Ceritasilat Novel Online

Matahari Esok Pagi 6

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 6


"Nah, ambilkan kakek air panas. Kakek a kan minum" Sindangsari ke mudian pergi ke belakang. Ibunya me mandanginya sampa i gadis itu hilang di pintu dala m. Ia berpaling ketika ia me ndengar ayahnya, kakek Sindangsari itu berdesah. "Aku mengikutinya" desisnya. Nyai Wiratapa, ibu Sindangsari itu, mengerutkan keningnya. Kemudian iapun bertanya "Apakah ayah mengikutinya dari rumah Pa mot ?" "Ya, ketika aku sa mpai di sana, anak-anak itu baru saja pergi. Ke mudian akupun menyusulnya" Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepa lanya. "Kurang baik di mala m-mala m begini berdua saja di jalanjalan yang gelap" "Tetapi ha mpir setiap orang di padukuhan ini sudah mengetahui hubungan anakmu dengan Pa mot. Justru karena bermaca m-maca m masalah yang menyertainya, tetanggatetangga kita menaruh perhatian terhadap masalah ini. Mereka pada umumnya bersikap baik dan mengerti apa yang teriah terjadi" "Me mang ayah, mungkin tetangga-tetangga tidak akan mengatakan apa-apa karena mereka menaruh iba dan we las kepada anak-anak itu. Tetapi bahaya itu dapat datang dari diri mereka sendiri" Kakek Sindangsari itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil. "Apalagi Sindangsari baru dilanda oleh kece masan melihat hari depannya yang suram terlebih-lebih lagi setelah datang kedua utusan dari Kade mangan. Kakek Sindangsari masih tidak menjawab. "Bukankah begitu?"
"Ya, ya" kakeknya mengangguk-angguk Sindangsari me narik nafas dala m-dala m.
lagi. Kakek Katanya "Memang hal itu dapat terjadi. Tetapi kau jangan terlampau menyalahkan anakmu dan Pa mot. Kadang-kadang mereka didorong oleh keadaan sehingga mere ka, terutama seorang gadis, me merlukan te mpat untuk melepaskan pepat di dala m dadanya" "Tentu hal itu aku tidak berkeberatan. Tetapi lebih dari pada itu. Di dala m ge lap yang sepi, iblis berkeliaran untuk mencari korbannya" "Wiratapa" berkata. kakek Sindangsari "me mang apa yang kau katakan itu dapat terjadi" "Ayah" "Kadang-kadang seseorang tidak lagi dapat menguasai perasaanya yang terlampau me ledak-ledak oleh tekanan keadaan yang beruntun" "Maksud ayah, apa yang aku cemaskan atas Sindangsari itu sudah terjadi?" "Tentu tida k terla mpau jauh. Me mang menurut adat kita, keduanya sudah melakukan perbuatan yang mela mpaui batas pergaulan yang dibenarkan bagi anak anak muda yang belum diikat dalam suatu perkawinan. Tetapi sudah aku katakan, tidak terlampau jauh, supaya kau tidak menjadi pingsan" orang tua itu berhenti sejenak "na mun meskipun aku me lihat, aku tidak dapat mencegahnya. Keduanya melakukannya dengan jujur didorong oleh perasaan yang tidak terkendali lagi" Nyai Wiratapa menundukkan kepalanya. Meskipun de mikian ia berkata "Aku me ngerti apa yang ayah maksudkan. Tetapi sudah tentu hal itu tidak boleh terulang lagi. Mereka sudah berada di bibir tangga yang terakhir untuk melakukan dosa yang lebih besar lagi"
"Tentu, tentu. Memang hal itu t idak boleh terulang lagi. Tetapi kita yang tua-tua inipun harus mengerti, bahwa pada suatu saat kita akan dapat me mbedakan, sikap-sikap yang jujur dan bersih, dengan sekedar pelepasan nafsu yang rendah di lingkungan anak-anak kita seperti kita pernah menyaksikannya" Nyai Wiratapa tidak menjawab karena didengarnya desir langkah Sindangsari yang me mbawa se mangkuk air panas. "Apakah ibu juga?" ia bertanya. Ibunya mengge lengkan kepalanya "Tida k. Aku tidak usah" "Sekarang, setelah mencuci kakimu, tidurlah. Kau harus menenangkan hatimu" berkata kakeknya. Sindangsari menganggukkan kepalanya. Ke mudian setelah me mbersihkan dirinya ia pergi ke biliknya. Namun ia sama sekali t idak dapat segera me meja mkan matanya. Sindangsari menahan nafasnya ketika ia melihat seseorang masuk ke dala m biliknya. "Nenek" ia berdesis. Perlahan-lahan neneknya mendekatinya. Kemudian duduk di pe mbaringannya pula. Sa mbil me mbe lai ra mbut cucunya ia bertanya "Kau belum makan Sari" Sindangsari me nggeleng "Aku tidak lapar, nek" "Tetapi kau akan dapat menjadi sema kin le mah. Akhir-akhir ini kau ta mpaknya tidak ada se lera makan sa ma se kali" Sindangsari t idak me nyahut. "Apakah kau gelisah?" Sindangsari masih tetap dia m saja. "Sari" berkata neneknya "me mang kadang-kadang hidup ini terasa terlampau sulit. Seolah-olah me ma ng sudah disediakan jalan yang harus kita lewati. Jalan itu mungkin lurus dan licin, tetapi kadang-kadang se mpit, licin dan berbatu-batu tajam.
Sindangsari masih juga dia m. "Aku dahulu Sari" berkata neneknya kemudian "seperti juga ibunya, sama seka li belum pernah me lihat dan mengenal bakal suami ka mi. Melihat mungkin pernah, tetapi sekedar bentuk lahiriahnya saja. Tetapi nenek menerima nya dengan ikhlas" Terasa dada Sindangsari menjadi se makin Berdebar-debar. "Yang penting Sari, kita akan berusaha. Tetapi Apabila usaha ini gagal, maka kau harus menerima sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat diingkari lagi" "Maksud nenek?" tiba-tiba Sindangsari bangkit. "Tenanglah. Nenek hanya mencoba menentera mkan hatimu. Kalau kita me mang harus mela mpaui jalan yang terjal, licin dan berbatu-batu tajam maka kita jangan kehilangan akal. Kita akan mela luinya dengan hati terbuka, dengan ikhlas. "O?" Sindangsari me mbant ing dirinya di pembaringannya. Tetapi tidak menjawab sa ma seka li. Namun de mikian ia menyadari sepenuhnya, bahwa sudah menjadi keharusan bagi setiap gadis untuk menerima bakal suaminya begitu saja tanpa me mpersoalkannya pabila me mang dikehendaki oleh orang tuanya. Tetapi selama ini orang tuanya tidak mencegahnya berhubungan dengan Pamot. Orang tuanya dan kakek serta neneknya tampaknya sama sekali tidak berkeberatan atas kelangsungan hubungan itu untuk seterusnya. Tetapi Sindangsaripun sadar, bahwa di Kade mangan ini tidak ada orang lain yang lebih berkuasa darr Ki De mang. Kalau Ki De mang me mang menghenda ki de mikian, maka ia akan menjadi korban yang tidak a kan dapat mengela k lagi. "Alangkah pahitnya" tiba-tiba kerongkongannya serasa menjadi panas. Tetapi Sindangsari me nahan dirinya untuk tidak menangis di hadapan nene knya.
"Tidurlah Sari" neneknya me mbela i ra mbutnya ke mba li. Sindangsari me nganggukkan kepalanya. "Besok kau bangun dengan tubuh yang segar" Sekali lagi Sindangsari menganggukkan kepa lanya. Perlahan-lahan neneknyapun ke mudian bangkit berdiri dan meninggalkannya di pembaringan. Namun begitu neneknya hilang di balik pintu, maka me ledaklah tangisnya yang tertahan-tahan. "Apakah aku harus menerima nasib yang terla mpai pedih ini dengan ikhlas?" pertanyaan itu telah berulang ka li mengetuk dinding jantungnya. Tetapi Sindangsari masih me mpunyai satu harapan seperti yang dikatakan oleh kakeknya. Kakeknya akan berkata kepada utusan Ki De mang, bahwa Sindangsari telah berhubungan pembicaraan dan bahkan berjanji untuk hidup bersama seorang laki-laki yang dipilihnya sendiri" Meskipun demikian, Sindangsari tidak juga segera dapat me meja mkan matanya sampai jauh mela mpaui tengah mala m Namun akhirnya, gadis yang sedang gelisah dan cemas itupun jatuh tertidur pula. Tetapi sebelum fajar, iapun sudah tergagap bangun, ketika ia diterka m oleh suatu mimpi yang menakutkan. Seolah-olah tampak olehnya sebuah nyala api yang besar yang mengepulkan asap yang hita m tebal. Asap itu se makin la ma semakin tebal me mbumbung tinggi sampai menyentuh langit. Tetapi tiba-tiba seolah-O lah tumbuh sepasang tangan yang hitam dan mengerikan dari kepulan asap itu. Tangan, yang dahsyat itu telah menyambarnya dengan serta-merta tanpa seorangpun yang dapat mencegahnya. Perlahan-lahan Sindangsari bangkit dan duduk di pembaringannya. Mimpi itu benar-benar mengerikan. Dan ia
mencoba menghubungkannya dengan jalan hidup yang telah menganga di hadapannya. "O, apakah aku tidak akan dapat menghindar lagi ?" setit ik air matanya jatuh di pangkuannya. Meskipun ke mudian ia merebahkan dirinya pula, tetapi sampai kokok ayam jantan yang terakhir kalinya, ia sama sekali t idak dapat lagi tertidur. Sehari-harian berikutnya Sindangsari maIH tetap saja gelisah Ia mengharap matahari berjalan lebih cepat lagi. Mala m nanti, akan datang beberapa orang tamu yang akan me mbawa la maran Pa mot untuknya. Meskipun kake knya agak ragu-ragu, tetapi kakeknya tidak menolak utusan itu. Katanya "Baiklah, aku akan me nerimanya meskipun Ki De mang akan dapat menuduh apa saja yang dikehendakinya. Karena utusan itu datang justru setelah Ki Demang me mberitahukan bahwa iapun a kan mengirimkan utusan pula untuk me la mar. Demikianlah di sore harinya, lewat senja, beberapp orang tua-tua telah datang beserta orang tua Pamot untuk menya mpaikan la maran. Mereka dengan segala maca m tata cara, telah minta untuk ikut serta mengaku anak atas Sindangsari, serta apabila t idak berkeberatan akan dijodohkannya dengan Pa mot. Me mang sulit sekali bagi kakek Sindangsari yang mewakili ayahnya, untuk me mberikan jawaban. Tetapi sudah tentu ia tidak akan dapat berdia m diri saja. Karena itu, ma ka seperti yang sudah dipersiapkannya setelah berpikir masak-masak, maka orang tua itupun me ngatakan dengan berterus terang, apa yang sebenarnya telah terjadi. "Ka mi t idak menolak" katanya "apalagi ka mi, orang tua-tua ini mengetahui bahwa kedua anak-anak muda itu agaknya sudah me mpertautkan hati masing-masing. Tetapi ka mi masih
harus me mpertimbangkan kemungkinan-ke mungkinan lain yang dapat terjadi karena utusan Ki De mang itu" Jawaban itu telah membuat orang tua Pamot menjadi cemas, bahwa akhirnya mereka tidak a kan dapat berbuat lain kecuali menyaksikan gadis itu dia mbil oleh Ki De mang, ikhlas atau tidak ikhlas. Tetapi merekapun menyadari kesulitan yang dihadapi oleh orang tua dan kakek Sindangsari. Kalau besok mereka berhasil me mberi penjelasan kepada utusan Ki De mang, dan penjelasan itu diterima, ma ka mereka masih me mpunyai harapan untuk meneruskan pe mbicaraan mereka dihari-hari ke mudian. Tetapai kalau Ki De mang menghendaki Sindangsari tanpa dapat dielakkan, maka mereka pasti t idak a kan dapat mene mukan ja lan la in daripada menerima hal itu sebagai suatu kenyataan. Karena itu, maka orang tua Pa motpun tidak dapat mendesakkan pe mbicaraan itu. Mereka menyadari kekuasaan yang seakan-akan tidak terbatas di Kademangan Kepandak. Selain daripada itu, mereka mengetahui, bahwa Ki De mang adalah seorang yang luar biasa. Kema mpuannya dala m olah kanuragan dan kekerasan hatinya yang tiada batasnya. Apalagi kedudukannya yang me mungkinkannya untuk me lakukan t indakan yang mendasarkan kepada kekuasaannya untuk kepentingan apapun. Dengan de mikian, maka orang tua Pa mot itupun ke mudian hanya dapat menunggu Pada saatnya kakek Sindangsarilah yang akan datang kepada mereka, menyampa ikan persoalan itu, setelah utusan Ki De mang datang besok ma la m. Sindangsari yang mendengarkan pe mbicaraan itu dari balik dinding akhirnya menjadi kecewa. Meskipun ia tahu, bahwa tidak akan dapat membicarakan persoalannya lebih dari itu, tetapi ia kini menjadi kian terombang-a mbing oleh kegelisahan yang semakin mencengka mnya.
Sehari semala m ia menunggu. Dan kini ia masih harus menunggu lagi sehari sema la m, apakah yang akan dibicarakan oleh kake knya dengan utusan Ki De mang besok Bahkan harapan untuk dapat lolos rasa-rasanya menjadi se makin kecil. Sindangsari kini sudah mula i merasa seperti seekor burung di dala m sangkar. Betapa indahnya sangkar itu, dan betapa ia tidak kekurangan makan dan minum, na mun sangkar e mas itu tidak akan lebih ba ik dari sebuah kungkungan yang me mbatasi kebebasannya. Demikianlah Sindangsari harus menunggu lagi di dala m kegelisahan. Sehari-harian, ia tidak banyak berbicara. Matanya tampak bendul dan ke merah-merahan. "Se mala m ia pasti tidak tidur, dan bahkan menangis terusmenerus" guma m ibunya. Neneknya menganggukkan kepalanya "Ia sela lu gelisah, Ketika aku me nengoknya, lewat tengah mala m, anak itu menelungkup. Tetapi ia tidak tidur" "Kasihan" desis ibunya "ia sudah tidak berayah dan sekarang pada umurnya yang masih terla mpau muda, ia harus menanggung keruwetan hidup yang pasti terasa sangat berat baginya" Neneknya mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Dipandanginya saja Sindangsari yang sedang me mbersihkan hala man depan. Tetapi gadis itu tidak dapat me lakukannya selincah biasanya. Kini kadang-kadang ia berhenti. Kemudian merenungi dedaunan yang hijau di kejauhan. Beberapa lama ia berbuat de mikian. Apabila ke mudian ia sadar, maka diteruskannya kerjanya. Ibunya hanya dapat menarik nafas dala m-dala m. Kakeknya yang sedang mengemasi alat-alat yang akan dibawanya ke sawah tertegun pula melihat Sindangsari yang
mura m. Di de katinya isterinya sambil berbisik "Suruh ia bekerja di dala m. Ia sangat payah lahir dan batin" Nenek Sindangsari mengangguk-anggukkan lagi "Ba iklah" jawabnya. Maka ke mudian sepeninggal ka keknya, nenek Sindangsari itu mengha mpirinya. Katanya "Sudahlah Sari, tinggalkan kerja ini. Biarlah aku atau ibumu yang mela kukannya. Sebaiknya kau beristirahat saja. Kau ta mpak terla mpau letih. Tetapi Sindangsari nenek. Aku tidak le lah" mengge lengkan kepalanya "Tidak
"Kau kurang tidur, kurang ma kan dan kurang beristirahat. Bukan saja tubuhmu, tetapi juga perasaanmu" berkata neneknya "aku dapat menebak apa yang sedang bergolak di dadamu. Karena itu, beristirahatlah. Kalau kau tida k mau, maka la kukanlah pekerjaan yang lebih ringan di dapur Begitu?" Sejenak Sindangsari justru dia m me matung mendengar bujukan nene knya itu. Tetapi ia tidak dapat mengelak lagi ketika ibunya datang mende katinya, dan tanpa mengatakan sesuatu anaknya dibimbingnya masuk sa mbil berkata "Letakkan sapu itu Sari. Biarlah orang la in yang me lakukannya" Sindangsari t idak menjawab. Tetapi ia berjalan saja mengikut i langkah ibunya. "Duduk sajalah" berkata ibunya setelah mereka berada di dalam ruma hnya "atau barangkali labih ba ik ka lau kau dapat tidur meskipun hanya sejenak" Sindangsari me mandang ibunya sejenak, namun kemudian ia menggeleng "Aku tidak akan t idur bu" "Kalau tidak, berbaringlah. Barangka li akan me mbuat kau agak menjadi segar"
Sindangsari t idak meninggalkannya.
menjawab, karena ibunya segera Sejenak gadis itu masih saja duduk di te mpatnya. Dipandanginya isi rumahnya satu demi satu. Namun akhirnya, ia sampai kepada dirinya sendiri yang rasa-rasanya berada di ujung senja yang menje lang kela m. "Sore nanti mereka akan datang" desisnya kepada diri sendiri. Betapapun juga, akhirnya mataharipun se makin la ma menjadi sema kin rendah. Berbeda dengan hari sebelumnya. Sindangsari menunggu senja dengan hati yang berdebardebar penuh harapan. Tetapi hari ini ia menunggu senja dengan kece masan yang mencengka m. Namun saat itupun datang. Ketika ujung mala m meraba padukuhan Ge mulung, datanglah beberapa orang memasuki halamah rumah Sindangsari. Beberapa orang tua-tua, beberapa orang lagi me mbawa sanggan, setangkap pisang, beberapa potong pakaian dan upacara yang lain, ke mudian di belakang mereka beberapa orang mengusung tiga buah jodang berisi makanan dan paka ian. Kedatangan mereka benar-benar telah mengejutkan se isi rumah. Bukan saja se isi ruma h, tetapi setiap orang yang menyaksikan kedatangan utusan itu. Meskipun orang tua dan beberapa orang tetangga Sindangsari telah mendengar, bahwa mala m itu utusan Ki De mang akan datang mela mar, tetapi mereka tidak menyangka bahwa tamu itu akan me mbawa berbagai maca m barang dan ma kanan. Sejenak kakek Sindangsari berdiri termangu-mangu di depan rumahnya me lihat kehadiran utusan itu, sehingga ia terperanjat ketika seorang yang masih agak muda, yang berdiri di paling depan, membungkukkan kepalanya dalamdalam.
"O, kau anakmas "kakek Sindangsari me nyapanya dengan jantung yang berdebaran "marilah, marilah. Silahkan masuk. Tetapi, tetapi aku tidak me nyangka, bahwa aku akan kedatangan tamu sebanyak ini, sehingga aku sa ma seka li tidak menyediakan tempat se layaknya" Orang yang berdiri di paling ujung itu tersenyum "Tidak apa paman. Biarlah sebagian dari ka mi berada di luar" "Tida k. Tidak Aku persilahkan kalian semuanya masuk, meskipun kalian a kan duduk berdesak-desakan" "Terima kasih" jawab orang itu, yang menjadi pimpinan utusan Ki Demang. Orang itu adalah Ki Reksatani. adik Ki Demang di Kepanda k. Kedatangan utusan itu benar-benar telah menarik perhatian hampir setiap orang di Ge mulung. Meskipun hari telah mulai gelap, namun beberapa orang telah me merlukan dengan tergesa-gesa pergi ke seputar rumah Sindangsari. Meskipun mereka tidak menyaksikan iring-iringan itu berjalan, tetapi mereka masih dapat melihat beberapa orang yang masih berdiri di ha la man. Baru sejenak ke mudian mereka me masuki rumah Sindangsari yang tidak begitu besar sambil me mbawa semua barang-barang yang akan mereka serahkan kepada orang tua Sindangsari. "Bukan main" desis seorang perempuan setengah umur "agaknya nDaru sebulat rembulan penuh telah jatuh keatas rumah ini" "Jangan iri. Kalau kau me mpunyai anak secantik Sindangsari, maka mungkin kau akan menjadi mertua Ki Demang di Kepanda k" Perempuan setengah tua itu mengerutkan keningnya. Katanya "Ya. Aku ingin me mpunyai anak yang cantik" "Tetapi kau terla mbat"
"Siapa tahu, isteri Ki De mang yang inipun akan dicerainya pula" Lawannya berbicara mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut. Yang didengar adalah desis seorang laki-laki di sebelahnya "La lu, bagaimana dengan Pa mot" Bukankah ke marin orang tuanya datang juga untuk mela mar?" "Kasihan" jawab orang yang berdiri di sebelahnya "mereka hanya datang orang-orang saja" "Maksudmu?" "Mereka tidak me mbawa sanggan. Tidak me mbawa setangkep pisang dan sepengadeg pakaian. Belum lagi terhitung tiga buah jodang" Tetapi mereka me mbawa sesuatu yang jauh lebih berharga dari semuanya itu" sahut seorang anak muda yang berdiri di belakangnya. "Apa?" bertanya orang yang pertama. "Tanggapan cinta Sindangsari. Mereka me mbawa hati Pamot. Dan itu bagi seorang gadis adalah harta yang paling berharga bagi hidupnya" Orang-orang tua itu mengerutkan keningnya. Meskipun mereka tidak menjadi langsung, na mun salah seorang dari mereka berkata "Omong kosong. Anak-anak muda sekarang terlampau banyak bersikap aneh. Mana ada cinta yang dikatakan lebih berharga dari se muanya itu. Orang tidak akan dapat hidup hanya dengan cinta. Tetapi kita perlu makan, sandang dan meme lihara anak-anak kita kelak. Hanya orangorang tua yang bodoh sajalah yang menolak la maran ini, meskipun seandainya ada kemungkinan untuk dicerai seperti isteri-isteri yarig lain. Tetapi sela ma itu, keluarga ini sudah dapat me manfaatkan keadaan. Setidak-tidaknya me mperbaiki rumah yang sederhana ini menjadi rumah joglo yang besar"
Anak muda yang berdiri di bela kangnya itu mengerutkan keningnya. Ke mudian iapun berdesis "Kasihan" "Apa yang kasihan" "Anak-anak yang disewakan untuk me mperba iki rumah joglo" "Hus" Orang tua itu tiba-tiba menjadi marah. Tetapi ketika ia me mutar tubuhnya, anak muda itu sudah pergi. "Nah, kau dengar" berkata orang tua itu kepada orang yang berdiri di sa mpingnya "begitulah anak-ana k muda yang tidak tahu adat. Ia sudah berani me nentang pendapat orangorang tua. Bahkan menyindir dengan kata-kata yang kasar. Kalau saja ia tidak pergi, aku ajari ia bersikap sopan" Orang yang berdiri di sa mpingnya tida k menjawab. Karena orang yang berdiri di sa mpingnya tidak menjawab maka orang tua itupun terdia m. Namun sekarang mereka sudah tidak dapat melihat seorangpun lagi di hala man. Semua orang sudah masuk ke dalam ruangan yang tidak terla mpau luas. Tiga buah jodang itupun telah dibawa masuk pula dan diletakkan di tengahtengah ruangan di sa mping sebuah a mben ba mbu yang besar. "Silahkan, silahkan" kakek Sindangsari sibuk me mpersilahkan tamunya yang kemudian duduk berdesakdesakan di a mben itu pula. "Aku minta maaf, bahwa aku tidak dapat menyediakan tempat yang wajar" "Sudahlah jangan terla mpau repot. Apa yang ada ini sudah terlampau baik buat ka mi. Bukankah ka mi hanya akan duduk disini sebentar saja?" "Tentu tida k hanya sebentar"
"Kalian tidak usah ribut-ribut. Kalian t idak usah me mikirkan apa yang akan kalian suguhkan kepada kami. Kami sudah me mbawa sendiri. Makanan di dala m jodang itu adalah oleholeh yang sengaja kami bawa, agar kalian disini tidak bingung, dengan apa kalian akan menja mu ka mi" "Terima kasih" jawab kakek Sindangsari "terima kasih sekali" "Ambillah isi jodang itu. Itu tidak termasuk dala m kelengkapan upacara yang ka mi bawa di atas na mpan ini" "Terima kasih" tetapi orang tua itu tidak segera beranjak dari tempatnya untuk menga mbil sebagian dari isi jodang itu. "Ambillah, kenapa kau ragu-ragu" "Tida k, aku tidak ragu-ragu, Tetapi biarlah nanti saja aku ambil" Reksatani mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian iapun tersenyum "Baiklah. Mungkin kau agak segan me lakukannya. Tetapi sebenarnya kau tidak perlu segan. Semuanya ini adalah pertanda hubungan yang akan ka mi buka untuk seterusnya" "Terima kasih" Ki Reksatani menganggung-anggukkan kepalanya. Kakek Sindangsari kini ma lahan duduk pula di a mben besar itu. Sementara ibu dan nenek Sindangsari sibuk di dapur merebus air. Dengan penuh hormat orang tua itu ke mudian mengucapkan kata-kata kebiasaan bagi tamu-ta mu yang dihormati. Selamat datang, kemudian bertanya-tanya tentang keselamatan masing-masing. "Ka mi berge mbira sekali dapat berkunjung ke rumah ini" berkata Ki Reksatani.
"Aku sama sekali tida k menyangka, bahwa rumah ini akan mendapat kehormatan kunjungan utusan Ki De mang yang sedemikian lengkapnya" sahut ka kek Sindangsari. Ki Re ksatani tertawa "Ka mi hanyalah sekedar me njadi utusan. Ki De mang sendirilah yang menyiapkan se muanya ini" Kakek Sindangsari mengangguk-anggukkan kepa lanya. Perlahan-lahan matanya beredar dari satu nampan ke nampan yang lain. Dari jodang yang satu ke jodang yang lain. Adalah di luar mimpinya sekalipun bahwa Ki De mang akan mengirim sekian banyak maca m barang dan ma kanan kepadanya. Di luar beberapa orang masih saja berdiri di kegelapan. Mereka masih juga me mpercakapkan keluarga kecil itu. Ada yang menganggap kehadiran utusan itu sebagai suatu kurnia. Tetapi ada juga yang menjadi iba dan belas kasihan, karena mereka sudah mengerti sebelumnya hubungan Sindangsari dengan Pa mot. "Tida k ada orang yang akan dapat menyainginya" desis seseorang "beberapa buah nampan penuh dengan peningset dan tiga buah jodang" "Terla mpau tergesa-gesa" sahut yang lain "lamaran itu baru diajukan sekarang. Tetapi mereka sudah me mbawa peningset sekaligus. Bagaimana kalau la maran itu ditolak" "Tida k mungkin. Siapakah peningset selengkap itu?" yang dapat me mberikan
"Satu-satunya orang adalah Manguri" Kawannya berbicara itupun menarik nafas dalam-da la m. Me mang Manguri akan dapat me mberikan sebanyak yang dibawa oleh utusan Ki De mang itu. Tetapi setiap orangpun tahu, bahwa Sindangsari sama sekali tida k tertarik bahkan me mbenci anak muda itu. Dala m pada itu, sebuah bayangan menyusup diantara dedaunan di kebun sebelah rumah Sindangsari. Se makin la ma
semakin de kat. Dengan wajah yang tegang ia me mandang halaman rumah yang telah kosong itu. Sekali-seka li terdengar ia berdesah. Namun kemudian terdengar ia menggeretakkan giginya. Ia berpaling ketika seseorang mengga mitnya dari belakang sambil berkata "Jangan kehilangan akal Pa mot" Pamot yang sedang berusaha menyaksikan apa yang telah terjadi itu menarik nafas dalam-da la m. Seorang anak muda yang lain ke mudian mendekatinya "Kau harus dapat menimbang, panjang dan pendek. Jauh dan dekat" "Hatiku terbakar Punta" jawab Pa mot. "Aku tahu. Tetapi kau harus tetap memperguna kan nalar" anak muda yang la in itu berdesis "Coba apakah yang dapat kau la kukan sekarang dengan ke marahanmu?" Pamot tida k menjawab. "Kau harus mengerti, bahwa yang datang itu adalah utusan Ki De mang yang baru akan mela mar. Mereka belum menentukan apa-apa selain berbicara apakah la maran itu diterima atau tidak" Pamot menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia berdesis "Tetapi apakah ada seseorang yang dapat menolak la maran Ki Demang?" Puntalah yang kini terdia m. Dipandanginya pintu yang masih terbuka di kejauhan. "Aku akan mendekat" "Untuk apa" Itu hanya akan me ma naskan hatimu sendiri?" Pamot mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian "Aku tidak akan berbuat apa-apa Punta. Terima kasih atas
peringatanmu. Tetapi aku ingin mende kat. Aku tidak tahu kenapa tumbuh keinginan itu" "Kau setiap saat dapat kehilangan nalar, dan melakukan tindakan yang justru dapat merugikan kau sendiri" Pamot menggelang "Tida k Punta. Aku akan selalu mencoba mengingat akan hal itu" Punta mengangguk-anggukkan kepa lanya "Marilah aku ikut" tiba-tiba saja Punta berdesis "di sekitar rumah itu masih ada beberapa orang yang melihat seperti mereka melihat tontonan yang menarik" Pamot tidak menjawab. Tetapi ia segera bergeser maju di ikuti oleh Punta. Mereka tertegun ketika mereka me lihat bayangan dua buah kepala yang tersembul di atas pagar batu. Meskipun mala m menjadi se makin gelap, tetapi Pamot masih me lihat bayangan yang bergerak-gerak itu. "Siapakah mereka?" Pa mot berbisik. "Tida k hanya mereka, tetapi banyak yang lain" "Tetapi yang dua ini agaknya lain daripada orang-orang yang berdiri di luar ha la man rumah itu" "Ya, seperti kita berdua. Akupun kadang-kadang heran, kenapa kita mesti harus mengendap-endap?" "Aku ma lu dilihat orang" Punta mengerut kan keningnya. "Orang itu agaknya sengaja menyendiri pula. Mungkin ia ma lu seperti kita, tetapi mungkin juga dengan maksud yang lain" "Aku akan me lihat" bisik Pa mot ke mudian "tunggulah disini. Kalau terjadi sesuatu, kau jangan me mbiarkan aku sendiri"
Punta menganggukkan kepalanya. Tetapi ke mudian ia berkata lirih "Tetapi hati-hati. Mungkin orang itu adalah pengawas-pengawas yang me mang dipasang oleh Ki De mang untuk mencegah sesuatu terjadi" Pamot mengangguk-angguk "Ya, aku a kan berhati-hati" Pamotpun ke mudian merangkak maju. Hati-hati sekali Semakin la ma menjadi se makin dekat, dan kedua bayangan itupun menjadi se ma kin je las baginya. Bahkan ke mudian ia me lihat di dala m sa mar-sa mar tubuh-tubuh mere ka yang berdiri mele kat dinding. Keduanya agak me mbungkukkan punggungnya sambil menelekankan tangan mereka yang bersilang di atas pagar batu, agar tubuh mereka tidak terlampau banyak tersembul di atas pagar itu. Pamot merangkak sema kin dekat. Dadanya berdesir ketika ia kemudian melihat sesuatu mencuat di lambung mereka. Senjata. "Mereka me mbawa senjata" berkata Pamot di dalam hatinya "pasti bukan orang-orang Ge mulung yang sekedar ingin menonton" Karena itu, maka nafsu Pamot untuk mengetahui keduanya menjadi sema kin besar, sehingga iapun merangka k sema kin dekat. Tetapi tiba-tiba sekali, sama sekali di luar dugaan, salah seorang dari kedua orang itu menjatuhkan dirinya secepat kilat. Kemudian berguling-guling seperti roda. Pamot tidak se mpat berbuat apa-apa. Ia sadar ketika tangannya seakan-akari telah terjepit oleh kepingan besi. Meskipun dengan sebuah tenaga ia menghentakkannya, namun justru persendiannya sendirilah yang menjadi sakit, seakan-akan tulang-tulang tangannya akan terlepas satu dengan yang lain.
Dala m keadaan itu, Pamot tida k dapat berbuat lain dari pada menyerang dengan tangannya yang sebelah. Namun ketika tangannya yang tergenggam itu terpilin ke bela kang, ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Meskipun ia masih mencoba menyerang dengan kakinya, tetapi sama sekali tida k berhasil. Karena itu, ia hanya dapat menggeretakkan giginya. Ia mengharap Punta dapat melihatnya. Kemudian me mbantunya. Kalau ia dapat melepaskan tangannya, maka mungkin ia tidak akan semudah itu ditundukkan, karena ia masih dapat mengharapkan kecepatannya bergerak. Tetapi selagi ia menahan nafasnya, terasa pegangan tangan orang itu mengendor. Perlahan-lahan bahkan tangannya dilepaskannya. "Kau Pa mot" desis orang itu. Begitu tangannya terlepas Pamotpun segera berputar sambil menyiapkan dirinya. Namun orang yang telah me milin tangannya itu tidak berbuat apa-apa. Pamotlah yang ke mudian menarik nafas dalam-da la m. Orang itu adalah La mat. Namun selagi mereka berdiri berhadapan, terdengar suara perlahan-lahan "Kenapa kau lepaskan anak itu La mat?" Pamot sadar, bahwa kedua orang itu adalah Manguri dan Lamat. "Biar saja tangannya menggeretakkan giginya. kau patahkan" Pa mot
"Jangan mencoba me mbuat keributan disini Manguri" yang terdengar adalah suara dari kegelapan. Pamot segera mengenal, bahwa suara itu ada lah suara Punta "Ka lau kau masih saja ingin me mbuat persoalan dengan anak-anak Gemulung, ma ka ka mipun dapat berbuat lebih banyak dari gerombolan Sura Sapi yang dapat kau usir itu. Kami dapat
mengumpulkan tidak hanya lima atau enam orang anak-anak muda, tetapi puluhan" Manguri menggera m. Tetapi ia tidak ingkar, bahwa yang dikatakan Punta itu me mang dapat terjadi. Bahkan kemudian Manguri masih juga se mpat tertawa. Katanya "Aku tidak bersungguh-sungguh. Apakah gunanya kita sekarang bertengkar" Lihat, gadis itu sekarang sudah diambil oleh Ki Demang. Lagi-lagi yang gila perempuan itu. Berapa kali ia kawin dan berapa ka li ia berpisah lagi" Pamot tida k menjawab. Dan Manguri masih saja tertawa meskipun perlahan-lahan. Katanya kemudian "Tetapi yang paling parah adalah kau Pamot. Aku me mang sudah ka lah sejak kau hadir diantara kami. Tetapi agaknya kau yang merasa menang itu kini harus menelan kekalahan. Kekalahan yang sudah tentu sangat pahit" Pamot mengerutkan keningnya. "Kita besok atau lusa atau sepekan lagi akan melihat persiapan yang lebih bersungguh-sungguh. Akhirnya kita akan me lihat kedua me mpe lai itu bersanding" Manguri berhenti sejenak "me mang sakit rasanya. Tetapi itu lebih baik bagiku. Aku lebih senang me lihat Sindangsari menjadi isteri Ki Demang daripada me njadi isterimu" "Tutup mulut mu" Pa mot me mbentak dengan tiba-tiba. Darahnya jang me mang sedang bergolak itu terasa mengge legak sa mpai ke kepala "jangan berolok-olok dala m keadaan begini Manguri" "Jangan menjadi ka lap Pamot. Kau harus berpikir baik-baik. Di te mpat ini banyak orang yang bertebaran di sekitar halaman rumah Sindangsari untuk melihat utusan Ki Demang yang serba mentakjubkan itu. Beberapa buah na mpan berisi sanggan dan tiga buah jodang. Tiga buah jodang, Ingat. Separo kekayaan ayahmu tidak cukup untuk me mbeli pakaian
dan makanan sebanyak itu. Apakah kau kira kau akan dapat menyainginya?" Manguri berhenti sejenak "ka lau aku me mang mungkin sekali. Aku dapat me mbawa lebih banyak hadiah untuk gadis itu. Tetapi agaknya itupun tidak a kan ada gunanya, karena Ki De mang se lain seorang yang cukup kaya, ia me mpunyai kekuasaan" Hati Pa mot serasa sudah menyala di dadanya. Tetapi terasa tangan Punta menggamitnya. Katanya "Jangan kau dengarkan anak itu mengigau. Lihat, betapa kecut wajahnya. Aku tidak percaya bahwa hatinya tidak menjadi parah seperti hatimu. Kalau Sindangsari tida k dia mbil oleh Ki De mang, Manguri pasti masih akan berusaha terus. Tetapi usahanya kini telah tertutup. Dan ia mencoba menutupi ke kecewaannya dengan sikapnya itu" "Punta" mata Manguri menjadi terbelalak "kau jangan turut campur" "Aku akan turut ca mpur. Masalahnya adalah masalah sikapmu yang berlebih-lebihan itu. Sudah aku katakan. Aku dapat me mbawa lebih dari tiga kali lipat ke kuatan Sura Sapi ke rumahmu. Aku dapat berbuat apa saja. Membakar rumahmu dengan segala isinya" Menangkap kau dan menyeret di sepanjang jalan padukuhan" Apa lagi" Tidak seorangpun sempat mengurus perkara ini karena Ki De mang sedang sibuk dengan hari perkawinannya. Aku yakin bahwa Ki Jagabaya dan bebahu-bebahu lainnya ada di da la m rombongan itu pula " "Persetan" Manguri berpaling ke arah La mat. Tetapi raksasa itu menundukkan kepalanya. "Tida k akan banyak artinya" desis Manguri di dala m hati "kalau aku me mbuat keributan disini, mungkin orang-orang di dalam ruma h Sindagsari menjadi salah paha m, dan menyangka a ku menjadi sakit hati dan berbuat keonaran" Dengan demikian ma ka Manguripun tidak me mbuat persoalan itu menjadi berlarut-larut. Bahkan ke mbali ia
tertawa sambil berkata "Baiklah. Aku me mang lebih baik pergi. Tidak ada gunanya terla mpau la ma disini. Itu me mang hanya akan menyakitkan hati" ia berhenti sejenak, lalu "Marilah Pamot. Tinggalkan saja Sindangsari. Lupa kan gadis itu yang sebentar lagi akan sudah menjadi Nyi De mang di Kepandak" Manguri berhenti pula sa mbil me le mparkan pandangan matanya ke pintu yang terbuka. Seberkas cahaya pelita terlontar keluar dan jatuh di atas tanah yang kering. "Pamot " tiba-tiba ia berdesis "kalau kau setiap kali pergi ke Kademangan untuk berlatih, kau akan selalu melihatnya. Kau akan dapat pergi ke dapur dan berkata kepadanya "Nyi Demang, aku haus. Haus se kali" Manguripun ke mudian tertawa pula. Nadanya meninggi meskipun tidak menjadi terla mpau keras. "Bukankah kau salah seorang anggauta pengawal khusus?" "Dia m, dia m kau Manguri" Pa mot menggera m. Suara tertawa Manguri masih terdengar. Katanya "Kita bersama-sama telah menjadi sakit hati karena peristiwa ini. Ki Demang ternyata bukan seorang pemimpin yang baik. Ia lebih me mentingkan nafsunya sendiri daripada kesejahteraan rakyatnya " Manguri tiba-tiba menjadi bersunggug-sungguh "he Pa mot, apakah kau dapat mene lan kepahitan ini?" Pamot tida k menjawab. Manguri ke mudian menggeram, tetapi kata-kata yang terloncat dari bibirnya tidak begitu jelas terdengar. "La mat" katanya kemudian "marilah kita tinggalkan tempat terkutuk ini. Aku mengagumi gadis itu ketika ia menolak pemberianku. Tetapi kalau pe mberian Ki De mang ini diterimanya, baik oleh Sindangsari maupun oleh orang tuanya, maka gadis itu tidak lebih dari perempuan hina yang me mperbandingkan upah yang akan didapatkannya dari
penyerahan dirinya. Dengan demikian dongeng tentang cinta yang murni antara Sindangsari dan Pa mot akan segera lenyap dari padukuhan Ge mulung. Kawan-kawan, para gembala dan gadis-gadis yang mencuci di kali tida k akan lagi mendengarkan te mbang asmaradana yang mereka ja lin dengan na ma-nama Sindangsari dan Pa mot" Dada Pamot serasa akan retak karenanya. Tetapi ia masih menahan diri. Dipandanginya saja Manguri yang ke mudian me langkah menyusup digerumbul-gerumbul liar diikuti oleh Lamat di be lakangnya. "Bagaimanapun juga anak itu tetap berbahaya" desis Punta. "Ya" Pa mot menganggukkan kepalanya. "Kau percaya bahwa ia akan berhenti sa mpa i disni meskipun Sindangsari ke lak terpaksa dibawa oleh Ki De mang Kepandak" Perlahan-lahan Pa mot mengge lengkan kepalanya. "Suatu keadaan yang rumit" berkata Punta tetapi se muanya harus diperhitungkan dengan nalar. Tidak hanya dengan perasaan semata-mata" Pamot tidak segera menjawab. Tetapi kini dile mparkannya pandangan matanya ke arah pintu yang masih terbuka itu. Meskipun ia tida k melihat, tetapi terbayang di rongga matanya, utusan Ki De mang itu sedang tertawa-tawa sambil mengunyah makanan yang mereka bawa sendiri dari Kademangan. Tetapi Pa mot tidak berani me mbayangkan, apakah yang sedang dilakukan oleh Sindangsari sekarang. Apakah ia juga tertawa melihat peningset yang dibawa oleh utusan Ki Demang itu di atas nampan dan di dalam jodang, ataukah ia sedang menangis di da la m biliknya.
"Pamot " berkata Punta "sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini. Aku kira tidak ada gunanya kau tetap disini. Tidak ada gunanya bagimu dan tidak ada gunanya bagi Sindangsari" "Aku ingin tahu apa yang akan mereka lakukan" jawab Pamot. "Kau pasti sudah dapat me mperhitungkannya berkata Punta kemudian "mere ka akan mela mar dan menyerahkan barang-barang itu kepada ibu, nenek dan kakek Sindangsari. Apakah kemudian la maran itu mereka terima, kita tidak akan tahu mala m ini, meskipun kita menunggui mereka, sampai mereka meningga lkan rumah itu" Pamot menarik nafas. "Marilah kita ke mbali. Lebih baik bagimu untuk berkumpul dengan kawan-kawan di gardu daripada kau berada disini" Pamot tida k menyahut. "Kau tidak perlu melukai hatimu sendiri. Kalau luka itu me mang sudah tumbuh, jangan kau buat luka itu menjadi semakin parah" Akhirnya Pamot "Baiklah" menganggukkan kepalanya. Jawabnya
"Bagus" sahut Punta "marilah. Biar sajalah apa yang akan terjadi di da la m rumah itu terjadi" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengikuti saja seperti anak-anak di belakang ayahnya. Dan keduanyapun ke mudian pergi ke sudut desa, berkumpul dengan kawan-kawan mereka di gardu. Kakeknya yang sedang mengemasi alat-alat yang akan dibawanya ke sawah tertegun pula melihat Sindangsari yang mura m. Di dekatnya istrinya sa mbil berbisik "Suruh ia be kerja di dala m. la sangat payah lahir dan batin.
Ternyata kawan-kawan Pa motpun dapat mengerti, bahwa anak muda itu sedang mengala mi goncangan yang dahsyat di dalam dirinya. Karena itu, maka mereka sa ma sekali berusaha untuk menjauhkan pe mbicaraan mereka dari persoalan Sindangsari yang mala m ini telah mendapat lamaran dari Ki Demang Kepandak. Dala m pada itu, di dala m rumah Sindangsari, para utusan Ki De mang itupun sedang me nikmati minuman dairi mangkuk masing-masing. Diselingi oleh gelak dan tertawa merekapun berbicara mengenai masa lah mereka sehari-hari. Mengenai air di sawah yang kadang-kadang tidak mengalir, mengenai harga kebutuhan sehari-hari yang me manjat terus karena kebutuhan yang meningkat, sejalan dengan meningkatnya persiapan Sinuhun Sultan Agung yang berniat untuk mengusir orang yang berkulit putih dari Betawi, yang nampaknya sema kin la ma semakin melanggar hak dan Kekuasaan Mataram. Namun akhirnya, setelah malam menjadi sema kin dala m, Ki Reksatani yang menjadi pimpinan utusan itupun berkata "Nah, agaknya hari menjadi se ma kin ma la m tanpa sesadar kita. Dengan demikian, maka baiklah kiranya kami akan me mulai mengatakan keperluan ka mi datang ke mari" Kakek Sindangsari menganggukkan menjawab "Silahkan. Silahkanlah" kepalanya sambil
"Mungkin keluarga disini sudah mengetahui keperluan ka mi seperti yang pernah diberitahukan oleh utusan pendahuluan kami yang datang dua hari yang la mpau" "Ya, ya. Demikianlah kiranya" "Meskipun de mikian, ka mi akan mengulanginya dengan semestinya, sesuai dengan tata cara yang berlaku" Kakek Sindangsari mengangguk-angguk "Silahkan"katanya. Maka Ki Reksatanipun ke mudian me mpersilahkan seorang yang sudah agak lanjut usianya untuk menyampaikan keperluan mereka datang ke rumah Sindangsari itu.
Dengan segala maca m kebiasaan seseorang yang datang me la mar, dengan menyebut segala maca m kebaikan kedua belah pihak, maka akhirnya orang tua itu berkata "Dengan demikian, maka sa mpailah la maran Ki De mang yang bijaksana itu cucunda Sindangsari yang telah sesuai menurut pilihan hati Ki De mang dan orang tua-tua yang akan merestuinya. Keduanyapun akan menjadi pasangan yang seimbang dan sempurna. Kakek Sindangsari mendengarkan kata demi kata dengan saksama. Sudah lebih dari sepuluh kali ia mendengar katakata serupa itu apabila ia diminta oleh tetangga-tetangganya untuk menerima ta mu yang datang me la mar di rumah mereka. Sebagai seorang yang termasuk telah cukup tua, iapun sering diminta untuk mengikuti ututsan-utusan dari anak-anak tetangganya, yang mela mar baka l isteri mereka. Namun kini ia sendirilah yang harus menerima la maran itu. Karena itu, maka baru kinilah ia mendengarkan kata-kata yang sudah tersusun de mikian itu dengan teliti" Ternyata kata-kata utusan itu hampir tidak ada kebenarannya sama sekali. Semua pujian yang diucapkannya adalah yang pernah didengarnya lebih dari sepuluh kali itu juga. Sedang jodoh yang seimbang menurut penilaian orang itupun sa ma seka li bukan penilaiannya yang sebenarnya. Katakata itu diucapkan seperti yang seharusnya diucapkan siapapun yang disebutnya. Adalah tidak wajar sama sekali bahwa kedua calon penganten ini, Ki De mang dan Sindangsari adalah pasangan yang seimbang dan se mpurna. Orang tua itupun kemudian menarik nafas dalam-dala m. Ia tidak pernah me mpersoalkannya meskipun ia pernah menunggui seseorang yang menerima la maran dari seorang laki-laki tua yang sudah mempunyai dua orang, isteri atas seorang gadis kecil. Tetapi baru sekarang ia me mperhatikan kata demi kata itu.
"De mikianlah kata-kata la maran itu" berkata orang tua itu selanjutnya "dan kami sekeluarga mengharap bahwa la maran ini akan terkabulkan. Bersama ini ka mi me mbawa sekedar tanda yang akan menguatkan ikatan dari pe mbicaraan kita ini" Kakek Sindangsari mengangguk-anggukkan kepa lanya. Tetapi ke mudian ia me njawab "Ka mi mengucapkan terima kasih atas la maran ini "ia berhenti sejenak, dan tiba-tiba saja ia telah kehilangan gairah untuk menjawab la maran itu seperti yang biasanya harus diucapkan. Sekilas terbayang di wajah orang tua itu keragu-raguan, namun ke mudian ia berkata seperti kata di dalam hatinya "Ki Sanak, lamaran ini me mang merupakan kehormatan yang tiada taranya bagi kami. Tetapi apaboleh buat, bahwa saat ini ka mi masih belum dapat menjawabnya. Karena itu pula, maka ka mi masih be lum dapat menerima tanda ikatan yang kalian bawa dari Ki De mang" orang tua itu berhenti sejenak Kemudian iapun berkata berterus terang "Aku tidak a kan menye mbunyikan kenyataan, bahwa cucuku telah mengikatkan hatinya dengan seorang anak muda yang bernama Pa mot. Aku kira, Ki De mangpun telah mengetahuinya pula. Bahkan Ki De mang pernah datang ke rumah ini untuk menyelesaikan masalah anak-anak muda yang timbul di Ge mulung" Sejenak para utusan Ki De mang itu saling berpandangan. Seharusnya kakek tua itu menjawab, bahwa ia tidak berkebaratan dan ia akan bertanya kepada cucunya. Tetapi sudah tentu bahwa cucunya itu tidak akan dapat menolak keputusan orang-orang tua itu. Tetapi ternyata kakeknya itu tidak menjawab de mikian, tidak menjawab seperti yang seharusnya menurut mere ka. Sementara itu kakek Sindangsari melanjut kan "Apalagi ke marin telah datang utusan keluarga Pa mot untuk mela mar cucuku, tanpa mengetahui lebih dahulu, bahwa Ki De mangpun akan mengirimkan utusan ini.
Wajah-wajah dari para utusan itupun menjadi tegang. Sejenak mereka saling berpandangan. "De mikianlah" kakek Sindangsari menga khiri jawabannya "Aku kira aku lebih baik berterus terang daripada aku mengucapkan jawaban yang tidak didasarkan pada kenyataan yang kita hadapi sekarang" Para utusan itu tidak segera dapat menanggapi keadaan itu. Mereka seakan-akan justru terpesona oleh sikap kakek Sindangsari yang keluar dari tatacara yang selajimnya. Dalam keragu-raguan mere ka saling berpandangan dengan sorot mata yang bertanya-tanya. Namun adalah di luar dugaan pula ketika Ki Reksatanilah yang kemudian menyahut "Terima kasih atas jawaban itu. Kami mengharga i setiap sikap berterus terang. Kami sadar, bahwa me mang ka mi tidak a kan dapat berbuat banyak dalam hal ini. Apabila gadis itu me mang sudah resmi di dala m suatu ikatan janji dengan seorang laki-la ki, maka aku kira, demikianlah yang a kan kita katakan kepada kakang De mang" "Nanti dulu adi Reksatani" berkata salah seorang dari anggauta utusannya "jangan tergesa-gesa menerima jawabannya. Kita sudah mendapat kekuasaan sepenuhnya dari Ki De mang. Apalagi Ki De mang sudah menyediakan sanggan dan perlengkapannya. Itu berarti bahwa Ki Demang sudah menganggap pe mbicaraan ini adalah pe mbicaraan yang sudah jadi" "Maksud kakang" bertanya Ki Reksatani. "Ki De mang tida k akan menarik diri dala m keadaan apapun" jawab orang itu dengan pasti. Ki Reksatani mengerutkan keningnya. Namun ke mudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Tetapi ka mi adalah utusan-utusan yang tidak dapat menga mbil keputusan apapun. Kami me ndapat tugas untuk menya mpaikan la maran, dan kami sudah menya mpaikannya. Kini ka mi mendengar
jawaban dari orang yang berkepentingan. Bukankah tugas kita menya mpaikan jawaban ini kepada kakang De mang" Kalau ke mudian kakang De mang menga mbil keputusan, kita akan me mberitahukan keputusan itu pula" "Itu akan me makan wa ktu. Apakah kita sekarang tidak dapat menyampaikan hasrat hati Ki De mang yang sudah pasti kita ketahui" "Tentu" jawab Ki Reksatani "tetapi itu kurang bijaksana agaknya" Orang itupun ke mudian terdia m. Ki Reksatani adalah pimpinan dari utusan ini, sehingga keputusannyalah yang akan berlaku. Na mun de mikian para anggauta utusan itu menjadi heran. Ki Reksatani agaknya tidak mendesakkan maksud Ki Demang itu kepada kakek gadis itu. Setidak-tidaknya ia dapat me mberikan ga mbaran, bahwa niat Ki Demang ini tidak akan dapat dicegah lagi. "Meskipun de mikian" tiba-tiba Ki Reksatani itu berkata "semua barang-barang yang telah ka mi bawa ke mari, akan kami serahkan kepada keluarga disini. Ka mi t idak akan me mbawa ke mbali sehela i pa kaianpun" Kakek Sindangsari mengerutkan keningnya. "Dan ka mi juga tidak akan me mbawa kemba li makanan yang sudah kami serahkan, kecuali yang sudah kami makan" Ki Re ksatani masih se mpat tertawa. Kawan-kawannya benar-benar tidak dapat mengerti sikap adik Ki De mang ini. Agaknya ia acuh tidak acuh saja atas jawaban kakek Sindangsari yang tida k berkepastian itu. "Kakek tua ini terla mpau besar kepala " berkata salah seorang dari utusan itu di dala m hatinya "kurang apa lagi kurnia yang diterima nya. Ia akan mendapat menantu seorang Demang dan mendapat peningset sekian banyaknya. Kalau saja aku me mpunyai seorang anak gadis"
Tetapi yang lain berpikir "Ki Reksatani me lihat kejanggalan itu. Gadis itu tentu tidak akan merasa berbahagia kawin dengan seorang laki-laki yang pernah beristeri lima kali, meskipun ia masih muda. Apakah perkawinan ini merupakan perkawinan yang dicita-citakan oleh seorang gadis seperti Sindangsari" Dan agaknya kakek tua itu mencoba mengerti perasaan cucunya, meskipun dibayangi oleh sekian banyak barang-barang yang cukup berharga" Dan yang terdengar kemudian adalah suara kakek tua itu "Tetapi, kami mengharap Ki Reksatani sudi me mbawa barangbarang ini ke mbali. Bukan karena kami menolak. Tidak. Ka mi masih belum menyatakan penolakan atas lamaran ini. Ka mi hanya minta Ki De mang mengerti, bahwa Sindangsari telah terikat oleh suatu janji yang telah disaksikan oleh orang tua masing-masing" "Tida k" jawab Ki Reksatani "aku dapat mengerti persoalan ini sepenuhnya. Tetapi aku tidak dapat memutuskannya. Adalah tidak pantas bahwa apa yang sudah kami serahkan itu kami a mbil ke mbali" "Soalnya bukan pantas atau tidak pantas" jawab kakek Sindangsari "tetapi barang-barang itu adalah suatu adat tatacara. Barang-barang itu adalah suatu pertanda ikatan. Sedang ikatan itu masih be lum dapat kami tentukan sekarang. Dengan de mikian ma ka peningset ini t idak sepantasnya pula kami terima " Ki Reksatani tertawa. Jawabnya "Soalnya bukan pantas atau tidak pantas. Tetapi barang-barang ini sudah ada disini. Terimalah apapun na manya. Apakah barang-barang itu kau sebut peningset, atau oleh-oleh atau barangkali alat untuk me ma ksa agar la maran ini kau terima, atau bahkan bukan apa-apa. Tetapi biarlah se muanya itu disini. Ka mi t idak akan me mbawanya ke mba li ke Kade mangan" Ketika ka kek Sindangsari masih a kan menjawab Ki Keksatani mendahuluinya "Jangan dipersoalkannya lagi. Ka mi
akan segera minta diri dan melaporkan kehadiran ka mi disini. Melaporkan apa yang telah terjadi dan melaporkan jawaban kalian" Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab lagi. Kepalanya yang diwarnai oleh rambutnya yang telah me mutih, yang satu-satu berjuntai di bawah ikat kepalanya itupun menunduk. "Sangat berat rasanya menghadapi persoalan ini" katanya di dala m hati. Kemudian Ki Reksatani beserta kawan-kawannyapun segera minta diri. Mereka sa ma sekali tidak mau lagi me mbicarakan jodang dan nampan-na mpan yang masih terletak di a mben yang besar itu. Maka sejenak ke mudian merekapun meningga lkan rumah Sindangsari dengan angan-angan yang berbeda-beda. Salah seorang tua yang ada di dalam rombongan itu bertanya "Kenapa kau bersikap begitu Ki Reksatani. Seolaholah kau tidak menga mbil suatu kepastian bahwa Ki Demang benar-benar mengingini ana k itu" Ki reksatani menarik nafas dalam-da la m, katanya "Aku juga me mpunyai anak pere mpuan meskipun masih kecil. Terbayang di dala m angan-anganku, betapa anakku itu menangis meronta-ronta apabila ia menjadi kecewa. Nah, itulah kata hati yang sejujur-jujurnya. Anak-anak berkata berterus terang. Ia tertawa kalau ia sedang bergembira, dan ia menangis kalau ia sedang sakit, kecewa, marah dan perasaan lain yang tidak menyenangkan" Orang tua itu mengerutkan keningnya. "Orang-orang yang lebih besar dan apalagi dewasa, dapat menye mbunyikan perasaannya. Mereka dapat berpura-pura. Bahkan kadang-kadang de mikian cakapnya seseorang berpura-pura sehingga kita tidak dapat mengerti, perasaan
http://www.mardias.mywapblog.com
yang sebenarnya tersembunyi di dala m hatinya. Nah, apakah katamu seandainya orang tua itu menerima la maran kakang Demang" Apakah, ia bersikap jujur?" Orang tua itu tidak menjawab. "Orang tua itu sudah berkata sebenarnya. Kita harus menghargai sikapnya " "Tetapi kaupun sudah berpura-pura pula" sahut orang tua itu "kau tahu pasti bahwa Ki De mang me mang menghenda ki Sindangsari. Sindangsari harus menjadi isterinya. Kenapa kau tidak berkata begitu?" "Aku tidak berpura-pura sekarang. Keberangkatanku inilah yang berpura-pura" Orang tua itu menjadi bingung. "Kalau kau ingin mendengar penje lasannya, baiklah. Aku me mang t idak senang melihat kakang De mang kawin lagi dengan gadis kecil itu. Dan aku sudah tidak jujur terhadap diriku sendiri karena aku bersedia mela marnya. Tetapi aku tidak sampai hati untuk me ma ksakan kehendak kakang Demang itu. Kau tahu, betapa parah hati Sindangsari" Orang tua itu tiba-tiba menggeleng "Belum tentu" bantahnya "aku sudah melihat lebih dari sepuluh orang gadis yang harus kawin sesuai dengan pilihan orang tuanya. Mereka dapat hidup tenteram, salah seorang dari mereka adalah isteriku sendiri. Isteriku belum pernah melihat aku sebelumnya. Apalagi berkenalan" "Tetapi bakal isterimu tahu. bahwa kau adalah seorang jejaka. Kau seorang yang baik hati, yang rajin bekerja dan pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan-lingkungan baru" Orang tua itu mengerutkan keningnya. Lalu "Ya, aku me mang orang yang baik hati yang rajin bekerja dan pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan-lingkungan baru. Isteriku la mbat laun mencintaiku juga"
"Itulah bedanya " "Tetapi" tiba-tiba ia sadar akan dirinya "aku juga pernah me lihat nah, kau pasti juga kenal, Kerta Bungkik. Ia sudah pernah kawin tiga kali. Umurnya waktu itu lebih tua dari Ki Demang sekarang. Dan ia kawin dengan seorang gadis kecil. Meskipun mula-mula gadis itu menangis meronta-ronta, kau tahu, berapa anaknya sekarang?" Ki Re ksatani menarik nafas dala m-dala m. "Anaknya dua-belas" sambung orang tua itu "ya dua-belas. Kalau ia tidak keguguran dua kali, ma ka anaknya pasti menjadi a mpat belas" Ki Re ksatani tidak menjawab. "Ke mudian, aku dapat membuktikan bahwa perempuan yang menjadi isterinya itu telah benar-benar jatuh cinta kepadanya meskipun la mbat laun. "Apa buktinya?" bertanya Reksatani. "Ketika Kerta Bungkik itu kawin lagi dengan janda di sebelah rumahnya, isterinya menangis tiga hari tiga mala m. Bukankah itu suatu bukti bahwa ia tidak ma u kehilangan orang bungkik yang menga mbil selagi ia masih gadis walaupun bungkik itu sudah pernah kawin tiga ka li?" "O" Ki Raksatani berdesah. Katanya "pikiranmu me mang sudah terbalik. Sudah tentu pere mpuan itu menangis. Sama sekali bukan ia tergila-gila pada sua minya yang bungkik itu. Tetapi ia merasa sakit hati. Ia sudah dipaksa untuk menjadi isterinya, dan akhirnya ia harus mengala mi masa yang pahit. Hidup dimadu adalah hidup yang paling tida k menyenangkan bagi pere mpuan" "Itupun tidak benar. Kalau demikian, maka janda di sebelah rumah Bungkik itu tidak akan mau menjadi isterinya, karena ia tahu pasti bahwa Bungkik sudah me mpunyai seorang isteri yang cantik meskipun anaknya sudah dua-be las"
Ki Re ksatani menggeleng-ge lengkan kepalanya. Ia tidak akan dapat menje laskan seluruh masalahnya dala m waktu singkat. Tetapi dengan demikian ia me mpunyai gambarangambaran yang jelas, bagaimana cara orang tua-tuta itu menilai sebuah perkawinan. Dala m pada itu, mereka yang ditinggalkan oleh utusan Ki Demang itupun menjadi sangat gelisah. Apalagi Sindangsari sendiri. Ia tidak dapat lagi menahan air matanya yang menitik satu-satu di pangkuannya. Kakeknyapun duduk tepekur di a mben yang besar itu sambil merenungi barang-barang yang sama sekali belum disentuhnya, kecuali makanan yang kemudian disuguhkannya ke mbali kepada utusan itu. "Apakah mereka akan me maksa kek" bertanya Sindangsari. "Kakeknya tidak menyahut. Meskipun tampaknya Ki Reksatani mencoba untuk mengerti a lasannya, namun menurut pe mbicaraan kawan-kawannya maka sama seka li tidak akan ada harapan lagi bagi Sindangsari untuk menge lakkan dirinya. "Bagaimana kek" desak Sindangsari. "Aku tidak dapat mengatakannya sekarang Sari. Tetapi aku sudah mencoba untuk menje laskan, bagaimana keadaanmu sekarang. Kalau Ki De mang dapat mengerti keadaanmu, maka mudah-mudahan ia akan me mberi kese mpatan. Tetapi semuanya masih gelap bagiku" Titik air mata Sindangsari masih menetes di pangkuannya. Ibunya yang duduk di sa mpingnya hanya ma mpu menundukkan kepalanya sambil menahan diri, untuk tidak ikut menangis pula agar ia tidak me mbuat anaknya menjadi semakin berkecil hati. Neneknya sama sekali terdia m. Ia merenungi keadaan itu dengan saksama. Perempuan tua itu mencoba menimbangnimbang, apakah salahnya kalau lamaran ini diterima. Bukankah akan jauh lebih ba ik, bersua mi seorang De mang daripada bersuamikan Pa mot, seorang petani yang sederhana saja. Tetapi perempuan itu tidak berani mengucapkannya. Ia sadar, bahwa suaminya agaknya me mpunyai pertimbangan lain. Karena itu ia akan patuh saja kepada suaminya seperti demikianlah yang diperbuatnya selama ia menjadi isterinya. Jarang sekali ia me mpunyai pendirian dan sikap yang dipertahankannya di hadapan sua minya, karena orang tua selalu menasehatinya selagi ia masih gadis "La ki-laki adalah tempatmu bertumpu. Sedih ge mbira, sorga neraka, kau harus ikut bersa manya. Apapun yang akan terjadi, ia adalah tempat kau menompangkan dirimu" "Sari" terdengar ke mudian suara ka keknya "sudahlah. Tidurlah. Jangan kau risaukan lagi masalah ini. Masalah ini tentu akan berkembang sesuai dengan apa yang harus terjadi. Kita me mang wajib berusaha. Tetapi pada suatu saat kita akan me lihat kenyataan. Apakah kenyataan itu akan sesuai dengan keinginan kita atau tidak, itu adalah di luar jangkauan" kakeknya berhenti sejenak, lalu "tetapi adalah kurang bijaksana, bahwa kita akan selalu dicengka m oleh kece masan dan ketakutan. Pada suatu saat kita me mang harus berani menghadapi kenyataan itu betapapun pahitnya. Dengan demikian kita tidak akan ditingga lkan oleh nalar" Sindangsari masih menitikkan a ir mata. Ia kini sadar, bahwa kakeknyapun menganggap, terlampau sulit untuk menghindarkan dirinya dari Ki De mang yang telah lima ka li kawin itu. "Tidurlah" Sindangsari tidak menyahut. Tetapi iapun kemudian bangkit dan melangkah ke biliknya.
Demikianlah ia me letakkan dirinya di pembaringannya, maka iapun segera menelungkup sa mbil mencurahkan air matanya, seakan-akan banjir yang tertahan-tahan, pecah mengha mbur tanpa dapat ditahan-tahan lagi. Di ruang dala m, kakeknya, neneknya dan ibunya masih duduk sa mbil merenungi keadaan. Sekali-sekali mereka me mandangi barang-barang yang masih berada di te mpat masing-masing. Mereka seakan-akan sa ma seka li tidak menyentuhnya sama se kali. "Ayah" terdengar suara ibu Sindangsari lirih "bagaimanakah sebenarnya pertimbangan ayah?" "Aku kasihan kepada anakmu" jawab ayahnya "tetapi kita semua tahu, tidak ada kekuasaan yang dapat membatasi kekuasaan Ki De mang disini" "Ayah" berkata Nyai Wiratapa "bagaimana kalau anak itu aku bawa saja ke kota?" "He" ayahnya terkejut "la lu, kau a kan tinggal dimana?" Nyai Wiratapa terdiam. Terbayang masa-masa hidupnya sebagai seorang isteri prajurit yang meskipun tidak kaya, tetapi kecukupan. Tetapi suaminya kini sudah tidak ada lagi. Dan ia sudah me milih ka mpung hala mannya ini menjadi tempat tinggal. Sinuhun Sultan Agung sudah berkenan me mberikan sebidang tanah di dekat ka mpung hala mannya sebagai tongkat hidupnya sepeninggal sua minya. "Hidupmu a kan menjadi berta mbah sulit" Nyai Wiratapa tidak menjawab. Na mun seakan-akan terkenang ke mbali apa yang pernah diala minya sebelum ia pulang ke ka mpung ha la man. Seorang laki-laki pernah datang kepadanya dan berkata dengan hati terbuka "Nyai Wiratapa, kita masing-masing sudah ditinggalkan oleh sisihan kita. Isteriku sudah meninggal, dan kini sua mimu meninggal. Apakah kita tida k dapat hidup bersa ma-sa ma?"
Belum lagi ia menga mbil keputusan, Sindangsari yang mendengar persoalan itu menangis tanpa dapat ditenangkannya, sebelum ia berjanji bahwa ia tidak akan menerima la maran itu. Sebagai orang-orang yang cukup dewasa ma ka laki-laki itupun dapat mengerti keadaannya, dan iapun mengurungkan niatnya. Namun kini tiba-tiba terkilas di dala m angan-angannya "Bagaimana kalau a ku berbicara kepada Sindangsari tentang hal itu supaya ia dapat pergi ke kota?" Nyai Wiratapa me meja mkan matanya. Ia tidak lagi me mikirkan dirinya sendiri, apakah ia mencintai laki-laki itu atau tidak. Yang penting baginya adalah meninggalkan padukuhan Ge mulung ini. Namun dengan de mikian Sindangsari a kan terhindar dari kepedihan yang satu dan akan jatuh ke dalam keadaan yang serupa pula, karena gadis itu tidak dapat melihat perkawinan ayah dan ibunya ternoda, meskipun ayahnya sudah meninggal. Air mata Nyai Wiratapapun menitik pula. "Sudahlah" desis ayahnya "kau jangan mena mbah ana kmu menjadi se makin bingung" Nyai Wiratapa mengusap air matanya. Tetapi ia sama sekali tidak mengatakan kepada ayahnya, apa yang sedang berkecamuk di da la m hati. "Sebaiknya kau jangan berpikir ke mungkinan untuk tinggal di kota" berkata kakeknya "belum tentu kau dan anakmu akan dapat hidup tenteram karena kau berdua adalah pere mpuan yang hidup sendiri. Apakah kata orang-orang di sekitarmu tentang kau berdua" "Tetapi" tiba-tiba Nyai Wiratapa berdesis "bagaimana dengan Sindangsari ayah. Apakah aku akan sa mpa i hati
me mbiarkan ana k itu terperosok ke da la m kehidupan yang sama seka li tidak diingininya" "Aku juga berpikir de mikian. Na mun ke ma mpuan kita benar-benar terbatas" ayahnya berhenti sejenak, lalu "beristirahatlah" "Jangan terlampau kau pikirkan" berkata ibunya "kita masih belum tahu, apakah benar Sindangsari tidak akan mene mui kebahagiaan apabila ia menjadi isteri De mang itu" Me mang ia pernah kawin lima kali, tetapi isterinya yang terdahulu sama sekali tidak pantas untuk menjadi seorang isteri De mang yang baik. Apalagi mereka tidak me mpunyai anak sama sekali. Sedang Sindangsari me mpunyai beberapa kelebihan dari gadis-gadis padukuhan ini. Barangkali ia a kan dapat me menuhi ke inginan Ki De mang dan tidak akan menga la mi nasib seperti ke lima isterinya yang terdahulu" Nyai Wiratapa tidak menyahut. Itu adalah pe mupus yang paling da la m, apabila mereka me mang sudah tidak berpengharapan untuk menghindar. "Tidurlah" berkata ayahnya kemudian. Nyai Wiratapapun kemudian berdiri dengan ragu-ragu. Namun ia tidak segera pergi ke biliknya. Dijenguknya anaknya yang masih menangis di pe mbaringannya. Meskipun seakan-akan Nyai Wiratapa tidak dapat lagi menahan perasaannya, namun ia berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk tidak menangis. Disentuhnya bahu anaknya sambil berbisik "Sudahlah Sari. Tidurlah. Kakekmu akan berusaha terus, menghindarkan kau dari kesulitan ini" Sindangsari sa ma sekali tidak menjawab. Isaknya masih tetap menyesakkan dadanya. "Tidurlah sayang" bisik ibunya di telinganya. Kemudian ditinggalkannya anaknya itu dengan hati yang berat.
Dala m pada itu, Ki Reksatani beserta rombongan kecilnya, tidak segera pulang ke rumah masing-masing. Tetapi mereka langsung pergi ke Kademangan untuk me laporkan hasil kunjungan mere ka ke rumah gadis yang bernama Sindangsari itu. Dengan tergopoh-gopoh Ki De mang me mpersilah-kan mereka masuk. Tanpa me mbenahi pakaiannya yang kusut, ia segera mene mui orang-orang yang baru pulang dari mela mar itu. "Bagaimana Reksatani" Kau sebelumnya" berkata Ki De mang. tidak parnah gagal
Ki Reksatani menarik nafas dalam-da la m. Katanya di dalam hati "Sudah tentu tidak akan pernah gagal, karena ke kuasaan kakang De mang "tetapi ia tidak me ngucapkannya. Yang dikatakannya adalah "Ka mi sudah me lakukan tugas ka mi sebaik-baiknya kakang" "Bagus, bagus" sahut Ki De mang "apakah kakek gadis itu sudah menentukan hari dan tanggal perkawinan ka mi" Ki Reksatani mengerutkan keningnya. Katanya "Aku belum sampai begitu jauh. Aku baru me nyampaikan la maran kakang Demang untuk cucunya yang berna ma Sindangsari" "Ya, ya. Itu tidak perlu kau ulangi. Aku sudah tahu" "Tida k, Barangkali kakang salah tebak" Ki De mang terdia m sejenak. Dipandanginya wajah Ki Reksatani dengan tajamnya. "Maksudmu?" ia bertanya. "Sebaiknya aku menceriterakannya dari permulaan sekali, supaya kakang Demang tidak salah paham karenanya" jawab Ki Re ksatani. "Aku tidak telaten. Apa yang sudah aku ketahui tida k usah kau ulangi.
"Jangan tergesa-gesa. Kali ini hasil rombongan ka mi agak berbeda dengan yang pernah ka mi lakukan sebelumnya" "He" Ki De mang menjadi tegang. Ki Re ksatani bergeser setapak maju. Ke mudian dengan hati-hati diceriterakannya hasil pe mbicaraannya dengan kakek Sindangsari, tentang orang tua Pamot dan tentang sikap Sindangsari sendiri menurut pendengarannya. "Mereka agaknya sudah benar-benar saling mencintai, kakang. Apakah kita akan sa mpa i hati me misahkannya?" Wajah Ki De mang menjadi merah pada m. Dengan tangan gemetar ia menunjuk wajah Ki Reksatani "Reksatani, kenapa kau berbuat begitu bodoh. Kau bukan anak-anak lagi. Kau harus tahu mene mpatkan dirimu. Sudah aku katakan selagi gadis itu masih berhubungan dengan Pa mot atau Manguri, maka pasti masih akan timbul persoalan diantara mereka. Satu-satunya jalan adalah memisahkan keduanya. Dan aku sudah menempuh jalan ini. Apalagi aku me mang me merlukan seorang isteri" Ki Reksatani tidak menyahut. Bahkan ke mudian ditundukkannya dala m-da la m. kepalanyapun
Dan Ki De mangpun masih me lanjutkannya "Reksatani, kalau aku tidak tahu, bahwa kau terla mpau setia kepada isterimu, aku pasti menuduh bahwa kau sendirilah yang akan menga mbil anak itu menjadi isterimu kedua. Atau kalau kau me mpunyai anak seorang jejaka mungkin gadis itu akan kau ambil menjadi menantumu" Ki Re ksatani masih tetap berdia m diri. "Apakah kau sengaja menggagalkan perkawinanku, karena sejak semual agaknya kau sudah tidak setuju" Begitu?" Ki Reksatanai mengge lengkan kepalanya "Tidak ka kang. Sama se kali bukan begitu"
"Lalu apa maksudmu sebenarnya?" "Aku sendiri tidak me mpunyai ma ksud apa-apa kakang. Aku hanya menyampaikan pesan kakek Sindangsari barangkali ada belas kasihan kakang De mang untuk me mikirkannya sekali lagi tentang kemungkinan yang la in" "Tida k. Aku tidak akan berpikir lagi. Aku berkeputusan bahwa gadis itu harus menjadi isteriku" Ki Re ksatani menarik nafas dala m-dala m. "Aku sudah me mutuskannya. Tidak seorangpun dapat merubahnya lagi. Aku me merlukan gadis itu" Ki Reksatani t idak menyahut. Ketika ia me mandang wajahwajah di sekitarnya, terasa bahwa merekapun telah menyalahkannya pula. "Reksatani" berkata Ki De mang "besok kau ke mbali ke rumah gadis itu. Katakan, bahwa aku sudah berketetapan hati untuk menga mbilnya. Aku me mpersilahkan keluarga Sindangsari untuk menentukan hari perkawinan itu. Tetapi tidak terla mpau la ma" Reksatani tidak dapat menghindarkan dirinya lagi. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata "Baiklah kakang. Kalau kakang me mang tidak bersedia me ninjau keputusan itu lagi, apaboieh buat" "Cukup. Jangan kau singgung-singgung lagi keputusanku itu" Ki Re ksatani mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sekarang, kalian boleh pulang. Besok kalian akan berangkat seperti waktu kalian berangkat tadi dari rumah ini pula. Kalian besok tidak perlu me mbawa apapun lagi, sehingga karena itu, tidak perlu kalian pergi bersa ma-sama sebanyak ini" sudah
Ki Reksatani dan kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalian dapat pergi tidak lebih dari tiga orang saja, supaya kedatangan kalian tidak me mbuat keluarga yang kalian datangi terlampau sibuk" "Baiklah kakang" jawab Rekstani "besok sore aku akan datang kemari" "Baik. Tetapi kalian jangan me mbuat kebodohan se kali lagi" "Baiklah kakang. Sekarang aku minta diri" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya, walaupun ia masih bersungut-sungut. Bahkan ia berguma m "Ka lian sudah bukan anak kecil lagi. Seharusnya kalian tidak usah mengulangi tugas ini" Sekali lagi wajah-wajah yang hadir itu memandangi Ki Reksatani tetapi tidak seorangpun yang mengatakan sesuatu. Sejenak ke mudian, ma ka merekapun telah me ningga lkan rumah Kade mangan pulang ke rumah masing-masing. Di sepanjang jalan mereka me mbicarakan apa yang baru saja terjadi itu. Ketika mereka sudah berpisah dengan Ki Reksatani, maka hampir setiap orang menganggapnya telah bersalah. "Ia tidak bersikap tegas" berkata salah seorang dari mereka. "Ya, tidak seperti biasanya. Ki Reksatani tampak ragu-ragu" sahut yang lain. Dan yang lain lagi berkata "Agaknya ia menaruh belas kepada kedua anak-anak muda itu" "Ah, ia bukan orang yang cengeng"
"Me mang bukan, tetapi seperti yang dikatakannya, ia dapat mengerti perasaan gadis itu. Apalagi ia juga me mpunyai seorang anak pere mpuan" Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi itu hanya sekedar untuk menghindari ke mungkinan mereka saling berbantah. Namun di dala m hati, sebagian terbesar dari mereka, menganggap bahwa Ki Reksatani menjadi bimbang untuk bersikap tegas. "Tetapi besok tidak boleh ada keragu-raguan lagi" berkata orang-orang itu di dala m hati mere ka. Ki Reksatani yang kemudian berjalan seorang diri, menge luh beberapa kali. Katanya "Kenapa aku harus me ma ksa gadis itu untuk menjadi isteri kakang De mang" Pikiran Ki Reksatani menjadi kusut. Ketika teringat katakata kakaknya, bahwa seandainya ia tidak terlampau setia kepada isterinya, ia akan dituduh mempunyai niat sendiri terhadap gadis itu. Ki Re ksatani tersenyum sendiri. "Gila" desisnya. Tetapi, ketika tumbuh pertanyaan di dalam hatinya "Apakah benar aku terla mpau setia kepada isteriku?" Ki Reksatani mene lan ludahnya. Sekali me lintas di kepalanya seorang perempuan yang selalu didatanginya di saat-saat ia kesepian di rumah oleh beberapa macam sebab. Meskipun pere mpuan itu bukan seorang gadis, bahkan bukan seorang perempuan muda, namun ia seakan-akan sudah tidak akan dapat melepaskan diri lagi daripadanya, betapapun keadaannya. "Tetapi aku tidak akan merusak keluargaku sendiri" katanya. Ki Re ksatani mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia tertegun ketika ia menyadari keadaannya. Bahkan
ke mudian ia mengedarkan pandangan matanya kesekelilingnya. Kalau-kalau ada seseorang yang me lihatnya. Ketika ia mengetuk pintu rumahnya, maka dengan tergesagesa isterinya membuka pintu. Sebelum Ki Reksatani se mpat duduk di a mben da la m sesudah menutup dan menyelarak pintunya kembali, isterinya sudah bertanya "Bagaimana hasilnya kakang?" Ki Reksatani mengangkat pundaknya sambil berdesahAkulah yang bernasib jelek" "Kenapa?" "Kakang De mang marah-marah kepadaku" "Kenapa?" Ki Reksatani tidak segera menjawab. Perlahan-lahan ia duduk di a mben sambil mengipasi tubuhnya dengan ujung kainnya. "Panasnya bukan main" desisnya "aku haus" Isterinyapun kemudian dengan tergesa-gesa menga mbil semangkuk air dingin. "Apakah kakang ingin minum panas" Kalau kakang menghendaki, aku akan merebusnya sebentar" "Tida k, Aku hanya haus saja" sahut Ki Reksatani. Isterinyapun ke mudian duduk di sampingnya bertanya "Kenapa kakang De mang marah" sa mbil
Setelah meletakkan mangkuknya, maka Ki Reksatanipun menceriterakan pe mbicaraannya dengan ka kek Sindangsari. Ki Reksatani menggigit bibirnya. Tetapi ia me lihat sesuatu yang aneh di mata isterinya. Setelah meneguk a ir dari mangkuknya seka li lagi Ki Reksatani meneruskan "Karena aku tidak menga mbil keputusan saat itu, maka kakang De mang menjadi sangat
marah. Meskipun tidak langsung, aku telah dituduh bsrusaha untuk menggagalkan perkawinan ini" Isterinya mengangguk-angguk sa mbil berkata "Me mang kasihan anak-anak itu. Di usia mere ka, ma ka khayalan cinta itu pasti me mbubung setinggi langit Jangankan anak-anak muda, sedang orang-orang tuapun yang sedang dibius oleh ke mesraan cinta tidak ada sesuatu yang akan dapat mengha langi" Ki Re ksatani mengerutkan keningnya "Maksudmu?" Isterinya menggeleng "Aku t idak bermaksud apa-apa. Aku hanya mengatakan, bahwa orang-orang tuapun dapat menjadi gila karena cinta itu. Misa lnya, kakang De mang" "Sebenarnya gadis itu me mang kasihan" berkata isterinya "tetapi apaboleh buat. Kakang Reksatani tidak akan dapat berbuat lain daripada mela kukan tugas yang diberikan oleh kakang De mang" Ki Reksatani tiba-tiba telah merenung dala m-da la m. Keningnya menjadi berkerut-kerut. Sedang kedua alisnya seakan-akan bertumpu menjadi satu. "Sebenarnya aku me mang berkeberatan atas perkawinan itu" "Aku tahu kakang. Tetapi apaboleh buat. Kita tidak akan dapat me mbela kedua anak-anak muda itu. Hal itu pasti akan me la mpaui ke ma mpuan yang ada pada kita" Ki Re ksatani tidak menyahut. "Betapa kita menaruh belas kasihan, tetapi sudah tentu kita tidak akan dapat me lawan perintah kakang De mang, karena kitapun harus menaruh belas kasihan kepada diri kita sendiri pula" "Aku tahu ma ksudmu. Tetapi kita berkepentingan, bahwa perkawinan itu batal"
"Apakah kepentingan kita" Tida k. Kita tidak me mpunyai kepentingan langsung, selain perasaan keadilan kita tersinggung. Apakah kita cukup me mpunyai keberanian dan kekuatan untuk me mperjuangkan keadilan ini se karang, selagi kakang De mang ada di da la m punca k kekuasaannya" Ki Reksatani tidak segera menjawab. Ia me mang t idak dapat menyangkal kata-kata isterinya itu. Memang sulitlah baginya untuk me lawan ke inginan Ki De mang Kepandak yang agaknya me mang sudah bertekad untuk kawin dengan Sindangsari. Tetapi untuk me mbiarkan perkawinan itupun ia sebenarnya sangat berkeberatan, sehingga dengan demikian terasa benturan-benturan yang keras telah tarjadi di dadanya. "Kakang" berkata isterinya ke mudian "aku kira, sebaiknya kita tidak usah me mikirkannya terlampau panjang. Lakukankah perintah kakang De mang itu. Bukankah kakang hanya sekedar menya mpaikan pesan ka kang De mang" "Tida k. Bukan sekedar menya mpaikan pesan" "Lalu?" "Aku sangat berkeberatan atas perkawinan ini" "Kita tidak dapat me mberatkan Sindangsari dari kepentingan kita sendiri. Kalau ka kang De mang marah kepada kita, maka a kibatnya pasti akan sangat tidak menyenangkan bagi kita" Ki Re ksatani menarik nafas dala m-dala m. Tetapi ta mpak betapa hatinya sedang kisruh. "Apakah kakang sudah ma kan?" bertanya isterinya. Ki Reksatani mengge lengkan kepa lanya "Belum" jawabnya "aku tidak disuguh ma kan, dan kakang De mang yang marah itupun tida k menyuruhku ma kan seperti biasanya"
"Kalau begitu, biarlah aku sediakan makan meskipun sudah dingin" "Tida k usah" jawab Reksatani "aku tidak lapar" "Tetapi bukankah kakang belum makan" "Tida k ada nafsuku untuk makan" "Kakang agaknya terlampau me mikirkan gadis itu?" "He" Ki Reksatani terkejut "maksudmu?" "Maksudku" isterinya segera terlampau berbelas kasihan me mpengaruhi perasaan ka kang" menjelaskan kepadanya, "kakang sehingga
"Nyai" tiba-tiba suara Ki Re ksatani me mberat "sebenarnya aku ragu-ragu untuk mengatakan pertimbanganku yang sebenarnya, kenapa aku menjadi sangat berkeberatan atas perkawinan itu" "Sudahlah kakang" "Nanti dulu. Kau belum tahu jalan pikiranku" sahut Ki Reksatani "ka lau kau masih belum terla mpau lelah dan kantuk, dengarlah" Isterinya menjadi berheran-heran. Bahkan isterinya menjadi berdebar-debar karena Ki Reksatani masih belum me ngatakan sesuatu selain duduk tepekur sambil me mbela i ukiran kerisnya. Nyai Reksatani yang ke mudian duduk di sa mpingnya me mbiarkannya mengangguk-anggukkan kecil tanpa sepatah pertanyaanpun. Baru sejenak kemudian Ki Reksatani berkata "Nyai, sebenarnya keberatanku itupun bertolak dari kepentingan kita sendiri"
Nyai reksatani menjadi heran, Dipandanginya saja wajah suaminya. Tetapi ia masih tetap berdia m diri. "Nyai, sebenarnya kita me mang tidak berkepentingan sama sekali dengan gadis yang berna ma Sindangsari atau gadis yang manapun juga. Dan akupun a kan tetap berkeberatan, seandainya kakang Demang akan mengawini gadis yang lain, yang meskipun belum berhubungan pe mbicaraan dengan seroang laki-laki, atau bahkan gadis yang tergila-gila kepada kakang De mang sekalipun dita mbah dengan perksetujuan orang tuanya. Nyai Reksatani menjadi se makin heranmeskipun ia masih tetap terdiam, karena ia menunggu suaminya selesai berceritera. "Yang penting bagiku, ka kang De mang tida k boleh kawin lagi. Apalagi dengan gadis-gadis muda " Tanpa sesadarnya isterinya bertanya "Kenapa" "Aku sa ma sekali tidak me mpertimbangkan kepentingan Sindangsari kali ini. Tetapi kepentingan kita" "Apakah hubungannya?" "Nyai" Ki Reksatani menelan ludahnya "Aku sama sekali tidak ingin me lihat kakang De mang beristeri muda. Karena itu akan me mbahayakan hari depan kita. Kalau isterinya itu ke mudian melahirkan seorang anak, maka hilanglah se mua harapanku" Nyai Reksatani kini benar-benar tidak mengerti sa ma sekali apa yang dikatakan oleh sua minya. Dengan tatapan mata yang kosong ia merenungi wajah sua minya yang tegang. "Kalau kakang De mang beristeri muda, maka ke mungkinan itu menjadi bertambah besar. Kalau kemudian isterinya itu benar-benar melahirkan seorang anak, maka anak itu akan menya mbung kedudukan yang akan ditinggalkannya apabila ia meninggal"
Isterinya mengangkat wajahnya mendengar penje lasan itu. Dan sebelum ia menyahut, suaminya sudah meneruskannya "Aku tidak tahu apakah kau setuju atau tidak. Tetapi aku sudah me mikirkan hari depan kita yang agak jauh. Hari depan anak-anak kita" "Aku tida k jelas kakang" "Nyai" suaranya menjadi se ma kin dala m kalau kakang Demang me mpunyai anak, maka apabila kakang De mang kelak meninggal, anaknya itulah yang akan menggantikannya menjadi De mang. Kalau ia laki-la ki, ia akan langsung menjabat kedudukan itu. Kalau anak itu pere mpuan tanpa saudara lakilaki, ma ka sua minyalah yang akan menjadi seorang De mang" Nyai Reksatani mengerutkan keningnya. Kini ia mulai berpikir. "Tetapi, kalau kakang De mang tidak me mpunyai seorang anak" berkata Ki Reksatani seterusnya "maka tidak akan ada seorangpun keturunannya yang akan menggantikan kedudukannya." Tiba-tiba isterinya mengangguk-anggukkan kepa lanya. Sebelum sua minya melanjutkan, ia sudah mendahului "Jadi, maksud kakang, kalau kakang De mang tidak me mpunyai anak dan tidak me mpunyai keturunan yang akan meneruskan kedudukannya, maka kedudukan itu akan bergeser kepada satu-satunya saudaranya" Ki Re ksatani mengangguk "Ya" "Dan satu-satunya saudara kakang De mang adalah kakang sendiri" "Ya" Isterinya menarik nafas panjang. Panjang sekali. Na mun dengan de mikian ia menjadi terdia m karenanya.
Keduanyapun sejenak saling berdiam diri. Dihanyutkan oleh arus perasaan masing-masing. Tiba-tiba Nyai Reksatani itupun berdesah sa mbil berkata "Tetapi apakah cara itu dapat dibenarkan kakang?" "Apakah salahnya" Aku tidak berbuat apa-apa. Bukan salahku kalau kakang De mang t idak me mpunyai anak" "Tetapi kakang telah merintangi perkawinan itu" "Perkawinan yang tidak seimbang" "Tetapi bukankah bukan keseimbangan itu yang menjadi masalah yang sebenarnya?" Ki Reksatani mengerutkan menganggukkan kepalanya "Ya" keningnya. Kemudian ia
Isterinyapun ke mudian merenung sejenak. Lalu katanya "Tetapi kakang, apakah kakang masih menyangka bahwa kakang De mang akan dapat me mpunyai keturunan?" "Kenapa tidak?" "Sudah beberapa kali ia kawin. Isterinya tidak seroangpun yang pernah mempunyai anak. Bahkan salah seorang dari mereka mengandungpun tidak. Apakah itu bukan pertanda bahwa kakang Demang tidak akan me mpunyai anak. Meskipun ia akan kawin sepuluh ka li lagi?" "Belum tentu" "Me mang be lum me mperkirakannya" tentu. Tetapi kita dapat
"Ki Reksatani terdia m sejenak. Agaknya ia sedang me mbuat pertimbangan-pertimbangan tertentu. "Kakang" berkata isterinya ke mudian "kita tidak usah menjadi gelisah. Kita biarkan saja mereka kawin. Aku me mpunyai dugaan bahwa isterinya itupun tidak akan me mpunyai keturunan"
"Tetapi kalau perhitungan itu salah" "Apa boleh buat" "Tetapi akan lebih ba ik kalau perkawinan itu batal" "Mungkin kakang berhasil me mbatalkan perkawinan yang sekarang. Tetapi kakang Demang akan segera mencari bakal isterinya yang lain. Tentu berulang kali sa mpai ia berhasil" Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepa lanya. Ia dapat mengerti jalan pikiran isterinya. Memang terla mpau sulit baginya untuk mencegah sa ma se kali agar Ki De mang di Kepandak itu tidak akan kawin lagi. "Ya" katanya kemudian "aku me mang tida k akan mungkin menentang niat kakang De mang "A ku sependapat dengan kau. Kita akan menunggu dan melihat, apakah yang akan terjadi kemudian. Kalau gadis itu me mang benar-benar mendapat tanda-tanda akan me mpunyai keturunan, aku akan berbuat sesuatu, meskipun caranya akan menjadi lebih buruk dari mencegah perkawinan itu" Isterinya tidak menjawab. Tetapi ia mengerti maksud suaminya, bahwa apabila ada tanda-tanda isteri baru Ki Demang itu akan me mpunyai keturunan, usahanya akan menjadi lebih sulit lagi. Namun Nyai Reksatani itu benar yakin bahwa Ki De mang Kepandak itu tidak akan dapat me mpunyai anak barang seorangpun. Kalau perempuan-pere mpuan yang pernah diperisterikan itu ma ndul, sudah tentu t idak kelima kalinya. "Setiap ke mandulan pasti sela lu dipersalahkan kepada pihak pere mpuan" berkata Nyai Reksatani di da la m hatinya "tetapi itu pasti hanya sekedar alasan, agar laki-laki dapat kawin lagi tanpa banyak rintangan" meskipun de mikian ia tidak berani mengatakannya kepada sua minya. Demikianlah ma ka Ki Reksatani tidak dapat lagi bersikap lain. Ia me mang tidak me mpunyai jalan untuk menggagalkan
perkawinan itu. Karena itu, maka ma u tida k mau ia harus me lihat, kakaknya kawin seka li lagi. Kali ini yang akan dijadikan isterinya adalah seorang gadis yang bernama Sindangsari. Dihari berikutnya, ketika senja mulai turun, Ki Raksatani sudah berada di rumah kakaknya lagi. Ia harus pergi sekali lagi ke rumah kakek Sindangsari untuk me mberikan ketegasan kepada kakek gadis itu, bahwa t idak ada persoalan yang dapat mengha langi niat Ki De mang, menga mbil gadis itu untuk dijadikan isterinya. Ki Reksatani ma la m itupun terpaksa berangkat sekali lagi. Tetapi kini mereka hanya bertiga, dan kini mereka menya mbung langkah mereka dengan duduk di atas punggung kuda. Kakek Sindangsari sebenarnya sudah tidak terkejut menerima kedatangan mereka. Ia sudah menyangka, bahwa utusan Ki De mang itu akan segera ke mba li dan mela mar cucunya dengan nada yang lain. Nada seorang yang berkuasa tanpa batas di atas Tanah Kepandak. "Aku hanya sekedar menya mpaikan pesan kakang Demang" berkata Ki Reksatani "se muanya itu sa ma seka li bukan ma ksudku sendiri" Kakek Sindangsari mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya "Ya, aku mengerti. Sudah tentu semuanya ini bukan maksud Ki Re ksatani sendiri" "De mikianlah" jawab Ki Reksatani "lalu, bagaimanakah jawaban yang harus aku sa mpa ikan kepada Ka kang De mang" "Apakah aku masih harus menjawab?" desis ka kek Sindangsari "kali ini Ki De mang bukan mela mar cucuku. Tetapi Ki De mang sudah mera mpasnya. Lalu, apakah aku masih harus menjawab?"
Ki Reksatani mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih sepapat tersenyum "Bukan maksudnya. Tetapi kalau terasa demikian, aku kira, me mang sulit lah untuk dibedakan" "Nah" berkata kakek Sindangsari "aku tidak perlu menjawab. Tetapi a ku mengharap, bahwa pada suatu saat hati Ki De mang itu terbuka, bahwa cucuku sama sekali tidak merasa berbahagia dengan perampasan ini. Seluruh keluarga yang kecil dan sederhana ini merasa kehilangan karenanya" "Tida k. Sindangsari tidak akan hilang. Ia akan tinggal dikade mangan Setiap saat kalian dapat mengunjunginya dan Sindangsari dapat berkunjung ke rumah ini" "Me mang, Sindangsari tidak akan hilang. Dan ka mipun tidak akan merasa kehilangan gadis itu" Ki Reksatani menjadi heran. Karena itu ia bertanya "Tetapi bukankah ke luarga ini merasa kehilangan karena perkawinan itu" "Tetapi bukan Sindangsarilah yang hilang" jawab kakeknya. "Lalu, apakah yang hilang itu?" "Kebebasan anak itu. Kebebasan kami menentukan nasib salah seorang anggauta keluarga ka mi" Ki Reksatani menarik nafas dalam-dala m. Dipandanginya wajah laki-laki tua itu sejenak. Namun ke mudian kepalanya segera terangguk-angguk. "Aku dapat mengerti" "Karena itu, di dalam keadaan yang demikian, maka aku tidak akan me mberikan jawaban apapun" "Baiklah" jawab Ki Reksatani "Aku akan segera minta diri. Aku akan menya mpaikannya kepada Ki De mang, apa yang sudah kami la kukan disini dan tanggapan yang kami dapatkan" "Silahkan"
Ki Reksatanipun segera minta diri. Diperjalanan terasa jantungnya menjadi berdebar-debar" Sebenarnyalah bahwa ia tidak lagi me mikirkan nasib gadis itu. Tetapi kini yang selalu me lintas diangan-angannya adalah hari depannya sendiri. Hari depan anak-anaknya. Kalau Ki De mang di Kepandak itu untuk seterusnya tidak me mpunyai keturunan, maka orang yang paling berhak atas kedudukan itu adalah dirinya sendiri. Kemudian kedudukan itu akan temurun kepada anak laki-lakinya. Tetapi kalau dari perkawinan ini akan lahir seorang anak, maka cita-citanya itu akan pecah seperti asap dihe mbus angin yang kencang. Selama ini ia sudah berhasil berpura-pura, seolah-olah ia adalah seorang yang baik hati, yang mengerti keberatan dan perasaan gadis yang bernama Sindangsari itu. Seolah-olah ia sudah me mbela kebersihan cinta antara Sindangsari dan Pamot, Namun ternyata permainannya yang baik itu tidak menghasilkan sa ma seka li. "Persetan dengan keluarga Sindangsari dan Pa mot" ia justru menggera m di dala m hatinya "kenapa perempuan itu me mbawa ana knya pulang ke Ge mulung?" Kini yang menonjol dipermukaan hatinya adalah sifatsifatnya yang sebenarnya. Bukan seorang Reksatani yang sangat perasa, yang dengan iba hati melihat Sindangsari yang hatinya terpecah-pecah. Tetapi kini ia justru mendenda m kepada gadis yang telah me mikat hati kakaknya itu. "Aku tida k tahu, apakah yang akan a ku lakukan ke lak seandainya ternyata gadis itu mulai mengandung" katanya di dalam hatinya pula "agaknya aku tidak melihat jalan lain daripada menyingkirkannya untuk sela ma-la manya" Tiba-tiba wajah Reksatani menjadi tegang. Senyum dan sorot mata yang penuh iba itu sudah lenyap sama sekali. Kini matanya seakan-akan menjadi merah me mbara, dibakar oleh
nafsunya yang tidak terkendali. Usahanya untuk mencegah perkawinan itu dengan cara yang paling baik itu telah gagal. Sepeninggal Ki Reksatani, Sindangsari sa ma sekali tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Seperti di saat ia ke matian ayahnya, ia menangis sejadi-jadinya. Seluruh isi rumah itu ta mpaknya bukan sedang me nghadapi hari-hari perkawinan satu-satunya anak gadis mereka. Tetapi keluarga itu bagaikan sedang kematian orang yang sangat mereka kasihi. Kakek Sindagsari duduk tepekur di atas a mben besar di ruang tengah. Kerut-kerut ketuaannya rasa-rasanya menjadi semakin banyak dan da la m. Sedang isterinya yang duduk di sampingnya tidak berani menegurnya sa ma seka li. Sindangsari yang berada di dala m biliknya menangis tanpa dapat ditenangkan. Ibunya yang menungguinya justru tidak dapat menahan a ir matanya sendiri yang menitik. "Ibu, kenapa aku harus menga la mi perlakuan ini?" Ibunya tidak dapat menjawab. Dibela inya saja rambut anaknya yang kusut dengan curahan kasih seorang ibu. Semala m suntuk tidak ada seorangpun yang dapat tidur. Di dalam geledeg masih tersusun rapi, le mbaran-le mbaran pakaian yang telah dikirimkan oleh Ki De mang ketika untuk pertama kalinya Ki Reksatani datang me la mar. Seisi rumah itu sama sekali tidak bernafsu untuk menja mah paka ian-pakaian itu. Apalagi Sindangsari. Tetapi ia t idak a kan dapat ingkar. Ketika fajar membayang di langit, ma ka kakek Sindangsaripun turun keha la man untuk me mbersihkan dirinya, disusul oleh isterinya sambil menjinjing sapu lidi. Nyai Wiratapa telah berada di dapur menunggui api yang menyala, me manasi air.
Dala m kere mangan fajar itu, Sindangsari yang tidak kuat lagi menahan gejolak perasaannya, dengan diam-dia m meninggalkan rumahnya. Berlari-lari kecil ia pergi ke rumah Pamot. Ia ingin dapat mencurahkan segala sesak di dadanya yang rasa-rasanya akan mence kiknya. Tetapi ketika ia berada di depan regol hala man rumah Pamot, ia menjadi ragu-ragu. Seakan-akan sesuatu telah me mbatasinya dari anak muda itu. Dan sebuah jerit yang me me las terdengar di sudut hatinya "Tida k. Aku tida k berhak lagi datang kepadanya. Ia akan mengusir aku karena aku harus ingkar akan janjiku kepadanya" Tiba-tiba saja Sindangsari berhenti beberapa langkah di depan regol itu. Ia tidak menghiraukan lagi ra mbutnya yang terurai dan pakaiannya yang kusut. Adalah kebetulan sekali, bahwa Pamotpun sudah bangun pula. Ia sudah berada meskipun ia be lum mulai mela kukan sesuatu. Di tangannya sudah tergenggam tangkai sapu lidi yang panjang. Namun ia masih saja berdiri di bawah rimbunnya dedaunan menyelusuri angan-angannya yang me mbubung disela-sela bintang yang sura m. Ia terkejut ketika ia me lihat bayangan yang sa mar-samar berdiri di hadapan regol hala man rumahnya. Kemudian bayangan itu segera berbalik dan berlari menjauh. Seperti digerakkan oleh tenaga gaib, Pamotpun segera me le mparkan sapunya, dan meloncat mengejar bayangan itu. Ketajaman perasaannya segera memastikan bahwa orang itu adalah Sindangsari. Ia tidak me merlukan waktu yang panjang untuk menyusulnya. Dengan serta-merta Pamot menangkap tangan gadis itu, ke mudian ditariknya agar ia berhenti berlari. "Lepaskan lepaskan" Sindangsari tiba-tiba saja merontaronta.
Pamot terkejut melihat tingkah laku Sindangsari yang aneh itu. Namun ia tidak melepaskan tangannya, bahkan gadis itu ditariknya se makin mende kat. Tetapi Sindangsari masih saja berusaha melepaskan diri sambil menggera m "Lepaskan, lepaskan. Kau tidak berhak lagi berbuat sesuatu atasku" "Sari, kenapa kau he?" "Lepaskan, kalau tidak aku a kan berteriak " "Tetapi kau datang ke rumahku" "Sa ma sekali tida k" suara Sindangsari menjadi se makin keras "lepaskan" Sindangsari ternyata telah menjadi terla mpau bingung. Hampir saja ia berteriak, namun Pamot bergerak cepat, menutup mulutnya dengan telapak tangannya. "Jangan berteriak" Sindangsari menjadi se makin meronta, tetapi tangan Pamotpun se makin keras mendekapnya "Jangan berteriak. Dengan de mikian kau akan me mbuat keributan" Sejenak Sindangsari masih berusaha melepaskan diri, tetapi tangan Pamot terlampau kuat, sehingga akhirnya Sindangsaripun menjadi se makin le mah. Ketika Sindngsari ha mpir kehabisan tenaga ia mendengar Pamot berdesis "Kenapa kau menjadi bingung Sari" Seharusnya kau tidak berbuat de mikian. Marilah, mumpung masih agak gelap. Masuklah ke rumah, supaya tidak seorangpun melihat keadaanmu yang begini" Sindnagsari mengibaskan tangan Pa mot yang menutup mulutnya sambil berkata "Kau menyakiti aku" "Kau akan me mbuat dirimu sendiri menjadi pe mbicaraan orang. Kalau kau berteriak, orang-orang akan datang kemari.
Mereka akan melihat keadaanmu yang kusut. Banyak arti yang dapat dibuat oleh orang-orang yang melihatmu menurut selera masing-masing. Apakah kau t idak menyadarinya?" Sindangsari terdia m. Di pandanginya wajah Pamot yang tegang. Namun ketika tatapan mata mereka beradu, tiba-tiba Sindangsari menjatuhkan kepalanya di dada anak muda itu sambil me nangis. "Sari, jangan menangis di sini. Marilah kita masuk ke rumahku. Hal ini akan dapat menimbulkan salah paha m apabila seseorang melihat kita" Sindangsari tidak menjawab. Ia tidak menge lak lagi ketika tangannya kemudian dibimbing oleh Pa mot pergi ke rumahnya. Keluarga Pamot terkejut melihat kedatangan Sindangsari dalam keadaan itu. Dengan muka pucat ibunya bertanya "Pamot, apakah yang sudah kau lakukan?" Pamot tida k segera menjawab. Dipersilahkannya Sindangdari duduk di a mben besar. Kemudian ia sendiri duduk pula di sa mpingnya. "Pamot " suara ibunya menjadi dala m. Tetapi ia tidak me lanjutkan kata-katanya. Pamot menarik nafas dalam-dala m. Ke mudian dengan jelas di katakannya apa yang sebenarnya telah terjadi. "O" ibunya me matung di tempatnya. Di pandanginya wajah Sindangsari yang kusut dan pucat. Rambutnya yang terurai dan pakaiannya yang tidak teratur. "Sari" berkata pere mpuan itu "benahilah pakaianmu dahulu. Keadaanmu me mang dapat menimbulkan salah mengerti" Sindangsari tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-da la m. Namun seperti orang yang kehilangan
kesadaran ia menurut saja ketika ibu Pa mot me mbimbingnya masuk ke dala m bilik. "Nah, benahilah dirimu. Pakaianmu, ra mbut mu dan air mata mu" Sindangsari masih tetap menganggukkan kepalanya. berdiam diri, tetapi ia
Dala m pada itu Pa mot duduk di ruang tengah dengan hati yang berdebar-debar. Meskipun Sindangsari belum mengatakan sesuatu, tetapi Pamot sudah dapat meraba, apakah yang me mbuat Sindangsari menjadi bingung dan kehilangan nalar. "Utusan Ki De mang itu pasti sudah datang" katanya di dalam hati. Sejenak ke mudian ma ka Sindangsari yang telah selesai me mbenahi pakaian dan rambutnyapun telah keluar dari dalam bilik dan duduk ke mba li di tempatnya. Namun de mikian kepalanya masih saja tertunduk dala m-dala m. "Sindangsari" bertanya ibu Pamot "masih sepagi ini kau sudah sampai ke mari" Apakah kau tidak a kan dicari oleh ibu atau kakekmu seperti beberapa hari yang lalu?" Sindangsari t idak me njawab. "Bukankah kau tidak me mberitahukan kepergianmu ini kepada siapapun juga?" Perlahan-lahan Sindangsari me nganggukkan kepalanya. "Lain kali kau harus minta diri kepada ibu, Sari" berkata ibu Pamot ke mudian "Perasaan seorang ibu selalu saja dihinggapi oleh kecemasan apabila anaknya tidak ada di sampingnya, meskipun anak itu sudah dewasa. Apalagi tanpa diketahui ke mana perginya" Sindangsari t idak me nyahut
"Apakah kau akan segera pulang" bertanya ibu Pamot "marilah. Sekarang, akulah yang akan mengantarkan Bukan Pamot dan bukan ayahnya" Sindangsari masih berdia m diri. "Sebentar lagi matahari sudah a kan terbit" Sindangsari me narik nafas dala m-dala m. "Tetapi, sebelum kau pulang, apakah kau akan mengatakan sesuatu?" Sindangsari me njadi ragu-ragu. "Katakanlah. terhadapmu" Kau tahu, bagaimana perasaan ka mi
Sindangsari mulai dijalari oleh perasaan pahit yang menyesakkan dadanya kemba li. Karena itu, maka matanya mulai basah, dan nafasnya serasa tersumbat di kerongkongan. "Jangan menangis" bisik ibu Pamot "kau tidak usah menangis lagi. Air mata mu agaknya sudah cukup kau peras. Aku dapat melihatnya pada mata mu yang bendul" Sindangsari beringsut setapak. Kemudian katanya terbatabata "Aku harus melakukan sesuatu yang sama sekali tidak aku kehendaki" Ibu Pamot hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun segera mengerti, bahwa agaknya Ki Demang benar-benar menghenda ki anak itu untuk dijadikan isterinya. Dengan demikian, ma ka perempuan itupun tida k lagi dapat mengatakan sesuatu. Ki De mang adalah orang yang paling berkuasa di Kepandak. Tida k seorangpun dapat mengha langi maksudnya. Apalagi keluarganya. Sejenak seisi ruangan itupun saling berdia m diri. Dada Pamot serasa terbakar karenanya. Namun ia me nyadari keadaannya dan keluarganya. Namun sejenak kemudian ibu
Pamot yang agaknya masih tetap menguasai perasaannya berkata "Sindangsari, baiklah se muanya ini merupakan persoalan yang harus kita pikirkan. Tetapi kasihan ibumu yang kebingungan di rumah. Ia pasti menunggu kau. Marilah, aku antarkan kau pulang" Sindangsari tida k menjawab. Tetapi lewat pintu yang terbuka ia melihat halaman yang sudah menjadi sema kin terang. "Marilah" desis ibu Pa mot. Tetapi sebelum mereka beranjak dari te mpatnya, tampaklah seseorang me masuki hala man rumah itu dan langsung menuju ke pintu. Orang itu adalah kakek Sindangsari. Dengan tergopoh-gopoh ayah Pa mot menyongsongnya keluar pintu sa mbil berkata "Marilah, silahkan masuk" "Terima kasih" jawabnya. Dan iapun kemudian bertanya "Apakah Sindangsari ke mari ?" "De mikianlah" suara ayah Pamot menjadi datar "ia ada di dalam" Kakek Sindangsari mencoba melihat ke dalam ruangan yang masih agak gelap. Samar-samar ia melihat seorang gadis duduk sa mbil menekurkan kepalanya. Sindangsari. "Aku sudah menyangka, bahwa ia a kan datang ke mari" "Ya. Aku juga sudah mendengar, meskipun tidak jelas, bahwa anak itu tidak dapat lagi mengela kkan dirinya" Kakek gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya "Suatu kenyataan yang pahit yang harus ka mi telan sekeluarga" "Ka mi merasakannya pula" Orang tua itu mengangguk-angguk dan menganggukangguk. Ia mengerti bahwa keluarga Pamotpun akan terpercik
kepahitan peristiwa yang menimpa keluarganya, karena dengan demikian Pa motpun akan kehilangan sebagian dari hidup yang sela ma ini telah me mbayanginya. "Ka mi sudah berusaha" berkata kakek Sindangsari itu ke mudian "Tetapi ka mi gagal" Ayah Pamot berdesah perlahan-lahan. Namun tiba-tiba ia berkata "Silahkan masuk" "Terima kasih. Aku ingin segera me mbawa Sindangsari pulang" Ayah Pamotpun segera berpaling "Sindangsari ini kakekmu menyusulmu" Tetapi Sindangsari tempatnya. sama sekali tida k sambil berkata dari
beranjak "Sari" panggil kake knya "ibumu menjadi bingung Marilah kita palang" Sindangsari masih tetap duduk dite mpuhnya. "Sari" panggil kakeknya seka li lagi. Tetapi Sindangsari berpalingpun tidak. Kakeknya yang tua itu menarik nafas dala m-dala m. Katanya disela-sela desah nafasnya "Aku dapat mengerti perasaannya" "Ya" sahut ayah Pamot "harapan yang dijalinkannya di hari mendatang, tiba-tiba saja hanyut tanpa dapat ditolaknya" Kakek Sindangsari terdia m. Meskipun kepa lanya masih terangguk-angguk, tetapi tatapan matanya menyorotkan kegelisahan yang luar biasa. "Tadi, ibu Pa mot juga berusaha untuk mengantarkannya pulang" berkata ayah Pamot itu kemudian "tetapi agaknya hatinya masih terla mpau ge lap" "Ibu Sindangsari menjadi sangat ce mas"
"Tentu. Sebagai seorang ibu, ia adalah orang yang paling dekat dari anak itu" ayah Pamot berhenti sejenak, ke mudian desisnya perlahan-lahan "marilah masuk. Mungkin anak itu dapat ditenteramkan" Kakek Sindangsari tidak menola k lagi. Maka iapun segera masuk mengikut i ayah Pa mot dan duduk di samping cucunya. "Sari" berkata orang tua itu sareh "marilah, kita pulang dahulu. Kalau ada persoalan yang masih dapat kita bicarakan, nanti kita bicarakan" Sindangsari sa ma sekali tida k bergerak. "Sari" desis kakeknya, Tetapi Sindangsari benar-benar seperti sebuah patung yang beku. Namun ketika ka keknya ke mudian me mbela i punda knya me ledaklah perasaan gadis itu. Tiba-tiba ia menangis sa mbil menelungkupkan kepalanya di pangkuan kake knya. "Aku tida k mau kake k. Aku tida k mau" Kakeknya hanya dapat berdesah lewat mulutnya. Ia menyayangi cucunya yang tidak berayah lagi itu. Karena itu, seandainya mungkin, ia me mang ingin me mpertahankannya. Tetapi ia benar-benar tidak dapat mengabaikan kenyataan, bahwa Ki De mang Kepandak sa ma sekali tidak bermaksud mengurungkan niatnya. "Rasa-rasanya memang tida k ada yang dapat aku lakukan" katanya di dala m hati. Dengan penuh pengertian dibiarkannya saja Sindangsari itu menangis sepuas-puasnya. Kadang-kadang ia me mang berusaha menenteramkannya, namun orang tua itu mengharap, bahwa dengan tangis itu, Sindangsari dapat mengurangi beban yang menyesak di dadanya.
Barulah ketika tangis itu mereda, kakeknya mencoba me mberinya beberapa petunjuk, agar gadis itu sedikit mendapat ke kuatan menghadapi jalan hidupnya yang terjal. "Jangan seperti kanak-kanak lagi Sari" berkata kake knya "marilah se muanya ini kita hadapi dengan, sikap dewasa" Sindangsari masih terisak, dan diantara menjawab "Tetapi aku t idak ma u ka kek" isaknya ia
Kakeknya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Aku mengerti, betapa beratnya hatimu menghadapi masalah ini. Tetapi kau tidak dapat menyelesaikannya dengan se kedar pergi dari ruma h dan tida k mau pulang. Bukan itu. Kita harus mencari cara yang sebaik-ba iknya" Sindangsari terdia m. "Kasihan ibumu Sari" berkata kakeknya kemudian "dan jangan kau sangka, bahwa ibumu tidak berprihatin menghadapi masalahmu. Karena itu, marilah kau pulang. Di rumah kita dapat banyak berbicara" Sindangsari masih tetap me mbeku. Sekilas ia melihat sinar matahari yang kekuning-kuningan menyusup diantara dedaunan. Pagi yang cerah. Tetapi hatinya sendiri masih tetap kelam seperti kela mnya mala m. "Se muanya itu masih dibatasi oleh waktu. Perkawinan itu tidak akan terjadi nanti siang, seminggu atau bahkan sebulan. Selama ini kita masih me mpunyai kese mpatan untuk berpikir dan berbuat" Sindangsari me narik nafas dala m-dala m. "Marilah Sari" Perlahan-lahan Sindangsari me nganggukkan kepalanya.
Maka kakek Sindangsaripun ke mudian minta diri bersama cucunya. Kesan yang pahit masih me mbayang di wajah keduanya. Namun juga di wajah Pamot yang mengantarkan mereka sa mpa i ke regol hala mannya. Anak muda itu tidak peduli ketika satu dua orang lewat di depan rumahnya, me mandang wajahnya yang suram dan matanya yang redup. Tatapan matanya terlontar jauh ketikungan sebelah, dimana Sindangsari dan kakeknya seakan-akan hilang ditelan gerumbul-gerumbul di pinggir jalan. Pamot berpaling ketika ia mendengar suara ibunya me manggilnya. Meskipun suaranya lirih, tetapi terdengar jelas di telinga hatinya, betapa kasih seorang ibu kepada anaknya. "Sudahlah Pa mot. Jangan terlampau kau risaukan. Memang kadang-kadang kita harus menghadapi kenyataan-kenyataan yang sama sekali tidak kita inginkan. Tetapi kau adalah orang laki-laki. Kau tidak boleh terbenam dala m kepedihan. Sedang dunia ini masih a kan berputar terus seperti roda pedati. Kalau kau berhenti, maka kau a kan ketinggalan dan kehilangan kesempatan untuk seterusnya" Pamot tida k menjawab. "Masuklah" Pamotpun ke mudian berja lan perlahan-lahan dengan kepala tunduk. Ia mengerti ma ksud ibunya, bahwa ia tidak boleh terbenam dala m persoalan itu saja. Persoalan Sindangsari .Dengan de mikian maka segi hidupnya yang lain akan terhenti pula. "Tinggallah hari ini di rumah, Pamot" berkata ayahnya "biarlah aku se lesaikan pekerjaan di sawah. Tetapi Pamot menggeleng "Tidak ayah. Aku akan pergi ke sawah"
The Chronos Sapphire 1 Remember When Karya Winna Efendi Pendekar Tanpa Tanding 1

Cari Blog Ini