Ceritasilat Novel Online

Kamar Rahasia 2

Harry Potter Dan Kamar Rahasia Karya J.k. Rowling Bagian 2


Kereta apinya masih di bawah mereka, berkelok mengitari gunung yang puncaknya berselimut salju. Di bawah kanopi awan keadaan jauh lebih gelap.
Ron menginjak gas dan membawa mobil naik lagi, tetapi mendadak mesinnya mulai menderu aneh. Harry dan Ron bertukar pandang gugup. "Mungkin cuma lelah," kata Ron. "Soalnya belum pernah pergi sejauh ini..." Dan mereka berdua berpura-pura tidak memper-hatikan deru aneh yang semakin lama semakin keras, sementara langit secara pasti semakin gelap. Bintang-bintang bermunculan dalam kegelapan. Harry kembali memakai rompinya, berusaha mengabaikan kipas kaca mobil yang sekarang bergerak-gerak lemah, seakan memprotes. "Tidak jauh lagi," kata Ron, lebih kepada mobilnya daripada kepada Harry. "Tidak jauh lagi sekarang," dan dia membelai dasbor dengan gugup.
Ketika mereka terbang kembali di bawah awan-awan tak lama kemudian, mereka harus menyipitkan mata menembus kegelapan untuk mencari tanda-tanda yang mereka kenal. "Itu dia!" teriak Harry, membuat Ron dan Heig terlonjak kaget. "Di depan!"
Seperti siluet di kaki langit yang gelap, tinggi di atas karang di seberang danau, tampaklah menara-menara kastil Hogwarts.
Tetapi mobil sudah mulai bergetar dan kecepatannya sudah
berkurang. "Ayolah," kata Ron membujuk, menggoyang sedikit roda kemudi, "sudah hampir sampai, ayolah..." Mesin mengeluh. Semburan-semburan asap ber-munculan dari bawah kap mobil. Harry memegangi tepi tempat duduknya erat-erat ketika mereka terbang menuju danau. Mobil berguncang keras. Mengerling ke luar lewat jendela, Harry melihat permukaan air yang licin gelap berkilauan, satu setengah kilo di bawah mereka. Buku-buku jari Ron memutih di atas roda kemudi. Mobil berguncang lagi. "Ayolah," Ron bergumam. Mereka berada di atas danau... kastil persis di depan mereka... Ron menginjak pedal gas. Terdengar bunyi debam keras, bunyi merepet, kemu-dian mesin mati total.
"Uh, oh," kata Ron dalam kesunyian.
Hidung mobil merendah. Mereka terjatuh, makin lama
makin cepat, menu ju tembok kastil yang kokoh.
"Tidaaaaaaaaak!" jerit Ron, membanting setir seratus
delapan puluh derajat Mereka lolos dari tembok hanya
beberapa senti saja ketika mobil berbelok dalam lengkungan
besar, melesat di atas rumah-rumah kaca yang gelap,
melewati kebun sayur, dan keluar ke halaman yang gelap,
semakin lama semakin rendah.
Ron melepas roda kemudi sepenuhnya dan menarik
tongkatnya dari saku belakang.
"STOP! STOP!" dia memekik, memukul-mukul dasbor dan
kaca depan, tetapi mereka terus meniikik, daratan serasa
terbang ke atas menyongsong mereka....
"AWAS POHON ITU!" Harry berteriak, menyambar roda
kemudi, tetapi terlambat...
GUBRAK! Bunyi logam menabrak kayu memekakkan telinga ketika mobil menghantam batang pohon yang besar. Mobil terbanting ke tanah dengan empasan keras. Asap mengepul dari atapnya yang penyok. Heig menjerit-jerit ketakutan, benjolan sebesar bola golf berdenyut-denyut di kepala Harry yang tadi mem-bentur kaca depan, dan di sebelah kanannya Ron mengerang putus asa.
"Kau tak apa-apa"" tanya Harry cemas. "Tongkatku," kata Ron dengan suara gemetar. "Lihat tongkatku." Tongkat itu patah, nyaris menjadi dua. Ujungnya tergantung lunglai, hanya menempel pada seserpih kayu. Harry membuka mulut untuk mengatakan dia yakin mereka akan bisa membetulkannya di sekolah, tetapi dia tak sempat bicara apa-apa. Tepat pada saat itu sesuatu menghantam mobil di sisi tern pat Harry duduk, dengan kekuatan banteng gila. Harry terlempar ke arah Ron. Pada saat bersamaan, pukulan yang sama besarnya menghantam atap mobil. "Apa yang terja...""
Ron ternganga kaget, terbelalak memandang lewat kaca depan, dan Harry berbalik tepat ketika dahan sebesar ular piton menghantam kaca itu. Pohon yang mereka tabrak menyerang mereka. Batangnya ter-bungkuk nyaris terlipat dua, dan dahan-dahannya yang berbonggol-bonggol memukul-mukul segala bagian mobil yang bisa dicapainya. "Aaaargh!" jerit Ron ketika dahan bengkok lain menghantam pintu mobilnya sampai melesak. Kaca depan sekarang bergetar di bawah hujan pukulan ranting-ranting- yang bentuknya seperti buku-buku jari. Dan dahan setebal alu memukul-mukul atap mobil, yang kelihatannya sudah siap ambruk....
"Lari!" Ron berteriak, melempar tubuhnya ke pintu, tetapi detik berikutnya dia sudah dihantam mundur ke pangkuan Harry oleh dahan yang lain lagi.
"Habis deh kita!" erangnya, ketika atap mobil me-lesak,
tetapi mendadak lantai mobil bergetar-mesin-nya hidup lagi. "Mundur!" teriak Harry dan mobil meluncur ke belakang. Pohon itu masih mencoba memukuli mereka. Mereka bisa mendengar akar.-akarnya berkeriut ketika si pohon nyaris mencabut dirinya sendiri dalam usaha-nya memukul mereka yang meluncur menjauh dari jangkauan. "Nyaris...," sengal Ron, "...saja. Bagus sekali, Bil." Tetapi si mobil telah kehabisan kesabaran. Dengan dua bunyi berkelontang, pintu-pintu terbuka dan Harry merasa tempat duduknya terangkat miring, lalu tahu-tahu dia sudah telentang di tanah basah. Bunyi "bag... bug..." keras memberitahunya bahwa mobil sedang mengeluarkan koperkoper mereka dari bagasi. Sangkar Heig melayang di udara dan jatuh terbuka. Burung hantu betina itu terbang keluar de-ngan jeritan marah dan terbang menuju kastil tanpa menoleh ke belakang. Kemudian, mobil yang sudah melesak, penyok, tergores-gores, dan berasap ini me-luncur ke dalam kegelapan. Lampu belakangnya me-nyorot penuh kemarahan. "Kembali!" Ron meneriakinya, sambil mengacung-acungkan tongkatnya. "Dad akan membunuhku!" Tetapi mobil itu menghilang dari pandangan seiring dengusan terakhir knalpotnya. "Bisakah kaupercayai nasib kita"" ratap Ron merana, membungkuk untuk memungut Scabbers si tikus. "Dari begitu banyak pohon yang bisa kita tabrak, kita ternyata menabrak yang itu."
Dia mengerling lewat bahunya ke pohon tua itu, yang masih melambai-lambaikan dahan-dahannya de-ngan penuh ancaman.
"Ayo," kata Harry letih, "lebih baik kita ke sekolah...." Kedatangan mereka bukanlah kedatangan penuh kejayaan yang mereka bayangkan. Dengan badan kaku, memar, dan kedinginan, mereka meraih ujung koper mereka dan mulai menyeretnya terseok-seok mendaki bukit berumput, menu
ju pintu besar dari kayu ek.
"Kurasa pestanya sudah mulai," kata Ron, menjatuh-kan kopernya di kaki undakan dan diam-diam me-nyeberang untuk mengintip dari jendela yang terang benderang. "Hei, Harry, lihat-sedang acara seleksi!"
Harry bergegas mendekat dan berdua mereka mengintip ke dalam Aula Besar.
Lilin-lilin tak terhitung banyaknya beterbangan di atas empat meja panjang, membuat piring-piring dan piala emas di atasnya berkilauan. Di atasnya, langit-langit sihiran tampak persis dengan langit di luar, dengan taburan bintang berkelapkelip. Menembus hutan topi kerucut hitam Hogwarts, Harry melihat deretan panjang anak-anak kelas satu yang ketakutan memasuki Aula. Ginny berada di antara mereka, mudah ditemukan karena rambut Weasley-nya yang merah mencolok. Sementara itu, Profesor McGonagall, penyihir wanita berkacamata de-ngan rambut digelung ketat, meletakkan Topi Seleksi Hogwarts yang terkenal di atas bangku di depan para murid baru.
Setiap tahun, topi tua ini, yang sudah bertambal, berjumbai, dan kotor, menyeleksi murid-murid baru ke dalam empat asrama Hogwarts (Gryffindor, Hufflepuff, Ravenclaw, dan Slytherin). Harry ingat betul bagaimana perasaannya ketika dia memakai topi itu, tepat setahun yang lalu, dan dengan ketakutan menunggu keputusan si topi, sementara topi itu ber-gumam keras ke dalam telinganya. Selama beberapa detik mengerikan dia takut topi itu akan memasuk-kannya ke Slytherin, asrama yang telah menghasilkan lebih banyak penyihir hitam dibanding ketiga asrama lainnya-tetapi ternyata dia terpilih masuk Gryffindor, bersama Ron,. Hermione, dan anak-anak keluarga Weasley yang lain. Semester yang lalu, Harry dan Ron telah membantu
Gryffindor memenangkan Piala Asrama, mengalahkan Slytherin untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun tefakhir. Seorang anak laki-laki kecil berambut kelabu seperti tikus dipanggil ke depan untuk meletakkan topi itu di kepalanya. Mata Harry memandang melewati anak ini ke tempat Profesor Dumbledore, kepala sekolah, yang duduk menonton seleksi ini dari meja guru, jenggot panjangnya yang keperakan dan kacamata bulan-separonya berkilauan tertimpa cahaya lilin. Be-berapa kursi dari Dumbledore, Harry melihat Gilderoy Lockhart, memakai jubah berwarna hijau toska. Dan di ujung meja duduk Hagrid, besar dan berbulu, asyik minum dari pialanya.
"Eh...," Harry bergumam kepada Ron. "Ada kursi kosong di meja guru... Di mana Snape""
Profesor Snape adalah guru yang paling tidak di-sukai Harry. Harry kebetulan juga murid yang paling tidak disukai Snape.' Snape yang kejam, sinis, dan tidak disukai oleh semua anak, kecuali anak-anak dari asramanya sendiri (Slytherin), mengajar Ramuan.
"Mungkin dia sakit!" kata Ron penuh harap. "Mungkin dia keluar," kata Harry, "karena tidak terpilih mengajar Pertahanan terhadap Ilmu Hitam lagil" "Atau siapa tahu dia dikeluarkan!" kata Ron penuh semangat. "Maksudku, semua anak benci padanya..."
"Atau mungkin," kata suara sangat dingin tepat di belakang
mereka, "dia sedang menunggu alasan kenapa kalian berdua
tidak datang naik kereta api sekolah."
Harry berputar. Di depannya, dengan jubah hitam beriak
ditiup angin sepoi, berdiri Severus Snape. Snape bertubuh
kurus, dengan kulit pucat, hidung bengkok, dan rambut
berminyak sebahu, dan pada saat ini dia sedang tersenyum
sedemikian rupa sehingga Harry tahu dia dan Ron dalam
kesulitan besar. "Ikut aku," kata Snape.
Bahkan saling pandang pun mereka tak berani. Harry dan Ron mengikuti Snape menaiki undakan memasuki Aula Depan yang bergema, yang dikelilingi obor. Aroma lezat masakan menguar dari Aula Besar, tetapi Snape membawa mereka menjauh dari ke-hangatan dan cahaya, menuruni tangga batu sempit yang menuju ke ruang bawah tanah. Mereka melewati lorong yang gelap dan dingin. Setelah setengah jalan menyusurinya, terdapat sebuah pintu. "Masuk!" perintah Snape, seraya menunjuk. Mereka masuk ke kantor Snape, gemetar. Dinding-nya yang remang-remang dikelilingi rak penuh staples kaca besar. Di dalam staples-staples itu mengapung berjenis-jenis benda menjijikkan yang namanya tak ingin diketahui Harry saat ini. Perapiannya gelap dan koson
g. Snape menutup pintu dan berbalik meman-dang mereka.
"Jadi," katanya pelan, "kereta api tidak cukup baik untuk Harry Potter yang terkenal dan sahabat setia-nya, Weasley. Ingin datang dengan sambutan meriah, begitu, ya"" "Tidak, Sir, penyebabnya palang rintangan di King's Cross. Palang itu..."
"Diam!" bentak Snape dingin. "Kauapakan mobilnya""
Ron menelan ludah. Ini bukan pertama kalinya Snape
memberi kesan bahwa dia bisa membaca pi-kiran. Tetapi
sesaat kemudian, ketika Snape membuka Evening Prophetkoran sihir sore terbitan hari itu, dia pun mengerti.
"Ada yang melihat kalian," dia mendesis, menunjuk-kan
kepala beritanya: FORD ANGLIA TERBANG MEMBUAT TAKJUB
MUGGLE. Dia mulai membacanya keras-keras. "Dua Muggle di
London yakin mereka melihat sebuah mobil tua terbang di
atas menara Kantor Pos... pada siang hari di Norfolk, Mrs
Hetty Bayliss, ketika sedang menjemur cucian... Mr Angus
Fleet di Peebles melapor kepada polisi... enam atau tujuh Muggle totalnya. Bukankah ayahmu bekerja di Kantor Penyalahgunaan Barang-barang Muggle"" kata-nya, menatap Ron dan tersenyum semakin menyebal-kan. "Astaga, astaga... anaknya sendiri..."
Harry merasa seakan perutnya baru saja dihantam salah satu dahan besar pohon gila itu. Jika sampai ketahuan Mr Weasley telah menyihir mobil itu... dia tidak memikirkan ini sebelumnya....
"Kuperhatikan, sewaktu aku mencari di halaman, bahwa kerusakan cukup besar telah menimpa pohon Dedalu Perkasa yang sangat berharga," Snape me-neruskan. "Pohon itu merusak kami lebih banyak daripada kami...," Ron menyela.
"Diam!" bentak Snape lagi. "Sayang sekali kalian tidak di asramaku dan keputusan untuk mengeluarkan kalian tidak ada padaku. Aku akan memanggil orang-orang yang punya kekuasaan menyenangkan itu. Kalian tunggu di sini." Harry dan Ron saling pandang, wajah mereka pucat. Harry tidak merasa lapar lagi. Dia malah merasa sangat mual. Dia berusaha tidak melihat sesuatu yang besar berlendir dalam cairan hijau di rak di belakang meja Snape. Kalau Snape memanggil Profesor McGonagall, kepala asrama Gryffindor, nasib mereka tak akan lebih baik. Dia mungkin lebih adil daripada Snape, tetapi disiplinnya ketat sekali. Sepuluh menit kemudian, Snape muncul kembali, dan benar saja, Profesor McGonagall-lah yang me-nemaninya. Harry sudah pernah melihat Profesor McGonagall marah dalam beberapa kesempatan, tetapi entah apakah dia sudah lupa betapa tipisnya bibir Profesor McGonagall kalau sedang marah, atau Harry belum pernah melihatnya semarah ini. Profesor McGonagall mengangkat tongkatnya begitu dia me-masuki ruangan. Harry dan Ron berjengit, tetapi dia cuma menunjuk ke perapian kosong, yang apinya langsung berkobar menyala. "Duduk," katanya, dan mereka berdua mundur untuk duduk di kursi di dekat perapian. "Jelaskan," katanya, kacamatanya berkilat-kilat me-nyeramkan. Ron langsung bercerita, mulai dengan palang rin-tangan di stasiun yang menolak mereka lewati, "...jadi kami tak punya pilihan, Profesor, kami tidak bisa naik kereta api."
"Kenapa kalian tidak mengirim surat lewat burung hantu"
Bukankah kau punya burung hantu"" Profesor McGonagall
berkata dingin kepada Harry.
Harry ternganga. Setelah Profesor McGonagall
me-ngatakannya, baru terpikir itulah yang seharusnya mereka
lakukan. "Saya-saya tidak berpikir..."
"Jelas sekali kau memang tidak berpikir," kata Profesor McGonagall.
Terdengar ketukan di pintu kantor dan Snape, yang sekarang kelihatan lebih senang dari sebelumnya, membukanya. Di depan pintu berdiri kepala sekolah, Profesor Dumbledore.
Seluruh tubuh Harry langsung kaku. Dumbledore kelihatan muram, tidak seperti biasanya. Dia me-nunduk memandang mereka lewat hidung bengkok-nya dan Harry mendadak ingin sekali dirinya dan Ron masih dipukuli oleh si Dedalu Perkasa. Sunyi lama sekali. Kemudian Dumbledore "berkata, "Tolong jelaskan kenapa kalian melakukan ini." Akan lebih baik jika dia berteriak. Harry membenci kekecewaan dalam suaranya. Entah karena apa, dia tidak sanggup menatap mata Dumbledore, maka dia bicara kepada lututnya. Dia menceritakan segalanya kepada Dumbledore, kecuali bahwa Mr Weasley-lah pemilik mobil t
ersihir itu. Dia menceritakannya se-demikian rupa, sehingga seakan-akan dia
dan Ron kebetulan menemukan mobil terbang diparkir di luar stasiun. Dia tahu Dumbledore akan segera tahu hal yang sebenarnya, tetapi Dumbledore tidak bertanya apa-apa soal mobil ini. Ketika Harry sudah selesai bercerita, Dumbledore hanya terus memandang me-reka lewat kacamatanya. "Kami akan mengambil barang-barang kami," kata Ron dengan suara putus asa. "Kau bicara apa, Weasley"" bentak Profesor McGonagall. "Bukankah kami dikeluarkan"" kata Ron. Harry cepat-cepat memandang Dumbledore. "Tidak hari ini, Mr Weasley," kata Dumbledore. "Tetapi aku harus menekankan kepada kalian berdua betapa seriusnya tindakan kalian. Aku akan menulis kepada keluarga kalian berdua malam ini. Aku juga harus memperingatkan kalian bahwa jika kalian me-lakukan hal seperti ini lagi, aku tak akan punya pilihan selain mengeluarkan kalian." Snape tampak kecewa sekali. Dia berdeham dan berkata, "Profesor Dumbledore, kedua anak ini telah melanggar Dekrit Pembatasan Masuk Akal bagi Penyihir di Bawah Umur, menyebabkan kerusakan serius pada pohon tua yang sangat berharga... tentu-nya kesalahan seperti ini..." "Profesor McGonagall-lah yang berhak memutuskan hukuman untuk anak-anak ini, Severus," kata Dumbledore tenang. "Mereka anak asramanya dan karena itu menjadi tanggung jawabnya." Dia berpaling kepada Profesor McGonagall. "Aku harus kembali ke pesta, Minerva, aku harus menyampaikan beberapa pengumuman. Ayo, Severus, ada puding lezat yang ingin kucicipi." Snape melempar pandang sengit kepada Harry dan Ron sebelum dia keluar dari kantornya, me-ninggalkan mereka sendirian dengan Profesor McGonagall, yang masih mengawasi mereka seperti elang murka.
"Kau sebaiknya segera ke rumah sakit, Weasley, kau berdarah."
"Tidak banyak," kata Ron, buru-buru menyeka luka di atas matanya dengan lengannya. "Profesor, saya ingin melihat adik saya diseleksi..."
"Upacara seleksi sudah selesai," kata Profesor McGonagall. "Adikmu masuk Gryffindor juga." "Oh, bagus," kata Ron.
"Dan ngomong-ngomong soal Gryffindor..." Pro-fesor McGonagall berkata tajam. Tetapi Harry menyela, "Profesor, sewaktu kami naik mobil itu, sekolah belum dimulai, jadi-jadi Gryffindor belum punya angka yang bisa dikurangi, kan"" katanya seraya memandang Profesor McGonagall dengan cemas.
Profesor McGonagall memandangnya tajam, tetapi Harry yakin dia nyaris tersenyum. Paling tidak bibir-nya kelihatan tidak setipis tadi.
"Aku tidak akan mengurangi angka Gryffindor," katanya, dan hati Harry langsung jauh lebih ringan. "Tetapi kalian berdua akan mendapat detensi."
Itu lebih baik daripada yang diduga Harry. Sedang-kan soal Dumbledore yang akan menulis kepada ke-luarga Dursley, itu bukan apa-apa. Harry tahu betul mereka malah akan kecewa Dedalu Perkasa tidak menghajarnya sampai mati. Profesor McGonagall mengangkat tongkatnya lagi dan mengarahkannya ke meja Snape. Sepiring besar sanich, dua piala perak, dan seteko jus labu kuning dingin muncul seiring bunyi "plop".
"Kalian makan di sini dan kemudian langsung ke kamar," katanya. "Aku juga harus kembali ke pesta." Setelah pintu tertutup di belakangnya, Ron menge-luarkan suitan panjang namun pelan. "Kukira tadi tamatlah riwayat kita," katanya seraya meraih sanich. "Kukira juga begitu," kata Harry,
juga mengambil sanich. "Nasib kita sungguh sulit dipercaya, ya"" kata Ron dengan mulut penuh roti dan daging. "Fred dan George sudah menerbangkan mobil itu paling tidak lima atau enam kali, dan tak ada Muggle yang pernah melihat mereka." Dia menelan dan menggigit sepotong besar sanich lagi. "Kenapa kita tidak bisa melewati palang rintangan" Harry mengangkat bahu. "Yang jelas mulai sekarang kita harus hati-hati," katanya, meneguk jus labunya dengan rasa syukur. "Sayang sekali kita tidak bisa ikut pesta..." "Profesor McGonagall tak ingin kita pamer," kata Ron bijaksana. "Tak mau orang-orang berpikir ini ide bagus, datang dengan mobil terbang." Setelah makan sanich sebanyak mereka sanggup (piringnya terus-menerus terisi kembali), mereka bang-kit dan meninggalkan kantor itu, berjalan melewati lorong yang
sudah mereka kenal menuju ke Menara Gryffindor. Kastil sudah sepi, rupanya pesta sudah usai. Mereka melewati lukisan-lukisan yang berbisik-bisik dan baju-baju zirah yang berkelontangan. Mereka menaiki beberapa tangga sempit, sampai akhirnya mereka tiba di lorong tempat pintu rahasia untuk masuk ke Menara Gryffindor tersembunyi, di belakang lukisan cat minyak seorang nyonya amat gemuk yang memakai gaun sutra merah jambu.
"Kata kunci"" kata si Nyonya Gemuk ketika mereka
mendekat. "Eh...," kata Harry.
Mereka tidak tahu kata kunci di awal tahun ajaran baru ini,
karena belum bertemu Prefek Gryffindor, tetapi bantuan
muncul tak terduga. Mereka men-dengar langkah-langkah
bergegas mendekat di bela-kang mereka dan ketika menoleh,
mereka melihat Hermione berlari mendatangi.
"Di sini rupanya! Di mana kalian tadi" Ada desas-desus
sangat tidak masuk akal-ada yang bilang kalian berdua
dikeluarkan karena menabrakkan mobil ter-bang."
"Kami tidak dikeluarkan," Harry meyakinkannya.
"Kau tidak bermaksud bilang kau benar-benar ter-bang ke
sini"" kata Hermione, kedengarannya segalak Profesor
McGonagall. "Tidak perlu ceramah," kata Ron tak sabar, "dan beritahu kami kata kunci barunya." '"Gelambir kalkun'," kata Hermione tak sabar, "tapi bukan itu pokok masalahnya..." Kata-katanya terputus, karena lukisan si Nyonya Gemuk mengayun terbuka dan mendadak terdengar gemuruh tepukan. Rupanya seluruh penghuni asrama Gryffindor belum tidur. Mereka berdesakan di ruang bundar rekreasi, berdiri di atas meja miring dan kursi-kursi tangan empuk, menunggu kedatangan Harry dan Ron. Lengan-lengan terjulur melalui lubang lukisan, menarik Harry dan Ron masuk, membiarkan Hermione memanjat sendiri sesudah mereka. "Brilian!" seru Lee Jordan. "Ide gemilang! Ke-datangan yang luar biasa! Naik mobil terbang me-nabrak Dedalu Perkasa, orang-orang akan terus mem-bicarakannya selama bertahun-tahun!"
"Hebat," kata seorang anak kelas lima yang belum pernah bicara dengan Harry. Ada yang menepuk-nepuk punggungnya seakan dia baru saja memenang-kan maraton. Fred dan George berdesakan sampai ke depan kerumunan dan berkata bersamaan, "Kenapa kalian tidak . memanggil kami kembali, eh"" Wajah Ron merah padam, dia nyengir malu-malu, tapi Harry bisa melihat satu orang yang sama sekali, tidak ke-lihatan senang. Percy tampak di atas kepala anak-anak kelas satu yang bergairah, dan dia kelihatannya mencoba maju cukup dekat untuk menyuruh mereka menyingkir. Harry menyikut rusuk Ron dan mengangguk ke arah Percy. Ron
langsung paham. "Harus naik-sudah lelah," katanya, dan keduanya menyelip-nyelip ke arah pintu di seberang ruangan, yang menuju ke tangga spiral dan kamar-kamar tidur. "Malam," Harry berseru kepada Hermione, yang wajahnya sama cemberutnya seperti Percy.
Mereka berhasil sampai di seberang ruangan, pung-gung mereka masih ditepuk-tepuk, dan baru aman setelah tiba di tangga yang sepi. Mereka bergegas naik dan akhirnya tiba di pintu kamar mereka yang lama, yang sekarang dipasangi tulisan berbunyi "kelas dua". Mereka memasuki ruangan bundar yang sudah mereka kenal, dengan lima tempat tidur besar ber-kelambu beludru merah dan jendela-jendela yang tinggi dan sempit. Koper-koper mereka sudah dibawa naik dan diletakkan di kaki tempat tidur masing-masing. Ron tersenyum pada Harry dengan perasaan ber-salah. "Aku tahu seharusnya tidak boleh menikmati sam-butan atau apa pun namanya itu, tapi..."
Pintu kamar mendadak terbuka dan masuklah ketiga anak laki-laki kelas dua Gryffindor lainnya, Seamus Finnigan, Dean Thomas, dan Neville Longbottom. "Tak bisa dipercaya!" Seamus nyengir. "Cool," kata Dean.
"Menakjubkan," kata Neville, terpesona. Harry tak tahan. Dia ikut nyengir.
6 Gilderoy Lockhart ESOKNYA Harry nyaris tak bisa tersenyum lagi. Ke-adaan sudah mulai memburuk sejak saat sarapan di Aula Besar. Empat meja besar asrama dipenuhi berpanci-panci bubur, berpiring-piring ikan haring asap, ber-gunung-gunung roti panggang, telur, dan daging asap, di bawah langit-langit sihiran (hari ini abu-abu suram berawan). Harry dan Ron duduk di meja Gryffindor bersama Hermione, yang menyandarkan buku Vakans
i dengan Vampir-nya yang terbuka pada seteko susu. Hermione mengucapkan sapaan "Pagi"-nya dengan sedikit kaku, sehingga Harry tahu dia masih mencela cara kedatangan mereka. Neville Longbottom, sebalik-nya, menyambut mereka dengan ceria. Neville adalah anak berwajah bundar dan cenderung mengalami ber-bagai kecelakaan. Ingatannya juga parah sekali. "Sudah waktunya pos datang... kurasa Nenek akan mengirim beberapa barang yang kulupakan." Harry baru menyendok buburnya ketika, benar saja, terdengar deru keras dan kira-kira seratus burung hantu terbang masuk, beputar-putar di aula dan men-jatuhkan surat dan paket kepada anak-anak yang asyik berceloteh. Sebuah bungkusan be,sar tak ber-aturan terguling dari kepala Neville dan sedetik kemu-dian sesuatu yang besar dan berwarna abuabu jatuh ke dalam teko susu Hermione, menciprati mereka semua dengan susu dan bulu.
"Errol!" seru Ron, menarik keluar burung hantu basah kuyup itu pada kakinya. Errol terpuruk, ping-san, di atas meja, kakinya mencuat ke atas dan sebuah amplop merah tergigit di paruhnya.
"Oh, tidak...," Ron memekik panik. "Tidak apa-apa, dia masih hidup," kata Hermione, menekan-nekan Errol lembut dengan ujung jari-nya. "Bukan itu-tapi itu."
Ron menunjuk amplop merah di paruh Errol. Amplop itu kelihatan biasa saja bagi Harry, tetapi Ron dan Neville memandangnya ketakutan seakan amplop itu bisa meledak setiap saat.
"Ada apa"" tanya Harry.
"Mum-dia mengirimiku Howler," kata Ron lesu.
"Lebih baik kaubuka, Ron," bisik Neville cemas. "Gawat
kalau tidak. Nenek pernah mengirimiku Howler dan kuabaikan,
dan...," dia menelan ludah, "mengerikan sekali."
Harry mengalihkan pandang dari wajah ketakutan mereka
ke amplop merah. "Apa sih Howler itu"" tanyanya.
Tetapi seluruh perhatian Ron tercurah pada surat itu, yang
sudah mulai berasap ujung-ujungnya. "Bukalah," desak
Neville. "Paling beberapa menit lalu selesai..."
Ron mengulurkan tangan yang gemetar, menarik amplop
itu dari paruh Errol dan membukanya. Neville menjejalkan jari
ke lubang telinganya. Sedetik kemu-dian, Harry tahu kenapa.
Sekejap dikiranya amplop itu meledak; teriakan keras sekali
membahana me-menuhi aula besar itu, merontokkan debu
dari langit-langitnya. "...MENCURI MOBIL, AKU TIDAK AKAN KAGET KALAU MEREKA MENGELUARKANMU, TUNGGU SAMPAI AKU KETEMU KAU, PASTI KAU TIDAK BERPIKIR BAGAIMANA KAGET DAN CEMASNYA AYAHMU DAN AKU KETIKA MELIHAT MOBIL SUDAH TAK ADA...."
Teriakan Mrs Weasley, seratus kali lebih keras dari-pada biasanya, membuat piring-piring dan sendok-sendok berkeretak di atas meja. Suaranya bergaung memekakkan di dinding-dinding batu. Anak-anak di aula berputar di tempat duduk mereka untuk melihat siapa yang menerima Howler. Ron merosot rendah sekali di kursinya, sampai hanya
kepalanya yang me-rah yang kelihatan.
"...SURAT DARI DUMBLEDORE SEMALAM, AYAHMU NYARIS MATI SAKING MALUNYA, KAMI TIDAK MEMBESARKANMU UNTUK BERSIKAP SEPERTI INI, KAU DAN HARRY BISA MATI...."
Harry sudah bertanya-tanya dalam hati kapan namanya akan muncul. Dia berusaha keras bersikap seakan tidak mendengar suara yang membuat gendang telinganya berdenyut-denyut.
"...BENAR-BENAR MENJIJIKKAN, AYAHMU AKAN DIINTEROGASI DI KANTORNYA, SALAHMU SEPENUHNYA DAN KALAU MELANGGAR PER-ATURAN LAIN SEDIKIT SAJA, KAMI AKAN LANG-SUNG MEMBAWAMU PULANG." Aula sunyi senyap. Amplop merah, yang terjatuh dari tangan Ron, menyala, lalu tergulung menjadi abu. Harry dan Ron duduk terpaku, seakan baru disapu gelombang besar. Beberapa anak tertawa dan sedikit demi sedikit celoteh ramai mulai terdengar lagi.
Hermione menutup buku Vakansi dengan Vampir dan menunduk memandang puncak kepala Ron. "Aku tak tahu apa yang kauharapkan, Ron, tapi kau..." "Jangan bilang aku layak menerimanya," gertak Ron. Harry mendorong buburnya menjauh. Dia merasa sangat bersalah. Mr Weasley akan diinterogasi di kantornya. Setelah kebaikan Mr dan Mrs Weasley terhadapnya selama musim panas....
Tetapi dia tak punya banyak waktu untuk berlama-lama mencemaskan hal ini. Profesor McGonagall ber-jalan mengelilingi meja Gryffindor, membagikan jaal. Harry mengambil jaalnya dan melihat dua jam pertama mereka ad
alah Herbologi, bareng dengan Hufflepuff. Harry, Ron, dan Hermione meninggalkan kastil ber-samasama, menyeberangi kebun sayur, dan menuju ke rumahrumah kaca, tempat tanaman-tanaman gaib dipelihara. Paling tidak Howler sudah menghasilkan satu hal baik, Hermione kelihatannya berpendapat mereka sudah cukup mendapat hukuman dan sudah ramah seperti biasa lagi. Mendekati rumah-rumah kaca, mereka melihat anak-anak lain sudah berdiri di depannya, menunggu Profesor Sprout. Harry, Ron, dan Hermione, baru saja bergabung dengan mereka ketika Profesor Sprout muncul di seberang halaman berumput, ditemani Gilderoy Lockhart. Lengan Profesor Sprout diperban di sana-sini, dan dengan entakan rasa bersalah lagi, Harry melihat Dedalu Perkasa di kejauhan, beberapa dahannya sekarang memakai kain gendongan. Profesor Sprout adalah penyihir wanita pendek-gemuk yang memakai topi bertambal di atas rambut-nya yang beterbangan. Biasanya wajah dan pakaian-nya berlumuran tanah, dan kukunya akan membuat Bibi Petunia pingsan. Gilderoy Lockhart, sebaliknya, sangat rapi dan bersih. Jubahnya yang berwarna hijau toska melambai, rambutnya yang keemasan berkilau di bawah topi hijau toska berpelipit emas yang ber-tengger sempurna di atas kepalanya. "Oh, halo, anak-anak!" sapa Lockhart, tersenyum kepada kerumunan anak-anak. "Baru saja menunjukkan kepada Profesor Sprout bagaimana mengobati Dedalu Perkasa! Tapi aku tak mau kalian mengira aku lebih pintar dari dia dalam Herbologi! Kebetulan saja aku pernah bertemu beberapa tanaman eksotis dalam perjalananku..." "Rumah Kaca nomor tiga hari ini, anak-anak!" kata Profesor Sprout, yang kelihatan jelas jengkel, tidak ceria seperti biasanya.
Terdengar gumam tertarik. Selama ini mereka cuma belajar di Rumah Kaca nomor satu-Rumah Kaca nomor tiga berisi tanaman yang jauh lebih menarik dan berbahaya. Profesor
Sprout menarik kunci besar dari ikat pinggangnya dan membuka pintu. Terendus oleh Harry bau tanah lembap dan pupuk, bercampur dengan wangi tajam bunga-bunga sebesar payung yang bergantungan dari langit-langit. Harry baru mau mengikuti Ron dan Hermione masuk ketika tangan Lockhart terjulur.
"Harry! Aku ingin bicara-kau tidak keberatan kalau dia terlambat beberapa menit, kan, Profesor Sprout"" Dinilai dari cibiran Profesor Sprout, dia sebetulnya keberatan, tetapi Lockhart berkata, "Terima kasih," dan menutup pintu Rumah Kaca di depan wajah Profesor Sprout. "Harry," kata Lockhart, giginya yang putih besar-besar berkilauan tertimpa cahaya matahari ketika dia menggelengkan kepala. "Harry, Harry, Harry." Saking kagetnya Harry tidak bicara apa-apa. "Waktu aku dengar-yah, tentu saja, semua itu salahku. Rasanya ingin kutendang diriku sendiri."
Harry sama sekali tak mengerti apa yang dibicara-kannya. Dia baru akan berkata begitu, ketika Lockhart meneruskan, "Belum pernah aku seterkejut itu. Me-nerbangkan mobil ke Hogwarts! Yah, tentu saja, aku langsung tahu kenapa kaulakukan itu. Jelas sekali. Harry, Harry, Harry." Hebat sekali bagaimana dia bisa menunjukkan masingmasing giginya yang berkilauan bahkan pada saat dia tidak bicara.
"Kuberi kau sekecap kepopuleran, kan"" kata Lockhart. "Kau langsung ketularan. Kau tampil di ha-laman depan surat kabar bersamaku dan kau tak bisa menunggu lebih lama untuk tampil lagi." "Oh-tidak, Profesor, begini..."
"Harry, Harry, Harry," kata Lockhart, mengulurkan tangan mencengkeram bahu Harry. "Aku mengerti. Wajar menginginkan lebih kalau kau sudah pernah mencicipinya- dan aku menyalahkan diriku sendiri karena memberimu itu, karena pasti akan mem-pengaruhi pikiranmu. Tapi, Nak, kau tak bisa mener-bangkan mobil untuk mencoba membuat dirimu di-perhatikan. Jangan buru-buru, oke" Masih banyak waktu untuk semua itu kalau kau sudah lebih besar. Ya, ya, aku tahu apa yang kaupikirkan! 'Gampang dia ngomong begitu, dia kan sudah jadi penyihir inter-nasional yang terkenal!' Tetapi waktu aku masih dua belas tahun, aku bukan siapa-siapa seperti kau seka-rang. Malah, lebih bukan siapasiapa lagi! Maksudku, beberapa orang sudah dengar tentang kau, kan" Segala kejadian dengan Dia yang Namanya Tak Boleh Di-sebut!" Di
a mengerling ke bekas luka sambaran kilat di dahi Harry "Aku tahu, aku tahu, itu tidak sehebat memenangkan kontes Senyum-Paling-Menawan Witch Weekly-Mingguan Penyihir Wanita selama lima kali berturutturut, seperti yang kualami-tapi itu sudah permulaan, Harry, itu sudah permulaan."
Dia mengedip bersemangat kepada Harry dan pergi. Harry berdiri terpaku selama beberapa detik, kemu-dian, ingat bahwa dia seharusnya ada dalam rumah kaca, membuka pintunya dan menyelinap ke dalam. Profesor Sprout sedang berdiri di belakang bangku di tengah rumah kaca. Kira-kira dua puluh pasang penutup telinga tergeletak di bangku itu. Ketika Harry sudah mengambil tempat di antara Ron dan Hermione, Profesor Sprout berkata, "Kita akan meng-ganti pot Mandrake hari ini. Nah, adakah yang bisa menjelaskan kegunaan Mandrake"" Tak ada yang heran ketika tangan Hermione paling dulu terangkat.
"Mandrake, atau Mandragora, adalah restoratif atau obat penyembuh yang sangat manjur," kata Hermione, terdengar seperti biasanya-seakan dia sudah menelan seluruh buku
pelajarannya. "Mandrake digunakan untuk mengembalikan orang yang sudah di-transfigurasi atau dikutuk ke wujudnya semula."
"Bagus sekali. Sepuluh angka untuk Gryffindor," kata Profesor Sprout. "Mandrake merupakan bahan paling penting bagi banyak obat penangkal racun. Meskipun demikian, Mandrake juga berbahaya. Siapa yang tahu kenapa"" Tangan Hermione nyaris menyenggol kacamata Harry ketika mengacung ke atas lagi. "Jeritan Mandrake bisa berakibat fatal bagi siapa saja yang mendengarnya," katanya segera.
"Persis. Dapat sepuluh angka lagi," kata Profesor Sprout. "Nah, Mandrake yang kita punya di sini masih muda sekali." Dia menunjuk sederet nampan tinggi sambil bicara dan semua anak bergerak maju agar bisa melihat lebih jelas. Kirakira seratus tanaman kecil yang meng-gerumbul seperti jambul berwarna hijau keunguan, tumbuh berderet-deret dalam nampan itu. Kelihatannya biasa saja bagi Harry, yang sama sekali tak paham apa yang dimaksud Hermione dengan "jeritan" Mandrake.
"Masing-masing ambil sepasang tutup telinga," kata Profesor Sprout.
Terjadi kehebohan ketika masing-masing berebut mengambil tutup telinga yang bukan merah jambu dan berbulu.
"Kalau kuminta dipakai, pastikan telinga kalian ter-tutup sepenuhnya," kata Profesor Sprout. "Kalau sudah aman untuk membuka tutup telinga, kuberi tanda dengan mengangkat ibu jari. Siap-pasang tutup telinga.."
Harry memasang tutup telinganya. Langsung tak terdengar bunyi apa pun. Profesor Sprout memasang tutup telinga merah jambu berbulu ke telinganya, menggulung lengan jubahnya, memegang erat salah satu tanaman dan menariknya kuat-kuat.
Harry terpekik kaget, tapi tak ada yang mendengar-nya. Alih-alih akar, seorang bayi kecil, berlumpur, dan sangat jelek tercabut dari tanah. Daun-daun tumbuh di kepalanya. Kulitnya pucat kehijauan, bebercak-bercak, dan dia menangis menjerit-jerit keras sekali.
Profesor Sprout mengambil pot besar dari bawah meja dan mencemplungkan si Mandrake ke dalamnya, menimbuninya dengan kompos hitam lembap, sampai tinggal gerumbul daunnya yang kelihatan. Profesor Sprout menyeka tangannya, memberi kode dengan mengangkat kedua ibu jarinya, lalu membuka tutup telinganya sendiri.
"Mengingat Mandrake kita masih semaian, jeritan mereka belum akan membunuh," katanya kalem, se-akan dia baru melakukan hal yang tidak lebih seru dari menyirami begonia. "Meskipun demikian, mereka akan membuat kalian pingsan selama beberapa jam, dan karena aku yakin tak seorang pun dari kalian mau ketinggalan hari pertama sekolah, pastikan tutup telinga kalian terpasang dengan benar sementara kalian bekerja. Aku akan menarik perhatian kalian kalau sudah tiba waktunya berkemas."
"Empat anak satu nampan-ada banyak persediaan pot di sini-komposnya dalam karung di sana itu- dan hati-hati terhadap Tentakula Berbisa, dia sedang tumbuh gigi." Profesor Sprout memukul keras tanaman merah tua berduri sambil berbicara, membuat tanaman itu me-narik kembali sulur panjangnya yang diam-diam sudah merayap ke bahunya. Seorang anak laki-laki Hufflepuff berambut keriting bergabung dengan Harry, Ron
, dan Hermione. Harry tahu anak itu, tapi belum pernah bicara dengannya. "Justin Finch-Fletchley," katanya ramah, menjabat tangan Harry. "Aku tahu siapa kau, tentu saja. Harry Potter yang
terkenal... dan kau Hermione Granger- selalu nomor satu dalam segala hal...," (Hermione berseri-seri sementara tangannya juga dijabat), "dan Ron Weasley Bukankah mobil terbang itu milikmu""
Ron tidak tersenyum. Pikirannya masih dipenuhi Howler. "Si Lockhart itu hebat, ya"" kata Justin riang, saat mereka mulai mengisi pot mereka dengan kompos kotoran naga. "Bukan main pemberaninya. Kalian sudah baca buku-bukunya" Aku pasti mati ketakutan kalau disudutkan di boks telepon oleh manusia serigala, tapi dia tetap tenang dan-zap-sungguh luar biasa. "Namaku sudah terdaftar di Eton sebetulnya. Tak bisa kuceritakan betapa senangnya aku bisa masuk ke sini. Tentu saja ibuku agak kecewa, tetapi setelah aku menyuruhnya membaca buku-buku Lockhart, kurasa dia mulai bisa melihat betapa bergunanya punya pe-nyihir terlatih dalam keluarga..." Sesudah itu mereka tak punya banyak kesempatan untuk bicara. Tutup telinga sudah dipakai lagi dan mereka perlu berkonsentrasi pada Mandrake. Waktu Profesor Sprout yang melakukannya, kelihatannya gampang sekali, tetapi kenyataannya tidak. Mandrake-mandrake itu tidak suka dikeluarkan dari tanah, tetapi rupanya dikembalikan juga tidak suka. Mereka meng-geliat, menendang, memukul-mukul dengan tinju me-reka yang tajam dan mengertak-ngertakkan gigi. Harry menghabiskan sepuluh menit sendiri untuk memasuk-kan kembali satu Mandrake gemuk ke dalam pot. Pada akhir pelajaran, Harry, seperti juga yang lain, berkeringat, badannya sakit semua, dan berlumur tanah. Mereka berjalan lesu kembali ke kastil untuk mandi. Setelah itu anak-anak Gryffindor bergegas untuk pelajaran Transfigurasi.
Pelajaran Profesor McGonagall selalu susah, tetapi hari ini istimewa susahnya. Segala sesuatu yang telah dipelajari Harry selama satu tahun kelihatannya sudah merembes keluar dari kepalanya selama musim panas. Dia disuruh mengubah kumbang menjadi kancing, tapi yang berhasil dilakukannya hanyalah membuat si kumbang banyak berolahraga, karena si kumbang ber-larian di atas meja menghindari tongkatnya.
Ron menghadapi masalah yang lebih parah. Dia sudah menambal tongkatnya dengan Spellotape-selotip sihir, tapi rupanya tongkatnya sudah kelewat rusak dan tak bisa diperbaiki. Tongkat itu berkali-kali ber-derik dan mengeluarkan bunga api pada saat-saat yang tak terduga, dan setiap kali Ron mencoba men-transfigurasi kumbangnya, tongkat itu menyelubungi-nya dengan asap tebal abu-abu yang baunya seperti telur busuk. Karena tak bisa melihat apa yang dilaku-kannya, tanpa disengaja kumbangnya terpencet siku-nya sampai mati dan dia terpaksa minta kumbang baru. Profesor McGonagall tidak senang melihatnya. Harry lega mendengar bunyi bel makan siang. Otak-nya terasa bagai spons yang diperas. Semua orang meninggalkan ruang kelas, kecuali dia dan Ron, yang menyabet-nyabetkan tongkatnya dengan sebal ke meja. "Tolol... tak berguna..."
"Tulis surat ke rumah minta ganti," Harry me-nyarankan ketika tongkat itu mengeluarkan sederet letusan keras seperti petasan.
"Oh, yeah, biar dapat Howler lagi," kata Ron, men-jejalkan tongkatnya yang sekarang berdesis ke dalam tasnya. "Salahmu sendiri tongkatmu patah..." Mereka turun untuk makan siang. Suasana hati Ron tidak menjadi lebih baik melihat Hermione memamer-kan kepada mereka segenggam kancing jaket sempurna yang dihasilkannya dalam pelajaran Transfigurasi.
"Sore ini pelajaran apa"" tanya Harry, buru-buru mengubah topik pembicaraan. "Pertahanan terhadap Ilmu Hitam," jawab Hermione segera.
"Kenapa," tuntut Ron, menyambar daftar pelajaran Hermione, "kau menggarisbawahi semua pelajaran Lockhart dengan hati kecil-kecil""
Dengan marah Hermione merebut kembali daftar pelajarannya, wajahnya merah.
Mereka menyelesaikan makan siang lalu ke halaman. Udara mendung. Hermione duduk di undakan dan membenamkan hidungnya ke buku Vakansi dengan Vampir lagi. Harry dan Ron berdiri mengobrol tentang Quidditch selama beberapa menit sebelum Harry sadar ba
hwa ada yang mengawasinya. Mendongak, dia melihat anak laki-laki sangat kecil berambut seperti tikus yang semalam dilihatnya sedang memakai Topi Seleksi. Anak itu terpesona menatap Harry Dia me-megangi sesuatu yang kelihatannya seperti kamera biasa Muggle. Begitu Harry memandangnya, wajah anak itu langsung merah padam.
"Baik-baik saja, Harry" Aku-aku Colin Creevey," katanya terengah, ragu-ragu maju selangkah. "Aku juga di Gryffindor. Apakah menurutmu-tidak apa-apakah kalau-bolehkah aku mengambil fotomu"" katanya, mengangkat kameranya penuh harap.
"Foto"" Harry mengulang dengan pandangan kosong. "Supaya aku bisa membuktikan aku sudah ber-temu kau," kata Colin Creevey bersemangat, maju lebih dekat lagi. "Aku tahu segalanya tentang kau.
Semua orang sudah cerita padaku. Tentang bagai-mana kau selamat ketika Kau-Tahu-Siapa mencoba membunuhmu dan bagaimana dia menghilang dan segalanya dan bahwa kau punya bekas luka sambaran Mat di dahimu," (matanya menyusuri batas rambut Harry), "dan anak laki-laki yang sekamar denganku bilang kalau aku mencetak filmnya dengan ramuan yang benar, gambarnya akan bergerak-gerak." Colin menghela napas panjang, bergairah sekali, dan ber-kata, "Luar biasa sekali di sini, ya" Aku tak pernah tahu segala hal aneh-aneh yang kulakukan itu sihir, sampai aku. menerima surat dari Hogwarts. Ayahku pengantar susu, dia juga tidak percaya. Jadi aku memotret banyak-banyak untuk dikirim kepada ayahku di rumah. Dan akan bagus sekali kalau aku punya satu fotomu...," dia menatap Harry dengan pandangan memohon, "...mungkin temanmu bisa memotretkannya dan aku boleh berdiri di sebelah-mu" Dan kemudian, maukah kau menandatangani-nya""
"Foto bertanda tangan" Kau membagikan foto bertanda tangan, Potter""
Keras dan pedas, suara Draco Malfoy bergaung di seluruh halaman. Dia berhenti tepat di belakang Colin, diapit, seperli biasanya di Hogwarts, oleh dua kroni-nya yang besar dan kejam, Crabbe dan Goyle.
"Ayo, semua antre!" Malfoy berteriak kepada ke-rumunan anak-anak. "Harry Potter membagikan foto bertanda tangan!" "Tidak! Bohong!" kata Harry berang, tinjunya ter-kepal. "Tutup mulut, Malfoy."
"Kau iri," seru Colin, yang keseluruhan tubuhnya hanya sebesar leher Crabbe.
"Iri"" kata Malfoy, yang tak perlu lagi berteriak, karena separo halaman sudah mendengarkan mereka. "Kenapa aku mesti iri" Aku tak mau punya bekas luka konyol di keningku, terima kasih deh. Menurut-ku kepala yang terbelah tidak membuat kita isti-mewa." Crabbe dan Goyle terkikik-kikik konyol. "Menyebalkan kau, Malfoy," kata Ron, jengkel. Crabbe berhenti tertawa dan mulai menggosok buku jarinya yang
besar-besar dengan lagak mengancam. "Hati-hati, Weasley," ejek Malfoy. "Jangan sampai bikin kesulitan lagi, nanti terpaksa ibumu datang untuk menjemputmu dari sekolah." Dia mengubah suaranya menjadi tinggi melengking, "Kalau sekali lagi kau melanggar..." Segerombolan anak kelas lima Slytherin tertawa ter-bahak. "Weasley akan senang mendapat foto bertanda tangan, Potter," Malfoy menyeringai menjengkelkan. "Nilainya lebih tinggi daripada seluruh rumahnya." Ron mencabut keluar tongkatnya yang sudah ber-Spellotape, tetapi Hermione menutup buku Vakansi dengan Vampir-nya dengan keras dan berbisik, "Awas!" "Ada apa ini, ada apa ini"" Gilderoy Lockhart ber-jalan mendekati mereka, jubah hijau toskanya berkibar di belakangnya. "Siapa yang membagikan foto ber-tanda tangan""
Harry baru mau menjawab, tapi disela oleh Lockhart yang merangkul bahunya dan berkata menggelegar gembira, "Mestinya lak perlu tanya. Kita bertemu lagi, Harry!" Harry yang terpaksa menempel ke sisi tubuh Lockhart dengan wajah serasa terbakar saking malu-nya, melihat Malfoy menyeringai dan menyelinap ke dalam kerumunan. "Ayo, Mr Creevey," kata Lockhart, tersenyum kepada Colin. "Foto kami berdua, biar adil, dan kami berdua akan menandatanganinya untukmu."
Colin geragapan mengangkat kameranya dan me-motret mereka berdua tepat ketika bel berbunyi di belakang mereka, menandakan mulainya waktu belajar sore hari. "Ayo, kalian berangkat," seru Lockhart kepada anak-anak yang berkerumun. Dia berjalan kembali ke kastil
dengan Harry-yang ingin sekali menguasai mantra melenyapkan diri-masih menempel di sisinya.
"Dengar nasihatku, Harry," kata Lockhart kebapakan ketika mereka memasuki kastil lewat pintu samping. "Aku baru saja melindungimu-kalau Creevey me-motret aku juga, temantemanmu tidak akan berpikir kau terlalu menonjolkan dirimu..."
Tuli terhadap protes gagap Harry, Lockhart mem-bawanya menyusuri koridor yang kanan-kirinya di-penuhi deretan murid, dan menaiki tangga.
"Kuberitahu kau, membagikan foto bertanda tangan pada tahap kariermu ini tidaklah bijaksana-kelihatan-nya sok, Harry, terus terang saja. Akan tiba waktunya ketika, seperti aku, kau perlu membawa setumpuk foto ke mana pun kau pergi, tetapi...," dia terkekeh kecil, "kurasa kau belum sampai ke tahap itu."
Mereka sudah tiba di ruang kelas Lockhart dan akhirnya dia melepaskan Harry. Harry menyentakkan dan meluruskan jubahnya dan menuju tempat duduk paling belakang di kelas. Dia lalu menyibukkan diri dengan menumpuk semua buku Lockhart di depan-nya, supaya ia tak perlu memandang Lockhart yang sesungguhnya.
Anak-anak lain masuk. Ron dan Hermione duduk di kirikanan Harry.
"Kau bisa menggoreng telur di mukamu," kata Ron. "Lebih baik kau berharap Creevey tidak bertemu Ginny. Bisa-bisa mereka langsung mendirikan Klub Pecinta Harry Potter." "Diam," bentak Harry. Hal terakhir yang diingin-kannya adalah Lockhart mendengar ungkapan "Klub Pecinta Harry Potter".
Ketika semua murid sudah duduk, Lockhart ber-deham keras-keras dan seluruh kelas diam. Dia men-jangkau ke depan, mengambil buku Tamasya dengan Troli milik Neville dan mengangkatnya untuk me-nunjukkan fotonya sendiri yang mengedip-ngedip di sampul buku.
"Aku," katanya seraya menunjuk fotonya dan ikut mengedip juga, "Gilderoy Lockhart, Order of Merlin*) Kelas Ketiga, Anggota Kehormatan Liga Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, dan lima kali memenangkan kontes Senyum-Paling-Menawan Witch Weekly-tapi aku *) Merlin adalah penyihir hebat dan bijaksana dalam legenda Raja Arthur. Gelar kehormatan Order of Merlin dianugerahkan kepada para penyihir yang berjasa di dunia sihir.
tidak bicara tentang itu. Aku tidak mengusir Banshee si hantu perempuan dengan tersenyum kepadanya!" Dia menunggu anak-anak tertawa. Beberapa ter-senyum lemah. "Kulihat kalian sudah membeli satu set lengkap bukuku- bagus. Kupikir hari ini kita akan mulai de-ngan kuis kecil. Tak perlu khawatir-cuma mengecek sejauh mana kalian sudah membacanya, berapa ba-nyak yang sudah kalian serap..." Sesudah membagikan kertas ulangan, Lockhart kembali ke depan kelas dan berkata, "Kalian punya waktu tiga puluh menit. Mulai-sekarang!"
Harry menunduk memandang kertasnya dan mem-baca:
1. Apa warna favorit Gilderoy Lockhart"
2. Apa ambisi rahasia Gilderoy Lockhart"
3. Apa, menurut pendapatmu, prestasi terbesar Gilderoy Lockhart"
Semua pertanyaannya semacam itu, tiga halaman penuh, sampai:
54. Kapankah hari ulang tahun Gilderoy Lockhart, dan hadiah apakah yang ideal untuknya"
Setengah jam kemudian, Lockhart mengumpulkan kertaskerlas dan membuka-bukanya di depan kelas. "Ck, ck, ck-hampir tak ada yang ingat bahwa warna favoritku ungu, Kusebutkan dalam Yakin dengan Yeti. Beberapa dari kalian perlu membaca Mengembara dengan Manusia Serigala lebih teliti-jelas-jelas kusebut-kan di bab dua belas bahwa hadiah ulang tahun yang ideal bagiku adalah harmoni di antara penyihir dan orang-orang non-penyihir- meskipun aku tak akan menolak sebotol besar Wiski-Api Tua Ogden!"
Sekali lagi dia mengedip nakal. Ron sekarang me-natap Lockhart dengan ekspresi tak percaya. Seamus Finnigan dan Dean Thomas, yang duduk di depan, sampai terguncang berusaha menahan tawa. Hermione, sebaliknya, mendengarkan Lockhart dengan penuh perhatian, dan tersentak kaget ketika Lockhart menyebut namanya, "...tetapi Miss Hermione Granger tahu bahwa ambisi rahasiaku adalah membersihkan dunia dari kejahatan dan memasarkan rangkaian produk perawatan rambut-ku sendiri- anak pintar! Bahkan..." dia membalik ker-tas Hermione, "betul semua! Yang mana Miss,. Hermione Granger"" Hermione mengangkat tangannya yang gemetar. "Luar biasa!" Lockhart
tersenyum, "Sungguh luar biasa! Sepuluh angka untuk Gryffindor! Nah, kembali ke pelajaran..." Dia menunduk ke belakang mejanya dan mengang-kat sangkar besar berselubung ke atasnya. "Sekarang-awas! Tugaskulah mempersenjatai kalian untuk menghadapi makhluk-makhluk paling mengeri-kan yang dikenal di dunia sihir! Kalian mungkin akan menghadapi ketakutan terbesar kalian di ruangan ini. Asal tahu saja, malapetaka tak akan menimpa kalian selama aku di sini. Yang kuminta hanyalah kalian tetap tenang." Di luar kemauannya, Harry melongok dari balik buku untuk bisa melihat sangkar lebih jelas. Lockhart meletakkan tangannya di atas selubung. Dean dan Seamus sudah berhenti tertawa sekarang. Neville gemetar ketakutan di tempat duduknya di deretan paling depan.
"Kuminta kalian jangan menjerit," kata Lockhart dengan suara rendah. "Jeritan kalian bisa mem-provokasi mereka." Sementara seluruh kelas menahan napas, Lockhart menyentakkan selubungnya. "Ya," katanya dramatis. "Pixie Cornwall yang baru ditangkap." Seamus Finnigan tak bisa lagi menahan diri. Dia mengeluarkan dengus tawa yang bahkan oleh Lockhart sekalipun tak bisa ditafsirkan sebagai jerit ketakutan. "Ya"" dia tersenyum kepada Seamus. "Eh, mereka tidak- mereka tidak begitu-berbahaya, kan"" Seamus tersedak. "Jangan begitu yakin!" kata Lockhart, menggoyang-goyangkan jari dengan menjengkelkan kepada Seamus. "Mereka bisa jadi makhluk pembinasa yang sangat licik!"
Pixie-pixie itu berwarna biru elektrik, tingginya kira-kira dua
puluh senti, dengan wajah runcing dan suara melengking
tinggi, sehingga rasanya seperti mendengar serombongan
burung parkit yang sedang bertengkar. Begitu selubungnya
dibuka, mereka mu-lai mengoceh dan meluncur ke sana
kemari, meng-goyang-goyang jeruji sangkar dan mengernyitngernyitkan
muka ke anak-anak yang ada di dekat mereka.
"Baiklah," kata Lockhart. "Kita lihat bisa kalian apa-kan
mereka!" Dan dibukanya sangkar itu.
Keadaan jadi amat kacau-balau. Pixie-pixie itu me-luncur ke segala jurusan seperti roket. Dua di antara-nya memegang telinga Neville dan mengangkatnya ke atas. Beberapa di antaranya melesat menerobos jendela, menghujani deretan belakang dengah pecahan kaca. Sisanya menghancurkan kelas lebih efektif dari-pada serangan badak bercula satu. Mereka menyambar botol-botol tinta dan menyemprot kelas dengan tinta-nya, merobek-robek buku-buku dan kertas, menarik lepas gambar-gambar dari dinding, membalikkan keranj angker anjang sampah, menyambar tas dan buku-buku dan melemparkannya keluar dari jendela yang kacanya pecah. Dalam beberapa menit saja se-paro kelas sudah berlindung di bawah meja dan Neville berayun dari kandil di langit-langit. "Ayo, tangkap mereka, kumpulkan, kumpulkan, me-reka cuma pixie...," Lockhart berteriak-teriak. Dia menggulung lengan jubahnya, melambaikan tongkatnya dan berseru, "Peskipiksi Pesternomi!"
Sama sekali tak ada pengaruhnya. Salah satu pixie itu merebut tongkat Lockhart dan melemparkannya keluar jendela juga. Lockhart menelan ludah dan bersembunyi di bawah mejanya sendiri, nyaris saja gepeng kejatuhan Neville, yang terjatuh sedetik kemu-dian karena kandilnya terlepas. Bel berbunyi dan semua berebut berlari ke pintu. Dalam ketenangan yang menyusul, Lockhart berdiri, melihat Harry, Ron, dun Hermione yang hampir sampai di pintu, dan berkata, "Nah, kuminta kalian bertiga menangkap sisanya dan memasukkannya kem-bali ke dalam sangkar." Dia melewati mereka dan cepat-cepat menutup pintu di belakangnya. "Kalian percaya dia"" raung Ron kesakitan, ketika salah satu pixie yang tersisa menggigit telinganya. "Dia cuma ingin memberi kita pengalaman lang-sung," kata Hermione, membuat dua pixie tak bisa bergerak dengan Mantra Pembeku dan menjejalkan mereka kembali ke dalam sangkar.
"Pengalaman langsung"" kata Harry, yang berusaha menangkap pixie yang menari-nari menjauh dengan lidah terjulur. "Hermione, dia sama sekali tidak tahu apa yang dilakukannya."
"Omong kosong," kata Hermione. "Kau sudah mem-baca buku-bukunya-lihat saja hal-hal luar biasa yang sudah dilakukannya..."
"Yang katanya sudah dilakukannya," gumam Ron.
7 Darah-Lumpur Dan B isikan-Bisikan SELAMA beberapa hari sesudahnya, Harry melewat-kan banyak waktu untuk menghindar setiap kali me-lihat Gilderoy Lockhart muncul di ujung koridor. Yang lebih sulit dihindari adalah Colin Creevey, yang ke-lihatannya telah menghafal jaal Harry. Tak ada yang lebih membahagiakan bagi Colin daripada ber-kata, "Baik-baik saja, Harry"" enam atau tujuh kali sehari dan mendengar, "Halo, Colin," sebagai balasan-nya, betapa pun jengkelnya Harry ketika mengucap-kannya. Heig masih marah kepada Harry soal perjalanan dengan mobil yang mendatangkan malapetaka itu, dan tongkat Ron masih tak bisa digunakan dengan benar, bahkan melampaui batas kemampuannya de-ngan meluncur lepas dari tangan Ron dalam pelajaran Jimat dan Guna-guna dan memukul Profesor Flitwick yang mungil tepat di antara kedua matanya, men-ciptakan bisul hijau besar yang berdenyut-denyut. Maka, dengan begitu banyak kejadian, Harry cukup senang ketika akhir pekan tiba. Dia, Ron, dan Hermione merencanakan akan mengunjungi Hagrid pada hari Sabtu pagi. Meskipun demikian, Oliver Wood, kapten tim Quidditch Gryffindor, membangun-kan Harry dengan mengguncang-guncang tubuhnya beberapa jam lebih awal dari yang dikehendakinya. "Adapa"" tanya Harry agak pusing. "Latihan Quidditch!" kata Wood, "Ayo!" Masih mengantuk Harry memandang lewat jendela. Kabut tipis menggantung di langit merah Jingga. Se-karang setelah bangun, Harry heran bagaimana dia bisa tidur terus padahal burung-burung berkicau begitu ramai. "Oliver," kata Harry serak, "masih subuh." "Persis," kata Wood. Oliver Wood anak kelas enam yang tinggi besar dan pada saat ini, matanya berkilat dengan antusiasme gila-gilaan. "Ini bagian dari pro-gram latihan baru kita. Ayo, ambil sapumu dan kita berangkat," kata Wood penuh semangat. "Tim yang lain belum ada yang mulai latihan. Kita yang akan mulai nomor satu tahun ini...." Menguap dan sedikit bergidik kedinginan, Harry turun dari tempat tidurnya dan berusaha mencari jubah Quidditch-nya. "Bagus," kata Wood. "Kita ketemu di lapangan lima belas menit lagi."
Setelah menemukan jubah merah tua seragam tim-nya dan memakainya di atas jubah biasanya supaya hangat, Harry menulis pesan untuk Ron, menjelaskan ke mana dia pergi, ia menuruni tangga spiral ke ruang rekreasi dengan Nimbus Dua Ribu bertengger di bahunya. Dia baru tiba di lubang lukisan ketika terdengar bunyi berkelontang di belakangnya dan Colin Creevey muncul berlarian menuruni tangga spi-ral, kameranya berayun liar di lehernya dan tangannya menggenggam sesuatu.
"Aku dengar ada yang menyebut namamu di tangga, Harry! Lihat nih apa yang kubawa! Sudah kucetak, aku ingin menunjukkannya padamu..."
Harry melongo melihat foto yang dikibar-kibarkan Colin di depan hidungnya.
Foto hitam-putih Lockhart yang bergerak, sedang menarik kuat-kuat lengan yang dikenali Harry sebagai lengannya sendiri. Harry senang melihat fotonya me-lawan sekuat tenaga dan menolak ditarik supaya ke-lihatan dalam foto. Sementara Harry mengawasi, Lockhart menyerah dan merosot terengahengah pada pinggiran putih foto.
"Maukah kau menandatanganinya"" tanya Colin pe-nuh semangat.
"Tidak," kata Harry tegas, melihat berkeliling untuk memastikan ruangan itu benar-benar kosong. "Sori, Colin, aku sedang buru-buru-latihan Quidditch."
Harry memanjat keluar lewat lubang lukisan.
"Oh, wow! Tunggu aku! Aku belum pernah me-nonton
Quidditch!" Colin merayap keluar lubang mengikutinya. "Kau
akan bosan," kata Harry cepat-cepat, tetapi
Colin mengabaikannya, wajahnya bercahaya saking
bersemangatnya. "Kau pemain termuda selama seratus tahun ini, iya, kan, Harry" Iya, kan"" kata Colin, melangkah menjajarinya. "Kau pasti hebat. Aku belum pernah terbang. Gampang tidak" Apa itu sapumu sendiri" Apa itu sapu terhebat yang pernah ada"" Harry tak tahu bagaimana caranya menyingkirkan Colin. Rasanya seperti punya bayangan yang sangat cerewet. "Aku sebetulnya tak paham Quidditch," kata Colin tersengal. "Betulkah ada empat bola" Dan dua di antaranya terbang berputar-putar berusaha memukul jatuh pemain dari sapunya""
"Ya," kata Harry enggan, akhirnya menyerah dan menjelaskan peraturan Qui
dditch yang rumit. "Dua bola itu namanya Bludger. Masing-masing tim punya dua Beater yang membawa pemukul untuk memukul Bludger jauh-jauh dari tim mereka. Fred dan George Weasley adalah Beater Gryffindor." "Dan untuk apa bola-bola yang lain"" tanya Colin, hampir jatuh melompati dua anak tangga sekaligus karena terpesona memandang Harry.
"Quaffle-bola besar yang merah-adalah bola yang mencetak gol. Tiga Chaser dari masing-masing tim saling lempar Quaffle dan berusaha memasukkannya ke tiang gol di ujung lapangan-ada tiga tiang tinggi dengan lingkaran di puncaknya." "Dan bola keempat..."
"...itu yang namanya Golden Snitch," kata Harry. "Bola ini sangat kecil, sangat cepat, dan sulit di-tangkap. Tapi itulah tugas Seeker, karena pertandingan Quidditch tidak berakhir sampai Snitch-nya berhasil ditangkap. Dan tim yang Seekernya berhasil me-nangkap Snitch mendapat tambahan angka seratus lima puluh."
"Dan kau Seeker Gryffindor, kan"" kata Colin ter-pesona. "Ya," kata Harry, ketika mereka meninggalkan kastil dan berjalan di atas rumput berembun. "Dan masih ada Keeper. Dia menjaga gawang. Hanya itu." Tetapi Colin tidak berhenti menanyai Harry se-panjang jalan dari padang rumput yang melandai sampai ke lapangan Quidditch, dan Harry baru ber-hasil lepas darinya ketika tiba di kamar ganti. Colin berteriak dengan suara melengking, "Aku akan cari tempat duduk yang enak, Harry!" dan bergegas ke tribune.
Anggota tim Gryffindor lainnya sudah ada di dalam kamar ganti. Wood satu-satunya yang betul-betul ter-jaga. Fred dan George Wesley duduk dengan mata sembap dan rambut awutawutan di sebelah anak kelas empat, Alicia Spinnet, yang terkantuk-kantuk bersandar ke dinding di belakangnya. Teman sesama Chaser-nya, Katie Bell dan Angelina Johnson, duduk bersebelahan di hadapan mereka. Keduanya menguap. "Akhirnya muncul juga kau, Harry, kenapa sih lama benar"" tanya Wood tajam. "Nah, aku ingin bicara sebentar dengan kalian semua sebelum kita ke ia-pangan, karena aku melewatkan musim panas dengan menciptakan program latihan baru, yang kurasa akan membuat perbedaan besar..." Wood memegang diagram besar lapangan Quidditch. Pada diagram itu tergambar banyak garis, panah, dan tanda silang dengan tinta berbeda warna. Dia mengambil tongkatnya, mengetuk papan, dan panah-panah itu mulai bergerak meliuk di atas papan seperti ulat. Sementara Wood berpidato tentang taktik barunya, kepala Fred Weasley terkulai ke bahu Alicia Spinnet dan dia mulai mendengkur.
Perlu hampir dua puluh menit untuk menjelaskan papan
pertama, tetapi ada papan lain di bawahnya, dan papan ketiga


Harry Potter Dan Kamar Rahasia Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di bawah yang kedua itu. Harry serasa melayang sementara
Wood terus mengoceh membosankan.
"Nah," kata Wood akhirnya, mengagetkan Harry yang
sedang berkhayal apa yang bisa dimakannya untuk sarapan di
kastil saat ini. "Sudah jelas" Ada pertanyaan""
"Aku mau tanya, Oliver," kata George, yang terba-ngun
kaget. "Kenapa sih kau tidak menjelaskan semua ini kepada
kami kemarin sewaktu kami masih segar""
Wood tidak senang. "Dengar, kalian semua," katanya, mendelik galak kepada mereka, "kita seharusnya memenangkan Piala Quidditch tahun lalu. Kita kan tim yang paling kuat. Tetapi sayangnya, karena situasi di luar kontrol..."
Harry merasa bersalah. Dia terbaring pingsan di rumah
sakit selama pertandingan final tahun ajaran lalu, yang berarti
Gryffindor kekurangan satu pemain dan menderita kekalahan
paling parah dalam tiga ratus tahun terakhir.
Wood berusaha menguasai diri. Kekalahan terakhir mereka
jelas masih membuatnya tersiksa.
"Maka tahun ini, kita berlatih lebih keras dari
se-belumnya... Oke, ayo berangkat dan mempraktekkan teori
baru tadi!" Wood berteriak, menyambar sapunya dan
mendahului keluar dari kamar ganti. Dengan kaki kaku dan
masih menguap, anggota timnya mengikuti.
Agaknya mereka berada di dalam kamar ganti lama sekali,
sehingga matahari sudah benar-benar terbit sekarang,
meskipun sisa-sisa kabut masih melayang di atas rumput
stadion. Ketika Harry berjalan ke lapangan, dia melihat Ron
dan Hermione duduk di tribune.
"Kalian belum selesai"" tanya Ron heran.
"Mulai saja belum," kata Harry, memand
ang iri pada roti panggang berselai yang dibawa Ron dan Hermione dari Aula
Besar. "Wood tadi mengajari kami taktik baru."
Harry naik ke sapunya dan menjejak tanah, me-lesat ke
udara. Udara pagi yang sejuk menerpa wajah-nya,
membangunkannya jauh lebih efektif daripada pidato panjang
Wood. Asyik rasanya kembali ke ia-pangan Quidditch. Dia
terbang mengelilingi stadion dengan kecepatan penuh,
berlomba dengan Fred dan George.
"Bunyi ceklak-ceklik aneh apa itu"" seru Fred ketika mereka meluncur dengan cepat di sudut stadion. Harry memandang ke tribune. Colin duduk di salah satu tempat duduk yang paling tinggi, kameranya terangkat, tak putus-putusnya memotret, bunyinya di-perbesar secara aneh di stadion kosong itu.
"Lihat sini, Harry! Ke arah sini!" teriaknya nyaring. "Siapa itu"" tanya Fred.
"Entahlah," Harry berbohong, menambah kecepatan yang membawanya sejauh mungkin dari Colin. "Ada apa sih"" tanya Wood, mengerutkan kening, seraya meluncur di udara menuju mereka. "Kenapa anak kelas satu itu memotret" Aku tidak suka. Siapa tahu dia mata-mata Slytherin, mencoba mencari tahu tentang program latihan baru kita."
"Dia anak Gryffindor," kata Harry cepat-cepat.
"Dan tim Slytherin tidak perlu mata-mata, Oliver," kata
George. "Kenapa kau bilang begitu"" kata Wood curiga.
"Karena mereka sendiri ada di sini," kata
George,-menunjuk. Beberapa anak berjubah hijau berjalan
memasuki lapangan, dengan sapu di tangan. "Aku tidak
percaya!" Wood mendesis berang. "Aku sudah pesan lapangan
untuk hari ini! Coba kita lihat!"
Wood menukik ke tanah, mendarat lebih keras dari-pada yang diinginkan dalam kemarahannya. Dia ter-huyung sedikit ketika turun dari sapunya. Harry, Fred, dan George mengikuti. "Flint!" Wood berteriak kepada kapten Slytherin. "Ini waktu latihan kami! Kami khusus bangun pagi! Kalian menyingkir dulu!"
Marcus Flint bahkan lebih besar daripada Wood. Wajahnya licik seperti troli ketika dia menjawab, "Ada banyak tempat untuk kita semua, Wood."
Angelina, Alicia, dan Katie juga sudah mendekat. Tak ada anak perempuan di tim Slytherin-yang ber-diri berdempetan bahu, menghadapi tim Gryffindor. Mereka saling lirik. "Tapi aku sudah memesan lapartgan!" kata Wood, marah sekali. "Sudah kupesan!" "Ah," kata Flint, "tapi aku bawa surat izin khusus dengan tanda tangan dari Profesor Snape. Aku, Profesor
S. Snape, memberi izin tim Slytherin untuk berlatih hari ini di lapangan Quidditch, mengingat perlunya melatih Seeker baru mereka."
"Kalian punya Seeker baru"" kata Wood, perhatian-nya teralih. "Mana""
Dan dari belakang enam anak bertubuh besar itu muncul anak ketujuh yang lebih kecil, wajahnya yang pucat dan runcing dihiasi seringai lebar. Draco Malfoy. "Bukankah kau anak Lucius Malfoy"" tanya Fred, memandang Malfoy dengan benci.
"Lucu juga kau menyebut-nyebut ayah Draco," kata Flint, ketika seluruh tim Slytherin menyeringai semakin lebar. "Biar kutunjukkan kepada kalian hadiah yang dengan murah hati diberikannya kepada tim Slytherin." Ketujuh anak itu mengacungkan sapu mereka. Tujuh gagang baru dengan polesan berkilat dan tujuh tulisan emas berbunyi "Nimbus Dua Ribu Satu" berkilau cemerlang tertimpa cahaya matahari pagi di depan hidung tim Gryffindor. "Model paling akhir. Baru keluar tahun lalu," kata Flint sambil lalu, menjentik setitik debu dari ujung sapunya. "Jauh lebih unggul dari seri Nimbus Dua Ribu. Sedangkan Sapubersih yang tua," dia tersenyum menyebalkan pada Fred dan George, yang dua-duanya memegang Sapu-bersih Lima, "paling cocok untuk menyapu lantai." Tak seorang pun dari tim Gryffindor bisa bicara selama beberapa saat. Malfoy menyeringai lebar sekali, sampai matanya tinggal segaris.
"Oh, lihat," kata Flint. "Penyerbuan lapangan." Ron dan Hermione menyeberangi lapangan rumput, ingin tahu apa yang terjadi. "Ada apa"" Ron menanyai Harry. "Kenapa kau tidak main" Dan apa yang dia lakukan di sini"" Ron memandang Malfoy, melihat jubah seragam Quidditch Slytherin-nya.
"Aku Seeker baru Slytherin, Weasley," kata Malfoy sombong. "Semua sedang mengagumi sapu baru tim kami yang dibelikan ayahku."
Ron ternganga memandang tujuh sapu super di depannya
. "Bagus, kan"" kata Malfoy lancar. "Tapi mungkin tim
Gryffindor bisa mengumpulkan emas dan membeli sapu baru
juga. Kau bisa melelang Sapu-bersih Lima. Kurasa ada
museum yang mau menawarnya."
Tim Slytherin tertawa terbahak-bahak.
"Paling tidak, tak seorang pun anggota tim Gryffindor yang
harus menyuap untuk bisa masuk," celetuk Hermione tajam.
"Mereka dipilih karena me-mang mampu."
Kepuasan di wajah Malfoy lenyap. "Tak ada yang minta
pendapatmu, Darah-lumpur kotor," umpatnya.
Harry langsung tahu Malfoy telah mengatakan se-suatu
yang benar-benar kelewatan karena tiba-tiba saja terjadi
kelibutan. Flint harus menukik ke depan Malfoy untuk mencegah Fred dan George melompat menyerangnya. Alicia berteriak, "Berani-beraninya kau!" Dan Ron memasukkan tangannya ke dalam jubah, menarik keluar tongkatnya, sambil berteriak, "Kau harus membayarnya, Malfoy!" Dia mengacung-kan tongkatnya dengan murka, melewati lengan Flint, ke wajah Malfoy.
Terdengar ledakan keras yang bergema di stadion dan
seberkas sinar hijau meluncur dari ujung tongkat-nya yang
salah, menyambar perut Ron sendiri dan membuatnya jatuh
terjengkang di rerumputan.
"Ron! Ron! Kau tak apa-apa"" jerit Hermione.
Ron membuka mulut untuk bicara, tetapi tak ada suara
yang keluar. Dia malah bersendawa keras dan beberapa siput
berjatuhan dari mulutnya ke pangkuan-nya.
Tim Slytherin tertawa terbahak-bahak. Flint sampai
terbungkuk-bungkuk, bertumpu pada sapu barunya. Malfoy
merangkak, memukul-mukul tanah dengan tinjunya. Anakanak
Gryffindor berkerumun menge-lilingi Ron, yang tak hentihentinya
bersendawa siput-siput besar berkilat. Tak seorang
pun tampaknya mau menyentuh Ron.
"Lebih baik kita membawanya ke pondok Hagrid, yang
paling dekat," kata Harry kepada Hermione, yang
mengangguk dengan berani. Berdua mereka me-mapah Ron.
"Ada apa, Harry" Ada apa" Apa dia sakit" Tapi kau bisa
menyembuhkannya, kan"" Colin sudah berlari turun dari
tempat duduknya dan sekarang berjalan mengiringi mereka
meninggalkan lapangan. Ron bersendawa keras dan beberapa
siput berjatuhan lagi dari mulutnya. "Oooh," kata Colin
terpesona dan mengangkat kameranya. "Bisakah kaupegangi
dia, Harry"" "Minggir, Colin!" kata Harry marah. Dia dan Hermione membantu Ron meninggalkan stadion dan menyeberang halaman menuju ke tepi hutan.
"Hampir sampai, Ron," kata Hermione, ketika pon-dok si pengawas binatang liar tampak. "Kau akan baik sebentar lagi... hampir sampai..."
Mereka sudah tinggal kita-kira enam meter dari pondok Hagrid ketika pintunya terbuka, tetapi bukan Hagrid yang muncul. Gilderoy Lockhart, memakai jubah lembayung muda hari ini, keluar.
"Cepat, ke belakang sini," desis Harry, menarik Ron ke belakang semak di dekat situ. Hermione mengikuti, dengan agak enggan.
"Gampang kalau kau tahu caranya!" Lockhart ber-kata keras-keras kepada Hagrid. "Kalau perlu ban-tuan, kau tahu di mana aku! Kuberi kau nanti satu bukuku-aku heran kau sama sekali belum punya. Akan kutandatangani satu malam ini dan kukirim ke sini. Nah, selamat tinggal!" Dan dia berjalan menuju kastil.
Harry menunggu sampai Lockhart tak kelihatan lagi. Kemudian ditariknya Ron dari balik semak dan dibawanya ke pintu depan pondok Hagrid. Mereka mengetuk dengan tegang. Hagrid segera muncul, kelihatan jengkel sekali, te-tapi wajahnya berubah cerah setelah tahu siapa yang datang. "Sudah tanya-tanya kapan kalian datang tengok aku- masuk, masuk-kukira Profesor Lockhart balik lagi." Harry dan Hermione memapah Ron masuk ke pon-dok satu-ruangan itu. Di satu sudutnya ada tempat tidur besar sekali, dan di sudut lainnya perapian yang menyala-nyala cerah. Hagrid tidak bingung men-dengar masalah Ron, yang cepat-cepat dijelaskan Harry sambil mendudukkan Ron di kursi.
"Lebih baik keluar daripada masuk," kata Hagrid riang sambil menaruh baskom tembaga besar di depan Ron.
"Keluarkan semua, Ron."
"Kurasa tak ada yang bisa kita lakukan selain me-nunggu sampai berhenti sendiri," kata Hermione ce-mas, mengawasi Ron yang membungkuk di atas bas-kom. "Itu kutukan yang sulit dilakukan bahkan pada saat kondisi kita sedang sangat baik, tapi dengan tongkat yang patah..." Hagrid sibu
k membuatkan teh untuk mereka. Anjing besarnya, Fang, menjilat-jilat Harry. "Apa yang diinginkan Lockhart darimu, Hagrid"" tanya Harry sambil menggaruk-garuk belakang telinga Fang. "Beri aku nasihat keluarkan kelpie dari sumur," geram Hagrid. Dia menyingkirkan ayam jantan yang se-tengah dicabuti bulunya dari atas mejanya yang bersih berkilat dan meletakkan teko teh. Kelpie adalah hantu air, biasanya berwujud kuda, dalam cerita-cerita rakyat Skotlandia. "Dikira aku tak tahu. Dan dia sombongkan bisa usir Banshee. Kalau omongannya satu kata saja benar, kumakan ceretku." Tidak biasanya Hagrid mengkritik guru Hogwarts dan Harry memandangnya keheranan. Hermione, se-baliknya, berkata dengan suara yang lebih tinggi dari biasanya, "Kurasa kau agak tidak adil. Profesor Dumbledore jelas menganggapnya orang terbaik untuk pekerjaannya..." "Dia satu-satunya orang untuk pekerjaan itu," kata Hagrid, menawari mereka sepiring gulali, sementara Ron terbatukbatuk ke dalam baskomnya. "Dan maksudku betul-betul satusatunya. Susah cari orang untuk ngajar Pertahanan terhadap Ilmu Hitam. Orang tak suka pelajari itu, soalnya. Mereka mulai pikir itu bawa sial. Tak ada yang tahan lama. Coba cerita," kata Hagrid, mengedikkan kepala ke arah Ron, "siapa yang dia mau kutuk""
"Malfoy mengatai Hermione sesuatu. Pastilah se-suatu yang
buruk, karena semua jadi marah."
"Memang buruk," kata Ron serak, muncul ke atas meja,
pucat dan berkeringat. "Malfoy mengatai dia 'darah-lumpur',
Hagrid..." Ron menukik menghilang dari pandangan lagi ke-tika segerombolan siput muncul. Hagrid kelihatan murka. "Dia bilang begitu"" geramnya kepada Hermione. "Ya," kata Hermione. "Tetapi aku tak tahu apa maksudnya. Hanya bisa kutebak itu umpatan kasar..."
"Itu penghinaan paling besar yang bisa dipikirkan-nya," sengal Ron, muncul lagi. "Darah-lumpur adalah umpatan kasar untuk orang yang kelahiran-Muggle- kau tahu, kan, yang orangtuanya bukan penyihir. Ada penyihir-seperti keluarga Malfoy-yang menganggap mereka lebih baik dari yang lain karena mereka termasuk golongan yang disebut darah-murni." Ron bersendawa kecil, dan satu siput jatuh ke tangan-nya yang terulur. Dilemparkannya siput itu ke dalam baskom dan dia melanjutkan, "Maksudku, kita, pe-nyihir yang lain, tahu itu tidak ada pengaruhnya sama sekali. Lihat saja Neville Longbottom-dia darah-murni, tapi menaruh kuali dengan benar saja dia nyaris tak bisa." "Dan mereka belum temukan mantra yang tak bisa dilakukan Hermione kita ini," kata Hagrid bangga, membuat wajah Hermione langsung semburat merah. "Darah-lumpur sungguh umpatan yang tak pantas diucapkan," kata Ron, menyeka dahinya yang ber-keringat dengan tangan gemetar. "Darah kotor, artinya. Darah biasa. Gila. Sebagian besar penyihir sekarang ini toh berdarahcampuran. Kalau kita tidak menikah dengan Muggle, kita pasti sudah punah."
Ron membungkuk dan muntah lagi. "Yah, aku tidak salahkan kau, kaucoba kutuk dia, Ron," kata Hagrid keras, mengatasi bunyi siput yang berjatuhan ke baskom. "Tapi mungkin ada baiknya tongkatmu serang balik
kau sendiri. Pasti Lucius Malfoy akan datang ke sekolah kalau kau berhasil kutuk anaknya. Dengan begini paling tidak kau tidak dihukum."
Harry sebetulnya ingin mengatakan bahwa hu-kuman tidak lebih buruk daripada hujan siput dari mulut, tapi dia tak bisa bicara. Gulali Hagrid telah menyemen rapat rahangnya. "Harry," kata Hagrid tiba-tiba, seakan mendadak teringat sesuatu. "Aku protes. Kudengar kau bagi-bagikan foto bertanda langan. Kenapa aku tidak di-kasih"" Dengan berang, Harry melepas gigi-giginya yang menempel. "Aku tidak membagikan foto bertanda tangan," kata-nya marah. "Kalau Lockhart masih ngomong soal..." Tetapi kemudian dilihatnya Hagrid tertawa. "Aku cuma bergurau," katanya, menepuk-nepuk punggung Harry dengan riang, membuat wajah Harry terantuk meja. "Aku tahu kau tidak bagikan foto. Aku bilang Lockhart kau tak perlu begitu. Kau sudah lebih terkenal dari dia tanpa berusaha."
"Pasti dia tidak suka mendengarnya," kata Harry duduk tegak lagi dan menggosok-gosok dagunya. "Memang tidak," kata Hagrid, matanya bercahaya. "Lalu aku bilang aku belu
m pernah baca bukunya dan dia putuskan pergi saja. Gulali, Ron"" dia me-nambahkan ketika Ron muncul lagi.
"Tidak, terima kasih," kata Ron lemah. "Lebih baik tidak ambil risiko."
"Ayo, kita lihat apa yang kutanam," ajak Hagrid ketika
Harry dan Hermione sudah menghabiskan teh mereka.
Di kebun sayur kecil di belakang pondok Hagrid ada selusin
labu kuning paling besar yang pernah dilihat Harry. Masingmasing
sebesar gundukan batu besar.
"Tumbuh bagus, ya," kata Hagrid gembira. "Buat pesta Hallowe'en... sudah cukup besar nanti." "Kauberi makan apa mereka"" tanya Harry.
Hagrid menoleh untuk memastikan mereka sen-dirian. "Yah, aku memberi mereka-kau tahu-sedikit ban-tuan." Harry melihat payung merah jambu kembang-kembang Hagrid bersandar di dinding belakang pon-dok. Harry punya alasan untuk menduga bahwa pa-yung ini bukan payung biasa. Malah dia punya dugaan kuat tongkat tua Hagrid dari zaman sekolah disembunyikan di dalamnya. Hagrid sebetulnya tidak boleh menggunakan sihir. Dia dikeluarkan dari Hogwarts dalam tahun ketiganya, tetapi Harry belum berhasil tahu kenapa. Setiap kali menyebut soal itu, Hagrid akan berdeham keras-keras dan jadi tuli secara misterius sampai topik pembicaraan diubah.
"Jampi-jampi Pembengkakan, kan"" kata Hermione, setengah mencela, setengah geli. "Wah, kau berhasil sekali." "Itu yang dikatakan adikmu," kata Hagrid, mengangguk kepada Ron. "Baru ketemu dia kemarin." Hagrid melirik Harry, jenggotnya bergerak-gerak. "Katanya dia cuma mau lihat-lihat, tapi kukira dia harap ketemu seseorang di rumahku." Dia mengedip kepada Harry. "Kalau kau tanya aku, dia tidak akan tolak foto bertanda tangan..."
"Oh, tutup mulut," kata Harry. Ron terbahak dan siput berhamburan ke tanah. "Awas!" teriak Hagrid, menarik Ron menjauh dari labu kuningnya yang sangat berharga. Saat itu sudah hampir makan siang dan karena Harry baru makan sepotong kecil gulali, dia sudah ingin kembali ke sekalah untuk makan. Mereka mengucapkan selamat tinggal kepada Hagrid dan ber-jalan kembali ke kastil. Ron cegukan dari waktu ke waktu, tetapi hanya mengeluarkan dua siput yang sangat kecil.
Baru saja mereka melangkah memasuki Aula Depan yang sejuk, terdengar suara keras. "Di sini rupanya kalian, Potter,
Weasley." Profesor McGonagall berjalan mendekati mereka, tampangnya galak. "Kalian berdua akan menjalani detensi malam ini."
"Apa yang harus kami lakukan, Profesor"" kata Ron, dengan gugup menahan agar tidak bersendawa. "Kau akan menggosok perak di ruang piala dengan Mr Filch," kata Profesor McGonagall. "Dan dilarang pakai sihir, Weasley-pakai pelumas biasa."
Ron menelan ludah. Argus Filch, si penjaga sekolah, dibenci semua murid.
"Dan kau, Potter, akan membantu Profesor Lockhart menjawab surat-surat penggemarnya," kata Profesor McGonagall.
"Oh, tidak-bolehkah saya ke ruang piala saja"" tanya Harry putus asa.
"Jelas tidak," kata Profesor McGonagall, alisnya ter-angkat. "Profesor Lockhart khusus memintamu. Pukul delapan tepat, jangan terlambat."
Harry dan Ron berjalan gontai dan murung ke Aula Besar. Hermione di belakang mereka, ekspresi wajahnya seakan mengatakan kalian-memang-melanggar-peraturan-sekolah. Harry kehilangan nafsu makannya saat dia menghadapi pai dagingnya. Dia dan Ron beranggapan detensi masing-masing lebih berat dari yang lain.
"Filch akan mengawasiku sepanjang malam," keluh Ron. "Tak boleh pakai sihir! Paling sedikit ada seratus piala dalam ruangan itu. Aku parah kalau mem-bersihkan memakai cara Muggle."
"Aku mau tukar kapan saja," kata Harry hampa. "Aku sudah terlatih dengan keluarga Dursley. Men-jawab surat-surat penggemar Lockhart... mengerikan sekali...." Sabtu sore berlalu dengan cepat, dan tiba-tiba saja sudah pukul delapan kurang lima menit. Harry me-nyeret kakinya sepanjang koridor lantai dua menuju kantor Lockhart. Dia mengertakkan gigi dan mengetuk.
Pintu langsung terbuka. Lockhart tersenyum kepada-nya. "Ah, ini dia...!" katanya. "Masuk, Harry masuk." Berkilauan di dinding disinari cahaya banyak lilin, berderet tak terhitung foto Lockhart. Beberapa di antaranya bahkan ditandatanganinya. Setumpuk tinggi lainnya ada di mejan
ya. "Kau boleh menulis alamat di amplopnya!" kata Lockhart kepada Harry, seakan ini sesuatu yang sangat menyenangkan. "Yang pertama ini untuk Gladys Gudgeon-penggemar beratku."
Waktu berlalu amat lambat. Harry membiarkan saja Lockhart ngoceh sendiri, kadang-kadang saja dia me-nimpali dengan, "Mmm," dan "Baik," dan "Yeah." Sekali-sekali dia mendengar ungkapan seperti, "Ke-tenaran itu seperti teman yang berubah-ubah, Harry," atau "Selebriti jadi selebriti kalau bersikap seperti se-lebriti, ingat itu." Lilin-lilin terbakar makin lama makin pendek, mem-buat cahayanya menari-nari di atas banyak wajah Lockhart yang memandangnya. Harry menggerakkan tangannya yang pegal di atas amplop yang rasanya sudah keseribu, menulis alamat Veronica Smethley. Pasti sudah hampir tiba waktunya pulang, pikir Harry merana, mudah-mudahan segera tiba waktu pulang....
Dan kemudian dia mendengar sesuatu-sesuatu yang lain daripada desis lilin-lilin yang hampir padam dan ocehan Lockhart tentang penggemarnya.
Ada suara, suara yang bisa membekukan tulang sumsum, suara penuh kebencian, sedingin es. "Sini... datanglah padaku... biar kurobek kau... biar kubunuh kau..."
Harry tersentak kaget dan setetes besar tinta ungu muncul
di alamat Veronica Smethley. "Apa"" katanya keras-keras.
"Aku tahu!" kata Lockhart. "Enam bulan penuh di puncak tangga bestseller! Memecahkan semua rekor!" "Bukan," kata Harry kalut. "Suara tadi!" "Maaf"" kata Lockhart, kelihatan bingung. "Suara apa"
"Su-suara yang mengatakan-apakah Anda tidak mendengarnya"" Lockhart memandang Harry dengan amat heran. "Apa yang kaubicarakan, Harry" Mungkin kau sudah mengantuk" Astaga-nyaris tengah malam! "Kita sudah di sini hampir empat jam! Aku tak percaya- waktu berlalu bagai terbang, ya""
Harry tidak menjawab. Dia menajamkan telinga untuk mendengar suara itu lagi, tapi sekarang yang terdengar hanyalah suara Lockhart memberitahunya bahwa dia tak boleh mengharapkan hadiah me-nyenangkan seperti ini setiap kali dia mendapat detensi. Harry pulang dengan linglung. Sudah larut sekali sehingga ruang rekreasi Gryffindor sudah hampir kosong. Harry langsung ke kamarnya. Ron belum kembali. Harry memakai piama-nya naik ke atas tempat tidur, dan menanti. Setengah jam kemudian Ron pulang, memijatmijat lengan kanannya dan membawa bau pelitur ke dalam kamar yang gelap.
"Ototku sakit semua," keluh Ron, menjatuhkan diri ke tempat tidurnya. "Empat belas kali aku harus menggosok Piala Quidditch itu sebelum dia puas. Dan kemudian aku dapat serangan siput lagi, me-muntahi Penghargaan Istimewa untuk Pengabdian ke-pada Sekolah. Lama sekali lendirnya baru bisa bersih. Bagaimana dengan Lockhart"" Dengan suara rendah agar tidak membangunkan Neville, Dean, dan Seamus, Harry menceritakan ke-pada Ron apa yang didengarnya.
"Dan Lockhart bilang dia tidak bisa mendengarnya"" kata Ron. Dalam cahaya bulan Harry bisa melihat kening Ron berkerut. "Apakah menurutmu dia bo-hong" Tapi aku tidak mengerti-bahkan orang yang tidak kelihatan pirn harus membuka pintu."
"Aku tahu," kata Harry, kembali berbaring di tempat tidur besarnya dan memandang langit-langit kelambu. "Aku juga tidak mengerti."
8 Hari Ulang Tahun Kematian
OKTOBER tiba, menyebar hawa dingin dan lembap di halaman dan ke dalam kastil. Madam Pomfrey, matron rumah sakit, disibukkan oleh wabah flu yang mendadak berjangkit di antara para staf dan murid-murid. Ramuan Mericamujarab-nya manjur sekali, meskipun yang meminumnya jadi mengeluarkan asap dari telinga selama beberapa jam sesudahnya. Ginny Weasley, yang sudah kelihatan pucat dan lesu, dipaksa minum oleh Percy. Asap yang bergulung dari bawah rambutnya memberi kesan bahwa seluruh kepalanya sedang terbakar.
Tetes-tetes air sebesar peluru memberondong j endelajendela kastil selama berhari-hari, air danau naik, petak-petak bunga berubah menjadi kolam lum-pur dan labu-labu kuning Hagrid membengkak men-jadi sebesar gudang alat-alat berkebun. Meskipun demikian, semangat Oliver Wood untuk tetap berlatih secara teratur tidaklah menyusut. Itulah sebabnya Harry, pada suatu Sabtu berbadai beberapa hari se-belum Hallowe'en, kembali ke Gr
yffindor dalam ke-adaan basah kuyup dan berlumur lumpur. Bahkan tanpa hujan dan angin, latihan mereka tadi bukan sesi yang menyenangkan. Fred dan George, yang sudah memata-matai tim Slytherin, telah melihat sendiri kecepatan Nimbus Dua Ribu Satu. Mereka melaporkan bahwa tim Slytherin menjadi tak lebih dari tujuh bayangan kehijauan, meluncur membelah udara secepat jet. Ketika Harry melangkah hati-hati sepanjang koridor kosong, dilihatnya ada yang tampaknya sedang ba-nyak pikiran seperti dirinya. Nick si Kepala-Nyaris-Putus, hantu Menara Gryffindor, sedang menatap mu-rung ke luar jendela, bergumam lirih, "...tidak me-menuhi persyaratan... satu senti, seandainya itu..."
"Halo, Nick," sapa Harry.
"Halo, halo," kata Nick si Kepala-Nyaris-Putus, ter-kejut dan menoleh. Dia memakai topi bulu indah di atas rambutnya yang ikal panjang, dan tunik dengan kerah rimpel, yang menyembunyikan fakta bahwa lehernya nyaris terpotong total. Dia sepucat asap, dan Harry bisa melihat menembusnya ke langit yang gelap dan hujan lebat di luar. "Kelihatannya kau sedang punya masalah, Potter," kata Nick, seraya melipat sehelai surat transparan dan menyelipkannya ke dalam saku baju ketatnya. "Kau juga," kata Harry.
"Ah," Nick si Kepala-Nyaris-Putus melambaikan ta-ngannya
yang indah. "Masalah kecil... bukannya aku
ingin sekali ikut... kupikir aku mengajukan permohonan,
tetapi rupanya aku 'tidak memenuhi persyaratan'." Walaupun
nada bicaranya ringan, wajahnya me-nyiratkan kekecewaan
besar. "Tapi kau akan berpendapat," katanya mendadak, menarik keluar lagi suratnya dari dalam sakunya, "bahwa dihantam empat puluh lima kali di leher dengan kapak tumpul akan membuatmu memenuhi syarat untuk ikut Perburuan Tanpa-Kepala, kan""
"Oh-ya," kata Harry, yang tahu ia diharapkan berkata ya. "Maksudku, tak ada yang lebih berharap dari aku sendiri bahwa pemenggalan itu berlangsung cepat dan mulus, dan kepalaku putus total. Maksudku, aku jadi tak perlu lama menderita sakit dan diolok-olok terus. Meskipun demikian..." Nick si Kepala-Nyaris-Putus mengibaskan suratnya hingga terbuka dan mem-bacanya dengan berang, "Kami hanya dapat menerima pemburu yang kepala-nya sudah terpisah dari tubuhnya. Anda tentu me-mahami bahwa kalau keadaannya tidak begitu, para anggota tidak akan bisa
berpartisipasi dalam kegiatan perburuan seperti Lempar-Kepala dari Punggung Kuda dan Polo Kepala. Karena itu dengan amat menyesal, saya harus menginformasikan kepada Anda bahwa Anda tidak memenuhi persyaratan kami. Dengan segala hor-mat, Sir Patrick Delaney-Podmore." Marah-marah, Nick si Kepala-Nyaris-Putus menying-kirkan suratnya.
"Satu senti kulit dan otot menahan kepalaku, Harry! Kebanyakan orang akan berpendapat itu sudah sama dengan terpenggal, tetapi oh tidak, itu belum cukup bagi Sir 'Pala Putus-Podmore."
Nick si Kepala-Nyaris-Putus menarik napas dalam-dalam beberapa kali dan kemudian berkata, dengan suara yang jauh lebih tenang, "Jadi-apa yang me-nyusahkanmu" Ada yang bisa kubantu""
"Tidak," kata Harry. "Tidak, kecuali kau tahu di mana kami bisa mendapatkan tujuh Nimbus Dua Ribu Satu gratis untuk pertandingan kami menghadapi Sly..." Sisa kalimat Harry tertelan oleh meongan yang melengking nyaring di dekat mata kakinya. Dia me-nunduk dan berpandangan dengan sepasang mata kuning yang menyorot bagai senter. Mrs Norris, kucing kurus abu-abu yang digunakan oleh si penjaga sekolah, Argus Filch, sebagai semacam wakilnya, dalam pertarungan tanpa henti melawan murid-murid.
"Lebih baik kau cepat pergi dari sini, Harry," kata Nick buru-buru. "Filch sedang marah-marah terus. Dia kena flu dan beberapa anak kelas tiga tanpa sengaja mengotori seluruh langit-langit ruang bawah tanah nomor lima dengan otak kodok. Dia mem-bersihkannya dari pagi dan kalau dia melihatmu menetes-neteskan lumpur di mana-mana..." "Betul," kata Harry, mundur menghindar dari pan-dangan menuduh Mrs Norris, tetapi tak cukup cepat. Tertarik ke tempat itu oleh kekuatan misterius yang kelihatannya menghubungkannya dengan kucingnya yang menyebalkan, Argus Filch mendadak muncul dari permadani gantung di sebelah kanan Harry, men-desah-desah
dan memandang liar berkeliling mencari si pelanggar aturan. Syal kotak-kotak tebal diikatkan ke kepalanya, dan hidungnya luar biasa ungu. "Kotoran!" dia berteriak, rahangnya bergetar, mata-nya mendelik mengerikan ketika dia menunjuk ge-nangan air berlumpur yang menetes-netes dari jubah Quidditch Harry. "Berantakan dan kotoran di mana-mana! Aku sudah muak! Ikut aku, Potter!"
Maka Harry melambai lesu mengucapkan selamat tinggal kepada Nick si Kepala-Nyaris-Putus dan turun kembali mengikuti Filch, membuat tapak berlumpur di lantai jadi dobel. Harry belum pernah berada dalam kantor Filch. Tempat itu dihindari sebagian besar anak-anak. Ruangan itu suram dan tak berjendela, disinari hanya oleh satu lampu minyak yang tergantung dari langit-langit yang rendah. Samar-samar bau ikan goreng memenuhi ruangan. Lemari arsip dari kayu berderet di sekeliling ruangan. Dari label-labelnya Harry tahu bahwa lemari itu berisi data rinci semua murid yang pernah dihukum Filch. Fred dan George Weasley pu-nya satu laci tersendiri. Koleksi rantai dan belenggu yang tergosok mengilap tergantung pada dinding di belakang meja Filch. Sudah rahasia umum bahwa Filch selalu meminta-minta kepada Dumbledore untuk mengizinkannya menghukum anakanak dengan menggantungnya dari langit-langit pada mata kakinya.
Filch meraih pena bulu dari pot di atas mejanya dan mulai mencari-cari perkamen. "Tinja binatang," gumamnya berang, "upil naga panas
besar-besar... otak kodok... usus tikus... sungguh
kelewatan... mana formulirnya... ya..."
Dia menarik keluar gulungan besar perkamen dari laci
mejanya dan membentangkannya di depannya, mencelupkan
pena bulu hitamnya yang panjang ke dalam botol tinta.
"Nama... Harry Potter. Kesalahan..."
"Cuma sedikit lumpur!" kata Harry.
"Cuma sedikit lumpur bagimu, Nak, tapi bagiku itu berarti
kerja tambahan satu jam menggosok lantai!" teriak Filch, ada
ingus yang sudah bergetar mau jatuh di ujung hidung
bawangnya, menjijikkan sekali. "Ke-salahan... membuat kotor
kastil... hukuman yang disaran-kan..."
Sambil mengelap hidungnya yang beringus, Filch
memandang galak Harry dengan mata menyipit. Harry
menunggu jatuhnya vonis hukumannya dengan napas
tertahan. Tetapi ketika Filch merendahkan penanya, terdengar GUBRAK! keras di langit-langit kantornya, hingga membuat lampu minyaknya bergoyang.
"PEEVES!" gerung Filch, membanting penanya de-ngan murka. "Kutangkap kau kali ini, kutangkap kau!" Dan tanpa menoleh kepada Harry, Filch berlari meninggalkan kantornya, Mrs Norris melesat mengiringinya. Peeves adalah hantu jail sekolah, makhluk melayang-layang menyeringai yang selalu menyebabkan mala-petaka dan kesulitan. Harry tidak begitu menyukai Peeves, tapi mau tak mau berterima kasih untuk gangguannya yang tepat waktu. Mudah-mudahan, apa pun yang dilakukan Peeves (dan kedengarannya dia telah merusakkan sesuatu yang besar kali ini) akan mengalihkan perhatian Filch dari Harry. Berpendapat bahwa dia mungkin harus menunggu kembalinya Filch, Harry duduk di kursi yang sudah dimakan ngengat di sebelah meja. Ada satu benda lain di atas meja selain formulirnya yang baru se-tengah terisi: amplop ungu besar berkilat dengan tulisan huruf-huruf perak di bagian depannya. Setelah melirik sekilas ke pintu untuk memastikan Filch tidak sedang berjalan kembali ke kantor, Harry mengambil amplop itu dan membacanya: MANTRAKILAT Kursus Sihir Tertulis untuk Pemula Tergugah rasa ingin tahunya, Harry membuka amplop itu dan menarik keluar setumpuk perkamen dari dalamnya. Tulisan meliuk-liuk warna perak di halaman depan berbunyi: Merasa terkucil dari dunia sihir modern" Sulit cari alasan untuk tidak melakukan mantra sederhana" Pernah diledek karena hasil sihiran tongkatmu yang menyedihkan" Ada solusinya!
Mantrakilat adalah kursus baru yang pantang-gagal, cepat-berhasil, mudah-dipelajari. Beratus-ratus penyihir telah mendapatkan manfaat metode Mantrakilat! Madam Z. Nettles dari Topsham menulis: "Aku tak pernah bisa menghafal mantra, dan ramuan buatanku selalu jadi bahan ejekan keluarga! Sekarang, setelah ikut kursus Mantrakilat, aku jadi pusat perhatian di pesta-pesta dan teman-t
emanku meminta resep Cairan Cemerlang-ku!" Penyihir DJ. Trod dari Didsbury berkata: "Istriku selalu mencibir melihat hasil sihiranku, tetapi sebulan setelah ikut kursus Mantrakilat yang hebat, aku berhasil mengubahnya menjadi yak! Terima kasih, Mantrakilat!" Yak adalah sejenis lembu berbulu panjang yang berasal dari Asia Tengah. Terpesona, Harry melanjut-kan membaca isi amplop itu. Kenapa Filch ingin ikut kursus Mantrakilat" Apakah itu berarti dia bukan penyihir tulen" Harry sedang membaca "Pelajaran Pertama: Cara Memegang Tongkatmu (Beberapa Tip yang Berguna)" ketika langkah-langkah yang men-dekat memberitahunya Filch datang. Buru-buru di-jejalkannya
perkamen itu ke dalam amplop, yang kemudian dilemparkannya ke atas meja, persis ketika pintu terbuka. Filch tampak penuh kemenangan. "Lemari yang bisa menghilang itu sangat berharga!" katanya riang kepada Mrs Norris. "Kita akan bisa mengusir Peeves kali ini, manisku."
Pandangannya jatuh pada Harry dan kemudian ber-pindah ke amplop Mantrakilat, yang terlambat disadari Harry, tergeletak setengah meter dari tempatnya semula. Wajah pucat Filch menjadi merah padam. Harry bersiapsiap menerima luapan kemarahan. Filch ter-pincang-pincang meiuiju mejanya, menyambar amplop itu dan melemparkannya ke dalam laci.
"Sudahkah-apakah kau membaca..."" dia bertanya gugup. "Tidak," Harry buru-buru berbohong. Filch meremas-remas tangannya yang berbonggol-bonggol. "Kalau aku tahu kau akan membaca surat pribadi... bukannya itu milikku... untuk teman... meskipun demikian..." Harry menatapnya ketakutan. Belum pernah Filch tampak semarah ini. Matanya mendelik, salah satu pipinya yang menggelayut berkedut-kedut dan syal kotak-kotak itu tidak membantu.
"Baiklah... pergilah... dan jangan bilang siapa-siapa... bukannya... bagaimanapun, kalau kau tidak membaca... pergilah sekarang, aku harus menulis ia-poran tentang Peeves... pergi..."
Heran sendiri akan keberuntungannya, Harry cepat-cepat meninggalkan kantor Filch, ke koridor dan kem-bali ke atas. Berhasil lolos dari kantor Filch tanpa dihukum barangkali merupakan rekor tersendiri. "Harry! Harry! Apakah berhasil""
Nick si Kepala-Nyaris-Putus datang melayang dari salah satu kelas. Di belakangnya Harry bisa melihat rongsokan lemari besar hitam-emas yang kelihatannya dijatuhkan dari tempat yang tinggi.
"Kubujuk Peeves untuk menjatuhkannya tepat di atas kantor Filch," kata Nick bersemangat. "Kupikir itu bisa mengalihkan perhatiannya..."
"Kau yang suruh"" kata Harry pertuh terima kasih. "Yeah, berhasil, aku bahkan tidak mendapat detensi. Trims, Nick!" Mereka berjalan menyusuri koridor bersama-sama. Harry memperhatikan Nick si Kepala-Nyaris-Putus ma-sih memegangi surat penolakan Sir Patrick. "Sayang sekali tak ada yang bisa kulakukan untuk membantumu dalam Perburuan Tanpa-Kepala itu," kata Harry. Nick si Kepala-Nyaris-Putus mendadak berhenti dan Harry berjalan menembusnya. Harry menyesal. Rasanya seperti melangkah di bawah pancaran air sedingin es. "Tapi ada yang bisa kaulakukan untukku," kata Nick bergairah. "Harry-apakah aku minta terlalu ba-nyak-tapi, tidak, kau tak akan mau..." "Mau apa"" tanya Harry.
"Yah, Hallowe'en ini ulang tahun kematianku yang kelima ratus," kata Nick, menegapkan diri sehingga kelihatan lebih berwibawa.
"Oh," kata Harry, tak yakin apakah dia harus ke-lihatan sedih atau senang mendengarnya. "Lalu"" "Aku akan mengadakan pesta di salah satu ruang besar bawah tanah. Teman-teman akan datang dari seluruh negeri. Akan merupakan kehormatan besar bagiku kalau kau bersedia hadir. Aku juga meng-harapkan kedatangan Mr Weasley dan Miss Granger, tentu saja-tetapi kalian pasti lebih suka datang ke pesta sekolah, kan"" Dipandangnya Harry dengan tegang dan gelisah.
"Tidak," kata Harry buru-buru. "Aku akan datang..."
"Anak baik! Harry Potter, di Pesta Ulang Tahun Kematianku! Dan," dia ragu-ragu, kelihatan ber-semangat, "bisakah kau mengatakan kepada Sir Patrick bahwa kau menganggapku sangat mengesankan dan mengerikan"" "Ten-tentu saja," kata Harry. Nick si Kepala-Nyaris-Putus langsung berseri-seri.
"Pesta Ulang Tahun Kematian"" kata Hermione tajam,
ketika Harry akhirnya sudah berganti pakaian dan bergabung bersamanya dan Ron di ruang rekreasi. "Berani taruhan tak banyak orang hidup yang bisa bilang mereka pernah menghadiri pesta semacam itu- pasti menarik sekali!" "Kenapa ada orang ingin merayakan hari kematian mereka"" tanya Ron, yang sudah mengerjakan PR Ramuannya separo dan merasa sebal. "Kedengarannya suram bagiku...."
Hujan masih mengguyur jendela, yang sekarang gelap pekat, tetapi di dalam segalanya kelihatan terang dan cerah. Perapian menerangi kursi-kursi berlengan yang empuk, tempat anak-anak duduk membaca, mengobrol, mengerjakan PR, atau dalam kasus Fred dan George, berusaha mencari tahu apa yang terjadi jika kau memberi makan salamander kembang api Filibuster. Fred telah "menyelamatkan" kadal berwarna jingga cerah yang tinggal di api itu dari kelas Pe-meliharaan Binatang-binatang Gaib, dan salamander itu sekarang tergeletak mengepul di atas meja, di-kelilingi anakanak yang ingin tahu.
Harry baru saja akan memberitahu Ron dan Hermione tentang Filch dan kursus Mantrakilat, ketika salamander itu mendadak terbang mendesis ke atas, mengeluarkan bunga api dan meledak-ledak sambil berputar-putar liar di ruangan. Melihat Percy yang berteriak-teriak memarahi Fred dan George sampai serak, pertunjukan spektakuler bintang-bintang jingga keemasan yang tercurah dari mulut si salamander, dan si salamander sendiri yang menyelamatkan diri ke dalam api, diiringi ledakan-ledakan, membuat Filch dan Mantrakilat terlupakan dari pikiran Harry.
Saat Hallowe'en tiba, Harry menyesali janji untuk datang ke Pesta Ulang Tahun Kematian yang diucap-kannya tanpa pikir panjang. Teman-temannya gembira menyambut datangnya pesta Hallowe'en. Aula Besar sudah didekorasi dengan kelelelawar-kelelawar hidup seperti biasanya, labu-labu kuning raksasa Hagrid sudah diukir menjadi lentera yang cukup besar untuk diduduki tiga orang dan ada gosip bahwa Dumbledore telah memesan rombongan penari tengkorak untuk hiburannya.
"Janji harus ditepati," Hermione mengingatkan Harry dengan gaya ngebos. "Kau sudah berkata akan datang ke Pesta Ulang Tahun Kematian."
Maka pukul tujuh malam itu Harry, Ron, dan Hermione berjalan melewati pintu Aula Besar yang sudah penuh anak, lilin-lilinnya yang berkelap-kelip dan piring-piring emasnya berkilat-kilat mengundang. Mereka mengarahkan langkah menuju ruang bawah tanah.
Lorong menuju ke tempat pesta Nick si Kepala-Nyaris-Putus juga sudah diterangi dengan deretan lilin, meskipun efeknya jauh dari cerah, karena lilinnya adalah lilin-lilin runcing hitam pekat, dengan nyala biru, menyiramkan cahaya suram kematian bahkan ke wajah-wajah mereka yang masih hidup. Semakin jauh mereka memasuki lorong, hawa semakin dingin. Ketika Harry bergidik dan merapatkan jubahnya, di-dengarnya bunyi seperti seribu kuku menggaruk pa-pan tulis besar. "Apa itu maksudnya musik"" bisik Ron. Mereka membelok di sudut dan melihat Nick si Kepala-Nyaris-Putus berdiri di
depan pintu bertirai beludru hitam. "Teman-temanku yang baik," katanya pilu, "selamat datang, selamat datang... senang sekali kalian bisa datang..." Dengan gerakan gesit dibukanya topinya yang ber-bulu, lalu dia membungkuk mempersilakan mereka masuk. Pemandangan yang menyambut mereka sungguh luar biasa. Ruang bawah tanah itu penuh beratus-ratus orang seputih-mutiara transparan, sebagian besar melayang-layang di atas lantai dansa yang penuh, berdansa waltz mengikuti irama tiga puluh gergaji musik yang berbunyi gemetar mengerikan, dimainkan oleh rombongan orkes di panggung yang lantainya bertutup kaih hitam. Kandil di atas menyinarkan cahaya biru tua dengan seribu lilin hitam. Napas mereka berubah menjadi kabut di depan mereka; rasanya seperti melangkah masuk ke dalam lemari es. "Bagaimana kalau kita melihat-lihat"" Harry meng-usulkan, ingin menghangatkan kakinya.
"Hati-hati, jangan sampai melangkah menembus orang," kata Ron gugup, dan mereka berjalan di tepi lantai dansa. Mereka melewati serombongan biarawati muram, seorang laki-laki berpakaian compang-camping yang memakai rantai, dan si Rahib Gemuk-hantu Hufflepuff yang ceria, yang se
dang mengobrol dengan hantu ksatria yang dahinya tertancap panah. Harry tidak heran melihat Baron Berdarah, hantu Slytherin yang pucat dan galak, serta bebercak-bercak darah keperakan, dihindari oleh hantu-hantu lain. "Oh, tidak," kata Hermione, berhenti mendadak. "Balik, balik, aku tak mau bicara dengan Myrtle Me-rana..." "Siapa"" tanya Harry, ketika mereka buru-buru ber-balik. "Dia menghantui toilet anak perempuan di lantai dua," kata Hermione.
"Dia menghantui toilet""
"Ya, toilet itu sudah rusak selama setahun ini karena dia marah-marah terus dan membuat toilet itu ke-banjiran. Sebisa mungkin aku tidak masuk ke toilet itu. Mana enak kalau kita ke belakang digerecoki dia yang meratap-ratap...." "Lihat, makanan!" kata Ron.
Di salah satu sisi ruangan ada meja panjang, ber-taplak beludru hitam juga. Mereka mendekati meja itu dengan bersemangat, tetapi detik berikutnya lang-sung berhenti, ngeri. Baunya sangat menjijikkan. Ikan-ikan besar busuk disajikan di atas nampan perak indah, kue bolu yang hangus jadi arang bertumpuk di atas piring, ada daging kambing besar yang sudah dikerumuni belatung, keju yang berselimut jamur hijau, dan di tempat kehormatan, kue ulang tahun abu-abu besar berbentuk pusara, dengan hiasan se-hitam ter, membentuk tulisan:
Sir Nicholas de Mimsy-Porpington meninggal 31 Oktober 1492
Harry memandang keheranan ketika ada hantu gemuk mendekati meja, membungkuk rendah dan lewat menerobos meja begitu saja. Mulut terbuka lebar melewati salah satu ikan salem bau.
"Bisakah kau merasakan ikan itu waktu melewati-nya"" Harry menanyainya. "Nyaris," jawab si hantu sedih, lalu dia melayang pergi.
"Kurasa mereka sengaja membiarkannya membusuk agar
baunya lebih keras," kata Hermione sok tahu. Dia memencet
hidungnya dan membungkuk men-dekat untuk memeriksa
daging kambing busuk. "Kita pergi, yuk, aku mau muntah," kata Ron.
Baru saja mereka berbalik, seorang laki-laki kecil mendadak
menyambar dari bawah meja dan melayang-layang di depan
mereka. "Halo, Peeves," sapa Harry hati-hati.
Tidak seperti hantu-hantu di sekeliling mereka, Peeves si hantu jail tidak pucat ataupun transparan. Dia memakai topi pesta jingga cerah dan dasi kupu-kupu yang bisa berputar. Wajahnya yang jail dihiasi cengiran lebar. "Camilan"" dia berkata manis, menawarkan se-mangkuk kacang bulukan.
"Tidak, terima kasih," kata Hermione.
"Kudengar kalian ngomongin si Myrtle yang ma-lang," kata
Peeves, matanya menari-nari. "Kalian tidak sopan ngomongin
Myrtle." Dia menarik napas dalam-dalam dan berteriak, "HOI!
MYRTLE!" "Oh, jangan Peeves, jangan bilang apa yang ku-katakan, nanti dia sedih," bisik Hermione panik. "Aku tidak bermaksud menjelekkannya, aku tidak keberatan dia-eh, halo, Myrtle." Hantu anak perempuan gemuk-pendek melayang mendekat. Wajahnya, merupakan wajah paling murung yang pernah dilihat Harry, separo ter-sembunyi di balik rambut panjangnya dan kacamata tebal berkilau bagai mutiara. "Apa"" tanyanya cemberut.
"Apa kabar, Myrtle"" kata Hermione dengan suara diriangriangkan. "Senang bertemu kau di luar toilet." Myrtle mendengus. "Miss Granger tadi ngomongin kau...," kata Peeves licik di telinga Myrtle.
"Cuma bilang-bilang-kau cantik sekali malam ini," kata
Hermione, melirik Peeves.
Myrtle menatap Hermione dengan curiga.
"Kalian meledekku," katanya, air mata perak ber-cucuran
dari matanya yang tembus pandang.
"Tidak-sungguh-bukankah aku tadi bilang Myrtle cantik sekali malam ini"" kata Hermione, menyikut rusuk Harry dan Ron sampai sakit. "Oh, yeah..." "Betul..."
"Jangan bohong kepadaku," isak Myrtle, air matanya kini sudah membanjir membasahi mukanya, sementara Peeves tertawa-tawa senang di belakang bahunya. "Apa kaupikir aku tidak tahu ejekan apa saja yang mereka lontarkan di belakang punggungku" Myrtle gendut! Myrtle jelek! Myrtle cengeng, pemurung, tu-kang ngeluh!" "Kau belum sebut jerawatan'," Peeves mendesis di telinganya.
Myrtle Merana terisak-isak nelangsa dan kabur dari ruangan. Peeves melesat mengejarnya, menghujaninya dengan kacang bulukan, sambil berteriak-teriak, "Jerawatan! Jerawatan!" "Ya, ampun," kata Hermione sedih.
Nick si Kepala-N

Harry Potter Dan Kamar Rahasia Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yaris-Putus sekarang melayang mendekati mereka, menerobos kerumunan. "Kalian senang"" "Oh, ya," mereka berbohong. "Lumayan juga sih yang hadir," kata Nick si Kepala-Nyaris-Putus bangga. "Si Janda Meratap datang jauh-jauh dari Kent... Sudah hampir waktunya aku mem-beri sambutan, lebih baik aku beritahu orkesnya..."
Tapi orkes berhenti bermain saat itu juga. Para pemainnya, dan semua yang ada di ruang bawah tanah itu terdiam, melihat berkeliling dengan penuh harap ketika terdengar bunyi terompet berburu. "Oh, ini dia," kata Nick si Kepala-Nyaris-Putus getir. Dari tembok ruangan bermunculan selusin kuda hantu, masing-masing ditunggangi penunggang kuda tanpa-kepala. Para hadirin bertepuk tangan gegap gempita. Harry sudah akan bertepuk juga, tetapi tak jadi begitu melihat wajah Nick. Kuda-kuda itu berderap ke tengah lantai dansa dan berhenti, meringkik dan mendompak. Hantu besar yang berada paling depan, kepalanya yang berjenggot dijepit di
ketiaknya, meniup terompet, melompat turun, mengangkat tinggi-tinggi kepalanya ke atas supaya dia bisa melihat kerumunan hantu yang hadir (semua tertawa), dan berjalan mendekati Nick si Kepala-Nyaris-Putus, kepalanya dilontarkan kembali ke lehernya.
"Nick!" raungnya. "Apa kabar" Kepala masih ter-gantung"" Dia terbahak dan menepuk bahu Nick si Kepala-Nyaris-Putus. "Selamat datang, Patrick," kata Nick kaku. "Orang hidup!" celetuk Sir Patrick ketika melihat Harry, Ron, dan Hermione dan berpura-pura terlonjak tinggi saking kagetnya, sehingga kepalanya terjatuh lagi (hantu-hantu yang hadir tertawa gelak-gelak).
"Lucu sekali," kata Nick si Kepala-Nyaris-Putus be-rang. "Jangan pedulikan Nick!" teriak kepala Sir Patrick dari lantai. "Dia masih marah kami tidak meng-izinkannya ikut Perburuan! Tapi maksudku... lihat dia..." "Kurasa," kata Harry buru-buru, setelah Nick me-mandangnya penuh arti. "Nick sangat-mengerikan dan- eh..."
"Ha!" teriak kepala Sir Patrick. "Pasti dia memintamu bilang begitu!"
"Perhatian, semuanya, sudah waktunya aku memberi sambutan!" kata Nick keras-keras, berjalan ke podium dan naik diterangi lampu sorot warna biru muda dingin. "Almarhum para bangsawan, Ibu-ibu, dan Bapak-bapak, sungguh kesedihan besar bagiku..." Tapi tak ada lagi yang mendengarkannya. Sir Patrick dan anggota Perburuan Tanpa-Kepala baru saja me-mulai permainan Hoki Kepala dan para hadirin ber-balik untuk menonton. Sia-sia Nick berusaha keras menarik perhatian mereka, dan akhirnya menyerah ketika kepala Sir Patrick melayang melewatinya diiringi tepukan riuh. Harry sudah sangat kedinginan sekarang, ditambah lagi lapar.
"Aku sudah tak tahan lagi," gumam Ron, giginya gemeretuk, sementara orkes kembali beraksi dan para hantu berayun lagi di lantai dansa. "Ayo, kita pergi," Harry sepakat.
Mereka mundur ke arah pintu, mengangguk dan tersenyum pada siapa saja yang memandang mereka, dan semenit kemudian sudah bergegas menyusuri lorong dengan deretan lilin hitam.
"Siapa tahu pudingnya masih ada," kata Ron penuh harap, berjalan di depan menuju tangga ke Aula Depan. Dan kemudian Harry mendengarnya. "... robek... cabik-cabik... bunuh..."
Suara yang sama, suara dingin dan sadis yang didengarnya di kantor Lockhart.
Harry terhuyung dan berhenti, mencengkeram din-ding batu, mendengarkan setajam mungkin, me-mandang berkeliling, menyipitkan mata, mengawasi kanan-kiri lorong yang suram.
"Harry, lagi ngapain ka...""
"Suara itu lagi-diam dulu..."
"...lapaaar sekali... sudah begitu lama..."
"Dengar!" kata Harry tegang. Ron dan Hermione terpaku
memandangnya. "...bunuh... waktunya membunuh..."
Suara itu semakin samar-samar. Harry yakin siapa pun
yang bicara itu semakin menjauh-bergerak ke atas.
Ketakutan bercampur kegairahan mencekamnya ketika dia
menatap langit-langit yang gelap. Bagaimana mungkin suara
itu bisa bergerak ke atas" Apakah itu hantu, sehingga langitlangit
batu bukan hambatan baginya"
"Ke sini," dia berteriak, lalu berlari menaiki tangga,
memasuki Aula Depan. Tak ada gunanya berharap mendengar sesuatu di sini. Celoteh anak-anak yang sedang pesta Hallowe'en terdengar dari Aula Besar. Harry berlari menaiki tangga pualam m
enuju ke lantai satu, Ron dan Hermione ikut naik di belakangnya. "Harry, apa yang ki..." "SHHH!"
Harry menajamkan telinganya. Dari kejauhan, dari lantai di atas mereka, dan suaranya semakin samar, dia masih mendengar, "...bau darah... BAU DARAH!" Harry tegang. "Dia mau membunuh orang!" teriak-nya. Mengabaikan wajah Ron dan Hermione yang kebingungan, dia menaiki tangga berikutnya, tiga anak tangga sekali langkah, berusaha mendengarkan di antara entakan langkah kakinya sendiri.
Harry berlari mengelilingi seluruh lantai dua, Ron dan Hermione tersengal-sengal di belakangnya, tidak berhenti sampai mereka membelok di sudut yang menuju koridor terakhir yang kosong.
"Harry, ada apa sebetulnya"" tanya Ron, menyeka keringat
dari wajahnya. "Aku tidak mendengar apa-apa..."
Tetapi Hermione mendadak terpekik kaget, me-nunjuk ke
ujung koridor. "Lihat!" Ada yang berkilau di dinding di depan. Mereka mendekat, perlahan, menyipitkan mata menembus ke-gelapan. Hurufhuruf setinggi tiga puluh senti dipulas-kan di dinding di antara dua jendela, berkilau ditimpa cahaya obor-obor yang menyala. KAMAR RAHASIA TELAH DIBUKA. MUSUH SANG PEWARIS, WASPADALAH. "Apa itu-yang tergantung di bawahnya"" kata Ron, suaranya agak bergetar.
Ketika mereka semakin dekat, Harry nyaris jatuh terpeleset. Ada genangan besar air di lantai. Ron dan Hermione menyambarnya dan mereka melangkah hati-hati mendekati tulisan, mata mereka terpaku pada bayangan gelap di bawahnya. Ketiganya langsung menyadari apa itu, dan melompat ke belakang, mem-buat air menciprat. Mrs Norris, kucing si penjaga sekolah, digantung pada ekornya dari siku-siku tancapan obor. Tubuhnya kaku seperti papan, matanya terbeliak.
Selama beberapa detik, mereka tidak bergerak. Kemudian Ron berkata, "Ayo, kita pergi dari sini." "Tidakkah sebaiknya kita mencoba menolong...," kata Harry canggung. "Percayalah padaku," kata Ron. "Kita tak ingin di-temukan di sini." Tetapi sudah terlambat. Bunyi gemuruh seakan ada guruh di kejauhan, memberitahu mereka bahwa pesta sudah usai. Dari kedua ujung koridor terdengar bunyi ratusan kaki yang menaiki tangga, juga celoteh riang dan keras anak-anak yang perutnya kenyang. Saat berikutnya, anak-anak bermunculan dari kedua ujung koridor.
Celoteh, obrolan, gurauan mendadak berhenti ketika anakanak yang di depan melihat kucing yang ter-gantung itu. Harry Ron, dan Hermione berdiri bertiga, di tengah koridor, sementara kesunyian menyelubungi anak-anak yang maju berdesakan, ingin melihat pe-mandangan mengerikan itu. Kemudian ada yang berteriak memecah keheningan. "Musuh Sang Pewaris, Waspadalah! Giliranmu berikutnya, Darah-lumpur!"
Draco Malfoy-lah yang berteriak. Dia telah mendesak sampai di bagian depan, mata dinginnya menyala, wajahnya yang biasanya tak berdarah kini memerah, ketika dia menyeringai melihat kucing yang tergantung tak bergerak itu.
Minggat 3 Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat Rencana Manusia Terkutuk 1

Cari Blog Ini