Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 17
jiwa seseorang sedang terancam. Mungkin ia akan mati terbunuh, tetapi seandainya tidak, maka jiwa itupun akan di rampas oleh malapetaka sepanjang hidupnya seperti hidupku sendiri. Bahkan lebih parah lagi" Pamot tidak segera menjawab. Di wajahnya me mbayang keheranannya yang me munca k. "Pamot " berkata Lamat ke mudian "apakah sebaiknya yang akan kulakukan seandainya Manguri menyuruh aku me mbunuhmu, sedang kau tida k bersalah?" Dada Pamot berdesir mendengar pertanyaan itu. Dengan serta merta ia bertanya "Jadi kau mendapat perintah Manguri untuk me mbunuh a ku?" "Tida k" "Jadi" Pa mot me ndesak "jadi baga imana" "Seandainya, hanya seandainya. Aku telah berhutang budi kepada Manguri karena ayahnya telah menyelamatkan nyawaku di masa kanak-kanak. Padahal aku tahu bahwa kau sama sekali tidak bersalah. Hal itu hanya dilakukan sekedar untuk kesenangannya saja" "Kesenangan?" "Ya. Sekedar kepuasan karena ia ingin me lihat kau mati" Pamot tida k menyahut. "Pamot, apakah yang akan kau lakukan?" Apakah karena aku berhutang budi, maka aku harus me mbunuhmu tanpa pertimbangan" Atau aku harus mencegahnya, meskipun akibatnya akan me mbuat aku tidak lagi dapat me mba las budi" "Persoalanmu me mang aneh La mat" berkata Pa mot "aku tidak dapat me mbantumu me mecahkan parsoalan itu. Tetapi kalau ayah Manguri benar seorang yang baik, ia tidak akan menuntut ba las budi dari pertolongannya itu.
"Maksudmu aku dapat melupa kannya dan me mperhitungkannya lagi di da la m setiap t indakanku?" "Bukan begitu. Tetapi sampai seseorang harus me mba las budi?" dimanakah
tidak batasnya Lamat tidak menyahut. Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk. Sejenak ia me mbeku seperti itu. Bahkan ke mudian terasa tubuhnya menjadi dingin sekali. Pamot yang duduk di samping La mat me mbiarkannya duduk terpekur. Namun dada Pa mot menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar nafas Lamat yang semakin cepat. Bahkan ke mudian terengah-engah seakan-akan La mat sedang me lakukan pekerjaan yang sangat berat. Sebenarnyalah, di dalam hati raksasa itu sedang terjadi benturan yang dahsyat. Suatu pergolakan perasaan yang hampir tida k teratasi. Dengan sekuat kema mpuannya La mat mencoba mengatasi. Sambil mengatupkan giginya rapat-rapat Lamat me meras perasaan di dadanya. Sebuah pemberontakan yang tidak tertahankan telah me ledak di dadanya. Tiba-tiba La mat itu menghentakkan kakinya sehingga Pamot terkejut karenanya. Apalagi ketika La mat itu menggera m "Tidak. Aku harus berdiri diatas nuraniku sendiri. Aku masih tetap me mpunyai pribadi. Aku bukan seekor kerbau. Aku bukan seekor le mbu perahan yang tidak berhak menentukan sikap" Pamot bergeser setapak menjauh. Dipandanginya La mat yang perlahan-lahan mengangkat wajahnya. Ditatapkan kepekatan ma la m dengan mata yang seakanakan menyala. "Aku telah mene mukannya. Aku telah me mutuskannya apapun yang akan terjadi. Aku tidak dapat me mbiarkan kegilaan itu berkepanjangan"
Pamot masih duduk dia m, Sejengkal lagi ia bergeser menjauh tanpa menghiraukan paka iannya yang semakin kotor karena lumpur pe matang. Bahkan kemudian ia menjadi ce mas me lihat La mat. "Apakah La mat telah benar-benar menjadi gila?" Pamotpun ke mudian berdiri ketika ia me lihat La mat berdiri. Ia harus bersiap menghadapi setiap ke mungkinan di dala m kegilaan itu, apabila La mat benar-benar menjadi gila. Lamat yang berdiri tegak itu menjadi terengah-engah. Tubuhnya menjadi ge metar dan bibirnya bergerak-gerak. "La mat" suara Pa mot perlahan-lahan "apakah yang sudah terjadi atasmu?" Lamat t idak me njawab. Kini mulutnya terkatub rapat-rapat. "La mat, apakah ada sesuatu yang telah mengguncangkan hatimu" "Ya" tiba-tiba La mat menjawab "Aku telah berusaha menguasai diriku sendiri" La mat berpaling. Dipandanginya wajah Pamot yang tegang "Pamot. Aku bersumpah bahwa aku adalah La mat. Aku manusia juga seperti kau, seperti Manguri, seperti Ki Reksatani, meskipun aku pernah berhutang budi. Bukankah aku tetap seorang yang berpribadi?" Tanpa mengetahui ma ksudnya Pa mot mengangguk "Ya" desisnya. "Ya. Dan aku akan bersikap sebagai seseorang yang berpribadi. Aku tidak dapat me mbiarkan se muanya itu terjadi" "Apa yang akan terjadi La mat?" Perlahan-lahan La mat menarik nafas. Tangannya yang menggengga m perlahan-lahan terurai. Sekali lagi ia me mandang kekejauhan sa mbil berkata "Apakah kau masih percaya kepadaku Pamot?"
"Ya" Pa mot menjawab dengan serta-merta sebelum ia sempat berpikir. "Baiklah Pa mot. Kalau kau masih percaya kepadaku, dengarlah" La mat berhenti sejenak. Sekali lagi ia menarik nafas. Kemudian katanya "Duduklah" Pamot tidak menjawab. Tetapi ketika La mat duduk di pematang yang basah itu, Pamotpun segera duduk pula di sampingnya. "Pamot " suara Lamat menurun "Apaboleh buat. Aku harus mengkhianati kebaikan budinya" "Apa yang sebenarnya telah terjadi atasmu La mat" "Kau tidak usah tahu Pamot" La mat berhenti sejenak, lalu "Pergilah kau besok pagi-pagi ke Se mbojan" "Se mbojan" Dimana kah Se mbojan itu?" "Pergilah sebelum fajar. Kau harus mendahului ka mi" "Tetapi apakah kepentinganku?" "Sindangsari berada di Se mbojan" Betapa terkejut Pamot mendengar keterangan yang tidak disangka-sangka itu, sehingga rasa-rasanya darahnya berhenti menga lir. Sejenak ia justru membe ku. Dipandanginya La mat dengan mulut ternganga. "Bukankah kau masih percaya kepadaku?" bertanya La mat. "Ya, ya" jawab Pamot terbata-bata "Aku masih percaya Tetapi apakah aku dapat mempercayai pendengaranku. Kau berkata bahwa Sindangsari berada di Se mbojan?" "Ya. Aku me mang berkata demikian. Besok sebelum fajar, aku harus mengantar Manguri pergi ke padukuhan itu. Selain kami, Ki Reksatanipun akan pergi pula. Apakah kau dapat mengerti?"
Pamot tida k menyahut. Keringat dingin telah me nge mbun di seluruh tubuhnya. "Ki Reksatani dan Manguri telah bersepakat menga mbil Sindangsari dari Kade mangan. Itulah sebabnya, maka hampir tidak seorangpun dapat me mbayangkan, bagaimana perempuan itu dapat hilang begitu saja. Akulah yang me mbawanya meloncat pagar batu di hala man be lakang, setelah Nyai Reksatani berhasil me mancingkan kebawah rumpun pering petung" Pamot masih saja me mbe ku. Sebuah kejutan yang dahsyat telah me mbuatnya seolah-olah tidak ma mpu lagi berpikir untuk sejenak. "Pamot " desis La mat "keduanya bertemu pada suatu kepentingan Sindangsari harus pergi dari Kade mangan. Manguri masih menginginkannya, sedang Ki Reksatani ingin menyingkirkannya, karena Sindangsari, mengandung, dan akan me mberikan keturunan yang kela k dapat mewarisi jabatannya" "Gila. Itu perbuatan gila" tiba-tiba Pa mot menggeram "dan kau tidak berusaha mencegahnya" Malahan kau me mbantu menculik pere mpuan itu" tiba-tiba Pa mot berdiri dan menuding wajah La mat. "Sekarang kaulah yang menjadi gila " sahut La mat. Ketenangan Lamat telah me mbuat Pa mot menyadari dirinya. Ia mengangguk dan menjawab "Ya, kita bergantian menjadi gila. Sesudah kau, sekarang aku" "Kau tenang. daerah Tambak harus dapat me mandang persoalan ini dengan Ingat, besok mereka akan pergi ke Se mbojan, di Kademangan Pra mbanan, sebelah Timur Hutan Baya"
Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau harus mendahului ka mi. Banyak hal dapat terjadi Mungkin pe mbunuhan, sesuai dengan kepentingan Ki Reksatani, tetapi mungkin juga perkosaan menurut kebutuhan Manguri yang ingin me mperisterikannya, meskipun dengan paksa" Terdengar gigi Pa mot gemeretak. Tiba-tiba ia berkata "Aku akan menghadap Ki De mang" "Jangan. Kita masih belum yakin, apakah kita dapat mene mukan Sindangsari. Kalau Sindangsari tida k ada di Sembojan, maka Ki De mang akan menuduhmu mengada-ada" "Jadi apa yang harus aku la kukan?" "Bawalah beberapa orang kawan yang kau percaya. Jangan terlampau banyak supaya tidak menumbuhkan kecurigaan di sepanjang jalan. Kau dapat menghubungi anak-anak muda di Sembojan, barangkali ada juga yang baru pulang dari tugasnya, seperti yang kau lakukan?" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau kau sa mpai di Se mbojan lebih dahulu, kau dapat mencari anak-anak muda itu dan minta bantuan mereka apabila kau perlukan. Tetapi ingat, tunggu apa yang akan terjadi. Kau harus mencari tempat Sindangsari dise mbunyikan, dan kau harus dapat menga mati apa yang akan terjadi. Dengan bantuan anak-anak muda Se mbojan, aku yakin kau dapat mela kukannya" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya ke mudian "Terima kasih La mat Aku masih tetap percaya kepadamu. Aku yakin bahwa ujud lahiriahmu tidak sejalan dengan ujud batinmu. Aku berhutang budi kepada mu sejak aku belum berangkat ke Betawi" "Jangan kau sebut-sebut tentang hutang budi. Aku menolongmu dengan ikhlas sehingga aku tidak merasa me mpunyai piutang yang akan aku tagih setiap waktu. Hutang
budi itu akan mengikat mu seperti aku telah terikat olehnya pula" "Tetapi itu t idak berarti bahwa kita tidak tahu budi. Yang harus kita timbang adalah nilai dari harga diri kita masingmasing dengan bagaimana kita harus memba las budi. Kita harus menentukan keseimbangan di dala m saat-saat seperti yang kau hadapi itu" Lamat me ngangguk-anggukkan kepalanya. "Betapapun besar hutang budiku kepada seseorang, tentu aku tidak akan dapat mengorbankan pribadiku, seperti aku tidak akan dapat menyerahkan isteriku misalnya, kepada orang itu. Tetapi adalah harga seseorang itupun dapat dilihat bagaimana ia menghargai budi seseorang" Lamat masih me ngangguk-anggukkan kepalanya. "Nah, La mat sebaiknya, aku berangkat sekarang. Aku akan me mbawa beberapa orang kawan dari Ge mulung. Tiga atau empat orang. Aku akan berusaha menghubungi anak anak muda di Se mbojan. Aku kira pasti ada juga yang ikut di dalam barisan Mataram, karena aku mendengar juga anak-anak muda berdatangan dari Pra mbanan dan sekitarnya" "Hati-hatilah. Kau harus dapat memilih saat dan keadaan yang tepat. Kalau kau salah hitung, maka kau pasti hanya akan mendapatkan mayat Sindangsari. Kau mengerti?" Pamot mengangguk. Katanya "Aku akan berusaha. Aku harus mendahului mereka " Pamotpun dengan tergesa-gesa meninggalkan sawah Manguri Ketika ia menengadahkan kepalanya, ia melihat bintang Gubug Penceng telah condong ke Barat. Tengah ma la m baru saja dila mpaui. Karena itu, ia harus segera mendapat kawan yang dapat dipercayanya untuk bersamasama pergi ke Se mbojan. Ia harus keluar lebih dahulu dari Kademangan sebelum Manguri dan Ki Reksatani. Apalagi
mereka mengetahui, bahwa Ki Reksatani adalah seorang yang tidak terlawan di sa mping Ki De mang di Kepandak sendiri. Sepeninggal Pa mot, maka Lamatpun segera berkemas pula. Ia sudah menentukan suatu sikap, sehingga iapun harus bersedia menanggung akibatnya. Manguri baginya kini bukan lagi seorang yang akan dapat mengikatnya, setelah ia berhasil me matahkan ikatan perasaan yang selama ini me mbe lenggunya. Sehingga tiba-tiba saja La mat merasa dirinya seorang yang bebas, yang tidak terikat lagi. Ia tidak perlu lagi selalu menundukkan kepalanya apabila Manguri me mbentak-bentaknya. Tetapi Lamat sadar, bahwa ia tidak dapat berbuat demikian dengan tiba-tiba, sehingga dapat menimbulkan kecuriaan Manguri kepadanya. Bagaimanapun juga ia harus bersikap seperti biasa, merendahkan diri dan menahan hati, apabila anak muda itu me mperla kukannya seperti budak belian di jaman negeri antah berantah. Sambil menjinjing cangkulnya La mat berjalan me nyelusuri pematang. Ia harus segera pulang untuk menenangkan hatinya, sebelum ia berangkat bersama Manguri keluar Kademangan Kepandak. Namun ketika ia meloncati parit, dilihatnya air yang gemericik. Tiba-tiba saja ia teringat pada pe mbagian air yang sudah saling disetujui. Lewat tengah mala m adalah bagiannya. "Persetan dengan sawah iblis kecil itu" gera mnya. Dan Lamatpun melangkah terus. Tetapi ketika dilihat batang-batang padi muda yang seolaholah tertunduk lesu karena kehausan, maka timbullah perasaan iba di hatinya. Meskipun yang dihadapi hanyalah sekedar tumbuh-tumbuhan dan bukan sejenis makhluk yang dapat merasakan betapa hausnya kekeringan air, na mun Lamat tida k juga sa mpai hati untuk me mbiarkan tumbuhtumbuhan itu layu.
Lamat berhenti sejenak termangu-mangu. Na mun ia terpaksa melangkah ke mba li. Dibendungnya parit kecil dan dialirkannya air parit itu ke dala m kotak-kotak sawah. Meskipun ia sama sekali tidak ingin lagi be kerja untuk Manguri namun tanaman-tana man yang masih muda itu me mang me merlukan a ir. Sejenak La mat duduk menunggui air yang menga lir masuk ke dalam sawah, seperti yang sudah saling disetujui. Lewat sedikit tengah mala m adalah bagiannya. Dan Lamat masih juga sempat me mpergunakan kese mpatan itu. Bahkan ke mudian La mat menunggui percikan air itu sambil bertopangdagu. "Kalau a ku belum datang, Manguri pasti belum akan pergi. Biar Pa mot sempat me mbawa kawan-kawannya meninggalkan Kademangan beberapa saat mendahului. Kalau Manguri dan apalagi Ki Reksatani sempat menyusulnya, maka akibatnya akan menjadi se makin parah" berkata La mat di dala m hatinya. Demikianlah, meskipun setiap kali La mat menengadahkan kepalanya, memandang langit yang menjadi ke merahmerahan, namun ia masih tetap duduk di pe matang menunggui air yang telah me menuhi sawahnya. Lamat terkejut ketika ia me ndengar langkah yang tergesagesa mendekatinya. Ketika ia berpaling dilihatnya Manguri bergegas mendapatkannya. Sambil menghentakkan kakinya anak muda itu me ngumpat "He, Lamat, apakah kau sudah menjadi gila?" Lamat tida k menjawab, Kali ini ia me ma ksa dirinya untuk tetap diam, agar Manguri t idak mencuriga inya. "Apa kau tida k me lihat langit yang sudah se makin merah?" Lamat menengadahkan wajahnya "Kurang sedikit, Sawah ini ha mpir penuh"
"Tinggalkan saja sawah itu terbuka Nanti airnya akan penuh dengan sendirinya" "Tetapi menjelang fajar, aku harus membuka parit itu untuk sawah di sebelah" "Apa pedulimu dengan sawah orang lain" "Ka mi sudah sa ling berjanji" "Tutup mulut mu" Manguri me mbentak "ka lau kau takut kepada tetangga, tutup saja air yang mengalir ke sawah kita. Aku kira airnya juga sudah cukup banyak" Lamat tida k menyahut Dengan malasnya ia berdiri dan me mbuka parit serta penutup pe matang sawahnya. "Cepat kita pulang" desis Manguri "Kita harus segera berangkat, sebelum Ki Reksatani mendahului kita" Keduanyapun kemudian berjalan tergesa-gesa meninggalkan sawah mere ka. Mereka masih harus pulang dahulu, berke mas dan dengan hati-hati meninggalkan padukuhan. Mereka harus me mbawa kuda mereka perlahanlahan agar tidak menumbuhkan kegaduhan dan kecurigaan tetangga-tetangga mereka yang me mang tidak begitu senang kepada keluarga Manguri itu. Selagi Manguri dan La mat me mpersiapkan diri, setelah mereka makan pagi karena mereka akan mene mpuh perjalanan yang tidak me nentu, ma ka Pa motpun telah mendahului ke luar dari padukuhan. Bersa ma tiga orang kawannya mereka berkuda tanpa menimbulkan kecurigaan orang lain. Mereka bere mpat ke mudian berpacu di tengahtengah bulak yang me misahkan padukuhan-padukuhan kecil di Kademangan Kepandak. Na mun, mereka me milih jalan yang meskipun agak me lingkar, namun sejauh-jauh mungkin dari padukuhan-padukuhan itu, sehingga tida k mengejutkan dan me mbangunkan penghuni-penghuninya yang masih tidur nyenyak.
"Kita mene mpuh ja lan Utara" berkata Pamot. "Kenapa?" bertanya Punta yang ikut pula bersa ma mereka. "Kita harus menghindari, andaikata Manguri ternyata telah lebih dahulu daripada kita menunggu Ki Reksatani" Punta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Ya. Perhitunganmu ba ik se kali. Mungkin Manguri juga berangkat sebelum fajar" Keempat orang itupun ke mudian berpacu se makin cepat. Angin mala m yang dingin mena mpar wajah-wajah mereka yang tegang. Suara cengkerik masih juga berderik bersahutsahutan dengan suara bilalang di rerumputan. "Aku mengenal seorang anak muda yang ikut pergi ke Betawi" berkata Punta "Adalah kebetulan kalau aku bertanya kepadanya, dimana rumahnya" "Dima na?" "Kali Mati. Tida k begitu jauh dari Se mbojan. Juga termasuk Kademangan Pra mbanan. Ia anak muda yang baik dan bertanggung jawab" "Jadi maksudmu?" "Apakah kita dapat datang kepadanya dan minta bantuannya. Kita tidak mengenal pimpinan pengawal Kademangan Pra mbanan. Kita juga tidak mengenal dan tidak dikenal oleh bebahu Kade mangan Pra mbanan. Ka lau kita keliru sepatah kata saja, mungkin justru kitalah yang dicuriga inya" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Baiklah. Kita datang kepadanya. Kita akan melihat perkembangan keadaan sebelum kita menga mbil sikap tertentu. Tetapi aku kira hal itu akan menjadi lebih ba ik daripada kita berbuat sesuatu tanpa petunjuk apapun"
Punta mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sejenak ke mudian t idak ada seorangpun diantara mereka yang berbicara. Mereka berpacu terus di jalan persawahan yang gelap, meskipun ke mudian mata mereka me njadi se ma kin biasa dan la mbat laun seakan-akan ma la m me njadi se ma kin remang-re mang. Apalagi karena langit di Timurpun menjadi semburat merah pula. Fajar telah hampir menerangi mala m yang kelam. Namun anak-anak muda Ge mulung itu telah keluar dari telatah Kade mangan Kepandak. Dala m pada itu, setelah me mpersiapkan diri dengan tergesa-gesa, maka Manguri dan La matpun keluar dari regol halaman ruma h mereka. Betapapun gelisah hati Manguri, tetapi mereka harus tetap berjalan perlahan-lahan. Merekapun sadar, bahwa kejutan kaki-kaki kuda yang berderap terlampau cepat, akan dapat menumbuhkan pertanyaan yang aneh di dalam hati tetangga-tetangganya. "Berapa orang yang yang telah mendahului kita?" bertanya Manguri kepada La mat. "Seperti yang kau perintahkan. Hanya tiga orang termasuk pesuruh ayahmu itu" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi keningnya ke mudian berkerut-merut. Katanya "Apakah sudah cukup" Apabila kita menghadapi sesuatu, kita me merlukan banyak tenaga" "Bersa ma ayahmu masih ada e mpat orang lagi di sana" sahut La mat. "Tetapi bagaimana dengan Ki Reksatani" Apakah ia tidak me mbawa banyak orang bersa manya?" Lamat merenung sejenak, namun ke mudian jawabnya "Aku kira tidak. Kita masih belum tahu pasti, apa yang akan dilakukannya. Kita hanya saling mencurigai"
Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian ia masih juga ragu-ragu. Tiga orang-orangnya yang terpercaya telah disuruhnya mendahului dan menunggu di luar Kademangan. Mereka akan bersama-sa ma menunggu pula Ki Reksatani yang sudah berjanji akan pergi bersa ma mereka ke Sembojan. Ketika mereka telah keluar dari padukuhan, maka merekapun segera berpacu pula. Namun setiap kali mereka me masuki padukuhan berikutnya, ma ka derap kuda merekapun harus diperla mbat. Betapapun perjalanan itu terasa menjengkelkan sekali, tetapi akhirnya merekapun sa mpai juga di luar Kade mangan. Di te mpat yang sudah ditentukan tiga orang kepercayaan Manguri telah berada di tempat itu. Mereka menambatkan kuda- kuda mereka agak jauh dari jalan, di belakang gerumbul. Seorang diantara mereka duduk diatas rerumputan, sedang dua orang yang lain berbaring beralaskan rumputrumput kering. Bahkan seorang diantaranya telah tertidur dengan nyenyaknya. Ketika Manguri mengha mpiri mereka, ma ka orang yang berbaring tetapi tidak tertidur itu menguap sa mbil menggeliat "Apakah kita masih akan menunggu lagi?" "Apakah kalian sudah me lihat Ki Reksatani lewat?" bertanya Manguri kepada salah seorang dari mere ka yang tidak tertidur. Orang yang duduk diatas rerumputan itu menjawab "Belum. Aku belum me lihat seorangpun lewat" Manguri mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya "Ya, kalau begitu kita harus menunggu lagi" Orang yang berbaring itu berdesah "Me mang sebaiknya aku tidur saja dahulu" "Tidurlah" sahut kawannya yang masih tetap duduk "Mudah-mudahan mimpimu menarik"
"Aku tida k akan mimpi" jawabnya. Manguri dan La matpun ke mudian mengikat kuda-kuda mereka pula, serta duduk diantara orang-orang yang telah mendahului mereka itu. "Lebih baik mengejarnya" kita menunggu daripada kita harus
"Tentu tidak" jawab La mat "kalau Ki Reksatani mendahului ialah yang akan menunggu kita" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun ke mudian bersandar sebatang pohon perdu di pinggir jalan yang sepi. Meskipun ia tidak me meja mkan matanya, namun seolaholah anak muda itu tidak me lihat apapun juga. Angan-angan nyalah yang terbang menyerawang ke dunia yang lain. Hatinya yang selalu cemas dan gelisah kini serasa sema kin menye mpit Ia tidak tahu, apakah yang bakal terjadi ke mudian di Sembojan. Mungkin ia dapat mengatasi keadaan dan benarbenar mengikat Sindangsari. Tetapi mungkin pula Ki Reksatani menjadi gila, dan mencoba me mbunuhnya, Atau. masih ada seribu ke mungkinan yang baka l terjadi. Lamat duduk tepekur di sa mping Manguri. Ia masih tetap berlaku sebagai La mat yang dahulu. Na mun, meskipun La mat telah bertekad untuk menyelamatkan Sindangsari, tetapi hatinya masih juga tetap bergolak. Ia tidak tahu, apa yang bakal terjadi, seperti juga Manguri. Selain itu Lamatpun berpikir pula tentang Pamot. Apakah Pamot sudah berangkat mendahului atau ia kini sedang me mpersiapkan diri dengan kawan-kawannya yang baru berhasil dihubunginya. "Kalau Pa mot lewat jalan ini pula, maka ka mi pasti akan bertempur disini. Ka mi tidak akan sa mpa i ke Pra mbanan" Katanya di dala m hati "tetapi mudah-mudahan ia sudah mendahului ka mi disni"
Tanpa sesadarnya Lamat menarik nafas dalam-da la m. Tidak ada rencana yang masak dapat disusunnya. Tetapi mudah-mudahan, baik Pa mot maupun dirinya sendiri, berhasil menyesuaikan diri dengan keadaan, sehingga akibatnya tidak justru mencela kakan Sindangsari. Baik dice lakai oleh Ki Reksatani maupun oleh nafsu Manguri. Demikianlah setelah sejenak mereka menunggu, dan langit di Timur telah menjadi se makin terang, barulah mereka me lihat tiga orang berkuda datang dari jurusan Kepanda k. "Agaknya mereka itulah Ki Reksatani" berkata Manguri. "Belum tentu" sahut salah seorang kawannya "sebaiknya kita bersembunyi. Terutama Manguri. Aku belum banyak dikenal disini" Manguri tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Lamat, seakan-akan ia ingin mendapat pertimbangan daripadanya. Ketika ia melihat La mat mengangguk kecil, maka iapun ke mudian beringsut beberapa langkah surut dan berlindung di balik gerumbul jarak yang tumbuh di pinggir jalan. Lamatpun ke mudian berbuat serupa pula, berse mbunyi di belakang dedaunan. Sejenak kemudian maka tiga orang berkuda itupun menjadi semakin de kat. Lamat dan Manguri yang mengintip dari sela-sela gerumbul, ketika kuda-kuda itu berhenti, ia segera melihat bahwa mereka adalah Ki Reksatani dengan dua orang pengawalnya. Manguripun ke mudian meloncat keluar, sedang La mat menyuruk perlahan-lahan dari balik dedaunan. "Kenapa ka lian bersembunyi?" bertanya Ki Reksatani. "Ka mi disini belum yakin, bahwa Ki Reksatanilah yang datang" jawab Manguri.
"Kalian cukup berhati-hati. Berapa orang ka lian se muanya?" "Lima orang" Ki Re ksatani mengerutkan keningnya. "Ki Reksatani hanya bertiga?" "Aku masih harus me nunggu tiga orang lagi" "Kenapa masih harus menunggu?" "Ka mi tida k dapat berangkat bersama-sama. Karena itulah maka a ku berangkat dulu, sedang tiga orang yang lain akan menyusul ke mudian" "Dan ka mi akan menunggu disini?" "Ya. Tetapi tidak akan terlampau lama. Mereka akan segera datang" Manguri tidak menjawab. Iapun kemudian duduk ke mbali bersandar sebatang pohon. Sedang Lamat, masih saja duduk diatas rumput. Kawan Manguri yang tertidur justru telah terbangun. Tetapi ia masih tetap berbaring dia m. Ki Reksatani sendiri sama seka li tida k turun dari kudanya. Demikian juga kedua pengawalnya. Dengan gelisah mereka menunggu tiga orang yang akan mengawani mereka pergi ke Sembojan. Ternyata mereka me mang tida k usah menunggu terla mpau la ma. Sejenak kemudian di da la m kere mangan mala m ta mpak tiga orang berkuda berpacu di sepanjang ja lan. "Marilah" berkata Ki Reksatani ke mudian "mereka telah datang" Manguripun ke mudian berdiri sa mbil me mandang ketiga ekor kuda yang berlari mende kat. Kemudian iapun me langkah kekudanya sambil berkata "Marilah-La mat"
Dengan malas La matpun berdiri pula. Demikian juga kawan-kawan Manguri. Apalagi orang yang telah tertidur nyenyak. Sambil menguap ia bangkit Kemudian menggeliat sambil berkata "Aku masih ingin t idur beberapa la ma lagi" "Tidurlah" sahut kawannya. Tetapi keduanyapun ke mudian melangkah juga kekuda masing-masing. Sejenak ke mudian mereka telah berpacu beriringan ke Sembojan. Mereka tidak melewati Pusat Pemerintahan Mataram, tetapi mereka mene mbus jalan-ja lan padukuhan yang sepi, agar tidak menumbuhkan pertanyaan, apalagi apabila mereka berjumpa dengan beberapa pasukan pengawal dan prajurit. Dala m pada itu, jauh di depan mereka Pamot juga berpacu bersama kawan-kawannya. Keempat orang itu t idak langsung pergi ke Se mbojan, tetapi mereka pergi ke Kali Mati. Keempat anak-anak muda itu me la mpaui hutan Ta mbak Baya setelah matahari merayap di kaki langit. Sinarnya telah mulai menggatalkan kulit. Na mun mereka berpacu terus. Mereka me minta di jalan se mpit di sebelah Timur Cupu Watu ke arah Utara. Di hadapan mereka Gunung Merapi yang hijau ke merah-merahan berdiri tegak seakan-akan batas yang menyekat dua bagian dunia yang asing. Di sebelah Selatan dan di sebe lah Utara. Pamot dan kawan-kawannya se mpat juga menarik nafas dalam-da la m, menghirup kesejukan udara pagi. Derap kaki kuda mereka ternyata telah menghalau burung-burung yang berterbangan di pohon-pohon perdu yang rendah. Di kejauhan terdengar burung tekukur me manggil-manggil anaknya. Sedang diatas kepala mere ka, di sebatang dahan, burung jalak bersiut tanpa menghiraukan derap kaki-ka ki kuda dan debu yang putih.
Setelah menyeberangi sebatang sungai yang landai, maka merekapun me lintasi beberapa bula k kecil. Ke mudian beberapa saat mereka menyusuri hutan yang rindang, sampai ke ujungnya. Berbatasan dengan sebuah pategalan di ujung hutan yang rindang itulah terletak sebuah padukuhan kecil yang disebut Kali Mati. Mereka tidak mene mui kesukaran apapun untuk mencari kawannya yang dikenalnya sela ma perjalanan. Di ujung padukuhan mereka bertanya kepada seorang anak muda yang menyandang cangkul dibahunya. Maka segera anak muda itu menjawab "O, Rajab yang ikut di da la m pasukan Mataram ketika menyerang Betawi" "Ya. Rajab atau Mudai, aku kenal keduanya" sahut Punta. "Yang masih tinggal ada lah Rajab. Mudai gugur di peperangan" "O" Punta mengangguk-anggukkan kepalanya. Di perjalanan ke mbali ia me mang tidak berte mu dengan keduanya. Untunglah bahwa masih ada salah seorang dari mereka yang hidup "Sayang" desis Punta "Mudai adalah anak yang baik. Tetapi baiklah, aku ingin bertemu dengan Rajab" "Pergilah ke ujung padukuhan. Kalau kau jumpai sebuah rumah limasan, berhala man penuh dengan pohon so dan sepasang kelapa gading. Regolnya sudah agak rusak, karena sepeninggal Rajab, regol itu tidak terpelihara. Sa mpai saat ini agaknya Rajab masih belum se mpat mengganti selain diperbaiki saja di beberapa bagian" "Terima kasih" sahut Punta. "Apakah kau kawannya di dala m pasukan itu" Punta mengangguk "Ya. Terima kasih atas segala petunjuk Ki Sanak. Aku akan mencarinya di ujung padukuhan"
Demikianlah mereka melanjutkan perjalanan. Tetapi jarak yang terbentang di hadapan mereka tinggal beberapa puluh langkah saja karena mereka telah sa mpai ke padukuhan yang mereka tuju. Kehadiran Punta dan kawan-kawannya ternyata telah mengejutkan Rajab. Baru saja ia bersiap untuk pergi ke sawah sambil menuntun le mbunya untuk me mbajak. Tetapi ia me lihat beberapa ekor kuda, maka iapun segera mengurungkan niatnya. Sejenak Rajab berdiri termangu-mangu. Na mun ke mudian ia berteriak "He, bukankah kau Punta yang pergi ke Betawi itu juga?" Punta dan kawan-kawannya meloncat turun dari kuda mereka. Sa mbil tersenyum Punta menjawab "Apakah kau masih ingat?" "Tentu, Marilah" Punta dan kawan-kawannyapun kemudian menuntun kuda mereka me masuki ha la man. Setelah mereka mengikat kuda mereka, maka merekapun segera dipersilahkan masuk ke dalam rumah limasan tua yang besar. Di bagian depan dari rumah itu terbuka, berdinding hanya setinggi la mbung. "Duduklah" Rajab me mpersilahkan "mimpi semala m. Hari ini aku menerima ta mu dari jauh" apa aku
Punta, Pamot dan kawan-kawanyapun kemudian duduk diatas tikar yang dibentangkan diatas sehelai kepang ba mbu. "Aku sama sekali tidak menyangka bahwa kalian akan datang hari ini. Apakah ka lian se muanya ikut pada saat itu?" "Ya" sahut Punta "se muanya ka mi ikut. Apakah kau t idak dapat mengenal ka mi?" Rajab mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Ya, mungkin aku sudah me lihat ka lian. Tetapi di da la m pasukan
sebesar itu, kadang-kadang kita tidak saling berkenalan. Kebetulan aku mengenal Punta saat itu" "Me mang suatu kebetulan" "Ternyata kau me menuhi janjimu untuk datang berkunjung ke mari" "Ka mi sedang mencoba kuda-kuda ka mi" Rajab tersenyum "Kudaku menge lilingi Gunung Merapi" ke marin dulu a ku pacu
"He, kau tida k singgah ke Kepanda k?" Rajab tersenyum "Maaf, aku tida k se mpat saat itu. Aku berpacu me lawan beberapa orang. Kami bertiga me ngelilingi Gunung Merapi dengan putaran ke kanan, sedang tiga orang yang lain berpacu mengelilingi dengan putaran kekiri" "Menarik sekali" sahut Punta "ka lau aku tahu, aku ikut di dalam pacuan itu" "Di hutan Sela ka mi berhenti sejenak, karena ka mi dengan tiba-tiba telah berhadapan dengan seekor harimau" "Dahsyat sekali" Punta ha mpir berteriak. De mikianlah mereka ke mudian berceritera tentang pengalaman masingmasing. Pembicaraan mereka berke mbang sa mpai kepada persoalan-persoalan yang aneh-aneh. Namun agaknya Punta menyadari hal itu, sehingga perlahan-lahan ia berhasil me mbawa pe mbicaraan mereka kepada tujuannya. Pembicaraan mereka terputus sejenak ketika adik Rajab menghidangkan minuman panas dengan gula kelapa dibarengi dengan beberapa maca m makanan. Baru ke mudian Punta berkata "Rajab, apakah kau pernah pergi ke Mataram sela ma ini?" Rajab menggelengkan kepa lanya "Aku hanya lewat di sebelah Utara Kota, ketika aku berpacu ke marin dulu"
Punta mengangguk-angguk. Lalu "Apakah kau sering pergi ke Se mbojan?" "Se mbojan?" Rajab mengerutkan keningnya "kenapa dengan Sembojan" Apakah hubungannya Mataram dan Sembojan?" Punta tersenyum, ia tidak ingin mengejutkan kawannya dengan sebuah pertanyaan yang tampaknya dengan tiba-tiba berubah menjadi bersungguh-sungguh. "Tida k apa-apa. Aku pernah dengar, bahwa rumahmu de kat Sembojan" "Ya. Padukuhan di sebelah itulah Se mbojan. Di sebelah hutan kecil dan pategalan buah-buahan" "Jadi, diantara sebuah hutan?" "Sebenarnya bukan sebuah hutan. Tetapi daerah yang kurang menguntungkan untuk digarap, sehingga dibiarkannya menjadi bera dan tidak terpelihara Meskipun de mikian, kita dapat berburu kijang dihutan itu" Punta mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kenapa Se mbojan lebih terkenal dari padukuhanmu ini?" Rajab mengerutkan keningnya. Jawabnya "Aku tidak tahu. Aku tidak melihat kekhususan dari padukuhan itu" Punta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata "Ada beberapa orang yang lewat padukuhan Kepandak. Mereka yang datang dari Menoreh dan sekitarnya. Menurut keterangan mereka, mereka akan pergi ke Se mbojan menengok keluarganya. Apakah hanya suatu kebetulan bahwa satu dua orang saudaranya tinggal di Se mbojan. Tetapi belum lagi lewat sehari, ada tiga orang yang katanya dari Sungapan Kali Praga yang akan pergi ke Se mbojan pula" Tiba-tiba Rajab tertawa. Katanya "Tentu mereka adalah saudara orang gila yang sekarang berada di Se mbojan itu"
"Orang gila?" "Ya" jawab Rajab "di Se mbojan ada seorang perempuan gila yang me mbuat keluarganya menjadi terlampau sibuk. Mungkin mereka telah me mberi kabar keluarga mereka yang bertempat tinggal di Menoreh dan di Sungapan Kali Praga itu" Punta mengerutkan keningnya. Dipandanginya Pamot sejenak. Tampaklah ia menjadi kecewa. Ternyata yang menarik perhatian Rajab adalah seorang gila. Bukan kedatangan orang yang tidak mereka kenal di daerah Sembojan yang sedang menyembunyikan Sindangsari. "Lucu seka li" berkata Rajab "kebetulan sekali, aku sedang berada di Se mbojan, di rumah bibi, ketika orang gila itu berlari-lari dikejar oleh beberapa orang ke luarganya" Pamot menarik nafas dalam-da la m. Dipandanginya Punta sejenak. Tetapi Puntapun menjadi kecewa. Tetapi mereka tidak dapat me motong Rajab berceritera "Menurut keluarganya yang menunggui orang gila itu, tidak seorangpun saudara-saudaranya yang mau menerima orang gila itu di rumahnya, selain kakak pere mpuannya di Se mbojan itu" Pamot, Punta dan kawan-kawannya menganggukanggukkan kepa lanya, sekedar mengangguk-angguk. Ceritera itu sama se kali tidak menarik baginya. Tidak hanya di Sembojan, hampir di setiap padukuhan ada orang yang kurang waras. Tetapi kalau ia sekedar gila karena kesadarannya yang tidak lengkap itu sama sekali tidak dapat dipersoalkan. Tetapi orang-orang gila yang menyadari kegilaannya itulah yang berbahaya, seperti Manguri Ki Reksatani dan orang-orangnya. Meskipun de mikian, meskipun Punta, Pamot dan kawankawannya sama sekali tidak tertarik, namun Rajab masih berceritera terus sambil tersenyum-senyum "Ka lau seorang yang gila berlari-lari di sepanjang padukuhan sambil berteriakteriak, sama sekali tida k menarik perhatianku. Itu adalah hal
yang wajar. Tetapi hampir setiap orang menaruh belas kepada orang gila itu justru karena orang gila itu sedang mengandung, dan agaknya laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab, tidak mau menerimanya. Mungkin karena perempuan itu gila" "Jadi orang gila itu perempuan?" bertanya Pamot dengan serta merta. Terasa dadanya tergetar dan wajahnya menegang "Apakah kau pernah me lihat?" Perhatian yang tiba-tiba itu justru telah me mbuat Rajab menjadi heran. Apalagi ketika ia me lihat wajah-wajah kawan Pamot yang tiba-tiba menjadi bersungguh-sungguh. "Kenapa dengan pere mpuan gila itu?" "Maksudmu, apakah pere mpuan itu masih muda" "Ya. Masih muda dan cantik. Tetapi ia terlampau kusut karena kegilaannya" "Ia tidak gila. Ia bukan orang gila" Pa mot hampir berteriak. Tetapi Punta mengga mitnya sambil berkata "Tenanglah Pamot, kita berbicara dengan tenang, supaya Rajab tidak menjadi bingung" Rajablah yang ke mudian menjadi terheran-heran. "Rajab" berkata Punta kemudian "apakah kau pernah me lihat pere mpuan yang kau katakan gila itu?" "Ya. aku me lihat. Keluarganya sendirilah yang mengatakan bahwa ia gila ketika perempuan itu mencoba me lepaskan diri dari rumahnya dan berlari-lari di sepanjang padukuhan sa mbil berteriak-teriak" "Apakah yang diteriakkannya?" "Perempuan itu me manggil ibunya, kakek dan neneknya" Dada Punta menjadi berdebar-debar pula. Apalagi Pa mot. Wajahnya yang tegang menjadi merah pada m.
"Maaf Rajab" berkata Punta "agaknya kau dapat me mberikan beberapa keterangan tentang perempuan itu?" "Ya, beberapa yang aku ketahui. Aku tidak terlampau sering pergi ke Se mbojan" "Apakah perempuan itu me mang tinggal di Se mbojan sejak la ma?" Rajab menggeleng "Be lum, belum la ma. Baru saja ia dibawa kepada kakak pere mpuannya di Se mbojan. "Dan kau katakan bahwa pere mpuan itu mengandung?" "Ya. Mengandung. Aku tahu betul, dan semua orang justru me mpercakapkan karena ia mengandung" "Apakah kau tahu na manya" Rajab menggelengkan kepalanya "Tida k seorangpun yang tahu namanya" "Keluarganya tidak mengge leng pula. pernah mengatakannya?" Rajab
Sejenak mereka berdia m diri. Terbayang diangan-angan Pamot Punta dan kawan-kawannya saat itu Ki Reksatani dan Manguri diikuti oleh beberapa orang kepercayaannya sedang berpacu ke Sembojan, atau barangkali mereka telah sampai di padukuhan itu saat ini. Rajab benar-benar menjadi heran me lihat sikap ta mutamunya. Agaknya perempuan gila di Se mbojan itu benarbenar telah menarik perhatian mereka sehingga mereka dengan sungguh-sungguh ingin me ngetahui beberapa persoalan tentang orang gila itu. "Rajab" berkata Punta sejenak ke mudian "Maaf ka lau akan selalu bertanya tentang perempuan itu. Maksudku, perempuan yang kau sangka gila itu"
"Bukan aku menyangka perempuan itu gila" sahut Rajab "Tetapi keluarga merekalah yang mengatakan bahwa perempuan itu gila. Memang sikapnya agak aneh dan pakaian serta rambutnya yang kusut itu memberikan kesan, bahwa ia dalam keadaan terganggu kesadarannya" Punta mengangguk-anggukkan kepa lanya. Ia semakin yakin bahwa perempuan itu bukan perempuan gila. Tetapi perempuan itu adalah pere mpuan yang dicarinya. Apalagi Pamot, Ha mpir saja Pa mot tidak dapat menahan perasaannya jika setiap kali Punta tidak me ngga mitnya. "Rajab" berkata Punta kemudian "Aku kira, perempuan itu bukan pere mpuan gila. Tetapi pere mpuan itu me mang terganggu. Bukan ingatannya, tetapi kebebasannya" "Rajab mengerutkan keningnya. Ia Katanya "Aku tidak tahu maksudmu" menjadi bingung.
"Kau akan segera tahu" sahut Punta "Karena perempuan itulah agaknya aku ke mari" "O, aku se makin tida k mengerti" "Meskipun aku be lum dapat me mastikan bahwa dugaanku benar, tetapi aku kira perempuan itulah yang ka mi cari. Perempuan yang sedang mengandung itu" "Kenapa ka lian mencarinya?" Punta menarik nafas dalam-dala m. Dipandanginya Pamot sejenak, lalu katanya "Ka mi sangat berkepentingan dengan perempuan itu. Kalau ka mi dapat meyakini bahwa pere mpuan itu adalah perempuan yang ka mi cari, maka ka mi akan segera menentukan sikap" "Ya, tetapi kenapa kau me ncarinya?" bertanya Rajab mendesak. "Rajab" berkata Punta ke mudian dala m nada yang dala m "kau adalah satu-satunya orang yang aku kenal disini. Aku
belum tahu pasti tentang kau. Tetapi karena kita pernah bertemu di perjalanan selagi kita bersama-sa ma berjuang untuk Mataram, maka aku percaya bahwa kau bersedia me mbantu ka mi" "Ya, tetapi kau belum mengatakan persoalanmu. Apalagi di dalam hubungannya dengan perempuan gila, eh, perempuan yang sedang mengandung itu" Punta me mandang Pamot sejenak. Kemudian ia bertanya "Sebaiknya aku berterus terang Pa mot" Pamot mengangguk. "Baiklah Rajab. Aku akan berterus terang. Perempuan yang dikatakan gila itu, apabila perempuan yang kami cari, ia adalah isteri Ki De mang di Kepandak" "He?" Rajab terkejut seka li, sehingga ia bergeser sejengkal maju "isteri De mang di Kepandak" "Ya" "Tetapi, apakah ia me mang sakit ingatan dan dibawa ke rumah kaka knya di Se mbojan?" "Mudah-mudahan tebakan ka mi benar. Perempuan itu sama seka li tidak sakit. Ka lau ia berlari-lari dan berteriak-teriak itu karena ia ingin me lepaskan diri. Tegasnya, ia kini di dala m penguasaan orang yang tidak berhak atasnya" "Diculik maksudmu?" Punta menganggukkan kepa lanya. Wajah Rajab kini menegang. Sejenak ia me mbeku sa mbil me mandang Pa mot, Punta dan kawan-kawannya bergantiganti. Namun tiba-tiba ia mengangguk-angguk "Itulah sebabnya, tidak ada seorangpun yang boleh mende katinya. Meskipun alasan mereka, perempuan itu berbahaya. Seorang dukun yang menawarkan dirinya untuk mengobatinya, telah
ditolak pula. Me mang mungkin. Mungkin sekali pere mpuan itu sama seka li bukan perempuan gila" "Tetapi apakah ada cara yang baik untuk meyakininya?" Rajab mengerutkan keningnya. "Kalau aku berbuat sesuatu disini, dan ternyata bukan perempuan itu yang ka mi cari, maka ka mi telah mela kukan kesalahan" "Apakah isteri Ki De mang itu sedang mengandung?" "Ya" "Mungkin me lihatnya" sekali. Tetapi baga imana ka lian dapat
Sejenak mereka saling berdia m diri pula. Mereka sedang mencoba mencari jalan, bagaimana me ngetahui, bahwa perempuan itu benar-benar Sindangsari yang sedang mereka cari. Tiba-tiba saja Pa mot berkata "Punta, bukankah hari ini beberapa orang akan datang ke te mpat Sindangsari dise mbunyikan?" Punta menganggukkan kepa lanya. "Kalau dapat diketahui bahwa mereka datang ke tempat perempuan yang mereka katakan gila itu, ma ka sudah pasti bahwa perempuan itu adalah Sindangsari" "Siapakah na manya" Sindangsari?" "Ya, namanya Sindangsari, tetapi ia sudah menjadi Nyai Demang di Kepanda k" Rajab mengangguk-anggukkan kepalanya. "Rajab" berkata Punta kemudian "aku tidak mengenal orang lain disini. Apakah kau bersedia me mbantu ka mi?"
"Apakah kau berhasrat untuk menga mbil Nyai De mang di Kepandak itu?" "Ya. Ka mi ingin berbuat sesuatu untuk De mang ka mi" Rajab menganggukkan kepalanya. Katanya "Apakah yang dapat aku lakukan" Apakah aku harus mengumpulkan beberapa kawan lagi dan merebut Nyai Demang di Kepandak itu dengan kekerasan?" "Me mang mungkin kita harus me mpergunakan kekerasan. Tetapi kita harus berhati-hati. Kalau kita salah langkah, maka jiwa Nyai De mang itu berada dala m bahaya" Rajab mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia bertanya "Bagaimana mungkin dapat terjadi begitu" Dan apakah De mang di Kepandak itu masih muda se muda kita?" "Kenapa?" "Perempuan yang disebut gila itu masih sangat muda" "Ya. Ia masih sangat muda. Anak yang dikandungnya itu adalah anaknya yang pertama, yang sudah berumur tujuh bulan di dala m kandungan" "Ya. Ya. Kandungan itu me mang kira-kira berumur tujuh bulan. Aku kira me mang itulah orangnya" Rajab berhenti sejenak, lalu "Tetapi sudah tentu kita tidak akan dapat bertindak sendiri langsung di Kade mangan ini. Kalau ada kesalah paha man, maka Ki Jagabaya dan Ki De mang pasti akan menumpahkan kesalahan kepada kita. Apapun yang kita lakukan" Punta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Tepat Rajab. Karena itu, aku tidak berkeberatan apabila kami kau hadapkan kepada Ki Jagabaya. Setidak-tidaknya tetua padukuhan Se mbojan" "Aku tidak berkeberatan" sahut Rajab. Tetapi Pamot menyahut "Dimanakah rumah Ki Jagabaya" Bagaimana kalau
kita bertemu dengan Ki Jagabaya" Aku tidak mence maskan nasib kita. Tetapi nasib Nyai De mang di Kepandak itu" "Apakah sebenarnya maksud orang-orang yang menculik Nyai De mang itu sehingga kau mence maskan jiwanya" Punta menarik nafas dalam-da la m. Ke mudian setelah me mandang Pa mot sejenak, yang menganggukkan kepalanya, Punta menceriterakan serba sedikit tentang Nyai De mang di Kepandak, meskipun ia tidak menyinggung sa ma sekali tentang Pamot. Ia hanya mengatakan, apa alasan masingmasing dari orang-orang yang menculiknya. Rajab mengerutkan keningnya. Sambil menganggukanggukkan kepa lanya ia berkata "Memang masuk a kal. Keduanya masuk akal. Bahwa anak muda yang kau sebut bernama Manguri dan adik Ki De mang di Kepanda k yang bernama Ki Reksatani itu, me mang me mpunyai a lasan masing-masing. Tetapi mereka adalah orang-orang yang dikuasai oleh nafsu" "Ya. Kademangan ka mi kini penuh dengan orang-orang yang sedang dikuasai oleh nafsu. Bukan saja Ki Reksatani, Manguri, tetapi Ki De mang sendiri. Perkawinannya dengan perempuan itu adalah perkawinannya yang keenam ka linya" "Keena m kalinya?" Rajab terbelalak. "Ya" sahut Punta "Dan ia adalah satu-satunya isterinya yang mengandung" Rajab mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya "Perkawinan lima kali berturut-turut tanpa anak itulah yang mendorong Ki Reksatani untuk me ngharapkan kedudukan kakaknya. Dan agaknya ia ha mpir pasti, bahwa Ki De mang di Kepandak itu tidak akan me mpunyai keturunan" "Ya. Kehamilan isterinya yang keenam me mbuatnya sangat kecewa sehingga ia terperosok ke dalam perbuatan yang sangat keji"
Rajab mengangguk-angguk. Kemudian setelah merenung sejenak ia berkata "Baiklah. Aku akan me mbantu kalian. Aku akan menempatkan beberapa kawanku di Se mbojan. Terutama anak-anak yang me mang sering berada di Sembojan untuk melihat, apakah perempuan yang mereka katakan gila itu mendapat tamu. Ke mudian kita akan pergi ke rumah Ki Jagabaya. Pamot mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu Rajab berkata "Kita akan mene mpuh ja lan yang lain sama seka li dari ja lan yang mungkin dilalui orang-orang yang datang dari Barat, termasuk kalian dan Ki Reksatani" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya berkata "Baiklah. Aku percaya kepadamu" dan Punta
Rajabpun kemudian mengurungkan niatnya untuk pergi ke sawah. Dipesankannya agar adiknya sajalah yang pergi menengok sawah itu. "Kau akan pergi ke mana?" bertanya ibunya yang sudah agak lanjut. "Aku me mpunyai beberapa mengantarkannya sebentar" orang tamu. Aku akan
Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia tidak mengerti apa yang akan dila kukan ana knya itu. Rajabpun segera menghubungi beberapa orang kawannya. Yang mula-mula dipilihnya kawan-kawannya yang pergi juga bersamanya ke Betawi. Kawan-kawan itulah yang dianggapnya me mpunyai pengetahuan olah kanuragan. me lebihi kawan-kawannya yang lain, karena latihan-latihan yang pernah mereka terima dari prajurit Mataram, di padukuhannya dan apalagi dala m persiapan mereka sebelum mereka berangkat ke Betawi. "Ah kau" berkata salah seorang kawannya "kau selalu mencari kerja. Bukankah hal ini bukan urusan kita" Padahal
akibatnya tidak dapat kita bayangkan. Mungkin kita harus berkelahi, atau melakukan t indakan kekerasan la innya" "Me mang mungkin" sahut Rajab "tetapi kalau kita melihat seseorang yang tenggelam di sungai, apakah kita akan dia m saja seandainya ia masih mungkin ditolong?" "Itu persoalan lain. Kita menolong jiwa seseorang, bukan orang-orang yang sedang berebut perempuan" Rajab mengerutkan keningnya. Lalu katanya "He, apakah aku kurang lengkap me mberitahukan apa yang telah terjadi?" Kawannya terdiam dan Rajab mencoba menerangkan apa yang telah terjadi sebenarnya. "O, begitu?" kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya "kalau begitu persoalannya jadi la in. Kau tadi hanya mengatakan bahwa pere mpuan itu dilarikan orang" "Seandainya de mikian, dan kita ma mpu menolong?" "Ya" kawannya ragu-ragu "sebaiknya me mang kita tolong" "Maca m kau" desis Rajab. Lalu "Nah, kita akan me mbagi kerja. Amatilah rumah itu. Bukankah kau sering berada di Sembojan" Pergilah tiga atau empat orang. Kau dapat mencari kawan di Se mbojan. Anak-anak Sembojan pasti mau me mbantumu" "Baiklah. Aku akan mencoba" De mikianlah, maka kawan Rajab yang dipercaya segera melakukan tugas yang telah mereka sanggupkan. Tetapi mere ka sadar, bahwa mereka harus berhati-hati dan tetap merahasiakan persoalan yang sebenarnya, kecuali kepada orang-orang yang telah mereka kenal baik dan dapat dipercaya. Sebab mereka telah mendapat ga mbaran, bahwa nyawa Nyai De mang di Kepandak dapat terancam karenanya.
Sementara itu Pa mot dan kawannya bersama Rajab telah pergi ke rumah Ki Jagabaya yang tinggal di sebelah Sungai Opak. Dengan singkat mereka menceriterakan mereka datang ke Kademangan di Pra mbanan. kepentingan
"Apakah Ki De mang di Kepandak tida k datang sendiri" "Ki De mang belum tahu, bahwa Nyai De mang ada di sini. Kami me ncoba meyakinkannya lebih dahulu. Sebenarnyalah apabila benar Nyai De mang ada disini, dan ka mi berhasil me mbebaskannya, kami akan me mbuat Ki De mang terkejut dan bersenang hati" "Aku menjadi tanggungan Ki Jagabaya" berkata Rajab "aku mengenal mereka di perja lanan ke Betawi" "Tetapi kau belum mengenalnya sebelum dan sesudah itu. Kau tidak tahu siapa mereka sebenarnya, dan apa yang mereka lakukan di Kade mangannya" Anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun Rajab ke mudian menyahut "Tetapi aku akan me mpertaruhkan diriku. Aku percaya kepada mereka. Keterangan mereka dapat kami mengerti" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ke mudian ia berkata "Aku harus melihat sendiri, apa yang akan terjadi. Ketenteraman Kademangan ini adalah tanggung jawabku" Sejenak Rajab terdiam. Ditatapnya wajah Pamot, Punta dan kawan-kawannya berganti-ganti. "Kita tidak berkeberatan" berkata Punta kemudian "ma ksud kita baik. Dan Ki Jagabaya kelak akan dapat bertanya langsung kepada Nyai De mang dan kepada Ki De mang di Kepandak"
Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya "Aku pernah mendengar na ma Ki De mang di Kepandak. Ia adalah seseorang yang pilih tanding. Tetapi kenapa ia tidak pergi sendiri mencari isterinya kalau jelas, isterinya ada disini?" "Ka mi ingin me mbukt ikannya lebih dahulu Ki Jagabaya. Tetapi agaknya keadaan telah gawat. Kalau kita menunda karena kita ke mba li me mberitahukan kepada Ki De mang, maka ke mungkinan yang tidak kita harapkan mungkin seka li sudah terjadi. Dan seperti yang sudah ka mi katakan, ka mi akan me mbuat Ki De mang bersenang hati" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Baiklah. Aku akan mengawasi mereka langsung. Barangkali aku akan dapat berbicara dengan mereka " "Berbahaya sekali Ki Jagabaya" berkata Pamot "kalau mereka mengetahui, bahwa tempat persembunyian mereka telah diketahui, mereka akan menjadi mata gelap. Lebih-lebih Ki Reksatani. Dan apabila Ki Jagabaya pernah mendengar nama Ki De mang di Kepandak, maka keduanya adalah saudara kandung dan saudara seperguruan. Keduanya adalah orang-orang yang tidak terlawan" "Jadi bagaimana?" "Kita hanya akan mengawasi. Kalau tidak terjadi sesuatu, kita akan mencari kese mpatan untuk menga mbilnya tanpa diketahui oleh Ki Reksatani. Orang-orang lain yang ada di sekitarnya, sama sekali tidak akan banyak berarti" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan pula. Sedang Rajab berkata "Aku sudah mengirimkan beberapa orang kawan yang bersedia menolong ka mi. Mereka untuk se mentara akan mengawasi rumah itu" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya "Tetapi kalian harus memberitahukan setiap
perkembangan keadaan. Aku harus hadir seandainya terjadi sesuatu" "Baiklah Ki Jagabaya" "Kalau kalian berkata sebenarnya, kami pasti akan me mbantu kalian. Hubungilah bebahu padukuhan Se mbojan. Katakan bahwa ka lian telah menghubungi aku" "Terima kasih" Anak muda itupun segera ke mbali ke Kali Mati. Ketika mereka sa mpai di rumah Rajab, seorang kawannya yang pergi ke Se mbojan telah ada di rumah itu. "Apa yang kau lihat?" "Aku me lihat beberapa orang berkuda. Ada tujuh atau delapan orang. Aku tidak begitu jelas. Tetapi semuanya berada di rumah itu" Dada Pamot serasa akan me ledak karenanya. Terbayang sesuatu yang mengerikan dapat terjadi setiap saat. Tetapi ia masih percaya kepada La mat. Ia mengharap bahwa La mat masih akan berusaha untuk me lindungi, sejalan dengan kepentingan Manguri. Pihak Manguri pasti akan mencegah apabila Ki Reksatani benar-benar telah kehilangan kesabaran dan menganggap Sindangsari terlampau berbahaya bagi rencananya Puntalah yang bertanya "Delapan orang?" "Mungkin lebih dari itu" Punta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Rajab yang mengerutkan keningnya. "Jumlah mereka cukup banyak. Diantaranya terdapat seorang yang bernama Ki Reksatani" desis Rajab "jika demikian apabila terjadi sesuatu, jumlah kitapun harus me madai"
Punta mengangguk-anggukkan kepalanya "Kalau Ki Jagabaya yang memerintahkan, maka dala m waktu sekejab, lebih dari duapuluh orang dapat dikumpulkan" sahut Rajab. "Tetapi tentu makan wa ktu. Bukan sekejap. Dan waktu yang diperlukan itu, sangat berbahaya bagi Nyai De mang di Kepandak" berkata kawan Rajab itu. Rajab mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya ke mudian "Kita mengumpulkan kawan sebanyak-banyaknya. Sepuluh atau dua belas di dua padukuhan ini. Sembojan dan Kali Mati. Di dua padukuhan ini ada sepuluh orang yang ke mbali dari Betawi bersa ma ka mi. Ka mi berharap bahwa ikatan yang ada diantara kami masih tetap utuh. Menegakkan adab adalah perjuangan yang tidak kalah pent ingnya. Apalagi menyela matkan jiwa seseorang. Selebihnya, kawan-kawan pengawal padukuhan ka mi a kan dapat ka mi kerahkan" Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tetapi" berkata Rajab "yang pertama-ta ma kita hubungi, biarlah kawan-kawan yang dapat kita percaya saja. Kalau keadaan tidak me ma ksa, kita tidak akan menggunakan kekerasan" Demikianlah dengan dia m-dia m, padukuhan Kali Mati dan Sembojan menjadi sibuk. Tetapi orang-orang yang tidak berkepentingan sama sekali tidak mengerti apakah yang sedang dilakukan oleh anak-anak mereka. Bahkan kedatangan orang-orang berkuda itupun sa ma se kali tidak menarik perhatian. Mereka hanya memperhatikan mereka sejenak. Kemudian mereka berguma m "Orang-orang itu pasti keluarga orang gila itu. Kasihan. Ternyata keluarganya adalah orang yang agaknya cukup terpandang menilik pakaian dan sikap mereka. Dosa apakah yang telah membebani keluarga yang ma lang itu. Sehingga seorang perempuan yang cantik telah menjadi gila dan mengandung pula. Atau gadis itu gila karena mengandung di luar perkawinan"
Tidak seorangpun yang tahu pasti, apakah jawabnya Penghuni ruma h te mpat Sindangsari disembunyikan itupun tidak pernah mengatakan apa-apa, selain, perempuan itu adalah perempuan gila yang ma lang. Kehadiran beberapa orang berkuda itu, me mbuat hati Sindangsari menjadi se makin kecut. Sejak ia berusaha me larikan diri tetapi gagal, ia mendapat perla kuan yang lebih jelek lagi. Orang yang menungguinya selalu menganca m, menakut-nakuti, bahkan berlaku kasar kepadanya. Tetapi Sindangsari tida k segera mengetahui, siapakah tamu-ta mu berkuda itu. Ia hanya mendengar derap kaki kuda itu. Kemudian beberapa pembicaraan yang tidak begitu jelas, karena ia harus tinggal saja di dalam biliknya yang sempit di ujung bela kang. Namun de mikian hatinya serasa tersayat, apabila ia menyadari bahwa ia kini berada di dala m kekuasaan keluarga Menguri. Setiap saat Manguri akan datang kepadanya, dan ia akan dapat berbuat apa saja. "Lebih ba ik dibunuh saja" berkata Sindangsari di dala m hati "Apakah yang akan terjadi atas diriku, jika Manguri tidak dapat dicegah. Ketika aku menjadi isteri Ki De mang, aku sudah ternoda. Sekarang, apabila ada orang yang menodai a ku lagi, maka a ku tidak akan dapat lagi ke mbali kepada Ki De mang. Aku tidak akan merasa tenang, meskipun karena bukan salahku Ki De mang menceraikan" Tanpa disadarinya, air matanya mulai menit ik dipangkuannya. Dengan lesu ia duduk di bibir pe mbaringan bambu dengan pakaian yang kusut dan rambut yang terurai. Benar-benar seperti seorang perempuan gila. Yang dapat dilakukan oleh Sindangsari da la m keadaan itu adalah berdoa. Satu-satunya harapan yang ada padanya, justru adalah harapan yang tertinggi. Pertolongan dari Tuhan Yang Maha Pe murah dan Maha Penyayang.
Ketika pintu bilik itu terbuka, Sindangsari terperanjat. Dada berdesir tajam sekali. Tetapi ternyata yang dilihatnya adalah Seorang laki-laki berwajah se kasar batu padas. penjaganya.
"Mereka sudah datang" desisnya. Sindangsari menatap orang itu dengan tajamnya. Tetapi ia t idak berkata sepatah katapun. "Sebenarnya aku sudah jemu menunggui kau disini" berkata orang itu. Sindangsari masih tetap dia m. "Sela ma ini kau menyiksa a ku" orang itu menya mbung "cobalah sekarang kau lari lagi. Bukan hanya ka mi disini yang akan mengejarmu. Tetapi orang-orang padukuhan ini pasti akan me mbantu karena mereka menganggapkau seorang perempuan gila" Sindangsari tersentak mendengar kata-kata orang itu. Tetapi ke mudian kepalanya tertunduk lagi. Ia sama seka li tidak ingin orang itu berbicara tentang apa saja. "Ini, ma kanmu" berkata orang itu ke mudian sa mbil me mpersilahkan seorang pere mpuan masuk. "Makanlah Nyai" berkata pere mpuan itu "jangan hiraukan igauan penjaga yang kurang waras itu. Makanlah, supaya badanmu tetap segar dan kau tetap cantik" "Kecantikannya itulah yang telah menyeretnya ke neraka ini" sahut penjaga di muka pintu. "Coba ulangi" desis pere mpuan yang me mbawa makan bagi Sindangsari itu. Tetapi penjaga itu justru terdia m. "Jangan hiraukan orang gila itu" berkata perempuan kepada Sindangsari "yang paling menyiksanya, bukan karena
ia harus duduk di muka bilik ini, atau harus selalu mengawasi pintu itu. Tetapi siksaan yang paling berat baginya, adalah karena kau cantik, muda dan segar. Apalagi pakaianmu tidak mapan, sehingga setiap kali ia selalu saja me mbuka pintu dan mengumpatimu" "O" tiba-tiba saja Sindangsari menyadari keadaan dirinya. Tanpa dikehendakinya sendiri, tangannya telah me mbenahi pakaiannya yang kusut. "Sekarang makanlah Aku sendiri masak untukmu" Sindangsari tida k menjawab. Ketika ma ngkuk-mangkuk makanan itu diletakkan di pe mbaringannya. Sindangsari justru beringsut menjauh. "Kau me mang sukar dikuasai. Tetapi lapar dan haus sama sekali t idak menguntungkan bagimu. Ingat, kau sedang mengandung. Mungkin kau dapat menyakiti dirimu atau me mbunuh diri dengan tidak ma kan berhari-hari. Tetapi kau akan berdosa karena dengan demikian berarti kau sudah me mbunuh anakmu yang masih berada di dala m kandungan" Sindangsari berpaling sejenak. Tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. "Makanlah" desis pere mpuan itu. Sindangsari masih tetap dia m. "Bukan untuk kau sendiri, tetapi untuk anakmu" Dada Sindangsari serasa menjadi retak. Tanpa disadarinya ia meraba perutnya yang menjadi se makin besar. Pada saatnya bayi itu akan lahir. Apakah jadinya apabila ia masih tetap berada di tempat yang sesak dan pengab ini. Tiba-tiba saja Sindangsari terisak. Air matanya meleleh di pipinya yang se makin susut. "Jangan menangis" perempuan itu mencoba menenangkannya "Aku tahu, betapa sakitnya perasaanmu.
Aku juga seorang perempuan. Karena itu. sebaiknya kau menerima kenyataan ini dengan hati yang lapang. Kau tidak akan dapat ingkar lagi. Dengan demikian kau tidak akan merasa tersiksa sepanjang umurmu" Tangis Sindangsari justru menjadi se makin keras. "Nyai De mang" berkata perempuan itu "Mula-mula akupun berontak terhadap keadaanku. Ketika orang tuaku me mberitahukan bahwa a ku dipinang oleh seorang laki-la ki yang me mpunyai anak laki-la ki sebesar aku, dan bernama Manguri, aku hampir pingsan. Tetapi ayah dan ibuku me mpunyai banyak hutang kepadanya. Karena itu aku harus menerima nya Namun la mbat laun a ku menjadi biasa. Aku menerima keadaan ini dengan hati terbuka, meskipun aku tahu, bahwa aku adalah isterinya yang kesekian kalinya, bahkan barangkali a ku sudah tidak mendapat angka lagi. Sindangsari sa ma sekali tida k menyahut. "Tetapi apabila kita dapat menyesuaikan diri, kita akan justru mene mukan kesenangan. Setiap kali aku ditinggal sendiri karena sua miku pulang ke rumahnya di Kepandak" lalu perempuan itu berbisik "Tetapi aku tida k mau kesepian. Aku dapat berbuat apa saja asal tidak diketahui orang, supaya kami t idak dihukum raja m atau yang lebih pahit, diasingkan dari pergaulan. Tetapi orang yang menghukum itupun dengan dia m-dia m melakukannya pula " ke mba li ia terdia m, la lu "Nah, karena itu, pandanglah dunia ini apa adanya. Kau harus berani me lihat yang paling kotor sekalipun supaya kau dapat menimbang keadaanmu" Detak jantung Sindangsari seakan-akan menjadi se makin cepat berdetak. Sekilas terbayang kembali bagaimana Nyai Reksatani telah me mbujuknya, untuk mene mui seorang anak muda yang ha mpir saja menerka mnya seperti seekor harimau yang mendapatkan seekor anak domba yang tersesat.
Dan tiba-tiba saja Sindangsari menelungkup sa mbil me nangis.
menjatuhkan dirinya, "Jangan menangis. Jangan menangis. Tangis tidak akan ada artinya bagimu di dala m keadaan yang demikian" berkata perempuan itu "makan saja lah. Makanlah" Tetapi Sindangsari sa ma sekali tidak mendengarnya. Ia masih saja menangis dan terisa k. "Dengarlah" berkata perempuan itu berbisik di telinganya "Manguri sudah datang. Ia akan segera mengawanimu di dalam bilik yang sempit ini. Terimalah kenyataan itu. Carilah kegembiraan pada setiap keadaan yang bagaimanapun juga" Perempuan itu tidak menunggu Sindangsari berhenti menangis. Ditinggalkannya saja mangkuk-mangkuk berisi makanan itu di amben yang seakan-akan diguncang-guncang oleh isa k Sindangsari. Ketika pere mpuan itu sudah pergi, maka penjaga yang berada di pintu, perlahan-lahan mendorong daun pintu itu. Tetapi sebelum tertutup rapat, ia menjengukkan kepalanya sambil berkata "Jangan menangis. Kau dengar, Manguri sudah ada disini" Sindangsari masih tetap menangis ketika pintu itu berderit dan ke mudian tertutup rapat. Di ruang depan rumah itu, beberapa orang laki-laki duduk berkeliling diatas sehelai tikar. Ki Reksatani, Manguri, Ayah Manguri dan beberapa orang lagi. Sedangkan orang-orang yang lain berada di hala man, duduk di bawah batang pepohonan yang rindang. Di ujung gandok La mat duduk bersandar tiang sambil me mandang kekejauhan. Meskipun matanya separo terpejam, tetapi di dala m dadanya telah terjadi gejolak yang semakin dahsyat. Di tempat itu ia seakan-akan hanya seorang diri dikelilingi oleh serigala-serigala yang liar. Di pendapa Manguri dan Ki
Reksatani adalah dua orang iblis yang buas, meskipun kepentingan mereka berbeda-beda. Tetapi La mat tidak menjadi ce mas seandainya Ki Reksatani akan melakukan rencananya segera, seandainya ia benarbenar ingin me mbunuh Sindangsari. Seandainya demikian, maka La mat masih melihat, kemungkinan untuk menyela matkannya. Karena dengan demikian pasti akan terjadi benturan antara Ki Reksatani dan Manguri. Menurut perhitungan La mat, kekuatan mereka masih dapat dianggap seimbang, seandainya ia mampu me lawan Ki Reksatani, atau setidak-tidaknya, mengikatnya dala m perkelahian tersendiri. Tetapi apabila yang terjadi Mangurilah yang akan me lakukan rencananya, maka ia pasti akan kebingungan, Kalau ia me ncegah tanpa alasan yang masuk akal, sehingga Manguri tidak a kan mengurungkan niatnya, apakah yang akan dilakukan" Kalau ia me maksa kan dengan kekerasan, me lindungi Sindangsari, ma ka pasti akan terjadi benturan pula. Tetapi ia akan berdiri sendiri. Bahkan Ki Reksatanipun pasti akan berpihak kepada Manguri. Lamat me narik nafas dala m-dala m. "Melawan Ki Reksatani seorang diripun aku belum tahu, apakah aku akan dapat bertahan. Apalagi apabila aku berdiri sendiri, sedang Ki Reksatani berada di pihak Manguri dan orang-orangnya yang lain" berkata La mat di dala m hatinya. Tetapi La mat tidak dapat mera malkan, apakah yang akan segera terjadi di rumah itu. Di ruang depan Ki Reksatani sedang mendengarkan beberapa keterangan mengenai Sindangsari. Ia mengerutkan keningnya ketika ia mendengar ceritera, bahwa Sindangsari pernah mencoba melarikan diri, sehingga beberapa orang terpaksa mengejarnya. "Itu berbahaya sekali" berkata Ki Reksatani "ia dapat berkata apa saja yang dikehendaki, berteriak-teriak
me manggil-ma nggil dan menyebut-nyebut namanya dan nama orang-orang yang dikehendakinya itu" "Sindangsari me mang berteriak-teria k. Tetapi atas kehendaknya sendiri, ia selalu menyebut-nyebut ibu, kakek dan nenek, Tidak ada orang lain yang disebut na manya" jawab ayah Manguri. Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepa lanya. Namun sebenarnya di dalam dadanya telah terjadi pergolakan pula. Baginya, hal itu sangat berbahaya. Kalau suatu ketika Sindangsari menyebut na ma De mang di Kepandak atau nama orang-orang Ge mulung, maka rahasianya akan segera dapat diketahui orang. Tetapi Ki Reksatani belum menyatakan kece masannya. Bahkan ke mudian iapun menarik nafas dalam-dala m ketika ayah Manguri berkata "Tetapi setiap orang di sekitar rumah ini menganggapnya ia seorang perempuan gila. Kami sengaja mengatakan, bahwa perempuan itu adalah pere mpuan gila. Itulah sebabnya, maka tidak banyak orang yang menaruh perhatian kepadanya. Kedatangan kalianpun tidak menarik perhatian pula. Kami selalu mengatakan, bahwa keluarga kami yang jauh, akan berdatangan untuk menengok pere mpuan gila ini. Ka mi disini menyebutnya sebagai adik isteriku" "Isterimu?" bertanya Ki Reksatani. "Ya, isteriku" Ki Reksatani mengerutkan keningnya. Tetapi ia sudah mendengar bahwa Ki Sukerta me mpunyai banyak isteri dimana-mana, sehingga iapun segera mengerti, bahwa perempuan yang tinggal di rumah itu adalah isterinya yang kesekian. Meskipun de mikian, ia masih tetap me mbayangkan ke mungkinan-ke mungkinan yang pahit yang dapat terjadi kalau Sindangsari masih hidup, apalagi apabila bayinya kelak lahir dan menjadi besar. Tetapi Ki Re ksatani masih belum akan
menga mbil kesimpulan apapun. Ia masih akan me mpelajari keadaan dengan saksa ma. Bahkan ia tidak juga ambil pusing apa yang akan dilakukan Manguri. Baginya apa saja yang akan terjadi, tidak akan berpengaruh atas keputusan manapun yang akan dia mbilnya. Sehingga dengan de mikian, seolah-olah Ki Reksatani acuh tidak acuh saja kepada keadaan di rumah itu. Ia mengangkat wajahnya ketika ayah Manguri bertanya "Setelah kau melihat keadaan pere mpuan itu, apakah yang akan kau lakukan" Me mbiarkan perempuan itu disini, atau kau me mpunyai pendapat lain, misalnya, dalam waktu singkat harus segera dipindahkan lagi" Seandainya menurut pertimbanganmu, Sindangsari harus segera dipindahkan, aku tidak akan mene mukan kesulitan apa-apa. Isteriku di segala tempat pasti tida k akan berkeberatan, seandainya aku me mbawa menantuku itu ke rumahnya" "Ia belum menantumu" desis Ki Reksatani. Ayah Manguri tertawa "La mbat laun" Ki Reksatani tidak menyahut. Tetapi ia menggeram di dalam hatinya "Kalau a ku berkeputusan lain, ia tida k akan menjadi menantumu untuk sela ma-la manya. Bahkan kau akan kehilangan anakmu dan kau sendiri" Oleh kata hatinya itu Ki Reksatani mengerutkan keningnya. Dan ia berkata kepada diri sendiri seterusnya "Jika de mikian apakah aku harus me mbunuh sekian banyak orang" Manguri, ayahnya, Sindangsari dan bayi di dalam kandungan, ke mudian sudah tentu raksasa yang dungu itu beserta pengikutpengikutnya yang mengetahui apa yang sudah terjadi disini" Terasa rambut di seluruh tubuh Ki Reksatani mere mang, Namun ke mudian ia merapatkan giginya sambil berkata di dalam hati "Persetan. Aku sudah terlanjur basah. Kenapa aku tidak mandi sa ma sekali. Aku tidak peduli, berapa banyak
orang yang harus mati. Bahkan seluruh isi Kade mangan Kepandak sekalipun" Dada Ki Reksatani itu seolah-olah bergetar karenanya. Namun ke mudian timbul pertanyaan "Bagaimana dengan pengikut-pengikut Manguri yang tidak ikut serta di tempat ini" Apakah aku harus me mbunuhnya pula?" Pertanyaan itu melingkar-lingkar di da la m hatinya, sehingga pada suatu saat ia mene mukan jawaban "Tidak perlu. Mereka tidak mengetahui apa yang terjadi. Seandainya mereka me mbuat ceritera tentang hilangnya Sindangsari, tidak akan ada orang yang akan me mpercayainya. Apalagi karena Manguri menghilang. Akulah yang akan menyebarkan ceritera, bahwa Manguri telah lari me mbawa Sindangsari" Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia terkejut ketika tiba-tiba saja ayah Manguri bertanya "Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu" Ki Reksatani menjawab asal saja terloncat dari bibirnya "Untuk se mentara sudah cukup" "Baiklah. Kalau begitu, biarlah untuk se mentara ia disini. Dan bagaimana dengan kau dan orang-orangmu" Kalau ka lian tidak berkeberatan kalian juga dapat bermala m disini. Tetapi sudah tentu tempat yang dapat ka mi sediakan terla mpau sederhana" Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepalanya "Sudah cukup. Bagi ka mi, tidur dima napun tidak ada bedanya, kami adalah orang-orang ladang. Agaknya memang lain dengan para pedagang yang biasa hidup mewah" "Kau keliru. Pedagang seperti aku adalah pedagang keliling. Kadang-kadang ka mi harus berhenti disembarang tempat dan kamipun tidur dimanapun juga" "Tetapi dimanapun juga kau me mpunyai seorang isteri"
"Ah" ayah Manguri tertawa. Sekilas dilihatnya wajah anaknya yang menjadi ke merah-merahan. Tetapi Manguri tida k mengucapkan sepatah katapun menanggapi kela kar Ki Reksatani yang menyakitkan hatinya sebagai seorang anak. Terbayang perbuatan laki-laki itu di rumahnya di saat-saat ayahnya tidak ada. Tidak ubahnya seperti ayahnya di perjalanan. Untuk menghindarkan diri dari pe mbicaraan yang baginya me mua kkan itu tiba-tiba saja ia berkata "Ayah. Apakah aku diperkenankan menengok Sindangsari?" Ayahnya mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Ki Reksatani sejenak. Tetapi Ki Reksatani seakan-akan acuh tidak acuh saja atas permintaan Manguri itu. Ia sudah menga mbil sikap, bahwa apapun yang dilakukan oleh Manguri tida k akan berpengaruh kelak terhadap keputusan yang manapun yang akan dijatuhkan atas Sindangsari. "Bagaimana ayah" "Terserahlah kepada mu" berkata ayahnya "tetapi hatihatilah. Ia masih saja berusaha melarikan dirinya atau berbuat hal-hal yang dapat menimbulkan persoalan, meskipun agaknya kini telah dapat dibatasi. Orang-orang di sekitar rumah ini menganggapnya perempuan gila, sehingga seandainya ia berteriak-teriak, tidak akan ada orang yang me mperhatikannya. Manguri mengangguk-anggukkan "Baiklah. Aku a kan berhati-hati" kepa lanya. Katanya
Manguripun ke mudian meninggalkan ruang depan turun ke halaman. Ia menga mbil jalan lewat longkangan samping menuju ke bilik di ujung be lakang. Dada La mat yang melihat Manguri lewat berdesir karenanya. Tetapi tanpa disadarinya iapun berdiri dan me langkah me ngikuti.
Lamat me ngerutkan keningnya ketika Manguri berhenti, Sambil me ma ndang La mat dengan taja mnya ia bertanya "Kau akan ke mana?" Lamat bingung sejenak. Tetapi ia ke mudian menjawab "Te mpat ini adalah te mpat yang berbahaya. Kita tidak tahu apa yang tersimpan disini. Dimana bercampur baur orangorang yang tidak sependirian" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa bertanya apapun lagi, iapun kemudian meneruskan langkahnya, dan me mbiarkan La mat mengikutinya di belakang, meskipun ia tidak begitu senang karenanya. Namun alasan La mat itu dapat dimengertinya. Di muka bilik di ujung belakang, ia berhenti sejenak. Ada dua orang yang menjaga Sindangsari. Di pintu butulan seorang dan di pintu dala m seorang. Manguri termangu-mangu sejenak. Dadanya menjadi berdebar-debar Ternyata Sindangsari tidak lebih dari seorang tawanan yang dijaga sebaik-baiknya. "Apakah untuk sepanjang hidupnya aku harus mengupah orang untuk menjaganya" Dan apakah pada suatu saat penjaga-penjaga laki-la ki itu masih juga dapat dipercaya?" pertanyaan itu timbul di da la m hatinya. Manguri yang termangu-mangu itu terkejut ketika salah seorang penjaganya itu menyapanya "Nah, marilah. Silahkan" Manguri mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia me langkah maju Dan penjaga itu berkata pula "Sebenarnya aku sudah je mu duduk disini menunggui Nyai De mang di Kepandak" "Sst" desis Manguri. "Tida k ada yang mendengar" "Apakah kau tidak pernah mendapat giliran"
"Ya. Sehari aku bertugas menjaga inya. Dua orang. Kemudian bergantian dua orang yang lain. Ayahmu juga ikut bergantian dengan kami apabila ia sempat, seperti di saat-saat yang gawat, sedang seorang kawan kami tidak ada disini. Seorang penghuni rumah ini telah me mbantu ka mi pula, kadang-kadang ikut menggantikan ka mi disini" Manguri mengangguk-angguk. "Kalau ada pekerjaan lain, aku lebih senang melakukan tugas yang lain. Mengantar ternak meskipun melewati daerahdaerah yang berbahaya" "Kau akan segera bebas dari tugasmu yang tidak kau sukai ini" "Terima kasih. Aku benar-benar tersiksa disini. Aku tidak tahu, yang manakah yang paling tersiksa, diantara kami. Yang dijaga atau justru yang menjaga. Manguri tidak menjawab. "Apalagi di dala m bilik ini terdapat seorang perempuan yang cantik, yang sudah tidak sampai menghiraukan dirinya sendiri, termasuk paka iannya. "Tutup mulut mu" Manguri menggera m. Orang itu menarik nafas dalam-dala m. Tanpa disadarinya di pandanginya wajah Lamat yang berdiri di bela kang Manguri. Tiba-tiba saja penjaga itu menundukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa tangan raksasa itu dapat mere mukkan tulang-tulangnya. "Aku ingin melihatnya" desis Manguri ke mudian sa mbil me langkah ke pintu. "Silahkan" Sejenak Manguri ragu-ragu berdiri di muka pintu yang tertutup. Lamatpun berdiri dengan ce masnya di sa mpingnya. "Kau disini La mat" desis Manguri. La mat menganggukanggukkan kepalanya.
"Awasilah keadaan" Sekali lagi La mat mengangguk. Dengan ragu-ragu Manguri me mbuka pintu perlahan-lahan. Ketika pintu itu terbuka sedikit, maka iapun menjengukkan kepalanya, me mandang ke dala m bilik itu. Manguri terkejut melihat keadaan Sindangsari, Ia menelungkup sambil menangis. Sedang di pembaringannya terdapat beberapa buah mangkuk berisi ma kanan. Bahkan ada pula mangkuk-ma ngkuk yang terguling di lantai dan isinya tumpah ruah. Dengan dada yang berdebar-debar Manguri menarik daun pintu se makin lebar, dan perlahan-lahan pula ia me langkah masuk. Ketika pintu itu ke mudian tertutup lagi, La mat mengatupkan giginya rapat. Ia sadar, bahwa sesuatu dapat me ledak pada saat itu. Mungkin ia harus bertindak. Mungkin ia dapat menyela matkan Sindangsari, tetapi mungkin ia justru terbunuh karenanya. Setelah ia mati, apapun dapat terjadi atas Sindangsari. Sekilas me lintas di kepala La mat, Pamot bersama beberapa anak-anak muda di Ge mulung telah ada di sekitar rumah itu. "Kalau mereka ada di sini" berkata La mat "mungkin aku dapat berbuat sesuatu. Tetapi kalau tidak, entahlah. Aku tidak dapat mera malkan" Dala m pada itu Manguri mendekati pe mbaringan Sindangsari perlahan-lahan. Hatinya menjadi sema kin berdebar-debar Pantaslah kalau tetangga-tetangga yang pernah melihat Sindangsari menyangkanya orang gila, karena Sindangsari sa ma sekali tidak se mpat lagi menghiraukan dirinya sendiri. Perlahan-lahan Manguri ke mudian me manggilnya "Sari, Sindangsari"
Meskipun suara Manguri tidak begitu keras, tetapi suara itu langsung menyentuh dada Sindangsari. Ia tidak biasa mendengar panggilan itu sehari-hari. Dan t iba-tiba kini ada seseorang yang me manggil na manya. Perlahan-lahan pula Sindangsari mengangkat wajahnya. Kemudian dengan ragu-ragu ia berpaling. Tiba-tiba saja Sindangsari berteriak ketika ia melihat Manguri berdiri ditepi pe mbaringannya "Pergi. Pergi, pergi kau" Manguripun terkejut Sejenak ia tida k tahu apa yang akan dilakukannya. Sementara itu Sindangsari masih berteriak "Pergi, pergi atau bunuh a ku" Manguri menjadi bingung. Ia ce mas kalau suara Sindangsari mengejutkan tetangga-tetangga meskipun tidak terlampau de kat. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah mencoba menutup mulut Sindangsari. Tetapi Sindangsari meronta sehingga mangkuk-mangkuk yang ada di pembaringannya berserakan. "Pergi " Manguri yang menjadi se makin bingung tida k sempat berpikir lagi. Dengan serta-merta dibungka mnya mulut Sindangsari. Betapapun juga perempuan itu meronta-ronta, namun ternyata tangan Manguri lebih kuat dari tenaga Sindangsari. "Jangan berteriak-teriak" gera m Manguri "atau aku cekik kau sa mpai mati" Sindangsari t idak dapat menjawab, karena tangan Manguri menutup mulutnya erat-erat. Namun justru dengan de mikian pa kaian Sindangsari menjadi se makin kusut. Rambutnya terurai menutup sebagian wajahnya. Tangannya yang menggapai-gapai sama sekali tidak berdaya untuk me lepaskan diri"
"Kau harus sadar bahwa tidak ada gunanya berteriakteriak. Aku dapat berbuat apa saja. Mengerti?" Sindangsari sa ma sekali tidak menjawab. Tetapi justru ia mulai meronta-ronta lagi. Manguri masih tetap me mbungka m mulutnya. Tangannya me lingkar di bela kang kepala Sindangsari, sedang tangannya yang lain menahan gerak tangan Sindangsari yang masih saja selalu mencoba melepaskan diri. "Jangan berbuat begitu" Manguri menjadi se makin kasar "kau akan menyesal. Kandunganmu akan terganggu" Tetapi Sindangsari sudah tidak dapat berpikir tentang apapun juga. Tentang dirinya sendiri, tentang kandungannya dan tentang pakaiannya, ia masih saja menggeliat dan meronta. Bahkan ke mudian dengan tiba-tiba saja ia me mbuka mulutnya dan menggigit tangan Manguri. Manguri tangannya. terkejut. Dengan serta-merta ditariknya
Sindangsari yang sedikit terlepas itu berusaha bangkit berdiri dan berlari menjauh. Tetapi Manguri se mpat menangkap ujung bajunya, sehingga justru bajunya sobek karenanya. Sindangsari tida k se mpat lari lagi. Tangan Manguri yang kuat telah menyumbat mulutnya pula. "Duduk" Manguri menjadi se makin kasar "ingat. Aku dapat berbuat baik tetapi dapat berbuat kasar. Aku dapat memukul tengkukmu sehingga kau menjadi pingsan. Aku dapat me mbunuhmu dan aku dapat berbuat menurut keinginanku" Tidak ada jawaban, karena mulut Sindangsari sudah terbungkam lagi. "Dengar" gera m Manguri "a ku akan me lepaskan mulut mu, dan
aku akan pergi keluar. Tetapi kalau kau berteriak lagi, aku akan berbuat apa saja menurut ke inginanku. Aku tida k peduli lagi kepada orang lain di se kitar bilik ini. Kau tahu" Tidak ada jawaban. "Ingat. Kau tidak berdaya apapun disini "Perlahan-lahan Manguri me lepaskan mulut Sindangsari. Agaknya Sindangsari menyadari keadaannya. Karena itu, ia tidak berteriak lagi. Ketika Manguri melepaskannya sama sekali perlahan-lahan ia me langkah surut. "Kau jangan benar-benar menjadi gila meskipun orang di sekitar rumah ini me mang menganggapmu gila. Kau mengerti?" Sindangsari tida k menjawab. Ketakutan yang luar biasa me mbayang di wajahnya yang pucat. Bibirnya yang menjadi biru bergetar, tetapi tidak sepatah katapun yang diucapkan. "Sindangsari" berkata Manguri "masih ada waktu bagimu untuk menilai keadaanmu. Kau tidak akan dapat ke mbali ke Kepandak. Kau tidak akan dapat ke mba li kepada Pamot. Mungkin pada suatu saat kau dapat melarikan diri. Tetapi mereka tidak a kan dapat menerima mu ke mbali, karena kau tidak sebersih pada saat kau meninggalkan Kepandak lagi. Kau tahu maksudku" Karena itu, sebaiknya kau menerima kenyataanmu, seperti pada saat kau direnggut dari tangan Pamot oleh Ki De mang di Kepandak. Agaknya kau sudah berhasil me la mpaui kesulitan perasaanmu, sehingga kau justru mengandung karenanya. Dengan demikian, kau tidak akan banyak mengala mi kesulitan apabila kau harus mengulanginya sekali lagi, menyesuaikan diri dengan kenyataan yang kau hadapi sekarang ini" Kata-kata Manguri itu bagaikan ujung se mbilu yang langsung menusuk jantungnya. Betapa sakitnya, betapa pedihnya. Betapa harga dirinya sebagai seorang perempuan sudah direndahkannya, bahkan diinjak-injaknya.
Betapapun juga hatinya serasa menggelegak, tetapi tidak sepatah katapun yang diucapkannya. Wajahnya menjadi semakin pucat, bibirnya me mbiru dan bergetar, sedang tubuhnya menggigil seperti orang yang kedinginan. Manguri me mandang pere mpuan itu sejenak. Ke mudian katanya "Aku akan keluar. Benahilah pakaianmu. Mungkin ada orang lain yang me masuki ruangan ini. Bukan aku" Kata-kata itu membuat dada Sindangsari berdesir. Dan tiba-tiba saja iapun menjatuhkan dirinya diatas pembaringannya mene lungkupkan diri. Perlahan-lahan Manguri me langkah keluar. Di depan pintu ia berpaling. Ia berdiri termangu-mangu sejenak. Na mun ke mudian ia me langkah terus. Lamat menarik nafas dalam-dala m ketika ia mendengar pintu bergerit. Sejenak ke mudian Manguri me langkah keluar. Keringatnya menge mbun di dahi dan keningnya. Sejenak ia berpaling kepada penjaga yang duduk bersandar tiang di depan La mat yang berdiri tegak "Aku t itipkan perempuan itu kepada mu, keselamatannya dan perawatan secukupnya" Penjaga itu mencobanya" menganggukkan kepa lanya "Aku akan
Manguri mengerutkan keningnya. Namun ke mudian iapun me langkah pergi meninggalkan bilik itu. Namun justru setelah ia mene mui Sindangsari, wajah perempuan yang pucat itu selalu me mbayanginya. Dalam keadaan yang kusut, dengan rambut yang terurai, Sindangsari tampak me njadi sema kin cantik. Manguri menga mbil nafas dalam-dala m. Keputusannya menjadi se makin mantap. Katanya di dala m hati "Aku harus me ma ksakan kenyataan itu sehingga Sindangsari kehilangan segala keinginan untuk lari"
Demikianlah, maka bayangan mala m la mbat laun mulai menyaput langit. Sema kin la ma menjadi se makin rendah. Warna merah di bibir awan mulai menjadi pudar. Satu-satu kelelawar mulai berterbangan di udara yang kela m. Berputar-putar kemudian menukik menyambar seekor mangsanya dipepohonan. Di rumah isteri muda yang kesekian dari ayah Manguri itu mulai menjadi se makin sepi. Tanpa diatur terlebih dahulu, orang-orang yang ada di halaman rumah itu telah me mbagi dirinya. Orang Manguri dan orangorang Ki Reksatani Meskipun kadang-kadang satu dua diantara mereka ada juga saling berbicara, tetapi kemudian helai tikar sudah dibentangkan di ruang depan. Se mentara kuda-kuda mereka meringkik di ha la man. Hanya lamatlah yang selalu menyendiri. Kadang-kadang ia mengikut i saja kemana Manguri pergi, seolah-olah ia benarbenar mence maskan kesela matannya di daerah yang kurang dimengerti ini. Tetapi apabila Manguri ke mudian duduk bersama ayahnya dan Ki Reksatani, maka La matpun ke mudian duduk di tangga. "Padukuhan ini terlampau sepi" berkata ayah Manguri kepada Ki Reksatani. "Ya. Padukuhan ini sudah berada di pinggir hutan, meskipun bukan hutan yang lebat" "Hutan perburuan. Hutan itu seolah-olah disediakan bagi mere ka yang senang berburu" sengaja
"Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepa lanya. Tetapi ia tidak begitu tertarik pada hutan itu. Pikirannya masih juga mereka-reka apa yang sebaiknya dila kukan dala m waktu yang dekat. "Kalau kau lelah, tidurlah" Ki Reksatani mengangguk. Ia lebih senang berbaring sambil merenung daripada harus me ndengarkan kata-kata ayah
Manguri. Na mun de mikian ia masih juga bertanya "Padukuhan ini me mang sepi. Tetapi kenapa kau sampai juga di te mpat yang sepi ini di dala m perjalanan dagangmu. Apakah di padukuhan terpencil ini ada juga orang yang membeli ternak dalam jumlah yang menguntungkan bagi perdaganganmu" "Mereka tidak me mbeli, tetapi mereka justru menjual. Aku datang ke padukuhan-kepadukuhan kecil untuk me mbe li ternak dengan harga yang agak murah, dan untuk mendapatkan isteri-isteri muda" Ki Reksatani mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab apapun. Sejenak keduanya tidak mengatakan apaapa. Mereka merenungi angan-angan di dala m dada masingmasing. Sedang Manguri yang duduk bersa ma merekapun menjadi je mu. "Aku akan beristirahat" katanya kemudian. "Aku juga " sahut Ki Re ksatani. "Silahkan. Kalau begitu a kupun akan tidur juga " Merekapun ke mudian meninggalkan tempat masingmasing. Ki Reksatani perlahan-lahan melangkah mendekati orang-orangnya dan duduk diantara mereka yang sudah berbaring diatas tikar. Tetapi Ki Re ksatani tidak me ngatakan sepatah katapun. Orang-orangnyapun tidak menegurnya. Mereka sudah mulai terkantuk-kantuk setelah parjalanan yang cukup me lelahkan sejak sebelum fajar. Dala m pada itu Manguri tidak segera pergi mendapatkan ayahnya yang sudah berbaring pula. Tetapi ia pergi ke regol halaman diikut i oleh La mat. "Apakah kau akan pergi?" bertanya Lamat. Manguri menggelengkan kepa lanya "Tidak" Lamat tidak bertanya lagi. Dipandanginya saja Manguri yang kemudian berdiri di tengah-tengah pintu regol hala man
yang rendah, seperti orang yang sedang mencari sesuatu ia me mandang ke segala arah. Tetapi La mat yang berdiri beberapa langkah di be lakangnya, sama seka li tidak bertanya apapun. Menguri yang berdiri termangu-mangu itu me mandang sinar pelita rumah tetangga yang agak berjauhan letaknya: Seberkas sinar yang menembus lubang dinding jatuh diatas dedaunan di hala man. Manguri menarik nafas dala m-dala m. Lamat yang berdiri di belakangnya melihat anak muda itu menjadi gelisah. Bahkan kadang-kadang terdengar ia berdesah. "Apakah orang-orang didalarn rumah itu sudah tidur?" tibatiba saja Manguri bertanya. Lamat heran mendengar pertanyaan itu, sehingga iapun menjawab "Aku tidak tahu. Tetapi lampu-la mpu di rumah itu masih terang. Aku kira masih ada diantara mereka yang terbangun" Manguri menarik nafas dalam-da la m. Ketika ia berpaling, dilihatnya ruang depan rumah isteri muda ayahnya itu sudah sepi. "Kenapa mereka be lum tidur?" ia bertanya kepada La mat. Lamat me nggeleng "Aku tidak tahu" Manguri masih saja berdiri di regol. Bahkan ke mudian ia me langkah ke jalan di depan regol itu. Dicobanya melihat ke arah yang jauh di sepanjang jalan. Tetapi jalan yang seakanakan menghunja m ke da la m gelap itu sa ma sekali tidak berkesan apapun kepadanya, selain sepi. Manguri mengerut kan keningnya. Dipandanginya bayangan di dala m kegelapan. La mbat laun iapun dapat mengenalinya,
sehingga tanpa sesadarnya ia berdesis "O, ibu, e, maksudku bibi" "Ya" sahut suara itu "siapakah yang kau tunggu" "Tida k ada" Bayangan itu melangkah mendekatinya, lewat beberapa jengkal di sa mping La mat. "Apakah kau tida k ingin me ne mani ba kal isterimu itu?" bertanya perempuan itu "agaknya ia me njadi terla mpau kesepian" Dada Manguri berdesir. Dan pere mpuan itu berkata seterusnya "Cobalah. Tetapi bersikaplah sebaik-baiknya. Jangan terlampau kasar. Perempuan itu adalah perempuan yang berlebih senang hanyut di dala m dunia angan-angan, harapan dan cita-cita daripada dunia yang sedang diinjaknya kini. Itulah sebabnya ia selalu bermimpi tanpa menghiraukan kenyataan yang dihadapinya" Manguri mengerutkan keningnya. "Kalau kau ingin mene muinya, marilah, aku antarkan" Manguri ragu-ragu sejenak. Na mun ke mudian ia berkata "Aku ragu-ragu. Kalau ia menjerit, maka suaranya akan mengejutkan tetangga di ma la m hari" "Mereka menganggap pere mpuan itu gila" "Tetapi mereka akan muak mendengar teriakan siang dan ma la m di rumah ini. Dan mereka akan me maksa kau menyingkirkannya" Perempuan itu tertawa. Katanya "Kalau begitu, kaulah yang harus berhati-hati. Jangan me mbuatnya terkejut, takut dan mua k me lihat mu. Hati-hatilah. Marilah, aku antarkan kau" Manguri ragu-ragu sejenak. dipandanginya ruang depan yang sepi. Tanpa sesadarnya
"Ayahmu ada di da la m. Aku sudah mendapat ijinnya" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. masih tetap ragu-ragu. Tetapi ia
"Marilah" pere mpuan itupun melangkah maju mendekati Manguri. Sebelum Manguri menjawab, perempuan itu sudah menarik tangannya sa mbil berkata "Cepatlah sedikit" Manguri tidak dapat melawan lagi. Iapun kemudian me langkah me ngikuti ibu tirinya ke hala man belakang. Lamat yang berdiri keheran-herananpun ke mudian me langkah pula mengikuti mereka. Tetapi ibu tiri Manguri itu ke mudian berkata "Sudahlah, biarlah Manguri pergi sendiri. Tidak pantas kau berada di dekat bilik itu. Akulah yang akan mene maninya" Langkah La matpun tertegun. Dipandanginya Manguri yang berpaling pula. "Biarlah pengawalmu itu di hala man depan. Biarlah ia tidur bersama yang la in" Manguri t idak se mpat menjawab, Sekali lagi ibu tirinya menarik tangannya ke dala m gelap. La mat masih berdiri termangu-mangu di tempatnya. Tetapi ia t idak ma ju lagi. Manguri terpaksa mengikuti saja tarikan tangan ibu tirinya. Anak muda itu langsung dibawa ke bilik Sindangsari lewat pintu butulan. Perlahan-lahan La mat masih mendengar perempuan itu berkata "Jangan terlampau kasar. Sekeras-batu akik sekalipun, la mbat laun akan lekuk juga oleh air yang menilik, setitik-titik tetapi terus menerus. Kau mengerti" Kalau sekaligus kau le mparkan ke dala m banjir bandang, ma ka batu itu akan lenyap dan hilang untuk sela ma-la manya. Kau mengerti?" Tidak terdengar jawaban Manguri. Na mun merekapun ke mudian me lewati longkangan dan sampa i ke depan pintu
butulan yang dijaga oleh seorang penjaga yang dengan ma lasnya duduk bersandar pintu itu. "Bukalah" desis pere mpuan itu. Lamat yang tidak sampa i hati melepaskan Sindangsari di luar pengawasannya, diam-dia m merayap mendekat di dalam kegelapan, Ia kini justru dapat melihat dan mendengar pembicaraan mereka lebih jelas. "Marilah" bisik perempuan itu. La lu "Akulah yang akan mengatakannya. Kau jangan terburu nafsu" Manguri tida k menjawab. Ia berdiri saja di belakang ibu tirinya seperti anak-anak yang berse mbunyi di balik ibunya. Penjaga yang duduk bersandar pintu itu berdiri tertatihtatih. Sekali ia menguap, ke mudian tangannya mulai bergerak mengangkat selarak. Perlahan-lahan pintupun ke mudian terbuka. Seberkas sinar me loncat keluar. Tetapi kedua orang yang melangkah me masuki ruangan itu terkejut. Mereka me lihat Sindangsari me me gangi la mpu minyak yang dinyalakan besar-besar. "Kenapa kau pegangi la mpu itu?" bertanya ibu tiri Manguri "Apakah tidak ada ajug-ajug atau bancik di dala m bilik ini" Sindangsari me mandangi orang-orang yang masuk itu sejenak. Dibayanginya wajahnya dengan telapak tangannya karena silau. Ketika ia mendengar suara perempuan, maka iapun menjadi agak tenang. Tetapi ke mudian ia me lihat Manguri di bela kang pere mpuan itu. Karena itu, maka katanya "Pergi, pergi dari bilik ini" "Tunggulah" berkata ibu tiri Manguri "ka mi tidak akan berbuat apa-apa. Aku ingin berbicara dengan kau sejenak dan dengan Manguri. Aku tahu, hubungan apakah yang ada di
antara kalian. Hubungan yang sa mpai saat ini masih samarsamar. "Tida k. Tidak" potong Sindangsari "ka lau kalian tidak pergi, aku akan berteriak " "Tida k ada gunanya. Kalau kau berteriak, maka dada mu akan sakit. Tetangga kita disini akan muak kepada mu dan mereka a kan dapat kita hasut untuk berbuat apa saja. "Itu lebih ba ik" "Jangan begitu. Jangan menjadi putus asa. Itulah sebabnya aku ingin berbicara sedikit" "Tida k ada yang dibicarakan Kalau kau a kan berbicara, berbicaralah. Tetapi suruh orang itu ke luar" Ibu tiri Manguri berpaling kepadanya sejenak. Tetapi ke mudian ia tersenyum "Jangan begitu. Aku ingin berbicara dengan kalian berdua, aku menjadi jaminan, bahwa tidak akan terjadi sesuatu tanpa kau kehendaki" "Tida k, tidak" "Jangan keras hati" "Pergi, pergi" "Sebaiknya kau mendengar kata-kataku "lalu ia berpaling kepada Manguri "ke marilah. Biarlah untuk se mentara Singandangsari menola k. Tetapi ia akan mendengar katakataku, dan ia akan mengakui kebenarannya" "Tida k, tidak.Jangan mende kat " "Ke marilah Manguri" Tetapi ketika Manguri melangkah maju, maka Sindangsari mengangkat pelita di tangannya sambil berkata "Kalau satu langkah lagi kau maju, maka la mpu ini akan aku le mparkan ke dinding, kita akan bersa ma-sama terbakar di da la m bilik ini"
Kedua orang itu terkejut. Manguri tertegun, sedang wajahnya menjadi tegang. Tetapi ibu tirinya ke mudian justru tersenyum. Katanya "Tidak Nyai. Aku dan Manguri akan segera berlari keluar sebelum api menjilat. Ka mi akan menutup pintu dan me mbiarkan kau berada di da la m bilik ini" "Itu lebih ba ik. Itulah yang aku ingini" Sindangsari berhenti sejenak, lalu "Tidak. Aku tida k akan mele mparkan la mpu ini kedinding. Aku akan menyiramkan minyaknya pada pakaianku, dan aku akan me mbakar diriku sendiri. Itu pasti akan lebih baik" Kini wajah ibu t iri Manguri benar-benar menegang. Na mun ia tidak yakin bahwa Sindangsari benar-benar akan me lakukannya. Karena itu, ma ka iapun berkata "Jangan hiraukan Manguri. Ia t idak a kan berbuat de mikian kerena ia sadar, bahwa ia sedang mengandung" Tetapi di luar dugaan. Ketika Manguri beringsut sedikit tibatiba saja Sindangsari sudah me mercikkan minyak dipakaiannya. Dicelupkannya jari-jarinya pada dlupak yang sedang menyala itu. Ke mudian dikibaskannya pada pakaiannya. "Ke marilah. Lihatlah mayatku yang hangus bersama, anakku di dala m kandungan. Itu adalah jalan yang lebih baik bagiku" Ketika Sindangsari me mercikkan minyak lagi kepakaiannya, perempuan itu tiba-tiba menjadi ge metar "Jangan. Jangan" "Pergilah" Ibu tiri Manguri menarik nafas. Akhirnya ia berkata "Kau me mang seorang perempuan yang berhati baja. Baiklah. Ka mi akan keluar. Tetapi sebaiknya kau memikirkannya, bahwa hidup ini harus berpijak diatas kenyataan" "Aku tida k mau mendengar. Aku tida k mau mendengar"
Ibu tiri Manguri mengangguk-anggukkan Katanya "Baiklah. Baiklah"
kepa lanya. Keduanyapun kemudian melangkah ke luar dari dala m bilik itu. Namun dengan demikian mereka sema kin yakin, betapa keras hati Sindangsari. Ketika mereka me langkah ke luar pintu, Lamatpun segera ke mbali ke tempatnya semula, sehingga ketika Manguri dan ibu t irinya sampai di te mpat itu, mereka bertanya hampir berbareng "Kau masih disini?" "Ya" "Tidurlah" berkata Manguri "Aku juga akan t idur" Manguri benar-benar telah dicengka m oleh kekesalan. Kadang-kadang timbul niatnya untuk berbuat kasar. Namun ia masih mencoba menahan diri. Mungkin ibu tirinya dapat me mbujuk pere mpuan itu, agar hatinya tidak menjadi sema kin sakit, dan ia tidak se makin me mbencinya. Manguripun ke mudian pergi ke ruang depan. Ia langsung menuju ke tempat orang-orangnya berbaring. Dengan hati yang panas ia menjatuhkan dirinya diantara mereka, sementara ibunya yang tidak kalah kesalnya masuk ke ruang dalam. Sementara itu Lamat masih berdiri termangu-mangu di halaman. Agaknya Manguri yang kecewa itu tidak menghiraukannya lagi. Anak muda itu ingin melepaskan kekesalannya dengan me meja mkan matanya, kemudian tidur semala m suntuk. Lamat menarik nafas dalam-da la m, seolah-olah ia ingin menghirup udara mala m sepuas-puasnya. Perlahan-lahan ia me langkah melintasi hala man. Sejenak ia duduk bersandar sebatang pohon dikegelapan. Dan malam menjadi sema kin gelap segelap hatinya.
Tiba-tiba La mat berdiri. Setelah me mandang ruang depan yang sepi, ia berjalan ke regol hala man. Sejenak ia berdiri me matung, na mun ke mudian ia me langkah keluar. "Kalau Pa mot sudah ada di padukuhan ini" katanya di dalam hati "ia pasti akan berusaha mendekati rumah ini. Aku akan berdiri disini. Mudah-mudahan ia dapat melihat aku, meskipun di regol itu tidak dipasang obor" Lamatpun ke mudian berdiri bersandar tiang regol ha la man. Dengan matanya yang tajam dite mbusnya kegelapan mala m. Tetapi bagaimanapun juga, ia tida k dapat melihat terlampau jauh. Bayang-bayang dedaunan me mbuat mala m menjadi semakin ge lap. Tetapi justru Lamat berdiri bersandar tiang regol, maka iapun telah dibayangi kege lapan yang hitam pula, sehingga tidak mudah untuk dapat dilihatnya. Karena itulah maka beberapa orang yang berada di hala man di sebe lah rumah itu tidak me lihatnya. Beberapa orang ternyata telah meloncati pagar batu di sebelah dalam dan perlahan-lahan beringsut mendekati dinding hala man rumah isteri ayah Manguri. Mereka sama sekali t idak me lihat bahwa di regol hala man masih ada seseorang yang tidak tertidur. Orang itu adalah La mat. Ketika orang-orang itu beringsut sepanjang dinding diseberang jalan di hala man rumah tetangga, maka mereka me lintas di hadapan regol yang gelap itu. Kepala mereka yang sedikit terse mbul diatas dinding batu, telah menarik perhatian Lamat yang masih berdiri tegak sa mbil menahan nafas. "Siapakah mereka itu?" bertanya La mat di dala m hatinya. Tetapi ia masih tetap me mbeku. Ia tidak tahu pasti, siapakah yang mendekat itu. Pamot dan kawan-kawannya, atau orang-orang Ki Reksatani yang dengan diam-dia m akan me lakukan tugas yang dibebankan kepadanya.
Tiba-tiba timbullah niat La mat untuk mengetahui orangorang itu Karena itu, maka iapun beringsut perlahan-lahan justru menghilang di ba lik regol. Raksasa itupun kemudian dengan terbungkuk-bungkuk merayap di sepanjang dinding berseberangan jalan dengan orang-orang yang tadi dilihatnya. Sekali-sekali ia mencoba menjenguk di balik dedaunan. Dan ternyata ia berhasil mengetahui, dimana orang-orang itu berhenti. "Mereka sengaja mengawasi rumah ini" berkata La mat di dalam hatinya. Ia masih bergeser lagi beberapa puluh langkah. Ke mudian dengan hati-hati ia meloncat di tempat yang gelap, di bawah rumpun ba mbu yang rimbun menyilang jalan padukuhan, masuk ke ha la man yang berseberangan dengan halaman rumah isteri muda ayah Manguri itu. Sejenak La mat menunggu. Ia bersembunyi di balik dedaunan ketika orang-orang itu bergeser mende kati Na mun ke mudian ra ksasa itu menarik nafas dalam-dala m. Setelah orang-orang itu menjadi se makin dekat, dan merayap di hadapannya tanpa mengetahuinya, ia me lihat bahwa diantara mereka terdapat Pa mot dan Punta. Namun ternyata tarikan nafasnya itu dapat didengar oleh Pamot dan kawan-kawannya, seakan-akan terlontar dari senyapnya mala m. Dan ternyata suara tarikan nafas itu telah mengejutkan orang-orang yang sedang merayap itu, sehingga merekapun segera berpencar dan bersiaga. Tanpa berjanji mereka mengepung gerumbul tempat La mat berse mbunyi. "Siapa?" Rajab berdesis perlahan-lahan. Lamat masih tetap dia m. Ia menjadi ragu-ragu. Diantara mereka terdapat orang-orang yang belum dikenalnya. "Siapa?" Rajab mengulang.
Dengan hati-hati Lamat bergeser. Kemudian untuk tidak menimbulkan sa lah paha m ia berdesis pula "Aku Pa mot" "Aku siapa?" desak Pa mot. "Kau tidak mengena l suaraku lagi?" "La mat?" "Ya" "O" Pamot lah yang kemudian menarik nafas dalam-da la m. Katanya kemudian "keluarlah. Kenapa kau berse mbunyi di situ" "Siapakah orang ini Pa mot?" bertanya Rajab. "Nantilah aku ceriterakan.. Tetapi orang ini tidak berbahaya meskipun ia berada di dala m lingkungan orang-orang yang me larikan Nyai De mang" Rajab tidak menyahut. Tetapi ia masih tetap ragu-ragu. Perlahan-lahan La matpun merayap keluar dari gerumbul itu. Tetapi ia tidak mau berdiri. Bahkan ia berkata "Duduklah Kepala mu agak lebih tinggi dari dinding hala man ini" Pamot dan kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Namun ke mudian merekapun menyadari, bahwa kepala mereka dapat dilihat dari luar ha la man itu seandainya ada orang yang lewat di jalan padukuhan. Peronda atau orangorang yang ke mbali dari menunggui air di sawah. "Duduklah" La mat me ngulangi. Pamot dan kawan-kawannyapun ke mudian duduk di seputarnya. Namun nampaknya Rajab masih tetap mencurigainya. "Bagaimana dengan Nyai De mang?" bertanya Pamot tidak sabar.
"Ia masih sela mat. Sampai saat ini ia masih dapat bertahan. Tidak ada seorangpun yang dapat mende katinya" Pamot mengangguk-anggukkan bertanya "Kenapa kau berada disini" kepa lanya. Tetapi ia
"Aku me lihat beberapa buah kepala yang bergeser di balik dinding batu ini. Karena itu aku berusaha untuk me mastikan, apakah kalian bukan orang-orang yang berbahaya bagi Nyai Demang" Pamot dan kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Namun dala m pada itu, Rajab segera mengetahui, bahwa Lamat bukanlah orang kebanyakan. Ia dapat mendekati mereka tanpa mere ka sadari. "Aku me mang menunggu kalian" desis La mat "tanpa kalian, aku tidak akan dapat berbuat banyak. Apalagi apabila Mangurilah yang pertama-tama menjadi kalap. Kalau Ki Reksatani berniat untuk me mbinasakan Sindangsari, aku kira Manguri pasti a kan mencegahnya, sehingga aku masih me mpunyai kawan untuk me mpertahankan tetapi apabila Manguri yang kehilangan aka l, akupun a kan kehilangan akal pula" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya "Kami sudah berada di sekitar rumah ini. Bahkan Ki Jagabaya di Prambananpun telah berada di sini pula" "O, kau sudah menghubungi pimpinan Kademangan ini" "Ya" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Jika demikian, maka kali ini se mua persoalan harus se lesai. Ki Jagabaya dan Ki De mang di daerah ini pasti tidak a kan dapat me mbiarkan persoalan ini berlarut-larut dan terjadi di wilayah mereka. Tetapi Lamatpun mengetahui, bahkan hampir pasti, bahwa tidak ada seorangpun di padukuhan ini yang ma mpu mengimbangi Ki Re ksatani di dala m olah kanuragan.
Asmara Sang Pengemis 2 Gadis Misterius Karya Sherls Astrella Jam Antik Pembawa Bencana 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama