Ceritasilat Novel Online

Frostbite 2

Frostbite Vampire Academy 2 Karya Richelle Mead Bagian 2


Apa itu" tanyaku. Sebelum Dimitri sempat menjawab, aku baru sadar itu sebuah kabin kecil dari balok kayu. Setelah melihat lebih dekat, kayu-kayunya tampak sudah usang dan membusuk di beberapa tempat. Atapnya agak merosot.
Itu pos pengawas yang sudah tidak dipakai, katanya. Dulu ada pengawal yang tinggal di pinggir kampus untuk mengawasi kedatangan Strigoi.
Kenapa sekarang tidak a da lagi" Kita tidak punya cukup pengawal untuk melakukannya. Lagi pula, Moroi sudah melapisi kampus dengan sihir pelindung yang cukup kuat, jadi sebagian besar menganggap tak perlu ada orang yang berjaga lagi. Asalkan tidak ada manusia yang menembus pertahanannya, pikirku.
Selama beberapa saat, aku menumbuhkan harapan bahwa Dimitri sedang menuntunku ke sebuah tempat mengasingkan diri yang romantis. Lalu aku mendengar suara yang berasal dari sisi lain bangunan. Dengungan perasaan akrab memasuki benakku. Lissa ada di sana.
Aku dan Dimitri mengitari bangunan, dan mendapati pemandangan yang mengejutkan. Di sana ada sebuah danau kecil yang membeku, dan Lissa serta Christian sedang berseluncur di atasnya. Seorang wanita yang tidak kukenal tampak bersama mereka, tetapi dia memunggungiku. Aku hanya bisa melihat gelombang rambut hitam pekatnya yang melengkung di sekeliling tubuhnya saat dia meluncur dan berhenti dengan anggun.
Lissa nyengir saat melihatku. Rose! Christian melirikku, dan aku mendapat kesan dia merasa aku sudah mengganggu saat-saat romantis mereka berdua.
Lissa meluncur ke tepi danau dengan gerakan kaku. Dia tidak terlalu jago berseluncur.
Aku hanya bisa menatap dengan bingung dan cemburu. Terima kasih sudah mengundangku ke pesta ini.
Kusangka kau sedang sibuk, kata Lissa. Lagi pula ini memang diam-diam. Seharusnya kami tidak boleh ada di sini. Mestinya aku yang bilang begitu kepada mereka.
Christian meluncur ke samping Lissa, dan si wanita asing segera menyusul. Kau membawa tamu tak diundang, Dimka" tanya wanita itu.
Aku bertanya-tanya wanita itu bicara dengan siapa, sampai aku mendengar tawa Dimitri. Dimitri jarang tertawa sehingga aku semakin terkejut. Mustahil menjauhkan Rose dari tempat yang mestinya tidak dia datangi. Dia selalu bisa menemukannya pada akhirnya.
Wanita itu tersenyum lebar lalu berputar, mengayunkan rambut panjangnya ke balik bahu sehingga mendadak aku bisa melihat seluruh wajahnya. Aku berusaha keras mengendalikan diriku yang sudah terpana agar tidak bereaksi. Wajah bentuk hatinya memiliki dua mata besar yang sewarna dengan mata Christian, biru pucat. Bibir yang tersenyum padaku itu lembut dan indah, dilapisi kilau merah muda yang mempertegas bagian wajah lainnya.
Tetapi pada pipi kirinya, menodai kulit yang seharusnya putih mulus, terdapat bekas luka keunguan. Bentuk dan letak bekas luka itu tampak mirip orang yang sebagian pipinya digigit dan dicabik. Dan aku baru sadar bahwa memang itulah yang terjadi.
Aku menelan ludah. Aku baru menyadari siapa wanita ini. Dia bibi Christian. Saat berubah menjadi Strigoi, orangtua Christian datang untuk mengambil putra mereka, berharap bisa menyembunyikan dan mengubahnya menjadi Strigoi saat dia sudah lebih besar. Aku tidak tahu bagaimana detailnya, tetapi aku tahu bibinya telah mencegah mereka. Namun, seperti yang sudah kuketahui, Strigoi sangat mematikan. Wanita ini berhasil cukup lama mengalihkan perhatian mereka hingga akhirnya para pengawal muncul, tetapi peristiwa itu meninggalkan luka padanya.
Wanita itu mengulurkan tangannya yang bersarung padaku. Tasha Ozera, katanya. Aku sudah mendengar banyak hal tentang dirimu, Rose.
Aku menatap Christian dengan galak, dan Tasha tertawa.
Jangan khawatir, katanya. Semua yang kudengar bagus-bagus.
Itu tidak benar, balas Christian.
Tasha menggeleng kesal. Sejujurnya, aku tidak tahu dari mana Christian mendapatkan kemampuan sosial yang mengerikan seperti ini. Yang pasti bukan dariku. Itu jelas, pikirku.
Apa yang kalian lakukan di sini" tanyaku.
Aku ingin menghabiskan waktu dengan dua bocah ini. Kerut kecil menghiasi kening Tasha. Tapi aku tak suka berada di lingkungan sekolah. Mereka tidak selalu ramah &.
Awalnya aku tidak mengerti. Pengawal sekolah biasanya sangat bersemangat saat para bangsawan datang berkunjung. Kemudian aku tersadar.
Karena & karena apa yang sudah terjadi &.
Mengingat bagaimana perlakuan orang-orang terhadap Christian karena perbuatan orangtuanya, mestinya aku tidak terkejut bibinya mengalami perlakuan serupa.
Tasha mengangkat bahu. Memang jalannya seperti itu.
Dia menggosok-gosok kedua tangan dan mengembuskan napas, menghasilkan sebuah awan beku di udara. Tapi sebaiknya jangan berdiri di luar saja. Kita bisa menyalakan api di dalam.
Aku menatap danau dengan penuh harap untuk terakhir kalinya, lalu mengikuti yang lain ke dalam. Kabinnya bisa dibilang kosong, tertutup debu dan kotoran. Kabin itu hanya punya satu ruangan. Di sudut terdapat tempat tidur sempit yang tidak dilapisi oleh seprai, dan beberapa rak yang mungkin dulunya dipakai untuk menyimpan makanan. Namun, di sana ada perapian, dan tidak lama kemudian api sudah menghangatkan ruangan kecil itu. Kami berlima duduk, berkumpul di sekeliling perapian yang hangat. Tasha mengeluarkan sekantong marshmallow yang kami panggang di atas api.
Ketika kami menikmati makanan lezat yang kenyal itu, Lissa dan Christian mengobrol dengan santai dan nyaman seperti yang biasa mereka lakukan. Yang membuatku heran, Tasha dan Dimitri juga mengobrol dengan akrab. Mereka rupanya sudah saling kenal sejak dulu. Sejujurnya, aku belum pernah melihat Dimitri seriang ini. Saat sedang bermesraan denganku pun, dia selalu terlihat serius. Tetapi bersama Tasha, Dimitri bercanda dan tertawa.
Semakin lama mendengarkan Tasha, aku semakin menyukainya. Akhirnya, tak sanggup menjauhkan diri dari obrolan mereka, aku pun bertanya, Jadi, kau akan ikut dalam perjalanan ski"
Tasha mengangguk. Seraya menahan kuap, Tasha merenggangkan tubuh seperti kucing. Sudah lama sekali aku tidak bermain ski. Tidak sempat. Aku menghemat jatah liburku untuk ini.
Jatah libur" Aku menatapnya penasaran. Kau punya & pekerjaan"
Sayangnya punya, kata Tasha, meskipun dia tidak terdengar sedih saat mengucapkannya. Aku mengajar di kelas ilmu bela diri.
Aku memandangnya dengan takjub. Aku tidak akan sekaget ini kalau dia mengaku sebagai astronot atau peramal melalui telepon.
Banyak kaum bangsawan yang sama sekali tidak bekerja kalaupun bekerja, biasanya dalam investasi atau bisnis lading uang yang akan menambah kekayaan mereka. Dan mereka yang memang bekerja sudah pasti tidak di bidang ilmu bela diri atau pekerjaan lain yang membutuhkan tenaga fisik. Moroi memiliki banyak kelebihan hebat: indra yang sangat tajam penciuman, penglihatan, dan pendengaran dan kekuatan sihir. Tetapi secara fisik mereka tinggi dan langsing, sering kali bertulang kecil. Mereka juga tidak tahan terhadap cahaya matahari. Nah, semua itu tidak bisa mencegah mereka menjadi petarung, tetapi upaya mereka jelas lebih sulit. Sebuah gagasan sudah lama terbentuk di kalangan Moroi bahwa serangan terbaik adalah bertahan, dan sebagian besar menghindari konflik fisik. Mereka bersembunyi di tempat-tempat yang sepenuhnya terlindung seperti Akademi, selalu mengandalkan para dhampir yang lebih kuat dan tangguh untuk melindungi mereka.
Bagaimana menurutmu, Rose" Christian sepertinya sangat terhibur melihat kekagetanku. Kau bisa mengalahkan bibiku"
Sulit dipastikan, jawabku.
Tasha nyengir sedikit kepadaku. Kau merendah. Aku sudah melihat apa yang bisa kalian lakukan. Bagiku ini hanya hobi.
Dimitri tergelak. Kau yang merendah. Kau bisa mengajar sebagian kelas di sini.
Tidak juga, katanya. Agak memalukan kalau sampai dikalahkan oleh sekelompok remaja.
Kurasa itu takkan terjadi, kata Dimitri. Sepertinya aku ingat bagaimana kau mengalahkan Neil Szelsky.
Tasha memutar bola mata. Menyiram minuman ke wajahnya tidak bisa dibilang mengalahkan kecuali kau menghitung kerusakan pada jasnya. Dan kita semua tahu dia sangat memedulikan busananya.
Mereka berdua menertawakan lelucon pribadi yang tidak kami ketahui, tetapi aku hanya setengah mendengarkan. Aku masih tertarik dengan perannya bersama Strigoi.
Pengendalian diri yang dari tadi berusaha kutahan akhirnya tumbang juga. Kau mulai belajar bertarung sebelum atau sesudah kejadian yang menimpa wajahmu"
Rose! desis Lissa. Tetapi sepertinya Tasha tidak marah. Begitu pula Christian, padahal biasanya dia tidak nyaman kalau serangan orangtuanya diungkit-ungkit. Tasha menatapku dengan tenang sambil menimbang-nimbang. Tatapannya mengingatkanku pada tatapan Dimitri saa
t aku melakukan sesuatu yang mengejutkan tetapi disetujuinya.
Setelah, katanya. Tasha tidak menunduk ataupun terlihat malu, tetapi aku merasakan kesedihan dalam dirinya. Berapa banyak yang kauketahui"
Aku melirik Christian. Hanya garis besarnya saja.
Tasha mengangguk. Aku tahu & aku tahu Lucas dan Moira sudah berubah, tapi aku tidak siap menerimanya. Baik secara mental, fisik, maupun emosional. Kurasa kalau harus melewatinya lagi, aku tetap tidak akan siap. Tapi setelah malam itu, aku menatap diri sendiri secara kiasan dan menyadari betapa tak berdayanya diriku. Aku menghabiskan seluruh hidup dengan berharap pengawal akan melindungi dan menjagaku.
Aku tidak bermaksud mengatakan para pengawal tidak becus. Seperti yang tadi kubilang, mungkin saja kau sanggup mengalahkanku dalam suatu pertarungan. Tapi mereka Lucas dan Moira memecat dua orang pengawal sebelum kami sempat menyadari apa yang terjadi. Aku mengulur waktu agar mereka tidak membawa Christian tapi itu pun nyaris gagal. Jika yang lain tidak segera muncul, aku mungkin sudah mati, dan dia Tasha berhenti, mengernyit, lalu melanjutkan ceritanya. Aku memutuskan untuk tidak mati dengan cara seperti itu, tidak tanpa melawan dengan sungguh-sungguh dan melakukan apa pun untuk melindungi diriku dan orang-orang yang kusayangi. Jadi, aku mempelajari segala macam pertahanan diri. Dan setelah beberapa saat, aku tidak bisa, uh, berbaur dengan baik bersama para warga kelas atas yang ada di sini. Aku pindah ke Minneapolis dan mencari nafkah dengan mengajar.
Aku yakin ada Moroi lain yang tinggal di Minneapolis meski hanya Tuhan yang tahu alasannya tetapi aku bisa memahami makna yang tersirat. Tasha pindah ke kota itu dan berbaur dengan manusia, menjauh dari vampir lain seperti yang kulakukan bersama Lissa selama dua tahun. Aku juga mulai penasaran jangan-jangan ada makna tersirat lainnya. Tadi Tasha bilang dia mempelajari segala macam pertahanan diri sepertinya lebih dari sekadar ilmu bela diri. Seiring dengan keyakinan mereka mengenai serangan-pertahanan, kaum Moroi beranggapan bahwa sihir tidak boleh digunakan sebagai senjata. Dahulu, sihir memang digunakan seperti itu, dan hingga kini masih ada Moroi yang diam-diam menggunakannya. Aku tahu Christian salah satunya. Tiba-tiba saja aku sadar dari mana dia mendapatkan gagasan untuk melakukan hal seperti itu.
Suasana menjadi hening. Sulit rasanya menanggapi cerita sedih seperti itu. Tetapi Tasha ternyata jenis orang yang selalu bisa mencerahkan suasana. Sifat itu membuatku semakin menyukainya, dan dia menghabiskan sisa waktu kami dengan menceritakan kisah-kisah lucu. Tasha tidak bertingkah sombong seperti sebagian besar kaum bangsawan, jadi dia menceritakan banyak hal memalukan mengenai semua orang. Dimitri mengenal sebagian besar orang yang dibicarakan Tasha yang benar saja, kok bisa sih orang antisosial semacam dia kenal dengan semua orang di lingkungan Moroi dan pengawal" dan terkadang menambahkan sedikit detail. Mereka berdua membuat kami tertawa histeris sampai akhirnya Tasha melihat jam tangannya.
Di mana tempat berbelanja terbaik di sekitar sini" tanya Tasha.
Aku dan Lissa bertukar pandang. Missoula, jawab kami serempak.
Tasha mendesah. Jaraknya beberapa jam dari sini. Kalau berangkat sekarang, aku mungkin masih sempat berbelanja sebelum tokonya tutup. Aku benar-benar tertinggal dalam urusan belanja Natal.
Aku mengerang. Aku rela mati agar bisa berbelanja.
Aku juga, kata Lissa. Mungkin kita bisa ikut menyelinap pergi &. Aku menatap Dimitri penuh harap.
Tidak, dia buru-buru berkata. Aku langsung mendesah.
Tasha menguap lagi. Aku harus minum kopi supaya tidak ketiduran di mobil.
Apa salah seorang pengawalmu tak bisa mengantarmu"
Tasha menggelengkan kepala. Aku tak punya.
Kau tak punya & Aku mengernyit, berusaha mencerna ucapannya. Kau tak punya pengawal"
Tidak. Aku terlonjak. Tapi itu mustahil! Kau seorang bangsawan. Seharusnya kau punya setidaknya satu orang pengawal. Bahkan dua.
Pengawal disebar di antara Moroi dengan cara yang rumit oleh Dewan Pengawal. Sistemnya bisa dikatakan tidak adil
mengingat rasio antara pengawal dan Moroi. Kaum nonbangsawan cenderung mendapatkan pengawal dengan sistem lotre. Kaum bangsawan selalu mendapatkan pengawal. Bangsawan kelas atas sering mendapatkan lebih dari satu pengawal, tapi bangsawan kelas bawah sekalipun tak mungkin tidak punya satu pengawal.
Keluarga Ozera bisa dibilang tidak berada di urutan pertama dalam penempatan pengawal, kata Christian getir. Sejak & orangtuaku meninggal & bisa dibilang kami kekurangan pengawal.
Kemarahanku memuncak. Tapi itu tidak adil. Mereka tak bisa menghukummu atas perbuatan orangtuamu.
Itu bukan hukuman, Rose. Menurutku Tasha tidak kelihatan semarah yang seharusnya. Hanya & pengaturan ulang prioritas.
Mereka membiarkan kalian tanpa perlindungan. Kau tak boleh pergi sendirian!
Aku bukannya tanpa perlindungan, Rose. Aku sudah bilang padamu. Dan kalau benar-benar menginginkan pengawal, aku bisa saja membuat ulah agar mendapatkannya, tapi itu terlalu menyulitkan. Untuk saat ini aku baik-baik saja.
Dimitri meliriknya. Kau mau aku ikut denganmu"
Dan membuatmu terjaga semalaman" Tasha menggelengkan kepala. Aku takkan melakukan itu padamu, Dimka.
Dia takkan keberatan, aku buru-buru berkata, merasa senang dengan solusi ini.
Dimitri kelihatan geli melihatku bicara atas namanya, tetapi dia tidak membantahnya. Aku memang tidak keberatan.
Tasha ragu-ragu. Baiklah. Tapi sepertinya kita harus pergi sebentar lagi.
Kelompok kecil kami yang melanggar ini pun membubarkan diri. Para Moroi pergi ke arah yang sama, aku dan Dimitri ke arah lain. Dia dan Tasha sudah berjanji untuk bertemu lagi dalam setengah jam.
Jadi, apa pendapatmu tentang Tasha" tanya Dimitri saat kami tinggal berdua.
Aku menyukainya. Dia asyik. Aku memikirkan Tasha sejenak. Dan aku mengerti apa yang kaumaksud dengan tanda-tanda itu.
Oh" Aku mengangguk, mengamati pijakan saat menyusuri jalan setapak. Bahkan setelah ditaburi garam dan dibersihkan, jalan setapak itu masih memiliki petak-petak es tersembunyi.
Tasha tidak melakukannya demi kejayaan. Dia melakukannya karena terpaksa. Sama seperti & sama seperti ibuku. Aku benci mengakuinya, tapi itu benar. Janine Hathaway mungkin saja ibu paling payah yang pernah ada, tetapi dia pengawal yang hebat. Tandanya tidak penting. Baik molnija maupun bekas luka.
Kau cepat belajar, Dimitri memuji.
Aku melambung mendengarnya. Kenapa dia memanggilmu Dimka"
Dimitri tertawa lembut. Aku mendengarnya banyak tertawa malam ini, dan aku memutuskan ingin mendengar lebih banyak lagi tawa itu.
Dimka adalah panggilan untuk Dimitri.
Tapi itu tidak masuk akal. Dimka sama sekali tidak kedengaran seperti Dimitri. Seharusnya kau dipanggil, entahlah, Dimi atau semacam itu.
Dalam bahasa Rusia tidak seperti itu, katanya.
Bahasa Rusia itu aneh. Dalam bahasa Rusia, nama panggilan untuk Vasilisa adalah Vasya, dan menurutku itu tidak masuk akal.
Bahasa Inggris juga aneh.
Aku menatapnya dengan licik. Kalau kau mengajariku umpatan dalam bahasa Rusia, mungkin aku bisa sedikit lebih menghargainya.
Kau sudah kebanyakan mengumpat.
Aku hanya berusaha mengekspresikan perasaan.
Oh, Roza &. Dimitri mendesah, dan aku langsung merasa kegirangan. Roza adalah nama Rusiaku. Dimitri jarang menggunakannya. Kau sudah mengekspresikan diri lebih sering daripada siapa pun yang kukenal.
Aku tersenyum lalu berjalan lagi tanpa mengatakan apa-apa. Jantungku berdebar lebih kencang. Aku merasa sangat bahagia berada di dekat Dimitri. Ada sesuatu yang terasa hangat dan tepat dengan kebersamaan kami.
Namun, meski aku merasa di awang-awang, pikiranku terpaku pada hal lain yang sejak tadi kupikirkan. Kau tahu, ada sesuatu yang lucu dengan bekas luka Tasha.
Apa itu" tanyanya. Bekas luka itu & menghancurkan wajahnya, aku mulai pelan-pelan. Aku kesulitan menyampaikan pikiran dengan kata-kata. Maksudku, Tasha pasti dulunya cantik. Bahkan sekarang, dengan bekas lukanya &. Tapi dia tetap cantik dengan cara berbeda. Seolah & seolah bekas luka itu bagian dari dirinya. Bekas luka itu membuatnya utuh. Mungkin kedengarannya konyol, tetapi itu memang benar.
Dimitri tidak mengatakan apa-apa, tetapi melirikku sekilas. Aku membalas tatapannya, dan saat mata kami bertemu, aku melihat sekilas rasa tertarik yang dulu pernah ada. Kilasan itu hanya sebentar dan berlalu terlalu cepat, tetapi aku melihatnya. Rasa bangga dan persetujuan menggantikannya, dan keduanya nyaris sama hebatnya.
Saat Dimitri bicara, ucapannya hanya menggaungkan pikirannya tadi. Kau cepat belajar, Roza.
BAB ENAM KEESOKAN HARINYA, saat sedang bergegas menuju latihan sebelum sekolah, aku merasa sangat optimistis. Pertemuan rahasia semalam sangat menyenangkan, dan aku merasa bangga karena sudah melawan sistem dengan menyemangati Dimitri untuk pergi bersama Tasha. Dan hebatnya lagi, kemarin aku menggunakan pasak perak untuk kali pertama dan membuktikan bisa menanganinya dengan baik. Dengan perasaan bangga terhadap diri sendiri, aku tak sabar ingin cepat-cepat berlatih lagi.
Setelah menggunakan pakaian latihan yang biasa, aku langsung menyelinap ke gedung olahraga. Tetapi ketika aku melongokkan kepala ke dalam ruang latihan yang kemarin kami pakai, ruangan itu gelap dan sunyi. Aku menyalakan lampu, lalu memandang sekeliling untuk berjaga-jaga seandainya Dimitri sedang melakukan sebuah latihan rahasia yang aneh. Tidak. Kosong. Tak ada pasak hari ini.
Brengsek, gumamku. Dia tidak ada di sini. Aku menjerit dan nyaris melompat setinggi tiga meter ke udara. Saat berbalik, aku melihat mata cokelat ibuku.
Apa yang kaulakukan di sini" Begitu kata-kata itu terucap, aku baru menyadari penampilannya. Kaus lengan pendek dari bahan spandex elastis. Celana latihan model serut longgar yang mirip dengan yang kupakai. Brengsek, kataku lagi.
Jaga mulutmu, bentaknya. Kau boleh bertindak seperti tak punya tata krama, tapi setidaknya jangan bicara seperti itu.
Mana Dimitri" Garda Belikov sedang tidur. Dia baru kembali beberapa jam yang lalu dan butuh istirahat.
Umpatan yang lain sudah sampai di bibirku, tetapi aku langsung menggigitnya. Tentu saja Dimitri sedang tidur. Dia harus pergi ke Missoula bersama Tasha pada siang hari agar bisa tiba di sana pada jam belanja manusia. Dengan perhitungan waktu Akademi, bisa dibilang dia terjaga semalaman dan mungkin baru saja kembali. Ugh. Seandainya tahu akan berakhir seperti ini, mungkin aku takkan terlalu menyemangatinya untuk menolong Tasha.
Yah, aku buru-buru berkata. Kurasa itu artinya latihan dibatalkan
Tutup mulutmu dan pakai ini. Ibuku menyerahkan sarung tangan latih padaku. Bentuknya mirip dengan sarung tinju tetapi tidak setebal dan sebesar itu. Tetapi fungsinya sama. Untuk melindungi tangan dan mencegah agar tidak mencakar lawan.
Kami sedang berlatih menggunakan pasak, kataku dengan angkuh sambil memakai sarung tangan.
Nah, tapi sekarang kita latihan ini. Ayo.
Sambil berharap seandainya tadi ditabrak bus saat berjalan dari asrama, aku mengikutinya menuju gedung olahraga. Rambut keriting ibuku dijepit di puncak sehingga memperlihatkan bagian belakang lehernya. Kulit lehernya tertutup tato. Di paling atas tampak sebuah garis berliku bagai ular, tanda sumpah yang diberikan saat seorang pengawal lulus dari akademi seperti St. Vladimir dan berjanji akan mengabdi. Di bawahnya, tanda molnija yang diberikan setiap kali seorang pengawal membunuh Strigoi. Bentuknya seperti kilatan petir yang menjadi asal namanya. Aku tidak bisa menghitung berapa jumlah pastinya, tetapi anggap saja cukup mengherankan masih ada bagian leher ibuku yang bisa ditato. Ibuku sudah banyak melakukan pembunuhan.
Saat kami tiba di tempat yang diinginkannya, ibuku berbalik menghadapku lalu mengambil posisi menyerang. Setengah berharap ibuku akan langsung menyerangku saat itu juga, aku langsung meniru posisinya.
Kau sedang apa" tanyaku.
Serangan dan pertahanan dasar. Gunakan garis merah sebagai batas.
Itu saja" tanyaku. Ibuku melompat ke arahku. Aku mengelak benar-benar nyaris dan tersandung kakiku sendiri saat melakukannya. Aku cepat-cepat memperbaiki posisiku.
Nah, ibuku berkata dengan nada yang hampir terdengar sarkastik. Karena sepertinya kau sangat senang mengingatkanku bahwa
sudah lima tahun aku tidak bertemu denganmu. Aku sama sekali tidak tahu apa yang bisa kaulakukan.
Ibuku menyerangku lagi, dan lagi, hingga aku nyaris tidak bisa bertahan di dalam garis saat menghindarinya. Ibuku benar-benar tidak memberiku kesempatan untuk menyerang. Atau mungkin aku memang tidak punya kemampuan untuk melakukannya. Seluruh waktuku habis untuk mempertahankan diri setidaknya secara fisik. Meskipun kesal, aku harus mengakui ibuku memang hebat. Sangat hebat. Tetapi sudah pasti aku takkan memberitahunya.
Jadi, kataku, inikah caramu menebus kelalaian sebagai seorang ibu"
Ini caraku membantumu menyingkirkan kekesalanmu. Sejak aku datang sikapmu benar-benar keterlaluan. Kau ingin bertarung" Kepalan tangannya tiba-tiba terangkat dan menyentuh lenganku. Kalau begitu, kita bertarung. Sistem poin.
Sistem poin, ulangku sambil bergerak mundur. Aku tak mau bertarung. Aku hanya berusaha mengobrol denganmu.
Mencecarku di kelas tidak bisa disebut mengobrol. Poin.
Aku mengerang saat terkena pukulan. Ketika pertama kali berlatih dengan Dimitri, aku mengeluh karena harus melawan orang yang tiga puluh sentimeter lebih tinggi dariku. Dimitri menekankan bahwa banyak Strigoi yang lebih tinggi dan peribahasa kuno itu memang benar: ukuran bukan masalah. Terkadang aku berpikir Dimitri memberiku harapan palsu, tetapi saat melihat performa ibuku sekarang, aku mulai memercayai ucapannya.
Aku belum pernah melawan orang yang tubuhnya lebih kecil dariku. Sebagai salah satu dari sedikit cewek di kelas novis, aku sudah menerima kenyataan untuk selalu lebih pendek dan lebih kurus dari lawan-lawanku. Namun, tubuh ibuku lebih kecil lagi, dan jelas terlihat bahwa tubuh mungilnya itu hanya mengandung otot.
Aku memiliki cara unik dalam berkomunikasi, itu saja, ucapku.
Kau memiliki khayalan aneh khas gadis remaja yang membuatmu merasa diperlakukan tidak adil selama tujuh belas tahun ini. Ibuku menendang pahaku. Poin. Padahal kenyataannya, kau diperlakukan sama persis seperti dhampir lainnya. Bahkan lebih baik. Aku bisa saja mengirimmu untuk tinggal bersama sepupuku. Apa kau mau menjadi pelacur darah" Itukah yang sebenarnya kauinginkan"
Istilah pelacur darah selalu membuatku mengernyit. Istilah itu sering digunakan untuk menyebut wanita dhampir yang menjadi ibu tunggal dan memutuskan untuk membesarkan anak-anaknya alih-alih menjadi pengawal. Mereka biasanya menjalani hubungan jangka pendek dengan pria Moroi, dan dipandang rendah karenanya meski sebenarnya tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan karena kaum pria Moroi pun pada akhirnya hanya akan menikahi wanita Moroi. Istilah pelacur darah muncul karena ada wanita dhampir yang membiarkan pria Moroi meminum darah mereka saat berhubungan seks. Di dunia kami, hanya manusia yang memberikan darah. Dhampir yang berbuat itu akan dianggap kotor dan binal apalagi saat berhubungan seks. Aku menduga sebenarnya hanya beberapa wanita dhampir yang benar-benar melakukannya, tetapi dengan tidak adil, istilah itu cenderung diterapkan pada mereka semua. Aku pernah memberikan darahku pada Lissa selama kami dalam pelarian, dan meskipun aku melakukannya karena tidak ada jalan lain, stigma tadi akan tetap menempel padaku.
Tidak. Tentu saja aku tak mau jadi pelacur darah. Napasku menjadi berat. Tidak semuanya seperti itu. Dan hanya sedikit yang benar-benar seperti itu.
Mereka sendiri yang menyebabkan munculnya reputasi itu, geramnya. Aku mengelak dari serangannya. Mereka seharusnya bertugas sebagai pengawal, bukan terus-menerus mencari masalah dan menjalin cinta sesaat dengan Moroi.
Mereka membesarkan anak-anak, gerutuku. Aku sebenarnya ingin berteriak tetapi tidak mau membuang-buang oksigen. Sesuatu yang tidak kaupahami. Lagi pula, bukankah kau sama saja dengan mereka" Aku tidak melihat cincin di jarimu. Bukankah ayahku juga hanya cinta sesaat bagimu"
Wajah ibuku mengeras. Kau, ucapnya dengan mulut terkatup, tidak tahu apa-apa soal itu. Poin.
Aku mengernyit karena pukulannya, tetapi merasa senang karena berhasil memancing emosinya. Aku sama sekali tidak tahu siapa ayahku. Satusatunya informasi yang kuketahui mengenai ayahku adalah dia orang Turki. Aku mungkin saja mewarisi tubuh berlekuk dan wajah cantik ibuku meski dengan sombong aku bisa bilang wajahku lebih cantik daripada wajahnya sekarang tetapi semua warna yang ada pada diriku berasal dari ayahku. Kulit yang agak kecokelatan, dengan rambut dan mata berwarna gelap.
Bagaimana kejadiannya" tanyaku. Kau sedang bertugas di Turki" Lalu bertemu dengannya di pasar lokal" Atau lebih murahan lagi" Apa kau memakai teori Darwin dan memilih pria yang paling mungkin menurunkan gen pejuang pada anakmu" Maksudku, aku tahu kau memutuskan untuk memiliki aku karena itu sudah menjadi kewajiban, jadi kurasa kau harus memastikan agar bisa memberikan spesimen terbaik untuk para pengawal.
Rosemarie, ibuku memperingatkan dengan gigi terkatup, sekali ini saja, tutup mulutmu.
Kenapa" Apa aku sudah merusak reputasimu yang berharga" Seperti yang kaubilang: Kau juga tidak jauh berbeda dari dhampir lainnya. Kau hanya tidur dengannya dan
Ada alasan tertentu mengapa orang-orang menggunakan istilah, Kesombongan menyebabkan kehancuran. Aku terlalu larut dalam keangkuhanku sendiri sehingga lupa memperhatikan kakiku. Aku terlalu dekat dengan garis merah. Jika aku berada di luar garis, poin akan bertambah untuk ibuku, jadi aku berjuang agar tetap berada di dalam garis dan mengelak dari serangannya pada saat bersamaan. Sayangnya, hanya satu yang berhasil kulakukan. Tinjunya melayang ke arahku dengan keras dan cepat dan, yang lebih penting, agak lebih tinggi dari yang diizinkan dalam aturan latihan semacam ini. Tinjunya memukul wajahku dengan kekuatan yang setara dengan sebuah truk kecil dan tubuhku pun melayang ke belakang, dengan punggung yang pertama kali menghantam lantai, disusul kepala. Dan aku keluar dari garis. Sial.
Rasa sakit menjalari bagian belakang kepalaku. Pandanganku menjadi kabur dan berkunang-kunang. Dalam beberapa detik, ibuku langsung membungkuk di atas tubuhku.
Rose" Rose" Kau baik-baik saja" Suaranya serak dan panik. Dunia serasa berputar.
Sesaat setelah itu orang-orang berdatangan, dan entah bagaimana aku berakhir di klinik kesehatan Akademi. Di sana, seseorang menyorotkan cahaya ke mataku dan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat bodoh.
Siapa namamu" Apa" tanyaku, menyipitkan mata karena cahaya yang disorotkannya.
Namamu. Aku mengenali wajah Dr. Olendzky yang sedang menatapku.
Kau kan tahu siapa namaku.
Aku ingin kau menyebutkannya.
Rose. Rose Hathaway. Kau ingat tanggal lahirmu"
Tentu saja aku ingat. Kenapa kau menanyakan hal-hal bodoh seperti itu" Kau kehilangan catatanku"
Dr. Olendzky mendesah berlebihan lalu berjalan pergi, membawa serta cahaya menyebalkan itu bersamanya. Kurasa dia baik-baik saja, ucapnya memberitahu seseorang. Aku ingin dia tetap di sini selama jam sekolah, hanya untuk memastikan bahwa dia tidak mengalami gegar otak. Yang pasti aku tidak mau dia berada dekat-dekat dengan kelas pengawal.
Aku menghabiskan sisa hari itu dengan berulang kali tertidur dan terbangun karena Dr. Olendzky selalu membangunkanku untuk melakukan tes. Dia juga memberiku sebungkus es dan menyuruhku menempelkannya di wajah. Ketika kelas-kelas di Akademi bubar, dia memutuskan aku sudah cukup sehat untuk pergi.
Kurasa sebaiknya kau punya kartu pasien langganan, Rose. Wajahnya tersenyum sekilas. Sama seperti yang dimiliki oleh mereka yang punya masalah dengan alergi atau asma. Kurasa aku tidak pernah melihat siswa lain yang datang sesering dirimu.
Trims, jawabku, meskipun aku sama sekali tidak yakin apakah aku menginginkan kehormatan tersebut. Jadi, tidak ada gegar otak"
Dr. Olendzky menggelengkan kepala. Tidak. Tapi kau akan merasa kesakitan. Sebelum kau pergi, aku akan memberimu sesuatu untuk mengobatinya. Senyum di wajahnya menghilang, dan tiba-tiba saja dia terlihat gugup. Sejujurnya, Rose, kurasa kerusakan paling parah terjadi pada, hmm, wajahmu.
Aku melompat bangun dari tempat tidur. Apa maksudmu dengan kerusakan paling parah terjadi pada wajahku"
Wanita itu mengerdik ke arah cermin di atas bak cu
ci di seberang ruangan. Aku berlari menghampirinya dan melihat bayanganku.
Keparat! Noda merah keunguan menutupi bagian atas sisi kiri wajahku, terutama di dekat mata. Aku berbalik menghadap dokter itu dengan putus asa.
Ini akan segera lenyap, kan" Kalau aku terus menempelkan es di atasnya"
Dia kembali menggeleng. Esnya memang bisa membantu & tapi sepertinya akan muncul lebam hitam mengerikan di matamu. Mungkin besok akan terlihat sangat parah, tapi mestinya lebam itu hilang dalam waktu kira-kira satu minggu. Tidak lama lagi kau akan kembali seperti biasa.
Aku meninggalkan klinik dengan perasaan linglung yang tidak ada hubungannya dengan luka di kepalaku. Hilang dalam waktu kira-kira satu minggu" Bisa-bisanya Dr. Olendzky berkata seringan itu mengenai masalah ini. Apa dia tidak sadar apa yang sedang terjadi" Aku akan terlihat seperti mutan selama Nataldan sebagian besar perjalanan ski kami. Mataku hitam lebam. Lebam mengerikan.
Dan ibukulah penyebabnya.
BAB TUJUH DENGAN MARAH AKU mendorong pintu ganda yang mengarah ke asrama Moroi. Salju mendesing di belakangku, dan beberapa orang yang sedang duduk-duduk di lantai utama mendongak saat mendengar kedatanganku. Beberapa dari mereka terheran-heran saat melihat wajahku. Seraya menelan ludah, aku memaksa diri tidak bereaksi. Semuanya akan baik-baik saja. Tidak perlu panik. Para novis terluka setiap saat. Justru yang lebih jarang terjadi adalah tidak terluka. Memang harus diakui, luka yang kualami sekarang paling jelas terlihat, tetapi aku bisa mengatasinya sampai lukanya sembuh, kan" Dan bukan berarti ada orang lain yang tahu bagaimana aku mendapatkan luka itu.
Hei, Rose, benarkah ibumu sendiri yang memukulmu"
Tubuhku membeku. Aku bisa mengenali suara soprano bernada mengejek itu di mana pun aku mendengarnya. Aku berbalik perlahan, dan menatap mata biru tua Mia Rinaldi. Rambut pirang keriting membingkai wajah yang mungkin akan terlihat imut jika tidak ada seringai jahat yang menghiasinya.
Dengan usia satu tahun lebih muda daripada kami, Mia menantang Lissa (otomatis termasuk aku) dalam sebuah perang untuk membuktikan siapa yang sanggup lebih cepat menghancurkan hidup yang lain perang yang, kalau boleh kutambahkan, dimulai olehnya. Perang itu termasuk tindakannya merebut mantan kekasih Lissa terlepas dari kenyataan bahwa akhirnya Lissa memutuskan tidak lagi menginginkan cowok itu dan menyebarkan segala macam kabar burung.
Harus diakui, kebencian yang dirasakan Mia tidak sepenuhnya tak berdasar. Kakak lelaki Lissa, Andre yang terbunuh dalam kecelakaan yang secara teknis membunuhku juga pernah memperlakukan Mia dengan cukup buruk saat cewek itu baru masuk sekolah. Seandainya sikap Mia tidak menyebalkan seperti sekarang, aku pasti akan kasihan kepadanya. Andre memang salah karena sudah memperlakukannya seperti itu, dan meski bisa memahami amarah Mia, aku tidak yakin apakah Mia bersikap adil dengan melampiaskan kemarahannya pada Lissa.
Secara teknis aku dan Lissa memenangi perang itu, tetapi entah bagaimana Mia berhasil bangkit lagi. Sekarang Mia tidak bergaul dengan kaum elite yang dulu, tetapi dia membangun sebuah kelompok kecil yang terdiri atas teman-temannya. Jahat atau tidak, pemimpin yang kuat selalu berhasil menarik pengikut.
Dari sekitar sembilan puluh persen waktu yang kuhabiskan dengan Mia, aku sadar bahwa respons paling efektif adalah dengan mengabaikannya. Tetapi kami baru saja bergeser ke sepuluh persen sisanya, karena rasanya mustahil mengabaikan seseorang yang mengumumkan pada dunia bahwa ibumu baru saja meninjumu sekalipun itu benar. Aku menatapnya. Mia sedang berdiri dekat mesin penjual minuman, sadar telah berhasil memancingku. Aku bahkan tidak repot-repot menanyakan dari mana dia tahu ibukulah yang memberiku mata lebam ini. Sangat sulit menjaga rahasia di tempat ini.
Ketika dia melihat seluruh wajahku, kedua matanya melebar girang tanpa perasaan bersalah. Wow. Coba lihat wajah yang hanya bisa dicintai seorang ibu.
Ha. Lucu. Jika orang lain yang mengatakannya, aku mungkin akan bertepuk tangan memuji lelucon itu.
Yah, kau lebih ahli soal luka di waja
h, kataku. Bagaimana hidungmu"
Senyum dingin Mia mengendur sedikit, tetapi dia tidak menyerah. Aku pernah mematahkan hidungnya sekitar sebulan yang lalu dan parahnya, itu terjadi saat pesta dansa sekolah. Meski sekarang sudah sembuh, hidungnya masih terlihat agak miring. Dokter bedah plastik mungkin bisa menyembuhkannya, tetapi jika melihat keadaan keuangan keluarganya, sepertinya itu takkan mungkin diwujudkan dalam waktu dekat.
Sudah mendingan, jawab Mia ketus. Untungnya, hidungku dipatahkan oleh pelacur psikopat, bukan orang yang punya hubungan darah denganku.
Aku memberinya senyum psikopat terbaikku. Sayang sekali. Anggota keluarga biasanya memukulmu karena tidak sengaja. Pelacur psikopat biasanya selalu kembali untuk melakukannya lagi.
Ancaman kekerasan fisik biasanya selalu ampuh untuk melawan Mia, tetapi sekarang kami dikelilingi banyak orang sehingga ancaman itu tidak terasa terlalu mengkhawatirkan. Dan Mia menyadarinya. Bukan berarti aku tidak berani menyerang orang lain di tengah keramaian seperti ini tentu saja aku sering melakukannya tetapi akhir-akhir ini aku sedang berusaha mengendalikan emosi.
Sepertinya itu bukan tidak disengaja, kata Mia. Bukankah kalian punya peraturan mengenai pukulan di wajah" Maksudku, kelihatannya itu benar-benarjauh dari batas yang seharusnya.
Aku membuka mulut untuk menyuruhnya tutup mulut, tetapi tak ada suara yang keluar. Mia benar juga. Luka yang kualamimemang jauh dari batas yang seharusnya. Dalam pertarungan semacam itu, seharusnya kau tidak boleh memukul di atas leher. Luka yang kualami jauh di atas garis terlarang itu.
Mia melihat keraguanku, dan rasanya seolah hari Natal datang seminggu lebih awal baginya. Baru kali ini, sepanjang sejarah permusuhan kami, Mia bisa membuatku tak sanggup berkata-kata.
Nona-Nona, suara tegas seorang wanita terdengar. Moroi yang menjaga meja resepsionis mencondongkan badan dan menatap kami dengan tajam. Ini lobi, bukan ruang santai. Sebaiknya kalian ke atas, atau pergi ke luar.
Selama sesaat, mematahkan hidung Mia terdengar seperti gagasan terbaik di seluruh dunia persetan dengan hukuman atau skorsing. Setelah menghela napas dalam-dalam, aku memutuskan bahwa mundur merupakan tindakan paling bermartabat untukku saat ini. Aku berjalan menuju tangga yang mengarah ke asrama perempuan. Di belakangku, aku mendengar Mia berseru, Jangan takut, Rose. Lukanya akan memudar. Lagi pula, cowok-cowok bukan tertarik pada wajahmu.
Tiga puluh detik kemudian, aku mengetuk pintu kamar Lissa dengan sangat keras, sehingga aku sendiri heran kepalan tanganku tidak menembus pintunya. Lissa membukanya pelan-pelan lalu mengintip ke kiri-kanan.
Kau sendirian" Kupikir ada satu pasukan astaga. Alis Lissa terangkat saat melihat sisi kiri wajahku. Apa yang terjadi"
Kau belum tahu" Mungkin kau satu-satunya yang belum mendengarnya, gerutuku. Biarkan aku masuk.
Seraya berbaring telentang di atas tempat tidur Lissa, aku menceritakan semua kejadian hari itu. Sesuai dugaanku, Lissa tercengang mendengarnya.
Aku mendengar kalau kau terluka, tapi kusangka ini kejadian normal saja, kata Lissa.
Dengan sedih aku menatap langit-langit. Dan yang paling parah, Mia benar. Ini bukan kecelakaan.
Maksudmu, ibumu melakukannya dengan sengaja" Saat aku tidak menjawab, suara Lissa berubah jadi ragu-ragu. Ayolah, dia tidak akan melakukannya. Tak mungkin.
Kenapa" Karena dia Janine Hathaway yang sempurna, pakar dalam mengendalikan emosi" Masalahnya, dia juga Janine Hathaway yang sempurna, pakar dalam bertarung dan mengendalikan gerakan. Tapi, entah bagaimana pukulannya meleset.
Kalau begitu, kata Lissa, kurasa lebih masuk akal jika dia tersandung dan pukulannya meleset daripada melakukannya dengan sengaja. Dia pasti benar-benar kehilangan kendali kalau sampai melakukannya dengan sengaja.
Saat itu dia memang sedang bicara denganku. Dan isinya cukup membuat siapa pun kehilangan kendali. Saat itu aku menuduhnya tidur dengan ayahku karena pria itu pilihan terbaik menurut teori evolusi.
Rose, Lissa mengerang. Kau tidak bilang soal itu dalam ceritamu tadi. Kenapa
kau mengatakan itu kepadanya"
Karena mungkin saja itu memang benar.
Tapi kau pasti tahu itu akan membuatnya kesal. Kenapa kau terus-menerus memancing kemarahannya" Kenapa kau tidak berdamai saja dengannya"
Aku duduk tegak. Berdamai dengannya" Dia membuat mataku hitam lebam. Mungkin dengan sengaja! Bagaimana mungkin aku berdamai dengan orang seperti itu"
Lissa hanya menggeleng lalu berjalan menghampiri cermin untuk memeriksa riasan wajahnya. Perasaan yang terpancar melalui ikatan batin kami adalah keputusasaan dan kekesalan. Di baliknya ada sedikit rasa penasaran juga. Setelah selesai mengeluarkan unek-unek, aku merasa cukup tenang untuk mengamatinya dengan lebih saksama. Lissa mengenakan kemeja sutra berwarna ungu muda dan rok hitam selutut. Rambut panjangnya tampak halus sempurna, kesempurnaan yang hanya bisa didapatkan dengan menghabiskan satu jam menggunakan alat pengering dan pelurus rambut.
Kau kelihatan cantik. Ada acara apa"
Perasaannya sedikit berubah, kekesalannya padaku sedikit memudar. Sebentar lagi aku akan menemui Christian.
Selama beberapa menit tadi, rasanya kami seperti kembali ke masa lalu. Hanya kami berdua, bercengkerama dan mengobrol. Saat Lissa menyebut-nyebut nama Christian saat aku menyadari bahwa dia akan segera pergi meninggalkanku demi Christian menimbulkan perasaan kelam di dadaku & perasaan yang enggan kuakui sebagai rasa cemburu. Biasanya aku tidak memperlihatkan perasaan itu.
Wow. Apa yang dia lakukan hingga berhak mendapatkannya" Menyelamatkan anak yatim piatu dari bangunan yang terbakar" Kalau benar begitu, sebaiknya kau pastikan bukan dia yang membakarnya. Elemen sihir Christian adalah api. Sangat cocok karena api adalah elemen yang paling merusak.
Lissa tertawa, berpaling dari cermin dan melihatku menyentuh wajahku yang bengkak dengan hati-hati. Senyumnya menjadi lembut. Tidak separah itu kok.
Terserah apa katamu. Kau tahu kan aku selalu tahu kalau kau berbohong. Dan Dr. Olendzky bilang besok lebamnya akan semakin parah. Aku kembali berbaring di tempat tidur. Mungkin di dunia ini tidak tersedia cukup banyak lotion penyamar noda untuk menutupi lebam ini, ya kan" Sepertinya aku dan Tasha sama-sama harus berinvestasi membeli topeng bergaya Phantom of the Opera.
Lissa mendesah, lalu duduk di dekatku. Sayang sekali aku tak bisa menyembuhkanmu.
Aku tersenyum. Menyenangkan sekali kalau kau bisa melakukannya.
Kompulsi dan karisma yang dihasilkan roh memang hebat, tetapi sesungguhnya, kemampuan Lissa yang paling keren adalah menyembuhkan. Banyaknya hal yang mampu dilakukan oleh Lissa benar-benar mencengangkan.
Lissa juga sedang memikirkan apa yang bisa dilakukan roh. Kuharap ada cara lain untuk mengendalikan roh ini &cara yang masih memungkinkanku menggunakan sihir &
Yeah, jawabku. Aku memahami gairahnya yang menyala-nyala untuk melakukan hal-hal hebat dan membantu orang-orang. Hal itu memancar dari diri Lissa. Lagi pula, aku juga akan senang jika lebam pada mataku lenyap saat ini juga daripada harus menunggu selama berhari-hari. Aku juga berharap ada cara lain.
Lissa mendesah lagi. Dan tak ada yang kuharapkan selain bisa menyembuhkan dan melakukan hal lainnya dengan kekuatan roh. Aku juga, yah, aku merindukan sihir. Kemampuan itu masih ada, hanya dihambat oleh pil-pil yang kuminum. Kemampuan itu membara di dalam diriku. Kekuatan itu menginginkanku, dan aku menginginkannya. Tapi ada dinding yang menghalangi kami. Kau sama sekali tak bisa membayangkannya.
Sebenarnya, aku bisa. Itu benar. Selain bisa merasakan emosinya secara umum, kadang-kadang aku juga bisa menyelinap ke dalam dirinya . Hal ini sulit dijelaskan, dan lebih sulit lagi dijalani. Saat itu terjadi aku sungguh-sungguh bisa melihat melalui mata Lissa dan merasakan apa yang sedang dialaminya. Pada saat-saat seperti itu, aku adalahLissa. Sering kali, aku berada di dalam kepala Lissa saat dia sedang merindukan sihir dan aku bisa merasakan kebutuhannya yang menyala-nyala. Lissa sering terbangun di malam hari, mendambakan kekuatan yang tidak bisa diraihnya lagi.
Oh, yeah, kata Lissa muram. Kadang-kadang aku m
elupakan hal itu. Lissa diselimuti perasaan muram. Perasaan itu tidak ditujukan padaku sekalipun situasi sedang tidak menguntungkannya. Amarah bergejolak di dalam dirinya. Sama sepertiku, Lissa juga tidak suka merasa putus asa. Amarah dan keputusasaannya berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap dan mengerikan, sesuatu yang tidak kusukai.
Hei, kataku sambil menyentuh lengannya. Kau baik-baik saja"
Lissa memejamkan mata sejenak, lalu membukanya lagi. Aku benar-benar benci semua ini.
Intensitas perasaan Lissa mengingatkanku pada pembicaraan kami sebelum aku berangkat ke rumah keluarga Badica. Kau masih merasa pengaruh pilnya melemah"
Entahlah. Sedikit. Kau merasa semakin parah"
Lissa menggelengkan kepala. Tidak. Aku masih tak bisa menggunakan sihir. Aku merasa lebih dekat dengan sihir & tapi masih terhalang.
Tapi kau masih & suasana hatimu &.
Yeah & suasana hatiku mulai bertingkah. Tapi jangan cemas, kata Lissa ketika melihat wajahku. Aku tidak pernah berkhayal yang aneh-aneh, atau berusaha menyakiti diri sendiri.
Bagus. Aku lega mendengarnya, walaupun masih cemas. Meski Lissa masih tidak bisa menggunakan sihir, aku tidak suka mendengar keadaan mentalnya yang mulai kembali mengkhawatirkan. Aku sungguh-sungguh berharap situasi ini akan membaik dengan sendirinya. Aku di sini, ucapku lembut sambil menatapnya lekat-lekat. Kalau ada sesuatu yang aneh terjadi & beritahu aku, ya"
Dengan seketika, perasaan kelam di dalam diri Lissa menghilang. Saat perasaan itu menghilang, aku merasakan getaran aneh dalam ikatan batin kami. Aku tak bisa menjelaskannya, tetapi tubuhku menggigil akibat perasaan tersebut. Lissa tidak menyadarinya. Suasana hatinya kembali ceria dan dia tersenyum padaku.
Trims, katanya. Aku pasti memberitahumu.
Aku tersenyum, senang melihatnya kembali seperti biasa. Kami larut dalam kesunyian, dan sejenak aku merasa ingin mencurahkan isi hatiku padanya. Akhir-akhir ini aku sedang banyak pikiran. Mengenai ibuku, Dimitri, dan rumah keluarga Badica. Selama ini aku memendamnya, dan semua perasaan itu mulai mencabik-cabik diriku. Sekarang setelah sekian lama aku merasa nyaman berada di dekat Lissa, dan sepertinya kali ini giliranku membiarkannya menyelami perasaanku.
Sebelum sempat membuka mulut, aku merasakan pikiran Lissa tiba-tiba berubah. Perasaannya mendadak lebih bersemangat dan gugup. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, sesuatu yang sudah dipikirkannya matang-matang. Sia-sia saja harapanku untuk mencurahkan isi hatiku padanya. Jika Lissa ingin membicarakan sesuatu, aku takkan membebaninya dengan masalah-masalahku, jadi aku menyingkirkan keinginan itu dan menunggunya bicara.
Aku menemukan sesuatu dalam penelitianku bersama Ms. Carmack. Sesuatu yang aneh &.
Oh ya" tanyaku, tiba-tiba merasa penasaran.
Moroi biasanya memiliki spesialisasi elemen yang berkembang selama masa remaja. Setelah itu mereka akan ditempatkan dalam kelas sihir yang sesuai dengan elemen masing-masing. Namun, sebagai satu-satunya pengguna elemen roh, bisa dibilang Lissa tidak memiliki kelas. Sebagian besar orang meyakini Lissa belum menemukan spesialisasinya, tetapi dia dan Ms. Carmack guru sihir di St. Vladimir mengadakan pertemuan pribadi untuk mempelajari cara menggunakan kekuatan roh. Mereka meneliti catatan-catatan lama maupun baru, memeriksa kemungkinan adanya petunjuk yang bisa menuntun mereka pada pengguna roh lainnya, karena mereka sudah tahu ciri-cirinya yang khas. Yaitu ketidakmampuan memiliki spesialisasi, ketidakstabilan mental, dan lain-lain.
Aku tidak menemukan orang lain yang terbukti sebagai pengguna roh, tapi aku menemukan & laporan mengenai, em, fenomena yang tidak bisa dijelaskan.
Aku mengerjap kaget. Contohnya seperti apa" tanyaku, memikirkan apa saja yang bisa dikatakan sebagai fenomena yang tidak bisa dijelaskan bagi vampir. Saat aku dan Lissa tinggal bersama manusia, kami bisa digolongkan sebagai fenomena yang tidak bisa dijelaskan.
Laporannya memang berceceran & tapi, salah satunya tentang seorang lelaki yang bisa membuat orang lain melihat sesuatu yang sesungguhnya tidak nyata. Dia bisa memb
uat orang-orang yakin mereka melihat monster, atau orang lain, atau semacamnya.
Itu mungkin kompulsi. Kompulsi yang sangat kuat. Aku tidak bisa melakukannya, dan kompulsiku sekarang atau setidaknya dulu lebih kuat daripada siapa pun yang kita kenal. Dan kekuatan itu berasal dari penggunaan roh &.
Jadi, aku menyimpulkan, menurutmu si lelaki yang menyebabkan ilusi ini menggunakan kekuatan roh juga. Lissa mengangguk. Kenapa kau tidak menghubunginya dan mencari tahu soal itu"
Karena informasinya tidak ada! Informasinya dirahasiakan. Dan ada lagi yang aneh. Contohnya orang yang sanggup menguras energi fisik orang lain. Orang-orang di dekatnya akan menjadi lemah dan kehilangan seluruh kekuatan mereka. Mereka sampai pingsan. Lalu ada orang lain yang sanggup membuat barang-barang yang dilemparkan ke arahnya berhenti dan mengambang di udara. Perasaan bersemangat membuat wajahnya berbinar.


Frostbite Vampire Academy 2 Karya Richelle Mead di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bisa saja dia pengguna sihir udara, aku memberi masukan.
Mungkin, katanya. Aku bisa merasakan keingintahuan dan antusiasme yang berputar-putar dalam dirinya. Lissa sangat ingin meyakini bahwa di luar sana ada orang lain seperti dirinya.
Aku tersenyum. Siapa sangka" Ternyata Moroi juga memiliki kasus-kasus seperti Roswell dan Area 51. Cukup mengherankan aku tidak diteliti di suatu tempat untuk mencari tahu soal ikatan batin ini.
Suasana hati Lissa yang berubah-ubah menjadi jengkel. Kadang-kadang aku berharap bisa melihat ke dalam pikiranmu. Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu pada Mason.
Mason temanku, kataku tegas, terkejut dengan topik pembicaraan yang tiba-tiba berubah. Hanya itu.
Lissa mendecakkan lidah. Dulu kau sering bergenit-genit dan melakukan hal lain dengan cowok mana pun yang bisa kaudapatkan.
Hei! ucapku, tersinggung. Aku tidak seburuk itu.
Oke & mungkin tidak. Tapi kelihatannya kau sudah tidak tertarik lagi dengan cowok.
Aku masih tertarik dengan cowok setidaknya seorang cowok.
Mason benar-benar baik, lanjut Lissa. Dan tergila-gila padamu.
Memang, aku sependapat. Aku memikirkan perasaanku pada Mason saat tiba-tiba menganggapnya seksi ketika kami sedang berada di luar kelas Stan. Selain itu, Mason benar-benar lucu, dan hubungan kami sangat baik. Bisa dibilang dia tidak buruk untuk dijadikan kekasih.
Kalian berdua punya banyak kesamaan. Kalian berdua sama-sama melakukan hal yang seharusnya tidak kalian lakukan.
Aku tertawa. Itu juga benar. Aku teringat semangat Mason untuk menumpas semua Strigoi yang ada di dunia ini. Aku mungkin belum siap terlepas dari luapan amarahku saat berada di mobil tapi aku sama cerobohnya dengan Mason. Mungkin sudah saatnya aku memberinya kesempatan, pikirku. Saling meledek dengan Mason rasanya menyenangkan, dan rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah mencium seseorang. Dimitri membuatku sakit hati &tetapi bukan berarti ada hal lain yang terjadi di antara kami.
Lissa mengamatiku dengan penuh perhatian, seakan dia tahu apa yang sedang kupikirkan yah, selain hal yang berkaitan dengan Dimitri. Kudengar Meredith menganggapmu tolol karena tidak berkencan dengan Mason. Menurutnya, kau tidak mau berkencan dengan Mason karena kaupikir kau terlalu hebat untuknya.
Apa" Itu tidak benar.
Hei, bukan aku yang mengatakannya. Omong-omong, dia bilang dia sedang berpikir-pikir untuk mengejar Mason.
Mason dan Meredith" aku mendengus. Itu sama saja menunggu bencana. Mereka tidak punya kesamaan apa pun.
Memang agak picik, tetapi aku sudah terbiasa dengan Mason yang selalu mengintil ke mana pun aku pergi. Tiba-tiba saja memikirkannya direbut orang lain membuatku kesal.
Kau posesif, kata Lissa, lagi-lagi menebak jalan pikiranku. Tidak heran dia sangat kesal jika aku membaca pikirannya.
Hanya sedikit. Lissa tertawa. Rose, kalaupun bukan dengan Mason, sebaiknya kau mulai berkencan lagi. Ada banyak cowok yang rela mati agar bisa berkencan denganmu cowok yang memang baik hati.
Pilihanku dalam urusan cowok memang tidak selalu tepat. Lagi-lagi, aku merasakan dorongan untuk mencurahkan semua kekhawatiranku padanya. Selama ini aku selalu ragu untuk menceritakan soal Dimitri pada Liss
a, meski rahasia ini membara dalam diriku. Duduk bersama Lissa seperti sekarang mengingatkanku dia memangsahabatku. Aku bisa mengatakan apa pun padanya dan dia takkan menghakimiku. Namun, sama seperti tadi, aku sudah kehilangan kesempatan untuk menceritakan apa yang ada di dalam benakku.
Lissa melirik jam alarmnya, dan langsung terlonjak bangun dari tempat tidur.
Aku terlambat! Aku harus menemui Christian!
Kebahagiaan melingkupinya, dibayangi sedikit kegugupan. Cinta. Apa yang bisa kaulakukan" Aku menelan kembali rasa cemburu yang mulai memunculkan sosoknya yang buruk rupa. Lagi-lagi Christian merenggut Lissa dariku. Aku tak akan bisa menceritakan kegelisahanku kepada Lissa malam ini.
Aku dan Lissa meninggalkan asrama, dan bisa dibilang dia berlari, berjanji untuk mengobrol lagi besok. Aku kembali ke asramaku sendiri. Saat tiba di kamar, aku melewati cermin dan langsung mengerang saat melihat wajahku. Lebam hitam keunguan terlihat di sekeliling mataku. Saat mengobrol dengan Lissa, aku nyaris melupakan semua yang terjadi dengan ibuku. Aku menghampiri cermin agar bisa mengamati wajahku dengan lebih jelas. Mungkin kedengarannya sombong, tetapi aku tahu penampilanku keren. Aku memakai bra ukuran C dan memiliki tubuh yang paling didambakan di seluruh sekolah, karena cewek-cewek lain umumnya sekurus supermodel. Dan seperti yang kukatakan tadi, wajahku juga cantik. Untuk sehari-hari, nilaiku sembilan dan sepuluh pada hari-hari istimewa.
Tetapi hari ini" Yeah. Bisa dibilang nilaiku minus. Aku berniat terlihat mengagumkan dalam perjalanan ski nanti.
Ibuku memukuliku, aku memberitahu pantulanku. Pantulanku membalas tatapanku dengan simpatik.
Seraya mendesah, kuputuskan lebih baik bersiap-siap tidur. Malam ini aku tak ingin melakukan apa-apa lagi, dan mungkin tidur lebih lama bisa mempercepat proses penyembuhan. Aku pergi ke kamar mandi di ujung selasar untuk mencuci muka dan menyisir rambut. Saat kembali ke kamar, aku memakai piama kesayanganku dan sentuhan kain flanel yang lembut membuatku agak lebih ceria.
Aku sedang mempersiapkan ranselku untuk keperluan besok saat sebuah ledakan emosi tiba-tiba terpancar melalui ikatan batinku dengan Lissa. Emosi tersebut menyerangku saat sedang lengah sehingga aku tidak punya kesempatan untuk melawannya. Rasanya seperti dihantam angin berkekuatan badai, lalu tiba-tiba saja aku sudah tidak menatap ranselku. Aku berada di dalam tubuh Lissa, hidup dalam dunianya secara langsung.
Dan pada saat itulah semuanya terasa canggung.
Karena Lissa sedang bersama Christian.
Dan keadaan di antara mereka mulai & memanas.
BAB DELAPAN CHRISTIAN SEDANG MENCIUM Lissa, dan wow, ciumannya benar-benar hebat. Christian tidak main-main. Ini jenis ciuman yang tidak boleh dilihat oleh anak-anak. Dan hei, ini bahkan ciuman yang tidak boleh dilihat oleh siapa pun apalagi dirasakan melalui hubungan batin.
Seperti yang sudah kusebutkan, emosi kuat yang dirasakan Lissa bisa memicu fenomena ini fenomena yang menyebabkan aku terseret ke dalam kepala Lissa. Tetapi hal itu selalu, selalu, terjadi akibat emosi negatif. Emosi tersebut akan meraihku saat Lissa merasa marah atau putus asa. Namun kali ini" Lissa tidak sedang marah.
Lissa bahagia. Sangat, sangat bahagia.
Ya ampun. Aku harus keluar dari sini.
Mereka sedang berada di loteng kapel sekolah, yang biasa kusebut sebagai sarang cinta mereka. Loteng itu dulu mereka gunakan untuk melarikan diri saat keduanya sedang tidak ingin bersosialisasi dan ingin menghindar. Akhirnya mereka memutuskan untuk tidak bersosialisasi bersama-sama, kemudian satu hal mulai mengarah pada hal lainnya. Sejak mereka terang-terangan berkencan, aku tidak tahu bahwa mereka masih sering menghabiskan waktu di tempat ini. Mungkin mereka ke sini untuk mengenang masa lalu.
Dan memang, sepertinya sedang ada perayaan di tempat ini. Lilin-lilin kecil beraroma diletakkan di sekitar tempat usang yang berdebu itu. Lilin-lilin ini memenuhi udara dengan aroma bunga lilac. Aku mungkin akan agak khawatir menyalakan lilin sebanyak itu di dekat kardus dan buku yang mudah terbakar, tetapi sepertinya Christian meng
anggap dirinya sanggup mengendalikan api seandainya terjadi kecelakaan.
Mereka akhirnya mengakhiri ciuman yang sangat lama itu dan sama-sama mundur untuk saling menatap. Mereka berbaring miring di atas lantai. Ada beberapa helai selimut yang terhampar di bawah mereka.
Wajah Christian terlihat jujur dan lembut saat menatap Lissa, matanya yang biru pucat berbinar akibat emosi yang dirasakannya. Tatapannya berbeda dari cara Mason menatapku. Mason memang jelas-jelas terlihat memuja, tetapi tatapannya lebih mirip perasaan saat kau berada di dalam gereja dan jatuh berlutut karena kekaguman dan ketakutan akan sesuatu yang kaupuja namun tidak sepenuhnya kaupahami. Christian jelas-jelas memuja Lissa dengan caranya sendiri, tetapi di dalam matanya terlihat kilau pemahaman. Sesuatu yang mengatakan bahwa keduanya saling memahami dengan begitu sempurna dan kuat sehingga mereka tidak membutuhkan kata-kata untuk menyampaikannya.
Apa menurutmu kita akan masuk neraka karena melakukan semua ini" tanya Lissa.
Christian menyentuh wajah Lissa, menyusurkan jemari pada pipi dan lehernya, lalu turun hingga ke bagian atas kemeja sutranya. Napas Lissa menjadi berat karena sentuhan itu, yang sangat lembut dan ringan, tetapi membangkitkan gairah kuat di dalam dirinya.
Karena semua ini" Christian memainkan tepi kemeja Lissa, dan membiarkan jemarinya hampir menyentuh apa yang ada di baliknya.
Bukan, Lissa tertawa. Karena ini. Lissa memberi isyarat ke sekeliling loteng. Ini gereja. Seharusnya kita tidak boleh melakukan, em, hal semacam ini di sini.
Tidak juga, Christian membantah. Dengan lembut Christian mendorong Lissa hingga berbaring telentang, lalu membungkuk di atasnya. Gerejanya ada di bawah. Loteng ini hanya gudang. Tuhan tidak akan keberatan.
Kau tidak percaya pada Tuhan, tuduh Lissa. Tangan Lissa menelusuri dada Christian. Gerakannya seringan dan sepelan gerakan Christian tadi, tetapi jelas memicu respons yang sama kuatnya pada diri Christian.
Christian mendesah senang. Aku hanya menggodamu.
Kau boleh mengatakan apa pun saat ini, tuduh Lissa. Dia meraup tepi baju Christian dan menariknya hingga terlepas.
Kau benar, katanya. Perlahan-lahan Christian membuka kancing blus Lissa. Hanya satu. Kemudian dia membungkuk lagi dan memberi Lissa ciuman yang dalam dan kuat. Saat melepaskan diri untuk menarik napas, Christian melanjutkan ucapannya seolah tidak terjadi apa-apa. Katakan apa yang ingin kaudengar dan aku akan mengatakannya. Dia membuka kancing lainnya.
Aku tak ingin mendengar apa pun, kata Lissa sambil tertawa. Kancing yang lain pun terlepas. Kau boleh mengatakan apa saja tapi lebih baik yang sebenarnya.
Kebenaran, huh" Tak ada yang mau mendengar tentang kebenaran. Kebenaran itu tidak pernah seksi. Tapi kau & Kancing terakhir pun lepas, dan Christian menyingkap kemeja Lissa. Kau terlalu seksi untuk menjadi kenyataan.
Kata-kata itu diucapkan Christian dengan nada tajamnya yang khas, tetapi matanya menampakkan pesan yang sepenuhnya berbeda. Aku menyaksikan semua ini melalui mata Lissa, tetapi aku bisa membayangkan apa yang dilihat Christian. Kulit Lissa yang putih dan mulus. Pinggang dan pinggul yang ramping. Bra putih berenda. Melalui ikatan batin kami, aku bisa merasakan bahan renda itu terasa gatal, tetapi Lissa tidak memedulikannya.
Perasaan senang dan bergairah tergambar pada wajah Christian. Dari dalam diri Lissa aku bisa merasakan jantungnya berdebar dan napasnya semakin cepat. Perasaan yang sama seperti perasaan Christian mengaburkan pikiran lainnya. Christian bergeser, lalu berbaring di atas tubuh Lissa dan merapatkan tubuh. Mulutnya mencari mulut Lissa lagi, dan saat itu pula, aku tahu aku harus keluar dari sana.
Karena sekarang aku mengerti. Aku mengerti mengapa Lissa berdandan cantik, dan mengapa sarang cinta mereka dihias hingga terlihat mirip ruang pajang Yankee Candle. Inilah saatnya. Momen penting. Setelah berkencan selama satu bulan, mereka akan berhubungan seks. Aku tahu Lissa pernah melakukannya dengan kekasihnya yang dulu. Aku tidak tahu masa lalu Christian, tetapi aku ragu banyak gadis yang men
jadi korban pesonanya yang kasar.
Namun, saat merasakan isi hati Lissa, aku tahu semua itu bukan masalah untuknya. Tidak pada saat itu. Pada saat itu, yang ada hanya mereka berdua dan perasaan terhadap satu sama lain. Dengan kehidupan yang berisi lebih banyak masalah daripada yang seharusnya dialami orang seumurnya, saat ini Lissa benar-benar yakin akan apa yang sedang dilakukannya. Inilah yang diinginkannya. Yang sejak lama diinginkannya bersama Christian.
Dan aku tidak berhak menyaksikannya.
Memangnya aku sedang membodohi siapa" Aku tidak mau menyaksikannya. Aku sama sekali tidak mendapatkan kesenangan melihat orang lain melakukannya, dan sudah pasti aku tidak mau merasakan berhubungan seks dengan Christian. Rasanya seperti kehilangan keperawanan secara virtual.
Tetapi astaga, Lissa tidak mempermudahku keluar dari dalam kepalanya. Dia tidak berniat melepaskan diri dari perasaan dan emosinya, dan semakin kuat emosinya, semakin kuat juga cengkeramannya pada diriku. Aku berusaha menjauhkan diri dari Lissa, dan memusatkan energi untuk kembali ke dalam diriku, berkonsentrasi sekuat mungkin.
Semakin banyak pakaian yang terlepas &.
Ayolah, ayolah, aku menyuruh diriku dengan galak.
Kondomnya dikeluarkan & ih.
Kau memiliki tubuh sendiri, Rose. Kembalilah ke dalam kepalamu.
Tungkai mereka bertautan, tubuh mereka bergerak bersama &.
Sial Aku terlepas dari Lissa dan kembali pada diriku sendiri. Aku kembali ke dalam kamarku, tetapi aku sudah tidak berminat mengemas ransel. Seluruh duniaku hancur berantakan. Aku merasa aneh dan dicurangi nyaris tidak yakin apakah aku ini Rose atau Lissa. Aku juga kembali merasa kesal pada Christian. Sudah pasti aku tidak mau berhubungan seks dengan Lissa, tetapi ada sesuatu yang terasa sakit di dalam diriku, perasaan frustrasi karena sekarang aku bukan pusat dunianya lagi.
Aku meninggalkan ranselku, lalu pergi tidur sambil memeluk tubuh dan bergelung seperti bola, berusaha menekan rasa sakit di dalam dada.
* * * Bisa dibilang aku langsung tertidur dan akibatnya bangun lebih awal. Biasanya, aku harus menyeret diri untuk turun dari tempat tidur dan menemui Dimitri, tetapi hari ini aku muncul lebih awal hingga berhasil mendahuluinya datang ke gedung olahraga. Saat menunggu, aku melihat Mason memotong jalan ke salah satu bangunan berisi kelas-kelas.
Whoa, teriakku. Sejak kapan kau bangun sepagi ini"
Sejak harus mengulang ujian Matematika, jawab Mason sambil berjalan ke arahku. Dia tersenyum nakal. Tapi aku rela melewatkannya demi menghabiskan waktu denganmu.
Aku tertawa, tiba-tiba teringat pembicaraanku dengan Lissa. Ya, jelas ada hal-hal yang lebih buruk untuk kulakukan daripada bergenit-genit dan memulai sesuatu dengan Mason.
Jangan. Kau bisa dapat masalah, dan kalau itu yang terjadi, aku tidak akan punya tantangan sejati di lereng salju.
Mason memutar bola mata, tetapi masih tersenyum. Akulah yang tidak punya tantangan sejati, ingat"
Apa kau sudah siap untuk mempertaruhkan sesuatu" Atau kau masih terlalu takut"
Jaga mulutmu, dia memperingatkan, atau kubatalkan kado Natal untukmu.
Kau menyiapkan kado untukku" Aku sama sekali tidak menduganya.
Yap. Tapi kalau kau terus-menerus bicara tidak sopan, mungkin aku akan memberikannya pada orang lain.
Misalnya pada Meredith" godaku.
Dia bahkan tidak satu level denganmu, dan kau tahu itu.
Sekalipun dengan mata lebam" tanyaku nyengir.
Sekalipun dengan dua mata lebam.
Tatapan Mason barusan tidak terlihat menggoda atau pun menjurus. Tatapannya terlihat manis. Manis, ramah, dan perhatian. Seolah dia benar-benar peduli. Setelah semua ketegangan yang kualami akhir-akhir ini, aku memutuskan aku suka diperhatikan. Dan dengan berkurangnya kepedulian Lissa, aku baru menyadari senang juga ada seseorang yang ingin memberikan perhatian lebih padaku.
Apa rencanamu pada hari Natal" tanyaku.
Mason mengangkat bahu. Tak ada. Tadinya ibuku mau datang, tapi dia membatalkannya pada saat-saat terakhir & kau tahu kan, dengan segala kejadian kemarin.
Ibu Mason bukan pengawal. Ibunya seorang dhampir yang memilih menjadi ibu rumah tangga dan membesarka
n anak-anaknya. Akibatnya, aku tahu Mason tidak bisa sering-sering menemuinya. Menurutku itu sangat ironis. Ibuku sendiri ada di sini, tetapi mengingat berbagai alasan dan tujuan, dia seperti berada di tempat lain.
Ikut saja denganku, ucapku spontan. Aku akan menghabiskannya bersama Lissa, Christian, dan bibinya. Pasti menyenangkan.
Benarkah" Sangat menyenangkan. Bukan itu yang kutanyakan.
Aku menyeringai. Aku tahu. Datang saja, oke"
Mason membungkuk bak kesatria seperti yang biasa dilakukannya padaku. Pasti.
Mason pergi tepat saat Dimitri datang untuk memulai latihan kami. Mengobrol dengan Mason sudah membuatku merasa limbung dan bahagia. Ketika bersamanya, aku sama sekali tidak memikirkan wajahku. Tetapi saat bersama Dimitri, aku mendadak menjadi sadar diri. Aku tidak ingin terlihat kurang sempurna di hadapan Dimitri, jadi ketika kami berjalan ke dalam gedung olahraga, aku berusaha memalingkan wajah supaya dia tidak bisa melihat seluruh wajahku. Mengkhawatirkan hal itu membuat suasana hatiku menurun, dan ketika itu terjadi, hal-hal yang tadi membuatku kesal kembali bermunculan.
Kami kembali ke ruang latihan yang dilengkapi dengan boneka, dan Dimitri berkata bahwa dia hanya ingin aku mengulang gerakan-gerakan yang kami latih dua hari lalu. Senang karena dia tidak mengungkit-ungkit pertarungan dengan ibuku, aku menjalankan tugasku dengan semangat berkobar. Aku memperlihatkan pada boneka-boneka itu apa yang akan terjadi jika mereka berani mencari masalah dengan Rose Hathaway. Aku sadar amarah bertarungku tidak hanya dipicu oleh hasrat sederhana untuk melakukan yang terbaik. Pagi ini perasaanku berada di luar kendali, berat dan tertekan setelah pertarungan dengan ibuku serta kejadian Christian dan Lissa yang kusaksikan semalam. Dimitri duduk santai sambil memperhatikan aku, sesekali mengkritik teknik yang kupakai dan menyarankan taktik-taktik baru.
Rambutmu menghalangi, dia berkata suatu kali. Bukan hanya menghalangi pandangan ke sudut mata, tapi juga berisiko memberi musuh sesuatu untuk digenggam.
Kalau benar-benar terlibat dalam pertarungan, aku pasti akan mengikatnya ke atas. Aku mengerang saat menusukkan pasak dengan cermat di antara tulang rusuk boneka. Aku tidak tahu terbuat dari bahan apa, tetapi tulang-tulang palsu ini sulit untuk ditaklukkan. Aku memikirkan ibuku lagi dan menambahkan tenaga ekstra ketika menusuk. Hari ini aku hanya ingin menggerainya, itu saja.
Rose, kata Dimitri dengan nada mengingatkan. Aku mengabaikannya, dan kembali menusuk. Saat dia bicara lagi, suara Dimitri terdengar lebih tajam. Rose. Hentikan.
Aku mundur menjauhi boneka, terkejut mendapati napasku terengah-engah. Aku tidak sadar sudah berlatih sekeras itu. Punggungku menghantam dinding. Karena tak ada tempat untuk melarikan diri, aku berpaling dari Dimitri dan mengarahkan mata ke lantai.
Lihat aku, perintahnya. Dimitri Lihat aku. Apa pun yang diam-diam terjadi di antara kami, Dimitri tetap instrukturku. Aku tidak bisa menolak perintah langsung. Perlahan-lahan, dengan ragu, aku berbalik menghadapnya. Aku masih memiringkan kepala sedikit agar rambutku terurai menutupi sisi wajahku. Dimitri bangkit dari kursinya, berjalan menghampiri, lalu berdiri di hadapanku.
Aku menghindari tatapan Dimitri, tetapi melihat tangannya terulur untuk menyapu rambutku ke belakang. Ketertarikan singkat yang terjadi di antara kami memang dipenuhi berbagai pertanyaan dan pengendalian diri, tetapi ada satu hal yang kutahu pasti: Dimitri dulu sangat menyukai rambutku. Mungkin sekarang pun masih. Harus kuakui, rambutku memang bagus. Panjang, halus, dan berwarna gelap. Dulu Dimitri selalu mencari-cari alasan untuk menyentuhnya, dan dia menasihatiku agar tidak memotong pendek rambutku seperti sebagian besar pengawal perempuan.
Tangan Dimitri tetap berada di sana, dan dunia seakan berhenti saat aku menunggu apa yang akan dilakukannya setelah ini. Setelah beberapa saat yang terasa bagaikan berabad-abad, Dimitri perlahan menurunkan tangannya lagi. Kekecewaan menyapuku, namun pada saat yang sama aku juga menyadari sesuatu. Dimitri ragu-ra
gu. Dia takut untuk menyentuhku, yang mungkin hanya mungkin berarti dia masih ingin melakukannya. Dimitri terpaksa menahan diri.
Perlahan aku menoleh sehingga kami bertatapan. Sebagian besar rambutku jatuh menutupi wajah tetapi tidak semua. Tangan Dimitri kembali bergerak, dan aku berharap dia akan mengulurkannya lagi. Tangannya terdiam lagi. Harapanku memudar.
Apa rasanya sakit" tanyanya. Harum aftershave Dimitri, bercampur dengan keringatnya, menyapuku. Ya Tuhan, kuharap dia menyentuhku.
Tidak, aku berbohong. Kelihatannya tidak terlalu parah, kata Dimitri. Lebamnya akan sembuh.
Aku benci dia, kataku, terkejut saat menyadari betapa banyak racun yang terkandung dalam tiga kata itu. Bahkan saat mendadak merasa bergairah dan menginginkan Dimitri, aku masih tidak bisa mengubur dendam yang kurasakan pada ibuku.
Tidak, kau tidak membencinya, Dimitri berkata lembut.
Aku membencinya. Kau tak punya waktu untuk membenci siapa pun, Dimitri menasihati, suaranya masih terdengar manis. Setidaknya dalam profesi kita. Kau harus berdamai dengannya.
Lissa pernah mengatakan hal yang persis sama. Murka menambah emosiku yang lain. Kegelapan di dalam diriku mulai membabar. Berdamai dengannya" Setelah dia sengaja membuat mataku lebam" Kenapa hanya aku yang bisa melihat betapa gilanya semua itu"
Tentu saja dia tidak sengaja melakukannya, kata Dimitri, suaranya tegas. Tak peduli betapa kau membencinya, kau harus memercayai hal itu. Dia tak mungkin melakukannya, lagi pula aku melihat dia pada hari itu. Dia mencemaskanmu.
Mungkin dia lebih khawatir kalau ada orang yang menuntutnya dengan tuduhan kekerasan pada anak, aku menggerutu.
Bukankah ini momen yang tepat untuk memaafkan"
Aku mendesah keras-keras. Ini bukan acara spesial Natal! Ini hidupku. Dalam dunia nyata, keajaiban dan kebaikan tidak terjadi begitu saja.
Dimitri masih menatapku dengan tenang. Dalam dunia nyata, kau bisa menciptakan keajaibanmu sendiri.
Rasa frustrasiku mendadak mencapai titik ledak, dan aku tak sanggup lagi terus-menerus berusaha mengendalikan diri. Aku sangat lelah selalu disuruh melakukan hal-hal yang praktis dan masuk akal setiap kali ada yang salah dalam hidupku. Aku tahu Dimitri hanya ingin membantuku, tetapi sekarang aku sedang tidak ingin mendengar kata-kata bijak. Aku ingin mendapat ketenangan setelah semua masalah yang kualami. Aku tidak mau memikirkan cara menjadi orang yang lebih baik. Aku hanya berharap Dimitri mau memelukku dan mengatakan semuanya baik-baik saja.
Oke, sekali ini saja, bisakah kau menghentikannya" tuntutku, bertolak pinggang.
Menghentikan apa" Semua omong kosong Zen yang mendalam ini. Kau tidak bicara denganku sebagai orang sungguhan. Semua yang kaukatakan itu hanya omong kosong mengenai pelajaran hidup yang bijaksana. Kau memang kedengaran seperti sebuah acara spesial Natal. Aku tahu tidak adil melampiaskan amarahku pada Dimitri, tetapi aku sadar bahwa aku sedang berteriak padanya. Sumpah, kadang-kadang kau sepertinya hanya ingin mendengar dirimu bicara! Dan aku tahu kau tidak selalu begini. Kau benar-benar normal saat sedang mengobrol dengan Tasha. Tetapi denganku" Kau tak pernah bersungguh-sungguh. Kau tak peduli padaku. Kau terjebak dalam peran bodohmu sebagai mentorku.
Dimitri menatapku, tanpa terduga dia terlihat kaget. Aku tak peduli padamu"
Tidak. Aku bersikap picik amat sangat picik. Dan aku tahu yang sebenarnya bahwa dia memang peduli dan lebih dari sekadar mentor untukku. Namun, aku tak sanggup menahan diri. Aku mendorong dadanya dengan jari. Aku hanya seorang murid biasa bagimu. Kau terus-menerus membicarakan nasihat kehidupan bodohmu itu sehingga
Tangan yang semula kuharap akan menyentuh rambutku tiba-tiba saja terulur dan merenggut tanganku yang menunjuk dadanya. Dimitri menekannya ke dinding, dan aku aku terkejut melihat kobaran emosi yang terpancar pada matanya. Emosi itu tidak bisa disebut sebagai amarah & itu semacam rasa frustrasi.
Jangan beritahu aku apa yang kurasakan, geramnya.
Saat itu aku melihat setidaknya sebagian ucapanku tadi memang benar. Dimitri hampir selalu bersi
kap tenang, selalu terkendali bahkan saat sedang bertarung. Namun, Dimitri pernah bercerita bagaimana emosinya meledak hingga akhirnya dia memukuli ayah Moroi-nya. Sesungguhnya dia dulu mirip denganku selalu terdorong emosi untuk bertindak tanpa berpikir, dan melakukan hal-hal yang dia tahu tidak boleh dilakukannya.
Itu masalahnya, ya kan" aku bertanya.
Apa" Kau selalu bertarung untuk mendapatkan kendali. Kau sebenarnya sama saja denganku.
Tidak, katanya, jelas-jelas terlihat marah. Aku sudah bisa mengendalikan diri.
Kesadaran baru ini entah bagaimana membuatku merasa berani. Tidak, kataku. Kau belum bisa. Kau memasang tampang manis, dan sering kali kau memang berhasil mengendalikan diri. Tapi kadang-kadang kau tidak bisa. Dan kadang-kadang & Aku memajukan badan sambil merendahkan suara. Kadang-kadang kau tak ingin melakukannya.
Rose & Aku bisa melihat napas Dimitri yang tersengal-sengal, dan aku tahu jantungnya juga berdetak sekencang jantungku. Dan dia tidak menarik diri. Aku tahu ini salah sadar sepenuhnya akan semua alasan logis yang mengharuskan kami saling menjauh. Namun, pada saat itu aku tidak peduli. Aku tidak mau mengendalikan diri. Aku tidak mau bersikap manis.
Sebelum Dimitri menyadari apa yang sedang terjadi, aku menciumnya. Bibir kami bertemu, dan saat merasakan dia membalas ciumanku, aku tahu aku benar. Dimitri menekan tubuh ke arahku, memerangkapku di antara tubuhnya dan dinding. Dia terus memegangi tanganku, tetapi tangannya yang lain meliuk ke belakang kepalaku dan meluncur ke rambutku. Ciumannya sangat dalam. Ciuman itu mengandung amarah, gairah, dan pelepasan &.
Dimitri-lah yang mengakhirinya. Dia menarik tubuh lalu mundur beberapa langkah, wajahnya terlihat terguncang.
Jangan pernah lakukan itu lagi, kata Dimitri kaku.
Kalau begitu, jangan balas ciumanku, jawabku.
Dimitri menatapku sangat lama. Aku tidak memberikan nasihat ala Zen untuk mendengar diriku bicara. Aku tidak menasihatimu karena menganggapmu sebagai murid biasa. Aku melakukannya untuk mengajarimu cara mengendalikan diri.
Kau melakukannya dengan hebat, kataku getir.
Dimitri memejamkan mata sejenak, mengembuskan napas, lalu menggumamkan sesuatu dalam bahasa Rusia. Tanpa melirikku lagi, Dimitri keluar dari ruangan.
BAB SEMBILAN SETELAH ITU AKU tidak pernah bertemu lagi dengan Dimitri. Siangnya, dia mengirim pesan yang mengatakan bahwa menurutnya kami sebaiknya membatalkan dua sesi latihan berikutnya karena rencana keberangkatan yang sudah semakin dekat. Toh pelajarannya juga akan segera berakhir, begitu katanya. Beristirahat sejenak dari latihan kedengarannya memang masuk akal.
Itu alasan yang payah, dan aku tahu itu bukan alasan sebenarnya Dimitri membatalkan latihan kami. Jika dia ingin menghindar, aku lebih suka dia mengarang cerita mengenai rencananya bersama pengawal lain untuk meningkatkan keamanan bagi kaum Moroi, atau melatih gerakan-gerakan ninja super-rahasia.
Terlepas dari itu, aku tahu Dimitri menghindariku karena ciuman kami. Ciuman sialan itu. Aku tidak menyesalinya, sama sekali tidak. Hanya Tuhan yang tahu betapa besar keinginanku untuk menciumnya. Tetapi aku melakukannya dengan alasan yang salah. Aku melakukannya karena kesal, frustrasi, dan sekadar ingin membuktikan bahwa aku bisa melakukannya. Aku capek harus selalu bertindak benar dan cerdas. Akhir-akhir ini aku berusaha untuk lebih mengendalikan diri, tetapi sepertinya aku terpeleset.
Aku belum melupakan peringatan yang pernah diberikan Dimitri bahwa masalah pada hubungan kami bukan sekadar soal umur. Hubungan kami akan memengaruhi pekerjaan kami. Memancingnya dengan ciuman & hmm, bisa dibilang sama saja dengan mengipasi api masalah yang akhirnya bisa melukai Lissa. Seharusnya aku tidak menciumnya. Kemarin aku tak sanggup menahan diri. Hari ini aku bisa melihat perbuatanku itu dengan sudut pandang yang lebih jelas, dan aku tak percaya apa yang sudah kulakukan.
Mason menemuiku pada pagi hari Natal, dan kami pergi untuk berkumpul dengan yang lain. Ini memberiku kesempatan baik untuk menyingkirkan Dimitri dari kepalaku. Aku menyukai Mason sangat suk
a. Dan bukan berarti aku akan melarikan diri dan menikahinya. Seperti yang dikatakan Lissa, kembali berkencan akan menjadikan kehidupanku lebih sehat.
Tasha mengadakan sarapan siang Natal di ruang tamu elegan yang terdapat di area tamu Akademi. Banyak acara dan pesta kelompok yang diadakan di seluruh penjuru sekolah, tetapi aku langsung menyadari bahwa kehadiran Tasha selalu menimbulkan gangguan. Orang-orang biasanya memandanginya, atau menjauh untuk menghindarinya. Terkadang Tasha menantang mereka. Terkadang dia diam saja. Hari ini, dia memilih menghindari bangsawan lain dan menikmati pesta kecil akrab bersama orang-orang yang tidak mengucilkannya.
Dimitri juga diundang, dan keteguhan hatiku agak tumbang saat melihatnya. Dia benar-benar berdandan rapi untuk acara ini. Oke, berdandan rapi mungkin berlebihan, tetapi penampilannya saat ini mendekati gambaran itu. Biasanya dia terlihat agak urakan & seakan-akan bisa terjun ke dalam pertarungan kapan saja. Hari ini, rambut gelapnya diikat di tengkuk, seolah dia sudah berusaha merapikannya. Dia memakai sepatu bot kulit dan celana jinsnya yang biasa, tetapi alih-alih kaus oblong atau kaus tangan panjang, Dimitri memakai sweter rajut warna hitam. Sweter yang dipakainya biasa saja, bukan buatan desainer dan tidak mahal, tetapi memberikan sentuhan lain yang belum pernah kulihat pada dirinya. Dan ya Tuhan, sweter itu sangat cocok untuknya.
Dimitri tidak bersikap jahat atau semacamnya kepadaku, tetapi jelas-jelas dia juga tidak berusaha mengobrol denganku. Namun, dia berbincang dengan Tasha, dan dengan takjub kulihat mereka mengobrol dengan santai. Aku baru tahu bahwa seorang teman baik Dimitri adalah sepupu jauh keluarga Tasha, dan dari sanalah mereka berdua saling mengenal.
Lima" tanya Dimitri kaget. Mereka sedang membicarakan anak-anak teman mereka itu. Aku baru dengar.
Tasha menganggukkan kepala. Memang sinting. Kurasa istrinya tidak punya waktu kosong lebih dari enam bulan sebelum mengandung anak berikutnya. Perempuan itu bertubuh pendek jadi tubuhnya terus melebar, dan semakin lebar.
Saat pertama kali aku bertemu dengannya, dia bersumpah tak ingin punya anak.
Mata Tasha melebar senang. Benar! Aku sendiri tidak percaya. Kau harus melihat dia sekarang. Dia benar-benar tak berdaya saat berada di dekat anak-anaknya. Aku bahkan sering tak mengerti ucapannya. Aku berani sumpah, dia lebih sering bicara bahasa bayi daripada bahasa Inggris.
Dimitri menyunggingkan senyum langkanya. Yah & anak-anak memang sanggup menyebabkan orang-orang bertingkah seperti itu.
Aku tak bisa membayangkan itu terjadi padamu, kata Tasha sambil tertawa. Sikapmu selalu tenang. Tentu saja & kurasa kau akan mengucapkan bahasa bayi dalam bahasa Rusia, jadi takkan ada yang menyadarinya.
Mereka berdua tertawa dan aku memalingkan wajah, bersyukur ada Mason yang bisa diajak bicara. Mason merupakan pengalih perhatian yang baik, karena selain Dimitri mengabaikan aku, Lissa dan Christian juga sedang mengobrol di dunia kecil mereka sendiri. Sepertinya seks membuat mereka lebih saling mencintai, dan aku bertanya-tanya apa akan punya waktu bersama Lissa dalam perjalanan ski kami nanti. Akhirnya Lissa memang berpaling dari Christian untuk memberikan kado Natal kepadaku.
Aku membuka kotak yang diberikan Lissa lalu menatap isinya. Aku melihat seuntai manik-manik berwarna merah tua, dan aroma mawar pun menguar.
Apa-apa Aku mengangkat manik-manik itu, dan sebuah salib emas menggantung di ujungnya. Lissa memberiku chotki. Chotki mirip dengan rosario, hanya lebih kecil. Seukuran gelang.
Kau sedang berusaha membuatku berpindah agama" tanyaku masam. Lissa tidak terlalu religius, tetapi dia percaya pada Tuhan dan mengunjungi gereja secara teratur. Seperti halnya keluarga-keluarga Moroi yang berasal dari Rusia dan Eropa Timur, Lissa adalah penganut Kristen Ortodoks.
Sedangkan aku" Bisa dibilang aku seorang Agnostik Ortodoks. Mungkin Tuhan memang ada, tetapi aku tak punya waktu ataupun energi untuk menyelidikinya lebih lanjut. Lissa menghormati pandanganku dan tidak pernah berusaha memaksakan kepercayaannya, sehin
gga kado yang diberikannya terasa lebih janggal lagi.
Coba kaubalik salibnya, kata Lissa, jelas geli melihat kekagetanku.
Aku melakukan apa yang diminta. Di bagian belakang salib, seekor naga yang dikelilingi jalinan bunga terukir pada emasnya. Simbol keluarga Dragomir. Aku mendongak menatap Lissa dengan bingung.
Itu warisan keluarga, kata Lissa. Salah seorang teman baik ayahku menyimpan barang-barang peninggalannya. Chotki itu milik pengawal nenek buyutku.
Liss & aku berkata. Benda itu kini terlihat sepenuhnya berbeda. Aku tak bisa & kau tak bisa memberiku benda seperti ini.
Tapi sudah pasti aku tak bisa menyimpannya. Benda ini ditujukan bagi seorang pengawal. Pengawalku.
Aku melingkarkan manik-manik itu ke pergelangan tangan. Salibnya terasa dingin pada kulitku.
Tahukah kau, aku menggoda Lissa, ada kemungkinan aku sudah dikeluarkan dari sekolah sebelum sempat menjadi pengawalmu.
Lissa nyengir. Hmm, kalau itu yang terjadi, kau bisa mengembalikannya kepadaku.
Semua orang tertawa mendengarnya. Tasha hendak mengatakan sesuatu, tetapi berhenti saat mendongak ke pintu.
Janine! Ibuku berdiri di depan pintu, tampak sekaku dan sedatar biasanya.
Maaf terlambat, katanya. Ada urusan yang harus kuselesaikan.
Urusan. Seperti biasa. Saat Natal sekalipun.
Aku merasa perutku melilit dan ada hawa panas yang naik ke pipiku saat detail pertarungan kami kembali mengisi benakku. Ibuku belum mengatakan apa-apa sejak peristiwa itu terjadi dua hari yang lalu, bahkan saat aku masih berada di klinik. Tak ada permintaan maaf. Tak ada apa pun. Aku mengertakkan gigi.
Ibuku duduk dan langsung bergabung dalam obrolan kami. Sudah lama aku tahu bahwa ibuku hanya bisa mengobrol mengenai satu hal: urusan pengawal. Aku ingin tahu apakah dia punya hobi. Serangan keluarga Badica masih hangat dalam ingatan semua orang, dan hal itu mendorongnya memulai pembicaraan mengenai pertarungan serupa yang pernah dialaminya. Yang membuatku ngeri, Mason terpukau oleh setiap patah kata ibuku.
Memang, memenggal kepala tidak semudah yang terlihat, kata ibuku dengan nada inilah-yang-sesungguhnya-terjadi. Aku sama sekali tidak pernah menganggapnya mudah, tetapi nada suara ibuku menunjukkan keyakinannya bahwa semua orang menganggap remeh soal itu. Kau harus menembus tulang belakang dan banyak tendon.
Melalui ikatan batin, aku bisa merasakan Lissa mulai agak mual. Dia tidak tahan dengan pembicaraan yang mengerikan seperti ini.
Mata Mason berbinar. Apa senjata terbaik untuk melakukannya"
Ibuku berpikir-pikir. Kapak. Kau bisa mendapat beban tambahan di bagian belakang. Ibuku membuat gerakan mengayun sebagai gambaran.
Keren, kata Mason. Oh, kuharap mereka mengizinkanku menggunakan kapak. Gagasan itu terdengar konyol dan menggelikan karena kapak bukanlah senjata yang biasa dibawa ke mana-mana. Sejenak, bayangan Mason berjalan-jalan sambil memikul kapak di atas bahu membuat suasana hatiku agak membaik. Tetapi tidak lama.
Sejujurnya aku tak percaya bahwa kami membicarakan hal semacam ini saat Natal. Kehadiran ibuku telah merusak segalanya. Untungnya, acara kumpul-kumpul ini akhirnya bubar. Christian dan Lissa pergi untuk menyelesaikan urusan mereka, sedangkan Dimitri dan Tasha merasa masih banyak hal yang ingin mereka perbincangkan. Aku dan Mason sedang berjalan menuju asrama dhampir saat ibuku menghampiri kami.
Tidak seorang pun dari kami yang bicara. Bintang bertaburan di langit hitam, tajam dan terang, kilau mereka serupa dengan es dan salju di sekeliling kami. Aku memakai parka berwarna gading dengan bulu buatan. Parka ini menjaga tubuhku tetap hangat, meski sama sekali tak berguna dalam melawan angin dingin yang menerpa wajahku. Selama kami berjalan, aku terus-menerus berharap ibuku berbalik menuju area pengawal yang lain, tetapi dia ikut masuk ke dalam asrama bersama kami.
Sejak tadi aku ingin bicara denganmu, akhirnya ibuku berkata. Alarm di dalam tubuhku berbunyi. Apa salahku kali ini"
Ibuku hanya berkata seperti itu, tetapi Mason langsung mengerti. Mason sama sekali tidak bodoh dan sepenuhnya menyadari petunjuk-petunjuk dalam bersosialisas
i, tetapi saat ini aku mengharapkan sebaliknya. Menurutku sikap Mason juga sangat ironis, dia ingin membantai semua Strigoi di dunia, tetapi pada saat yang sama takut pada ibuku.
Mason menatapku dengan pandangan meminta maaf, mengangkat bahu, lalu berkata, Hei, aku harus, em, pergi. Sampai nanti.
Aku menatap kepergian Mason dengan menyesal, berharap bisa berlari menyusulnya. Mungkin ibuku akan menjegal kakiku dan menonjok mataku yang satu lagi kalau aku berusaha melarikan diri. Sebaiknya aku menurut dan menyelesaikan semuanya secepat mungkin. Sambil beringsut gelisah, aku menghindari tatapannya dan menunggunya bicara. Dari sudut mataku, aku melihat beberapa orang melirik ke arah kami. Saat teringat bahwa semua orang di dunia ini sepertinya tahu ibukulah yang menyebabkan lebam mataku, tiba-tiba aku memutuskan tidak mau ada orang lain yang menyaksikan ceramah atau apa pun yang akan diempaskannya kepadaku.
Kau mau, em, naik ke kamarku" aku bertanya.
Ibuku kelihatan kaget, hampir tidak yakin. Tentu saja.
Aku mengajaknya ke lantai atas, menjaga tetap berada dalam jarak aman saat kami berjalan. Suasana di antara kami terasa tegang dan canggung. Ibuku tidak mengatakan apa-apa saat kami tiba di kamar, tetapi kulihat dia mengamati setiap detail dengan saksama, seolah ada Strigoi yang mungkin sedang mengintai kami. Aku duduk di tempat tidur dan menunggu ibuku mondar-mandir, bingung harus berbuat apa. Ibuku menyapukan jemari pada setumpuk buku mengenai evolusi dan perilaku hewan.
Buku-buku ini kaugunakan untuk membuat laporan" tanyanya.
Tidak. Aku hanya tertarik untuk membacanya, itu saja.
Alisnya terangkat. Dia tidak tahu soal itu. Tetapi bagaimana dia bisa tahu" Ibuku tidak tahu apa-apa soal aku. Dia melanjutkan pengamatannya, sesekali berhenti untuk mempelajari hal-hal kecil tentang aku yang sepertinya membuatnya kaget. Sebuah foto yang memperlihatkan aku dan Lissa berdandan seperti peri saat Halloween. Satu kantong SweetTart. Rasanya seolah ibuku baru pertama kali bertemu denganku.
Tiba-tiba, ibuku berbalik dan mengulurkan tangan ke arahku. Ini.
Dengan terkejut aku meletakkan telapak di bawah tangannya. Sebuah benda kecil dan dingin terjatuh ke tanganku. Benda itu liontin berukuran kecil diameternya tidak lebih besar daripada koin. Alas peraknya menahan cakram datar berisi lingkaran-lingkaran kaca berwarna. Dengan kening berkerut, aku menyapukan jempol pada permukaannya. Rasanya aneh, tetapi lingkaran-lingkaran itu hampir tampak seperti mata. Lingkaran terdalam berukuran kecil, menyerupai pupil. Warnanya biru gelap hampir seperti hitam. Bagian luarnya dikelilingi lingkaran yang lebih besar warna biru pucat, lalu dikelilingi lagi oleh lingkaran putih. Sebuah lingkaran yang sangat, sangat tipis berwarna biru gelap mengitari bagian luarnya.
Trims, ucapku. Aku tidak mengharapkan kado apa pun dari ibuku. Hadiah ini sangat aneh untuk apa dia memberiku mata" tetapi tetap saja ini hadiah. Aku & aku tidak menyiapkan kado untukmu.
Ibuku mengangguk, wajahnya kembali terlihat kosong dan tak peduli. Tak apa-apa. Aku tak membutuhkan apa pun.
Ibuku membalikkan badan lalu mulai berjalan mengitari ruangan. Dia tidak punya banyak tempat untuk melakukannya, tetapi tubuh pendeknya membuat langkahnya lebih kecil. Setiap kali dia melewati jendela di atas tempat tidurku, rambutnya yang berwarna kemerahan akan terkena cahaya dan tampak menyala. Aku menatapnya dengan penasaran dan baru sadar bahwa ibuku sama gugupnya denganku.
Ibuku berhenti mondar-mandir dan melirik ke arahku. Bagaimana matamu"
Sudah mendingan. Bagus. Ibuku membuka mulut, dan aku punya firasat dia hendak minta maaf. Tetapi dia tidak melakukannya.
Saat dia mulai mondar-mandir lagi, aku memutuskan tidak tahan diam saja seperti ini. Aku mulai menyimpan hadiah-hadiah yang kudapatkan. Aku mendapatkan cukup banyak barang pagi ini. Salah satunya adalah sehelai gaun sutra dari Tasha, warnanya merah dan dihiasi bordiran bunga. Ibuku melihatku menggantungnya ke dalam lemari kecil yang ada di kamarku.
Tasha baik sekali. Yeah, aku sependapat. Aku tak menyangka dia akan
memberiku sesuatu. Aku benar-benar menyukainya.
Aku juga. Aku berbalik dari lemari dengan terkejut dan menatap ibuku. Keterkejutannya sama dengan yang kurasakan. Seandainya aku tidak tahu bagaimana keadaan sebenarnya, mungkin aku akan berpendapat bahwa kami baru saja sepakat mengenai sesuatu. Mungkin keajaiban Natal memang ada.
Garda Belikov akan menjadi pasangan yang tepat untuknya.
Aku Aku mengerjap, tidak sepenuhnya memahami ucapan ibuku. Dimitri"
Garda Belikov, ibuku meralat dengan tegas, masih tidak setuju dengan caraku yang santai dalam memanggil nama Dimitri.
Pasangan & pasangan seperti apa" tanyaku.
Ibuku mengangkat alis. Kau belum dengar" Tasha meminta Garda Belikov menjadi pengawalnya karena dia belum punya pengawal.
Aku merasa seperti dipukul lagi. Tapi dia & ditugaskan di sini. Dan untuk Lissa.
Semua itu bisa diatur. Dan terlepas dari reputasi Ozera & dia tetap seorang bangsawan. Jika terus memaksa, dia bisa mendapatkan keinginannya.
Aku menatap kosong. Yah, kurasa mereka memang berteman dan semacamnya.
Lebih dari itu atau setidaknya mungkin akan lebih dari itu.
Bum! Pukulan lagi. Apa" Hmm" Oh. Tasha & tertarik padanya. Dari nada suara ibuku, jelas dia sama sekali tidak tertarik pada urusan percintaan. Tasha ingin memiliki anak-anak dhampir, jadi mungkin saja mereka akan membuat, em, kesepakatan jika Garda Belikov menjadi pengawalnya.
Ya Tuhan. Waktu membeku. Jantungku berhenti berdetak.
Aku sadar ibuku sedang menunggu tanggapanku. Dia bersandar pada meja sambil mengawasi aku. Ibuku mungkin sanggup memburu Strigoi, tetapi dia jelas tidak menyadari perasaanku.
Apa & apa dia akan melakukannya" Menjadi pengawal Tasha" tanyaku lemah.
Ibuku mengangkat bahu. Kurasa Garda Belikov belum menyetujuinya, tapi tentu saja dia akan melakukannya. Itu kesempatan hebat.
Tentu saja, ulangku. Memangnya kenapa Dimitri mau menolak kesempatan menjadi pengawal untuk temannya sendiri dan memiliki anak bersamanya"
Kurasa setelah itu ibuku mengatakan hal lain, tetapi aku tidak mendengarnya. Aku tidak mendengar apa-apa. Aku terus berpikir mengenai Dimitri yang akan meninggalkan Akademi, meninggalkan aku. Aku memikirkan bagaimana Dimitri dan Tasha terlihat sangat akrab. Kemudian, setelah mengingat semua itu, imajinasiku mulai mengembangkan skenario masa depan. Tasha dan Dimitri bersama. Saling menyentuh. Berciuman. Tanpa busana. Hal-hal lainnya &.
Aku memejamkan mata selama setengah detik, lalu membukanya lagi.
Aku benar-benar lelah. Ibuku berhenti di tengah ucapannya. Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang dibicarakannya sebelum aku menyelanya.
Aku benar-benar lelah, ulangku. Aku bisa mendengar kekosongan dalam suaraku. Kosong. Tak ada emosi. Terima kasih untuk mata & em, kadonya, tapi kalau kau tak keberatan &.
Ibuku menatapku dengan kaget, ekspresi wajahnya terlihat tulus dan bingung. Kemudian, dengan begitu saja, dinding profesionalismenya yang dingin kembali ke tempat semula. Sebelum saat itu, aku tidak sadar bahwa ibuku sudah menyingkirkan dinding itu jauh-jauh. Namun, dia memang melakukannya. Untuk sesaat ibuku sudah membiarkan dirinya menjadi rapuh saat bersamaku. Kerapuhan itu sekarang lenyap.
Tentu saja, ibuku berkata kaku. Aku takkan mengganggumu.
Aku ingin memberitahunya bahwa bukan itu masalahnya. Aku ingin memberitahunya bahwa aku bukan mengusirnya karena alasan pribadi. Dan aku ingin memberitahunya bahwa aku berharap dia ibu yang penyayang dan pengertian seperti yang sering kaudengar dalam cerita, ibu yang bisa kujadikan tempat mengadu. Bahkan mungkin ibu yang bisa kumintai nasihat mengenai kehidupan cintaku yang bermasalah.
Ya Tuhan. Sebenarnya aku berharap bisa menceritakan masalah kehidupan cintaku pada siapa pun. Terutama saat ini.
Tetapi aku begitu terperangkap dalam drama pribadiku sehingga tak bisa mengucapkan semua itu. Aku merasa seperti ada orang yang merenggut jantungku dan melemparkannya ke sisi lain ruangan. Aku merasakan nyeri yang membara dan menyakitkan di dada, namun tidak tahu cara menyembuhkannya. Menerima kenyataan bahwa aku tak bisa mendapatkan Dimitri sudah
cukup sulit kuhadapi. Namun, menyadari bahwa ada orang lain yang bisa memilikinya benar-benar sulit.
Aku tidak mengatakan apa-apa lagi karena kemampuan bicaraku sudah lenyap. Mata ibuku berkilat marah, dan bibirnya terkatup rapat hingga membentuk ekspresi tidak senang yang sering terlihat di wajahnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ibuku berbalik pergi, membanting pintu. Sebenarnya, aku pun mungkin sudah membanting pintu. Kurasa kami memang berbagi gen yang sama.
Namun, bisa dibilang aku melupakan ibuku saat itu juga. Aku tetap duduk dan berpikir. Berpikir dan berandai-andai.


Frostbite Vampire Academy 2 Karya Richelle Mead di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menghabiskan sisa hari tanpa melakukan apa-apa. Aku melewatkan makan malam. Aku menangis. Sisanya, aku hanya duduk di tempat tidur sambil berpikir dan semakin tertekan. Aku juga menyadari bahwa satu-satunya yang lebih buruk dari membayangkan Dimitri dan Tasha bersama adalah mengingat saat-saat aku dan Dimitri bersama. Dimitri takkan pernah menyentuhku seperti itu lagi, takkan pernah menciumku seperti itu lagi &.
Ini Natal terburuk. BAB SEPULUH PERJALANAN SKI INI bisa dibilang tiba pada saat yang benar-benar tepat. Rasanya mustahil menyingkirkan Dimitri dan Tasha dari dalam kepalaku, tetapi setidaknya berkemas dan menyiapkan segala keperluan memastikan aku tidak mencurahkan seratus persen kekuatan otakku pada Dimitri. Tepatnya sembilan puluh lima persen.
Ada hal lain yang mengalihkan perhatianku. Akademi mungkin sudah sewajarnya berlebihan dalam melindungi kami, tetapi kadang-kadang itu bisa diartikan sebagai hal-hal yang cukup keren. Contohnya, Akademi memiliki akses ke beberapa pesawat pribadi. Ini artinya tidak ada Strigoi yang bisa menyerang kami di bandara, dan kami bisa bepergian dengan gaya. Pesawat pribadinya lebih kecil daripada pesawat komersil, tetapi tempat duduknya sangat nyaman dan ruang untuk kakinya lapang. Kursinya bisa dimundurkan cukup jauh, sehingga kau bisa berbaring untuk tidur. Dalam penerbangan jarak jauh, tempat duduknya dilengkapi konsol-konsol kecil yang memberi kami pilihan untuk menonton. Kadang-kadang yang disajikan bahkan makanan mewah. Namun, aku berani bertaruh penerbangan kali ini terlalu singkat untuk mendapatkan film atau makanan bermutu.
Kami berangkat tanggal 26 malam. Saat naik ke pesawat, aku memandang berkeliling mencari Lissa. Aku ingin bicara dengannya. Kami belum bicara lagi setelah acara sarapan siang pada hari Natal. Aku tidak terkejut mendapatinya duduk bersama Christian, dan kelihatannya mereka tidak ingin diganggu. Aku tak bisa mendengar pembicaraan mereka, tetapi lengan Christian merangkul tubuh Lissa dan wajahnya terlihat santai dan menggoda, ekspresi yang hanya mampu dibangkitkan oleh Lissa. Aku masih sepenuhnya yakin bahwa Christian tidak bisa melindungi Lissa sebaik aku, tetapi Christian jelas membuatnya bahagia. Aku memasang senyum dan mengangguk saat melewati mereka di lorong, dan menghampiri Mason yang sedang melambai padaku. Di tengah jalan aku juga melewati Dimitri yang duduk bersama Tasha. Aku terang-terangan mengabaikan mereka.
Hei, kataku sambil menyelinap duduk di samping Mason.
Mason tersenyum. Hei. Kau sudah siap untuk tantangan skinya"
Tidak pernah sesiap ini. Jangan takut, katanya. Aku akan sedikit mengalah untumu.
Aku mendengus lalu menyandarkan kepala ke kursi. Kau kebanyakan berkhayal.
Lelaki yang waras itu membosankan.
Secara mengejutkan tangan Mason menyelinap ke atas tanganku. Kulitnya terasa hangat, dan kulitku yang disentuhnya tergelitik. Sentuhannya membuatku terpana. Aku meyakinkan diri bahwa Dimitri adalah cowok terakhir yang akan kutanggapi.
Saatnya melanjutkan hidup, pikirku. Dimitri jelas sudah melakukannya. Seharusnya kau sudah melakukannya sejak lama.
Aku menautkan jemari dengan jemari Mason, membuatnya kaget. Ini akan menyenangkan.
* * * Dan memang menyenangkan. Aku terus mengingatkan diri bahwa kami sekarang berada di tempat ini karena sebuah tragedi, bahwa di luar sana ada Strigoi dan manusia yang mungkin akan menyerang lagi. Namun, sepertinya yang lain tidak mengingat hal itu, dan harus kuakui aku sendiri kesulitan melakukannya.
Resor skinya sangat indah. Tempat itu dibangun agar terlihat menyerupai kabin kayu, tetapi tak ada kabin biasa yang sanggup menampung ratusan orang sekaligus memiliki akomodasi semewah ini. Bangunan kayu yang berkilau keemasan setinggi tiga lantai itu terletak di tengah pohon-pohon pinus yang menjulang. Semua jendelanya tinggi dan melengkung dengan anggun, kacanya digelapkan demi kenyamanan para Moroi. Lentera-lentera kristal menggunakan listrik tetapi dibentuk hingga menyerupai obor bergantung di sekeliling pintu masuk, membuat seisi bangunan berkilau, nyaris seperti dihiasi permata.
Pegunungan yang pada malam hari hanya terlihat samar oleh penglihatanku yang lebih peka mengelilingi kami, dan aku berani bertaruh pemandangannya pasti lebih mengagumkan pada siang hari. Salah satu sisi lahan mengarah ke area ski, lengkap dengan bukit-bukit curam, tanjakan, lift pengangkut, dan tali-tali penarik. Di sisi lain penginapan terdapat arena seluncur es, yang membuatku girang karena aku tidak ikut bermain seluncur es saat berada di kabin dekat hutan kampus. Di dekatnya, ada bukit-bukit mulus yang disiapkan untuk bermain kereta luncur.
Dan itu baru yang ada di luar saja.
Di dalam, ada berbagai macam fasilitas yang diatur untuk memenuhi kebutuhan Moroi. Para donor selalu siaga, siap melayani dua puluh empat jam sehari. Lereng-lereng salju beroperasi dengan jadwal nokturnal. Seluruh tempat ini dikelilingi oleh pertahanan sihir dan para pengawal. Segala macam hal yang diinginkan oleh vampir hidup.
Lobi utamanya memiliki langit-langit yang mirip katedral dan sebuah lampu hias raksasa bergantung di sana. Lantainya terbuat dari marmer, dan resepsionis ada setiap saat untuk memenuhi semua kebutuhan kami. Bagian lain penginapan selasar dan ruang duduk ditata dengan pola warna merah, hitam, dan emas. Warna merah gelap mendominasi warna lainnya, dan aku bertanya-tanya apakah kemiripannya dengan warna darah hanya kebetulan belaka. Cermin dan karya seni menghiasi dinding, dan meja hias ditempatkan di sana-sini. Di atasnya terdapat vas-vas berisi bunga anggrek hijau pucat berbintik ungu yang memenuhi udara dengan aroma tajam.
Kamar yang kutempati bersama Lissa lebih besar daripada kamar asrama kami dijadikan satu, dan ditata dengan warna-warna mewah seperti ruangan lain di dalam penginapan. Karpetnya sangat mewah dan empuk hingga aku langsung membuka sepatu di depan pintu dan berjalan bertelanjang kaki, menikmati kemewahan yang kurasakan saat kakiku menginjak bahan yang lembut itu. Tempat tidur kami king-size, dilapisi selimut bulu angsa dengan begitu banyak bantal di atasnya sehingga aku berani sumpah orang bisa tersesat di antara bantal-bantal itu dan tak pernah ditemukan lagi. Pintu prancis membuka ke balkon luas, dan mengingat kami berada di lantai paling atas, pemandangannya pasti sangat keren meski di luar sana udaranya membeku. Sepertinya bak mandi air panas untuk dua orang di ujung balkon sangat sepadan dengan udara yang dingin.
Tenggelam dalam kemewahan seperti ini, aku mencapai titik kewalahan yang membuat semua akomodasi seakan mulai melayang bersama-sama. Bak mandi marmer. Televisi layar plasma. Keranjang berisi cokelat dan makanan ringan lain. Saat akhirnya kami memutuskan untuk bermain ski, bisa dibilang aku harus menyeret tubuh ke luar kamar. Aku bisa saja menghabiskan sisa liburan ini dengan bermalas-malasan di dalam kamar dan merasa sepenuhnya bahagia.
Tetapi akhirnya kami berjalan-jalan di luar, dan setelah berhasil menyingkirkan Dimitri dan ibuku dari pikiranku, aku mulai bisa menikmatinya. Ukuran penginapan yang sangat luas membuat kemungkinan bertemu dengan mereka cukup kecil.
Untuk kali pertama dalam berminggu-minggu, akhirnya aku bisa memusatkan pikiran sepenuhnya pada Mason dan menyadari betapa menyenangkannya dia. Aku juga memiliki lebih banyak waktu untuk bercengkerama dengan Lissa. Semua itu membuat suasana hatiku semakin baik.
Dengan waktu yang kuhabiskan bersama Lissa, Christian, dan Mason, bisa dibilang kami berkencan ganda. Kami berempat menghabiskan hari pertama dengan bermain ski, meskipun kedua Moroi itu agak kesulit
an untuk mengimbangi kami. Mengingat apa yang harus aku dan Mason lalui di kelas, kami tidak takut mencoba aksi-aksi yang menantang. Sifat kompetitif membuat kami lebih bersemangat untuk berusana sekeras mungkin mengalahkan satu sama lain.
Kalian berdua benar-benar cari mati, suatu kali Christian berseru. Di luar sudah gelap, dan tiang-tiang lampu tinggi menyinari wajahnya yang terlihat geli.
Christian dan Lissa sejak tadi menunggu di dasar bukit tanjakan, mengamatiku dan Mason meluncur turun. Kami berdua bergerak dalam kecepatan yang tidak masuk akal. Bagian diriku yang selama ini berusaha mempelajari pengendalian diri dan sifat bijaksana sadar ini berbahaya, tetapi bagian diriku yang lain ingin melakukan kecerobohan ini. Sifat kelam pemberontak belum sepenuhnya lepas diri dariku.
Mason nyengir saat kami berhenti mendadak sehingga mencipratkan salju. Tidak, ini baru pemanasan. Maksudku, Rose saja bisa mengimbangiku. Ini permainan anak-anak.
Lissa menggelengkan kepala. Apa kalian tidak kelewatan"
Aku dan Mason berpandangan. Tidak.
Lissa menggeleng. Kami mau masuk saja. Jangan saling bunuh, ya"
Lissa dan Christian pergi meninggalkan kami, saling merangkul. Aku mengawasi kepergian mereka, lalu berbalik menghadap Mason. Aku masih ingin bermain ski sebentar lagi. Bagaimana denganmu"
Tentu saja. Kami naik lift sampai ke puncak bukit. Saat kami hendak turun, Mason menuding.
Oke, bagaimana kalau begini" Kita ke tanjakan itu, melompat di atas punggung bukit, melewati kelokan itu, menghindari pohon-pohon, lalu mendarat di sana.
Aku mengikuti arah jarinya yang menunjuk sebuah jalan berliku di bawah salah satu lereng terbesar. Aku mengernyit.
Itu benar-benar sinting, Mase.
Ah, kata Mason penuh kemenangan. Akhirnya dia menyerah juga.
Aku menggeram. Dia tidak menyerah. Setelah mengamati rute gila yang ditunjuk Mason lagi, aku menyerah. Baiklah. Ayo kita lakukan.
Mason memberi isyarat. Kau duluan.
Aku menghela napas lalu melompat turun. Sepatu skiku meluncur mulus di atas salju, dan angin yang dingin menusuk menampar wajahku. Aku melakukan lompatan pertama dengan lihai dan tepat, tetapi saat bagian selanjutnya mendekat dengan cepat, aku baru sadar betapa berbahaya semua ini. Dalam waktu yang sangat singkat, aku harus membuat keputusan. Jika aku tidak melakukannya, Mason takkan pernah berhenti meledekku dan aku benar-benar ingin pamer di hadapannya. Kalau berhasil, aku bisa mematenkan kekerenanku. Tetapi jika aku mencoba dan gagal & leherku bisa patah.
Di salah satu sudut kepalaku, suara yang secara mencurigakan terdengar seperti Dimitri mulai berbicara tentang pilihan bijak, dan belajar untuk mengetahui kapan saat yang tepat untuk menahan diri.
Kuputuskan untuk mengabaikan suara itu dan melanjutkan aksiku.
Tiga Pengemis Sakti 1 Gadis Hari Ke Tujuh Karya Sherls Astrella Kucing Ditengah Burung Dara 3

Cari Blog Ini