeh.
"Anjing itu harus diajari supaya tidak mengganggu sewaktu kita
sedang makan," kata Mr. Frasier, masih membungkuk di atas meja.
"Jangan sampai dia punya kebiasaan buruk."
Cally berjalan merapat ke dinding agar bisa melewati belakang
kursi ayahnya. Ia sudah hampir melewatinya ketika dilihatnya ayahnya
mengangkat pisau untuk mulai memotong daging.
Tapi kemudian Mr. Frasier tersentak ke depan, seakan ada yang
mendorongnya. Matanya membelalak kaget.
Dan mata pisau yang dipegangnya menusuk pinggangnya
sendiri. Bab 6 "AUUW!" Mr. Frasier menjerit kesakitan.
Pisau daging itu jatuh ke lantai. Cubby mengambil langkah
seribu. "Cally... kau mendorongku!" teriak Mr. Frasier.
"Tidak!" seru Cally, menutup wajahnya sambil melangkah
mundur. Dilihatnya lingkaran darah berwarna merah di bagian
pinggang kemeja ayahnya. "Kau mendorong tanganku!" Mr. Frasier menuduh Cally,
tangannya menekan pinggangnya.
"Tidak! Aku... sama sekali tidak menyentuh Dad!" kata Cally.
"Sungguh, Daddy. Tak mungkin aku mendorong pisau itu hingga
menusuk Daddy!" "Aku tahu, tapi...," Mr. Frasier tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Daddy berdarah!" kata James. "Ya ampun! Lihat itu!"
Mrs. Frasier sudah berdiri. Diraihnya lengan suaminya. "Sudah,
jangan bertengkar dengan Cally. Ayo, ke atas dulu, buka kemeja itu.
Kita lihat apa lukamu perlu dijahit."
"Dijahit?" Mata Mr. Frasier seperti orang bingung. Ia seolah
tidak mengerti apa yang dikatakan Mrs. Frasier.
Apakah dia shock" pikir Cally. Ia bersandar ke dinding ruang
makan, memperhatikan lingkaran darah yang semakin lebar di kemeja
ayahnya. Kenapa dia menuduhku mendorongnya"
Darah menetes-netes ke lantai ketika Mrs. Frasier membawa
suaminya keluar dari ruang makan.
Cally mengalihkan pandangannya pada Kody. Ia terkejut
melihat Kody duduk kaku di kursinya dengan wajah ngeri. "Itu
hantu," katanya. "Hantu yang mendorong tangannya. Aku tahu."
********* "Kenapa kau bilang itu hantu?" tanya Cally.
"Apa?" Kody menoleh ke saudara kembarnya.
Saat itu sudah lewat jam sebelas malam. Cally baru saja selesai
menulis di buku hariannya. Kody datang ke kamarnya untuk
mengobrol. Orangtua mereka sudah kembali dari ruang gawat darurat di
Rumah Sakit Shadyside kira-kira jam sembilan. Sekarang mereka
sudah tidur di kamar mereka.
Cally berbaring di tempat tidurnya, memakai gaun tidur panjang
bergaris-garis yang paling disukainya. Kody duduk di kusen jendela,
angin lembut dari jendela yang terbuka membelai rambutnya.
"Waktu Daddy tertusuk pisau tadi, kau bilang itu hantu," Cally
mengingatkan Kody. Kody berjalan mendekat dan duduk di tempat tidur. "Kasihan
Daddy, lukanya perlu dua belas jahitan."
Cally menggeser punggungnya, bersandar lebih tegak di kepala
tempat tidur. "Jawab pertanyaanku," desaknya. "Kenapa menurutmu
itu perbuatan hantu?"
"Karena kau tidak mendorong tangan Daddy. Aku melihatmu,
Cally. Kau bahkan tidak mendekatinya. Jadi..."
Cally mengerang. "Jadi, otomatis kau menganggap itu
perbuatan hantu?" Pipi Kody merah padam. "Aku merasakan kehadiran sesuatu di
ruang makan, Cally," katanya, merendahkan suaranya menjadi
bisikan. "Sesuatu yang dingin. Seperti kabut. Aku merasakan sesuatu
itu melayang di atas meja makan. Lalu, sedetik kemudian, kulihat
pisau itu menghunjam Daddy."
"Jangan diteruskan, Kody," Cally memperingatkan. "Sudahlah.
Hentikan sekarang juga. Omonganmu tentang hantu hanya akan
mengganggu ketenangan semua orang."
"Kau ini sok tahu banget sih?" Kody naik pitam. Ia menjulurkan
tubuhnya pada Cally, cuping hidungnya membesar karena marah.
"Kau pikir kau tahu semuanya, ya" Aku benci kalau kau sedang sok
tahu seperti ini." Kody menjerit kesal. "Mom dan Dad juga tidak
percaya padaku."

Fear Street Rumah Setan The House Of Evil First Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kody, kau menceritakan khayalan tentang hantu itu pada
mereka sewaktu mereka pulang dari rumah sakit?"
"Itu bukan khayalan. Aku benar-benar merasakan ada sesuatu di
ruang makan. Menurutku mereka harus tahu." Kody menghela napas.
"Tapi mereka menertawakanku juga."
"Kody, dengarkan aku," pinta Cally. "Yang namanya hantu itu
tidak ada. Sungguh. Kau..."
"Aku sudah membaca banyak buku yang bilang bahwa hantu itu
ada!" bentak Kody. "Buku-buku karangan ilmuwan betulan."
Cally tertawa. Kody melompat berdiri, mengepalkan tinju. "Jangan
menertawakanku, Cally. Aku tidak senang semua orang di keluarga
ini menertawakanku."
"Makanya jangan konyol," sahut Cally. Ia menggelengkan
kepala. "Hantu," gumamnya sinis.
"Kau memang brengsek!" jerit Kody.
"Kau juga!" balas Cally, merasa dirinya mulai kehilangan
kendali. Kody keluar sambil mengentak-entakkan kaki.
"Hei... kalau ada seprai putih terbang mengejarmu sambil
merintih-rintih, jangan lupa merunduk!'' seru Cally.
Kody membanting pintu. Punya masalah apa sih dia" pikir Cally sambil menggelenggeleng.
Kadang-kadang sulit dipercaya kalau kami ini kembar. Masa sih
saudaraku percaya hantu itu ada"
Cally mematikan lampu di samping tempat tidur, lalu
menyelinap ke balik selimut.
Dari jendela yang terbuka, ia bisa mendengar desir angin
meniup dedaunan di halaman belakang. Ia memaksa dirinya untuk
tidak berpikir tentang Kody, tidak berpikir tentang kecelakaan di
ruang makan tadi. Ia malah berpikir tentang butik, tentang Sally dan Gene,
pasangan muda yang menerimanya bekerja di butik itu. Dan setelah ia
mulai tenang dan terkantuk-kantuk, entah mengapa ia ingat Anthony.
Mungkin aku akan mampir di The Corner sepulang kerja besok,
pikirnya sambil tersenyum. Cuma untuk bilang halo. Mungkin akan
kuingatkan dia kalau aku orang baru di kota ini dan belum kenal
siapa-siapa. Mungkin aku akan meminta dia mengajakku jalan-jalan
mengenal kota ini. Dengan pikiran menyenangkan itu, Cally tertidur.
Tiga jam kemudian sebuah suara membangunkannya.
Langit gelap tak berbintang di luar jendela. Suasana rumah
hening. Lalu didengarnya lagi suara itu.
Ketukan halus di pintu kamar tidurnya. Tiga ketukan, lalu
berhenti. Lalu tiga ketukan lagi. Halus dan lembut.
"Siapa itu?" suara Cally bagaikan bisikan orang tercekik. Ia
berdeham. "Siapa itu" Kody?"
Tak ada jawaban. Hening. Tiga ketukan lagi. Sentuhan lembut, seperti orang yang terlalu
lemah untuk mengetuk. "Siapa itu?" tanya Cally, lebih keras. Ia menurunkan kakinya ke
lantai. Dan mendengarkan.
Tak ada jawaban. Apakah aku bermimpi" pikirnya. Apa yang terjadi padaku"
Tiga ketukan lagi. Berhenti sebentar. Lalu tiga ketukan lagi.
Cally menarik napas dalam-dalam dan menahannya. Ia
berjingkat-jingkat pergi ke pintu.
Dipegangnya kenop pintu"dan dengan satu sentakan
dibukanya pintu itu. Bab 7 TAK ada siapa-siapa di luar.
Cally menatap cahaya oranye redup dari bola lampu kecil di
tengah koridor. Tak ada siapa pun. Hanya koridor yang kosong dan sunyi.
"Siapa di sana?" bisiknya, tiba-tiba merinding.
Tidak ada siapa-siapa. Pintu kamar Kody tertutup.
Pintu kamar James agak terbuka sedikit, di dalamnya gelap.
"Aneh," gumam Cally. Ia masuk kembali ke kamar, menutup
pintu, lalu kembali ke tempat tidur dan menarik selimut sampai ke
dagunya. Dengan tubuh menggigil ia memejamkan mata.
Dan mendengar tiga ketukan lembut. Lalu tiga lagi.
"Siapa itu?" teriaknya nyaring.
Sunyi. Lalu tiga ketukan lagi.
Cally menutupi kepalanya dengan selimut dan menekankan
telinganya ke bantal, mencoba menghalau suara itu.
********** "Aku tidak bisa tidur. Ada suara-suara aneh sepanjang malam,"
keluh Kody. Ia duduk bertopang dagu. Makan paginya belum
tersentuh. "Kau akan terbiasa mendengar suara-suara," kata Mr. Frasier
tenang, menghapus jus jeruk dari bibir atasnya. "Masih ada kopinya,
Sayang?" "Banyak." Mrs. Frasier melangkah di belakangnya, membawa
teko kopi. "Bagaimana lukamu?"
"Masih sakit," kata Mr. Frasier. Ia menoleh pada Kody.
"Kelihatannya kau yang harus naik tangga membetulkan atap teras
pagi ini. Rasanya aku masih belum sanggup."
Ia memegang pinggangnya. "Lukanya masih berdenyut-denyut,
dan aku tidak mau jahitannya terbuka lagi."
"Tidak masalah," kata Kody. "Aku senang naik tangga." Ia
menatap Cally. "Kau tidak mendengar suara-suara tadi malam?"
Cally menghabiskan jus jeruknya, lalu menggelengkan kepala.
"Tidak," katanya berbohong. "Aku tidak mendengar suara apa-apa." Ia
tidak menceritakan pada Kody tentang ketukan misterius di pintunya
semalam. Ia sedang enggan mendengar omongan Kody tentang hantu.
Mrs. Nordstrom, pembantu rumah tangga mereka yang baru,
masuk beberapa saat kemudian. Ia wanita bertubuh pendek, gemuk,
rambutnya sudah kelabu, matanya hidup, berwarna gelap, dan
hidungnya pesek. Ketika ia sedang mengeluarkan kain pel untuk membersihkan
dapur, Mr. Hankers muncul di pintu belakang. Ia memberi salam pada
semua orang dengan anggukan kepala, lalu cepat-cepat pergi ke ruang
bawah tanah dan menutup pintunya.
Telepon berdering ketika Cally berdiri dari kursinya. "Hei"
telepon kita yang pertama!" serunya. Diambilnya gagang telepon dan
bicara beberapa menit. Usai bicara, wajahnya terlihat kecewa. "Dari Sally di butik,"
katanya. "Mereka akan melakukan inventarisasi. Mereka bilang aku
baru bisa mulai bekerja hari Senin."
"Kebetulan!" seru Mr. Frasier gembira. "Kau bisa membantu
Kody membetulkan teras. Kurasa aku tidak bisa terlalu banyak
membantu hari ini." Cally bukan tukang yang ahli seperti saudara kembarnya, dan ia
tidak suka pekerjaan pertukangan. Tapi ia tahu ia harus ikut
menyumbang tenaga, dan ia tahu rumah mereka perlu cepat-cepat
dirapikan. Jadi, setelah berganti pakaian, memakai celana jeans belel dan
kaus tua, diikatnya rambutnya ke belakang dengan karet gelang. Lalu
ia mengikuti Kody ke depan rumah.
Matahari sudah tinggi. Tapi hanya sedikit berkas cahaya yang
menembus rapatnya pepohonan tua di halaman depan.
"Para penebang pohon akan datang nanti," kata Kody,
memandang ke jalanan. "Mereka akan mulai menebang pohon-pohon
yang di halaman belakang."
"Bagus. Mungkin kita bisa mendapat sedikit cahaya matahari di
kamar tidur kita," kata Cally. "Tadi malam dinginnya bukan main."
Ia berhenti dan menyentuh bahu saudara kembarnya. "Eh,
Kody." "Apa?" tanya Kody dingin.
"Sori, sikapku konyol semalam," kata Cally lembut.
"Maksudku, aku kehilangan kesabaran."
Kody menghindari tatapan mata saudara kembarnya. "Tidak
apa-apa," gumamnya. "Ayo, kita mulai bekerja."
"Mungkin kita bisa pergi ke kota nanti," kata Cally. "Kita
berdua saja. Melihat-lihat toko. Mungkin makan siang di restoran di
dekat sekolah itu." Mata Kody bercahaya. "Bilang saja kau ingin ketemu cowok
itu. Anthony." Ia tertawa.
"Mungkin," sahut Cally. Ia merasa wajahnya panas.
"Kita lihat saja dulu berapa banyak yang bisa kita kerjakan,"
kata Kody, berjalan ke teras. "Aku dibayar per jam, ingat?"
Tangga aluminium sudah tersandar di tepi atap. Cabang pohon
yang patah sudah disingkirkan. Lubang yang dibuatnya di atap teras
tampak dari bawah. "Aku mau naik, melepas semua genteng sirap yang rusak," kata
Kody. "Dahan pohon itu menembus atap, artinya kayu-kayu di bawah
genteng mungkin sudah lapuk."
Ia mulai menaiki tangga, matanya ke arah atap. "Mungkin
papan-papannya juga harus diganti."
"Apa yang bisa kubantu?" tanya Cally sambil mengusir seekor
labah-labah dari lengan bajunya.
"Tolong pegang tangganya saja," kata Kody. "Pegang supaya
tidak merosot." "Baik," kata Cally. Dipegangnya kedua sisi tangga aluminium
itu erat-erat. Kody tidak percaya kemampuanku, pikirnya, memandang
saudara kembarnya memanjat ke atap. Jadi setiap kali kami bekerja
berdua, aku yang mendapat bagian memegang tangga.
Kody sangat percaya diri kalau menyangkut pekerjaanpekerjaan semacam ini, pikir Cally, memegangi tangga erat-erat
sementara saudara kembarnya naik semakin tinggi. Kenapa ia tidak
punya rasa percaya diri yang sama dalam urusan-urusan lain"
"Wow," seru Kody. "Genteng sirapnya sudah lapuk semua.
Harus diganti nih." "Hati-hati," kata Cally.
"Pegang tangganya, jangan goyang. Akan kulihat apakah aku
bisa berdiri di atas atap."
Kody melepas pegangannya di tangga dan mengulurkan
tangannya ke tepi atap. Ketika tangan Kody terulur, Cally merasa tangga mulai
bergoyang-goyang. Mulanya hanya gemetar sedikit, lalu semakin
keras, sampai aluminiumnya mendengung dan bergetar kuat.
"Hei... kenapa?" seru Kody. "Pegang yang erat. Aku..."
Cally mencengkeram kedua sisi tangga erat-erat, tapi bagian
atas tangga itu mulai bergerak menjauh dari teras.
"Hei... jangan begitu dong!" Kody berteriak. "Jangan ditarik!"
"Aku tidak menariknya!" seru Cally.
"Pegang yang kuat!" teriak Kody.
Cally mendorong tangga itu sekuat tenaga. Tapi tangga itu tetap
mengayun menjauh dari rumah.
Tangan Kody melambai-lambai di udara. "Tolong!"
Tangga itu sudah berdiri tegak sekarang.
Cally berusaha sekuat tenaga, mendorong tangga itu supaya
menempel ke atap. Tapi tangga itu melawan dengan tenaga yang lebih
kuat daripada tenaga Cally.
"Cally... tolong! Stop!" Jeritan panik Kody melengking di
udara. Cally menatap ke atas, ke wajah saudara kembarnya yang
ketakutan. Dilihatnya kedua tangan Kody mencengkeram pinggiran
tangga. Dilihatnya lututnya menekuk.
Cally melihat tangga itu miring ke belakang.
Dan Cally tidak sanggup menahan tangga itu lagi.
Dilepaskannya tangga itu dan ia melompat ke pinggir sementara
tangga itu jatuh. Kody menjerit. Ia jatuh telentang. Lengan dan kakinya mengejang satu kali.
Dua kali. Napasnya seakan meletus keluar dari tubuhnya,
menimbulkan suara wuuussh.
Tangga itu berdentang, memantul keras, dan untungnya
mendarat di samping tubuh Kody di atas rumput.
"Tidaaaaak!" Cally menjerit lemah.
Bagaimana hal ini bisa terjadi"
Ia lari menghampiri Kody.
"Kody?" Bagaimana hal ini bisa terjadi"
"Kody" Kau tidak apa-apa?"
Cally menjerit tertahan ketika dilihatnya saudara kembarnya
tidak bernapas. Bab 8 BUKU Harian Sayang, Bisa kaubayangkan betapa leganya hatiku ketika Kody
membuka matanya. Dia sempat pingsan sebentar setelah jatuh tadi.
Kami membantu dia berdiri. Dia betul-betul pusing. Punggung
dan lehernya sakit, tapi untung tidak ada tulang yang patah.
Tentu saja dia menyalahkan aku karena membiarkan tangga itu
jatuh. Kucoba menjelaskan bahwa itu bukan salahku. Peristiwa itu
sangat mengerikan. Ketika kupegang tangga itu tadi, rasanya seakanakan ada tenaga yang kuat"jauh lebih kuat daripada diriku"
mendorong tangga itu ke belakang.
Aku betul-betul merasa tidak enak. Seakan aku yang
mencelakakan Kody. Kody sangat marah, membuatku merasa lebih
tidak enak lagi. Mom tidak banyak bicara setelah itu. Dan Daddy seperti orang
kebingungan. "Banyak sekali kecelakaan," katanya berulang-ulang
sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Banyak sekali kecelakaan."
Memang banyak sekali kecelakaan sejak kami tiba di rumah ini.
Dan terjadinya berurutan.
Memikirkan kecelakaan-kecelakaan itu membuatku merinding.
Maksudku, kenapa tangga itu bergerak sendiri ke belakang"
Dan kenapa Dad mengira aku mendorong tangannya yang memegang
pisau sehingga menusuk dirinya sendiri, padahal aku menyentuhnya
pun tidak" Dan kenapa jendela jatuh sendiri menimpa tangan Kody"
Kenapa" Kenapa" Kenapa"
Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa ini hanya rumah tua
yang tidak terpelihara. Dan kejadian-kejadian yang menimpa kami
hanya sekadar kecelakaan. Kucoba meyakinkan diriku sendiri. Tapi
aku tidak tahu berapa lama aku akan mempercayai itu.
Aku benar-benar takut. Kalau satu lagi kejadian buruk terjadi,
aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
Ah, sudahlah, hari sudah malam. Aku sudahi dulu sekarang.
Aku yakin besok keadaannya akan lebih baik.
Cally menutup buku hariannya dan menyimpannya di laci meja.
Lalu ia berjalan ke tempat tidur.
Ia menguap, matanya memandang ke kegelapan di luar. Setelah
menyibak selimut, ia naik ke tempat tidur.


Fear Street Rumah Setan The House Of Evil First Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia baru tidur beberapa menit ketika ketukan halus itu mulai
terdengar lagi. Tiga ketukan halus di pintu kamar. Lalu berhenti sebentar.
Menyusul tiga ketukan lagi.
Cally langsung terbangun dan bersikap waspada. Ia turun
perlahan-lahan dari tempat tidur.
Ia mengendap-endap ke pintu, lalu mendengarkan.
Tiga ketukan halus lagi. Kali ini akan kupergoki siapa yang di luar itu, katanya dalam
hati. Tiga ketukan lagi. Cally memegang kenop pintu dan menariknya terbuka.
"Hei..." Suaranya bergema di koridor yang sunyi.
Tak ada seorang pun di sana.
********* Hari Sabtu keesokan paginya, Cally bangun. Ia mengedipngedipkan matanya ke cahaya yang kelabu.
Eh... apa itu, segi empat gelap di seberang kamarnya"
Setelah matanya bisa melihat lebih jelas, baru disadarinya
bahwa ia tengah menatap lemari dindingnya, yang pintunya terbuka.
Ia menatap rak-rak lemari yang kosong. Terlihat dinding
belakang lemari yang putih.
Kosong. Lemarinya kosong.
Dan semua pakaiannya"jeans, celana pendek, T-shirt,
sweter"semuanya berantakan. Berserakan di lantai, di meja, dan di
ambang jendela. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
"Brengsek!" teriaknya. "Perbuatan siapa ini?"
Ia duduk, sisa kantuknya langsung lenyap. "Kody" Kody" Kau
ke kamarku tadi?" teriaknya.
Tidak ada sahutan. Ia meloncat turun dari tempat tidur dan berpakaian cepat-cepat,
mengambil celana pendek putih dari lantai lalu memakai kaus
bergaris-garis biru-putih.
Setelah berpakaian, dikumpulkannya semua T-shirt dan sweter
dari lantai, ditumpuknya di atas tempat tidur. Lalu cepat-cepat ia
menyikat rambutnya dan turun ke lantai bawah.
"Ada kejadian aneh!" teriak Cally sambil berjalan cepat ke
dapur. Ia masuk ke adegan yang penuh teriakan dan kebingungan.
"Cubby di mana?" terdengar teriakan James. Ia merangkakrangkak di lantai, mengintai ke bawah meja dapur. "Cubby" Cubby?"
panggilnya. "Di mana sih anjing tolol itu?"
Mr. Hankers berjalan melewati Cally sambil mengangguk dan
menggumam, "Selamat pagi." Ia masuk ke ruang bawah tanah dan
menutup pintunya. Cally mendengar langkah kakinya yang berat
menuruni tangga sempit ruang bawah tanah.
"Aku tidak mau telur!" seru Kody kesal.
Ibunya merenggut piring itu dari meja. "Tadi katanya minta
telur orak-arik!" "Tapi ini terlalu basah!" kata Kody. "Bikin aku mual!"
"Sudahlah! Aku suka yang basah! Biar aku yang makan!" Mrs.
Frasier marah-marah, membawa pergi piring itu.
"Cubby mana?" lengking James. "Siapa yang melihat Cubby?"
"Kurasa dia pergi ke luar," kata Mrs. Nordstrom, wajahnya
tersembunyi di tumpukan handuk yang dibawanya. "Aku melihat dia
di belakang tadi." "Kau mau mencuci handuk-handuk tanya Mr. Frasier.
"Ya, mau kubawa ke ruang bawah tanah," sahut si pembantu
rumah tangga. "Tapi, kata Mr. Hankers, di ruang bawah tanah masih banyak
tikusnya," Mr. Frasier memberitahu.
Mrs. Nordstrom tetap berjalan ke koridor belakang. "Aku tidak
takut tikus. Tikus yang takut padaku," katanya, dan ia pun lenyap,
turun ke tempat mesin cuci di bawah.
"Cubby" Cubby" Dia bilang Cubby di luar?" James masih ribut
sendirian. "Cubby tidak boleh keluar!"
Dibukanya pintu belakang, lalu ia lari ke luar sambil
memanggil-manggil nama anjingnya.
"James... kembali! Kau belum sarapan!" teriak Mrs. Frasier. Ia
mengibaskan sejumput rambut dari dahinya. "Ada yang mau telur?"
"Ada yang mengeluarkan semua pakaianku dari lemari!" lapor
Cally, akhirnya mendapat kesempatan bicara. "Kamarku kacaubalau!"
"Nanti, .nanti," kata ibunya. "Sekarang sarapan dulu, lalu..."
"Tapi, Mom...," teriak Cally. "Mom tidak mendengar apa yang
kukatakan?" "Ada apa sih ini?" seru Kody. "Kenapa semua orang berteriakteriak seperti orang bingung?"
"Cubby" Cubby?" teriakan James terdengar dari halaman
belakang. "Kalau anak anjing tolol itu kabur...," gumam Mr. Frasier.
Ditaruhnya cangkir kopinya, keningnya berkerut. "Cally, coba kaucari
di halaman depan. Mungkin Cubby lari ke sana."
Dengan patuh Cally mendorong kursinya ke belakang dan
berdiri. "Kuharap ada orang yang mau mendengarku," katanya marah.
"Ada orang masuk ke kamarku dan..."
"Cari anjing itu di depan," dengan tidak sabar Mr. Frasier
memotong kata-kata Cally, "supaya James berhenti berteriak-teriak."
Sambil mengeluh kesal Cally pergi ke depan rumah.
Apakah semua orang di rumah ini sudah gila" pikirnya.
Ia membuka pintu depan, melangkah ke teras, menoleh, dan
berseru tertahan. Darah berceceran di teras.
Cally menutup mukanya ketika ia melihat angka besar-besar
yang ditulis dengan darah di dinding rumah.
99 Bab 9 KODY yang pertama mendengar jeritan Cally. Ia menghambur
ke teras, dan matanya membelalak ngeri melihat ceceran darah itu.
Mr. dan Mrs. Frasier ikut keluar, menatap terkejut tanpa bisa
bersuara. "Siapa...," akhirnya Mrs. Frasier mampu mengucapkan
sesuatu. "Aku tahu rumah ini ada hantunya," kata Kody berbisik. "Aku
bisa merasakannya begitu kita datang. Dan sekarang hantunya mulai
beraksi." "Mungkin perbuatan anak-anak tetangga?" tanya Mrs. Frasier
pada suaminya. "Cuma sekadar lelucon konyol?"
Mr. Frasier menelan ludah tapi tidak menjawab. Cally melihat
rasa takut di matanya. Wajahnya pucat berkerut di cahaya pagi yang
kelabu. "Apakah itu betul-betul darah?" tanya Kody perlahan.
Cally mendekati pintu depan. Kakinya terasa lemas. Dengan
takut-takut ia mengulurkan jarinya ke dinding rumah, menyentuh
salah satu angka sembilan itu.
"Bukan. Ini bukan darah," katanya perlahan. "Ini cat."
"Cat?" Mr. Frasier mengulang kata itu seakan-akan itu kata baru
yang belum pernah didengarnya.
"Hantu itu mencoba berkomunikasi," gumam Kody.
"Siapa yang iseng mengotori teras kita dengan cat merah?" kata
ayah Cally. "Padahal baru kemarin Mr. Hankers dan aku
menghabiskan seluruh siang dengan mengamplas dan memberi cat
dasar."ebukulawas.blogspot.com
"Cuma lelucon konyol," gumam Mrs. Frasier, menggigit bibir
bawahnya dan menggeleng-geleng.
"Ini bukan lelucon," kata Kody dengan suara rendah. "Ini pesan.
Bukan lelucon." "Cubby" Cubby?" suara James terdengar sampai ke teras. Cally
melihat adik laki-lakinya muncul dari samping rumah, matanya
mencari-cari. "Cubby?"
James menoleh ketika melihat semua orang berkumpul di teras.
"Ayo, bantu aku!" serunya dengan suara bergetar. "Kita harus mencari
Cubby! Dia kabur!" Kasihan James, pikir Cally, dilihatnya dagu James gemetar,
matanya basah oleh air mata. "Aku bantu kau mencari!" katanya pada
James. Apa pun kulakukan asal bisa pergi dari sini! kata Cally dalam
hati. "Tunggu dulu di situ, James," katanya. "Nanti kita cari samasama."
"Cubby! Cubby?" James terus memanggil-manggil anak
anjingnya, suaranya melengking semakin tinggi.
Cally lari ke atas, ke kamarnya. Tanpa menghiraukan
pakaiannya yang berserakan, diambilnya sepasang kaus kaki putih,
lalu mencari sepatu karetnya di bawah tumpukan celana jeans.
Ketika ia kembali ke halaman depan, Kody dan Mr. Frasier
sudah membuka kaleng cat putih, bersiap-siap menutupi angka-angka
besar berwarna merah itu.
Cally berkata, "Aku pergi dulu," lalu bergegas menemani
James. "Kenapa Cubby kabur?" tanya James sementara Cally berlarilari kecil menghampirinya. "Kenapa?"
"Pasti dia belum jauh," kata Cally, menaruh tangannya ke bahu
James. "Ayo, kita cari dia."
Cally membimbing James ke jalan. "Kita periksa semua
halaman rumah tetangga, depan dan belakang," katanya. "Pasang mata
baik-baik." Begitu mereka melangkah keluar dari halaman rumah, cahaya
matahari bersinar. Langit pagi cerah tak berawan. Udara mendadak
terasa hangat dan segar. "Cubby! Cubby!" James memanggil-manggil nama anjingnya
sementara Cally membawanya mencari dari rumah ke rumah.
Cally melihat semua rumah di jalan ini sudah tua dan kurang
terurus. Tapi tidak satu pun, pikirnya dengan perasaan tidak senang,
yang sebobrok dan segelap rumah kami.
"Apakah itu Cubby?" seru James, menunjuk ke halaman depan
sebuah rumah yang penuh semak-semak liar.
Cally menengok ke arah yang ditunjuk James. "Bukan. Itu
tupai," katanya. James mengeluh. "Jangan takut," kata Cally. "Pasti kita menemukannya. Ayo,
kita periksa halaman belakangnya."
Rumah tembok berbentuk persegi itu gelap dan sepi. Tapi
ketika Cally mengikuti adiknya masuk ke halaman, didengarnya suara
mesin pemotong rumput. Ketika ia dan James berbelok di sudut belakang garasi, terlihat
seorang cowok sedang mendorong mesin pemotong rumput,
membelakangi mereka. "Tidak ada Cubby," seru James mengatasi suara bising mesin
pemotong rumput. Mata Cally menatap cowok berambut gelap itu. Ketika ia
berputar di ujung halaman dan bergerak ke arah mereka, Cally
mengenalinya. "Anthony!" panggil Cally, tersenyum.
Ia berhenti mendorong, tapi tangannya tetap menggenggam tuas
mesin. Matanya menyipit heran. "Hai!" katanya. Ia membungkuk dan
mematikan mesin. "Anthony... kau tinggal di sini?" tanya Cally, berlari-lari kecil
menghampirinya. Anthony menatap Cally, menyapukan tangannya ke celana
jeans-nya. "Aku ingat kau," katanya. "Kita pernah ketemu di restoran,
iya kan?" Cally sadar Anthony tidak ingat namanya. "Cally," katanya
mengingatkan. "Cally Frasier. Saudaraku dan aku..."
"Oh. Benar." Ia tersenyum. "Apa kabar?" Ia menghapus dahi
dengan lengan bajunya. Cally melihat potongan-potongan rumput
menempel di bagian bawah celana jeans Anthony. Dan di rambut
keritingnya. "Ini adikku James,'" kata Cally sambil menunjuk.
"Kau lihat anjingku?" tanya James. "Anak anjing Labrador?"
Anthony menggeleng. "Tidak."
"Kami sedang mencari anjing itu," kata Cally. "Kau tinggal di
sini?" "Tidak akan," sahut Anthony serius.
Nadanya menjawab membuat Cally kaget.
"Ayo pergi," ajak James. Ia menghampiri Cally dan menarik
lengannya. "Kita periksa di rumah sebelah."
"Sebentar," kata Cally, melepas lengannya dari pegangan
James. Ia menoleh kembali pada Anthony. "Apa maksudmu?"
Mata hitam Anthony tetap serius. "Keluargaku sangat percaya
takhayul, kami tak akan tinggal di Fear Street," katanya.
"Kenapa?" tanya Cally.
"Oh, iya. Kau baru pindah," katanya sambil kembali meraih
tuas mesin pemotong rumput. "Belum ada yang memberitahumu
tentang jalan ini, ya?"
"Memberitahu apa?" desak Cally.
"Ayo, kita pergi!" James sudah tidak sabar.
"Sebentar!" bentak Cally pada James. "Beritahu apa, Anthony?"
"Hmmm... macam-macam cerita tentang jalan ini," sahutnya
enggan sambil menatap mesin pemotong rumputnya. "Cerita-cerita
aneh." Cally tertawa nyaring. "Jangan macam-macam!" katanya.
"Mentang-mentang aku anak baru di sini jangan kau kira bisa
menakut-nakutiku dengan cerita tolol..."
"Aku serius," potong Anthony.
"Jadi kau tidak tinggal di sini?" ulang Cally, menggerakkan
tangannya ke arah rumah itu.
Anthony menggeleng. "Aku memotong rumput di sini setiap
hari Sabtu. Untuk tambahan uang saku. Aku tinggal di Old Village.
Kau pernah ke sana" Tempatnya bagus."
"Aku belum ke mana-mana," sahut Cally sambil berpikir. Ia
tampan, pikirnya tanpa sadar, walaupun sedang berkeringat dan penuh
potongan rumput. "Ayo pergi!" desak James sambil menarik lengan Cally lagi.
"Oke, oke," jawab Cally.
Anthony mengusap dahinya lagi. "Panas sekali hari ini,"
gumamnya. "Tapi aku hampir selesai. Di mana kau tinggal" Di blok
ini?" Cally mengangguk. "Ya. Fear Street nomor sembilan puluh
sembilan." Mata hitam Anthony menatap mata Cally. "Kau bercanda,
kan?" "Tidak, aku tidak bercanda," sahut Cally bingung. "Kenapa,
Anthony" Itu alamat rumahku. Fear Street nomor sembilan puluh
sembilan." Anthony menelan ludah. Ia masih tetap menatap Cally. "Cally,"
katanya, "kau tidak tahu tentang rumah itu" Mereka tidak
memberitahumu, ya?" Bab 10 "BERITAHU tentang apa?" desak Cally.
"Ayo dong!" jerit James, menarik lengan Cally kuat-kuat
dengan kedua belah tangannya. "Ayo, Cally... kau sudah janji!"
"Oke, oke, James," kata Cally tajam. Ia menoleh lagi pada


Fear Street Rumah Setan The House Of Evil First Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anthony. "Kau sudah hampir selesai di sini" Mau makan siang di
rumahku?" ajaknya tanpa berpikir panjang. "Kau bisa ceritakan
padaku tentang rumah itu."
Anthony mengangkat kedua tangannya seakan menangkis.
"Kurasa tidak," katanya, senyum gugup terbentuk di bibirnya.
"Maksudku..." "Kau takut datang ke rumahku?" tantang Cally.
Ia menyeringai malu-malu. "Yah... tidak juga sih. Maksudku..."
"Jangan konyol. Datanglah begitu kau selesai," kata Cally. Ia
mengibaskan rambutnya ke balik bahu. "Aku sudah tidak sabar ingin
mendengar ceritamu," tambahnya ringan.
Tapi paras Anthony berubah serius. "Tapi kurasa kau tidak akan
senang mendengar cerita itu," katanya perlahan.
"Cubby" Cubby!" James berteriak memanggil anjingnya sambil
menarik Cally keluar dari halaman rumah itu.
********** "Kenapa sih kau mengundang dia ke sini!" seru Kody marah.
"Coba lihat aku! Sepagian aku mengecat teras! Tampangku
berantakan!" "Dia datang bukan untuk melihatmu!" sahut Cally pedas.
Kenapa sih Kody selalu cari masalah dengannya" Tidak bisakah dia
melupakan rasa irinya sebentar saja"
"Oke, Mom dan Dad tidak ada di rumah. Mereka sedang
belanja. Apa yang mau kaumasak untuk makan siang?" tantang Kody.
"Aku mau buat sandwich tuna," jawab Cally. "Dan kalau tidak
salah masih ada salad telur sisa kemarin di lemari es. Memangnya
kenapa" Aku ingin mendengar cerita Anthony tentang rumah ini. Kau
tidak mau?" "Kau bukannya tertarik pada ceritanya. Kau tertarik pada
orangnya!" tuduh Kody.
Hening sejenak. Lalu mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
Mereka memang tidak bisa bertengkar lama-lama. Walaupun
berbeda, mereka tetap saudara kembar.
Cally mengulurkan tangan, mengusap noda cat putih di pipi
Kody. "Kau kelihatan manis," katanya.
"Aku berlumur cat. Aku mau ganti pakaian dulu," kata Kody,
buru-buru pergi ke tangga depan. "Cubby tidak ketemu, hah?"
"Tidak," sahut Cally sedih. "Kasihan James. Dia ada di atas,
mungkin sedang menangis. Kukatakan padanya kami akan
mencarinya lagi usai makan nanti."
"Mungkin aku bisa ikut," seru Kody dari tangga. "Aku harus
menjauhi bau cat." Bel pintu depan berbunyi. "Itu Anthony!" seru Cally.
Kody menghilang ke atas. Cally bergegas membuka pintu.
"Hati-hati. Catnya masih basah," katanya.
Anthony masuk dengan enggan. Ia sudah membersihkan
potongan-potongan rumput dari rambutnya. Dan jelas ia sudah
mencuci tangan dan wajahnya dengan air keran di kebun. Bagian
depan kausnya basah. Sambil mengikuti Cally ke dapur, matanya meneliti ruang
duduk. "Agak gelap di sini," gumamnya.
"Kau pasti lapar habis memotong rumput. Aku punya salad
telur dan keripik kentang," kata Cally.
"Wah, kedengarannya enak." Anthony memasukkan kedua
tangannya ke saku celana jeans-nya. Ia terlihat gelisah. "Bagaimana
kalau kita makan di luar" Cuacanya sedang bagus."
Cally tertawa. "Kau betul-betul tidak mau ada di dalam rumah
ini, ya," tuduhnya bergurau.
Jawaban Anthony serius. "Betul, memang aku tidak mau."
******** Cally, Kody, dan Anthony duduk di bawah kerimbunan pohon
apel besar di halaman belakang, menyantap makan siang mereka.
Cally sudah membawakan sandwich untuk James, tapi James berkeras
bahwa ia tidak lapar. Ia malah membanting pintu kamar tidurnya di
depan hidung Cally. "Kami sedang menebang beberapa pohon," kata Kody pada
Anthony. "Supaya cahaya matahari bisa masuk."
"Gelap sekali di belakang sini," kata Cally, menggelengkan
kepala. "Sinar matahari tidak bisa menembusnya."'
Anthony memusatkan perhatian pada sandwich-nya.
"Rumputnya sudah berabad-abad tidak pernah dipotong,"
komentarnya. "Mungkin ayah kalian mau mengupahku untuk
memotongnya." Cally berdecak. "Kau yakin kau berani bekerja di sini?"
"Ayo, ceritakan tentang rumah ini," desak Kody, menaruh
piring kertas di rumput di sampingnya.
"Ini bukan cerita. Ini kisah nyata," sahut Anthony serius.
Matanya menatap mata Cally.
"Seorang pria datang ke kelas kami. Dia bekerja di
perpustakaan. Dia ahli sejarah kota ini. Dia yang bercerita. Katanya..."
"Dia bercerita tentang rumah kami?" potong Kody dengan nada
tinggi. Anthony mengangguk. "Ya. Fear Street nomor sembilan puluh
sembilan." "Apa katanya" Apakah rumah ini ada hantunya?" desak Kody,
melirik Cally. Cally menyandarkan tubuhnya ke pohon, kedua tangannya
terlipat di dada. "Ceritakan, Anthony," perintahnya. "Aku mau tahu
apa kau bisa bercerita tanpa tertawa."
"Aku tidak bercanda!" kata Anthony. "Betul. Ahli sejarah itu
yang menceritakan semuanya. Ini bukan karanganku." Ia menggeser
duduknya, melipat kakinya.
Kody punya sepiring penuh keripik kentang. Tidak hentihentinya ia melahap keripik kentang itu, satu per satu, tak sabar
menunggu Anthony memulai ceritanya.
"Ada seseorang yang tinggal di Shadyside kira-kira seratus
tahun yang lalu," Anthony mengawali kisahnya sambil menepis semut
dari lengannya. "Namanya Simon Fear."
"Yang namanya dipakai sebagai nama jalan ini?" tanya Kody.
"Biar dia cerita dulu," tukas Cally.
"Ya," sahut Anthony. "Kau tahu rumah bekas terbakar di bukit,
di seberang tanah kuburan itu" Itu rumah Simon Fear."
"Aku melewati tempat itu kemarin," kata Kody. "Heran, kok
tidak ada yang merubuhkan rumah itu. Atau membongkarnya, dan
membersihkan tempat itu."
"Tidak ada yang berani," kata Anthony dengan nada misterius.
"Simon Fear orang jahat. Sangat jahat. Begitu pula istrinya. Aku lupa
namanya. Kalau tidak salah Angelica. Dulu tempat ini masih berupa
hutan, dan mereka tinggal di rumah besar di tengah pepohonan dan
melakukan segala macam perbuatan jahat pada orang lain."
"Maksudmu membunuh mereka?" tanya Cally.
"Banyak sekali kisah-kisah menyeramkan tentang mereka. Ada
yang bilang mereka menyiksa orang"bahkan membunuh."
"Ihhh," bisik Kody. Ditaruhnya piring keripik kentangnya.
"Apa hubungan antara suami-istri Fear itu dengan rumahku?"
tanya Cally tidak sabar. "Ahli sejarah kota itu menceritakan bahwa ketika para pekerja
mulai menggali pondasi tempat ini"kira-kira tiga puluh tahun yang
lalu"katanya mereka menemukan banyak peti mati."
"Peti mati" Di halaman rumah ini?" tanya Kody melengking.
"Mereka menemukan peti-peti mati tua itu dengan lambang
keluarga Fear pada tutupnya. Di setiap peti mati berisi mayat. Rangka,
maksudku. Polisi berkesimpulan bahwa tempat ini semacam tempat
memendam mayat korban-korban kejahatan Simon Fear dan istrinya.
Tempat rahasia untuk menguburkan orang-orang yang mereka bunuh."
"Wow!" seru Kody.
Cally cemberut. "Selamat Halloween!" katanya tidak percaya.
"Aku tidak mengarang-ngarang!" kata Anthony. "Aku bahkan
belum sampai ke bagian yang paling seram."
"Bagian yang paling seram! Ayo, ceritakan!" desak Kody
seraya mengambil segenggam keripik kentang.
"Kau tak akan suka mendengarnya," Anthony memperingatkan.
"Kau memang pandai membuat ketegangan," kata Cally kering.
Ia tidak mau Anthony tahu bahwa cerita itu membuat bulu romanya
berdiri. Dilipatnya tangannya erat-erat, melindungi tubuhnya.
"Ahli sejarah itu bercerita tentang keluarga yang membangun
rumah ini tiga puluh tahun yang lalu," lanjut Anthony, matanya
memandang ke rumah beratap kelabu di bawah bayangan kerimbunan
pepohonan itu. Diangkatnya kaleng Coke ke bibirnya dan diteguknya lama.
Lalu ia meneruskan, matanya masih menatap rumah. "Orang yang
menyuruh membuat rumah ini punya istri dan dua anak, satu cowok
dan satu cewek. "Ketika pekerja-pekerja menemukan peti-peti mati, mereka
bertanya padanya apa yang harus mereka lakukan. Dia menyuruh
mereka bekerja terus. Katanya dia tidak peduli pada setumpuk tulang
tua." "Setelah rumah ini selesai," Anthony meneruskan, "pria itu
membawa keluarganya kemari. Mereka akan pindah ke sini beberapa
minggu lagi, jadi dia ingin memperlihatkannya pada mereka.
"Ketika mereka tiba di sini, para pekerja masih menyelesaikan
salah satu kamar atas. Dia pergi ke atas untuk melihat apa yang
mereka kerjakan. Dia menyuruh istri dan anak-anaknya menunggu di
bawah. Dia tidak mau mereka melihat ke atas sampai semua selesai.
Jadi mereka duduk di lantai, menunggunya.
"Pria itu hanya beberapa menit di atas. Tapi ketika dia kembali
ke bawah, dia... dia menemukan..." Anthony kesulitan menyelesaikan
kalimatnya. "Apa?" desak Kody tidak sabar. "Apa yang dia temukan?"
Cally menarik napas dalam dan menahannya, mencoba
menenangkan jantungnya yang berdegup kencang.
"Anak istrinya masih ada di lantai bawah," Anthony
meneruskan perlahan-lahan. "Tapi... tapi mereka sudah mati. Kepala
mereka... kepala mereka hilang."
"Apa?" jerit Cally.
Dilihatnya mata Kody membelalak. Mulutnya ternganga tanpa
bersuara. "Di mana kepala mereka?" tanya Cally dengan suara berbisik.
Anthony mengangkat bahu. "Ahli sejarah itu bilang kepala
mereka hilang. Tidak ada di rumah itu. Tidak pernah ditemukan."
"Jadi... apa yang terjadi?" tanya Kody, merinding. "Apa yang
terjadi setelah itu?"
"Apa yang terjadi pada pria itu?" tanya Anthony. Ia mengangkat
bahu. "Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada pria itu.
Tapi rumah itu... rumah itu tetap berdiri. Tak ada yang tinggal di situ.
Tak ada yang mau tinggal di situ. Seluruh kota tahu apa yang terjadi
pada istri dan kedua anak itu, dan tentang kuburan-kuburan tua itu.
Jadi rumah itu tetap kosong. Tak ada yang pernah tinggal di sini."
"Sampai kami datang!" seru Kody sambil menggigil.
Cally menggigit bibir bawahnya sambil meneliti wajah
Anthony. "Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Anthony tajam.
"Aku menunggu kau tersenyum," kata Cally. "Aku menunggu
sampai kau tidak tahan lagi dan mengaku kalau semua ini cuma
lelucon." "Ini bukan lelucon," gumam Anthony, mata hitamnya berbinar
ketika membalas tatapan Cally.
"Aku tahu ada roh jahat di rumah ini!" kata Kody. "Aku sudah
tahu sejak pertama kali datang ke sini!"
Mereka bertiga menatap ke rumah. Semua jendelanya
memantulkan bayangan gelap pepohonan.
"Tapi aku tidak percaya hantu!" seru Cally menantang, seakan
menujukan kata-katanya pada para hantu itu. "Aku tidak percaya
hantu maupun roh jahat."
"Aku juga tidak," sahut Anthony perlahan. "Tapi..."
Kata-katanya terhenti ketika tiba-tiba terdengar jeritan.
Mereka semua mendengarnya.
Jeritan nyaring James, dari dalam rumah.
Bab 11 "JAMES! Ada apa?" Cally berteriak nyaring.
Ia melompat berdiri dan dengan panik berlari ke rumah.
Bayangan-bayangan mengerikan muncul di kepalanya"
bayangan kepala James direnggut dari tubuhnya oleh monster hitam
mengerikan. "James! Kau kenapa" James?"
Kody dan Anthony berlari di belakangnya.
Jeritan nyaring itu tidak berhenti.
Lalu terlihat James menghambur ke luar dari pintu dapur. Pintu
kasa terbanting menutup di belakangnya. "Di mana dia?" seru James.
"Di mana dia?" Cally melihat adiknya lari ke sana ke mari di halaman belakang
seperti orang bingung, menengok ke balik pohon, ke bawah semaksemak.
"James... sedang apa kau?" teriak Cally ketika ia berhasil
mengejar adiknya. Digamitnya bahu James, memaksanya berhenti.
"Di mana dia" Di mana dia?" James mengulang-ulang
pertanyaan itu, seperti mengigau.
"Siapa?" tanya Cally.
"Cubby! Aku mendengarnya tadi!" kata James, melepaskan diri
dari pegangan Cally dan meneruskan pencariannya.
"James!" "Aku mendengar dia menyalak!" James berkeras. "Aku sedang
di dapur. Kudengar Cubby menyalak!"
Cally menengok pada Kody dan Anthony. "Kalian mendengar
suara anjing?" Mereka menggeleng, mata mereka menunjukkan perasaan heran
dan bingung. "Kami tidak mendengar suara anjing menyalak," kata Cally,
mengikuti adiknya yang berlari ke semak-semak tinggi di samping
halaman rumah mereka. "Aku dengar kok!" seru James, suaranya bergetar. "Aku
mendengar Cubby menyalak." Ia kembali memanggil-manggil
anjingnya, dengan menaruh kedua tangannya di depan mulut.
"Kau mendengar gonggongannya dari dapur?" tanya Kody.
"Mungkin dia di dalam rumah. Mungkin kau salah, mengira dia ada di
luar." James ragu-ragu, matanya mengecil, berpikir.
"Ayo!" desak Kody "Kita cari di dalam!"
Dipimpin oleh Kody, mereka lari ke dapur. Cally dengan hatihati menutup pintu kasa.
Bunyi bising apa itu"
Ia melihat Mrs. Nordstrom membungkuk di atas bak cuci
piring"dan mengenali bunyi bising mesin penghancur sampah. "Mrs.
Nordstrom, Anda mendengar suara salak Cubby?" teriak Cally.
Pembantu rumah tangga itu mematikan mesin penghancur dan
mematikan air. Ia menoleh pada Cally. "Apa?"
Cally tidak perlu mengulang pertanyaannya. Ia mendengar
lengking salak anjing. Cubby.
"Dengar itu?" kata James.
Semua mendengarnya. "Ayo keluar, dan bawa anjing itu masuk," perintah Mrs.
Nordstrom. Ia meninggalkan dapur.


Fear Street Rumah Setan The House Of Evil First Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jelas suaranya datang dari luar," kata Anthony, memasang
telinga. Anjing kecil itu kedengarannya ketakutan.
James menghambur ke luar melewati pintu dapur. Yang lain
mengikuti. "Cubby! Cubby!" panggilnya.
Cally berhenti di tangga belakang. Ia tidak lagi,mendengar
lengking Cubby. Mereka semua berhenti dan memasang telinga.
Sunyi. Hanya teriakan nyaring James yang terdengar, memanggilmanggil nama anjingnya.
"Aku tidak mendengar suaranya lagi!" kata Kody.
"Pasti dia di dalam," kata Anthony. Ia kembali ke dapur.
Kody dan Cally mengikutinya. James tetap di luar, berlarian ke
sana ke mari sambil memanggil-manggil nama Cubby.
Di dapur, mereka mendengar lengkingan anjing kecil itu dengan
jelas. "Kedengarannya memang seperti datang dari halaman
belakang," ujar Cally kesal.
"Tapi dari luar kita tidak mendengar apa-apa," kata Anthony
sambil geleng-geleng kepala.
"Ayo, kita cari di seluruh rumah," saran Kody. Ia membuka
lemari penyimpan alat-alat. "Cubby... kau di sini?"
Tidak ada. Jeritan melengking itu tetap terdengar, diselingi lolongan sedih.
Cally membuka pintu kasa dan menjulurkan kepalanya ke luar.
Suara itu lenyap. James masih mencari-cari dengan putus asa di
samping garasi. Kody dan Anthony mencari di ruang makan, membungkukbungkuk di bawah meja dan lemari. "Aku mendengarnya," kata Kody
sambil mengerutkan wajah. "Tapi aku tidak melihatnya."
"Cubby! Sini, Cubby!" panggil Anthony. Ia melihat jam
tangannya. "Oh, aduh! Aku terlambat. Masih ada satu halaman lagi
yang harus kupotong rumputnya."
Cally mengantarnya ke pintu depan. "Mau pergi nonton malam
minggu nanti?" tanya Anthony ketika mereka tiba di teras.
Cally masih memikirkan lengkingan anjing itu, sehingga tidak
langsung menjawab. "Mau," akhirnya ia berkata. "Jemput aku, ya?"
Ia menunggu sampai Anthony lenyap dari pandangan. Lalu ia
kembali ke dapur. Kody sedang bersandar ke meja, tangannya terlipat
di dada. "Suaranya sudah berhenti," kata Kody.
Cally mendengar James menangis di halaman belakang. "Mana
dia" Mana Cubby?" James membanting tubuhnya ke tanah dan mulai
menangis menggerung-gerung.
"Aneh," kata Cally kesal. "Di mana sih anjing jelek itu?"
Ia dan Kody mendengar suara mobil masuk ke halaman rumah.
Bidadari Sungai Ular 2 Sembilan Pembawa Cincin The Lord Of The Rings Buku Satu Karya J.r Tolkien Melacak Topeng Hitam 2

Cari Blog Ini