The Heroes Of Olympus 2 Son Of Neptune Bagian 5
Frank tidak bisa menyalahkan mereka. Dia menonton dengan ngeri saat kerangka manusia merayap keluar dari tanah. Kerangka itu masih berdaging, tapi tampilannya seperti cucuran gelatin, menutupi tulang belulang kelabu transparan yang berpendar. Kemudian pakaian tembus pandang menyelimuti kerangka tersebut kaus ketat yang menampakkan otot-otot kekar, celana kamuflase, dan sepatu bot tentara. Makhluk itu serbakelabu: pakaian kelabu di atas daging kelabu yang menutupi tulang-tulang kelabu.
Makhluk itu berbalik untuk menghadap Frank. Tengkoraknya menyeringai di balik wajah kelabu tanpa ekspresi. Frank merengek ketakutan seperti anak anjing. Tungkainya gemetar hebat sampaisampai dia harus menopang diri dengan gagang tombaknya. Sang pendekar tengkorak sedang menunggu, Frank menyadari menunggu perintah.
"Bunuh Basilisk-Basilisk itu!" pekik Frank. "Bukan aku!" Sang pendekar tengkorak langsung beraksi. Dia menyambar ular yang paling dekat, dan meskipun daging kelabunya mulai berasap saat bersentuhan dengan monster itu, sang pendekar mencekik Basilisk dengan satu tangan dan melemparkan badannya yang loyo ke bawah. Kedua Basilisk lainnya mendesis murka. Salah
satu menerjang Frank, tapi dia menggetok makhluk itu dengan pangkal tombaknya.
Ular yang satu lagi memuntahkan api secara langsung ke wajah tengkorak. Pendekar itu berderap maju dan menjejak kepala Basilisk di bawah sepatu botnya.
Frank mengalihkan perhatiannya kepada Basilisk terakhir, yang sedang bergelung di bukaan tersebut sambil mengamat-amati mereka. Gagang tombak dari emas imperial milik Frank masih berasap, tapi tak seperti busurnya, senjata itu tidak remuk kendati bersentuhan dengan Basilisk. Kaki dan tangan kanan pendekar tengkorak melebur pelan-pelan karena terkena racun. Kepalanya terbakar, tapi selain itu, dia kelihatannya baik-baik saja.
Si Basilisk melakukan tindakan pintar. Ia beranjak kabur. Dalam satu gerakan cepat nan samar, pendekar tengkorak mengambil sesuatu dari bajunya dan melemparkan benda itu ke seberang bukaan, menancapkan si Basilisk ke tanah. Frank k
ira benda itu adalah pisau. Kemudian disadarinya bahwa itu adalah salah satu tulang iga si pendekar tengkorak.
Frank bersyukur perutnya kosong. "Wah jijik banget." Si kerangka buru-buru menghampiri Basilisk itu. Ditariknya iganya sampai copot dan digunakannya tulang itu untuk memotong kepala makhluk tersebut. Basilisk itu terbuyarkan menjadi debu. Lalu si kerangka memenggal dua mayat monster yang lainnya dan menendangi abunya supaya tersebar. Frank teringat dua Gorgon di Sungai Tiberis betapa sungai menghamburkan sisa-sisa jasad mereka supaya tidak mewujud kembali.
"Kau memastikan agar mereka tidak kembali lagi," komentar Frank, "atau setidaknya memperlambat mereka."
Sang pendekar tengkorak berdiri siap siaga di hadapan Frank. Kaki dan tangannya yang kena racun sudah hampir lenyap seluruhnya. Kepalanya masih terbakar.
"Kau kau ini apa"" tanya Frank. Dia ingin menambahkan, Tolong jangan sakiti aku.
Kerangka tersebut memberi hormat dengan tangannya yang tidak bertelapak. Kemudian ia mulai remuk, terbenam kembali ke dalam tanah.
"Tunggu!" kata Frank, "aku bahkan tidak tahu harus memanggilmu apa! Pak Gigi" Tulang" Abu""
Sementara wajahnya menghilang ke balik tanah, sang pendekar sepertinya menyeringai saat mendengar nama terakhir atau mungkin kebetulan saja giginya kelihatan. Kemudian ia pun lenyap, meninggalkan Frank sendirian bersama tombaknya yang tak bermata.
'Abu," gumamnya, "oke tapi ...." Frank mengamat-amati ujung tombaknya. Gigi naga baru sudah mulai tumbuh dari gagang emas tombaknya.
Kau bisa memakainya tiga kali, kata Mars. Jadi, pergunakan dengan bijak.
Frank mendengar langkah kaki di belakangnya. Percy dan Hazel lari ke lahan terbuka itu. Percy kelihatannya sudah baikan, hanya saja dia membawa tas tangan kain bermotif ikat celup dari P.M.O.G. jelas sekali bukan gayanya. Riptide ada di tangannya. Hazel menghunus spatha-nya.
"Apa kau baik-baik saja"" tanya Hazel. Percy memutar, mencari-cari musuh. "Iris memberi tahu kami bahwa kau ada di luar sini, sedang bertarung sendirian melawan Basilisk. Kami cuma bisa melongo, lalu keluar cepat-cepat. Apa yang terjadi""
"Entahlah, aku tidak yakin." Frank mengakui. Hazel berjongkok di tanah, di tempat Abu menghilang. "Aku merasakan kematian. Entah adikku tadi ke sini atau ... BasiliskBasilisk itu sudah mati""
Percy menatap Frank dengan takjub. "Kau membunuh mereka
semua Frank menelan ludah. Tanpa menjelaskan keberadaan anak buah barunya si mayat hidup, sekarang saja Frank sudah merasa layaknya orang buangan yang salah tempat.
Tiga kali. Frank bisa memanggil Abu dua kali lagi. Namun, dia merasakan hawa keji dari diri kerangka tersebut. Ia adalah pembunuh kejam, bawahan Mars yang hampir tak terkekang. Frank punya firasat bahwa makhluk tersebut bakal mematuhi
Dan andaikata Frank agak telat memberikan perintah, si pendekar tulang mungkin bakal membunuh apa saja yang mengadangnya, termasuk majikannya.
Mars memberi tahu Frank bahwa tombak itu akan memberinya sedikit ruang sampai dia sudah belajar menggunakan anugerah bawaan dari ibunya. Artinya, Frank harus mencari tahu anugerah apakah itu secepatnya.
"Terima kasih banyak, Ayah," gerutu Frank. "Apa"" tanya Hazel. "Frank, kau baik-baik saja"" "Akan kujelaskan nanti," ujar Frank, "sekarang, ada laki-laki buta di Portland yang harus kita temui. []
BAB DUA PULUH LIMA PERCY PERCY SUDAH MERASA BAGAIKAN DEMIGOD paling payah dalam sejarah. Tas tangan merupakan pukulan telak bagi martabatnya.
Mereka meninggalkan P.M.O.G. dengan terburu-buru. Jadi, Iris mungkin saja tidak bermaksud memberikan tas itu sebagai kritikan. Sang dewi cepat-cepat mengisi tas itu dengan biskuit yang diperkaya vitamin, irisan buah kering, dendeng makrobiotik, dan beberapa jimat kristal pembawa keberuntungan. Kemudian Iris menyerahkan tas itu kepada Percy: Nih, kau pasti bakal membutuhkan ini. Wah, cocok sekali, ya.
Tas tangan tersebut ralat, aksesori maskulin terbuat dari kain yang diikat celup, serta dihiasi simbol perdamaian dari manik-manik kayu dan slogan berbunyi Peluklah Seisi Dunia. Percy berharap bunyinya Peluklah
Pecundang Ini. Percy merasa tas tersebut merupakan kritikan terhadap dirinya yang tidak berguna. Selagi mereka berlayar ke utara, Percy meletakkan tas tangan itu sejauh mungkin, tapi perahunya kecil.
Percy tak percaya betapa dia telah remuk redam justru ketika teman-temannya membutuhkannya. Pertama-tama, dia sudah bertindak bodoh karena membiarkan mereka berdua saja ketika dia lari kembali ke perahu, dan saat itulah Hazel diculik. Kemudian Percy menyaksikan pasukan monster yang berderap ke selatan dan mengalami semacam gangguan mental.
Memalukan" Iya banget. Namun, mau bagaimana lagi" Ketika Percy melihat para Centaurus jahat dan Cyclops, pemandangan itu tampak keliru sekali, tidak wajar, sampai-sampai dia kira kepalanya bakal meledak. Dan Polybotes si Raksasa Raksasa itu memunculkan perasaan yang berlawanan dengan yang Percy rasakan ketika berdiri di laut. Energi Percy terkuras habis, meninggalkannya dalam keadaan lemah dan panas-dingin, seolaholah jeroannya meleleh.
Jamu Iris membantu memulihkan kondisi tubuhnya, tapi pikirannya masih sakit. Percy pernah mendengar cerita tentang orang yang diamputasi, tapi masih merasakan nyeri di kaki dan lengan mereka yang sudah buntung. Pikirannya terasa seperti itu seakan ingatannya yang hilang terasa nyeri.
Yang paling buruk, semakin jauh ke utara, ingatan tersebut semakin memudar. Percy mulai merasa baikan di Perkemahan Jupiter, teringat bermacam nama dan wajah. Namun, sekarang wajah Annabeth sekalipun semakin kabur. Di P.M.O.G., ketika Percy berusaha mengirimkan pesan-Iris kepada Annabeth, Fleecy semata-mata menggelengkan kepala dengan sedih.
Sama seperti kalau kita menelepon seseorang, kata sang Peri Awan, tapi kita lupa nomornya. Atau sinyalnya sedang jelek. Mewl; Sayang. Aku tidak bisa menyambungkanmu.
Percy takut kalau-kalau dia bakal melupakan wajah Annabeth seutuhnya ketika sampai di Alaska. Mungkin Percy bakal terbangun suatu hari dan tidak ingat nama perempuan itu.
Namun, dia harus berkonsentrasi pada misi ini. Setelah melihat pasukan musuh, Percy jadi tahu apa yang akan mereka hadapi. Hari ini adalah pagi tanggal 21 Juni. Mereka harus sudah mencapai Alaska, menemukan lokasi Thanatos, merebut panjipanji legiun, dan kembali ke Perkemahan Jupiter pada malam tanggal 24 Juni. Empat hari. Sementara itu, jarak yang harus ditempuh musuh tinggal beberapa kilometer lagi.
Percy memandu perahu untuk melewati arus kuat di utara pesisir California. Anginnya dingin, tapi rasanya nyaman, menjernihkan kekalutan dalam kepalanya. Percy mengerahkan kehendaknya untuk mendorong perahu secepat mungkin. Lambung perahu menderu soot Pax melaju ke utara.
Sementara itu, Frank dan Hazel bertukar cerita tentang kejadian di Pelangi Makanan Organik. Frank menjelaskan tentang Phineas sang Juru Terawang buta di Portland, dan bahwa Iris mengatakan pria itu barangkali bisa membantu mereka menemukan Thanatos. Frank tidak mau bilang bagaimana tepatnya dia membunuh para Basilisk, tapi Percy punya firasat bahwa hal tersebut ada hubungannya dengan mata tombak Frank yang patah. Apa pun yang terjadi, Frank kedengarannya lebih takut terhadap tombak tersebut daripada terhadap Basilisk.
Ketika Frank selesai bercerita, Hazel memberi tahu Frank tentang waktu yang mereka lewatkan bersama Fleecy.
"Jadi, pesan-Iris itu bisa dipakai"" tanya Frank. Hazel melemparkan ekspresi bersimpati ke arah Percy. Hazel tidak menyinggung-nyinggung kegagalan Percy mengontak Annabeth.
"Aku menghubungi Reyna," kata Hazel, "kita harus melempar koin ke pelangi dan mengucapkan mantra berbunyi, Wahai Iris, Dewi Pelangi, terimalah persembahanku. Hanya saja Fleecy mengubahnya. Dia memberi kami apa sebutannya panggilan
langsung" Jadi, aku harus mengatakan, Wahai Fleecy, langsung aja nih. Tunjukkan Reyna di Perkemahan Jupiter. Aku merasa konyol, tapi cara itu ternyata berhasil. Citra Reyna muncul di pelangi, seperti telekonferensi dua arah. Dia sedang di kamar mandi. Ketakutan setengah mati."
"Kalau itu, aku rela membayar untuk melihatnya," kata Frank, "maksudku ekspresi Reyna. Bukan, kau tahu, dia di kamar mandi."
"Frank!" Hazel mengipasi wajahnya seperti orang yang kehabisan udara. Gestur zaman dulu, tapi kesannya imut, entah bagaimana. "Pokoknya, kami memberi tahu Reyna tentang pasukan monster, tapi seperti yang dikatakan Percy, dia sudah tahu. Tidak ada pengaruhnya. Reyna sudah berbuat sebisanya untuk memperkukuh pertahanan. Kecuali kita membebaskan Maut, dan kembali sambil membawa elang "
"Perkemahan tidak punya peluang menang kala menghadapi pasukan itu," pungkas Frank, "tidak jika tak dibantu."
Setelah itu, mereka berlayar dalam keheningan. Percy terus memikirkan para Cyclops dan Centaurus. Dia memikirkan Annabeth, Grover sang Satir, dan mimpinya mengenai kapal perang yang sedang dirakit.
Kau datang dari suatu tempat, kata Reyna. Percy berharap kalau saja dia ingat. Dia bisa minta bantuan dari tempat asalnya. Perkemahan Jupiter semestinya tidak bertarung melawan Raksasa sendirian. Pasti ada sekutu di luar sana.
Percy memain-mainkan manik-manik di kalungnya, keping pro batio dari timah, dan cincin perak pemberian Reyna. Mungkin di Seattle dia bisa bicara kepada kakak Reyna, Hylla. Hylla mungkin saja mau mengirimkan bala bantuan dengan asumsi Hylla tidak serta-merta membunuh Percy saat melihatnya.
Setelah menakhodai perahu selama beberapa jam berikutnya, mata Percy mulai mengantuk. Dia khawatir dirinya bakal pingsan karena kelelahan. Kemudian Percy mendapat kesempatan untuk beristirahat. Seekor paus pembunuh menyembul ke permukaan laut di samping perahu, dan Percy pun menjalin percakapan mental dengan hewan itu.
Komunikasi di antara mereka bukan berupa obrolan verbal, tapi bunyinya kira-kira seperti ini: Boleh kami menumpang ke utara, tanya Percy, sampai dekat-dekat Portland-lah"
Makan nih anjing laut, jawab sang Paus. Apa kau anjing laut" Bukan, Percy mengakui. Namun, aku punya tas tangan berisi dendeng makrobiotik.
Paus itu menggeletar. Asal kau janji tidak memberiku makan itu, nanti kubawa kau ke utara.
Sepakat. Segera sesudahnya, Percy membuat cancang dari tambang dan mengikatkannya ke tubuh bagian atas sang Paus. Mereka melaju ke utara di bawah tenaga paus, dan atas desakan Hazel dan Frank, Percy pun merebahkan diri untuk tidur.
Mimpi-mimpi Percy menakutkan dan tidak koheren, sama seperti biasa.
Percy membayangkan dirinya berada di Gunung Tamalpais, di sebelah utara San Francisco, sedang bertarung di markas lama Titan. Itu tidak masuk akal. Dia tidak turut serta dengan pasukan Romawi ketika mereka menyerang, tapi dia melihat semuanya dengan jelas: Titan berbaju zirah, Annabeth dan dua anak perempuan lainnya bertarung di sisi Percy. Salah seorangnya meninggal dalam pertempuran. Percy berlutut di samping
perempuan itu, menyaksikannya mengabur menjadi bintangbintang.
Lalu dia melihat kapal perang Raksasa di galangan kering. Kepala naga perunggu berkilau diterpa matahari pagi. Tiang layar dan persenjataannya sudah rampung, tapi ada yang tidak beres. Tingkap di dek terbuka, sedangkan asap mengepul dari semacam mesin. Seorang anak lelaki berambut keriting memukul mesin dengan kunci inggris sambil menyumpah-nyumpah. Dua Demigod lain berjongkok di sebelahnya, memperhatikan dengan ekspresi khawatir. Salah satunya adalah anak lelaki berambut pirang pendek. Satunya lagi perempuan berambut panjang warna gelap.
"Kau sadar sekarang ini titik balik matahari musim panas," kata anak perempuan itu, "kita seharusnya berangkat hari ini."
"Aku tahu!" Sang mekanik berambut keriting menghajar mesin beberapa kali lagi. "Mungkin roket desisnya. Mungkin samophlange-nya. Mungkin Gaea mengganggu kita lagi. Aku tidak yakin!"
"Berapa lama"" tanya si anak lelaki pirang. "Dua, tiga hari"" "Mereka mungkin tidak punya waktu selama itu," perempuan itu memperingatkan.
Percy punya firasat bahwa yang dimaksud perempuan itu adalah Perkemahan Jupiter. Kemudian adegan tersebut berubah lagi.
Percy melihat seorang anak laki-laki dan anjingnya tengah menjelajahi perbukitan kuning California. Namun, saat citra itu kian jelas, Percy menyadari bahwa yang dilihatnya bukan anak laki-laki. Dia adalah seorang Cyclops bercelana jin robek
-robek dan berkemeja flanel. Anjingnya berbulu hitam lebat dan berbadan besar sekali, mungkin seukuran badak. Si Cyclops memanggul pentungan mahabesar di pundaknya, tapi Percy merasa dia bukan
musuh. Cyclops itu terus-menerus meneriakkan nama Percy, memanggilnya kakak"
"Baunya tambah jauh." Si Cyclops mengeluh kepada anjing itu. "Kenapa dia tambah jauh""
"GUK!" Anjing itu menggonggong, dan mimpi Percy pun berubah lagi.
Percy melihat pegunungan bersalju, tinggi sekali sampaisampai membelah awan. Wajah Gaea yang sedang tidur muncul di antara bayang-bayang batu.
Pion yang sungguh berharga, kata Gaea menenangkan. Jangan takut, Percy Jackson. Teruslah ke utara! Teman-temanmu akan mati, beta. Namun, aku akan mempertahankanmu untuk sementara. Aku sudah menyiapkan rencana hebat untukmu.
Dalam lembah di antara pegunungan terbentang padang es luas. Tepiannya menukik ke laut, ratusan kaki di bawah. Serpihan es tiada henti-hentinya tercemplung ke dalam air. Di atas lapisan es terdapat perkemahan legiun tembok pertahanan, parit, menara, barak, persis seperti Perkemahan Jupiter, hanya saja tiga kali lebih besar. Pada persimpangan di luar principia, sosok berjubah warna gelap dibelenggu ke es. Penglihatan Percy melewatinya, lalu masuk ke markas besar. Di sana, dalam keremangan, duduklah Raksasa yang bahkan lebih besar daripada Polybotes. Kulitnya berkilau keemasan. Di belakangnya, terpampang panji-panji beku legiun Romawi yang sudah compang-camping, beserta elang emas besar yang sayapnya terkembang.
Kami menantimu, suara sang Raksasa menggelegar. Sementara kau tertatih-tatih ke utara, berusaha menemukanku, pasukanku akan menghancurkan perkemahan kalian yang berharga pertama-tama yang Romawi, kemudian yang satu lagi. Kau tidak bisa menang, Demigod Kecil.
Percy tersentak bangun di tengah sinar matahari kelabu nan dingin, huj an membasahi wajahnya.
"Kukira tidurku pulas. Ternyata masih kalah darimu," ujar Hazel, "selamat datang di Portland."
Percy duduk tegak dan berkedip. Pemandangan di sekelilingnya berbeda sekali dengan mimpinya sampai-sampai dia tidak yakin manakah yang nyata. Pax mengapung di sungai berair kelam yang mengalir di tengah kota. Awan mendung menggelayut rendah di angkasa. Tetes dingin hujan gerimis seakan melayang-layang di udara. Di kiri Percy terdapat gudang industri dan rel kereta api. Di kanannya ada area perkantoran kecil kumpulan menara yang enak dipandang, menjulang di antara tepi sungai dan sebaris perbukitan yang berhutan dan diselimuti kabut.
Percy menggosok-gosok matanya yang mengantuk. "Kok kita bisa sampai di sini""
Frank melemparkan ekspresi yang seolah-olah mengatakan, Kau pasti takkan percaya. "Paus pembunuh tadi membawa kita sampai Sungai Columbia. Kemudian dia mengoperkan cancang kepada sepasang sturgeon sepanjang tiga setengah meter."
Percy kira Frank mengatakan surgeon dokter bedah. Dia membayangkan khayalan aneh, yaitu dokter raksasa yang memakai baju operasi dan masker wajah, menarik perahu mereka ke hulu. Lalu dia menyadari maksud Frank adalah ikan sturgeon. Percy bersyukur dia tidak mengucapkan apa-apa. Pasti memalukan, dia kan putra Dewa Laut.
"Pokoknya," lanjut Frank, "kedua sturgeon menarik kita lama sekali. Hazel dan aku bergiliran tidur. Lalu kita sampai di Sungai "
"Willamette," timpal Hazel. "Betul," kata Frank, "setelah itu, perahu ini ambit kendali dan jalan sendiri ke sini. Tidurmu nyenyak""
Sementara Pax meluncur ke selatan, Percy menceritakan mimpinya kepada mereka. Dia berusaha memfokuskan perhatian pada hal positif: kapal perang itu mungkin sedang dalam perjalanan untuk menolong Perkemahan Jupiter. Cyclops ramah dan anjing raksasa sedang mencarinya. Dia tidak menyinggung-nyinggung perkataan Gaea: Teman-temanmu akan mati.
Ketika Percy menjabarkan Benteng Romawi di es, Hazel kelihatan gundah.
Alcyoneus ada di gletser," kata Hazel, "tidak mempersempit pencarian kita. Di Alaska ada ratusan gletser."
Percy mengangguk. "Mungkin Phineas si Juru Terawang bisa memberi tahu kita gletser yang mana."
Perahu merapat sendiri ke dermaga. Ketiga Demigod mendon
gak, menatap gedung-gedung di tengah kota Portland yang diterpa hujan rintik-rintik.
Frank menyeka air hujan dari rambut cepaknya. "Jadi, sekarang kita mencari laki-laki buta di tengah hujan," kata Frank. "Asyik."[]
BAB DUA PULUH ENAM PERCY TERNYATA PENCARIAN TERSEBUT TIDAK SESUSAH yang mereka perkirakan. Semua itu berkat jeritan dan Bunting rumput.
Mereka membawa jaket parasut berpenyekat dalam perbekalan. Alhasil, mereka tidak sungkan-sungkan menyusuri jalanan kosong sepanjang beberapa blok kendati harus menantang hujan dingin. Kali ini Percy mengambil langkah pintar dan membawa sebagian besar perbekalan dari perahu. Dia bahkan menjejalkan dendeng makrobiotik ke saku jaketnya, kalau-kalau dia perlu mengancam paus pembunuh lagi.
Mereka melihat beberapa sepeda yang lalu-lalang dan segelintir tunawisma yang berteduh di ambang pintu, tapi kebanyakan warga Portland sepertinya berdiam diri di dalam ruangan.
Selagi mereka menyusuri Glisan Street, Percy memandangi orang-orang di kafe yang sedang menikmati kopi dan kue. Percy hendak menyarankan agar mereka mampir untuk sarapan ketika dia mendengar suara teriakan dari ujung jalan: "HA! RASAKAN, AYAM BODOH!" diikuti oleh gemuruh mesin kecil yang dinyalakan dan bunyi berkotek yang ramai.
Percy melirik teman-temannya. "Menurut kalian "" "Barangkali." Frank sepakat. Mereka lari menghampiri sumber suara itu. Dua blok kemudian, mereka menemukan lapangan parkir besar, dibatasi trotoar yang ditumbuhi pohon dan barisan gerai makanan di keempat sisinya. Percy sudah pernah melihat gerai makanan sebelumnya, tapi tak pernah sebanyak itu di satu tempat. Sebagian berupa gerobak logam putih sederhana yang dilengkapi awning dan meja kasir. Yang lainnya dicat biru, ungu, atau polkadot, dilengkapi spanduk besar di depannya dan papan menu warna-warni serta meja-meja seperti di kafe pinggir jalan. Salah satu mengiklankan taco fusi Korea/Brazil, yang kedengarannya justru seperti hidangan radioaktif rahasia. Yang lain menawarkan sate sushi. Yang ketiga menjual roti isi es krim goreng. Aromanya sedap sekali lusinan makanan yang dimasak bersamaan di dapurdapur berlainan.
Perut Percy keroncongan. Sebagian besar kios makanan sudah dibuka, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Mereka bisa memperoleh apa pun yang mereka inginkan! Roti isi es krim goreng! Ya ampun, kedengarannya jauh lebih lezat daripada benih gandum.
Sayangnya, bukan cuma acara masak-memasak yang meramaikan tempat tersebut. Di tengah-tengah lapangan, di belakang semua gerai makanan, seorang pria tua yang memakai jubah mandi sedang berlari ke sana kemari sambil membawa gunting rumput, meneriaki sekawanan burung bertampang ibuibu yang tengah berusaha mencuri makanan dari meja piknik.
"Harpy," kata Hazel, "artinya " "Itu Phineas," tebak Frank. Mereka lari menyeberangi jalan dan menyempil ke antara gerai Korea/Brazil dan kedai lumpia telur ala China.
Bagian belakang gerai tidaklah semenggiurkan bagian depannya. Di mana-mana berserakanlah tumpukan ember plastik, tong sampah kepenuhan, dan tali jemuran yang digantungi celemek basah dan handuk. Lapangan parkir itu sendiri hanya berupa petak aspal retak-retak yang ditumbuhi rumput di sana-sini. Di bagian tengahnya terdapat meja piknik yang memuat beraneka ragam makanan dari gerai-gerai yang berlainan.
Laki-laki berjubah mandi sudah tua dan gemuk. Kepalanya yang hampir plontos hanya dihiasi rambut putih tipis di bagian pinggir dan bekas luka di kening. Jubah mandinya kecipratan saus, dan dia terus saja terhuyung-huyung ke sana kemari dengan kaki yang berselop merah muda berbulu berbentuk kelinci sambil mengayun-ayunkan gunting rumput bertenaga gas kepada setengah lusin harpy yang beterbangan di atas meja piknik.
Pria itu jelas-jelas buta. Matanya seputih susu, dan biasanya dia tidak mengenai para harpy, tapi dia cukup sukses dalam menghalau mereka.
"Mundur, Ayam Kotor!" raungnya. Percy tidak yakin apa sebabnya, tapi dia samar-samar punya firasat bahwa harpy seharusnya montok. Para harpy di sini kelihatannya kelaparan. Wajah mereka yang seperti manusia bermata cekung dan berpi
pi kempot. Tubuh mereka diselimuti bulu yang mau rontok, sedangkan di ujung sayap mereka ada tangan mungil keriput. Mereka mengenakan karung goni sebagai pakaian. Saat terjun untuk mengincar makanan, mereka lebih kelihatan putus asa alih-alih marah. Percy merasa kasihan pada mereka.
NGEEENG! Sang pria tua mengayunkan gunting rumputnya. Dia menyerempet sayap salah satu harpy. Harpy itu memekik kesakitan dan terbang menjauh sambil menjatuhkan bulu-bulu kuning.
Seekor harpy berputar-putar lebih tinggi daripada yang lain. Dia tampak lebih muda dan lebih kecil daripada yang lain. Bulunya merah cerah.
Harpy itu memperhatikan dengan saksama kalau-kalau ada kesempatan, dan ketika punggung sang pria dibalikkan, dia menukik ke meja dengan nekat. Harpy tersebut menyambar burrito di kakinya yang bercakar, tapi sebelum dia sempat kabur, si pria buta mengayunkan gunting rumput dan menghantam punggungnya keras sekali sampai-sampai Percy berjengit. Sang harpy memekik, menjatuhkan burrito, dan terbang menjauh.
"Hei, hentikan!" teriak Percy. Para harpy salah mengerti. Mereka melirik ketika Demigod dan langsung kabur. Sebagian besar terbang menjauh dan hinggap di pohon di sekeliling lapangan sambil menatap meja piknik dengan pilu. Harpy berbulu merah yang terluka terbang dengan goyah ke Glisan Street dan menghilang dari pandangan.
"Ha!" Sang pria buta berteriak penuh kemenangan dan mematikan mesin gunting rumputnya. Dia menyeringai sambil menatap kosong ke arah Percy. "Terima kasih, Orang Asing! Kuhargai bantuanmu."
Percy menelan amarahnya. Dia tidak bermaksud membantu pria tua itu, tapi dia ingat mereka membutuhkan informasi darinya.
"Eh, terserah deh." Percy menghampiri laki-laki tua itu sambil memasang mata baik-baik ke gunting rumput. "Saya Percy Jackson. Ini "
"Demigod!" kata si pria tua, "dari dulu aku bisa membaui Demigod." Hazel mengerutkan kening. "Apa bau kami sebacin itu"" Pria tua itu tertawa. "Tentu saja tidak, Sayang. Tapi kau pasti terkejut jika mengetahui setajam apa indraku yang lain setelah aku
menjadi buta. Aku Phineas. Dan kau tunggu, jangan katakan padaku "
Phineas meraba wajah Percy dan menusuk matanya. "Aw!" keluh Percy. "Putra Neptunus!" seru Phineas, "kukira aku mencium laut pada dirimu, Percy Jackson. Aku juga putra Neptunus, kau tahu."
"Hei iya. Oke deh." Percy menggosok-gosok mata. Beruntung sekali dirinya, masih berkerabat dengan laki-laki tua jorok ini. Moga-moga tidak semua putra Neptunus bernasib serupa. Pertama-tama, kita mulai membawa tas tangan norak. Berikutnya, siapa tahu, mungkin kita bakal lari-lari sambil memakai jubah mandi dan selop kelinci, mengejar-ngejar ayam dengan gunting rumput.
Phineas menoleh kepada Hazel. "Dan yang ini Ya, ampun, bau emas dan perut bumi. Hazel Levesque, putri Pluto. Dan di sebelahmu putra Mars. Tapi ceritamu lebih daripada itu, Frank Zhang "
"Cikal bakal kuno," gerutu Frank, "Pangeran dari Pylos.
"Periclymenus, betul sekali! Oh, dia pemuda baik. Aku suka Argonaut!"
Mulut Frank menganga. "T-tunggu. Perry apa"" Phineas menyeringai. "jangan khawatir. Aku tahu tentang keluargamu. Kisah kakek buyutmu" Dia sebenarnya tidak menghancurkan perkemahan. Wah, wah, alangkah menariknya kelompok ini. Apa kalian lapar""
Frank kelihatan seperti baru ditabrak truk, tapi Phineas sudah beralih ke perkara lain. Dia melambaikan tangan ke meja piknik. Di pohon-pohon dekat sana, para harpy memekik nelangsa. Meskipun Percy lapar, dia tidak tahan saat memikirkan dirinya bakal makan sambil ditonton ibu-ibu unggas yang malang itu.
"Begini, saya sedang bingung," kata Percy, "kami butuh informasi. Kami diberi tahu "
" bahwa harpy menjauhkan makanan dariku," pungkas Phineas, "dan jika kalian bersedia membantuku, aku juga bersedia membantu kalian."
"Kurang-lebih begitu." Percy mengakui. Phineas tertawa. "Itu berita basi. Apa kelihatannya aku kurang makan""
Pria itu menepuk-nepuk perutnya, yang berukuran sebesar bola basket kegedean.
"Eh ..., tidak," kata Percy. Phineas melambaikan gunting rumputnya ke sekeliling dengan sikap bangga. Mereka bertiga menunduk.
"Ke adaan sudah berubah, Kawan-Kawan!" katanya, "ketika aku pertama kali memperoleh bakat meramal, dulu sekali, memang benar bahwa Jupiter mengutukku. Dia mengutus para harpy untuk mencuri makananku. Soalnya, aku bermulut besar. Aku membocorkan terlalu banyak rahasia yang para Dewa ingin agar kusimpan rapat-rapat." Dia menoleh kepada Hazel. "Contohnya, kau seharusnya sudah mati. Dan kau " Dia menoleh kepada Frank. "Nyawamu bergantung pada sepotong kayu bakar."
Percy mengerutkan kening. "Apa maksud Anda"" Hazel berkedip seperti baru kena tampar. Frank lagi-lagi kelihatan seperti ditabrak truk.
"Dan kau," Phineas menoleh kepada Percy, "nah, kau bahkan tidak tahu siapa dirimu! Aku bisa memberitahumu, tentu saja, tapi ... ha! Apa asyiknya" Dan Brigid O'Shaughnessy menembak Miles Archer dalam The Maltese Falcon. Dan Darth Vader sebenarnya adalah ayah Luke. Dan pemenang Super Bowl selanjutnya adalah "
"Kami paham," gumam Frank.
Hazel mencengkeram pedangnya erat-erat seolah tergoda untuk menggetok pria tua itu. "Jadi, Anda kebanyakan bicara, dan dewa-dewi mengutuk Anda. Kenapa mereka berhenti""
"Oh, mereka tidak berhenti mengutukku!" Sang pria tua mengangkat alis lebatnya, seolah hendak mengatakan, Percaya, tidak" "Aku harus membuat kesepakatan dengan para Argonaut. Mereka menginginkan informasi. Kuminta mereka membunuh para harpy. Jika mereka setuju, aku bersedia bekerja sama. Nah, mereka memang mengusir makhluk-makhluk menyebalkan itu, tapi Iris tidak mengizinkan mereka membunuh para harpy. Keterlaluan! Jadi, kali ini, ketika penyokongku menghidupkanku kembali "
"Penyokong Anda"" tanya Frank. Phineas menyunggingkan cengiran jail. "Gaea, tentu saja. Siapa lagi" Kau kira siapa yang membukakan Pintu Ajal" Temanmu ini mengerti. Bukankah Gaea penyokongmu juga""
Hazel menghunus pedangnya. "Saya bukan saya tidak Gaea bukan penyokong saya!"
Phineas tampak geli. Jika dia mendengar pedang dihunus, dia sepertinya tidak khawatir. "Baiklah, jika kau ingin bersikap mulia dan bertahan di pihak yang kalah, itu urusanmu. Tapi Gaea tengah terbangun. Dia sudah menulis ulang aturan hidup-mati! Aku hidup kembali, dan sebagai imbalan atas bantuanku sesekali meramalkan ini-itu aku memperoleh keinginan yang paling kudamba-dambakan. Keadaan sudah dibalikkan, bisa dibilang. Sekarang aku bisa makan sesukaku, seharian, dan para harpy harus menonton dan kelaparan."
Phineas menyalakan gunting rumputnya, dan para harpy pun meraung-raung di pohon.
"Mereka dikutuk!" kata pria tua itu, "Mereka hanya bisa makan dari mejaku, dan mereka tidak bisa meninggalkan Portland.
Karena Pintu Ajal terbuka, mereka bahkan tidak bisa mati. Indah sekali!"
"Indah"" protes Frank. "Mereka makhluk hidup. Kenapa Anda jahat sekali pada mereka""
"Mereka monster!" kata Phineas, "jahat" Iblis-iblis berotak bulu itu sudah menyiksaku selama bertahun-tahun!"
"Tapi itu memang tugas mereka." kata Percy, berusaha mengendalikan diri, "Jupiter memberi mereka perintah."
"Oh, aku marah pada Jupiter juga." Phineas sepakat. "Pada waktunya nanti, Gaea akan memastikan bahwa dewa-dewi dihukum sepantasnya. Mereka payah sekali dalam mengendalikan dunia. Tapi untuk saat ini, aku menikmati Portland. Manusia fana tidak mengindahkanku. Mereka kira aku hanya pria tua gila yang suka mengusir merpati!"
Hazel maju, menghampiri sang Juru Terawang. "Anda kejam!" katanya kepada Phineas. "Anda layak ditempatkan di Padang Hukuman!" Phineas mencemooh. "Nasihat dari satu orang mati ke orang mati lainnya, Non" Kalau jadi kau, aku takkan bicara seperti itu. Kaulah yang mengawali semua ini! Jika bukan karenamu, Alcyoneus takkan hidup!"
Hazel terhuyung-huyung ke belakang. "Hazel"" Mata Frank jadi sebesar uang logam. "Apa yang dia maksud""
"Ha!" kata Phineas, "kau akan segera mengetahuinya, Frank Zhang. Akan kita lihat, apakah nanti kau masih bersikap manis pada pacarmu. Tapi bukan itu alasan kalian ke sini, kan" Kalian ingin menemukan Thanatos. Dia ditawan di sarang Alcyoneus. Aku bisa memberi tahu kalian letaknya. Tentu saja aku bisa. Tapi kalian harus membantuku."
"Lupakan saja," b
entak Hazel,. "Anda bekerja untuk pihak musuh. Kami seharusnya mengirim Anda kembali ke Dunia Bawah."
"Kalian boleh mencoba." Phineas tersenyum. "Tapi aku ragu diriku akan mati lama-lama. Soalnya, Gaea sudah menunjukiku jalan yang mudah untuk kembali ke sini. Dan karena Thanatos sedang terbelenggu, tidak ada yang bisa menahanku di bawah sana! Lagi pula, jika kalian membunuhku, kalian takkan mendapatkan rahasiaku."
Ingin rasanya Percy membiarkan Hazel mempergunakan pedangnya. Malahan, dia sendiri ingin mencekik pria tua itu.
Perkemahan Jupiter, kata Percy kepada dirinya sendiri. Menyelamatkan perkemahan lebih penting. Percy teringat provokasi Alcyoneus dalam mimpinya. Jika mereka membuang-buang waktu di sepenjuru Alaska dalam rangka mencari sarang sang Raksasa, pasukan Gaea bakal menghancurkan bangsa Romawi dan teman-teman Percy, di mana pun mereka berada.
Percy mengertakkan gigi. "Bantuan apa"" Phineas menjilat bibir dengan rakusnya. "Ada seekor harpy yang lebih gesit daripada yang lain."
"Yang merah," terka Percy. "Aku buta! Aku tidak tahu warna!" omel si pria tua. "Intinya, aku paling kesulitan menghadapi dia. Dia cerdik, harpy yang satu itu. Selalu sibuk sendiri, tak pernah bertengger bersama yang lain. Dia memberiku ini."
Phineas menunjuk bekas luka di dahinya. "Tangkap harpy itu," katanya, "bawakan dia kepadaku. Aku ingin dia diikat supaya bisa mengawasinya baik-baik ah, atau begitulah kurang-lebih. Harpy benci diikat. Sangat menyakiti mereka. Ya, aku pasti menikmati itu. Mungkin aku bahkan akan memberinya makan supaya dia bisa bertahan lebih lama."
Percy memandang teman-temannya. Tanpa bicara, mereka mencapai kata sepakat: mereka takkan pernah membantu pria tua gila ini. Di sisi lain, mereka harus mendapatkan informasi darinya. Mereka membutuhkan Rencana B.
"Oh, berundinglah sana," kata Phineas santai, "aku tidak peduli. Ingat saja bahwa tanpa pertolonganku, misi kalian pasti gagal. Dan semua orang yang kalian cintai di dunia ini akan segera mati. Nah, pergilah! Bawakan aku seekor harpy!" []
BAB DUA PULUH TUJUH PERCY KAMI BAKAL MEMERLUKAN MAKANAN." PERCY melewati
si pria tua dan mengambili barang-barang dari meja piknik semangkuk mi Thai yang dilumuri saus makaroni dan keju, serta kue berbentuk tabung yang wujudnya mirip perpaduan lumpia dan bolu gulung kayu manis.
Sebelum dia kehilangan kendali dan menghantamkan kue lumpia ke wajah Phineas, Percy buru-buru berkata, "Ayo, TemanTeman." Dia mendahului kawan-kawannya keluar dari lapangan parkin
Mereka berhenti di seberang jalan. Percy menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Hujan telah semakin mereda, tinggal berupa rintik-rintik setengah hati. Kabut dingin terasa nyaman di wajahnya.
"Laki-laki itu ...." Hazel menggebrak pinggiran kursi halte bus. "Dia harus mati. Lagi."
Sulit menentukan dengan pasti di tengah hujan, tapi Hazel sepertinya sedang berkedip-kedip untuk mencegah jatuhnya air
mata. Rambut panjang keritingnya menempel di wajah. Di tengah cahaya kelabu, matanya yang keemasan lebih menyerupai timah.
Percy ingat betapa Hazel bersikap amat percaya diri ketika mereka pertama kali bertemu pegang kendali dalam situasi genting ketika Gorgon menyerang dan menggiring Percy ke tempat aman. Hazel menghibur Percy di kuil Neptunus dan membuatnya merasa diterima di perkemahan.
Kini Percy ingin membalas kebaikan Hazel, tapi dia tidak tahu pasti bagaimana caranya. Hazel kelihatan merana, kusut masai, dan depresi.
Percy tidak terkejut bahwa Hazel berasal dari Dunia Bawah. Dia sudah agak lama mencurigai kemungkinan itu dari sikap Hazel yang menghindari pembicaraan tentang masa lalunya, dari sikap Nico di Angelo yang penuh rahasia dan berhati-hati.
Namun, itu tidak mengubah cara pandang Percy terhadapnya. Hazel sepertinya ya, hidup, layaknya anak biasa yang berhati baik, yang layak tumbuh dewasa dan memiliki masa depan. Dia tidak jahat seperti Phineas.
'Akan kita ungguli dia." Percy berjanji. "Dia sama sekali tidak sepertimu, Hazel. Aku tak peduli apa katanya."
Hazel menggelengkan kepala. "Kau tidak tahu cerita lengkapnya.
Aku seharusnya dikirim ke Padang Hukuman. Aku aku sama saja seperti "
"Tidak, kau tidak sama seperti dia!" Frank mengepalkan tinju. Dia menoleh ke sana kemari seperti sedang mencari siapa saja yang tidak setuju dengannya musuh yang bisa dia pukul demi membela Hazel. "Hazel orang baik!" teriak Frank ke seberang jalan. Beberapa ekor harpy berkotek di pohon, tapi selain itu, tidak ada yang menaruh perhatian pada mereka.
Hazel menatap Frank. Hazel mengulurkan tangan ragu-ragu, seolah ingin menggenggam tangan Frank, tapi takut kalau-kalau dia Bakal menguap.
"Frank ...." Hazel terbata-bata. "Aku aku tidak ...." Sayangnya, Frank sepertinya tengah terlarut dalam pemikirannya sendiri.
Frank menurunkan tombak dari bahunya dan mencengkeram senjata itu dengan kikuk.
"Aku bisa mengintimidasi laki-laki tua itu," tawarnya,
"Frank, tidak apa-apa," ujar Percy, "mari kita simpan usulanmu sebagai rencana cadangan, tapi menurutku Phineas tidak bisa ditakut-takuti supaya mau bekerja sama. Lagi pula, tombakmu cuma bisa dipakai dua kali lagi, kan""
Frank memandangi mata gigi naga sambil memberengut. Mata tombak tersebut telah tumbuh kembali seutuhnya, hanya dalam waktu semalam. "Iya. Kurasa begitu ...."
Percy tidak memahami apa maksud perkataan sang Juru Terawang tua tentang sejarah keluarga Frank kakek buyutnya yang menghancurkan perkemahan, leluhurnya yang Argonaut, dan bagian mengenai kayu bakar yang mengendalikan hidup Frank. Namun, ucapan Phineas jelas membuat Frank terguncang. Percy memutuskan tidak minta penjelasan. Percy tidak mau sampai Frank berurai air mata, terutama di depan Hazel.
"Aku punya ide." Percy menunjuk ke ujung jalan. "Harpy berbulu merah sepertinya pergi ke arah sana. Mari kita lihat apakah kita bisa membujuknya bicara dengan kita."
Hazel memandangi makanan di tangan Percy. "Kau akan menggunakan itu sebagai umpan""
"Lebih tepatnya upeti damai," kata Percy, "ayo, cobalah cegah harpy lainnya supaya tidak mencuri makanan ini, ya""
Percy membuka tutup mi Thai dan bungkusan lumpia bolu. Uap harum mengepul ke udara. Ketiganya menyusuri jalan, Hazel dan Frank menghunus senjata mereka. Para harpy mengepakkan sayap untuk membuntuti mereka, bertengger di pohon, kotak surat, dan tiang bendera, mengikuti bau makanan.
Percy penasaran, apa kiranya yang dilihat manusia biasa di balik Kabut. Mungkin mereka kira para harpy adalah burung merpati dan senjata adalah tongkat lacrosse atau semacamnya. Mungkin mereka kira mi Thai saus makaroni dan keju minta ampun sedapnya sehingga membutuhkan pengawal bersenjata.
Percy memegangi makanan tersebut erat-erat. Dia sudah melihat betapa gesitnya para harpy dalam mengambili barangbarang. Dia tidak mau kehilangan upeti sebelum menemukan si harpy berbulu merah.
Akhirnya Percy melihat harpy itu, sedang berputar-putar di taman yang terbentang hingga beberapa blok di antara deretan bangunan batu tua. Di taman itu terdapat jalan setapak yang melewati pohon maple dan elm besar, patung-patung dan lapangan bermain serta bangku-bangku teduh. Tempat itu mengingatkan Percy pada ... taman lain. Mungkin di kota asalnya" Dia tidak ingat, tapi taman tersebut membuatnya merasa kangen rumah.
Mereka menyeberangi jalan dan menemukan bangku untuk diduduki, di camping patung perunggu besar berbentuk gajah.
"Mirip Hannibal," ujar Hazel. "Hanya saja ini patung China," kata Frank, "nenekku punya yang seperti itu." Dia berjengit. "Maksudku, patung nenekku tingginya tidak sampai tiga setengah meter. Tapi nenekku mengimpor barang dari China. Kami orang China." Frank memandang Hazel dan Percy, yang sedang berusaha keras agar tidak tertawa. "Boleh aku mati karena malu sekarang juga"" tanyanya.
"Jangan khawatir, Bung," kata Percy, "mari kita lihat apakah kita bisa berteman dengan si harpy."
Percy mengangkat mi Thai dan mengipasi makanan itu supaya aromanya mengepul ke atas merica pedas dan keju lezat. Si harpy merah berputar-putar lebih rendah.
"Kami takkan melukaimu," panggil Percy dengan suara normal. "Kami cuma ingin bicara. Mi Thai ditukar dengan kesempatan mengobrol, ya""
Si har py merah melesat turun secepat kilat dan mendarat di patung gajah.
Harpy itu kurus kering. Kakinya yang berbulu ceking sekali, seperti ranting. Wajahnya pasti cantik, kalau bukan karena pipinya yang kempot. Gerakannya terkejat-kejat, mata cokelat kopinya jelalatan, jemarinya menggaruki bulunya, daun telinganya, dan rambut merahnya yang panjang berantakan.
"Keju," gumam si harpy sambil melirik ke samping, "Ella tidak suka keju."
Percy ragu-ragu. "Namamu Ella"" "Ella. Aella. 'Harpy'. Dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Latin. Ella tidak suka keju." Dia mengucapkan semua itu tanpa menghela napas satu kali pun atau menjalin kontak mata. Tangannya mencubiti rambutnya, gaun goninya, air hujan, apa saja yang bergerak.
Lebih cepat daripada satu kedipan mata Percy, harpy itu menukik, menyambar lumpia bolu, dan muncul di atas gajah lagi.
"Demi dewa-dewi, dia gesit sekali!" kata Hazel. "Dan kebanyakan minum kopi," tebak Frank. Ella mengendus-endus lumpia. Dia menggigiti tepian makanan itu dan bergetar dari ujung kepala hingga kaki, mengeluarkan bunyi tersedak seperti sedang sekarat. "Kayu manis bagus." Dia mengumumkan. "Bagus buat harpy. Enak."
Dia mulai makan, tapi harpy-harpy yang lebih besar menerjangnya. Sebelum Percy sempat bereaksi, mereka mulai menghajar Ella dengan sayap mereka, menyambar lumpia tersebut.
"Jangaaaaaan." Ella mencoba bersembunyi di balik sayapnya saat saudari-saudarinya mengeroyoknya, menggaruk-garuk dengan ceker mereka. "Ja jangan." Dia terbata-bata. "Ja ja jangan!"
"Hentikan!" teriak Percy. Dia dan teman-temannya lari untuk membantu, tapi sudah terlambat. Seekor harpy kuning besar merebut lumpia dan kawanan harpy pun membubarkan diri, meninggalkan Ella yang membungkuk dan gemetar ketakutan di atas patung gajah.
Hazel menyentuh kaki harpy itu. "Aku turut prihatin. Apa kau baik-baik saja""
Ella menyembulkan kepala dari balik sayapnya. Dia masih gemetaran. Karena bahunya dibungkukkan, Percy bisa melihat luka sayat berdarah di punggung si harpy, di tempat Phineas menghajarnya dengan gunting rumput. Ella mencabuti bulubulunya. "E-ella kecil." Dia tergagap-gagap marah. "E-ella lemah. Tidak ada kayu manis buat Ella. Cuma keju."
Frank melotot ke seberang jalan, ke arah harpy-harpy yang sedang bertengger di pohon maple sambil merobek bungkusan lumpia. "Akan kita ambilkan yang lain untukmu," janjinya.
Percy meletakkan mi Thai. Dia menyadari bahwa Ella lain daripada yang lain, bahkan untuk ukuran seekor harpy. Namun, setelah menyaksikan Ella digencet, Percy yakin akan satu hal: apa pun yang terjadi, Percy akan menolongnya.
"Ella," kata Percy, "kami ingin menjadi temanmu. Kami bisa mengambilkanmu makanan lagi, tapi "
"Teman. ' Friends' ," kata Ella, "`sepuluh musim tayang. 1994 sampai 2004.'" Dia melirik Percy, kemudian mendongak ke udara dan mulai bersenandung ke awan. "Anak blasteran Dewa tertua,
capai enam belas tahun setelah lewati bahaya.' Enam belas. Kau enam belas tahun. Halaman enam belas, Menguasai Seni Masakan Prancis. `Bahan-bahan: Daging babi, Mentega.'"
Telinga Percy berdenging. Dia merasa pusing, seperti baru saja terjun tiga puluh meter ke bawah air dan naik lagi. "Ella ... apa yang kau katakan""
"Daging babi."' Si harpy menangkap tetes hujan di udara. "`Mentega."'
"Bukan, sebelum itu. Larik-larik itu aku tahu
itu." Di sebelah Percy, Hazel bergidik. "Kedengarannya memang tidak asing, seperti entahlah, seperti ramalan. Mungkin dia mendengar Phineas mengatakannya""
Mendengar nama Phineas, Ella berkotek ketakutan dan terbang menjauh.
"Tunggu!" panggil Hazel. "Aku tidak bermaksud demi dewa-dewi, bodohnya aku."
"Tidak apa-apa." Frank menunjuk. "Lihat." Ella tidak bergerak secepat tadi. Dia mengepakkan sayap hingga ke puncak bangunan bata merah berlantai tiga dan menyingkir hingga hilang dari pandangan ke atas atap. Selembar bulu merah melayang-layang ke lantai.
"Menurut kalian itukah sarangnya"" Frank memicingkan mata ke plang bangunan tersebut. "Perpustakaan Multnomah County""
Percy mengangguk. "Ayo, kita lihat apakah perpustakaan itu
buka." Mereka lari m enyeberangi jalan dan masuk ke lobi. Sebuah perpustakaan bukanlah tempat pertama yang bakal Percy pilih untuk dia kunjungi. Karena dia disleksia, membaca plang saja Percy sudah kesulitan. Bangunan yang dipenuhi buku"
Kedengarannya sama menyenangkannya seperti siksaan air ala China atau cabut gigi.
Sementara mereka berlari-lari kecil di lobi, Percy menduga bahwa Annabeth bakal menyukai tempat ini. Perpustakaan tersebut lapang dan terang, sedangkan jendelanya besar-besar dan beratap lengkung. Buku dan arsitektur, itu jelas kesukaan
Percy berhenti berjalan. "Percy"" tanya Frank "Ada apa"" Percy berusaha setengah mati untuk berkonsentrasi. Dari mana pemikiran itu berasal" Arsitektur, buku Annabeth pernah mengajaknya ke perpustakaan, di di Memori tersebut mengabur. Percy menghantamkan tinjunya ke sisi rak buku.
"Percy"" tanya Hazel lembut. Dia marah sekali, frustrasi sekali karena memorinya hilang, sampai-sampai rasanya ingin meninju rak buku lain, tapi raut muka teman-temannya yang cemas mengembalikan Percy ke masa kini.
"Aku aku baik-baik saja." Dia berbohong. "Barusan cuma pusing. Ayo, kita cari jalan ke atap."
Butuh waktu beberapa lama, tapi mereka akhirnya menemukan tangga yang mengarah ke atap. Di puncak terdapat pintu dengan gagang yang dilengkapi alarm, tapi seseorang telah menahan pintu tersebut hingga terbuka dengan buku War and Peace.
Di luar, Ella si Harpy meringkuk sambil dikelilingi buku di sarang dari kotak kardus.
Percy dan teman-temannya maju pelan-pelan, berusaha agar tidak menakuti harpy itu. Ella tidak menaruh perhatian pada mereka. Dia mencubiti bulu-bulunya dan bergumam pelan, seperti sedang menghafalkan dialog sandiwara.
Percy mencapai jarak satu setengah meter darinya dan berlutut. "Hai. Maaf kami membuatmu takut. Dengar, aku tidak punya banyak makanan, tapi ...."
Percy mengeluarkan dendeng makrobiotik dari sakunya. Ella melesat dan serta-merta menyambar dendeng tersebut. Dia meringkuk kembali di sarangnya, membaui dendeng itu, tapi mendesah dan membuangnya. "B-bukan dari mejanya. Ella tidak boleh makan. Sedih. Dendeng bagus buat harpy."
"Bukan dari Oh, benar juga," kata Percy, "itu bagian dari kutukanmu. Kau hanya boleh makan makanan orang itu."
"Pasti ada cara lain," kata Hazel. "`Fotosintesis."' gumam Ella "'Kara benda. Biologi. Pembentukan bahan organik kompleks.' Itulah masa terindah, itulah masa terkelam; itulah masa yang penuh kebijaksanaan, itulah masa yang penuh kepicikan
"Apa yang dikatakannya"" bisik Frank. Percy menatap tumpukan buku di sekeliling si harpy. Semuanya kelihatan tua dan berjamur. Sebagian memuat harga yang ditulis dengan spidol di sampulnya, seolah perpustakaan telah menyingkirkan buku-buku tersebut dalam acara cuci gudang.
"Dia mengutip dari buku," tebak Percy. Mimanak Petani 1965," kata Ella, "`mulai membiakkan hewan, tanggal 26 Januari.'"
"Ella," kata Percy, "sudahkah kau membaca semua ini"" Ella berkedip. "Masih banyak. Masih banyak di lantai bawah. Kata-kata. Kata-kata menenangkan Ella. Kata, kata, kata."
Percy memungut satu buku asal saja satu eksemplar Sejarah Balap Kuda yang sudah usang. "Ella, apa kau ingat, paragraf ketiga di halaman 62 "
"Sekretariat."' Ella serta-merta berkata, "Viunggulkan tigabanding-satu dalam Balapan Kentucky tahun 1973, mengakhiri balapan dengan rekor 1:5924.'"
Percy menutup buku. Tangannya gemetaran. "Tiap katanya sama persis.
"Luar biasa," ujar Hazel. "Dia ayam genius." Frank sepakat. Percy merasa resah. Dalam benaknya mulai terbetik sebuah ide menggelisahkan tentang alasan Phineas ingin menangkap Ella, dan alasannya bukan karena harpy itu telah melukainya. Percy teringat larik yang tadi dirapalkan Ella, Anak blasteran Dewa tertua. Percy yakin kata-kata itu menyangkut dirinya.
"Ella," kata Percy, "kami akan mencari cara untuk memusnahkan kutukan. Apa kau mau""
"Mustahil. 'It's Impossible'," kata Ella, "Virekam dalam bahasa Inggris oleh Perry Como, tahun 1970."
"Tidak ada yang mustahil," ujar Percy, "nah, dengarkan, aku akan mengucapkan nama pria itu. Kau tidak perlu kabur. Kami akan menyelamatkanmu
dari kutukan itu. Kami hanya perlu menemukan cara untuk mengalahkan Phineas."
Percy menunggu kalau-kalau Ella bakal melesat kabur, tapi harpy itu hanya menggelengkan kepala kuat-kuat. "Ja jangan! Jangan Phineas. Ella gesit. Terlalu gesit baginya. Ta tapi dia ingin me ... merantai Ella. Dia melukai Ella."
Si harpy mencoba meraih luka robek di punggungnya. "Frank," kata Percy, "kau punya perlengkapan P3K"" "Kuambil dulu." Frank mengeluarkan termos berisi nektar dan menjelaskan khasiat penyembuhnya kepada Ella. Ketika Frank beringsut mendekat, si harpy berjengit dan mulai memekik. Kemudian Hazel mencoba, dan Ella memperkenankan Hazel
menuangkan nektar ke punggungnya. Luka tersebut mulai tertutup.
Hazel tersenyum. "Lihat" Begitu baru baikan." "Phineas jahat." Ella berkeras. "Dan Bunting rumput. Dan keju."
"Betul." Percy sepakat. "Kami takkan membiarkannya menyakitimu lagi. Tapi kami perlu mencari tahu bagaimana caranya mengelabui Phineas. Kalian para harpy pasti lebih mengenalnya daripada siapa pun. Adakah trik untuk mengelabuinya""
The Heroes Of Olympus 2 Son Of Neptune di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ti tidak," kata Ella, "trik itu untuk anak-anak. 50 Trik untuk Diajarkan kepada Anjingmu, oleh Sophie Collins, telepon nomor 6-3-6 "
"Oke, Ella." Hazel berbicara dengan suara lembut, seperti sedang mencoba menenangkan kuda. "Tapi apakah Phineas memiliki kelemahan""
"Buta. Dia buta." Frank memutar-mutar bola matanya, tapi Hazel melanjutkan dengan sabar, "Benar. Selain itu""
"Judi," kata si harpy, "main judi. Dua banding satu. Peluangnya jelek. Pasang atau tutup."
Semangat Percy terbangkitkan. "Maksudmu dia penjudi"" "Phineas bisa me ... melihat peristiwa-peristiwa besar. Ramalan. Takdir. Serba-serbi dewa. Bukan hal-hal kecil. Acak. Menggairahkan. Dan dia buta."
Frank menggosok-gosok dagunya. "Mengerti apa yang dia maksud""
Percy memperhatikan si harpy mencubiti gaun goninya. Dia merasa amat kasihan pada Ella, tapi dia juga mulai menyadari betapa pandainya harpy itu.
"Kurasa aku paham," ujar Percy, "Phineas melihat masa depan. Dia mengetahui banyak sekali kejadian penting.Tapi dia tidak bisa
melihat perkara-perkara remeh misalnya kejadian sehari-hari, permainan tebak-tebakan. Itulah sebabnya judi menjadi menarik baginya. Kalau kita bisa memancingnya supaya memasang taruhan"
Hazel mengangguk perlahan. "Maksudmu apabila dia kalah, dia harus memberi tahu kita di mana Thanatos berada. Tapi apa yang bisa kita pertaruhkan" Permainan macam apa yang bisa kita tawarkan""
"Sesuatu yang sederhana, dengan taruhan tinggi," kata Percy, "misalnya dua pilihan. Satu kau hidup, satunya lagi kau mati. Dan hadiahnya haruslah sesuatu yang diinginkan Phineas maksudku, selain Ella. Ella tidak masuk hitungan."
"Penglihatan," gumam Ella, "penglihatan bagus buat lakilaki buta. Menyembuhkan tidak, tidak. Gaea tidak mau menyembuhkan Phineas. Gaea sengaja membiarkan Phineas buta, supaya bergantung pada Gaea. Iya."
Frank dan Percy bertukar pandang penuh arti. "Darah Gorgon," kata mereka berbarengan.
"Apa"" tanya Hazel. Frank mengeluarkan dua vial keramik yang diambilnya dari Sungai Tiberis Kecil. "Ella genius," katanya, "kecuali kalau kita mati."
"Jangan khawatir," ujar Percy, "aku punya rencana."[]
BAB DUA PULUH DELAPAN PERCY SANG PRIA TUA MASIH BERADA tepat di tempatnya semula, di tengah-tengah lapangan parkir gerai makanan. Dia duduk di meja piknik sambil menopangkan kakinya yang berselop kelinci ke atas, sedang makan sate dari piring yang berminyak. Gunting rumput ada di sampingnya. Jubah mandinya cemong-cemong terkena saus barbecue.
"Selamat datang kembali!" serunya riang. "Aku mendengar kepak sayap nan gugup. Kalian membawakan harpy-ku""
"Dia di sini," kata Percy, "tapi dia bukan milik Anda." Phineas mengisap minyak dari jemarinya. Matanya yang buram seakan tertuju ke satu titik tepat di atas kepala Percy. "Aku mengerti Ya, sebenarnya, aku tidak mengerti. Apa kalian ke sini untuk membunuhku" Jika benar begitu, semoga berhasil dalam menuntaskan misi kalian."
"Saya datang untuk berjudi." Mulut si pria tua berkedut. Dia meletakkan satenya dan mencondongkan badan ke arah Percy
. "Berjudi menarik sekali. Informasi ditukar dengan harpy" Yang menang dapat semuanya""
"Bukan," kata Percy, "si harpy tidak masuk dalam kesepakatan." Phineas tertawa. "Sungguh" Barangkali kau tidak paham betapa berharganya dia."
"Dia makhluk hidup," kata Percy, "dia tidak untuk dijual." "Sudahlah, jangan banyak cincong! Kau dari perkemahan Romawi, kan" Romawi dibangun berlandaskan perbudakan. Jangan bersikap sok mulia di hadapanku. Lagi pula, dia bahkan bukan manusia. Dia monster. Roh angin. Kaki tangan Jupiter."
Ella berkotek. Membawanya ke lapangan parkir saja sudah merupakan tantangan besar, tapi kini dia mulai bergerak mundur sambil menggumamkan, "'Jupiter. Hidrogen dan helium. Enam puluh tiga satelit.' Tidak ada kaki tangan. Tidak ada."
Hazel merangkulkan lengannya ke sayap Ella. Sepertinya hanya Hazel seorang yang bisa menyentuh si harpy tanpa menyebabkannya berteriak dan terkej at-kej at.
Frank mendampingi Percy. Dia menyiagakan tombak, seakanakan pria tua tersebut mungkin saja bakal menyerang mereka.
Percy mengulurkan vial keramik. "Saya usulkan taruhan yang lain. Kami punya dua wadah berisi darah Gorgon. Salah satunya bisa membunuh. Satunya lagi menyembuhkan. Dua-duanya kelihatan persis sama. Kami sekalipun tidak bisa membedakannya. Kalau Anda memilih vial yang benar, isinya bisa menyembuhkan kebutaan Anda."
Phineas menjulurkan tangan penuh semangat. "Biar kuraba. Biar kubaui."
"Jangan cepat-cepat," kata Percy, "pertama-tama Anda harus setuju dengan syarat-syaratnya."
"Syarat-syarat Phineas tersengal. Percy bisa tahu bahwa pria itu setengah mati ingin menerima tawaran tersebut. "Bakat meramal dan penglihatan Aku takkan bisa dihentikan. Aku
bisa menguasai kota ini. Akan kubangun istanaku di sini, dikelilingi gerai makanan. Aku bisa menangkap si harpy itu sendiri!"
"Ti tidak," kata Ella gugup, jangan, jangan, jangan." Susah menghasilkan tawa kejam yang meyakinkan ketika kita mengenakan selop merah muda berbentuk kelinci, tapi Phineas mengeluarkan upaya terbaiknya. "Baiklah, Demigod. Apa syaratsyaratmu"" "Anda boleh memilih satu vial," ujar Percy, "tidak boleh dibuka, tidak boleh diendus-endus sebelum Anda memutuskan."
"Itu tidak adil! Aku buta." "Dan indra penciuman saya tidak setajam Anda," tangkal Percy. "Anda boleh memegang vial. Dan saya bersumpah demi Sungai Styx bahwa kedua vial ini identik. Keduanya juga persis seperti yang saya katakan: berisi darah Gorgon, satu vial dari sisi kiri tubuh monster itu, satunya lagi dari kanan. Saya juga bersumpah tak satu pun dari kami tahu mana yang racun dan mana yang obat."
Percy menengok ke arah Hazel. "Hmm, kau kan pakar Dunia Bawah. Apakah sumpah demi Sungai Styx masih mengikat, meskipun kondisi sekarang sedang aneh""
"Ya," kata Hazel tanpa ragu-ragu, "melanggar sumpah semacam itu Ya, pokoknya jangan lakukan. Ada hal-hal yang lebih buruk daripada kematian."
Phineas mengelus janggutnya. "Jadi, aku memilih hendak minum vial yang mana. Kau harus meminum satunya lagi. Kita bersumpah akan minum secara berbarengan."
"Betul," ujar Percy. "Yang kalah mati, tentu saja," kata Phineas, "racun semacam itu mungkin saja akan mencegahku hidup kembali sampai jangka waktu yang lama, paling tidak. Intisariku akan terbuyarkan dan terdegradasi. Jadi, cukup banyak yang mesti kupertaruhkan."
"Tapi kalau Anda menang, Anda mendapatkan segalanya," kata Percy, "Kalau saya mati, teman-teman saya bersumpah akan meninggalkan Anda dengan damai dan tidak membalas dendam. Anda akan memperoleh penglihatan Anda kembali, yang bahkan tidak diberikan Gaea pada Anda."
Mimik muka si pria tua menjadi masam. Percy bisa tahu dia telah mengungkit-ungkit topik sensitif. Phineas ingin melihat. Meskipun banyak yang sudah diberikan Gaea kepadanya, Phineas kesal karena dibiarkan buta.
"Seandainya aku kalah," kata pria tua itu, "aku akan mati, tidak bisa memberi kalian informasi. Apa manfaatnya bagi kalian""
Percy bersyukur dia sudah membicarakan persoalan ini sampai tuntas dengan teman-temannya sebelumnya. Frank telah mengusulkan jawabannya.
"Anda tulis lokasi sarang
Alcyoneus terlebih dahulu," kata Percy, "simpan saja sendiri, tapi bersumpahlah demi Sungai Styx bahwa tulisan Anda spesifik dan akurat. Anda juga harus bersumpah, jika Anda kalah, para harpy akan dibebaskan dari kutukan mereka."
"Taruhan yang tinggi sekali," gerutu Phineas, "kau menghadapi maut, Percy Jackson. Tidakkah lebih mudah jika kau serahkan saja si harpy itu""
"Itu tidak masuk hitungan." Phineas tersenyum pelan-pelan. "Rupanya kau memang mulai memahami arti penting harpy itu. Begitu aku mendapatkan penglihatanku, akan kutangkap dia sendiri, kau tahu. Siapa pun yang menguasai harpy itu ya, dulu aku pernah menjadi raja. Perjudian ini bisa menjadikanku raja lagi."
"Jangan membayangkan macam-macam dulu," kata Percy, "apa kita sepakat""
Phineas mengetuk-ngetuk hidungnya dengan ekspresi serius. "Aku tidak bisa meramalkan hasilnya. Menyebalkan sekali. Perjudian yang sama sekali tak terduga-duga ... masa depan sematamata tampak kabur. Namun, aku bisa mengatakan ini kepadamu, Percy Jackson sedikit nasihat gratis. Jika kau selamat hari ini, kau takkan menyukai masa depanmu. Akan ada pengorbanan besar, dan kau takkan memiliki keberanian untuk melakukan pengorbanan itu. Kau akan menderita karenanya. Dunia akan menderita karenanya. Mungkin lebih mudah apabila kau memilih
racun saja" a. Mulut Percy terasa seperti teh hijau asam racikan Iris. Ingin rasanya, berpikir bahwa pria tua itu cuma menakut-nakutinya, tapi Percy punya firasat bahwa prediksi Phineas memang benar. Percy terkenang peringatan Juno ketika dia memilih untuk pergi ke Perkemahan Jupiter: Kau akan merasakan kepedihan, penderitaan, dan kehilangan yang lebih menyakitkan daripada yang pernah kau alami. Namun, kau mungkin saja akan memperoleh peluang untuk menyelamatkan teman lama dan keluargamu.
Di pepohonan di sekeliling lapangan parkir, para harpy berkumpul untuk menonton, seolah mereka menyadari apa yang dipertaruhkan. Frank dan Hazel mengamati wajah Percy dengan cemas. Percy sudah meyakinkan mereka bahwa peluangnya tidak sekecil lima puluh-lima puluh. Dia sudah punya rencana. Tentu saja, rencana itu mungkin berbalik menjadi senjata makan tuan. Peluangnya untuk tetap bertahan hidup barangkali mencapai seratus persen atau nol. Dia tidak menyinggung-nyinggung itu.
"Apa kita sepakat"" tanya Percy lagi. Phineas menyeringai. Aku bersumpah demi Sungai Styx akan mematuhi syarat-syarat seperti yang tadi kau paparkan. Frank Zhang, kau keturunan Argonaut. Aku memercayai janjimu. Jika
aku menang, apakah kau dan temanmu Hazel bersumpah akan meninggalkanku dengan damai, dan tidak menuntut balas""
Tangan Frank terkepal erat sekali sampai-sampai Percy kira dia bakal mematahkan tombak emas, tapi Frank masih sanggup menggumamkan, "Aku bersumpah demi Sungai Styx."
"Aku juga bersumpah," kata Hazel. "Sumpah," gumam Ella, "jangan bersumpah demi bulan yang tak tentu.'"
Phineas tertawa. "Kalau begitu, carikan aku alat tulis. Ayo, kita mulai."
Frank meminjam serbet dan pulpen dari pedagang di gerai makanan. Phineas mengguratkan sesuatu di serbet itu dan menyimpannya di saku jubah mandi. "Aku bersumpah inilah lokasi sarang Alcyoneus. Bukan berarti kau akan hidup cukup lama untuk membacanya."
Percy menghunus pedangnya dan menyingkirkan semua makanan dari meja piknik. Phineas duduk di satu sisi. Percy duduk di sisi satunya lagi.
Phineas mengulurkan tangan. "Biar kuraba vial-vial itu." Percy menatap perbukitan di kejauhan. Dia membayangkan wajah berbayang-bayang seorang wanita yang sedang tidur. Dia mengirimkan pemikirannya ke tanah di bawahnya dan berharap semoga sang Dewi mendengarkan.
Oke, Gaea, kata Percy. Kutantang kau. Kau bilang aku ini pion yang berharga. Kau bilang kau sudah menyiapkan rencana untukku, dan akan membiarkanku hidup sampai aku tiba di utara. Siapa yang lebih berharga bagimu aku, atau laki-laki tua ini" Soalnya, salah satu dari kami bakal mati sebentar lagi.
Phineas melengkungkan jari untuk mencengkeram. "Kehilangan nyali, Percy Jackson" Sini, biar kupegang vial itu."
Percy mengoperkan kedua vial kepadanya. Sang pria tua membandin
gkan bobot kedua vial tersebut. Phineas menelusurkan jari di permukaan keramiknya. Kemudian dia meletakkan dua-duanya di meja dan meletakkan telapak tangannya dengan lembut ke atas masing-masing vial. Gelombang kejut merambat di tanah gempa bumi ringan, cukup kuat sehingga membuat gigi Percy bergemeletuk. Ella berkotek gugup.
Vial di kiri sepertinya berguncang agak lebih keras daripada yang di kanan.
Phineas nyengir licik. Dia mengatupkan jemari ke vial sebelah kiri. "Kau bodoh, Percy Jackson. Aku memilih yang ini. Sekarang kita minum."
Percy mengambil vial di kanan. Giginya bergemeletuk. Sang pria tua mengangkat vialnya. "Bersulang untuk putraputra Neptunus."
Mereka berdua membuka tutup vial dan meminum isinya. Percy serta-merta terbungkuk, kerongkongannya terbakar. Mulutnya terasa seperti bensin.
"Demi dewa-dewi," kata Hazel di belakangnya. "Tidak!" kata Ella, "tidak, tidak, tidak." Penglihatan Percy menjadi buram. Dia bisa melihat Phineas nyengir karena merasa menang, duduk lebih tegak, mengedipngedipkan mata sambil menanti penuh harap.
"Bagus!" seru Phineas. "Sebentar lagi, penglihatanku akan kembali!"
Percy telah salah pilih. Dia tolol karena sudah mengambil risiko sebesar itu. Dia merasa seolah-olah kaca pecah sedang melewati lambungnya, terus ke usus.
"Percy!" Frank mencengkeram bahunya. "Percy, kau tidak boleh mati!"
Percy megap-megap dan tiba-tiba penglihatannya menjadi jernih.
Pada saat bersamaan, Phineas terbungkuk seperti kena tinju. "Kau kau tidak boleh!" lolong sang pria tua. "Gaea kau kau ,,
Dia bangkit sambil terhuyung-huyung dan berjalan sempoyongan menjauhi meja sambil memegangi perutnya. "Aku terlalu berharga!"
Uap mengepul keluar dari mulutnya. Gas kuning menjijikkan membubung dari telinganya, janggutnya, matanya yang buta.
"Tidak adil!" jerit Phineas. "Kau mengelabuiku!" Si pria tua itu berusaha mengambil secarik serbet dari saku jubahnya, tapi tangannya remuk, jemarinya berubah menjadi pasir.
Percy berdiri dengan goyah. Dia tidak merasa disembuhkan dari apa pun. Memorinya tidak kembali secara ajaib. Namun, dia tidak lagi merasa kesakitan.
"Tidak ada yang mengelabui Anda," kata Percy, "Anda membuat pilihan atas kehendak bebas Anda sendiri, dan saya memegang sumpah Anda." Sang raja buta meraung kesakitan. Dia berputar-putar, beruap dan pelan-pelan meluruh hingga tak ada yang tersisa kecuali jubah mandi lama yang ternoda dan sepasang selop kelinci.
"Itu," kata Frank, "adalah rampasan perang paling menjijikkan sepanjang masa."
Suara seorang wanita berbicara dalam benak Percy. Perjudian, Percy Jackson. Suara tersebut berupa bisikan mengantuk, disertai secercah rasa kagum yang enggan. Kau memaksaku memilih, dan kau memang lebih penting untuk rencanaku daripada si Juru Terawang tua. Namun, jangan coba-coba pertaruhkan nasib baikmu lagi. Ketika ajalmu tiba, aku janji rasanya akan jauh lebih menyakitkan daripada keracunan darah Gorgon.
Hazel menusuk-nusuk jubah tersebut dengan pedangnya. Tidak ada apa-apa di bawah jubah itu tidak ada tanda-tanda bahwa Phineas tengah berusaha mewujud kembali. Hazel memandang Percy dengan kagum. "Entah yang barusan itu adalah hal paling berani yang pernah kusaksikan, atau yang paling bodoh."
Frank menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. "Percy, bagaimana kau tahu" Kau yakin sekali dia akan memilih racun."
"Gaea," kata Percy, "dia ingin aku mencapai Alaska. Dia kira entahlah. Dia kira dia bisa memanfaatkanku sebagai bagian dari rencananya. Dia memengaruhi Phineas sehingga memilih vial yang salah."
Frank menatap sisa-sisa sang pria tua dengan raut wajah ngeri. "Gaea bakal membunuh abdinya sendiri alih-alih kau" Kau bertaruh itulah yang akan terjadi""
"Rencana," gumam Ella, "rencana dan siasat. Wanita di tanah. Rencana besar untuk Percy. Dendeng makrobiotik untuk Ella."
Percy menyerahkan bungkusan dendeng kepada Ella dan si harpy pun memekik kegirangan. "Tidak, tidak, tidak," dia bergumam, setengah bersenandung, "Phineas, tidak. Makanan dan kata-kata untuk Ella, ya."
Percy membungkukkan badan ke atas jubah mandi dan mengeluarkan t
ulisan sang pria tua dari saku. Bunyinya: GLETSER HUBBARD.
Risiko sebesar tadi hanya untuk dua kata. Diserahkannya tulisan tersebut kepada Hazel.
"Aku tahu tempatnya," ujar Hazel, "gletser ini cukup terkenal. Tapi perjalanan kita masih jauh sekali."
Pada pepohonan di sekeliling lapangan parkir, para harpy lain akhirnya berhasil mengatasi keterkejutan. Mereka berkotek kesenangan dan terbang ke gerai makanan terdekat, menukik ke dalam loket dan menyerbu dapur. Para juru masak berteriak-teriak
dalam berbagai bahasa. Gerai makanan terguncang ke depan dan ke belakang. Bulu dan kotak makanan beterbangan ke mana-mana.
"Kita sebaiknya kembali ke perahu," kata Percy, "waktu kita makin sedikit." []
BAB DUA PULUH SEMBILAN HAZEL SEBELUM DIA NAIK KE PERAHU sekalipun, Hazel merasa mual. Hazel terus teringat akan Phineas, uap mengepul dari matanya, tangannya remuk menjadi debu. Percy meyakinkan Hazel bahwa dia tidak seperti Phineas. Namun, Hazel memang seperti itu. Dia telah melakukan perbuatan yang lebih buruk daripada menyiksa harpy.
Kaulah yang mengawali semua ini! kata Phineas. Jika bukan karenamu, Alcyoneus takkan hidup!
Sementara perahu melaju di Sungai Columbia, Hazel mencoba melupakan. Dibantunya Ella membuat sarang dari buku dan majalah lama yang mereka ambil dari tong daur ulang perp us takaan.
Mereka sebenarnya tidak berencana mengajak serta si harpy, tapi Ella bersikap seakan perkara itu sudah diputuskan.
"Teman. 'Friends' ." Ella bergumam. Sepuluh musim tayang. 1994 sampai 2004.' Teman melelehkan Phineas dan memberi Ella dendeng. Ella mau ikut dengan teman-temannya."
Kini harpy itu bertengger dengan nyaman di buritan sambil menggigiti dendeng dan merapalkan kalimat acak dari karya-karya Charles Dickens dan 50 Trik untuk Diajarkan pada Anjingmu.
Percy berlutut di haluan, menyetir perahu ke laut dengan kekuatan pikirannya yang mampu mengendalikan air. Hazel duduk di sebelah Frank di bangku tengah, pundak mereka bersentuhan, alhasil membuat Hazel seperti cacing kepanasan.
Hazel ingat betapa Frank membelanya di Portland, berteriak, "Hazel orang baik!" seakan siap berduel melawan siapa saja yang menyangkal.
Hazel teringat akan penampilan Frank di perbukitan Mendocino, sendirian di lahan terbuka penuh rumput yang terkena racun, membawa tombak di tangan, api berkobar di sekelilingnya, dan abu tiga ekor Basilisk di kakinya.
Seminggu lalu, jika seseorang menyebutkan bahwa Frank adalah anak Mars, Hazel pasti tertawa. Frank terlalu manis dan lembut hati untuk menjadi anak Mars. Hazel selalu merasa ingin melindungi Frank karena sifatnya yang ceroboh dan sering terjerumus dalam masalah.
Sejak mereka meninggalkan perkemahan, pandangan Hazel terhadap Frank jadi berubah. Frank ternyata lebih berani daripada yang Hazel sadari. Frank-lah yang justru melindungi Hazel. Dia harus mengakui bahwa perubahan tersebut menyenangkan juga.
Sungai yang kian melebar bermuara ke samudra. Pax berbelok ke utara. Selagi mereka berlayar, Frank membangkitkan semangat Hazel dengan cara menceritakan lelucon-lelucon konyol Kenapa Minotaurus menyeberangjalan" Berapa banyak faun yang diperlukan untuk mengganti bola lampu"Frank menunjuk bangunan-bangunan di sepanjang pesisir yang mengingatkannya pada Vancouver.
Langit mulai menggelap, Laut menjadi sewarna sayap Ella yang seperti karat. Tanggal 21 Juni hampir usai. Festival Fortuna akan jatuh pada malam hari, tepat 72 jam dari sekarang.
Akhirnya Frank mengeluarkan makanan dari tasnya soda dan muffin yang dia pungut dari meja Phineas. Dioperkannya makanan tersebut.
"Tidak apa-apa, Hazel," kata Frank pelan, "ibuku bilang kita tidak semestinya berusaha menanggung masalah sendirian. Tapi kalau kau tak mau membicarakannya, tidak apa-apa."
Hazel menarik napas sambil gemetar. Dia takut bicara bukan hanya karena dia malu. Dia tidak mau pingsan dan tergelincir ke masa lalu.
"Kau benar," kata Hazel, "ketika kau menebak bahwa aku berasal dari Dunia Bawah. Aku aku kabur dari sana. Aku seharusnya tidak hidup lagi."
Perasaannya yang terbendung serta-merta bobol. Cerita pun mengalir
keluar. Hazel menjabarkan tentang ibunya yang memanggil Pluto dan jatuh cinta pada Dewa itu. Hazel menjabarkan permohonan ibunya agar memperoleh semua kekayaan yang terkandung dalam perut bumi, dan betapa permohonan itu membuahkan kutukan bagi Hazel. Hazel menjabarkan kehidupannya di New Orleans segalanya kecuali tentang pacarnya, Sammy. Saat melihat Frank, Hazel tak sanggup membicarakan perkara yang satu itu.
Hazel menjabarkan Suara Itu, dan betapa Gaea lambat laun pegang kendali atas pikiran ibunya. Hazel menjabarkan kepindahan mereka ke Alaska, peran Hazel yang membantu membangkitkan Alcyoneus sang Raksasa, dan bagaimana dia tewas, sambil menenggelamkan pulau itu ke Teluk Resurrection.
Hazel tahu Percy dan Ella mendengarkan, tapi dia terutama berbicara kepada Frank. Ketika dia selesai, Hazel takut memandang
Frank. Dia menunggu-nunggu, memperkirakan bahwa Frank akan bergerak menjauhinya, mungkin mengatakan kepada Hazel bahwa dia memang monster.
Ternyata, Frank justru menggamit tangannya. "Kau sudah mengorbankan diri demi mencegah kebangkitan si raksasa. Aku tak mungkin bisa seberani itu."
Hazel merasa nadinya berdenyut kian cepat di lehernya. "Itu bukan keberanian. Aku membiarkan ibuku meninggal. Aku kelamaan bekerja sama dengan Gaea. Aku hampir membiarkannya menang.
"Hazel," ujar Percy, "kau menantang sang Dewi seorang diri. Kau melakukan tindakan yang benar ...." Suara Percy memelan, seakan-akan sebuah pemikiran tak menyenangkan mendadak terbetik di benaknya. "Apa yang terjadi di Dunia Bawah maksudku, setelah kau meninggal" Kau seharusnya masuk Elysium. Tapi kalau Nico membawamu kembali "
"Aku tidak masuk Elysium." Mulut Hazel terasa sekering pasir. "Tolong jangan tanya ...."
Namun, sudah terlambat. Hazel teringat betapa dia merosot ke kegelapan, tiba di tepi Sungai Styx. Dia mulai kehilangan kesadaran.
"Hazel"" tanya Frank. "'Slip Sliding Away,'"' gumam Ella, "nomor lima di tangga lagu terlaris AS. Paul Simon. Frank, pergilah dengannya. Kata Simon, Frank, pergilah dengannya."
Hazel tidak paham apa yang Ella bicarakan, tapi sementara dia terus berpegangan pada tangan Frank, penglihatannya makin lama makin gelap.
Hazel mendapati dirinya kembali ke Dunia Bawah, dan kali ini Frank ada di sisinya.
Mereka berdiri di perahu Charon, sedang menyeberangi Sungai Styx. Puing-puing terhanyut di air gelap balon ulang tahun yang sudah kempis, dot anak-anak, boneka plastik pengantin wanita dan pria yang biasanya dipasang di atas kue semuanya merupakan peninggalan hidup manusia yang kelewat pendek.
"Di ... di mana kita"" Frank berdiri di samping Hazel, badannya berdenyar ungu seperti Lar.
"Ini masa laluku." Anehnya, Hazel merasa tenang. "Ini cuma sebuah gaung. Jangan khawatir."
Si tukang perahu membalikkan badan dan menyeringai. Satu saat dia adalah pria Afrika tampan yang mengenakan setelan sutra mahal. Saat berikutnya dia menjadi kerangka berjubah gelap. "Tentu saja kau tak perlu khawatir," katanya dengan logat Inggris. Dia berbicara kepada Hazel, seakan tidak bisa melihat Frank sama sekali. "Sudah kubilang akan kuantar kau menyeberang, kan" Tak apa meski kau tak punya koin. Mana pantas, meninggalkan putri Pluto di pinggir sungai"!"
Perahu meluncur ke pantai gelap. Hazel menuntun Frank ke gerbang hitam Erebos. Roh-roh membukakan jalan bagi mereka, merasakan bahwa Hazel adalah anak Pluto. Cerberus si Anjing Berkepala Tiga menggeram di keremangan, tapi dia membiarkan mereka melintas. Di dalam gerbang, mereka berjalan masuk ke paviliun besar dan berdiri di hadapan meja hakim. Tiga sosok berjubah hitam dan bertopeng emas menatap Hazel.
Frank mengerang. "Siapa "" "Mereka akan memutuskan nasibku," kata Hazel, "perhatikan." Persis seperti dulu, para hakim tidak mengajukan pertanyaan kepada Hazel. Mereka semata-mata menelisik benaknya, mengeluarkan pemikiran dari kepalanya dan memeriksa pemikiranpemikiran tersebut bagaikan koleksi foto lama.
"Menggagalkan rencana Gaea," kata hakim pertama, "mencegah kebangkitan Alcyoneus."
"Tapi dialah yang mula-mula menumbuhkan Raksasa itu." Hakim kedua berargumen. "
Bersalah karena sudah berlaku pengecut, lemah."
"Dia masih muda," kata hakim ketiga, "nyawa ibunya terombang-ambing."
"Ibuku." Hazel mengerahkan keberanian untuk bicara. "Di mana dia" Bagaimana nasibnya""
Para hakim mengamati Hazel, topeng emas mereka menampakkan senyum beku angker. "Ibumu ...."
Citra Marie Levesque berdenyar di atas para juri. Dia membeku dalam waktu, memeluk Hazel saat gua runtuh, matanya terpejam rapat.
"Pertanyaan yang menarik," kata hakim kedua, "pembagian tanggung jawab."
"Ya," kata hakim pertama, "anak ini meninggal demi tujuan yang mulia. Dia mencegah kematian banyak orang dengan cara menunda kebangkitan sang Raksasa. Dia memiliki keberanian untuk menentang kehendak Gaea."
"Tapi dia terlambat bertindak," kata hakim ketiga dengan sedih, "dia bersalah karena sudah membantu musuh para Dewa dan menjadi kaki tangannya."
"Sang ibu memengaruhinya," kata hakim pertama, "anak ini boleh masuk Elysium. Hukuman Abadi bagi Marie Levesque."
"Jangan!" teriak Hazel. "Jangan, kumohon! Itu tidak adil." Para hakim menelengkan kepala secara serempak. Topeng emas, pikir Hazel. Sedari dulu, emas adalah kutukanku. Dia bertanya-tanya apakah emas entah bagaimana meracuni pemikiran mereka, sehingga mereka tidak mungkin mengadili dirinya secara adil.
"Hati-hati, Hazel Levesque." Hakim pertama memperingatkan. "Bersediakah kau mengemban tanggung jawab seutuhnya" Kau bisa saja menimpakan kesalahan pada jiwa ibumu. Itu masuk akal. Kau ditakdirkan untuk melakukan hal-hal hebat. Ibumu menyesatkanmu. Lihatlah jalan hidup yang bisa saja kau tempuh
Citra lainnya muncul di atas para hakim. Hazel melihat dirinya saat kanak-kanak, sedang menyeringai, tangannya berlumur cat. Usia citra itu bertambah. Hazel melihat dirinya tumbuh besar rambutnya semakin panjang, matanya kian sedih. Hazel melihat dirinya pada ulang tahun ketiga belas, menyeberangi padang naik kuda pinjaman. Sammy berpacu mengejar Hazel sambil tertawa: Kau melarikan diri dari apa" Aku tidak sejelek itu, kan" Hazel melihat dirinya di Alaska, menyusuri Third Street sambil tersaruksaruk di salju dan dalam kegelapan, dalam perjalanan pulang ke rumah.
Kemudian usia citra itu kian bertambah. Hazel melihat dirinya saat berumur dua puluh. Dia kelihatan mirip sekali seperti ibunya, rambutnya dikepang, matanya yang keemasan berkilat-kilat geli. Dia mengenakan gaun putih gaun pengantin" Dia tersenyum sedemikian hangat, alhasil Hazel tahu secara instingtif bahwa dia pasti sedang memandang orang yang istimewa orang yang dia cintai.
Pemandangan tersebut tidak membuat Hazel getir. Dia bahkan tidak penasaran siapa kiranya yang bakal dia nikahi. Dia justru berpikir: Pasti begitulah rupa ibuku, jika dia melepaskan amarahnya, jika Gaea tidak mengecohnya.
"Kau kehilangan nyawa," kata hakim pertama apa adanya, "perkecualian khusus. Elysium untukmu. Hukuman untuk ibumu."
"Tidak," kata Hazel, "tidak, bukan cuma ibuku yang bersalah. Ibuku disesatkan. Dia menyayangiku. Pada akhirnya, dia berusaha melindungiku."
"Hazel," bisik Frank, "apa yang kau lakukan"" Hazel meremas tangan Frank, mendesaknya supaya tutup mulut. Para hakim tidak menaruh perhatian pada pemuda itu.
Akhirnya hakim kedua mendesah. "Tidak ada kesepakatan. Kurang baik. Kurang jahat."
"Tanggung jawab harus dibagi." Hakim pertama setuju. "Kedua jiwa akan dimasukkan ke Padang Asphodel. Aku turut prihatin, Hazel Levesque. Kau bisa saja menjadi pahlawan."
Hazel menyusuri paviliun tersebut, lalu masuk ke padang kuning yang terbentang tak terhingga. Dia menuntun Frank menembus kerumunan arwah dan terus ke kebun yang ditumbuhi pohon poplar hitam.
"Kau menampik hak untuk masuk Elysium," kata Frank takjub, "supaya ibumu takkan menderita""
"Ibuku tidak layak masuk Padang Hukuman," ujar Hazel. "Tapi sekarang apa yang terjadi"" "Tidak ada," kata Hazel, "tidak ada apa-apa selamalamanya."
Mereka keluyuran tak tentu arah. Roh-roh di sekeliling mereka meracau seperti kelelawar buta tersesat dan kebingungan, tidak ingat masa lalu atau bahkan nama mereka.
Hazel ingat semuanya. Barangkali penyebabnya karen
a dia putri Pluto, tapi dia tidak pernah melupakan siapa dirinya, atau apa sebabnya dia berada di sana.
"Akhirat justru terasa berat karena aku ingat semuanya." Hazel memberi tahu Frank, yang masih luntang-lantung di sebelahnya seperti Lar ungu yang berdenyar. "Berkali-kali aku berusaha berjalan ke istana ayahku ...." Hazel menunjuk kastil hitam besar
di kejauhan. "Aku tak pernah bisa mencapainya. Aku tak bisa meninggalkan Padang Asphodel."
"Apa kau pernah bertemu ibumu lagi"" Hazel menggelengkan kepala. "Ibuku takkan mengenaliku, sekalipun aku bisa menemukannya. Roh-roh ini keberadaan mereka di sini bagaikan mimpi yang abadi, kehampaan tak berkesudahan. Maksimal inilah yang bisa kuperbuat untuk ibuku."
Waktu tidak berarti, tapi setelah lama sekali, Hazel dan Frank duduk bersama di bawah sebatang pohon poplar sambil mendengarkan jeritan dari Padang Hukuman. Di kejauhan, di bawah pancaran sinar matahari tiruan Elysium, Kepulauan Kaum Diberkahi berkilau laksana zamrud di tengah-tengah danau biru cemerlang. Layar putih membelah air dan jiwa-jiwa pahlawan besar bersantai di pantai.
"Kau tidak sepantasnya masuk Asphodel," protes Frank, "kau seharusnya bersama para pahlawan."
"Ini cuma gaung," kata Hazel, "nanti kita pasti bangun, Frank. Rasanya saja lama sekali."
"Bukan itu intinya!" protes Frank, "nyawamu direnggut darimu. Kau seharusnya tumbuh besar menjadi wanita yang cantik. Kau ...."
Wajah Frank menjadi semakin ungu. "Kau bakal menikahi seseorang," kata Frank pelan, "kau seharusnya memiliki kehidupan yang menyenangkan. Kau kehilangan semua itu."
Hazel menahan isak tangis. Kali pertama di Asphodel tidaklah seberat ini, ketika dia sendirian. Keberadaan Frank di sampingnya membuat Hazel semakin sedih saja. Namun, dia bertekad takkan marah terhadap takdir.
Hazel memikirkan citra terakhir tadi, yang menggambarkan dirinya sebagai orang dewasa, tersenyum dan sedang jatuh cinta. Hazel tahu tidak butuh banyak kegetiran untuk membuat
ekspresinya menjadi masam dan berubah sehingga persis seperti Ratu Marie. Aku layak memperoleh yang lebih baik, ibunya selalu berkata. Hazel tak boleh mengizinkan dirinya merasa seperti itu.
"Maafkan aku, Frank," kata Hazel, "menurutku ibumu salah. Meskipun sudah dibagi, masalah kadang-kadang tidak menjadi lebih mudah untuk ditanggung."
"Tapi memang benar begitu." Frank menyelipkan tangan ke dalam saku jaketnya. "Malahan mumpung kita punya waktu selamanya untuk bicara, ada sesuatu yang ingin kuberitahukan padamu."
Frank mengeluarkan benda yang dibungkus kain, kira-kira seukuran kacamata. Ketika Frank membuka lilitan kain, Hazel melihat sepotong kayu yang separuh hangus, memendarkan cahaya ungu.
Hazel mengerutkan kening. "Apa ...." Kemudian kebenaran menghantamnya, dahsyat dan menusuk tulang seperti terpaan angin musim dingin. "Phineas bilang nyawamu bergantung pada sepotong kayu bakar "
"Betul," kata Frank, "inilah tambatan hidupku, dalam arti harfiah."
Frank menceritakan kemunculan Juno ketika dia masih bayi, tindakan neneknya yang menyambar sepotong kayu tersebut dari perapian. "Nenek bilang aku punya anugerah bakat yang kami peroleh dari leluhur kami, sang Argonaut. Karena itu, dan karena Mars ayahku ...." Dia mengangkat bahu. "Konon katanya, kekuatanku terlalu banyak atau apalah. Itulah sebabnya hidupku mudah sekali terbakar habis. Iris bilang aku akan mati sambil memegang ini, menyaksikannya terbakar."
Frank membolak-balik potongan kayu hangus itu di jarijarinya. Dalam sosok ungunya yang mirip hantu sekalipun, Frank masih tampak besar dan kekar. Hazel menduga Frank pasti besar
sekali saat dewasa sekuat dan sesehat lembu jantan. Hazel sulit percaya bahwa nyawa Frank bergantung pada sesuatu yang sekecil potongan kayu.
"Frank, bisa-bisanya kau membawa benda ini ke mana-mana bersamamu"" Tanya Hazel, "tidakkah kau takut kalau-kalau bakal terjadi sesuatu pada kayu ini""
"Itulah sebabnya aku memberitahumu." Frank mengulurkan kayu bakar tersebut. "Aku tahu permintaanku memang berat, tapi maukah kau menyimpankannya untukku""
Kepala Hazel berputar-putar. Sampai
sekarang, dia menerima keberadaan Frank dalam masa lalunya. Dia telah menuntun Frank, mengulangi masa lalunya dengan perasaan kebas, sebab pemuda itu memang pantas mengetahui yang sebenarnya.
Namun, kini Hazel bertanya-tanya apakah Frank sungguhsungguh mengalami ini bersamanya, ataukah dia semata-mata mengkhayalkan kehadiran pemuda itu. Mana mungkin Frank memercayakan nyawanya kepada Hazel"
"Frank," kata Hazel, "kau tahu siapa aku. Aku ini putri Pluto. Aku merusak semua yang kusentuh. Kenapa kau mau memercayaiku""
"Kau sahabatku." Frank meletakkan kayu bakar di tangan Hazel. "Aku memercayaimu lebih dari siapa pun."
Hazel ingin mengatakan kepada Frank bahwa dia membuat kekeliruan. Dia ingin mengembalikan kayu bakar itu. Namun, sebelum Hazel sempat mengucapkan apa pun, sebuah bayangan menimpa mereka.
"Transportasi kita sudah di sini," tebak Frank. Hazel hampir lupa bahwa dia sedang kembali menjalani masa lalunya. Nico di Angelo berdiri di hadapan Hazel sambil mengenakan mantel hitam, pedang besi Stygian di pinggangnya.
Dia tidak menyadari keberadaan Frank, tapi dia bertatapan dengan Hazel dan sepertinya membaca keseluruhan hidup Hazel.
"Kau lain," kata si anak laki-laki, "anak Pluto. Kau ingat masa lalumu."
"Ya," ujar Hazel, "dan kau masih hidup." Nico mengamat-amati Hazel seperti membaca menu, sedang memutuskan hendak memesan atau tidak.
"Aku Nico di Angelo," katanya, "aku datang mencari kakakku. Maut menghilang. Jadi, kukira kukira aku bisa membawa kakakku kembali dan takkan ada yang menyadarinya."
"Kembali ke kehidupan"" tanya Hazel. "Mungkinkah itu"" "Seharusnya bisa." Nico mendesah. "Tapi dia sudah pergi. Dia memilih untuk dilahirkan ke kehidupan baru. Aku terlambat."
"Aku turut prihatin." Nico mengulurkan tangan. "Kau saudara perempuanku juga. Kau layak mendapat kesempatan lagi. Ikutlah denganku." []
BAB TIGA PULUH HAZEL "HAZEL." PERCY MENGGUNCANG-GUNCANGKAN BAHUNYA. "BANGUN. Kita sudah sampai di Seattle."
Hazel duduk tegak sambil terhuyung-huyung, memicingkan mata untuk menghalau sinar matahari pagi. "Frank""
Frank mengerang sambil menggosok-gosok matanya. "Apa barusan kita apa aku baru saja ""
"Kalian berdua pingsan," kata Percy, "aku tidak tahu sebabnya, tapi Ella bilang aku tidak perlu khawatir. Dia bilang kalian berbagi""
"Berbagi." Ella mengiakan. Dia meringkuk di buritan, sedang membersihkan bulu-bulunya dengan gigi. Sepertinya bukan metode membersihkan diri yang efektif. Dia meludahkan bulubulu merah. "Berbagi itu bagus. Tidak mati lagi. Mati listrik terbesar di Amerika, 14 Agustus 2003. Hazel berbagi. Tidak mati lagi." Percy menggaruk-garuk kepalanya. "Begitu deh kami mengobrol seperti itu semalaman. Aku masih tidak paham apa yang dia maksud."
Hazel menempelkan tangan ke saku jaketnya. Dia bisa merasakan sepotong kayu bakar itu, dibungkus kain.
Hazel memandang Frank. "Kau memang ada di sana." Frank mengangguk. Dia tidak mengucapkan apa-apa, tapi ekspresinya jelas: Perkataannya sungguh-sungguh. Dia ingin Hazel menyimpankan sepotong kayu bakar itu supaya aman. Hazel tidak yakin harus merasa terhormat atau takut. Tak seorang pun pernah memercayakan sesuatu sepenting itu kepada dirinya.
"Tunggu," kata Percy, "maksud kalian, kalian berbagi pengalaman saat pingsan" Apakah kalian berdua bakal pingsan terus mulai sekarang""
"Tidak," kata Ella, "tidak, tidak, tidak. Tidak pingsan lagi. Makin banyak buku untuk Ella. Buku di Seattle."
Hazel menatap ke seberang perairan. Mereka sedang melayari teluk besar, menuju kumpulan bangunan di tengah kota. Daerah pemukiman terbentang di perbukitan. Dari bukit tertinggi, menjulanglah sebuah menara putih ganjil yang dipuncaki sebuah piring, seperti kapal luar angkasa dari film lama Flash Gordon yang disukai Sammy.
Tidak pingsan lagi" pikir Hazel. Setelah lama sekali pingsan terus-terusan, memikirkan bahwa dirinya takkan pingsan lagi rasanya menyenangkan. Terlalu menyenangkan sehingga sulit dip ercaya.
Kenapa Ella bisa yakin bahwa Hazel takkan pingsan lagi" Tapi Hazel memang merasa lain ... lebih mantap, seolah dirinya tak lagi berusaha
hidup di dua zaman. Semua otot di tubuhnya mulai melemas. Hazel merasa seperti sudah melepaskan jaket timah yang dia pakai berbulan-bulan. Entah bagaimana, keikutsertaan Frank telah membantu. Hazel telah menjalani keseluruhan masa lalunya, sampai ke masa kini. Sekarang dia tinggal mengkhawatirkan masa depan dengan asumsi bahwa dia memang punya masa depan.
FlOkIWRVAN Percy mengarahkan perahu ke dermaga di tengah kota. Saat mereka makin dekat, Ella menggaruki sarang bukunya dengan gugup.
Hazel mulai merasa gelisah juga. Dia tidak yakin apa sebabnya. Hari itu cerah ceria, dan Seattle kelihatannya merupakan tempat yang indah, memiliki banyak laguna dan jembatan, pulau-pulau berhutan yang tersebar di teluk, serta pegunungan di kejauhan yang puncaknya berselimutkan es. Namun, Hazel merasa seperti sedang diawasi.
"Mm kenapa kita berhenti di sini"" tanya Hazel. Percy menunjuki mereka cincin perak di kalungnya. "Kakak Reyna di sini. Reyna memintaku mencari kakaknya dan menunjukkan ini padanya."
"Reyna punya kakak"" tanya Frank, seolah memikirkannya saja dia jadi ngeri.
Percy mengangguk. "Rupanya Reyna berpendapat bahwa kakaknya bisa mengirimkan bala bantuan ke perkemahan."
"Kaum Amazon," gumam Ella, "negeri Amazon. Hmm. Ella mau cari perpustakaan saja. Tidak suka kaum Amazon. Galak. Perisai. Pedang. Tajam. Sakit."
Frank meraih tombaknya. "Kaum Amazon" Maksudnya pendekar perempuan itu""
"Itu masuk di akal," kata Hazel, "apabila kakak Reyna adalah putri Bellona juga, aku bisa mengerti apa sebabnya dia bergabung dengan kaum Amazon. Tapi apakah aman bagi kita, datang ke sini""
"Tidak, tidak, tidak," kata Ella, "ambil buku saja. Jangan Amazon."
"Kita harus mencoba," ujar Percy, "aku sudah janji pada Reyna. Lagi pula, kondisi Pax tidak terlalu bagus. Aku sudah memacunya terlalu keras."
Hazel menunduk, memandang kakinya. Air bocor di antara papan-papan kayu. "Oh."
"Iya." Percy sepakat. "Entah kita harus memperbaikinya atau mencari perahu baru. Saat ini, perahu ini praktis masih bisa bertahan hanya karena kehendakku. Ella, apa kau punya gambaran, di mana kita bisa menemukan kaum Amazon""
"Eh, satu lagi," kata Frank gugup, "mereka tidak bakal sertamerta, mm, membunuh laki-laki yang mereka lihat, kan""
Ella melirik dermaga tengah kota, yang jaraknya tinggal beberapa meter lagi. "Nanti Ella can teman. Sekarang Ella mau terbang."
Itulah yang dia lakukan. "Wall ...." Frank memungut selembar bulu merah dari udara. "Menenteramkan sekali."
Mereka menepi di dermaga. Baru saja mereka menurunkan perbekalan, Pax langsung berguncang dan hancur berkepingkeping. Sebagian besarnya tenggelam, hanya menyisakan papan yang bercatkan gambar mata, sedangkan satu papan lainnya yang bertuliskan huruf P naik-turun diayun ombak.
"Sepertinya kita takkan memperbaiki perahu," kata Hazel, "sekarang apa""
Percy menatap perbukitan curam Seattle. "Kita berharap saja semoga kaum Amazon mau membantu."
Berjam-jam mereka menjelajah. Mereka menemukan karamel cokelat asin yang lezat sekali di toko permen. Mereka membeli kopi yang teramat pekat sampai-sampai kepala Hazel serasa bagaikan gong yang bergetar. Mereka mampir di kafe pinggir jalan dan menikmati roti isi salmon panggang yang luar biasa sedap.
Sekali mereka melihat Ella melesat ke antara gedung-gedung pencakar langit, buku besar dicengkeram masing-masing kakinya.
Namun, mereka tidak menemukan kaum Amazon. Sementara itu, Hazel sadar bahwa waktu kian sempit. Sekarang tanggal 22 Juni, sedangkan Alaska masih sangat jauh.
Akhirnya mereka berjalan ke selatan kota, ke sebuah alunalun yang dikelilingi bangunan-bangunan dari kaca dan bata yang berukuran lebih kecil. Insting Hazel serasa digelitik. Dia menoleh ke sana kemari, yakin bahwa dia sedang diawasi.
"Itu," kata Hazel. Bangunan kantor di kiri mereka memuat satu kata di pintu kacanya: AMAZON.
"Oh," kata Frank, "eh, bukan yang itu, Hazel. Itu Amazon modern. Perusahaan, kan" Mereka menjual barang-barang lewat internet. Mereka bukan kaum Amazon yang kita cari."
"Kecuali ...." Percy berjalan masuk lewat pintu. Hazel punya fi
rasat yang tidak enak mengenai tempat ini, tapi dia dan Frank mengikuti.
Lobi bangunan tersebut menyerupai akuarium kosong dinding kaca, lantai hitam mengilap, beberapa pot tumbuhan, dan praktis tidak ada apa-apa lagi. Di dinding sebelah belakang, terdapat tangga hitam yang mengarah ke atas dan ke bawah. Di tengah-tengah ruangan tersebut, berdirilah seorang wanita muda mengenakan setelan j as dan celana berwarna hitam. Dia berambut panjang merah kecokelatan dan mengenakan earphone seperti yang biasa dipakai penjaga keamanan. Pada tanda pengenalnya tertulis KINZIE. Senyumnya cukup ramah, tapi ekspresi di matanya mengingatkan Hazel pada polisi di New Orleans yang berpatroli di French Quarter malam-malam. Mereka sepertinya sedang melihat ke dalam diri kita, seolah-olah tengah mempertimbangkan siapa yang akan menyerang mereka selanjutnya.
Kinzie mengangguk kepada Hazel, mengabaikan kedua pemuda. "Ada yang bisa kubantu""
"Eh ..., kuharap begitu," kata Hazel, "kami mencari kaum Amazon."
Kinzie melirik pedang Hazel, kemudian tombak Frank, meskipun senjata tersebut semestinya tidak kelihatan karena disembunyikan Kabut.
"Ini kompleks utama Amazon," kata Kinzie hati-hati, "apa kau sudah punya janji dengan seseorang, atau "
"Hylla," potong Percy, `kami mencari perempuan bernama " Kinzie bergerak begitu cepat sampai-sampai mata Hazel nyaris tak bisa mengikuti. Kinzie menendang dada Frank sampai dia terbang ke seberang lobi. Kinzie mengambil sebilah pedang dari udara kosong, menyapukan permukaan pedangnya ke kaki Percy sehingga dia jatuh, dan menodongkan ujung pedangnya ke bawah dagu Percy.
Hazel terlambat menggapai pedangnya. Selusin perempuan berpakaian serbahitam membanjiri tangga sambil membawa pedang di tangan, dan mengepung Hazel.
Kinzie memelototi Percy. "Aturan pertama: Laki-laki tidak boleh bicara tanpa izin. Aturan kedua, menerobos wilayah kami dapat dikenai hukuman mati. Kau akan bertemu Ratu Hylla, seperti yang kau inginkan. Beliaulah yang akan memutuskan nasib mu."
Kaum Amazon menyita senjata trio tersebut dan menggiring mereka menuruni entah berapa banyak rangkaian tangga. Hazel alpa menghitung, saking banyaknya.
Akhirnya mereka keluar di gua yang teramat besar sehingga bisa saja memuat sepuluh bangunan SMA, termasuk lapangan olahraganya. Lampu floresensi menyilaukan berpendar di sepanjang langit-langit batu. Ban berjalan meliuk-liuk di ruangan tersebut
bagaikan perosotan air, membawa kotak-kotak ke segala arah. Lorong-lorong yang dibatasi rak logam terbentang hingga jauh, berisi tumpukan peti barang dagangan yang menjulang tinggi. Mesin derek berdengung dan tangan robot mendesing, melipat kardus, mengepak kiriman, dan menaik-turunkan barang-barang dari ban berjalan. Sebagian rak tinggi sekali sehingga hanya bisa diakses lewat tangga dan titian yang melintang di langit-langit seperti kuda-kuda di gedung teater.
Hazel teringat cuplikan berita yang pernah dia saksikan semasa kanak-kanak. Dia selalu terkesan tiap kali melihat pabrik yang merakit pesawat dan senjata api untuk perang beratus-ratus senjata keluar dari lini produksi tiap hari. Namun, tontonan yang pernah dia lihat sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ini, dan hampir semua pekerjaan dilakukan oleh komputer serta robot. Manusia yang Hazel lihat hanyalah wanita penjaga keamanan bersetelan hitam yang berpatroli di titian, serta pria yang mengenakan celana terusan jingga, seperti seragam penjara, mengangkut kotak ke sana kemari. Para pria mengenakan kerah besi di leher mereka.
"Kalian punya budak"" Hazel tahu berbicara memang berisiko, tapi dia amat gusar sampai-sampai tidak bisa menahan diri.
"Para pria itu"" Kinzie mendengus. "Bukan budak. Mereka alma tahu diri. Nah, maju sana."
The Heroes Of Olympus 2 Son Of Neptune di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka berjalan jauh sekali sehingga kaki Hazel mulai pegal. Dia kira mereka sudah sampai di ujung gudang ketika Kinzie membuka sepasang pintu ganda besar dan membimbing mereka memasuki gua lapang lainnya, sama besarnya seperti yang pertama.
"Dunia Bawah tidak sebesar ini," keluh Hazel, yang barangkali tidak benar, tapi begitulah rasanya,
menurut kakinya. Kinzie tersenyum pongah. "Kau mengagumi pusat operasional kami" Ya, sistem distribusi kami merambah seluruh dunia. Untuk
membangunnya butuh waktu bertahun-tahun, dan kami juga harus mengeluarkan sebagian besar harta karun simpanan kami. Sekarang, akhirnya, kami mendapat laba. Manusia biasa tidak menyadari bahwa mereka mendanai kerajaan Amazon. Tidak lama lagi, kami akan menjadi lebih kaya daripada bangsa manusia fana yang mana pun di dunia ini. Kemudian ketika manusia biasa yang lemah sudah menggantungkan diri sepenuhnya pada kami revolusi akan dimulai!"
"Apa yang akan kalian lakukan"" gerutu Frank. "Meniadakan ongkos kirim gratis""
Seorang penjaga menghantamkan gagang pedangnya ke perut Frank. Percy mencoba membantu Frank, tapi dua penjaga mendorongnya mundur dengan ujung pedang.
"Kalian akan belajar bersikap hormat," kata Kinzie, "laki-laki seperti kalianlah yang telah merusak dunia fana. Masyarakat hanya bisa selaras jika dikendalikan oleh perempuan. Kami lebih kuat, lebih bijaksana "
"Lebih rendah hati," ujar Percy. Para pengawal mencoba menghajarnya, tapi Percy menunduk.
"Hentikan!" kata Hazel. Hebatnya, para pengawal menurut. "Hylla akan menilai kami, kan"" tanya Hazel, "jadi, bawa kami menemuinya. Kita hanya buang-buang waktu."
Kinzie mengangguk. "Barangkali kau benar. Kami menghadapi masalah yang lebih penting. Dan waktu waktu memang terbatas."
"Apa maksudmu"" tanya Hazel. Seorang pengawal menggeram. "Kita bisa saja membawa mereka langsung ke Otrera. Mungkin bisa mendapat restunya dengan cara itu!"
"Tidak!" Bentak Kinzie. "Mending aku memakai kerah besi dan mengemudikanforklifi- saja sekalian. Ratu kita adalah Hylla."
"Cukup," kata Kinzie, "ayo!" Mereka menyeberangi lajur forklift, mengarungi labirin yang dibatasi ban berjalan, dan menunduk ke bawah deretan tangan robot yang sedang mengepak kotak.
Kebanyakan barang dagangan kelihatannya biasa-biasa saja: buku, perangkat elektronik, popok bayi. tapi merapat di salah satu dinding, terparkirlah kereta perang yang dibubuhi barcode besar di bagian samping. Dari kuknya, menggelayutlah label yang berbunyi: TINGGAL SATU. PESAN SEGERA! (SERI BARU MENYUSUL)
Akhirnya mereka memasuki gua berukuran lebih kecil yang sepertinya merupakan perpaduan gudang bongkar-muat dan ruang singgasana. Di dinding terdapat deretan rak logam enam tingkat, dihiasi panji-panji perang, perisai warna-warni, serta kepala naga, hydra, singa raksasa, dan babi liar. Di sepanjang dinding sebelah kanan dan kiri terdapat lusinan forklift yang dimodifikasi untuk perang. Masing-masing mesin dikendarai oleh laki-laki berkerah besi, tapi seorang pendekar Amazon berdiri pada panggung di sebelah belakang, berjaga di balik busur silang raksasa. Bilah pengangkut pada masing-masing forklift telah ditajamkan sehingga menjadi pedang kebesaran.
Rak-rak di ruangan ini memuat kandang berisi hewan hidup. Hazel tercengang menyaksikan binatang-binatang yang ada di sana anjing mastiff hitam, elang raksasa, persilangan singa dan elang yang kalau tidak salah disebut Gryphon, serta semut merah seukuran mobil kecil.
Hazel menyaksikan dengan ngeri saat sebuahforklifi-mendesing masuk ke ruangan, mengangkat kandang berisi pegasus putih cantik, dan melesat pergi sementara kuda itu meringkik protes.
"Apa yang kalian lakukan pada hewan malang itu"" tuntut Hazel. Kinzie mengerutkan kening. "Pegasus itu" ia tidak apa-apa. Pasti ada yang memesannya. Biaya pengiriman dan pemaketannya memang mahal, tapi "
"Kita bisa membeli pegasus secara online"" tanya Percy. Kinzie memelototinya. "Kau jelas tidak bisa, Laki-laki.Tapi bangsa Amazon bisa. Kami memiliki pengikut di seluruh dunia. Mereka membutuhkan perlengkapan. Ke sini."
Di ujung gudang terdapat podium yang dibangun dari susunan buku: tumpukan novel vampir, dinding dari novel thriller James Patterson, dan singgasana dari sekitar seribu eksemplar buku yang berjudul Lima Kebiasaan Perempuan yang Sangat Agresil
Di kaki tangga, beberapa orang Amazon berbaju kamuflase sedang terlibat pertengkaran sengit, sedangkan seorang wanita muda Ra
tu Hylla, menurut tebakan Hazel menonton dan mendengarkan dari singgasananya.
Hylla berumur dua puluhan, ramping berotot seperti harimau. Dia mengenakan celana terusan hitam dari kulit dan sepatu bot hitam. Dia tidak mengenakan mahkota, tapi, di pinggangnya ada sabuk aneh yang terbuat dari rantai emas, masing-masing bagiannya berkaitan seperti kunci dan gembok. Hazel terperangah melihat betapa miripnya dia dengan Reyna agak lebih tua, barangkali, tapi rambut hitamnya sama persis, matanya yang berwarna gelap sama persis, dan ekspresinya yang tegas juga sama persis, seperti sedang berusaha memutuskan manakah di antara para perempuan Amazon di hadapannya yang paling layak mati.
Kinzie melihat pertengkaran itu dan mendengus sebal. "Agenagen Otrera, menyebarkan dusta mereka."
"Apa"" tanya Frank. Lalu Hazel berhenti mendadak sekali sampai-sampai para penjaga di belakangnya terbentur. Beberapa kaki dari takhta ratu, dua orang Amazon menjaga sebuah kandang. Di dalamnya terdapat seekor kuda nan rupawan tidak bersayap, tapi anggun dan perkasa, badannya sewarna madu dan surainya hitam. Mata cokelatnya yang tajam mengamat-amati Hazel, dan dia bersumpah kuda itu kelihatan tidak sabaran, seolah-oleh sedang berpikir: Akhirnya kau datang juga.
"Itu dia," gumam Hazel. "Dia siapa"" tanya Percy. Kinzie memberengut jengkel, tapi ketika dia melihat arah pandangan Hazel, ekspresinya melembut. "Ah, iya. Cantik, ya""
Hazel berkedip untuk memastikan dia tidak sedang berhalusinasi. Kuda itu sama seperti yang dia kejar di Alaska. Dia yakin tapi itu mustahil. Tidak ada kuda yang bisa hidup selama itu.
"Apa dia ...." Hazel nyaris tak kuasa mengontrol suaranya. -Apa dia dijual""
Semua penjaga tertawa. "Itu Anion," kata Kinzie sabar, seolah-olah dia memahami kekaguman Hazel, "dia adalah harta karun kaum Amazon hanya bisa diklaim oleh pendekar kami yang paling pemberani, begitulah kata ramalan, kalau kau percaya."
"Ramalan"" tanya Hazel. Ekspresi Kinzie tampak enggan, hampir-hampir malu. -Lupakan saja. Tapi tidak, dia tak dijual."
"Kalau begitu, kenapa dia dimasukkan kurungan"" Kinzie meringis. "Sebab dia susah diatur."
Serigala Berbulu Domba 2 Dewa Arak 39 Misteri Dewa Seribu Kepalan Perawan Sumur Api 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama