The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero Bagian 2
"Tunggu dulu," protes Will Solace. "Kalian punya kamar pribadi di bawah tanah?"
Jake barangkali bakal tersenyum seandainya dia tak kesakitan. "Kami punya banyak rahasia, Will. Masa
Cuma anak-anak Apollo, yang boleh bersenang-senang"! Para pekemah kami sudah hampir seabad
menggali jaringan terowongan di bawah Pondok Sembilan. Kami masih belum menemukan ujungnya.
Omong-omong, Leo, jika kau tidak keberatan tidur di ranjang orang mati, silakan, ranjang itu milikmu."
Tiba-tiba saja Leo tidak ingin berleha-leha di sana. Dia duduk tegak, berhati-hati agar tidak menyentuh
tombol mana pun. "Konselor yang meninggal"ini dulu tempat tidurnya?"
"Iya," kata Jake. "Charles Backendorf."
Leo membayangkan gergaji bergulir menembus kasur, atau mungkin granat yang dijahit ke dalam bantal.
"Dia tidak meninggal di tempat tidur ini, kan?"
"Tidak," kata Jake. "Dalam Perang Titan, musim panas lalu."
"Perang Titan," ulang Leo, "yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan tempat tidur yang sangat
bagus ini, kan?" "Para Titan," kata Will, seakan Leo adalah orang bodoh. "Mahkluk-mahkluk besar perkasa yang
menguasai dunia sebelum para dewa. Mereka berusaha kembali bertakhta musim panas lalu. Pemimpin
mereka, Kronos, membangun istana baru di puncak Gunung Tam di California. Pasukan mereka datang
ke New York dan hampir menghancurkan Gunung Olympus. Banyak demigod yang meninggal saat
berusaha menghentikan mereka."
"Kutebak ini tidak masuk berita?" ujar Leo.
Pertanyaan tersebut sepertinya wajar-wajar saja, namun Will justru menggeleng-gelengkan kepala tak
percaya. "Kau tidak mendengar tentang meletusnya Gunung St. Helens, atau badai janggal di seantero
negeri, atau bangunan yang roboh di St. Louis?"
Leo mengangkat bahu. Musim panas lalu, dia lagi-lagi kabur ke panti asuhan. Lalu pengawas wajib
belajar menangkapnya di New Mexico, dan pengadilan menjeboskannya ke LP anak terdekat"Sekolah
Alam Liar. "Kurasa aku sedang sibuk waktu itu."
"Tak jadi soal," kata Jake. "Kau beruntung tidak tahu. Masalahnya, Backendorf adalah salah satu korban
jiwa yang pertama, dan sejak saat itu?"
"Pondok kalian dikutuk," terka Leo.
Jake tidak menjawab. Tapi kalau dipikir-pikir, sekujur tubuh cowok itu kan digips. Itulah jawabannya. Leo
mulai memperhatikan hal-hal kecil yang tidak dia lihat sebelumnya"bekas ledakan di dinding, noda di
lantai yang mungkin saja tumpahan oli ... atau darah. Pedang patah dan mesin penyok yang ditendang
ke pojok ruangan, mungkin karena frustasi. Suasana tempat itu memang terasa sial.
Jake mendesah setengah hati. "Yah, aku sebaiknya tidur. Kuharap kau betah di sini, Leo. Pondok ini
dulu ... sungguh menyenangkan."
Jake memejamkan mata, dan tirai kamuflase pun kembali menutupi tempat tidur.
"Ayo, Leo," kata Will. "Akan kuantar kau ke tempat penempaan."
Selagi mereka pergi, Leo menengok ke tempat tidur barunya lagi, dan dia hampir bisa membayangkan
seorang konselor yang sudah mati duduk di sana"sesosok hantu lain yang tak akan meninggalkan Leo
sendirian. BAB ENAM LEO "BAGAIMANA DIA BISA MENINGGAL?" TANYA Leo. "Maksudku Beckendorf."
Will Solace tersaruk-saruk ke depan. "Ledakan. Beckendorf dan Percy Jackson meledakan kapal pesiar
berisi monster. Beckendorf tidak sempat keluar."
Nama itu lagi"Percy Jackson, pacar Annabeth yang hilang. Cowok itu pasti terlibat dalam segalanya di
sini, pikir Leo. "Jadi, Beckendorf lumayan populer, ya?" tanya Leo. "Maksudku"sebelum dia meledak?"
"Dia luar biasa," Will sepakat. "Berat sekali waktu dia meninggal. Seisi perkemahan terguncang. Jake"
dia menjadi konselor kepala di tengah-tengah perang. Sama seperti aku, sebenarnya. Jake berusaha
sebaik mungkin, tapi dia tidak pernah ingin jadi pemimpin. Dia hanya suka merakit sesuatu. Lalu seusai
perang, keadaan mulai tidak beres. Ciptaan mereka mulai mengalami malfungsi. Mereka seperti dikutuk,
dan akhirnya orang-orang menyebutnya itu"Kutukan Pondok Sembilan. Kemudian Jake mengalami
kecelakan. "Yang ada hubungan dengan masalah yang dia singgung-singgung," tebak Leo.
"Mereka sedang berusaha memecahkannya," kata Will tanpa antusiasme. "Kita sudah sampai."
Tempat penempaan itu kelihatan seperti lokomotif tenaga uap yang menabrak Parthenon Yunani,
kemudian melebur jadi satu. Pilar-pilar marmer putih berbaris di depan tembok bernoda jelaga.
Cerobong-cerobong menyemburkan asap ke atas atap segitiga indah berhiaskan ukiran dewa-dewi dan
monster. Bangunan tersebut bertengger di tepi sungai kecil, dengan beberapa turbin yang memutar
serangkaian gigi roda perunggu. Leo mendengar bunyi mesin yang saling gilas di dalam, api meretih, dan
palu berdencing di paron.
Mereka melangkah melewati ambang pintu, dan selusin cewek serta cowok yang sedang mengerjakan
berbagai proyek kontan membeku. Keributan berhenti hingga tinggal menyisakan retih api di tungku
penempaan seperti bunyi klik-klik-klik gigi roda serta tuas.
"Hai, Teman-Teman," kata Will. "Ini saudara baru kalian, Leo"anu, apa nama belakangmu?"
"Valdez," Leo melihat ke sekeliling, memandang para pekemah lain. Benarkah dia bersaudara dengan
mereka semua" Sepupu-sepupunya semuanya berasal dari keluarga besar, tapi Leo hanya punya
ibunya"sampai beliau meninggal.
Anak-anak itu menghampirinya dan mengajaknya bersalaman serta memperkenalkan diri. Nama-nama
mereka berkelebat di benaknya: Shane, Christopher, Nyssa, Harley (iya, seperti nama motor). Leo tahu
dia takkan pernah ingat nama semua orang. Mereka terlalu banyak. Bikin pusing.
Tak satu pun yang mirip"semua memiliki tipe wajah, warna kulit, warna rambut, dan tinggi yang
berlainan. Kita takkan pernah berpikir, Hei, lihat tuh, mereka anak-anak Hephaestus! Tapi mereka semua
memiliki tangan yang kuat, kasar karena kapalan dan kotor karena terkena minyak mesin. Bahkan si kecil
Harley, yang tidak mungkin berusia lebih dari delapan tahun, kelihatannya bisa bertarung enam ronde
melawan Chuck Norris tanpa keringat.
Dan semua anak-anak ini sama-sama menunjukkan sikap serius dan sedih. Pundak mereka merosot,
seolah kehidupan telah menghajar mereka keras-keras. Sebagian anak kelihatannya telah kena hajar
secara fisik juga. Leo menghitung dua gendongan lengan, sepasang tongkat, satu penutup mata, enam
perban elastis, dan kira-kira tujuh ribu plester.
"Sip!" kata Leo. "Kudengar ini pondoknya biang pesta."
Tidak ada yang tertawa. Mereka semua hanya diam dan menatapnya.
Will Solace menepuk bahu Leo. "Akan kutinggalkan kalian supaya bisa berkenalan. Siapa saja, antarkan
Leo makan malam saat waktunya tiba, ya?"
"Aku saja," kata salah seorang cewek. Nyssa, Leo ingat. Cewek itu mengenakan celana loreng, tank top
yang menampakkan lengan gempalnya, serta bandana merah untuk menutupi rambut hitamnya yang
tebal. Tanpa plester bergambar muka senyum di dagunya, cewek itu pasti mirip dengan salah satu
bintang laga perempuan, seolah sebentar lagi dia bakal menyambar senapan mesin dan mulai
menghabisi alien jahat. "Keren," kata Leo. "Dari dulu aku ingin punya saudara perempuan yang bisa menghajarku."
Nyssa tidak tersenyum. "Ayo, pelawak. Biar kuantar kau berkeliling."
*** Leo tidak asing dengan bengkel. Dia tumbuh besar di sekitar para mekanik dan perkakas mekanis. Ibunya
bercanda bahwa sementara anak-anak lain diberi dot supaya tidak menangis, Leo justru jadi tenang
waktu diberi kunci roda. Tapi dia tak pernah melihat tempat apa pun seperti bengkel penempaan di
perkemahaan ini. Seorang cowok sedang menempa kapak tempur. Dia berulang-ulang menguji bilah kapak ke sebongkah
beton. Tiap kali dia mengayun, kapak tersebut memotong beton seperti keju hangat, namun cowok
tersebut terlihat tidak puas dan kembali mengasah matanya.
"Dia berencana membunuh apa dengan benda itu?" tanya Leo kepada Nyssa. "Kapal perang?"
"Kau takkan pernah bisa menduganya. Dengan perunggu langit sekalipun?"
"Itu nama logamnya?"
Nyssa mengangguk. "Ditambang langsung dari Gunung Olympus. Teramat langka. Pokoknya, monster
biasanya terbuyarkan begitu tersentuh logam tersebut, namun monster-monster raksasa yang sangat
kuat memiliki kulit yang dikenal dengan Drakon, misalnya?"
"Maksudmu dragon"naga?"
"Spesies yang serupa. Kau akan mempelajari perbedaannya di kelas pertarungan monster."
"Kelas pertarungan monster. Iya, aku sudah dapat sabuk hitam dalam bidang itu."
Nyssa tidak tersenyum sama sekali. Leo berharap cewek ini tak seserius ini sepanjang waktu. Saudarasaudara dari pihak ayahnya ini pasti punya sedikit selera humor, kan"
Mereka melewati dua orang cowok yang sedang membuat mainan pegas dari perunggu. Paling tidak
kelihatannya begitu. Benda tersebut berbentuk centaurus setinggi lima belas senti"separuh manusia,
separuh kuda"bersenjatakan busur mini. Salah seorang pekemah memutar ekor centaurus tersebut
dan benda itu menyala. Centaurus itu berderap menyusuri meja sambil berteriak, "Matilah, Nyamuk!
Matilah, Nyamuk!" dan menembak semua yang ia lihat.
Rupanya ini pernah terjadi sebelumnya, sebab semua orang tahu mereka harus tiarap di lantai kecuali
Leo. Enam anak panah seukuran jarum tertancap di baju Leo sebelum seorang pekemah menyambar
palu dan meremukkan centaurus itu hingga berkeping-keping.
"Kutukan bego!" Si pekemah melambai-lambaikan palunya ke langit. "Aku cuma menginginkan
pembunuh serangga magis! Apa permintaan itu kelewatan?"
"Aduh," kata Leo.
Nyssa mencabut jarum-jarum itu dari baju Leo. "Ah, kau baik-baik saja. Ayo menyingkir sebelum mereka
merakit ulang benda itu."
Leo menggosok-gosok dadanya selagi mereka berjalan. "Hal semacam itu sering terjadi?"
"Akhir-akhir ini," kata Nyssa, "semua yang kami rakit berubah jadi rongsokan."
"Gara-gara kutukan?"
Nyssa mengerutkan kening. "Aku tidak percaya pada kutukan. Tapi memang ada yang keliru. Dan jika
kita tak memecahkan persoalan naga, keadaan bakal semakin parah."
"Persoalan naga?" Leo berharap Nyssa sedang membicarakan naga miniatur, mungkin naga yang
membunuh kecoak, namun Leo punya firasat tak bakalan semujur itu.
Nyssa mengajak Leo ke sebuah peta dinding berukuran besar yang sedang ditelaah oleh dua orang
cewek. Peta itu menunjukkan perkemahan"tanah setengah lingkaran yang dibatasi Selat Long Island di
pesisir utara, hutan di barat, pondok-pondok di timur dan lingkaran perbukitan di selatan.
"Pasti di bukit," kata cewek pertama.
"Kita sudah mencari di bukit," tangkis cewek pertama. "Hutan adalah tempat sembunyi yang lebih
bagus." "Tapi kita sudah memasang jebakan?"
"Tunggu sebentar," kata Leo. "Kalian kehilangan seekor naga" Naga sungguhan?"
"Naga perunggu," kata Nyssa. "Tapi ya, yang hilang adalah automaton seukuran naga asli. Pondok
Hephaestus merakitnya bertahun-tahun lalu. Kemudian naga tersebut hilang di hutan hingga musim
panas beberapa tahun lalu, ketika Beckendorf menemukannya porak-poranda dan dia merakit ulang
naga tersebut. Naga itu sudah membantu melindungi perkemahan, tapi anu, tindak-tanduknya agak
susah diprediksi." "Susah diprediksi," kata Leo.
"Ia korslet dan merobohkan pondok, membakar orang-orang, berusaha memakan para satir."
"Benar-benar tindak-tanduk yang susah diprediksi."
Nyssa mengangguk. "Beckendorf-lah satu-satunya yang bisa mengendalikan naga itu. kemudian dia
meninggal, dan sang naga jadi makin parah dan makin parah. Akhirnya ia mengamuk dan kabur. Kadangkadang ia muncul, menghancurkan sesuatu dan kabur lagi. Semua orang berharap agar kita menemukan
dan menghancurkannya?"
"Menghancurkannya?" Leo merasa muak. "Kalian punya naga perunggu seukuran aslinya, dan kalian
ingin menghancurkannya?"
"Ia menyemburkan api," Nyssa menjelaskan. "Ia mematikan dan lepas kendali."
"Tapi itu kan naga! Bayangkan betapa kerennya! Tak bisakah kalian mencoba bicara padanya,
mengendalikannya?" "Kami sudah mencoba. Jake Mason mencoba. Kaulihat betapa hasilnya."
Leo memikirkan Jake, sekujur tubuhnya digips, berbaring sendirian di tempat tidur lipat. "Tetap saja?"
"Tak ada pilihan lain." Nyssa menoleh kepada cewek-cewek lainnya. "Ayo kita coba pasang jebakan lain
di hutan"di sini, sini, dan sini. Beri umpan berupa oli mesin kekentalan tiga puluh."
"Sang naga minum itu?" tanya Leo.
"Iya." Nyssa mendesah penuh sesal. "Dia dulu suka oli mesin dicampur sedikit saus Tobaco, tepat
sebelum tidur. Jika dia menginjak jebakan, kita harus menyerangnya dengan semprotan asam"
seharusnya dapat melelehkan kulitnya. Kemudian kita ambil potongan logam dan ... tuntaskan
pekerjaan itu." Mereka semua terlihat sedih. Leo menyadari mereka tidak ingin membunuh naga tersebut, sama seperti
Leo. "Teman-teman," kata Leo. "Pasti ada cara lain."
Nyssa kelihatan ragu, tapi segelintir pekemah lain menghentikan pekerjaan mereka dan mendekat untuk
mendengarkan percakapan tersebut.
"Misalnya apa?" tanya satu orang. "Mahkluk itu menyemburkan api. Kita bahkan tak bisa mendekat."
Api, pikir Leo. Dia bisa cerita banyak hal pada mereka tentang api ... Tapi Leo harus hati-hati, sekalipun
mereka ini saudara-saudaranya. Terutama jika dia harus tinggal bersama mereka.
"Yah ..." Leo ragu-ragu. "Hephaestus Dewa Api, kan" Jadi, tak adakah satu pun dari kalian yang kebal api
atau semacamnya?" Tak seorang pun bereaksi, seolah pertanyaan itu gila. Untung saja, tapi Nyssa menggelengkan kepala.
"Itu kemampuan Cyclops, Leo. Anak demigod dari Hephaestus ... kita cuma memiliki tangan terampil.
Kita ini perakit, perajin, pandai senjata"yang seperti itu."
Bahu Leo merosot. "Oh."
Seorang cowok di belakang berkata, "Yah, dahulu kala?"
"Yah, oke deh," Nyssa mengalah. "Dahulu kala sejumlah anak Hephaestus dilahirkan dengan
kemampuan mengendalikan api. Namun kemampuan itu sangat langka. Dan selalu berbahaya. Sudah
berabad-abad tak ada demigod yang dilahirkan dengan kemampuan itu. Yang terakhir ..." Dia
memandang anak-anak lain untuk meminta bantuan.
"1666," tukas seorang cewek. "Laki-laki bernama Thomas Faynor. Dia menyulut Kebakaran Hebat di
London, menghancurkan sebagian besar kota."
"Benar," kata Nyssa. "Ketika anak Hephaestus yang seperti itu muncul, biasanya itu berarti sebuah
malapetaka akan terjadi, dan saat ini kita tak butuh malapetaka lagi."
Leo berusaha mempertahankan wajahnya agar tetap datar, sesuatu yang bukan merupakan keahliannya.
"Kurasa aku paham maksud kalian. Sayang sekali. Kalau kalian kebal api, kalian bisa mendekati naga itu."
"Kalau begitu, ia akan membunuh kita dengan cakar dan taringnya," kata Nyssa. "Atau menginjak kita
saja. Tidak, kita harus menghancurkannya. Percayalah padaku, jika ada yang bisa menemukan solusi
lain ..." Nyssa tidak menyelesaikan perkataannya, namun Leo menangkap pesannya. Ini adalah ujian terbesar
bagi pondok tersebut. Jika mereka dapat melakukan sesuatu yang hanya bisa dilakukan Beckendorf, jika
mereka dapat menaklukan sang naga tanpa membunuhnya, maka barangkali kutukan mereka akan
terpatahkan. Tapi mereka kehabisan ide. Pekemah mana pun yang menemukan caranya bakal jadi
pahlawan. Trompet kerang berbunyi di kejauhan. Para pekemah mulai membereskan perkakas dan proyek mereka.
Leo tidak sadar bahwa hari sudah sore, namun dia menengok ke jendela dan melihat matahari terbenam.
GPPH-nya kadang-kadang berdampak begitu padanya. Jika dia sedang bosan pelajaran selama lima
puluh menit serasa bagaikan enam jam. Jika dia tertarik pada sesuatu, misalnya tur keliling perkemahan
demigod, jam-jam berlalu sedemikian cepat dan dor"malam pun tiba.
"Makan malam," kata Nyssa. "Ayo, Leo."
"Di paviliun, ya?" tanya Leo.
Nyssa mengangguk. "Kalian duluan saja," kata Leo. "Bisakah kau ... memberiku waktu sebentar saja?"
Nyssa ragu-ragu. Lalu ekspresinya melembut. "Tentu saja. Banyak informasi yang perlu dicerna. Aku
ingat hari pertamaku dulu. Keluarlah jika kau sudah siap. Asal jangan menyentuh apa-apa. Hampir setiap
proyek di sini bisa membunuhmu jika kau tak berhati-hati."
"Aku takkan menyentuh apa-apa," Leo berjanji.
Rekan-rekan sepondoknya berduyun-duyun keluar dari tempat penempaan. Tidak lama kemudian, Leo
sendirian bersama bunyi puputan, turbin, dan mesin-mesin kecil yang berdetak dan berputar.
Dia menatap peta perkemahan"tempat saudara-saudara barunya akan meletakkan jebakan guna
menangkap naga. Ini keliru. Benar-benar keliru.
Sangat langka, pikir Leo. Dan selalu berbahaya.
Leo mengulurkan tangan dan menelaah jemarinya. Jari-jarinya panjang dan tipis, tidak kapalan seperti
tangan pekemah Hephaestus yang lain. Dari dulu Leo bukanlah anak paling besar atau paling kuat. Dia
berhasil bertahan di lingkungan yang berat, sekolah yang berat, panti asuhan yang berat dengan
menggunakan kecerdikannya. Leo adalah si pelawak, tukang melucu, sebab sejak kecil dia sudah belajar
bahwa jika kita mengutarakan lelucon dan pura-pura tidak takut, kita biasanya tidak kena pukul. Anakanak gangster paling kejam sekalipun bersedia menoleransimu, mengajakmu bergaul dan
menjadikanmu sumber lawakan. Selain itu, humor adalah cara yang bagus untuk menyembunyikan
kepedihan. Dan jika itu tak berhasil, masih ada Rencana B. Kabur. Lagi dan lagi.
Memang ada Rencana C, tapi Leo sudah berjanji kepada dirinya sendiri takkan pernah menggunakannya
lagi. Leo merasakan dorongan hati untuk mencobanya sekarang"sesuatu yang tak pernah dilakukannya
sejak kecelakaan itu, sejak ibunya meninggal.
Dia meregangkan jemari dan merasakannya tergelitik, seakan sedang memulihkan diri dari kesemutan.
Lalu bunga api pun menyala, lidahnya yang merah membara menari-nari di telapak tangan Leo.
BAB TUJUH JASON BEGITU JASON MELIHAT RUMAH ITU, dia tahu bahwa dia berada dalam masalah besar.
"Kita sudah sampai!" kata Drew riang. "Rumah Besar, markas besar perkemahan ini."
Rumah itu tidak terlihat mengancam, hanya sebuah griya empat lantai bercat biru dengan pinggiran
putih. Beranda di sekelilingnya dilengkapi kursi malas, meja pendek untuk main kartu, dan kursi roda
kosong. Lonceng angin berbentuk peri hutan berubah jadi pohon selagi ia berputar. Jason dapat
membayangkan orang-orang tua datang ke sini untuk liburan musim panas, duduk di beranda, dan
menyesap jus prem selagi mereka menyaksikan matahari terbenam. Walau begitu, jendela-jendelanya
seakan memelototi Jason bagaikan mata yang marah. Pintu yang terbuka lebar kelihatannya siap
menelan dirinya. Di puncak tertinggi, gada-gada berbentuk elang perunggu berputar ditiup angin dan
menunjuk tepat ke arah Jason, seakan-akan menyuruhnya berbalik.
Seluruh molekul di tubuh Jason memberitahunya bahwa dia tengah berada di wilayah musuh.
"Aku tak seharusnya berada di sini," kata Jason.
Drew mengaitkan lengannya ke lengan Jason. "Yang benar saja. Kau cocok sekali berada di sini, Manis.
Percayalah padaku, aku sudah bertemu banyak pahlawan."
Wangi Drew seperti hari Natal"perpaduan ganjil antara pinus dan pala. Jason bertanya-tanya apakah
Drew sekalu beraroma seperti ini, ataukah ini semacam parfum yang dia pakai selama liburan. Eyeliner
merah mudanya betul-betul mengusik perhatian. Tiap kali cewek itu berkedip, Jason seolah dipaksa
untuk memandangnya. Mungkin memang itu maksudnya, untuk memamerkan mata cokelatnya yang
indah. Drew memang cantik. Tak diragukan lagi. Namun dia membuat Jason merasa tak nyaman.
Jason melepaskan tangannya selembut yang dia bisa. "Dengar, kuhargai?"
"Apa ini gara-gara cewek itu?" Drew merajuk. "Yang benar saja, jangan katakan padaku kau pacaran
The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan si Ratu Tong Sampah."
"Maksudmu Piper" Mmm ..."
Jason tak tahu harus menjawab apa. Menurutnya dia belum pernah bertemu Piper sebelum hari ini, tapi
anehnya Jason merasa bersalah soal itu. dia tahu dia tak seharusnya berada di tempat ini. Dia tak
seharunya berteman dengan orang-orang ini, dan pastinya dia tidak boleh berpacaran dengan salah satu
dari mereka. Tapi Piper tadi memegangi tangannya ketika dia terjaga di bus. Piper yakin bahwa dia
adalah pacar Jason. Piper bersikap berani di titian, bertarung melawan ventus, dan ketika Jason
menangkapnya saat dia jatuh lalu mereka berpelukan sambil berhadapan, Jason tak bisa berpura-pura
bahwa dia tidak tergoda untuk mencium cewek itu. Tapi dia tidak boleh begitu. Jason bahkan tidak ingat
asal-usulnya sendiri. Dia tak boleh mempermainkan perasaan Piper seperti itu.
Drew memutar bola matanya. "Biar kubantu kau memutuskan, Manis. Kau bisa memilih yang lebih baik.
Cowok yang secakep kau dan jelas-jelas berbakat?"
Tapi, Drew tidak sedang memandang Jason. Dia menatap tepat ke atas kepala Jason.
"Kau sedang menantikan pertanda," tebak Jason. "Seperti yang muncul di atas kepala Leo."
"Apa" Tidak! Oke deh, iya. Maksudku, berdasarkan yang kudengar, kau lumayan jago, kan" Kau bakal
jadi orang penting di perkemahan ini, jadi kurasa orangtuamu bakal segera mengklaimmu. Dan aku ingin
sekali menyaksikan peristiwa itu. Aku ingin menyertaimu sampai saat itu! Jadi, ayah atau ibumukah yang
dewa" Tolong jangan katakan padaku kalau yang dewa adalah ibumu. Sayang banget kalau kau ternyata
anak Aphrodite." "Kenapa?" "Soalnya kau bakal jadi saudara tiriku, Tolol. Kau tidak bisa pacaran dengan teman sepondokmu sendiri.
Ih!" "Tapi, bukankah semua dewa kerabat?" tanya Jason. "Jadi, bukankah semua orang di sini bersepupu
dengan kita atau semacamnya?"
"Kau lucu sekali! Manis, keluarga kita dari pihak dewa tidak masuk dalam hitungan, kecuali orangtua kita.
Jadi, siapa saja dari pondok lain"boleh-boleh saja dijadikan pacar. Jadi, orangtuamu yang manakah
yang dewa"ibu atau ayah?"
Seperti biasa, Jason tak punya jawaban. Dia mendongkak, namun tak ada tanda berpendar yang muncul
di atas kepalanya. Di puncak Rumah Besar, gada-gada masih menunjuk ke arah Jason, elang perunggu
itu melotot seakan berkata, Berbaliklah, Nak, selagi masih sempat.
Kemudian dia mendengar langkah kaki di beranda depan. Bukan langkah kaki manusia, lebih mirip
langkah kaki kuda. "Pak Chiron!" panggil Drew. "Ini Jason. Dia keren banget deh!"
Jason mundur begitu cepat sampai-sampai dia hampir tersandung. Dari pojok beranda, muncullah
seorang pria penunggang kuda. Hanya saja, dia tidak sedang menunggang kuda"dia adalah bagian dari
kuda itu. Dari pinggang ke atas dia adalah manusia berambut cokelat keriting dengan janggut yang
terpangkas rapi. Dia mengenakan kaus yang bertuliskan Centaurus Terbaik di Dunia, serta menyandang
wadah panah dan busur di punggungnya. Posisi kepalanya begitu tinggi sehingga dia harus menunduk
untuk menghindari lampu beranda, sebab dari pinggang ke bawah, dia memiliki tubuh kuda jantan putih.
Chiron mulai tersenyum kepada Jason. Lalu wajahnya mendadak jadi pucat pasi.
"Kau ..." Mata sang centaurus menyorot liar seperti hewan yang tengah tersudut. "Kau seharusnya
sudah mati." *** Chiron memerintahkan Jason"yah, mengundang, tapi kedengarannya seperti perintah"masuk ke
rumah. Chiron menyuruh Drew kembali ke pondoknya, yang kelihatannya membuat Drew tidak senang.
Sang centaurus berderap ke kursi roda kosong di beranda. Dia melepaskan wadah panah serta busur
dan mundur ke kursi yang terbuka bagaikan kotak pesulap. Chiron dengan hati-hati melangkah masuk ke
kursi tersebut dengan kaki belakangnya dan mulai menurunkan diri ke dalam ruang yang semestinya
terlalu kecil. Jason membayangkan bunyi truk yang sedang pindah ke gigi mundur"bip, bip, bip"saat
bagian bawah tubuh sang centaurus menghilang, kursi tersebut terlipat ke atas, menyembulkan
sepasang kaki palsu yang ditutupi selimut sehingga Chiron tampak layaknya manusia fana biasa yang
berkursi roda. "Ikuti aku," perintah Chiron. "Kami punya limun."
Ruang tengah rumah itu terlihat seakan-akan mulai berubah menjadi hutan hujan. Sulur-sulur anggur
merambati tembok serta lagit-langit, yang menurut Jason agak aneh. Dia tidak mengira tumbuhan bisa
tumbuh seperti itu di dalam ruangan, terutama pada musim dingin, tapi tumbuhan anggur ini berdaun
hijau rimbun dan berbuah merah lebat.
Sofa kulit menghadap ke perapian batu degan api yang meretih. Menyempil di pojok, game dingdong
Pac-Man model lama mengeluarkan bunyi berisik dan berkelap-kelip. Di tembok berjajar bermacammacam topeng"topeng tersenyum/merengut ala teater Yunani, topeng bulu Mardi Gras, topeng
Karnaval Venesia dengan hidung besar mirip paruh, topeng ukiran kayu dari Afrika. Sulur-sulur anggur
tumbuh menembus mulut mereka sehingga topeng-topeng tersebut seakan memiliki lidah berdaun. Dari
lubang mata sebagian topeng, mencuatlah bulir-bulir anggur merah.
Tapi benda yang paling janggal adalah kepala macan tutul di atas perapian. Ia terlihat begitu nyata,
matanya seolah mengikuti Jason. Lalu ia menggeram, dan Jason nyaris melompat saking kagetnya.
"Jangan begitu, Seymour," tegur Chiron. "Jason ini seorang teman. Bersikaplah sopan."
"Benda itu hidup!" kata Jason.
Chiron merogoh-rogoh kantong di samping kursi rodanya dan mengeluarkan sebungkus Snausages"
makanan anjing berbentuk sosis. Dia melemparkan sepotong kepada si macan tutul, yang menyambut
makanan tersebut dan menjilat bibirnya.
"Tolong maklumi dekorasinya," kata Chiron. "Semua ini adalah hadiah dari perpisahan direktur kami
yang lama sebelum beliau dipanggil ke Gunung Olympus. Dia kira hadiah ini akan membantu kami
mengingatnya. Pak D punya selera humor yang aneh."
"Pak D," kata Jason. "Dionysus?"
"He-eh." Chiron menuangkan limun, meskipun tangannya sedikit gemetar. "Kalau Seymour, yah, Pak D
membebaskannya dari acara cuci gudang di Long Island. Macan tutul adalah binatang keramat Pak D,
kautahu, dan Pak D merasa muak karena ada yang berani-beraninya menjejali tubuh mahkluk agung itu
dengan kapas. Dia memutuskan untuk menganugerahkan kehidupan kepada mahkluk tersebut,
berasumsi bahwa kehidupan sebagai kepala pajangan lebih baik daripada tidak hidup sama sekali. Harus
kukatakan bahwa nasib seperti itu lebih menyenangkan daripada diperoleh pemilik Seymour
terdahulu.?"Kalau dia cuma punya kepala," kata Jason, "makanannya masuk ke mana waktu dia makan?"
Seymour memamerkan taring-taringnya dan mengendus udara, seolah sedang menunggu diberi
Snausages lagi. "Lebih baik tidak kautanyakan," kata Chiron. "Silakan duduk."
Jason minum sedikit limun, meskipun perutnya mulas. Chiron bersandar ke kursi rodanya dan berusaha
tersenyum, namun Jason tahu bahwa senyumnya dipaksakan. Mata pria tua itu sedalam dan segelap
sumur. "Jadi, Jason," katanya, "maukah kau memberitahku"ah"dari mana kau berasal?"
"Saya harap saya tahu." Jason menyampaikan keseluruhan cerita kepadanya, mulai dari saat dia
terbangun di bus sampai terjun bebas di Perkemahan Blasteran. Menurut Jason tak ada gunanya
menyembunyikan detail apapun, dan Chiron adalah pendengar yang baik. Selain mengangguk-angguk
untuk mendorong Jason agar bercerita lebih banyak, dia tidak bereaksi apa-apa.
Ketika Jason sudah selesai, pria tua itu menyesap limunnya.
"Begitu," kata Chiron. "Dan kau pasti punya pertanyaan untukku."
"Hanya satu," kata Jason. "Apa maksud Bapak waktu Bapak mengatakan bahwa saya seharusnya sudah
mati?" Chiron mengamatinya dengan cemas, seolah-olah dia berharap Jason akan terbakar secara spontan.
"Nak, tahukah kau artinya rajah di lenganmu itu" Warna bajumu" Adakah yang kauingat?"
Jason memandangi tato di lengan bawahnya: SPQR, elang, dua belas garis lurus.
"Tidak," katanya. "Tidak ada."
"Tahukah kau di mana kau berada?" Chiron bertanya. "Mengertikah kau apa tempat ini, dan siapa aku?"
"Bapak ini Chiron sang centaurus," ujar Jason. "Saya menduga Bapak sama dengan Chiron yang ada di
cerita-cerita lama, yang mengajar para pahlawan Yunani seperti Heracles. Ini perkemahan untuk
demigod, anak-anak dewa-dewi Olympia."
"Jadi, kau percaya dewa-dewi itu masih eksis?"
"Ya," ujar Jason seketika. "Maksud saya, bukan berarti menurut saya kita harus memuja mereka atau
mengurbankan ayam untuk mereka atau sebangsanya, tapi dewa-dewi tersebut masih ada karena
mereka merupakan bagian yang penting dari peradaban manusia. Mereka pindah dari negeri satu ke
negeri lain seiring bergesernya pusat kekuasaan"misanya ketika mereka pindah dari Yunani Kuno ke
Romawi." "Aku sekalipun takkan bisa mengutarakannya dengan lebih baik." Ada yang berubah dalam suara Chiron.
"Jadi, kau sudah tahu dewa-dewi itu nyata. Kau sudah diklaim, kan?"
"Mungkin," jawan Jason. "Saya tidak yakin."
Seymour si macan tutul menggeram.
Chiron menunggu, dan Jason menyadari apa yang baru saja terjadi. Sang centaurus telah berbicara
dalam bahasa lain dan Jason memahaminya, otomatis menjawab dengan bahasa yang sama.
"Quis eram?" Jason terbata, kemudian tersadar dan memaksakan diri berbicara dalam bahasa Inggris.
"Itu tadi apa?"
"Kita bisa berbahasa Latin," komentar Chiron. "Sebagian besar demigod mengenali segelintir kata, tentu
saja. Bahasa Latin ada dalam darah mereka, tapi tidak sekuat bahasa Yunani Kuno. Tak ada yang bisa
berbahasa Latin secara fasih tanpa latihan."
Jason berusaha memutar otak untuk memahami apa maksudnya, namun terlalu banyak kepingan yang
hilang dari ingatannya. Dia masih memliki firasat bahwa dia tak seharusnya berada di sini. Ini keliru"
dan berbahaya. Tapi setidaknya Chiron tak mengancam. Sang centarus justru tampaknya
mengkhawatirkan Jason, mencemaskan keselamatannya.
Api terpantul ke mata Chiron, membuatnya seakan menari-nari gelisah. "Aku mengajar orang yang
namanya sama denganmu, kautahu, Jason yang asli. Dia mengalami perjalanan hidup yang berat. Aku
sudah menyaksikan banyak pahlawan datang dan pergi. Kadang-kadang, mereka memperoleh akhir yang
bahagia. Seringnya tidak. Hatiku jadi pedih, bagaikan kehilangan seorang anak, setiap kali salah satu
muridku meninggal. Tapi kau"kau sama sekali tak seperti murid mana pun yang pernah kuajar.
Kehadiranmu di sini bisa membawa malapetaka."
"Makasih," ujar Jason. "Bapak pasti guru yang inspiratif."
"Aku minta maaf, Nak. Tapi itu benar. Kuharap setelah Percy berhasil?"
"Percy Jakson, maksud Bapak. Pacar Annabeth yang hilang itu."
Chiron mengangguk. "Kuharap setelah dia berhasil dalam Perang Titan dan menyelamatkan Gunung
Olympus, kita mungkin akan memperoleh kedamaian. Aku mungkin akan bisa menikmati kemenangan
paripurna, akhir yang bahagia, dan barang kali pensiun dengan tenang. Aku seharusnya tahu semuanya
takkan semudah itu. Babak terakhir kian dekat, sama seperti sebelumnya. Dan yang terburuk belumlah
tiba." Di pojok, game dingdong mengeluarkan bunyi te-te-te-tet sedih, sepertinya Pac-Man-nya baru saja mati.
"Ooo-kee," ujar Jason."Jadi"babak terakhir, pernah terjadi sebelumnya, yang terburuk belum lagi tiba.
Kedengarannya asyik, tapi bisakah kita kembali ke bagian ketika saya seharusnya sudah meninggal" Saya
tidak suka bagian itu."
"Aku khawatir aku tak bisa menjelaskannya, Nak. Aku sudah bersumpah demi Sungai Styx dan semua hal
keramat lain bahwa aku takkan pernah ..." Chiron mengerutkan kening. "Tapi kau berada di sini,
melanggar sumpah yang sama. Itu juga semestinya tidak mungkin. Aku tidak mengerti. Siapa yang mau
melakukan hal semacam itu" Siapa?"
Seymour si macan tutul melolong. Mulutnya mematung, setengah terbuka. Game dingdong berhenti
berbunyi. Api berhenti meretih, lidahnya mengeras laksana kaca merah. Topeng-topeng memandangi
Jason tanpa suara dengan mata anggur mereka yang menyeramkan serta lidah mereka yang berdaun.
"Pak Chiron?" tanya Jason. "Ada a?"
Sang centaurus tua telah mematung. Jason melompat dari sofa, namun Chiron tetap menatap ke tempat
yang sama, mulutnya terbuka di tengah-tengah kalimat. Matanya tak berkedip. Dadanya tak bergerak.
Jason, kata sebuah suara.
Selama satu saat yang mencekam, dia mengira macan tutullah yang telah berbicara. Lalu kabut gelap
melayang keluar dari mulut Seymour, dan terbetiklah pemikiran yang justru lebih buruk di benak Jason:
roh-roh badai. Jason menyambar koin emas dari sakunya. Dengan satu putaran cepat, koin itu berubah menjadi pedang.
Kabut tersebut mewujud menjadi wanita berjubah hitam. Wajahnya ditudungi, namun matanya
berpendar di kegelapan. Dia mengenakan selempang kulit kambing di pundaknya. Jason tidak yakin
bagaimana bisa dia tahu bahwa selempang tersebut terbuat dari kulit kambing, tapi dia mengenalinya
dan tahu bahwa itu penting.
Kau hendak menyerang pelindungmu" Tegur wanita itu. Suaranya bergema dalam kepala Jason.
Turunkan pedangmu. "Siapa Anda?" tuntut Jason. "Bagaimana Anda?"
Waktu kita terbatas, Jason. Penjaraku kian lama kian kuat. Aku butuh sebulan penuh untuk
mengumpulkan energi supaya sihir paling remeh sekalipun dapat menembus belenggunya. Aku berhasil
mendatangkanmu ke sini, tapi kini sisa waktuku tinggal sedikit, dan kekuatanku malah lebih sedikit lagi.
Mungkin ini terakhir kalinya aku bisa bicara kepadamu.
"Anda dipenjara?" Jason memutuskan mungkin dia sebaiknya tak menurunkan pedangnya. "Dengar, aku
tidak kenal Anda, dan Anda bukan pelindungku."
Kau mengenalku, wanita itu berkeras. Dulu sekali, ayahmu menyerahkan nyawamu kepadaku sebagai
hadiah untuk meredakan amarahku. Dia menamaimu Jason, seperti nama manusia fana kesukaanku.
Kau milikku. "Whoa," Jason berkata. "Aku bukan milik siapa-siapa."
Sudah waktunya untuk membayar utangmu, kata wanita itu. Cari penjaraku. Bebaskan aku, atau raja
mereka akan bangkit dari bumi, dan aku akan dibinasakan, dan kau takkan pernah mendapatkan
ingatanmu kembali. "Apakah itu ancaman" Anda merampas ingata
nku?" Kau punya waktu hingga matahari terbenam di hari titik balik musim dingin, Jason. Empat hari yang
singkat. Jangan kecewakan aku.
Wanita gelap itu terbuyarkan, dan kabut bergulung-gulung kembali ke dalam mulut macan tutul.
Waktu pun berjalan lagi. Lolongan Seymour berubah menjadi batuk, seakan dia telah tersedak gumpalan
kabut. Api kembali meretih, mesin dingdong berbunyi, dan Chiron berkata, ?"yang berani-berani
mendatangkanmu ke sini?"
"Barangkali wanita dari kabut," Jason mengusulkan.
Chiron mendongkak kaget. "Bukankah kau tadi duduk ... kenapa kau menghunus pedang?"
"Saya enggan menyampaikan ini pada Bapak," kata Jason, "tapi saya rasa macan tutul Bapak baru saja
menelan seorang dewi."
Dia memberi tahu Chiron tentang kunjungan kala-waktu-dibekukan itu, sosok gelap sehalus kabut yang
menghilang ke dalam mulut Seymour.
"Ya ampun," gumam Chiron. "Itu menjelaskan banyak hal."
"Kalau begitu, kenapa bapak tidak menjelasakan banyak hal pada saya?" kata Jason. "Saya mohon."
Sebelum Chiron sempat mengucapkan apa pun, langkah kaki terdengar dari beranda di luar. Pintu depan
menjeblak terbuka, dan Annabeth serta seorang cewek lain, berambut merah, menyerbu masuk,
memapah Piper di antara mereka. Kepala Piper terkulai, sepertinya tak sadarkan diri.
"Apa yang terjadi?" Jason bergegas menghampiri. "Kenapa dia?"
"Pondok Hera," kata Annabeth tersenggal-senggal. Sepertinya mereka lari sepanjang jalan ke sana. "Visi.
Buruk." Cewek berambut merah mendongkak, dan Jason melihat bahwa dia baru saja menangis.
"Kurasa ..." Cewek berambut merah menelan ludah. "Kurasa aku mungkin telah membunuhnya."
BAB DELAPAN JASON JASON DAN SI CEWEK BERAMBUT merah, yang memperkenalkan diri sebagai Rachel, membaringkan
Piper di sofa, sementara Annabeth bergegas menyusuri koridor untuk mengambil kotak P3K. Piper
masih bernapas, namun dia tidak bangun-bangun. Dia seperti koma.
"Kita harus menyembuhkannya," Jason berkeras. "Pasti ada sesuatu yang bisa dilakukan, ya kan?"
Melihat Piper begitu pucat, nyaris tak bernapas, Jason mendadak ingin melindungi cewek itu. Mungkin
dia sebenarnya memang tidak mengenal Piper. Mungkin Piper memang bukan pacarnya. Tapi mereka
selamat dari insiden di Grand Canyon bersama-sama. Mereka sudah sampai sejauh ini. Jason baru pergi
dari sisi Piper sebentar, dan ini-lah yang terjadi.
Chiron menempelkan tangan di dahi Piper dan meringis. "Kondisi pikirannya sedang rapuh. Rachel, apa
yang terjadi?" "Saya harap saya tahu," kata Rachel. "Begitu saya tiba di perkemahan, saya mendapat penglihatan
tentang pondok Hera. Saya masuk ke sana. Annabeth dan Piper datang selagi saya berada di sana. Kami
mengobrol, dan kemudian"saya tidak ingat apa-apa. Annabeth bilang saya bicara dengan suara yang
berbeda." "Ramalan?" Tanya Chiron.
"Bukan. Arwah Delphi datang dari dalam. Saya tahu bagaimana rasanya. Yang ini seperti kekuatan dari
jarak jauh, berusah bicara melalui diri saya."
Annabeth lari ke dalam ruangan sambil membawa kantong serut dari kulit. Dia berlutut di samping Piper.
"Pak Chiron, yang terjadi tadi itu"saya tak pernah melihat apa pun yang seperti itu. Saya pernah
mendengar suara Rachel waktu mengucapkan ramalan. Ini lain. Suaranya seperti perempuan tua. Rachel
mencengkram bahu Piper dan memberitahunya?"
"Agar membebaskannya dari penjara?"
Annabeth menatap Jason. "Bagaimana kau bisa tahu?"
Chiron menggerakkan tiga jarinya ke dada, seakan hendak menolak bala.
"Jason, beri tahu mereka. Annabeth, tolong kantong obatnya."
Chiron meneteskan cairan dari vial obat ke mulut Piper, sedangkan Jason menjelaskan apa yang terjadi
ketika waktu terhenti di ruangan tersebut"wanita misterius dalam kabut yang mengaku sebagai
pelindung Jason. Ketika dia sudah selesai, tak ada yang berbicara. Itu justru membuat Jason semakin resah.
"Jadi, seringkah ini terjadi?" Tanya Jason. "Panggilan supranatural dari tahanan yang menuntut agar
kalian membebaskannya dari penjara?"
"Pelindungmu," kata Annabeth. "Bukan orangtuamu?"
"Bukan, dia bilang pelindung. Dia juga bilang kalau ayahku telah menyerahkan nyawaku padanya."
Annabeth mengerutkan kening. "Aku tak pernah dengar yang seperti itu sebelumnya. Katamu roh badai
di titian"dia mengklaim dirinya bekerja untuk nyonya yang memberinya perintah, kan" Mungkinkah si
nyonya itu adalah wanita yang kaulihat, dan dia mencoba untuk mempermainkan pikiranmu?"
"Kurasa tidak," kata Jason. "Jika wanita itu adalah musuhku, buat apa dia minta tolong padaku" Dia
ditawan. Dia khawatir tentang musuh yang menjadi semakin kuat. Ada hubungannya dengan raja yang
bangkit dari bumi pada hari titik balik musim dingin?"
Annabeth menoleh kepada Chiron. "Bukan Kronos. Tolong katakan bukan dia."
Akhirnya Chiron berkata, "Bukan Kronos. Ancaman itu sudah berakhir. Tapi ..."
"Tapi apa?" Tanya Annabeth.
Chiron menutup kantong obat. "Piper butuh istirahat. Kita sebaiknya membahas ini nanti saja."
"Atau sekarang," kata Jason. "Pak Chiron, Bapak memberi tahu saya bahwa ancaman terburuk hampir
tiba. Babak terakhir. Maksud Bapak pasti bukan sesuatu yang lebih buruk daripada sepasukan Titan,
kan?" "Oh," Rachel berkata dengan suara kecil. "Ya ampun. Wanita itu Hera. Tentu saja. Pondoknya, suaranya.
The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia menampakkan diri kepada Jason pada saat yang bersamaan."
"Hera?" Geraman Annabeth bahkan lebih galak daripada Seymour. "Dia yang mengambil alih dirimu"
Dia yang melakukan ini pada Piper?"
"Kurasa Rachel benar," kata Jason. "Penampilan wanita itu memang seperti dewi. Dan dia memakai"
selempang kulit kambing. Itu simbol Juno, kan?"
"Oh, ya?" ujar Annabeth sambil merengut. "Aku tidak pernah dengar."
Chiron mengangguk enggan. "Simbol dari Juno, aspek Romawi Hera, dalam kondisinya yang paling siaga
perang. Selempang kulit kambing merupakan simbol tentara Romawi."
"Jadi, Hera dipenjara?" Tanya Rachel. "Siapa yang sanggup memenjarakan ratu para dewa?"
Annabeth bersidekap. "Yah, siapa pun pelakunya, mungkin kita sebaiknya berterima kasih kepada
mereka. Jika mereka bisa membungkam Hera?"
"Annabeth," Chiron memperingatkan, "dia masih merupakan salah satu dewi Olympia. Ditinjau dari
banyak segi, dia merupakan lem yang telah ditawan dan terancam binasa, ini dapat mengguncangkan
fondasi dunia. Hal tersebut dapat menggancurkan stabilitas Olympus, yang memang tidak pernah solid
pada masa-masa terbaik sekalipun. Dan jika Hera minta tolong kepada Jason?"
"Baiklah," gerutu Annabeth. "Nah, kita tahu para Titan bisa menangkap dewa, kan" Atlas menangkap
Artemis beberapa tahun lalu. Dan dalam kisah-kisah lama, para dewa saling tangkap sepanjang waktu.
Tapi sesuatu yang lebih buruk daripada Titan ...?"
Jason memandangi kepala macan tutul itu. Seymour sedang menjilat bibirnya, seakan rasa sang dewi
lebih enak daripada Snausages. "Hera bilang sudah sebulan dia berusaha melepaskan diri dari belenggu
penjaranya." "Olympus juga sudah tutup selama sebulan," ujar Annabeth. "Jadi, para dewa pasti tahu tengah terjadi
sesuatu yang buruk."
"Tapi buat apa Hera menggunakan energinya untuk mengirimku ke sini?" Tanya Jason. "Dia menghapus
ingatanku, melemparkanku ke tengah-tengah karyawisata Sekolah Alam Liar, dan mengirimimu visi
lewat mimpi agar menjemputku. Kenapa aku begitu penting" Kenapa dia tidak meluncurkan suar
darurat saja untuk dewa-dewi lain"memberi tahu mereka di mana dia berada agar membebaskannya?"
"Dewa-dewi memerlukan para pahlawan untuk melaksanakan kehendak mereka di bumi ini," kata
Rachel. "Benar begitu, kan" Takdir mereka senantiasa berkaitan dengan para demigod."
"Itu benar," kata Annabeth, "tapi Jason ada benarnya. Kenapa Jason" Kenapa ingatannya dirampas?"
"Dan Piper terlibat, entah bagaimana," kata Rachel. "Hera mengirimi dia pesan yang sama"bebaskan
aku. Dan, Annabeth, ini pasti berhubungan dengan hilangnya Percy."
Annabeth menatap Chiron lekat-lekat. "Kenapa Bapak diam saja" Apa yang sebenarnya kita hadapi?"
Wajah sang centaurus tua seolah menua sepuluh tahun dalam hitungan menit. Garis-garis di sekeliling
matanya berkerut sedemikian dalam. "Sayang, dalam perkara ini, aku tidak bisa membantumu. Aku
sungguh minta maaf."
Annabeth berkedip. "Bapak tidak pernah ... Bapak tidak pernah menyembunyikan apa pun dari saya.
Ramalan besar yang terakhir sekalipun"
"Aku mau ke kantorku." Suara Chiron berat. "Aku perlu waktu untuk berpikir sebelum makan malam.
Rachel, bisa tolong awasi Piper" Panggil Argus untuk menggendongnya ke ruang kesehatan, jika kau mau.
Dan Annabeth, kau sebaiknya bicara dengan Jason. Beri tahu dia tentang"tentang dewa-dewi Yunani
dan Romawi." "Tapi ..." Sang centaurus memutar kursi rodanya dan meluncur ke koridor. Mata Annabeth menyala-nyala. Dia
menggumamkan sesuatu dalam bahasa Yunani, dan Jason punya firasat itu bukan pujian untuk sang
centaurus. "Maafkan aku," kata Jason. "Kurasa keberadaanku di sini"entahlah. Entah bagaimana, aku telah
mengacaukan keadaan karena datang ke perkemahan ini. Pak Chiron bilang dia sudah bersumpah dan
tidak bisa membicarakannya."
"Sumpah apa?" Tuntut Annabeth. "Aku tak pernah melihatnya bersikap seperti ini. Dan kenapa dia
menyuruhku bicara padamu tentang dewa-dewi ..."
Suara Annabeth menghilang. Rupanya dia baru sadar pedang Jason sedang bertengger di meja kopi. Dia
menyentuh bilah pedang itu dengan hati-hati, seakan dia takut kalau-kalau pedang itu panas.
"Apa ini dari emas?" Ujar Annabeth. "Apa kauingat dari mana kau memperolehnya?"
"Tidak," kata Jason. "Seperti yang kukatakan, aku tidak ingat apa-apa."
Annabeth mengangguk, seolah dia baru saja memikirkan rencana yang cukup riskan. "Kalau Pak Chiron
tidak mau membantu, kita harus mencari tahu sendiri. Artinya ... Pondok Lima Belas. Rachel, tolong
awasi Piper, ya?" "Tentu," janji Rachel. "Semoga berhasil, kalian berdua."
"Tunggu sebentar," kata Jason. "Ada apa di Pondok Lima Belas?"
Annabeth berdiri. "Cara untuk mendapatkan kembali ingatanmu, mungkin."
*** Mereka menuju bagian perkemahan yang lebih baru, yang terdiri dari pondok-pondok di pojok barat
daya halaman utama. Sebagian terkesan mewah, dilengkapi tembok berpendar atau obor yang menyala,
namun Pondok Lima Belas tidak sedramatis itu. Pondok tersebut mirip rumah padang rumput bergaya
kuno dengan dinding dari lumpur yang dipadatkan serta atap ilalang. Di pintu digantunglah kalung
bunga berwarna jingga"poppy merah, pikir Jason, meskipun dia tidak yakin bagaimana dia bisa tahu.
"Menurutmu, ini pondok orangtuaku?" tanya Jason.
"Bukan," kata Annabeth. "Ini pondok Hypnos, Dewa Tidur."
"Lalu, kenapa?"
"Kau lupa segalanya," kata Annabeth. "Jika ada dewa yang bisa membantu kita menemukan ingatan
yang hilang, itu adalah Hypnos."
Di dalam, meskipun saat itu hampir waktunya makan malam, tiga anak sedang tertidur pulas di bawah
lapisan selimut. Api hangat masih meretih di perapian. Di atas rak perapian tergantunglah sebentuk
cabang pohon, setiap ranting meneteskan cairan putih ke sekumpulan mangkuk timah. Jason tergoda
untuk menangkap setetes cairan tersebut dengan jarinya, semata-mata untuk mencari tahu cairan
apakah itu, namun dia menahan diri.
Musik biola lembut mengalun dari suatu tempat. Udara beraroma seperti cucian bersih. Pondok
tersebut begitu nyaman dan damai sampai-sampai kelopak mata Jason mulai terasa berat. Tidur-tidur
ayam sepertinya merupakan ide bagus. Dia kelelahan. Ada banyak tempat tidur kosong, semuanya
dilengkapi bantal isi bulu dan seprai bersih serta selimut empuk dan"Annabeth menyikutnya. "Jangan
tidur." Jason berkedip. Dia menyadari lututnya mulai melemas.
"Pondok Lima Belas berdampak begitu terhadap semua orang," Annabeth memperingatkan. "Kalau
kautanya aku, menurutku tempat ini malah lebih berbahaya dari pondok Ares. Setidaknya, di pondok
Ares kau bisa mencari tahu ranjau darat ada di mana saja."
"Ranjau darat?"
Annabeth menghampiri anak terdekat yang sedang mengorok dan mengguncangkan bahunya. "Clovis!
Bangun!" Anak itu kelihatan seperti bayi sapi. Dia memiliki rambut pirang di kepalanya yang berbentuk segitiga,
dengan muka montok dan leher montok. Tubuhnya pendek gempal, namun dia memiliki lengan kecil
kurus, seakan dia tidak pernah mengangkat apa pun yang lebih berat daripada sebuah bantal.
"Clovis!" Annabeth mengguncang-guncangkan tubuhnya kian kencang, lalu akhirnya menggetok kening
Clovis kira-kira enam kali.
"A-a-apa?" Clovis mengeluh, duduk tegak dan menyipitkan mata. Dia menguap lebar, dan baik Annabeth
maupun Jason menguap juga.
"Hentikan!" kata Annabeth. "Kami butuh bantuanmu."
"Aku lagi tidur."
"Kau memang selalu tidur."
"Selamat tidur."
Sebelum Clovis terlelap, Annabeth merenggut bantalnya dari tempat tidur.
"Tidak adil," keluh Clovis lemah. "Kembalikan."
"Bantu kami dulu," kata Annabeth, "baru tidur."
Clovis mendesah. Napasnya beraroma susu hangat. "Ya sudah. Apa?"
Annabeth menjelaskan masalah Jason. Sesekali dia menjentikkan jari di bawah hidung Clovis supaya
anak laki-laki itu tetap terjaga.
Clovis pasti benar-benar antusias, sebab ketika Annabeth sudah selesai, dia tidak terlelap. Dia malah
berdiri dan meregangkan tubuh, lalu memandang Jason sambil berkedip.
"Jadi, kau tidak ingat apa-apa, ya?"
"Cuma kesan-kesan," ujar Jason. "Firasat, misanya ..."
"Ya?" ujar Clovis.
"Misalnya aku tahu aku tak seharusnya berada di sini. Di perkemahan ini. Aku dalam bahaya."
"Hmm. Pejamkan mata."
Jason melirik Annabeth, namun cewek itu mengangguk untuk meyakinkannya.
Jason takut ujung-ujungnya dia bakal mengorok di salah satu tempat tidur lipat selama-selamanya,
namun dia memejamkan mata. Pikiran Jason menjadi keruh, seolah sedang tenggelam di danau gelap.
Hal berikutnya yang dia sadari, matanya mendadak terbuka. Jason duduk di kursi dekat perapian. Clovis
dan Annabeth berlutut di sebelahnya.
?"serius, tidak apa-apa," Clovis berkata.
"Apa yang terjadi?" ujar Jason. "Berapa lama?"
"Cuma beberapa menit," kata Annabeth. "Tapi menegangkan. Kau hampir saja terbuyarkan."
Jason berharap maksudnya tidak harfiah, tapi ekspresi Annabeth tampak serius.
"Biasanya," kata Clovis, "ingatan hilang karena alasan tertentu. Ingatan tenggelam ke bawah permukaan
layaknya mimpi, dan dengan tidur yang nyenyak, aku bisa mengembalikan ingatan tersebut. Tapi ini ..."
"Lethe?" tanya Annabeth.
"Bukan," kata Clovis. "Bahkan bukan Lethe."
"Lethe?" tanya Jason.
Clovis menunjuk cabang pohon yang meneteskan cairan mirip susu, yang tergantung di atas perapian.
"Sungai Lethe ada di Dunia Bawah. Sungai tersebut meluruhkan ingatan kita, menyapu bersih pikiran
kita secara permanen. Itu adalah cabang pohon poplar dari dari Dunia Bawah, dicelupkan ke Lethe. Itu
adalah simbol ayahku, Hypnos. Lethe bukanlah tempat yang ingin kita datangi untuk berenang."
Annabeth mengangguk. "Percy pernah ke sana sekali. Dia memberitahuku bahwa sungai tersebut cukup
kuat untuk menghapus pikiran seorang Titan."
Jason tiba-tiba lega dia tidak menyentuh cabang pohon tersebut. "Tapi ... masalahku bukan itu?"
"Bukan," Clovis sepakat. "Pikiranmu tidak disapu bersih, dan ingatanmu tidak terkubur. Ingatanmu
dicuri." Api meretih. Butir-butir air Lethe menetes ke mangkuk timah di atas perapian. Salah seorang pekemah
Hypnos yang lain bergumam dalam tidurnya"sesuatu yang ada hubungannya dengan bebek.
"Dicuri," kata Jason. "Bagaimana?"
"Dewa," kata Clovis. "Hanya dewa yang memiliki kekuasaan semacam itu."
"Kami tahu," kata Jason. "Pelakunya Juno. Tapi bagaimana caranya melakukan itu, apa sebabnya?"
Clovis menggaruk-garuk lehernya. "Juno?"
"Maksudnya Hera," kata Annabeth. "Entah karena alasan apa Jason suka nama-nama Romawi."
"Hmm," kata Clovis.
"Apa?" tanya Jason. "Pentingkah itu?"
"Hmm," kata Clovis lagi, dan kali ini Jason menyadari dia sedang mendengkur.
"Clovis!" teriaknya.
"Apa" Apa?" Mata Clovis pelan-pelan terbuka. "Kita sedang membicarakan bantal, kan" Bukan, dewa.
Aku ingat. Yunani dan Romawi. Tentu saja, siapa tahu penting."
"Tapi mereka dewa-dewi yang sama," kata Annabeth. "Cuma beda nama."
"Tidak persis begitu," ujar Clovis.
Jason duduk ke depan, sekarang benar-benar terjaga. "Apa maksudmu, tidak persis begitu?"
"Yah ..." Clovis menguap. "Sebagian dewa hanya punya nama Romawi. Misalnya Janus, atau Pompona.
Tapi dewa-dewi Yunani yang utama sekalipun"bukan hanya nama mereka yang berubah ketika mereka
pindah ke Roma. Penampilan mereka berubah. Sifat-sifat mereka berubah. Mereka bahkan memiliki
kepribadian yang agak lain."
"Tapi ..." Annabeth terbata. "Oke, mungkin selama berabad-abad orang-orang memandang mereka
secara berbeda. Itu tidak mengubah diri mereka sebenarnya. Dewa-dewi tidak lantas menjadi lain."
"Lain dong." Clovis mulai terkantuk-kantuk, dan Jason menjentikkan jari di bawah hidung anak laki-laki
itu. "Sebentar, Bu!" pekik Clovis. "Maksudku .... Iya, aku bangun. Jadi, mmm, kepribadian. Dewa-dewi
berubah untuk merefleksikan budaya setempat. Kautahu itu, Annabeth. Maksudku, dewasa ini, Zeus
suka setelan jas buatan penjahit pribadi, acara realita, dan rumah makan China di East 28th Street, kan"
Di masa Romawi juga sama. Masa yang mereka lewatkan untuk menjadi Romawi hampir sama lamanya
dengan masa yang mereka lewatkan untuk menjadi Yunani. Romawi adalah kekaisaran besar, bertahan
berabad-abad. Jadi, tentu saja sifat-sifat Romawi mereka masih merupakan bagian besar dari
kepribadian mereka."
"Masuk akal," kata Jason.
Annabeth menggeleng-gelengkan kepala, tercengang. "Bagaimana kautahu semua ini, Clovis?"
"Oh, aku menghabiskan banyak waktu untuk bermimpi. Aku melihat dewa-dewi sepanjang waktu dalam
mimpiku"selalu berubah wujud. Mimpi itu cair, kalian tahu. Kita bisa berada di tempat-tempat yang
berlainan secara bersamaan, selalu berganti identitas. Mirip sekali seperti menjadi dewa, sebenarnya.
Misalnya baru-baru ini, aku mimpi nonton konser Michael Jackson, kemudian aku sepanggung dengan
Michael Jackson, dan kami berduet, terus aku tidak ingat kata-kata di lagu "The Girl Is Mine." Ya ampun,
itu memalukan sekali, aku?"
"Clovis," potong Annabeth. "Kembali ke Romawi."
"Benar, Romawi," kata Clovis. "Jadi, kita semua memanggil dewa-dewi dengan nama Yunani mereka
karena itulah sosok asli mereka. Tapi mengatakan bahwa sifat-sifat Romawi mereka persis sama"itu
tidak benar. Di Romawi, mereka menjadi lebih siaga-perang. Mereka tidak terlalu sering bergaul dengan
manusia fana. Mereka lebih galak, lebih perkasa"seperti dewa-dewi sebuah kekaisaran."
"Seperti sisi gelap dewa-dewi?" tanya Annabeth.
"Tidak persis begitu," kata Clovis. "Mereka menjunjung tinggi disiplin, kehormatan, kekuatan?"
"Hal-hal bagus, kalau begitu," kata Jason. Karena alasan tertentu, Jason merasa harus bicara atas nama
dewa-dewi Romawi, meskipun dia tidak yakin mengapa hal itu penting baginya. "Maksudku, disiplin itu
penting, kan" Itulah yang membuat Romawi bertahan selama itu."
Clovis memberinya pandangan penasaran. "Itu benar. Tapi dewa-dewi Romawi tidak terlalu ramah.
Contohnya, ayahku, Hypnos ... tak banyak yang dia perbuat kecuali tidur pada zaman Yunani. Pada
zaman Romawi, orang-orang menyebutnya Somnus. Dia suka membunuh orang-orang yang tidak
waspada saat bekerja. Jika mereka terkantuk-kantu pada saat yang salah, duar"mereka takkan pernah
bangun lagi. Ayahku membunuh juru mudi Aeneas waktu mereka berlayar dari Troya."
"Dewa yang menyenangkan," sindir Annabeth. "Tapi aku masih tidak mengerti apa hubungannya
dengan Jason." "Aku juga tidak," kata Clovis. "Tapi jika Hera merampas ingatanmu, hanya dia yang dapat
mengembalikannya. Dan jika aku harus bertemu ratu para dewa, kuharap suasana hatinya lebih mirip
Hera daripada Juno. Boleh aku tidur lagi sekarang?"
Annabeth menatap cabang pohon di atas perapian yang meneteskan air Lethe ke dalam mangkuk. Dia
terlihat khawatir, Jason bertanya-tanya apakah cewek itu sedang mempertimbangkan untuk minum
supaya bisa melupakan kesusahannya. Lalu Annabeth berdiri dan melemparkan bantal kepada Clovis.
"Makasih, Clovis. Sampai ketemu nanti waktu makan malam."
"Boleh minta layanan kamar, tidak?" Clovis menguap dan sempoyongan ke tempat tidur lipatnya.
"Rasanya aku mau ... zzzz ..." Dia ambruk dengan pantat di udara dan wajah menempel ke bantal.
"Apa dia tidak bakal sesak napas?" tanya Jason.
"Dia akan baik-baik saja," kata Annabeth. "Tapi aku mulai berpikir kalau kau sedang terlibat masalah
yang benar-benar serius."
BAB SEMBILAN PIPER PIPER MEMIMPIKAN HARI TERAKHIRNYA BERSAMA ayahnya.
Mereka berada di pantai dekat Big Sur, istirahat sesudah berselancar. Pagi tersebut begitu sempurna.
Piper tahu sebentar lagi bakalan ada yang tidak beres"kawanan paparazzi ganas, atau mungkin
serangan hiu putih raksasa. Tidak mungkin keberuntungannya bakal bertahan lama.
Namun sejauh ini, mereka menikmati ombak yang luar biasa, langit mendung, dan bermil-mil pantai
kosong, berdua saja. Ayah telah menemukan tempat terpencil ini, menyewa villa di tepi pantai dan
properti di kanan-kirinya, serta entah bagaimana berhasil merahasiakannya. Jika ayahnya tingga di sana
terlalu lama, Piper tahu para fotografer akan menemukannya. Mereka selalu menemukannya.
"Kerjamu tadi bagus, Pipes." Dia melemparkan senyumnya yang terkenal itu untuk Piper: gigi yang
sempurna, pipi berlesung pipit, mata gelap berbinar yang selalu membuat wanita-wanita dewasa
menjerit-jerit dan memintanya menandatangani tubuh mereka dengan spidol permananen. (Yang benar
saja, pikir Piper, memangnya kalian tidak punya kerjaan"!) Rambut hitam cepaknya berkilau terkena air
garam. "Kau makin jago meniti papan."
Piper merona karena bangga, meskipun dia curiga Ayah hanya berbasa-basi. Piper masih sering jatuh
tersapu ombak. Ayahnya adalah peselancar alami"yang sebetulnya tidak masuk akal karena dia
dibesarkan sebagai anak miskin di Oklahoma, yang jaraknya ratusan mil dari laut"tapi dia lihai sekali
menaklukkan ombak. Piper pasti sudah lama berhenti belajar berselancar seandainya aktivitas tersebut
tidak memungkinkannya menghabiskan waktu bersama ayahnya. Tidak banyak kesempatan untuk itu.
"Roti isi?" Ayah meraih ke dalam ke ranjang piknik yang telah disiapkan kokinya, Arno. "Coba kita lihat:
kalkun presto, kepiting wasabi"ah, spesial untuk Piper. Selai kacang dan jeli."
Piper mengambil roti isi tersebut, walaupun perutnya terlalu mual sehingga dia tidak ingin makan. Dia
selalu minta roti isi selai kacang dan jeli. Salah satu penyebabnya karena Piper vegetarian. Dia menjadi
vegetarian sejak mereka berkendara melewati pejagalan di Chino dan baunya membuat Piper ingin
muntah. Tapi alasannya lebih dari itu. roti isi selai kacang dan jeli adalah makanan sederhana, seperti
yang sering disantap anak-anak biasa untuk makan siang. Terkadang Piper pura-pura bahwa ayahnya
yang membuatkan makanan itu untuknya, bukan seorang koki pribadi dari Prancis yang suka
membungkus roti isi dengan kertas lapis emas dilengkapi kembang api warna-warni alih-alih tusuk gigi.
Tak bisakah semuanya biasa-biasa saja" Itulah sebabnya Piper menampik pakaian mewah yang
senantiasa ditawarkan ayahnya, sepatu desainer, kunjungan ke salon. Piper memtong rambutnya sendiri
menggunakan gunting Garfield plastik, sengaja membuat potongannya tidak rata. Piper lebih memilih
mengenakan sepatu lari yang sudah usang, celana jins, kaus, dan jaket Polartec lama yang dia pakai
waktu mereka ber-snowboarding.
Dan Piper benci sekolah swasta sombong yang Ayah kira bagus untuknya. Dia terus-terusan dikeluarkan
dari sekolah. Ayah terus saja mencarikan sekolah baru untuknya.
Kemarin, Piper telah melakukan aksinya yang terbesar selama ini"mengendarai BMW "pinjaman" dari
dealer. Dia harus melakukan aksi yang lebih besar setiap kalinya, sebab semakin lama semakin sulit
untuk menarik perhatian Ayah.
Kini Piper menyesalinya. Ayah belum tahu.
Piper bermaksud memberi tahu ayahnya pagi itu. lalu Ayah mengejutkan Piper dengan reaksi ini, dan dia
tidak mungkin mengacaukannya. Ini kali pertamanya mereka mendapatkan satu hari untuk dilewatkan
bersama sejak kapan"tiga bulan lalu"
"Ada apa?" Ayah mengoperkan soda kepada Piper.
"Ayah, ada sesuatu?"
"Tunggu sebentar, Pipes. Wajahmu serius. Siap untuk Tiga Pertanyaan Apa Saja?"
The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka sudah memainkan permainan tersebut bertahun-tahun"cara ayahnya untuk tetap menjalin
hubungan dekat dalam waktu sesingkat mungkin. Mereka bisa saling mengajukan tiga pertanyaan apa
saja. Tidak ada yang terlarang, dan kita harus menjawab secara jujur. Di luar permainan itu, Ayah
berjanji tak akan mencampuri urusan Piper"yang sebenarnya gampang, sebab dia tidak pernah ada di
sekeliling Piper. Piper tahu sebagian besar anak pastilah beranggapan bahwa tanya-jawab dengan orangtua mereka
sungguh memalukan. Tapi Piper justru menanti-nantikannya. Permainan tersebut sama seperti
berselancar"tidak mudah, tapi merupakan cara untuk merasakan bahwa dia benar-benar memiliki ayah.
"Pertanyaan pertama," kata Piper. "Ibu."
Bukan kejutan. Ibunya selalu merupakan salah satu topik pertanyaan Piper.
Ayahnya mengangkat bahu dengan pasrah. "Apa yang ingin kauketahui, Piper" Aku sudah
memberitahumu"dia menghilang. Aku tidak tahu alasannya, atau ke mana dia akan pergi. Setelah kau
lahir, dia pergi begitu saja. Aku tak pernah mendengar kabar tentang dia lagi."
"Apa menurut Ayah dia masih hidup?"
Itu bukan pertanyaan sungguhan. Ayah diperkenankan menjawab tidak tahu. Tapi Piper ingin
mendengar apa jawaban ayahnya.
Ayah menjawab sambil menatap ombak.
"Kakekmu Tom," dia akhirnya berkata, "dia dulu sering bercerita padaku bahwa apabila kita berjalan
cukup jauh untuk menyongsong matahari terbenam, kita akan tiba di Negeri Hantu, tempat kita bisa
menghidupkan orang mati; namun kemudian umat manusa mengacau. Yah, ceritanya panjang."
"Seperti Negeri Orang Mati-nya orang-orang Yunani," Piper teringat. "Letaknya di barat juga. Dan
Orpheus"dia berusaha membawa istrinya kembali."
Ayah mengangguk. Setahun sebelumnya, dia memperoleh peran terbesar yang pernah dia dapatkan,
sebagai seorang raja Yunani Kuno. Piper membantu ayahnya meneliti mitos tersebut"semua kisah lama
tentang orang-orang yang diubah jadi batu dan direbus dalam danau lava. Mereka menghabiskan waktu
yang menyenangkan, membaca bersama-sama. Alhasil, kehidupan Piper rasanya jadi tak terlalu buruk.
Untuk sementara, Piper merasa lebih dekat dengan ayahnya, tapi seperti biasa, kebersamaan itu tak
bertahan lama. "Banyak persamaan di antara orang-orang Yunani dan Cherokee," ayah sepakat. "Kira-kira apa pendapat
kakekmu ya, jika dia melihat kita sekarang, duduk di ujung negeri barat. Dia barangkali mengira kita ini
hantu." "Jadi, maksdunya Ayah mempercayai cerita-cerita itu" Ayah pikir ibu sudah meninggal?"
Mata Ayah berkaca-kaca, dan Piper melihat kesedihan di sana. Piper sadar itulah sebabnya kaum wanita
terpikat sekali pada ayahnya. Di permukaan, dia tampak percaya diri dan jantan, tapi matanya
menyimpan begitu banyak kesedihan. Kaum wanita ingin mencari tahu penyebabnya. Mereka ingin
menghiburnya, tapi mereka takkan pernah bisa. Ayah memberi tahu Piper bahwa itu memang sifat
bawaan orang Cherokee"mereka semua memiliki kegelapan dalam diri mereka, buah dari kepedihan
dan penderitaan selama bergenerasi-generasi. Tapi menurut Piper alasannya lebih dari sekadar itu.
"Aku tak memercayai cerita-cerita itu," kata Ayah. "Cerita-cerita itu asyik untuk dikisahkan, tapi jika aku
benar-benar percaya pada Negeri Hantu, atau roh binatang, atau dewa-dewi Yunani ... menurutku aku
takkan bisa tidur di malam hari. Aku akan selalu mencari-cari seseorang untuk disalahkan."
Seseorang untuk disalahkan karena Kakek Tom meninggal gara-gara kanker paru-paru, pikir Piper,
sebelum Ayah jadi tenar dan punya uang untuk membantu. Karena ibu"satu-satunya wanita yang
pernah dicintai Ayah"meninggalkannya bahkan tanpa sepucuk surat selamat tinggal, meninggalkannya
bersama seorang bayi perempuan padahal dia belum siap merawat seorang anak. Karena dia sudah
sedemikian sukses, tapi tak kunjung bahagia ...
"Aku tidak tahu apakah ibumu masih hidup atau tidak," kata Ayah. "Tapi menurutku sekalipun dia
berada di Negeri Hantu, takkan ada bedanya, Piper. Mustahil mendapatkannya kembali. Jika aku tak
meyakini itu ... kurasa aku tidak akan bisa bertahan."
Di belakang mereka, pintu sebuah mobil terbuka. Piper menoleh, dan hatinya mencelus. Jane sedang
berderap menghampiri mereka dalam balutan setelan kerja, terhuyung-huyung di atas pasir dengan
sepatunya yang berhak tinggi, PDA-nya di tangan. Ekspresi di wajahnya setengah terganggu, setengah
pongah, dan Piper tahu wanita itu telah berkomunikasi dengan polisi.
Moga-moga dia jatuh, Piper berdoa. Jika memang ada roh binatang atau dewa Yunani yang bisa
membantu, tolong buat Jane gegar otak. Aku tidak meminta cedera permanen, tolong buat saja dia
pingsan seharian ini. Tapi Jane terus maju. "Ayah," kata Piper. "Sesuatu terjadi kemarin ..."
Tapi Ayah sudah melihat Jane juga. Dia sudah memasang muka bisnisnya. Jane takkan ke sini jika
urusannya tidak serius. Kepala studio menelepon"proyek yang batal"atau Piper berulah lagi.
"Nanti kita teruskan, Pipes," Ayah berjanji. "Sebaiknya kucari tahu dulu apa yang diinginkan Jane.
Kautahu dia seperti apa."
Ya"Piper tahu. Ayah terseok-seok menyeberangi pasir untuk menyambut Jane. Piper tidak bisa
mendengar pembicaraan mereka, tapi tidak perlu. Dia pandai membaca wajah. Jane memberi Ayah
fakta-fakta mengenai mobil yang dicuri, sesekali menunjuk Piper seakan dia adalah binatang piaraan
menjijikan yang baru saja buang air kecil di karpet.
Energi dan antusiasme Ayah terkuras habis. Dia memberi Jane isyarat agar menunggu. Lalu dia berjalan
kembali ke arah Piper. Piper tidak tahan melihat ekspresi itu di mata Ayah"seolah Piper telah
mengkhianati kepercayaannya.
"Katamu kau mau mencoba, Piper," katanya.
"Aku benci sekolah itu, Yah. Aku tak bisa melakukannya. Aku ingin memberi tahu Ayah soal BMW itu,
tapi?" "Kau dikeluarkan," kata Ayah. "Mobil, Piper" Tahun depan kau enam belas tahun. Aku akan
membelikanmu mobil apa pun yang kauinginkan. Bisa-bisanya kau?"
"Maksud Ayah, Jane yang bakal membelikan aku mobil?" tuntut Piper. Dia tidak bisa menahan diri.
Kemarahannya membuncah dan tertumpah keluar darinya. "Coba dengarkan sekali saja, Yah. Jangan
buat aku menunggu sampai Ayah mengajukan tiga pertanyaan Ayah yang bodoh. Aku mau masuk
sekolah biasa. Aku mau Ayah yang mengajakku ke pertemuan POMG, bukan Jane. Atau homeschooling
saja! Aku belajar banyak sekali waktu kita membaca tentang Yunani bersama-sama. Kita bisa melakukan
itu sepanjang waktu! Kita bisa?"
"Jangan mengalihkan topik! Ini bukan tentang aku," kata ayahnya. "Aku sudah melakukan yang terbaik,
Piper. Kita sudah membicarakan ini.
Belum, pikir Piper. Ayah memotong percakapan tentang ini sebelum selesai. Selama bertahun-tahun.
Ayahnya mendesah. "Jane sudah bicara pada polisi, mengatur kesepakatan. Dealer takkan menuntut,
tapi kau harus setuju untuk masuk ke sekolah berasrama di Nevada. Mereka ahli menangani ... anakanak yang ... bermasalah."
"Memang begitulah aku." Suara Piper gemetar. "Biang masalah."
"Piper ... kaubilang kau mau mencoba. Kau mengecewakanku. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa."
"Lakukan apa saja," kata Piper. "Tapi lakukan sendiri! Jangan biarkan Jane menanganinya untuk Ayah.
Ayah tidak bisa mengirimku pergi begitu saja."
Ayah menunduk, memandangi keranjang piknik. Roti isinya tergolek di atas selembar kertas lapis emas,
belum dimakan. Mereka merencanakan untuk berselancar sesiangan itu. kini rencana itu berantakan.
Piper tak percaya ayahnya bakal benar-benar menyerah terhadap keinginan Jane. Tidak kali ini. Tidak
dalam perkara yang sepenting sekolah berasrama.
"Sana," kata Ayah. "Jane punya perinciannya."
"Yah ...." Ayah berpaling, menatap laut seakan dia dapat melihat jauh sekali hingga ke Negeri Hantu. Piper
berjanji kepada dirinya sendiri dia takkan menangis. Dia menyusuri pantai untuk menghampiri Jane,
yang tersenyum dingin dan menyodorkan tiket pesawat. Seperti biasa, wanita itu sudah mengatur
segalanya. Piper cuma satu lagi masalah yang harus dibereskan hari itu, yang kini bisa Jane coret dari
daftarnya. *** Mimpi Piper berubah. Dia berdiri di puncak gunung pada malam hari, lampu-lampu kota gemerlapan di bawahnya. Di depan
Piper, terdapat api unggun yang menyala-nyala. Kobaran api keunguan seolah memancarkan lebih
banyak bayangan alih-alih cahaya, namun panasnya begitu dahsyat sampai-sampai pakaian Piper
mengeluarkan uap. "Ini peringatan kedua untukmu," sebuah suara bergemuruh. Begitu kuat sampai-sampai bumi
berguncang. Piper pernah mendengar suara itu sebelumnya dalam mimpinya. Dia berusaha meyakinkan
dirinya bahwa suara tersebut tak seseram yang dia ingat, namun ternyata suara itu malah mengerikan.
Di balik api unggun, wajah besar menjulang dari tengah-tengah kegelapan. Wajah tersebut seolah
melayang-layang di atas kobaran api, tapi Piper tahu wajah itu pasti terhubung ke sebuah wajah yang
maha besar. Bentuk mukanya kasar, seperti dipahat dari batu. Wajah tersebut takkan terlihat hidup jika
bukan karena mataya yang putih dan tajam, bagaikan berlian yang belum diasah serta rambut gimbal
menyeramkan yang membingkai wajahnya, dikepang oleh jalinan tulang manusia. Wajah itu tersenyum,
dan Piper pun bergidik. "Kau akan melakukan apa yang diperintahkan padamu," kata si raksasa. "Kau akan menjalani suatu misi.
Lakukan perintah kami, dan kau mungkin bisa hidup. Jika tidak?"
Dia memberi isyarat ke salah satu sisi api unggun. Ayah Piper digantung, dia tak sadarkan diri, diikat ke
pasak. Piper berusaha untuk tidak menjerit. Dia ingin memanggil ayahnya, dan menuntut agar si raksasa
membebaskan ayahnya, tapi suara Piper tidak mau keluar.
"Aku akan mengawasimu," kata si raksasa. "Layani aku, dan kalian berdua akan hidup. Enceladus
bersumpah. Jika kau gagal menjalankan perintahku ... yah, aku sudah tidur bermilenium-milenium,
Demigod Muda. Aku sangat lapar. Jika kau gagal, aku akan makan enak."
Si raksasa tertawa terbahak-bahak. Bumi berguncang. Retakan terbuka di kaki Piper, dan dia pun
terjungkal ke dalam kegelapan.
*** Piper terbangun sambil merasa seakan dia telah diinjak-injak oleh rombongan penari Irlandia. Dadanya
nyeri, dan dia nyaris tak bisa bernapas. Dia menggapai ke bawah dan mengatupkan tangan ke gagang
belati yang diberikan Annabeth kepadanya"Katoptris, senjata Helen dari Troya.
Ternyata Perkemahan Blasteran bukan mimpi.
"Bagaimana perasaanmu?" seseorang bertanya.
Piper berusaha memfokuskan pandangan. Dia sedang berbaring di tempat tidur bertirai putih di satu sisi,
seperti di kantor perawat. Cewek berambut merah itu, Rachel Dare, duduk di sebelahnya. Di dinding
terdapat poster bergambar satir kartun yang sangat mirip Pak Pelatih Hedge, sebuah termometer
menyembul dari mulutnya. Tulisan pada poster berbunyi: Jangan sampai penyakit menulari kambingmu!
"Di mana?" suara Piper menghilang ketika dia melihat seorang laki-laki di pintu.
Penampilannya seperti cowok peselancar California biasa"berotot dan berkulit cokelat terbakar
matahari, rambut pirang, mengenakan celana pendek dan kaus. Tapi dia memiliki ratusan mata biru di
sekujur tubuhnya"di lengan, tungkai, dan wajahnya. Bahkan kakinya memiliki mata yang mendongak
untuk memandang Piper dari antara tali sandalnya.
"Itu Argus," kata Rachel, "kepala keamanan kami. Dia bertugas pasang mata baik-baik ... begitulah
kurang-lebihnya." Argus mengangguk. Mata di dagunya berkedip.
"Di mana?"" Piper mencoba lagi, namun dia merasa seperti bicara dengan mulut yang disumpal kapas.
"Kau ada di Rumah Besar," kata Rachel. "Kantor perkemahan. Kami membawamu ke sini waktu kau
ambruk." "Kau mencengkramku," Piper teringat. "Suara Hera?"
"Aku sungguh minta maaf soal itu," kata Rachel. "Percayalah padaku, bukan mauku kerasukan seperti itu.
Pak Chiron menyembuhkanmu dengan nektar?"
"Nektar?" "Minuman para dewa. Dalam jumlah kecil, nektar dapat menyembuhkan demigod, jika minuman
tersebut tidak"ah"membakarmu hingga jadi abu."
"Oh. Menyenangkan."
Rachel mencondongkan badannya ke depan. "Apa kau ingat visimu?"
Sesaat Piper merasa ngeri, mengira bahwa maksud Rachel adalah mimpinya tentang raksasa itu. Lalu dia
menyadari bahwa Rachel membicarakan kejadian di pondok Hera.
"Ada yang tidak beres dengan sang dewi," kata Piper. "Dia menyuruhku agar membebaskannya.
Sepertinya dia terperangkap. Dia menyebut-nyebut tentang bumi yang menelan kita, dan ia-yangmembara, serta sesuatu mengenai titik balik musim dingin."
Di pojok, Argus mengeluarkan bunyi bergemuruh dari dadanya. Semua matanya menggeletar
berbarengan. "Hera yang menciptakan Argus," Rachel menjelaskan. "Argus sesungguhnya sangat sensitif jika
menyangkut keselamatan Hera. Kami berusaha supaya Argus tidak menangis, soalnya terakhir kali itu
terjadi ... yah, banjirnya lumayan."
Argus menyedot ingus. Dia menyambar segenggam tisu dari meja samping tempat tidur dan mulai
menotol mata-mata di sekujur tubuhnya.
"Jadi ..." Piper berusaha tak memperhatikan saat Argus menyeka air mata dari sikunya. "Apa yang terjadi
pada Hera?" "Kami tidak yakin," kata Rachel. "Ngomong-ngomong, Annabeth dan Jason tadi di sini untuk
menemanimu. Jason tidak mau meninggalkanmu, tapi Annabeth punya gagasan"sesuatu yang mungkin
mengembalikan ingatan Jason."
"Itu ... itu bagus."
Jason tadi menemaninya" Piper berharap dia tadi sadar sehingga menyadari itu. Tapi jika Jason
memperoleh ingatannya kembali, apakah itu bagus" Piper masih berpegang pada harapan bahwa
mereka benar-benar saling kenal. Piper tidak mau jika hubungan mereka ternyata cuma tipuan kabut.
Kendalikan dirimu, pikir Piper. Jika Piper hendak menyelamatkan ayahnya, tidak jadi soal apakah Jason
menyukainya atau tidak. Jason toh akhirnya akan membenci Piper. Semua orang di sini akan
membencinya. Piper memandangi belati seremonial yang tersandang di pinggangnya. Annabeth bilang belati tersebut
merupakan perlambang kekuasaan dan status, tapi biasanya tak dipergunakan dalam pertempuran.
Cuma untuk pamer demi esensi. Palsu, sama seperti Piper. Dan namanya Katoptris, cermin. Piper tidak
berani mengeluarkan belati itu lagi dari sarungnya, sebab dia tidak sanggup melihat pantulan dirinya
sendiri. "Jangan khawatir." Rachel meremas lengan Piper. "Jason sepertinya cowok baik. Dia mendapat visi juga,
mirip sekali dengan visi yang kaudapat. Apa pun yang menimpa Hera"menurutku kalian berdua
ditakdirkan untuk bekerja sama."
Rachel tersenyum seakan ini adalah kabar baik, namun semangat Piper malah semakin merosot. Dia
mengira misi tersebut"apa pun itu"akan melibatkan orang-orang tak dikenal, yang namanya tak dia
ketahui. Kini Rachel seolah-olah bilang padanya: Kabar baik! Selain fakta bahwa ayahmu diculik oleh
raksasa kanibal, kau juga bakal mengkhianati cowok yang kausuka! Asyik tidak sih"
"Hei," kata Rachel. "Jangan menangis. Kau pasti bisa mengatasi segalanya."
Piper menyeka matanya, berusaha mengendalikan diri. Ini tidak seperti dirinya. Dia seharusnya tegar"
maling mobil tangguh, biang kerok sekolah-sekolah swasta di L.A. Namun di sinilah dia, menangis seperti
bayi. "Bagaimana kau bisa tahu apa yang sedang kuhadapi?"
Rachel mengangkat bahu. "Aku tahu kau harus mengambil keputusan yang sulit, dan pilihan yang
tersedia untukmu tidak bagus. Seperti yang kubilang, aku kadang-kadang mendapat firasat. Tapi kau
akan diakui saat acara api unggun. Aku hampir yakin seratus persen. Ketika kau tahu dewa mana yang
merupakan orangtuamu, keadaan mungkin bakal lebih jelas."
Lebih jelas, pikir Piper. Tidak serta-merta jadi lebih baik.
Piper duduk tegak di tempat tidur. Keningnya nyeri seperti ditusuk paku. Mustahil mendapatkan ibumu
kembali, ayahnya memberitahunya. Tapi rupanya, malam ini, ibunya mungkin saja mengakuinya. Untuk
pertama kalinya, Piper tidak yakin dia menginginkan itu.
"Mudah-mudahan ibuku Athena." Dia mendongkak, takut kalau-kalau Rachel bakal mengolok-oloknya,
tapi sang Oracle semata-mata tersenyum.
"Piper, aku tak menyalahkanmu. Sejujurnya" Menurutku Annabeth berharap begitu juga. Kalian berdua
mirip." Perbandingan itu membuat Piper merasa semakin bersalah. "Firasat lainnya" Kau tidak tahu apa-apa
tentang diriku." "Kau bakalan terheran-heran kalau kautahu apa yang kutahu."
"Kau cuma mengatakan itu karena kau seorang Oracle, kan" Kau harus terkesan misterius."
Rachel tertawa. "Jangan membongkar rahasiaku, Piper. Dan jangan khawatir. Semuanya pasti akan baikbaik saja"hanya saja mungkin tak seperti yang kaurencanakan."
"Itu tidak membuatku merasa lebih baik."
Di suatu tempat di kejauhan, terdengar tiupan trompet kerang. Argus menggeram dan membuka pintu.
"Makan malam?" tebak Piper.
"Kau ketiduran," kata Rachel. "Sudah waktunya api unggun. Ayo, kita cari tahu siapa dirimu."
BAB SEPULUH PIPER ACARA API UNGGUN MEMBUAT PIPER panik. Dia jadi memikirkan api unggun ungu besar dalam
mimpinya, dan ayahnya yang diikat di pasak.
Yang didapat Piper justru tidak kalah mengerikan: nyanyi bareng. Sisi bukit diukir sehingga membentuk
undakan amfiteater, menghadap lubang perapian besar bertepi batu. Kira-kira lima puluh hingga enam
puluh anak duduk berderet-deret, berkelompok di bawah aneka panji-panji.
Piper melihat Jason di bagian depan, di samping Annabeth. Leo tidak jauh dari sana, duduk bersama
sekumpulan pekemah berpenampilan kekar di bawah panji-panji kelabu baja berhiaskan gambar palu. Di
depan api unggun, berdirilah kira-kira setengah lusin pekemah yang membawa gitar dan harpa gaya
lama yang aneh"lira?"sambil berjingkrak-jingkrak, mempimpin nyanyian tentang baju zirah dan
sesuatu tentang bagaimana nenek mereka memperlengkapi diri sendiri ketika hendak berperang. Semua
orang menyanyi bersama mereka dan membuat gerakan yang menyimbolkan baju zirah serta berkelakar.
Mungkin ini adalah hal teraneh yang pernah disaksikan Piper"lagu api unggun bakalan amat
memalukan bila dinyanyikan di tengah hari bolong; namun di malam hari, dengan semua orang yang ikut
bernyanyi lagu tersebut jadi terkesan lucu dan mengasyikkan. Saat level energi kian meninggi, api pun
berkobar kian besar, berubah warna dari merah menjadi jingga hingga keemasan.
Akhirnya lagu itu berakhir, diiringi tepuk tangan berisik. Kuda yang ditunggangi seorang laki-laki
mendompa. Setidaknya di tengah cahaya kelap-kelip, Piper menyadari itu adalah centaurus"paruh
bawah tubuhnya seperti kuda jantan putih, sedangkan paruh atas tubuhnya berwujud laki-laki setengah
baya dengan rambut keriting dan janggut yang terpangkas rapi. Laki-laki tersebut mengacungkan
tombak yang dipuncaki marshmallow panggang. "Bagus sekali! Dan selamat datang untuk para
pendatang baru. Aku Chiron, direktur kegiatan perkemahan. Aku senang kalian semua telah tiba di sini
dengan selamat, dan dalam keadaan utuh. Sebentar lagi kita akan membuat s"mores, aku janji, tapi
pertama-tama?" "Bagaimana kalau tangkap bendera?" seseorang berteriak. Gerutuan pecah di antara anak-anak berbaju
zirah, yang duduk di bawah panji-panji merah beremblem kepala celeng.
"Ya," kata sang centaurus. "Aku tahu pondok Ares sudah tak sabar kembali ke hutan untuk permainan
rutin kita." "Dan membunuh orang-orang!" teriak salah seorang dari mereka.
"Namun demikian," kata Chiron, "sampai sang naga berhasil dikendalikan, itu tidaklah mungkin. Pondok
sembilan, ada laporan mengenai hal itu?"
Dia menoleh ke kelompok Leo. Leo berkedip kepada Piper, dan menembaknya dengan senapan jari.
Cewek yang duduk di sebelah Leo berdiri, tampak tidak nyaman. Dia mengenakan jaket tentara yang
mirip seperti punya Leo, dengan rambut ditutupi bandana merah. "Kami sedang berusaha
The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengatasinya." Gerutuan lagi. "Gimana, Nyssa?" tuntut seorang anak Ares.
"Kami berusaha dengan sangat keras," kata Nyssa itu.
Nyssa duduk diiringi banyak teriakan dan keluh kesah, yang menyebabkan lidah api meliuk-liuk liar.
Chiron menjejakkan kakinya ke batu di tepi perapian"buk, buk, buk"dan para pekemah pun terdiam.
"Kita harus sabar," kata Chiron. "Sementara itu, ada masalah yang lebih mendesak yang perlu kita
diskusikan." "Percy?" seseorang bertanya. Api kian meredup, tapi Piper tidak butuh kobaran api untuk mendeteksi
keresahan khalayak. Chiron memberi isyarat kepada Annabeth. Cewek itu menarik nafas dalam-dalam dan berdiri.
"Aku tidak menemukan Percy," Annabeth mengumumkan. Suaranya tercekat sedikit ketika dia
mengucapkan nama Percy. "Dia tak berada di Grand Canyon seperti yang kukira. Tapi kita takkan
menyerah. Kita punya tim dimana-mana. Grover, Tyson, Nico, para Pemburu Artemis"semuanya
mencari. Kita pasti menemukan Percy. Maksud Pak Chiron bukan itu. Misi baru."
"Ada hubungannya dengan Ramalan Besar, ya?" seru seorang cewek.
Semua orang menoleh. Suara itu berasal dari kelompok di belakang, duduk di bawah panji-panji
berwarna mawar dengan emblem merpati. Mereka dari tadi mengobrol sendiri dan tidak
memperhatikan sampai pemimpin mereka berdiri: Drew.
Yang lain kelihatan terkejut. Rupanya Drew tidak sering bicara kepada khalayak ramai.
"Drew?" kata Annabeth. "Apa maksudmu?"
"Yah, apa lagi?" Drew merentangkan tangan, seolah kebenarannya sudah jelas. "Olympus tertutup.
Percy menghilang. Hera mengrimimu visi dan kau kembali bersama demigod dalam sehari. Maksudku,
sesuatu yang aneh sedang terjadi. Ramalan Besar sudah dimulai, kan?"
Piper berbisik kepada Rachel, "Apa yang sedang dibicarakannya"Ramalan Besar?"
Lalu Piper menyadari semua orang sedang memandang Rachel juga.
"Jadi?" seru Drew. "Kau kan Oracle. Sudah dimulai atau belum?"
Mata Rachel terlihat mengerikan di tengah cahaya api unggun. Piper takut dia bakal menegang dan
kesurupan dewi merak menakutkan itu lagi, tapi Rachel melangkah maju dengan tenang dan berbicara
kepada seisi perkemahan. "Ya," katanya. "Ramalan Besar telah dimulai."
Kehebohan pun pecah. Piper menangkap pandangan mata Jason. Jason berucap tanpa suara, Kau baik-baik saja" Piper
mengangguk dan berhasil tersenyum, tapi kemudian berpaling. Terlalu menyakitkan melihat Jason lagi
dan tak bisa bersamanya. Ketika kasak-kusuk akhirnya mereda, Rachel lagi-lagi melangkah maju ke tengah-tengah hadirin, dan
lima puluh sekian demigod mencondongkan badan menjauhi cewek itu, seakan seorang cewek fana
berambut merah lebih mengerikan daripada mereka semua dijadikan satu.
"Bagi kalian yang belum mendengarnya," kata Rachel, "Ramalan Besar adalah ramalanku yang pertama.
Ramalan tersebut datang di bulan Agustus. Bunyinya seperti ini:
"Tujuh blasteran akan menjawab panggilan.
Karena badai atau api dunia akan terjungkal?"
Jason terlompat hingga berdiri. Matanya berkilat liar, seakan dia baru saja kena setrum.
Rachel sekalipun sepertinya tercengang. "J-Jason?" katanya. "Ada a?"
"Ut cum spiritu postrema sacramentum dejuremus," ucap Jason. "Er hostes ornamenta addent ad
ianuam necem." Keheningan menggelisahkan melingkupi kelompok tersebut. Piper bisa melihat dari wajah mereka
bahwa beberapa orang berusaha menerjemahkan kalimat tersebut. Piper tahu itu bahasa Latin, tapi dia
tidak yakin mengapa calon pacarnya"moga-moga"mendadak mengoceh dalam bahasa Latin seperti
seorang pastor Katolik. "Kau ... baru saja menuntaskan ramalan itu," Rachel terbata-bata. ?"Sumpah yang harus ditepati hingga
tarikan napas penghabisan/Dan musuh panggul senjata menuju Pintu Ajal. Bagaimana kau?"
"Aku tahu larik-lari itu." Jason berjengit dan menempelkan tangannya ke pelipis. "Aku tidak tahu
bagaimana, tapi aku tahu ramalan itu."
"Dalam bahasa Latin, pula," seru Drew. "Cakep dan pintar."
Terdengar tawa cekikikan dari pondok Aphrodite. Ya ampun, dasar pecundang, pikir Piper. Tapi sikap
mereka tetap tidak memecah ketegangan. Api unggun kini berkobar liar, dengan warna hijau
meresahkan. Jason duduk lagi, kelihatan malu, tapi Annabeth meletakkan tangannya di bahu Jason dan
menggumamkan sesuatu yang menenangkan. Piper merasakan tusukan kecemburuan. Seharusnya
dialah yang berada di samping Jason dan menghiburnya.
Rachel Dare masih kelihatan agak terguncang. Dia melirik Chiron untuk minta bimbingan, tapi sang
centaurus berdiri dengan raut muram dan diam saja, seperti sedang menonton sandiwara yang tidak
boleh dia interupsi"tragedi yang diakhiri tewasnya banyak orang di panggung.
"Yah," kata Rachel, berusaha memulihkan diri hingga tenang kembali. "Begitulah bunyi Ramalan Besar.
Kita berharap ramalan tersebut takkan terwujud sampai bertahun-tahun lagi, tapi aku khawatir ramalan
tersebut sudah dimulai sekarang. Aku tak bisa memberi kalian bukti. Itu cuma firasat. Dan seperti yang
dikatakan Drew, sejumlah peristiwa aneh sedang berlangsung. Ketujuh demigod, siapa pun mereka,
belum berkumpul. Aku punya firasat sebagian hadir di sini malam ini. Sebagian tidak ada di sini."
Para pekemah mulai gelisah dan bergumam, saling pandang dengan gugup, hingga sebuah suara
mengantuk di tengah massa berseru, "Hadir! Oh ... bukannya tadi kalian sedang mengabsen?"
"Tidur lagi sana, Clovis," seseorang berteriak, dan banyak orang tertawa.
"Pokoknya," lanjut Rachel, "kita tidak tahu makna Ramalan Besar itu. Kita tidak tahu tantangan apa yang
akan dihadapi para demigod, tapi karena Ramalan Besar pertama memprediksikan Perang Titan, dapat
kita tebak bahwa Ramalan Besar kedua akan mempredikisi sesuatu yang setidaknya sama buruknya."
"Atau lebih buruk lagi," gumam Chiron.
Mungkin dia tidak bermaksud didengar oleh semua orang, tapi semuanya mendengar. Api unggun
seketika berubah warna menjadi ungu gelap, sewarna dengan api dalam mimpi Piper.
"Apa yang kita ketahui," kata Rachel, "adalah bahwa tahap pertama telah dimulai. Masalah besar terjadi,
dan kita membutuhkan misi untuk memecahkannya. Hera, ratu para dewa, telah diculik."
Hening karena kaget. Lalu lima puluh demigod mulai bicara berbarengan.
Chiron mengentakkan kakinya lagi, namun Rachel tetap harus menunggu sebelum dia bisa kembali
memperoleh perhatian mereka.
Rachel menceritakan kepada mereka tentang insiden di titian Grand Canyon"bagaimana Gleeson
Hedge telah mengorbankan dirinya ketika roh-roh badai menyerang, dan para roh tersebut
mengingatkan bahwa kejadian itu barulah permulaannya. Mereka rupanya mengabdi kepada majikan
perempuan hebat yang bakal membinasakan semua demigod.
Lalu Rachel menceritakan kepada mereka tentang Piper yang pingsan di pondok Hera. Piper berusaha
mempertahankan ekspresinya agar tetap tenang, bahkan ketika dia menyadari bahwa di baris belakang,
Drew sedang berpantomim layaknya orang pingsan, dan teman-temannya cekikikan. Akhirnya Rachel
menceritakan visi Jason di ruang tengah Rumah Besar. Pesan yang disampaikan Hera begitu mirip
sampai-sampai Piper jadi merinding. Satu-satunya perbedaannya: Hera memperingati Piper agar tidak
mengkhianatinya: Tunduk kepada kehendaknya, dan raja mereka akan bangkit, mencelakakan kita
semua. Hera tahu tentang ancaman si raksasa. Tapi andaikan itu benar, mengapa sang dewi tak
memberi peringatan juga kepada Jason, dan mengungkapkan bahwa Piper adalah kaki tangan musuh"
"Jason," kata Rachel. "Anu ... apa kauingat nama belakangmu?"
Jason terlihat jengah, namun dia menggelengkan kepalanya.
"Kami akan memanggilmu Jason saja, kalau begitu," kata Rachel. "Jelas bahwa Hera sendiri telah
mengutusmu dalam sebuah misi."
Rachel terdiam, seakan memberi Jason kesempatan untuk memprotes takdirnya. Mata semua orang
tertuju kepada Jason; ada begitu banyak tekanan, menurut Piper dia bakal lemas jika berada dalam
posisi Jason. Walau begitu, Jason terlihat berani dan penuh tekad. Pemuda itu menggertakkan
rahangnya dan mengangguk. "Aku setuju."
"Kau harus menyelamatkan Hera demi mencegah petaka besar," lanjut Rachel. "Mencegah bangkitnya
seorang raja yang jahat. Atas alasan yang belum kita pahami, kebangkitan tersebut harus terjadi pada
hari titik balik musim dingin, tinggal empat hari dari sekarang."
"Yaitu ketika dewa-dewi mengadakan rapat dewan," kata Annabeth. "Jika para dewa belum tahu bahwa
Hera menghilang, mereka pasti akan menyadari ketidakhadirannya pada saat itu. Mereka barangkali
bakal berkelahi, saling tuduh telah menculik Hera. Biasanya itulah yang akan mereka lakukan."
"Titik balik matahari musim dingin," Chiron angkat bicara, "juga merupakan hari tergelap dalam setahun.
Dewa-dewi berkumpul pada hari itu, sebagaimana manusia fana, sebab kita jadi kuat bilamana bersatu.
Titik balik matahari musim dingin merupakan hari ketika sihir jahat paling kuat. Sihir kuno, lebih tua
daripada para dewa. Hari di mana banyak hal ... teraduk menjadi satu."
Dari caranya mengucapkan kata itu, mengaduk terdengar amat menakutkan"seolah itu adalah sejenis
hukuman mati, bukan sesuatu yang kaulakukan ketika membuat adonan kue.
"Oke," kata Annabeth sambil memelototi sang centaurus. "Terima kasih, Kapten Ceria. Apa pun yang
terjadi, aku sepakat dengan Rachel. Jason telah dipilih untuk memimpin misi ini, jadi?"
"Kenapa dia belum diakui?" teriak seseorang dari pondok Ares. "Kalau dia memang sepenting itu?"
"Dia sudah diakui," Chiron mengumumkan. "Dulu sekali. Jason, beri mereka demontrasi."
Pada mulanya, Jason sepertinya tak mengerti. Dia melangkah maju dengan gugup, namun Piper tak mau
berpikir, betapa menakjubkannya pemuda itu, dengan rambut pirangnya yang gemerlap diterpa sinar
api unggun, sosoknya yang agung bagaikan patung Romawi. Jason melirik Piper, dan dia pun
mengangguk untuk memberikan dukungan. Piper menirukan gerakan melempar koin.
Jason merogoh sakunya. Koinnya berkilat di udara, dan ketika Jason menangkap koin tersebut di
tangannya, dia memegang sebatang tombak"tongkat emas kira-kira sepanjang dua meter, dengan
mata runcing di salah satu ujungnya.
Para demigod yang lain terperangah. Rachel dan Annabeth melangkah mundur untuk menghindari ujung
tombak, yang kelihatannya setajam alat pemecah es.
"Bukannya itu ..." Annabeth ragu-ragu. "Kukira kau punya pedang."
"Anu, kurasa ini adalah sisi lain dari koin itu," kata Jason. "Koinnya sama, tapi wujud senjatanya beda,
yang ini senjata jarak jauh."
"Bung, aku mau dong!" teriak seseorang dari pondok Ares.
"Lebih bagus daripada tombak listrik si Clarisse yang payah!" salah satu saudara laki-laki Clarisse sepakat.
"Listrik," gumam Jason, seakan itu adalah ide bagus. "Mundur."
Annabeth dan Rachel menangkap maksudnya. Jason mengangkat lembingnya, dan guntur pun
membelah langit. Seluruh bulu di lengan Piper berdiri tegak. Petir merambati mata tombak emas dan
menyambar api unggun dengan ledakan sedahsyat selongsong arteri.
Ketika asap telah menipis, dan denging di telinga Piper sudah mereda, seisi perkemahan duduk
mematung karena tercengang, setengah buta, berselimut abu, menatap lokasi bekas api unggun. Arang
berjatuhan di mana-mana. Sebatang kayu yang terbakar menancapkan diri beberapa inci dari Clovis si
anak tidur, yang bahkan tidak bergerak sama sekali.
Jason menurunkan tombaknya. "Anu ... maaf."
Chiron membersihkan sisa-sisa bara yang masih menyala dari janggutnya. Dia meringis seakan-akan
kekhawatirannya yang terbesar telah dikonfirmasi. "Agak berlebihan, mungkin, tapi kau sudah
menunjukkan maksudmu dengan jelas. Dan aku yakin kami tahu siapa ayahmu."
"Jupiter," Jason berkata. "Maksudku, Zeus. Penguasa langit."
Piper mau tak mau tersenyum. Itu benar-benar masuk akal. Dewa paling perkasa, ayah dari semua
pahlawan terhebat dalam mitos kuno"tak mungkin ayah Jason adalah dewa lain.
Rupanya, orang-orang lain di perkemahan tidak seyakin itu. Suasana jadi ricuh karena lusinan orang
mengajukan pertanyaan secara serempak sampai Annabeth mengangkat tangannya.
"Tunggu dulu!" kata gadis itu. "Bagaimana mungkin dia adalah putra Zeus" Tiga Besar ... kesepakatan
mereka untuk tidak memiliki anak manusia ... kok kita tidak mengetahui tentang Jason lebih awal?"
Chiron tidak menjawab, namun Piper merasa sang centaurus tahu sebabnya. Dan kebenaran tersebut
bukan sesuatu yang bagus.
"Yang penting," kata Rachel, "Jason di sini sekarang. Dia punya misi yang harus diselesaikan. Berarti, dia
butuh ramalan untuknya sendiri."
Rachel memejamkan mata dan jatuh pingsan. Dua pekemah buru-buru maju dan menangkapnya.
Pekemah ketiga lari ke samping amfiteater dan menyambar bangku perunggu berkaki tiga, seolah
mereka telah terlatih untuk tugas ini. Mereka menundukkan Rachel ke bangku itu di hadapan api
unggun yang porak-poranda. Tanpa api unggun, malam terasa gelap gulita, namun kabut hijau mulai
berputar-putar di sekeliling kaki Rachel. Ketika dia membuka mata, matanya bercahaya. Asap hijau
zamrud keluar dari mulutnya. Suara yang terucap serak dan purba"layaknya suara yang dihasilkan ular
apabila ia bisa bicara: "Putra petir, waspadalah terhadap bumi,
Balas dendam para raksasa, tujuh pendekar pun lahir,
Palu besi dan merpati "kan patahkan sangkar,
Dan kematian pun terlepas dari murka Hera."
Sesudah kata terakhir, Rachel pun ambruk, namun para pembantunya sudah menunggu untuk
menangkapnya. Mereka menggendong Rachel menjauhi perapian dan membaringkannya di pojok untuk
beristirahat. "Apa itu normal?" tanya Piper. Lalu dia menyadari dirinya bicara di tengah-tengah kesunyian, dan semua
orang memandanginya. "Maksudku ... apa dia sering menyemburkan asap hijau?"
"Demi para dewa, kau ini bebal deh!" cemooh Drew. "Dia baru saja mengutarakan ramalan"ramalan
tentang Jason yang akan pergi menyelamatkan Hera! Kenapa kau tidak?"
"Drew," bentak Annabeth. "Piper mengajukan pertanyaan yang wajar. Jelas ada yang tidak normal
terkait dengan ramalan itu. Jika membobol kurungan Hera sama artinya dengan melepaskan murkanya
dan menyebabkan kematian ... buat apa kita membebaskannya" Mungkin itu jebakan, atau"atau
barangkali Hera akan menyerang para penolongnya. Dia tak pernah bersikap baik terhadap pahlawan."
Jason pun bangkit. "Aku tidak punya banyak pilihan. Hera merampas ingatanku. Aku membutuhkannya
kembali. Lagi pula, kita tak bisa tidak menolong sang ratu langit jika dia sedang dalam kesulitan.
Seorang cewek dari pondok Hephaestus berdiri"Nyssa, yang memakai bandana merah. "Mungkin. Tapi
kau sebaiknya pertimbangkan perkataan Annabeth. Hera bisa bersikap keji. Dia melempar putranya
sendiri"ayah kami"ke gunung hanya karena beliau buruk rupa."
"Buruk rupa banget," cemooh seseorang dari pondok Aphrodite.
"Tutup mulut!" geram Nyssa. "Pokoknya, kita juga harus memikirkan"kenapa kita harus berhati-hati
pada bumi" Dan apa itu balas dendam para raksasa" Makhluk apa sebenarnya yang kita hadapi, yang
cukup perkasa untuk menculik sang ratu langit?"
Tak ada yang menjawab, tapi Piper menyadari bahwa Annabeth dan Chiron tengah menjalin percakapan
tanpa suara. Piper menduga isinnya seperti ini:
Annabeth: Balas dendam para raksasa ... tidak, itu tak mungkin.
Chiron: Jangan bicarakan hal itu di sini. Jangan takut-takuti mereka.
Annabeth: Bapak bercanda! Kita tidak mungkin seapes itu.
Chiron: Nanti saja, Nak. Jika kau memberitahukan segalanya pada mereka, mereka pasti terlalu takut
sehingga takkan sanggup melangkah maju.
Piper tahu dia sinting jika mengira bisa membaca ekspresi mereka selihai itu"dua orang yang baru saja
dia kenal. Tapi Piper yakin sekali bahwa dia memahami mereka, dan itu membuatnya takut setengah
mati. Annabeth menarik napas dalam-dalam. "Ini misi Jason," dia mengumumkan, "jadi terserah pilihan Jason.
Jelas bahwa dia adalah putra petir. Berdasarkan tradisi, dia diperkenankan memilih dua orang yang
mana saja sebagai rekan."
Seseorang dari pondok Hermes berteriak, "Yah, kau orangnya, Annabeth, sudah jelas. Kaulah yang paling
berpengalaman." "Tidak, Travis," kata Annabeth. "Pertama-tama, aku tidak mau membantu Hera. Tiap kali aku berusaha,
dia mengelabuiku, atau aku malah kena sial belakangan. Lupakan. Aku tidak mau. Kedua, aku akan pergi
besok pagi-pagi sekal untuk mencari Percy."
"Semuanya berhubungan," sembur Piper, tidak yakin bagaimana dia mendapatkan keberanian.
"Kautahu itu benar, kan" Seluruh kejadian ini, hilangnya pacarmu"keduanya berhubungan."
"Bagaimana?" tuntut Drew. "Kalau kau memang pintar banget, bagaimana?"
Piper mencoba untuk membalasnya, tapi dia tidak bisa.
Annabeth menyelamatkannya. "Kau mungkin benar, Piper. Jika semua ini memang berhubungan, akan
kucari pemecahannya dari ujung yang satu lagi"dengan cara mencari Percy. Seperti yang kubilang, aku
tidak mau buru-buru menyelamatkan Hera, bahkan jika hilangnya Hera bisa memicu perkelahian antara
dewa-dewi Olympia yang lain. Tapi ada alasan lain sehingga aku tak bisa ikut. Ramalan tersebut tidak
menyebutkan bahwa aku harus ikut."
"Ramalan itu memberi petunjuk tentang siapa yang akan kupilih," Jason sepakat. "Palu besi dan merpati
kan patahkan sangkar. Palu besi adalah simbol Vul"Hephaestus."
Di bawah panji-panji Pondok Sembilan, bahu Nyssa merosot, seakan sebuah paron berat baru saja
diberikan kepadanya. "Jika kau harus berhati-hati terhadap bumi," katanya, "kau harus menghindari
perjalanan darat. Kau bakal membutuhkan transportasi udara."
Piper hendak berseru bahwa Jason bisa terbang. Tapi kemudian dia mengurungkan niatnya. Jason-lah
yang berhak memberitahukan hal itu, dan pemuda tersebut tidak mengungkapkan informasi tersebut
secara sukarela. Mungkin Jason berpendapat sudah cukup dia membuat semua orang ngeri untuk satu
malam. "Kereta terbang sedang rusak," lanjut Nyssa, "dan para pegasus, kita menggunakan mereka untuk
mencari Percy. Tapi mungkin pondok Hephaestus bisa mengajukan orang lain untuk membantu. Karena
Jake sedang tidak sehat, akulah pekemah yang paling senior. Aku bisa mengajukan diri untuk misi
tersebut." Kedengarannya dia tidak bersemangat.
Lalu Leo berdiri. Leo diam saja sedari tadi sampai-sampai Piper lupa dia ada di sana, yang sama sekali
tidak seperti Leo. "Aku orangnya," kata Leo.
Rekan-rekan sepondoknya bergerak. Beberapa berusaha menariknya agar kembali ke tempat duduknya,
namun Leo melawan. "Tidak, aku orangnya. Aku tahu pasti. Aku punya ide mengenai masalah transportasi. Biarkan aku
mencoba. Aku bisa membereskan masalah ini!"
Jason memperhatikan Leo selama sesaat. Piper yakin Jason akan berkata tidak kepada Leo. Kemudian
Jason tersenyum. "Kita memulai ini bersama-sama, Leo. Sepertinya memang tepat kalau kau ikut. Kalau
kau bisa mencarikan kendaraan untuk kita, kau boleh ikut."
"Sip!" Leo mengacungkan tinjunya.
"Misi tersebut bakal berbahaya," Nyssa memperingatkan Leo. "Kesulitan, monster, penderitaan tak
terperi. Mungkin saja tak satu pun dari kalian kembali hidup-hidup."
"Oh." Tiba-tiba Leo tidak terlihat terlalu antusias. Kemudian dia ingat semua orang sedang
memperhatikan. "Maksudku ... Wah, keren! Penderitaan" Aku suka penderitaan! Ayo kita lakukan ini."
Annabeth mengangguk. "Kalau begitu, Jason, kau hanya perlu memilih anggota misi yang ketiga.
Merpati?" "Oh, tentu saja!" Drew kontan berdiri dan menyunggingkan senyum kepada Jason. "Merpati adalah
simbol Aphrodite. Semua orang tahu itu. aku milikmu seutuhnya."
Tangan Piper terkepal. Dia melangkah maju. "Tidak."
Drew memutar-mutar bola matanya. "Yang benar saja, Cewek Tong Sampah. Mundur sana."
"Aku yang mendapatkan visi dari Hera, bukan kau. Aku yang harus melakukan ini."
The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa saja bisa mendapatkan visi," kata Drew. "Kau kebetulan saja berada di tempat yang tepat pada
waktu yang tepat." Cewek itu berpaling kepada Jason. "Dengar, tidak ada salahnya bertarung, kurasa.
Dan orang-orang yang merakit macam-macam ..." Dia memandang Leo dengan muak. "Yah, kurasa
harus ada yang tangannya kotor. Tapi kau membutuhkan pesona di pihakmu. Aku bisa sangat persuasif.
Aku bisa banyak membantu."
Para pekemah mulai menggumamkan betapa Drew memang lumayan persuasif. Piper bisa melihat
bahwa Drew telah merebut simpati mereka. Chiron bahkan menggaruk-garuk janggutnya, seolah dia
mendadak berpendapat bahwa partispasi Drew masuk akal.
"Yah ..." ujar Annabeth. "Mengingat kata-kata dalam ramalan itu?"
"Tidak!" Suara Piper sendiri terdengar aneh di telinganya"lebih memaksa, bernada lebih merdu.
"Akulah yang semestinya memaksa ikut."
Lalu terjadilah hal yang paling janggal. Semua orang mulai mengangguk-angguk, bergumam bahwa hmm,
sudut pandang Piper masuk akal juga. Drew menoleh ke sekelilingnya, tidak percaya. Bahkan sejumlah
pekemah sepondoknya ikut mengangguk-angguk.
"Sadar dong!" Drew membentak. "Memangnya Piper bisa apa?"
Piper mencoba merespons, namun kepercayaan dirinya mulai berkurang. Apa yang bisa dia tawarkan"
Dia bukan petarung, atau perencana, atau pakar reparasi. Dia tidak punya keahlian selain terlibat
masalah dan terkadang meyakinkan orang untuk melakukan hal bodoh.
Selain itu, dia seorang pembohong. Dia harus ikut dalam misi ini karena alasan yang tidak ada
hubungannya dengan Jason"dan jika Piper akhirnya ikut, ujung-ujungnya dia akan mengkhianati semua
orang di sana. Piper mendengar suara dari mimpi itu: Lakukan perintah kami, dan kau mungkin bisa
hidup. Bagaimana mungkin dia membuat pilihan semacam itu"antara menolong ayahnya atau
menolong Jason. "Nah," kata Drew pongah, "kurasa sudah diputuskan."
Mendadak semua terkesiap serempak. Semua orang menatap Piper seolah dia baru saja meledak. Piper
bertanya-tanya kesalahan apa yang sudah dilakukannya. Lalu Piper menyadari ada pendar kemerahan di
sekelilingnya. "Apa?" tuntutnya.
Piper menengok ke atasnya, tapi tidak ada simbol membara seperti yang muncul di atas kepala Leo. Lalu
dia menengok ke bawah dan memekik.
Pakaiannya ... apa pula yang dia kenakan" Dia benci gaun. Dia bahkan tidak punya gaun. Tapi kini dia
mengenakan gaun putih elok tak berlengan yang menjuntai hingga ke pergelangan kaki, dengan leher
berbentuk V yang kelewat rendah sehingga teramat memalukan. Gelang lengan indah dari emas
melingkari bisepnya. Kalung molek dari ambar, koral, dan bunga emas berkilauan di dadanya, sedangkan
rambutnya ... "Ya Tuhan," kata Piper. "Ada apa ini?"
Annabeth yang terperanjat menunjuk belati Piper, yang kini mengilap karena sudah diminyaki. Belati itu
menggantung dari tali emas yang dililitkan ke pinggangnya. Piper tidak mau menghunus belati tersebut.
Dia takut pada apa yang mungkin dia lihat. Tapi rasa penasarannya menang. Piper mencabut Katopris
dari sarungnya dan menatap pantulan dirinya di bilah logam yang berkilat. Rambutnya sempurna:
cokelat panjang kemilau, dikepang satu dengan pita emas hingga mencapai bahunya. Dia bahkan
memakai rias wajah, lebih bagus daripada yang bisa Piper bubuhkan sendiri"sentuhan tipis yang
membuat bibirnya semerah ceri serta mengeluarkan semua warna yang berlainan di matanya.
Dia ... Dia ... "Cantik," seru Jason. "Piper, kau ... kau cantik banget."
Pada situasi berbeda, itu pastilah akan jadi saat paling membahagiakan dalam hidup Piper. Namun
sekarang semua orang menatapnya seakan-akan dia orang aneh. Wajah Drew diwarnai ekspresi ngeri
dan jijik. "Tidak!" pekik Drew. "Tidak mungkin!"
"Ini bukan aku," Piper memprotes. "Aku"tak mengerti."
Chiron sang centaurus menekuk kaki depannya dan membungkuk kepada Piper, dan semua pekemah
pun mengikuti gerakannya.
"Salam, Piper McLean," Chiron mengumumkan dengan khidmat, seolah sedang dalam pemakaman Piper.
"Putri Aphrodite, penguasa merpati, sang Dewi Cinta."
BAB SEBELAS LEO LEO TIDAK BERDIAM DIRI LAMA-LAMA karena Piper berubah jadi cantik. Memang,
kejadian luar biasa"Piper pakai rias wajah! Sungguh suatu mukjizat!"tapi Leo punya urusan
yang harus ditangani. Dia mengendap-endap keluar dari amfiteater dan lari ke tengah-tengah
kegelapan, bertanya-tanya dirinya terjerumus ke dalam apa.
Leo telah berdiri di hadapan sekumpulan demigod yang lebih kuar dan lebih berani serta
mengajukan diri secara sukarela"sukarela"untuk menjalankan misi yang barangkali bakal
menewaskannya. Leo tidak menyinggung-nyinggung bahwa dia melihat Tia Callida, pengasuh lamanya, tapi
begitu dia mendengar tentang pengelihatan Jason"wanita bergaun dan berselendang hitam"
Leo tahu bahwa itu adalah wanita yang sama. Tia Callida adalah Hera, Pengasuh Leo yang jahat
ternyata ratu para dewa. Hal semacam itu benar-benar bisa membuat otakmu korslet.
Leo tersaruk-saruk ke hutan dan berusaha tak memikirkan masa kecilnya"semua peristiwa
sinting yang berujung dengan meninggalnya ibunya. Tapi dia tak bisa.
*** Kali pertama Tia Callida mencoba membunuh Leo, umurnya pasti sekitar dua tahun. Tia Callida
sedang menjaga Leo selagi ibunya berada di bengkel mesin. Wanita itu sebenarnya bukan bibi
Leo, tentu saja"cuma salah seorang wanita tua di lingkungan tersebut, bibi-bibi yang acap kali
membantu mengawasi anak-anak. Aroma tubuhnya seperti ham panggang berlumur madu, dan
dia selalu mengenakan gaun berkabung dengan selendang hitam layaknya seorang janda.
"Ayo tidur dulu," kata Tia Callida. "Ayo kita lihat apakah kau memang pahlawan kecilku yang
berani, ya?" Leo mengantuk. Tia Callida membuai Leo dalam balutan selimut dan di antara tumpukan hangat
bantal berwarna merah serta kuning"benarkah itu bantal" Tempat tidurnya berupa ceruk di
tembok, terbuat dari bata yang menghitam, dengan pintu geser logam di atas kepala Leo serta
lubang segi empat jauh di atas. Lewat lubang tersebut, Leo dapat melihat bintang-bintang. Leo
ingat dirinya beristirahat dengan nyaman, mencengkaram percikan api bagaikan kunang-kunang.
Leo tertidur, dan memimpikan kapal dari api, berlayar melewati arang. Dia membayangkan
dirinya di atas kapal, mengarungi angkasa. Di suatu tempat di dekat sana, Tia Callida duduk di
kursi goyang"keriut, keriut, keriut"dan menyanyikan ninabobo. Pada usia dua tahun sekalipun,
Leo tahu bedanya bahasa Inggris dan Spanyol, dan dia ingat dia merasa kebingungan karena
nyanyian Tia Callida bukanlah dalam kedua bahasa itu.
Segalanya baik-baik saja hingga ibu Leo pulang ke rumah. Ibunya menjerit dan berlari untuk
menggendongnya, menjerit-jerit kepada Tia Callida, "Bisa-bisanya kau?" Tapi wanita tua itu
sudah lenyap. Leo ingat dirinya menengok dari balik pundak ibunya, memandangi lidah api yang melalap
selimutnya. Baru beberapa tahun kemudian Leo sadar bahwa saat itu dia tidur di perapian yang
menyala. Yang paling aneh" Tia Callida tidak ditahan atau bahkan diusir dari rumah mereka. Wanita itu
muncul lagi beberapa kali pada tahun-tahun mendatang. Sekali, waktu Leo berusia empat tahun,
Tia menemukan seekor ular derik untuk Leo di ladang penggembalaan sapi dekat rumahnya.
Wanita itu memberi Leo ranting dan mendorongnya agar mencocok-cocok hewan tersebut.
"Mana keberanianmu, Pahlawan Kecil" Tunjukkan kepadaku bahwa para Moirae sudah
bertindak benar dengan memilihmu." Leo menatap mata merah tua itu, mendengar bunyi derik
ekor si ular. Dia tidak bisa memaksakan dirinya untuk mencocok-cocok ular tersebut. Sepertinya
itu bukan perbuatan yang adil. Rupanya si ular berpendapat serupa soal menggigit anak kecil.
Leo bersumpah ular itu memandang Tia Callida dengan ekspresi seolah mengatakan, Anda sudah
gila ya, Nyonya" Kemudian si ular itu menghilang ke dalam reremputan tinggi.
Kali terakhir Tia Callida mengasuhn
ya, Leo berumur lima tahun. Wanita itu membawakannya
sekotak krayon dan sebundel kertas. Mereka duduk bersama-sama di balik meja piknik di
belakang kompleks apartemen, di bawah sebatang pohon pecan tua. Selagi Tia Callida
menyanyikan lagu-lagunya yang aneh, Leo menggambar kapal yang dia lihat di dalam mimpi,
dilengkapi layar warna-warni serta barisan dayung, buritan lengkung, dan kepala tiang layar
yang keren. Ketika dia hampir selesai, hendak membubuhkan tanda tangan sebagaimana yang
dia pelajari di TK, angin membawa pergi gambar tersebut. Gambar itu terbang ke langit dan
menghilang. Leo ingin menangis. Dia menghabiskan banyak sekali waktu untuk mengerjakan gambar itu"
namun Tia Callida hanya berdecak kecewa.
"Waktumu belum tiba, Pahlawan Kecil. Suatu hari, kau akan mendapatkan misimu sendiri. Kau
akan menemukan takdirmu, dan akhirnya kau akan mengerti makna dari perjalanan hidupmu
yang berat itu. Tapi pertama-tama kau harus menghadapi banyak kepiluan. Aku menyesalinya,
tapi pahlawan tidak dapat dibentuk dengan cara lain. Nah, sekarang buatkan aku api, ya"
Hangatkan tulang-tulang tua ini."
Beberapa menit kemudian, ibu Leo keluar dan memekik ngeri. Tia Callida sudah pergi, tapi Leo
duduk di tengah-tengah api yang berasap. Sebundel kertas sudah menjadi abu. Krayon meleleh
menjadi genangan lendir aneka warna yang menggelegak, sedangkan tangan Leo membara,
pelan-pelan membakar seluruh meja piknik. Seama bertahun-tahun sesudahnya, orang-orang di
kompleks apartemen masih bertanya-tanya bagaimana caranya seseorang mengecap cetakan
hangus berbentuk tangan anak usia lima tahun ke kayu padat setebal satu inci.
*** Kini Leo yakin bahwa Tia Callida, pengasuhnya yang sinting, ternyata adalah Hera. Artinya
Hera adalah, apa"nenek dewatanya" Keluarga Leo ternyata lebih kacau daripada yang dia
sadari. Leo bertanya-tanya apakah ibunya tahu kebenarannya. Leo ingat setelah kunjungan terakhir itu,
ibunya membawa Leo ke dalam dan mengobrol lama dengannya, namun Leo hanya memahami
sebagian ucapan ibunya. "Wanita itu tidak boleh datang lagi." Ibunya berwajah cantik dengan mata ramah, dan rambut
keriting berwarna gelap, tapi dia kelihatan lebih tua karena kerja keras. Garis-garis di sekitar
matanya terukir dalam. Tangannya kapalan. Dia adalah orang pertama dalam keluarganya yang
lulus dari perguruan tinggi. Dia mempunyai gelar di bidang teknik mesin dan bisa mendesain apa
saja, memperbaiki apa saja, merakit apa saja.
Tapi tidak ada yang mau mempekerjakan ibu Leo, setidaknya tidak ada perusahaan yang
mempekerjakannya dengan serius, jadi ibu Leo akhirnya bekerja di bengkel mesin, berusaha
menghasilkan cukup uang untuk menafkahi mereka berdua. Dia selalu berbau oli mesin, dan
ketika dia berbicara kepada Leo, dia senantiasa mengganti-ganti dari bahasa Spanyol ke bahasa
Inggris"menggunakan kedua bahasa tersebut bagaikan alat-alat yang saling melengkapi. Butuh
setahun bagi Leo untuk menyadari bahwa tak semua orang bisa berbicara seperti itu. Ibunya
bahkan mengajari Leo kode Morse sebagai semacam permainan, supaya mereka dapat
mengetukkan pesan kepada satu sama lain ketika berada di ruangan yang berlainan: Aku sayang
kau. Kau tak apa-apa" Hal-hal sederhana seperti itu.
"Aku tak peduli apa yang dikatakan Callida," ibunya memberi tahu Leo. "Aku tidak peduli
tentang takdir dan Moirae. Kau terlalu muda untuk itu. Di mataku, kau masih seorang bayi."
Ibunya menggamit tangan Leo, mencari bekas terbakar, tapi tentu saja tidak ada. "Leo,
dengarkan aku. Api adalah alat, seperti semua hal lain, tapi api lebih berbahaya dari sebagian
besar hal. Kau tidak tahu batas kekuatanmu. Tolong, berjanjilah padaku"jangan main api lagi
sampai kau bertemu ayahmu. Suatu hari nanti, mijo (Mi hijo: anak laki-lakiku dalam bahasa
Spanyol), kau pasti bertemu ayahmu. Dia akan menjelaskan segalanya."
Leo telah mendengar kata-kata itu sejak dia bisa mengingat untuk pertama kalinya. Suatu hari
nanti dia pasti bertemu ayahnya. Ibunya tak mau menjawab pertanyaan apa pun tentang ayah Leo.
Dibalik Keheningan Salju 2 Juragan Tamak Negeri Malaya Karya Widi Widayat Tujuh Pedang Tiga Ruyung 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama