Ceritasilat Novel Online

Matahari Esok Pagi 19

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 19


mereka dapat dengan selamat meningga lkan hala man rumah itu. Ki Jagabaya masih berdiri di dekat ayah Manguri yang termangu-mangu. Ia hanya mengikut i derap kuda yang berlari seperti dikejar hantu meningga lkan regol hala man. Ke mudian hilang di balik pepohonan. Pada saat yang bersamaan, anak-anak muda di sekitar Sembojan berdatangan ke padukuhan itu. Bukan saja anakanak muda, tetapi laki-laki yang sudah menjelang setengah umurpun ikut pula berdatangan dengan senjata. "Apa yang terjadi?" bertanya seorang yang rambutnya sudah berwarna dua kepada seseorang yang berdiri di luar dinding hala man. "Untunglah kau datang terlambat" jawabnya "ka lau kau sempat menyaksikan apa yang terjadi, maka kau akan pingsan disini" "Apa?" "Lihatlah bekasnya" Orang itu menjengukkan kepalanya. Ketika ia melayangkan pandangan matanya, ia memandang tepat di saat Lamat tidak lagi dapat menguasai dirinya. Perlahan-lahan ia jatuh terduduk, ke mudian dengan le mahnya ia terkulai di tanah. Tetapi orang yang berambut dua warna itulah yang lebih dahulu pingsan melihat tubuh Lamat yang seakan-akan terbalut oleh darahnya yang merah. Karena itu, maka beberapa orang harus me mapah orang separo baya itu menepi, sementara di dala m hala man belakang, Ki Jagabayapun berlari-lari dan ke mudian berjongkok di samping La mat yang sudah t idak berdaya lagi. "Bagaimana dengan kau?" bertanya Ki Jagabaya.
Lamat me mandanginya sejenak. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir. Agaknya ia telah me ma ksa dirinya, mengerahkan segala ke ma mpuan dan tenaga, me la mpaui ke ma mpuan yang sewajarnya. "Air, air" teriak Ki Jagabaya. Ketika ia berpaling, ia me lihat ayah Manguripun sedang merenungi anaknya yang terbaring di tanah. Sementara Punta dengan senjata di tangan, berdiri di sa mpingnya. "Janggan kau bunuh anak ini" pinta ayah Manguri "Aku akan kehilangan kedua-duanya" Punta tidak tahu arti permintaan itu. Tetapi ia me mang tidak ingin me mbunuh Manguri. Setelah ia berhasil menjatuhkan anak muda itu dan tida k ma mpu lagi untuk bangkit, maka Punta tidak lagi dikuasai oleh nafsu membunuh. Ia dapat mengendalikan dirinya. Dibiarkannya Manguri terbaring di tanah dengan nafas terengah-engah dan menyeringai kesakitan. Na mun sejenak ke mudian Manguri itupun menjadi pingsan. Kini suasana di ha la man belakang rumah itu t idak lagi diwarnai oleh perke lahian dan dibisingkan oleh bunyi dentang senjata beradu. Beberapa orang pengawal yang terlukapun segera mendapat pertolongan, sehingga dengan demikian, kesibukan orang-orang di hala man itu telah beralih. Hanya orang-orang tertentu sajalah yang berani melihat kenyataan di hala man itu. Beberapa orang yang se mula datang dengan senjata di tangan karena titir yang sahut menyahut, ternyata sama sekali tidak berani menginjakkan kakinya ke hala man itu. Bekas perkelahian itu ternyata sangat mengerikan. Apalagi apabila mereka masih sempat melihat perkelahian yang terjadi. Untunglah, bahwa diantara mereka terdapat anak-anak muda yang telah mendapat te mpaan khusus. Terutama
mereka yang pernah mengikuti pasukan yang berjuang untuk mengusir orang-orang asing yang mulai berkuasa di tanah ini. "Punta" berkata me mbunuhnya?" ayah Manguri "bukankah kau tidak
Punta menggelengkan kepalanya. Ayah Manguri mengguncang-guncang kePala anaknya yang pingsan. Ke mudian mene mpe lkan telinganya di dadanya. Ia masih mendengar detak jantung anak itu. "Ia masih hidup. Ia masih hidup" Ayahnyapun kemudian berusaha untuk menolongnya sejauh-jauh dapat dilakukan. Tetapi ternyata bahwa orang Sembojan adalah orang-orang yang berhati lapang. Meskipun mereka ke mudian mengerti apa yang terjadi, namun mereka tidak sa mpai hati me mbiarkan Manguri tanpa mendapat pertolongan apapun, karena justru ayahnya menjadi kebingungan. Beberapa orang telah me mbantunya atas perintah Ki Jagabaya. Seperti Lamat, maka Manguripun segera mendapat pertolongan. Kedua nyapun ke mudian telah dibawa ke rumah tetangga terdekat. Ditunggui oleh beberapa pengawal bersama Punta dan seorang kawannya yang datang dari Gemulung. Bagaimanapun juga mereka masih tetap harus bercuriga. Apalagi di dekat ayah Manguri itu terbaring pula Lamat yang sudah kehabisan tenaga. Seorang dukun tua telah berbuat sejauh-jauh dapat dilakukan untuk menyela matkan jiwa kedua orang itu. Sedang orang-orang lain yang meskipun juga terluka, tetapi tidak begitu parah, telah mendapat pertolongan pula. Untunglah bahwa tidak ada seorang pengawalpun yang menjadi korban sehingga meningga l. Yang ada diantara mereka adalah pengawal-pengawal yang terluka. Agaknya Manguri me mang masih diberi kesempatan untuk hidup. Seandainya ia harus berte mpur me lawan Pa mot yang
menyimpan berbagai maca m masalah di dadanya terhadap Manguri, maka harapan baginya untuk dapat tetap hidup adalah kecil seka li. Tetapi kini, dukun yang mengobatinya masih berpengharapan bahwa nyawanya akan dapat di sela matkan. Sedangkan La mat, agaknya masih lebih ba ik dari keadaan Manguri. Meskipun luka-lukanya bersilang me lintang di seluruh tubuhnya, namun luka-luka itu tidak me mbahayakan jiwanya. Satu dua ada juga lukanya yang dalam. Na mun ketahanan tubuh La mat, lernyata me mang mela mpaui ketahanan tubuh manusia biasa. Dala m pada itu, di halaman yang baru saja menjadi kancah perkelahian itupun kini telah disibukkan oleh orang-orang yang sedang me mbersihkan hala man itu dari mayat-mayat dan mereka yang terluka. Setiap orang menjadi ngeri menyaksikan bekas-bekas dari apa yang telah terjadi. Ceritera tentang sebab-sebab perkelahian itupun segera menjalar ke segenap telinga, sehingga setiap orang telah terbakar batinya. Mereka menyesal bahwa Ki Reksatani dapat terlepas dari tangan mereka. Dan bahkan Lamat yang melawannya dengan gigih telah terluka parah. Orang-orang Sembojan meletakkan kesalahan terberat pada Ki Reksatani. Itulah agaknya sebabnya bahwa mereka masih dapat menguasai perasaan mere ka terhadap Manguri. Perempuan-pere mpuan yang mendengar ceritera dan latar belakang dari peristiwa itupun mengusap dada mereka sa mbil berkata "Kasihan Nyai De mang di Kepanda k" Sedang perempuan yang lain menggeleng-ge lengkan kepalanya sambil berkata "Aku agaknya telah ikut berdosa. Kenapa aku percaya bahwa perempuan itu sekedar perempuan gila. Dan bahkan aku pernah mengumpatinya karena ia berteriak-teriak sambil berlari-lari di sepanjang
jalan" Agaknya Nyai De mang saat itu masih berusaha untuk me lepaskan dirinya" Sementara Lamat sudah jelas. Bahkan Punta. yang Apakah masih perjalanan?" itu, setelah mendapat perawatan seperlunya, dapat mengingat semua yang terjadi dengan ia sudah mulai ge lisah dan berkata kepada menungguinya "Bagaimana dengan Pa mot" ada ke mungkinan Ki Reksatani me nyusulnya di
Punta berpikir sejenak. Dengan ragu-ragu ia menjawab "Jaraknya cukup panjang La mat" "Tetapi Pa mot me mbawa Nyai De mang yang terluka bakar. Ia tidak a kan dapat berpacu terla mpau cepat" "Kita akan berdoa untuknya. Mudah-mudahan ia t idak tersusul di perjalanan. Kita me mpunyai banyak harapan. Mungkin Pa mot benar-benar tidak tersusul, mungkin jalan yang ditempuh oleh Pa mot bukannya jalan yang dipilih oleh Ki Reksatani" Lamat menarik nafas dalam-dala m. Perlahan-lahan ia mencoba untuk bangkit. Tetapi Ki Jagabaya dan dukun yang merawatnya telah mencegahnya. "Berbaringlah" berkata Ki Jagabaya "darahmu hampir ma mpat" Lamat menarik nafas dalam-da la m. Tubuhnya yang kuat seperti kerbau itu memang terasa lemah sekali, sehingga seakan-akan ia tida k ma mpu lagi me ngangkat kepa lanya. "Ha mpir seluruh tubuhmu terluka Jagabaya selanjutnya. parah" berkata Ki
Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang ke mbali perlawanannya atas Ki Reksatani. Adalah suatu perlindungan yang ajaib bahwa ia tida k terbunuh karenanya. Ia sadar, kemarahan Ki Reksatani kepadanya pasti me lonjak sampai ke ujung ubun-ubun. Na mun de mikian,
ditinggalkannya ia masih dala m me mungkinkannya untuk tetap hidup.
keadaan yang Ketika La mat ke mudian me ma lingkan kepa lanya perlahanlahan di lihatnya Manguripun terbaring dia m beberapa langkah daripadanya ditunggui oleh ayahnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya "Bagaimana dengan anak itu?" Puntapun berpaling pula me mandang tubuh Manguri. Ia lah yang telah melukai tubuh itu setelah Lamot melukainya lebih dahulu. "Apakah ia terluka parah juga?" Punta menganggukkan kepalanya. "Kaulah yang melukainya?" "Aku ha mpir me mbunuhnya" desis Punta. La mat tidak menyahut. Di tatapnya jalur-jalur bambu pada atap diatas pembaringannya. Dalam saat-saat yang diliput i oleh ketegangan dan kegoncangan perasaan itu semuanya seakanakan telah terbayang ke mbali. Namun tiba-tiba La mat menjadi gelisah, ketika anganangannya sampai pada akhir peristiwa di Se mbojan itu. Seakan-akan ia melihat Ki Reksatani sedang mengejar Pa mot yang tidak dapat berpacu karena Sindangsari yang terluka dan apalagi perempuan itu sedang mengandung. Sedang derap kaki kudanya telah mengguncang-guncangnya. "Bagaimana dengan Pa mot" t iba-tiba sekali lagi ia berdesis. "Mudah-mudahan ia t idak tersusul" sahut Punta. "Kalau ia tersusul di perjalanan, maka berakhirlah semuanya "La mat berhenti sejenak, la lu "tetapi ka lau ia berhasil mencapai Kade mangan Kepandak, maka ia akan dapat berlindung pada Ki De mang. Satu-satunya orang yang dapat melawan Ki Reksatani. Mudah-mudahan Ki De mang me mpercayainya"
"Ada seorang saksi yang mengiringinya" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi bayangan keragu-raguan tampak pada tatapan matanya yang redup. Namun betapa mata itu redup, Lamat seolah-olah me lihat apa yang sedang terjadi. Pamot yang kehilangan kesempatan untuk me lepaskan diri. Keris Ki Reksatani. Darah. Tiba-tiba saja La mat bangkit sambil berkata "Tolonglah, tolonglah anak itu" Punta, Ki Jagabaya dan dukun yang merawatnya segera menahannya dan berusaha membaringkannya ke mbali. Mereka menjadi berdebar-debar karena tubuh La mat terasa menjadi panas. Apalagi ketika Ki Jagabaya meraba keningnya, seakan-akan kepala ra ksasa itu sudah me mbara. "Ambillah air" berkata dukun tua itu "rendamlah beberapa potong jeruk pece l" 'Seseorang segera berlari-lari mencari a ir dan jeruk pecel. Dengan sehelai kain, diusapkannya air jeruk pecel itu ke kening! La mat. Tetapi ketika setitik air jeruk itu menyentuh lukanya, La mat telah menggeliat kesakitan. "Bagaimana dengan Pamot, bagaimana?" ia masih bertanya terus. "Percayakan anak itu kepada Tuhan Yang Maha Penyayang" desis dukun tua yang menungguinya "kita bersama-sama berdoa untuknya" Jawaban itu bagaikan t itik-tit ik e mbun di ubun-ubunnya. Perlahan-lahan La mat menarik nafas dalam-dala m. Katanya "Ya. Kita percayakan anak itu kepada Tuhan. Mudah-mudahan ia sela mat" "Tidurlah. Kalau kau sempat tidurlah" berkata Ki Jagabaya "badanmu akan terasa segar"
Oleh air jeruk pecel yang menyeka keningnya, La mat merasa tubuhnya benar-benar menjadi semakin segar. Namun ia masih belum dapat mengha lau sa ma sekali kegelisahan yang me mbayang di hatinya. Bahkan katanya ke mudian "Apakah aku dapat meningga lkan te mpat ini" Punta bergeser maju, mende kati telinga La mat. Katanya perlahan-lahan "Kau harus beristirahat. Kau me merlukan istirahat" "Aku sudah cukup beristirahat" Punta menggelengkan kepalanya. "Apakah kuda ku masih ada?" tiba-tiba ia bertanya. "Jangan pikirkan tentang kuda. Kau harus beristirahat sebaik-baiknya" Lamat tida k menyahut lagi. Tetapi bayangan-bayangan yang mengerikan ke mbali mengganggunya. Namun titik-t itik air jeruk me mbuatnya agak tenang sehingga ia masih berhasil menguasai kege lisahan di dadanya. Kini bayangan-bayangan yang bermain di hadapannya adalah kenangan-kenangan masa yang agak jauh berlalu. Ketika tanpa sesadarnya ia sekali lagi melihat ayah Manguri yang duduk merenungi anaknya. Hampir tida k ada seorangpun yang menghiraukan anak yang pingsan itu. Yang dilihatnya hanyalah beberapa orang pengawal dengan senjata telanjang berdiri di depan pintu. Dua orang yang lain berdiri di sudut ruangan. La mat mengerti benar, bahwa para pengawal itu sedang mengawasi Manguri dan ayahnya yang kini merupakan tawanan. Tetapi La mat tidak melihat istri ayah Manguri yang muda berada diantara mereka. Na mun de mikian La mat tidak bermaksud untuk menanyakannya. Dala m pada itu, isteri ayah Manguri yang muda itu masih berada di hala man rumahnya. Ia tidak menghiraukan sama
sekali orang-orang yang sedang sibuk me mbersihkan halamannya itu. Mengangkat orang-orang yang terluka dan bahkan beberapa sosok mayat, ia tidak menghiraukan beberapa orang laki-laki yang hilir mudik dengan wajah yang tegang sambil me njinjing senjata. Perempuan itu berdiri tegak merenungi abu yang berserakan, yang masih mengepulkan asap yang kehitamhitaman. "Rumahku, rumahku" ia berdesis perlahan sekali "perhiasan yang aku kumpulkan sedikit de mi sedikit sekarang telah musnah" Perempuan itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Namun tiba-tiba terdengar ia tertawa kecil. Kini ditatapnya seonggok abu yang masih panas itu. "He, itulah peti simpananku. Kenapa baru sekarang aku me lihatnya. O, masih utuh. Sepuluh la ki-laki yang sudah berhasil aku hisap uangnya, kekayaannya dan bahwa semua miliknya. Dan aku berhasil menyimpan seonggok permata" suara tertawanya menjadi se makin keras. Beberapa orang me mandanginya dengan heran. Seorang perempuan tua telah me ma ksa dirinya untuk mendekatinya "Apakah yang kau cari?" "O, kau?" perempuan itu mengerutkan keningnya "kau akan mera mpas milikku?" "Tida k. Tentu tidak. Tetapi, sadarilah apa yang sudah terjadi" "Apa yang terjadi" Aku menyimpan simpananku sendiri. Apa salahnya. Dan kau tidak usah me mpedulikan darimana aku mendapatkannya. Adalah salah laki-laki yang bersedia aku hisap darahnya sampai kering. Adalah salah mereka, bahwa mereka ma u me mbe li belaian tanganku dengan seluruh kekayaannya. Apakah kau iri ya" Kau termasuk salah seorang
dari mereka yang ingin mengusir aku dari sini. Dari rumahku yang aku buat sendiri diatas tanah milikku" "Tida k. Tida k. Aku tidak a kan beriri hati. Tidak pula akan mengusirmu. Tetapi sadarilah dirimu" "Apa yang harus aku sadari" Maksudmu agar aku tidak menerima la ki-laki lagi di rumahku ini se lain sua miku yang hanya datang tiga bulan atau e mpat bulan seka li itu" Begitu?" Perempuan tua itu menjadi bingung. Dan ia hampir me me kik ketika ia melihat isteri muda ayah Manguri itu tibatiba saja berlari terjun ke dalam onggokan abu yang masih panas. Tetapi yang sama sekali tidak dihiraukannya. Dan ia hanya dapat mengusap dadanya ketika ia me lihat pere mpuan itu ke mudian me njatuhkan dirinya, berlutut di dalam onggokan abu itu. Sa mbil mengaduk abu yang hangat itu ia tertawa berderai. Katanya "Semuanya sudah aku kete mukan ke mbali. Inilah perhiasanku yang tidak ternilai harganya. Aku akan menjadi sema kin kaya. Perhiasan perempuan gila itu akan menjadi milikku juga. Pere mpuan gila itu" Semua orang yang ada di halaman itupun tertegun karenanya. Mereka me mandang pere mpuan yang ke mudian menjadi seakan-akan disaput dengan abu yang kotor pada seluruh tubuhnya itu sa mbil me narik nafas dala m-dala m. Dan perempuan itu tiba-tiba ia berdiri dan me mandang berkeliling. Ketika tampa k olehnya beberapa orang laki-laki yang seolaholah me mbe ku di sekeliling bekas rumahnya, ia tertawa berkepanjangan "He, kau akan singgah ke rumah ini pula" Kau, kau, kau juga. Jangan bersama-sama. Aku tidak akan pergi. Datanglah berganti-ganti. Suamiku tidak akan mengetahuinya. Ke marilah. Ke marilah" Dan suara tertawanya perempuan itu. menggelepar seperti tingkah
Di kejauhan terdengar seseorang berbisik kepada kawan yang berdiri di sa mpingnya "Ia menjadi gila. Semua kekayaan
yang dikumpulkannya dengan jalan yang sesat itu agaknya telah ikut terbakar di dala m ruma h itu" "Kasihan. Ternyata perempuan itulah yang menjadi gila. Bukan pere mpuan yang dikatakannya gila dan ternyata adalah Nyai De mang di Kepandak" "Agaknya ia telah kena kutuk" Dan dala m pada itu suara tertawanya masih saja berkepanjangan. Ketika beberapa orang mencoba mengajaknya meningga lkan onggokan abu yang masih panas itu ia justru mengumpat-umpat dengan kata-kata yang paling kotor yang pernah didengar oleh telinga. Akhirnya orang-orang itupun terpaksa me mbiarkannya berbuat sesuka hatinya di dalam ketidak-sadarannya. Kejutan perasaan itu ternyata tidak tertanggungkan lagi, sehingga ia telah berubah ingatan dengan tiba-tiba. Dala m pada itu, ketika seorang laki-laki me mberitahukannya kepada ayah Manguri, laki-la ki itu berkala dengan nada suara yang rendah dan datar "Aku tidak me merlukannya lagi. Aku sudah tidak me merlukan apa-apa" "Perempuan itu menjadi gila" Ayah Manguri mengangkat wajahnya. Tetapi wajah itu ke mudian tertunduk ke mba li. Desisya "Dosaku me mang sudah bertumpuk sa mpai menyentuh langit. Kini aku harus menanggung segala dosaku" perlahan-lahan kepalanya digelengkannya "mungkin besok atau lusa, aku akan dihukum gantung bersama anakku yang seorang ini" ia berhenti sejenak, lalu "mudah-mudahan anak itu sela mat" katanya ke mudian sa mbil berpaling kepada La mat. Laki-laki yang me mberitahukan tentang perempuan yang gila itu tidak mengerti ma ksudnya. Orang-orang yang mendengarpun tida k mengerti pula. Tetapi mereka menyadari, bahwa laki-la ki itu bersama anaknya yang terluka adalah
tawanan yang harus mempertanggung jawabkan se mua kesalahannya. Tidak saja kepada Ki Demang di Pra mbanan, tetapi juga kepada Ki De mang di Kepandak. Karena itu, maka ditingga lkannya ayah Manguri itu di dala m ke mura mannya. Dala m pada itu, Ki Reksatani me macu kudanya seperti dikejar hantu. Ia tidak mau lagi mengenangkan apa yang terjadi di Sembojan. Ia juga tidak mau lagi me mikirkan, apakah yang akan terjadi kemudian dengan Kepanda k. Yang kini tersangkut di kepalanya adalah rencananya untuk mengejar Pa mot yang telah melarikan Sindangsari. Namun Ki Reksatani menjadi ragu-ragu sejenak. Tidak hanya ada satu jalan yang akan sampai ke Kademangan Kepandak. Ada jalan induk yang sudah agak ba ik me lintasi hutan Tamba kbaya. Ada jalan yang melintas di sebe lah Utara. Tetapi ada juga ja lan yang menerobos daerah rawa-rawa di sebelah Selatan. Semuanya akan sa mpai ke daerah pinggir kota Mataram yang kemudian dihubungkan dengan jalan-jalan yang melintang, sa mpai kepadukuhan-padukuhan di daerah Kademangan Kepanda k, agak jauh di sebelah Selatan pusat pemerintahan Mataram. "Persetan, jalan mana yang akan diambilnya" geram Ki Reksatani "Aku harus sampai ke Kepandak secepat-cepatnya. Apakah aku dapat mene mukannya di sepanjang jalan, atau aku harus menga mbilnya lagi dengan paksa, di hala man Kademangan sekalipun, aku tidak akan mundur. Se muanya sudah terjadi, dan aku tidak akan dapat menarik diri lagi. Aku harus menengadahkan dadaku untuk menghadapi setiap ke mungkinan" Dengan de mikian ma ka Ki Reksatani tidak menghiraukannya lagi, apakah ia me nga mbil jalan yang sama dengan jalan yang ditempuh oleh Pa mot.
Tetapi agaknya Ki Reksatani tidak ingin juga terganggu di sepanjang jalan. Kalau ia melalui jalan induk yang sampai langsung ke kota, maka akan timbul kecurigaan pada orangorang yang melihatnya. Kalau ia bertemu dengan peronda dari Mataram maka peronda itu pasti akan menegurnya dan bahkan mungkin menghentikannya disertai oleh beberapa pertanyaan yang menje mukan. Karena itu, maka Ki Reksatani me mutuskan untuk menga mbil ja lan lain. Justru tanpa disengaja, ia mengambil jalan Selatan. Demikianlah ma ka iring-iringan kecil itu berpacu semakin la ma se makin cepat. Matahari yang semakin tinggi bagaikan cambuk yang me maksa mereka untuk me mpercepat perjalanan yang menegangkan itu. Setelah kuda mereka mengitari gerumbul-gerumbul perdu dan menusup ke dala m hutan yang rindang maka sa mpailah mereka kesebuah padang rumput yang sempit. Ke mudian mereka akan sa mpa i pula kegerumbul-gerumbul perdu yang agak lebat dan sejenak ke mudian mereka akan melingkari rawa-rawa. Jalan yang mereka lalui me mang jalan yang sempit. Namun karena jalan itu sering dila lui juga oleh rombonganrombongan pedagang yang beriring-iringan, maka kuda mereka masih juga dapat berpacu. Namun tiba-tiba mata Ki Reksatani yang tajam me lihat sesuatu yang tersangkut pada sebatang ilalang di pinggir jalan sempit itu. Dengan tergesa-gesa menarik kekang kudanya sehingga kudanyapun berhenti dengan t iba-tiba. "Apakah menurut dugaanmu?" bertanya Ki Reksatani sambil me mungut benda itu. Para pengiringnya yang ikut berhenti juga berdiri menge lilinginya sambil me nga mat-amati benda itu. Dan tibatiba saja salah seorang dari mereka berkata Sepotong kain lurik. Lihat be kas terbakar itu masih jelas"
"Pakaian barangkali. Sepotong sobe kan paka ian" berkata yang lain. Pakaian siapa" suara Ki Reksatani menjadi parau, beberapa orang saling berpandangan. Tetapi tidak ada seorangpun yang segera menjawab, meskipun yang terge mbul di da la m hati mereka masing-masing ha mpir bersa maan. Dan karena tidak ada seorang yang menjawab, maka Ki Reksatanipun berkata "Aku me nduga bahwa pa kaian ini me mang pakaian yang baru saja tersentuh api" Semuanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak mereka termenung ketika Ki Reksatani t iba-tiba saja menga mat-a mati tanah di sepanjang ja lan se mpit itu. "Pasti. Pakaian ini pasti pakaian Sindangsari. Lihat, jejak kaki kuda ini adalah jejak kaki kuda Pa mot" "Ya" ha mpir berbareng beberapa orang menjawab. "Pamot pasti menga mbil jalan ini pula. Kita secara kebetulan menga mbil jalan yang sa ma" "Ya" Ki Reksatani tida k berkata sepatah katapun lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat ke punggung kudanya. Sebuah hentakan kendali dan sentuhan pada perut kuda itu, me mbuatnya me lonjak dan ke mudian lari sekencang-kencangnya. Para pengiringnyapun segera menyusul pula. Mereka seakan-akan sedang berpacu berebut dahulu. Demikianlah maka iring-iringan itupun me lanjutkan perjalanan mereka. Debu yang putih berhamburan di belakang kaki-kaki kuda yang menjadi se makin la ma se makin panas. "Apakah aku masih dapat mengejarnya" bertanya Ki Reksatani di dalam hatinya. Namun agaknya jarak sudah menjadi de mikian jauh.
Meskipun demikian Ki Reksatani masih terus berusaha. Dengan kecepatan penuh kudanya berlari-lari mengitari rawa diantara padang perdu. Di hadapan mereka ke mudian terbentang sebuah hutan yang rindang, sebelum mereka akan me motong sebuah sudut hutan yang masih agak lebat. Dala m pada itu, Pamotpun masih juga berpacu diatas punggung kudanya. Tetapi kawannya yang berkuda di belakangnya hampir tida k sabar karenanya. Pamot sema kin la ma menjadi se makin la mbat. Bahkan kadang-kadang kudanya hampir berhenti sa ma seka li. "Pamot " desis Sindangsari "tubuhku terasa sakit sekali" "Tahankanlah Sari. Kita akan segera sampa i ke tujuan" "Perutku" "Bagaimana dengan perutmu?" Sindangsari selalu berdesis karena perutnya terasa sakit, selain bekas bekas luka bakarnya. Perjalanan itu adalah perjalanan yang terlampau berat bagi Sindangsari yang sedang me ngandung. Goncangangoncangan derap kaki kudanya me mbuatnya sema kin kesakitan dan mua l sehingga pere mpuan itu tida k dapat menahan diri lagi, sehingga muntah-muntah. Kawan Pa mot menarik nafas dala m-dala m. Ia yakin bahwa di bela kangnya Ki Reksatani bersa ma beberapa orang sedang mengejarnya. Meskipun jarak mereka cukup panjang, tetapi apa bila perjalanan ini seakan-akan tidak juga se mpat maju, maka Ki Reksatani pasti akan dapat mengejarnya dan me mbinasakannya di perjalanan sebelum mereka se mpat sampai ke Kade mangan. "Apakah La mat ma mpu bertahan lebih la ma lagi" desis anak muda yang mengawani Pa mot itu. Tetapi ia tidak dapat memaksa Pamot untuk berpacu lebih cepat lagi. Apalagi ketika Sindangsari muntah-muntah karenanya. Kalau terjadi sesuatu dengan kandungan itu, maka
akibatnya pasti akan sangat jauh bagi Ki De mang di Kepandak yang sedang merindukan seorang anak. "Meskipun de mikian ka lau mereka terkejar oleh Ki Reksatani, akibatnya akan lebih parah lagi" berkata anak muda itu di dala m hatinya. Bagaimanapun juga, anak muda itu tidak lagi dapat menahan hatinya untuk setiap kali me mperingatkan Pa mot bahwa di be lakang mere ka Ki Reksatani sedang mengejarnya. Mudah-mudahan La mat dapat Pamot. mengalahkannya" desis
"Ke mungkinan yang kecil seka li" berkata kawannya "dan pikiran itu berbahaya bagimu sekarang, karena kau akan menjadi lengah" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya kepada Sindangsari "Kita akan me mpercepat perjalanan ini Sari" "Tubuhku dan perutku se ma kin sakit " "Tetapi, bahaya yang lebih besar agaknya akan mengejar kita. Bagaimana kalau Ki Reksatani berhasil menangkap kita dan me mbunuhnya seka li" Sindangsari tidak menjawab. Tetapi ditatapnya mata Pamot yang suram dan tampaknya menjadi cekung. "Tahankanlah sedikit" berkata Pa mot pula. Perlahan-lahan Sindangsari menganggukkan kepa lanya. Namun tanpa sesadarnya ia berpegangan lengan Pa mot yang me megang kenda li kudanya erat-erat. Bahkan perempuan itu tiba-tiba menjatuhkan kepalanya di dada anak muda itu sa mbil berdesis "Aku takut. Aku takut Pa mot" "Jangan takut. Kita akan berpacu terus. Sebentar lagi kau akan mendapat perlindungan Ki De mang di Kepandak"
Kuda mereka masih berlari terus meskipun tidak begitu kencang. Dan Sindangsari berkata "Aku takut kepada Ki Demang di Kepanda k" "Kenapa" Ki De mang pasti akan menya mbut mu dengan senang hati. Selama ini ia mencarimu seperti seorang ayah yang kehilangan anak satu-satunya" "Tetapi, tetapi............" suaranya terputus. "Kenapa Sari?" "Ia pasti tida k ingin melihat aku datang bersa ma mu" "Kenapa" Ia adalah sua mimu. Kau adalah isterinya yang me mpunyai kelebihan dari isteri-isterinya yang lain. Kau akan me mberinya anak. Sesuatu yang tidak dapat diberikan oleh isteriisterinya yang lain" "Pamot..." suara Sindangsari me njadi parau. Seperti kanak-kanak ia me mbena mkan wajahnya di dada Pamot sehingga tangan Pamot yang me megang kendali agak terganggu karenanya. Sindangsari tidak dapat mengatakan apa-apa lagi. Air matanya tiba-tiba telah menga mbang di pelupuk matanya. Sebelum Pa mot se mpat berkata lagi, kawannya telah mende katinya sambil berdesis "Pa mot, maaf bahwa setiap kali aku terpaksa me mperingatkannmu untuk kesela matanmu dan Nyai De mang di Kepandak" "O, terima kasih" jawab Pa mot. "Apakah kita dapat lebih cepat sedikit?" "Ya, ya. Kita akan lebih cepat lagi" "Aku yakin Ki Reksatani me ngejar kita. Seandainya La mat belum terkalahkan seka lipun, na mun agaknya Ki Reksatani tidak akan melepaskan Nyai De mang"
Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya kepada Sindangsari "Kita me mang harus me mpercepat perjalanan ini" Sindangsari tidak menyahut. Tetapi ia berpegangan semakin erat, seakan-akan tidak akan dilepaskannya lagi. Pamot menarik nafas dalam-dala m untuk menenangkan dadanya yang bergelora. Kalau yang dibawanya kali ini Nyai Demang di Kepandak, tetapi bukan Sindangsari, mungkin ia masih berhasil mengatasi perasaannya. Tetapi kali ini perempuan yang disela matkan itu adalah Sindangsari yang sudah menjadi sua mi De mang di Kepandak. Meskipun demikian, Pamot masih berusaha me mpercepat derap kudanya. Sejenak mereka melintasi bulak yang agak panjang di bawah terik matahari yang terasa me mbakar tubuh. Agak jauh di bela kang mereka, Ki Reksatani berpacu seperti angin. Semakin la ma justru menjadi se makin cepat. Bagaimanapun juga masih terpercik di dala m hatinya, suatu harapan untuk menyusul pa mot di perjalanan. Ia akan me mbunuhnya dan Nyai Demang sekaligus. Kemudian barulah ia akan menghadap Ki De mang di Kepandak. Ia tidak akan ingkar lagi, Ia akan menghadapi se mua akibat dari perbuatannya. Tetapi kematian Sindangsari akan me mbuat Ki Demang kehilangan nafsu hidupnya karena hari depannya benar-benar telah patah. Adalah tidak akan begitu sulit lagi untuk mengalahkan orang yang sudah kehilangan keinginan untuk tetap hidup. Dengan de mikian ma ka nafsunyapun semakin berkobar di dalam dadanya. Seakan-akan ia tidak sabar lagi duduk diatas punggung kuda yang dirasanya terlampau la mban. Jejak kaki kuda yang masih baru, yang kadang-kadang tampak diatas tanah pada jalan se mpit itu me mbuat Ki Reksatani menjadi se makin gera m. Tangannya sudah menjadi
gatal. Ia ingin segera dapat mencekik Pa mot dan Sindangsari bersama-sama. Jarak antara keduanya me mang menjadi se ma kin pendek Pamot yang me mbawa Sindangsari tidak dapat berpacu secepat-cepatnya, sedang Ki Reksatani justru semakin me mpercepat derap kudanya. Hampir sehari-harian mereka berpacu. Namun de mikian, mereka terpaksa kadang-kadang juga berhenti di pinggir parit untuk me mberi kese mpatan kuda mereka melepaskan hausnya. Bagaimanapun juga nafsu me lonjak di dada Ki Reksatani, tetapi ia tidak dapat me maksa kuda itu berlari tanpa berhenti. Apabila mulut kudanya mulai berbusa, maka terpaksa iapun berhenti sejenak untuk mendapatkan a ir. Demikianlah maka laju kuda-kuda mereka se makin la mapun me mang se makin la mbat pula, karena kuda-kuda mereka menjadi lelah. Ki Reksatani tidak dapat lagi me ma ksa kudanya untuk berpacu lebih cepat lagi. Apalagi Pa mot. Namun de mikian jarak diantara mereka masih tetap menjadi se makin pende k, karena bagaimanapun juga, derap kuda Ki Reksatani masih tetap lebih cepat dari kuda Pa mot. Apalagi Sindangsari ha mpir-ha mpir t idak tahan lagi duduk sehari-harian diatas punggung kuda meskipun ia menyadari keadaannya. Seluruh tubuhnya benar-benar terasa sakit. Bukan saja karena luka-luka bakar, tetapi juga karena perutnya dan pegal-pegal di punggung. "Kau harus dapat bertahan Sindangsari. Sebentar lagi kita akan sa mpai" Ketika Pa mot berpacu lewat tanah persawahan di padukuhan padukuhan kecil yang dila mpauinya, seperti yang telah diduga, beberapa orang menjadi heran melihat mereka. Tetapi karena Sindangsari me maka i ikat kepala dan pakaian yang tidak keruan, setiap orang memang menyangka, bahwa ia adalah seorang laki-laki. Demikian pula anak muda yang
berkuda di belakang mereka. Tanpa ka in panjang dan ikat kepala ia juga menarik perhatian. Tetapi setelah mereka lewat, tidak ada lagi orang yang menghiraukan. Mereka menyangka, bahwa orang-orang berkuda itu adalah ana k-anak muda yang senang dengan tindak tanduk yang aneh-aneh tanpa menghiraukan tata kesopanan. Tetapi belum lagi mereka selesai mengerjakan sekotak sawah mereka me lihat beberapa ekor kuda berpacu pula. Bahkan beberapa orang telah mengenal, bahwa orang yang berkuda paling depan adalah Ki Re ksatani. "He, bukankah orang itu adik De mang di Kepandak?" "Ya" sahut kawannya "Ta mpaknya agak aneh. Wajahnya tegang dan pakaiannya demikian kusutnya. "Ia pasti sedang mencari isteri kakaknya yang hilang" "Ya, aku juga mendengar. Isteri Demang di Kepandak telah hilang" "He" berkata yang lain "apakah ia sedang mengejar orang aneh yang berkuda beberapa saat sebelum ini" Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Salah seorang menyahut "Ya, aku juga melihat tiga orang yang me mperguna kan dua e kor kuda" "Ya. Belum terla mpau la ma" "Sebentar lagi Ki Reksatani pasti akan menyusul kalau mereka t idak berselisih jalan" Sebenarnyalah bahwa jarak mereka me mang se makin pendek. Beberapa bulak kecil lagi, Ki Reksatani pasti sudah dapat menyusul Pa mot, sebelum matahari terla mpau rendah.
Tetapi Pamotpun sudah menjadi se makin dekat dengan Kademangan Kepandak. Setelah mereka me la mpaui sudut hutan yang agak lebat, maka jalan yang terbentang di hadapannya adalah jalan yang lapang. Jalan yang sema kin luas dan terpelihara. Dengan dada yang berdebar-debar Pamot menyeberang sebuah bulak yang cukup panjang. Jauh di hadapannya terbentang tanah persawahan Kademangan tetangga. Di ujung bulak itu ia harus berbelok ke kiri, ke mudian ia akan sampai ditelatah Kademangan meskipun baru ujungnya. Matahari sudah menjadi se makin rendah, dan kuda-kuda yang berpacu itupun menjadi se makin le lah. Sekali-seka li Pamot mengusap peluh yang me mbasah di keningnya. Iapun sudah mulai merasa lelah. Tetapi ia t idak boleh berhenti. Seolah-olah ia me mang mendapat firasat, bahwa di belakangnya Ki Reksatani berpacu sema kin cepat. Tepat ketika Pamot dan kawannya berbelok me masuki sebuah padukuhan kecil setelah mereka mencapai ujung bulak Ki Re ksatani muncul di ujung bulak itu pula. Tetapi ia t idak lagi sempat me lihat anak-anak muda yang sedang dikejarnya. Yang mereka lihat hanyalah se lapis debu yang putih. Tetapi mereka tidak tahu, apakah yang telah melemparkan debu itu ke udara. Demikianlah, maka sejenak ke mudian Pa mot telah me masuki ja lan-jalan di telatah Kademangan Kepandak. Adalah di luar ke mauannya sendiri, apabila kudanya berlari semakin cepat seakan-akan kuda itupun mengerti, bahwa bahaya yang mengejarnya menjadi se makin de kat pula. Anak muda yang mengikuti Pa mot itupun segera mende katinya sambil berbisik "Kita sudah menjadi sema kin dekat. Tetapi kita masih belum lepas sama seka li dari setiap bahaya yang sedang mengejar kita. Karena itu, supaya kita tidak kehilangan arti dari usaha kita, kita justru harus me mpercepat perjalanan ini. Jangan melalui jalan-jalan di
tengah-tengah bulak. Kita harus berusaha menembus jalan yang paling dekat ke Kade mangan" Pamot menganggukkan kepalanya, Kepada Sindangsari ia berkata "Tinggal se langkah lagi. Tahankan dirimu" Tetapi setiap kali Pa mot mendengar Sindangsari berdesis, sehingga kadang-kadang tanpa disadarinya perhatiannya lebih banyak tertuju kepada Sindangsari daripada kepada perjalanannya yang gawat itu. Namun de mikian, kudanya masih berlari terus, melintas jalan-jalan padukuhan yang sempit. Beberapa orang yang mendengar derap kaki-kaki kuda itu menjengukkan kepa la mereka dari pintu regol. Mereka melihat dua ekor kuda yang berjalan beriringan. Ketika kuda itu lewat di depan hidungnya, ia berdesis "Pamot. Bukankah orang berkuda itu Pa mot?" Namun ternyata ia tidak segera mengenal Sindangsari yang me ma kai ikat kepa la. Mereka me mang me lihat wajah yang pucat. Tetapi wajah itu seperti wajah seorang laki-laki yang baru menjelang dewasa. Tetapi orang itu tidak se mpat bertanya. Pamot mencoba untuk me mpercepat langkah kudanya diiringi oleh te mannya yang gelisah. Orang yang berdiri di pintu regol itu hanya menggelenggelengkan kepalanya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu sehingga kuda-kuda itu hilang dari tatapan matanya. Namun tiba-tiba ia terkejut karena ia mendengar derap kaki kuda berikutnya. Sejenak kemudian ia melihat beberapa orang yang juga berpacu diatas punggung kuda. "Ki Reksatani" desisnya. Tetapi seperti Pamot, Ki Reksatanipun tidak menghiraukan orang-orang yang berdiri termangu-mangu di sepanjang jalan
yang dilaluinya. Yang terbayang diangan-angannya hanyalah Pamot yang me mbawa Sindangsari berpacu beberapa puluh langkah di hadapannya. Bagaimanapun juga Pa mot berusaha, namun pada suatu saat ia tidak dapat menghindari lagi jalan persawahan. Ia sudah sampai di padukuhan terakhir sebelum ia mencapai induk Kade mangan. Tetapi ia harus melintas sebuah bulak yang meskipun tidak begitu panjang tetapi cukup mendebarkan. "Apakah kawannya. kita akan terus" bertanya Pamot kepada
"Segera kita harus lakukan"
melintas secepat-cepat dapat kita
Pamot mencoba me lecut kudanya dengan ujung kendali. Tetapi kudanya seakan-akan tidak terpengaruh lagi. Agaknya kuda itu benar-benar telah lelah, meskipun ada juga usahanya untuk me mpercepat derap kakinya. Sejanak ke mudian mereka telah me masuki sebuah bulak yang melintas di tengah-tengah tanah persawahan. Sebelah menyebelah terbentang lautan batang batang padi muda yang menghijau ke merah-merahan ditaburi oleh cahaya matahari yang sudah menjadi se makin rendah: Perlahan-lahan angin dari Selatan mengusap ujung daun-daunnya yang tipis, me mbuat susunan gelombang yang susul menyusul. Dengan dada yang berdebar-debar ketiga orang itu me lintas bulak tersebut. Sekali-sekali mereka berpaling, seakan-akan sudah terasa dipunggung mereka sentuhan jarijari tangan Ki Reksatani yang menyusulnya. Namun ketika mereka baru lepas mela mpaui tengah-tengah bulak itu, kawan Pamot ha mpir terpekik karenanya. Ketika ia berpaling ia telah benar-benar melihat iring-iringan orang berkuda yang mengejarnya.
"Pamot " desisnya "lihat, siapakah orang yang mengejar kita itu?" Pamot berpaling. Dadanyapun berdesir tajam ketika ia me lihat debu yang mengepul dari kaki-ka ki kuda yang sedang berpacu. "Ki Reksatani" desisnya. "Ya, ia benar-benar mengejar kita" "Jadi, kita akan ditangkapnya?" Pamot tidak menyahut. Tetapi sindangsari yang ketakutan tiba-tiba saja telah me meluknya erat-erat. "Aku takut. Aku takut Pa mot " Pamot tidak menjawab. Kini ia benar-benar berada dala m kesulitan. Kalau Ki Reksatani berhasil menyusulnya maka akibatnya dapat dibayangkannya. Karena itu, satu-satunya usahanya adalah me mpercepat lari kudanya. Adapun yang akan terjadi, biarlah terjadi di hadapan KI De mang di Kepandak. Seandainya ia harus dibunuh oleh Ki Reksatani sekalipun. Dengan demikian, sekuat tenaganya ia melecut kaki kudanya. Kemudian menyentuh perut kuda itu dengan tumitnya sehingga kuda yang terkejut itu meloncat semakin cepat. Setiap kali Pa mot berpaling, maka dilihatnya kuda Ki Reksatani semakin dekat di be lakangnya. Bahkan Ki Reksatani yang sudah melihatnya pula mengacung-acungkan tangannya sambil berteriak-teriak. "Apakah umurku sudah sa mpai batasnya?" bertanya Pamot kepada diri sendiri. Tetapi Pamot masih berusaha terus. Kudanyapun agaknya mengerti bahwa ia harus berlari se makin cepat.
Akhirnya Pa mot berhasil melintas seluruh bulak. Tetapi ia tidak segera masuk ke hala man ruma h Ki De mang. Ia masih harus berpacu melingkar-lingkar di padukuhan induk itu, barulah ia akan sa mpai ke hala man Kade mangan. Pamot tidak mengerti, apa yang akan dilakukan oleh kawannya yang agaknya masih se mpat berpacu mendahuluinya. Kudanya tidak selelah kuda Pamot yang dibebani oleh dua orang seka ligus. "Apa yang akan mengganggunya. dilakukan?" pertanyaan itu telah
Ternyata kawan Pamot mendahului mencapa i gardu di tikungan. Dengan serta merta ia meloncat turun di depan gardu yang masih kosong itu. Dia mbilnya selarak ja lan yang biasa dipasang di ma la m hari. Sebuah ba mbu panjang, sepanjang lebar jalan itu. "Cepat Pamot cepat "serunya. Pamot agaknya mengerti ma ksud kawannya. Karena itu iapun me mpercepat sejauh dapat dilakukan. Sejenak ke mudian Pa motpun telah mela mpaui gardu yang kosong itu. Ketika ia berpaling dilihatnya kawannya sibuk me masang selarak seperti apabila ada sesuatu yang penting di ma la m hari. Tetapi agaknya kawan Pa mot tidak sekedar me masang selarak itu saja. Ia tahu, bahwa orang-orang Ki Reksatanipun akan dengan mudahnya me mbuka selarak itu, meskipun mereka harus berhenti sekejap. Tetapi kawan Pa mot itu me manjat sudut gardu itu dan mengambil kentongan kecil yang tergantung di ujung e mper. Ketika ia me loncat turun, ma ka dilihatnya di tikungan beberapa ekor kuda berpacu dengan cepatnya menuju ke arahnya.
Dada anak muda itu berdesir. Tetapi ia tidak boleh menyerah. Dengan tergesa-gesa ia berlari dan me loncat kepunggung kudanya sa mbil me mbawa kentungan itu. Sejenak ke mudian kudanya sudah berpacu meninggalkan gardu itu tepat di saat Ki Reksatani berteriak "Lepaskan selarak itu. Cepat" Seseorang meloncat turun dari kudanya. Tetapi ketika tangannya mulai menyentuh selarak itu, ternyata anak muda yang berpacu sambil me mbawa kentongan itu telah me mukul tanda bahaya. Sambil menyelusuri jalan padukuhan, bergemalah kentongannya dalam nada titir yang berkepanjangan. Karena orang yang akan me mbuka se larak itu me njadi ragu-ragu, Ki Reksatani telah berteriak "Cepat, apakah kau menjadi gila?" "O" orang itu tergagap. Dengan serta merta tangannya menarik se larak dan me le mparkannya ketepi. Namun waktu yang sekejap itu agaknya telah membuat Ki Reksatani menjadi bimbang. Ternyata seseorang yang duduk di pintu rumahnya terkejut mendengar suara kentongan dalam nada yang mence maskan. Tanpa berpikir panjang, iapun segera berlari ke sudut rumahnya dan me mukul tanda yang serupa. Demikianlah maka tanda itu telah mera mbat dari kentongan yang satu kekentongan yang lain. Bukan saja kentongan di gardu-gardu tetapi juga kentongan di sudutsudut rumah. Bahkan seorang yang me miliki kentongan bongkotan glugu telah me mukulnya pula sehingga suaranya bergema di seluruh padukuhan. "Gila" desis Ki Reksatani yang ragu-ragu. Ia mengerti, bahwa ia me merlukan waktu untuk mencapa i Kade mangan. Waktu yang sejenak selama ia me mbuka selarak, telah me mberikan kese mpatan kepada Pamot me mperpanjang jarak
daripadanya. Apalagi kini didengarnya suara kentongan dalam nada yang mence maskan. "Beberapa orang akan sempat berkumpul di hala man Kademangan Kepandak" desis Ki Reksatani "a ku tida k mau mati seperti harimau di dala m ra mpogan. Aku harus datang dalam kesiagaan menghadapi para pengawal dan kakang Demang di Kepanda k" Para pengiringnya menjadi termangu-mangu. "Aku tidak akan segera pergi ke Kade mangan sekarang. Aku akan me mpersiapkan orang-orangku supaya aku tidak perlu mengulanginya. Pergilah kalian me manggil kawan-kawan kita yang masih ada di rumah. Panggilah mereka yang menunggu di pondokan-pondokannya" la lu kepada pengikut Manguri yang ada diantara mereka ia berkata "Kalian juga. Panggillah orang-orangmu. Pengawal-pengawal ternak yang ada. Kita sudah sampai pada batas terakhir untuk bertindak. Kalau kita terla mbat, kita se mua akan binasa. Sekarang kita tidak me mpunyai pilihan lain. Kita harus segera menguasai keadaan. Kita harus menguasai para bebahu dan anak-anak ingusan yang menyebut dirinya pengawal-pengawal Kademangan" Sejenak mereka termangu-mangu. "Kalian tidak usah menunggu Manguri yang terluka. Kalau kita berhasil, ia akan dapat kita sela matkan. Tetapi kalau kita mati dicincang orang disini, Manguri dan ayahnyapun akan menga la mi nasib serupa" Ki Reksatani berhenti sejenak, lalu "Cepat. Semuanya kita lakukan sekarang. Aku menunggu di ujung desa ini" Sejenak kemudian, ma ka berpencaranlah kuda-kuda itu menuju ke arah masing-masing. Dua orang tinggal bersamasama Ki Reksatani. Merekapun ke mudian menunggu di ujung desa dengan gelisahnya.
Ternyata perhitungan Ki Reksatani tidak sa lah. Kentongan dalam nada titir itu telah mengejutkan setiap orang. Beberapa orang anak muda segera menyambar senjata masing-masing dan berlari-larian ke hala man Kade mangan. Para bebahu dan laki-laki di sekitar rumah Ki De mangpun segera bersiaga. Ki Jagabaya yang ada di Kademanganpun terkejut pula. Karena ia belum mengerti apa yang sudah terjadi, maka iapun tidak segera dapat menjawab beberapa pertanyaan para pengawal. "Apa yang terjadi Ki Jagabaya?" Ki Jagabaya mengge lengkan kepalanya. "Aku belum tahu" katanya "tenanglah. Sebentar lagi pasti akan ada laporan" Anak-anak muda yang sudah berada di halaman kademangan menjadi gelisah. Sementara anak-anak muda yang lain masih berlari-larian menuju ke halaman Ki De mang di Kepanda k. Ki De mang di Kepanda k sendiripun menjadi gelisah mendengar suara kentongan itu. Setelah menyisipkan senjatanya di pinggangnya, iapun ke mudian menuruni tangga pendapa rumahnya, Hatinya yang selama ini sedang resah karena hilang nya Nyai De mang, kini serasa menjadi se ma kin bergejolak mendengar tanda bahaya yang sudah bergema di seluruh Padukuhan induk. Dan bahkan sudah merayapi ke padukuhan-padukuhan la in. Beberapa orang yang berlari-larian keluar dari regol masing-masing, tiba-tiba terkejut oleh derap kuda yang berlari dengan kencangnya. Dua ekor kuda. Yang di depan membawa dua orang sekaligus sedang yang di belakang seorang anak muda da la m pakaian yang tidak lengap berpacu sa mbil me mukul kentongan.
"Apakah mereka sedang saling berkejaran?" bertanya salah seorang. "Entahlah. Mereka menuju ke hala man Ki De mang" "Kita akan pergi ke Kade mangan pula" Orang-orang itupun ke mudian berlari-larian mengikuti arah kuda yang berderap di jalan padukuhan itu. Kademangan Kepandak yang gelisah itu tiba-tiba me njadi semakin hiruk pikuk. Kuda berlari-larian ke segenap arah. Suara titir yang mengumandang di seluruh kade mangan. Anak-anak muda yang dengan tergesa-gesa berkumpul di Kademangan dengan senjata di tangan. Dala m pada itu Ki Reksatanipun menjadi gelisah pula. Hampir-ha mpir ia tidak bersabar lagi menunggu orangorangnya. Tetapi karena jaraknya yang cukup jauh, maka ia terpaksa menunggu dengan dada yang bergejolak. Tetapi Ki Reksatani yakin, bahwa Ki De mang di Kepandak tidak akan mencarinya ke ujung padukuhan. seandainya ia menyadari apa yang akan terjadi, ia akan bertahan di halaman Kademangan bersa ma para bebahu dan anak-anak muda yang disebut pengawal Kade mangan. Ketika Ki Reksatani mengangkat wajahnya, dilihatnya langit sudah menjadi se ma kin merah. Matahari perlahan-lahan telah tenggelam di ujung Barat, meninggalkan sisa-sisa sinarnya yang tersangkut di bibir awan. Perlahan-lahan senja yang suram menjadi se makin ke la m, seperti hati setiap orang di Kademangan Kepandak. Belum ada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti, apa yang sudah terjadi. Dala m pada itu, dua ekor kuda perlahan-lahan mendekati regol Kade mangan yang menjadi se makin penuh dengan para pengawal di sana-sini anak-anak muda ta mpak bersiaga.
"Aku takut kakang" tiba-tiba Sindangsari berdesis dengan suara yang gemetar. Pamotpun menjadi ragu-ragu karenanya. Sejenak mereka berhenti. Tetapi kawannya mende katinya sambil berkata "Kita harus menya mpaikannya kepada Ki De mang sebelum Ki Reksatani datang mendahului kita" Pamot menarik nafas dalam-dala m. Terasa dadanyapun bergolak pula. Sekali-seka li iapun berpaling, tetapi ia tidak segera melihat Ki Reksatani menyusulnya. "Mungkin Ki Reksatani me mpergunakan cara la in setelah ia mendengar t itir" berkata kawan Pa mot. "Baiklah" desis Pa mot. "Tetapi aku takut" sekali lagi Sindangsari berbisik. "Jangan takut Sari. Kau akan ke mbali kepada sua mimu. Kau akan segera mendapat perlindungannya" "Tetapi" suara Sindangsari terputus. "Marilah" Terasa di tangan Pamot tubuh Sindangsari menjadi gemetar. Tetapi sebelum Pamot berkata lebih lanjut, beberapa orang yang melihatnya segera mendekatinya. Di dalam kesuraman senja orang-orang itu tidak segera mengenal, siapakah yang berada dipunggung kuda itu. Tiba-tiba seorang anak muda berdesis "Kau Pa mot" "Ya" "Tetapi siapakah yang kau bawa?" Pamot menarik nafas sekali lagi. Agaknya tidak mudah mengenal seseorang di kere mangan senja, apalagi dalam pakaian yang aneh. "Siapa?" orang itu mendesak sambil mendekat.
"Aku akan menghadap Ki De mang" desis Pa mot. Tanpa menunggu jawaban, Pa motpun segera menggerakkan kenda li kudanya dan maju me ndekati regol halaman. Orang-orang yang mendekatinya sama sekali tidak menahannya. Mereka telah mengenal Pa mot dengan baik. Tetapi mereka heran juga melihat seseorang yang aneh duduk dipunggung kudanya pula. Ketika Pa mot telah lalu, merekapun segera mendekati kawan Pamot yang masih termangu-mangu diatas punggung kudanya. Salah seorang segera bertanya kepadanya "Kenapa kau sebenarnya" Apakah kau datang dari sawah langsung ke mari" Apakah karena kau sede mikian tergesa-gesa, tidak sempat mengenakan kain dan ikat kepala bahkan berkuda?" Anak muda itupun mengge lengkan kepalanya "Dengarlah apa yang akan dikatakan Pamot kepada Ki De mang di Kepandak" "Apa yang akan dikatakannya?" "Aku kurang tahu" Orang-orang itupun menjadi termangu-mangu. Ke mudian mereka tergesa-gesa kembali ke hala man untuk mendengar apa yang akan dikatakan oleh Pamot kepada Ki De mang di Kepandak. Ketika kuda Pa mot sampai di regol, orang-orang yang berdiri di regolpun segera menyibak. Di dala m keremangan senja yang semakin gelap mere ka melihat Pa mot me mbawa seseorang yang agak aneh di pandangan mereka. Tetapi beberapa orang berbisik "He, kau kenal orang yang dibawa Pamot diatas punggung kudanya?" Yang ditanya hanya menggigit bibirnya. Meskipun de mikian orang itu berdesis di dala m hatinya "Wajah itu mirip seka li dengan Nyai De mang di Kepandak"
Pamot langsung me masuki ha la man diatas punggung kudanya. Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat dua buah bayangan yang kehitam-hitaman berdiri di bawah tangga pendapa. Semakin de kat, menjadi se makin jelas baginya, meskipun kegelapan mulai menyelubungi Kade mangan Kepandak, bahwa dua orang itu adalah Ki De mang dan Ki Jagabaya. Pamot baru menghentikan kudanya ketika ia sudah berada beberapa langkah di hadapan Ki De mang di Kepandak. Iapun ke mudian meloncat turun. "Aku yang datang menghadap Ki De mang" "Kau Pa mot?" bertanya Ki De mang "kaukah yang menyebabkan seisi Kade mangan menjadi gelisah karena tanda bahaya itu?" "Ya Ki De mang" "Kenapa?" Pamot tidak segera menjawab. Dipandanginya Nyai Demang yang masih duduk diatas punggung kudanya. Perlahan-lahan ia mende katinya dan menolongnya turun perlahan-lahan. "Aku takut" masih terdengar desis itu. Ternyata desis itu telah menghentakkan dada Ki De mang di Kepandak. Suara itu suara seorang perempuan. Karena itu, maka Ki De mangpun segera meloncat mendekati sa mbil bertanya "Siapa orang ini" Suaranya suara seorang perempuan, tetapi ia me ma kai ikat kepala. seperti la ki-laki" Pamot menjadi berdebar-debar. Tetapi ia berkata "Ki Demang. Aku datang untuk menyerahkan Nyai De mang di Kepandak" "He?" suara Ki De mang di Kepandak terputus di kerongkongan. Pernyataan Pamot yang tiba-tiba itu benarbenar telah mengguncang isi dadanya. Justru karena itu sejenak ia me mbeku di te mpatnya. Dalam kegelapan yang semakin hita m, Ki De mang me mandang seorang pere mpuan yang berdiri termangu-mangu di sisi Pa mot. Bahkan tanpa sesadarnya, Sindangsari itu masih juga berpegangan pada lengan Pa mot. Perlahan-lahan Ki De mang di Kepandak dapat mengenal wajah itu. Wajah itu adalah wajah isterinya. Sindangsari yang sedang mengandung. Yang hilang se lagi Kade mangan disibukkan oleh peralatan untuk menya mbut bulan ke tujuh dari kandungan Sindangsari itu. Namun tiba-tiba terkilas di kepala Ki De mang di Kepandak, apa yang sebenarnya dihadapi. Ketika ia me mandang perut Sindangsari yang me mbesar, sesuatu kenyataan telah menya mbar kepalanya, bahwa sebenarnya anak di dalam kandungan itu sa ma sekali bukan anaknya. Karena itu, sesuatu terasa melonjak di dadanya. Ke mudian jantungnya yang berdentangan serasa tersentuh seonggok bara. Dengan serta-merta Ki De mang di Kepandak me loncat maju menangkap baju Pa mot. Sambil mengguncangguncangnya Ki De mang berkata geram "Jadi, jadi benar kau yang menculiknya Pamot" Jadi kaulah yang telah me mbuat Kademangan Kepandak ini bagaikan neraka" Kenapa hal itu kau la kukan he, kenapa?" "Tida k, tidak Ki De mang. Bukan aku. Bukan aku" "Jangan ingkar. Jangan ingkar. Darimana kau dapatkan perempuan itu ka lau me mang bukan kau yang menye mbunyikannya" "Tida k, tidak Ki De mang" tiba-tiba Sindangsari. terdengar suara
"O, agaknya semuanya me mang sudah diatur. Agaknya kalian me mang telah bersepakat untuk me lakukannya" "Tida k Ki De mang"
"Jangan ingkar" tiba-tiba tangan Ki De mang telah menarik baju Pa mot sehingga anak itu terdorong maju. "Tunggu Ki De mang" cegah Ki Jagabaya "sebaiknya kita bertanya kepadanya. Apakah yang akan dilakukan dan apakah yang telah dila kukan" "Aku tidak me mpunyai waktu untuk berbicara dengan orang-orang semaca m ini. Ia telah menghina ku. Ia menganggapku sama sekali bukan seorang laki-la ki" lalu bertanya kepada Pamot "Pamot, apakah kau merasa bahwa kau seorang laki-laki yang tanpa tanding" Apakah kau sekarang ingin menantang a ku da la m perang tanding?" "Tida k Ki De mang" suara Pa mot ge metar, sedang Sindangsari seolah-olah telah kehilangan aka l tanpa dapat berbuat sesuatu. Dala m pada itu kawan Pa mot segera maju mendekat sa mbil berkata "Aku adalah saksi dari semua yang telah terjadi KiDe mang" Ki De mang di Kepandak mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah anak muda itu dengan tajamnya. Tetapi Ki Demang seolah-olah justru terbungka m. "Ki De mang" berkata anak muda itu "Pa mot sama sekali tidak bersalah" Ki De mang me ma ndangnya sema kin tajam. "Aku menyertainya sejak ia meninggalkan Kepandak untuk mencari Nyai De mang" "Kau mencoba melindunginya?" "Sa ma sekali tidak. Tetapi mendengarkan keteranganku" sebaiknya Ki De mang
Ki De mang di Kepandak menjadi ragu-ragu sejenak. Sedangkan anak muda itu menjadi gelisah. Apabila tiba-tiba saja Ki Reksatani datang dan segera memberikan keterangan
dan kesaksian palsu, maka mungkin sekali Ki De mang akan lebih me mpercayainya. "Cepat katakan, apa yang telah kau saksikan?" berkata Ki Demang sa mbil me lepaskan baju Pa mot yang dipegangnya. "Ki De mang" berkata anak muda itu "baik Pa mot maupun Nyai De mang di Kepandak sa ma se kali tidak bersalah, Ki Demang dapat me lihat, bahwa Nyai De mang berpaka ian tidak sewajarnya karena pakaiannya sendiri sebagian telah terbakar" "Terbakar?" "Ya. Nyai Demang berusaha untuk me mbunuh diri dengan me mba kar bilik te mpat ia dise mbunyikan" "Siapakah yang menyembunyikan" Siapa"!!" Ki De mang seakan-akan tidak sabar lagi me nunggu jawab anak muda itu "jangan berbohong. Kalau kau berbohong karena kau dan Pamot serta Sindangsari telah bersepakat, maka kalian akan aku gantung bersa ma-sa ma" "Aku me mpunyai saksi. Tidak hanya seorang atau dua orang. Tetapi seluruh isi padukuhan Se mbojan dan Kali Mati. Bahkan seluruh Kade mangan Prambanan karena Ki Jagabaya di Pra mbanan ikut serta menyelesaikan masalah ini" "Cepat, katakan apa yang kau lihat" Anak muda itu me narik nafas dalam-da la m. Di dala m keremangan mala m ia me lihat bayangan para bebahu dan pengawal kade mangan telah mengerumuninya. "Cepat" bentak Ki De mang di Kepandak. dipandanginya Sindangsari yang kelelahan. Sekilas
Ia masih saja berdiri di tengah-tengah lingkaran orangorang Kepandak. Tetapi anak muda itu tidak berani mengatakan sesuatu tentang Nyai De mang itu.
Karenai itu, maka anak muda itupun segera mulai berceritera, sejak mereka berangkat meningga lkan Ge mulung di mala m hari, sampa i saat-saat terakhir mereka berada di Sembojan. Bagaimana mere ka harus berkelahi melawan orang-orang Ki Reksatani dan Manguri dan bagaimana mereka me larikan diri dari Se mbojan dikejar oleh Ki Reksatani dan orang-orangnya. "Ka mi ha mpir saja dapat ditangkapnya. Ki Reksatani berada beberapa puluh langkah di belakang ka mi" Keterangan anak muda itu bagaikan bunyi guruh yang me ledak diatas kepala mereka. Terlebih-lebih Ki De mang di Kepandak. Beberapa kali anak muda itu menyebut nama adiknya, Reksatani. Beberapa kali Ki De mang berusaha meyakinkan pendengarannya, apakah benar na ma itu yang diucapkan oleh anak muda itu. Ki De mang di Kepandak hampir-ha mpir tidak dapat me mpercayai pendengarannya sendiri, atas nama itu. Nama satu-satunya adiknya. Karena itu, maka untuk meyakinkan dirinya Ki De mang ke mudian bertanya dengan suara gemetar "Kau sebut na ma Reksatani?" "Ya. Ya Ki De mang. Ki Reksatani. Memang ha mpir t idak masuk aka l. Tetapi aku tidak berbohong" Terasa dada Ki De mang seolah-olah akan me ledak karenanya. Anak muda itu telah menceriterakan se muanya. Semuanya yang diketahui tentang Ki Reksatani Semua yang telah dilihatnya dan semua yang pernah didengarnya dari Pamot. Ki Jagabayapun bagaikan me mbe ku di tempatnya mendengar keterangan anak muda itu. Seperti melihat peristiwa di da la m mimpi yang mengerikan. Tetapi beberapa kali ia mendengar na ma itu na ma Reksatani. Reksatani. Dan
akhirnya Ki Jagabaya yakin bahwa yang dimaksud adalah Ki Reksatani satu-satunya adik Ki De mang di Kepandak. Dala m pada itu, Ki De mang di Kepandak masih berdiri me mbe ku di tempatnya. Sejenak ia mencoba membayangkan apa yang sebenarnya telah terjadi itu. Selama ini ia tidak pernah menaruh kecurigaan apapun terhadap adiknya. Bahkan ia sudah pernah mengatakan kepada Ki Reksatani, bahwa apabila Nyai De mang di Kepandak tidak segera dapat dikete mukan, ia akan meninggalkan Kade mangan dan menyerahkan pimpinan Kade mangan ini kepada adiknya itu. Ki De mang menarik nafas dalam-dala m. Satu-satu peristiwa-peristiwa yang paling pent ing di da la m hidupnya telah me mbayang. Satu-satu terbayang pula wajah-wajah isterinya yang terdahulu. Isteri-isterinya yang tidak pernah dapat me mberikan seorang anak kepadanya Kini isterinya yang terakhir itu sudah mengandung. Kandungan inilah yang me mbuat adiknya menjadi gila. Setelah sekian la ma ia berpengharapan, agar Ki De mang di Kepandak tidak me mpunyai seorang anak, tiba-tiba harapan itu lenyap seperti asap tertiup angin Nyai Demang yang terakhir telah mengandung. "Inilah sebabnya?" ia bertanya kepada diri sendiri kenapa ia tidak berterus terang mengatakan bahwa ia menginginkan jabatan ini?" Tetapi apa yang sudah dilakukan oleh Ki Reksatani telah me mbuat hati Ki De mang menjadi panas. Seandainya benar keterangan itu, maka justru ia tidak akan dapat begitu saja menyerah. Dala m kegoncangan perasaan itu, Ki De mang bertanya dengan suara yang dala m "Dimana Reksatani sekarang?" "Ka mi tida k tahu Ki Demang. Ha mpir saja ka mi dapat disusulnya. Tetapi ketika ka mi me masuki padukuhan ini, agaknya Ki Reksatani tidak mengejar terus"
Ki De mang di Kepandak me nggeretakkan giginya. Dipandanginya Pamot yang masih berdiri me mbe ku di kegelapan mala m. Ke mudian ditatapnya Wajah isterinya yang ketakutan. Dada Ki De mang tiba-tiba berdesir. Wajah-wajah itu adalah wajah-wajah yang sangat muda. Wajah Sindangsari yang me mang sebaya untuk menjadi isteri Pa mot. Keduanya seolah-olah me miliki kesa maan. Tatapan mata mereka, bibir mereka, lengkung alis dan sudut dagu. "Sindangsari me mang pantas menjadi isterinya" tiba-tiba saja, tanpa disadarinya tumbuh suatu pengakuan di dala m hati "Kenapa a ku dahulu me nga mbilnya?" Barulah kini Ki De mang menyadari, betapa pahit hidup Sindangsari se la ma ini. Sejak ia diperebutkan oleh Pa mot dan Manguri yang hampir saja terjadi korban ketika gerombolan penjahat ikut ca mpur pula di da la mnya. Dan belum lagi hati gadis itu menjadi tenang, datanglah dirinya sebagai Demang di Kepanda k, tanpa menghiraukan perasan kedua anak-anak muda itu telah mera mpas kebahagiaan mereka dengan paksa. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa setelah Sindangsari di Kade mangan. Ia lebih banyak berbuat sebagai seorang ayah terhadap anak gadisnya daripada seorang sua mi. Ketika ia mengetahui bahwa Sindangsari mengandung oleh tetesan darah Pamot, hampir saja ia me mbunuh pere mpuan itu. Namun akhirnya ia me manfaatkannya, karena ia sendiri me mang t idak akan dapat me mberinya. Tetapi kandungan itulah yang telah me nyeret Sindangsari ke dala m bencana. Tiba-tiba Ki De mang di Kepandak menggeretakkan giginya. Seakan-akan ia dihadapkan pada sebuah cermin yang menunjukkan cacat di wajah sendiri. Bencana yang mengejar Sindangsari dan Pa mot sela ma ini adalah akibat dari perbuatannya. Akibat dari keserakahannya. Bahkan ia telah dengan sengaja menjerumuskan Pa mot ke dala m tangan
maut, dengan mengirimkannya ke Mataram. Tetapi anak itu masih tetap hidup. Kenangan tentang perjalanan hidup Ki De mang itu jelas terbayang di wajahnya. Satu-satu. Sehingga akhirnya ia menga mbil suatu keputusan "Pa mot. Bawalah Sindangsari masuk ke dalam. Aku akan menunggu Reksatani disini" lalu kepada Ki Jagabaya "perintahkan beberapa pengawal menjaga setiap pintu. Tidak mustahil Reksatani akan masuk lewat pintu butulan" Ki Jagabaya menganggukkan kepalanya. Bersamaan waktunya dengan langkah Pamot mengantar Nyai Demang di Kepandak masuk ke ruang dala m, maka Ki Jagabayapun telah menyebar orang-orang kesegenap sudut halaman Kademangan. Ki De mang di Kepandak sadar, bahwa rencana Ki Reksatani bukanlah rencana yang baru disusun kemarin. Rencana ini pasti sudah diperhitungkan masak-masak dengan Manguri dan keluarganya. Karena itu, maka Ki De mangpun sadar, bahwa seandainya Ki Reksatani akan datang nanti, ia pasti membawa beberapa orang kawan bersamanya. Ki Reksatani pasti sudah siap untuk bertempur beradu dada. Dan kini, adik satusatunya itu pasti sedang mengumpulkan orang-orangnya. Betapa pahitnya Ki De mang di Kepandak menyadari kenyataan itu. Tetapi semuanya sudah merayap sampa i ke puncaknya sehingga t idak a kan mungkin diulang ke mba li. Seperti Ki De mang di Kepandak, Ki Rekstanipun seakanakan me lihat seluruh perja lanan hidupnya yang me mbayang. Sekilas terkenang masa kanak-kanaknya. Kakaknya memang seorang kakak yang baik. Yang sela lu berusaha mengasuhnya dan menuntunnya dala m banyak hal. "Tida k" Ki Reksatani menggera m "ia sa ma sekali bukan seorang kakak yang baik. Ia adalah seorang yang serakah. Seorang yang hanya me mentingkan dirinya sendiri. Ia sama
sekali t idak me mberikan apapun kepada Kade mangan ini selain mera mpas pere mpuan-pere mpuan cantik untuk dijadikan isterinya" Sambil menunggu kawan-kawannya Ki Reksatani merekareka apa yang akan dikerjakan. Ia harus menguasai seluruh halaman Kade mangan, me musnahkan orang-orang yang setia kepada Ki De mang di Kepandak. Jumlah itu tidak begitu banyak. Pengawal ingusan itu akan segera menjadi gentar me lihat peperangan yang kalut. Mungkin satu dua orang yang telah ikut serta pergi ke Betawi akan dapat bertahan. Tetapi merekapun akan segera dihancurkan. Setelah Ki De mang di Kepandak dan para bebahu Kademangan dibunuhnya, tugasnya tidak akan seberat itu lagi. Apalagi Ki Reksatani yakin, bahwa tidak se mua pengawal pergi ke Kademangan karena sebagian dari mereka pasti menjaga padukuhan mereka masing-masing. "Tida k ada orang yang dapat menghalangi lagi. Kakang Demang bukan orang yang tidak terkalahkan. Aku kira, aku akan dapat mengimbanginya" berkata Ki Reksatani di dala m hatinya. Sekilas terbayang wajah Lamat raksasa yang baginya mulai menjadi Uar. Sehingga dala m pada itu ia berkata kepada diri sendiri "Ternyata Lamat me mang seorang pengkhianat. Agaknya ia pulalah yang telah me mbunuh la ki-laki muda yang hampir saja dapat menerkam Nyai De mang di Kepandak. Pasti Lamat pulalah yang telah me mbunuhnya waktu itu" Demikianlah, ma ka satu-satu orang-orang Ki Reksatani mulai berdatangan. Ada juga diantara mereka orang-orang Manguri yang tidak banyak mengetahui persoalannya. Tetapi mereka sadar, bahwa merekapun sudah terlibat pula di dala m persoalan ini, sejak mere ka harus berjaga-jaga ketika di Kademangan diada kan peralatan menyambut bulan katujuh kandungan Sindangsari. Dala m pada itu, seluruh Kade mangan Kepandak me njadi panas, terbakar oleh kekisruhan yang menyeluruh. Ibu
Sindangsari yang baru saja pulang ke Ge mulungpun menjadi gemetar. Setiap peristiwa yang terjadi, selalu dihubungkannya dengan hilangnya anak pere mpuannya dari Kade mangan. Akhirnya, ketika mala m menjadi se makin gelap, baik orangorang Ki Reksatani, maupun orang-orang yang merasa berkewajiban melindungi Kade mangan Kepanda k telah siap di tempat masing-masing. Rasa-rasanya Ki Reksatani sudah tidak sabar lagi. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaan yang sudah setengah dila kukannya itu. Semisal orang yang menyeberang sungai, ia sudah terlanjur menjadi basah kuyup, sehingga lebih baik terus daripada ke mbali dari tengah. Demikianlah, maka Ki Reksatani sejenak me mandang orang-orangnya yang hampir se mua berada di punggung kuda. Satu-satu dua diantara mereka terpaksa me mperguna kan seekor kuda untuk dua orang. "Kita sudah sampai pada bagian terakhir dari perjuangan ini" berkata Ki Reksatani kepada anak buahnya "Aku sudah mencoba mene mpuh ja lan yang paling baik, yang tidak akan menumbuhkan pertentangan yang luas, yang tidak akan menga mbil korban terlampau banyak. Tetapi aku sudah gagal. Sekarang, mau t idak ma u, senang tidak senang, kita akan mene mpuh jalan kekerasan. Tetapi pekerjaan ini bukan pekerjaan yang terlampau berat. Jumlah kita cukup banyak. Yang kita hadapipun hanyalah sekedar kambing-ka mbing yang le mah. Bukan serigala" Ki Reksatani berhenti sejenak, lalu "Aku sadar, bahwa setelah semuanya selesai, aku masih harus me mpertanggung jawabkan perbuatan ini kepada pe mimpin pemerintahan di Mataram. Mungkin mereka akan mengirimkan beberapa orang untuk melihat kenyataan yang telah terjadi disini. Tetapi itu akan dapat aku lakukan kela k dengan sempurna. Aku me mpunyai bukt i-bukti kele mahan kakang Demang di Kepanda k"
Tidak ada yang menyahut. Orang-orang yang ada di hadapan Ki Reksatani hampir tidak me mpedulikan apa yang terjadi. Hanya beberapa orang yang berhasil dibakar hatinya sajalah yang mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang lain sama sekali t idak menghiraukannya. Yang penting bagi mereka, kalau mereka berhasil, maka mereka akan mendapat upah yang cukup. Ada diantara mereka yang mendapat kesanggupan untuk menjadi tetua padukuhan-padukuhan di telatah Kepandak. Ada yang akan mendapat uang tunai. Ada pula yang akan me ndapat garapan sawah turun tumurun. Bahkan orang-orang Manguripun mengharapkan hadiah serupa itu pula. Meskipun barangkali bukan dari Manguri, tetapi dari Ki Reksatani. Apalagi dari kedua-duanya, karena kekalahan Ki De mang akan berarti menyela matkan Manguri meskipun andaikata Sindangsari tidak tertolong lagi. Demikianlah, ma ka ketika mereka merasa sudah cukup kuat, Ki Reksatanipun segera berteriak "Kita akan berangkat. Kita akan mengepung ha la man depan Kademangan. Ingat, hanya halaman depan. Tetapi satu dua orang yang telah aku tunjuk akan mengawasi hala man belakang seandainya Sindangsari berusaha dilarikan orang. Adalah wewenangnya untuk sekaligus menyelesaikannya. Juga atas Pamot dan orang-orang lain yang melindungi perempuan itu. Kita akan menghadapi bebahu Kademangan yang berjiwa kerdil itu serta anak-anak ingusan yang merasa dirinya pengawal-pengawal yang tidak terkalahkan. Kalau kita menang, aku akan melunasi semua janjiku. Tetapi kalau kita tidak berhasil, maka kita semuanya akan digantung di pinggir padukuhan induk ini untuk menjadi tontonan. Karena itu, selagi kita bertaruh nyawa, kita tidak usah terlampau baik hati atas lawan-lawan kita nanti" Tidak ada yang menyahut. Dan karena tidak ada sepatah katapun ma ka Ki Reksatanipun berteriak "Marilah kita berangkat. Aku percaya kepaa kalian"
Sejenak ke mudian maka kuda-kuda itupun sudah berderap. Mereka yang tidak me mpunyai kuda segera bergayutan pada punggung kuda kawan-kawannya. Dala m pada itu, orang-orang di ha la man Kade mangan sudah menjadi gelisah. Setelah me merintahkan para penawal berjaga-jaga di segenap sudut, Ki Jababayapun kembali, pula ke hala man. Sambil termangu-mangu ia berdiri di be lakang Ki Demang di Kepandak. Di sisinya Pamotpun berdiri tegak seperti patung. Ditinggalkannya Sindangsari di dala m biliknya, yang setiap pintu telah dijaga oleh para pengawal. Bukan saja di luar rumah, tetapi juga di da la m rumah. "Mereka be lum juga datang" akhirnya Ki Jagabaya berdesis. Ki De mang t idak menyahut. "Apakah kita akan menunggu sampai kapanpun?" bertanya Ki Jagabaya kemudian "atau pada saatnya kita akan pergi ke rumahnya dan menangkapnya hidup atau mati?" "Ia pasti akan datang" geram Ki De mang "Aku yakin. Dan aku akan me nunggunya" Ki Jagabaya tidak menyahut. Ketika ia se mpat me mandang wajah Ki De mang, walaupun di dala m kegelapan, namun tampak, betapa wajah itu menjadi tegang. Dan tiba-tiba saja Ki De mang itu berkata kepada Ki Jagabaya "Perintah me masang obor segala penjuru hala man ini. Kita sedang menya mbut ta mu agung" Ki Jagabaya termangu-mangu. "Cepat. Aku sedang menyambut satu-satunya adikku tersayang. Aku akan menyambutnya sebagai seorang ta mu yang sudah la ma seka li aku rindukan" Ki Jagabaya masih bingung. Tetapi iapun tidak bertanya sama sekali. Diperintahkannya beberapa orang menyalakan obor dan memasangnya di segala sudut. Di regol depan, di
gardu, di pepohonan dan di dinding-dinding batu, sehingga halaman itu menjadi terang-benderang bagaikan siang. Tidak seorangpun yang segera mengerti maksud Ki Demang di Kepandak. Tetapi juga tidak seorangpun yang berani bertanya. Mereka hanya dapat menduga, bahwa apabila benar-benar terjadi bentrokan supaya setiap pihak dapat me mbedakan lawan dan kawan. Dala m cahaya obor yang ke merah-merahan tampa klah wajah-wajah yang tegang di seputar halaman. Di bawah tangga pendapa, di sisi-sisi regol, di pinggir gandok dan di sepanjang dinding batu. Bahkan ujung-ujung senjata yang telanjang bagaikan daun ilalang yang mencuat dengan lebatnya. Dala m pada itu Ki Reksatani dan orang-orangnya berderap menyusuri jalan padukuhan induk itu menuju ke hala man Ki Demang di Kepandak. Bagaimanapun juga hatinya menjadi berdebar-debar. Kadang-kadang me mang terbayang masa kanak-kanak mereka,kaka k beradik anak De mang di Kepandak. Namun justru kedudukan De mang di Kepandak itulah agaknya yang kini telah me misahkan mereka. Bahkan diantarai dengan taja mnya senjata. Semakin dekat hala man Kade mangan, hati Ki Reksatani me mang menjadi se makin berdebar-debar, Tetapi iapun ke mudian menggeretakkan giginya "Aku sudah me la mpaui separo jalan. Apaboleh buat. Apaboleh buat. Kakang De mang adalah saudaraku karena kebetulan kami dilahirkan oleh ibu yang sama dari ayah yang sama pula. Tetapi kini ka mi harus mencari jalan ka mi masing-masing" Ki Reksatani telah berusaha mengingkari setiap kata hatinya tentang Ki De mang di Kepandak, bahwa sampai saat ini, dan sa mpai kapanpun, ikatan yang ada diantara mereka tidak akan dapat diputuskan. Ia tidak akan dapat ingkar, bahwa De mang di kepandak adalah saudara tuanya.
"Tida k. Aku bukan adiknya lagi. Sejak ia menyimpang dari garis kebenaran, ia bukan kakakku lagi" Tetapi Ki Reksatani terkejut sendiri. Yang tampak olehnya adalah arti yang kabur dari kebenaran itu. Demikian derap kaki-kaki kuda itu semakin la ma menjadi semakin dekat dengan halaman Kade mangan. Karena itu, maka se kali lagi ia berteriak kepada para pengikutnya "Hatihatilah. Jangan gagal ka lau ka lian tidak ingin digantung" Ki Reksatanipun segera me mpercepat derap kudanya untuk mengimbangi debar jantungnya yang se makin cepat pula. Namun demikian ia menjadi heran melihat cahaya yang ke merah-merahan me mbayang di arah hala man Kade mangan. "Api" desisnya "atau obor-obor yang banyak seka li" Namun ia menggera m "Persetan. Aku harus membinasakan mereka yang tidak tunduk atas kehendakku. Aku harus me mbunuh Sindangsari dan apabila mereka berkeras, para bebahu Kade mangan sela in Ki De mang sendiri" Sejenak ke mudian, Ki Reksatanipun sudah me lihat seperti yang disangkanya, obor yang bertebaran di halaman. Namun dengan demikian hatinya menjadi se makin berdebar-debar karenanya. Tetapi ia me mang sudah me mbulatkan tekadnya, mera mpas kedudukan kaka knya dengan ke kerasan. Orang-orang di Kade manganpun telah me ndengar pula derap kuda yang mendekat. Tidak hanya tiga atau empat, tetapi banyak. Banyak sekali. Sehingga karena itu, tanpa perintah siapapun, orang-orang segera berloncatan masuk ke dalam dinding-dinding kebun dan hala man di sebelah menyebelah. Ki De mang di Kepandak menarik nafas dala m-dala m. Ia maju beberapa langkah dan berdiri ha mpir tepat di tengahtengah hala man rumahnya yang luas, yang beberapa waktu
berselang dipergunakannya untuk berbagai keperluan. Untuk menyelenggarakan upacara dan pertunjukan-pertunjukan di saat-saat ia kawin beberapa kali. Untuk berlatih pasukan pengawal khusus yang terdiri dari anak-anak muda dari beberapa padukuhan di dalam lingkungan Kade mangan Kepandak. Untuk menyelenggarakan upacara bulan ke tujuh kandungan Sindangsari di mala m ma lapetaka itu. Dan yang terakhir, Ki De mang telah menerima anak-anak muda Kepandak yang kemba li dari Mataram setelah mereka ikut berjuang merebut Betawi. Kini Ki De mang berada di hala man itu. Dengan tegangnya ia menerima isterinya kembali, dan kini ia sedang menunggu adiknya yang ternyata telah menimbulkan bencana tidak saja dari dirinya sendiri, tetapi juga bagi Kade mangan di Kepandak. Sejenak ke mudian dada Ki De mang di Kepandak itu berdesir. Ia melihat kuda yang pertama berlari langsung masuk ke hala man Kademangan, diikuti oleh beberapa ekor kuda yang lain, langsung bertebaran di jalan yang melingkari halaman Kade mangan di Kepandak. Ki Jagabaya yang sudah mulai bergerak, tertegun kembali karena Ki De mang berdesis "Biarkan mereka datang" Ki Jagabaya berdiri termangu-mangu. Tetapi ia tidak berani berbuat apapun juga tanpa ijin Ki De mang. Kuda yang langsung masuk ke hala man, berhenti beberapa langkah di da la m regol. Dua ekor kuda yang lainpun berhenti tepat di regol halaman tanpa menghiraukan anak-anak muda yang berjaga-jaga di sebelah menyebelah. Sedang yang lain, seakan-akan telah mengepung hala man Kade mangan itu dengan rapatnya. Namun agaknya mereka tidak me mperhatikan, bahwa di belakang mereka, di balik pagarpagar kebun dan halaman sebelah menyebelah, beberapa anak-anak mudapun telah siap menunggu kedatangan mereka.
Ki Re ksatani yang masih berada di punggung kudanya mencoba me nenangkan hatinya sejenak. Ditatapnya Ki Demang yang berdiri tegak di tengah hala man seperti sebuah patung batu yang kokoh. "Ki De mang di Kepandak" berkata Ki Reksatani dengan lantangnya "mungkin Ki De mang sudah mendengar serba sedikit tentang usahaku me mbebaskan Kepanda k dari ketamakanmu" Ki De mang tidak segera menjawab. Ia masih berdiri di halaman itu bagaikan sudah me mbe ku. "He Ki De mang. Jangan ingkar. Rakyat Kademangan Kepandak sudah jemu melihat tingkah lakumu, seolah-olah seluruh isi Kade mangan ini adalah milikmu. Kau dapat menga mbil apa saja yang kau perlukan, termasuk perempuanperempuan" Ki De mang t idak menjawab. "Kau merasa bahwa perbuatanmu tidak dapat diganggu gugat. Kekasaranmu, ketamakanmu dan kegilaanmu pada harta benda dan perempuan me mbuat rakyat Kepandak menjadi mua k. Aku adalah penerus dari hasrat hati mereka. Pada saatnya kau me mang harus menyingkir. Kau harus pergi. dari Kepandak untuk sela ma-la manya. Kau tidak dapat lagi mengotori tanah peninggalan orang-orang tua kita yang selama ini kita hormati. Kita agung-agungkan dan kita bina bersama-sama " Ki De mang masih tetap berdiam diri. Dan Ki Reksatanipun berteriak "Kenapa kau dia m saja Ki De mang" Ayo, cobalah me mbe la diri. Ingkarlah dari segala kejahatan yang pernah kau lakukan. Kini saatnya telah tiba. Aku me mbawa sepasukan pejuang yang akan me mbebaskan tanah ini dari ketamakanmu" Tidak ada jawaban.
"Kenapa kau dia m saja he" Kenapa" Apakah kau sudah menjadi bisu, tuli atau apa?" Ki De mang di Kepandak menarik nafas dalam-da la m. Perlahan-lahan ia maju beberapa langkah. Barulah ia berkata "Reksatani, aku menjadi heran. Kenapa kau tiba-tiba marahmarah kepadaku" Bukankah kau sela ma ini seorang adik yang baik bagiku" Adikku satu-satunya" Kau banyak me mberikan petunjuk kepadaku di da la m tugasku. Kau banyak me mberikan bantuan selagi aku dalam kesulitan. Sekarang, kenapa tibatiba kau berubah" Bukankah kau pergi dari padukuhan ini untuk mencari mbok-ayumu yang hilang" Kau belum mengatakan hasil dari usaha mu, tiba-tiba saja kau mengumpat-umpat seperti orang mabuk" Ki De mang berhenti sejenak "Reksatani, turunlah, dan berbicaralah dengan baik" Jawaban Ki De mang itu benar-benar bagaikan mena mpar dada Ki Reksatani. Terasa sejenak dadanya menjadi sesak dan mulutnya bagaikan tersumbat, sehingga ia t idak dapat segera menjawab. "Reksatani" berkata Ki De mang selanjutnya "sela ma ini aku selalu melihat wajahmu yang cerah. Tingkah lakumu yang sopan dan hatimu yang aku sangka terbuka. Kini tiba-tiba kau marah-marah tanpa sebab" Sejenak Ki Reksatani masih terbungka m. Na mun ke mudian ia menghentakkan giginya sambil berteriak "Jangan berpurapura. Kenapa kau menyiapkan para pengawal di ha la man ini" Kenapa kau panggil orang-orang yang selama ini menjilat mu dengan senjata di tangan?" "Aku tidak mengerti Reksatani. Aku bahkan terkejut mendengar tanda bahaya yang tiba-tiba saja bergema di seluruh Kade mangan" Sekali lagi Ki Reksatani me mbeku. Namun ke mudian suaranya menghentak "Jangan berpura-pura. Ki De mang di Kepandak. Sekarang perananmu sudah selesai. Kau harus
menyingkir. Sudah waktunya orang lain me mperba iki tata kehidupan yang bernafaskan ketamakan itu" Tetapi Ki De mang di Kepandak justru tertawa pendek "Reksatani. Apakah yang sebenarnya kau kehendaki. Kau adalah adikku. Sebenarnya kau dapat berkata berterus terang. Kau tidak perlu mene mpuh jalan yang berliku-liku. Jalan yang sulit dan berbahaya. Tidak saja bagimu sendiri, tetapi juga bagi seluruh Kade mangan" Pertanyaan itu telah menggetarkan dada Ki Reksatani. Sejenak ia me mandang Ki De mang di Kepandak dala m cahaya obor yang terang benderang. Namun ke mudian ia tidak mau terseret oleh arus perasaannya, sehingga ia berkata lantang "Aku menghendaki se muanya yang sekarang berkuasa bersama mu me nyerahkan diri" Ki De mang mengerutkan keningnya. Lalu "Maksudmu, apakah aku harus menyerahkan jabatanku, begitu?" Pertanyaan itu me mang agak me mbingungkan. Tetapi Ki Reksatani menyahut "Ya. Kau harus menyerahkan diri" "Reksatani, menurut adat yang berlaku, kalau aku tidak lagi dapat me megang jabatan ini, maka anakkulah yang harus menggantikannya. Padahal anakku masih ada di dala m kandungan" "Persetan dengan anak itu. Kau juga harus menyerahkan isterimu itu. Isterimu itupun harus disingkirkan untuk selamanya" "Reksatani, coba katakan, apakah salah Sindangsari" Misalnya aku seorang Demang yang tamak, seorang Demang yang hanya memikirkan diri sendiri dan menga mbil apa saja yang aku kehendaki termasuk pere mpuan, maka itu adalah salahku, bukan salah Sindangsari. Justru Sindangsari telah terkena akibat dari kesalahanku itu. Kenapa sekarang Sindangsari harus diikut sertakan dalam kesalahan ini" Bahkan harus disingkirkan?"
"Di dala m perutnya ia menyimpan anak keturunanmu. Itulah salahnya. Dan kesalahan itu harus ditebus dengan nyawanya" "Reksatani. Lima ka li aku kawin. Tidak seorangpun yang dapat me mberikan seorang anak kepadaku. Sekarang, ketika aku kawin untuk keena m ka linya, isteriku itu sudah mengandung. Nah, tentu kau tahu Reksatani, bahwa aku menjadi sangat berharga karenanya. Aku berpengharapan bahwa kelak akan ada keturunan yang dapat menya mbung hidupku" "Cukup" bentak Reksatani "itulah yang harus dicegah" "Kenapa" Apakah kau tida k sedang mendapatkan seorang ke manakan?" "Anak yang lahir karena kekuasaan itu sama sekali tidak berhak atas kedudukan De mang di Kepandak" "Kenapa atas kekuasaan" O, maksudmu, aku menga mbil Sindangsari karena kekuasaanku. Ba iklah. Jika de mikian Sindangsari t idak dapat kau anggap bersalah" "Persetan semuanya. Pokoknya, kalian harus disingkirkan. Aku akan mera mpas sega la kekuasaan" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kenapa kau tida k berterus terang sebelumnya Reksatani. Kalau kau berterus terang, aku tidak akan berkeberatan. Aku tahu ke mudian, bahwa kau menjadi gila justru isteriku telah mengandung. Kau telah kehilangan harapan untuk mendapatkan kedudukan ini apabila aku me mpunyai seorang anak" "Cukup. Aku tidak akan ingkar. Aku akan menengadahkan dadaku menghadapi apapun juga" "Apakah kau sadar, bahwa apa yang kau lakukan itu bertentangan dengan adat?"
"Aku sadar" "Itu berarti bahwa kau menentang adat" Dan itu berarti kau tidak lagi tunduk kepada keharusan yang dibenarkan oleh Mataram?" Ki Reksatani menggeretakkan giginya. Sekarang sudah tidak lagi ada kese mpatan untuk menghiraukan segala maca m persoalan itu. Ia sudah sampai di puncak perjuangannya untuk merebut hari depan bagi dirinya sendiri dan bagi anakanaknya. Karena itu, maka iapun menjawab "Ki De mang di Kepandak. Kau sangka orang-orang Mataram selama ini tidak mengetahui, bahwa kau adalah seorang De mang yang ta mak, yang serakah. Yang sudah sewajarnya disingkirkan. Aku sama sekali tidak akan mendapat hukuman. Tetapi aku justru akan mendapat penghargaan dan hadiah. Mungkin tanah ini justru akan mendapat penghargaan dan hadiah. Mungkin tanah ini justru akan mendapat ke kancingan menjadi tanah perdikan karena jasa-jasaku me lepaskan tanah ini dari kekuasaanmu yang tamak itu" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya "Sokurlah. Itu artinya kau yakin akan perjuanganmu sekarang. Kau yakini perbuatanmu sebagai suatu perbuatan yang baik bagi tanah ini. Bukan sekedar ingin merebut kedudukanku sebagai Demang. Bukan sekedar terbakar melihat isteriku mengandung setelah lima kali aku kawin tanpa menghasilkan buah apapun, dan selama itu, sedikit de mi sedikit telah tertimbun harapan di hatimu, bahwa apabila aku tidak me mpunyai seorang anakpun, kau akan mewarisi kedudukan ini kela k" "Dia m, dia m" bentak Ki Reksatani "kau jangan mengadaada. Kau tidak usah menutupi kesalahanmu. Sekarang, kau harus tunduk atas kehenda kku"
"Kalau aku tunduk atas kehendakmu, apakah yang akan kau la kukan atasku" Apakah a ku harus menyerahkan kedudukanku dan menyingkir dari Kademangan ini?" Pertanyaan ini sama sekali tidak diduga-duganya. Karena itu sejenak Ki Reksatani terdia m. Di tatapnya wajah kakaknya di bawah sorot obor yang terang benderang di hala man. Tanpa disadarinya tatapan mata Ki Reksatanipun segera mera mbat ke wajah Ki Jagabaya yang tegang. Wajah Pamot yang keras dan wajah-wajah bebahu Kademangan Kepandak yang lain. Wajah-wajah yang me mandangnya dengan penuh kebencian dan ke marahan. Wajah-wajah yang seakan-akan menudingnya menyimpan seribu maca m pa mrih pribadi yang me mua kkan. "Gila" tiba-tiba ia berteriak "kalian harus mati. Kalian harus mati" "Reksatani" berkata Ki De mang ke mudian "kalau kau hanya sekedar ingin kedudukanku sebagai De mang di Kepandak, baiklah, aku akan menga lah. Memang mungkin sela ma ini aku kurang berhasil. Mungkin aku tida k pernah menghiraukan padukuhan-padukuhan terpencil. Mungkin aku me mang menyalah gunakan kekuasaanku untuk mera mpas perempuanperempuan. Kaulah yang sela ma ini be kerja keras me mbangun bendungan dan parit-parit, meskipun yang langsung dapat bermanfaat bagi sawahmu. Tetapi tentu bermanfaat pula bagi sawah di sekitarnya" Ki Demang berhenti sejenak, lalu "Baiklah. Aku akan berke mas untuk menyerahkan jabatanku kepadamu. Aku akan hidup sebagai seorang petani biasa seperti orang-orang lain" Wajah Ki Reksatani menjadi merah padam. Sedang Ki Jagabayapun menjadi se makin tegang pula. Sejenak dipandanginya Ki De mang dengan sorot mata yang aneh. Tetapi Ki De mang justru menjadi sangat tenang. Karena Ki Reksatani tidak menyahut, maka ia melanjutkan kata-katanya
"Reksatani. Kau dapat tinggal di Kademangan ini. Aku akan me mbawa isteriku pindah ke rumah lain. Rumah seorang petani biasa. Aku berjanji bahwa aku tidak akan mengganggumu. Kau berhak me merintah sebagai seorang Demang sepenuhnya. Kepada pimpinan pe merintahan di Matarampun a ku akan mengatakan, bahwa aku menyerahkan kekuasaanku dengan suka re la" Wajah Ki Reksatani menjadi bagaikan menyala. Dengan suara gemetar ia berkata "Tetapi, tetapi bagaimana dengan anamu ke lak" Apakah kau menja min bahwa ia tidak akan menuntut ha knya?" Ki De mang menarik nafas dalam-dala m. Katanya "Aku akan me mberitahukan kepadanya kelak, bahwa hak itu sudah aku berikan kepadamu. Kepada satu-satunya adikku" Tiba-tiba dada Ki Reksatani bergetar. Seperti guruh yang me ledak terdengar kata-katanya "Bohong. Se muanya omong kosong. Mungkin karena ketakutan sekarang kau bersedia menyerahkan kedudukanmu. Tetapi kelak, anakmu pasti akan kau ajari menuntut haknya. Apalagi apabila kau masih merasa kuat. Pengikut-pengikut mu yang sela ma ini menjadi penjilat itu akan dapat kau gerakkan pada suatu saat untuk merebut ke mbali hak itu daripadaku. Dari keturunanku" Ki De mang mengerutkan keningnya. Katanya "Jadi kau sudah tidak me mpercayai aku sa ma sekali Reksatani?" "Tida k. Orang semacam kau me mang tidak dapat dipercaya lagi" "Jadi" "Tida k ada te mpat bagimu di Kepandak" Ki De mang me mandang Ki Re ksatani dengan wajah yang semakin tegang "Jadi maksudmu, aku akan kau usir dari Kepandak?"
"Ya. Tidak saja dari Kepandak. Tetapi kau harus dilenyapkan supaya pada suatu saat baik kau maupun anakmu tidak akan dapat lagi me mbuat onar di Kade mangan ini" "Reksatani" potong Ki De mang di Kepandak maksudmu, kau akan me mbunuh a ku seke luarga" "Ya" suara Reksatani tegas. Bagaimanapun juga Ki De mang menjaga perasaannya, namun jawaban yang tegas itu me mbuatnya gemetar. Sekali lagi ia menarik nafas dalam-dala m. Ke mudian katanya perlahan-lahan "Reksatani. Adalah menjadi naluri manusia untuk me mpertahankan hidupnya, seperti kita ingin me mpertahankan kehadiran kita dan kelanjutan garis keturunan kita Bahkan mahluk yang paling le mah sekalipun akan berusaha me mpertahankan hidupnya di saat-saat menghadapi ke matian" "Aku sudah me mperhitungkannya" jawab Ki Reksatani "dan sudah siap menghadapinya. Aku datang bukan seorang diri. Aku datang bersama-sama rakyat Kepandak yang meyakini keadaan dan mengharap masa depan yang jauh lebih baik" Tiba-tiba saja Ki De mang di Kepandak menggeretakkan giginya. Sekian lama ia mencoba menyabarkan diri untuk menjajagi niat adiknya yang sebenarnya. Dan kini dadanya itu rasa-saranya hampir meledak karenanya. "Reksatani" suara Ki De mang tiba-tiba menjadi bergetar sehingga se mua orang yang mendengarnya menjadi terkejut karenanya. Mereka yang sudah mengenal Ki De mang bertahun-tahun segera mengetahui, bahwa Ki De mang telah sampai pada punca k ke marahannya "Aku me mang sudah mengetahui apa yang akan kau lakukan. Tetapi seperti yang kau lihat, akupun sudah siap menyambut mu. Kau sangka anak-anak Kepandak tida k mengetahui apa yang sebenarnya tersimpan di hatimu" "jadi
"Itu hanya akan mena mbah korban. Sebaiknya mereka yang aku kehendaki menyerah tanpa perlawanan. Yang lain akan aku ampuni dan akan mendapat kesempatan untuk ikut serta me mbangun Kade mangan ini sebaik-ba iknya" "O, jadi maksudmu, ka mi beberapa orang yang tidak kau sukai harus berdiri berjajar sambil menundukkan kepala ka mi untuk kau penggal satu de mi satu?" "Ya" "Termasuk Sindangsari dan ana k di dala m kandungan itu?" "Ya" "Gila kau Reksatani. Hatimu sudah dicengka m oleh kehita man hati setan yang paling jahanam. Jangan kau sangka bahwa ka mi, orang-orang Kepandak adalah cucurut yang tidak mengenal harga diri. Kau tidak akan dapat me ma ksakan kehendakmu itu atasku. Aku sudah siap. Apakah yang akan kau lakukan" Dada Ki Reksatani berdegup sema in keras. Sejenak ia mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling hala man. Dilihatnya orang-orangnya sudah siap diatas punggung kudanya. Bahkan merekapun sudah siap dengan senjata di tangan masing-masing. Orang-orang itu hanya menunggu aba-abanya saja. Mereka pasti akan langsung menyerbu masuk ke hala man dan me mbunuh setiap orang yang me lakukan perlawanan. Kuda-kuda mereka pasti akan sangat me mbantu di dala m perte mpuran itu. Tetapi sebelum ia menjatuhkan perintah, tiba-tiba-tiba terdengar suara Ki De mang di Kepandak lantang "Reksatani. Persoalan ini sebenarnya adalah persoalan diantara kita. Kau dan aku. Aku kebetulan lahir lebih dahulu daripada mu, sehingga aku menurut adat, menerima warisan kedudukan ayah Demang di Kepandak. Sekarang kau menuntut hak itu agar temurun kepadamu. Semua persoalan yang kemudian tumbuh adalah persoalan sampingan yang sebenarnya tidak
menyentuh persoalan pokoknya. Isteri, anak, bebahu dan anak-anak muda itu adalah sekedar rangkaian dari peristiwa ini. Tetapi marilah kita ke mbali kepada sumber persoalan tanpa mengorbankan orang lain yang tidak berkepentingan langsung dengan persoalan ini. Karena itu, seperti yang dicitacitakan oleh ayah kita, bahwa kita akan me njadi seorang la kilaki jantan, kita akan menyelesaikan persoalan ini tanpa menyeret orang-orang lain ke dala mnya. Tanpa mengorbankan bebahu Kade mangan Kepandak. Tanpa mengorbankan para pengawal dan tanpa mengorbankan apapun juga, terlebih-lebih ikatan persatuan rakyat Kepandak. kalau aku mati di da la m perang tanding ini, kau berhak atas segala-galanya. Para bebahu Kademangan inipun akan tunduk kepadamu. Merekapun akan melindungi na ma mu terhadap orang-orang Mataram seandainya mereka mencium persoalan ini. Terhadap isteri dan anakkupun kau dapat berbuat sesuka hatimu. Apakah mereka akan kau buhuh, atau kau perlakukan seperti apapun juga. Tetapi kalau kau kalah, semua orangorangmu harus menyerah. Tetapi siapa yang mencoba me lakukan perlawanan, aku akan me mbunuhnya tanpa ampun. Nah, apa katamu?" Terasa darah Ki Reksatani seakan-akan mendidih sa mpai ke ujung ubun-ubun. Ia sadar, bahwa tantangan ini adalah tantangan laki-laki jantan. Dan Ki Reksatanipun ternyata bukan seorang pengecut. Sambil menggeretakkan giginya ia meloncat dari kudanya sambil berteriak "A ku terima tantanganmu Ki De mang di Kepandak. Seperti cita-cita ayah kita. Kita adalah laki-la ki jantan" Tetapi terbersit di hati Ki De mang di Kepanda k "Tetapi bukan menjadi cita-cita ayah kita, bahwa kita harus berhadapan di arena seperti ayam jantan di aduan" Tetapi iblis benar-benar sudah merasuk ke dalam hati Ki Reksatani. Ia tidak melihat apapun lagi, selain Ki De mang di
Kepandak. Tidak ada keinginan apapun lagi di hatinya saat itu, selain me mbunuh saudara kandungnya. Setiap dada serasa bernafas, ketika mereka me lihat di bawah cahaya obor yang terang di halaman Kademangan, dua orang laki-laki yang pilih tanding sedang berhadapan. Terlebih lagi keduanya adalah saudara sekandung, seibu dan seayah. Ki Jagabaya memalingkan wajahnya sejenak. Hampir tidak tahan ia melihat dua orang laki-la ki se kandung itu menarik senjata masing-masing. Pusaka yang mereka terima dari sumber yang sama, dari ayah mereka berdua. "O" terdengar Ki Jagabaya mengeluh pendek. Ia bukan seorang yang me manjakan perasaannya. Tetapi di dala m keadaan itu, hatinya benar-benar bergetar. Pamot berdiri me mbe ku di tempatnya. Ia tidak tahu, apakah sebenarnya yang bergejolak di dalam hatinya. Tetapi terasa betapa suasana di hala man itu menjadi tegang dan seakan-akan tidak lagi me mberikan udara buat bernafas. Bukan saja keduanya, terlebih-lebih orang-orang tua yang mengintip dari kejauhan. Orang-orang tua yang pernah menga la mi hidup pada suatu masa dengan De mang di Kepandak yang terdahulu. Ayah dari kedua laki-laki yang kini berhadapan di ha la man rumah itu. Rumah mere ka se masa kanak-kanak. Di hala man itu pula mereka dahulu bermainma in. Di ha la man itu pula mereka dahulu berkejar-kejaran. Dan kini, di halaman itu pula mereka bermain-main dengan senjata. Alangkah pahitnya peristiwa yang terjadi itu. desis salah seorang dari mereka. Demikianlah kedua kakak beradik itu sudah berhadapan dengan senjata di tangan masing-masing. Keris yang mereka terima dari ayah mereka. Pusaka peninggalan yang tidak pernah di impikan saat itu oleh ayahnya, bahwa pada suatu saat kedua keris itu akan beradu di arena perke lahian.
"Reksatani" berkata Ki De mang "apakah kau benar-benar sudah kehilangan pertimbangan" "Aku tida k akan berbicara lagi. Kita akan berkelahi" "Kau benar-benar sudah kerasukan iblis. Apaboleh buat. Aku tidak mau mati sa mbil menundukkan kepala" "Persetan. Itu urusanmu. Tetapi aku akan me mbunuhmu, ke mudian me mbunuh pere mpuan itu" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa disadarinya ia berpaling. Ditatapnya wajah Pamot yang tegang. Namun Ki De mang itu t idak berkata sepatahpun juga. "Cepat" teriak Ki Reksatani "aku akan mula i" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya "Baiklah Reksatani. Kalau itu keputusanmu" Ki Reksatani tidak dapat menahan gelora di dadanya. Iapun ke mudian segera meloncat menyerang. Seperti di saat-saat ia berkelahi melawan La mat, maka iapun segera mengerahkan segenap kema mpuannya. Ia tidak mau menga la mi kegagalan sekali lagi. Ia tidak mau kehilangan waktu. Kalau pada saat itu Nyai De mang disingkirkan, maka ia a kan kehilangan perempuan itu seka li lagi. Tetapi Ki Reksatani sudah me merintahkan beberapa orang untuk mengawasi seluruh hala man dan kebun belakang dari Kademangan ini. Tida k akan ada seorangpun yang akan dapat lolos dari tangannya apabila ia sudah berhasil me mbunuh Ki Demang di Kepanda k. Demikianlah maka perkelahian itu segera menjadi perkelahian yang seru. Darah Ki Reksatani benar-benar telah mendidih. Tida k ada lagi yang menghalanginya kini. Perasaannya seakan-akan telah me mbeku. Keduanya adalah orang-orang yang pilih tanding. Keduanya berguru pada guru yang sama untuk waktu yang hampir sama
pula. Meskipun Ki De mang di Kepandak lebih tua dari Ki Reksatani, namun saat-saat mereka me masuki perguruan hampir bersamaan. De mikian pula saat-saat mereka meninggalkan perguruan setelah ilmu yang mereka serap dianggap cukup. Bahkan umur Ki Reksatani yang lebih muda, agaknya me mbuat nafas Ki Reksatani masih lebih segar dari Ki De mang di Kepanda k. Karena itulah, maka perkelahian itu benar-benar merupakan perkelahian yang mendebarkan. Desak mendesak silih berganti. Kedua senjata di tangan kedua orang itu berputar dengan dahsyatnya. Sekali-sekali me matuk, ke mudian menyambar mendatar. Disusul oleh seranganserangan yang hampir tidak dapat diikuti oleh mata telanjang. Dua helai keris di tangan Ki Reksatani dan Ki De mang itu, di mata mereka yang mengelilingi arena, seakan-akan telah berubah menjadi berpuluh-puluh keris yang berputaran di tangan sepasang penari yang sedang menarikan tari maut. Orang-orang yang ada di seputar arena itu menjadi seakanakan me mbeku. Meskipun diantara mereka pernah menyaksikan perkelahian yang dahsyat, tetapi perkelahian diantara dua orang kakak beradik itu benar-benar telah menggetarkan dada mereka, seakan-akan jantung mereka menjadi berhenti berdetak. Mereka yang selama ini sekedar mengagumi Ki De mang di Kepandak dan Ki Reksatani sebagai pelindung Kade mangan mereka dari kejahatan-kejahatan para perusuh dan penjahat, kini mereka me lihat bagaimana sebenarnya kema mpuan mere ka berdua. Ki Jagabaya yang berdiri di hala man itu juga, seakan-akan telah me mbeku di te mpatnya. Terasa dadanya bagaikan akan pecah menyaksikan perkelahian itu. Meskipun ia mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi diantara mereka, namun me lihat perke lahian itu jantungnya bagaikan akan rontok. Ia telah ikut me mbina Kade mangan ini bertahun-tahun. Meskipun
kadang-kadang ia tidak sesuai dengan kehendak Ki De mang di Kepandak, terutama mengenai persoalan pribadinya, namun bagi Kade mangan, ia telah bekerja keras bersamanya. Bahkan bersama-sama keduanya, kakak beradik yang kini tengah berkelahi mat i-matian me mpertaruhkan nyawa mereka. "Kenapa tiba-tiba Ki Reksatani telah dicengka m oleh kekuasaan iblis untuk merebut kedudukan kaka knya?" tersirat pertanyaan di hati Ki Jagabaya. Namun peristiwa ini me mang tidak berdiri sendiri. Bahkan hampir setiap bebahu Kademangan dan orang-orang yang berdiri mengitari arena itu telah mengetahui bahwa keinginan Ki Reksatani itu telah tumbuh perlahan-lahan. Sehingga akhirnya ia telah terjerumus ke dala m kele mahan hati. "Tetapi kalau Ki De mang di Kepanda k menyadari keadaan itu sejak semula, keadaan pasti akan lain" desis Ki Jagabaya di dalam hatinya pula. Tetapi siapa dapat me mbaca hati seseorang. Meskipun de mikian Ki Jagabayapun, melihat juga ketamakan Ki De mang di Kepandak. Enam kali ia kawin. Perkawinan yang tidak menghasilkan anak, selain yang terakhir. Perkawinan yang lima kali itulah sebenarnya yang telah me mupuk tumbuhnya niat yang hitam di hati Ki Reksatani tanpa dikehendakinya sendiri. Namun de mikian, perkelahian diantara keduanya telah me mbuat dada Ki Jagabaya bergelora. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia sadar, bahwa keduanya sedang dibakar oleh perasaan yang meluap-luap, sehingga nalar mereka pasti tidak akan dapat bekerja sewajarnya, meskipun Ki De mang di Kepandak masih berusaha untuk mencari keseimbangannya. Demikianlah, hati ra kyat di Kade mangan Kepandak telah tergetar menyaksikan apa yang telah terjadi di hala man Kademangan. Sampa i beberapa saat mereka tidak dapat menduga, siapa kah di antara keduanya yang akan menang.
Meskipun rakyat di Kepanda k, kadang-kadang juga tersinggung rasa keadilan mereka karena tindakan-tindakan Ki Demang yang selama ini mereka anggap sebagai seorang lakilaki yang menggetarkan hati setiap orang yang me mpunyai anak gadis, namun di saat-saat ia bertempur mati-matian me lawan Ki Re ksatani, diam-dia m mereka berharap agar Ki Demang di Kepandak dapat selamat keluar dari perkelahian itu. Bagaimanapun juga sikap Ki Reksatani, yang seakan-akan telah merebut kekuasaan kakaknya dengan kekerasan, bahkan sebelumnya ia telah berusaha mengorbankan seorang perempuan yang tidak bersalah yang untung dapat disela matkan, sama seka li t idak menarik bagi rakyat Kepandak. Maka se makin la ma perang tanding diantara kakak beradik itupun menjadi se makin sengit. Keduanya telah mengerahkan segenap kema mpuan yang ada di dala m diri masing-masing, ke ma mpuan yang bersumber pada guru yang sa ma. Ki De mang di Kepandak yang lebih tua, ternyata memiliki perhitungan yang lebih masak. Ia tidak banyak bergerak di dalam olah senjata. Tetapi setiap ia melangkah, ma ka udara maut telah berdesing di telinga Ki Reksatani. Namun Reksatani yang lebih muda itu me miliki nafas yang lebih segar. Ia ma mpu bergerak lebih lincah dan cepat. Seperti bilalang ia me loncat berputaran mengelilingi lawannya sambil me mutar kerisnya. Sekali-sekali ia melingkar sudut, namun tiba-tiba kerisnya telah menya mbar la mbung. De mikian cepatnya, sehingga kadang-kadang orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi bingung. Tetapi Ki De mang di Kepanda k sama sekali tidak bingung. Beberapa langkah dari arena, di bela kang Ki Jagabaya, Pamot berdiri termangu-mangu. Iapun tidak ma mpu menilai perkelahian itu. Tetapi yang lebih dala m menekan perasaanya,bahwa iapun tidak mengerti, apakah yang diharapkan dari perke lahian itu. Seandainya ia mengharap Ki
Demang di Kepandak me menangkan perke lahian itu, maka selama hidupnya hatinya akan tersayat melihat Sindangsari setiap kali duduk di pendapa Kade mangan me mangku anak yang kini sedang dikandungnya. Selama ia berpacu diatas punggung kuda me mbawa pere mpuan itu dari Se mbojan, terasa tunas yang tumbuh di da la m hatinya, dan yang ingin dipada mkannya itu rasa-rasanya menjadi berta mbah mekar. Bagaimanapun juga ia berusaha, tetapi Sindangsari baginya adalah seorang perempuan yang telah mendapat tempat di hatinya. Meskipun ia berdiri di arena perke lahian itu, namun ia masih sempat me mbayangkan, Nyai Demang di Kepandak, duduk bersama sua minya menunggui anak mereka yang berlari-larian di hala man, bermain-ma in dengan biji-biji ke miri atau beradu kecil dengan kawan-kawannya. "Alangkah sakit hati ini" desisnya. Tetapi Pamotpun tidak dapat mengharapkan Ki Reksatani me menangkan perke lahian itu. Jika de mikian, ma ka niat Ki Reksatani untuk me mbunuh Sindangsari itupun pasti akan dilaksanakannya, karena di dalam perut Sindangsari terimpan anak yang dianggap berhak atas warisan yang akan ditinggalkan oleh Ki De mang di Kepandak. Meskipun seandainya Ki Reksatani berhasil, ma ka hak atas Kademangan ini akan tetap menjadi milik anak di dala m kandungan itu sehingga anak itu harus dilenyapkan pula. Dengan demikian, maka Pa mot telah terlibat di dala m persoalan yang menyangkut dirinya sendiri. Bagaimanapun juga ia berusaha me lenyapkannya, dan bagaimanapun juga ia berusaha melihat persoalan itu lepas dari persoalan pribadinya, namun setiap kali bayangan itu telah timbul diangan-angannya. "Persetan" Pamot tiba-tiba saja mengumpat di dala m hatinya "apapun yang terjadi, aku tidak akan mendapatkan Sindangsari. Biar saja Ki De mang di Kepandak terbunuh,
Mayat Dalam Perpustakaan 1 Separuh Bintang Karya Evline Kartika Jangan Percaya Pada 3

Cari Blog Ini