Ceritasilat Novel Online

Kamar Rahasia 4

Harry Potter Dan Kamar Rahasia Karya J.k. Rowling Bagian 4


Tetapi sebelum Dumbledore bisa berkata apa-apa lagi, pintu kantornya berdebam terbuka dan Hagrid menerobos masuk, matanya liar, topi balaclava-nya ber-tengger di atas kepalanya yang berambut hitam awut-awutan dan bangkai ayam jantannya masih berayun di tangannya. "Bukan, Harry, Profesor Dumbledore!" kata Hagrid tegang. "Aku bicara dengannya hanya beberapa detik sebelum anak itu ditemukan. Dia tak akan punya cukup waktu, Sir..." Dumbledore berusaha mengatakan sesuatu, tetapi Hagrid terus merepet, melambai-lambaikan bangkai ayamnya dalam kebingungannya, membuat bulu-bulu ayam itu beterbangan ke mana-mana.
"...Tak mungkin dia, aku mau sumpah di depan Kementerian Sihir kalau perlu..." "Hagrid, aku..."
"...Anda tangkap anak yang salah, Sir, aku tahu Harry tak pernah..." "Hagrid!" kata Dumbledore keras. "Aku tidak ber-pendapat Harry-lah yang menyerang anak-anak itu." "Oh," kata Hagrid, ayam jantannya terkulai lemas di sisinya. "Baiklah. Aku akan tunggu di luar kalau begitu, Kepala Sekolah."
Dan dia melangkah keluar, kelihatan malu.
"Anda tidak berpendapat saya yang menyerang, Profesor""
Harry mengulang penuh harap, sementara Dumbledore
menyapu bulu-bulu ayam dari atas meja-nya.
"Tidak, Harry," kata Dumbledore, meskipun wajah-nya
muram lagi. "Tapi aku tetap ingin bicara dengan-mu."
Harry menunggu dengan gugup sementara Dumbledore
mengawasinya, ujung-ujung jarinya yang panjang-panjang
mengatup. "Aku harus bertanya padamu, Harry, apakah ada yang ingin kausampaikan kepadaku," katanya lembut. "Apa saja." Harry tak tahu harus bilang apa. Dia teringat te-riakan Malfoy, "Giliranmu berikutnya, Darah-lumpur!" dan Ramuan Polijus, menggelegak tersembunyi di da-lam toilet Myrtle Merana. Kemudian dia teringat suara tanpa tubuh yang sudah didengarnya dua kali dan ucapan Ron, "Mendengar suarasuara yang tak bisa di-dengar orang lain, bukan pertanda baik, bahkan di dunia sihir sekalipun." Dia juga teringat apa yang dikatakan semua orang tentang dia, dan ketakutannya yang semakin besar bahwa dia ada hubungannya dengan Salazar
Slytherin.... "Tidak,"kata Harry, "tidak ada, Profesor."
Serangan ganda kepada Justin dan Nick si Kepala-Nyaris-Putus mengubah yang sebelumnya kegugupan menjadi kepanikan besar. Anehnya, nasib Nick si Kepala-Nyaris-Putuslah yang paling membuat kha-watir orang-orang. Apa yang mungkin berbuat begitu kepada hantu, orang-orang saling bertanya, kekuatan mengerikan apa yang bisa merusak orang yang sudah mati" Orang-orang berebut memesan tempat duduk di Hogwarts Express agar anak-anak bisa pulang Na-tal nanti.
"Kalau begini caranya, tinggal kita yang ada di sini," Ron berkata kepada Harry dan Hermione. "Kita, Malfoy, Crabbe, dan Goyle. Wah, bukan main asyiknya liburan Natal nanti." Crabbe dan Goyle, yang selalu melakukan apa yang dilakukan Malfoy, telah mendaftar untuk tinggal selama liburan juga. Tetapi Harry senang sebagian besar anak pulang. Dia sudah bosan menghadapi anak-anak yang menghindarinya di koridor, seakan taringnya akan tumbuh mendadak atau dia akan me-nyemburkan bisa; bosan pada bisik-bisik, tudingan-tudingan, dan desisan setiap kali dia lewat. Fred dan George, meskipun demikian, menganggap semua ini sangat lucu. Mereka sengaja berjalan di depan Harry di koridor-koridor, berteriak-teriak, "Minggir! Beri jalan pada Slytherin, sihir jahat akan lewat..." Percy sangat tidak menyetujui sikap mereka. "Ini tidak lucu," katanya dingin.
"Oh, minggir, Percy," kata Fred. "Harry sedang buru-buru." "Yeah, dia sedang menuju Kamar Rahasia untuk minum teh dengan pelayannya yang bertaring," kata George terkekeh. Ginny juga tidak menganggap itu lucu. "Aduh, jangan dong," jerit Ginny setiap kali Fred menanyai Harry siapa yang akan dia serang berikut-nya, atau G
eorge berpura-pura mengusir Harry de-ngan untaian besar bawang putih setiap kali mereka bertemu. Harry tidak keberatan. Dia malah lega Fred dan George menganggap lucu pendapat orang bahwa dia pewaris Slytherin. Tetapi sikap antik Fred dan George rupanya menjengkelkan Draco Malfoy, yang tampak semakin masam setiap kali dia melihat mereka mem-buat lelucon begitu. "Itu karena dia sebetulnya ingin sekali menyombong bahwa dialah pewaris sebenarnya," kata Ron sok tahu. "Kau tahu, kan, dia paling benci kalau ada yang mengalahkannya dalam hal apa pun, dan kau yang mendapat pujian untuk segala pekerjaan kotornya."
"Tidak lama lagi," kata Hermione dengan nada puas. "Ramuan Polijus sudah hampir siap. Kita akan segera mendengar pengakuannya."
Akhirnya semester berakhir dan kesunyian setebal tumpukan salju di halaman menyelimuti kastil. Alih-alih suram, Harry menganggapnya damai, dan dia senang sekali hanya dia, Ron, dan Hermione yang tinggal di Menara Gryffindor. Itu berarti mereka bisa bermain Jentikan Meletup, sekeras mungkin tanpa mengganggu siapa pun, dan berlatih duel tanpa ada yang melihat. Fred, George, dan Ginny memilih tinggal di sekolah daripada mengunjungi Bill di Mesir bersama Mr dan Mrs Weasley. Percy, yang mencela sikap me-reka yang dinilainya kekanak-kanakan, tidak melewat-kan banyak waktu di ruang rekreasi Gryffindor. Dia sudah memberitahu mereka dengan angkuh bahwa dia tinggal selama Natal karena tugasnyalah sebagai Prefek untuk memberi dukungan kepada para guru dalam masa-masa sulit ini. Pagi Hari Natal tiba, dingin dan putih bersalju. Harry dan
Ron, yang hanya tinggal berdua di kamar mereka, dibiingunkan pagi-pagi sekali oleh Hermione, yang menerobos masuk, ia sudah berpakaian lengkap dan membawa hadiah untuk mereka berdua.
"Bangun," serunya keras-keras, seraya menarik gor-den jendela. "Hermione-kau tidak boleh masuk ke sini," kata Ron, menaungi matanya yang silau.
"Selamat Natal untuk kalian juga," kata Hermione, seraya
melemparkan hadiah untuk Ron. "Aku sudah bangun hampir
sejam yang lalu, menambahkan se-rangga sayap-renda ke
ramuan. Sudah jadi sekarang."
Harry duduk, mendadak kantuknya hilang.
"Kau yakin""
"Positif," kata Hermione, menggeser Scabbers si tikus supaya dia bisa duduk di kaki tempat tidur besar Harry. "Kalau kita akan melakukannya, menurutku sebaiknya malam ini." Saat itu Heig meluncur masuk ke dalam kamar, membawa bungkusan amat kecil di paruhnya. "Halo," kata Harry gembira, ketika Heig men-darat di tempat tidurnya, "kau sudah mau bicara padaku lagi"" Heig menggigit-gigit telinga Harry dengan sayang, yang bagi Harry merupakan hadiah yang jauh lebih menyenangkan daripada hadiah yang di-bawanya, yang ternyata dari keluarga Dursley. Mereka mengiriminya sebatang tusuk gigi dan surat pendek yang isinya menyuruh Harry mencari tahu kalau-kalau dia bisa tinggal di Hogwarts untuk liburan musim panas juga. Hadiah-hadiah Natal Harry lainnya jauh lebih me-muaskan. Hagrid mengiriminya sekaleng besar gulali, yang Harry putuskan akan dipanaskan dulu sebelum dimakan; Ron menghadiahinya buku berjudul Terbang bersama Cannons, buku yang memuat fakta-fakta me-narik tentang tim Quidditch favoritnya; dan Hermione telah membelikannya pena mewah bulu elang. Harry membuka hadiah terakhir dan menemukan jumper- rompi rajutan tanpa kancing-baru dan kue plum besar dari Mrs Weasley. Harry menaruh kembali kartu-nya. Perasaan bersalah kembali melandanya, ketika dia teringat mobil Mr Weasley, yang tak pernah ke-lihatan lagi sehabis menabrak pohon Dedalu Perkasa, dan rencana pelanggaran peraturan yang akan dilaku-kannya bersama Ron berikutnya.
Tak seorang pun, bahkan orang yang sedang ketakutan akan minum Ramuan Polijus nanti, tidak bisa me-nikmati makan malam Natal di Hogwarts.
Aula Besar kelihatan megah sekali. Di situ tak hanya ada selusin pohon Natal berselimut salju dan untaian tebal holly dan mistletoe yang dipasang bersilang-silang di langit-langit, tetapi salju sihiran berjatuhan, hangat dan kering, dari langitlangit. Dumbledore memimpin mereka menyanyikan beberapa lagu Natal favoritnya. Semakin banyak minuman keras ya
ng diteguk Hagrid dari pialanya, semakin menggelegar pula suaranya. Percy, yang tidak menyadari Fred telah menyihir len-cana Prefek-nya sehingga tulisannya sekarang menjadi "Pitak", berkali-kali bertanya kepada mereka kenapa mereka cengar-cengir terus. Harry bahkan tidak peduli pada Draco Malfoy yang-dari meja Slytherin-me-lontarkan ejekan-ejekan keras tentang jumper barunya. Kalau mereka sedikit beruntung, Malfoy akan me-nerima balasannya beberapa jam lagi.
Harry dan Ron baru saja menghabiskan porsi ketiga puding Natal mereka, ketika Hermione mengajak mereka meninggalkan aula untuk melaksanakan ren-cana mereka malam itu.
"Kita masih memerlukan sedikit bagian tubuh orang-orang yang menjadi sasaran kita," kata Hermione tegas, seakan dia menyuruh mereka ke supermarket untuk membeli bubuk
pencuci. "Dan jelas, paling baik kalau kalian bisa mendapatkan sesuatu dari Crabbe dan Goyle. Mereka kan sahabat Malfoy, dia akan menceritakan segalanya kepada mereka. Dan kita juga perlu memastikan Crabbe dan Goyle yang asli tidak muncul selagi kita menginterogasi Malfoy. "Aku sudah memikirkan segalanya," Hermione me-neruskan dengan lancar, mengabaikan wajah ke-heranan Harry dan Ron. Dia menunjukkan dua po-tong kue cokelat besar. "Ini sudah kuberi Ramuan Tidur sederhana. Yang harus kalian lakukan tinggal memastikan Crabbe dan Goyle menemukan kue-kue ini. Kalian tahu betapa rakusnya mereka, mereka pasti akan memakannya. Begitu mereka tertidur, cabut be-berapa helai rambut mereka dan sembunyikan mereka dalam lemari sapu."
Harry dan Ron saling pandang dengan ragu-ragu.
"Hermione, kurasa tidak..."
"Hal itu bisa saja tidak berjalan sesuai rencana..."
Tetapi mata Hermione berkilau tajam, tak berbeda dengan
kilau yang kadang-kadang tampak di mata Profesor
McGonagall. "Ramuan itu tak ada gunanya tanpa rambut Crabbe dan Goyle," katanya tegas. "Kalian ingin menyelidiki Malfoy, kan"" "Oh, oke, oke," kata Harry. "Tetapi bagaimana denganmu" Rambut siapa yang akan kaucabut"" "Aku sudah punya rambut yang kuperlukan!" kata Hermione cerah, menarik keluar sebuah botol kecil mungil dari dalam sakunya dan menunjukkan kepada mereka sehelai rambut di dalamnya. "Ingat Millicent Bulstrode yang bergulat denganku di Klub Duel" Rambutnya tertinggal di jubahku ketika dia mencoba mencekikku! Dan dia pulang liburan Natal ini-jadi, aku tinggal bilang pada anak-anak Slytherin bahwa aku batal pulang ke rumah."
Ketika Hermione sudah pergi untuk mengecek Ramuan Polijus lagi, Ron menoleh kepada Harry de-ngan ekspresi seolah akan tertimpa malapetaka.
"Pernahkah kau mendengar rencana dengan begitu banyak
hal yang bisa gagal""
Betapa herannya Harry dan Ron ketika tahap pertama rencana mereka berjalan mulus seperti yang telah dikatakan Hermione. Mereka bersembunyi di Aula Besar yang sudah kosong setelah acara minum teh Natal, menunggu Crabbe dan Goyle yang tinggal berdua di meja Slytherin melahap porsi keempat kue mereka. Harry sudah meletakkan kue cokelat di ujung pegangan tangga. Ketika melihat Crabbe dan Goyle meninggalkan Aula Besar, Harry dan Ron cepat-cepat bersembunyi di balik baju zirah di dekat pintu. "Tolol banget," bisik Ron, gembira luar biasa ketika Crabbe menyenggol Goyle dan menunjuk kue itu dengan senang, lalu menyambarnya. Sambil nyengir konyol, mereka langsung menjejalkan kue itu ke dalam mulut besar mereka. Sesaat mereka berdua me-ngunyah dengan rakus, wajah mereka penuh ke-menangan. Kemudian, tanpa perubahan ekspresi se-dikit pun, keduanya roboh ke lantai. Kesulitan yang paling besar adalah menyembunyi-kan mereka di dalam lemari di seberang ruangan. Begitu mereka sudah aman dijejalkan di antara ember-ember dan kain pel, Harry mencabut dua rambut pendek kaku yang tumbuh di dahi Goyle dan Ron mencabut beberapa helai rambut Crabbe. Mereka juga mencuri sepatu Crabbe dan Goyle, karena sepatu mereka kelewat kecil untuk ukuran kaki kedua anak Slytherin itu. Kemudian, masih keheranan akan apa yang baru saja mereka lakukan, mereka berlari ke toilet Myrtle Merana. Mereka nyaris tak bisa melihat gara-gara asap tebal hitam yang keluar dari bilik tempat Hermione mengad
uk isi kualinya. Dengan menarik jubah untuk menutupi muka mereka, Harry
dan Ron mengetuk pintu pelan.
"Hermione""
Mereka mendengar kunci diputar, dan kemudian Hermione muncul, wajahnya berkilau dan kelihatan cemas. Di belakangnya mereka mendengar bunyi blup-blup ramuan kental yang menggelegak. Tiga gelas besar sudah siap di atas tempat duduk kloset.
"Berhasil"" tanya Hermione menahan napas.
Harry menunjukkan rambut Goyle.
"Bagus. Dan aku sudah mengambil jubah mereka dari
tempat cucian," kata Hermione, mengangkat kan-tong kecil.
"Kalian perlu jubah lebih besar kalau sudah jadi Crabbe dan
Goyle." Ketiganya memandang kuali. Dari dekat, ramuan itu tampak seperti lumpur kental hitam yang menggelegak. "Aku yakin sudah melakukan segalanya dengan benar," kata Hermione, dengan gugup membaca ulang halaman Ramuan-ramuan Paling Mujarab yang sudah bebercak-bercak. "Tampilannya sudah seperti yang di-katakan buku... Begitu kita meminumnya, kita cuma punya waktu tepat satu jam sebelum berubah menjadi diri kita lagi." "Sekarang bagaimana"" bisik Ron. "Kita bagi menjadi tiga gelas, dan kita tambahkan rambutnya." Hermione memasukkan sendokan-sendokan besar cairan kental itu ke dalam masing-masing gelas. Kemu-dian, dengan tangan gemetar dia menggoyang botol-nya sampai rambut Millicent jatuh dari botol itu, ke dalam gelas pertama. Ramuan itu mendesis keras seperti ceret yang airnya mendidih dan berbuih banyak. Sedetik kemudian ramuan itu sudah berubah warna menjadi kuning menjijikkan. "Yaikkk-sari pati Millicent Bulstrode," kata Ron, me-mandangnya dengan jijik. "Pasti rasanya memuakkan." "Masukkan rambutmu sekarang," kata Hermione. Harry menjatuhkan rambut Goyle ke dalam gelas yang di tengah dan Ron memasukkan rambut Crabbe ke gelas terakhir. Kedua gelas itu mendesis dan ber-buih: yang berisi rambut Goyle berubah warna men-jadi cokelat muda, yang berisi rambut Crabbe menjadi cokelat tua kelam. "Tunggu," kata Harry ketika Ron dan Hermione mau mengambil gelas mereka. "Kita sebaiknya tidak meminumnya sama-sama di sini. Begitu kita berubah menjadi Crabbe dan Goyle, tempat ini tak akan cukup. Dan Millicent Bulstrode juga tidak kecil."
"Pemikiran bagus," kata Ron, membuka kunci pintu. "Kita minum dalam bilik yang berlainan." Berhati-hati agar ramuan Polijus-nya tidak ada yang tercecer, Harry menyelinap ke dalam bilik yang di tengah. "Siap"" dia berseru.
"Siap," terdengar jawaban Ron dan Hermione. "Satu... dua... tiga..."
Seraya memencet hidungnya, Harry meminum ramuannya dalam dua tegukan. Rasanya seperti kol yang dimasak kelamaan.
Segera saja bagian dalam tubuhnya mulai bergerak-gerak, seakan dia baru saja menelan ular-ular hidup- Harry terbungkuk, bertanya-tanya dalam hati apakah dia akan muntah-kemudian perutnya serasa terbakar, dan rasa panas ini menjalar cepat dari perut ke ujung-ujung jari tangan dan kakinya. Reaksi berikutnya begitu hebat, membuat Harry terpekik kaget dan jatuh merangkak. Dia merasa seperti meleleh ketika kulit di seluruh tubuhnya ditumbuhi gelembung-gelembung seperti lilin panas, dan di depan matanya sendiri, tangannya mulai tumbuh, jari-jarinya menggemuk, kukunya melebar, dan buku-buku jarinya
bertonjolan besar-besar. Bahunya melebar, rasanya sakit, dan denyut-denyut di dahinya memberitahunya rambutnya sedang tumbuh merambat ke alisnya. Jubahnya sobek ketika dadanya mengembang seperti tong pecah sampai lingkaran pengikatnya terlepas. Kakinya sakit sekali terjepit sepatu yang ukurannya, terlalu kecil empat nomor... Dan mendadak saja, seperti mulainya tadi, segalanya berhenti. Harry berbaring menelungkup di lantai batu bilik yang dingin, mendengarkan Myrtle yang ber-deguk merana di bilik paling ujung. Dengan susah payah dia mengentakkan sepatunya sampai lepas dan berdiri. Beginilah rasanya menjadi Goyle. Tangannya yang besar gemetar, dia melepas jubahnya, yang menggantung kira-kira tiga puluh senti di atas mata kakinya, memakai jubah yang disediakan Hermione, dan mengikat tali sepatu Goyle yang seperti-perahu. Tangannya mau menyibakkan rambut dari matanya, tapi yang terpegang olehnya hanya rambut pendek kaku bagai kawat, ya
ng tumbuh memenuhi dahinya. Kemudian dia menyadari bahwa kacamatanya mem-buat pandangannya kabur, karena Goyle jelas tidak memerlukannya. Dilepasnya kacamatanya, lalu dia ber-teriak, "Kalian berdua oke"" Suara serak Goyle ter-dengar dari mulutnya.
"Yeah," terdengar dengkur berat Crabbe dari sebelah kirinya.
Harry membuka pintu biliknya dan melangkah di depan cermin yang retak. Goyle balik memandangnya dengan mata dalam yang suram. Harry menggaruk telinganya. Begitu juga, Goyle.
Pintu Ron terbuka. Mereka berpandangan. Dari po-tongan rambutnya yang seperti batok kelapa sampai ke lengan gorilanya yang panjang, Ron tak bisa di-bedakan dari Crabbe, hanya saja dia kelihatan pucat dan shock. "Tak bisa dipercaya," kata Ron, mendekati cermin dan menekan-nekan hidung pesek Crabbe. "Tak bisa dipercaya." "Lebih baik kita segera berangkat," kata Harry, me-ngendurkan arloji yang menjepit pergelangan tangan Goyle yang tebal. "Kita masih harus menemukan ruang rekreasi Slytherin. Mudah-mudahan kita ketemu orang yang bisa kita buntuti..."
Ron, yang sejak tadi memandang Harry, berkata, "Kau tak tahu betapa anehnya melihat Goyle berpikir." Dia menggedor pintu Hermione. "Ayo, kita harus pergi..." Suara tinggi melengking menjawabnya, "Aku-ku-rasa aku tidak akan keluar. Kalian jalan saja tanpa aku." "Hermione, kami tahu Millicent Bulstrode jelek, tak akan ada yang tahu itu kau."
"Tidak-betul-aku tidak akan ikut. Kalian berdua
bergegaslah, kalian membuang-buang waktu.".
Harry memandang Ron, kebingungan.
"Nah, kalau begitu, kau lebih mirip Goyle," kata Ron.
"Begitulah tampangnya setiap kali ditanya guru." "Hermione,
apakah kau tidak apa-apa"" tanya Harry dari balik pintu.
"Baik-aku baik... Kalian pergilah...."
Harry memandang arlojinya. Lima dari enam puluh menit
mereka yang sangat berharga telah lewat. "Kami akan
menemuimu di sini nanti, oke"" kata-nya. Harry dan Ron
membuka pintu toilet hati-hati, memastikan keadaan aman,
lalu keluar. "Jangan mengayunkan tanganmu seperti itu,"
Harry bergumam kepada Ron.
"Eh"" "Crabbe biasanya tangannya kaku..." "Bagaimana kalau begini"" "Yeah, itu lebih baik."
Mereka menuruni tangga pualam. Yang mereka perlukan sekarang tinggal anak Slytherin yang bisa mereka ikuti ke
ruang rekreasi Slytherin, tapi tak ada seorang pun. "Ada ide"" gumam Harry.
"Anak-anak Slytherin selalu datang untuk sarapan dari arah sana," kata Ron, mengangguk ke pintu ruang bawah tanah. Baru saja dia selesai bicara, se-orang gadis berambut panjang ikal muncul dari pintu.
"Maaf," kata Ron, bergegas mendekatinya, "kami lupa jalan ke ruang rekreasi kita."
"Apa"" kata gadis itu kaku. "Ruang rekreasi kita" Aku anak Ravenclaw."
Gadis itu pergi, menoleh curiga kepada mereka. Harry dan Ron bergegas menuruni tangga batu menuju kegelapan, langkah-langkah mereka bergema keras ketika kaki raksasa Crabbe dan Goyle mengentak lantai. Mereka merasa ini tidak akan semudah yang mereka harapkan. Lorong-lorong yang berputar-putar seperti labirin itu kosong. Mereka turun semakin dalam di bawah sekolah, berkali-kali mengecek arloji untuk melihat berapa lama lagi waktu yang masih tersisa. Setelah seperempat jam, tepat ketika mereka mulai putus asa, mereka mendengar bunyi gerakan di depan.
"Ha!" kata Ron. "Itu salah satu dari mereka!" Sosok itu muncul dari ruang sebelah. Ketika mereka bergegas mendekat, mereka kecewa. Ternyata bukan anak Slytherin, melainkan Percy.
"Apa yang kaulakukan di bawah sini"" tanya Ron heran. Percy tampak terhina.
"Itu," katanya kaku, "bukan urusanmu. Kau Crabbe, kan"" "Ap-oh, yeah," kata Ron. "Kembalilah ke kamar kalian," kata Percy galak.
"Tidak aman berkeliaran di koridor gelap sekarang ini." "Kau sendiri berkeliaran," tuduh Ron. "Aku," kata Percy membusungkan dada, "Prefek. Tak ada yang akan menyerangku."
Tiba-tiba terdengar suara di belakang Harry dan Ron. Draco
Malfoy berjalan ke arah mereka, dan untuk pertama kali dalam
hidupnya, Harry senang melihatnya.
"Di sini rupanya kalian," katanya, memandang me-reka.
"Apa dari tadi kalian makan terus seperti babi di Aula Besar"
Aku mencari-cari kalian, aku ingin menunjukkan sesuatu yang
benar -benar lucu pada kalian."
Malfoy mengerling Percy dengan menghina.
"Dan apa yang kaulakukan di sini, Weasley"" cibir-nya.
Percy kelihatan marah. "Kau harus menunjukkan sedikit rasa
hormat kepada Prefek sekolah!" katanya. "Aku tak suka
sikap-mu!" Malfoy mencibir dan memberi isyarat pada Harry dan Ron untuk mengikutinya. Harry nyaris minta maaf pada Percy, tapi untung langsung ingat dan menahan diri. Dia dan Ron bergegas mengikuti Malfoy, yang berkata ketika, mereka membelok ke lorong berikutnya, "Si Peter Weasley itu..." "Percy," Ron otomatis membetulkannya. "Apalah," kata Malfoy. "Kuperhatikan belakangan ini dia menyelinap ke mana-mana. Dan aku tahu apa maunya. Dia pikir dia bisa menangkap pewaris Slytherin sendirian." Malfoy tertawa mengejek. Harry dan Ron bertukar pandang bergairah. Malfoy berhenti di depan tembok batu kosong dan lembap.
"Apa kata kuncinya"" tanyanya kepada Harry. "Eh...," kata Harry.
"Oh yeah-darah-murni!" kata Malfoy, tidak men-dengarkan ucapan Harry, dan pintu batu yang ter-sembunyi di tembok itu menggeser terbuka Malfoy masuk, diikuti Harry dan Ron.
Ruang rekreasi Slytherin adalah ruang bawah tanah yang
panjang dan rendah, dengan tembok dan langit-langit batu kasar. Dari langit-langit itu lampu-lampu kehijauan bergantung pada rantai. Api berderak dalam perapian yang berukir rumit di depan mereka, dan beberapa anak Slytherin mengelilinginya di kursi-kursi berukir.
"Tunggu di sini," kata Malfoy kepada Harry dan Ron, memberi isyarat agar mereka duduk di sepasang kursi kosong agak jauh dari perapian. "Akan ku-ambil-ayahku baru saja mengirimnya..."
Bertanya-tanya dalam hati apa yang akan ditunjuk-kan Malfoy kepada mereka, Harry dan Ron duduk, berusaha kelihatan tidak canggung.
Malfoy muncul lagi beberapa saat kemudian, mem-bawa guntingan koran. Disodorkannya guntingan ko-ran itu ke bawah radung Ron.
"Ini akan membuatmu tertawa," katanya.
Harry melihat mata Ron membelalak kaget. Ron membaca
guntingan koran itu cepat-cepat, dengan tawa yang
dipaksakan, lalu diberikannya kepada Harry.
Ternyata itu berita yang digunting dari Daily Prophet,
bunyinya: PENYELIDIKAN DI KEMENTERIAN SIHIR Arthur Weasley, Kepala Kantor Penyalahgunaan Barang-barang Muggle, hari ini didenda lima puluh Galleon karena menyihir mobil Muggle. Mr Lucius Malfoy, anggota Dewan Sekolah Sihir Hogwarts, tempat mobil tersihir itu mendarat beberapa waktu yang lalu, menelepon hari ini, mengusulkan pemecatan Mr Weasley. "Weasley telah merusak reputasi Kementerian," Mr Malfoy berkata kepada reporter kami. "Dia jelas tidak layak membuat peraturan untuk kita dan Undang-undang Perlindungan Muggle-nya harus segera di-hapuskan." Mr Weasley tidak bisa dimintai komentar, meskipun istrinya menyuruh para reporter untuk menyingkir, kalau tidak mereka akan melepas hantu keluarga untuk menyerang para reporter. "Nah"" kata Malfoy tak sabar, ketika Marry mengem-balikan guntingan koran itu kepadanya. "Apa me-nurutmu tidak lucu"" "Ha, ha," kata Harry suram.
"Arthur Weasley suka sekali pada Muggle, mestinya dia patahkan saja tongkatnya jadi dua dan bergabung dengan mereka," kata Malfoy menghina. "Kau tak akan tahu keluarga Weasley berdarah-murni, kalau melihat tingkah mereka." Wajah Ron-atau lebih tepatnya, Crabbe, berkeriut saking marahnya. "Kenapa sih kau"" bentak Malfoy. "Sakit perut," keluh Ron.
"Pergi ke rumah sakit dong, dan tendang semua Darahlumpur itu untukku," kata Malfoy terkekeh. "Tahu tidak, aku heran. Daily Prophet belum juga mem-beritakan tentang serangan-serangan ini," katanya me-neruskan, berpikir-pikir. "Kurasa Dumbledore berusaha menutupinya. Dia akan dipecat kalau kejadian ini tidak segera dihentikan. Ayah selalu bilang Dumbledore hal terburuk yang terjadi di sekolah ini. Dia suka anak-anak kelahiran-Muggle. Kepala sekolah yang layak tidak akan menerima anak tolol seperti Creevey."
Malfoy berpura-pura memotret, menjepret-jepret de-ngan
kamera khayalan, menirukan gaya Colin. "Potter, boleh aku
memotretmu, Potter" Boleh aku minta tanda tanganmu" Boleh
dong aku menjilat sepatumu, Potter""
Dia menurunkan tangannya dan memandang Harry dan
Ron. "Kena pa sih kalian berdua""
Walaupun terlambat, Harry dan Ron memaksa diri tertawa, tetapi Malfoy tampaknya puas. Mungkin Crabbe dan Goyle memang selalu "telmi".
"Santo Potter, sahabat para Darah-lumpur," kata Malfoy lambat-lambat. "Dia satu lagi yang tak punya rasa sihir yang pantas. Kalau tidak, dia tak akan bergaul dengan Granger si Darah-lumpur itu. Dan orang-orang mengira dia-lah. pewaris Slytherin!"
Harry dan Ron menunggu dengan napas tertahan. Malfoy jelas sebentar lagi akan memberitahu mereka bahwa dialah pewarisnya. Tetapi...
"Kalau saja aku tahu siapa dia," kata Malfoy jengkel. "Aku bisa membantu mereka."
Rahang Ron membuka lebar sehingga wajah Crabbe kelihatan lebih tolol dari biasanya. Untungnya Malfoy tidak memperhatikan, dan Harry berpikir cepat, berkata, "Kau pasti punya dugaan siapa yang ada di belakang semua ini..." "Kau tahu aku tak tahu apa-apa, Goyle, berapa kali harus kukatakan kepadamu"" bentak Malfoy. "Dan Ayah juga sama sekali tak mau bercerita tentang ter-akhir kalinya Kamar Rahasia dibuka. Tentu saja, ke-jadiannya lima puluh tahun yang lalu, jadi sebelum dia di sini, tapi dia tahu tentang semua itu, dan dia bilang kejadian itu ditutup-tutupi dan akan men-curigakan kalau aku tahu terlalu banyak tentangnya. Tetapi aku tahu satu hal: terakhir kali Kamar Rahasia dibuka, satu Darah-lumpur meninggal. Jadi, pasti ting-gal tunggu waktu sebelum salah satu dari mereka dibunuh kali ini... Mudah-mudahan saja si Granger," katanya girang. Ron mengepalkan tinju raksasa Crabbe. Merasa bahwa rahasia mereka bisa terbongkar jika Ron me-ninju Malfoy, Harry melempar pandang memperingat-kan dan berkata, "Tahukah kau, apakah orang yang membuka Kamar Rahasia dulu itu berhasil ditangkap""
"Oh, yeah... siapa pun orangnya, dia dikeluarkan," kata Malfoy. "Mungkin mereka masih di Azkaban." "Az-kaban"" tanya Harry, bingung. "Azkaban-penjara penyihir, Goyle," kata Malfoy, me-mandangnya tak percaya. "Astaga, kalau lebih telmi dari ini, kau akan jadi terbelakang." Malfoy duduk gelisah di kursinya dan berkata, "Ayah berpesan agar aku tidak menonjolkan diri dan membiarkan pewaris Slytherin bertindak. Dia bilang sekolah perlu dibersihkan dari semua sampah Darah-lumpur, tapi aku tak boleh ikut campur. Tentu saja dia sendiri sedang banyak disorot sekarang ini. Kalian tahu Kementerian Sihir merazia rumah kami minggu lalu""
Harry berusaha memaksa wajah bodoh Goyle ikut prihatin. "Yeah...," kata Malfoy. "Untunglah tidak banyak yang mereka temukan. Ayah punya beberapa benda Ilmu Hitam yang sangat berharga. Tetapi untungnya kami punya kamar rahasia di bawah lantai ruang tamu..." "Ho!" kata Ron.
Malfoy memandangnya. Begitu juga Harry. Wajah Ron memerah, bahkan rambutnya pun memerah. Hidungnya juga pelan-pelan memanjang-waktu mereka telah habis. Ron sedang kembali menjadi diri-nya, dan dari kengerian yang terpancar di wajahnya, mestinya Harry juga. Mereka berdua melompat bangun.
"Harus minum obat untuk sakit perutku," gerutu Ron, dan tanpa berlama-lama lagi mereka berlari me-nyeberangi ruang rekreasi Slytherin, menerobos tem-bok batu dan bergegas menaiki tangga, berharap Malfoy tidak melihat sesuatu yang aneh. Harry bisa merasakan sepatu besar Goyle kelonggaran untuk kaki-nya dan dia harus mengangkat jubahnya saat tubuh-nya mengecil. Mereka berlari menaiki tangga menuju Aula Depan, yang bising dengan gedoran dari lemari tempat mereka mengurung Crabbe dan Goyle. Setelah meninggalkan sepatu mereka di depan lemari, mereka berlari menaiki tangga
pualam dengan hanya berkaus kaki, menuju toilet Myrtle Merana.
"Yah, tidak sepenuhnya sia-sia," kata Ron tersengal, menutup pintu toilet dj belakang mereka. "Kita me-mang belum tahu siapa yang melakukan penyerangan ini, tapi aku akan menulis kepada Dad dan meminta-nya memeriksa di bawah ruang tamu Malfoy."
Harry memeriksa wajahnya di cermin retak. Dia sudah
kembali normal. Dia memakai kacamatanya sementara Ron
menggedor pintu bilik Hermione.
"Hermione, keluar, banyak yang akan kami ceritakan..."
"Pergi!" lengking Hermione.
Harry dan Ron berpandangan.
"Ada apa"" tanya Ron. "Kau pasti sudah balik jadi dirimu
lagi sekarang, kami sudah..."
Tetapi Myrtle Merana tiba-tiba melayang menembus pintu bilik. Harry belum pernah melihatnya seriang itu. "Ooooooh! Tunggu sampai kalian lihat sendiri," kata-nya. "Mengerikan sekali!"
Mereka mendengar kunci diputar dan Hermione muncul, terisak-isak, jubahnya ditarik menutupi kepalanya. "Ada apa"" tanya Ron bingung. "Apa hidungmu masih hidung Millicent atau apa"" Hermione menjatuhkan jubahnya dan Ron mundur sampai ke wastafel. Wajah Hermione ditumbuhi bulu hitam. Matanya jadi kuning dan ada telinga runcing mencuat dari rambutnya. "Itu rambut ku-kucing!" lolongnya. "M-Millicent Bulstrode pastilah punya kucing! Dan r-ramuan itu tidak boleh digunakan untuk berubah menjadi binatang!" "Uh, oh," kata Ron.
"Kau akan diledek habis-habisan," kata Myrtle senang. "Tidak apa-apa, Hermione," kata Harry buru-buru. "Kami akan membawamu ke rumah sakit. Madam Pomfrey tak pernah mengajukan banyak per-tanyaan..." Butuh waktu lama membujuk Hermione untuk me-ninggalkan toilet. Myrtle Merana melepas kepergian mereka dengan terbahak-bahak. "Tunggu sampai ketahuan kau punya ekor!"
13 Buku Harian Yang Sangat Rahasia
HERMIONE tinggal di rumah sakit selama beberapa minggu. Ketika anak-anak kembali dari liburan Natal, desasdesus tentang ketidakmunculannya seru sekali, karena tentu saja semua mengira dia telah diserang. Begitu banyak anak yang datang ke rumah sakit, berusaha mengintipnya, sehingga Madam Pomfrey me-ngeluarkan tirainya lagi dan memasangnya di se-keliling tempat tidur Hermione, agar dia tidak malu sebab dilihat anak-anak dengan wajah berbulu. Harry dan Ron datang menengoknya setiap malam. Ketika semester baru dimulai, mereka membawakan-nya PR setiap hari.
"Kalau aku yang ditumbuhi kumis kucing, aku sih libur dulu belajarnya," kata Ron sambil meletakkan setumpuk buku di meja di sebelah tempat tidur Hermione pada suatu malam. "Jangan bodoh, Ron, aku kan harus belajar supaya tidak ketinggalan," kata Hermione tegas. Semangatnya sudah jauh lebih baik karena semua bulu sudah meng-hilang dari wajahnya, dan matanya pelan-pelan sudah mulai kembali berwarna cokelat. "Kurasa kalian belum dapat petunjuk baru"" dia menambahkan dengan berbisik, supaya Madam Pomfrey tidak mendengarnya.
"Belum," kata Harry muram. "Aku begitu yakin Malfoy-lah
orangnya," kata Ron, untuk kira-kira keseratus kalinya. "Apa
itu"" tanya Harry, menunjuk benda keemasan yang mencuat
dari bawah bantal Hermione.
"Cuma kartu ucapan semoga cepat sembuh," kata
Hermione buru-buru, berusaha menjejalkannya supaya tidak
kelihatan. Tetapi Ron lebih cepat darinya. Ron menariknya,
membuka dan membacanya keras-keras:
"Untuk Miss Granger, semoga lekas sembuh, dari gurumu
yang cemas, Profesor Gilderoy Lockhart, Order of Merlin Kelas
Ketiga, Anggota Kehormatan Liga Pertahanan terhadap Ilmu
Hitam, dan lima kali memenangkan kontes Senyum-PalingMenawan Witch Weekly."
Ron mendongak, menatap Hermione jijik.
"Kau tidur dengan kartu ini di bawah bantalmu""
Tetapi Hermione tak perlu menjawab, diselamatkan oleh
kedatangan Madam Pomfrey yang membawakan obatnya
untuk malam itu. "Si Lockhart ini cowok penjilat yang paling memuja diri sendiri atau bagaimana sih"" kata Ron kepada Harry ketika mereka meninggalkan kamar Hermione dan menaiki tangga menuju Menara Gryffindor. Saking banyaknya PR yang diberikan oleh Snape, sampai-sampai Harry berpikir baru akan bisa menyelesaikannya kalau dia sudah kelas enam. Ron baru saja berkata dia menyesal tidak bertanya kepada Hermione berapa buntut tikus yang harus ditambahkan ke dalam ramuan Pendiri Bulu Kuduk, ketika terdengar teriakan marah dari lantai di atas mereka.
"Si Filch," gumam Harry, ketika mereka bergegas menaiki tangga dan berhenti, menyembunyikan diri, memasang telinga tajam-tajam.
"Apakah ada anak lain yang baru diserang"" kata Ron tegang. Mereka berdiri diam, kepala mereka condong ke arah suara Filch, yang kedengarannya histeris, "...lebih banyak lagi pekerjaan untukku! Mengepel sepanjang malum, seperti aku tak punya cukup pekerjaan saja! Tidak, ini sudah kelewatan, aku akan ke Dumbledore..." Langkah-langkah Filch menjauh da
n mereka men-dengar pintu ditutup keras-keras di kejauhan. Mereka menjulurkan kepala. Filch jelas baru saja berpatroli di tempat ia biasa berjaga. Mereka sekali lagi berada di tempat Mrs Norris diserang. Dengan tatapan sekilas mereka sudah
melihat apa yang mem-buat Filch berteriak-teriak. Genangan air membasahi sampai setengah koridor, dan kelihatannya air masih merembes dari bawah pintu toilet Myrtle Merana. Sekarang setelah Filch berhenti berteriak-teriak, mereka bisa mendengar tangisan Myrtle bergaung dari dinding-dinding toilet.
"Kenapa lagi tuh dia"" tanya Ron.
"Ayo, kita lihat," kata Harry, dan seraya mengangkat jubah sampai ke atas mata kaki, mereka menginjak genangan air menuju pintu yang bertulisan Rusak, mengabaikannya seperti biasa, dan masuk.
Myrtle Merana sedang menangis, kalau ini mungkin, lebih keras dan lebih seru daripada biasanya. Ke-lihatannya dia bersembunyi di dalam klosetnya yang biasa. Toilet itu gelap, karena lilin-lilinnya padam ter-kena siraman air yang telah membuat dinding dan lantai basah kuyup. "Ada apa, Myrtle"" tanya Harry. "Siapa itu"" deguk Myrtle sedih. "Mau melempar benda lain lagi padaku"" Harry berjalan melintasi air ke biliknya dan berkata, "Kenapa aku mau melempar sesuatu padamu""
"Jangan tanya aku," teriak Myrtle, muncul dengan luapan air yang tercurah ke lantai yang sudah kuyup. "Aku di sini terus, tak pernah mengganggu orang lain, dan ada orang yang menganggap lucu melemparku dengan buku..." "Tapi kau kan tidak sakit kalau ada yang me-lemparmu dengan sesuatu," kata Harry tenang. "Maksudku, benda itu akan langsung menembusmu, kan"" Dia telah mengucapkan hal yang salah. Myrtle me-layang dan menjerit, "Biar saja semua melempar buku kepada Myrtle, karena dia tidak bisa merasa! Sepuluh angka kalau kau bisa melemparnya menembus perutnya! Lima puluh kalau bisa menembus kepalanya! Nah, ha ha ha! Permainan yang bagus sekali, menurutku tidak!"
"Siapa sih yang melemparnya kepadamu"" tanya Harry. "Aku tak tahu... aku sedang duduk-duduk di leher angsa, memikirkan kematian, dan buku itu jatuh begitu saja di atas kepalaku," kata Myrtle, menatap mereka dengan marah. "Itu tuh bukunya, di sana, hanyut."
Harry dan Ron mencari di bawah wastafel, ke arah yang ditunjuk Myrtle. Sebuah buku kecil dan tipis tergeletak. Sampulnya hitam kumal dan basah kuyup seperti halnya segala sesuatu di dalam toilet itu. Harry maju untuk memungutnya, tetapi Ron mendadak menjulurkan tangan mencegahnya. "Apa"" kata Harry.
"Kau gila"" kata Ron. "Bisa berbahaya." "Berbahaya"" kata Harry, tertawa. "Mana mungkin sih"". "Kau akan heran," kata Ron, yang memandang buku itu dengan takut-takut. "Beberapa buku yang disita Kementerian-Dad cerita padaku-ada yang bisa membuat matamu terbakar. Dan siapa saja yang mem-baca Soneta Penyihir, seumur hidup akan bicara dengan gaya pantun jenaka. Dan ada penyihir tua wanita di Bath yang punya buku yang tak bisa berhenti dibaca! Terpaksa kau akan ke manamana dengan buku itu di bawah hidungmu, mencoba melakukan segala hal dengan satu tangan. Dan..." "Baiklah, aku paham," kata Harry. Buku kecil itu tergeletak di lantai, tak jelas buku apa, dan basah kuyup. "Yah, kita tidak akan tahu kalau kita tidak me-meriksanya," kata Harry, sambil berlari mengitari Ron dan memungut buku itu.
Harry langsung melihat bahwa itu buku harian, dan tahun yang sudah memudar di sampulnya mem-beritahunya bahwa usianya sudah lima puluh tahun. Harry membukanya dengan bergairah. Di halaman pertama dia cuma bisa membaca nama
"T. M. Riddle" yang tintanya sudah luntur. "Tunggu," kata Ron, yang sudah mendekat dengan hatihati dan melihat melewati bahu Harry "Aku tahu nama itu... T.M. Riddle mendapat penghargaan untuk pengabdian istimewa kepada sekolah lima puluh tahun yang lalu." "Bagaimana kau bisa tahu"" tanya Harry keheranan. "Karena Filch menyuruhku menggosok trofinya kira-kira lima puluh kali waktu detensi itu," kata Ron sebal. "Trofi itu yang kena muntahan siputku. Kalau kau menggosok lendir dari nama tertentu selama satu jam, kau akan mengingat nama itu juga."
Harry hati-hati membuka halaman-halamannya yang basah. Semu
anya kosong. Tak ada bekas tulisan sesamar apa pun di halaman mana pun, bahkan "ulang tahun Bibi Mabel" atau "dokter gigi, setengah empat", misalnya, juga tidak. "Dia tidak pernah menulis di sini," kata Harry kecewa. "Kenapa ya ada orang yang ingin melenyapkannya dengan membuangnya ke dalam toilet"" tanya Ron ingin tahu. Harry membalik buku itu untuk memeriksa sampul belakangnya dan melihat nama sebuah agen surat kabar di Vauxhall Road, London, tercetak di situ. "Pastilah dia kelahiran-Muggle," kata Harry, berpikir-pikir, "karena dia membeli buku harian di Vauxhall Road..." " Yah, tak banyak gunanya untukmu," kata Ron. Dia merendahkan suaranya, "Lima puluh angka kalau kau bisa melemparkannya menembus hidung Myrtle." Tetapi Harry mengantongi buku harian itu.
Hermione meninggalkan rumah sakit tanpa kumis, tanpa ekor, dan tanpa bulu, pada awal bulan Februari. Pada malam pertamanya berada kembali di Menara Gryffindor, Harry menunjukkan buku harian T.M. Riddle dan menceritakan kepadanya bagaimana me-reka mendapatkannya. "Oooh, siapa tahu buku ini punya kekuatan tersembunyi," kata Hermione antusias, mengambil buku harian itu dan memeriksanya dengan teliti.
"Kalau memang punya, buku itu menyembunyikannya dengan sangat baik," kata Ron. "Mungkin bukunya malu. Aku tak tahu kenapa kau tidak membuangnya saja, Harry." "Aku ingin sekali tahu kenapa ada orang yang mau melenyapkannya," kata Harry. "Aku juga tak keberatan mengetahui bagaimana Riddle mendapatkan peng-hargaan untuk pengabdian istimewa kepada Hogwarts." "Bisa karena apa saja," kata Ron. "Mungkin dia dapat tiga puluh OWL atau menyelamatkan seorang guru dari cumi-cumi raksasa. Mungkin dia membunuh Myrtle, itu akan menguntungkan banyak orang..." Tetapi Harry bisa melihat dari ketertarikan di wajah Hermione, bahwa Hermione memikirkan apa yang dia sendiri pikirkan.
"Apa"" tanya Ron, memandang mereka bergantian. "Yah, Kamar Rahasia dibuka lima puluh tahun yang lalu, kan"" kata Harry. "Begitu kata Malfoy." "Yeah...," kata Ron lambat-lambat. "Dan buku harian ini usianya lima puluh tahun," kata Hermione, mengetuk-ngetuk buku itu dengan bergairah. "Jadi""
"Oh, Ron, bangun dong," gertak Hermione. "Kita tahu orang yang membuka Kamar Rahasia sebelum ini dikeluarkan lima puluh tahun lalu. Kita tahu T.M. Riddle mendapatkan penghargaan untuk pengabdian istimewa kepada sekolah lima puluh tahun lalu. Nah, bagaimana kalau Riddle mendapatkan penghargaan istimewanya karena dia menangkap pewaris Slytherin" Buku hariannya mungkin akan memberitahu kita segalanya: di mana Kamar Rahasia itu, dan bagaimana
membukanya dan makhluk macam apa yang tinggal di dalamnya. Orang yang berada di belakang penyeranganpenyerangan kali ini tidak ingin bukunya tergeletak di sembarang tempat, kan""
"Teori yang hebat sekali, Hermione," kata Ron, "ha-nya saja ada satu kendala kecil. Tidak ada tulisan apa pun di dalam buku harian itu."
Tetapi Hermione mengeluarkan tongkatnya dari da-lam tas. "Mungkin tintanya tinta yang tidak kelihatan!" dia berbisik. Diketuknya buku harian itu tiga kali, dan dia berkata, "Aparecium!"
Tak ada yang terjadi. Tidak putus asa, Hermione menjejalkan kembali tongkatnya ke dalam tasnya dan mengeluarkan sesuatu yang kelihatannya seperti setip merah cerah.
"Ini Penampak, aku beli di Diagon Alley," katanya. Hermione menggosok keras-keras pada halaman "satu Januari". Tak ada yang terjadi.
"Sudah kubilang, tak ada yang bisa ditemukan di situ," kata Ron. "Riddle mendapatkan buku harian itu sebagai hadiah Natal dan tak mau repot-repot mengisi-nya."
Harry tak bisa menjelaskan, bahkan kepada dirinya sendiri, kenapa dia tidak membuang saja buku harian Riddle. Nyatanya, meskipun dia tahu buku harian itu kosong, berulang-ulang tanpa sadar dia mengambil dan membukabukanya, seakan itu buku cerita yang ingin diselesaikannya. Dan meskipun Harry yakin tidak pernah mendengar nama T.M. Riddle sebelumnya, nama itu rasanya berarti sesuatu baginya, rasanya seakan Riddle adalah temannya waktu dia masih kecil sekali, dan sudah setengah terlupakan. Tetapi ini aneh. Harry tak pernah punya teman sebelum masuk Hogwart
s. Dudley membuatnya tak punya teman. Meskipun demikian Harry bertekad untuk menge-tahui lebih banyak tentang Riddle. Maka hari berikut-nya, pada jam istirahat, dia menuju ke ruang piala, ditemani Hermione yang tertarik, dan Ron yang sama sekali tak yakin, yang mengatakan kepada mereka dia sudah muak dengan ruang piala sehingga seumur hidup tidak ke situ lagi pun tak apaapa. Trofi emas Riddle yang berkilat ada dalam lemari di sudut. Tidak ada data rinci tentang kenapa trofi itu dihadiahkan kepadanya ("Bagus, kalau ada datanya, trofinya pasti lebih besar dan aku masih menggosok-nya," kata Ron). Meskipun demikian, mereka menemu-kan nama Riddle di Medali tua untuk Penyihir Berjasa, dan di daftar Ketua Murid lama. "Kedengarannya seperti Percy," kata Ron, me-ngernyitkan hidung dengan jijik. "Prefek, Ketua Murid-mungkin juara kelas setiap tahun."
"Kau mengatakannya seakan itu hal buruk," kata Hermione agak sakit hati.
Matahari sekarang mulai bersinar lemah menyinari
Hogwarts lagi. Di dalam kastil, suasana sudah lebih ceria. Tak
ada lagi serangan sejak serangan terakhir terhadap Justin dan
Nick si Kepala-Nyaris-Putus. Madam Pomfrey dengan gembira
melaporkan bahwa Mandrake-mandrake sudah mulai murung
dan serba berahasia, yang berarti mereka sudah
meninggalkan masa kanak-kanak.
"Begitu jerawat mereka menghilang, mereka akan siap
untuk ganti pot lagi," Harry mendengarnya mem-beritahu Filch
dengan lembut suatu sore. "Dan sesudah itu, tak lama lagi
kita bisa memotong dan merebusnya. Kau akan segera
mendapatkan kembali Mrs Norris-mu.".
Mungkin si pewaris Slytherin sudah kehilangan nyali, pikir
Harry. Pastilah risiko membuka Kamar Rahasia semakin lama
semakin besar, dengan seluruh sekolah waspada dan curiga. Mungkin monsternya, entah apa bentuknya, sekarang bahkan sudah siap-siap tidur lagi untuk lima puluh tahun mendatang....
Ernie Macmillan dari Hufflepuff tidak berpandangan seceria
itu. Dia masih yakin bahwa Harry-lah yang bersalah, bahwa
Harry telah "membocorkan rahasia dirinya" di Klub Duel.
Peeves tidak membantu: dia bolak-balik muncul di koridorkoridor
sambil ber-nyanyi-nyanyi, "Oh, Harry, kau keji...,"
sekarang ma-lah sambil menari-nari.
Gilderoy Lockhart tampaknya berpikir dia seorang dirilah
yang membuat serangan-serangan itu berhenti. Harry
mendengarnya memberitahu Profesor McGonagall ketika anakanak
Gryffindor sedang ber-baris untuk mengikuti pelajaran
Transfigurasi. "Kurasa tak akan ada kesulitan lagi, Minerva," kata-nya, mengetuk-ngetuk hidungnya sok tahu dan mengedip. "Kurasa Kamar Rahasia sudah dikunci untuk selamanya kali ini. Pelakunya pastilah tahu, tinggal soal waktu saja sebelum aku menangkap mereka. Agak pintar juga berhenti sekarang, sebelum aku menghajar mereka. "Kau tahu, yang diperlukan sekolah sekarang adalah pengobar semangat. Mengguyur kenangan buruk se-mester lalu! Aku tak akan ngomong banyak soal itu sekarang, tapi kurasa aku tahu apa yang bisa membuat anak-anak lebih bergairah...."
Dia mengetuk hidungnya lagi dan pergi.
Ide Lockhart tentang pengobar semangat menjadi jelas
pada waktu sarapan tanggal empat belas Februari. Harry
hanya sempat tidur sebentar karena malamnya dia latihan
Quidditch sampai larut, dan dia bergegas turun ke Aula Besar.
ia sudah agak terlambat. Sesaat dia mengira dirinya salah
masuk. Dinding-dinding dipenuhi bunga-bunga merah jambu besar norak. Yang lebih parah lagi, konfeti berbentuk hati berjatuhan dari langit-langit biru pucat. Harry berjalan ke meja Gryffindor. Ron tampak sebal, dan Hermione kelihatannya agak geli.
"Ada apa ini"" Harry menanyai mereka, duduk, dan menyapu konfeti dari daging asapnya. Ron menunjuk ke meja guru, rupanya terlalu sebal untuk bicara. Lockhart memakai jubah merah jambu norak sesuai warna dekorasi, melambaikan tangan agar anak-anak diam. Wajah guru-guru di kiri-kanan-nya bagai dipahat dari batu. Dari tempat duduknya Harry bisa melihat ada otot yang berkedut di pipi Profesor McGonagall. Snape kelihatan seakan baru saja dipaksa meminum semangkuk besar Skele-Gro. "Selamat Hari Valentine!" Lockhart berteriak. "Dan izinkan aku mengucapkan terima kasih pad
a empat puluh enam orang yang sejauh ini sudah mengirimiku kartu! Ya, aku berinisiatif mengatur kejutan kecil ini untuk kalian semua-dan kejutan ini belum berakhir di sini!"
Lockhart menepukkan tangan dan dari pintu-pintu yang menghadap ke Aula Depan masuklah selusin kurcaci bertampang masam. Bukan sembarang kurcaci, tapi. Lockhart membuat mereka semua memakai sayap keemasan dan membawa harpa.
"Cupid-cupid pengantar-kartuku yang ramah!" kata Lockhart berseri-seri. "Mereka akan berkeliling sekolah hari ini, mengantar kartu Valentine kalian! Dan ke-gembiraan tidak berakhir di sini! Aku yakin kolega-kolegaku juga ingin bergabung dalam suasana penuh cinta ini! Kenapa tidak meminta Profesor Snape untuk mengajar kalian membuat Ramuan Cinta! Dan, ngomong-ngomong soal cinta, Profesor Flitwick tahu lebih banyak tentang Jimat Pemikat dari penyihir
mana pun yang pernah kutemui, si licik ini!" Profesor Flitwick membenamkan wajah di dalam tangannya. Tampang Snape seperti mau mengatakan orang pertama yang memintanya membuat Ramuan Cinta akan dicekoki racun.
"Hermione, mudah-mudahan kau bukan salah satu dari yang empat puluh enam itu," kata Ron, sementara mereka meninggalkan Aula Besar untuk pelajaran pertama mereka. Hermione mendadak menjadi sangat sibuk mencari-cari daftar pelajaran di dalam tasnya dan tidak menjawab. Sepanjang hari itu para kurcaci tak henti-hentinya bermunculan di kelas untuk mengantar kartu Valentine, sampai guru-guru menjadi jengkel sekali, dan sorenya, ketika anak-anak Gryffindor sedang naik untuk pelajaran Jimat dan Guna-guna, salah satu kurcaci mengejar Harry. "Oi, kau! 'Arry Potter!" seru kurcaci berwajah sangat murung, menyodok-nyodok anak-anak untuk bisa mendekati Harry.
Dengan wajah terasa amat panas memikirkan dia akan diberi kartu Valentine di depan serombongan anak kelas satu, termasuk Ginny Weasley, Harry ber-usaha menghindar. Si kurcaci memotong jalannya, dengan cara menabrak-nabrak tulang kering anak-anak, dan berhasil menghadangnya sebelum Harry bisa maju dua langkah. "Ada pesan musikal yang harus kusampaikan sendiri kepada 'Arry Potter," katanya, seraya memetik harpa-nya dengan gaya mengancam. "Tidak di sini," desis Harry, berusaha kabur. "Diam dulu!" gerutu si kurcaci, menyambar tas Harry dan menariknya. "Lepaskan aku!" bentak Harry, balas menarik. Dengan bunyi cabikan keras, tasnya robek jadi dua. Buku-bukunya, tongkat, perkamen, dan pena bulu bertebaran di lantai dan botol tintanya jatuh di atasnya, tintanya muncrat ke mana-mana.
Harry berjongkok gelagapan, berusaha mengumpul-kan semuanya sebelum si kurcaci mulai menyanyi, menyebabkan kemacetan di koridor.
"Ada apa di sini"" terdengar suara dingin Draco Malfoy. Harry cepat-cepat menjejalkan semuanya ke dalam tasnya yang robek, ingin sekali menjauh se-belum Malfoy bisa mendengar lagu Valentine-nya. "Ribut-ribut apa ini"" kata suara lain yang tak asing, ketika Percy Weasley tiba. Panik, Harry berusaha lari, tetapi si kurcaci menyam-bar lututnya, membuatnya jatuh terjerembap ke lantai. "Baiklah," katanya sambil duduk di atas pergelangan kaki Harry, "ini lagu Valentine-mu:


Harry Potter Dan Kamar Rahasia Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Matanya sehijau acar kodok segar, Rambutnya sehitam papan tulis. Ingin sekali aku memilikinya, Dia sungguh luar biasa, Pahlawan yang mengalahkan Pangeran Kegelapan."
Harry bersedia memberikan seluruh emas di Gringotts jika dia bisa menghilang di tempat saat itu juga. Memaksa diri ikut tertawa bersama yang lain, Harry bangkit. Kakinya kebas sehabis diduduki kurcaci yang berat itu. Sementara itu Percy berusaha sebisa mungkin membubarkan kerumunan anakanak, yang beberapa di antaranya tertawa sampai keluar air mata.
"Bubar, bubar, bel sudah bunyi lima menit yang lalu, ke kelas sekarang," katanya, menyuruh pergi anak-anak kelas satu. "Dan kau, Malfoy."
Harry, mengerling, melihat Malfoy membungkuk dan menyambar sesuatu. Sambil menyeringai dia me-nunjukkannya kepada Crabbe dan Goyle, dan Harry sadar
dia mengambil buku harian Riddle. "Kembalikan," kata Harry geram.
"Apa nih yang ditulis Potter di sini"" kata Malfoy, yang jelas tidak memperhatikan tahun yang tertera pada sampulnya, dan me
ngira dia mendapatkan buku harian Harry sendiri. Suasana menjadi hening, karena anak-anak langsung diam. Ginny memandang Harry dan buku harian itu bergantian, tampak ketakutan sekali.
"Kembalikan, Malfoy," kata Percy tegas. "Kalau sudah kubaca," kata Malfoy, melambai-lambaikan buku harian itu di depan Harry dengan mengejek. Percy berkata, "Sebagai Prefek sekolah...," tetapi Harry sudah kehabisan kesabaran. Dia menarik tongkatnya dan berteriak, "Expelliarmus!" dan sama seperti Snape yang melucuti Lockhart, buku harian itu melesat dari tangan Malfoy, terbang ke udara. Ron, nyengir lebar, menangkapnya. "Harry!" seru Percy keras. "Dilarang menggunakan sihir di koridor! Aku harus melaporkan ini, tahu!" Tetapi Harry tidak peduli. Dia berhasil mengalahkan Malfoy, dan itu layak dibayar dengan lima angka dari Gryffindor kapan saja. Malfoy marah sekali, dan ketika Ginny melewatinya untuk masuk ke kelasnya, dia berteriak menghina kepadanya, "Menurutku Potter sama sekali tidak menyukai Valentine-mu!" Ginny menutupi wajahnya dengan tangannya dan berlari ke kelas. Geram, Ron mencabut tongkatnya juga, tetapi Harry menariknya menjauh. Ron tak perlu menghabiskan jam pelajaran Jimat dan Guna-guna dengan bersendawa memuntahkan siput.
Baru setelah mereka tiba di kelas Profesor Flitwick, Harry menyadari ada yang aneh dengan buku harian Riddle. Semua bukunya yang lain basah kecipratan tinta merah. Tetapi buku harian itu sama bersihnya seperti sebelum botol tinta menjatuhinya. Dia mencoba memberitahukan ini kepada Ron, tetapi Ron mendapat kesulitan lagi dengan tongkatnya. Gelembung-gelembung besar ungu bermunculan dari ujungnya dan Ron tidak begitu tertarik pada hal lain.
Harry masuk kamar sebelum anak-anak lain malam ini. Sebagian karena dia tak tahan mendengar Fred dan George sekali lagi menyanyikan, "Matanya sehijau acar kodok segar," dan sebagian lagi karena dia ingin memeriksa buku harian Riddle lagi, dan dia tahu menurut Ron dia cuma membuangbuang waktu saja.
Harry duduk di tempat tidurnya dan membuka-buka halaman buku harian yang kosong. Tak satu pun yang ada noda tintanya. Kemudian dia mengeluarkan botol tinta baru dari lemari di sebelah tempat tidurnya, mencelupkan pena bulunya ke dalamnya, dan menjatuhkan satu tetes ke halaman pertama buku itu.
Tintanya berkilau terang di atas kertas selama sedetik dan kemudian, seakan diisap ke dalam halaman itu, menghilang. Tegang, Harry mencelupkan pena bulunya untuk kedua kalinya dan menulis, "Namaku Harry Potter." Kata-kata itu berkilau sejenak di halaman itu, lalu menghilang tanpa bekas juga. Kemudian, akhirnya, ada yang terjadi.
Muncul di halaman itu, dalam tintanya sendiri, rangkaian kata yang tak pernah ditulis Harry.
"Halo, Harry Potter. Namaku Tom Riddle. Bagaimana kau bisa mendapatkan buku harianku""
Kata-kata itu juga mengabur dan hilang, tetapi Harry sudah
sempat menulis balik. "Ada yang membuangnya di toilet."
Dia menunggu tanggapan Riddle dengan bergairah.
"Untung saja aku mencatat kenanganku dengan cara yang
lebih bertahan daripada tinta. Tapi dari dulu aku tahu, akan ada orang-orang yang tidak menginginkan buku harian ini dibaca."
"Apa maksudmu"" Harry menulis, tintanya sampai menetes saking tegangnya dia.
"Maksudku buku harian ini menyimpan kenangan akan peristiwa-peristiwa mengerikan. Peristiwa-peristiwa yang di-sembunyikan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Sekolah Sihir Hogwarts ini."
"Di situlah aku sekarang," Harry cepat-cepat me-nulis. "Aku di Hogwarts, dan akhir-akhir ini terjadi peristiwa-peristiwa mengerikan. Apakah kau tahu se-suatu tentang Kamar Rahasia""
Jantung Harry berdegup kencang. Jawaban Riddle muncul, tulisannya makin tidak rapi, seakan dia ter-buru-buru ingin menceritakan segala hal yang di-ketahuinya. "Tentu saja aku tahu tentang Kamar Rahasia. Pada zamanku bersekolah, mereka mengatakan itu cuma legenda, bahwa kamar itu tidak ada, Tetapi itu bohong. Dalam tahun kelimaku, kamar itu dibuka dan monsternya me-nyerang beberapa murid, akhirnya malah membunuh satu di antaranya. Aku menangkap orang yang membuka Kamar Rahasia itu dan dia dikeluarkan. Tetapi Kepala S
ekolah, Profesor Dippet, yang malu karena hal seperti itu terjadi di Hogwarts, melarangku menceritakan yang sebenarnya. Cerita yang dikeluarkan adalah anak perempuan itu meninggal dalam kecelakaan yang aneh. Mereka memberiku trofi bagus, berkilau dan berukir, dan memperingatkan aku untuk tutup mulut. Tetapi aku tahu peristiwa semacam itu bisa terjadi lagi. Monster itu masih hidup dan orang yang punya kekuasaan untuk melepaskannya tidak dipenjarakan. Harry nyaris saja menyenggol botol tintanya dalam ketergesaannya untuk menulis balik. "Sekarang sedang terjadi lagi. Sudah tiga kali ada serangan dan tampaknya tak seorang pun tahu siapa yang ada di belakangnya. Siapa dalang serangan-serangan yang dulu"" "Aku bisa menunjukkannya kepadamu," muncul jawaban Riddle. "Kau tak perlu sekadar mempercayai kata-kataku. Aku bisa membawamu ke dalam kenanganku pada malam aku menangkapnya."
Harry ragu-ragu, pena bulunya terangkat di atas buku harian itu. Apa maksud Riddle" Bagaimana dia bisa dibawa masuk ke dalam kenangan orang lain" Cemas dia mengerling ke pintu kamar, ke asrama yang sekarang sudah gelap. Ketika dia kembali me-mandang buku harian, dilihatnya kata-kata baru sedang terbentuk. "Ayo, kutunjukkan padamu."
Harry berpikir sebentar dan kemudian menulis tiga huruf. "Oke."
Halaman-halaman buku harian itu mulai membuka cepat seakan tertiup angin kencang, berhenti di tengah-tengah pada bulan Juni. Dengan mulut ter-nganga Harry melihat kotak kecil untuk tanggal tiga belas Juni berubah menjadi layar televisi mini. Dengan tangan sedikit gemetar, diangkatnya buku itu untuk mendekatkan matanya ke layar kecil itu dan sebelum sadar apa yang terjadi, dia terhuyung ke depan, layar itu membesar, dia merasakan tubuhnya meninggalkan tempat tidur dan terperosok, kepala lebih dulu, lewat lubang di halaman itu, ke dalam pusaran warna dan bayang-bayang. Harry merasa kakinya menginjak lantai keras, dan dia berdiri, gemetar, ketika sosok-sosok yang bagai bayangbayang kabur di sekitarnya mendadak menjadi jelas. Dia langsung tahu berada di mana. Ruang bundar dengan lukisan-lukisan yang sedang tidur ini adalah kantor Dumbledore-tetapi bukan Dumbledore yang duduk di
belakang meja. Seorang penyihir tua yang tampak ringkih, berkepala botak dengan hanya beberapa helai rambut putih, sedang membaca surat diterangi cahaya lilin. Harry belum pernah melihat pria ini.
"Maaf," katanya gemetar. "Saya tidak bermaksud mengganggu..." Tetapi si penyihir tidak mendongak. Dia terus saja membaca, mengernyit sedikit. Harry mendekat ke mejanya dan berkata gugup, "Eh... saya pergi saja, ya"" Masih saja si penyihir tidak mengacuhkannya. Ke-lihatannya malah dia tidak mendengarnya. Mengira mungkin si penyihir tuli, Harry mengeraskan suaranya. "Maaf mengganggu Anda, saya akan pergi seka-rang," katanya, setengah berteriak.
Si penyihir melipat surat itu seraya menghela napas,
bangkit, berjalan melewati Harry tanpa meliriknya, dan
menarik terbuka gorden jendelanya.
Langit di luar merah-jingga. Rupanya matahari sedang
terbenam. Si penyihir berjalan kembali ke mejanya, duduk,
dan memutar-mutar ibu jarinya, me-mandang pintu.
Harry memandang berkeliling ruangan itu. Tak ada Fawkes
si burung phoenix, tak ada peralatan perak yang berputar. Ini
Hogwarts pada zaman Riddle, ber-arti penyihir tak dikenal itu
adalah kepala sekolahnya, bukan Dumbledore, dan dia, Harry,
tak lebih dari bayangan, sama sekali tak kelihatan bagi orangorang
dari lima puluh tahun lalu.
Terdengar ketukan di pintu kantor.
"Masuk," kata si penyihir tua dengan suara lemah.
Seorang anak laki-laki kira-kira berusia enam belas tahun
masuk, mencopot topi kerucutnya. Lencana Prefek perak
berkilauan di dadanya. Dia jauh lebih jangkung daripada
Harry, tetapi dia juga berambut hitam legam.
"Ah, Riddle," kata si kepala sekolah. "Anda ingin menemui
saya, Profesor Dippet"" kata Riddle, kelihatan gugup.
"Duduklah," kata Dippet. "Aku baru saja membaca surat
yang kaukirim kepadaku." "Oh," kata Riddle. Dia duduk, kedua
tangannya saling mencengkeram erat-erat.
"Nak," kata Dippet lembut, "aku tak mungkin
meng-izinkanmu tinggal di sekolah
selama musim panas. Tentunya kau ingin pulang berlibur""
"Tidak," kata Riddle segera. "Saya lebih suka tinggal di
Hogwarts daripada pulang ke-ke..." "Kau tinggal di panti
asuhan Muggle selama liburan, kan"" kata Dippet ingin tahu.
"Ya, Sir," kata Riddle, wajahnya agak memerah.
"Kau kelahiran-Muggle""
"Setengah-setengah, Sir," kata Riddle. "Ayah Muggle, ibu penyihir." "Dan kedua orangtuamu..."" "Ibu saya meninggal setelah melahirkan saya, Sir.
Orang-orang di panti asuhan memberitahu saya, dia cuma hidup cukup lama untuk memberi nama saya: Tom sesuai nama ayah saya, Marvolo sesuai nama kakek saya." Dippet mendecakkan lidah bersimpati. "Masalahnya, Tom," dia menghela napas, "sebetulnya kami bisa mengatur secara khusus untukmu, tetapi dalam situasi seperti sekarang ini..."
"Maksud Anda semua serangan itu, Sir"" kata Riddle, dan hati Harry mencelos. Dia mendekat, takut ada yang ketinggalan tidak didengarnya.
"Persis," kata si kepala sekolah. "Nak, kau pasti sadar, betapa bodohnya aku kalau mengizinkanmu tinggal di kastil setelah tahun ajaran berakhir. Terutama kalau mengingat tragedi yang baru saja terjadi... ke-matian anak perempuan yang malang itu... Kau akan jauh lebih aman di panti asuhanmu. Terus terang saja, Kementerian Sihir sekarang bahkan sedang mem-bicarakan kemungkinan menutup sekolah ini. Kita tak mendapat kemajuan menemukan-ehsumber se-mua ketidaknyamanan ini..." Mata Riddle membesar.
"Sir-kalau orang itu tertangkap... Kalau semua ini dihentikan..."
"Apa maksudmu"" kata Dippet, suaranya sedikit melengking. Dia duduk tegak di kursinya. "Riddle, apakah maksudmu kau tahu sesuatu tentang serangan-serangan ini"" "Tidak, Sir," kata Riddle buru-buru. Tetapi Harry yakin itu model "tidak" yang sama seperti yang dia sendiri katakan kepada Dumbledore. Dippet terenyak kembali di kursinya, kelihatan agak kecewa. "Kau boleh pergi, Tom..."
Riddle bangkit dari kursinya dan keluar dari ruangan. Harry mengikutinya.
Mereka menuruni tangga spiral, muncul di sebelah gargoyle di koridor gelap. Riddle berhenti, begitu juga Harry, yang mengawasinya. Harry melihat bahwa Riddle sedang berpikir serius. Dia menggigit-gigit bibir-nya, dahinya berkerut. Kemudian, seakan mendadak telah mengambil ke-putusan, Riddle bergegas pergi. Harry membuntutinya tanpa suara. Mereka tidak bertemu orang lain sampai tiba di Aula Depan, ketika seorang penyihir pria jangkung berambut pirang panjang dan ber-jenggot juga pirang panjang, memanggil Riddle dari tangga pualam. "Mau apa kau berkeliaran selarut ini, Tom"" Harry ternganga memandang penyihir itu. Dia tak lain dan tak bukan adalah Dumbledore yang lima puluh tahun lebih muda.
"Saya baru dipanggil Kepala Sekolah, Sir," kata Riddle. "Nah, segeralah kembali ke kamarmu," kata, Dumbledore, memandang Riddle dengan tatapan tajam yang sangat dikenal Harry. "Sebaiknya jangan berkeliaran di koridor hari-hari ini. Apalagi sejak..."
Dumbledore menarik napas berat, mengucapkan se-lamat tidur kepada Riddle dan pergi. Riddle menunggunya lenyap dari pandangan, dan kemudian, bergerak cepat, menuruni tangga batu menuju ke ruang bawah tanah. Harry mengejarnya.
Tetapi betapa kecewanya Harry Riddle tidak membawanya ke lorong tersembunyi atau terowongan rahasia, melainkan ke ruang bawah tanah yang di-gunakan Harry untuk pelajaran Ramuan dengan Snape. Obor-obor belum dinyalakan, dan ketika Riddle menutup pintunya sampai hampir rapat, Harry hanya bisa melihat Riddle, berdiri tegak di sisi pintu, me-mandang lorong di luar.
Bagi Harry rasanya mereka berada di situ paling sedikit satu jam. Yang bisa dilihatnya hanyalah sosok Riddle di pintu, memandang keluar lewat celah, menunggu seperti patung. Dan ketika Harry sudah ber-henti berharap dan tegang, dan mulai ingin kembali ke masa kini, dia mendengar sesuatu bergerak di luar.
Ada yang merayap sepanjang lorong. Dia men-dengar entah siapa orangnya melewati ruang bawah tanah tempat dia dan Riddle bersembunyi. Riddle, diam bagai bayangan, menyelinap keluar dari pintu dan membuntutinya. Harry berjingkat di belakangnya, lupa bahwa dia tak bisa didengar. Selama kira-kira lima menit mereka
mengikuti lang-kah kaki itu, sampai Riddle mendadak berhenti, kepalanya condong ke arah suara-suara baru. Harry mendengar bunyi pintu berderit terbuka, dan kemu-dian ada yang berbisik serak. "Ayo... harus bawa kau keluar dari sini... ayolah... masuk kotak ini..."
Harry rasanya kenal suara itu.
Riddle tiba-tiba melompat dari sudut tempatnya mengintai. Harry melangkah di belakangnya. Dia bisa melihat siluet
seorang anak laki-laki tinggi besar se-dang berjongkok di depan pintu terbuka, sebuah kotak yang sangat besar di sebelahnya.
"Malam, Rubeus," kata Riddle tajam.
Anak itu membanting pintu sampai tertutup dan bangkit.
"Ngapain kau di bawah sini, Tom"" Riddle mendekat. "Sudah
selesai," katanya. "Aku akan melaporkanmu,
Rubeus. Mereka sudah membicarakan kemungkinan
menutup Hogwarts jika serangan-serangan tidak ber-henti."
"Apa maksud..."
"Kurasa kau tidak bermaksud membunuh siapa-siapa. Tapi monster bukanlah binatang piaraan yang baik. Kurasa kau cuma mengeluarkannya supaya dia bisa berjalan-jalan dan..." "Dia tak pernah bunuh siapa-siapa!" kata anak ringgi besar itu, mundur sampai ke pintu yang tertutup. Dari belakangnya, Harry bisa mendengar bunyi ber-keresek dan klak-klik yang aneh.
"Ayolah, Rubeus," kata Riddle, semakin mendekat. "Orangtua anak perempuan yang meninggal itu akan ke sini besok. Paling sedikit yang bisa dilakukan Hogwarts adalah memastikan monster yang mem-bunuh anak mereka dibantai..."
"Bukan dia!" raung si anak, suaranya bergema di lorong yang gelap. "Dia tak akan membunuh! Tak akan pernah!" "Minggir," kata Riddle, seraya menarik keluar tongkatnya. Mantranya menerangi lorong dengan sinar terang yang menyala. Pintu di belakang anak tinggi besar itu berdebam terbuka, begitu kuat sampai si anak terbang menabrak dinding di seberangnya. Dan dari dalamnya muncul sesuatu yang membuat Harry me-ngeluarkan jeritan panjang yang kelihatannya tak ada yang mendengarnya kecuali dia sendiri. Tampak sesosok besar, pendek, berbulu dan kaki-kaki hitam yang ruwet, kilatan banyak mata dan sepasang capit setajam silet. Riddle mengangkat tongkatnya lagi, tetapi terlambat. Makhluk itu me-nabraknya sampai terjengkang ketika dia lari, menyu-suri lorong dan menghilang dari pandangan. Riddle terhuyung bangun, mengejarnya. Dia mengangkat tongkatnya, tetapi anak tinggi besar itu melompat menerjangnya, merebut tongkatnya dan membanting-nya ke lantai, sambil berteriak, " JANGAAAAAAAN!"
Pemandangan ini berputar, segalanya menjadi gelap pekat, Harry merasa dirinya terjatuh dan dengan bunyi berdebum mendarat telentang di atas tempat tidurnya di kamar asrama Gryffindor, buku harian Riddle tergeletak terbuka di atas perutnya.
Sebelum dia sempat mengatur napasnya, pintu kamar
terbuka dan Ron masuk. "Kau di sini rupanya," katanya.
Harry duduk. Dia berkeringat dan gemetar.
"Ada apa"" tanya Ron, memandangnya dengan cemas.
"Hagrid, Ron. Hagrid-lah yang membuka Kamar Rahasia
lima puluh tahun yang lalu."
14 Cornelius Fudge Harry, Ron, dan Hermione sudah lama tahu bahwa Hagrid punya kegemaran khusus akan makhluk-makhluk besar mengerikan. Pada tahun pertama mereka di Hogwarts, Hagrid mencoba membesarkan naga di dalam pondok papannya yang kecil, dan masih perlu waktu lama sebelum mereka bisa melupakan anjing raksasa berkepala tiga yang dinamakannya "Fluffy"-si bulu lembut. Dan kalau, sebagai anak-anak, Hagrid mendengar ada monster disembunyikan di suatu tempat di kastil, Harry yakin dia pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa melihat monster itu. Mungkin sekali dia bahkan kasihan pada si monster yang telah dikurung begitu lama, dan berpendapat si monster pantas mendapat kesempatan untuk melemaskan kakinya yang banyak. Harry bisa membayangkan Hagrid yang berusia tiga belas tahun mencoba memakaikan kalung leher pada si monster.
Tetapi Harry sama yakinnya bahwa Hagrid tidak akan
pernah berniat membunuh siapa pun.
Harry setengah menyesal dia berhasil mengetahui
bagaimana menggunakan buku harian Riddle. Berulang-ulang
Ron dan Hermione memintanya menceritakan apa yang telah
dilihatnya, sampai dia muak sekali bercerita kepada mereka
dan muak akan pem bicaraan berputar-putar setelahnya.
"Riddle mungkin menangkap orang yang salah/' kata
Hermione. "Mungkin monster lain yang menyerang orangorang..."
"Berapa monster sih yang bisa disembunyikan di tempat
ini"" tanya Ron jemu.
"Kita sudah tahu bahwa Hagrid dikeluarkan," kata Harry sedih. "Dan serangan-serangan itu pastilah berhenti setelah Hagrid dikeluarkan. Kalau tidak, Riddle tak akan menerima penghargaannya."
Ron mencoba meninjaunya dari sudut lain.
"Riddle kedengarannya benar-benar mirip Percy- siapa
suruh dia menangkap Hagrid""
"Tapi monsternya sudah membunuh orang, Ron," kata Hermione.
"Dan Riddle terpaksa harus kembali ke panti asuhan Muggle kalau Hogwarts ditutup," kata Harry. "Aku tidak menyalahkannya kalau dia ingin tinggal di sini..." Ron menggigit bibir, kemudian berkata hati-hati, "Kau bertemu Hagrid di Knockturn Alley, kan, Harry"" "Dia sedang membeli Pembasmi Siput Pemakan-Daging," kata Harry cepat-cepat.
Ketiganya diam. Setelah lama hening, Hermione mengutarakan pertanyaan yang paling sulit dengan ragu-ragu, "Apakah menurut kalian sebaiknya kita pergi menanyai Hagrid tentang semua ini""
"Akan jadi kunjungan yang menyenangkan," kata Ron. "Halo, Hagrid, ceritakan kepada kami, apakah belakangan ini kau melepaskan sesuatu yang gila dan berbulu di kastil"" Pada akhirnya, mereka memutuskan tidak akan mengatakan apa-apa kepada Hagrid, kecuali kalau ada serangan lain, dan sementara hari demi hari berlalu tanpa bisikan dari suara tanpa tubuh, mereka punya harapan tak perlu bicara dengan Hagrid tentang kenapa dia dikeluarkan. Sudah hampir empat bulan sejak Justin dan Nick si Kepala-Nyaris-Putus dibuat Membatu, dan hampir semua orang berpendapat bahwa si penyerang, siapa pun dia, telah
menyingkir untuk selamanya. Peeves akhirnya sudah bosan dengan lagu "Oh, Harry, kau keji"-nya. Ernie Macmillan meminta Harry dengan cukup sopan untuk mengulurkan seember jamur berlompatan dalam pelajaran Herbologi pada suatu hari, dan pada bulan Maret beberapa Mandrake mengadakan pesta yang keras dan bising di Rumah Kaca nomor tiga. Ini membuat Profesor Sprout sangat gembira. "Begitu mereka mulai mencoba saling pindah ke dalam pot temannya, kita tahu mereka sudah dewasa sepenuhnya," katanya kepada Harry. "Maka kita akan bisa menyembuhkan anak-anak malang di rumah sakit itu."
Anak-anak kelas dua diberi sesuatu yang baru untuk dipikirkan selama liburan Paskah mereka. Sudah tiba waktunya memilih mata pelajaran mereka untuk kelas tiga. Persoalan yang-setidaknya bagi Hermione- sangat serius. "Bisa mempengaruhi seluruh masa depan kita/' katanya kepada Harry dan Ron, sementara mereka mempelajari daftar mata pelajaran baru, menandainya dengan tanda centang. "Aku cuma ingin tak ikut lagi pelajaran Ramuan," kata Harry.
"Tidak bisa," kata Ron muram. "Semua mata pelajaran lama masih harus diikuti, kalau tidak aku pasti sudah meninggalkan Pertahanan terhadap Ilmu Hitam." "Tapi itu kan penting sekali!" kata Hermione, kaget. "Tidak, kalau Lockhart yang mengajar," kata Ron. "Aku tidak belajar apa-apa dari dia kecuali jangan melepas pixie." Neville Longbottom dikirimi surat oleh semua penyihir dalam keluarganya, semua memberinya nasihat yang berbedabeda tentang apa yang harus dipilih. Cemas dan bingung, dia duduk membaca daftar mata pelajaran dengan lidah terjulur, menanyai anak-anak apakah menurut mereka Arithmancy kedengarannya lebih sulit daripada Rune Kuno. Rune adalah huruf-huruf alfabet kuno yang digunakan di Eropa Utara sekitar abad ketiga sampai ketiga belas. Selain alfabet, pelajaran Rune Kuno mencakup mantra-mantra kuno, juga puisi, sajak, ataupun lagu-lagu kuno yang mistis dan sulit dipahami. Dean Thomas, yang seperti Harry dibesarkan dalam keluarga Muggle, akhirnya memejamkan mata dan menotolnotolkan tongkatnya pada daftar, kemudian memilih mata pelajaran yang ditunjuk si tongkat. Hermione tidak mendengarkan nasihat siapa pun, tetapi memilih semua mata pelajaran.
Harry tersenyum muram pada diri sendiri ketika memikirkan apa yang akan dikatakan Paman Vernon dan Bibi Petunia jika dia mencoba mendiskusikan kariernya di dunia sihir dengan mere
ka. Bukannya tak ada yang membimbingnya. Percy Weasley dengan senang hati bersedia berbagi pengalaman. "Tergantung maumu ke mana, Harry," katanya. "Tak pernah terlalu awal untuk memikirkan masa depan, jadi kusarankan Ramalan. Orang menganggap Telaah tentang Muggle pilihan yang enteng, tapi aku pribadi berpendapat penyihir harus punya pemahaman menyeluruh tentang komunitas non-sihir, terutama jika merencanakan untuk bekerja bersama mereka-lihat saja ayahku, sepanjang waktu dia harus menangani urusan Muggle. Abangku, Charlie, dari dulu suka bekerja di luar ruangan, jadi dia memilih Pemeliharaan Satwa Gaib. Pilih sesuai kekuatanmu, Harry" Tapi satu-satunya yang menurut Harry benar-benar
dilakukannya dengan baik hanyalah Quidditch. Pada akhirnya, dia memilih pelajaran-pelajaran baru yang sama dengan Ron, dengan perhitungan kalau dia tidak bisa mengikutinya, dia punya teman yang baik untuk membantunya. Pertandingan Quidditch berikutnya bagi Gryffindor adalah melawan Hufflepuff. Wood memaksa timnya latihan setiap malam sehabis makan, sehingga Harry nyaris tak punya waktu kecuali untuk Quidditch dan mengerjakan PR. Meskipun demikian sesi latihan mulai membaik, atau paling tidak bertambah kering, dan pada malam sebelum pertandingan hari Sabtu, Harry naik ke kamarnya untuk mengembalikan sapunya, merasa kesempatan Gryffindor untuk memenangkan Piala Quidditch tidak pernah sebaik ini. Tetapi suasana hatinya yang gembira tidak berlangsung lama. Di puncak tangga yang menuju ke kamar, dia bertemu Neville Longbottom, yang kelihatan kalut. "Harry-aku tidak tahu siapa yang melakukannya. Aku baru saja menemukan..."
Memandang Harry ketakutan, Neville mendorong pintu kamar sampai terbuka.
Isi koper Harry dilemparkan ke mana-mana. Jubahnya
tergeletak robek di lantai. Seprai dan selimut dicopot dari
tempat tidurnya dan laci lemari di sebelah tempat tidurnya
ditarik terbuka, isinya bertebaran di atas kasur.
Harry berjalan ke tempat tidurnya, melongo, menginjak
beberapa halaman Tamasya dengan Troli yang lepas.
Ketika dia dan Neville sedang menarik selimut kembali ke
atas tempat tidurnya, Ron, Dean, dan Seamus masuk. Dean
mengumpat keras. "Apa yang terjadi, Harry""
"Entahlah," kata Harry. Tetapi Ron memeriksa j ubah-j ubah Harry. Semua kantongnya menggantung keluar. "Ada orang yang mencari-cari sesuatu," kata Ron. "Ada yang hilang""
Harry mulai memunguti semua barangnya dan melemparkannya ke dalam kopernya. Setelah melemparkan buku Lockhart yang terakhir, barulah dia sadar apa yang tidak ada.
"Buku harian Riddle hilang," katanya pelan kepada Ron.
"Apa"" Harry mengedikkan kepala ke arah pintu kamar dan Ron mengikutinya keluar. Mereka bergegas kembali ke ruang rekreasi Gryffindor, yang sudah setengah kosong, dan bergabung dengan Hermione, yang duduk sendirian, membaca buku berjudul Mempelajari Rune Kuno dengan Mudah.
Hermione kaget sekali mendengar berita itu.
"Tapi-hanya anak Gryffindor yang bisa mencurinya-tak
ada anak lain yang tahu kata kunci kita..."
"Justru itu," kata Harry.
Mereka terbangun keesokan harinya disambut sinar matahari yang cerah dan angin sepoi menyegarkan. "Kondisi sempurna untuk Quidditch!" kata Wood antusias di meja Gryffindor, sambil mengisi piringpiring anggota timnya dengan telur aduk. "Harry, ayo, kau perlu sarapan yang cukup."
Harry sejak tadi cuma memandang meja Gryffindor yang penuh, bertanya-tanya dalam hati kalau-kalau pemilik baru
buku harian Riddle ada di depan matanya. Hermione sudah mendesaknya untuk melaporkan pencurian ini, tetapi Harry tidak mau. Nanti dia terpaksa harus menceritakan kepada seorang guru tentang buku harian ini, dan berapa orang yang tahu kenapa Hagrid dikeluarkan lima puluh tahun lalu" Dia tak ingin menjadi orang yang mengungkit-ungkitnya. Selagi dia meninggalkan Aula Besar bersama Ron dan Hermione untuk mengambil peralatan Quidditch-nya, daftar kesulitan Harry yang sudah banyak bertambah dengan kesulitan baru yang sangat serius. Harry baru saja menginjakkan kaki di tangga pualam, ketika dia mendengar suara itu lagi, "Bunuh kali ini... biar kurobek... kucabik..." Harry berteriak keras, Ron d
an Hermione sampai melompat kaget.
"Suara itu!" kata Harry, menoleh melewati bahunya. "Aku
baru saja mendengarnya lagi-karian dengar""
Ron menggeleng, terbelalak. Tetapi Hermione
menempelkan tangan ke dahinya.
"Harry-kupikir aku baru saja mengerti! Aku harus ke
perpustakaan!" Dan dia berlari menaiki tangga.
"Apa yang dia mengerti"" tanya Harry bingung, masih memandang berkeliling, mencoba menebak dari mana datangnya suara itu.
"Jauh lebih banyak daripada yang kupahami," kata Ron geleng-geleng kepala.
"Tetapi kenapa dia harus ke perpustakaan"" "Karena itulah yang dilakukan Hermione," kata Ron, mengangkat bahu. "Kalau ragu-ragu, pergi ke perpustakaan." Harry berdiri ragu-ragu, mencoba mendengarkan suara itu lagi, tetapi anak-anak sekarang berduyun-duyun keluar dari Aula Besar di belakangnya, bicara keras-keras, keluar lewat pintu depan menuju ke lapangan Quidditch. "Lebih baik kau cepat naik," kata Ron. "Sudah hampir pukul sebelas-pertandingan akan dimulai'
Harry berlari ke Menara Gryffindor, mengambil Nimbus Dua Ribu-nya dan bergabung dengan kerumunan yang berduyunduyun menyeberangi halaman, tetapi pikirannya masih di kastil, bersama suara tanpa tubuh. Ketika dia memakai jubah merahnya di dalam kamar ganti, satu-satunya yang membuatnya terhibur hanyalah semua orang sekarang ada di luar untuk menonton pertandingan. Kedua tim berjalan memasuki lapangan di bawah tepukan riuh-rendah. Oliver Wood melakukan pemanasan dengan terbang mengelilingi tiang-tiang gol. Madam Hooch melepas bola-bolanya. Anak-anak Hufflepuff, yang bermain dengan seragam kuning kenari, berdiri bergerombol, mengadakan diskusi terakhir soal taktik.
Harry sedang menaiki sapunya ketika Profesor McGonagall
setengah berlari datang memasuki lapangan, membawa
megafon ungu besar. Hati Harry terasa seberat batu.
"Pertandingan hari ini dibatalkan," seru Profesor
McGonagall lewat megafon, berbicara kepada stadion yang
penuh sesak. Terdengar gemuruh "buu-buu" kecewa dan
teriakan-teriakan. Oliver Wood, tampak terpukul, mendarat
dan berlari mendekati Profesor McGonagall tanpa turun dari
sapunya. "Tapi, Profesor!" teriaknya. "Kami harus main... piala...
Gryffindor..." Profesor McGonagall tidak mengacuhkannya dan melanjutkan berteriak lewat megafonnya, "Semua anak diminta kembali ke ruang rekreasi asrama masing-masing. Di sana Kepala Asrama akan memberi keterangan yang lebih jelas. Secepat mungkin, ayo, ayo!"
Kemudian dia menurunkan megafon dan memberi isyarat
kepada Harry agar mendekat.
"Potter, kurasa lebih baik kau ikut aku...."
Harry yang bertanya-tanya dalam hati bagaimana Profesor
McGonagall bisa mencurigainya kali ini, melihat Ron
meninggalkan rombongan anak-anak yang mengeluh. Ron
berlari mengejar mereka menuju kastil. Betapa herannya
Harry, Profesor McGonagall tidak keberatan.
"Ya, mungkin lebih baik kau juga ikut, Weasley."
Beberapa anak yang berjalan di sekitar mereka menggerutu
karena pertandingannya dibatalkan, yang lain kelihatan
cemas. Harry dan Ron mengikuti Profesor McGonagall kembali
ke sekolah dan menaiki tangga pualam. Tetapi mereka tidak
dibawa ke kantor siapa-siapa kali ini.
"Ini akan sedikit mengagetkan," kata Profesor
McGonagall dengan suara lembut yang mengejutkan ketika
mereka mendekati rumah sakit. "Baru saja ada serangan
lain... serangan ganda lain."
Organ-organ dalam tubuh Harry serasa berjumpalitan. Profesor McGonagall membuka pintu, dan Harry dan Ron masuk.
Madam Pomfrey sedang membungkuk di atas anak kelas lima berambut ikal. Harry mengenalinya sebagai anak Ravenclaw yang pernah mereka tanyai jalan menuju ruang rekreasi Slytherin. Dan di tempat tidur di sebelahnya adalah... "Hermione!" Ron mengerang.
Hermione terbaring diam, matanya terbuka, pandangannya kosong.
"Mereka ditemukan dekat perpustakaan," kata Profesor McGonagall. "Kurasa kalian berdua tidak bisa menjelaskan ini" Ini ditemukan di lantai di sebelah mereka..." Profesor McGonagall memegang cermin bundar kecil. Harry dan Ron menggelengkan kepala, keduanya menatap Hermione.
"Aku akan menemani kalian kembali ke Menara Gryffindor," kata Profesor McGonagall berat. "Aku toh harus memberi
penjelasan kepada anak-anak."
"Semua murid sudah harus kembali ke ruang rekreasi asrama mereka paling lambat pukul enam sore. Tak seorang murid pun diizinkan meninggalkan asrama setelah waktu itu. Kalian akan ditemani seorang guru ke semua kelas setiap ganti pelajaran. Murid-murid dilarang ke kamar kecil tanpa ditemani guru. Semua latihan Quidditch dan pertandingan ditunda. Tak akan ada lagi kegiatan di malam hari/' Anak-anak Gryffindor yang memenuhi ruang rekreasi mendengarkan Profesor McGonagall dalam diam. Dia menggulung perkamen yang tadi dibacanya dan berkata dengan suara agak tercekat, "Tak perlu kutambahkan bahwa belum pernah aku sesedih ini. Mungkin sekolah akan ditutup jika pelaku di balik serangan-serangan ini tidak berhasil ditangkap. Aku mengimbau siapa saja yang merasa tahu sesuatu tentang serangan-serangan ini untuk melapor."
Profesor McGonagall memanjat keluar lubang lukisan dengan agak canggung, dan anak-anak Gryffindor langsung ramai.
"Itu berarti dua anak Gryffindor jatuh, belum lagi satu hantu Gryffindor, satu Ravenclaw, dan satu Hufflepuff," kata sahabat si kembar Weasley, Lee Jor-dan, sambil menghitung dengan jari-jarinya. "Apakah tidak ada guru yang sadar bahwa anak-anak Slytherin semua selamat" Bukankah sudah jelas sekali semua malapetaka ini datangnya dari Slytherin" Pewaris Slytherin, monster Slytherin-kenapa mereka tidak mengeluarkan saja semua anak Slytherin"" teriaknya, disambut anggukan dan tepukan di sana-sini. Percy Weasley duduk di kursi di belakang Lee, tetapi sekali ini dia tampaknya tak ingin mengemukakan pendapatnya. Dia tampak pucat dan terpukul.
"Percy shock," George memberitahu Harry perlahan. "Anak Ravenclaw itu-Penelope Clearwater-dia Prefek. Kurasa Percy tidak menyangka si monster akan berani menyerang Prefek/' Tetapi Harry hanya setengah mendengarkan. Dia tak bisa melenyapkan bayangan Hermione yang terbaring di tempat tidur rumah sakit, seakan terpahat dari batu. Dan jika pelakunya tidak segera ditangkap, berarti seumur hidup dia akan tinggal lagi bersama keluarga Dursley. Tom Riddle menyerahkan Hagrid, karena bila tidak dia harus tinggal di panti asuhan Muggle kalau sekolah ditutup. Harry sekarang paham betul bagaimana perasaan Riddle. "Apa yang akan kita lakukan"" kata Ron pelan di telinga Harry. "Apakah menurutmu mereka mencurigai Hagrid"" "Kita harus bicara dengannya," kata Harry, mengambil keputusan. "Aku tak percaya dia pelakunya kali ini, tetapi kalau dulu dia melepas monsternya, dia akan tahu bagaimana caranya masuk ke Kamar Rahasia, dan itu sudah awal yang bagus."
"Tetapi McGonagall bilang kita harus tinggal di menara kita kecuali untuk mengikuti pelajaran..." "Kurasa," kata Harry lebih pelan, "sudah waktunya mengeluarkan jubah tua ayahku lagi." Harry hanya mewarisi satu benda dari ayahnya: Jubah Gaib panjang keperakan, yang bisa membuat pemakainya tidak kelihatan. Jubah itu satu-satunya kesempatan bagi mereka agar bisa menyelinap keluar dari sekolah, untuk mengunjungi Hagrid tanpa diketahui siapa pun. Mereka pergi tidur pada jam yang biasa, menunggu sampai Neville, Dean, dan Seamus berhenti mendiskusikan Kamar Rahasia dan akhirnya tertidur, kemudian mereka bangun, berpakaian lagi, dan me-nyelubungkan jubah itu ke tubuh mereka. Perjalanan melewati koridor-koridor kastil yang kosong sungguh tidak nyaman. Harry, yang sudah beberapa kali berjalan-jalan di kastil pada malam hari, belum pernah melihatnya begitu ramai setelah matahari terbenam. Para guru, Prefek, dan hantu berpatroli di koridor berpasangan, memeriksa kalau kalau ada kegiatan yang tidak biasa. Jubah Gaib tidak membuat suara mereka tak bisa didengar, dan mereka tegang sekali ketika ibu jari kaki Ron terantuk sesuatu hanya beberapa meter dari tempat Snape berjaga. Untunglah Snape bersin hampir pada saat bersamaan dengan Ron mengumpat. Maka betapa leganya mereka ketika tiba di pintu depan yang terbuat dari kayu ek dan membukanya. Malam itu cerah dan berbintang. Mereka bergegas menuju
jendela-jendela pondok Hagrid yang terang, dan baru melepas Jubah Gaib ketika sudah tiba di depan pintu. Beberapa saat setelah m
ereka mengetuk, Hagrid membuka pintunya. Mereka ternyata berhadapan dengan Hagrid yang membidikkan panah ke arah mereka. Fang, si anjing besar, menyalak keras di belakangnya.
"Oh," kata Hagrid, menurunkan senjatanya dan menatap mereka. "Ngapain kalian berdua di sini"" "Untuk apa itu"" tanya Harry, menunjuk busur sambil melangkah masuk.
"Tidak... tidak apa-apa," gumam Hagrid. "Aku kira... tidak penting... Duduklah... aku buat teh..." Kelihatannya Hagrid tak sadar apa yang dilakukannya. Dia nyaris membuat apinya padam, menuangkan air dari ceret ke api, dan kemudian memukul jatuh teko teh dengan gerakan gugup tangannya yang besar.
"Kau tidak apa-apa, Hagrid"" tanya Harry. "Apakah kau sudah dengar tentang Hermione"" "Oh, aku dengar," kata Hagrid, suaranya agak tercekat. Dia berulang-ulang mengerling gugup ke jendela. Dia menuang air mendidih ke dalam dua cangkir besar untuk mereka berdua (lupa mencelupkan kantong tehnya) dan sedang menaruh sepotong kue buah di atas piring ketika terdengar ketukan keras di pintu.
Hagrid menjatuhkan kue buahnya. Harry dan Ron bertukar pandang panik, kemudian kembali menye-lubungkan Jubah Gaib ke tubuh mereka dan mundur ke sudut. Hagrid memastikan mereka sudah tersembunyi, menyambar busurnya, dan membuka pintu sekali lagi. "Selamat malam, Hagrid."
Ternyata yang datang Dumbledore. Dia masuk, kelihatan serius sekali, diikuti orang kedua yang bertampang sangat aneh.
Pria asing ini bertubuh pendek bulat dengan rambut abuabu
kusut dan wajah cemas. Dia memakai pakaian campur
aduk aneh: setelan bergaris-garis, dasi merah tua, jubah
hitam panjang, dan sepatu bot ungu berujung runcing.
Lengannya mengepit topi hijau-jeruk-limau.
"Itu bos Dad!" bisik Ron kaget. "Cornelius Fudge, Menteri
Sihir!" Harry menyikut keras Ron, menyuruhnya diam. Hagrid sudah pucat dan berkeringat. Dia menge-nyakkan diri di salah satu kursinya dan memandang Dumbledore dan Cornelius Fudge berganti-ganti.
"Kabar buruk, Hagrid," kata Fudge lugas. "Sangat buruk. Harus datang. Empat serangan pada anak-anak kelahiran-Muggle. Sudah terlalu jauh. Ke-menterian harus bertindak." "Bukan saya," kata Hagrid dengan pandangan memohon kepada Dumbledore, "Anda tahu saya tak pernah lakukan itu, Profesor Dumbledore, Sir..."
"Aku ingin mencamkan ini, Cornelius, bahwa Hagrid mendapatkan kepercayaanku sepenuhnya," kata Dumbledore, mengernyit kepada Fudge.
"Begini, Albus," kata Fudge, salah tingkah. "Riwayat masa lalu Hagrid merugikannya. Kementerian harus melakukan sesuatu-dewan sekolah sudah menghubungi kami." AMeskipun demikian, sekali lagi kukatakan, Cornelius, bahwa menyingkirkan Hagrid tidak akan membantu sedikit pun," kata Dumbledore. Mata birunya dipenuhi api yang belum
pernah dilihat Harry. "Cobalah melihatnya dari sudut pandangku," kata Fudge, meremas-remas topinya. "Aku di bawah banyak tekanan. Harus dilihat melakukan sesuatu. Kalau nanti ternyata bukan Hagrid, dia akan dikembalikan il"in tak akan disebut-sebut lagi. Tapi aku harus membawanya sekarang. Harus. Tidak menjalankan kewajibanku kalau..."
"Bawa saya"" kata Hagrid, gemetar. "Bawa saya ke mana"" "Cuma untuk sementara waktu," kata Fudge, tanpa berani menatap Hagrid. "Bukan hukuman, Hagrid, lebih untuk berjaga-jaga. Kalau nanti ada orang lain yang ditangkap, kau akan dikeluarkan dengan permohonan maaf penuh..." "Tidak ke Azkaban, kan"" seru Hagrid parau. Sebelum Fudge bisa menjawab, terdengar ketukan keras lagi di pintu.
Dumbledore membukanya. Kali ini giliran Harry disikut rusuknya: dia terpekik kaget.
Mr Lucius Malfoy melangkah masuk ke pondok Hagrid, berselubung jubah perjalanan hitam panjang, senyumnya dingin dan puas. Fang mulai menggeram. "Sudah di sini, Fudge," katanya senang. "Bagus, bagus..." "Mau apa kau ke sini"" kata Hagrid berang. "Keluar dari rumahku!"
"Hagrid, percayalah, aku sama sekali tak senang berada di-eh... kausebut ini rumah"" kata Lucius Malfoy mencemooh sambil memandang berkeliling pondok kecil itu. "Aku tadi mampir di sekolah dan diberitahu Kepala Sekolah ada di sini." "Dan apa persisnya yang kauinginkan dariku, Lucius"" kata Dumbledore. Dia bicara dengan sopan
, tetapi api masih menyala-nyala di mata birunya.
"Hal yang sangat tidak enak, Dumbledore," kata Mr Malfoy santai, mengeluarkan gulungan panjang per-kamen, "tetapi dewan sekolah merasa sudah waktunya kau menyingkir. Ini Perintah Penskorsan-kau akan menemukan keseluruhan dua belas tanda tangan di sini. Kami merasa kau sudah kehilangan sentuhanmu. Berapa serangan yang sudah terjadi" Dua lagi sore ini, kan" Dengan kecepatan begini, tak akan ada anak kelahiran-Muggle yang tersisa di Hogwarts, dan kita semua tahu itu akan jadi kehilangan besar bagi sekolah." "Oh, Lucius," kata Fudge, kelihatan kaget. "Dumbledore diskors... jangan, jangan... itu hal terakhir yang kita inginkan sekarang ini..."
"Pengangkatan-atau penskorsan-kepala sekolah adalah urusan dewan sekolah, Fudge," kata Mr Malfoy lancar. "Dan karena Dumbledore sudah gagal menghentikan seranganserangan ini..."
"Tapi, Lucius, kalau Dumbledore tidak bisa menghentikannya...," kata Fudge, yang bagian atas bibirnya berbintik-bintik keringat sekarang, "aku mau mengatakan, siapa yang bisa""
"Kita lihat saja nanti," kata Mr Malfoy dengan senyum menyebalkan. "Tetapi karena kami berdua belas sudah memutuskan..."
Hagrid melompat bangun, kepalanya yang berambut lebat
awut-awutan menyentuh langit-langit.
"Dan berapa yang sudah kauancam dan kauperas sebelum
mereka setuju, Malfoy, eh"" raung Hagrid.
"Wah, wah, kau tahu, sifatmu yang berangasan begitu akan
menyulitkanrnu hari-hari ini, Hagrid," kata Mr Malfoy.
"Kusarankan kau jangan berteriak begitu pada penjaga Azkaban. Mereka sama sekali tak akan senang." "Kau tak boleh ambil Dumbledore!" teriak Hagrid, membuat Fang meringkuk dan merintih di keranjangnya. "Bawa dia pergi, dan anak-anak kelahiran-Muggle tak punya harapan sama sekali! Berikutnya akan terjadi pembunuhan!" "Tenangkan dirimu, Hagrid!" kata Dumbledore tajam. Dia menatap Lucius Malfoy.
"Kalau dewan menginginkan aku diganti, Lucius, aku tentu saja akan mundur." "T-tapi...," gagap Fudge. "Tidak!" geram Hagrid.
Dumbledore tidak mengalihkan matanya yang biru cemerlang dari mata Lucius yang dingin abu-abu. "Meskipun demikian," kata Dumbledore, berbicara sangat lambat dan jelas, sehingga tak seorang pun dari mereka tidak menangkap semua ucapannya, "kau akan tahu bahwa aku hanya akan benar-benar meninggalkan sekolah ini kalau sudah tak ada lagi yang setia kepadaku di sini. Kau juga akan tahu bahwa bantuan akan selalu diberikan di Hogwarts kepada siapa pun yang memintanya."
Sejenak, Harry nyaris yakin mata Dumbledore terarah ke sudut tempat dia dan Ron bersembunyi. "Sikap sentimental yang layak dikagumi," kata Malfoy, membungkuk. "Kami semua akan kehilangan-eh-caramu yang sangat individual dalam mengatur segalanya, Albus, dan hanya berharap peng-gantimu akan bisa mencegah-ah- 'pembunuhan'"
Malfoy melangkah ke pintu pondok, membukanya, dan membungkuk mempersilakan Dumbledore keluar. Fudge, gelisah meremas-remas topinya, menunggu Hagrid berjalan mendahuluinya. Tetapi Hagrid tetap di tempatnya, menarik napas dalam-dalam, dan berkata hati-hati, "Kalau ada yang mau tahu sesuatu, yang harus mereka lakukan hanya ikuti labah-labah. Labah-labah akan bawa mereka ke yang benar! Cuma itu yang mau kukatakan/' Fudge memandangnya keheranan.
"Baiklah, aku ikut," kata Hagrid, memakai mantel kulit tikus mondoknya. Tetapi ketika dia sudah akan keluar dari pintu mengikuti Fudge, dia berhenti lagi dan berkata keras-keras, "Dan harus ada yang kasih makan Fang selama aku tak ada." Pintu berdebam tertutup dan Ron menarik lepas Jubah Gaib.
"Kita dalam kesulitan sekarang," katanya serak. "Tak ada lagi Dumbledore. Sama saja dengan mereka menutup sekolah malam ini. Akan terjadi serangan tiap hari kalau Dumbledore tak ada."
Fang mulai melolong, menggaruk-garuk pintu yang tertutup.
15 Aragog Musim panas merayapi halaman sekeliling kastil. Langit dan danau sama-sama berubah biru cerah, dan bunga-bunga sebesar kol bermekaran di dalam rumah-rumah kaca. Tetapi tanpa Hagrid yang bisa dilihat dari jendela kastil, berjalan kian kemari di halaman diiringi Fang, Harry merasa ada yang tidak benar dengan pemandangan di


Harry Potter Dan Kamar Rahasia Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luar itu. Sama seperti di dalam kastil, suram karena terjadinya peristiwa-peristiwa mengerikan.
Harry dan Ron sudah berusaha mengunjungi Hermione, tetapi sekarang rumah sakit tidak menerima pengunjung. "Kami tidak mau ambil risiko/' Madam Pomfrey memberitahu mereka lewat celah di pintu. "Tidak, maaf, ada kemungkinan si penyerang muncul lagi untuk menghabisi anak-anak yang malang ini...."
Dengan kepergian Dumbledore, ketakutan menyebar- hal yang tak pernah terjadi sebelumnya- sehingga matahari yang menghangatkan tembok kastil - di luar kelihatannya berhenti di jendela-jendela bersekat. Nyaris tak ada wajah di sekolah yang tidak tampak cemas dan tegang, dan kalau ada tawa yang terdengar di koridor, tawa itu terdengar nyaring dan tidak wajar, dan segera dihentikan. Harry tak henti-hentinya mengulangi kata-kata terakhir Dumbledore untuk dirinya sendiri. "Aku hanya akan benarbenar meninggalkan sekolah ini kalau sudah tak ada lagi yang setia kepadaku di sini... Bantuan akan selalu diberikan di Hogwarts kepada siapa pun yang memintanya." Tetapi apa gunanya kata-kata itu" Siapa persisnya yang harus mereka mintai bantuan, kalau semua orang sama bingung dan takutnya seperti mereka"
Petunjuk Hagrid tentang labah-labah lebih mudah dimengerti-kesulitannya adalah, kelihatannya di kastil tak tersisa lagi seekor labah-labah pun yang bisa mereka ikuti. Harry mencari-cari ke mana pun dia pergi, dibantu (dengan agak enggan) oleh Ron. Mereka dihambat, tentu saja, oleh kenyataan bahwa mereka tidak diizinkan berjalan ke manamana sendiri, melainkan harus berombongan dengan anakanak Gryffindor lain. Sebagian besar teman mereka tampaknya senang ditemani oleh para guru dari kelas ke kelas, tetapi bagi Harry ini sangat menjengkelkan. Meskipun demikian, ada satu anak yang kelihatannya sangat menikmati suasana penuh teror dan kecurigaan. Draco Malfoy berjalan sok gagah berkeliling sekolah seakan dia baru ditunjuk jadi Ketua Murid. Harry tidak menyadari apa yang membuat Malfoy begitu senang, sampai pelajaran Ramuan, kira-kira dua minggu sesudah Dumbledore dan Hagrid pergi. Waktu itu Harry, yang kebetulan duduk tepat di belakang Malfoy, mendengarnya menyombongkan diri kepada Crabbe dan Goyle.
"Dari dulu aku sudah menduga, Ayah-lah yang akan berhasil menyingkirkan Dumbledore," katanya, tanpa berusaha memelankan suaranya. "Aku kan sudah bilang, Ayah menganggap Dumbledore kepala sekolah paling buruk yang pernah dipunyai sekolah ini. Mungkin sekarang kita akan dapat kepala sekolah yang layak. Orang yang tidak menginginkan Kamar Rahasia dikunci. McGonagall tidak akan bertahan lama, dia cuma mengisi kekosongan..."
Snape melewati Harry, tidak berkomentar tentang tempat
duduk dan kuali Hermione yang kosong.
"Sir," kata Malfoy keras-keras. "Sir, kenapa Anda tidak
melamar untuk jabatan kepala sekolah""
"Wah, wah, Malfoy," kata Snape, meskipun dia tidak bisa
menyembunyikan senyum bibir-tipisnya. "Profesor Dumbledore
hanya diskors oleh dewan sekolah. Dia akan segera kembali
bersama kita." "Yeah, betul," kata Malfoy, mencibir. "Saya yakin Anda akan mendapat dukungan Ayah, Sir, kalau Anda ingin mengisi jabatan ini. Saya akan bilang pada Ayah, Anda guru paling hebat di sini, Sir..."
Snape menyeringai ketika dia berkeliling ruang bawah tanah. Untunglah dia tidak melihat Seamus Finnigan, yang berpura-pura muntah ke dalam kualinya.! "Aku heran para Darah-lumpur belum juga mengepak tas mereka/' Malfoy meneruskan. "Berani taruhan lima Galleon, yang berikutnya pasti mati. Sayang bukan si Granger..." Untunglah saat itu bel berdering. Mendengar kata-kata terakhir Malfoy tadi, Ron sudah melompat bangun dari tempat duduknya, dan dalam kesibukan anak-anak membereskan tas dan buku-buku, tak ada yang memperhatikan dia mencoba menyerang Malfoy.
"Biar kuberi pelajaran dia," geram Ron ketika Harry dan Dean memegangi lengannya. "Aku tak peduli, aku tidak perlu tongkatku, akan kubunuh dia dengan tangan kosong..." "Ayo cepat, aku harus mengantar kalian semua ke Herbologi," bentak Snape kepada anak-anak, dan mereka pun berangkatlah, beriringan, dengan Harry, Ron, dan Dean paling belak
ang. Ron masih berusaha melepaskan diri. Baru aman melepasnya ketika Snape sudah mengantar mereka sampai ke luar kastil, dan mereka melewati petak-petak kebun sayur menuju ke rumah-rumah kaca.
Kelas Herbologi sangat muram. Kini sudah dua orang dari mereka tak ada, Justin dan Hermione. Profesor Sprout menyuruh mereka memangkasi dahan dan ranting-ranting kering pohon ara Abyssinia. Harry sedang akan melempar sepelukan dahan kering ke tumpukan kompos ketika ternyata dia berhadapan dengan Ernie Macmillan. Ernie menarik napas dalam-dalam dan berkata, sangat resmi, "Aku cuma ingin mengatakan, Harry, bahwa aku menyesal telah men-curigaimu. Aku tahu kau tak akan pernah menyerang Hermione Granger, dan aku minta maaf untuk semua yang pernah kukatakan. Kita berada di perahu yang sama sekarang, dan, yah..."
Dia mengulurkan tangannya yang gemuk dan Harry menjabatnya.
Ernie- dan temannya Hannah bergabung dengan Harry dan Ron,-memangkas pohon ara yang sama.
"Si Draco Malfoy itu," kata Ernie, mematahkan rantingranting kering, "dia kelihatannya senang sekali dengan semua kejadian ini, ya" Tahu tidak, kupikir mungkin dialah si pewaris Slytherin."
"Pintar sekali kau," komentar Ron, yang kelihatannya tidak semudah Harry memaafkan Ernie.
"Menurutmu Malfoy-kah orangnya, Harry"" tanya Ernie. "Bukan," kata Harry tegas sekali sehingga Ernie dan Hannah keheranan menatapnya.
Sesaat kemudian, Harry melihat sesuatu yang membuatnya memukul tangan Ron dengan gunting tanamannya.
"Ouchl Apa sih mak..."
Harry menunjuk ke tanah kira-kira satu meter dari mereka. Beberapa labah-labah besar bergegas di atas tanah. "Oh, yeah," kata Ron, mencoba, dan gagal, untuk tampak senang. "Tapi kita tidak bisa mengikuti mereka sekarang..." Ernie dan Hannah mendengarkan dengan ingin tahu. Harry melihat para labah-labah itu berlari menjauh. "Kelihatannya mereka menuju Hutan Terlarang..." Dan Ron kelihatan makin tidak senang mendengar ini. Pada akhir pelajaran, Profesor Snape mengantar mereka ke kelas Pertahanan terhadap Ilmu Hitam. Harry dan Ron sengaja berjalan berlama-lama di belakang yang lain agar bisa bicara tanpa didengar siapa pun.
"Kita harus memakai Jubah Gaib lagi," kata Harry kepada Ron. "Kita bisa membawa Fang. Dia sudah terbiasa masuk ke hutan bersama Hagrid, mungkin dia bisa membantu." "Betul," kata Ron, yang gugup memelintir tongkatnya dengan jari-jarinya. "Eh-bukankah-bukankah katanya ada manusia serigala di dalam Hutan Terlarang"" dia menambahkan, ketika mereka duduk di tempat biasa, di tempat duduk paling belakang di kelas Lockhart. Harry yang lebih suka tidak menjawab pertanyaan itu, berkata, "Ada hal-hal baik juga di sana. Centaurus-nya baikbaik. Juga unicorn-nya."
Ron belum pernah masuk Hutan Terlarang. Harry pernah ke sana sekali, dan berharap tidak perlu masuk hutan itu lagi. Lockhart melompat masuk ke dalam kelas dan anak-anak memandangnya keheranan. Semua guru yang lain lebih muram dari biasanya, tetapi Lockhart kelihatan penuh semangat.
"Ayolah," serunya, tersenyum ke seluruh kelas, "kenapa semua murung begini""
Anak-anak bertukar pandang putus asa, tetapi tak seorang pun menjawab.
"Apakah kalian tidak menyadari/' kata Lockhart, bicara
lambat-lambat, seakan mereka semua agak bodoh, "bahaya
telah lewat! Pelakunya sudah dibawa pergi""
"Siapa bilang"" kata Dean Thomas keras.
"Anak muda, Menteri Sihir tidak akan menangkap Hagrid
kalau dia tidak yakin seratus persen bahwa Hagrid bersalah,"
kata Lockhart dengan nada seperti menjelaskan bahwa satu
ditambah satu sama dengan dua.
"Oh, bisa saja dia menangkap Hagrid, walaupun tidak
yakin," kata Ron, lebih keras daripada Dean.
"Aku bangga pada diriku sendiri karena aku tahu sedikit
lebih banyak tentang penangkapan Hagrid daripada kau, Mr
Weasley," kata Lockhart dengan nada puas diri.
Ron sudah akan membantah, tetapi kalimatnya berhenti di
tengah ketika Harry menendangnya keras-keras di bawah
meja. "Kita tidak berada di sana, ingat"" gumam Harry.
Tetapi keriangan Lockhart yang menjijikkan, komentar komentarnya
yang menunjukkan bahwa dari dulu dia
berpendapat Hagrid tak ada gunanya, keyakinannya bahwa
urusan p enyerangan ini sekarang sudah beres, menjengkelkan
Harry begitu rupa sehingga ingin sekali rasanya dia
melemparkan buku Heboh dengan Hantu ke muka tolol
Lockhart. Tetapi alih-alih begitu, dia berusaha puas dengan
menulis pesan kepada Ron: "Yuk kita lakukan malam ini."
Ron membaca pesan itu, menelan ludah dengan susah, dan menoleh ke sebelahnya, ke tempat kosong yang biasanya diduduki Hermione. Pemandangan ini kelihatannya menguatkan tekadnya, dan dia mengangguk.
Ruang rekreasi Gryffindor selalu ramai hari-hari ini, karena setelah pukul enam sore, anak-anak Gryffindor tak bisa pergi ke tempat lain. Mereka juga punya banyak hal untuk dibicarakan, sehingga akibatnya ruang rekreasi sering belum kosong sampai lewat tengah malam.
Harry mengambil Jubah Gaib dari dalam kopernya sehabis makan malam, dan melewatkan malam itu duduk di atasnya, menunggu ruangan kosong. Fred dan George menantang Harry dan Ron untuk bermain Jentikan Meletup dan Ginny menonton mereka, sangat lesu, di kursi yang biasa diduduki Hermione. Harry dan Ron berkali-kali kalah dengan sengaja, agar permainan cepat selesai. Meskipun demikian, sudah lewat tengah malam ketika Fred, George, dan Ginny akhirnya pergi tidur.
Harry dan Ron menunggu bunyi dua pintu kamar yang tertutup di kejauhan, sebelum menyambar Jubah Gaib, menyelubungkannya ke tubuh mereka dan melompati lubang lukisan.
Perjalanan di dalam kastil tak.kalah sulitnya, mereka harus menghindari para guru. Akhirnya mereka tiba di Aula Depan, menggeser selot gerendel di pintu depan, menyelinap keluar, berusaha tidak membual suara, dan melangkah ke lapangan rumput yang ditimpa cahaya bulan. "Tentu saja," kata Ron tiba-tiba, selagi mereka berjalan di atas rumput yang gelap, "bisa saja kita sampai di hutan dan ternyata tidak ada yang bisa diikuti. Para labah-labah itu siapa tahu tidak ke sana. Aku tahu kelihatannya mereka bergerak ke arah sana, tapi..." Suaranya mengabur penuh harap. Mereka tiba di pondok Hagrid, tampak suram dan menyedihkan dengan jendela-jendelanya yang gelap. Ketika Harry mendorong pintunya, Fang seperti gila saking girangnya melihat mereka. Cemas Fang bisa membangunkan semua orang di kastil dengan gong-gongannya yang keras, mereka buru-buru memberinya gulali dari dalam kaleng di atas perapian, yang membuat gigi-gigi Fang saling menempel. Harry meninggalkan Jubah Gaib di atas meja Hagrid. Mereka tidak memerlukannya di dalam hutan yang gelap gulita.
"Ayo, Fang, kita jalan-jalan," kata Harry, membelai kakinya, dan Fang melompat dengan riang gembira keluar rumah mengikuti mereka, berlari ke tepi hutan dan mengangkat satu kakinya di pohon sycamore besar. Harry mengeluarkan tongkatnya, menggumamkan, "humosl" dan cahaya kecil muncul di ujung tongkatnya, sekadar cukup bagi mereka untuk melihat jalan setapak mencari labah-labah.
"Ide bagus," kata Ron. "Aku mau juga menyalakan tongkatku, tapi kau tahu, kan-malah akan meledak atau entah apa..."
Harry mengetuk bahu Ron, menunjuk ke rerumputan. Dua ekor labah-labah berlari menjauh dari cahaya tongkat ke dalam kegelapan bayang-bayang pepohonan. "Oke/1 Ron menghela napas, seakan menyerah pada nasib
untuk menerima yang paling buruk. "Aku siap. Ayo, kita berangkat."
Maka, dengan Fang berlarian di sekitar mereka, mengendus-endus akar pohon dan dedaunan, mereka memasuki hutan. Diterangi cahaya dari tongkat Harry, mereka mengikuti rombongan kecil labah-labah yang semakin bertambah, bergerak sepanjang jalan setapak. Mereka berjalan selama kira-kira dua puluh menit, tanpa bicara, memasang telinga tajam-tajam untuk mendengar bunyi lain selain dahan patah atau gemeresik dedaunan. Kemudian, ketika pepohonan sudah semakin rapat, sehingga bintangbintang di langit tak lagi kelihatan, dan tongkat Harry bersinar sendiri dalam lautan kegelapan, mereka melihat labah-labah pemandu mereka meninggalkan jalan setapak. Harry berhenti, mencoba melihat ke mana labah-labah itu pergi, tetapi segala sesuatu di luar lingkaran cahaya kecilnya gelap gulita. Belum pernah dia masuk ke hutan sampai sejauh ini. Dia masih ingat jelas, Hagrid melarangnya meninggalkan jalan setapak ketika
dia di sini beberapa waktu lalu. Tetapi Hagrid entah berapa kilometer jauhnya dari sini sekarang, mungkin duduk dalam sel di Azkaban, dan dia juga sudah berpesan untuk mengikuti labah-labah. Sesuatu yang basah menyentuh tangan Harry, dan dia melompat ke belakang, menginjak kaki Ron, tapi ternyata cuma hidung Fang.
"Bagaimana menurutmu"" tanya Harry kepada Ron, yang cuma kelihatan matanya, yang memantulkan cahaya tongkatnya.
"Kita sudah sampai sejauh ini," kata Ron. Maka mereka mengikuti kelebat bayang-bayang labahlabah menembus pepohonan. Mereka tak bisa bergerak cepat sekarang, ada akar-akar pohon dan tunggul menghalangi mereka, yang nyaris tak tampak dalam kegelapan. Harry bisa merasakan napas panas Fang di tangannya. Lebih dari sekali, mereka harus berhenti, supaya Harry bisa berjongkok dan menemukan labah-labah itu dengan cahaya tongkatnya. Mereka berjalan selama paling tidak setengah jam, jubah mereka tersangkut-sangkut pada dahan-dahan yang rendah dan semak berduri. Setelah beberapa saat, mereka memperhatikan bahwa tanah kelihatannya melandai, meskipun pepohonan masih serapat sebelumnya. Kemudian mendadak Fang menggonggong keras, bergema, membuat Harry dan Ron melompat kaget sekali. "Apa"" kata Ron keras, memandang berkeliling dalam kegelapan yang pekat, memegangi siku Harry kuat-kuat. "Ada yang bergerak di sana," kata Harry tertahan. "Dengar... Kedengarannya sesuatu yang besar." Mereka mendengarkan. Agak jauh di sebelah kanan mereka, sesuatu yang besar itu mematahkan dahan-dahan ketika dia mencari jalan menerobos pepohonan. "Oh tidak," kata Ron. "Oh tidak, oh tidak, oh..." "Diam," kata Harry cemas. "Dia akan mendengarmu." "Mendengari"" kata Ron dengan suara tinggi melengking yang tidak wajar. "Dia sudah dengar. Fang!" Kegelapan serasa menekan bola mata mereka ketika mereka berdiri ketakutan, menunggu. Terdengar gemuruh aneh, kemudian sunyi. "Sedang apa dia"" tanya Harry. "Mungkin bersiap-siap menyerang," kata Ron.
Mereka menunggu, gemetar, nyaris tak berani bergerak. "Apa menurutmu dia sudah pergi"" bisik Harry "Entahlah..." Kemudian, di sebelah kanan mereka, mendadak muncul sinar terang benderang, begitu menyilaukan dalam gelap, sehingga mereka berdua mengangkat tangan untuk menutupi mata. Fang mendengking dan berusaha lari, tetapi tersangkut belukar berduri dan mendengking lebih keras lagi. "Harry!" Ron berteriak, suaranya lega sekali. "Harry, mobil kita!" "Apa"" "Ayo!"
Harry gelagapan mengikuti Ron mendekati cahaya itu, terhuyung dan terantuk, dan sebentar kemudian mereka telah tiba di lapangan terbuka.
Mobil Mr Weasley berdiri, kosong, di tengah lingkaran pepohonan yang rapat, di bawah atap dahan-dahan yang lebat, lampu depannya menyala terang. Ketika Ron dengan ternganga berjalan mendekatinya, mobil itu bergerak perlahan menyongsongnya, persis seperti anjing besar hijau toska yang menyambut tuannya.
"Rupanya selama ini ada di sini!" kata Ron senang, berjalan mengelilingi mobil itu. "Lihat. Hutan telah membuatnya liar..." Kanan-kiri mobil itu tergores dan berlumur lumpur. Rupanya dia berkeliling hutan sendiri. Fang sama sekali tidak tertarik pada mobil itu. Dia berada dekat-dekat Harry, yang bisa merasakan anjing itu gemetar. Setelah napasnya mulai teratur, Harry memasukkan tongkatnya ke dalam jubahnya lagi.
"Dan kita mengira dia akan menyerang kita!" kata Ron, bersandar pada mobil itu dan membelainya. "Selama ini aku bertanya-tanya sendiri ke mana perginya dia!" Harry menyipitkan mata, memandang berkeliling tanah yang terang untuk mencari-cari labah-labah, tetapi mereka semua sudah menyingkir dari silaunya cahaya lampu mobil. "Kita kehilangan jejak," katanya. "Ayo, kita cari mereka." Ron tidak menanggapi. Dia tidak bergerak. Matanya terpaku ke satu titik kira-kira tiga meter dari tanah, tepat di belakang Harry. Wajahnya pucat pasi, ngeri. Harry bahkan tak sempat menoleh. Terdengar bunyi klakklik keras, dan mendadak dia merasa sesuatu yang panjang dan berbulu mencengkeram pinggangnya dan mengangkatnya dari tanah, terbalik, sehingga dia menggantung dengan kepala di bawah. Memberontak, ketakutan, dia mendengar
bunyi klak-klik lagi dan melihat kaki Ron meninggalkan tanah juga, mendengar Fang merintih dan melolong-saat berikutnya Harry sudah diayun ke dalam pepohonan yang gelap. Dengan kepala di bawah, Harry melihat bahwa makhluk yang memeganginya berjalan dengan enam kaki yang sangat panjang dan berbulu. Dua kakinya yang paling depan, yang letaknya di bawah sepasang penjepit hitam berkilat, mencengkeramnya erat-erat. Di belakangnya, dia bisa mendengar satu lagi makhluk yang sama, tak diragukan lagi membawa Ron. Mereka bergerak ke jantung hutan. Harry bisa mendengar Fang berkutat melepaskan diri dari monster ketiga, mendengking keras, tetapi Harry tak bisa menjerit, kalaupun dia ingin. Rasanya dia sudah meninggalkan suaranya di mobil di lapangan terbuka tadi. Harry tak pernah tahu berapa lama dia berada dalam cengkeraman makhluk itu. Dia cuma tahu kegelapan
mendadak cukup pudar sehingga dia bisa melihat tanah yang berselimut dedaunan sekarang dipenuhi labah-labah. Menoleh ke samping, dia menyadari bahwa mereka telah tiba di tepi tanah kosong yang membentuk semacam lubang besar. Tak ada pohon di situ, sehingga bintang-bintang bersinar menerangi pemandangan paling mengerikan yang pernah dilihatnya.
Labah-labah. Bukan labah-labah kecil-kecil seperti yang muncul ke atas daun di tanah. Labah-labah sebesar kereta kuda, bermata delapan, berkaki delapan, hitam, berbulu, bertubuh raksasa. Labah-labah besar yang membawa Harry menuruni tanah yang melandai, menuju ke jaring berkabut berbentuk kubah yang berada persis di tengah lubang, sementara kawan-kawannya berkerumun mengelilinginya, mengatup-ngatupkan capit mereka dengan bergairah melihat tangkapannya.
Pertapa Cemara Tunggal 1 Pendekar Sakti Im Yang Karya Rajakelana Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 2

Cari Blog Ini