Ceritasilat Novel Online

Batu Bertuah 2

Harry Potter Dan Batu Bertuah Karya J.k. Rowling Bagian 2


"Jangan khawatir soal itu," kata Hagrid, seraya berdiri dan menggaruk kepalanya. "Apa kaupikir orangtuamu tidak tinggalkan sesuatu untukmu""
"Tetapi kalau rumah mereka hancur..."
"Mereka tidak simpan uang mereka di rumah, Nak! Nah, pertama-tama kita ke Gringotts. Bank penyihir. Makan sosis dulu. Dingin enak juga-dan aku juga tidak tolak sepotong kue ulang tahunmu."
"Penyihir punya bank""
"Cuma satu. Gringotts. Yang menjalankan goblin, hantu kecil bertampang seram." Sosis yang dipegang Harry sampai terjatuh.
"Goblin"" "Yeah-jadi kau gila kalau coba merampoknya, ku beritahu kau. Jangan main-main dengan goblin, Harry.
Gringotts tempat paling aman di dunia, kalau kau mau simpan sesuatu bandingannya mungkin cuma Hogwarts.
Aku kebetulan harus ke Gringotts. Untuk Dumbledore. Urusan Hogwarts." Hagrid menegapkan diri dengan bangga. "Dia biasa suruh aku lakukan hal-hal penting untuknya. Jemput kauambil sesuatu dari Gringotts-tahu dia, bisa percayai aku.
"Semua siap" Ayo kita berangkat."
Harry mengikuti Hagrid keluar, menuju karang. Langit cukup cerah sekarang dan laut berkilau ditimpa cahaya matahari.
Perahu yang disewa Paman Vernon masih ada, dengan banyak air di dasarnya. "Bagaimana kau datang kemari"" Harry bertanya, mencari-cari perahu lain. "Terbang," jawab Hagrid. "Terbang""
"Yeah-tapi kita harus kembali dengan ini. Tak boleh gunakan sihir setelah aku bersamamu." Mereka duduk di perahu.
Harry masih memandang Hagrid, berusaha membayangkan dia terbang.
"Repot kalau harus mendayung," kata Hagrid, lagilagi melirik Harry. "Kalau aku mau-ehm-percepat sedikit perjalanan kita, kau keberatan kalau kuminta jangan bilang-bilang di Hogwarts""
"Tentu saja tidak," kata Harry, yang ingin sekali melihat lebih banyak ilmu sihir. Hagrid menarik keluar lagi payung merah jambunya, mengetukkannya dua kali di sisi perahu, dan mereka meluncur menuju daratan.
"Kenapa kita gila kalau mau mencoba merampok Gringotts""
tanya Harry. "Mantra-mantra-jampi-jampi," kata Hagrid, seraya membuka korannya. "Katanya ruangan-ruangan besinya dijaga naga-naga. Lagi pula, kau akan susah cari jalan keluar.
Gringotts letaknya beratus-ratus kilo di bawah London. Jauh di bawah stasiun kereta
bawah tanah. Sebelum bisa keluar, kau sudah keburu mati kelaparan duluan, walaupun kau berhasil dapat sesuatu."
Harry duduk diam memikirkan ini, sementara Hagrid membaca korannya, Daily Prophet-Harian Peramal. Harry sudah tahu dari Paman Vernon bahwa orang lebih suka tidak diganggu kalau sedang baca koran, tetapi susah sekali. Seumur hidup belum pernah dia punya pertanyaan sebanyak ini.
"Kementerian Sihir bikin kacau-balau, seperti biasanya,"
gumam Hagrid sambil membalik halaman korannya.
"Ada Kementerian Sihir"" tanya Harry tanpa bisa menahan diri.
"Tentu saja," kata Hagrid. "Mereka inginkan Dumbledore menjadi Menteri, tentu saja, tetapi dia tidak mau tinggalkan Hogwarts, jadi si Cornelius Fudge yang dapat jabatan ini. Ceroboh dan bego. Dia kirim burung hantu ke Dumbledore tiap hari, minta nasehat."
"Tapi apa yang dilakukan Kementerian Sihir""
"Yah, tugas utamanya adalah menjagajangan sampai Muggle tahu ada banyak penyihir di negeri ini." "Kenapa"" "Kenapa"
Astaga, Harry, semua orang akan inginkan pemecahan masalah mereka secara gaib. Nah, kan lebih baik kita tidak diganggu."
Saat itu perahu pelan membentur tembok pelabuhan. Hagrid melipat korannya dan mereka berdua menaiki undakan batu menuju ke jalan.
Orang-orang yang berpapasan dengan mereka sepanjang jalan menuju stasiun kota kecil itu memandang Hagrid dengan keheranan. Harry tidak menyalahkan mereka. Hagrid bukan hanya dua kali lebih tinggi dari manusia normal, dia juga terusmenerus menunjuk-nunjuk hal biasa seperti meteran di tempat parkir dan berkata keras, "Lihat itu, Harry" Benda-benda yang dicari-cari Muggle, eh""
"Hagrid," kata Harry, agak terengah-engah karena beflari agar tidak ketinggalan, "tadi kauhilang ada naga di Gringotts""
"Katanya sih begitu," kata Hagrid. "Wah, aku ingin sekali punya naga."
"Kau ingin punya naga""
"Dari kecil sudah kepingin-nah, kita sampai."
Mereka telah tiba di stasiun. Ada kereta ke London yang berangkat lima menit lagi. Hagrid, yang tidak memahami "uang Muggle", menyerahkan uangnya ke Harry supaya dia bisa membeli karcisnya.
Di atas kereta, orang-orang memandang dengan lebih heran lagi. Hagrid duduk di dua kursi dan merajut sesuatu yang kelihatannya seperti tenda sirkus warna kuning kenari.
"Suratmu masih ada, Harry"" tanyanya sambil terus merajut.
Harry mengeluarkan amplop perkamen dari dalam kantongnya.
"Bagus," kata Hagrid. "Di situ ada daftar semua keperluanmu."
Harry membuka lipatan kertas satu lagi yang semalam tidak diperhatikannya dan membaca:
SEKOLAH SIHIR HOGWARTS Seragam Siswa kelas satu memerlukan :
Tiga seteljubah kerja sederhana (hitam)
Satu topi kerucut (hitam) untuk di pakai setiap hari
Sepasan sarung tangan pelindung (dari kulit naga atau sejenisnya)
Empat mantel musim dingin (hitam, kancing perak) tolong diperhatikan bahwa semua pakaian siswa harus ada label namanya.
Buku Semua siswa harus memiliki buku-buku berikut:
Kitab mantra standar (Tingat 1) oleh Miranda
Goshawk Sejarah Sihir oleh Bathilda Bagshot
Teori Gaib oleh Adalbert Wagging
Pengantar Transfigurasi bagi Pemula oleh Emeric
Switch Seribu satu tanaman Obat dan Jamur gaib oleh Phyllida Spore Cairan dan ramuan ajaib oleh Arsenius Jlgger
Hewan hewan fantastis dan dimana mereka bisa ditemukan oleh Newt Scamander Kekuatan gelap : Penuntun perlindungan diri oleh Quentin Trimbel Peralatan Lain 1 Tongkat sihir
1 Kuali (Bahan campuran timah putih-timah hitam ukuran standar) 1 Set tabung kaca atau kristal 1 Teleskop
1 Set timbangan kuningan Siswa diizinkan membawa burung hantu ATAU kucing ATAU kodok
ORANGTUA DIINGATKAN BAHWA SISWA KELAS SATU BELUM BOLEH MEMILIKI SAPU SENDIRI!
"Apa semua ini bisa dibeli di London"" tanya Harry keheranan. "Kalau kau tahu belinya di mana," jawab Hagrid.
* * * Harry belum pernah ke London. Meskipun Hagrid tampaknya tahu ke mana dia akan pergi, jelas bahwa dia tidak terbiasa menuju ke sana dengan cara biasa. Dia tersangkut pembatas tempat pembelian karcis kereta bawah tanah dan
mengeluh keras-keras bahwa tempat duduknya terlalu sempit dan keretanya terlalu lambat.
"Aku tak mengerti bagaimana Muggle bisa bertahan tanpa kekuatan sihi
r," katanya, sementara mereka menuruni eskalator macet menuju jalan ramai yang di kanan-kirinya dipenuhi deretan toko.
Hagrid besar sekali sehingga dengan mudah dia menyibakkan orang-orang yang lewat. Harry tinggal berjalan merapat kepadanya saja. Mereka melewati toko-toko buku dan toko-toko musik, restoran hamburger dan gedung bioskop, tapi kelihatannya tak ada yang menjual tongkat ajaib. Ini cuma jalan biasa, penuh orang-orang biasa pula. Mungkinkah benarbenar ada gundukan emas penyihir terkubur berkilokilometer di bawah mereka" Betulkah ada toko yang menjual, buku mantra dan sapu terbang" Janganj angan semua ini cuma lelucon besar buatan keluarga Dursley. Kalau Harry tidak tahu bahwa keluarga Dursley tak punya rasa humor, dia pasti sudah mengira begitu. Bagaimanapun juga, kendati semua yang dikatakan Hagrid sejauh ini memang tidak masuk akal, Harry toh mempercayainya.
"Ini dia," kata Hagrid berhenti, "Leaky Cauldron- Kuali Bocor. Ini tempat terkenal."
Tempat itu tempat minum kecil dan kotor. Jika Hagrid tidak menunjuknya, Harry tidak akan melihatnya. Orang-orang yang melewatinya sama sekali tidak meliriknya. Mata mereka bergulir dari toko buku besar di sisi yang satu ke toko musik di sisi lainnya, seakan mereka sama sekali tidak bisa melihat Leaky Cauldron. Sejujurnya, Harry punya perasaan aneh, hanya dia dan Hagrid yang bisa melihatnya. Sebelum dia bisa mengutarakan ini, Hagrid sudah mendorongnya masuk.
Untuk tempat terkenal, tempat ini sangat gelap dan kumuh.
Beberapa wanita tua duduk di sudut, minum sherry dalam gelas-gelas kecil. Salah satu di antara mereka mengisap pipa panjang.
Seorang pria kecil memakai topi tinggi dari sutra hitam sedang bicara dengan pelayan bar yang sudah tua dan botak, dan kepalanya kelihatan seperti kenari dari permen karet. Dengung obrolan pelan berhenti ketika mereka melangkah masuk. Semua orang kelihatannya kenal Hagrid. Mereka melambai dan tersenyum kepadanya, dan pelayan bar meraih gelas, seraya berkata, "Biasa, Hagrid""
"Tidak bisa, Tom. Sedang ada urusan Hogwarts," kata Hagrid, sambil menepukkan tangannya yang besar ke bahu Harry dan membuat lutut Harry tertekuk.
"Astaga," celetuk pelayan bar, memandang Harry. "Apakah ini... mungkinkah ini..."" Leaky Cauldron mendadak sunyi senyap.
"Beruntungnya aku," bisik pak tua pelayan bar. "Harry Potter-sungguh kehormatan besar."
Dia bergegas keluar dari balik meja barnya, buruburu mendekati Harry dan meraih tangannya, dengan air mata bercucuran.
"Selamat datang kembali, Mr Potter, selamat datang kembali."
Harry tidak tahu harus bilang apa. Semua orang memandangnya. Si wanita tua yang mengisap pipa terus mengisapnya, tanpa menyadari apinya sudah padam. Hagrid berseri-seri.
Kemudian terdengar derit-derit kursi yang digeser dan saat berikutnya Harry sudah bersalaman dengan semua orang yang ada di Leaky Cauldron.
"Doris Crockford, Mr Potter. Saya tak percaya akhirnya bisa bertemu Anda." "Sungguh bangga, Mr Potter, saya sungguh bangga." "Dari dulu sudah ingin menjabat tangan Anda- saya jadi salah tingkah." "Senang sekali, Mr Potter, tak bisa terkatakan. Diggle nama saya. Dedalus Diggle."
"Saya pernah melihat Anda sebelumnya," kata Harry bersamaan dengan jatuhnya topi tinggi Dedalus Diggle saking bersemangatnya dia. "Anda pernah membungkuk pada saya di toko."
"Dia ingat!" pekik Dedalus Diggle, seraya memandang berkeliling. "Kalian dengar itu" Dia ingat aku!" Harry berjabat tangan tak henti-hentinya-Doris Crockford bolak-balik ingin berjabat tangan dengannya lagi. Seorang pemuda berwajah pucat maju, sangat tegang.
Sebelah matanya berkedut-kedut. "Profesor Quirrell!" sapa Hagrid. "Harry, Profesor Quirrell akan jadi salah satu gurumu di Hogwarts."
"P-p-potter," Profesor Quirrell berkata gagap, seraya menjabat tangan Harry, "t-t-tak b-b-bisa kukatakan b-b-betapa senangnya aku b-b-bertemu denganmu."
"Ilmu gaib apa yang Anda ajarkan, Profesor Quirrell""
"P-p-pertahanan t-t-terhadap Ilmu Hitam," gumam Profesor Quirrell, seakan dia lebih suka tidak membicarakan itu. "K-kau sih sebetulnya t-t-tidak perlu, eh, P-p-potter"" Dia tertawa gugup. "K-kau akan mem-m
embeli perlengkapanmu, kan" Aku sendiri harus mem-membeli buku tentang vampir." Dia kelihatannya ngeri sendiri.
Tetapi yang lain tidak membiarkan Harry dikuasai Profesor Quirrell sendiri. Perlu hampir sepuluh menit untuk melepaskan diri dari mereka. Akhirnya Hagrid berhasil membuat suaranya mengalahkan keributan mereka.
"Harus pergi-banyak yang harus dibeli. Ayo, Harry."
Doris Crockford menjabat tangan Harry untuk terakhir kali, dan Hagrid mengajaknya keluar melewati bar, menuju halaman kecil yang dikelilingi tembok. Tak ada apa-apa di halaman itu kecuali sebuah tempat sampah dan ilalang.
Hagrid menyeringai kepada Harry.
"Apa kataku! Aku sudah bilang, kan, kau ini terkenal.
Bahkan Profesor Quirrell pun gemetar ketemu kau-tapi dia memang selalu gemetar." "Apa dia selalu gugup begitu""
"Oh, yeah. Kasihan. Otaknya brilian. Dulunya sih baik-baik saja waktu masih belajar dari buku, tapi kemudian dia cuti setahun mau alami sendiri... Orang bilang dia ketemu vampir di Black Forest dan sempat ribut dengan nenek sihir jahat-sejak itu dia berubah. Takut pada muridnya, takut pada mata pelajaran yang diajarkannya-eh, mana payungku""
Vampir" Nenek sihir jahat" Kepala Harry serasa berputar.
Hagrid, sementara itu, menghitung batu bata pada tembok di atas tempat sampah.
"Ke atas tiga... ke samping dua...," dia bergumam. "Ini dia.
Mundur, Harry." Dia mengetuk tembok tiga kali dengan ujung payungnya.
Batu bata yang disentuhnya bergetar-meliuk ma-lah-di tengahnya, muncul lubang kecil-makin lama makin besar -sedetik kemudian mereka sudah berhadapan dengan gerbang yang bahkan cukup besar untuk Hagrid. Gerbang masuk ke jalan berbatu yang berkelok-kelok dan membelok lenyap dari pandangan.
"Selamat datang," kata Hagrid, "di Diagon Alley."
Dia menyeringai melihat Harry terpana. Mereka melangkahi gerbang. Harry cepat-cepat menoleh dan melihat gerbang terbuka itu langsung menyusut kembali menjadi tembok padat.
Matahari bersinar cerah, sinarnya menimpa setumpuk kuali di depan toko paling dekat. Kuali- Segala Ukuran - Tembaga, Kuningan, Timah putih-Timah hitam, Perak-Mengaduk-Sendiri-Dapat Dilipat, begitu bunyi pa pan yang tergantung di atasnya.
"Yeah, kau perlu satu," kata Hagrid, "tapi kita harus ambil uangmu dulu." Harry berharap dia punya delapan mata tambahan.
Kepalanya menoleh ke segala jurusan ketika mereka menyusuri jalan itu, mencoba melihat segalanya sekaligus: toko-toko, barang-barang yang terpajang di depannya, orang-orang yang sedang berbelanja. Se-orang wanita gemuk di depan toko obat sedang menggelengkan kepala ketika mereka lewat, sambil berkata, "Hati naga, tujuh belas Sickle per ons, gila mereka...."
Dekut uhu-uhu pelan terdengar dari toko gelap dengan tulisan berbunyi Toko Burung Hantu Serbaada Eeylops- Kuning-kecokelatan, Pekikan-keras, Burung Hantu Serak, Cokelat, dan Putih Bersih. Beberapa anak lakilaki seumur Harry menempelkan hidung di kaca etalase toko sagu. "Lihat," Harry mendengar salah satu dari mereka berkata, "Nimbus Dua Ribu yang baru-yang paling cepat...." Ada toko-toko yang menjual jubah, toko-toko yang menjual teleskop, dan peralatan perak aneh-aneh yang tak pernah dilihat Harry sebelumnya, etalase yang memajang tong-tong berisi limpa kelelawar dan mata belut, tumpukan bukubuku mantra dan bergulung-gulung perkamen, botolbotol ramuan, globe bulan....
"Gringotts," kata Hagrid.
Mereka telah tiba di depan bangunan putih-bersih yang menjulang di antara toko-toko kecil yang lain. Di sebelah pintu perunggu mengilap berdiri tegak makhluk berseragam merah dan emas.
"Yeah, itu goblin," kata Hagrid pelan sementara mereka mendaki undakan batu putih menuju ke tempatnya. Si goblin kira-kira sekepala lebih rendah dari Harry. Wajahnya yang hitarn tampak cerdas, dengan janggut runcing dan,
Harry memperhatikan, jari-jari tangan dan kaki yang panjang. Dia membungkuk ketika mereka masuk. Sekarang mereka menghadapi sepasang pintu kedua, yang ini perak, dengan katakata berikut terpahat di atasnya:
Masuklah, orang asing, tetapi berhati-hatilah
Terhadap dosa yang di tanggung orang serakah,
Karena mereka yang mengambil apa saja yang bukan h
aknya, Harus membayar semahal-mahalnya,
Jadi jika kau mencari di bawah lantai kami
Harta yang tak berhak kau miliki,
Pencuri, kau telah di peringatkan,
Bukan harta yang kau dapat, melainkan ganjaran.
"Seperti sudah kubilang, gila kau kalau berani merampok di sini," kata Hagrid. Sepasang goblin membungkuk ketika mereka memasuki pintu perak, dan mereka berada di aula pualam besar.
Kira-kira lebih dari seratus goblin duduk di atas bangku tinggi di belakang meja panjang, sibuk menulis di buku kas besar, menimbang koin di timbangan kuningan, memeriksa batu-batu mulia dengan kaca pembesar. Ada terlalu banyak pintu keluar dari aula itu hingga tak bisa dihitung, tapi ada lebih banyak lagi goblin yang mengantar orang-orang keluar masuk pintu-pintu ini. Hagrid dan Harry menuju meja.
"Pagi," kata Hagrid kepada goblin yang sedang kosong.
"Kami datang untuk ambil uang dari lemari besi Mr Harry Potter."
"Punya kuncinya, Sir""
"Ada," kata Hagrid dan dia mulai mengeluarkan isi saku-sakunya di atas meja. Beberapa biskuit-anjing yang sudah bulukan tertebar di atas buku kas si goblin, membuat si goblin mengernyitkan hidung. Harry melihat goblin di sebelah kanannya sedang menimbang setumpuk batu mirah besar-besar, sebesar batu bara yang menyala.
"Ini dia," kata Hagrid akhirnya, seraya mengacungkan kunci emas kecil mungil.
Si goblin memeriksanya dengan teliti.
"Kelihatannya oke."
"Dan aku juga bawa surat dari Profesor Dumbledore," kata Hagrid sok penting sambil membusungkan dada. "Ini tentang Kau-Tahu-Apa di ruangan tujuh ratus tiga belas."
Si goblin membaca surat itu dengan cermat.
"Baiklah," katanya, mengembalikan surat itu kepada Hagrid.
"Akan kusuruh petugas mengantar Anda berdua ke kedua tempat simpanan itu. Griphook!"
Griphook adalah nama goblin lain. Begitu Hagrid selesai menjejalkan biskuit-anjingnya ke dalam sakunya kembali, dia dan Harry mengikuti Griphook menuju salah satu pintu ke luar aula.
"Apa sih Kau-Tahu-Apa di ruang tujuh ratus tiga belas itu" "tanya Harry.
"Tak bisa kuberitahu," jawab Hagrid misterius. "Sangat rahasia. Urusan Hogwarts. Dumbledore percayai aku. Bisa dikeluarkan dari pekerjaanku kalau aku beritahu kau."
Griphook membukakan pintu untuk mereka. Harry yang mengharapkan ruangan pualam lagi, tercengang. Mereka berada di lorong batu sempit yang diterangi cahaya obor-obor. Lorong itu menurun curam dan ada bekas rel kecil di lantainya.
Griphook bersiul, lalu muncul kereta kecil yang meluncur ke arah mereka. Mereka naik-Hagrid dengan susah payah - dan kereta pun berangkat.
Awalnya mereka cuma berbelok-belok melewati lorong berbelit-belit. Harry mencoba mengingat, kiri, kanan, kanan, kiri, garpu tengah, kanan, kiri, tapi tak mungkin. Kereta yang berderak-derak itu kelihatannya tahu sendiri jalannya, sebab Griphook tidak mengemudikannya.
Mata Harry pedas diterpa udara dingin, tetapi dia tetap membukanya lebar-lebar. Sekali dia merasa melihat semburan api di ujung lorong dan membalik untuk melihat apakah itu naga, tetapi terlambat- mereka meluncur turun semakin dalam, melewati danau bawah tanah dengan stalaktit dan stalagmit besar-besar bermunculan dari atap dan dasarnya.
"Aku tak pernah tahu," Harry berteriak kepada Hagrid mengata'si bunyi kereta, "apa sih bedanya stalagmit dan stalaktit""
"Stalagmit pakai 'm'," kata Hagrid. "Dan jangan tanya-tanya aku dulu. Aku pusing, mau muntah."
Wajahnya memang tampak sangat pucat, dan ketika kereta akhirnya berhenti di sebelah pintu kecil di dinding lorong, Hagrid turun dan harus bersandar di dinding, menunggu lututnya berhenti gemetar.
Griphook membuka kunci pintu. Asap tebal hijau mengepul keluar, dan setelah asap menipis, Harry ternganga. Di dalam ruangan tampak gundukangundukan uang emas. Tumpukan uang perak. Timbunan Knut perunggu kecil-kecil.
"Semua milikmu," Hagrid tersenyum.
Semua milik Harry-bukan main. Keluarga Dursley pastilah tak tahu tentang ini, kalau tidak pasti sudah mereka rebut dalam sekejap. Betapa seringnya mereka mengeluhkan besarnya biaya yang harus mereka keluarkan untuk membesarkan Harry.
Padahal selama ini ada harta begitu banyak miliknya, terkubur dalamda
lam di bawah kota London. Hagrid membantu Harry memasukkan uang ke dalam tas.
"Yang emas ini Galleon," dia menjelaskan. "Tujuh belas Sickle perak sama dengan satu Galleon, dan dua puluh sembilan Knut sama dengan satu Sickle. Gampang, kan. Sudah, ini sudah cukup untuk dua semester, sisanya biar aman di sini." Dia menoleh pada Griphook. "Ruang tujuh ratus tiga belas sekarang, dan bisa tidak keretanya lebih pelan sedikit""
"Cuma satu kecepatan," kata Griphook.
Mereka masuk semakin dalam sekarang, dan semakin cepat.
Udara semakin lama semakin dingin ketika mereka membelok di tikungan-tikungan tajam. Mereka melewati jurang bawah tanah dan Harry membungkuk di tepi kereta untuk melihat apa yang ada di dasarnya yang gelap, tetapi Hagrid menggeram dan menarik tengkuknya masuk kereta.
Ruang besi tujuh ratus tiga belas tidak ada lubang kuncinya.
"Mundur," kata Griphook sok penting. Dia membelai lembut pintunya dengan satu jarinya dan pintu itu meleleh begitu saja.
"Kalau orang lain-bukan goblin Gringotts-yang melakukan itu, mereka akan tersedot lewat pintu dan terperangkap di dalam," kata Griphook.
"Berapa sering kau mengecek kalau-kalau ada orang terperangkap di dalam"" tanya Harry. "Kira-kira sekali dalam sepuluh tahun," kata Griphook, dengan seringai agak menyebalkan.
Sesuatu yang betul-betul luar biasa pastilah ada dalam ruang besi dengan pengamanan istimewa ini. Harry yakin, maka dia melongok dengan penuh semangat, berharap melihat permata-permata hebat, paling tidak. Tetapi awalnya dia mengira ruangan itu kosong. Kemudian dilihatnya bungkusan kertas cokelat kecil kumal tergeletak di lantai. Hagrid memungutnya dan memasukkannya hati-hati ke dalam mantelnya. Harry ingin sekali tahu apa isi bungkusan itu, tetapi dia tahu sebaiknya tidak bertanya.
"Ayo, naik kereta celaka ini lagi, dan jangan bicara padaku dalam perjalanan pulang. Paling baik aku tutup mulut," kata Hagrid.
* * * Setelah perjalanan naik kereta gila-gilaan, mereka berdiri kesilauan dalam cahaya matahari di luar Gringotts. Harry tak tahu harus ke mana dulu sekarang setelah dia punya satu tas penuh uang. Dia tak perlu tahu berapa Galleon senilai dengan satu pound untuk mengetahui bahwa dia sedang memegang lebih banyak uang daripada yang pernah dimilikinya se-lama hidupnya-bahkan lebih banyak daripada yang dimiliki Dudley.
"Lebih baik beli seragammu dulu," kata Hagrid, seraya mengangguk ke arah Jubah untuk Segala Acara Kreasi Madam Malkin. "Eh, Harry, kau keberatan tidak kalau aku pergi sebentar ke Leaky Cauldron untuk beli minuman" Aku benci kereta Gringotts." Dia masih kelihatan sedikit pucat, maka Harry masuk ke toko Madam Malkin sendirian, merasa gugup.
Madam Malkin adalah penyihir bertubuh pendek gemuk, penuh senyum, berpakaian serba-lembayung muda.
"Hogwarts, Nak"" katanya, ketika Harry baru mau bicara.
"Banyak yang ke sini-sekarang malah ada satu yang sedang ngepas."
Di bagian belakang toko, seorang anak laki-laki dengan wajah runcing pucat berdiri di atas bangku pendek kecil, sementara ada penyihir kedua yang melipat jubah hitam panjangnya dan menyematnya dengan jarum pentul. Madam Malkin menyuruh Harry berdiri di atas bangku di sebelahnya, memasukkan jubah panjang melewati kepalanya, dan mulai menyematnya sampai panjangnya pas.
"Halo," sapa si anak laki-laki. "Hogwarts juga""
"Ya," jawab Harry.
"Ayahku di sebelah, membelikan bukuku, dan ibuku di toko lain mencari tongkat," kata anak itu. Suaranya membosankan dan seperti dipanjang-panjangkan. "Sesudah itu nanti aku akan menarik mereka melihat sapu balap. Aku tak mengerti kenapa anak-anak kelas satu tidak boleh punya sapu sendiri. Kurasa aku akan memaksa Ayah supaya membelikan aku sapu dan akan kuselundupkan."
Harry jadi langsung ingat Dudley.
"Apa kau sudah punya sapu"" si anak melanjutkan.
"Belum," jawab Harry.
"Main Quidditch""
"Tidak," kata Harry lagi, sementara dalam hati bertanya-tanya sendiri, apa gerangan Quidditch itu.
"Aku sih main-Ayah bilang kelewatan kalau aku tidak terpilih dalam tim asramaku, dan harus kukatakan, aku sepakat.
Sudah tahu kau akan di asrama mana""
"Tidak," jawab Harry, yang makin l
ama merasa semakin bodoh. "Yah, memang tak ada yang tahu sampai mereka tiba di sana, kan, tapi aku tahu aku akan masuk ke Slytherin, semua keluarga kami di sana-bayangkan kalau sampai di Hufflepuff. Kurasa aku akan pindah, iya, kan""
"Mmm," jawab Harry, yang berharap bisa mengatakan sesuatu yang lebih menarik.
"Eh, lihat orang itu," kata anak itu tiba-tiba, mengangguk ke arah jendela depan. Hagrid berdiri di sana, menyeringai kepada Harry dan menunjuk dua es krim besar untuk memberitahukan itulah sebabnya dia tak bisa masuk.
"Itu Hagrid," kata Harry, senang mengetahui sesuatu yang tidak diketahui anak itu. "Dia bekerja di Hogwarts."
"Oh," kata anak itu. "Aku sudah dengar tentang dia. Dia semacam pelayan, kan"" "Dia pengawas binatang liar," kata Harry. Makin lama dia semakin tidak menyukai anak itu.
"Ya, itulah. Kudengar dia semacam orang liar- tinggal di gubuk di halaman sekolah dan dari waktu ke waktu dia mabuk, mencoba menyihir, tapi hasilnya malah membakar tempat tidurnya sendiri."
"Menurut aku dia hebat," kata Harry dingin. "Begitu"" kata si anak sedikit melecehkan. "Kenapa dia bersamamu" Di mana orangtuamu"" "Sudah meninggal," kata Harry pendek. Dia tidak ingin membicarakan hal ini dengan anak itu. "Oh, maaf," kata si anak, tapi kedengarannya tidak menyesal sama sekali. "Tapi mereka bangsa kita, kan"" "Mereka penyihir, kalau itu maksudmu."
"Menurut aku sih bangsa lain sebaiknya jangan diizinkan bergabung. Iya, kan" Mereka tidak sama, mereka tidak pernah dibesarkan dengan cara-cara kita. Beberapa di antara mereka bahkan tidak pernah mendengar tentang Hogwarts sampai menerima surat. Bayangkan. Menurut aku sih sebaiknya mereka cuma menerima keluarga penyihir saja. Siapa sih nama keluargamu""
Tetapi sebelum Harry sempat menjawab, Madam Malkin berkata, "Sudah selesai, Nak," dan Harry, yang malah senang bisa menghindari si anak, lang-sung meloncat turun dari bangku.
"Sampai ketemu di Hogwarts, ya," kata anak itu.
Harry agak diam ketika dia memakan es krim yang dibelikan Hagrid untuknya (cokelat dan rasberi dengan cacahan kacang).
"Ada apa"" tanya Hagrid.
"Tidak ada apa-apa," Harry berbohong. Mereka berhenti untuk membeli perkamen dan pena bulu. Harry agak gembira ketika dia menemukan sebotol tinta yang warnanya berubah ketika dipakai menulis. Ketika mereka telah meninggalkan toko, dia nyeletuk, "Hagrid, Quidditch itu apa sih""
"Astaga, Harry, aku lupa terus bahwa belum banyak yang kau tahu-bahkan Quidditch pun kau belum tahu!"
"Jangan membuatku merasa lebih parah," kata Harry. Dia memberitahu Hagrid tentang anak pucat di toko Madam Malkin.
"... dan dia bilang orang-orang dari keluarga Muggle seharusnya tidak diterima di..."
"Kau bukan dari keluarga Muggle. Kalau saja dia tahu siapa sebetulnya kau-sejak kecil pastilah dia sudah diberitahu namamu jika orangtuanya memang penyihir-kau sudah lihat sendiri di Leaky Cauldron. Lagi pula, dia tahu apa sih, beberapa dari penyihir terbaik malah orang-orang yang memang diberi bakat sihir tapi berasal dari keluarga Muggle- lihat saja ibumu!
Lihat bagaimana kakaknya!"
"Jadi, Quidditch itu apa""
"Itu olahraga kita. Olahraga penyihir. Semacam- semacam sepak bola kalau di dunia Muggle-semua orang senang nonton Quidditch-dimainkan di udara dengan naik sapu terbang dan ada empat bola-agak susah menjelaskan aturannya."
"Dan apa itu Slytherin dan Hufflepuff""
"Nama-nama rumah asrama di sekolah. Ada empat. Semua bilang Hufflepuff isinya anak-anak yang canggung, tapi..." "Kalau begitu pastilah aku masuk Hufflepuff," kata Harry muram.
"Lebih baik Hufflepuff daripada Slytherin," kata Hagrid keras. "Semua penyihir yang jadi jahat dulunya tinggal di Slytherin. Kau-Tahu-Siapa salah satunya."
"Vol-maaf-Kau-Tahu-Siapa dulunya di Hogwarts""
"Bertahun-tahun yang lalu," kata Hagrid.
Mereka membeli buku-buku Harry di Flourish and Blotts. Di toko buku itu rak-raknya penuh sampai ke langit-langit dengan berbagai buku, dari buku setebal batu bata bersampul kulit sampai buku sebesar prangko dengan sampul sutra; buku-buku dengan gambar aneh-aneh, dan beberapa buku yang sama sekali kosong melompong. Bahkan Dudl
ey yang sama sekali tak pernah membaca apa-apa, akan senang memiliki beberapa buku yang ada di sini. Hagrid nyaris sampai harus menyeret Harry dari buku Kutukan dan Kontra-Kutukan (Pikat Kawan dan Kutuk Lawan dengan Pembalasan Dendam Mutakhir: Rambut Rontok, Kaki Lemas, Lidah Beku, dan banyak macam lagi) oleh Profesor Vindictus Viridian.
"Aku sedang mencoba mencari cara mengutuk Dudley."
"Aku tidak bilang itu bukan ide yang baik, tapi kau tak boleh gunakan sihir di dunia Muggle, kecuali dalam keadaan sangat istimewa," kata Hagrid. "Lagi pula kau belum bisa gunakan kutukan itu, kau masih perlu belajar banyak sebelum mencapai tingkat itu."
Hagrid juga tidak mengizinkan Harry membeli kuali emas ("menurut daftarmu harus timah campuran,") tetapi mereka mendapat satu set timbangan bagus untuk menimbang bahan-bahan ramuan dan teleskop kuningan yang bisa dilipat.
Kemudian mereka ke toko bahan ramuan, yang untungnya cukup menarik, soalnya baunya busuk bukan main, campuran antara telur busuk dan kol busuk. Tong-tong berisi lendir berjajar di lantai, stoples-stoples berisi ramuan, akarakar kering, dan bubuk berwarna cerah berderet di dinding, bergebung bulubulu, untaian taring, dan cakar-cakar melengkung bergantungan dari langitlangit. Sementara Hagrid minta si penjaga toko menyiapkan bahan-bahan dasar ramuan untuk Harry, Harry sendiri sibuk mengamati tanduk perak unicorn yang harganya dua puluh satu Galleon sebuah dan mata kumbang yang hitam kecil-kecil dan berkilat (lima Knut sesendok).
Di luar toko, Hagrid memeriksa daftar Harry lagi.
"Tinggal kurang tongkatmu-oh yeah, dan aku belum beli hadiah ulang tahun buatmu." Harry merasa mukanya merah.
"Tak usah..." "Aku tahu. Begini saja, kuhadiahi kau binatang.
Bukan kodok, kodok sudah ketinggalan mode bertahun-tahun yang lalu. Kau akan ditertawakan-dan aku tak suka kucing, mereka membuatku bersin. Kau akan kubelikan burung hantu.
Semua anak kepingin punya burung hantu, mereka berguna sekali, mengantar suratmu dan macam-macam lagi."
Dua puluh menit kemudian mereka meninggalkan Toko Burung Hantu Serbaada Eeylops, yang gelap dan penuh bunyi gesekan bulu dan mata berkilat yang berkelap-kelip. Harry sekarang menenteng sangkar besar berisi burung hantu seputih salju, yang tengah tidur nyenyak dengan kepala menyusup ke balik sayap. Dia tak bisa berhenti menyampaikan ucapan terima kasihnya dengan terbata-bata, seperti Profesor Quirrell.
"Ya, ya, kembali," kata Hagrid parau. "Kupikir kau tak banyak dapat hadiah dari keluarga Dursley. Tinggal ke Ollivanders sekarang-satu-satunya tempat untuk beli tongkat.
Ollivanders, dan kau akan mendapatkan tongkat yang terbaik."
Tongkat sihir... ini sudah ditunggu-tunggu Harry.
Toko terakhir ini sempit dan kumuh. Huruf-huruf emas yang sudah mengelupas di atas pintunya berbunyi, Ollivanders: Pembuat Tongkat Sihir Bagus Sejak 382 SM. Sebatang tongkat tergeletak di atas bantal ungu kusam di etalase berdebu.
Denting bel berbunyi di kedalaman toko ketika mereka melangkah masuk. Tempat itu kecil sekali, kosong, hanya ada satu kursi tinggi kurus. Hagrid duduk menunggu di kursi itu.
Harry merasa aneh, seakan dia memasuki perpustakaan yang peraturannya sangat ketat. Dia menelan banyak pertanyaan baru yang bermunculan di benaknya dan melihat-lihat saja ribuan kotak pipih yang bertumpuk rapi sampai ke langit-langit. Entah kenapa, bulu tengkuknya berdiri. Debu dan kesunyian di toko ini rasanya mengandung sihir rahasia.
"Selamat sore," terdengar suara lembut. Harry melonjak.
Hagrid pastilah melonjak juga, sebab terdengar bunyi derit keras dan dia cepat-cepat bangkit dari kursi kurusnya.
Seorang laki-laki tua berdiri di hadapan mereka. Matanya yang lebar dan pucat, bercahaya bagai bulan di dalam toko yang suram itu.
"Halo," kata Harry salah tingkah.
"Ah ya," kata laki-laki itu. "Ya, ya. Sudah kuduga aku akan segera bertemu kau, Harry Potter," katanya yakin. "Matamu mirip mata ibumu. Rasanya baru kemarin dia di sini, membeli tongkat pertamanya. Dua puluh lima setengah senti, mendesir jika digerakkan, terbuat dari dahan dedalu. Tongkat bagus untuk menyihir."
Mr Ollivander me ndekati Harry. Harry berharap dia berkedip. Matanya yang keperakan itu agak mengerikan.
"Ayahmu, sebaliknya, lebih suka tongkat mahogani. Dua puluh tujuh setengah senti. Lentur. Sakti dan cocok sekali untuk transfigurasi. Yah, tadi kubilang ayahmu lebih suka tongkat
itu-sebetulnya tongkatnyalah yang memilih si penyihir tentu saja."
Mr Ollivander sudah dekat sekali, sehingga hidungnya dan hidung Harry nyaris bersentuhan. Harry bisa melihat bayangan dirinya di dalam mata berkabut itu.
"Dan ini rupanya..."
Mr Ollivander menyentuh belas luka berbentuk kilat menyambar di dahi Harry dengan jarinya yang putih panjang.
"Aku minta maaf karena aku yang menjual tongkat yang menyebabkan luka ini," katanya lembut. "Tiga puluh tiga setengah senti. Kayu cemara. Sakti, sangat sakti dan jatuh ke tangan yang salah... Yah, kalau saja aku tahu apa yang akan dilakukan tongkat itu di luar...."
Dia menggelengkan kepala dan kemudian, betapa leganya Harry, Mr Ollivander melihat Hagrid. "Rubeus! Rubeus Hagrid! Senang sekali bertemu kau lagi... Ek, empat puluh senti, agak bengkok, kan"" "Betul, Sir. Ya," kata Hagrid.
"Tongkat bagus. Tapi kuduga mereka mematahkannya jadi dua waktu kau dikeluarkan"" kata Mr Ollivander, mendadak galak.
"Er, ya, betul," kata Hagrid, kakinya bergerak-gerak gelisah. "Tapi saya masih simpan potongannya," dia menambahkan dengan riang. "Tapi kau tidak memakainya""
kata Mr Ollivander tajam.
"Oh, tidak, Sir," jawab Hagrid cepat-cepat. Harry melihat Hagrid mencengkeram payung merah jambunya erat-erat ketika berbicara.
"Hmmm," kata Mr Ollivander, menatap tajam Hagrid. "Nah, Mr Potter. Coba kita lihat." Dia menarik keluar meteran panjang dengan tanda-tanda perak dari dalam kantongnya. "Tangan mana tangan pemegang tongkatmu"" "Er-tangan kanan," kata Harry.
"Julurkan tanganmu. Bagus." Dia mengukur Harry dari bahu kejari, kemudian pergelangan tangan ke siku, bahu ke lantai, lulut ke ketiak, dan sekeliling kepalanya. Sementara mengukur, dia berkata, "Semua tongkat Ollivander punya intisari kegaiban, Mr Potter. Kami menggunakan rambut unicorn, bulu ekor burung phoenix, dan nadi jantung naga. Tak ada dua tongkat Ollivander yang sama. Seperti halnya tak ada dua unicorn, naga atau phoenix yang persis sama. Dan tentu saja kau tak akan mendapatkan hasil baik dengan tongkat penyihir lain."
Harry mendadak menyadari bahwa meteran yang sedang mengukur jarak antara kedua lubang hidungnya, mengukur sendiri. Mr Ollivander berkeliling di depan rak-rak, menurunkan kotak-kotak.
"Sudah cukup," katanya, dan meteran itu langsung terpuruk menggunuk di lantai. "Baik, Mr Potter, cobalah yang ini. Beechwood dan nadi jantung naga. Dua puluh dua setengah senti. Bagus dan fleksibel.
Ambil dan cobalah menggoyangkannya."
Harry meraih tongkat itu dan (merasa bego) menggoyangkannya sedikit, tetapi Mr Ollivander langsung merebutnya. "Mapel dan bulu phoenix. Tujuh belas setengah senti.
Sabetannya oke. Cobalah..." Harry mencoba-tapi baru saja dia mengangkatnya, tongkat itu juga direbut balik oleh Mr Ollivander. "Tidak, tidak-ini, eboni dan rambut unicorn, dua puluh satu seperempat, elastis. Ayo, ayo, coba yang ini."
Harry mencobanya. Dan mencoba yang lain. Dia sama sekali tak tahu apa yang dinantikan Mr Ollivander. Tumpukan tongkat yang sudah dicoba menggunung makin lama makin tinggi di atas kursi kurus, tetapi semakin banyak tongkat yang diambilnya dari rak, semakin senang tampaknya Mr Ollivander.
"Pembeli pemilih, eh" Jangan khawatir, kita akan menemukan tongkat yang pas di sini-bagaimana kalau-ya, kenapa tidak-kombinasi yang tidak biasa- holly dan bulu phoenix, dua puluh tujuh setengah senti, bagus dan lentur."
Harry mengambil tongkat itu. Mendadak jari-jarinya terasa hangat. Diangkatnya tongkat ke atas kepala, diayunkannya ke bawah di udara berdebu, dan semburat bunga api merah dan keemasan meluncur dari ujungnya seperti kembang api, membuat bayangbayang yang menari-nari di dinding. Hagrid berteriak dan bertepuk tangan, dan Mr Ollivander berseru, "Oh, bravo! Ya, sungguh, bagus sekali. Wah, wah, wah, sungguh aneh... sungguh aneh sekali..."
Diletakkannya kembali tongkat Harry ke dalam kotaknya dan dibungkusnya dengan kertas cokelat, sambil terus bergumam,
"Aneh... aneh..."


Harry Potter Dan Batu Bertuah Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf," kata Harry, "tapi apa yang aneh"" Mr Ollivander menatap Harry dengan matanya yang pucat. "Aku ingat semua tongkat yang pernah kujual, Mr Potter.
Satu per satu. Kebetulan phoenix yang bulu ekornya ada di tongkatmu, menghasilkan satu bulu lagi-hanya satu. Sungguh aneh sekali kau ditakdirkan menjadi pemilik tongkat ini, sementara saudaranya- wah, saudaranyalah yang memberimu bekas luka itu."
Harry menelan ludah. "Ya, tiga puluh tiga setengah senti. Yew. Sungguh aneh hal-hal semacam ini terjadi. Tongkat yang memilih penyihir, ingat...
Kurasa kami harus mengharap kau melakukan hal-hal luar biasa, Mr Potter... Lagi pula, Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut melakukan hal-hal luar biasa-mengerikan, ya, tapi luar biasa."
Harry bergidik. Dia tak yakin apakah dia sangat menyukai Mr Ollivander. Dia membayar tujuh Galleon emas untuk tongkatnya dan Mr Ollivander membungkuk, mengantar mereka meninggalkan tokonya.
* * * Matahari sore menggantung rendah di langit. Harry dan Hagrid kembali ke Diagon Alley, kembali menembus tembok, kembali ke Leaky Cauldron, yang sekarang kosong. Sepanjang jalan Harry tidak bicara sama sekali. Dia bahkan tidak menyadari betapa orang-orang di kereta bawah tanah terheran-heran melihat mereka, yang membawa begitu banyak belanjaan yang bentuk dan bungkusnya aneh-aneh, dengan burung hantu seputih salju tertidur di pangkuan Harry. Naik eskalator lagi, keluar ke stasiun Paddington. Harry baru menyadari dimana mereka berada ketika Hagrid menjawil bahunya.
"Masih sempat makan sebentar sebelum keretamu berangkat," katanya.
Dia membeli hamburger dan mereka duduk di kursi plastik untuk memakannya. Berkali-kali Harry memandang berkeliling.
Segala sesuatu terasa aneh.
"Kau tak apa-apa, Harry" Kau dari tadi diam saja," kata Hagrid.
Harry tak yakin dia bisa menjelaskan. Hari ini hari ulang tahun paling menyenangkan dalam hidupnya- tapi-dia mengunyah hamburgernya, mencoba menemukan kata-kata.
"Semua orang menganggapku istimewa," katanya akhirnya.
"Semua orang di Leaky Cauldron, Profesor Quirrell, Mr Ollivander... tetapi aku sama sekali tak tahu apa-apa tentang sihir. Bagaimana mereka mengharap aku melakukan hal-hal luar biasa" Aku terkenal dan aku bahkan tak ingat aku terkenal
karena apa. Aku tak tahu apa yang terjadi ketika Vol-maaf- maksudku, pada malam orangtuaku meninggal." Hagrid mencondongkan tubuh di atas meja. Di balik jenggot liar dan alis tebalnya, senyumnya ramah sekali. "Jangan khawatir, Harry. Kau akan belajar dengan cepat.
Semua orang mulai dari awal di Hogwarts, kau tak akan dapat masalah. Jadilah saja dirimu sendiri. Aku tahu ini berat. Kau telah dipilih, dan ini selalu berat. Tetapi kau akan senang di Hogwarts- dulu aku juga-bahkan sampai sekarang pun masih."
Hagrid membantu Harry naik ke kereta yang akan membawanya kembali ke keluarga Dursley, kemudian menyerahkan amplop.
"Karcis keretamu ke Hogwarts," katanya. "Tanggal satu September-King's Cross-semua tercantum di karcismu. Kalau ada masalah dengan keluarga Dursley, kirimi aku surat lewat burung hantumu, dia akan tahu di mana temukan aku... Sampai ketemu lagi, Harry."
Kereta bergerak meninggalkan stasiun. Harry ingin memandang Hagrid sampai dia tak kelihatan lagi. Dia bangkit dari tempat duduknya dan menempelkan hidungnya di kaca jendela, tetapi begitu dia mengejapkan mata, Hagrid sudah lenyap.
* * * 6 PERJALANAN DARI PERON SEMBILAN TIGA PEREMPAT
BULAN terakhir Harry bersama keluarga Dursley tidaklah menyenangkan, Dudley sekarang begitu ketakutan pada Harry sehingga dia tidak mau berada di ruangan yang sama dengannya, sementara bibi Petunia dan Paman Vernon tidak mengurung Harry dalam lemarinya, tidak memaksannya melakukan sesuatu atau pun membentaknya, bahkan, mereka sama sekali tidak bicara dengan Harry. Setengah ketakutan, setengah marah, mereka bersikap seolah olah kursi yang diduduki Harry itu kosong. Meskipun ini perbaikan dalam banyak hal, setelah beberapa waktu keadaan begini membuat Harry agak tertekan juga.
Harry menghabisk an waktu di kamarnya, hanya ditemani burung hantunya. Dia memutuskan menamai burung hantunya Hedwig, nama yang ditemukannya dalam buku Sejarah Sihir.
Buku-buku sekolahnya sangat menarik. Dia berbaring di tempat tidurnya, membaca sampai jauh malam, Hedwig terbang keluarmasuk jendela sesuka-suka dia. Untunglah Bibi Petunia tidak lagi datang ke kamar Harry, karena Hedwig tak henti-hentinya membawa bangkai tikus. Setiap malam sebelum tidur, Harry menandai hari pada sepotong kertas yang ditempelnya di dinding, sampai ke tanggal satu September.
Pada hari terakhir bulan Agustus, dia memutuskan lebih baik bicara dengan paman dan bibinya soal dia harus pergi ke Stasiun
King's Cross hari berikutnya. Maka dia turun ke ruang keluarga, tempat mereka sedang menonton acara kuis di televisi. Harry berdeham untuk memberitahu dia datang, dan Dudley menjerit dan kabur dari ruangan itu.
"Er-Paman Vernon""
Paman Vernon menggumamkan gerutuan tak jelas untuk menunjukkan dia mendengarkan.
"Er-aku harus ke King's Cross besok untuk- untuk ke Hogwarts."
Paman Vernon menggerutu lagi.
"Apakah aku boleh ikut mobil Paman""
Gerutuan tak jelas. Harry menafsirkan itu berarti boleh.
"Terima kasih." Dia sudah akan kembali ke atas ketika Paman Vernon benar-benar bicara. "Aneh juga, mau ke sekolah sihir kok naik kereta. Permadani terbangnya berlubang semua, rupanya"" Harry diam saja. "Di mana sih sekolah ini""
"Aku tidak tahu," kata Harry, baru menyadarinya saat itu.
Dia menarik keluar tiket yang diberikan Hagrid dari dalam sakunya. "Aku cuma diminta naik kereta dari peron sembilan tiga perempat pukul sebelas," dia membaca. Bibi dan pamannya melongo.
"Peron berapa""
"Sembilan tiga perempat."
"Jangan ngawur," kata Paman Vernon. "Tak ada peron sembilan tiga perempat." "Menurut tiketnya begitu."
"Omong kosong," kata Paman Vernon, "mereka semua sinting. Lihat saja sendiri nanti. Tunggu saja. Baiklah, kami akan mengantarmu ke King's Cross. Kami toh besok memang mau ke London, kalau tidak mana aku mau peduli." "Kenapa kalian mau ke London"" tanya Harry, berusaha bersikap ramah. "Membawa Dudley ke rumah sakit," geram Paman Vernon.
"Ekornya yang kemerahan harus dipotong sebelum dia berangkat ke Smeltings."
* * * Harry terbangun pukul lima esok paginya dan terlalu gembira sekaligus tegang, sehingga tak bisa tidur lagi. Dia bangun dan memakai celana j ins-nya karena tak mau ke stasiun memakai jubah sihirnya-dia akan berganti pakaian di kereta saja. Sekali lagi diperiksanya daftar Hogwarts-nya kalau-kalau yang diperlukannya masih ada yang ketinggalan, mengecek apakah Hedwig sudah aman terkurung di dalam sangkarnya, dan kemudian berjalan mondar-mandir dalam kamarnya, menunggu keluarga Dursley bangun. Dua jam kemudian, koper besar Harry sudah dimasukkan ke dalam mobil keluarga Dursley. Bibi Petunia sudah membujuk Dudley agar mau duduk di sebelah Harry dan mereka pun berangkatlah.
Mereka tiba di King's Cross pukul setengah sebelas. Paman Vernon menjatuhkan koper Harry di atas troli
dan mendorongnya ke dalam stasiun. Harry berpendapat Paman Vernon baik sekali, sampai Paman Vernon mendadak
berhenti di depan deretan peron dengan seringai menyebalkan di wajahnya.
"Nah, ini dia, Nak. Peron sembilan-peron sepuluh.
Peronmu seharusnya di antaranya, tetapi rupanya belum dibangun, ya""
Paman Vernon benar, tentu saja. Ada angka sembilan plastik besar di atas satu peron dan angka sepuluh plastik besar di peron berikutnya, dan di antaranya sama sekali tak ada apa-apa.
"Semoga senang di sekolah," kata Paman Vernon dengan seringai yang lebih menyebalkan. Dia pergi tanpa berkata apaapa lagi. Harry menoleh dan melihat mobil keluarga Dursley meluncur meninggalkan stasiun. Mereka bertiga tertawa-tawa.
Mulut Harry jadi agak kering. Apa yang akan dilakukannya"
Orang-orang mulai memandangnya dengan aneh, gara-gara Hedwig. Dia harus bertanya pada seseorang.
Dia menghentikan petugas yang lewat, tetapi tak berani menyebut peron sembilan tiga perempat. Si petugas belum pernah mendengar tentang Hogwarts dan ketika Harry bahkan tak bisa mengatakan di bagian mana Inggris sekolah ini berada, dia mulai
jengkel, seakan Harry sengaja berlagak bloon.
Semakin putus asa, Harry menanyakan kereta yang akan berangkat pukul sebelas, tetapi kata si petugas tak ada. Akhirnya si petugas pergi, mengomel soal orang yang suka buang-buang waktu. Harry berusaha keras agar tidak panik. Menurut jam besar di atas papan kedatangan, dia hanya punya waktu sepuluh menit lagi untuk naik kereta ke Hogwarts dan dia sama sekali tak tahu harus bagaimana. Dia kebingungan di tengah stasiun dengan koper yang nyaris tak bisa diangkatnya, kantong penuh uang sihir, dan burung hantu besar.
Hagrid pastilah lupa memberitahukan sesuatu yang harus dilakukannya, seperti misalnya mengetuk batu bata ketiga di sebelah kiri untuk bisa masuk ke Diagon Alley. Dia bertanya-tanya dalam hati apakah sebaiknya dia mengeluarkan tongkatnya dan mengetuk boks penjualan tiket di antara peron sembilan dan sepuluh.
Saat itu serombongan orang lewat di belakangnya dan tertangkap olehnya beberapa kata yang diucapkan.
"... penuh Muggle, tentu saja..."
Harry langsung membalik. Yang bersuara seorang wanita gemuk, bicara kepada empat anak laki-laki, semua dengan rambut merah manyala. Masing-masing mendorong koper seperti milik Harry di depan mereka-dan mereka punya burung hantu.
Dengan jantung berdegup keras Harry mendorong trolinya mengikuti mereka. Mereka berhenti, dia ikut berhenti, cukup dekat untuk mendengar apa yang mereka katakan.
"Peron berapa"" tanya ibu anak-anak itu.
"Sembilan tiga perempat!" terdengar suara nyaring anak perempuan, juga berambut merah, yang menggandeng tangannya. "Mum, apakah aku tidak boleh..."
"Kau belum cukup umur, Ginny sekarang diam dulu.
Baiklah, Percy, kau duluan yang masuk."
Anak yang kelihatannya paling tua berjalan menuju peron sembilan dan sepuluh. Harry mengawasi, bertahan tidak berkedip, takut kalau-kalau ada sesuatu yang tidak dilihatnyatetapi pas ketika anak itu tiba di pembatas antara peron, serombongan besar turis lewat di depannya dan ketika ransel terakhir sudah menyingkir, si anak sudah lenyap.
"Fred, kau berikutnya," si wanita gemuk berkata.
"Aku bukan Fred, aku George," kata si anak. "Astaga, Mum!
Katanya ibu kami, masa tidak bisa membedakan bahwa aku George""
"Sori, George."
"Cuma bergurau, aku Fred," kata si anak, lalu langsung pergi.
Kembarannya berteriak agar dia bergegas, dan pastilah dia bergegas, karena sedetik kemudian dia sudah lenyap- tetapi bagaimana caranya"
Sekarang saudara ketiga berjalan cepat menuju ke palang rintangan tiket-dia nyaris sampai-dan mendadak, dia lenyap.
Hilang begitu saja. "Maaf," kata Harry kepada si wanita gemuk.
"Halo, Nak," katanya. "Baru pertama kali ke Hogwarts, ya"
Ron juga baru." Dia menunjuk anak laki-lakinya yang terakhir dan termuda. Dia kurus dan jangkung, dengan bintik-bintik di mukanya, kakitangan besar, dan hidung panjang.
"Ya," kata Harry. "Masalahnya-masalahnya, saya tidak tahu bagaimana..."
"Bagaimana ke peronnya"" tanyanya ramah, dan Harry mengangguk.
"Jangan khawatir," katanya. "Yang harus kaulakukan hanyalah berjalan saja, menembus palang rintangan antara peron sembilan dan sepuluh. Jangan berhenti dan jangan takut kau akan menabraknya, ini yang paling penting. Paling baik melakukannya setengah berlari, kalau kau cemas. Ayo, masuklah sekarang, sebelum Ron."
"Er-oke," kata Harry. Harry memutar trolinya dan memandang palang rintangan. Kelihatannya kuat sekali.
Dia mulai berjalan ke arah palang. Berkali-kali dia tersenggol orang-orang yang berjalan ke peron sembilan dan sepuluh.
Harry berjalan semakin cepat. Sebentar lagi dia akan menabrak boks penjualan tiket, lalu akan mendapat kesulitan- Harry membungkuk di atas trolinya, dia berlari-palang semakin lama semakin dekat-dia tak akan bisa berhenti- troli sudah di luar kendali-tinggal tiga puluh senti lagi- dia memejamkan mata menunggu saat tabrakan...
Tetapi ternyata dia tidak menabrak apa-apa... dia masih terus berlari... dia membuka matanya.
Kereta api berwarna merah menunggu di sebelah peron yang penuh orang. Tulisan di atasnya berbunyi Hogwarts Express, pukul 11.00. Harry menoleh ke belakang dan melihat gerbang
melengkung di tempa t yang tadinya tempat boks tiket, dengan tulisan Peron Sembilan Tiga Perempat. Dia telah berhasil.
Asap lokomotif melayang di atas kepala orartgorang yang ramai mengobrol, sementara kucing-kucing dalam berbagai warna menyusup-nyusup di antara kaki mereka. Burung-burung hantu saling bersahutan, ditingkahi suara obrolan dan derit koper-koper berat yang diseret.
Rangkaian beberapa gerbong yang di depan sudah penuh anak-anak. Beberapa di antaranya menjulurkan tubuh ke luar jendela untuk mengobrol dengan keluarga mereka, yang lain berebut tempat duduk. Harry mendorong trolinya sepanjang peron, mencari tempat duduk yang masih kosong. Dia melewati anak lakilaki berwajah bulat yang sedang berkata, "Nek, katakku hilang lagi."
"Oh, Neville," didengarnya perempuan tua itu menghela napas. Seorang anak laki-laki berambut keriting dikerumuni serombongan anak.
"Coba kami lihat, Lee, ayo dong."
Anak itu mengangkat tutup kotak yang dipeluknya dan anakanak yang merubungnya langsung menjerit dan berteriak-teriak ketika ada kaki panjang berbulu keluar dari kotak itu.
Harry melewati orang-orang yang berdesakan sampai dia tiba di gerbong kosong hampir di ujung kereta. Mula-mula dinaikkannya Hedwig, kemudian dia mulai mengangkat dan mendorong kopernya lewat pintu kereta.
Dicobanya mengangkatnya melewati undakan, tetapi dia nyaris tak bisa mengangkat salah satu ujungnya dan dua kali koper itu menjatuhi kakinya. Sakit sekali.
"Perlu bantuan"" Ternyata salah satu dari si kembar berambut merah yang tadi diikutinya menerobos boks tiket. "Ya, tolong dong," jawab Harry terengah. "Oi, Fred! Sini, bantu!"
Dengan bantuan si kembar, koper Harry akhirnya berhasil ditempatkan di sudut gerbong. "Terima kasih," kata Harry seraya menyeka rambutnya yang berkeringat dari matanya.
"Apa itu"" kata salah satu dari si kembar tiba-tiba sambil menunjuk ke bekas luka Harry yang berbentuk kilat menyambar.
"Astaga," kata kembar satunya. "Apakah kau...""
"Betul dia," kata kembar yang pertama. "Iya, kan"" tanyanya pada Harry. "Apa"" tanya Harry.
"Harry Potter," si kembar menjawab bersamaan.
"Oh, dia," kata Harry. "Maksudku, ya, aku Harry Potter."
Kedua anak itu melongo memandangnya dan muka Harry menjadi merah. Kemudian, betapa leganya dia, terdengar suara dari pintu kereta.
"Fred" George" Kalian di dalam""
"Ya, Mum." Sambil melempar pandang ke arah Harry, si kembar melompat turun dari kereta.
Harry duduk di dekat jendela. Dari situ, setengah tersembunyi, dia bisa memandang keluarga berambut merah di peron dan mendengar apa yang mereka ucapkan. Ibu mereka baru saja mengeluarkan saputangan.
"Ron, hidungmu ada kotorannya."
Anak laki-laki termuda mencoba menghindar, tetapi si ibu menjambretnya dan mulai menggosok ujung hidungnya.
"Mum-ta' usah." Dia menggeliat membebaskan diri.
"Ah, ada apa di ujung hidung si Ronnie"" kata salah satu dari si kembar.
"Diam kau," kata Ron.
"Di mana Percy"" tanya ibu mereka.
"Itu dia." Anak laki-laki tertua muncul. Dia sudah berganti pakaian dengan jubah hitam Hogwarts-nya yang melambai dan Harry melihat lencana perak berkilat dengan huruf P tersemat di dadanya.
"Tidak bisa lama-lama, Mum," katanya. "Aku di depan, untuk para Prefek disediakan dua gerbong khusus..." Prefek adalah beberapa murid senior yang diberi tanggung jawab untuk mengatur ketertiban.
"Oh, jadi kau Prefek, Percy"" kata salah satu dari si kembar, seolah kaget sekali. "Mestinya bilang-bilang dong. Kami tidak tahu sama sekali."
"Tunggu, kurasa aku ingat dia pernah bilang kok," kata kembar satunya. "Sekali..."
"Atau dua kali..."
"Setiap menit..."
"Sepanjang musim panas..."
"Oh, tutup mulut," kata Percy si Prefek.
"Bagaimana Percy bisa mendapat jubah baru sih"" tanya salah seorang dari si kembar. "Karena dia Prefek," jawab ibu mereka penuh kasih sayang.
"Baiklah, Sayang, semoga senang di sekolah- kirim burung hantu kalau kau sudah tiba, ya." Diciumnya pipi Percy dan Percy pergi lagi. Kemudian si ibu menoleh kepada si kembar.
"Nah, kalian berdua-tahun ini kalian jangan nakal. Kalau sekali lagi aku menerima burung hantu yang memberitahu kalian telah-telah meledakkan toilet atau..."
"Meledakkan toilet" Kami belum pernah meledakkan toilet."
"Tapi ide bagus itu. Trims, Mum."
"Tidak lucu. Dan jaga Ron."
"Jangan khawatir, Ronnie kecil akan aman bersama kami."
"Diam," kata Ron lagi. Tingginya sudah hampir sama dengan si kembar dan hidungnya masih merah di tempat yang tadi digosok ibunya.
"Hei, Mum, tahu tidak" Coba tebak siapa yang baru saja kami temui di kereta""
Harry cepat-cepat bersandar ke belakang agar mereka tidak bisa melihatnya sedang mengawasi mereka. "Mum tahu siapa anak laki-laki berambut hitam yang tadi ada di dekat kita di stasiun" Tahu tidak siapa dia"" "Siapa"" "Harry Potter!"
Harry mendengar suara si anak perempuan kecil.
"Oh, Mum, bolehkah aku naik ke kereta dan melihatnya, Mum, oh, boleh, ya...."
"Kau sudah melihatnya, Ginny dan anak malang itu bukan untuk dilihat-lihat seperti penghuni kebun binatang. Benarkah dia Harry Potter, Fred" Bagaimana kau bisa tahu""
"Aku tanya dia. Melihat bekas lukanya. Benarbenar adaseperti sambaran kilat."
"Kasihan-pantas saja dia sendirian. Aku tadi bertanya-tanya dalam hati. Dia sopan sekali ketika bertanya bagaimana bisa sampai ke peron."
"Itu sih tidak penting. Apakah menurut Mum dia masih ingat seperti apa Kau-Tahu-Siapa"" Ibu mereka mendadak menjadi sangat tegas.
"Kularang kau menanyainya, Fred. Jangan berani-berani bertanya padanya. Kaupikir dia perlu diingatkan tentang musibah itu pada hari pertamanya bersekolah""
"Baiklah, tenang saja."
Terdengar bunyi peluit. "Cepatlah!" kata ibu mereka, dan ketiga anak lakilaki itu naik ke kereta. Mereka menjulurkan badan ke luar jendela agar bisa mendapat ciuman selamat tinggal, dan adik perempuan mereka mulai menangis.
"Jangan nangis, Ginny, kami akan kirim banyak burung hantu."
"Kami akan mengirimimu seperangkat toilet Hogwarts."
"George!" "Cuma bergurau, Mum."
Kereta mulai bergerak. Harry melihat ibu anakanak itu melambaikan tangan dan adik mereka, setengah tertawa, setengah menangis, berlari mengejar kereta sampai keretanya bergerak semakin cepat. Setelah itu barulah dia berhenti dan melambai.
Harry melihat anak perempuan itu dan ibunya menghilang ketika kereta berbelok. Rumah-rumah seperti berlari melintasi jendela. Harry merasa bergairah sekali. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi pastilah lebih baik daripada yang sedang ditinggalkannya.
Pintu kompartemennya bergeser membuka dan anak laki-laki berambut merah yang termuda masuk. "Ada yang duduk di sini"" tanyanya sambil menunjuk tempat duduk di depan Harry. "Tempat lain sudah penuh semua."
Harry menggeleng dan anak itu duduk. Dia melirik Harry, lalu cepat-cepat memandang ke luar jendela, pura-pura tidak melihat Harry. Harry melihat di ujung hidungnya masih ada noda hitam.
"Hei, Ron." Si kembar sudah kembali. "Dengar, kami akan ke tengah kereta-Lee Jordan punya tarantula raksasa."
"Baiklah," gumam Ron. "Harry," kata kembar satunya, "kami belum memperkenalkan diri, kan" Fred dan George Weasley.
Dan ini Ron, adik kami. Sampai nanti, ya." "Daaah," kata Harry dan Ron.
Si kembar menutup kembali pintu di belakang mereka. "Apakah kau benar-benar Harry Potter"" Ron menyeletuk. Harry mengangguk.
"Oh-yah, kukira tadi Fred dan George cuma bergurau," kata Ron. "Dan apakah benar-benar ada- kau tahu, kan..." Dia menunjuk ke dahi Harry.
Harry menyibakkan poninya ke belakang untuk menunjukkan bekas luka sambaran-kilatnya. Ron terbelalak.
"Jadi di situlah Kau-Tahu-Siapa...""
"Ya," kata Harry "tapi aku sudah tak ingat lagi."
"Sama sekali tidak"" tanya Ron ingin tahu.
"Yah-aku ingat banyak sinar hijau, tapi hanya itu saja."
"Wow," kata Ron. Selama beberapa waktu dia terbelalak memandang Harry kemudian, seakan baru sadar apa yang dilakukannya, cepat-cepat dia memandang ke luar jendela lagi.
"Apakah semua keluargamu penyihir"" tanya Harry yang menganggap Ron sama menariknya, seperti Ron menganggap dirinya menarik.
"Er-ya, kurasa begitu," kata Ron. "Kalau tak salah ada sepupu jauh Mum yang akuntan, tapi kami tak pernah membicarakannya."
"Kalau begitu pastilah kau sudah banyak tahu tentang sihir."
Keluarga Weasley pastilah salah satu keluarga tua penyihir yang disebut
-sebut si anak laki-laki pucat di Diagon Alley. "Kudengar kau tinggal dengan Muggle," kata Ron. "Seperti apa mereka""
"Mengerikan-yah, tidak semuanya sih. Tapi paman, bibi, dan sepupuku mengerikan. Coba kalau aku punya tiga kakak laki-laki penyihir."
"Lima," kata Ron. Entah kenapa dia kelihatan mu-ram. "Aku anak keenam dalam keluarga kami yang masuk Hogwarts. Bisa dikatakan banyak yang diharapkan dariku. Bill dan Charlie sudah lulus dan meninggalkan Hogwarts- Bill dulu Ketua Murid dan Charlie kapten Quidditch. Sekarang Percy terpilih menjadi Prefek. Fred dan George banyak main-main, tetapi nilai mereka bagus-bagus dan semua orang menganggap mereka kocak. Semua orang mengharapkan aku akan berprestasi sebaik mereka, tetapi kalaupun aku berhasil, ini bukan hal istimewa, karena mereka sudah melakukannya lebih dulu. Kau juga tak akan punya barang baru, kalau punya lima kakak. Jubah dan pakaianku bekas Bill, tongkatku bekas Charlie, dan tikusku tikus tua yang dulu milik Percy."
Ron merogoh ke dalam jaketnya dan mengeluarkan seekor tikus gemuk abu-abu yang sedang tidur. "Namanya Scabbers dan dia tidak berguna sama sekali.
Kerjanya tidur melulu. Percy mendapat burung hantu dari ayahku karena terpilih sebagai Prefek, tetapi mereka tidak mam-maksudku, aku jadi dapat Scabbers."
Telinga Ron menjadi merah. Rupanya dia berpendapat dia telah bicara terlalu banyak, karena dia kembali memandang ke luar jendela.
Bagi Harry tidak ada yang salah kalau tidak mampu membeli burung hantu. Lagi pula dia sendiri tak pernah punya uang sepeser pun sampai sebulan yang lalu. Maka dia menceritakan semuanya kepada Ron, tentang bagaimana dia harus memakai pakaian bekas Dudley dan tak pernah mendapat hadiah ulang tahun yang pantas. Ini kelihatannya membuat Ron senang.
"... dan sampai Hagrid memberitahuku, aku tak tahu apa-apa tentang diriku yang penyihir ataupun tentang orangtuaku atau Voldemort..."
Ron terpekik kaget. "Ada apa"" tanya Harry.
"Kau menyebutkan nama Kau-Tahu-Siapa!" kata Ron, kedengarannya shock sekaligus kagum. "Kukira kau, lebih-lebih..."
"Aku tidak mencoba berani atau apa, dengan menyebut nama itu," kata Harry. "Aku hanya tak pernah tahu nama itu pantang disebut. Tahu, kan, maksudku" Masih banyak sekali yang harus kupelajari... pasti," dia menambahkan, mengutarakan untuk pertama kalinya sesuatu yang belakangan ini banyak membuatnya cemas. "Pasti aku paling bego di kelas."
"Tidak. Banyak orang yang berasal dari keluarga Muggle dan mereka belajar dengan cukup cepat."
Sementara mereka mengobrol, kereta api telah membawa mereka meninggalkan London. Sekarang mereka melewati sawah-sawah penuh sapi dan biri-biri. Selama beberapa waktu
mereka diam, memandang sawah-sawah dan jalanan berkelebat cepat.
Sekitar pukul setengah satu siang, terdengar bunyi berkelontangan di lorong, lalu seorang wanita berlesung pipi tersenyum membuka pintu mereka dan berkata, "Mau beli sesuatu dari troli, anak-anak""
Harry, yang belum sarapan, langsung melompat berdiri, tetapi telinga Ron jadi merah lagi dan dia bergumam bahwa dia sudah membawa bekal sandwich. Harry keluar ke lorong.
Harry tak pernah punya uang untuk membeli permen selama tinggal dengan keluarga Dursley, dan sekarang ketika kantongnya penuh uang emas dan perak dia siap membeli cokelat Mars Bars sebanyak yang kuat dibawanya-tetapi wanita itu tidak punya Mars Bars. Yang dijualnya adalah Kacang Segala-Rasa Bertie Bott, Permen Karet Tiup Paling Hebat Drooble, Cokelat Kodok, Pastel Labu, Bolu Kuali, Tongkat Likor, dan beberapa makanan aneh lagi yang belum pernah dilihat Harry seumur hidupnya. Karena tak ingin ada yang ketinggalan, Harry membeli semuanya dan membayar perempuan itu sebelas Sickle perak dan tujuh Knut perunggu.
Ron terbelalak melihat Harry membawa semua belanjaannya ke dalam kompartemen mereka dan menuangnya di atas tempat duduk kosong.
"Lapar rupanya""
"Lapar berat," sahut Harry sambil menggigit sepotong besar pastel labu.
Ron sudah mengeluarkan bungkusan besar dan membukanya. Ada empat sandwich di dalamnya. Ron membuka satu di antaranya dan berkata, "Mum selalu lupa aku tidak suka kornet."
"Tukar saja dengan ini," kata Harry seraya mengulurkan pastel. "Ayo, tukar..."
"Kau tak akan mau roti ini, sudah kering," kata Ron. "Mum tak punya banyak waktu," dia menambahkan cepat-cepat, "maklumlah, anaknya banyak."
"Ayo, pastel ini untukmu," kata Harry, yang belum pernah memiliki sesuatu untuk dibagikan atau, malahan, orang lain yang bisa diajak berbagi. Senang rasanya, duduk bersama Ron, makan pastel dan bolu sepanjang jalan (sandwich-nya tergeletak terlupakan).
"Apa ini"" Harry bertanya kepada Ron sambil mengangkat satu pak Cokelat Kodok. "Bukan kodok betulan, kan"" Dia mulai merasa tak ada lagi yang bisa membuatnya terkejut.
"Bukan," kata Ron. "Tapi lihat apa kartunya. Aku kurang Agrippa ."
"Apa"" "Oh, tentu saja, kau tidak tahu-Cokelat Kodok ada kartunya di dalamnya, untuk dikoleksi-Para Penyihir Terkenal. Aku sudah punya kira-kira lima ratus, dan aku belum punya Agrippa atau Ptolemy."
Harry membuka bungkus Cokelat Kodok-nya dan mengambil kartunya. Ada foto wajah laki-laki. Dia memakai kacamata bulan-separo, hidungnya bengkok, dan rambut, jenggot, serta kumisnya putih panjang keperakan. Di bawah foto itu ada nama Albus Dumbledore.
"Jadi ini Dumbledore!" kata Harry.
"Jangan bilang kau belum pernah dengar tentang Dumbledore!" kata Ron. "Boleh aku minta Kodok" Siapa tahu aku dapat Agrippa-trims..."
Harry membalik kartunya dan membaca:
Albus Dumbledore saat ini menjabat Kepala Sekolah Hogwarts.
Banyak yang menganggapnya sebagai penyihir terbesar di zaman modern ini. Profesor Dumbledore khususnya terkenal karena berhasil mengalahkan penyihir aliran hitam Grindelwald pada tahun 1945, penemuannya untuk dua belas kegunaan darah naga, dan karyanya di bidang alkimia yang dikerjakannya bersama mitranya, Nicolas Flamel. Profesor Dumbledore menyukai musik kamar dan boling.
Harry membalik kembali kartunya dan kaget sekali melihat wajah Dumbledore sudah lenyap. "Dia pergi!"
"Ya, kan dia tak bisa di sini seharian," kata Ron. "Dia akan muncul lagi. Aduh, aku dapat Morgana lagi. Padahal aku sudah punya enam... kau mau" Kau bisa mulai mengoleksi."
Mata Ron tertuju pada tumpukan Cokelat Kodok yang menunggu dibuka bungkusnya. "Ambil saja," kata Harry.
"Tapi di dunia Muggle, wajah orang tidak pergi dari foto."
"Begitu" Apa" Mereka tidak bergerak sama sekali"" Ron kedengarannya heran. "Aneh!"
Harry terbelalak ketika Dumbledore muncul lagi di kartu yang dipegangnya dan tersenyum kecil kepadanya. Ron lebih tertarik memakan cokelatnya daripada melihat-lihat Para Penyihir Terkenal, tetapi Harry tak bisa mengalihkan
pandangannya dari kartu-kartu itu. Segera saja dia tak hanya punya Dumbledore dan Morgana, tetapi juga Hengist of Woodcroft, Alberic Grunnion, Circe, Paracelsus, dan Merlin.
Dia akhirnya mengalihkan pandang dari pendeta perempuan Cliodna,
yang sedang menggaruk-garuk hidung, untuk membuka kantong Kacang Segala-Rasa Bertie Bott.
"Hati-hati lho," Ron memperingatkan Harry. "Segala-Rasa di situ benar-benar segala rasa-tahu kan, kau mendapat rasa-rasa
biasa seperti cokelat, mint segar, selai, tapi kau juga bisa mendapat rasa bayam, hati, dan babat. George bahkan menduga dia pernah mendapat kacang rasa-setan." Ron mengambil sebutir kacang hijau, mengamatinya dengan teliti, dan menggigit sedikit ujungnya.
"Bleaaargh-benar, kan" Taoge."
Mereka asyik sekali makan Kacang Segala-Rasa. Harry mendapat roti bakar, kelapa, kacang panggang, stroberi, kari, rumput, kopi, sarden, dan bahkan cukup berani menggerigiti ujung kacang abu-abu yang Ron bahkan tak berani menyentuhnya, dan ternyata itu rasa merica.
Daerah pedesaan yang melayang melewati mereka semakin liar. Sawah-sawah yang rapi sekarang sudah lenyap. Yang ada hutan, sungai berkelok-kelok, dan bukit-bukit hijau gelap.
Terdengar ketukan di pintu kompartemen mereka dan anak laki-laki berwajah bundar, yang tadi dilewati Harry di peron sembilan, tiga perempat, masuk. Dia kelihatannya habis menangis.
"Maaf," katanya, "tapi apakah kalian melihat katak"" Ketika mereka menggelengkan kepala, anak itu meratap. "Hilang deh!
Dia kabur terus dariku!"
"Dia akan muncul," kata Harry.
"Ya," kata si anak s
edih. "Yah, kalau kau melihatnya..." Dia pergi.
"Aku tak tahu kenapa dia sesedih itu," kata Ron. "Kalau aku membawa katak, aku akan kehilangan dia secepat mungkin.
Tahu tidak, aku membawa Scabbers, supaya aku tak bisa bicara."
Tikus itu masih tidur di pangkuan Ron.
"Dia bisa saja mati dan kau tak akan tahu perbedaannya,"
kata Ron sebal. "Aku mencoba mengubahnya jadi kuning kemarin, tapi mantranya tidak manjur. Akan kutunjukkan padamu, lihat..."
Dia mengaduk-aduk kopernya dan menarik keluar tongkat yang sudah sangat butut. Tongkat itu sudah tergores dan bocel di mana-mana dan ada benda putih berkilau di ujungnya.
"Rambut unicorn-nya sudah hampir lepas. Yang jelas..."
Ron baru mengangkat tongkatnya ketika pintu kompartemen mereka menggeser terbuka lagi. Anak yang kehilangan katak muncul lagi, tetapi kali ini ditemani anak perempuan. Anak perempuan itu sudah memakai jubah Hogwarts-nya.
"Ada yang lihat katak" Katak Neville hilang," katanya.
Suaranya berwibawa, rambutnya cokelat lebat dan gigi depannya agak besar-besar.
"Kami sudah bilang padanya, tidak lihat," kata Ron, tetapi anak perempuan itu tidak mendengarkan. Dia malah memandang tongkat di tangan Ron.
"Oh, kau sedang menyihir, ya" Coba lihat."
Anak perempuan itu duduk. Ron kelihatannya kaget.
"Er-baiklah." Ron berdeham. "Cahaya mentari, mentega, kemuning, Ubahlah tikus gemuk bodoh ini jadi kuning."
Ron mengayunkan tongkatnya, tetapi tak terjadi apa-apa. Scabbers tetap abu-abu dan tetap tidur nyenyak.
"Kau yakin yang kauucapkan tadi mantra"" tanya si anak perempuan. "Tidak begitu manjur, ya. Aku sendiri sudah mencoba beberapa mantra sederhana untuk latihan dan semuanya manjur. Tak seorang pun dalam keluargaku penyihir.
Sungguh kejutan besar waktu aku menerima suratku, tetapi aku senang sekali, tentu saja, maksudku, ini kan sekolah sihir paling bagus, begitu yang kudengar-aku sudah hafal isi semua buku kita, tentu saja, aku cuma berharap itu cukup-oh ya, aku Hermione Granger, kalian siapa""
Semua itu dikatakannya dengan sangat cepat.
Harry memandang Ron dan langsung lega. Melihat wajahnya yang tercengang, berarti Ron juga belum menghafal semua isi buku-bukunya.
"Aku Ron Weasley," gumam Ron.
"Harry Potter," kata Harry.
"Kau Harry Potter"" kata Hermione. "Aku tahu segalanya tentang kau, tentu saja-aku membeli beberapa buku lain untuk bacaan tambahan, dan kau ada di buku Sejarah Sihir Modern dan Kejayaan dan Keruntuhan Sihir Hitam dan Peristiwa-peristiwa Hebat di Dunia Sihir Abad Dua Puluh."
"Betulkah"" kata Harry, takjub.
"Astaga, tak tahukah kau" Seandainya jadi kau, aku pasti sudah menyelidiki apa saja tentang diriku," kata Hermione.
"Apakah kalian tahu kalian akan masuk asrama mana" Aku sudah mencari informasi dan aku berharap aku masuk Gryffindor. Kedengarannya itu yang paling baik. Kudengar Dumbledore sendiri juga dulu di sana. Tetapi kurasa Ravenclaw juga tidak terlalu buruk.... Tapi sebaiknya kami mencari katak Neville lagi. Kalian berdua sebaiknya ganti pakaian, kurasa tak lama lagi kita sampai."


Harry Potter Dan Batu Bertuah Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan dia pergi, mengajak si anak yang kehilangan katak.
"Di rumah asrama mana pun aku nanti, kuharap tidak serumah dengan dia," kata Ron. Dilemparkannya kembali tongkatnya ke dalam kopernya. "Tongkat bego-dikasih George, pasti deh dia tahu tidak manjur."
"Di asrama mana kakak-kakakmu"" tanya Harry.
"Gryffindor," kata Ron. Kemuraman menyelimuti wajahnya lagi. "Mum dan Dad juga di situ. Aku tak tahu apa yang akan dikatakan mereka kalau aku tidak bisa masuk situ. Kurasa Ravenclaw tidak terlalu buruk, tetapi bayangkan kalau mereka menempatkan aku di Slytherin."
"Vol-maksudku, Kau-Tahu-Siapa dulu di asrama itu""
"Yeah," kata Ron. Dia terenyak kembali di tempat duduknya, kelihatan tertekan. "Eh, Ron, ujung kumis Scabbers warnanya lebih muda, ya,"
kata Harry berusaha mengalihkan pikiran Ron dari asrama-asrama. "Apa yang dilakukan kedua kakakmu yang sudah meninggalkan Hogwarts""
Harry bertanya-tanya dalam hati, apa yang dilakukan penyihir setelah sekolahnya selesai.
"Charlie di Rumania mempelajari tentang naga dan Bill di Afrika melakukan sesuatu untuk Gringotts," kata Ron. "Kau su
dah dengar tentang Gringotts" Beritanya ramai di Daily Prophet, tetapi kurasa Muggle tidak membaca koran itu. Ada yang mencoba merampok ruangan besi yang pengamanannya sangat ketat."
Harry terbelalak. "Betul" Apa yang terjadi pada mereka""
"Tidak ada, itulah sebabnya ini jadi berita besar. Mereka tidak tertangkap. Ayahku bilang pastilah penyihir hitam yang hebat kalau bisa lolos dari Gringotts, tetapi katanya mereka tidak mengambil apa-apa. Itu yang aneh. Tentu saja semua
orang jadi takut kalau hal semacam ini terjadi, siapa tahu KauTahu-Siapa berada di belakangnya."
Harry mencerna berita ini dalam benaknya. Dia mulai dirasuki rasa takut setiap kali Kau-Tahu-Siapa disebut-sebut.
Dia menduga ini bagian dari memasuki dunia sihir, tetapi lebih nyaman bisa mengucapkan "Voldemort" tanpa perlu cemas.
"Apa tim Quidditch favoritmu"" tanya Ron. "Er-aku tak kenal tim Quidditch mana pun," Harry mengaku.
"Apa!" Ron tercengang. "Oh, tunggu saja, ini permainan paling hebat sedunia...." Langsung saja Ron nyerocos menjelaskan tentang empat bola dan posisi tujuh pemainnya, menceritakan pertandinganpertandingan besar yang pernah ditontonnya bersama kakak-kakaknya dan sapu terbang yang ingin dibelinya jika dia punya cukup uang. Dia sedang menerangkan aturan-aturan mainnya ketika pintu kompartemen mereka tergeser terbuka lagi. Tetapi kali ini yang datang bukan Neville yang kehilangan katak ataupun Hermione Granger.
Tiga anak laki-laki masuk dan Harry langsung mengenali yang di tengah. Si anak laki-laki pucat yang ada di toko jubah Madam Malkin. Dia memandang Harry dengan lebih berminat daripada waktu di Diagon Alley.
"Betulkah"" katanya. "Di seluruh gerbong anakanak mengatakan Harry Potter ada di kompartemen ini. Jadi, rupanya kau, ya""
"Ya," kata Harry. Dia memandang dua anak lainnya. Mereka besar dan kelihatannya sadis sekali. Berdiri di kanan-kiri anak pucat itu, mereka kelihatan seperti pengawal.
"Oh, ini Crabbe dan ini Goyle," kata si pucat sambil lalu, ketika melihat siapa yang dipandang Harry. "Dan namaku Malfoy, Draco Malfoy."
Ron terbatuk, yang mungkin dilakukannya untuk menyamarkan kikikan. Draco Malfoy memandangnya. "Kaupikir namaku lucu, ya" Aku tak perlu tanya siapa kau.
Ayahku bilang semua Weasley berambut merah, punya bintikbintik di pipi, dan punya lebih banyak anak daripada yang sanggup mereka tang-gung."
Dia kembali memandang Harry.
"Kau akan segera tahu beberapa keluarga penyihir jauh lebih baik daripada yang lain, Potter. Jangan sampai berteman dengan orang yang salah. Aku bisa membantumu dalam hal ini."
Dia mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Harry, tetapi Harry tidak menyambutnya. "Kurasa aku bisa menentukan sendiri mana orang yang salah, terima kasih," katanya dingin.
Wajah Draco Malfoy tidak berubah merah, tetapi rona merah jambu muncul di pipinya yang pucat.
"Aku akan hati-hati kalau jadi kau, Potter," katanya perlahan.
"Kalau kau tidak lebih sopan sedikit, nasibmu akan sama dengan orangtuamu. Mereka juga tak tahu apa yang baik untuk mereka. Kalau kau ke sana kemari dengan orang-orang urakan seperti keluarga Weasley dan Hagrid, kau pasti ketularan."
Baik Harry maupun Ron bangkit. Wajah Ron sudah semerah rambutnya. "Coba bilang lagi," katanya.
"Oh, kalian mau berkelahi dengan kami, ya"" Malfoy menyeringai.
"Kalau kalian tidak keluar sekarang juga," kata Harry, lebih berani daripada yang dirasakannya, karena Crabbe dan Goyle jauh lebih besar daripada dia maupun Ron.
"Tapi kita tak mau pergi kan, teman-teman" Kami sudah menghabiskan makanan kami, sedangkan kalian masih punya sisa."
Goyle mengulurkan tangan ke Cokelat Kodok di sebelah Ron. Ron melompat ke depan, tetapi sebelum dia sempat menyentuh Goyle, Goyle sudah menjerit menyeramkan.
Scabbers si tikus bergantung pada jarinya, gigi-gigi kecilnya yang tajam terbenam dalam buku jari Goyle. Crabbe dan Malfoy mundur sementara Goyle mengibas-ngibaskan Scabbers, seraya melolong-lolong. Dan ketika akhirnya Scabbers terlepas dan menghantam jendela, mereka bertiga langsung kabur.
Mungkin mereka mengira masih banyak lagi tikus bersembunyi di antara cokelat-cokelat, atau m
ungkin mereka mendengar langkah-langkah kaki, karena sedetik kemudian, Hermione Granger masuk.
"Apa yang terjadi"" tanyanya, seraya memandang permen yang berserakan di lantai dan Ron yang memungut Scabbers pada ekornya.
"Kurasa dia pingsan," kata Ron kepada Harry. Dia memeriksa Scabbers dengan teliti. "Astaga-aku tak percaya-dia sudah tidur lagi."
Scabbers memang tidur. "Kau sudah pernah ketemu Malfoy sebelumnya""
Harry menjelaskan tentang pertemuan mereka di Diagon Alley.
"Aku sudah dengar tentang keluarganya," kata Ron muram.
"Mereka termasuk di antara rombongan pertama yang kembali memihak kita setelah Kau-Tahu-Siapa menghilang. Katanya mereka disihir. Ayahku tidak percaya. Dia bilang ayah Malfoy tidak perlu alasan untuk memihak Sihir Hitam." Ron menoleh kepada Hermione. Ada yang bisa kami bantu""
"Kalian sebaiknya bergegas dan memakai jubah kalian. Aku baru dari depan untuk menanyai masinis dan dia bilang sebentar lagi kita sampai. Kalian tidak habis berkelahi, kan" Kalian akan dapat kesulitan bahkan sebelum kita sampai!"
"Scabbers yang berkelahi, bukan kami," kata Ron sebal.
"Silakan menyingkir selama kami berganti pakaian."
"Baiklah-aku datang ke sini cuma karena orang-orang di luar bertingkah sangat kekanakan, berlarian sepanjang lorong,"
kata Hermione bernada merendahkan. "Dan hidungmu ada kotorannya, tahukah kau""
Ron mendelik ke punggung Hermione. Harry melihat ke luar jendela. Sudah mulai gelap. Dia bisa melihat pegunungan dan hutan di bawah langit ungu tua. Kereta api kelihatannya memang melambat.
Harry dan Ron melepas jaket dan memakai jubah panjang hitam mereka. Jubah Ron agak kependekan. Celana training-nya kelihatan di bawah jubah itu.
Terdengar pengumuman yang dikumandangkan ke seluruh kereta. "Kita akan tiba di Hogwarts lima menit lagi. Silakan meninggalkan barang-barang Anda di kereta. Barang-barang tersebut akan dibawa ke sekolah secara terpisah."
Perut Harry terasa tegang dan dilihatnya wajah Ron pucat di bawah bintik-bintiknya. Mereka menjejalkan sisa permen ke dalam kantong dan bergabung dengan anak-anak yang sudah memenuhi lorong.
Kereta semakin melambat dan akhirnya berhenti. Anak-anak berdesakan ke pintu dan keluaf ke peron kecil gelap. Harry bergidik dalam udara malam yang dingin. Kemudian muncul lampu yang bergoyanggoyang di atas kepala anak-anak dan Harry mendengar suara yang sudah dikenalnya, "Kelas satu!
Kelas satu di sini! Semua oke, Harry""
Wajah Hagrid yang besar berewokan tersenyum di atas lautan kepala anak-anak. "Ayo, ikuti aku-masih ada lagi kelas satu" Hatihati melangkah. Kelas satu ikut aku!" Terpeleset dan terhuyung, mereka mengikuti Hagrid menyusuri jalan sempit curam. Di kanan-kiri mereka gelap sekali, sehingga Harry
menduga pepohonan di situ pastilah lebat. Tak ada yang banyak bicara. Neville, si anak yang kehilangan katak, terisak satudua kali.
"Sedetik lagi kalian akan melihat Hogwarts untuk pertama kali," Hagrid berseru seraya menoleh, "sesudah belokan ini."
Terdengar seruan "Oooooh!" keras.
Jalan sempit itu mendadak membuka ke tepi danau besar gelap. Di atas gunung tinggi di seberang danau, jendela-jendelanya berkilau terang di bawah langit penuh bintang, bertengger kastil besar dengan banyak menara besar dan kecil.
"Satu perahu tak boleh lebih dari empat anak!" seru Hagrid, seraya menunjuk armada perahu kecilkecil yang siap menunggu di dekat tepi danau. Harry dan Ron menuju ke perahu mereka, diikuti oleh Neville dan Hermione.
"Semua sudah naik perahu"" teriak Hagrid, yang sendirian di atas satu perahu. "Baik kalau begitu- BERANGKAT!"
Dan armada perahu kecil-kecil serentak meluncur di atas permukaan danau, yang selicin kaca. Semua diam, memandang kastil besar di atas. Kastil itu menjulang tinggi di atas mereka sementara mereka semakin dekat ke bukit karang tempatnya berdiri.
"Tundukkan kepala!" teriak Hagrid ketika deretan pertama perahu tiba di bukit karang. Mereka semua menundukkan kepala dan perahu-perahu kecil itu membawa mereka melewati tirai sulur yang menyembunyikan lubang menganga di dinding bukit. Mereka dibawa melewati lorong gelap, yang rupanya berada persis di b
awah kastil, sampai mereka tiba di semacam pelabuhan bawah tanah. Mereka naik ke daratan berbatu karang dan kerikil.
"Oi, kau! Apa ini katakmu"" kata Hagrid, yang memeriksa perahu-perahu setelah anak-anak turun.
"Trevor!" pekik Neville gembira, seraya mengulurkan tangan.
Kemudian mereka mendaki jalanan di bukit karang, mengikuti cahaya lampu Hagrid, sampai akhirnya tiba di hamparan rumput halus berembun tepat di depan bayangan kastil.
Mereka mendaki undakan batu dan berkerumun di depan pintu depan besar dari kayu ek. "Semua sudah di sini" Kau, katakmu masih ada""
Hagrid mengangkat kepalan raksasanya dan mengetuk pintu kastil tiga kali.
* * * 7 TOPI SELEKSI PINTU langsung membuka. Seorang penyihir wanita jangkung memakai jubah hijau zamrud berdiri disana. Wajahnya sangat galak dan pikiran Harry pertama adalah, jangan sampai membuat penyihir ini marah.
"Kelas satu, Profesor McGonagall," kata Hagrid.
"Terima Kasih, Hagrid. Biar aku ambil alih sekarang."
Dibukanya pintu lebar-lebar. Aula di belakang pintu luas sekali, seluruh rumah keluarga Dursley bisa dipindahkan ke situ.
Dinding batunya diterangi oborobor menyala seperti di Gringotts. Langit-langitnya tinggi sekali sehingga tak bisa dilihat, dan ada tangga pualam megah di depan mereka, menuju ke lantai atas.
Anak-anak mengikuti Profesor McGonagall melintasi lantai batu kotak-kotak. Harry bisa mendengar dengung ratusan suara dari pintu di sebelah kanan- murid-murid lainnya pastilah sudah di sana-tetapi Profesor McGonagall membawa muridmurid kelas satu ke kamar kecil kosong di luar aula. Mereka bergerombol, berdiri lebih berdekatan daripada biasanya, memandang berkeliling dengan cemas.
"Selamat datang di Hogwarts," kata Profesor McGonagall.
"Pesta awal tahun ajaran baru akan segera dimulai, tetapi sebelum kalian mengambil tempat duduk di Aula Besar, kalian akan diseleksi masuk rumah asrama mana. Seleksi ini upacara yang sangat penting karena, selama kalian berada di sini, asrama kalian akan menjadi semacam keluarga bagi kalian di Hogwarts.
Kalian akan belajar dalam satu kelas dengan teman-teman seasrama kalian, tidur di asrama kalian, dan melewatkan waktu luang di ruang rekreasi asrama kalian.
"Ada empat asrama di sini, Gryffindor, Hufflepuff, Ravenclaw, dan, Slytherin. Masing-masing asrama punya sejarah luhur dan masing-masing telah menghasilkan penyihir hebat. Selama kalian di Hogwarts, prestasi dan kemenangan kalian akan menambah angka bagi asrama kalian, sementara pelanggaran peraturan akan membuat angka asrama kalian dikurangi.
Pada akhir tahun, asrama yang berhasil mengumpulkan angka paling banyak akan dianugerahi Piala Asrama, suatu kehormatan besar. Kuharap kalian semua akan membawa kebanggaan bagi asrama mana pun yang akan kalian tempati.
"Upacara seleksi akan berlangsung beberapa menit lagi di hadapan seluruh penghuni sekolah. Kusarankan kalian merapikan diri sebisa mungkin selama menunggu."
Matanya sejenak menatap jubah Neville, yang dikancingkan di bawah telinga kirinya, dan hidung Ron yang ada kotoran hitamnya.
Harry dengan gelisah mencoba meratakan rambutnya. "Aku akan kembali kalau kami sudah siap menerima kalian," kata Profesor McGonagall. "Tunggu di sini dan jangan ribut." Dia meninggalkan ruangan. Harry menelan ludah.
"Bagaimana cara mereka menyeleksi kita masuk asrama"" tanyanya kepada Ron.
"Dengan semacam tes, kurasa. Kata Fred prosesnya menyakitkan sekali, tetapi kurasa dia cuma bergurau."
Hati Harry mencelos. Tes" Di depan seluruh sekolah" Tetapi dia sama sekali tak tahu apa-apa tentang sihir-apa yang harus dilakukannya" Dia tidak menyangka akan ada tes begitu mereka sampai. Dia memandang berkeliling dengan cemas dan melihat bahwa anak-anak lain juga sama takutnya. Tak ada yang banyak bicara kecuali Hermione Granger, yang dalam bisikan mengucapkan dengan cepat semua mantra yang telah dipelajarinya dan bertanya-tanya sendiri mantra mana yang akan diperlukannya. Harry berusaha keras untuk tidak mendengarkannya. Belum pernah dia secemas ini, belum pernah. Bahkan ketika dia harus membawa laporan dari sekolah kepada keluarga Dursley bahwa entah bagaimana d
ia telah mengubah wig gurunya menjadi biru, dia tidak secemas ini.
Matanya diarahkannya ke pintu. Setiap saat Profesor McGonagall bisa kembali dan membawanya menyongsong malapetaka.
Kemudian sesuatu terjadi yang membuatnya terlonjak sekitar tiga puluh senti ke atas-beberapa anak di belakangnya menjerit.
"Ada a...""
Harry ternganga. Begitu juga anak-anak di sekitarnya. Kirakira dua puluh hantu baru saja masuk menembus dinding belakang. Putih berkilau bagai mutiara dan agak transparan, mereka melayang di ruangan, sibuk mengobrol dan nyaris tidak memedulikan murid-murid kelas satu. Kelihatannya mereka sedang bertengkar. Hantu yang kelihatan seperti rahib kecil-gemuk berkata, "Maafkan dan lupakan. Menurutku kita harus memberinya kesempatan kedua..."
"Rahibku sayang, bukankah kita sudah memberi Peeves semua kesempatan yang layak diterimanya" Dia membuat kita
semua mendapat nama buruk dan kau tahu, dia bahkan bukan hantu betulan-eh, ngapain kalian semua di sini""
Hantu yang memakai kerah rimpel dan celana ketat tiba-tiba menyadari ada murid-murid kelas satu.
Tak ada yang menjawab. "Murid-murid baru!" kata si rahib gemuk, memandang berkeliling sambil tersenyum. "Akan segera diseleksi, kan"" Beberapa anak mengangguk tanpa suara.
"Mudah-mudahan kita ketemu lagi di Hufflepuff!" kata si rahib. "Asramaku dulu di situ."
"Minggir kalian," terdengar suara tegas. "Upacara seleksi akan segera dimulai."
Profesor McGonagall telah kembali. Satu demi satu, hantu-hantu itu melayang keluar menembus dinding yang berhadapan.
"Sekarang berbaris satu-satu," kata Profesor McGonagall kepada anak-anak kelas satu, "dan ikuti aku."
Merasa berat seakan kakinya berubah jadi timah, Harry masuk barisan di belakang anak berambut kecokelatan, dengan Ron di belakangnya. Mereka berjalan meninggalkan ruangan itu, kembali ke aula depan dan masuk lewat sepasang pintu ganda ke Aula Besar.
Harry tak pernah membayangkan ada tempat seaneh dan sehebat itu. Aula ini diterangi ribuan lilin yang melayang-layang di udara di atas empat meja panjang. Murid-murid kelas yang lebih tinggi duduk mengelilingi keempat meja itu. Meja-meja ini dipenuhi piring dan piala keemasan berkilau. Di ujung Aula, di tempat yang lebih tinggi, ada meja panjang lain, tempat para guru duduk. Profesor McGonagall membawa murid-murid kelas satu ke sana, sehingga mereka berhenti dalam satu barisan
panjang, menghadap murid-murid yang lain, dengan para guru di belakang mereka. Ratusan wajah yang memandang mereka kelihatan seperti lentera pucat di bawah kelap-kelip cahaya lilin.
Bertebaran di sana-sini di antara para murid, hantu-hantu berkilau bagai kabut keperakan. Untuk menghindari begitu banyak mata yang menatapnya, Harry memandang ke atas dan melihat langit-langit hitam bagai beludru dengan bintangbintang bertebaran. Didengarnya Hermione berbisik, "Disihir supaya tampak seperti langit di luar. Aku baca dalam buku Sejarah Hogwarts."
Sulit membayangkan bahwa di atas situ ada langitlangit, dan bahwa Aula Besar itu tidak langsung membuka ke langit.
Harry cepat-cepat memandang ke bawah lagi ketika Profesor McGonagall meletakkan bangku berkaki empat di depan muridmurid kelas satu. Di atas bangku itu diletakkannya topi sihir berujung runcing. Topi itu sudah bertambal, berjumbai, dan kotor sekali. Bibi Petunia tak akan mengizinkan topi itu dibawa masuk rumah.
Mungkin mereka harus mencoba menyihir dan mengeluarkan kelinci dari topi itu, pikir Harry panik. Kelihatannya begitu, karena semua orang di Aula sekarang mengarahkan pandangan ke topi itu. Harry juga memandangnya. Selama beberapa detik, hanya ada kesunyian total. Kemudian topi itu meliuk. Robekan di dekat tepinya membuka lebar seperti mulut- dan topi itu mulai menyanyi:
"Oh, mungkin menurutmu aku jelek, Tapi jangan menilaiku dari penampilanku, Berani taruhan takkan bisa kautemukan Topi yang lebih pandai dariku. Jubahmu boleh hitam kelam, Topimu licin dan tinggi, Aku mengungguli semua itu Karena di Hogwarts ini aku Topi Seleksi. Tak ada apa pun dalam pikiranmu Yang bisa kau sembunyikan dariku, Jadi pakailah aku dan kau akan kuberitahu Asrama mana yang
cocok untukmu. Mungkin kau sesuai untuk Gryffindor, Tempat berkumpul mereka yang berhati berani dan jujur, Keberanian, keuletan, dan kepahlawanan mereka Membuat nama Gryffindor masyhur;
Mungkin juga Hufflepuff-lah tempatmu, Bersama mereka yang adil dan setia, Penghuni Hufflepuff sabar dan loyal Kerja keras bukan beban bagi mereka;
Atau siapa tahu di Ravenclaw, Kalau kau cerdas dan mau belajar, Ini tempat para bijak dan cendekia, Ajang berkumpul mereka yang pintar;
Atau bisa juga di SlytherinKau menemukan teman sehati, Orang-orang licik ini menggunakan segala cara Untuk mendapatkan kepuasan pribadi.
Jadi, segeralah pakai aku!
Janganlah takut dan jangan ragu!
Dijamin kau akan aman Karena aku Topi Seleksi-mu!"
Seluruh Aula meledak dalam tepuk tangan riuhrendah ketika topi itu mengakhiri nyanyiannya. Topi itu membungkuk ke arah empat meja dan kemudian diam lagi.
"Jadi kita harus memakai topi itu!" Ron berbisik kepada Harry. "Kubunuh Fred. Dia bilang kita harus berkelahi dengan troli."
Harry tersenyum lemah. Ya, memakai topi memang jauh lebih baik daripada menyihir, tetapi sebetulnya dia lebih suka kalau bisa melakukannya tanpa ditonton semua orang. Topi itu rasanya menuntut terlalu banyak. Harry tidak merasa berani ataupun cerdas atau apa pun juga pada saat ini. Kalau saja topi itu menyebutkan asrama bagi mereka yang merasa gelisah dan mau muntah, asrama itulah yang paling cocok untuknya.
Profesor McGonagall maju memegangi gulungan perkamen panjang.
"Yang disebut namanya harap maju dan memakai topi, lalu duduk di atas bangku untuk diseleksi," katanya. "Abbot, Hannah!"
Seorang anak perempuan berwajah merah dengan rambut pirang dibuntut kuda keluar dari barisan, memakai topi, yang langsung melorot menutupi matanya, dan duduk.
Sejenak kemudian... "HUFFLEPUFF!" teriak si topi.
Meja di sebelah kanan bersorak dan bertepuk tangan ketika Hannah mendekat dan duduk di meja Hufflepuff. Harry melihat hantu Rahib Gemuk melambai-lambaikan tangan dengan gembira ke arah Hannah.
"Bones, Susan!"
"HUFFLEPUFF!" teriak si topi lagi, dan Susan berlari untuk duduk di sebelah Hannah. "Boot, Terry!" "RAVENCLAW!"
Meja kedua dari kiri ganti bertepuk kali ini, beberapa anak Ravenclaw berdiri untuk berjabat tangan dengan Terry ketika dia telah bergabung dengan mereka.
"Brocklehurst, Mandy" juga ke Ravenclaw, tetapi "Brown, Lavender" menjadi anggota baru Gryffindor yang pertama dan meja di ujung kiri meledak bersorak-sorai. Harry melihat kedua kakak kembar Ron berteriak-teriak.
Yang berikutnya, "Bulstrode, Millicent", untuk Slytherin.
Mungkin hanya sekadar bayangan Harry setelah segala sesuatu yang didengarnya tentang Slytherin, tetapi baginya anak-anak Slytherin kelihatannya tidak menyenangkan.
Harry benar-benar mau muntah sekarang. Dia ingat acara pemilihan regu olahraga di sekolahnya yang dulu. Dia selalu dipilih paling belakangan, bukan karena dia tak bisa berolahraga, tetapi karena tak seorang pun mau Dudley mengira mereka menyukai Harry.
"Finch-Fletchley Justin!"
"HUFFLEPUFF!" Kadang-kadang, Harry memperhatikan, si topi lang-sung meneriakkan nama asrama, tetapi bisa juga lama baru memutuskan. "Finnigan, Seamus", anak laki-laki berambut cokelat di depan Harry duduk di bangku hampir semenit penuh sebelum si topi memutuskan Gryffindor untuknya.
"Granger, Hermione!"
Hermione nyaris lari ke bangku dan dengan bersemangat memasang topi di kepalanya. "GRYFFINDOR!" teriak si topi.
Ron mengeluh. Pikiran mengerikan melintas di benak Harry.
Seperti biasa pikiran mengerikan selalu muncul bila kau sedang sangat cemas. Bagaimana jika dia tidak dipilih" Bagaimana kalau dia duduk terus di atas bangku dengan topi menutupi kepalanya, sampai Profesor McGonagall mencopotnya dari kepalanya dan menyatakan bahwa jelas ada kekeliruan, lalu menyuruhnya kembali ke kereta"
Ketika Neville Longbottom, anak yang selalu kehilangan kataknya, dipanggil namanya, dia terjatuh waktu berjalan ke bangku. Si topi perlu waktu lama untuk mengambil keputusan bagi Neville.
Ketika akhirnya topi itu meneriakkan "GRYFFINDOR", Neville berlari masih memakai topi itu, dan terpaksa kembali di tenga
h riuhnya tawa untuk memberikannya kepada "MacDougal, Morag".
Malfoy berjalan dengan sok ketika namanya dipanggil dan keinginannya langsung terkabul. Begitu menyentuh kepalanya, si topi langsung berteriak, "SLYTHERIN!"
Malfoy bergabung dengan teman-temannya Crabbe dan Goyle, wajahnya kelihatan puas. Tidak banyak lagi yang tinggal sekarang.
"Moon"... "Nott"... "Parkinson"... kemudian sepasang gadis kembar, "Patil" dan "Patil"... kemudian "Perks, Sally-Anne"...
dan kemudian, akhirnya... "Potter, Harry!" Saat Harry melangkah ke depan, bisik-bisik tiba-tiba menjalar seperti api yang mendesis di seluruh aula.
"Potter, dia menyebut begitu""
"Si Harry Potter yang itu""
Hal terakhir yang dilihat Harry sebelum topi menutupi matanya adalah anak-anak seaula menjulurkan leher agar bisa melihatnya lebih jelas. Detik berikutnya yang kelihatan adalah bagian dalam topi yang hitam. Dia menunggu.
"Hmmm," terdengar suara kecil di telinganya. "Sulit. Sangat sulit. Keberanian besar, rupanya. Otak juga encer. Ada bakat, oh, astaga, ya-dan kehausan untuk membuktikan diri, ah, itu menarik... Jadi, sebaiknya di mana kau kutempatkan"" Harry mencengkeram tepi bangku dan membatin, Jangan Slytherin, jangan Slytherin.
"Jangan Slytherin, eh"" kata suara kecil itu. "Kau yakin" Kau bisa jadi penyihir hebat lho, semuanya ada di kepalamu, dan Slytherin bisa membantumu mencapai kemasyhuran, tak diragukan lagi-tidak" Yah, kalau kau yakin-lebih baik GRYFFINDOR!"
Harry mendengar si topi meneriakkan kata terakhir itu ke aula. Dia mencopot topinya dan berjalan dengan gemetar menuju meja Gryffindor. Dia lega sekali sudah dipilih dan tidak ditempatkan
di Slytherin, sehingga dia nyaris tidak memperhatikan bahwa dia mendapat sambutan yang paling meriah. Percy si Prefek bangkit dan menjabat tangannya dengan penuh semangat, sementara si kembar Weasley memekik,
"Kami dapat Potter! Kami dapat Potter!" Harry duduk berhadapan dengan hantu berkerah rimpel yang sebelumnya sudah dilihatnya. Si hantu mengelus lengannya, membuat Harry merasa dia mendadak dicemplungkan ke dalam seember air es.
Harry bisa melihat Meja Tinggi dengan jelas sekarang. Di ujung yang paling dekat duduk Hagrid, yang bertatap mata dengannya dan mengacungkan kedua ibu jarinya. Harry balas tersenyum. Dan di tengah Meja Tinggi itu, dalam kursi besar emas, duduklah Albus Dumbledore, Harry langsung mengenalinya dari kartu yang didapatnya dari Cokelat Kodok di kereta api tadi. Rambut keperakan Dumbledore adalah satusatunya di dalam Aula yang berkilau sama terangnya dengan para hantu. Harry melihat Profesor Quirrell juga, si laki-laki muda gugup yang ditemuinya di Leaky Cauldron. Profesor Quirrell kelihatan aneh sekali dengan memakai turban besar ungu.
Sekarang tinggal tiga anak lagi untuk diseleksi. "Thomas, Dean" seorang anak laki-laki berkulit hitam dan lebih tinggi dari Ron, bergabung dengan Harry di meja Gryffindor. "Turpin, Lisa" menjadi anggota Ravenclaw, dan kemudian tibalah giliran Ron. Ron sudah pucat pasi sekarang. Harry menyilangkan jari di bawah meja, mengharap keberuntungan dan sedetik kemudian si topi berteriak, "GRYFFINDOR!"
Harry bertepuk keras bersama yang lain sementara Ron terenyak duduk di kursi di sebelahnya.
"Bagus sekali, Ron, hebat," kata Percy Weasley bangga, sementara "Zabini, Blaise" dinyatakan masuk Slytherin.
Profesor McGonagall menggulung perkamennya dan mengambil kembali si Topi Seleksi.
Harry menatap piring emasnya yang kosong. Dia baru sadar betapa laparnya dia. Pastel labu tadi serasa sudah seabad lamanya.
Albus Dumbledore sudah berdiri. Dia tersenyum kepada anak-anak, lengannya terbuka lebar-lebar, seakan tak ada yang lebih membuatnya senang daripada melihat mereka semua ada di sana.
"Selamat datang!" katanya. "Selamat datang untuk mengikuti tahun ajaran baru di Hogwarts. Sebelum kita mulai acara makan kita, aku ingin menyampaikan beberapa patah kata. Inilah dia: Dungu! Gendut! Aneh! Jewer!
"Terima kasih!"
Dia duduk kembali. Semua anak bertepuk tangan dan bersorak. Harry tak tahu apakah dia harus tertawa atau tidak. "Apa dia-agak sinting"" tanyanya ragu-ragu kepada Percy.
" Sinting"" kata Percy dibuat-buat. "Dia jenius! Penyihir paling hebat di dunia! Tapi dia memang agak sinting, ya. Kentang, Harry""
Mulut Harry ternganga. Piring-piring di depannya sekarang penuh berisi makanan. Belum pernah dia melihat begitu banyak makanan yang ingin dimakannya terhidang di satu meja.
Daging sapi panggang, ayam, babi, kambing, sosis, daging asap, steak, kentang goreng, kentang rebus, puding, kacang, wortel, kaldu, saus tomat, bahkan permen pedas.
Keluarga Dursley memang tidak membuat Harry kelaparan, tetapi dia tidak pernah diizinkan makan sebanyak yang dia inginkan. Dudley selalu mengambil apa saja yang diinginkan
Harry, meskipun itu membuatnya sakit perut kekenyangan.
Harry mengisi piringnya dengan semua makanan sedikit-sedikit, kecuali permen pedas, lalu mulai makan. Semuanya enak
"Kelihatannya enak," kata hantu berkerah rimpel dengan sedih, memandang Harry mengiris steak-nya. "Tak bisakah kau...""
"Aku sudah tidak makan selama hampir empat ratus tahun,"
kata si hantu. "Tidak perlu sih, memang, tapi kadang-kadang kepingin juga. Kurasa aku belum"
"Aku tahu siapa kau!" kata Ron tiba-tiba. "Kakak-kakakku sudah bercerita tentang kau-kau Nick si Kepala-Nyaris-Putus!"
"Aku lebih suka kalian memanggilku Sir Nicholas de Mimsy...," kata si hantu kaku, tetapi Seamus Finnigan si rambut cokelat menyela.
"Kepala-Nyaris-Putus" Bagaimana kau bisa disebut KepalaNyaris-Putus""
Sir Nicholas tampak jengkel sekali, seakan obrolan kecil mereka tidak berlangsung seperti yang diharapkannya.
"Begini," katanya sebal. Dia memegang telinga kirinya, lalu menariknya. Seluruh kepalanya terlepas dari lehernya dan jatuh ke bahunya, seakan tergantung pada engsel. Jelas ada orang
yang mencoba memenggal kepalanya, tetapi tidak melakukannya dengan sempurna. Puas melihat kekagetan mereka, Nick si Kepala-Nyaris-Putus mengembalikan kepala ke lehernya, berdeham, dan berkata, "Jadi-anggota baru Gryffindor!
Kuharap kalian akan membantu kami memenangkan Kejuaraan Antar-Asrama tahun ini. Belum pernah Gryffindor tidak menang sampai selama ini. Slytherin mendapatkan piala selama enam tahun berturut-turut! Si Baron Berdarah itu sudah jadi sok dan menyebalkan sekali-dia hantu Slytherin."
Harry memandang ke meja Slytherin dan melihat hantu mengerikan duduk di sana, dengan mata menatap kosong, wajah pucat, dan jubah penuh bercak darah keperakan. Dia duduk di sebelah Malfoy dan Harry girang melihat Malfoy kelihatannya tidak senang dengan pengaturan tempat duduk ini.
"Bagaimana dia bisa berlumuran darah begitu"" tanya Seamus penuh ingin tahu. "Aku tak pernah tanya," jawab Nick si KepalaNyaris-Putus.
Ketika semua sudah makan sekenyang mungkin, sisa makanan lenyap begitu saja dari piring-piring, dan piring-piring langsung bersih berkilauan seperti semula. Sesaat kemudian makanan penutup bermunculan. Aneka puding, es krim segala rasa, pai apel, kue tar karamel, sus cokelat, donat cokelat, selai, kacang, madu, jeli....
Ketika Harry mengambil tar karamel, pembicaraan beralih ke keluarga.
"Aku setengah-setengah," kata Seamus. "Ayahku Muggle.
Ibuku baru memberitahu dia sesudah menikah. Bayangkan, betapa kagetnya Ayah."
Mereka semua tertawa. "Kalau kau bagaimana, Neville""
"Aku dibesarkan Nenek dan dia penyihir," kata Neville.
"Tetapi selama bertahun-tahun seluruh keluarga mengira aku Muggle. Adik nenekku, Kakek Algie, berkali-kali menjebakku untuk memancing keluarnya sihir dariku-bahkan dia pernah mendorongku sampai jatuh dari dermaga, aku nyaris tenggelam- tapi tak ada yang terjadi sampai aku berumur delapan tahun. Kakek Algie datang untuk minum teh bersama kami dan dia memegangiku terbalik pada pergelangan kakiku dari jendela loteng, ketika adiknya, Nenek Enid, menawarinya kue manis, dan tak sengaja dia melepas pegangannya. Tetapi aku selamat-melambung begitu saja di kebun lalu ke jalan.
Misteri Pedang Naga Merah 1 Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil Bujukan Gambar Lukisan 19

Cari Blog Ini