Ceritasilat Novel Online

Matahari Esok Pagi 20

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 20


ke mudian Sindangsari dan anaknya dibunuh pula. Itu barangkali lebih baik daripada aku setiap hari me lihatnya duduk di pendapa Kade mangan ini berdua dengan Ki De mang di Kepanda k" Namun dala m pada itu, terdengar suara di dalam hatinya "Itu pikiran gila. Setiap orang berusaha menegakkan ke manusiaan. Punta dan kawan-kawan telah bersusah payah me mbantu me mbebaskan Nyai De mang di Kepanda k. Bahkan Lamat yang selama ini merasa dirinya telah tergadai oleh ayah Manguripun me lihat bahwa keadilan sedang terancam di Kademangan Kepandak, dan bahkan Ki Reksatani sedang berusaha menegakkan kekuasaan berdasarkan ke kuatan" Pamot menarik nafas dalam-dala m. Sejenak ke mudian digertakkan giginya sambil berkata "Ki Reksatani me mang sedang berkhianat. Aku tidak boleh terpancang pada persoalan pribadiku. Namun de mikian Pa mot tidak segera dapat berbuat apaapa. Tetapi seandainya para pengikut Ki Reksatani berbuat curang, maka ia tidak akan dapat tinggal diam. Ia tidak sekedar me mbebaskan Sindangsari dari Se mbojan dan me mbawanya ke Kepandak karena ada ikatan batin diantara dirinya dan Sindangsari, tetapi itu merupakan suatu keharusan bagi mereka yang ingin menegakkan ke manusiaan dari kesewenang-wenangan. Pamot seakan-akan sadar dari mimpinya ketika ia me lihat Ki Reksatani meloncat menyerang dengan dahsyatnya. Namun Ki De mang di Kepandak yang leih masak itu masih berhasil menge lakkan dirinya dengan beringsut selangkah. Tetapi Ki Reksatani masih me mburunya. Seperti orang yang kehilangan akal, ia menyerang me mbabi buta. Tandangnya jauh lebih kasar dari tandang kakaknya, meskipun ilmunya serupa, nafsu yang menggelora di dadanya telah membuatnya menjadi seakan-akan bertambah buas.
Bagai seekor harimau yang lapar, Ki Reksatani menyerang kakaknya. Senjatanya ternyata mela mpaui ketaja man kukukuku harima u yang paling ganas. Tetapi Ki De mang di Kepandak yang lebih tenang bertempur bagaikan seekor banteng yang terluka. Setiap geraknya yang mantap pasti mendesak lawannya beberapa langkah surut. Selagi di Kepandak terjadi perkelahian yang mengerikan, yang tidak diketahui kapan akan berakhir, di Se mbojan La mat mengge liat dengan gelisahnya. Obat yang ditaburkan pada lukanya, serta cairan yang telah diminumnya me mbuat tubuhnya yang memiliki daya tahan luar biasa itu menjadi agak segar. Na mun hatinyalah yang rasa-rasanya menjadi berta mbah ka lut. Ia tidak berhasil menyingkirkan bayangan yang mengerikan yang dapat terjadi atas Pamot di sepanjang perjalanannya. "Tidurlah" berkata dukun tua yang menungguinya. Lamat menganggukkan kepa lanya, tetapi jangankan tidur meskipun hanya sejenak, sedangkan me meja mkan matanya saja rasa-rasanya tidak dapat dilakukannya. Setiap kali dadanya berdesir, seolah-olah ia mendengar jerit Sindangsari di tengah perjalanan dan terbayang mayat Pamot terbujur di telapak kaki Ki Reksatani. "Punta" desis La mat ke mudian. Punta yang menungguinya mende katkan telinganya. "Bagaimana dengan Pa mot?" Punta menarik nafas dalam-dala m. Katanya "Kita berharap agar ia sela mat" "Tetapi hatiku rasa-rasanya selalu berdebaran" "Tenangkan perasaanmu La mat. Kau harus beristirahat"
"Tubuhku sudah terasa segar. Barangkali lukaku sudah tidak sakit lagi" La mat berhenti sejenak, lalu "aku sudah dapat berkuda ke Kepandak" "Jangan sekarang" "Aku tidak mau terla mbat. Kalau Pa mot dan Sindangsari masih hidup, aku ingin me lihat mereka berdua di Kademangan Kepandak. Tetapi kalau mere ka sudah mati, aku ingin melihat mayatnya" "Tunggulah sa mpa i besok La mat" "Badanku sudah segar. Aku sudah berhasil menguasai bukan saja perasaan sakit, tetapi juga urat-urat nadi di segenap tubuhku. Dengan bantuan obat yang ditaburkan dari luar, dan obat cair yang aku minum, aku sudah mene mukan kekuatanku ke mbali" "Kau masih terla mpau le mah" "Tida k" Tetapi dukun tua di sa mpingnya berkata "Kau masih harus beristirahat. Jangan kau paksa dirimu mela kukan langkahlangkah yang dapat me mbuat luka-luka mu ka mbuh dan berdarah lagi" Lamat tida k menjawab. Tetapi tarikan nafasnya yang panjang menyatakan kegelisahan perasaannya. Sejenak ke mudian La mat tidak mengatakan apapun juga. Bahkan perlahan-lahan matanya mula i terpejam. Sekali-seka li masih terdengar tarikan nafasnya yang dalam. Na mun semakin la ma nafasnya menjadi se makin teratur, sehingga Punta yang menungguinya menjadi agak tenang pula. "Ia tertidur" bisiknya kepada dukun yang menungguinya. "Ya. Ia tertidur"
Puntalah yang kemudian menarik nafas dalam-dala m. Sekilas dilihatnya dua orang yang terkantuk-kantuk duduk di depan pintu. Agaknya mereka masih harus menunggui Manguri dan ayahnya yang ada di ruang itu pula. Tetapi seperti La mat, merekapun tidak dapat tertidur pula. Dengan gelisahnya ayah Manguri berjalan hilir mudik, ke mudian duduk sejenak, dan segera bangkit pula dengan tarikan nafas yang dalam. Dala m pada itu, ketika La mat telah tertidur nyenyak, maka Puntapun merasa perlu untuk beristirahat pula. Tetapi ia tidak sampai hati meninggalkan La mat tertidur di pe mbaringan itu tanpa pengawalan, karena ayah Manguri yang mendenda mnya akan dapat berbuat banyak hal yang tidak terduga duga. Karena itu, maka diserahkannya La mat kepada seorang kawannya dari Kali Mati yang masih ada di tempat itu juga untuk mendapatkan dua orang yang dapat dipercaya untuk menunggui La mat yang tertidur nyenyak. "Biarlah aku saja yang menungguinya" berkata kawannya. "Kau juga lelah seperti aku" sahut Punta. Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sendiri me mang terlampau lelah. Karena itu, ma ka dimintanya dua orang anak muda yang masih segar untuk menunggui La mat yang sedang tertidur nyenyak. Punta dan kawan-kawannya yang telah me meras tenaga itupun ke mudian meningga lkan ruangan itu dan pergi ke gandok. Merekapun merebahkan diri pula untuk sekedar dapat beristirahat, sebelum tugas-tugas lain masih a kan menunggu besok. Sepeninggal Punta, dukun tua dan kawan-kawannya, maka perlahan-lahan La mat mengge liat. Ketika ia me mbuka matanya perlahan-lahan, ternyata bahwa yang menungguinya anak-anak muda yang be lum dikenalnya. "Ia sudah pergi" desisnya.
Sebenarnyalah bahwa Lamat sama sekali tidak tertidur. Ia berusaha untuk melepaskan diri dari pengawasan Punta dan dukun yang mengobatinya. Ternyata ia sudah tidak dapat lagi menge kang perasaannya, untuk melihat apa yang terjadi dengan Pa mot dan Sindangsari di perjalanan. Karena itu perlahan-lahan ia menggerakkan kepa lanya. Kemudian tangan dan kakinya. Rasa-rasanya tubuhnya sudah menjadi jauh lebih segar dan kekuatannyapun sudah ha mpir dimilikinya ke mbali, meskipun luka-lukanya masih juga terasa pedih. "Tidurlah" berkata menungguinya. salah seorang anak muda yang
Lamat mencoba tersenyum. Tetapi justru ia bangkit perlahan-lahan. "Jangan bangkit" "Aku sudah sehat" "Tetapi tidurlah" Lamat mengangguk. Dan diletakkannya kepalanya kembali diatas pembaringan. Tetapi iapun kemudian bangkit kemba li sambil berkata "Di manakah pakiwan" A ku akan pergi ke pakiwan sebentar saja" "Tetapi kau harus beristirahat" "Perutku sakit. Dan aku ingin mencuci tangan dan kaki supaya badanku menjadi sema kin segar" "Luka-luka mu akan menjadi sangat pedih apabila tersentuh air" "Aku kira tidak lagi. Tetapi akupun hanya akan sekedar me mbasahi telapak tangan dan kaki, serta sedikit pada ubunubunku yang panas"
Kedua anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun merekapun saling menganggukkan kepa lanya. "Marilah" berkata salah seorang "tetapi hati-hatilah" Lamatpun ke mudian bangkit berdiri dari pe mbaringannya. Dirabanya untuk mengetahui keadaan tubuhnya. Digerakgerakkannya segenap persendiannya. Dan agaknya tubuh itu sudah tidak terla mpau le mah lagi. "Marilah aku tolong" berkata salah seorang anak muda itu. Lamat tersenyum. Jawabnya "Aku sudah dapat berjalan sendiri" Kedua anak-anak muda itu menjadi kagum. Luka-luka Lamat yang arang kranjang itu seakan-akan sudah tidak terasa lagi. Dengan langkah yang mantab, Lamat berjalan seperti seorang yang tidak pernah terkena sesuatu menuju ke pintu" "Dima na pakiwan itu?" "Di belakang" Lamatpun ke mudian mengikuti salah seorang dari anakanak muda itu yang me mbawanya ke pakiwan di belakang rumah. "O, itu agaknya, di dekat sumur" berkata La mat. "Ya" "Sudahlah. Tinggalkan aku. Aku akan segera ke mbali ke ruang depan" Tanpa prasangka apapun anak muda itupun kembali kepada kawannya yang masih berdiri di depan rumah. "Mana orang itu?" "Di pakiwan. Agaknya ia tida k menahan lagi"
Keduanya tidak lagi me mpersoalkannya. Mereka mulai berbicara tentang peristiwa yang baru saja terjadi. Mereka masih juga menyinggung-nyinggung La mat dengan penuh kekaguman. "Adik De mang di Kepandak itu benar-benar orang luar biasa. Aku kira De mang kita tidak a kan dapat menyama inya" "Ya. Aku kira demikian. Tetapi Lamat itupun ternyata orang yang luar biasa pula. Menurut Ki Jagabaya, sebenarnya Lamat tidak akan dapat dikalahkan oleh Ki Reksatani meskipun ia juga belum pasti dapat me menangkannya. Tetapi ayah Manguri itulah yang licik. Ia berhasil mele mahkan hati La mat lewat kata-kata sindirannya yang taja m" "Dan luka-luka yang tampaknya demikian parahnya, segera dapat diatasinya. Hampir seluruh tubuhnya terluka parah" "Tetapi luka-luka itu tidak begitu dala m meskipun merata. Dan luka-luka yang de mikian tida k lebih berbahaya dari satu luka, tetapi langsung menghunja m ke dala m dada" "Tentu, lebih-lebih lagi satu luka yang me misahkan kepala dari lehernya" "Ah, maca m kau" desis tersenyum. kawannya. Tetapi keduanya
Demikianlah beberapa lamanya keduanya berbicara tentang berbagai persoalan yang sedang berkeca muk di padukuhan mereka yang sepi, yang biasanya tenang dan tenteram meskipun bukan berarti beku. Namun yang tiba-tiba saja telah dibakar oleh perkelahian yang menggetarkan dada setiap orang. "He" tiba-tiba sa lah seorang dari mereka berkata "kanapa Lamat sede mikian la manya berada di pakiwan?" "Ya. Terla mpau la ma" "Eh, apakah ia tiba-tiba pingsan?"
"Marilah kita lihat" Keduanyapun kemudian dengan tergesa-gesa berjalan ke pakiwan. Selangkah di samping pakiwan, salah seorang dari mereka me manggil "La mat. La mat. Apakah kau sudah selesai" Tidak terdengar jawaban. "La mat" Pakiwan itu masih tetap sepi. Sejenak keduanya saling berpandangan. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata "Aku a kan menengoknya" Dengan tergesa-gesa anak muda itupun mendorong pintu pakiwan dan menjengukkan kepalanya ke dala m. Tetapi pakiwan itu telah kosong. Mereka tidak mene mukan La mat di dalamnya. "Apakah ia sudah ke mbali ke ruang dala m tanpa kita ketahui karena kau terlampau banyak berbicara?" desis salah seorang dari mereka. "Marilah kita lihat" Keduanya melangkah dengan tergesa-gesa masuk ke ruang dalam. Tetapi pe mbaringan La mat ternyata masih juga kosong. "Apakah ia me larikan diri" "Kenapa melarikan diri. La mat sama sekali bukan seorang tawanan. Berbeda dengan Manguri dan ayahnya itu" "Ya. Tetapi ia harus banyak beristirahat. Punta dan dukun tua itu menghenda ki ia tidur sebanyak-banyaknya, bukan pergi ke manapun juga" "Beritahu Punta di gandok sebelah. Aku akan mencarinya di belakang. Siapa tahu, mungkin keadaan tubuhnya masih terlampau le mah, sehingga ia pingsan di sekitar pakiwan itu"
Yang seorang dari merekapun segera pergi ke pakiwan untuk mencari La mat sekali lagi. Yang lain dengan tergesagesa pergi ke gandok me mberi tahukan ha l itu kepada Punta. Anak muda yang mencari La mat di belakang rumah itu terperanjat ketika ia mendengar ringkik kuda di kandang. Dengan tergesa-gesa ia berlari-lari mendekatinya. Tetapi ia justru tertegun ketika ia me lihat seekor kuda me loncat keluar. Di punggung kuda itu duduk agak merunduk La mat yang sedang dicarinya. "La mat, La mat" anak muda itu me manggil. Tetapi La mat tida k menghiraukannya. Dipacunya kudanya menuju ke hala man depan. Punta yang sudah diberi tahupun terperanjat pula. Ketika ia keluar dari gandok, didengarnya derap kaki kuda. Dari sisi rumah ia melihat seekor kuda berlari kencang. Dengan demikian, ma ka iapun segera me loncat ke hala man. Tetapi kuda itu telah mendahuluinya, sehingga Puntapun ke mudian termangu-mangu beberapa saat seolah-olah me mbe ku di halaman. Dala m pada itu, Lamat yang berada dipunggung kuda sempat me mperla mbat kudanya sambil berkata "Maaf Punta, aku mendahului. Jagalah Manguri dan ayahnya baik-baik. Mungkin ia masih berbahaya" Sebelum Punta menjawab, Lamat sudah berpacu keluar regol hala man dan berlari menyelusuri jalan padukuhan Sembojan. Beberapa orang yang berada di regol, justru menyibak ketika kuda itu berlari seperti dikejar hantu diantara mereka. "La mat me mang keras hati" desis Punta "aku akan menyusulnya. Keadaan tubuhnya masih sangat lemah. Apakah masih ada kuda yang la in"
Anak-anak Sembojan itupun segera mengusaha kannya dua ekor kuda. Bersama kawannya ia menyusul Lamat, setelah ia minta diri kepada kawannya dari Kali Mati dan berpesan seperti pesan La mat atas Manguri dan ayahnya. "Besok aku akan segera kembali bersa ma Ki Jagabaya di Kepandak" berkata Punta sa mbil me macu kudanya. Sejenak ke mudian merekapun telah hilang ditelan gelap. Yang terdengar tinggallah derap kaki-kaki kuda itu me mecah sepinya ma la m yang dingin. Demikianlah anak-anak Se mbojan dan padukuhan di sekitarnya me mandang mereka dengan termangu-mangu. Orang-orang itu datang jauh dari luar Kademangan mereka. Dan mereka telah menjadikan Se mbojan sebagai ajang pertengkaran, yang bahkan membawa beberapa akibat bagi anak-anak muda Sembojan dan sekitarnya, karena ada diantara mereka yang terluka. Bahkan mereka mene mukan beberapa sosok mayat pula di hala man itu. "Tetapi Punta akan ke mbali bersa ma Ki Jagabaya di Kepandak, yang akan menyelesaikan segala sesuatu tentang persoalan ini. Merekapun harus menga mbil dan me mbawa Manguri bersama ayahnya yang untuk beberapa saat hanya akan menjadi beban kita disini" berkata salah seorang dari mereka. "Sebelum Ki Jagabaya di Kepandak datang dan berbicara dengan Ki Jagabaya dan Ki De mang di Pra mbanan, kita masih mendapat beban ini" sahut kawannya. Tetapi demi sesamanya yang sedang dilanda oleh ma lapetaka, maka anak-anak Se mbojan dan padukuhan di sekitarnya telah menyediakan waktu mere ka untuk me lakukannya. Menjaga Manguri dan ayahnya, menjaga perempuan yang menangisi anak-anaknya yang terluka dan bahkan merekapun harus menguburkan mayat-mayat yang terdapat di hala man rumah yang terbakar itu.
Dala m pada itu, Lamat telah berpacu secepat-cepat dapat dilakukan oleh kudanya. Meskipun ia sadar, bahwa selisih waktunya sudah terlampau panjang, namun ia berharap untuk tidak terla mbat berbuat sesuatu. Tetapi ia tidak tahu, apakah sesuatu yang dapat dilakukannya itu. Meskipun demikian, sesuatu telah mendorongnya untuk segera sampai ke Kepandak. Ia ingin segera me lihat, apa saja yang sudah terjadi. Apakah Kepandak menjadi karang abang, atau sekedar terjadi pembunuhan di ja lan menuju ke Kademangan itu, dan Ki Reksatani masih berhasil menge labuhi Ki De mang lagi. Angin yang dingin justru me mbuat tubuh La mat menjadi semakin segar. Sekali-sekali masih juga terasa pedih-pedih lukanya menyengat kulit. Namun karena daya tahannya yang luar biasa, maka se muanya itu seakan-akan dapat dilupa kannya. Sementara itu, di halaman Kademangan Kepandak, Ki Reksatani masih berte mpur mati-matian seorang melawan seorang dengan Ki De mang di Kepandak. Setiap orang yang menyaksikannya seakan-akan harus menghentikan pernafasannya. Halaman yang bersih rata itu menjadi seperti kubangan yang kering. Debu berhamburan me mbayangi warna ke merah-merahan api obor di segenap sudut ha la man. Berbeda dengan Ki Reksatani, maka Ki De mang di Kepandak, sebagai saudara yang lebih tua, kadang-kadang masih juga dipengaruhi oleh kenangan di masa kanak-kanak. Kadang-kadang wajah Ki Reksatani yang tegang itu me mbayang seperti wajahnya di masa kanak-kanak. Memang sebagai dua orang bersaudara keduanya pernah juga bertengkar, bahkan berkelahi. Tetapi apabila wajah adiknya telah me mucat dan matanya menjadi basah, Ki De mang di Kepandak semasa kanak-kanaknya, selalu menghentikan perkelahian. Dengan iba ditatapnya wajah adiknya yang basah oleh air mata.
"Jangan menangis" desisnya "karena itu jangan naka l. Tetapi Ki De mang di Kepandak terperanjat bukan kepalang. Selagi angan-angan itu bermain sejenak, hanya sejenak, tidak lebih dari kejapan mata, terasa lengannya tergores oleh senjata. Senjata yang digenggam oleh Ki Reksatani. Dan senjata itu adalah pusaka peningga lan ayahnya. Tanpa sesadarnya Ki Demang me loncat surut. Dengan wajah tegang dipandanginya adiknya yang tertegun sejenak. Sejenak ke mudian ma ka perkelahian itupun telah meledak lagi. Keduanya mengerahkan segenap ke ma mpuan yang ada padanya. Mereka tidak lagi me mperhitungkan apapun juga selain me mbinasakan lawannya. Demikian juga Ki De mang di Kepandak. Luka di tangannya telah mengusir segala maca m perasaan yang selalu me mbayanginya. Dengan de mikian, maka tiba-tiba tandangnya menjadi sema kin garang meskipun ia berumur lebih tua dari Ki Reksatani. Tidak seorangpun dapat mera malkan, kapan perkelahian itu akan berakhir. Menurut pendengaran mereka, Ki Demang di Kepandak seperti juga adiknya Ki Reksatani, ma mpu, bertempur sehari sema la m tanpa berhenti sama sekali. Dan kini keduanya bertemu di arena perang tanding. Mereka pasti akan bertahan sampai ke mungkinan yang terakhir. Mungkin benar-benar sehari sema la m mereka a kan tetap bertempur di halaman itu, mungkin lebih. Beberapa orang yang berdiri diseputar hala man itupun ikut menjadi se makin tegang pula. Beberapa orang yang tidak tahan lagi, meskipun ia sendiri menggengga m senjata, menundukkan kepa lanya yang menjadi pening. Tetapi, sekalisekali mereka masih ingin juga me lihat, apa yang akan terjadi ke mudian. Sehingga diantara ya dan tidak, mereka melihat bayangan yang berputaran di hala man se makin la ma se ma kin cepat.
Tetapi ternyata racun warangan pada ujung keris Ki Reksatani benar-benar telah berpengaruh pada Ki Demang di Kepandak. Terasa tubuhnya menjadi se makin panas, dan tenaganya semakin susut. Namun karena itulah, ma ka Ki De mang di Kepandak telah mengerahkan sisa-sisa tenaga yang masih ada padanya, beserta segenap ilmunya. Ki Reksatani yang yakin bahwa warangan kerisnya akan segera bekerja di dala m darah Ki De mang di Kepanda k, mulai me lihat setiap kali Ki De mang mengusap keringat di keningnya. Semakin banyak Ki De mang me meras tenaganya, maka darah akan se makin deras mengalir di dala m tubuhnya, sehingga racun warangan keris itupun akan menjadi sema kin cepat berpengaruh pada tubuhnya. Tetapi Ki Reksatanipun tidak dapat mengingkari, bahwa telah terjadi sesuatu di dalam dirinya. Kelelahan yang tidak dapat dielakkannya lagi telah mulai merayapi otot-ototnya. Ia baru saja me meras tenaga, berkelahi melawan La mat di padukuhan Se mbojan. Ke mudian berpacu ke Kepandak. Bagaimanapun juga, maka ke ma mpuan seseorang bukan tidak berbatas. Demikianlah meskipun mereka masih be lum berte mpur semala m penuh, tetapi pada keduanya telah tampak, bahwa tenaga mereka mula i susut. Namun ke marahan yang bergetar di dala m dada masing-masing masih juga me maksa mereka untuk mengerahkan tenaganya. Ki De mang yang sudah merasa bahwa luka di tangannya itu akan me nyeret nyawanya, berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk menghentikan ke matian, ke matian-ke matian seterusnya. Meskipun ia tidak ingin me mbunuh Ki Reksatani sebagai tujuan, namun orang itu me mang harus dibinasakan untuk menghentikan perbuatan-perbuatan terkutuknya.
Kekerasan hati Ki De manglah yang ke mudian seakan-akan me mulihkan segenap ke ma mpuannya. Keyakinannya atas kebenaran sikapnya kali ini me mbuatnya semakin mantap. Apalagi ketika darahnya serasa menjadi sema kin panas karena pengaruh racun warangan. Di saat-saat berikutnya, Ki Demang menyerang lawannya dengan garangnya. Kerisnya berputar semakin cepat, meskipun tida k sekuat sebelumnya. Tetapi lawannyapun menjadi semakin le mah pula, bahkan sekali-seka li Ki Reksatani telah berhasil didesaknya. "Anak setan" gera m Ki Reksatani di da la m hatinya "ia masih ma mpu bertahan dari racun itu, apakah orang ini" Namun belum lagi umpatan di da la m hati itu se lesai, Ki Reksatanipun terperanjat bukan buatan. Serangan yang tidak diduga-duga telah me luncur dengan cepatnya. Ujung keris Ki Demang di Kepandak seakan-akan tidak lagi dapat dilihatnya. Namun tiba-tiba saja telah terasa goresan pada jari-jarinya. Ketika ia se mpat me mperhatikan jari-jarinya itu, tampa klah tulang yang me mutih. Tetapi tidak setitik darahpun yang menga lir. Dengan sigapnya Ki Reksatani meloncat surut. Dengan cepat ia menarik pisau belati dari ikat pinggangnya. Tanpa menunggu lebih la ma lagi, ma ka dipotongnya jari-jarinya yang telah tersentuh warangan racun keris ka kaknya. Ki De mang di Kepandak tertegun sejenak me nyaksikan hal itu. Tetapi ketika ia melihat darah menga lir dari luka itu hatinya menjadi berdebar-debar. Sekilas dilihatnya keris Ki Reksatani yang tergolek di sa mpingnya. Ke mudian dilihatnya Ki Reksatani mele mparkan pisau belatinya dan memungut kerisnya ke mbali. "Lukaku a kan se mbuh" gera mnya "tetapi kau akan mati"
Ki De mang menggelengkan kepalanya "Kaupun akan mati. Keris itu tidak akan berguna lagi. Kau sudah melupakan pantangan yang diberikan oleh ayah kita. Keris pusaka itu tidak boleh diletakkan diatas tanah" Sekilas wajah Ki Reksatani berubah, tetapi terdengar ia menggera m "O mong kosong. Aku tidak me merlukan tuah dari keris itu. Aku me merlukan racun yang ada pada warangannya. Dan itulah yang akan me mbunuhmu" Tetapi belum lagi ia selesai, Ki De mang sudah menyerangnya lagi. Dengan susah payah Ki Reksatani menghindarinya dan mencoba untuk menyerang ke mbali. Namun darah dari jari-jarinya yang dipotongnya mengalir terus. Kekalahan yang ditambah dengan arus darah itu me mbuatnya semakin le mah. Ia berharap dengan arus darah itu me mbuatnya semakin le mah. Ia berharap bahwa Ki Demang a kan segera kehilangan ke ma mpuan perlawanannya karena racun kerisnya. Tetapi ternyata Ki Demang masih tetap bertempur dengan sengitnya. Bahkan se makin la ma se ma kin mendesaknya. Di saat-saat tubuh Ki De mang serasa terbakar, diperasnya segenap ilmu yang ada padanya. Kerisnya tiba-tiba telah berputaran seperti puluhan keris yang berterbangan mengitari lawannya. Ki Re ksatani yang menjadi se makin le mah oleh le lah dan darah yang menga lir dari lukanya, semakin la ma menjadi semakin pening oleh serangan-serangan Ki De mang yang me mbadai. Sebenarnya serangan-serangan itupun sudah mulai mengendor. Tetapi daya perlawanan Ki Reksatanipun sudah sema kin susut. Ketika keris Ki De mang menyambar dengan dahsyatnya, Ki Reksatani berusaha menghindarinya. Tetapi rasa-rasanya keris itu tidak lagi hanya sehelai. Keris itu bagaikan lidah api yang menjilat ke manapun ia pergi.
Ki Reksatani menggera m ketika sekali lagi ia merasa keris kakaknya tergores ditabuhnya, dan kali ini justru di kening. Dengan de mikian Ki Reksatani tida k lagi dapat melepaskan bagian yang tergores oleh senjata itu dari tubuhnya. "Kita akan mati bersa ma-sama " desis Ki De mang di Kepandak. "Persetan" Ki Reksatani yang telah dibakar oleh nafsu itu bagaikan orang yang kehilangan akal. Bahkan ke mudian jantungnya telah dirayapi oleh perasaan putus-asa tanpa sesadarnya. Ujung keris yang tergores di keningnya itu adalah suatu pertanda bahwa tidak ada lagi jalan baginya untuk me lepaskan diri. Dengan demikian maka Ki Reksatani itupun kemudian menga muk seperti orang yang terganggu ingatannya. Iapun bertempur dengan tanpa harapan dapat keluar dari peperangan itu, sehingga dengan demikian, tandangnya menjadi buas dan liar. Di saat-saat itu pula La mat me macu kudanya menje lajahi bulak-bulak yang panjang, hutan-hutan perdu dan padang ilalang. Tanpa menghiraukan apapun juga, kudanya berlari secepat-cepat dapat dilakukan. Setiap kali La mat selalu menyentuh perut kudanya dan mema ksa kudanya berlari lebih cepat lagi. Tetapi Kepandak masih terla mpau jauh. Dan ia masih me merlukan waktu separo hari untuk mencapai daerah itu apabila kudanya dapat berpacu dengan kecepatan yang ajeg. Agak jauh di belakang La mat, Puntapun berpacu secepatcepatnya. Menurut pendapatnya, Lamat pasti masih terlampu le mah, sehingga mungkin sekali terjadi sesuatu di perjalanan. Karena itu dengan cemasnya ia berusaha untuk dapat menyusul La mat yang belum terla mpau la ma me ndahuluinya. Ternyata selama di perjalanan tubuh Lamat justru terasa menjadi se makin segar. Angin yang sejuk me mbuat lukalukanya tidak lagi terasa panas dan nyeri. Bahkan luka-luka yang pedih itu seakan-akan telah ditiup-tiup oleh nafas yang segar. Dala m pada itu, perkelahian di hala man Kade mangan Kepandak telah sampai di puncaknya. Luka ditubuh Ki Reksatani telah bertambah-tambah. Goresan demi goresan. Betapa ia mencoba berkelahi seperti harimau lapar, namun ternyata bahwa ia tidak akan dapat menolong dirinya. Akhirnya luka ditubuhnya tidak lagi dapat dihitung. Na mun di dala m keadaan putus asa itu, ia masih juga sempat melukai Ki De mang di Kepandak dengan beberapa goresan. Namun sa mpailah pada suatu saat, Ki Reksatani kehabisan kekuatan. Luka-luka yang pedih, ke lelahan dan racun yang bekerja ditabuhnya, membuatnya semakin le mah, sehingga akhirnya seperti kehilangan segenap tulang-tulangnya, Ki Reksatani menjadi terhuyung-huyung. Sekali ia masih menggerakkan tangannya untuk menggoreskan kerisnya. Namun tangan itupun segera terkulai bersamaan dengan lenyapnya kema mpuannya untuk berdiri tegak. Perlahan-lahan Ki Reksatani jatuh diatas lututnya. Meskipun kerisnya masih di dala m gengga man, namun ia sudah tidak berdaya lagi untuk menggerakkannya. Sesaat Ki Demang di Kepandak masih dapat berdiri tegak. Ditatapnya wajah adiknya yang pucat. Goresan-goresan yang merah kehita m-hitaman tetapi tidak menitikkan darah. Tiba-tiba Ki Reksatani itupun jatuh tersimpuli bertumpu pada kedua tangannya. Sekilas ia menengadahkan wajahnya dan dilihatnya kakaknya, Ki De mang di Kepandak berdiri di hadapannya dengan keris di tangannya. "Ki De mang" suaranya menjadi parau "kenapa kau t idak menghunja mkan keris itu di dadaku sa ma se kali" Ki De mang t idak menyahut.
"Ternyata aku tidak berhasil sekedar me mbunuhnya. Tetapi aku juga a kan mati karenanya" Ki De mang masih tetap berdia m diri. "Ki De mang" suara Ki Reksatani se makin la mbat "kita akan mati bersama-sa ma. Apakah kau tidak menyadarinya?" "Ya. Reksatani. Kita akan mati bersama-sa ma. Kau akan mati lebih dahulu, ke mudian baru aku a kan menyusulmu" Ki Reksatani menjadi sema kin le mah. Na mun ia masih mencoba mengangkat wajahnya. Dipandanginya orang-orang yang berdiri di seputar hala man. Ta mpaknya seperti bayangan-bayangan hantu yang hitam pekat di bawah cahaya obor yang ke merah-merahan. Kemudian tatapan matanya merayap kekaki Ki De mang di Kepandak dan perlahan-lahan me ma njat naik. Sekali lagi ia me lihat wajah Ki De mang, wajah kakaknya. Ketika Ki De mang me mandang wajah adiknya itu pula, wajah yang pucat pasi, tiba-tiba terbayang di wajah itu, kenamgan yang sesaat telah terusir dari hatinya. Kini seakanakan dilihatnya wajah Reksatani di masa kanak-kanak. Serasa mereka ada lah kanak-kanak itu. Kanak-kana k yang bermainma in di ha la man Kade mangan. Kanak-kanak yang berkelahi di Kademangan itu pula. Serasa Ki De mang di Kepandak menghayati ke mbali hidupnya beberapa puluh tahun yang la mpau. Kalau ia mendapatkan perma inan, ma ka adiknya itu selalu berusaha merebutnya. Kadang-kadang mainan itu diberikannya, tetapi kadang-kadang dipertahankannya, sehingga sekali-seka li merekapun berkelahi. Tetapi Ki Reksatani di masa kanakkanak selalu gagal. Bagaimanapun juga Ki Reksatani tidak akan dapat menang. Yang dapat dilakukan ke mudian adalah menangis.
Terasa dada Ki Demang di Kepandak berdesir ketika tampak olehnya kilatan pantulan cahaya obor di mata Ki Reksatani. Bukan Ki Reksatani di masa kanak-kana k. Tetapi Ki Reksatani yang telah berusaha me mbunuhnya. Benar-benar me mbunuhnya dengan keris peninggalan ayahnya. "Kakang" terdengar suara itu lirih se kali. Ki De mang di Kepandak menarik nafas dalam-dala m. Rasarasanya udara di halaman Kademangan itu telah menjadi kering sa ma sekali, sehingga ha mpir-ha mpir tidak ada yang berhasil dihisapnya mela lui hidungnya. "Kita akan ke mudian. mati bersa ma-sama" desis Ki Reksatani
Ki Reksatani menggera m ketika sekali lagi ia merasa keris kakaknya tergores di tubuhnya, dan kali ini justru di kening. Dengan de mikian Ki Reksatani tida k lagi dapat melepaskan bagian yang tergores oleh senjata itu dari tubuhnya. Ki De mang t idak menjawab. Dan tiba-tiba saja diluar dugaannya, Ki Reksatani berkata terbata-bata" semuanya sudah terlanjur. Dan semuanya sudah gagal" Ki De mang se kali lagi mencoba menarik nafas. "Aku minta maaf kakang" Bagaimanapun juga terasa sesuatu menyentuh hatinya. Reksatani adalah adiknya. "Aku minta maaf, bahwa aku telah melakukannya. Aku tidak mengerti, dorongan apakah yang membuat aku seakan menjadi gila " Ki Reksatani berhenti sejenak "tetapi semuanya sudah terlanjur. Aku akan mati, dan kau juga akan mati. Tetapi kau mati diatas dasar hakmu sendiri kakang. Aku akan mati sebagai seorang pengkhianat apalagi seorang adik yang telah me mbunuh kaka knya pula"
Ki De mang tida k menjawab. Tetapi seakan-akan ia me lihat dada Reksatani yang terbuka. Seolah-olah ia melihat bahwa di dalam dada itu kini me mancar pengakuan dan penyesalan. Seakan-akan di dala m dada yang gelap kela m itu telah menyala pelita yang me mberinya penerangan. Namun sudah terlambat. Yang dapat dilakukan oleh adiknya di saat-saat terakhir adalah pengakuan. Hanya pengakuan yang ikhlas. Tetapi ia t idak a kan dapat lagi me mperbaiki kelakuannya dan me mbenarkan perbuatannya yang salah. "Kakang, apakah kau masih bersedia me maafkan aku" suaranya menjadi se ma kin la mbat dan terputus-putus. Ki De mang di Kepandak masih berdiri me mbeku. Nafasnya serasa menjadi semakin sesak. Badannya bagaikan terbakar karena racun yang keras telah bekerja di seluruh tubuhnya, meskipun racun warangan keris yang mencengka m darahnya tidak sebanyak warangan yang masuk ke da la m tubuh adiknya. "Kakang" suara Ki Reksatani menjadi se makin lirih "apakah kau mau me maafkan?" Ki De mang maju selangkah. Tetapi iapun sudah mulai terhuyung-huyung. Dipandanginya wajah adiknya yang pucat penuh penyesalan. "Aku tahu, tidak akan ada gunanya lagi kakang. Tetapi aku menyesal seka li. Aku me nyesal" "Belum terla mbat Reksatani. mengucapkannya sendiri" "Sudah terla mbat. Aku akan mati" "Mati adalah batas kesatuan roh dan wadag dihidup yang fana. Tetapi penyesalanmu akan berpengaruh di dala m hidupmu yang baka. Kita akan bersama-sa ma menghadap sumber dari hidup kita" Kau masih dapat
"Tetapi, tetapi.." suara Ki Reksatani terputus-putus ".....aku akan terjerumus ke dala m kancah dosaku. Aku akan kehilangan jalan untuk menghadap Tuhan. Se mua pintu akan tertutup bagiku. Tetapi tida k bagimu kakang" "Tida k ada manusia yang bersih dari dosa. Tetapi penyesalan yang tulus di saat terakhir akan mendekatkan kita kepadanya. Kau menyesali dosa-dosamu, dan aku akan menyesali dosa-dosaku. Marilah kita yakini bahwa Tuhan Maha Pengampun" Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia berdesis "Tetapi juga Maha Adil. Tuhan akan menghukum yang salah sesuai dengan kesalahannya" "Dan se mua diperhitungkannya" penyesalan dan taubat akan
Ki Reksatani mencoba menarik nafas. Dengan sisa tenaganya ia mengangkat kepalanya. Dipandanginya bayangan hitam yang se ma kin kabur. Tiba-tiba saja ia berteriak "Pergi. Pergi semua orang yang datang bersamaku. Jangan kalian mengganggu Kade mangan ini lagi. Korban yang paling berharga telah jatuh di Kademangan ini. Kakang De mang di Kepandak dan aku sendiri. Jangan mena mbah korban lagi. Pergi, pergi.." Suara Ki Reksatani terputus. Sejenak ia mencoba bertahan. Namun perlahan-lahan iapun tertelungkup. "Reksatani " Ki De mang berjongkok disa mpingnya, dengan le mahnya. Dicobanya untuk mengangkat adiknya. Tetapi tangannya seakan-akan tidak bertulang lagi. Orang-orang yang berdiri di sekeliling hala man, bagaikan menga la mi sebuah mimpi yang mengerikan. Sesaat mereka berdiri termangu-mangu. Na mun ke mudian Ki Jagabaya me loncat mendekati mereka berdua yang telah sa mpai pada perbatasan hidupnya.
Sambil menahan nafas iapun kemudian berjongkok pula di samping Ki De mang di Kepandak. "O" desah Ki Demang "Ki Jagabaya. Tolong, terlentangkan adikku" Ki Jagabaya me mandanginya sejenak. Namun ke mudian tangannya terjulur menggapai tubuh Ki Reksatani. Perlahanlahan tubuh itupun ditelentangkannya. Wajah yang pucat itu menjadi semakin pucat. Namun sekali lagi Ki Reksatani mencoba untuk me mbuka matanya sambil tersenyum. Ia masih melihat bayangan yang kabur. Namun masih juga dikenalinya Ki De mang di Kepandak dan Ki Jagabaya. "Aku minta maaf" suaranya parau dan ha mpir t idak terdengar "katakan kepada mBok-ayu Sindangsari. Aku minta maaf" Ki Jagabaya yang menahan kepala mengangguk-angguk "Ya, Ki Reksatani" "Ya Ki Reksatani" Ki Reksatani tidak dapat mengucapkan kata-kata lagi. Sekali lagi ia mencoba tersenyum. Namun ke mudian wajahnya yang pucat menjadi seputih kapas. Sebuah tarikan nafas yang terakhir telah lewat di hidungnya. Ki De mang me me ja mkan matanya sejenak. Ketika ia me mbuka matanya ke mbali, terasa kepalanya menjadi pening sekali. Tubuhnya bagaikan terbakar. Ketika ia mencoba untuk berdiri, ia sudah tidak berhasil meskipun ia berpegangan Ki Jagabaya. "Ki Jagabaya" suaranyapun mulai serak "akupun akan mati. Warangan keris itu sudah bekerja di se luruh tubuhku. Tidak ada obat yang dapat menolongku" Ki Reksatani
"Juga kepada mu dan kepada se mua ra kyat Kepandak"
"Apakah aku harus me manggil dukun yang paling pandai Ki Demang" Ki De mang menggelengkan kepalanya "Tida k ada gunanya. Tidak ada gunanya Ki Jagabaya" Ki Jagabaya menjadi tegang. Seperti se mua orang yang ada di seke liling hala man itu. "Ki Jagabaya" desis Ki De mang "panggillah Sindangsari" Ki Jagabaya menganggukkan kepalanya. Diletakkannya kepala Ki Reksatani perlahan-lahan. Kemudian iapun berangkat berdiri dan me loncat ke ruang dalam. Ketika ia me langkah dengan tergesa-gesa ke halaman, ia diikuti oleh Sindangsari. Tetapi dadanya menjadi semakin berdebar-debar. Ia me lihat Ki De mang sudah se makin le mah. Tetapi kini beberapa orang bebahu Kade mangan telah mengelilingi. Sindangsari berdiri termangu-mangu sejenak. Ketika ia me lihat Ki De mang yang duduk bersandar seorang bebahu Kademangannya, tiba-tiba saja ia menjerit. "Kakang De mang. Kakang De mang" Pere mpuan itupun berlari-lari melintasi ha la man. Sambil menjatuhkan dirinya di sisinya Sindangsari menangis sa mbil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya "Kakang De mang. Apa yang terjadi?" Ki De mang di Kepandak menarik nafas dalam-dala m. Tanpa sesadarnya dipandanginya mayat adiknya yang terbujur di sisinya. "Sindangsari" berkata Ki De mang di Kepandak "kita tidak menghenda ki se mua ini terjadi. Tetapi ternyata kita tidak dapat mengela kkannya. Aku terpaksa me mbunuh Reksatani"
Sidangsari terkejut sehingga tanpa sesadarnya ia mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan ia berpaling mengikuti arah tatapan mata Ki De mang di Kepandak. "O" dengan tergesa-gesa Sindangsari me le mparkan pandangannya jauh ke sudut halaman. Terasa dadanya berdentangan oleh denyut jantungnya yang semakin cepat. "Reksatani sudah mati Sari" suara Ki De mang parau" ia sudah menebus kesalahannya dengan nyawanya" Ki Demang berhenti sejenak, lalu "tetapi bukan saja Reksatani. Akupun harus menebus keta makanku" "Kakang De mang" wajah Sindangsari menjadi se makin tegang. "Akupun a kan mati" "Kakang...." suara Sindangsari terputus. "Ya Sari. Aku juga akan mati. Tubuhku telah tergores keris Reksatani. Keris pusaka peninggalan ayah yang me mpunyai kekuatan warangan yang luar biasa. Apalagi keris itu dipelihara oleh Reksatani sebaik-baiknya. Dan keris itu ternyata telah me lukai kulit ku. Dengan de mikian ma ka aku tidak akan dapat hidup lebih la ma lagi" "Tida k. Tidak" teriak Sindangsari "kau tidak akan mati kakang. Kau tidak a kan mati" "Agaknya me mang sudah sampai pada batas perjalanan hidupku Sari. Aku akan mat i" "Jangan" tangis Sindangsari t idak tertahankan lagi. Dan tanpa diduga-duga tiba-tiba Sindangsari menjatuhkan dirinya di dada Ki De mang di Kepandak yang sudah sa mpai dibatas akhir hidupnya. "Jangan tinggalkan aku kakang. Kau tida k akan mati" Terasa sesuatu berdesir di dada Ki De mang di Kepandak. Selama hidupnya ia belum pernah me meluk Sindangsari
sebagai istrinya. Seakan-akan diantara keduanya terdapat jarak yang tidak tertembuskan. Na mun di saat-saat ajal mulai merabanya, dengan sisa-sisa kekuatan yang ada padanya, Ki Demang menggerakkan tangannya me mbe lai ra mbut Sindangsari yang terurai kusut. Karena itu ma ka didekapnya Sindangsari di dadanya. Ia merasa bahwa ia seorang suami yang sah dari perempuan itu. Tetapi di dala m pergaulannya sehari-hari ia lebih bersikap sebagai seorang ayah terhadap anak gadisnya. Di bawah tangga pendapa Pa mot berdiri termangu-mangu. Ketika ia me lihat Sindangsari menjatuhkan diri dipe lukan Ki Demang, tiba-tiba saja kepa lanya tertunduk. Hatinya bergolak tanpa dapat dikendalikan lagi. Bagaimanapun juga hatinya serasa tersayat melihat Sindangsari berada di dala m belaian tangan Ki Demang di Kepandak, meskipun ia tahu, bahwa perempuan itu adalah isteri Ki De mang itu sendiri. Tanpa sesadarnya Pamot mengatupkan giginya rapat-rapat, seakan-akan menahan gejolak yang dahsyat di dalam dadanya. Namun de mikian ia sama sekali tidak beranjak dari tempatnya, seperti orang-orang lain yang juga tidak beranjak dari tempatnya. Tetapi Pamot itu terkejut ketika perlahan-lahan mendengar seolah-olah na manya disebut beberapa kali. ia
Perlahan-lahan pula ia mengangkat wajahnya. Dan suara itu masih didengarnya. "Pamot " yang terdengar jelas ke mudian adalah suara Ki Jagabaya. Pamot mengerutkan keningnya. "Ke marilah" Ki Jagabaya meneruskan. Gejolak di dada Pa mot menjadi se makin keras.
Sekali lagi ia menundukkan kepalanya ketika ia melihat Sindangsari me nelungkup ditubuh Ki De mang yang le mah. "Pamot, ke marilah. Ki De mang me manggilmu" ulang Ki Jagabaya. Pamot menjadi termangu-mangu sejenak. Dadanya telah dia muk oleh kebimbangan. Ia tidak dapat menyaksikan Sindangsari yang menangisi Ki De mang di Kepandak. Tetapi Ki Demang justru telah me manggilnya. "Cepat sedikit Pamot" pinta Ki Jagabaya. Pamot tidak dapat menolak lagi. Perlahan-lahan ia melangkah mende kati Ki Demang yang bersandar seorang bebahu Kademangan, sedang Sindangsari masih menangis me mbasahi dada Ki Demang yang bidang itu. Sejenak Pa mot berdiri di sa mping Ki Jagabaya yang berjongkok. "Ke marilah" desis Ki De mang di Kepandak dengan suara yang parau dan dala m. "Berjongkoklah" guma m Ki Jagabaya. Pamotpun kemudian berjongkok di sa mping Ki De mang yang menjadi se ma kin le mah. "Pamot " bisik Ki De mang dengan suara yang parau "umurku tidak akan lebih panjang dari ma la m ini" Pamot tida k menyahut. "Aku akan mati. Semua yang ada di Kademangan ini akan aku tinggalkan. Rumah, ternak, sawah, halaman ini dan rakyat Kepandak yang baik. Juga Sindangsari dan anak di dalam kandungannya" Pamot masih tetap berdia m diri. "Tetapi rasa-rasanya aku segan untuk berangkat, sebelum aku yakin bahwa yang aku tinggalkan tidak akan menga la mi
kesulitan apapun juga. Terutama isteri dan anak di dalam kandungannya itu" "Pamot " desis Ki De mang. Suaranya menjadi semakin dalam "Se mua yang mendengar kata-kataku ini akan menjadi saksi. Bahwa sebagai kelajiman dan adat kita, sepeninggalku, anakkulah yang akan berhak menggantikan kedudukanku. Karena anakku masih ada di dala m kandungan, maka diperlukan seseorang yang dapat mewakilinya untuk sementara. Sampai pada saatnya anakku kelak dapat menjabat kedudukan De mang di Kepandak. Kalau ia laki-laki, maka ia adalah De mang itu. Tetapi kalau ia pere mpuan, maka suaminyalah yang akan mela kukan tugasnya sebagai De mang di Kepanda k. Ki Jagabaya, para bebahu yang ada di sekitar Ki De mang di Kepandak mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun Pa mot masih saja menundukkan kepa lanya. "Pamot " berkata Ki De mang ke mudian dengan suara yang terputus-putus "aku sudah akan mati. Baiklah aku berkata berterus terang, karena aku tidak me mpunyai waktu lagi" ia berhenti sejenak menarik nafas dalam-dala m, seolah-olah nafasnya telah hampir terputus dilubang hidungnya "Aku akan mati. Aku tahu, dan ha mpir seluruh orang-orang Kepandak tahu, bahwa aku telah me lakukan kesalahan yang besar terhadapmu dan Sindangsari. Karena itu sepeningga lku Pamot, aku serahkan Sindangsari ke mbali kepada mu. Terimalah. Aku minta sebelum ajalku, kau mau menerimanya sebagai isterimu. Kau pulalah yang aku percaya untuk mewakili anakku melakukan tugas Kade mangan ini sebaikbaiknya, sampai saatnya kelak anak itu dapat menjalankannya sendiri. Aku percaya bahwa kau mampu me lakukan. Kau masih muda. Kau masih me mpunyai seribu maca m harapan buat masa depan. Dala m olah kanuragan dan olah kasukman. Semoga Tuhan me lindungimu"
Nafas Ki De mang menjadi se makin pendek. Tetapi ia masih bertanya "Apakah kau bersedia Pa mot?" Dada Pamot benar-benar telah dilanda kebimbangan yang dahsyat. Ia tidak mengerti, perasaan apakah yang sebenarnya bergolak di dadanya terhadap Sindangsari. Apakah benar ia me mang mengharapkannya, atau sekedar hatinya diremas oleh perasaan ce mburu" Atau perasaan-perasaan lain yang tidak dikenalnya?" Namun di saat terakhir seolah-olah Ki De mang dapat me mbaca guratan perasaannya "Pamot. Kau ragu-ragu?" Ki Jagabaya berpaling. Ditatapnya wajah Pamot yang tegang penuh pertentangan di da la m diri. "Jawablah Pamot" desak mendapat kepercayaan itu" Ki Jagabaya "kaulah yang
Pamot menarik nafas dalam-dala m. Dipandanginya Sindangsari yang terisak di dada Ki De mang di Kepandak. "Nafasnya tinggal satu dua. Aku ingin mendengar jawabmu Pamot" "Pamot " desak Ki Jagabaya. Sekali lagi Pa mot menarik nafas. Lalu terdengarlah suaranya yang dalam "Baiklah Ki De mang. Aku menerima nya" Ki De mang menarik nafas dalam-da la m. Ia masih akan berbicara. Tetapi bibirnya hanya dapat tersenyum. Perlahanlahan ia mencoba meraba kening isterinya. Tetapi ketika tangan itu me nyentuh wajah Sindangsari, maka tangan itu terkulai dengan le mahnya. Namun masih juga dipaksakannya berbisik "Sindangsari, ke mbalilah kepadanya. Kepada Pamot" agaknya Ki De mang masih ingin berkata, tetapi suaranya sudah tidak dapat melalui kerongkongannya.
http://www.mardias.mywapblog.com
Perlahan-lahan Ki De mang menggerakkan kepa lanya. Kemudian sebuah tarikan nafas yang dalam. Dan mata Ki Demang itupun terpejam dengan sebuah senyum di bibirnya. "Ki De mang" desis Ki Jagabaya. Sindangsari yang mene lungkup di dada Ki De mang mengangkat kepalanya. Terasa tarikan nafasnya terhenti. Dan ketika dilihatnya Ki De mang telah me meja mkan matanya, maka tiba-tiba pere mpuan itu me njerit keras sekali. "Kakang De mang. Ka kang De mang" Tetapi Ki De mang sudah tidak mendengarnya. Tidak ada jawaban yang me loncat mela lui bibirnya. Sekali lagi Sindangsari menjatuhkan kepalanya sambil menangis sejadi-jadinya. Bagaimanapun juga ia me mpunyai kenangan tersendiri selama ia hidup di Kademangan. Ki Demang di Kepandak itu serasa seorang ayah yang selalu mencoba mengerti keadaannya sebaik-baiknya. Tetapi juga seorang suami yang me merlukan pe layanannya dalam hidup sehari-hari. Ia jugalah yang setiap hari menyediakan makan dan minum. Me mbersihkan bilik dan pe mbaringannya. Menyapanya kalau ia pulang dengan lelah setelah melakukan tugasnya. Tetapi yang selalu bertanya pula kepadanya apabila ia menge luh tanpa sesadarnya "Apakah aku dapat me mbantumu Sari?" Sejenak para bebahu Kademangan Kepandak seakan-akan me mbe ku. Mereka tidak segera dapat berbuat sesuatu. Dibiarkannya Sindangsari menangis sepuas-puasnya, menangisi sua minya yang gugur me mpertahankan bukan saja haknya, tetapi juga isteri dan anak di dala m kandungan. Tetapi sejenak ke mudian Ki Jagabaya berbisik "Sudahlah Nyai De mang. Biarkan ka mi mendapat kese mpatan menyelenggarakan jenazah Ki De mang di Kepandak. Sebaiknya Nyai De mang masuk saja ke da la m rumah Kademangan"
Tetapi Nyai Demang di Kepandak sama sekali tidak beranjak dari te mpatnya. "Panggillah pere mpuan-pere mpuan tua" desis Ki Jagabaya kepada seorang bebahu yang duduk di sa mpingnya. Sejenak kemudian perempuan-pere mpuan tua itupun telah berdatangan. Dengan lembut mereka mencoba mengajak Sindangsari masuk ke rumahnya. "Lihatlah" berkata seorang perempuan "di sekitar hala man ini masih banyak se kali laki-la ki yang menggengga m senjata telanjang. Marilah. Biarlah Ki Jagabaya menyelesaikan semuanya. Perlahan-lahan na mun akhirmya Sindangsaripun me lepaskan sua minya. Dengan dibimbing oleh pere mpuanperempuan tua, Nyai De mang itupun dibawa masuk ke ruang dalam. Tetapi ketika di bawah tangga pendapa ia berpaling, dilihatnya Pamot berdiri termangu-mangu. Terasa dada Sindangsari berdesir. Pamot itu seakan-akan me mandangnya seperti baru pertama kali me lihatnya. Sorot mata anak muda itu serasa mene mbus sampa i ke pusat jantungnya. "Pamot " Nyai De mang itu berdesis. Ha mpir saja ia berlari kepada anak muda itu. Na mun pere mpuan-pere mpuan tua yang me mbimbingnya me mbawanya naik ke pendapa. Pamot me ma lingkan wajahnya menyapu hala man. Beberapa orang sedang mengangkat tubuh Ki De mang ke pendapa. Yang lain mengangkat tubuh Ki Reksatani. Namun di sekitar halaman itu masih dilihatnya para pengawal yang bersenjata dan orang-orang berkuda yang berdatangan bersama Ki Reksatani. Namun wajah-wajah merekapun telah tunduk dala m-dala m. Hati mereka sempat juga merenungi apa yang baru saja terjadi.
Tetapi agaknya Ki Jagabayapun segera bertindak pula atas nama Ki De mang "He, orang-orang yang telah menjerumuskan diri ke dala m pengkhianatan. Kini Ki Reksatani sudah tidak ada lagi di antara kalian. Kalian telah mendengar sendiri pesannya dan janji jantannya sebelum ia mela kukan perang tanding?" Ki Jagabaya berhenti sejenak, lalu "Apakah kalian ingin meyakinkan siapa yang kalah dan siapa yang menang" Ki Reksatani telah meningga l lebih dahulu. Karena itu, maka iapun dapat dianggap telah kalah. Apalagi ia sendiri telah meneriakkan perintah kepada kalian untuk pergi meninggalkan hala man ini" se kali lagi ia berhenti, lalu "Tetapi yang penting bukan itu. Bukan sekedar kalian pergi meninggalkan hala man ini. Tetapi apakah kalian telah menyadari, bahwa yang terjadi adalah bencana buat Kademangan ini" Kalau ka lian t idak dapat menyadarinya, maka me mang lebih baik kalau kita bertempur sekarang. Siapa yang akan kalah dan siapa yang a kan menang. Siapa yang akan tumpas dan siapa yang akan menguasai Kepandak sebagai kuburan ra ksasa" Tidak seorangpun yang menjawab. "Nah, sekarang kalian dapat memilih. Kalau kalian menyesali perbuatan kalian, tinggalkan hala man ini. Kalau tidak, kita akan segera bertempur. Ka mi sudah siap" Beberapa orang berkuda itu saling berpandangan. Tetapi bagi mereka agaknya tida k akan ada gunanya lagi untuk bertempur. Mereka sadar, bahwa Ki Jagabaya dan para pengawal pasti akan menghancurkannya. Tetapi kalau mereka meninggalkan hala man itu, mereka akan dimanfaatkan. Ki Jagabaya agaknya tidak akan melakukan tuntutan lebih lanjut atas mereka. Karena itu, maka ketika seorang dari mereka bergerak, maka yang lainpun segera mengikutinya. Satu-satu mereka pergi meninggalkan jalan-jalan diseputar hala man Kademangan Kepandak.
Para pengawal yang semula berdebar-debar, satu-satu mulai menarik nafas lega. Mereka tidak lagi harus berte mpur. Namun de mikian ke mbali mereka harus menundukkan kepala, karena di pendapa dua orang kakak beradik yang selama ini mereka hormati, telah meningga l justru dala m perang tanding diantara mereka sendiri. Pamot yang masih termangu-mangu, terkejut ketika Ki Jagabaya menepuk punda knya. Bisiknya "Kenapa kau seperti kehilangan aka l Pa mot. Kau berdiri merenung seperti orang tua yang linglung" Pamot tidak segera dapat menjawab. Tiba-tiba saja ia menjadi tergagap. "Pamot " berkata Ki Jagabaya seterusnya "berbuatlah sesuatu. Kau sekarang adalah De mang di Kepandak" Pamot menarik nafas dalam-da la m. Tanpa sesadarnya dipandanginya pintu pringgitan yang masih terbuka sedikit. Secercah cahaya meloncat keluar menarik garis yang lurus. "Masuklah ke rumah itu. Terima lah Sindangsari. Hatinya terlampau pedih me ngala mi peristiwa ini. Kau adalah satusatunya orang yang paling de kat di hatinya. Selebihnya kau adalah seorang laki-la ki. Jangan kehilangan akal" Tetapi Pamot bahkan ke mudian mengge lengkan kepa lanya. Katanya "Ki Jagabaya. Aku tidak sanggup. Aku tida k sanggup me lakukan se muanya. Ki Jagabaya sajalah yang menjadi Demang di Kepanda k" "Meskipun Ki De mang di Kepandak yang baru saja meninggal itu bukan orang yang bersih sa ma seka li, tetapi kami mencoba untuk me menuhi permintaannya yang terakhir. Kau juga sebaiknya me menuhinya. Apalagi kau sudah menyanggupinya" "Aku hanya ingin menyenangkan hatinya di saat-saat ia akan meninggal"
"Jangan kau ingkari janjimu di hadapan orang yang akan meninggal" "Pamot " terdia m. tunduk. Tetapi kepalanya menjadi se makin
"Pamot " berkata Ki Jagabaya "kau me mpunyai pengetahuan. Kau juga me mpunyai pengala man. Kalau masih ada yang kurang, kau dapat mempelajarinya dari orang-orang yang ada di sekitarmu. Dari aku, dan bebahu yang lain dan dari seluruh rakyat Kepandak" Pa mot t idak menjawab. Dan di luar sadarnya beberapa orang bebahu yang lain telah berdiri mengitarinya. "Nah, masuklah. Mula ilah berbuat sesuatu atas Nyai Demang yang pasti sedang murung itu" Pamot tida k dapat menolak ketika Ki Jagabaya mendorongnya ke pendapa. Dengan berat kakinya melangkah, menaiki tangga satu demi satu. Ketika ia sampai di tangga teratas, sekali lagi langkahnya tertegun. Tetapi Ki Jagabaya mendorongnya. "Masuklah. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, menje lang penyelenggaraan jenazah Ki Demang dan Ki Reksatani. Kau me mpunyai wewenang mengatur dan me mperguna kan apa saja yang ada di rumah ini dengan seizin Sindangsari. Karena itu te muilah pere mpuan itu. Berbicaralah, bahwa masih ada yang harus dila kukan. Bahwa jenazah suaminya masih harus dikuburkan. Dan kaulah pelaksananya. Kami a kan me mbantu sejauh dapat ka mi lakukan" Pamot masih juga termangu-mangu. Na mun ke mudian kakinya me langkah juga ke pintu pringgitan. Dengan ragu-ragu Pa mot mendorong pintu yang masih terbuka sedikit itu. Dengan kaki ge metar ia maju selangkah, me masuki pringgitan rumah Kade mangan di Kepandak.
Tetapi pringgitan itu ternyata seorangpun yang ada di pringgitan itu.
kosong. Tidak ada Sejenak Pa mot berdiri termangu-mangu. Ia tidak segera tahu, apakah yang sebaiknya dikerjakan. Dipandanginya saja isi pringgitan itu. Lampu yang menyala diatas ajug-ajug. Sehelai tikar pandan yang tergantung di dinding dan sepasang tombak yang silang menyilang. Pamot menarik nafas dala m-dala m. Hatinya berdesir ketika dari balik pintu yang masuk ke ruang dala m ia mendengar isak tangis Sindangsari. Seorang perempuan mencoba menentera mkan hatinya. Namun Sindangsari masih juga menangis. Tiba-tiba Pa mot mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara seorang laki-laki di dala m. Agaknya laki-la ki itu telah masuk lewat pintu butulan. Perlahan-lahan ia berkata kepada salah seorang perempuan "Katakan kepadanya, bahwa Ki De mang telah menentukan siapakah yang akan menjadi pelindungnya. Biarlah hatinya menjadi agak tenang. Meskipun ia sudah mendengar sendiri, tetapi barangkali ia perlu meyakinkan" "Siapa?" bertanya perempuan itu. "Kita, yang menunggui di saat Ki De mang menarik nafas terakhirnya menjadi saksi. Ki De mang telah menyerahkan seluruhnya kepada Pamot. Ialah yang akan menjadi wali anak di dala m kandungan itu sa mpai anak itu ke lak dapat menggantikan kedudukan ayannya, Demang di Kepanda k" "O" desis pere mpuan itu. Sejenak kemudian tidak terdengar suara apapun. Agaknya laki-laki itu telah pergi me ningga lkan Sindangsari yang menangis. Pamot masih saja berdiri di tempatnya dengan termangumangu. Iapun ke mudian mendengar pere mpuan-pere mpuan
itu mencoba menghibur hati Sindangsari. Dengan hati-hati seorang perempuan tua berkata "Nyai De mang. Sudahlah. Jangan ditangisi lagi yang sudah pergi. Biarlah Ki De mang dapat menempuh jalan lapang tanpa tertegun-tegun di perjalanannya. Bukankah Ki De mang sudah menjatuhkan pesan sebelum ia meninggal" Nah, pesan itu merupakan suatu penghibur yang dapat mengurangi kepahitan perasaanmu. Mungkin kau tida k segera dapat menyesuaikan diri dengan pesan itu. Tetapi pesan itu harus mendapat perhatian. Setidak-tidaknya kau mendapat seorang kawan berbincang selama kau menghadapi percobaan yang sangat berat ini" Nyai Demang tida k menjawab. Ia memang mendengar sendiri bagaimana Ki De mang menyerahkan dirinya ke dalam perlindungan Pa mot. Bagaimana Ki De mang mengatakan, bahwa anak di da la m kandungannya itulah yang ke lak berhak menjadi penggantinya, karena anak itu diakuinya sebagai anaknya. Sindangsari t idak tahu perasaan apakah yang sebenarnya bergolak di dala m hatinya. Apakah ia bersedih apakah ia merasa dirinya terlepas dari kekangan dan dapat ke mba li kepada Pamot. Atau kedua-duanya kini sedang bergulat di dalam hatinya?" Ia me mang bersedih atas kematian Ki De mang di Kepandak. Tetapi ia berpengharapan bahwa ia akan menje lang suatu kehidupan yang lain bersa ma Pa mot yang tidak pernah dilupakannya sekejappun. Na mun justru karena Ki De mang mengetahui perasaannya itulah ma ka ia menjadi sedih atas kematiannya. Agaknya selama ini Ki De mangpun mencoba untuk mengerti tentang dirinya sedala m-dala mnya. Dibiarkannya dirinya selalu berangan-angan tentang Pa mot. Tentang anak muda yang tidak akan dapat diuraikan lagi daripadanya karena ikatan yang ada di dalam dirinya itu. Anak muda yang telah me letakkan benih yang sedang tumbuh. Semakin la ma menjadi se makin besar.
Selama ini Ki De mang tida k pernah mengganggu gugat, meskipun ia sudah tahu keadaannya yang sebenarnya. Demikianlah Sindangsari tidak segera dapat menguasai dirinya sendiri. Kebingungan dan kegelisahan telah me mbakar dadanya. Ia tidak dapat menemukan perasaannya sendiri. Dan suara perempuan-perempuan tua di sekitarnya itu justru telah me mbuatnya menjadi se makin bingung. "Kau harus menerima pesan itu Nyai" terdengar seseorang berkata. "Jangan bersedih lagi. Ki De mang sudah menghadap Tuhannya ke mbali" Dan yang lain "Kita bersa ma-sama telah bersedih hati atas ke matiannya. Tetapi semuanya yang terjadi ini tidak akan dapat kemba li lagi. Tidak dapat diulang ke mbali. Karena itu, terimalah keadaan yang mendatang" Masih ada lagi yang berbisik "Jangan tenggela m dala m kepedihan. Kau masih harus berbuat sesuatu atas jenazah suamimu. Kau dapat me manggil Ki Jagabaya dan terutama, kau akan mendapat sisihan baru dalam kesulitan ini. Panggilan Pamot dan para bebahu yang la in" Nyai De mang masih saja menangis. Dan seorang perempuan yang lain berkata "Jagalah kandunganmu Nyai. Jangan kau turutkan kata hatimu" Suara-suara itu serasa berputar di kepalanya. Semakin la ma se makin cepat sehingga seakan-akan Sindangsari itu telah diputar oleh pusaran yang semakin la ma sema kin menyeretnya ke dala m arus yang t idak terlawan. Dala m keadaan itulah, seorang anak muda berdiri di muka pintu ruang dala m. Dengan tatapan mata yang kosong ia me mandangi perempuan-perempuan yang sedang berkerumun di seputar Sindangsari.
Ketika salah seorang melihatnya, tiba-tiba ia berdesis "Pamot. Pa mot telah datang" Semua orang berpaling kepadanya. Dan bahkan Sindangsari yang sedang menangispun mengangkat wajahnya pula. Ketika Sindangsari menatap wajah Pa mot yang berdiri termangu-mangu di muka pintu itu, Pamotpun ternyata sedang me mandanginya pula. Benturan tatapan mata mereka yang tiba-tiba itu, terasa menggetarkan hati Sindangsari. Sejenak ia me mbeku, namun tanpa disadarinya, oleh dorongan yang tidak dikenalnya, maka tiba-tiba saja ia me loncat berdiri dan berlari kepada anak muda itu. Sambil berpegangan kedua lengannya yang kokoh, Sindangsari me letakkan kepa lanya di dadanya yang bidang. Tangisnya justru seakan-akan menjadi se makin keras dan meleda k-ledak. Perempuan-pere mpuan tua yang menyaksikan hal itu seakan-akan telah me mbeku di te mpatnya. Mereka berdiri termangu-mangu tanpa berbuat apapun juga. Satu dua diantara mereka berdiri berpandangan. Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa. Bahkan sejenak ke mudian salah seorang dari mereka berkata "Marilah, kita tinggalkan keduanya. Biarlah mereka berbicara dan berbuat sesuatu" Perempuan yang lain mengangguk-anggukkan kepa lanya. Dan merekapun saling mengga mit dan satu-satu mereka meninggalkan ruangan itu. Sesaat kemudian yang ada di da la m ruangan itu tingga llah Pamot dan Sindangsari. Sindangsari seakan-akan mendapat tempat untuk menumpahkan segenap himpitan perasaannya. Karena itu, maka iapun me nangis se makin menjadi-jadi, sehingga tubuhnya, terguncang-guncang karenanya. Tetapi Pa mot masih saja berdiri me mbeku. Seakan-akan ia tidak mengerti, bagaimana harus menanggapi sikap Sindangsari. Tangannya masih saja terkulai le mah di sisinya.
Dibiarkannya saja Sindangsari berpegangan pada bahunya yang kokoh kuat dan me mbasahi dadanya dengan air matanya. "Kakang, ka kang Pa mot, aku takut " desis Sindangsari. Pamot sama sekali tidak menyahut. Ia masih saja berdiri me mbe ku di te mpatnya. "Kakang, ka kang " Tetapi Pa mot tidak juga me njawab. "Kakang" perlahan-lahan Sindangsari mengangkat wajahnya. Dadanya berdesir melihat wajah Pa mot yang kosong. Bahkan tatapan matanya jauh menjangkau mela lui lubang pintu butulan yang masih terbuka. "Kakang, kakang" panggil Sindangsari sa mbil mengguncang-guncang tubuh Pa mot "kenapa kau bersikap seperti ini?" Pamot menarik nafas dalam-dala m. Dibiarkannya Sindangsari me lepaskan pundaknya dan mundur selangkah surut. "Kenapa kau me mandang seperti itu?" Pa mot kini menundukkan kepalanya. Terasa sesuatu bergolak di dala m dadanya. Tetapi tidak sepatah katapun yang dapat dikatakannya. "Kenapa kau kakang?" desak Sindangsari. Sejenak perempuan itu merenung. Na mun tangisnya justru mereda "Aku me merlukan seseorang di dalam keadaan ini. Aku telah kehilangan sandaran ka kang. Satu-satunya orang yang pantas adalah kau, dan kau jugalah yang mendapat kepercayaan Ki Demang di saat terakhir" Pamot menarik nafas dalam-da la m. Dan terdengar suaranya yang berat datar "Sindangsari. Kenapa Ki Demang menyerahkan kau kepadaku?"
Pertanyaan itu telah mengejut kan Sindangsari. "Dan apakah penyerahan?" aku hanya dapat sekedar menerima
"Kakang" wajah Sindangsari menjadi tegang. "Sari, apakah aku masih dapat menerima kau ke mbali kepadaku?" "Tetapi, apakah kau sudah menyanggupinya kakang. Kau akan menjadi pelindungku dan anak di da la m kandungan ini" "Itulah yang akan aku katakan kepadamu. Kau adalah seseorang yang bukan saja terdiri atas kesadaran akan adamu serta kehidupan batiniah yang setia dan bersih atas cinta dan kasih diantara kita, tetapi kau juga terdiri atas wadagmu yang me mpunyai kenyataan sendiri. Kau, kau yang kasat mata ini adalah isteri Demang di Kepandak. Kau pernah menjadi isterinya dan sekarang kau mengandung anaknya. Sindangsari. Apakah aku masih harus menerima mu seperti dahulu" Ka lau sekarang aku terpaksa menerima kau dan me menuhi permintaan Ki De mang di Kepandak di saat-saat terakhir, maka akupun hanya akan menerima wadagmu. Meskipun di dala m wadagmu masih tersimpan kesetiaan hidup batiniahmu. Tetapi aku sudah tidak akan mempunyai kegairahan hidup dala m keutuhan yang bulat antara jasmaniah dan batiniah. Ada semacam pertentangan di dala m diriku, antara nalar dan perasaan menghadapi persoalan sekarang ini" "Kakang" suara Sindangsari menjadi ge metar. Dan tiba-tiba saja wajahnya yang tegang menjadi sema kin tegang. Bahkan ke mudian wajah itu menjadi ke merah-merahan. "Kakang, sebagai seorang perempuan, aku harus menjaga harga diriku. Sebaiknya aku tidak menjajakan diriku lagi kepada siapapun juga. Terlebih-lebih lagi kepadamu. Tetapi aku ingin me mberikan penjelasan kakang. Aku sela ma ini masih aku yang dahulu"
Pamot mengerutkan keningnya. "Apakah tanggapanmu nanti, aku tidak akan me mpedulikan. Seandainya kau ingkar sekalipun, aku tidak akan menyesal" Sindangsari berhenti sejenak "aku tahu perasaanmu. Kau menyangka bahwa aku tidak lagi sebersih saat kau tinggalkan. Bersih dala m pengertian cinta kita yang telah kita nodai bersama. Kau ingat" Dan inilah hasil dari percikan noda itu. Aku telah mengandung. Anak di dala m kandungan ini sama sekali bukan anak Ki De mang di Kepandak. Terserah kepadamu, percaya atau tidak. Tetapi selama aku menjadi isteri Ki De mang di Kepanda k dala m pengertian ketentuan yang berlaku setelah aku kawin dengannya, namun ia tidak lebih dari seorang bapak bagiku. Aku tidak pernah disentuhnya. Aku tidak tahu, kenapa ia berbuat begitu. Dan aku juga sudah mengatakan kepadanya, ketika ia bertanya kepadaku, kenapa aku mengandung. Aku berkata terus terang, bahwa anak di dalam kandungan ini adalah anakmu. Dan ia me mperlakukan anak di dala m kandungan ini seperti anaknya sendiri. Dan kau dengar, bahwa anak ini, anakmu inilah yang kela k akan menggantikannya menjadi De mang di Kepandak" "Sari" wajah Pa mot menjadi pucat. "Kalau kau tidak percaya, terserahlah. Tetapi itulah kenyataannya. Dan kalau kau sekarang akan ingkar, ingkarlah. Pergilah dan tinggalkanlah aku sendiri disini. Aku masih ma mpu berbuat apa saja. Aku masih dapat menyelenggarakan jenazah suamiku. Ki De mang di Kepandak" Pamot berdiri di te mpatnya seakan-akan me mbeku. Na mun masih juga terloncat di bibirnya "Tetapi bukankah sela ma ini kau berada di Kade mangan?" "Ya. Aku selama ini me mang berada di rumah ini. Di rumah Ki De mang di Kepandak. Bukankah kau akan me ngatakan bahwa di da la m satu rumah aku berada dengan seorang la kilaki untuk wa ktu yang lama" Dan kau akan tidak percaya
bahwa selama itu tida k pernah terjadi hubungan antara aku dan Ki De mang di Kepandak sebagai seorang laki-laki, yang dengan demikian kehidupan wadagku sudah tidak sebersih di saat kau tinggalkan?" Pertanyaan-pertanyaan yang meluncur seperti air terjun itu tidak segera dapat dijawab. Bahkan Pa mot seakan-akan telah me mbe ku di te mpatnya. "Kakang Pa mot. Aku me mang berada di rumah ini bersama seorang laki-laki tanpa orang lain. Kalau kau percaya percayalah. Kalau tidak terserahlah. Aku masih tetap bersih seperti dahulu. Noda yang melekat diwadagku adalah noda yang telah kita buat bersama-sama. Bukan noda yang dipaksakan oleh Ki De mang di Kepandak" Pamot masih berdiri saja seperti patung. Kata-kata Sindangsari yang terngiang-ngiang di telinganya me mbuat pening. Sekali lagi ia diseret oleh amukan pertentangan antara perasaan dan nalarnya. Namun dala m ketegangan yang me muncak itu, keduanya terkejut ketika mereka mendengar suara seorang perempuan yang lembut di pintu butulan "Nyai De mang di Kepandak benar" Keduanya serentak berpaling. Sejenak mereka termangumangu ketika mereka me lihat perempuan itu melangkah semakin de kat. Seorang perempuan yang menjelang pertengahan usia, tetapi perempuan itu masih ta mpa k segar dan cantik. "Pamot " berkata perempuan itu "a ku yakin bahwa Nyai Demang masih sebersih saat-saat ia diarak me masuki jenjang perkawinannya. Dan akupun yakin, bahwa sebelum itu, Nyai Demang pasti sudah me mbawa bibit yang kemudian tumbuh di dala m dirinya. Sebelum aku mendengar dari siapapun juga, aku sudah tahu, bahwa Nyai De mang di Kepandak pernah
berhubungan dengan seorang laki-laki sebelum ia kawin dengan Ki De mang" Pamot dan Sindangsari berdiri tegak bagaikan patung. Tetapi tubuh mereka basah oleh keringat yang seakan-akan terperas dari kulitnya. "Adalah kebetulan sekali, bahwa kalian hanya berdua di ruangan ini. Adalah Kebetulan bahwa perempuan-pere mpuan tua itu pergi meninggalkan kalian. Tetapi sebaiknya kita berbicara tidak terla mpau keras agar tidak ada orang yang mendengarnya" orang itu berhenti sejenak, la lu "jangan terkejut Nyai Demang, bahwa ada orang lain kecua li ka lian berdua dan Ki De mang di Kepanda k yang mengetahui hal itu. Bahkan mungkin masih ada satu dua orang lain lagi yang mengetahuinya, setidak-tidaknya menduga de mikian" "Siapa?" bertanya Sindangsari "dan darima na kau tahu?" "Seperti kata mu, Ki De mang tentu tidak akan pernah menyentuhmu. Benar ia seorang laki-laki jantan. Ia adalah seorang yang pilih tanding di peperangan. Tetapi ia bukan laki-laki yang utuh bagi pere mpuan. Itulah jawabnya" "Darimana kau tahu?" Perempuan itu terdia m sejenak. Ditatapnya wajah Sindangsari dan Pa mot berganti-ganti. Ke mudian jawabnya benar-benar telah menggetarkan hati keduanya "Aku adalah salah seorang dari be kas isteri Ki De mang di Kepanda k" "O" Sindangsari berdesis "jadi?" "Ya. Itulah sebabnya aku mengetahui keadaan Ki De mang di Kepandak sampa i sedalam-dala mnya" perempuan itu berhenti sejenak "ia hampir menjadi gila karena kegagalankegagalannya, sehingga karena itu kadang-kadang ia berbuat aneh-aneh terhadap isterinya. Kadang-kadang ia menyakiti dan kadang-kadang me mbentak-bentak tanpa sebab. Itulah agaknya salah seorang isterinya menjadi sakit-sakitan dan
meninggal. Tetapi aku tidak. Aku tidak menjadi sakit-sakitan, dan bahkan aku tidak menjadi sakit hati. Aku me mbiarkan Ki Demang berbuat apa saja untuk mengisi kepedihan hatinya" suara perempuan itu tiba-tiba ha mpir hilang ditelannya ke mbali "Aku sangat mencintainya" Pamot dan Sindangsaripun menundukkan kepalanya. Dan mereka mendengar perempuan itu berkata lambat sekali "Karena itulah aku tahu pasti bahwa anak di dalam kandungan Nyai Demang itu bukan anaknya. Ki De mang tidak akan me mpunyai anak meskipun ia akan kawin sepuluh kali lagi" "O" Sindangsari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia menjadi ma lu sekali mengenang se muanya yang telah terjadi atasnya, dan yang ternyata diketahui oleh beberapa orang lain. Pere mpuan itu, beberapa orang perempuan lain dan bahkan La mat. "Tetapi anak itu ternyata akan kemba li kepada ayahnya. Karena itu, jangan dirisaukan lagi apa yang sudah terjadi di Kademangan ini. Aku me ma ng merasa iri, kenapa Ki De mang berbuat lain terhadap Nyai De mang yang terakhir. Aku tidak pernah mendengar Ki De mang berbuat kasar terhadapnya. Aku juga tidak pernah mendengar keduanya bertengkar. Hal itu mungkin disebabkan karena Nyai De mang sedang mengandung, atau Ki De mang telah berhasil mengendapkan perasaannya. Bahkan ia berhasil bersikap seperti seorang bapak terhadap anaknya" Tidak ada jawaban. Tetapi terdengar perempuan itu terisak. "Laki-laki yang aku cintai itu sekarang sudah meningga l" katanya pula, lalu "tetapi aku ingin mohon ijin kepada Nyai Demang apakah a ku diperkenankan ikut merawat jenazah bekas sua miku itu?" Sindangsari t idak segera menjawab.
"Nyai De mang" katanya pula "apakah Nyai De mang mengizikannya" Aku akan sangat berterima kasih kalau Nyai Demang tidak berkeberatan" Perlahan-lahan Sindangsari menganggukkan kepa lanya. Suaranya yang parau terdengar terputus-putus "Silahkan Nyai. Aku tidak berkeberatan sama se kali" "Terima kasih" jawab pere mpuan itu sa mbil mengusap matanya yang basah "kau memang baik hati. Kesempatan ini adalah kese mpatan yang terakhir bagiku" Sindangsari t idak menyahut lagi. Dipandanginya saja perempuan yang ke mudian melangkah perlahan-lahan ke pendapa. Di pintu pringgitan, di sa mping Pa mot ia berkata "Pamot, Sindangsari ke mba li kepada mu seperti pada saat ia meninggalkan kau" Pamot tidak menyahut, dan perempuan itupun ke mudian berpaling kepada Sindangsari "Aku akan ke pendapa. Aku akan berkata kepada Ki Jagabaya, bahwa kau sudah me mberi aku ijin" Ketika Sindangsari ke mudian menganggukkan kepa lanya, maka pere mpuan itupun meneruskan langkahnya. Sepeninggal pere mpuan itu, Pa mot dan Sindangsari saling berdiam diri sejenak. Keduanya menundukkan kepala mereka sambil me nahan nafas yang me mburu. Namun sejenak ke mudian Pa mot mengangkat wajahnya sambil berkata lirih "Sari, maafkan aku. Ternyata aku telah keliru menilaimu. Aku minta maaf" Dada Sindangsari menjadi berdebar-debar. Perlahan-lahan iapun mengangkat wajahnya pula. Sekali lagi pandangan mata bertemu, dan sekali lagi jantung mereka bergetar. "Maafkan aku Sari" desis Pamot sekali lagi. Sindangsari ternyata tidak dapat lagi menahan perasaannya. Sekali lagi ia berlari kepada anak muda itu. Ketika ia berpegangan pada
bahu yang kokoh dan me lekatkan kepalanya ke dada yang bidang, ma ka Pamotpun ke mudian me meluknya sambil berkata "Aku minta maaf. Mudah-mudahan hatimu selapang lautan" Sindangsari tidak menjawab. Tetapi air matanya sajalah yang mengalir me mbasahi dada Pa mot. Ki Jagabaya yang membuka pintu pringgitan, tertegun me lihat keduanya. Perlahan-lahan ia berjingkat surut dan menutup pintu pringgitan itu tanpa menimbulkan bunyi apapun. Sejenak ke mudian, maka Pa motpun melepaskan tangannya sambil berkata "Sari, aku akan pergi ke pendapa. Aku akan mengatur segala sesuatunya untuk pe maka man Ki De mang besok. Dan aku akan me nerima se mua tanggung jawab yang akan dibebankan kepadaku, baik mengena i Kade mangan Kepandak, maupun tentang kau dan anakmu" "Anak kita" "Ya, anak kita" Sindangsaripun melepaskan Pa mot pula. Perlahan-lahan anak muda itu melangkah melintasi pringgitan yang kosong. Mendorong pintu perlahan, dan langsung ke pendapa, ke tempat kedua jenazah kakak-beradik itu dibujurkan. "Kita menyiapkan perlengkapan buat me nguburkan kedua kakak beradik ini Ki Jagabaya" berkata Pamot. "Ya. Perempuan-pere mpuan telah menyiapkan segala sesuatunya. Dan para bebahupun telah menghubungi segala pihak yang berkepentingan" Demikianlah se mala m suntuk, di Kade mangan Kepandak seakan-akan tidak ada seorangpun yang sempat tidur. Para bebahu hilir mudik kesana kemari, dan perempuanperempuanpun sibuk pula di gandok dan di dapur.
Namun dala m pada itu, kedua orang yang meninggal di pendapa Kademangan itu bagaikan tumbal bagi Kade mangan Kepandak. Dengan de mikian maka badai yang seakan-akan me landa Kade mangan Kepandak, kini telah mereda ke mbali. Tetapi Kepandak telah kehilangan dua puteranya yang terbaik. Berita tentang peristiwa di ha la man Kepanda k itupun telah tersebar tidak saja di seluruh Kademangan Kepandak. Tetapi juga di padukuhan-padukuhan di sekitar Kepandak. Setiap orang dengan ragu-ragu mendengar berita itu. "Apakah benar Demang di Kepanda k mati sa mpyuh dala m perang tanding melawan adiknya?" ha mpir setiap orang bertanya di dala m hatinya. Nyai Reksatani yang menunggu kedatangan suaminya dengan hati yang gelisah, akhirnya mendengar juga berita tentang kematian sua minya. Tetapi bagi Nyai Reksatani berita itu seperti ceritera tentang mimpi saja, sehingga ia tidak segera dapat me mpercayainya. "Nyai Reksatani" berkata seseorang yang mendapat tugas untuk menje mput Nyai Reksatani "marilah Nyai pergi ke Kademangan Ki Jagabaya ingin bertemu dan mengatakan sesuatu" "Apakah mereka akan menangkap aku?" "Tida k Nyai. Nyai tidak akan ditangkap" Nyai Reksatani menjadi ragu-ragu. Kalau ia pergi, apakah yang akan terjadi atas dirinya" Tetapi ka lau tidak, janganjangan Ki Reksatani benar-benar mene mui bencana. "Percayalah kepadaku Nyai. Sebaiknya Nyai pergi ke Kademangan. Seandainya Ki Jagabaya ingin menangkap Nyai, buat apa aku harus me mbujuk Nyai dan menjeba knya" Tiga atau empat pengawal akan datang. Dan kekuatan itu telah cukup me maksa Nyai untuk menyerah. Tetapi Ki Jagabaya tidak bermaksud de mikian"
Nyai Reksatani termangu-mangu sejenak. Namun ke mudian iapun berke mas juga. Kepada pe mbantunya ia berkata "Rawatlah anak-anakku baik-baik. Aku berharap dapat segera pulang ke mbali. Kalau tida k jagalah mereka seperti anakanakmu sendiri" "Nyai, apakah Nyai a kan pergi jauh?" "Tida k, aku a kan pergi ke Kade mangan" Pembantu ruma hnya itu me mandangnya dengan heran. Tetapi ia t idak bertanya apapun juga. "Sudahlah. Jagalah seisi rumah ini seperti milikmu sendiri" Pembantunya menjadi se makin terheran-heran. Tetapi ia masih juga tidak bertanya. Nyai Reksatanipun ke mudian pergi dengan hati yang berdebar-debar ke Kademangan. Ha mpir tidak sepatah katapun yang terlontar dari bibirnya di sepanjang jalan. Kepalanya yang selalu tunduk dan kakinya yang gemetar me mbuatnya kadang-kadang ta mpak terla mpau gugup. Ketika ia sampa i di regol Kade mangan, kakinya serasa tidak mau melangkah lagi. dipandanginya saja orang-orang yang hilir mudik di hala man. "Marilah "masuklah" Nyai" Ki Jagabaya telah menyongsongnya
Nyai Reksatani tidak menjawab. "Jangan berprasangka" Masih tidak ada jawaban. "Nyai" berkata Ki Jagabaya "marilah, Masuklah dan naiklah ke pendapa" Perlahan-lahan Nyai Reksatani melangkah maju. Ketika ia me lintasi pendapa serasa ia harus menyeberangi sungai banjir yang amat luas.
Kakinya serasa tidak mau bergerak lagi ketika ia melihat dua sosok jenazah di pendapa. Namun dipa ksakannya juga me langkah na ik. Perlahan-lahan sekali. "Siapa?" terdengar suaranya lambat seka li. Ki Jagabaya yang berdiri di sampingnya menundukkan kepalanya. Kata-katanya seakan-akan telah tersangkut di kerongkongan. "Siapa?" sekali lagi Nyai Reksatani bertanya. Meskipun telah me mbayang jawaban atas pertanyaan itu di hatinya, namun ia masih juga ingin meyakinkannya. Ki Jagabaya tidak dapat menjawab. Tetapi dipersilahkannya Nyai Reksatani dengan isyarat untuk melihat siapakah yang terbaring di bawah selimut yang menutupi se kujur tubuhtubuh yang terbaring itu. Sekali lagi Nyai Reksatani menghentakkan kekuatan yang tersisa pada dirinya. Ketika ia me mbuka salah satu kerudung jenazah itu, dilihatnya wajah Ki De mang di Kepandak yang pucat seperti kapas. Cepat-cepat kerudung itu ditutupkannya ke mbali. Dan kini dengan penuh keragu-raguan ia mendekati jenazah yang satu lagi. Dengan tangan yang gemetar maka jenazah itu dibukanya perlahan-lahan sekali. Tiba-tiba tubuhnya serasa me mbe ku. Ia me lihat Ki Reksatani terbaring diam dengan wajah yang tergores luka. Wajah yang putih seperti wajah Ki De mang di Kepanda k. Nyai Reksatani sudah tidak dapat menjerit lagi. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Dan Nyai Reksatani tidak sadar bahwa kemudian Ki Jagabaya harus menangkapnya dan menahannya ketika ia terjatuh pingsan.
Tubuh Nyai Reksatani itupun ke mudian dibawa pula ke ruang dalam. Beberapa orang perempuan mencoba mengobatinya, agar ia segera dapat sadar ke mba li. Sindangsari menjadi berdebar-debar ketika ia melihat perempuan yang pingsan itu. Ternyata perempuan itu telah me libatkan diri dala m rencana yang paling jahat yang pernah terjadi atas isteri Ki De mang di Kepandak. Bahkan Nyai Reksatani telah mencoba pula untuk menjerumuskannya ke dalam suatu perbuatan yang bernoda. Noda yang paling kotor dari segala noda. Dirinya sendiri me mang telah ternoda, karena cintanya yang dalam. Tetapi ia sudah menyerahkan segalanya untuk menerima noda itu. Bukan seperti noda yang hampir saja terpercik padanya karena dorongan Nyai Reksatani. Tetapi ketika ia melihat perempuan itu pingsan, maka hatinyapun menjadi iba pula, sehingga ia tidak dapat berbuat apa-apa selain me mandanginya dengan mata yang basah. Dala m pada itu se muanya telah berlangsung seperti seharusnya mereka menyelenggarakan pemaka man. Bunga dan sesaji telah tersedia. Kedua jenazah itupun telah diselenggarakan sebaik-ba iknya dan semua orang yang berkepentingan sudah hadir di Kade mangan. Sejenak ke mudian a kan datanglah saatnya, jenazah itu dikebumikan. Namun dala m pada itu, halaman dikejutkan oleh derap kaki-kaki kuda dekat. Para pengawalpun ke mudian regol ketika mereka melihat seorang duduk diatas punggung kuda. Kade mangan itu telah yang berpacu semakin segera Berloncatan ke yang bertubuh raksasa
"La mat. Ia adalah kepercayaan Manguri" desis salah seorang dari para pengawal.
Namun Pa motlah yang ke mudian berlari-lari menyongsongnya. Dengan cemas ia bertanya sebelum La mat me loncat dari kudanya "Bagaimana dengan kau La mat?" Ketika La mat melihat Pa mot menyongsongnya, maka iapun menarik nafas dala m-da la m. Ternyata orang itu masih tetap hidup. "Kau terluka. Bukan sekedar satu dua, tetapi tubuhmu menjadi arang kranjang, dan kau se mpat juga sa mpai ke mari" Lamat turun dari kudanya. Dilayangkannya tatapan matanya berkeliling. Ketika dilihatnya dua sosok jenazah di pendapa, hatinya berdesir. Perlahan-lahan ia bertanya "Siapa?" "Ki De mang di Kepandak dan adiknya, Ki Reksatani" "Keduanya?" suaranya meninggi, namun ke mudian ia berguma m "Sa mpyuh. Begitu?" "Ya, keduanya telah sa mpyuh" Lamat tidak bertanya lagi. Tetapi direnunginya halaman Kademangan Kepandak. Terasa meskipun ha la man itu ha mpir penuh, dengan orang-orang yang melawat, dan para pengawal, tetapi terasa betapa sunyinya. Sejenak ke mudian Punta dan kawannyapun datang pula ke halaman itu. Seperti Lamat mereka hanya dapat menekurkan kepalanya. Dengan trenyuh mereka terpaksa menyaksikan ke matian yang tidak disangka-sangka akan terjadi di Kademangan Kepandak ini. Demikianlah, sa mpai juga saatnya kedua sosok jenazah itu di berangkatkan dari pendapa Kademangan. Sekali lagi Nyai Reksatani jatuh pingsan, sedang Sindangsari menangis di pringgitan. Rakyat Kepandak melepas kedua jenazah itu dengan perasaan yang tidak menentu. Mereka bersedih tetapi juga
bersyukur, bahwa bencana yang lebih besar tida k melanda Kepandak, meskipun Ki De mang sendiri harus dikorbankan. Sepeninggal kedua jenazah itu, dan ketika keduanya telah dikebumikan, maka tinggallah tugas-tugas yang me mbebani para bebahu Kade mangan Kepandak. Ki Jagabaya masih harus me nyelesaikan persoalan Manguri dengan ayahnya, meskipun ada juga pengampunan bagi mereka, tetapi mereka tetap bersalah. Mereka harus meyakinkan para bebahu dan orang-orang di Kepandak, bahwa mereka tidak akan lagi berbuas jahat seperti yang pernah dila kukan. Demikianlah ketika matahari terbit diesok pagi, mula ilah Kepandak dengan nafas baru. Orang-orang Kepandak telah mendapat pelajaran dari perist iwa yang baru saja terjadi. Pertentangan diantara keluarga sendiri, keluarga sedarah dan keluarga seka mpung hala man, setanah kelahiran, tidak akan me mbawa manfaat apapun. Bahkan Kepandak nyaris menjadi karang abang seandainya keadaan itu tidak segera dapat diatasi meskipun harus jatuh korban yang paling maha l. Dan sejak matahari terbit diesok pagi itu pulalah, Pamot harus me mangku tugasnya yang baru, tugas seorang Demang di Kepandak. Ia akan menjadi pe mangku jabatan Demang yang masih sangat muda. Selain para bebahu Kade mangan Kepandak yang menyadari sepenuhnya keadaan yang mereka hadapi, maka para pengawal, terutama mereka yang masih muda, sebaya dengan Pamot, telah menyatakan diri untuk me mbantu semua tugas yang dibebankan kepadanya. Karena merekapun menyadari, bahwa kehadiran mereka pada tugas-tugas yang penting ternyata benar-benar diperlukan oleh Kade mangan Kepandak. Dengan didukung oleh lapisan anak muda, maka Kepandak akan menjadi Kade mangan yang banyak me mpunyai arti.
Diantara mereka yang menda mpingi Pa mot adalah seorang raksasa yang bernama La mat. Ia kini telah menjadi sahabat anak anak muda di Kepanda k. Meskipun wajahnya masih tetap keras seperti batu padas, ternyata hatinya lunak, selunak lumpur yang basah. Namun kadang-kadang La mat sendiri masih saja disentuh oleh kenangan yang buram dari dirinya sendiri. Masa kanakkanaknya dan saat-saat ia ditelikung oleh perasaan berhutang budi. Tetapi perasaan itu hampir me ledak dan tidak terkendali ketika ia mendengar keadaannya yang sebenarnya. Dari ayah Manguri ia pernah mendengar, bahwa iapun termasuk diantara anak-anak yang lahir tanpa dikehendaki karena hubungan yang sura m dari sifat-sifat rakus orang-orang tua. Namun, setiap kali ia melihat Sindangsari yang tidak lagi dibayangi oleh ke mura man wajah, Lamat berkata kepada diri sendiri "Tetapi anak yang dikandung oleh Nyai De mang itu akan mene mukan cinta orang tuanya yang sejati tanpa dibayangi oleh kabut bura m. Ia akan menjadi anak yang tumbuh dan berke mbang dengan wajar seperti anak-anak lain yang lahir bersamanya, di bawah sayap kasih sayang yang sebenarnya" Tetapi ketika matahari terbit itu pulalah, Pamot mengantarkan Sindangsari sa mpa i ke regol hala man. Dilepaskannya Sindangsari pergi bersa ma ibu dan ka keknya meninggalkan Kademangan di Kepandak, ke mbali ke rumahnya. "Hati-hatilah" desis Pa mot. Sindangsari. menganggukkan kepa lanya. Matanya menjadi basah dan sebuah senyum yang sa mar me mbayang di bibirnya. "Jagalah kandunganmu baik-baik" Pa mot melanjut kan.
Sekali lagi Sindangsari me nganggukkan kepalanya. "Aku akan menjaganya baik-ba ik" sahut ibu Sindangsari. "Terima kasih" desis Pa mot ke mudian. Sejenak ke mudian, merekapun pergi meninggalkan Kade mangan, meninggalkan Pamot dan seisi rumah yang pernah didia minya untuk beberapa saat. Ki Jagabaya yang berdiri di samping La mat bersandar pada tiang regol, mengerutkan keningnya ketika Punta bertanya kepadanya "Ki Jagabaya, kenapa Sindangsari itu justru pergi?" "Ia belum menjadi isteri Pa mot. Karena itu, tidak sebaiknya ia tinggal dala m satu rumah" "Kenapa mereka tidak segera kawin" Bukankah Ki De mang almarhum justru minta hal itu kepada Pa mot, dan bukankah keduanya me mang saling mencintai?" Untuk beberapa saat Ki Jagabaya tidak menjawab. "Ki Jagabaya" desis Punta lirih "apakah Pa mot me njadi kecewa karena Sindangsari pernah menjadi isteri orang lain dan bahkan telah mengandung Ki Jagabaya menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Aku tidak tahu pasti Punta. Tetapi aku kira Pa mot tida k terlalu kecewa. Ia sudah menyatakan kesediaannya menerima Sindangsari sebagai isterinya dan anak di dalam kandungannya itu sebagai anaknya sendiri. Tetapi untuk segera kawin, mereka tidak akan mungkin. Bayi itu harus lahir lebih dahulu. Anak Ki De mang almarhum itulah yang kini masih me mbatasi keduanya" Punta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Sindangsari yang berjalan sema kin jauh. Sekali pere mpuan itu berpaling. Tetapi iapun ke mudian me langkah di sisi ibunya semakin la ma se makin jauh, sampai saatnya ia akan kembali lagi ke Kade mangan itu.
- TAMAT ISTANA YANG SURAM Jilid ini adalah jilid terakhir dari ceritera karya S.H. Mintardja yang berjudul "Matahari Esok Pagi". Pada bulan yang akan datang, akan diterbitkan kemba li karya S.H. Mintardja yang la in yang berjudul "ISTANA YANG SURAM". Ceritera yang berkisar di lingkungan istana tua yang menyimpan rahasia. Satu pergumulan telah terjadi untuk mene mukan rahasia yang tersimpan rapat itu. Diantara rahasia yang tersembunyi di da la m istana yang suram itu, betapa rumitnya pula rahasia yang tersimpan di hati seseorang. Korban jatuh satu-satu, namun tumbuh dan semilah harapan bagi masa depan. Di bagian akhir dari ceritera ini tertulis: Namun istana kecil itu sudah mene mukan bentuknya yang baru. Penghuninya kini bertambah meskipun hanya untuk sementara. Tetapi yang sementara itu merupakan rangkaian dari masa depan yang panjang. Terutama bagi anak-anak muda yang tinggal bukan saja karena tugas mereka, tetapi hati mereka yang terpaut telah mengikat mereka untuk menentukan masa datang yang lebih cerah.
TAMAT -ooo0dw0ooo- Raden Banyak Sumba 2 Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld Dayang Tiga Purnama 2

Cari Blog Ini