Ceritasilat Novel Online

Pahlawan Yang Hilang 6

The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero Bagian 6


mengertakkan rahangnya. "Sekali getok saja?" "Tidak," kata Piper. "Bagaimana kalau kita kompromi"
Akan kubunuh mereka lebih dulu, dan jika mereka ternyata bukan musuh, aku akan minta maaf."
"Tidak!" Piper berkeras. "Mbeeek." Pak Pelatih Hedge menurunkan pentungannya. Piper memberi Lit
senyum maaflean-soal-itu yang ramah. Meskipun rambutnya berantakan dan sudah dua hari dia tidak
ganti baju, Piper masih tampak luar biasa manis, dan Jason merasa agak cemburu karena dia memberi
Lit senyuman itu. Lit mendengus dan menyarungkan pedangnya. "Kau pintar bicara, Non"untung bagi
teman-temanmu, atau aku pasti sudah menebas mereka." "Makasih," kata Leo. "Aku mencoba supaya
tidak ditebas sebelum waktu makan siang." Lit mengerutkan kening. "Paduka?" "Tak apa-apa, Lit," kata
sang pria tua. "Negeri baru, adat istiadat baru. Mereka boleh duduk di hadapanku. Bagaimanapun,
mereka telah melihatku berpakaian tidur. Tak ada gunanya memaksakan formalitas." Dia berusaha
sebaik mungkin untuk tersenyum, meskipun kelihatannya agak dipaksakan. "Selamat datang di rumahku
yang sederhana. Aku Raja Midas."
*** [ 370 ] JASON "Midas" Mustahil," ujar Pak Pelatih Hedge. "Dia sudah mati." Mereka sekarang duduk di sofa, sementara
sang raja bersandar di singgasananya. Susah melakukan itu dalam balutan jubah mandi, dan Jason terus
saja khawatir kalau-kalau sang lelaki tua lupa dan mengangkang. Mudah-mudahan dia mengenakan
celana pendek emas di bawah sana. Lit duduk di belakang singgasana, kedua tangannya memegang
pedang, dia melirik Piper dan meregangkan lengannya yang berotot hanya untuk terlihat menyebalkan.
Jason bertanya-tanya apakah dia terlihat sekekar itu saat memegang pedang. Sayangnya, Jason
meragukannya. Piper mencondongkan tubuhnya ke depan. "Yang dimaksud teman satir kami, Paduka,
adalah bahwa Paduka merupakan manusia fana kedua yang kami temui yang semestinya sudah"
maaf"meninggal. Raja Midas hidup beribu-ribu tahun lalu." "Menarik." Sang raja menatap ke luar
jendela, melihat langit biru cerah dan sinar mentari musim dingin. Di kejauhan, pusat kota Omaha
terlihat bagaikan kumpulan balok mainan anak-anak"terlalu bersih dan terlalu kecil untuk kota biasa.
"Kautahu," kata sang raja, "kurasa aku memang sudah cukup lama meninggal. Aneh. Rasanya seperti
mimpi, bukan begitu, Lit?" "Mimpi yang sangat panjang, Paduka." "Walau begitu, di sinilah kami
sekarang. Aku sangat menikmati kehidupanku. Aku lebih suka hidup." "Tapi bagaimana?" tanya Piper.
"Apa Paduka kebetulan memiliki pelindung?" Midas ragu-ragu, tapi ada kerlip licik di matanya. "Apakah
itu penting, Sayang?" "Kita bisa membunuh mereka lagi," Hedge menyarankan. "Pak Pelatih, Anda tidak
membantu," kata Jason. "Bagaimana kalau Bapak keluar saja dan berjaga?"
Leo batuk-batuk. "Apakah itu aman" Mereka punya sistem pengamanan yang tangguh." "Oh, ya," kata
sang Raja. "Maaf soal itu. Tapi perangkat tersebut hebat, bukan" Mengagumkan melihat apa yang masih
bisa dibeli dengan emas. Mainan-mainan di negeri ini sungguh menakjubkan!" Dia mengambil
pengendali jarak jauh dari saku jubah mandinya dan menekan beberapa tombol"nomor kombinasi,
menu:rut tebakan Jason. "Sudah," kata Midas. "Arran untuk keluar sekarang." Pak Pelatih Hedge
menggeram. "Baiklah. Tapi jika kalian membutuhkanku ..." Dia berkedip penuh arti kepada Jason. Lalu
dia menunjuk dirinya sendiri, mengacungkan dua jari ke tuan rumah mereka, dan menelusurkan jari ke
lehernya. Bahasa isyarat yang sangat kentara. "Iya, makasih," kata Jason. Sesudah sang satir pergi, Piper
mencoba melontarkan senyum diplomatic lagi. "Jadi Paduka tidak tahu bagaimana ceritanya sampai
Paduka berada di sini?" "Oh bagaimana ya"! Aku tahu. Kurang-lebih," kata sang raja. Dia mengerutkan
kening kepada Lit. "Kenapa kita memilih Omaha" Aku tahu bukan karena cuacanya." "Oracle," kata Lit.
"Ya! Aku diberi tahu bahwa ada seorang oracle di Omaha." Sang raja mengangkat bahu. "Rupanya aku
keliru. Tapi ini rumah yang lumayan bagus, bukan" Lit"itu kependekan dari Lityerses, omong-omong"
nama yang jelek, tapi ibunya bersikeras"Lit mendapatkan banyak ruang terbuka untuk berlatih pedang.
Dia memiliki reputasi dalam hal itu. Orang-orang menjulukinya Penuai Manusia pada zaman dahulu."
[ 372 ] JASON "Oh." Piper berusaha supaya terdengar antusias. "Hebat sekali." Senyum Lit lebih menyerupai seringai
kejam. Jason sekarang seratus persen yakin dia tidak menyukai pemuda ini, dan dia mulai menyesal
sudah mengutus Hedge ke luar. "Jadi," ujar Jason. "Semua emas ini?" Mata sang raja berbinar-binar.
"Apakah kau datang untuk emas ini, Nak" Silakan, ambil brosur!" Jason memandangi brosur di meja kopi.
Judulnya berbunyi ENIAS" Investasi untuk Selamanya. "Mmm, Paduka menjual emas?" "Bukan, bukan,"
kata sang raja. "Aku membuatnya. Di masa-masa yang tak pasti seperti sekarang ini, emas adalah
investasi yang paling bijak, bukan begitu" Pemerintahan runtuh. Yang mati bangkit kembali. Raksasa
menyerang Olympus. Tapi nilai emas tetap stabil!" Leo mengerutkan kening. "Mu pernah melihat iklan
itu." "Oh, jangan tertipu oleh peniru murahan!" kata sang raja. "Kupastikan kepada kalian, untuk
investor serius, aku bisa mengalahkan harga mereka semua. Mu bisa membuat berbagai benda dari
emas dalam waktu sekejap." "Tapi ..." Piper menggeleng-gelengkan kepala kebingungan. "Paduka, Anda
mengembalikan sentuhan emas Paduka, kan?" Sang raja tampak terperanjat. "Mengembalikan?" "Ya,"
kata Piper. "Paduka memperolehnya dari dewa?" "Dionysus," sang raja mengiyakan. "Aku
menyelamatkan salah satu satirnya, dan sebagai imbalannya, sang dewa menganugerahiku satu
permintaan. Mu memilih sentuhan emas." "Tapi Paduka tidak sengaja mengubah anak perempuan
Paduka jadi emas," Piper teringat. "Dan Paduka menyadari betapa serakahnya Paduka. Jadi, Paduka
bertobat." "Bertobat!" Raja Midas memandang Lit tak percaya. "Kaulihat, Putraku" Kita pergi beberapa ribu tahun,
dan ceritanya jadi menyimpang. Gadis Manis, apa cerita itu pernah menyebutkan bahwa aku kehilangan
sentuhan emasku?" "Yah, saya rasa tidak. Katanya Paduka belajar membalikkan efeknya dengan air
mengalir, dan Paduka menghidupkan anak perempuan Paduka." "Itu semua benar. Terkadang aku masih
harus membalikkan efek sentuhanku. Tidak ada air mengalir di rumah ini karena aku tak mau ada
kecelakaan?"dia memberi isyarat ke patung-patungnya?"tapi kami memilih untuk tinggal di sebelah
sungai, untuk berjaga-jaga. Sesekali, aku lupa dan tidak sengaja menepuk punggung Lit?" Lit mundur
beberapa langkah. "Aku benci itu." "Sudah kukatakan aku menyesal, Putraku. Bagaimanapun, emas
sungguh luar biasa. Untuk apa aku membuang kemampuanku?" "Yah ..." Sekarang Piper betul-betul
terlihat bingung. "Bukankah itu inti ceritanya" Bahwa Paduka telah belajar dari kesalahan?" Midas
tertawa. "Sayang, boleh kulihat tas punggungmu sebentar" Lemparkan ke sini." Piper ragu-ragu, tapi dia
tidak ingin menyinggung perasaan sang raja. Dia mengeluarkan semua isi tas dan melemparkan ransel
tersebut kepada Midas. Begitu sang raja menangkapnya, tas tersebut berubah menjadi emas, seperti
bunga es yang menyebar di kain. Ransel tersebut masih tampak fleksibel dan lembut, tapi jelas-jelas
terbuat dari emas. Sang raja melemparkannya kembali. "Seperti yang kalian lihat, aku masih bisa
mengubah apa saja menjadi emas," kata Midas. "Tas itu sekarang jadi tas ajaib juga. Silakan"masukkan
musuh kalian, roh-roh badai itu, ke sana."
JASON "Serius nih?" Leo mendadak tertarik. Dia mengambil tas Mari Piper dan membawa ransel tersebut ke
kandang. Begitu Leo membuka ritsleting ransel, angin berpusing dan melolong protes. Jeruji kandang
bergetar. Pintu kurungan menjeblak terbuka dan angin-angin langsung terisap ke dalam tas. Leo
menutup ritsletingnya dan menyeringai. "Harus kuakui. Keren banget." "Kalian lihat?" ujar Midas.
"Sentuhan emasku adalah kutukan" Yang benar saja. Aku tak belajar apa-apa, dan kehidupan bukanlah
sebuah cerita, Non. Sejujurnya, putriku Zoe jauh lebih menyenangkan sebagai patung emas." "Dia
banyak bicara," timpal Lit. "Perlis! Jadi kuubah lagi dia menjadi emas." Midas menunjuk. Di pojok
terdapat patung seorang gadis dengan ekspresi tercengang, seolah dia sedang berpikir: Ayah!
"Mengerikan sekali!" kata Piper. "Omong kosong. Dia tak keberatan kok. Lagi pula, andaikata aku belajar
dari kesalahan, akankah aku memperoleh ini?" Midas mencopot topi tidurnya yang kebesaran, dan
Jason tidak tahu harus tertawa atau mual. Midas memiliki kuping kelabu panjang berbulu yang mencuat
dari antara rambut putihnya"seperti kuping Bugs Bunny, tapi bukan kuping kelinci. Itu adalah kuping
keledai. "Oh, wow," kata Leo. "Aku kan tak perlu melihat itu." "Jelek, ya?" Midas mendesah. "Beberapa
tahun sesudah insiden sentuhan emas, aku menjadi juri kontes musik antara Apollo dan Pan, dan
kunyatakan Pan sebagai pemenangnya. Apollo, yang tidak terima menghadapi kekalahan, mengatakan
aku pastilah memiliki telinga keledai, dan abrakadabra! Inilah hadiahku karena sudah bersikap jujur. Aku
berusaha merahasiakannya. Hanya tukang cukurku yang tahu, namun dia tidak bisa tak mengoceh."
Midas menunjuk satu lagi patung emas"seorang pria botak bertoga yang
memegang gunting. "Itu dia. Dia takkan menceritakan rahasia siapa-siapa lagi." Sang raja tersenyum.
Tiba-tiba dia tak lagi tampak sebagai pria tua berjubah mandi yang tak berbahaya di mata Jason.
Matanya berbinar-binar riang"seperti orang gila yang tahu dia gila, menerima kegilaannya, dan
menikmatinya. "Ya, emas memiliki banyak kegunaan. Menurutku pasti itulah alasannya sehingga aku
dihidupkan kembali, bukan begitu, Lit" Untuk menjadi penyandang dana bagi pelindung kami." Lit
mengangguk. "Itu dan karena keahlianku berpedang." Jason melirik teman-temannya. Mendadak udara
di ruangan tersebut terasa jauh lebih dingin. "Jadi, Anda memang memiliki pelindung," kata Jason.
"Anda bekerja untuk para raksasa." Raja Midas melambaikan tangan dengan cuek. "Yah, aku sendiri tak
peduli pada para raksasa, tentu saja. Tapi pasukan supranatural sekalipun perlu dibayar. Aku berutang
budi besar kepada pelindungku. Kucoba menjelaskan itu kepada kelompok terakhir yang datang ke sini,
tapi mereka tidak bersahabat. Tidak mau bersikap kooperatif sama sekali." Jason menyelipkan tangan ke
dalam saku dan menggenggam koin emasnya. "Kelompok terakhir?" "Pemburu," geram Lit. "Gadis-gadis
Artemis yang terkutuk." Jason merasa tulang belakangnya dirambati percikan listrik"percikan betulan.
Dia mencium kebakaran karena korslet, seakan dirinya baru saja melelehkan per di sofa. Kakaknya
pernah ke sini. "Kapan?" tuntut Jason. "Apa yang terjadi?" Lit mengangkat bahu. "Beberapa hari lalu"
Aku tak mendapat kesempatan untuk membunuh mereka, sayangnya. Mereka mencari-cari serigala
jahat atau semacamnya. Katanya mereka
[ 376 ] JASON sedang mengikuti jejak, menuju barat. Demigod yang hilang"aku tak ingot." Percy Jackson, pikir Jason.
Annabeth telah menyinggung-nyinggung bahwa para Pemburu sedang mencari pemuda itu. Dan dalam
mimpi Jason di rumah terbakar di hutan redwood, dia mendengar serigala musuh melolong. Hera
menyebut mereka penjaga penjaranya. Semua itu entah bagaimana berkaitan. Midas menggaruk kuping
keledainya. "Wanita-wanita muda yang sangat tidak ramah, para Pemburu ins," dia mengingat-ingat.
"Mereka menolak dijadikan emas. Sebagian besar sistem pengamanan di luar kupasang untuk mencegah
hal semacam itu terjadi lagi, kalian tahu. Aku tak punya waktu bagi mereka yang bukan investor serius."
Jason berdiri dengan waswas dan melirik kawan-kawannya. Mereka memahami pesannya. "Yah," kata
Piper, berhasil menyunggingkan senyum. "Kunjungan ini luar biasa. Selamat datang kembali di
kehidupan ini. Terima kasih atas tas emasnya." "Oh, tapi kalian tak boleh pergi!" ujar Midas. "Aku tahu
kalian bukan investor serius, tapi tak apa-apa! Aku harus menambah koleksiku." Lit tersenyum kejam.
Sang raja bangkit, dan Leo serta Piper bergerak menjauhi pemuda itu. "Jangan khawatir," sang raja
menghibur mereka. "Kahan tidak harus diubah jadi emas. Aku memberi semua tamuku pilihan"
bergabung dengan koleksiku, atau mati di tangan Lityerses. Sungguh, yang mana saja bagus." Piper
berusaha menggunakan charmspeak-nya. "Paduka, Anda tak bisa?"
Bergerak lebih gesit daripada yang seharusnya dapat dilakukan pria tua mana pun, Midas menerjang dan
mencengkeram pergelangan tangan Piper. "Tidak!" teriak Jason. Tapi rona emas telah menyebar di
sekujur tubuh Piper, dan dalam sekejap dia sudah menjadi patung yang berkilauan. Leo berusaha
mendatangkan api, namun dia lupa bahwa kekuatannya tak berfungsi. Midas menyentuhkan tangannya,
dan Leo pun bertransformasi menjadi logam padat. Jason demikian ketakutan sampai-sampai dia tak
mampu bergerak. Teman-temannya"berubah begitu saja. Dan dia tak bisa menghentikannya. Midas
tersenyum minta maaf. "Emas mengalahkan api, aku khawatir." Dia melambai ke sekelilingnya, ke tirai
dan perabot emas. "Dalam ruangan ini, kekuatanku meredam semua kekuatan lain: api bahkan
charmspeak. Alhasil, tinggal kaulah satu-satunya trofi yang perlu kukoleksi." "Hedge!" teriak Jason.
"Butuh bantuan di dalam sini!" Sekali ini, sang satir tidak menerjang masuk. Jason bertanya-tanya
apakah laser telah melukai satir tua itu, atau dia sedang duduk-duduk di dasar lubang jebakan. Midas
terkekeh. "Tak ada kambing untuk menyelamatkanmu" Menyedihkan. Tapi jangan khawatir, Nak.
Rasanya sungguh tidak menyakitkan. Lit bisa memberitahumu." Jason menetapkan hati pada sebuah
gagasan. "Aku memilih bertarung. Anda bilang aku boleh memilih untuk bertarung melawan Lit." Midas
terlihat agak kecewa, namun dia mengangkat bahu. "Kataku kau boleh mati dalam pertarungan
melawan Lit. Tapi silakan saja, jika kau menghendakinya." Sang raja mundur, sedangkan Lit mengangkat
pedangnya. "Aku akan menikmati ini," kata Lit. "Akulah Penuai Manusia!" "Ayo sini, Pengupas Jagung." Jason
mengeluarkan senjatanya sendiri. Kali ini koin emasnya berubah menjadi lembing, dan Jason bersyukur
atas jangkauannya yang panjang. "Oh, senjata emas!" ujar Midas. "Bagus sekali." Lit menyerbu. Cowok
itu lincah. Dia menyabet serta menebas, dan Jason nyaris tak bisa menghindari serangannya, tapi
pikirannya yang lain"bekerja menganalisis pola, mempelajari gaya Lit, yang intinya serangan semua,
tidak ada pertahanan. Jason mengadang, menyamping, dan menangkis. Lit sepertinya kaget mendapati
Jason masih hidup. "Gaya apa itu?" geram Lit. "Kau tidak bertarung seperti orang Yunani." "Latihan
legiun," kata Jason, meskipun dia tak yakin bagaimana dirinya bisa mengetahui itu. "Ini gaya Romawi."
"Romawi?" Lit menyerang lagi, dan Jason menangkis bilah pedangnya. "Apo itu Romawi?" "Berita kilat,"
kata Jason. "Selagi kalian mati, Romawi mengalahkan Yunani. Menciptakan kekaisaran terhebat
sepanjang masa. "Mustahil," ujar Lit. "Tak pernah dengar." Jason berputar, menghantam dada Lit
dengan pangkal lembingnya, dan menjatuhkan pemuda itu ke takhta Midas. "Ya ampun," kata Midas.
"Lit?" "Aku tak apa-apa," geram Lit. "Sebaiknya Anda bantu dia berdiri," ujar Jason. Lit menjerit, "Ayah,
jangan!" Terlambat. Midas meletakkan tangan di bahu putranya, dan mendadak duduklah patung emas
bermimik sangat marah di singgasana Midas.
"Terkutuk!" ratap Midas. "Itu tipuan licik, Demigod. Akan kubalas kau untuk itu." Dia menepuk-nepuk
bahu emas Lit. "Jangan khawatir, Putraku. Akan kuturunkan kau ke sungai setelah aku memperoleh
hadiah ini." Midas melaju ke depan. Jason menghindar, namun pria tua itu gesit juga. Jason menendang
meja kopi ke kaki pria tua itu, yang membuatnya terjungkal, tapi Midas langsung berdiri. Kemudian
Jason melirik patung emas Piper. Amarah melandanya. Dia putra Zeus. Dia tak boleh mengecewakan
teman-temannya. Jason merasakan sensasi ditarik-tarik di perutnya, dan tekanan udara turun
sedemikian cepat sampai-sampai telinganya berdenging. Midas pasti merasakannya juga, sebab dia
berdiri sempoyongan dan memegangi kuping keledainya. "Ow! Apa yang kulakukan?" tuntutnya.
"Kekuatanku tak tertandingi di sini!" Guntur menggelegar. Di luar, langit menggelap. "Anda tahu
kegunaan emas yang lain?" ujar Jason. Midas mengangkat alis, tiba-tiba merasa antusias. "Ya?" "Emas
adalah penghantar listrik yang baik." Jason mengangkat tombaknya, dan langit-langit pun meledak. Petir
membelah atap bagaikan cangkang kerang, tersambung dengan ujung lembing Jason, dan mengirimkan
sambaran energi yang menghancurleburkan sofa. Bongkahan plester dari langit-langit ambruk ke bawah.
Lampu gantung berderit lalu putus dari rantainya, dan Midas menjerit saat lampu gantung itu
menjepitnya ke lantai. Kaca lampu gantung itu seketika berubah menjadi emas. Ketika gemuruh
berhenti, hujan yang membekukan tumpah ruah ke dalam bangunan. Midas mengumpat dalam bahasa
Yunani Kuno, seluruh tubuhnya terjepit di bawah lampu gantung. Hujan membasahi segalanya,
mengembalikan lampu gantung emas jadi kaca. Piper dan Leo pelan-pelan berubah juga, beserta
patung-patung lain di ruangan itu. Kemudian pintu depan menjeblak terbuka, dan Pak Pelatih Hedge
menerjang masuk, pentungan siap siaga. Mulutnya berlumur tanah, salju, dan rumput. "Apa yang
kulewatkan?" tanyanya. "Bapak dari mana raja?" tuntut Jason. Kepalanya terasa pusing karena
memanggil petir, dan dia harus mengerahkan segala daya upaya agar tidak pingsan. "Aku berteriakteriak minta bantuan." Hedge mengembik. "Makan camilan. Maaf. Siapa yang perlu dibunuh?"
"Sekarang tidak ada!" kata Jason. "Gotong Leo raja. Akan kubawa Piper." "Jangan tinggalkan aku seperti
ini!" ratap Midas. Di sekeliling Midas patung-patung korbannya berubah menjadi manusia"anak
perempuannya, tukang cukurnya, dan sekawanan cowok berpedang yang bertampang marah. Jason
menyambar tas emas Piper dan perbekalannya sendiri. Kemudian dia melemparkan karpet ke atas
patung emas Lit di singgasana. Mudah-mudahan itu akan mencegah si Penuai Manusia berubah kembali
menjadi manusia yang berdarah daging"setidaknya sampai korban-korban Midas pulih. "Ayo kita pergi
dari sini," kata Jason kepada Hedge. "Menurutku orang-orang ini pasti ingin menghabiskan beberapa
waktu yang berkualitas bersama Midas."
BAB TIGA PULUH TIGA PIPER PIPER TERBANGUN DALAM KEADAAN DINGIN dan menggigil. Dia bermimpi buruk tentang lelaki tua
berkuping keledai yang mengejar-ngejarnya lalu berteriak, Kena kau! "Ya ampun." Gigi Piper
bergemeletuk. "Dia mengubahku jadi emas!" "Kau tak apa-apa sekarang." Jason mencondongkan badan
dan menyampirkan selimut hangat ke tubuh Piper, namun dia masih merasa sedingin Boread. Piper
berkedip, mencoba mencari tahu di mana mereka berada. Di sampingnya, api unggun berkobar-kobar,
menjadikan udara pekat menusuk karena asap. Cahaya api berkedip-kedip, dilatarbelakangi dinding batu.
Mereka tengah berada dalam gua dangkal, namun gua tersebut kurang menyediakan perlindungan. Di
luar, angin melolong. Salju bertiup ke samping. Hari mungkin masih siang atau sudah malam. Badai
membuat suasana terlalu gelap sehingga sulit untuk menentukannya. "L-L-Leo?" Piper berhasil berkatakata.
"Hadir dan sudah bebas emas." Leo juga terbungkus selimut. Leo tidak terlihat prima, tapi lebih baik
daripada Piper. "Aku dapat perawatan logam berharga juga," katanya. "Tapi aku pulih lebih cepat. Entah
apa sebabnya. Kami harus membenamkanmu ke sungai untuk memulihkanmu sepenuhnya. Berusaha
mengering-kanmu, tapi udaranya amat sangat dingin." "Kau kena hipotermia," kata Jason. "Kami
mengambil risiko, memberimu nektar sebanyak mungkin. Pak Pelatih Hedge me-ngeluarkan sedikit sihir
alam?" "Kedokteran olahraga." Wajah jelek sang pelatih menjulang di atas Piper. "Itu hobiku, kuranglebih. Napasmu mungkin akan berbau seperti jamur liar dan minuman berenergi selama beberapa hari,
tapi nanti juga hilang. Kau barangkali takkan mati. Barangkali." "Makasih," kata Piper lemah. "Bagaimana
caramu mengalahkan Midas?" Jason menceritakan kisahnya kepada Piper, menyatakan bahwa
keberuntunganlah yang terutama pegang peranan. Sang pelatih mendengus. "Bocah ini bersikap rendah
hati. Kau seharusnya melihat dia. Ciaat! Sabet! Sambar dengan petir!" "Pak Pelatih, Bapak bahkan tidak
melihatnya," kata Jason. "Bapak sedang di luar makan rumput halaman." Tapi sang satir baru
pemanasan. "Kemudian aku masuk dengan pentunganku, dan kami mendominasi ruangan itu.
Sesudahnya, kubilang padanya, `Bocah, aku bangga padamu! Kalau saja kau bisa memperbaiki kekuatan
tubuh bagian atasmu"'" "Pak Pelatih," ujar Jason. "Iya?" "Tolong tutup mulut." "Tentu." Sang pelatih
duduk di depan api dan mulai me-ngunyah pentungannya.
Jason menempelkan tangan di kening Piper dan memeriksa temperaturnya. "Leo, bisakah kaubesarkan
apinya?" "Siap." Leo memanggil gumpalan api seukuran bola bisbol dan melemparkannya ke api unggun.
"Apa penampilanku seburuk itu?" Piper menggigil. "Tidak," kata Jason. "Kau pembohong yang payah,"
kata Piper. "Di mana kita?" "Pikes Peak," Jason berkata. "Colorado." "Tapi itu kan, berapa"delapan
ratus kilo dari Omaha?" "Kira-kira segitu," Jason sepakat. "Kukekang roh-roh badai untuk membawa kita
sejauh ini. Mereka tidak suka"melaju sedikit lebih cepat daripada yang kuinginkan, hampir
menabrakkan kita ke sisi gunung sebelum aku bisa mengembalikan mereka ke tas. Aku tak akan
mencoba itu lagi." "Kenapa kita di sini?" Leo menyedot ingus. "Itulah yang kutanyakan padanya." Jason
menatap badai seakan tengah menantikan sesuatu. "Jejak angin berkelip yang kita lihat kemarin" Jejak
itu masih ada di langit, walaupun sudah pudar sekali. Aku mengikutinya sampai aku tak bisa melihatnya
lagi. Lalu--sejujurnya aku juga tidak yakin. Aku cuma merasa inilah tempat yang tepat untuk berhenti."
"Tentu saja." Pak Pelatih Hedge meludahkan serpihan kayu pentungan. "Istana apung Aeolus semestinya
ditambatkan di atas kita, tepat di puncak. Ini adalah salah satu tempat favoritnya untuk berlabuh."
"Mungkin itulah sebabnya." Jason mengerutkan alis. "Entah-lah. Ada alasan lain juga ..." "Para Pemburu
menuju barat," Piper teringat. "Apa menurutmu mereka berada di sekitar sini?"
Jason menggosok-gosok lengan bawahnya, seolah tatonya mengganggunya. "Menurutku tak mungkin
ada orang yang bisa bertahan hidup di gunung saat ini. Badainya lumayan besar. Ini sudah malam
sebelum titik balik matahari musim dingin, tapi kita tak punya banyak pilihan selain menunggu badai
reda di sini. Kita harus memberimu kesempatan untuk istirahat sebelum kita mencoba bergerak." Jason
tidak perlu meyakinkan Piper. Angin yang melolong di luar gua tfienakuti Piper, dan dia tidak bisa
berhenti menggigil. "Kita harus menghangatkanmu." Jason duduk di sebelah Piper dan mengulurkan
tangan dengan agak canggung. "Anu, apa kau keberatan kalau aku ..." "Tidak apa-apa." Piper berusaha
terdengar cuek. Jason merangkulkan lengannya dan memeluk Piper. Mereka beringsut lebih dekat ke api.
Pak Pelatih Hedge mengunyah pentungannya dan meludahkan serpihan kayu ke api. Leo mengeluarkan
perlengkapan masak dan mulai menggoreng daging burger di wajan besi. Teman-Teman, selagi kalian


The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpelukan untuk mendengarkan dongeng ada sesuatu yang ingin kusampaikan pada kalian. Dalam
perjalanan ke Omaha, aku bermimpi. Susah dipahami karena ada listrik statis dan masuknya Wheel of
Fortune?" "Wheel of Fortune?" Piper mengira Leo sedang bergurau, tapi ketika dia mendongakkan
pandangan dari burgernya, ekspresinya benar-benar serius. "Begini ceritanya," kata Leo. "Ayahku
Hephaestus bicara padaku." Leo memberitahukan mimpinya kepada mereka. Di tengah sorotan sinar api,
disertai angin yang melolong, cerita tersebut semakin seram saja. Piper bisa membayangkan suara sang
dewa, diselingi bunyi statis, yang memperingatkan mereka mengenai
para raksasa yang merupakan putra Tartarus, dan tentang Leo yang kehilangan teman dalam perjalanan.
Piper mencoba berkonsentrasi pada sesuatu yang bagus: pelukan Jason, kehangatan yang pelan-pelan
menyebar ke seluruh tubuhnya, tapi dia ketakutan. "Aku tak mengerti. Jika demigod dan dewa harus
bekerja sama untuk membunuh raksasa, kenapa para dewa membisu" Jika mereka membutuhkan kita"
" "Ha," kata Pak Pelatih Hedge. "Para dewa membenci fakta bahwa mereka membutuhkan manusia.
Mereka ingin dibutuhkan oleh manusia, bukan sebaliknya. Keadaan harus bertambah buruk dulu
sebelum Zeus mengakui dia membuat kekeliruan saat menutup Olympus." "Pak Pelatih," ujar Piper,
"yang barusan hampir-hampir bisa disebut komentar pintar." Hedge mendengus. "Apo" Aku memang
Aku tak heran kalian bocah-bocah lembek belum pernah dengar tentang Perang Raksasa. Para dewa tak
suka membicarakannya. Jelek buat pencitraan jika mereka mengaku butuh manusia fana untuk
membantu mengalahkan musuh. Yang seperti itu sangat memalukan." "Tapi ada lagi," ujar Jason.
"Waktu aku bermimpi tentang Hera dalam kurungannya, dia bilang bahwa Zeus bersikap paranoid, lebih
daripada biasanya. Dan Hera"dia bilang dia mendatangi reruntuhan itu karena sebuah suara berbicara
dalam kepalanya. Bagaimana seandainya seseorang memengaruhi para dewa, seperti Medea
memengaruhi kita?" Piper bergidik. Dia punya pemikiran serupa"bahwa suatu kekuatan yang tidak
dapat mereka lihat sedang melakukan manipulasi di balik layar, membantu para raksasa. Mungkin
kekuatan yang sama juga menginformasikan pergerakan mereka kepada Enceladus, dan bahkan
menjatuhkan naga mereka dari
langit di atas Detroit. Barangkali Wanita Tanah yang dilihat Leo, atau salah satu abdinya yang lain ... Leo
meletakkan roti hamburger di wajan untuk dipanggang. "Iya, Hephaestus mengatakan sesuatu yang
mirip, bahwa Zeus bertingkah lebih aneh daripada biasanya. Tapi yang mengusikku adalah hal yang tidak
dikatakan ayahku. Misalnya saat dia beberapa kali membicarakan demigod, serta betapa dia punya
banyak anak demigod dan sebagainya. Entahlah. Dia menyiratkan bahwa mengumpulkan semua
demigod terhebat jadi satu adalah tindakan yang mendekati mustahil"dia juga menyiratkan bahwa
Hera sedang mencobanya, tapi menurutnya itu adalah tindakan yang benar-benar bodoh. Lalu ada juga
rahasia yang tak boleh diberitahukan Hephaestus padaku." Jason bergeser. Piper bisa merasakan
ketegangan di lengan pemuda itu. "Chiron juga sama waktu di perkemahan," ujar Jason. "Dia menyebutnyebut sumpah keramat agar tidak membahas"sesuatu. Pak Pelatih, Bapak tahu sesuatu tentang itu?"
"Tidak. Aku cuma satir. Mereka tidak memberitahuku hal-hal yang menarik. Terutama satir to?" Dia
menghentikan dirinya sendiri. "Satir tua seperti Bapak?" tanya Piper. "Tapi Bapak tidak terlalu tua, kan?"
"Seratus enam," gumam sang pelatih. Leo batuk-batuk. "Berapa?" "Tidak usah kaget begitu, Valdez. Itu
cuma lima puluh tiga menurut umur manusia. Tapi, iya, aku punya musuh di Dewan Tetua Berkuku Belah.
Aku sudah lama menjadi pelindung. Tapi mereka mulai berkata bahwa aku jadi susah ditebak. Terlalu
brutal. Bisakah kalian bayangkan?"
"Wow." Piper berusaha tidak memandang teman-temannya. "Benar-benar susah dipercaya." Pak Pelatih
memberengut. "Iya, kemudian akhirnya kami berperang melawan para Titan, dan apakah mereka
menempatkanku di garis depan" Tidak! Mereka mengutusku sejauh mungkin"perbatasan Kanada,
bisakah kalian percaya itu" Lalu sesudah perang, mereka menyuruhku merumput. Sekolah Alam Liar.
Bah! Seakan aku ini sudah ketuaan sehingga tidak bisa membantu lagi, cuma gara-gara aku bertindak
agresif. Dasar anggota Dewan kebanyakan omong"mengoceh tentang alam liar." "Kukira satir suka
alam liar," selidik Piper. "Memang, aku suka sekali alam liar," kata Hedge. "Alam liar berarti: makhlukmakhluk besar membunuh dan memakan makhluk-makhluk kecil! Dan seandainya kalian adalah"kalian
tahu"satir yang kurang tinggi sepertiku, kalian akan menjaga tubuh agar tetap bugar, membawa
pentungan besar, dan kalian jangan mau diremehkan siapa saja! Itulah yang namanya alam liar." Hedge
mendengus muak. "Satir-satir banyak omong. Omong-omong, kuharap kau membuat masakan
vegetarian, Valdez. Aku tidak makan daging." "Iya, Pak Pelatih. Jangan makan pentungan Bapak. Aku
punya burger tahu kok. Piper vegetarian juga. Sebentar lagi kumasakkan." Bau burger yang digoreng
memenuhi udara. Piper biasanya benci bau daging yang dimasak, tapi perutnya keroncongan seperti
ingin memberontak. Aku tidak tahan, pikir Piper. Pikirkan brokoli. Wortel. Lentil. Bukan cuma perut Piper
yang memberontak. Berbaring di dekat api, sementara Jason memeluknya, nurani Piper bagaikan peluru
panas yang bergerak pelan-pelan menuju hatinya. Semua rasa bersalah yang telah dia simpan selama
seminggu terakhir, sejak . Enceladus sang raksasa kali pertama mengiriminya mimpi, serasa hendak membunuhnya. Teman-teman
Piper ingin menolongnya. Jason bahkan mengatakan dia mau berjalan ke dalam perangkap demi
menyelamatkan ayah Piper. Dan Piper mengesampingkan mereka. Setahu Piper, dia bisa saja sudah
mendatangkan petaka bagi ayahnya ketika dia menyerang Medea. Piper menahan isak tangis. Mungkin
dia telah melakukan hal yang benar di Chicago saat menyelamatkan teman-temannya, namun dia cuma
mengulur-ulur waktu. Dia tidak sanggup mengkhianati teman-temannya, tapi bagian kecil dari dirinya
cukup putus asa sehingga berpikir, Bagaimana kalau aku mengkhianati mereka" Piper mencoba
membayangkan apa yang akan dikatakan ayahnya. Eh, Ayah, kalau kapan-kapan Ayah dibelenggu oleh
raksasa kanibal dan aku harus mengkhianati dua orang teman untuk menyelamatkan Ayah, aku harus
berbuat apa" Lucu, hal itu tidak pernah muncul ketika mereka main Tiga Pertanyaan Apa Saja. Ayahnya
takkan pernah menganggap serius pertanyaan itu, tentu saja. Dia barangkali akan mengisahkan salah
satu dongeng lama Kakek Tom"sesuatu tentang landak berpendar dan burung yang bisa bicara"dan
kemudian menertawakan cerita itu seolah-olah sarannya itu konyol. Piper berharap dia bisa mengingat
kakeknya dengan lebih baik. Kadang-kadang dia memimpikan rumah dua kamar di Oklahoma itu. Dia
bertanya-tanya bagaimana rasanya tumbuh besar di sana. Ayahnya bakal mengira Piper sinting. Dia
menghabiskan seumur hidupnya untuk melarikan diri dari tempat itu, menjauhkan diri dari
penampungan, memainkan peran apa saja kecuali orang Indian. Dia selalu memberi tahu Piper betapa
putrinya itu beruntung karena tumbuh besar dalam keadaan kaya dan terawat, dalam sebuah rumah
bagus di California. Piper belajar merasa tidak nyaman dengan latar belakang etnisnya"seperti foto
lama Ayah dari tahun delapan puluhan, ketika dia mengenakan bulu di rambut dan pakaian aneh.
Percayakah kau aku pernah berpenampilan seperti itu" kata Ayah. Menjadi Cherokee juga terasa seperti
itu bagi Ayah"lucu dan agak memalukan. Tapi kalau mereka bukan orang Cherokee, lalu mereka itu
apa" Ayah sepertinya tidak tahu. Mungkin itulah sebabnya dia selalu tidak bahagia, bergonta-ganti
peran. Mungkin itulah sebabnya Piper mulai mencuri, mencari sesuatu yang tak dapat diberikan ayahnya
kepadanya. Leo meletakkan burger tahu di wajan. Angin terus mengamuk. Piper memikirkan sebuah
kisah lama yang pernah diceritakan ayahnya kepadanya kisah yang mungkin bisa menjawab sebagian
pertanyaan Piper. * * Suatu hari di kelas dua, Piper pulang sambil menangis dan menuntut penjelasan apa sebabnya ayahnya
menamainya Piper. Anak-anak menertawakannya karena Piper Cherokee adalah sejenis pesawat
terbang. Ayahnya tertawa, seolah-olah hal tersebut tak pernah terbetik di benaknya. "Bukan, Pipes,
bukan pesawat terbang. Bukan itu arti namamu. Kakek Tom yang memilih namamu. Pertama kalinya dia
mendengarmu menangis, dia bilang kau memiliki suara yang kuat"lebih indah daripada suara yang
dapat dihasilkan oleh peniup seruling alang-alang mana pun. Dia bilang kau akan belajar
menyanyikan lagu-lagu Cherokee yang paling sukar, bahkan lagu ular." "Lagu ular?" Ayah mengisahkan
legenda tersebut kepada Piper"bagaimana suatu hari seorang wanita Cherokee melihat seekor ular
bermain terlalu dekat dengan anak-anaknya dan membunuh ular itu dengan batu, tidak menyadari
bahwa is adalah raja ular derik. Ular-ular bersiap untuk berperang melawan umat manusia, tapi suami
wanita tersebut berusaha berdamai. Dia berjanji akan melakukan apa saja untuk membayar kerugian
kaum ular derik. Para ular memegang janjinya. Mereka menyuruhnya mengirim istrinya ke sumur supaya
ular-ular dapat menggigitnya dan mencabut nyawa wanita itu sebagai imbalan. Pria tersebut hancur
hatinya, namun dia melakukan hal itu. Sesudah itu, kaum ular begitu terkesan karena pria tersebut
harus berkorban sedemikian besar namun tetap menepati janjinya. Mereka mengajarinya lagu ular
untuk dipergunakan oleh semua orang Cherokee. Sejak saat itu, jika orang Cherokee bertemu ular dan
menyanyikan lagu itu, si ular akan mengenali orang Cherokee tersebut sebagai kawan, dan takkan
menggigit. "Mengerikan sekali!" kata Piper waktu itu. "Laki-laki itu membiarkan istrinya mati?" Ayahnya
merentangkan tangan. "Itu pengorbanan yang berat. Tapi satu nyawa membawa perdamaian
bergenerasi-generasi antara ular dan orang-orang Cherokee. Kakek Tom percaya bahwa musik Cherokee
bisa memecahkan hampir semua masalah. Menurutnya, kau akan mengenal banyak lagu, dan menjadi
musisi terhebat dalam keluarga. Itulah sebabnya kami menamaimu Piper"peniup seruling."
Pengorbanan yang berat. Apakah kakeknya telah melihat sesuatu mengenai Piper, bahkan saat dia
masih bayi" Apakah Kakek merasakan bahwa Piper adalah anak Aphrodite" Ayahnya barangkali akan mengatakan kepada
Piper bahwa itu gila. Kakek Tom bukan oracle. Tapi tetap saja ... Piper telah menjanjikan uluran
tangannya dalam misi ini. Teman-temannya mengandalkannya. Mereka telah menyelamatkannya ketika
Midas mengubahnya jadi emas. Mereka menghidupkannya kembali. Dia tidak bisa membalas budi
dengan dusta. *** Lambat laun, Piper mulai merasa lebih hangat. Dia berhenti menggigil dan menyandar ke dada Jason.
Leo menyajikan makanan. Piper tidak mau bergerak, bicara, atau melakukan apa pun untuk mengusik
momen tersebut. Tapi dia harus melakukannya. "Kita harus bicara." Piper duduk tegak supaya tidak
perlu menghadapi Jason. "Aku tak mau menyembunyikan apa-apa lagi dari kalian." Mereka memandang
Piper dengan mulut penuh burger. Sudah terlambat untuk berubah pikiran sekarang. "Tiga malam
sebelum perjalanan ke Grand Canyon," kata Piper, "aku mendapat visi dalam mimpi"seorang raksasa
memberitahuku bahwa ayahku telah ditawan. Dia menyuruhku untuk bekerja sama, atau ayahku akan
dibunuh." Api meretih. Akhirnya Jason berkata, "Enceladus" Kau pernah menyebut nama itu
sebelumnya." Pak Pelatih Hedge bersiul. "Raksasa besar. Punya napas api. Bukan seseorang yang ingin
kuajak bersenang-senang." Jason memberinya ekspresi tutup mulut. "Piper, lanjutkan. Apa yang terjadi
kemudian?" "Aku"aku mencoba menghubungi ayahku, tapi aku hanya tersambung ke asisten pribadinya, dan dia
memberitahuku agar jangan khawatir." "Jane?" Leo teringat. "Bukankah Medea bilang dia mengontrol
Jane?" Piper mengangguk. "Supaya ayahku kembali, aku harus menyabotase misi ini. Aku tak tahu
bahwa kita bertigalah yang akan menjalani misi. Lalu setelah kita memulai misi ini, Enceladus
mengirimiku peringatan lagi. Dia bilang dia ingin kalian berdua mati. Dia ingin aku menuntun kalian ke
gunung. Aku tak tahu persis gunung yang mana, tapi letaknya di Area Teluk"aku bisa melihat Jembatan
Golden Gate dari puncaknya. Aku harus sudah berada di sana pada tengah hari saat titik balik matahari
musim dingin, besok. Untuk sebuah pertukaran." Piper tidak bisa menatap mata teman-temannya. Dia
me-nunggu mereka membentak-bentaknya, atau memunggunginya, atau mengusirnya ke tengahtengah badai salju. Tapi, Jason justru beringsut ke samping Piper dan merangkul-nya lagi. "Ya ampun,
Piper. Aku ikut berduka." Leo mengangguk. "Betul. Kau sudah membawa-bawa beban ini selama hampir
seminggu" Piper, kami bisa membantumu." Piper memelototi mereka. "Kenapa kalian tidak
membentak-bentakku atau semacamnya" Aku kan diperintahkan untuk membunuh kalian!" "Aduh,
sudahlah," kata Jason. "Kau sudah menyelamatkan kami berdua dalam misi ini. Aku akan
mempertaruhkan nyawaku di tanganmu kapan saja." "Sama," ujar Leo. "Boleh aku minta dipeluk juga?"
"Kahan tidak paham!" kata Piper. "Aku barangkali baru saja membunuh ayahku, saat memberitahukan
ini pada kalian." "Kuragukan." Pak Pelatih Hedge beserdawa. Dia memakan burger tahu yang dijepit piring kertas,
mengunyah semuanya seperti taco. "Raksasa itu belum mendapatkan apa yang dia inginkan, jadi dia
masih membutuhkan ayahmu untuk mendongkrak posisinya dalam tawar-menawar ini. Dia akan
menunggu sampai tenggat waktunya lewat, mencari tahu apakah kau datang. Dia ingin kau
menyimpangkan misi ini ke gunung, kan?" Piper mengangguk tak yakin. "Jadi, itu berarti Hera ditahan di
tempat lain," Hedge ber-argumen. "Dan dia harus diselamatkan pada hari yang sama. Jadi, kau harus
memilih"menyelamatkan ayahmu, atau menye-lamatkan Hera. Jika kau mengejar Hera, setelah itu
baru Enceladus membereskan ayahmu. Lagi pula, Enceladus takkan mem-biarkanmu pergi meskipun kau
mau bekerja sama. Kau jelas-jelas merupakan salah satu dari tujuh demigod dalam Ramalan Besar."
Salah satu dari tujuh demigod. Piper pernah membicarakan ini sebelumnya dengan Jason serta Leo, dan
Piper rasa itu pasti benar, tapi dia masih kesulitan memercayainya. Piper tidak merasa sepenting itu. Dia
cuma anak bodoh Aphrodite. Bagaimana mungkin dia layak dikelabui dan dibunuh" kita tak punya
pilihan," ujar Piper merana. "Kita harus menyelamatkan Hera, atau raja raksasa bakal terbebas. Itulah
misi kita. Dunia bergantung padanya. Dan Enceladus tampaknya punya cara untuk mengawasiku. Dia
tidak bodoh. Dia bakalan tahu kalau kita mengubah arah, menuju arah yang keliru. Dia pasti membunuh
ayahku." "Dia takkan membunuh ayahmu," kata Leo. "Kita akan menyelamatkannya." "Kita tak punya
waktu!" seru Piper. "Lagi pula, itu jebakan." "Kami temanmu, Ratu Kecantikan," ujar Leo. "Kami takkan
membiarkan ayahmu meninggal. Kita hanya harus menyusun rencana yang baik."
Pak Pelatih Hedge menggeram sepakat. "Akan membantu jika kita tahu letak gunung tersebut. Mungkin
Aeolus bisa memberitahumu. Area Teluk punya reputasi jelek bagi demigod. Rumah lama para Titan,
Gunung Othrys, bertengger di atas Gunung Tam, tempat Atlas menopang langit. Kuharap bukan gunung
itu yang kaulihat." Piper mencoba mengingat-ingat pemandangan dalam mimpinya. "Kurasa bukan.
Letaknya di daratan." Jason memandang api sambil mengerutkan kening, seperti sedang berusaha
mengingat-ingat sesuatu. "Reputasi jelek rasanya tidak tepat. Area Teluk ..." "Kau pernah ke sana?"
tanya Piper. "Aku ..." Jason kelihatannya telah berada di ambang suatu pencerahan. Lalu kesedihan
kembali ke matanya. "Entahlah. Pak Hedge, apa yang terjadi di Gunung Othrys?" Hedge menggigit kertas
dan burger lagi. "Yah, Kronos membangun istana baru di sana musim panas lalu. Bangunan besar seram,
akan dijadikan markas besar untuk kerajaan barunya dan sebagainya. Tapi, tidak terjadi pertempuran di
sana. Kronos berderap ke Manhattan, berusaha merebut Olympus. Kalau tidak salah, dia meninggalkan
beberapa Titan lain untuk menjaga istananya, tapi setelah Kronos kalah di Manhattan, istana tersebut
runtuh sendiri." "Tidak," kata Jason. Semua memandangnya. "Apa maksudmu `Tidak'?" tanya Leo.
"Bukan begitu kejadiannya. Aku?" Jason menegang, menoleh ke pintu gua. "Kahan dengar itu?" Selama
sedetik, tidak terdengar apa-apa. Lalu Piper men-dengarnya: lolongan yang membelah malam.
BAB TIGA PULUH EMPAT PIPER SERIGALA," UJAR PIPER. "MEREKA KEDENGARANNYA dekat." Jason bangkit dan memunculkan
pedangnya. Leo dan Pak Pelatih Hedge berdiri juga. Piper mencoba, tapi titik-titik hitam menari-nari di
depan matanya. "Diam di sana," perintah Jason. "Kami akan melindungimu." Piper mengertakkan gigi.
Dia benci merasa tak berdaya. Dia tidak mau dilindungi. Pertama-tama pergelangan kaki bego. Sekarang
hipotermia bego. Piper ingin berdiri tegak sambil membawa belati di tangan. Kemudian, tepat di luar
jangkauan sorot api unggun, di pintu gua, Piper melihat sepasang mata merah yang menyala-nyala di
kegelapan. Oke, pikir Piper. Mungkin sedikit perlindungan tidak ada salahnya. Semakin banyak serigala
yang menghampiri cahaya api unggun"makhluk yang lebih besar daripada anjing gembala Jerman, es
dan salju menempel di bulu mereka. Taring mereka berkilat, sedangkan mata merah mereka yang
menyala-nyala, anehnya, kelihatan cerdas. Serigala di depan hampir setinggi kuda, mulutnya ternoda darah seolah-olah
dia baru saja membunuh. Piper mencabut belati dari sarungnya. Lalu, Jason melangkah maju dan
mengucapkan sesuatu dalam bahasa Latin. Piper tidak mengira bahasa yang sudah tidak digunakan
sebagai bahasa sehari-hari itu bakalan berefek terhadap hewan liar, namun si serigala alfa mengerutkan
bibirnya. Bulu berdiri di sepanjang tulang belakangnya. Salah satu anak buahnya mencoba maju, tapi si
serigala alfa menyentakkan kuping si anak buah. Lalu semua serigala mundur ke kegelapan. "Bung,
kayaknya aku harus belajar bahasa Latin." Godam Leo bergetar di tangannya. "Kau bilang apa, Jason?"
Hedge mengumpat. "Apo pun itu, itu tak cukup. Lihat." Para serigala kembali lagi, tapi si pimpinan tak
bersama mereka. Mereka tidak menyerang. Mereka menunggu"kini setidaknya selusin, membentuk
setengah lingkaran kasar tepat di luar sorot api unggun, merintangi pintu keluar gua. Sang pelatih
mengangkat pentungannya. "Begini rencananya. Akan kubunuh mereka semua, sementara itu kalian
bisa kabur." "Pak Pelatih, mereka bakal mencabik-cabik Bapak," kata Piper. "Tidak lah, aku kan jago."
Lalu Piper melihat siluet seorang pria, datang menembus badai, melewati kawanan serigala. "Tetap
berkumpul," kata Jason. "Mereka menghormati ge-rombolan. Dan Pak Hedge, jangan aneh-aneh. Kita
takkan meninggalkan Bapak atau siapa pun di belakang." Tenggorokan Piper tercekat. Dialah titik lemah
di "gerom-bolan" mereka saat ini. Tak diragukan lagi bahwa para serigala dapat membaui rasa takutnya.
Sama saja artinya Piper mengenakan plang bertuliskan: MAKAN SIANG GRATIS.
Para serigala membuka jalan, dan seorang pria pun melangkah ke tengah sorotan api unggun.
Rambutnya gimbal dan tidak rata, sewarna jelaga perapian, dipuncaki mahkota yang kelihatan seperti
tulang jari. Jubahnya berupa bulu compang-camping"serigala, kelinci, rakun, rusa, dan beberapa jenis
lain yang tidak bisa diidentifikasi Piper. Bulu-bulu tersebut sepertinya tidak disamak, dan dari baunya,
bulu-bulu tersebut pastilah sudah lama. Perawakannya luwes dan berotot, seperti pelari jarak jauh. Tapi
yang paling mengerikan adalah wajahnya. Kulit pucat tipisnya seperti ditarik kencang di batok kepalanya.
Giginya tajam-tajam seperti taring. Matanya berbinar merah terang seperti mata serigala"dan matanya
menatap Jason dengan kebencian yang teramat sangat. "Ecce," kata pria itu, "fill Romani." "Bicaralah
dalam bahasa Inggris, Manusia Serigala!" raung Hedge. Si Manusia Serigala menggeram. "Suruh faun-mu
menjaga lidahnya, Putra Romawi. Atau dia akan jadi kudapan pertamaku." Piper teringat bahwafitun
adalah nama Romawi untuk satir. Bukan informasi bermanfaat. Nah, kalau saja Piper bisa mengingat
siapa manusia serigala ini dalam mitologi Yunani, dan bagaimana cara mengalahkannya, itu Baru
bermanfaat. Si manusia serigala mengamati kelompok kecil mereka. Lubang hidungnya kembang kempis.
"Jadi benar," komentarnya. "Anak Aphrodite. Putra Hephaestus. Seekor faun. Dan anak Romawi, putra
Dewa Jupiter pula, tidak kurang. Bersama-sama, tanpa saling bunuh. Sungguh menarik." "Kau diberi tahu
tentang kami?" tanya Jason. "Oleh siapa?" Pria itu menggeram"barangkali tertawa, barangkali
menantang. "Oh, kami telah berpatroli di barat untuk mencari kalian semua, Demigod, berharap kami
akan menjadi yang pertama
menemukan kalian. Raja raksasa akan memberiku hadiah ketika dia bangkit. Aku Lycaon, Raja Serigala.
Dan kawananku lapar." Para serigala menggeram di kegelapan. Dari ekor matanya, Piper melihat Leo
meletakkan godam dan mengeluarkan barang lain dari sabuk perkakasnya"botol kaca berisi cairan
bening. Piper memutar otak, mencoba mencocokkan nama si manusia serigala dengan latar
belakangnya. Piper tahu dia pernah mendengar nama itu sebelumnya, tapi dia tidak ingat detailnya.
Lycaon memelototi pedang Jason. Dia bergerak ke kanan dan ke kiri seolah untuk mencari celah, tapi
bilah pedang Jason bergerak bersamanya. "Pergilah," perintah Jason. "Di sini tak ada makanan untuk-mu
"Kecuali kau mau burger tabu," Leo menawarkan. Lycaon memamerkan taringnya. Rupanya dia bukan
peng-gemar tahu. "Seandainya terserah aku," kata Lycaon penuh sesal, "akan kubunuh kau lebih dulu,
putra Jupiter. Ayahmu yang menjadikanku seperti ini. Aku dahulu raja manusia fana dari Arcadia,
berputra lima puluh, dan Zeus membantai mereka semua dengan petirnya." "Ha," ujar Pak Pelatih
Hedge. "Dengan alasan yang bagus!" Jason melirik ke balik bahunya. "Pak Pelatih, Bapak kenal pelawak
ini?" "Aku tahu," jawab Piper. Detail-detail mitos itu muncul kembali ke benaknya"kisah pendek
mengerikan yang Piper dan ayahnya tertawakan sambil sarapan. Piper tidak tertawa sekarang. "Lycaon
mengundang Zeus makan malam," kata "Tapi sang raja tak yakin apakah yang datang benar-benar Zeus.
Jadi, untuk menguji kekuatannya, Lycaon berusaha memberinya makan daging manusia. Zeus begitu
murka?" "Dan membunuh putra-putraku!" lolong Lycaon. Para serigala di belakangnya melolong juga. "Alhasil
Zeus mengubahnya jadi serigala," kata Piper. "Orang-orang menyebut orang-orang menyebut manusia
serigala lycanthropes, dinamai dari dia, manusia serigala pertama." "Raja serigala," simpul Pak Pelatih
Hedge. "Makhluk kekal dungu, bau, dan buas." Lycaon menggeram. "Akan kucabik-cabik kau, Faun!" "Oh,
kau mau kambing, Sobat" Biar kuberi kau kambing." "Hentikan," ujar Jason. "Lycaon, kaubilang kau ingin
mem-bunuhku lebih dulu, tapi ...?" "Sayangnya, Anak Romawi, kau sudah diminta. Karena yang ini?"dia
menggoyangkan cakar ke arah Piper?"gagal membunuhmu, kau harus diantarkan hidup-hidup ke


The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rumah Serigala. Salah satu rekanku telah meminta kehormatan untuk membunuhmu sendiri." "Siapa?"
tanya Jason. Sang raja serigala meringis. "Oh, seorang pengagummu. Rupa-nya, kau menimbulkan kesan
mendalam baginya. Perempuan itu akan segera membereskanmu, dan sungguh, aku tak boleh
mengeluh. Menumpahkan darahmu di Rumah Serigala semestinya cukup untuk menandai wilayah
baruku. Lupa harus berpikir dua kali untuk menantang kawananku." Jantung Piper serasa meloncat
keluar dari dadanya. Dia tidak memahami semua yang diucapkan Lycaon, tapi seorang perempuan yang
ingin membunuh Jason" Medea, pikir Piper. Entah bagaimana, dia ternyata selamat dari ledakan. Piper
berjuang untuk berdiri. Bintik-bintik hitam menari-nari di depan matanya lagi. Gua tersebut seolah
berputar-putar. "Kahan harus pergi sekarang," kata Piper, ,"sebelum kami membinasakan kalian."
[ 400 ] PIPER, Piper mencoba mencurahkan kekuatan ke dalam kata-katanya, namun dia terlalu lemah. Menggigil
dalam balutan selimutnya, pucat dan berkeringat serta nyaris tak sanggup memegang pisau, Piper
pastilah tak tampak terlalu mengancam. Mata merah Lycaon berkerut geli. "Percobaan yang berani, Non.
Kukagumi itu. Barangkali akan kubuat kau mati dengan cepat. Hanya putra Jupiter yang dibutuhkan
hidup-hidup. Sisanya, aku khawatir, akan dijadikan makan malam." Pada saat itu, Piper tahu dia bakal
mati. Tapi setidaknya dia akan mati sambil berdiri, bertarung di camping Jason. Jason melangkah maju.
"Kau takkan membunuh siapa-siapa, Manusia Serigala. Tidak tanpa mengalahkanku." Lycaon
menggeram dan menjulurkan cakarnya. Jason menyabet manusia serigala itu, tapi pedang emasnya
lewat begitu saja seolah-olah sang raja serigala tak berada di sana. Lycaon tertawa. "Emas, perunggu,
baja"tak satu pun mempan untuk melawan serigala-serigalaku, Putra Jupiter." "Perak!" pekik Piper.
"Bukankah manusia serigala bisa dilukai oleh perak?" "Kita tidak punya perak!" ujar Jason. Para serigala
melompat ke tengah sorotan api unggun. Hedge menerjang maju disertai teriakan "Ciaaat!" girang. Tapi
Leo menyerang lebih dulu. Dia melemparkan botol kaca dan botol itu pun pecah di tanah, memercikkan
cairan ke sekujur tubuh para serigala, menyebarkan bau yang tak mungkin salah dikenali"bensin. Leo
menembakkan api ke genangan bensin, dan dinding api pun merekah. Serigala mendengking dan
mundur. Beberapa terkena api dan harus lari kembali ke salju. Lycaon sekali pun memandang pembatas
api yang kini memisahkan serigala-serigalanya dan para demigod dengan resah.
"Aw, ayolah," keluh Pak Pelatih Hedge. "Aku tidak bisa menghajar mereka kalau mereka ada di sebelah
sana." Setiap kali seekor serigala mendekat, Leo menembakkan gelombang api baru dari tangannya, tapi
setiap upaya tampaknya membuat Leo semakin lelah, dan bensin yang terbakar sudah mulai padam.
"Aku tak bisa buang gas lagi!" Leo memperingatkan. Lalu mukanya jadi merah. "Wow, sepertinya aku
salah ngomong. Maksudku gas untuk bahan bakar. Sabuk perkakas butuh waktu pendinginan. Kau punya
apa, Bung?" "Tak punya apa-apa," kata Jason. "Bahkan senjata yang bermanfaat juga tidak." "Petir?"
tanya Piper. Jason berkonsentrasi, tapi tak ada yang terjadi. "Kurasa badai salju ini mengganggu atau
apalah." "Bebaskan saja para ventus!" kata Piper. "Kalau begitu, kita bakalan talc punya apa-apa untuk
diberikan pada Aeolus," kata Jason. "Percuma saja kita datang jauh-jauh." Lycaon tertawa. "Aku bisa
mencium rasa takut kalian. Hidup kalian tinggal beberapa menit lagi, Pahlawan. Berdoalah kepada dewa
mana pun yang kalian mau. Zeus tidak memberiku ampun, dan kalian juga takkan kuberi ampun." Nyala
api mulai padam. Jason menyumpah dan menjatuhkan pedangnya. Dia berjongkok, seakan siap untuk
bertarung dengan tangan kosong. Leo mengeluarkan godam dari tasnya. Piper menghunus belatinya"
cuma senjata cemen, tapi hanya itu yang dia punyai. Pak Pelatih Hedge mengangkat pentungannya,
dialah satu-satunya yang tampak tak sabar ingin mati. Kemudian suara mendesing membelah angin"
seperti bunyi kardus robek. Sepotong batang panjang mencuat dari leher serigala terdekat"buluh
panah perak. Si serigala kejang-kejang dan terjatuh, meleleh menjadi genangan salju.
Semakin banyak panah. Semakin banyak serigala yang jatuh. Kawanan tersebut kocar-kacir. Anak panah
melesat ke arah Lycaon, namun sang raja serigala menangkapnya di tengah udara. Lalu dia menjerit
kesakitan. Ketika dia menjatuhkan panah tersebut, panah itu meninggalkan sayatan gosong berasap di
telapak tangannya. Satu anak panah lagi mengenai bahunya, dan raja serigala itu pun terhuyung-huyung.
"Terkutuklah mereka!" teriak Lycaon. Dia menggeram kepada kawanannya, dan para serigala pun
berbalik lalu kabur. Lycaon menatap Jason dengan mata merahnya yang menyala-nyala. "Ini belum
selesai, Bocah." Sang Raja Serigala pun menghilang ke dalam gelapnya malam. Beberapa detik kemudian,
Piper mendengar lolongan serigala, tapi suara ini lain"tidak terkesan mengancam, lebih menyerupai
anjing pemburu yang membaui sesuatu. Seekor serigala putih berukuran lebih kecil melesat masuk ke
gua, diikuti oleh dua ekor serigala lain. Hedge berkata, "Bunuh dia?" "Jangan!" kata Piper. "Tunggu."
Serigala-serigala itu menelengkan kepala dan memperhatikan para pekemah dengan mata besarnya
yang keemasan. Sekejap kemudian, muncullah para majikan mereka: sepasukan pemburu yang
mengenakan baju kamuflase musim dingin putih-kelabu, berjumlah setidaknya setengah lusin. Mereka
semua membawa busur, dengan wadah berisi panah perak berkilauan di punggung mereka. Wajah
mereka ditutupi tudung jaket, tapi jelas mereka semua adalah gadis remaja. Seorang, agak lebih tinggi
daripada yang lain, berjongkok di tengah sorotan api unggun dan memungut panah yang telah melukai
tangan Lycaon. "Hampir saja." Cewek itu menoleh kepada rekan-rekannya. "Phoebe, temani aku di sini. Jaga pintu
masuk. Yang lain, ikuti Lycaon. Kita tak boleh kehilangan dia sekarang. Nanti kususul kalian." Para
pemburu lain bergumam setuju dan menghilang untuk mengejar kawanan Lycaon. Cewek berbaju serba
putih menoleh kepada mereka, wajahnya masih tersembunyi di balik tudung jaket. "Kami sudah
mengikuti jejak iblis itu selama lebih dari seminggu. Apa semuanya baik-baik saja" Tak ada yang kena
gigit?" Jason berdiri mematung, memandang gadis itu. Piper me-nyadari bahwa suara gadis itu
kedengarannya familier. Susah me-nyebutkan apa tepatnya yang familier, tapi cara bicara cewek itu,
caranya membentuk kata-kata, mengingatkan Piper pada Jason. "Kau dia," tebak Piper. "Kau Thalia."
Cewek itu menegang. Piper takut kalau-kalau dia bakal menyiagakan busur, tapi cewek itu justru
menurunkan tudung jaketnya. Rambut hitamnya dipotong cepak, dengan tiara perak yang melintang di
dahinya. Wajahnya memiliki rona super sehat, seolah-olah dia lebih dari sekadar manusia, sedangkan
matanya biru jernih. Dia adalah cewek yang ada di foto Jason. "Apa aku mengenalmu?" tanya Thalia.
Piper menarik napas. "Ini mungkin bakal mengguncangkan,
tapi?" "Thalia." Jason melangkah maju, suaranya gemetar. "Aku Jason, adikmu." []
BAB TIGA PULUH LIMA LEO LEO MENDUGA DIALAH YANG PALING apes dalam kelompok tersebut, padahal yang lain juga tidak
mujur-mujur amat. Kenapa bukan dia yang memiliki kakak perempuan yang sudah lama terpisahkan
atau ayah bintang film yang perlu diselamatkan" Yang didapat Leo cuma sabuk perkakas dan naga yang
rusak di tengah-tengah misi. Mungkin itu gara-gara kutukan tolol yang menimpa pondok Hephaestus,
tapi menurut Leo bukan itu sebabnya. Kehidupannya memang sudah sial jauh sebelum dia datang ke
perkemahan. Seribu tahun mendatang, ketika misi ini dikisahkan di sekeliling api unggun, Leo duga
orang-orang bakalan membicarakan Jason yang pemberani, Piper yang cantik, dan anak buah mereka si
Valdez Membara, yang menemani mereka dengan sekantong obeng ajaib dan kadang-kadang
membuatkan burger tahu. Seandainya itu masih kurang parah, Leo jatuh cinta pada setiap gadis yang dia
lihat"asalkan mereka sama sekali tak sebanding dengannya.
Ketika dia kali pertama melihat Thalia, Leo langsung berpikir bahwa gadis itu terlalu cantik untuk
menjadi kakak Jason. Lalu Leo berpikir sebaiknya dia tidak mengatakan itu atau dia bisa-bisa kena
masalah. Leo menyukai rambut gelap Thalia, mata birunya, dan sikapnya yang percaya diri. Thalia
kelihatannya merupakan tipe cewek yang bisa mengalahkan siapa pun di lapangan bola atau medan
tempur, dan tidak bakalan menengok ke arah Leo satu kali pun"benar-benar tipe cewek yang disukai
Leo! Selama semenit, Jason dan Thalia berhadapan, terperanjat. Kemudian Thalia bergegas maju dan
memeluk Jason. "Demi para dewa! Dia bilang kau sudah mati." Thalia meme-gangi wajah Jason dan
sepertinya sedang memeriksa mukanya secara menyeluruh. "Syukur kepada Artemis, ini memang kau.
Bekas luka kecil di bibirmu"kau mencoba makan stapler waktu umurmu dua tahun!" Leo tertawa.
"Serius tuh?" Hedge mengangguk-angguk seakan dia setuju dengan selera Jason. "Stapler"sumber zat
besi yang bagus." "T-tunggu," Jason terbata. "Siapa yang memberitahumu aku sudah mati" Apa yang
terjadi?" Di pintu masuk gua, salah satu serigala putih menyalak. Thalia menoleh kepada serigala itu dan
mengangguk, tapi dia terus menempelkan tangan ke wajah Jason, seakan dia takut Jason bakal lenyap.
"Serigalaku bilang kalau aku tak punya banyak waktu, dan dia benar. Tapi kita harus bicara. Ayo duduk."
Piper melakukan lebih dari itu. Dia ambruk. Kepalanya pasti terbentur lantai gua jika Hedge tak
menangkapnya. Thalia bergegas menghampiri. "Kenapa dia" Ah"oke. Aku tahu. Hipotermia.
Pergelangan kaki." Dia memandang sang satir sambil mengerutkan dahi. "Tidakkah kautahu teknik
penyembuhan alam?" Hedge mendengus. "Menurutmu kenapa dia tampak sesehat ini" Tak bisakah kau mencium aroma
minuman berenergi?" Thalia memandang Leo untuk pertama kalinya, dan tentu saja tatapannya itu
penuh tuduhan, seakan hendak mengatakan Kenapa kaubiarkan si kambing itu menjadi dokter" Seakan
itu adalah salah Leo. "Kau dan si satir," perintah Thalia, "bawa gadis ini ke temanku di pintu gua. Phoebe penyembuh yang
hebat." "Di luar sana dingin!" kata Hedge. "Bisa-bisa tandukku beku." Tapi Leo tahu mereka tak
diinginkan. "Ayo, Pak Hedge. Mereka berdua butuh waktu untuk bicara." "Hah. Ya sudah," gerutu sang
satir. "Menggetok kepala saja tak sempat." Hedge menggendong Piper ke pintu masuk gua. Leo hendak
mengikuti ketika Jason memanggil, "Sebenarnya, Bung, bisakah kau, anu, nongkrong di sini saja?" Leo
melihat sesuatu yang tak diduga-duganya di mata Jason: Jason sedang meminta dukungan. Dia ingin
agar ada orang lain di sana. Dia takut. Leo menyeringai. "Nongkrong adalah keahlianku." Thalia
kelihatannya tidak terlalu senang soal itu, tapi mereka berdua duduk di dekat api. Selama beberapa
detik, tak seorang pun bicara. Jason mengamati kakaknya seolah dia adalah alat yang menakutkan"
yang bisa meledak jika tidak ditangani secara tepat. Thalia tampaknya lebih santai, seolah dia sudah
terbiasa menjumpai hal-hal yang lebih aneh daripada kerabat yang sudah lama hilang. Tapi gadis itu
tetap saja memandang Jason dengan bingung bercampur takjub, mungkin mengingat-ingat anak umur
dua tahun yang mencoba memakan stapler. Leo mengambil potongan kabel tembaga dari saku dan
memuntirnya. Akhirnya, dia tak tahan lagi dengan keheningan itu. "Jadi Pemburu Artemis. Soal `tidak boleh pacaran'"
apa harus selalu seperti itu, atau sesekali saja, atau bagaimana?" Thalia menatap Leo seolah-olah dia
baru saja berevolusi dari lendir telaga. Benar, tak diragukan lagi, Leo betul-betul menyukai cewek ini.
Jason menendang tulang keringnya. "Jangan pedulikan Leo. Dia cuma berusaha untuk memecahkan
ketegangan. Tapi, Thalia apa yang terjadi pada keluarga kita" Siapa yang memberitahumu aku sudah
mati?" Thalia menarik-narik gelang perak di pergelangan tangannya. Di tengah-tengah cahaya api
unggun, dalam balutan baju kamuflase musim dinginnya, Thalia hampir menyerupai Khione sang putri
salju"sama dinginnya dan sama cantiknya. "Adakah yang kauingat?" tanya Thalia. Jason
menggelengkan kepala. "Aku terbangun tiga hari lalu di bus bersama Leo dan Piper." "Itu bukan salah
kami," imbuh Leo cepat-cepat. "Hera men-curi ingatannya." Thalia menegang. "Hera" Bagaimana
kautahu?" Jason menjelaskan tentang misi mereka"ramalan di perkemahan, Hera yang ditawan,
raksasa yang menculik aya,h Piper, dan tenggat waktu titik balik matahari musim dingin. Leo menimpali
untuk menambahkan hal-hal penting: bagaimana dia memperbaiki naga perunggu, bisa melempar bola
api, dan membuat taco yang lezat. Thalia adalah pendengar yang baik. Sepertinya tak ada yang bisa
membuatnya kaget"monster, ramalan, orang-orang mati yang bangkit kembali. Tapi ketika Jason
mengungkit Raja Midas, gadis itu menyumpah dalam bahasa Yunani Kuno.
"Aku tahu aku semestinya membakar griyanya," kata Thalia. "Pria itu pembuat onar. Tapi kami sedang
sibuk membuntuti Lycaon"Yah, aku lega kalian berhasil meloloskan diri. Jadi, Hera telah apa,
menyembunyikanmu selama bertahun-tahun ini?" "Entahlah." Jason mengeluarkan foto dari sakunya.
"Dia hanya menyisakan ingatan yang cukup untuk mengenali wajahmu." Thalia memandang foto itu, dan
ekspresinya melembut. "Mu lupa soal foto itu. Aku meninggalkannya di Pondok Satu, ya?" Jason
mengangguk. "Menurutku Hera ingin kita bertemu. Ketika kami mendarat di sini, di gua ini aku
mendapat firasat bahwa penting kiranya kami berada di sini. Seolah aku tahu kau ada di dekat sini. Apa
itu gila?" "Tidak kok," Leo meyakinkannya. "Kita benar-benar ditakdir-kan untuk bertemu kakakmu yang
cantik." Thalia mengabaikannya. Barangkali dia tidak mau menun-jukkan betapa Leo membuatnya
terkesan. "Jason," ujar Thalia, "ketika kita berurusan dengan dewa, tak ada yang namanya terlalu gila.
Tapi kau tak boleh memercayai Hera, terutama karena kita anak Zeus. Dia membenci semua anak Zeus."
"Tapi, Hera mengatakan sesuatu tentang Zeus yang menye-rahkan nyawaku kepadanya sebagai upeti
damai. Apa itu masuk akal?" Wajah Thalia memucat. "Demi para dewa. Ibu tak mungkin .... Kau tak
ingat"Tidak, tentu saja kau tak ingat." "Apa?" tanya Jason. Raut muka Thalia seolah menua di tengah
terpaan sinar api unggun, seakan keabadiannya sedang tidak bekerja. "Jason, aku tak tahu bagaimana
harus menyampaikan ini. Ibu bukanlah orang yang jiwanya stabil. Dia menarik perhatian Zeus karena dia
seorang aktris televisi, dan dia memang cantik, tapi dia
tidak menyikapi ketenaran dengan baik. Dia mabuk-mabukan, melakukan aksi konyol. Dia sering sekali
masuk tabloid. Dia selalu haus akan perhatian. Bahkan sebelum kau lahir, dia dan aku bertengkar
sepanjang waktu. Dia ... dia tahu Ayah adalah Zeus, dan menurutku itu membuatnya kewalahan.
Menarik perhatian penguasa langit adalah pencapaian paripurna baginya, dan dia tidak rela waktu ayah
kita pergi. Padahal, memang begitulah dewa mereka tak akan menetap lama-lama." Leo teringat ibunya
sendiri, caranya meyakinkan Leo berulang-ulang bahwa ayah Leo akan kembali kelak. Tapi ibunya tidak
pernah marah-marah soal itu. Dia tidak bersikap seolah menginginkan Hephaestus untuk dirinya
sendiri"dia hanya ingin agar Leo mengenal ayahnya. Ibu Leo rela bekerja dengan gaji pas-pasan, tinggal
di apartemen kecil, tak pernah memiliki cukup uang"dan dia sepertinya tenang-tenang saja
menghadapi itu. Dia selalu berkata: asalkan dia punya Leo, kehidupannya pasti akan baik-baik saja. Leo
memperhatikan wajah Jason"kian lama kian menderita saat Thalia memaparkan tentang ibu mereka"
dan kali ini, Leo tidak merasa cemburu pada sahabatnya itu. Leo mungkin telah kehilangan ibunya. Dia
mungkin telah menjalani masa-masa berat. Tapi setidaknya Leo mengingat ibunya. Leo mendapati
dirinya mengetukkan kode Morse ke lutut: Sayang kau. Dia bersimpati pada Jason, yang tidak memiliki
memori seperti itu"tidak memiliki apa-apa untuk dikenang. "Jadi ..." Jason tampaknya tidak sanggup
menyelesaikan pertanyaan itu. "Jason, kau punya teman," Leo memberitahunya. "Sekarang kau punya
kakak. Kau tidak sendirian." Thalia mengulurkan tangan, dan Jason menggamitnya.
"Waktu umurku sekitar tujuh tahun," kata Thalia, "Zeus mulai mengunjungi Ibu lagi. Kurasa dia merasa
bersalah karena sudah menghancurkan kehidupan Ibu. Tapi, entah bagaimana, Zeus tampak"lain. Agak
lebih tua dan lebih galak, bersikap lebih kebapakan padaku. Untuk sementara, Ibu membaik. Dia senang
dengan keberadaan Zeus yang membawakannya hadiah, menyebabkan langit menggemuruh. Dia selalu
menginginkan lebih banyak perhatian. Tahun itulah kau dilahirkan. Ibu yah, aku tak pernah akur
dengannya, tapi kau memberiku alasan untuk bertahan. Kau menggemaskan sekali. Dan aku tidak
memercayai Ibu untuk menjagamu. Tentu saja, Zeus akhirnya tidak datang lagi. Zeus barangkali tidak
tahan lagi menghadapi semua tuntutan Ibu, Ibu selalu mengusiknya agar diperbolehkan mengunjungi
Olympus, atau menjadikannya abadi atau cantik selamanya. Ketika Zeus meninggalkannya, Ibu jadi
semakin tidak stabil. Kira-kira saat itulah monster-monster mulai menyerangku. Ibu menyalahkan Hera.
Dia mengklaim bahwa sang dewi mengincarmu juga"bahwa Hera nyaris tak kuasa menoleransi
kelahiranku, tapi dua anak demigod dari keluarga yang sama merupakan penghinaan yang terlalu besar.
Ibu bahkan mengatakan dia tak mau menamaimu Jason, tapi Zeus memaksa, sebagai cara untuk
melunakkan hati Hera karena sang dewi menyukai nama itu. Aku tak tahu apa yang harus kupercayai."
Leo memain-mainkan kawat tembaganya. Dia merasa seperti penyusup. Dia tak semestinya
mendengarkan ini, tapi cerita itu juga membuatnya merasa sungguh-sungguh mengenal Jason untuk
pertama kalinya"seolah berada di sini, saat ini, merupakan pengganti bagi waktu empat bulan di
Sekolah Alam Liar, ketika Leo hanya membayangkan bahwa mereka berteman. "Bagaimana ceritanya
kalian sampai terpisah?" tanya Leo.
Thalia meremas tangan adiknya. aku tahu kau masih hidup ... demi para dewa, keadaannya pasti akan
jadi berbeda. Ketika umurmu dua tahun, Ibu mengajak kita naik mobil untuk liburan keluarga. Kita
bermobil ke utara, menuju daerah penghasil anggur, ke sebuah hutan raya yang ingin ditunjukkannya
kepada kita. Aku ingat aku sempat berpikir bahwa itu aneh karena Ibu tidak pernah mengajak kita ke
mana-mana, dan sikapnya sangat gugup. Aku menggandeng tanganmu, menuntunmu ke bangunan
besar di tengah-tengah hutan raya, kemudian ..." Napasnya gemetar. "Ibu menyuruhku kembali ke mobil
dan mengambil keranjang piknik. Aku tak mau meninggalkanmu sendirian bersama Ibu, tapi toh cuma
beberapa menit. Ketika aku kembali Ibu sedang berlutut di undakan batu, memeluk dirinya sendiri dan
menangis. Dia bilang"dia bilang kau sudah tiada. Dia bilang Hera mengambilmu dan itu sama saja
artinya kau sudah mati. Aku tak tahu apa yang telah dia perbuat. Aku takut Ibu benar-benar sudah hilang
akal. Aku lari ke sekeliling tempat itu untuk mencarimu, tapi kau menghilang begitu saja. Ibu harus
menyeretku pergi, sebab aku menendang-nendang dan menjerit-jerit. Selama beberapa hari kemudian,
aku histeris. Aku tak ingat semuanya, tapi aku menelepon polisi untuk melaporkan Ibu dan lama sekali
mereka menanyainya. Sesudah itu, kami bertengkar. Ibu menuduhku mengkhianatinya, bahwa aku
seharusnya mendukungnya, seakan hanya dia yang penting. Akhirnya aku tak tahan lagi. Hilangnya
dirimu adalah pemicunya. Aku kabur dari rumah, dan aku tak pernah kembali, bahkan tidak ketika Ibu
meninggal beberapa tahun lalu. Kukira kau sudah tiada selamanya. Aku tak pernah bercerita tentangmu
kepada siapa pun"tidak juga kepada Annabeth atau Luke, dua sahabatku. Rasanya terlalu
menyakitkan." "Chiron tahu." Suara Jason terdengar jauh. "Waktu aku tiba di perkemahan, dia cukup sekali
memandangku lalu berkata, 'Kau seharusnya sudah mati.'" "Itu tidak masuk akal," Thalia berkeras. "Aku
tak pernah memberitahunya." "Hei," ujar Leo. "Yang penting adalah sekarang kalian saling memiliki, ya
kan" Kalian berdua beruntung." Thalia mengangguk. "Leo benar. Lihatlah dirimu. Kau sudah seumurku.
Kau sudah besar." "Tapi ke mana saja aku selama ini?" ujar Jason. "Bagaimana mungkin aku menghilang
selama ini" Dan segala tetek-bengek Romawi itu ..." Thalia mengerutkan kening. "Tetek-bengek
Romawi?" "Adikmu bisa berbahasa Latin," kata Leo. "Dia menyebut dewa-dewa dengan nama Romawi
mereka, dan dia punya tato." Leo menunjuk rajah di lengan Jason. Lalu dia bercerita kepada Thalia
mengenai semua hal aneh yang telah terjadi: Boreas yang berubah menjadi Aquilon, Lycaon yang
memanggil Jason "anak Romawi," dan para serigala yang mundur ketika Jason berbicara dalam bahasa
Latin kepada mereka. Thalia memetik tali busurnya. "Latin. Zeus kadang-kadang bicara bahasa Latin,
kedua kalinya dia tinggal bersama Ibu. Seperti yang kubilang, dia tampak lain, lebih formal."
"Menurutmu dia sedang mewujud dalam aspek Romawinya?" tanya Jason. "Dan itukah sebabnya aku
menganggap diriku sebagai anak Jupiter?" "Mungkin saja," kata Thalia. "Aku tak pernah dengar tentang
kejadian semacam itu, tapi hal tersebut mungkin dapat men-jelaskan apa sebabnya kau berpikir dalam
istilah-istilah Romawi alih-alih Yunani Kuno. Itu membuatmu unik. Tapi, itu tetap tak menjelaskan
bagaimana sampai kau bisa bertahan hidup tanpa
Perkemahan Blasteran. Anak Zeus, atau Jupiter, atau terserah kau memanggilnya apa"kau pasti diburu
monster. Jika kau hidup sendirian, kau pasti sudah mati bertahun-tahun lalu. Aku tahu aku takkan
mampu bertahan hidup tanpa teman. Kau pasti membutuhkan latihan, tempat berlindung yang aman?"
"Dia tidak sendirian," sembur Leo. "Kami sudah mendengar tentang anak-anak lain seperti dia." Thalia
memandang Leo kebingungan. "Apa maksudmu?" Leo memberitahunya tentang baju tercabik-cabik di
toko serbaada Medea, dan cerita yang dikisahkan Cyclops mengenai anak Merkurius yang berbicara
dalam bahasa Latin. "Tidak adakah tempat lain untuk demigod?" tanya Leo. "Maksudku selain
Perkemahan Blasteran" Mungkin ada guru bahasa Latin sinting yang menculik anak-anak dewa atau
semacamnya, menjadikan mereka berpikir layaknya orang Romawi." Begitu dia mengucapkannya, Leo
menyadari betapa ide tersebut terdengar konyol. Mata biru kemilau Thalia mengamatinya dengan
saksama, membuatnya merasa bagaikan tersangka yang sedang dibariskan. "Aku sudah menjelajahi
seluruh pelosok negeri," Thalia membatin. "Aku tak pernah melihat bukti-bukti keberadaan seorang
guru bahasa Latin sinting, atau demigod berkaus ungu. Walau begitu ..." Suaranya menghilang, seolah
sebuah pemikiran mengelisahkan baru raja terbetik di benaknya. "Apa?" tanya Jason. Thalia
menggelengkan kepala. "Aku harus bicara kepada sang dewi. Mungkin Artemis bersedia memandu kita."
"Dia masih bicara pada kalian?" tanya Jason. "Sebagian besar dewa telah membisu." "Artemis mengikuti
aturannya sendiri," kata Thalia. "Dia harus berhati-hati supaya Zeus tidak tahu, tapi menurutnya Zeus
telah bersikap konyol karena menutup Olympus. Sang Dewi-lah yang telah mengutus kami untuk
mengikuti jejak Lycaon. Dia bilang kami akan menemukan petunjuk mengenai seorang teman kami yang
hilang." "Percy Jackson," terka Leo. "Cowok yang dicari Annabeth." Thalia mengangguk, wajahnya penuh
kekhawatiran. Leo bertanya-tanya adakah yang pernah bertampang sekhawatir itu selama ini, saat dia


The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghilang. Dia meragukannya. "jadi, apa hubungan Lycaon dengan semua ini?" tanya Leo. "Dan apa
kaitannya dengan kami?" "Kita harus sesegera mungkin mencari tahu," Thalia mengakui. "Jika tenggat
waktu kalian besok, kita sedang membuang-buang waktu sekarang. Aeolus bisa memheri tahu kalian?"
Sang serigala putih muncul lagi di pintu gua dan mendengking memaksa. "Aku harus bergerak." Thalia
berdiri. "Kalau aku lama-lama di sini, aku akan kehilangan jejak para Pemburu yang lain. Tapi pertamatama, akan kuantar kalian ke istana Aeolus." "Kalau kau tak bisa, tak apa-apa," ujar Jason, meskipun dia
kedengarannya agak tertekan. "Oh, sudahlah." Thalia tersenyum dan membantu Jason berdiri. "Aku
sudah bertahun-tahun tak punya adik. Kurasa aku bisa bertahan beberapa menit bersamamu sebelum
kau jadi menyebalkan. Nah, ayo kita pergi!"[]
BAB TIGA PULUH ENAM LEO KETIKA LEO MELIHAT BAGAIMANA PIPER dan Hedge diper-lakukan dengan baik, dia betul-betul
tersinggung. Dia membayangkan pantat keduanya membeku gara-gara duduk di salju, tapi Phoebe sang
Pemburu telah mendirikan tenda sebesar paviliun tepat di luar gua. Bagaimana dia melakukan itu
sedemikian cepat, Leo tak tahu, tapi di dalam terdapat pemanas bertenaga minyak tanah yang menjaga
mereka agar tetap hangat serta setumpuk bantal empuk. Piper kelihatannya sudah kembali normal,
mengenakan aksesori berupa jaket baru, sarung tangan, dan celana loreng-loreng seperti seorang
Pemburu. Piper, Hedge, dan Phoebe sedang bersantai sambil minum cokelat panas. "Oh, aku tidak
terima," kata Leo. "Sejak tadi kami duduk-duduk di gua, sedangkan kalian mendapat tenda mewah"
Tolong beri aku hipotermia. Aku mau cokelat hangat dan jaket!" Phoebe mendengus. "Dasar cowok,"
katanya, seolah itu adalah penghinaan terburuk yang terpikirkan olehnya. "Talc apa-apa, Phoebe," ujar
Thalia. "Mereka bakal membutuh-kan mantel tambahan. Dan kurasa kita bisa menyisihkan sedikit
cokelat." Phoebe menggerutu, tapi tak lama kemudian Leo dan Jason juga sudah mengenakan pakaian musim
dingin keperakan yang luar biasa ringan serta hangat. Cokelat panasnya juara. "Bersulang!" kata Pak
Pelatih Hedge. Dikunyahnya cangkir plastik termosnya. "Itu tidak bagus buat usus Bapak," kata Leo.
Thalia menepuk bahu Piper. "Kau sudah bisa bergerak?" Piper mengangguk. "Iya, berkat Phoebe. Kalian
benar-benar jago bertahan hidup di alam liar. Aku merasa bisa lari lima belas kilo." Thalia berkedip
kepada Jason. "Dia tangguh untuk seorang anak Aphrodite. Aku suka yang satu ini." "Hei, aku bisa lari
lima belas kilo juga," timpal Leo. "Di sini ada anak Hephaestus yang tangguh. Ayo kita jalan." Tentu saja,
Thalia mengabaikannya. Phoebe butuh waktu persis enam detik untuk membongkar tenda. Leo tak bisa
memercayainya. Tenda itu ambruk sendiri, menjadi kubus seukuran kotak permen karet. Leo ingin minta
cetak biru tenda itu kepada Phoebe, tapi mereka tak punya waktu. Thalia lari mendaki bukit bersalju,
melewati jalan setapak kecil di sini gunung, dan tidak lama kemudian Leo menyesal sudah berusaha
berlagak macho, soalnya dia ketinggalan jauh dari para Pemburu itu. Pak Pelatih Hedge melonjak-lonjak
seperti kambing gunung yang gembira, mengompori mereka seperti waktu jalan lintas alam di sekolah.
"Ayo, Valdez! Yang cepat. Mari menyanyi. Naik-naik ke puncak?" "Jangan menyanyi," bentak Thalia.
Jadi, mereka lari dalam keheningan. Leo memperlambat lajunya, lari di sebelah Jason di bagian belakang
kelompok tersebut. "Bagaimana keadaanmu, Bung?"
Ekspresi Jason sudah cukup memberikan jawaban: Tidak bagus. "Thalia menyikapinya dengan begitu
tenang," ujar Jason. "Seakan bukan masalah besar bahwa aku muncul tiba-tiba. Aku tidak tahu apa yang
kuharapkan, tapi dia tidak seperti aku. Dia sepertinya lebih kalem." "Hei, dia kan tidak berjuang
melawan amnesia," kata Leo. "Lagi pula, dia punya lebih banyak waktu untuk membiasakan diri dengan
perkara demigod ini. Kalau kita sudah cukup lama bertarung melawan monster dan bicara pada dewa,
kita mungkin takkan cepat kaget." "Mungkin," ujar Jason. "Aku berharap kalau saja aku mengerti apa
yang terjadi waktu aku dua tahun, apa sebabnya ibuku menyingkirkanku. Thalia kabur gara-gara aku."
"Hei, apa pun yang terjadi, itu bukan salahmu. Dan kakakmu lumayan keren. Dia mirip sekali
denganmu." Jason menanggapi itu dengan kebisuan. Leo bertanya-tanya apakah dia telah mengucapkan
hal yang tepat. Dia ingin membuat Jason merasa lebih baik, tapi percakapan seperti ini terletak jauh di
luar zona nyamannya. Leo berharap dia bisa merogoh sabuk perkakasnya dan mengambil tang yang
tepat untuk memperbaiki ingatan Jason"mungkin palu kecil"menggetok mur yang menempel dan
menjadikan semuanya mulus. Pasti lebih mudah begitu daripada berusaha jadi teman curhat. Tidak jago
menghadapi bentuk kehidupan organik. Makasih untuk sifat-sifat turunan itu, Ayah. Leo sedemikian
larut dalam pemikirannya sendiri sampai-sampai tidak menyadari bahwa para Pemburu telah berhenti.
Dia menabrak Thalia dan hampir membuat mereka jatuh menggelinding ke sisi gunung. Untungnya, sang
Pemburu sigap. Gadis itu menyeimbangkan mereka berdua, lalu menunjuk ke atas.
"Itu," Leo tersedak, "adalah batu yang betul-betul besar." Mereka berdiri di dekat puncak Pikes Peak. Di
bawah mereka dunia diselimuti awan. Udara begitu tipis sampai-sampai Leo hampir tak bisa bernapas.
Malam telah tiba, namun bulan purnama bersinar, dan bintang-bintang berkilauan. Terbentang ke utara
dan selatan, puncak-puncak gunung menjulang dari antara awan bagaikan pulau-pulau"atau gigi-gigi.
Tapi tontonan yang sebenarnya ada di atas mereka. Di langit, kira-kira berjarak setengah kilometer dari
tanah, mengapunglah batu ungu berpendar yang menyerupai pulau raksasa. Sukar menaksir ukurannya,
tapi menurut tebakan Leo luasnya paling tidak setara dengan stadion futbol dan tingginya juga segitu.
Sisi-sisinya berupa tebing kasar, diselingi gua-gua, dan sesekali angin menyembur keluar disertai bunyi
yang menyerupai suara organ pipa. Di puncak batu tersebut, dinding perunggu mengitari semacam puri.
Satu-satunya yang menghubungkan Pikes Peak ke pulau terapung itu adalah jembatan sempit dari es
yang berkilauan diterpa sinar rembulan. Kemudian Leo menyadari jembatan itu sesungguhnya tidak
terbuat dari es, sebab jembatan tersebut tidak padat. Tiap kali angin berubah arah, jembatan itu meliukliuk"mengabur dan menipis, di beberapa tempat bahkan terbuyarkan menjadi larik-larik tipis mirip gas
buangan pesawat terbang. "Kita tidak bakal menyeberangi itu, kan?" ujar Leo. Thalia mengangkat bahu.
"Aku juga bukan penggemar ketinggian, kuakui. Tapi jika kalian ingin mendatangi puri Aeolus, ini adalah
satu-satunya jalan." "Apa puri itu selalu melayang di atas sana?" tanya Piper. "Kok orang-orang tidak
radar ada puri yang bertengger di puncak Pikes Peak?"
"Kabut," ujar Thalia. "Tapi, manusia fana masih menyadarinya, secara tidak langsung. Kadang-kadang,
Pikes Peak tampak ungu. Orang bilang itu tipuan cahaya, tapi sebenarnya itu adalah warna istana Aeolus,
terpantul dari tebing gunung." "Besar sekali," ujar Jason. Thalia tertawa. "Kau harus melihat Olympus,
Dik." "Kau serius" Kau pernah ke sana?" Thalia meringis seakan kenangan tersebut tidaklah indah. "Kita
sebaiknya menyeberang dalam dua kelompok. Jembatan itu rapuh." "Menenangkan sekali," kata Leo.
"Jason, tak bisakah kau terbangkan saja kami ke atas sana?" Thalia tertawa. Kemudian dia tampaknya
menyadari bahwa pertanyaan Leo bukanlah gurauan. "Tunggu ... Jason, kau bisa terbang?" Jason
mendongak, menatap puri terapung itu. "Yoh, semacam itulah. Lebih tepatnya aku bisa mengontrol
angin. Tapi angin di atas sini kuat sekali, aku tak yakin aku ingin mencoba. Thalia, maksudmu kau tidak
bisa terbang?" Selama sedetik, Thalia terlihat sungguh-sungguh takut. Kemudian dia berhasil
mengendalikan ekspresi itu. Leo menyadari Thalia lebih takut pada ketinggian daripada yang
diperlihatkannya. "Sejujurnya," kata Thalia, "aku tak pernah mencobanya. Mungkin sebaiknya kita pakai
jembatan saja." Pak Pelatih Hedge mengetuk-ngetukkan kuku belahnya ke jalan setapak sehalus asap
tersebut, lalu melompat naik ke jembatan. Hebatnya, jembatan tersebut kuat menahan bobotnya.
"Gampang! Aku duluan. Piper, ayo, Nak. Sini, kubantu kau." "Tidak usah, tidak apa-apa," Piper mulai
berkata, tapi sang pelatih mencengkeram tangannya dan menyeretnya naik ke jembatan.
Ketika mereka kira-kira sudah setengah jalan, jembatan itu sepertinya masih kuat-kuat saja menahan
merka. Thalia menoleh kepada temannya sesama Pemburu. "Phoebe, aku akan segera kembali. Pergi
dan carilah yang lain. Beni tahu mereka aku akan segera menyusul." "Kau yakin?" Phoebe menyipitkan
mata ke arah Leo dan Jason, seolah mereka mungkin saja menculik Thalia atau apalah. "Iya, tak apa-apa
kok," Thalia berjanji. Phoebe menggangguk dengan enggan, kemudian lari menuruni jalan setapak
gunung, diikuti serigala-serigala putihnya. "Jason, Leo, hati-hati saja dalam melangkahkan kaki," ujar
Thalia. "Jembatan ini nyaris tak pernah patah." "Jembatan ini belum pernah ketemu aku," gumam Leo,
tapi dia dan Jason pun naik ke jembatan.
*** Di tengah-tengah jembatan, keadaan jadi tidak beres, dan tentu saja itu salah Leo. Piper dan Hedge
sudah sampai dengan selamat di puncak dan sedang melambai-lambai kepada mereka, menyemangati
mereka agar terus menyeberang, tapi perhatian Leo teralih. Dia justru sibuk memikirkan jembatan"
bagaimana dia akan mendesain sesuatu yang jauh lebih stabil daripada uap es goyah seandainya ini
adalah istananya. Dia sedang menimbang-nimbang sekrup dan pilar penyangga. Kemudian sebuah
pemikiran mendadak menghentikan langkahnya. "Kok di sini ada jembatan?" tanyanya. Thalia
mengerutkan kening. "Leo, ini bukan tempat yang bagus untuk berhenti. Apa maksudmu?" "Mereka roh
angin," kata Leo. "Tak bisakah mereka terbang?"
"Ya, mereka bisa terbang, tapi kadang mereka butuh jalan untuk menghubungkan diri ke dunia di
bawah." "Jadi, jembatan ini tak selalu ada di sini?" tanya Leo. Thalia menggelengkan kepala. "Roh-roh
angin tidak suka menambatkan diri ke bumi, tapi terkadang itu perlu. Misalnya sekarang. Mereka tahu
kalian akan datang." Benak Leo berpacu. Dia begitu antusias sampai-sampai dia hampir bisa merasakan
suhu tubuhnya naik. Leo tidak bisa merumuskan pemikirannya menjadi kata-kata, namun dia tahu dia
telah menyadari sesuatu yang penting. "Leo?" kata Jason. "Apa yang kaupikirkan?" "Demi para dewa,"
kata Thalia. "Terus bergerak. Lihat kaki-mu." Leo bergeser mundur. Dengan ngeri, disadarinya bahwa
suhu tubuhnya memang betul-betul naik, sama seperti bertahun-tahun yang lalu di meja piknik di
bawah pohon pecan, ketika amarahnya menguasainya. Kini, rasa antusiasnyalah yang menyebabkan
reaksi itu. Celananya beruap di tengah-tengah hawa dingin. Sepatunya berasap, dan jembatan tersebut
tidak menyukainya. Es menjadi kian tipis. "Leo, hentikan," Jason memperingatkan. "Kau akan melelehkan jembatan ini." "Akan kucoba," ujar Leo. Tapi badannya otomatis bertambah panas, suhunya
bertambah tinggi dengan cepat, secepat pikirannya. "Dengarkan, Jason, Hera menyebutmu apa dalam
mimpi itu" Dia menyebutmu jembatan." "Leo, serius nih, turunkan suhu badanmu," kata Thalia. "Aku tak
mengerti apa yang kaubicarakan, tapi jembatan ini?" "Dengarkan saja deh," Leo berkeras. "Seandainya
Jason adalah jembatan, apa yang dihubungkannya" Mungkin dua tempat berlainan yang biasanya tidak
akur"misalnya istana udara dan
tanah. Sebelum ini kau pasti tinggal di suatu tempat, kan" Dan Hera bilang kau dikirim untuk sebuah
pertukaran." "Pertukaran." Mata Thalia membelalak. "Demi para dewa." Jason mengerutkan kening.
"Apa yang kalian berdua bicarakan?" Thalia menggumamkan sesuatu yang menyerupai doa. "Aku
sekarang mengerti apa sebabnya Artemis mengutusku ke mari. Jason"sang dewi menyuruhku
memburu Lycaon dan memberitahuku bahwa aku akan menemukan petunjuk mengenai Percy. Kau-lah
petunjuk itu. Artemis ingin kita bertemu supaya aku bisa mendengar ceritamu." "Aku tak mengerti,"
Jason memprotes. "Aku tak punya cerita. Aku tak ingat apa-apa." "Tapi Leo benar," ujar Thalia. "Semua
ini berhubungan. Kalau saja kita tahu di mana?" Leo menjentikkan jari. "Jason, kausebut apa tempat
dalam mimpimu itu" Rumah bobrok itu. Rumah Serigala?" Thalia hampir tersedak. "Rumah Serigala"
Jason, kenapa tak kauberitahukan itu padaku! Mereka menawan Hera di sana?" "Kautahu di mana
tempat itu berada?" tanya Jason. Lalu jembatan itu pun terbuyarkan. Leo pasti sudah jatuh menyambut
ajalnya, tapi Jason mencengkeram mantelnya dan menariknya ke tempat aman. Mereka berdua buruburu menye-berangi jembatan, dan ketika mereka berbalik, Thalia sudah berada di seberang jurang
selebar sembilan meter. Jembatan tersebut terus meleleh. "Pergilah!" teriak Thalia, mundur menjauh
sementara jem-batan tersebut hancur berantakan. "Carl tahu di mana si raksasa menahan ayah Piper.
Selamatkan dia! Akan kubawa para Pemburu ke Rumah Serigala dan mengurus segalanya sampai kau
datang ke sana. Kita bisa melakukan keduanya!"
"Tapi Rumah Serigala itu di mana?" teriak Jason. "Kautahu letaknya, Dik!" Thalia sekarang terlalu jauh
sehingga mereka hanya mendengar suaranya lamat-lamat di tengah deru angin. Leo cukup yakin gadis
itu mengatakan: "Akan kutemui kau di sana. Aku janji." Kemudian Thalia berbalik dan berlari menyusuri
jembatan yang terbuyarkan. Leo dan Jason tidak punya waktu untuk berdiam diri. Mereka menyeberang
secepat-cepatnya demi menyelamatkan nyawa, uap es menipis di bawah kaki mereka. Beberapa kali
Jason menyambar Leo dan menggunakan angin untuk mengapungkan mereka, tapi manuver tersebut
lebih menyerupai bungee jumping daripada terbang. Ketika mereka sampai di pulau terapung, Piper dan
Pak Pelatih Hedge menarik mereka ke atas tepat pada saat sisa-sisa terakhir jembatan uap menghilang.
Mereka berdiri tersengal-sengal di kaki tangga batu yang terpahat di sisi tebing, mengarah ke puri. Leo
menengok ke bawah. Puncak Pikes Peak mengapung di bawah mereka di tengah-tengah lautan awan,
tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Thalia. Dan Leo baru saja membakar satu-satunya jalan keluar
mereka. "Apa yang terjadi?" tuntut Piper. "Leo, kenapa pakaianmu berasap?" "Aku agak kepanasan,"
kata Leo terengah-engah. "Maaf, Jason. Jujur. Aku tak?" "Tak apa-apa," Jason berkata, tapi ekspresinya
muram. "Kita punya waktu kurang dari dua puluh empat jam untuk menyelamatkan seorang dewi dan
ayah Piper. Ayo kita temui sang Raja Angin."[]
BAB TIGA PULUH TUJUH JASON JASON TELAH MENEMUKAN KAKAKNYA DAN kehilangan dia lagi dalam waktu kurang dari sejam. Selagi
mereka mendaki tebing pulau terapung, Jason terus menengok ke belakang, tapi Thalia sudah lenyap.
Terlepas dari perkataan Thalia yang berjanji akan menemuinya lagi, Jason bertanya-tanya. Thalia telah
menemukan keluarga baru yaitu para Pemburu, dan ibu baru dalam diri Artemis. Thalia tampaknya amat
mantap dan nyaman dengan kehidupannya sehingga Jason tidak yakin dirinya bisa menjadi bagian dari
kehidupan Thalia. Dan Thalia tampaknya sungguh bertekad untuk menemukan temannya Percy.
Pernahkah dia mencari Jason seperti itu" Tidak adil, kata Jason kepada dirinya sendiri. Dia mengira kau
sudah mati. Jason nyaris tidak tahan mendengar perkataan Thalia tentang ibu mereka. Rasanya seolah
Thalia telah menyerahkan seorang bayi kepada Jason--bayi yang teramat cengeng dan jelek"serta
berkata, Nih, ini bayimu. Gendongsana. Jason tidak mau menggendongnya.
Jason tidak mau memandangi ataupun mengakuinya. Jason tidak mau tahu bahwa dia punya seorang
ibu bermental tidak stabil yang menyingkirkannya demi meredakan amarah seorang dewi. Tidak heran
Thalia kabur. Kemudian Jason teringat pondok Zeus di Perkemahan Blasteran"relung mungil yang
digunakan Thalia sebagai tempat tidur, berada di luar sudut pandang patung Dewa Langit yang melotot
itu. Ayah mereka juga tidak terlalu mengesankan. Jason memahami apa sebabnya Thalia meninggalkan
bagian itu dari kehidupannya, tapi dia tetap saja jengkel. Jason tidak semujur itu. Dia ditinggalkan
dengan beban berat di pundaknya"dalam arti yang sebenarnya. Ransel emas berisi angin tersandang di
pundak Jason. Semakin dekat mereka dengan istana Aeolus, semakin beratlah tas tersebut. Angin
meronta-ronta, menggemuruh dan menabrakkan diri ke sana-sini. Satu-satunya orang yang suasana
hatinya sedang bagus adalah Pak Pelatih Hedge. Dia terus saja melonjak-lonjak, menaiki anak tangga
yang licin dan turun lagi. "Ayo, bocah-bocah lembek! Tinggal beberapa ribu anak tangga lagi!" Selagi
mereka mendaki, Leo dan Piper membiarkan Jason diam saja. Mungkin mereka dapat merasakan bahwa
suasana hatinya sedang jelek. Piper terus saja melirik ke belakang, khawatir, seakan Jason-lah yang
hampir mati karena hipotermia alih-alih dia sendiri. Atau mungkin Piper sedang memikirkan gagasan
Thalia. Mereka sudah memberi tahu Piper mengenai ucapan Thalia di jembatan"bagaimana mereka
bisa menyelamatkan ayah Piper dan juga Hera"tapi Jason kurang paham bagaimana caranya
melakukan itu, dan dia tidak yakin apakah kemungkinan tersebut membuat Piper lebih optimis atau
justru lebih waswas. [ 426 ] JASON Leo terus-menerus mengebuti kakinya, mengecek kalau-kalau celananya terbakar. Dia tidak beruap lagi,
tapi insiden di jembatan es benar-benar telah membuat Jason ketakutan. Leo sepertinya tidak
menyadari bahwa ada asap yang keluar dari telinganya dan bunga api yang menari-nari di rambutnya.
Jika Leo bakalan terbakar secara spontan setiap kali dia bersemangat, mereka bakal kesulitan
mengajaknya nongkrong ke mana-mana. Jason membayangkan dirinya memesan makanan di restoran.
Saya minta burger keju dan"Ahhh! Temanku terbakar! Ambilkan seember air! Tapi yang terutama,
Jason cemas dengan perkataan Leo. Jason tidak ingin menjadi jembatan, atau sarana pertukaran, atau
yang lainnya. Dia hanya ingin tahu dari mana dia berasal. Dan Thalia terlihat begitu galau ketika Leo
menyinggung-nyinggung tentang rumah terbakar dalam mimpi Jason"tempat yang menurut Lupa sang
serigala adalah titik awal kehidupan Jason. Bagaimana bisa Thalia mengetahui tempat itu, dan apa
sebabnya dia mengasumsikan Jason bisa menemukannya" Jawaban atas semua pertanyaan Jason
sepertinya kian dekat. Tapi semakin dekat Jason dengan jawaban itu, otaknya semakin tidak mau
bekerja sama, seperti angin di belakang punggungnya. Akhirnya mereka tiba di puncak pulau. Dinding
perunggu mengelilingi seluruh puri, meskipun Jason tak bisa membayangkan siapa yang mau menyerang
tempat ini. Gerbang setinggi enam meter terbuka untuk mereka, dan jalan dari batu ungu mengilap
mengarah ke istana utama"bangunan bulat beratap kubah dengan pilar-pilar putih, bergaya Yunani,
sangat mirip dengan salah satu monumen di Washington, D.C."kalau bukan karena sekumpulan antena
parabola dan menara pemancar radio di atap. "Aneh," kata Piper. "Sepertinya pulau terapung itu tidak
bisa menangkap siaran TV kabel," kata Leo. "Ya ampun, coba lihat halaman depannya."
Bangunan bulat tersebut terletak di tengah-tengah lingkaran berdiameter setengah kilometer. Lahan
tersebut menakjubkan, tapi sekaligus menyeramkan. Lahan itu dibagi empat seperti potongan piza,
masing-masing menggambarkan satu musim. Bagian di kanan mereka berupa lahan gundul berlapis es,
dengan pohon-pohon gundul serta danau beku. Orang-orangan salju menggelinding menyusuri bentang
alam tersebut seiring dengan tiupan angin, jadi Jason tak yakin apakah orang-orangan tersebut cuma
dekorasi atau memang hidup. Di kiri niereka terdapat taman musim gugur yang disemarakkan pohonpohon berdaun merah dan keemasan. Tumpukan daun tertiup hingga membentuk pola-pola"dewa,
manusia, binatang yang berkejaran sebelum terpencar menjadi dedaunan kembali. Di kejauhan, Jason
bisa melihat dua area lagi di belakang bangunan bulat. Salah satunya menyerupai ladang hijau yang
dipenuhi domba dari awan. Bagian terakhir berupa gurun, diisi gumpalan dahan kering yang
menggoreskan motif-motif ganjil di pasir mirip huruf-hurufYunani, wajah tersenyum, dan iklan besar
yang berbunyi: SAKSIKAN AEOLUS SETIAP MALAM! "Satu bagian untuk masing-masing Dewa Angin,"
tebak Jason. "Empat arah angin utama." "Aku suka sekali padang itu." Pak Pelatih Hedge menjilat
bibirnya. "Kalian keberatan?" "Silakan," kata Jason. Dia sebenarnya lega menyuruh satir itu pergi.
Sudah cukup sulit menarik simpati Aeolus tanpa kehadiran Pak Pelatih Hedge yang mengayun-ayunkan
pentungannya sambil berteriak, "Mati!" Selagi sang satir menyingkir untuk menyerang padang musim
semi, Jason, Leo, dan Piper menyusuri jalan hingga ke undakan istana. Mereka melewati pintu depan,
lalu memasuki ruang tamu berlantai marmer putih yang dihiasi panji-panji ungu bertuliskan
Olympian Weather Channel atau Saluran Cuaca Olympia, dan sebagian lainnya yang hanya bertuliskan
OW! "Halo!" Seorang perempuan melayang ke arah mereka. Melayang dalam arti yang sebenarnya. Dia
cantik bagaikan peri, mengingatkan Jason pada roh-roh alam di Perkemahan Blasteran"mungil,
bertelinga lancip, dan berwajah awet muda. Dia mungkin saja baru enam belas atau sudah tiga puluh.
Mata cokelatnya berbinar-binar riang. Meskipun tidak ada angin, rambut gelapnya mengembang dalam
gerak lambat, ala iklan sampo. Gaun putihnya berkibar-kibar di sekeliling tubuhnya laksana bahan
parasut. Jason tidak tahu apakah perempuan itu memiliki kaki, tapi jika punya, kakinya tidak menyentuh
lantai. Dia memegang komputer tablet putih di tangannya. "Apa kalian diutus Dewa Zeus?" tanyanya.
"Kami sudah menunggu kalian." Jason berusaha merespons, tapi agak susah untuk berpikir jernih, sebab
dia menyadari bahwa perempuan itu transparan. Sosoknya menajam dan mengabur seakan terbuat dari
kabut. "Apa kau hantu?" tanya Jason. Jason seketika sadar dia telah menyinggung perasaan perem-puan
itu. Mulutnya yang tersenyum jadi cemberut. "Aku ini aura, Pak. Peri angin, seperti yang seharusnya
kauketahui, mengingat bahwa aku bekerja untuk penguasa angin. Namaku Mellie. Di sini tidak ada
hantu." Piper kontan angkat bicara, menyelamatkan Jason. "Tidak, tentu saja kau bukan hantu!
Temanku hanya salah mengenalimu sebagai Helen dari Troya, manusia fana tercantik sepanjang masa.
Mudah saja membuat kekeliruan semacam itu." Wow, Piper memang hebat. Pujian itu sepertinya agak
ber-lebihan, namun Mellie sang aura merona. "Oh begitu. jadi, benar kalian diutus Zeus?" "Arm," kata
Jason, "iya, aku ini putra Zeus."
"Bagus sekali! Silakan, ke arah sini." Mellie membimbing mereka melewati beberapa pintu pengaman,
masuk ke lobi lainnya, terus mengecek komputer tabletnya selagi dia melayang. Dia tidak melihat ke
arah yang ditujunya, namun itu tampaknya itu tak jadi soal, sebab dia bisa melayang menembus pilar
marmer tanpa kesulitan. "Jam tayang utama sudah selesai, jadi tak apa-apa," Mellie bergumam. "Aku
bisa memasukkan kalian tepat sebelum acara pukul 23.12." "Mmm, oke," Jason berkata. Lobi tersebut
merupakan tempat yang memusingkan. Angin menderu-deru di sekeliling mereka sampai-sampai Jason
merasa sedang berusaha melewati kerumunan orang tak kasatmata yang padat. Pintu tertiup hingga
terbuka dan terbanting hingga tertutup begitu Baja. Hal-hal yang bisa dilihat Jason dengan mata
telanjang betul-betul aneh. Pesawat kertas berbagai bentuk serta ukuran melesat ke sana-kemari, dan
para peri angin lainnya sesekali mengambil pesawat-pesawatan tersebut dari udara, membuka
lipatannya dan membaca isinya, kemudian kembali melemparkan kertas itu ke udara. Kertas tersebut
kemudian akan melipat dirinya sendiri, membentuk pesawat-pesawatan seperti semula, dan terbang
kembali. Sesosok makhluk jelek berkelebat lewat. Penampilannya merupakan perpaduan wanita tua dan


The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayam yang disuntik steroid. Ia memiliki wajah keriput dengan rambut hitam yang dikonde dalam jala
rambut, lengan manusia plus sayap ayam, dan tubuh gendut berbulu burung dengan cakar sebagai
pengganti kaki. Fakta bahwa is bisa terbang saja sudah hebat. Ia terus saja mengapung ke sana-kemari
dan menabrak ini-itu bagaikan balon lepas. "Bukan aura?" tanya Jason kepada Mellie saat makhluk itu
terhuyung-huyung lewat. Mellie tertawa. "Itu harpy, tentu saja. Semacam, ah, saudari tiri kami yang buruk rupa, bisa dibilang
begitu. Memangnya di Olympus tidak ada harpy" Mereka roh angin kencang, tidak seperti kami para
aura. Kami semua angin sepoi-sepoi." Dia mengedipkan bulu matanya kepada Jason. "Tentu saja," ujar
Jason. "Jadi," tukas Piper, "kau hendak mengantar kami untuk menemui Aeolus?" Mellie membimbing
mereka melewati pintu ganda yang sepertinya merupakan pintu kedap udara. Di atas pintu sebelah
dalam, lampu hijau berkedip-kedip. "Kita punya beberapa menit lagi sebelum beliau mulai," kata Mellie
riang. "Beliau barangkali takkan membunuh kalian jika kita masuk sekarang. Mari!" []
BAB TIGA PULUH DELAPAN JASON MULUT JASON MENGANGA. BAGIAN SENTRAL puri Aeolus berukuran sebesar katedral, dengan atap
kubah menjulang yang dilapisi perak. Perlengkapan siaran melayang-layang tak teratur di udara"
kamera, lampu sorot, set studio, tanaman dalam pot. Dan tidak ada lantai. Leo hampir jatuh ke dalam
jurang menganga sebelum Jason menariknya ke belakang. "Astaga"!" Leo menelan ludah. "Hei, Mellie.
Lain kali peringatkan kami dulu dong!" Sebuah lubang besar bundar menghunjam ke jantung gunung.
Dalamnya berangkali lebih dari tiga perempat kilometer, dipenuhi gua-gua yang berbentuk seperti
sarang tawon. Sebagian terowongan barangkali langsung mengarah ke luar. Jason ingat dia pernah
melihat semburan angin keluar dari sana ketika mereka berada di Pikes Peak. Gua-gua lain disegel oleh
bahan mengilap seperti kaca atau Jilin. Gua-gua itu dipenuhi harpy, aura, dan pesawat ken as yang
berseliweran, namun bagi seseorang yang tidak bisa terbang, terjerumus ke sana sama artinya dengan
jatuh dari tempat yang sangat tinggi dan akibatnya bakal fatal.
"Ya ampun," Mellie terkesiap. "Aku benar-benar minta maaf." Dia mengambil walkie-talkie dari dalam
gaunnya dan berbicara ke alat komunikasi itu: "Halo, Set" Nuggets, ya" Hai, Nuggets. Tolong, bisakah
kami minta lantai di studio utama" Ya, lantai yang padat. Terima kasih." Beberapa detik kemudian,
sepasukan harpy membubung dari lubang"kira-kira tiga lusin wanita ayam menyeramkan, semua
membawa petak-petak yang terbuat dari aneka bahan bangunan. Mereka langsung bekerja, memalu
dan mengelem"serta menggunakan banyak sekali selotip, yang tidak menenangkan Jason sama sekali.
Dalam waktu singkat, lantai buatan telah mengular di atas jurang. Lantai tersebut terbuat dari kayu lapis,
bilah marmer, lembaran karpet, dan petak rumput"apa saja. "Itu tidak mungkin aman," kata Jason. "Oh,
tentu saja aman!" Mellie meyakinkannya. "Para harpy sangat terampil." Mudah baginya berkata begitu.
Dia bisa mengapung ke seberang tanpa menyentuh lantai, tapi Jason memutuskan bahwa dialah yang
punya peluang bertahan hidup paling besar, karena dia bisa terbang. Jadi Jason menapak duluan.
Hebatnya, lantai tersebut bergeming. Piper mencengkeram tangan Jason dan mengikutinya. "Kalau aku
jatuh, tangkap aku." "Eh, baiklah." Jason berharap dia tidak tersipu. Berikutnya Leo yang melangkah.
"Tangkap aku juga ya, Superman. Tapi aku tidak mau menggandeng tanganmu." Mellie menuntun
mereka ke tengah-tengah ruangan. Di sana, layar-layar video melayang-layang mengitari semacam pusat
kendali. Seorang pria mengapung di dalam, mengecek monitor dan membaca pecan di pesawat kertas.
[ 434 ] " 1 JASON Pria itu tidak mengacuhkan mereka saat Mellie membawa mereka ke depan. Mellie mendorong layar
Sony 42" sehingga tidak menghalangi mereka dan membimbing mereka ke area kendali. Leo bersiul.
"Aku harus punya kamar seperti ini." Layar-layar yang mengapung menunjukkan segala macam program
televisi. Sebagian dikenali Jason"siaran berita, terutama"tapi sebagian program agak aneh: adu
gladiator, demigod bertarung melawan monster. Mungkin itu film, tapi tampilannya lebih mirip reality
show. Di ujung lingkaran itu ada latar belakang biru licin seperti layar bioskop, dengan kamera dan
lampu studio melayang-layang di sekitarnya. Pria di tengah-tengahnya masih bicara ke gagang telepon.
Dia memegang pengendali jarak jauh di kedua tangan dan mengarahkan pengendali jarak jauh tersebut
ke berbagai layar, sepertinya secara acak. Dia mengenakan setelan bisnis yang menyerupai langit"
hampir berwarna biru seluruhnya, tapi diselingi oleh awan-awan yang berubah, menggelap, dan
bergerak melintasi kain. Dia kelihatannya berusia enam puluhan, berambut putih lebat, tapi rias
wajahnya tebal dan mukanya kencang seperti sudah dioperasi plastik, jadi dia kelihatannya tidak terlalu
muda, tidak terlalu tua, hanya terlihat ganjil"seperti boneka Ken yang setengah leleh karena
dimasukkan ke microwave. Mata hitamnya jelalatan dari layar ke layar, seolah dia sedang berusaha
menyerap semua informasi sekaligus. Dia menggumamkan sesuatu ke teleponnya, dan mulutnya terusmenerus berkedut. Entah dia sedang geli, atau gila, atau keduanya. Mellie mengapung ke arah pria itu.
"Ah, permisi, Pak Aeolus, para demigod ini?"
"Tunggu dulu!" Pria itu mengangkat tangan untuk mem-bungkam Mellie, lalu menunjuk salah satu layar.
"Saksikanlahr Layar tersebut menunjukkan program kejar-kejaran dengan badai, yaitu acara yang
menampilkan para pencari tantangan edan, bermobil untuk memburu tornado. Saat Jason menonton,
sebuah jip sedang terseret ke tengah-tengah angin ribut dan dilemparkan ke angkasa. Aeolus memekik
girang. "Saluran Bencana. Orang-orang sengaja melakukan itu!" Dia berpaling kepada Jason sambil
nyengit sinting. "Bukankah itu mengagumkan" Mari kita saksikan lagi." "Pak," ujar Mellie, "ini Jason,
putra?" "Ya, ya, aku ingat," kata Aeolus. "Kau sudah kembali, Bagaimana jadinya?" Jason ragu-ragu.
"Maaf" Saya rasa Bapak keliru mengenali"' "Tidak, tidak, kau Jason Grace, Ian" Kejadiannya"kapan-1
tahun lalu" Kau sedang dalam perjalanan untuk melawan seekor monster laut, kalau tidak salah."
"Saya"saya tidak ingat." Aeolus tertawa. "Pasti bukan monster laut yang hebat! Tidak aku ingat semua
pahlawan yang pernah datang untuk mint. pertolonganku. Odysseus"demi para dewa, dia berlabuh ke
pulauku selama sebulan! Setidaknya kau hanya menginap beberarn hari. Nah, sekarang saksikan video
ini. Bebek-bebek ini terisar langsung ke?" "Pak," potong Mellie. "Dua menit lagi Anda mengudara."
"Udara!" pekik Aeolus. "Aku suka sekali udara. Bagaimam rupaku" Juru rias!" Kuas-kuas, spons-spons,
dan bola-bola kapas seketika mengerubungi Aeolus bagaikan angin ribut. Perlengkapan rias tersebut
mengabur di wajahnya laksana kabut asap sewarna kulit dan membuat penampilan Aeolus bahkan lebih
menakutkan [ 436 ] JASON daripada semula. Angin memutar-mutar rambut Aeolus dan meninggalkannya dalam keadaan mencuat
ke atas seperti pohon Natal beku. "Pak Aeolus." Jason melepaskan ransel emasnya. "Kami membawakan
roh-roh badai liar ini untuk Bapak." "Begitukah!" Aeolus memandang tas tersebut seolah barang itu
adalah hadiah dari penggemar"sesuatu yang sesungguhnya tidak dia inginkan. "Wah, baik sekali kau."
Leo menyikutnya, dan Jason pun menyodorkan tas tersebut. "Boreas mengutus kami agar menangkap
mereka untuk Bapak. Kami harap Bapak bersedia menerima mereka dan mencabut"Bapak tahu"
instruksi yang memerintahkan agar demigod dibunuh." Aeolus tertawa, dan memandang Mellie tak
percaya. "Demigod dibunuh"apa aku memerintahkan itu?" Mellie memeriksa komputer tabletnya. "Ya,
Pak, tanggal lima belas September. `Roh-roh badai dilepaskan akibat kematian Typhon, para demigod
harus bertanggung jawab,' dll ya, perintah umum agar mereka semua dibunuh." "Oh, sudahlah," ujar
Aeolus. "Mungkin aku sedang kesal waktu itu. Cabut perintah itu, Mellie, dan mmm, siapa yang bertugas
jaga"Teriyaki?"Teri, bawa roh-roh badai ini ke sel blok 14E, ya?" Seekor harpy melesat entah dari
mana, menyambar tas emas itu, dan berpusing ke dalam jurang. Aeolus menyeringai kepada Jason. "Nah,
maaf soal bunuh di tempat itu. Demi para dewa, waktu itu aku memang benar-benar marah, ya?"
Wajahnya tiba-tiba jadi mendung, dan setelannya menampakkan gejala serupa, kelepak jasnya berkilatkilat gara-gara petir. "Kalian tahu aku ingat sekarang. Rasanya ada sebuah
suara yang menyuruhku agar mengeluarkan perintah itu. Bulu kudukku jadi merinding." Jason menegang.
Bulu kudukku jadi merinding Kenapa perkataan itu kedengarannya tidak asing" "Sebuah mmm, suara
dalam kepala Bapak?" "Ya. Sungguh aneh. Mellie, haruskah kita bunuh mereka?" "Tidak, Pak," kata
Mellie sabar. "Mereka baru saja membawakan kita roh-roh badai, yang menebus segalanya." "Tentu
saja." Aeolus tertawa. "Maaf. Mellie, mari kita kirimi sesua.tu yang indah untuk para demigod. Sekotak
cokelat, barangkali." "Sekotak cokelat untuk semua demigod di dunia, Pak?" "Tidak, terlalu mahal.
Sudahlah, lupakan saja. Tunggu, sudah waktunya! Aku mengudara!" Aeolus terbang ke layar biru saat
musik latar mulai mengalun. Jason memandang Piper dan Leo, yang sepertinya sama bingungnya seperti
dia. "Mellie," kata Jason, "apakah beliau selalu seperti itu?" Mellie tersenyum sungkan. "Yoh, kalian tahu
apa kata orang. Jika kita tidak suka suasana hatinya, tunggu lima menit. Ungkapan `ke mana pun angin
bertiup'"didasarkan pada beliau." "Dan mengenai monster Taut itu," kata Jason. " Pernahkah aku ke
sini sebelumnya?" Mellie merona. "Maafkan aku, aku tak ingat. Aku asisten baru Pak Aeolus. Aku sudah
bertahan lebih lama bersamanya daripada sebagian besar asisten, tapi tetap saja"belum terlalu lama."
"Biasanya asisten beliau tahan berapa lama?" tanya Piper. "Oh ..." Millie berpikir sebentar. "Aku sudah
mengerjakan ini selama dua belas jam?"
[ 438 ] JASON Sebuah suara menggelegar dari speaker yang melayang-layang. "Dan sekarang, cuaca tiap dua belas
menit! Inilah penyiar Anda untuk saluran OW!"Olympian Weather"Aeolus!" Lampu-lampu menyorot
Aeolus, yang kini berdiri di depan layar biru. Senyumnya begitu ceria sehingga tampak tak wajar, dan
wajahnya terlihat hampir meledak, seperti seseorang yang kebanyakan mengonsumsi kafein. "Halo,
Olympus! Saya Aeolus, Penguasa Angin, dalam acara `cuaca tiap dua belas menit'! Akan ada udara
bertekanan rendah yang bergerak di atas Florida hari ini, mendatangkan suhu sedang karena Demeter
ingin memberkahi para petani jeruk!" Dia memberi isyarat ke layar biru, tapi ketika Jason mengecek
monitor, dia melihat gambar digital yang diproyeksikan ke belakang Aeolus sehingga mengesankan
bahwa dia tengah berdiri di depan peta AS dengan simbol animasi berupa matahari tersenyum dan
awan mendung cemberut. "Di sepanjang pesisir timur"oh, tunggu sebentar." Aeolus menepuk
earphone-nya. "Maaf, Saudara-saudara! Poseidon sedang marah pada Miami hari ini, jadi kelihatannya
Florida akan kembali membeku! Maaf, Demeter. Di atas wilayah Midwest, aku tak yakin apa yang
diperbuat St. Louis sehingga menyinggung perasaan Zeus, tapi akan ada badai musim dingin! Boreas
sendiri yang dipanggil untuk menghukum area itu dengan es. Kabar buruk, Missouri! Tidak, tunggu.
Hephaestus merasa kasihan pada Missouri bagian tengah, jadi kalian semua akan mendapatkan suhu
yang relatif sedang dan langit cerah." Aeolus terus saja bicara seperti itu"memprakirakan cuaca di
masing-masing kawasan di seluruh negeri dan mengubah prediksinya dua atau tiga kali saat dia
memperoleh pesan lewat earphone-nya"para dewa rupanya menyampaikan perintah untuk
memunculkan angin dan cuaca yang berlainan.
"Ini tak mungkin benar-benar terjadi," bisik Jason. "Cuaca kan tidak seacak ini." Mellie menyeringai.
"Dan seberapa seringkah manusia fana tepat dalam memprakirakan cuaca" Mereka bicara mengenai
perenggan dan tekanan udara serta kelembapan, tapi cuaca mengejutkan mereka sepanjang waktu.
Setidaknya Aeolus memberi tahu kita apa sebabnya cuaca mustahil diprediksi. Pekerjaan yang sangat
berat, berusaha menyenangkan semua dewa sekaligus. Bisa membuat orang jadi ..." Mellie tidak
menyelesaikan ucapannya, tapi Jason tahu artinya. Gila. Aeolus memang gila segila-gilanya. "Sekian
prakiraan cuaca saat ini," pungkas Aeolus. "Sampai ketemu dua belas menit lagi, karena aku yakin cuaca
pasti berubah!" Lampu dipadamkan, monitor-monitor video kembali menayangkan acara secara acak,
dan selama sesaat, wajah Aeolus tampak kusut karena kelelahan. Kemudian dia tampaknya ingat dirinya
kedatangan tame, dan dia kembali menyunggingkan senyum. "Jadi, kalian membawakanku roh-roh
badai liar," kata Aeolus. "Kalau begitu terima kasih! Apa kalian ingin hal lain" Kuasumsikan demikian.
Demigod selalu menginginkan sesuatu." Mellie berkata, "Mmm, Pak, dia ini putra Zeus." "Ya, ya. Aku
tahu itu. Kubilang aku ingat dia dari kunjungan sebelumnya." "Tapi, Pak, mereka ke sini dari Olympus."
Aeolus kelihatan terperanjat. Kemudian dia tertawa begitu tiba-tiba sehingga Jason hampir-hampir
terlompat ke dalam jurang. "Maksudmu kali ini kau kemari atas nama ayahmu" Akhirnya! Aku tahu
mereka bakal mengutus seseorang untuk renegosiasi kontrakku!" "Eh, apa?" tanya Jason.
[ 440 ] JASON "Oh, syukur kepada para dewa!" Aeolus mendesah lega. "Sudah berapa lama, tiga ribu tahun sejak Zeus
menjadikanku penguasa angin. Bukan berarti aku tidak berterima kasih, tentu saja! Tapi sungguh,
kontrakku begitu rancu. Jelas bahwa aku ini kekal, tapi `penguasa angin.' Apa pula maksudnya" Apakah
aku ini roh alam" Demigod" Dewa" Aku ingin menjadi Dewa Angin, sebab bonusnya jauh lebih besar.
Bisakah kita rnulai dengan itu?" Jason memandang teman-temannya, kebingungan. "Maaf," kata Leo,
"Bapak kira kami ke sini untuk menaikkan jabatan Bapak?" "Jadi, memang benar?" Aeolus nyengir.
Setelan bisnisnya berubah warna menjadi biru cemerlang"tanpa satu awan pun di kain tersebut. "Luar
biasa! Maksudku, menurutku aku sudah menunjukkan inovasi brilian berupa saluran cuaca, kan" Dan
tentu saja aku muncul di media sepanjang waktu. Sudah banyak sekali buku yang ditulis mengenai
diriku: Into Thin Air, Up in the Air, Gone with the Wind?" "Hmm, saya rasa buku-buku itu bukan tentang
Bapak," kata Jason, sebelum dia menyadari bahwa Mellie menggeleng-geleng-kan kepala. "Omong
kosong," kata Aeolus. "Mellie, buku-buku itu adalah biografiku, kan?" "Betul sekali, Pak," ujar Mellie
Pendekar Pedang Sakti 4 Goosebumps - Kamar Hantu Pendekar Lembah Naga 25

Cari Blog Ini