The Heroes Of Olympus 5 Darah Olympus Blood Of Olympus Bagian 3
pohon lemon. Di tengah alun-alun, terdapat bekas kuil Romawi yang terpelihara. Fondasi segi empatnya terbentang kira-kira selebar lima belas meter dan setinggi tiga meter, sedangkan fasadnya yang masih utuh terdiri dari pilar-pilar berarsitektur Corinthia setinggi tujuh setengah meter. Sedangkan di atas atap pilar Mulut Nico menjadi kering. "Aduh, demi Styx." Athena Parthenos tergeletak menyamping di atap pilar bagaikan penyanyi klab malam yang berleha-leha di atas piano. Panjang tubuhnya hampir pas dengan panjang atap, tapi karena tangannya terulur memegangi Nike, ukuran Athena Parthenos terlampau lebar. Patung tersebut kelihatannya bisa terjungkal kapan saja. "Sedang apa dia di sana"" tanya Nico. "Entahlah." Hedge mengusap-usap hidungnya yang memar. "Di sanalah kita muncul. Kita hampir jatuh menjemput ajal, tapi untungnya kakiku gesit. Kau tidak sadarkan diri, menggelayut di tali-temali seperti penerjun bebas yang terbelit sampai kami, berhasil menurunkanmu." Nico mencoba membayangkan kejadian itu, lantas memutuskan sebaiknya tidak. "Apa ini di Spanyol"" "Portugal," kata Hedge. "Kau kejauhan. Omong-omong, Reyna bisa berbahasa Spanyol; dia tidak bisa bahasa Portugis. Pokoknya, selagi kau tidur, kami berhasil mencari tahu bahwa ini kota Evora. Kabar bagus: kota ini kecil dan sepi. Tidak ada yang mengganggu kita. Sepertinya tidak ada yang menyadari Athena raksasa yang sedang tidur di atas kuil Romawi itu, yang bernama Kuil Diana, kalau-kalau kau bertanya. Selain itu, orang-orang di sini menikmatiku unjuk kebolehan! Aku mendapat uang sekitar enam belas euro." Pak Pelatih Hedge mengambil topi bisbolnya, yang berisi uang receh.
Nico merasa mual. "Unjuk kebolehan"" "Menyanyi sedikit," kata sang pelatih. "Seni bela diri sedikit. Tarian bebas." "Wow." "Hebat, Ian"! Orang-orang Portugis ini memang berselera tinggi. Omong-omong, menurutku ini tempat yang bagus untuk bersembunyi selama beberapa hari." Nico menatapnya sambil bengong. "Beberapa hart"" "Hei, Bocah, kita tidak punya banyak pilihan. Kalau-kalau kau tidak sadar, kau hampir mati kecapekan gara-gara melompati bayangan berkali-kali. Kami mencoba membangunkanmu semalam. Tidak berhasil." "Jadi, aku sudah, tidur selama " "Kira-kira 36 jam. Kau memang membutuhkannya." Nico bersyukur dia sedang duduk. Jika tidak, bisa-bisa dia jatuh. Nico berani bersumpah dia hanya tidur beberapa menit, tapi saat kantuknya pelan-pelan menghilang, Nico tersadar dia merasa kepalanya lebih jernih dan lebih cukup istirahat daripada berminggu-minggu ini, mungkin sejak dia pergi mencari Pintu Ajal. Perutnya berkeruyuk. Pak Pelatih Hedge mengangkat alis. "Kau pasti lapar," kata sang satir. "Entah itu atau perutmu bisa bahasa landak. Kalau benar bahasa landak, pernyataan barusan bombastic sekali." "Makanan boleh juga," Nico mengakui. "Tapi, pertama-tama, kabar buruk apa maksudku, selain patung yang terbaring menyamping di atas sana" Bapak bilang kita dapat masalah." "Oh, iya. Betul." Sang pelatih menunjuk gerbang ber-pelengkung di sudut alun-alun. Di bayang-bayang, berdirilah sosok berpendar yang samar-samar menyerupai manusia d
alam balutan lidah api kelabu. Bentuk tubuh roh tersebut tidak jelas, tapi dia sepertinya sedang melambai kepada Nico. "Manusia Kobaran Api muncul beberapa menit lalu," kata Pak Pelatih Hedge. "Dia tidak mendekat lagi. Ketika aku beranjak ke sana, dia menghilang. Tidak yakin apakah dia ancaman, tapi dia sepertinya minta bertemu denganmu."
Nico mengasumsikan bahwa panggilan tersebut adalah jebakan. Biasanya begitu. Tapi, karena Pak Pelatih Hedge berjanji bisa menjaga Reyna dan siapa tahu arwah tersebut perlu menyampaikan sesuatu yang penting, Nico memutuskan bahwa risiko itu layak diambil. Dia mencabut pedang besi Stygian dan mendekati gerbang. Nico lazimnya tidak takut pada hantu. (Tentu raja dengan asumsi bahwa Gaea tidak mengungkung hantu-hantu tersebut dalam cangkang batu dan mengubah mereka menjadi mesin pembunuh. Yang seperti itu baru bagi Nico.) Selepas pengalamannya dengan Minos, Nico menyadari bahwa kebanyakan siluman hanya memiliki kekuatan sebanyak yang kita perkenankan. Mereka mengorek isi pikiran kita, menggunakan rasa takut atau marah atau rindu untuk memengaruhi kita. Nico sudah belajar untuk menamengi diri. Terkadang dia bahkan dapat membalikkan keadaan dan menundukkan para hantu di bawah kehendaknya. Selagi mendekati siluman api kelabu, Nico lumayan yakin bahwa yang dia lihat adalah hantu kelas teri jiwa tersesat yang meninggal dalam kesakitan. Semestinya bukan masalah. Walau begitu, Nico tidak meremehkan keadaan. Dia masih ingat sekali kejadian di Kroasia. Dia menceburkan diri dalam situasi itu dengan perasaan pongah dan penuh percaya diri, tapi ujung-ujungnya terpukul habis-habisan, baik secara harfiah maupun
secara emosional. Pertama-tama Jason Grace menyambarnya dan menerbangkannya ke balik dinding. Kemudian Dewa Favonius membuyarkannya menjadi angin. Dan setelah itu, berhadapan dengan Cupid si preman sombong Nico mencengkeram pedangnya semakin erat. Yang paling buruk bukan berbagi rahasia hatinya itu sendiri. Pada akhirnya, Nico tentu akan melakukan itu, jika sudah waktunya, atas kehendaknya sendiri, dengan caranya sendiri. Tapi, dipaksa membicarakan Percy, didesak dan ditekan serta dianiaya semata-mata sebagai bahan hiburan bagi Cupid ... Sulur-sulur kegelapan kini menyebar dari kaki Nico, membunuh semua ilalang di antara ubin. Nico mencoba mengekang amarahnya. Setibanya di hadapan si hantu, Nico melihat bahwa dia mengenakan pakaian biarawan sandal, jubah wol, dan kalung salib kayu. Kobaran api kelabu melalap sekujur tubuhnya membakar kerah bajunya, melepuhkan wajahnya, mengubah alisnya menjadi abu. Dia sepertinya terjebak di saat menjemput ajal, seperti video hitam-putih yang diputar ulang tanpa henti. "Kau dibakar hidup-hidup," Nico merasai. "Barangkali pada Abad Pertengahan"" Wajah si hantu berkerut, meneriakkan jeritan kesakitan tanpa suara, tapi matanya tampak bosan, bahkan agak jengkel, seakan-akan jeritan adalah refleks otomatis yang tidak bisa dia kendalikan. "Apa yang kau inginkan dariku"" tanya Nico. Hantu itu mengisyaratkan agar Nico mengikuti. Dia berbalik dan berjalan melewati gerbang yang terbuka. Nico melirik kembali ke Pak Pelatih Hedge. Sang satir malah membuat gerakan mengusir, seakan-akan ingin berkata, Pergilah. Kerjakan urusan Dunia Bawah, sana. Nico membuntuti si hantu menyusuri jalanan Evora.
Mereka berzig-zag di jalanan sempit berubin batu, melewati ruang terbuka yang disemarakkan pohon-pohon kembang sepatu dalam pot dan gedung-gedung stuko putih dengan bordes cokelat muda dan balkon berpagar besi tempa. Tak seorang pun menyadari kehadiran si hantu, tapi warga lokal melirik Nico dengan curiga. Seorang gadis muda yang membawa anjing kecil menyeberangi jalan untuk menghindarinya. Anjing itu menggeram, bulu kuduknya berdiri tegak seperti sirip dorsal. Si hantu menuntun Nico ke alun-alun lain, yang dibatasi di satu sisi oleh gereja segi empat besar dengan tembok berlabur putih dan pelengkung-pelengkung dari batu kapur. Si hantu menembus portik dan menghilang ke dalam. Nico ragu-ragu. Dia tidak punya sentimen jelek terhadap gereja, tapi yang ini memancarkan maut. Di dalam, p
asti ada makam atau barangkali sesuatu yang malah lebih menyeramkan Dia membungkuk ke ambang pintu. Matanya terpancing ke kapel di samping, yang diterangi dari dalam oleh cahaya keemasan nan angker. Di atas pintu kapel, terukirlah kalimat dalam bahasa Portugis. Nico tidak bisa bahasa Portugis, tapi dia masih ingat bahasa Italia dari masa kanak-kanaknya sehingga kurang-lebih dapat menangkap makna kalimat tersebut: Kami, tulang belulang di dalam sini, menantimu. "Asyik," gerutu Nico. Dimasukinya kapel itu. Di ujung jauh, terdapat altar tempat siluman api tadi berlutut untuk berdoa, tapi Nico lebih tertarik pada ruangan itu sendiri. Dindingnya terbuat dari tulang dan tengkorak jumlahnya ribuan, menempel satu sama lain. Pilar-pilar dari tulang menopang langit-langit berkubah yang dihiasi gambar-gambar kematian. Pada satu dinding, bagaikan mantel yang menjuntai di kait, tergantunglah sepasang jasad kisut satu orang dewasa dan satu anak-anak.
"Ruangan yang indah, bukan"" Nico berpaling. Setahun silam, dia bakalan terlompat kaget jika ayahnya tiba-tiba muncul di sebelahnya. Kini, Nico sudah mampu mengontrol denyut nadinya, begitu pula hasratnya untuk menendang selangkangan ayahnya dan berlari kabur. Seperti si hantu, Hades mengenakan busana biarawan Fransiskan, alhasil membuat Nico agak merinding. Jubah hitamnya berikat pinggang dari tali putih sederhana. Tudungnya disibakkan ke belakang, menampakkan rambut gelap cepak dan mata yang mengilap seperti ter beku. Ekspresi sang dewa tenang dan damai, seolah-olah dia baru saja tiba di rumah sepulang jalan-jalan santai menyenangkan di Padang Hukuman, menikmati jeritan orang-orang yang ternistakan. "Sedang can ide untuk dekorasi"" tanya Nico. "Mungkin Ayah bisa menghiasi ruang makan dengan tengkorak biarawan Abad Pertengahan." Hades mengangkat alis. "Aku tidak pernah bisa menebak kau sedang bercanda atau tidak." "Kenapa Ayah di sini" Bagaimana sampai Ayah bisa berada di sini"" Hades menelusurkan jari ke pilar terdekat, meninggalkan bekas putih terkelantang di tulang-tulang tua. "Kau manusia fana yang sukar ditemukan, Putraku. Sudah beberapa hari aku mencarimu. Ketika tongkat Diocletian hancur berkeping-keping nah, kejadian itu menarik perhatianku." Nico merona malu. Kemudian dia geram karena merasa malu. "Bukan salahku tongkat itu rusak. Kami nyaris kewalahan " "Oh, tongkat itu tidak penting. Relik setua itu, aku terkejut kau mendapatkan dua kegunaan darinya. Hancurnya tongkat tersebut semata-mata memberiku kejernihan pikiran. Aku jadi bisa mendeteksi lokasimu. Aku berharap dapat berbicara kepadamu di
Pompeii, tapi tempat itu terlampau bagaimana, ya terlampau Romawi. Kapel ini adalah tempat pertama yang sarat hawa kehadiranku, cukup kuat sehingga aku bisa muncul di hadapanmu sebagai diriku sendiri maksudku sebagai Hades, Dewa Orang Mati, tidak terpecah belah menjadi manifestasi yang lain." Hades menghirup udara apak. "Aku serasa ditarik kuat-kuat ke tempat ini. Jasad lima ribu biarawan dipergunakan untuk membangun Kapel Tulang. Tempat ini mengingatkan bahwa hidup itu pendek dan kematian itu abadi. Konsentrasiku terasa terfokus di sini. Namun demikian, aku hanya punya waktu sejenak." Kisah klasik hubungan kita, pikir Nico. Ayah selalu hanya punya waktu sebentar. "Kalau begitu, katakan, Ayah. Apa yang Ayah inginkan"" Hades mengatupkan kedua tangan dalam perlindungan lengan jubahnya. "Bisakah kau memercayai bahwa aku di sini untuk menolongmu, bukan semata-mata karena aku menginginkan sesuatu"" Nico hampir tertawa, tapi dadanya terasa kelewat sesak. "Aku bisa memercayai bahwa Ayah mungkin berada di sini karena lebih dari satu alasan." Sang dewa mengerutkan kening. "Dapat kuterima. Kau mencari informasi mengenai pemburu utusan Gaea. Namanya Orion." Nico ragu-ragu. Dia tidak terbiasa memperoleh jawaban yang lugas, tanpa teka-teki atau tebak-tebakan ataupun misi. "Orion. Seperti rasi bintang. Bukankan dia teman Artemis"" "Dulunya memang," kata Hades. "Seorang raksasa, dilahirkan untuk menentang si kembar, Apollo dan Artemis, tapi sama seperti Artemis, Orion menolak takdirnya. Dia bercita-c
ita untuk hidup sesuai ketetapannya sendiri. Pertama-tama dia mencoba untuk hidup di antara manusia fana sebagai pemburu untuk raja Khios.
Dia, ah, mendapat masalah gara-gara anak perempuan sang raja. Raja itu memerintahkan agar Orion dibutakan dan dibuang." Nico teringat kembali akan cerita Reyna. "Temanku memimpikan pemburu dengan mata yang menyala-nyala. Kalau Orion buta " "Dia dulunya buta," ralat Hades. "Tidak lama setelah dibuang, Orion bertemu Hephaestus, yang mengasihani sang raksasa dan merakit mata mekanis yang malah lebih bagus ketimbang mata ash. Orion berteman dengan Artemis. Dialah laki-laki pertama yang diizinkan turut serta dalam Perburuan Artemis. Tapi konflik pecah di antara mereka. Cerita persisnya, aku tidak tahu. Orion terbunuh. Kini dia kembali sebagai anak Gaea yang berbakti, siap untuk melaksanakan perintah ibunya. Rasa getir dan dendam menjadi motivasi pendorongnya. Kau tentu bisa memahami itu." Nico ingin berteriak: Memangnya Ayah tabu perasaanku" Tapi, dia justru bertanya, "Bagaimana caranya supaya kami bisa menghentikannya"" "Kalian tidak bisa," kata Hades. "Satu-satunya harapan adalah dengan mengungguli dia. Jangan sampai kalian tertangkap. Pungkaskan misi kalian sebelum dia menyusul kalian. Apollo atau Artemis mungkin dapat membunuhnya, panah melawan panah, tapi kondisi si kembar tidak memungkinkan mereka untuk menolong kalian. Sekarang sekalipun, Orion sudah mencium bau kalian. Kawanan pemburunya hampir menyusul kalian. Kalian tidak boleh beristirahat lagi sampai tiba di Perkemahan Blasteran." Jantung Nico serasa berhenti. Dia meninggalkan Pak Pelatih Hedge berjaga sementara Reyna tertidur. "Aku harus kembali ke rekan-rekanku." "Betul," ujar Hades. "Tapi, ada lagi yang mesti kusampaikan. Saudarimu ..." Hades terdiam sejenak. Seperti biasa, Bianca adalah topik yang terombang-ambing di antara mereka bagaikan pistol
berpeluru mematikan, mudah diraih, mustahil diabaikan. "Maksudku saudarimu yang satu lagi, Hazel ... dia baru mengetahui bahwa satu dari Tujuh Demigod akan mati. Dia barangkali hendak mencoba mencegah hal ini. Namun oleh karena itu, dia mungkin akan luput melihat prioritas mana yang terpenting." Nico tidak berani bicara. Yang mengejutkan, pemikirannya tidak serta-merta tertuju kepada Percy. Yang paling dia khawatirkan adalah Hazel, kemudian Jason, lalu baru Percy dan awak lain di Argo II. Mereka telah menyelamatkannya di Roma. Mereka telah menerimanya dengan tangan terbuka di atas kapal mereka. Nico tidak pernah mengizinkan dirinya mempunyai teman, tapi kru Argo II hampir bisa digolongkan sebagai teman. Membayangkan bahwa yang mana pun di antara mereka bakal mati, Nico merasa hampa seolah dirinya kembali lagi ke dalam jambangan perunggu raksasa, sendirian dalam gelap, bertahan hidup dengan biji delima masam belaka. Akhirnya dia bertanya, "Apa Hazel baik-baik saja"" "Untuk saat ini." "Yang lain bagaimana" Siapa yang akan mad"" Hades menggelengkan kepala. "Sekalipun aku tahu pasti, aku tidak boleh mengatakannya. Aku menyampaikan ini kepadamu karena kau putraku. Kau tahu kematian kerap tidak dapat dicegah. Kematian terkadang tidak boleh dicegah. Saat waktunya tiba, kau mungkin perlu bertindak." Nico tidak tahu apa maksudnya itu. Dia tidak ingin tahu. "Putraku." Nada bicara Hades hampir-hampir lembut. "Apa pun yang terjadi, kau sudah memperoleh respek dariku. Kau mengharumkan marga kita ketika kita berdiri bersama-sama untuk menentang Kronos di Manhattan. Kau rela menanggung murkaku demi menolong si bocah Jackson memandunya ke Sungai Styx,
membebaskannya dari penjaraku, memohon kepadaku agar membangkitkan pasukan Erebos demi membantunya. Sebelum tak pernah aku dirongrong sedemikian rupa oleh putraku. Percy begini dan Percy begitu. Nyaris aku meledakkanmu sampai hangus." Nico bernapas tersendat-sendat. Dinding ruangan mulai bergetar, debu berjatuhan dari retakan di antara tulang. "Aku tidak melakukan semua itu cuma demi dia. Aku melakukannya karena seluruh dunia sedang dalam bahaya." Hades tersenyum simpul, tapi tiada kekejian dalam ekspresi di matanya. "Kuperkirakan kau bertindak k
arena lebih dari satu alasan. Intinya begini: kau dan aku bergerak untuk membantu Olympus karena kau meyakinkanku untuk melepaskan amarahku. Kudorong kau agar berbuat serupa. Anakku jarang yang berbahagia. Aku aku ingin melihat kau menjadi perkecualian." Nico menatap ayahnya. Dia tidak tahu harus menanggapi pernyataan itu dengan cara apa. Dia bisa menerima banyak hal yang mencengangkan kawanan hantu, labirin magis, perjalanan melalui bayangan, kapel dari tulang. Tapi, kata-kata nan lembut dari Penguasa Dunia Bawah" Tidak. Itu tak masuk akal. Di dekat altar, siluman api berdiri. Dia menghampiri, berkobar-kobar dan menjerit tanpa suara, matanya menyampaikan pesan urgen. "Ah," kata Hades. "Ini Bruder Paloan. Dia adalah satu dari ratusan orang yang dibakar hidup-hidup di alun-alun dekat kuil Romawi lama. Pengadilan Inkusisi bermarkas di sana, kau tahu. Singkat kata, dia menyarankan agar kau pergi sekarang. Waktumu tinggal sedikit sekali sebelum serigala-serigala itu tiba." "Serigala" Maksud Ayah kawanan pemburu anak buah Orion"" Hades melambaikan tangan. Hantu Bruder Paloan menghilang. "Putraku, yang tengah kauupayakan menempuh
perjalanan bayangan ke belahan lain dunia sambil membawa patung Athena hal itu bisa saja menghancurkanmu." "Terima kasih atas dukungan Ayah." Hades memegangi pundak Nico sebentar saja. Nico tidak suka disentuh, tapi entah bagaimana kontak fisik singkat dengan ayahnya terasa menenangkan seperti suasana menenangkan di Kapel Tulang. Laiknya kematian, kehadiran ayahnya terasa dingin mencekam dan sering kali talc kenal ampun, tapi nyata senantiasa jujur tanpa kompromi, juga niscaya. Nico menemukan sebentuk kebebasan di dalam fakta bahwa pada akhirnya, apa pun yang terjadi, dia pasti akan tunduk di kaki singgasana ayahnya. "Sampai jumpa," Hades berjanji. "Aku akan mempersiapkan kamar untukmu di istana kalau-kalau kau tidak selamat. Barangkali kamarmu akan kelihatan bagus bilamana dihiasi tulang belulang biarawan." "Sekarang aku yang tidak tahu apakah Ayah sedang bercanda atau tidak." Mata Hades berkilat-kilat saat sosoknya mulai mengabur. "Kalau begitu, barangkali kita memang memiliki kemiripan dalam aspek yang penting." Sang dewa menghilang. Kapel itu mendadak terasa pengap mencekam ribuan rongga mata kosong menatap Nico. Kami, tulang belulang di dalam sini, menantimu. Dia buru-buru keluar dari gereja, berharap masih ingat jalan untuk kembali kepada teman-temannya. []
BAB LIMA BELAS NICO SERIGALA"" TANYA REYNA. Mereka sedang menyantap makan malam dari kafe pinggir jalan dekat sana. Walaupun Hades memperingatkan agar mereka bergegas, Nico mendapati bahwa tak banyak yang berubah di perkemahan. Reyna baru bangun. Athena Parthenos masih terbaring menyamping di atas kuil. Pak Pelatih Hedge sedang menghibur beberapa warga lokal dengan tap dancing dan peragaan bela diri, sesekali menyanyi ke megafonnya, walaupun tampaknya tak seorang pun memahami perkataannya. Nico berharap kalau saja sang pelatih tidak membawa megafon itu. Selain gaduh dan norak, entah apa sebabnya megafon itu terkadang menyemburkan sembarang kalimat yang diucapkan Darth Vader dalam Star Wars atau meneriakkan, "SAPI SUARANYA MOO!" Sementara mereka bertiga duduk di hamparan rumput untuk makan, Reyna tampak waspada dan sudah segar. Gadis itu dan Pak Pelatih Hedge mendengarkan saat Nico memaparkan mimpinya,
lalu pertemuan dengan Hades di Kapel Tulang. Nico sengaja menyembunyikan satu-dua hal pribadi dari perbincangan dengan ayahnya, meskipun dia menangkap bahwa Reyna tahu banyak mengenai sukarnya bergulat dengan perasaan sendiri. Ketika Nico menyebut-nyebut tentang Orion dan para serigala yang konon sedang dalam perjalanan, Reyna mengernyitkan dahi. "Sebagian besar serigala bersahabat terhadap orang Romawi, katanya. "Aku tidak pernah mendengar cerita tentang Orion yang disertai kawanan pemburu." Nico menghabiskan roti isi hamnya. Dia memandangi piring berisi kue dan terkejut karena mendapati dirinya masih bernafsu makan. "Barangkali cuma kiasan: waktumu tinggal sedikit sekali sebelum serigala-serigala itu tiba. Mungkin yang Hades maksud buka
n serigala secara harfiah. Pokoknya, kita harus pergi sesegera mungkin ketika sudah cukup remang-remang." Pak Pelatih Hedge menjejalkan seeksemplar majalah peng-gemar senjata ke tasnya. "Satu-satunya masalah, Athena Parthenos masih sembilan meter di udara. Pasti asyik kalau harus menggotong kalian dan barang-barang kalian ke puncak kuil itu." Nico mencicipi kue. Wanita di kafe menyebutnya fartura. Jajanan itu mirip donat spiral dan rasanya lezat perpaduan cita rasa renyah, manic, dan bermenteganya pas, tapi ketika Nico pertama kali mendengarfartura, dia tahu Percy bakal menjadikan nama itu olok-olok. Fartura" Percy mungkin akan berkata. Kok namanya mirip fart kentut ye Semakin bertambah usia Nico, semakin Percy terkesan kekanak-kanakan baginya, meskipun Percy tiga tahun lebih tua. Menurut Nico, selera humor Percy menggemaskan sekaligus menyebalkan. Dia memutuskan untuk berkonsentasi pada bagian yang menyebalkan.
Ada juga saat-saat ketika Percy serius sekali: mendongak ke arah Nico dari jurang di Roma: Sisi yang sebelah lagi, Nico! Pandu mereka ke sana. Betjanjilah padaku! Dan Nico memang sudah berjanji. Sewaktu itu, bahwa dirinya benci Percy Jackson terkesan tidak penting. Nico akan berbuat apa saja demi Percy. Dia membenci dirinya sendiri karena itu. Suara Reyna menyentakkan Nico dari lamunannya. "Akankah Perkemahan Blasteran menunggu sampai 1 Agustus, atau akankah mereka menyerang"" "Kita hams berharap bahwa mereka mau menunggu," ujar Nico. "Kita tidak bisa aku tidak bisa mengembalikan patung lebih cepat lagi." Bahkan dengan kecepatan yang sekarang, ayahku kira aku bisa saja mati. Nico merahasiakan pemikiran itu. Dia berharap kalau saja Hazel bersamanya. Bersama-sama mereka sempat mengeluarkan seluruh kru Argo II dad Gerha Hades dengan perjalanan bayangan. Ketika mereka berbagi kekuatan, Nico merasa bahwa apa pun mungkin. Perjalanan ke Perkemahan Blasteran bisa saja dicapai dengan waktu tempuh setengahnya. Lagi pula, kata-kata Hades mengenai matinya salah seorang awak menyebabkan Nico merinding. Dia tidak boleh kehilangan Hazel. Jangan sampai saudarinya meninggal lagi. Tidak lagi. Pak Pelatih Hedge mendongak selepas menghitung uang receh dalam topi bisbol. "Kau yakin Clarisse bilang Mellie baik-baik saja"" "Ya, Pak Pelatih. Clarisse menjaga istri Bapak baik-baik." "Syukurlah. Aku tidak suka perkataan Grover mengenai Gaea yang berbisik-bisik kepada para peri dan dryad. Jika roh-roh alam menjadi jahat akibatnya tidak bagus"
Nico tidak pernah mendengar terjadinya hal semacam itu. Tapi tentu saja, sepanjang sejarah umat manusia, Gaea belum pernah terbangun. Reyna menggigit kue. Baju rantainya berkilat-kilat diterpa sinar matahari siang. "Aku penasaran soal serigala-serigala itu Mungkinkah kita keliru memahami pesan ayahmu" Dewi Lupa sudah lama bungkam. Mungkin dia mengirimi kita bantuan. Para serigala bisa Baja diutus olehnya untuk melindungi kita dari Orion dan anak buahnya." Perasaan penuh harap dalam suara Reyna lirih sekali. Nico memutuskan untuk tidak membuyarkan sentimen tersebut. "Mungkin," katanya. "Tapi, bukankah Lupa tengah sibuk gara-gara perang antar-kubu" Kukira dia mengirimkan serigala untuk membantu legiunmu." Reyna menggelengkan kepala. "Serigala bukan petarung garis depan. Menurutku Lupa takkan membantu Octavian. Serigala-serigala Lupa mungkin saja berpatroli di Perkemahan Jupiter, mempertahankannya selagi legiun tidak ada, tapi aku tidak tahu pasti ..." Gadis itu menyilangkan pergelangan kakinya dan berkilat-kilatlah ujung besi sepatu bot tempurnya. Nico mencamkan untuk tidak beradu tendang dengan legiunari Romawi. "Satu lagi," kata Renya. "Aku belum bisa menghubungi kakakku, Hylla. Aku jadi resah karena Para serigala dan kaum Amazon sama-sama membisu. Kalau sesuatu terjadi di Pantai Barat Aku khawatir harapan kedua kubu bergantung pada kita. Kita harus mengembalikan patung secepatnya. Artinya beban terberat berada di pundakmu, Putra Hades." Nico mencoba menelan rasa pahit di mulutnya. Dia tidak marah pada Reyna. Dia lumayan menyukai Reyna. Tapi, Nico sudah sering sekali diseru untuk mengerjakan tugas y
ang mustahil. Biasanya, begitu dia merampungkan tugas, Nico serta-merta dilupakan. Dia teringat betapa ramah anak-anak Perkemahan Blasteran padanya sesudah perang melawan Kronos. Kerja bagus, Nico! Makasih sudah membawakan pasukan dari Dunia Bawah untuk menyelamatkan kami! Semua orang tersenyum. Mereka semua mengundangnya duduk di meja mereka. Setelah sekitar sepekan, sambutan untuknya semakin tidak hangat. Para pekemah terlompat ketika Nico menghampiri mereka dari belakang. Dia kerap keluar dari bayang-bayang saat api unggun, mengagetkan seseorang, dan melihat kegelisahan di mata mereka: Apa kau masih di sini" Kenapa kau di sini" Celakanya lagi, segera sesudah perang melawan Kronos, Annabeth dan Percy jadian Nico meletakkan fartura-nya. Rasa kue itu mendadak tidak lezat-lezat amat. Dia teringat percakapannya dengan Annabeth di Epirus, tepat sebelum dia berangkat membawa Athena Parthenos. Annabeth mengajak Nico menepi dan berkata, "Eh, aku perlu bicara padamu." Rasa panik sontak menyergap Nico. Annabeth tahu. "Aku ingin berterima kasih padamu," lanjut Annabeth. "Bob ... sang Titan ... dia membantu kami di Tartarus hanya karena kau baik padanya. Kau memberitahunya bahwa kami layak diselamatkan. Itulah satu-satunya alasan kami masih hidup." Annabeth mengucapkan kami dengan begitu mudah, seakan-akan dia dan Percy adalah satu kesatuan, tidak terpisahkan. Nico pernah membaca cerita karya Plato, yang mengklaim bahwa pada zaman dahulu kala, semua manusia adalah gabungan lelaki dan perempuan. Tiap orang memiliki dua kepala, empat
lengan, empat kaki. Konon, manusia gabungan ini teramat perkasa sehingga meresahkan dewa-dewi, alhasil Zeus membelah mereka jadi dua lelaki dan perempuan. Sejak saat itu, manusia merasa tidak utuh. Mereka menghabiskan seumur hidup mencari belahan mereka. Lalu, aku bagaimana" Nico membatin. Itu bukan cerita favoritnya. Dia ingin membenci Annabeth, tapi tidak bisa. Gadis itu sudah menyengaja untuk berterima kasih padanya di Epirus. Annabeth tulus dan sungguh-sungguh. Dia tidak pernah mengabaikan atau menghindari Nico seperti kebanyakan orang. Kenapa Annabeth bukan orang yang kejam" Lebih mudah jika begitu. Favonius, sang Dewa Angin telah mewanti-wantinya di Kroasia: jika kau membiarkan amarah menguasaimu maka nasibmu akan lebih menyedihkan daripada aku. Tapi, mana mungkin nasib Nico tidak menyedihkan" Sekalipun dia selamat dari mini ini, Nico harus meninggalkan kedua perkemahan selamanya. Hanya dengan cara itulah dia dapat menemukan kedamaian. Dia berharap andai saja ada opsi lain pilihan yang tidak memedihkannya seperti air Phlegethon tapi dia tidak melihat opsi yang semacam itu. Reyna mengamat-amati Nico, barangkali berusaha membaca isi pikirannya. Gadis itu melirik tangannya dan Nico pun tersadar bahwa dia sedang memutar-mutar cincin tengkorak peraknya hadiah pemberian Bianca yang terakhir. "Nico, bagaimana kami bisa membantumu"" tanya Reyna. Lagi-lagi pertanyaan yang tidak biasa Nico dengar. "Aku tidak tahu pasti," Nico mengakui. "Kahan sudah membiarkanku beristirahat selama mungkin. Itu penting. Barangkali kau bisa meminjamiku kekuatan lagi. Lompatan berikutnya akan menjadi yang terjauh. Aku harus mengerahkan
tenaga yang mencukupi untuk mengantar kita ke seberang Samudra Atlantik." "Kau pasti berhasil," Reyna menjamin. "Begitu kembali ke Amerika Serikat, kita semestinya bakal menjumpai lebih sedikit monster. Aku bahkan mungkin saja minta bantuan dari pensiunan legiunari di pesisir timur. Mereka berkewajiban membantu demigod Romawi mana saja yang menghubungi mereka." Hedge mendengus. "Itu kalau. Octavian belum memenangi dukungan mereka. Jika demikian, bisa-bisa kau ditangkap karena berkhianat." "Pak Pelatih," tegur Reyna, "tidak membantu, tahu." "Hei, aku cuma bicara apa adanya. Aku pribadi berharap kita bisa menginap di Evora lebih lama. Makanan enak, uang berlimpah, dan sejauh ini tiada tanda-tanda serigala, baik yang kiasan maupun yang " Kedua anjing Reyna berdiri mendadak. Di kejauhan, lolongan merobek udara. Sebelum Nico sempat berdiri, serigala bermunculan dari segala arah binatang hitam besa
r berlompatan dari atap, mengepung perkemahan mereka. Yang terbesar di antara mereka berjingkat-jingkat ke depan. Si serigala alfa berdiri dengan kaki belakang dan mulai berubah. Kaki depannya berubah menjadi tangan. Moncongnya menciut menjadi hidung lancip. Bulu kelabunya bertransformasi menjadi mantel kulit hewan. Dia menjadi seorang pria kurus tinggi berwajah tirus dan bermata merah berbinar-binar. Mahkota tulang jari menghiasi rambut hitamnya yang berminyak. "Ah, satir mungil ..." Pria itu menyeringai, menampakkan taring-taring tajam. "Permohonanmu terkabul! Kau akan menetap di Evora selamanya karena was bagimu, serigala-serigalaku bukan kiasan, tapi sungguhan."
BAB ENAM BELAS NICO KAU BUKAN ORION," TUKAS NICO. Komentar bodoh, tapi itulah hal pertama yang tebersit di benaknya. Pria di hadapannya jelas-jelas bukan raksasa pemburu. Badannya kurang tinggi. Dia tidak berkaki naga. Dia tidak membawa wadah panah atau busur, dan dia tidak memiliki mata seperti lampu sorot yang Reyna lihat dalam mimpinya. Pria kelabu itu tertawa. "Memang bukan. Orion semata-mata mempekerjakanku untuk membantunya dalam perburuan. Aku " "Lycaon," potong Reyna. "Manusia serigala pertama." Pria tersebut pura-pura membungkuk hormat kepadanya. "Reyna Ramirez-Arellano, praetor Roma. Salah seorang anak Lupa! Aku senang kau mengenaliku. Tidak diragukan lagi, aku adalah bahan mimpi burukmu." "Bahan penyebab gangguan pencernaan, barangkali." Dari kantong serut di sabuknya, Reyna mengeluarkan pisau lipat.
Dia membuka pisau itu dan para serigala pun mundur sambil menggeram. "Aku tidak pernah bepergian tanpa senjata perak." Lycaon memamerkan gigi-giginya. "Bisakah kau menghalau selusin serigala dan raja mereka dengan pisau lipat" Kudengar kau pemberani, filia Romana. Tidak kusangka bahwa kau nekat." Kedua anjing Reyna berjongkok, siap menerjang. Sang pelatih mencengkeram tongkat bisbolnya, meski sekali ini dia tidak kelihatan gatal ingin mengayunkan tongkat tersebut. Nico meraih gagang pedangnya. "Tidak usah repot-repot," gerutu Pak Pelatih Hedge. "Mereka ini hanya dapat dilukai dengan perak atau api. Aku ingat mereka dari Pikes Peak. Mereka menyebalkan." "Dan aku ingat kau, Gleeson Hedge." Mata sang manusia serigala berpijar semerah lava. "Kawananku akan gembira menyantap daging kambing untuk makan malam. Hedge mendengus. "Sini kalau berani, Bocah Kudisan. Para Pemburu Artemis sedang dalam perjalanan saat ini, persis seperti kali terakhir! Yang di sang itu kuil Diana, dasar idiot. Kahan berada di wilayah kekuasaan mereka!" Para serigala kembali menggeram dan melonggarkan kepungan mereka. Sebagian melirik ke atas atap dengan gugup. Lycaon semata-mata balas memelototi sang pelatih. "Percobaan yang bagus, tapi aku khawatir kuil itu keliru dinamai. Aku pernah lewat sini pada zaman Romawi. Kuil tersebut sebetulnya dipersembahkan bagi Kaisar Augustus. Tipikal demigod sombong. Meskipun begitu, aku bersikap lebih hati-hati sejak perjumpaan kita yang terakhir. Jika para Pemburu berada di dekat sini, aku pasti tahu." Nico memutar otak untuk menggagas rencana pelarian. Mereka dikepung dan kalah jumlah. Satu-satunya senjata efektif yang mereka punya adalah pisau lipat. Tongkat Diocletian telah
sirna. Athena Parthenos berada sembilan meter di atas mereka di puncak kuil dan, sekalipun mereka dapat mencapai patung tersebut, mereka tidak bisa melakukan perjalanan bayangan sampai bayangan tersedia. Matahari baru akan terbenam berjam-jam lagi. Dia tidak merasa berani, tapi Nico melangkah maju. "Jadi, kalian sudah mengepung kami. Apa yang kau tunggu"" Lycaon menekuri Nico seperti daging jenis baru di etalase toko tukang jagal. "Nico di Angelo ... putra Hades. Mu sudah mendengar tentangmu. Mu minta maaf tidak bisa membunuhmu dengan segera, tapi aku berjanji kepada atasanku Orion akan menahanmu sampai dia tiba. Jangan cemas. Dia semestinya sampai sebentar lagi. Begitu dia membereskanmu, akan kutumpahkan darahmu dan tandai tempat ini sebagai teritoriku hingga berabad-abad mendatang!" Nico mengertakkan gigi. "Darah demigod. Darah Olympus.), "Tentu saja!" kata Lycaon. "Bil
amana ditumpahkan ke tanah, terutama tanah keramat, darah demigod punya banyak kegunaan. Dengan mantra yang tepat, darah demigod dapat membangunkan monster atau bahkan dewa-dewi. Darah demigod bisa melahirkan kehidupan baru atau menggersangkan suatu tempat selama bergenerasi-generasi. Apa lacur, darahmu takkan membangunkan Gaea sendiri. Kehormatan itu dikhususkan bagi teman-temanmu di Argo II. Tapi, jangan takut. Kematianmu akan hampir sama menyakitkannya seperti kematian mereka." Rumput mulai meranggas di seputar kaki Nico. Petak bunga aster menjadi layu. Tanah gersang, pikir Nico. Tanah keramat. Dia teringat ribuan kerangka di Kapel Tulang. Dia teringat perkataan Hades tentang alun-alun ini, tempat Pengadilan Inkuisisi pernah membakar ratusan orang hidup-hidup. Ini kota kuno. Berapa banyak jenazah yang terkubur dalam tanah di bawah kakinya"
"Pak Pelatih," kata Nico, "Bapak bisa memanjat"" Hedge mendengus. "Aku separuh kambing. Tentu saja aku bisa memanjat!" "Naiklah ke patung dan kencangkan tali-temalinya. Buat tangga tali dan turunkan untuk kami." "Anu, tapi kawanan serigala itu " "Reyna," ujar Nico, "kau dan anjingmu harus memberikan perlindungan sementara kami mundur." Sang praetor mengangguk muram. "Mengerti." Lycaon tertawa meraung-raung. "Mundur ke mana, Putra Hades" Kalian tidak bisa kabur ke mana-mana. Kalian tidak bisa membunuh kami!" "Mungkin tidak," kata Nico. "Tapi, aku bisa memperlambat kalian." Dia merentangkan tangan dan tanah pun meledak. Nico tidak rnenduga upayanya bakal seberhasil itu. Dia pernah menarik fragmen-fragmen tulang dari dalam bumi sebelumnya. Dia pernah menggerakkan kerangka tikus dan mengeluarkan tengkorak manusia ke muka bumi. Tiada yang mempersiapkannya untuk ruahan tulang yang menghambur ke angkasa beratus-ratus tulang paha, iga, dan betis menjerat para serigala, membentuk semak-semak tajam dari sisa-sisa manusia. Kebanyakan serigala terperangkap, tidak berdaya. Sebagian menggeliut dan menggertakkan gigi, berusaha membebaskan diri dari kurungan. Lycaon sendiri dilumpuhkan dalam kepompong tulang iga, tapi keadaan terkurung tidak menghentikannya menerialdcan sumpah serapah. "Dasar anak tidak berguna!" raungnya. "Man kucabik-cabik dagingmu!" "Pak Pelatih, pergi sana!" kata Nico.
Sang satir berlari cepat menuju kuil. Dia mencapai puncak podium dalam sekali lompat dan buru-buru memanjati pilar sebelah kiri. Dua serigala membebaskan diri dari pagar tulang. Reyna melemparkan pisaunya dan menyula leher salah satu. Anjing-anjingnya menerjang serigala yang satu lagi. Taring dan cakar Aurum menggaruk sisi tubuh serigala itu tanpa melukainya, tapi Argentum menjatuhkan hewan tersebut. Kepala Argentum masih bengkok gara-gara pertarungan di Pompeii. Mata kiri mirah delimanya hilang, tapi dia mampu menancapkan taring ke tengkuk si serigala. Serigala itu terbuyarkan menjadi genangan bayangan. Puji syukur kepada dewa-dewi atas anjing perak, pikir Nico. Reyna mencabut pedangnya. Dia meraup segenggam koin perak dari topi bisbol Hedge, menyambar selotip dari tas bekal sang pelatih, dan mulai menyelotip koin-koin di seputar bilah pedangnya. Gadis itu memang panjang akal. "Pergilah!" dia memberi tahu Nico. "Akan kulindungi kau!" Para serigala meronta, menyebabkan belukar tulang retak-retak dan remuk. Lycaon membebaskan lengan kanannya dan mulai menghancurkan kerangkengnya yang terbuat dari tulang iga. 'Akan kukuliti kalian hidup-hidup!" dia berjanji. "Akan kutambahkan kulit kalian ke mantelku!" Nico berlari, berhenti sejenak hanya untuk memungut pisau lipat perak Reyna dari tanah. Dia bukan kambing gunung, tapi dia menemukan tangga di belakang kuil dan melaju ke puncak. Dia mencapai kaki pilar dan memicingkan mata ke Pak Pelatih Hedge di atas, yang bertengger rawan di kaki Athena Parthenos, sedang memburai tali-temali dan membuat simpul-simpul untuk tali panjat. "Buruan!" teriak Nico.
"Oh, begitu ya"" seru sang pelatih ke bawah. "Kukira kita punya banyak waktu!" Hal terakhir yang Nico butuhkan adalah sarkasme satir. Di alun-alun di bawah, semakin banyak serigala yang terbebas dari kungkungan tulang. Rey
na menghajar mereka dengan pedang modifikasi koin-selotip, tapi segelintir recehan takkan menghalau sekawanan manusia serigala lama-lama. Aurum menggeram dan menyalak frustrasi, tidak mampu melukai musuh. Argentum berusaha sebaik-baiknya, mencakar leher seekor serigala lagi, tapi anjing perak itu telah cedera. Tidak lama berselang, dia sudah kewalahan menghadapi lawan. Lycaon membebaskan kedua lengannya. Dia mulai menarik kakinya dari kekangan tulang iga. Tinggal beberapa detik lagi, dia akan terbebas. Nico kehabisan trik. Mendatangkan tulang sebanyak tadi telah menguras tenaganya. Dia harus mengerahkan seluruh energinya yang tersisa untuk menempuh perjalanan bayangan dengan asumsi bahwa dia bisa menemukan bayangan untuk dilewati. Bayangan. Dia memandang pisau lipat perak di tangannya. Sebuah gagasan tebersit di benaknya barangkali gagasan terbodoh dan tersinting yang pernah dia telurkan sejak dia berpikir: Hei, aku mau ajak Percy berenang di Sungai Styx, ah! Dia pasti suka! "Reyna, naik ke sini!" teriak Nico. Gadis itu menggetok kepala seekor serigala lagi, lalu berlari. Selagi mengayunkan kaki, dia menebaskan pedangnya, yang memanjang menjadi lembing, kemudian menggunakan benda itu untuk melontarkan diri seperti atlet lompat galah. Dia mendarat di sebelah Nico. "Rencanamu apa"" tanya Reyna, bahkan tidak kehabisan napas.
"Tukang pamer," gerutu Nico. Tali bersimpul-simpul jatuh terjulur dari atas. "Ayo naik, Makhluk-Makhluk Bodoh Non-Kambing!" teriak Hedge. "Sana," kata Nico kepada Reyna. "Begitu kau sampai di atas, pegang tali erat-erat." "Nico " "Lakukan!" Lembingnya menciut kembali menjadi pedang. Reyna menyarungkan pedangnya dan mulai memanjat, meniti pilar dengan mudah meskipun dia mengenakan baju tempur dan menggendong perbekalan. Di plaza, Aurum dan Argentum tidak tampak. Entah mereka sudah mundur atau sudah dibinasakan. Lycaon membebaskan diri dari kurungan tulang sambil melolong penuh kemenangan. "Kau akan menderita, Putra Hades!" Sudah biasa, pikir Nico. Dielus-elusnya pisau lipat. "Ayo tangkap aku, Anjing Kampung! Ataukah kau harus duduk manis layaknya anjing baik sebelum majikanmu datang"" Lycaon melejit ke udara, cakarnya terulur, taringnya dipamerkan. Nico membelitkan tangannya yang bebas ke tali dan berkonsentrasi, peluh mengucur di lehernya. Saat raja serigala itu menerkamnya, Nico menghunjamkan pisau perak ke dada Lycaon. Di sekeliling kuil, serigala-serigala melolong padu. Sang raja serigala menancapkan cakarnya ke lengan Nico. Taringnya terhenti seinci kurang dari wajah Nico. Nico mengabaikan rasa sakitnya sendiri dan menusukkan pisau lipat ke antara tulang-tulang iga Lycaon, sampai ke gagang.
"Jadilah anjing yang berguna," geram Nico. "Kembalilah ke bayang-bayang." Mata Lycaon berputar ke belakang. Dia terbuyarkan menjadi kegelapan sehitam tinta. Kemudian beberapa hal terjadi berbarengan. Kawanan serigala yang murka menerjang ke depan. Dari atap di dekat sana, suara menggelegar berteriak, "HENTIKAN MEREKA!" Nico mendengar bunyi yang tidak mungkin salah dikenali, yakni tali busur besar yang ditarik hingga tegang. Lalu, dia melebur ke dalam kolam genangan Lycaon, membawa serta kawan-kawannya dan Athena Parthenos menggelincir ke dalam eter dingin tanpa memiliki gambaran akan keluar di mana. []
BAB TUJUH BELAS PIPER PIPER TIDAK PERCAYA BETAPA SUSAHNYA menemukan racun mematikan. Sepagian itu dia dan Frank merambah pelabuhan Pylos. Frank hanya memperkenankan Piper seorang untuk ikut dengannya, berpikir barangkali charmspeak Piper bisa bermanfaat jika mereka berpapasan dengan kerabatnya yang dapat berubah wujud. Ternyata, pedangnyalah yang lebih berguna. Sejauh ini, mereka telah menghabisi satu raksasa Laistrygonian di toko roti, bertarung melawan babi rusa raksasa di alun-alun, dan mengalahkan sekawanan burung Stymphalian dengan sayuran yang dibidikkan dengan jitu dari kornukopia Piper. Dia bersyukur atas pekerjaan itu. Karena sibuk, dia jadi tida sempat menekuri percakapannya dengan ibunya semalam sekilas masa depan kelam yang Aphrodite tegaskan agar tidak Piper bagi bagi dengan siapa pun ... Sementara
itu, tantangan terbesar Piper di Pylos adalah iklai film anyar ayahnya yang terpampang di sepenjuru kota. Poster
poster tersebut berbahasa Yunani, tapi Piper tahu isinya: TRISTAN t SEBAGAI JAKE STEEL: DIPARAF DENGAN DARAH. Demi dewa-dewi, jelek amat judul itu. Piper berharap kalau ayahnya tak pernah menerima pekerjaan akting dalam seri jake Steel, tapi peran itu termasuk yang paling populer yang I ernah ayahnya mainkan. Wajah Tristan McLean menghiasi poster bajunya terbuka sehingga menampakkan otot perut yang mpurna (amit-amit, Yah!), senjata AK-47 di masing-masing tangan, senyum ganteng di wajahnya yang bertulang pipi tinggi. Di belahan dunia lain, di kota terkecil dan terpencil yang erbayangkan, ayahnya masih raja tampak. Piper jadi merasa scdih, terdisorientasi, merindukan rumah, dan sekaligus kesal. Kehidupan terus berjalan. Begitu pula Hollywood. Selagi ayahnya herpura-pura menyelamatkan dunia, Piper dan teman-temannya harus menyelamatkan dunia. Delapan hari lagi, kecuali Piper bisa mengeksekusi rencana yang Aphrodite paparkan kalau begitu, takkan ada lagi film, bioskop, atau manusia. Sekitar jam satu siang, charmspeak Piper akhirnya bermanfaat Juga. Dia berbicara dengan hantu Yunani Kuno di penatu (dari segi keanehan, dinilai dari Skala satu sampai sepuluh, percakapan iii jelas mendapat nilai sebelas) dan memperoleh petunjuk arah ke markas kuno yang konon merupakan tempat nongkrong kcturunan Periclymenus yang bisa berubah wujud. Setelah tersaruk-saruk menyeberangi pulau di tengah hawa siang nan panas, mereka menemukan gua yang bertengger di pertengahan tebing pinggir pantai. Frank bersikeras agar Piper menunggunya di bawah sementara dia mengecek gua itu. Piper tidak senang disuruh menunggu, tapi dia berdiri patuh di pantai, memicingkan mata ke jalan masuk gua dan berharap dirinya tidak menuntun masuk Frank ke jebakan maut.
Di belakangnya, pasir putih yang terbentang memeluk kaki perbukitan. Beralaskan selimut, orang-orang mandi matahari. Anak-anak kecil menciprat-cipratkan air di antara ombak. Laut biru yang gemerlapan tampak mengundang. Piper berharap dia bisa berselancar di perairan itu. Dia sudah berjanji akan mengajari Hazel dan Annabeth berselancar suatu hari nanti, jika mereka berkesempatan datang ke Malibu ... jika Malibu masih ada sesudah 1 Agustus. Diliriknya puncak tebing. Reruntuhan kastel tua menempel ke punggung bukit. Piper tidak yakin apakah reruntuhan itu adalah bagian dari tempat persembunyian para peubah bentuk atau bukan. Tiada yang bergerak di balik pagar tembok. Jalan masuk gua terletak kira-kira dua puluh meter di bawah puncak, di muka tebing lingkaran hitam pada batu kapur kuning, seperti lubang serutan pensil raksasa. Gua Nestor, begitulah hantu penatu menyebutnya. Konon pada zaman dahulu kala raja Pylos menyimpan harta karunnya di sana di masa-masa krisis. Hantu itu juga mengklaim bahwa Hermes pernah menyembunyikan sapi Apollo yang dia curl di gua itu. Sapi. Piper bergidik. Sewaktu dia kecil, ayahnya pernah menyopiri-nya melewati pabrik pengolahan daging di Chino. Baunya cukup untuk menjadikan Piper berpantang daging dan menjadi vegetarian. Sejak saat itu, memikirkan sapi saja sudah membuatnya mual. Pengalamannya dengan Hera sang ratu sapi, katoblepones Venezia, dan gambar sapi mayat hidup nan seram di Gerha Hades juga tidak menghibur. Piper baru mulai berpikir bahwa Frank sudah pergi terlalu lama ketika pemuda itu muncul di jalan masuk gua. Di sebelahnya, berdirilah seorang pria tinggi berambut kelabu, berbaju
linen putih, dan berdasi kuning pucat. Pria tua itu menempelkan sebuah benda kecil mengilap seperti batu atau kaca ke tangan Frank. Dia dan Frank bercakap-cakap sejenak. Frank mengangguk-angguk muram. Lalu pria itu berubah menjadi camar dan terbang menjauh. Frank menuruni jalan setapak sampai dia tiba di hadapan Piper. "Aku menemukan mereka," kata Frank. "Aku melihatnya. Kau baik-baik saja"" Pemuda itu menatap camar yang terbang menyongsong cakrawala. Rambut cepak Frank taj am-taj am seperti panah, menjadikan tatapannya semakin menusuk. Pin Romawinya mahkota mural, centurion, pr
aetor berkilat-kilat di kerah bajunya. Di lengan bawah pemuda itu, tato SPQR dengan tombak Mars yang bersilang tampak gelap mencolok di bawah sinar matahari terang. Dia kelihatan menawan dalam balutan busana barunya. Si babi rusa raksasa telah melumuri baju lama Frank dengan lendir, jadi Piper mengajaknya untuk belanja pakaian darurat di Pylos. Kini Frank mengenakan celana jinn hitam baru, sepatu bot berbahan kulit lembut, dan kaus hijau tua berkancing pas badan. Dia kelihatannya jengah memakai kaus itu. Frank terbiasa menyembunyikan tubuhnya yang besar di balik pakaian gombrong, tapi Piper meyakinkannya bahwa dia tidak perlu lagi mengkhawatirkan hal itu. Sejak percepatan pertumbuhannya di Venezia, Frank telah berubah dari gendut menjadi kekar. Kau tidak berubah, Frank, Piper memberitahunya. Kau semata-mata menjadi lebih seperti dirimu sendiri. Untung bahwa Frank Zhang masih teramat manis dan lembut dalam bertutur. Jika tidak, dia bakalan menjadi cowok yang menyeramkan.
"Frank"" pancing Piper lembut. "Iya, sori." Frank memfokuskan perhatian pada Piper. "Mereka, anu sepupuku, mungkin bisa dibilang begitu mereka sudah tinggal di sini selama bergenerasi-generasi, semuanya keturunan Periclymenus sang Argonaut. Aku memberitahukan riwayatku pada mereka, bagaimana ceritanya sampai keluarga Zhang berpindah dari Yunani ke Roma ke China sampai ke Kanada. Aku memberi tahu mereka tentang hantu legiunari yang kulihat di Gerha Hades, yang mendesakku agar datang ke Pylos. Mereka mereka sepertinya tidak kaget. Mereka bilang sebelumnya sudah pernah terjadi, kerabat lama yang pulang kampung." Piper mendengar nada penuh nostalgia dalam suara Frank. "Kau mengharapkan sesuatu yang lain." Frank mengangkat bahu. "Sambutan yang lebih meriah. Balon-balon pesta. Entahlah. Nenekku memberitahuku bahwa aku akan menggenapkan perjalanan keluarga kami mengharumkan nama keluarga dan sebagainya. Tapi sepupu-sepupuku di sini sikap mereka dingin dan berjarak, seakan mereka tidak menginginkan kehadiranku. Aku merasa mereka tidak senang karena aku adalah anak Mars. Sejujurnya, menurutku mereka juga tidak suka karena aku keturunan China." Piper memandangi langit. Si camar sudah lama menghilang. Untung saja, sebab dia mungkin bakal tergoda untuk menimpuk makhluk itu dengan ham panggang. "Kalau sepupu-sepupumu merasa seperti itu, mereka tolol. Mereka tidak tahu betapa hebat dirimu." Frank menggeser tumpuannya. "Mereka menjadi sedikit lebih ramah ketika aku memberi tahu mereka bahwa aku cuma lewat. Mereka memberiku hadiah perpisahan." Dia membuka kepalan tangan. Di telapaknya, berkilaulah vial metalik berukuran sebesar wadah obat tetes mata.
Piper menahan hasrat untuk melangkah mundur. "Apa itu racun. Frank mengangguk. "Mereka menyebutnya mint Pylosian. Rupanya tanaman itu tumbuh dari darah pen alam yang meninggal di gunung dekat sini, pada zaman kuno. Aku tidak menanyakan detailnya." Vial itu mungil sekali ... Piper khawatir isinya tidak cukup. Dia lazimnya tidak menginginkan racun mematikan banyak-banyak. Dia juga tidak yakin bagaimana tepatnya racun itu akan bermanfaat untuk membuat obat dari tabib yang Nike sebut-sebut. Tapi jika obat tersebut benar-benar bisa mencurangi kematian, Piper ingin menggodok dosis yang mencukupi untuk enam orang satu untuk tiap temannya. Frank menggelindingkan vial itu di telapak tangannya. "Coba kalau Vitellius Reticulus di sini." Piper tak yakin dia tidak salah dengar. "Retina siapa"" Senyum terkulum di mulut Frank. "Gaius Vitellius Reticulus, meskipun kami memangmemanggilnya si Rese kadang-kadang. Dia salah satu Lar Kohort 5. Agak konyol, tapi dia putra Aesculapius, Dewa Tabib. Kalau ada yang tahu tentang obat dari tabib itu mungkin dialah orangnya." "Dewa Tabib boleh juga," Piper berkomentar. "Mending daripada mengangkut Dewi Kemenangan yang terikat dan menjerit-jerit." "Hei, kau beruntung. Kabinku paling dekat dengan istal. Aku bisa mendengarnya berteriak-teriak semalaman: JUARA SATU ATAU MATE NILAI A MINUS BERARTI TIDAK LULUS! Leo betul-betul perlu merancang sumpal yang lebih ampuh daripada kaus kaki lamaku." Piper merind
ing. Dia masih tidak mengerti untuk apa mereka menawan sang dewi. Semakin cepat mereka menyingkirkan Nike,
semakin baik. "Jadi, sepupu-sepupumu apa mereka punya saran lebih lanjut" Mengenai dewa dirantai yang harus kita cari di Sparta"" Ekspresi Frank menjadi suram. "Iya. Aku khawatir mereka punya gambaran mengenai hal itu. Ayo kita kembali dulu ke kapal. Nanti aku ceritakan." Kaki Piper pegalnya minta ampun. Dia bertanya-tanya apakah bisa membujuk Frank supaya berubah menjadi elang raksasa dan membawanya, tapi sebelum dia sempat bertanya, Piper mendengar langkah kaki di pasir di belakang mereka. "Halo, Turis-Turis Budiman!" Seorang nelayan kerempeng bertopi kapten putih dan bergigi emas memandang mereka dengan mimik riang. "Mau naik kapal" Murah sekali!" Dia memberi isyarat ke pantai. Di sana, terparkirlah sampan bermotor. Piper membalas senyum pria itu. Dia suka sekali berkomunikasi dengan orang-orang lokal. "Ya, tolong," katanya dengan charmspeak semanis mungkin. "Kami ingin Anda mengantar kami ke tempat yang istimewa."
Nakhoda perahu menurunkan mereka di Argo II, yang membuang sauh tidak sampai setengah kilometer di lepas pantai. Piper menempelkan segepok uang euro ke tangan sang kapten. Dia tidak pantang merayu manusia biasa dengan charmspeak, tapi dia sudah memutuskan akan bersikap seadil dan sehati-hati mungkin. Hari-hari ketika dia rnencuri BMW dari diler mobil sudah berlalu. "Terima kasih," katanya kepada pria itu. "Jika Ada yang bertanya, katakan saja Anda mengajak kami keliling pulau dan menunjuki kami situs-situs bersejarah. Anda menurunkan kami di dermaga Pylos. Anda tidak melihat kapal perang raksasa."
"Tidak ada kapal perang," sang kapten mengiyakan. "Terima kasih, Turis Amerika budiman!" Mereka naik ke Argo II dan Frank pun tersenyum kikuk kepada Piper. "Anu senang bisa membunuh babi rusa raksasa denganmu." Piper tertawa. "Sama-sama, Tuan Zhang." Dia memeluk pemuda itu, alhasil menyebabkan Frank merona karena malu, tapi mau tidak mau, Piper memang menyukai Frank. Bukan semata-mata karena dia berperan sebagai pacar yang baik had dan penuh pengertian bagi Hazel, tapi juga karena kapan pun Piper melihat Frank mengenakan pin praetor lama Jason, dia inerasa bersyukur atas kesediaan Frank menerima pekerjaan itu. Frank telah mengambil alih beban berat dari pundak Jason dan rnembebaskannya (Piper harap begitu) untuk merintis kehidupan Baru di Perkemahan Blasteran tentu saja dengan asumsi bahwa mereka semua masih hidup delapan hari ke depan. Awak kapal berkumpul untuk rapat dadakan di geladak depan terutama karena Percy sedang memantau ular laut merah raksasa yang berenang di sebelah kiri. "Makhluk itu merah benar," gumam Percy. "Aku penasaran apakah rasanya seperti ceri." "Kenapa kau tidak berenang ke sana dan cari tahu saja"" tanya Annabeth. "Tidak, ah." "Omong-omong," ujar Frank, "menurut sepupu-sepupuku di Pylos, dewa dirantai yang kita cari di Sparta adalah ayahku anu, rnaksudku Ares, bukan Mars. Rupanya warga Sparta mendirikan patungnya yang dirantai di kota mereka supaya semangat perang takkan pernah meninggalkan mereka."
"Oke deh," kata Leo. "Orang-orang Sparta memang sinting. Tentu saja, kita mengurung Dewi Kemenangan dalam keadaan terikat di lantai bawah, jadi mungkin kita sama sintingnya." Jason bertopang ke pelontar misil depan. "Maju terns ke Sparta, kalau begitu. Tapi, bagaimana detak jantung dewa yang dirantai bisa membantu kita mencari obat bagi yang sekarat"" Dari rautnya yang tegang, Piper bisa tahu bahwa Jason masih kesakitan. Dia teringat perkataan Aphrodite kepadanya: Penyebabnya bukan hanya karena luka sayatan pedang, Sayang, melainkan juga kebenaran pahit yang dia saksikan di Ithaka. Jika pemuda malang itu tidak tetap teguh, kebenaran itu akan menggerogotinya. "Piper"" tanya Hazel. Piper tersentak. "Sori, apa"" "Aku bertanya tentang visimu," pancing Hazel. "Kau memberitahuku kau melihat sejumlah hal di bilah belatimu"" "Eh ... benar." Dengan enggan Piper mengeluarkan Katoptris dari sarungnya. Semenjak menggunakan belati itu untuk menikam Khione si Dewi Salju, visi di bilah belati kian
lama kian dingin dan kejam, seperti citra yang tertatah di es. Dia melihat elang yang beterbangan di atas Perkemahan Blasteran, longsoran tanah yang menghancurkan New York. Dia melihat adegan-adegan dari masa lalu: ayahnya yang babak belur dan terikat di Gunung Diablo, Jason dan Percy yang bertarung melawan raksasa di Koloseum Roma, Achelous sang Dewa Sungai yang mengulurkan tangan kepadanya sambil memohon-mohon agar kornukopia yang Piper potong dari kepalanya dikembalikan. "Aku, anu ..." Piper mencoba menjernihkan pikiran. "Aku tidak melihat apa-apa saat ini. Tapi, satu visi berkali-kali muncul. Annabeth dan aku menjelajahi sebuah reruntuhan "
"Reruntuhan!" Leo menggosok-gosok kedua belah tangannya. "Ini barn asyik. Yunani punya berapa banyak reruntuhan sih"" "Diam, Leo," tegur Annabeth. "Piper, apa menurutmu letaknya di Sparta"" "Mungkin," kata Piper. "Pokoknya kita mendadak berada di tempat gelap mirip gua. Kita menatap patung pendekar perunggu. Dalam visi itu, aku menyentuh wajah patung dan api mulai menjilat-jilat di sekeliling kita. Cuma itu yang aku lihat." "Api." Frank merengut. "Aku tidak suka visi itu." "Aku juga." Percy memperhatikan si ular laut merah dengan sebelah matanya lekat-lekat. Makhluk itu masih meliuk-liuk di antara ombak tidak sampai seratus meter di kiri kapal. "Kalau patung itu melalap orang dalam api, sebaiknya kita utus Leo." "Aku sayang padamu juga, Bung." "Kau tahu maksudku. Kau kebal. Atau, begini saja deh, beri aku granat air keren itu dan biar aku yang pergi. Ares dan aku pernah berseteru sebelumnya." Annabeth menatap garis pantai Pylos, yang kini mengecil di kejauhan. "Kalau Piper melihat kami berdua menghampiri patung itu, maka kamilah yang harus ke sana. Kami pasti akan baik-baik saja. Selalu ada jalan untuk bertahan hidup." "Tidak selalu," Hazel mewanti-wanti. Karena dialah satu-satunya dalam kelompok itu yang pernah meninggal sungguhan dan kemudian hidup kembali, komentar Hazel sontak mematikan antusiasme. Frank mengulurkan vial mint Pylosian. "Bahan ini bagaimana" Setelah kejadian di Gerha Hades, aku sebetulnya berharap kita tidak perlu lagi minum racun." "Simpan di palka," ujar Annabeth. "Untuk saat ini, hanya itu yang bisa kita lakukan. Begitu kita mengetahui situasi dewa yang dirantai itu, kita akan menuju Pulau Delos."
"Kutukan Delos," Hazel mengingat. "Kedengarannya me-nyenangkan." "Mudah-mudahan Apollo berada di sana," kata Annabeth. "Pulau Delos adalah kampung halamannya. Dia dewa pengobatan. Dia semestinya bisa memberi kita nasihat." Kata-kata Aphrodite terngiang kembali di benak Piper: Kau harus menjembatani jurang pemisah antara Romawi dan Yunani, Anakku. Baik badai maupun api takkan bisa berhasil tanpamu. Aphrodite sudah memperingatkannya akan apa yang bakal terjadi, memberi tahu Piper apa yang harus dia lakukan untuk menghentikan Gaea. Terkait apakah dia bakalan punya keberanian atau tidak ... Piper tak tahu. Di kin depan kapal, ular laut rasa ceri menyemburkan uap. "Iya, dia jelas-jelas sedang memata-matai kita," Percy menyimpulkan. "Mungkin kita harus ke udara untuk sementara." "Terbang, kalau begitu!" kata Leo. "Festus, silakan!" Kepala naga perunggu berderit dan berderak. Mesin kapal berdengung. Dayung-dayung terangkat, memanjang menjadi dayung udara disertai bunyi mirip terbukanya sembilan puluh payung secara bersamaan, dan naiklah Argo Hke angkasa. "Kita akan tiba di Sparta besok pagi," Leo mengumumkan. "Jangan lupa mampir ke mes malam ini, Teman-teman, soalnya Chef Leo membuatkan taco tahu pedasnya yang terkenal!"[]
BAB DELAPAN BELAS PIPER PIPER TIDAK MAU DIBENTAK-BENTAK OLEH meja berkaki tiga. Ketika Jason bertandang ke kabin Piper malam itu, dia memastikan untuk terus membuka pintu kamar, sebab Buford si Meja Ajaib melaksanakan tugasnya sebagai pengawas secara sangat serius. Jika meja itu curiga akan keberadaan anak perempuan dan laki-laki berduaan dalam kabin tanpa pengawas, Buford bakal mengembuskan uap dan berkelotakan sepanjang lorong, proyeksi hologram Pak Pelatih Hedge meneriakkan, "HENTIKAN! AYO PUSH-UP DUA PULUH KALI! PAKAI BAJUMU!" Jason duduk di ka
ki tempat tidur Piper. "Aku hendak bertugas jaga. Cuma mau mengecekmu terlebih dulu." Piper menyenggol tungkai Jason dengan kakinya. "Orang yang ditusuk pedang ingin mengecek keadaanku" Bagaimana perasaanmu"" Jason tersenyum miring kepada Piper. Wajahnya cokelat sekali karena terpanggang matahari sepanjang perjalanan mereka di pesisir Afrika sampai-sampai bekas luka di bibirnya menyerupai bekas kapur. Mata birunya malah semakin terang. Rambut
pirangnya yang seputih julai jagung sudah bertambah gondrong, meskipun alur bekas lintasan peluru dari senapan Sciron si bandit masih tampak di kulit kepalanya. Jika luka gores minor dari perunggu langit saja butuh waktu demikian lama untuk pulih, Piper bertanya-tanya kapan luka emas Imperial di perut Jason sembuh. "Aku pernah mengalami yang lebih parah," Jason meyakinkan Piper. "Suatu kali, di Oregon, seekor dracaena memotong lenganku." Piper mengerjapkan mata. Kemudian ditamparnya lengan Jason dengan lembut. "Tutup mulut." "Kau sempat terkecoh, lan"!" Mereka bergandengan dengan nyaman sambil membisu. Sekejap, Piper hampir bisa membayangkan bahwa mereka adalah remaja normal, sedang menikmati kebersamaan dengan satu sama lain dan membiasakan diri sebagai pasangan. Memang, Jason dan Piper sempat melewatkan beberapa bulan di Perkemahan Blasteran, tapi perang melawan Gaea senantiasa membayangi. Piper bertanya-tanya bagaimana rasanya, tidak perlu mengkhawatirkan kalau-kalau mereka bakal mati sekitar dua belas kali sehari. "Aku belum berterima kasih padamu." Ekspresi Jason menjadi serius. "Sewaktu di Ithaka, aku melihat ampas ibuku, mania-nya Ketika aku terluka, kau menjagaku agar tidak pingsan, Pipes. Sebagian dari diriku ..." suaranya melirih. "Sebagian dari diriku ingin memejamkan mata dan berhenti melawan." Hati Piper terasa pedih. Jari-jarinya merabai denyut nadinya sendiri yang bertambah cepat. "Jason kau seorang petarung. Kau tidak pernah menyerah. Ketika berhadapan dengan arwah ibumu kaulah yang tangguh. Bukan aku." "Mungkin." Suara pemuda itu kering. "Aku tidak bermaksud membebanimu, Pipes. Hanya saja aku memiliki DNA ibuku.
Kemanusiaanku seluruhnya adalah warisan ibuku. Bagaimana kalau aku membuat pilihan keliru" Bagaimana kalau aku melakukan kesalahan yang tidak bisa kuralat saat kita bertarung melawan Gaea" Aku tidak mau menjadi seperti ibuku terkuras habis hingga menyisakan mania belaka, menekuri penyesalanku selamanya." Piper menggenggam tangan Jason dengan kedua tangannya. Dia merasa seperti kembali ke geladak Argo II, memegangi granat es kaum Boread tepat sebelum meledak. "Kau pasti akan membuat pilihan yang tepat," kata Piper. "Aku tidak tahu apa yang akan menimpa satu pun di antara kita, tapi kau tidak mungkin menjadi seperti ibumu." "Bagaimana bisa kau seyakin itu"" Piper mengamat-amati tato di lengan bawah Jason SPQR, elang Jupiter, dua belas garis penanda tahun pengabdiannya di legiun. "Ayahku pernah mendongengkan cerita tentang pilihan ..." Op Piper menggeleng. "Tidak, lupakan saja. Nanti aku kedengaran seperti Kakek Tom.", "Lanjutkanlah," kata Jason. "Ceritanya bagaimana"" "Jadi ada dua pemburu Cherokee yang sedang menjelajahi hutan. Masing-masing diberi pantangan." "Pantangan sesuatu yang tidak boleh mereka lakukan." "Iya." Piper mulai merasa santai. Dia bertanya-tanya inikah sebabnya ayahnya dan kakeknya gemar mendongeng. Kita bisa menjadikan topik yang paling mengerikan lebih mudah untuk dibicarakan dengan merangkainya dalam sebuah cerita, semisal kisah sepasang pemburu Cherokee yang terjadi ratusan tahun lampau. Ambil satu persoalan; ubah menjadi hiburan. Mungkin itu sebabnya ayah Piper menjadi aktor.
"Nah, salah seorang pemburu ini," Piper melanjutkan, "dia tidak boleh makan daging rusa. Lelaki satunya lagi tidak boleh makan daging tupai." "Kenapa"" "Wah, aku tidak tahu. Sebagian pantangan Cherokee berlaku permanen dan tidak bisa diganggu gugat, misalnya membunuh elang." Dia mengetuk simbol di lengan Jason. "Itu bawa sial untuk hampir semua orang. Tapi terkadang, individu-individu Cherokee mengambil pantangan untuk sementara mungkin untuk membersihkan jiw
a, atau karena mereka tahu, gara-gara mendengarkan dunia arwah atau apalah, bahwa pantangan itu penting. Mereka mengikuti saja insting mereka." "Oke." Jason kedengarannya ragu. "Jadi, kembali ke kedua pemburu itu." "Mereka berburu di hutan seharian. Satu-satunya yang mereka tangkap adalah tupai. Pada malam hari, mereka berkemah dan laid-laki yang boleh makan tupai mulai memasak dagingnya di atas api." "Sedap." "Alasan lain sehingga aku menjadi vegetarian. Pokoknya, si pemburu kedua, yang tidak boleh makan daging tupai dia sudah kelaparan. Dia duduk saja sambil memegangi perutnya sementara temannya makan. Akhirnya pemburu pertama mulai merasa bersalah. Ah, silakan duluan,' katanya. 'Makanlah sedikit.' Tapi, pemburu kedua menolak. `Itu pantangan bagiku. Bisa-bisa aku mendapat bala. Aku mungkin bakal berubah menjadi ular atau apalah.' Pemburu pertama tertawa. mana kau mendapat gagasan gila itu" Kau takkan kenapa-napa. Kau bisa kembali berpantang tupai besok.' Pemburu kedua tahu tidak boleh, tapi dia akhirnya makan." Jason menelusurkan jarinya ke buku-buku jari Piper, alhasil membuat gadis itu sulit berkonsentrasi. "Apa yang terjadi""
"Di tengah malam, pemburu kedua terbangun sambil inenjerit-jerit kesakitan. Pemburu pertama lari menghampirinya untuk melihat ada masalah apa. Dia menyibakkan selimut temannya dan melihat bahwa kedua kaki sang kawan telah menyatu, membentuk ekor bersisik. Selagi dia menyaksikan, kulit ular merambat ke sekujur tubuh temannya. Si pemburu malang menangis dan minta maaf kepada roh-roh dan memekik ketakutan, tapi sudah terlambat. Pemburu pertama bertahan di nisi temannya dan berusaha menghibur sampai si laki-laki malang pungkas bertransformasi sebagai ular raksasa dan lantas pergi dari sana sambil melata. Selesai." "Aku suka sekali cerita-cerita Cherokee," kata Jason. "Isinya sangat menggembirakan." "Iya, begitulah." "Jadi, laki-laki itu berubah menjadi ular. Hikmahnya: pernahkah Frank makan tupai"" Piper tertawa, alhasil meringankan perasaannya. "Bukan, Bego. Intinya, percayailah instingmu. Daging tupai mungkin aman-aman saja bagi satu orang, tapi pantang dimakan yang lain. Pemburu kedua tahu dia dirasuki roh ular, yang menanti untuk mengambil alih dirinya. Dia tahu dia tidak boleh memberi makan roh jahat itu dengan daging tupai, tapi dia tetap saja makan daging tupai." "Jadi aku tidak boleh makan tupai." Piper lega melihat binar-binar di mata Jason. Dia memikirkan perkataan Hazel kepadanya beberapa malam silam: Menurutku Jason adalah kunci dari keseluruhan strategi Hera. Dia adalah pemain pertama dalam rencana Hera; dia akan menjadi yang terakhir juga. "Maksudku," kata Piper sambil menotol dada Jason, "adalah bahwa kau, Jason Grace, sudah sangat akrab dengan kegelapan dalam dirimu sendiri dan kau berusaha sebaik-baiknya untuk tidak
memberi makan kegelapan itu. Instingmu tajam dan kau tahu caranya mengikuti instingmu. Apa pun sifat menyebalkan yang kau punya, kau sungguh-sungguh orang baik yang selalu berusaha membuat pilihan tepat. Jadi, jangan katakan lagi bahwa kau ingin menyerah." Jason mengerutkan kening. "Tunggu. Aku punya sifat yang menyebalkan"" Piper memutar-mutar bola matanya. "Ayo sini." Dia hendak mengecup Jason ketika terdengar ketukan di pintu. Leo menyembulkan badan ke dalam. "Ada pesta" Apa aku diundang"" Jason berdeham. "Hei, Leo. Ada apa"" "Oh, begitu-begitu saja." Dia menunjuk ke lantai atas. " Venti memuakkan yang biasa sedang mencoba menghancurkan kapal. Kau siap bertugas jaga"" "Iya." Jason mencondongkan badan ke depan dan mengecup Piper. "Makasih. Jangan khawatir. Aku baik-baik saja." "Itulah," kata Piper kepada Jason, "inti perkataanku." Selepas kepergian kedua anak laki-laki, Piper merebahkan diri ke bantal bulu pegasus dan memandangi rasi bintang yang diproyeksikan pelitanya ke langit-langit. Piper merasa takkan bisa tidur, tapi setelah seharian penuh melawan monster di tengah gerahnya hawa musim panas, tubuhnya ternyata kelelahan. Akhirnya Piper memejamkan mata dan terhanyut dalam mimpi buruk.
Akropolis. Piper tidak pernah ke sana, tapi dia mengenali tempat itu dari g
ambar-gambar benteng pertahanan kuno yang bertengger di atas bukit, hampir semengesankan Gibraltar. Empat ratus kaki di
atas hamparan kota Athena modern yang kelap-kelip di malam menjulanglah sebuah tebing terjal dipuncaki mahkota dari cmbok batu kapur. Di puncak, puing-puing kuil dan mesin derek modern berkilau keperakan di bawah cahaya rembulan. Dalam mimpinya, Piper terbang di atas Parthenon kuil Athena kuno, sebelah kirinya berupa cangkang kosong yang disangga kuda-kuda logam. Akropolis tampak lengang, tanpa manusia biasa sama sekali, harangkali karena krisis finansial yang melanda Yunani. Atau mungkin pasukan Gaea telah bersiasat untuk menghalau turis dan pekerja konstruksi. Perspektif Piper diperbesar ke pusat kuil. Banyak sekali raksasa yang telah berkumpul di sana sehingga kesannya sedang diadakan pesta koktail untuk pohon-pohon besar. Piper mengenali beberapa: si kembar menyeramkan dari Roma, Otis dan Ephialtes, mengenakan baju pekerja konstruksi yang serasi; Polybotes, berpenampilan persis seperti yang Percy jabarkan, yaitu berambut gimbal yang menetes-neteskan racun dan memakai tameng dada berukiran menyerupai mulut-mulut lapar; yang paling mengerikan dari semuanya, Enceladus, raksasa yang menculik ayah Piper. Baju tempurnya bertatahkan desain berbentuk lidah api, kepang rambutnya dijalin dengan tulang belulang. Tombaknya yang sebesar tiang bendera berkobar ungu. Piper pernah mendengar bahwa tiap raksasa dilahirkan untuk melawan dewa tertentu, tapi raksasa yang berkumpul di Parthenon jauh lebih banyak daripada dua belas. Dia menghitung setidaknya dua puluh, dan jika itu belum cukup mengintimidasi, di kaki para raksasa, berkeliaranlah kawanan monster berukuran lebih kecil Cyclops, raksasa Laistrygonian, Anak Bumi yang bertangan enam, dan dracaena berkaki ular.
Di tengah-tengah kerumunan tersebut, berdirilah sebuah singgasana sekadarnya dari kuda-kuda bengkok dan balok-balok batu yang tampaknya dicabut anal saja dari puing-puing. Sementara Piper menonton, seorang raksasa baru tersaruk-saruk menaiki tangga di ujung jauh Akropolis. Dia mengenakan setelan olahraga mahabesar berbahan sehalus beledu dengan kalung emas di leher, sedangkan rambutnya yang klimis disisir ke belakang, alhasil penampilannya menyerupai mafia kelas teri setinggi sembilan meter kalau mafia kelas teri memiliki kaki naga dan kulit sewarna jeruk gosong. Si raksasa mafia berlari ke arah Parthenon dan terhuyung-huyung ke dalam, menggepengkan beberapa Anak Bumi di bawah kakinya. Dia berhenti, lantas tersengal-sengal di kaki singgasana. "Di mana Porphyrion"" tanyanya. "Aku punya kabar!" Musuh lama Piper, Enceladus, melangkah maju. "Telat seperti biasa, Hippolytos. Kuharap kabarmu pantas dinanti-nantikan. Raja Porphyrion semestinya ..." Tanah di antara mereka terbelah. Raksasa yang malah lebih besar lagi melompat keluar dari bumi seperti paus terdampar. "Raja Porphyrion sudah tiba," sang raja mengumumkan. Dia kelihatan persis seperti yang Piper ingat dari pertempuran di Rumah Serigala di Sonoma. Berkat tingginya yang mencapai dua belas meter, dia lebih menjulang ketimbang saudara-saudaranya. Malahan, Piper tersadar disertai rasa mual, Porphyrion setinggi Athena Parthenos yang dahulu mendominasi kuil itu. Di antara kepangan rambutnya yang sewarna rumput laut, berkilatlah senjata-senjata demigod tangkapan. Wajahnya yang kejam hijau pucat, sedangkan matanya seputih Kabut. Tubuhnya memancarkan semacam gravitasi sendiri, menyebabkan monster-monster lain condong ke arahnya. Debu dan kerikil menggelincir di permukaan tanah, tertarik ke kaki naganya yang mahabesar.
Hippolytos si raksasa mafia berlutut. "Raja, saya membawakan kabar tentang musuh!" Porphyrion menduduki singgasananya. "Bicaralah." "Kapal demigod berlayar mengitari Peloponnese. Mereka sudah menghabisi hantu-hantu di Ithaka dan menawan Dewi Nike di Olympia!" Kerumunan monster berkasak-kusuk gelisah. Seorang Cyclops menggigiti kukunya. Dua dracaena bertukar koin seperti sedang memasang taruhan mengenai Kiamat. Porphyrion hanya tertawa. "Hippolytos, apa kau ingin membunuh musuhmu Hermes dan men
jadi kurir para raksasa"" "Ya, Raja!" "Kalau begitu, kau harus membawakan berita yang lebih anyar. Kami sudah mengetahui semua ini. Seluruhnya tidak penting! Para demigod mengambil rute yang kita harapkan. Mereka bodoh jika melalui rute lain." "Tapi, Paduka, mereka akan tiba di Sparta besok pagi! Jika mereka mampu melepaskan makhai " "Idiot!" Suara Porphyrion mengguncangkan puing-puing. "Saudara kita Mimas menunggu mereka di Sparta. Kau tidak perlu khawatir. Para demigod takkan dapat mengubah takdir mereka. Dengan satu atau lain cara, darah mereka akan tertumpah di bebatuan ini dan membangunkan Ibu Pertiwi!" Khalayak meraungkan persetujuan dan mengacung-acungkan senjata mereka. Hippolytos membungkuk dan mundur, tapi seorang raksasa lain lantas menghampiri singgasana. Piper terkesiap saat menyadari bahwa raksasa yang ini perempuan. Bukan berarti mudah untuk mengidentifikasi jenis kelaminnya. Si raksasa perempuan memiliki kaki naga dan rambut dikepang, sama seperti yang lain. Dia berbadan setinggi dan
segempal raksasa laki-laki, tapi tameng dadanya kentara sekali dirancang untuk perempuan. Suaranya lebih tinggi melengking. "Ayahanda!" serunya. "Kutanya lagi: Kenapa di sini, di tempat ini" Kenapa tidak di lereng Gunung Olympus sendiri" Tentunya " "Periboia," geram sang raja, "perkara ini sudah selesai. Gunung Olympus yang ash kini tinggal puncak gersang belaka. Tempat itu tidak menjanjikan kejayaan bagi kita. Di sini, di tengah-tengah dunia Yunani, dewa-dewi berakar demikian dalam. Mungkin saja ada kuil-kuil yang lebih tua, tapi Parthenon inilah yang paling kukuh melestarikan kenangan akan mereka. Di benak manusia biasa, Parthenon adalah simbol dewa-dewi Olympia yang paling gamblang. Ketika darah pahlawan terakhir tertumpah di sini, Akropolis akan diluluhlantakkan. Bukit akan runtuh dan seisi kota akan dilahap oleh Ibu Pertiwi. Kita akan menjadi penguasa alam semesta!" Khalayak meraung dan bersorak-sorai, tapi Periboia si raksasa perempuan kelihatannya tidak yakin. "Ayahanda bermain-main dengan nasib," katanya. "Para demigod memiliki teman di sini, bukan hanya musuh. Tidak bij aksana " "BIJAKSANA"" Porphyrion bangkit dari singgasananya. Semua raksasa mundur. "Enceladus, Penasihatku, jelaskan kepada putriku apa itu kebijaksanaan!" Raksasa api melangkah maju. Matanya berkilat-kilat seperti berlian. Piper benci wajah itu. Dia sudah terlalu sering melihat wajah tersebut dalam mimpinya ketika ayahnya ditawan. "Putri tidak perlu khawatir," kata Enceladus. "Kita telah merebut Delphi. Apollo sudah diusir secara memalukan dari Olympus. Masa depan tertutup bagi dewa-dewi. Mereka tertatih-tatih ke depan sambil buta arah. Soal bermain-main dengan nasib ..." dia memberi isyarat ke kiri dan muncullah seorang raksasa yang
lebih kecil. Raksasa itu berambut kumal kelabu, berwajah keriput, dan bermata seputih susu karena katarak. Alih-alih berbaju tempur, dia mengenakan tunik compang-camping mirip karung. Kakinya yang bersisik naga seputih salju. Penampilannya tidak mengesankan, tapi Piper memperhatikan bahwa monster-monster lain menjaga jarak dengannya. Porphyrion sekalipun mencondongkan diri menjauhi raksasa itu. "Ini Thoon," kata Enceladus. "Sama seperti banyak dari kita yang lahir untuk membunuh dewa tertentu, Thoon dilahirkan untuk membunuh Tiga Moirae. Dia akan mencekik wanita-wanita tua itu dengan tangan kosong. Dia akan mencabik-cabik rajutan mereka dan menghancurkan mesin pintal mereka. Dia akan membinasakan Takdir itu sendiri!" Raja Porphyrion bangkit dan merentangkan tangan penuh kemenangan. "Tiada lagi ramalan, Kawan-kawanku! Tiada lagi terawang akan masa depan! Masa Gaea akan menjadi zaman kita dan akan kita ciptakan nasib kita sendiri!" Khalayak bersorak ramai sekali sampai-sampai Piper merasa dirinya remuk redam. Kemudian dia menyadari bahwa seseorang mengguncangkannya supaya bangun. "Hei," kata Annabeth. "Kita sampai di Sparta. Bisakah kau bersiap-siap"" Piper duduk dengan linglung, jantungnya masih berdegup kencang. "Iya ..." Dicengkeramnya lengan Annabeth. "Tapi, pertama-tama, ada sesuatu yang mesti kau dengar."[]
BAB S EMBILAN BELAS PIPER KETIIKA PIPER MENCERITAKAN MIMPINYA KEPADA Percy, toilet kapal meledak. "Kahan berdua tidak boleh turun berdua saja," ujar Percy. Leo berlari menyusuri lorong sembari melambai-lambaikan kunci pas. "Bung, haruskah kau menghancurkan pipa"" Percy mengabaikannya. Air mengalir di lantai papan. Lambung menggemuruh saat semakin banyak pipa yang meledak dan wastafel yang meluap. Piper menebak bahwa Percy tidak bermaksud menyebabkan begitu banyak kerusakan, tapi ekspresinya yang melotot membuat Piper ingin meninggalkan kapal sesegera mungkin. "Kami akan baik-baik saja," kata Annabeth kepadanya. "Piper menerawang bahwa kami berdua turun ke sana, jadi itulah yang harus terjadi." Percy memelototi Piper seakan-akan semua salahnya. "Si Mimas itu bagaimana" Kutebak dia seorang raksasa"" "Barangkali," kata Piper. "Porphyrion menyebutnya saudara kita."
"Belum lagi patung perunggu yang dikeliling api," kata Percy. "Juga satu lagi yang kau singgung-singgung. Maki"" "Makhai, "Piper berkata. "Setahuku artinyapertempuran dalam bahasa Yunani, tapi aku tidak tahu persis konteks penggunaannya." "Itulah maksudku!" ujar Percy. "Kita tidak tahu ada apa di bawah sana. Aku ikut dengan kalian." "Tidak." Annabeth memegangi lengan Percy. "Kalau raksasa menginginkan darah kita, hal terakhir yang kita butuhkan adalah kedatangan anak laid-laid dan perempuan ke bawah sana bersama-sama. Ingat" Mereka menginginkan masing-masing satu untuk kurban agung." "Kalau begitu, akan kupanggil Jason," kata Percy. "Biar kami berdua " "Otak Ganggang, apa kau menyiratkan bahwa dua laki-laki lebih piawai mengatasi ini daripada dua perempuan"" "Tidak. Maksudku bukan. Tapi " Annabeth mengecupnya. "Kami akan kembali secepatnya." Piper mengikuti Annabeth ke lantai atas sebelum seluruh dek bawah kebanjiran air toilet.
Sejam berselang, mereka berdua berdiri di bukit yang menghadap ke reruntuhan Sparta Kuno. Mereka sudah mengintai kota Sparta modern, yang anehnya mengingatkan Piper pada Albuquerque kumpulan bangunan berlabur putih, pendek, dan berbentuk kotak yang terbentang di dataran rendah di kaki pegunungan keunguan. Annabeth bersikeras agar mereka mengecek museum arkeologi, kemudian patung logam raksasa pendekar Sparta di alun-alun, lalu Museum Nasional Zaitun dan Minyak Zaitun (betul, museum tersebut sungguh-sungguh ada). Piper jadi belajar banyak mengenai minyak zaitun melebihi yang ingin dia ketahui,
tapi tidak ada raksasa yang menyerang mereka. Keduanya tidak menemukan patung dewa yang dirantai. Annabeth tampaknya enggan mengecek reruntuhan di pinggir kota, tapi akhirnya mereka kehabisan tempat lain yang perlu dilihat-lihat. Tidak banyak yang dapat disaksikan. Menurut Annabeth, bukit yang mereka pijak dahulu adalah akropolis Sparta titik tertinggi dan benteng utamanya tapi lokasi tersebut sama sekali tidak mirip dengan akropolis Athena mahabesar yang Piper lihat dalam mimpinya. Lereng gersang berselimut rumput mati, batu, dan pohon zaitun kerdil. Di bawah, reruntuhan terbentang sejauh hampir setengah kilometer: balok-balok batu kapur, segelintir dinding roboh, dan sejumlah lubang berubin di tanah yang seperti sumur. Piper memikirkan film ayahnya yang paling terkenal, Raja Sparta, dan betapa bangsa Sparta digambarkan sebagai manusia super tak terkalahkan. Menurut Piper, memilukan bahwa mereka hanya menyisakan warisan berupa lahan sarat puing-puing dan kota modern kecil dengan museum minyak zaitun. Disekanya keringat dari dahi. "Kalau di sini ada raksasa setinggi sembilan meter, kita pasti sudah melihatnya." Annabeth menatap Argo 2 yang melayang di atas pucat kota Sparta di kejauhan. Dielus-elusnya bandul koral merah di kalungnya hadiah dari Percy sewaktu mereka baru jadian. "Kau sedang memikirkan Percy," tebak Piper. Annabeth mengangguk. Sekembalinya dari Tartarus, Annabeth menceritakan banyak hal mengerikan yang terjadi di bawah sana kepada Piper. Yang teratas di daftarnya: Percy yang mengendalikan terjangan racun dan membuat Dewi Akhlys tersedak.
"Dia sepertinya sudah menyesuaikan diri," kata Piper. "Dia lebih sering tersenyum. Kau tahu dia lebi
h menyayangimu daripada sebelumnya." Annabeth terduduk, wajahnya mendadak pucat. "Aku tidak tahu kenapa kenangan itu tiba-tiba saja terasa demikian mencekam. Aku tidak bisa mengeluarkan memori itu dari kepalaku ekspresi Percy ketika dia berdiri di tepi Khaos." Mungkin Piper semata-mata tertular kegelisahan Annabeth, tapi dia mulai merasa tegang juga. Dia teringat perkataan Jason semalam: Sebagian dari diriku ingin memejamkan mata dan berhenti melawan. Dia mencoba sebaik-baiknya untuk menenangkan Jason, tapi dia tetap saja cemas. Seperti si Cherokee pemburu yang berubah menjadi ular, semua demigod menyimpan sebentuk roh jahat dalam diri masing-masing. Kelemahan fatal. Krisis bisa saja menampakkan kegelapan itu ke permukaan. Ada batasan yang tidak boleh dilampaui. Jika Jason seperti itu, mana mungkin Percy tidak" Dia, secara harfiah, telah melalui neraka dan keluar dari sana. Sekalipun tidak berusaha untuk itu, Percy menyebabkan toilet meledak. Akan seperti apa Percy jika dia ingin bersikap galak" "Berl dia waktu." Piper duduk di samping Annabeth. "Dia tergila-gila padamu. Banyak sekali yang sudah kalian lalui bersama-sama.,, "Aku tahu ..." Mata kelabu Annabeth memantulkan hijaunya pohon zaitun. "Hanya saja ... Bob sang Titan, dia mewanti-wantiku bahwa kita masih harus berkorban di masa mendatang. Aku ingin meyakini bahwa kami bisa hidup normal kelak Tapi aku mengizinkan diriku berharap begitu musim panas lalu, sesudah Perang Titan. Kemudian Percy menghilang berbulan-bulan. Lalu kami terjerumus ke lubang itu ...." Air mata mengucur di pipi
Annabeth. "Piper, kalau kau melihat wajah Dewa Tartarus, pusaran kegelapannya, menelan monster-monster dan menguapkan mereka aku tak pernah merasa amat tak berdaya. Aku mencoba tidak memikirkannya ..." Piper menggamit tangan temannya. Tangan Annabeth gemetar hebat. Dia teringat hari pertamanya di Perkemahan Blasteran, ketika Annabeth mengajaknya berkeliling. Annabeth tengah terguncang gara-gara hilangnya Percy, dan meskipun Piper sendiri lumayan terdisorientasi dan takut, menghibur Annabeth menjadikannya merasa dibutuhkan, seakan dia bisa memiliki tempat di antara para demigod yang teramat sakti. Annabeth Chase adalah orang paling berani yang Piper kenal. Andaikan Annabeth sekalipun memerlukan tempat bersandar sesekali ... Piper akan menawarkan diri dengan senang hati. "Hei," kata Piper lembut. "Jangan berusaha untuk mengungkung perasaanmu. Kau takkan bisa. Biarkan saja keluar sampai habis. Kau ketakutan." "Demi dewa-dewi, ya, aku ketakutan." "Kau marah." "Pada Percy karena membuatku takut," timpal Annabeth. "Pada ibuku karena mengutusku menjalani misi mengerikan itu di Roma. Pada ... praktis pada semua orang. Gaea. Para raksasa. Dewa-dewi karena seenaknya." "Pada aku"" tanya Piper. Annabeth tertawa tersendat-sendat. "Ya, karena bersikap tenang sekali. Menyebalkan deh." "Aku cuma pura-pura tenang." "Dan karena sudah menjadi teman yang bal." "Ha." "Dan karena berkepala jernih dalam memberikan saran coal cowok dan hubungan pacaran dan "
"Maaf, tapi benar kau kenal aku"" Annabeth meninju lengan Piper, tapi tidak keras. "Aku bodoh, duduk-duduk di sini sambil membicarakan perasaanku padahal kita harus menyelesaikan misi." "Detak jantung dewa yang dirantai bisa menunggu." Piper mencoba tersenyum, tapi rasa takutnya sendiri membuncah karena mengkhawatirkan Jason dan teman-temannya di Argo II, mengkhawatirkan diri sendiri, khawatir kalau-kalau dia tidak bisa melakukan yang Aphrodite sarankan. Pada akhirnya, kau hanya akan memiliki kekuatan untuk satu kata. Kata tersebut mesti tepat karena jika tidak, kau akan kehilangan segalanya. "Apo pun yang terjadi," katanya kepada Annabeth, "aku ini temanmu. Pokoknya ingatlah itu, oke"" Terutama kalau aku tidak bisa lagi mengingatkanmu, pikir Piper. Annabeth hendak mengucapkan sesuatu. Tiba-tiba bunyi meraung terdengar dari puing-puing. Salah satu lubang bertepian batu, yang keliru Piper kira sebagai sumur, menyemburkan kobaran api setinggi tiga lantai dan sekejap kemudian kembali seperti sediakala. "Apa-apaan itu"" tanya Piper. Annabeth mendesah. "Entah
lah, tapi aku punya firasat kita mesti mengeceknya."
Tiga lubang terletak bersisian seperti lubang jari pada rekorder. Masing-masing berbentuk bulat sempurna, berdiameter enam puluh sentimeter, bibirnya berubin batu kapur; masing-masing menghunjam lurus ke kegelapan. Tiap beberapa detik, sepertinya secara acak, satu dari ketiga lubang menyemburkan api ke angkasa. Tiap kali, warna dan intensitas api berlainan.
"Asalnya tidak keluar api." Annabeth mengelilingi ketiga lubang sambil tetap menjaga jarak jauh-jauh. Dia masih tampak terguncang dan pucat, tapi benaknya kini jelas-jelas berkonsentrasi untuk memecahkan masalah di depan mata. "Kelihatannya tidak ada pola. Waktu, warna, tinggi api aku tidak paham." "Apa kita entah bagaimana mengaktifkannya"" Piper bertanya-tanya. "Mungkin ketakutan yang mendadak kau rasakan di bukit .... Eh, maksudku yang kita berdua rasakan." Annabeth sepertinya tidak mendengar Piper. "Seharusnya terdapat semacam mekanisme pelat yang diaktifkan oleh tekanan, alarm pendeteksi." Api menyembur dari lubang tengah. Annabeth menghitung tanpa suara. Kali berikutnya, semburan merekah dari lubang kiri. Dia mengernyitkan dahi. "Itu tidak benar. Tidak konsisten. Harus ada logikanya." Telinga Piper mulai berdenging. Penyebabnya lubang-lubang ini Tiap kali salah satu menyala, perasaan tercekam menjalarinya takut, panik, tapi juga hasrat kuat untuk mendekati api. "Kerjanya tidak rasional," kata Piper, "melainkan emosional." "Maria mungkin lubang api emosional"" Piper mengulurkan tangan ke atas lubang di kanan. Lidah api serta-merta meloncat ke atas. Piper nyaris tidak sempat menarik jemari. Kukunya berasap. "Piper!" Annabeth lari menghampiri. "Apa yang kaupikirkan"" "Aku tidak berpikir. Aku merasakan. Yang kita inginkan berada di bawah sana. Lubang-lubang inilah jalan masuknya. Aku harus melompat ke dalam." "Apa kau gila" Kalaupun kau tidak tersangkut di terowongan, kau tidak punya gambaran seberapa dalam lubang ini." "Kau benar."
"Kau bakal terbakar hidup-hidup!" "Mungkin saja." Piper melepas pedangnya dan melemparkan senjata itu ke dalam lubang di kanan. "Akan kuberi tahu kalau aman. Tunggu kata-kataku." "Jangan berani-berani," Annabeth memperingatkan. Piper melompat. Sekejap dia merasa tak berbobot di kegelapan, sisi-sisi lubang batu panas membakar lengannya. Kemudian ruang di sekelilingnya terbuka lebar. Secara instingtif, Piper menekuk tubuh dan berguling, menyerap sebagian besar benturan saat dia menumbuk lantai batu. Api menyembur di depan Piper, menghanguskan alisnya, tapi Piper menyambar dan mencabut pedangnya, lantas menebas bahkan sebelum dia berhenti berguling. Kepala naga perunggu, yang sekarang terpenggal rapi, menggelincir di lantai. Piper berdiri, mencoba menaksir keadaan. Dia memandangi kepala naga yang teronggok dan sesaat merasa bersalah, seakan dia telah membunuh Festus. Tapi, ini bukan Festus. Tiga patung naga perunggu berdiri berjajar, tegak lurus dengan lubang di atap. Piper telah memenggal patung yang tengah. Dua naga yang masih utuh masing-masing bertinggi sembilan puluh centimeter, moncong mereka menghadap ke atas dan mulut mereka yang terbuka mengepulkan asap. Api kentara sekali bersumber dari sana, tapi patung-patung tersebut kelihatannya bukan automaton. Patung-patung itu tidak bergerak atau mencoba menyerangnya. Piper dengan tenang memenggal kepala dua patung lainnya. Dia menunggu. Api tidak lagi menyembur ke atas. "Piper"" Suara Annabeth bergema jauh dari atas seperti sedang berteriak ke bawah cerobong asap. "Iya!" teriak Piper. "Pup syukur kepada dewa-dewi! Kau baik-baik saja""
"iya. Tunggu sebentar." Penglihatan Piper menyesuaikan diri terhadap kegelapan. Diamatinya ruangan. Satu-satunya penerangan berasal dari bilah pedangnya yang berpendar dan lubang di atas. Tinggi langit-langit sekitar sembilan meter. Menurut logika, kedua tungkai Piper semestinya sudah patah ketika jatuh, tapi dia takkan protes sekalipun kakinya ternyata baik-baik saja. Ruangan itu sendiri bundar, kira-kira sebesar landasan helikopter. Dindingnya terbuat dari balok-balok batu kasar bertatahkan huruf-hu
ruf Yunani jumlahnya ribuan, seperti grafiti. Di ujung jauh ruangan, di atas landasan batu, berdirilah patung pendekar perunggu seukuran manusia Dewa Ares, tebak Piper yang tubuhnya dibelit rantai perunggu tebal, menjangkarkannya ke lantai. Di kanan-kiri patung terdapat ambang pintu gelap, masing-masing setinggi kira-kira tiga meter. Pada bagian atas ambang pintu yang melengkung, terukirlah wajah batu menyeramkan. Wajah tersebut mengingatkan Piper pada gorgon, hanya saja bersurai singa alih-alih berambut ular. Piper tiba-tiba merasa sendirian sekali. "Annabeth!" panggilnya. "Jarak ke bawah jauh, tapi sudah aman untuk turun. Mungkin hmm, kau punya tali yang bisa kau tambatkan supaya kita bisa kembali ke atas"" "Sip!" Beberapa menit kemudian seutas tambang terulur dari lubang tengah. Annabeth meluncur ke bawah. "Piper McLean," gerutunya, "tadi itu tak diragukan lagi tindakan riskan terbodoh yang pernah kusaksikan, padahal aku pacaran dengan penantang risiko yang bodoh."
"Terima kasih." Piper menyenggol kepala naga terpenggal yang paling dekat dengan kakinya. "Kuduga mereka ini naga Ares. Naga termasuk salah satu hewan keramatnya, Ian"" "Dan itu dia dewa yang dirantai. Menurutmu, ambang pintu mengarah ke " Piper mengangkat tangannya. "Apa kau dengar itu"" Bunyi itu mirip tabuhan drum ... disertai gema metalik. "Asalnya dari dalam patung," Piper menyimpulkan. "Detak jantung dewa yang dirantai." Annabeth mencabut pedangnya yang terbuat dari tulang naga. Di bawah sorot cahaya redup, wajahnya sepucat hantu, matanya tak berwarna. "Aku aku tak suka ini, Piper. Kita harus pergi." Bagian rasional dari diri Piper sependapat. Dia merinding. Kakinya sudah gatal karena ingin lari. Tapi entah bagaimana, ruangan ini anehnya terkesan familier "Kuil ini melipatgandakan emosi kita," kata Piper. "Rasanya seperti berada di dekat ibuku, hanya saja tempat ini memancarkan rasa takut, bukan cinta. Itulah sebabnya kau mulai merasa tercekam di atas bukit. Di bawah sini, efeknya ribuan kali lebih kuat." Annabeth mengamati dinding. "Oke kita butuh rencana untuk mengeluarkan patung itu. Mungkin menggotongnya dengan tali, tapi " "Tunggu." Piper melirik wajah batu garang di atas ambang pintu. "Kuil yang memancarkan rasa takut. Ares memiliki dua putra dewata, `kan"" "Ph-phobos dan Deimos." Annabeth menggigil. "Kepanikan dan Ketakutan. Percy pernah bertemu mereka di Pulau Staten." Piper memutuskan untuk tidak menanyakan apa yang Dewa Kepanikan dan Dewa Ketakutan kerjakan di Pulau Staten. "Menurutku yang di atas pintu itu wajah mereka. Tempat ini bukan sekadar kuil Ares. Ini kuil rasa takut."
Tawa nan dalam bergema di ruangan tersebut. Di kanan Piper, muncullah seorang raksasa. Dia tidak keluar lewat ambang pintu. Dia semata-mata mewujud dari kegelapan seolah awalnya berkamuflase di depan dinding. Dia kecil untuk ukuran raksasa barangkali cuma tujuh setengah meter, alhasil memberinya ruang mencukupi untuk mengayunkan godam mahabesar di tangannya. Baju tempur, kulit, dan kakinya yang bersisik naga berwarna hitam arang. Kawat tembaga dan sirkuit rusak berkilauan di antara kepang rambutnya yang hitam mengilap. "Tagus sekali, Anak Aphrodite." Sang raksasa tersenyum. "Ini memang Kuil Rasa Takut. Dan aku di sini untuk membuat kalian mengimani perasaan itu."[]
BAB DUA PULUH PIPER PIPER MENGENAL RASA TAKUT, TAPI ini beda. Gelombang kengerian menjalarinya. Sendi-sendinya serasa berubah menjadi agar-agar. Jantungnya menolak berdenyut. Berbagai kenangan terburuk berjejalan dalam benaknya kejadian ketika ayahnya diikat dalam keadaan babak belur di Gunung Diablo; pertarungan habis-habisan antara Percy dan Jason di Kansas; tenggelamnya mereka bertiga dalam nymphaeum di Roma; seorang diri menghadapi Khione dan kaum Boread. Yang terburuk, Piper mengingat kembali perbincangan dengan ibunya tentang apa yang akan terjadi. Dalam keadaan lumpuh, dia hanya bisa menonton saat sang raksasa mengangkat godam untuk menghajar mereka sampai gepeng. Pada saat terakhir, dia melompat ke samping sambil menjegal Annabeth. Godam meretakkan lantai, menghamburkan pecahan batu ke punggung P
iper. Sang raksasa terkekeh. "Oh, itu tadi tidak adil!" Dia mengangkat godamnya lagi.
"Annabeth, bangun!" Piper membantu kawannya berdiri. Ditariknya gadis itu ke ujung jauh ruangan, tapi Annabeth bergerak dengan loyo, matanya membelalak dan tidak fokus. Piper paham sebabnya. Kuil ini melipatgandakan rasa takut pribadi mereka. Piper pernah menyaksikan sejumlah hal mengerikan, tapi itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pengalaman Annabeth. Jika kilas balik akan Tartarus muncul menjadi-jadi, di samping memori Annabeth tentang peristiwa-peristiwa buruk lainnya, pikirannya bisa-bisa tidak sanggup menanggung semua itu. Bisa-bisa Annabeth jadi gila, secara harfiah. "Aku di Piper berjanji, membubuhkan penghiburan dalam suaranya. "Kita pasti bisa keluar dari sini." Sang raksasa tertawa. "Anak Aphrodite membimbing anak Athena! Sekarang aku sudah melihat segalanya. Bagaimana kau hendak mengalahkanku, Non" Dengan rias wajah dan kiat-kiat berbusana"" Beberapa bulan lalu komentar tersebut niscaya menyakiti hatinya, tapi Piper tak lagi terpengaruh oleh hinaan semacam itu. Si raksasa terhuyung-huyung ke arah mereka. Untungnya, dia lambat dan membawa godam berat. "Annabeth, percayalah padaku," ujar Piper. "Re-rencana," Annabeth terbata. "Aku ke kiri. Kau ke kanan. Kalau kita " "Annabeth, tidak ada rencana-rencanaan." "A-apa"" "Tidak ada rencana-rencanaan. Ikuti saja aku!" Sang raksasa mengayunkan godamnya, tapi mereka berkelit dengan mudah. Piper melompat dan menyabetkan pedang ke belakang lutut raksasa itu. Selagi sang raksasa meraung murka,
Piper menarik Annabeth ke dalam terowongan terdekat. Mereka serta-merta diselimuti kegelapan total. "Bodoh!" gelegar sang raksasa di suatu tempat di belakang mereka. "Sebelah situ jalan yang keliru!" "Teruslah bergerak." Piper menggenggam tangan Annabeth crat-erat. "Tidak apa-apa. Ayo." Dia tidak bisa melihat apa-apa. Bahkan pendar pedangnya juga tidak tampak. Kendati begitu, dia terus menerjang ke depan, memercayai emosinya. Berdasarkan gema langkah kaki mereka, ruang di sekeliling mereka pasti berupa gua lapang, tapi dia tidak yakin. Dia semata-mata menuju ke arah yang membuat rasa rakutnya semakin menggebu-gebu. "Piper, ini seperti Rumah Malam," kata Annabeth. "Kita sebaiknya memejamkan mata." "Jangan!" kata Piper. "Tetap buka matamu. Kita tidak boleh sembunyi." Suara raksasa terdengar dari suatu tempat di belakang mereka. "Hilang selamanya. Ditelan kegelapan." Annabeth mematung, memaksa Piper ikut berhenti. "Kenapa kita menjerumuskan diri begitu saja"" tuntut Annabeth. "Kita tersesat. Kita melakukan yang dia inginkan! Kita seharusnya mengulur-ulur waktu, berbicara kepada musuh, menggagas rencana. Pendekatan itu selalu berhasil!" "Annabeth, aku tidak pernah mengabaikan saranmu." Piper menjaga suaranya agar tetap bernada menenangkan. "Tapi, kali ini harus. Kita tidak bisa mengalahkan tempat ini dengan nalar. Kau tidak bisa mengusir emosimu dengan akal." Tawa sang raksasa berkumandang bagaikan born yang meledak di kedalaman. "Berputusasalah, Annabeth Chase! Aku Mimas, lahir untuk membinasakan Hephaestus. Aku adalah perusak rencana, penghancur mesin-mesin yang terlumasi. Di hadapanku, tiada
yang dapat berjalan lancar. Peta salah dibaca. Alat-alat menjadi rusak. Data terhapus. Pikiran yang paling cemerlang menjadi ruwet!" "Aku aku pernah menghadapi yang lebih mengerikan daripada kau!" Annabeth memekik. "Oh, begitu!" Si raksasa sekarang kedengarannya lebih dekat. "Tidakkah kau takut"" "Tidak!" "Tentu saja kami takut," Piper mengoreksi. "Ngeri, malah!" Udara bergerak. Tepat pada waktunya, Piper mendorong Annabeth ke samping. BRAK! Mereka mendadak kembali ke ruangan bundar, cahaya remang-remang kini terasa hampir membutakan. Si raksasa berdiri di dekat mereka, sedang berusaha mencabut godamnya yang melesak ke lantai. Piper menyerbu dan menghunjamkan bilah senjatanya ke paha sang raksasa. "A !" Mimas melepaskan godamnya dan melengkung-kan punggung. Piper dan Annabeth bergegas-gegas ke belakang patung Ares yang dirantai. Detak jantung metalik masih terdengar dari sana: deg, deg, deg. Mimas si
raksasa berbalik menghadap mereka. Luka di tungkainya sudah tertutup. "Kalian tak bisa mengalahkanku," geramnya. "Pada perang yang terakhir, butch dua dewa untuk menjatuhkanku. Aku terlahir untuk membunuh Hephaestus dan pasti sudah membunuhnya jika Ares tidak ikut-ikutan mengeroyokku! Kalian semestinya tetap lumpuh karena ketakutan. Dengan demikian, kalian akan lebih cepat menjemput ajal."
Berhari-hari silam, ketika menghadapi Khione di Argo 2, Piper mulai berbicara tanpa berpikir, mengikuti isi hatinya tidak peduli otaknya berkata apa. Kini dia berbuat serupa. Dia beranjak ke depan patung dan menghadapi sang raksasa, meskipun bagian rasional dalam benaknya menjerit-jerit: LARI, IDIOT! "Kuil ini," tukasnya. "Bangsa Sparta merantai Ares bukan karena ingin semangatnya bertahan di kota ini." "Menurutmu bukan"" Mata sang raksasa berkilat-kilat geli. Dia mencengkeram gagang godam dan menarik benda itu dari lantai. "Ini kuil kakak-kakakku, Deimos dan Phobos." Suara Piper bergetar, tapi dia tidak mencoba menyembunyikannya. "Bangsa Sparta datang ke sini untuk bersiap-siap menjelang pertempuran, untuk menghadapi rasa takut mereka. Ares dirantai untuk mengingatkan mereka akan akibat perang. Kekuatan Ares semangat tempur, makhai tidak boleh dilepaskan terkecuali kita mengerti betapa mengerikannya perang itu, terkecuali kita merasakan takut." Mimas tertawa. "Anak Dewi Cinta menguliahiku tentang perang. Kau tahu apa tentang makhai"" "Kita lihat saja nanti." Piper berlari tepat ke arah si raksasa, menggentarkan kuda-kudanya. Melihat bilah bergerigi pedang Piper yang menyongsongnya, Mimas membelalakkan mata dan terburu-buru mundur, alhasil kepalanya menabrak dinding. Retakan bergerigi mengular ke atas di permukaan batu. Debu berjatuhan dari langit-langit. "Piper, tempat ini tidak stabil!" Annabeth mewanti-wanti. "Kalau kita tidak pergi " "Jangan berpikir untuk kabur!" Piper lari ke arah tambang, yang menjuntai dari langit-langit. Dia meloncat setinggi yang dia bisa dan mengiris tambang itu.
"Piper, apa kau hilang akal"" Barangkali, pikirnya. Tapi, Piper tahu inilah satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Dia harus mengesampingkan nalar dan justru menuruti emosi, membingungkan si raksasa. "Sakitnya!" Mimas menggosok-gosok kepalanya. "Kau tentu sadar tidak bisa membunuh aku tanpa bantuan dewa, sedangkan Ares tidak berada di sini! Kali berikutnya aku menghadapi si tolol banyak lagak, akan kuhajar dia sampai babak belur. Aku takkan perlu bertarung melawan dia andaikan Damasen si bodoh pengecut menunaikan pekerja " Annabeth mengeluarkan jeritan parau. "Jangan hina Damasen!" Dia berlari ke arah Mimas, yang nyaris tidak sempat menangkis pedang tulang naga Annabeth dengan gagang godamnya. Mimas mencoba memegangi Annabeth dan Piper pun menerjang, menebaskan pedangnya ke samping wajah raksasa itu. "BAHHH!" Mimas terhuyung-huyung. Irisan rambut gimbal jatuh bertumpuk-tumpuk ke lantai beserta sesuatu yang lain benda besar menjijikkan yang berdaging dan digenangi ichor keemasan. "Telingaku!" Mimas melolong. Sebelum dia sempat memulih-kan ketenangannya, Piper menyambar lengan Annabeth dan bersama-sama mereka pun menerobos ambang pintu kedua. "Akan kuruntuhkan ruangan ini!" gelegar sang raksasa. "Ibu Bumi akan menyelamatkanku, tapi kalian akan remuk!" Lantai berguncang. Bunyi batu-batu yang terbelah berkumandang di sekeliling mereka. "Piper, stop," Annabeth memohon. "Bagaimana bagaimana kau sanggup mengatasi ini" Rasa takut, amarah "
"Jangan berusaha mengendalikannya. Itulah esensi kuil
Kita harus menerima rasa takut, beradaptasi terhadapnya, ilicmbiarkannya mengalir saja seperti arus sungai." "Dari mana kau tahu"" "Aku tidak tahu. Aku hanya merasakannya." Di suatu tempat dekat sana, dinding roboh disertai bunyi n i rip letusan artileri. "Kau sudah memotong tali," kata Annabeth. "Kita akan mati di bawah sini!" Piper memegangi wajah temannya dengan kedua tangan. )itariknya Annabeth ke depan sampai dahi mereka bersentuhan. Ujung-ujung jarinya bisa merabai denyut nadi Annabeth yang cepat. "Rasa takut tidak bisa kita usir dengan akal. Kebencian jug
a sama. Keduanya mirip seperti cinta. Rasa takut, benci, dan cinta adalah emosi yang hampir identik. Itulah sebabnya Ares dan Aphrodite mirip satu sama lain. Putra kembar mereka Kepanikan dan Ketakutan terlahir dari perang sekaligus cinta." "Tapi aku tidak itu tak masuk akal." "Memang," Piper sepakat. "Berhentilah berpikir. Rasakan
saja., "Aku benci merasa-rasa." "Aku tahu. Perasaan tidak bisa direncanakan. Sama seperti Percy, juga masa depanmu kau tidak bisa mengontrol semuanya. Hal-hal yang tak diinginkan memang mungkin terjadi. Kau harus menerimanya. Biarkan dirimu merasa takut karenanya. Percayalah bahwa pada akhirnya, semua akan baik-baik saja." Annabeth menggelengkan kepala. "Aku tak tahu apakah aku bisa." "Kalau begitu, untuk saat ini, berkonsentrasilah untuk membalaskan dendam demi Damasen. Balas dendam demi Bob." Hening sejenak. "Sekarang aku tak apa-apa."
"Bagus, soalnya aku butuh bantuanmu. Kita akan lari ke luar sana bersama-sama." "Lalu"" "Entahlah." "Demi dewa-dewi, aku benci kalau kau yang menuntun." Piper tertawa, alhasil mengejutkan dirinya sendiri juga. Rasa takut dan cinta ternyata benar-benar terpaut. Pada saat ini, Piper berpegang teguh pada cintanya terhadap sang teman. "Ayo!" Mereka lari tanpa tujuan dan mendapati diri mereka kembali ke ruangan kuil, tepat di belakang Mimas sang raksasa. Mereka masing-masing menebas salah satu kakinya dan menjatuhkan raksasa itu hingga berlutut. Sang raksasa meraung. Semakin banyak batu yang berjatuhan dari langit-langit. "Manusia fana lemah!" Mimas berjuang untuk berdiri. "Apa pun rencana kalian takkan mampu menaldukkanku!" "Bagus, kalau begitu," ujar Piper. "Soalnya, aku tidak punya rencana." Dia lari ke arah patung Ares. "Annabeth, sibukkan teman kita!" "Oh, dia sudah sibuk kok!" "AHHHHH!" Piper menatap wajah perunggu kejam sang Dewa Perang. Patung itu berdengung, menguarkan denyut metalik bernada rendah. Semangat tempur, pikir Piper. Semangat itu tersimpan di dalam, menanti dibebaskan. Tapi, Piper tidak berhak melepaskannya paling tidak sampai dia membuktikan diri.
. Ruangan berguncang lagi. Retakan yang muncul di dinding semakin banyak. Piper melirik ukiran batu di atas ambang pintu: wajah garang Ketakutan dan Kepanikan. "Kakak-kakakku," kata Piper, "putra-putri Aphrodite ... kupersembahkan sesaji ini kepada kalian." Di kaki Ares, Piper meletakkan kornukopianya. Tanduk ajaib itu telah amat terhubung dengan emosi Piper sehingga dapat melipatgandakan amarah, kasih sayang, atau dukanya dan menyemburkan karunia sesuai dengan perasaan gadis itu. Piper berharap kornukopianya berkenan bagi Dewa Rasa Takut. Jika tidak, mungkin mereka berkenan menikmati buah dan sayuran segar untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka. "Aku ketakutan," Piper mengakui. "Aku benci melakukan ini. Tapi, aku ikhlas bahwa ini memang perlu dikerjakan." Dia mengayunkan pedang dan menebas kepala patung perunggu. "Tidak!" teriak Mimas. Api menjalar dari leher patung yang terpenggal. Lidahnya melalap-lalap di sekeliling Piper, memenuhi ruangan dengan badai api emosi: kebencian, haus darah, dan rasa takut, tapi juga cinta karena tak seorang pun sanggup menghadapi pertempuran tanpa peduli pada sesuatu: rekan seperjuangan, keluarga, rumah. Piper mengulurkan tangan dan makhai pun menjadikannya pusat topan mereka. Akan kami jawab panggilanmu, mereka berbisik dalam benaknya. Sekali saja, ketika kau membutuhkan kami, kehancuran, pembumihangusan, pembantaian akan menjawab. Akan kami genapkan obatmu. Api menghilang beserta kornukopia, sedangkan patung Ares yang dirantai remuk menjadi debu.
. "Gadis bodoh!" Mimas menyerang Piper, Annabeth mengejarnya. "Makhai telah meninggalkanmu!" "Atau mungkin mereka telah meninggalkanmu," timpal Piper. Mimas mengangkat godamnya, tapi sang raksasa melupakan Annabeth. Dia menikam paha Mimas dan raksasa itu sontak maju sambil sempoyongan, kehilangan keseimbangan. Piper ikut turun tangan dengan kalem dan menusuk perutnya. Mimas jatuh tersungkur di ambang pintu terdekat. Dia membalikkan badan tepat saat wajah batu Kepanikan retak dari dinding di atasnya dan runtuh sehingga
memberinya kecupan seberat satu ton. Teriakan sang raksasa terpotong pendek. Tubuhnya bergeming. Kemudian dia terbuyarkan menjadi gundukan abu setinggi enam meter. Annabeth menatap Piper. "Apa yang barusan terjadi"" "Aku tidak tahu pasti." "Piper, kau menakjubkan, tapi roh-roh api yang kaulepaskan "Makhai." "Bagaimana mereka bisa membantu kita dalam menemukan obat yang kita cari-cari"" "Entahlah. Mereka bilang aku bisa memanggil mereka saat waktunya tiba. Mungkin Artemis dan Apollo bisa menjelaskan " Sebagian dinding longsor berguguran seperti gletser. Annabeth terhuyung dan hampir tergelincir karena menginjak telinga si raksasa yang terpotong. "Kita harus keluar dari sini." "Sedang kuusahakan," kata Piper. "Satu lagi. Menurutku, anu, telinga ini adalah pampasan perangmu. "Jijik." "Bagus buat dijadikan tameng."
"Tutup mulutmu, Chase." Piper menatap ambang pintu kedua, yang bagian atasnya masih dihiasi wajah Ketakutan. "Terima kasih, Kakak-Kakakku, karena sudah menolongku tnembunuh si raksasa. Aku memerlukan satu bantuan lagi, untuk meloloskan diri. Percayalah padaku, aku ketakutan setengah mati. Kupersembahkan, anu, telinga indah ini sebagai sesaji." Wajah batu tidak menjawab. Dinding longsor lagi sebagian. Retakan merekah di langit-langit. Piper mencengkeram lengan Annabeth. "Kita akan lewat ambang pintu itu. Kalau berhasil, kita mungkin bakal keluar ke permukaan." "Kalau tidak"" Piper memandangi wajah Ketakutan. "Ayo kita cari tahu." Ruangan ambruk di sekeliling saat mereka menghambur masuk ke kegelapan.[]
BAB DUA PULUH SATU REYNA PALING TIDAK MEREKA TAK TERDAMPAR di kapal pesiar lagi. Lompatan dari Portugal mendaratkan mereka di tengah-tengah Samudra Atlantik. Di sana, Reyna menghabiskan seharian di dek kolam renang Ratu Azores, mengusir anak-anak kecil agar tidak mendekati Athena Parthenos, yang mereka kira adalah perosotan air. Sayangnya, lompatan berikut membawa Reyna pulang. Mereka muncul tiga meter di udara, melayang di atas halaman restoran yang Reyna kenali. Dia dan Nico terjerembap di kandang burung besar, yang serta-merta patah, menjatuhkan mereka beserta tiga nuri yang sangat terperanjat ke antara pot-pot berisi pakis. Pak Pelatih Hedge menumbuk kanopi di atas bar. Athena Parthenos mendarat sambil berdiri disertai bunyi BUK, menggepengkan meja patio dan menggulingkan payung hijau tua ke atas patung Nike di tangan Athena. Alhasil, Dewi Kebijaksaan kini tampak seolah-olah sedang memegangi minuman tropis. "Bah!" teriak Pak Pelatih Hedge. Kanopi robek dan jatuhlah dia di belakang bar disertai pecahnya botol dan gelas. Sang satir pulih
Dendam Empu Bharada 35 Pendekar Mabuk 087 Pembantai Cantik Naga Sakti Sungai Kuning 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama