Ceritasilat Novel Online

Frostbite 4

Frostbite Vampire Academy 2 Karya Richelle Mead Bagian 4


Aku kembali mengeluarkan botol demi botol parfum yang ada di dalam kardus. Sebagian hanya kuendus setelah membuka tutupnya, sedangkan yang lain kusemprotkan ke udara. Serendipity. Dolce & Gabbana. Shalimar. Daisy. Aroma demi aroma menyentuh hidungku; mawar, bunga violet, sandalwood, jeruk, vanila, anggrek &.
Setelah selesai, hidungku bisa dibilang tidak berfungsi lagi. Semua parfum ini dirancang untuk manusia. Indra penciuman mereka lebih lemah daripada vampir dan dhampir, jadi wewangian ini terlalu kuat untukku. Aku jadi sedikit menghargai pendapat Adrian yang mengatakan bahwa kami hanya membutuhkan setetes parfum saja. Jika semua botol parfum ini sanggup membuatku pusing seperti sekarang, aku tak bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh Moroi. Indra penciuman yang kewalahan seperti ini sama tidak mengurangi sakit kepala yang kurasakan sejak bangun tidur.
Kali ini aku benar-benar memasukkan kembali semua botol parfum, dan hanya berhenti saat memegang satu parfum yang benar-benar kusukai. Aku ragu-ragu, memegangi kotak kecil itu. Kemudian, aku mengeluarkan botolnya yang berwarna merah dan mengendusnya lagi. Wanginya segar dan manis. Ada wangi buah tapi bukan buah yang manis. Aku menguras otak mengingat-ingat sebuah wewangian yang pernah kucium pada seorang cewek yang tinggal di asrama yang sama denganku. Dia pernah bilang namanya. Wanginya seperti buah ceri & tapi lebih tajam. Currant, itu dia. Dan baunya tercium dalam parfum ini, tercampur dengan aroma beberapa jenis bunga: lily of the valley, dan beberapa bunga lain yang tidak kukenali. Entah campuran apa yang ada di dalamnya, ada sesuatu pada wanginya yang memesonaku. Manis tapi tidak terlalu manis. Aku membaca kotak pembungkusnya, berusaha mencari namanya. Amor amor.
Cocok sekali, gumamku, mengingat betapa banyak mas
alah percintaan yang kualami akhir-akhir ini. Tetapi aku tetap menyimpan parfum itu dan membungkus kembali sisanya.
Aku membawa kardus itu ke meja resepsionis lalu meminta pita perekat untuk menyegelnya lagi. Aku juga menanyakan arah ke kamar Adrian. Ternyata keluarga Ivashkov memiliki sayap tersendiri di penginapan. Letaknya tidak terlalu jauh dari kamar Tasha.
Merasa bagaikan gadis petugas pengiriman, aku berjalan menyusuri selasar lalu berhenti di depan pintu kamar Adrian. Sebelum aku sempat mengetuk, pintunya sudah terbuka, dan Adrian berdiri di hadapanku. Dia kelihatan sama terkejutnya denganku.
Dhampir Kecil, kata Adrian ramah. Tak kusangka akan bertemu denganmu di sini.
Aku ingin mengembalikan ini. Aku mengangsurkan kardus itu ke Adrian sebelum dia sempat protes. Adrian menerimanya dengan canggung, agak terhuyung karena kaget. Setelah berhasil memeganginya dengan mantap, Adrian mundur beberapa langkah lalu meletakkan kardusnya di lantai.
Apa tak ada yang kausukai" tanyanya. Mau kubelikan yang lain"
Jangan kirimi aku hadiah lagi.
Ini bukan hadiah. Ini layanan umum. Perempuan macam apa yang tak punya parfum"
Jangan lakukan itu lagi, kataku tegas.
Tiba-tiba, dari belakang Adrian terdengar sebuah suara, Rose" Kaukah itu"
Aku menatap ke balik tubuh Adrian. Lissa.
Sedang apa kau di sini"
Karena sakit kepala dan menduga Lissa menghabiskan waktu bersama Christian, pagi ini sebisa mungkin aku menghalau Lissa dari dalam pikiranku. Rasanya, aku akan langsung merasakan keberadaannya saat menghampiri ruangan tempatnya berada saat itu. Aku membuka pikiranku lagi, membiarkan kekagetan yang dirasakannya mengalir padaku. Lissa sama sekali tidak menyangka aku akan mendatangi kamar Adrian.
Kau sedang apa di sini" tanya Lissa.
Nona-Nona, kata Adrian menggoda kami. Kalian tak perlu memperebutkan aku.
Aku melotot. Enak saja. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi di sini.
Embusan aroma aftershave menerpaku, lalu aku mendengar sebuah suara di belakangku. Aku juga ingin tahu.
Aku terlonjak. Saat memutar tubuh, kulihat Dimitri berdiri di selasar. Aku sama sekali tidak tahu apa yang dilakukannya di sayap keluarga Ivashkov.
Dia sedang menuju kamar Tasha, kata sebuah suara di dalam kepalaku.
Tak diragukan lagi, Dimitri selalu menganggapku terlibat masalah, tetapi kurasa dia terkejut ketika melihat Lissa. Dimitri berjalan melewatiku, lalu bergantian menatap kami bertiga.
Murid perempuan dan lelaki tidak boleh saling mengunjungi kamar.
Aku tahu mengatakan bahwa Adrian sebenarnya bukan murid tak akan bisa melepaskan kami dari masalah. Kami mestinya tidak boleh berada di kamar pria mana pun.
Bagaimana caramu melakukannya" tanyaku pada Adrian dengan putus asa.
Melakukan apa" Terus-menerus membuat kami tampak buruk!
Adrian tergelak. Kalian berdualah yang datang ke kamarku.
Mestinya Anda tidak mengizinkan mereka masuk, Dimitri memarahinya. Aku yakin Anda tahu peraturan yang berlaku di St. Vladimir.
Adrian mengangkat bahu. Yeah, tapi aku tak perlu mengikuti peraturan bodoh sekolah mana pun.
Mungkin tidak, kata Dimitri dingin. Tapi kupikir Anda masih menghargai peraturan-peraturan itu.
Adrian memutar bola mata. Aku agak kaget melihatmu menasihati soal gadis-gadis di bawah umur.
Aku melihat amarah berkilat di mata Dimitri, dan sejenak kupikir aku akan melihatnya kehilangan kendali seperti yang terjadi ketika aku menggodanya. Namun, Dimitri tetap tenang dan hanya tinju terkepalnya yang menunjukkan betapa marahnya dia.
Lagi pula, lanjut Adrian, kami tidak berbuat mesum. Kami hanya bercengkerama.
Kalau Anda ingin bercengkerama dengan gadis-gadis muda, lakukan di tempat umum.
Aku tidak begitu suka mendengar Dimitri menyebut kami gadis-gadis muda , dan aku merasa reaksinya berlebihan. Aku juga curiga reaksinya berhubungan dengan kenyataan bahwa aku ada di sini.
Adrian tertawa mendengarnya, tawa aneh yang membuatku merinding. Gadis-gadis muda" Gadis-gadis muda" Yang benar saja. Tua dan muda pada saat bersamaan. Mereka bisa dibilang belum melihat apa pun dalam hidup ini, tapi mereka sebenarnya sudah
melihat terlalu banyak. Yang satu ditandai oleh kehidupan, yang lain oleh kematian & tapi kau malah mengkhawatirkan mereka" Khawatirkan saja dirimu sendiri, Dhampir. Khawatirkan dirimu dan khawatirkan diriku. Kitalah yang muda.
Kami semua menatapnya. Kurasa tak ada yang mengira Adrian tiba-tiba meracau seperti orang gila.
Adrian langsung tenang dan kembali terlihat seperti biasa. Dia membalikkan badan lalu menghampiri jendela, melirik kami dengan santai sambil mengeluarkan rokok.
Kalian para gadis sebaiknya pergi. Dia benar. Aku memang pengaruh buruk.
Aku berpandangan dengan Lissa. Kami cepat-cepat pergi dan mengikuti Dimitri menyusuri selasar menuju lobi.
Itu & aneh, kataku beberapa menit kemudian. Aku mengatakan sesuatu yang sudah jelas, tapi, yah, harus ada yang mengatakannya.
Sangat, kata Dimitri. Dia lebih terdengar bingung daripada marah.
Saat kami tiba di lobi, aku hendak mengikuti Lissa ke kamar kami, tetapi Dimitri memanggilku.
Rose, panggilnya. Bisa aku bicara denganmu"
Aku merasakan luapan emosi simpatik dari Lissa. Aku berbalik menghadap Dimitri dan melangkah ke sisi ruangan, menghindari orang-orang yang lalu-lalang. Ada sekelompok Moroi yang mengenakan berlian dan mantel bulu melewati kami, wajah mereka terlihat cemas. Para pelayan mengikuti di belakang mereka sambil membawakan koper. Masih banyak yang meninggalkan tempat ini untuk mencari tempat yang lebih aman. Ketakutan akibat Strigoi sama sekali belum berakhir.
Suara Dimitri menyentak perhatianku kembali padanya. Orang tadi Adrian Ivashkov. Nada suara Dimitri sama dengan nada semua orang saat menyebut nama Adrian.
Yeah, aku tahu. Ini kali kedua aku melihatmu bersamanya.
Yeah, jawabku sedikit berlebihan. Kadang-kadang kami menghabiskan waktu bersama-sama.
Dimitri mengangkat sebelah alis mata, lalu mengedikkan kepala ke arah kedatangan kami tadi. Kau sering menghabiskan waktu di dalam kamarnya"
Ada beberapa jawaban yang bermunculan di kepalaku, tetapi kemudian sebuah jawaban emas mengambil alih. Apa yang terjadi antara aku dan Adrian sama sekali bukan urusanmu. Aku berhasil mengatakannya dengan nada yang sangat mirip dengan nada bicara Dimitri saat mengatakan komentar serupa mengenai dirinya dan Tasha.
Sebenarnya, selama kau masih bersekolah di Akademi, semua yang kaulakukan itu urusanku.
Bukan untuk urusan pribadiku. Kau tidak punya hak dalam hal itu.
Kau belum bisa dianggap dewasa.
Hampir. Lagi pula, bukan berarti saat berulang tahun kedelapan belas nanti aku akan berubah menjadi dewasa secara ajaib.
Benar sekali, kata Dimitri.
Wajahku merona. Bukan itu maksudku. Maksudku
Aku tahu maksudmu. Dan sekarang semua masalah teknik itu tidak penting. Kau murid Akademi. Aku instrukturmu. Sudah menjadi tugasku untuk membantumu dan melindungimu. Berada di dalam kamar tidur bersama orang seperti dia & hmm, sama sekali tidak aman.
Aku sanggup menghadapi Adrian Ivashkov, gumamku. Dia orang yang aneh sangat aneh malah tapi tak berbahaya.
Diam-diam aku bertanya-tanya apakah sebenarnya Dimitri cemburu. Dia tidak menarik Lissa ke tepi ruangan dan memarahinya. Pikiran itu membuatku agak bahagia, tetapi kemudian aku teringat rasa penasaranku tadi tentang alasan Dimitri datang ke tempat itu.
Omong-omong soal kehidupan pribadi & Kurasa kau tadi ada di sana untuk mengunjungi Tasha, kan"
Aku tahu ucapanku sangat picik, dan aku menduga akan mendapatkan jawaban bukan urusanmu. Alih-alih, Dimitri menjawab, Sebenarnya, aku mengunjungi ibumu.
Kau akan mengencani ibuku juga" Tentu saja aku tahu bukan itu yang dimaksud Dimitri, tetapi ejekan ini sepertinya sulit untuk dilewatkan.
Sepertinya Dimitri juga menyadarinya dan hanya melirikku dengan letih. Tidak, kami sedang mempelajari data terbaru mengenai serangan Strigoi terhadap Drozdov.
Amarah dan sikap ketusku langsung menguap. Keluarga Drozdov. Keluarga Badica. Semua hal yang terjadi pagi ini mendadak terasa sangat tidak penting. Bagaimana mungkin aku berdiri di sini berdebat soal percintaan yang mungkin terjadi atau mungkin juga tidak, sedangkan Dimitri dan pengawal lainnya sedang be
rusaha melindungi kami"
Apa yang kalian temukan" aku bertanya pelan.
Kami berhasil melacak beberapa Strigoi, kata Dimitri. Atau setidaknya manusia yang ada bersama mereka. Beberapa saksi yang tinggal di dekat sana mengaku melihat mobil-mobil yang digunakan kelompok itu. Pelat nomornya berasal dari negara bagian yang berlainan kelompok itu sepertinya berpencar, mungkin untuk menyulitkan kita. Tapi ada beberapa saksi yang sempat melihat salah satu pelat nomornya. Pelat itu terdaftar dengan sebuah alamat di Spokane.
Spokane" tanyaku bingung. Spokane, Washington" Siapa yang menjadikan Spokane tempat persembunyian mereka" Aku pernah mengunjungi tempat itu sekali. Tempat itu sama membosankannya dengan kota terpencil lain yang ada di daerah barat laut.
Sepertinya kaum Strigoi, kata Dimitri serius. Alamatnya palsu, tapi bukti-bukti lain menunjukkan bahwa mereka ada di sana. Ada sebuah pusat perbelanjaan yang memiliki terowongan bawah tanah. Dan ada beberapa penampakan Strigoi di daerah itu.
Lalu & Aku mengerutkan kening. Kau akan mengejar mereka" Apakah ada yang akan mengejar mereka" Maksudku, ini kan yang selalu diucapkan Tasha selama ini & Kalau kita tahu di mana mereka berada &.
Dimitri menggelengkan kepala. Para pengawal tidak bisa melakukan apa-apa tanpa izin dari pihak berwenang. Hal itu takkan terjadi dalam waktu dekat.
Aku mendesah. Karena para Moroi terlalu banyak bicara.
Mereka bersikap hati-hati, kata Dimitri.
Aku kembali merasa bergairah. Ayolah. Bahkan kau pun tak ingin bersikap hati-hati dalam hal ini. Kalian sebenarnya tahu di mana Strigoi bersembunyi. Strigoi yang membantai anak-anak. Apa kau tak ingin mengejar mereka saat mereka lengah" Sekarang aku terdengar seperti Mason.
Tidak semudah itu, kata Dimitri. Kami harus mematuhi Dewan Pengawal dan pemerintah Moroi. Kami tak bisa pergi begitu saja dan bertindak secara impulsif. Lagi pula, informasi yang kami dapat belum lengkap. Kita tidak boleh memasuki situasi apa pun tanpa tahu semua detailnya.
Lagi-lagi pelajaran hidup ala Zen, desahku. Aku menyelipkan sehelai rambut ke belakang telinga. Omong-omong, kenapa kau memberitahuku semua ini" Ini kan urusan pengawal. Bukan sesuatu yang biasanya diberitahukan pada novis.
Dimitri memikirkan jawabannya dengan hati-hati, dan ekspresi wajahnya melembut. Dia memang selalu terlihat mengagumkan, tetapi aku paling suka melihatnya seperti ini. Aku mengucapkan beberapa hal & kemarin dan hari ini & yang seharusnya tidak kuucapkan. Sesuatu yang menghina umurmu. Sekarang umurmu baru tujuh belas tahun & tapi kau sudah mampu menangani dan menghadapi berbagai hal yang juga dihadapi orang-orang yang lebih tua darimu.
Dadaku terasa ringan dan mengawang. Benarkah"
Dimitri mengangguk. Dilihat dari mana pun, kau memang masih sangat muda dan bertingkah tidak dewasa tapi satu-satunya cara mengubahnya adalah dengan memperlakukanmu seperti orang dewasa. Aku harus lebih sering melakukannya. Aku tahu kau bisa menerima dan memahami betapa pentingnya informasi ini, dan merahasiakannya.
Aku tidak suka dikatakan bertingkah tidak dewasa, tetapi aku menyukai gagasan bahwa Dimitri akan bicara denganku seperti mitra sejajar.
Dimka, sebuah suara berkata. Tasha Ozera berjalan menghampiri kami. Dia tersenyum saat melihatku. Halo, Rose.
Hilang sudah suasana hatiku yang ceria. Hei, ucapku datar.
Tasha meletakkan tangan pada lengan Dimitri, jemarinya meluncur di atas mantel kulit Dimitri. Aku menatap jemari itu dengan marah. Berani-beraninya dia menyentuh Dimitri.
Tatapanmu seperti itu lagi, Tasha berkata padanya.
Tatapan apa" tanya Dimitri. Tatapan tegas yang sejak tadi ditunjukkan Dimitri di hadapanku langsung menghilang. Senyum tipis dan sok tahu melintas di bibirnya. Senyum yang hampir penuh canda.
Tatapan yang mengatakan bahwa kau akan bertugas seharian penuh.
Benarkah" Tatapanku seperti itu" Suara Dimitri terdengar menggoda dan meledek.
Tasha mengangguk. Kapan sesungguhnya giliran kerjamu selesai"
Dimitri sungguh-sungguh tampak aku bersumpah tersipu. Satu jam yang lalu.
Kau tak bisa terus-menerus begin
i, Tasha mengerang. Kau perlu istirahat.
Yah & kalau kau mempertimbangkan kenyataan bahwa aku harus selalu menjadi pengawal Lissa &.
Untuk sekarang, kata Tasha yakin. Aku merasa lebih mual daripada semalam. Di lantai atas sedang diadakan turnamen biliar.
Aku tak bisa, kata Dimitri, tetapi senyum masih menghiasi wajahnya. Meski aku sudah lama tidak memainkannya &.
Apa-apaan ini" Dimitri main biliar"
Tiba-tiba saja pembicaraan kami mengenai Dimitri yang ingin memperlakukanku seperti orang dewasa terasa tidak penting lagi. Sebagian diriku tahu itu pujian darinya tetapi sebagian diriku yang lain ingin Dimitri memperlakukanku seperti dia memperlakukan Tasha. Penuh canda. Menggoda. Santai. Mereka memperlakukan satu sama lain dengan akrab, benar-benar nyaman.
Kalau begitu, ayo, Tasha memohon. Hanya satu putaran! Kita bisa mengalahkan mereka semua.
Tidak bisa, ulang Dimitri. Dia terdengar sangat menyesal. Aku tidak bisa melakukannya, mengingat segala hal yang terjadi.
Tasha berubah menjadi agak serius. Tidak. Kurasa memang tidak bisa. Seraya melirik ke arahku, Tasha berkata dengan nada bercanda, Kuharap kau sadar panutan yang kaumiliki ini benar-benar pekerja keras. Dia tak pernah berhenti bertugas.
Yah, kataku, meniru nada suara Tasha yang terdengar mendayu-dayu, setidaknya, untuk sekarang.
Tasha terlihat bingung. Kurasa dia sama sekali tidak menduga aku akan mengolok-olok dirinya. Tatapan mata Dimitri yang muram menunjukkan bahwa dia tahu persis apa yang sedang kulakukan. Aku segera menyadari bahwa aku baru saja memusnahkan kemajuan apa pun yang tadi kudapatkan sebagai orang dewasa.
Urusan kita sudah selesai, Rose. Ingatlah apa yang kukatakan tadi.
Yeah, ucapku sambil berbalik pergi. Aku mendadak ingin pergi ke kamar dan bersantai sebentar. Hari ini sudah membuatku lelah. Pasti.
Aku belum beranjak terlalu jauh saat berpapasan dengan Mason. Ya Tuhan. Cowok di mana-mana.
Kau sedang marah, Mason langsung berkata saat melihat wajahku. Dia memiliki bakat khusus mengetahui suasana hatiku. Apa yang terjadi"
Ada sedikit & masalah dengan pihak berwenang. Pagi ini benar-benar aneh.
Aku mendesah, tak sanggup menyingkirkan Dimitri dari dalam otak. Saat menatap Mason, aku teringat bagaimana semalam aku ingin melakukan sesuatu yang serius dengannya. Aku pasti sudah gila. Aku tak sanggup membuat keputusan mengenai siapa pun. Aku memutuskan bahwa cara terbaik menyingkirkan cowok adalah dengan memberikan perhatian pada cowok lain, jadi aku merenggut tangan Mason lalu mengajaknya pergi.
Ayolah. Bukankah kita punya kesepakatan untuk pergi ke suatu tempat yang & em, pribadi hari ini"
Sepertinya kau sudah tidak mabuk lagi, canda Mason. Tetapi sorot matanya terlihat sangat serius. Dan tertarik dengan tawaranku. Kusangka kesepakatannya batal.
Hei, aku selalu membuktikan ucapanku, apa pun yang terjadi. Aku membuka pikiran, berusaha mencari Lissa. Dia sudah tidak ada di kamar. Lissa pergi ke suatu acara bangsawan, tidak diragukan lagi masih melakukan pemanasan untuk pesta makan malam besar-besaran yang akan diadakan oleh Priscilla Voda. Ayo, kataku. Kita pergi ke kamarku.
Selain Dimitri yang kebetulan melewati kamar orang lain, tidak ada yang sungguh-sungguh memedulikan peraturan soal kunjungan lawan jenis. Rasanya seperti kembali ke asrama Akademi. Saat aku dan Mason pergi ke lantai atas, aku memberitahunya informasi yang diceritakan Dimitri tadi, informasi mengenai Strigoi yang berada di Spokane. Tadi Dimitri memintaku merahasiakannya, tetapi aku marah padanya, dan menurutku tak ada salahnya jika aku memberitahu Mason. Aku tahu dia pasti tertarik mendengarnya.
Ternyata dugaanku benar. Mason marah saat mendengarnya.
Apa" seru Mason saat kami memasuki kamarku. Mereka tidak melakukan apa pun"
Aku mengangkat bahu dan duduk di tempat tidur. Dimitri bilang
Aku tahu, aku tahu & aku dengar yang kaukatakan tadi. Soal berhati-hati dan semacamnya. Mason mondar-mandir dengan marah di dalam kamar. Tapi kalau para Strigoi itu pergi mengejar Moroi lain & keluarga lain & sial! Kalau itu yang terjadi, mereka pas
ti berharap tidak bersikap sehati-hati itu.
Lupakan saja, kataku. Aku agak kesal karena diriku yang sedang berbaring di tempat tidur tidak sanggup mengalihkan Mason dari rencana bertempurnya yang sinting itu. Tak ada yang bisa kita lakukan.
Mason berhenti berjalan. Kita bisa pergi.
Pergi ke mana" aku bertanya dengan bodoh.
Ke Spokane. Ada bus yang bisa ditumpangi dari kota.
Aku & tunggu. Apa kau mengusulkan kita pergi ke Spokane dan melawan Strigoi"
Tentu saja. Eddie pasti mau ikut juga & kita bisa pergi ke mal itu. Mereka tak mungkin berkelompok terus, jadi kita bisa menunggu dan menculik mereka satu per satu &.
Aku hanya bisa menatapnya dengan hampa. Sejak kapan kau jadi sebodoh ini"
Oh, aku mengerti. Terima kasih atas kepercayaan yang kauberikan.
Ini bukan masalah kepercayaan, aku menyanggah, lalu berdiri dan menghampiri Mason. Kau sangat hebat dalam bertarung. Aku pernah melihatnya. Tapi ini & Bukan begini caranya. Kita tak bisa pergi begitu saja dan mengajak Eddie melawan Strigoi. Kita butuh lebih banyak orang. Lebih banyak perencanaan. Lebih banyak informasi.
Aku meletakkan tangan di dada Mason. Dia meletakkan tangan di atas tanganku dan tersenyum. Api pertempuran masih menyala-nyala di matanya, tetapi bisa kulihat perhatiannya mulai beralih pada urusan yang lebih cepat. Contohnya aku.
Aku tidak bermaksud menyebutmu bodoh, ucapku. Maafkan aku.
Kau hanya mengatakannya agar bisa mendapatkan keinginanmu.
Memang, kataku sambil tertawa, senang melihat Mason lebih santai. Pembicaraan ini mengingatkanku pada pembicaraan Christian dan Lissa saat mereka berada di loteng kapel.
Yah, katanya, kurasa aku tidak sulit dimanfaatkan.
Bagus. Karena ada banyak hal yang ingin kulakukan.
Tanganku merayap naik dan merangkul lehernya. Kulit Mason terasa hangat, dan aku teringat betapa nikmatnya mencium cowok ini semalam.
Tiba-tiba, tanpa alasan jelas, Mason berkata, Kau memang benar-benar muridnya.
Murid siapa" Murid Belikov. Hal itu terpikir olehku saat kau menyebut-nyebut soal membutuhkan lebih banyak informasi dan semacamnya. Tingkahmu persis seperti dia. Kau berubah menjadi serius setelah bergaul dengannya.
Tidak, aku tidak berubah menjadi serius.
Mason menarik tubuhku mendekat, tetapi tiba-tiba saja aku tidak merasa romantis lagi. Aku ingin bercumbu dan melupakan Dimitri sejenak, bukan membicarakannya. Dari mana datangnya semua ini" Mason seharusnya mengalihkan perhatianku.
Mason tidak menyadari ada sesuatu yang salah. Kau hanya berubah, itu saja. Itu tidak buruk & hanya berbeda.
Ada sesuatu dalam ucapannya yang membuatku marah, tetapi sebelum aku sempat membalas, Mason sudah menciumku. Pembicaraan yang tidak masuk akal tadi bisa dikatakan langsung lenyap. Sedikit amarah gelap mulai bangkit dalam diriku, tetapi aku langsung menyalurkannya ke dalam aktivitas fisik saat tubuh kami saling merapat. Aku menarik Mason ke tempat tidur, berhasil melakukannya tanpa berhenti berciuman. Aku mencengkeram punggung Mason, sementara tangannya meraih leherku dan melepaskan kucirku. Mason membelai rambutku yang tergerai, lalu mencium leherku.
Kau & mengagumkan, kata Mason. Dan aku tahu dia sungguh-sungguh. Wajahnya berbinar oleh rasa sayangnya untukku.
Aku melengkungkan punggung sehingga bibir Mason menekan kulitku lebih keras sementara tangannya terselip ke dalam kausku. Tangan itu merayap ke perutku, dan sekilas menyentuh pinggir bra-ku.
Mengingat kami baru saja berdebat beberapa menit yang lalu, aku terkejut keadaannya bisa memanas secepat ini. Namun, sejujurnya & aku tidak keberatan. Beginilah caraku menjalani hidup. Segala sesuatunya selalu berjalan cepat dan dalam saat bersamaku. Ketika aku dan Dimitri menjadi korban mantra kompulsi gairah Victor Dashkov, ada hasrat membara yang terlibat. Tetapi Dimitri berhasil mengendalikannya, jadi terkadang kami bersikap santai & dan hal itu tetap mengagumkan dengan cara tersendiri. Tetapi lebih sering kami tak sanggup menahan diri. Dan aku bisa merasakannya sekarang. Bagaimana tangan Mason menelusuri tubuhku. Ciumannya dalam dan kuat.
Pada saat itulah aku tiba-tib
a menyadari sesuatu. Aku sedang berciuman dengan Mason, tetapi dalam benakku aku sedang melakukannya bersama Dimitri. Dan aku bukan sekadar mengingat saat sedang bersamanya. Bisa dibilang aku membayangkan diriku bersama Dimitri saat ini juga menghidupkan kembali malam itu. Sangat mudah untuk berpura-pura dengan kedua mata terpejam.
Namun, saat membuka mata dan menatap mata Mason, aku tahu dialah yang sedang bersamaku. Mason memujaku dan menginginkanku sejak dulu. Jika aku melakukan semua ini & bercumbu dengannya dan berpura-pura sedang melakukannya dengan orang lain &.
Maka tindakanku salah. Aku menggeliat menghindari sentuhannya. Tidak & jangan.
Mason langsung berhenti, karena dia memang jenis cowok seperti itu.
Terlalu berlebihan" dia bertanya. Aku mengangguk. Tak apa-apa. Kita tak perlu melakukannya.
Mason mulai mendekatiku lagi, tetapi aku menjauh. Tidak, aku hanya tidak & entahlah. Kita hentikan saja, oke"
Aku &. Sejenak Mason tak sanggup berkata-kata. Apa yang terjadi dengan banyak hal yang ingin kaulakukan tadi"
Yeah & kelihatannya memang buruk, tapi aku bisa bilang apa" Aku tak bisa bermesraan denganmu, karena saat melakukannya aku terus-menerus teringat pada cowok lain yang sebenarnya kuinginkan. Kau hanya pemeran pengganti.
Aku menelan ludah, tiba-tiba merasa bodoh. Maaf, Mase. Aku tak bisa melakukannya.
Mason duduk tegak dan menyapu rambutnya. Oke. Tak apa-apa.
Aku bisa mendengar nada tegas dalam suaranya. Kau marah.
Mason melirikku, ekspresi wajahnya terlihat kesal. Aku hanya bingung. Aku tak mengerti sinyal-sinyal yang kauberikan. Sesaat kau bersikap hangat, sesaat kemudian berubah menjadi dingin. Kau bilang menginginkanku, lalu kau bilang tak menginginkanku. Kalau kau memutuskan salah satu di antaranya, tak ada masalah, tapi kau selalu membuatku menduga-duga, tapi akhirnya malah melakukan sesuatu yang benar-benar berbeda. Bukan hanya sekarang tapi setiap saat.
Apa yang diucapkan Mason memang benar. Aku terus-menerus memainkan perasaannya. Terkadang aku menggoda Mason, kali lain aku benar-benar mengabaikannya.
Apa kau ingin aku melakukan sesuatu" tanya Mason saat aku tidak mengatakan apa-apa. Sesuatu yang akan & entahlah. Membuatmu lebih nyaman bersamaku"
Entahlah, jawabku lemah.
Mason mendesah. Kalau begitu, apa yang kauinginkan"
Dimitri, pikirku. Alih-alih mengatakannya, aku mengulangi jawabanku. Entahlah.
Seraya menggeram, Mason berdiri lalu berjalan ke pintu. Rose, untuk seseorang yang mengaku ingin mendapatkan informasi sebanyak mungkin, masih banyak yang harus kaupelajari tentang dirimu sendiri.
Pintu kamar terbanting setelah Mason keluar. Suaranya membuatku tersentak, dan saat aku menatap tempat Mason tadi berdiri, aku sadar dia benar. Aku memang masih harus banyak belajar.
BAB ENAM BELAS SIANG HARINYA LISSA menemuiku. Aku tertidur setelah Mason pergi, terlalu sedih untuk meninggalkan tempat tidur. Bantingan pintu Lissa membangunkan aku.
Aku senang bertemu dengan Lissa. Aku ingin mencurahkan semua kejadian bersama Mason tadi, tetapi sebelum melakukannya, aku membaca pikirannya dulu. Pikiran Lissa sama gundahnya dengan perasaanku. Jadi, seperti biasa, aku mendahulukan kepentingannya.
Apa yang terjadi" Lissa duduk di atas tempat tidur, melesak ke dalam selimut bulu angsa, perasaannya menunjukkan bahwa dia sedang marah sekaligus sedih. Christian.
Benarkah" Aku tidak pernah melihat mereka bertengkar. Mereka sering saling mengolok, tetapi canda mereka bukan sesuatu yang bisa membuat Lissa menangis.
Dia tahu & tadi pagi aku bersama Adrian.
Oh, wow, aku berkata. Yeah. Itu memang bisa bikin masalah. Aku berdiri, lalu menghampiri meja rias dan mencari sisir. Seraya menyipitkan mata, aku berdiri di hadapan cermin berpigura emas sepuhan lalu mulai menyisir rambutku yang kusut karena tidur siang.
Lissa mengerang. Tapi tak ada yang terjadi! Kemarahan Christian tidak masuk akal. Aku heran dia tak memercayaiku.
Christian percaya. Semua ini memang aneh, itu saja. Aku teringat pada Dimitri dan Tasha. Rasa cemburu membuat orang melakukan dan mengatakan hal-hal bodoh.
Tapi tak ada yang terjadi, ulang Lissa. Maksudku, kau juga ada di sana dan hei, sampai sekarang aku belum mendapatkan jawaban. Kenapa kau tadi ke sana"
Adrian mengirimiku beberapa parfum.
Dia maksudmu kardus raksasa yang tadi kaubawa"
Aku mengangguk. Whoa. Yeah. Aku datang untuk mengembalikannya, jawabku. Pertanyaannya adalah, apa yang kaulakukan di sana"
Hanya mengobrol, kata Lissa. Lissa terlihat bersemangat, nyaris mengatakan sesuatu, namun tiba-tiba berhenti. Aku merasa pikiran itu hampir tiba di permukaan, tetapi kemudian tersingkir lagi ke belakang. Banyak yang ingin kuceritakan, tapi kau harus bilang dulu apa yang terjadi padamu.
Tak ada yang terjadi. Terserah apa katamu, Rose. Aku memang bukan peramal sepertimu, tapi aku selalu tahu kalau kau sedang kesal. Kau agak muram sejak Natal. Ada apa"
Sekarang bukan saat yang tepat untuk membicarakan apa yang terjadi ketika Natal, ketika ibuku memberitahuku tentang Tasha dan Dimitri. Tetapi aku menceritakan soal Mason membuang bagian alasan aku tiba-tiba berhenti dan hanya menceritakan bahwa aku melakukannya.
Hmm & ucap Lissa setelah aku selesai bercerita, kau berhak melakukannya.
Aku tahu. Tapi bisa dibilang aku yang memancingnya. Aku mengerti kenapa dia kesal.
Tapi kalian masih bisa memperbaikinya. Bicaralah padanya. Dia tergila-gila padamu.
Ini bukan sekadar salah paham. Keadaan di antara aku dan Mason tak bisa diperbaiki begitu saja. Entahlah, aku berkata. Tidak semua orang sepertimu dan Christian.
Wajah Lissa langsung muram. Christian. Aku masih tak percaya dia bersikap sebodoh ini.
Aku tidak bermaksud melakukannya, tetapi aku tertawa. Liss, kalian berdua pasti langsung berbaikan dan berciuman lagi dalam satu hari saja. Mungkin lebih dari berciuman.
Kata-kata itu meluncur begitu saja sebelum sempat kucegah. Mata Lissa melebar. Kau tahu. Lissa menggeleng kesal. Tentu saja kau tahu.
Sori, kataku. Aku tidak berniat mengatakan aku tahu soal seks mereka, setidaknya sampai dia menceritakannya sendiri padaku.
Lissa memelototiku. Berapa banyak yang kautahu"
Em, tidak banyak, aku berbohong. Aku sudah selesai menyisir rambut, tetapi mulai mempermainkan gagang sisir untuk menghindari tatapan mata Lissa.
Aku harus belajar mencegahmu memasuki kepalaku, gumamnya.
Itu satu-satunya caraku bisa bicara denganmu akhir-akhir ini. Kelepasan omong lagi.
Apa maksud ucapanmu itu" tuntut Lissa.
Bukan apa-apa & aku & Lissa menatapku dengan tajam. Aku & entahlah. Aku hanya merasa akhir-akhir ini kita jarang mengobrol seperti dulu lagi.
Butuh kedua belah pihak untuk memperbaiki masalah itu, kata Lissa, suaranya terdengar manis lagi.
Kau benar, kataku, tanpa menyebutkan bahwa kedua pihak bisa memperbaiki masalah itu selama salah satu tidak selalu menghabiskan waktu bersama pacarnya. Memang, aku merasa bersalah karena sering merahasiakan sesuatu tetapi akhir-akhir ini aku selalu ingin menceritakannya pada Lissa. Waktunya seperti tidak pernah tepat sekarang pun tidak. Tahukah kau, aku tidak pernah mengira kau akan melakukannya duluan. Atau, kurasa aku tidak pernah menyangka aku masih perawan saat sudah menjadi murid senior.
Yeah, Lissa berkata datar. Aku juga.
Hei! Apa maksud ucapanmu itu"
Lissa nyengir, lalu melirik jam tangannya. Senyumnya menghilang. Uh. Aku harus pergi ke pesta makan malam Priscilla. Seharusnya Christian pergi denganku, tetapi tiba-tiba dia bersikap seperti idiot &. Dia menatapku penuh harap.
Apa" Tidak. Ayolah, Liss. Kau tahu betapa bencinya aku pada urusan bangsawan seperti itu.
Oh, ayolah, Lissa memohon. Christian sudah gugur. Kau tak boleh melemparku ke tengah serigala. Dan bukankah barusan kaubilang kita harus lebih sering mengobrol" Aku mengerang. Lagi pula, kalau sudah menjadi pengawalku, kau harus melakukan hal semacam ini setiap saat.
Aku tahu, kataku muram. Kupikir setidaknya aku bisa menikmati enam bulan terakhir kebebasanku.
Namun, pada akhirnya Lissa berhasil membujukku untuk ikut dengannya, seperti yang sudah bisa ditebak.
Kami tidak punya banyak waktu, dan aku harus buru-buru mandi, menge
ringkan rambut, dan merias wajah. Aku telah membawa gaun pemberian Tasha karena dorongan hati semata. Namun sekarang, meski masih ingin Tasha sangat menderita karena menyukai Dimitri, aku merasa bersyukur atas hadiahnya ini. Aku mengenakan gaun sutra itu, dan senang saat melihat warna merahnya tampak sangat keren saat kupakai, persis seperti yang kubayangkan. Gaunnya panjang, bergaya Asia, dan kainnya dihiasi bordiran bunga. Kerahnya yang tinggi dan lengannya yang panjang menutupi sebagian besar kulitku, tetapi bahannya menempel pada tubuh dan terlihat seksi dalam cara yang berbeda dari yang dihasilkan gaun model terbuka. Mata lebamku bisa dikatakan sudah tidak tampak lagi.
Seperti biasa, Lissa tampak mengagumkan. Dia mengenakan gaun berwarna ungu tua rancangan Johnna Raski, seorang perancang Moroi terkenal. Gaunnya tanpa lengan dan terbuat dari bahan satin. Kristal-kristal kecil menyerupai batu kecubung yang dipasang pada tali gaun terlihat berkilau di atas kulit Lissa yang pucat. Lissa menata rambutnya menjadi sebuah cepol longgar yang terlihat sangat bergaya.
Saat tiba di ruang pesta, kami menarik perhatian beberapa pasang mata. Kurasa para bangsawan tidak menduga sang putri Dragomir akan membawa teman dhampir-nya ke pesta makan malam yang sudah ditunggu-tunggu dan hanya terbuka bagi para undangan ini. Tetapi pada kartu undangan Lissa tertera dan teman . Aku dan Lissa duduk di salah satu meja bersama beberapa bangsawan yang namanya langsung terlupakan olehku. Mereka dengan senang hati mengabaikan aku, dan aku senang diabaikan oleh mereka.
Lagi pula, masih banyak hal lain yang lebih menarik untuk diperhatikan. Ruang pesta ditata dalam warna perak dan biru. Kain sutra berwarna biru langit tengah malam melapisi meja-meja, kainnya sangat mengilat dan mulus sehingga aku takut untuk makan di atasnya. Tempat lilin tergantung di seluruh dinding, dan di salah satu sudut ruangan terdapat perapian berhias kaca patri dengan api yang berderak-derak di dalamnya. Efek yang dihasilkan berupa panorama warna dan cahaya yang mengagumkan, menyilaukan mata. Di sudut ruangan, seorang wanita Moroi bertubuh langsing memainkan alat musik selo dengan lembut, wajahnya tampak menerawang saat pikirannya terpusat pada lagu. Suara gelas-gelas kristal berisi anggur yang berdenting melengkapi nada rendah dan manis yang dihasilkan dawai-dawai itu.
Makan malamnya juga sama mengagumkan. Makanannya beraneka macam, tetapi aku mengenali setiap makanan yang disajikan di atas piringku (piring keramik, tentu saja) dan menyukai semuanya. Di sini tidak ada foie gras. Ikan salmon dengan saus jamur shiitake. Salad dengan buah pir dan keju kambing. Pastry lembut berisi kacang almond sebagai hidangan pencuci mulut. Satu-satunya keluhanku adalah porsinya yang sedikit. Seolah makanan itu hanya sebagai penghias piring, dan aku berani sumpah menghabiskannya dalam sepuluh gigitan saja. Moroi memang masih membutuhkan makanan selain darah yang mereka minum, tetapi kebutuhan mereka tidak sebanyak manusia atau, katakanlah seorang gadis dhampir dalam masa pertumbuhan.
Meski begitu, makanannya saja sudah membuat kedatanganku ke tempat ini menjadi tidak sia-sia, pikirku. Sayang, seusai makan malam, Lissa bilang kami belum bisa meninggalkan pesta.
Kita harus berbaur, bisiknya.
Berbaur" Lissa tertawa melihat ketidaknyamananku. Kaulah yang senang bergaul.
Itu memang benar. Dalam sebagian besar kesempatan, akulah yang sering membuka diri dan tidak takut bicara dengan orang lain. Lissa cenderung lebih pemalu. Namun, dalam kelompok ini, keadaannya terbalik. Ini daerah kekuasaan Lissa, bukan daerah kekuasaanku. Dan aku benar-benar takjub saat melihat betapa luwesnya Lissa bergaul dengan kalangan atas. Sikapnya sempurna, anggun dan sopan. Semua orang ingin mengobrol dengannya, dan sepertinya Lissa selalu tahu jawaban yang tepat. Sebenarnya Lissa tidak menggunakan kompulsi, tetapi dia memancarkan aura yang seakan menarik orang lain untuk berada di dekatnya. Kurasa itu mungkin efek roh yang muncul tanpa disadari. Bahkan dengan pengobatan yang sedang dijalaninya, karisma sihir dan a
laminya tetap terpancar. Kalau dulu baginya interaksi sosial terasa dipaksakan dan membuatnya sangat tertekan, sekarang Lissa melakukan semua itu dengan santai. Aku bangga padanya. Sebagian besar obrolan berisi topik-topik ringan: fashion, kehidupan cinta para bangsawan, dan lain-lain. Sepertinya tak ada yang ingin merusak suasana dengan membicarakan Strigoi.
Jadi, aku menempel di sisi Lissa sepanjang sisa malam itu. Aku berusaha menghibur diri dengan menganggap semua ini sebagai latihan untuk masa depan, saat aku akan mengikuti ke mana pun Lissa pergi, bagaikan bayangan bisu. Sejujurnya, aku merasa sangat tidak nyaman dengan kelompok ini, dan aku tahu mekanisme pertahananku yang ketus tidak akan berguna di sini. Lagi pula, aku sadar betul bahwa akulah satu-satunya tamu dhampir pada makan malam ini. Memang ada dhampir lain, tetapi mereka sedang bertugas secara resmi sebagai pengawal, bergerak mengintai ke sekeliling ruangan.
Kami menghampiri sebuah kelompok kecil yang suaranya terdengar semakin nyaring. Aku mengenali salah satu dari mereka. Dia cowok yang perkelahiannya kulerai. Alih-alih celana renang, kali ini dia mengenakan setelan tuksedo hitam rapi. Dia mendongak saat kami mendekat, terang-terangan menatap kami, tetapi sepertinya tidak mengingatku. Dia mengabaikan kami, lalu melanjutkan perdebatannya. Tidak mengejutkan, mereka sedang membicarakan perlindungan kaum Moroi. Dialah yang mendukung kaum Moroi untuk ikut menyerang Strigoi.
Apa yang tidak kaupahami dari kata-kata bunuh diri " kata seorang pria yang berdiri di dekatnya. Pria itu berambut keperakan dan berkumis lebat. Dia juga memakai tuksedo, tetapi si cowok yang lebih muda kelihatan jauh lebih keren darinya. Melatih Moroi sebagai serdadu akan menjadi akhir ras kita.
Ini bukan bunuh diri, seru si cowok muda. Ini sesuatu yang harus kita lakukan. Kita harus mulai menjaga diri sendiri. Belajar bertarung dan menggunakan sihir adalah aset terbesar kita, selain pengawal.
Ya, tapi dengan adanya pengawal, kita tidak membutuhkan aset yang lain, kata si Rambut Perak. Kau terlalu sering mendengarkan orang-orang yang bukan bangsawan. Mereka tidak punya pengawal pribadi, jadi tentu saja ketakutan. Tapi itu bukan alasan untuk menyeret kita dan mempertaruhkan hidup kita dalam risiko sebesar itu.
Kalau begitu jangan, tiba-tiba Lissa berkata. Suaranya lembut, tetapi semua orang yang ada di dalam kelompok kecil ini berhenti bicara dan menatapnya. Saat kau berbicara tentang Moroi yang mempelajari cara bertarung, kedengarannya seperti masalah yang pilihannya hanya ya atau tidak. Bukan begitu. Kalau tak mau bertarung, kau tak perlu melakukannya. Aku sepenuhnya mengerti. Si Rambut Perak agak melunak. Tapi itu karena kau bisa mengandalkan pengawal. Banyak Moroi yang tidak melakukannya. Dan kalau mereka ingin mempelajari pertahanan diri, tak ada alasan untuk melarang mereka.
Si cowok yang lebih muda tersenyum penuh kemenangan pada lawannya. Nah, kau sudah mengerti"
Tapi tidak semudah itu, jawab si Rambut Perak. Kalau masalahnya hanya soal orang-orang sinting seperti kalian yang ingin mati, terserah. Lakukan saja. Tapi memangnya di mana kalian akan mempelajari keahlian yang kalian sebut sebagai ilmu bertarung ini"
Kami akan mempelajari sihir sendiri. Pengawal akan mengajari kami cara bertarung yang sesungguhnya.
Nah, kaulihat" Aku tahu ujungnya pasti akan seperti ini. Meski kami semua tak mau ambil bagian dalam misi bunuh dirimu itu, kau bermaksud merebut para pengawal kami untuk melatih pasukan gadungan kalian.
Si cowok muda mendengus saat mendengar kata gadungan, dan aku mulai penasaran apakah akan ada tinju yang melayang. Kau berutang pada kami.
Tidak, mereka tidak berutang padamu, kata Lissa.
Tatapan penasaran berbalik ke arahnya. Kali ini, si Rambut Perak yang menatap Lissa dengan penuh kemenangan. Wajah si cowok yang lebih muda memerah karena marah.
Pengawal adalah sumber daya termpur terbaik yang kita miliki.
Memang, Lissa sependapat, tapi bukan berarti kau berhak merenggut mereka dari tugas mereka begitu saja. Si Rambut Perak bisa dibil
ang terlihat berbinar. Kalau begitu, bagaimana cara kita belajar" tuntut si cowok muda.
Sama seperti yang dilakukan pengawal, Lissa menjelaskan. Kalau mau mempelajari cara bertarung, pergilah ke Akademi. Bentuk kelas-kelas baru dan mulailah dari awal, sama seperti yang dilakukan para novis. Dengan begitu, kau tidak merebut pengawal yang sedang melakukan perlindungan secara aktif. Akademi merupakan lingkungan yang aman, lagi pula pengawal yang ada di sana memang memiliki keahlian untuk mengajar murid. Lissa berhenti sejenak dan tampak berpikir. Kau bahkan bisa memulai kelas bela diri dari kurikulum standar untuk murid-murid yang memang sudah bersekolah di sana.
Semua orang menatap Lissa dengan takjub, termasuk aku. Itu solusi yang elegan, dan semua orang di sekitar kami pun menyadarinya. Solusi ini tidak seratus persen memenuhi tuntutan kedua pihak, tetapi menghasilkan suatu cara yang tidak merugikan pihak mana pun. Sungguh genius. Moroi lainnya mengamati Lissa dengan kagum dan terpana.
Tiba-tiba saja semua orang mulai bicara pada saat yang sama, mereka bersemangat dengan gagasan ini. Mereka menarik Lissa mendekat, dan pembicaraan mengenai rencana Lissa ini segera berlangsung penuh semangat. Aku terdorong ke samping dan memutuskan itu tidak masalah. Kemudian, aku menjauh lalu mencari sebuah sudut di dekat pintu.
Di tengah jalan aku melewati seorang pelayan yang membawa nampan berisi hors d oeuvres makanan pembuka. Karena masih lapar, aku menatap makanan itu dengan curiga, tetapi tidak melihat sesuatu yang kelihatan seperti foie gras yang kulihat tempo hari. Aku menunjuk makanan yang kelihatan seperti tumisan daging mentah.
Apa itu hati angsa" tanyaku.
Pelayan wanita itu menggeleng. Sweetbread.
Kedengarannya tidak terlalu buruk. Aku mengulurkan tangan untuk mengambilnya.


Frostbite Vampire Academy 2 Karya Richelle Mead di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itu pankreas, sebuah suara di belakangku berkata. Aku menarik tanganku lagi.
Apa" suaraku terdengar mencicit. Si pelayan menganggap kekagetanku itu sebagai penolakan, dan berlalu.
Adrian Ivashkov beringsut ke dalam jangkauan pandangku. Dia terlihat sangat menikmati kejadian tadi.
Kau main-main, kan" tanyaku. Sweetbread itu pankreas" Aku tak tahu kenapa aku harus sekaget ini. Moroi mengonsumsi banyak darah. Apa salahnya dengan jeroan hewan" Meski begitu, aku menahan diri agar tidak bergidik.
Adrian mengangkat bahu. Rasanya sangat enak.
Aku menggeleng jijik. Astaga. Orang-orang kaya memang payah.
Adrian semakin geli mendengarnya. Apa yang kaulakukan di sini, Dhampir Kecil" Kau membuntutiku, ya"
Tentu saja tidak, aku mendengus. Seperti biasa, Adrian berdandan sempurna. Apalagi setelah masalah yang kausebabkan pada kami.
Adrian menyunggingkan senyum menggoda yang menjadi ciri khasnya, dan meskipun dia membuatku kesal, lagi-lagi aku merasakan keinginan tak tertahankan untuk berada di dekatnya. Apa-apaan ini"
Entahlah, Adrian meledekku. Saat ini dia kelihatan sepenuhnya waras, tidak menunjukkan jejak-jejak perilaku aneh yang kusaksikan saat berada di kamarnya. Dan yeah, dia kelihatan jauh lebih pantas memakai tuksedo daripada lelaki mana pun yang sejauh ini kulihat di tempat ini. Sudah berapa kali kita bertemu" Lima kali" Sepertinya mulai terlihat mencurigakan. Tapi jangan takut. Aku takkan memberitahu pacarmu kok. Dua-duanya.
Aku membuka mulut untuk protes, tetapi teringat Adrian tadi melihatku sedang bersama Dimitri. Aku tidak mau terlihat tersipu. Aku hanya punya satu pacar. Bisa dibilang begitu. Lagi pula, aku tak perlu menceritakannya. Aku bahkan tak suka padamu.
Benarkah" tanya Adrian, masih tersenyum. Dia membungkuk ke arahku, seolah ingin menceritakan sebuah rahasia. Kalau begitu, kenapa kau memakai parfum dariku"
Kali ini aku benar-benar tersipu. Aku mundur satu langkah. Tidak.
Adrian tertawa. Tentu saja kau memakainya. Aku menghitung kotak parfumnya setelah kau pergi. Lagi pula, aku bisa menciumnya pada tubuhmu sekarang. Wanginya enak. Tajam & tapi tetap manis dan aku yakin itulah dirimu yang sebenarnya. Dan kau tahu, kau memakainya dengan pas. Cukup menambah keharuman & tapi tidak sampai menenggelamkan aroma
alamimu. Cara Adrian mengatakan aroma membuat kata itu terdengar cabul.
Bangsawan Moroi mungkin membuatku tidak nyaman, tetapi lain halnya dengan cowok sok yang menggodaku. Aku sering berurusan dengan mereka. Aku membuang rasa malu dan mengingat siapa diriku yang sebenarnya.
Hei, kataku sambil mengayunkan rambut ke balik pundak. Aku berhak mengambilnya. Kau kan yang menawarkannya padaku. Kau saja yang berpikir macam-macam, padahal sebenarnya itu bukan masalah besar. Kecuali mungkin kau seharusnya lebih berhati-hati dalam membuang uang.
Ooh, Rose Hathaway hadir di sini untuk ikut bermain, Saudara-Saudara. Adrian berhenti sejenak lalu mengambil gelas yang sepertinya berisi sampanye dari seorang pelayan yang melintas. Kau mau"
Aku tidak minum alkohol. Yang benar saja. Adrian tetap memberiku satu gelas, lalu menyuruh si pelayan pergi dan meminum sampanyenya. Aku punya firasat itu bukan gelas pertamanya untuk malam ini. Nah. Sepertinya Vasilisa berhasil mempermalukan ayahku.
Ayah & Aku melirik kelompok yang baru saja kutinggalkan. Si Rambut Perak masih berdiri di sana, menggerak-gerakkan tangan dengan penuh semangat. Pria itu ayahmu"
Ibuku bilang begitu. Kau sependapat dengannya" Bahwa Moroi yang ikut bertarung sama saja bunuh diri"
Adrian mengangkat bahu dan menyesap minumannya lagi. Bisa dibilang aku tak punya pendapat soal itu.
Itu tidak mungkin. Bagaimana mungkin kau tidak mendukung salah satunya"
Entah. Bukan sesuatu yang ingin kupikirkan. Banyak hal lain yang lebih menarik untuk dilakukan.
Contohnya menguntitku, aku menuduhnya. Dan Lissa. Aku masih ingin tahu mengapa Lissa ada di kamar Adrian.
Adrian tersenyum lagi. Sudah kubilang, kaulah yang membuntutiku.
Ya, ya, aku tahu. Lima kali Aku berhenti. Lima kali"
Adrian mengangguk. Tidak, kita baru bertemu empat kali. Aku menghitung dengan tanganku yang tidak memegang gelas. Malam pertama kali kita bertemu, malam hari di spa, lalu saat aku mendatangi kamarmu, dan malam ini.
Senyum Adrian berubah penuh rahasia. Kalau kaubilang begitu.
Memang begitu & Ucapanku kembali menggantung. Aku pernah mengobrol dengan Adrian pada satu kesempatan lain. Yah, bisa dibilang begitu. Maksudmu bukan &
Apa maksudku" Kedua mata Adrian berbinar oleh ekspresi penasaran dan bersemangat. Tatapannya lebih terlihat berharap daripada angkuh.
Aku menelan ludah, teringat pada mimpiku. Bukan apa-apa. Tanpa berpikir panjang, aku meminum sampanye. Dari seberang ruangan, perasaan Lissa membara ke dalam diriku, tenang dan bahagia. Bagus.
Kenapa kau tersenyum" tanya Adrian.
Karena Lissa masih ada di sana, memesona kerumunan itu.
Tidak mengherankan. Vasilisa adalah orang yang sanggup memesona siapa pun jika dia berusaha cukup keras. Bahkan orang-orang yang membencinya.
Aku menatap Adrian dengan sinis. Aku merasa seperti itu saat bicara denganmu.
Tapi kau kan tidak membenciku, kata Adrian, menghabiskan sampanye. Tidak terlalu.
Tapi aku juga tidak menyukaimu.
Kau terus-menerus mengatakan itu. Adrian bergerak mendekatiku, tidak mengancam, hanya mempersempit jarak di antara kami. Tapi aku bisa menerimanya.
Rose! Suara tajam ibuku membelah udara. Beberapa orang yang berada dalam jangkauan dengar langsung melirik ke arah kami. Ibuku yang tingginya hanya satu setengah meter menghambur marah ke arah kami.
BAB TUJUH BELAS APA YANG KAULAKUKAN" tuntutnya. Menurutku suaranya masih terlalu lantang.
Tak ada, aku Permisi, Lord Ivashkov, gumam ibuku. Kemudian, seakan aku masih berumur lima tahun, dia merenggut lenganku dan menarikku keluar dari ruangan. Sampanyeku menciprat ke luar dari gelas dan mengenai bagian bawah gaunku.
Apa yang kaulakukan" seruku saat kami sudah berada di selasar. Dengan sedih, aku menunduk menatap gaunku. Ini dari sutra. Kau mungkin sudah merusaknya.
Ibuku merebut gelas sampanye dan meletakkannya di meja di dekat kami. Bagus. Mungkin itu akan membuatmu berhenti berpakaian seperti pelacur murahan lagi.
Whoa, aku berseru kaget. Ucapanmu cukup kasar. Dan kenapa kau tiba-tiba bersikap keibuan seperti ini" Aku menudi
ng gaunku. Gaun ini tidak bisa dibilang murahan. Kau bahkan pernah bilang Tasha baik sekali karena menghadiahiku gaun ini.
Aku bilang begitu karena tidak menduga kau akan memakainya bersama seorang Moroi dan membuat dirimu jadi tontonan.
Aku tidak membuat diriku jadi tontonan. Lagi pula, gaun ini menutupi seluruh tubuh.
Gaun seketat itu sama saja dengan memperlihatkan semua bagian tubuh, bentaknya. Ibuku, tentu saja, mengenakan pakaian pengawal berwarna hitam, celana berpotongan resmi warna hitam dan blazer yang serasi. Ibuku sendiri memiliki tubuh yang cukup berlekuk, tetapi semua itu tersembunyi di balik pakaiannya.
Apalagi kalau kau sedang bersama kelompok seperti itu. Tubuhmu & sangat menarik perhatian. Dan menggoda seorang Moroi tidak menjadikannya lebih baik.
Aku tidak menggodanya. Tuduhan itu membuatku marah karena akhir-akhir ini aku merasa berkelakuan baik. Biasanya aku selalu bergenit-genit dan melakukan hal lainnya dengan cowok Moroi, tetapi setelah mengobrol beberapa kali dan mengalami satu kejadian memalukan bersama Dimitri, aku menyadari betapa bodohnya hal itu. Para cewek dhampir memang harus berhati-hati dalam menghadapi cowok Moroi, dan sekarang aku selalu mengingat hal itu.
Sebuah hal picik tiba-tiba tebersit dalam benakku. Lagi pula, kataku dengan nada mencemooh, bukankah ini yang mestinya kulakukan" Berhubungan dengan seorang Moroi dan memperbanyak rasku" Itulah yang kaulakukan.
Ibuku merengut. Tidak saat seusiamu.
Kau hanya beberapa tahun lebih tua dariku saat itu.
Jangan bertindak bodoh, Rose, katanya. Kau masih terlalu muda untuk punya bayi. Kau belum berpengalaman kau bahkan belum menjalani kehidupan sendiri. Kau takkan bisa mendapatkan pekerjaan yang kauinginkan.
Aku mengerang, benar-benar merasa dipermalukan. Benarkah kita membahas ini" Bagaimana mungkin tuduhan aku sedang menggoda cowok Moroi tiba-tiba berubah menjadi bagaimana kalau aku punya bayi" Aku tidak berhubungan seks dengannya atau siapa pun juga, dan kalaupun melakukannya, aku tahu alat pencegah kehamilan. Kenapa kau bicara seolah aku anak kecil"
Karena kau bertingkah seperti anak kecil. Persis yang dikatakan Dimitri.
Aku melotot. Dan kau sekarang akan menghukumku dengan menyuruhku pergi ke kamar"
Tidak, Rose. Tiba-tiba saja ibuku terlihat lelah. Kau tak perlu kembali ke kamar, tapi jangan kembali ke dalam juga. Semoga kau tidak terlalu menarik perhatian.
Kau bereaksi seolah aku baru saja menari erotis bersama seorang cowok di dalam sana, kataku. Aku hanya makan malam bersama Lissa.
Kau pasti kaget kalau tahu apa saja yang bisa memicu kabar burung. Apalagi dengan Adrian Ivashkov.
Setelah itu, ibuku langsung membalikkan badan lalu berjalan menyusuri selasar. Saat menatap kepergiannya, aku merasakan amarah dan kebencian membara di dalam diriku. Dia sudah kelewatan. Aku kan tidak melakukan kesalahan apa pun. Aku tahu ibuku memiliki ketakutan tersendiri mengenai masalah pelacur darah dan semacamnya, tetapi ini terlalu ekstrem, bahkan untuknya. Dan yang paling parah, ibuku menyeretku keluar dari ruangan dengan disaksikan beberapa orang. Bagi orang yang tidak ingin aku menjadi pusat perhatian, ibuku bisa dibilang sudah mengacaukannya.
Sepasang Moroi yang tadi berdiri di dekatku dan Adrian berjalan keluar dari ruangan. Mereka melirik ke arahku dan saling membisikkan sesuatu saat melewatiku.
Terima kasih, Mom, gumamku pelan.
Merasa sangat malu, aku berjalan ke arah yang berbeda, sama sekali tidak tahu harus ke mana. Aku berjalan ke bagian belakang penginapan, menjauh dari semua aktivitas.
Akhirnya aku tiba di ujung selasar, dan di sebelah kiri ada sebuah pintu yang mengarah ke tangga. Pintunya tidak dikunci, jadi aku menaiki tangga yang ternyata mengarah ke pintu lain. Aku senang sekali saat mendapati pintunya membuka ke sebuah dek atap yang sepertinya jarang dipakai. Dek tersebut diselimuti salju, tetapi sekarang masih pagi dan matahari bersinar cerah, membuat segala sesuatunya terlihat berkilau.
Aku menyingkirkan salju dari atas sebuah kotak besar yang sepertinya bagian dari sistem ventilasi. Aku dud
uk di atasnya tanpa memedulikan gaunku. Seraya memeluk tubuh, aku menerawang, menikmati pemandangan dan matahari yang jarang kudapatkan.
Aku kaget ketika beberapa menit kemudian pintu tadi tiba-tiba membuka. Saat menoleh, aku bahkan lebih terkejut lagi melihat Dimitri yang muncul. Hatiku agak bergetar, lalu aku berpaling lagi, tidak yakin harus berpikir apa. Sepatu bot Dimitri berderak menginjak salju saat dia berjalan menghampiriku. Sesaat kemudian, Dimitri membuka mantel panjangnya lalu menyampirkannya ke pundakku.
Dimitri duduk di sampingku. Kau pasti kedinginan.
Aku memang kedinginan, tetapi tak sudi mengakuinya. Mataharinya cerah.
Dimitri memiringkan kepala, menatap langit biru yang sempurna. Aku tahu Dimitri juga merindukan matahari, sama seperti yang terkadang kurasakan. Memang. Tapi kita berada di pegunungan pada pertengahan musim dingin.
Aku tidak menjawab. Sejenak kami duduk nyaman dalam kesunyian. Sesekali embusan angin ringan meniup salju yang ada di sekitar kami. Saat itu malam hari bagi para Moroi, dan sebagian besar dari mereka akan segera tidur, jadi lintasan skinya sepi.
Hidupku hancur berantakan, akhirnya aku berkata.
Tentu saja tidak, jawab Dimitri seketika.
Kau mengikutiku dari pesta"
Ya. Aku tidak tahu kau ada di sana. Setelan gelap yang dipakainya menunjukkan bahwa Dimitri sedang bertugas di pesta itu. Jadi kau melihat Janine yang tersohor membuat kehebohan dengan menyeretku keluar dari pesta.
Itu bukan kehebohan. Hampir tak ada yang melihatnya. Aku melihatnya karena sedang memperhatikanmu.
Aku menahan diri agar tidak kegirangan saat mendengarnya. Bukan itu yang dibilang ibuku, kataku. Menurutnya aku terlihat seperti sedang menjual diri.
Aku menceritakan pembicaraan kami di selasar.
Dia hanya mengkhawatirkanmu, kata Dimitri setelah aku selesai bicara.
Reaksinya berlebihan. Kadang-kadang para ibu memang berlebihan dalam melindungi anak-anaknya.
Aku menatap Dimitri. Yeah, tapi kita sedang membicarakan ibuku. Dan sesungguhnya, sikapnya tidak terlalu melindungi. Kurasa dia lebih terlihat cemas aku akan mempermalukannya, atau semacam itu. Dan nasihatnya soal terlalu-muda-untuk-menjadi-ibu itu benar-benar bodoh. Aku tak mungkin melakukan hal semacam itu.
Mungkin dia tidak sedang membicarakan dirimu, kata Dimitri.
Sunyi lagi. Aku melongo. Kau belum berpengalaman kau bahkan belum menjalani kehidupan sendiri. Kau takkan bisa mendapatkan pekerjaan yang kauinginkan.
Ibuku berusia dua puluh tahun saat aku dilahirkan. Selama ini aku selalu menganggap usia itu sangat tua. Namun sekarang & usia itu hanya terpaut beberapa tahun dari usiaku. Sama sekali tidak tua. Apakah ibuku menganggap dirinya terlalu muda saat mengandungku" Apakah dia melakukan pekerjaan yang payah demi membesarkan aku karena pada saat itu dia tidak tahu apa yang harus dilakukan" Apakah dia menyesali hubungan kami yang berakhir seperti ini" Dan apakah & apakah mungkin ibuku memiliki pengalaman sendiri bersama pria-pria Moroi, dan orang-orang yang menyebarkan kabar burung tentang dirinya" Ternyata aku mewarisi banyak hal dari ibuku. Maksudku, bahkan malam ini aku bisa melihat keindahan tubuhnya. Ibuku juga cantik maksudku untuk ukuran wanita yang hampir berusia empat puluh tahun. Mungkin saja pada masa mudanya ibuku sangat cantik &.
Aku mendesah. Aku tidak mau membicarakannya. Kalau aku melakukannya, mungkin aku terpaksa meninjau ulang hubunganku dengannya bahkan aku mungkin terpaksa mengakui ibuku sebagai manusia biasa dan sekarang saja aku sudah memiliki banyak hubungan yang membuatku tertekan. Lissa selalu membuatku khawatir, meski kali ini dia kelihatan baik-baik saja. Kehidupan cintaku jika bisa dibilang begitu bersama Mason hancur berantakan. Dan tentu saja, hubunganku dengan Dimitri &.
Tumben kita tidak bertengkar, cetusku.
Dimitri melirikku sekilas. Kau ingin kita bertengkar"
Tidak. Aku benci bertengkar denganmu. Maksudku secara verbal. Aku tidak keberatan berkelahi denganmu di ruang olahraga.
Kurasa aku melihat sekilas senyum. Senyumnya untukku selalu hanya setengah. Jarang sekali dia memberiku senyuman
utuh. Aku juga tidak suka bertengkar denganmu.
Saat duduk di samping Dimitri, aku terkagum-kagum dengan emosi hangat dan bahagia yang tumbuh dalam diriku. Ada sesuatu yang membuatku merasa sangat nyaman saat berada di sampingnya, sesuatu yang menggetarkan hati dan tidak kurasakan saat bersama Mason. Cinta tak bisa dipaksakan, aku tersadar. Cinta ada di dalam hati atau tidak sama sekali. Kalau tidak merasakan kehadirannya, kau harus sanggup mengakuinya. Namun, kalau bisa merasakannya, kau harus melakukan apa pun untuk melindungi orang yang kaucintai.
Kata-kata selanjutnya yang meluncur dari mulutku benar-benar membuatku terpana, karena sama sekali tidak egois dan aku mengucapkannya dengan sungguh-sungguh.
Kau harus menerimanya. Dimitri mengernyit. Apa"
Tawaran dari Tasha. Kau harus menerimanya. Itu benar-benar kesempatan hebat.
Aku teringat ucapan ibuku mengenai kesiapan memiliki anak. Aku belum siap. Mungkin ibuku juga dulu belum siap. Namun, Tasha sudah siap. Dan aku tahu Dimitri juga sudah siap. Mereka berdua juga sangat cocok. Dimitri bisa menjadi pengawal Tasha, memiliki beberapa anak bersamanya & itu akan menjadi kesepakatan yang baik untuk keduanya.
Tidak kuduga akan mendengarmu mengatakannya, kata Dimitri dengan suara kaku. Apalagi setelah
Setelah sikapku yang sangat menyebalkan akhir-akhir ini" Yeah. Aku merapatkan mantel Dimitri untuk melawan rasa dingin. Mantel ini memiliki bau yang sama dengan tubuh Dimitri. Baunya memabukkan, dan aku bisa separuh membayangkan bagaimana rasanya berada dalam pelukan Dimitri. Ucapan Adrian soal kekuatan wewangian mungkin ada benarnya juga. Nah. Seperti yang tadi kubilang, aku tak mau bertengkar lagi. Aku tak mau kita saling membenci. Dan & em &. Aku memejamkan mata, lalu membukanya lagi. Apa pun yang kurasakan mengenai kita berdua & aku ingin kau bahagia.
Sunyi lagi. Pada saat itu aku menyadari dadaku yang terasa perih.
Dimitri mengulurkan tangan dan merangkul tubuhku. Dia menarikku mendekat, dan aku meletakkan kepala di dadanya. Roza, hanya itu yang diucapkan Dimitri.
Inilah kali pertama Dimitri sungguh-sungguh menyentuhku sejak malam kami terkena mantra kompulsi gairah. Kejadian di ruang latihan benar-benar berbeda & lebih liar. Pelukan ini tidak ada hubungannya dengan seks. Pelukan ini hanya berkaitan dengan perasaan saat berada di dekat seseorang yang benar-benar kausayangi, berkaitan dengan emosi terhubung yang seakan membanjiri dirimu.
Dimitri boleh saja melarikan diri bersama Tasha, tetapi aku akan tetap mencintainya. Aku mungkin akan selalu mencintainya.
Aku menyayangi Mason. Namun, aku mungkin tak akan pernah mencintainya.
Aku mendesah di dada Dimitri, berharap bisa terus berada dalam posisi ini selamanya. Kebersamaanku dengan Dimitri terasa tepat. Dan sesakit apa pun diriku saat membayangkan Dimitri bersama Tasha melakukan apa yang terbaik untuknya terasa tepat. Sekarang aku sadar, inilah saatnya aku berhenti bersikap pengecut dan mengatasi masalahku yang lain dengan benar. Mason bilang aku harus belajar tentang diriku sendiri. Aku baru saja melakukannya.
Dengan enggan aku menjauhkan diri lalu mengembalikan mantel Dimitri. Aku berdiri. Dimitri menatapku dengan heran, merasakan kegundahanku.
Kau mau ke mana" tanyanya.
Menyakiti hati seseorang, jawabku.
Aku mengagumi Dimitri sejenak lebih lama mata gelapnya yang sangat mengenalku dan rambutnya yang sehalus sutra. Aku harus minta maaf pada Mason & dan memberitahunya bahwa di antara kami berdua tak akan pernah terjadi apa-apa.
BAB DELAPAN BELAS SEPATU HAK TINGGI ini mulai menyakiti kakiku, jadi aku mencopotnya saat kembali ke dalam, lalu berjalan bertelanjang kaki melintasi penginapan. Aku belum pernah ke kamar Mason, tetapi aku ingat dia pernah menyebutkan nomornya dan langsung menemukannya tanpa kesulitan.
Shane, teman sekamar Mason, yang membuka pintu beberapa saat setelah kuketuk. Hei, Rose.
Shane memberi jalan untukku, dan aku masuk ke dalam kamar sambil memandang sekeliling. Televisi sedang menayangkan infomercial salah satu kerugian menjalani kehidupan nokturnal adalah tidak bisa mendapatkan
program televisi yang bermutu dan kaleng-kaleng soda menutupi hampir setiap permukaan kosong yang ada di dalam kamar. Tidak ada tanda kehadiran Mason sedikit pun.
Di mana dia" tanyaku.
Shane menahan kuap. Kupikir dia bersamamu.
Aku belum bertemu dengannya seharian ini.
Shane menguap lagi, lalu mengerutkan kening dan berpikir serius. Tadi dia mengemasi barangnya ke dalam tas. Kupikir kalian berdua akan pergi liburan romantis gila-gilaan. Piknik atau semacamnya. Hei, gaunmu cantik sekali.
Trims, aku bergumam, dan merasa keningku sendiri mulai berkerut.
Mengemasi barang" Itu tidak masuk akal. Tidak ada tempat yang bisa dituju. Dan tidak ada jalan untuk pergi dari tempat ini. Resor ini dijaga ketat seperti halnya Akademi. Dulu aku dan Lissa berhasil melarikan diri berkat kompulsi, dan itu pun sangat sulit dilakukan. Tetapi, untuk apa Mason berkemas-kemas jika takkan pergi ke mana-mana"
Aku menanyakan beberapa hal lagi pada Shane dan memutuskan untuk mencari tahu kemungkinannya, segila apa pun kedengarannya. Aku menemukan pengawal yang berwenang dalam urusan keamanan dan jadwal. Pria itu memberitahu nama pengawal yang bertugas menjaga perbatasan resor saat terakhir kali Mason terlihat. Aku mengenali sebagian besar nama, dan kebanyakan sedang tidak bertugas sekarang sehingga memudahkanku untuk mencari mereka.
Sayangnya, dua orang pertama yang kudatangi tidak melihat Mason hari ini. Saat mereka bertanya mengapa aku menanyakan hal itu, aku memberi jawaban samar lalu bergegas pergi. Orang ketiga yang ada di dalam daftarku adalah pria bernama Alan, seorang pengawal yang biasanya bertugas di kampus dasar Akademi. Alan baru saja masuk setelah bermain ski dan sedang membuka peralatan skinya di dekat pintu. Dia mengenaliku, lalu tersenyum saat aku menghampirinya.
Ya, aku melihatnya, kata Alan sambil membungkuk di atas sepatu botnya.
Perasaan lega membanjiriku. Baru saat itulah aku sadar betapa cemasnya diriku.
Kau tahu di mana dia sekarang"
Tidak. Aku mengizinkan dia, Eddie Castile & dan, siapa itu namanya, si gadis Rinaldi, keluar melalui gerbang utara. Dan aku belum melihatnya lagi setelah itu.
Aku melongo. Alan melanjutkan mencopot sepatu skinya seolah kami sedang mengobrolkan kondisi lereng salju.
Kau mengizinkan Mason, Eddie & dan Mia keluar"
Yap. Em & kenapa" Alan selesai mencopot sepatunya dan balas menatapku, bisa dibilang ekspresi wajahnya terlihat senang dan geli. Karena mereka memintanya.
Sensasi sedingin es mulai menjalariku. Aku mencari tahu pengawal mana yang mengawasi gerbang utara bersama Alan, dan langsung mencarinya. Pengawal itu memberikan jawaban yang sama. Dia mengizinkan Mason, Eddie, dan Mia keluar dari resor tanpa menanyakan apa pun. Dan, sama seperti Alan, pria ini juga sepertinya tidak menganggap aneh kejadian itu. Dia hampir kelihatan terpana. Aku pernah melihat ekspresi seperti itu & ekspresi yang terpancar pada wajah orang-orang saat Lissa menggunakan kompulsi.
Lebih tepatnya, aku melihat hal yang sama saat Lissa meminta orang-orang agar tidak bisa mengingat sesuatu dengan baik. Lissa sanggup mengubur ingatan orang-orang, entah dengan menghapusnya entah menyembunyikannya untuk sementara. Tetapi kompulsi Lissa benar-benar hebat, sehingga dia sanggup membuat orang-orang melupakan semuanya begitu saja. Jika mereka masih punya sedikit ingatan, berarti kompulsi si pelaku tidak sehebat Lissa.
Pelaku seperti, katakanlah, Mia.
Aku bukan jenis orang yang gampang pingsan, tetapi untuk sesaat, aku merasa seperti akan ambruk ke lantai. Dunia seolah berputar, aku memejamkan mata, dan menarik napas dalam-dalam. Saat aku sudah bisa melihat lagi, keadaan di sekelilingku sudah stabil. Oke. Tak masalah. Aku akan mencari jalan keluar.
Mason, Eddie, dan Mia meninggalkan resor sejak tadi. Bukan hanya itu, mereka melakukannya dengan menggunakan kompulsi yang dilarang keras. Mereka tidak memberitahu siapa pun. Mereka pergi melalui gerbang utara. Aku pernah melihat peta resor ini. Gerbang utara menjaga jalan mobil yang berhubungan dengan satu-satunya jalan semi-utama di area ini, jalan bebas hambatan yang meng
arah ke sebuah kota kecil sekitar dua puluh kilometer dari sini. Kota yang menurut Mason memiliki layanan bus.
Ke Spokane. Spokane kota yang mungkin menjadi tempat tinggal sekelompok Strigoi dan manusia yang sedang berkeliaran.
Spokane tempat Mason bisa memenuhi impian sintingnya untuk membantai Strigoi.
Spokane yang tidak akan diketahui Mason kalau bukan karena aku.
Tidak, tidak, tidak, gumamku pelan, hampir berlari menuju kamarku.
Di sana aku melepas gaun lalu berganti mengenakan pakaian musim dingin yang tebal: sepatu bot, celana jins, dan sweter. Seraya meraih mantel dan sarung tangan, aku bergegas kembali ke pintu, lalu berhenti. Aku tadi bertindak tanpa berpikir dulu. Apa yang sebenarnya akan kulakukan" Sudah jelas aku harus memberitahu seseorang & tetapi jika aku melakukannya, mereka bertiga akan mendapat masalah besar. Selain itu, Dimitri juga akan tahu bahwa aku telah membocorkan informasi mengenai keberadaan Strigoi di Spokane. Informasi yang diceritakannya sebagai tanda bahwa dia menghargaiku sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab.
Aku menghitung-hitung waktu. Jika kami menghilang, orang-orang di sekitar resor baru akan menyadarinya beberapa saat kemudian. Itu pun kalau aku bisa keluar dari resor ini.
Beberapa menit kemudian, aku mendapati diri sedang mengetuk pintu kamar Christian. Dia membukanya dengan wajah mengantuk dan sinis seperti biasa.
Kalau kau datang untuk minta maaf atas nama Lissa, kata Christian angkuh, kau bisa langsung melakukannya dan
Oh, tutup mulut, bentakku. Ini bukan soal dirimu.
Aku menceritakan detail kejadiannya dengan tergesa-gesa. Bahkan Christian tidak bisa menjawabnya dengan sindiran sinis.
Jadi & Mason, Eddie, dan Mia pergi ke Spokane untuk memburu Strigoi"
Ya. Sial. Kenapa kau tidak ikut" Sepertinya ini sesuatu yang bakal kaulakukan.
Aku menahan diri menonjok wajahnya. Karena aku masih waras! Tapi aku akan mengejar mereka, sebelum mereka melakukan sesuatu yang lebih bodoh lagi.
Saat itulah Christian mulai mengerti. Lalu apa yang kaubutuhkan dariku"
Aku harus keluar dari resor ini. Mereka menyuruh Mia menggunakan kompulsi pada para pengawal. Aku membutuhkanmu untuk hal yang sama. Aku tahu kau sudah melatihnya.
Aku memang sudah berlatih, Christian membenarkan. Tapi & um & Untuk kali pertama dalam hidupnya Christian terlihat malu. Aku tidak terlalu hebat. Dan melakukannya pada dhampir bisa dibilang mustahil. Liss seratus kali lebih hebat dariku. Atau dari Moroi mana pun.
Aku tahu. Tapi aku tak mau Lissa terlibat masalah.
Christian mendengus. Tapi kau tak keberatan kalau aku yang mendapat masalah"
Aku mengangkat bahu. Sama sekali tidak.
Kau ini benar-benar menyebalkan, tahu tidak"
Yeah. Sejujurnya, aku tahu.
Jadi, lima menit kemudian, aku dan Christian sudah berjalan menuju gerbang utara. Matahari mulai meninggi, jadi sebagian besar orang berada di dalam. Situasi ini menguntungkan kami, dan kuharap memang akan memudahkan kami untuk melarikan diri.
Bodoh, bodoh, itulah yang terus-menerus terpikir olehku. Kami semua akan mendapat masalah gara-gara ini. Mengapa Mason melakukannya" Aku tahu perilakunya kadang agak sok jago & dan dia jelas kelihatan kesal karena para pengawal tidak berbuat apa-apa terhadap serangan yang terjadi baru-baru ini. Tetapi tetap saja dia tak perlu bersikap seperti ini. Apa dia sudah benar-benar sinting" Dia seharusnya tahu betapa berbahaya semua ini. Mungkinkah & mungkinkah aku sudah membuatnya begitu kesal karena bencana yang terjadi saat kami bercumbu, sehingga dia memutuskan untuk melakukan hal gila ini" Begitu marah sehingga membuatnya melarikan diri, lalu mengajak Mia dan Eddie untuk ikut dengannya" Bukan berarti kedua orang itu sulit dibujuk. Eddie pasti akan mengikuti ke mana pun Mason pergi, sedangkan Mia hampir sebersemangat Mason untuk membunuh setiap Strigoi yang ada di dunia.
Namun, dari semua masalah yang mengusikku, ada satu yang pasti. Akulah yang memberitahu Mason mengenai keberadaan Strigoi di Spokane. Tidak salah lagi, semua ini salahku, dan tanpaku, semua ini takkan pernah terjadi.
Lissa selalu melakukanny a dengan kontak mata, aku memberitahu Christian saat kami semakin dekat dengan pintu keluar. Dan bicara dengan suara yang sangat tenang. Selain itu, aku tidak tahu apa-apa lagi. Lissa memusatkan pikiran juga, jadi coba lakukan itu. Pusatkan pikiranmu untuk memaksakan kehendak pada mereka.
Aku tahu, bentak Christian. Aku pernah melihat Lissa melakukannya.
Ya sudah, aku balas membentak. Aku hanya mencoba membantu. Aku menyipitkan mata dan melihat hanya ada satu pengawal yang berdiri di gerbang benar-benar beruntung. Saat itu pergantian giliran jaga. Dengan matahari yang bersinar tinggi, risiko keberadaan Strigoi pun menghilang. Para pengawal akan tetap bertugas jaga, tetapi mereka bisa melakukannya dengan agak lebih santai.
Pria yang sedang bertugas sepertinya tidak curiga melihat penampilan kami. Sedang apa kalian di luar sini, Anak-Anak"
Christian menelan ludah. Aku bisa melihat kerut tegang di wajahnya.
Kau akan mengizinkan kami keluar dari gerbang, kata Christian. Kegugupan menyebabkan suaranya agak bergetar, tetapi selain itu, dia menggunakan nada menenangkan yang hampir sama dengan Lissa. Sayangnya, ucapannya tidak berdampak apa pun pada si pengawal. Seperti kata Christian tadi, menggunakan kompulsi pada pengawal bisa dikatakan mustahil. Mia sepertinya beruntung. Si pengawal nyengir pada kami.
Apa" tanyanya, jelas-jelas terlihat geli.
Christian mencoba lagi. Kau akan mengizinkan kami keluar dari sini.
Senyum pria itu agak memudar, dan aku melihat matanya berkedip kaget. Mata pria itu tidak berkaca-kaca seperti yang biasanya terjadi pada korban Lissa, tetapi Christian sudah berhasil membuatnya terpana sejenak. Sayangnya, aku langsung tahu bahwa itu tidak akan cukup membuatnya mengizinkan kami ke luar dan melupakan semuanya. Untunglah, aku sudah dilatih untuk memaksa orang tanpa menggunakan kekuatan sihir.
Di dekat pos jaganya tergeletak sebuah senter Maglite berukuran raksasa, panjangnya setengah meter dan beratnya tiga kilogram. Aku meraih senter itu lalu memukul bagian belakang kepala si pengawal. Dia menggeram dan terkulai ke tanah. Pria itu sama sekali tidak menyadari seranganku. Dan terlepas dari tindakanku yang mengerikan, aku sedikit berharap salah seorang instrukturku ada di sana untuk menilai performaku yang mengagumkan tadi.
Astaga, seru Christian. Kau baru saja menyerang pengawal.
Yeah. Sia-sia saja usahaku membawa pulang teman-temanku tanpa mendapat masalah. Aku sama sekali tidak menyangka kemampuanmu menggunakan kompulsi sepayah itu. Aku akan mengurus masalah ini nanti. Terima kasih atas bantuanmu. Kau harus cepat-cepat kembali sebelum giliran jaga berikutnya tiba.
Christian menggeleng dan nyengir. Tidak, aku akan ikut denganmu.
Tidak, debatku. Aku hanya membutuhkanmu untuk keluar dari gerbang. Jangan sampai kau terlibat masalah gara-gara ini.
Aku sudah mendapat masalah! Christian menunjuk si pengawal. Dia sudah melihat wajahku. Bagaimanapun aku tetap akan mendapat masalah, jadi lebih baik aku ikut denganmu dan menjadi pahlawan. Sesekali berhentilah bersikap menyebalkan.
Kami bergegas pergi, dan aku melirik si pengawal dengan tatapan bersalah untuk terakhir kalinya. Aku cukup yakin pukulanku tidak begitu keras hingga menyebabkan luka serius, dan dengan matahari yang bersinar, tubuhnya tak akan membeku atau semacamnya.
Setelah lima menit berjalan menyusuri jalan bebas hambatan, aku tahu kami punya masalah lain. Meski tubuhnya terlindung dan memakai kacamata hitam, matahari membuat Christian kewalahan. Hal ini memperlambat kami, dan tak lama lagi ada orang yang akan menemukan si pengawal yang kupukul sampai pingsan, lalu mereka akan mengejar kami.
Sebuah mobil bukan milik Akademi muncul di belakang kami, dan aku sudah membuat keputusan. Aku sama sekali tidak suka menumpang mobil orang asing. Bahkan orang sepertiku tahu betapa berbahayanya hal itu. Tetapi kami harus pergi ke kota secepat mungkin, dan kuharap kami berdua sanggup mengalahkan pria mengerikan mana pun yang berniat macam-macam dengan kami.
Untungnya, saat mobil itu menepi, penumpangnya adalah sepasang suami is
tri paruh baya yang terlihat mengkhawatirkan kami. Kalian baik-baik saja, Anak-Anak"
Aku menudingkan jempol ke belakang. Mobil kami tergelincir ke bahu jalan. Apa kalian bisa memberi kami tumpangan ke kota supaya aku bisa menelepon ayahku"
Ternyata berhasil. Lima belas menit kemudian, mereka menurunkan kami di sebuah pompa bensin. Sebenarnya aku malah kesulitan menyingkirkan pasangan itu, karena mereka tampak sangat ingin menolong kami. Akhirnya, kami berhasil meyakinkan mereka bahwa kami baik-baik saja, lalu berjalan sejauh beberapa blok menuju stasiun bus. Seperti dugaanku, kota ini tidak bisa dikatakan ramai dengan akses memadai. Ada tiga jalur perjalanan yang tersedia dari kota ini; dua di antaranya menuju resor ski dan satu menuju Lowston, Idaho. Dari Lowston, barulah kami bisa pergi ke tempat-tempat lain.
Aku setengah berharap bisa menyusul Mason dan yang lain-lain sebelum bus yang akan mereka tumpangi datang. Jadi, kami bisa mengajak mereka pulang tanpa terlibat masalah. Sayangnya, tidak ada tanda keberadaan mereka sama sekali. Wanita ceria yang menjaga konter juga tahu siapa yang kami cari. Dia memastikan ketiganya sudah membeli tiket menuju Spokane melalui Lowston.
Brengsek, ucapku. Wanita itu mengangkat sebelah alis saat mendengarku mengumpat. Aku menoleh pada Christian. Kau punya uang untuk beli tiket bus"
* * * Aku dan Christian jarang mengobrol sepanjang perjalanan, kecuali saat aku mengatainya idiot karena sikapnya dalam menanggapi masalah Lissa dan Adrian. Ketika kami tiba di Lowston, aku berhasil meyakinkannya, dan itu bisa dikatakan mukjizat kecil. Christian tidur selama perjalanan menuju Spokane, tetapi aku tetap terjaga. Aku terus-menerus berpikir bahwa semua ini kesalahanku.
Kami tiba di Spokane pada sore hari. Kami menanyai beberapa orang, dan akhirnya berhasil menemukan orang yang tahu lokasi pusat perbelanjaan yang dimaksud Dimitri. Jaraknya jauh dari terminal bus, tetapi bisa dicapai dengan berjalan kaki. Kakiku terasa kaku setelah berada dalam bus selama lima jam, dan aku ingin menggerak-gerakkannya. Matahari belum lagi terbenam, tetapi sudah mulai turun dan tidak terlalu menyiksa bagi para vampir, jadi Christian tidak keberatan kami berjalan kaki ke sana.
Dan, seperti yang sering terjadi saat merasa tenang, aku merasakan tarikan ke dalam kepala Lissa. Aku membiarkan diri terseret ke dalam kepalanya karena ingin tahu apa yang sedang terjadi di resor.
Aku tahu kau ingin melindungi mereka, tapi kami harus tahu di mana mereka berada.
Lissa sedang duduk di kamar tidur kami, sementara ibuku dan Dimitri menunduk menatapnya. Yang bicara tadi Dimitri. Melihatnya melalui mata Lissa terasa menarik. Lissa menyukai dan menghormati Dimitri, sangat berbeda dengan emosi bagaikan roller coaster yang selalu kurasakan untuknya.
Sudah kubilang, kata Lissa. Aku tak tahu. Aku tak tahu apa yang terjadi.
Frustrasi dan kekhawatiran pada nasib kami membara dalam diri Lissa. Aku sedih melihatnya secemas ini, tetapi pada saat yang sama aku juga lega tidak melibatkannya. Lissa tak bisa melaporkan sesuatu yang tidak diketahuinya.
Aku tak percaya mereka tidak memberitahumu ke mana mereka pergi, ibuku berkata. Kata-kata yang diucapkan ibuku terdengar datar, tetapi di wajahnya terlihat kerutan cemas. Apalagi jika mengingat & ikatan batin kalian.
Ikatan batinnya hanya bekerja satu arah, kata Lissa sedih. Kau kan tahu itu.
Dimitri berlutut hingga sejajar dengan Lissa dan menatap lurus ke matanya. Dia memang hampir selalu harus berjongkok untuk menatap mata seseorang. Kau yakin tak tahu apa-apa" Apa pun yang bisa kauberitahukan pada kami" Mereka tak ada di kota. Pria yang bertugas di stasiun bus tidak melihat mereka & meski kami cukup yakin ke sanalah mereka pergi. Kami membutuhkan sesuatu, apa pun untuk bisa bertindak.
Pria yang bertugas di stasiun bus" Itu keberuntungan kami yang lain. Wanita yang menjual tiket pada kami pasti sudah pulang. Orang yang menggantikannya tidak akan mengenali kami.
Lissa mengertakkan gigi dan melotot. Memangnya kaupikir kalau aku tahu, aku takkan memberitahukannya pada kalian
" Kaupikir aku tidak mengkhawatirkan mereka" Aku tidak tahu di mana mereka. Sama sekali. Dan kenapa mereka harus pergi & itu juga tidak masuk akal. Apalagi mereka pergi bersama Mia. Sengatan rasa sakit hati terpancar melalui ikatan batin kami, sakit hati karena merasa tidak dilibatkan dalam kegiatan apa pun yang sedang kami lakukan, sesalah apa pun kegiatan tersebut.
Dimitri mendesah dan kembali berdiri. Dari ekspresi wajahnya, dia jelas memercayai ucapan Lissa. Dan Dimitri juga jelas tampak cemas cemas dalam cara yang lebih profesional. Dan melihat kekhawatirannya kekhawatirannya untukku membuat hatiku mencelus.
Rose" Suara Christian membawaku kembali ke dalam diriku. Kurasa kita sudah sampai.
Plaza ini berupa area terbuka yang luas di depan mal perbelanjaan. Sebuah caf" tampak di salah satu sudut bangunan utama, meja-mejanya diletakkan sampai ke area terbuka. Orang-orang berseliweran keluar masuk komplek ini, tampak sibuk bahkan pada jam begini.
Jadi, bagaimana cara kita menemukan mereka" tanya Christian.
Aku mengangkat bahu. Mungkin kalau kita bertingkah seperti Strigoi, mereka akan langsung menusuk kita.
Senyum kecil dan ragu tersungging pada wajah Christian. Dia tidak mau mengakuinya, tetapi Christian menganggap leluconku itu lucu.
Kami masuk ke dalam mal. Seperti mal lainnya, mal ini dipenuhi berbagai macam merek terkenal, dan bagian diriku yang egois berpikir jika berhasil cukup cepat menemukan mereka, kami masih punya waktu untuk berbelanja.
Dua kali aku dan Christian mengelilingi tempat itu, tetapi tidak melihat tanda keberadaan teman-teman kami, ataupun sesuatu yang menyerupai terowongan.
Mungkin kita datang ke tempat yang salah, akhirnya aku berkata.
Atau mungkin mereka yang salah, kata Christian. Mungkin saja mereka pergi ke tempat tunggu dulu.
Christian menuding, dan aku mengikuti arah yang ditunjuknya. Ketiga orang pelarian itu sedang duduk di sebuah meja di tengah-tengah food court, tampak sedih. Mereka kelihatan sangat merana, hingga aku nyaris merasa kasihan pada mereka.
Aku rela mati kalau bisa mendapat kamera sekarang juga, kata Christian sambil tertawa mengejek.
Tidak lucu, ucapku seraya berjalan menuju kelompok itu. Dalam hati aku merasa lega. Kelompok itu jelas belum menemukan satu Strigoi pun, mereka semua masih hidup, dan mungkin bisa diajak kembali ke resor sebelum kami mendapat lebih banyak masalah.
Mereka tidak menyadari kedatanganku sampai aku berada di samping mereka. Eddie mendongak kaget. Rose" Apa yang kaulakukan di sini"
Kalian sudah sinting, ya" aku berteriak. Beberapa orang di dekat kami tampak kaget. Kalian tahu sebesar apa masalah yang akan kalian dapatkan" Masalah yang akan kita dapatkan"
Bagaimana kalian bisa menemukan kami" tanya Mason dengan suara rendah, memandang sekeliling dengan cemas.
Kalian bukan ahli kejahatan yang hebat, kataku. Informan kalian di stasiun bus yang membuka rahasia. Itu, dan aku aku sudah menebak kau pasti ingin pergi melakukan pengejaran Strigoi dengan sia-sia.
Tatapan Mason memperlihatkan bahwa dia masih marah kepadaku. Mia-lah yang menjawab.
Pengejarannya tidak sia-sia.
Oh ya" tuntutku. Apa kalian sudah membunuh Strigoi" Atau setidaknya apa kalian sudah menemukan mereka"
Belum, Eddie mengakui. Bagus, kataku. Kalian beruntung.
Kenapa kau begitu menentang membunuh Strigoi" tanya Mia berapi-api. Bukankah kau dilatih untuk membunuh Strigoi"
Aku dilatih untuk melakukan misi yang masuk akal, bukan aksi kenakak-kanakan seperti ini.
Ini tidak kekanak-kanakan, jerit Mia. Mereka membunuh ibuku. Dan para pengawal tidak berbuat apa pun. Bahkan informasi yang mereka dapat salah. Di terowongan itu tidak ada satu pun Strigoi. Mungkin tak ada satu pun Strigoi di kota ini.
Christian kelihatan terkesan. Kalian menemukan terowongannya"
Yeah, jawab Eddie. Tapi seperti yang Mia bilang, terowongannya tak berguna.
Kita harus melihatnya dulu sebelum pulang, kata Christian padaku. Pasti keren, dan kalau datanya salah, artinya terowongannya tidak berbahaya.
Tidak, bentakku. Kita pulang. Sekarang.
Mason terlihat lela h. Kami akan menyisir kota lagi. Kau pun tak bisa memaksa kami untuk pulang, Rose.
Memang tidak bisa, tapi pengawal sekolah bisa melakukannya kalau aku menelepon dan memberitahukan bahwa kalian ada di sini.
Ini boleh disebut pemerasan atau tukang ngadu, efeknya tetap sama. Mereka bertiga menatapku seolah aku baru saja menonjok perut mereka secara bergantian.
Kau benar-benar akan melakukannya" tanya Mason. Kau akan mengadukan kami"
Aku menggosok mata, bertanya-tanya dengan putus asa mengapa aku yang berperan sebagai suara hari nurani di sini. Mana gadis yang melarikan diri dari sekolah" Mason benar. Aku sudah berubah.
Ini bukan soal mengadukan siapa. Ini soal mempertahankan nyawa kalian.
Menurutmu kami begitu tidak berdaya" tanya Mia. Menurutmu kami akan langsung terbunuh"


Frostbite Vampire Academy 2 Karya Richelle Mead di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ya, jawabku. Kecuali kau sudah mendapatkan cara menggunakan air sebagai senjata"
Mia tersipu dan tidak mengatakan apa-apa lagi.
Kami membawa pasak perak, kata Eddie.
Bagus. Mereka pasti mencurinya. Aku menatap Mason dengan pandangan memohon.
Mason. Kumohon. Batalkan semua ini. Ayo kita pulang.
Mason menatapku lama. Akhirnya dia mendesah. Baiklah.
Eddie dan Mia tampak terguncang, tetapi Mason sudah bertindak sebagai pemimpin, dan mereka tidak punya inisiatif untuk melanjutkan rencana tanpanya. Sepertinya Mia yang paling berat menerima keputusan ini, dan aku kasihan padanya. Mia hampir tak sempat untuk sungguh-sungguh berduka atas kematian ibunya, dan langsung memutuskan ikut dalam rencana ini dengan niat balas dendam yang digunakannya sebagai jalan untuk mengatasi kesedihannya. Mia harus menghadapi banyak hal saat kami kembali nanti.
Christian masih penasaran dengan terowongan bawah tanah. Mengingat dia menghabiskan banyak waktu di loteng, mestinya aku tidak perlu sekaget itu.
Aku sudah melihat jadwalnya, kata Christian. Kita masih punya waktu sebelum bus berikutnya tiba.
Kita tak bisa memasuki sarang Strigoi begitu saja, aku membantah seraya berjalan menuju pintu keluar mal.
Di sana tak ada Strigoi, kata Mason. Di sana hanya ada barang-barang petugas kebersihan. Tidak ada yang aneh. Menurutku informasi yang didapatkan pengawal benar-benar salah.
Rose, kata Christian, ayo kita bersenang-senang dulu.
Mereka semua menatapku. Aku merasa seperti seorang ibu yang tidak mengizinkan anak-anaknya membeli permen di toko serba ada.
Oke, baiklah. Tapi kita mengintip saja.
Ketiganya membimbing aku dan Christian ke sisi lain mal, melalui sebuah pintu yang bertuliskan KHUSUS PEGAWAI. Kami menghindari beberapa petugas kebersihan, lalu menyelinap ke pintu lain yang mengarah ke sebuah tangga ke bawah. Sejenak aku mengalami d"j" vu, teringat pada anak tangga menuju pesta spa Adrian. Hanya saja, tangga ini jauh lebih kotor dan baunya cukup busuk.
Kami tiba di dasar tangga. Terowongannya lebih menyerupai koridor sempit, permukaannya tertutup oleh semen bernoda. Lampu-lampu neon dipasang tak beraturan di sepanjang dinding. Jalurnya terbentang ke kiri dan kanan. Kardus-kardus berisi alat kebersihan dan peralatan listrik teronggok di pojok.
Kaulihat" kata Mason. Membosankan.
Aku menuding kedua arah terowongan. Di sana ada apa"
Tak ada apa-apa, desah Mia. Biar kami tunjukkan.
Kami berjalan ke kanan dan menemukan hal yang kurang lebih sama. Aku mulai setuju dengan penilaian mereka bahwa tempat ini membosankan, tetapi kemudian kami melewati tulisan berwarna hitam di salah satu dinding. Aku berhenti dan menatapnya. Ternyata daftar huruf.
D B C O T D V L D Z S I Beberapa huruf diberi garis atau tanda x di sampingnya, tetapi selebihnya pesan itu tidak masuk akal. Mia melihatku mengamati huruf-huruf itu.
Mungkin ini urusan petugas kebersihan, kata Mia. Atau mungkin anggota geng yang melakukannya.
Mungkin, jawabku, masih mengamati tulisan itu. Teman-temanku beringsut gelisah, tidak mengerti ketertarikanku pada huruf-huruf acak ini. Aku sendiri juga tidak mengerti, tetapi ada sesuatu di dalam kepalaku yang menyuruhku tetap berada di sana.
Kemudian, aku memahaminya.
B untuk Badica. Z untuk Zeklos. I untuk Iva
shkov &. Aku melongo. Huruf pertama setiap nama keluarga bangsawan ada di sana. Di sana tertulis tiga huruf D, tetapi berdasarkan urutannya, dafatr huruf ini sebenarnya bisa dibaca sebagai peringkat ukuran. Daftarnya dimulai dengan keluarga yang lebih kecil Dragomir, Badica, Conta hingga ke keluarga besar Ivashkov. Aku tidak memahami garis putus-putus yang ada di samping beberapa huruf, tetapi aku langsung menyadari nama-nama yang di sampingnya terdapat tanda x: Badica dan Drozdov.
Aku menjauh dari dinding. Kita harus keluar dari sini, ucapku. Suaraku sendiri membuatku agak takut. Sekarang juga.
Teman-temanku yang lain menatapku dengan terkejut. Kenapa" tanya Eddie. Ada apa"
Aku akan memberitahu kalian nanti. Yang penting sekarang kita harus pergi.
Mason menuding jalan yang akan kami tuju. Jalan ini menuju pintu keluar yang letaknya beberapa blok dari sini. Lebih dekat ke stasiun.
Aku menyipitkan mata ke dalam kegelapan yang misterius. Tidak, kataku. Kita akan keluar melalui jalan yang kita masuki tadi.
Saat kembali menyusuri jalan tadi, mereka semua menatapku seolah aku sudah gila, tetapi tak ada yang membantah. Kami keluar dari pintu depan mal, dan aku mengembuskan napas lega melihat matahari masih bersinar, meski sudah ditelan cakrawala dan memancarkan cahaya oranye merah ke atas bangunan-bangunan. Cahaya yang tersisa ini masih cukup untuk mengantar kami ke stasiun bus sebelum kami bertemu dengan Strigoi.
Dan sekarang aku yakin di Spokane ini memang ada Strigoi. Informasi yang didapat Dimitri benar. Aku tidak tahu arti daftar huruf tadi, tetapi jelas berhubungan dengan serangan-serangan Strigoi. Aku harus cepat-cepat melaporkannya kepada pengawal lain, dan tentu saja aku tak bisa menceritakannya pada teman-temanku sampai kami tiba di penginapan dengan selamat. Mason mungkin akan kembali ke terowongan kalau sampai tahu.
Sebagian besar perjalanan kaki kami ke stasiun dilakukan dalam kesunyian. Kurasa suasana hatiku sudah membuat teman-temanku takut. Bahkan Christian pun seperti kehabisan komentar sinis. Dalam hati, emosiku campur aduk, berganti antara marah dan bersalah saat mengingat-ingat kembali peran sertaku dalam semua ini.
Eddie tiba-tiba berhenti berjalan di depanku, dan aku nyaris menabraknya. Dia menatap sekeliling. Kita ada di mana"
Aku tersentak keluar dari lamunanku, lalu ikut mengamati area sekitar kami. Aku tidak ingat pernah melihat bangunan-bangunan ini. Brengsek, aku berseru. Apa kita tersesat" Dari tadi tak ada yang memperhatikan jalan, ya"
Pertanyaan itu tidak adil karena aku sendiri juga tidak memperhatikan jalan, tetapi emosiku membuatku bereaksi tanpa berpikir jernih. Mason mengamatiku beberapa saat, lalu menuding. Ke sini.
Kami berbalik lalu menyusuri sebuah jalan sempit yang diapit dua buah bangunan. Kurasa arah yang kami tuju masih salah, tetapi aku tidak punya ide yang lebih bagus. Aku juga tidak mau diam di tempat sambil berdebat.
Kami belum berjalan terlalu jauh ketika mendengar bunyi mesin dan decit ban. Mia sedang berjalan di tengah jalan, dan insting melindungi langsung mengambil alih sebelum aku sempat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Aku menyambar tubuh Mia lalu menariknya dari tengah jalan hingga merapat ke dinding salah satu bangunan. Yang lain berbuat sama.
Sebuah mobil van kelabu yang jendelanya dicat baru saja menikung di sudut jalan menuju ke arah kami. Kami merapat ke dinding, menunggu mobil itu melewati kami.
Namun, hal itu tidak terjadi.
Mobil itu berhenti mendadak di depan kami, dan pintu-pintunya bergeser membuka. Tiga pria bertubuh besar turun dari dalam mobil, dan lagi-lagi, instingku mengambil alih. Aku sama sekali tidak tahu siapa mereka atau apa yang mereka inginkan, tetapi yang pasti mereka tidak ramah. Hanya itu yang perlu kuketahui.
Salah satu dari mereka menghampiri Christian. Aku langsung menyerang dan meninju orang itu. Pria itu sama sekali tidak terjengkang, tetapi kurasa dia terkejut karena bisa merasakan tinjuku. Pria itu sepertinya tidak menduga orang sekecil aku bisa berbahaya juga. Dia mengabaikan Christian, dan ganti mengincarku.
Dari sudut mata, kulihat Eddie dan Mason sedang melawan dua pria lainnya. Mason bahkan sudah mengeluarkan pasak perak curiannya. Mia dan Christian hanya berdiri terpaku.
Para penyerang kami benar-benar mengandalkan otot. Mereka tidak memiliki teknik menyerang dan bertahan seperti yang kami miliki. Selain itu, mereka manusia biasa, sedangkan kami memiliki kekuatan dhampir. Sayangnya, kami memiliki kelemahan dengan terpojok ke dinding. Kami tidak bisa mundur. Yang lebih penting lagi, ada sesuatu yang bisa mereka ambil dari kami.
Contohnya Mia. Pria yang bertarung dengan Mason sepertinya menyadari hal ini. Dia menjauh dari Mason lalu menyambar Mia. Aku nyaris tidak melihat kilasan senjata itu sebelum moncongnya ditekankan ke leher Mia. Seraya mundur dari lawanku, aku berteriak pada Eddie agar berhenti. Kami semua sudah dilatih untuk segera menanggapi perintah semacam itu, dan Eddie langsung menghentikan serangannya, menatapku dengan bingung. Ketika melihat Mia, wajahnya memucat.
Tak ada yang kuinginkan selain terus memukuli pria-pria ini siapa pun mereka tapi aku tak bisa mengambil risiko Mia disakiti oleh pria itu. Pria itu juga menyadarinya. Dia bahkan tidak perlu mengeluarkan ancaman. Dia seorang manusia, tetapi dia tahu cukup banyak tentang kami. Dia tahu kami akan melakukan apa pun untuk melindungi Moroi. Sejak kecil para novis sudah dicekoki dengan istilah: Hanya mereka yang penting.
Semua orang berhenti, lalu bergantian menatapku dan pria itu. Sepertinya kami pemimpin yang diakui di sini. Apa yang kauinginkan" tanyaku dengan kasar.
Pria itu semakin menekankan senjatanya ke leher Mia, dan gadis itu merintih pelan. Terlepas dari ucapannya mengenai bertarung, tubuh Mia lebih kecil dariku dan jauh lebih lemah. Mia juga terlalu takut untuk bergerak.
Pria itu memiringkan kepala ke arah pintu mobil van yang terbuka. Aku ingin kalian masuk ke dalam. Dan jangan macam-macam. Kalau kalian bikin ulah, nyawanya melayang.
Aku menatap Mia, mobil van, teman-temanku yang lain, lalu kembali menatap pria-pria itu. Sialan.
BAB SEMBILAN BELAS AKU BENCI MERASA tak berdaya. Dan aku benci menyerah tanpa perlawanan. Yang terjadi di gang tadi bukan pertarungan sebenarnya. Seandainya itu yang terjadi seandainya aku dihajar sampai menyerah & maka, yeah. Mungkin aku bisa menerimanya. Tetapi aku tidak dihajar. Tanganku hampir tidak kotor. Alih-alih, aku mengikuti mereka tanpa melawan.
Setelah menyuruh kami duduk di lantai mobil van, mereka mengikat tangan kami di belakang dengan borgol plastik terkunci yang sanggup menahan apa pun sekuat borgol logam.
Setelah itu kami berkendara dalam diam. Pria-pria itu sesekali menggumamkan sesuatu, mengobrol dengan suara yang terlalu pelan untuk bisa kami dengar. Christian atau Mia mungkin bisa mendengarnya, tetapi posisi mereka sama sekali tidak memungkinkan untuk berkomunikasi dengan satu pun dari kami. Mia masih terlihat ketakutan seperti ketika berada di jalan tadi, dan meski rasa takut Christian dengan cepat berubah menjadi kemarahannya yang biasa, dia pun tidak berani bertingkah macam-macam dengan kawalan penjaga di dekatnya.
Aku lega karena Christian bisa mengendalikan diri. Aku tidak ragu pria-pria itu pasti akan langsung memukul jika Christian kelewatan, dan baik posisiku maupun para novis yang lain tidak memungkinkan untuk menghentikan mereka. Itulah yang benar-benar membuatku gila. Insting melindungi Moroi begitu terpatri dalam diriku, sehingga aku bahkan tak sanggup berhenti sejenak untuk mengkhawatirkan diriku sendiri. Christian dan Mia yang menjadi pusat perhatianku. Merekalah yang harus kuselamatkan dari semua kekacauan ini.
Dan bagaimana semua kekacauan ini bisa terjadi" Siapa pria-pria ini" Itu masih misteri. Mereka manusia, tetapi aku tak percaya sekelompok dhampir dan Moroi sudah menjadi korban penculikan acak. Kami menjadi target karena alasan tertentu.
Penculik kami tidak berusaha menutup mata kami atau menyamarkan rute perjalanan, dan hal itu kuanggap sebagai pertanda tidak baik. Apa mereka mengira kami tidak mengenal kota ini sehingga takkan bisa mengingat jalan kembali" Atau mereka
mengira hal itu tidak penting, karena kami takkan pernah meninggalkan tempat mana pun yang sedang kami tuju sekarang" Aku hanya bisa merasa kami semakin jauh dari pusat kota, melaju ke daerah pinggiran. Spokane memang sangat membosankan seperti yang sudah kuduga. Alih-alih salju putih yang terhampar dalam gundukan, jalanan dipenuhi kubangan lumpur es kelabu dan petak-petak kotor yang tersebar di pekarangan. Di sini juga tidak ada pepohonan hijau seperti yang biasa kulihat. Pepohonan meranggas berbatang kurus yang ada di sini terlihat bagai tengkorak. Mereka hanya menambah kemuraman bencana yang segera datang.
Setelah perjalanan yang rasanya berlangsung kurang dari satu jam, mobil van berbelok ke jalan buntu yang sepi, menuju sebuah rumah yang terlihat sangat biasa namun luas. Rumah-rumah lainnya terlihat identik seperti yang umum terjadi pada rumah-rumah di kawasan suburban terletak berdekatan, dan hal ini memberiku sedikit harapan. Mungkin kami bisa mendapat bantuan dari para tetangga.
Mobil dimasukkan ke dalam garasi, dan begitu pintu garasi diturunkan, pria-pria itu langsung menggiring kami ke dalam rumah. Bagian dalam rumah ini kelihatan jauh lebih menarik. Sofa dan kursi antik dengan kaki berbentuk cakar. Sebuah akuarium besar berisi ikan air laut. Pedang-pedang yang bersilangan di atas perapian. Sejenis lukisan semi modern yang berisi beberapa garis yang dicoretkan di atas kanvas.
Bagian diriku yang senang menghancurkan sangat tertarik untuk mempelajari cara menggunakan pedang-pedang itu secara detail, tetapi ternyata tujuan kami bukan lantai utama. Alih-alih, kami digiring ke tangga, turun ke ruang bawah tanah yang sama luasnya dengan lantai atas. Hanya saja, tidak seperti ruang terbuka di lantai utama, ruang bawah tanahnya dibagi menjadi beberapa selasar dan pintu-pintu yang tertutup. Tempat ini terlihat bagaikan labirin tikus. Tanpa ragu, para penculik menggiring kami ke sebuah ruangan kecil dengan lantai beton dan dinding yang tidak dicat.
Perabot di dalam terdiri atas beberapa kursi kayu bersandaran tipis yang terlihat sangat tidak nyaman sandaran yang terbukti cocok untuk mengikat kembali tangan kami. Pria-pria itu mendudukkan kami sedemikian rupa sehingga Mia dan Christian berada di satu sisi ruangan, sedangkan kami para dhampir di sisi yang lain. Seorang pria ternyata pemimpinnya mengawasi dengan saksama ketika salah seorang anak buahnya mengikat tangan Eddie dengan borgol plastik biru.
Mereka yang harus lebih kauawasi, pria itu memperingatkan sambil mengedikkan dagu ke arah kami. Mereka akan melawan. Matanya menatap wajah Eddie, lalu wajah Mason, dan terakhir wajahku. Aku bertatapan dengan pria itu selama beberapa saat, lalu aku merengut. Pria itu menoleh pada temannya lagi. Terutama awasi dia.
Setelah merasa puas dengan ikatan kami, pria itu meneriakkan beberapa perintah lagi, lalu pergi meninggalkan ruangan dan membanting pintu dengan suara keras. Saat berjalan menaiki tangga, langkah kakinya bergema ke seluruh rumah. Sesaat kemudian suasana menjadi sunyi.
Kami hanya bisa duduk seraya saling pandang. Beberapa menit kemudian, Mia merintih dan mulai bicara. Apa yang akan kalian
Diam, salah seorang pria itu menggeram pada Mia. Pria itu mendekatinya dengan langkah mengancam. Wajah Mia memucat dan mengernyit, tetapi kelihatannya dia masih ingin mengatakan sesuatu. Aku menatapnya dan menggelengkan kepala. Mia tidak mengatakan apa-apa, kedua matanya melebar, dan bibirnya agak gemetar.
Tidak ada yang lebih buruk daripada menunggu dan tak tahu apa yang akan terjadi padamu selanjutnya. Imajinasimu bisa begitu kejam. Karena orang-orang yang menjaga kami tidak mengatakan ataupun memberitahukan apa pun pada kami, akhirnya aku membayangkan berbagai skenario mengerikan. Senjata-senjata itu merupakan ancaman yang sangat nyata, dan aku membayangkan bagaimana rasanya ditembus peluru. Sepertinya menyakitkan. Dan bagian mana yang akan mereka tembak" Jantung, atau kepala" Kematiannya akan cepat. Tapi bagaimana kalau di bagian lain" Misalnya di perut" Kematiannya akan lambat dan menyakitkan. Aku menggigil saat mem
bayangkan darahku menetes sampai habis. Memikirkan darah sebanyak itu membuatku teringat pada rumah keluarga Badica, dan membayangkan kemungkinan leher kami digorok. Selain pistol, sepertinya pria-pria ini juga memiliki pisau.
Tentu saja, aku juga bertanya-tanya mengapa sampai detik ini kami masih hidup. Sudah jelas mereka menginginkan sesuatu dari kami, tapi apa" Mereka tidak menanyakan informasi tertentu pada kami. Dan mereka manusia. Apa yang diinginkan manusia dari kami" Biasanya yang kami takuti adalah jenis manusia yang ingin membantai kaum kami, atau mereka yang ingin melakukan eksperimen pada kami. Sepertinya mereka bukan keduanya.
Jadi, apa yang mereka inginkan" Kenapa kami ada di tempat ini" Aku terus membayangkan kejadian-kejadian yang lebih mengerikan. Ekspresi wajah teman-temanku menunjukkan bahwa aku bukan satu-satunya yang sanggup membayangkan berbagai siksaan yang mungkin akan kami terima. Bau keringat dan ketakutan memenuhi ruangan ini.
Aku sudah tidak bisa mengira-ngira waktu, dan tiba-tiba tersentak keluar dari imajinasiku saat mendengar bunyi langkah kaki di tangga. Si pimpinan penculik tiba di selasar. Pria-pria lainnya langsung berdiri, mereka terlihat tegang. Ya Tuhan. Sekaranglah saatnya, aku tersadar. Inilah yang kami tunggu sedari tadi.
Ya, Sir, aku mendengar si pemimpin berkata. Mereka ada di dalam, seperti yang kauminta.
Akhirnya, batinku. Orang di balik penculikan kami. Rasa panik menyerbuku. Aku harus melarikan diri.
Keluarkan kami dari sini! teriakku sambil menarik-narik ikatan tanganku. Keluarkan kami dari sini, dasar kau ba
Aku berhenti. Ada sesuatu di dalam diriku yang seakan mengerut. Kerongkonganku terasa kering. Jantungku seakan ingin berhenti berdetak. Si penjaga sudah kembali bersama seorang pria dan wanita yang tidak kukenal. Namun, aku tahu bahwa mereka adalah &.
&Strigoi. Strigoi yang nyata dan hidup yah, secara kiasan. Tiba-tiba saja semuanya terlihat masuk akal. Ternyata bukan hanya laporan mengenai Spokane saja yang benar. Kekhawatiran kami bahwa Strigoi bekerja sama dengan manusia ternyata juga benar. Semua ini akan mengubah banyak hal. Siang hari tak lagi aman. Tak satu pun dari kita yang aman. Yang lebih parah, aku baru sadar mereka ini Strigoi yang licik Strigoi yang menyerang dua keluarga Moroi dengan bantuan manusia. Semua ingatan itu kembali membanjiri benakku, mayat dan darah yang berceceran di mana-mana. Cairan asam mulai naik ke kerongkonganku, dan aku berusaha menyingkirkan ingatan masa lalu dengan situasi sekarang. Bukan berarti situasi sekarang lebih menyenangkan.
Kaum Moroi berkulit pucat, jenis kulit yang mudah merona dan terbakar sinar matahari. Tetapi para vampir Strigoi ini &kulit mereka seputih kapur, jenis putih yang membuat kulit terlihat seperti hasil riasan yang buruk. Pupil mereka dikelilingi lingkaran merah, menunjukkan kepribadian mereka yang seperti monster.
Sebenarnya, si wanita mengingatkanku pada Natalie temanku yang bernasib malang karena diyakinkan oleh ayahnya sendiri untuk berubah menjadi Strigoi. Perlu beberapa saat bagiku untuk memikirkan persamaan di antara mereka, karena keduanya tidak mirip sama sekali. Wanita ini bertubuh pendek mungkin sebelum menjadi Strigoi, dia manusia biasa dan rambutnya berwarna cokelat dengan highlight jelek.
Kemudian aku tersadar. Strigoi ini baru saja berubah, sama seperti Natalie dulu. Hal ini terlihat semakin jelas setelah aku membandingkan dia dengan pria yang bersamanya. Wajah si wanita Strigoi masih menunjukkan sedikit kehidupan. Tetapi wajah si pria &memperlihatkan wajah kematian.
Wajah si pria sama sekali tidak menunjukkan kehangatan ataupun emosi lembut lainnya. Ekspresi wajahnya dingin dan penuh perhitungan, dan dihiasi seringai jahat. Pria itu bertubuh tinggi, setinggi Dimitri, dan ramping. Tubuh rampingnya menunjukkan bahwa dia dulu Moroi sebelum berubah menjadi Strigoi. Wajahnya dibingkai rambut hitam sepanjang bahu yang terlihat mencolok di atas kemeja merah cerah yang dipakainya. Mata cokelatnya terlihat sangat gelap, sehingga tanpa lingkaran merah itu, batas antara pupil dan irisnya akan sul
it ditentukan. Salah satu pria yang menjaga kami mendorongku dengan keras, padahal aku tidak mengatakan apa-apa. Kemudian dia melirik si pria Strigoi. Apa aku harus menyumpal mulutnya"
Tiba-tiba aku tersadar bahwa dari tadi aku merapat ke sandaran kursi, berusaha menjauh dari pria itu. Si pria Strigoi pun menyadarinya, dan dia menyunggingkan senyum tipis tanpa memperlihatkan giginya.
Jangan, dia berkata. Suaranya terdengar angkuh dan pelan. Aku ingin mendengar apa yang ingin disampaikannya. Pria itu mengangkat sebelah alis padaku. Silakan. Lanjutkan saja.
Aku menelan ludah. Tak mau" Tak ada lagi yang ingin kaukatakan" Nah. Silakan bersuara jika ada sesuatu yang tebersit dalam pikiranmu.
Isaiah, si wanita berseru. Kenapa kau menyekap mereka di sini" Kenapa kau tidak langsung menghubungi yang lain saja"
Elena, Elena, gumam Isaiah. Jaga tingkahmu. Aku takkan melewatkan kesempatan menikmati dua orang Moroi dan & Isaiah berjalan ke belakang kursiku lalu mengangkat rambutku, membuatku menggigil. Sesaat kemudian dia menatap leher Mason dan Eddie. &tiga dhampir yang darahnya belum tercemar. Isaiah mengucapkan kalimat itu nyaris dengan desahan bahagia, dan aku sadar bahwa dia tadi sedang memeriksa keberadaan tato pengawal.
Isaiah menghampiri Mia dan Christian, lalu berkacak pinggang sambil mengamati mereka. Mia hanya sanggup menatapnya sejenak sebelum akhirnya memalingkan wajah. Rasa takut Christian terlihat jelas, tetapi dia berhasil membalas tatapan si Strigoi. Hal itu membuatku bangga padanya.
Lihat mata ini, Elena. Elena menghampirinya dan berdiri di samping Isaiah yang berbicara lagi. Mata biru pucat ini. Bagaikan es. Bagaikan batu aquamarine. Bisa dibilang kau takkan bisa mendapatkan mata seperti ini di luar keluarga bangsawan. Keluarga Badica. Keluarga Ozera. Beberapa orang keluarga Zeklos.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 3 Dewa Arak 34 Runtuhnya Sebuah Kerajaan Bidadari Dari Sungai Es 20

Cari Blog Ini