Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror Bagian 1
BAB 1 Kody FRASIER mengangkat tangan ke dahinya untuk
menudungi mata dari terik matahari. Rumah itu tampak tak berubah
dari jalan. Ia melihat beberapa pohon sudah ditebang dari kebun depan.
Tapi rumah dan halamannya tetap diselimuti bayang-bayang gelap.
Ketika melangkah ke jalur mobil berkerikil, Kody bergidik.
Dua tahun, pikirnya. Dua tahun berlalu sejak aku mengucapkan
selamat tinggal pada rumah ini.
Dua tahun berlalu sejak aku mengucapkan selamat jalan kepada
Cally, kakakku"kepada James, adikku.
Tewas. Keduanya. Dibunuh oleh rumah yang mengerikan ini.
Ketika Kody perlahan-lahan melangkah di jalur mobil, bayangbayang menyapu dirinya, dingin seperti ombak lautan. Sekonyongkonyong kakinya menjadi lemas. Ditariknya lengan sweternya yang
berwarna hijau pucat, lalu dijejalkannya tangan ke dalam kantong
jeans putihnya. Dan mendongak melihat rumah yang telah membawa begitu
banyak ketakutan dan kepedihan pada keluarganya.
Fear Street nomor sembilan puluh sembilan.
Rumah dua setengah tingkat itu hampir sebesar kebunnya.
Papan-papan dinding berwarna kelabu tampak lusuh dan dimakan
cuaca, persis seperti yang diingat Kody. Daun jendelanya yang
berwarna gelap rusak dan mengelupas.
Kody tertegun di jalan masuk mobil.
Hari ini cerah dan hangat, pikirnya. Tapi kegelapan rumah itu
menyebar hingga halaman depan. Sinar matahari tak mampu
menembusnya. Sambil menarik napas dalam-dalam, Kody memaksa diri untuk
maju. Ia melihat sirap gelap baru di serambi atas. Tapi jendela kaca
timah di pintu depan tetap pudar dan retak.
Ia memandang angka "99" yang besar pada pintu kayu
melengkung itu. Kenangan"kenangan yang mengerikan" membuat Kody
berhenti lagi. Ketika ia mendongak menatap rumah itu, pintu depan pelanpelan terbuka.
Seorang gadis melangkah ke luar dari kegelapan di belakang
pintu. Ia mengibaskan rambut pirangnya dan tersenyum pada Kody.
Kody hampir tak bisa bersuara.
Ia membuka mulut lebar-lebar dan terkesiap karena terkejut dan
takut. Gadis yang tersenyum itu turun dengan santai dari serambi dan
melambai. "Cally"!" Kody memanggil kakaknya yang sudah mati.
"Cally"kau rupanya!"
BAB 2 GADIS itu melemparkan senyum mengejek ke arah Kody.
"Cally"!" panggil Kody lagi, suaranya tercekik.
"Kody"kau baik-baik saja?" tanya gadis itu dengan dingin.
Bukan suara Cally, Kody tersadar. Dan mata gadis itu bukan
mata Cally. Tiba-tiba Kody mengenali Persia Bryce, aktris yang seumur
dengan Kody"delapan belas tahun.
"Persia, kau m-mengagetkanku," Kody tergagap.
"Kau melihat Bo?" tanya Persia, tak tertarik sedikit pun pada
kerisauan Kody. Mata Persia mencari-cari di halaman depan, tempat
para pekerja kru film sedang sibuk merentangkan kabel-kabel dan
mempersiapkan peralatan. Masih gemetaran, Kody memandang wig pirang milik Persia.
Rambut itu, tiba-tiba Kody tersadar, sebetulnya lebih pendek dari
rambut Cally. "Tidak, aku tidak melihat Bo," kata Kody pelan.
"Kalau lihat dia, bilang aku mencarinya," perintah Persia. Ia
berlari kecil di halaman menuju barisan trailer yang diparkir di
sepanjang pinggir jalan. Kody mengawasi Persia sampai ia menghilang ke dalam salah
satu trailer itu. Persia adalah bintang komedi situasi TV berjudul Big
Trubble. Ia memerankan Angela Trubble, gadis cilik dalam keluarga.
Tapi kini Persia sudah tumbuh menjadi gadis dewasa dan siap terjun
ke layar lebar. Ia selalu tampak menawan dalam wawancara TV, pikir Kody
getir. Ia selalu begitu manis dan rendah hati. Selalu berakting seperti
seorang gadis yang kaget akan kesuksesannya.
Di luar kamera, ternyata Persia bertingkah seperti anak manja.
Ia berjalan dengan mendongakkan dagu. Ekspresinya mengatakan:
Menjauhlah dariku. Aku seorang bintang.
Persia mempunyai dua asisten yang mengikutinya ke manamana, seolah-olah mereka mengenakan rantai yang pendek. Ia selalu
memerintah mereka, dan mengeluh kalau mereka tidak bergerak
cukup gesit. Berbulan-bulan sebelumnya, sewaktu Kody dikenalkan pada
aktris itu di kantor sutradara di Los Angeles, Persia menyapanya
dengan hangat. "Senang sekali bekerja denganmu, apalagi
memerankan kai di film ini," ujar Persia padanya. "Kita akan bermain
sebagai dua bersaudara, dan kuharap kita akan menjadi saudara
sungguhan." Ia begitu ramah, pikir Kody.
Beberapa hari kemudian Kody mengetahui Persia mencoba
menyingkirkannya dari film. "Aku tak mau bekerja dengan amatir,"
keluh Persia. Sekarang, tiga bulan kemudian, mereka berada di Shadyside.
Bersiap untuk mulai membuat film tentang kehidupan Cally dan
Kody"Fear Street 99.
Persia bahkan tak berpura-pura ramah. Ia selalu memandang
Kody dengan tatapan jijik, seakan-akan Kody semacam serangga.
Kalau mereka sedang tidak berlatih, Persia takkan mengucapkan
sepatah kata pun pada Kody. Ia bicara hanya kepada sutradara, Bo
Montgomery, atau kepada dua asistennya. Ia menganggap Kody tidak
ada. Ketika pintu trailer Persia dibanting menutup, Kody berbalik ke
rumah itu. Persia menghilang dari benaknya ketika Kody kembali
memikirkan kakaknya yang sudah mati.
Cally"kau ada di dalam sana" tanyanya dalam hati. Cally, aku
berjanji akan kembali untukmu. Apakah aku akan menemukanmu di
dalam sana" ************ Aku harus membuat film ini berhasil. Ini kesempatan besarku,
pikir Bo Montgomery. Sembari mencengkeram clipboard dengan satu
tangan, ia melangkah dengan hati-hati melewati kabel-kabel listrik di
loteng, matanya mengamati atap yang rendah. "Bisakah kita memakai
ruangan ini"atau mestikah kita membangun loteng buatan di studio?"
tanyanya kepada pria besar di sampingnya, Sam McCarthy.
Bo menatap asisten produser berwajah bundar merah muda
dengan mata biru yang kecil. McCarthy mengusapkan tangan ke
rambutnya yang putih pendek. "Kita bisa membuatnya lebih terang,
Bo," sahutnya. "Kita telah menyiapkan perekat hijau di lantai. Kupikir
kita dapat bekerja dengan tempat ini."
"Kaupikir?" Di balik kaca mata birunya, Bo menyipitkan mata
pada McCarthy. "Berpikir saja tidak cukup bagus, Sam. Kau harus
tahu." Bo menarik lengan sweter abu-abunya. Lalu ia merangkul bahu
McCarthy yang gemuk. "Kau tahu betapa berartinya film ini bagiku,
Sam," katanya dengan emosi. "Setelah dua film gagal terakhir itu,
kupikir aku takkan pernah menyutradarai film lagi."
McCarthy meringis. "Hei, aku membantumu membuat film-film
konyol itu, Bos. Kau tidak perlu mengingatkanku."
Air muka Bo tetap serius. "Film ini"Fear Street 99"
kesempatan terakhirku. Aku harus membuat film ini berhasil, Sam.
Aku tak dapat membiarkan apa pun tak beres."
McCarthy mengunyah puntung cerutu padam yang terjepit di
sela-sela giginya. "Apa sih yang tidak beres?" tanyanya.
Bo mengerutkan dahi. "Banyak," jawabnya pelan sambil
memandang sekeliling loteng yang sempit. "Salah satunya, mereka
menyuruhku membuat film di rumah tua jelek ini, bukannya di
kompleks studio di L.A."
"Ini publisitas yang hebat," sela McCarthy. "Kau membuat film
di rumah tempat semua kejadian yang mengerikan itu berlangsung."
Bo memberengut dan menggeleng. "Studio hanya tak mau
mengeluarkan uang, Sam. Untuk itulah mereka menyuruhku membuat
film di sini. Untuk itu pula mereka memaksaku memakai Kody Frasier
untuk memerankan Cally. Aku harus memakai amatir dalam peran
bintang ini karena mereka terlalu pelit untuk memberiku aktris
profesional." Bo mendesah. "Peran ini pas sekali untuk Winona Ryder. Tapi
aku malah mendapat Kody Frasier."
"Tapi kau bilang Kody lolos uji," protes McCarthy. "Dan dia
pernah belajar akting, kan?"
Bo tidak menjawab. Sambil menurunkan clipboard-nya, ia
melongok melalui jendela loteng yang berdebu.
"Kau sudah mendapatkan dua halaman di majalah People
karena si adik itu," McCarthy melanjutkan. "Ini publisitas yang hebat,
Bo. 'Kody Frasier Kembali ke Rumah Setan untuk Memerankan
Kakaknya yang Tewas.' Barangkali dia akan menjadi hebat."
"Tentu saja harus begitu!" sahut Bo panas. Ditariknya
kuncirnya yang pendek. "Ayo kita cek ruang bawah tanah."
Ketika Bo berjalan ke ruang bawah, seribu pikiran menyerbu
benaknya. Anggota kru yang harus ia ajak bicara, peralatan yang harus
dicek, persoalan naskah yang mesti diatasi, konflik jadwal yang mesti
diselesaikan. Menyutradarai film tidak pernah mudah, kata Bo dalam hati.
Bahkan lebih berat kalau ada tekanan, ketika semua harus berjalan
lancar"ketika karier tergantung pada keberhasilan itu.
Sewaktu ia dan McCarthy menjelajah ruang bawah tanah, Bo
terus memikirkan semua yang harus dilakukannya sebelum
pengambilan film dimulai. Asyik melamun, ia tidak melihat seekor
tikus besar kelabu berlari cepat di lantai beton.
Ia tidak melihat tikus kedua, dengan sungutnya yang panjang
bergerak-gerak gembira, diam-diam bergabung dengan tikus pertama.
Ia tidak melihat tikus-tikus lain bergerak perlahan dari dinding
gelap dan membentuk lingkaran rapat mengelilingi mereka berdua.
Bunyi cicitan melengking akhirnya menyadarkan Bo dari
lamunannya. Matanya melebar di balik lensa biru kacamatanya. Ia
mencekal lengan McCarthy dan menuding.
"Sam"kita"dikepung!"
Mata-mata tikus itu bersinar dalam kegelapan. Bunyi mencicit
berubah menjadi desisan keras.
Seolah-olah diberi aba-aba, tikus-tikus itu merapatkan lingkaran
dan mengangkat kaki depan mereka.
Kedua pria itu tak punya waktu untuk berteriak"ketika tikustikus itu melompat untuk menyerang.
BAB 3 SAMBIL berteriak kaget, Bo mengayunkan clipboard.
Terdengar bunyi pukulan keras ketika papan itu mengenai seekor
tikus. Binatang pengerat itu terlempar ke dinding.
Bo berbalik, menarik seekor tikus gemuk dari sweternya.
Menendang tikus lain yang menerkam pergelangan kakinya.
Di sampingnya, ia bisa melihat McCarthy sedang mengayunayunkan lengannya yang besar, membungkuk rendah untuk
mengenyahkan seekor tikus yang mencicit-cicit di kakinya.
"Lari! Ayo pergi!" Bo memukul tikus lain yang mendesis, kena
moncongnya, membuatnya roboh ke lantai.
"Lari!" ia berteriak mengatasi cicitan bersemangat tikus-tikus
itu. Ia mendorong McCarthy dengan kuat ke arah tangga.
Mereka terhuyung-huyung menaiki tangga yang sempit,
sembari menendangi tikus-tikus dari sepatu mereka, melepaskan tikustikus dari pipa celana mereka. Naik ke selasar. Melewati beberapa
anggota kru yang terkejut. Keluar ke kebun depan.
Masih tersengal-sengal, Bo berhenti ketika melihat Kody
Frasier ada di depannya di jalan setapak. Ia masih bisa mendengar
desis tajam tikus-tikus itu. Ia masih dapat merasakan cakaran kukukuku mereka di kulitnya.
"Bo"ada apa?" tanya Kody.
"Uh"ada sedikit persoalan dengan tikus," sahutnya, mencoba
kedengaran santai. Tak perlu membuat para aktor resah. Ia memanggil
salah seorang asistennya. "Bisakah kau membawa pembasmi tikus ke
sini" Mungkin dua atau tiga orang" Atau sepuluh?"
Kody menggigil, teringat tikus-tikus itu, mata merah mereka
yang jahat dan bagaimana mereka dulu menyerangnya. Ia
mengenyahkan pikiran itu. "Persia mepcarimu," kata Kody padanya.
Bo mendesah. Ia mengangkat clipboard-nya dan memandang
halaman paling atas. "Sebaiknya aku pergi untuk mengetahui apa yang
diinginkannya," ia bergumam. Ia melambai singkat ke arah Kody,
mengenyahkan dari benaknya tikus-tikus yang meloncat-loncat, dan
berlari kecil ke trailer Persia.
*********** "Kody"ada apa?"
Suara itu membuat Kody menoleh. Rob Gentry, aktor lain,
berjalan ke arahnya, matanya yang biru pucat memandangnya tajam.
Rob bergerak dengan tenang. Kurus tapi atletis, setidaknya ia tiga
puluh sentimeter lebih tinggi daripada Kody. "Kau tidak apa-apa?"
"Yah...." Kody ragu-ragu.
Rob melingkarkan lengannya di bahu Kody. Kody baru
mengenalnya seminggu, tapi Rob begitu hangat dan ramah. Ia
bersikap seakan-akan semua orang adalah teman lamanya. Ia selalu
menggoda Kody, merangkulnya, seolah-olah ia sudah lama
mengenalnya. "Akan kuambilkan secangkir kopi untukmu, " kata Rob sambil
menuntunnya menuju trailer katering di ujung jalur mobil. "Ini pasti
betul-betul aneh bagimu. Kembali di sini, maksudku. Membuat film
tentang kehidupanmu sendiri."
Ia tahu segala hal tentang hidupku, tentang apa yang terjadi
pada keluargaku di sini, Kody menyadari. Semua orang yang bekerja
di sini tahu. Mereka semua telah membaca naskah film.
Penyedia katering telah membentangkan meja panjang berisi
sandwich, muffin, salad, buah-buahan, dan segala macam minuman
dingin dan panas. Makanan itu tersedia bagi semua kru dari pagi
hingga malam. Dengan cepat Kody mengetahui bahwa meja katering
adalah bagian yang sangat penting dalam pembuatan film.
Rob menuangkan secangkir kopi dari teko besar berwarna perak
dan memberikannya kepada Kody. Kody menambahkan banyak susu
dan dua bungkus gula. Ia tidak menyukai rasa kopi.
Rob menuangkan secangkir untuk dirinya sendiri, lalu
menuntun Kody dari barisan trailer menuju halaman samping. Ia
menjatuhkan tubuh ke tanah di depan pagar tinggi dan menepuknepuk rumput, memberi isyarat pada Kody untuk bergabung
dengannya. Ia memiliki senyum yang menawan, pikir Kody. Mata Rob
memantulkan sinar matahari. Rambutnya yang cokelat kemerahan
panjang dan berombak, disisir lurus ke belakang.
Ia cowok paling tampan yang pernah kutemui, Kody menyadari
ia sedang berpikir demikian ketika duduk di rumput di samping Rob.
"Aku tidak mengira akan merasa begitu gugup," katanya kepada Rob.
"Aku gelisah sekali."
Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku juga gugup, kau tahu," Rob mengaku sambil menyesap
kopi panas pelan-pelan. "Maksudku, Anthony sebenarnya bukan peran
terbesar. Tapi ini film pertamaku."
Rob pernah bermain dalam film TV dan beberapa iklan, Kody
tahu. Ayahnya seorang eksekutif studio Hollywood. "Kaupikir
bagaimana aku mendapatkan pekerjaan ini?" candanya ketika pertama
kali mereka bertemu. "Persia begitu menyebalkan," kata Kody sambil mendesah. "Ia
memerintahku seolah-olah aku ini anjingnya."
"Ia iri," sahut Rob seraya menunduk ke dalam cangkimya.
"Hah" Persia" Iri padaku?" Kody berteriak kaget.
Rob mengangguk. "Ia menginginkan peranmu. Ia ingin
memerankan kakakmu, Cally. Ia tak mau memerankanmu."
Kody tertawa pahit. "Siapa sih yang mau memerankan aku?"
tanyanya tajam. Rob menyesap kopi perlahan-lahan. Lalu ia mengangkat
matanya yang biru pucat ke arah Kody. "Kau gundah bukan karena
Persia," kata Rob. "Kau gundah karena kembali ke sini, ke rumah
lamamu. Tempat semuanya terjadi."
"Ku"kusangka aku bisa mengatasinya," Kody tergagap sambil
memegang cangkir karton di antara lututnya. "Maksudku, melihat
rumah ini lagi. Tapi begitu aku melangkah di jalur mobil, segala
kenangan"kenangan mengerikan meluap kembali."
"Pasti sulit," gumam Rob sembari menggeleng.
"Aku bisa merasakannya," lanjut Kody dengan penuh emosi.
"Aku dapat merasakan kenangan-kenangan itu. Mendorongku
kembali. Mendorongku menjauh dari rumah ini."
Rob menengadah melihat Kody. Kody menyadari ia bernapas
dengan berat. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya
perlahan. "Lalu kenapa kau ambil bagian dalam film ini?" tanya Rob
dengan perhatian sungguh-sungguh. "Kau tahu akan berat bagimu
untuk melihat tempat ini lagi, kan?"
Kody mengangguk. "Dua alasan," jawabnya dengan muram.
"Pertama, ini adalah kesempatan luar biasa. Maksudku, hidupku
begitu mengerikan, Rob. Orangtuaku dan aku pergi sejauh mungkin
dari Fear Street. Kami pindah ke L.A. Tapi hidup kami"hancur."
Kody menahan isak, lalu mengambil napas dalam-dalam, dan
melanjutkan bicara. "Ayahku buta karena sesuatu dalam rumah ini. Ia
tak pernah memperoleh kembali penglihatannya. Dan ibuku"ia
berubah setelah James dan Cally meninggal. Kucoba melupakan
semua ini. Aku menyelesaikan high school. Aku masuk sekolah
akting. Kurasa aku berusaha mati-matian untuk menjadi orang lain.
Siapa pun selain diriku. Lalu aku mencoba film ini"mereka memberi
tawaran padaku untuk memerankan ini. Aku"aku harus
melakukannya." Sebuah mobil station wagon penuh anak meluncur pelan.
Mereka semua ternganga melihat barisan trailer, para pekerja, dan
peralatan film di halaman depan. "Apakah kau bintang film?" teriak
seorang gadis di kursi belakang.
Kody melambai pada gadis itu. Mobil station wagon itu
menjauh. "Aku harus melakukannya," ulangnya pada Rob. "Aku punya
alasan kedua." Tangannya gemetar sewaktu ia mengangkat cangkir ke
bibirnya dan menghirup kopi.
"Apa?" tanya Rob sembari meletakkan cangkir di rumput, lalu
bersandar pada pagar. "Aku berjanji pada saudara kembarku akan kembali," ungkap
Kody. Ia memandang hutan di seberang jalan. "Aku melihat Cally di
jendela, jendela depan, pada hari orangtuaku dan aku pergi. Aku
melihat Cally. Ia mengawasiku dari jendela."
"Hah?" Rob duduk tegak dengan cepat, tak bisa
menyembunyikan kekagetannya. "Tapi saudaramu sudah meninggal!"
serunya. Kody mengangguk dengan muram. "Aku tahu. Tapi aku
melihatnya di jendela. Melihatnya di sana, menempelkan tangan di
kaca, begitu bingung, begitu sedih"bayangan itu menghantuiku sejak
itu." Rob meletakkan tangan di bahu Kody. Ia melihat Rob
menatapnya dengan penuh keprihatinan. Ia tahu Rob takkan
mempercayai ceritanya. Siapa yang bakal percaya"
Bagaimanapun juga, ia melanjutkan kisah itu. "Aku berjanji
pada Cally akan kembali. Aku berjanji padanya hari itu, dua tahun
yang lalu, aku akan kembali, aku akan menyelamatkannya, entah
bagaimana caranya." Kody mendesah. "Jadi di sinilah aku."
Mereka diam sejenak. Kemudian Rob berdiri. Ia menggeleng.
"Aneh," gumamnya.
Ia hendak mengatakan sesuatu yang lain, tapi asisten sutradara
memanggilnya. Ia berbalik dan berlari kecil menuju rumah.
Kody menghirup kopi terakhir. Ia meremas cangkir karton itu
dan berdiri tegak. Sembari menepiskan kotoran pada bagian belakang jeans
putihnya, ia mulai mengayunkan langkah ke jalur mobil. Aku harus
menghafal naskah dan membaca lagi adegan untuk syuting besok,
pikir Kody. Memikirkan hari esok, hari pertama syuting, membuat perut
Kody mulas. Bagaimana kalau aku tak bisa melakukannya" ia
bertanya dalam hati. Bagaimana jika kamera mulai beraksi dan aku
tertegun membeku" Latihan-latihan di Los Angeles sebelumnya berjalan lumayan
lancar. Bo Montgomery adalah sutradara yang sangat pengertian.
Sangat sabar. Bicaranya lembut dan ramah.
Tetapi duduk mengelilingi meja, membaca baris demi baris
naskah, sangat berbeda dari berdiri di depan kamera dan berakting,
dengan para kru berdiri dan memperhatikan, kata Kody pada diri
sendiri. Kody dapat membayangkan seringai puas di wajah Persia jika
ia gagal. Yah, aku tidak akan menggagalkannya, Kody meyakinkan diri.
Ia begitu bingung dengan pikirannya sendiri sehingga
tersandung peti kayu berisi peralatan special effect dan nyaris jatuh di
jalur mobil. "Hati-hati"kotak itu berisi darah!" teriak seorang anggota kru.
"Sori," gumam Kody sembari melangkah memutarinya.
Darah" Ya. Film ini akan perlu banyak darah, pikir Kody sedih.
Ia mengingat suatu malam lebih dari dua tahun yang lalu, ketika
darah menetes dari langit-langit kamar tidur orangtuanya. Darah
merah, menggenang di atas ranjang orang?tuanya.
Ayahnya"ayahnya yang malang"tergesa-gesa ke loteng untuk
melihat apa yang menyebabkan begitu banyak darah menetes. Ia
kembali dengan linglung dan mengoceh tak masuk akal,
menggumamkan sesuatu tentang tiga kepala manusia, tiga kepala
manusia yang mengeluarkan darah.
Daddy yang malang, pikir Kody.
Kalau saja kami lari dari rumah malam itu juga. Jika saja kami
lari dan tak pernah menoleh ke belakang...
Setelah menempuh separo jalan masuk, Kody menengadah ke
arah rumah itu"dan napasnya tersentak.
Jendela ruang duduk tertutup kegelapan. Tapi meski demikian,
Kody bisa melihat dengan jelas sesosok tubuh di jendela.
Ia dapat melihat rambut pirang gadis itu. Melihat ekpresinya
yang sedih. Melihat tangannya menekan kaca jendela.
"Cally!" teriak Kody.
Sembari mengulurkan kedua lengannya, Kody berlari menuju
pintu depan. Kerikil mencelat dari bawah sepatunya ketika ia berlari.
Ia berhenti di jalan depan.
Apakah itu Cally" Atau Persia" ia bertanya dalam hati sambil
tersengal-sengal. Apakah aku tertipu lagi"
*********** Hantu Cally meluncur menjauh dari jendela, melayang kembali
ke dalam kegelapan rumah berbayang-bayang itu. Udara bergetar di
sekelilingnya. Debu melayang dari lantai.
Matanya yang merah mulai membara. Kemarahan membuncah
dari dalam dirinya seperti listrik yang meretih. Para pekerja di ruang
sebelah berteriak kaget. Sebuah lampu sorot pecah.
"Jadi saudara kembarku tersayang telah kembali!" kata Cally
pada diri sendiri sambil melesat kembali ke jendela untuk melihat ke
luar. Cahaya kelabu dari kaca jendela menembus dirinya. Ia dapat
merasakan dirinya berpendar dan meredup.
Sudah berapa lama, Kody" hantu Cally bertanya.
Berapa tahun sejak kautinggalkan aku di sini" Sejak kau pergi
untuk menjalani hidup" Sejak kautinggalkan aku di dunia bayangbayang yang dingin ini"
Aku sudah kehilangan persepsi tentang waktu, isak Cally. Tak
ada waktu bagiku. Aku berada di luar waktu.
Tapi kini Kody kembali. Apakah kau kembali untuk mencariku, Kody" dalam hati Cally
bertanya, tak sanggup menahan kegetirannya.
Tidak. Kau tidak kembali untukku.
Kau kembali untuk menjadi bintang film.
Kau kembali untuk membawakan peran yang selalu ingin
kaumainkan, bukan" Kau kembali untuk memerankan aku!
Kau selalu iri padaku, Kody. Begitu iri sampai kau sinting.
Dan kini kau telah mendapatkan apa yang selalu kauinginkan.
Kau mendapatkan kesempatan untuk memerankan aku.
Kau akan menjadi bintang"ya kan, Kody" Kau akan menjadi
kaya dan terkenal. Semua itu karena aku mati.
Semua karena kau meninggalkanku dalam pelukan roh jahat
rumah ini. Cally terus memandang kebun depan yang gelap. Para pekerja
sedang beristirahat. Mereka berkerumun mengelilingi meja makan
yang berada di ujung jalan mobil.
Cally hanya mengawasi Kody.
Ia tampak cantik, pikir Cally. Ia memanjangkan rambutnya.
Kini ia mewarnainya dengan warna rambutku.
Kody melihatku! Cally menyadari, tubuhnya bersinar karena
bersemangat. Udara menghangat dan meretih di sekelilingnya.
Itu dia datang! Lihatlah dia"merentangkan lengan seakan-akan
ingin memelukku. Lihatlah ia berlari. Begitu bersemangat"begitu
berhasrat. Akankah kau menemukanku, Kody"
Ya, begitulah. Akhirnya. Tapi kau akan melihat aku sudah berubah, saudaraku sayang.
Aku sudah banyak berubah.
Kini aku menjadi bagian dari rumah ini. Bagian dari roh jahat
itu. Aku adalah roh jahat dan roh jahat adalah aku.
Kau akan mengetahuinya, Kody, aku berjanji.
Kau tidak bakal menjadi bintang film, pikir Cally, berpendar
dalam debu yang bergolak. Tidak, Kody, kau tidak akan menjadi
bintang film. Tetapi kau akan terkenal"sebagai aktris yang mati waktu
membuat film tentang hidupku!
Cally mengawasi saudaranya berlari menaiki tangga. Meluncur
melintasi bayang-bayang, hantu itu bergerak ke pintu depan.
Ia mendengar Kody merenggut kenop pintu. Mendengarnya
mulai mendorong pintu kayu yang berat itu.
Cally mengarahkan tatapannya, dan membuat pintu itu macet.
Dorong sekuatmu, Kody, katanya dalam hati. Pintu itu takkan
terbuka. Pintu itu mematuhi kehendakku.
Akulah rumah ini dan rumah ini adalah aku.
Ia mendengar erangan Kody. Lalu ia mendengar Kody
mendorong pintu itu keras-keras.
Dorong pintu dengan bahumu, desak Cally. Ayolah"dorong!
Dan inilah sambutan dari saudaramu yang lama menghilang,
pikir Cally, sembari mengumpulkan energi jahat.
Cally memunculkan selusin paku baja besar menembus pintu
depan. Ia mendengarkan dengan senang ketika jerit ketakutan Kody
berubah menjadi lolongan ngeri.
BAB 4 KODY terpental ke belakang ketika paku baja besar menembus
pintu. Sebelum dapat menahan diri, ia menjerit.
Paku-paku besar itu begitu dekat.
Aku bisa saja terbunuh! ia tersadar.
Dengan takut ia menatap paku-paku besar tajam yang menancap
lurus keluar dari daun pintu.
"Apa yang terjadi di sini?" suara Bo Montgomery menembus
ketakutannya. "Kody"apa kau menjerit?"
Kody berpaling, seluruh tubuhnya masih gemetaran. "Bo! Pintu
itu?" ia berhasil berkata sambil menunjuk.
Bo melepas kacamata birunya dan memandang deretan paku
besar di pintu. Wajahnya memerah dan memberengut marah. "Hei,
McCarthy"!" teriaknya. "McCarthy"coba kemari!"
Ia berpaling kembali ke Kody. "Aku sudah memperingatkan
anak-anak special effect," gerutunya. "Aku akan menegur McCarthy."
Sambil mencoba mengatur napasnya kembali normal, Kody
mengamati Bo. Ia kurus, bersemangat, dan tampan, berusia sekitar
tiga lima atau empat puluh tahun, dengan dahi persegi yang tinggi dan
rambut lurus ditarik ke belakang menjadi kuncir kuda. Di dagu dan
pipinya selalu tampak jenggot pendek berumur sehari.
Ia berpakaian sama setiap hari"sweter abu-abu, biasanya ada
satu atau dua noda makanan di bagian dada, celana santai yang
longgar dan kusut, serta sepatu tak bertali warna cokelat tanpa kaus
kaki. Ia jarang melepas kaca mata birunya, bahkan pada malam hari.
Ia membawa-bawa clipboard dengan tumpukan kertas dan
grafik dan halaman naskah, yang diperiksanya terus-menerus.
Kody langsung menyukai Bo. Bo memiliki energi tinggi. Ia tak
pernah berhenti bergerak dan bicara. Ia melakukan semuanya dengan
cepat. Sulit mengikuti irama kerjanya.
"McCarthy"cepat, Bung!" teriak Bo.
Sam McCarthy meneriakkan sesuatu pada dua orang pria di
salah satu trailer. Kemudian ia berjalan dengan lamban melintasi
halaman rumput menuju Bo dan Kody.
Kody baru bertemu dengannya pagi itu.
McCarthy menarik cerutu dari mulutnya sewaktu mendekati Bo.
Kody melihat ujung cerutu itu tampak basah dan habis terkunyah.
McCarthy mengenakan celana kerja warna abu-abu dan T-shirt
bertulisan Grateful Dead yang hampir tak sanggup menutupi perutnya
yang buncit. Lengan McCarthy besar seperti lengan pemain futbol.
Tangannya yang halus tampak tak pantas untuk lengan seperti itu.
"Ada apa, Bos?" tanya McCarthy kepada Bo, napasnya
terengah-engah karena tergesa-gesa melintasi halaman rumput.
Disekanya keringat dari dahi dengan punggung tangannya. "Kau
menemukan seekor tikus di saku belakangmu?"
Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bo cemberut. "Jangan bercanda, Sam." Ia menunjuk pintu
depan. "Kalian sudah kuperingatkan, kami harus tahu rancangan di
sini." "Hah" Apa persoalannya?" tanyanya.
"Aku butuh daftar apa yang seharusnya ada dan apa yang
tidak," jawab Bo. "Aku tahu kau telah menyiapkan cairan hijau di
lantai atas, dan darah juga sudah siap, kan" Tapi aku tidak jelas apa
lagi yang sudah siap. Nyaris saja terjadi kecelakaan serius di sini,
Sam." Bo menunjuk pintu depan. "Kody tidak sengaja memunculkan
paku-paku besar itu. Ia bisa jadi sate di atas panggangan."
Mata McCarthy membelalak, wajah bundarnya berubah merah.
"Hei, Bos"kami tidak menaruh paku-paku besar itu," ujarnya sambil
menggaruk-garuk kulit kepala melalui rambutnya yang putih pendek.
"Mana daftarnya?" pinta Bo.
"Ernie yang pegang," sahut McCarthy. "Ia baru kembali untuk
menyiapkan dapur. Tapi aku tahu daftarnya, Bo. Dan aku tahu apa
yang kami bawa. Tak ada paku-paku besar. Tak mungkin."
Kody bergidik. Rumah ini siap dengan muslihatnya yang lama,
pikirnya sembari beringsut mendekati Bo.
"Aku mau melihat daftarnya," desak Bo. "Seharusnya aku
punya salinannya juga." Ia menoleh kepada Kody. "Kau baik-baik
saja?" Kody mengangguk. "Aku masih sedikit gemetar. Tapi aku tidak
apa-apa"kurasa."
McCarthy menjejalkan cerutu kembali ke dalam mulutnya. Ia
memandangi paku-paku baja besar itu lagi sambil mengerutkan dahi
dan bergumam sendiri. Setelah itu air mukanya berubah. "Hei, Bos, punya waktu
sebentar" Aku ingin menunjukkan apa yang dikerjakan Ernie dan aku
di dapur. Kau akan melakukan adegan pembuangan kotoran di bak
dulu, kan?" Bo membalik-balik halaman pada clipboard. "Yeah. Yang
pertama dikerjakan setelah istirahat."
Kody menelan ludah dengan susah payah.
Apakah aku benar-benar akan mengalami lagi adegan yang
mengerikan itu" ia bertanya pada diri sendiri.
Kenangan itu menggulungnya seperti ombak lautan. Malam itu,
dua tahun yang lalu. Ia berada di rumah bersama Cally dan Anthony,
cowok yang ingin dikencani Cally. Cowok yang diperankan oleh Rob.
Anthony membantu mencuci piring sehabis makan malam.
Mereka mendengar jeritannya dari dapur. Mereka lari ke dalam dan
menemukannya dengan satu tangan masuk saluran bak cuci. Mesin
pembuang kotoran di bak menderu.
Menderu...ebukulawas.blogspot.com
Tangan Anthony tercabik dan berdarah.
Anthony menjerit. Menjerit mengatasi bunyi deruman alat
pembuang kotoran. Setelah itu, Anthony keluar dari rumah sakit, dan ia tidak
pernah bicara lagi pada Cally ataupun Kody. Dan ia tak pernah
mendekati rumah itu lagi.
Sekarang di sinilah aku, pikir Kody, kembali ke rumah ini. Siap
melihat adegan mengerikan itu lagi.
Hanya saja kali ini tidak sungguhan, katanya dalam hati.
Kali ini, semua hanya pura-pura.
"Ayo kita periksa lagi," kata Bo sambil menurunkan clipboardnya. "Di mana Rob" Ini kan adegannya." Ia melihat Rob di jalan
mobil, sambil bicara dengan Angie, asisten naskah.
"Hei, Rob"waktunya bekerja. Ketemu di dapur, ya," teriak Bo.
Ia menoleh kembali pada Kody. "Di mana Persia" Ia juga ada
dalam adegan ini." Kody mengangkat bahu. "Aku tak melihatnya sejak?"
"Persia tidak mau keluar dari trailernya," Rob melaporkan
sambil berlari kecil melintasi rumput.
"Dia"apa?" tanya Bo.
"Persia bilang dia tidak mau keluar sampai mendapatkan
keranjang buahnya sendiri," Rob memberitahu sutradara itu. Ia
mengedipkan mata ke arah Kody. "Buah di atas meja sudah dipegangpegang dan tidak higienis."
Bo mengerang dan melemparkan clipboard- nya ke udara.
Ketika ia menangkapnya, senyum aneh menghias wajahnya. "Tahu
apa yang harus kulakukan" Aku harus memberitahu orangtua Persia
tentang kelakuan gadis kecil mereka."
"Tak akan membantu," balas Rob.
"Kenapa tidak?" tanya Bo.
"Orangtua Persia bekerja untuknya," kata Rob. "Ibunya adalah
sekretarisnya. Ayahnya adalah manajernya."
Senyum Bo memudar. "Baiklah. Ayo, Bung. Biarkan saja
Persia duduk di trailernya. Kita akan memeriksa dapur tanpa dia."
Bo mendorong pintu depan. Kody mengikutinya masuk ke
dalam rumah dengan ratusan kenangan mengerikan menerobos ke
dalam benaknya. Dentaman palu dan lengkingan gergaji mesin menghentikan
lamunan Kody. Para kru ada di ruang duduk, mengatur lampu-lampu,
melukis, menempeli dinding dengan kertas dinding, memindahkan
perabot ke tempatnya"sentuhan-sentuhan terakhir.
Dari pintu depan Kody menatap jendela ruang duduk. Jika
Persia masih berada di dalam trailernya, siapa yang kulihat di jendela
itu" tanya Kody pada diri sendiri.
Ia tak punya waktu untuk memikirkannya. Rob menariknya
kembali ke dapur. Kody menarik napas dan menahannya. Ia berharap akan
dikuasai perasaan ketika memasuki dapur, dengan kenangan yang
akan bangkit. Tapi ruangan itu sudah dibangun kembali"lemari baru,
alat-alat baru, lantai baru, semuanya. Kody lega tidak mendapat
sentakan emosional yang diperkirakannya.
Setelah melangkahi seikat kabel listrik, mereka berjalan ke arah
bak cuci. Mata McCarthy yang kecil dan biru bersinar ketika ia
mendekatinya. "Kurasa ini akan berjalan sangat baik." Ia memegangi
lengan Rob. "Sini. Masukkan tanganmu ke dalam."
"Hah?" Rob menarik tangannya lagi.
"Ia takkan menggigitmu," tegas McCarthy sambil menyeringai
dengan puntung cerutunya yang basah. "Taruh tanganmu ke dalam
saluran ini. Masukkan semuanya. Lalu tarik keluar."
Rob ragu-ragu. Bo memberi isyarat dengan clipboard-nya
dengan tak sabar. "Tunjukkan caranya, Sam. Beri contoh."
McCarthy mengangkat bahu. "Gampang kok. Kau hanya perlu
memasukkan tangan ke dalam saluran ini. Lalu kau berteriak sekeraskerasnya."
"Maksudmu lebih keras dari bunyi mesinnya?" tanya Rob
seraya memandang tajam ke dalam saluran itu.
Bo menggelengkan kepala. "Tak ada bunyi mesin pembuang
kotoran," katanya pada Rob. "Kita akan menambahkan bunyi
gemeretak itu nanti di studio."
"Yeah. Nah, masukkan tanganmu ke dalam," lanjut McCarthy,
"kau akan memasukkan tanganmu ke dalam sarung tangan karet
khusus. Sarung tangan ini dipasang di dalam saluran. Masukkan
tanganmu sampai dalam. Lalu tarik ke luar. Sarung tangan itu
dilengkapi dengan darah, dan jari-jari yang terkoyak. Kelihatan
hebat." "Menjijikkan," gumam Rob.
Kody berdiri di belakang mereka, mencoba mengenyahkan
kenangan-kenangan mengerikan itu. Ini hanya film, ulangnya pada
dirinya sendiri. Ini hanya film.
"Kita perlu air mengalir, kan?" tanya Bo sembari menggosok
dagunya. "Yeah. Ini," sahut McCarthy. Ia mengulurkan tangan dan
memutar keran. Air dingin mengalir ke dalam saluran.
"Sarung tangan itu sedemikian rupa sehingga takkan dipenuhi
air," ia menjelaskan kepada Rob. "Ayo. Cobalah." Ia mendekati
saluran itu. "Sebaiknya kita mencobanya dua atau tiga kali," usul Bo. "Aku
ingin memastikan sarung tangan karet itu tetap di tempatnya."
Rob melangkah ke bak cuci dan menjulurkan tangan sembari
menatap tajam ke dalam saluran.
Kody mendekat untuk melihat dengan lebih baik.
Air bepercikan ke dalam bak cuci.
Rob menurunkan tangannya ke saluran. Lagi-lagi ia merasa
ragu-ragu. Kemudian ia mengangkat tangannya dan menggelengkan
kepala sambil mengerutkan dahi.
Ia menoleh ke arah Bo. "Maafkan aku. Aku hanya merasa
sangat aneh." "Kita perlu latihan," desak Bo dengan tenang. "Ayo.
Cemplungkan tanganmu, Bung."
"Kau mesti merasakan sarung tangan karet itu," McCarthy
menambahkan. "Ayo. Tak ada yang bisa melukaimu di dalam sana."
Rob memandang sekilas pada Kody, pipinya merah muda.
Kody bisa melihat Rob malu karena membesar-besarkan persoalan ini.
Kody berjalan ke sampingnya.
Rob membungkuk di atas bak cuci. Lalu ia menurunkan
tangannya ke arah saluran itu. Turun. Turun.
"Ini dia," katanya pelan.
BAB 5 KODY memandang ke dalam bak cuci.
Air dari keran memerciki tangan Rob. Cahaya terang di atas
kepala memantul di bak alumunium itu sehingga membuat air tampak
berkilau. Sekali lagi Rob bimbang. Ia berdiri tegak. "Aku"aku minta
maaf," ia tergagap seraya menggelengkan kepala. Rambut pirangnya
jatuh menutupi dahi. "Aku merasa kesulitan?"
"Mundurlah, Nak," kata McCarthy lembut. Ia meletakkan
tangan di bahu Rob dan menuntunnya ke belakang. Kody mengikuti.
"Kau tahu apa persoalanmu" Kau telah membaca naskah! Kau tahu
apa yang terjadi!" Semua orang tertawa. Tawa yang tegang.
"Aku mencoba menyuruh para aktorku tidak membaca naskah
sebelum waktunya. Tapi mereka tidak mau mengerti," canda Bo.
"Untuk itukah kau tak mau memberi kami sepuluh halaman
terakhir?" tanya Kody.
Bo menyeringai kepadanya. "Tak seorang pun tahu akhirnya
kecuali aku," katanya pada Kody. "Aku ingin semua orang terkejut."
McCarthy melangkah ke bak cuci piring dan menoleh ke Rob.
"Sekarang perhatikan. Aku akan memberimu contoh sekali. Lalu
kaucoba"oke?" "Trims," sahut Rob, wajahnya memerah. "Maafkan aku karena
bertingkah seperti orang tolol."
"Kita semua akan bertingkah seperti orang tolol sebelum film
ini selesai," Bo meyakinkannya. "Semua orang kecuali aku, tentu
saja." Tawa yang semakin tegang.
Kody dan Rob mendekat untuk mengamati.
McCarthy membungkuk di atas bak cuci. "Lakukan sekali
dalam gerakan yang cepat, seperti ini," katanya pada Rob.
McCarthy mencemplungkan tangan ke dalam saluran.
Kody menjerit kaget ketika ia merasa seseorang mendorongnya
dari belakang sehingga menabrak bak cuci bagian depan.
Teriakannya serta-merta ditenggelamkan suara gemeretak
mesin pembuang kotoran yang mulai menyala.
Suara itu menjadi deruman.
Mulut McCarthy ternganga. Puntung cerutunya jatuh ke dalam
air yang berputar di bak cuci itu.
Air merah yang berputar. Jauh dari dalam tubuh McCarthy meledaklah pekikan yang
hampir tidak manusiawi. Ketika ia mundur menjauh dari bak cuci, lengannya terjulur ke
udara. Sarung tangan karet itu jatuh ke lantai dengan bunyi berkecipak.
McCarthy memegangi pergelangan tangan yang ditahannya di
atas kepala sambil menatapnya dan melolong, meraung seperti hewan
liar. Kody menelan ludah dengan susah payah dan menatap tangan
itu. Darah menyembur ke udara, mengalir di lengan McCarthy.
Merah seperti hamburger mentah, jari-jari McCarthy terpotong
dan telapak tangannya terkoyak.
Tidak! pikir Kody. Tidak"ini tidak terjadi! Tidak terjadi lagi!
Kemudian lolongan McCarthy menenggelamkan seluruh
pikiran lain. BAB 6 "AKU tidak akan bicara panjang-lebar," kata Bo, bersandar
pada kursi dan menyilangkan kakinya. Ia mengusap-usap cambang
pendeknya dengan satu tangan. Matanya yang biasanya hidup dan
intens, sekarang tampak merah di tepinya, letih. Ia mengenakan
kacamata birunya. "Hari yang melelahkan"untuk semua orang,"
katanya pelan. Ia telah memanggil mereka masuk ke dalam trailer yang biasa
digunakannya sebagai kantor. Duduk di antara Rob dan Persia, Kody
memandang sekilas ke luar jendela pada matahari yang sedang
tenggelam, merah di balik siluet gelap pepohonan.
Rob membungkuk ke depan di kursi lipatnya. Ia belum berganti
pakaian. Terdapat percikan darah gelap di bagian depan kemejanya.
Persia menguap dengan keras. Ia memutar-mutar wig pirang di
tangannya. Rambut aslinya yang hitam bergelombang tergerai di
bawah bahunya. "Ketika Bud dan aku melakukan penelitian untuk naskah," Bo
melanjutkan, "tanpa sengaja kami menemukan banyak cerita aneh
tentang jalan ini. Fear Street. Tentu saja, tak satu pun dari cerita-cerita
itu yang benar-benar kami percayai..."
"Cerita-cerita itu benar," gumam Kody. "Aku"satu di
antaranya kualami sendiri."
Rob meremas tangannya. Dilihatnya Persia memutar bola mata
dengan gaya menyebalkan. "Yah, aku tidak yakin apakah aku siap mempercayai ceritacerita itu," kata Bo sembari mengerutkan dahi. "Tapi setelah yang
terjadi pada McCarthy beberapa jam lalu, kupikir kita semua harus
sangat hati-hati." "Ia akan baik-baik saja?" tanya Rob.
Bo mengangkat bahu. "Aku mendapat kabar dari Shadyside
General. Ia beristirahat dengan nyaman. Tapi mereka tak dapat
menyembuhkan tangannya. Ia akan kehilangan semua jarinya." Bo
melepas kacamatanya lagi dan menekan-nekan batang hidungnya.
Rob mengembuskan napas. Kody menelan ludah dengan susah
payah. "Mengerikan sekali," bisik Persia.
Ketika menengadah sekilas, Kody tersadar Bo sedang
menatapnya. "Tadi kau kesandung, atau apa?" tanya Bo.
"Hah?" Kody tidak mengerti.
"Di dapur tadi," katanya pelan. "Kau jatuh dan menabrak mesin
pembuang kotoran hingga hidup. Aku melihatnya."
"Tidak"!" Kody memprotes. "Itu bukan aku. Maksudku..."
Suaranya melemah. "Aku tak tahu apa yang terjadi..."
"Aku tahu kau pasti ngeri," kata Bo. "Kembali lagi ke sini, ke
Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rumah ini dengan segala kisahnya. Tapi kami ada di belakangmu,
Kody. Kami mendukungmu. Kami semua tahu kau akan menjadi
hebat." Ia melemparkan pandangan penuh arti pada Persia.
Persia terus saja memutar-mutar wignya dan berpura-pura tidak
tertarik. "Kuharap kau bisa bertahan," kata Bo pada Kody. "Maksudku,
kau teramat penting untuk produksi ini."
Ia menyalahkanku untuk kecelakaan yang menimpa McCarthy,
Kody menyadari. Ia tak mau jujur dan mengatakannya. Ia tak mau
bilang, "Kau menekan tombol itu sehingga menyalakan mesin
pembuangan dan menghancurkan hidup McCarthy." Sebaliknya, ia
malah bicara sok tua padaku.
"Aku akan berusaha sebaik-baiknya," Kody berjanji dengan
suara rendah. "Aku ingin melakukannya dengan baik, Bo. Aku tahu
kau berupaya keras untuk mengikutsertakan aku."
"Semuanya untuk publisitas," gumam Persia, matanya terarah
pada Rob. Bo membungkuk di kursinya, menyipitkan mata kepada Persia.
"Apa kau bilang?"
Persia terus saja memain-mainkan wig pirangnya. "Kubilang
kau mengikutsertakan Kody untuk publisitas. Kau tahu. Semua
majalah menulis tentang si adik yang bermain dalam film horor
keluarganya sendiri."
Mulut Bo melongo. Pipinya memerah di balik cambangnya.
"Aku mengikutsertakan Kody karena ia aktris berbakat," katanya pada
Persia. Ia mengatakannya dengan lembut, sabar, seakan-akan
menjelaskan sesuatu kepada anak kecil.
"Aku benci wig ini. Begitu murahan," Persia mengeluh.
Gadis itu sengaja mengubah pokok pembicaraan, Kody
menyadari. Persia melontarkan sindiran keji tentang mengapa Kody
disewa. Hanya itu yang ia pedulikan.
"Bicaralah pada bagian kostum," kata Bo padanya.
Persia memegang wig itu di depan Kody. "Kurasa sudah
seharusnya ini murahan." Ia menoleh pada Kody. "Ini harus tampak
seperti kau, bukan?"
Kody membuka mulutnya untuk menjawab dengan pedas.
Tapi Rob memecahkan ketegangan dengan tawa. Ia merangkul
bahu Persia. "Hei, Persia"jangan terlalu ramah begitu. Kau akan
merusak citramu." Persia memasang wajah jijik dan menggeliat keluar dari
rangkulan Rob. "Rob, kau sangat hebat dalam iklan makanan anjing
itu," katanya keji. "Sungguh. Itu pekerjaanmu yang terbaik!"
"Ayolah, guys"!" Bo memohon. "Kita mulai syuting besok.
Kita harus bekerja sama"bukan" Dan omong-omong, kita takkan
melakukan adegan dapur. Akan makan waktu lama untuk bersihbersih di sana. Sebagai gantinya kita akan melakukan beberapa
pengambilan gambar dari jarak dekat. Kalian tahu. Adegan-adegan
reaktif. Di halaman belakang. Hanya untuk pemanasan."
Rob mendesah lega. Cahaya di trailer tiba-tiba memudar. Kody perlu beberapa detik
untuk menyadari sesuatu menghalangi sinar matahari dari jendela. Ia
berpaling dan melihat seraut wajah menatapnya.
"Ohh." Kody memekik perlahan ketika mengenali pria itu.
Ia begitu pucat. Matanya yang hitam bundar menatapnya
dengan tajam. Siapa namanya" Dari mana ia mengenalnya"
"Siapa itu?" teriak Kody.
"Oh. Yeah. Aku harus bicara dengannya," kata Bo sambil
bangkit dari kursinya. Bo harus membungkuk. "Namanya Lurie,
kupikir. Ia bekerja di real estat lokal. Ia menyewakan rumah ini untuk
kita. Sampai nanti, guys. Tidur yang cukup, oke" Aku mau wajahwajah cantik besok."
Ia melewati mereka dan keluar dari trailer.
Lurie. Lurie. Ia kelihatan familier, pikir Kody, sementara rasa takut melilit
perutnya. Diakah pria yang menjual rumah ini pada Daddy dua tahun
lalu" Ia berusaha mengingat-ingat ketika mengikuti Rob dan Persia
ke jalan. Di ujung jalan mobil, kru katering sedang berbenah. Para
pekerja bagian listrik di halaman rumput sedang menutup peti-peti
mereka, menyimpan peralatan, bersiap untuk pergi.
"Itu mobil yang akan mengantar kita ke hotel," kata Rob,
menunjuk. "Kau ikut?"
"Aku punya mobil sendiri," kata Persia padanya. "Selain itu,
aku menyewa rumah. Aku tidak tinggal di hotel."
"Aku ikut," kata Kody.
Tapi Persia menghalangi langkahnya. "Dengar, Kody, aku"
aku"minta maaf atas leluconku," katanya, matanya yang gelap
mengawasi Kody. "Rasa humorku memang payah. Semua orang
bilang begitu. " Ia mengangkat bahu.
"Tidak apa-apa kok," sahut Kody, mencoba tidak
memperlihatkan betapa kagetnya ia de?gan permintaan maaf yang tak
disangka-sangka. "Yah, aku hanya ingin mengatakan satu hal, Kody," Persia
melanjutkan, berbicara dengan suara pelan. "Jika kau sangat ketakutan
dengan semua ini"maksudku, jika kau terlalu takut dan sedih, kurasa
semua orang mengerti jika kau mengundurkan diri dari film ini."
Senyum kejam terbentuk di bibirnya yang penuh.
"Maksudmu berhenti?" teriak Kody dengan marah.
Persia mengangguk, senyumnya melebar.
"Tidak bakalan!" tegas Kody dengan nyaring. "Tidak bakalan,
Persia! Aku akan berakting di film ini entah kau suka atau tidak!"
"Jangan berteriak begitu padaku," bentak Persia angkuh. "Aku
hanya mencoba menyelamatkanmu dari mempermalukan diri sendiri."
"Well, aku tidak butuh bantuanmu!" tukas Kody sambil
mengepalkan tangannya erat-erat.
"Kau perlu segala bantuan yang bisa kaudapatkan!" tandas
Persia. Kody tidak yakin apa yang terjadi kemudian atau bagaimana
perkelahian dimulai. Semua terjadi begitu cepat.
Apakah ia yang mendorong Persia"
Apakah Persia mendorongnya"
Apakah mereka betul-betul saling mencengkeram, bergumul,
saling berusaha merubuhkan"
Tampaknya semua itu ada di luar diri mereka, bagian dari film,
film laga yang kejam. Tapi ada rasa sakit sewaktu Persia menarik
rambut Kody. Dan jantung Kody berdegup kencang, hingga ia susah
bernapas. Kemudian tinju Persia menonjok dengan keras. Sangat keras.
"Persia"hentikan!"
Kody-kah yang memekik seperti itu" "Hentikan! Kau
menyakitiku!" BAB 7 TANGAN yang kuat merenggut bahu Kody dan menariknya ke
belakang. "Whoa!" teriak Bo. "Whoa! Tenang! Whoa!"
Rob melangkah ke depan Persia, menghalanginya dari Kody.
Bo menarik Kody ke dalam bayang-bayang trailer. Dada Kody
naik-turun, terengah-engah. Ia bersandar pada dinding logam.
Bo mendekati Persia dengan bingung. "Soal apa itu tadi?"
tanyanya pelan. Bo selalu tenang, Kody menyadari sambil mencoba
menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Semakin Bo
marah, semakin tenang ia berbicara.
"Hanya untuk masuk ke dalam suasana hati yang pas," sahut
Persia, menyibakkan rambut hitamnya yang lembap dari dahinya.
"Maksudku, aku mencoba mendapat perasaan yang tepat."
"Hah?" Rob melongo dengan tidak percaya. "Maksudmu?""
Bo menggelengkan kepala sambil mengerutkan dahinya pada
Persia. "Kody dan aku adalah saudara kembar yang saling bersaing,
bukan?" ujar Persia sambil merapikan ujung tank top-nya. "Kami
tidak rukun. Jadi aku hanya ingin menyelami karakternya. Aku
mencoba mengalirkan kemarahanku. Kau tahu. Untuk mendapat
semangat bersaing." "Tapi, Persia?" protes Kody.
Persia membuka mata lebar-lebar ketika berpaling pada Kody.
"Hei, kau tidak berpikir aku benar-benar marah, kan" Kau tahu aku
hanya berakting, kan?"
Persia tidak memberi Kody kesempatan untuk menjawab. "Jika
kau tidak bisa bilang aku sedang berakting, kau betul-betul dalam
kondisi payah!" katanya.
Persia sedang berusaha sebisa-bisanya untuk membuatku
tampak jelek di hadapan Bo, Kody menyadari.
Bo mengelus dagu sementara matanya terarah pada Persia.
"Aku menghargai dedikasimu," katanya dengan datar. "Tapi sekarang
sudah terlalu malam untuk latihan, bukan?"
"Terserah," gerutu Persia. "Ciao, semuanya." Ia melambai,
melempar senyum kemenangan pada Kody. Lalu ia berbalik dan
berjalan dengan cepat ke limo putih panjang yang menunggunya di
barisan trailer paling belakang.
"Aku tidak percaya padanya!" ujar Kody, mulai merasa sedikit
lebih normal. "Simpan amarahmu," kata Bo. "Ingat-ingat perasaanmu
sekarang. Simpan sampai saat kita syuting nanti. Kau
memerlukannya." Sambil menggeleng, ia buru-buru ke halaman
rumput untuk berbicara pada kru tata suara.
"Kau tak apa-apa?" tanya Rob, raut wajahnya tampak prihatin.
"Yeah. Kurasa," sahut Kody dengan gemetar. "Persia mengira
ia bisa lolos begitu saja, ya!"
"Dia mungkin bisa," sahut Rob serius. "Siap pergi ke hotelmu?"
Ia menunjuk mobil hitam yang menunggu di seberang jalan.
"Kau tahu" Aku ingin menenangkan diri di trailerku sejenak,"
balas Kody. "Sampai napasku kembali normal. Kirim saja mobilnya
ke sini untukku"oke?"
Ia dapat melihat kekecewaan di wajah Rob.
Kurasa ia menyukaiku, pikir Kody. Pikiran itu membuatnya
senang. Tapi lalu ia berkata pada diri sendiri: Rob sepertinya menyukai
setiap orang. Ia pria yang ramah, hangat, dan supel.
Jangan punya pikiran macam-macam, Kody mengomeli diri
sendiri. Rob besar di Beverly Hills. Ia dikelilingi bintang-bintang film
dan TV sepanjang hidupnya.
Kenapa ia harus tertarik padaku"
Tapi kemudian, membuat Kody terkejut, Rob mencondongkan
tubuh, memeluk bahu Kody, dan menciumnya.
Ciuman panjang. Ciuman lapar.
Kody begitu kaget, mula-mula ia hanya berdiri di sana. Tapi
kemudian ia membalas ciuman dengan bergairah, menggerakkan
mulutnya di atas mulut Rob.
Rob berpaling dengan cepat, menyudahi ciuman itu, lalu
menuju mobil dengan langkah cepat yang panjang. "Aku akan berada
di kamarku nanti," serunya. "Kalau kau mau meneleponku."
Kody mengawasinya naik ke tempat duduk belakang. Rob
melambai singkat ketika sopir menjalankan mobilnya.
Kody memejamkan mata. Ia masih dapat merasakan bibir Rob
di bibirnya. Apakah ia betul-betul menyukaiku" tanyanya dalam hati.
Atau ia hanya berakting" Seperti Persia. Mencoba menyelami
karakter. Rob hanya aktor. Mereka semua aktor.
Ia menyadari ia tidak berpikir jernih. Ini hari yang
menyedihkan, melelahkan, mengerikan"hari yang sarat emosi susulmenyusul.
Ia menaiki tiga anak tangga pendek dan mendorong pintu
trailer. Matahari sudah rendah di balik pepohonan. Ia melangkah ke
dalam kegelapan, menutup pintu di belakangnya, dan berjalan tanpa
melihat apa pun ke sofa rendah yang rapat dengan dinding.
Kegelapan. Kegelapan yang sepi dan dingin, pikirnya.
Ia berbaring dan meregangkan tubuh di sofa yang asing. Kulit
sofa itu terasa dingin pada kulitnya. Udara di dalam trailer berbau
apak. Ia mengangkat lengan menutupi matanya, mencari kegelapan
total. Mungkin seharusnya aku kembali ke hotel, pikirnya. Tapi aku
perlu beberapa menit sendirian. Beberapa menit untuk mengembalikan
napas. Untuk berpikir. Ia membayangkan Persia. Mata Persia yang mengejek. Senyum
kejamnya. Bagaimana aku menghadapinya" Bagaimana" tanya Kody
dalam hati. Aku tak bisa tak mengacuhkannya. Kami akan bekerja sama
berminggu-minggu. Adegan bersama kami begitu banyak.
Aku tak bisa bersaing dengannya. Tak mungkin aku bisa
sepedas dan setajam dia. Dan aku tidak mau seperti itu.
Aku tak bisa bersaing dengannya. Tapi dapatkah aku bergaul
dengannya" Dengan segala pikiran kacau melintas di otaknya, Kody
tenggelam dalam tidur yang tidak nyenyak.
Ketukan di pintu membangunkannya.
Pada mulanya, dalam kegelapan, ia tak tahu di mana ia berada.
Kesejukan kulit sofa di bawah tangannya membuatnya teringat.
Kapan aku jatuh tertidur" dalam hati ia bertanya. Berapa lama
aku tertidur" Kemejanya lengket di punggung. Tenggorokannya kering dan
pedih. Ia mengulurkan tangan, berusaha menemukan sakelar lampu.
Tapi ia menurunkan tangannya ketika mendengar ketukan-ketukan.
Tiga ketukan pelan dan pendek.
Tok tok tok. Berhenti sejenak. Lalu tiga lagi.
Tok tok tok. "Tidak!" ia berbisik tertahan.
Ketukan pelan di pintu trailer membuat punggungnya
merinding. Ia melompat berdiri. Aku ingat ketukan-ketukan itu.
Ya, aku ingat. Ketukan-ketukan hantu.
Berdiri kaku dalam kegelapan trailer sempit, Kody membeku.
Tok tok tok. Bunyi yang sama dengan ketukan Kody pada pintu kamar
Cally. Dua tahun lalu. Kody berpura-pura menjadi hantu. Tengah
malam ia mengetuk dengan pelan seperti itu di pintu kamar
saudaranya. Tiga ketukan pelan, lalu tiga lagi.
Tapi kini Cally sudah meninggal. Dan Kody berdiri membeku
di trailer yang gelap dan asing, lehernya merinding ketakutan, kulitnya
dingin, jantungnya berdegup, ia mendengarkan"mendengarkan
ketukan-ketukan pelan yang sama.
Mengingat-ingat. Mendengarkan.
Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cally"apakah itu kau?"
Tok tok tok. Kody melompat ke pintu. Mendorongnya dengan kedua tangan.
Dan memandang ke luar. BAB 8 TAK ada seorang pun di sana.
Kody memandang ke halaman depan rumahnya yang lama.
Tak ada siapa-siapa. Para pekerja sudah pergi.
"Cally"apa kau di sini?" bisik Kody. "Kaukah yang mengetuk
pintuku?" Hening. Di suatu tempat di sepanjang jalan itu terdengar tangis bayi.
Kody melihat sorotan cahaya kuning bergerak cepat di dekat
rumah. Cahaya lampu senter dari salah seorang penjaga malam.
Sorotan lampu itu bermain-main di atas semak-semak pada dinding
depan, lalu lenyap di samping rumah.
Tanpa menyadarinya, Kody keluar dan berjalan sampai
halaman. Ia melihat rumah itu, yang tampak gelap pada langit malam
yang ungu. Dua jendela atas memandang ke bawah ke arahnya seperti
mata"mata tak berperasaan dan dingin. Itu kamarku, ia ingat. Dan
kamar Cally di sebelahnya.
Kody menelan dengan susah payah. Ia sangat merindukan
kakaknya. Ia bergerak mendekat, seakan-akan ditarik ke rumah itu.
Ditarik kembali pada kenangan-kenangan itu.
Rumput basah melekat di sepatu karetnya. Embun sudah turun.
Di suatu tempat di jalan itu si bayi terus menangis. Lolongan
pendek yang melengking. Kody berjingkat di atas kabel-kabel dan mengitari peti-peti
logam tempat menyimpan peralatan, lalu berjalan ke jendela di
sebelah pintu depan. Di sinilah aku, berdiri di tempat ini lagi.
Memandang ke dalam rumah ini. Ke dalam ruang duduk yang
gelap. Seberkas cahaya redup di belakang.
Ia mengerjapkan mata. Sekali. Dua kali.
Apakah itu hanya imajinasiku" Mataku mengelabuiku"
Tidak. Cahaya pucat menerobos ke dalam lorong, menciptakan
bayangan panjang di atas karpet.
Seseorang meninggalkan lampu dapur menyala, Kody tersadar.
Barangkali mereka masih bekerja di sana. Barangkali mereka masih
bersih-bersih. Sekali lagi ia membayangkan Sam McCarthy memegang
tangannya. Darah membanjiri lengannya. Jari-jari yang terkoyak tak
bernyawa. Apakah mereka sedang bekerja di dapur"
Atau Cally, apakah itu kau"
Cally. Cally. Cally. Cally, kaulah alasan sebenarnya aku kembali, pikir Kody
sembari bergerak ke pintu depan.
Mendorong pintu terbuka. Melangkah ke lorong masuk yang
sempit. Cally, aku berjanji akan kembali untuk menjumpaimu. Aku
melihatmu pada hari kami pergi, mengawasi dengan sedih dari
jendela. Aku melihatmu, Cally.
Dan sekarang aku kembali untuk menepati janjiku.
Kau di sini, Cally" Itukah cahayamu di dalam dapur"
Apakah kau berada di rumah ini dua tahun terakhir, menunggu,
menungguku" Pikiran sinting, Kody tahu itu. Pikiran gila yang mengerikan.
Tapi di sinilah dia. Berjalan dengan tenang melewati gang
belakang. Menuju cahaya. Cahaya pucat dari dapur.
Dan kini, di sinilah ia berada di pintu masuk dapur.
Memandang sosok yang membungkuk di atas bak cuci.
Menatapnya dengan kaget. Menutup mulutnya agar tidak menjerit.
BAB 9 KODY masuk kembali ke tempat gelap. Ia tidak mau terlihat.
Apakah itu benar-benar Mrs. Nordstrom" tanyanya dalam hati.
Apakah itu betul-betul pengurus rumah tangga kami yang lama
sedang menggosok bak cuci"
Sambil tetap berdiri dekat dinding, dengan hati-hati Kody
melongok ke dapur. Wanita tua itu memunggungi Kody sambil
membungkuk di atas bak cuci, menggosok dengan sekuat tenaga. Tapi
Kody mengenalinya. Apa yang dilakukannya di rumah ini setelah semua orang sudah
pergi" Apakah ia masih datang ke sini setiap hari" Apakah ia masih
bekerja di sini" "Mrs. Nordstrom!" seru Kody sambil buru-buru melintasi
dapur. Pengurus rumah yang sudah tua itu berbalik dari bak cuci,
mulutnya menganga kaget. Ia menyipitkan mata dari seberang ruangan. "Cally"itu kau?"
Kody berhenti di tengah ruangan. "Bukan, ini Kody. Aku
Kody." Mrs. Nordstrom menyeka tangannya dengan handuk basah.
Dengan tangan yang masih menetes, ia maju dan merangkum Kody
dengan pelukan basah dan singkat. "Kejutan, Nak. Sudah begitu lama!
Bagaimana keluargamu?"
"Baik," sahut Kody. "Maksudku, lebih baik. Mereka sekarang
tinggal di Los Angeles. Mereka"yah"kau tahu, Mrs. Nordstrom."
Wanita tua itu berdecak-decak. "Begitu banyak kesedihan,"
gumamnya. "Keluarga yang pindah kemari setelah kau. Begitu banyak
kesedihan untuk mereka juga. Anak laki-laki itu seumurmu. Brandt. Ia
mati juga." Ia menggeleng-gelengkan kepala. "Sangat menyedihkan."
Kody bergidik. "Kau masih tampak sama, Mrs. Nordstrom.
Kupikir lebih baik kubiarkan kau kembali bekerja."
"Aku sedang membersihkan darah," ujar Mrs. Nordstrom sedih.
"Susah sekali menyikatnya." Ia berbalik lagi ke bak cuci. "Datang
temui aku lagi"oke, Nak?"
"Oke," jawab Kody pelan. Ia mundur sembari mengawasi
pengurus rumah itu, yang bersenandung sendiri ketika menyikat noda
darah gelap di bak cuci. Kody kembali ke kegelapan gang yang tenang. Lalu berbalik ke
ruang duduk. Sembari melangkahi kabel-kabel listrik, ia menunggu
matanya untuk menyesuaikan diri dalam kegelapan.
Perabot itu semuanya aneh. Semuanya baru. Para perancang tata
letak telah membeli semua perabotan dari Los Angeles.
Kody mengayunkan langkah ke dalam ruangan, menelusurkan
tangan di atas sofa beludru pendek sambil mengelilingi kotak
penyimpanan barang. "Cally"apakah kau di sini?" Kata-kata itu meluncur dari
mulutnya sewaktu matanya mengamati ruangan yang gelap. "Cally.
Ini aku. Aku kembali untukmu."
Ia berdiri kaku di tengah ruangan dan menunggu.
Menunggu apa" Bisikan jawaban" Tawa" Embusan angin yang mengatakan
bahwa saudaranya ada di sini bersamanya"
"Cally" Aku tahu kau dapat mendengarku," ujar Kody sambil
mengeraskan suara, lambat dan mantap. "Aku tahu kau masih di
dalam rumah ini, Cally."
Kemudian ia dapat merasakannya.
Kody terengah ketika perasaan itu menyapunya. Hanya hawa
dingin pada mulanya. Ia menggigil.
Kehadiran yang kuat dalam ruangan.
"Kau di sini! Aku tahu!" bisiknya dengan bersemangat,
merasakan jantungnya berdentam-dentam.
Sesuatu itu makin mendekat. Perasaan itu bertambah kuat.
"Aku dapat merasakanmu, Cally!" teriak Kody. "Aku tahu kau
di sini bersamaku. Aku" aku tahu!"
Darah berdenyut di pelipis Kody. Denging di telinganya makin
keras ketika ia berusaha menyimak, mendengarkan tanda, bisikan,
desahan yang menunjukkan kehadiran Cally.
"Cally"kau di sini. Aku tahu kau di sini."
Sebelum ia berbalik, tangan pucat saudaranya menyentuh bahu
Kody dan mulai mencengkeram kuat.
BAB 10 "CALLY?" Kody berpaling ketika tangan itu mengendurkan
genggamannya. Dan memandang ke cahaya yang menyilaukan.
Yang memegangnya tadi bukan saudaranya yang sudah mati.
"Apa yang sedang kaulakukan di sini, Nona" Bagaimana kau
bisa masuk ?" Penjaga keamanan, seorang pria setengah baya yang
tampak kejam dengan wajah seperti anjing bulldog memberengut
kepadanya. Ia menyinarkan senter ke arahnya, sorotan tajam.
"Aku"aku"pintunya terbuka," Kody tergagap. Ia mengangkat
kedua tangan untuk menudungi mata dari lampu yang terang.
"Tapi kenapa kau di sini?" penjaga itu bertanya dengan tak
sabar. "Aku hanya masuk," ucap Kody tanpa pikir. "Maksudku, aku
pernah tinggal di sini, dan" aku bermain di film"dan?"
"Kau si adik!" seru penjaga itu dengan senang. Ia menurunkan
senternya. "Kau si adik itu, kan" Aku membaca semua tentangmu.
Artikel panjang. Di majalah People."
"Yeah. Aku si adik," sahut Kody dengan lemah. Tadinya ia
begitu yakin Cally ada di dekatnya. Ia merasakan energi itu. Begitu
banyak energi di udara, di ruangan"di mana-mana.
Tapi sekarang energi itu lenyap. Kody merasa terkuras. Lunglai.
"Semua orang sudah pergi, Nona," kata penjaga itu. "Hanya ada
wanita tukang bersih-bersih di sini."
"Aku harus pergi juga," kata Kody, berbalik menuju pintu
masuk. "Maaf kalau aku mengagetkanmu."
"Tak apa-apa," kata penjaga itu sambil mengelus hidung
peseknya dengan ujung bawah senter. "Setidaknya kau bukan maling.
Atau perampok. Jika ya, aku pasti sudah menembakmu!" Ia
mengeluarkan tawa aneh yang hampir tak terdengar.
"Nah, selamat malam," ujar Kody, tak sabar untuk pergi.
Ia hampir mencapai pintu depan ketika penjaga itu
memanggilnya. "Satu hal lagi, Nona," katanya, bergegas melewati
ruangan menuju ke arahnya.
"Ya?" "Bolehkah aku minta tanda tanganmu?" tanyanya malu-malu.
Kemudian ia menambahkan, "Ini untuk keponakanku."
"Aku mau mencoba mengambil dari jarak dekat dulu," Kody
mendengar Bo berkata kepada asisten sutradara. Kody buru-buru
melintasi halaman rumput belakang, merasa gugup, bersemangat, serta
tak sabar untuk mulai. Ia melewatkan hampir satu jam dengan gadis penata rias.
Rambutnya terasa berat karena penyemprot rambut. Dan bedak riasan
membuat wajahnya gatal. Sambil melambai pada Rob yang berdiri di sebelah Bo, Kody
berjalan melewati para kru. Mereka berlari kian-kemari, memastikan
semuanya siap untuk pengambilan gambar pagi hari.
Hampir jam tujuh. Matahari jingga masih rendah di langit yang
cerah. Udara pagi terasa dingin.
"Aku siap!" teriak Kody dengan terengah-engah pada Bo.
Bo tidak mendengarnya. Ia sedang sibuk bicara kepada Ken,
kepala penata teknik, sambil membuat gerakan isyarat dengan
clipboard-nya, menepuk-nepuk punggung Ken dengan tangannya
yang lain. "Kau gugup?" tanya Rob seraya berjalan mendekati Kody,
begitu dekat sampai-sampai Kody bisa mencium aftershave-nya. Rob
mengenakan kaus polo putih dan jeans denim lurus warna hitam.
"Kau memakai riasan lebih banyak daripada aku!" ucap Kody
sekenanya. Rob tertawa. "Itulah dunia pertunjukan!"
"Aku benci kau tampak lebih keren daripada aku!" seru Kody.
Ia segera menyesalinya. Rob tampak malu.
Kody memaksakan tawa. "Sori. Kurasa aku memang sedikit
gugup. Aku tak tahu apa yang kukatakan."
Rob meremas tangannya dengan lembut. Tangan Rob hangat,
sedangkan tangannya sendiri dingin dan lembap. "Kau akan baik-baik
saja. Kita hanya mengambil gambar adegan-adegan reaktif," katanya
kepada Kody. "Kau tak perlu mengucapkan sebaris kalimat pun hari
ini." "Berdiri di belakang. Aku ingin mengetes kamera boom."
Dengan lembut Bo mendorong Kody dan Rob. "Hei, kau tampak
hebat, Kody. Merasa baikan?" Ia buru-buru mengatakan sesuatu
kepada Ken sebelum Kody dapat menjawab.
Kody berpaling kembali ke Rob. "Kenapa kamera itu dinaikkan
begitu tinggi?" "Bo ingin melakukan pengambilan gambar horor dalam jarak
yang dekat sekali," Rob menjelaskan sambil mengusir seekor lalat dari
kemejanya. "Kau tahu. Mereka melakukannya dalam setiap film
horor. Kau menjerit sekeras-kerasnya, dan kamera bergerak mendekati
wajahmu." "Jadi kamera itu meluncur turun dari tiang itu?" tanya Kody
sambil mendongak ke arah kamera.
"Yah. Tiang itu disebut boom," ujar Rob padanya.
Kody menyeringai. "Kau tahu segalanya, ya?" godanya.
"Lumayan," sahut Rob sambil tersenyum kembali.
Kody berpikir Rob bisa saja menunduk dan menciumnya tepat
di sini, di depan semua orang. ?B?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Tapi Bo menyela, menyerbu di antara mereka. "Di mana
Persia?" tanyanya entah pada siapa. Ia menulis tergesa-gesa di atas
clipboard. "Kau melihat Persia" Ia muncul duluan."
"Aku lihat limonya datang," sahut Rob.
"Jadi di mana dia?" tanya Bo sambil mencari-cari di kebun
belakang. "Masih dirias," seorang kru berteriak.
"Apakah ada pemeran pengganti?" tanya Bo tak sabar. "Aku
ingin mengetes kamera."
Kody melihat seorang gadis yang mengenakan Tshirt biru tak
berlengan dan celana pendek Lycra biru terang melangkah maju.
Tubuhnya seukuran dengan Persia, dengan rambut cokelat pendek dan
ekspresi wajah tegang dan datar.
"Kau mengerjakan pencahayaan" Haruskah aku memakai wig?"
tanyanya pada Bo. "Tidak. Ambil posisi saja," kata Bo padanya. "Siapa namamu,
Say?" "Joanna," sahutnya, berjalan ke samping Bo.
"Kau tidak kedinginan berpakaian seperti itu?" tanya Bo.
Joanna mengangguk. "Kupikir hari akan hangat. Tapi tak ada
cukup matahari di belakang sini. Di sini sangat gelap."
Bo meletakkan tangan di bahu gadis itu dan menuntunnya ke
Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
posisi di bawah tiang. "Jangan bergerak. Sempurna. Lihat ke kamera."
"Kau ingin aku menjerit atau apa?" tanya Joanna. Bo berbalik
untuk mengatakan sesuatu pada petugas kamera, seorang laki-laki
berperawakan kurus dengan rambut panjang lurus dan kumis hitam.
Joanna bersedekap dan menunggu.
"Tidak. Berdiri saja," kata Bo padanya, matanya tetap tertuju
pada kertas-kertas di clipboard. "Biar Persia yang menjerit"jika ia
akan pernah keluar dari ruang rias."
Rob mencondongkan tubuh ke Kody dan berbisik, "Aku tak
percaya Persia terlambat pada hari pertama."
"Aku sih percaya," sahut Kody dengan datar.
Mereka mundur beberapa langkah ketika anggota kru bersiap
untuk tes kamera. Kody memandang sekilas dengan cepat ke sekitar
kebun belakang. Setidaknya dua puluh anggota kru mondar-mandir,
ada yang berbicara, ada yang memindahkan kabel-kabel, mengecek
peralatan, atau menunggu instruksi Bo selanjutnya.
"Oke, kita coba sekarang," teriak Bo keras.
Para kru langsung menjadi tenang.
Bo meletakkan satu tangan di atas bahu Joanna dan memberi
isyarat ke kamera dengan clipboard. "Kamera bom itu akan meluncur
turun ke arahmu," katanya. "Pelan pada mulanya, kemudian
bertambah cepat. Kamera itu akan berhenti tepat di sini." Bo menahan
tangannya sejengkal dari wajah Joanna.
"Haruskah aku menghadap ke kamera seperti ini?" tanyanya
sambil mendongak ke arah kamera hitam berat yang bertengger sangat
tinggi. "Yeah. Bagus," ujar Bo sembari menepuk-nepuk bahu gadis itu.
"Kau bisa mencoba menjerit kalau mau. Mungkin latihan yang bagus."
Bo mengecek jamnya. "Siap, Ernie?"
Lengan Rob merangkul bahu Kody. Mereka berdua bergerak
mendekat untuk melihat lebih jelas.
Ernie, petugas kamera boom, mengacungkan jempol pada Bo.
"Biarkan kamera turun pada hitungan ketiga," Bo
menginstruksikan. Ia menganggukkan kepala pada Joanna. Lalu ia
menghitung pelan-pelan, "Satu"dua"tiga."
Kody melihat Ernie melepaskan tuas.
Joanna mengangkat kedua tangannya ke udara dan menjerit
melengking ketika kamera besar itu mulai meluncur.
Kamera meluncur turun pelan-pelan mulanya, lalu bergerak
makin cepat. Makin cepat.
Jeritan Joanna berhenti mendadak ketika kamera membentur
wajahnya dengan bunyi gemeretak yang menyakitkan.
Lengannya terjulur lurus ke atas.
Seperti semua orang, Kody memandang dengan diam tak
percaya. Untuk beberapa detik Joanna tampak diam di sana, kepalanya
terhantam lensa yang menonjol.
Lalu ia roboh ke tanah, meninggalkan kamera itu basah dengan
darahnya yang merah. BAB 11 KODY menyembunyikan wajahnya di bahu Rob. "Apakah
dia"Rob, apa Joanna?""
Rob tidak menyahut. Teriakan-teriakan panik terdengar di seluruh kebun.
"Panggil ambulans!"
"Jangan gerakkan dia!"
"Apakah dia sadar?"
"Mana telepon" Siapa yang memanggil bantuan?"
"Coba hentikan perdarahan!"
"Matanya! Apakah matanya hancur terhantam kamera?"
Kody membayangkan kamera itu meluncur, meluncur ke bawah
dengan keras ke wajah Joanna. Sekali lagi Kody mendengar benturan
yang memualkan itu. Bunyi berderak itu pasti dari tulang tengkorak
Joanna yang retak. "Ayo ke trailerku," usul Rob dengan tenang, sembari merangkul
Kody. "Kita tak diperlukan di sini."
Ketika Rob menuntunnya menuju rumah, Kody mendengar
Ernie, petugas kamera berteriak kepada Bo. "Semua sekrup pengait
dilonggarkan," seru Ernie dengan gusar. "Bo" pengait itu betul-betul
longgar!" Kody berhenti untuk melihat.
Bo buru-buru menuju kamera boom. Tapi seorang pria dengan
seragam abu-abu maju menghalangi jalan Bo.
Penjaga keamanan itu! Kody mengenali penjaga keamanan
yang tadi malam itu. Ia berbicara cepat dengan Bo"dan menunjuknunjuk Kody.
Bo berpaling dan matanya menyipit pada Kody. "Bisakah kau
kemari sebentar?" teriaknya.
Orang banyak telah berkumpul mengelilingi pemeran pengganti
itu. Mengatasi suara kru yang tercekat dan ngeri, Kody dapat
mendengar raungan sirene semakin keras. Ambulans dalam perjalanan
ke tempat itu. "Haruskah aku menunggumu?" tanya Rob.
Kody menggeleng. Ia buru-buru mendekati Bo.
"Kody, apakah kau kemari semalam sesudah semua orang
pergi?" tanya Bo, matanya mengawasinya.
"Ya, tapi...," gumam Kody bingung.
Kenapa ia menanyaiku" ia bertanya dalam hati, jantungnya
mulai berdegup cepat. "Penjaga itu bilang ia menemukanmu di sini semalam," lanjut
Bo, menatapnya melalui kacamata birunya.
"Ya. Aku ke sini," kata Kody. "Aku berada di rumah, tapi?"
"Kau tidak ke luar ke belakang sini?" tanya Bo.
Kody tiba-tiba tersadar kenapa Bo menanyainya. Ia berpikir aku
tinggal sampai larut untuk melonggarkan sekrup pada kaitan kamera!
"Bo"kau tidak berpikir?" Suaranya tercekat di tenggorokan.
Bo melontarkan desahan tak senang. "Aku tak tahu harus
berpikir apa, Kody. Aku hanya tak dapat percaya ini terjadi. Aku?"
Ia berhenti berbicara ketika beberapa petugas paramedis berlari
melintasi kebun, membawa kotak berisi peralatan. Tiga anggota kru
memandu mereka menuju Joanna.
Sekitar satu meter di belakang Bo, terlihat oleh Kody penjaga
keamanan itu menatapnya dengan pandangan menuduh.
Ini gila! pikir Kody. Benar-benar gila!
Kenapa aku harus mengutak-utik kamera itu"
Kenapa" "Kita bicara lagi nanti," ujar Bo sambil menyeka keringat di
dahinya dengan lengan sweter.
"Mereka menghadapi kemungkinan tuntutan hukum yang
berat," Kody mendengar seseorang berbicara di belakangnya.
"Semoga saja gadis itu hidup," yang lain menambahkan.
Benaknya seperti berputar-putar. Kody berpaling dan berjalan
menuju rumah. Tapi Bo berlari-lari di sampingnya. "Satu pertanyaan lagi," ia
bertanya terengah-engah. "Apakah kau tahu Persia seharusnya muncul
pertama kali di depan kamera pagi ini?"
"Hah?" Kody melongo. "Aku tak mengerti."
"Yah, kau dan Persia bertengkar kemarin malam," sahut Bo,
pipinya memerah. "Lalu penjaga itu memergokimu berkeliaran larut
malam. Aku tak mau percaya kalau kau" yah..." Suaranya melemah.
"Kalau begitu jangan percaya!" tandas Kody. "Ini sangat
mengerikan, Bo! Aku takkan melakukan apa pun seperti itu. Aku
bahkan tak tahu bagaimana caranya! Aku"aku tak tahu apa-apa
tentang kamera!" "Oke, oke." Bo menepuk bahunya. "Aku keterlaluan. Aku minta
maaf. Aku terpukul. Maksudku, aku benar-benar bingung. Maafkan
aku. Sungguh." Seorang anggota kru memanggil Bo dengan panik. Bo
melambai pada Kody, lalu buru-buru pergi.
Dengan pusing Kody berjalan perlahan menuju rumah.
Aku harus pergi dari sini, pikirnya.
Ia membayangkan kamera itu meluncur turun, mendengar bunyi
berderak mengerikan ketika kamera menghantam wajah Joanna.
Bagaimana mungkin Bo menuduhku" tanya Kody pada dirinya
sendiri, kemarahannya bertambah.
Jadi kenapa kalau Persia dan aku punya persoalan" Apakah itu
menjadikanku seorang pembunuh"
Bagaimana mungkin ia berpikir aku telah melonggarkan sekrup
pada pengait kamera agar menghantam Persia"
Bagaimana dia bisa menuduhku seperti itu"
Tanpa sadar, Kody masuk rumah lewat pintu belakang dan
berada di dapur. Ia menggoyangkan kepala kuat-kuat, seakan mencoba
mengenyahkan pikiran-pikiran marahnya, lalu memandang sekeliling.
Ia setengah berharap melihat Mrs. Nordstrom membungkuk di
atas bak cuci sambil membersihkan. Tapi dapur itu kosong.
Melalui jendela Kody memperhatikan petugas paramedis
tergesa-gesa menuju jalan. Mereka membaringkan Joanna pada
usungan, ditutupi selimut tebal dalam kehangatan pagi. Lengan Joanna
dilipat di atas selimut. Wajahnya tertutup perban bermandikan darah.
Apakah ia masih hidup" Kody bertanya-tanya dengan ngeri.
Apakah ia akan hidup"
Dengan segera ia menyingkir dari jendela, menelan ludah
dengan susah payah, mencoba menekan rasa mualnya.
Tenggorokannya terasa kering dan perih.
Ia memejamkan mata dan mencengkeram pinggiran meja dapur,
berusaha menguatkan diri, menenangkan jantung yang berdebar cepat.
"Apakah kau tahu Persia akan muncul pertama?"
Pertanyaan Bo terngiang-ngiang di telinganya.
Kody membuka matanya. Di manakah Persia" ia bertanya-tanya
dalam hati. Bagaimana mungkin Persia tidak memedulikan semua
jeritan dan teriakan yang menyertai kejadian itu"
Kecelakaan. Kata itu melekat di benaknya.
Kecelakaan. Ini pasti kecelakaan, bukan"
Lalu ia mendapat jawaban yang mengerikan. Bukan. Tak ada
kata kecelakaan di Fear Street 99. Tak ada kecelakaan di rumah ini.
Hanya kejahatan. Kejahatan yang sengaja.
Dengan terisak tertahan, Kody menjauh dari meja. Ia
melangkah gemetar melintasi dapur, kemudian memperhatikan berkas
cahaya sempit di lantai linoleum.
Matanya menengadah dari lantai dan melihat pintu kulkas
setengah terbuka. Cahaya kuning persegi panjang memberkas keluar
dari dalam. Aneh, pikir Kody. Peralatan di dapur ini semuanya untuk film. Kenapa kulkas ini
dinyalakan" Ia melintasi ruangan, menyentuh pegangan pintu dan mulai
mendorongnya menutup. Tapi keingintahuan mendorongnya untuk
mengintip ke dalam. Kody memandang ke dalam cahaya keemasan itu, dan melihat
rak-rak kosong. Benda di bagian belakang rak paling atas membuatnya
terkesiap. Kepala manusia. Berambut pirang. Bermulut hijau, hijau seperti jamur roti,
senyumnya sinis. Mata biru menatap kosong pada Kody.
Kody mengenali wajah itu tiba-tiba.
Cally. Kepala Cally! BAB 12 JERIT ketakutan Kody membuat orang-orang berlari
mendatangi. Ia mendengar pintu belakang terbuka. Mendengar langkahlangkah berat di lantai. Mendengar pekik terkejut.
Lalu Kody merasakan tangan Bo yang lembut dan kuat
menariknya menjauh dari kulkas terbuka yang mengeluarkan cahaya
kuning tajam. "Kody"ada apa?" tanyanya pelan. "Apa yang membuatmu
takut?" Seorang wanita muda berambut merah" salah seorang asistan
Bo"mengangkat kepala itu dari kulkas. Ia memeganginya dengan
kedua tangan, mengangkatnya. "Inikah yang membuatmu takut?"
Kody mengangguk, memalingkan kepala sehingga ia tak usah
menatap ke dalam mata biru itu.
"Kami menaruhnya di dalam sana agar keras," kata Bo padanya,
tetap memegangi bahunya yang gemetar. "Ini hanya model, Kody.
Bagian perlengkapan memasukkannya pagi ini."
"Kenapa sih dia?" Kody mendengar seseorang berbisik di dekat
pintu. "Apa dia pikir itu kepala betulan?" orang lain bertanya dengan
berbisik. "Kau mengalami pagi yang tidak menyenangkan," kata Bo pada
Kody. Ia memberi isyarat pada yang lain untuk pergi. Asisten itu
meletakkan kembali kepala tersebut di rak dan menutup pintu kulkas.
Ketika semua orang meninggalkan ruangan, Bo berpaling
kembali pada Kody. "Kita semua dibikin sinting"oleh apa yang tadi
terjadi. Kita semua gugup. Kita semua merasa kacau pagi ini. Tapi
kita tak boleh keterusan," kata Bo sambil menatapnya dalam-dalam.
"Ada film yang harus kubuat, dan aku akan menyelesaikannya, Kody.
Bagaimanapun juga, aku akan mengusahakan film selesai dibuat."
"Tapi"kepala itu tampak seperti asli," bisik Kody lemah. "Aku
kembali ke sini untuk bertemu kakakku. Dan"dia di sana. Dan?"
Bo mengamati Kody sejenak. "Kody, aku ingin kau pergi
berbaring di trailermu."
"Tapi, Bo"!" Kody mulai memprotes.
Bo mengangkat tangan memotongnya. "Aku khawatir kau
terguncang karena kembali ke rumah ini," ujarnya, bicara dengan nada
yang pelan menyejukkan. "Soal kepala itu dan kecelakaan pagi ini..."
Bo berbalik dan membuka pintu kulkas. Ia meraih ke rak dan
mengambil kepala itu, meratakan rambut pirang di bagian belakang
kepala. Sekali lagi Kody memandang bibir hijau yang menjijikkan dan
mata biru yang tak bernyawa.
"Ini bukan kepala asli. Ini hanya model, Kody," kata Bo, bicara
sangat pelan, seakan-akan memberi instruksi pada anak berusia dua
tahun. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi. "Lihat?"
Kody mengangguk. "Kumohon," pinta Bo seraya memasukkan kepala itu kembali
ke dalam kulkas. "Pergi ke trailermu. Oke" Istirahatlah. Kau akan
baik-baik saja. Sungguh."
"Oke," jawab Kody tak pasti.
"Kami memerlukanmu di film ini," kata Bo, matanya
menyelidik. "Aku membutuhkanmu. Dan aku membutuhkanmu siap
dan dalam kondisi bagus. Jadi, coba sungguh-sungguh menenangkan
diri"oke?" "Akan kucoba," kata Kody.
Kody mengikutinya keluar pintu dapur. Bo berjalan ke arah
para kru yang bekerja dengan tekun pada kamera bootn. Kody mulai
menyusuri jalur mobil ke arah jalan.
Ia baru beberapa langkah ketika mendengar kata-kata menghina
Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Persia, yang sengaja berbicara keras-keras supaya Kody bisa
mendengar. "Kurasa Kody tak bisa mengatasi tekanan itu," bual Persia
pada salah satu asistennya. "Bagaimanapun juga, ia bukan artis
profesional." ********** Wah, wah, Kody"begitu ketakutan"
Apakah kepala kecil itu menakutkanmu, si upik yang malang"
Dari jendela ruang duduk, hantu Cally mengawasi Kody
menyusuri jalan mobil ke trailer cokelat panjang yang diparkir di
seberang jalanan. Saudaraku yang malang benar-benar gelisah, pikir Cally dengan
gembira. Kody, apakah melihat kepalaku di dalam kulkas sungguh
membuatmu gelisah" Aku seharusnya mati, kan" Mati dan menghilang. Tidak
seharusnya aku muncul di dapur seperti itu"ya, kan!
Cally mendongakkan kepalanya dalam tawa penuh cemooh.
Kau bilang akan kembali untuk mencariku, Kody. Kau bilang
kau kembali untuk menepati janjimu.
Tapi sewaktu kau sudah menemukanku, apa yang terjadi"
Kau ketakutan"betul, kan, Nak!
Itu karena kau seorang pembohong, Kody. Itu karena kau tidak
benar-benar kembali untuk mencari saudaramu yang sudah mati.
Kau kembali untuk menjadi bintang film.
Beberapa hal yang sudah terjadi bukan awal yang baik, kan"
Gadis cantik terhantam kamera, dan"coba terka, Kody"
Banyak orang di luar sana yang berpikir kaulah yang bertanggung
jawab. Itu karena tak seorang pun curiga hantu dapat melonggarkan
sekrup-sekrup. Aku benar, kan" Tak seorang pun akan mencurigai
hantu. Nah, saudaraku tercinta, berita buruknya adalah pagi ini baru
permulaan. Aku khawatir segala sesuatu dalam filmmu ini tak akan beres,
Kody. Aku khawatir akan banyak terjadi kecelakaan tragis.
Banyak. Memangnya pilihan apa yang kumiliki"
Maksudku, aku tak dapat membiarkanmu menjadi bintang film
besar, kan" Kau berjanji untuk kembali, untuk mencariku.
Nah, mungkin ini saatnya, Kody.
Mungkin ini saat yang tepat. Tak ada waktu seperti saat ini.
Bukankah itu pepatah lama"
Nah, baiklah. Kau dapat menepati janjimu sekarang, Kody.
Ini aku datang. ********** Matahari pagi menyinari atap trailer baja, memanaskannya
seperti kompor. Putus asa untuk mendapatkan udara segar, Kody
membuka jendela dengan memutar engkolnya, tapi hampir tidak ada
angin. Ia menjejalkan diri di belakang meja Formica kecil dan
memandang piring buah dan muffin blueberry yang diambilnya dari
meja katering. Kenapa aku mengambil makanan ini" tanyanya dalam hati. Aku
tak punya selera. Perut Kody terasa mulas. Tenggorokannya masih sakit, kering
dan perih. Ia menenggak air dari botol yang juga diambilnya dari meja
katering. Ia membawa botol air itu ketika merosot ke sofa rendah. Kulit
sofa terasa hangat dan lengket. Seekor lalat berdengung dengan ribut
dan membenturkan tubuh pada kaca jendela.
Mungkin aku harus berhenti, pikirnya sedih, mengangkat
kakinya pada bantal sofa dan menggeliat. Ia menempelkan botol air
dingin ke dahinya yang panas.
Mungkin aku harus berhenti sebelum menjadi sinting, pikir
Kody. Barangkali semua orang mengira aku gila.
Barangkali semua orang mengira aku seorang pembunuh!
Ia mendesah dan memejamkan mata, menutupinya dengan satu
lengan. Aku berpikir sungguh-sungguh perihal bermain di film ini. Aku
bicara dengan Mom dan Dad mengenai hal ini selama berbulanbulan.
Aku begitu yakin telah membuat keputusan yang benar.
Tapi sekarang... Ia mendengar ketukan pada pintu trailer, tetapi tak
mengacuhkannya. Pada mulanya ia berpikir itu cuma bunyi trailer yang berderak.
Tapi kemudian ia mengenali ritme ketukan pelan itu.
Tok tok tok. Hening. Lalu: tok tok tok. Kali ini Kody tidak menunda lagi.
Dengan rasa takut yang mencengkeram setiap ototnya, ia
memaksa diri untuk bangkit.
Dan ketika ketukan terakhir berbunyi, ia menghambur ke pintu
dan mendorongnya membuka.
BAB 13 "ROB!" seru Kody, suaranya menunjukkan kekagetannya.
"Hai." Ia berdiri di anak tangga paling bawah, satu tangannya
pada susuran tangga yang ramping. Sinar matahari yang terang
membuat rambutnya bersinar. Ia mendongak menatap Kody, raut
wajahnya serius. " Rob"kupikir?"
Apa yang kupikirkan" tanya Kody dalam hati. Bahwa yang
mengetuk pintu tadi saudaraku yang sudah mati"
Barangkali aku memang sinting!
"Hanya ingin tahu keadaanmu," ujar Rob.
"Baik, kurasa." Kody mundur, memberi isyarat pada Rob untuk
masuk. Rob menaiki tangga dengan cepat dan menundukkan kepala
ketika memasuki trailer yang sempit. "Pagi yang buruk, ya?"
gumamnya. "Apakah kau mendengar sesuatu tentang Joanna" Apakah
dia?"" Sebelum Rob selesai berbicara, lengan Kody melingkari tubuh
Rob dan ia menekankan mulut pada mulut Rob. "Peluk aku," bisiknya.
"Aku membutuhkanmu untuk memelukku." Lalu Kody menciumnya
lagi. Kody tidak pernah melakukan hal seperti itu dalam hidupnya.
Cally yang selalu berani, yang agresif, yang selalu bertindak.
Kody selalu berdiri di belakang dengan iri dan mengawasi Cally
sementara Cally mendapat segala sesuatu yang diinginkannya.
Tapi kini Kody melakukan sesuatu atas dorongan hati,
bertindak begitu karena ia merasa begitu aneh, begitu ketakutan,
begitu" membutuhkan.
Rob tampak tak keberatan. Ketika Kody duduk di sofa, Rob
menjatuhkan tubuh di sebelahnya, memeluk pinggangnya, dan
menciumnya, menciumnya...
Mereka masih berangkulan ketika pintu terbuka dan sesosok
tubuh melangkah cepat di dalam trailer, sembari berdeham keraskeras.
"Kurasa kalian tak mendengarku mengetuk," kata Persia.
Kody menarik diri lebih dulu. Rob melompat berdiri, mulutnya
menganga lebar. Persia tertawa. "Wah, Kody," ujarnya dingin, "kau sudah belajar
cara untuk sukses di film."
Rob membelalak dengan marah. "Apa persoalanmu, Persia, apa
maumu?" "Bo bilang kita istirahat hari ini. Gadis itu mati," Persia
memberitahu mereka dengan tak acuh. "Polisi ada di seluruh tempat
ini. Menyelidiki." "Maksudmu Joanna?" tanya Kody sambil menelan ludah.
"Aku tidak tahu namanya," sahut Persia. "Oh ya, mobilmu
sudah menunggu kalau kau mau. Ciao." Ia berlalu dan menutup pintu.
Kody berpaling ke Rob. "Itu berita yang mengerikan," bisiknya,
ia merinding ketika memejamkan mata dan membayangkan kamera
itu menghantam wajah Joanna. "Aku tak dapat mempercayainya."
Rob memeluk pinggang Kody erat-erat.
*********** Ketika Kody tiba di Fear Street 99 keesokan paginya, dengan
segera ia tahu segala sesuatunya tidak kembali normal. Dua mobil
hitam-putih polisi diparkir di ujung jalan masuk tempat truk katering
biasa diparkir. Di sana tak ada pekerja produksi yang mondar-mandir,
bersiap-siap untuk syuting pagi hari.
Dengan hati-hati, Kody memasuki rumah dan melangkah ke
dalam ruang duduk. Betapa terkejut dirinya melihat ruangan itu
penuh. "Di sini kau rupanya," Bo memanggilnya. Dengan pakaiannya
yang biasa, sweter dan celana longgar, ia berdiri di depan perapian. Ia
tidak tersenyum. Ia memberi isyarat pada Kody dengan clipboard-nya
untuk bergabung dengan yang lain.
Rob sedang bersandar pada dinding belakang. Kody berjalan ke
arahnya. Rob mengangguk serius. "Bo mengadakan rapat," bisiknya.
Ruangan itu tenang. Orang-orang saling berbisik atau duduk
dan memandang Bo. Tak seorang pun tersenyum atau tertawa.
Setelah beberapa anggota kru mencari tempat di lantai di depan
sofa, Bo berdeham keras-keras dan maju untuk bicara.
"Seperti yang kalian tahu, kita mengalami kecelakaan tragis," ia
memulai bicara. Apakah ia memandang ke arahku" tanya Kody, bersandar dekat
Rob. Sulit melihat mata Bo melalui kacamata birunya.
"Karena kematian Joanna yang aneh," lanjut Rob, "polisi
lokal?" Ia berhenti dan menoleh ke arah pintu masuk. Kody melihat
seorang pria muda berambut gelap dan panjang dengan kumis gelap
melongok ke dalam ruangan. Pria itu membawa kotak peralatan
merah. "Aku akan ke ruang bawah tanah sekarang, Mr. Montgomery,"
kata pria itu pada Bo. "Terima kasih," sahut Bo, mengerutkan dahi karena interupsi
itu. Kody tersentak. Ia mengenali pria itu. "Mr. Hankers!" ia berseru.
Pria itu sudah menghilang dari pintu.
"Pria itu kemari untuk membantu kita dalam masalah tikus," Bo
mengumumkan. "Maksudmu agenku ada di bawah sana?" gurau Persia.
Beberapa orang tertawa kecil. Yang lain berbisik-bisik tak
senang karena tikus-tikus itu.
"Mr. Hankers meyakinkanku masalah itu akan diselesaikan
dengan cepat," tutur Bo. "Tapi sampai ia menyelesaikan pekerjaannya,
aku memberi nasihat pada semua anggota kru untuk berhati-hati jika
turun ke bawah." "Kau tidak apa-apa?" bisik Rob pada Kody, air mukanya penuh
keprihatinan. Kody mengangguk. "Aku"aku mengenali pria itu," ia
menjelaskan. "Ia bekerja untuk kami. Kami dulu punya masalah
dengan tikus juga." Rob mengangguk. "Aku tidak akan turun ke ruang bawah
tanah," bisiknya. "Aku benci tikus."
Bo terus berbicara, menekankan clipboard di pinggang, dan
membuat gerak isyarat dengan tangannya yang bebas.
Tapi Kody tidak mendengar kata-katanya. Ia memikirkan Mr.
Hankers. Dia orang yang disewa ayahnya untuk menyelesaikan
masalah tikus dua tahun yang lalu. Betapa anehnya bertemu dia lagi.
Betapa anehnya melihat Mr. Hankers dan Mrs. Nordstrom
masih bekerja di rumah ini dua tahun kemudian. Seakan-akan waktu
diam di tempat. Apakah mereka tidak takut datang ke sini" Kody bertanya
dalam hati. Setelah semua yang terjadi di rumah ini, apakah mereka tidak
takut untuk masuk" Apakah Cally masih di sini juga"
Akankah aku menemukannya"
Kody percaya pada hantu. Seluruh keluarganya selalu
mengoloknya. Tapi setelah kematian Cally, Kody ingin percaya lebih
dari sebelumnya. Ia ingin hantu Cally berada di rumah ini.
Ia ingin menemukan Cally, berbicara untuk terakhir kali
dengannya. Kody ingin Cally tahu bahwa ia menepati janji.
Apakah kau di sini, Cally" pikir Kody sambil memandang
sekeliling ruang duduk suram yang berjubel itu.
Apakah kau di sini mengawasi kami"
Jika ya, biarkan aku tahu.
Tolong... Tangan yang lembut di atas bahu Kody membuatnya terlompat.
BAB 14 "BAGAIMANA keadaanmu?" tanya Bo. Lalu ia melihat Kody
terlompat. "Sori, Kody. Aku tak bermaksud mengejutkanmu." Ia tetap
meletakkan tangan di bahu Kody. Aku tak percaya betapa tegangnya
dia, pikir Bo. "Sori. Aku hanya memikirkan tentang" macam-macam hal,"
kata Kody. Bo ingin menenangkan Kody. Ia merasa bersalah atas
tindakannya menuduh Kody kemarin. Bo tahu ia harus
menenangkannya supaya film bisa diteruskan.
Film ini harus dilanjutkan"tak peduli berapa banyak
kecelakaan aneh menghambat proses pekerjaan ini, Bo berjanji pada
dirinya sendiri. "Kita semua sangat sedih," kata Bo. "Aku memperhatikanmu
ketika sedang bicara. Sepertinya kau tidak mendengar sepatah kata
pun yang kuucapkan."
Ia memperhatikan pipi Kody memerah karena merasa bersalah.
Ia mengalami masa yang sulit.
"Kupikir kita akan merasa baikan kalau polisi menyelesaikan
penyelidikan mereka dan kita mulai syuting lagi," tutur Bo kepadanya
dan Rob. "Kuharap kita bisa mulai besok pagi."
Ia menepuk punggung Rob. "Aku ingin mengambil adegan
loteng dulu. Kau tahu. Kau dan Kody terjebak di cairan hijau. Kau
bisa membaca ulang naskah hari ini, karena kita tidak ada syuting."
"Tak banyak yang perlu dibaca," jawab Rob. "Sebagian besar
Kody dan aku cuma berteriak-teriak."
"Aku ingin mengatur masalah blocking dulu," kata Bo pada
Rob, sambil menulis tergesa-gesa di clipboard-nya. "Aku punya
beberapa ide untuk sudut pengambilan kamera agar lebih menarik."
"Kenapa kita syuting cairan hijau di loteng" Dan kenapa Rob
juga ada dalam adegan ini?" tanya Kody sambil menyipitkan mata
pada Bo. "Sebenarnya hanya ada Cally dan aku. Kami berada di
kamar mandi sewaktu cairan hijau itu keluar dari keran."
"Aku tahu," sahut Bo. "Tapi kamar mandi terlalu sempit.
Loteng pasti akan lebih dramatis."
Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Setidaknya kita berada di atas," kata Rob sambil tersenyum.
"Sejauh mungkin dari ruang bawah tanah." Ia merasa ngeri. "Aku
sangat benci tikus."
"Yah, aku juga." Bo mengangguk setuju. "Itu satu alasan aku
ingin mulai di loteng. Kita akan aman di atas sana."
Aku menyukai Rob, pikir Bo. Bertingkah baik. Bersikap tenang.
Ia memandang Kody melalui lensa birunya. Mungkin aku harus
menggantinya sekarang, pikirnya. Barangkali jika aku memohon pada
studio, mereka akan membiarkan aku berbicara pada aktris
profesional. Ia berpaling untuk mengatakan hal lain kepada Kody, tapi
Persia menengahi mereka, mata gelapnya memancarkan kemarahan.
"Hei, Bo"ada sedikit waktu untukku" Bagaimanapun juga, pemeran
penggantiku yang mati. Maksudku"aku terus berpikir, itu bisa saja
aku!" Bo ingin menertawakan Persia. Aktor memang sama saja,
pikirnya. Begitu menuntut. Begitu iri pada perhatiannya.
"Tentu saja, Persia sayang," katanya lembut. Ia merangkul bahu
Persia dan menuntunnya menjauh, bicara dengan tenang.
"Keterlaluan ya?" kata Kody pada Rob, memperhatikan Bo
menuntun Persia. "Hei, aku tinggal di L.A. seumur hidupku," sahut Rob. "Aku
sudah terbiasa dengan yang seperti itu."
Anggota kru berkumpul dalam kelompok kecil, membicarakan
Joanna, penyelidikan polisi, dan apa arti semua itu bagi produksi film.
Kody melihat orang-orang dari bagian special effect sibuk di loteng
untuk menyiapkan syuting esok hari.
"Aku menyewa mobil," kata Rob. "Mustang atap terbuka.
Karena kita tidak kerja hari ini, kenapa kita tidak jalan-jalan saja?"
Kody tersenyum padanya. "Kau memang sang penyelamat!"
ujarnya sembari menggamit tangan Rob. "Ayo pergi."
Mereka masuk ke mobil kecil itu dan berkendara ke utara
sepanjang jalan bebas hambatan keluar dari Shadyside. Melewati
kota- kota kecil dan melewati pertanian-pertanian luas. Hamparan
hijau yang seperti tiada akhir.
Dengan atap terbuka, Kody duduk merosot di kursi, menikmati
hangatnya sinar matahari di wajahnya, membiarkan angin meniup
rambut pirangnya di belakangnya.
Keduanya tak banyak bicara. Enak rasanya hanya berkendara,
bergerak, pergi jauh dari Fear Street 99 dan kisah-kisahnya yang
gelap. Mereka makan siang di rumah makan yang menempati sebuah
gerbong kereta api tua. Rob bercerita bagaimana ia tumbuh dewasa
bersama ayahnya dalam bisnis film. "Terkadang pengalaman kami
menyenangkan," kisahnya. "Kami tak perlu khawatir tentang masalah
keuangan, dan orangtuaku memberiku segala yang kuinginkan."
"Tapi terkadang itu tidak menyenangkan," Rob mengakui.
"Mereka memberiku banyak barang, tapi jarang berada di dekatku.
Maksudku, mereka tak banyak menghabiskan waktu bersamaku.
Terkadang aku merasa hanya menjadi salah satu barang milik
orangtuaku. Mereka membawaku ke pesta-pesta dan memamerkanku,
'Lihat, kami juga punya yang seperti ini!'"
Kody tidak menceritakan pada Rob tentang hidupnya. Rob
sudah tahu banyak. Ia duduk dan mendengar dengan penuh perhatian ketika Rob
bercerita. Rasanya begitu nyaman tidak memikirkan film, atau tragedi
kemarin"atau Cally. Hari sudah malam ketika mereka kembali ke Shadyside. Angin
membawa udara dingin. Awan rendah bergulung menutupi matahari
dan sepertinya akan turun hujan.
Kody mengajak Rob ke suatu tempat bernama River Ridge,
tebing tinggi dengan pemandangan ke arah Conononka River. Itu
adalah tempat gaul populer bagi murid-murid Shadyside High. Kody
tahu itu. Tapi pada malam yang masih dini, dengan awan mendung
tergantung rendah, mobil Mustang ini satu-satunya yang ada di sana.
Segera setelah mematikan mesin, Rob mendekat ke arah Kody
dan menciumnya. Lalu ia memeluk Kody. Mereka saling merangkul
untuk waktu yang sangat lama.
Keduanya tidak bergerak. Keduanya tidak berbisik. Keduanya tidak ingin lepas.
Betapa indahnya hari ini, pikir Kody. Aku merasa begitu santai
sekarang, begitu... damai.
Hujan mulai turun, pelan pada mulanya. Lalu mulai lebat, dan
Rob melompat keluar untuk menutup atap mobil. Ia basah kuyub saat
kembali ke mobil. Ia mencium Kody, ciuman panjang yang basah oleh hujan. Lalu
ia berbisik, "Mari kita kembali ke kamarku untuk berlatih."
Kody ingin menjawab ya"lalu ia sadar ia tidak membawa
naskahnya. "Aku meninggalkannya di trailerku," katanya sambil
menyeka air hujan dari dahi Rob.
"Kita bisa memakai punyaku," kata Rob padanya.
Kody menggelengkan kepalanya. "Akan lebih baik kalau aku
pakai punyaku sendiri. Aku suka membuat catatan. Antar saja aku ke
trailer, oke" Aku akan mengambil naskahku. Lalu kita bisa pergi ke
kamarmu dan berlatih."
Dengan patuh Rob menyalakan mesin mobil, dan mereka
berkendara sepanjang sungai, melintasi kawasan rumah-rumah besar
yang indah, dengan halaman rumput yang terawat, melewati sekolah,
menuju Fear Street. Hujan turun semakin deras ketika mereka sampai di Fear Street.
Angin bertambah kencang, menderu di sekitar mobil kecil itu,
membuat pepohonan tua di kedua sisi mereka bergoyang-goyang.
Diterangi lampu mobil, hujan tampak tertiup ke samping.
Rob menyetir pelan-pelan ketika trailer perusahaan film mulai
tampak. Semua trailer gelap, digempur hujan.
Kody memandang sekilas ke arah rumah. Gelap juga, kecuali
kerlipan lampu di jendela depan.
Barangkali penjaga, pikirnya.
"Aku akan segera keluar," kata Kody pada Rob, meraih
pegangan pintu mobil. "Jangan sampai kebasahan," gurau Rob.
Ia keluar dari mobil, dalam cahaya terang lampu besar,
beberapa langkah menuju trailer-nya. Hujan dengan segera
membasahi T-shirt- nya, ia merasa dingin dan rambutnya gatal.
Ia membuka pintu trailer. Masuk ke dalam kegelapan,
menggigil dan menyeka air hujan dari mata dan dahinya.
Pintu terbanting di belakangnya. Angin menderu, membuat
trailer bergetar. Kody menyalakan lampu di atas kepala.
Naskah itu ada di bawah sofa kulit.
Ia berlutut untuk mengambilnya.
Hujan memukul-mukul atap trailer baja dan bunyinya seperti
guntur yang tiada hentinya.
Tapi di samping bunyi itu, ia mendengar ketukan di pintu.
Tiga ketukan. Rob" Kenapa Rob keluar dari mobil"
Apakah cuma angin" Sambil memegang naskah jauh dari tubuhnya agar tidak basah,
ia mendengarkan. Tok tok tok. Hening. Lalu: tok tok tok. Bukan angin. Bukan derai hujan pada pintu.
Sembari menelan ludah, Kody melangkah ke pintu. Dan
mendorongnya membuka. Memandang tirai hujan dalam kegelapan.
Tak ada orang" Tak ada orang di sana"
Kody menggulung naskahnya supaya tetap kering. Ia
memandang menembus hujan yang deras, mencari-cari cahaya lampu
besar Mustang. Dan menyadari cahaya itu sudah lenyap.
"Rob?" panggilnya. Ia menyadari suaranya tidak cukup keras
untuk mengatasi gemuruh hujan yang terus-menerus menghantam
trailer, menghantam aspal jalan.
Di mana mobil itu" Apakah Rob memajukannya untuk parkir di
Geger Dunia Persilatan 14 Pendekar Bodoh 6 Muslihat Sang Durjana The Order Of Phoenix 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama