Ceritasilat Novel Online

The Third Horror 2

Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror Bagian 2


pinggir jalan" Ia keluar dari trailer, menutup pintu. Angin meniup rambut
yang basah ke wajahnya. Seraya menyapu rambutnya ke belakang
dengan tangannya yang bebas, ia mencari-cari mobil Rob.
Tak ada di sana. Jantungnya mulai berdegup kencang sewaktu ia melangkahi
anak tangga terakhir. Ia merasakan air dingin pada pergelangan
kakinya, memandang sekilas ke bawah, melihat kubangan dalam yang
ia langkahi. "Rob" Di mana kau?" panggilnya.
Ia takkan meninggalkannya dalam hujan. Tidak akan.
Kemudian, ketika angin menderu melalui pepohonan yang
bergoyang-goyang, Kody mendengar bisikan, "Kody"ini aku."
"Tidak!" Kody menutupi mulutnya dengan tangannya yang
bebas. Air hujan yang dingin mengguyurnya. "Tidak!"
Hanya angin. Hanya angin dan imajinasiku.
"Kody"aku di sini. Kody"aku bersamamu."
Kody menahan napasnya, berusaha melihat melalui tirai hujan
yang gelap. Itu Rob, pikirnya tiba-tiba. Rob memainkan semacam lelucon
kejam. Tapi sewaktu bisikan-bisikan itu bertambah keras mengatasi
deru angin, Kody mengenali suara kakaknya.
"Kody"aku bersamamu. Kody"ini aku. Cally."
"Cally" Benarkah itu kau?" teriak Kody. Ia merasa sekujur
tubuhnya menegang. Seolah-olah dadanya mau meledak.
Kegembiraan. Kegairahan. Ketakutan. Semuanya sekaligus.
Semuanya bercampur menjadi satu.
"Cally!" teriaknya. "Cally"aku tak bisa melihatmu! Di mana
kau?" BAB 15 HUJAN berderai, angin melolong, dan suara itu berbisik lagi,
"Ikuti aku. Ikuti aku, Kody."
Trailer itu bergetar di belakangnya. Kody melihat petir yang
meledak di atas pepohonan yang bergetar.
"Ikuti aku"sekarang!"
Air membasahi wajah Kody. Ia mengerjap melalui tetesan air,
mencoba melihat saudara kembarnya. "Di-di mana kau?" ia tergagap.
"Aku tak dapat melihatmu, Cally!"
"Ikuti aku. Aku bersamamu. Ikuti aku sekarang."
Naskah itu jatuh dari tangan Kody ke genangan dalam di
kakinya. Sewaktu ia mulai mengikuti suara itu ke arah rumah, angin
kuat mengembusnya. Angin itu mendorongnya kembali seolah-olah
mencoba menjauhkannya. Tapi Kody tahu ia harus mengikuti perintah saudaranya.
Kody tak punya pilihan lain. Untuk inilah ia datang. Ia telah
berjanji kepada Cally. Dan tak ada angin atau hujan atau ledakan petir
yang akan menghentikannya dari menepati janji itu.
Sembari membungkuk melawan angin, Kody melangkah
menembus hujan dan menuju jalan mobil yang berkerikil. "Cally, kau
masih di sini" Apakah itu benar-benar kau?" teriaknya mengatasi
suara petir yang mengguncang pepohonan.
Tak ada sahutan. Air hujan mengalir ke talang yang rusak di atas serambi,
memercik dengan berisik ke jalan. Cahaya oranye berkerlap-kerlip di
jendela ruang duduk yang basah.
"Cally" Kau di sini?"
Suara Cally bertambah keras dalam angin, bisikan, bisikan
samar yang membuat Kody harus bersusah payah untuk
mendengarnya di antara deru hujan.
"Ke sini, Kody. Kemarilah."
Kody memutari percikan air dari talang atap yang rusak. Ke
serambi. Menjauh dari tiupan angin.
Dengan menggigil hebat, ia mendorong pintu depan. Dan
melangkah masuk ke dalam kehangatan rumah.
"Ke sini, Kody." Suara itu terdengar lebih kuat, jauh dari deru
angin dan hujan. "Cally! Ini benar-benar kau!" Kody lupa akan rasa takutnya
ketika kegembiraan mengambil alih, gembira atas reuni yang mustahil
ini. "Ke sini. Jangan berhenti."
"Cally"aku dulu melihatmu di jendela itu," teriak Kody.
"Setelah kau meninggal, aku melihatmu dari jendela. Aku berjanji
akan kembali. Kau mendengarku waktu itu, Cally" Apakah kau
mendengar janjiku?" Hening. Kody menyadari ia tak bisa berhenti menggigil. Kedua
tangannya menyibakkan rambut yang basah, menyebabkan air
menetes ke karpet. Lalu ia merangkul tubuhnya dengan kedua
lengannya, berusaha menghentikan tubuhnya yang menggigil
kedinginan karena basah. "Cally" Di mana kau" Dapatkah aku melihatmu?"
"Ikuti aku, Kody. Aku ingin melihatmu juga."
"Cally"kedengarannya seperti kau!" teriak Kody, suaranya
bergetar karena menggigil. "Benar!"
Kenapa aku tak merasa hangat" Kody bertanya-tanya,
mengikuti suara itu ke selasar belakang. Kenapa aku tak bisa berhenti
menggigil" "Aku sangat rindu padamu, Cally," katanya kepada kakaknya.
"Aku memikirkanmu setiap hari. Setiap hari. Entah bagaimana, kau
selalu di sana. Selalu di sampingku. Selalu di pikiranku."
"Aku memikirkanmu juga," balas suara itu. Tapi tanpa
kehangatan. "Aku memikirkanmu juga, Kody." Kata-kata yang keluar
dingin dan keras. Kody ragu-ragu di depan pintu ruang bawah tanah. "Apa kau di
bawah sana, Cally?" Tak ada jawaban. Kody mengangkat kedua tangan dan menyeka air hujan dari
dahi dan alis matanya. Andai saja aku bisa berhenti menggigil!
katanya pada diri sendiri.
Ia membuka pintu ruang bawah tanah dan memandang ke
bawah tangga. Cahaya pucat memantul dari dinding batu abu-abu
ruang bawah tanah. "Kau di bawah sana, Cally?"
"Ya, aku di bawah sini. Turunlah, Kody. Datang dan temui
aku." Sambil mencengkeram susuran tangga, Kody melangkah turun
ke anak tangga yang sempit dan curam. Sepatu karetnya membuat
setiap anak tangga berderit.
Ia berhenti setengah jalan, mengingat tikus-tikus itu.
"Cally" Kau benar-benar di bawah sini" Bisakah aku
melihatmu?" "Datang dan temui aku. Cepatlah!" desak suara itu.
Ya. Cally ada di bawah sana.
Pelipis Kody berdenyut-denyut. Kakinya terasa lemah ketika ia
turun ke ruang bawah tanah.
Bayang-bayang bergerak dalam cahaya pucat. Dinding kelabu
tampak miring ketika Kody mengambil langkah demi langkah.
"Cally?" Suaranya tinggi dan ketakutan. "Dapatkah aku melihatmu?"
Bunyi menggarut. Mendekat.
Apakah itu tikus" Hujan memukul-mukul kaca jendela kecil di atas kepala Kody
di lantai dasar. "Cally?" Kody melangkah lagi. Ia melihat beberapa
peti kayu besar saling bertumpuk di seluruh lantai.
Seberkas cahaya berkedip-kedip di belakang tumpukan kayu
yang menjulang tinggi. "Cally"kau di belakang sana?" tanya Kody dengan ragu-ragu.
Hening. Cahaya itu berkelap-kelip.
Sesuatu berlari tergesa melintasi lantai beton.
Angin memercikkan air hujan pada jendela ruang bawah tanah
yang kecil. "Ini aku, Kody. Aku telah menunggumu begitu lama."
"Oh, Cally!" seru Kody, suaranya bergetar oleh emosi. Dengan
gemetar hebat, ia bergegas menuju cahaya"tapi kakinya membentur
sesuatu yang keras. Peti kayu yang pendek. "Aduh!" teriak Kody, mendarat keras pada satu siku.
Rasa sakit menyengat lengannya dan turun ke pinggang
kanannya. Sembari menggosok siku, ia mengangkat tubuhnya hingga
berlutut. "Cally" Apa kau di sini?"
Sambil menatap peti itu, tetap berlutut, Kody melihat bayangan
gelap meluncur di lantai.
Sewaktu bayangan itu meluncur di atasnya, Kody mulai
menjerit. Tapi ada tangan membekap erat mulutnya.
BAB 16 "SHHHHHH." Ia merasakan napas panas di pipinya.
Ia ingin berteriak. Tapi tangan itu membekapnya dengan erat.
Kody mencoba menunduk. Tapi ia begitu panik, otot-ototnya
tak mau bekerja sama. Ia merendahkan tubuh ke lantai untuk melepaskan diri.
Tangan itu mengendurkan cengkeramannya.
Ia berbalik dan menatap wajah Bo.
Bo mengangkat jari tangannya ke bibir. Matanya melebar dalam
cahaya pucat aneh yang dipantulkan cahaya senter kecilnya.
"Kody"apa yang kaulakukan di bawah sini?" bisiknya.
"Kau"kau membuatku ketakutan setengah mati!" ia berhasil
berbisik tertahan dengan marah. Ia melompat berdiri dan
menyilangkan lengan di depan dadanya sambil membelalak.
"Jawab pertanyaanku," desak Bo sambil mengawasinya,
bajunya yang basah, rambutnya yang kusut. "Apa yang kaulakukan di
bawah sini?" "Aku"aku?" Kody tergagap. Bagaimana ia bisa menjelaskan
bahwa ia mengikuti hantu saudaranya" "Apa yang kaulakukan di
bawah sini, Bo?" ia ganti bertanya.
"Aku punya hak untuk berada di bawah sini," sahut Bo pelan,
masih mengawasinya. "Aku punya pekerjaan yang harus kulakukan
untuk produksi. Tapi, Kody?"
"Kau di sini sendirian" Malam-malam begini?" desak Kody.
"Kody, aku bekerja sampai larut malam. Ini bagian tugas
menjadi sutradara. Tapi aku benar-benar harus meminta
penjelasanmu," kata Bo, ekspresinya bertambah tegang.
"Aku, yah..." "Penjaga keamanan bilang ia memergokimu di dalam rumah
dua malam yang lalu," kata Bo seraya mengelus rahangnya yang
berjenggot pendek. "Dan sekarang kau di sini lagi. Aku tak mau
percaya hal-hal buruk tentang dirimu, Kody. Tapi aku harus tahu apa
yang terjadi." "Aku sungguh tak dapat menjelaskan," Kody mulai bicara.
Bo menggelengkan kepala. "Kau harus menjelaskan," kata Bo.
Ia menggenggam tangan Kody dan meremasnya. "Ooh. Kau sangat
dingin, Kody. Dingin dan basah."
"Aku tahu. Aku tadi kehujanan. Aku?"
"Barangkali kita harus keluar dari rumah ini," Bo mengusulkan.
"Mungkin seharusnya kita kembali saja ke hotel, dan kau bisa
menceritakan padaku kenapa kami terus menemukanmu di tempat
seharusnya kau tidak berada."
Bo memegang tangannya. Tapi Kody menyadari itu bukan
isyarat yang ramah. Bo berusaha menakut-nakutinya.
Bo mencurigainya melakukan sesuatu yang salah, sesuatu yang
tidak baik. Dan ia berusaha menakuti-nakutinya, membuatnya takut
supaya mengaku. "Haruskah kita bicara lagi di hotel?" Bo mengulangi, sambil
memegangi tangan Kody dengan erat.
Kody ragu-ragu. "Film ini sangat penting untukku, Kody," kata Bo, meremas
tangannya. "Sangat penting untuk karierku. Aku tak mau membiarkan
apa pun menghancurkannya. Apa pun atau siapa pun. Aku pria yang
penuh pengertian. Aku selalu mencoba berpikir yang terbaik. Tapi
menemukanmu di bawah sini?"
"Ini sangat sulit dijelaskan," Kody menyela. "Tapi saudaraku"
" Kody berhenti ketika kilasan cahaya menyinari label pada peti
kayu yang disandari oleh Bo. Ia melihatnya lagi untuk memastikan ia
membaca dengan benar. Lalu ia melihat label yang sama pada peti di
bawahnya. "Bo!" teriak Kody, tak mampu menutupi kekagetannya. "Petipeti ini"berisi bahan peledak!"
Air mukanya berubah seketika. Matanya menyipit, mulutnya
kaku. "Kody," bisiknya seraya membungkuk ke arahnya dengan sikap
mengancam. "Aku sungguh menyesal kau melihat semua ini."
BAB 17 KODY mundur. "Bo"kau membuatku takut. Kenapa kau
menatapku seperti itu?"
Ekspresinya tampak lebih lembut dalam cahaya redup.
"Maafkan aku," katanya. "Hanya saja"kau tidak seharusnya melihat
ini." Ia menepuk-nepuk tutup peti kayu.
"Tapi aku tidak mengerti," suara Kody tercekat. "Begitu banyak
peti bahan peledak."
"Aku tak mau seorang pun tahu," Bo mengulangi sambil
menggaruk-garuk rambutnya, dan menarik kuncir kudanya. "Ini
seharusnya rahasia, Kody. Baru malan ini aku memindahkan peti-peti
ini ke bawah sini." Ia menurunkan tatapannya ke label pada peti kayu itu. Kata
pertama di atas tutupnya adalah BAHAYA.
"Aku tak mau para pemain tahu akhir film ini," ujar Bo,
bersandar pada peti. "Itulah sebabnya aku tidak menyerahkan sepuluh
halaman terakhir." "Maksudmu?"" Kody bertanya.
Ia mencopot kacamata birunya. "Aku akan meledakkan rumah
ini," kata Bo. "Ini akan menjadi ledakan yang luar biasa. Maksudku,
aku akan sungguh-sungguh melakukannya. Buuum!" Ia
mengisyaratkan dengan kedua tangan, senternya bergoyang-goyang.
Kody menatapnya, terkejut oleh antusiasme Bo yang mendadak.
"Tapi kau harus bersumpah untuk menjaga rahasia ini," Bo
memelankan suaranya. "Aku ingin rasa kaget sungguhan pada wajah
pemain-pemainku. Aku ingin melihat horor sungguhan pada wajah
mereka waktu rumah ini meledak. Kau mengerti?"
Kody mengangguk. "Ya, tapi?"
Ia mendengar bunyi menggaruk di belakangnya dalam
kegelapan. Garukan. Desisan halus.
Bunyi itu membuatnya merinding.
Aku harus keluar dari sini, pikirnya. Aku harus kembali ke hotel
dan berganti pakaian kering.


Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku takkan bilang siapa-siapa, Bo," janji Kody. "Sungguh.
Mulutku terkunci." Ia menggerakkan tangan di depan bibir seperti
menutup ritsleting. Bo mengawasinya dalam cahaya temaram. "Tidak masalah
kalau kau tahu bagian akhirnya," katanya menyuarakan pemikirannya.
"Kau adalah Cally. Kau sudah mati ketika rumah ini meledak."
Cally! pikir Kody. Cally membawaku ke bawah sini.
Suaranya... "Tentu saja, Cally masih ada di rumah ini," Bo melanjutkan,
menatapnya dengan tajam. "Kau meledak di dalam rumah. Hei"
mungkin kami akan melihatmu meledak juga. Kau tahu. Kepalamu
melayang di udara. Lengan dan kakimu beterbangan ke segala arah..."
Kody memekik pelan. "Maaf," kata Bo segera. "Kau memiliki terlalu banyak kenangan
sungguhan di sini, ya?"
Kody mengangguk. "Ya. Saudaraku?"
Bo mengulurkan tangan dan meraih tangan Kody. "Jika kau
mempunyai masalah dengan semua ini, Kody, aku akan mengganti
peranmu. Persia siap menggantikan peranmu, kau tahu itu. Kau bisa
mengambil peran yang lebih kecil. Kau bisa memerankan dirimu
sendiri. Lalu tekanan akan hilang dan?"
"Tidak!" sela Kody dengan suara tinggi. "Tidak! Tidak bakalan!
Aku tahu Persia mati-matian ingin merebut peranku. Tapi aku
memerankan Cally, Bo. Aku memainkan peran itu. Ini"ini sangat
penting bagiku." "Oke. Oke." Bo mundur. "Aku hanya berusaha memahamimu,
Kody." Ekspresi wajahnya mengeras. "Kau masih belum menjelaskan
kenapa kau di bawah sini. Aku sudah menjelaskan kenapa aku di sini.
Aku sedang memastikan bahan peledak ini tersimpan dengan baik.
Tapi aku masih belum tahu kenapa?"
"Ini karena saudaraku!" sahut Kody tanpa berpikir.
Mulut Bo ternganga. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi berubah
pikiran dan menunggu Kody melanjutkan ceritanya.
"Cally memanggilku," kata Kody. "Di luar sana. Aku
mendengar suaranya. Ia menyuruhku mengikutinya. Ia membawaku
ke dalam rumah. Maksudku, suaranya menuntunku. Dan"dan?"
Kody berhenti. "Kau tidak percaya apa yang kukatakan, kan"
Kaupikir aku benar-benar sinting."
Bo menggelengkan kepala. "Teruskan," katanya dengan
antusias. "Aku menyukainya. Barangkali kita bisa menambahkannya
ke dalam naskah. Kau tahu. Adegan saat kau pulang ke rumah setelah
pemakaman Cally. Teruskan, Kody. Ceritakanlah."
"Aku tidak mengada-ada!" teriak Kody, merasa kehilangan
akal. "Ini sungguhan, Bo! Ini bukan bagian dari film!"
Ia mendengar bunyi berlari, bunyi menggaruk lagi.
Lebih dekat kali ini. Dan di depannya. Di suatu tempat di
depannya. "Selesaikan penjelasanmu," desak Bo. "Suara itu menuntunmu
ke bawah sini dan?" Mereka berdua melihat suatu bentuk gelap melompat dari tutup
peti kayu. Seekor tikus abu-abu yang gemuk.
Mula-mula Kody melihat matanya yang merah. Lalu giginya
yang tajam. Sebelum dapat mengangkat tangan untuk melindungi diri, ia
mendengar desis melengking"ketika tikus itu melompat ke lehernya.
BAB 18 KODY melengking tinggi dan terhuyung ke belakang.
Tikus itu, taringnya tampak jelas, meluncur ke arahnya.
Tidak kena. Membentur lantai keras dengan bunyi yang menjijikkan.
Pening sebentar, lalu tikus itu memandang Kody dengan lapar.
Ekornya yang merah muda dan panjang bergerak ke kiri dan ke kanan.
Tikus itu mengangkat tubuhnya.
Dan sebelum tikus itu melompat lagi, Kody menendangnya.
Sepatu karetnya mendarat pada perut tikus itu.
Tikus itu menjerit kaget ketika melayang ke peti kayu. Lalu
mendarat dengan keras di lantai lalu berlari, cakarnya menggaruki
lantai ubin. "Ohhh." Kody mendesah lega. Jantungnya berdegup keras di
dadanya. Ia masih bisa merasakan tikus itu pada ujung sepatu
karetnya, masih bisa mendengar bunyi menjijikkan makhluk jelek itu
ketika mendarat di lantai.
Kody memejamkan mata, mencoba melawan rasa muak di
perutnya. Dan merasakan lengan Bo di bahunya.
"Ayo," bisik Bo, menuntunnya ke tangga. "Ayo kita pergi dari
sini." Dengan rasa terima kasih, Kody membiarkan Bo menuntunnya
keluar dari ruang bawah tanah.
"Aku menyewa pria itu untuk menumpas tikus-tikus," gerutu
Bo tidak senang. "Kukira ia tahu apa yang dikerjakannya. Tapi kurasa
pekerjaan itu terlalu berat untuknya."
Kaki Kody gemetar ketika ia naik tangga yang sempit dan
curam. Aku harus keluar dari rumah ini, katanya dalam hati. Aku harus
pergi dari sini. Aku harus pergi ke suatu tempat"yang aman.
"Bila sekali lagi malapetaka terjadi pada film ini...," tutur Bo. Ia
menutup pintu ruang bawah tanah rapat-rapat. "Film ini sangat penting
bagiku. Jika satu lagi hal buruk terjadi, aku"aku sungguh tak tahu
apa yang akan kulakukan."
********** Hantu Cally melayang dari ruang bawah tanah tepat pada
saatnya untuk mendengar kata-kata Bo.
Cally tertawa sendiri, tawa mencemooh.
"Satu hal buruk lagi?" ia bertanya. "Satu hal buruk" Itu bisa
diatur." Cally mengawasi adiknya dan sutradara film itu keluar dari
pintu depan. Ia melayang ke jendela dan memandang mereka berjalan
di jalur mobil yang tergenang air hujan menuju mobil Bo.
"Satu hal buruk?" ulang Cally seraya mengawasi mereka pergi.
"Tidak masalah, guys." Senyum kejam menghias wajah Cally yang
dulunya cantik. "Bagaimana kalau besok?"
BAB 19 "ERNIE, kau sudah mengecek ulang semuanya?" Kody
mendengar Bo bertanya kepada orang bagian special effect ketika ia
berjalan ke loteng sambil menutup pintu.
"Cek, cek dua kali, cek tiga kali," lapor Ernie, memberi hormat
dengan kocak. Kody menyukai Ernie. Ia lucu. Tampangnya seperti tupai,
dengan rambut cokelat pendek, pipi tembam, dan dua gigi depan yang
tonggos. Ernie dan Bo bersandar pada dinding loteng, mempelajari mesin
hitam yang oleh Ernie diberi nama Mesin Cairan Ajaib.
Selain Mesin Cairan Ajaib, di loteng berserakan kamera, kabel,
dan lampu-lampu sehingga ruangan itu tampak berantakan. Lampu
sudah dinyalakan, sangat terang hingga menenggelamkan sinar
matahari pagi yang menyorot melalui jendela tertutup.
Anggota kru berkerumun di sekeliling peralatan, mengobrol
pelan sambil menyeruput kopi dari cangkir karton, menunggu syuting
dimulai. Kody ragu-ragu di pintu. Bo dan Ernie begitu berkonsentrasi
dalam pekerjaan sampai-sampai mereka tidak memperhatikan ia
datang. Akhirnya Bo menoleh ke sekeliling dan senyum merekah di
wajahnya. "Tepat waktu. Apa kabar, Kody" Kau tampak hebat. Tapi
bagaimana keadaanmu di balik riasan?"
Kody tersenyum kepadanya. "Di balik riasan, aku kacau!" ia
mengaku. "Ini hari pertamaku syuting, bagaimanapun juga."
"Hei, serahkan masalah kacau itu padaku!" kata Ernie.
"Masalah kacau adalah tugasku." Ia menepuk-nepuk mesinnya.
"Ernie akan menjelaskan tentang mesin cairan segera setelah
Rob tiba," kata Bo sambil memperhatikan clipboard-nya. "Ingat, kita
latihan adegan ini waktu di L.A.?"
Kody mengangguk. "Aku harus banyak menjerit," ia mengingat.
"Banyak," Bo setuju. "Kuharap suaramu dalam kondisi prima
pagi ini, Sayang." Pintu loteng terbuka dan Rob masuk. Ia menyapa semua orang
dengan riang dan tersenyum hangat pada Kody ketika ia berjalan
menghampirinya. "Ke mana kau semalam?" bisik Kody. "Kenapa kau pergi dan
meninggalkanku?" "Hah?" Rob kebingungan. "Kau bilang padaku untuk pergi
tanpamu. Kau tidak ingat?"
"Aku apa?" tanya Kody, sama-sama bingung.
"Kau lari ke mobil. Kau menyuruhku pergi. Kembali ke hotel."
"Aku tidak melakukannya!" desis Kody dengan bingung.
"Tapi kau melakukannya!" desak Rob. "Aku tidak akan pergi
kalau kau tidak bilang begitu!"
"Ayo kembali kerja, anak-anak," perintah Bo.
"Oh. Baik. Sori," sahut Rob, wajahnya memerah. "Ada apa?"
"Kau akan berada dalam cairan hijau sampai di"di atas
lututmu," kata Bo. "Kemarilah, semuanya. Aku ingin menjelaskannya
dengan cepat. Sekali cairan itu keluar, kita harus menggunakannya
dengan benar." "Harus," Ernie menambahkan. "Kalau kita harus melakukan
pengambilan gambar dua kali, akan makan waktu berjam-jam untuk
membersihkan cairan ini dari lantai."
"Lebih baik kita memperingatkan wanita tukang bersih-bersih
yang kita sewa!" Bo bercanda. "Bilang padanya mungkin dia akan
banyak lembur." Bo menempatkan Kody dan Rob untuk adegan,
membawa mereka menuju tanda kapur di lantai, lalu mengecek
petugas kamera untuk meyakinkan mereka tampak oke.
Ia memberi perintah pada kru untuk memindahkan beberapa
lampu. Kemudian ia berpaling pada Kody dan Rob.
"Pelajari lagi dengan cepat, oke" Kalian berlatih sendiri
kemarin, kan?" "Begitulah," Kody berbohong. "Aku cukup yakin aku
mengerti." Mata Bo menyipit dengan sikap tidak suka. "Begitulah"'
"Ini sudah mendekati jam istirahat," teriak Ernie dari belakang
mesin. "Ayo kita mulai," sahut Bo tidak sabar. Ia menunjuk lantai.
"Lihat pipa itu" Jangan berdiri di atasnya," perintah Bo.
"Apa itu slang?" tanya Rob.
Bo mengangguk. "Ernie punya empat slang yang
disembunyikan di lantai."
"Jika aku menyalakan tombol, cairan hijau itu akan naik," kata
Ernie kepada mereka. "Nah, jangan kaget. Cairan itu akan dipompa ke
atas sangat cepat." "Bersiap untuk kaget," Bo mengoreksi. "Bersiap untuk sangat
kaget. Oke, anak-anak?" Ia meletakkan tangannya di bahu Kody.
"Aku ingin kau lebih kaget ketika cairan itu mulai mengalir. Aku ingin
kau ketakutan, paham?"
"Cairan itu kental dan sedikit hangat," kata Ernie kepada
mereka. "Kental, seperti bubur gandum. Tapi jangan khawatir. Tidak
berbau. Tak berbau sama sekali."
Kody mendesah lega. Rob tertawa, tertawa gugup.
Kody senang Rob gugup juga.
Bagaimana kalau aku mengacaukan segalanya" tanyanya dalam
hati. Mereka bilang akan makan waktu berjam-jam untuk
membersihkan lantai hingga kita bisa mulai lagi. Kalau aku
mengacaukan adegan ini, aku akan malu.
"Jika ini terpompa benar, cairan akan naik ke pergelangan kaki
kalian dengan cepat," Ernie menjelaskan.
"Kalian tidak akan memperhatikannya," Bo mengingatkan
sambil membalik halaman naskah bertinta hijau. "Cally dan Anthony
menyelinap ke loteng untuk bercumbu. Kalian berdiri di sana
berpelukan, berciuman dengan penuh gairah. Kami melihat cairan
hijau naik dari lantai. Tapi kalian bahkan tidak merasakannya sampai
naik hampir ke lutut kalian."
"Lalu kami menjerit ketakutan," kata Rob. "Dan apakah kami
mencoba lari ke pintu?"
"Kami ingin melihat kalian berkutat dengan cairan itu," Bo
memberi instruksi. "Cairan itu menarikmu, mengisapmu ke bawah.
Makin lama makin tinggi, dan kalian terperangkap di dalamnya."
"Seberapa tinggi cairan itu akan naik?" tanya Kody dengan hatihati, seraya menatap slang besar di kakinya.
Ernie tertawa. "Jangan khawatir. Hanya ada cukup cairan di
mesin itu untuk sampai lutut kalian. Dan ini tidak benar-benar lengket.
Seperti kubilang, ini seperti bubur gandum. Kalian takkan sulit
berjalan keluar jika adegan selesai."
"Sekarang aku mengerti kenapa mereka memberiku kemeja
kuning ini. Karena tampak bagus dengan warna hijau!" canda Rob.
"Aku biru semua. Aku tidak akan cocok," keluh Kody mainmain.
"Ketika kalian berkutat, cobalah memercikkan cairan itu," kata
Bo tanpa mengacuhkan lelucon mereka. "Supaya tampak hebat.
Kalian tahu. Kalian memukul-mukulkan lengan dengan kalang kabut.
Kalian memberontak. Berjuang. Dan semakin kuat kalian meronta,
semakin kalian terlumuri cairan menjijikkan itu."
"Bagaimana jika aku jatuh tertelungkup ke dalamnya?" Rob
mengusulkan. "Kalian tahu. Menukik."
Bo menggelengkan kepala. "Ini bukan komedi, Rob. Jika aku
ingin komedi, kita akan membuat perang lempar kue pai di sini."
"Aku tahu dari mana asalmu," jawab Rob dengan serius.
"Aku ingin melihat rasa jijik di wajah kalian," kata Bo kepada
mereka sembari menoleh ke Kody. "Kau tenggelam dalam muntahan.
Kau harus membuat penonton merasakannya. Kau harus membuat
mereka menggeliat seperti kau menggeliat. Kau harus membuat
mereka mencium baunya!"
"Istirahat, semuanya!" seorang anggota kru berteriak dari pintu
masuk loteng. Lampu-lampu padam. Papan lantai berderak di bawah berat
tubuh para pekerja ketika mereka tergesa-gesa ke tangga. Mereka
menggunakan waktu istriahat dengan sungguh-sungguh.
"Hei, guys"kembali dalam lima belas menit!" teriak Bo
kepada mereka. Ia menoleh kepada Kody dan Rob. "Kalian juga
turun" Mau muffin atau apa" Kopi?"
Kody dan Rob berpandangan sekilas. "Lebih baik aku tetap di
sini dan berlatih," sahut Kody.
"Yeah, suasananya akan tenang. Kami akan dapat berlatih
dengan baik," Rob menyetujui.
Bo melambai kepada mereka dan bergegas ke pintu.
Rob berpaling ke Kody. "Jadi" Bagaimana perasaanmu" Kau
baik-baik saja?" Kody mengangkat bahu. "Kau membantu menenangkanku,"
kata Kody. "Kau selalu membuat lelucon, membuat suasana santai. Itu
banyak membantu." "Aku hanya menutupi kenyataan bahwa aku benar-benar
panik!" serunya.

Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka berdua tertawa. "Bagian mana yang ingin kaulatih" Dari mana kau ingin
mulai?" tanya Rob. Kody melemparkan senyum menggoda pada Rob. "Kenapa kita
tidak mulai dengan ini?" Kody bergerak mendekat, melingkarkan
lengan di bahu Rob, dan menarik kepala Rob ke bawah untuk
menciumnya. Sesudahnya Kody melangkah menjauh. Tapi Rob menariknya
mendekat. "Bukan begitu," katanya. "Kurasa lebih baik kita latihan
lagi." "Lipstikku?" protes Kody. "Aku harus kembali ke bagian tata
rias." "Siapa peduli?"
Rob mulai menciumnya lagi"ketika pintu loteng terbanting.
Terkejut, mereka berdua berpaling untuk melihat siapa yang
datang. Tak ada siapa pun di sana.
"Pasti angin atau apa," Rob melemparkan gagasan. "Nah,
sampai di mana kita tadi?"
Kody mengangkat kedua tangan untuk menjauhkan Rob. "Kita
latihan, oke?" ia berkata.
Rob hendak menyahut. Tapi bunyi di dinding membuat mereka
menoleh. Dengan bunyi klik keras, tuas di samping mesin cairan itu
bergeser turun. Mesin itu berdengung pelan, lalu makin keras ketika pompa
mulai mengaduk. "Hei"apa yang terjadi?" teriak Rob.
BAB 20 KODY melompat ketika cairan hijau itu memercik ke sepatu
karetnya yang putih. "Aku"aku tidak percaya!" teriaknya. Cairan hijau kental
menyembur ke atas dari keempat slang.
"Aduh! Panas!" seru Rob ketika cairan hijau itu memerciki pipa
jeans-nya. Kody menghindari slang, sepatu karetnya tergelincir di atas
gumpalan cairan hijau, dan yang pertama mencapai tuas. Ia merenggut
tuas itu dan mencoba menariknya ke atas.
"Hei"!" ia berteriak ketika tuas bergeming.
Mesin itu tetap menyala. Kody berbalik dan melihat cairan hijau menyebar ke seluruh
lantai loteng. Membuat bunyi menjijikkan ketika mengalir keluar dari
keempat slang. Kody mencoba tuas itu lagi. Tidak berhasil.
Rob membantunya. Kody mundur membiarkan Rob mencoba
keberuntungannya. Rob menggunakan kedua tangan. "Ia"tak mau
bergerak!" teriaknya. "Aku tak bisa mematikannya!"
"Ernie bilang perekat ini tidak berbau!" seru Kody, wajahnya
berkerut jijik. Bau busuk membawanya kembali pada kenangankenangan yang mengerikan.
"Uuuh." Bau busuk menyerbu hidung Rob juga.
"Baunya seperti susu asam," erangnya.
Kody menarik napas dan menahannya, mencoba menghentikan
rasa mual di perutnya. Sekali lagi dengan kedua tangannya Rob menarik tuas dengan
keras, mengerahkan segenap kekuatannya. "Aaaaagh!" Ia berteriak
frustrasi dan surut ke belakang.
"Aduh! Cairan ini panas! Panas membakar!" teriak Kody. Ia
mengangkat lutut tinggi-tinggi sambil mundur menjauh. Cairan hijau
itu meletup-letup dan menelan sepatu karetnya.
"Kita harus panggil Ernie dan Bo!" teriak Rob. "Tuas ini benarbenar tak bergerak."
Kody bersiap menuju pintu loteng. "Aduh! Mesin ini"pasti
rusak! Kenapa cairan ini panas sekali?"
Sepatu karetnya lengket. Ia berusaha mengangkatnya. Ia
merasakan tusukan ketakutan di dadanya, "Ia"ia menarikku ke
bawah, Rob!" "Aku juga!" teriak Rob di belakangnya. Ia menumpukan berat
badannya ke depan, mencoba bergerak. "Oh, baunya busuk!"
Kody mendengarnya berteriak. Ia berputar dan melihat Rob
jatuh ke depan, tangannya terangkat ke atas untuk menahan jatuhnya.
"Auw!" Ia mendarat dengan bunyi berkecipak keras. Ia
mengangkat kepalanya, matanya melebar ketakutan. "Aku"aku tak
bisa bangun, Kody! Cairan ini menarikku"mengisapku ke bawah!"
"Hah?" Kody berteriak kaget. Ia berbalik, sepatu karetnya
meluncur dalam cairan hijau panas.
Cairan itu berkecipak ketika membasahi pergelangan kaki dan
menyebar ke kaki jeansnya.
Ia mengulurkan kedua tangan, meraih Rob.
"Tahan," desak Kody. "Aku memegangmu!"
Ia menyambar tangan Rob. Tangannya lengket dengan cairan
itu. Cairan kental itu meluncur ke bawah lengannya yang terbuka, ke
bagian depan T-shirt kuning Rob.
"Tolong aku," Rob memohon. "Aku mual, Kody. Kurasa aku
mau muntah." Kody membantunya berdiri. Rob memegangi bahu Kody dan
mengangkat tubuhnya untuk berdiri. "Hentikan! Kau melumuri
seluruh tubuhku!" teriak Kody.
Cairan hijau kental itu meluncur di lantai seperti ombak,
bergulung-gulung di bawah jeans mereka, naik hingga separo betis
mereka. "Di mana orang-orang?" tanya Kody. "Tidak adakah orang yang
mendengar mesin ini hidup" Tidak adakah yang mendengar mesin
tolol ini menyala?" Rob tidak menyahut. Ia berkonsentrasi untuk mengangkat satu
kaki, lalu yang satunya lagi untuk berjalan pelan, bersusah payah
menuju pintu loteng. Bau busuk itu menyapu Kody. Ia mencoba bernapas melalui
mulutnya. Cairan hijau yang menelan, naik makin tinggi, hampir ke
lututnya. Membakar kakinya, melekat pada jeansnya, mencipratinya
ketika ia berusaha bergerak.
Rob berhasil sampai ke pintu. Kody melihat dahi Rob basah
oleh keringat yang menetes. Wajahnya merah. Ia terengah-engah
karena usahanya tadi. "Tarik pintunya!" desak Kody. "Cepat, Rob. Sudah naik ke
lututku!" Kody mengawasi Rob merenggut kenop pintu. Tangannya
yang lengket tergelincir. Rob menyeka tangannya pada bagian jeansnya yang kering dan merenggut kenop pintu lagi. Ia memutar dan
menariknya. Kody melihat wajah Rob makin memerah. "Hei"!" Rob
berteriak terkejut. "Cepat, Rob!" desak Kody. "Cairan ini akan membakarku
sekarang! Kakiku terbakar!"
"Kakiku juga!" ia tercekat. Ia menyentak pintu itu.
Kody melihat kaki Rob tergelincir pada permukaan cairan yang
kental itu. Rob memperoleh kembali keseimbangannya dengan
mengempaskan bahunya pada pintu. Lalu ia menarik-narik pintu lagi
sampai wajahnya nyaris ungu.
"Rob"ada apa?" teriak Kody, berjuang untuk meraihnya.
Rob berpaling ke arah Kody, matanya melebar ketakutan.
"Pintunya?" teriaknya. "Terkunci!"
BAB 21 "TIDAK mungkin!" teriak Kody.
Cairan hijau panas bergulung di kakinya, gelombang demi
gelombang yang menyakitkan. Ia terus memindahkan berat tubuh,
mengangkat kaki tinggi-tinggi, berusaha agar tidak melekat.
Rob mencoba pintu lagi, menariknya dengan segenap
kekuatannya. Ia berteriak minta bantuan. Tak ada jawaban.
Kody melihat tangan Rob meleset dari kenop pintu lagi, lalu ia
terhuyung ke belakang. Cairan hijau yang lengket itu menyerbu
pinggang Rob. Rob menoleh ke arah Kody, wajahnya tegang ketakutan.
"Tidakkah Ernie bilang cairan itu hanya sebatas lutut kita?"
Kody mengangguk. "Tidak bakalan naik lebih tinggi," ia
mencoba terdengar penuh harapan. "Ia akan berhenti sekarangsekarang ini."
Tapi sejauh ini, semua yang dikatakan Ernie tidak ada yang
benar. "Mereka seharusnya sudah selesai istirahat," ujar Rob sambil
menggedor pintu loteng dengan kedua tinjunya. "Di mana mereka?"
Ia berteriak lagi. Tetap tak ada jawaban.
Kody berjuang keras. Mencoba melupakan. Tapi ia tetap
teringat. Teringat kengerian yang dijumpai keluarganya di rumah
mengerikan ini. Teringat malam itu ketika cairan hijau menjijikkan
seperti ini mengalir dari dinding kamar mandi.
Bukan mesin Ernie yang menghasilkan cairan hijau ini,
kesadarannya berbicara. Ini adalah roh jahat. "Cally"apakah kau di sini?" panggil Kody tiba-tiba. "Cally?"
Rob melongo. Ia membungkuk, mendorong kakinya ke atas,
mencoba menyeberangi lautan hijau yang menggelegak ke arah Kody.
"Kody"kau tidak apa-apa?"
"Cally di sini," sahut Kody, matanya bergerak cepat ke
sekeliling ruangan. "Aku dapat merasakannya."
"Tapi, Kody?" Rob terdorong kembali oleh gelombang hijau.
"Cally akan membantu kita, Rob," Kody meyakinkannya. "Ia
ada di sini. Aku tahu ia di sini. Dan ia akan membantu kita keluar dari
sini." "Kody"tolong," Rob memohon sambil berusaha lebih keras
menarik tubuhnya dari cairan panas yang menggelegak. "Ambil napas
dalam-dalam. Aku akan mengeluarkan kita dari sini."
"Kaupikir aku gila, kan?" Kody menuduhnya dengan sedih.
Sembari berpaling dari Rob, ia mengatupkan tangan di sekitar mulut
dan berteriak, "Cally! Cally!"
"Jika cairan ini makin tinggi, kita bisa berenang keluar!" teriak
Rob. "Terlalu kental untuk berenang di dalamnya," sahut Kody. Ia
memanggil saudara kembarnya lagi.
Tak ada sahutan. Satu-satunya bunyi yang terdengar di dalam ruangan hanyalah
cairan hijau yang berdeguk dan memercik ketika makin lama makin
tinggi. "Ini"ini sangat menjijikkan," keluh Kody. "Aku tak bisa
bergerak, Rob. Aku merasa cairan ini menarikku ke bawah."
"Tetaplah berdiri," perintah Rob. "Ini tidak akan lebih tinggi,
kan?" Mereka mengangkat lengan untuk menghindari cairan yang kini
telah naik setinggi pinggang. Gumpalan hijau menempel di tubuh
mereka, menggelegak panas mengepul. Baunya semakin tajam,
mencekik, memualkan, memaksa mereka bernapas susah payah dari
mulut. "Cally" Cally"dapatkah kau mendengarku?" teriak Kody
ketakutan. "Apa kau di sini" Bisakah kau menolong kami?" Tak ada
jawaban. "Saudaramu sudah mati, Kody," ujar Rob pelan. "Ia tak bisa
menolong kita sekarang."
Ia ada di sini, kata Kody pada dirinya sendiri.
Ia ada di sini. Aku tahu ia ada di sini.
Kenapa ia tidak menolong kami"
Keringat mengalir turun di wajah Kody. Rambutnya yang basah
kusut di dahi. "Aku merasa seperti meleleh," ia mengerang, "meleleh
di dalam cairan ini."
Rob tidak menyahut. Ia sedang menyeka gumpalan hijau dari
bagian depan kemejanya. "Rob"semakin tinggi," kata Kody lemah. "Sebentar lagi, kita
tidak akan bisa bergerak."
Kody mencari-cari dengan putus asa ke sekeliling ruangan.
"Hei"jendela itu!" jeritnya. "Rob"jendela itu menuju atap."
"Betul!" teriak Rob bersemangat, tetapi rasa antusiasnya dengan
cepat memudar. "Apa yang membuatmu berpikir kita bisa sampai ke
sana, Kody?" "Kita harus bisa!" tandas Kody.
Seraya mencondongkan tubuh dan memaksa bergerak di dalam
cairan hijau kental itu, Kody mendekati jendela.
"Ia seperti menarikku ke belakang," teriak Rob di belakangnya.
"Seakan-akan ia sengaja mencoba menjauhkanku dari jendela."
"Terus saja," desak Kody terengah-engah. "Terus dorong."
"Aku"kurasa kita tidak akan berhasil," kata Rob dengan
lemah. "Aku"aku akan tenggelam dalam cairan ini."
"Tidak!" Kody memalingkan kepala. "Kita bergerak, Rob. Kita
hampir sampai. Jalan terus. Jangan menyerah."
"Baunya?" Rob mengerang. "Aku"merasa"sangat..."
Suaranya melemah. "Tinggal beberapa langkah lagi," gumam Kody. "Beberapa
langkah lagi." Ia memaksa tubuhnya maju, lengannya terulur.
Cairan kental menyapunya, mendorongnya kembali, gelombang
demi gelombang yang panas.
Tapi ia terus menggerakkan kakinya, terus mendorong,
mendorong, mendorong. Sampai ia menjulurkan telapak tangan ke kaca jendela.
"Ya!" ia berteriak menang. "Kita akan keluar sekarang, Rob!
Lekas! Kita akan keluar!"
Tangannya meluncur di kaca. Ia menempelkannya lagi pada
kusen jendela dan mendorongnya.
Jendela itu bergeming. Ia mendorongnya lebih kuat.
Kakinya terpeleset. Cairan hijau panas muncrat ke dadanya.
Sambil menyeimbangkan diri, Kody memeriksa kunci pada
kusen jendela terendah. Tidak terkunci.
Ia mendorong kusen jendela itu.
Jendela itu tak mau bergerak. "Ini terkunci juga," ia berusaha
berbicara dengan tenggorokan yang tercekik.
Mati-matian ia memukulkan kedua tinjunya pada kaca.
"Keluarkan kami! Keluarkan kami!" ia melengking dalam kepanikan.
Cairan panas yang menggelegak telah naik ke atas
pinggangnya. Dengan kekuatan yang meledak oleh keputusasaan, ia berputar
ke kiri. Mengulurkan tangan. Menyambar tiang lampu, rangka baja
ramping yang menahan dua lampu besar.
Hampir kehilangan keseimbangan lagi, hampir tergelincir ke
dalam cairan, Kody berhasil mengangkat tiang lampu itu.
Dengan gemetar mengangkat lampu itu, ia memukulkannya
keras-keras pada kaca jendela.
Kaca jendela retak. Retakannya seperti sarang labah-labah yang
menyebar di kaca. Kemudian kaca itu pun jatuh ke atap.
"Ya!" teriak Kody gembira, lalu memukuli sisa pecahan kaca
yang bergerigi itu. Setelah melempar tiang lampu ke belakangnya, ia mengangkat
kedua tangan ke ambang jendela. Perlu seluruh kekuatannya yang
tersisa untuk mengangkat tubuhnya keluar dari cairan kental itu.
Kody mengangkat tubuh hingga lututnya berada di ambang


Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jendela. Ia setengah terjatuh, setengah terjun di atap sirap yang rata.
"Rob!" panggilnya. "Lekas, Rob! Kita keluar! Kita tidak apaapa!"
Ketika Rob tidak menjawab, Kody merasakan ketakutan di ulu
hatinya. "Rob?" panggilnya, dadanya sakit ketika ia berusaha menarik
napasnya. "Rob"' Merayap di atas sirap, Kody merangkak kembali ke jendela. Ia
menekankan kedua tangan pada ambang jendela, dan menatap tajam
ke dalam loteng. "Tidaaaaak!" raungan ngeri meledak dari dalam dirinya.
"Rob"tidaaaaak!"
BAB 22 KETIKA lolongan keluar dari tenggorokannya, Kody
mengamati Rob. Ia mengapung tak bernyawa di atas cairan itu,
wajahnya terkubur, lengannya terpentang.
Ia hanya sejengkal dari jendela. Sejengkal dari kebebasan.
Ia mungkin mencoba berenang, pikir Kody, dan cairan
menjijikan itu menariknya ke bawah.
"Rob" Rob?" Kody memanggilnya tanpa sadar, tak mampu
mendengar suaranya sendiri mengatasi debaran jantungnya, mengatasi
pikiran yang menyakitkan.
Kemudian, tanpa berpikir, dalam tindakan yang kabur, Kody
mendaki ambang jendela, berlutut, mengambil napas dalam-dalam"
dan mencondongkan tubuh di atas cairan kental yang menggelegak.
Menjulurkan kedua tangan. Menjulurkannya lebih jauh,
mencondongkan tubuh sejauh mungkin. Meraih. Menggapai.
Merenggut rambut Rob. Dan menarik wajahnya keluar dari
cairan. Apa kau masih bernapas" tanyanya dalam hati.
Kumohon, Rob. Kumohon, bernapaslah. Kumohon!
Tak ada pilihan lagi. Ia harus turun kembali ke cairan yang
panas itu. Sambil merangkulkan tangan di bawah ketiak Rob, ia
mengayunkan punggung Rob agar tegak. Kotoran hijau melekat pada
wajah Rob, pada bajunya, pada rambutnya.
Sambil mencengkeram ambang jendela dengan tangan kirinya,
Kody menarik dengan tangan kanannya.
Aku tak bisa mengangkatnya. Tapi mungkin aku bisa
menyeretnya, pikirnya. Tolong, Rob. Bernapaslah.
Kody harus melepaskan Rob untuk mengangkat tubuhnya
sendiri keluar dari cairan yang dalam dan kembali ke ambang jendela.
Kemudian ia berbalik, membungkuk untuk menarik Rob dengan
kedua tangan. Menarik. Menarik terus sampai dadanya seperti mau
meledak. Ia terjengkang sewaktu tubuh Rob meluncur di atap yang rata.
Kody mendarat keras pada pinggangnya, tapi ia tak mengacuhkan rasa
sakit itu dan cepat-cepat merangkak kembali mendekati Rob.
Bernapaslah. Tolong. Rob terbaring telentang pada punggungnya, matanya terpejam,
tubuhnya tak bergerak. Kumohon. Kumohon! Kody memukul dada Rob dengan keras.
Tolong bernapaslah. Tolong bernapaslah.
Kody tersengal-sengal dalam setiap tarikan napas. Tapi dadanya
tetap sakit. Sambil membungkuk di atas Rob, dengan panik ia menyeka
gumpalan hijau dari sekitar mulut Rob. Lalu ia menurunkan mulutnya
ke mulut Rob dan mulai memberikan pernapasan buatan.
"Ohhh." Kody mengerang ketika merasakan cairan hijau yang
busuk itu. Rasanya seperti berpasir. Seperti mentega susu yang sudah
tengik. Tapi Kody menurunkan mulutnya sekali lagi ke mulut Rob.
Dan ia bernapas, mendorong napasnya ke dalam mulut Rob,
mencoba tidak memedulikan rasa busuk itu.
Bernapas. Bernapas. Rob mengerang. Ya! Bernapas. Bernapas. Rob bernapas lagi dan mengerjapkan matanya.
Kody mengangkat kepala, menyeka gumpalan hijau dari
dagunya. Ya. Rob sudah bernapas sendiri sekarang. Bernapas dengan
berisik. Tapi bernapas. Seraya memejamkan mata, Kody mengucapkan doa terima
kasih dalam hati. Lalu ia berpaling dari Rob dan mulai muntah.
************** Sore berikutnya, dengan geram Bo berjalan mondar-mandir di
ruang duduk, bicara dalam suara tinggi yang emosional. Kody
merosot di sofa yang rapat ke dinding. Kenapa ia terus membelalak
padaku seperti itu" Kody bertanya-tanya dalam hati. Seakan-akan
yang terjadi adalah kesalahanku"
"Aku tidak tahu bagaimana kita bisa meneruskan film ini.
Konyol, Bo," ujar Persia dari sofa yang lain. Salah seorang asisten
membawakan Diet Coke dalam gelas tinggi.
"Film ini harus jadi. Kita harus melanjutkannya," jawab Bo
panas. "Dan dengan cepat."
Ia tetap saja mondar-mandir sambil mengayun-ayunkan
clipboard dengan satu tangan. "Jika aku tak salah menilai ayah Rob, ia
akan memenuhi tempat ini dengan kawanan pengacara. Ia akan
menuntut setiap sen yang dimiliki produksi ini. Ia akan menuntut
akibat kelalaian ini"dan ia akan menang."
"Bagaimana kabar Rob?" tanya Kody dari belakang ruangan. Ia
menelepon rumah sakit sepanjang pagi. Tapi mereka tidak
memberikan infomasi apa pun.
"Kata rumah sakit, Rob baik-baik saja," sahut Bo suram. "Ia
dalam kondisi syok, kata mereka. Tapi ia akan baik."
"Kita semua syok," gumam seseorang.
"Aku masih bisa mencium bau cairan itu," kata orang lain lagi.
Beberapa orang berpaling dan memandang Kody.
Apa mereka mengharapkanku masih dilumuri cairan itu"
tanyanya dalam hati dengan tak senang. Kenapa semua orang melotot
padaku" "Ada yang melihat Ernie?" seorang kru perlengkapan bertanya.
Ruangan menjadi hening. "Ernie tidak bersama kita lagi,"
akhirnya Bo menjawab. "Aku"uh"tak punya pilihan lain. Aku harus
memecatnya." Ia menelan ludah. "Ernie dan aku sudah bekerja sama
begitu lama. Tapi dia"dia hampir menghancurkan seluruh produksi
ini dengan mesin tololnya."
Terdengar bisikan dan gumaman orang yang terkejut.
Ini bukan salah Ernie, Kody menyadari seraya menyilangkan
lengan di atas dadanya, lalu tenggelam kembali di pelukan lengan
kursi. Bukan mesin Ernie yang memuntahkan cairan hijau itu.
Rumah ini yang melakukannya.
Dan ketika pikiran mengerikan itu tak mau enyah dari
benaknya, ia memandang sekilas ke atas dan melihat seberkas cahaya
di jendela. Cahaya itu berkilauan menjadi kabut putih pucat. Dan di dalam
kabut itu, Kody melihat kakaknya.
"Cally!" Ketika ia memanggil namanya, cahaya itu padam. Bayangan itu
lenyap. Kody mengerjapkan mata. "Kody"kau baik-baik saja?" tanya Bo sambil berkacak
pinggang. "Uh"yeah. Kurasa begitu," sahut Kody ragu-ragu. Matanya
memandang jendela. Ia berharap melihat Cally muncul lagi. Ia ingin
melihat Cally muncul. "Kita menata cahaya ruang makan uptuk besok pagi," kata Bo
kepada mereka. "Kita akan syuting adegan loteng belakangan." Ia
mengecek beberapa halaman pada clipboard-nya. Lalu ia memandang
aktor setengah baya yang duduk di sebelah Persia di sofa. "Ini akan
menjadi adeganmu yang pertama, Burt," katanya.
Kody mengalihkan perhatian pada Burt Martindale, aktor yang
dipilih untuk memerankan ayahnya. Dia baru dites akting dan tiba di
lokasi terlambat. Kody sudah menyapanya. Tidak lebih dari itu.
Ia tampak ramah. Ia memiliki mata biru yang berbinar dengan
rambut yang tipis dan pirang serta senyum yang hangat. Kody
terganggu karena Burt sama sekali tidak mirip ayahnya yang asli.
Tapi, katanya pada diri sendiri, ini hanya film.
"Kuharap aku tidak menghadapi masalah seperti kau!" teriak
Burt dari seberang ruangan kepada Kody.
"Kuharap begitu," sahut Kody sambil mendesah.
"Kau bisa berenang?" tanya Persia kepada Burt dengan datar.
"Tidak lucu, Persia," kata Bo keras. "Tak ada lelucon. Aku
serius." Ia memandang de?ngan gugup ke sekeliling ruangan. "Marge
dan Noah"di mana kalian?"
Marge Andersen mengangkat tangan dan melambai kepada Bo.
Ia aktris bertampang lembut dengan rambut pirang pendek dan
ekspresi wajah rewel, dipilih untuk memerankan ibu Kody.
Marge sangat pemalu dan pendiam, Kody mengetahuinya
selama latihan mereka di Los Angeles. Ia duduk dekat jendela di
samping Noah Klein, berumur sepuluh tahun, yang berperan sebagai
James, adik Kody. "Aku ingin merencanakan garis besar adegan makan malam
dengan para pemain," Bo mengumumkan. "Kalian mempunyai tugas
masing-masing. Kita akan mengambil adegan ini besok pagi. Dan," ia
menambahkan, mengucapkan setiap kata dengan perlahan dan jelas,
"tidak akan ada kesalahan atau persoalan. Paham?"
Gumam setuju dan komentar mengisi udara ketika semua orang
berdiri dan segera keluar dari ruang duduk.
Kody tidak ingin membahas adegan ruang makan. Ia ingin
sekali menemukan Cally. Cally muncul untuknya di jendela. Cally pasti ingin bicara
denganku, batin Kody dalam hati. Andai saja aku bisa pergi
menemukannya. Tapi Kody tahu ia tak punya pilihan. Ia harus berlatih adegan
mengerikan ini. Sembari mengangkat tubuh, ia mulai mengikuti Bo dan yang
lain ke ruang makan. Tapi Persia menghalangi jalan Kody.
"Kody, apakah rambutmu kelihatan sedikit hijau oleh gumpalan
menjijikkan itu, atau itu hanya karena cahaya di sini?" tanya Persia,
senyum kejam menghiasi bibirnya yang gelap dan penuh.
"Persia, aku benar-benar sedang tidak ingin?" Kody mulai
membuka mulut. "Ya, kau tampak sangat capek," Persia berkomentar. "Aku
hanya ingin mendapat persetujuanmu tentang ide yang kuusulkan ke
Bo." "Ide?" tanya Kody hati-hati.
"Yah, cuma ide tentang tempat duduk kok," sahut Persia. "Aku
tahu seharusnya kita duduk saling berhadapan ketika Burt menusuk
dirinya sendiri. Tapi kupikir akan lebih menegangkan jika kita duduk
berdampingan, dan mungkin kau dan aku bisa berdebat tentang pisau
daging." "Hah?" wajah Kody tampak kebingungan.
"Kau tahu. Untuk menunjukkan betapa bersaingnya kita sebagai
saudara kembar," Persia melanjutkan. "Bo menyukai ide itu.
Sungguh." "Yah, baiklah?" Kody mulai menyetujui.
"Aku duduk di sebelah kirimu karena aku tampak lebih baik
dari sisi itu," kata Persia. "Tidak apa-apa, kan, Kody" Aku tidak yakin
mana sisimu yang lebih baik!"
Sindiran yang kejam, pikir Kody getir. Persia memang orang
paling sadis yang pernah kutemui.
Tanpa menjawab, Kody melewati Persia dan berjalan ke ruang
makan. Ruangan itu penuh peralatan. Kru tata lampu dan kru tata
suara bergerak cepat di sudut ruang makan, untuk persiapan syuting
besok pagi. Dua wanita, kepala peralatan dan asistennya, sedang sibuk
menyiapkan meja. Kody berjalan pelan mengelilingi mikrofon boom,
lalu mendekati Bo dan yang lain di kepala meja.
Tapi benda yang tergeletak di tengah taplak meja linen putih
membuatnya terhenti"dan menatap.
Pisau daging besar bergagang hitam. Mata pisau besar itu
berkilat-kilat di bawah cahaya lampu di atas kepala.
Pandangan Kody kabur. Dalam cahaya berkilau di mata pisau,
ia melihat keluarganya yang sebenarnya. Cally dan James serta ibu
dan ayahnya, duduk mengelilingi meja yang mirip dengan yang ada
dalam ruang makan ini, dua tahun lalu.
Adegan bahagia. Makan malam pertama mereka di rumah baru ini.
Mr. Frasier berdiri untuk memotong-motong daging panggang.
Cally beranjak dari kursi dan pergi ke dapur. Ketika Cally lewat di
belakangnya, pisau itu melayang seakan-akan didorong oleh tangan
yang tak terlihat. Keluarga itu mengawasi dengan ngeri ketika pisau itu
menancap ke pinggang Mr. Frasier.
Makan malam yang bahagia berakhir dalam tangis dan
kepanikan. Kengerian pun dimulai. "Aku akan menempatkanmu di kepala meja, Burt," di balik
pemikirannya sendiri, Kody mendengar Bo berkata. "Dan, Marge, kau
dekat di sampingnya."
"Bagaimana dengan aku" Kukira aku duduk paling dekat
dengan si ayah," Kody mendengar Noah berkata.
Jawaban Bo semakin sayup-sayup ketika Kody menatap pisau
daging yang berkilat itu.
Pisau ini cuma perlengkapan panggung. Tidak ada orang yang
akan tertusuk kali ini, kata Kody pada dirinya sendiri.
Jadi kenapa perasaanku tak enak, semacam perasaan dingin
tentang pisau ini" BAB 23 KODY bersembunyi di trailernya, menunggu semua orang
pergi. Ia menghabiskan waktu dengan membaca halaman-halaman
naskah yang telah direvisi untuk adegan ruang makan. Ide Persia
betul-betul tolol, pikir Kody. Cally dan aku tidak seperti itu. Tak bisa
kubayangkan dua gadis remaja begitu bersaing sehingga berdebat
siapa yang harus memberikan pisau kepada ayah mereka.
Aku tak percaya Bo menyukai ide itu, pikir Kody sambil
memandang ke luar jendela trailer ketika matahari tenggelam di balik
pepohonan. Ia bilang itu pengembangan karakter yang bagus.
Yah"terserah. Tentu saja aku akan memainkan adegan itu tanpa banyak
omong. Maksudku, toh tak ada yang menanyakan pendapatku.
Bagaimanapun juga Persia aktris profesional,


Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan aku ini apa" pikir Kody tidak senang.
Aku orang aneh. Aku orang aneh dalam kehidupan nyata yang
ditunjuk-tunjuk orang dalam gedung bioskop dan mereka saling
mengatakan, "Apakah kau tahu ia saudara kembar yang asli?"
Kody melontarkan desah lirih.
Aku ingin bertemu saudaraku yang asli, pikirnya.
Cally ada di rumah ini. Aku melihatnya. Dan malam ini aku
akan menemukannya. Atau barangkali ia akan menemukanku.
Kody mencoba menelepon Rob di rumah sakit. Tapi sepertinya
telepon selular di dalam trailer rusak. Ia mendengar nada sibuk segera
setelah menyalakannya. Membenamkan diri ke sofa untuk menunggu rumah kosong, ia
segera lelap dalam tidur yang tak nyenyak. Ia memimpikan
orangtuanya. Ia bersama mereka di Los Angeles. Mereka semua
makan donat. Donat bergula yang besar.
Tapi rasa cairan hijau yang tajam memualkan menyerbu mimpi
Kody. Donat-donat itu berbau aneh, seperti daging berbelatung yang
busuk. Dan rasanya lebih parah lagi.
Kody terbangun, ingin muntah. ebukulawas.blogspot.com
Ia berdiri tegak, menelan dengan susah payah, menggoyangkan
kepala untuk mengenyahkan mimpi buruk itu.
Langit sudah gelap, ia melihat. Ia pasti tertidur barang satu-dua
jam. Ia memandang rumah itu dari jendela trailer. Juga gelap.
"Cally, aku akan menemukanmu malam ini," gumamnya.
Ia membungkuk di depan cermin dan menyibakkan rambut
pirangnya ke belakang dengan kedua tangannya. Lalu dengan cepat ia
mengoleskan lip gloss bening. Jantungnya berdebar-debar, ia turun
dari trailer, menutup pintu dengan pelan di belakangnya.
Semilir angin hangat membuat rumput tinggi gemeresik ketika
Kody berjalan di halaman rumput menuju rumah. Jangkrik-jangkrik
mulai melantunkan simfoni melengking ketika ia sampai di serambi
depan. Aku sangat gugup, Kody menyadari.
Tidur sebentar tadi tidak menenangkannya. Entah bagaimana
malah membuatnya semakin gugup.
Pintu depan berderit keras ketika ia mendorongnya.
Efek khusus rumah tua berhantu, pikirnya.
Ia melangkah di selasar depan. Cahaya bujur sangkar dari ruang
duduk tercipta di atas karpet. Seseorang pasti telah meninggalkan
lampu menyala. Kody melangkah memasuki cahaya dan memandang ke dalam
ruang duduk. Kotak peralatan baja hitam ditumpuk di depan perapian.
Beberapa mikrofon terletak di dekat gulungan kabel listrik pada
dinding sebelah sana. Kody berbalik ke dalam gang. Ke mana aku harus mencari" ia
bertanya-tanya dalam hati, berharap jantungnya berhenti berdegup
begitu kencang dan tangannya tidak terasa dingin dan lembap.
Ia melangkah menuju dapur.
Kemudian ia mendengar suara, lembut seperti bisikan. "Kody,
ini aku." "Oh!" Kody memekik kaget dan berbalik.
"Kau mencariku?" Suara Cally. Pelan dan bernada riang.
"Y-ya," Kody tergagap. "Aku"ingin bertemu denganmu, Cally.
Aku rindu padamu." "Ikuti aku, Kody." Suara Cally bergerak menuju lorong
belakang. "Aku tak percaya ini benar-benar kau!" teriak Kody, emosinya
meluap. Ia tidak tahu sampai berapa lama ia dapat menahan tangis.
"Di mana kau, Cally" Dapatkah aku melihatmu" Dapatkah aku
memelukmu?" "Ikuti aku," ulang Cally. "Aku ada di sini, Kody."
Dalam cahaya gang yang redup, Kody melihat pintu ke ruang
bawah tanah terbuka. Suara Cally sepertinya datang dari pintu masuk
itu. Kody menyadari tubuhnya gemetar dalam kegelisahan. "Kau
ingin aku turun ke bawah, Cally" Tak bisakah kita bicara di atas sini
saja" Tak bisakah aku melihatmu sekarang?"
"Segera," sahut Cally, suaranya lembut dan tenang. "Turunlah
ke bawah bersamaku, Kody. Jangan takut."
Kody ragu-ragu di puncak tangga ruang bawah tanah.
Bagaimana dengan tikus-tikus itu" Bagaimana dengan bahan
peledak itu" "Jangan takut," perintah Cally. "Turunlah bersamaku, Kody.
Aku telah menunggu begitu lama untuk berbicara denganmu."
"Aku juga!" teriak Kody. Melupakan rasa takutnya, ia
menghambur menuruni tangga.
Ia berhenti di lantai ruang bawah tanah dan menunggu matanya
membiasakan diri dengan kegelapan. "Di mana kau, Cally" Di bawah
sini sangat gelap." "Ke sini, Kody. Aku ingin menunjukkan suatu tempat
istimewa." Kody meraba-raba dinding, lalu menemukan sakelar dan
menyalakan lampu ruang bawah tanah. Peti-peti bahan peledak yang
ditumpuk di tengah-tengah lantai mulai terlihat. Kody melihat kawat
panjang terentang dari peti-peti itu, menuju sebuah kotak tipis"
detonator. Aneh, pikirnya. Apakah Bo memasang detonator pada bahan
peledak untuk akhir film meskipun kami belum mulai syuting"
"Kody"cepatlah. Aku sangat ingin bicara denganmu." Suara
Cally membuat Kody berpaling dari peti kayu.
"Di mana kau?" panggil Kody. "Biarkan aku melihatmu"
kumohon!" "Aku di sini. Tidak bisakah kau lebih cepat?" Suara Cally
melayang ke arah Kody dari seberang ruang bawah tanah.
Sembari berjalan melewati bahan peledak, Kody melihat pintu
masuk sempit pada dinding di sebelah sana. "Aku tidak pernah tahu
ada ruangan lain di bawah sini," katanya kepada kakaknya.
Ia mendengar bunyi kaki berlari di belakangnya. Bunyi garukan
cakar-cakar tikus. Bunyi itu membuatnya merinding.
Kody tergesa-gesa melewati pintu masuk yang sempit, dan
menyadari dirinya berada di dalam ruangan remang-remang yang
tidak lebih besar dari sebuah gudang kecil. Bola lampu tergantung
pada kabel yang sudah terburai, memantulkan cahaya kuning tajam
pada dinding batu dan lantai ubin. Bangku pendek berkaki tiga berdiri
tepat di dinding belakang, satu-satunya perabot yang ada.
"Cally" Kau di sini?" bisik Kody.
"Ya. Aku di sini."
Seberkas cahaya putih pucat berkedip-kedip di atas bangku itu.
Cahaya itu berpendar dan semakin besar hingga menyerupai awan
kecil. Kody berteriak senang ketika Cally keluar dari awan itu.
"Aku tahu aku akan bertemu denganmu lagi!" seru Kody,
suaranya pecah dalam emosi.
Senyum melebar di wajah Cally. Matanya yang hijau bersinar
seperti zamrud yang gemerlap. Kulitnya yang pucat berkilauan.
Air mata menetes di pipi Kody. Ia merentangkan lengannya,
menghambur ke depan, dan merangkum kakaknya dalam pelukan.
"Oh." Kody mundur ke belakang, tak mampu menyembunyikan
kekagetannya. "Cally" kau sangat dingin!"
Senyum Cally melebar. Matanya bersinar begitu terang,
sampai-sampai Kody harus mengalihkan tatapannya.
"Aku sudah menunggu begitu lama, Kody," kata hantu itu,
tanpa mengacuhkan teriakan kaget Kody.
Kody merasakan kabut dingin melintasinya.
Cally kelihatan samar-samar di balik awan itu.
Kabut itu bergerak, meliputi Kody.
Cally menjadi bayangan di dalam kabut itu. Bayangan itu
mengambang di atas Kody. Gelombang dingin membuat Kody gemetar. Bayangan itu
bergulung turun menghampirinya seperti kegelapan.
"Cally"tidak!" Kody berusaha berteriak. "Cally"apa yang
kaulakukan padaku?" BAB 24 "SEBELAH sini, Kody," kata Bo sambil memberi isyarat
dengan clipboard-nya ke arah kursi di samping Persia. "Kau sudah
dirias?" "Memangnya tidak ada bedanya?" goda Kody.
Sepertinya semua orang sedang dalam suasana hati yang lebih
riang. Mungkin akhirnya mereka bisa mengambil adegan film
sungguhan. Malam sebelumnya, Bo menghabiskan satu jam berbicara di
telepon dengan para eksekutif studio. Ia mengatakan bahwa semua
berjalan lancar, kecuali beberapa kecelakaan kecil.
Bohong besar! Sejauh ini, yang berhasil ia lakukan hanya
mengambil beberapa gambar di luar rumah. Sekarang ia harus
membanting tulang dan kembali bekerja.
Ia membimbing Kody ke tempatnya di meja makan di sebelah
Persia. Lalu ia mendiskusikan masalah tata lampu dengan salah
seorang kru. Ia menyapa Burt dan Marge dan meminta Noah
membuang permen karetnya. Salah seorang asisten segera mengambil
permen karet itu. Bo berpaling kembali ke para pemain. Kody duduk dengan
kaku di samping Persia, yang asyik memandang kukunya yang gelap,
bahkan tidak mau repot-repot mendongak atau mengucapkan selamat
pagi. "Hari yang indah," kata Kody, menggeser kursinya ke dalam.
Persia menggumamkan sesuatu sebagai jawaban.
"Bagaimana kabar semua orang hari ini?" sapa Bo dengan
riang, meletakkan tangan di bahu Burt. "Aku suka makan malam
daging panggang pada jam tujuh pagi. Ya, kan?"
Burt dan Marge tertawa. Noah menguap dan merosot di
kursinya sehingga kepalanya hanya sedikit lebih tinggi dari meja.
"Bo, aku tidak percaya kita benar-benar akan mengambil
gambar adegan ini," ucap Persia sambil memutar bola matanya. Ia
menoleh ke Kody. "Apakah wigku sudah lurus" Wigmu agak miring."
"Aku tidak memakai wig," jawab Kody tajam
"Itu rambut aslimu?" tanya Persia, pura-pura terkejut. "Aku
menyuruh penata rambutku agar tidak membuat wigku terlalu rapi.
Maksudku, rambutmu kan selalu begitu"bebas. Karena aku
memerankanmu, aku ingin rambutku tampak sama kusutnya."
"Terima kasih," jawab Kody ketus.
"Persia, sudahlah," sela Bo. Ia melangkah ke arah kamera.
"Latihan sekali. Lalu kita akan mengambil gambar." Ia berbalik dan
berteriak, "Properti! Bawa makanan keluar, oke?"
"Sebentar lagi. Kami sedang menyemprot dagingnya!" suara
seorang wanita berteriak dari dapur.
"Itu untuk membuat daging tampak lezat," Bo menjelaskan
kepada Kody. Bo berpaling ke Persia. "Sementara kita menunggu,
jelaskan secara garis besar idemu tentang rebutan pisau itu. Aku masih
tidak yakin aku memahaminya."
"Hanya persaingan kecil antara saudara kembar," kata Persia
dengan tidak sabar. "Kody selalu merasa menjadi nomor dua, kan" Ia
selalu merasa tertinggal. Cally-lah yang cantik dan yang pandai dan
yang paling beruntung dan bla bla bla."
"Kita tahu itu semua," ucap Bo sambil melirik jam tangannya.
"Jadi waktu Dad bilang, 'Tolong pisau dagingnya,' kedua
bersaudara itu menyambarnya pada waktu bersamaan," Persia
melanjutkan. "Dan tak seorang pun mau melepaskan. Mereka tarikmenarik, itu saja. Hanya untuk menunjukkan betapa Kody sangat
kompetitif." "Aku mau lihat dulu," ujar Bo, mengelus jenggot hitam di
dagunya. "Beri gambaran untukku."
Burt memberikan pisau daging bergagang hitam itu kepada
Persia. Persia meletakkannya di depannya. "Nah, hati-hati dan jangan
sampai terkena pisau," katanya pada Kody seolah-olah ia bicara pada
anak berusia tiga tahun. "Kau harus menggeser pisau itu lebih dekat di antara kita,"
Kody mengusulkan. "Akan lebih logis bagiku untuk meraihnya."
Persia menggeger pisau itu lebih dekat ke arah Kody.
"Barangkali kau bisa memberi Kody sedikit petunjuk," kata Persia
pada Bo. "Aku tahu Kody tidak pernah berlatih improvisasi apa pun.
Aku tak ingin dia lebih tegang dari yang sudah dirasakannya. Anak
malang ini gemetaran seperti agar-agar."
"Tidak!" Kody memprotes, wajahnya merah padam.
"Mainkan seluruh adegan, oke?" kata Bo pada Persia. "Aku
tidak yakin ini akan berhasil."
"Bisa berhasil kalau dia bisa mengatasinya," sahut Persia
dingin. "Burt"beri semacam aba-aba pada mereka," perintah Bo.
"Kemudian, ketika dua saudara berebutan pisau, haruskah aku
menghentikannya?" tanya Marge.
"Kita lihat dulu," jawab Bo, mundur ke belakang. "Ayo.
Action." Burt berdeham. "Daging panggang ini kelihatan lezat," katanya,
tersenyum pada piring kosong. "Tolong pisau dagingnya."
Persia meraih pisau itu. Tapi Kody menyambarnya lebih dulu.
Ia mengangkat pisau itu, lurus ke atas, lalu menghunjamkan
mata pisau dengan keras, menancapkannya di punggung tangan
Persia, sehingga tangan Persia terpaku di meja.
BAB 25 Bo memandang dengan kaget ketika Kody melepaskan gagang
pisau itu dan dengan tenang menurunkan tangan ke pangkuannya.
Persia tidak menjerit sampai darah merah segar mulai mengalir
dari punggung tangannya. Perlu beberapa detik bagi semua orang untuk menyadari apa
yang terjadi. Seseorang telah mengganti pisau mainan dengan pisau
sungguhan! Dengan panik, Persia mencoba menarik tangannya dari
permukaan meja"membuat mata pisau menusuk semakin dalam.
Darah mengaliri tangannya, menggenang di bawahnya.
"Kau tolol! Kau tolol!" ia melengking pada Kody.
"Ini bukan salahku," teriak Kody, melompat berdiri. "Seseorang
menukar pisaunya. Seharusnya ini pisau mainan!"
Mereka semua mengawasi Kody mundur ke belakang,
tangannya ditekankan pada pipi ketika semua orang berkerumun di
meja untuk membantu Persia. Terdengar jeritan kaget dan ketakutan di
ruangan itu. "Panggil dokter! Panggil dokter!" Bo berteriak. Ia melemparkan
clipboard dengan geram ke dinding.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Bo, mencoba menekan amarah
dan rasa frustrasinya. Dua anggota kru berjuang menarik pisau dari meja untuk
melepaskan tangan Persia. Persia menjerit dan menangis, matanya
terpejam, wajahya mengerut kesakitan. "Aku akan mati kehabisan
darah. Tolong lakukan sesuatu!"
"Sudah ada yang memanggil dokter?" teriak Bo. Semua orang


Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berteriak-teriak, memberi perintah, menyatakan ketidakpercayaan
mereka. Kegaduhan itu memekakkan telinga. Dan mengatasi semua
itu adalah lengkingan marah Persia.
Beberapa detik kemudian mereka mendengar pekikan Persia
yang tajam ketika pisau itu ditarik dari tangannya. Mereka
memandang noda darah yang melebar di taplak meja putih. Dua orang
membungkus tangan Persia dengan serbet linen putih. Dengan segera
darah menembus serbet. "Apakah dokter sedang dalam perjalanan ke sini?"
"Kau sudah memanggil 911?"
"Apakah ambulans sudah di luar?"
Jerit kebingungan dan ketakutan mengisi rumah itu.
Ketika dua petugas paramedis menyerbu masuk ke dalam
ruangan, Bo melihat Kody mundur menjauh. Bo bergerak cepat untuk
mengkonfrontasinya. "Aku perlu bicara denganmu." Kody ragu-ragu,
matanya mengerjap ke arah lampu putih terang.
"Aku perlu bicara denganmu sekarang," desak Bo, tangannya
ditekankan pada pinggangnya.
"A-Ada apa?" Kody tergagap.
"Aku mencoba untuk mengerti," ujar Bo, mendesah pada Kody.
"Tapi ini sudah terlampau jauh. Aku takkan membiarkan hal ini
berlanjut. Terlalu banyak orang terluka."
"Aku sangat menyesal," ujar Kody.
Bo mengerutkan dahi. "Terlalu banyak kejadian. Terlalu banyak
kecelakaan," Bo tergagap.
Kody menelan dengan berat. "Aku tidak mengerti."
"Aku tidak percaya takhyul," kata Bo. Ia harus mengeraskan
suaranya untuk mengatasi tangisan Persia di meja. "Tapi cukup jelas
bagiku film ini kena kutukan sial."
Mulut Kody menganga. "Aku masih tidak mengerti."
"Aku juga tidak," sahut Bo. "Tapi pasti ada hubungannya
denganmu, Kody. Ada hubungannya dengan kenyataan bahwa kau
pernah tinggal di rumah ini, bahwa kau mengalami kejadian-kejadian
ini." "Tapi, Bo?" Kody membuka mulut, menudungi matanya dari
cahaya lampu sorot. Bo mengangkat tangan memotong kata-kata Kody. "Terlalu
banyak yang tidak beres sejak kita tiba di sini," katanya sambil
mendesah. "Dan setiap kali, kau ada di sana, Kody. Setiap kali, kau
ada di sana ketika sesuatu yang mengerikan terjadi. Aku tidak bilang
kaulah penyebab masalah kami. Aku tidak bilang kau yang
bertanggung jawab. Tapi kau membawa sial. Aku tahu itu."
"Bo"itu gila!" teriak Kody. "Kau tidak betul-betul percaya
kalau aku?" Bo mengangguk dengan serius. "Aku harus menyuruhmu
pergi," katanya pelan. "Aku harus mengeluarkanmu dari film ini."
Bo berharap Kody menunduk dan segera mundur. Ia berharap
mendengar tangisan. Ia berharap Kody memohon dan meminta
kesempatan lain. Di luar dugaan, Kody membuatnya terkejut dengan
kemarahannya. "Tidak, tidak akan," sahutnya tajam. "Tidak bakal, Bo.
Aku tidak akan pergi."
"Aku sungguh menyesal?" kata Bo.
"Tidak. Akulah yang menyesal!" ujar Kody.
Ia mengangkat tiang lampu sorot yang besar, lalu
mengayunkannya dengan keras"dan menghunjamkan bagian depan
lampu ke wajah Bo. Terkejut ketika rasa sakit meledak di seluruh tubuhnya, Bo
menjulurkan lengannya dan terhuyung ke belakang.
Tapi Kody terus menekankan lampu itu ke wajah Bo sampai
kulitnya mendesis karena terbakar.
Ketika akhirnya ia melemparkan tiang lampu ke lantai, sisi
wajah Bo berasap. Pria itu mengeluarkan bunyi berdeguk lemah dan
merosot ke lantai. Sebelum kehilangan kesadaran, Bo mendengar teriakan riang
Kody pada yang lain: "Oke, semuanya! Syuting selesai!"
BAB 26 KODY membungkuk di atas bangku, berjuang keras membuka
tali yang mengikat lengan dan kakinya. Sapu tangan menyumpal
mulutnya, mencekik tenggorokannya yang kering.
Ia telah memutar dan menarik-narik tali itu selama berjam-jam.
Tapi tak berhasil. Sudah berapa lama ia terkunci di ruang bawah tanah ini"
Ketakutan dan kelelahan, ia kehilangan jejak waktu. Ia tahu ini
pasti siang hari. Ia mendengar suara-suara di atas, mendengar jeritan,
mendengar semua keributan.
Ia tahu Cally bertukar tempat dengannya. Ia tahu Cally di atas
sana di ruang makan, berpura-pura menjadi dirinya.
Dan sekarang Kody tahu Cally sudah menjadi jahat.
Cally bukan Cally lagi. Malam sebelumnya, bayangan Cally menyapu seluruh
tubuhnya, mengambang di atas dirinya, sampai Kody merasa ia
melayang dalam lubang besar tak berdasar yang dingin.
Dalam kegelapan yang dingin itu Kody merasakan roh jahat
Cally. Ia merasakan kemarahan Cally, merasakan kebencian yang
mengisi hatinya. Ketika kegelapan lenyap, Kody menemukan dirinya terkunci di
ruang bawah tanah yang kosong. Mulutnya tersumpal. Pergelangan
kakinya diikat. Tangannya diikat di belakang punggungnya.
Ia menyadari Cally telah membawanya ke sini dan
memenjarakannya, memutuskan untuk menggantikan tempatnya.
Dan sekarang apa yang dilakukan Cally di atas"
Ketika Kody membungkuk di atas bangku, berusaha untuk
mendengar, bunyi-bunyi lain masuk ke telinganya.
Bunyi kaki-kaki berlari dan menggaruk. Kibasan ekor yang
diseret di lantai bawah tanah.
Tikus-tikus. Begitu dekat. Begitu dekat sampai-sampai Kody
mengira bisa mendengar mereka bernapas.
Ia mendengar desisan melengking.
Bunyi menggaruk semakin dekat.
Kody berusaha berdiri dan memandang dinding di ruangan kecil
ini. Di mana tikus-tikus itu" Kenapa mereka terdengar begitu dekat"
Jantungnya mulai berdegup kencang. Ia menelan dengan susah
payah. Desisan lain, nyaris seperti tawa yang dingin.
Garukan cakar-cakar tikus yang tajam.
Di mana" Di mana mereka"
Kody berpaling ke arah pintu. Lalu berbalik.
Dan melihat sebuah lubang di dinding. Retakan tipis di bawah
dekat lantai. Hanya retakan. Tapi cukup besar untuk seekor tikus merangkak
masuk. Atau beberapa tikus. Seraya memandang retakan itu, ia berlutut. Ia menundukkan
kepala ke arah retakan itu" dan mendengarkan.
Bunyi menggaruk. Desis yang melengking.
Ya. Tikus-tikus itu ada di ruangan lain, Kody tersadar.
Tapi dapatkah mereka menyusup masuk lewat retakan itu"
Apakah mereka akan melakukannya"
BAB 27 KODY gemetar ketika menunduk ke retakan itu dan mengintip
melalui lubang itu. Dengan terkejut, ia melihat cahaya di ruang
sebelah. Sambil memiringkan kepala ke bawah untuk melihat, sumpal
mulut itu tanggal dari wajah Kody. Ia menelan dengan susah payah.
Ketika matanya terfokus, ia melihat seekor tikus.
Tikus yang lain, dengan sungut kasar bergoyang-goyang dan
gigi yang tajam, mendesis pada tikus pertama.
Napas Kody tersangkut di tenggorokan ketika ia berusaha
melihat ke ruangan itu dengan jelas. Berapa banyak tikus di ruangan
itu" "Sudah, sudah, Sayang."
Suara seorang wanita membuat Kody tersentak. Dengan terkejut
ia berlutut dan berjuang untuk bernapas.
"Sudah, sudah. Nah, begitu, Sayang." Suara itu kedengaran
begitu akrab. Tapi siapa yang repot-repot turun ke ruang bawah tanah" Dan
dengan siapa wanita itu berbicara"
Berusaha keras untuk tenang, Kody mengambil napas dalamdalam dan membungkuk lagi ke retakan kecil di dinding.
Tikus-tikus itu bergerak, ia melihat. Atau mungkin itu bukan
tikus. Salah satu di antara mereka, makhluk cokelat gemuk dengan
ekor berbulu panjang, berlari berputar dalam lingkaran.
"Hentikan itu, Sayang. Kau nanti capek," tegur wanita itu.
Kody mengangkat pandangannya dan melihat si pemilik suara.
Mrs. Nordstrom! Pembantu rumah itu duduk di bangku yang sama dengan yang
ada di ruangan kecil ini, membungkuk dan berbicara pada tikus-tikus
di kakinya. Tidak! pikir Kody. Ini hanya mimpi! Ini bukan sungguhan!
Sambil menggeser tubuh untuk mendapat pemandangan yang
lebih baik, Kody mengerjap-ngerjapkan mata"dan melihat dua sosok
lain yang dikenalnya duduk di samping Mrs. Nordstrom.
"Lihat dia lari berputar-putar!" seru Mr. Hankers sambil
menyikut pinggang Mr. Lurie.
"Jangan membuat capek dirimu sendiri," omel Mrs. Nordstrom
pada tikus yang berlari-lari itu.
Mr. Hankers menyobek keju dari seiris keju yang ia pegang di
antara kedua tangannya dan melemparkannya ke tikus itu. Tikus-tikus
lain"setidaknya enam atau tujuh ekor"mulai mencicit dengan
senang dan melompat naik-turun di pipa celana Mr. Hankers.
Mr. Hankers seharusnya membunuh tikus-tikus itu! batin Kody,
menatap dengan terkejut. Tapi ia malah memberi mereka makan!
Tenggorokannya menegang karena jijik, dan Kody mengawasi
Mr. Lurie, agen real estat itu, meraih seekor tikus abu-abu gemuk
dalam genggamannya. Tikus itu mencicit dan meronta. Sambil
tertawa, Mr. Lurie meletakkan makhluk itu di bahu jas kelabunya.
Tikus itu tiba-tiba melompat ke lantai.
"Ha-ha!" Mrs. Nordstrom tergelak. "Ia tidak menyukaimu!'
"Ah, mereka tidak menyukaimu juga," omel Mr. Lurie masam.
Mrs. Nordstrom mengedipkan mata. "Oh, ya" Lihat ini."
Kody semakin jijik ketika Mrs. Nordstrom menurunkan
lengannya ke lantai. "Ayo, teman-teman," panggilnya pelan.
Seekor tikus bergerak ke setiap tangan. Seringai senang
mengembang di wajah Mrs. Nordstrom. Ia mengangkat mereka,
memegang tikus-tikus itu di telapak tangannya. Lalu ia mulai tertawa
kecil ketika tikus-tikus itu merentangkan cakar-cakar mereka serta
menggunggis jari-jarinya.
"Oh! Betapa menjijikkan!"
Kody tidak sadar ia berteriak.
Ia melihat Mrs. Nordstrom mendongak dari tikus-tikus itu.
Napas Kody tersentak. Apakah dia mendengarku"
Apa yang akan dia lakukan"
BAB 28 "AYOLAH, Sayang. Tinggalkan sedikit kulit di jari itu," hardik
Mrs. Nordstrom pada salah satu tikus itu.
"Ia suka mengisap darah," kata Mr. Hankers sambil terkekehkekeh.
Kody mendesah lega. Mereka tidak mendengarnya. Ia duduk
kembali di bangku, benaknya penuh dengan pertanyaan.
Kenapa tiga orang ini duduk di ruang bawah tanah yang
tersembunyi" Apakah mereka tinggal di sana"
Kenapa mereka bermain-main dengan tikus-tikus itu, bicara
dengan mereka, membiarkan makhluk jelek itu menggigiti jari
mereka" Kenapa" Kenapa" Kenapa"
Pertanyaan-pertanyaan berputar dan berputar di benak Kody
seolah terjebak dalam angin topan yang berpilin.
Aku harus keluar dari sini, katanya dalam hati. Aku harus pergi!
Ia berusaha melepaskan ikatannya"tapi satu kata yang
diucapkan oleh Mrs. Nordstrom di ruang sebelah membuat Kody
terkejut. Kata itu adalah Cally.
Kenapa ia berbicara tentang Cally" Kody bertanya-tanya. Ia
membungkuk ke retakan di dinding dan berusaha mendengar.
"Cally gadis baik," kata Mrs. Nordstrom, dengan lembut
mengusap bulu abu-abu di punggung seekor tikus di tangannya.
"Dia dulu gadis baik," komentar Mr. Lurie. "Tapi kemudian kita
bisa mempengaruhinya."
Ketiganya tertawa. "Aku bilang ia baik karena melakukan semua yang kita
perintahkan padanya," ujar Mrs. Nordstrom. Ia mendesah dan
meletakkan tikus itu di lantai. Tikus itu bergabung dengan yang lain.
"Kau suka mereka penurut, kan!" ujar Mr. Hankers sambil
tertawa tertahan. "Penurut dan dungu," sahut Mrs. Nordstrom sambil
melemparkan irisan keju pada tikus-tikus itu dan memperhatikan
mereka saling berebut. "Gadis itu mengira ia menuruti kemauannya
sendiri." Ketiganya tertawa seolah-olah Mrs. Nordstrom melontarkan
lelucon yang sangat lucu.
Kody menjauh dari dinding. Ia memejamkan mata, mencoba
membayangkan apa yang baru didengarnya.
Mereka baru menjelaskan kenapa Cally begitu jahat, ia tersadar.
Aku benar ketika berpikir Cally bukanlah Cally.
Tiga orang aneh itu mengendalikan Cally.
Mereka telah memperdaya Cally sehingga menuruti keinginan
mereka. Atau barangkali roh jahat mereka mengendalikannya entah
bagaimana. Kody sadar ia tidak memahami semua ini. Yang ia tahu ia
sekarang mencemaskan Cally seperti ia mencemaskan dirinya sendiri.
Seraya memejamkan mata, ia mencoba berpikir jernih. Tapi tak
ada yang masuk akal. Ia kehilangan jejak waktu lagi.
Rumah itu sudah sunyi. Suara-suara dari lantai atas sudah
lenyap. Tak ada langkah-langkah kaki. Tak ada suara apa pun.
Apa yang akan kulakukan" dalam hati Kody bertanya.
Apa yang dapat kulakukan"
Ketika ia membuka mata, Cally berdiri di depannya.
Kody terkesiap dan melompat berdiri. "Cally"!"
Mata hijau Cally menatapnya dengan dingin. Ekspresinya tanpa
emosi. "Cally"apa yang terjadi di atas" Apa yang terjadi?"
Hantu kakaknya tidak menjawab. Ia mendekat dengan gerakan
mengancam ke arah Kody. "Tidak!" Kody memekik, kengerian menguasainya. "Cally"
jangan! Apa yang akan kaulakukan?"
"Selamat tinggal, saudaraku, sahut Cally dingin. "Selamat


Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggal selamanya." BAB 29 "TIDAK. Cally"kumohon!" kata Kody ketika hantu itu
melayang mendekat. "Jangan sakiti aku!"
Bibir pucat Cally tersenyum senang. "Menyakitimu" Tidak
perlu." Ia menarik tali dari lengan dan kaki Kody. Lalu ia melambai ke
arah pintu. "Pergilah."
Seluruh tubuh Kody gemetar ketika ia memandang senyum
kejam kakaknya. "Pergilah," Cally mengulangi. "Pintu itu terbuka, Kody." Lalu
ia berteriak tak sabar, "Pergi!"
"Tapi?" Kody mulai berjalan ke arah pintu, lalu ragu-ragu.
"Kau tidak akan membunuhku?" ia tercekat.
"Tidak perlu," sahut Cally dengan santai. "Aku sudah
membereskanmu, Kody."
"A-apa maksudmu?" Kody tergagap, pelan-pelan menuju pintu.
"Kau melakukan beberapa hal buruk di atas pagi tadi," jawab
Cally, mata hijaunya bersinar. "Kau menusuk Persia Bryce. Lalu kau
memukulkan lampu sorot ke wajah sutradara. Karena itu wajahnya
terbakar begitu parah, sehingga ibunya sendiri tidak akan
mengenalinya!" "Tidak!" Kody berteriak ketakutan. "Cally, kau tidak"!"
Cally mengangguk, senyumnya melebar. "Aku melakukan
semua itu. Maafkan aku, Kody. Kurasa kau tidak akan menjadi
bintang film. Kurasa kau akan menghabiskan waktu bertahun-tahun di
penjara"atau di rumah sakit jiwa."
Kody berusaha bicara. Apakah Cally benar-benar
menghancurkan hidupnya"
Kenapa" Kenapa Cally sangat membencinya"
Ini karena roh jahat dalam rumah ini, kata Kody pada diri
sendiri. Ini karena tiga orang jahat di ruang sebelah. Mereka
mengontrol Cally. Mereka membuat Cally melakukan hal-hal ini.
Kody mengambil napas dalam-dalam. Aku datang kemari untuk
menepati janjiku, ia teringat. Aku kembali ke sini untuk menolong
Cally. Dan aku harus mencoba melakukannya.
"Pergi!" teriak Cally dengan marah, menunjuk ke pintu. "Cepat.
Keluar dari sini." Lalu ia menambahkan dengan getir, "Selamat
menikmati hidup yang nyaman."
Kody melangkah mendekati kakaknya. "Aku tidak akan pergi
sampai kau mendengarkan aku," desaknya.
Cally menyeringai. "Tak ada yang perlu kaukatakan padaku."
"Ya, ada," sahut Kody, sambil mengumpulkan keberaniannya.
"Apa kau ingat cerita yang dikisahkan pacarmu Anthony tentang
rumah ini" Kau ingat" Ia bilang ketika para pekerja menggali fondasi,
mereka menemukan mayat terkubur di tanah. Orang yang terkubur
adalah korban Angelica dan Simon Fear. Ingat?"
"Memangnya kenapa?" bentak Cally.
"Rumah ini dibangun di atas kuburan mereka," Kody
melanjutkan, suaranya gemetar. "Ini tempat jahat, Cally. Dipenuhi roh
jahat. Dan entah bagaimana, tiga orang di ruang sebelah"Mrs.
Nordstrom dan dua pria yang lain"mereka mengendalikanmu.
Mereka jahat dan mereka?"
"Siapa?" teriak Cally, matanya menyambar dengan marah.
Debu mengepul berkilauan di sekelilingnya ketika ia melayang
berputar mendekat. "Apa yang kaubicarakan?"
"Di ruang sebelah," kata Kody padanya, menunjuk ke arah
dinding. "Mereka bermain dengan tikus-tikus itu. Mereka seharusnya
bekerja untuk kami. Tapi mereka malah"mereka?" Kody berhenti.
Dari air muka Cally yang kebingungan, ia dapat melihat bahwa Cally
sendiri tidak tahu kekuasaan apa yang dimiliki oleh tiga orang itu atas
dirinya. "Selamat menikmati saat-saat bahagia di rumah sakit jiwa," kata
Cally lembut. Ia tertawa getir. "Kirimi aku kartu pos."
"Tidak!" teriak Kody, menyambar tangan saudaranya.
Tangannya terasa sangat dingin, Kody hampir melepaskannya. Tapi ia
berusaha tetap memegangnya, dan menariknya ke lubang kecil di
dinding. "Aku tidak gila," desak Kody. "Lihatlah ke sana, Cally. Aku
tidak gila. Aku ingin kau melihat kebenaran. Aku tahu ini bukan kau.
Aku tahu kau tidak kejam dan jahat. Itu mereka, Cally. Itu mereka.
Lihatlah. Tolong!" Cally tidak bergerak ke arah lubang sempit. "Aku tidak peduli,"
katanya dengan datar, suaranya kering seperti angin. "Aku sudah mati.
Aku tidak peduli dengan lubang-lubang di dinding."
"Tolonglah!" Kody memohon. "Lihatlah mereka. Lihatlah
wajah iblis mereka. Mereka mengontrolmu. Mereka memperalatmu.
Aku mendengar mereka membicarakannya. Aku mendengar mereka
menertawakan hal itu. Mereka membuatmu melakukan hal-hal yang
mengerikan." Cally ragu-ragu, lalu melayang turun dan mengintip melalui
retakan di dinding. Kody berdiri dengan tegang di ruangan kecil itu, mengawasi
saudaranya. Cally kelihatan terpana. Ia tidak bergerak atau mengerjap.
Ia menatap ke dalam ruangan itu selama beberapa menit, wajahnya
tanpa ekspresi. Ketika ia bangkit dan berpaling ke arah Kody, air mukanya
melembut. Kilatan marah meredup dari matanya.
"Kau melihat mereka?" tanya Kody bersemangat. "Kau melihat
mereka dengan tikus-tikus itu?"
Cally tidak menyahut. Ia melayang menjauhi dinding, wajahnya
yang pucat berkilauan, terkadang terfokus, terkadang tidak. Air
mukanya serius. "Kau melihat mereka?" desak Kody. "Kau percaya padaku
sekarang?" ebukulawas.blogspot.com
Cally melotot ke arah Kody seakan-akan bisa menembusnya
dengan pandangnya. "Ikutilah aku, Kody," bisiknya. "Aku akan
mengeluarkanmu dari rumah ini."
Kody menarik napas lega. Cally mempercayaiku! katanya
dalam hati. Aku tahu aku bisa mendekatinya. Aku tahu aku dapat
menunjukkan kebenaran. Tapi bagaimana aku bisa menolongnya" Bagaimana"
"Bahan peledak!" teriak Kody. "Kita bisa meledakkan rumah
ini, meledakkan semua yang jahat."
Cally mengangkat tangan ke bibir untuk menyuruh Kody diam.
"Tak usah pikirkan itu," katanya dengan lembut. "Biarkan aku
mengeluarkanmu dari sini. Ikuti aku. Cepat."
Cally melayang melewati Kody dan memandu jalan ke pintu.
Dengan hati berdebar, Kody mengikuti di belakangnya.
Keluar ke ruang bawah tanah. Cahaya malam kelabu masuk dari
jendela sempit, menciptakan bayangan panjang di lantai.
"Terima kasih, Cally," kata sebuah suara.
Kody memekik pelan ketika Mrs. Nordstrom melangkah maju,
diikuti oleh Mr. Hankers dan Mr. Lurie.
"Terima kasih karena membawanya untuk kami, Cally," ujar
Mrs. Nordstrom sambil tersenyum hangat. "Sekarang kami akan
memastikan kau membalaskan dendammu."
BAB 30 "KAU menipuku!" jerit Kody pada kakaknya. "Kau
mengkhianatiku!" Mrs. Nordstrom dan dua pria itu bergerak mendekat,
mengelilingi Kody, wajah mereka keras, mata mereka menyipit,
dingin dan mengancam. "Cally"aku saudaramu! Kembaranmu! Teganya kau!" pekik
Kody, begitu ketakutan sampai ia tidak dapat mengenali suaranya
sendiri. Wajah Cally tetap kosong dan tak peduli. "Aku tidak
mengkhianatimu," jawabnya pelan. "Kau menunjukkan kebenaran
kepadaku. Larilah ke tangga, Kody. Lari sekarang! Aku akan
melindungimu dari mereka."
Kody terkesiap ketika Mrs. Nordstrom dan kedua pria itu
bergerak mendekat. Apakah ini hanya tipuan" Ataukah Cally benarbenar melindunginya, menyelamatkannya"
"Lari!" Cally berteriak.
Kody berlari ke tangga, matanya terarah pada ketiga orang itu.
"Cepat! Lari!" desak Cally.
Tapi Kody berhenti dan menatap ketakutan ketika Mrs.
Nordstrom dan dua orang itu mulai berubah.
Kulit mereka menggelembung dan melepuh, warnanya menjadi
gelap seperti kelabu berbintik-bintik. Bulu-bulu pendek memenuhi
seluruh wajah dan tangan mereka.
Perlahan-lahan, wajah mereka melebar. Hidung mereka
memanjang menjadi moncong berbulu dan gelap. Sungut yang lengket
berkedut-kedut di atas gigi-gigi kuning. Lidah merah seperti ular
menjulur keluar-masuk di atas gigi yang besar-besar. Mata mereka
basah di belakang moncong, menjadi kelereng-kelereng hitam.
Kody tersentak ketika tiga sosok itu menyusut dan pakaian
mereka berjatuhan. Dari bawah pakaian itu keluarlah tiga ekor tikus gemuk kelabu
yang berlari dengan cepat.
Berlari cepat keluar dari roknya, Mrs. Nordstrom mendesis pada
Kody dan mengangkat cakarnya dengan sikap mengancam.
Mr. Lurie mengibaskan ekor merah muda dan panjang di
belakangnya. Air liur jatuh dari moncong Mr. Hankers yang
menggeram ketika ia menggaruk bulu perutnya dengan kedua cakar.
"Tidak!" teriak Kody dalam suara gemetar. "Tidak! Kalian"
kalian tidak mungkin"!"
Ia mundur ke tangga, matanya melebar dalam ketakutan dan
ketidakpercayaan. Tikus-tikus. Mereka semua tikus. Mereka bertiga.
Mrs. Nordstrom memperlihatkan taringnya dan dengan desis
melengking, melompat ke pergelangan kaki Kody.
Kody berteriak dan menendang tikus gemuk itu dengan keras.
Sepatu karetnya menimbulkan bunyi pelan ketika menumbuk tubuh
tikus yang mendesis itu, membuat tikus itu mendarat pada
punggungnya di samping kedua temannya yang menggeram-geram.
"Lari, Kody! Lari!" Cally menjerit.
Dan ketika ia kembali menuju tangga, Kody melihat lebih
banyak tikus merayap keluar dari dalam ruang bawah tanah.
Dari balik perapian, dari belakang peti kayu berisi bahan
peledak, dari lubang dinding dan retakan-retakan di lantai, tikus-tikus
itu" banyak sekali"merangkak keluar.
Mencicit dan mendesis, menyapukan ekor merah muda tak
berbulu di belakang mereka, tikus-tikus itu menyelimuti lantai, dengan
gigi-gigi yang besar dan mata yang berkilat-kilat.
Kody berusaha menggerakkan kakinya yang gemetar,
menyambar pagar tangga, dan menarik tubuhnya ke anak tangga
pertama. "Cepat!" desak Cally, bergerak menuju bahan peledak.
"Kody"cepat!"
Lantai tampak bergelombang dan bergoyang. Begitu banyak
tubuh kelabu bergerak cepat, mencicit, mendesis, serta menggerakgerakkan rahang mereka.
"Tapi"bagaimana denganmu?" Kody tergagap.
"Aku sudah mati!" terdengar jawaban Cally yang
menghancurkan hati. Decit tikus-tikus itu menenggelamkan isakan Kody.
Tikus-tikus itu mendadak bergerak ke depan, mendesis dan
bersiul. Cakar-cakar mereka mencabik udara ketika mereka berlari
cepat ke tangga. "Auw!" Kody memekik ketika seekor tikus mencakar kakinya.
Ribuan mata memandang dengan lapar, bergerak ke arahnya.
Ia berpaling dan memandang saudara kembarnya untuk terakhir
kali, lalu memaksa kakinya untuk naik ke tangga.
Sampai di lorong, cicitan, desisan, suara langkah kaki
mengikutinya, mendorongnya ke depan, mendesaknya terus lari.
Melewati ruang duduk yang gelap. Keluar dari pintu depan.
Ke halaman depan yang gelap.
Lari melewati rerumputan. Terengah-engah. Cicitan tikus-tikus
itu masih terdengar di telinganya.
Kody baru separo perjalanan ke jalan raya ketika ledakan itu
melemparkannya ke tanah. "Ohhhh." Mendarat keras pada kaki dan siku, ia mengerang.
Tanah bergetar. Ia berpaling ke belakang ke arah rumah tepat
waktu untuk melihat ledakan putih yang membutakan.
Terang seperti matahari. Aku tak dapat melihat! pikir Kody.
Dan kemudian sinar putih itu menggelap menjadi merah tua.
Sebuah dentuman yang lebih keras dari guruh membuainya
menutupi telinga. Atap meledak ke atas, hancur berkeping-keping ketika
terlempar, membubung di atas pepohonan gelap. Kemudian dinding
api melalap seluruh rumah. Segulung ombak api yang besar.
"Tidaaaaaaak!" Kody tidak bisa mendengar raung ketakutannya sendiri
mengatasi lautan api yang gemuruh.
Ia mulai melihat sosok-sosok gelap. Bangkai-bangkai tikus,
menggelepar dengan liar, melayang tak berdaya dalam lautan api
hebat. Ratusan tikus, terlempar ke angkasa, mendesis-desis, terbakar.
Kody merasa perutnya terpilin, rasa jijik membuncah dalam
dirinya. Tapi ia tak dapat melepaskan pandangan dari langit merah,
dari bangkai-bangkai tikus hitam gosong yang melayang di atas nyala
api yang menderu. Dan sosok-sosok manusia melayang dalam api. Bayanganbayangan hitam. Roh-roh gelap tersiksa yang terkubur di bawah
rumah. Pria dan wanita, meraung dan melolong, terlempar dalam
nyala api ketika mereka naik makin tinggi, semakin tinggi dan lenyap
di langit hitam tanpa bintang.
Kody menjerit ketika dinding itu ambruk ke tanah. Bara api
merah tersebar ke segala arah.
Dicekam ketakutan, ia terus memandang. Terus memandang
ketika lolongan yang memilukan ditelan bunyi kobaran api.
Memandang mayat-mayat tersiksa yang melayang dalam langit
berasap hitam. Memandang api melalap rumah itu, melalap semua yang jahat,
membakarnya habis. Seraya berlutut di atas rumput halus dan dingin, Kody menatap
api, membiarkan panasnya mengeringkan air matanya.
"Maafkan aku, Cally," bisiknya pelan. "Aku sangat menyesal.
Aku sangat menyesal... "Aku menyesal tidak sempat mengucapkan selamat tinggal."
BAB 31 "ADA apa denganmu" Tidak pernahkah kau ingin keluar?"
tanya Rob. Kody melintasi ruangan dan duduk berseberangan darinya di
kursi kecil dari kulit berwarna putih yang serasi. "Polisi menelepon
lagi tadi pagi. Sudah berminggu-minggu sejak ledakan itu, dan mereka
masih belum mengerti apa yang terjadi. Semua orang punya cerita
yang berbeda, dan versi yang satu lebih aneh dari versi yang lain.
Mereka masih sulit percaya itu adalah Cally, bukan aku, yang
melakukan semua hal mengerikan itu."


Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kody mendesah. "Untungnya, mereka akan menutup kasus ini.
Tentu saja aku masih harus menjalani terapi dua kali seminggu. Tapi
aku senang tak seorang pun mengajukan dakwaan."
"Yeah," kata Rob setuju. "Aku hanya ingin melupakan semua
itu." "Aku juga. Bagaimanapun juga, aku senang tinggal di rumah
saja. Orangtuaku keluar sampai malam. Aku sudah memesan piza."
Rob menyeringai. "Piza lagi?"
"Aku suka piza," tegas Kody. "Apa yang bisa kubilang"
Seleraku sederhana."
"Kau jelas punya selera sederhana. Kau kencan denganku!"
canda Rob. Sudah tiga minggu sejak kebakaran yang menghancurkan Fear
Street 99"dan mengakhiri produksi film.
Kembali ke apartemen orangtuanya di Los Angeles, Kody tetap
bingung oleh semua yang terjadi. Tapi Rob datang hampir setiap hari.
Ia berhasil membuatnya tersenyum dan tertawa lagi dan merasa
hampir normal. "Aku ikut audisi untuk iklan siang ini," kata Rob.
"Hebat!" jawab Kody antusias.
"Iklan makanan anjing lagi. Tapi kali ini aku tidak perlu
menggonggong," kata Rob.
Mereka berdua tertawa. Bel berdering. "Itu piza," kata Kody sambil berdiri. "Bukakan pintu. Aku akan
mengambil beberapa kaleng Coke."
Kody segera ke dapur dan mengeluarkan dua kaleng Coke dari
kulkas. Ketika kembali ke ruang duduk, ia kaget melihat Rob
memegang sebuah amplop cokelat besar.
"Bukan piza," katanya. Ia mengambil kaset video dari amplop.
Sebuah catatan ditempelkan pada kotak. Kody melepasnya dan
membacanya: Ini koleksi untukmu, Kody. Satu-satunya adegan yang berhasil
direkam di Fear Street 99. Akhir yang luar biasa!
Keberuntungan yang lebih baik untuk kita semua! Sam
McCarthy "Siapa McCarthy?" tanya Rob sambil membungkuk di atas
bahu Kody untuk membaca catatan itu.
"Kau ingat," kata Kody. "Ia produser yunior. Kau tahu.
Tangannya"tercabik di bak cuci piring."
Rob mengangguk, lalu pelan-pelan menarik kaset video itu dari
kotak. "Kau ingin melihatnya" Mungkin tidak perlu. Mungkin akan
membuatmu sedih." Kody memandang kaset video itu dengan serius. "Pasang saja,"
perintahnya. "Jika mulai membuat kita sedih, matikan saja." Rob
menyeberangi ruangan ke arah video player. Ia menyalakan TV, lalu
mendorong kaset ke dalam VCR. Ia duduk di samping Kody di sofa.
Layar tampak kelabu sesaat. Tak ada suara.
Lalu layar terang dengan warna-warni. Cahaya merah dan
kuning terang. "Ini"ini kebakaran!" seru Kody, membungkuk ke layar. "Aku
tidak percaya ini, Rob! Seseorang merekam kebakaran itu! Mereka
pasti sedang melakukan syuting pengambilan gambar di luar untuk
bagian akhirnya!" "Lihat"dinding itu habis!" teriak Rob.
Cahaya merah menyilaukan dari layar TV memantul ke wajah
mereka ketika mereka membungkuk ke depan untuk melihat lebih
jelas. Kamera bergeser mendekat. Layar tampak bersinar oleh cahaya
putih terang. "Oh!" Kody berteriak pelan ketika sosok suram seorang gadis
tampak di dalam cahaya itu, terlalu redup untuk dikenali.
"Siapa itu?" tanya Rob. "Apakah seseorang terperangkap dalam
api?" Kody meletakkan tangan di atas tangan Rob, tapi tidak
menyahut. Seluruh tubuhnya menegang ketika ia semakin mendekat
ke layar. Gadis yang ada di dalam api itu mengangkat satu tangan dan
melambai. Lambaian panjang, pelan, dan sedih.
"Aku tidak mengerti. Apa itu?" tanya Rob tak sabar.
Kody meremas tangannya. Ia membiarkan air mata menetes di
pipinya. "Itu kakakku mengucapkan selamat tinggal."END
Naga Pembunuh 18 Rahasia Gelang Pusaka Karya Okt Forgotten Eve 1

Cari Blog Ini