Ceritasilat Novel Online

Piala Api 5

Harry Potter Dan Piala Api Harry Potter And The Goblet Of Fire Karya J.k. Rowling Bagian 5


"Mereka tampak lebih riang daripada anak-anak Beauxbatons," komentar Harry.
Anak-anak Durmstrang melepas mantel bulu mereka yang berat dan mendongak menatap langit-langit hitam bertabur bintang dengan ekspresi penuh minat. Dua orang di antara mereka mengangkat piring dan piala emas dan menelitinya, tampak terkesan sekali.
Di meja guru, Filch si penjaga sekolah menambah kursi-kursi. Dia memakai jas-buntut tuanya yang berjamur untuk menghormati pesta ini. Harry heran melihatnya menambahkan empat kursi, masing-masing dua di kanan-kiri Dumbledore.
"Kan cuma ada tambahan dua orang," kata Harry. "Kenapa Filch menaruh empat kursi" Siapa lagi yang akan datang""
"Eh"" kata Ron tak paham. Dia masih menatap Krum dengan penuh minat.
Setelah semua anak memasuki Aula Besar dan duduk di meja masing-masing, para guru masuk, berjalan ke meja guru dan duduk. Yang berjalan paling belakang adalah Profesor Dumbledore, Profesor Karkaroff, dan Madame Maxime. Ketika kepala sekolah mereka muncul, murid-murid Beauxbatons langsung melompat berdiri. Beberapa anak Hogwarts tertawa. Meskipun demikian rombongan Beauxbatons tidak tampak malu, dan belum duduk lagi sebelum Madame Maxime duduk di sebelah kiri Dumbledore. Dumbledore tetap berdiri, dan Aula Besar menjadi sunyi senyap.
"Selamat malam, anak-anak, para guru, para hantu... dan terutama para tamu," kata Dumbledore, te
rsenyum kepada murid-murid dari luar negeri. "Dengan sukacita besar aku menyambut kedatangan kalian semua di Hogwarts. Aku berharap dan percaya selama kalian tinggal di sini, kalian akan nyaman dan senang."
Salah seorang anak Beauxbatons, yang masih memegangi selendang yang mengerudungi kepalanya, tertawa, yang kentara sekali mengejek.
"Tak ada yang menyuruhmu tinggal!" bisik Hermione, siap berperang dengannya.
"Turnamen akan dibuka resmi seusai pesta ini," kata Dumbledore. "Sekarang aku mengundang kalian semua untuk makan, minum, dan anggap saja di rumah sendiri!"
Dia duduk, dan Harry melihat Karkaroff langsung membungkuk mengajaknya bicara.
Piring-piring di depan mereka dipenuhi makanan seperti biasanya. Para peri-rumah di dapur rupanya mengeluarkan seluruh kepiawaian mereka. Di depan
mereka tersaji lebih banyak jenis masakan daripada yang pernah dilihat Harry, termasuk beberapa yang jelas sekali asing.
"Apa itu"" tanya Ron, menunjuk sepiring besar kerang bersaus di sebelah piring daging panggang. "Bouillabaisse," kata Hermione. "Buset," kata Ron.
"Masakan Prancis" kata Hermione. "Aku pernah makan waktu liburan musim panas dua tahun lalu. Enak sekali."
"Iya deh," kata Ron, mengambil puding.
Aula Besar rasanya jauh lebih penuh daripada biasanya, walaupun cuma ketambahan dua puluh anak. Mungkin karena seragam mereka yang berwarna lain kelihatan mencolok sekali di tengah jubah hitam Hogwarts. Sekarang setelah membuka mantel mereka, tampak anak-anak Durmstrang memakai jubah merah darah.
Hagrid memasuki aula melalui pintu di belakang meja guru dua puluh menit setelah pesta dimulai. Dia menyelinap ke tempat duduknya di ujung meja dan melambai kepada Harry, Ron, dan Hermione dengan tangan yang terbebat tebal.
"Skrewt-nya oke-oke saja, Hagrid"" seru Harry.
"Sehat semua," balas Hagrid riang.
"Yeah, aku yakin begitu," kata Ron santai. "Rupanya mereka akhirnya menemukan makanan yang mereka suka, iya, kan" Jari-jari Hagrid."
Pada saat itu terdengar suara berkata, "Maaf, kalian mau bouillabaisse itu""
Rupanya si gadis Beauxbatons yang tertawa waktu Dumbledore berpidato. Dia akhirnya melepas selendangnya. Rambutnya yang panjang keperakan menjuntai sampai hampir mencapai pinggangnya. Matanya besar, dalam, berwarna biru tua, dan giginya sangat rata dan putih.
Wajah Ron langsung ungu. Dia menatap si gadis, membuka mulut untuk menjawab, tapi tak ada suara sang keluar kecuali seperti bunyi kumur samar-samar.
"Tidak, silakan," kata Harry, mendorong piringnya ke arah si gadis.
"Kalian sudah tidak mau tambah lagi""
"Tidak," jawab Ron menahan napas. "Yeah, enak
sekali." Si gadis mengangkat piring itu dan membawanya hati-hati ke meja Ravenclaw. Ron masih terbelalak menatapnya, seakan dia belum pernah melihat anak perempuan. Harry tertawa. Suara tawanya rupanya menyadarkan Ron.
"Dia Veelal" katanya parau kepada Harry.
"Tentu saja bukan!" tukas Hermione masam. "Orang lain tak ada yang melongo seperti orang idiot melihatnya!"
Tetapi Hermione tidak sepenuhnya benar. Ketika si gadis menyeberangi aula, banyak kepala anak laki-laki yang menoleh dan beberapa di antaranya mendadak untuk sementara tak bisa bicara, persis seperti Ron.
"Percaya deh, dia bukan cewek normal!" kata Ron, mencondongkan dirinya supaya bisa melihatnya lebih jelas. "Tidak ada yang seperti itu di Hogwarts!"
"Cewek Hogwarts oke juga," kata Harry tanpa berpikir. Cho kebetulan duduk hanya beberapa kursi jauhnya dari si gadis berambut perak.
"Kalau mata kalian berdua sudah balik ke tempatnya," kata Hermione tegas, "kalian akan bisa melihat siapa yang baru saja datang."
Dia menunjuk ke meja guru. Kedua kursi yang kosong baru saja terisi. Ludo Bagman duduk di sebelah Profesor Karkaroff, sementara Mr Crouch, bos Percy, di sebelah Madame Maxime.
"Mau apa mereka di sini"" tanya Harry keheranan.
"Mereka mengorganisir Turnamen Triwizard, kan"" kata Hermione. "Kurasa mereka ingin berada di sini untuk menyaksikan pembukaannya."
Ketika makanan penutup disajikan, mereka melihat beberapa jenis makanan asing juga. Ron meneliti sepiring blancmange pucat, lalu dengan hati-hati menggesernya bebe
rapa senti ke sebelah kanannya, supaya terlihat jelas dari meja Ravenclaw. Tetapi rupanya si gadis yang secantik Veela sudah kenyang dan tidak datang mengambilnya.
Begitu piring-piring emas telah dibersihkan, Dumbledore berdiri lagi. Ketegangan yang menyenangkan memenuhi aula. Harry bergairah, ingin tahu apa yang akan terjadi. Beberapa kursi dari mereka,
Fred dan George mencondongkan tubuh ke depan, menatap Dumbledore penuh konsentrasi.
"Saatnya telah tiba," kata Dumbledore, tersenyum berkeliling ke arah lautan wajah yang mendongak. "Turnamen Triwizard akan segera dimulai. Aku ingin menyampaikan beberapa patah kata sebelum petinya dibawa masuk..."
"Apa"" gumam Harry.
Ron mengangkat bahu. "... sekadar memperjelas prosedur yang akan kita ikuti tahun ini. Tetapi pertama-tama, izinkan aku memperkenalkan, bagi yang belum mengenal mereka, Mr Bartemius Crouch, Kepala Departemen Kerjasama Sihir Internasional"-di sana-sini terdengar tepukan sopan- "dan Mr Ludo Bagman, Kepala Departemen Permainan dan Olahraga Sihir."
Terdengar tepukan yang lebih keras untuk Bagman, mungkin karena ketenarannya sebagai Beater, atau sederhana saja, karena dia tampak jauh lebih menyenangkan. Dia menyambutnya dengan lambaian riang. Bartemius Crouch tidak tersenyum ataupun melambai ketika namanya disebut. Mengingat dia dalam setelan jasnya yang rapi waktu Piala Dunia Quidditch, Harry berpendapat dia malah tampak ganjil memakai jubah penyihir. Kumis sikat-giginya dan belahan rambutnya yang super-rapi tampak aneh sekali di sebelah rambut dan jenggot panjang Dumbledore.
"Mr Bagman dan Mr Crouch telah bekerja tak kenal lelah selama beberapa bulan terakhir ini mempersiapkan penyelenggaraan Turnamen Triwizard," Dumbledore
meneruskan, "dan mereka akan bergabung denganku, Profesor Karkaroff, dan Madame Maxime dalam dewan juri yang akan menilai usaha para juara."
Begitu kata "juara" disebut, perhatian anak-anak yang mendengarkan semakin tajam. Mungkin Dumbledore memperhatikan keheningan yang mendadak melanda, karena dia tersenyum ketika berkata, "Petinya, tolong, Mr Filch."
Filch, yang sejak tadi bersembunyi tanpa ada yang memperhatikan di sudut aula yang jauh, sekarang mendekati Dumbledore dengan menggotong peti kayu besar bertatahkan permata. Peti itu tampak sudah sangat tua. Gumam ketertarikan terdengar di antara anak-anak. Dennis Creevey malah sampai berdiri di atas kursi supaya bisa melihatnya dengan jelas, tetapi, karena dia kecil mungil, kepalanya hampir tidak lebih tinggi dari kepala teman-temannya.
'Instruksi pelaksanaan tugas-tugas yang akan dihadapi para juara tahun ini sudah diperiksa oleh Mr Crouch dan Mr Bagman," kata Dumbledore ketika Filch meletakkan peti itu dengan hati-hati di atas meja di depannya, "dan mereka sudah menyelesaikan persiapan yang dibutuhkan untuk masing-masing tantangan. Akan ada tiga tugas, dilaksanakan dalam rentang waktu sepanjang tahun ajaran, dan ketiga tugas ini akan mengetes para juara dalam berbagai hal- kecakapan sihir mereka- keberanian mereka-kelihaian mereka menarik kesimpulan-dan, tentu saja kemampuan mereka dalam menghadapi bahaya."
Mendengar kata terakhir Dumbledore, aula total sunyi senyap, seakan tak seorang pun bernapas.
"Seperti yang telah kalian ketahui, tiga juara akan bersaing dalam turnamen," Dumbledore meneruskan dengan tenang, "satu juara dari masing-masing sekolah yang berpartisipasi. Mereka akan dinilai berdasarkan bagaimana prestasi mereka dalam masing-masing tugas, dan juara yang mengumpulkan jumlah nilai terbanyak setelah pelaksanaan ketiga tugas akan memenangkan Piala Triwizard. Ketiga juara akan dipilih oleh penyeleksi yang tidak berpihak: Piala Api."
Dumbledore sekarang mengeluarkan tongkat sihirnya dan mengetuk bagian atas peti tiga kali. Tutup peti perlahan membuka. Dumbledore menjangkau ke dalamnya dan mengeluarkan piala kayu besar yang kasar buatannya. Piala itu sama sekali tak akan menarik perhatian kalau saja tidak dipenuhi nyala api biru yang menari-nari sampai ke tepiannya.
Dumbledore menutup peti dan meletakkan piala dengan hati-hati di atasnya, sehingga bisa dilihat jelas oleh semu
a orang di Aula Besar. "Siapa saja yang berminat mendaftarkan diri sebagai juara harus menuliskan nama dan sekolahnya dengan jelas di atas secarik perkamen dan memasukkannya ke dalam piala," kata Dumbledore. "Para peminat punya waktu dua puluh empat jam untuk memasukkan nama mereka. Besok malam, Halloween, si piala akan mengembalikan tiga nama yang dinilainya paling layak mewakili sekolah masing-masing. Piala ini akan diletakkan di Aula Depan malam ini, supaya mudah dicapai oleh siapa pun yang ingin ikut bertanding.
"Untuk memastikan agar tak ada pelajar di bawah umur yang menyerah terhadap godaan," kata
Dumbledore, "aku akan membuat Lingkaran Batas Usia di sekeliling Piala Api setelah piala ini diletakkan di Aula Depan. Tak seorang pun yang berusia di bawah tujuh belas tahun akan bisa melewati lingkaran ini.
"Yang paling akhir, aku ingin menekankan kepada kalian yang berminat ambil bagian, bahwa turnamen ini tak bisa dianggap enteng. Begitu juara telah dipilih oleh Piala Api, dia wajib mengikuti turnamen sampai akhir. Pemasukan nama kalian ke dalam piala merupakan kontrak sihir yang mengikat. Tak boleh berubah pikiran kalau kalian sudah terpilih menjadi juara. Karena itu kalian harus yakin benar, bahwa kalian sepenuh hati bersedia bermain sebelum memasukkan nama ke dalam piala. Sekarang kurasa sudah tiba waktunya untuk tidur. Selamat tidur kepada semuanya."
"Lingkaran Batas Usia!" kata Fred Weasley, matanya berkilat-kilat, ketika mereka semua berjalan ke pintu yang menuju Aula Depan. "Nah, lingkaran itu akan tertipu oleh Ramuan Penua, kan" Dan begitu namamu sudah di dalam piala, kau tertawa... piala itu tak akan bisa membedakan apakah kau sudah tujuh belas atau belum!"
"Tapi kurasa siapa pun yang berumur di bawah tujuh belas tahun tak akan punya kesempatan," kata Hermione, "kita belum belajar cukup banyak...""Terserah kau," kata George pendek. "Kau akan berusaha ikut, kan, Harry""
Sekilas Harry teringat peringatan keras Dumbledore bahwa pelajar di bawah tujuh belas tahun dilarang memasukkan nama, tetapi kemudian gambaran
menyenangkan dirinya memenangkan Turnamen Triwizard memenuhi kepalanya lagi... Dia bertanya dalam hati, seberapa marahnya Dumbledore kalau ada anak di bawah tujuh belas tahun yang berhasil melewati Lingkaran Batas Usia....
"Di mana dia"" tanya Ron, yang tidak mendengarkan sepatah pun pembicaraan ini, melainkan sibuk mencari-cari Krum di tengah kerumunan. "Dumbledore tidak bilang di mana anak-anak Durmstrang tidur, kan""
Tetapi pertanyaannya ini langsung terjawab. Mereka sedang melewati meja Slytherin ketika Karkaroff bergegas mendekati murid-muridnya.
"Kita kembali ke kapal," katanya. "Viktor, bagaimana perasaanmu" Apa kau makan cukup" Perlukah aku memesan anggur gandum dari dapur""
Harry melihat Krum menggeleng sambil memakai kembali mantel bulunya.
"Profesor, saya ingin minum anggur," kata salah seorang murid Durmstrang yang lain penuh harap.
"Aku tidak menawariraw, Poliakoff," bentak Karkaroff, sikap kebapakannya yang hangat mendadak saja lenyap. "Kulihat makanan menetesi lagi bagian depan jubahmu, menjijikkan..."
Karkaroff berbalik dan memimpin murid-muridnya ke pintu, mencapai pintu pada saat yang bersamaan dengan Harry, Ron, dan Hermione. Harry berhenti untuk memberi kesempatan mereka lewat lebih dulu.
"Terima kasih," kata Karkaroff sambil lalu, mengerlingnya.
Dan kemudian Karkaroff membeku. Dia menoleh lagi dan memandang Harry seakan tak mempercayai matanya. Di belakang kepala sekolah mereka, anak-anak Durmstrang ikut berhenti. Mata Karkaroff perlahan merayap naik memandang wajah Harry dan terpaku pada bekas lukanya. Anak-anak Durmstrang ikut memandang Harry dengan penasaran. Dari sudut matanya, Harry melihat beberapa wajah mereka mulai paham. Si anak laki-laki, yang bagian depan jubahnya berlepotan makanan, menyodok gadis di sebelahnya dan terang-terangan menunjuk bekas luka di dahi Harry.
"Yeah, itu Harry Potter," kata suara menggeram dari belakang mereka.
Profesor Karkaroff berputar. Mad-Eye Moody berdiri bertumpu pada tongkatnya, mata gaibnya mendelik memandang kepala sekolah Durmstran
g tanpa kedip. Wajah Karkaroff langsung pucat pasi. Campuran kemurkaan dan ketakutan menyelimutinya.
"Kau!" katanya, memandang Moody seakan tak yakin melihatnya.
"Aku," kata Moody suram. "Dan kalau kau tak perlu bicara dengan Potter, Karkaroff, silakan jalan terus. Kau memblokir pintu."
Memang benar, separo murid di dalam aula sekarang menanti di belakang mereka, saling berjingkat melongok dari bahu temannya untuk mengetahui apa penyebab kemacetan ini.
Tanpa sepatah kata pun lagi Profesor Karkaroff membawa murid-muridnya pergi bersamanya. Moody menatapnya sampai dia lenyap dari pandangan, mata gaibnya terpancang di punggung Karkaroff, wajahnya yang penuh bekas luka dipenuhi kebencian mendalam.
Karena esok harinya Sabtu, sebagian besar anak-anak biasanya sarapan lebih siang. Meskipun demikian, ternyata bukan hanya Harry, Ron, dan Hermione yang bangun lebih awal dari kebiasaan mereka pada akhir minggu. Ketika mereka turun ke Aula Depan, mereka melihat kira-kira dua puluh anak sudah berada di situ, beberapa di antaranya mengunyah roti panggang, semuanya menonton Piala Api. Piala itu diletakkan di tengah aula, di atas bangku yang biasanya menjadi singgasana Topi Seleksi. Garis tipis keemasan telah tergambar di lantai, membentuk lingkaran bergaris tengah enam meter. "Sudah ada yang memasukkan nama"" Ron menanyai seorang anak perempuan kelas tiga dengan bersemangat.
"Semua anak Durmstrang," anak itu menjawab. "Tapi aku belum melihat anak Hogwarts satu pun."
"Taruhan, pasti mereka memasukkan nama semalam setelah kita semua tidur," kata Harry. "Kalau aku ikut, aku begitu... aku tak mau ada yang lihat. Bagaimana kalau pialanya langsung memuntahkan lagi namamu""
Ada yang tertawa di belakang Harry. Ketika dia menoleh, dilihatnya Fred, George, dan Lee Jordan bergegas menuruni tangga, ketiganya tampak amat bergairah.
"Beres," bisik Fred penuh kemenangan kepada Harry, Ron, dan Hermione. "Baru saja kami minum."
"Apa"" tanya Ron.
"Ramuan Penua, otak kerbau," kata Fred.
"Masing-masing setetes," kata George, menggosok-gosokkan kedua tangannya dengan gembira. "Kami cuma perlu lebih tua beberapa bulan."
"Kami akan membagi tiga hadiah seribu Galleon itu kalau salah satu dari kami menang," kata Lee, nyengir lebar.
"Aku tak yakin ini akan'berhasil," Hermione memperingatkan. "Aku yakin Dumbledore pasti sudah memperhitungkan ini."
Fred, George, dan Lee mengabaikannya.
"Siap"" kata Fred penuh semangat kepada kedua sekongkolnya. "Ayo kalau begitu... aku duluan..."
Harry mengawasi, terpesona, ketika Fred menarik secarik perkamen dari dalam sakunya yang bertulisan Fred Weasley-Hogwarts. Fred berjalan sampai ke tepi lingkaran dan berdiri berjingkat, seperti penyelam yang bersiap terjun dari ketinggian lima belas meter. Kemudian, diawasi pandangan semua anak yang ada di Aula Depan, dia menarik napas dalam-dalam dan melangkah melewati garis.
Selama sepersekian detik Harry mengira dia berhasil- George jelas mengira begitu, karena dia mengeluarkan pekik kemenangan dan melompat menyusul Fred-tetapi saat berikutnya terdengar bunyi desis keras, dan si kembar terlempar dari dalang lingkaran emas seakan mereka dilontarkan oleh hantaman tongkat golf yang tak kelihatan. Mereka mendarat kesakitan sejauh tiga meter dari lingkaran di lantai batu yang dingin, dan sebagai
tambahan rasa sakit yang mereka derita, terdengar bunyi plop keras, dan di dagu keduanya muncul begitu saja jenggot putih panjang yang identik.
Aula Depan dipenuhi tawa keras. Bahkan Fred dan George ikut tertawa, setelah mereka bangun dan melihat jenggot masing-masing.
"Kan sudah kuperingatkan," kata suara dalam yang geli. Semua anak menoleh dan melihat Profesor Dumbledore keluar dari Aula Besar. Dia memandang Fred dan George, matanya berkilauan. "Kusarankan kalian berdua menemui Madam Pomfrey. Dia sudah menangani Miss Fawcett dari Ravenclaw dan Mr Sum-mers dari Hufflepuff, keduanya memutuskan untuk menuakan diri sedikit juga. Meskipun harus kuakui, jenggot mereka berdua tak sebagus jenggot kalian."
Fred dan George pergi ke rumah sakit di sayap kastil, ditemani Lee, yang terbahak-bahak. Harry, Ron
, dan Hermione, yang juga terkekeh, masuk ke Aula Besar untuk sarapan.
Dekorasi Aula Besar sudah berubah pagi ini. Karena ini Hari Halloween, segerombolan kelelawar hidup beterbangan di sekeliling langit-langit sihir sementara ratusan labu kuning, yang sudah diukir membentuk kepala, menyeringai dari segala sudut. Harry mengajak kedua sahabatnya ke tempat Dean dan Seamus, yang sedang mendiskusikan murid-murid Hogwarts yang sudah berumur tujuh belas tahun atau lebih yang mungkin mendaftar.
"Ada isu bahwa Warrington bangun pagi-pagi sekali dan memasukkan namanya," Dean memberitahu Harry. "Anak Slytherin yang mirip kukang itu."
Harry, yang pernah bermain Quidditch melawan Warrington, menggelengkan kepalanya dengan jijik.
"Mana bisa juara kita anak Slytherin!"
"Dan semua anak Hufflepuff membicarakan Diggory," kata Seamus penuh penghinaan. "Tapi dugaanku dia tak akan mau ambil risiko mencederai wajah cakepnya."
"Dengar!" kata Hermione tiba-tiba.
Terdengar sorakan riuh di Aula Depan. Mereka semua berbalik dan melihat Angelina Johnson masuk ke dalam Aula Besar, tersenyum malu-malu. Gadis jangkung berkulit hitam yang bermain sebagai Chaser tim Quidditch Gryffindor itu berjalan ke tempat mereka, duduk, dan berkata, "Nah, sudah kulakukan! Aku baru saja memasukkan namaku!"
"Yang benar!" kata Ron, tampak terkesan.
"Apa kau sudah tujuh belas tahun"" tanya Harry.
"Aku ulang tahun minggu lalu," kata Angelina.
"Wah, aku senang ada anak Gryffindor yang mendaftar," kata Hermione. "Aku benar-benar berharap kau terpilih, Angelina!"
"Trims, Hermione," kata Angelina, tersenyum kepadanya.
"Yah, lebih baik kau daripada Cowok-Cantik Diggory itu," kata Seamus, membuat beberapa anak Hufflepuff yang melewati meja mereka mendelik marah kepadanya. 320
"Acara kita apa ya hari ini"" Ron bertanya kepada Harry dan Hermione seusai sarapan dan mereka meninggalkan Aula Besar.
"Kita belum mengunjungi Hagrid," kata Harry.
"Oke," kata Ron, "asal dia tidak minta kita menyumbang jari saja buat Skrewt-nya."
Wajah Hermione mendadak bergairah.
"Aku baru sadar... aku belum minta Hagrid untuk bergabung dengan S.PE.W!" katanya cerah. "Tunggu sebentar ya, aku naik dulu mengambil lencananya."
"Gawat amat sih dia," kata Ron putus asa, ketika Hermione berlari menaiki tangga pualam.
"Hei, Ron," kata Harry tiba-tiba. "Temanmu tuh... "
Anak-anak Beauxbatons sedang memasuki pintu depan, di antaranya si gadis-Veela. Anak-anak Hogwarts yang berkerumun di sekeliling Piala Api mundur memberi tempat, memandang mereka dengan bergairah.
Madame Maxime mengikuti murid-muridnya, masuk Aula Depan dan mengatur mereka dalam satu barisan. Satu demi satu, anak-anak Beauxbatons melewati Lingkaran Batas Usia dan memasukkan perkamen mereka ke dalam lidah api biru-putih. Setiap kali satu nama masuk, apinya sekejap berubah merah dan menyemburkan bunga-bunga api.
"Menurutmu apa yang akan dilakukan mereka yang tidak terpilih"" Ron bergumam kepada Harry ketika si gadis-Veela memasukkan perkamennya ke dalam Piala
Api. "Apakah mereka kembali ke sekolahnya atau tetap di sini untuk menonton turnamen"" "Entah," kata Harry. "Tetap di sini, kukira... Madame Maxime jadi juri, kan""
Setelah semua anak Beauxbatons memasukkan nama mereka, Madame Maxime mengajak mereka meninggalkan aula dan keluar ke halaman lagi.
"Mereka tidur di mana sih"" tanya Ron, bergerak ke pintu depan dan mengawasi mereka.
Bunyi gemerencing keras di belakang mereka memberitahukan Hermione sudah kembali dengan kotak lencana S.PE.W.-nya.
"Oh, bagus, ayo cepat," kata Ron, dan dia melompat menuruni undakan batu, matanya terpancang pada punggung si gadis-Veela, yang sekarang sudah separo jalan menyeberangi lapangan bersama Madame Maxime.
Mendekati pondok Hagrid di tepi Hutan Terlarang, misteri tempat delegasi Beauxbatons tidur terpecahkan. Kereta raksasa berwarna biru mereka diparkir kira-kira dua ratus meter dari pintu depan pondok Hagrid, dan anak-anak sedang kembali memasukinya. Kuda-kuda terbang sebesar gajah yang menariknya sedang merumput dalam lapangan berpagar di sebelahnya.
Harry mengetuk pintu Hagrid dan gonggongan keras Fang
langsung menyambutnya. "Sudah waktunya!" kata Hagrid, setelah membuka pintu. "Kukira kalian sudah lupa di mana aku tinggal!"
"Kami sibuk sekali, Hag...," Hermione mendadak berhenti, terkesima menatap Hagrid, kehilangan kata-kata.
Hagrid memakai setelannya yang paling bagus (dan paling mengerikan), setelan cokelat berbulu, plus dasi kotak-kotak jingga-kuning. Tapi ini belum seberapa. Yang lebih gawat lagi, rupanya dia berusaha menjinakkan rambutnya, menggunakan minyak pelumas banyak-banyak. Sekarang rambutnya yang licin diikat jadi dua kuncir. Mungkin tadinya dia mencoba buntut kuda seperti Bill, tapi ternyata rambutnya terlalu banyak. Penampilan baru ini sama sekali tak sesuai untuk Hagrid. Selama beberapa saat Hermione cuma bisa terbelalak, kemudian, tampak jelas dia memutuskan untuk tidak berkomentar, Hermione berkata, "Erm... di mana Skrewt-nya""
"Di luar di dekat kebun labu kuning," jawab Hagrid riang. "Mereka tambah besar, sudah hampir semeter sekarang. Repotnya, mereka mulai saling bunuh."
"Oh, begitu"" kata Hermione, melontarkan pandangan mencegah kepada Ron yang melongo memandang gaya sisiran Hagrid yang ajaib dan baru saja membuka mulut untuk mengomentarinya.
"Yeah," kata Hagrid sedih. "Tapi sudah beres, aku sudah masukkan mereka dalam kotak sendiri-sendiri. Masih ada kira-kira dua puluh."
"Wah, untung benar," kata Ron. Hagrid tak menyadari Ron menyindirnya.
Pondok Hagrid hanya terdiri atas satu ruangan. Di salah satu sudutnya ada tempat tidur raksasa tertutup selimut perca. Meja dan kursi raksasa semodel berdiri di
depan perapian, di bawah daging dan burung asap yang bergantungan dari langit-langit. Mereka duduk di depan meja sementara Hagrid mulai membuat teh, dan segera saja mereka asyik membicarakan Turnamen Triwizard. Hagrid tampak sama bergairahnya dengan mereka.
"Kalian tunggu," katanya, nyengir. "Kalian tunggu saja. Kalian akan lihat sesuatu yang belum pernah kalian lihat. Tugas pertama... ah, tapi aku tak boleh bilang."
"Teruskan, Hagrid!" Harry, Ron, dan Hermione membujuknya, tetapi Hagrid cuma menggeleng dan tersenyum.
"Aku tak mau rusak kesenangan kalian," kata Hagrid. "Tapi pasti spektakuler. Para juara itu akan sibuk sekali. Tak pernah kuduga dalam hidupku aku masih alami Turnamen Triwizard diselenggarakan lagi!"
Mereka akhirnya makan siang dengan Hagrid, meskipun tidak banyak yang mereka makan-Hagrid mengatakan dia membuat kaserol daging, tetapi setelah Hermione menemukan cakar dalam piring ka-serolnya, dia, Harry, dan Ron agak kehilangan nafsu makan. Meskipun demikian, mereka menikmati memancing-mancing Hagrid agar mau memberitahu mereka apa saja kiranya tugas-tugas dalam turnamen, berspekulasi siapa di antara para pendaftar yang akan terpilih sebagai juara, dan bertanya-tanya apakah Fred dan George sudah tak berjenggot lagi.
Selepas tengah hari gerimis mulai turun. Nyaman sekali duduk di depan perapian, mendengar rintik lembut gerimis di jendela, mengawasi Hagrid menisik kaus kakinya dan berdebat dengan Hermione soal peri rumah-karena Hagrid menolak mentah-mentah bergabung dengan S.PE.W. ketika Hermione menunjukkan lencananya kepadanya.
"Itu sama saja dengan berbuat tidak baik kepada mereka, Hermione," katanya serius, menusukkan jarum tulang besar dengan benang kuning tebal ke kaus kakinya. "Sudah bawaan mereka pelihara manusia, itu yang mereka suka, paham" Kau akan buat mereka sedih kalau kauambil kerjaan mereka, dan singgung perasaan mereka kalau kau mau coba bayar mereka."
"Tetapi Harry membebaskan Dobby, dan Dobby senang sekali!" kata Hermione. "Dan kami dengar dia sekarang minta gaji."
"Yeah, memang selalu ada yang aneh. Aku tak bilang tak akan ada peri aneh yang mau kebebasan, tapi kau akan susah bujuk sebagian besar dari mereka... jangan lakukan itu, Hermione."
Hermione kelihatan sangat jengkel dan memasukkan kembali lencananya ke dalam saku mantelnya.
Pukul setengah enam hari sudah gelap. Ron, Harry, dan Hermione memutuskan sudah waktunya mereka kembali ke kastil untuk ikut pesta Halloween-dan yang lebih penting lagi, mendengar pengumuman siapa yang menjadi juara sekolah.
"Aku ikut kali an" kata Hagrid, menyingkirkan jahitannya. "Tunggu sebentar."
Hagrid bangkit, berjalan ke lemari laci di sebelah tempat tidurnya dan mulai mencari-cari sesuatu di dalamnya. Mereka tidak begitu memperhatikan, sampai
bau yang benar-benar memuakkan menusuk hidung mereka. Terbatuk-batuk, Ron bertanya, "Hagrid, apa sih itu""
"Eh"" kata Hagrid, berbalik dengan botol besar di tangan. "Kalian tidak suka""
"Apa itu aftershavel" tanya Hermione dengan suara agak tersedak.
"Er... eau de cologne," gumam Hagrid. Mukanya merona merah. "Mungkin aku pakai kebanyakan," katanya. "Kucuci dulu, tunggu..."
Dia keluar pondok, dan mereka melihatnya mencuci tangan dan muka dengan bersemangat di tong air di depan jendela.
"Eau de cologne"" tanya Hermione keheranan.
"Hagrid"" "Dan bagaimana dengan rambut dan setelannya"" tanya Harry pelan.
"Lihat!" kata Ron tiba-tiba, menunjuk ke luar jendela.
Hagrid baru saja menegakkan diri dan berbalik. Kalau tadi wajahnya merona merah, itu bukan apa-apa dibanding apa yang terjadi sekarang. Bangkit pelan-pelan dan sangat hati-hati agar Hagrid tidak melihat mereka, Harry, Ron, dan Hermione mengintip dari jendela dan melihat bahwa Madame Maxime dan anak-anak Beauxbatons baru saja muncul dari dalam kereta mereka, siap berangkat ke pesta juga rupanya. Mereka tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Hagrid, tetapi dia berbicara kepada Madame Maxime dengan pandangan
sayu penuh damba yang cuma pernah dilihat Harry sekali sebelum ini-ketika dia memandang Norbert si bayi naga.
"Dia akan ke kastil dengan Madame Maxime!" kata Hermione sebal. "Kukira dia menunggu, kita!"
Tanpa menoleh ke pondoknya sama sekali, Hagrid berjalan di sisi Madame Maxime. Anak-anak Beauxbatons mengikuti di belakang mereka, berlari-lari kecil untuk mengimbangi langkah-langkah besar mereka.
"Hagrid naksir dia!" kata Ron tak percaya. "Wah, kalau mereka punya anak, mereka akan memecahkan rekor dunia-taruhan, bayi mereka beratnya bisa satu ton."
Mereka keluar dari pondok dan menutup pintunya. Di luar sudah gelap sekali. Menarik mantel mereka lebih rapat, mereka berjalan menyeberangi padang rumput.
"Ooh, itu mereka, lihat!" bisik Hermione.
Rombongan Durmstrang berjalan menuju kastil dari danau. Viktor Krum berjalan di sebelah Karkaroff, dan anak-anak Durmstrang lainnya di belakang mereka. Ron memandang Krum dengan bergairah, tetapi Krum tidak menoleh ketika tiba di pintu depan sedikit lebih dulu daripada Hermione, Ron, dan Harry. Dia lerus saja masuk.
Ketika mereka memasuki Aula Besar yang diterangi cahaya lilin, aula hampir penuh. Piala Api sudah dipindahkan, dan sekarang berdiri di depan kursi kosong Dumbledore di meja guru. Fred dan George- dagu mereka sudah mulus lagi-tampaknya sudah menerima nasib. ,
"Mudah-mudahan Angelina," kata Fred, ketika Harry, Ron, dan Hermione duduk.
"Aku juga berharap begitu!" kata Hermione menahan napas. "Yah, kita akan segera tahu!"
Pesta Halloween rasanya berlangsung lebih lama daripada biasanya. Mungkin karena ini pesta kedua dalam dua hari berturut-turut, Harry tidak begitu bersemangat menyantap hidangan lezat-lezat yang tersaji. Seperti semua orang di aula, ditinjau dari leher-leher yang tak hentinya dijulurkan, ekspresi tak sabar di semua wajah, kegelisahan, dan anak-anak yang berkali-kali berdiri untuk melihat apakah Dumbledore sudah selesai makan, Harry ingin piring-piring segera disingkirkan dan mendengar siapa yang terpilih menjadi juara.
Akhirnya, piring-piring emas kembali kosong dan berkilau bersih. Suara-suara di dalam Aula Besar semakin keras, tetapi langsung diam begitu Dumbledore bangkit. Di kiri-kanannya, Profesor Karkaroff dan Madame Maxime tampak sama tegangnya seperti semua orang. Ludo Bagman berseri-seri dan mengedip kepada berbagai anak. Tetapi Mr Crouch rupanya tak tertarik, dia malah tampak agak bosan.
"Nah, Piala Api sudah hampir siap mengambil ke-putusan," kata Dumbledore. "Kuperkirakan masih perlu satu menit lagi. Setelah nama-nama para juara dibacakan, kuminta mereka maju, berjalan di depan meja guru, dan masuk ke ruang berikut"-dia menunjuk ke pintu di belakang meja guru-"di situ para ju
ara akan menerima instruksi pertama mereka."
Dumbledore mengeluarkan tongkat sihirnya dan membuat gerakan menyapu dengannya. Serentak lilin-lilin, kecuali yang ada dalam labu kuning terukir, langsung padam. Ruangan menjadi setengah gelap. Piala Api sekarang bersinar lebih terang daripada apa pun di seluruh Aula Besar. Lidah apinya yang biru-keputihan cemerlang menyilaukan, membuat mata sakit. Semua memandangnya, menunggu... Beberapa anak berkali-kali melihat arloji mereka....
"Bisa setiap saat sekarang," bisik Lee Jordan, dua tempat duduk dari Harry.
Nyala api di dalam piala mendadak menjadi merah lagi. Lidah api mulai menyembur. Detik berikutnya ada lidah api meluncur ke atas, melontarkan sepotong perkamen gosong. Seluruh ruangan terpekik kaget.
Dumbledore menangkap perkamen itu dan menjulurkan lengannya agar bisa membacanya dengan penerangan nyala api, yang sudah kembali berwarna biru-keputihan.
"Juara untuk Durmstrang," dia membaca dengan suara keras dan jelas, "adalah Viktor Krum."
"Tidak mengejutkan!" teriak Ron, sementara tepuk riuh dan sorakan ramai memenuhi aula. Harry melihat Viktor Krum bangkit dari meja Slytherin dan berjalan agak bungkuk ke arah Dumbledore. Dia berbelok ke kanan, berjalan melewati meja guru, dan menghilang melalui pintu ke dalam ruang yang telah ditunjuk. "Bravo, Viktor!" suara Karkaroff membahana, sehingga semua orang bisa mendengarnya, mengalahkan suara aplaus. "Aku tahu kau jago."
Tepuk tangan dan sorak mereda. Sekarang perhatian semua orang tertuju ke Piala Api lagi, yang sedetik kemudian sekali lagi berubah merah. Perkamen kedua dilontarkan oleh lidah apinya.
"Juara untuk Beauxbatons," kata Dumbledore, "adalah Fleur Delacour!"
"Dia, Ron!" Harry berteriak ketika si gadis yang mirip Veela bangkit dengan anggun, mengibaskan rambut pirangnya yang keperakan, dan berjalan di antara meja Ravenclaw dan Hufflepuff.
"Oh lihat, mereka semua kecewa," kata Hermione, mengangguk ke arah sisa rombongan Beauxbatons. Bukan sekadar "kecewa", pikir Harry. Dua gadis yang tidak terpilih mencucurkan air mata dan terisak, membenamkan kepala di lengan.
Setelah Fleur Delacour juga menghilang ke dalam ruangan yang disediakan, aula sunyi lagi, tetapi kali ini kesunyiannya amat tegang. Berikutnya juara Hogwarts...
Dan Piala Api berubah merah sekali lagi, bunga api menyembur, lidah api melesat tinggi ke atas, dan dari puncaknya Dumbledore menarik perkamen ketiga.
"Juara Hogwarts," katanya, "adalah Cedric Diggory!"
"Tidak!" kata Ron keras, tetapi tak ada yang mendengarnya kecuali Harry. Kegemparan di meja sebelah terlalu besar. Semua anak Hufflepuff telah berdiri, berteriak-teriak dan mengentak-entakkah kaki, ketika Cedric berjalan melewati mereka, tersenyum lebar, menuju ruangan di belakang meja guru. Aplaus untuk
Cedric berlangsung lama sekali, sehingga baru beberapa waktu kemudian suara Dumbledore bisa didengar lagi.
"Luar biasa!" seru Dumbledore riang setelah kegemparan mereda. "Nah, sekarang ketiga juara kita sudah terpilih. Aku yakin bisa mengandalkan kalian semua, termasuk para pelajar dari Beauxbatons dan Durmstrang, untuk memberi dukungan penuh kepada para juara kalian. Dengan menyemangati para juara kalian, kalian akan berkontribusi dalam su... "
Mendadak Dumbledore berhenti bicara, dan jelas bagi semua orang apa yang telah mengalihkan perhatiannya.
Api di dalam piala baru saja kembali berubah merah. Bunga api beterbangan. Lidah api panjang tiba-tiba meluncur ke atas, dan pada puncaknya ada secarik perkamen lagi.
Secara otomatis, Dumbledore mengulurkan tangannya menyambar perkamen itu. Dia memeganginya dan menatap nama yang tertulis di atasnya. Hening lama, sementara Dumbledore terus menatap perkamen di tangannya, dan semua orang di dalam aula menatap Dumbledore. Dan kemudian Dumbledore ber-deham dan membacanya...
"Harry Potter."
17. Keempat Juara Harry duduk terpaku, sadar bahwa semua kepala di dalam Aula Besar telah menoleh untuk memandangnya. Dia kaget sekali. Tubuhnya serasa mati rasa. Pastilah dia mimpi. Dia salah dengar.
Tak ada aplaus. Dengung keras, seperti kawanan lebah yang marah, mulai memen
uhi aula. Beberapa anak berdiri agar bisa melihat Harry lebih jelas, sementara Harry duduk membeku di kursinya.
Di meja guru, Profesor McGonagall bangkit dari kursinya dan bergegas melewati Ludo Bagman dan Profesor Karkaroff, berbisik serius kepada Profesor Dumbledore, yang menelengkan kepala ke arahnya, sedikit mengernyit.
Harry menoleh kepada Ron dan Hermione. Di belakang mereka, dia melihat semua anak di meja panjang Gryffindor melongo memandangnya.
"Aku tidak memasukkan namaku," kata Harry bingung.
"Kalian tahu itu."
Keduanya cuma memandangnya dengan sama bingungnya.
Di meja guru, Profesor Dumbledore sudah duduk tegak lagi, mengangguk kepada Profesor McGonagall.
"Harry Potter!" dia memanggil lagi. "Harry! Silakan maju ke sini!"
"Sana," bisik Hermione sambil agak mendorong Harry.
Harry bangkit, menginjak tepi jubahnya, dan sedikit terhuyung. Dia melewati lorong di antara meja Gryffindor dan Hufflepuff. Rasanya lorong itu panjang sekali, dia tak sampai-sampai ke meja guru, dan dia bisa merasakan beratus pasang mata memandangnya, seperti lampu-lampu sorot. Bunyi dengung semakin lama semakin keras. Setelah rasanya satu jam, dia tiba di depan Dumbledore, merasakan tatapan semua guru kepadanya.
"Nah... lewat pintu itu, Harry," kata Dumbledore. Dia tidak tersenyum.
Harry bergerak melewati meja guru. Hagrid duduk di paling ujung. Dia tidak mengedip kepada Harry, ataupun melambai, atau memberikan salah satu sapaannya yang biasa. Dia tampak sangat keheranan dan cuma melongo menatapnya seperti yang lain ketika Harry lewat. Harry melewati pintu dan ternyata masuk ke dalam ruangan yang lebih kecil, yang di sepanjang dindingnya berderet lukisan para penyihir pria dan wanita. Api berkobar di perapian di seberang ruangan.
Wajah-wajah dalam lukisan menoleh memandangnya ketika dia masuk. Dia melihat seorang penyihir wanita tua yang sudah kisut melesat meninggalkan piguranya
dan masuk ke pigura di sebelahnya, yang menampilkan penyihir pria berkumis beruang laut. Si nenek sihir kisut berbisik-bisik di telinganya.
Viktor Krum, Cedric Diggory, dan Fleur Delacour bergerombol di depan perapian. Mereka tampak sangat mengesankan, membentuk siluet dilatarbelakangi kobaran api. Krum, yang agak bungkuk dan bertampang serius, sedang bersandar pada rak perapian, agak terpisah dari kedua temannya. Cedric berdiri dengan tangan di belakang punggung, memandang api. Fleur Delacour berpaling ketika Harry masuk dan mengibaskan rambut panjangnya yang keperakan.
"Ada apa"" tanyanya. "Apa mereka ingin kami kembali ke aula""
Fleur mengira dia datang untuk menyampaikan pesan. Harry tak tahu bagaimana menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Dia cuma berdiri saja, memandang ketiga juara itu. Baru disadarinya, betapa jangkungnya mereka bertiga.
Terdengar langkah-langkah kaki di belakangnya, dan Ludo Bagman masuk. Dia memegang lengan Harry dan membawanya maju.
"Luar biasa!" gumamnya, seraya meremas lengan Harry. "Sungguh luar biasa! Saudara-saudara," katanya kepada ketiga orang di depan perapian. "Izinkan aku memperkenalkan-meskipun kedengarannya tak masuk akal-juara Triwizard yang keempat."
Viktor Krum berdiri tegak. Wajahnya yang masam berubah gelap ketika dia mengawasi Harry. Cedric tampak tercengang. Dia memandang Bagman, lalu
Harry, kembali ke Bagman lagi, seakan yakin dia pasti salah dengar. Tetapi Fleur Delacour mengibaskan rambutnya, tersenyum, dan berkata, "Oh, lucu sekali leluconnya, Meester Bagman."
"Lelucon"" Bagman mengulangi, kebingungan. "Bukan, bukan, sama sekaki bukan lelucon! Nama Harry baru saja muncul dari dalam Piala Api!"
Alis tebal Krum bergerak-gerak sedikit. Cedric masih tampak keheranan. Fleur mengernyit.
"Tapi pasti ada kekeliruan," kata Fleur kepada Bagman dengan nada melecehkan. "Dia tak bisa ikut bertanding. Dia masih terlalu kecil."
"Yah... memang mengherankan," kata Bagman, menggosok-gosok dagunya yang licin dan menunduk tersenyum kepada Harry. "Tetapi, seperti yang kalian ketahui, pembatasan umur diterapkan tahun ini hanya sebagai tindakan pengamanan ekstra. Dan karena namanya keluar dari dalam piala... maksudku, kurasa tak bis
a mengundurkan diri lagi pada tahap ini... Sudah tercantum dalam peraturan, kalian wajib... Harry harus berusaha sebaik dia...
Pintu di belakang mereka terbuka lagi, dan serombongan besar orang masuk: Profesor Dumbledore, diikuti Mr Crouch, Profesor Karkaroff, Madame Maxime, Profesor McGonagall, dan Profesor Snape. Harry mendengar dengung ratusan anak di balik dinding, sebelum Profesor McGonagall menutup pintu.
"Madame Maxime!" Fleur langsung berseru,, mendekati kepala sekolahnya, "Mereka mengatakan anak kecil ini akan ikut bertanding!"
Di bawah perasaan kebas karena ketidakpercayaannya, Harry merasakan riak kemarahan. Anak kecil"
Madame Maxime berdiri tegak. Puncak kepalanya menyapu kandil yang penuh berisi lilin, dan dadanya yang besar tertutup jubah satin seakan menggelembung.
"Apa artinya ini, Dumbly-dorr"" kata Madame Maxime angkuh.
"Aku juga ingin tahu, Dumbledore," Profesor Karkaroff menimpali. Senyumnya tajam dan mata birunya seperti serpihan es. "Dua juara Hogwarts" Aku tak ingat ada yang memberitahu bahwa sekolah tuan rumah boleh mengajukan dua juara-apa aku kurang teliti membaca peraturannya""
Dia tertawa pendek dan kasar.
"C'est impossible-tak mungkin," kata Madame Maxime, tangannya yang besar dihiasi opal-opal indah diletakkan di atas bahu Fleur. "'Ogwarts tak boleh punya dua juara. Itu sangat tidak adil."
"Kami kira Lingkaran Batas Usia-mu tak akan bisa dilewati peminat di bawah umur, Dumbledore," kata Karkaroff, senyum sinisnya masih terpampang, tapi matanya lebih dingin daripada sebelumnya. "Kalau tahu bisa, tentu saja kami akan membawa lebih banyak calon dari sekolah kami."
"Bukan salah siapa-siapa, melainkan salah Potter sendiri, Karkaroff," kata Snape pelan. Mata hitamnya menyala penuh kebencian. "Jangan terus-menerus mempersalahkan Dumbledore. Semua ini gara-gara
Potter ngotot mau melanggar peraturan. Dia sudah melanggar batas sejak baru tiba di sini..."
"Terima kasih, Severus," kata Dumbledore tegas, dan Snape langsung diam, meskipun matanya masih berkilau dengki di balik tirai rambut hitamnya yang berminyak.
Profesor Dumbledore sekarang menunduk
memandang Harry, yang balas memandangnya,
berusaha mencerna makna ekspresi mata ki balik kacamata bulan-separo itu.
"Apakah kau memasukkan namamu ke dalam Piala Api, Harry"" dia bertanya tenang.
"Tidak," jawab Harry. Dia sadar betul semua orang mengawasinya. Snape mendengus pelan tak percaya dalam keremangan.
"Apakah kau meminta murid yang lebih tua untuk memasukkannya ke dalam Piala Api untukmu"" tanya Profesor Dumbledore, mengabaikan Snape.
"Tidak," kata Harry keras.


Harry Potter Dan Piala Api Harry Potter And The Goblet Of Fire Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, pasti dia bohong!" seru Madame Maxime. Snape sekarang menggeleng, bibirnya melengkung.
"Dia tak mungkin melewati Lingkaran Batas Usia," kata Profesor McGonagall tajam. "Bukankah kita semua sudah sepakat..."
"Dumbly-dorr pasti membuat kesalahan dengan lingkaran itu," kata Madame Maxime, mengangkat bahu.
"Mungkin saja," kata Dumbledore sopan.
"Dumbledore, kau tahu pasti kau tidak membuat kesalahan!" kata Profesor McGonagall berang. "Sungguh omong kosong! Harry tak mungkin melewati batas itu sendiri, dan karena Profesor Dumbledore percaya dia tidak membujuk anak yang lebih tua untuk melakukannya baginya, menurutku mestinya itu sudah cukup baik bagi semua orang!"
Dia melempar pandang murka kepada Profesor Snape.
"Mr Crouch... Mr Bagman," kata Karkaroff, suaranya dimanis-maniskan lagi untuk mengambil hati, "Anda berdua... er... juri yang objektif. Tentunya Anda menganggap kejadian ini sangat tidak biasa""
Bagman menyeka mukanya yang bundar kekanakan dengan saputangan dan memandang Mr Crouch, yang berdiri di luar lingkaran cahaya perapian, wajahnya separo tersembunyi dalam keremangan. Dia tampak agak mengerikan. Ruang yang setengah gelap ini membuatnya tampak jauh lebih tua, membuatnya tampak hampir mirip tengkorak. Tetapi ketika dia bicara, suaranya kaku seperti biasa.
"Kita harus mematuhi peraturan, dan peraturan menyatakan dengan jelas bahwa mereka yang namanya muncul dari dalam Piala Api wajib bertanding dalam turnamen."
"Yah, Barty hafal peraturan dari depan sampai belakang," kata Bagma
n berseri-seri dan kembali menoleh memandang Karkaroff dan Madame Maxime, seakan persoalan sudah beres.
"Aku menuntut memasukkan ulang nama murid-muridku yang belum terpilih," kata Karkaroff. Sekarang dia sudah menanggalkan suaranya yang bermanis-manis dan juga senyumnya. Wajahnya jadi sangar sekali.
"Kalian akan memasang Piala Api sekali lagi, dan kami akan terus memasukkan nama, sampai masing-masing sekolah punya dua juara. Begitu baru adil, Dumbledore."
"Tetapi, Karkaroff, caranya bukan begitu," kata
Bagman. "Piala Api baru saja padam-dia tak akan menyala lagi sampai awal turnamen yang akan datang..."
"... yang jelas tak akan diikuti oleh Ipurmstrang!" Karkaroff meledak. "Mengingat begitu seringnya kita rapat, bernegosiasi, dan berkompromi, sama sekali tak kuduga hal semacam ini akan terjadi! Aku setengahnya berpikir untuk pulang sekarang!"
"Ancaman kosong, Karkaroff!" terdengar suara menggeram dari dekat pintu. "Kau tak bisa meninggalkan juaramu sekarang. Dia harus bertanding. Semua harus bertanding. Terikat kontrak sihir, seperti dikatakan Dumbledore. Menguntungkan, kan"" . Moody baru saja memasuki ruangan. Dia berjalan timpang ke arah perapian, dan setiap langkah kaki kanannya menimbulkan suara tok keras.
"Menguntungkan"" kata Karkaroff. "Aku tidak paham apa maksudmu, Moody."
Harry tahu Karkaroff berusaha tampak meremehkan, seakan apa yang dikatakan Moody tak layak memperoleh perhatiannya, tetapi tangannya membuat perasaannya yang sesungguhnya terungkap. Kedua tangannya mengepal erat.
"Tak paham, ya"" kata Moody tenang. "Sederhana saja, Karkaroff. Ada yang memasukkan nama Potter ke dalam piala itu, karena tahu Potter harus bertanding kalau namanya muncul."
"Pasti orang yang mau memberi 'Ogwarts kesempatan ganda!" kata Madame Maxime.
"Aku setuju, Madame Maxime," kata Karkaroff, membungkuk di depannya. "Aku akan mengajukan keberatan kepada Kementerian Sihir dan Konfederasi Sihir Internasional.."
"Kalau ada yang punya alasan untuk berkeberatan, Potter-lah orangnya," geram Moody, "tetapi... anehnya... aku tidak mendengarnya mengucapkan sepatah kata pun..."
"Kenapa dia harus berkeberatan"" celetuk Fleur Delacour, mengentakkan kakinya. "Dia punya kesempatan untuk bertanding, kan" Kami semua sudah berharap bisa terpilih selama berminggu-minggu! Kehormatan besar untuk sekolah kami! Dan hadiah uang sebesar seribu Galleon... banyak yang bersedia mati untuk mendapat kesempatan ini!"
"Mungkin ada yang berharap Potter mati untuk itu," kata Moody, suaranya sedikit geram.
Kesunyian yang sangat menegangkan menyusul kata-katanya ini. Ludo Bagman yang tampak sangat cemas, berjingkat-jingkat tegang dan berkata, "Moody... kenapa bicara begitu!"
"Kita semua tahu Profesor Moody menganggap pagi hari tersia-sia jika dia tidak menemukan enam rencana untuk membunuhnya sebelum waktu makan siang," kata Karkaroff keras. "Rupanya sekarang dia mengajar muridnya untuk takut terhadap pembunuhan juga. Sikap aneh bagi pengajar Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, Dumbledore, tapi jelas kau punya alasan tersendiri."
"Kau menuduhku membayangkan hal yang tidak-tidak, begitu"" geram Moody. "Melihat yang tidak ada, eh" Pasti penyihir hebat yang memasukkan nama anak ini ke dalam piala..."
"Ah, apa ada buktinya"" kata Madame Maxime, mengangkat kedua tangannya yang besar.
"Karena dia berhasil mengecoh benda sihir yang sangat luar biasa kehebatannya!" kata Moody. "Diperlukan Mantra Confundus yang luar biasa kuat untuk membuat piala itu melupakan bahwa hanya ada tiga sekolah yang bersaing dalam turnamen ini... Menurut tebakanku mereka memasukkan nama Potter di bawah nama sekolah keempat, untuk memastikan dia satu-satunya dalam kategorinya..."
"Rupanya kau sudah memikirkan masak-masak soal ini, Moody," kata Karkaroff dingin, "dan teorimu hebat sekali-meskipun, tentu saja, kudengar belum lama ini kau mengira bahwa salah satu hadiah ulang tahunmu berisi telur Basilisk yang disamarkan dengan sangat cerdik, dan kau sudah keburu membantingnya sampai hancur sebelum sadar bahwa itu cuma jam kereta. Jadi harap kau maklum kalau kami tidak menanggapi pendapatmu dengan seriu
s..." "Ada orang-orang yang akan mengubah kesempatan yang netral menjadi sesuatu yang menguntungkan mereka," Moody membalas dengan nada mengancam. "Sudah menjadi tugaskulah untuk berpikir sebagaimana cara berpikir para penyihir hitam, Karkaroff... mestinya kau ingat itu..."
"Alastor!" kata Dumbledore memperingatkan. Sesaat Harry bertanya dalam hati, kepada siapa Dumbledore bicara. Tetapi kemudian dia sadar, "Mad-Eye" tak mungkin nama Moody yang sebenarnya. Moody diam, meskipun masih mengawasi Karkaroff dengan puas- wajah Karkaroff membara.
"Bagaimana situasi ini muncul, kita tidak tahu," kata Dumbledore, berbicara kepada semua orang yang berkumpul dalam ruangan itu. "Meskipun demikian, bagiku tampaknya kita tak punya pilihan lain kecuali menerimanya. Baik Cedric maupun Harry telah terpilih untuk ikut bertanding dalam turnamen. Karena itu, mereka akan bertanding..."
"Ah, tapi, Dumbly-dorr..."
"Madame Maxime yang baik, kalau kau punya alternatif, aku akan senang mendengarnya."
Dumbledore menunggu, tetapi Madame Maxime tidak bicara, dia cuma membelalak. Dan dia bukan satu-satunya. Snape tampak berang, Karkaroff pucat saking marahnya. Tetapi Bagman kelihatan bergairah.
"Nah, kalau begitu kita mulai"" katanya, menggosok-gosokkan tangan dan memandang berkeliling ruangan. "Kita harus menyampaikan instruksi kepada para juara, kan" Barty, kau yang melakukan tugas terhormat ini""
Mr Crouch tampak seakan baru sadar dari keasyikan melamun.
"Ya," katanya, "instruksi. Ya... tugas pertama..."
Dia bergerak maju ke dalam cahaya perapian. Dari dekat, Harry membatin, dia seperti orang sakit. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, dan kulitnya yang keriput kesannya seperti kertas kering. Padahal waktu Piala Dunia Quidditch tidak begitu.
"Tugas pertama dirancang untuk mengetes keberanian kalian," dia memberitahu Harry, Cedric, Fleur, dan Viktor, "maka kami tidak akan memberitahu kalian, apa tugas itu. Keberanian menghadapi sesuatu yang tidak diketahui adalah kualitas penting bagi seorang penyihir... sangat penting...
"Tugas pertama akan berlangsung pada tanggal dua puluh empat November, di depan semua murid dan dewan juri.
"Para juara tidak diizinkan meminta atau menerima bantuan dalam bentuk apa saja dari guru mereka untuk menyelesaikan tugas dalam turnamen ini. Para juara akan menghadapi tantangan pertama ini hanya dengan bersenjata tongkat sihir mereka. Mereka akan menerima informasi tentang tugas kedua setelah tugas pertama selesai. Mengingat turnamen ini sangat berat dan menyita waktu, para juara dibebaskan dari mengikuti ujian akhir tahun ajaran."
Mr Crouch menoleh memandang Dumbledore.
"Kurasa sudah cukup, kan, Albus""
"Kurasa begitu," kata Dumbledore, yang memandang Mr Crouch dengan agak prihatin. "Betul kau tidak mau menginap di Hogwarts malam ini, Barty""
"Tidak, Dumbledore, aku harus kembali ke Ke-menterian," kata Mr Crouch. "Saat ini kami sedang sangat sibuk, sedang dalam kesulitan... Aku meninggalkan si Weatherby yang masih muda itu untuk bertanggung jawab... Sangat antusias... agak kelewat antusias, sebenarnya... "
"Kau mau minum dulu sebelum pulang, paling tidak"" tanya Dumbledore.
"Ayolah, Barty, aku menginap!" kata Bagman ceria. "Sedang ada peristiwa besar di Hogwarts sekarang, kan jauh lebih seru daripada di kantor!"
"Kurasa tidak, Ludo," kata Crouch, agak tak sabar seperti semula.
"Profesor Karkaroff... Madame Maxime... minuman keras sebelum tidur"" Dumbledore menawari.
Tetapi Madame Maxime sudah merangkul bahu Fleur dan membawanya cepat-cepat meninggalkan ruangan. Harry bisa mendengar keduanya bicara cepat sekali dalam bahasa Prancis sementara mereka memasuki Aula Besar. Karkaroff memberi isyarat pada Krum, dan mereka juga pergi, tetapi dalam diam.
"Harry, Cedric, kusarankan kalian berdua kembali ke asrama masing-masing," kata Dumbledore, tersenyum kepada mereka. "Aku yakin Gryffindor dan Hufflepuff menunggu untuk merayakan ini bersama kalian, dan sayang kalau menghilangkan kesempatan bagus bagi mereka untuk bersenang-senang dan membuat keramaian."
Harry mengerling Cedric, yang mengangguk, dan mereka pergi bersama-sama.
Aula Besar sudah kosong sekarang; cahaya-cahaya lilin menyala pendek, membuat senyum bergerigi di labu-labu kuning yang berbentuk kepala tampak berkelap-kelip mengerikan.
"Jadi," kata Cedric, tersenyum samar, "kita bertanding lagi."
"Rupanya begitu," kata Harry. Dia tak tahu harus berkata apa lagi. Isi kepalanya rasanya sangat kacau-balau, seakan otaknya baru saja diporakporandakan.
"Jadi... beritahu aku...," kata Cedric ketika mereka tiba di Aula Depan, yang sekarang tinggal diterangi obor-obor setelah Piala Api tak ada lagi. "Bagaimana caranya kau memasukkan namamu""
"Aku tidak memasukkan namaku," kata Harry, menengadah menatapnya. "Sungguh. Aku tidak bohong."
"Ah... oke," kata Cedric. Harry bisa melihat Cedric tidak percaya. "Nah... sampai ketemu lagi kalau begitu."
Cedric tidak menaiki tangga pualam, melainkan menuju pintu di sebelah kanannya. Harry berdiri mendengarkan dia menuruni tangga di balik pintu itu, kemudian, perlahan-lahan, dia sendiri mulai menaiki tangga pualam.
Apakah ada yang percaya padanya, selain Ron dan Hermione, atau apakah mereka semua mengira dia mendaftarkan diri dalam turnamen ini" Tapi masa sih, ada yang menuduh begitu, sementara yang harus dihadapinya adalah para pesaing yang sudah mendapat
pendidikan tiga tahun lebih lama daripada dirinya- sementara dia sekarang menghadapi tugas-tugas yang tak hanya kedengaran luar biasa berbahaya, tetapi juga harus dilaksanakan di depan ratusan orang" Ya, memang dia pernah memikirkannya... dia pernah membayangkannya ... tetapi itu cuma iseng saja, sebetulnya, cuma lamunan kosong... dia tak pernah, secara serius, mempertimbangkan untuk benar-benar ikut...
Tapi ada orang lain yang mempertimbangkannya... ada orang lain yang menginginkan dia ikut turnamen, dan memastikan dia mendaftar. Kenapa" Untuk menyenangkannya" Menurut Harry tidak...
Untuk melihatnya bertindak konyol" Nah, keinginan mereka akan terkabul...
Tetapi menginginkan dia terbunuh"
Apakah Moody cuma paranoid seperti biasanya" Tak mungkinkah orang itu memasukkan nama Harry ke dalam piala hanya sekadar main-main saja" Apakah benar ada orang yang ingin dia mati"
Harry bisa langsung menjawab pertanyaan itu. Ya, ada yang menginginkan dia mati, bahkan sejak dia berusia satu tahun... Lord Voldemort. Tetapi bagaimana Lord Voldemort bisa memastikan nama Harry dimasukkan ke dalam Piala Api" Voldemort kabarnya berada di tempat yang jauh, di negara yang jauh sekali, bersembunyi... sendirian... lemah dan tak berdaya...
Tetapi di dalam mimpinya waktu itu, tepat sebelum dia terbangun dengan bekas lukanya sakit sekali, Voldemort tidak sendirian... dia bicara kepada Wormtail... merencanakan pembunuhan Harry...
Harry kaget sendiri ketika ternyata dia sudah tiba di depan lukisan si Nyonya Gemuk. Dia nyaris tak memperhatikan ke mana kakinya membawanya. Juga mengagetkan bahwa ternyata si Nyonya Gemuk tidak sendirian di dalam piguranya. Penyihir tua keriput yang melesat ke lukisan tetangganya ketika Harry bergabung dengan para juara lainnya, sekarang duduk puas di sebelah si Nyonya Gemuk. Dia pasti telah berlari-lari melewati semua lukisan yang berjajar di sepanjang tujuh tangga untuk bisa tiba di sini sebelum Harry. Dia dan si Nyonya Gemuk memandang Harry dengan sangat tertarik.
"Wah, wah, wah," kata si Nyonya Gemuk. "Violet baru saja menceritakan segalanya. Siapa rupanya yang baru terpilih sebagai juara sekolah""
"Balderdash," kata Harry lesu.
"Jelas bukan!" kata si nenek sihir keriput sebal.
"Bukan, bukan, Vi, itu kata kuncinya," kata si Nyonya Gemuk menenangkannya, dan dia mengayun ke muka pada engselnya, supaya Harry bisa masuk ke ruang rekreasi. Ledakan kebisingan yang menyambut telinga Harry ketika lukisan membuka nyaris membuat Harry terjengkang. Tahu-tahu dia sudah ditarik ke dalam ruangan oleh sekitar selusin pasang tangan, dan menghadapi seluruh penghuni Asrama Gryffindor, yang semuanya berteriak-teriak, bertepuk, dan bersuit-suit.
"Mestinya kauberitahu kami kau ikutan!" raung Fred, yang tampak setengah kesal, setengah kagum sekali.
"Bagaimana kau bisa berhasil tanpa berjenggot" Brilian!" teriak George.
"Bukan aku yang mendaftar," kata Harry. "Aku tak tahu bagaimana..."
Tetapi Angelina sudah keburu menyerbunya. "Oh, kalau bukan aku, paling tidak kan anak Gryffindor..."
"Kau akan bisa membalas Diggory untuk kekalahan dalam pertandingan Quidditch yang terakhir itu, Harry!" jerit Katie Bell, Chaser Gryffindor yang lain.
"Banyak makanan, Harry, ayo makan..."
"Aku tidak lapar. Aku sudah kenyang makan di pesta tadi..."
Tapi tak seorang pun mau menerima bahwa dia tidak lapar. Tak seorang pun mau mendengar bahwa dia tidak memasukkan nama ke dalam piala. Tak seorang pun yang menyadari bahwa dia sama sekali tidak ingin merayakan peristiwa itu... Lee Jordan telah mengambil panji-panji Gryffindor entah dari mana, dan dia memaksa menyelubungkannya pada Harry seperti jubah. Harry tak bisa menghindar. Setiap kali dia berusaha menyelinap ke tangga yang menuju kamar, anak-anak yang mengerumuninya merapat, memaksanya minum segelas Butterbeer lagi, menjejalkan keripik atau kacang ke dalam tangannya... Semua ingin tahu bagaimana dia bisa berhasil melakukannya, bagaimana dia bisa mengecoh Lingkaran Batas Usia Dumbledore dan berhasil memasukkan namanya ke dalam piala....
"Aku tidak memasukkan nama" katanya berulang-ulang. "Aku tak tahu bagaimana itu bisa terjadi."
Tapi teman-temannya mengabaikan bantahannya itu, sehingga percuma saja dia menjawab.
"Aku lelah!" akhirnya dia berteriak, setelah lewat hampir setengah jam. "Sungguh, George... aku mau tidur..." Lebih dari segalanya, dia ingin menemui Ron dan Hermione, untuk menemukan sedikit akal sehat, tetapi keduanya tak ada di ruang rekreasi. Mendesak bahwa dia ingin tidur, dan nyaris menggilas kakak-beradik Creevey yang mungil ketika mereka menghadangnya di kaki tangga, Harry berhasil melepaskan diri dari mereka semua dan naik ke kamarnya secepat mungkin.
Betapa leganya dia, Ron sedang berbaring di tempat tidurnya di kamar yang kosong itu, masih berpakaian lengkap. Ron mendongak ketika Harry membanting pintu di belakangnya.
"Ke mana saja kau"" kata Harry.
"Oh, halo," kata Ron.
Ron tersenyum, tetapi senyumnya sangat ganjil dan terpaksa. Harry tiba-tiba sadar, dia masih memakai panji-panji Gryffindor yang diikatkan Lee di sekeliling tubuhnya. Buru-buru dilepasnya, tetapi ikatannya kuat sekali. Ron berbaring di tempat tidur tanpa bergerak, mengawasi Harry berkutat melepas panji-panji itu.
"Nah," katanya ketika akhirnya Harry berhasil dan melempar panji-panji itu ke sudut. "Selamat."
"Apa maksudmu, selamat"" tanya Harry, memandang Ron. Jelas sekali ada yang tidak beres dengan cara Ron tersenyum. Senyumnya lebih mirip seringai.
"Yah... orang lain kan tak ada yang bisa melewati Lingkaran Batas Usia Dumbledore," kata Ron. "Bahkan Fred dan George pun tidak. Kau pakai apa-Jubah Gaib""
"Jubah Gaib tidak akan membantuku melewati lingkaran itu," kata Harry perlahan.
"Oh, baiklah," kata Ron. "Kupikir kau mungkin akan memberitahuku kalau pakai jubah... sebab jubah itu akan bisa menutupi kita berdua, kan" Tapi kau menemukan cara lain rupanya""
"Dengar," kata Harry. "Aku tidak memasukkan namaku ke dalam piala itu. Pasti orang lain yang melakukannya."
Ron mengangkat alis. "Buat apa mereka melakukannya""
"Entahlah," kata Harry. Menurutnya akan kedengaran sensasional sekali kalau dia menjawab, "Untuk membunuhku."
Alis Ron terangkat tinggi sekali sampai nyaris menghilang ke rambutnya.
"Tidak apa-apa, tahu, kau bisa cerita yang sebenarnya kepadaA'K," katanya. "Kalau kau tak ingin yang lain tahu, baiklah, tapi aku tak mengerti kenapa kau bohong. Kau tidak dihukum karenanya, kan" Teman si Nyonya Gemuk, si Violet, dia sudah memberitahu kami semua bahwa Dumbledore mengizinkan kau ikut bertanding. Hadiah uang seribu Galleon, eh" Dan kau juga tidak usah ikut ujian akhir tahun ajaran..."
"Aku tidak memasukkan namaku ke dalam piala!" kata Harry, mulai jengkel.
"Yeah, oke," kata Ron, dengan nada sangsi persis seperti Cedric. "Baru tadi pagi kau bilang, kalau kau, kau akan memasukkan nama di malam hari, dan tak seorang pun akan melihatmu... Aku tidak bodoh, tahu."
"Sikapmu sekarang ini seperti orang bodoh," tukas Harr
y. "Yeah"" kata Ron, dan sekarang di wajahnya tak ada lagi bayangan senyuman, terpaksa ataupun tidak. "Kau perlu tidur, Harry. Mestinya kau harus bangun pagi-pagi besok untuk difoto atau entah apa."
Ron menarik kelambunya rapat-rapat mengelilingi tempat tidurnya, membiarkan Harry berdiri di dekat pintu, memandang kelambu beludru merah yang sekarang menyembunyikan satu dari sedikit orang yang semula diyakininya akan mempercayainya.
18. Pemeriksaan Tongkat Sihir
Ketika Harry terbangun pada pagi hari Minggunya, perlu beberapa saat baginya untuk mengingat kenapa dia merasa begitu sedih dan cemas. Kemudian ingatan akan apa yang terjadi semalam memenuhi benaknya. Dia duduk dan membuka kelambu tempat tidurnya, bermaksud bicara pada Ron, memaksa Ron mempercayainya-tetapi - tempat tidur Ron kosong. Pasti dia sudah turun sarapan.
Harry berpakaian dan menuruni tangga spiral ke, ruang rekreasi. Begitu dia muncul, anak-anak yang sudah selesai sarapan menyambutnya dengan tepuk riuh lagi. Harry jadi enggan ke Aula Besar, takut anak-anak Gryffindor lain yang sudah ada di sana semua memperlakukannya seperti semacam pahlawan. Tetapi tak ada pilihan lain. Kalau tidak ke Aula Besar, di sini dia disudutkan oleh kakak-beradik Creevey yang memberi isyarat dengan heboh agar Harry bergabung dengan mereka. Dengan mantap Harry berjalan ke lubang
lukisan, mendorongnya terbuka, dan langsung berhadapan dengan Hermione.
"Halo" sapa Hermione, mengulurkan setumpuk roti panggang, yang dialasi tisu. "Kubawakan ini... Mau jalan-jalan""
"Ide bagus," kata Harry penuh terima kasih.
Mereka turun, menyeberangi Aula Depan cepat-cepat tanpa menoleh ke Aula Besar, dan segera saja sudah berjalan menyeberangi lapangan rumput menuju ke danau, tempat kapal Durmstrang berlabuh, memantulkan bayangan hitam di air. Pagi itu dingin sekali, dan mereka terus berjalan, mengunyah roti, sementara Harry menceritakan kepada Hermione apa yang terjadi setelah dia meninggalkan meja Gryffindor semalam. Betapa leganya dia, Hermione menerima ceritanya tanpa pertanyaan.
"Yah, tentu saja aku tahu bukan kau sendiri yang mendaftar," komentarnya setelah Harry selesai bercerita tentang kejadian di dalam kamar Aula Besar. "Tampangmu ketika Dumbledore menyebutkan namamu! Tetapi pertanyaannya adalah, siapa yang mendaftarkanmu" Karena Moody benar, Harry... Kupikir murid tak mungkin bisa melakukannya... mereka tak akan sanggup mengecoh Piala Api atau melewati Lingkaran Batas Usia Dumb..."
"Kau tadi lihat Ron"" Harry menyela.
Hermione ragu-ragu. "Erm... ya... dia ada waktu sarapan," katanya. "Apa dia masih berpikir aku sendiri yang mendaftar""
"Yah... tidak, kukira tidak... sebenarnya tidak," kata Hermione salah tingkah.
"Apa maksudnya, 'sebenarnya tidak'""
"Oh, Harry, bukankah jelas sekali"" kata Hermione putus asa. "Dia iri!"
"Iri"" kata Harry tercengang. "Apa yang dia irikan" Dia mau berbego-ria di depan seluruh sekolah, begitu ya""
"Begini," kata Hermione sabar, "selama ini kau-lah yang selalu menjadi pusat perhatian, kau tahu itu. Aku tahu itu bukan salahmu," dia menambahkan buru-buru ketika melihat Harry membuka mulutnya dengan gusar. "Aku tahu kau tidak meminta itu... tetapi... yah... kau tahu Ron punya begitu banyak kakak, sehingga di rumah dia harus bersaing dengan mereka. Dan kau sahabatnya, dan kau sungguh terkenal-dia selalu tersingkir setiap kali orang melihatmu, dan dia menerima itu, dia tak pernah menyebut-nyebutnya, tetapi kali ini sudah tak tertahankan olehnya..."
"Hebat," kata Harry getir. "Benar-benar hebat. Bilang padanya aku mau tukar dengannya kapan saja. Bilang padanya silakan kalau dia mau... Orang-orang ternganga memandang dahiku ke mana saja aku pergi..."
"Aku tak akan bilang apa-apa kepadanya," kata Hermione pendek. "Kau sendiri yang harus bilang. Itu satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah ini."
"Aku tak mau mengejar-ngejarnya, berusaha membuatnya bersikap lebih dewasa!" kata Harry begitu keras, sehingga beberapa burung hantu di pohon dekat mereka kabur ketakutan. "Mungkin dia baru percaya aku tidak menikmati semua ini kalau leherku sudah patah atau..."
"Tidak lucu," kata Hermione pelan. "Sama sekali tidak lucu." Hermione tampak amat cemas. "Harry, aku sudah berpikir-pikir... kau tahu apa yang harus kita lakukan, kan" Begitu kita tiba kembali di kastil"'
"Yeah, sepak Ron sampai..."
"Tulis surat kepada Sirius. Kau harus memberitahu . dia apa yang terjadi. Dia sudah menyuruhmu memberitahunya apa saja yang terjadi di Hogwarts... Sepertinya dia sudah menduga hal semacam ini akan terjadi. Aku membawa perkamen dan pena bulu..."
"Jangan macam-macam," kata Harry, memandang berkeliling untuk memastikan tak ada yang mendengar. Tetapi lapangan kosong. "Dia kembali ke negara ini hanya karena bekas lukaku berdenyut sakit, Dia mungkin akan menerobos masuk kastil kalau aku memberitahunya ada orang yang mendaftarkanku ke ' Turnament Triwizard..."
"Dia pasti ingin kau memberitahunya," kata Hermione tegas. "Dia toh akan tahu juga nantinya..."
"Bagaimana caranya""
"Harry, berita ini tidak akan bisa ditutupi," kata Hermione, sangat serius. "Turnamen ini terkenal, dan kau terkenal. Aku akan heran sekali kalau di Daily Prophet tidak ada berita tentang kau ikut bertanding... Kau sudah ada dalam separo buku-buku tentang Kau-Tahu-Siapa... dan Sirius akan lebih senang mendengarnya langsung darimu, aku yakin."
"Oke, oke, aku akan menulis padanya," kata Harry, melemparkan potongan terakhir roti panggangnya ke danau. Mereka memandang potongan roti itu mengapung sekejap, sebelum sungut besar muncul dari dalam air dan menyambarnya ke bawah permukaan air. Kemudian mereka berdua kembali ke kastil.
"Burung hantu siapa yang kugunakan"" tanya Harry sementara mereka menaiki tangga. "Dia sudah berpesan agar aku tidak menggunakan Hedwig lagi."
"Tanya Ron kalau kau boleh meminjam... "
"Aku tidak akan tanya apa-apa pada Ron," kata Harry tegas.
"Yah, kalau begitu pinjam salah satu burung hantu sekolah, semua anak bisa menggunakan mereka," kata Hermione.
Mereka pergi ke Kandang Burung Hantu. Hermione memberikan sehelai perkamen kepada Harry, pena bulu, dan sebotol tinta, kemudian berjalan berkeliling deretan tempat hinggap burung, melihat-lihat burung-burung yang beragam, sementara Harry duduk bersandar dinding dan menulis suratnya.
Dear Sirius, Kau memintaku memberitahumu tentang apa saja yang terjadi di Hogwarts, jadi ini dia-aku tak tahu apakah kau sudah dengar, tetapi Turnamen Triwizard akan diselenggarakan di Hogwarts tahun ini dan hari Sabtu malam aku terpilih sebagai juara keempat. Aku tak tahu siapa yang memasukkan namaku ke dalam Piala Api, karena jelas bukan aku. Juara Hogwarts yang satunya adalah Cedric Diggory, anak Hufflepuff.
Harry berhenti, berpikir. Dia ingin sekali menceritakan tentang beban kecemasan yang bersarang di dadanya sejak semalam, tetapi tak tahu bagaimana harus menuangkannya dalam kata-kata. Maka dia mencelupkan kembali pena bulunya ke dalam botol tinta dan hanya menulis,
Semoga kau baik-baik saja juga Buckbeak...
Harry. "Selesai" katanya kepada Hermione, bangkit, dan menepiskan jerami dari jubahnya. Hedwig terbang turun hinggap di bahunya, dan menjulurkan kakinya.
"Aku tak bisa memakaimu," Harry memberitahunya, memandang berkeliling ke burung-burung hantu sekolah. "Aku harus memakai salah satu dari mereka... "
Hedwig ber-uhu keras sekali dan melesat dengan sangat mendadak sehingga cakarnya melukai bahu Harry. Dia memunggungi Harry terus sementara Harry mengikatkan suratnya ke kaki burung hantu serak besar. Ketika si burung hantu serak sudah terbang pergi, Harry mengulurkan tangan untuk membelai Hedwig, tetapi Hedwig mengatupkan paruhnya dengan marah dan membubung ke atas kasau di luar jangkauan Harry.
"Mula-mula Ron, sekarang kau," kata Harry berang. "Ini bukan salahku."
Kalau Harry mengira keadaan akan membaik setelah semua orang terbiasa dengan dirinya sebagai juara, hari berikutnya membuktikan betapa kelirunya dia. Dia tak bisa lagi menghindari anak-anak lain begitu pelajaran dimulai-dan jelas anak-anak lain, seperti halnya anak-anak Gryffindor, mengira Harry mendaftar sendiri untuk ikut turnamen. Meskipun demikian, tak seperti anak-anak Gryffindor, mereka sama sekali tidak terkesa
n. Anak-anak Hufflepuff yang biasanya sangat akrab dengan anak-anak Gryffindor, telah berubah sikap menjadi sangat dingin. Satu kali pelajaran Herbologi sudah cukup mendemonstrasikan ini. Jelas bahwa anak-anak Hufflepuff menganggap Harry telah mencuri kejayaan juara mereka. Perasaan yang diperburuk, mungkin, oleh fakta bahwa Asrama Hufflepuff jarang sekali mendapat kejayaan, dan bahwa Cedric adalah salah satu dari sedikit anak yang pernah memberikan itu kepada mereka, setelah berhasil mengalahkan Gryffindor sekali dalam pertandingan Quidditch. Ernie Macmillan dan Justin Finch-Fletchley, yang biasanya akrab sekali dengan Harry, tidak bicara kepadanya, walaupun mereka mengganti pot Umbi Lompat dari nampan yang sama- walaupun mereka memang tertawa kurang enak ketika
salah satu dari Umbi Lompat berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Harry dan menghantam mukanya keras-keras. Ron juga tidak bicara dengan Harry. Hermione duduk di antara mereka, berusaha memancing obrolan, tetapi meskipun mereka berdua menjawabnya dengan biasa, mereka menghindari saling bertatap mata. Harry merasa bahkan Profesor Sprout menjauh darinya- tetapi maklum, karena dia Kepala Asrama Hufflepuff.
Harry pasti ingin sekali bertemu Hagrid dalam kondisi normal, tetapi Pemeliharaan Satwa Gaib berarti bertemu anak-anak Slytherin juga-pertama kali dia akan berhadapan dengan mereka sejak terpilih menjadi juara.
Sesuai dugaan, Malfoy tiba di pondok Hagrid dengan cemoohnya yang biasa.
"Ah, lihat, teman-teman, sang juara," katanya kepada Crabbe dan Goyle begitu berada dalam jarak pendengaran Harry. "Bawa buku tanda tangan" Lebih baik minta tanda tangannya sekarang, karena aku sangsi dia bisa lama bersama kita... Separo juara Triwizard sudah mati... berapa lama menurutmu kau bisa bertahan, Potter" Sepuluh menit setelah tugas pertama, taruhanku."
Crabbe dan Goyle terbahak melecehkan, tetapi Malfoy terpaksa berhenti di situ, karena Hagrid muncul dari belakang pondoknya, membawa setumpuk peti yang bergoyang, masing-masing berisi Skrewt Ujung-Meletup. Anak-anak kaget dan ngeri ketika Hagrid menjelaskan bahwa alasan para Skrewt itu saling bunuh adalah karena kelebihan energi yang tak bisa disalurkan, dan solusinya adalah masing-masing anak mengikatkan tali ke satu Skrewt dan membawanya jalan-jalan sebentar.
Satu-satunya kebaikan tugas ini adalah, membuat perhatian Malfoy sama sekali teralih.
"Membawa makhluk ini jalan-jalan"" dia mengulang dengan jijik, memandang ke dalam salah satu peti. "Dan di mana persisnya kita ikatkan tali itu" Di sekeliling sengat, di ujung meletupnya, atau di bagian pengisapnya""
"Di tengah-tengah," kata Hagrid, seraya mem-peragakannya. "Er... kalian perlu pakai sarung tangan kulit naga kalian, hanya untuk berjaga-jaga. Harry... sini, bantu aku dengan yang besar ini..."
Tujuan Hagrid sebenarnya adalah untuk mengajak Harry bicara, jauh dari teman-temannya. Dia menunggu sampai semua anak lain sudah berangkat membawa Skrewt mereka, kemudian dia menoleh kepada Harry dan berkata, sangat serius, "Jadi kau akan ikut bertanding, Harry. Dalam turnamen. Juara sekolah."
"Salah satu juara," Harry mengoreksinya.
Mata kumbang-hitam Hagrid tampak sangat cemas di bawah alisnya yang liar.
"Tak bisa tebak siapa kira-kira yang masukkan namamu, Harry""
"Kau percaya bukan aku yang memasukkannya, kalau begitu"" kata Harry, menyembunyikan dengan susah payah luapan rasa terima kasih yang melandanya mendengar kata-kata Hagrid.
"Tentu saja," gerutu Hagrid. "Kau bilang bukan kau, dan aku percaya padamu... dan Dumbledore juga percaya padamu."
"Sayang sekali aku tak tahu siapa yang melakukannya," kata Harry getir.
Mereka berdua memandang hamparan padang rumput. Anak-anak telah menyebar, semuanya dengan susah payah. Skrewt-skrewt itu sekarang panjangnya sudah lebih dari satu meter, dan sangat kuat. Mereka kini tak lagi tanpa kulit dan tanpa warna, karena telah tumbuh lapisan pelindung tebal mengilap, keabu-abuan. Penampilan mereka sekarang campuran antara kalajengking raksasa dan kepiting yang memanjang- tetapi tetap tanpa kepala dan mata yang bisa dikenali. Mereka suda
h jadi luar biasa kuat dan sangat susah dikendalikan.
"Mereka kelihatannya asyik, ya"" kata Hagrid senang. Harry menduga maksud Hagrid yang asyik itu para Skrewt, karena teman-temannya jelas tidak asyik. Sekali-sekali, dengan bunyi duar mengagetkan, salah satu ujung Skrewt itu akan meledak, membuat Skrewt-nya meluncur maju beberapa meter, dan lebih dari satu anak terseret-seret pada perut mereka, berusaha dengan putus asa untuk bangkit lagi.
"Ah, aku tak tahu, Harry," tiba-tiba Hagrid menghela napas, kembali menatap Harry dengan cemas. "Juara sekolah... segalanya tampaknya terjadi padamu, ya"
Harry tidak menjawab. Ya, segalanya tampaknya terjadi padanya... kira-kira begitulah yang dikatakan Hermione ketika mereka berjalan mengelilingi danau, dan itulah alasannya, menurut Hermione, kenapa Ron tidak bicara kepadanya.
Beberapa hari berikutnya adalah hari-hari terburuk Harry di Hogwarts. Situasinya agak mirip dengan kejadian selama beberapa bulan pada tahun keduanya, ketika sebagian besar anak menuduhnya menyerang teman-temannya. Tetapi waktu itu Ron ada di pihaknya. Harry merasa dirinya akan bisa menghadapi sikap semua anak lain, jika Ron kembali menjadi temannya. Tetapi dia tidak akan membujuk Ron untuk bicara kepadanya kalau Ron tak mau. Meskipun demikian, sepi rasanya disiram kebencian dari segala jurusan.
Dia bisa mengerti sikap anak-anak Hufflepuff, meskipun dia tidak menyukainya. Mereka punya juara sendiri yang harus mereka dukung. Kalau hinaan keji dari anak-anak Slytherin, itu sudah biasa-sejak dulu Harry tidak disukai mereka, karena dia telah begitu sering membantu Gryffindor mengalahkan mereka, baik dalam Qudditch maupun dalam Pertandingan Antar-Asrama. Tetapi dia sebetulnya berharap anak-anak Ravenclaw mau mendukungnya, sama seperti dukungan mereka terhadap Cedric. Tetapi harapannya sia-sia. Sebagian besar anak Ravenclaw rupanya mengira dia ingin sekali menambah ketenarannya dengan mengecoh Piala Api agar menerima namanya.
Belum lagi kenyataan bahwa Cedric jauh lebih cocok tampil sebagai juara dibanding dirinya. Dengan wajah luar biasa tampan, hidung lurus, rambut hitam, dan mata abu-abunya, susah mengatakan siapa yang menerima lebih banyak kekaguman hari-hari ini, Cedric atau Viktor Krum. Harry malah melihat gadis-gadis kelas enam yang dulu ingin sekali mendapatkan tanda tangan Krum,
sekarang memohon Cedric menandatangani tas sekolah mereka pada suatu jam makan siang.
Sementara itu tak ada jawaban dari Sirius. Hedwig menolak mendekatinya. Profesor Trelawney meramalkan kematiannya dengan kepastian lebih daripada biasanya, dan prestasinya dalam pelajaran Mantra Panggil begitu buruk, sehingga dia mendapat PR tambahan-satu-satunya yang mendapat PR tambahan, selain Neville.
"Sebetulnya tidak susah-susah amat, Harry," Hermione berusaha meyakinkannya ketika mereka meninggalkan kelas Flitwick. Tadi Hermione membuat benda-benda melayang kepadanya sepanjang pelajaran, seakan dia sejenis magnet aneh bagi penghapus papan tulis, tempat sampah, dan lunaskop. "Kau cuma tidak berkonsentrasi sepenuhnya... "
"Heran, kenapa ya," kata Harry suram ketika Cedric Diggory lewat, dikelilingi rombongan besar gadis yang tersenyum-senyum, yang semuanya memandang Harry seakan dia Skrewt Ujung-Meletup ekstra-besar. "Tapi... biar saja, kan" Masih ada dua jam pelajaran Ramuan yang seru sore ini.... "
Dari dulu dua jam pelajaran Ramuan selalu jadi pengalaman mengerikan, tetapi hari-hari ini sudah sama saja dengan siksaan. Terkungkung dalam ruang bawah tanah selama satu setengah jam bersama Snape dan anak-anak Slytherin, yang semuanya tampaknya bertekad untuk menghukum Harry seberat mungkin karena berani menjadi juara sekolah, adalah hal paling tidak menyenangkan yang bisa dibayangkan Harry. Dia sudah mengalami melewatkan sepanjang hari Jumat, dengan Hermione yang duduk di sebelahnya dan 363
melagukan, "Jangan acuhkan mereka, jangan acuhkan mereka, jangan acuhkan mereka" dan dia tak punya alasan kenapa hari ini harus lebih baik.
Saat dia dan Hermione tiba di kelas Snape di ruang bawah tanah setelah makan siang, anak-anak Slytherin sudah menun
ggu di depan. Semuanya memakai lencana besar di bagian depan jubah mereka. Sesaat Harry mengira mereka memakai lencana S.PE.W- tetapi kemudian dilihatnya, semua lencana itu bertulisan sama, dengan huruf-huruf merah yang menyala terang dalam lorong bawah tanah yang berpenerangan redup:
DUKUNGLAH CEDRIC DIGGORY JUARA ASLI HOGWARTS! "Suka, Potter"" kata Malfoy keras ketika Harry mendekat. "Dan bunyinya bukan cuma ini... lihat!"
Malfoy menekankan lencananya ke dada, dan tulisan di atasnya lenyap, digantikan tulisan hijau menyala:
POTTER BAU Anak-anak Slytherin tertawa terbahak-bahak. Semua ikut menekan lencana mereka, sampai tulisan POTTER BAU bersinar terang di sekeliling Harry. Harry merasa leher dan mukanya panas.
"Oh, lucu sekali" kata Hermione sinis kepada Pansy Parkinson dan geng cewek-cewek Slytherin, yang tertawa lebih keras daripada yang lain, "benar-benar kocak."
Ron berdiri bersandar pada dinding bersama Dean dan Seamus. Dia tidak tertawa, tetapi dia juga tidak membela Harry.
"Mau satu, Granger"" kata Malfoy, mengulurkan sebuah lencana kepada Hermione. "Aku punya banyak. Tapi jangan sampai kausentuh tanganku. Baru saja kucuci, soalnya aku ogah dikotori Muggle lagi."
Sebagian kemarahan yang dipendam Harry selama berhari-hari ini seperti menjebol bendungan dalam dadanya. Dia sudah mencabut tongkat sihirnya tanpa berpikir apa yang dilakukannya. Anak-anak di sekelilingnya serabutan menyingkir, menjauh di lorong.
"Harry!" tegur Hermione memperingatkan.
"Ayo terus, Potter," kata Malfoy tenang, seraya mencabut tongkatnya sendiri. "Moody tak ada di sini untuk melindungimu... lakukan, kalau kau berani..."
Sesaat mereka saling pandang, kemudian, secara bersamaan, keduanya beraksi.
"Furnunculus!" teriak Harry.
"Densaugeo!" jerit Malfoy.
Kilatan cahaya meluncur dari ujung tongkat keduanya, bertabrakan di udara dan memantul ke segala jurusan. Cahaya tongkat Harry mengenai wajah Goyle, dan cahaya tongkat Malfoy mengenai Hermione. Goyle menggerung dan tangannya memegang hidungnya, yang
kini dipenuhi bisul besar-besar mengerikan... Hermione, merintih panik, menekap mulutnya.
"Hermione!" Ron bergegas maju untuk mengetahui apa yang terjadi pada Hermione. Harry menoleh dan melihat Ron menarik tangan Hermione dari wajahnya. Bukan hal yang menyenangkan. Gigi depan Hermione-yang ukurannya sudah lebih besar daripada rata-rata-sekarang membesar dengan kecepatan mengerikan. Makin lama dia makin seperti berang-berang sementara giginya memanjang, melewati bibir bawahnya, menuju dagunya... dengan panik dia merabanya dan memekik ngeri.
"Ada apa ini ribut-ribut"" terdengar suara pelan penuh ancaman.
Snape sudah datang. Anak-anak Slytherin berebut memberi keterangan. Snape mengacungkan jari panjang kekuningan kepada Malfoy dan berkata, "Jelaskan."
"Potter menyerangku, Sir... "
"Kami saling serang pada saat bersamaan!" Harry berteriak.
"... dan serangannya mengenai Goyle... lihat... "
Snape memeriksa Goyle, yang wajahnya sekarang cocok sekali dimasukkan buku jamur beracun.
"Rumah sakit, Goyle," kata Snape tenang.
"Dan serangan Malfoy kena Hermione!" kata Ron.
"Lihat!" Dia memaksa Hermione memperlihatkan giginya kepada Snape-Hermione berusaha sebisa mungkin menutupinya dengan tangannya, meskipun sulit, karena kini giginya sudah tumbuh melampaui pangkal lehernya. Pansy Parkinson dan cewek-cewek Slytherin lainnya cekikikan geli, menunjuk-nunjuk Hermione di belakang Snape.
Snape memandang Hermione dingin, kemudian berkata, "Tak kulihat bedanya."
Hermione merintih, air matanya berlinang, dia berbalik dan berlari, terus sampai ke ujung lorong dan menghilang dari pandangan.
Beruntung, mungkin, bahwa Harry dan Ron mulai berteriak kepada Snape pada saat bersamaan. Beruntung suara mereka sangat bergaung di koridor batu itu, karena dalam kekacauan itu, susah bagi Snape untuk mendengar jelas umpatan apa yang mereka lontarkan kepadanya. Meskipun demikian dia paham.
"Kalau begitu," katanya dengan suaranya yang paling licin, "potong lima puluh angka dari Gryffindor dan detensi bagi Potter dan Weasley. Sekarang masuk kelas, kalau tidak detensi selama seming
gu." Telinga Harry berdenging. Ketidakadilan ini membuatnya ingin mengutuk Snape menjadi seribu ser-pihan. Dia melewati Snape, berjalan bersama Ron ke bagian belakang kelas, dan membanting tasnya di atas meja. Ron juga gemetar saking marahnya-selama sesaat rasanya segalanya kembali normal di antara mereka berdua, tetapi kemudian Ron berbalik dan duduk bersama Dean dan Seamus, meninggalkan Harry
sendirian di mejanya. Di ujung lain kelas, Malfoy membelakangi Snape dan menekan lencananya, menyeringai. POTTER BAU sekali lagi menyala mencorong ke seberang ruangan.
Harry memandang Snape sementara pelajaran dimulai, membayangkan hal-hal mengerikan terjadi kepadanya... kalau saja dia tahu bagaimana melakukan Kutukan Cruciatus... dia akan membuat Snape telentang di atas meja, seperti labah-labah itu, menggelepar dan menggeliat....
"Ramuan penangkal racun!" kata Snape, matanya yang hitam dingin berkilau jahat. "Kalian semua mestinya sudah menyiapkan resep kalian. Rebus hati-hati, dan nanti kita akan memilih satu anak untuk mencoba ramuan ini..."
Mata Snape memandang mata Harry, dan Harry tahu apa yang akan terjadi. Snape akan meracuni dia. Harry membayangkan mengangkat kualinya dan maju ke depan kelas, menuangkan isinya ke kepala Snape...
Dan kemudian ketukan di pintu membuyarkan pikiran Harry.
Ternyata Colin Creevey. Dia masuk, tersenyum kepada Harry, dan maju ke depan ke meja Snape. "Ya"" tanya Snape kasar.
"Maaf, Sir, saya disuruh membawa Harry Potter ke atas."
Snape memandang Colin melewati hidungnya yang bengkok. Senyum Colin memudar dari wajahnya yang bersemangat.
"Potter masih harus menyelesaikan pelajaran Ramuan satu jam lagi," kata Snape dingin. "Dia akan naik kalau pelajaran sudah selesai."
Wajah Colin memerah. "Sir... Sir, Mr Bagman yang menyuruh," katanya resah. "Semua juara harus berkumpul, saya rasa mereka mau difoto..."
Mau rasanya Harry memberikan apa saja miliknya asal Colin tidak menyebutkan kalimat terakhir itu. Dia setengah mengerling Ron, tetapi Ron sengaja menatap langit-langit.
"Baik, baik," tukas Snape. "Potter, tinggalkan barangbarangmu di sini. Aku mau kau kembali ke sini nanti untuk mengetes ramuan penangkalmu."
"Maaf, Sir... dia harus membawa semua barangnya," cicit Colin. "Semua juara..."
"Baiklah!" kata Snape. "Potter... ambil tasmu dan menyingkir dari pandanganku!"
Harry menyampirkan tasnya di bahu, bangkit, dan berjalan ke pintu. Ketika melewati meja anak-anak Slytherin, POTTER BAU berkelebatan ke arahnya dari segala jurusan.
"Luar biasa ya, Harry"" kata Colin, begitu Harry menutup pintu kelas. Iya, kan" Kau jadi juara""
"Yeah, benar-benar luar biasa," kata Harry berat ketika mereka menaiki tangga ke Aula Depan. "Untuk apa mereka minta foto, Colin""
"Daily Prophet, kurasa!"
"Hebat," kata Harry lesu. "Tepat itu yang kubutuhkan. Lebih banyak publisitas."
"Semoga sukses!" kata Colin ketika mereka tiba di ruang yang dituju. Harry mengetuk pintu dan masuk.
Dia berada di ruang yang cukup kecil, sebagian besar mejanya sudah dirapatkan ke bagian belakang, membentuk tempat lapang di tengah. Tetapi tiga meja diletakkan bersambungan di depan papan tulis dan ditutup beludru panjang. Lima kursi diletakkan di belakang ketiga meja itu, dan Ludo Bagman duduk di salah satunya, berbicara kepada penyihir wanita yang belum pernah dilihat Harry. Penyihir itu memakai jubah merah delima.
Viktor Krum berdiri cemberut seperti biasanya disalah satu sudut dan tidak bicara kepada siapa pun. Cedric dan Fleur mengobrol. Fleur tampak jauh lebih riang daripada yang dilihat Harry selama ini. Dia berkali-kali mengedikkan kepalanya sehingga rambut panjangnya yang keperakan berkilau tertimpa cahaya. Seorang laki-laki berperut gendut, memegangi kamera besar yang sedikit berasap, mengawasi Fleur dari sudut matanya.
Bagman mendadak melihat Harry, buru-buru bangkit, dan mendekatinya.
"Ah, ini dia! Juara nomor empat! Masuk, Harry, masuk... tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ini cuma upacara Pemeriksaan Tongkat Sihir. Para juri yang lain sebentar lagi datang..."
"Pemeriksaan Tongkat Sihir"" Harry mengulang cemas.
"Kami harus memastika
n bahwa tongkat kalian berfungsi sepenuhnya, tidak bermasalah, begitu, karena tongkat itu adalah alat paling penting bagi kalian dalam menyelesaikan tugas-tugas yang akan kalian hadapi," kata Bagman. "Ahli tongkatnya ada di atas sekarang, bersama Dumbledore. Setelah itu nanti akan ada acara pengambilan foto. Ini Rita Skeeter," dia menambahkan, menunjuk penyihir yang berjubah merah delima. "Dia akan menulis artikel pendek tentang turnamen ini untuk Daily Prophet..."
"Mungkin tidak begitu pendek, Ludo," kata Rita Skeeter, menatap Harry.
Rambutnya dikeriting dengan ikal kecil-kecil kaku yang ganjil, kontras sekali dengan wajahnya yang berahang keras. Dia memakai kacamata berhias permata. Jari-jarinya yang gemuk dan memegangi tas kulit buayanya, berkuku sepanjang lima senti yang diberi cat kuku merah tua.


Harry Potter Dan Piala Api Harry Potter And The Goblet Of Fire Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bolehkah aku ngobrol sedikit dengan Harry sebelum kita mulai"" dia bertanya kepada Bagman, tetapi tetap masih menatap tajam Harry. "Juara paling muda, kan... untuk lebih menyemarakkan artikel""
"Tentu saja!" seru Bagman. "Itu kalau... Harry tidak keberatan""
"Er...," kata Harry.
"Bagus," sambar Rita Skeeter, dan dalam sedetik saja, jari-jarinya yang bercakar merah sudah mencengkeram lengan Harry dengan amat kuatnya. Dia membimbing Harry keluar ruangan lagi dan membuka pintu di dekat situ.
"Kita tak mau berada di ruangan yang bising itu," katanya. "Coba lihat... ah, ya, ini asyik dan nyaman."
Rupanya itu pintu lemari sapu dan alat-alat pembersih. Harry terbelalak menatapnya.
"Ayo, Nak... nah, begitu... bagus," kata Rita Skeeter, nangkring dengan ceroboh di atas ember terbalik, mendorong Harry duduk di atas kotak karton, dan menutup pintu, membuat mereka berada dalam kegelapan. "Tunggu dulu..."
Dia membuka tas kulit buayanya dan mengeluarkan segenggam lilin, yang dinyalakan dan dibuatnya melayang dengan lambaian tongkat sihirnya, supaya mereka bisa melihat apa yang mereka lakukan.
"Kau tak keberatan kan, Harry, kalau aku memakai Pena Bulu Kutip-Kilat" Supaya aku bisa bebas bicara denganmu, dengan wajar..."
"Pakai apa"" tanya Harry.
Senyum Rita Skeeter melebar. Harry menghitung ada tiga gigi emas. Rita kembali memasukkan tangan ke dalam tas dan mengeluarkan pena bulu hijau-cuka panjang dan segulung perkamen, yang direntang-kannya di antara mereka di atas kotak Pembersih Segala-macam Kotoran Sihir buatan Mrs Skower. Dia memasukkan ujung pena bulu hijau itu ke dalam mulutnya, mengisapnya dengan girang, kemudian meletakkannya lurus-lurus di atas perkamen. Pena itu berdiri pada ujungnya, bergetar sedikit.
"Tes... namaku Rita Skeeter, reporter Daily Prophet."
Harry cepat-cepat memandang pena bulu itu. Begitu Rita bicara, pena hijau itu mulai menulis, meluncur di atas permukaan perkamen.
Si pirang menari Rita Skeeter, empat puluh tiga tahiun, yang pena kutunya yang tajam telah mengempiskan banyak- reputasi menggelembung...
"Bagus," kata Rita Skeeter lagi, dan dirobeknya bagian atas perkamen, diremasnya, dan dijejalkannya ke dalam tasnya. Kini dia membungkuk ke arah Harry dan berkata, "Nah, Harry... apa yang membuatmu memutuskan untuk ikut Turnamen Triwizard""
"Er...," kata Harry lagi, tetapi perhatiannya teralih kepada pena bulu Rita. Meskipun Harry tidak bicara, pena bulu itu melesat di atas perkamen dan dia bisa melihat kalimat baru:
Bekas luka jelek suvenir masa lalu yang tragis, membuat cacat wajah Harry Potter yang sebetulnya menarik, yang matanya...
"Abaikan saja pena itu, Harry," kata Rita Skeeter tegas. Dengan enggan Harry ganti memandangnya. "Nah... kenapa kau memutuskan ikut turnamen, Harry""
"Saya tidak memutuskan ikut," kata Harry. "Saya tak tahu bagaimana nama saya bisa berada dalam Piala Api. Saya tidak memasukkan nama saya."
Rita Skeeter menaikkan sebelah alisnya yang tebal dibubuhi pensil alis. "Ayolah, Harry, tak perlu takut kau akan mendapat kesulitan. Kami semua tahu kau seharusnya tak boleh mendaftar. Tetapi jangan khawatir. Pembaca kami suka pemberontak."
"Tapi saya tidak mendaftar," Harry mengulangi. "Saya tak tahu siapa... "
"Bagaimana perasaanmu menghadapi tugas-tugas mendatang"" tanya Rita Skeeter. "Bers
emangat" Cemas""
"Saya belum pernah benar-benar memikirkannya... yeah, cemas, saya rasa," kata Harry. Perasaannya sangat tidak enak ketika dia bicara.
"Juara-juara ada yang meninggal di masa lalu, kan"" kata Rita Skeeter tegas. "Sudahkah kau memikirkan hal
ini"" "Yah... katanya tahun ini akan jauh lebih aman," kata Harry.
Pena melesat di atas perkamen di antara mereka, ke kanan dan ke kiri seperti sedang main luncuran. "Tentu saja, kau pernah menghadapi maut sebelumnya, kan"" kata Rita Skeeter, mengawasinya lekat-lekat. "Menurutmu, bagaimana ini mempengaruhimu""
"Er...," kata Harry lagi.
"Apakah menurutmu trauma di masa lalumu mungkin membuatmu ingin membuktikan diri" Agar nama besarmu tidak percuma" Apakah menurutmu kau tergoda mendaftarkan diri ikut Turnamen Triwizard karena... "
"Saya tidak mendaftarkan diri," kata Harry, mulai merasa jengkel.
"Apakah kau bisa mengingat orangtuamu"" tanya Rita Skeeter, menyela Harry. "Tidak," kata Harry.
"Menurutmu, bagaimana perasaan mereka kalau mereka tahu kau ikut bertanding dalam Turnamen Triwizard" Bangga" Cemas" Marah""
Harry benar-benar jengkel sekarang. Bagaimana dia bisa tahu perasaan orangtuanya jika mereka masih hidup" Dia bisa merasakan Rita Skeeter menatapnya tajam. Seraya mengernyit, Harry menghindari tatapannya dan memandang kalimat yang baru saja ditulis si pena:
Air mata menggenangi mata hijaunya yang cemerlang ketika pembicaraan beralih ke orangtua yang nyaris tak bisa diingatnya.
"TAK ADA air mata di mata saya!" kata Harry keras.
Sebelum Rita Skeeter sempat berkata sepatah pun, pintu lemari sapu ditarik terbuka. Harry menoleh, mengejapkan matanya yang silau kena cahaya terang. Albus Dumbledore berdiri di depan lemari, menunduk memandang mereka berdua yang bersempit-sempit dalam lemari.
"Dumbledore!" seru Rita Skeeter, seakan senang melihatnya... tetapi Harry memperhatikan bahwa pena bulu dan perkamennya mendadak lenyap dari atas kotak Pembersih Segala-macam Kotoran Sihir, dan jari-jari Rita yang seperti cakar buru-buru menutup kancing tas kulit buayanya. "Apa kabar"" katanya, seraya berdiri dan mengulurkan tangannya yang besar seperti tangan laki-laki kepada Dumbledore. "Kuharap kau membaca tulisanku musim panas lalu tentang Konferensi Internasional Konfederasi Para Penyihir""
"Tulisan keji yang menarik," kata Dumbledore, matanya berkilauan. "Aku terutama menikmati
deskripsimu tentang aku sebagai barang usang yang tak bisa dipakai lagi."
Rita Skeeter sama sekali tak kelihatan malu.
"Aku cuma mau menunjukkan bahwa beberapa idemu sudah ketinggalan zaman, Dumbledore, dan bahwa banyak penyihir di jalanan... "
"Aku akan senang mendengar alasan di balik ke-tidaksopanan itu, Rita," kata Dumbledore seraya membungkuk hormat dan tersenyum, "tetapi sayang sekali kita harus menunda mendiskusikan masalah ini. Pemeriksaan Tongkat Sihir sudah akan dimulai, dan upacara itu tidak dapat dilangsungkan kalau salah seorang juara kita tersembunyi di dalam lemari sapu."
Gembira sekali bisa melepaskan diri dari Rita Skeeter,
Harry bergegas kembali ke ruangan. Ketiga juara lainnya sekarang duduk di kursi-kursi di dekat pintu, dan Harry buru-buru duduk di sebelah Cedric, lalu memandang meja bertutup beludru. Empat dari kelima juri sekarang sudah duduk di belakang meja-Profesor Karkaroff, Madame Maxime, Mr Crouch, dan Ludo Bagman. Rita Skeeter mendudukkan diri di sudut. Harry melihatnya mengeluarkan perkamennya dari tas lagi, membukanya di atas lututnya, mengisap ujung Pena Bulu Kutip-Kilat, dan menaruhnya sekali lagi di atas perkamen.
"Perkenankan aku memperkenalkan Mr Ollivander,"* kata Dumbledore, yang sudah duduk di meja juri dan berbicara kepada para juara. "Beliau akan memeriksa tongkat kalian untuk memastikan tongkat-tongkat itu dalam kondisi baik sebelum turnamen dimulai."
Harry berpaling dan tersentak kaget melihat seorang* penyihir tua dengan mata besar pucat berdiri diam di dekat jendela. Harry pernah bertemu Mr Ollivander sebelumnya-dia pembuat tongkat sihir dan Harry membeli tongkat sihirnya dari dia lebih dari tiga lahun lalu di Diagon Alley.
"Mademoiselle Delacour, bolehkah
kami memeriksa tongkatmu lebih dulu"" kata Mr Ollivander, melangkah ke tempat kosong di tengah ruangan.
Fleur Delacour melangkah mendekati Mr Ollivander dan menyerahkan tongkatnya.
"Hmmm...," katanya.
Mr Ollivander memelintir tongkat itu dengan jari-Iarinya yang panjang dan tongkat itu mengeluarkan bunga api merah jambu dan keemasan. Kemudian dia mendekatkan tongkat itu ke matanya dan memeriksanya dengan teliti.
"Ya," katanya pelan, "dua puluh lima senti... tak bisa ditekuk... kayu mawar... dan berisi... astaga..."
"Sehelai rambut Veela yang sudah meninggal," kata Fleur. "Salah seorang nenek saya."
Jadi Fleur memang keturunan Veela, batin Harry, berniat memberitahu Ron... kemudian dia ingat Ron tidak mau bicara dengannya.
"Ya," kata Mr Ollivander, "ya, aku sendiri belum pernah menggunakan rambut Veela, tentu saja. Menurutku itu membuat tongkat agak temperamental... meskipun demikian, terserah selera masing-masing, dan kalau ini kaurasa cocok untukmu..."
Mr Ollivander mengelus tongkat itu dengan jari-jarinya, jelas mencari-cari goresan atau tonjolan, kemudian dia bergumam, "Orchideus!" dan segerumbul bunga anggrek muncul dari ujungnya.
"Bagus sekali, bagus sekali, tongkat ini berfungsi baik," kata Mr Ollivander, meraup anggrek dan menyerahkannya kepada Fleur bersama tongkatnya. "Mr Diggory, kau berikutnya."
Fleur kembali ke tempat duduknya, tersenyum kepada Cedric ketika mereka berpapasan.
"Ah, yang ini buatanku, kan"" kata Mr Ollivander antusias, ketika Cedric menyerahkan tongkatnya. "Ya, aku ingat betul. Memakai sehelai rambut tunggal dari ekor Unicorn jantan yang istimewa... panjang rambutnya pasti tujuh belas depa. Unicorn itu nyaris menandukku ketika aku mencabut rambut ekornya. Tiga puluh setengah senti... kayu ash... lentur. Kondisinya baik... Kau merawatnya secara teratur""
"Menggosoknya semalam," kata Cedric, nyengir.
Harry memandang tongkatnya sendiri. Dia bisa melihat bekas-bekas jari pada tongkatnya. Dia meraih jubah di atas lututnya dan berusaha membersihkannya secara sembunyi-sembunyi. Fleur Delacour memberinya pandangan mencela, dan Harry berhenti.
Mr Ollivander mengirim rangkaian lingkaran asap ke seberang ruangan dari ujung tongkat Cedric, menyatakan dirinya puas, dan kemudian berkata, "Mr Krum, silakan."
Viktor Krum bangkit dan berjalan agak bungkuk mendekati Mr Ollivander. Dia mengulurkan tongkatnya,
dan berdiri cemberut, dengan tangan di dalam saku jubahnya.
"Hmmm," kata Mr Ollivander, "ini kreasi Gregorovitch, kalau aku tak keliru" Pembuat tongkat sihir yang hebat, meskipun gayanya bukan seperti yang ku... meskipun demikian..."
Dia mengangkat tongkat itu dan memeriksanya dengan teliti, memutarnya berkali-kali di depan matanya.
"Ya... tanduk dan pembuluh jantung naga"" dia memandang Krum, yang mengangguk. "Agak lebih tebal daripada yang biasa orang lihat... cukup kaku... Dua puluh lima setengah senti... Avisl"
Tongkat sihir Krum mengeluarkan bunyi letusan seperti senapan dan beberapa ekor burung kecil yang berkicau ramai muncul dari ujungnya dan keluar lewat jendela yang terbuka, menuju ke alam bebas yang dihangati cahaya matahari.
"Bagus," kata Mr Ollivander, seraya mengembalikan tongkat itu kembali kepada Krum. "Jadi, tinggal... Mr Potter."
Harry bangkit dan menghampiri Mr Ollivander, berpapasan dengan Krum. Diserahkannya tongkatnya.
"Aaaah, ya," kata Mr Ollivander, matanya yang pucat mendadak berkilauan. "Ya, ya, ya. Aku ingat betul."
Harry juga ingat. Dia bisa mengingatnya seakan kejadiannya baru kemarin...
Empat musim panas yang lalu, pada hari ulang tahunnya yang kesebelas, dia memasuki toko Mr
Ollivander bersama Hagrid untuk membeli tongkat, Mr Ollivander mengukur tubuhnya, lalu mulai menyerahkan tongkat-tongkat untuk dicoba Harry. Rasanya, Harry sudah mengayunkan semua tongkat di toko itu, ketika akhirnya dia menemukan tongkat yang sesuai untuknya-tongkat ini, yang terbuat dari kayu holly, dua puluh tujuh setengah senti, dan berisi sehelai bulu ekor phoenix. Mr Ollivander tercengang sekali melihat Harry sangat cocok memakai tongkat ini. "Aneh," katanya waktu itu, "aneh," dan baru setelah Ha
rry menanyakan apanya yang aneh, Mr Ollivander menjelaskan bahwa bulu phoenix yang ada dalam tongkat Harry berasal dari burung yang sama yang memberikan bulunya sebagai inti tongkat Voldemort.
Harry belum pernah membagikan informasi ini kepada siapa pun. Dia sangat menyukai tongkatnya, dan baginya, hubungan tongkat itu dengan tongkat Voldemort adalah sesuatu di luar kuasa tongkat itu- sama halnya di luar kuasanya bahwa dia punya hubungan keluarga dengan Bibi Petunia. Meskipun demikian, dia sungguh-sungguh berharap bahwa Mr Ollivander tidak akan memberitahu seluruh ruangan soal itu. Dia punya perasaan aneh bahwa Pena Bulu Kutip-Kilat Rita Skeeter akan meledak saking senangnya kalau Mr Ollivander menyatakan hal itu.
Mr Ollivander menghabiskan waktu jauh lebih lama memeriksa tongkat Harry daripada tongkat orang lain. Tetapi akhirnya dia membuat semburan anggur dari tongkat itu dan mengembalikannya kepada Harry, seraya menyatakan bahwa tongkat itu dalam kondisi sempurna.
"Terima kasih, semuanya," kata Dumbledore, berdiri di belakang meja juri. "Kalian boleh kembali ikut pelajaran lagi sekarang... atau mungkin lebih cepat lagi jika kalian langsung turun untuk makan malam, karena pelajaran toh sudah hampir berakhir... "
Eng Djiauw Ong 1 Sherlock Holmes - Kacamata Berwarna Keemasan Panji Sakti 12

Cari Blog Ini