The Heroes Of Olympus 2 Son Of Neptune Bagian 7
"Perkemahan," gumam Ella. Kemudian dalam bahasa Latin: "Putri Bijak Bestari berjalan sendiri, tanda Athena membakar Roma.'"
"Eh, oke deh," kata Percy, "kedengarannya penting, tapi kita bisa membicarakan itu belakangan. Kau bakal aman di perkemahan. Ada buku dan makanan, sebanyak yang kau inginkan."
"Jangan naik pesawat." Ella berkeras. "Tidak naik pesawat." Percy mengiakan. "Ella sekarang sembunyi." Sekonyong-konyong, dia pun lenyap sekelebat warna merah menghilang ke dalam hutan.
"Aku akan merindukannya," kata Hazel sedih.
"Kita pasti bertemu dia lagi." Percy berjanji, tapi dia mengerutkan kening dengan risau, seolah-olah ramalan barusan amat mengusiknya bagian yang menyinggung-nyinggung Athena.
Sebuah ledakan menyebabkan gerbang lapangan udara berpuntir ke udara.
Frank melemparkan surat neneknya kepada Percy. "Tunjukkan itu pada pilot! Tunjukkan surat dari Reyna juga! Kita harus berangkat sekarang juga."
Percy mengangguk. Dia dan Hazel lari ke pesawat. Frank berlindung di balik Cadillac dan mulai menembaki para Ogre. Dia menyasar kumpulan musuh yang paling padat dan menembakkan panah berbentuk tulip. Persis seperti yang dia harapkan, proyektil tersebut berupa peluru hydra.
Tali-tali melecut ke sana-sini bagaikan tentakel cumi-cumi, dan seluruh Ogre di baris depan kontan tiarap, muka menabrak tanah lebih dulu.
Frank mendengar mesin pesawat dinyalakan. Dia menembakkan tiga panah lagi secepat mungkin, menghasilkan kawah mahabesar di tengah-tengah barisan Ogre. Mereka yang selamat kurang dari seratus meter lagi, sedangkan sejumlah Ogre yang lebih pintar buru-buru berhenti, menyadari bahwa mer
eka kini sudah berada dalam jangkauan tembak.
"Frank!" pekik Hazel. "Ayo!" Sebuah peluru meriam meluncur lambat dalam lintasan parabola, mengarah ke Frank. Frank tahu seketika bahwa peluru meriam itu akan menabrak pesawat. Frank membidikkan anak panah. Aku bisa melakukan ini, pikirnya. Frank pun melepaskan panah. Anak panah tersebut memotong laju peluru meriam di tengah udara, menghasilkan ledakan bola api raksasa. Dua peluru meriam lagi melesat ke arahnya. Frank cepat-cepat lari.
Di belakangnya, logam berderit saat Cadillac meledak. Frank terjun ke dalam pesawat, persis saat tangga mulai terangkat.
Sang pilot pasti mafhum akan situasi tersebut. Tidak ada pengumuman tentang aturan keselamatan, tidak ada tawaran minum sebelum terbang, dan tidak ada permintaan izin lepas landas ke menara pengawas. Dia menekan akselerator, dan pesawat pun meluncur di landas pacu. Ledakan lagi-lagi menggemuruhkan landasan pacu, di belakang mereka, tapi sekejap kemudian mereka sudah mengudara.
Frank menengok ke bawah dan melihat lapangan udara yang bolong-bolong seperti keju Swiss gosong. Di Lynn Canyon Park, tampak petak-petak yang terbakar. Beberapa kilometer di selatan, hanya lidah api yang berkobar-kobar dan asap hitam yang tersisa di bekas rumah keluarga Zhang.
Mengesankan apaan. Frank sudah gagal menyelamatkan neneknya. Dia gagal menggunakan kekuatannya. Dia bahkan tidak menyelamatkan kawan mereka si harpy. Ketika Vancouver menghilang di balik awan di bawah, Frank menutupi wajahnya dengan tangan dan mulai menangis.
Pesawat menukik ke kiri. Lewat interkom, suara sang pilot berkata, " Senatus Populusque Romanus, Kawan-Kawan. Selamat datang. Perhentian selanjutnya: Anchorage, Alaska." []
BAB TIGA PULUH TUJUH PERCY PESAWAT ATAU KANIBAL" PILIHAN GAMPANG.
Mending Percy menyetir Cadillac nenek Zhang sampai Alaska sambil dikejar-kejar Ogre yang melemparkan bola api daripada duduk dalam pesawat jet mewah.
Dia pernah terbang sebelumnya. Detailnya kabur, tapi Percy ingat seekor pegasus bernama Blackjack. Dia bahkan pernah naik pesawat sekali atau dua kali. Namun, putra Neptunus (Poseidon, apalah) tidak cocok berada di udara. Tiap kali pesawat mengalami turbulensi, jantung Percy berdegup kencang, dan dia yakin Jupiter sedang mengombang-ambingkan mereka ke sana kemari.
Percy berusaha memfokuskan perhatian selagi Frank dan Hazel mengobrol. Hazel sedang meyakinkan Frank bahwa dia telah berbuat sebisanya untuk neneknya. Frank telah menyelamatkan mereka dari Raksasa Laistrygonian dan mengeluarkan mereka dari Vancouver. Dia telah bersikap luar biasa berani.
Frank menundukkan kepala terus-terusan, sepertinya malu karena sudah menangis, tapi Percy tidak menyalahkannya. Temannya yang malang itu Baru saja kehilangan neneknya dan
melihat rumahnya terbakar. Menurut Percy, meneteskan air mata gara-gara perkara macam itu tidak menjadikan kita kurang jantan, terutama ketika kita baru saja mengenyahkan sepasukan Ogre yang ingin memakan kita untuk sarapan.
Percy masih belum bisa terbiasa dengan kenyataan bahwa Frank merupakan kerabat jauhnya. Berarti, Frank adalah apanya" Keponakan buyut-kali-seribu" Terlalu aneh untuk diutarakan dengan kata-kata.
Frank menolak menjelaskan apa tepatnya "anugerah keluarga"- nya, tapi sementara mereka terbang ke utara, Frank menceritakan percakapannya dengan Mars semalam. Frank menjelaskan ramalan yang disampaikan Juno sewaktu dia bayi tentang nyawanya yang berkelindan dengan sepotong kayu bakar, dan bahwa dia telah meminta Hazel menyimpankan kayu itu untuknya.
Sebagian sudah Percy duga. Hazel dan Frank jelas-jelas berbagi semacam pengalaman ajaib ketika mereka pingsan bersama-sama. dan mereka telah menjalin semacam kesepakatan. Itu jugalah sebabnya sampai sekarang Frank, karena kebiasaan, terus-meneras mengecek saku jaketnya, dan itulah sebabnya dia sangat gugup bila dekat-dekat dengan api. Walau begitu, Percy tidak bisa membayangkan, betapa besar keberanian yang harus dikerahkan Frank untuk menempuh sebuah misi, sebab dia tahu satu api kecil
dapat mematikan daya hidupnya.
"Frank," kata Percy, "aku
bangga, berkerabat denganmu."
Kuping Frank memerah. Karena kepala Frank ditundukkan.
rambut cepaknya menampakkan panah hitam tajam yang:
menunjuk ke bawah. "Juno sudah menyiapkan rencana untuk
kita, terkait Ramalan Tujuh itu."
"Iya," gerutu Percy, "aku tidak menyukainya sebagai Hera,
Sebagai Juno, aku tetap tidak menyukainya."
Hazel menekuk kaki ke bawah tubuhnya. Dia mengamatamati Percy dengan mata keemasannya yang cemerlang, dan Percy menjadi bertanya-tanya bagaimana bisa Hazel bersikap setenang itu. Dialah anggota termuda dalam misi tersebut, tapi dia selalu menguatkan dan menghibur mereka. Kini mereka tengah terbang ke Alaska, tempatnya pernah meninggal. Mereka akan berupaya membebaskan Thanatos, yang mungkin saja bakal membawa Hazel kembali ke Dunia Bawah. Namun, dia sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Percy jadi merasa konyol karena takut pada turbulensi pesawat.
"Kau putra Poseidon, kan"" tanya Hazel. "Kau memang Demigod Yunani."
Percy mencengkeram kalung kulit. "Aku mulai teringat di Portland, setelah minuet darah Gorgon. Ingatanku kembali pelanpelan sejak saat itu. Ada perkemahan lain Perkemahan Blasteran."
Mengucapkan nama itu saja membuat perasaan Percy menjadi hangat. Kenangan indah melandanya: aroma ladang stroberi yang diterpa sinar mentari hangat musim panas, petasan yang menerangi pantai di Hari Kemerdekaan, para Satir yang bermain seruling saat acara api unggun malam hari, dan ciuman di dasar danau kano.
Hazel dan Frank menatap Percy seakan dia baru berbicara dalam bahasa asing.
"Perkemahan lain," ulang Hazel, "Perkemahan Yunani" Demi dewa-dewi, andai Octavian tahu "
"Dia pasti bakal menyatakan perang," kata Frank, "Dia selalu yakin bahwa bangsa Yunani ada di luar sana, sedang berkomplot untuk menjatuhkan kita. Dia kira Percy mata-mata."
"Itulah sebabnya Juno mengirimku," ujar Percy, "eh, maksudku, bukan untuk memata-matai. Menurutku Juno melakukan semacam pertukaran. Teman kalian Jason menurutku dia dikirim ke perkemahanku. Dalam mimpiku, aku melihat seorang demigod
yang mungkin adalah Jason. Dia sedang bekerja merakit kapal perang terbang bersama beberapa Demigod lain. Kurasa mereka hendak ke Perkemahan Jupiter untuk membantu."
Frank mengetuk-ngetuk bagian belakang tempat duduknya dengan gugup. "Mars bilang Juno ingin mempersatukan bangsa Yunani dan Romawi untuk bertarung melawan Gaea. Namun, ya ampun bangsa Yunani dan Romawi punya sejarah pertikaian panjang."
Hazel menarik napas dalam-dalam. "Barangkali itulah sebabnya dewa-dewi menjauhkan kita selama ini. Jika kapal perang Yunani muncul di angkasa di atas Perkemahan Jupiter, dan Reyna tidak tahu bahwa niat mereka baik "
"Iya." Percy sepakat. "Kita harus menjelaskan dengan hati-hat waktu kita kembali."
" Kalau kita kembali." timpal Frank. Percy mengangguk dengan enggan. "Aku percaya pada kalian_ Kuharap kalian juga percaya padaku. Aku merasa ya, aku
merasa dekat dengan kalian berdua, sama seperti yang kurasakan
pada teman-teman lamaku di Perkemahan Blasteran. Tapi pan Demigod lain, di kedua perkemahan bakal ada kecurigaan di
antara mereka." Hazel melakukan sesuatu yang tidak disangka-sangka Percy.
Dia mencondongkan badan dan mengecup pipi Percy. Biasa saja.
layaknya kecupan dari seorang saudari. Namun, senyumnya penuh limpahan kasih sayang, alhasil sekujur tubuh Percy menjadi terasa
hangat, dari kepala hingga kaki.
"Tentu saja kami memercayaimu," kata Hazel, "kita sekarang
satu keluarga. Iya, kan, Frank""
"Pastinya," kata Frank, "aku dapat ciuman juga, tidak""
Hazel tertawa, tapi suaranya terdengar tegang. "Omong
omong, apa yang akan kita lakukan sekarang""
Percy menarik napas dalam-dalam. Waktu semakin menipis. Tanggal 23 Juni sudah setengah jalan, sedangkan Festival Fortuna jatuh besok malam. "Aku harus menghubungi seorang teman untuk menepati janjiku pada Ella."
"Bagaimana"" tanya Frank. "Pakai pesan-Iris itu"" "Masih belum bisa," kata Percy sedih, "aku mencobanya semalam di rumah nenekmu. Tidak beruntung. Mungkin karena ingatanku masih campur aduk. Atau karena dewa-dewi tidak
mengizinkan adanya percakapan. Kuharap aku bisa menghubungi temanku dalam mimpi."
Guncangan turbulensi lagi-lagi membuat Percy mencengkeram kursinya. Di bawah mereka, puncak-puncak gunung berselimut salju menembus hamparan awan.
"Aku tak yakin bisa tidur," ujar Percy, "tapi aku harus mencoba. Kita tak boleh meninggalkan Ella sendirian selagi Ogre-Ogre itu ada di sana."
"Iya," kata Frank, "penerbangan kita masih beberapa jam lagi. Tidur dulu saja, Bung."
Percy mengangguk. Dia merasa beruntung karena ada Hazel dan Frank yang menjaganya. Yang Percy ucapkan kepada mereka memang benar dia memercayai mereka. Di tengah kelamnya pengalaman Percy yang aneh, mengerikan, dan tidak enak ini kehilangan ingatan dan dicerabut dari kehidupan lamanya Hazel dan Frank laksana dua titik terang.
Percy meregangkan tubuh, memejamkan mata, dan bermimpi jatuh dari gunung es ke lautan dingin.
Mimpi berubah. Percy kembali ke Vancouver, berdiri di depan puing-puing griya Zhang. Para Raksasa Laistrygonian sudah lenyap. Griya itu tinggal berupa cangkang kosong gosong.
Pemadam kebakaran sedang mengemasi peralatan mereka, siap untuk pergi dari sana. Pekarangan mirip zona perang. Di sana-sini ada cekungan berasap dan parit-parit hasil ledakan pipa pengairan
Di pinggir hutan, seekor anjing hitam raksasa berbulu lebat melonjak ke sana-sini sambil mengendus pepohonan. Pemadam kebakaran mengabaikan anjing itu sepenuhnya.
Di samping salah satu cekungan berlututlah Cyclops yang memakai celana jin kebesaran, sepatu bot, dan kemeja flanel longgar. Rambut cokelatnya yang berantakan kena cipratan hutan dan lumpur. Ketika dia mengangkat kepala, satu mata cokelatnya yang besar merah bekas menangis.
"Dekat!" ratapnya. "Dekat sekali, tapi sudah pergi!" Hati Percy menjadi pilu saat mendengar kepedihan dan kekhawatiran dalam suara Cyclops itu, tapi dia tahu mereka
hanya punya waktu beberapa detik untuk bicara. Tepian
penglihatannya sudah mengabur. Jika Alaska adalah Negeri Nirdewa,
Percy menduga semakin ke utara bakal semakin sulit untuk
berkomuniakasi dengan teman-temannya, dalam mimpi sekalipun.
"Tyson!" panggil Percy.
Sang Cyclops menoleh ke sana kemari dengan kalut. "Percy!"
"Tyson, aku baik-baik saja. Aku di sini ya, sebenarnya tidak."
Tyson menggapai udara seperti sedang berusaha menangkap kupu-kupu. "Tidak bisa melihatmu! Di mana kau""
"Tyson, aku sedang terbang ke Alaska. Aku baik-baik saja,
Aku pasti kembali. Cari saja Ella. Dia harpy berbulu merah. dia
sedang bersembunyi dalam hutan di sekitar rumah."
"Cari harpy" Harpy merah""
"Iya! Lindungi dia, ya" Dia temanku. Antarkan dia ke California. Ada perkemahan Demigod di Perbukitan Oakland Perkemahan Jupiter. Temui aku di atas Terowongan Caldecott."
"Perbukitan Oakland ... California ... Terowongan Caldecott." Tyson berteriak kepada si anjing: "Nyonya O'Leary! Kita harus mencari harpy!"
"GUK!" kata anjing itu. Wajah Tyson mulai mengabur. "Saudaraku baik-baik saja" saudaraku pasti kembali" Aku kangen kau!"
"Aku juga merindukanmu." Percy berusaha menjaga agar suaranya tidak pecah. "Sampai ketemu. Hati-hati! Pasukan Raksasa sedang berarak ke selatan. Beri tahu Annabeth "
Mimpi berubah. Percy mendapati dirinya sedang berdiri di bukit, di sebelah utara Perkemahan Jupiter, memandang Lapangan Mars dan Roma Baru di bawah. Di benteng legiun, berkumandang suara trompet. Para pekemah buru-buru berkumpul untuk majelis.
Pasukan Raksasa menyebar di kiri-kanan Percy Centaurus bertanduk banteng, Anak Bumi bertangan enam, dan Cyclops jahat yang memakai baju tempur dari besi tua. Menara panjat beroda buatan Cyclops memancarkan bayangan ke kaki Polybotes sang Raksasa, yang sedang memandangi perkemahan Romawi sambil nyengir. Dia mondar-mandir penuh semangat di bukit, ular berjatuhan dari rambut hijau gimbalnya, kaki naganya menumbangkan pohon-pohon kecil. Pada baju tempurnya yang berwana hijau-biru, hiasan wajah monster lapar seolah berkedip di keteduhan.
"Bagus." Sang Raksasa terkekeh-kekeh sambil menghunjamkan trisulanya ke tanah. "Tiup trompet kecil kalian, Bangsa Romaw
i. Kami datang untuk membinasakan kalian! Stheno!"
Si Gorgon bergegas-gegas keluar dari balik semak. Rambut ular dan rompi Supermarket Supermurahnya yang hijau limau bertabrakan dengan warna pilihan sang Raksasa.
"Ya, Tuan!" kata si Gorgon, "apa Anda ingin Anak Anjing Berselimut"" Dia mengulurkan nampan berisi sampel gratis.
"Hmm," kata Polybotes, "anak anjing jenis apa"" "Ah, bukan anak anjing sungguhan. Ini roti bulan sabit kecilkecil yang berisi sosis, tapi minggu ini sedang ada diskon "
"Bah! Tidak jadi, kalau begitu! Apa pasukan kita siap menyerang""
"Oh " Stheno melangkah mundur cepat-cepat supaya tidak digepengkan oleh kaki sang Raksasa. "Sebentar lagi, Yang Mahaagung. Ma Gasket dan setengah anak buah Cyclops-nya sedang mampir di Napa. Ada tur pabrik penyulingan anggur, katanya. Mereka janji sudah sampai di sini besok malam."
"Apa"" Sang Raksasa menengok ke sana kemari, seolah-olah baru sadar bahwa sebagian besar anggota pasukannya sedang absen. "Gah! Cyclops betina itu membuat asam lambungku kumat. Tur pabrik penyulingan anggur""
"Sepertinya ada keju dan biskuit juga," kata Stheno sukarela, meskipun harga yang ditawarkan Supermarket Supermurah jauh lebih kompetitif."
Polybotes mencabut sebatang pohon ek dari tanah dan melemparnya ke lembah. "Dasar Cyclops! Kuberi tahu kau, Stheno, sesudah aku membinasakan Neptunus dan mengambil alih lautan, akan kita negosiasikan ulang kontrak kerja para Cyclops. Biar Ma Gasket tahu diri! Nah, ada kabar apa dari utara""
"Para demigod telah berangkat ke Alaska," ujar Stheno, "mereka terbang menyongsong maut. Ah, maut dengan 'm' kecil, maksud saya. Bukan Maut tawanan kita. Meskipun saya rasa mereka terbang menyongsong dia juga."
Polybotes menggeram. "Alcyoneus sebaiknya menyisakan putra Neptunus itu, sebagaimana yang dia janjikan. Aku menginginkan yang satu itu dibelenggu ke kakiku, supaya aku bisa membunuh bocah itu saat waktunya tiba. Darahnya akan membasahi bebatuan Gunung Olympus dan membangunkan Ibu Pertiwi! Ada kabar dari kaum Amazon""
"Diam seribu bahasa," kata Stheno, "kita belum tahu siapa yang memenangi duel semalam, tapi tinggal perkara waktu sebelum Otrera unggul dan datang membantu kita."
"Hmm." Polybotes menggaruk-garuk ular dari rambutnya sambil bengong. "Kalau begitu, mungkin lebih baik kita menunggu. Festival Fortuna jatuh esok hari, saat matahari terbenam. Pada saat itu, kita harus menyerbu dengan atau tanpa bantuan kaum Amazon. Sementara itu, ayo makan! Kita dirikan perkemahan di sini, di tempat tinggi."
"Baik, Yang Mahaagung!" Stheno mengurnumkan kepada pasukan: "Anak Anjing Berselimut untuk semuanya!"
Para monster bersorak. Polybotes merentangkan tangan ke depan, mengamati lembah seperti lukisan panorama. "Ya, tiup saja trompet kerang kecil kalian, Demigod. Tak lama lagi, warisan Romawi akan dihancurkan untuk terakhir kalinya!"
Mimpi tersebut mengabur. Percy tersentak bangun saat pesawat mulai turun. Hazel meletakkan tangannya di pundak Percy. "Tidurmu nyenyak""
Percy duduk tegak dengan goyah. "Berapa lama aku tidur"" Frank berdiri di lorong, sedang memasukkan tombak dan busur barunya ke tas perlengkapan ski. "Beberapa jam," katanya, "kita hampir sampai."
Percy menengok ke jendela. Terusan air asin yang berkilauan mengular di antara pegunungan bersalju. Di kejauhan, sebuah kota menyembul di tengah alam liar, dikelilingi oleh hutan hijau rimbun di satu sisi dan pantai es kelam di sisi lainnya.
"Selamat datang di Alaska," kata Hazel, "dewa-dewi sudah tak bisa membantu kita lagi."[]
BAB TIGA PULUH DELAPAN PERCY PILOT MENGATAKAN PESAWAT TIDAK BISA menunggu mereka, tapi Percy tidak keberatan. Kalau mereka selamat hingga hari esok, dia berharap mereka bisa menemukan alat transportasi lain untuk kembali apa saja, asal bukan pesawat.
Percy semestinya merasa depresi. Dia terjebak di Alaska, kampung halaman sang Raksasa, kehilangan kontak dengan teman-teman lamanya sementara memorinya mulai pulih kembali. Dia telah menyaksikan pasukan Polybotes menginvasi Perkemahan Jupiter dalam mimpinya. Dia sudah mengetahui bahwa para Raksasa be
rencana menggunakan dirinya sebagai kurban darah untuk membangunkan Gaea. Selain itu, besok malam Festival Fortuna. Percy, Frank, dan Hazel harus menuntaskan misi yang mustahil sebelum saat itu. Maksimal, mereka Bakal membebaskan Maut, yang mungkin saja nantinya membawa dua teman Percy ke Dunia Bawah. Bukan sesuatu yang layak dinanti-nantikan.
Walau begitu, Percy anehnya merasa bergairah. Mimpinya mengenai Tyson telah membangkitkan semangatnya. Dia ingat Tyson, adiknya. Mereka pernah bertarung bersama, merayakan
kemenangan, berbagi saat-saat menyenangkan di Perkemahan Blasteran. Percy sudah ingat rumahnya. Oleh sebab itu, dia semakin bertekad untuk meraih kesuksesan dalam misi tersebut. Dia kini berjuang untuk dua perkemahan dua keluarga.
Juno merampas ingatannya dan mengirimnya ke Perkemahan Jupiter karena suatu alasan. Sekarang Percy memahami alasan Juno. Dia tetap saja ingin meninju muka sang Dewi, tapi paling tidak Percy mengerti maksudnya. Jika kedua perkemahan bisa bekerja sama, mereka punya peluang untuk menghentikan musuh bersama. Jika sendiri-sendiri, kedua perkemahan bakal celaka.
Ada alasan lain yang menyebabkan Percy ingin menyelamatkan Perkemahan Jupiter. Alasan yang tidak berani dia rumuskan dengan kata-kata belum, paling tidak. Mendadak Percy melihat masa depan untuk dirinya dan Annabeth, masa depan yang tak pernah dia bayang-bayangkan sebelumnya.
Sementara mereka naik taksi ke pusat kota Anchorage, Percy menceritakan mimpinya kepada Frank dan Hazel. Mereka kelihatan resah, tapi tidak terkejut ketika Percy memberi tahu mereka bahwa pasukan Raksasa sudah mengepung perkemahan.
Frank tersedak waktu dia mendengar tentang Tyson. "Kau punya adik tiri Cyclops""
"Iya," kata Percy, "artinya, dia itu paman buy t-kali-se " 1;:\
"Tolong." Frank menutupi telinganya. "Cukup." "Asalkan dia bisa mengantar Ella ke perkemahan,' kata Hazel, "aku mengkhawatirkan dia."
Percy mengangguk. Dia masih memikirkan larik-larik ramalan yang dirapalkan si harpy tentang putra Neptunus yang tenggelam, dan tanda Athena yang membakar Roma.
Percy tidak yakin apa maksud ramalan yang pertama, tapi di benaknya mulai terbetik gagasan tentang arti ramalam kedua. Dia
berusaha mengesampingkan persoalan itu. Dia harus selamat dari misi yang ini terlebih dahulu.
T i berbelok di Highway One, yang menurut Percy lebih menyerup i jalan kecil biasa alih-alih jalan protokol, kemudian membawa reka ke utara, menuju pusat kota. Saat itu sebenarnya sudah sore, tapi matahari masih tinggi di langit.
"Aku tak percaya betapa tempat ini telah berkembang," gumam Hazel.
Sang sopir taksi nyengir lewat kaca spion. "Sudah lama tidak ke sini, Nona""
"Kira-kira sudah tujuh puluh tahun," kata Hazel. Sang sopir menutup partisi kaca dan menyetir sambil membisu. Menurut Hazel, hampir tidak ada bangunan yang sama seperti dulu, tapi dia menunjukkan ciri-ciri khas di bentang alam: hutan luas yang mengelilingi kota, perairan kelabu dingin Laguna Cook yang membatasi tepi utara kota, dan Pegunungan Chugach yang menjulang biru keabu-abuan di kejauhan, puncaknya berselimut salju kendati sudah bulan Juni. Percy tak pernah mencium udara sebersih ini sebelumnya. Kota itu sendiri tampak lawas, berkat toko tutup, mobil karatan, dan kompleks apartemen usang yang mengapit jalan, tapi tetap indah. Danau dan hutan luas terbentang di tengah-tengah kota. Langit arktika biru pirus yang diterangi mentari keemasan amat menakjubkan.
Ada juga para Raksasa. Lusinan lelaki berkulit biru cerah, masing-masing setinggi sembilan meter dengan rambut kelabu berkerak bunga es, tengah mengarungi hutan, mengail di teluk, dan melenggang di pegunungan. Manusia biasa sepertinya tidak menyadari keberadaan mereka. Taksi melintas beberapa meter saja dari seorang Raksasa yang sedang duduk di tepi danau sambil mencuci kakinya, tapi sang sopir tidak panik.
"Eh ...." Frank menunjuk makhluk biru itu.
"Hyperborean," kata Percy. Dia heran dirinya ingat nama itu. "Raksasa utara. Aku pernah bertarung melawan sejumlah Raksasa itu waktu Kronos menginvasi Manhattan."
"Tunggu," kata Frank, "
kapan siapa melakukan apa"" "Ceritanya panjang. Tapi mereka ini kelihatan ... entahlah, cinta damai."
"Biasanya memang begitu." Hazel mengiakan. "Aku ingat mereka. Mereka ada di mana-mana di Alaska, seperti beruang."
"Beruang"" ujar Frank gugup. "Raksasa itu tak kasatmata bagi manusia biasa," kata Hazel, "mereka tidak pernah menggangguku, meskipun suatu kali, tak sengaja aku hampir saja diinjak."
Menurut Percy hal itu kedengarannya cukup menganggu, tapi taksi terus melaju. Tak satu Raksasa pun yang mengindahkan mereka. Salah satu berdiri di persimpangan Northern Lights Road, mengangkangi jalan, dan mereka pun meluncur lewat kedua
kakinya. Hyperborean itu menggendong tiang totem dian Amerika yang dibungkus bulu binatang, bersenandung ke da tiang itu seperti sedang meninabobokan bayi. Kalau makhluk to " tidak sebesar bangunan, dia pasti imut.
Taksi menyusuri pusat kota, melewati toko-toko cenderamata yang mengiklankan bulu binatang, karya seni Indian Amerika, dan emas. Percy berharap Hazel takkan menjadi gelisah dan membuat toko perhiasan meledak.
Saat sang sopir berbelok dan menuju tepi pantai, Hazel mengetuk partisi kaca. "Di sini saja. Bisa turunkan kami""
Mereka membayar sang sopir dan menjejakkan kaki ke Fourth Street. Dibandingkan dengan Vancouver, pusat kota Anchorage sangat mungil lebih menyerupai kampus perguruan tinggi daripada sebuah kota, tapi Hazel tampak terkagum-kagum.
"Besar sekali," kata Hazel, "di situ dulu Hotel Gitchell berdiri di situ. Ibuku dan aku menginap di sana pada minggu pertama kami di Alaska. Dan Balai Kota sudah dipindahkan. Dulu lokasinya di sana."
Hazel menuntun mereka sambil terbengong-bengong sejauh beberapa blok. Mereka sebenarnya tidak punya rencana selain menemukan cara tercepat untuk mencapai Gletser Hubbard, tapi Percy mencium aroma masakan dari dekat sana sosis, barangkali" Percy sadar dirinya belum makan sejak tadi pagi di rumah nenek Zhang.
"Makanan," kata Percy, "Ayo!" Mereka menemukan kafe di pinggir pantai. Kafe itu penuh sesak, tapi mereka berhasil mendapatkan meja dekat jendela dan menelaah menu makanan.
Frank bersorak kesenangan. "Sarapan dua puluh empat jam!" "Ini kan waktunya makan malam," kata Percy, meskipun hal itu tidak kentara jika melihat ke luar. Matahari tinggi sekali di langit sehingga bisa saja masih tengah hari.
"Aku suka sekali sarapan," kata Frank, "aku mau makan sarapan tiga kali sehari kalau bisa. Meskipun, eh, aku yakin makanan di sini tidak seenak buatan Hazel."
Hazel menyikut Frank, tapi senyumnya riang. Melihat mereka seperti itu membuat Percy gembira. Mereka berdua betul-betul harus jadian. Namun, dia juga sedih karenanya. Percy memikirkan Annabeth, dan bertanya-tanya apakah dia akan hidup lebih lama lagi sehingga bisa bertemu kembali dengan Annabeth.
Berpikirlah positif; perintah Percy kepada diri sendiri. "Kalian tahu," kata Percy, "sarapan boleh juga."
Mereka semua memesan porsi besar telur, panekuk, dan sosis rusa, meskipun Frank kelihatan agak khawatir mengenai rusa itu. "Menurut kalian tidak apa-apa kita makan Rudolph""
"Bung," kata Percy, "aku sanggup memakan seluruh rusa kutub penarik kereta Sinterklas saking laparnya."
Makanan tersebut sangat lezat. Percy tak pernah melihat orang yang makannya secepat Frank. Si rusa berhidung merah digasak habis dalam sekejap.
Sambil mengunyah panekuk blueberry, Hazel menggambar kurva pencong dan X di serbetnya. "Begini pikirku. Kita di sini." Dia mengetuk-ngetuk lambang X. 'Anchorage."
"Bentuknya seperti wajah camar," kata Percy, "dan kita matanya."
Hazel memelototinya. "Ini peta, Percy. Anchorage terletak di atas perairan ini, Laguna Cook. Ada semenanjung besar di bawah kita, dan kota tempat tinggalku dulu, Seward, ad di dasar semenanjung tersebut, di sini." Hazel membubuhkan X lagi di pangkal leher camar. "Itu kota yang paling dekat dengan Gletser Hubbard. Kita bisa mencapai kota itu dengan cara memutar, lewat laut, tapi pasti lama sekali. Kita tidak punya waktu sebanyak itu."
Frank melahap Rudolph hingga tak bersisa lagi. "Tapi perjalanan darat berbahaya," katanya,
"tanah berarti Gaea."
Hazel mengangguk. "Kita memang tak punya banyak pilihan. Kita bisa saja meminta pilot kita untuk menerbangkan kita ke sana, tapi entahlah ... pesawatnya mungkin saja terlalu besar untuk didaratkan di bandara Seward yang kecil. Dan jika kita mencarter pesawat lain "
"Jangan naik pesawat lagi," kata Percy, "kumohon." Hazel mengangkat tangan untuk menenangkan Percy "Tenang saja. Ada kereta api yang pulang-pergi dari sini ke Seward. Kita
mungkin bisa mengejar kereta malam ini. Perjalanannya hanya memakan waktu beberapa jam."
Hazel menarik garis patah-patah antara kedua X. "Kau baru saja memotong kepala camar," komentar Percy. Hazel mendesah. "Ini rel kereta api. Lihat, dari Seward, Gletser Hubbard ada di bawahnya." Dia mengetuk-ngetuk pojok kanan bawah serbet. "Di situlah Alcyoneus berada."
"Tapi, kau tidak yakin seberapa jauh"" tanya Frank. Hazel mengerutkan kening dan menggelengkan kepala. "Aku lumayan yakin bahwa gletser itu hanya dapat dicapai menggunakan perahu atau pesawat."
"Perahu," kata Percy seketika. "Ya sudah," ujar Hazel, "semestinya tidak terlalu jauh dari Seward. Andaikan kita bisa tiba di Seward dengan selamat."
Percy menengok ke jendela. Banyak sekali yang harus dikerjakan, dan hanya dua puluh empat jam yang tersisa. Jam segini besok, Festival Fortuna sudah dimulai. Kecuali mereka berhasil membebaskan Maut dan kembali ke perkemahan, pasukan Raksasa bakal membanjiri lembah. Bangsa Romawi akan menjadi sajian utama untuk makan malam para Raksasa.
Di seberang jalan, pasir pantai hitam beku menjulur ke laut yang semulus baja. Laut di sini terkesan lain tak kalah perkasa, tapi membekukan, gontai, dan liar. Perairan itu tidak dikontrol oleh Dewa, setidaknya bukan oleh Dewa yang Percy kenal. Neptunus takkan bisa melindunginya. Percy bertanya-tanya apakah dia bahkan bisa memanipulasi air di sini, atau bernapas di bawah air.
Seorang Raksasa Hyberborean terhuyung-huyung menyeberangi jalan. Tak seorang pun di kafe memperhatikan. Sang Raksasa melangkah ke teluk, meretakkan es di bawah sandalnya, dan mencelupkan tangan ke dalam air. Dia mengeluarkan seekor
paus pembunuh dengan satu tangan. Rupanya bukan itu yang dia inginkan, sebab dia melemparkan si paus kembali ke dalam air dan melanjutkan mengaduk-aduk.
"Sarapan yang enak," kata Frank, "siapa yang siap naik kereta""
Stasiun tidak jauh. Mereka datang tepat waktu untuk membeli tiket kereta terakhir ke selatan. Sementara teman-temannya naik ke kereta, Percy berkata, "Aku segera kembali." Dan lari lagi ke dalam bangunan stasiun.
Dia menukar uang receh di toko oleh-oleh dan berdiri di depan telepon umum.
Percy tidak pernah menggunakan telepon umum sebelumnya. Telepon merupakan barang antik aneh bagi Percy, seperti gramofon
y ibunya atau kaset Frank Sinatra yang dikoleksi gurunya Chiron.
Percy tidak yakin berapa banyak koin yang dibutuhkan ataukah dia bahkan bisa tersambung, andaikan dia masih bisa engingat nomor telepon tersebut dengan benar.
Sally Jackson, pikir Percy. Itu nama ibunya. Dan dia punya ayah tiri ... Paul. Kira-kira mereka menduga Percy ada di mana" Mungkin mereka sudah mengadakan upacara pemakaman. Menurut perkiraan Percy, dia sudah kehilangan tujuh bulan hidupnya. Memang, sebagian besar berlangsung pada tahun ajaran sekolah, tapi tetap saja ... tidak bagus.
Percy mengangkat gagang dan menekan nomor telepon New York apartemen ibunya.
Pesan suara. Seharusnya sudah Percy perkirakan. Saat itu kurang-lebih sudah tengah malam di New York. Mereka takkan mengenali nomor ini. Mendengar rekaman suara Paul, Percy jadi merasa ngilu sampai-sampai dia tidak sanggup bicara ketika nada mulai merekam berbunyi.
"Bu," katanya, "aku masih hidup. Hera menidurkanku beberapa bulan, kemudian dia mengambil ingatanku dan ...." Percy terbata. Bagaimana mungkin dia menjelaskan semua "Pokoknya, aku baik-baik saja. Maafkan aku. Aku sedang menjalani misi" Percy berjengit. Dia semestinya tidak mengatakan itu. Ibunya tahu tentang misi Demigod, dan sekarang dia pasti bakal
cemas. "Aku pasti pulang. Aku janji. Aku sayang ibu."
Percy meletakkan gagang. Dia menatap telepon itu, berharap akan terdengar dering balasan. Peluit kereta berbunyi. Kondektur berteriak, "Kereta akan segera diberangkatkan."
Percy lari. Dia masuk tepat sebelum undakan ditarik, kemudian naik ke gerbong tingkat atas dan meluncur ke tempat duduknya.
Hazel mengerutkan kening. "Kau baik-baik saja"" "Iya," kata Percy parau, "baru menelepon." Hazel dan Frank tampaknya mengerti. Mereka tidak minta keterangan lebih lanjut.
Tak lama kemudian, kereta menyusuri pesisir, menuju selatan. Mereka menyaksikan bentang alam melintas lewat. Percy berusaha memikirkan misi mereka, tapi untuk penderita GPPH seperti berkonsentrasi dalam kereta api tidaklah mudah.
Hal-hal keren berlangsung tiada habis-habisnya di War. Hang botak membubung di atas. Kereta melaju di jembatan dan melewati tebing tempat air terjun glacial menukik ribuan kaki ke bawah. Mereka melewati hutan yang terkubur hujan salju, senjata artileri besar (untuk memicu ledakan kecil dan mencegah runtuhnya salju yang tak terkendali, Hazel menjelaskan), dan danau-danau yang begitu bening sehingga memantulkan pegunungan seperti cermin, sampai-sampai dunia tampak jungkir balik.
Beruang cokelat terhuyung-huyung di padang. Raksasa Hyperborean bermunculan di tempat-tempat ganjil. Salah satu berleha-leha di danau seperti sedang berendam d bak mandi air
panas. Satu lagi menggunakan pohon pinus sebagai tusuk gigi. Yang ketiga duduk di gundukan salju sambil memainkan dua rusa kutub hidup seperti robot-robotan. Kereta tersebut berisi wisatawan yang terkesiap kagum tak henti-henti dan sibuk menjepret foto, tapi Percy merasa kasihan karena mereka tidak bisa melihat Raksasa Hyperborean. Mereka justru melewatkan objek foto yang benar-benar bagus.
Sementara itu, Frank menelaah peta Alaska yang dia temukan di saku kursi. Dia menemukan lokasi Gletser Hubbard, yang kelihatannya jauh sekali dari Seward. Dia terus menelusurkan jari di sepanjang garis pantai sambil mengerutkan kening penuh konsentrasi.
"Apa yang kau pikirkan"" tanya Percy. "Cuma kemungkinan," kata Frank. Percy tidak mengerti apa maksudnya, tapi dia tidak mengulikulik.
Setelah sekitar sejam, Percy mulai merasa santai. Mereka membeli minuman cokelat panas dari kereta makanan. Kursi terasa hangat dan nyaman, dan Percy mempertimbangkan untuk tidur sebentar.
Kemudian sebuah bayangan melintas di atas. Para wisatawan bergumam antusias dan mulai menjepret foto.
"Elang!" teriak salah satu. "Elang"" kata yang lain. "Elang besar!" ujar yang ketiga. "Itu bukan elang," timpal Frank. Percy mendongak tepat waktu sehingga sempat melihat makhluk itu melintas untuk kedua kalinya. Makhluk tersebut jelas lebih besar daripada elang. Tubuhnya hitam mulus, seukuran anjing Labrador. Rentang sayapnya yang dibentangkan paling tidak tiga meter.
"Itu satu lagi!" tunjuk Frank. "Ralat. Tiga, empat. Oke, celakalah kita."
Makhluk-makhluk tersebut mengitari kereta seperti burung pemakan bangkai, membuat para turis kegirangan. Percy tidak girang. Monster-monster itu memiliki mata merah menyala-nyala, paruh tajam, dan ceker menyeramkan.
Percy merogoh pulpen di sakunya. "Makhluk-makhluk itu kelihatannya tidak asing ...."
"Seattle," ujar Hazel, "ada seekor makhluk semacam itu di kurungan Amazon. Namanya "
Kemudian beberapa hal terjadi secara serempak. Rem darurat mendecit, menjungkalkan mereka ke depan. Para wisatawan menj erit dan terjatuh ke lorong. Para monster menukik, memecahkan atap kaca gerbong, dan seluruh kereta terjungkal ke luar rel.[]
BAB TIGA PULUH SEMBILAN PERCY PERCY MELAYANG, BADANNYA SERASA KEHILANGAN bobot.
Penglihatannya mengabur. Ceker mencengkeram lengannya dan mengangkatnya ke udara. Di bawah, roda kereta berderit dan logam berdentang. Kaca pecah berkeping-keping. Para penumpang menjerit.
Ketika penglihatannya jernih kembali, Percy melihat makhluk yang menjinjingnya. Tubuh makhluk itu seperti macan kumbang mulus, hitam, dan ramping berotot sedangkan sayap dan kepalanya seperti elang. Matanya berkilat-kilat merah darah.
Percy menggeliut. Ceker depan monster itu menc
engkeram lengannya sekencang cincin baja. Dia tidak bisa membebaskan diri ataupun menggapai pedangnya. Dia naik makin tinggi dan makin tinggi di tengah terpaan angin dingin. Percy tidak punya gambaran ke mana monster itu hendak membawanya, tapi dia cukup yakin dia takkan menyukai tempat tersebut.
Percy berteriak terutama karena frustrasi. Kemudian sesuatu mendesing di dekat telinganya. Sebuah anak panah menyembul dari leher si monster. Makhluk itu memekik dan melepaskan Percy.
Percy jatuh, meluncur di antara dahan-dahan pohon sampai menabrak gundukan salju. Percy mengerang sambil mendongak, melihat sebatang pinus mahabesar yang baru saja dia cabik-cabik.
Dia mampu berdiri. Sepertinya tidak ada yang patah. Frank berdiri di kirinya, memanah makhluk-makhluk tersebut secepat yang dia bisa. Hazel ada di belakangnya, mengayunkan pedang ke monster mana saja yang mendekat, tapi yang mengerumuni mereka terlalu banyak setidaknya selusin.
Percy menghunus Riptide. Dia menyabet sayap salah satu monster dan menghantamnya hingga berpuntir ke sebatang pohon, lalu menebas seekor makhluk lainnya yang langsung meledak menjadi debu. Namun, monster-monster yang kalah seketika mulai mewujud kembali.
"Mereka ini apa"" teriak Percy. "Gryphon!" kata Hazel, "kita harus menjauhkan mereka dari kereta!"
Percy paham maksudnya. Gerbong-gerbong kereta telah terjungkal, sedangkan atapnya remuk. Para turis tertatih-tatih ke sana-sini dalam keadaan terguncang. Percy tidak melihat ada yang terluka parah, tapi para Gryphon menukik ke arah apa saja yang bergerak. Satu-satunya yang menjauhkan mereka dari para manusia biasa adalah pendekar kelabu berpendar yang mengenakan baju kamuflase spartus piaraan Frank.
Percy melirik ke samping dan melihat bahwa tombak Frank sudah lenyap. "Jatahmu sudah habis""
"Iya." Frank menembak seekor Gryphon lagi hingga jatuh dari langit. "Aku harus membantu para manusia biasa. Tombakku langsung terbuyarkan begitu saja."
Percy mengangguk. Sebagian dari dirinya merasa lega. Dia tidak menyukai si pendekar tengkorak. Sebagian dari dirinya kecewa, sebab berkuranglah satu senjata yang tersedia bagi mereka.
Namun, dia tidak menyalahkan Frank. Frank telah melakukan tindakan yang benar.
"Ayo, kita geser pertarungan ini!" kata Percy, "menjauhi rel!' Mereka tersaruk-saruk di salju, menghajar dan menyabet para Gryphon yang mewujud kembali dari debu tiap kali mereka dibunuh.
Percy tidak berpengalaman menghadapi Gryphon. Dia selalu membayangkan bahwa Gryphon adalah hewan besar agung, seperti singa bersayap, tapi mereka ini mengingatkannya pada sekawanan binatang pemburu yang bengis hyena terbang.
Kira-kira lima puluh meter dari rel, pepohonan menipis, digantikan oleh rawa-rawa terbuka. Tanah terasa gembur berongga sekaligus licin seperti es sehingga Percy merasa bagaikan sedang lari di atas bungkus plastik bergelembung. Frank hampir kehabisan panah. Hazel tersengal-sengal. Tebasan pedang Percy sendiri semakin lambat. Percy menyadari mereka masih hidup karena
para Gryphon tidak berusaha membunuh mereka. Para Gryphon
ingin menggendong mereka dan membawa mereka ke tempat lain.
Mungkin ke sarang mereka, pikir Percy. Kemudian dia tersandung sesuatu di rerumputan tinggi lingkaran logam bekas seukuran roda traktor. Benda itu adalah sarang burung raksasa sarang Gryphon-yang dasarnya dipenuhi perhiasan tua, sebilah belati emas imperial, pin Centurion penyok, dan dua telur seukuran labu kuning yang mirip sekali seperti emas asli.
Percy melompat ke dalam sarang. Dia menekan ujung pedangnya ke salah satu telur. "Mundur, atau kupecahkan ini!"
Para Gryphon menguak marah. Mereka berputar-putar di sekitar sarang dan membuka-tutup paruh, tapi mereka tidak menyerang. Hazel dan Frank berdiri sambil merapatkan punggung ke Percy, senjata mereka siap sedia.
"Gryphon mengumpulkan emas," kata Hazel, "mereka tergilagila pada emas. Lihat di sana ada sarang lagi."
Frank memasangkan panahnya yang terakhir ke busur. "Jadi, kalau ini sarang mereka, ke mana mereka hendak membawa Percy" Makhluk yang membawa Percy tadi terbang menjauh
." Lengan Percy masih berdenyut-denyut nyeri di tempat Gryphon mencengkeramnya. "Alcyoneus," tebaknya, "mungkin mereka bekerja untuknya. Memangnya mereka ini cukup pintar sehingga bisa menerima perintah""
"Aku tidak tahu," kata Hazel, "aku tidak pernah bertarung melawan mereka ketika aku tinggal di sini. Aku cuma pernah membaca tentang mereka di perkemahan."
"Kelemahannya"" tanya Frank. "Tolong katakan padaku mereka punya kelemahan."
Hazel meringis. "Kuda. Mereka benci kuda musuh alami atau apalah. Andai saja Arion ada di sini!"
Para Gryphon memekik. Mereka berputar-putar mengelilingi sarang dengan mata merah menyala-nyala.
"Teman-Teman," kata Frank gugup, "aku melihat peninggalan legiun dalam sarang."
"Aku tahu," ujar Percy. "Berarti para Demigod itu meninggal di sini, atau " "Frank, tidak apa-apa kok," kata Percy. Salah satu Gryphon terjun ke bawah. Percy mengangkat pedangnya, siap menusuk telur. Monster itu menukik ke samping, tapi para Gryphon lainnya makin kehilangan kesabaran. Percy tidak bisa mempertahankan situasi ini lebih lama lagi.
Dia menengok ke sekeliling padang, setengah mati berusaha merumuskan sebuah rencana. Kira-kira setengah kilometer dari sana, seorang Raksasa Hyperborean sedang duduk di rawa,
dengan tenteram mencungkil lumpur dari antara jari-jari kakinya menggunakan batang pohon patah.
"Aku punya ide," kata Percy, "Hazel semua emas di sarangsarang ini. Menurutmu kau bisa memanfaatkannya untuk mengalihkan perhatian mereka""
"Aku kurasa bisa." "Ulur-ulurlah waktu. Yang penting mencukupi supaya kita bisa kabur. Saat kubilang ayo, larilah ke Raksasa itu."
Frank memandangnya sambil melongo. "Kau ingin kita lari menghampiri Raksasa itu""
"Percayalah padaku," ujar Percy, "siap" Ayo Hazel menghadapkan tangannya ke atas. Dari selusin sarang di padang tersebut, benda-benda emas melesat ke udara perhiasan. senjata, koin, biji emas, dan yang terpenting, telur Gryphon. Monster-monster itu memekik dan terbang mengejar telur mereka. kalut karena ingin menyelamatkan telur-telur tersebut.
Percy dan teman-temannya lari. Kaki mereka memercikkan es dan berkerumuk di rawa-rawa beku. Percy melaju secepatcepatnya, tapi dia bisa mendengar para Gryphon menyusul, dan kali ini monster-monster tersebut benar-benar marah.
Si Raksasa belum menyadari kericuhan tersebut. Dia sedang memeriksa jari kakinya kalau-kalau masih ada lumpur, wajahnya mengantuk dan damai, kumis putihnya yang dilapisi kristal es berkilauan. Di lehernya ada kalung dari barang-barang temuan tong sampah, pintu mobil, tanduk rusa kutub, perlengkapan berkemah, bahkan toilet. Rupanya dia senang bersih-bersih alam liar.
Percy enggan mengganggunya, terutama jika harus bernaung di bawah paha si Raksasa, tapi mereka tidak punya banyak pilihan.
"Ke bawah!" kata Percy kepada teman-temannya, "merangkaklah ke bawah!"
Mereka buru-buru menyusup ke balik tungkai biru mahabesar tersebut dan tiarap di lumpur, merangkak sedekat mungkin ke cawatnya. Percy mencoba bernapas lewat mulut, tapi tempat tersebut bukanlah lokasi persembunyian yang paling nyaman.
"Apa rencananya"" desis Frank. "Digepengkan pantat biru"" "Tiarap serendah mungkin," kata Percy, "hanya bergerak kalau perlu saja."
Para Gryphon akhirnya tiba. Sambil membuka-tutup paruh, memamerkan ceker, dan mengepakkan sayap dengan marah, mereka mengerumuni si Raksasa, berusaha menukik ke bawah kakinya.
Raksasa itu menggerung kaget. Dia bergeser. Percy harus berguling supaya tidak diremukkan oleh bokong besarnya yang berbulu. Si Hyperborean menggeram, semakin jengkel. Dia menepuk para Gryphon, tapi mereka menguak gusar dan mulai mematuki tungkai dan tangannya.
"Hoo"" raung si Raksasa. "Hoo"" Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan gelombang udara dingin. Di bawah perlindungan tungkai Raksasa sekalipun, Percy bisa merasakan turunnya suhu udara. Pekikan para Gryphon terhenti mendadak, digantikan oleh bunyi bruk, bruk, bruk benda berat yang jatuh di lumpur.
"Ayo," kata Percy kepada teman-temannya, "hati-hati." Mereka menggeliut keluar dari bawah Raksasa. Di sepenjuru padan
The Heroes Of Olympus 2 Son Of Neptune di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
g, pepohonan kini dilapisi bunga es. Sepetak besar rawa diselimuti salju yang masih baru. Gryphon-Gryphon beku menyembul dari tanah seperti es batangan yang berbulu, sayap mereka masih terkembang, paruh terbuka, mata membelalak kaget.
Percy dan teman-temannya buru-buru menyingkir, berusaha agar tidak kelihatan oleh si Raksasa, tapi makhluk besar itu kelewat sibuk sehingga tidak memperhatikan mereka. Dia sedang berusaha
memikirkan bagaimana caranya menguntai Gryphon beku ke kalungnya.
"Percy ...." Hazel menyeka es dan lumpur dari wajahnya. "Bagaimana kau tahu si Raksasa bisa melakukan itu""
"Aku pernah hampir kena embusan napas Hyperborean," kata Percy, "kita sebaiknya bergegas. Para Gryphon takkan membeku selamanya."[]
BAB EMPAT PULUH SATU HAZEL "BUSURMU!" TERIAK HAZEL.
Frank tidak bertanya. Dia menjatuhkan tas dan melepaskan busur dari pundaknya.
Jantung Hazel berdebar-debar kencang. Dia tidak pernah memikirkan tanah rawa ini muskeg sejak sebelum dia meninggal. Kini, saat sudah terlambat, dia teringat peringatan keras yang diberikan warga lokal kepadanya. Endapan lumpur rawa dan tumbuhan busuk membuat permukaan tanah tampak padat, tapi muskeg lebih parah daripada pasir isap sekalipun. Dalamnya bisa saja mencapai enam meter atau lebih. Selain itu, jika terbenam di sana, mustahil meloloskan diri.
Hazel berusaha tak memikirkan apa yang akan terjadi seandainya tanah itu lebih dalam daripada panjang busur.
"Pegang satu ujungnya," kata Hazel kepada Frank. "Jangan dilepas."
Hazel memegangi ujung satunya lagi, menarik napas dalamdalam, dan melompat masuk ke rawa. Bumi kontan tertutup di atas kepalanya.
Seketika, Hazel membeku dalam memori. Jangan sekarang! Hazel ingin berteriak. Ella bilang aku takkan pingsan lagi!
Oh, Sayang, kata suara Gaea, kau bukan sedang pingsan. Ini hadiah dariku.
Hazel kembali ke New Orleans. Dia dan ibunya duduk di taman dekat aparteman mereka, sedang sarapan sambil piknik. Hazel ingat hari ini. Dia berumur tujuh tahun. Ibunya baru saja menjual batu berharga Hazel yang pertama: sebutir berlian kecil. Mereka belum menyadari kutukan Hazel.
Ratu Marie sedang senang. Dia membeli jus jeruk untuk Hazel dan sampanye untuk dirinya sendiri, serta beignet yang ditaburi cokelat dan gula bubuk. Dia bahkan membelikan Hazel sekotak krayon baru dan segepok kertas. Mereka duduk bersama, Ratu Marie bersenandung riang, sedangkan Hazel menggambar.
French Quarter terbangun di sekeliling mereka, siap untuk Mardi Gras. Band jazz berlatih. Kendaraan karnaval dihiasi bungabunga segar. Anak-anak tertawa dan berkejaran, mengenakan banyak sekali kalung warna-warni sehingga mereka kesusahan berjalan. Matahari terbit mengubah langit menjadi merah keemasan, sedangkan udara panas lembap beraroma magnolia dan mawar.
Itulah saat paling membahagiakan dalam hidup Hazel. "Kau bisa tinggal di sini." Ibunya tersenyum, tapi matanya putih hampa. Suaranya adalah suara Gaea.
"Ini palsu," ujar Hazel. Dia berusaha bangkit, tapi hamparan rumput empuk membuatnya malas dan mengantuk. Bau roti panggang dan cokelat leleh sungguh menggiurkan. Saat itu adalah pagi Mardi Gras, dan dunia seolah penuh dengan kemungkinan. Hazel hampir percaya bahwa dia punya masa depan cerah.
"Kenyataan itu apa"" tanya Gaea, bicara lewat wajah ibunya. "Apakah hidupmu yang kedua memang kenyataan, Hazel" Kenyataankah bahwa kau tenggelam dalam rawa, sesak napas""
"Biarkan aku menolong temanku!" Hazel berusaha memaksa dirinya kembali ke kenyataan. Dia bisa membayangkan tangannya mencengkeram ujung busur, tapi busur itu sekalipun mulai terasa samar-samar. Cengkeramannya melonggar. Wangi magnolia dan mawar teramat menusuk.
Ibunya menawarkan beignet. Bukan, pikir Hazel. Ini bukan ibuku. Ini Gaea yang sedang mengelabuiku.
"Kau ingin hidupmu yang lama kembali," kata Gaea, "aku bisa memberikannya kepadamu. Momen ini bisa berlangsung bertahun-tahun. Kau bisa tumbuh besar di New Orleans, dan ibumu akan menyayangimu. Kau takkan perlu menanggung beban kutukanmu. Kau bisa bersama Sammy "
"Ini ilusi!" kata Hazel, tersedak aroma manis bunga-bu
nga. "Kau adalah ilusi, Hazel Levesque. Kau dihidupkan kembali semata-mata karena dewa-dewi punya tugas untukmu. Aku mungkin telah memperalatmu, tapi Nico memperalatmu dan berbohong soal itu. Kau seharusnya senang aku menawannya."
"Ditawan"" Perasaan panik menyesakkan dada Hazel. "Apa maksudmu""
Gaea tersenyum sambil menyesap sampanyenya. "Seharusnya bocah itu tahu bahwa sebaiknya dia tak mencari Pintu Ajal. Tapi tak masalah itu bukan urusanmu. Begitu kalian membebaskan Thanatos, kau akan dijebloskan kembali ke Dunia Bawah sehingga membusuk selamanya. Frank dan Percy takkan mencegahnya terjadi. Akankah teman sejati memintamu mengorbankan nyawa" Katakan kepadaku siapa yang berbohong, dan siapa yang mengatakan kebenaran."
Hazel mulai menangis. Perasaan getir menyesakkan hatinya. Dia tidak mau mati lagi.
"Benar," kata Gaea mendayu, "kau ditakdirkan menikah dengan Sammy. Apa kau tahu apa yang terjadi padanya setelah kau meninggal di Alaska" Dia tumbuh besar dan pindah ke Texas. Dia menikah dan memiliki anak. Tapi dia tak pernah melupakanmu. Dia selalu bertanya-tanya apa sebabnya kau menghilang. Dia sudah meninggal sekarang serangan jantung di tahun enam puluhan. Kehidupan yang bisa saja kalian miliki bersama senantiasa menghantuinya."
"Hentikan!" jerit Hazel. "Kau yang merenggut kehidupan itu dariku!"
"Dan kau bisa mendapatkannya kembali," ujar Gaea, "kau berada dalam dekapanku, Hazel. Pada akhirnya toh kau pasti mati. Jika kau menyerah, paling tidak aku bisa membuat kematian terasa nyaman bagimu. Lupakan saja soal menyelamatkan Percy Jackson. Dia milikku. Akan kusimpan dia dengan aman di bumi sampai aku siap menggunakannya. Kau bisa menjalani satu masa kehidupan pada momen-momen terakhirmu kau bisa tumbuh besar, menikahi Sammy. Kau hanya perlu menyerah."
Hazel mempererat pegangannya pada busur. Di bawahnya, sesuatu mecengkeram pergelangan kaki Hazel, tapi dia tidak panik. Hazel tahu itu Percy, sesak napas, setengah mati menyambar apa saja supaya bisa bertahan hidup.
Hazel memelototi sang Dewi. "Aku takkan pernah bekerja sama denganmu! BIARKAN KAmI PERGI!"
Wajah ibunya terbuyarkan. Suasana pagi New Orleans melebur ke dalam kegelapan. Hazel tenggelam dalam lumpur, satu tangan memegang busur, tangan Percy mencengkeram pergelangan kakinya, jauh di kegelapan nan dalam. Hazel menggoyangkan
ujung busur kencang-kencang. Frank menariknya ke atas kuatkuat sampai lengan Hazel serasa hampir copot dari persendian.
Ketika Hazel membuka mata, dia sedang terbaring di tanah, berlumur tanah basah. Percy tergolek di kakinya, batuk-batuk dan meludahkan lumpur.
Frank mondar-mandir di dekat mereka sambil berteriak, "Demi dewa-dewi! Demi dewa-dewi! Demi dewa-dewi!"
Dia mengeluarkan pakaian ekstra dari tasnya dan mulai menghanduki wajah Hazel, tapi tidak ada gunanya. Dia menyeret Percy semakin jauh dari muskeg.
"Kalian di bawah sana lama sekali!" seru Frank. "Kukira tidak mungkin kalian demi dewa-dewi, jangan pernah lagi melakukan sesuatu seperti itu!"
Dipeluknya Hazel erat-erat. "Tidak bisa napas," kata Hazel tercekik. "Maafl" Frank lagi-lagi sibuk menghanduki dan menggerecoki mereka. Akhirnya dia memapah mereka sampai pinggir jalan. Di sana, mereka duduk sambil menggigil dan meludahkan gumpalan lumpur.
Hazel tidak bisa merasakan tangannya. Dia tidak yakin apakah dia sedang kedinginan atau merasa terguncang, tapi dia masih mampu menjelaskan tentang muskeg, dan penglihatan yang didapatnya selagi berada di bawah. Dia tidak menyinggungnyinggung tentang Sammy itu masih terlalu menyakitkan untuk diucapkan keras-keras tapi dia memberi tahu mereka mengenai kehidupan palsu yang ditawarkan Gaea, dan klaim sang Dewi bahwa dia telah menawan Nico. Hazel tidak mau menyimpan semua itu sendiri. Dia takut kewalahan saking putus asanya.
Percy menggosok-gosok bahunya. Bibirnya biru. "Kau kau menyelamatkanku, Hazel. Akan kita cari tahu apa yang terjadi pada Nico, aku janji."
Hazel memandang mentari sambil memicingkan mata. Matahari kini sudah tinggi di langit.
Hangatnya sinar mentari terasa nyaman, tapi Hazel tetap saja gemeta
ran. "Apa kesannya Gaea terlalu mudah melepaskan kita""
Percy mencabut segumpal rumput dari rambutnya. "Mungkin dia masih ingin memanfaatkan kita sebagai pion. Mungkin dia mengatakan hal-hal tadi semata-mata untuk mengacaukan pikiranmu."
"Dia tahu harus berkata apa." Hazel sepakat. "Dia tahu titik lemahku."
Frank menyelimutkan jaketnya ke pundak Hazel. "Inilah kehidupan yang nyata. Kau tahu, kan" Kami takkan membiarkanmu mati lagi."
Frank kedengaran amat bertekad. Hazel tidak mau membantah, tapi tak terbayangkan oleh Hazel bagaimana caranya Frank sanggup menghentikan Maut. Hazel merapatkan tangan ke saku jaket, tempat kayu bakar setengah hangus milik Frank masih terbungkus rapat. Hazel bertanya-tanya apa kiranya yang bakal menimpa Frank andaikan dia tenggelam dalam lumpur selamanya. Mungkin peristiwa itu justru akan menyelamatkan Frank. Api tidak mungkin mencapai kayu tersebut di bawah sana.
Dia bersedia berkorban apa saja supaya Frank bisa tetap hidup. Barangkali dulu perasaan Hazel tidak sekuat itu, tapi Frank telah memercayakan nyawanya kepada Hazel. Frank percaya padanya. Memikirkan kalau-kalau Frank ditimpa musibah saja Hazel tidak tahan.
Hazel melirik matahari yang kian tinggi di langit Waktu semakin menipis. Dia teringat Hylla, Ratu Amazon di Seattle sana. Saat ini Hylla pasti sudah berduel melawan Otrera dua malam berturut-turut, jika memang dia masih hidup. Hylla mengandalkan Hazel untuk membebaskan Maut.
Dia berhasil berdiri. Angin yang berembus dari Teluk Resurrection sedingin yang diingat Hazel. "Kita harus pergi. Kita kehabisan waktu."
Percy menatap jalan di bawah. Warna bibirnya sudah mulai kembali normal. "Adakah hotel atau apalah, tempat kita bisa membersihkan diri" Maksudku ... hotel yang menerima orang berlumpur""
"Aku tidak yakin ada." Hazel mengakui. Hazel memandangi kota di bawah sana dan sulit percaya betapa kota tersebut telah berkembang sejak tahun 1942. Pelabuhan utama telah dipindahkan ke timur seiring perluasan kota tersebut. Kebanyakan adalah bangunan baru bagi Hazel, tapi tatanan pusat kota tampak tidak asing. Hazel merasa mengenali sejumlah gudang di sepanjang pesisir. "Aku mungkin tahu satu tempat yang bisa kita pakai untuk membersihkan diri." []
BAB EMPAT PULUH DUA HAZEL KETIKA MEREKA TIBA DI KOTA, Hazel mengikuti rute yang sama dengan yang dia gunakan tujuh puluh tahun lalu malam terakhir hidupnya, ketika dia pulang dari perbukitan dan mendapati bahwa ibunya hilang.
Hazel membimbing teman-temannya menyusuri Third Avenue. Stasiun kereta api masih ada di sana. Bangunan putih besar dua lantai Hotel Seward masih beroperasi, meskipun ukurannya sudah berlipat dua. Mereka mempertimbangkan untuk mampir di sana, tapi menurut Hazel melenggang masuk ke lobi sambil berlumur lumpur bukan ide bagus. Selain itu, menurutnya hotel tersebut takkan mau memberi kamar untuk tiga anak di bawah umur.
Mereka justru berbelok menuju pantai. Hazel sulit percaya, tapi rumah lamanya masih ada di sana, condong ke air di dermaga berlapis remis. Atapnya melesak. Dindingnya berlubang-lubang seperti habis ditembaki. Pintunya dipalang, dan sebuah plang yang ditulis tangan berbunyi: KAMAR GUDANG KOS ONG.
"Ayo," kata Hazel.
"Eh, kau yakin di sana aman"" tanya Frank. Hazel menemukan jendela yang terbuka dan memanjat ke dalam. Teman-temannya mengikuti. Kamar tersebut sudah lama tidak digunakan. Kaki mereka membuyarkan debu yang mengepul sehingga menampakkan berkas sinar matahari. Kardus-kardus berjamur ditumpuk merapat ke dinding. Labelnya yang sudah pudar bertuliskan: Macam-macam Kartu Ucapan. Bagaimana ceritanya sampai ratusan kotak berisi kartu ucapan bisa tersasar dalam gudang berdebu di Alaska, Hazel tidak tahu, tapi kesannya seperti lelucon keji: seolah kartu-kartu itu adalah untuk semua hari besar yang tidak pernah dia rayakan Natal, Paskah, ulang tahun, Hari Valentine selama berpuluh-puluh tahun.
"Paling tidak di sini lebih hangat," ujar Frank, "tidak ada air keran, ya" Mungkin aku bisa belanja. Badanku tidak sekotor kalian. Aku bisa membelikan pakaian untuk kita."
Hazel hanya setengah m endengarkannya. Dia memanjat tumpukan kotak di pojokan yang dahulu menjadi tempat dia tidur. Sebuah plang tua disandarkan ke dinding: PERLENGKAPAN DULANG EMAS. Hazel kira dia bakal menemukan dinding kosong di baliknya, tapi ketika dia memindahkan plang itu, sebagian besar foto dan gambarnya masih terpampang di sana. Plang itu pasti telah melindungi foto dan gambarnya dari terpaan sinar matahari langsung dan cuaca. Foto dan gambar tersebut seolah tidak dimakan usia. Gambar krayon New Orleans karya Hazel kelihatan kekanak-kanakan sekali. Benarkah Hazel yang membuatnya" Ibunya menatapnya dari salah satu foto, tersenyum di depan plang tempat usahanya: GRIS-GRIS RATU MARIE JUAL JIMAT, RAMAL NASIB.
Di sebelahnya terdapat foto Sammy saat karnaval. Dia diabadikan di tengah cengiran lebar, rambutnya hitam keriting dan mata indahnya berbinar-binar. Jika Gaea mengatakan yang
sebenarnya, Sammy sudah meninggal lebih dari empat puluh tahun. Benarkah Sammy senantiasa mengingat Hazel selama itu" Ataukah dia sudah melupakan perempuan aneh yang suka diajaknya berkuda perempuan yang pernah diciumnya dan makan kue mangkuk ulang tahun bersamanya sebelum menghilang selamanya"
Jemari Frank terhenti di depan foto. "Siapa ..."" Dia melihat Hazel menangis dan menelan kembali pertanyaannya. "Maaf, Hazel. Pasti rasanya berat sekali bagimu. Apa kau butuh waktu "
"Tidak," kata Hazel parau, "tidak apa-apa kok." "Apa itu ibumu"" Percy menunjuk foto Ratu Marie. "Dia mirip kau. Dia cantik."
Kemudian Percy mengamat-amati foto Sammy. "Siapa itu"" Hazel tidak mengerti apa sebabnya Percy tampak ngeri. "Itu itu Sammy. Dia eh temanku dari New Orleans." Hazel memaksa diri agar tak memandang Frank.
"Aku pernah melihat dia," kata Percy. "Tidak mungkin," ujar Hazel, "itu foto tahun 1941. Dia ... dia barangkali sudah meninggal sekarang."
Percy mengerutkan kening. "Kurasa begitu. Tapi tetap saja ...." Percy menggelengkan kepala, seolah pemikiran yang terbetik di benaknya kelewat menggelisahkan.
Frank berdeham. "Dengar, kita tadi melewati toko di blok terakhir. Kita masih punya sisa uang sedikit. Mungkin sebaiknya aku pergi saja ke sana, untuk membelikan kalian makanan dan pakaian dan entahlah seratus kotak tisu basah atau apalah""
Hazel mengembalikan plang dulang emas ke atas kenangkenangannya. Hanya dengan melihat foto lama Sammy saja dia merasa bersalah, apalagi karena Frank berusaha bersikap amat manis dan suportif. Memikirkan kehidupan lamanya tak ada gunanya.
"Boleh," kata Hazel, "kau memang bisa diandalkan, Frank." Papan lantai berderit di bawah kaki Frank. "Ya kebetulan akulah satu-satunya yang tidak berlumur lumpur dari kepala hingga kaki. Aku akan segera kembali."
Begitu Frank pergi, Percy dan Hazel menyusun semacam kemah sementara. Mereka melepas jaket dan berusaha membersihkan lumpur. Mereka menemukan selimut lama dalam sebuah peti dan menggunakan selimut itu untuk bersih-bersih. Mereka mendapati bahwa kotak kardus bisa dipakai untuk alas tidur jika ditata seperti kasur.
Percy meletakkan pedangnya di lantai. Di sana, pedang tersebut memancarkan pendar perunggu samar. Kemudian dia tidur-tiduran di kardus Selamat Natal 1982.
"Terima kasih, sudah menyelamatkanku," kata Percy, "aku seharusnya mengucapkannya lebih awal."
Hazel mengangkat bahu. "Kau juga pasti akan melakukan hal yang sama untukku."
"Ya," Percy setuju. "Tapi waktu aku terbenam dalam lumpur, aku teringat larik ramalan yang diucapkan Ella tentang putra Neptunus yang tenggelam. Aku berpikir, artinya. Aku tenggelam dalam tanah.' Aku yakin riwayatku sudah tamat."
Suara Percy gemetar seperti saat hari pertama di Perkemahan Jupiter, ketika Hazel menunjukinya kuil Neptunus. Waktu itu Hazel bertanya-tanya apakah Percy merupakan jawaban atas masalahnya keturunan Neptunus yang Pluto janjikan akan menghapuskan kutukannya suatu hari kelak. Percy tampak sangat gagah dan perkasa, seperti pahlawan sungguhan.
Hanya saja, sekarang Hazel tahu bahwa Frank adalah keturunan Neptunus juga. Frank bukanlah pahlawan berpenampilan paling mengesankan di dunia, tapi dia memercayakan nyawany
a kepada Hazel. Frank berusaha keras sekali untuk melindungi Hazel, bahkan sikapnya yang kikuk juga menggemaskan.
Hazel tak pernah merasa sebingung ini, padahal seumur hidupnya dia kebingungan terus.
"Percy," kata Hazel, "ramalan itu mungkin belum lengkap. Frank menduga Ella mengingat-ingat isi halaman yang terbakar. Mungkin kau akan tenggelam di tempat lain."
Percy memandang Hazel dengan waswas. "Menurutmu begitu""
Aneh rasanya, menghibur Percy. Pemuda itu jauh lebih tua, dan lebih percaya diri. Namun, Hazel mengangguk dengan yakin. "Kau pasti bisa pulang. Kau akan bertemu kembali dengan pacarmu Annabeth."
"Kau pasti bisa pulang juga, Hazel." Percy berkeras. "Kami takkan membiarkan dirimu ditimpa musibah apa pun. Kau terlalu berharga bagiku, bagi perkemahan, dan terutama bagi Frank."
Hazel mengambil selembar kartu Valentine lama. Kertas putihnya yang tipis langsung remuk di tangan Hazel. "Tempatku bukan di abad ini. Nico membawaku kembali semata-mata supaya aku bisa memperbaiki kesalahanku, mungkin supaya bisa masuk ke Elysium."
"Bukan cuma itu takdirmu," kata Percy, "kita konon harus bertarung melawan Gaea bersama-sama. Aku masih memerlukanmu di sisiku, bukan cuma hari ini. Dan Frank bisa kulihat bahwa dia tergila-gila padamu. Kehidupan yang ini layak diperjuangkan, Hazel."
Hazel memejamkan mata. "Tolong, jangan buat aku berharap harap. Aku tidak bisa "
Jendela berderit terbuka. Frank memanjat masuk sambil membawa kantong belanja dengan ekspresi penuh kemenangan. "Sukses!"
Frank memamerkan rampasannya. Dari toko berburu, dia memperoleh wadah berisi anak panah baru untuk dirinya sendiri, sejumlah perbekalan, dan seutas tali tambang.
"Kalau kapan-kapan kita lewat muskeg lagi," kata Frank. Dari toko oleh-oleh lokal, dia membeli tiga setel pakaian baru, beberapa lembar handuk, sabun, air botolan, dan ya, sekotak besar tisu basah. Memang tidak sebanding dengan mandi air panas, tapi Hazel bersembunyi di balik tumpukan kotak kartu ucapan untuk membersihkan badan dan berganti baju. Tidak lama kemudian, perasaannya sudah baikan.
Ini hari terakhirmu, Hazel mengingatkan dirinya sendiri. Jangan keenakan.
Festival Fortuna seluruh peruntungan hari ini, baik atau buruk, semestinya menjadi pertanda akan peristiwa setahun mendatang. Apa pun yang terjadi, misi mereka akan usai malam ini.
Hazel menyelipkan kayu bakar ke dalam saku mantelnya yang baru. Entah bagaimana, dia harus memastikan agar kayu bakar itu tetap tersimpan dengan aman, apa pun yang menimpanya. Dia rela mati asalkan teman-temannya selamat.
"Jadi," kata Hazel, "sekarang mari kita cari perahu untuk ke Gletser Hubbard."
Hazel berusaha terkesan percaya diri, tapi itu tidak mudah. Dia berharap Anion masih di sini bersamanya. Jika harus maju ke medan tempur, alangkah lebih baiknya apabila dia menunggangi kuda cantik itu. Sejak mereka meninggalkan Vancouver, Hazel terus memanggil-manggil Anion dalam benaknya, berharap kuda tersebut mendengar dan datang menemuinya, tapi keinginannya ternyata hanya angan-angan kosong belaka.
Frank menepuk-nepuk perutnya. "Kalau kita bakal bertempur sampai mati, aku mau makan siang dulu. Aku menemukan tempat yang sempurna."
Frank menuntun mereka ke pusat perbelanjaan dekat dermaga. Di sana, sebuah gerbong kereta api lama telah diubah menjadi rumah makan. Seingat Hazel tempat itu belum ada pada tahun 1940-an, tapi masakannya beraroma sedap. Sementara Frank dan Percy memesan, Hazel keluyuran di dermaga dan bertanya sanasini. Ketika dia kembali, Hazel butuh penyemangat. Burger keju dan kentang goreng sekalipun tidak berefek apa-apa.
"Celakalah kita," kata Hazel, "aku berusaha mencari perahu. Tapi aku salah perhitungan."
"Tidak ada perahu"" tanya Frank. "Aku bisa mendapatkan perahu kok," kata Hazel, "tapi gletser itu lebih jauh daripada yang kuperkirakan. Dengan kecepatan maksimal sekalipun, kita baru bisa sampai di sana besok pagi."
Percy memucat. "Mungkin aku bisa membuat perahu itu melaju lebih cepat""
"Sekalipun kau bisa," kata Hazel, "berdasarkan yang diberitahukan kapten kepadaku, perairan di sini su
lit diarungi ada gunung es, terusannya berkelok-kelok seperti labirin. Kau harus tahu hendak mengarahkan perahu ke mana."
"Pesawat"" tanya Frank. Hazel menggelengkan kepala. "Aku menanyai kapten kapal tentang itu. Katanya kita bisa mencoba, tapi lapangan terbang di sini kecil. Kita harus mencarter pesawat dua, tiga minggu sebelumnya."
Sesudah mendengar informasi itu, mereka makan sambil membisu. Burger keju Hazel sangat lezat, tapi dia tidak bisa makan
sambil konsentrasi. Dia baru makan kira-kira tiga gigit ketika seekor gagak hinggap di tiang telepon dan mulai berkuak-kuak kepada mereka.
Hazel bergidik. Dia takut burung itu akan bicara kepadanya seperti gagak yang waktu itu, bertahun-tahun lalu: Malam terakhir. Malam ini. Dia bertanya-tanya apakah gagak selalu menampakkan diri di hadapan anak-anak Pluto ketika mereka hendak mati. Dia berharap semoga saja Nico masih hidup, dan Gaea semata-mata berbohong supaya Hazel resah. Walau begitu, Hazel punya firasat bahwa sang Dewi mengatakan yang sebenarnya.
Nico memberi tahu Hazel bahwa dia akan mencari Pintu Ajal dari seberang sana. Jika dia ditangkap oleh antek-antek Gaea, Hazel mungkin saja akan kehilangan keluarga satu-satunya.
Hazel menatap burger kejunya. Tiba-tiba, kaok gagak berubah menjadi pekikan tersedak. Frank bangun cepat sekali sampai-sampai dia nyaris menjungkalkan meja piknik. Percy menghunus pedangnya.
Hazel mengikuti pandangan mata mereka. Di atas tiang tempat si gagak hinggap tadi, bertenggerlah seekor Gryphon gendut jelek yang sedang memelototi mereka. Ia bersendawa, dan bulu-bulu gagak menggeletar dari paruhnya.
Hazel berdiri dan mengeluarkan spatha dari sarungnya. Frank memasang anak panah ke busur. Dia membidik, tapi. si Gryphon menjerit teramat nyaring sehingga bunyinya bergema ke pegunungan. Frank berjengit, dan tembakannya jadi meleset.
"Kurasa itu teriakan minta tolong." Percy memperingatkan. "Kita harus pergi dari sini."
Tanpa rencana gamblang, mereka lari ke dermaga. Si Gryphon menukik, mengejar mereka. Percy menyabetkan pedangnya, tapi si Gryphon menikung untuk menghindar dari jangkauannya.
Mereka menaiki undakan ke dermaga terdekat dan melaju ke ujungnya. Si Gryphon terjun untuk mengincar mereka, ceker depannya terulur, siap menerkam. Hazel mengangkat pedang, tapi gelombang air sedingin es menghantam Gryphon itu dari samping dan menyeretnya ke teluk. Si Gryphon memekik dan mengepakngepakkan sayapnya. Ia naik ke dermaga sambil tertatih-tatih, kemudian menggoyang-goyangkan bulu hitamnya seperti anjing yang kebasahan.
Frank menggeram. "Bidikan jitu, Percy." "Iya," kata Percy, "ternyata aku masih bisa melakukan itu di Alaska. Tapi kabar buruk lihat ke sana." Kira-kira satu setengah kilometer dari sana, di atas pegunungan, kumparan hitam berpusing di angkasa sekawanan Gryphon, jumlahnya lusinan. Tidak mungkin mereka bisa melawan Gryphon sebanyak itu, dan tidak ada perahu yang kecepatannya memadai untuk membawa mereka pergi.
Frank memasang anak panah lagi. "Aku tidak mau takluk tanpa melawan."
Percy mengangkat Riptide. "Sama." Kemudian Hazel mendengar sebuah suara dari kejauhan seperti ringkikan kuda. Hazel pasti hanya berkhayal, tapi dia toh tetap menjerit putus asa, "Arion! Di sini!"
Sekelebat warna cokelat tua melesat di jalan dan naik ke dermaga. Kuda jantan itu serta-merta muncul di belakang si Gryphon, menjejakkan kaki depannya, dan meremukkan monster itu hingga menjadi debu.
Hazel tak pernah segembira itu dalam hidupnya. "Kuda baik! Kuda yang sangat baik!"
Frank mundur dan hampir saja jatuh dari dermaga. "Bagaimana . ,),
"Dia mengikutiku!" ujar Hazel berseri-seri. "Karena dia adalah kuda terhebat SEDUNIA! Nah, ayo naik!"
"Kita bertiga"" Kata Percy, "memangnya dia kuat"" Arion meringkik sebal. "Baiklah, tidak usah kasar begitu," kata Percy, "ayolah." Mereka naik ke punggung Arion. Hazel di depan, sedangkan Frank dan Percy menyeimbangkan diri dengan waswas di belakangnya. Frank memeluk pinggang Hazel. Hazel berpikir, jika ini hari terakhirnya di bumi tidak jelek juga.
"Lari, Anion!" seru Hazel. "Ke Gletser
Hubbard!" Kuda itu menyeberangi air secepat kilat, kuku belahnya mengubah permukaan laut menjadi uap.[]
BAB EMPAT PULUH TIGA HAZEL SAAT MENUNGGANGI ARION, HAZEL MERASA tangguh, perkasa, tak terhentikan perpaduan sempurna kuda dan manusia. Dia penasaran, beginikah rasanya menjadi Centaurus.
Kapten kapal di Seward sudah memperingatkan Hazel bahwa Gletser Hubbard berjarak sekitar lima ratus kilometer, yang harus ditempuh dengan perjalanan berat nan berbahaya. Walau begitu, Anion sama sekali tidak kesulitan. Dia melaju di air secepat suara, memanaskan air di sekitar mereka sampai-sampai Hazel bahkan tak merasakan hawa dingin. Di atas kakinya sendiri, Hazel takkan mungkin merasa seberani itu. Di punggung kuda, dia tidak sabar terjun ke pertempuran.
Frank dan Percy kelihatannya tidak terlalu senang. Ketika Hazel menengok ke belakang, gigi mereka bergemeletuk dan bola mata mereka melotot. Pipi Frank bergoyang ke kanan-kiri karena tekanan gravitasi. Percy duduk di belakang, berpegangan erat-erat, setengah mati berusaha agar jangan sampai tergelincir dari pantat kuda. Hazel berharap semoga itu tak terjadi. Dilihat dari gerakan Anion, Hazel mungkin tidak sadar bahwa kuda itu melaju dengan kecepatan delapan puluh atau sembilan puluh kilometer per jam.
Mereka mengarungi selat sedingin es, melewati fyord dan tebing biru yang menumpahkan air terjun ke laut. Anion melompati seeekor paus bungkuk yang menghalangi dan terus berderap, mengagetkan sekawanan anjing laut di gunung es.
Waktu seakan baru berlalu beberapa menit sebelum mereka melej it ke sebuah teluk sempit. Air menjadi sekental sirup lengket biru campur es serut. Anion berhenti di atas sebongkah es biru pirus.
Gletser Hubbard terletak hampir satu kilometer dari sana. Hazel sekalipun, yang sudah pernah melihat gletser, kesulitan memproses pemandangan yang disaksikannya. Pegunungan ungu yang puncaknya berselimut salju terbentang ke kanan-kiri, sedangkan di atasnya mengapunglah awan yang menyerupai harum manis. Pada lembah yang terletak di antara dua gunung tertinggi, dinding es bergerigi menjulang dari laut, memenuhi seluruh ngarai. Gletser tersebut berwarna biru dan putih serta berbercak hitam sehingga tampilannya mirip gundukan salju kotor yang teronggok di trotoar sesudah mesin keruk salju melintas, hanya saja ukurannya empat juta kali lebih besar.
Begitu Arion berhenti, Hazel merasakan turunnya suhu udara. Es sebanyak itu mengirimkan gelombang dingin, menjadikan teluk tersebut kulkas terbesar di dunia. Hal paling menyeramkan adalah bunyi menggemuruh yang merambat di air.
"Apa itu"" Frank menatap awan di atas gletser. "Badai"" "Bukan," kata Hazel, "es yang retak dan bergeser. Berjuta-juta ton es.
"Maksudmu benda itu pecah"" tanya Frank. Seolah diberi aba-aba, selembar es pelan-pelan retak di sisi gletser dan jatuh berdebum ke laut, menyemburkan air dan keping-keping beku hingga setinggi gedung pencakar langit.
Sepersekian detik kemudian, sebuah suara menyusul bunyi BUM yang hampir senyaring deru supersonik Arion.
"Mana bisa kita dekat-dekat benda itu"!" ujar Frank. "Kita harus ke sana," kata Percy, "Raksasa itu ada di atasnya." Arion meringkik. "Ya ampun, Hazel," kata Percy, "bilang pada kudamu, kalau bicara yang sopan."
Hazel berusaha tidak tertawa. "Apa katanya"" "Selain sumpah serapah" Dia bilang dia bisa membawa kita ke atas."
Frank kelihatan tidak percaya. "Kukira kuda ini tidak bisa terbang!"
Kali ini Arion meringkik dengan amat gusar sehingga Hazel sekalipun bisa menebak bahwa dia sedang mengumpat.
"Bung," kata Percy kepada si kuda, "aku pernah diskors garagara mengucapkan sesuatu yang tidak sekasar barusan. Hazel, dia janji kau akan menyaksikan kemampuan terbaiknya. Kau tinggal beri perintah saja."
"Eh, kalau begitu, pegangan, Teman-Teman," kata Hazel gugup, "Arion, ayo jalan!"
Arion meluncur ke gletser seperti roket kesasar, melesat di air bersalju secepat kilat seolah ingin main kejar-kejaran dengan gunung es.
Udara kian dingin. Bunyi retakan es kian kencang. Sementara Arion kian memperkecil jarak, gletser yang menjulang sedemik
ian besar membuat Hazel pusing saat berusaha melihat keseluruhannya. Di nisi gletser terdapat banyak cekungan, gua, dan permukaan tajam bergerigi mirip bilah kapak. Bagian-bagiannya remuk tak henti-henti ada yang hanya sebesar bola saju, ada yang seukuran rumah.
Ketika jarak mereka kira-kira sudah lima puluh meter dari dasar gletser, gelegar guntur menggemeletukkan tulang-tulang Hazel, dan selapis es yang cukup besar untuk menyelimuti seluruh Perkemahan Jupiter retak serta jatuh ke arah mereka.
"Awas!" teriak Frank, yang menurut Hazel sebenarnya tidak perlu.
Arion sudah mengantisipasi peristiwa itu. Dia menambah kecepatan, berzig-zag di antara puing-puing yang berjatuhan, melompati bongkahan es, dan menaiki muka gletser.
Percy dan Frank sama-sama mengeluarkan sumpah serapah seperti si kuda dan setengah mati berpegangan erat-erat, sedangkan Hazel memeluk leher Anon. Entah bagaimana, mereka sanggup bertahan di punggung kuda sementara Anon memanjat tebing, melompat dari satu pijakan ke pijakan lain dengan laju dan kelincahan yang mencengangkan. Rasanya seperti jatuh dari bawah ke atas gunung.
Kemudian, selesailah sudah. Arion berdiri bangga di puncak bubungan es yang menjulang di atas jurang. Laut kini sembilan puluh meter di bawah mereka.
Arion meringkik, melontarkan tantangan yang bergema ke pegunungan. Percy tidak menerjemahkannya, tapi Hazel lumayan yakin bahwa Anion sedang berseru kepada kuda mana saja yang mungkin ada di teluk tersebut: Berani menantangku"!
Kemudian dia berbalik badan dan lari menyusuri puncak gletser, melompati jurang selebar lima belas meter.
"Di sana!" Percy menunjuk. Si kuda berhenti. Di depan mereka, berdirilah perkemahan Romawi yang membeku seperti replika raksasa Perkemahan Jupiter nan angker. Pant dipenuhi oleh pasak es. Kubu pertahanan dari bata salju berwarna putih menyilaukan. Dari menara pengawas,
bergantunglah panji-panji dari kain biru beku yang berdenyar diterpa sinar matahari kutub.
Tiada tanda-tanda kehidupan. Gerbang terbuka lebar. Tidak ada penjaga yang berpatroli di tembok benteng. Namun, Hazel merasakan firasat yang tidak enak. Dia teringat gua di Teluk Resurrection, tempatnya banting tulang untuk membangkitkan Alcyoneus suasananya yang ganas dan menciutkan nyali serta bunyi bum, bum, bum tak berkesudahan yang bagaikan detak jantung Gaea. Tempat ini mirip dengan gua itu, seolah-olah bumi tengah berusaha bangun dan melahap segalanya seolah-olah pegunungan di sana-sini ingin meremukkan mereka dan seluruh gletser ini hingga berkeping-keping.
Anion mondar-mandir gelisah. "Frank," kata Percy, "bagaimana kalau kita jalan kaki dari
sini"" Frank mendesah lega. "Kukira kau takkan pernah bertanya." Mereka turun dan maju beberapa langkah dengan hati-hati. Permukaan es sepertinya stabil, diselimuti lapisan salju tipis sehingga tidak terlalu licin.
Hazel mendesak Arion agar maju. Percy dan Frank berjalan di kanan-kiri kuda tersebut, pedang dan busur siap sedia. Mereka menghampiri gerbang tanpa kesulitan. Hazel sudah dilatih untuk mengidentifikasi lubang jebakan, jaring penjerat, benang ranjau. dan segala macam perangkap lain yang mesti dihadapi legiun Romawi selama berabad-abad di teritori musuh, tapi dia tidak melihat apa-apa hanya gerbang es yang menganga dan panjipanji beku yang berderak saat diterpa angin.
Hazel bisa melihat ke dalam, sampai ke Via Praetoria. Di persimpangan, di depan principia dari bata salju, sosok tinggi berjubah warna gelap dibelenggu dengan rantai es. "Thanatos," gumam Hazel.
Hazel merasa seakan jiwanya ditarik, tersedot ke arah Maut seperti kotoran ke dalam mesin pengisap debu. Penglihatannya menjadi gelap. Hazel hampir saja jatuh dari punggung Arion, tapi Frank menangkapnya dan menopangnya ke atas.
"Kami menjagamu," ujar Frank, "takkan ada yang membawamu pergi.
Hazel mencengkeram tangan Frank. Dia tidak ingin melepaskan genggaman. Frank terasa amat padat, amat kukuh, tapi dia tidak bisa melindungi Hazel dari Maut. Nyawa Frank sendiri serapuh kayu bakar yang setengah hangus.
"Aku baik-baik saja." Hazel berdusta. Percy menengok
ke sana kemari dengan gugup. "Tidak ada pasukan pertahanan" Tidak ada Raksasa" Ini pasti jebakan."
"Sudah jelas," ujar Frank, "tapi menurutku kita tak punya pilihan.)
Sebelum Hazel sempat berubah pikiran, dia menyuruh Arion masuk lewat gerbang. Tatanan perkemahan itu tidaklah asing ada Barak kohort, rumah mandi, gudang senjata. Tempat itu merupakan replika Perkemahan Jupiter. Semuanya persis sama seperti di Perkemahan Jupiter, hanya saja ukurannya tiga kali lebih besar. Di atas punggung kuda sekalipun, Hazel merasa kecil dan remeh, seolah-olah mereka sedang bergerak di maket kota yang dirancang oleh dewa-dewi.
Mereka berhenti tiga meter dari sosok berjubah. Sekarang setelah dia berada di sini, Hazel merasakan dorongan hati tak terbendung untuk menyelesaikan misi ini cepat-cepat. Hazel tahu bahaya yang mengancamnya kini lebih besar dibandingkan dengan saat dia bertarung melawan kaum Amazon, menghalau Gryphon, atau memanjat gletser di punggung Arion. Secara instingtif Hazel tahu bahwa Thanatos hanya perlu menyentuhnya, dan seketika matilah dia.
Namun, firasat Hazel mengatakan, jika dia tidak menjalani misi ini sampai tuntas, jika dia tidak menghadapi takdir dengan berani, dia tetap saja akan mati sebagai pengecut dan berkubang kegagalan. Hakim orang mati takkan bersikap lunak pada Hazel untuk kedua kalinya.
Anion berjalan bolak-balik, merasakan kegelisahan Hazel. "Halo"" Hazel memaksa keluarnya kata itu dari mulutnya. "Tuan Maut""
Sosok bertudung itu mengangkat kepalanya. Seisi perkemahan kontan menjadi hidup. Sosok-sosok berbaju tempur Romawi keluar dari barak, principia, gudang senjata, dan kantin, tapi mereka bukan manusia. Mereka adalah siluman hantu gentayangan yang menemani Hazel selama berpuluh-puluh tahun di Padang Asphodel. Tubuh mereka hanya berupa selapis uap hitam, tapi mereka mampu mempertahankan setelan tempur berupa tameng dada, pelindung tulang kering, dan helm di badan mereka. Pedang berlapis bunga es terpampang ke pinggang mereka. Pilum dan perisai penyok mengapung di tangan mereka yang setipis asap. Jambul di helm Centurion sudah beku dan usang. Kebanyakan siluman berjalan kaki, tapi dua prajurit keluar dari istal di atas kereta perang keemasan yang dihela oleh kuda hantu hitam.
Ketika Anion melihat kuda-kuda itu, dia menjejak tanah dengan gusar.
Frank mencengkeram busurnya. "Nah, ini dia jebakannya."[]
BAB EMPAT PULUH EMPAT HAZEL PARA HANTU BERBARIS DAN MENGELILINGI persimpangan. Jumlah totalnya kira-kira seratus bukan satu legiun utuh, tapi lebih dari satu kohort. Sebagian membawa panji-panji petir compang-camping milik Legiun XII, Kohort V ekspedisi 1980an Michael Varus yang celaka. Yang lain membawa bendera dan umbul-umbul yang tidak Hazel kenali, seolah mereka meninggal pada zaman lain, pada misi lain mungkin bahkan bukan dari Perkemahan Jupiter.
Sebagian besar membawa senjata dari emas imperial jumlahnya lebih banyak daripada seluruh emas imperial yang dimiliki Legiun XII. Hazel bisa merasakan kekuatan seluruh emas tersebut berpadu menjadi satu, berdengung di sekelilingnya, malah lebih menakutkan daripada retakan gletser yang menggemuruh. Hazel bertanya-tanya apakah dia bisa memanfaatkan kekuatannya untuk mengontrol senjata-senjata itu, mungkin melucuti para hantu, tapi dia takut mencoba. Emas imperial bukan logam berharga biasa. Senjata itu fatal bagi demigod dan monster. Berusaha mengontrol emas imperial sebanyak itu sekaligus sama
seperti berusaha mengontrol plutonium dalam reaktor nuklir. Jika Hazel gagal, dia bisa saja melenyapkan Gletser Hubbar dari muka bumi dan menewaskan teman-temannya.
"Thanatos!" Hazel menoleh kepada sosok berjubah. "Kami ke sini untuk menyelamatkan Anda. Jika Anda yang mengendalikan siluman-siluman ini, suruh mereka "
Suara Hazel menghilang. Tudung Dewa itu tersibak ke belakang dan jubahnya merosot saat dia membentangkan sayap, tinggal menyisakan tunik hitam tak berlengan yang diikat menggunakan sabuk di pinggangnya. Dia adalah pria paling rupawan yang pernah Hazel lihat.
Kulitnya sewarna jati, hitam mengilap seperti meja jelangkung tua mi
lik Ratu Marie. Matanya sewarna madu keemasan seperti mata Hazel. Dia ramping berotot, berwajah ningrat, dan berambut hitam panjang yang terurai ke bahu. Sayapnya yang cemerlang menampakkan nuansa biru, hitam, dan ungu.
Hazel mengingatkan dirinya untuk bernapas. Rupawan adalah kata yang tepat untuk menjabatkan Thanatos bukan tampan, atau cakep, atau semacamnya. Dia rupawan bagai malaikat tak lekang waktu, sempurna, azali.
"Oh," kata Hazel dengan suara kecil. Pergelangan tangan sang Dewa dibelenggu borgol es dilengkapi rantai yang terjulur hingga ke lantai gletser. Kakinya telanjang, dibelenggu di pergelangan dan juga terhubung dengan rantai panjang.
"Cupid," kata Frank. "Cupid kekar." Percy sepakat. "Kalian memujiku," kata Thanatos. Suaranya seindah rupanya dalam dan merdu. "Aku sering kali salah dikira sebagai Dewa Cinta. Persamaan Maut dengan Cinta lebih banyak daripada yang mungkin kalian bayangkan. Tapi aku ini Maut. Aku jamin."
Hazel tidak meragukan perkataan sang Dewa. Hazel merasa seolah dirinya terbuat dari abu. Kapan saja, dia bisa dengan mudahnya remuk dan diisap ke dalam kehampaan. Malah, Hazel menduga Thanatos tidak perlu menyentuh untuk membunuhnya. Dia tinggal menyuruh Hazel mati. Hazel bakalan langsung terkulai di tempat, jiwanya serta-merta mematuhi suara indah dan mata ramah itu.
"Kami kami ke sini untuk menyelamatkan Anda." Hazel berhasil berucap. "Di mana Alcyoneus""
"Menyelamatkanku ..."" Thanatos menyipitkan mata. "Apa kau memahami ucapanmu, Hazel Levesque" Apa kau memahami konsekuensinya""
Percy melangkah maju. "Kita buang-buang waktu." Percy mengayunkan pedangnya ke belenggu sang Dewa. Perunggu langit berdenting saat mengenai es, tapi Riptide lengket ke rantai seperti lem. Bunga es mulai merambati bilah tersebut. Percy menarik pedangnya dengan panik. Frank lari untuk membantu. Bersama-sama, mereka masih sempat menarik Riptide hingga lepas sebelum bunga es mencapai tangan mereka.
"Cara seperti itu takkan berhasil," kata Thanatos apa adanya, "terkait pertanyaanmu tentang Raksasa itu, dia sudah dekat. Para siluman ini tidak berada dalam kendaliku. Mereka di bawah kendalinya."
Mata Thanatos menelaah para prajurit hantu. Mereka beringsut dengan gelisah, seakan-akan baru diempas angin kutub.
"Jadi, bagaimana caranya supaya kami bisa membebaskan Anda"" tuntut Hazel.
Thanatos kembali mengalihkan perhatiannya kepada Hazel. "Putri Pluto, anak majikanku, dibandingkan orang lain, kaulah yang semestinya paling tidak ingin aku dilepaskan."
"Menurut Anda aku tidak menyadarinya"" Mata Hazel perih, tapi dia tidak mau ketakutan lagi. Tujuh puluh tahun lalu, dia sudah menjadi perempuan kecil yang ketakutan. Dia kehilangan ibunya karena terlambat bertindak. Kini dia adalah prajurit Romawi. Dia takkan gagal lagi. Dia takkan mengecewakan teman-temannya.
"Begini, Maut." Hazel menghunus pedangnya, dan Arion pun mendompak ganas. "Aku tidak kembali dari Dunia Bawah dan mengembara beribu-ribu kilometer hanya untuk diberi tahu bahwa aku bodoh kalau membebaskan Anda. Jika aku harus mati, ya, sudah. Akan kulawan seluruh pasukan ini jika memang harus. Beri tahu saja aku, bagaimana caranya memutuskan belenggu yang merantai Anda."
Thanatos mengamati Hazel, sekejap saja. "Sungguh menarik. Tentunya kalian mafhum bahwa para siluman ini dulunya adalah Demigod, sama seperti kalian. Mereka bertarung untuk Romawi. Mereka bertarung sebelum merampungkan misi heroik mereka. Sepertimu, mereka dimasukkan ke Asphodel. Kini Gaea menjanjikan kehidupan kedua bagi mereka, jika mereka bersedia bertarung untuknya hari ini. Tentu saja, apabila kalian membebaskanku dan mengalahkan mereka, mereka harus kembali ke tempat asal mereka di Dunia Bawah. Karena sudah bertindak makar terhadap Dewa, mereka akan menghadapi hukuman abadi. Mereka tidak jauh berbeda denganmu, Hazel Levesque. Apa kau yakin ingin membebaskan aku dan melaknat jiwa-jiwa ini selamanya""
Frank mengepalkan tinju. "Itu tidak adil! Anda ingin dibebaskan atau tidak""
"Adil Maut membatin. "Kau pasti terkejut jika kuberi tahu sudah seberapa sering aku mendengar
kata itu, Frank Zhang, dan betapa tidak berartinya kata tersebut. Adilkah bahwa kehidupanmu
akan menyala terang sekejap saja" Adilkah ketika aku memandu ibumu ke Dunia Bawah""
Frank sempoyongan seperti baru ditinju. "Tidak," kata Maut sedih, "tidak adil tapi sudah waktunya ibumu meninggal. Maut tak mengenal keadilan. Jika kau membebaskanku, akan kutunaikan tugasku. Tapi tentu saja, para siluman ini akan berusaha mencegah kalian."
"Jadi, kalau kami membebaskan Anda," rangkum Percy. "Kami bakal dikeroyok oleh gerombolan makhluk uap hitam yang berpedang emas. Baiklah. Bagaimana caranya memutuskan rantai itu""
Thanatos tersenyum. "Hanya api kehidupan yang bisa melelehkan rantai kematian."
"Tolong, tidak usah pakai teka-teki, ya"" Pinta Percy. Frank mengembuskan napas sambil gemetar. "Itu bukan tekateki."
"Frank, jangan," ujar Hazel lemah, "pasti ada cara lain." Tawa menggelegar dari seberang gletser. Sebuah suara yang menggemuruh berkata: "Teman-Teman. Aku sudah menanti lama sekali!"
Di gerbang perkemahan, berdirilah Alcyoneus. Dia malah lebih besar daripada Polybotes, Raksasa yang mereka lihat di California. Dia mempunyai kulit metalik keemasan, memakai baju zirah dari rantai-rantai platina yang saling kait, dan membawa tombak besi seukuran tiang totem. Kaki naganya yang berwarna merah karat menjejak es disertai bunyi berdebum saat dia memasuki perkemahan. Batu-batu berharga berkilauan di rambut merahnya yang dikepang.
Hazel tak pernah melihat Raksasa itu dalam wujud utuhnya, tapi dia mengenal Alcyoneus lebih daripada dia mengenal orangtuanya sendiri. Hazel-lah yang membuatnya. Selama berbulanbulan, Hazel mengeluarkan emas dan batu berharga dari perut bumi untuk menciptakan monster ini. Hazel mengenal berlian penyusun jantung Alcyoneus. Hazel mengenal minyak bumi yang mengalir dalam pembuluh darahnya. Hazel ingin membinasakan Raksasa ini, lebih dari apa pun.
Sang Raksasa mendekat sambil menyeringai kepada Hazel. menampakkan gigi-gigi peraknya yang padat.
"Ah, Hazel Levesque," katanya, "kau sudah membuatku rugi besar! Jika bukan karenamu, aku pasti sudah bangkit berpuluhpuluh tahun lalu, dan dunia ini pasti sudah menjadi milik Gaea_ tapi tidak masalah!"
Sang Raksasa merentangkan tangan, memamerkan pasukan hantunya. "Selamat datang, Percy Jackson! Selamat datang, Frank Zhang! Aku Alcyoneus, musuh bebuyutan Pluto, penguasa Maur yang baru. Dan ini legiun baru kalian."[]
BAB EMPAT PULUH LIMA FRANK Frank tidak takut pada Raksasa emas. Dia tidak takut pada sepasukan siluman. Namun, saat memikirkan harus membebaskan Thanatos, ingin rasanya Frank bergelung membentuk bola. Dewa ini telah merenggut nyawa ibunya.
Frank memahami apa yang harus dia lakukan untuk mematahkan belenggu itu. Mars sudah memperingatkannya. Mars menjelaskan apa sebabnya dia amat mencintai Emily Zhang: Dia selalu mendahulukan kewajibannya. Baginya, tanggungjawab lebih penting daripada apa pun. Bahkan nyawanya.
Sekarang, tibalah giliran Frank. Medali penghargaan ibunya terasa hangat di saku Frank. Dia akhirnya memahami pilihan ibunya yang mengorbankan nyawa demi menyelamatkan rekan-rekannya. Dia kini mengerti maksud perkataan Mars- Tanggung jawab. Pengorbanan. Itulah hal-hal yang sungguh bermakna.
Dalam dada Frank, rasa marah dan benci yang membuncah duka yang sudah dia bawa-bawa sejak pemakaman mulai meluruh. Dia mengerti apa sebabnya ibunya tidak pulang Memang ada hal-hal yang pantas diperjuangkan sampai mati.
"Hazel." Frank berusaha mempertahankan suaranya agar tetap stabil. "Bungkusan yang kau simpankan untukku"Aku memerlukannya."
Hazel melirik Frank dengan putus asa. Duduk di punggung Arion, Hazel tampak bagaikan ratu, perkasa dan cantik, rambut cokelatnya tersibak ke balik bahu dan kabut es melingkupi kepalanya. "Frank, jangan. Pasti ada cara lain."
"Kumohon. Aku aku tahu apa yang kulakukan." Thanatos tersenyum dan mengangkat pergelangan tangannya yang terborgol. "Kau benar, Frank Zhang. Harus ada pengorbanan."
Hebat. Kalau Maut menyetujui rencananya, Frank lumayan yakin dia takkan menyukai hasil akhirnya.
Alcyon eus sang Raksasa melangkah maju, kaki reptilnya menggetarkan tanah. "Bungkusan apa yang kau maksud, Frank Zhang" Apakah kau membawakan hadiah untukku""
"Tidak ada apa-apa buatmu, Bocah Emas," ujar Frank. "kecuali rasa sakit tak terkira."
Sang Raksasa tertawa terbahak-bahak. "Bicara layaknya anak Mars! Sayang sekali aku harus membunuhmu. Dan yang satu ini wah, wah, aku sudah lama ingin berjumpa dengan yang Percy Jackson tersohor itu."
Raksasa itu menyeringai. Gigi peraknya membuat mulutnya mirip bemper mobil.
"Aku sudah mengikuti perkembanganmu, Putra Neptunus.' kata Alcyoneus, "pertarunganmu dengan Kronos" Bagus sekali. Gaea membencimu melebih semua Demigod lain ... mungkin terkecuali si Jason Grace kurang ajar itu. Maaf aku tidak bisa
membunuhmu sekarang juga, tapi saudaraku Polybotes ingin menjadikanmu piaraan. Dia berpendapat pasti menyenangkan rasanya, membinasakan Neptunus sambil membawa serta putra kesayangan dewa itu yang dirantai layaknya anjing. Selain itu, Gaea juga sudah menyiapkan rencana untukmu."
"Wah, aku sungguh merasa terhormat." Percy mengangkat Riptide. "Tapi sebenarnya aku ini putra Poseidon. Aku dari Perkemahan Blasteran."
Para hantu bergerak. Sebagian menghunuskan pedang dan mengangkat tameng. Alcyoneus mengangkat tangan, memberi mereka isyarat agar menunggu.
"Yunani, Romawi, tidak jadi soal," kata sang Raksasa dengan enteng, "kami akan meratakan kedua perkemahan dengan tanah. Asal kalian tahu, para Titan berpikir kurang menyeluruh. Mereka berencana menghancurkan dewa-dewi di rumah baru mereka di Amerika. Kami, para Raksasa, lebih tahu! Untuk membasmi ilalang, kita harus mencabutnya sampai ke akar-akarnya. Saat ini, selagi pasukanku menghancurkan perkemahan Romawi kalian yang mungil, saudaraku Porphyrion sudah mempersiapkan pertempuran yang sesungguhnya di negeri kuno! Akan kami binasakan dewa-dewi mulai dari akarnya."
Para hantu menggedorkan pedang ke perisai mereka. Bunyi tersebut berkumandang ke pegunungan.
"Akarnya"" tanya Frank. "Maksudmu Yunani"" Alcyoneus terkekeh. "Tidak perlu mengkhawatirkan itu, Putra Mars. Hidupmu toh takkan lama lagi. Kau takkan berkesempatan menyaksikan kemenangan paripurna kami. Aku akan menggantikan Pluto sebagai penguasa Dunia Bawah. Maut sudah berada dalam kendaliku. Dengan Hazel Levesque sebagai abdiku, akan kukuasai juga seluruh harta berharga dari dalam perut bumi!"
Hazel mencengkeram spatha-nya semakin erat. "Aku tidak sudi mengabdi."
"Oh, tapi kau menganugerahiku kehidupan!" ujar Alcyoneus, "memang benar, kami berencana membangunkan Gaea saat Perang Dunia Kedua. Luar biasa sekali jika bisa begitu. Namun, kondisi dunia saat ini masih sama buruknya seperti di masa itu. Tidak lama lagi, peradaban kalian akan tersapu bersih. Pintu Ajal akan terbuka lebar. Mereka yang mengabdi kepada kami takkan pernah binasa. Hidup atau mati, kalian bertiga pasti bergabung dengan pasukanku kelak."
Percy menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak mungkin, Bocah Emas. Kau bakalan bertekuk lutut."
"Tunggu." Hazel memutar kudanya sehingga menghadap Raksasa itu. "Aku membangkitkan monster ini dari dalam bumi. Aku ini putri Pluto. Akulah yang bertugas membunuhnya."
"Ah, Hazel mungil." Alcyoneus menopangkan tongkatnya ke es. Rambutnya dikilaukan oleh batuan berharga senilai jutaan dolar. "Apa kau yakin tidak ingin bergabung dengan kami atas kehendakmu sendiri" Kau cukup berharga bagi kami. Buat apa mati lagi"" Mata Hazel berkilat-kilat marah. Dia memandang Frank dan mengeluarkan kayu bakar yang dibalut kain dari mantelnya_
"Apa kau yakin"" "Iya," kata Frank. Hazel merapatkan bibirnya. "Kau sahabatku juga, Frank. Aku semestinya mengatakan itu kepadamu lebih awal." Dia melemparkan kayu tersebut kepada Frank. "Lakukan yang harus kau lakukan. Dan Percy ... bisakah kau melindungi Frank""
Percy menatap barisan pendekar hantu Romawi. "Melawan sepasukan kecil prajurit" Tentu saja, segitu sih enteng."
"Kalau begitu, biar kuhadapi si Bocah Emas," ujar Hazel. Diserbunya Raksasa itu. []
BAB EMPAT PULUH ENAM FRANK FRANK MEMBUKA BUNGKUSAN KAYU BAKAR dan berlutut di kaki T
hanatos. Frank menyadari keberadaan Percy yang berdiri menjulang untuk melindunginya sambil mengayunkan pedang dan berteriak menantang saat para hantu beringsut kian dekat. Dia mendengar sang Raksasa meraung dan Anion meringkik marah, tapi dia tidak berani menengok.
The Heroes Of Olympus 2 Son Of Neptune di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan tangan gemetar, Frank memegangi sepotong kayu bakar itu di samping rantai di kaki kanan Maut. Dipikirkannya api, dan kayu itu pun seketika membara.
Kehangatan memilukan menyebar di sekujur tubuh Frank. Logam berlapis es mulai meleleh. Lidah api dari kayu bakar terang benderang, bahkan lebih menyilaukan daripada cahaya yang terpantul dari es.
"Bagus," kata Thanatos, "bagus sekali, Frank Zhang." Frank pernah mendengar tentang orang-orang yang menyaksikan perjalanan hidup mereka berkelebat di depan mata menjelang ajal, tapi kini dia mengalaminya secara harfiah. Frank melihat
ibunya pada hari ketika dia berangkat ke Afghanistan. Ibunya tersenyum dan memeluknya. Frank berusaha menghirup wangi melati dari tubuh ibunya agar dia takkan pernah melupakan aroma itu.
Apa pun yang kau lakukan, aku selalu bangga padamu, Frank, kata ibunya. Kelak, kau akan berkelana lebih jauh daripada aku. Kau akan menggenapkan pengembaraan keluarga kita. Bertahun-tahun dari sekarang, keturunan kita akan menceritakan kisah tentang Frank Zhang sang pahlawan, kakek buyut-buyut-buyut Ibunya menusuk perut Frank dengan jari, mengingatkannya akan masa lalu. Itulah terakhir kalinya Frank tersenyum dalam waktu berbulan-bulan.
Frank melihat dirinya di bangku piknik di Moose Pass, menyaksikan bintang-bintang dan aurora borealis sementara Hazel mendengkur pelan di sampingnya, sedangkan Percy berkata, Frank, kau memang seorang pemimpin. Kami membutuhkanmu.
Frank melihat Percy menghilang ke dalam muskeg, kemudian Hazel terjun menyusulnya. Frank teringat betapa dia memegangi busur sambil merasa kesepian dan tak berdaya. Frank memohon kepada dewa-dewi Olympus bahkan Mars agar menolong teman-temannya, tapi dia tahu dewa-dewi tidak bisa membantu mereka lagi.
Disertai bunyi berdentang, patahlah rantai pertama. Cepat-cepat Frank menghunjamkan kayu bakar ke rantai yang membelenggu kaki kiri Maut.
Frank memberanikan diri untuk melirik ke balik bahunya. Percy sedang bertarung bagaikan angin ribut. Malahan dia memang angin ribut. Angin ribut miniatur yang disusun oleh air dan uap es berpusing di sekeliling Percy saat dia menghadapi lawan, menghalau hantu Romawi, menangkis panah dan tombak. Sejak kapan Percy punya kekuatan itu"
Percy bergerak menembus barisan lawan, dan sekalipun tampaknya dia meninggalkan Frank tanpa penjagaan, perhatian musuh sepenuhnya tertuju pada Percy. Frank tidak yakin apa sebabnya lalu dia melihat tujuan Percy. Salah satu hantu hitam setipis asap mengenakan jubah kulit singa layaknya pembawa panji-panji dan memegang tongkat yang dipuncaki elang emas beku. Panji-panji legiun.
Frank memperhatikan sementara Percy menggasak barisan legiunari, membuat tameng mereka terbang berhamburan berkat angin ribut pribadinya. Dia menggetok si pembawa panji-panji sampai jatuh dan menyambar elang emas.
"Kalian mau ini dikembalikan"" teriaknya kepada para hantu. "Sini, ambil sendiri!"
Percy memancing mereka menjauh, dan Frank mau tak mau merasa takjub menyaksikan strategi jitu Percy. Meskipun para siluman itu ingin menjaga agar Thanatos tetap terbelenggu, biar bagaimanapun juga mereka adalah roh prajurit Romawi. Pikiran mereka mungkin saja linglung, seperti hantu-hantu yang Frank lihat di Asphodel, tapi mereka mengingat satu hal dengan jelas: mereka harus melindungi elang mereka.
Kendati demikian, Percy tidak mungkin menghalau musuh sebanyak itu selamanya. Mempertahankan topan seperti itu pasti sulit. Walaupun hawanya dingin, butir-butir peluh sudah membasahi wajah Percy.
Frank mencari Hazel. Perempuan itu ataupun sang Raksasa tidak tampak.
"Perhatikan apimu, Nak." Maut memperingatkan. "Jangan disia-siakan."
Frank menyumpah. Karena tidak konsentrasi, Frank tidak menyadari bahwa rantai kedua telah meleleh.
Dipindahkannya api ke belenggu di tangan kanan sang Dewa.
Kayu itu sudah terbakar hampir setengahnya. Frank mulai menggigil. Berbagai citra lagi-lagi berkelebat di benaknya. Dia melihat Mars duduk di samping ranjang neneknya sambil memandang Frank dengan mata ledakan nuklir: Kau senjata rahasia Juno. Moga-moga kau sudah belajar menggunakan anugerah keluargamu.
Frank mendengar ibunya berkata: Kau bisa menjadi apa saja. Kemudian Frank melihat wajah galak nenek, kulitnya setipis kertas merang, rambut putihnya terkembang di bantal. Betuh Fai Zhang. Ibumu bukan sekadar ingin mendongkrak kepercayaan dirimu. Ibumu menyampaikan yang sebenarnya, secara harfiah.
Dia teringat beruang grizzly yang dihalau ibunya di tepi hutan. Dia teringat burung hitam besar yang berputar-putar di atas griya keluarga mereka yang terbakar.
Rantai ketiga patah. Frank menghunjamkan kayu bakar ke belenggu terakhir. Sekujur tubuhnya nyeri. Bintik-bintik kuning menari di matanya.
Dia melihat Percy di ujung Via Principalis, menahan sepasukan hantu. Percy membalikkan kereta perang dan menghancurkan beberapa bangunan, tapi tiap kali dia mencerai-beraikan para penyerang dengan angin ribut, para hantu semata-mata bangkit dan menyerbu lagi. Tiap kali Percy menebas salah satu dari mereka dengan pedangnya, hantu itu seketika mewujud kembali. Percy sudah mundur sejauh yang dia bisa. Di belakangnya berdirilah gerbang samping perkemahan, sedangkan tepian gletser terletak kira-kira enam meter di balik gerbang tersebut.
Sementara itu, Hazel dan Alcyoneus sibuk beradu, meluluhlantakkan sebagian besar barak berkat pertarungan mereka. Sekarang mereka bertarung di puing-puing dekat gerbang utama. Anion memancing Raksasa itu, tak henti-henti menyerangnya dari
samping. Untuk menghalau mereka, Alcyoneus menyabetkan tongkatnya ke sana-sini, tapi dia hanya berhasil merobohkan dinding dan meretakkan es. Hazel dan Arion masih hidup sematamata berkat kecepatan Arion.
Akhirnya, patahlah belenggu terakhir yang mengikat Maut. Disertai pekikan putus asa, Frank menghunjamkan kayu bakarnya ke gundukan salju dan memadamkan api. Rasa nyeri di tubuhnya memudar. Dia masih hidup. Namun, ketika dia mengeluarkan sepotong kayu itu dari salju, yang tersisa tinggal puntung mungil, lebih kecil daripada sepotong wafer.
Thanatos mengangkat tangan tinggi-tinggi. "Bebas," katanya puas. "Bagus." Frank berkedip untuk menyingkirkan bintik-bintik buram dari matanya. "Cepat, lakukan sesuatu!"
Thanatos menyunggingkan senyum kalem kepada Frank. "Lakukan sesuatu" Tentu saja. Aku akan memperhatikan. Yang mati dalam pertempuran ini akan tetap mati."
Rahasia Peti Wasiat 10 Telapak Setan Karya Khu Lung Durjana Pemenggal Kepala 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama