Ceritasilat Novel Online

Matahari Esok Pagi 14

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 14


"Jadi Pa mot tidak pulang atau belum pulang?" la ke mudian bertanya. "Aku menunggu berita tentang anakku itu. Jadi bagaimana sebenarnya" Anak itu mati atau lari atau apalagi yang lebih jahat" Me mbunuh, mera mpok atau apa?" Ki Jagabaya menggelengkan kepalanya. Katanya "Baiklah kalau anakmu masih belum pulang. Aku hanya ingin meyakinkan diri, apakah anak-anak kita me mang belum ke mbali dari medan" "Aku tidak mengerti" desis ayah Pamot "aku merasa, sesuatu pasti terjadi. Tetapi Ki Jagabaya agaknya masih merahasiakannya" "Tida k. Tidak apa-apa" jawab Ki Jagabaya "Punta dan yang lain lagi juga be lum ada di rumahnya" Ayah Pamot menarik nafas dala m-dala m. Tetapi kini hatinya serasa tertusuk duri. Setiap tarikan nafas, bagaikan ujung duri itu sema kin dala m me nghunja m masuk ke dala m jaringan hatinya. "Baiklah, aku akan me lanjutkan perjalanan" "Ke mana?" Ki Jagabaya menjadi bingung sejenak. Na mun ke mudian ia menjawab "Ke liling Kade mangan" Ketika Ki Jagabaya sudah siap meningga lkkan hala man itu, ayah Pamot mendekatnya sambil berdesis "Perasaanku telah terguncang Ki Jagabaya. Aku me mang bukan orang yang pandai, tetapi kadang-kadang secara naluriah aku merasa bahwa sesuatu telah atau akan terjadi. Adalah tidak biasa terjadi, Ki Jagabaya bersama beberapa orang bebahu dan para pengawal di pagi-pagi buta berderap berkeliling Kademangan diatas punggung kuda seperti sepasukan prajurit yang pergi berperang"
"Kau benar" sahut Ki Jagabaya "aku sendiri merasa aneh atas perbutan kami ini. Tetapi apaboleh buat. Kalau kau ingin juga tahu, maka sebentar lagi kau pasti akan tahu, apakah alasan ka mi datang ke mari untuk meyakinkan bahwa Pa mot me mang belum ke mba li hari ini" "Jadi Ki Jagabaya berteka-teki?" "Tida k. Tetapi aku tidak perlu mengatakannya, sekarang aku minta diri" Ki Jagabaya tidak mununggu jawaban. Iapun segera me macu kudanya meninggalkan ha la man rumah Pa mot, diikuti oleh orang-orang lain yang bersamanya mencari sindangsari. "Ke mana kita pengikutnya. sekarang?" bertanya salah seorang
"Masih ada seorang yang pantas kita curigai. Manguri" Dada Ki Reksatani menjadi berdebar-debar. Ia me macu kudanya lebih cepat sehingga ia berada di sa mping Ki Jagabaya "Kita pergi ke rumah Manguri sekarang?" ia bertanya. "Ya" "Apakah mungkin ia melakukannya?" "Mungkin sekali. Ia jauh lebih kasar dari Pa mot. "Tetapi kalau ia berniat untuk menga mbil, kenapa ia menunggu sa mpai hari ini, sa mpai kandungan mBok-ayu Sindangsari genap berumur tujuh bulan?" "Aku tidak se mpat me mpertimbangkannya sekarang. Aku mencurigainya dan aku akan me lihat rumiahnya, apakah ia menye mbunyikannya di rumahnya" "Kita akan me mbuang buang wa ktu. Lebih ba ik kita berpencar dan mencari jejak di seluruh Kade mangan"
"Terserah. Tetapi aku akan pergi ke rumah Manguri. Me mang agak kurang meyakinkan bahwa ia menunggu justru ketika di rumah Ki De mang sedang banyak orang, termasuk Ki Reksatani dan para bebahu. Tetapi mungkin ia menganggap, justru di da la m kesibukan itulah se mua orang menjadi lengah" Ki Reksatani tidak dapat mencegahnya lagi. Karena itu ia merasa wajib untuk ikut serta bersama Ki jagabaya. Mungkin apabila perlu ia dapat menga mbil tindakan secepat-cepatnya. Tanpa disadarinya, Ki Re ksatani meraba kerisnya. Keris yang dipakai sebagai pakaian kebesarannya dalam peralatan di rumah kaka knya. Tetapi keris itu adalah sebuah keris pusaka yang dapat diandalkannya. Kalau Ki Jagabaya menemukan jejak sindangsari di rumah Manguri, ma ka anak itu harus segera dibungka m untuk selama-la manya" katanya di dalam hati "kalau tidak, anak itu me mang cukup berbahaya bagiku. Aku me mpunyai a lasan yang cukup untuk menika mnya tanpa menunggu keputusan kakang De mang. Semua orang pasti menyangka aku kehilangan kesabaran, dan me mbunuhnya dengan sertamerta" Namun ke mudian tumbuh pertanyaan "Lalu bagaimana dengan perempuan itu" Ia kini pasti menyadari, bahwa isteriku telah menjerumuskannya. Ia akan dapat banyak berbicara" Ki Reksatani menggeretakkan giginya, di dalam hati ia menggera m "Persetan. Aku tahu dimana pere mpuan itu dise mbunyikan. Sudah tentu aku tidak akan dapat me mbunuhnya di hadapan orang-orang yang mencarinnya. Kami me mang harus berpencar dan tidak boleh seorangpun yang tahu, bahwa aku telah me mbunuhnya" Sejenak ke mudian derap kaki-kaki kuda itu me njadi semakin dekat dengan padukuhan Ge mulung. Merekapun
langsung berpacu ke rumah seorang pedagang ternak yang kaya-raya. Semakin dekat mereka itu ke rumah Manguri, maka dada Ki Reksatani menjadi se ma kin berdebar-debar. Ia tidak dapat me mbayangkan apa yang sedang dilakukan oleh Manguri saat itu. Apakah ia tidak berada di rumahnya karena ia sedang menye mbunyikan Sindangsari atau justru ia me mbawa sindangsari ke rumahnya sebelum dise mbunyikannya. "Mudah-mudahan anak itu bukan ana k yang dungu atau gila sama sekali. Ia harus menyembunyikan Sindangsari itu. Tidak seharusnya ia me mbawanya pulang apapun alasannya" katanya di dala m hati. Sejenak kemudian, rombongan orang-orang berkuda itupun telah me masuki regol rumah pedagang kaya yang luas dan bersih itu. Beberapa orang pelayan menjadi terkejut karenanya. Mereka yang sedang me mbersihkan hala man berlari-lari ke belakang, sedang mereka yang sedang menimba airpun terpaksa berhenti karenanya. Ki Reksatani yang sangat cemas merasa sedikit tenang ketika ia melihat La mat yang berdiri di depan kandang sa mbil menjinjing kapak. Di bawah kakinya beberapa potong kayu sudah terbelah kecil-kecil "He, dimana Manguri" terdengar suara Ki Jagabaya tegas. Lamat menyandarkan kapaknya pada dinding kandang. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati orang-orang berkuda yang tidak juga mau turun meskipun mereka sudah berhenti di hala man. "Dima na Manguri?" bertanya Ki Jagabaya. "Ia ada di dala m Ki Jagabaya" jawab La mat sareh. "Benar ia ada di rumah?" "Ya. Ia ada di rumah"
"Apakah se mala m ia ada di rumah?" "Ya, sema la m ia ada di rumah. Kenapa?" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Lalu "Panggil anak itu ke mari" "Ia barangkali masih tidur" "Kenapa ia masih tidur sesiang ini?" "Bagi Manguri, hari masih terla mpau pagi. Ia biasa bangun setelah nasi masak" jawab La mat. "Panggil ia sekarang" Lamat mengerutkan keningnya. Namun ke mudian iapun mengangguk sa mbil menjawab "Baiklah. Aku akan me manggilnya" "Apakah ayahnya juga ada di ruma h?" "Sudah tiga atau empat hari ini ia pergi me ngantar ternak" "Ke mana?" Lamat me nggelengkan kepalanya "A ku tida k tahu" "Kenapa kau tidak tahu?" Lamat termangu-ma ngu sejenak. Lalu "Ki Jagabaya tahu, aku seorang pelayan disini. Apakah aku harus mengetahui apa yang dilakukan oleh tuanku?" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepa lanya "Baik. Sekarang panggil Manguri cepat. Ia tidak boleh berbuat sesuatu yang dapat menumbuhkan kecurigaanku" Lamat menganggukkan kepa lanya sambil menjawab "Aku akan me manggilnya" Lamatpun ke mudian me ningga lkan orang-orang berkuda itu di hala man depan. Na mun agaknya Ki Jagabaya tidak me mpercayai isi rumah itu, sehingga perintahnya kepada orang-orangnya "Awasi semua sudut, aku tidak mau
seorangpun ada yang meningga lkan hala man ruma h ini sebelum aku selesai" Beberapa orangpun ke mudian berpencar di sekitar rumah yang besar itu, di hala man yang luas di depan dan di belakang. Sambil menggosok matanya Manguri ke luar dari pembaringannya. Ia masih se mpat berbisik kepada La mat "Jadi, inilah agaknya kenapa ayah dengan tergesa-gesa menyuruh kita segera pulang. Ternyata perhitungan ayah tepat. Mereka segera datang ke rumah untuk mencari a ku" Karena Manguri benar-benar telah tertidur maka matanyapun menjadi merah, sekali-ka li ia menguap "Aku benar-benar tertidur" desisnya "apa jawabku kalau mereka bertanya, kenapa aku masih tidur sampai saat begini?" "Aku sudah mengatakan, bahwa setiap hari kau bangun pada saat nasi masak. Merekapun bertanya tentang ayahnu. Aku katakan bahwa ayahmu pergi sejak tiga hari yang lalu" "Bagaimana kalau mereka bertanya kepada ibu?" "Aku akan me mberitahukannya" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian perlahan-lahan ia berjalan ke luar sa mbil menunggu La mat yang singgah sejenak di bilik ibunya. Ibu Manguri menjadi termangu-mangu sejenak. Namun Lamat berkata "De mi kesela matannya" "Ibu Manguri menganggukkan kepalanya "Baiklah" Kepada seorang Pelayan yang sedang membersihkan ruang dalampun La mat berpesan, agar semua orang diberitahukan, bahwa ayah Manguri dianggap pergi sejak tiga hari yang lalu. "Kenapa?" bertanya pelayan itu.
"Kita malas untuk mencari ke mana ia pergi. Jawaban itu akan segera menutup ke mungkinan agar kita mencarinya" Pelayan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun ke mudian pergi keluar mene mui orang-orang vang berkumpul di dapur sambil me mperbincangkan orang berkuda yang dipimpin oleh Ki Jagabaya sendiri. "Jangan lupa. Kalau orang-orang itu bertanya, jawablah, bahwa tuan kita telah pergi mengantar ternak sejak tiga hari yang lalu" Sejenak kemudian La matpun telah mengantar Manguri keluar rumahnya. Namun demikian Manguri masih juga berdebar-debar. Ketika ia turun tangga pendapa rumahnya, dadanya berdesir ketika ia melihat Ki Reksatani ada diantara mereka. "Apakah Ki Reksatani akan berkhianat?" pertanyaan itu me mbersit pula di hatinya. Tetapi ia menggelengkan kepalanya sambil berkata "Tentu tidak. Ia juga berkepentingan. Bahkan berkepentingan seka li buat masa depannya" "Manguri" berkata Ki Jagabaya kemudian dengan suara yang lantang "apa benar kau se mala man ada di rumah" Debar jantung Manguri serasa menjadi se makin cepat. Ia me lihat wajah Ki Jagabaya yang tegang dan seakan-akan menyalakan ke marahannya di dadanya. "Benar?" desak Ki Jagabaya. "Ya Ki Jagabaya, semala man aku di rumah. Kenapa" "Kau tidak pergi sa ma seka li?" Manguri menggelengkan kepalanya "Tidak. Aku ada di rumah" "Kau dapat me mbuktikan?"
Manguri mengerut kan keningnya. Namun ke mudian ia bertanya "Bagaimana caranya agar dapat membuktikan bahwa aku se mala man di rumah" "Terserah kepadamu. Apa saja, asal kau dapat meyakinkan kami bahwa kau se mala man me mang berada di rumah" Manguri t idak segera menyahut. Ditatapnya wajah-wajah yang tegang dari orang-orang berkuda itu. Bahkan dilihatnya beberapa orang yang berpencaran di halamannya, seakanakan mereka sedang mengepung musuh di peperangan. "Cepat. Buktikan bahwa kau me ma ng ada di rumah" Ki Jagabaya dan orang-orang berkuda itu serentak berpaling ketika mereka mendengar suara dari pintu butulan "Ia berada di rumah se ma la man" Ki Jagabaya menjadi semakin tegang, seorang perempuan berdiri di muka pintu butulan. Orang itu adalah ibu Manguri. "Kau tahu benar bahwa ia se ma la man ada di rumah?" bertanya Ki Jagabaya kepada ibu Manguri. "Aku tahu benar bahwa ia ada di rumah. Ka mi makan bersama-sama, ke mudian aku me lihat ia pergi ke biliknya. Aku masih menegurnya ketika hampir tengah ma la m ia masih juga me mbaca kidung dengan keras" "Sesuatu itu?" "Anak itu pergi ke pe mbaringan" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Sebelum ia mengucapkan pertanyaan-pertanyaan lagi Ki Reksatanilah yang mendahuluinya "Benar begitu Manguri?" Manguri mengangguk "Ya. Benar begitu" "Itukah sebabnya kau bangun terla mpau siang pagi ini?" "Aku biasa bangun siang. Aku tidak me mpunyai pekerjaan apapun di pagi hari sa mbil menunggu nasi masak"
Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada La mat ia bertanya "Kaupun ada di rumah semala man?" "Aku ha mpir tidak pernah keluar hala man ini. Apalagi ma la m hari" Sejenak Ki Reksatani me mandang wajah Ki Jagabaya ke mudian wajah-wajah yang tegang di sekelilingnya. "Dima na ayahmu?" t iba-tiba Ki Jagabaya bertanya. "Ia pergi mengantarkan ternak keluar daerah" "Ke mana?" "Ayah tidak pernah me mbicarakannya dengan siapapun di rumah ini. Kadang-kadang dengan ibu, tetapi kadang-kadang juga tidak" Ki Jagabaya berpaling kepada ibu Manguri -Benar begitu?" "Ya. Suamiku jarang sekali me mpersoalkan pekerjaannya di rumah. Katanya, persoalan itu adalah persoalannya. Persoalan laki-laki. Ia hanya memberi uang untuk keperluan rumah tangga ini secukupnya" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Tetapi agaknya ia masih, belum me mpercayai seluruh keterangan itu. Karena itu maka tiba-tiba ia berkata "Aku akan melihat seisi rumah ini" "Ada apa sebenarnya?" bertanya Manguri. "Aku ingin me lihat apakah tidak ada sesuatu yang mencurigakan disini" "Ya, tetapi apa alasan kalian mengge ledahi rumah ini. Ayah yang me miliki rumah ini sedang t idak ada di rumah. Seharusnya kalian menunggu sa mpa i ayah pulang" "Aku tida k dapat menunda lagi" ke mudian kepada orangorangnya Ki Jagabaya memberikan perintah "lihatlah isi rumah ini. Apakah ia ada di dala mnya"
"Coba, sebutkan apa yang kalian cari. Kalau ka lian mengatakan apa yang kalian cari, barangkali kalian tidak perlu mengge ledah rumah ini" berkata ibu Manguri "kalau ka mi tahu apa yang kalian cari, dan ternyata yang kalian cari itu me mang ada di rumah ini, ka mi akan menunjukkannya" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Yang menyahut adalah Ki Reksatani "Seandainya ada, kalian pasti tidak akan berterus terang" "Apakah kalian menuduh ka mi telah mera mpok dan menye mbunyikan barang-barang ra mpokan itu di rumah ini?" Ki Jagabaya menjadi ragu-ragu. "Apakah kalian sangka bahwa ka mi akan ke laparan apabila kami tidak mera mpok" Apakah kalian sangka bahwa hidup kami telah begitu sengsara sehingga kami harus mencari nafkah dengan cara yang menakutkan itu?" "Ka mi tida k menuduh kalian mera mpok. Kami tidak mencari barang rampokan di rumah ini" "Apa yang kalian cari. Kalau kalian tidak mau mengatakan kami, seisi rumah ini menyatakan keberatan bahwa rumah kami a kan kalian periksa " "Kau tidak dapat menyatakan keberatan itu terhadapku. Terhadap Jagabaya Kademangan Kepandak. Aku berhak berbuat apa saja untuk ketenteraman Kade mangan ini" "Tetapi Ki Jagabaya wewenang itu" tidak boleh menyalah gunakan
"Aku tida k menyalah gunakannya sekarang" "Kalau begitu beritahu, apakah yang kalian cari" Ki Jagabaya masih juga ragu-ragu sejenak. Namun ke mudian ia berkata "Ka mi mencari Sindangsari, Nyai Demang"
"He?" Manguri pura-pura terkejut "kalian mencari Nyai Demang di rumah ini" Alasan apakah yang telah mendorong kalian berbuat demikian" Apakah kalian sangka bahwa Nyai Demang itu lari dan berse mbunyi disini?" Ki Jagabaya tidak menyahut lagi. Tetapi ia mengulangi perintahnya "Cari di seluruh bagian rumah dan hala man" Manguri menarik nafas dala m-dala m. Tetapi ketika ia akan me langkah meninggalkan tempat itu, Ki Re ksatani berkata "Kau tidak boleh pergi. Kau tetap disini" Manguri berpaling me mandanginya. Namun ke mudian ia mengangguk "Baiklah. Aku akan tetap disini. Tetapi apakah kalian menja min bahwa tidak ada barang-barangku yang akan hilang?" Ki Jagabaya me mandang Manguri dengan sorot mata yang tajam "Kau mencurigai ka mi, para petugas?" "Bukan Ki Jagabaya. Aku percaya kepada Ki Jagabaya. Tetapi bagaimana dengan orang-orang lain itu" "Aku akan mengawasinya. Biarlah ibumu ikut mengawasinya pula. Tetapi kau tetap disini dengan Ki Reksatani" Ki Jagabaya itupun ke mudian me loncat dari punggung kudanya, untuk me mimpin orang-orangnya mencari Sindangsari di dala m rumah itu. Sementara Ki Reksatani yang ke mudian me loncat turun pula dari kudanya, tetap tinggal di tempatnya bersama Manguri dan La mat. Ketika Ki Jagabaya dan orang-orangnya sudah meninggalkan Ki Reksatani, maka Ki Reksatanipun berbisik "Apakah pere mpuan itu ada di rumah ini?" Manguri tersenyum sa mbil mengge leng "Aku bukan anak gila seperti yang kau sangka"
Ki Reksatani menarik nafas dala m-dala m. Iapun me njadi berlega hati, bahwa pere mpuan yang dicari itu tida k ada disini. "Di mana kau se mbunyikan?" bertanya Ki Reksatani pula. "Di te mpat yang sudah aku tentukan" "Hati-hatilah. Agaknya Kakang De mang menjadi sangat tersinggung. Juga Ki Jagabaya yang dungu itu. Mungkin mereka a kan mencari Nyai De mang dari rumah ke rumah. Kami baru saja pergi ke rumah Pamot. Tetapi Pamot masih belum pulang" Manguri tertawa kecil. Katanya "Ki De mang benar-benar menjadi kebingungan. Tetapi percayalah bahwa Ki De mang tidak akan dengan mudah dapat mene mukan pere mpuan itu. "Ingat, kalau perempuan itu dapat diketemukan, maka taruhannya adalah leher kita. Aku kau dan La mat dan mungkin juga ayahmu dan isteriku" "Aku mengerti" "Atau kademangan ini dilanda oleh perang diantara kita. Apabila de mikian kita harus menyusun alasan, yang akan kita pertanggung jawabkan kepada pimpinan pemerintahan di Mataram" "Itu urusanmu" "Aku tahu, karena akulah yang akan menjadi orang yang paling berkuasa di Kade mangan ini. Aku dapat berbuat apapun sekehendak hatiku seperti kakang De mang sekarang. Kawin enam kali, dan apapun juga" "Dan apakah yang akan kau lakukan" Kau akan kawin lagi sampai ena m kali?" "Ah, tentu tidak" "Lalu apa?"
"Jangan kita percakapkan sekarang. Kau harus tatap seperti keadaanmu se mula. Aku tetap mengawasi, kau dan Lamat" KiReksatani berhenti sejenak, lalu "lihat, mereka sudah me masuki rumahmu" "Ibu akan mengawasi mereka" Demikianlah ma ka orang-orang yang datang berwarna Ki Jagabaya itupun me merik setiap sudut rumah dan hala man Manguri. Setiap gerumbul, kandang-kandang ternak yang berserakan telah dimasuki. Dapur dan bahkan pakiwan. Kini mereka me masuki rumah di bawah pengawasan Ki Jagabaya dan ibu Manguri. Dengan teliti mereka me meriksa semua ruangan. Bahkan di dalam kolong pe mbaringan dan a mben di ruang da la m. Di balik gle leg dan disentong-sentong. Tetapi mereka tida k mene mukan siapapun juga. Tidak ada seorangpun juga yang bersembunyi di rumah itu. Yang ada hanyalah para pembantu dan pelayan. Pekatik dan gamer serta mereka yang tinggal di rumah Itu. Beberapa orang yang ke mudian berkumpul di pringgitan menggelengkan kepalanya sambil berkata kepada Ki Jagabaya "Tida k ka mi kete mukan di rumah Ini Ki.Jagabaya" Ki Jagabaya tidak segera menjawab. Tetapi ia me njadi ragu-ragu atas dugaannya. Ia semula menyangka bahwa Sindangsari pasti telah dia mbil oleh seseorang. Atas persetujuannya sendiri atau tidak. Tetapi dua orang yang paling dicurigai ternyata sama sekali tidak me mberikan kesan apapun, bahwa mereka lah yang telah me lakukannya. Bagi Ki Jagabaya Pamot jelas masih belum ke mba li. Sedang kini, mereka telah menggeledah rumah Manguri, mereka sama sekali t idak me ne mukan apa-apa. "Gila" gera m Ki Jagabaya "apakah benar pikiran perempuan-pere mpuan tua, Sindangsari dibawa hantu" Tetapi
alangkah ma lunya, apabila aku t idak dapat mene mukannya hidup atau mati. Dibawa hantu atau dibawa siapapun juga " Tetapi Ki Jagabaya tidak dapat melepaskan kenyataan yang dihadapinya. Sulitlah untuk tidak percaya, bahwa Manguri me mang tidak pergi ke manapun juga semala m. Beberapa keterangan yang didengarnya me mang telah meyakinkannya bahwa Sindangsari tidak akan dapat dikete mukan di rumah ini. Keterangan yang meyakinkan mengatakan bahwa semala m Manguri ada di rumah. "Kalau begitu bagaimana?" pertanyaan berputar-putar di kepala Ki Jagabaya. itulah yang
"Apakah aku pulang dengan tangan hampa, atau aku harus menje lajahi se luruh Kade mangan ini?" Pertanyaan itu me lonjak-lonjak di dala m dada Ki Jagabaya, sehingga justru ia sejenak me njadi kebingungan. Di luar Manguri dan La mat duduk di tangga pendapa ditunggui oleh Ki Reksatani yang berjalan mondar mandir sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Ia merasa sedikit tenang karena Sindangsari me mang tidak ada di rumah itu. Tetapi apabila nanti Ki De mang sendiri yang merasa sangat tersinggung itu menyebar orang-orangnya dan memasuki setiap rumah, maka sudah pasti rumah yang terpencil itu akan didatangi juga. Apalagi kalau Ki De mang atau Ki Jagabaya mengetahui bahwa rumah itu adalah rumah ayah Manguri. Tiba-tiba Ki Reksatani itu berhenti sejenak sambil berbisik "Dima na ayahmu sebenarnya?" "Kenapa?" bertanya Manguri. "Aku ingin tahu" "Kau me merlukan ibu?" "Persetan. Aku tidak se mpat. Jangan gila" "Ayah menunggui perempuan itu"
Ki Re ksatani mengerutkan menunggui Sindangsari?"
keningnya "Ma ksudmu Manguri menganggukkan kepalanya. Ki Reksatani berdesis "Ayahmu sudah merestuimu. Seorang ayah yang me mbantu anaknya berbuat kejahatan" Manguri tersenyum. Dipandanginya wajah Ki Reksatani yang tegang. Katanya kemudian "Tetapi itu lebih baik. Bagaimanapun juga seorang ayah menginginkan anaknya mendapatkan apa yang dicita-citakan. Seperti kau juga bercita-cita untuk keturunanmu kela k, meskipun kau harus mengkhianati kaka kmu sendiri" "Kau me mang anak gila" Manguri tidak menyahut. Ia masih duduk di tangga pendapa rumahnya, dan di bibirnya masih terbayang sebuah senyuman. Namun Ki Reksatani sudah tida k menghiraukannya lagi. Kini ia berjalan lagi hilir mudik di hala man sa mbil menyilangkan tangannya di dada. Dala m pada itu La mat duduk sambil menundukkan kepalanya. Terbayang di kepalanya suatu perbuatan yang keji yang kini tengah berlangsung di Kade mangan Kepandak. Ia sadar, bahwa apabila kali ini mereka berhasil, maka tindakan mereka pasti akan mere mbet kepada pengkhianatan yang lebih berani. Bukan sekedar me mbunuh Sindangsari, tetapi pasti Ki De mang sendiri. Ki Reksatani pasti masih me mperhitungkan bahwa Ki De mang a kan segera kawin lagi dan ke mungkinan untuk menumbuhkan keturunan telah dilihatnya kini, meskipun La mat sendiri yakin, bahwa keturunan itu sama sekali bukan keturunan Ki De mang seperti yang telah terjadi bahwa kelima isterinya yang terdahulu tidak dapat melahirkan seorang anakpun. La mat tahu dengan pasti, hubungan yang tidak terkekang lagi antara perempuan yang kini menjadi Nyai De mang itu dengan Pa mot.
Ki Jagabaya mengerutkan keningnya "Na mun dengan suara yang menghentak dari dalam dadanya la berkata "aku mencari Pamot" Tetapi La mat tidak mengerti se luruhnya, hubungan vang sebenarnya antara Sindangsari dan sua minya itu, seperti juga setiap orang tidak akan dapat mengetahui keseluruhan dari orang lain. Lamat tidak tahu, bahwa Sindangsari telah mengatakan berterus terang kepada suaminya, meskipun hampir saja nyawanya dikorbankannya. Sejenak kemudian La mat mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Ki Reksatani berkata kepada Manguri perlahanlahan "Kau harus me mpertimbangkan tempat itu baik-baik. Kakang De mang pasti akan me ncari sa mpai ke te mpat yang kau pergunakan untuk menye mbunyikan perempuan itu. Apalagi apabila ia me ngetahui bahwa gubug itu milikmu" Manguri menganggukkan kepalanya. "Kau harus me mberitahukan pula kepada ayahmu, bahwa ia harus tidak mena mpakkan diri untuk beberapa hari kalau ia me mang ingin me mbantumu" Sekali lagi Manguri me nganggukkan kepalanya. "Nah, sepeninggal ka mi, kau tahu apa yang harus kau lakukan. Kau harus cepat-cepat menghubungi ayahmu dan menyingkirkan Sindangsari" "Ia akan a man di tempat itu" "Kau bodoh" berkata Ki Reksatani sa mbil me mandang Manguri taja m-taja m "Ki Jagabaya seolah-olah sudah menjadi gila, seperti ka kang De mang sendiri" Manguri tidak menyahut. Tetapi kata-kata Ki Ueksatani itu masuk diakalnya juga. Ki Jagabaya pasti akan menggeledah semua rumah yang mungkin dipergunakannya untuk menye mbunyikan Sindangsari.
Sejenak ke mudian, maka Ki Jagabaya beserta beberapa orang telah keluar dari pringgitan. Dengan hati yang tegang Ki Jagabaya berkata kepada Manguri "Aku tidak mene mukannya di rumah ini Manguri" Manguri yang ke mudian berdiri menyahut "Ki Jagabaya. Buat apa sebenarnya Ki Jagabaya mencari seorang pere mpuan yang sedang mengandung ke rumah ini" Aku tida k ingkar bahwa aku pernah tergila-gila kepada perempuan itu. Dan aku tidak ingkar bahwa aku me mang seorang yang banyak berhubungan dengan perempuan. Tetapi justru karena itu, apakah aku masih juga menghenda ki seorang pere mpuan, suami orang lain, apalagi sua mi Ki De mang yang sudah mengandung tujuh bulan?" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjawab "Aku wajib mencurigai setiap orang. Bahkan orang-orang yang belum pernah berhubungan dengan Sindangsari seka lipun" Manguri mengangkat bahunya "Terserahlah. Tetapi Ki Jagabaya sudah mengetahui, apa yang ada di ruma h ini" "Kau tida k usah banyak me mberikan tanggapan" bentak Ki Reksatani tiba-tiba "Ki Jagabaya dan kami se muanya pasti tidak akan dapat menganggap bahwa kata-katamu itu keluar dari hatimu yang jujur" na mun suara Ki Reksatani ke mudian merendah "tetapi kita me mang tidak mene mukannya disini" Ki Jagabaya me mandang. Ki Reksatani dan Manguri berganti ganti. Namun seolah-olah tanpa disadarinya iapun berguma m pula "Ya, kita me mang tidak mene mukannya disini" "Lalu, ke mana kita sekarang?" bertanya Ki Reksatani. Ki Jagabaya termenung sejenak. Ia menjadi bingung, ke mana ia harus mencari. "Kita ke mbali ke Kade mangan" berkata Ki Reksatani "Kita minta pertimbangan Ki De mang. Sejak kita mendengar mBokayu hilang, kita belum pernah me mperbincangkannya dengan
bersungguh-sungguh. Kita tergesa-gesa meengambil sikap dan berpacu diatas punggung kuda. Kini kita harus bertindak dengan pertimbangan yang matang, agar kita tidak sia-sia saja me lakukan sesuatu" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah" katanya "kita kembali ke Kade mangan. Kita akan me mperhitungkan langkah selanjutnya" Ki Reksatani me mandang Manguri sejenak. Kemudian ditatapnya kepala Lamat yang botak yang tidak tertutup oleh ikat kepalanya. Sementara La mat masih saja tetap duduk di tempatnya. Ki Jagabayapun memandang La mat sejenak. Ia mempunyai tanggapan yang lain terhadap raksasa itu, karena Pamot pernah datang menghadapnya bersama dengan Punta dan mengatakan serba sedikit tentang raksasa yang berwajah sekasar batu padas itu. "Marilah" tiba-tiba ia berdesis "kita segera menghadap Ki Demang" Ki Jagabaya diikuti oleh orang-orangnyapun ke mudian me langkah menuju ke kuda masing-masing. Ki Keksatanipun ke mudian meninggalkan Manguri sa mbil berkata lantang "tetapi kami masih akan tetap mengawasi setiap orang yang kami curigai. Terutama kau dan Pa mot. Meskipun Pa mot masih belum pulang, siapa tahu, ia berbuat lebih licik lagi" Manguri me mandang Ki Reksatani sejenak, lalu "Kalau kalian masih belum puas, pintu rumah ka mi selalu terbuka. Aku kela k akan mengatakan kepada ayah, bahwa kalian telah berkenan mengunjungi rumah ka mi" "Persetan" bentak Ki Reksatani sa mbil punggung kudanya. meloncat ke
Ki Jagabayapun ke mudian meninggalkan ha la man ra mah itu diikuti oleh Ki Reksatani dan kawannya. Ketika mereka
berderap di sepanjang jalan padukuhan, mereka merasa bahwa berpuluh-puluh pasang mata rakyat Gemulung menatap iring-iringan itu dengan hati vang cemas. Beberapa orang berkerumun di balik regol-regol hala man sambil berbincang. Kemudian mereka mulai menduga-duga, karena mereka masih belum tahu pasti apa yang telah terjadi sebenarnya. "Apakah yang telah terjadi?" bertanya seorang laki-la ki tua kepada anaknya yang baru mengint ip iring-iringan itu dari balik pintu regol hala man ruma hnya. "Entahlah ayah" jawab anaknya "Aku tidak tahu. Tetanggatetanggapun masih belum ada yang tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi. Laki-laki itu menjadi se makin ce mas. Katanya kepada anaknya "Tingga l sajalah di rumah hari ini. Hatiku menjadi berdebar-debar. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu di Kademangan dan apalagi di padukuhan ini" Anaknya tidak menyahut. Tetapi iapun me njadi berdebardebar pula. Meskipun demikian anaknya berkata "Aku harus pergi ke sawah ayah. Hari ini ka mi mendapat giliran air" "Jangan hiraukan air itu. Kita be lum tahu, apakah yang sebenarnya sudah terjadi" "Tetapi, di musim kering serupa ini, kita harus me mperguna kan air sebaik-baiknya. Kalau kita kehilangan kesempatan sehari ini, tanaman kita di sawah akan layu dan bahkan mungkin sebagian akan mati. Kasihan ayah. Kasihan tanaman yang sedang tumbuh itu dan kasihan kita se muanya kalau kita tida k dapat menuai di musim yang kacau ini" Ayahnya mengerutkan keningnya. Katanya kemudian "Kita akan segera mengetahui apakah yang sebenarnya sudah terjadi" Anak laki-lakinya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun ternyata mereka tidak usah menunggu terla mpau la ma. Berita tentang hilangnya Nyai De mang di Kepandak segera tersebar keseluruh Padukuhan Gemulung, dan bahkan keseluruh Kade mangan Kepanda k Sementara itu, perempuan dan laki-laki tua di Kade mangan masih sibuk mencari Nyai De mang dengan cara mereka. Mereka tetap menganggap bahwa Nyai Demang di Kepandak telah dibawa oleh hantu-hantu atau kunt ilanak yang akan me me liharanya sampai anaknya kelak lahir. "Kita cari sa mpai kete mu" desis seorang perempuan tua. "Tida k ada tempat yang kita lampaui di sekitar Kademangan ini. Tetapi kita tidak menemukannya" sahut yang lain. "Kita tidak hanya sekedar mencari di sekitar Kade mangan. Kita cari Nyai De mang sa mpai ke luar Kade mangan. Kita minta beberapa orang laki-laki untuk mencarinya ke Gunung Sepikul, Kelokan Kali Praga dan bahkan sa mpai ke Pandan Segegek, di pasisir Se latan" Kawannya berbicara mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya kemudian "Kita bilang saja kepada Nyai Reksatani" Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepa lanya. Merekapun ke mudian ke mbali ke Kade mangan untuk menya mpaikan maksud mereka, mencari Nyai Demang sa mpai keluar Kademangan Kepandak. Hampir bersa maan, perempuan dan orang tua yang ke mbali ke Kade mangan dengan rombongan Ki Jagabaya yang me masuki ha la man dengan tergesa-gesa. Mereka segera berloncatan dari punggung kuda masing-masing dan langsung naik ke Pendapa mendapatkan Ki De mang yang menjadi semakin ge lisah. "Bagaimana?" Ki De mang bertanya dengan serta merta.
"Ka mi belum mene mukannya Jagabaya dengan suara tertahan.
Ki De mang" sahut Ki "Ke mana saja kalian mencarinya?" bertanya Ki De mang pula. "Ka mi sudah pergi ke rumah Pa mot. Ternyata Pamot masih belum ke mbali. Kami langsung pergi ke rumah Manguri. Tetapi kami t idak mene mukan Nyai De mang di sana, meskipun ka mi sudah menggeledah se luruh sudut rumah itu" "Apakah Manguri ada di ruma h?" Ya, semua ada di ruma h kecua li ayahnya" "Ke mana ayahnya itu?" "Seperti biasanya, mengantar ternak keluar daerah" Ki De mang menggeretakkan giginya. Ke marahannya sudah me lonjak sa mpai ke ujung ubun-ubunnya. Kalau Pamot tidak ada di rumah, ia yakin bahwa Sindangsari tidak akan pergi atas kehendak sendiri. Ia sela ma ini ta mpa k sudah mulai kerasan tinggal di Kade mangan. Apalagi setelah perempuan itu yakin, bahwa Ki Demang itu tidak akan berbuat sesuatu atas kandungannya, meskipun kandungan itu didapatkannya dari orang lain. Karena itu, dugaan bahwa Sindangsari sengaja me larikan diri adalah tidak mungkin sa ma seka li. Terlebih-lebih lagi, ibu Sindangsari ada di Kade mangan itu pula. "Apakah kalian yakin bahwa anak-ana k yang pergi ke Betawi itu me mang belum ke mbali?" bertanya Ki De mang ke mudian. "Ya. Kami yakin. Dan ka mi justru bertanya, apakah masih ada diantara mereka yang akan dapat kembali lagi" sahut Ki Jagabaya. Ki De mang menundukkan kepalanya. Rasa-rasanya dadanya menjadi panas, seolah-olah jantungnya sudah menjadi bara karenanya.
Dala m pada itu seorang pere mpuan tua yang sejak se mula mendengarkan percakapan itu menyela "Kalian pasti tidak akan mene mukannya kalau ka lian mencarinya ke rumah orang. Siapapun juga orangnya" Ki De mang mengangkat wajahnya. Dipandanginya perempuan tua itu. Sorot matanya membayangkan ke kisruhan hati yang tiada taranya. "Jadi ke mana kita harus Jagabaya. mencari nini?" bertanya Ki
"Ka mi sudah mencari ke seluruh sudut Kade mangan. Setiap pohon besar, setiap gerumbul-gerumbul yang singup dan kuburan-kuburan. Tetapi kami belum mene mukannya. Kalau kalian ma u mendengarkan a ku pergilah kalian ke Gunung Sepikul atau tikungan Ka li Praga atau Pandan Segegek sekali. Kalian adalah la ki-laki yang dapat lari cepat diatas punggung kuda. Sebelum ha l yang tida k bisa kita inginkan terjadi. Sejenak Ki De mang terdia m. Dipandanginya wajah Ki Jagabaya sekilas, ke mudian wajah adiknya Ki Re ksatani. "Kalian tentu tidak me mpercayai aku" desis pere mpuan tua itu. "Bukan tidak me mpercayai nini. Ka mi belum menjawab apapun" "Aku dapat melihat kesan di wajah ka lian. Terserahlan kepada kalian" Ki Reksatani ke mudian mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya-Kami akan me mperhatikannya nini" "Bukan sekedar untuk diperhatikan. Tetapi, sebaiknya kalian benar-benar me lakukannya. Kalau tidak, aku tidak ikut bertanggung jawab lagi"
Ki Reksatani me mandang Ki De mang sejenak. Dengan ragu-ragu ia berkata "Bagaimana pendapatmu kakang Demang?" Ki De mang yang sedang bingung itu menjawab "Kita lakukan se mua usaha. Disini ada berpuluh-puluh orang yang dapat disebar untuk me ncari Sindangsari dengan segala cara" Ki Re ksatani mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kalau Ki De mang benar-benar menyuruh beberapa orang menje lajahi daerah Selatan ini, iapun menjadi ce mas. Barangkali Manguri benar-benar berusaha me mindahkan Sindangsari. Dengan de mikian ma ka di sepanjang jalan akan mungkin sekali bertemu dengan orang-orang Ki De mang yang bertebaran kesegenap penjuru. Karena Ki Reksatani seolah-olah tidak menanggapinya karena ia sedang sibuk sendiri dengan angan-angannya, Ki Demang me mbentaknya "He, bagaimana pikiranmu Reksatani" "Ya, ya. Aku sependapat. Segala cara memang dapat ditempuh. Tetapi sudah tentu kita akan me mpergunakan cara yang paling mungkin dapat dite mpuh dan pa ling mungkin menghasilkan" "Terserahlah kepada mu dan kepada Ki Jagabaya" berkata Ki De mang. Ke mudian "Aku menunggu hasil kerja ka lian hari ini. Kalau kalian gagal aku sendiri akan menjelajahi setiap rumah di Kade mangan ini. Kalau ternyata ia tidak dikete mukan di Kademangan ini, aku akan mencarinya kemana saja. Aku tidak peduli. Siapa yang berusaha merintangi usahaku, aku akan me mpergunakan kekerasan. Setiap orang di daerah Selatan tahu, siapakah Demang di Kepandak. Aku akan me masuki Kade mangan di sekitar Kepandak. Tidak ada seorang De mangpun yang a kan mengha langi aku, apabila mereka t idak ingin a ku menghancurkan mere ka"
Semua orang terdia m karenanya. Mereka mengerti, dalam keadaan itu, tidak sebaiknya seseorang menanggapi katakatanya. Ki De mang me mang seorang yang dikenal di daerah Selatan. Semua orang menghormat inya. Bahkan De mang di sekitar Kepandakpun mengormat inya pula. Dalam keadan wajar, Ki De mang tidak pernah menumbuhkan gangguangangguan dan perselisihan dengan tetangga-tetangga Kademangannya. Tetapi di dalam kegelapan hati, mungkin ia akan berbuat lain. Meskipun Ki Reksatani menjadi berdebar-debar juga, tetapi iapun berkata di da la m hati "Apabila keadaan me maksa, apaboleh buat. Setiap orang di daerah Selatanpun tahu, siapakah orang yang bernama Re ksatani, adik De mang di Kepandak" Dala m pada itu Ki Jagabayapun kemudian berkata "Jadi apakah kita a kan mene mpuh segala ja lan itu?" "Ya. Semua jalan dan se mua cara" jawab Ki De mang tegas. "Baiklah. Aku a kan segera me mbagi orang yang ada. Sebagian akan pergi keluar Kade mangan, mencarinya ke Gunung Sepikul, ketikungan Ka li Praga dan ke Pandan Segegek di pesisir Selatan" desis Ki Jagabaya. "Terserahlah kepada kalian. Aku menunggu sa mpai senja" "Baiklah" lalu kepada Ki Reksatani Ki Jagabaya berkata "kita akan me mbagi tugas" "Ya. Kita akan membagi tugas. Tetapi kita harus berbicara dahulu dengan sebaik-baiknya, supaya kita tidak banyak kehilangan waktu, karena kita dengan mata gelap berlarilarian di sepanjang ja lan" "Ya, berbicaralah" sahut Ki De mang "buatlah rencana yang sebaik-baiknya" Ki Re ksatani me mandang Ki De mang sekilas, wajahnya yang kemerah-merahan itu me mancarkan ke marahan yang
hampir tidak tertahankan. Tanpa menunggu jawaban lagi, Ki Demang itupun ke mudian melangkah masuk ke ruang da la m. Sejenak Ki Jagabaya dan Ki Reksatani saling berpandangan. Namun sejenak kemudian Ki Reksatanipun melangkahkan kakinya pula mengikuti Ki De mang yang langsung masuk ke dalam biliknya. Dari luar bilik, lewat pintu yang tidak tertutup rapat, Ki Reksatani me lihat Ki De mang me mbuka sebuah peti kayu di geledegnya. Kemudian dari dala mnya dia mbilnya sebilah keris. Keris yang jarang seka li dia mbil dari simpanannya. Terasa bulu-bulu tengkuk Ki Reksatani mere mang. Ia sadar, bahwa kakaknya sudah sampai pada puncak ke marahannya. Tanpa sesadarnya Ki Reksatanipun ke mudian meraba kerisnya sendiri. Keris pusaka yang didapatnya bersama-sama dengan keris Ki De mang itu dari almarhum ayahnya. Sebagai dua orang anak laki-laki, keduanya menerima peninggalan yang senilai. Tetapi yang berbeda pada keduanya adalah, hubungan darah. Ki De mang telah lahir lebih dahulu dari Ki Reksatani, sehingga ia menjadi saudara tua. Dan saudara tualah yang berhak untuk menerima warisan kedudukan De mang di Kepandak. Perlahan-lahan Ki Reksatani melangkah surut sebelum kakaknya mengetahui, bahwa adiknya ada di luar pintu. Di luar, Ki Jagabaya menunggu Ki Reksatani dengan berdebar-debar. Begitu Ki Reksatani ke luar, iapun bertanya dengan serta-merta "Apa yang dilakukannya?" "Kakang De mang sudah sa mpai kebatas kesabarannya. Ia sudah menga mbil keris pusakanya. Keris yang tidak pernah keluar dari simpanan" "Keris dapur sangke lat itu?" Ki Re ksatani menganggukkan kepalanya.
Ki Jagabayapun menarik nafas dalam-dala m. Ia sudah lama mengenal Ki De mang sebagai pemimpin tertinggi di Kademangan Kepandak. Ia me ngenal pula tabiat dan ke ma mpuannya. Karena itu, ia kini merasa, bahwa keadaan Ki Demang sudah benar-benar parah. Kalau tidak ada orang yang dapat sedikit me mberinya ketenangan, maka keadaannya pasti akan menjadi sangat sulit. Apalagi kalau Ki Demang benar-benar menjadi mata gelap, dan melangkah keluar rangkahnya, keluar daerah Kade mangan Kepandak. "Kade mangan ini akan diliputi oleh suasana yang suram" berkata Ki Jagabaya selanjutnya "banyak kemungkinan dapat terjadi karena hilangnya Sindangsari" Ki Reksatani menganggukkan kepalanya "Ya. Perselisihan dengan Kade mangan-kade mangan tetangga mungkin seka li terjadi. Kalau kakang Demang me maksa untuk mencari Sindangsari ke mana saja yang dikehendaki, maka perselisihan me mang mungkin akan t imbul" "Mudah-mudahan kita akan dapat me mbatasi diri. Mudahmudahan nanti mala m Ki De mang me njadi sedikit tenang dan mene mukan cara yang sebaik-baiknya" Ki Re ksatani mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sekarang, marilah kita me mbagi kerja. Kita harus segera berangkat mencari keseluruh daerah Kade mangan ini" "Marilah kita duduk sejenak. Marilah kita bicara, supaya kita mendapatkan landasan dari usaha kita ini. "Dan ka lian tetap tidak mendengarkan usulku" terdengar suara perempuan tua yang ternyata masih juga berada di tempat itu" "Tentu nini, ka mi a kan mencari ke te mpat-tempat seperti yang nini sebutkan. Beberapa orang akan segera berangkat" "Mudah-mudahan kau tidak me mbohongi aku"
"Tida k, tentu tidak" Perempuan itupun ke mudian meninggalkan pendapa Kademangan bersama beberapa orang yang masih menunggunya. "Jadi, ma ksud Ki Re ksatani, kita menentukan arah kita masing-masing setelah kita me mbagi orang-orang kita?" bertanya Ki Jagabaya. "Tentu. Tetapi sebaiknya kita bertanya dahulu kepada ibu Sindangsari, barangkali ia dapat me mberikan petunjuk untuk mencari anaknya" jawab Ki Reksatani. "Apa yang dapat dilakukannya?" bertanya Ki Jagabaya. "Barangkali, barangkali ia me mpunyai pendapat" jawab Ki Reksatani "sementara itu, sementara kau bertanya kepadanya aku akan pergi ke dapur lebih dahulu" "Untuk apa?" "Makan. Aku sudah lapar. kademangan sehari penuh" Kita akan menje lajahi
"Ki Reksatani masih juga sempat merasakan perutnya yang lapar. Tetapi aku kira baik juga ka lau se mua orang yang akan pergi bersama kita, mendapat ma kan paginya lebih dahulu. Aku kira di dapur sudah tersedia seadanya, meskipun barangkali nasi sisa makan mala m" "Baiklah. Kaupun harus ma kan, tetapi temui dulu mBok-ayu Demang itu" Ki Jagabayapun kemudian berusaha mene mui ibu Sindangsari se mentara Ki Reksatani dan orang-orang yang akan mencari Nyai De mang yang hilang itu mencari makan di dapur. Namun tidak seorangpun yang tahu bahwa sebenarnya Ki Reksatani sedang berusaha memperpanjang waktu, ia
berusaha me mberi kese mpatan kepada Manguri menyingkirkan Sindangsari dari perse mbunyiannya.
untuk Dala m pada itu, Manguri me mang sedang sibuk merencanakan, apa yang sebaiknya dilakukan. Tetapi ke mungkinan-ke mungkinan seperti yang terjadi ini agaknya tidak dibayangkan. Ia me mang sudah me mperhitungkan, bahwa Ki De mang akan menyebar orang-orangnya untuk mencari isterinya. Tetapi tidak terbayang, bahwa Ki Jagabaya me mbawa pasukan seperti hendak berperang, menjelajahi lorong-lorong padukuhan. Bahkan me ma ksa se mua orang untuk me mbuka pintu rumahnya. "Jika de mikian" berkata Manguri kepada Lamat "me mang mungkin sekali rumah itupun pada suatu saat akan dimasuki oleh Ki Jagabaya. Apalagi kalau mereka tahu, bahwa rumah itu adalah rumah ayah. Bahkan mungkin rumah itulah yang pertama-tama akan didatangi. Mereka masih tetap mencurigai aku dan Pamot. Tetapi karena Pa mot tidak ada, maka kecurigaan mereka di pusatkan kepadaku" Lamat menganggukkan menyahut. "Jadi, sebaiknya dipindahkan" kepalanya. itu Tetapi ia tidak harus
perempuan me mang Lamat me nganggukkan kepalanya pula. "He, kenapa kau hanya sekedar mengangguk-angguk saja" Apakah kau tida k bisa bicara lagi?" "Ya, ya. Aku sependapat" "Kau me mang seorang raksasa yang dungu. Kau sa ma sekali tidak dapat berpikir. Kau hanya dapat menganggukangguk sa mbil mengia kan pendapat orang lain" Lamat menarik nafas dala m-dala m. Katanya "Maksudku, pikiran Ki Reksatani itu me mang masuk akal. Mungkin Ki Jagabaya akan mendatangi semua rumah. Dan yang pertamatama adalah rumah-rumah yang dicuriga inya. Termasuk rumah kecil yang terpencil itu" "Jadi bagaimana me nurut pendapat mu?" "Kita pergi ke rumah me mberikan petunjuk" itu. Mungkin ayahmu dapat
"Ya. Kita pergi mene mui ayah" sahut Manguri ke mudian "sekarang berke maslah. Kita akan pergi. Orang-orang ayah yang terpencar itupun agaknya langsung pergi kesana pula" Manguri dan La matpun segera berkemas pula. Mereka menyediakan kuda-kuda mereka. Dan Manguri masih se mpat me mperingatkan "La mat, bawalah senjatamu. Kita tidak tahu apakah yang akan terjadi di da la m kekisruhan ini" Lamat me njadi ragu-ragu sejenak. Na mun ke mudian iapun me langkah ke dala m biliknya. Diambilnya sebuah parang dari dinding bilik itu dan dise lipkannya pada ikat pinggangnya. Setelah minta diri kepada ibunya, maka Manguripun segera berpacu ke gubug yang terpencil itu diiringi oleh La mat. Ketika mereka sa mpai ke gubug itu, didapatinya ayahnya sedang duduk di ruang depan. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa Manguri menceriterakan apa yang telah terjadi di rumah mereka. "Ka mi mengatakan bahwa ayah sudah tiga hari meninggalkan rumah kita. Kalau ada orang yang melihat ayah disini, maka kecurigaan mere ka pasti akan segera meningkat" Ayah Manguri mengangguk-anggukkan kepa lanya. Tetapi ia masih tetap tenang. "Jadi" berkata ayah Manguri itu ke mudian "menurut pertimbanganmu, sebaiknya aku me ningga lkan padukuhan ini?" "Bukankah begitu sebaiknya?"
"Ya. Kemungkinan bahwa Ki De mang akan sa mpa i ke tempat ini me mang ada" "Jika de mikian, apakah yang akan ayah lakukan?" "Sebaiknya aku me mang menyingkir untuk beberapa hari" "Tetapi bagaimana sekarang?" dengan Sindangsari" Dima na ia
"Di dala m. Aku terpaksa menyumbat mulutnya. Setelah sadar, ia mencoba berteriak-teriak saja. Aku tidak sa mpai hati untuk me mbuatnya pingsan lagi. Ia akan menjadi sangat le mah. Apalagi ia sedang mengandung" Darah Manguri berdesir. Iapun menyadari, bahwa seandainya Ki Demang, atau Ki Jagabaya sampai ke gubug ini, maka rumah ini pasti akan digeledahnya sampa i ke bawah kolong sekalipun. "Ayah" berkata Manguri ke mudian "Ki Reksatani berpendapat bahwa sebaiknya Sindangsaripun disingkirkan pula" "He" ayahnya mengerutkan keningnya "Aku kira ia berada di tempat yang aman sekarang. Pintu di bela kang gledeg itu tidak mudah terlihat oleh siapapun" "Tetapi siapakah yang akan menungguinya disini?" "Kau dan La mat" "Itu akan menumbuhkan kecurigaan mereka. Baru saja mereka me ne mui ka mi di rumah. Ke mudian ka mi sudah berada di te mpat ini" "Katakan bahwa kalian sedang mengurusi ternak-ternak itu, karena aku tida k ada di rumah" "Mungkin sekali a ku dapat menghapus kecurigaan karena aku ada disini. Tetapi aku tidak akan dapat mencegah mereka merusak dinding dan bahkan me mbongkar gubug ini sama
sekali. Apalagi pere mpuan itu akan dapat me mbuat bunyi apapun meskipun mulutnya disumbat" "Kalau jelas mereka akan mencari ke mari, kau dapat me mbuat pere mpuan itu pingsan untuk se mentara seperti yang tadi kau lakukan" Manguri termenung sejenak. Namun ke mudian berkata. Ayah. Ki Demang benar-benar seperti orang kesurupan menurut Ki Reksatani. Bahkan Ki Jagabayapun menjadi sangat garang, karena tugasnya yang gagal. Ia merasa tersinggung sekali atas hilangnya Nyai De mang dari depan hidungnya di Kademangan" Ayah Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Ada baiknya juga a ku meninggalkan te mpat ini me mbawa Sindangsari. Tetapi ke mana?" "Apakah ayah tidak dapat mencari tempat yang aman di sepanjang perjalanan yang sering ayah lakukan?" "Aman bagi ternak. Tetapi belum pasti bagi seorang perempuan curian seperti Sindangsari" ayah Manguri ke mudian menarik nafas dalam-dala m. Katanya selanjutnya "kau me mang gila Manguri. Kau selalu me mbuat orang tua menjadi pening" "Sekali ini saja ayah. Biasanya aku tidak pernah mengganggu ayah. Aku sudah dapat mencari gadis-gadis sendiri. Tetapi se kali ini a ku me merlukan bantuan" "Ah, kau. Kau harus mencoba untuk me mulai dengan kehidupan wajar" "Tentu ayah. Setelah aku mengawini pere mpuan itu" "Begitu?" ayah Manguri menarik nafas dalam-dala m. Tetapi terbayang di rongga matanya suatu kehidupan yang justru selalu diliputi oleh rahasia dan kece masan. Bagaimana mungkin Manguri dapat hidup berumah tangga sewajarnya kalau isterinya harus selalu dise mbunyikannya" Padahal
isterinya adalah seseorang yang lengkap. Jasmaniah dan rohaniah. Yang dapat berpikir dan berbuat, sehingga setiap saat akan dapat me larikan dirinya. "Manguri me mang keras kepala" ia berdesah di dalam hatinya "semakin sulit ia mendapatkan seorang gadis, maka ia menjadi se makin bernafsu. Ia tidak mau me narik niatnya, sebelum ia berhasil. Agaknya ka li ini ia benar-benar mendapatkan kesulitan" Tetapi ayahnya tidak mengucapkannya. Terbayang sekilas cara hidupnya sendiri. Cara hidup yang sama sekali juga tidak terpuji. "Jadi, bagaimana selanjutnya ayah. Kita harus berbuat cepat. Keadaan menjadi sangat gawat" "Baiklah" berkata ayahnya "meskipun aku belum tahu, ke mana aku harus pergi, tetapi aku akan pergi. Nanti mala m kalian dapat menye mbunyikan Sindangsari di te mpat yang akan aku beritahukan lewat seseorang" "Tida k nanti ma la m ayah. Sekarang perempuan itu harus disingkirkan" "He, sekarang?" "Hari ini Ki De mang atau Ki Jagabaya pasti akan segera menje lajahi isi Kademangan. Se makin cepat, semakin baik. Bahkan sebaiknya sekarang ayah me mbawanya pergi" "Sekarang" Kalau aku sendiri dapat saja sekarang pergi berkuda ke manapun. Aku me mpunyai banyak sekali kenalan. Aku dapat berpura-pura mengurus ternakku yang masih tersisa belum dibayar, atau dengan dalih apapun. Tetapi dengan me mbawa seorang perempuan yang sedang mengandung, aku harus berpikir beberapa kali lagi" "Terserahlah kepada ayah. Tetapi aku minta ayah menyingkirkannya sekarang. Kalau tidak, apabila ada bencana yang menimpa aku, ayah pasti akan tersangkut pula. Kita
tahu, bahwa sulit sekali untuk me lawan Ki De mang dengan kekerasan. Ia adalah seorang yang pilih tanding. Ha mpir tidak ada duanya di daerah Selatan ini" Ayah Manguri termangu-mangu sejenak. Sa mbil mengerutkan keningnya ia berkata "Manguri, aku sudah me mperingatkan sebelumnya. Carilah perempuan lain. Sekarang kau terlibat dalam suatu kesulitan yang akan sulit kau atasi" "Sudah ayah. Aku sudah mencari perempuan lain. Sejak itu aku sudah mendapatkan lebih dari lima orang berganti-ganti. Aku sudah menjadi je mu dengan mereka, sehingga satu-satu sudah aku lepaskan atau aku serahkan kepada laki-laki yang mau mengawininya dengan sedikit bekal untuk hidup mereka. Tetapi aku tidak dapat melupakan Sindangsari" Sekali lagi ayahnya berdesah. Katanya "Agaknya kau akan mene mpuh jalan yang lebih hitam dari jalanku Manguri" "Tida k ayah. Setelah aku mendapatkan perempuan itu, tentu tidak" "Seperti perempuan lain Manguri. Kau akan segera menjadi jemu. Tetapi kalau ka li ini kau menjadi jemu, kau tidak akan dapat mele mparnya begitu saja, atau me mbe li seorang la kilaki berhati tikus untuk mengawininya. Tidak" "Tentu tidak Sindangsari" ayah. Aku tidak akan je mu dengan
"Mudah-mudahan" "Tetapi, agaknya bukan waktunya sekarang untuk me mpersoalkannya ayah. Apakah ayah bersedia menyela matkan pere mpuan itu" Manguri me motong. Ayahnya tidak segera menjawab. "Ayah. Apakah ayah dapat menyingkirkannya?" Ayah Manguri menarik nafas dala m-da la m.
"Ayah" ulang Manguri. "Bagaimana aku akan me mbawanya" Ayahnya bergumam seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri. "Ayah" suara Manguri menjadi ge metar "de mi kesela matan kita dan kesela matan perempuan itu. Kalau aku gagal menye mbunyikannya, maka Ki Reksatani akan mene mpuh jalannya sendiri. Jalan yang paling se la mat buat dirinya" "Jalan apakah itu?" "Apakah aku belum pernah mengatakan kepada ayah" Jalan itu adalah jalan yang paling mudah baginya. Me mbunuh Sindangsari" Ayah Manguri mengangkat wajahnya sejenak, lalu "Keturunan Ki De mang itu se lalu menghantuinya. Ia ingin me miliki warisan kedudukan ini. Aku sudah me ngerti" "Karena itu ayah, menyingkirkannya " selagi ada kemungkinan untuk
Sejenak ayah Manguri termenung. Namun ke mudian ia mengangguk-angguk kecil "Ba iklah. Aku akan me mbawanya pergi" Manguri bergeser setapak. Katanya "Terima kasih ayah. Tetapi bagaimana ayah akan membawanya supaya tidak terlihat oleh seseorang?" "Suruh siapkan pedati. Aku akan pergi dengan pedati" "Dengan pedati?" "Tida k ada cara yang lebih baik dari sebuah pedati" Dada Manguri menjadi berdebar-debar "Tetapi perjalanan ayah akan lambat sekali dan barangkali akan makan waktu yang panjang" "Tetapi aku tidak melihat kemungkinan lain" lalu katanya kepada La mat "La mat, suruhlah kusir pedati menyiapkan
pedatinya. Aku akan pergi. Tiga orang yang ada di sini akan ikut bersa ma aku" "Kenapa?" "Kalau aku bertemu dengan orang-orang Ki De mang di jalan aku tidak mau berbuat tanggung-tanggung" Sekali lagi dada Manguri berdesir, bahkan terasa dada Lamat bergejolak keras. Agaknya demikianlah tabiat ayah Manguri. Dala m keadaan yang memaksa, ia tidak mau berbuat tanggung-tanggung. Terbayang di dala m angan-angan La mat, beberapa orang yang sedang mencari Sindangsari, yang berjumpa dengan ayah Manguri di perjalanan, tidak akan dapat kembali pulang ke rumah masing-masing. Tidak ada seorangpun dari mereka yang sempat berceritera, siapakah yang telah melakukan hal itu. Kecuali kalau diantara mereka terdapat Ki Demang atau Ki Jagabaya sendiri. Maka keadaannya pasti akan berbeda. "Cepat" Lamat terkejut ketika ia mendengar Manguri me mbentaknya. Dengan tergesa-gesa iapun pergi ke sudut halaman yang luas itu. Seperti apa yang diperintahkan oleh ayah Manguri, ma ka iapun menyuruh kusir pedati untuk menyiapkan pedati le mbunya. "Ke mana Ki Lurah a kan pergi?" Lamat menggelengkan kepalanya "Aku tidak tahu. Tiga orang pengawalnya akan dibawanya serta" "Ka mi" bertanya salah seorang dari ketiga pengawal. "Ya. Kalian akan dibawa pergi" "Lalu siapakah yang akan menunggui rumah dan hala man ini" Disini masih ada beberapa ekor lembu dan bahkan di dalam gubug itu ada Nyai De mang"
"Hus" desis La mat "jangan kau sebut-sebut. Jadi kau tahu bahwa Nyai De mang ada disini?" "Ya. Semula aku ragu-ragu ketika aku melihat kau datang me mbawanya. Tetapi ketika aku diminta oleh Ki Lurah untuk me mbantu me ngikat dan menyumbat mulutnya, barulah aku yakin" "Jadi pere mpuan itu diikat sekarang?" "Ia selalu meronta-ronta. Supaya kandungannya tidak terganggu, maka Ki Lurah me mutuskan untuk mengikatnya. Ternyata ia menjadi tenang setelah ia yakin, bahwa ia tidak akan dapat melepaskan tali pengikatnya" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ke mudian ia berkata "Jangan mengatakan kepada siapapun di luar halaman ini. Kalau hal ini diketahui orang, maka kalian akan ka mi gantung di pinggir hutan, dan tubuh kalian akan kami le mparkan agar menjadi makanan harimau atau burung gagak" "Tetapi bagaima na menyebarkannya?" ka lau bukan ka mi yang
"Tida k ada orang lain yang mengetahui" "Para pengawal yang kalian pergunakan di Kade mangan semala m" Mereka pasti tahu juga apa yang telah terjadi" "Mereka sudah berjanji akan menutup mulut. Bagaimana dengan kalian?" "Jangan menganggap ka mi anak-anak lagi. Ka mi tahu apa yang harus ka mi rahasiakan dan apa yang tidak" "Apakah kalian mau berjanji juga" "Ka mi tahu apa kewajiban ka mi disini" "Apakah kalian mau berjanji"
"Ka mi sudah mengerti, bahwa rahasia itu tidak boleh mere mbes keluar ha la man ini" "Aku bertanya, apakah kalian mau berjanji?" Para pengawal ternak itu menarik nafas dalam-da la m. Akhirnya mereka saling berpandangan. "Baiklah. Ka mi berjanji" jawab salah seorang dari mere ka. "Yang lain?" "Ka mi berjanji" jawab yang lain ha mpir bersa maan. "Nah, sekarang siapkan pedati. Kalian akan segera pergi" "Bagaimana dengan te mpat ini" "Tinggalkan saja. Sebentar lagi, orang-orang yang pergi ke Kademangan se mala m a kan segera berdatangan" "Tida k semuanya kemari. Mereka bahkan akan ke mbali ke rumah Ki Lurah" "Aku akan segera menyuruh mereka ke mari. Dua atau tiga orang sudah cukup" "Baiklah" sahut salah seorang dari mereka "kami sekedar menja lankan perintah" Demikianlah, ma ka orang-orang itupun segera menyiapkan pedati dan sebuah perjalanan. Perjalanan yang lain dari perjalanan yang biasa mereka lakukan. Kali ini mere ka tidak mengawal ternak ke luar daerah, tetapi akan mengawal sebuah perjalanan yang diliput i oleh suatu rahasia. Sejenak kemudian maka pedati itupun sudah siap. Di dalam pedati ditaruhnya seonggok jerami, rendeng dan beberapa maca m barang lainnya. Keranjang-keranjang kosong dan bakul-bakul berisi bahan makanan mentah. "Aku akan mencoba mencari persembunyian di tempat kawan-kawanku. Mungkin a ku a kan me milih te mpat yang agak
jauh sama sekali, supaya aku tidak selalu berpindah-pindah persembunyian. Tetapi dengan de mikian kau tahu Manguri, bahwa aku telah kehilangan beberapa hari dan kesempatan untuk mengadakan jual beli ternak. Beberapa hari bagiku adalah kerugian" berkata ayah Manguri ke mudian. "Sekali-sekali ayah" jawab Manguri. "Tetapi kita masih be lum tahu, apakah yang akan kita kerjakan ke mudian. Apakah aku harus menunggui pere mpuan itu sa mpai a ku tua, atau kita a kan mendapat pe mecahan lain" "Tentu tidak ayah. Akulah yang akan bertanggung jawab seterusnya" "Kau menghilang dari Ge mulung" Kau tahu akibatnya" "Tida k begitu. Tetapi baiklah. Kita akan me mbicarakannya kelak" Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah" katanya "sekarang, naikkanlah Sindangsari ke dalam pedati itu" Manguri me ma ndang ayahnya sesaat. Kemudian katanya kepada La mat "A mbillah pere mpuan itu" Lamat menarik nafas dalam-da la m. Tetapi iapun segera pergi ke bilik di bela kang geledeg. Setelah memindahkan geledeg bambu, maka iapun segera me mbuka pintu. Dilihatnya Sindangsari me mang terikat di pembaringan, sedang mulutnya tersumbat rapat-rapat" Sejenak La mat berdiri termangu-mangu. Ia melihat sorot mata yang aneh yang seakan-akan mene mbus langsung ke jantungnya, sehingga tanpa sesadarnya iapun menundukkan kepalanya dala m-dala m. Tetapi akhirnya ia sadar, bahwa ia harus segera me lakukannya. Karena itu, maka selangkah ia ma ju sa mbil berkata "Maafkan aku nyai De mang"
Sorot mata itu serasa semakin sakit menusuk dadanya. Tetapi ia tidak dapat berdiam diri lebih la ma lagi. Perlahanlahan ia mendekati Sindangsari sambil berdesis "Maafkan. Maafkan aku" Ketika tangan Lamat menyentuh tali pengikatnya. Sindangsari sudah mulai meronta lagi. De mikian satu tangannya terlepas, begitu ia merenggut sumbat di mulutnya "Gila, kau gila. Lepaskan aku" teriaknya nyaring. "Tenanglah Nyai De mang" bisik La mat. Tetapi Sindangsari meronta se makin keras dan berteriak-teriak tidak menentu. "Tenanglah Nyai De mang. Tenanglah" Suara Lamat sa ma sekali tidak di dengarnya. Meskipun tangannya yang sebelah masih terikat, tetapi ia meronta-ronta sekuat-kuatnya. Lamat menjadi bingung sejenak. Na mun t iba-tiba ia berteriak keras sekali, sehingga gubug itu seolah-olah telah bergetar dan me ledak. "Dia m, dia m kau" Teriakan itu ternyata telah mengejutkan Nyai Demang. Suara Lamat jauh mela mpaui suaranya sendiri. Dengan demikian maka Nyai De mang itu tanpa sesadarnya telah terdiam. Ketika Nyai De mang telah dia m barulah la mat bergeser semakin dekat. Tetapi kini yang terbayang adalah ketakutan yang dahsyat telah mencengka m Nyai De mang di Kepandak. Lamat ke mudian berjongkok di dekat Nyai De mang. Perlahan-lahan sekali ia berbisik "Tenanglah Nyai De mang. Aku akan mencoba melindungimu sejauh dapat aku lakukan. Karena itu jangan kehilangan akal. Jagalah dirimu baik-baik di saat-saat aku tidak ada. Tetapi, kau dapat me mpercayai aku"
Nyai Demang mengerutkan keningnya. Tetapi di wajahnya masih terbayang campur aduk dari ketakutan dan keraguraguan. Yang penting, jagalah kandunganmu. Jangan merontaronta supaya kandunganmu tida k terganggu. Nyai De mang masih ragu-ragu "Aku tahu, bahwa kandunganmu sama sekali bukan anak Ki Demang di Kepandak. Tetapi anak yang akan lahir itu adalah anak Pa mot Mata Sindangsari terbelalak karenanya. "Aku sa ma seka li t idak sengaja ketika a ku me lihat Pa mot minta diri kepada mu, pada saat ia akan berangkat meninggalkan padukuhan ini" "Kau me lihat" tiba-tiba wajah Sindangsari merah pada m. "Tanpa aku sengaja" "Gila. Kau me mang gila" "Dia mlah. Tenanglah. Aku bermaksud ba ik. Aku akan mengatakan selanjutnya. Tetapi sekarang tidak ada waktu lagi" Sindangsari ternyata tidak dapat menahan hatinya lagi. Meskipun ia tidak meronta-ronta dan me mbiarkan La mat me lepaskan tali pengikat dari seluruh tubuhnya, namun air matanya menjadi se makin deras mengalir. Bahkan ke mudian setelah kedua tangannya bebas ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Aku ma lu seka li" desisnya "kenapa kau berbuat gila itu?" "Jangan ribut. Aku tidak bermaksud mengatakannya. Tetapi barangkali aku sudah terlanjur. Sekarang yang penting, apa yang sedang kau hadapi kini, untuk se mentara kau harus
menurut. Jangan mencoba melawan, itu tidak akan ada gunanya. Tetapi percayalah kepadaku" Sindangsari masih me nangis. "Sebenarnyalah jiwa mu terancam" "Aku me mang ingin mati" "Ah, jangan begitu Nyai" "Aku tidak percaya kepada setiap orang. Semuanya hanya me mentingkan dirinya sendiri" "Tetapi kadang-kadang seseorang me mpunyai kepentingan bersama dengan orang lain. Dan se muanya itu sebenarnya tidak penting sa ma sekali. Yang penting bagi Nyai De mang adalah kandungan Nyai De mang meskipun Nyai De mang ingin mati, tetapi anak itu tidak seharusnya ikut menjadi korban perasaan yang meledak sesaat itu" "O" suara Sindangsari terputus oleh isaknya. Tiba-tiba saja ia menyadari keadaannya, bahwa sebenarnya ia memang sedang mengandung. Sejenak La mat masih berdia m diri berjongkok di sa mping Nyai De mang, yang meskipun sudah terlepas dari ikatannya, tetapi ia masih tetap berbaring sambil menangis. Bahkan ia ke mbali menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia merasa malu sekali menatap wajah La mat, yang ternyata telah mengetahui rahasianya yang paling dala m, yang sebenarnya tidak boleh dilihat oleh siapapun juga. Namun La mat tidak dapat me mbiarkan hal itu terjadi terlampau la ma. Di luar ayah Manguri sudah menunggunya. "Marilah. Nyai De mang harus segera menyingkir dari tempat ini. Jangan melawan, agar kandungan Nyai Demang tidak terganggu. Selanjutnya, biarlah kita bersama-sama berusaha mencari ja lan, agar Nyai Demang dapat melepaskan diri dari bencana"
Sindangsari t idak me nyahut. "Kali ini aku mengharap Nyai De mang me mpercayai aku" Sindangsari masih tetap tidak menjawab. Tetapi ketika Lamat berdiri, Sindangsari bangkit pula. "Marilah. Aku persilahkan Nyai berjalan sendiri" Sindangsaripun ke mudian me langkahkan kakinya. Ia kini sadar, bahwa ia pasti berada di tangan Manguri. Ia mengenal raksasa itu dan ia mengenal juga saudagar ternak yang kaya, yang telah mengikatnya. Ayah Manguri. Ketika Sindangsari melangkah kakinya keluar pintu, dadanya berdesir. Ternyata Manguri benar-benar telah berada di luar, berdiri tegak di sa mping ayahnya. Terasa sesuatu melonjak di dadanya. Kebenciannya kepada anak muda itu serasa akan meledakkan dadanya. Tiba-tiba saja ia merasa, bahwa ia lebih aman berada di samping Ki Demang yang telah jauh lebih tua itu, daripada di de kat Manguri. Terbayang betapa anak muda itu menjadi begitu ganas dan kasar. Sedang Ki De mang ternyata cukup mengerti tentang dirinya dan kadang-kadang bersikap seperti seorang ayah. Apalagi Ki De mang itu sa ma seka li t idak menyentuhnya selama ini. Tiba-tiba saja Sindangsari ingin berlari. Berlari ke mana saja menjauhi anak muda itu. Tetapi ketika ia ingin me langkah, La mat yang berada di belakangnya segera menangkap kedua lengannya "Tenanglah Nyai De mang" Sindangsari meronta. Tetapi tangan Lamat bagaikan besi yang telah menghimpit tubuhnya. "Sayangilah kandunganmu" bisik La mat. "Lepaskan, lepaskan"
Tetapi tangan La mat sa ma sekali tida k terlepas. Bahkan terasa semakin keras menghimpit lengannya. "Maafkan Nyai De mang" berkata Manguri sa mbil me mbungkukkan kepa lanya "maafkan kekasaran raksasa yang dungu itu. Aku juga me ndengar ia berteriak-teriak di dala m. Bukan maksudku berbuat begitu kasar. Tetapi Lamat tidak dapat berbuat lebih ba ik dari itu" Sindangsari t idak me njawab. "Ka mi terpaksa menyela matkan Nyai De mang dari Kademangan, karena Nyai De mang teranca m. Jiwa Nyai Demang benar-benar harus mendapat perlindungan" "Bohong, bohong" "Nyai De mang" berkata Manguri "mungkin Nyai De mang tidak percaya. Ki Reksatani, adik Ki De mang itu, benar-benar ingin me mbunuh Nyai De mang" "Bohong" "Alasannya karena Nyai Demang sudah mengandung. Ki Reksatani ingin se mua isteri Ki De mang tidak mengandung, karena Ki Reksatani tidak mau me lihat Ki De mang me mpunyai keturunan. Dengan demikian ma ka tidak akan ada seorangpun yang akan dapat menggantikan kedudukannya. Tetapi ternyata Nyai De mang sekarang sedang mengandung" "Tetapi" suara Sindangsari terputus karena tangannya segera menutup mulutnya sendiri. "Tetapi, apa?" bertanya Manguri. "Tida k. Tidak" tangis Sindangsari meledak lagi. Semakin keras. Bahkan timbullah pertanyaan di dala m kepalanya "Apakah Manguri melihat juga apa yang telah terjadi itu seperti La mat?"
"Dia mlah" desis Manguri "aku persilahkan Nyai menyingkir untuk kesela matan Nyai. Silahkan Nyai naik kepedati. Ayah akan mengantarkan Nyai bersembunyi untuk se mentara" Dada Nyai De mang menjadi sesak. Tanpa sesadarnya ia berpaling me mandang wajah La mat yang kasar sekasar batu padas. Tetapi tiba-tiba ia me lihat sesuatu yang le mbut di wajah itu. Tatapan matanya. Ya tatapan mata La mat. Karena itu, ketika Lamat menganggukkan kepa lanya, tibatiba saja ia telah dicengka m oleh kepercayaan terhadap orang yang tinggi besar dan berkepala botak itu. Perlahan-lahan Sindangsari melangkah mende kati pedati yang sudah tersedia. Lamat mengikutinya di belakangnya. Ketika ada kese mpatan ia berbisik "Manguri tida k tahu sama sekali tentang kandunganmu. Ia mengira, anak itu anak Ki Demang di Kepanda k" Sindangsari me ngerutkan keningnya. Tetapi ia t idak menjawab dan bahkan berpalingpun tidak. Tetapi kini ia me mpercayai keterangan itu. Ia percaya bahwa Manguri tidak mengetahuinya. Kalau ia tahu, mungkin ia sudah me mperguna kan hal itu untuk me merasnya sejak permulaan hari-hari perkawinannya dengan Ki De mang. Sejenak kemudian Sindangsari telah naik keatas pedati ditolong oleh La mat. Dan La mat sempat pula berbisik "Aku tidak ikut bersa ma Nyai sekarang. Jagalah dirimu ba ik-baik. Aku akan se lalu berada di dekat Manguri. Aku tahu apa yang akan dikerjakannya" Nyai De mang t idak juga menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil. Sejenak ke mudian, ma ka ayah Manguri dan ketiga pengawalnyapun telah naik pula keatas pedati itu. Ketika pengemudinya telah siap pula, ayah Manguri berkata "Hatihatilah. Jagalah rumah dan ibumu ba ik-baik. Aku sekarang terpaksa melibatkan diri dala m perma inan yang gila ini. Aku
akan segera mengirimkan orang untuk menga mbil pa kaian, apabila aku harus berada dipersembunyian sampai sepekan. Aku tidak me mbawa paka ian sa ma seka li" "Ya ayah, aku akan menyedia kan" "Baiklah" la lu kepada La mat ia berkata "Jagalah se luruh milikku ba ik-ba ik" Lamat mengangguk dala m dala m Jawabnya "Aku akan mencobanya" Maka sejenak kemudian pedati itupun maju perlahan-lahan. Ketika pedati itu mulai bergerak, terasa hati Sindangsaripun meronta pula. "Tida k, tidak" tiba-tiba saja ia berteriak "aku akan turun. Lepaskan aku" "Jangan berbuat bodoh Nyai. Aku dapat mengikat mu lagi" desis ayah Manguri "ka mi se mua telah berusaha dengan susah payah menyelamatkan Nyai dari ketamakan Ki Reksatani. Nyai harus menyadari hal ini" "Tetapi, aku tidak mau. Biarlah Ki De mang me lindungi aku" "Ki De mang terla mpau percaya kepada adiknya Sudahlah, tenanglah. Ka mi bermaksud baik" itu.
Mata Sindangsari yang basah itu menjadi se makin, basah. Tiba-tiba perasaan takut yang mencengka mnya, semakin me muncak lagi. Ia berada di dala m satu pedati dengan lima orang laki-laki yang kasar. Laki-laki yang tidak dikenalnya dengan baik watak dan tabiatnya. Bahkan menurut pendengarannya, ayah Manguri itu adalah seorang laki-laki yang tidak berbeda dengan Manguri sendiri. Tetapi-dala m pada itu Sindangsaripun menyadari bahwa ia tidak akan dapat me lawan. Bahkan me mang sebaiknya ia tetap me mpergunakan pikirannya.
Karena itu, ma ka akhirnya Sindangsari itu duduk berdia m diri. Wajahnya tertunduk dalam-dala m. Meskipun ia merasa, bahwa semua laki-laki yang ada di da la m pedati itu seakanakan tidak menghiraukannya, namun setiap ka li terasa kulit di seluruh tubuhnya mere mang. Demikianlah ma ka pedati itu berjalan perlahan-lahan keluar dari hala man yang luas itu, turun keja lan padukuhan yang sepi. Kemudian menyelusuri jalan itu ke luar dari telatah Kademangan Kepandak. Manguri dan La mat mengantar mereka sa mpai ke regol halaman. Dengan mata yang suram Lamat me mperhatikan pedati yang berjalan terguncang-guncang ditarik oleh dua ekor lembu itu. Semakin la ma sema kin jauh, me mbawa Sindangsari ke te mpat yang masih belum diketahui. Setelah pedati itu hilang di ke lok ja lan, ma ka La matpun menarik nafas dala m-da la m. "Kita harus segera ke mbali" desis Manguri. Lamat menganggukkan kepalanya "Ya. Kita harus segera ke mbali" "Sebentar lagi, Ki De mang akan menyebar orang-orangnya. Kita harus sudah berada di rumah" Lamat menganggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya "Bagaimana dengan hala man ini?" "Biarlah, kita tinggalkan saja" "Beberapa ekor ternak yang ada disini?" "Biar sajalah. Ternak itu tidak akan hilang" Lamat tidak bertanya lagi. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk. Tetapi wajahnya masih saja diliput i oleh kecemasan tentang nasib Nyai De mang di Kepandak. Keduanyapun ke mudian berpacu meningga lkan tempat itu, setelah menutup pintu-pintu gubug dan mengikat beberapa
ekor ternak yang ada erat-erat. Tetapi beberapa ekor ternak itu ha mpir t idak berarti sa ma sekali bagi Manguri yang kaya raya, seandainya ternak itu hilang seka lipun. Dala m pada itu, orang-orang di Kademangan telah siap pula untuk me lakukan pencaharian yang lebih lama dan luas. Mereka sudah selesai makan dan berke mas. Seperti yang diperintahkan oleh Ki De mang mereka diperkenankan mene mpuh se mua cara untuk mene mukan Sindangsari. "Sebagian dari kita akan pergi menjelajahi setiap rumah yang pantas dicurigai" berkata Ki Jagabaya "Dan sebagian kecil akan pergi ke tempat-te mpat yang wingit seperti yang disebutkan oleh nini itu. Gunung Sepikul, Tikungan Ka li Praga, kalau perlu dicari sa mpai kepesisir Kidul, Pandan Segegek, sungapan Kali Praga dan dimana saja" Orang-orang yang mendengarkannya menganggukanggukkan kepa lanya. Merekapun merasa wajib untuk ikut serta menemukan Nyai De mang yang begitu saja hilang dari Kademangan pada saat ia sedang ma kan di da la m biliknya. "Ha mpir tidak masuk aka l" berkata salah seorang dari mereka. "Me mang mungkin ia telah dibawa oleh hantu" jawab yang lain. Demikianlah, ma ka Ki Jagabayapun segera membagi orangorangnya. Setiap kelompok terdiri dari tiga sa mpai lima orang. Ia sendiri bersa ma dua orang ikut pula di dala m usaha pencaharian itu. Sedang Ki Reksatanipun ikut pula bersama dua orang yang lain. "Kita jelajahi setiap pintu" desis Ki Jagabaya "mustahil Nyai Demang dapat hilang begitu saja seperti ditelan bumi" Demikianlah maka orang-orang itupun mulai berpencaran. Beberapa kelompok pergi ke timur, ke lompok yang lain ke Barat, ke Selatan dan ke Utara. Sedang sekelompok yang lain
harus mencarinya keluar Kade mangan, ke daerah-daerah yang wingit. Seperti pasukan yang berangkat ke medan perang, maka kelompok-kelompok itupun mulai berpencar. Mereka menuju ke arah masing-masing, dan setiap kelompok dipimpin oleh seorang bebahu Kademangan termasuk Ki Jagabaya dan Ki Reksatani. Sejenak ke mudian, maka berderaplah kaki-ka ki kuda di seluruh daerah Kade mangan Kepandak. Debu yang putih berhamburan ditiup angin yang kering. Mereka akan mulai dengan pencaharian mereka dari daerah yang paling jauh, ke mudian perlahan-lahan mende kati induk Kade mangan. Sedang sekelompok yang la in harus pergi ke tempat-tempat yang wingit. Kelompok yang harus mencari Nyai De mang keluar Kademangan itupun berpacu seperti angin. Mereka harus menje lajahi tempat-tempat yang jaraknya agak berjauhan. Karena itu, maka kuda-kuda merekapun berderap cepat sekali, secepat dapat dilakukan. Yang pertama-ta ma mereka datangi adalah Gunung Sepikul. Dua buah gumuk kecil yang berdekatan. Diatas gumuk itu tumbuh berbagai maca m tumbuh-tumbuhan liar. Sebatang pohon cangkring yang sudah tua tumbuh pada salah sebuah gumuk itu, sedang pada gumuk yang lain tumbuh sebatang pohon nyamplung yang besar-sekali. Orang-orang berkuda yang dipimpin oleh Ki Kebayan itu berhenti beberapa langkah dari kedua gumuk itu, tepat di tengah-tengah. Sejak mereka berdiri me matung. Namun tanpa mereka sadari, bulu-bulu tengkuk merekapun mere mang. Sejenak mereka me mandangi kedua batang pohon itu berganti-ganti. Pohon cangkring yang meskipun tida k sebesar pohon nyamplung, na mun ta mpaknya benar-benar angker. Dahan-dahannya yang ditumbuhi duri yang besar bersilang
me lintang. Sedang daun-daunnya yang rimbun bagaikan selimut yang tebal me mbungkus dahan dahannya itu. Namun pohon nyamplung itupun tida k kurang mengerikan. Batangnya besar dan tinggi. Bahkan lurus seperti sebuah galah yang ingin menusuk langit. Baru pada bagian ujungnya sajalah batang itu ditumbuhi oleh dahan-dahan yang besar dan teratur, ke segala arah menunjuk kesegala penjuru. Daunnya yang besar dan tebal bergayutan di ujung dahan. "Dima na kita mereka. mencari?" bertanya salah seorang dari
"Kita masuk kegerumbul liar itu" jawab Ki Kebayan. Beberapa orang menarik nafas dala m-dala m. Tetapi merekapun ke mudian me mbulatkan tekad mereka untuk mene mukan Nyai De mang. Mereka percaya bahwa Ki Kebayan termasuk sa lah seorang yang me mpunyai ilmu yang gaib. Sejenak ke mudian merekapun mengikatkan kuda-kuda mereka. Ketika Ki Kebayan me langkah ke gumuk yang ditumbuhi oleh pohon cangkring, maka se mua orang mengikut inya pula. Di bawah gumuk itu Ki Kebayan berhenti sejenak. Ia menekurkan kepa lanya sambil berkumat-ka mit. Kemudian ia me masukkan sesuatu di mulutnya. Setelah dikunyahnya maka ke mudian dia mbilnya lagi dari mulutnya, dan dile mparkannya menyebar keatas gumuk itu. "Marilah" katanya kemudian "tetapi hati-hati. Gumuk itu terkenal, banyak dihuni ular. Kalau kau bertemu juga dengan seekor ular jangan dibunuh. Tetapi a ku sudah berusaha menyingkirkan ular-ular itu. Mudah-mudahan kita tidak diganggu oleh ular-ular itu dan oleh danyang yang menunggui Gunung Sepikul ini"
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepa lanya. Tetapi tidak seorangpun yang menjawab. Namun de mikian sekali lagi bulu-bulu tengkuk mereka mere mang. Meskipun demikian, merekapun mengikuti Ki Kebayan naik keatas gumuk itu. Dengan pedangnya Ki Kebayan menyibakkan rerumputan liar dan ke mudian pohon-pohon perdu yang rapat. Sedang kawan-kawannya mengikut inya saja di bela kang. Langkah Ki Kebayan tertegun ketika tiba-tiba saja seekor ular sawah yang besar bergeser dari tempatnya, menyelusur menyilang langkah Ki Kebayan. Tetapi Ki Kebayan me mbiarkannya saja. Ia sama sekali tidak mengganggunya, dan ular itupun seolah-olah acuh tidak acuh saja terhadap kehadiran manusia yang jarang seka li datang itu. "Ular itu tidak me lihat kita" desis seseorang "ternyata ular yang sekian besarnya itu berpalingpun tidak. Rupa-rupanya jampi Ki Kebayan me mang taja m" Kawannya tidak menyahut. Tetapi rasa-rasanya debar jantungnya menjadi se makin cepat. Semakin la ma merekapun menjadi se makin dekat dengan pohon cangkring yang tua itu. Dengan de mikian, terasa nafas merekapun menjadi se makin me mburu. Mereka terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat kelepak seekor burung yang sangat besar pada sebatang dahan cangkring itu. Seekor burung elang jantan yang agaknya terkejut melihat kehadiran orang-orang yang jarang sekali me ndatangi te mpat itu. "He m" salah seorang dari mereka menarik nafas, sedang tangannya tiba-tiba saja telah me lekat di hulu pedangnya" Tetapi Ki Kebayan sendiri masih tetap melangkah maju mende kati pohon cangkring itu. Sambil berkumat-ka mit ia me mandang rimbunnya daun cangkring itu dengan saksa ma.
Orang-orang yang pergi bersamanya itupun me langkah mengikut inya, meskipun dengan hati yang berdebar-debar. Meskipun de mikian, karena Ki Kebayan tidak juga mengurungkan niatnya untuk mencari Nyai De mang, maka merekapun maju terus. Ki Kebayan itu ke mudian berhenti setelah ia berdiri di bawah pohon cangkring yang tua itu. Dengan wajah yang tegang ia menga mati batangnya yang dipenuhi oleh lelumutan yang hijau keputih-putihan. Ia mengerutkan keningnya ketika ia me lihat seekor kala merayap dan kemudian menyusup kebalik kulit kayu yang kering. Ki Kebayan menarik nafas dalam-dala m. Sejenak ia berdiam diri di tempat. Diangguk-anggukkannya kepalanya sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya di muka dadanya. Tiba-tiba Ki Kebayan itu menengadahkan wajahnya, me mandang ke dahan cangkring yang bersimpang siur di antara daun-daunnya yang lebat. "He" Ki Kebayan itu kemudian berteriak "Nya Demang Apakah kau ada disana?" Suaranya bergema sekali. Kemudian hilang dibawa angin "He, Nyai Demang" sekali lagi ia me manggil. Tetapi sama sekali t idak ada jawaban. Ki Kebayan menarik nafas dalam-dala m. Dicobanya menga mati setiap dahan yang rimbun, kalau-kalau Nyai Demang tersembunyi di sana tanpa dikehendakinya sendiri. Tetapi baik Ki Kebayan, maupun para pengikutnya tidak seorangpun yang melibatnya. Ki Kebayanpun ke mudian mengge lengkan kepa lanya. Perlahan-lahan ia berdesis "Apakah ada yang melihat Nyai Demang?" Hampir berbareng semua menggelengkan "Tida k. Ka mi tidak melihat apa-apa" kepalanya
Ki Kebayan mengangguk-angguk pula. Katanya "Me mang, kita tidak me lihat apa-apa. Marilah kita lihat di gumuk sebelah" Dengan hati yang berdebar-debar merekapun meninggalkan pohon tua itu menuju kegumuk yang lain. Seperti gumuk yang mereka tinggalkan, gumuk inipun tidak kalah rimbunnya pula. Batang ilalang dan daun-daun perdu menge lilingi sebatang pohon nya mplung yang tinggi besar yang berdiri ha mpir di tengah-tengah gumuk itu. Tetapi disinipun mereka tida k mene mukan sesuatu. Mereka tidak melihat Nyai De mang berada di dala m gerumbulgerumbul liar, dan t idak juga diatas pohon nyamplung itu. "Tida k ada" berkata Ki Kebayan "kita tida k mene mukannya disini" "Lalu?" bertanya salah seorang pengikutnya. "Kita pergi ke tikungan Kali Praga. Di sana ada sebatang Randu Alas yang besar sekali. Dahulu seorang gembala yang hilang dari padukuhan Ge mulung, pernah diketemukan diatas pohon Randu Alas itu" Sejenak para pengikutnya saling berpandangan. Kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepa lanya. Marilah. Kita harus segera kesana. Kalau kita tidak mene mukannya di sana, kita akan pergi ke pesisir" Sejenak kemudian merekapun segera berpacu ketikungan Kali Praga, kesebatang pohon Randu Alas yang besar serkali. Tetapi di sanapun mereka tida k mene mukan sesuatu, sehingga mereka me mutuskan untuk pergi ke pantai Selatan, ke Pandan Segegek. Seperti pasukan yang. berangkat berperang, maka merekapun berderap ke mba li diatas jalan berbatu-batu, me le mparkan debu yang putih mengepul di be lakang iringiringan itu. Apabila mereka melewati tanah persawahan, maka beberapa orang petani yang sedang bekerja di sawah me mandangi mereka dengan penuh pertanyaan. "Siapakah mereka itu?" bertanya seseorang. Yang la in mengge lengkan kepalanya. Namun tiba-tiba seseorang berkata "Kebayan dari Kade mangan Kepandak" "Ke mana ia pergi bersa ma beberapa orang itu?" apakah mereka sedang mengejar penjahat yang telah melakukan kejahatan di Kepandak?" "Tida k tahu. Tentu kita sa ma-sama tida k tahu. Tetapi apabila mereka mengejar penjahat, pasti Ki Jagabaya atau justru Ki De mang sendiri ada diantara mereka " "Kau mengena l keduanya?" "Aku mengenal Ki De mang di Kepandak tetapi aku be lum mengenal Ki Jagabaya dengan baik" Merekapun ke mudian terdia m. Mereka hanya melihat debu yang kemudian pecah dit iup angin yang la mbat. Dala m pada itu, Ki Kebayan bersama beberapa orang pengiringnya berpacu secepat-cepatnya. Mereka tidak boleh terlambat. Apabila benar Nyai Demang telah dibawa lelembut ke Pandan Segegek, maka ia harus segera diketemukan, sebelum ia menjadi kalap dan hilang bersa ma raganya. Dengan demikian, maka merekapun segera me mpercepat derap kuda mereka me lintasi ja lan yang panjangdi tengahtengah bulak. Ki Kebayan mengerutkan keningnya ketika ia melihat jauh di hadapannya sebuah pedati berjalan lambat sekali. Pedati yang ditarik oleh dua ekor le mbu putih. "Kalian me lihat pedati itu?" bertanya Ki Kebayan.
"Ya" sahut salah seorang dari pengiringnya "Jarang ada pedati mene mpuh ja lan ini" desis Ki Kebayan. "Ke daerah pesisir. Mungkin pedati yang akan menga mbil garam yang dibuat sepanjang pantai" "Tetapi bukan pantai Pandan Segegek" "Mungkin pedati itu akan berbelok ke Timur dan melintasi Caluban kesuangan Kali Opak" Ki Kebayan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya ke mudian "Kita akan me lihat, apakah yang dibawanya" "Mungkin gula ke lapa" "Kenapa justru dibawa ke Selatan?" "Ditukar dengan gara m" Sekali lagi Ki Kebayan mengangguk-anggukkan kepadanya. Tetapi keinginannya untuk mengetahui isi pedati itu justru menjadi sema kin besar. Karena itu tanpa disadarinya ia me macu kudanya semakin cepat, sehingga debu di sepanjang jalan mengepul se makin pe kat. Dala m pada itu, pedati yang dikejarnya berjalan terguncang-guncang di jalan berbatu, batu. Sekali-sekali terdengar lecutan cambuk di punggung le mbu yang malas. "Ayo, cepat sedikit teriak penge mudinya. Namun ke mudian ia bertanya "tetapi kita akan pergi ke mana?" Yang ada di dalam pedati itu adalah ayah Manguri yang sedang berusaha menyingkirkan Sindangsari. Sa mbil terkantuk-kantuk ayah Manguri menjawab "Berjalanlah terus. Kita akan berhenti apabila le mbu itu sudah lelah, dimanapun juga" "Tetapi?"
"Aku me mpunyai kenalan di segela penjuru daerah ini. Dimanapun aku a kan mendapat tempat yang baik. Isteriku tersebar dimana-mana" "Orang-orang yang ada di da la m pedati itu menganggukanggukan kepalanya. Mereka percaya bahwa dimana-mana me mang ada saja perempuan yang diambilnya menjadi isterinya yang ke tujuh, ke delapan atau bahkan ke limabe las. Namun dala m pada itu bulu di kuduk Sindangsari mere mang. Ternyata benar kata orang bahwa ayah Manguri tidak ada bedanya dengan anaknya. Selagi mereka me mbayangkan lakukan, menurut angan-angan orang yang duduk di pinggir keningnya. Dilihatnya di kejauhan semakin la ma se makin je las. "Lihatlah" desisnya "debu itu" Semuanya berpaling. Ayah Manguri Katanya "Beberapa orang berkuda" "Ya. Beberapa orang berkuda " Merekapun ke mudian terdia m sejenak. Dengan wajah yang tegang mereka me mandang debu yang seakan-akan telah mengejar mere ka. Sema kin la ma se ma kin dekat. "Siapakah mereka itu?" desis ayah Manguri. Dan tanpa sesadarnya Sindangsari berguma m "Kakang Demang. Pasti kakang De mang" Ayah Manguri berpaling kepadanya. Sejenak kemudian ia berdesis "Tentu bukan. Tentu bukan Ki De mang di Kepandak" "Beberapa orang" desis seorang yang la in. Ayah Manguri menjadi tegang sejenak. Ia sedang sibuk me mutar aka lnya, bagaimana ia harus me mbebaskan diri dari menjadi tegang. apa yang akan mereka masing-masing, tiba-tiba belakang mengerutkan debu mengepul diudara,
orang-orang berkuda itu apabila mereka ternyata sedan mencari Sindangsari. "Mereka tentu orang-orang Kademangan Kepanda k" tibatiba Sindangsari menyahut "mereka sedang mencari a ku. Kalau kalian tidak mau menyerahkan aku, kalian pasti akan dihukum" Wajah ayah Manguri menjadi se ma kin tegang. "Kalian tidak akan dapat lolos lagi. Pedati ini tidak akan dapat lari secepat kuda-kuda itu" Dada ayah Manguri dan setiap orang di dalam pedati itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka menyadari bahaya yang kini sedang menganca m. Me mang ke mungkinan terbesar, penunggang kuda itu adalah orang-orang yang sedang mencari Sindangsari. "Tetapi darimana mereka mengetahui, bahwa ka mi sedang lari kejurusan ini" bertanya ayah Manguri kepada diri sendiri. Orang-orang di dalam pedati itu benar telah menjadi gelisah. Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi mereka tidak tahu apa yang sebaiknya mereka la kukan. "Mereka pasti akan menolongku" guma m Sindangsari seperti ditujukan kepada diri sendiri. Namun perempuan itu terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar ayah Manguri me mberi perintah "Sediakan senjatamu. Tetapi sebelumnya sembunyikanlah di bawah jerami. Kau harus dapat menga mbilnya dengan tiba-tiba apabila keadaan me ma ksa" "Tetapi, tetapi" suara Sindangsari tergagap "kalian tidak akan dapat melawan kakang De mang" Ayah Manguri tidak menyahut. Tetapi kini ia seolah-olah terpaku me mandang debu yang sema kin dekat.
"Perempuan ini, cukup berbahaya" desisnya di da la m hati "setiap saat ia dapat berteriak" Sementara itu, Ki Kebayan berpacu semakin cepat. Ia masih belum dapat me lihat dengan jelas, apakah pedati itu berisi orang atau barang atau apapun juga. Tetapi sebentar lagi ia pasti a kan segera dapat menyusulnya. "Cepatlah sedikit" berkata Ki Kebayan. Pedati itu tidak akan dapat lari" sahut salah seorang pengikutnya "apalagi tidak ada jalan simpang di hadapan kita. Kita pasti a kan segera menyusulnya dan mengetahui apa isinya" Ki Kebayan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tanpa disadarinya kudanya semakin cepat berpacu mengejar pedati yang berjalan tersuruk-suruk seperti siput di jalan yang sangat panjang. Karena itu, Ki Kebayan tidak me merlukan waktu yang lama. Sebentar kemudian iapun segera berhasil menyusul pedati itu. Bersama seorang pengiringnya ia mendahului dan ke mudian berhenti di depan dua e kor le mbu yang menarik pedati itu. "Berhenti" ia me mberikan perintah. "Kenapa ka mi harus berhenti?" bertanya pengemudinya. "Berhenti" "Siapa kau" Apakah kau akan mera mpok ka mi?" bertanya pengemudi itu. "Gila. Kau sangka ka mi segerombolan pera mpok. "Karena itu sebut dirimu. Siapa kau?" "Berhenti" Ki Kebayan berteriak. Pedati itupun ke mudian berhenti. Pengemudinya yang masih tetap duduk di tempatnya me mandang Ki Kebayan dengan tegang. "Kau be lum me ngenal a ku?" bertanya Ki Kebayan.
Pengemudi pedati itu ragu-ragu sejenak. Na mun ke mudian ia menggeleng "Belum. Aku belum mengenal ka lian" "Aku Kebayan di Kepanda k" "O" pengemudi itu mengangguk-anggukkan kepalanya "jadi kau Kebayan di Kepandak. Maaf Ki Kebayan di Kepandak. Kami tidak mengenal Ki Kebayan dan Ki Sanak yang lain. Tetapi kenapa Ki Kebayan mengejar ka mi dan menghentikan kami?" "Siapakah kalian dan dari manakah pedati ini?" bertanya Ki Kebayan di Kepanda k. "Ka mi adalah orang-orang dari Menoreh" "Seberang kali Praga?" "Ya" "Kalian menyeberang bersama pedati ini?" Pengemudi itu mengge lengkankepa lanya. Katanya "Tidak. Tentu tidak. Kami menyewa pedati ini dari orang-orang di daerah Mangir" Ki Kebayan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ke mudian ia bertanya lagi "Ke manakah kalian akan pergi?" "Ka mi akan pergi ke pesisir" "Pandan Segegek?" "Tida k. Ka mi a kan pergi ke parang endog di sebelah suwangan Kali Opak" Ki Kebayan mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga bertanya "Apakah kepentingan ka lian kesana" "Maaf Ki Kebayan" jawab penge mudi itu "itu adalah kepentingan pribadi. Terla mpau pribadi" "Ya apa" "Sebaiknya Ki Kebayan bertanya yang lain"
"Tida k. Aku bertanya, apakah kepentinganmu" Pengemudi pedati itu mengge lengkan kepalanya "Ki Kebayan di Kepandak tidak berhak me maksa ka mi untuk menjawab kepentingan ka mi ke Parang Endog. Kami tidak me mpunyai hubungan apapun dengan Ki Kebayan, sehingga sebaiknya kita melakukan tugas dan kepentingan kita masingmasing tanpa saling mengganggu" Ki Kebayan mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih bertanya lagi "Dala m keadaan yang wajar, kami me mang tidak me mpunyai kepentingan apapun. Tetapi kami sedang dalam keadaan yang genting sekarang" "Kenapa" Apakah perampok atau apa?" "Tida k" "Lalu?" Ki Kebayan menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia tidak mengatakan bahwa Kepandak telah kehilangan isteri Demangnya. "Ka mi sedang mencari seseorang" katanya kemudian. "Siapa. Perampok?" Ki Kebayan menggeleng. "Jadi siapa?" "Salah seorang keluarga ka mi. Keluarga Kade mangan Kepandak" "Kenapa orang itu dapat menjadi buruan?" Ki Kebayanpun ke mudian me njawab "Itupun persoalan kami. Tetapi ka mi me mang sedang mencarinya ke manapun" Tukang pedati itu mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya "Aku tahu sekarang. Kalian mencuriga i ka mi. Mungkin Kepandak sedang didatangi oleh
orang yang kau cari itu bersembunyi di dala m pedati kami. Kalau begitu, baiklah. Silahkan ka lian melihat, apakah orang yang kalian cari itu ada di dalam pedati kami" penge mudi itu berhenti sejenak, lalu "sebaiknya ka mi berterus terang, supaya kalian tidak tetap mencurigai ka mi. Kami akan pergi ke Parang Endog untuk mencari terang di hati ka mi" "Bertapa?" "Bukan bertapa. Sekedar menyepi" Ki Kebayan mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Sedang tukang pedati itu berkata sekali lagi "Silahkanlah me lihat isi dari pedati ka mi. Kami me mbawa bahan makanan kami se kedarnya" Ki Kebayan mengerutkan keningnya. Dilihatnya beberapa orang laki-laki duduk di dala m pedati itu. Laki-la ki yang belum dikenalnya. "Baiklah" berkata Ki Kebayan yang tidak jadi mendekati pedati itu "aku kira aku sudah cukup. Maaf kalau ka mi telah mengganggu ka lian" "Tida k apa Ki Kebayan. Kami tahu kesulitan kalian, sehingga ka lian me mang me merlukan bantuan. Ki Kebayan mengangguk-angguk sekali lagi. "Baiklah, ka mi a kan meneruskan perjalanan ka mi" Katanya
"Silahkanlah Ki Kebayan. Mudah-mudahan Ki Kebayan segera menemukan orang itu "tukang pedati itu berhenti sejenak, lalu "tetapi apakah kami boleh tahu, siapakah orang itu, seandainya kami berte mu di perjalanan ka mi?" "Terima kasih. Ka mi akan mencarinya sendiri" Tukang pedati itu mengangkat pundaknya. Tetapi ia tidak menyahut.
"Silahkan Ki Sanak meneruskan perjalanan. Tetapi apakah Ki Sanak a kan dapat menyeberangi sungai Opak dengan pedati itu?" "Entahlah. Kalau t idak, ka mi akan menitipkan pedati ini. Tetapi perjalanan sudah dekat. Kami akan dapat me mbawa barang-barang ka mi dengan keranjang-keranjang, sedapat dan sekuat ka mi" Ki Kebayanpun ke mudian meninggalkan pedati itu diikuti oleh para pengiringnya. Mereka sama seka li tidak berminat untuk menjengukkan kepa lanya lebih dala m ke dala m pedati itu, karena dari luar yang tampak hanyalah seonggok jera mi dan keranjang-keranjang yang besar. Ketika Ki Kebayan sudah menjadi se makin jauh, maka dari dalam t imbunan jera mi, muncullah sebuah kepala. Ayah Manguri. Sambil menarik nafas dalam-dala m ia mengumpat. Katanya "Gila Kebayan itu. Aku ha mpir mat i kehabisan nafas" "Bagaimana dengan Nyai De mang" desis salah seorang dari mereka. Ayah Manguripun segera bangkit sambil mengibaskan jerami yang masih me lekat pada pakaiannya. Ke mudian dengan hati-hati ia menyibakkan jera mi yang menimbuni tubuh Sindangsari yang pingsan. "Maaf" desis ayah Manguri "aku terpaksa me mbuatnya pingsan seka li lagi" Untuk sesaat Sindangsari masih terbaring pingsan. Beberapa orang laki-laki yang ada di sekitarnya me mandanginya dengan dada yang berdebar-debar. Perempuan yang sedang mengandung itu terbaring seperti seseorang yang sedang tidur nyenyak. Tidak seorangpun yang tahu, apakah yang sedang dipikirkan oleh orang lain. De mikian pula setiap laki-la ki di dalam pedati itu. Mereka tidak me ngetahui, bahwa di setiap
dada telah tumbuh pengakuan "Alangkah cantiknya perempuan itu. Adalah wajar sekali kalau orang laki-la ki menjadi tergila-gila kepadanya. Manguri, Ki Demang, Pa mot dan mungkin masih banyak lagi" Tetapi tidak seorangpun yang mengucapkannya. Bahkan ayah Manguripun tidak mengatakannya. Ia adalah laki-la ki yang tidak pernah menahan kata hatinya atas perempuan. Apalagi di hadapan orang-orangnya yang dianggapnya sudah tahu benar tentang dirinya. Tetapi pere mpuan yang dibawanya kali ini adalah sekedar tit ipan dari anaknya sendiri. Meskipun de mikian setiap kali ia masih me mandangi wajah itu. Wajah Sindangsari yang sedang pingsan. Perempuan yang sedang mengandung untuk pertama kalinya itu, tampaknya justru menjadi kian cantik. Pedati itu masih berjalan terus terguncang-guncang diatas jalan berbatu. Di sebelah menyebelah jalan, tanah persawahan yang kering. Di beberapa bagian tampak tanaman Palawija yang sudah hampir dipetik hasilnya. Kacang tanah, dele dan di kejauhan batang-batang jagung. "Kita harus berbelok" desis ayah Manguri "kita sudah mengatakan bahwa kita akan pergi ke Parang Endog" "Ya. Nanti kita akan sa mpai pada sebuah jalan simpang" "Tetapi ke mana Ki Kebayan itu akan me ncari Sindangsari?" Tidak seorangpun yang menyahut. "Mungkin ia akan mencarinya ke tempat-tempat yang angker Pandan Segegek. Bukankah ja lan ini akan menuju kesana?" "Ya. Ki Kebayan itu menurut pendengaranku adalah orang yang dapat berhubungan dengan hantu-hantu" desis ayah Manguri. Lalu "Untunglah bahwa Ki Kebayan belum banyak mengenal ka lian karena ka lian bukan orang Kepandak"
"Ya" Ayah Manguripun kemudian terdia m. Dipandanginya Sindangsari yang masih terbaring dia m. Tanpa sesadarnya, tangannya telah mengusap kening pere mpuan yang dikotori oleh jera mi yang kering. Ketika pedati itu ke mudian berbelok menga mbil jalan simpang kuda Ki Kebayan sudah berlari se makin jauh menuju ke pantai Se latan. Pandan Segegek. Tetapi kuda-kuda mereka tidak dapat langsung sampai ketujuah karena rawa-rawa yang menebar di sepanjang pantai. "Kita a kan berjalan kaki" berkata Ki Kebayan "Kita tinggalkan kuda kita disini?" bertanya seseorang. "Ya" "Begitu saja?" "Kuda-kuda itu tidak a kan hilang" "Tetapi" berkata salah seorang dari mereka "Aku, aku akan menunggui kuda kita" "Kenapa?" bertanya Ki Kebayan. Orang itu ragu-ragu sejenak. Kemudian katanya "Bukan aku tidak ma u Ki Kebayan, tetapi aku tidak sadar, bahwa kita akan datang ke te mpat ini" Ki Kebayan mengerutkan keningnya. "Aku me ma kai kain hijau gadung" Ki Kebayan dan kawan-kawannya menganggukkan kepalanya. Mereka mengerti bahwa sebaiknya orang yang me ma kai pa kaian hijau gadung tida k mendekat ke pantai.
"Baiklah" berkata Ki Kebayan "tunggui kuda-kuda ini. Tetapi ingat. Kalau ada orang memanggil na ma mu, jangan kau jawab sebelum kau melihat orang yang me manggilmu. Kau tahu" Orang itu merenung sejenak. "Supaya kau tidak kalap" desis kawannya "mungkin bukan orang sesungguhnya yang memangilmu, kecuali kau sudah me lihat orang itu. Apalagi kau me ma kai pa kaian hijau itu" Orang yang me makai pa kaian hijau itu menganggukanggukkan kepalanya "Ya,aku me ngerti" "Nah,tinggallah disini. Hati-hati" berkata Ki Kebayan "kalau kau melihat pere mpuan cantik, jangan kau coba mengganggunya. Kau mengerti?" Orang itu tidak segera menjawab. Dan Ki kebayanpun berbisik di telinganya "Mereka adalah orang jadi-jadian. Sebenarnya mereka itu adalah buaya-buaya dari sungapan Kali Praga yang mencari mangsanya. Kau mengerti" Di sini ada semacam persaingan antara Laut Selatan dengan buayabuaya di Sungapan Ka li Praga. Mereka dahulu-mendahului menangkap mangsa mereka masing-masing. Kalau kau merasa bahwa keadaanmu tidak wajar sebelum kau kehilangan akal sebutlah na ma Kiai Ja mur Dipa yang bersemayam di Gunung Merapi. Kau akan terlepas dari bencana, karena kau disangka pengikutnya" Orang itu menganggukkan kepalanya. "Dan ini berlaku pula bagi kalian se mua" berkata Ki Kebayan "sebutlah nama Kiai Jamur Dipa. Jangan lupa. Kiai Jamur Dipa. Akupun selalu menyebutnya" Para pengiring Ki Kebayan itupun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Na mun terasa juga hati mere ka bergetar. Mereka menganggap bahwa pantai Selatan, apalagi Pandan Segegek adalah tempat yang jarang sekali dia mbah ka ki manusia.
Demikianlah merekapun ke mudian berjalan menyeberangi rawa-rawa yang dangkal. Namun kadang-kadang mereka harus menghindar dan melingkar agak jauh apabila mereka menjumpai rawa-rawa lumpur yang dalam. Mereka sadar, bahwa di da la m rawa-rawa itu banyak terdapat binatang air yang berbisa. Bahkan ular hita m berleher putih. Sedangkan diatas pasir pantai di daerah rawa-rawa yang berair tawar, diantara semak-semak pandan yang lebat, terdapat pula berbagai jenis binatang. Campuran dari binatang air tawar dan binatang air laut. Juga binatang darat yang hidup diantara duri-duri pandan. Ki Kebayan dan para pengiringnya berjalan dengan sangat hati-hati me lintasi daerah rawa-rawa dan semak -se mak pandan. Mulut mereka tidak hent i-hentinya menyebut nama Kiai Jamur Dipa, supaya mereka tidak diterkam oleh bencana yang dapat timbul setiap saat. Sejenak ke mudian, setelah mereka se makin de kat dengan pantai dan sudah berada diantara semak-se mak pandan yang lebat, maka mulailah Ki Kebayan berkumat-ka mit. Sejenak ke mudian iapun mulai meneria kkan na ma Nyai De mang di Kepandak. "Mungkin ia tida k mengenal na ma itu lagi" desis salah seorang. "Jadi?" bertanya Ki Kebayan. "Panggil dengan na ma nya sendiri" Ki Kebayan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian iapun mulai me manggil. Tetapi t idak dengan na ma Nyai Demang di Kepanda k. "Sindangsari, Nyai Sindangsari" Tetapi suara Ki Kebayan hilang saja omba k yang semakin la ma seolah-olah besar. Di bawah terik matahari, ujung keputih-putihan setinggi gunung anakan ditelan oleh deru menjadi sema kin gelombang yang itu seakan-akan
saling mengejar,kemudian berpasir susul menyusul.
meluncur menghantam pantai Ki Kebayan masih juga me manggil. Tetapi sampai suaranya menjadi parau, mereka sa ma seka li t idak mene mukan Nyai Demang di Kepanda k. Apalagi mendengar jawabannya. Yang mereka dengar hanyalah angin pantai yang bertiup kencang, dibarengi oleh debur ombak yang mengge legar bertautan. Di telinga orang-orang Kepandak suara itu semakin la ma menjadi se makin kisruh, dan bahkan ada diantara mereka yang mendengar seolah-olah suara itu telah berubah menjadi suara yang me mancar dari pusat Sa modra yang besar itu, me manggil na manya perlahan-lahan. Beberapa orangpun kemudian menjadi pucat. Tetapi mereka t idak henti-hentinya menyebut na ma Kiai Jamur Dipa. "Kita tidak mene mukannya disini" desis Ki Kebayan. Para pengiringnya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mungkin kita sudah terla mbat" berkata Ki Kebayan selanjutnya "Nyai Demang hilang dari Kade mangan ha mpir dini hari. Baru sekarang kita sa mpai disini" Tidak seorangpun yang menyahut. Tetapi ketika mereka me mbentangkan pandangan mata mereka, mereka melihat suatu padang pandan berduri yang sangat luas di sepanjang pantai. "Seandainya benar Nyai De mang dise mbunyikan diantara semak-se mak ini, bagaimana mungkin dapat mene mukannya apabila ia sendiri tidak dapat berteriak me manggil. Itupun kalau kebetulan ka mi lewat di dekatnya. Kalau ia berada di ujung sebelah Timur atau di ujung Barat, maka tidak akan ada orang yang dapat mendengarnya" beberapa orang berkata di dalam hatinya sendiri.
Ki Kebayanpun agaknya berpikir de mikian pula. Karena itu, maka tiba-tiba ia berkata "Marilah, kita menyusur pantai" Beberapa orang saling berpandangan. Namun mereka mengikut i saja ketika Ki Kebayan pergi ke sebelah Timur menyusur pasir pantai. Sekali-se kali ia harus menjauh, menghindari deburan ombak yang besar bergulung-gulung diatas pasir. Tetapi ketika Ki Kebayan kemudian berteriak-teriak di sepanjang pantai, maka suaranyapun hilang, tenggelam ke dalam gelora suara ombak dan angin yang kencang. Akhirnya, setelah Ki Kebayan ha mpir kehabisan suaranya, dan setelah ia menyusur dari sebe lah Timur sa mpai ke sebelah Barat, maka iapun berkata "Kita sudah cukup berusaha. Marilah kita kembali ke Kade mangan. Mungkin kita dapat mencarinya dengan jalan lain" Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepa lanya. Sekilas mereka masih me mandang gerumbul-gerumbul pandan yang lebat yang bertebaran di sepanjang pesisir. Kemudian ombak yang se makin besar di-siang hari dan angin yang menampar wajah mereka sema kin keras di bawah terik matahari yang me mbakar kulit. "Marilah kita ke mba li" Sejenak kemudian Ki Kebayan bersama para pengiringnyapun telah ke mbali me lintasi daerah yang berawarawa. Kemudian mereka segera me loncat keatas punggung kuda masing masing dan berpacu meninggalkan pantai yang panas itu. "Aku haus se kali" desis seseorang. Kawannya yang mendengarpun me nyahut "Ya, akupun haus sekali. Kuda-kuda kitapun haus pula"
Misteri Rumah Berdarah 2 The Broker Karya John Grisham Tiga Maha Besar 5

Cari Blog Ini