Ceritasilat Novel Online

Matahari Esok Pagi 15

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 15


Ki Kebayan mendengar pula pembicaraan itu. Karena itu, ketika mereka me lintas sebuah parit yang mengalir, meskipun hanya setinggi mata ka ki mere ka, ia berhenti dan berkata "Biarlah kuda kita minum sejenak." Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepa lanya. Tetapi yang dapat minum barulah kuda-kuda mere ka. Sedang orang orang Kepandak itu masih belum sampa i hati untuk ikut serta minum air parit yang hanya gemercik kecil karena musim panas yang panjang. Karena itu, mereka hanya dapat menelan ludah mereka sendiri yang sudah hampir kering pula. Beberapa orang yang merasa terla mpau panas hanya me mbasahi tangan mereka ke mudian mengusap kening mere ka dengan tangan yang basah itu. "Kita akan mencari kelapa muda di padukuhan yang pertama kali kita lalui" berkata Ki Kebayan yang mengetahui bahwa para pengiringnya sudah kehausan. Tidak seorangpun yang menyahut. Tetapi orang-orang yang kemudian sudah berpacu pula itu, menganggukanggukkan kepalanya. Dala m pada itu, pedati yang ditumpangi oleh ayah Manguri bersama para pengawalnya dan Sindangsari sudah menjadi semakin jauh. Ketika para penunggang kuda yang dipimpin oleh Ki Kebayan melintasi jalan simpang, mereka melihat bahwa bekas roda pedati itu memang berbelok menuju kesuangan Kali Praga. Oleh usapan angin dari Selatan, perlahan-lahan Sindangsaripun menyadari dirinya kemba li. Ketika ia me mbuka matanya, dilihatnya beberapa orang laki-laki duduk di sekitarnya. Sejenak ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi atasnya. Namun ke mudian ia menjadi berdebar-debar. Lakilaki yang ada disekelilingnya masih juga laki-laki yang
me mbawanya pergi dengan pedati itu, sehingga tanpa sesadarnya ia berdesis "Dimanakah mere ka?" Ayah Manguri yang melihat Sindangsari telah sadar, tersenyum sambil bertanya "siapakah yang kau cari?" "Mereka, orang-orang berkuda yang me ncari a ku" "Mereka sudah lewat" Tiba-biba saja Sindangsari bangkit sa mbil bertanya "Dima na mereka, dimana" Bukankah mereka menyusul aku atas perintah Ki De mang?" Tetapi ayah Manguri menggeleng "Mereka tidak mencari kau Nyai De mang. Mereka hanya sekedar lewat di samping pedati ini" "Tida k.Mereka pasti mencari aku" "Tida k. Mereka sudah melihat kau tertidur di dalam pedati ini. Tetapi mereka tida k berkata apa-apa" Sindangsari terdia m sejenak. Namun ke mudian hampir berteriak ia berkata "Tidak, Mereka pasti mencari aku. Dimana mereka. Dimana" Hampir saja Sindangsari berdiri dan me loncati orang-orang yang duduk di sekitarnya. Namun tangan ayah Manguri lebih cepat lagi menangkapnya dan mendorongnya duduk "Jangan menjadi bingung dan kehilangan akal. Kandunganmu harus kau ingat. Anak di dalam perut mu itu ke lak akan lahir menjadi seorang bayi. Kaulah yang bertanggung-jawab, apakah bayimu itu sehat atau tidak" Nyai Sindangsari terdia m sejenak. "Karena itu, jangan berbuat sesuatu mengganggu anak di dala m kandungan itu" yang dapat
Sindangsari t idak menjawab. Tetapi tiba-tiba matanya menjadi basah. Ia merasa bahwa ia telah di sudutkan pada
suatu keadaan yang tidak dapat dihindarinya. Karena itu, sebagai seorang perempuan, yang dapat dilakukannya, adalah sekedar menangis. Dan Sindangsaripun menangis pula karenanya. Menangisi nasibnya yang terlampau jelek sejak ia ditinggalkan oleh ayahnya. Beberapa orang laki-laki yang ada di sekitarnya adalah lakilaki yang kasar. Laki-laki yang se lalu menge mbara dari satu tempat ke tempat yang lain me mbawa ternak yang sedang diperdagangkan. Apakah mereka sedang me mbeli atau menjua l. Di dala m perjalanan itu, mereka terpisah dari keluarga dan isteri mereka, sehingga ba ik ayah Manguri maupun para pengawalnya, kadang-kadang harus berhadapan dengan perempuan yang sekedar dapat mengisi waktunya. Dengan demikian ma ka tanggapan mereka terhadap perempuan kadang kadang tidak sewajarnya. Tetapi ketika mereka melihat Sindangsari menangis mereka menundukkan kepala mere ka. Bahkan mereka seakan-akan dihadapkan pada suatu keadaan yang selama ini ha mpir tidak dimengertinya. Kesetiaan dari seorang pere mpuan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Ayah Manguripun t idak. Perempuan itu adalah titipan anaknya yang akan diperisterikannya. Bahkan dengan susah payah telah diculiknya dari hala man rumah Ki De mang di Kepandak. Dengan hati yang berat, laki-laki yang ada di pedati itu terpaksa duduk diam tanpa berbuat apapun juga. Sedang roda pedati itu masih juga berputar diatas tanah yang berbatubatu. Dala m pada itu, orang-orang yang mencari Sindangsari ke segala penjuru masih juga berkeliaran di seluruh daerah Kademangan Kepandak. Ha mpir setiap rumah dimasuki oleh kelompok-kelompok yang berpencaran. Bahkan rumah-rumah yang sama sekali tidak mengenal orang yang bernama Pamotpun telah dimasukinya.
Ibu Sindangsari yang masih ada di Kade mangan hanya dapat menangis. Ayah dan ibunya masih juga mencoba menghiburnya, meskipun hati mereka sendiri serasa tersayat karenanya. "Jangan bersedih" berkata ayahnya, kakek Sindangsari "Ki Demang pasti a kan mene mukannya" Ibu Sindangsari hanya menganggukkan kepalanya. Tetapi air matanya masih tetap mengalir me mbasahi pipinya. Ki De mang sendiri duduk di ruang dala m ha mpir t idak bergeser sedikitpun. Wajahnya gelap dan tegang. Dipinggangnya terselip keris pusakanya yang jarang sekali dia mbilnya dari simpanan. Sekali-seka li ia menarik nafas dalam-da la m sambil mengusap dadanya, seolah-olah ingin mengendapkan perasaannya yang sedang bergolak. Hampir tidak sabar ia menunggu orang-orangnya yang berkeliaran di se luruh Kademangan me ncari isterinya yang hilang. Ia merasa bahwa suatu penghinaan yang tiada taranya telah mencoreng wajahnya. "Aku harus me mbunuhnya. Membunuh orang yang berani menghinakan aku, menga mbil isteriku" ia menggeram. Na mun kadang-kadang terbersit pertanyaan "Bagaimana kalau Sindangsari pergi atas ke mauannya sendiri?" "Tida k mungkin. Tidak mungkin. Ia sudah menjadi kerasan di rumah ini "tetapi ke mudian "Kecuali kalau Pa mot telah ke mbali dan me mbujuknya untuk pergi" "Tida k" tiba-tiba ia tersentak bangkit "itupun tidak mungkin Pamot tidak akan dapat menghubunginya tanpa diketahui oleh orang lain di Kade mangan ini, kecuali setiap orang, termasuk para peronda sudah bersepakat dengannya. Dan itu tidak mungkin sa ma seka li" Ki De mang menggeretakkan giginya. dirinya dan duduk ke mba li di tempatnya. Ia me mbanting
Ki De mang tersentak ketika ia mendengar derap kaki kuda. Semakin la ma se makin dekat. Seperti anak-anak yang menunggu ibunya pulang dari pasar Ki Demang segera berlari keluar. Bukan saja Ki Demang, tetapi juga ibu Sindangsari, kedua orang tuanya, dan orangorang lain yang mendengarnya. Nyai Reksatani yang ada di Kademangan itu menjadi berdebar-debar. Kalau benar Sindangsari dapat diketemukan, maka ia pasti akan dapat berceritera tentang dirinya. Karena itu, dengan hati yang berdebar-debar iapun berlarilari pula menyongsong beberapa ekor kuda yang ke mudian me masuki hala man. Orang yang paling depan diantara mereka adaah Ki Kebayan. Sebelum Ki Kebayan turun dari kudanya, Ki De mang sudah bertanya "Apakah kau berhasil?" Ki Kebayan tidak segera menjawab. Perlahan-lahan ia turun dari kudanya, kemudian menyerahkan kudanya kepada salah seorang yang berdiri di ha la man. "Bagaimana?" Ki De mang me ndesaknya. Ki Kebayan yang seolah-olah mandi karena keringatnya itu me langkah mendekatinya. Tetapi kepalanya kemudian digelengkannya sambil menjawab "Maaf Ki De mang. Aku tidak mene mukannya" "Kau mencarinya di mana?" bertanya Ki De mang sa mbil me mbe lalakkan matanya. "Gunung Sepikul, Tikungan Kali Praga, dan ke mudian terus ke Pandan Segegek" Ki De mang menarik nafas dala m-dala m "Kau t idak ikut mencarinya di Kade mangan ini?" "Ka mi sudah me mbagi diri. Bahkan aku kira bahwa salah satu kelompok yang ada, disini telah mene mukannya"
"Kalau pere mpuan itu sudah di ketemukannya, aku tidak akan bertanya lagi kepadamu" Ki Kebayan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya ke mudian "Ka lau begitu, ka mi akan ikut me ncarinya" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya "Te muilah sa lah sebuah kelompok. Ikutlah bersama mereka" "Baiklah" jawab Ki Kebayan. Tetapi ketika ia berpaling, dilihatnya pengiringnya yang sudah turun pula dari kuda mereka, tampak letih dan berwajah kemerah-merahan. Karena itu, maka katanya "Kita akan segera berangkat lagi. Tetapi baiklah kalian berist irahat dan minum sejenak. Barangkali kalian masih haus, meskipun kalian telah menga mbil banyak sekali kelapa muda di sepanjang perjalanan" Pengiring Ki Kebayan itu saling berpandangan sejenak. Tampaknya mereka agak segan-segan juga. Tetapi Ki Demang sendiri ke mudian berkata "Ya, minumlah dan barangkah kalian dapat makan pula di dapur. Mintalah Nyai Re ksatani" Nyai Reksatani yang ada diantara mereka yang menyongsong orang-orang yang datang itu menarik nafas dalam-da la m. Ia merasa aman, karena Sindangsari tidak di ketemukan. Karena itu ketika ia mendengar kata-kata Ki Demang kepada orang-orang yang mencari Sindangsari itu, dengan penuh gairah ia menyahut "Mari, marilah kalian makan dahulu. Di dapur masih banyak sekali persediaan" Sejenak orang-orang itu masih saling berpandangan. Namun ke mudian Ki Kebayan sendirilah yang berkata "Marilah. Aku juga akan makan lagi, meskipun ketika ka mi akan berangkat, kami sudah ma kan lebih dahulu" Ketika orang-orang itu pergi ke dapur, Ki De mangpun ke mbali ke ruang dala m dan duduk di a mben ba mbu. Sekali lagi ia melepaskan pandangan matanya mene mbus pintu pringgitan yang terbuka, ke kejauhan. Bahkan meskipun matanya terbuka, tetapi seakan-akan ia tida k me lihat sesuatu.
Sedang ibu Sindangsari yang mendengar keterangan para penunggang kuda itupun menjadi le mah. Derap kaki-ka ki kuda itu ternyata hanya mampu menumbuhkan pengharapannya saja. Tetapi Sindangsari masih belum diketemukan. Sejenak ke mudian, orang-orang yang sudah selesai makan itupun segera minta diri pula kepada Ki De mang untuk me lanjutkan usaha mere ka mencari Sindangsari. "Mereka pasti tidak mencari dengan telit i" desis pere mpuan tua yang minta orang-orang Kepandak mencari ke Gunung Sepikul, tikungan kali Praga dan ke Pandan Segegek "Ke manapun mereka cari, mereka tidak akan dapat mene mukannya" Tetapi perempuan tua itu tidak mengatakannya kepada Ki Demang dan kepada setiap laki-laki yang sedang sibuk dengan usaha mereka itu. Ternyata sekelompok laki-laki sa mpai pula sekali lagi ke rumah Manguri. Mereka dipimpin sendiri oleh Ki Jagabaya. Kali ini Ki Jagabaya tidak akan mencari Sindangsari di rumah itu, tetapi ia berkata kepada Manguri "Jadi rumah di ujung Kademangan itu rumah ayahmu?" "Ya" jawab Manguri. "Siapakah yang sekarang menunggui rumah itu?" "Kenapa" "Ka mi akan me ncarinya ke dala m ruma h itu" Manguri mengerutkan keningnya. Katanya "Silahkan" "Tetapi aku tidak akan masuk tanpa seorangpun dari pemiliknya ada di sana. Apakah ada orang yang menungguinya?" "Mestinya ada. Tetapi hari ini mereka t idak ada di rumah itu. Mungkin sore nanti mereka akan datang. Di siang hari kami t idak merasa perlu untuk menungguinya"
"Ya, ka mi telah sa mpai ke te mpat itu. Tetapi gubug itu kosong. Meskipun ada beberapa ekor ternak yang terikat di patok-patok, tetapi tidak ada seorangpun dipekarangan itu" "Ya. Sebagian besar dari orang-orang ka mi mengikut i ayah sejak beberapa hari. Yang lain masih belum datang" "Sekarang, ka mi akan me mbuka gubug itu. Antarkan ka mi" "Silahkan. Tanpa seorangpun dari ka mi, gubug itu dapat saja dibuka" "Tida k. Aku tidak mau timbul dugaan yang bukan-bukan. Kalian dapat saja me mbuat ceritera tentang kami yang me mbuka rumah kalian tanpa seorangpun dari kalian yang menunggui ka mi" Manguri mengerutkan keningnya. Dipandanginya Lamat sejenak. Lamat yang berdiri di sampingnya dengan kepala tertunduk, sehingga botaknya menjadi se makin jelas ta mpak di antara ikat kepalanya yang tidak menutup kepa la itu rapatrapat. "La mat" berkata Manguri"kita akan pergi ke gubug itu" Lamat mengangkat wajah. Kemudian kepala terangguk-angguk. "Marilah Ki Jagabaya. Kami antarkan kalian kesana" "Ya. Dua orang ka mi masih tingga l di sana" Merekapun ke mudian pergi bersa ma-sa ma ke ujung Kademangan itu. Ki Jagabaya masih saja mencuriga i, kalaukalau Manguri menyembunyikan Sindangsari dimanapun juga. Ditunggui oleh Manguri dan La mat. Ki Jagabaya bersama dengan orang-orangnya telah me masuki gubug itu. Ternyata mata Ki Jagabaya yang tajam, dapat melihat juga pintu yang berada di belakang gledeg. Sa mbil me ngerutkan keningnya ia bertanya "Apakah itu sebuah pintu?" Manguri tidak dapat ingkar. Jawabnya "Ya" itupun
"Kenapa ditaruh gledeg di mukanya" Bukankah dengan begitu, pintu itu sukar dibuka?" "Ya" "Kenapa" Dan apakah ada seseorang di dalam bilik yang sengaja dirahasiakan itu?" Manguri menggigit bibirnya. Untunglah bahwa Sindangsari sudah disingkirkan. Kalau belum. Dan apalagi seperti yang dikatakan oleh ayahnya, bahwa orang yang datang ke rumah itu pasti tidak a kan me mperhatikan pintu itu, maka keadaan Kademangan Kepandak pasti akan segera berubah. Mungkin segera akan timbul kerusuhan dan perkelahian. "He, apakah ada seseorang di dalam bilik itu?" desak Ki Jagabaya. Manguri menggelengkan kepa lanya "Tidak" jawabnya. "Kenapa pintu itu tertutup rapat?" "Bilik di ba lik pintu kosong" jawab Manguri. "Seandainya benar kosong, kenapa ayahmu me mbuat bilik rahasia itu?" "Sa ma sekali bukan bilik rahasia. Bilik itu adalah bilik biasa. Tetapi karena rumah ini jarang sekali dipergunakan oleh keluarga ka mi, maka bilik itupun jarang sekali dibuka, sehingga orang meletakkan perkakas di tempat yang tidak semestinya. Bahkan di muka pintu seka lipun" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Kemudian kepada orang-orang yang datang bersamanya ia berkata "Bukalah pintu itu. Singkirkan dahulu geledeg itu" Beberapa orangpun kemudian menyingkirkan geledeg itu, sehingga pintu itu tidak tertutup lagi.
Ki Jagabaya sendirilah yang ke mudian mendekati pintu itu. Perlahan-lahan ia mendorong ke samping, sehingga akhirnya pintu itu terbuka sa ma seka li. Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Ia melihat pembaringan yang kusut. Tikar yang menyingkap dan sebagian telah menyentuh lantai. "Ruangan ini terla mpau pengab" katanya. "Ya. Ruangan ini me mang jarang sekali dipakai. Biasanya ayah sajalah yang tidur disini, apabila karena sesuatu hal ia harus menunggui ternak disini. Mungkin ayah sedang terikat oleh suatu pembicaraan dengan seseorang yang akan me mbe li atau sebaliknya menjual ternaknya ke tempat ini" Ki Jagabaya tidak menjawab. Tetapi diamatinya ruangan itu dengan saksa ma. Hati Manguri menjadi berdebar-debar ketika tangan Ki Jagabaya me mungut sesuatu dari pe mbaringan itu. Tusuk konde. "Gila" Manguri mengumpat di dala m hatinya "Tusuk konde itu agaknya terjatuh dari sanggul Sindangsari selagi ia meronta-ronta" "Manguri" desis Ki Jagabaya "apakah kau pernah melihat benda serupa ini" "Ya" jawab Manguri. Terasa keringat dingin telah me mbasahi punggungnya. Tanpa setahu Ki Jagabaya Manguri berpaling me mandang wajah La mat. Tetapi agaknya La mat berusaha untuk menghapuskan setiap kesan di wajahnya. "Kau mengerti, apakah ini?" sekali lagi Ki Jagabaya bertanya. "Ya" jawab Manguri. "Sebut, apa namanya?"
"Tusuk konde" Manguri masih juga berusaha untuk tersenyum "apakah Ki Jagabaya menyangka aku belum pernah berkenalan dengan pere mpuan" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Ya. Aku tahu, bahwa kau banyak berkenalan dengan gadisgadis. Bukan sekedar berkenalan. Dan bahkan bukan se kedar gadis-gadis. Kau adalah la ki-laki yang rakus" Wajah Manguri menjadi merah padam. Sejenak ia me mandang Ki Jagabaya dengan tajamnya. Bagaimanapun juga kata-kata itu telah me nyinggung perasaannya. Tetapi tiba-tiba wajah itu mengendor. Sebelum Ki Jagabaya me lihat ketegangan itu, Manguri justru sudah tersenyum karenanya. Ia dengan demikian, seolah-olah mendapat petunjuk dari Ki Jagabaya, bagaimana ia harus menangani keadaan. "Apakah kau tahu Manguri" bertanya Ki Jagabaya selanjutnya "Tusuk konde siapakah yang terjatuh ini" Manguri masih saja tersenyum. "Tusuk konde siapa?" ia mendesak. "Ah. Kenapa Ki Jagabaya mengurus tusuk konde itu?" "Aku sedang mencari seorang pere mpuan. Kau mengerti" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan suara yang dalam ia bertanya "Jadi, Ki Jagabaya mengira, bahwa tusuk konde itu milik Sindangsari, eh, Nyai de mang?" "Bukan begitu. Aku justru bertanya kepadamu. Tetapi pantas juga aku mencurigai bahwa Nyai De mang pernah kau sembunyikan disini. Nah, jawab, tusuk konde siapakah itu?" "Sebenarnya aku malu untuk menyebutkannya. Tetapi aku minta Ki Jagabaya jangan mengatakan kepada ayah, kalau ayah kelak pulang" Manguripun berpaling sa mbil berkata kepada La mat "jangan kau katakan kepada ayah"
Lamat me ngerutkan keningnya. "Jangan kau katakan kepada ayah, kau dengar?" bentak Manguri. "Ya, ya. Aku tidak akan mengatakannya. Tetapi apakah soalnya?" "Tusuk konde itu" sahut Manguri. Lalu katanya kepada Ki Jagabaya "Ke marin a ku me mbawa seorang perempuan ke tempat ini. Aku tidak se mpat me mbenahi te mpat ini, dan ternyata tusuk kondenya telah terjatuh disini. Adalah kebetulan sekali kini tusuk konde itu dikete mukan. Kalau ayah yang mene mukannya, maka a ku a kan dimarahinya" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Sejenak ia terdiam. Dipandanginya wajah Manguri dan tusuk konde itu bergantiganti. "La mat" berkata Manguri "buanglah tusuk konde itu jauhjauh. Kalau ayah kelak mengetahuinya, maka kaulah yang harus bertanggung jawab" "Anak setan" desis menurun kepada mu" Ki Jagabaya "kerakusan ayahmu
Manguri t idak me nyahut. Tetapi sekali lagi ia berkata kepada La mat "Buanglah tusuk konde itu" "Buanglah" Ki Jagabayapun segera mele mparkan tusuk konde itu ke depan kaki Lamat. Diusapkannya tangannya pada tiang, seolah-olah ia ingin menghilangkan bekas-bekas sentuhannya dengan tusuk konde yang kotor itu. Dengan ragu-ragu La mat me mbungkukkan kepalanya me mungut tusuk konde itu. Kemudian iapun me langkah keluar me mbawa tusuk konde itu ke sudut hala man belakang. "Kita harus segera keluar dari bilik keparat ini" geram Ki Jagabaya sambil me langkahkan kakinya. Tetapi sekali lagi ia tertegun. Diamatinya seutas tali yang terkapar di lantai bilik
itu. Namun ke mudian ia tidak me mperhatikannya lagi. Bilik itu baginya adalah bilik yang sangat kotor, dikotori oleh kelakuan Manguri yang gila. Perlahan-lahan ia berdesis "Kalau kau anakku, Manguri. Aku cekik kau sa mpai mat i" Manguri tidak menjawab. Tetapi ia menjadi tersipu-sipu. Meskipun demikian ia tertawa di dalam. hati, karena ia berhasil me lenyapkan bekas yang ha mpir saja menjeratnya. Ki Jagabayapun dengan tergesa-gesa dan dengan wajah yang merah telah ke luar dari rumah itu. Ke mudian tanpa minta diri kepada Manguri iapun pergi meninggalkannya. Terbayang di kepalanya, suatu permainan yang paling kotor yang telah terjadi di dalam bilik itu selagi ayahnya tidak ada di rumah. "Anak itu benar-benar anak setan yang liar. Ayahnya terlalu sering meninggalkannya sehingga ia telah kehilangan pengawasan orang tuanya. Apalagi orang tuanya sendiri bukanlah orang tua yang baik, yang dapat memberikan contoh yang baik pula kepada satu-satunya anak laki-laki" katanya hampir menggera m. Para pengiringnya tidak menyahut. Tetapi merekapun meninggalkan tempat itu pula dengan tergesa-gesa, seolaholah justru merekalah orang-orang yang harus segera menye mbunyikan diri, karena mereka telah dikejar oleh utusan Ki De mang di Kepandak. Sepeninggal orang-orang itu, Manguri tidak dapat menahan tertawanya. Seperti orang yang mendapat permainan yang sangat menyenangkan ia tertawa berkepanjangan. Lamat berdiri saja termangu-mangu di sa mpingnya. Suara tertawa Manguri itu sema kin la ma terasa semakin bising di telinganya. Tetapi ia tida k berani mencegahnya. "He, La mat. Dimana tusuk konde itu he?"
"Aku buang ke parit di belakang dinding batu kebun belakang" "Bodoh kau" "Kenapa?" "Ambil, a mbil tusuk konde itu sebelum hanyut" La mat tidak segera mengerti maksud Manguri, sehingga karena itu ia masih saja berdiri termangu-mangu. "Cepat ambil. Kenapa kau berdiri saja seperti patung?" Meskipun La mat masih belum tahu maksud Manguri yang sebenarnya, namun ia pergi juga menga mbil tusuk konde itu. Untunglah bahwa tusuk konde itu masih be lum hanyut terlalu jauh, karena parit itupun hanya mengalir terla mpau kecil. "Tusuk konde itu harus kita musnahkan" Lamat me ngangguk-anggukkan kepalanya. Kini baru ia tahu maksud Manguri. Tusuk konde itu tidak boleh menjadi barang bukti, bahwa Sindangsari pernah berada di te mpat ini "Kalau Ki Jagabaya menyadari keadaannya, kemudian berusaha mendapatkan tusuk konde itu, dan ditunjukkannya kepada Ki De mang atau ibunya yang barangkah mengenalnya, maka kita pasti akan me ne mui kesulitan. Aku sudah mengorbankan diriku untuk dihina kannya karena aku mengatakan, bahwa aku me mbawa seorang perempuan ke dalam bilik ini" berkata Manguri ke mudian. Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Ya, tusuk konde ini me mang harus dihancurkan" "Tusuk konde itu terbuat dari penyu. Bakar sajalah" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun kemudian menyalakan api di kebun belakang, dan mele mparkan tusuk konde penyu itu ke dalamnya. Sejenak kemudian maka baunya telah me mbubung me menuhi hala man itu.
"Kita sudah melenyapkan bukti itu" berkata Manguri "ternyata kau sama sekali t idak be kerja dengan baik. Seharusnya ketika kau menga mbil Sindangsari dari bilik itu, tidak boleh ada sesuatu yang ketinggalan, yang dapat me mberikan suatu petunjuk. Tusuk konde dan tali pengikat itu hampir saja menyeret kita ke dala m kesulitan" "Aku sangat tergesa-gesa. Dan aku tidak biasa melakukan pekerjaan serupa itu" "He, kau sangka aku biasa me lakukannya" Itu hanya karena otakmu me mang terla mpau tumpul" Lamat t idak me njawab. "Nah, singkirkan tali di da la m bilik itu, dan benahi tikar serta ambennya" "Baik" Ketika La mat me masuki bilik itu, Manguri ke mudian berjalan hilir mudik di depan gubugnya. Sekilas terbayang wajah Sindangsari yang sedih dan pucat. Dan sekilas wajah Ki Demang di Kepanda k yang merah pada m. "Ki De mang benar-benar akan mencari isterinya sa mpai ketemu" desis Manguri. Dan tanpa sesadarnya terasa bulu tengkuknya mere mang. Ki De mang adalah orang yang tidak ada duanya di daerah Selatan ini. "Aku me mpunyai La mat" geramnya "La mat yang me mpunyai tenaga sekuat kerbau itu pasti akan ma mpu me lawan Ki De mang betapapun tinggi ilmunya. Apalagi kalau aku sempat me mbantunya. Aku dapat mempergunakan otakku, sedang La mat akan me mpergunakan tenaganya" Sejenak ke mudian La matpun sudah selesai dengan tugasnya. Iapun segera menutup se mua pintu lalu mendekati Manguri sa mbil bertanya "Sekarang, apakah yang akan kita lakukan"
"Kita ke mbali. Kita mengharap utusan ayah segera datang, supaya kita dapat me mberitahukan apa yang telah terjadi disini" Lamat me ngangguk-anggukkan kepalanya. "Banyak ke mungkinan yang bakal terjadi di sini" berkata Manguri "sehingga karena itu, Sindangsari harus dise mbunyikan jauh seka li" Lamat tidak menyahut. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. "He, apakah kau tidak mendengar" Lamat mengangkat wajahnya. Katanya "Ya, aku mendengar. Nyai De mang me ma ng harus di sembunyikan jauh sekali. Ki De mang agaknya akan menyebar orangorangnya ke segenap penjuru daerah Selatan ini. Ke Kademangan-kade mangan tetangga, bahkan mungkin sa mpai ke seberang Sungai Opak dan Praga. Manguri tidak menyahut. Tetapi ia merasa ngeri juga. Sejak semula ia me mang sudah menyangka, bahwa Ki Demang pasti akan marah dan mencari Sindangsari. Tetapi tidak terbayang di dala m kepalanya, bahwa suasana Kademangan Kepandak seakan-akan seperti sedang dalam keadaan perang. Kudakuda berkeliaran hilir mudik. Orang-orang yang bersenjata di la mbung dan mata yang merah pada wajah-wajah yang tegang. "Marilah, kita segera pulang. Orang-orang itu masih be lum juga datang" desis Manguri ke mudian. "Siapa?" bertanya Lamat. "Orang-orang itu. Orang-orang yang semalam ikut serta ke Kademangan"
Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Mereka mungkin telah menyingkir atau pulang ke rumah masing-masing" "Mereka orang yang berdatangan dari kejauhan" "Ada yang rumahnya di Kade mangan tetangga. Mungkin mereka singgah di ruma h kawan-kawannya itu sa mpai keadaan menjadi tenang" "Mungkin mereka sudah ada di rumah sekarang" Lamat tidak menyahut lagi. Merekapun kemudian dengan tergesa-gesa pulang ke rumah Manguri. Ditinggalkannya lagi ternak dan segala isi hala man itu tanpa seorangpun yang menungguinya. Dala m pada itu, hampir setiap rumah di Kade mangan Kepandak telah dimasuki. Tetapi tidak seorangpun dari orangorang yang mencari Sindangsari itu mene mukannya. Bahkan bekasnyapun tidak, seolah-olah perempuan itu telah hilang lenyap. Ki Jagabaya, Ki Kebayan, semua laki-laki yang menge lilingi Kademangan Kepandak, menjadi se makin panas. Mereka merasa diri mereka me njadi se makin kecil karena mereka sama sekali tidak berhasil mene mukan seorang saja yang telah hilang dari Kade mangan. "Gila" Ki Jagabaya mengumpat-umpat "apakah Sindangsari benar telah ditelan setan?" Pengiring-pengiringnya tidak menyahut. Wajah-wajah merekapun menjadi tegang dan ke merah-merahan. "Ke mana lagi kita harus mencari?" geram Ki Jagabaya "semua rumah dan bahkan kandang-kandang le mbu dan kandang kuda telah kita masuki. Daerah yang diserahkan kepada kita agaknya sudah habis kita lihat. Tetapi ka mi t idak me ne mukan apa-apa.
Para pengiringnya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Mereka tetap berdiam diri, meskipun hati mereka bergejolak pula seperti Ki Jagabaya. "Tida k masuk akal" Ki Jagabaya masih saja menggerutu "nasinya masih belum se lesai dimakan ketika ia tiba-tiba saja hilang dari Kade mangan. Tida k masuk aka l" Sementara itu, di bagian lain dari Kademangan Kepandak, Ki Reksatani yang yakin bahwa Sindangsari sudah tidak ada di Kademangan Kepandak itupun telah me masuki setiap rumah pula. Bahkan dengan lantang ia berteriak-teriak "Siapa yang dikete mukan menye mbunyikan Nyai De mang atau menyediakan tempat baginya, akan dihukum seberatberatnya. Tetapi apabila dala m kese mpatan ini ia berterus terang dan menunjukkan tempat perse mbunyiannya, maka kesalahannya akan dimaafkan" Tetapi sudah tentu tida k ada seorangpun yang datang kepadanya dan menunjukkan te mpat Nyai De mang di Kepandak. "Ke mana lagi kita harus me ncari?" desisnya ke mudian dengan nada dalam "aku t idak sa mpai hati melihat kakang Demang menjadi bersedih. Lima kali ia kawin, se muanya tidak dapat me mberikan keturunan kepadanya. Kini ketika isterinya yang keenam mengandung, pere mpuan itu lenyap begitu saja" Kawan-kawannya kepalanya saja. hanya mengangguk-anggukkan
"Aku tidak dapat me mbayangkan, bagaimana ia dapat hilang begitu saja. Nasi yang sudah disenduknya masih belum seluruhnya dima kannya ketika tiba-tiba saja ia lenyap" desis Ki Reksatani pula. Beberapa orang kawannya hanya dapat menganggukangguk dan mengangguk-angguk saja. Merekapun tidak dapat me mbayangkan apa yang telah terjadiatas Nyai Demang yang hilang selagi ia be lum selesai ma kan itu.
"Tetapi" tiba-tiba seseorang di antara mereka berkata "apakah Nyai De mang sudah dicari di da la m ruangan itu?" "Kenapa kau bertanya begitu?" "Anak di rumah sebe lah pernah juga di sangka hilang. Tetapi ternyata ia berada di kolong pe mbaringannya. Agaknya ia me mang di se mbunyikan oleh hantu, karena untuk beberapa lama ia tidak dapat berbicara" "Bukan hanya kolong pe mbaringan. Di se mua te mpat sudah dicari. Perempuan-perempuan dan laki-laki tua mencarinya sambil me mukul pera mpi, bakul dan pisau. Tetapi pere mpuan itu tidak di kete mukannya" Kawan-kawannyapun terdiam. Tida k ada lagi yang mengatakan sesuatu. Sejenak ke mudian merekapun meneruskan perjalanan mereka dengan kepala tunduk, seperti serombongan orang-orang yang mengantarkan mayat ke kuburan. Di bagian la in, setiap kelompok menjadi ge lisah pula, karena mereka tidak mene mukan orang yang mereka cari. "Mungkin Nyai De mang kini sudah ada di kademangan" berkata seseorang. "Tentu ada tanda-tanda yang dibunyikan. Kentongan misalnya" Kawannya yang berbicara mula-mula itupun menganggukanggukkan kepalanya "Ya. Tentu ada tanda-tanda" "Lalu, apakah yang sebaiknya kita lakukan sekarang. Tidak ada tempat bagi yang terla mpaui. Bahkan kita sudah mencarinya di kuburan kalau-kalau ia di se mbunyikan atau bersembunyi di sana" Tidak ada yang menjawab. Dan merekapun berjalan terus, seakan-akan tanpa tujuan.
Hari itu Kademangan Kepandak telah benar-benar dibakar oleh kegelisahan. Suaranya benar-benar seperti suasana perang, seakan-akan mereka sedang menunggu sepasukan musuh yang akan memasuki Kade mangan itu dari segala penjuru. Tetapi akhirnya, orang-orang yang mencari Sindangsari itupun sa mpai pada suatu kesimpulan, bahwa mereka tidak dapat mene mukan pere mpuan itu di dala m daerah Kademangan Kepandak. Bagaimanapun juga mereka harus me lihat suatu kenyataan, bahwa di setiap rumah, di setiap gubug dan bahkan di setiap kandang yang sudah mereka masuki, mereka tidak mene mukan Sindangsari. Dengan demikian, meskipun hati mereka sangat berat, namun mere kapun akhirnya kemba li pula ke Kade mangan. Dengan kepala tunduk, seke lompok de mi sekelompok me masuki hala man Kade mangan, seperti pasukan-pasukan yang pulang dari peperangan tanpa me mbawa ke menangan. "Bagaimana usaha kalian?" bertanya Ki De mang kepada Ki Jagabaya yang telah kembali ke Kade mangan pula. Ki Jagabaya menggelengkan kepalanya "Maaf Ki De mang Aku sudah berusaha sejauh dapat aku lakukan. Tetapi aku masih belum mene mukannya" Wajah Ki Demang menjadi merah padam. Katanya "Soalnya bukan sekedar aku kehilangan seorang istri. Tetapi kini sudah dihina kan oleh keadaan ini. Seolah-olah di Kade mangan Kepandak ini tidak ada seorang laki-lakipun yang dapat me lindungi seorang perempuan" Ki Jagabaya tidak menyahut. "Bagaimana kau Reksatani?" Ki Reksatani menarik nafas dalam-da la m. Sejenak ia me mandangi kawan-kawannya. Kemudian jawabnya "Ka mi tidak dapat mene mukan pula kakang. Se mua rumah sudah
aku masuki. Se mua pintu sudah terbuka. Tetapi ka mi tidak dapat mene mukannya" "Persetan" Ki De mang menggeram "aku yakin yang la inpun akan menjawab seperti itu pula. Ayo, siapa yang mempunyai jawaban lain?" Tidak seorangpun yang duduk di pendapa Kade mangan itu yang berani mengangkat wajahnya. Semuanya tunduk tepekur dengan hati yang berdebar-debar. Mereka sadar, bahwa Ki Demang kini benar-benar sudah sa mpai pada puncak ke marahannya. "Baiklah" berkata Ki De mang ke mudian "aku besok akan mencarinya sendiri. Sebentar lagi senja akan turun. Aku tidak akan dapat banyak berbuat di mala m hari. Tetapi, aku tidak mau terjebak oleh waktu. Karena itu, setiap lorong yang keluar dari Kade mangan Kepanda k di segala padukuhan harus dijaga. Kalau hari ini Sindangsari masih ada di Kade mangan ini, jangan sampai mala m nanti ia berhasil dibawa keluar atau kalau ia sengaja lari atas kehendak sendiri, ia tidak akan dapat pergi dari daerah ini" Semua kepala terangguk-angguk. "Bukan hanya itu. Yang lain harus me mencar ke daerah di sekitar Kade mangan ini. Mungkin kalian berte mu dengan seseorang yang me mbawanya. Kalau karena kelicinannya ia dapat me mbawanya keluar, maka di sepanjang jalan ka lian mungkin akan menjumpa inya" Sekali lagi se mua kepala terangguk-angguk. "Terserah kepada kalian, bagaimana kalian akan me mbagi diri. Akupun akan keluar mala m ini. Sendiri. Ki Jagabaya menarik nafas dalam-da la m. Ketika ia berpaling kepada Ki Re ksatani, kemudian kepada orang-orang lain, tampa klah kegelisahan yang me mbayang di setiap wajah.
"Sekarang beristirahatlah. Se mua pertunjukan dibatalkan. Tetapi kalian dapat makan dari se mua persediaan yang ada di dapur" Ki De mang tidak menunggu lagi. Iapun segera bangkit dan me langkah masuk. Di ruang da la m ia me lihat ibu Sindangsari yang duduk sambil mengusap air matanya di samping kedua orang tuanya. Ki De mang tertegun sejenak. Kemudian me ngha mpirinya sambil berkata "Maaf. Hari ini aku belum se mpat mene mukannya. Tetapi aku berjanji, bahwa aku harus mendapatkannya. Kapan saja dan dimana saja. Kalau perlu aku akan meningga lkan Kade mangan ini menge lilingi Tanah Mataram dari ujung sa mpa i ke ujung. Penge mbaraan ini tidak akan berakhir sebelum aku me ne mukan isteriku" Ibu Sindangsari mencoba untuk tersenyum. Jawabnya "Terima kasih. Tetapi Ki De mang tidak a kan dapat meninggalkan tugas Ki De mang di sini sebagai pe megang ke mudi" "Aku dapat menit ipkannya kepada Reksatani. Ia adalah adikku. Dan iapun berhak pula atas Kademangan ini. Ia dapat mengganti aku da la m wewenang dan ha k yang sama, apabila aku tidak ke mba li lagi ke Kade mangan ini" "Taruhan itu terla mpau berat Ki De mang" "Tetapi buat apa aku tetap berada disini" Seandainya aku bertahan di dala m kedudukanku buat apakah sebenarnya" Aku bukan orang yang paling baik di Kade mangan ini. Aku bukan satu-satunya orang yang dapat menge mudikannya dan aku bukan satu-satunya orang yang berhak. Kalau aku kehilangan isteriku yang sedang mengandung itu, aku sudah kehilangan semua harapan untuk mendapatkan keturunan. Tidak akan ada orang yang kelak dapat menggantikan kedudukannya sebagai seorang De mang. Dengan de mikian ma ka kedudukan itu pasti akan berpindah pula kepada Reksatani atau anakanaknya. Dan aku tidak tahu, apakah ia justru tidak lebih baik daripadaku untuk me mimpin Kade mangan ini. Ia adalah orang yang rajin yang bercita-cita dan berpikiran hidup. Mungkin ia akan lebih baik daripadaku disini" "Tetapi keputusan itu terlampau tergesa-gesa Ki De mang. Kini Ki De mang sedang dibayangi oleh kegelapan hati" "Mungkin, dan aku akan berpikir ke mbali. bagaimanapun juga, aku harus mene mukan isteriku" Tetapi
Ibu Sindangsari tidak menyahut lagi. Di pandanginya wajah Ki De mang yang kemudian menunduk. Ta mpaklah betapa hatinya sedang dilanda oleh kegelisahan dan kebingungan. Setapak demi setapak Ki De mang itupun ke mudian meninggalkan ibu mertuanya. Kepalanya masih juga tertunduk dan hatinya bahkan menjadi se makin risau. Namun tiba-tiba Ki De mang itu menggera m "Aku harus mene mukannya. Harus. Apapun yang akan terjadi" Ketika bayangan gelap mulai meraba wajah Kademangan Kepandak, maka Ki De mangpun segera bersiap. Malam itu ia ingin keluar dan pergi ke mana saja. Ia tidak ingin dite mani oleh siapapun juga, supaya ia dapat berbuat sesuka hatinya. Demikianlah, ketika ma la mpun turun, beberapa orang telah me mencar untuk mengawasi se mua jalan keluar dan masuk Kademangan Kepandak. Tidak ada sebuah lorongpun yang terlampaui. Bahkan pe matang-pe matang di tengah sawahpun mendapat pengawasan yang saksama. Tidak ada seorangpun yang dapat keluar dari Kademangan tanpa mela lui pengawasan. Lamat yang ketika senja turun berada di sawah, melihat betapa orang-orang Kademangan Kepandak menjadi sibuk sejak mala m menjadi ge lap. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata kepada diri sendiri "Alangkah pengecutnya aku ini. Kalau aku me miliki keberanian untuk
me lupakan kepentinganku sendiri kalau a ku me mpunyai keberanian untuk melupakan budi itu, aku dapat berbuat sesuatu. Orang-orang di Kepandak tida k perlu menjadi kebingungan seperti sarang se mut yang tersentuh api. Aku cukup datang kepada Ki De mang di Kepandak dan mengatakan di mana Sindangsari itu berada. Ki De mang pasti akan segera bertindak" Tetapi Lamat menggelengkan kepalanya. Katanya kepada diri sendiri pula "Alangkah jahatnya aku ini. Keluarga ini sudah me lepaskan aku dari bencana. Umurku sudah disa mbungnya. Dan aku tidak akan dapat mengkhianatinya" Ketika terbayang olehnya wajah Sindangsari yang pucat dan ketakutan di hadapan mata Manguri yang membara, Lamat me meja mkan matanya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berdesis "Tidak. Itu tidak boleh terjadi" Namun ke mudian melonja k sebuah pertanyaan di hatinya "Kalau itu terjadi, apakah yang a kan kau lakukan?" Tubuh La mat terasa menjadi le mah. Ha mpir tidak bertenaga ia terduduk diatas pematang berpegangan pada tangkai cangkulnya. Ia tidak menghiraukan lagi ketika terasa kakinya menjadi basah karena a ir di sawah itu menjadi semakin tinggi, bahkan ketika ujung ka innya yang berjuntai di antara kedua kakinyapun menjadi basah pula. Dala m pada itu, Ki De mangpun telah berjalan menyusuri jalan-jalan Kade mangan. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Tetapi ia berjalan juga dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain. Para peronda yang melihatnya hanya dapat menganggukkan kepalanya saja, karena Ki De mang tidak mau menjawab pertanyaan apapun selain berkata "Aku akan berjalan-jalan" Di tiap-tiap mulut lorong, dua atau tiga orang yang mengawasi orang yang lewat, masih sempat berganti-gantian tidur. Yang satu tidur, yang satu berjaga-jaga.
Atau yang dua tidur, yang satu berjaga-jaga. Mereka masih dapat, meskipun hanya sekejap beristirahat untuk melepaskan lelah. Tetapi Ki De mang di Kepandak tidak de mikian. Ia tidak me mpunyai seorang kawanpun yang dapat me mbantunya, menggantikannya berjalan sepanjang jalan-jalan padukuhan. Tidak seorangpun yang dapat me mbantunya me mikul beban yang terasa sangat berat menghimpit dadanya. Di sepanjang ja lan, seakan-akan telah terbayang kembali, apa yang telah terjadi sepanjang umurnya. Terutama sejak ia menjadi seorang De mang menggantikan kedudukan ayahnya. Ki De mang menundukkan kepalanya kalau terbayang ke mbali di kepalanya, bagaimana ia telah menga mbil ena m orang perempuan berturut-turut menjadi isterinya. Beberapa orang di antaranya sama sekali tidak berkeberatan, bahkan ada yang dengan bangga menepuk dada, bahwa ia akan menjadi isteri De mang di Kepandak. Tetapi yang lain, perkawinan itu sa ma sekali tidak me mberikan kebahagiaan. Ia telah merampas perempuan-perempuan itu dari laki-la ki yang telah saling mencintai. Ia telah merusakkan hati sepasang manusia yang sedang me mbina pengharapan di hari-hari mendatang. Tetapi tidak seorangpun yang dapat menentang kekuasaan. Selain ia seorang De mang yang berkuasa, iapun seorang la kilaki yang ha mpir tidak ada bandingnya di daerah Selatan ini. Baru sekarang Ki De mang mencoba me lihat ke mbali, apakah yang sebenarnya telah terjadi itu. Alangkah sakitnya seseorang yang tiba-tiba saja harus berpisah dengan orangorang yang dikasihinya. Seperti yang dialaminya kini meskipun ia bukan seorang sua mi yang sebenarnya bagi Sindangsari. Tetapi kehidupan mereka yang mulai tenang, telah menumbuhkan suatu ikatan bagi keduanya, terutama bagi Ki Demang di Kepanda k.
Semuanya itu seolah-olah terbayang kembali di hadapannya. Jelas sekali. Satu persatu isterinya me mbayang di dala m kegelapan. Seorang dari mereka, seperti pada saat ia masih menjadi isterinya, telah memaki-makinya dengan katakata yang paling menyakitkan hati, sehingga hampir saja perempuan itu dibunuhnya. Tetapi seorang diantara mereka, menyimpan segala derita di dala m hati, Sehingga akhirnya ia tidak dapat melawan kepahitan hidup. Perlahan-lahan ia telah dicekik oleh maut. Beberapa lama ia menderita sakit, sehingga sampai juga pada saatnya, perempuan itu meninggal dunia. Akhirnya ia menjumpai Sindangsari. Ia telah merenggut perempuan itu dari tangan seorang laki-laki yang dicintainya dengan paksa. Dengan menengadahkan dadanya, ia berkata "Tida k ada seorangpun yang dapat melawan kehendakku" Namun perkawinan itupun ha mpir saja menumbuhkan pembunuhan ketika Ki De mang sadar, bahwa isterinya itu telah mengandung, justru dengan laki-laki yang dicintainya. Laki-laki yang telah di singkirkannya. Bahkan di jerumuskannya ke da la m jeratan maut. Tetapi apa yang terjadi kemudian. Ketika ia sudah mulai me maha mi kenyataan tentang bayi di dala m kandungan itu, tiba-tiba isterinya telah hilang. Hilang tanpa diketahui ke mana. Ki De mang itu menggeretakkan giginya. Ternyata kekuasaan yang ada padanya tidak mampu me mpertahankan perempuan yang telah direnggutnya itu. "Aku telah berdosa dua ka li lipat" seolah-olah terdengar suara dari dalam sudut hatinya yang paling da la m "Aku sudah menga mbilnya dari laki-la ki yang dicintainya dan kini aku tidak dapat melindunginya" Kepala Ki De mang menjadi se makin tunduk karenanya. Di pandanginya ujung kakinya yang melangkah satu-satu diatas tanah yang berpasir.
"Tetapi bagaimana kalau pere mpuan itu sengaja melarikan diri karena Pamot sudah pulang atau sudah ada isyarat daripadanya?" pertanyaan itu telah mengganggunya pula. "Aku bunuh pere mpuan itu" gera m Ki De mang "ka lau ia sengaja menghinakan aku, aku bunuh ia bersa ma laki-laki itu" Tiba-tiba Ki De mang menggeretakkan giginya. Namun ke mudian ia menarik nafas dala m-dala m. Dirabanya dadanya dengan telapak tangannya, seakan-akan ingin menjaga agar dada itu tidak meleda k. Langkah Ki De mang terhenti ketika ia me lihat dua orang duduk diatas rerumputan di pinggir lorong. Di sa mpingnya seorang lagi berbaring di bawah selimut kain panjang yang menutup seluruh tubuhnya. "Sela mat mala m Ki De mang" salah seorang dari mereka telah menegurnya. Ki De mang me mandang kedua orang yang ke mudian berdiri di hadapannya. "Ka mi me ndapat tugas disini Ki De mang" berkata seorang yang lain. "Terima kasih atas kesediaan kalian" guma m Ki De mang. Tetapi kata-kata itu rasa-rasanya seperti begitu saja me loncat dari mulutnya. Tanpa bertanya apapun lagi, Ki De mang itupun ke mudian berbalik dan melangkah pula dengan kepala tunduk menyelusuri jalan di Kade mangannya. "Kasihan" desis sa lah seorang dari kedua orang yang bertugas mengawasi jalan itu. "Ia menjadi terla mpau bingung. Lima isterinya tidak me mberikan keturunan untuknya" Kedua orang itu mengangguk-anggukkan kepa lanya. Merekapun ke mudian duduk ke mbali diatas rerumputan.
"Ketika a ku dengar ia menga mbil seorang gadis yang sebenarnya telah saling mencintai dengan seorang laki-la ki Gemulung, aku mengumpatinya. Tetapi sekarang, aku menaruh kasihan juga kepadanya" Kawannya tidak menyahut. Dipandanginya saja Ki De mang yang seakan-akan menjadi se makin kabur dan hilang di dala m kegelapan mala m. Ternyata, seperti orang yang kehilangan perasaan, Ki Demang berja lan hampir se mala m suntuk. Baru ketika fajar me mbayang di langit, ia melangkahkan kakinya ke mbali ke Kademangan, setelah di dala m perjalanannya yang hampir semala m suntuk tidak dijumpainya sesuatu yang berhubungan dengan hilangnya isterinya. Hati Ki De mang itu menjadi se makin pudar ketika ia me masuki ruangan dala m rumahnya, di lihatnya ibu Sindangsari masih duduk di a mben tengah. Agaknya perempuan yang telah kehilangan anak satu-satunya itupun tidak dapat tidur se mala m suntuk. Tetapi ibu Sindangsari itu sama sekali tidak bertanya sesuatu kepada Ki De mang. Ia tahu, bahwa Ki Demang tidak mene mukan anaknya. Kalau ia mene mukan Sindangsari, maka Sindangsari, pasti sudah dibawanya pulang. Namun justru karena itu, Ki Demang menjadi semakin merasa, seakan-akan ibu Sindangsari me letakkan semua kesalahan kepadanya. Perlahan-lahan Ki De mang me masuki biliknya. Ia mencoba berbaring sejenak tanpa berganti pakaian. Tanpa mencuci ka ki dan tanpa melepaskan kerisnya dari la mbungnya. Tetapi hatinya seakan-akan justru menjadi se makin gelap. Atap rumahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun ditatapnya, sama seka li tidak me mberikan kesegaran apapun baginya.
Seperti tidak disadari Ki De mang itupun berdiri dan berjalan sambil menundukkan kepa lanya ke bilik isterinya. Di muka pintu ia tertegun sejenak. Memang tidak lajim, bahwa sepasang suami isteri me mpunyai dua bilik yang berbeda. Tetapi de mikianlah yang diala minya. Sejak isterinya yang pertama sampa i isterinya yang ke enam, Ki De mang selalu tidur di biliknya sendiri. Dan kini, bilik Sindangsari itu menjadi sepi. Sepi sekali. Apalagi hatinya sendiri. Tetapi Ki De mang tida k me masuki bilik yang kosong itu. Ia ke mudian melangkah terus menuju ke dapur. Ia sendiri tidak tahu, apakah yang sudah me mbawanya kesana. Di dapur ia me lihat Nyai Reksatani yang agaknya baru saja bangun duduk di amben yang besar. Beberapa orang perempuan sudah mulai menyalakan api dan merebus air. Tetapi juga. Ia ke mudian sekali lagi Ki De mang tidak mengucapkan sepatah katapun melangkah terus ke halaman belakang. Namun ia ke mba li lagi ke dala m biliknya dan mencoba untuk berbaring.
Sejenak ke mudian ma ka terdengar ayam jantan mulai berkokok untuk yang terakhir kalinya di ma la m itu. Bersahutsahutan dari kandang yang satu ke kandang yang la in, me menuhi se luruh Kade mangan Kepandak. Beberapa rang yang mengawasi lorong-lorong yang keluar dari Kade mangarpun mulai meninggalkan te mpat mereka. Kepada beberapa orang petani yang sudah ada di sawah mereka berpesan, apabila mereka me lihat seseorang yang mereka curiga i, kalau perlu sebaiknya orang itu ditahan sejenak atau dibawa ke Kade mangan. Ketika matahari mula i menyembulkan dirinya di punggung bukit maka ha mpir se mua orang yang bertugas mengawasi lorong-lorong dan jalan-jalan keluar dari Kade mangan
Kepandak telah berada di Kade mangan ke mbali, termasuk Ki Jagabaya dan Ki Reksatani. "Sekarang kalian beristirahat sebentar. Kalian dapat mandi, makan dan berganti paka ian. Nanti, sebagian dari kalian akan menge lilingi Kade mangan ini sekali lagi. Aku sendirilah yang akan me mimpin pencaharian itu. Kalau hari ini ka mi tidak mene mukannya disini, ma ka besok kita akan pergi ke Kademangan tetangga. Kita akan minta bantuan mereka untuk mencari Sindangsari di daerah mere ka masing-masing" Dada mereka yang mendengarnya menjadi berdebar-debar. Dala m keadaan de mikian, akan mudah sekali timbul salah paham dengan daerah tetangga. Tetapi di daerah Selatan ini, tidak ada seorang De mangpun yang dapat mengimbangi ilmu Ki De mang di Kepandak. Ha l ini disadari pula oleh Ki De mang di Kepandak, sehingga justru karena itu, hatinya yang buram dapat menumbuhkan banyak masalah di daerah Se latan ini. Ki Jagabaya yang hadir juga di pendapa, hanya dapat menarik nafas dala m-dala m. Se mua persoalan yang dapat tumbuh a kan menjadi bebannya pula. Tetapi dala m keadaan yang demikian ia tidak berani langsung me mpersoalkannya. "Mudah-mudahan setelah sehari ini Ki De mang me njadi agak tenang" berkata Ki Jagabaya di dala m hatinya "sehingga aku mendapat kese mpatan untuk me mberikan pendapatku" Dala m pada itu Ki Reksatani hanya dapat menundukkan kepalanya saja. Meskipun ia juga menjadi berdebar-debar, bahwa persoalan ini akan berkembang sema kin luas, namun ia tidak dapat melangkah surut. "Adalah kebetulan sekali kalau kakang De mang menjadi gila" katanya di dalam hati "mungkin ia akan menga la mi bencana di dalam kegilaannya, atau ia harus berhadapan dengan pasukan yang pasti akan dikirim oleh Sinuhun di Mataram, atau setidak-tidaknya oleh para Senapati yang berwenang di daerah Selatan ini, apabila di daerah ini timbul
kerusuhan yang tidak teratasi. Para Demang yang merasa dirugikan pasti akan menghadap para pemimpin pe merintah yang berkewajiban atas daerah ini. Setidak-tidaknya seorang Bupati akan menaruh perhatian" Demikianlah ketika matahari telah menjadi se makin tinggi maka Ki De mangpun ke mudian me mpersiapkan orangorangnya. Ia hanya mengambil beberapa orang saja untuk menyertai Ki Reksatani, Ki Jagabaya, Ki Kebayan dan beberapa orang bebahu di tambah beberapa orang saja, di antara dari para pengawal Kade mangan. Anak-anak muda yang tidak ikut serta terpilih untuk dikirim ke Mataram. "Kita a kan menjelajahi Kademangan ini se kali lagi. Meskipun harapan untuk mene mukannya tipis sekali, tetapi aku akan me ncobanya sebelum aku akan melangkah ke luar" Orang-orang yang hadir di pendapa itu menganggukanggukkan kepalanya. "Apakah kalian sudah siap?" bertanya Ki De mang. "Sudah Ki De mang" Ki Jagabayalah yang menyahut. "Baiklah. Kali ini kita akan berkuda pula. Kita akan mulai dari ujung Barat. Ke mudian sa mpai ke ujung Timur" "Apakah kita akan me masuki setiap rumah?" Ki De mang menjadi bingung sejenak. Ia tidak tahu, cara yang manakah yang akan dite mpuhnya. Namun ke mudian ia menggelengkan kepalanya. Katanya "Tidak. Kita tidak a kan me masuki setiap rumah. Kita akan menjelajahi lorong-lorongnya saja. "Tetapi Ki De mang, apakah yang dapat kita te mui di lorong-lorong itu" "Kita akan me masuki rumah yang kita curigai. Aku akan mene mui tetua padukuhan. Kalau ternyata isteriku di sembunyikan di padukuhannya, maka aku akan menghukumnya. Mereka, sesudah hari ini, harus membantu berusaha mencari Sindangsari di daerah masing-masing, Kalau
dalam waktu sepekan Sindangsari tidak dapat di ketemukan dengan cara itu di daerah ini, aku akan me nga mbil sikap la in, sementara mula i besok aku akan mencarinya keluar daerah" Demikianlah maka setelah se muanya siap, Ki De mangpun ke mudian berangkat di iringi oleh beberapa orang kepercayaannya diatas punggung kuda. Seperti pasukan yang hendak berperang, mereka mulai perjalanan mereka ke arah Barat. Dari ujung Baratlah ke mudian mereka me masuki setiap padukuhan satu de mi satu. Ki De mang sendiri telah me ne mui setiap tetua padukuhan. Ia minta mereka me mbantunya mencari isterinya. Tetapi ia juga menganca m hukuma n yang seberat-beratnya apabila ternyata Sindangsari kelak dikete mukan di padukuhan itu oleh orang lain, bukan oleh orang padukuhan itu sendiri. "Ka mi akan me mbantu Ki De mang. Ka mi a kan meneliti lebih teliti lagi" berkata salah seorang tetua padukuhan. "Terima kasih. Aku segera menunggu keterangan. Aku me mberi waktu sepekan sebelum aku mene mpuh kebijaksanaan lain" Para tetua padukuhan itu hanya menarik nafas dala mdalam: Na mun terbayang di rongga mata mereka, betapa mereka menjadi ce mas menghadapi keadaan itu. Ternyata pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang cepat dapat diselesaikan. Ki Demang sendiri sa ma sekali tidak tampak letih meskipun se mala m suntuk ia tidak tidur sama sekali. Ia masih dapat berbicara dengan lantang kepada setiap tetua padukuhan, bahkan sekali-se kali me mbentak-bentak. Namun ke mudian dengan rendah hati ia mengucapkan terima kasih atas se mua kesanggupan para tetua padukuhan itu. Kelompok orang-orang berkuda itu se makin la ma se makin merayap kesebelan Timur. Tida k ada padu-kuhan yang tidak terlampaui. Tida k ada seorang tetua padukuhanpun yang tidak ditemui oleh Ki De mang.
Ketika matahari naik ke puncak mereka telah hampir sampai ke tengah-tengah Kademangan Kepanda k. Tetapi Ki Demang tidak berhenti. Ia masih tetap meneruskan usahanya. Kadang-kadang kuda-kuda mereka itu berpacu di tengahtengah bulak yang mengantarai padukuhan yang satu dengan padukuhan yang la in. Na mun ke mudian menyusuri jalan-jalan sempit perlahan-lahan. Semakin rendah matahari, merekapun menjadi semakin jauh ke Timur. Di hadapan mereka kini tingga llah dua padukuhan lagi. Padukuhan kecil. Karena itu, maka Ki De mang tidak lagi menjadi tergesa-gesa meskipun ia tetap gelisah. Sejenak Ki De mang me mandang kedua padukuhan yang tidak begitu jauh letaknya itu berganti-ganti. Sekali ia menarik nafas dalam-dala m seolah-olah ingin menekan se mua perasaannya yang sedang bergejolak. Bahkan seolah-olah ia sudah meyakini, bahwa ia tida k akan dapat mene mukan Sindangsari di padukuhan itu. Tetapi setidak-tidaknya ia sudah dapat menemui tetua dari kedua padukuhan itu untuk mengawasi daerah masing-masing. Tetapi tiba-tiba Ki De mang itu tertegun sejenak. Dari kejauhan ia melihat debu yang mengepul. Semakin la ma semakin de kat. Bukan saja Ki De mang, namun orang-orang la in di dala m rombongannyapun terkejut puia. Ki Jagabaya dan Ki Reksatani yang berada di belakangnya, tiba-tiba mendesak maju dan berhenti di samping Ki De mang. "Sekelompok orang-orang berkuda" desis Ki Jagabaya. "Ya" sahut Ki De mang "seke lompok orang-orang berkuda. Ki Reksatanipun menjadi tegang pula. Katanya "Siapa kah mereka itu?" Ki De mang mengge lengkan kepa lanya "Tidak seorangpun dari antara kita yang tahu, siapakah mere ka itu"
Merekapun ke mudian terdia m. Dengan tegangnya mereka me lihat debu yang mengepul se makin tinggi dan se ma kin dekat. "Kita menunggu disini" berkata Ki De mang "agaknya mereka datang ke arah ini" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa orang yang ada di belakang Ki Jagabayapun menjadi tegang pula. Mereka tidak me lihat sekelompok orang-orang berkuda sampai sebanyak itu. "Aneh" berkata Ki De mang "apakah yang datang itu sepasukan prajurit dari Matara m?" Tidak seorangpun yang menyahut. Mereka terpancang pada debu yang se makin tinggi mengepul diudara. "Duapuluh lima ekor kuda" berkata salah seorang. "Lebih dari itu" sahut Ki Jagabaya "empat puluh kurang lebih" "Ya, empat puluh kurang sedikit" sahut Ki Reksatani. Dengan hati yang berdebar-debar Ki Demang berhenti di tengah Jalan menunggu orang-orang berkuda itu mendekat. Namun de mikian, karena hatinya sendiri me mang lagi gelap, iapun segera menanggapi kedatangan orang-orang berkuda itu dengan hatinya yang gelap itu pula. "Apabila kita berhadapan dengan orang-orang jahat yang barangkali telah menculik Sindangsari, salah seorang dari kalian harus segera kemba li ke Kade mangan. Siapkan semua orang, terutama para pengawal untuk me mbantu kita disini. Jumlah mereka lebih banyak dari jumlah kita yang ada sekarang" Ki Jagabaya mengangguk anggukkan kepalanya. Katanya "Baik Ki De mang. Dua orang akan melakukan tugas itu"
Ki De mangpun ke mudian berdia m diri sejenak, na mun wajahnya menjadi se makin tegang. Kuda-kuda itupun menjadi se makin dekat pula. Dengan nada yang dalam Ki De mang berkata "Bukankah mereka kesatuan prajurit Mataram?" "Ya" sahut Ki Jagabaya. "Apakah yang akan mereka lakukan" Mereka datang dala m suatu kelompok yang besar, pasukan berkuda pula " Ki Jagabaya tidak menjawab. keningnya menjadi se makin da la m. Tetapi kerut-merut di
Pasukan itupun ke mudian menjadi se makin dekat, dan Ki Demang serta orang-orangnya menjadi se makin je las, bahkan akhirnya mereka mengena li beberapa wajah dari pasukan itu. "Anak-anak kita" Ki Jagabaya hampir berteriak "anak-anak kita yang sela ma ini kita tunggu-tunggu" Wajah Ki Jagabaya tiba-tiba menjadi cerah. Ha mpir saja ia bergerak menyongsong pasukan itu. Tetapi Ki De mang menahannya sa mbil berkata "Kita menunggu disini" Wajah Ki Reksatanipun menjadi tegang. Kedatangan mereka pasti akan berpengaruh bagi tata kehidupan Kademangan Kepandak. Ia tidak dapat meramalkan, perubahan yang manakah yang ba kal terjadi. Apakah yang akan menguntungkannya, atau sebaliknya. Seorang Senopati prajurit Mataram yang ada di paling depan kemudian mengangkat tangannya. Beberapa langkah di hadapan Ki De mang ia me nghentikan kudanya. Sambil tersenyum ia bertanya "Ki De mang di Kepandak. Bukankah aku berhadapan dengan Ki De mang di Kepandak" "Ya tuan" berkata Ki De mang "tuan berhadapan dengan Demang di Kepanda k"
"Nah, terima kasih. Dari manakah kalian tahu, bahwa hari ini aku akan mengantarkan anak-anak Kepandak ke mbali, setelah menuna ikan tugasnya sebaik-baiknya" Ki De mang mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia menyahut "ka mi tidak tahu bahwa tuan a kan datang" "Tetapi agaknya Ki De mang telah me mpersiapkan suatu penyambutan diperbatasan Kade mangan" Ki De mang menjadi bingung sejenak. Namun ke mudian ia menjawab "Tidak tuan. Ini adalah suatu kebetulan saja. Ka mi sama seka li tidak tahu bahwa anak-anak ka mi sudah ke mba li" "Ka mi sudah datang beberapa hari yang la mpau. Tetapi sengaja kami tida k me mberitahukan kepada ka lian disini, supaya tidak menimbulkan ketegangan. Dan hari ini aku mendapat tugas untuk menyerahkan mereka ke mbali kepada Ki De mang" Ki De mang menjadi tegang. Dan tiba-tiba ia bertanya. Jadi pasukan ini sudah datang beberapa hari yang la mpau?" "Ya. Beberapa hari yang la mpau" Ki De mang terdia m sejenak. Dengan sorot mata yang tajam, dipandanginya wajah wajah anak Kepandak itu satu demi satu. Meskipun sedikit tertutup oleh orang yang berkuda di depannya, namun Ki De mang segera mengenal satu di antara mereka "Pa mot " Tiba-tiba saja dada Ki De mang berdesir. Sejenak matanya terpaku pada anak muda itu. Anak muda yang tampak agak kekurus-kurusan dibandingkan ketika ia berangkat dari Kademangan Kepandak beberapa bulan yang la mpau. Pamot yang merasa tatapan mata Ki De mang seolah-olah terhunjam ke jantungnyapun ke mudian menundukkan kepalanya. Ia tidak mengerti, perasaan apakah yang sebenarnya berkecamuk di dala m hati De mang di Kepandak itu.
"Tuan" berkata Ki De mang ke mudian "kalau anak-anak ini sudah ke mbali sejak beberapa hari yang lalu, apakah sebabnya tuan tidak memberi tahukan hal itu kepada kami, setidak-tidaknya pimpinan Kade mangan, kalau hal itu tuan cemaskan akan dapat menimbulkan ketegangan. Kami, para pemimpin dari Kade mangan ini pasti a kan dapat me mperhitungkan, manakah yang baik dan manakah yang tidak baik ka mi lakukan" Senapati Mataram yang berada di paling depan itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia ke mudian menjawab "Maaf Ki De mang. Anak-anak masih perlu beristirahat. Kalau keluarga mereka tahu, bahwa mereka sudah ada di Mataram, maka mereka akan berbondong-bondong pergi untuk menengok keluarganya itu. Dengan demikian maka tidak akan ada keterangan yang pasti tentang diri mereka. Mungkin ada yang tidak dapat di ketemukan diantara yang datang, mungkin ada yang masih terlampau payah, ada yang sakit dan sebabsebab yang lain. Di wa ktu yang singkat, kami berusaha untuk menyusun laporan yang pasti tentang anak-anak dari Kepandak yang hari ini akan ka mi serahkan ke mbali kepada Ki Demang" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sorot matanya seakan-akan sama sekali tidak menanggapi kata-kata Senapati itu. Bahkan di dalam hatinya ia berkata "Di dalam beberapa hari itu. Pamot dapat berbuat apa saja. Ia dapat lari dari kesatuannya untuk beberapa lama. Di saat-saat itulah ia mendapat kesempatan untuk menga mbil Sindangsari setelah ia berhasil menghubunginya dahulu. Mungkin ia me mperguna kan orang lain untuk menya mpaikan ma ksudnya kepada Sindangsari dan Sindangsari telah me mbantu pula usaha itu" "Ki De mang" berkata Senapati itu, sehingga Ki De mang agak terperanjat karenanya "Kenapa Ki De mang agak termangu-mangu menerima ana k-anak ini ke mba li"
"Tida k, tidak" Ki De mang agak tergagap "tetapi aku sedang me mikirkan beberapa masalah yang timbul di dala m Kademangan ini. Ka mi akan menerima dengan senang hati kedatangan anak-anak kami ini, dan kami akan menerimanya dengan resmi di ha la man Kademangan" "Terima kasih" sahut Senapati itu "jadi, apakah ka mi dapat meneruskan perjalanan ka mi ke Kade mangan?" "Tentu tuan, tetapi..." kata-kata Ki De mang terputus. "Tetapi...." Senapati itu mengulang. Ki De mang tidak segera menyahut. Setiap kali tatapan matanya menyambar wajah Pa mot yang agak pucat. Pamotpun menjadi berdebar-debar pula. Ia merasa tatapan mata Ki De mang itu mengandung arti yang mendebarkan jantungnya. Tetapi ia tidak tahu, apakah yang akan dila kukan Ki De mang di Kepandak itu atasnya. "Apakah ada sesuatu yang kurang wajar?" bertanya Senapati itu "atau karena Ki De mang merasa kecewa, bahwa kami tidak me mberitahukan dahulu kedatangan anak-anak ini" Aku kira Ki De mang dapat mengerti alasan ka mi" "Bukan, bukan itu" jawab Ki De mang. Sejenak ia merenung, na mun ke mudian ia berkata "Tuan, apaboleh buat, apakah aku dapat berterus-terang" "Tentu, silahkan" Tetapi sebelum Ki De mang berkata sesuatu. Ki Jagabaya telah mengga mitnya sambil berkata "Ki De mang, apakah tidak lebih baik kita terima dahulu anak-anak itu di hala man Kademangan" A ku tahu bahwa Ki De mang tergesa-gesa menge mukakan persoalan Ki De mang sekarang. Agaknya itu kurang bijaksana" Ki De mang berpaling kepada Ki Jagabaya. Sejenak ia terdiam na mun ke mudian ia berkata "Tida k Ki Jagabaya. Lebih
baik bagiku apabila aku menge mukakan persoalanku sekarang. Kami akan menerima anak-anak yang sama seka li bersih dari segala kejahatan yang mungkin dilakukannya" "Tetapi bukankah itu masih be lum pasti. Bukankah Ki Demang juga baru menyangka bahwa hal itu dila kukannya?" potong Ki Jagabaya yang sedikit banyak dapat membaca perasaan yang terpahat di hati Ki De mang di Kepandak. "Tida k" Ki De mang menggelengkan kepalanya "Aku akan menerima anak-anak ka mi. Tetapi aku akan menyisihkan dahulu anak yang mungkin berbuat suatu kejahatan" "Ki De mang" bertanya Senapati yang memimpin anak-anak di Kepanda k itu "apakah yang Ki De mang maksudkan?" "Tuan" berkata Ki De mang "sesuatu telah terjadi di Kademangan ini. Dan aku telah mencurigai, bahwa hal itu dilakukan oleh salah seorang dari anak-anak ka mi itu" "Apakah yang sudah terjadi" Dan bagaimana mungkin anak-anak ini dapat me lakukannya?" "Se mula aku me mang t idak menyangka. Tetapi setelah aku mendengar bahwa anak-anak ini telah beberapa hari berada di Mataram, maka kecurigaankupun segera tumbuh" "Apakah yang sudah terjadi" "Jarak antara Mataram dan Kepandak tidak terla mpau jauh" "Ya, tetapi apakah yang sudah terjadi?" "Tuan" Ki Jagabaya memotong "agaknya hal itu kurang baik apabila kita bicarakan sekarang" Ke mudian kepada Ki Demang Ki Jagabaya itu berkata "Cobalah Ki De mang menahan hati sedikit. Kita akan menerima mere ka dahulu di Kademangan. Anak-anak yang baru saja menunaikan tugas negara. Bukan sekedar melakukan perjalanan tamasya ke daerah yang belum pernah dilihatnya"
"Aku tahu. Aku tahu" tiba-tiba Ki De mang me mbentak "Aku akan mengadakan ma la m-mala m penyambutan tujuh hari tujuh mala m. Semua pertunjukan yang dibatalkan akan dilanjutkan untuk menyambut anak-anak ka mi, kebanggaan kami. Tetapi yang seorang dari antara mereka harus diserahkan kepadaku lebih dahulu. Aku akan meyakinkannya, apakah benar-benar ia tidak bersalah. Kalau a ku ke mudian yakin ia tidak bersalah, aku akan melepaskannya. Tetapi kalau aku tidak yakin, aku akan menggantungnya di regol Kademangan" "Ki De mang" potong Senapati itu "apakah sebenarnya yang sudah terjadi" "Tetapi Ki De mang terla mpau tergesa-gesa karena Ki Demang me mbiarkan perasaan Ki De mang berbicara" berkata Ki Jagabaya mendahului. "Dia m, dia m kau" t iba-tiba Ki De mang berteriak. Suasana itupun menjadi tegang. Ki De mang duduk diatas punggung kudanya seperti seorang yang sedang menghadapi sepasukan musuh yang kuat. Baik pada pengikut Ki De mang di Kepandak, maupun anakanak Kepandak yang baru saja datang dari Mataram itu seolah-olah telah me mbeku di te mpatnya. Apalagi Pa mot. Kini ia merasa, bahwa yang seorang itu pastilah dirinya yang selama ini selalu diawasi oleh Ki De mang dengan tatapan mata yang tajam. "Ki De mang" berkata Senapati itu kemudian dengan sareh "agaknya sesuatu me mang sudah terjadi sehingga Ki De mang agaknya menjadi sangat terpengaruh karenanya. Sikap Ki Demang kali ini benar-benar mengherankan. Ka mi sudah la ma mendengar na ma Ki De mang di Kepanda k. Tetapi ternyata ketika anak-anaknya datang dari daerah yang paling gawat Ki Demang sedang dia muk oleh suatu goncangan perasaan sehingga bersikap agak kekanak-kanakan"
"Jangan menghina tuan" potong Ki De mang "Aku hormati tuan sebagai tamu ka mi. Ka lau tuan mengetahui persoalan kami, maka a ku kira tuan tidak akan mengatakan de mikian" "Baiklah Ki De mang, aku ingin mendengar persoalan itu. Kalau Ki De mang me mang merasa perlu me nyampaikannya sekarang, akupun tidak akan berkeberatan" "Baiklah" sahut Ki De mang "Aku me mang akan mengatakannya sekarang. Aku tidak mau anak itu se mpat me larikan dirinya" "Katakanlah" "Tuan, ternyata istriku telah hilang dari Kade mangan" "He" se mua orang yang mendengar itupun terkejut karenanya. Terlebih-lebih lagi Pa mot. Na mun ia masih dapat menahan dirinya. Bahkan dengan singkat ia dapat menangkap persoalan yang tengah berkecamuk di kepala Ki De mang di Kepandak. Agaknya Ki Demang telah mencurigainya. Di dala m waktu beberapa hari sepulangnya dari Betawi, ia telah dituduh me lakukan perbuatan itu, melarikan Sindangsari. Tetapi Pamot masih tetap berdia m diri, menahan segala perasaan yang bergejolak di dala m dadanya. "Ki De mang" berkata Senapati itu "Aku ikut berprihatin, bahwa Nyai De mang di Kepandak telah hilang. Banyak masalah yang akan dihadapi oleh Ki De mang" "Ya. Kalau tuan me njumpai ka mi disini se karang, kami me mang sedang mencari isteriku yang hilang itu. Ka mi datangi setiap padukuhan dan setiap pe mimpin dan tetua padukuhan. Ka mi minta pertolongan mereka untuk mencari di daerah dan di padukuhan masing-masing. Sehari ke marin Ki Jagabaya dan para pengawal me masuki setiap rumah di seluruh Kade mangan Kepandak. Tetapi isteriku itu masih belum dapat diketemukan. Tetapi kami belum tahu bahwa anak-anak ka mi sudah datang sejak beberapa hari yang lalu.
Kalau ka mi tahu, mungkin ka mi tidak perlu mela kukan semuanya itu" "Maksud Ki De mang?" bertanya Senapati itu. "Ka mi me merlukan seseorang dari anak-anak itu" "Apakah Ki De mang mencurigainya?" "Ya" "Kenapa?" Ki De mang menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ke mudian berkata "Setiap orang di Kepandak telah mengetahuinya, sebelum perempuan itu menjadi isteriku, ia sudah berhubungan dengan anak itu lebih dahulu" Senapati itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia mengge leng-gelengkan kepalanya "Tidak mungkin Ki De mang" "Tuan jangan me ndahului kenyataan yang akan dapat dibuktikan nant i" "Tetapi siapakah anak itu?" Ki De mang terdia m sejenak. Dipandanginya wajah-wajah yang tegang di seputarnya. Apalagi ketika ia me mandang wajah anak-anak yang baru saja ke mbali dari Betawi itu. "Katakan Ki De mang" berkata Senapati itu "anak-anak ini adalah tanggung jawabku. Mungkin aku akan menaruh curiga pula kalau Ki De mang menyebut nama anak yang bengal diantara mereka " Ki De mang masih ragu-ragu. "Aku kira hal ini kurang bijaksana" potong Ki Jagabaya "Aku tetap menganggap, bahwa sebaiknya kita pergi ke Kademangan lebih dahulu" "Dan me mbiarkan anak itu lari?" bentak Ki De mang di Kepandak.
"Akulah taruhannya" Ki Jagabaya masih juga menjawab "kalau anak itu lari, akulah yang akan digantung di regol Kademangan" Mata Ki De mang menjadi merah pada m. Sejenak ia justru terbungkam. Ki Jagabaya tidak pernah me mbantah perintah dan pendapatnya. Namun tiba-tiba kini ia me mpunyai pendirian sendiri yang dipertahankannya. "Biarlah" justru Senapati dari Mataram itulah yang ke mudian menjawab "biarlah Ki De mang mengatakannya. Aku dapat mengerti sekarang, kenapa Ki De mang telah diguncang oleh perasaannya. Bagi seorang laki-laki hal itu me mang dapat menumbuhkan suatu pergolakan jiwa yang sangat dahsyat" Ki Jagabaya me mandang Senapati itu sejenak. Na mun ke mudian ia berkata "Jika de mikian, terserahlah kepada tuan" Senapati itu mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia tidak berbicara lagi. Ia hanya sekedar menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Ki De mang di Kepandak. "Tuan" berkata Ki De mang di Kepandak "terserahlah pada penilaian tuan. Aku me mang ingin menga mbil salah seorang dari anak-anak itu. Aku berjanji bahwa aku tidak akan berbuat lebih daripada mencari keterangan tentang isteriku yang hilang itu" "Siapakah anak itu" Aku kira tuan sudah sampai pada suatu taraf mencurigainya" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya "Baiklah. Aku me mang mencurigainya" "Ya, siapakah na manya" "Pamot " Senapati itu terkejut. Tetapi orang-orang la in, baik ia pengikut Ki De mang, maupun kawan-kawan Pa mot sama sekali tidak terkejut lagi karenanya. Dan merekapun saling
berpandangan sejenak, kemudian seperti berjanji mereka me mandang wajah Pa mot yang menjadi merah karenanya. Senapati yang terkejut itu sejenak duduk terdia m diatas punggung kudanya. Kedua prajurit pengawalnyapun menjadi terheran-heran pula. Mereka mengenal Pa mot sebagai seorang anak yang baik. Anak yang tekun dan sama sekali tidak menunjukkan kebenga lannya. "Apakah Ki De mang tida k ke liru?" bertanya Senapati itu. "Tida k tuan, Aku yakin" "Apakah Ki De mang sekedar mencari keterangan, atau karena Ki De mang sudah yakin bahwa Pa mot sudah bersalah?" "Sebagian aku yakin" "Kenapa?" "Se mua orang di Kepanda k akan dapat me mberikan alasannya kenapa aku mencurigainya, dan bahkan sebagian meyakininya, setelah aku tahu, bahwa sejak beberapa hari ia sudah berada di Mataram" "Tetapi aku belum tahu. Sekarang katakanlah kepadaku, apakah alasan Ki De mang" "Aku sudah mengatakan" "Jadi, yang Ki De mang maksudkan adalah laki-la ki yang sudah mengadakan hubungan dengan Nyai De mang sebelum ia menjadi isteri Ki De mang?" "Ya" "Ke mudian itu merupakan a lasan dan bahkan ha mpir suatu keyakinan bahwa ia bersalah?" "Ya"
Senapati itu menggelengkan kepalanya "Ki De mang keliru. Meskipun anak-anak itu datang beberapa hari yang la mpau, tetapi mereka sa ma sekali tida k boleh keluar dari barak-barak mereka. Sa ma seka li tidak. Pa mot juga tidak" "Itu adalah peraturan yang ditentukan oleh para pe mimpin pasukan. Tetapi anak-anak dapat saja lari meninggalkan kesatuan tanpa diketahui. Kalau kemudian ia ke mba li lagi, maka seolah-olah ia masih tetap berada di dala m pasukannya" "Kawan-kawannya akan dapat mengatakannya" Ki De mang terdia m sejenak. Namun dengan berat ia ke mudian berkata "Anak-anak kadang-kadang me mpunyai setia kawan yang kuat" "Me mang mungkin. Tetapi aku yakin bahwa Pa mot tidak me lakukannya. Ia tetap di da la m pengawasan para prajurit" "Itu akan ternyata kemudian tuan. Tetapi aku sekarang me merlukannya. Aku akan me meriksanya sendiri" Tiba-tiba sebelum Senapati yang me mimpin anak-anak Kepandak itu menjawab, seorang anak muda yang berjambang lebat maju ke depan, ke samping Senapati itu. Dengan bersungguh-sungguh ia berkata "Ki De mang. Aku adalah salah seorang dari mereka yang ikut bersama Pa mot. Aku adalah tetua anak-anak yang dari Ge mulung" Ki De mang mengerutkan keningnya. Anak muda itu adalah Punta yang kini me melihara ja mbang dan janggutnya yang lebat. "Punta" desis Ki De mang. "Ya Ki De mang. Aku ingin mena mbah keterangan tentang Pamot. Ia berada di da la m satu barak dengan aku, bahkan ia berada di bawah pengawasanku. Kalau Ki De mang bermaksud menuduh Pamot setelah ia ke mbali dari perjalanannya, maka aku bertanggung jawab, bahwa ha l itu tidak dilakukannya"
Sejenak Ki De mang menjadi tegang. Tetapi ke mudian ia berkata "Itu akan terbukti ke lak. Tetapi aku akan me meriksanya. Aku akan me meriksanya. Aku adalah Demang di Kepanda k" "Benar Ki De mang" sahut Punta "tetapi akulah yang langsung me mpertanggung jawabkannya karena ia termasuk di dala m ke lompokku. Akulah pe mimpin ke lompok itu" "Aku tidak peduli" Ki De mang tiba-tiba berteriak "ka lian dapat saja saling me lindungi. Tetapi aku minta, Pa mot diserahkan kepadaku" "Sayang Ki De mang" berkata Senapati Matara m "se la ma ia masih menjadi tanggung jawabku, aku t idak dapat berbuat demikian. Aku tidak akan menyerahkan, anak anak Kepandak, seorang demi seorang. Aku akan menyerahkannya semuanya sekaligus" "Tida k. Aku tidak dapat menerima pasukan yang di dalamnya terdapat seorang penjahat. Aku akan menyingkirkan penjahat itu lebih dahulu. Ke mudian aku akan menerima yang lain dengan segala maca m upacara" Ki Jagabaya hanya dapat menarik nafas saja. Ketika ia me lihat wajah Ki Reksatani Ki jagabaya menjadi heran. Ia me lihat mata itu seakan-akan bercahaya. "Apakah peristiwa ini sangat menarik bagi Ki Reksatani?" bertanya Ki Jagabaya di dalam hatinya "atau seperti kakaknya ia sudah langsung me nghukum Pa mot yang dianggapnya bersalah melarikan Nyai De mang di Kepandak?" Dala m pada itu Ki Jagabaya mendengar Senapati dari Mataram itu berkata "Ki De mang. Ki De mang jangan tenggelam di dala m arus perasaan yang sedang bergejolak. Ki Demang sebaiknya mencoba untuk me mpergunakan nalar. Aku mengerti, betapa Ki Demang sedang diguncang oleh peristiwa ini. Tetapi Ki De mang jangan kehilangan pertimbangan yang bening"
"Aku sudah me mpertimbangkan" jawab Ki De mang "anak itu aku minta dan akan aku bawa langsung ke Kade mangan. Itu sudah menjadi keputusanku. Keputusan De mang di Kepandak" "Sayang Ki De mang. Aku tidak dapat me mberikannya sekarang sebelum aku menyerahkan semuanya sama sekali. Setelah itu, setelah semua diterima dengan baik, maka terserahlah kepada Ki De mang, apakah Ki De mang akan me meriksanya. Itupun harus masih dibatasi menurut peraturan yang berlaku. Perlindungan kepada setiap orang masih harus mendapat perhatian, sehingga Ki De mang tidak akan dapat berbuat sewenang-wenang" "Tuan" berkata Ki De mang "tuan adalah seorang Senapati. Tuan berkuasa atas satu pasukan. Tetapi kekuasaan di Kademangan Kepanda k ada di tanganku. Maaf, aku tidak ingin menerima ca mpur tangan orang la in" Sejenak Senapati itu terdiam. Wajahnya menegang. Namun ke mudian, sebagai seorang Senapati yang sudah masak, ia justru tersenyum. Katanya "Ya, kau benar Ki De mang. Aku berkuasa atas suatu pasukan. Pasukan itu adalah anak anak Kepandak ini. Karena itu, aku wajib me lindungi anak-anak itu. Kalau Ki De mang tidak dapat menerima mereka sekarang baiklah, aku akan me mbawa mereka ke mbali ke Matara m" "Tida k. Itu tidak mungkin" teriak Ki De mang "dan tuan akan mencoba menye mbunyikan anak itu?" Sekali lagi wajah Senapati itu menegang. Sejenak ia berdiam diri me mandang wajah-wagah orang Kepandak yang menegang pula. Namun dala m pada itu, sebelum ia menjawab, Pamot telah maju pula. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata "Ki Demang. Adalah pantas sekali kalau Ki De mang telah mencurigai aku. Tetapi meskipun de mikian, Ki De mang harus me mperhatikan ke mungkinan yang dapat terjadi. Ki De mang
sudah mendengar penjelasan pimpinan pasukan ka mi, dan Ki Demang sudah mendengar keterangan Punta. Kalau Ki Demang masih tida k me mpercayai keterangan-keterangan itu, maka terserahlah kepada Ki De mang" ke mudian ia berpaling kepada Senapati dari Mataram "tuan, biarlah Ki De mang me lakukan kehendaknya. Aku tidak berkeberatan karena aku sama seka li tidak merasa bersalah" Tetapi Senapati itu menggelengkan kepa lanya "Tidak. Itu tidak mungkin. Aku masih bertanggung jawab atas kalian" Ternyata Ki Jagabaya tidak dapat menahan hatinya lagi dan berkata kepada Ki Demang di Kepandak "Ki De mang. Aku masih ingin me mpersilahkan Ki De mang untuk bersabar. Ki Demang me mang sebaiknya menerima anak-anak kita. Kemudian terserahlah, apa yang akan dila kukan ke mudian" Wajah Ki De mang yang merah menjadi sema kin merah. Sejenak dipandanginya wajah Ki Jagabaya. Kemudian wajahwajah yang lain berganti-ganti. Na mun sejenak ke mudian ia berkata "Tidak. Aku tidak ingin anak itu me larikan diri. Aku tidak me merlukan orang lain untuk menjadi gantinya. Aku inginkan anak itu" "Tetapi ia tidak akan me larikan diri" sahut Ki Jagabaya. "Aku tidak peduli" me merlukannya sekarang" Ki De mang berteriak "Aku
Semua wajah yang tegang tambah menegang. Pamot justru menjadi terbungka m karenanya. Ia tidak mengerti apa yang harus dila kukannya. Dala m pada itu Ki De mangpun berkata pula kepada Senapati Mataram itu "Tuan. Aku terpaksa melakukannya sekarang. Aku me merlukan anak itu. Aku tidak mau ia terlepas dari tanganku karena kejahatan yang tidak termaafkan itu" "Ki De mang kesimpulan" terlampau tergesa-gesa menga mbil
"Aku tida k perduli anggapan orang lain atas keputusanku ini. Tetapi ia harus ditangkap sekarang" "Itu tidak mungkin" "Aku akan melakukannya " "Aku tida k mengijinkan" Sorot mata Ki De mang kini telah benar-benar menyala. Ia maju setapak. Sambil me megang kendali kudanya dengan tangan kirinya, ia mengacukan tangan kanannya sambil berkata lantang "Tidak seorangpun dapat mengha langi keputusan Demang di Kepanda k. Tidak seorangpun dapat menahan ke mauannya. Kalau tuan tidak me mberikannya, aku akan me mpergunakan ke kerasan. Tuan pasti sudah mendengar, siapakah De mang di Kepandak" Kini wajah Senapati itupun menjadi merah. Namun ia masih dapat menahan hatinya. Katanya "Ki De mang. Saat ini Ki Demang baru diliputi oleh kegelapan hati. Ka mi sadar, bahwa bukan seharusnya kami menjadi gelap pula. Karena itu, kami masih ingin me mperingatkan Ki De mang seka li lagi" Ki De mang menggeretakkan giginya, sementara Ki Jagabaya menjadi bingung. Dengan suara ge metar ia berbisik kepada Ki Reksatani "Cobalah. Peringatkan ka kakmu yang sedang kehilangan aka l itu" Ki Reksatani mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjawab "Kenapa" Bukankah ia sudah berbuat sebaik-baiknya" Anak itu me mang harus ditangkap" "Jadi kau sependapat?" Ki Reksatani mengangguk, tetapi Ki Jagabaya mengumpat di dala m hatinya. -oooo0dw0ooooMatahari Esok Pagi Karya : SH Mintardja Jilid 8 DALAM pada itu Ki De mang menjawab "A ku tidak mau mendengar alasan dan bujukan apapun lagi. Aku harus mendapatkan ana k itu sekarang. Sudah a ku katakan, aku akan me mperguna kan kekerasan" Ki Jagabaya yang kecemasan itu bergeser setapak. Tetapi Ki Reksatani sudah mendahului "Tuan, sebaiknya tuan menyerahkan saja anak itu. Apakah sebenarnya keberatan tuan" Bukankah pada saatnya tuan juga akan menyerahkan semuanya?" Kesabaran Senapati itu menjadi se makin menipis pula. Apalagi ketika ia mendengar Reksatani berkata selanjutnya "Tuan harus menyadari bahwa kekuasaan di Kademangan ini ada di tangan kakang De mang meskipun seandainya kakang Demang t idak me mperguna kan kekerasan apapun. Kalau tuan mencoba me mpersulit penyelesaian berdasarkan ke kuasaan itu, maka kakang De mang pasti akan me mpergunakan kekerasan. Seperti yang dikatakan oleh kakang De mang, tuan pasti sudah pernah mendengar tentang De mang di Kepandak. Dan kini De mang di Kepandak tidak seorang diri. Ia datang bersama para bebahu dan adiknya, Reksatani. Tuanpun pasti sudah pernah mendengar sebutan Harimau Lapar dari Kepandak, eh, maksudku Macan Kelaparan di daerah Selatan ini. Sedang tuan hanya datang bertiga. Apakah yang sebenarnya dapat tuan lakukan?" Kini wajah Senapati itulah yang menyala. Kesabarannya benar-benar telah terbakar oleh persoalan yang dihadapinya. Meskipun de mikian ia masih mencoba menarik nafas dala mdalam, untuk mengatur kata-kata yang kemudian terlontar dari mulutnya "Ki De mang di Kepandak dan para bebahu, serta Ki Reksatani yang perkasa. Aku me mang pernah mendengar bahwa di daerah Selatan ini tidak ada orang lain kecuali Ki De mang kakak beradik. De mang di Kepandak adalah seorang yang sakti dan mumpuni dala m olah kanuragan.
Selain kekuasaannya sebagai seorang Demang, maka apabila perlu iapun dapat menumbuhkan kekuasaan yang lain berdasarkan atas kema mpuannya itu, ke ma mpuan berkelahi. Bukan ke ma mpuan me mberi pengertian atas sikap dan pendapatnya kepada orang lain. Sekarang kalianpun akan mencoba me maksakan kekuasaan yang tidak sewajarnya itu karena kalian me mpunyai kekuatan. Bukan karena hak kalian untuk berbuat de mikian" "Tida k" potong Ki De mang "daerah ini adalah daerah Kademangan Kepandak" "Tetapi setiap orang di dalam pasukanku berada di bawah kekuasaanku. Aku akan me mpertanggung jawabkannya. Bahkan kepada Senapati tertinggi di Mataram. Tidak se kedar kepada De mang di Kepandak. Karena itu Ki De mang di Kepandak. Aku tidak akan tunduk kepada kekuasaan siapapun selain kekuasaan Senapati yang lebih tinggi dari padaku. Aku tahu bahwa sepasang harimau dari Selatan ini me mpunyai ke ma mpuan yang luar biasa. Tetapi aku adalah sa lah seorang Senapati yang mendapat kepercayaan dari Sinuhun Sultan Agung untuk ikut me mimpin pasukan ke Betawi. Aku pernah menge mban tugas untuk me mpertahankan keadilan di Tanah Mataram ini. Sekarang tuan-tuan di Kepandak a kan menakutnakuti aku. Maaf Ki Demang. Aku akan mempertahankan sikapku. Seperti setiap orang pernah mendengar nama Demang di Kepandak, maka setiap prajurit Mataram pasti pernah mendengar Gelar Tumenggung Dipanata, pasangan dari Tumenggung Dipajaya yang sayang tidak dapat hadir di dalam permainan ini" Ternyata ketika Senapati itu menyebutkan namanya, dada Ki De mang di Kepandak dan Ki Reksatani menjadi tergetar pula. Nama itupun adalah nama yang sudah terlampau banyak disebut-sebut orang. Meskipun demikian, karena semuanya sudah terlanjur, Ki De mang tidak ingin me langkah surut. Dengan nada yang tajam ia berkata "Siapapun tuan, tetapi
aku tetap pada pendirianku. Tuan hanya bertiga. Kami adalah orang-orang dari seluruh Kademangan" "Apa bedanya?" sahut Ki Dipanata "Aku sadari akibat terakhir dari setiap pelaksanaan tugas seorang prajurit. Disinipun aku sedang me mpertahankan keadilan. Bukan kesewenang-wenangan" "Pekerjaan tuan akan sia-sia. Tuan akan hilang ditelan oleh Kademangan ini" "Aku menge mban tugas kerajaan. Wewenangku sekarang adalah wewenang Sinuhun Sultan Agung. Siapa yang melawan petugas kerajaan dan yang mendapat pelimpahan ke kuasaan dari Sinuhun Sultan Agung, ia sudah me mberontak terhadap pemerintah" Ki De mang terdia m sejenak. Dadanya serasa terguncangguncang se makin dahsyat. Tetapi Ki Reksatani berkata "ka mipun sedang menuntut keadilan. Kami tidak akan takut me lawan siapapun untuk me mpertahankan keadilan itu" "Ka mi tetap pada pendirian ka mi" gera m Ki De mang ke mudian "dan sekali lagi ka mi peringatkan, tuan akan tenggelam di Kade mangan ini. Semua yang ada di sekitar tuan adalah orang-orang dari Kademangan Kepandak selain dua prajurit pengawal tuan itu" Senapati dari Mataram itu sama sekali tidak menundukkan kepalanya. Bahkan matanya menjadi bersinar, dan tidak sesadarnya ia telah meraba senjatanya. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Punta telah mendahuluinya "Ki De mang di Kepandak. Kami dilahirkan dan dibesarkan di Kade mangan ini. Kami adalah anak-anak muda, pengawal Kade mangan yang setia, yang atas nama Kade mangannya pula, kami telah mencoba untuk ikut me mpertahankan kehadiran Mataram di muka bumi. Tetapi ka mi me njadi sangat kecewa melihat peristiwa ini terjadi justru pada saat keringat kami seolah-olah masih belum kering. Ka mi baru saja mene mpuh perjalanan
yang jauh. Kami telah gagal merebut ke mbali sebagian dari Tanah ka mi karena berbagai maca m sebab. Terutama karena, pengkhianatan. Kami berjanji di dala m hati kami bahwa akan datang saatnya kami mengusir orang asing itu dari bumi sendiri. Jadi, apakah begini cara Ki De mang menyambut ka mi" Dada Ki De mang serasa diguncang mendengar kata-kata Punta itu. Kata-kata anak ingusan dari Kade mangannya sendiri. Dan ia masih harus mendengarkan anak itu berkata "Maaf Ki De mang. Ka mi ada lah satu. Aku, Pamot dan pengawal-pengawal yang lain. Kalau Ki De mang ingin menangkap Pamot, ma ka Ki De mang harus menangkap ka mi semuanya. Kami tidak a kan melawan kekerasan dengan kekerasan. Kami justru minta agar kami se muanya saja ditangkap untuk mendapat tuduhan yang sa ma, sebab ka mi dapat berbuat kemungkinan yang sa ma. Kami se mua adalah laki-laki muda dan ka mi se mua menganggap Sindangsari adalah gadis yang cantik saat itu, sebelum Ki De mang menga mbilnya dengan paksa" "Gila, gila kau. Aku bunuh kau pertama-tama" teriak Ki Demang. Punta sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan kemudian ia berkata kepada Ki Dipanata "Tuan, serahkanlah kami semuanya kepada Ki De mang di Kepandak untuk me mberinya kepuasan yang sebesar-besarnya. Ia masih belum puas mera mpas pere mpuan itu dari tangan anak-anak muda di Kepandak yang juga mengingininya. Kini ia masih akan berbuat lebih jauh lagi" "Dia m, dia m, dia m" suara Ki De mang se ma kin keras. Bahkan kudanya telah maju beberapa langkah mendekati Punta. Tetapi Ki De mang itupun terhenti ketika kuda Ki Dipanata menyilang di hadapannya. "Terserahlah apa yang akan dilakukannya nanti Punta" berkata Ki Dipanata. Lalu "Tetapi sebelum aku menyerahkannya, kalian adalah tanggung jawabku. Aku bukan
pengecut yang akan lari dari kewajiban. Aku adalah prajurit sejak umurku meningkat dewasa. Kini ra mbutku sudah mulai ubanan. Apa artinya Demang di Kepandak bagiku. Aku pernah ikut di da la m peperangan besar di daerah Timur dan Barat. Tetapi aku me mang belum pernah bertempur di daerah Selatan yang sempit ini" Telinga Ki De mang di Kepandak benar-benar serasa terbakar. Tetapi sebelum ia berbuat sesuatu Ki Jagabaya telah berkata mendahuluinya "Ki De mang. Aku adalah seorang bebahu yang paling setia. Aku selama ini telah me mbuat diriku sendiri seperti seekor kerbau yang telah dicocok hidungku. Aku tidak pernah membantah semua perintah, meskipun kadang-kadang aku t idak mengerti maknanya. Tetapi kali ini aku tidak ikut ca mpur di dala m pemberontakan ini. Aku tidak dapat melawan ke kuasaan Mataram. Ke kuasaan yang dilimpahkan dari Sinuhun Sultan Agung. Bukan karena aku silau melihat seorang Tumenggung yang bernama Dipanata, yang pernah bertempur di berbagai medan karena akupun sadar, bahwa akibat yang paling jauh dari perkelahian adalah mati. Kalau seseorang sudah menyingkirkan perasaan takut terhadap mati, maka ia tida k akan takut berte mpur di medan yang manapun. Na mun sebelum mat i aku masih se mpat berpikir. Dan tiba-tiba aku merasa bahwa aku tidak seharusnya melawan kali ini" "Pengecut" Ki Ke ksatanilah yang berteriak "kau ternyata seorang pengecut" "Mungkin. Mungkin aku seorang pengecut " "Kau akan dihukum gantung karena kau telah berkhianat terhadap kampung hala man" "Sudah aku katakan. Aku tidak takut mati. Tetapi aku t idak me lihat bahwa kalian telah berbuat benar kali ini"
"Gila, gila " Ki Re ksatani ha mpir tidak dapat menguasai dirinya. Tetapi ketika tangannya telah meraba hulu kerisnya, justru tangan Ki De manglah yang telah me nahannya. Ki Reksatani menjadi termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling ia menjadi sangat terkejut me lihat wajah kakaknya. Demang di Kepanda k. Wajah itu sa ma sekali tidak lagi terasa kegarangannya. Bahkan wajah itu menjadi layu seperti selembar daun yang dibakar oleh terik matahari. "Kenapa kau kakang?" Ki Reksatani bertanya. Ki De mang tida k segera menjawab. Tetapi ta mpak di wajahnya, suatu benturan perasaan telah terjadi di dalam dadanya. "Apakah hati kakang menjadi le mah seperti hati Jagabaya pengecut itu?" Ki De mang tidak segera menyahut. Tetapi tatapan matanya yang buram melontar jauh ke bayangan sinar matahari yang sudah menjadi ke merah-merahan. "Kakang" Ki Reksatani mengguncang-guncang lengan kakaknya, Namun Ki De mang di Kepandak masih tetap berdiam diri. Akhirnya Ki Reksatanipun terdia m. Perlahan-lahan ia mencoba menilai se mua yang telah terjadi. Ia memang berusaha menjerumuskan ka kaknya untuk melawan Mataram. Meskipun ia ikut terlibat, tetapi ia dapat menghindarkan perbuatan langsung di dala m perkelahian apabila sudah dapat dinyalakannya. Ia dapat surut dan bahkan kalau perlu mengkhianati kakaknya sendiri sebagai suatu alasan untuk mendapat penga matan dari Mataram dan mendapat kesempatan untuk menggantikan kedudukan kakaknya. Tetapi usahanya itu belum berhasil ketika ia justru tenggela m di dalam arus perasaannya sendiri di luar pertimbangannya. Apakah kemudian ia akan menjadi orang pertama yang berdiri di paling depan di dala m perlawanan ini kalau ka kaknya
me mang mulai bersikap lain. Dengan de mikian, usahanya untuk merebut pengakuan dari Mataram akan menjadi terlampau sulit. Karena itu, ketika Ki De mang di Kepandak tida k berbuat apapun juga, Ki Reksatanipun seakan-akan membe ku pula. Bahkan tiba-tiba mendahului Ki De mang di Kepandak, ia berkata "Ya, me mang sebaiknya kita berpikir untuk kesekian kalinya" Senapati Mataram yang bernama Dipanata itu masih tetap dalam sikapnya. Duduk dia m diatas punggung kudanya meskipun ia sudah bersiaga menghadapi segala ke mungkinan. Demikian juga kedua prajurit yang mengawalnya. Tetapi ketika ia mendengar kata-kata Ki Reksatani ia menarik nafas dalam-da la m. Ki Re ksatani itupun ke mudian berpaling kepada Ki Jagabaya sambil berdesis "Maaf Ki Jagabaya. Aku terlampau kasar karena luapan perasaan selagi hatiku gelap" Ki Jagabaya mengerti" mengangguk-anggukkan kepalanya "Aku
Namun Ki De mang sendiri masih tetap dia m, seakan-akan benar-benar me mbeku diatas kudanya. Baru sejenak ke mudian ia berkata "Aku kira Reksatani benar. Kita harus berpikir lagi sebelum kita bertindak "Lalu kepada Tumenggung Dipanata ia berkata "Maafkan kami tuan. Kami telah terdorong oleh perasaan yang meluap" Tumenggung Dipanata mengangguk-anggukkan kepa lanya. Tetapi sebelum ia menjawab, Ki Reksatani lelah menya mbung "Aku juga minta maaf tuan. Aku sebenarnya telah dicengka m oleh perasaan iba. Aku tidak sa mpai hati me lihat wajah kakang De mang yang selalu bersedih. Ia tidak pernah makan, minum dan apalagi tidur sejak mBok-ayu Sindangsari hilang dari Kade mangan"
"Aku dapat mengerti" berkata Tumenggung Dipanata "mudah-mudahan kalian benar-benar dapat melihat persoalannya dengan hati yang bening" "Baiklah tuan" berkata Ki De mang "aku akan mencobanya" Lalu ia berpaling kepada Punta "Aku minta maaf kepada kalian. Aku telah mengganggu saat-saat yang barangkali telah kalian nanti-nantikan untuk dapat segera bertemu dengan keluarga" Puntapun justru menundukkan kepa lanya. Katanya "Akupun minta maaf pula kepada Ki De mang. Mungkin aku tidak sempat menyaring kata-kataku. Tetapi seperti Ki De mang aku dan kawan-kawanpun agaknya sedang berpikir keruh. Ka mi telah kehilangan beberapa kawan-kawan ka mi di perjalanan, seperti Ki De mang kehilangan isteri Ki De mang itu di Kademangan" Hati Ki De mang menjadi sema kin pedih. Sambil mengangguk-anggukkan kepa lanya ia berkata "Seharusnya aku menyambut ka lian sebagai prajurit yang datang dari medan perang. Apapun yang sudah terjadi di peperangan, berhasil atau tidak berhasil, tetapi ka lian sudah berjuang. Perjuangan yang seharusnya kami lanjutkan kapan saja kesempatan terbuka di hadapan ka mi" "Agaknya kita sudah dapat mende katkan hati kita" berkata Tumenggung Dipanata. "Marilah tuan" berkata Ki De mang "aku persilahkan tuan dan anak-anak ka mi. Ka mi akan menerima anak-anak ka mi dengan sepenuh hati" "Atas nama. Senapati tertinggi dari pasukan Mataram yang telah mencoba me mbersihkan tanah ini, kami mengucapkan terima kasih" Ki De mang menarik nafas dalam-dala m. Sejenak di pandangmya wajah Pamot yang agak kepucat-pucatan. Dan agaknya bukan Pamot saja yang menjadi pucat, tetapi hampir
semuanya. Wajah-wajah itu menjadi merah oleh ketegangan yang mencengka m sesaat. Tetapi kini wajah-wajah itu telah menjadi pucat ke mbali. Demikianlah, ma ka Ki De mangpun ke mudian ke mba li ke Kademangan dengan kepala tunduk di samping Ki Tumenggung Dipanata. Berbagai maca m persoalan telah bergolak di da la m hatinya. Tiba-tiba saja Ki De mang merasa hidupnya menjadi sangat sepi. Ia kini merasa, dimana ia sebenarnya berdiri. Di dala m keadaan yang me maksa ia dapat me lihat, bagaimana kah sebenarnya pendapat orang tentang dirinya. Ki De mang itu merasa dirinya seakan-akan terle mpar ke dalam sebuah ruang yang kosong, sepi. Sepi sekali. Satu-satu orang di sekitarnya pergi meningga lkannya. Isterinya, anakanak muda kebanggaannya, Ki Jagabaya yang setia dan mungkin seisi Kade mangannya. Ki De mang di Kepandak menarik nafas dalam-da la m. Sekilas terbayang semua persoalan yang dihadapinya. Kini, yang tetap berdiri teguh di belakangnya tanpa menilai ba ik dan buruk, benar atau salah, tingga llah adiknya, Ki Reksatani. "Ia adalah seorang adik yang baik" desis Ki De mang di dalam hatinya "ia tidak me mpersoalkan apakah yang aku lakukan dan siapakah yang dihadapinya. Ia adalah saudara laki-laki yang dapat dibanggakan" Ki De mang sekali lagi menarik nafas "Sayang, bahwa ia terseret dalam persoalan ini. Persoalan yang tidak menguntungkannya. Untunglah bahwa benturan ini belum terlanjur. Jika de mikian, maka Kademangan di Kepandak mungkin akan dia mbil oleh Mataram, karena kami disini dianggap me mberontak. Kini} masih ada kesempatan bagi ka mi disini. Kalau aku tidak mungkin lagi dapat duduk diatas jabatanku karena kekosongan di dala m diriku sendiri, maka aku dapat menuntut agar Keksatanilah yang menggantikan aku. Aku juga tidak me mpunyai seorang keturunanpun. Aku harus menumpang
pada keturunan Reksatani kelak. Merekalah yang berhak atas Kademangan ini di masa me ndatang" Dan Ki De mang itu merasa, bahwa waktu itu sudah menjadi sema kin dekat. Agaknya ia tidak boleh bertahan lagi terlampau la ma pada kedudukannya yang sekarang. "Kalau ternyata bahwa keterangan Senapati dan anak-anak Gemulung itu benar, bahwa Pamot tida k pernah berhubungan dan apalagi menga mbil Sindangsari, maka a ku akan meninggalkan Kade mangan ini. Aku pasti tidak akan ke mba li sebelum aku mene mukan Sindangsari, dan sudah tentu aku harus menyerahkan semua kewajibanku kepada Reksatani" Ki De mang di Kepandak ha mpir t idak mendengarnya ketika Ki Tumenggung Dipanata bertanya kepadanya "Apakah Ki Demang sudah berusaha sepenuhnya untuk mencari Nyai Demang?" Ki De mang mengangkat kepalanya yang tertunduk. Di tatapnya Tumenggung Dipanata itu sejenak. Ke mudian jawabnya "Sudah aku katakan. Semua rumah di Kade mangan Kepandak sudah dimasuki, tetapi aku tidak mene mukannya. Hari ini aku mene mui setiap pemimpin dan tetua padukuhan, kecuali dua padukuhan di ujung Timur yang belum se mpat aku datangi. Mereka harus membantu mencari isteriku. Aku minta mereka menolongku, tetapi aku juga menganca m mereka. Aku me mpergunakan ke kuasaan, kedudukan dan sekaligus ke ma mpuanku sebagai seorang yang pilih tanding di daerah Selatan ini. Kalau a ku tida k mene mukannya di daerah Kademangan ini, aku a kan masuk ke Kade mangan tetangga, Mudah-mudahan tidak menumbuhkan salah paham, tetapi seandainya demikian apaboleh buat" Senapati dari Mataram itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Para pengawal yang baru datang itu akan me mbantu dengan senang hati. Tetapi ketenangan di daerah Selatan ini harus tetap dipe lihara"
"Se mula a ku tida k menghiraukan ketenangan itu sahut Ki Demang "Hatiku benar-benar gelap. Tetapi sekarang aku sudah berpendirian la in" Ki Tumenggung Dipanata mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak dipandanginya wajah Ki Demang di Kepandak. Ke mudian katanya "Agaknya Ki De mang telah mene mukan sikap yang lebih mapan" Ki De mang mengangguk-angguk "Ya" katanya ternyata tindakan yang tergesa-gesa itu tidak akan menguntungkan" "Lalu apakah yang akan kau lakukan?" "Aku tida k akan me ncari isteriku dengan cara itu. Seperti sepasukan prajurit yang maju ke medan perang" Ki Tumenggung Dipanata tidak segera menyahut, sedang Ki Demang berkata selanjutnya "Aku akan pergi seorang diri, sebagai seorang laki-laki yang kehilangan isterinya" "Maksud Ki De mang" "Aku akan menge mbara sa mpai aku mene mukan isteriku. Aku kira aku me merlukan wa ktu" "Lalu Kade mangan di Kepandak?" "Masih ada Reksatani. Ia berhak atas Kademangan ini seperti aku apabila a ku berhalangan. Ka mi berdua adalah saudara laki-laki yang sering disebut uger-uger lawang" Ki Dipanata menganguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak me mbantah niat itu. Ia sadar, bahwa hati Ki De mang masih belum terang benar. Mungkin Ki De mang masih me merlukan dua tiga hari untuk dapat berpikir bening. Demikianlah maka iring-iringan itu se makin la ma menjadi semakin mendekati pusat Kade mangan di Kepandak. Beberapa orang yang ada di sawah dan di pinggir-pinggir desa melihat pasukan yang lewat itu dengan mulut ternganga-nganga. Baru
sejenak ke mudian mereka berdesis diantara mereka "He, bukankah itu anak-ana k kepanda k?" "Ya, bukankah itu ana k-anak Kepandak?" Sejenak ke mudian me ledaklah berita tentang kedatangan anak-anak di Kepandak. Anak-anak berlari-larian mengikut i iring-iringan berkuda itu. Beberapa diantara mereka berteriak-teriak menyebut na ma kakaknya yang ada di antara pasukan yang baru datang. Tetapi seorang anak perempuan menjadi berdebar-debar. Ia menatap hampir se mua wajah anak-anak muda yang lewat di depannya, di jalan padukuhan. Tetapi ia tidak melihat wajah kakaknya. Kakak yang dikasihinya. Tanpa sesadarnya anak itu mengusap kepala gole k kayu yang dibuat oleh ka kaknya itu ketika ia akan berangkat meninggalkan keluarganya. "Simpan golek ini baik-baik denok" pesan kakaknya itu "besok kalau ka kak ke mba li, kakak me mbawa sehelai kain buatan Parangakik untuk golek ini" "Tetapi kakang tidak ada diantara mereka" desis anak perempuan itu. Ketika ia t idak dapat menahan perasaannya lagi, ma ka ia bertanya kepada seorang anak muda yang dikena lnya, yang berkuda di paling bela kang "Apakah kau tidak datang bersama kakang?" Anak muda yang berkuda di paling belakang itu berpaling. Dipandanginya wajah anak perempuan itu. Ha mpir saja ia menjawab pertanyaannya, tetapi tiba-tiba ia menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Gadis kecil itu tidak tahu apa yang terloncat di dala m angan-angan anak muda itu. Tanpa sesadarnya ia mengikut inya di sisi kudanya sambil sekali lagi bertanya "Apakah kau datang bersama kakang?" Anak muda itu menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak berani mengucapkan jawabannya.
Gadis kecil itu a khirnya berhenti. Dipandanginya iringiringan yang seakan-akan semakin la ma menjadi sema kin panjang. Anak-anak kecil dan bahkan anak-anak tanggung mengikut inya di bela kang sa mbung bersambung. Tetapi gadis kecil itu terhenti di tempatnya. Perlahan-lahan tangannya yang kecil me mbe lai golek kayunya yang masih telanjang. Ia menunggu kaka knya datang me mbawa ka in dari Parangakik atau Kuta Inten. Tetapi kakaknya tidak terdapat diantara anak-anak muda yang datang itu. "Apakah kakang tidak pulang" desisnya. Sebutir air mata yang bening menitik di pipinya. Gadis itu terkejut ketika seseorang mengga mitnya. Ketika ia berpaling dilihatnya seorang kakaknya yang la in berdiri di belakangnya. "Kakang, apakah kakang Ireng t idak datang bersama kawan-kawannya itu?" ia bertanya. Kakaknya tidak menjawab. Dibimbingnya tangan adiknya sambil berkata "Biyung mencarimu. Marilah kita pulang " "Tetapi bagaimana dengan kakang Ireng" "Biarlah ayah nanti bertanya kepada prajurit itu" "Yang mana kah prajurit itu?" "Yang berkuda paling depan di sa mping Ki De mang" "Apakah prajurit sering me mbunuh orang?" "Tida k. Tidak. Prajurit tida k me mbunuh orang. Prajurit harus melindungi kita se mua dari bahaya" Gadis kecil itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya "Kakang a kan me mbawa kain dari Parangakik atau dari Kuta Inten. Tetapi kakang belum pulang" "Besok a ku cari kain dari Parang Akik atau dari Kuta Inten"
Dia Tanpa Aku 3 Manusia Harimau Marah Karya S B. Chandra Pisau Kekasih 6

Cari Blog Ini