Ceritasilat Novel Online

First Horror 2

Fear Street Rumah Setan The House Of Evil First Horror Bagian 2


"Bagus. Itu Mom dan Dad," kata Kody, bergegas pergi ke pintu depan.
"Mereka harus tahu cerita Anthony tentang rumah ini."
"Tidak... tunggu dulu." Cally merenggut lengan Kody. "Jangan
ceritakan pada mereka," desak Cally.
Lolongan sedih James terdengar dari halaman belakang.
Mata Kody membelalak heran. "Memangnya kenapa?"
"Mereka sudah terlalu banyak pikiran," kata Cally cepat-cepat,
matanya memandang ke pintu. "Dan sekarang mereka harus mengurus
James." "Tapi mereka harus tahu..."
Cally menggelengkan kepala. "Jangan sekarang. Kasihan Dad.
Dia sudah cukup pusing. Jangan kita tambah lagi dengan kepusingan
baru." Kody memelototi saudara kembarnya. "Kau masih tidak
percaya kalau rumah ini ada hantunya, kan?" tuduhnya. "Kau masih
tidak percaya ada roh jahat..."
"Aku tidak tahu apa yang harus kupercaya," kata Cally. "Tapi
menurutku kita jangan menambah pusing pikiran Dad."
Ia berhenti bicara ketika dilihatnya kedua orangtuanya berjalan
ke arah rumah, tangan mereka penuh bungkusan. Bersama Kody, ia
lari keluar untuk membantu mereka.
"Apa yang terjadi dengan James?" tanya Mrs. Frasier,
memberikan bungkusan yang dibawanya pada Cally. "Kenapa dia
menangis?" "Cubby masih belum ketemu," jawab Kody, melirik Cally.
"Kami mendengar gonggongannya, tapi kami tidak bisa
menemukannya." "Apa?" Di balik kacamatanya, mata Mr. Frasier membelalak
heran. "Aku jadi bingung."
"Kami juga," Kody menghela napas. "Kami juga."
******** Larut malam, Cally selesai menulis di buku hariannya. Sambil
menguap, ditutupnya buku itu dan disimpannya di laci meja.
Biasanya menulis di buku harian membantu mengendurkan
ketegangannya dan membuat Cally siap untuk tidur. Tapi malam itu
karena ia menulis tentang bagaimana mereka mencari-cari anak anjing
James dan tentang Anthony serta kisahnya yang mengerikan, perasaan
Cally jauh dari santai. Sambil berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, ia
mencoba menghalau semua pikiran yang tidak menyenangkan dari
kepalanya. Ia mencoba untuk hanya berpikir tentang Anthony, tentang
betapa manis dan betapa baiknya dia.
Tapi Cally tidak bisa memusatkan perhatian. Otaknya selalu
melompat ke hal-hal lain, ke kejadian-kejadian buruk yang menimpa
keluarganya sejak mereka tiba di Fear Street nomor sembilan puluh
sembilan. Apakah Kody dan Anthony benar" Apakah memang ada roh
jahat bergentayangan di rumah ini" Apakah memang rumah ini
berhantu" Cally tidak mau mempercayai hal-hal seperti itu.
Merasa tegang dan tidak nyaman, Cally duduk.
Suatu ide muncul di kepalanya. Ia menatap ke seberang
kamarnya yang sudah gelap, menatap pintu kamar tidur.
Setiap malam, seseorang"atau sesuatu"mengetuk pintu itu.
Ketukan yang sama, halus, menakutkan. Setiap malam.
Dan setiap malam Cally berjingkat-jingkat ke pintu, membuka
pintu dengan tiba-tiba" dan tidak menemukan seorang pun di sana.
Malam ini aku akan siap-siap, pikirnya. Ia berjingkat ke pintu.
Malam ini akan kubuka tabir misteri itu.
Toh aku tidak mengantuk, katanya dalam hati. Tidak ada
gunanya berbaring di tempat tidur, memikirkan hal-hal yang
menakutkan. Didorongnya kursi ke dekat pintu dan ia duduk di sana,
menatap pintu dan menunggu.
Bila ketukan itu mulai, aku sudah siap, katanya dalam hati
sambil mengetuk-ngetuk lapisan lengan kursi dengan gelisah. Begitu
kudengar ketukan pertama, akan langsung kubuka pintunya.
Dan apa yang akan kutemukan" tanyanya pada diri sendiri.
Hantu" Roh jahat" Roh yang tak kasat mata"
Atau hanya ruang hampa"
Apa yang akan kutemukan"
Ia mendengar suara-suara berderik, suara daun jendela
terbanting, desir gorden tertiup angin di jendelanya. Suara-suara wajar
sebuah rumah pada malam hari.
Ia menunggu. Mendengarkan suara-suara rumah pada malam
hari, mendengarkan embusan angin melewati pepohonan di luar,
mendengarkan desah napasnya sendiri.
Ia tidak perlu menunggu lama.
Tok tok tok. Ketukan lembut dari balik pintu. Hanya beberapa
sentimeter dari dirinya. Tok tok tok. Cally menarik napas panjang dan berdiri. Lalu membuka pintu
dengan satu sentakan dan menengok ke luar.
"Kau!" jeritnya.
Bab 12 SOSOK mirip hantu itu mencoba kabur. Gaun malamnya yang
panjang menyapu lantai ketika ia berbalik untuk lari.
Tapi Cally sudah mencengkeram lengannya.
"Kody!" teriaknya. "Ternyata kau!"
"Lepaskan!" seru Kody.
Tapi Cally justru mempererat pegangannya dan menarik
saudara kembarnya ke kamar tidur. "Kenapa, Kody?" teriaknya.
"Kenapa kau berbuat begitu padaku?"
"Kau tidak percaya padaku!" jawab Kody, menyentak lepas
tangannya dari pegangan Cally. Gaun malamnya tersangkut dan ia
terhuyung ke kursi di dekat pintu. Sambil menjerit kaget ia
berpegangan ke kusen pintu.
"Kau tidak percaya!" ulangnya, matanya yang hijau bagaikan
hendak membakar mata Cally. "Aku harus membuatmu percaya!"
"Percaya apa?" tanya Cally dengan suara melengking.
"Percaya bahwa ada roh jahat di rumah ini," bentak Kody
dengan nada marah setengah berbisik. "Kau menertawakan aku. Kau
bilang aku tolol. Tapi aku tahu aku benar, Cally. Semua kejadian
mengerikan itu"Dad tertusuk pisau, tanggaku jatuh"bukan
kecelakaan biasa! Aku tahu rumah ini ada penunggunya, ada roh
jahat." Cally membuang pandang ke langit-langit dan mengerang
marah. "Jadi kauketuk pintuku setiap malam agar aku percaya itu
ketukan hantu" Yang benar saja, Kody!"
"Aku pikir itu akan membuatmu percaya," sahut Kody,
menunduk memandang lantai. Dengan gelisah ia menyapu rambutnya
ke belakang. "Aku sudah kehabisan akal. Aku ingin kau percaya. Aku
ingin kau ada di pihakku. Jadi... jadi kutakut-takuti kau."
Cally menggelengkan kepala. "Heran. Saudara kembarku
sendiri," gumamnya. "Dan kau juga yang mengeluarkan semua
pakaianku dari lemari?"
Kody mengangguk. "Ya. Dan aku juga yang menebarkan cat
merah di teras dan menulis angka sembilan puluh sembilan," akunya.
"Apa?" Cally berseru hampir tak percaya.
"Aku pikir itu cuma soal kecil, karena toh aku harus mengecat
seluruh teras," Kody menjelaskan sambil mengangkat bahu. "Aku
sudah putus asa, Cally. Aku harap kau mengerti. Aku harus membuat
kau berada di pihakku. Sedikit cat merah cuma soal sepele."
"Soal sepele?" seru Cally marah. "Menurutmu begitu" Kau
hampir membuat Dad sakit jantung, tahu!"
"Jangan membesar-besarkan!" kata Kody.
"Aku tidak membesar-besarkan," sahut Cally marah. "Tidakkah
kaulihat betapa stresnya Dad semalam karena urusan James dan anak
anjing itu" Tidakkah kaulihat betapa kuatirnya dia" Kau tahu" Aku
mendengar dia bicara sendiri tadi malam."
"Masa sih?" Kody kaget.
"Di ruang baca," Cally meneruskan. Ia mulai berjalan hilirmudik di depan saudara kembarnya. "Dia tidak tahu aku ada di sana.
Dia bicara sendirian, Kody. Bergumam tentang Cubby dan tentang
rumah ini. Bagiku itu sangat menakutkan."
"Kasihan Dad," gumam Kody, menggeleng-gelengkan
kepalanya. Ia duduk di tempat tidur Cally. "Jangan mondar-mandir
seperti itu, dong," katanya memohon.
"Tidak kukira kau sampai hati menakut-nakuti aku," kata Cally
tanpa menghiraukan permohonan Kody. "Kenapa kau tidak masuk
saja dan bicara padaku?"
"Bicara padamu?" Kody tertawa pahit. "Setiap kali aku mulai
bicara tentang roh jahat di rumah ini, kau selalu mengolok-olok aku.
Mana mungkin aku bicara padamu."
Cally menatap kesal pada Kody. "Tapi mencoba meyakinkan
diriku bahwa ada hantu..."
"Memang ada hantu!" Kody berkeras, melompat berdiri dari
tempat tidur dan memegang kedua bahu Cally. "Kau harus percaya
padaku. Ada sesuatu yang mengerikan di rumah ini. Kau dengar
sendiri cerita Anthony."
Cally menghela napas. "Ya, aku dengar," sahutnya dengan nada
lelah. "Tapi kau tahu bagaimana cerita beredar dari mulut ke mulut.
Kau tahu bagaimana orang selalu melebih-lebihkan, membuatnya
lebih menakutkan daripada yang sebenarnya."
Cally melepaskan tangan Kody dari bahunya. "Sampai saat ini,
Kody, satu-satunya hantu yang kulihat di rumah ini adalah kau."
Kody berteriak marah. "Kan sudah kujelaskan padamu..."
"Aku akan membuat perjanjian denganmu," sela Cally, tiba-tiba
merasa capek. "Perjanjian" Perjanjian apa?" tanya Kody curiga.
"Aku tak akan bilang pada Mom dan Dad tentang
perbuatanmu," Cally menawarkan. "Aku tak akan bilang pada mereka
bahwa cat merah di teras itu adalah ulahmu, kalau..."
"Kalau apa?" potong Kody.
"Kalau kaulupakan urusan hantu itu sebentar saja," Cally
meneruskan. "Lupakan dulu. Satu minggu saja. Biarkan suasana agak
tenang. Itu saja." Kody mengerutkan kening dan menghindari tatapan Cally.
"Bagaimana?" desak Cally. "Bisa?"
"Apakah aku punya pilihan?" sahut saudara kembarnya
bersungut-sungut. "Oke, Cally. Akan kucoba."
******** Setengah jam kemudian Cally masih belum bisa tidur.
Ia menengok jam radionya. Hampir jam setengah dua.
Aku akan terlihat seperti mayat di hari kerjaku yang pertama,
pikirnya. Ia duduk dan menurunkan kakinya ke lantai.
Kalau saja aku bisa "mematikan" otakku seperti mematikan TV,
pikirnya. Kalau saja aku bisa berhenti memikirkan Kody dan
hantunya. Kalau saja aku bisa berhenti berpikir tentang orang-orang
malang tiga puluh tahun yang lalu itu, yang duduk di ruang
keluarga" persis di bawah kamarku ini"tanpa kepala mereka.
Kalau saja aku bisa "mematikan" semua itu dan tidur.
Dirabanya pipinya. Terasa panas.
Panas, pikirnya. Aku panas.
Ia berdiri dan berjalan di tengah kegelapan, menuju koridor.
Kamar mandi hanya berjarak dua pintu dari kamar tidurnya.
Ia berjingkat-jingkat di lantai kayu yang berderik-derik, menuju
ke kamar mandi, dan menyalakan lampunya.
Akan kubasahi wajahku dengan air dingin, pikirnya. Agar terasa
agak sejuk. Aku akan bisa tidur sesudahnya.
Sambil menguap ia memutar keran.
Dengan mata tertutup ia menampung air dengan kedua
tangannya di bawah keran, lalu membasuhkannya ke wajahnya.
Beberapa detik kemudian barulah bau tajam itu menyentuh
hidungnya. Cally menatap wastafel dengan mata membelalak, mulutnya
terbuka ingin muntah. Bab 13 CAIRAN hijau kental, berbau masam seperti muntah, mengalir
keluar dari keran ke wastafel. Cairan itu menetes dari pipi Cally, ke
lehernya, lalu ke bagian depan gaun tidurnya.
Sambil menjerit jijik, ia mencoba menghapus cairan itu dari
wajahnya, tapi tangannya juga penuh cairan kental menjijikkan itu.
Ia menatap cairan hijau di wastafel.
"Ooohh," Cally mengerang. Baunya tajam menusuk.
Perutnya berontak. Ia membungkuk dan muntah.
"Cally... kau sakit" Cally?" Kody menghambur masuk ke kamar
mandi. Ia mengerang ketika bau tajam itu menyerang hidungnya.
"Ooohh." Cally mengerang dan muntah lagi. Rambutnya jatuh
ke wajahnya dan terkena cairan hijau itu.
"Apa sih itu?" seru Kody, memencet hidungnya. Ia diam
sejenak, menatap cairan hijau kental keluar dari keran. Lalu ia
mengulurkan tangan, mencoba mematikan keran.
Tapi cairan itu tetap keluar.
"Kerannya tidak bisa ditutup!" jerit Kody.
Wastafel penuh. Cairan hijau itu luber dan menetes ke lantai.
Cally menjerit dan melompat mundur ketika terasa olehnya
cairan itu membasahi kakinya.
Kody berkutat untuk menutup keran. Tapi kenopnya macet. Dan
cairan hijau kental itu terus mengalir.
"Ada apa?" Terdengar suara mengantuk Mr. Frasier dari
koridor. Cally mendengar langkah-langkah beratnya di lantai kayu.
"Daddy... tolong!" Dengan perut masih mual Cally menyambar
sehelai handuk dan berusaha melap cairan hijau lengket itu dari
wajahnya. "Ya ampun!" seru Mr. Frasier ketika muncul di pintu kamar
mandi. Ia tidak memakai kacamata, sehingga ia menyipitkan matanya
agar bisa melihat cairan yang luber dari wastafel itu lebih jelas.
"Aaaagh." Wajahnya mengernyit ketika mencium bau menusuk
itu. Sambil memegangi hidungnya ia menatap bergantian pada
Cally dan Kody. Lalu ia melangkah ke dalam kamar mandi dan
mengulurkan tangan untuk mematikan keran.
"Tidak bisa ditutup," kata Cally sambil menahan napas.
Sebelum Mr. Frasier sempat menyahut, jeritan nyaring James
terdengar sampai ke kamar mandi. "Aku mendengarnya! Aku
mendengarnya!" Cally melemparkan handuk ke lantai. James muncul di pintu.
Piama merah-putihnya terbuka, perutnya yang pucat terlihat. "Dad
mendengarnya?" desaknya, menarik lengan piama Mr. Frasier.
"Dengar suara Cubby?"
"Apa?" Mr. Frasier melepaskan keran dan menoleh pada James.
Cairan hijau masih mengalir dari keran, meluap ke lantai.
Mengatasi suara gelegak keran, Cally sayup-sayup mendengar
suara anjing menyalak. "Aku mendengarnya!" serunya.
"Oohhh... bau apa ini?" tanya James.
Suara menyalak terdengar semakin jelas, melengking tinggi.


Fear Street Rumah Setan The House Of Evil First Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku juga dengar," bisik Kody.
"Di mana dia?" seru James. "Di mana Cubby?"
"Suaranya kedengaran jauh," kata Mr. Frasier sambil
mendengarkan baik-baik. "Dia di bawah!" teriak James bersemangat. "Ya, benar!" Ia lari
ke tangga. Cally mendengarnya memanggil-manggil nama anjingnya
sambil berlari menuruni tangga.
Cally berniat mengikuti James, tapi kakinya terpeleset dan ia
menyambar tepi wastafel agar tidak terjatuh.
"Ooohh." Kakinya penuh cairan licin hangat itu. Dan cairan itu
juga membasahi tangannya yang berpegangan ke tepi wastafel.
"Matikan! Daddy, matikan kerannya!" Cally berseru.
"Sedang kucoba!" sahut Mr. Frasier, berkutat memutar keran,
dan akhirnya berhasil menutupnya.
"Di mana Mom?" tanya Kody.
"Aku... aku harus berganti baju," kata Cally. Ia berjalan
melewati Kody, tiba di koridor, tepat pada saat ibunya keluar dari
kamar tidur. "Mom!" jerit Cally.
"Oh, tolong," gumam Mrs. Frasier, terhuyung mendekati Cally,
tangannya terulur ke depan. "Tolong..."
Rambutnya, wajahnya, gaun tidurnya, semua berlumuran darah.
Bab 14 CALLY menjerit dan lari menghampiri ibunya. "Mom! Mom
luka" Dad... cepat bantu Mom!"
"Aku tidak luka," kata Mrs. Frasier, menyibak rambutnya yang
berlumuran darah dengan kedua tangannya. "Aku tidak apa-apa.
Darah ini..." Kody dan Mr. Frasier berlarian keluar dari kamar mandi, wajah
mereka tampak kuatir. Kody menjerit ketika melihat ibunya.
Cally melihat wajah ayahnya mendadak pucat pasi, mulutnya
ternganga, bibirnya bergerak-gerak tanpa bersuara.
"Aku tidak apa-apa!" jelas Mrs. Frasier. "Darah ini... cuma
menetesiku." Cally dan Kody menghambur memeluk ibu mereka. Tapi Mrs.
Frasier bergerak mundur. "Bau apa itu?" tanyanya. "Cally... kotoran
apa itu di badanmu?"
"Aku... aku tidak tahu," Cally menyahut terbata-bata.
"Beth, kau terluka?" akhirnya Mr. Frasier bisa bicara. "Darah
itu..." "Darah ini menetesiku. Dari langit-langit kamar," kata Mrs.
Frasier, jarinya menunjuk ke kamar tidur.
Mereka lari ke kamar tidur. Cally menyalakan lampu.
Ia berseru tertahan ketika melihat genangan merah tua di langitlangit kamar, persis di atas tempat tidur kedua orangtuanya. Darah
menetes tanpa henti, membasahi bantal dan seprai.
"Aku mendengar Cally menjerit," kata Mrs. Frasier, berdiri di
ambang pintu, menatap dengan mata ketakutan ke lingkaran besar
berwarna merah itu. "Aku mau bangun. Lalu kulihat...," ia menunjuk
noda darah di baju tidurnya.
"Pasti dari ruang di bawah atap," kata Mr. Frasier. Ia
mengambil kacamata dan memakainya. "Pasti ada sesuatu di atas
sana." Ia bergegas keluar melewati ibu Cally, menuju ke tangga
ruangan di bawah atap. "Tidak... jangan!" Mrs. Frasier menjerit memanggilnya. "Jangan
ke atas sana!" Tapi Cally mendengar pintu loteng terbuka, menyusul suara
langkah-langkah kaki ayahnya menaiki tangga.
"Dia tidak ada!" James menangis, masuk ke kamar. "Aku
mendengar suara Cubby, tapi dia tidak ada di mana-mana!" Dengan
tersedu-sedu ia menyusupkan kepalanya ke gaun tidur ibunya.
Tapi ia langsung tersentak ke belakang ketika merasa basah.
"Mommy..." "Aku tidak apa-apa," Mrs. Frasier menenangkannya. "Ini bukan
darahku." "Aku... aku harus mandi," erang Cally. "Ini... ih, jijik! Baunya
bikin aku mau muntah lagi."
"Di mana Daddy?" tanya James.
Cally menatap ke langit-langit. Ia bisa mendengar langkah kaki
ayahnya di atas kepalanya.
"Daddy ada di atas sana?" tanya James, menghapus air mata
dari pipinya. Mrs. Frasier mengangguk. "Ada yang menetes dari sana." Ia
menunjuk ke langit-langit.
Suara langkah di atas berhenti.
Kesunyian yang mencekam memenuhi kamar. Semua orang
diam mendengarkan. Sunyi di atas. Tidak ada langkah kaki. Tidak ada suara sedikit
pun. "Oh, tidak!" erang Kody. Ia lari ke luar kamar, menuju ke
tangga ruangan di bawah atap.
Cally menyusul di belakangnya. "Daddy... Dad baik-baik saja?"
teriaknya. Sunyi. "Daddy!" Cally menatap ke atas tangga yang gelap. Lalu ia menoleh pada
Kody, matanya membelalak ketakutan. "Kenapa dia tidak menjawab?"
Bab 15 "DADDY... Dad tidak apa-apa?" suara nyaring Cally bergema
di tangga curam itu. Ia menghela napas lega ketika ayahnya muncul di puncak
tangga. Sambil berpegangan ke dinding di kiri-kanan tangga, ayahnya
turun pelan-pelan, selangkah demi selangkah.
Ketika ia keluar dari kegelapan, Cally melihat bahwa wajahnya
terguncang dan bingung. "Daddy?" Cally memegang tangan ayahnya. Terasa dingin
bagaikan es. "Kepala," gumamnya, seluruh tubuhnya gemetar. Ia
mengedipkan mata beberapa kali, seakan mencoba mengusir apa yang
dilihatnya di atas sana. "Hah" Ada apa di atas sana?" Mrs. Frasier bertanya dari
ambang pintu kamar tidur.
"K-kepala," jawab Mr. Frasier tergagap-gagap, matanya
bersinar liar. "Tiga kepala manusia. Seorang wanita, dan dua anakanak. Tidak! Tidak!" Ia menjerit tersedu.
Dengan menggigil Cally menoleh ke arah tangga.
"Tidak!" jerit ayahnya. "Jangan melihat ke sana! Jangan pergi
ke sana! Banyak darah... kepalanya... oh, kasihan. Telepon polisi!
Cepat! Telepon polisi!"
********* Setelah para polisi selesai melakukan pencarian, Cally mandi di
bawah pancuran sampai hampir setengah jam. Tapi digosok sekeras
apa pun, bau masam itu tidak mau hilang juga.
Kenapa polisi tidak menemukan apa pun di atas" pikir Cally.
Kenapa mereka tidak bisa menjelaskan sumber noda darah di langitlangit kamar tidur"
Seorang dokter telah dipanggil. Ia memberi sesuatu pada Mr.
Frasier untuk menenangkan dan membuatnya bisa tidur.
Kasihan Daddy, pikir Cally.
Ketika dokter sudah pulang, ibu Cally juga mandi, mencoba
membasuh darah yang sudah mulai mengering.
Lalu kedua saudara kembar itu, bersama ibu mereka, bekerja
berjam-jam membersihkan cairan hijau menjijikkan dari wastafel dan
lantai kamar mandi. Setelah selesai, mereka mandi lagi.
Cally mengenakan mantel di luar baju tidurnya yang bersih, lalu
pergi ke bawah mencari minuman dingin. Jam di dapur menunjukkan
hampir pukul lima pagi. Cally mendengar ibunya di ruangan lain, bicara dengan lembut
pada James, mencoba menenangkan anak kecil itu. Cally memasang
telinga kalau-kalau terdengar lagi salak Cubby. Tapi yang bisa
didengarnya hanya derum lemari es dan suara rendah ibunya dari
ruangan sebelah. Ketika ia menuang jus jeruk ke gelas, Kody masuk dengan
wajah letih. "Masih terlalu pagi untuk sarapan," keluhnya. "Tapi aku
juga mau satu gelas."
Cally masih gemetaran. Ia hampir menjatuhkan gelas ketika
mengulurkannya pada Kody.
"Sekarang mungkin kau akan percaya padaku," kata Kody, mata
hijaunya menatap Cally. Cally merasa rasa dingin merambat di punggungnya. Ia
mengangguk perlahan, tidak mampu menyembunyikan ketakutannya.
"Ya. Mungkin aku akan percaya," bisiknya. "Tapi, Kody... apa
yang bisa kita lakukan?"
*********** "Aku harus bicara dengan Mr. Lurie," kata ayah Cally. "Dia
pasti tahu tentang kejadian-kejadian aneh di rumah ini! Kalau dia
tidak mau membereskannya, aku akan meminta dia mengembalikan
uang kita dan merobek surat kreditnya!"
Saat itu pukul sepuluh lewat sedikit. Mereka sekeluarga duduk
mengelilingi meja dapur, ada yang menguap, ada yang menyandarkan
kepala di tangan, semua berusaha sebaik mungkin menelan sarapan
roti dan teh mereka. Hanya Mr. Frasier yang bisa tidur, berkat obat penenang yang
diberikan dokter. Anggota keluarga yang lain terlalu takut untuk
kembali ke kamar tidur mereka. Mr. Frasier pun tidur di sofa, bukan di
kamar. Cally memandang ayahnya. Matanya masih bergerak cepat ke
sana kemari, napasnya keras. Bicaranya cepat dengan napas terengahengah. Tidak seperti biasanya.
Ia masih terus bicara sendiri tentang tiga kepala itu dan polisi.
Ia masih harus tidur, beristirahat, pikir Cally kuatir. Bicaranya masih
kacau. Seharusnya ia jangan bangun dulu.
Cally sudah menelepon butik, memberitahu bahwa ia tidak bisa
masuk kerja. Untungnya mereka belum selesai menginventarisasi
barang, sehingga mereka belum membutuhkan Cally.
"Bayangkan, hari pertama kerja, dan aku sudah minta izin tidak
masuk." Cally menggeleng-gelengkan kepala. "Tapi aku tidak bisa
pergi ke kota dalam situasi... gila seperti ini."
"Kau yakin kau sudah bisa pergi ke luar, Sayang?" tanya ibu
Cally perlahan, menggenggam tangan suaminya.
"Aku harus!" Mr. Frasier memaksa. "Aku harus tahu apa yang
akan dilakukan Mr. Lurie untuk mengatasi kesulitan kita!"
"Mungkin Mr. Lurie tidak tahu kisah rumah ini," kata Kody.
Walaupun Cally berkeberatan, Kody sudah menceritakan kisah
mengerikan yang didengarnya dari Anthony.
Ketika mendengar cerita itu, kedua orangtuanya bingung,
keheranan. "Tidak mungkin," gumam ayah mereka saat itu, wajahnya
masih pucat pasi bagaikan hantu. "Tulang-belulang... peti mati.
Kepala"tiga buah kepala...."
Mrs. Frasier tidak berkata apa-apa, hanya menggigit bibir
bawahnya, matanya mengecil.
Sekarang, dengan sinar matahari pagi menembus melalui kaca
jendela dapur, Mr. Frasier bergumam sendiri, bibirnya bergerak cepat,
matanya menerawang. "Mr. Lurie pasti tahu kisah itu. Kisah mengerikan itu," katanya.
"Katanya dia sudah lebih dari tiga puluh tahun menjadi agen real
estate di Shadyside. Aku mau menelepon dia sekarang."
Dikeluarkannya dompetnya, mencari-cari isinya, lalu menarik
keluar kartu nama agen real estate itu. "Hmm, aneh," gumamnya,
memeriksa kartu nama itu.
"Apanya yang aneh?" tanya Cally.
"Tidak ada nomor telepon di kartu namanya." Mr. Frasier
memberikan kartu nama itu kepada Cally. "Coba kaulihat?"
Cally memeriksa kartu itu. Dengan huruf-huruf timbul kecilkecil, kartu nama itu bertulisan:
JASON LURIE REAL ESTATE 424 FEAR STREET Cally mengembalikan kartu itu pada ayahnya. "Cuma ada
alamatnya," katanya.
Mr. Frasier berdiri dan berjalan ke telepon. Cally menoleh
memperhatikannya. Ayahnya menekan nomor telepon kantor
Penerangan. "Bisakah saya mengetahui nomor telepon kantor agen real
estate Jason Lurie?" tanyanya sambil bersandar ke dinding dapur.
"Alamatnya di Fear Street."
Ia menunggu cukup lama. Lalu Cally melihat wajah ayahnya berubah heran. "Tidak ada
dalam daftar?" tanyanya ke pesawat telepon. "Anda yakin?"
Sebentar kemudian ia menaruh pesawat telepon dan kembali ke
meja makan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Baru sekali ini aku mendengar kantor real estate tidak punya
telepon," kata Mrs. Frasier sambil menatap cangkir tehnya.
"Aku mau ke sana sekarang," kata Mr. Frasier dengan kening
berkerut. "Aku tidak mau melewatkan satu malam lagi pun di rumah
ini sampai aku bicara dengannya. Sampai aku tahu seluruh cerita
tentang rumah ini." "Suruh dia mencari Cubby juga!" desak James.
Mr. Frasier menepuk rambut James yang berantakan. "Kita
tidak bisa meminta Mr. Lurie melakukannya," katanya lembut. "Tapi
kita akan menemukan anak anjing itu, James. Pasti."
"Boleh aku ikut?" tanya Cally. Ia tidak ingin membiarkan
ayahnya sendirian. Mr. Frasier mengangguk. "Ya. Ikutlah. Aku juga perlu
dukungan moral." "Cepatlah pulang," kata ibu Cally. "Jangan tinggalkan kami
sendirian di sini terlalu lama, oke?"
********** Cally menarik napas dalam-dalam sementara udara segar
menyapu wajahnya. Lalu ia masuk ke mobil Taurus biru mereka,
duduk di samping ayahnya.
Ketika mobil mereka mundur ke jalan, keluar dari bayangan
pepohonan di halaman rumah, matahari muncul. Cally melihat bahwa
hari itu cerah dan hangat.
"Tempatnya tidak jauh," kata ayahnya, sinar matahari memantul
dari kacamatanya ketika ia menjalankan mobilnya perlahan-lahan
menyusuri Fear Street. "Nomor berapa alamatnya?"
Ia telah memberikan kartu nama tadi pada Cally. Cally
membaca kartu itu. "Empat-dua-empat."
Cally memperhatikan rumah-rumah tua yang mereka lewati.
Kebanyakan rumah-rumah itu dibangun jauh dari jalan, setengah
tersembunyi di balik pagar hijau dan semak-semak.
Sambil mengendarai mobil Mr. Frasier berkali-kali berdeham,
tangannya mengetuk-ngetuk kemudi dengan gelisah.
Kasihan Dad. Ia sangat terguncang, pikir Cally. Apa pun yang
dilihatnya di ruang bawah atap tadi malam sangat mempengaruhinya.
Mereka melewati tanah pekuburan Fear Street, di sebelah kiri
jalan. Deretan batu nisan bagaikan tulang belulang memantulkan sinar
matahari. Cally menahan napas sampai tanah pekuburan itu tidak terlihat
lagi. Itu satu-satunya takhayul yang ia percayai. Tahan napas sewaktu
melewati kuburan.

Fear Street Rumah Setan The House Of Evil First Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Alamat itu seharusnya di sebelah kanan, di sisimu," kata Mr.
Frasier sambil berdehem lagi. "Coba kauamati, Cally."
Ia memperlambat mobil. "Sudah kaulihat nomor rumah yang
kita cari?" Cally menyipitkan mata, memperhatikan kotak-kotak surat di
pinggir jalan. "Yang itu nomor empat ratus," katanya. "Pasti di blok
ini." Mr. Frasier mengurangi kecepatan lagi, mobil seperti
merangkak sekarang. "Yang ini nomor berapa?"
Cally menyipitkan mata, berusaha membaca nomor di kotak
surat. "Empat ratus sepuluh," katanya.
Mereka melewati rumah berikutnya, sebuah rumah batu tinggi
dengan menara-menara model kuno yang membuatnya tampak seperti
sebuah kastil. "Yang itu empat-dua-dua," kata Cally. "Jadi seharusnya
rumah berikut ini." "Oke, Mr. Lurie... siap atau tidak, kami datang!" kata Mr.
Frasier. Ia meminggirkan mobil dan berhenti.
Mereka menengok dari jendela mobil.
Dan tertegun. "Tanah kosong," kata Cally.
Bab 16 MEREKA memandang semak-semak liar dan rumput yang
tumbuh tinggi. "Tidak ada apa-apa di sini," bisik Cally.
Mr. Frasier berdeham tegang. "Pasti... pasti rumah yang
berikutnya," katanya terbata-bata.
Ia menjalankan mobilnya lagi. Tanah kosong itu berakhir di
pojok jalan. Sebuah rumah besar berdinding bata menyembul di balik
pagar tanaman tinggi di pojok blok berikutnya.
"Pasti itu kantor Mr. Lurie," kata Mr. Frasier.
Cally menengok ke luar jendela. "Tidak ada nomornya,"
katanya. "Oh, sebentar." Ia melihat papan nomor yang berdiri rendah
di kaki pagar tanaman. "Nomor empat-dua-enam."
"Tidak mungkin!" seru ayahnya dengan nada tinggi. Direbutnya
kartu nama itu dari tangan Cally dan diperhatikannya.
Lalu ia memundurkan mobilnya perlahan-lahan, meneliti nomor
rumah di kiri-kanan jalan. "Tanah kosong," katanya menghela napas.
"Tanah kosong." Suaranya bernada menyerah.
"Hei, aku punya ide," kata Cally bersemangat. "Anthony
bercerita tentang ahli sejarah kota dari perpustakaan. Mungkin dia
masih bekerja di perpustakaan. Dan mungkin dia tahu di mana kita
bisa menemukan Mr. Lurie."
Ayahnya menatapnya. Ekspresi wajahnya menakutkan Cally. Ia
seolah tidak berada di sisi Cally, seolah tenggelam di alam pikirannya
sendiri. Cally bahkan tidak yakin ayahnya mendengar usulnya tadi.
Ia agak lega ketika akhirnya ayahnya berkata, "Oke, tidak ada
salahnya kita coba." Tapi suaranya terdengar tegang, dan matanya
masih menerawang jauh. "Kita telah memberikan semua uang kita
pada Mr. Lurie," gumamnya, lebih pada dirinya sendiri daripada
kepada Cally. "Setiap sen yang kita miliki telah kita gunakan untuk
membayar rumah itu. Setiap sen."
Mereka harus berputar-putar agak jauh sebelum menemukan
Perpustakaan Shadyside, gedung persegi berdinding bata merah di
daerah North Hills, tiga blok dari gedung sekolah.
Seorang wanita berambut kelabu di meja penerima tamu dengan
hati-hati menyetempel sekitar setengah lusin buku, memeriksa tanggal
di setiap buku, sebelum mengangkat wajahnya pada Cally dan
ayahnya. "Ada yang bisa kubantu?"
"Kami mencari orang yang sangat tahu tentang sejarah kota ini,"
kata Cally. "Apakah dia bekerja di sini?"
"Maksudmu Mr. Stuyvesant," sahut wanita itu pendek. "Ruang
referensi." Ia menunjuk, lalu kembali meneruskan pekerjaannya.
Mr. Stuyvesant, dengan kemeja putih, dasi kecil berwarna
kuning, dan celana panjang hitam, duduk membungkuk di meja logam
di depan laci penyimpan kartu katalog. Ketika Cally mendekat,
dilihatnya kepala pria itu hampir botak, kecuali sejumput rambut di
atas dahinya. Wajahnya bundar, merah. Hidungnya kecil lancip, dan
matanya yang juga kecil berwarna hitam, memantulkan cahaya biru
dari monitor komputer di mejanya.
Ia tersenyum ramah ketika mereka mendekat. "Ini ruang
referensi. Ada sesuatu yang bisa kubantu?"
"Ya, kami harap Anda bisa membantu mencari seseorang," kata
Mr. Frasier, suaranya bergema di ruangan kosong itu.
"Kami diberitahu bahwa Anda ahli sejarah kota ini," kata Cally.
Mr. Stuyvesant tampak senang. Senyumnya semakin lebar dan
wajahnya semakin merah. "Aku memang sangat tertarik mempelajari
masa lalu Shadyside," katanya, tanpa bisa menyembunyikan rasa
bangganya. "Kami sedang mencari seorang agen real estate" kata Mr.
Frasier tidak sabar. Senyumnya memudar. "Anda sudah mencoba Halaman
Kuning?" Wajah Mr. Frasier memerah. "Anda salah mengerti," katanya
agak kesal. "Kami mencari seseorang bernama Jason Lurie," Cally
memotong. "Dia yang menjual rumah pada kami. Kami pikir Anda
punya buku petunjuk kota."
"Akulah buku petunjuk kota," Mr. Stuyvesant membanggakan
diri, mata kecilnya yang hitam bercahaya. "Aku tahu hampir semua
urusan di kota ini. Orang bilang aku ikut campur urusan semua orang
kecuali urusanku sendiri!" Ia tertawa mendengar leluconnya sendiri,
tawanya melengking tinggi.
"Anda pernah mendengar nama Mr. Lurie?" tanya ayah Cally,
berdiri di depan mejanya dengan tangan terlipat di dada.
Mr. Stuyvesant mengerutkan keningnya. "Anda yakin yang
Anda maksud bukan Lowry Agency" Kantor mereka di Division
Street." "Lurie," ulang Mr. Frasier. "Jason Lurie."
"Hmmm." Mr. Stuyvesant mengelus janggutnya. "Lurie. Lurie...
kedengarannya tidak asing."
Ia berdiri dari kursinya. Tubuhnya besar, dan untuk berdiri ia
harus menekankan kedua tangannya. Ia berjalan ke lemari di belakang
mejanya dan mengambil buku besar. "Ini daftar kegiatan bisnis paling
baru," katanya. Ia menaruh buku itu di atas meja dan sambil membungkuk
rendah, sampai wajahnya hanya beberapa senti dari buku itu, ia
membuka-buka halaman buku itu. "Judson Lurie?"
"Bukan. Jason," sahut ayah Cally dengan kening berkerut.
"Jason Lurie." "Tidak ada." Mr. Stuyvesant menutup buku itu. "Tidak ada di
Shadyside." Ia menggaruk-garuk kepalanya yang botak. "Tunggu
sebentar." Ia pergi ke belakang lemari dan kembali dengan buku yang
lebih besar, bersampul kulit. Sampulnya yang sudah usang
menunjukkan buku itu sudah sangat tua.
"Ini catatan sejarah," kata Mr. Stuyvesant pada mereka sambil
meletakkan buku itu dengan hati-hati. "Catatanku sendiri. Aku
membuatnya sejak awal tahun lima puluhan. Coba kita lihat apakah
Mr. Lurie yang kalian cari itu ada di catatan ini."
Mr. Stuyvesant mulai mencari-cari di buku besar itu.
Cally dan ayahnya menunggu dengan tidak sabar, berdiri
mengapit Mr. Stuyvesant sambil memperhatikannya membalik-balik
halaman buku itu. Mendadak jari-jarinya berhenti. Ia membungkukkan wajahnya
lebih dekat lagi ke buku itu, bibirnya bergerak-gerak perlahan
membaca catatan di buku itu. Ketika ia mengangkat wajahnya lagi
untuk memandang Cally dan ayahnya, wajahnya pucat pasi, matanya
yang kecil membelalak lebar seolah terguncang.
"Ada apa, Mr. Stuyvesant?" tanya Cally.
"Uh..." Pegawai perpustakaan itu ragu-ragu. "Aku punya
catatan di sini tentang Jason Lurie. Tapi tidak seperti yang kaukira."
"Tolong bacakan," desak ayah Cally.
Mr. Stuyvesant merendahkan wajahnya ke buku lagi dan,
sambil menelusuri catatan itu dengan jarinya, mulai membaca
perlahan-lahan. "Jason Lurie, agen real estate. Pada bulan Juli 1960 ia
menemukan keluarganya terbunuh di sebuah rumah yang baru selesai
dibangunnya untuk mereka. Ia menggantung diri satu bulan kemudian
di rumah yang sama. Rumahnya terletak di Fear Street nomor 99."
Bab 17 BUKU Harian Sayang, Kami sangat ketakutan saat ini. Kami ingin pergi dari sini,
meninggalkan rumah ini secepat mungkin. Tapi kata Dad kami tidak
punya uang untuk pindah rumah.
Daddy yang malang sikapnya jadi aneh, matanya selalu
menerawang jauh, seakan tenggelam di tengah jalan pikirannya
sendiri sehingga tidak bisa memusatkan perhatian.
Dan dua kali kupergoki dia bicara sendirian hari ini. Dia
berjalan mondar-mandir di halaman belakang, bicara keras-keras pada
dirinya sendiri. Dia bergumam tentang Simon Fear dan mayat-mayat yang
dikubur di ruang bawah tanah. Itu kisah seram yang diceritakan
Anthony pada kami. Dia juga bicara sendiri tentang Mr. Lurie.
Aku sangat menguatirkan dirinya.
Aku juga menguatirkan James. Mom dan Dad mengirimnya
ikut perkemahan siang hari.
Kurasa tujuan mereka terutama agar James berada di luar
rumah. Ketika bus datang menjemputnya hari Kamis pagi, James tidak
mau pergi. Dia menangis. Sama sekali tidak seperti James yang biasa.
Katanya dia tidak mau meninggalkan Cubby.
Ya, kami masih mendengar rintihan sedih Cubby. Kami
mendengarnya larut malam sekarang. Lolongan sedih kesepian. James
masih belum menyerah, masih terus mencarinya. Setiap kali kami
mendengar rintihan anak anjing itu, James selalu mencoba mencari
dari mana arah datangnya suara itu. Tapi dia tidak pernah berhasil
menemukannya. Setidaknya, kejadian seperti Minggu malam yang lalu itu tidak
terulang lagi. Tidak ada lagi muntahan hijau mengucur keluar dari
keran air. Tidak ada lagi darah menetes dari langit-langit.
Tapi kami semua ketakutan terus. Setiap kali rumah berderik,
kami mengira sesuatu yang mengerikan akan terjadi.
Walaupun sudah kucoba, aku tetap tidak bisa berhenti berpikir
tentang Mr. Lurie. Aku benar-benar bertemu dengannya sewaktu kami
datang, berjabat tangan dengannya.
Padahal dia sudah menggantung diri di rumah ini tiga puluh
tahun yang lalu" Pasti ada penjelasan yang masuk akal, iya, kan"
Dad tetap berkata dia akan menemukan Mr. Lurie. Dia tetap
berkeras Mr. Lurie belum mati, bahwa ini semua hanya taktik Mr.
Lurie untuk melarikan uang kami.
Tapi rasanya Mr. Stuyvesant di perpustakaan tidak bohong.
Kasihan Dad. Dia tidak bisa berpikir jernih akhir-akhir ini.
Tapi setidaknya aku dan Kody sudah berbaikan. Aku masih
tidak bisa memaafkannya karena berpura-pura jadi hantu dan sengaja
menakut-nakutiku. Tapi kukesampingkan rasa marahku karena kami
semua sedang punya banyak masalah besar saat ini.
Aku juga kasihan pada Kody. Dia harus tinggal di rumah setiap
hari sedang aku bisa pergi bekerja.
Mr. Hankers masih datang setiap pagi dan pergi ke ruang bawah
tanah. Kelihatannya dia masih berperang dengan tikus. Selain itu tak
ada pekerjaan lain yang dilakukan.
Pekerjaanku di butik ternyata menyenangkan. Aku bertemu
banyak orang. Dan aku juga beberapa kali pergi ke The Corner untuk
menemui Anthony. Anthony memang cowok hebat. Aku sampai tidak memikirkan
Rick lagi! Besok malam akan menjadi kencan kami yang pertama.
Kami mau pergi nonton di mall.
Aku baru saja mendapat ide bagus untuk besok malam. Aku
mau menelepon Anthony sekarang, mengundangnya makan malam di
rumah besok. Jadi sampai di sini saja dulu.
Sampai besok. Cally mengangkat telepon di mejanya dan menekan nomor
telepon Anthony. Telepon berdering dua kali. Lalu terdengar suara
Anthony menjawab. "Hai Anthony, ini Cally."
Anthony terdengar agak heran mendengar suara Cally. "Ya, ada
apa, Cally?" "Aku cuma sedang berpikir tentang dirimu," jawab Cally.
"Bagus." Lalu ia mendengar Anthony berteriak pada
orangtuanya di ujung sana. "Tutup teleponnya, ini untuk aku!"
Terdengar suara "klik" keras.
"Ibuku senang menguping," kata Anthony sambil berdecak.
"Padahal sudah berkali-kali aku bilang jangan suka ikut campur
urusan orang." "Kau mau datang makan malam besok?" tanya Cally. "Sebelum
pergi nonton?" "Apa" Maksudmu di rumahmu?" Undangan itu mengejutkan
Anthony. "Ya," kata Cally. "Hari Sabtu biasanya kami masak spageti
banyak sekali. Bagaimana?"
"Ummm..." Hening.
Cally memaksa diri tertawa. "Keputusan yang sulit?"
Lalu baru ia sadar mengapa Anthony merasa enggan. "Anthony,
kenapa sih?" desaknya. "Kau betul-betul takut pada rumah ini"
Begitu?" "Tidak. Bukan begitu," Anthony cepat-cepat menjawab. "Aku
tidak takut. Sungguh."
"Jadi kau mau datang" Bagus!" Cally tidak bisa
menyembunyikan rasa gembiranya. "Mungkin aku akan membuat kue
untuk pencuci mulut."
"Bagus," kata Anthony. "Jam berapa?"
"Datanglah sekitar jam enam," kata Cally. Rasanya ia masih
mendengar nada bimbang dalam suara Anthony. "Kau betul-betul
tidak takut datang ke sini, kan?"
"Tidak, tentu saja tidak," sahut Anthony.
"Takkan ada kejadian buruk. Aku janji," kata Cally riang.
Tapi sementara ia berkata begitu, rasa takut sedingin es
menjalar di tubuhnya. Dan ia berpikir, Apakah aku bisa menepati janji itu"
Bab 18 ANTHONY datang pukul enam lewat beberapa menit di malam
Minggu itu. Cally menyambutnya di pintu depan. Anthony memakai
kaus sepak bola bergaris-garis hijau-putih dan celana jeans.
Seharian tadi hujan turun terus, membuat rumah itu terasa lebih
murung dan lebih lembap lagi. Hujan berhenti sekitar jam lima.
Anthony berhenti di depan pintu, menggosok-gosokkan sepatu
karetnya yang basah ke keset bertulisan Welcome.


Fear Street Rumah Setan The House Of Evil First Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa kabar?" tanyanya, mencoba bernada wajar. Tapi Cally
melihat kebimbangan di matanya ketika ia memandang ke rumah.
"Spagetinya sedang dididihkan, dan aku sudah memanggang
brownies," kata Cally. "Tapi kurang bagus, lembek dan agak lengket."
"Justru aku suka yang begitu," sahut Anthony, senyumnya
canggung. Ia mengikuti Cally masuk ke rumah. "Baunya sedap,"
katanya, mengendus-endus.
"Itu bau saus tomat," kata Cally, memimpin Anthony masuk ke
ruang keluarga. "Mudah- mudahan kau suka bawang putih."
Lalu, sebelum menyadari apa yang dilakukannya, Cally
mencondongkan tubuhnya dan mencium Anthony.
Itu tindakan paling impulsif yang pernah dilakukannya.
Ia menekankan bibirnya ke bibir Anthony, dan menaruh kedua
tangannya di bahu Anthony.
Yang kubutuhkan adalah sebuah ciuman, pikirnya.
Aku butuh pelukan. Aku butuh seseorang yang bisa membantu mengangkat
kemurungan rumah menyeramkan ini.
Mulanya Anthony kaget. Tapi kemudian ia merangkulkan
kedua lengannya ke pinggang Cally dan membalas ciumannya.
Ya, pikir Cally. Ya. Ini yang kubutuhkan saat ini.
Ciuman itu berlangsung lama. Akhirnya Cally
menghentikannya, menyapukan bibirnya ke pipi Anthony.
Keduanya melangkah mundur. Dan Cally tiba-tiba merasa
canggung. Belum pernah ia melakukan ini sebelumnya.
"Mom dan Dad tidak di rumah," katanya, memegang tangan
Anthony dan membawanya ke ruang makan.
Meja makan disiapkan untuk tiga orang. Dilihatnya bahwa
Kody lupa menaruh serbet. "Mereka pergi ke rumah kerabat kami.
James ikut." "Jadi hanya kau dan aku?" tanya Anthony, mengibaskan
rambutnya ke belakang. "Dan Kody," kata Kody, muncul dari dapur. Ia membawa
sendok kayu panjang. Dicicipinya saus di ujung sendok itu.
"Mmmmm. Sausnya enak," katanya. "Agak kebanyakan bawang
putih." "Kau lupa menaruh serbet," kata Cally.
Kody menggeleng kesal. "Selalu saja ada yang kulupakan." Ia
menoleh pada Anthony. "Cally bilang kau takut pada rumah kami."
Cally melihat pipi Anthony bersemu merah. "Itu kebohongan
yang menjijikkan," katanya sambil menyeringai.
"Hei, kita tidak akan membicarakan tentang rumah malam ini,"
kata Cally. "Kita mau makan malam, dan kita akan membicarakan halhal yang menyenangkan." Ia menatap penuh arti pada saudara
kembarnya. "Kita tidak akan bicara tentang mayat atau hantu, atau
hal-hal semacam itu, iya, kan?"
Kody berbalik ke dapur. "Oh! Pancinya mendidih!"
Mereka bertiga lari ke dapur untuk menyelamatkan spageti.
********** Cally merasa makan malam mereka sangat menyenangkan, saat
yang paling menyenangkan sejak mereka tiba di Fear Street 99.
Kody dengan patuh tidak menyebut-nyebut soal rumah dan halhal mengerikan yang terjadi. Anthony bercerita tentang kisah-kisah
lucu di Shadyside High dan teman-temannya di sana. Ia bercerita
tentang pertandingan atletik yang menggelikan ketika seluruh tim
Shadyside"termasuk ia sendiri"lari ke arah yang salah dalam
pertandingan lari 220 meter.
Untuk pertama kalinya rumah tua itu dipenuhi tawa riang.
"Ini musim panas yang paling lama dan paling membosankan.
Aku sudah tidak sabar menunggu sekolah mulai!" kata Kody.
Cally juga mengakui bahwa ia sudah tidak sabar untuk belajar
di sekolah barunya. Sekolahnya yang dulu kecil"hanya empat puluh
murid di seluruh kelas sepuluh. Pasti menyenangkan bertemu banyak
teman baru. Ketika makan, Anthony terlihat santai, tidak lagi gelisah. Cally
senang hidangan spageti mereka ternyata sukses. Mereka semua
makan dua piring. Setelah itu brownies lenyap juga dengan cepat.
Usai makan, Cally berdiri dan menengok ke jam. "Kita harus
cepat bersih-bersih kalau tidak mau terlambat," katanya.
"Biar aku yang cuci piring," Kody menawarkan.
"Tidak. Lebih cepat kalau kita kerjakan sama-sama," kata
Anthony. Ditumpuknya semua piring bekas makan dan ditaruhnya
mangkuk salad yang besar di atasnya, lalu dibawanya ke dapur.
"Dia hebat," bisik Kody, menjulurkan tubuhnya di atas meja
makan ke arah Cally. Cally tersenyum dan mengangguk.
Kody menghela napas. "Seandainya waktu itu aku yang lebih
dulu muncul di restoran, mungkin sekarang aku yang akan diajaknya
nonton." Cally mendengar air di dapur mulai mengalir. Lalu didengarnya
gemuruh mesin penghancur sampah.
Kasihan Kody, pikirnya, mengerutkan kening ke arah saudara
kembarnya di seberang meja. Selalu saja merasa cemburu.
"Nanti juga kau akan ketemu banyak cowok," hibur Cally,
mengatasi gemuruh mesin penghancur sampah. "Kalau sekolah sudah
mulai." Cally mengumpulkan sendok dan garpu.
Semua itu terjatuh ke atas meja ketika ia mendengar jeritan
seram. "Anthony!" Jeritan nyaring Anthony terdengar lebih nyaring daripada suara
mesin penghancur sampah. Cally menghambur ke dapur, lalu tertegun di ambang pintu.
Dipejamkannya matanya. Ia tidak ingin melihat apa yang terjadi
di sana. Ia tidak ingin melihat apa yang menyebabkan Anthony
menjerit kesakitan seperti itu.
Tapi ia tidak punya pilihan.
Sambil mengerang pelan, ia melangkah masuk ke dapur"dan
melihat Anthony tengah menarik, menarik lengannya, membungkuk
dan menarik sekuat tenaga"berusaha menarik tangannya dari mesin
penghancur sampah. Akhirnya ia berhasil membebaskan tangannya.
Dengan mata membelalak ngeri, Anthony mengangkat
tangannya. "Tanganku!" Tangan itu hancur tak berbentuk, tinggal berupa serpihan kulit,
darah, dan tulang. "Jariku!" jeritnya mengalahkan gemuruh mesin penghancur
sampah. "Mana jariku?"
Bab 19 CALLY tertegun sejenak, menutup mulutnya dengan tangan
sambil menatap tangan Anthony yang hancur dengan mata
membelalak ngeri. Lalu, mengalahkan rasa mual yang mendesak naik
dari perutnya, ia melompat melewati Anthony, menuju ke tempat cuci
piring. Dimatikannya mesin penghancur sampah.
Jeritan Anthony semakin nyaring bersamaan dengan
berhentinya gemuruh mesin. "Jariku! Jariku!"
Cally membungkuk di atas tempat cuci piring, mengintai ke
lubang pembuangan. Lalu, sambil tersedu, ia mengulurkan tangannya.
Dan menarik keluar dua jari yang terpotong.
"Jariku! Jariku!" Anthony masih menjerit-jerit sambil
memegangi tangannya yang luka parah.
Kody berdiri seolah lumpuh di pintu, napasnya berat, mulutnya
terbuka. ebukulawas.blogspot.com
"Jariku! Jariku!"
Setelah membungkus kedua jari itu dengan serbet kertas, Cally
memanggil saudara kembarnya. "Mobil! Hidupkan mobil! Kita harus
membawanya ke rumah sakit!"
Kody ternganga sejenak, menangkupkan kedua telapak
tangannya ke pipi. "Bagaimana kejadiannya" Bagaimana?"
"Kody!" jerit Cally sekuat mungkin, berusaha menyadarkan
saudara kembarnya dari guncangan. "Ambil mobilnya!"
Kody menelan ludah, lalu pergi mengambil kunci mobil.
"Jariku! Jariku!" jeritan Anthony bagaikan raungan binatang
yang terperangkap. Melawan rasa mualnya, Cally membungkus tangan Anthony
erat-erat dengan handuk. Lalu, sambil membawa jari yang dibungkus
serbet kertas, ia melingkarkan lengannya ke bahu Anthony dan
menuntunnya ke mobil. ********* Cally menjenguk Anthony di rumah sakit keesokan siangnya.
Anthony masih di bawah pengaruh obat penenang yang diberikan
dokter. Tangannya terbungkus gips besar sampai ke siku.
Anthony menatap Cally tanpa ekspresi. Semua pertanyaan Cally
hanya dijawabnya pendek dengan "ya" atau "tidak". Kadang-kadang
bahkan tidak dijawabnya. Kedua orangtua Anthony berdiri tegang di seberang tempat
tidur putra mereka, keduanya saling berbisik. Ibu Anthony sebentarsebentar mengeringkan air matanya dengan tisu.
"Mereka sudah menyambung lagi jari-jarinya," katanya pada
Cally dengan suara berbisik serak. "Tapi menurut mereka jari-jari itu
tidak akan bisa digunakan lagi. Dia... dia tidak akan bisa
menggerakkan jari-jari itu."
Sedu-sedannya semakin keras, walaupun ia mencoba
membungkamnya dengan telapak tangan. Ayah Anthony mencoba
menenangkannya. Anthony menatap Cally tanpa berkata-kata.
"Dia masih shock," kata ayahnya. "Masih bingung." Lalu
dengan agak ragu-ragu ia meneruskan, "Anthony bilang dia merasa
seperti ada tenaga yang menarik tangannya turun ke mesin
penghancur sampah. Bagaimana kejadiannya?"
"Aku... aku tidak tahu," jawab Cally terbata-bata. "Aku tidak di
dapur waktu itu. Aku cuma mendengar jeritannya. Aku betul-betul
tidak tahu." Cally tahu ia tidak bisa lagi menahan turunnya air mata. Sambil
membungkuk ke atas tempat tidur, ia berpamitan pada Anthony. Lalu
setelah mengangguk pada kedua orangtua Anthony, ia cepat-cepat
keluar dari kamar. *********** Malam itu Mr. Frasier berjalan hilir-mudik di ruang keluarga
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. James duduk di sofa, ia
mengayunkan tubuhnya ke depan dan ke belakang, berirama.
"James... sedang apa sih kau?" tegur Cally.
"Aku mau Cubby," gumamnya, badannya tetap bergoyang ke
depan dan ke belakang, membanting-banting punggungnya ke
sandaran sofa. "Di mana Mom?" tanya Kody. Ia duduk di kursi di samping
sofa, majalah Sassy terbuka di pangkuannya.
"Sudah tidur," kata Cally. "Dia bingung."
"Kita semua bingung," kata Mr. Frasier, berbalik di depan
jendela dan berjalan kembali ke arah mereka, kedua tangannya
tenggelam di dalam saku celana pendek baggy-nya yang berwarna
cokelat. "Bingung. Kita bingung. Bingung sekali," katanya berulangulang.
"Dad, bagaimana dengan sepupu Daddy?" tanya Kody. "Daddy
ke sana mau pinjam uang. Apakah dia..."
"Tidak," tukas Mr. Frasier. "Dia tidak bisa. Dan sekarang semua
orang bingung. Bingung."
"Maksud Daddy..."
"Maksudku, dia tidak bisa meminjami kita uang untuk pindah
dari tempat ini!" teriak Mr. Frasier, matanya liar di balik kacamatanya.
"Katanya tahun ini tahun yang buruk. Dia punya masalah dengan
pajak. Dia tidak bisa membantu."
"Oh." Kody bersandar kembali ke kursinya dan pura-pura
membaca majalahnya. "James... bisa berhenti goyang-goyang, tidak?" Cally menegur
adiknya. James tidak menghiraukannya, masih terus bergoyang-goyang
sambil menatap ke kegelapan di luar jendela.
Mrs. Nordstrom masuk sambil mengeringkan tangannya dengan
lap. "Dapur sudah bersih," lapornya pada ayah Cally.
Ayah Cally berhenti berjalan dan menatapnya, seakan mencoba
mengerti apa yang baru saja dikatakannya.
"Kacau sekali," si pembantu rumah tangga berkata. "Aku kuatir
rumah ini ... dikutuk."
"Tolong jangan minta berhenti," Mr. Frasier memohon.
"Tolonglah, Mrs. Nordstrom. Kami memerlukanmu."
"Ya. Ya. Aku akan kembali besok pagi," kata Mrs. Nordstrom
sambil menghela napas. Ia berbalik dan meninggalkan ruangan.
"Aku mau Cubby," gumam James, wajahnya cemberut. "Aku
mendengar Cubby tadi pagi. Aku mendengar dia menangis."
"Yang kaudengar itu bukan Cubby," kata Cally. "Itu cuma suara
angin." "Tidak!" James menjerit marah. "Itu Cubby! Itu Cubby!" Ia
kembali menggoyang-goyangkan tubuhnya.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" tanya Kody pada ayahnya,
mengangkat mata dari majalahnya.
Ayahnya seakan tidak mendengar pertanyaannya. Ia berdiri,
menatap ke luar jendela seperti terkena sihir.
Kody mengulangi pertanyaannya.
"Yah, kita harus menyelesaikan mengecat teras," sahut Mr.
Frasier tanpa mengalihkan pandangan. '"Lalu kita membetulkan atap.
Gentengnya harus diganti. Lalu..."
"Tidak, Daddy," potong Cally. "Bukan itu yang dimaksud
Kody. Maksudnya..." "Sudah waktunya tidur," sela ayahnya. Ia menengok ke jam
besar di rak. "Waktu tidur bagi semua orang. Kita semua sudah capek.
Kita cuma kurang tidur, itu saja. Cuma itu masalah kita."
Cally mau memprotes. Tapi ia sadar tidak akan ada gunanya.
Ayahnya tidak bisa diajak berkomunikasi. Kondisinya sedang tidak
memungkinkan saat ini. Mungkin besok kondisinya lebih baik, Cally berharap dalam
hati. Mungkin besok ayahnya bisa berpikir lebih jernih.
Cally menghampiri ayahnya dan mencium dahinya. Panas
sekali. Kulitnya panas. "Badan Daddy panas," Cally memberitahu ayahnya.
Ayahnya seolah tidak mendengar ucapannya.
Ketika Cally, Kody, dan James menaiki tangga, Cally
menengok ke bawah dan melihat ayahnya di depan jendela. Ayahnya
sedang menekankan dahinya ke kaca jendela yang dingin. Matanya
terpejam. Bahunya gemetar.
********* Cally melepas pakaiannya dan menggantinya dengan gaun tidur
panjang. Lalu ia pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi.
Setelah selesai, diperhatikannya bahwa lampu di kamar tidur
James masih menyala. Ia pergi ke sana dan menengok ke dalam.
James sudah memakai piamanya, berdiri di samping tempat
tidur, memegang buku bergambar. "Bacakan cerita ini," pintanya
ketika melihat Cally di pintu.
"Apa?" Cally melangkah masuk ke kamar. Udara terasa panas
dan sumpek, lebih panas dari udara di koridor. "Kita buka jendelanya,


Fear Street Rumah Setan The House Of Evil First Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ya?" katanya. "Tidak... jangan!" seru James, matanya membelalak. Ia
bergerak menghalangi Cally. "Jangan, jangan dibuka!"
"Oke, oke," kata Cally lembut, berhenti di samping James.
"Kenapa kau tak mau jendelanya dibuka?"
"Pokoknya jangan," sahut James pendek.
Ia ketakutan, Cally menyadari. Dulu James tidak takut pada apa
pun. Tapi sekarang... "Bacakan ini." James mengulurkan buku ke tangan Cally.
Cally melihat sampulnya. Buku bergambar itu berjudul Pug, the
Ugly Bunny"Pug, si Kelinci Jelek.
"Bacakan. Duduklah di sini." James naik ke tempat tidur dan
menepuk kasur di sampingnya.
"Tapi ini buku anak balita," protes Cally. "Sudah bertahuntahun kau tidak lagi membaca buku seperti ini. Lagi pula kau kan
sudah bisa baca sendiri sekarang."
"Tolonglah bacakan," pinta James memelas.
Cally merasa ingin menangis. Kasihan James, pikirnya. Ia
mencoba kembali menjadi bayi. Semua kejadian akhir-akhir ini
membuatnya sangat ketakutan sehingga ia mencoba kembali ke masamasa ketika semua terasa menyenangkan. Menyenangkan dan
menenteramkan. Dengan terisak Cally merangkul tubuh kecil adiknya,
menariknya erat-erat, dan memeluknya. Tubuh adiknya terasa begitu
kecil, begitu lemah. James tidak berusaha melepaskan diri. Ia cuma berkata
berulang-ulang, "Buku ini, tolong bacakan."
Cally melepaskan pelukannya dan menghapus air mata di
pipinya. Lalu ia duduk di samping adiknya di tempat tidur sempit itu
dan membacakan buku itu seakan-akan James masih berusia dua
tahun, bukannya sembilan tahun.
Usai membaca, ia menaruh buku itu, mengucapkan selamat
tidur, lalu keluar dari kamar. Di pintu ia berhenti, menoleh pada
adiknya. James sudah mengambil buku tadi dan membacanya kembali
dalam hati. Cally menggeleng-gelengkan kepala, dan perlahan-lahan
berjalan ke luar, menuju ke kamarnya sendiri.
Cally merasa ingin menangis lagi ketika berpikir tentang James,
tentang betapa ketakutannya dia, dan betapa menyedihkan
keadaannya. Sama sekali tidak terlintas di benaknya bahwa ia tak akan
pernah melihat adiknya lagi.
Bab 20 BUKU Harian Sayang, Kasihan sekali adikku. Aku sungguh-sungguh kuatir padanya.
Dia sudah mulai bersikap seperti bayi. Beberapa menit yang lalu dia
meminta aku membacakan buku cerita bergambar yang sudah tidak
pernah lagi dibacanya sejak ia berumur tiga tahun.
Dan dia jadi takut pada segala hal. Dia bahkan takut membuka
jendela kamarnya pada malam hari. Padahal dulu James tidak seperti
itu. Rumah ini mempengaruhi kami semua.
Mom jadi pendiam. Ia hampir tidak pernah berkata-kata. Malam
hari setelah makan malam dia lebih sering pergi ke kamar tidurnya
dan hanya berbaring saja dalam gelap. Ketika kutanya apakah dia mau
pergi ke mall denganku untuk mencari pakaian, dia cuma menggeleng
dan meninggalkan aku. Yang paling kukuatirkan adalah Dad. Kerjanya cuma berjalan
hilir-mudik, berjam-jam, bicara sendirian seperti orang kurang waras.
Kadang-kadang ia menatap kami dengan ekspresi wajah aneh, seakanakan tidak mengenali kami.
Dia terus bicara tentang bagaimana dia akan mencari Mr. Lurie
si agen real estate, dan meminta uang kami kembali. Padahal dia tahu
hal itu tidak mungkin. Lalu Dad bicara tentang bagaimana dia akan memperbaiki
rumah ini dan membuatnya bagus lagi.
Seakan-akan itu ada gunanya.
Ada roh jahat di sini. Sangat jahat.
Aku tahu aku kedengaran seperti Kody sekarang. Tapi harus
kuakui bahwa Kody benar. Kisah yang diceritakan Anthony"tentang suami-istri Fear dan
orang-orang yang mereka bunuh dan mereka kuburkan di bawah
rumah ini, dan tentang keluarga malang yang membangun rumah
ini"pasti kisah nyata.
Oh, Anthony, apakah aku masih bisa bertemu lagi denganmu"
Aku menelepon rumah sakit malam ini, tapi ibunya yang
menjawab. Sikapnya sangat dingin. Katanya Anthony tidak ingin
bicara denganku, dan tidak ingin bertemu denganku lagi.
Aku tidak bisa menyalahkannya. Aku yang memaksanya datang
ke sini. Dan... Cally berhenti menulis ketika mendengar jeritan nyaring.
Sambil masih memegang penanya di atas buku harian, seakan
lumpuh, ia memiringkan kepala mendengarkan.
"Mommy! Daddy!"
Penanya jatuh dari tangannya ketika ia mendorong mundur
kursinya dan melompat berdiri.
Jeritan itu datang dari kamar James. Jeritan nyaring ketakutan.
Apakah James bermimpi buruk" pikir Cally.
James suka bermimpi buruk sewaktu kecil. Kadang-kadang
sampai terbangun dua-tiga kali semalam, menjerit-jerit dan menangis.
Tapi sudah bertahun-tahun ia tidak pernah lagi mimpi buruk.
"Mommy! Daddy! Tolong!"
Cally berlari ke pintu, ibu jari kakinya tersandung kaki meja,
sakitnya bukan kepalang. Ia menjerit kesakitan dan meloncat-loncat
dengan satu kaki ke kamar James.
"James... ada apa?" ia mendengar ayahnya memanggil.
Terdengar suara langkah-langkah kaki yang berat. Dan teriakanteriakan.
Kody muncul di koridor, mengusap-usap matanya. Ibu Cally
keluar dari kamar tidurnya, bergegas di belakang Mr. Frasier.
"Mommy, Mommy di mana?" suara jeritan James terdengar
sayup, jauh sekali. Mengabaikan rasa sakit yang merambat naik di kakinya, Cally
berlompat-lompat mengejar yang lain. Menuju ke kamar James.
"James?" panggil Mrs. Frasier dengan suara serak.
Cally berhenti di pintu. Ayahnya menghidupkan lampu kamar.
"James" Di mana kau?"
Yang pertama kali dilihat Cally adalah buku cerita bergambar
tentang si kelinci jelek. Buku itu terletak rapi di samping bantal
James. Tapi seprai dan selimutnya berantakan di bawah tempat tidur.
"Mommy" Mommy di mana" Daddy?"
Cally mendengar jelas suara James. Ia ada di kamar itu bersama
mereka. Tapi di mana" "James... kau bersembunyi" Di mana kau, James?" Suara Mrs.
Frasier bergetar. Matanya merah, membelalak ketakutan.
"Tolong aku, Mommy. Di sini gelap sekali."
Suara James membuat tengkuk Cally merinding. Ia melihat
Kody menahan napas, menutup mulutnya dengan tangan.
"Tolong aku... tolong!" James memohon.
"Di mana kau, James?" Mrs. Frasier berteriak. "Beritahu kami!
Di mana kau!" "Gelap sekali di sini. Gelap sekali, Mommy!"
Ayah Cally dengan penasaran mengobrak-abrik seprai,
merenggutnya dari tempat tidur. Lalu ia melompat ke lemari dan
menarik pintunya hingga terbuka. "James?"
Kody melongok ke bawah tempat tidur.
Mrs. Frasier dengan panik pergi ke jendela dan mengintai ke
luar. "Di mana kau, Nak?"
"Tolong aku. Tolong bawa aku dari sini. Aku takut, Daddy."
"Iya, tapi katakan di mana kau!" jerit ibu Cally sambil menariknarik rambutnya sendiri. "Katakan, James. Katakan di mana kau!"
"Gelap sekali di sini, Mommy. Aku tidak mau tinggal di sini!
Aku tidak mau di sini, Mommy. Bawa aku dari sini!"
"Katakan, James!" Mrs. Frasier menjerit sekeras-kerasnya.
"Katakan di mana kau!"
Sunyi. Cally berpegangan pada daun pintu, tangannya sedingin es,
jantungnya berdegup kencang.
"James" Di mana kau?" panggil Mrs. Frasier sambil tersedu.
"Aku datang ke tempatmu, James," kata ayah Cally, mencaricari di lemari lagi, membungkuk ke bawah meja komputer. "Jangan
takut. Dad datang. Katakan saja di mana kau."
"Aku di sini, Daddy. Aku di sini," ujar suara kecil ketakutan itu.
"Gelap sekali di sini. Aku takut. Tolong bawa aku dari sini."
"Tapi di mana?" tanya Mr. Frasier kehilangan akal. "Di mana"
Di mana?" Cally melompat, terkejut, ketika ibunya menjerit nyaring. "Dia
di situ!" jerit Mrs. Frasier, menunjuk. "Dia di situ!"
Bab 21 "HAH" Di mana?" Mr. Frasier menoleh pada istrinya.
Ibu Cally menunjuk-nunjuk panik. "Itu! James ada di situ!"
Cally tidak melihat apa-apa. Ibunya menunjuk tempat kosong.
"Dia di situ! Ambil dia! Ambil James!" desak Mrs. Frasier.
"Tapi aku tidak melihat...," Mr. Frasier berkata, matanya
bergerak-gerak liar di balik kacamatanya, tangannya terkepal.
"Di dinding! Dia di dalam dinding!" jerit ibu Cally.
"Tolong, ambil aku dari sini. Di sini gelap sekali." Suara James
terdengar semakin lemah, semakin ketakutan.
Sambil menjerit seperti binatang luka, ayah Cally mulai
mencakar-cakar kertas dinding. "Aku datang, James! Daddy datang!"
Kody bergerak cepat. Direnggutnya pundak ayahnya, dan
ditariknya. "Daddy, tanganmu!"
Jari-jari Mr. Frasier luka dan berdarah.
"Dia di dalam dinding! Ambil dia! Bawa dia keluar dari sana!"
jerit Mrs. Frasier, masih merenggut-renggut rambutnya sendiri.
"Kita perlu peralatan! Palu yang besar!" kata Mr. Frasier.
"Biar... biar aku yang ambil," kata Cally ragu-ragu. Ia merasa
tak berdaya, berdiri beku di pintu, tercekam ketakutan, menyaksikan
kejadian ngeri yang melanda keluarganya. "Aku ambilkan palu."
Bahkan sebelum ia sempat menyadari apa yang dikerjakannya,
Cally sudah berlari bertelanjang kaki, menuruni tangga yang berderikderik ke koridor belakang. Dibukanya pintu ruang bawah tanah.
Dinyalakannya lampu yang bersinar redup. Lalu turun ke bawah
melewati tangga kayu yang sempit.
Lantai semen ruang bawah tanah terasa dingin di kakinya yang
telanjang. Palu besar, pikirnya. Di mana" Matanya mencari-cari
kebingungan di ruangan yang berantakan.
Lantai yang bergerak-gerak. Menggeliat-geliat.
Bergerak" "Ohhh." Cally menjerit pelan ketika tikus-tikus itu terlihat jelas
olehnya. Lebih dari selusin banyaknya, mata kecil mereka bercahaya
merah di bawah cahaya redup, ekor mereka yang seperti ular
bergerak-gerak di lantai sementara mereka menggeliat- geliat.
Kenapa Mr. Hankers belum menumpas mereka semua" pikir
Cally, gemetar, ternganga menyaksikan makhluk-makhluk
menjijikkan itu. Kenapa jumlah mereka masih begini banyak"
Cally menemukan palu dan linggis tersandar di dinding ruang
bawah tanah. Ketika ia hendak mengambilnya, semua tikus itu
berhenti menggeliat. Cally terpaku. Tikus-tikus itu berdiri di atas kaki belakang mereka, mata
mereka yang merah menatap Cally penuh ancaman.
Mereka akan menyerang, Cally menyadari. Gelombang rasa
takut membuat seluruh tubuhnya kejang-kejang.
Suara mendesis terdengar dari arah tikus-tikus itu.
Desis peringatan" Desis perang para tikus"
Sambil menjerit nekat, Cally menghambur ke dinding.
Menyambar palu. Lalu berbalik cepat, menghadapi tikus-tikus itu.
Diangkatnya palu itu tinggi-tinggi dengan kedua tangannya.
Tikus-tikus itu tidak bergerak. Mata mereka bersinar merah
cerah. Desis mereka semakin keras.
Apakah mereka akan menyerang" Apakah mereka akan
menyerang bersama-sama"
Perlahan-lahan, Cally menurunkan palu.
Diambilnya linggis. Lalu, setelah menarik napas sekali lagi, ia
berlari ke tangga. Desis tikus-tikus seakan memekakkan telinganya.
Cally berusaha melupakan suara menyeramkan itu, berlari
menaiki tangga sambil menyeret kedua alat itu. Jantungnya berdebar
kencang hingga menyakitkan dadanya. Sampai di atas ia membanting
pintu sehingga tertutup di belakangnya.
Akhirnya suara mendesis itu tak terdengar lagi.
Cally menarik napas panjang. Ia cepat-cepat berjalan di tengah
kegelapan, membawa palu dan linggis, naik tangga ke lantai atas.
Terdengar olehnya sedu-sedan keras ibunya ketika ia sampai di
atas. Terdengar juga olehnya teriakan-teriakan kebingungan ayahnya.
"Kami datang, James. Tunggu. Kami datang."
Ayahnya merenggut palu dari tangan Cally, lalu menyerbu
dinding bagaikan banteng luka.
"Kami datang, James! Kami datang! Daddy datang
mengambilmu sekarang!" teriaknya sambil menghantami dinding
dengan palu. Kemudian ia menjatuhkan palu itu, menyambar linggis, dan
meneruskan serangannya, merobek-robek kertas dinding. Lalu ia
mengorek-ngorek plesteran semen di bawah kertas dinding yang
sudah koyak-koyak. Cally duduk di samping saudara kembarnya di tempat tidur
James, memperhatikan ayahnya yang seperti orang gila
menghancurkan dinding. Dengan tangan mengepal erat di pangkuan,
Cally berusaha menahan rasa mual yang menekan naik dari perutnya.
Napas Kody terdengar berat, terengah-engah, tangannya terlipat
di depan dada seakan melindungi diri. Mrs. Frasier berdiri meringkuk,
bersandar di dinding, tersedu-sedu keras sambil mengerang dan
menggeleng-gelengkan kepala.
"Daddy datang, James!"
Akhirnya plesteran dinding pecah. Potongan-potongan semen
berjatuhan, menjatuhi kaki Mr. Frasier dan menggelinding ke lantai.
Keringat membasahi piamanya. Ia mengerang dan berteriak
bersamaan dengan setiap ayunan linggis yang menumbuk dinding.
"James... kau bisa dengar aku" Aku datang mengambilmu! Aku
hampir sampai!" Lalu Cally melihat potongan semen terakhir jatuh ke lantai.
Sambil mengerang Mr. Frasier mundur selangkah.
Mereka semua menatap lubang hitam yang dibuatnya.
Lubang hitam kosong. "James?" panggil Mr. Frasier sambil menahan napas, dadanya
bergerak turun-naik. Disapunya keringat di dahinya dengan lengan
bajunya. "James?"
Sunyi. Cally melompat berdiri. Ia berjalan melewati ayahnya yang


Fear Street Rumah Setan The House Of Evil First Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpaku kebingungan dan kelelahan, lalu melongokkan kepalanya ke
lubang di dinding itu. "Ada?" tanya ibunya. "Apakah dia ada di situ?"
Cally menarik kembali kepalanya. "Kosong," katanya dengan
suara serak. "Tapi, Cally..."
"Kosong, tidak ada apa-apa," gumam Cally.
Mr. Frasier menjatuhkan palu ke lantai. Lalu menghela napas
panjang. "Daddy! Mommy! Di mana kalian?"
Suara kecil itu membuat semua orang terlonjak kaget.
"James?" Cally memutar tubuh ke arah dinding.
"Aku takut. Aku takut sekali. Tolong, jemput aku!"
Suara itu bukan dari dinding.
"Dia... dia di bawah!" seru Kody terbata-bata.
"Ya!" Wajah Mrs. Frasier menjadi agak cerah. "Aku juga
dengar! Di ruang keluarga!" Ia berbalik dan keluar ke koridor. "James!
James... kau di bawah?"
Ayah Cally mengambil palu dan linggis dan menyusul istrinya.
Cally dan Kody berpandangan dengan sinar mata ketakutan.
"Kita semua akan mati di sini," gumam Kody, mata hijaunya
tersaput kabut ketakutan.
"Kita harus menemukan dia!" kata Cally. "Harus!"
Ketika mereka bergegas keluar kamar, mereka mendengar
jeritan seram ibu mereka.
Disusul bunyi keras seperti ada orang jatuh ke bawah tangga.
Lalu sunyi. Bab 22 CALLY sampai di puncak tangga, beberapa langkah di depan
Kody. Ketika ia memandang ke bawah, dilihatnya ibunya terkapar
miring di lantai, tubuhnya tertekuk tidak wajar. Mr. Frasier
membungkuk di atasnya, meremas-remas tangan Mrs. Frasier dengan
panik. "Mom tidak apa-apa?"
"Dia jatuh" Dia tidak apa-apa?"
Suara kedua gadis itu seakan dahulu-mendahului dari atas
tangga. Cally menelan ludah. Ibunya tidak bergerak. Sama sekali tidak
bergerak. "Mom tidak apa-apa?"
Akhirnya ibunya menggeliat. "Lenganku," erangnya.
"Lenganku sakit sekali."
Mr. Frasier perlahan-lahan menggulingkan tubuh istrinya
sehingga telentang, membebaskan lengan kanannya yang semula
terimpit tubuhnya. "Ke-kelihatannya patah," kata Mrs. Frasier sambil mengertak
gigi karena kesakitan. "Mommy! Daddy! Di mana kalian?"
Mendengar suara nyaring James, Mr. Frasier melepaskan
tangan istrinya dan berdiri. "James" Kau di sini?"
"Ohhh, lenganku." Mrs. Frasier berusaha duduk.
Cally dan Kody lari ke bawah tangga untuk membantunya.
"Kami harus membawa Mom ke rumah sakit," kata Cally pada ibunya.
"Tidak!" protes Mrs. Frasier. "Aku tidak bisa pergi! Aku tidak
akan pergi sebelum kita menemukan James!" Ia mengernyit kesakitan.
Cally memandang lengan baju tidur ibunya yang sobek. "Mom!
Lengan Mom..." Ujung tulang menyembul dari sobekan lengan baju tidur itu.
"Aku tidak bisa pergi! Aku tidak bisa pergi!" jerit Mrs. Frasier.
"Dia di atas, di langit-langit!" kata Mr. Frasier, menengadahkan
kepalanya. "Kau ada di atas sana, James" Aku mendengar suaramu di
atas!" "Hei! Aku menemukan Cubby!" Mereka mendengar seruan
James. "Sini, Cubby. Sini, Cubby. Aku menemukan Cubby."
Cally mendengar salak anak anjing itu di antara seruan nyaring
James. "Ya! Dia di atas, di langit-langit!" seru Mr. Frasier, matanya
berkelebat ke sana kemari.
"Dad..." Cally menarik pundak ayahnya. "Lengan Mom... kita
harus membawa Mom ke rumah sakit. Tulangnya... itu..."
"Tidak!" Mr. Frasier menyentakkan bahunya dari pegangan
Cally. "Aku harus mencari James. Dia ada di atas sana!" Ia menunjuk
ke langit-langit rumah. "Daddy! Aku menemukan Cubby!"
Suara itu memang kedengarannya datang dari atas kepala
mereka. "Tapi lengan Mom...!" protes Cally.
Tanpa memedulikan Cally, Mr. Frasier pergi ke teras depan. Ia
muncul lagi beberapa menit kemudian, membawa tangga aluminium
ke ruang keluarga. "Tunggu, James!" Ia menaiki tangga sambil membawa palu
besar dan mulai mengayunkan palu itu ke langit-langit. Plesteran
langit-langit retak, serpihannya menghujaninya. "Aku datang, James!
Kau bisa dengar aku?"
Cally pergi ke pesawat telepon di samping sofa. "Aku mau
memanggil ambulans," katanya pada Kody, yang sedang
membungkuk membantu Mrs. Frasier.
Cally mengangkat pesawat telepon. "Hei!" serunya ketika tidak
didengarnya nada pilih. Ia menekan tombol beberapa kali.
Sunyi. "Hei... telepon kita mati!"
Dengan suara berderak keras, sepotong besar pecahan langitlangit jatuh ke bawah, hampir menjatuhi kepala Mr. Frasier.
"James?" ia mengintai ke lubang gelap yang baru dibuatnya.
Semua orang menahan napas.
"James" Kau di situ" Kau bisa keluar sekarang."
Tidak ada jawaban. Mr. Frasier naik satu anak tangga lagi. "James?"
Di seberang ruangan, Cally mengamati tanpa bicara, masih
memegangi telepon yang mati.
James tidak ada di sana, katanya dalam hati, bulu kuduknya
meremang. James tidak di sana. Kami tidak akan bisa menemukannya.
Tidak akan. Ia melihat ayahnya naik satu anak tangga lagi.
Dan kemudian dilihatnya sebuah tangan gelap terulur turun dari
lubang di langit-langit. Cally segara melihat bahwa tangan itu bukan tangan manusia.
Itu tangan bayangan. Tangan tembus pandang. Kelabu dan
bergelembung-gelembung, seakan terbuat dari asap, dengan jari-jari
panjang menggeliat-geliat bagaikan ular.
Napas Cally sesak ketika melihat tangan itu menyapu wajah
ayahnya, menutupi kepala ayahnya dalam bayangan gelap.
Tangan yang terulur turun dari langit-langit itu semakin gelap di
sekeliling kepala Mr. Frasier... sampai Mr. Frasier seakan-akan tidak
berkepala lagi. Bab 23 PESAWAT telepon jatuh dari tangan Cally.
Cally menjerit tertahan. Lalu dilihatnya tangan bayangan itu bergerak naik. Jari-jari
gelapnya menggeliat-geliat bagaikan sekawanan ular sementara
lengannya perlahan-lahan masuk lagi ke langit-langit.
Sambil memegangi pinggiran tangga aluminium, ayah Cally
menatap kosong pada Cally. "Aku... aku tidak bisa melihat!" jeritnya.
"Daddy?" Cally lari menghampiri ayahnya.
"Aku tidak bisa melihat! Aku buta!" seru ayahnya dengan suara
serak ketakutan. "Tidaaaaak!" Mrs. Frasier meraung keras.
"Bantu aku turun!" Mr. Frasier menjerit panik. Tangannya
semakin erat memegangi pinggiran tangga. "Cally... bantu aku turun.
Aku tidak bisa melihat. Semuanya gelap. Aku tidak bisa melihat apaapa!"
Lalu, ketika Cally mengulurkan tangannya ke atas untuk
membantu ayahnya, sebuah suara kecil terdengar memenuhi ruangan:
"Daddy di mana" Mommy di mana" Kenapa tidak ada yang datang?"
********** "Aku benci rumah sakit," keluh Mrs. Frasier. "Masa sampai
sehari penuh kita di sana."
Cally membimbing ibunya ke kamar tidur. "Mom berbaring
dulu. Nanti aku buatkan teh panas," katanya lembut. "Setelah itu aku
mau memasak untuk makan malam. Kody, kau bantu Mom, oke?"
Kody masuk ke kamar, matanya memeriksa setiap sudut. "Aku
lebih suka di rumah sakit daripada di rumah ini," katanya sambil
bergidik. "Kita tidak bisa pergi"selama masih ada kemungkinan
menemukan James," kata Mrs. Frasier, matanya terlihat sedih.
"Mom, polisi sudah memeriksa seluruh rumah tadi malam,"
sahut Cally. "Mereka memeriksa setiap sentimeter. Mereka tidak
menemukan tanda-tanda di mana James berada."
Mrs. Frasier tersedu. Kody cepat-cepat mengambilkan tisu. Ia
melirik pada Cally. "Jangan membicarakan hal itu sekarang," bisiknya
pada Cally. "Setidaknya operasi lengan Mom berjalan baik," kata Cally,
mencoba mencari bahan pembicaraan yang menyenangkan.
"Tapi masih sakit sekali," keluh Mrs. Frasier, mengusap
matanya yang basah dengan tisu. "Dan apa yang bisa kulakukan
dengan gips sebesar ini" Ganti baju sendiri pun aku tidak bisa."
"Kami yang akan mengurus Mom," kata Cally lembut.
Ia bergidik. Ia sendiri tidak ingin kembali ke rumah ini. Ia
menelepon saudara-saudara sepupunya dari rumah sakit untuk
menanyakan apakah ia dan keluarganya bisa menginap di rumah
mereka untuk sementara. Para kerabat itu dengan lapang dada
membolehkan. ebukulawas.blogspot.com
Segera setelah Mr. Frasier boleh meninggalkan rumah sakit,
mereka akan berkemas dan pindah dari rumah yang mengerikan ini.
Tapi maukah Mom pergi tanpa James" pikir Cally.
Ia masih belum berani membicarakannya. Cally bahkan tidak
memberitahu ibunya bahwa ia menelepon para kerabat mereka.
"Menurutmu Daddy sudah bisa keluar dari rumah sakit besok?"
tanya Kody, mengikuti Cally ke bawah untuk membantu menyiapkan
makan malam. "Seharusnya," gumam Cally. "Aku tidak ingin satu hari pun
tinggal lebih lama di sini, Kody."
*********** Sambil duduk membungkuk di depan mejanya, Cally menatap
buku hariannya. Halaman kosong itu memantulkan cahaya lampu.
Aku tidak bisa menulis malam ini, pikir Cally.
Kalau kucoba juga menulis, aku pasti akan menangis. Padahal
sudah seharian aku menangis terus.
Menangisi James, menangisi Mom, menangisi Dad... menangisi
kami semua. Aku tidak tahu apakah aku masih punya air mata.
Ia meregangkan tangannya di atas kepala. Sekujur tubuhnya
terasa pegal. Lengannya. Punggungnya.
Aku perlu mandi air panas, katanya pada diri sendiri.
Tapi tidak. Tidak di sini. Tidak di rumah ini.
Aku takut masuk ke bak mandi di rumah ini.
Sambil masih meregangkan lengannya, mencoba
menghilangkan pegal-pegal, ia menatap halaman kosong buku
hariannya. Selama tiga tahun ini hampir setiap malam aku menulis di
buku harianku, pikirnya. Tapi tidak malam ini. Tidak malam ini....
Ia mendorong kursinya ke belakang dan berdiri.
Lagi pula apa yang mau kutulis" tanyanya pada diri sendiri
dengan perasaan pahit. Bahwa adik kecilku hilang" Bahwa ibuku
patah lengan di dua tempat dan sekarang dalam keadaan terguncang"
Bahwa ayahku tiba-tiba jadi buta dan sekarang ada di rumah sakit,
ngoceh sendirian, seperti orang tidak waras"
Sambil menghela napas, Cally pergi ke tempat tidur. Ditariknya
selimutnya sampai ke dagu, tapi tubuhnya masih juga gemetaran.
Aku tidak bisa tidur, pikirnya.
Aku tidak bisa tidur di rumah ini.
Ia menatap langit-langit kamar, mendengarkan keheningan
malam. Walaupun malam itu udara hangat, tapi jendelanya tertutup
dan terkunci. Pintu kamar tidurnya juga ditutupnya rapat-rapat.
Apakah suara kecil James akan memecahkan kesunyian"
pikirnya, tidak bisa menghentikan tubuhnya yang gemetar. Apakah
aku akan mendengar salak nyaring Cubby"
"James, James, di mana kau?" gumamnya keras-keras. Dan air
matanya mengalir lagi. Aku masih punya air mata, pikirnya.
Air mataku tidak habis-habis....
Pikiran-pikiran pahitnya terputus oleh suara mengejutkan.
Cally tersentak, duduk bersandar di kepala tempat tidur.
Tiga ketukan di pintu kamar.
Tiga ketukan lembut. Lalu berhenti. Kemudian tiga ketukan lembut lagi.
"Kody!" jerit Cally dengan suara serak tertahan. "Kody, teganya
kau berbuat begini!"
Bab 24 "KODY?" panggil Cally marah.
Tidak ada jawaban. Tiga ketukan lagi. Cally melompat turun dari tempat tidur. "Kody, ini tidak lucu!"
serunya. "Apa kau sudah gila?"
Ia berlari ke pintu, langsung dibukanya, lalu menatap koridor
yang gelap. Kenapa lampunya mati semua" pikirnya. Aku sudah bilang
pada Kody supaya semua lampu dinyalakan! Semua!
Di sela-sela kegelapan dilihatnya Kody lari menjauh. Gaun
tidurnya yang panjang dan putih"gaun panjang yang dipakainya
ketika terakhir kali mencoba menakut-nakuti Cally" melambailambai.
"Hei, Kody... sini kau!" teriak Cally. "Aku mau bicara! Kenapa
kau berbuat begini?"
Kody juga sudah tidak waras lagi, pikir Cally sedih. Rumah
yang mengerikan ini ternyata terlalu berat baginya. Dan sekarang lihat
saja saudara kembarku sudah jadi gila, pura-pura jadi hantu.
Cally tersedu, sedih bercampur takut. Apakah hanya aku satusatunya yang waras di rumah ini" pikirnya.
Ia berjalan mengikuti Kody. Gaun tidur putih itu melambailambai, seakan-akan melayang-layang di antara bayang-bayang gelap.
"Kody... berhenti!" panggil Cally. "Hentikan lelucon tolol ini!"
Kody berhenti. Dan berbalik menghadap Cally.
Bahkan di dalam gelap pun, Cally bisa melihat senyum aneh di
wajah Kody. "Kody... kenapa" Ada apa?" tanya Cally dengan
berbisik. "Kody... kenapa kau menyeringai aneh begitu?"
Saudara kembarnya tidak menjawab.
Dan ketika Cally sudah semakin dekat, cukup dekat untuk
menyentuh saudara kembarnya, ia menatap tajam ke wajah Kody...
Dan melihat bahwa itu ternyata bukan Kody.
Bukan Kody.

Fear Street Rumah Setan The House Of Evil First Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukan Kody. Cally. Itu Cally. "Ohhh." Mata Cally terbelalak ketakutan ketika menyadari
bahwa ia sedang menatap wajahnya sendiri.
Bab 25 CALLY ternganga ketakutan menatap makhluk berwajah
dirinya itu. Seringai makhluk itu semakin lebar. Wajahnya memudar,
menyatu dengan kegelapan.
"Kau... aku! Kau Cally!" seru Cally, terpaku ketakutan,
sekaligus bingung. Mereka saling menatap sejenak. Yang satu berupa wajah
bingung tidak percaya, yang lain menyeringai dingin.
"Tapi... kenapa?" tanya Cally, mengabaikan rasa dingin yang
merambati sekujur tubuhnya. "Kenapa kau mirip aku?"
"Pergilah," Cally yang satu lagi berbisik. Ia mengangkat
tangannya, lengan gaun tidur panjang itu melambai-lambai, menunjuk
ke arah kamar tidur Cally. "Pergilah," perintahnya.
"Aku... aku tidak mengerti!" kata Cally terbata-bata. "Siapa
kau" Katakan! Katakan, kenapa kau mirip aku!"
Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh gadis itu... tapi
tangannya menembus udara hampa. Ia tidak menyentuh apa-apa
kecuali udara. "Pergilah." Seringainya memudar ketika gadis itu mengulangi
perintahnya. "Kembali ke kamarmu dan baca buku harianmu."
"Apa?" Cally menatap dirinya sendiri, menatap duplikat dirinya
yang aneh itu. "Buku harianku?"
"Pergi. Pergilah sekarang."
Kaki Cally gemetar. Jantungnya berdegup kencang.
Entah bagaimana caranya, ia berhasil juga pergi ke kamarnya.
Dihidupkannya lampu kamar.
Lalu mendekati mejanya. Buku harian itu terbuka di atas meja, seperti waktu
ditinggalkannya. Dinyalakannya lampu meja.
Ia membungkuk di atas buku harian, mendekatkan wajahnya.
Catatan baru. Ada catatan baru di halaman yang tadi masih
kosong. TUlisan tangan Cally sendiri.
Bibir Cally bergerak-gerak membaca tulisan itu dalam hati.
"AKU MATI MALAM INI."
Bab 26 "TIDAAAKKK!" Cally menutup buku harian tersebut.
Ia mendengar tawa mengejak di belakangnya. Ia berbalik, dan
dilihatnya gadis yang berwajah sama dengannya itu melayang-layang
di dalam kamar. "Tidaaaak!" Cally menjerit lagi, jeritan marah, protes, tidak
percaya. "Aku hantumu, Cally," bisik gadis itu. "Buku harianmu tidak
bohong." Cally sudah mau menjerit lagi...tapi gelombang rasa sakit
menusuk naik, menyentak tubuhnya.
"Kakiku!" Kakinya bagaikan terbakar.
Cally menunduk, dilihatnya lantai mendidih. Panas sekali.
Panas dan lengket. Aspal hitam mendidih bergelembung-gelembung
menelan kakinya. "Hei..." Cally berusaha lari. Tapi aspal lengket itu menarik dan
menahannya. "Tolong!" Jerit minta tolong Cally hanya berupa bisikan serak.
Aspal mendidih itu mulai bergerak sekarang, hampir mencapai
lututnya, menggelegak dan bergolak-golak, bagaikan ombak lautan.
Cally membungkuk, mengulurkan kedua tangannya, mencoba
menarik salah satu kakinya dari aspal mendidih itu.
Tapi ketika ia membungkuk, tangan-tangan terulur ke atas,
meraihnya. Belasan tangan, terulur naik dari dalam aspal mendidih.
Begitu banyak tangan. Berlumur aspal. Dan panas. Sangat
panas. Panasnya menembus baju tidurnya, membuat kulitnya melepuh.
Kaki dan tangannya juga melepuh ketika tangan-tangan itu
mencengkeramnya. Tangan-tangan lengket dan panas, membakar Cally, menariknya
turun ke aspal hitam mendidih yang bergolak-golak itu.
"Ohhh, tolong!"
Turun, turun. "Lepaskan! Lepaskan aku!"
Tapi tangan-tangan itu tetap mencengkeramnya, menariknya
turun. "Kody!" jeritnya. Ketika ia hampir tenggelam ke lautan hitam
yang mendidih bergolak-golak itu, sambil tetap meronta-ronta
melawan tarikan tangan-tangan berlumur aspal itu, Cally melihat
saudara kembarnya di pintu.
Ia melihat wajah Kody yang ngeri ketakutan.
Ia melihat tubuhnya yang gemetar dan pandangan matanya yang
terbelalak tidak percaya pada apa yang dilihatnya.
"Kody... tolong aku!" Dengan putus asa Cally mengulurkan
tangannya. "Tarik aku! Cepat!"
Kody berdiri terpaku ketakutan, bayangan aspal yang bergolakgolak terpantul dari matanya yang terbelalak ngeri.
"Kody... tolong aku! Tolong aku!"
Sementara tangan-tangan itu terus menariknya semakin dalam,
sementara gelembung-gelembung aspal mendidih mulai menelan
pinggangnya, Cally mencondongkan tubuhnya ke arah saudara
kembarnya, mengulurkan tangannya.
"Tarik aku, Kody! Tarik aku keluar!"
Ia melihat Kody ragu-ragu, tidak berani bergerak, takut akan
tertarik ke kolam aspal mendidih itu. Tapi kemudian Kody
mengulurkan tangannya. Kody menjulurkan tubuhnya ke dalam
kamar, mengulurkan tangan, mencoba meraih tangan Cally.
"Cepat, Kody!" jerit Cally. "Cepat! Aku terbakar! Aku
terbakar!" Tangan Kody meraih tangan Cally. Tidak kena.
Meraih lagi. "Tarik aku!" jerit Cally sementara uap aspal bergulung-gulung
di sekitar wajahnya, menyesakkan napasnya, menutupi pandangannya.
"Tarik aku keluar... tolong!"
Bab 27 CALLY menyambar tangan Kody.
Merasakan tarikan kuat. Lalu merasakan genggamannya menggelincir.
"Kody! Aduh! Kody... tolong aku!"
Tawa keras memekakkan telinga Cally. Tawa mengejek
hantunya sendiri. "Kody... di mana kau" Kody?"
Lalu Cally melihat wajah-wajah bermunculan dari gelembunggelembung aspal.
Wajah-wajah mati. Wajah-wajah busuk menjijikkan. Tengkorak-tengkorak
menyeringai memperlihatkan gigi mereka yang keropos. Wajah-wajah
dengan rongga mata kosong dan lubang hitam di tempat seharusnya
mulut berada. Meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari tangan-tangan
berlumur aspal yang menariknya turun, turun ke golakan aspal panas,
Cally menatap wajah-wajah itu sementara wajah-wajah itu melayanglayang mengelilinginya. Menatap mulut tanpa bibir, seringai tanpa
gigi, lubang menganga di pipi mereka.
Begitu banyaknya wajah-wajah mengerikan. Dari mana mereka
datang" Dari mana dari mana dari mana"
Dan mengapa mereka menyeringai padaku" Mengapa mereka
menarikku" Mau dibawa ke mana aku"
"Kody?" Itulah ucapan terakhir Cally.
Lalu aspal itu bergulung-gulung sampai ke lehernya. Naik ke
dagunya. Membakarnya. Menyesakkan napasnya.
Dan ia tidak punya pilihan. Mau tidak mau ia harus menyerah,
menyerah pada kegelapan, menyerah pada panas mendidih, menyerah,
menyerah... menyerah pada roh-roh jahat rumah ini.
Cally membiarkan aspal panas itu menenggelamkan kepalanya.
Menelannya... menelannya....
Menelannya. Dan ketika ia muncul lagi beberapa saat kemudian, ia sudah
berbeda, sama sekali berbeda.
Roh jahat"kekuatan roh jahat rumah ini" telah menelannya.
Cally muncul dari aspal yang mendidih bergolak-golak itu. Dan
ketika itu ia sadar ia sudah menjadi hantu, hantu dirinya sendiri yang
telah ditemuinya di koridor gelap tadi.
Sementara tubuhnya melayang-layang, ia merasa dirinya
dibanjiri dendam yang terpendam selama satu abad. Segenap
kemarahan, segenap kegeraman dari seluruh roh jahat, membara di
dalam dirinya. Begitu banyaknya roh-roh jahat itu sehingga dindingdinding rumah bergetar oleh suara tawanya, suara tawa ratusan roh
korban siksaan yang sekarang berkumpul penuh rasa kemenangan di
dalam dirinya. Cally melayang-layang ke seluruh rumah, melayang-layang di
dunia baru, dunia pusaran bayang-bayang gelap, menjadi hantu, hantu
jahat di sebuah rumah setan, tanpa perasaan, kecuali kebencian dan
kemarahannya sendiri. *********** Dua hari kemudian, ketika keluarga Frasier pulang dari
pemakaman Cally, Cally memandang mereka dan hanya bisa merasa
iri. Ia memandang saudara kembarnya yang menangis, yang bersama
ibunya membimbing Mr. Frasier yang buta masuk ke rumah. Ia
memandang mereka dan berpikir, "Mengapa mereka hidup tapi aku
tidak" Mengapa mereka dibolehkan hidup tapi aku harus mati?"
Ketika ia melihat Kody menjatuhkan diri ke tempat tidur,
badannya terguncang-guncang menahan sedu sedan, Cally tidak
merasakan apa-apa kecuali rasa benci dan keinginan membalas
dendam. Apa yang kautangisi, Kody" pikir Cally, tenggelam dalam
kepahitannya sendiri. "Kau menang! Kau masih hidup!"
Keesokan harinya keluarganya memasukkan barang-barang
mereka ke mobil. Cally memperhatikan dari jendela, melihat mereka
berhenti sebentar di jalan keluar.
Dilihatnya ibunya berpegangan erat-erat pada ayahnya, mereka
berdua akhirnya yakin bahwa mereka tak akan bisa menemukan James
lagi. Dilihatnya Kody berdiri di belakang sementara mereka
memandang untuk terakhir kalinya rumah yang telah menghancurkan
hidup mereka. "Itu dia! Aku melihat dia!" tiba-tiba Kody menjerit.
"Apa" Kau melihat siapa?" tanya Mrs. Frasier dengan suara
gemetar. "Aku melihat Cally!" seru Kody. "Itu! Di jendela!" Ia
menunjuk-nunjuk. "Lihat" Mommy melihat dia?"
"Kody... masuk ke mobil," Mrs. Frasier menegur keras. "Tidak
ada siapa-siapa di jendela. Ayo, masuk saja ke mobil!"
Tapi Kody tidak mematuhi perintahnya. Cally melihat Kody
maju dua langkah, mendekati jendela. "Suatu hari nanti aku akan
kembali, Cally!" seru Kody. "Aku berjanji. Aku akan kembali ke sini
untukmu!" Janji Kody membuat Cally tertawa. "Kalau kau kembali,
saudaraku, kau akan menyesal!" katanya pada diri sendiri, janji pahit
pada dirinya sendiri. "Kau akan sangat menyesal!"
Dilihatnya keluarganya masuk ke dalam mobil.
Lalu, sementara Mrs. Frasier memundurkan mobil keluar
halaman, Cally menjerit panjang. Jeritan seram yang menggetarkan
dinding-dinding dan kaca-kaca jendela. Jeritan marah, benci,
dendam... yang diharapkannya akan mengikuti keluarganya ke mana
pun mereka pergi. EPILOG CALLY melayang-layang setengah tidur, menembus pusaran
kelabu. Ia tidak sepenuhnya sadar sampai keluarga baru itu datang.
Saat itu sore hari di awal musim gugur. Ia mendengar Mr.
Lurie, agen real estate, berdiri di luar, di jalan masuk. Ketika
menengok ke luar jendela, ia melihat senyum aneh Mr. Lurie, melihat
jas kelabunya melambai-lambai tertiup angin, melihat tangannya yang
sepucat tulang melambai mengucapkan selamat datang pada penghuni
baru rumah itu. Penghuni baru. Sepasang orangtua membuka pintu depan
rumah, diikuti anak laki-laki mereka yang sudah remaja.
Tampangnya lumayan kece, pikir Cally, melayang mendekat.
Rambutnya hitam berombak. Matanya cokelat bersinar.
"Teras depan perlu dicat dulu," didengarnya wanita itu bicara
pada Mr. Lurie. "Pergilah melihat-lihat, Brandt," sang ayah berkata pada
putranya. "Di sini kita akan memulai dari awal, awal hidup baru yang
menyenangkan." Jangan terlalu yakin dulu, Cally menyuarakan pikiran jahatnya.
Jangan terlalu yakin. Sambil mengamati Brandt, Cally sudah merencanakan sesatu.
BERSAMBUNG.... Celebrity Wedding 3 Briliance Of The Moon Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn Pulau Setan 1

Cari Blog Ini