Ceritasilat Novel Online

Jeritan Pertama 2

Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 Bagian 2


"Ya?" desak Nicholas tidak sabar, sambil menggaruk-garuk
lutut celana wol abu-abunya.
"Aku tahu kau tidak suka padanya," kata Robin.
"Bukan secara pribadi," potong ayahnya.
"Tapi aku tahu kau tidak mau dia membangun taman hiburan
itu," Robin meneruskan.
Nicholas mengangguk. "Itu benar. Dan sekarang aku yakin
taman itu tak akan dibangun." Wajahnya tidak menunjukkan emosi
apa pun. "Tapi, Dad?" Robin menarik napas panjang. "Apakah kau
melakukan sesuatu pada Mr. Bradley" Maksudku, mereka
menemukan mayatnya... dan... uh... sangat aneh..."
Jantung Robin berdebar-debar. Ini sangat sulit, pikirnya.
Harusnya aku tidak ke sini. Aku tidak bisa menanyai ayahku apakah
dia seorang pembunuh, apakah dia membunuh Mr. Bradley dengan
cara seaneh itu. Nicholas bangkit berdiri. Ia membungkuk ke depan,
mendekatkan wajahnya ke wajah Robin, lalu berdeham. "Robin, kau
mau bertanya apakah aku tersangkut paut dengan kematian Jack
Bradley?" Robin menelan ludah dengan susah payah. Ia mengangguk.
"Ya." Senyum aneh mengembang di wajah Nicholas. Matanya
menatap tajam pada Robin. "Apakah aku membunuh Jack Bradley"
Itukah pertanyaanmu?"
Robin mengangguk lagi. Ia merasa wajahnya panas. Lututnya
gemetar. Nicholas membungkuk semakin dekat, begitu dekat sehingga
Robin bisa mencium bau aftershave-nya. "Robin," bisik Nicholas.
"Akan kuberitahukan yang sesungguhnya kepadamu."
Bab 13 BULU kuduk Robin meremang. Mungkin aku tidak ingin
mendengar apa yang sebenarnya terjadi, pikirnya.
Tapi ia tahu sekarang sudah telanjur.
"Tentu saja aku tidak senang pada rencana Jack Bradley,"
Nicholas memulai, bicaranya lembut dan perlahan. Matanya tetap
menatap Robin. "Dan tentu saja aku akan melakukan apa pun untuk
mempertahankan hutan kita, untuk mencegah dia membangun taman
hiburan di tanah milik kita."
Jadi kau memang membunuhnya! pikir Robin, bulu kuduknya
meremang lagi. "Tapi aku punya rasa hormat pada orang itu," ayahnya
meneruskan sambil menggaruk kepala botaknya. "Dan aku
menghormati hukum, Robin."
Nicholas menggelengkan kepala, ekspresi wajahnya berubah
sedih. "Aku juga sangat terkejut mendengar kematian Bradley, sama
seperti orang lain. Aku benci melihat warga Shadyside yang baik
seperti dia tewas secara mengenaskan seperti itu."
Robin ganti menatap ayahnya. Tanpa bergerak. Ia merasa
jantungnya mengentak-entak di dada.
Udara tiba-tiba terasa berat dan dingin. Robin merasa
kedinginan seperti duduk di dalam lemari pendingin.
Ia baru sadar bahwa ayahnya menanti reaksinya. Tapi Robin
tidak tahu harus mengatakan apa.
Mereka berdua saling menatap tanpa bicara selama beberapa
detik. Robin yang pertama mengalihkan tatapan. "Uh... terima kasih,
Dad," gumamnya canggung.
"Merasa lebih enakan, Nak?" tanya Nicholas.
Robin mengangguk. "Ya. Terima kasih."
Robin bangkit berdiri agak terhuyung. Kakinya terasa seperti
dari karet ketika ia berjalan ke pintu. Ketika ia menoleh, dilihatnya
ayahnya sudah mengambil buku besar itu dan sedang membuka-buka
mencari halaman yang dibacanya tadi.
Robin melangkah keluar dari ruang perpustakaan dan menutup
pintu yang berat itu. Aku harus keluar dari rumah ini, katanya dalam
hati. Aku harus berjalan-jalan di udara segar"dan berpikir.
Ia membuka pintu depan. Sinar matahari yang cerah membanjiri
halaman depan. Ia melangkah ke sinar matahari dan berjalan ke luar
halaman. Percayakah aku pada Dad" tanyanya pada diri sendiri.
Percayakah aku pada apa yang baru diceritakannya tadi"
Tentu saja tidak. ************ Meghan sedang menyeberangi jalan Park Drive ketika ia
melihat Robin di seberang, berjalan perlahan-lahan ke sekolah.
Meghan memanggilnya, tapi anak lelaki itu tidak mendengar.
"Hei"tunggu! Robin"tunggu!"
Meghan akan menyeberang, tapi sebuah mobil Hudson hitam
lewat. Mobil itu dipenuhi anak-anak yang ia kenal. Tiga di antara
mereka bergelantungan di luar, berdiri di pijakan samping. Mereka
semua berseru-seru dan melambaikan tangan ke arah Meghan.
Meghan membalas lambaian, lalu berlari-lari kecil
menyeberang jalan untuk mengejar Robin. Robin berjalan menunduk,
seakan sedang berpikir keras. Ia memakai sweter longgar di atas
celana baggy cokelat. Rambut hitamnya jatuh terurai ke dahi.
"Robin?" panggil Meghan. Cowok itu mungkin mau ke
Shadyside Park, pikir Meghan. Taman Shadyside terletak di belakang
sekolah, terhampar sampai ke tepi sungai.
Meghan memanggil lagi, dan kali ini Robin menoleh. Meghan
melihat ekspresi terkejut di wajah Robin, lalu sebuah senyum kikuk.
Meghan merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Aku betulbetul naksir dia, pikirnya. Naksir serius.
Belakangan ini ia memang sering memikirkan Robin. Dan
melihat Robin saat ini membuatnya mendadak gugup.
"Hai," sapa Robin ketika Meghan sudah dekat. "Aku tidak lihat
kau tadi." Tangannya tetap berada di dalam saku.
"Sedang apa kau di sini?" tanya Meghan terengah-engah.
"Hanya jalan-jalan," sahut Robin sambil mengangkat bahu.
Salah satu kaus kaki putih Meghan yang setinggi lutut sudah
melorot sampai ke mata kaki. Ia membungkuk untuk menariknya ke
atas, lalu meluruskan bagian depan rok panjangnya.
Meghan menyeringai ke Robin. "Aku kira kau hanya suka
jalan-jalan di hutan."
Wajah Robin berubah serius. "Aku sedang ingin ke tempat
lain." "Aku tahu perasaan seperti itu," sahut Meghan. "Kadangkadang aku juga ingin pergi sejauh mungkin. Kadang-kadang aku
ingin jadi orang lain." Ia menurunkan tatapannya. "Orangtuaku tidak
akur. Kadang-kadang pertengkaran mereka membuatku hampir gila."
Kenapa kuceritakan ini padanya" Meghan heran sendiri, merasa
jengah. Pasti dia tidak ingin mendengar tentang keluargaku.
"Aku"punya masalah keluarga juga," Robin mengaku.
Mereka berjalan berdampingan melewati lapangan parkir
menuju bagian belakang gedung. Meghan melihat tujuh-delapan anak
laki-laki sedang bermain sofbol di sudut lapangan sepak bola. Seorang
anak laki-laki berambut pirang sedang berlari ke base pertama.
Penjaga base pertama menangkap bola dan menepuk anak berambut
pirang itu. Kemudian timbul perdebatan apakah anak itu safe karena
sampai ke base lebih dulu, atau dia harus keluar karena tertangkap
sebelum menyentuh base. "Kau suka olahraga?" tanya Meghan pada Robin.
Pertanyaan itu seperti mengejutkannya. "Tidak. Tidak begitu
suka," sahut Robin, memperhatikan anak-anak itu saling berteriak dan
mendorong. "Kadang-kadang aku suka mendengarkan pertandingan
bisbol di radio. Tapi aku tidak suka ikut olahraga."
Mereka berjalan terus, menuju lapangan rumput yang lebar,
tempat Shadyside Park berawal. Kutu-kutu putih beterbangan di atas
rumput. Seekor burung mematuk cacing cokelat gemuk.
"Aku pemain tenis yang lumayan," kata Meghan, berusaha agar
percakapan tidak terhenti. "Itu olahraga kesukaanku. Di sekolah kita
selalu disuruh main hoki. Membosankan. Aku lebih suka main sofbol.
Tapi anak perempuan tidak boleh ikut sofbol."
Kenapa aku terus mengoceh seperti ini" tanyanya pada diri
sendiri. Ia merasa gugup, tidak seperti biasanya. Dan aku juga tidak
biasanya mengoceh tidak keruan seperti ini, pikirnya.
Ini karena aku berdekatan dengan Robin, pikirnya.
Aku berusaha membuat dia terkesan. Aku berusaha membuat
dia suka padaku. Aku berusaha menarik perhatiannya.
Tapi sulit sekali. Dia begitu... pemalu. Terlalu pendiam. Sulit
sekali untuk mengetahui apakah dia bahkan mendengar kata-kataku.
Mereka berhenti di depan sepasang pohon ek tua. Dahandahannya saling membelit ke atas, membentuk gerbang. Jalan tanah
setapak yang mereka lalui lewat menembus gerbang itu.
Apakah Robin suka padaku" pikir Meghan. Apakah dia suka
memikirkan aku" Dan mendadak, menurutkan kata hati yang tiba-tiba muncul,
Meghan melakukan tindakan gila-gilaan. Ia menaruh kedua tangannya
di pundak Robin, mengangkat bibirnya ke bibir Robin, dan
menciumnya. Ciuman kilat. Tapi tetap suatu ciuman.
Asyik, pikirnya, tangannya masih menekan pundak sweter
Robin yang hangat terkena cahaya matahari.
"Oh!" Robin berseru kaget. Mata hitamnya membelalak.
Apa yang kulakukan barusan" tanya Meghan pada dirinya
sendiri. Ia melangkah mundur. Berbarengan dengan seseorang yang melompat marah ke
arahnya. "Richard!" jerit Meghan, melihat mata yang melotot marah itu.
"Kau dari mana" Aku cuma?"
Richard menggeram marah, bagaikan binatang yang siap,
menerkam. "Meghan"tak kusangka!" teriaknya. "Kau diam-diam
pergi dengan dia"dengan dia waktu aku sedang berkabung atas
kematian ayahku?" "Tidak!" teriak Meghan. "Kau tidak mengerti. Aku?"
Meghan tidak sempat menyelesaikan kata-katanya.
Richard menggeram bagaikan binatang luka. Lalu tinjunya
melayang keras. Dan berbunyi "buk" ketika mendarat di wajah Robin.
Meghan memekik tertahan saat kepalan Richard membentur
pipi dan hidung Robin. Darah merah membasahi pipi Robin, menetes
ke dagunya. "Richard"hentikan!" jerit Meghan.
Robin terhuyung ke belakang, terpana.
Tangannya terangkat ke wajahnya yang berdarah. "Hei?"
Suaranya lebih mirip erangan daripada seruan tanda protes.
Dan Richard meninjunya lagi. Kali ini pukulan keras ke perut.
Napas Robin tersengal-sengal. Darah masih mengalir dari
hidungnya. Ia membungkuk kesakitan.
Richard mencengkeram bahu Robin. Menendang pinggangnya
keras-keras. "Jangan! Richard"hentikan!" jerit Meghan.
Richard tidak menghiraukan teriakan Meghan. Ia menendang
Robin berulang-ulang. Robin berseru kesakitan. Menutupi wajahnya yang berdarah
dengan kedua tangan. "Hentikan!" lengking Meghan. Ia menarik bahu Richard,
mencoba menjauhkannya dari Robin.
Richard mengayunkan lengannya, sehingga Meghan terlempar
ke belakang. Lalu melayangkan tinju keras ke leher Robin.
Robin berdeguk. Darah tergenang di bawah kakinya.
"Hentikan, Richard! Hentikan!" jerit Meghan. "Hentikan! Kau
bisa membunuhnya!" Bab 14 RASA sakit menusuk-nusuk dada Robin. Perutnya mual.
Napasnya megap-megap. Kedua tangannya menutupi wajah. Darah mengalir, kental dan
hangat. Sebuah entakan di dada membuatnya mengerang. Sakitnya
bukan main, menghunjam bagaikan tusukan pisau. Atau cambukan.
Tulang-tulang rusuknya seperti sedang dicambuki orang.
Tidak, ini tidak sungguh-sungguh terjadi, pikirnya.
Tak mungkin ini terjadi padaku"di depan Meghan.
Ia menggulingkan tubuh menjauh. Dan berhasil bangkit berdiri.
Kakinya gemetar. Seluruh tubuhnya gemetar.
Aku sama sekali tidak melawan, pikirnya, masih melindungi
wajahnya dengan kedua belah tangan.
Aku membiarkan dia memukuliku, menendangiku. Aku sama
sekali tidak melawan. Di depan Meghan. Aku sama sekali tidak melawan.
Meghan justru membantunya berdiri, Robin menyadari.
Diturunkannya tangannya dari wajah dan dilihatnya Meghan
memegang lengannya. Rambut merah Meghan kusut berantakan, dan
napasnya terengah-engah, tubuhnya gemetar.
Karena marah" Atau takut" Robin tidak tahu.
Dilihatnya Richard di belakang Meghan, dengan tenang
memeriksa kepalannya yang lecet. Richard bahkan sama sekali tidak
memandang ke arahnya. "Kau tidak apa-apa?" tanya Meghan berbisik. "Robin"perlu
kucari bantuan?" Robin tidak menjawab. Belum pernah aku dipermalukan seperti ini, pikirnya.
Rasanya ingin mati saja. Lenyap menghilang.
Aku sama sekali tidak melawan. Aku sama sekali tidak
melawan. Bahkan aku harus dibantu berdiri oleh Meghan.
"Tidaaak!" gerungan protes panjang menyembur dari mulut
Robin. Dan tiba-tiba Robin berlari. Berlari dari taman. Berlari melewati
dua anak laki-laki yang terkejut dan harus mengerem sepeda mereka
dengan mendadak. Berlari melewati anak-anak yang sedang bermain
sofbol di mana perdebatan baru sedang berlangsung hangat.
Berlari. Kalau saja aku bisa melarikan diri dari diriku sendiri, pikirnya.
Kalau saja aku bisa berlari selamanya.
************* Telepon di ruang keluarga berdering. Meghan cepat-cepat
berjalan untuk mengangkatnya. Ada yang lengket-lengket di bagian
mulut pesawat telepon. Pasti ada orang menelepon sambil makan,
entah siapa, pikirnya. "Halo?" ujarnya sambil menahan napas.
"Hai, ini aku." Suara Richard terdengar dari ujung sana. "Aku
mau minta maaf. Mengenai yang tadi itu. Tadi sore."
Meghan menghela napas. "Richard," katanya dengan nada
menegur, "kau tahu aku tidak boleh mengobrol lewat telepon. Nomor
telepon ini dipakai oleh empat keluarga bersama-sama. Jadi aku hanya
boleh bicara kalau ada urusan yang sangat penting."
"Tapi ini urusan penting," sahut Richard. "Aku sebetulnya tidak
ingin lepas kendali sore tadi. Tapi karena?"
"Aku betul-betul tidak bisa bicara," tukas Meghan. Maaf."


Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ditaruhnya gagang pesawat telepon.
Meghan masih belum bisa menerima permintaan maaf Richard.
Ia memang tidak ingin bicara dengan cowok itu.
Kasihan Robin, pikirnya. Richard berbadan tegap dan atletis. Tidak patut dia
memperlakukan Robin seperti itu. Robin sama sekali tidak punya
kesempatan membela diri. Meghan tidak bisa menghilangkan rasa bersalahnya. Itu karena
salahku, pikirnya. Kalau saja aku tidak mencium Robin...
Dua menit kemudian, pintu depan terbuka. Meghan mengangkat
wajahnya dari buku yang sedang dibacanya dan melihat Richard
menghambur masuk tanpa mengetuk pintu lebih dulu. "Kenapa
kauputuskan telepon?" tanyanya dengan nada menuntut.
"Aku sudah bilang, aku tidak boleh mengobrol lewat telepon."
Ia menutup buku dengan keras. "Kau mau apa?" tanyanya dingin.
"Mau minta maaf," kata Richard. "Aku tahu seharusnya aku
tidak boleh kehilangan kesabaran seperti. Tapi kadang-kadang aku
tidak bisa mengendalikan diri."
Mata Meghan menerawang. "Permintaan maaf macam apa ini."
Richard berjalan menyeberangi ruangan. Ia mencoba meraih
tangan Meghan, tapi gadis itu menyentaknya.
"Kulihat kau mencium Robin Fear, dan itu yang membuat
amarahku memuncak," katanya lagi.
Meghan mengangguk. Ia tahu itu memang salahnya. "Tapi kau
hampir membunuh dia, Richard," katanya, melunak.
Richard menarik-narik segumpal rambut keritingnya. Mulutnya
mencebik. "Aku minta maaf," katanya. "Jangan marah lagi padaku."
Dia seperti anak kecil, pikir Meghan. Ia menyadari ia masih
tertarik pada Richard. "Yah... mungkin aku bisa menerima permintaan maafmu," kata
Meghan manis. Ia mengulurkan tangan. Mereka bersalaman.
"Kau tidak sungguh-sungguh suka pada Robin Fear, kan?"
tanya Richard menyelidik.
Ya, aku suka padanya, Meghan ingin menjawab. Tapi ia takut
membakar kemarahan Richard lagi. Dan ia benar-benar tidak ingin
menyakiti hati Richard. Jadi ia mengabaikan pertanyaan itu. "Memangnya kau sedang
apa sih di taman tadi?" tanyanya, sambil menyapu noda debu di salah
satu sepatunya yang berwarna cokelat-putih.
"Pokoknya kau jangan dekat-dekat dia," Richard
memperingatkan. "Aku serius. Aku minta maaf atas apa yang
kulakukan tadi, tapi jauhkan dirimu dari dia, Meghan."
"Sedang apa kau di taman?" Meghan mengulang
pertanyaannya. "Aku sedang mencarimu," sahut Richard. Ia duduk di depan
Meghan. "Aku punya berita bagus. Tapi waktu aku melihat Robin
dan...," kata-katanya berhenti sebelum selesai.
"Berita bagus?" Meghan mencondongkan tubuh ke arahnya,
sambil menopang kepala dengan tangan. "Berita apa?"
"Tentang taman hiburan," kata Richard bersemangat. "Dewan
kota"mereka memutuskan akan mengambil alih sebagian Hutan Fear
Street untuk kota. Sebagai penghargaan bagi almarhum ayahku."
"Richard, itu bagus sekali!." seru Meghan. Ia melompat berdiri,
menepukkan kedua tangannya, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi
sebagai tanda kemenangan. "Yeeeiii!"
"Ya," Richard setuju. "Berarti taman hiburan akan dibangun.
Impian ayahku akan menjadi kenyataan."
Meghan bersorak lagi. Richard mengangkat kedua tangannya menyuruh Meghan diam.
"Bukan hanya itu berita bagusnya, Meghan. Masih ada lagi. Wali Kota
menelepon ibuku dan menceritakan seluruh rencananya."
"Apa" Rencana apa?" desak Meghan.
"Setelah pohon-pohonnya ditebang," kata Richard, "kota akan
mengupah sebanyak mungkin anak-anak remaja untuk membersihkan
tunggul-tunggulnya. Termasuk anak-anak perempuan."
"Betul" Anak perempuan juga boleh ikut?"
Richard mengangguk. "Mereka akan membayar kita satu dolar
sehari"dan tiket gratis waktu taman hiburan dibuka nanti."
Meghan bersorak kegirangan. Ia memeluk Richard.
Aku akan bisa mengumpulkan uang musim panas ini, pikirnya.
Satu dolar sehari! Aku bisa membantu Mom dan Dad.
"Aku tidak sabar menunggu impian ayahku menjadi
kenyataan," kata Richard senang. "Aku tidak sabar menunggu taman
hiburan itu dibuka."
"Aku juga!" Meghan bersorak lagi. "Aku juga sudah tidak
sabar!" Ia tidak tahu betapa panjang"dan mengerikannya"saat-saat
penantian itu. Bab 15 "BISA tidak, kita bertemu pulang sekolah nanti?"
Meghan menoleh untuk melihat siapa yang membisikkan itu.
"Robin" Hai."
Ia menutup pintu loker, lalu memutar tubuhnya dan meneliti
wajah Robin. "Kau sudah tidak apa-apa?"
Robin mengusap noda memar kecil berwarna keunguan di pipi
kanannya. "Ya. Aku segar bugar. Sehat." Pipinya bersemu merah.
Saat itu Selasa siang. Meghan belum melihatnya lagi sejak
perkelahian berat sebelah di hari Sabtu. "Kau baik-baik saja
kelihatannya," katanya pada Robin.
"Memarnya sebagian besar di sisi mental," sahut Robin,
menunduk memperhatikan sepatunya sendiri.
Ingat pada Richard dan ancamannya, Meghan menebar pandang
ke sepanjang gang. "Richard melarang aku berbicara denganmu."
Kata-kata itu menyembur dari mulutnya begitu saja sebelum ia
menyadarinya. Robin menggelengkan kepala. "Apakah dia yang menentukan
dengan siapa kau boleh dan tidak boleh bicara" Kaubiarkan dia
melakukan itu?" "Tentu saja tidak," Meghan cepat-cepat menjawab. Sekarang
giliran dirinya yang salah tingkah. "Di mana kau ingin kita bertemu?"
katanya. "Di hutan?" saran Robin. "Di tempat dulu kita bertemu di tepi
anak sungai?" Meghan menggeleng. "Tidak. Aku tidak mau ke sana lagi,"
katanya. "Aku tidak mau lagi ke sana sejak... kami menemukan ayah
Richard di dekat tempat itu. Aku?"
"Bagaimana kalau di Roger's?" tanya Robin. "Sambil minum es
krim soda. Aku yang traktir."
Kelihatannya Robin sangat bersemangat.
Apakah dia suka padaku" pikir Meghan. Walaupun aku sudah
membuatnya babak belur"
Roger's adalah tempat jajan anak-anak Shadyside High, hanya
dua blok dari sekolah. Bagaimana kalau Richard datang dan melihat kami"
Kemungkinan itu mengganggu Meghan.
Tidak, sanggahnya sendiri. Tim bisbol akan bertanding setelah
sekolah usai. Robin dan aku aman.
"Oke," bisiknya. "Aku tunggu kau di sana jam empat."
Ia menutup pintu lokernya, berbalik, dan melangkah pergi,
persis ketika Richard muncul dari sudut gang. "Apa kabar, gadisku?"
tanyanya dengan suara keras.
"Baik-baik saja," sahut Meghan, tanpa menghentikan
langkahnya. Meghan mendorong pintu kaca Roger's dan melihat Robin
sudah menunggunya di meja paling ujung. Tempat itu penuh dan
berisik dengan anak-anak yang asyik mengobrol dan tertawa santai
sambil minum susu malted dan es krim sundae untuk mengusir
ketegangan selama jam sekolah.
"Hai," panggil Robin, melambaikan tangan mengajaknya duduk
di seberang meja kecil di depannya. Sambil menempati kursi dan
menaruh buku-bukunya di lantai, Meghan memperhatikan wajah
Robin yang serius. "Ada apa?" tanyanya.
Sebelum Robin sempat menjawab, seorang pelayan wanita
berseragam putih sudah mendatangi mereka untuk mencatat pesanan
mereka. Mereka sama-sama memesan susu malted cokelat.
Dua orang teman melambai pada Meghan dari tempat duduk
mereka. Meghan membalas lambaian mereka, lalu mengembalikan
perhatiannya pada Robin. "Ada masalah?" tanyanya.
Robin menyapu rambutnya. "Aku betul-betul ingin bicara
denganmu," katanya. Meghan tersenyum. "Ya" Sekarang aku ada di sini."
Meghan agak kecewa ketika Robin tidak membalas senyumnya.
Sebuah lagu mulai terdengar dari radio. Meghan mengenali lagu
itu, irama jazz Cab Calloway dalam lagu berjudul The Jumpin' live.
Ia langsung merasa ingin meloncat dari tempat duduknya,
menarik Robin dan mengajaknya berdansa. Tapi ia hanya
membungkuk di atas meja agar bisa mendengar Robin di tengah suara
musik. "Ayahku orang jahat."
Itukah yang dikatakan Robin" Meghan memusatkan perhatian
agar bisa mendengar lebih jelas di tengah kerasnya suara radio. "Apa
katamu?" tanyanya. Robin membungkuk lebih dekat. Kini wajah mereka hanya
terpisah beberapa sentimeter. "Ayahku lebih jahat daripada yang
diketahui orang," katanya.
Meghan menegakkan duduknya, terkejut oleh kata-kata Robin.
Ia pikir Robin mengajaknya ke sini karena ingin mengajaknya kencan.
Kenapa cowok ini malah bicara tentang ayahnya"
Robin pasti membaca jalan pikiran Meghan. "Ini tentang taman
hiburan itu," Robin menjelaskan. Mata hitamnya menusuk tajam ke
mata Meghan. "Aku ingin kau tahu. Ayahku sangat marah karena
mereka ingin mengambil sebagian hutan kami. Dan dia sangat marah
melihat mereka mulai mengerjakan taman hiburan itu."
Pelayan datang membawa milk shake pesanan mereka dan
semangkuk whipped cream untuk ditaruh di atasnya. Robin menunggu
sampai si pelayan pergi lagi sebelum meneruskan bicaranya.
Meghan menghirup minumannya dengan sebatang sedotan,
sambil masih bertanya-tanya mengapa Robin menceritakan itu
kepadanya. Robin tidak menyentuh minumannya, ia membungkuk di atas
meja agar Meghan lebih mudah mendengarnya. "Aku ingin
menghindar dari kejahatan ayahku," ia meneruskan.
"Hah?" Meghan mengusap cokelat dari dagunya dengan
selembar serbet kertas. "Aku tidak mengerti maksudmu, Robin,"
katanya terus terang. "Aku ingin menunjukkan pada ayahku bahwa dia harus berhenti
menggunakan kekuatan jahatnya," kata Robin sangat serius. "Aku
ingin menunjukkan padanya bahwa dia tidak bisa mengatur hidup
orang lain." Meghan mendorong gelasnya ke pinggir. "Apa yang akan
kaulakukan?" "Aku ingin ikut mengerjakan taman hiburan," sahut Robin.
Mulut Meghan ternganga. "Hah?"
"Aku mau ikut regu kerja remaja," Robin menegaskan. "Mereka
akan mengupah para remaja membongkar tunggul pohon untuk
membersihkan hutan. Dan aku ingin ikut rombongan itu."
Meghan merasa khawatir. "Tapi, Robin," katanya lembut,
"kalau ayahmu sampai tahu?"
"Dia tidak akan tahu," tukas Robin.
"Tapi bagaimana kalau dia tahu kau ikut bekerja menentang
kehendaknya?" desak Meghan. "Bagaimana kalau dia tahu kau ikut
membuat taman hiburan itu" Apa yang akan dia lakukan padamu?"
Robin mengerutkan kening. "Aku akan sangat hati-hati,"
sahutnya. "Dia tidak akan tahu."
Meghan meraih tangan Robin dan menggenggamnya erat-erat.
Ketika ia melepas tangan Robin dan akan menarik lagi tangannya,
Robin yang ganti memegangi tangannya, menggenggam dengan kedua
belah tangan. "Aku... ng... anu..." Robin ragu-ragu. Lalu kata-katanya
meluncur cepat. "Aku betul-betul suka padamu, Meghan. Mungkin
kau sudah menerkanya. Aku sering memikirkanmu. Aku mau ikut
regu kerja itu terutama supaya aku bisa berada di dekatmu."
Kata-katanya mengejutkan Meghan. Kejutan yang
menyenangkan. Ia menatap mata Robin dan melihat bahwa Robin menanti
jawaban. "Aku juga ingin dekat denganmu," katanya pada Robin.
Jawaban itu membuat Robin tersenyum. Ia masih memegangi
tangan Meghan. Wajahnya sangat dekat, sehingga Meghan bisa
melihat bayangannya sendiri di mata Robin yang hitam.
Sekali lagi, Meghan merasa bagaikan ditarik magnet. Sekali
lagi, ia mencondongkan tubuh ke depan dan mencium Robin.
Lalu ia kembali duduk bersandar dan menghela napas. "Kau
betul-betul ingin ikut regu kerja itu?" tanyanya. "Aku khawatir, Robin.
Aku punya perasaan tidak enak. Sangat tidak enak."
Mata Robin bercahaya. "Jangan khawatir," katanya. "Aku bisa
jaga diri. Ayahku tak akan melakukan apa-apa padaku."
Bab 16 SEKOLAH sudah satu minggu libur. Meghan sudah tidak sabar
menunggu regu kerja mulai bekerja. Ia tahu, membongkar tunggul
pohon adalah pekerjaan berat. Tapi juga akan menyenangkan, dengan
puluhan anak sebayanya bekerja bersama-sama. Ia bisa
mengumpulkan uang untuk membantu keluarganya"dan
menabungnya sebagian untuk membeli beberapa baju baru untuk
dipakai ke sekolah waktu tahun ajaran baru nanti.
Ia datang ke tempat kerja di hutan memakai topi biru, overall
denim, dan sepatu bot ayahnya. Rasanya aneh tidak memakai rok.
Rasanya aneh berada di luar rumah memakai pakaian laki-laki.
Tapi ketika dilihatnya gadis-gadis lain juga memakai celana
panjang dan overall, ia mulai santai. Ketika ia mendekati hutan yang
pepohonannya sudah ditebangi, suara golok membacok batang kayu
mulai terdengar. Beberapa anak yang terlalu bersemangat
mendapatkan satu dolar sehari sudah mulai lebih dulu.
Meghan sudah mendaftar sejak sekolah belum libur. Sekarang
ia ikut antre bersama anak-anak lain untuk mengisi daftar absensi,
serta mengambil golok dan pembagian tugas.
Antrean itu bergerak cepat. Anak-anak bicara penuh semangat,
suara mereka berisik, mengatasi suara golok membacok kayu.
Belasan anak sudah mulai bekerja. Mereka membungkuk di atas
tunggul kayu, mengangkat golok mereka tinggi-tinggi,
mengayunkannya memecah tunggul kayu menjadi serpihan-serpihan
kecil. Meghan menebarkan pandang sambil menunggu gilirannya.
Pokok-pokok kayu yang sudah ditebang bergelimpangan di pinggir,
siap untuk dibawa pergi. Tunggul-tunggulnya berserakan di antara
semak-semak bagaikan sebuah kota yang kecil dan rendah. Bagian
atas tunggul-tunggul yang bundar dan rata memantulkan cahaya
matahari.

Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika Meghan sampai di bagian depan antrean, seorang anak
muda memakai badge bertuliskan REGU REMAJA mencoret
namanya di daftar, lalu memberinya sebuah golok. Meghan
menggenggam pegangan golok yang terbuat dari kayu dengan satu
tangan, dan hampir-hampir menjatuhkannya.
"Lebih berat dari yang kaukira, ya?" kata anak muda itu. "Pakai
dua tangan. Benda ini bisa berbahaya." Ia menunjuk ke meja di
belakangnya yang dikelilingi beberapa anak. "Ambil sarung tanganmu
di sana. Cari yang cocok ukurannya. Lalu pilih sendiri tunggul
kayumu." Meghan mengikuti perintahnya. Beberapa menit kemudian, ia
sudah membungkuk di atas sebuah tunggul kayu besar dan bundar di
dekat pinggir daerah yang sudah ditebangi, mencoba-coba beberapa
ayunan dengan goloknya. Mata golok yang berat itu memotong kayu
dengan mudah, membuat tunggul kayu itu seakan selunak kertas.
Meghan mengayunkan goloknya berulang-ulang, menebas
pinggiran tunggul kayu. Serpihan-serpihannya beterbangan. Suara
goloknya"dan suara golok-golok lain di sekelilingnya"terdengar
menyenangkan. Sinar matahari terasa hangat nyaman di wajahnya.
Dan bau kayu yang baru dibelah terasa segar dan manis.
Ia sudah menebas kira-kira sepertiga tunggul kayu itu, dan
berhenti sebentar untuk mengusap keringatnya dengan saputangan,
ketika sebuah bayangan muncul di tanah dari belakangnya.
Ia berbalik dan melihat Robin Fear. Anak lelaki itu membawa
sepasang sarung tangan di satu tangan, dan sebuah golok di tangan
yang lain. Robin tersenyum padanya. "Hai. Akhirnya aku bisa ke
sini." Meghan mengusir nyamuk dari pipinya. "Ke mana saja kau?"
tanyanya. "Kita sudah mulai berjam-jam yang lalu."
Robin menghela napas. "Ayahku tidak habis-habisnya berbicara
denganku dan bertanya macam-macam. Mungkin dia curiga. Aku
tidak tahu. Aku jadi susah pergi. Tapi akhirnya aku berhasil juga
menyelinap diam-diam."
Meghan menaruh goloknya di tanah. "Robin, aku benar-benar
mengkhawatirkanmu. Kalau ayahmu sudah curiga, pasti dia tahu kau
tidak ada di rumah."
Robin merengut. "Masa bodoh, aku tidak peduli," katanya
sengit. "Aku tidak takut padanya." Dipakainya sarung tangannya.
"Akan kuperlihatkan bahwa dia salah. Bahwa dia tidak bisa mengatur
hidup orang lain. Bahwa terlalu mementingkan diri sendiri itu salah."
Robin mengangkat goloknya. Meghan melihat seringai pahit di
wajahnya. "Cukuplah pidatoku hari ini," kata Robin perlahan.
"Sekarang, apa yang harus kukerjakan?"
Meghan menunjuk. "Kita bisa kerjakan tunggul ini sama-sama.
Kau dari sebelah sana. Lihat. Sudah cukup banyak yang kukerjakan."
Robbin menyeret goloknya ke seberang tunggul kayu. Meghan
membetulkan sarung tangannya, mengangkat goloknya, dan
mengayunkannya keras-keras.
"Lihat" Begitu cara melakukannya," katanya pada Robin.
Ia mendongakkan kepala"dan kilatan cahaya putih hampir
membuatnya menjatuhkan goloknya.
"Maaf." Seorang anak muda yang memakai jas kelabu dan topi
kotak-kotak menurunkan kameranya. "Aku mengambil foto untuk
koran. Ini kan berita besar di Shadyside."
"Kami tahu," sahut Robin.
"Ayo, aku potret ramai-ramai," kata si fotografer. Ia berteriak
memanggil. "Hei, semuanya"angkat golok kalian dan tersenyum!"
Beberapa menit kemudian, si fotografer selesai memotret.
Meghan memperhatikannya melangkah bergegas ke arah jalan.
Ketika ia berbalik ke pekerjaannya lagi, sinar matahari
menyilaukan matanya. Dan melihat seseorang berlari di belakang
Robin. Richard-kah itu" "Hei, kau!" seru Richard marah.
Meghan menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas. Tapi
tanpa melihat Richard pun ia sudah bisa mendengar nada marah dalam
suaranya. "Richard"jangan!" pinta Meghan.
"Aku sudah memperingatkanmu agar jangan dekat-dekat
Meghan!" teriak Richard.
Meghan mendengar geraman Richard. Apa yang dilakukan
cowok itu" Apakah dia mengangkat goloknya"
"Richard"jangan! Jangan!" jerit Meghan.
Terlambat. Dengan mata silau menentang cahaya matahari, Meghan
melihat Richard mengayunkan golok ke Robin. Mengayunkannya
dengan sekuat tenaga. Dan menebas leher Robin hingga putus.
Bab 17 "TIDAAAK!" Jerit ngeri Meghan melengking menembus pepohonan.
Tubuhnya gemetar. Dan goloknya jatuh ke tanah ketika ia mengangkat
tangan menutupi wajah. Langit menjadi gelap saat gumpalan awan bergerak menutupi
matahari. Ketika matanya sudah terbiasa dengan cahaya redup, ia
melihat"dengan perasaan lega"bahwa penglihatannya tadi salah.
Robin sudah berlutut menghindari ayunan golok. Ia tidak
terluka. "Aku sudah memperingatkanmu!" jerit Richard. "Aku sudah
memperingatkanmu!" "Ada apa ini?" suara seorang anak lelaki bertanya dari jauh.
Meghan menengok, dan dilihatnya tiga atau empat anak laki-laki,
dengan wajah terkejut, berlari ke arah Richard.
Robin berusaha berguling menjauh. Tapi Richard, wajahnya
merah padam, sudah mengangkat goloknya lagi.
"Jangan!" jerit Meghan, tercekik rasa ngerinya.
"Stop!" seorang anak gemuk dengan rambut pendek berwarna
cokelat berseru. Meghan melihat semua orang berlarian ke arah mereka. Melihat
wajah mereka yang kaget campur bingung. Mendengar seruan-seruan
mereka. Robin berdiri, mencoba menghindar.
"Stop!" anak gemuk itu berseru. "Jangan ada yang bergerak!"
"Berhenti! Semua berhenti!" seorang anak perempuan berteriak.
"Oh," desah Meghan ketika Richard mengayunkan goloknya
lagi. Terdengar suara bacokan ketika golok itu menghunjam dalam
ke dada anak gemuk itu. Mata anak itu terbelalak tak percaya. Ia menatap darah yang
menyembur bagaikan air terjun dari luka di dadanya. Lalu ia terjatuh
berlutut, mengerang. Meghan menjerit ketika Richard mengayunkan goloknya lagi.
Kali ini goloknya menebas leher anak itu sehingga kepalanya putus
menggelinding. Jeritan-jeritan ngeri memaksa Meghan menutup telinganya. Ia
menatap kepala anak itu, tergeletak dengan wajah di bawah di
samping tunggul kayu yang kini telah merah bersimbah darah.
Ketika ia mengangkat matanya, dilihatnya seorang anak lain
sedang mengayunkan goloknya dengan kedua belah tangan. Golok itu
terhunjam ke punggung Richard.
Kedua tangan Richard terayun ke atas seolah akan terbang. Ia
berteriak parau saat sebuah golok lain mengiris pinggangnya.
Meghan mendengar erangan terakhir Richard saat mata cowok
itu mendelik ke atas dan dia terjatuh ke tanah. Mati.
Richard. Mati. "Apa yang terjadi?" jerit Meghan. "Apa yang terjadi?"
Ia mencoba menutup matanya, tapi tangannya tidak mau diajak
kerja sama. Ia berdiri membeku tanpa mampu bergerak. Tanpa
mampu mengalihkan pandangannya dari adegan mengerikan di
sekelilingnya. Golok-golok saling terayun. Anak-anak saling menjerit.
Jerit kesakitan. Sebuah golok menebas putus lengan atas seorang anak
perempuan. Meghan melihat lengan itu meluncur ke tanah yang sudah
bersimbah darah, bagaikan seekor ular.
Cok! Seorang anak laki-laki berambut merah mengulurkan tangan
untuk memegang lutut. Terlambat. Kakinya sudah lebih dulu dibabat
putus oleh sebuah golok. Cok! Cok! Jeritan-jeritan nyaring memenuhi udara sewaktu golok-golok
menebas dan membabat tangan, kaki, dan tubuh.
Di depan Meghan, dua orang anak perempuan bertempur.
Mengayunkan golok mereka sekuat tenaga. Saling menyabet pinggang
lawan. Apa yang sedang terjadi kini" tanya Meghan dalam hati. Ia
bergerak mundur, menjauhi tempat itu, ke arah pepohonan yang masih
berdiri. Di depannya, dilihatnya adegan mengerikan. Anak-anak saling
membacok. Mengayunkan golok dan membacok. Mengayun dan
membacok. Sehingga tunggul-tunggul kayu dan tanah di sekitar mereka
dibasahi darah. Lengan-lengan tergeletak berserakan. Sebuah kepala
menggelinding dan baru berhenti ketika tertahan oleh sebuah batu
yang sudah berwarna merah oleh darah.
Meghan melangkah mundur. Dan ketika ia bergerak mundur,
dengan perasaan bingung dan ngeri, tidak percaya pada apa yang
dilihatnya, ia mengangkat matanya ke puncak pepohonan.
Dan melihat asap aneh berwarna ungu. Kabut ungu melayanglayang rendah di atas pepohonan.
Apa yang terjadi" Apa yang terjadi" Sebuah tangan merenggut lengan Meghan. Ia menjerit.
Menoleh. Ternyata Robin. Wajah Robin kotor berdebu. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia
mencengkeram lengan Meghan keras-keras seperti orang takut jatuh.
"Mereka semua sudah gila!" Ia harus berteriak mengatakan itu
untuk mengatasi suara-suara mengerikan dan teriakan kesakitan di
sekitar mereka. "Mengerikan! Mereka saling mencabik!"
Meghan membuka mulut untuk menjawab, tapi tidak mampu
mengucapkan sepatah kata pun.
"Lari pulang!" jerit Robin. "Pergi dari sini, Meghan. Lari pulang
ke rumah! Telepon polisi! Mereka semua sudah gila! Sudah gila!"
"Oke!" Meghan menurut. "Oke, Robin, aku akan?"
"Aku juga," seru Robin. "Aku tidak tahan melihat ini! Aku
tidak tahan!" Ia berbalik dan berlari ke arah pepohonan.
Meghan menarik napas panjang. Lalu berlari ke arah jalan.
Ia berlari melewati tubuh Richard yang berlumuran darah.
Melewati sebuah sepatu bot berisi sepotong kaki dan tungkai.
Melewati meja yang di atasnya masih ada setumpuk sarung tangan.
Aku harus berlari pulang, katanya pada diri sendiri. Lari
secepat-cepatnya. Lari dari tempat mengerikan ini.
Tapi ketika sampai di tepi pepohonan yang masih berdiri, ia
menoleh ke belakang. Dan memandang untuk terakhir kalinya
pemandangan mengerikan itu, pada beberapa anak yang masih berdiri,
masih saling mengayunkan golok mereka, bertempur satu sama lain,
membacok serabutan tanpa memilih sasaran, saling memotong tubuh
mereka menjadi berkeping-keping.
Sementara itu, kabut ungu melayang-layang, melingkar-lingkar,
dan berpusar-pusar di atas mereka.
Bab 18 ROBIN berlari sambil memejamkan mata melewati kabut ungu.
Jantungnya berdegup kencang. Otot-otot kakinya sakit dan berdenyutdenyut.
Tapi ia terus berlari sekuat tenaga. Berlari melompati akar-akar
kayu dan patahan-patahan cabang pohon yang melintang di tanah.
Berlari di tengah-tengah pepohonan tua yang dahan-dahannya saling
melibat. Ia sangat mengenal hutan ini. Ia telah menghabiskan waktu
berjalan-jalan selama puluhan, mungkin ratusan jam di hutan ini.
Ia sampai ke anak sungai kecil dan berbelok ke arah rumahnya.
Masih sambil berlari, ia sampai ke halaman belakang rumahnya
beberapa menit kemudian. Ia tidak memperlambat larinya sampai ia
mencapai pintu belakang rumah.
Di dalam, sambil terengah-engah, ia memanggil-manggil
ayahnya. "Dad! Dad! Di mana kau" Dad?"
Nicholas Fear muncul di ruang depan. Seperti biasa ia
mengenakan jas berwarna gelap, kemeja putih, dan dasi berwarna
gelap juga. Ia membawa sebuah buku.
"Dad!" Robin terengah-engah. "Dad, itu-itu?"
"Kenapa?" seru Nicholas. "Robin, ada apa" Apa yang terjadi?"
Robin menarik napas dalam-dalam. "Dad, itu, itu berhasil,"
katanya. Senyum mengembang di wajahnya.
Nicholas menyipitkan mata memandang anaknya.
"Maksudmu...?" "Mereka saling membacok," lapor Robin, senyumnya semakin
lebar. Lalu tertawa. "Aku lakukan dengan sempurna, Dad. Dan
mereka jadi buas dan saling membacok. Taman hiburan itu tak akan
pernah dibuat sekarang."
Nicholas tersenyum dan menaruh tangannya di pundak Robin.
"Bagus, Nak," katanya senang. "Kau cepat sekali belajar mengenali
dan menggunakan kekuatanmu."
"Tentu saja," sahut Robin, menyeringai. "Aku kan keturunan
Fear." Bagian 3 1995 Bab 19 "PAUL! Hentikan!" teriak Dierdre Bradley.
Didorongnya Paul Malone sekuat tenaga. Tapi Paul tetap
menyorongkan harum manis berwarna merah jambu ke wajah Dierdre
sambil tertawa-tawa. "Tidak lucu!" jerit Dierdre marah, sambil mendorong Paul lagi.
"Jangan goda aku terus-terusan dong." Ia mengusap pipinya. "Jadi
lengket semua, tahu! Kau memang brengsek. Lihat, rambutku kena
juga." Masih sambil tertawa-tawa, Paul membantu Dierdre membuang
noda-noda lengket dari rambutnya yang panjang, lurus, dan hitam.
"Pergi sana," usir Dierdre, sambil memelototi Paul dengan matanya
yang hijau. Lalu, tanpa diduga-duga, dirampasnya harum manis itu dari
tangan Paul dan disorongkannya ke wajah cowok itu sekuat tenaga.
Karena terkejut, Paul berteriak. Lalu mereka sama-sama
menjatuhkan diri duduk di bangku di samping loket penjualan karcis,
sambil tertawa-tawa, mengambili noda-noda lengket harum manis dari
rambut dan wajah mereka. "Kita tidak bisa mencoba wahana apa pun kalau begini," keluh
Dierdre.

Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paul membungkuk menciumnya, ciuman yang panjang dan
lembut. Kemudian ia menyeringai. "Biar saja," katanya.
Dierdre mencoba mendorongnya. Tapi Paul bertahan. Dierdre
menarik rambut Paul yang ikal dan berwarna cokelat muda dengan
kedua tangan sampai Paul menjerit. Lalu mereka tertawa lagi.
Dierdre suka sekali pada mata Paul yang berwarna biru, yang
sudut-sudutnya mengerut setiap kali cowok itu tertawa. Dia memang
tampan, pikir Dierdre. Gadis itu ingin bisa lebih sering lagi
menunjukkan rasa sayangnya.
Cara Paul memandang Dierdre, begitu penuh rasa sayang,
membuat Dierdre merasa bersalah.
"Untung aku tidak mengambil pekerjaan di luar kota itu," kata
Paul. Ia membungkuk dan mencium Dierdre lagi.
Dierdre mengelak. "Kau bodoh," katanya. "Pendapatanmu bisa
dua kali lebih banyak. Daddy hanya membayarkan upah minimum
pas-pasan kepadamu untuk menjalankan Kincir Bianglala."
Paul hanya mengangkat bahu. Cincin perak di telinganya
memantulkan cahaya dari atas loket karcis. "Memangnya aku peduli"
Yang penting aku bisa bertemu denganmu sepanjang musim panas."
Dierdre merasakan lagi gelombang rasa bersalah di lubuk
hatinya. "Ya sudah, ayo kita coba beberapa wahana," katanya.
Ia menarik tangan Paul yang terasa kasar" Paul tidak pernah
berhenti, selalu saja ada yang dikerjakannya, membuat sesuatu, atau
mengutak-atik mobil. Dierdre mencoba menariknya ke arah jalan
utama taman hiburan. Tapi badan Paul jauh lebih besar, dan sangat
kuat. Dierdre merasa seperti tikus hitam kecil di sampingnya.
"Ayahmu memang baik, membuka taman hiburan gratis untuk
semua orang malam ini," kata Paul. Dirangkulkannya lengannya yang
kuat ke bahu Dierdre dan mereka berjalan perlahan-lahan.
"Daddy cuma sedang merasa sangat bahagia," sahut Dierdre,
melambaikan tangan pada beberapa temannya dari Shadyside High.
Mereka berkerumun di sekitar stand lempar panah, bersenda gurau,
pura-pura akan saling melempar panah.
Beberapa anak kecil berlarian dengan riang, menerobos di
antara Dierdre dan Paul. "Di mana tempatnya Rumah Cermin?"
Dierdre mendengar salah seorang anak kecil itu bertanya.
"Jangan. Kita ke Kobar-Kobar saja!" temannya mendesak.
"Ya! Kobar-Kobar!"
Musik mengalir dari pengeras suara di atas. Umbul-umbul
merah dan biru melambai-lambai tertiup angin lembut musim semi.
"Daddy hampir-hampir tidak percaya taman hiburan ini akan
benar-benar bisa dibuka minggu depan," kata Dierdre, menyandarkan
tubuhnya ke Paul saat mereka berjalan. "Sudah lebih dari enam puluh
tahun. Bayangkan. Lebih dari enam puluh tahun sejak keluarga
Bradley pertama kali punya ide membuat taman hiburan ini."
Paul menggelengkan kepala. Dierdre melihat masih ada
sejumput harum manis merah muda di samping hidungnya. "Enam
puluh tahun itu lama," kata Paul. "Pantas saja ayahmu ingin membuka
pintu gerbangnya lebar-lebar dan membolehkan semua orang masuk
tanpa bayar." "Dia ingin semuanya berjalan lancar," kata Dierdre. "Dia ingin
menguji semuanya sebelum pembukaan resmi minggu depan."
Mereka berbelok di pojok dan gemerlap lampu Kincir Bianglala
menyambut mereka. Orang-orang yang ingin naik berbaris antre.
"Ayo kita naik itu." Paul menarik tangan Dierdre, mengajaknya
berlari. "Kita bisa melihat seluruh taman hiburan dari atas. Bahkan
hampir seluruh Shadyside."
"Hei"bukankah kau yang seharusnya menjalankannya malam
ini?" tanya Dierdre, berlari mengikuti langkah Paul.
Paul menggeleng. "Wally yang menjalankannya malam ini.
Ayahmu memberiku libur malam ini. Untuk menemanimu melihatlihat, mungkin." EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Dierdre tertawa. Ia menyapu rambut hitamnya ke belakang.
"Memangnya aku tidak bisa pergi melihat-lihat sendiri" Rasanya aku
kenal setiap sentimeter tempat ini."
Paul mengangguk. Ia melihat arlojinya. "Aku sudah harus
berada di Panggung Bacok jam sepuluh lima belas," katanya. "Tapi
sampai saat itu kita bisa melakukan apa pun yang ingin kita lakukan."
Panggung Bacok. Memikirkannya saja sudah membuat Dierdre menggigil.
Kenapa ayahnya ingin membuat pertunjukan yang
mengingatkan kejadian mengerikan itu, setiap malam di taman
hiburan ini" Kejadiannya sudah lebih dari enam puluh tahun yang
lalu. Tapi kengeriannya"ngerinya bacok-membacok serabutan antara
remaja-remaja itu"tidak pernah terlupakan oleh penduduk Shadyside.
Dan sekarang, enam puluh tahun kemudian, Fear Park akhirnya
selesai dibangun di tanah tempat kejadian aneh dan menyedihkan itu
terjadi. Ayah Dierdre bersikeras bahwa pertunjukan Panggung Bacok,
dimainkan oleh aktor-aktor dan memperlihatkan secara rinci apa yang
terjadi enam puluh tahun yang lalu, akan menjadi atraksi istimewa
yang akan menarik banyak pengunjung.
Mungkin dia benar, pikir Dierdre. Tapi ide itu membuatnya
bermimpi buruk, berkali-kali. Dan waktu ayahnya bertanya apakah dia
mau ikut dalam pertunjukan itu, Dierdre menjawab, "Tidak. Sama
sekali tidak mau!" Masih sambil memikirkan Panggung Bacok, Dierdre naik di
samping Paul di tempat duduk Kincir Bianglala, dan merasa dirinya
terangkat ke langit penuh bintang ketika roda raksasa itu mulai
berputar. Separuh jalan, roda kincir mendadak berhenti.
Dierdre menjerit tertahan, tempat duduk mereka bergoyanggoyang.
Paul tertawa. "Kau tahu, menjalankan benda ini lebih sulit dari
yang dikira orang," katanya. "Di wahana-wahana lain, kau bisa
menjalankan dan membiarkan wahananya berjalan sendiri selama tiga
atau empat menit. Tapi kincir raksasa ini, sebentar-sebentar harus
berhenti, orang turun, ganti yang lain naik. Dan kita harus ingat siapa
yang sudah waktunya turun.
Dierdre mengangguk. Paul masih terus bicara, tapi pikiran
Dierdre menerawang ke mana-mana.
Roda kincir membawa mereka sampai di puncak. Dierdre
membungkuk ke depan, melihat ke bawah, melihat seluruh Fear Park
dan daerah sekitarnya. Ia bisa melihat hutan gelap yang mengelilingi
taman hiburan. Ia juga bisa melihat barisan lampu jalan Fear Street
dan beberapa rumah tua di sana.
Paul melingkarkan lengannya ke bahu Dierdre saat kabin
penumpang mulai bergerak turun perlahan-lahan. Dierdre sadar ia
seharusnya mendengarkan apa yang dikatakan Paul, tapi kepalanya
dipenuhi hal-hal lain. Sulit sekali berkonsentrasi belakangan ini, sulit
sekali memusatkan pikiran pada hal apa pun.
Di bawah, terlihat olehnya antrean orang yang sedang
menunggu giliran naik wahana-wahana lain, orang berkerumun di
depan stand permainan, dan di depan stand makanan.
Stand Cagar Satwa Liar tidak buka malam ini. Tapi selebihnya,
taman hiburan ini terang benderang.
Dierdre bertanya-tanya dalam hati, di mana ayahnya saat ini. Di
bawah di dekat gerbang masuk terlihat olehnya trailer biru panjang
yang dijadikan kantor oleh ayahnya.
Mudah-mudahan semuanya berjalan lancar malam ini, doanya
dalam hati. Mudah-mudahan tidak ada kecelakaan sekecil apa pun. Tidak
ada kerusakan dan gangguan teknis.
Sekali lagi, kincir raksasa itu tersentak berhenti untuk
menaikkan beberapa orang lagi. Dierdre menoleh dan melihat Paul
sedang memandangnya. "Ada apa?" tanya Paul.
Dierdre menggigit bibir bawahnya. "Kenapa?"
"Rasanya kau tidak mendengar sepatah pun apa yang
kukatakan," kata Paul.
"Oh. Uh..." Dierdre mencari-cari alasan. "Aku cuma sedang
berpikir tentang taman ini. Dan Daddy. Kau tahu. Banyak yang harus
diurusnya, banyak yang mengganggu pikirannya. Banyak kecelakaankecelakaan aneh yang terjadi. Aku hanya ingin semua berjalan lancar
malam ini." Boks bergerak turun dan berhenti di bawah. Paul mengangkat
batang pengaman dan mereka turun. "Hei, Wally"bagus sekali!"
serunya sambil mengacungkan jempol. "Kau hanya menjatuhkan tiga
orang!" Paul dan Wally tertawa. Dierdre melihat ayahnya menunggunya di dekat papan tanda
"Keluar". "Hai, Dee," panggil ayahnya.
Ayah Dierdre melangkah ke bawah sinar lampu. Dia bertubuh
pendek, gemuk, dengan perut buncit. Rambutnya yang sama hitamnya
dengan rambut Dierdre awut-awutan. Melihat ayahnya selalu
mengingatkan Dierdre pada bayi beruang di stand Cagar Satwa Liar.
"Bagaimana keadaannya, Daddy?" tanya Dierdre.
Jason Bradley mengangkat bahu. "Sejauh ini lancar-lancar
saja." Suaranya serak-serak basah. Bahkan suaranya pun seperti
beruang, pikir Dierdre selalu.
Dierdre melihat lingkaran gelap di sekitar mata ayahnya.
Kasihan Daddy, pikirnya. Umurnya seakan bertambah dua puluh
tahun sejak mengambil alih urusan taman hiburan ini dari Paman
Timothy. "Kaucobalah Kobar-Kobar," perintahnya pada Dierdre, sambil
mendorongnya ke jurusan wahana itu. "Kau juga, Paul." Ditariknya
Paul dari Wally. "Sana, cobalah Kobar-Kobarnya. Aku ingin laporan
lengkap"oke?" Dierdre melambai pada ayahnya lalu pergi bersama Paul untuk
mencoba wahana Kobar- Kobar. Di saat mereka mendekati tempat itu,
Dierdre mendengar jeritan orang-orang yang sedang naik wahana
tersebut. Kobar-Kobar adalah wahana roller-coaster yang paling
mendebarkan, paling menakutkan di Fear Park. Jalurnya melingkar
dan melingkar lagi, membuat para penumpangnya berjungkir dengan
kepala di bawah sebanyak enam kali.
Ketika berdiri menunggu giliran mereka, Dierdre berpikir
betapa banyaknya masalah yang harus dihadapi ayahnya tentang
wahana yang satu ini. Baru tiga minggu yang lalu, tangga perancah
yang sedang dipakai tiga orang tukang cat tiba-tiba rubuh"tanpa
sebab-sebab yang jelas; Ketiga tukang cat itu jatuh ke tanah dan
tewas. Dan itu bukan kecelakaan fatal yang pertama. Mereka bukan
pekerja-pekerja pertama yang tewas selama enam puluh tahun ini.
Dierdre tahu itu. Sudah banyak terjadi kecelakaan aneh sebelumnya. Bencanabencana yang tidak bisa dijelaskan. Banyak orang tewas waktu sedang
bekerja membangun taman yang dimaksudkan untuk tempat orang
bersantai dan bersenang-senang menghibur diri ini.
Dierdre menggeleng-gelengkan kepala, mengusir pikiranpikiran tidak menyenangkan itu.
Ketika ia menoleh, dilihatnya Paul sedang menyeringai ke
arahnya. "Kau takut?"
Dierdre menggeleng. "Kau yang penakut. Bukan aku."
"Hei!" protes Paul. "Siapa takut" Ayo." Paul menarik tangan
Dierdre, menyeretnya sepanjang peron. "Kita duduk paling depan."
"Aku tidak takut," kata Dierdre.
Seringai Paul semakin lebar. "Dan lepas tangan," tambahnya.
"Tanpa pegangan."
"Oh... oke," Dierdre menerima tantangan. Tidak punya pilihan.
Rangkaian gerbong meluncur ke peron, dan mereka berdua naik
ke tempat duduk paling depan di gerbong terdepan. Seorang petugas
memasang sabuk pengaman mereka, lalu menurunkan batang
pengaman ke pangkuan mereka.
Sekarang rangkaian gerbong mulai bergerak, mula-mula
perlahan-lahan. Dierdre membungkuk ke depan, memperhatikan rel
keperakan meluncur di bawah mereka.
"Lepas tangan! Lepas tangan!" Paul mengingatkan.
Mereka mengangkat kedua tangan mereka tinggi-tinggi saat
kereta menyentak keras ke depan. Dierdre tertawa ketika merasakan
tubuhnya tersentak keras ke sandaran bangku plastik kereta.
Lalu tawanya berubah menjadi pekikan nyaring ketika kereta
meluncur cepat sekali ke depan, membuat lingkaran vertikal, lalu
melintir satu kali, dan mendaki. Lalu menukik tajam. Kemudian
mendaki membuat lingkaran vertikal lagi.
Terasa seakan seluruh darah di tubuhnya mengalir ke kepala.
Jantungnya bergedebuk" lalu serasa meloncat"ketika gerakan
kereta mengentaknya ke Paul, lalu miring dan melemparnya ke sisi
lain. Kemudian mendaki curam, seperti akan jatuh dari relnya, naik,
naik, sampai akhirnya menukik lagi, membuat lingkaran penuh
vertikal lagi, dan melintir sehingga mereka meluncur dengan kepala di
bawah lagi. "Lepas tangan! Lepas tangan!" teriak Paul.
Tapi Dierdre melirik dan melihat Paul memegang erat-erat
batang pengaman dengan kedua tangannya.
"Lepas tangan! Lepas tangan!"
Dierdre tertawa dan memejamkan mata saat mereka diputar
dengan kepala di bawah oleh satu lagi lingkaran vertikal.
Hebat sekali! Dierdre sangat menikmatinya, sampai kereta mereka meluncur
bergemuruh di jalur terakhir. Sampai kereta itu membawa mereka
menuruni rel, semakin perlahan, sampai ke rel datar sekarang,
mendekati peron. Dan Dierdre melihat rel baja itu merenggang memisah di depan
mereka. Melihat rel itu merenggang semakin lebar.
Lalu ia menutup telinganya. Keduanya tangannya menutupi
telinga sementara seluruh dunia meledak di sekitarnya.
Ledakan yang memekakkan telinga.
Mengguncang kereta. Dan menghancurkan rel.
"Tidaaak!" Dierdre menjerit saat seluruh wahana berkobar,
berubah menjadi dinding api berwarna kuning oranye.
Bab 20 "TIDAAAK!" Dierdre menutup wajah dengan kedua belah tangan saat kereta
mereka meluncur lepas dari rel yang hancur berantakan, membawa
mereka ke tengah kobaran api.
"Tidaaak!" Derit roda, gemuruh kobaran api, decit baja beradu dengan
baja"semua itu menenggelamkan suara jeritannya.
Menembus dinding api. Semakin perlahan, semakin perlahan.
Dierdre menurunkan tangannya, mulutnya masih terbuka,
sementara kereta meluncur perlahan ke peron.
Dan berhenti di depan orang-orang yang mendapat giliran
berikutnya. "Silakan keluar dari sebelah kiri," suara rekaman berulangulang memberi perintah. "Silakan keluar dari sebelah kiri."
Batang pengaman terangkat. Dierdre melepas sabuk pengaman
dengan jari-jari gemetar. Dengan agak susah payah ia bangkit berdiri,
lalu baru ingat bahwa ia tidak sendirian.
Melangkah keluar dengan lutut gemetar, ia menoleh ke Paul.
Paul tersenyum padanya. Tapi Dierdre bisa melihat sisa-sisa rasa takut
di mata biru cowok itu. Dan wajah Paul seputih semen peron.
"Wow," gumam Paul, memegangi tangan Dierdre sambil
melangkah keluar dari kereta. "Wow."


Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Finisnya hebat, ya?" kata Dierdre. Ia berusaha pura-pura tidak
merasa takut setengah mati. "Asyik. Kau tidak takut-takut amat waktu
ada ledakan dan kobaran api tadi, kan?" ganggunya.
Paul menelan ludah. Mata birunya berkilat. Wajahnya mulai
berwarna lagi. "Dierdre, jangan pura-pura tenang," tegurnya. '"Aku
tadi mendengar kau menjerit-jerit. Dan aku melihat kau menutup
mukamu tadi." "Hah" Tadi aku mau menakut-nakutimu, tahu?" Dierdre tidak
mau kalah. Paul memutar bola matanya. "Yaa, per-cayaaa..."
"Tapi benar-benar seperti betulan!" kata Dierdre. "Maksudku,
waktu relnya memisah dan ledakan mengguncang seluruhnya, dan
apinya?" "Itu sebabnya mereka namakan wahana ini Kobar-Kobar," kata
Paul, lalu tertawa. Ia menyambar tangan Dierdre. "Ayo, naik KobarKobar bikin aku lapar. Kita beli hot dog dulu."
Dierdre melihat arlojinya. "Oh. Wah. Tidak. Maksudku aku
tidak bisa," katanya tergagap-gagap.
"Kenapa?" Paul melepaskan tangan Dierdre.
"Aku... harus pergi," sahut Dierdre kikuk. "Maksudku, aku
sudah janji pada Daddy. Aku harus membantunya di kantor."
Wajah Paul menunjukkan rasa kecewa. "Tadinya kupikir?"
"Aku temui kau di Panggung Bacok nanti," janji Dierdre.
Mulut Paul ternganga. "Panggung Bacok. Aku hampir lupa.
Aku harus latihan." Ia mulai melangkah. "Sampai nanti, Dierdre."
"Oke, sampai nanti."
Dierdre berbalik dan berlari. Melewati kincir raksasa. Melewati
stand-stand permainan. Ia berbelok di ujung dan mengendap di
kegelapan di belakang stand terakhir.
Ketika matanya sudah terbiasa dengan gelap, ia melihat Rob
menunggunya di sana, bersandar di dinding belakang, dengan kedua
tangan di saku celana. Rob menegakkan berdirinya ketika Dierdre lari mendekatinya.
Kedua tangannya dilingkarkan memeluk Dierdre. Dan menariknya
rapat-rapat serta menciumnya.
Bab 21 "Stop," bisik Dierdre. Tapi justru ia yang mulai mencium Rob
lagi. Ini tidak benar, pikir Dierdre. Ini salah.
Mengapa kulakukan ini"
"Rob, kita harus hentikan ini," gumam Dierdre, bibirnya
menyentuh telinga Rob. Dierdre melangkah mundur, masih
menggenggam tangan Rob. Tatapan mata Rob yang berwarna gelap serasa membakar.
Cowok itu mengusap rambut cokelatnya ke belakang. Bahkan di
tengah kegelapan, Dierdre bisa melihat sikapnya yang serius.
"Ini tidak adil bagi Paul," bisik Dierdre.
Rob mengangkat bahu. Dierdre menyipitkan mata, meneliti Rob. Cowok ini lebih
pendek dari Paul, tidak terlalu atletis, tidak setampan Paul.
Dia tidak pernah membanggakan diri atau bicara besar seperti
Paul. Dia pendiam, pemalu. Kadang-kadang kalau Dierdre sedang
bersamanya, perhatian Rob seakan-akan tidak pada Dierdre.
Pikirannya seakan melayang jauh entah ke mana. Kadang-kadang
bahkan hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Jadi kenapa aku datang menemui Rob di sini sekarang"
Kenapa aku selalu mencuri-curi waktu menemui Rob"
"Kau sudah mencoba wahana apa saja?" tanya Dierdre.
Mungkin mengobrol akan membantu mengusir rasa bersalahku,
pikirnya. Kasihan Paul. Dia mengorbankan kesempatan bagus untuk
mendapatkan pekerjaan musim panas agar bisa sering bersamaku
musim panas ini. Dan lihat, apa yang kulakukan" Aku...
Rob menariknya dan menciumnya lagi.
Aku sayang pada Paul, pikir Dierdre, sambil membalas ciuman
Rob. Aku tahu aku sayang Paul.
Jadi kenapa Rob seperti punya pengaruh begitu kuat pada
diriku" ************** Tidak lama kemudian, ketika Dierdre membuka pintu trailer
yang menjadi kantor ayahnya, didapatinya ruangan itu penuh sesak
oleh para wartawan surat kabar dan televisi.
"Apakah Fear Park benar-benar akan diresmikan
pembukaannya minggu depan?" seorang wanita muda berpakaian
bisnis mode mutakhir bertanya pada Jason Bradley.
Wajah ayah Dierdre cerah. "Ya, setelah bertahun-tahun,
akhirnya taman hiburan kami ini akan dibuka untuk umum," katanya,
mendekatkan mulutnya ke mikrofon di tangan wanita itu.
Dierdre melihat ayahnya menikmati suasana ini. Dierdre tidak
bisa menahan senyum menghiasi wajahnya. Daddy sudah langsung
kelihatan sepuluh tahun lebih muda, pikirnya.
"Kenapa Anda membuka taman hiburan gratis malam ini?"
tanya wanita muda itu lagi.
Jason tidak ragu-ragu. "Saya ingin semua orang melihat betapa
bagusnya taman hiburan ini," jawabnya. "Saya ingin semua orang
melihat bahwa inilah tempat bagi seluruh keluarga untuk bersenangsenang."
"Kapan Cagar Satwa Liar dibuka?" seorang wartawan di dekat
dinding belakang bertanya.
"Minggu depan. Tempat itu akan dibuka bersamaan dengan
seluruh taman," kata Jason. "Tempat itu hanya akan buka pada siang
hari. Seharusnya bisa juga dibuka malam ini, tapi tempat itu tidak
diberi penerangan, jadi sulit untuk melihat berbagai macam binatang
yang kami simpan di sana. Lagi pula kami masih melengkapi pegawai
kami. Saat ini kami masih kekurangan pegawai sehingga tidak bisa
membuka wahana itu malam ini."
Seorang laki-laki tinggi kurus berambut pirang keriting
menyorongkan tape recorder ke depan Jason. "Kenapa perlu begitu
lama untuk membangun taman hiburan ini?" tanyanya. "Kalau tidak
salah sampai lebih dari enam puluh tahun, betul?"
Jason mengangguk, wajahnya berubah serius. "Ya, enam puluh
tahun," gumamnya sedih. "Enam puluh tahun yang penuh kejadian
aneh. Kecelakaan demi kecelakaan tragis yang tidak bisa dijelaskan.
Begitu banyak kematian. Itu yang mengganggu kelancaran
pembangunan taman ini. Seakan-akan tempat ini mendapat kutukan.
Tapi semua itu sudah berlalu sekarang," ia cepat-cepat menambahkan.
"Proyek ini sudah dihantui sejak awal, kan?" wartawan itu
melanjutkan pertanyaannya.
Ayah Dierdre mengusap rambutnya yang berantakan. Tapi
rambut itu kembali ke tempat semula. Ia menghela napas.
"Ya, proyek ini dimulai tahun 1935. Tahun itu mereka mulai
membuka lahan. Mereka mempekerjakan anak-anak remaja untuk
membersihkan tunggul kayu."
Jason mengerutkan kening dan memandang ke bawah. "Lalu
terjadi sesuatu. Anak-anak itu"mengamuk membabi buta. Mereka
saling membacok. Mereka?"
"Tapi apa sebabnya?" si wartawan memotong.
Jason menyipitkan matanya pada orang itu. "Tak ada yang
tahu," sahutnya pelan. "Kejadiannya sudah enam puluh tahun yang
lalu, dan sampai sekarang tidak seorang pun tahu apa penyebabnya.
Anak-anak itu saling membunuh. Mereka mengamuk. Seperti
kerasukan. Tidak ada yang bisa menjelaskan."
Ruangan itu menjadi sunyi, sementara setiap orang berpikir
tentang kejadian aneh dan mengerikan yang terjadi enam puluh tahun
yang lalu. Dierdre duduk di kursi lipat. Cahaya lampu neon di langitlangit membuat wajah semua orang terkesan pucat kehijauan.
Setelah agak lama dalam suasana hening yang menekan,
seorang wanita muda memecahkan kesunyian. "Dan Anda akan
mengulang adegan mengerikan itu dalam pertunjukan di sini setiap
malam?" tanyanya. Dierdre bisa mendengar nada tidak setuju dalam
suaranya. Jason mengangguk. "Pertunjukan itu akan berlangsung tiga kali
setiap malam." "Tapi"kenapa?" si wartawan bertanya.
Jason menggaruk lengannya. "Sebagian untuk mengenang anakanak yang tewas," sahutnya. "Mereka tewas di tanah ini. Dan kami
tidak ingin melupakan mereka."
Ia berdeham lalu melanjutkan, "Lagi pula, itu kejadian yang
sangat dramatis dan penuh misteri. Misteri yang tak terpecahkan.
Kami tahu orang masih penasaran dan ingin tahu tentang kejadian itu.
Orang ingin melihatnya sendiri. Kami pikir pertunjukan Panggung
Bacok akan menjadi salah satu atraksi terbesar taman hiburan ini."
Seorang wartawan wanita baru akan mengajukan pertanyaan,
tapi Jason mengangkat kedua tangannya agar dia diam. "Ada beberapa
efek khusus yang sangat menarik dalam pertunjukan itu," katanya
meneruskan. "Sangat canggih. Dan pemain-pemainnya juga bagusbagus."
Ia menggerakkan mereka ke arah pintu. "Saya undang Anda
semua untuk pergi bersama saya ke sana. Anda akan menjadi
penonton-penonton pertama pertunjukan Panggung Bacok kami."
Para wartawan mulai mengalir keluar melalui pintu. Ketika
Jason melewati Dierdre, ia berhenti dan menaruh tangannya di bahu
Dierdre. "Ayo ikut," katanya. "Kau harus lihat ini."
Dierdre tidak ingin menonton itu. Tapi ayahnya tidak bergerak,
menunggunya ikut. Dan Dierdre juga sudah berjanji pada Paul untuk
menontonnya berperan. Ia memang tidak punya pilihan.
Udara malam sudah menjadi lebih sejuk saat ia berjalan di
samping ayahnya menuju panggung terbuka. Di depan dilihatnya
orang berbondong-bondong mencari tempat duduk.
Dierdre menggigil. Kenapa aku begitu takut akan pertunjukan ini" pikirnya.
Kenapa tiba-tiba aku punya perasaan sangat tidak enak tentang
pertunjukan ini" Bab 22 DIERDRE duduk di samping ayahnya di baris tengah bangku
penonton. Para wartawan dan kru TV duduk di sekitar mereka.
Tatapan Dierdre menerawang ke sekitarnya. Bangku-bangku
sudah hampir penuh semua. Dan orang masih mengalir datang.
Bangku-bangku penonton disusun melingkari arena. Mereka
duduk menghadap ke tengah, ke barisan tunggul-tunggul kayu yang
memenuhi lahan. Arena itu benar-benar terlihat seperti lahan yang baru dibuka,
pikir Dierdre. Ia sering melihat dari jauh para pekerja membuat arena
itu, tapi tidak pernah datang melihat dari dekat. Dan sekarang ia
kagum melihat betapa realistisnya tunggul-tunggul kayu itu, di selasela rumput dan semak-semak.
Tengkuknya merinding. Beginikah lahan ini terlihat enam puluh tahun yang lalu" Inikah
yang dilihat oleh anak-anak remaja Shadyside kala itu"sebelum
mereka saling membacok dan membunuh"
Dierdre menarik turun lengan sweternya. Ia mengalihkan
perhatian ke para penonton. Ia tidak ingin berpikir tentang apa yang
terjadi di sini enam puluh tahun yang lalu. Ia selalu ngeri kalau
membayangkan berjalan di tempat kejadian menyeramkan itu.
Berkas-berkas cahaya berwarna merah dan biru menari-nari di
arena tunggul kayu. Dierdre melihat wajah para penonton bergairah
dan tersenyum menunggu dimulainya pertunjukan. Di bangku di
depannya dilihatnya dua anak lelaki kecil berebutan boneka beruang
yang mereka menangkan di stand permainan. Akhirnya ayah mereka
mengambil boneka itu dengan paksa dan mengepitnya di ketiak.
"Tentu saja kita hanya menggunakan golok karet dalam
pertunjukan ini," Dierdre mendengar ayahnya menjelaskan kepada
seorang wartawan. "Tapi kami mengeluarkan banyak biaya untuk efek
khususnya. Sangat realistis, terutama darahnya."
Ayah Dierdre masih terus bicara, tapi suaranya ditenggelamkan
oleh tiga remaja di beberapa baris bangku di belakang yang
menyanyikan sebuah lagu pop dengan seluruh kekuatan paru-paru
mereka. Semua orang merasa riang malam ini, pikir Dierdre. Matanya
sekali lagi menyapu deretan bangku penonton di sekitar arena.
Dikenalinya beberapa teman sekelasnya dari Shadyside High.
Lampu arena mulai diredupkan. Pandangan Dierdre mulai
bergerak menjauh dari penonton.
Tapi matanya berhenti di sebuah wajah yang tidak asing.
Ia menarik napas tertahan ketika mengenali Rob.
Apa yang dia lakukan di sini", tanyanya dalam hati. Tadi Rob
bilang mau langsung pulang. Kenapa dia harus berbohong padaku"
Kenapa dia datang menonton pertunjukan ini"
Dierdre menyipitkan mata, mencoba melihat wajah Rob lebih
jelas di bawah cahaya lampu yang semakin redup. Ekspresi wajah Rob
begitu serius. Rob menatap lurus ke depan, mulutnya terkatup rapat.
Ada masalah apa dia" pikir Dierdre.
Harus kutanyakan nanti waktu bertemu dia lagi, katanya dalam
hati. Suara riuh penonton ikut meredup bersama dengan meredupnya
lampu. "Aku beritahu kalian, ini pertunjukan yang cukup
menyeramkan," Dierdre mendengar ayahnya bicara pada para
wartawan. "Kalau kalian ngeri melihat adegan-adegan seram,
mungkin lebih baik kalian memejamkan mata di adegan-adegan
terakhir nanti." Dierdre menyikut ayahnya. "Daddy," bisiknya, "Jangan promosi
berlebihan. Jangan menimbulkan harapan yang berlebihan."
Ayahnya nyengir padanya. "Tidak, aku tidak berlebihan."
Musik terompet membahana dari pengeras suara. Cahaya ungu
merayap di tanah. Tunggul-tunggul kayu terlihat aneh di cahaya gelap
itu. Dierdre melihat para pemain berbaris di satu sisi arena.
Matanya mencari-cari Paul. Tapi cahaya terlalu gelap untuk
mengenali wajah para pemain itu satu per satu.
Ia berpikir apakah Paul merasa gugup. Paul sebetulnya tidak
ingin ikut main di pertunjukan ini. Dia lebih senang menjalankan
kincir raksasa. Tapi ayah Dierdre memaksa Paul ikut main. Ayah Dierdre lebih
suka kalau setiap karyawannya memegang lebih dari satu macam
tugas. Itu berarti menghemat pengeluaran. "Ini pengalaman bagus
untukmu," begitu kata Jason pada Paul.
Paul tidak bisa membantah. Dia tidak ingin kehilangan
pekerjaan menjalankan kincir raksasa. Apalagi karena dia sudah
mengorbankan sebuah pekerjaan bagus demi bekerja di taman hiburan
ini dan berada di dekat Dierdre.
Dierdre menggelengkan kepala mengusir pikiran-pikiran itu. Ia
membungkuk ke depan, melipat tangan di depan dada, dan
memusatkan perhatiannya pada pertunjukan.
Tunggul-tunggul kayu dibanjiri cahaya berwarna ungu dan biru
sementara para remaja berbaris antre untuk mengambil golok mereka.
Mengenakan pakaian kerja tahun 1930-an, mereka menunggu giliran
sambil bercakap-cakap dan tertawa.
Dierdre melihat mereka berjalan santai di arena, di antara
barisan tunggul kayu. Mereka semua terlihat riang dan bersemangat
untuk mulai bekerja. Suara rekaman dari pengeras suara bercerita tentang masa sulit
pada tahun-tahun itu, tentang bagaimana miskinnya anak-anak itu,
bagaimana senangnya mereka bisa mendapat kesempatan bekerja
dengan bayaran satu dolar sehari.


Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hei!" seru Dierdre ketika ia akhirnya berhasil mengenali Paul.
Paul mengenakan sepatu bot untuk kerja dan overall denim model
baggy berwarna biru dengan kaus lengan panjang warna putih.
Wajahnya agak tertutup topi wol kelabu.
Dierdre ingin melambai dan memanggil namanya. Tapi
dipaksanya mulutnya mengatup rapat, dan ia hanya duduk menonton.
Paul memanggul goloknya. Ia berjalan perlahan-lahan ke tengah
arena, sambil mengobrol dengan seorang gadis bercelana panjang
baggy berwarna cokelat dengan sebuah bandana merah.
Saat suara rekaman bicara tentang bagaimana empat puluh
hektar lahan harus dibersihkan, para pemain mulai bekerja. Mereka
mengelilingi tunggul-tunggul kayu besar, mengangkat golok karet
mereka, dan mulai membacok.
Efek suara dari pengeras suara memenuhi arena dengan suara
sabetan golok dan suara kayu pecah beserpih-serpih. Anak-anak itu
terus mengayunkan golok mereka.
Dierdre melihat Paul mengangkat goloknya lalu
mengayunkannya ke bawah. Topinya jatuh ketika ia mengangkat
goloknya lagi, dan rambutnya yang cokelat muda tergerai di dahi.
Sekali lagi ia mengayunkan golok, bekerja keras.
Musik berat tak menyenangkan"menggunakan akor rendah
pada organ"sedikit demi sedikit mengatasi suara kayu dibacok.
Dierdre mempererat dekapan tangannya, seakan ingin melindungi diri.
Ia tahu sebentar lagi bagian yang menyeramkan akan dimulai.
Cahaya biru dan ungu meredup.
Kabut ungu melayang mengambang di atas arena.
Dari mana datangnya" pikir Dierdre. Asap ungu bergerak
melayang-layang di atas kepala para pemain sementara mereka masih
terus mengayunkan golok membacoki tunggul kayu.
Dierdre menoleh ke ayahnya. "Bagus sekali efek asap itu,"
bisiknya. Ayahnya tersenyum, tapi matanya tidak beralih dari arena
pertunjukan. Musik yang menekan jiwa itu semakin keras sementara asap
ungu tadi mengambang di atas arena. Seluruh arena mulai ikut
bergetar bersama akor-akor berat.
Semakin keras, semakin keras.
Dierdre menatap asap ungu. Para pekerja tiba-tiba terlihat
bagaikan sosok-sosok dalam mimpi. Setengah tersembunyi di balik
asap, mereka bagaikan bayang-bayang, bayang-bayang pekerja,
mengangkat dan mengayunkan golok mereka di tengah kabut ungu
yang semakin tebal. Lalu Dierdre melihat awal sebuah perkelahian.
Dua orang anak laki-laki saling membentak. Dierdre tidak bisa
mendengar dengan jelas kata-kata mereka di tengah gelegar suara
musik. Tapi ia melihat salah seorang anak laki-laki itu mengayunkan
goloknya. Melihat golok itu menyabet pinggang anak lelaki satunya.
Melihat anak yang terluka itu mengayunkan tangannya ke atas saat
darah merah memancar dari lukanya.
Dan lebih banyak lagi golok terayun.
Anak-anak menjerit. Dan saling membacok. Sebuah lengan jatuh ke tanah.
Dierdre mendengar jeritan tertahan para penonton. Didengarnya
juga suara sorakan bercampur pekik ketakutan.
"Efek khususnya luar biasa," seorang wartawan mengatakan itu
pada ayah Dierdre sambil mencondongkan tubuh ke depan. "Wow.
Betul-betul sangat nyata!"
Dierdre menggigil. Sangat terlalu nyata, pikirnya.
Tapi ia tidak bisa melepas matanya dari adegan mengerikan itu.
Golok menyayat dan mengiris tubuh manusia. Sebuah kepala
menggelinding ke tanah, dan mental ketika menabrak sebuah tunggul
kayu yang sudah merah berlumur darah.
Para pemain menggeram dan memekik saat mereka saling
menyerang, membacok, dan menyabet, jatuh kesakitan, sekarat dan
tewas, dibarengi teriakan kesakitan. Dan darah merah mengalir di
antara tunggul-tunggul kayu, di atas rumput, dan di sela-sela semak.
Dierdre merasa tenggorokannya seolah-olah tersumbat.
Menyeramkan! Menyeramkan dan mengerikan.
Ia menebarkan pandang lagi ke penonton di sekitar arena.
Melihat betapa mereka menikmati pertunjukan ini. Mendengar soraksorai mereka. Jerit dan pekik mereka.
Ketika ia kembali memandang ke adegan horor di arena,
dilihatnya Paul terjatuh. Sebuah golok menghunjamnya dari belakang.
Ia melempar tangannya ke atas dan jatuh menelungkup di atas sebuah
tunggul kayu. Dan tidak bergerak. Kabut ungu bergulung-gulung. Musik bergemuruh.
Ketika korban terakhir jatuh ke tanah, para penonton mulai
bersorak. Asap ungu menipis. Musik mencapai klimaks, lalu meredup.
Penonton bertepuk tangan dan bersorak-sorai.
Dierdre menatap pemandangan yang mengerikan itu,
memandang ke tanah yang dibasahi darah, pada tubuh-tubuh yang
berserakan. Sangat nyata, pikirnya, masih memeluk dirinya sendiri. Sangat
nyata. Sangat terlalu nyata.
Ia menyadari betapa ia membenci pertunjukan ini.
Sangat menyeramkan, sangat menakutkan.
Ia senang pergi menonton film horor dengan Paul. Dan film
seram di TV. Film-film itu tidak mengganggunya, karena film-film itu
hanya pura-pura. Tapi di sini anak-anak benar-benar tewas, pikir Dierdre. Enam
puluh tahun yang lalu, mereka benar-benar saling membacok. Bukan
sekadar sekelompok aktor.
Dan tak seorang pun menonton dan menepuktangani.
Justru banyak orang menangis. Banyak kehidupan yang rusak
karenanya. Banyak keluarga yang hancur. Banyak air mata tertumpah,
berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun setelah itu.
Tapi sekarang, orang-orang berdiri, bersorak-sorai, tertawa,
bertepuk tangan. Bahkan para wartawan pun ikut berdiri dan bertepuk
tangan. Dierdre juga berdiri, dan memperhatikan para pemain berdiri
dan membungkuk memberi hormat pada penonton.
Mereka tampak kacau-balau, bangkit dari tanah, banyak dari
mereka seakan-akan kehilangan lengan atau kaki. Semua bersimbah
pewarna merah yang digunakan sebagai darah.
Satu per satu mereka berdiri dan berbaris. Membungkuk,
menerima sorakan para penonton.
Satu per satu. Kecuali Paul.
Paul" Dierdre menatap tubuh Paul yang tidak bergerak, terbaring di
atas tunggul kayu, tangannya tergantung-gantung di atas tanah.
Tidak bergerak. "Paul?" jerit Dierdre. "Paul?"
Tanpa menyadarinya, Dierdre berlari sepanjang gang di antara
bangku penonton, menuju ke arena. Dengan lengan terjulur. Sambil
menjerit-jerit. "Paul" Bangun, Paul! Bangun!"
Bab 23 DIERDRE menangkap tatapan heran para pemain ketika ia
menghambur masuk ke arena. Ia juga mendengar seruan tertahan para
penonton. Apakah akhirnya mereka menyadari bahwa Paul masih
terbaring di sana" "Paul" Paul" Kau tidak apa-apa?"
Sol sepatunya tergelincir di genangan pewarna merah dan ia
hampir saja jatuh di atas tubuh Paul.
"Paul" Paul?"
Paul menoleh ke arahnya, wajahnya mengerut kesakitan,
mulutnya mengerang. "Paul"ada apa?" desak Dierdre. "Apa yang terjadi?"
Paul membuka mulutnya. Tapi hanya suara erangan yang
keluar. Lalu ia menarik napas dalam-dalam. "Otot pinggangku kram,"
akhirnya ia berkata. Mulut Dierdre ternganga. "Hah?"
"Pinggangku kram," ulang Paul, suaranya sudah agak lebih
kuat. "Mungkin ototku tertarik waktu aku jatuh ke tunggul kayu."
Dierdre menghela napas lega. "Oh, wow. Tadinya aku kira..."
Suaranya mengambang. Ia sendiri tidak yakin apa yang ia kira tadi.
Sambil mengusap-usap pinggang, Paul bangkit berdiri.
Penonton bertepuk tangan. Paul membungkuk ke arah
penonton. Semua orang tertawa.
"Pertunjukan ini berbahaya sekali!" kata Paul, menyeringai ke
Dierdre. "Kau baik-baik saja?" tanya Dierdre, jantungnya masih
berdebar-debar. Paul mengangguk. Kedua tangan Dierdre merangkul pundak Paul dan ia mencium
cowok itu. Dan dari atas pundak Paul ia melihat sebuah wajah. Sebuah
wajah di tengah penonton. Sebuah wajah yang ia kenal.
Wajah Rob. Menatap tajam pada mereka berdua. Tanpa
berkedip. Tanpa bergerak.
Memperhatikan mereka. Bab 24 "DADDY, bisa-bisanya kau!" seru Dierdre. "Apakah satu kali
buka gratis untuk percobaan masih belum cukup?"
Jason Bradley mengalihkan perhatiannya dari tumpukan kertas
di mejanya. Wajahnya pucat dan terlihat lelah. Tapi ia tersenyum pada
putrinya dan mengangkat bahunya yang lebar.
"Semuanya berjalan lancar sekali tadi malam," katanya. Jarinya
yang gemuk mengetuk-ngetuk permukaan meja. "Aku jadi
bersemangat sekali. Lihat saja aku, Dee. Aku sampai tidak bisa
menenangkan diri." "Jadi?" tanya Dierdre.
"Jadi aku harus membuka taman hiburan ini lagi nanti malam.
Aku terlalu gelisah untuk duduk tenang menunggu minggu depan.
Satu malam gratis lagi untuk publik. Kau lihat beritanya di TV?"
Dierdre mengangguk. "Ya, aku lihat beritanya. Aku kan ada di
rumah bersama Daddy, ingat" Kita menonton berita itu sama-sama."
"Oh. Ya. Betul." Jason menggaruk-garuk kepalanya. "Lihat,
kan" Betapa gelisahnya aku, sampai lupa pada putriku sendiri!"
Mereka sama-sama tertawa. Dierdre melangkah dan memeluk
ayahnya dari belakang. "Aku tahu betapa senangnya kau, Daddy," katanya lembut.
"Aku juga senang. Setelah bertahun-tahun lamanya, setelah begitu
banyak masalah, akhirnya impian Daddy menjadi kenyataan."
Ketika ayahnya berbalik menghadap ke arahnya, Dierdre
melihat air mata di mata ayahnya. "Sekarang semuanya berjalan baik,"
kata ayahnya. "Setelah melihat percobaan tadi malam, aku tahu
akhirnya semua berjalan baik."
Dierdre memeluk ayahnya lagi. Lalu menengok jam di meja
ayahnya. "Oh. Ya ampun. Aku harus cepat-cepat. Aku janji pada Paul
untuk menemuinya di gerbang depan sebelum taman dibuka."
"Malam ini pertama kalinya Paul akan menjalankan kincir
raksasa," kata ayahnya, kembali menekuni kertas-kertasnya.
"Dia sudah tidak sabar," kata Dierdre. "Dia lebih suka
melakukan itu daripada dibacok di punggung dan harus jatuh di atas
tunggul kayu." Jason tertawa. "Siapa yang tidak?"
Dierdre lari keluar. Pintu berdentam tertutup di belakangnya.
Ia melangkah ke malam yang dingin kelabu,
bulan pucat baru saja terbit di atas pucuk-pucuk pohon di
seberang taman. Ia menarik napas panjang, menghirup aroma harum
manis dan wangi popcorn. Para pekerja taman hiburan bergegas menuju pos masingmasing. Taman hiburan akan dibuka dua puluh menit lagi untuk
malam gratis kedua bagi publik.
Dierdre menggelengkan kepala, berpikir tentang ayahnya dan
betapa gelisahnya dia. Dad memang sulit mengendalikan rasa
senangnya. Dan Dierdre ikut senang. Tapi senyumnya memudar ketika teringat pada Rob.
Ia menelepon Rob di rumahnya siang tadi. Rob kelihatannya
tidak mengira akan mendapat telepon dari Dierdre.
"Aku melihatmu tadi malam. Di Panggung Bacok," kata
Dierdre. "Oh. Ya. Memang," sahut Rob kikuk.
"Kenapa akhirnya kau ke sana?" tanya Dierdre. "Katamu kau
mau langsung pulang tadi malam."
"Habis kelihatannya menarik," sahut Rob. "Aku lewat situ
waktu mau pulang, dan kulihat semua orang masuk ke sana. Jadi aku
ikut masuk." "Kau kelihatan serius sekali...," kata Dierdre. "Aku kira?"
"Aku sendiri tidak tahu apa yang akan kulihat di sana," tukas
Rob. "Maksudku, aku tidak tahu ceritanya. Lalu ketika mereka mulai
mengayunkan golok, dan berdarah-darah" rasanya aku jadi mual.
Bayangkan, kepala-kepala bergelindingan dan?"
"Ngeri, ya?" komentar Dierdre.
"Ya," Rob setuju. "Aku"aku sulit percaya hal itu benar-benar
terjadi. Maksudku, bagaimana hal seperti itu bisa terjadi?"
Mereka mengobrol beberapa lama tentang taman hiburan. Saat
mereka bicara, rasa bersalah Dierdre pada Paul muncul lagi. Paul
betul-betul sangat memperhatikannya. Paul bahkan pernah
mengajaknya masuk college sama-sama sehingga mereka tidak perlu
berpisah setelah lulus dari Shadyside High.
Dierdre juga suka pada Paul. Sangat suka.
Jadi kenapa Rob bagaikan magnet yang menariknya"
Kenapa ia sembunyi-sembunyi menemui cowok yang hampirhampir tidak dikenalnya ini"
"Nanti kita bisa bertemu, tidak" Di taman hiburan?" tanya Rob
di telepon siang itu. "Uh... oh..." Dierdre bimbang. "Rasanya tidak," akhirnya ia
menjawab. "Aku janji bertemu Paul sebelum pintu gerbang dibuka.
Lalu?" "Paul, Paul, Paul," gumam Rob.
"Eh?" "Aku harus pergi," nada suara Rob tajam. "Mungkin kita
ketemu lagi nanti." "Tapi aku sudah bilang. Aku mau bertemu Paul dan?"
"Sampai nanti," kata Rob, lalu menutup telepon.
Sekarang mata Dierdre mencari-cari Paul di depan pintu
gerbang. Tapi tidak ada. Para pemeriksa karcis mulai menempati pos
mereka. Dierdre menebak mereka hanya latihan. Karena malam ini
orang tidak perlu membeli tiket. Taman hiburan ini gratis.
Dierdre berjalan mondar-mandir beberapa menit. Mana dia"
pikirnya. Pintu gerbang sudah hampir dibuka. Paul seharusnya sudah
ada di sini sejak tadi.

Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mungkin kami saling salah mengerti, pikirnya.
Jangan-jangan dia pikir kami janji bertemu di kincir raksasa.
Ya. Pasti itu yang terjadi. Paul harus bertugas di sana. Mungkin
dia menungguku di sana. Dierdre masuk dan berlari-lari kecil, melewati kantor ayahnya.
Beberapa detik kemudian ia berbelok ke jalan utama taman hiburan.
Roda besar kincir raksasa, dihiasi lampu-lampu yang berkelapkelip, mulai tampak.
Aneh, pikir Dierdre, masih berlari-lari kecil melewati standstand permainan. Paul sudah menjalankan roda kincir. Tanpa
menunggu taman dibuka. Mungkin hanya mencoba-coba, pikirnya. Lampu-lampu itu
sangat indah, berlatar belakang langit malam.
"Oh!" seru Dierdre, menahan langkahnya, ketika ia melihat
sesuatu yang aneh pada putaran roda kincir.
Roda itu tidak berputar dengan halus.
Tapi tersendat-sendat. Kabin-kabin penumpangnya bergoyanggoyang.
Dilihatnya roda itu berjalan lancar selama beberapa detik. Lalu
tersendat. Berputar lagi. Lalu tersendat lagi.
Apakah rusak" pikirnya. Kenapa jadi begitu"
Apakah Paul tahu bahwa kincir itu tersendat-sendat"
Sambil masih memperhatikan roda kincir, Dierdre berlari
mendekat. "Hei, Paul" Paul" Kau di sana?" teriaknya memanggilmanggil, sambil berlari di jalan kecil yang menuju panel pengendali
kincir. "Paul?" Tak ada seorang pun di panel pengendali.
Ia berbalik melihat ke arah kincir. Kenapa kincir bergerak tanpa
ada orang di panel pengendali"
Roda raksasa itu berputar. Lalu tersendat tertahan. Berputar
lagi. Tersendat lagi. Dierdre mendengar suara duk perlahan setiap kali roda itu
tersendat. Ia bergerak beberapa langkah ke arah roda kincir. Lalu berhenti.
Dan menatap ke bawah roda. Di bawah roda.
Ada sepatu di bawah roda. Dan tungkai kaki.
Di bawah roda. Apa itu di bawah roda"
Ia maju selangkah lagi. Menatap lebih tegas. Lalu menjerit
keras. Bab 25 KEPALA Paul teriris putus. Tergeletak di peron di samping
roda, dengan mata membelalak, rambut cokelat muda melekat di dahi,
lubang tenggorokannya yang terbuka menumpahkan darah.
Dengan mulut ternganga dan napas sesak, dengan kedua tangan
menekan pipi, Dierdre memaksa dirinya untuk memalingkan wajah.
Dan sekali lagi, ia melihat tubuh Paul terjepit di bawah roda.
Sepatunya terjulur. Kedua tungkainya. Seluruh tubuh Paul kecuali
kepala. Duk. Duk. Tungkai dan sepatu tersentak ke atas setiap kali sebuah kabin
penumpang membentur tubuhnya.
Seakan-akan hidup, pikir Dierdre. Sepatu itu tersentak-sentak"
seakan-akan Paul hidup! Duk. Duk. Tubuh Paul yang membuat roda raksasa itu tersandungsandung. Meluncur, lalu tersandung. Setiap kabin penumpang miring
dan bergoyang-goyang ketika membentur tubuh Paul.
"Tidaaak!" jerit Dierdre. "Tidaaaaaak. Bukan Paul. Bukan
Paul!" Ia melihat sepatu itu tersentak ke atas sekali lagi.
Lalu dengan terhuyung-huyung ia berjalan pergi, air mata
mengaburkan pandangannya, terasa perih seakan membakar bola
matanya. Sesosok tubuh bergegas mendatanginya.
Rob! Rob memeluknya. Memeluknya erat-erat, mencoba
menghentikan isak tangisnya, gemetar tubuhnya, air matanya.
"Sudah, sudahlah, Dee," bisik Rob lembut. Membawanya pergi.
Pergi dari pemandangan mengerikan itu. "Sudah. Aku di sini
sekarang. Ada aku." ************** "Kapan taman akan dibuka, Daddy?" tanya Dierdre ketika
ayahnya melangkah keluar dari kantor di trailer.
Dua minggu kemudian. Dan polisi masih menutup taman,
menyelidiki kematian Paul yang aneh.
Kecelakaan" Pembunuhan"
Taman hiburan tidak bisa dibuka sampai jawaban atas
pertanyaan itu ditemukan.
Jason mengangkat bahu dengan lelah. Melihatnya saja sudah
membuat Dierdre sedih. Seakan seluruh napas kehidupan sudah
terkuras habis dari mata ayahnya. Pundaknya membungkuk bila dia
berjalan, bagaikan kakek-kakek.
Seperti orang kalah. Dia sudah begitu dekat pada impiannya. Dan sekarang terjadi
lagi sebuah tragedi yang menunda itu"mungkin untuk selamanya.
Ayahnya menghela napas. "Menurut polisi mungkin kita bisa
membukanya beberapa minggu lagi," katanya, dengan suara sangat
perlahan, sehingga hampir-hampir tak terdengar oleh Dierdre.
"Bagus," kata Dierdre, berusaha terdengar riang.
"Tapi banyak pegawai yang berhenti," kata Jason,
menggelengkan kepala. "Mereka bilang Fear Park ada hantunya.
Mereka tak mau lagi bekerja di sini. Aku tidak punya pegawai untuk
menjaga stand makanan. Begitu juga separuh dari stand-stand
permainan. Tak seorang pun yang bisa menjalankan kincir..."
"Rasanya aku bisa menjalankannya." Sebuah suara menyela
pembicaraan mereka. Dierdre menoleh, dan melihat Rob berdiri di sampingnya.
Rambut hitamnya tersisir rapi. Ia memakai dasi hitam di bajunya yang
berwarna biru muda. Dia melamar pekerjaan, pikir Dierdre.
Dierdre melihat ayahnya memandang Rob dengan perasaan
curiga. "Ini Rob," kata Dierdre cepat-cepat. "Dia temanku, Daddy."
Wajah Jason melunak sedikit. "Rob?"
Rob mengangguk agak malu-malu. "Ya, sebetulnya," katanya
mengaku dengan agak enggan, "namaku Robin. Robin Fear."
Mata Jason melebar hampir tak percaya. "Fear?" tanyanya
meyakinkan. "Kau masih ada hubungan dengan keluarga Fear?"
Robin menggerakkan bahu. "Rasanya aku sepupu jauh mereka,"
katanya menjawab pertanyaan ayah Dierdre. "Tapi aku tidak tahu
persis." Jason memperhatikannya baik-baik. "Dan menurutmu kau bisa
menjalankan kincir raksasa?"
Robin mengangguk. Matanya yang berwarna gelap berbinarbinar. "Oh, ya," sahutnya. "Akan kucoba sebaik mungkin, Mr.
Bradley. Akan kukerjakan sebaik-baiknya."
Dierdre melihat senyum aneh menghiasi wajah Robin. "Aku
sudah lama sekali menunggu pekerjaan ini!" katanya.
BERSAMBUNG.... Ular Kobra Dari Utara 1 Protes! Protes! Protes! Karya Ekky Al Malaky Dan Bambang Joko Susilo Misteri Kaca Kaca Remuk 1

Cari Blog Ini