Ceritasilat Novel Online

Matahari Esok Pagi 7

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 7


Ketika ayahnya akan mencegahnya, ibunya memotong "Biarlah ia pergi ke sawah. Itu akan lebih ba ik baginya dari pada ia duduk termenung saja di rumah" Ayahnya berpikir sejenak, namun ke mudian ia berkata "Baiklah. Ka lau begitu mandilah. Aku akan menunggumu" Pamotpun ke mudian segera pergi ke be lakang. Tetapi angan-angannya tidak dapat lepas dari Sindangsari. Terbayang di rongga matanya gadis itu kemudian akan tinggal di rumah Kade mangan Kepandak. Apabila setiap kali ia pergi ke Kademangan sebagai salah seorang anggauta pengawal khusus maka ia akan melihat isteri Ki De mang itu duduk merenung me mandang kekejauhan. Pamot menarik nafas dalam-da la m. Tetapi me mang lebih baik baginya mengisi wa ktunya dengan kerja, supaya ia tidak semakin da la m terbena m di dala m kepahitan perasaan. Ternyata bukan hanya Pamot sajalah yang mendapat goncangan perasaan. Di rumahnya Manguripun sela lu marahmarah tanpa sebab. Kalau Sindangsari menjadi isteri Ki Demang, maka lenyaplah semua harapannya untuk mendapatkan gadis itu. Meskipun de mikian Manguri masih juga mene mui ayahnya untuk me mpersoalkan gadis itu. "Ayah, apakah ayah tidak dapat menemui Ki De mang dan mengatakan bahwa ayah ingin menga mbilnya sebagai menantu" Ayahnya tidak segera menjawab. "Ayah dahulu pernah berkata bahwa Ki De mang akan menyelesaikan masalah ini sebaik-baiknya dan mencarikan ke mungkinan yang mendekatkan aku kepada gadis itu. Tetapi kini anak itu justru dia mbilnya sendiri" "Itulah sulitnya, Manguri" jawab ayahnya "kalau Ki De mang sendiri tidak mengingininya, aku akan lebih mudah
mendapatkan bantuannya. me merlukan gadis itu"
Tetapi tiba-tiba ia sendiri Ki "Ayahlah yang bersalah. Kenapa ayah me mbawa Demang itu ke ruma h Sindangsari"
"Aku tidak me mbawanya kesana. Ia sendirilah yang pergi ke rumah itu bersama Ki Jagabaya untuk mendapatkan keterangan tentang kau dan Pa mot" "Tetapi aku minta ayah berusaha. Apapun yang dapat ayah jalankan untuk kepentingan ini" Manguri dia m sejenak, tibatiba ia berbisik "kita dapat menculiknya" "Gila kau" "Belum tentu kalau kita akan mendapat tuduhan. Dan sudah tentu kita tida k akan berbuat terla mpau bodoh" Ayahnya mengerutkan keningnya. "Kita culik bersama-sa ma, Sindangsari dan Pa mot" "Buat apa Pa mot?" "Kalau keduanya hilang, se mua orang, termasuk Ki De mang akan menyangka, bahwa mereka berdua me larikan diri" Ayahnya tidak segera menjawab. "Kita bunuh Pa mot, dan kita lenyapkan bekasnya" Tetapi ayahnya kemudian menggelengkan kepalanya "Tidak Manguri. Bahayanya terlampau besar. Kalau kau ingin berbuat demikian, ma ka kau akan me lakukan kesalahan sekali lagi, seperti ketika kau mengundang Sura Sapi untuk menangkap Pamot di sawahnya" Manguri me ngerutkan keningnya. Dengan bersungguhsungguh ia berkata "Apakah kita tidak dapat belajar dari pengalaman" Tentu kita tidak akan berbuat sebodoh itu. Kita akan melakukannya dengan hati-hati dan dengan perhitungan yang masak.
"Setelah mereka itu kita ambil, apakah yang dapat kau lakukan dengan Sindangsari?" Manguri menarik nafas dala m-dala m. "Kita dengan mudah akan me mbunuh Pa mot, melenyapkan bekas-bekasnya. Tetapi sesudah itu, apakah kau akan dapat kawin dengan Sindangsari?" Manguri berpikir sejenak, la lu "Kita dapat menyingkir jauhjauh dari Ge mulung" "Siapakah dengan kita itu?" "Aku, ayah dan seluruh keluarga" "Kau me mang bodoh sekali. Aku adalah orang Gemulung sejak kecil. Aku sudah me mpunyai sawah, pategalan dan rumah disini. Bahkan paling luas dibanding dengan orangorang lain. Rumah inipun adalah rumah yang paling besar di seluruh Ge mulung, bahkan di seluruh Kepandak" ayahnya berhenti sejenak, lalu "Kita harus meninggalkan semuanya itu, yang aku kumpulkan sedikit de mi sedikit hanya karena kau menjadi gila kepada gadis yang bernama Sindangsari itu ?" Manguri mengerutkan keningnya. Namun ia masih menjawab "Ka lau begitu, biarlah aku saja yang menyingkir bersama Sindangsari" "Itupun perbuatan gila. Kalau kau pergi setelah Sindangsari hilang, maka setiap orang a kan me mbuat perhitungan. Se mula Sindangsari dan Pa mot, ke mudian kau?" Manguri akhirnya menjadi jengkel "Lalu, bagaimanakah yang sebaiknya menurut ayah?" "Manguri, telah berapa kali kau terseret ke dala m keadaan serupa ini. Telah berapa orang gadis yang terpaksa kau singkirkan. Tetapi kau tidak pernah menjadi segila sekarang ini"
"Ayah" berkata Manguri "ka li ini aku bersikap lain Sindangsari bukan sekedar seorang gadis yang pantas dimiliki untuk sesaat, kemudian dile mparkan seperti gadis-gadis la in. Tetapi ia me mpunyai ke lebihan yang sulit untuk dikatakan. Aku mengingininya untuk menjadikannya seorang teman hidup yang ba ik" "Sekarang kau berkata demikian. Tetapi kaupun akan segera menjadi je mu kalau kau sudah berhasil. "Tida k" "Sekarang kau berkata tidak. Kau sangka aku tidak mengerti perangaimu yang buruk itu" "Ayah" "Jangan me mbantah. Aku tidak percaya bahwa kau akan bersikap sungguh-sungguh. Manguri me mandang ayahnya dengan tajamnya. Ia menjadi kecewa sekali bahwa ayahnya tidak me mpercayainya, sehingga karena itu ma ka ia berkata "Ayah. Apakah aku dapat me mberikan sebuah contoh, bahwa hal itu akan dapat terjadi ?" "Apa contohmu ?" Manguri menjadi ragu-ragu sejenak, tetapi ke mudian ia berkata "Maaf ayah. Contoh itu tidak terlampau jauh. Disini ayah mempunyai seseorang yang menjadi kawan hidup ayah seterusnya, ibu, meskipun masih ada orang lain lagi di dala m hidup ayah" "Dia m" bentak ayahnya tiba-tiba "kalau kau ulangi lagi hal itu, aku pukul kau" Manguri terdia m. Tetapi ia mengumpat-umpat di dala m hatinya. "Manguri" berkata ayahnya "sebaiknya kau lupakan saja gadis itu. Di Ge mulung masih banyak gadis-gadis yang
bersedia menjadi kawan hidupmu. Bukan saja di Gemulung, di Kepandak masih tersedia berapa saja yang kau ingini" "Terla mpau Manguri. sulit untuk melupa kannya ayah" jawab
"Perlahan-lahan. Kalau kau tidak pernah melihatnya lagi, maka kau akan lupa kepadanya. Apalagi kalau kau sudah mendapat kawan lain. Aku kira Sindangsari bukanlah gadis yang paling cantik di Kepandak" Manguri berpikir sejenak, na mun ia ke mudian menjawab "Tetapi aku minta ayah tetap berusaha" "Aku akan berusaha. Tetapi kau jangan menganggap bahwa tanpa Sindangsari kau tidak dapat hidup lagi. Jika demikian kau akan benar-benar tidak akan dapat hidup seterusnya. Hidupmu a kan terhenti, meskipun secara badaniah kau masih tetap hidup" Manguri mengguk-anggukkan kepalanya.Namun di dala m hatinya ia tidak dapat mengerti, apakah keberatannya kalau gadis itu dia mbilnya saja dengan paksa, kemudian dise mbunyikannya disuatu tempat" Setiap kali ia a kan dapat mengunjungi gadis itu, dikehendaki atau tidak dikehendakinya. Sementara Pamot yang disingkirkannya itu, tidak akan dapat mengganggunya lagi untuk sela ma-la manya. "Ayah memang tidak mau me mikirkan anaknya" berkata Manguri di dala m hatinya "ia hanya me mikirkan dirinya sendiri. Kalau ayah sendiri yang menghendaki seorang gadis, apapun dikorbankannya" Dengan de mikian, maka meskipun ayahnya tidak sependapat, tetapi ada benih pikiran di kepala Manguri, bahwa Sindangsari sebaiknya dia mbilnya saja dengan paksa. Bahkan bersama Pa mot, yang harus segera dibunuhnya dan dilenyapkannya.
"Aku tida k peduli lagi. Tetapi aku harus me ndapat gadis itu" katanya di dala m hati. Tiba-tiba Manguri teringat kepada ibunya. Apakah ibunya dapat menolongnya dengan caranya" Manguri yang kecewa itu, sehari-harian hanya marahmarah saja. Dibentak-bentaknya Lamat yang tidak mengerti ujung dan pangkal ke marahan Manguri. Tetapi seperti biasa, Lamat tidak terla mpau banyak bicara. Ia melakukan apa saja yang dikehendaki Manguri. "La mat" tiba-tiba ma nguri itu me manggilnya "ke mari. Aku akan berbicara sedikit" Lamat termangu-ma ngu sejenak. Tetapi ia tidak sempat berpikir lebih la ma lagi ketika Manguri me mbentak "Cepat" Dengan ragu-ragu La mat mende katinya. Ditatapnya sejenak wajah Manguri yang gelap. Namun iapun ke mudian duduk di de katnya. "La mat" desis Manguri "kita akan menghadapi kerja yang berat. Apakah kau sanggup ?" Lamat yang belum mengerti, kerja apa yang harus dilakukan tidak segera menjawab dan ia mendangar Manguri berkata pula "Ka lau kerja ini gaga l, ma ka kita akan digantung bersama-sama " "Apakah yang harus aku kerjakan?" bertanya La mat. "Meskipun a ku masih harus mengatakannya kepada ibu, tetapi kau sebaiknya me mpersiapkan dirimu lebih dahulu" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia tidak mengerti. "La mat" suara Manguri menurun "pada saatnya kita akan menga mbil Sindangsari dengan paksa"
Lamat terkejut sehingga darahnya terasa menjadi semakin cepat mengalir. Tetapi ia berusaha untuk menyembunyikan kesan itu "Tida k ada ja lan la in" Manguri meneruskan. "Tetapi" berkata persoalannya tidak Kepandak?" La mat "apa kah dengan de mikian akan menyangkut Ki De mang di
"Aku tahu" jawab Manguri. "Kalau persoalannya sekedar menyangkut Pa mot, kita tidak akan terlampau banyak mengala mi kesulitan. Tetapi kini Sindangsari ternyata dikehendaki oleh Ki De mang itu sendiri" "Aku sudah tahu, aku sudah tahu. Aku tidak sedungu kau mengerti" potong Manguri. Lalu suaranya merendah "Dengarlah seluruh rencanaku. Aku akan menghubungi la kilaki yang sering datang kepada ibu. Aku yakin bahwa ia akan dapat me mberi jalan kepadaku untuk menga mbil gadis itu. Kemudian kita a mbil pula Pa mot. Dengar baik-baik, supaya kau tidak salah dengar" Manguri berhenti sesaat. Dipandanginya wajah Lamat yang tegang "Pamot itu kita bunuh. Dan kita akan bebas dari segala tuduhan. Ki Demang akan menyangka bahwa Sindangsari lari bersa ma Pa mot" Darah La mat menjadi se makin cepat mengetuk pintu jantungnya, sehingga jantung itu berdentangan di dala m dadanya. Ia tidak menyangka, bahwa rencana Manguri akan sampai sede mikian jauh. Dengan demikian ia sudah merancang sebuah pe mbunuhan dan penculikan. "Bagaimana pendapat mu La mat?" bertanya Manguri. Lamat menjadi bingung. Apakah yang harus dikatakannya menjawab pertanyaan itu. "He, apakah kau tidur?" bentak Manguri.
Dala m kebingungan La mat ganti bertanya "Apakah kau sudah mengatakannya kepada ayahmu?" "Gila kau. Buat apa aku harus mengatakannya kepada ayah" Tetapi ke mudian ia me mbentak "Akulah yang bertanya. Apakah kau setuju?" Lamat menarik nafas dala m. Dan ia mendengar Manguri bertanya lantang "Kau takut he" Kau takut?" "Soalnya bukan aku takut" jawab Lamat "tetapi hal itu akan sangat berbahaya. Bukan saja bagi kita, tetapi bagi seluruh keluarga" "Tutup mulut mu" potong Manguri "apa kau sangka aku tidak dapat berpikir" Aku sudah mengerti kalau hal itu sangat berbahaya. Berbahaya bagi kita dan keluarga kita. Tetapi kita me mpunyai otak. Nah, kau me mang t idak pernah me mperguna kan otakmu itu" Lamatpun terdia m. Betapa dadanya menggelepar, tetapi ia tidak mengatakan apapun lagi. Dengan sorot mata yang buram dipandanginya bayangan matahari yang bermain di dedaunan. "Kau belum menjawab pertanyaanku" desis ke mudian "kau setuju atau tidak" Manguri
Lamat menarik nafas panjang. Apa yang dikatakan Manguri itu sebenarnya sama sekali bukan pertanyaan. Ia harus menjawab seperti apa yang dikehendakinya. Karena itu, maka iapun menganggukkan kepalanya seperti yang seharusnya dilakukan sa mbil berkata "Aku setuju" "Bagus. Kita akan mengatur langkah-langkah selanjutnya. Kita tidak usah tergesa-gesa" Lamat hanya dapat menarik nafas dalam-dala m. Di pandanginya saja ke mudian Manguri yang me langkah meninggalkannya tanpa berkata sepatah katapun lagi.
"Siapa lagi yang akan diundang oleh Manguri ini" La mat berdesis di dala m hatinya "apakah ia akan me manggil gerombolan-gerombolan perampok yang lain dari gerombolan Sura Sapi, atau akulah yang kali ini harus me lakukan?" Namun rencana itu benar-benar telah menggelisahkan Lamat. Kalau ia harus melakukannya dengan tangannya, maka ia pasti akan merasa tersiksa seumur hidupnya. "Atau ......." Lamat menjadi ragu-ragu. Ia merasa berhutang budi kepada keluarga Manguri. Bukan sekedar budi, tetapi ia merasa bahwa keluarga ini pulalah yang telah menya mbung nyawanya. Kalau ia tidak ditolong oleh ayah Manguri saat itu, barangkali umurnya sudah la ma terpotong. Perlahan-lahan La mat berdiri. Ke mudian dengan kepala tunduk ia me langkah kekebun bela kang. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Na mun ia t idak me ne mukan pe mecahan yang dapat me mberinya ketenteraman. "Mudah-mudahan Manguri me mbatalkan rencananya, atau ada rencana lain yang lebih baik dari rencana pembunuhan ini" desis La mat. Untuk melupakan kerisauan hatinya, ma ka segera dia mbil sebuah kapak yang besar. Di kebun belakang masih tergolek sepotong kayu yang harus dipecahkan menjadi kayu ba kar. "La mat mengerutkan keningnya ketika ia me lihat seorang pekatik duduk terkantuk-kantuk di bawah pohon jeruk sambil me me luk keranjangnya. Tetapi ia melangkah terus sambil menjinjing kapaknya. Dala m pada itu, setiap orang di Gemulung telah me mpercakapkan la maran Ki De mang. Kadang-kadang mereka merasa iri, bahwa janda itu telah mendapat nasib yang baik, karena anaknya akan diperisteri oleh seorang Demang yang kaya. Tetapi kadang-kadang mereka menaruh juga belas kasihan. Agaknya Sindangsari benar mencintai Pamot dan sebaliknya. Meskipun ha mpir pasti Sindangsari
akan menjadi isteri De maig di Kepandak, tetapi gadis itu tidak akan merasa berbahagia karenanya. Perhatian seluruh rakyat Gemulung benar-benar telah dicengka m oleh persoalan kedua anak-anak muda itu. Tetapi mereka sa ma sekali tidak me ngerti, bahwa dengan dia m-dia m Manguripun telah menyusun rencananya. Yang langsung dapat dilihat oleh orang-orang Ge mulung ada lah wajah Pa mot yang suram, dan Sindangsari yang sering mereka lihat me mbersihkan hala man ruma hnya, selalu dibasahi oleh air matanya. Namun di luar pengetahuan siapapun, Pamot se lalu berusaha untuk dapat mene mui Sindangsari. Dia m-dia m ia selalu berkunjung ke rumah gadis itu. Ka lau mala m menjadi semakin dala m, maka sampailah saatnya keduanya me lepaskan perasaan masing-masing. Apabila ibu, kakek dan neneknya sudah tidur, Sindangsari sering merayap keluar rumah. Ia tahu benar, bahwa Pamot menunggunya di belakang pakiwan di sebelah sumur. Tetapi bahwa mereka menyangka tidak ada seorangpun yang mengetahuinya adalah salah sekali. Beberapa orang ternyata mengikutinya dengan dia m-dia m. Yang paling de kat dengan mereka adalah kakek Sindangsari sendiri. Kadang-kadang ia mendengar gerit pintu terbuka di ma la m hari. Namun orang tua itu sama sekali tidak sa mpai hati untuk mengahalanginya. Meskipun de mikian ia tidak dapat me lepaskannya kedua anak-anak muda itu tanpa pengawasan, sehingga karena itu, ma ka lewat pintu yang la in, iapun menyusul mereka dan mengawasinya dari kejauhan apabila kedua anak-anak itu terperosok ke dalam jurang yang paling gawat dalam kehidupan anak-ana k muda. Tetapi bukan saja orang tua itulah yang selalu mengawasi apa yang terjadi. Seorang petugas yang sengaja dikirim oleh Ki De mangpun se lalu me ngawasinya. Meskipun tidak setiap
ma la m ia berada di dekat rumah Pa mot dan Sindangsari, namun pada suatu ketika ia berhasil me lihat pertemuan kedua anak-anak muda itu. Orang itu menjadi berdebar-debar karenanya. Ia ditugaskan oleh Ki De mang untuk mengawasi gadis yang akan menjadi isterinya. Tetapi sebagai manusia ia mengerti, bahwa ikatan yang menghubungkan hati kedua anak-anak muda itu agaknya me mang sulit diura ikan. Ia tidak berbuat apa-apa, dan sama sekali tidak me laporkannya, ketika ia baru melihat sekali dari perte muan itu. Tetapi ke mudian ia me lihat kedua, ketiga dan keempat kalinya. Orang itu justru menjadi bingung. Ia tidak mengerti apa yang sebaiknya dilakukan. Tetapi kalau ia berdia m diri saja apabila, kemudian timbul akibat yang tidak dikehendaki, maka ia akan me njadi tempat yang harus mena mpung ke marahan Ki Demang di Kepanda k. Semula orang itu mengharap, bahwa hubungan itu semakin la ma akan menjadi sema kin jarang. Tetapi harapannya itu sama sekali tidak terpenuhi. Pamot masih saja selalu datang dengan diam-dia m ke rumah Sindangsari dala m waktu-waktu tertentu. "O" orang itu mengeluh "Kenapa aku mendapat tugas yang gila ini. Mengint ip orang yang sa ling berkasihan" Namun akhirnya orang itu tidak dapat me milih cara lain daripada menyampa ikan apa yang dilihatnya itu kepada Ki Demang, agar ia tidak harus bertanggung-jawab apabila kedua anak anak muda itu sa lah langkah. "He, kau me lihatnya?" wajah Ki De mang menjadi merah. "Ya Ki De mang" "Beberapa kali kau melihat pertemuan itu" Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia ke mudian menjawab "Satu kali Ki De mang"
"Hanya satu kali?" Sekali lagi orang itu ragu-ragu. Ia tidak sampai hati untuk mengatakan apa yang dilihatnya. Kalau ia mengatakan tiga atau empat kali, ma ka darah Ki De mang pasti akan segera mendidih. "Ya, sekali. Itupun samar-sa mar. Tetapi aku me mang menyangka bahwa mereka telah mengadakan perte muan, meskipun barangkali Sindangsari di dala m dinding rumahnya dan Pa mot berada di luar" Ki De mang di Kepandak menggeretakkan giginya. Masih juga anak itu berani menghubungi Sindangsari. Padahal sudah jelas bagi setiap orang, bahwa Sindangsari akan menjadi isterinya. Tiba-tiba saja Ki De mang itu menggera m "Perte muan berikutnya harus dicegah. Kalau mereka leluasa berbuat demikian, maka mereka pasti akan me ngulanginya" Orang yang mendapat tugas mengawasi Pa mot itu menundukkan kepalanya. Ia terkejut ketika Ki De mang ke mudian berkata "Besok bawa Kerpa serta" "Maksud Ki De mang?"orang itu me njadi berdebar-debar. "Kerpa harus me mbuat Pa mot jera. Tetapi ingat, Pamot tidak boleh mengenal, bahwa orang yang mengha langi pertemuan itu adalah Kerpa. Kalau ia mengetahui bahwa orang itu Kerpa, ia a kan langsung mengetahui, bahwa a kulah yang menyuruhnya" "Apakah keberatannya kalau Pa mot mengetahui, bahwa me mang Ki De mang yang mencegah pertemuan itu. Bukankah hal itu sudah sewajarnya?" "Sebaiknya se mentara ini tida k"
Orang itu mengangguk-angguk kepalanya. Perlahan-lahan ia bertanya "tetapi bukankah Kerpa hanya mencegah pertemuan itu. Tidak lebih daripada itu" "Ya" Orang itu menggukkan kepalanya. Katanya "Baiklah Besok aku akan pergi ke Ge mulung bersa ma Kerpa" Demikianlah pada mala m berikutnya, dua orang petugas yang dikirim oleh Ki De mang, dengan dia m-dia m mengawasi jalan yang lewat di samping rumah Sindangsari. Ketika mala m mulai menjadi ke la m, keduanya bersembunyi di balik segerumbul perdu. Disitulah petugas Ki De mang itu setiap kali bersembunyi. "Mungkin hari ini anak itu tidak datang ke mari" desisnya. Kerpa mengerutkan keningnya. Katanya "Aku mengharap ia datang. "Lalu" Apa yang akan kau lakukan" Orang itu tertawa tertahan-tahan. Tetapi suara tertawanya telah mendirikan bulu roma. Kawannya menjadi heran mendengar suara tertawa Kerpa. Dipandanginya saja wajahnya yang disaput oleh keremangan ma la m. Na mun wajah itu seakan-akan menjadi sangat menakutkan. "Kadang-kadang kita harus mengajari anak-anak untuk sedikit sopan" gera m Kerpa ke mudian "Pa mot adalah gambaran anak-ana k yang tidak mengenal adat" "Maksudmu?" bertanya kawan Kerpa. Kerpa tidak segera menjawab, tetapi suara tertawanya terdengar lagi. "Ingat Kerpa" berkata kawannya "kau hanya bertugas mencegah pertemuan itu Tida k lebih"
"Tentu, tentu. Tetapi aku tidak ingin setiap ma la m mende ka m di te mpat yang banyak sekali nya muknya itu" "Lalu?" "Aku akan me mbuatnya jera" "Ya, me mang. Tetapi tida k berlebih-lebihan" "Aku juga tidak akan berbuat terlampau banyak dan berlebihan-lebih. Aku hanya akan me mbuat jera. Hanya itu" "Caramu?" "Tergantung pada keadaan. Aku tahu bahwa Pamot adalah salah seorang anggauta pengawal khusus yang terlatih baik. Kalau langkahku agak terdorong sedikit, jangan menyalahkan aku. Karena kalau aku terla mpau baik hati, maka akulah yang akan dibuatnya jera" Kawannya mengerutkan keningnya. Ia mengenal Kerpa dengan baik. Ia orang yang bodoh, tetapi terlampau setia kepada Ki De mang, sehingga kadang-kadang ia mela kukan suatu tindakan yang agak berlebih-lebihan. Maksudnya agar ia mendapat pujian dan hadiah karena tinda kannya itu, tanpa menghiraukan akibat yang dapat timbul karenanya. Sejenak ke mudian mereka terdia m. Tetapi debar jantung kawan Kerpa itu menjadi se makin cepat. Ia sudah mulai me mbayangkan, apa yang akan terjadi. Mungkin Kerpa akan me mbuat Pa mot menjadi cacat seumur hidupnya atau bahkan kalau ia kehilangan kendali, ma ka ia akan berbuat sesuatu di luar dugaan. "Gila" desis Kerpa ke mudian "Kenapa anak itu belum juga datang" "Aku tida k yakin bahwa ia akan datang" "Tetapi bukankah kau pula yang me laporkannya kepada Ki Demang bahwa anak itu pernah mene mui Sindangsari?"
"Ya" "Itu me mang perbuatan yang paling gila " Kerpa menggera m "itu sudah suatu perbuatan yang sebenarnya tidak dapat dimanfaatkan seandainya Ki De mang bukan orang yang sangat sabar. Meskipun belum terjadi perkawinan itu, tetapi Sindangsari sudah menjadi hak Ki De mang. Tidak seorangpun lagi boleh mengganggunya" Kawannya tidak menyahut. "Kalau Pa mot itu mengganggu isteriku, ma ka isi perutnya pasti akan kutumpahkan" "Tetapi sekarang, bahkan bakal istri Ki De mang" "Tetapi Ki De mang tidak me merintahkan kepada mu lebih dari mencegah pertemuan itu. Kalau kau mela kukan yang lain, maka kau pasti akan mendapat hukuma n" Kerpa mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Namun demikian ia masih meragukan keterangan kawannya itu. Apakah benar Ki Demang tidak marah sekali dan maksud kata-katanya itu tidak lebih jauh dari mencegah saja hari ini. Maka selagi mereka hanyut dala m angan-angan masingmasing, di kejauhan sesosok tubuh berjalan mengendapendap di pinggir jalan padukuhan. Langkahnya semakin la ma menjadi semakin cepat. Kadang-kadang ia berhenti sejenak, ke mudian meneruskan langkahnya mele kat dinding batu di pinggir jalan. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa dua pasang mata di balik gerumbul sedang me ma ndanginya dengan taja mnya. Melihat kedatangannya Kerpa tersenyum. Sambil mengga mit kawannya ia berdesis "Akhirnya ia datang. Agaknya kau telah me mberikan keterangan yang benar, bahwa Pamot me mang pernah menghubungi Sindangsari. Kau tidak sekedar mengada-ada untuk mendapat pujian dari Ki Demang bahwa kau me mang me lakukan tugasmu dengan
baik. Pertemuan antara keduanya itu bukan sekedar desasdesus yang mera mbat dari mulut yang satu ke mulut yang lain" Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia menjadi berdebardebar karenanya. "Kau duduk saja disini. Aku akan menyelesaikannya sendiri" "Jangan gila. Kau hanya mencegah perte muan ini" "Dan me mbuatnya Ki De mang marah kepada mu" Kerpa tidak menjawab. Tetapi ia tertawa tertahan-tahan. Sementara itu langkah Pamot semakin la ma menjadi semakin dekat. Tanpa berprasangka apapun ia masih tetap berjalan menepi. Sa ma sekali tidak disangkanya, bahwa di dekat halaman yang kosong, di balik sebuah gerumbul, seseorang telah menunggunya dengan menahan nafas. Pamot menjadi sangat terkejut, dan bahkan darahnya serasa berhenti ketika tiba-tiba. aja sepasang tangan yang kuat menerka mnya dan menyeretnya masuk ke dala m gerumbul. Tetapi Pa mot adalah seorang anak muda yang cukup terlatih, sehingga ia tidak langsung menyerah pada keadaan itu. Dengan tangkasnya ia justru berguling me landa orang yang menerka mnya, kemudian menggeliat untuk melepaskan pegangan sepasang tangan yang menerka mnya itu. Pamot adalah seorang pengawal khusus yang me mang pernah mendapat latihan keprajuritan. Bahkan lebih dari itu. Iapun me miliki bekal ilmu yang melengkapi latihan-latihan keprajuritannya itu. Dengan demikian, maka geraknya yang cepat dan tangkas itu sama sekali tidak diduga oleh Kerpa, sehingga tangkapan tangannyapun terlepas karenanya. Hentakan tenaga Pamot telah menghe mpaskan keduanya. Sejenak mereka terguling-guling. Dan ha mpir bersa maan mereka berloncatan berdiri.
Kini mereka tegak berhadapan. Sejenak Pa mot mencoba mengenal orang yang menutupi wajahnya dengan ikat kepalanya itu. Tetapi ia tidak segera dapat mengetahui dengan siapa ia berhadapan. "Siapa kau?" Pa mot menggera m. Kerpa mengerutkan keningnya. Dengan suara yang dibuatbuat agar Pamot tidak dapat mengenalnya, ia menjawab "He, kau ingin tahu siapa a ku?" "Ya. Buka lah tutup wajah itu" "Tida k mau. Sebaiknya kau tidak usah melawan. Aku hanya akan me mbuat mu lumpuh tanpa me mbunuhmu" Kawan Kerpa yang berse mbunyi di balik gerumbul itupun menjadi berdebar-debar. Agaknya Kerpa benar-benar ingin me mbuat Pa mot cacat, agar ia menjadi benar-benar jera. Tetapi sudah tentu, bukan itu ma ksud Ki De mang. Dala m pada itu ia mendengar Pa mot menggera m "Apa maksudmu me ngganggu a ku?" "Aku tida k sekedar me ngganggumu. Aku me mang berusaha mencegahmu datang kepada gadis itu. Bukan hanya malam ini, tetapi untuk mala m-ma la m selanjutnya. Karena itu, kau harus tidak dapat berjalan lagi" "Apa kepentinganmu" "Tida k ada" "Kalau tidak ada, kenapa kau menca mpuri urusanku" "He" Bukan tidak ada. Tetapi tidak langsung" jawab Kerpa "kau tahu he, bahwa gadis itu adalah ba kal isteri Ki De mang. Kalau kau masih berhubungan dengan dia, maka kau sudah me langgar pagar ayu. Kau tahu bahwa padukuhan Ge mulung dan Kademangan Kepandak dan kau pernah juga mendengar, bahwa hampir seratus tahun yang lalu, Kademangan Kepandak pernah ditimpa oleh bencana wabah yang luar
biasa. Separo dari penduduk Kepandak meninggal. Kakekku, yang sekarang berumur seratus lebih tujuh tahun, masih ingat akan peristiwa itu. Kau ingin tahu sebabnya" Ya, karena ada orang yang melanggar pagar ayu. Seorang laki-la ki iblis yang menghubungi isteri Ki De mang pada waktu itu. Kakek Ki Demang yang sekarang. Nah, apakah kau akan mengulanginya dan me mbuat Kepandak diterka m oleh wabah yang maha dahsyat itu lagi?" "Omong kosong" bantah Pa mot, namun ke mudian ia menya mbung "maksudku, aku sama sekali tidak melanggar pagar ayu. Akulah yang lebih dahulu me la marnya. Tetapi Ki Demang telah mera mpasnya. Apalagi kalau anak itu diberi hak untuk me milih. Ia tidak akan memilih Ki De mang yang sudah lima kali kawin" "Persetan. Tetapi yang sekarang diakui, gadis itu adalah bakal isteri Ki De mang" "Seandainya demikian, dan seandainya aku disebut me langgar pagar ayu, itupun tidak akan me mbuat bencana apapun. Apakah kau berpura-pura tida k tahu bahwa ada saja pelanggaran-pelanggaran yang serupa, bahkan yang sudah lebih jauh dari sekedar sebuah perte muan" "Dia m kau" bentak Kerpa "kau ingin me mbenarkan sikapmu dengan menyebut kesalahan-kesalahan yang serupa. Aku tidak peduli. Tetapi pertemuan yang demikian tida k boleh terjadi. Kau sangka aku tidak tahu bahwa ma la m ini bukanlah ma la m yang pertama kau datang kepadanya" Wajah Pamot menjadi merah. Kini ia telah benar-benar menjadi marah. Katanya "Memang. Mala m ini bukan yang pertama aku datang kepadanya. Aku sudah datang kepadanya lebih dari seratus kali sejak aku mengenalnya. Gadis itupun datang ke rumahku sebanyak bilangan itu pula. Sampai saatnya Ki De mang di Kepandak berusaha me mutuskan hubungan ka mi. Pamot berhenti sejenak. Namun perasaan di dadanya menghentak-hentak sehingga ia tidak sadar lagi
dengan siapa ia berbicara. Endapan-endapan yang serasa menyumbat dadanya kemudian tertumpah saja tanpa dapat dikekangnya. Katanya "Tetapi itu perbuatan yang bodoh sekali. Me mang mungkin Ki De mang dengan kekerasan apapun dapat menghalangi hubunganku dengan Sindangsari. Tetapi itu hanya sekedar hubungan badaniah. Tetapi tidak seorang manusiapun yang dapat me mada mkan api yang telah menyala di dala m dada ka mi masing-masing. Dan itulah yang dina makan cinta" Kerpa mengerutkan keningnya sesaat. Namun ke mudian ia tertawa. Katanya "Aku tidak tahu apakah hubunganmu dengan Ki De mang di dala m soal cinta. Tetapi aku hanya mencegah wabah itu berjangkit lagi di Kepandak. Itu saja" "Kenapa kau tidak datang kepada Ki Demang dan mencegah Ki De mang mera mpas gadis itu" Jangan pura-pura tidak tahu, bahwa disini sekarang sudah timbul wabah" Wabah yang jauh lebih dahsyat dari penyakit apapun?" "Wabah apa?" "Wabah kekuasaan, di mana orang-orang yang berkuasa dapat berbuat apa saja seperti yang dilakukan oleh Ki De mang sekarang atas Sindangsari" "Persetan. Sudah aku katakan. Aku tidak berurusan dengan Ki De mang. Tetapi adalah kewajibanku untuk mencegahmu sekarang" Ketika Pa mot akan menjawab ma ka Kerpapun mendahuluinya "Jangan banyak bicara. Kau harus jera. Tidak hanya sekedar mulut mu saja yang mengatakannya, tetapi lain kali dia m-dia m kau langgarnya" "Dengar kau. orang yang tidak berani menengadahkan wajahnya" geram Pa mot "cacingpun akan menggeliat kalau terpijak. Apalagi aku" "Tutup mulut, atau aku yang a kan menutupnya"
Pamot tida k se mpat menjawab lagi. Agaknya Kerpa me mang sudah kehabisan kesabaran. Karena itu, maka iapun segera meloncat me nyerang. Tetapi Pamot yang sudah sampai ke punca k ke marahannya itupun telah bersiaga pula. Dengan de mikian maka dengan tangkasnya ia menghindarinya dan bahkan iapun segera me mba las serangan itu dengan sebuah serangan mendatar setinggi la mbung. Kerpa menjadi berdebar-debar. Ternyata anak ini me miliki ke ma mpuan yang cukup baik. Apalagi setelah perkelahian itu semakin la ma menjadi se makin seru. Terasalah oleh Kerpa bahwa Pamot bukan sekedar seorang pengawal yang mendapat latihan keprajuritan sekali sepekan atau dua ka li di halaman Kade mangan oleh prajurit-prajurit Matara m yang dikirim untuk itu. Karena itu, ma ka Kerpapun menjadi se ma kin berhati-hati. Ia sadar, bahwa ia tidak boleh lengah. Ikat kepalanya tidak boleh terlepas, dan apa lagi ia dapat dikalahkan dalam perkelahian itu. Dengan demikian maka perke lahian itupun me njadi semakin cepat. Pamot telah dibakar oleh darah mudanya, sehingga ia sama sekali tidak peduli lagi, dengan siapa ia berkelahi. Sedang Kerpa merasa bahwa dirinya mendapat kepercayaan dari Ki De mang untuk melakukan tugas itu. Namun perkelahian yang sengit itu agaknya telah membuat Kerpa menjadi se makin marah. La mbat laun ia tida k dapat me mbatasi diri lagi, bahwa ia ditugaskan sekedar mencegah pertemuan antara Pamot dengan gadis yang bakal menjadi isteri Ki De mang itu. Na mun serangan-serangannya yang gagal beberapa kali, dan bahkan sentuhan-sentuhan serangan Pamot pada tubuhnya, telah menyeret Kerpa itu ke dalam suatu perkelahian yang sesungguhnya, seperti juga Pamot berkelahi bersungguh-sungguh.
Kawan Kerpa yang bersembunyi di balik gerumbul menyaksikan dengan hati yang bergelora. Meskipun ia tidak me mpunyai ke ma mpuan sebesar Kerpa, namun ia dapat me lihat bahwa perkelahian itu telah me manjat menjadi perkelahian yang mendebarkan jantung. Seperti Kerpa, ia me mang tidak menyangka bahwa Pa mot me miliki ilmu yang setingkat lebih tinggi dari para pengawal khusus. Apalagi dibandingkan dengan para pengawal yang lain. Namun orang itupun mengerti bahwa Kerpa bukan orang kebanyakan. Karena itulah, maka dadanya menjadi sema kin sesak. Semakin gigih Pa mot melawan, orang itu akan menjadi semakin marah, sehingga pada saatnya, ia akan berbuat halhal yang se makin buruk a kibatnya bagi Pa mot. Tetapi ia t idak a kan dapat mencegahnya lagi. Ia tidak dapat muncul di sekitar arena. Dengan demikian Pa mot akan mengenalnya dan pasti akan segera mengenal bahwa lawannya berkelahi itu ada lah Kerpa. Demikianlah perkelahian di hala man kosong itu menjadi semakin seru. Masing-masing telah berusaha untuk me meras tenaganya. Pamot me mang me miliki ke lincahan dan ke kuatan yang cukup. Namun Kerpa adalah orang yang berpengalaman. Itulah sebabnya maka setelah mereka berkelahi beberapa saat, tampaklah bahwa Pa mot menjadi se makin la ma sema kin terdesak. Tetapi hati Pa mot me mang sekeras batu karang, Ia tidak segera menyerah kepada keadaan. Ia sadar, bahwa menyerahpun akibatnya pasti sangat menyakitkan hatinya. Karena itu, maka ia berkelahi terus sekuat-kuat tenaganya. Lambat laun namun pasti, Kerpa berhasil menguasai lawannya. Sekali-sekali Pa mot terpelanting oleh pukulan atau hempasan kaki lawannya. Namun setiap kali ia bangkit ke mbali dan me lawan seperti orang kesurupan, meskipun karena kelelahan dan kemarahan yang menggoncang jantungnya, geraknya menjadi semakin tidak terarah.
Serangan-serangannya tidak lagi mengenai sasarannya, dan bahkan kadang-kadang ia terdorong oleh tenaganya sendiri, sehingga sentuhan yang la mbat telah me mbuatnya jatuh tertelungkup. Kerpa yang memiliki pengala man dan ilmu lebih tinggi daripadanya, akhirnya yakin, bahwa Pamot tidak a kan dapat me lawannya lagi. Karena itu, maka Kerpa akan segera mengakhiri perkelahian itu. Ia tidak dapat lagi menahan ke marahan yang menghentak di dadanya karena sikap Pamot. Apalagi beberapa bagian badannya sendiri terasa juga bekas-be kas sentuhan serangan anak muda yang kehilangan pengenda lian diri itu. Pada saat-saat terakhir itulah Kerpa ke mudian justru me mperbesar tenaga-tenaga serangannya, sehingga Pa mot menjadi jatuh bangun. Sekali ia terpental, ke mudian di saat yang lain ia jatuh terjere mbab. Badannya menjadi merah biru, sedang darahnya menit ik dari luka-luka ha mpir di seluruh tubuhnya. Luka oleh serangan Kerpa, tetapi juga luka karena batu-batu padas di bawah kakinya. Apabila ia terpelanting jatuh menimpa ujung batu yang runcing, ujung-ujung kayu dan bahkan duri-duri ke marung sepanjang kelingking, yang tumbuh berhamburan di kebun kosong itu. Betapa besar nafsunya untuk melawan, na mun tenaga Pamotpun me mang terbatas. Ia mampu me lawan salah seorang dari anggauta gerombolan Sura Sapi, tetapi kali ini ia mau t idak mau harus me lihat kenyataan bahwa ia sudah terkalahkan. Ketika sebuah pukulan mengena i dagunya, maka kepalanyapun terangkat tinggi-tinggi. Tetapi ia tidak sempat jatuh terlentang ketika tangan-tangan yang kuat menahan bajunya. Namun terasa ke mudian seolah-olah seluruh
perutnya terpelanting keluar ketika tangan-tangan yang kuat me mukul perutnya bertubi-tubi. Tiba-tiba kepala Pa mot menjadi matanya menjadi se ma kin kabur. pening. Pandangan
Ketika pukulan-pukulan itu berhenti, ma ka ia tidak lagi dapat berdiri tegak di atas kedua kakinya. Sejenak ia terhuyung-huyung. Namun ke mudian iapun jatuh tertelentang. Pamot masih se mpat melihat bintang yang bertaburan di langit yang seakan-akan berputaran mengelilingi kepalanya. Semakin la ma se makin cepat, namun sema kin kabur. Meskipun de mikian Pa mot tidak menjadi pingsan. Meskipun ia tidak berhasil untuk mengatasi pening dan mua l, sehingga ia tidak lagi se mpat bangun, na mun ia masih me lihat bayangbayang lawannya yang kabur kehitam-hita man. Pamot masih mendengar orang itu tertawa, kemudian me langkah se makin dekat. Kini orang itu berdiri bertolak pinggang selangkah di sa mpingnya. Tangannya seolah-olah berguncang-guncang oleh gela k yang tertahan-tahan. "Nah, apakah kau masih akan melawan?" terdengar ia berdesis. Pamot tidak menyahut. Nafasnya serasa sudah benar-benar hampir terputus. "Kau sudah me mbuat hatiku menjadi panas, berkata Kerpa di sela-sela suara tertawanya yang menyakitkan hati. Tetapi suara tertawa itupun merupakan lontaran dari sakit hatinya pula. Katanya selanjutnya "Kalau kau tida k me lawan, dan tidak menyombongkan dirimu, maka aku kira aku t idak akan berbuat apa-apa. Kalau kau sudah berjanji bahwa kau tidak akan datang lagi mene mui gadis itu, ma ka persoalanku sudah selesai. Tetapi sekarang kau telah me mbuat darahku menjadi panas. Nafasku hampir putus pula karenanya, dan tubuhku
menjadi sakit-sakit. penyesalan.
Kau harus menebusnya dengan Pamot sa ma sekali tida k menjawab. Kekuatannya seakanakan telah lenyap, Bahkan untuk menggerakkan ujung jarinya saja, terasa terlampau sulit. Karena itu, apapun yang akan dilakukan oleh orang yang me lindungi wajahnya dengan ikat kepalanya itu, ia tida k akan dapat mencegahnya. "Dengar anak muda" desis Kerpa dari balik ikat kepalanya "aku dapat me mbunuhmu" Pamot masih tetap berdia m diri. "Tetapi aku akan me mberimu kese mpatan me milih. Mati atau cacat untuk seumur hidupmu" Terasa darah Pamot berdesir. Bahkan kawan Kerpa yang bersembunyi di balik rimbunnya dedaunanpun menjadi berdebar-debar. Kerpa memang bukan seseorang yang dapat diajak bergurau dengan cara apapun. Tetapi ia tidak dapat me loncat untuk mencegahnya. "Katakan, manakah yang kau pilih?" Pertanyaan itu serasa telah me mba kar isi dada Pa mot. Namun ia masih tetap berdia m diri. "Jawablah" bentak Kerpa. Ketika Pa mot tidak juga menjawab, ma ka dengan kakinya ia mengguncang tubuh anak muda itu "Ayo jawab. Kalau kau ingin mati a ku tinggal menginjak lehermu saja. Tetapi kalau kau masih ingin hidup, katakan, apa yang harus aku lakukan. Tetapi mulut Pamot serasa sudah terkunci. Ia tidak ingin menjawab sepatah katapun. Ia tidak peduli lagi, apa yang akan terjadi atas dirinya yang sama se kali tidak berdaya itu. Tetapi ketika orang yang menutupi wajahnya dengan ikat kepalanya itu sekali lagi mengguncang tubuhnya dengan kakinya, tiba-tiba ia terdorong surut sa mbil mengaduh pendek.
Terasa sesuatu telah mengenai dadanya. Begitu kerasnya, sehingga seolah-olah tulang-tulang rusuknya menjadi retak. "Setan alas" Kerpa mengumpat "siapa yang menyerang aku dari perse mbunyiannya. Pengecut. Ayo keluar" Tetapi tidak ada jawaban. Serangan itu datang dari arah yang lain dari te mpat persembunyian kawannya, sehingga ia tidak dapat menuduhnya. Dan sebenarnyalah kawannya itu sama sekali tidak mengerti, apa yang telah terjadi. Dengan heran ia melihat Kerpa terhuyung-huyung sambil me megangi dadanya. "Siapa he" berhadapan" Kalau kau me mang laki-la ki, ayo kita
Tetapi tidak seorangpun yang mena mpa kkan dirinya. Tetapi ketika Kerpa akan me mbuka mulutnya lagi, terasa sebuah batu kerikil mengenai lehernya. Leher Kerpa serasa tercekik karenanya. Sejenak ia terbatuk-batuk sambil me megangi lehernya. Lemparan itu pasti bukan lemparan orang kebanyakan. Selain orang yang me le mparnya itu seorang pembidik yang baik, ia pasti me mpunyai ke kuatan yang cukup. Karena itu Kerpa harus berhati-hati. Ia menghadapi seseorang yang kuat, tetapi licik. Menyerang dari persembunyian. Dengan hati-hati Kerpa ke mudian maju selangkah. Untuk se mentara ia me mbiarkan Pa mot terbaring di tanah. Menurut penilaian Kerpa Pa mot sa ma sekali sudah tidak berbahaya lagi baginya. "Jangan menyerang sambil berse mbunyi. Marilah kita berhadapan sebagai laki-laki" gera m Kerpa. Namun dadanya berdesir ketika ia mendengar jawaban yang lambat tersendat-sendat "Kau juga berse mbunyi di balik ikat kepala itu. Coba, bukalah ikat kepala mu. Aku akan keluar dari perse mbunyianku"
"Persetan" jawab Kerpa dengan suara bergetar "dimana kau. Akulah yang akan datang kepadamu kalau kau tidak mau keluar" "Aku berse mbunyi" terdengar suara itu. Namun suara orang itu telah menuntun Kerpa untuk mene mukan te mpat perse mbunyiannya. Ketika Kerpa sudah yakin, dimana orang itu bersembunyi, maka segera iapun meloncat me lingkari sebuah gerumbul. Ia tidak mau kehilangan lawannya yang licik itu. Dadanya berdesir ketika ia me lihat sesosok tubuh yang berjongkok di balik gerumbul itu. Sudah tentu tidak ada orang lain lagi yang telah menyerangnya selain orang itu. Karena itu, ia tidak menunggu lebih la ma lagi. Dengan serta-merta ia telah menyerangnya. Tetapi ternyata kemampuan orang yang bersembunyi itu jauh mela mpaui dugaannya. Demikian ia menyerang dengan lontaran kakinya, tiba-tiba terasa kakinya tertangkap. Ia tidak dapat berbuat apa-apa sama sekali, ketika tubuhnya serasa terbang berputaran. Agaknya lawannya dengan mudahnya telah me mutar tubuhnya di udara. Kerpa masih berusaha mengge liat sa mbil menyerang dengan ka kinya yang la in. Namun tiba-tiba saja kakinya yang tertangkap itupun dilepaskan sehingga ia terle mpar beberapa langkah. Dengan ke ma mpuan yang ada padanya, Kerpa masih berusaha mene mpatkan diri ketika ia terbanting jatuh. Dilipatnya tubuhnya, dan dile katkannya tangannya di dadanya. Kerpa berusaha menjatuhkan dirinya pada pundaknya, agar ia tidak mendapatkan cidera di bagian dala m. Na mun begitu kerasnya ia terbanting, sehingga matanya menjadi berkunangkunang. Nafas Kerpa serasa terputus di lehernya. Sejenak ia sama sekali t idak dapat bergerak. Isi dadanya seakan-akan telah
menyumbat lehernya. Sehingga karena itu, ia tergolek seperti Pamot yang le mas itu pula. Kawannya yang bersembunyi di balik gerumbul hanya me lihat Kerpa terlempar. Namun demikian hatinya menjadi kecut. Ia tidak memiliki ke ma mpuan seperti Kerpa. Karena itu, maka seandainya ia harus berkelahi me lawan lawan Kerpa yang tidak dapat dilihatnya dengan jelas itu, pasti ia tidak akan dapat bertahan. Dengan de mikian, maka sejenak ia kebingungan. Ia tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Selagi ia menimbang-nimbang, sebutir batu telah jatuh tepat di hadapannya, sehingga ia tersentak setapak surut. Dadanya yang berdebar-debar menjadi sema kin berdentangan. Ternyata lawan Kerpa yang ma mpu me mutarnya di udara ke mudian mele mparkannya itu telah me lihat di mana ia berse mbunyi. Apalagi ketika ia mendengar suara berat beberapa langkah saja di hadapannya "Apakah kau juga akan me lawan?" Seolah-olah tanpa sesadarnya ia menjawab "Tidak. Aku tidak akan melawan" "Kalau begitu, pergilah" Orang itu tidak segera menjawab. Tetapi ia menjadi raguragu. "Bawa kawanmu itu pergi. Cepat, sebelum aku merubah pendirian" Orang itu ragu-ragu sejenak. Dan ia mendengar suara itu lagi "Cepat" Tidak ada pilihan lain lagi baginya. Dengan hati yang berdebar-debar ia berdiri dan me langkah setapak de mi setapak. "Cepat"
Ia me mpercepat langkahnya mendekati Kerpa yang masih terbaring di te mpatnya sambil menyeringai. "Bawa dia pergi" Orang itupun segera menolong Kerpa. Dibantunya Kerpa itu berdiri, kemudian dipapahnya berjalan me lintasi hala man yang kosong itu menyusup gerumbul-gerumbul liar. Meskipun sambil mengeluh, na mun Kerpa telah me maksa dirinya untuk meninggalkan te mpat terkutuk itu. Hala man kosong itupun ke mudian menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah desah nafas Pamot yang kesakitan. Dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit. Sambil mengerang iapun ke mudian berhasil duduk bertelekan kedua tangannya. Pamot berpaling ketika ia mendengar suara ge merisik di balik gerumbul di bela kangnya. Hatinya menjadi berdebardebar. Ia melihat lawannya yang me makai tutup ikat kepala di wajahnya itu telah dilontarkan oleh seseorang yang juga tidak dikenalnya. "Apakah ia me mang berusaha me mbantu aku atau sekedar ingin mendapat kepuasan, mencekik aku dengan tangannya" berkata Pamot di da la m hatinya. Namun ia menarik nafas dalam-dala m ketika ia melihat seseorang yang bertubuh tinggi kekar me ngha mpirinya. "La mat" desis Pa mot "kenapa kau berada di sini?" Lamat tidak segera menjawab. Diha mpirinya Pamot yang masih kesakitan. Setelah ia berjongkok di sa mpingnya, iapun berkata "Kau tidak apa-apa?" "Beginilah, seperti yang kau lihat"
Lamat mengerutkan keningnya. Katanya "Maksudku, tidak ada luka-luka yang parah di tubuhmu atau di da la m. Mungkin tulang-tulangmu atau bagian-bagian yang lain?" Pamot mengge leng "Aku kira t idak" jawabnya. "Apakah kau dapat berjalan pulang" Pamot menarik nafas. Katanya "Sebaiknya aku beristirahat dahulu. Nafasku serasa akan putus, dan seluruh tubuhku menjadi sakit" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian iapun bertanya "Apakah kau mengetahui siapakah lawanmu itu?" Pamot menggeleng "Tidak. Aku tidak mengetahuinya. Kenapa kau tidak me mbuka tutup kepalanya ketika ia menjadi hampir pingsan?" "Aku tida k berani mena mpakkan diriku" "Kenapa?" "Justru karena aku t idak mengenalnya. Aku tidak tahu siapa dan apakah maksudnya yang sebenarnya. Tetapi aku kira ia akan segera dapat mengenal a ku. Aku tida k dapat menye mbunyikan diriku meskipun a ku me ma kai tutup wajah seperti orang itu. Setiap orang di Gemulung dan bahkan di seluruh Kade mangan Kepandak akan segera mengenal bentuk tubuhku" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Kalau saja kau me mbuatnya benar-benar pingsan" "Aku tidak berani me lakukannya. Kalau aku agak terdorong sedikit dan tanpa aku kehendaki aku telah me mbunuhnya, maka aku akan menyesal" Sekali lagi Pa mot mengangguk-anggukkan kepa lanya. Namun tiba-tiba ia bertanya ke mbali "Kenapa kau ada disini?"
Lamat terdia m sejenak. Tatapan kekejauhan mene mbus hita mnya mala m. "Kenapa?" "Aku ditugaskan oleh Manguri" "Apa tugasmu?"
matanya terlontar "Mengawasi kau. Manguri masih menyangka bahwa kau selalu datang mengunjungi Sindangsari" Pamot mengerutkan dahinya. "Ternyata dugaannya itu benar. Kau masih selalu datang kepadanya. Bahkan hampir setiap mala m" Pamot mengangguk. "Dan ternyata itu sangat berbahaya bagimu. Seandainya ada orang yang melihatnya, dan orang itu tidak menyukaimu, maka kau a kan dapat dilaporkan kepada Ki De mang" La mat berhenti sejenak, lalu "bahkan mungkin orang-orang yang berkerudung di wajahnya itu juga suruhan Ki De mang" Pamot masih mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba suaranya tersentak "Kau benar Lamat. Orang yang satu, yang bersembunyi tadi adalah orang yang pernah aku kena l" "Akupun pernah me lihatnya. Orang dari Sapit. Tetapi siapakah yang menyuruhnya. Itu yang aku tida k tahu" "Kenapa ia tidak kau pa ksa untuk berbicara" "Aku tidak mau mereka mengenalku" Pa mot menganggukangguk pula. "Ternyata banyak sekali orang yang merasa berkepentingan atasmu. Manguri, orang-orang itu, dan kakek Sindangsari sendiri. Jangan kau sangka bahwa kakek Sindangsari t idak me lihat apa yang kau lakukan sela ma ini" O0-dw-o0O
Matahari Esok Pagi Karya : SH Mintardja Jilid 4 PAMOT terkejut mendengar keterangan itu. "Tetapi kalau sa mpai saat ini ia mungkin masih tetap berdiam diri, itu agaknya bukan karena ia me mbenarkan pertemuan itu. Ia hanya sekedar tidak dapat menahan perasaan iba dan kasihannya kepada cucunya. Tetapi pada suatu saat ia pasti akan me nyatakan keberatannya" "Darimana kau mengetahuinya?" bertanya Pamot. "Bukankah aku ha mpir setiap ma la m selalu mengawasi gerak-gerikmu atas perintah Manguri" Se mula aku me mang merasa segan, namun ke mudian aku justru merasa berkewajiban. Orang yang datang bersama orang yang menutupi wajahnya itupun telah pernah aku lihat pula di ma la m-mala m sebelum ini" "Kenapa kau tidak pernah me mberitahukannya kepadaku" "Kadang-kadang aku menjadi ragu-ragu. Apakah aku sudah me lakukan sesuatu yang tepat. Aku adalah seorang pembantu, katakanlah seorang budak belian. Aku sudah terikat oleh perasaan berhutang budi yang tidak a kan dapat ditebus dengan cara apapun. Dengan demikian aku harus bertanya kepada diriku sendiri, apakah aku tidak mengkhianati keluarga Manguri apabila aku keluar dari perintah yang mereka berikan" Aku kadang-kadang dibayangi oleh berbagai pertanyaan yang tidak dapat aku jawab sendiri. Pada saat Manguri a kan me manggil Sura Sapi, dan dia m-dia m aku me mberikannya kepadaku, beberapa ma la m aku tidak dapat tidur nyenyak karena dibayangi oleh pertanyaan yang serupa itu" Pamot tidak menyahut. Tetapi ia dapat me mbayangkan betapa perasaan raksasa itu kadang-kadang menjadi sangat kalut. Perasaan berhutang budi, namun perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hati nuraninya.
Pamot menarik nafas dalam-dala m ketika ia mendengar Lamat berkata "Sekarang pulanglah" "Tetapi" desis Pa mot "Sindangsari pasti menunggu kedatanganku. Ia akan menjadi ce mas dan gelisah, apabila aku tidak datang kepadanya" "Sudah aku katakan, hentikan permainan yang berbahaya ini" "Maksudmu, kau melarang aku berhubungan lagi dengan Sindangsari" Apakah itu yang dikehendaki Manguri" "Jangan salah paha m Pa mot" berkata La mat "dan keadaan yang demikian inilah yang menyulitkan kedudukan dan perasaanku. Aku mencoba menasehatimu sejujur-jujur hatiku. Tetapi me mang tidak aneh kalau kau dapat menjadi salah paham" "Maaf, aku kadang-kadang me mang terdorong selangkah sebelum aku berpikir baik-ba ik" "Mungkin me mang de mikianlah keadaan seseorang yang sedang dibayangi oleh perasaan cinta. Tetapi meskipun demikian kau harus masih tetap me mperguna kan akalmu. Jangan hanya perasaanmu" Pamot tida k menjawab. "Apakah kau dapat mengerti" Aku sa ma se kali t idak keberatan apabila kau masih tetap berhubungan dengan Sindangsari, tetapi jangan dengan caramu yang sekarang" "Jadi bagaimana?" Lamat mengerutkan keningnya. Namun ke mudian ia berkata "Aku tidak tahu. Cara apakah yang sebaik-baiknya kau lakukan. Tetapi setidak-t idaknya kau lebih berhati-hati lagi me lakukannya. Tidak terla mpau sering seperti yang kau lakukan sekarang"
Pamot mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Tetapi ma la m ini aku harus mene muinya" Lamat menggeleng-ge lengkan kepalanya. Desisnya "Kau me mang keras kepala. Tetapi kalau me mang tidak ada ke mungkinan lain, pergilah. Temuilah gadis itu untuk yang terakhir kalinya dengan caramu yang sekarang. Untuk selanjutnya kau harus lebih berhati-hati dan lebih bersikap dewasa" Pamot mengangguk "Baiklah. Aku akan berbicara dengan Sindangsari" "Berterus teranglah, bahwa kau selalu diawasi oleh beberapa pasang mata. Hari ini aku melihat kau dihajar orang. Tetapi mungkin la in kali aku kebetulan tidak berada disini" "Baiklah. Manguri?" Tetapi apakah yang kau katakan kepada
"Aku tidak dapat mengelabuinya bulat-bulat. Karena itu aku mengatakan kepadanya, bahwa kau me mang pernah datang ke rumah Sindangsari" "Apakah katanya?" "Ia mengumpat-umpat. Tetapi tidak mustahil bahwa ia me mbuat desas-desus tentang hal itu, agar didengar oleh Ki Demang di Kepanda k" "Aku mengerti. Aku berterimakasih kepada mu La mat. Mudah-mudahan hatimu tetap diterangi oleh kebajikan, meskipun kau harus mela kukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan. Tetapi setidak-tidaknya kau menyadari dan mengerti, manakah yang baik dan mana kah yang tidak" "Mudah-mudahan" desis La mat. Suaranya menjadi dala m sekali. Lalu "Pergilah, dan cepat tinggalkan tempat itu. Kalau orang-orang yang mengamati kau tadi utusan Ki De mang, maka kau akan mendapat kesulitan apabila ia mengirimkan orang-orangnya lebih banyak. Sudah tentu aku tida k dapat
me mbantumu dengan terang-terangan. Ki Demang akan marah kepadaku, dan akan melaporkannya kepada ayah Manguri" "Terima kasih atas peringatanmu itu Lamat. Sekarang, biarlah sekali lagi aku mene muinya. Aku akan berbicara dengan Sindangsari bahwa keadaanku agak berbahaya akhirakhir ini". "Kau dapat menunjukkan wajahmu yang merah biru, atau barangkali luka-luka mu itu" Pamot menganggukkan kepa lanya "Aku a kan mencoba me mbuatnya mengerti" Pamotpun ke mudian meninggalkan La mat, meneruskan langkahnya mene mui Sindangsari. Tetapi ia kini mulai menilai perbuatan-perbuatannya di masa lampau. Terasa sesuatu bergejolak di dala m dadanya. Ia me mang menjadi ngeri sendiri. Tetapi iapun merasa bahwa ia tidak akan dapat tidur nyenyak tanpa mengunjungi Sindangsari lebih dahulu, meskipun hanya sekejap. Meskipun demikian, ternyata Pamot masih dapat me mperguna kan nalarnya. Ia masih dapat memberikan penjelasan kepada Sindangsari bahwa cara yang selama ini mereka lakukan adalah cara yang berbahaya. "Bukan saja karena orang-orang yang mengintai kita" berkata Pamot "tetapi bahaya itu datang dari diri kita sendiri" Sindangsari me nganggukkan kepalanya. Katanya "Aku mengerti kakang" "Karena itu Sari" berkata Pa mot ke mudian "aku akan jarang-jarang datang kemari untuk seterusnya. Tetapi bukan berarti bahwa aku berusaha melupakan hubungan ini. Sela ma kau masih belum menjadi isteri Ki De mang, aku masih berpengharapan, bahwa kita masih mungkin mene mukan jalan"
Sindangsari me nganggukkan kepalanya. "Nah, untuk seterusnya kita akan menjadi se ma kin jarang bertemu. Tetapi kalau kau pergi ke Sungai, aku selalu berusaha me mandangmu meskipun dari kejauhan" Mata Sindangsari menjadi basah. Dala m keadaan demikian, terasa hidupnya menjadi se makin ma lang. "Dala m saat-saat tertentu aku akan datang Sari. Aku akan mengetuk dinding bilikmu. Dua ka li, tiga ganda berturut-turut" "Aku tidak mau terlampau la ma kesepian ka kang" desis Sindangsari "jangan terla mpau jarang berkunjung ke mari" "Baiklah Sari" suara Pa mot tertahan sejenak, lalu "sekarang, aku minta diri. Aku harus segera mengobati lukalukaku meskipun tidak terla mpau parah" "Hati-hatilah kakang" Pamot menganggukkan kepalanya, lalu perlahan-lahan ia berkisar sa mbil berdesis "Masuklah" Dengan hati-hati Sindangsari me langkah masuk ke rumahnya. Ia kadang-kadang menjadi ce mas juga kalau ibunya mengetahui apa yang sudah dilakukannya. Tetapi dorongan dari dala m dadanya, seakan-akan tidak dapat ditahannya. Bahkan kadang-kadang ia menghentakkan tangannya yang kecil sa mbil menggeram "Aku tida k peduli. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi atas diriku" Dengan kepala tunduk Pa mot meninggalkan rumah Sindangsari. Sekali-sekali ia berpaling na mun yang dilihatnya hanyalah kegelapan ma la m dan dedaunan yang hita m. Dengan dada yang berdebar-debar ia mencoba mencari jalan, bagaimanapun ia tidak akan dapat terpisah lagi dari gadis itu. Tetapi Pamot hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apakah aku harus me mbawanya lari?" desisnya.
Namun ke mudian dijawabnya sendiri "Apakah hidup yang demikian itu akan dapat tenteram" Ka mi akan sela lu merasa dikejar-kejar dan dibayang-bayangi. Mungkin oleh orangorang Ki De mang, tetapi mungkin orang-orang yang diupah oleh Manguri" Pa mot menarik nafas dala m-dala m "Mungkin aku dapat menahan hati, tetapi bagaimana dengan Sindangsari?" Dengan de mikian, maka Pa mot tidak dapat segera me lepaskan diri dari beban perasaannya. Kadang-kadang hatinya menjadi gelap. Tetapi kadang-kadang, ia mencoba untuk me lihat kenyataan. "Manakah yang lebih ba ik?" pertanyaan itu selalu mengikut inya kemana-mana "a ku me mpertahankannya sebagai seorang laki-la ki, atau merenungi perhitungan yang tidak dapat aku ingkari. Kalau aku menerima nasib ini, maka aku bukanlah seseorang yang berani mengorbankan diriku untuk me mpertahankan cinta yang tumbuh di hati ka mi. Tetapi kalau aku merebutnya dengan kekerasan, maka sudah tentu tidak akan ada artinya. Ki De mang bukan lawanku dala m segala hal. Kekayaan, kema mpuan dan ilmu. Pamot hanya dapat menarik nafas dala m-dala m. Ketika ia me masuki rumahnya, seisi rumah terkejut melihat luka-luka di tubuhnya, pakaiannya, yang sobek dan wajahnya yang merah biru dan bengka k-bengkak. "Pamot, kenapa kau?" bertanya ayahnya. Pamot tidak dapat ingkar lagi. Ia berkata berterus terang, apa saja yang sudah terjadi atasnya. "Kalau saja La mat tidak me lihat perkelahian itu, aku tidak tahu, apakah yang akan terjadi" berkata Pamot ke mudian. Ayahnya menjadi tegang sejenak. Namun ke mudian ia berkata "Pamot, hal ini dapat kau jadikan pelajaran bagimu. Kau benar-benar telah me lakukan perbuatan-perbuatan yang berbahaya selama ini. Bukan saja Ki De mang, orang tua
Sindangsari kalau ia me lihatnya, orang tuamu sendiri, tetapi kau akan dikutuk oleh seluruh penduduk Ge mulung dan bahkan Kepandak. Kau me mang dapat dianggap telah mengganggu isteri atau bakal isteri seseorang. Ini harus kau sadari. Sampai saat ini orang-orang Ge mulung berpihak kepadamu, meskipun hanya di dalam hati. Tetapi kalau mereka melihat atau mendengar bahwa kau telah berbuat tidak senonoh itu, maka se muanya akan me malingkan wajahnya. Apalagi Sindangsari telah pasti di kehendaki oleh Ki Demang, meskipun seandainya Sindangsari itu baka l isterimu sendiripun, perbuatan itu tidak dapat dibenarkan" Pamot hanya dapat menundukkan kepalanya. Ia mengerti maksud ayahnya. Dan iapun sebenarnya mengerti semuanya yang dikatakan, baik oleh ayahnya maupun siapa saja yang telah menasehatinya, bahwa orang-orang Gemulung tidak akan senang melihat perbuatannya itu. Bahkan apalagi nama Sindangsari. Gadis itu pasti akan menjadi ce mar karenanya. Namun de mikian ia berkata di dala m hatinya "Kalau gadis itu bakal isteriku sendiri buat apa aku bersembunyi-se mbunyi datang ke rumahnya. Aku tinggal menunggu, kapan hari perkawinan itu datang. Aku sela lu datang kepadanya, justru karena ia akan terlepas dari tanganku" Tetapi Pamot tidak berani me ngatakannya. Kepalanya yang tunduk justru menjadi se makin tunduk. Namun. semuanya seolah-olah menjadi berta mbah gelap. Ayah dan ibunyapun kemudian masih menasehatinya panjang lebar. Seperti yang setiap kali dikatakan oleh orang tuanya, bahwa mengalah adalah jalan menuju keke luhuran. Berani menga lah, akan luhurlah pada akhirnya. Sekali terdengar Pamot berdesah. Di dala m hatinya ia berkata "Kalau setiap orang berpendirian de mikian, maka alangkah da mainya dunia ini. Tetapi kalau tidak, maka ma langlah mereka yang sela lu menga lah di saat-saat dan masa-masa seperti ini" Pa mot menarik nafas dalam-dala m.
Dan ia masih saja berbicara kepada diri sendiri di dala m hatinya "Asal aku masih tetap menyadari hak dan kewajibanku" "Apakah kau dapat mengerti Pamot" berkata ayahnya ke mudian. Pamot tergagap. Ia tidak begitu mendengar nasehat ayah dan ibunya yang berkepanjangan. Namun de mikian ia menganggukkan kepalanya sambil berkata "Ya ayah. Aku mengerti" "Bagus. Karena itu lain kali kau harus berhati-hati" ayahnya berhenti sejenak, lalu "tetapi siapa kah orang yang kau katakan menutupi wajahnya itu" Kalau saja ia benar-benar orangorang Ki De mang, maka mungkin sekali ia akan sangat marah kepadamu. Ia dapat bertindak langsung atas dasar kekuasaannya, tetapi ia juga dapat bertindak t idak langsung" Pamot tida k menjawab, "Sekarang obati luka mu itu dengan minyak kelapa dan daun sirih. Gosoklah perlahan-lahan" Pamot menganggukkan kepa lanya "Baik ayah" Dibantu oleh ibunya Pamotpun segera menggosok badannya yang luka-luka itu dengan daun sirih dan minyak yang dihangatkan di atas la mpu jelupa k. Dala m pada itu Kerpa telah menghadap Ki De mang di rumahnya bersama kawannya. Dengan geram Kerpa menceriterakan apa yang sudah terjadi atasnya, meskipun tidak selengkapnya, untuk sedikit menutupi kekalahannya. "Kalau saja orang itu tidak bersembunyi" desisnya. Ki De mang yang wajahnya menjadi merah me motong "Tetapi kau sudah me ne mukannya bukan?" "Tida k begitu jelas Ki De mang. Ia masih dibayangi oleh dedaunan. Kalau saja kita beradu dada di te mpat terbuka"
"Bohong. Kalau beradu dada di te mpat terbuka, kau akan dibunuhnya" "Tentu tidak. Aku sama sekali tidak menyangka, bahwa ia akan menyerangku begitu tiba-tiba" "Siapa yang menyerang" "Orang itu se lagi a ku sedang mencoba mengena lnya karena ia tida k menjawab pertanyaanku" "Alangkah bodohnya kau Kerpa. Orang itu sudah jelas, menyerangmu. Kenapa kau masih juga me lihat-lihat seperti mengenali seorang gadis saja?" Kerpa menjadi bingung. Me mang sulit baginya untuk mengarang sebuah ceritera yang mapan untuk mengelabuhi Ki Demang yang me mpunyai tanggapan yang tajam atas setiap peristiwa. Sehingga karena itu, ia terdiam sa mbil menundukkan kepa lanya. "Apakah Pa mot mengerti bahwa kau adalah suruhanku?" "Aku kira tidak Ki De mang" "Mudah-mudahan. Kalau hal ini kelak tersebar, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Ki Jagabaya, seandainya diketahuinya bahwa a kulah yang telah menyuruhmu" "Aku menutup wajahku dengan ikat kepalaku" Kerpa berhenti sejenak, lalu "Tetapi seandainya Ki Jagabaya mengetahui, apa sajalah yang dapat dilakukannya" Bukankah ia harus tunduk kepada Ki De mang?" "Ya. Akupun yakin bahwa ia a kan tunduk perintahku. Tetapi itu hanyalah lahiriahnya saja. Hatinya pasti akan mengutuk aku. Dan itu berbahaya bagiku" Kalau sesuatu terjadi di Kademangan ini, sehingga menumbuhkan putaran keadaanku, aku tidak akan dapat mengharapkan bantuannya lagi, apalagi dukungannya" "Dan itu agaknya tidak akan dapat terjadi"
Ki De mang mengangguk-anggukkan kepa lanya "Mudahmudahan "Na mun agaknya Ki De mang sa ma sekali tidak puas dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Ia tidak mendapat jaminan bahwa Pa mot tidak a kan lagi datang ke rumah Sindangsari. "Tetapi, tetapi" Kerpa menyambung keterangannya "aku yakin bahwa Pa mot t idak a kan datang lagi ke rumah gadis itu" "Aku tida k yakin sebelum aku tahu siapakah yang telah me lindunginya itu. Tentu bukan orang kebanyakan menurut ceritamu" Kerpa mengangguk-anggukkan kepa lanya. "Kerpa" berkata Ki De mang ke mudian "a ku harus mene mukan cara lain yang lebih baik untuk mencegah Pa mot. Aku tidak akan dapat memaka i kekerasan itu dengan terangterangan. Agaknya rakyat Gemulung menaruh iba kepada anak itu, sehingga aku tidak tahu pasti apakah pendirian mereka yang sesungguhnya. Dalam keadaan wajar, orangorang Gemulung pasti akan mengutuk Pa mot karena perbuatannya itu. Tetapi dala m keadaan ini mungkin mere ka bersikap la in, seperti mereka tidak dapat berbuat apa-apa atas Pedagang ternak yang kaya itu meskipun mereka tahu, bahwa baik Pedagang ternak itu sendiri, maupun anak laki-lakinya sering me lakukan perbuatan yang tidak baik. Ini juga suatu kelainan meskipun sebabnya jauh berbeda. Terhadap pedagang ternak itu, orang-orang Gemulung aga knya kurang me mpunyai keberanian bertindak, atau bahkan la ma kela maan menjadi tidak acuh, sedang terhadap Pamot mereka menaruh be las kasihan" Kerpa mengangguk-anggukkan kepa lanya. "Aku akan me ncari ja lan itu" berkata Ki De mang ke mudian "untuk se mentara kalian berdua masih harus mengawasi. Mengawasi saja. Jangan berbuat apa-apa lebih dahulu. Pada
suatu saat mungkin orang yang me lindungi Pa mot itu akan menangkapmu, kalau kalian me mperlihatkan diri atau mencoba mencegah Pa mot seka li lagi" "Baik Ki De mang" jawab Kerpa. "Nah, pulanglah. La kukanlah tugas kalian untuk seterusnya sebaik-baiknya. Hati-hatilah. Kalau seseorang mengetahui bahwa kalian me ndapat tugas dari aku, aku gantung kau berdua" "Ya, ya Ki De mang" jawab mereka ha mpir bersamaan. Sejenak ke mudian ma ka merekapun segera minta diri. Ketika mereka ke luar dari hala man Kade mangan, para peronda di regol me mandangi mereka saja sampa i mereka hilang di dala m kela mnya mala m, tetapi mereka tidak bertanya. Baru setelah mereka tidak ta mpak lagi, salah seorang peronda bertanya "He, apa keperluannya mala m-mala m begini mene mui Ki De mang" Yang lain menjawab "Mereka me mpunyai kege maran sama. Kuda" "Tetapi mala m-ma la m begini mere ka berbicara tentang kuda?" "Mungkin saja. Kalau Kerpa mendengar orang yang akan menjua l seekor kuda yang baik, maka ia pasti datang kepada Ki De mang. Kapan saja. Pagi, siang, sore dan juga ma la m" Kawannya mengerutkan keningnya. percaya, tetapi ia tidak me mbantah. Ia tidak begitu
Di saat yang hampir bersa maan, Manguri sedang menahan ke marahan yang menyesak di hatinya. Di hadapannya Lamat duduk tepekur sa mbil mengusap-usap lututnya. "Jadi Pa mot masih saja datang ke rumah Sindangsari?"
"Ya" jawab La mat "tetapi aku sudah me mperingatkannya. Bahkan aku menganca mnya, kalau sekali lagi ia datang ke rumah gadis itu, aku akan bertindak kasar" "O, kau memang bodoh. Kenapa kau tidak berbuat apa-apa atasnya" Kenapa kau menganca m saja, menganca m dan menganca m?" Lamat berpikir sejenak. Dan tiba-tiba saja ia berkata "Aku sudah melakukannya. Aku tidak berani mengatakannya. Aku takut kalau ha l itu tidak menjadi kehenda kmu" "He, kau apakan dia?" "Hanya sekedar peringatan. Aku banting ia di tanah sehingga pingsan" "Bohong. Bohong. Aku tidak percaya bahwa kau berani me lakukannya" Lamat tidak menyahut. Ia menjadi ragu-ragu. Apakah Manguri melihatnya" Dan tiba-tiba Manguri itu berkata "Besok a ku akan me mbuktikannya. Kalau benar, pasti ada bekas-bekasnya pada anak itu" Lamat masih tetap berdia m diri. "He, kenapa kau berdia m diri" Kau ce mas bahwa a ku akan mengetahui kebohonganmu?" Lamat menggeleng. Jawabnya "Tidak. Aku ingin ikut me mbuktikan besok" Manguri mengerut kan keningnya. Sambil menganggukanggukkan kepalanya ia berkata "Bagus. Besok kau pergi bersamaku" Lamat me ngangguk le mah. "Se mentara aku harus mene mukan jalan untuk mendapatkan Sindangsari" berkata Manguri "Pa mot harus dicegah, agar ia tidak mendekati gadis itu lagi "Manguri
berhenti sejenak, lalu "tetapi sampa i saat ini aku belum me lihat jalan yang lebih baik daripada menga mbilnya dan me mbawanya pergi" Dada La mat menjadi berdebar-debar mendengar niat yang agaknya semakin kuat mencengka m hati Manguri. "Tetapi aku masih menunggu laki-laki itu" "Laki-laki yang mana?" "Ia akan datang kalau ayah pergi. Aku mengharap ayah akan pergi me ngurus dagangannya untuk beberapa hari. Lamat tidak menyahut. lapun sebenarnya mengerti, bahwa setiap kali seorang laki-laki me masuki rumah itu. Tetapi Lamatpun mengerti, bahwa la ki-laki itu bukanlah laki-la ki kebanyakan. Ia dapat me masuki hala man dan rumah itu seperti siluman. Dengan tanda-tanda tertentu ibu Manguri dapat mengenalnya. Namun betapa pandainya mereka merahasiakan hubungan itu, akhirnya Manguri dapat mengetahuinya juga, meskipun secara kebetulan saja. Tetapi iblis kecil itu dengan licik ma mpu me manfaatkannya untuk kepentingannya. Di pagi harinya, ternyata Manguri tidak lupa dengan rencananya. Ketika matahari telah mela mpaui ujung pepohonan, iapun mengajak La mat pergi ke sawah. Biasanya ia dapat menjumpa i Pa mot di ladangnya. "Kita melihat apakah kau tidak berbohong" berkata Manguri kepada La mat. "Baik" jawab La mat. Tetapi ia menjadi berdebar-debar juga. Katanya kemudian "tetapi kita tidak dapat yakin bahwa Pamot hari ini ada di ladangnya. Mungkin tubuhnya masih sakit. Tetapi mungkin juga ia ma mpu pergi ke sawah. "Kita a kan melihatnya"
Mereka berduapun ke mudian pergi ke sawah. Mereka ingin me lihat, apakah Pamot benar-benar menjadi merah biru seperti yang dikatakan oleh La mat. Ketika mereka menjadi se ma kin de kat dengan sawah Pamot, Lamatpun menjadi se makin berdebar-debar. Ia belum sempat mene mui Pa mot untuk me ngatakan niat Manguri. "Nah, lihat. Anak itu ada di sawahnya" berkata Manguri ketika mereka me lihat Pamot berdiri di pe matang dengan geprak di tangannya untuk mengusir burung "Ta mpaknya ia sehat-sehat saja" Lamat tidak menjawab. Tetapi hatinya menjadi se makin berdebar-debar. Namun ketika mereka menjadi se makin de kat, tampaklah oleh Manguri wajah Pa mot yang me mbengkak meskipun tidak terlalu nyata. Matanya di sebelah kiri masih tampak kebirubiruan, sedang sebuah goresan me manjang di pipinya. "He" tiba-tiba Manguri tida k dapat menahan perasaannya. Sambil tertawa ia bertanya "kenapa wajahmu Pa mot " Pamot berpaling. Di lihatnya Manguri dan La mat mende katinya. "Kau terlampau rajin merias wajahmu. Kau apakan mata dan keningmu itu?" Pamot mengerutkan keningnya. Sekilas ditatapnya wajah Lamat yang tegang. Tetapi Pa mot masih berdia m diri. Manguri tertawa kecil melihat bentuk wajah Pa mot. Perlahan-lahan ia melangkah mendekatinya. "Aku masih menaruh belas kasihan kepadanya" tiba-tiba Lamat berkata dengan nada suaranya yang parau "kalau aku tidak ragu-ragu, mungkin ia masih belum dapat bangun pagi ini" "Kanapa kau kasihan kepadanya" berkata Manguri.
Lamat tida k menjawab. Tetapi me mandangnya, ia mengangguk kecil.
ketika Pa mot Semula Pa mot tida k mengerti maksudnya, na mun ketika Lamat meraba keningnya sendiri dan dengan isyarat jarinya menunjuk dirinya sendiri pula, Pamot menjadi mengerti maksud raksasa itu. Karena itu maka tiba-tiba ia menggera m "Manguri, buat apa kau ajak kerbau itu datang ke mari" Apakah ia masih belum puas dengan kebiadabannya semala m?" Suara tertawa Manguri menjadi se makin keras. Jawabnya "Jangan sakit hati Pamot. Aku me mang menyuruhnya. Tetapi bahwa kau menjadi merah biru itu sebenarnya adalah karena salahmu sendiri. Kenapa kau masih berani juga datang ke rumah Sindangsari" Untunglah bahwa La mat yang melihat mu. Kalau yang mengetahui kecuranganmu itu orang-orang Ki Demang, maka kau akan akan disatai di hala man Kademangan, di hadapan para bebahu Kade mangan dan pengawal kawan-kawanmu" Pamot menggeretakkan giginya. Jawabnya "Apa pedulimu kalau aku akan disatai di haha la man Kade mangan" Bukankah kau me mang berdoa agar hal itu terjadi?" "Ya, tepat sekali. Aku memang berdoa agar kau celaka tujuh keturunan. Kemudian Ki De mangpun aku doakan pula agar lekas mati. Kau tahu maksudku ?" "Kau sudah menjadi putus asa" "Kenapa?" "Kau hanya dapat mengharapkan sesuatu yang tidak ba kal terjadi. Bukankah dengan demikian kau mengharap tidak ada orang lain lagi yang baka l mengganggumu apabila kau menghenda ki Sindangsari?" "Jangan kau sangka aku hanya sekedar berdoa dan duduk tepekur sambil berkumat-ka mit" sahut Manguri "salah satu
usahaku adalah me mbuat kau jera. Apakah kau sangka Lamat tidak dapat berbuat lebih dari itu?" "Persetan dengan kerbau dungu itu" "He, kau berani menghina" Apakah kau ingin ia mena mpar mulut mu?" "Lakukanlah sekarang ka lau berani" Manguri menarik nafas. Ketika tanpa sesadarnya matanya beredar, dilihatnya beberapa orang sedang bekerja di sawahnya pula. Bahkan dua orang anak muda duduk dengan tenangnya di tanggul parit sa mbil merenda m ka kinya ke dala m air. "Punta" desis Manguri, lalu kepada Pa mot ia bertanya "apakah kerja setan itu di sini?" Pamot mengge lengkan kepalanya "Aku tidak tahu" "Kau me manggilnya" "Bagaimana aku me manggilnya" Aku berada di sini sejak kau datang. Tetapi seisi padukuhan ini mengerti bahwa kau adalah orang yang paling panasten di seluruh padukuhan bahkan di seluruh Kade mangan Kepandak. Karena itu jangan menyesal, jangan sakit hati bahwa setiap gerak-gerikmu kau selalu diawasi" Manguri menggeretakkan giginya. Dipandanginya Punta yang masih duduk berjuntai di tanggul parit yang me mbelah bulak persawahan. "Biarlah setan-setan itu dimakan de mit" Manguri menggera m "kita tidak ada gunanya terlampau la ma menunggu manusia-manusia dungu ini" Lamat tida k menjawab. Dan Manguripun ke mudian me langkah meninggalkan tempat itu sambil berkata kepada Pamot "Ingat Pa mot, Kalau kau masih berani mengulangi lagi, maka akibatnya pasti akan lebih parah lagi bagimu"
Pamot sama sekali tidak menjawab. Dipandanginya saja langkah Manguri yang diikut i oleh La mat di be lakangnya. Namun de mikian Pa mot berkata di da la m hatinya "Kasihan raksasa yang seolah-olah telah terikat erat-erat kaki dan tangannya itu. Kenapa ia tidak berusaha melepaskan diri dari keluarga yang gila itu?" Sepeninggal Manguri dan La mat, maka Punta dan kawannya datang mendekatinya "Apa lagi yang dilakukan oleh anak itu" "Ia ingin melihat luka-luka di wajahku" Punta mengerutkan keningnya. Baru saat itu ia melihat luka-luka itu dari de kat. Karena itu tiba-tiba saja ia bertanya "Kenapa kau luka di wajahmu" Apakah benar-benar La mat yang melukaimu?" Pamot mengge leng "Bukan La mat" "Siapa?" "Aku tidak tahu. Orang itu me mpergunakan tutup wajah dengan ikat kepalanya " "Apa salahmu, atau kira-kira dengan kau saat itu?" apakah kepentingannya
"Aku tidak tahu. Aku berjalan di lorong padukuhan ketika ia menyerangku" na mun nafas Pa mot terasa semakin cepat menga lir. Ia tidak berani mengatakan alasan yang sebenarnya, kenapa ia berkelahi se ma la m, karena Pa mot masih belum dapat meraba, tanggapan apakah yang akan diberikan oleh anak-anak muda itu. Mungkin mereka menaruh iba, tetapi mungkin benar kata ayah Pamot, orang-orang Gemulung akan mengutuknya. Atau bahwa benar kata orang berkerudung itu bahwa pelanggaran itu a kan menumbuhkan wabah yang dahsyat di padukuhan ini" "Omong kosong" ia menggeram di dala m hatinya.
Dala m pada itu Punta mengangguk-anggukkan kepa lanya. Ia me mpercayai saja keterangan Pamot yang sudah mulai berdusta kepada kawan-kawannya itu. Kalau begitu hati-hatilah. Agaknya kau me mang baru dibayangi oleh nasib yang ma lang. Tetapi jangan le kas menyerahkan kepada keadaan" Pamot mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu pasti maksud Punta. Apakah dengan demikian Punta bermaksud mendorongnya, tetap pada sikapnya untuk me miliki Sindangsari" Atau barangkali Punta me mpunyai maksud yang lain" Tetapi Pamot tidak me nanyakannya. Ia bahkan mengangguk sa mbil berkata "Aku me mang tidak akan menyerah, apapun yang akan terjadi" "Tetapi hati-hatilah. Bahaya dapat menerka mmu dari segala penjuru. Kalau aku tidak menyaksikan kedatangan Manguri, mangkin ia akan me ma ksa Lamat berbuat sesuatu atasmu. Aku sudah melihat gelagat itu. Jika demikian, La mat pasti akan menjadi bingung" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya Teruskanlah kerja mu. Aku juga akan ke mbali" "Terima kasih" desis Pa mot. "Kenapa?" bertanya Punta. "Kalau kau tidak datang, seperti katamu, mungkin La mat akan mengala mi kesulitan. Dan tentu aku juga" Punta dan kawannya tersenyum. Katanya "Lihat burung burung gelatik itu" Pamotpun tersenyum pula. Ia me mandang Punta dan kawannya yang berjalan menyusuri pe matang itu sejenak. Kemudian ia berpaling kepada sekelompok burung betet yang terbang berputaran di atas sawahnya. Sejenak ke mudian "Sudahlah.
burung-burung itu bersama-sa ma turun dan hinggap di batang jagung. Sejenak kemudian terdengar suara goprak Pamot yang dibarengi dengan teria kan-teriakan yang menghentak. Bukan saja untuk mengusir burung-burung betet yang sedang mencuri jagungnya yang masih muda, tetapi juga untuk me lepaskan himpitan perasaannya yang menyesak di dadanya. Sehari-hari Pa mot tidak pulang ke rumahnya. Di saat makanpun ia tetap berada di gubugnya. Direnunginya ujung tanamannya yang hijau segar. Langit yang biru bersih dan terik matahari yang serasa me mbakar tubuhnya. Pamot menarik nafas dalam-dala m. Di kejauhan dilihatnya ndeg panga mun-a mun. Seperti uap air yang sedang mendidih. "Benarkah orang-orang berdosa dijemur di terik matahari sebagai ndeg-pangamun-a mun itu?" t iba-tiba saja tumbuh pertanyaan di dala m hatinya. Ia pernah mendengar ibunya berceritera ketika ia masih kanak-kanak, bawa orang yang berdosa, yang tidak menurut orang-orang tua, yang nakal, yang menyalahi sesama, kelak, di saat-saat tertentu di akhirat nanti akan dijemur di terik matahari sebagai ndeg-pengamun amun, kalau mala m akan dibiarkan terendam oleh air e mbun yang sangat dingin. Pamot menarik nafas dalam-da la m. "Sindangsari be lum isteri Ki De mang" katanya di dalam hati" dan iapun sebenarnya tidak ingin menjadi isteri Ki Demang, sehingga aku tidak berdosa apabila aku mene muinya" Tiba-tiba saja Pa mot me nggeretakkan giginya. Ia terkejut ketika gubugnya berderak-derak. Ketika ia berpaling dilihatnya kepala ayahnya tersembul "O, ayah" desisnya.
"Kenapa kau tidak pulang?" ayahnya bertanya "Aku menjadi cemas. Biasanya di waktu makan kau pulang, sehingga ka mi tidak perlu mengirimkan ma kanan ke sawah" "O" Pa mot termenung sejenak "Aku tida k lapar ayah" Ayahnyapun kemudian naik ke gubug itu pula. Ia me mbawa sebuah bungkusan makan buat Pa mot "Ibumu menyuruhku mengirimkan ma kanmu " "Ah, sebenarnya itu tidak perlu. Aku me mang t idak lapar" "Bukan itu soalnya. Tetapi ka mi me mang ce mas. Kau sedang dibayangi oleh bermacam-maca m peristiwa yang kadang-kadang berbahaya bagimu meskipun di siang hari seperti ini" Pamot menundukkan kepalanya. Ayahnya me mang keras dan sering me marahinya sejak ia masih kanak-kanak. Tetapi terasa betapa orang tuanya itu selalu me mikirkan dirinya, nasibnya dan hari depannya. "Kalau kau t idak pulang, makanlah" Pamot mengangguk perlahan-lahan. Desisnya "Terima kasih ayah" Selagi Pa mot makan, maka ayahnyapun turun dari gubugnya untuk melihat-lihat tanamannya. Tampaknya di musim me nuai jagung musim ini ia akan mendapatkan hasil yang baik. Jagung-jagung yang masih muda sudah ta mpak me mberikan harapan. Sedang di bagian lain dari sawahnya, yang terietak agak lebih rendah dan ma mpu dialiri oleh air dari parit sebelah, batang-batang padi yang hijau subur telah menjadi se makin t inggi pula. Ayah Pamot mengangguk-angguk kepa lanya. Di dala m hati ia berdesis "Mudah-mudahan hasil dari sawah ini menjadi lebih baik dari musim yang lalu"
Tetapi bila terlintas nasib anaknya, ayah Pamot itu menjadi berdebar-debar. Agaknya masalahnya akan berkepanjangan. "Sebaliknya Ki De mang segera mengawini gadis tu. Semuanya akan selesai. Betapapun sakit hati Pamot, namun ia tidak lagi terkatung-katung diantara harapannya yang kadangkadang masih tumbuh dengan kenyataan yang dihadapinya" berkata ayah Pamot itu di dala m hatinya. Namun ternyata bukan ayah Pamot sajalah yang berpikir demikian. Ternyata Ki De mangpun akhirnya berpendapat bahwa ia me mang harus segera kawin untuk menghentikan segala macam ke mungkinan yang tida k dikehendakinya. "Tetapi kakek gadis itu sa ma seka li belum me mberitahukan, kapan dan hari-hari apa yang telah dipilihnya untuk meresmikan perkawinan itu" berkata Ki De mang di dala m hatinya. Tetapi akhirnya ia me mutuskan "Biarlah a ku yang menentukan hari itu. Aku tidak dapat menunggu lebih la ma lagi" Demikianlah akhirnya, Ki De mang me manggil sanak saudaranya yang terdekat, yang masih ada tali-temali dan bebahu Kade mangan. Ia menya mpaikan niatnya untuk segera menentukan hari perkawinannya. "Kalau se muanya me mang sudah matang, sebaiknya Ki Demang segera me langsungkan perkawinan itu. Tidak baik tertunda-tunda seperti membiarkan makanan di dala m mangkuk di atas geledeg. Mungkin tikus, mungkin kucing yang menunggui t ikus itu, atau mungkin apapun juga yang justru akan menerka mnya" berkata salah seorang tua di dalam pertemuan itu. Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bagaimana pendapat mu Reksatani?" bertanya Ki De mang "kau adalah satu-satunya keluargaku yang terdekat"
Reksatani menarik nafas dalam-da la m. Namun ke mudian ia berkata "Kalau kakang sudah me mutuskan, sebaiknya perkawinan itu me mang tidak tertunda-tunda lagi" "He, aku me mang sudah me mutuskan, Sudah la ma. Kenapa kau masih menyebut-nyebutnya?" "Maksudku, kalau ka kang sudah me mutuskan untuk segera kawin" Ki De mang mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian tersenyum "Siapakah yang me mpunyai pertimbangan lain" Karena kebetulan aku adalah seorang De mang, maka aku minta pertimbangan para bebahu. Kalau aku bukan seorang Demang, persoalanku tidak a kan menyangkut banyak segi seperti ini" Tidak seorangpun yang menyahut. Ki De mang mengerutkan keningnya. Dilihatnya Ki Jagabaya duduk di sudut bersandar dinding. Matanya sama seka li tidak me mandangi Ki De mang yang berbicara kepada mereka, tetapi dipandanginya daun pintu yang t idak tertutup rapat. "Bagaimana pendapat mu Ki Jagabaya?" Ki Jagabaya tergagap karenanya. Sekali ia menarik nafas dalam-dala m, ke mudian katanya "Tentu. Tentu aku sependapat. Bukankah begitu Ki Reksatani?" "Ya, tentu kita semua a kan sependapat" Ki De mang mengerutkan keningnya. Dadanya berdesis mendengar jawaban Ki Jagabaya dan Ki Reksatani itu. Ia merasa bahwa apa yang mereka katakan tidak sesuai seperti yang mereka rasakan. Tetapi Ki De mang ke mudian mengatupkan giginya. Katanya di dala m hati "Persetan. Tidak seorangpun yang dapat mengha langi aku" Na mun de mikian, sesaat ke mudian ia telah berhasil menguasai perasaannya kembali. Sehingga sambil tersenyum ia berkata "Terima kasih kepada kalian. Agaknya kalian me mang menyetujui" Ki De mang berhenti sejenak, lalu katanya "Baiklah. Aku akan segera menentukan hari itu"
ke mudian katanya kepada Reksatani" Adikku, kaulah yang akan pergi ke rumah gadis itu untuk mengatakan hari-hari yang telah aku pilih untuk me langsungkan perkawinan" Ki Re ksatani mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun dadanya serasa menjadi pepat "Kalau me mang kakang kehendaki, baiklah aku akan pergi kapan saja kakang tentukan harinya" "Sehari ini aku akan me mbicarakan dengan erang tua-tua hari apakah yang sebaiknya aku pilih. Ke mudian becok sore kau akan pergi ke rumah gadis itu" Sekali lagi Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepa lanya. Tampaknya menjadi se makin mantap, meskipun hatinya menjadi se makin sa kit. Karena tidak ada masalah lagi yang harus mereka bicarakan, maka perte muan itu segera diakhiri. Ki De mang minta orang tua-tua untuk datang malam nanti dengan petunjuk-petunjuk hari apakah yang sebaiknya mereka pilih. Tetapi ketika para tamu itu minta diri, Ki De mang berkata "Yang lain aku persilahkan. Tetapi Ki Jagabaya aku minta untuk tingga l sebentar" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya beberapa orang kawannya, bebahu Kademangan Kepandak yang lain, ke mudian disa mbarnya pula wajah Ki Reksatani. Namun ke mudian ia mengangguk sambil berkata "Baiklah. Aku akan tinggal" "Dan kau jugaReksatani" desis Ki De mang. Ki Reksatanipun mengangguk pula "Ya. Aku akan tinggal disini" Demikianlah ketika orang-orang yang lain telah meninggalkan ruangan itu, mulailah mereka ketiga berbicara tentang hari-hari perkawinan itu.
"Aku percaya kepadamu Ki Jagabaya. Aku sendiri tidak akan dapat berbuat apa-apa di saat aku kawin. Karena itu, keselamatanku dan kesela matan peralatan itu aku serahkan kepada Ki Jagabaya dan kepadamu Reksatani. Aku percaya bahwa di seluruh Kepandak dan sekitarnya tidak ada orang yang dapat menyamai ka lian berdua secara pribadi. Sedang kalian me mpunyai pasukan pengawal yang dapat ka lian banggakan" Ki Jagabaya mengangkat wajahnya. Kemudian kepalanya terangguk-angguk. Katanya "Itu sudah menjadi kewajibanku. Tetapi aku yakin, tidak akan ada seorangpun yang akan mengganggu hari-hari perkawinan itu" Mudah-mudahan" berkata Ki De mang "tetapi siapa tahu Manguri me mpunyai apa saja yang dapat dipergunakannya. Uangnya cukup banyak untuk dapat menimbulkan persoalan di hari-hari perkawinan itu" Ki Jagabaya me mandang Reksatani sejenak. Lalu katanya "Aku kira t idak a kan berani. Betapapun juga. kita me miliki pasukan pengawal yang banyak jumlahnya" Ki Reksatani menyahut pula "Aku kira bukan dari Manguri. Manguri pasti akan merasa bahwa gadis itu sa ma seka li tidak mencintainya. Bukankah kita sudah mengetahuinya, bahwa gadis itu telah benar-benar jatuh cinta kepada Pa mot?" "Maksudmu, apabila terjadi keributan itu pasti berasal dari Pamot?" "Bukan begitu. Aku tidak dapat memastikan. Mungkin Manguri me mang dapat menjadi mata gelap. Tetapi ke mungkinan me mperhatikan Manguri saja, mungkin kita akan lengah. Justru Pamotlah yang merasa dirinya telah mengikat perasaan dengan gadis itu, dan gadis itu telah menerimanya pula dan me ncintainya" Ki De mang menarik nafas dalam-dala m. Katanya kemudian. Karena itulah aku minta Ki Jagabaya tinggal. Aku ingin
me mbicarakan beberapa masalah dengan ka lian berdua" Ki Demang berhenti sejenak, lalu "meskipun tampaknya tidak ada hubungannya dengan hari-hari perkawinan itu dan seterusnya" Ki Jagabaya dan Ki Reksatani saling berpandangan sejenak, tetapi mereka sa ma sekali tida k berkata apapun. "Dengarlah" berkata Ki De mang, lalu "tetapi semuanya hanya untuk kau berdua untuk se mentara" Keduanya masih duduk me mbeku. "Aku mendengar dari seorang perwira Matara m, bahwa Mataram me merlukan beberapa orang pengawal khusus yang terbaik" Ki Jagabaya dan Ki Reksatani terkejut. Dengan cepat Ki Jagabaya dan Ki Reksatani tahu, kemana arah pembicaraan Ki Demang, sehingga sebelum Ki De mang meneruskan katakatanya, Ki Jagabaya mendahului "Apakah Mataram sudah akan mengirim pasukannya ke Betawi untuk kedua ka linya?" "Ingat. Ini masih merupa kan rahasia. Bukan rahasia ku. Tetapi rahasia Kerajaan, Kau sadari?" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya "Ya, aku sadari. Tetapi bukan itu yang penting kita bicarakan dala m hubungannya dengan keadaan di Kademangan ini. Sebenarnya kita berbangga, bahwa pimpinan keprajuritan Mataram menaruh perhatian terhadap tunas-tunas yang tumbuh di kademangan ini. Dengan de mikian Kade mangan ini mendapat kese mpatan untuk menegakkan tiang-tiang yang kita dirikan di atas Tanah Air kita sendiri" "Kenapa sebenarnya" Bukankah me mang de mikian?" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya mengharap, mudah-mudahan de mikian hendaknya" "Aku
"Kenapa, kenapa kau sebenarnya Ki Jagabaya ?" bertanya Ki De mang. "Tida k apa-apa. Aku akan me milih orang-orang terbaik dari Kademangan ini. Setiap Padukuhan akan a ku a mbil seorang. Di Kade mangan ini terdapat lebih dari sepuluh padukuhan dan beberapa padukuhan-padukuhan kecil. Kita akan dapat mengirimkan limabe las orang atau lebih" "Jangan terkejut Ki Jagabaya. Perwira itu minta kepadaku agar Kademangan Kepandak menyediakan kira-kira lima puluh orang pasukan pengawal khusus. Bukankah jumlah itu dapat dicapai dan bahkan dila mpaui. Di seluruh Kade mangan ini ada kira-kira tujuhpuluh lima pengawa l khusus dan lebih dari limapuluh pengawal yang sudah resmi, di samping kegiatan anak-anak muda sega!a padukuhan" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Limapuluh orang. Tetapi agaknya Mataram me mang me merlukan banyak tenaga. Mungkin Sultan Agung telah me mpelajari ke mungkinan-ke mungkinan yang dapat terjadi, berdasarkan kegagalannya di masa la mpau. Pasukan Mataram setahun yang lalu tidak berhasil merebut kota itu dan mengusir orangorang asing yang mulai menana mkan kekuasaannya di atas bumi tercinta ini. "Dala m keadaan yang mendesak, tidak hanya lima puluh orang itu yang akan dia mbilnya" berkata Ki De mang "Ya" sahut Ki Jagabaya "dalam keadaan yang mendesak, setiap laki-la ki adalah prajurit. Apalagi menghadapi orang asing yang mulai menggoyahkan sendi-sendi ke kuasaan kita di atas Tanah kita sendiri" "Nah, kau akan dapat me mperhitungkan, berapa orang yang dapat kau a mbil dari setiap padukuhan" "Empat orang. Kira-kira e mpat orang" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya Ki De mang dengan penuh kebimbangan. Namun ke mudian tumbuhlah
kecurigaan di da la m hatinya. Agaknya Ki De mang ingin me manfaatkan masalah ini untuk kepentingan pribadinya. Itulah sebabnya ia membicarakan masalah ini, masih dala m rangkaian pe mbicaraan hari perkawinannya. "Ya" berkata Ki De mang ke mudian "e mpat atau lima orang. Itu sudah cukup. Kita akan dapat memilih siapa yang akan berangkat ke Matara m apabila nanti saatnya tiba" "O, kita tidak perlu me milih" berkata Ki Jagabaya "kalau kita me mpergunakan cara itu, aku ragu-ragu apakah setiap orang menerima pilihan itu dengan ikhlas" "Kenapa tidak" Bukankah mereka sudah mengetahui ke mungkinan itu sejak mere ka bersedia menerima latihanlatihan yang lebih baik dari kawan-kawannya oleh prajuritprajurit dari Matara m, yang juga justru dala m rangka persiapan ini" Tentu mereka t idak a kan berkeberatan" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya "Me mang, aku percaya, bahwa mereka tidak akan berkeberatan. Tetapi kita tidak akan mengaba ikan masalah-masalah pribadi mereka seorang demi seorang. Mungkin ada diantara mereka yang ibunya sedang sakit keras, atau barangkali seseorang yang sudah menentukan, bahwa ia akan segera kawin, atau kepentingan-kepentingan lain" Ki De mang me ngerutkan keningnya. Namun ia masih bertanya "Jadi, bagaimana sebaiknya menurut kau?" "Kita kumpulkan mereka semua. Kita akan bertanya, siapakah yang ka li ini bersedia untuk berangkat" Wajah Ki De mang me negang. "Ada beberapa keuntungan" berkata Ki Jagabaya "mereka tidak akan merasa, kita me mbeda-bedakan. Kalau kita me milih, kita dapat salah tunjuk. Orang yang me mpunyai beberapa keberatan karena keadaan pribadi mereka, justru kita pilih, karena kita tidak mengetahuinya, sedang mereka
yang tidak kita sebut, akan menjadi sakit hati, karena mereka merasa direndahkan atau justru dianak tirikan" "Tetapi bagaimana kalau yang menyatakan diri kurang dari yang diperlukan?" bertanya Ki De mang. "Aku berani bertaruh dengan ujung ra mbut ku. Pasti lebih dari limapuluh orang yang bersedia" "Kalau terla mpu banyak Ena m puluh orang misalnya. Bagaimana menyisihkan yang sepuluh" "Kita undi" Ki De mang termenung sejenak. Tetapi ke mudian ia berkata "Ke mungkinan yang dapat terjadi, pengawal khusus yang kita ambil tidak akan merata. Mungkin dari satu padukuhan kita mendapat sepuluh orang, sedang dari padukuhan yang lain hanya satu dua atau bahkan tidak sa ma sekali" "Kita akan menentukan cara undian itu" berkata Ki Jagabaya "tidak seluruhnya sekaligus. Tetapi undian itu kita berikan khusus bagi setiap padukuhan" Ki De mang terdia m sejenak. Na mun tampa k bahwa ia tidak dapat menerima dengan mantap usul Ki Jagabaya itu. Karena itu, ia masih berkata "Bagiku, lebih baik kita menunjuk. Yang berkeberatan supaya mengajukan keberatannya. Kita akan me mpertimbangkan" Ki Jagabaya memandang wajah Ki De mang dengan penuh kecurigaan. Sementara Ki Re ksatani berkata "Kakang apakah aku boleh menghubungkan masalah ini dengan hari perkawinan kakang?" Ki De mang menjadi ragu-ragu sejenak. Sedang Ki Reksatani berkata pula "Aku menduga, bahwa Ki Jagabaya akan mengatakan hal itu, tetapi ia menjadi agak segan" "Apa yang kau ma ksudkan?"
"Akupun sebenarnya segan untuk mengatakannya, tetapi aku kira hal ini a kan lebih baik, apabila kita saling berterusterang. Kita tidak akan selalu merasa dibayangi oleh masalahmasalah yang terasa belum selesai kita bicarakan. Bukankah begitu?" Ki De mang me narik nafas dala m-dala m. Na mun ke mudian kepalanya terangguk-angguk le mah, katanya "Ya aku kira kita akan saling berterus terang. Apakah yang ada dan apakah yang tersimpan di hati kita masing-masing" Sekilas Ki Reksatani me mandang wajah Ki Jagabaya. Tetapi Ki Jagabaya tidak segera mengatakan sesuatu, sehingga ruangan itupun sejenak menjadi sepi. Yang pertama-tama berbicara adalah Ki Reksatani, katanya "Silahkan Ki Jagabaya Kakang De mang sudah me mbuka pintu" Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dala m. Kemudian katanya "Ki De mang. Kalau aku boleh berterus-terang, maka aku ingin bertanya, apakah Ki De mang berusaha me manfaatkan keadaan ini untuk kepentingan Ki De mang sendiri" Misalnya tentang penyingkiran Pa mot?" Ki De mang berdesir mendengar pertanyaan itu. Seolah-olah cacat yang disembunyikannya dapat langsung disentuh oleh Ki Jagabaya itu. Namun, sejak se mula Ki De mangpun sudah menaruh prasangka bahwa Ki Jagabaya dan adiknya, Ki Reksatani me mang akan menebaknya dengan tepat. Karena itu, Ki Demang merasa tidak perlu mengelak lagi. Dengan tegas ia menjawab "Ya. Alasan ini akan aku pergunakan pula untuk menyingkirkan Pa mot. Bukankah ia termasuk salah seorang anggauta pengawal khusus. Ia harus ikut di dalam tugas ini. Ia harus termasuk salah seorang dari limapuluh orang yang akan pergi ke Mataram, ke mudian dipersiapkan untuk mengikuti pasukan Matara m yang akan menyerang Betawi"
Ki Jagabaya dan Ki Reksatan berpandangan sejenak. Namun karena Ki De mang sudah berterus-terang, mereka bahkan seolah-olah tida k me mpunyai bahan lagi untuk me mbicarakannya. Karena itu, mereka masih harus berdia m diri sa mbil mendengarkan Ki De mang berbicara "Aku kira itu adalah jalan yang sebaik-ba iknya buat Pa mot. Aku tidak ingin me mperguna kan kekerasan. Aku tahu, ia sudah menyalahi adat, bahwa ia masih saja menghubungi seorang gadis yang sudah ditentukan akan kawin dengan orang lain. Kalau aku tidak ingin menghindari keributan, maka aku dapat berbuat lebih dari apa yang akan aku lakukan sekarang, menempatkan anak itu dala m pasukan yang justru mendapat kehormatan untuk me mpertahankan na ma Tanah tercinta ini" Ki De mang berhenti sejenak, lalu "Aku harap kalian tidak me mandangnya dari sudut yang terbalik. Seolah-olah aku me mpergunakan kesempatan ini untuk mencelaka kannya. Aku justru masih ingin melihat Pa mot tidak kehilangan na manya. Coba katakan Ki Jagabaya, apa yang sebaiknya dilakukan atas anak itu, apabila dapat dibuktikan bahwa ia telah melanggar pagar ayu. Dan kau Reksatani. Apakah kau dapat menyebut hukuman apa yang sebaiknya diberikan kepadanya?" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa apabila kata-kata Ki De mang itu benar, Pa mot me mang dapat dituntut oleh adat. Tetapi bahwa hal itu tidak terjadi begitu saja, seharusnya mendapat pertimbangan. Pamot tidak datang kepada Sindangsari setelah gadis itu ditetapkan untuk menjadi isteri Ki De mang. Tetapi sebaliknya. "Tetapi biasanya orang-orang padukuhan ini tidak mau me mperhatikan sebab-sebab yang dapat menumbuhkan suatu keadaan. Kadang-kadang mereka me mandang suatu persoalan hanya sepotong-sepotong yang mereka perlukan, atau yang sedang mereka persoalkan itu saja" berkata Ki Jagabaya di dala m hatinya "mereka tida k mau menelusur "Kenapa Pamot berbuat demikian. Tuntutan adat itu tidak mau mengerti, bahwa Pa mot merasa telah kehilangan sesuatu,
haknya yang dirampas oleh ki De mang yamg kebetulan sedang me mpunyai kekuasaan di Kade mangan Kepandak" Meskipun de mikian Ki Jagabayapun melihat, bahwa sebagian terbesar orang-orang Gemulung, di dala m persoalan ini berpihak kepada Pamot seandainya mereka berani menyatakan hatinya. Dala m pada itu Ki Reksatani hanya menundukkan kepalanya saja. Ia tidak berani me mberikan jawaban atas pertanyaan Ki De mang tentang pelanggaran pagar ayu. Kalau ia harus menyebut hukuma n apa yang sebaiknya diberikan kepada mereka yang melanggar pagar ayu, terasa lidahnya menjadi kelu. Karena tidak ada yang segera menjawab, maka Ki De mang berkata pula "Kenapa kalian dia m saja" Kalian harus me mberi pertimbangan. Aku sudah mencoba mencari jalan yang paling baik untuk menyelesaikan masalah Pa mot" Ki Jagabaya menarik nafas dala m-dala m. Kalau pertimbangan Ki De mang sudah sampai begitu jauh, maka ia tidak akan dapat berbuat lain daripada menyetujui. Menyetujui dengan sepenuh hati atau tida k. Namun tiba-tiba saja Ki Jagabaya teringat kepada Manguri. Karena itu ma ka katanya "itukah sebabnya maka Ki De mang pada permulaan pe mbicaraan ini hanya menekankan keamanan di dala m peralatan itu dengan me mperhatikan Manguri. Karena menurut perhitungan Ki De mang, Pa mot sudah tidak ada lagi di Kade mangan ini" Ki De mang menganggukkan kepalanya "Ya. Begitulah. Bukankah Ki Jagabaya sudah menduganya" "Sayang" desis Ki Jagabaya. "Apa yang kau sayangkan?" bertanya Ki De mang. "Kalau Manguri termasuk anggauta pasukan pengawal khusus, iapun dapat dikirimkan ke Mataram"
"Jadi, apakah menurut Ki Jagabaya, pengawal khusus yang dikirim ke Matara m itu sekedar tempat untuk me mbuang orang-orang yang tidak disukai di Kade mangan ini?" bertanya Ki Re ksatani. "Aku tidak mengatakan de mikian" jawab Ki Jagabaya, lalu "tetapi menurut ja lan pikiranku, hal itu dapat terjadi atas Manguri apabila dapat terjadi atas Pamot, Atau orang-orang lain di ke mudian hari" "Ki Jagabaya" tiba-tiba Ki De mang menggera m "Akulah yang memutuskan semua persoalan disini. Kau adalah pembantuku di dala m bidangmu" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya. "Ya. Aku sadari kedudukanku. Dan bukankah aku tidak me mbantah untuk menjalankan tugas itu" "Sekarang kau harus menjawab, cara yang manakah yang sebaiknya ditempuh untuk menentukan siapakah yang akan berangkat ke Matara m itu. Limapuluh orang dari pengawal khusus yang selama ini telah mendapat latihan keprajuritan dari para prajurit Mataram yang sengaja me mpersiapkan mereka apabila diperlukan" Sambil mengangkat dadanya Ki Jagabaya menjawab tegas "Kita akan menentukan dan me milih mereka seorang demi seorang" Seleret warna merah me mbayang di wajah Ki De mang. Ia tahu benar ungkapan kejengkelan Ki Jagabaya di dala m nada jawabannya itu. Tetapi Ki De mangpun ke mudian menyahut "Bagus. Kau sudah me menuhi harapanku. Kau benar-benar sudah menjalani tugas yang aku bebankan kepadamu, sebagai pembantuku di dala m bidangmu" "Ya, dan aku ingin me njadi seorang pe mbantu yang baik" sahut Ki Jagabaya.
Ki De mang mengatupkan giginya rapat-rapat. Tetapi ia masih selalu menahan dirinya. Selama ini Ki Jagabaya adalah pembantunya yang benar baik. Tetapi ka li ini agaknya ia me mpunyai sikap yang lain, meskipun diendapkannya di dalam dadanya. Sementara itu, Ki Reksatani hanya mendengarkan pembicaraan Ki De mang dan Ki Jagabaya. Kadang-kadang ia menjadi berdebar-debar. Tetapi seperti Ki Jagabaya, ia tidak akan dapat berbuat banyak. Kakaknya adalah seorang yang keras hati. Dala m pada itu terdengar Ki De mang ke mudian berkata "Ki Jagabaya. Sekali lagi aku berpesan, masalah ini masih menjadi rahasia. Aku masih menunggu perintah resmi dari pimpinan prajurit Mataram yang berkewajiban untuk itu" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya" Baiklah Ki De mang. Tetapi apakah hal itu masih me merlukan waktu yang la ma?" "Tida k" jawab Ki De mang "a ku hanya menunggu untuk beberapa hari saja. Menurut pendengaranku, perintah itu sudah disiapkan. Apabila benar kata perwira itu, bahwa ada Kademangan lain yang sudah menerima perintah itu masih harus menunggu kepastian. Kalau para prajurit yang me mbawa perintah resmi itu datang, maka kau tentu akan aku minta hadir" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Nah, sejak sekarang kau dapat me milih meskipun be lum kau pastikan. Siapa-siapa yang akan kita kirimkan ke Mataram, mewakili Kade mangan ini untuk suatu perjuangan yang luhur" "Baik Ki De mang, aku akan segera memilih. Sudah tentu Pamot harus ikut serta" Ki De mang t idak menjawab meskipun dahinya berkerut.
"Sekarang kau Reksatani" berkata Ki De mang "datanglah ma la m nanti ke mari. Aku akan menentukan bersa ma-sama orang tua-tua di Kade mangan ini, hari yang sebaik-baiknya untuk melangsungkan perkawinan itu. Besok kau pergi ke rumah gadis itu untuk mengabarkan, bahwa hari itu sudah aku pilih" "Baik kakang" "Nah, aku kira a ku tidak me mpunyai kepentingan yang la in" Maka Ki Jagabaya dan ki Reksatanipun segera minta diri. Pertemuan itu telah me mbuat dada mereka bergejolak meskipun dengan alasan yang berbeda-beda. Ki Reksatani masih saja selalu mengumpat-umpat di dala m hatinya. Ia tidak mau me lihat pada suatu saat isteri Ki Demang itu mengandung dan melahirkan anak. Dengan demikian maka impiannya selama ini untuk mewarisi segala jabatan dan kekayaannya akan menjadi kabur. Tetapi Ki Reksatani tida k dapat menge lak, bahwa pada ma la m harinya ia mendengar keputusan para tetua Kademangan, bahwa perkawinan antara Ki De mang dan Sindangsari harus segera dilaksanakan. "Hari yang paling baik adalah hari kelahiran Ki De mang sendiri" berkata salah seorang tetua "hari itu adalah hari yang pertama-tama dinikmati oleh Ki De mang. Hari Kurnia dan hari kelahiran. Bertolak dari kelahiran itulah maka se muanya terjadi seperti sekarang ini" Orang tua-tua yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Salah seorang berkata "Memang tidak dapat dipergunakan. Misa lnya hari itu berbareng dengan hari ke matian salah saorang dari orang tua Ki De mang" Ki De mang mengerutkan keningnya. "Apakah hari kelahiran Ki De mang itu?"
Bangau Sakti 29 Dewa Arak 79 Iblis Buta Bunga Ceplok Ungu 3

Cari Blog Ini