Ceritasilat Novel Online

Matahari Esok Pagi 13

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 13


"Tentu" berkata Ki De mang "peralatan ini adalah peralatan yang terbesar yang pernah aku selenggarakan. Lebih besar dari peralatan perkawinanku yang pertama" "He, apakah Ki De mang masih ingat, apa saja yang diselenggarakan wa ktu itu?" bertanya Ki Jagabaya. Ki De mang tersenyum. Jawabnya "Tentu. Tujuh hari tujuh ma la m diselenggarakan pertunjukan di hala man rumah isteriku yang perta ma itu" "Aku juga nonton waktu itu" berkata Ki Jagabaya kemudian "tetapi aku be lum seorang Jagabaya. Saat itu, aku me mang merasa iri me lihat peralatan yang begitu besar. "Apalagi sekarang" sahut bebahu yang lain. "Tentu tidak" jawab Ki Jagabaya "sekarang aku ikut merasa berbahagia sekali. Bayangkan. Berapa tahun Ki De mang menunggu. Bahkan sampai diulanginya kawin lima kali. Dan yang keenam sekarang ini. Sudah tentu kita masing-masing akan mendapat hadiah yang lebih besar dari hadiah manapun yang pernah kita terima dari Ki De mang" Para bebahu Kademangan Kepandak itu tertawa serentak, sedang Ki De mang hanyalah tersenyum-senyum saja. Dala m pada itu Ki Reksatani yang hadir juga menyambung "Para bebahu Kademangan Kepandak me mang a kan mendapat hadiah yang paling besar dari yang pernah diberikan oleh kakang De mang. Tetapi apakah aku juga akan menerima?" Ki De mang berpaling. Sa mbil tertawa ia berkata "Makan sajalah. mBok-ayumu tadi me nyuruh orang menyembe lih ayam" Ki Reksatani mengerutkan keningnya. Namun iapun ke mudian tertawa. "Bukankah sejak kecil kau hanya me mikirkan makan saja?" bertanya Ki De mang. "Tetapi aku tidak dapat Reksatani. menjadi ge muk" sahut Ki
"Justru karena kau terlalu banyak makan. Selain ma kan, agaknya, kau me mang tidak me mpunyai kebutuhan lain" Para bebahu Kademangan yang ada di te mpat itupun tertawa, Ki Demang masih juga tertawa, sedang Ki Reksatanipun tertawa pula. Justru berkepanjangan. Namun tidak seorangpun yang melihat, apakah yang sebenarnya tersirat di kepala adik Ki De mang di Kepandak itu. Adik yang sela ma ini sela lu patuh. Tetapi kalau saja dapat dilihat wajah lahiriah Ki Reksatani, diperbandingkan dengan wajah batinnya, maka akan ta mpak sekali betapa keduanya akan sangat jauh berbeda. Senyum dan tawa yang membayang di bibirnya, adalah lukisan ma ut yang terukir di dinding hatinya. "Sayang sekali kakang De mang" berkata Ki Reksatani di dalam hatinya "aku terpaksa sekali melakukannya justru karena isterimu yang keenam ini mengandung. Kalau tidak, maka aku akan sabar menunggu sampai batas umurmu Tetapi kini agaknya semuanya harus diparcepat dengan segala maca m cara" Ki Reksatani me mandang wajah ka kaknya sekilas. Wajah itu tampaknya diwarnai oleh hatinya yang cerah. Sebentarsebentar ia tersenyum dan tertawa, diantara kelakar para pembantunya. "Kalau datang saat itu, kau tidak a kan tertawa lagi kakang Demang" berkata Ki Reksatani pula di dala m hatinya "kau akan menangis dan alangkah baiknya kalau kau me mbunuh diri" Tanpa disadarinya tiba-tiba telah tumbuh pikiran yang labih jahat lagi di hati Ki Reksatani. Hilangnya Sindangsari belum merupakan ja minan terakhir bahwa niatnya akan terlaksana. Sebuah pertanyaan selalu mengganggunya "Bagaimana kalau ia kawin lagi dan isterinya itu ke lak me ngandung?"
"Kalau begitu umur Ki De mangpun harus diperpende k" desisnya di dala m hati Pikiran itu mula-mula me mang mengejutkannya sendiri. Tetapi sema kin la ma justru menjadi semakin jelas terbayang diangan-angannya, justru pada saat ia ikut serta tenggelam dala m kela kar yang segar diantara para bebahu Kade mangan Kepandak. "Kalau Sindangsari sudah disingkirkan" berkata Ki Reksatani di dala m hatinya pula "sampailah saatnya Ki Demang harus diakhiri pula dengan cara yang paling halus. Kecuali kalau ke mudian karena sesuatu hal harus ditempuh jalan ke kerasan. Itupun aku sudah siap menghadapinya. Sementara aku dapat me mperguna kan Manguri dan tenaga Raksasa yang dungu itu. Demikianlah, pikiran itu ternyata tidak dapat begitu saja disingkirkan dari kepa la Ki Reksatani. Meskipun ia belum mendapat ga mbaran yang lebih je las, namun setiap ka li seakan-akan terngiang di telinganya "Kakang De mangpun harus disingkirkan. Kalau aku dapat melakukannya dengan cara yang tidak diketahui orang, ma ka se muanya akan berlangsung dengan ba ik, tenang dan tanpa ke kisruhan apapun" Dala m pada itu, Ki Reksatani sendiri se lalu me ngikuti perkembangan keadaan di Kade mangan. Ia a mat rajin datang setiap saat. Bahkan se mua kebutuhan kakaknya, diusahakannya. Ia sama sekali tidak pernah berkeberatan atau menge lak, apabila Ki De mang menyuruhnya untuk berbuat apa saja, terutama yang menyangkut kepentingan peralatan yang sebentar lagi akan diselenggarakan. Namun di sa mping itu, ia juga telah menyiapkan segala kepentingan yang langsung atau tidak langsung, untuk menyingkirkan Sindangsari. Dengan dia m-dia m ia telah me mperhitungkan te mpat-tempat yang paling baik untuk me laksanakan ma ksudnya. "Sindangsari itu harus disingkirkan dari orang banyak" ia berkata di dalam hatinya. Dan Ki Rekstanipun telah
mene mukan te mpat untuk itu. "Isteriku harus me mbujuknya agar Sindangsari pergi ke te mpat itu" katanya di dala m hati. Dan selanjutnya, Lamatlah yang akan me mbawanya pergi. Beberapa hari menje lang peralatan tersebut, maka beberapa orang yang berkepentinganpun telah me merlukan me lihat-lihat tempat yang sudah ditunjuk itu, meskipun hanya dari kejauhan. Di mala m hari mere ka seorang de mi seorang dengan dia m-dia m lewat di jalan sa mping, di sebelah rumah Ki Demang. Dengan hati-hati mereka berusaha melihat keadaan di dala m ha la man dan kebun be lakang. Apabila mala m telah menjadi sepi, ma ka orang-orang yang berkepentingan itu me manjat pepohonan justru di ha la man rumah sebelah untuk mendapat ga mbaran yang jelas. Terutama Lamat dan Manguri. "Besok, kita akan meyakinkannya" berkata Ki Reksatani "panjatlah pohon manggis di hala man sebelah. Kau akan me lihat aku pergi ke ha la man belakang sa mbil me mbawa upet. Kau akan melihat bara di ujung upet itu. Aku akan me mutarnya, agar kau dapat membeda kan, kalau ada orang lain yang lewat me mbawa upet pula. Di te mpat aku berhenti, disitulah La mat harus bersiap-siap. Sindangsari akan dibujuk untuk pergi ke tempat tersebut" Di mala m berikutnya, Manguri me mbawa La mat pergi ke halaman sebe lah kebun Kade mangan. Ketika tidak ada seorangpun lagi yang mungkin melihat mereka, keduanya me manjat keatas. Dua orang yang dibawa oleh Ki Reksatani me manjat sebatang pohon randu di sebelah pohon ma nggis itu. Kedua orang itu adalah orang-orang yang dipercaya oleh Ki Reksatani untuk mengawasi suasana pada ma la m yang telah ditentukan itu. Sementara beberapa orang yang lain akan disiapkan di ujung padukuhan Apabila mereka gagal, sehingga para peronda melihat usaha penculikan itu, kekerasan tidak akan dapat dihindari lagi. Mereka pasti akan bertempur. Tetapi Ki Reksatani masih berusaha menghindari
akibat itu. Kekerasan tidak akan menguntungkannya meskipun barangkah apabila ia dapat mengalahkan Ki De mang tidak akan ada lagi orang yang berani menentangnya. Tetapi dengan demikian ia sudah me mbuat jarak dengan orangorang di seluruh Kade mangan Kepandak. Apalagi apabila pimpinan pemerintahan di kota Mataram ikut ca mpur. Keadaan akan menjadi gelap dan tidak dapat diperhitungkan dengan baik. Hanya apabila hal itu tidak dapat dihindari, maka apaboleh buat. Ibarat orang menyeberang, pakaiannya sudah terlanjur basah Terus basah, ke mba lipun basah. Lamat dan Manguri yang duduk diatas sebatang cabang yang rimbun akhirnya melihat sepeietikbara api yang bergerak-gerak di kebun be lakang rumah Ki De mang. Sejenak bara api itu berhenti, dan sejenak ke mudian berputaran. "Itulah dia" desis Manguri "ingat-ingat te mpat itu. Kau kelak harus bersembunyi di sana Kalau Sindangsari telah berada di tempat itu, cepat-cepat tangkap perempuan itu. Jangan sampai me mekik supaya tidak timbul keonaran" Lamat me ngangguk-anggukkan kepalanya. "Bawa pere mpuan itu segera ke luar hala man. Di ujung halaman rumah sebelah sudah disediakan seekor kuda yang besar buat kau dan Sindangsari. Ingat kau harus segera me mbawa perempuan itu ke te mpat yang sudah aku sediakan. Kau mengerti?" Lamat me ngangguk. "Kau mengerti?" Manguri mengulangi "seekor kuda buat kau dan Sindangsari " Lamat mengangguk sekali lagi Tetapi kali ini ia menjawab "Ya. Aku mengerti" "Baik. Tetapi kau tida k boleh ke liru. Kalau kau gagal maka bukan hanya lehermu sajalah yang akan dipenggal. Tetapi leherku dan leher Ki Reksatani. Kau tidak usah me mpedulikan
Rektasani. Tetapi kalau akulah kelak yang dihukum mati. maka kau akan berdosa pula. Kau tidak dapat menyelamatkan nyawaku meskipun nyawa mu telah disela matkan ayah" Lamat me ngangguk-angguk sa mbil menjawab "Ya" "Bagus. Lihat itu. Bara yang merah itu seka li lagi berputarputar. Kita sudah pasti, di sanalah nanti pada saatnya kita akan menunggu" "Apakah di tempat itu kelak di saat peralatan berlangsung akan sepi dan tidak dijaga oleh seorangpun" "Kita tida k usah me mikirkannya. diperhitungkan oleh Ki Reksatani" Itu pasti sudah
"Tetapi alangkah ba iknya kalau kita dapat menguasai keadaan seluruhnya, sehingga tugas ini a kan selesai dengan baik dan sela mat" "Ki Reksatani pasti sudah menyiapkan segala sesuatunya. Kalau di te mpat itu banyak orang, ma ka ia adalah orang yang paling gila yang pernah aku jumpai. Sedangkan kalau di tempat itu terdapat banyak orang dan kau me langsungkan juga penculikan ini, maka kaupun sudah kejangkitan penyakit gila itu juga. Mengerti" Kali ini kau jangan berbuat bodoh kalau kau masih sayang akan nyawa mu yang pernah disela matkan oleh ayah itu" Lamat tidak menjawab. Ia hanya dapat menarik nafas dalam-da la m sa mbil me ngusap dadanya. Sementara Manguri berkata seterusnya "Kali ini kita berhadapan dengan Ki Demang di Kepanda k. Ke mudian dengan Ki Reksatani sendiri" Lamat masih tetap berdia m diri. "Apa kau dengar?" gera m Manguri. "Ya, ya. Aku mendengar" desis La mat. Keduanyapun ke mudian terdia m. Tatapan mata mereka kembali kepada bara di ujung upet yang berputar-putar. Namun ke mudian bara
sepelitik itupun ke mudian seakan-akan hilang begitu saja di dalam kegelapan. "Ya. Dan kitapun sudah cukup mengena l tempat itu Aku harus mengingat-ingatnya" "Nah, agaknya kau ma mpu juga berpikir" sahut Manguri. Lamatpun terdia m pula. "Tugas kita mala m ini sudah selesai. Kita akan segera pulang. Kita menunggu keterangan lebih lanjut dari Ki Reksatani" Lamat tidak menjawab. Tetapi keduanyapun kemudian turun dari pohon manggis. "Bagaimana dengan kedua orang dipohon randu itu?" bertanya Lamat. "Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Keduanya bukan urusan kita" jawab Manguri. Dengan de mikian ma ka tanpa me mberitahukan kepada kedua orang yang masih berada diatas pohon randu, keduanyapun meningga lkan tempat itu. "Mereka akan melihat kita pergi" berkata Manguri "kecuali apabila mereka tertidur diatas pohon itu. Jika demikian maka itu adalah salah mereka sendiri. Manguri dan La matpun ke mudian dengan tergesa-gesa meninggalkan te mpatnya, pulang ke ruma h mereka. Di sepanjang jalan, telah terbayang pada keduanya, apa yang akan terjadi. Namun ternyata sudut pandangan mereka jauh berbeda. Manguri mengharap agar Lamat berhasil dan me mbawa Sindangsari ke tempat yang terse mbunyi. Me mang mungkin Sindangsari menola knya di hari-hari pertama. Tetapi pada suatu saat hati perempuan itu pasti akan luluh.
"Setelah ia berada di rumah Ki De mang, akhirnya ia mengandung juga" berkata Manguri di dala m hatinya "pasti demikian juga setelah ia berada di rumah yang akan dihuninya itu. Meskipun rumah itu kecil dan t idak sebagus Kade mangan, tetapi aku akan melengkapinya dengan perabot yang paling mahal di Matara m" Namun agaknya Lamat berpikir la in, meskipun ia me mbayangkan juga apa yang akan terjadi atas Sindangsari, yang akan mengala mi nasib yang sangat pahit. Di sepanjang jalan La mat sedang mencoba me nghitung, betapa besar dosa yang akan diperbuatnya nanti. Demikianlah, maka semua persiapan yang dilakukan oleh Ki Reksatani sudah menjadi sangat rapi. Apabila tidak terjadi sesuatu yang berada di luar perhitungan, semuanya akan berlangsung dengan baik. Meskipun de mikian Ki Reksatani telah bersiap-siap pula apabila rencana ini gagal. Sesuai dengan pengala mannya, Ki Reksatani tidak dapat me mastikan bahwa rencana yang tampaknya sudah masak benar itu dapat berlangsung tanpa rintangan apapun. Sepertiyang pernah terjadi atas Puranta. Seakan-akan semuanya telah diperhitungkan dan akan berjalan dengan sendirinya sesuai dengan maksudnya. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya Puranta itu didapatinya mati tanpa dapat diketahui siapa pe mbunuhnya. Karena itu, Ki Reksatani tidak mau mengala mi kegagalan sekali lagi. Kalau perlu, semuanya akan diselesaikan dengan kekerasan. Selain Ki Reksatani, Manguripun telah me mpersiapkan dirinya pula. Seperti Ki Reksatani, ia tidak dapat me mpercayakan diri kepada rencananya semata-mata. Kalau rencana itu gagal, ia harus me mpunyai alat untuk me lindungi dirinya. Di dala m hal yang de mikian ia akan dapat bekerja bersama dengan Ki Reksatani.
Tetapi apabila rencana ini berhasil, ia masih juga harus bersiap-siap menghadapi ke mungkinan yang sama sekali tidak dikehendakinya. Apabila Ki Reksatani ingkar janji seperti perhitungan ayahnya, ia sudah menyusun ke kuatan untuk bertahan. "Aku akan ada di rumah pada hari-hari yang ditentukan itu kelak" berkata ayah Manguri "semua orang-orangku akan berkumpul. Mereka adalah orang-orang yang dapat dipercaya. Bersama La mat, kau dan aku Kade mangan ini akan dapat kita kuasai. Apalagi orang yang bernama Reksatani itu. Pada suatu saat aku me mang ingin me mbunuhnya" "Ayah" desis Manguri. Ayahnya tidak menjawab Tetapi ia hanya tersenyum saja. Dengan demikian maka hati Manguri menjadi kian berdebar-debar. Agaknya ayahnya me mang sudah mengetahui hubungan rahasia antara ibunya dan adik Ki De mang di Kepandak itu. "Tetapi Manguri ke mudian t idak peduli lagi. Biarlah apa saja yang akan terjadi. Tetapi Sindangsari harus jatuh ke tanganku. Pelaksanaan rencana itu kemudian ditandai oleh kepergian Ki Reksatani ke rumah kake k, nenek dan ibu Sindangsari Meskipun mereka sudah mendengar, tetapi secara resmi Ki Reksatani menjadi utusan Ki De mang untuk mengundang mereka pada peralatan tujuh bulan kandungan Sindangsari. "Tentu, tentu, kami tentu akan datang" berkata ibu Sindangsari "aku a kan segera punya cucu, dan kakek Sindangsari berdua akan me mpunyai seorang cicit" "Ka mi sangat mengharap kehadiran kalian" berkata Ki Reksatani ke mudian "tida k sekedar tepat pada hari pera latan, tetapi dua atau tiga hari sebe lumnya" "Aku mungkin dapat me lakukannya" jawab ibu Sindangsari "tetapi kakek dan nenek Sindangsari me mpunyai banyak
tanggung jawab. Di rumah dan di sawah" jawab ibu Sindangsari. "Tetapi sudah tentu kalian akan bermala m di Kade mangan "sambung Ki Reksatani. "Ya, mudah-mudahan" "Besok, orang-orang di Kademangan pasti sudah mulai menyiapkan segala sesuatu. Peralatan itu tinggal kurang sepekan lagi" "Ya, sudah barang tentu" "Kapan ka lian a kan datang, terutama ibu mBok-ayu Demang di Kepanda k itu?" "Aku akan berusaha datang tiga hari sebelum hari peralatan itu" "Baik. Aku akan mengatakannya kepada kakang dan mBokayu Demang" sahut Ki Reksatani "mereka pasti akan bersenang hati. Tugasku sendiri ternyata masih cukup banyak. Aku masih harus mencari buah kelapa gading sepasang yang kelak akan dilukisi ga mbar Ka ma dan Ratih, atau Arjuna dan Sumbadra. "Bukankah masih ada waktu beberapa hari lagi?" bertanya ibu Sindangsari. "Ya, me mang masih ada waktu. Tetapi aku harus sudah mulai sejak sekarang, supaya besok pada saatnya, aku tidak dikejar-kejar oleh kegelisahan karena ke kurangan waktu" Ki Reksatanipun ke mudian minta diri. Me mang masih banyak yang harus dikerjakan. Selain persiapan peralatan itu sendiri, juga persiapan tentang rencananya bersama Manguri. Tetapi karena ayah Manguri ada di rumah, Ki Reksatani tidak dapat pergi ke rumah itu. Ia telah me mbuat tempat pertemuan yang khusus dengan Manguri untuk me matangkan
setiap rencana. Semakin dekat dengan hari peralatan itu, mereka harus se makin sering berhubungan. "Sepekan lagi" berkata Ki Reksatani "siapkan dirimu. Jasmaniah dan batiniah Jangan gelisah dan bingung. Dengan demikian maka banyak rencana yang justru akan gagal" "Aku bukan anak-anak lagi" jawab Manguri "aku tahu pasti, apakah yang sebaiknya aku kerjakan" "Jangan berkata begitu. Kau dan aku masing-masing tidak akan tahu pasti apa yang harus kita kerjakan masing-masing apabila kita tidak selalu saling berhubungan" Akhirnya Manguri mengangguk-anggukkan kepa lanya. Jawabnya "Baiklah, Aku akan se lalu me nghubungi kau dan mendapatkan petunjuk-petunjukmu untuk seterusnya" "Bagus. Usaha ini bukan sekedar usaha kecil-kecilan. Taruhannya nyawa. Nyawa kita masing-masing dan mungkin nyawa banyak orang di Kepandak" "Aku menyadari. Tetapi akupun sudah siap menghadapi setiap ke mungkinan" Demikianlah, maka ta mpaknya rencana Ki Reksatani me mang sudah masak. Mereka tinggal menunggu dengan hati yang berdebar-debar hari yang merayap lamban sekali maju. Namun tidak dapat dilepaskan dari perhitungan Ki Reksatani sebab-sebab Puranta mati terbunuh. Pembunuhnya sampai saat terakhir masih belum diketemukannya. Kalau tibatiba saja ia muncul merusak rencananya, maka ia harus me mperguna kan caranya yang terakhir. Kekerasan. Tetapi selagi ke mungkinan yang paling baik itu dapat dilakukan, maka cara itulah yang akan dite mpuhnya lebih dahulu. Hari de mi hari datang beruntun. Yang lima t inggal empat, ke mudian yang e mpat itupun tingga l tiga.
Kademangan Kepandak telah mula i rama i me mbicarakan peralatan besar-besaran yang akan diadakan oleh Ki Demang untuk menya mbut bulan ke tujuh dari keha milan isterinya. Sebagaimana yang direncanakan, maka peralatan kali ini benar-benar suatu peralatan yang besar. Tidak saja di halaman Kade mangan akan diselenggarakan berbagai maca m pertunjukan di setiap mala m sa mpai ma la m ke tujuh, tetapi di halaman banjar desa dan di padukuhan-padukuhan yang lainpun, rakyat Kepandak ikut merayakannya. Di hari ketiga sebelum peralatan jalan-jalan padukuhan sudah dipenuhi dengan oncor-oncor jarak yang dibuat oleh anak-anak. Sehari-harian mereka mencari buah jarak kepyar. Setelah dijemur di panas matahari maka bijinya dirangkainya panjang sekali. Biji-biji jarak itu merupakan obor yang baik meskipun tida k dapat tahan terlampau la ma. Tetapi di setiap jalan simpang, yang terpancang bukan sekedar obor-obor jarak, tetapi lampu-la mpu minyak jarak, yang dapat tahan sampai se mala m suntuk. Di hari itu ibu Sindangsari me merlukan datang ke Kademangan me nunggui anaknya yang sedang menjadi pusat perhatian setiap orang. Pada saatnya Sindangsari akan dimandikan bersa ma sua minya. Kemudian diikuti oleh berbagai maca m upacara seperti yang lajim dilakukan. Di hari-hari yang se makin dekat dengan hari pera latan itu, Ki Reksatanipun menjadi se makin berdebar-debar. Siang ma la m ia sudah tidak beranjak dari Kade mangan bersama isterinya. Bahkan anak-anaknya yang kecilpun dibawanya pula, agar Nyai Reksatani tidak setiap kali harus pulang menengok anak-anaknya, Sindangsari kadang-kadang menjadi heran melihat perbedaan tingkah laku Nyai Reksatani. {a kini menjadi seorang perempuan yang baik, yang ramah dan yang berusaha mene mpatkan dirinya sebagai seorang saudara muda. Jauh berbeda dengan beberapa saat yang lampau,
selagi ia mencoba menjebaknya dan menjatuhkannya ke tangan seorang laki-laki, meskipun akhirnya semuanya akan tergantung kepada dirinya sendiri. Untunglah bahwa a ku tidak terjerumus karenanya "Sindangsari selalu me ngucap sukur di da la m hati "Tuhan masih tetap melindungi aku " Bahkan tanpa disangka sangkanya Nyai Reksatani itu di dalam suatu kese mpatan berkata kepadanya "mBok-ayu, maafkan tingkah lakuku beberapa saat yang lampau. Lupakanlah Kau akan menjadi seorang ibu yang berbahagia. Sebentar lagi kau akan melahirkan. Mudah-mudahan anak itu kelak a kan menjadi seorang ianafe yang utama. Kalau ia la kilaki biarlah ia menjadi seorang laki-laki yang baik, yang bermanfaat bagi Kade mangan ini, berjebih-lebih lagi bagi Mataram. Kalau ia perempuan, biarlah ia menjadi perempuan yang setia. Setia kepada orang tua, kepada suami dan kepada tanah kelahirannya, seperti kesetiaan ibunya" "Ah" desah Sindangsari. Tetapi ia tidak menyahut. Keheranheranannya kian bertambah. Nyai Reksatani kini seakan-akan menjadi seorang pere mpuan yang berpandangan sangat luas. Bukan saja tentang dirinya sendiri, tentang keadaan diseputarnya, tetapi juga tentang keseluruhan yang me lingkunginya. "Anggaplah semua yang sudah terjadi itu seperti sebuah mimpi. Dan mBok-ayu sekarang sudah terbangun. Dengan demikian ma ka sudah tidak ada lagi hubungan apapun dengan mimpi yang buruk itu" Sindangsari mengangguk-anggukkan kepalanya "Ya Aku mengerti" Nyai Reksatani menepuk bahunya. Kemudian ditinggalkannya Nyai De mang itu sambil berkata "Pekerjaanku masih banyak. Kau tidak usah ikut melakukan apapun juga. Jagalah kandunganmu baik-baik"
"Terima kasihi" jawab Sindangsari. Na mun dala m pada itu Nyai Reksatani menganyam-anyam cara yang sebaik-baiknya. Katanya, di dala m hati "Aku harus mendapatkan kepercayaannya kembali. Di ma la m itu aku harus me mbawanya ke te mpat yang sepi itu. Maka akan hilanglah perempuan yang di hari ini dan di hari-hari mendatang sedang dieluk-elukan seperti seorang Permaisuri ini" Tetapi betapapun sibuknya, Ki Reksatani masih juga sempat sesaat keluar dari hala man Kademangan me ne mui Manguri di ujung padukuhan di ma la m hari. Karena Kademangan Kepandak telah menjadi se makin ra mai, mnka kadang-kadang Manguri harus menunggunya di tengahtengah bulak. Anak itu tidak dapat mendekati padukuhan apalagi di sekitar rumah Ki De mang karena anak-anak muda sudah mula i ra mai di jalan-jalan padesan. "Kalian harus mengikuti ja lannya upacara dengan baik" berkata Ki Reksatani "sesudah mandi, kedua sua mi isteri itu akan diarak mengelilingi rumah. Kemudian mereka akan berhenti di hala man depan. Keduanya akan melangkahi perapian kecil, dan selanjutnya keduanya akan dibawa masuk ke rumah. Kalau kau tidak dapat melihat apa yang terjadi di dalam rumah itu, kau dapat me mperhitungkan waktunya. Perempuan itu harus makan rujak yang disebutnya rujak edan. Kemudian ia harus berganti paka ian tujuh kali. Ingat tujuh kali. Sesudah itu sepasang kelapa gading yang sudah diga mbari Ka ma dan Ratih akan diselusupkan diantara kainnya yang ke tujuh sebelum upacara yang terakhir. Merias perempuan itu sebaik-baiknya dengan pakaiannya yang ke tujuh" "Begitu banyak?" bertanya Manguri "jadi, apakah kami nanti harus menunggu sa mpai tengah mala m. "Me mang tengah ma la m. Mereka dimandikan di tengah ma la m, Kalian baru dapat bertindak di dini hari. Ingat, Upacara baru mula i di tengah ma la m"
Manguri mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya ke mudian "Kalau begitu, untuk mengurangi ke mungkinan yang tidak dikehendaki, aku a kan datang sesudah tengah ma la m, supaya aku tidak terlalu la ma menunggu" "Terserah. Tetapi kau tidak boleh terlambat. Begitu upacara selesai, isteriku akan me mbawa Sindangsari ke belakang Ke tempat yang sudah aku tunjukkan kepada mu" "Kau yakin te mpat itu sepi" "Akulah yang me ngatur tempat di Kade mangan sela ma peralatan berlangsung. Kakang Demang sama sekali tidak akan menca mpuri karena ialah yang a kan menjadi sasaran upacara" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya "Ba iklah. Aku akan me mperhatikan se muanya. Lamat akan berada di tempatnya pada saat yang sudah ditentukan" "Hati-hatilah" "Aku sudah tahu akibatnya kalau usaha ini gagal. "Terserah kepadamu. Orang-orangkupun akan siap pada saat-saat menjelang tengah ma la m. Mereka akan berada di mulut-mulut lorong dan di te mpat kuda La mat disediakan" "Baik" "Apakah kau juga me mbawa orang-orang khusus?" Manguri menggelengkan kepalanya "Tidak. Hanya beberapa orang untuk me mbantu La mat apabila diperlukan" Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepa lanya. Sebenarnya iapun menaruh curiga kepada Manguri. Ia sadar, bahwa ayah Manguri juga me mpunyai beberapa orang upahan yang sehari-hari harus me me lihara dan menjaga ternaknya, sedang di saat-saat tertentu mengawal ternak itu ke tempattempat yang jauh
Tetapi bukanlah saatnya untuk me mperbincangkan prasangka masing-masing, seperti juga Manguri berprasangka. Di Kade mangan, tidak seorangpun yang menyangka, bahwa di Kade mangan Kepanda k sedang dipersiapkan suatu rencana yang mengerikan. Mereka tenggela m di dala m kerja yang melelahkan, tetapi menggembirakan. Setiap kali mereka berkelakar diseling oleh suara tertawa yang meledak-ledak. Baik di dapur, yang dengan Jenaka beberapa orang perempuan menyindir-nyindir Sindangsari, maupun di pendapa, para bebahu Kademangan yang duduk bersamasama dengan Ki De mang. "He, lihatlah. Menilik lekuk di pipi, anak yang pertama ini pasti laki-la ki" desis seseorang yang duduk di samping Nyai Demang. "He, kenapa yang pertama?" bertanya yang lain. "Tentu. Tentu akan segera disusul oleh yang kedua, yang ketiga dan seterusnya" "Sa mpai yang keberapa?" "Jangan bertanya kepadaku. Bertanyalah kepada Nyai Demang. Berapa saja dibutuhkannya" "Jangan kepada Nyai De mang" potong seorang pere mpuan yang masih cukup muda" bertanyalah kepada Ki De mang" Suara tertawapun meledaklah. Sedang Sindangsari hanya menundukkan kepa lanya sambil tersenyum-senyum. "He, jangan mengganggu, Kalian hanya akan menunggu, kapan kalian mendapat kesempatan menghadiri peralatan serupa ini lagi" berkata yang lain. "Mana mungkin. Peralatan semaca m ini, menyambut bulan ke tujuh dari kandungan seorang ibu, hanya dilakukan satu kali. Yang perta ma. Lain kali, meskipun seandainya Nyai
Demang akan mengandung sepuluh kali lagi, tentu tidak akan ada peralatan serupa ini" "Me mang. Peralatan seperti ini hanya satu kali. Tetapi rangkaian dari peralatan ini kela k banyak sekali. Hari kelahiran Sepasar dan selapan. Apabila di setiap ma la m sebelum puputan, di pendapa banyak terdapat orang-orang yang berjaga-jaga sambil me mbaca kitab dan kidung, maka ka lian akan mendapat kese mpatan pula untuk menunggui dapur ini sampai limabelas hari, bahkan lebih" "Sekali lagi terdengar perempuan-perempuan yang sedang me mbantu me masak berbagai maca m masakan itu tertawa. Demikianlah, ma ka siang dan ma la m para tetangga beramai-ra mai me mbantu segala keperluan di Kade mangan yang akan mengadakan peralatan besar-besaran. Para bebahupun selalu hadir di pendapa berganti-gantian. Yang seorang pulang yang lain datang. Lebih-lebih Ki Jagabaya. Seperti Ki Rekstani, ia ha mpir t idak pernah meninggalkan Kademangan. Namun di da la m suasana yang cerah itu, Ki De mang kadang-kadang masih juga sempat merenung. Ia sadar sesadar-sadarnya, bahwa anak yang kini sedang dielu-e lukan dengan segala maca m upacara yang segera akan diselenggarakan itu sa ma seka li bukan anaknya, tetapi anak orang lain. Kini ia harus menyelenggarakan peralatan yang besar, menyediakan beaya, tenaga dan semua yang mungkin diadakan untuk kepentingan dan kesela matan anak itu. Sekali-seka li Ki De mang menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia tidak akan dapat menge lakkan diri. Seolah-olah sudah menjadi keharusan baginya untuk menerima keadaan yang bagaimanapun juga me njelang kelahiran anak itu. "Tetapi anak itu merupa kan suatu kenyataan. Anak itu dapat memberikan kebanggaan kepadaku, karena setiap orang tidak akan lagi menuduhku, sebagai seorang laki-la ki
yang tidak dapat me mberikan keturunan. Tetapi anak itu juga merupakan duri di dala m jantungku Setiap kali terasa betapa pedihnya" Bukan saja Ki De mang, tetapi juga Sindangsari kadangkadang merasakan juga perasaan yang aneh. Seperti Ki Demang iapun mengetahui dengan pasti, bahwa anak itu didapatkannya dari seorang anak muda yang bernama Pa mot. Bukan Ki De mang yang saat ini telah me nyediakan apa saja untuk menyambut kandungannya yang genap berumur tujuh bulan. Tetapi keduanya, baik Ki De mang, maupun Sindangsari setiap kali selalu berusaha menyembunyikan perasaan itu Di hadapan para tamu, mereka selalu tertawa dan tersenyumsenyum. Apalagi Ki De mang. Ia dapat menanggapi kelakar para bebahu dan tetangga-tetangganya yang selalu mengunjunginya menjelang peralatan itu. Akhirnya, mala m yang dinantikan itu tiba juga. Malam peralatan menya mbut bulan ke tujuh kandungan Sindangsari. Mala m pertama dari rangkaian peralatan itu, akan dilakukan dengan bermaca m-maca m upacara sesuai dengan adat. Upacara yang akan dipimpin oleh orang tua-tua. Di ma la m itu masih belum ada pertunjukan apapun di hala man, karena upacara baru dimulai sesudah tengah mala m. Baru di ma la m berikutnya direncanakan pertunjukan di hala man yang akan berlangsung sepekan penuh. Semua rombongan pertunjukan yang akan mengisi halaman Ki De mang sudah dihubungi, dan se muanya telah siap pula me lakukannya. Tari topeng, wayang beber, dan berbagai pertunjukan yang lain. Namun tidak seorangpun yang menyadari, bahwa di samping rombongan pertunjukan yang telah menyiapkan diri untuk merama ikan mala m-ma la m berikutnya, di luar padukuhan itupun telah bersiap pula sebuah rombongan yang
lain. Rombongan orang-orang yang siap untuk menyingkirkan Sindangsari. Ternyata persiapan Ki Jagabaya ma la m ini tidak seketat pada saat Ki Demang mengawini Sindangsari. Kali ini Ki Jagabaya merasa bahwa ke mungkinan terjadi keributan hampir tidak dilihatnya. Betapa cinta Pamot dan Manguri kepada Sindangsari, tetapi Sindangsari kini adalah isteri Ki Demang. Apalagi perempuan itu sudah mengandung pula. Sehingga keduanya pasti tidak a kan lagi berbuat sesuatu. Apalagi Pamot yang masih belum dapat dipastikan, mati atau hidup itupun sebenarnya dapat diabaikan, karena ia pasti belum berada di Kade mangan Kepandak meskipun seandainya ia masih hidup. Demikianlah ma ka sejak senja, rumah Ki De mang telah penuh dengan orang-orang yang akan ikut di dala m upacara. Terutama orang-orang tua. Mereka nanti akan memandikan Ki Demang dan isterinya dengan air tawar yang diambilnya dari tujuh sumber air. Ketika ma la m mulai ge lap, beberapa orang segera mencari air ke halaman-ke hala man tetangga Agar pasti, bahwa mereka mendapatkan air dari tujuh mata air, ma ka merekapun menga mbil dari tujuh buah sumur di sekitar rumah Kademangan. Di ruang dala m, telah tersedia pula setumpuk pakaian yang terdiri dari tujuh pengadeg. Tujuh le mbar kain dan tujuh le mbar baju untuk Sindangsari yang diletakkan diatas nampan disentong tengah, ditaburi dengan bunga-bungaan. Demikianlah meskipun orang-orang tua itu sibuk bekerja, namun mere ka sama sekali tidak merasa lelah. Juga perempuan-pere mpuan di dapur. Beberapa orang perempuan tua telah mengatur sajen yang akan diletakkan di sudut-sudut halaman, disimpang e mpat dan dirumpun-rumpun ba mbu petung. Sebelum upacara mulai di tengah mala m, maka sajensajen itu harus sudah diletakkan di te mpatnya.
Dala m pada itu, semua orang bekerja dengan wajah yang cerah sesuai dengan tugas masing-masing. Nyai Reksa tanilah yang berjalan hilir mudik mengatur segala sesuatu, karena ialah yang diserahi seluruh tanggung jawab peralatan ini bersama sua minya. Namun, selagi se mua persiapan berjalan dengan baik. seorang perempuan yang diserahi tugas menanak nasi setiap kah mengusap keningnya yang berkeringat. Meskipun ia selalu berada di depan perapian, namun terasa keringatnya yang me leleh di punggungnya, adalah keringat yang dingin. "Tida k pernah aku menga la mi ha l serupa ini" katanya sambil mengaduk nasi yang sedang ditanaknya di dala m kukusan. Dengan ce mas ia mencoba untuk me mbuat nasi Itu masak. "He. kenapa kau bibi?" bertanya seorang perempuan muda yang menga mbil seonggok kayu di sa mping perapian. "Lihat" berkata pere mpuan tua itu. "Apa?" "Nasiku tidak mau masak. Setiap kali, bagian atas sudah masak, bagian bawah ternyata masih mentah" "Aduk saja bibi" "Kau lihat juga, bahwa aku sedang mengaduk" "Ya. Tunggulah. Sebentar lagi nasi itu akan masak. Masih belum tergesa gesa. Bukankah mereka akan dija mu makan setelah semua perlengkapan selesai. Air, cengkir kelapa sawit, pakaian, seonggok merang di hala man" "Ya, me mang belum tergesa-gesa. Tetapi dengarlah sudah lebih lima kali aku mengaduk nasi ini. Tetapi setiap kali aku mene mui keanehan ini. Bagian ataslah yang masak sedang bagian bawah masih juga mentah"
"Kalau di balik. Bagaian yang masak itu taruhlah di bawah. Yang mentah, biarlah diatas" "Yang bawah akan menjadi mentah" "Aneh" perempuan muda itu mengerut kan keningnya "kalau begitu, ambil sajalah bagian yang sudah masak itu. Bibi tinggal me matangkan yang masih mentah" "Yang masak hanya selapis. Kalau a ku a mbil bagian yang masak, maka tentu akan turut tera mbil juga yang mentah" "Aneh. Aku kira tidak begitu. Bibi sudah sangat lelah. Biarlah bibi beristirahat" "Lalu siapakah yang akan menanak nasi" "Biarlah orang lain yang beristirahat sejenak" me lakukannya. Bibi dapat
Perempuan muda itupun ke mudian me manggil seorang tua yang lain, yang juga sering menanak nasi diperalatanperalatan. Karena menanak nasi merupa kan pekerjaan yang khusus. Pekerjaan bagi mereka yang sudah biasa me lakukannya. "Kenapa mBok-ayu" bertanya orang yang baru itu. "Mungkin benar. Aku terlalu lelah. Umurku sudah se makin tua, sehingga tenagakupun tidak lagi se kuat orang-orang muda meskipun a ku masih ingin tetap de mikian. "Beristirahatlah. Biarlah a ku yang me lanjutkannya" Perempuan tua itupun menganggukkan kepa lanya. Kemudian ditingga lkannya perapian. Sejenak ia duduk diatas amben di sudut dapur sa mbil mengunyah sirih. Selagi ia terkantuk-kantuk, iapun terkejut ketika seorang perempuan muda yang lain mendatanginya dengan tergesagesa. Katanya "Bibi, bibi. lihatlah"
Perempuan itu berpaling. Dilihatnya perempuan muda yang datang kepadanya itu me mbuka sebungkus makanan. "Hawug-hawug ini mentah bibi" Perempuan tua itu mengerutkan keningnya, Sambil menyentuh ma kanan itu ia mengangguk-anggukkan kepalanya "Ya me mang be lum masak. Sebentar lagi hawug-hawug ini akan masak" "Perempuan muda itu menggelengkan kepalanya. Katanya "Air di dala m dandang itu ha mpir kering. Tetapi hawug-hawug ini t idak mau masa k. Biasanya tidak begitu la ma seperti ka li ini" Perempuan tua itu me mandang ma kanan mentah itu dengan kerut-kerut didahinya. "Bukankah bibi tahu" berkata perempuan muda itu seterusnya "bukankah di padukuhan ini tidak ada orang yang lebih ca kap dari padaku untuk me mbuat ma kanan serupa ini" Berapa puluh ka li aku me mbuat makanan serupa ini di setiap peralatan. Tetapi aku tidak pernah mengala mi ha l yang aneh seperti ini. Aku sudah menghabiskan sebongkok kayu. Tetapi makanan ini t idak mau masak juga" Perempuan tua itu menjadi se makin ge lisah. Ia sendiri menga la mi keanehan. Nasinya tidak mau masak di bagian bawah Bagian yang sudah masakpun akan menjadi mentah ke mbali, apabila nasi itu diaduk rata. Tetapi perempuan itu tidak mengatakannya. Bahkan ia berkata "Cobalah sekali lagi, Mungkin kukusan yang kau pergunakan kurang baik. Lubang-lubangnya terlampau kecil, sehingga uap air dari dandang di bawah kukusan itu tidak dapat masuk" Perempuan muda yang me mbuat makanan itu mengangguk-anggukkan kepalanya Sejenak ke mudian iapun
ke mbali ke te mpatnya. Seperti pendapat perempuan tua itu. dicobanya sekali lagi untuk me matangkan masakannya. Sepeninggal pere mpuan muda itu, maka terasa betapa kantuk yang tidak tertahankan, Meskipun pere mpuan tua itu masih mengunyah sirih, na mun tiba-tiba saja matanya terpejam. Di dala m hirup pikuk pere mpuan-pere mpuan yang bekerja di te mpatnya masing-masing, perempuan tua itu sempat tertidur sa mbil bersandar tiang. "Bibi me mang lelah seka li" desis pere mpuan yang duduk di depan pintu sa mbil me mbuat sudi. "Ya, ia sempat tertidur" Kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Mereka me mbiarkannya pere mpuan tua itu tertidur sejenak. Namun dala m pada itu, perempuan lain yang menggantikannya menanak nasi itupun menjadi gelisah pula. Seperti perempuan yang terdahulu ia mengala mi keanehan serupa. "Aneh. Inilah yang me mbuat mBok-ayu gelisah. Me mang tidak masuk akal" guma mnya kepada diri sendiri. Namun tiba-tiba ia terperanjat, seperti semua orang yang ada di dapur itu, ketika tiba-tiba saja jambangan air di sudut pecah tanpa sebab. Airnya tertumpah dan menga lir menggenangi lantai. Beberapa orang perempuan bangkit dari tempatnya dan berjalan dengan tergesa-gesa ke sudut dapur. Sebagian yang lain segera menyibakkan setumpuk kayu yang tersentuh air yang tertumpah itu, sedang yang lain mencoba menahan air itu dengan sapu lidi. "He. jambangan itu pecah sendiri" desis seseorang sambil meraba-raba pecahan ja mbangan itu. "Aneh, Tidak ada seorangpun yang menyentuhnya"
"Kucing barangkali?" "Tida k ada kucing" "Lalu apa?" Seorang perempuan separo baya mendekati ja mbangan itu sambil berkata "Anak yang mengisi ja mbangan ini me mang keras kepala. Sudah aku katakan, jangan diisi sa mpai penuh Jambangan ini masih baru. Tentu tidak akan dapat menahan air yang sekian banyaknya. Setelah dipergunakan beberapa la ma, barulah ja mbangan se maca m ini dapat diisi sepenuhnya" "Siwurnya ada di dala m pula" berkata yang lain "siwur ini agaknya tenggelam ketika dari lubang tangkainya air mengisi penuh. Nah, agaknya ketika siwur ini tenggela m, .sentuhan dengan jambangan baru ini terla mpau keras, sehingga jambangan ini pecah berantakan" Beberapa orang perempuan yang la in menganggukanggukkan kepalanya. Tetapi yang lain lagi menjadi ge lisah, seolah-olah ia melihat suatu pertanda yang tidak menyenangkan. Perempuan tua yang tertidur itupun terbangun pula karena suara ribut. Ketika ia melihat ja mbangan di sudut itu pecah maka t iba-tiba saja ia menjadi pucat. Tetapi ia tidak mengatakan apapun juga. Meskipun de mikian, tergesa-gesa ia bangkit me langkah mencari Nyai Reksatani. "Nyai" berkata perempuan itu "ada beberapa keanehan yang telah terjadi di dapur" Nyai Reksatani mengerutkan keningnya "Maksudmu?" ia bertanya. "Hal-ha l yang tidak biasa terjadi, telah terjadi" "Apa saja"
Maka perempuan itupun menceriterakan apa yang telah terjadi. Nasinya yang mentah, makanan yang tidak mau masak dan yang terakhir ja mbangan yang pecah. Nyai Reksatanipun menjadi berdebar-debar. Apalagi ia tahu pasti, apa yang akan terjadi di mala m nanti, setelah upacara tengah ma la m berakhir. "Lebih daripada itu Nyai" berkata perempuan tua itu "yang paling aneh bagiku, bahwa aku sudah tertidur di dala m kesibukan itu. Itu sangat aneh bagiku. Tetapi seandainya itu karena aku terlampau lelah, baiklah. Aku me mang mencoba untuk menganggapnya demikian. Tetapi, di dalam tidurku yang hanya sejenak itu, aku telah bermimpi. "Apa mimpimu" bertanya Nyai Reksatani dengan sertamerta. "Mimpi yang mendebarkan" jawab pere mpuan itu. Nyai Reksatanipun menjadi se makin berdebar-debar pula "Katakanlah" katanya ke mudian. "Di dala m tidurku yang hanya sejenak bersandar tiang itu. aku se mpat bermimpi melihat Kade mangan ini sedang sibuk" "He, daradisah. Bukankah begitu kenyataannya?" "Ya. Mungkin antara sadar dan tida k sadar, aku me mang masih mendengar kesibukan di dapur" "Lalu" "Kesibukan di ma la m hari juga seperti ini" "Ya" "Seluruh hala man menjadi terang benderang, seperti siang Lampu terpasang dimana-mana. Obor-obor raksasa disemua sudut" "Ya"
"Tetapi peralatan yang diadakan di dalam mimpiku sama sekali bukan peralatan menya mbut bulan ke tujuh seperti ini .Di dalam mimpiku aku mendengar bahwa di Kademangan akan ada peralatan pengantin. "Pengantin?" bertanya Nyai Reksatani. Suaranya menjadi rendah dan terasa kuat tubuhnya mere mang. Menurut kepercayaan orang tua-tua. mimpi tentang pengantin adalah mimpi yang buruk. "Ya. Dikademangan ini ada pengantin. Pengantin perempuannya adalah Nyai De mang. Ya, Nyai De mang itu, Sindangsari. Tetapi aku tidak me lihat dan tidak mengetahui siapa pengantin laki-lakinya" "Ki De mang barangkali?" Perempuan tua itu menggeleng "Bukan Ki De mang" "Siapa?" "Aku tidak tahu" jawab perempuan tua itu. Setelah menelan ludahnya sambil mengusap keringatnya ia meneruskan "tetapi ketika se mua orang sudah siap menya mbut kedatangan penganten laki-laki, maka Sindangsari tiba-tiba telah hilang" "Hilang" Ke mana?" "Tida k seorangpun yang tahu. Yang terjadi kemudian adalah angin prahara yang keras sekali bertiup dari Utara. Batang-batang pohon di halaman seperti diputar kian kemari. Dan akhirnya semua la mpu dan obor padam satu demi satu, sehingga akhirnya habis sama sekali. Semuanya menjadi gelap. Aku tidak melihat apapun lagi selain hitam. Tetapi aku masih mendengar hiruk-pikuk. Se makin la ma se makin keras, sehingga akhirnya aku terbangun. Ternyata di dapur itupun me mang terjadi hiruk pikuk, karena jambangan yang pecah itu"
Nyai Reksatani terdia m sejenak.Terasa dadanya bergetar semakin cepat. Mimpi orang tua itu, serta apa yang telah terjadi di dapur seolah-olah merupakan perla mbang tentang Nyai De mang itu sendiri. Dengan susah payah Nyai Reksatani mencoba me nguasai perasaanya. Dicobanya untuk me mperguna kan akalnya sebaik-baiknya agar semua rencana suaminya tidak gagal. Ia tahu benar, kalau rencana itu gagal, yang terjadi adalah pertumpahan darah. Tetapi kalau rencana itu berhasil, persoalannya masih dapat dibatasi meskipun Nyai Demang harus dikorbankan. "Kalau ia ke lak a kan terbunuh juga, apaboleh buat. Nyawa banyak orang memang lebih berharga dari nyawanya" katanya di dala m hati. Nyai Reksatani itu terperanjat ketika orang tua yang masih berada di mukanya itu bertanya "Apakah pendapat Nyai?" Nyai Reksatani merenung sejenak. Sedang orang tua itu masih berkata "Sebaiknya Nyai me mperhatikan ha l-hal yang agaknya tidak masuk akal ini. Apakah Nyai akan mengatakan kepada Ki De mang, agar Ki Reksatani dan Ki Jagabaya mendapat perintahnya untuk lebih berhati-hati?" Namun sejenak ke mudian Nyai Reksatani tersenyum sambil menepuk bahu orang tua itu, Katanya "Jangan berpikir yang bukan-bukan bibi. Aku tidak me nolak pendapatmu bahwa kita harus berhati-hati. Tetapi jangan me mpercayai hal-hal serupa itu dengan berlebih-lebihan. Jambangan itu me mang jambangan baru. Siapa tahu, bahwa jambangan itu sebenarnya me mang sudah retak, ke mudian diisi air terla mpau banyak, atau seseorang meletakkan siwur di bibirnya dan ke mudian terjatuh ke dala m. Dan masih banyak lagi ke mungkinan-ke mungkinan lain " Nyai Reksatani berhenti sejenak, lalu "sedangkan mimpimu itupun agaknya terpengaruh oleh keadaanmu dan sekitarnya. Mungkin kau terlampau le lah. Kau sehari-harian berada di dekat api, sehingga mimpi mupun dikerumuni oleh api, meskipun berupa
la mpu dan obor-obor. terpengaruh"
Karena itu jangan terla mpau Orang tua itu menundukkan kepalanya. Dianggukanggukkannya kepalanya. Namun ia tidak meyakininya. Ia masih sangat terpengaruh oleh pendapat orang-orang yang lebih tua daripadanya, bahwa mimpi dapat menjadi sasmita. "Tetapi aku akan menya mpaikannya "sa mbung Nyai Reksatani "meskipun tidak kepada Ki De mang yang sedang sibuk, aku akan mengatakannya kepada Ki Reksatani" Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya "Baiklah Nyai" "Seperti kau ketahui Ki De mang mala m ini tidak boleh dipengaruhi oleh persoalan-persoalan yang dapat me mbuatnya berkecil hati. Mala m ini ia menjadi benda yang harus diselenggarakan oleh orang tua-tua" "Baiklah. Terserahlah kepada Nyai. Tetapi aku sudah mengatakan agar a ku tida k menyesal kelak" "Bagus. Kau tidak usah cemas Kita akan lebih berhati-hati untuk seterusnya" "Kalau a ku ce mas, ma ka yang paling me nce maskan adalah nasi itu. Kalau nasi itu benar-benar tidak dapat matang, lalu dengan apa kita a kan menja mu ta mu-tamu kita?" Nyai Reksatani termenung sejenak. Namun ke mudian ia berkata "Cobalah terus. Kalau nasi itu masih juga tidak mau masak, maka cobalah menanak yang lain di tempat yang lain dan dengan alat-alat yang lain pula. Mungkin mulut dandangnya sudah tidak bulat lagi, atau kukusannya yang salah" Orang itu mengangguk-anggukkan kepa lanya "baiklah Nyai, aku akan me ncoba" O000de000wi000O
Matahari Esok Pagi Karya : SH Mintardja Jilid 7 "MASIH ada waktu. Jangan tergesa-gesa. Ketergesa-gesaan kadang-kadang menimbulkan banyak kesalahan" Perempuan tua itu mengangguk sekali lagi "Baiklah Nyai. Aku akan ke dapur lagi" Maka dilakukannya pesan Nyai Reksatani itu. Tetapi ia tidak menunggu apakah nasi yang ditanaknya semula itu akan masak. Supaya tidak dikejar oleh waktu, maka iapun menanak nasi di te mpat dan dengan a lat yang lain. "Kau menanak nasi lagi mBok ayu?" bertanya orang yang menggantikannya. "Nyai Reksatani menyuruh aku menanak nasi yang lain. Kalau nasi itu tida k juga mau masak, kita tidak akan kebingungan. "Kalau nasi ini nanti mau masak juga?" "Masih ada banyak sekali mulut yang a kan makan" Yang mendengar pe mbicaraan itu tersenyum. Perempuan muda yang me mbuat hawug-hawug itupun datang mende katinya "La mbat laun ma kanan itu masak juga bibi" "Nah. kalau begitu, kukusannyalah yang salah. Lubangnya pasti terlampau kecil, seperti kukusan yang dipergunakan untuk menanak nasi itu" "Tetapi kenapa justru yang di bawah yang mentah?" Perempuan tua itu. tidak menjawab. Sa mbil mengangkat bahu ia berkata "Tetapi nasi itu akhirnya akan masak juga" Ternyata kata-katanya itu benar. Meskipun jauh lebih la ma dari waktu yang biasanya dipergunakan, nasi itupun masak juga. Tetapi rasanya tidak sesedap nasi yang biasa, seakanakan nasi itu terla mpau la ma terenda m di da la m air.
Tetapi tidak banyak orang yang memperhatikan hal itu. Perempuan tua, perempuan separo baya yang menggantikannya, perempuan muda yang me mbuat makanan, ternyata tidak banyak menceriterakannya kepada orang lain agar tidak menumbuhkan kegelisahan. Meskipun de mikian sambil berbisik-bisik hal itupun me loncat dari mulut ketelinga ke mudian ke telinga yang lain pula, sehingga sema kin ma la m, semakin banyak pula orang yang mengerti. Tetapi mimpi yang mendebarkan itu tidak pernah diceritera-kan kepada orang lain kecuali Nyai Reksatani. Demikianlah maka ma la mpun menjadi se makin ma la m. Ketika se mua persiapan sudah selesai, menjelang tengah ma la m, maka semua orang yang ikut serta di dalam upacara itupun telah dija mu ma kan. Sebentar lagi mereka akan segera mengikut i upacara adat, memandikan kedua sua mi isteri yang sedang menyambut kandungan anak mereka genap tujuh bulan. Pendapa Kademangan Kepandak yang terang benderang seperti siang itupun tampak ge mbira sekali. Setiap kali suara tertawa meledak diantara para tamu yang sedang dija mu makan Se mpat juga mereka menyuapi mulut mereka sa mbil berkelakar. Di ruang dala m perempuan-pere mpuan tua telah siap dengan segala macam persiapan mereka. Rujak edan, pakaian tujuh pengadeg, cengkir kelapa sawit bergambar Ka ma dan Ratih serta berbagai maca m perlengkapan yang la in. Ketika ayam jantan berkokok di tengah mala m dan menja lar dari kandang kekandang, maka orang-orang tuapun berdiri dari te mpatnya masing-masing. Seorang yang diserahi me mimpin upacara itupun segera me mbawa sepasang sua mi isteri itu ke pakiwan yang sudah diisi dengan a ir yang dia mbil dari tujuh buar sumur.
Setelah dibacakan mantera, maka orang tua itulah yang pertama-tama menyira m kedua sua mi isteri yang duduk bersanding itu dari ujung ra mbut mereka sa mpai keseluruh tubuh, dengan air dari tujuh mata air itu yang sudah ditaburi dengan bunga-bungaan. Setelah pemimpin upacara itu selesai memandikannya, maka disira mnya kedua sua mi isteri itu dengan air gendi, sambil mengusap kepala masing-masing berganti-ganti. Setelah air gendi itu habis, maka gendi itupun dibantingnya sampai pecah. Setelah itu, ma ka mulailah para tamu, terutama perempuan-pere mpuan tua, berurutan me mandikan keduanya. Setiap orang menyiram Ki De mang dan Nyai Demang dengan air yang dingin itu. Tidak hanya satu dua kali, tetapi kadang-kadang mereka me mandikannya seperti me mandikan bayi, menggosok tubuh mere ka dan bahkan ada juga yang masih me mbaca doa-doa. "Alangkah dinginnya" desis Ki De mang di dala m hati Meskipun bibirnya menjadi biru dan ge metar, tetapi ia masih harus tetap duduk di tempatnya sampa i orang terakhir selesai menyira m kepalanya dengan a ir yang dingin itu. Demikian pula Sindangsari. Iapun menjadi kedinginan dan gemetar. Tetapi ia harus bertahan sampai semuanya mendapat giliran me mandikan mereka berdua. Ketika orang yang terakhir telah selesai, maka orang tua yang me mimpin upacara itupun segera ke mba li masuk ke dalam pakiwan. Sekali lagi ia menyira m keduanya, lalu katanya kepada orang yang masih berkerumun di luar pa kiwan "Ambillah la mpu itu. Bawa pergi" Seseorang segera menga mbil la mpu itu. Mereka sudah tahu, bahwa pakiwan itu me mang harus menjadi gelap.
"Nah, sekarang tergantilah. Lepaslah pa kaianmu yang basah dan pakailah yang kering ini" berkata perempuan tua itu. Ki De mang dan isterinya menjadi ragu-ragu sejenak. Sambil tersenyum tersipu-sipu Ki De mang berkata "Nanti saja. Di dalam" "Sekarang. Harus sekarang. Kau sekarang bukan Demang. Akulah yang berkuasa sekarang" berkata pere mpuan tua itu. Terdengar suara tertawa di luar pakiwan. Ki De mang menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi karena pakiwan itu sangat gelap, maka dengan terpaksa sekali Ki Demangpun a khirnya bersedia juga berganti pa kaian. "Nyai De mang" berkata pere mpuan tua itu "Kau masih harus mencuci pakaian sua mimu itu sebagai syarat bahwa kau benar-benar bakti dan setia" Sindangsari tahu benar bahwa perempuan tua itu sama sekali tida k bermaksud apa-apa. Sebagai seseorang yang sudah terlampau biasa me mimpin upacara semaca m itu, maka urut-urutan upacara itupun sudah dihafalnya. Namun de mikian dada Sindangsari berdesir juga. Ia tahu, bahwa ia bukannya perempuan yang setia. Tidak setia kepada suaminya yang sekarang, dan tidak setia pula kepada cintanya. Tetapi ia mencoba menye mbunyikan perasaannya. Apalagi di dala m gelap. Sedang Ki De mang yang berganti pakaian di sampingnyapun tidak begitu terlihat olehnya dan oleh orangorang yang berkerumun di luar pakiwan, meskipun pintu pakiwan itu tidak tertutup. Dengan demikian, meskipun seandainya ada kesan yang melonjak ke wajahnya sekalipun tentang perasaannya yang bergejolak itu, tentu tidak seorangpun yang akan melihatnya. Perempuan tua itu tidak dan suaminyapun tida k.
Ki De mang yang masih ada di pa kiwan itu masih harus menunggui isterinya mencuci pakaiannya yang basah ketika ia dimandikan. Ke mudian menunggu Sindangsari mengganti pakaiannya yang basah dengan yang kering pula. "Nah, semuanya sudah selesai. Berdirilah berjajar di pintu" Keduanyapun ke mudian berdiri berjajar di pintu meskipun mereka belum berpakaian lengkap. Sementara itu, perempuan tua yang me mimpin upacara itu mengayunkan siwur. gayung yang dipakainya untuk me mandikan sepasang sua mi isteri itu, yang dibuat dari kelapa, bukan saja tempurungnya, tetapi juga bersama daging kelapanya, keatas sebuah batu sehingga gayung itupun pecah pula berantakan. Setelah itu, barulah Ki Demang yang hanya mengenakan celana dan isterinya berkain pinjung diarak ke halaman depan. Sindangsari masih harus meloncati perapian di hala man. Merang seonggok yang baru mulai me nyala" Dari hala man keduanya dibawa masuk ke pringgitan. Tepat di muka pintu mereka harus berhenti untuk makan rujak tepat di tengah pintu. "Ki de mang" berkata pere mpuan yang me mimpin upacara "sekarang Ki De mang boleh berpakaian lengkap, sedang Nyai Demang masih harus me ncoba beberapa maca m pa kaian. Yang manakah nanti yang paling sesuai. Pada saat Ki De mang mengena kan pakaiannya di dala m biliknya, setiap kali ia mendengar pere mpuan-pere mpuan yang ada di pringgitan berseru "Tidak'. Tida k sesuai. Tidak pantas" Maka Sindangsaripun harus berganti pakaian. De mikian terulang sampai ena m kali. Dan ia harus mengenakan pakaiannya yang ke tujuh. Kain lurik berwarna hijau lumut dan baju dari bahan yang sa ma dan berwarna sa ma. Selembar ke mben yang kehitam-hitaman dan selendang berwarna batu bata.
"Nah, kini baru pantas" berkata seseorang yang disahut oleh yang la in "Ya, sekarang baru pantas" Hampir se mua yang hadir menyambut pula "Ya. Sekarang sudah baik, sudah pantas dan cantik sekali" Sindangsari hanya tersipu-sipu saja sambil menundukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak berbuat apa-apa sementara orang-orang tua mengganti pakaiannya dan mengenakan pakaiannya yang ke tujuh di hadapan perempuan-perempuan yang me menuhi pringgitan. Setelah ia mengenakan pakaiannya yang terakhir, maka perempuan yang me mimpin upacara itupun ke mudian menyelusupkan sepasang kelapa gading di dalam kain Sindangsari yang diterima dengan selendang diantara kedua kakinya sa mbil berkata "Nah. Nyai De mang. Kela k apabila anakmu laki-laki, ia akan setampan Ka ma dan apabila perempuan ia akan secantik Dewi Ratih" Demikianlah maka upacara mengenakan pa kaian itu sudah selesai. Sindangsaripun ke mudian dibawa masuk ke dala m biliknya untuk benar-benar berpakaian dan menyisir rambutnya yang basah kuyup. Dengan bibir yang biru dan ge metar karena dingin Sindangsari meneguk minuman panas yang me mang disediakan untuknya. "Dingin sekali" ia berdesis. Beberapa orang perempuan mengusap kakinya dengan minyak kelapa "Nanti akan segera menjadi hangat" Namun dala m pada itu, Manguri yang menunggu upacara itu di kebun mengumpat-umpat di da la m hati. Katanya "Apa saja yang dikerjakan oleh orang-orang gila itu" Lamat me ngerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab.
"Se mua sudah siap" berkata Manguri "perempuanperempuan itu sudah keluar dari pringgitan. Upacara itu sudah selesai. Sebentar lagi Nyai Reksatani akan membawa Sindangsari keluar. Kau harus dapat melakukan tugasmu dengan baik" Lamat me ngerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. "Se mua sudah siap" berkata Manguri "perempuanperempuan itu sudah keluar dari pringgitan. Upacara itu sudah selesai. Sebentar lagi Nyai Reksatani akan membawa Sindangsari keluar. Kau harus dapat melakukan tugasmu dengan baik" Lamat me nganggukkan kepalanya. "Di ujung lorong ini telah tersedia seekor kuda untukmu dan seekor lagi kudaku. Di sudut padukuhan kita akan me la mpaui beberapa orang Ki Reksatani. Mudah-mudahan mereka t idak me ngganggu kita" "Kenapa mereka me ngganggu?" bertanya La mat. "Mungkin mereka menginginkan Sindangsari pula Tetapi sudah tentu, mereka akan me mbunuhnya" Lamat me ngerutkan keningnya. "Kalau ia segera dibunuh itu akan cukup baik buatnya. Tetapi aku tida k percaya pada laki-laki liar serupa itu. Mereka akan banyak berbuat sebelum mereka me mbunuh Sindangsari. Karena Itu kita harus menyela matkannya" "Apakah kira-kira mereka akan berbuat de mikian?" "Aku tida k tahu, mudah-mudahan tidak. Tetapi seandainya demikian aku sudah mengatur orang-orangku di pinggir parit di seberang jalan" Lamat t idak me nyahut.
"Kalau mere ka akan merebut Sindangsari, kita akan me mpertahankannya" Lamat masih tetap berdia m diri. "He, apakah kau sudah tuli he?" Manguri me ngguncangguncang tubuh La mat. "Ya, Aku mendengar dan aku mengerti. Aku sedang mencoba untuk menilai tugas yang a kan aku la kukan" "Apa yang perlu kau nilai?" Lamat me nggelengkan kepalanya "Bukan apa-apa" "Nah, sekarang kau harus masuk ke halaman. Kau harus mene mpatkan dirimu di tempat yang sudah di tentukan. Aku sudah je mu menunggu" "Baiklah. Aku a kan mencoba melakukan tugasku baik-baik" "Kalau kau me mbuat kesalahan, maka seluruh Kade mangan akan menjadi ge mpar. Di pendapa terdapat Ki De mang, Ki Jagabaya, para bebahu Kademangan yang lain, dan beberapa orang kepercayaan Ki De mang" Lamat me nganggukkan kepalanya. "Kegagalan itu a kan berarti, mereka akan saling berke lahi me lawan Ki Reksatani dan orang-orangnya termasuk kau dan aku, dan barangkali ayah juga" "Ya, aku mengerti" "Cepat, masuklah ke ha la man" Lamatpun ke mudian dengan hati-hati mende kati dinding halaman bela kang Kade mangan. Di dalam bayangan dedaunan ia menjengukkan kepalanya. Ternyata tempat yang ditunjukkan oleh Ki Reksatani me ma ng sepi. Meskipun dari tempatnya La mat melihat beberapa orang duduk-duduk sa mbil berkelakar, namun mereka sama sekali tida k me mbayangkan,
karena orang-orang itu sa ma sekali tidak me mperhatikan tempat yang telah ditentukan itu. Dengan lincahnya Lamatpun ke mudian me loncat naik keatas dinding batu. Di lekatkannya tubuhnya rapat-rapat pada dinding itu sa mbil me mperhatikan keadaan di sekitarnya. Lamat menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seseorang berjalan mene lusur dinding batu itu. Sambil menahan nafasnya ia sema kin melekatkan tubuhnya. Namun de mikian ia sempat melihat, orang yang menelusuri dinding itu menjadi semakin de kat. "Gila" desisnya "siapakah orang ini?" Tetapi aga knya orang itu sama se kali tidak me mperhatikan bahwa ada seseorang yang berbaring menelungkup melekat pada dinding batu. Namun de mikian La mat menjadi se makin berdebar-debar. Bahkan Manguri yang ada di luar dindingpun menjadi berdebar-debar pula, karena iapun mendengar langkah seseorang mendekati La mat. Ketika orang itu telah lewat, Lamat menarik nafas dalamdalam. Agaknya orang itu adalah salah seorang keluarga dari orang-orang yang membantu bekerja di dapur. Orang itu agak ma lu me mbawa sisa makanan lewat pintu depan. Karena itu, ia me milih jalan hala man bela kang sambil me mbawa makanan sisa yang besok akan dije murnya untuk ma kanan itik. Meskipun demikian La mat masih menunggu sejenak. Ketika ia sudah yakin bahwa tidak ada lagi orang yang akan me lihatnya, maka iapun segera meloncat masuk ke hala man dan langsung bersembunyi di da la m gerumbul perdu. Sedang Manguri berada di luar hala man sa mbil mengawasi keadaan. Ia mengetahui dengan pasti bahwa di sekitar tempat itu ada satu atau dua orang pengawas yang di pasang oleh Ki Reksatani, meskipun pengawas itu telah menga mbil tempatnya sendiri tanpa me mberitahukan kepada Manguri.
Dala m pada itu, di dala m rumah Ki De mang di Kepandak, perempuan-pere mpuan tua yang melayani Sindangsari dan meriasnya telah selesai. Ketika Sindangsari dibawa keluar dari dalam biliknya, beberapa orang perempuan yang masih tinggal di pendapa me nyambutnya dengan ra mah. "Perempuan ini me mang cantik seka li" desis salah seorang dari mereka. Di dala m mengandung tujuh bulan, wajahnya menjadi se makin cerah seperti bulan" Kawannya yang duduk di sa mpingnya menganggukkan kepalanya..Katanya "lihatlah ibunya yang duduk di sudut itu. Ibunyapun pasti seorang perempuan yang cantik sekali di masa re majanya" Keduanyapun ke mudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka me mandang Sindangsari dengan mata yang seakan-akan tidak berkedip. Ketika Sindangsari ke mudian duduk di sebelah ibunya, maka setiap mata seakanakan telah terpancang pada keduanya. "Alangkah cantiknya" tiba-tiba terdengar suara dari ruang dalam. Seseorang kemudian muncul sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di muka dadanya "mBok-ayu me mang cantik sekali" Sindangsari berpaling. Namun kepa lanyapun kemudian tertunduk sambil tersipu-sipu. Orang itu, Nyai Reksatanipun kemudian mende katinya sambil berkata "Aku menjadi sangat iri. Ketika aku menyambut bulan ke tujuh kandunganku yang pertama, aku tidak secantik mBok-ayu. Bukankah begitu bibi?" bertanya Nyai Reksatani kepada ibu Sindangsari" "Ah" desis ibunya. "Tentu saja" tiba-tiba seseorang menyahut "lihatlah. Keduanya me mang sangat cantik. Kecantikan itu agaknya me mang menurun"
"Ah" Sekali lagi ibu Sindangsari berdesah "jangan me muji. Rambutku telah berwarna dua " Perempuan-pere mpuan itu tertawa. Nyai Reksatanipun tertawa pula. "Sayang" bisik seorang perempuan yang duduk di belakang "ibu Nyai De mang itu menjanda sejak sua minya meninggal. Kalau ia mau, pasti masih puluhan laki-la ki yang ingin me mperisterinya" "Hidupnya semata-mata buat gadisnya sejak suaminya meninggal. Aku dengar, kawan suaminya seorang prajurit ingin juga me mperisterikannya. Bahkan seorang perwira. Tetapi ia tidak bersedia. Ia lebih senang hidup bersama puteri dan kedua ayah ibunya" Kawannya berbicara mengangguk-anggukkan kepa lanya. Dala m pada itu, ma ka Nyai Reksatanipun ke mudian bertanya kepada Nyai Demang "mBok-ayu, apakah masih ada yang perlu dilakukan ma la m ini?" Sindangsari tidak segera menyahut, karena ia tidak mengetahui ma ksud pertanyaan itu. Dipandanginya saja Nyai Reksatani dengan tatapan mata yang ragu-ragu. "Eh, maksudku, apakah mBok-ayu akan beristirahat" Setelah mandi di tengah ma la m, ke mudian berganti pakaian sampai tujuh kali, barangkali mBok-ayu merasa le lah" Sindangsari mengge lengkan kepalanya "Tidak. Aku tidak lelah" "Sokurlah" jawab Nyai Reksatani. Tetapi ia mula i gelisah. Ia mendapat tugas untuk me mbawa Sindangsari keluar, ke tempat tugas untuk me mbawa Sindangsari keluar, ke tempat yang sudah ditentukan, sedang di pringgitan masih juga ada beberapa orang perempuan yang duduk-duduk mengawani Sindangsari dan ibunya.
Sejenak Nyai Reksatani kebingungan. Namun sejenak ke mudian ia mendapat akal. Katanya "Agaknya masih ada diantara kita yang akan tinggal disini se mala m suntuk. Karena itu, sebaiknya kalian duduk-duduk saja sejenak, aku akan menyiapkan ja muan untuk kalian. Biarlah orang-orang di dapur menanak nasi. Nasi panas pasti akan mena mbah gairah kalian tinggal bersa ma bidadari yang manis itu" Ternyata pancingan itu mengena. Seorang perempuan tua segera menyahut "Sudahlah Nyai. Menjelang tengah ma la m, sebelum upacara dimulai, ka mi sudah ma kan. Dan kamipun agaknya tidak akan terla mpau la ma lagi tingga l disni" "O, jangan begitu. Aku seakan-akan telah me ngusir kalian. Tidak. Aku berharap agar ka lian tinggal disini se mala m suntuk" "Ka mi perlu beristirahat" "Tinggallah sebentar. Selama orang di dapur menanak nasi. mBok-ayu pasti kedinginan dan menjadi lapar. Kalian akan mengawaninya makan, karena sebenarnya mBok-ayu De mang masih belum ma kan. "Biarlah ia ma kan bersama suaminya "Perempuanperempuan di pringgitan itupun justru minta diri seorang de mi seorang. Sebagian dari mereka t idak segera pulang. Tetapi pergi ke dapur atau ke bilik pengrantunan. Nyai Reksatani menarik nafas karenanya. Ia harus bekerja cepat. Sebelum fajar, semuanya harus sudah selesai, sementara Ki Reksatani berusaha mengikat Ki De mang dan para tamu laki-laki untuk tetap duduk-duduk saja di pendapa. "Makanlah dahulu mBok-ayu" bisik Nyai Reksatani kepada Nyai De mang "bersa ma bibi barangkali?" "Aku sudah ma kan bersa ma para tamu" jawab ibu Sindangsari "ma kanlah sendiri, atau kau menunggu suamimu?"
"Ah" sahut Nyai Reksatani "ka kang De mang t idak usah diganggu. Biarlah ia mene mui ta mu-ta munya. Marilah, aku layani kau makan mBok-ayu, selagi kau mala m ini menjadi ratu" "Ah" Sindangsari berdesah se mentara Nyai Reksatani tertawa. Tanpa menunggu jawabannya lagi, maka ditariknya tangan Sindangsari dan dibawanya ke bilik da la m. "Makanlah sudah sedia" katanya. Sindangsari tida k dapat menolak lagi. Iapun ke mudian berdiri sa mbil berkata kepada ibunya "Apakah ibu tidak makan dahulu" "Ya, marilah" sahut Nyai Reksatani. "Terima kasih. Aku sudah makan bersama para ta mu sebelum upacara. Sindangsari me mang belum ma kan, karena itu makanlah" Sindangsaripun ke mudian dibimbing oleh Nyai Reksatani ke biliknya sambil berkata "Biarlah disedia kan makanmu di dala m bilikmu saja" Nyai Reksatanipun kemudian me mbimbing Nyai De mang masuk ke dala m biliknya. Dala m pada itu. di halaman belakang, Manguri hampir tidak sabar lagi menunggu. Setiap kali ia selalu menengadahkan wajahnya ke langit, me mandang bintang-bintang yang bergeser perlahan-lahan dari te mpatnya. "Se muanya harus dila kukan sebelum fajar" desisnya "kalau orang-orang di sekitar hala man ini sudah bangun, maka gagallah se mua usaha yang sudah dirancang begitu matang. Untuk mendapatkan kesempatan yang lain agaknya terlampau sulit" berkata Manguri di dala m hati "sudah tentu kita tidak dapat berbuat apa-apa pada saat Sindangsari melahirkan.
Anak itu akan me njadi hantu yang pa ling menakutkan bagi Ki Reksatani, sehingga mungkin sekali, sebelum hari kelahiran ia akan menga mbil cara yang paling kasanMe mbunuh Sindangsari dengan caranya" Manguri menarik nafas dalam-dala m. Keringat dingin telah me mbasahi di seluruh tubuhnya. Sekali-sekali ia mencoba me lekat pada dinding batu dan menengok ke hala man belakang Kade mangan Kepandak. Tetapi ia tidak dapat me lihat La mat yang sudah berse mbunyi di sana. Selagi Manguri dilanda oleh kegelisahan, La matpun sedang mereka-reka apa yang akan dilakukan ke mudian setelah Sindangsari berhasil dibawa ke te mpat perse mbunyiannya itu. "Apakah aku dapat me mbiarkan se muanya itu terjadi?" katanya di dala m hati. Tetapi setiap kali La mat hanya dapat berdesah di dalam hati "Apakah aku benar-benar telah terbelenggu oleh hutang budi itu sepanjang umurku" Umur yang seolah-olah sudah bukan milikku lagi ini?" Lamat menarik nafas dalam-dala m. Sejenak ia menjengukkan kepalanya dari sela-sela dedaunan. Tetapi ia tidak me lihat seorangpun yang datang mendekat. Bahkan kadang-kadang timbul pikirannya "Mudah-mudahan tidak ada kesempatan untuk me mbawa Sindangsari ke mari, sehingga seandainya mala m ini gagal, maka kegagalan itu bukan terletak pada kesalahanku" Tetapi dalam pada itu Nyai Reksatani telah berhasil me misahkan Sindangsari dari ibunya. Dilihatnya seseorang yang disuruhnya telah menyajikan ma kan bagi Sindangsari ke dalam bilik itu, sementara ia berjalan hilir mudik di ruang tengah. Namun sepeningga l orang yang mengantar makan ke dalam bilik itu, Nyai Reksatani segera masuk ke dala m. Dengan nada yang tergesa-gesa ia berkata "mBok-ayu, agaknya, masih ada yang kurang di da la m peralatan ini"
Sindangsari me ngerutkan keningnya. "Apakah mBok-ayu mendengar ceritera yang telah terjadi di dapur?" "Jambangan yang pecah itu?" "Ya, dan nasi yang tidak mau masak seperti biasanya" Meskipun akhirnya masak juga, tetapi cobalah, rasakanlah nasi itu yang agaknya sa ma sekali tida k sedap" Sindangsari t idak segera menjawab "mBok-ayu tahu sebabnya?" Sindangsari me nggeleng. "Tentu ada sesaji yang kurang. Beruntunglah kita kalau yang diganggu hanya sekedar maca m-maca m masa kan atau jambangan pecah, tetapi kalau yang lain?" "Apakah yang lain itu?" "Kita. Salah seorang dari kita. Atau" Nyai Reksatani t idak me lanjutkannya. "Atau" Sindangsari mengulang. "Sudahlah. Ma kanlah" "Tetapi apakah yang kau ma ksud?" "Makanlah" Sindangsari menarik nafas dalam-dala m. Tetapi iapun ke mudian menyenduk nasi dengan entong kayu dan menaruhnya diatas mangkuk. "Kau tidak ma kan?" ia bertanya kepada Nyai Re ksatani. "Aku sudah makan. Lima kali sejak tengah hari. Sindangsari tersenyum. Ke mudian iapun mulai me nyuap mulutnya. Namun ia tertegun ketika ia me lihat Nyai Reksatani menjadi gelisah seka li.
"Kenapa kau?" "Perasaanku menjadi tida k enak. Tetapi apakah kau merasakan sesuatu pada kandunganmu?" "Tida k. Kenapa?" Sindangsari menjadi gelisah pula. "Sesaji itu" bisiknya "bibi juru adang di dapur bermimpi sambil duduk di muka perapian. Ini tidak biasa terjadi. "Mimpi apa?" "Kia i Candil di rumpun ba mbu petung di belakang" "Kenapa?" "Yang me mberikan sesaji aga knya bukan orang yang biasa me mbuat untuknya. Bukan aku. Ternyata ada kekurangannya" "Apa?" "Sadak kinang yang dira mu dengan daun sirih muda" "O, kenapa tidak disedia kan?" "Aku akan pergi me lengkapinya" Nyai Reksatanipun ke mudian berdiri, lalu "aku sudah menyediakan sadak kinang itu" ia termenung sejenak, lalu "marilah, Ikutlah. Aku akan menunjukkan kepada mu, dima nakah letak sesaji itu seharusnya. Karena kau akan tinggal di rumah ini untuk seterusnya. Kau harus tahu dan harus mengerti, apa yang sebaiknya kau lakukan untuk kesela matan seluruh keluarga dan terlebih-lebih untuk bayimu" "Jadi?" "Kita pergi ke kebun bela kang sebentar. Sebentar saja" "Baiklah, aku selesaikan sebentar ma kanku ini" "Ah, marilah. Tinggalkan itu sebentar supaya kau tidak tergesa-gesa dan kau dapat ma kan dengan tenang" Sindangsari termangu-mangu sejenak. Dan tiba-tiba saja ia bertanya "Tetapi kenapa baru sekarang kau akan melengkapi
sesaji itu" Selagi aku sudah mulai makan" Kalau kau mengetahui ha l itu sebelumnya, tentu aku tidak akan tergesagesa menyenduk nasi" "Aku mencoba untuk menunggu sa mpai kau selesai makan. Aku tidak mau mengganggu ketenanganmu" Nyai Reksatani berhenti sejenak, lalu "tetapi aku menjadi sangat gelisah" Sindangsari termenung sejenak Na mun iapun me njadi gelisah karenanya. Tanpa sesadarnya dirabanya perutnya yang terasa semakin me mbesar. "Marilah sebentar mBok-ayu. Hanya sebentar. Kita akan menjadi tenteram. Tinggalkan sajalah ma kanan itu, nanti kau ulangi lagi" Sindangsari tidak dapat menola k lagi. Ke mudian diikut inya Nyai Reksatani keluar dari biliknya. Tetapi Nyai Reksatani tidak menga mbil ja lan tengah yang melalui dapur. Ia lebih senang lewat butulan sebelah kiri. "Kenapa kita Sindangsari. me milih ja lan yang gelap?" bertanya
"Aku menghindari orang-orang yang ada di dapur Mereka akan bertanya segala maca m persoalan yang menje mukan. Kita pergi saja sendiri la lu se muanya akan selesai tanpa pembicaraan yang kadang-kadang tidak masuk akal dan bahkan menyimpang dari persoalan yang sebenarnya" Sindangsari tidak bertanya lagi. Ia berjalan saja mengikuti Nyai Reksatani ke luar dari pintu butulan sebelah kiri. Ketika Sindangsari menjejakkan ka kinya di ha la man, terasa bulu tengkuknya mere mang. Serasa sesuatu merayapi hatinya yang cemas dan gelisah. Di sebelah rumah itu agaknya sudah menjadi sepi. Anak-anak muda yang duduk-duduk sa mbil berkelakar sudah meninggalkan tempatnya dan tidur di gandok. Meskipun la mpu yang terang benderang di pendapa masih mele mparkan cahayanya ke halaman depan, tetapi
agaknya mereka yang duduk di pendapapun sudah menjadi lelah dan kantuk. Tida k banyak lagi terdengar gelak tertawa diantara mereka. Sindangsari berjalan berjingkat tanpa sesadarnya di belakang Nyai Reksatani. Meskipun tengah mala m telah jauh lewat, tetapi mala m masih kela m bukan kepa lang. "Di rumpun ba mbu yang mana?" bisik Sindangsari Terasa suaranya menjadi ge metar. "Itu, rumpun ba mbu petung" "Kenapa kita tidak me mbawa obor" Atau aku akan menga mbilnya sebentar?" "Ah tidak perlu. Kita sudah ha mpir sa mpa i" Sindangsari tida k berkata-kata lagi. Meskipun terasa dadanya bergetar, tetapi ia berjalan saja di belakang Nyai Reksatani. Tanpa diketahui sebabnya, setiap langkah terasa semakin bertambah berat. Tetapi dipaksakannya ia berjalan terus. Ia justru mencoba mengusir segala perasaan takut dan cemas. Manguri yang ada di luar hala man mengangkat kepalanya ketika ia mendengar suara dua orang perempuan di halaman belakang. Meskipun seolah-olah mereka hanya saling berbisik, tetapi telinga Manguri yang tajam segera dapat menangkapnya, dan dengan segera pula ia me mastikan bahwa keduanya itulah Nyai Reksatani dan Sindangsari. Terasa jantung Manguri berdetak semakin cepat. Dengan tegangnya ia mencoba menjenguk dari atas dinding batu yang me lingkari hala man itu. Darahnya serasa berhenti ketika ia melihat dua orang perempuan berjalan ke arah tempat yang telah ditentukan oleh Ki Reksatani.
"Pasti mereka" desisnya meskipun Manguri masih be lum dapat melihat wajah-wajah mereka di dala m gelap. Sejenak Manguri seakan-akan me mbeku di te mpatnya. Nafasnya menjadi terengah-engah dan dadanya serasa berdentangan. "Mudah-mudahan La mat berhasil tanpa persoalan yang rumit" katanya di da la m hati. menimbulkan
Sementara itu, Lamat masih berjongkok di te mpatnya. Ketika ia mendengar suara perempuan dan me lihat dua bayangan mendekat, iapun menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba saja kepalanya menunduk dala m-dala m seakan-akan ia ingin me lihat warna hati di dala m dadanya. "Apakah aku akan me lakukannya?" pertanyaan itu tiba-tiba telah meronta di da la m dadanya. Kedua bayangan itu se makin la ma menjadi se makin dekat. Mereka berjalan menuju kerumpun ba mbu petung di sebelah rumpun perdu tempat La mat tersembunyi. "Disitu mBo-ayu berkata Nyai Reksatani "mbok-ayulah yang harus meletakkannya.. "Aku?" "Ya" "Dima na?" "Di rumpun ba mbu itu telah ada sesaji. Tetapi sesaji itu kurang me menuhi ke inginan penunggu rumpun ba mbu itu. Karena itu taruhlah sadak kinang ini ke dala m ancak sesaji itu" Sindangsari termangu-mangu sejenak, seperti La mat masih juga termangu-mangu. Sejenak ia menahan nafas sambil me mandang keduanya. Dadanya serasa menjadi retak oleh pergolakan perasaannya sendiri.
"Aku tidak dapat lari dari dunia yang ke la m ini. Aku adalah orang yang paling palsu di muka bumi. Aku adalah orang yang sama sekali tidak berani me lihat kejujuran di dala m diri" berkata Lamat di da la m hatinya "dan kini aku harus me lakukannya. Sebuah kepalsuan yang tidak berperike manusiaan sa ma seka li" Lamat masih menundukkan kepalanya. Wajahnya yang kasar menjadi tegang. Nafasnya tertahan-tahan dan tangannya tiba-tiba menjadi ge metar. Lamat adalah seorang yang bertubuh raksasa, berwajah kasar seperti batu padas. Namun di da la m keadaan yang paling sulit, terasa matanya menjadi panas. Ia merasa betapa dirinya kini menjadi manusia yang paling tidak berharga, sehingga tidak seorangpun yang dapat mengerti dan menghargai perasaannya. Hampir saja La mat tidak dapat menahan diri. Ia sadar ketika terasa setitik a ir menghangati tangannya. Ketika ia mengangkat wajahnya, ia me lihat Sindangsari sedang me mbungkukkan punggungnya meletakkan sadak kinang di dala m anca k sesaji. Bayangan kegelapan rumpun bambu seakan-akan telah melindunginya. Ketika ia selesai, maka iapun segera tegak ke mba li dan me langkah surut. "Begitukah?" ia bertanya. "Ya. Begitu" sahut Nyai Reksatani yang menjadi gelisah. Ia sudah berhasil me mbawa Sindangsari ke tempat yang ditentukan. Tetapi tidak seorangpun yang datang untuk menga mbil Sindangsari. Manguripun mengumpat-umpat di da la m hati. "Apakah yang ditunggu anak gila itu?" Manguri menggera m di dala m hatinya. Dala m pada itu, Lamat menyadari, bahwa ia tidak me mpunyai waktu lagi. Ia harus segera bertindak di dala m
waktu yang singkat. Ia sadar, bahwa Nyai Reksatani sudah menjadi gelisah, karena ia masih belum berbuat apa-apa. "Maafkan aku Sindangsari" ia berdesis di dala m hati. Namun sejenak ke mudian ia menggeretakkan giginya, seolaholah mencari sandaran kekuatan bagi hatinya yang ringkih. Sejenak ke mudian La mat itupun segera meloncat seperti seekor harimau menerka m Sindangsari. Betapa terkejutnya perempuan itu. Seperti juga Nyai Reksatani yang terkejut pula. Tetapi Sindangsari sama sekali tidak se mpat berteriak. Tangan yang kokoh kuat tiba-tiba saja telah menyumbat mulutnya. Dala m keadaan yang tidak terkuasai itu, ia masih mendengar seseorang berdesis "Maafkan aku. Bukan ma ksudku menyakiti kau" Setelah itu, ia merasakan tekanan yang berat pada urat di sisi lehernya. Kemudian ia tidak merasakan sesuatu lagi. Pingsan. Nyai Reksatani masih berdiri me matung di te mpatnya. Dipandanginya La mat seperti me mandang hantu. Na mun demikian ketika ia melihat Sindangsari yang le mas di tangan raksasa itu, terasa dadanya seakan-akan retak. "Hati-hatilah "ia berdesis. Lamat terkejut mendengar pesan itu. Tetapi ia tidak segera menyahut. "Perlakukan pere mpuan itu dengan baik. Apalagi ia sedang mengandung" Lamat mengangguk perlahan-lahan "Baik Nyai jawabnya dengan suara yang berat "aku akan me mperlakukannya dengan sebaik-baiknya" "Katakanlah kepada Manguri, jagalah pere mpuan itu. Bukan saja tubuhnya, tetapi juga perasaannya. Kalau Manguri menghenda kinya, ia harus menerima pere mpuan itu seutuhnya. Jangan hanya Sindangsari yang tampak itu.
Seorang perempuan muda yang cantik yang barangkali telah mengge legakkan nafsunya sebagai seorang laki-laki. Tetapi Manguripun harus menerima semua yang ada padanya. Yang disenangi ma upun yang tida k" "Ya Nyai" "Kau tahu, aku juga seorang perempuan dan aku juga me mpunyai anak pere mpuan" Lamat tidak menjawab. Terasa matanya menjadi panas lagi dan tenggorokannya serasa tersumbat ketika ia mendengar Nyai Reksatani itu terisak. "Sudahlah, bawalah" Lamat mengangguk "Aku akan menjaganya Nyai" tiba-tiba saja terloncat dari bibir La mat, sehingga justru Lamat sendiri terkejut karenanya. Tetapi Nyai Reksatani tida k menyahut lagi. Bahkan dengan tergesa-gesa ia memutar dan pergi meninggalkan La mat yang termangu-mangu. Lamat terkejut ketika ia merasa seseorang menggamitnya. Ketika ia berpaling ternyata Manguri sudah berdiri di sampingnya. "Kau jangan menjadi gila. Cepat, kalau kau terlambat, maka se muanya akan rusak" bisik Manguri. Lamat menganggukkan kepalanya. Keduanyapun kemudian pergi meningga lkan hala man itu sambil me mbawa Sindangsari yang pingsan. Lamat dan Manguripun ke mudian segera pergi ke tempat kuda-kuda mere ka disediakan. La mat segera meloncat na ik sambil me ndukung Sindangsari, sedang Manguripun naik pula keatas punggung kudanya. "Marilah "aja k Manguri.
Keduanyapun kemudian meninggalkan te mpat itu dengan perasaan yang berbeda-beda. Namun keduanya tidak segera me macu kudanya, supaya derap kaki kuda-kuda itu tidak me nimbulkan berbagai maca m pertanyaan di hati penduduk. Apalagi apabila diantara mereka ada yang menjenguk keluar dan melihat siapakah mereka. Di ujung desa mereka melewati beberapa orang yang di tempatkan oleh Ki Reksatani untuk bertindak setiap saat, apabila keadaan me mburuk. Tetapi agaknya mereka sama sekali t idak berbuat apa-apa terhadap Manguri dan La mat. "Apakah kalian sudah berhasil?" bertanya salah seorang dari mereka. "Ya, semuanya sudah se lesai" jawab Manguri. "Baiklah. Supaya tidak menimbulkan kesan apapun bagi orang-orang yang melihat, meskipun dari kejauhan, maka kita akan berpencar" berkata salah seorang dari mere ka. "Ya, berpencarlah" sahut Manguri. "Pada saatnya kami akan mene mui Ki Reksatani "Silahkan. Akupun akan mencari kesempatan pula" Manguri dan La matpun ke mudian meneruskan perjalanan mereka me mbawa Sindangsari yang sedang pingsan. Na mun agaknya Lamat benar-benar telah menjaga sebaik-baiknya. Ia menyadari bahwa kandungan Sindangsari akan terganggu apabila derap kudanya nanti akan mengguncang-guncang tubuh perempuan itu. Setelah mereka sa mpa i kebulak yang panjang harulah mereka me mpercepat langkah kuda kuda mereka. Apalagi setelah mereka melihat bayangan ke merahan di langit. Di tengah-tengah bulak, Manguri berhenti sejenak. Dari sela-sela batang jagung muda beberapa orang merangkakrangkak keluar dan berloncatan keja lan.
"Tida k terjadi sesuatu?" bertanya salah seorang dari mereka, orang-orang yang me mang di te mpatkan oleh Manguri untuk mengawasi keadaannya apabila lerjadi sesuatu yang tidak terduga-duga. "Tida k. Ke mbalilah Jangan menimbulkan kesan yang dapat merugikan aku dan kita se mua" "Baiklah" Orang-orang itu adalah orang-orang yang biasanya ikut mengawal ternak apabila ayah Manguri mengirim ternak keluar daerah dan ke te mpat-tempat yang jauh. Sejenak ke mudian ma ka Manguri dan La matpun berpacu semakin cepat menuju ke tempat terpencil. Tempat penampungan ternak yang jarang dikenal. Yang ada di tempat itu hanyalah kandang kandang yang besar, patok-patok dan pelanggaran untuk mengikat tali-tali ternak yang sedang dikumpulkan sebelum dibawa keluar daerah. Ternyata, baik orang-orang Ki Reksatani, maupun orang Manguri, segera telah berhasil menghilangkan jejak mereka. Setelah mereka berpencaran, ma ka merekapun berjalan seenaknya di jalan-jalan persawahan seperti orang-orang yang akan pergi ke pasar yang jauh. Tidak seorangpun yang menumbuhkan kecurigaan kepada orang-orang yang mereka temui di sawah-sawah karena mereka sedang menunggui air yang menjadi bagian mereka ma la m itu, karena a ir agak sulit didapat di musim kering yang panjang. Dala m pada itu, Manguri dan Lamatpun segera sampai pula ke tempat tujuan mereka, karena kuda-kuda mereka berpacu semakin cepat. Dengan tergesa-gesa mereka meloncat turun dan mena mbatkan kuda-kuda mereka. Dengan tergesa-gesa pula Lamat mendukung Sindangsari menuju ke gubug di pinggir pekarangan yang sangat luas itu.
Mereka terkejut ketika mereka melangkah masuk. Ternyata ayah Manguri telah duduk di dala mnya menghadapi sebuah pelita minyak. "Ayah" desis Manguri. "Ya. Aku sudah menunggu. Aku menjadi ce mas kalau terjadi sesuatu atas kalian. Tetapi yang paling cemas adalah apa yang akan terjadi ke mudian " "Kenapa?" "Lalu, apakah yang akan kau lakukan setelah kau berhasil me mbawa Sindangsari ke mari" "Biarlah ia ada di sini untuk beberapa la ma. Bukankah ayah sudah mendapatkan te mpat yang lain untuk mena mpung ternak sebelum ayah me mbawanya pergi" "Kenapa te mpat lain" "Menurut Ki Reksatani sema kin banyak orang yang mengetahui hal ini, akan se makin berbahaya baginya" "Ia benar" sahut ayahnya "aku akan me mbatasi hanya orang-orang yang me mang sudah mengetahui hal ini sajalah yang akan datang ke tempat ini. Tetapi untuk me mindahkan dengan serta-merta tempat penampungan ternak ini, pasti akan menimbulkan kecurigaan orang" Manguri mengangguk-anggukkan kepa lanya. "Sekarang apa yang akan kau lakukan?" "Sekarang?" "Ya, sekarang ini" Manguri mengerutkan keningnya "Maksud ayah, apa yang harus aku kerjakan sekarang ini?" "Ya"
Manguri menarik nafas dalam-dala m. Jawabnya "Tidak ada. Aku akan beristirahat disini. Aku lelah sekali. Aku lelah dan mengantuk" "Aku sudah menduga. Karena itulah maka aku datang ke mari" "Maksud ayah" Apa lagi yang harus aku la kukan pagi ini?" "Pulanglah cepat. Masuklah ke dalam bilik kalian masingmasing, dan tidurlah seperti biasa, seperti tidak terjadi apaapa" Manguri tidak segera mengetahui maksud ayahnya, sehingga sejenak ia me mandang La mat, ke mudian me mandang ayahnya. "Apakah maksud ayah, aku harus me mbawa Sindangsari pulang ke rumah?" "Tentu tidak. Biarlah ia dise mbunyikan disini. Taruhlah ia di dalam bilik se mpit di sebelah. Kalau karena kecurigaan Ki Demang, ia me ngirim orang ke mari, biarlah aku yang bertanggung jawab. Tidak seorangpun yang akan me lihat, bahwa di ba lik gledeg itu adalah pintu sebuah bilik" "Lalu kenapa aku harus ke mbali pulang dan masuk ke dalam bilik seperti biasa dan seperti tidak terjadi apa-apa" "Cepat, letakkan perempuan itu di da la m bilik kecil itu, dan segera pulang. Kau dengar?" Manguri menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya wajah Sindangsari yang masih pingsan, ke mudian wajah ayahnya berganti-ganti. "Jangan cemas. Aku akan menungguinya seperti menunggui anakku sendiri. Tetapi kau harus segera pulang sekarang"
Lamatpun ke mudian masuk ke dala m bilik kecil di be lakang gledeg itu untuk me letakkan Sindangsari. Katanya "Ia akan segera sadar" "Aku akan menungguinya. Kalau ia berbuat sesuatu yang dapat berbahaya bagi kita, aku akan me mbuatnya pingsan pula" Lamat me ngerutkan keningnya Dan tanpa sesadarnya ia berkata "Ia sangat le mah" Ayah Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya "Ba iklah. Aku akan menyesuaikan keadaannya dengan ke mungkinan yang dapat terjadi" Meskipun ragu-ragu tetapi Manguri dan La matpun ke mudian segera berpacu pulang ke rumahnya. Seperti pesan ayahnya, merekapun segera me mbersihkan diri, mencuci ka ki dan berganti pakaian, kemudian masuk ke dala m bilik masingmasing" Sementara itu, di Kademangan Kepandak. Nyai Reksatani yang telah mengumpankan Sindangsari ke hala man be lakang, langsung ke mbali masuk ke dapur. Ia tidak ke mbali lagi ke bilik Sindangsari atau ke pringgitan. Sejenak kemudian iapun sudah sibuk bekerja diantara orang-orang yang masih ada di dapur menyiapkan makan pagi bagi orang-orang yang semala m-ma la man me mbantu di rumah itu, serta untuk mereka yang tertidur di gandok dan di pendapa. Yang masih tinggal di pringgitan adalah ibu Sindangsari, Ia duduk dengan satu dua orang pere mpuan tua sa mbil berbicara tentang berbagai masalah. Ibu Sindangsari itu adalah perempuan yang paling banyak melihat dunia di luar lingkungan Kade mangan Kepandak dari orang-orang lain. Karena itu, maka ialah yang paling banyak berceritera tentang segala sesuatu yang pernah dilihatnya. Namun setelah sekian la ma mereka berbicara, Sindangsari masih belum juga datang kembali diantara mereka: Tetapi
perempuan-pere mpuan itu tidak menghiraukannya. Mereka menyangka bahwa Sindangsari masih terlampau lelah, sehingga ia tertidur atau berbaring di biliknya. "Biar sajalah" berkata seorang perempuan tua "ia lelah sekali. Apalagi perutnya yang sudah menjadi se makin besar.Ia me mang perlu beristirahat" Karena itu maka tida k seorangpun yang segera mengetahui, bahwa Sindangsari sudah tidak ada di dala m biliknya. Ketika seorang perempuan yang menyediakan makan Sindangsari itu ke mudian masuk lagi ke dala m biliknya untuk menga mbil sisa ma kannya, ia terkejut. Makanan Sindangsari yang sudah disenduk di da la m mangkuk masih belum dimakannya. Karena itu, maka iapun segera mencarinya ke pringgitan. "Apakah Nyai Demang duduk disini?" pere mpuan itu bertanya. "Ia ada di dalam biliknya" jawab ibu Sindangsari bersamaan dengan beberapa orang perempuan la innya. "Tida k ada. Aku baru saja masuk ke da la m bilik itu" "O, barangkali ia ada di dapur" "Juga tidak ada. Sejak tengah mala m a ku ada di dapur" Ibu Sindangsari mengerutkan keningnya. Namun ke mudian ia berkata "Mungkin ia sedang berada di pendapa atau di tempat-tempat la in" "Tetapi NyaiDe mang masih be lum ma kan" "Ia pergi ke da la m biliknya bersa ma Nyai Reksatani" "Ya, akulah yang menyiapkan makan untuknya. Nasi sudah disenduk. Tetapi masih belum dima kannya" "Bertanyalah kepada Nyai Reksatani"
Perempuan itupun ke mudian pergi mencari Nyai Reksatani di dapur. Kepadanya ia bertanya pula tentang Sindangsari. Betapa dada Nyai Reksatani serasa pepat. Namun ke mudian ia menjawab "Ia berada di biliknya. Bukankah ia sedang ma kan" Dan bukankah kau tadi yang menyediakan makan buatnya" "Ya. Aku me mang akan menga mbil sisa makan itu. Tetapi nasi yang sudah disenduk masih belum dimakannya" "Ah, jangan berkhayal" "Nyai tidak percaya" Nyai Reksatani mengerutkan keningnya. Kemudian katanya kepada seorang perempuan yang duduk di sampingnya "Lihatlah ke dala m bilik itu. Aku sedang mengukur kelapa. Tanganku kotor sekali" Perempuan itupun ke mudian berdiri dari tempatnya dan pergi ke dalam bilik Sindangsari bersa ma perempuan yang telah menyediakan makan buatnya. "Nah, kau lihat?" Perempuan itu mengerutkan keningnya. "Aneh sekali. Nasi yang sudah disenduk ke dala m mangkuk itu ditinggalkannya begitu saja. Bukankah aku tidak mengigau atau berkhayal atau mimpi?" Perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya "Me mang aneh sekali" Keduanyapun ke mudian bersama-sa ma ke mbali ke dapur dan mengatakan apa yang mereka lihat kepada Nyai Reksatani. Beberapa orang yang lain ikut pula mendengarkannya. Hampir bersamaan mere ka berguma m "Aneh sekali" "Mari kita lihat" berkata Nyai Re ksatani.
Merekapun ke mudian bersama-sa ma pergi ke dala m bilik Sindangsari. Yang mereka kete mukan di sana adalah persediaan makan buat Nyai De mang. Nasi yang sudah disenduk ke dala m mangkuk dan beberapa potong lauk sudah berada dimangkuk itu pula. "Ke mana mBok-ayu ini" desis Nyai Reksatani "tidak pantas nasi yang sudah disenduk ditinggal begitu saja. Apakah ia berada di pringgitan?" "Tida k. Aku sudah kesana" "Di pendapa" "Aku belum me lihatnya" Nyai Reksatani sendiri kemudian pergi ke pringgitan untuk mencari Sindangsari. Karena di pringgitan tidak ada, maka iapun ke mudian berguma m "Apakah ia berada di pendapa mene mui ta mu sua minya?" "Marilah kita lihat" desis seseorang. Nyai Reksatani termenung sejenak. Tetapi yang direnungkan sa ma sekali bukan dimana Sindangsari berada, tetapi apakah orang-orang yang melarikan Sindangsari sudah sampai tujuannya. "Bagaimana Nyai" bertanya seseorang. Nyai Reksatani tergagap. Ia sudah tidak dapat berusaha mengulur waktu lagi. Karena itu maka iapun berkata "Marilah kita lihat, apakah ia berada di pendapa" Nyai Reksatanipun kemudian pergi ke pendapa diikuti oleh ibu Sindangsari yang menjadi sangat gelisah. "Tida k mungkin ia tida k dapat diketemukan" berkata Nyai Reksatani kepada ibu Sindangsari. "Tetapi, bukankah ia meninggalkan nasi yang sudah di senduk ke dala m ma ngkuk"
"Me mang aneh" Ketika mereka sa mpai di pendapa. Ki Demang mengerutkan keningnya. Ki Reksatanipun ke mudian bertanya "Siapakah yang kalian cari disini?" "mBok-ayu" "He" sahut Ki De mang "bukankah ia ada di dala m?" "Tida k ada" jawab ibu Sindangsari. "Ah. Ia tidak ada disini. Cobalah cari di biliknya, di dapur atau barangkali ia berada di pakiwan" "Ka mi sudah mencari ke mana-mana. Semua orang sudah mencarinya. Kecuali di pa kiwan" "Ia tentu mendengar ka mi ribut apabila ia berada di pakiwan" berkata seorang pere mpuan yang lain. Ki Jagabaya tidak mengucapkan sepatah katapun. Tetapi ia langsung berdiri. Kemudian ia me langkah turun dan pergi ke pakiwan "Nyai De mang" ia berdesis. Tidak ada yang menyahut. Tiba-tiba saja Ki Jagabayapun menjadi gelisah. Ketika ia ke mbali ke pendapa, beberapa orang perempuan masih berdiri di tangga dengan wajah yang gelisah. "Di pakiwanpun tidak ada " desis Ki Jagabaya. "Aneh sekali. Apakah kalian sudah menjadi gila?" Ki De mangpun ke mudian berdiri pula diikuti oleh ta mutamunya yang lain. Mereka yang sudah mengantukpun tibatiba tersadar dan meloncat berdiri pula. Dengan tergesa-gesa Ki Demang masuk kepringgitan, ke mudian ke dala m bilik Sindangsari. Ia masih melihat nasi yang sudah disenduk, lauk pauk dan ke lengkapannya. "Ia baru mulai makan" desisnya.
Ki Jagabaya yang mengikutinyapun me mandang nasi yang sudah berada di dala m ma ngkuk itu dengan dada yang berdebar-debar. Bahkan tanpa sesadarnya ia telah menengok kebawah pe mbaringan. "Ia tidak akan berse mbunyi di sana" desis Ki De mang. "Mungkin tanpa disengaja" "Maksudmu, gangguan hantu atau roh halus yang jahat?" Ki Jagabaya tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Dala m pada itu, seluruh isi Kademangan menjadi ge mpar. Nyai Reksatani berlari-larian hilir mudik di dala m rumah itu. Demikian pula ibu Sindangsari dan bahkan Ki De mang telah menje lajahi setiap sudut dan ke mudian berpencaran di halaman dengan obor di tangan. Tetapi tidak seorangpun yang Sindangsari, bahkan jejaknyapun tida k. dapat menemukan
"Apakah Nyai Demang telah dibawa wewe?" bertanya seseorang. "Hanya anak-anak sajalah yang sering dibawa kuntilana k" sahut yang lain. oleh
"Tida k. Kadang-kadang orang tua-tuapun dibawanya. Apalagi Nyai De mang sedang me ngandung. Aku dengar ada kuntilana k yang sering mencari pere mpuan yang sedang mengandung. Ia mengharap bahwa apabila kela k anaknya lahir, maka anak itu akan dia mbilnya. Kuntilanak itu takut kedahuluan oleh kuntilanak yang lain apabila ia menunggu bayi itu lahir" Yang lain tidak menyahut lagi. Mereka menjadi ngeri me mbicarakan ha l itu diantara mereka. Dala m pada itu, perempuan tua yang menunggui dandang penanak nasi, duduk sambil bertopang dagu. Ia
menghubungkan peristiwa itu dengan mimpinya, dengan jambangan yang pecah dan dengan keanehan-keanehan yang terjadi di dapur. Ternyata kini Nyai De mang Kepandak, yang ma la m ini dirayakan karena kandungannya yang sudah genap tujuh bulan itu t iba-tiba telah hilang begitu saja. "Nyai Reksatani agaknya kurang percaya kepada makna mimpi. Karena itu, ia tidak mengambil sikap untuk mencegah hal serupa ini terjadi" desisnya. Sementara itu, se mua orang menjadi bingung. Se mua orang diliputi oleh berbagai maca m pertanyaan, dan semua orang dicengka m oleh kece masan. Beberapa orang tua-tua tidak sempat lagi berpikir panjang. Mereka segera mencari beberapa helai pena mpi, pisau parang dan kelinting kerbau. Dengan me mukul se muanya itu bera mairamai, dibarengi de-nf.an kentongan-kentongan kecil, mereka me manggil-ma nggil na ma Nyai De mang di seluruh hala man dan kebun belakang. Bahkan ke mudian mereka me loncat keluar pagar dan mencarinya di sepanjang padukuhan. Di rumpun-rumpun ba mbu, di tikungan-tikungan dan di bawah pohon pohon besar. Tetapi mereka tida k mene mukan sesuatu. Namun dala m pada itu, Ki Demang, Ki Jagabaya dan para bebahu Kademangan bersikap lain. Bersa ma dengan Ki Reksatani mereka segera berbincang. "Kita lihat ruma h Pa mot" tiba-tiba Ki Reksatani menggera m. "Apakah ia sudah pulang?" "Aku tidak tahu. Tetapi siapa tahu, ia pulang hari ini dan mBok-ayu lari kepadanya" "Tida k mungkin" sahut Ki De mang "ia sudah kerasan disini" "Maaf. Aku harus mencurigai setiap orang di dala m saat serupa ini. Bagaimana pendapat mu Ki Jagabaya?"
"Marilah kita lihat" sahut Ki Jagabaya "Kalau ia ada di rumah, maka kita me mang perlu mencurigainya. Setidaktidaknya ia me mang sudah pulang" "Belum seorangpun yang sudah pulang diantara mereka" berkata Ki Kebayan. "Ha mpir sehari se mala m Ki Kebayan ada di rumah ini" sahut Ki Jagabaya. Ki Kebayan mengerutkan keningnya. Namun ke mudian ia berkata "Baiklah. Supaya kita yakin, kita akan melihat rumah itu" Demikianlah ma ka beberapa orang laki-laki segera me mpersiapkan diri. Ki Jagabaya yang merasa tersinggung karena peristiwa itu berkata "Aku sendiri akan me mimpin pencaharian ini" Ki Reksatani menjadi berdebar-debar karenanya. Kalau Ki Jagabaya tidak mene mukan Sindangsari di rumah Pa mot, maka ke mungkinan lain, Ki Jagabaya akan mencarinya ke rumah Manguri. Apabila pada saat Ki Jagabaya datang ke rumah itu, Manguri tida k ada di rumah, ma ka anak muda itu pasti akan dicuriga i. Karena itu, untuk meyakinkan dirinya pula, apakah ia aman atau tidak, Ki Reksatanipun berkata "Aku ikut bersa ma mu Ki Jagabaya" "Bagus" sahut Ki Jagabaya. Kemudian kepada Ki De mang ia berkata "Ki De mang supaya tinggal saja di rumah. Apabila ke mudian Nyai De mang dikete mukan dimanapun juga sebelum ka mi ke mba li, ka mi harap, Ki Demang menyuruh satu dua orang menyusul ka mi" "Baikklah" "Supaya perjalanan ka mi cepat, ka mi akan berkuda"
"Ya. Cepatlah me mberi kabar. Kalau perlu a ku sendiri akan mencari dari rumah ke rumah" gera m Ki De mang. Demikianlah maka Ki Jagabayapun kemudian menyiapkan segala keperluannya, termasuk beberapa ekor kuda dan senjata. Hilangnya Sindangsari dari hala man Kade mangan merupakan lumpur yang me mercik di wajahnya. Ia ada di Kademangan pada saat itu, pada saat Nyai Demang hilang dari rumahnya. "Kita harus mene mukannya" ia menggera m "Nyai De mang pasti belum la ma hilang dari Kade mangan. Nasinya masih berada di dala m mangkuknya" Demikianlah ma ka dengan darah yang serasa mendidih di dadanya Ki Jagabaya membawa sejumlah laki-la ki berkuda meninggalkan ha la man Kade mangan, termasuk Ki Reksatani. Sementara itu, perempuan-pere mpuan tua dan beberapa orang laki-laki yang tidak lagi heran berlari diatas punggung kuda, masih berusaha mencari Nyai Demang dengan bunyibunyian. Menyusup rumpun-rumpun ba mbu, sudut-sudut padukuhan yang rimbun dan pinggir parit yang ditumbuhi empon-e mpon setinggi orang. Di bawah sebatang pohon cangkring yang tua, beberapa orang berteriak-teriak me manggil na ma Sindangsari, tetapi tidak ada jawaban apapun. Kemudian merekapun pergi ke sendang di bawah pohon Se likur yang berdaun tujuh maca m. Tetapi merekapun tidak mene mukan seseorang meskipun mereka tidak henti-hentinya me mukul tetabuhan yang mereka bawa. Bahkan beberapa orang justru menggigil karenanya, seolah-olah pohon Se likur yang besar itu me mandang mereka dengan matanya yang merah. Tangan-tangannya yang berbelitan pada. batang pohonnya seakan-akan bergerak siap untuk menerka m. Sampa i fajar menyingsing di Timur, mereka sa ma sekali tidak mene mukan apapun, bahkan jejak Sindangsaripun tida k.
Sementara itu, Ki Jagabaya bersama beberapa orang lakilaki berderap diatas punggung-punggung kuda me mecah sepinya pagi. Orang-orang yang baru saja terbangun, telah dikejutkan oleh ge meretak suara kaki kuda diatas batu-batu di jalan yang me mbelah padukuhan mereka. Beberapa orang segera menjengukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak se mpat me lihat siapakah yang baru saja lewat di depan rumah mereka. Dengan mulut yang terkatub rapat-rapat Ki Jagabaya me macu kudanya seperti dikejar hantu. Dadanya yang pepat serasa ingin me ledak. Begitu beraninya orang-orang gila itu menga mbil Nyai De mang dari hadapan hidungnya dan hidung suaminya, Ki Demang di Kepandak yang hampir tidak ada duanya di daerah Selatan ini, yang ditunggui pula oleh Ki Reksatani yang pernah mendapat gelar Macan Luwe oleh kawan-kawannya selagi mereka masih muda, karena Ki Keksatani adalah seorang yang garang seperti seekor harimau, tetapi ia selalu saja lapar. Setiap kali ia pergi ke Kade mangan, ia pasti langsung pergi ke dapur mencari makan, sehingga sampai saat tuanyapun Ki De mang masih se lalu bertanya kepadanya, apakah ia sudah makan. Iring-iringan orang berkuda itu langsung menuju ke ke rumah Pa mot yang masih tertutup rapat. Seisi rumah itu terkejut bukan kepalang ketika mereka mendengar derap kakikaki kuda me masuki ha la man. Yang pertama-ta ma terlintas di kepalanya adalah Pa mot. Bagaimana dengan Pa mot" Dengan tergesa-gesa ayahnya berlari-lari me mbuka pintu. Ia terkejut sejenak, ketika ia melihat di dala m keremangan cahaya pagi Ki Jagabaya, Ki Kebayan dan beberapa orang lagi, termasuk Ki Reksatani. Hampir tanpa disadarinya ayah Pamot bertanya "Apakah kalian ingin me mberikan kabar tentang anakku" Bagaimana dengan Pa mot"
Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Tetapi sejenak ke mudian ia bertanya dengan suara lantang "Dimana Pa mot?" Ayah Pamot menjadi bingung. Dengan suara yang tinggi ia bertanya pula "Siapakah yang sebenarnya harus bertanya" Aku atau kalian" Aku kira kalian datang setelah kalian mendengar berita tentang anakku. Sekarang Ki Jagabaya justru bertanya dimana Pamot. Bukankah kita bersama-sama tahu bahwa Pamot ikut di dala m pasukan yang menyerang Betawi bersa ma seluruh ke kuatan Mataram?" Ki Jagabaya tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah Ki Reksatani, Ki Kebayan dan para bebahu padukuhan yang lain yang ikut serta bersamanya. "Ki Jagabaya?" bertanya ayah Pamot "apakah yang sebenarnya ingin Ki Jagabaya katakan" Apakah Ki Jagabaya ingin menya mpaikan berita yang paling jelek buat kami" Dan agar supaya kami t idak terkejut, Ki Jagabaya mencoba mencari cara yang sebaik-ba iknya untuk mengatakannya?" Ki Jagabaya masih tetap berdiam diri. Justru ia menjadi agak bingung untuk menjawab pertanyaan ayah Pamot yang datang beruntun. "Ki Jagabaya" berkata ayah Pamot kemudian "sebaiknya Ki Jagabaya berkata berterus terang. Apakah Ki Jagabaya sudah menerima pe mberitahuan dari Mataram bahwa anakku mati?" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Namun dengan suara yang menghentak dari dala m dadanya ia berkata "Aku mencari Pamot" "Kenapa Ki Jagabaya mencari Pamot?" ayah Pamot menjadi semakin bingung "apakah ia ternyata lari dari kesatuannya?" Ki Jagabaya me mandang ayah Pamot dengan sorot mata yang semakin la ma menjadi se makin lunak. Ia melihat kejujuran pada wajah ayah Pa mot, seorang petani yang sederhana, yang pasti tidak a kan ma mpu me mbohonginya.
Pendekar Pedang Pelangi 3 Lima Sekawan 02 Petualangan Di Puri Rajawali Badik Buntung 19

Cari Blog Ini