Ceritasilat Novel Online

Matahari Esok Pagi 9

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 9


"Bagaimana mungkin ia dapat mengatakannya. Menantunya yang tercinta itu selalu menunggui pe mbicaraan kita" "Maksudku, sebelumnya" di kesempatan lain. Beberapa waktu
"Kita pasti dapat mengerti. Ia seorang janda yang tinggal di daerah kekuasaan Ki De mang Kepandak. Tentu ia tidak berani berbuat apa-apa. Seandainya suaminya masih ada, persoalannya pasti akan lain, meskipun mereka t inggal di Kademangan itu pula" "Tetapi se munya sudah terlanjur. Perkawinan itu sudah terjadi" "Aku menyesal seka li" guma m prajurit muda yang sejak semula selalu menggerutui perkawinan itu "bukankah aku agak lebih ta mpan dari Ki De mang itu, bahkan aku lebih muda?" "Tetapi" desis prajurit yang lebih tua "tiga rangkap kau tidak akan dapat menya mai De mang di Kepandak di dala m olah senjata" "Bohong" sahut prajurit muda itu. "Beberapa orang diantara kita yang agak tua-tua ini pasti sudah mendengarnya. Kakak beradik dari Kepandak itu. Meskipun aku sendiri baru kali ini melihat orangnya" Prajurit muda itu bersungut-sungut" Katanya "Kalau perkawinan itu belum terlanjur, aku bersedia mela kukan perang tanding dengan taruhan gadis itu. Tetapi karena perkawinan itu sudah terjadi, dan kita tidak tahu apa yang sudah terjadi atas gadis itu, maka aku tidak akan bersedia lagi untuk me lakukannya" "Siapa yang minta kepada mu untuk melakukan itu?" "Tida k ada"
Kawan-kawannya tersenyum. Sambil menepuk punggung prajurit muda itu kawannya berkata "Tunggulah sa mpai ia menjadi janda. Agaknya umurmu masih agak lebih panjang dari umur Ki De mang di Kepandak" "Itu kalau aku tidak mat i dipeperangan" jawab prajurit itu sambil tersenyum pula. Namun demikian salah seorang diantara para perwira itu berkata "Tetapi kasihan juga janda dan anaknya itu. Kalau benar Ki De mang mela kukan tekanan, ia sudah menyalahgunakan ke kuasaannya" Tidak seorangpun yang menjawab. Perkawinan itu ternyata me mang sudah terjadi. Dala m pada itu, di rumah Sindangsari Ki saja memikirkan pesan ibu Sindangsari. Buat ia berpesan kepada prajurit-prajurit itu me mperhatikan anak muda dari kepandak Pamot. De mang masih apa sebenarnya agar mereka yang bernama
"Apakah ibu Sindangsari ini masih mengharapkan Pa mot ke mbali dan pada suatu saat merebut Sindangsari dari tanganku?" bertanya Ki De mang kepada diri sendiri. Tetapi ke mudian dijawabnya "Sela ma ini aku harus berhasil me mbuat kesan yang lain kepada keluarga ini" Demikianlah ma ka tamu-ta mu Ki De mang seorang demi seorang telah meninggalkan rumah itu. Meskipun pere mpuanperempuan di dapur masih saja sibuk. Namun kera maian di rumah Sindangsaripun berangsur berkurang. Setelah lewat hari yang ketiga, maka yang sibuk kemudian adalah orangorang yang membongkar tarub-tarub yang sudah mulai layu. Janur-janur kuning yang menjadi kering, dan tratag yang tidak berguna lagi. Yang ke mudian menjadi sibuk seka li adalah Kade mangan Kepandak. Mereka justru baru me mpersiapkan tratag, terub dan berbagai maca m a lat upacara dan kerama ian.
Rumah Sindangsari yang berangsur-angsur me njadi semakin sepi, telah me mbuat Sindangsari menjadi berdebardebar. Tamu-tamu Ki De mang sudah tida k banyak lagi, sehingga Ki De mang sudah banyak me mpunyai kese mpatan untuk duduk berdua saja dengan isterinya. Sindangsari. Dala m saat-saat yang demikian, Sindangsari sa ma sekali tidak dapat melupa kan anak muda yang berna ma Pa mot. Bukan saja karena hatinya seakan-akan telah terjerat olehnya, tetapi langkahnya yang terdorong di saat-saat terakhir telah me mbuatnya gelisah setiap saat. Meskipun Sindangsari tidak lagi melakukan perlawanan atas perkawinannya itu, namun hubungannya dengan suaminya terasa telah dibatasi oleh sebuah garis yang tebal. "Apakah Ki De mang akan dapat mengetahuinya, bahwa aku kini bukan gadis lagi?" pertanyaan itulah yang selalu mengguncang hatinya. Namun dengan demikian, ia mengharap semuanya agar segera terjadi. Kalau Ki De mang nanti akan mengetahui apa yang sudah dilakukannya, biarlah segera mengetahui. Kalau ia harus dibunuh karenanya, biarlah ha l itu cepat pula terjadi. Dala m kegelisahan itulah ia iustru mengharap Ki de mang bersikap sebagai seorang sua mi. Di mala m terakhir menjelang mala m kelima, yang sesuai dengan rencana Sindangsari akan diboyong ke Kade mangan, terasa betapa mala m itu sangat mencengka m perasaan Sindangsari. Besok mala m ia sudah akan meninggalkan rumah ini. rumah yang telah didiaminya sejak ia pulang dari Mataram karena ayahnya telah gugur. Rumah kakek, nenek dan ibunya. Besok ia akan berpisah dengan mereka, mengikuti sua minya, ke rumah yang be lum dikenalnya. Meskipun Sindangsari telah pasrah diri dala m perkawinan yang sudah terjadi itu, namun perpisahan dengan seluruh keluarganya telah me mbuatnya menjadi sangat ge lisah.
Dengan hati yang pedih ia berbaring di pe mbaringannya yang masih ditaburi dengan bunga-bunga yang beraneka warna. Bunga mawar, melati, kantil dan kenanga. Di luar biliknya masih terdengar beberapa orang tua-tua yang bercakap-cakap. Tetapi semakin mala m menjadi sema kin sepi. Sejenak ke mudian ia mendengar Ki Reksatani minta diri. Sedang Ki Jagabaya sejak sore tidak tampak datang ke rumah itu. "Aku akan pulang kakang" Ki Reksatani minta diri "aku kira kakang De mang sudah dapat beristirahat, karena sudah tidak banyak tamu lagi. Besok kakang De mang akan pulang ke Kademangan. Agaknya tiga malam lagi kakang De mang akan tidak dapat tidur. Ta mu-ta mu a kan berdatangan lagi untuk selama t iga hari tiga ma la m pa ling sedikit" Ki De mang mengguk-anggukkan kepalanya "Ba iklah" katanya "tetapi biarlah anak-anak itu tetap tinggal disini" "Ada tiga orang yang masih ada di belakang. Mereka akan menjaga ruma h ini" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. Sepeninggal Ki Reksatani rumah itu menjadi se makin sepi. Meskipun de mikian pintu depan rumah itu masih tetap terbuka. Kakek Sindangsari duduk di sera mbi depan rumahnya bersama-sama beberapa orang-orang tua sebayanya. Sedang neneknya berada di dapur bersama ibunya mengawani beberapa orang tetangga yang masih saja sibuk. Mengemasi alat-alat yang sudah tidak dipergunakan lagi, tetapi juga masih menyediakan makan bagi mereka yang me mbenahi rumah itu setelah sekian la ma dipergunakan untuk peralatan. Ki Re ksatani yang meninggalkan hala man rumah Sindangsari berjalan dengan langkah yang lamban. Kelelahan dan kesal telah mera mbat di seluruh tubuh dan hatinya. Tiga
ma la m ia sama sekali tidak se mpat tidur. Hanya siang hari ia dapat me meja mkan matanya meskipun hanya sebentar. "Setan betina itu benar-benar telah menyiksa ku" desisnya. Sambil bersungut-sungut Ki Reksatani menyelusuri jalan padukuhan "Gila" ia mengumpat "kenapa aku tidak me mbawa kuda?" sejenak ia ragu-ragu "Apakah aku akan ke mba li menga mbil kuda siapa saja yang dapat aku pinja m?" Tetapi niatnya itupun diurungkannya "Besok aku harus menge mba likannya. Lebih baik t idak usah" Maka Ki Reksatanipun me mpercepat langkahnya untuk menghilangkan dingin mala m. Sa mbil bersilang tangan di dadanya ia berjalan diatas jalan berbatu-batu. Tetapi ketika langkahnya sampai ke simpang tiga di dala m padukuhan Ge mulung itu ia tertegun sejenak. Dipandanginya lorong yang bercabang di hadapannya. Ki Reksatani me narik nafas dalam-da la m. Ditengadahkannya wajahnya ke langit. Dilihatnya bintangbintang yang bertaburan memenuhi udara berkeredipan tidak henti-hentinya. Ketika ia me mandang ke Se latan, dilihatnya bintang gubug penceng masih condong ke timur. "Belum tengah ma la m" desisnya. Dan tiba-tiba saja Ki Reksatani mengerutkan keningnya. Dipandanginya lorong yang menusuk gelapnya mala m di hadapannya. Ia menjadi ragu-ragu sejenak. Na mun ke mudian dengan tergesa-gesa ia mengayunkan ka kinya. Ia me milih jalan simpang yang sebelah kanan. Dan jalan itu sama sekali bukan jalan pulang. Dala m pada itu Sindangsari masih saja terbaring di dala m biliknya meskipun matanya tidak terpejam. Meskipun bukan didorong oleh perasaannya, namun na larnya mengharap agar Ki De mang ma la m itu datang kepadanya. Tamu-ta mu sudah
tidak terlampau banyak yang harus ditemuinya. Biarlah kakeknya mene mui orang-orang tua itu di sera mbi rumahnya. "Kalau ia akan mence kik aku, biarlah sekarang selagi aku masih ada di rumah ini. Biarlah kake k, nenek dan ibuku mengetahui apa yang sudah terjadi. Kalau mereka sempat bertanya kepadaku biarlah aku berkata berterus terang sebelum Ki De mang me mbunuhku. Meskipun de mikian hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar desir langkah seseorang mendekati pintu biliknya. Ketika pintu itu berderit, Sindangsari berpaling. Dala m kere mangan la mpu minyak yang redup ia melihat bayangan Ki De mang me masuki bilik itu. Terasa jantung Sindangsari berdentang se makin keras. Dadanya serasa menjadi sesak dan nafasnya menjadi sema kin cepat mengalir. Ditatapnya langit-langit rumahnya dengan hati yang kosong. Bahkan ke mudian ia berkata didia m dirinya "Apakah aku hanya akan dapat menatap langit-langit rumah ini untuk yang terakhir?" Sejenak ke mudian seka li lagi pintu biliknya berderit. Ketika berpaling lagi, dilihatnya pintu itu sudah tertutup rapat. Perlahan-lahan Ki De mang melangkah mendekati pembaringannya. Namun setiap langkah, terasa sebagai sebuah sengatan yang sakit di hati Sindangsari. Bahkan tiba-tiba tubuhnya menjadi ge metar dan darahnya serasa semakin cepat mengalir sa mpai ke ubun-ubunnya. Meskipun de mikian ia mencoba me nghentakkan perasaannya oleh pertimbangan nalarnya "Terjadilah kalau akan terjadi sekarang ini" Sindangsaripun ke mudian me meja mkan matanya. Tetapi ia berdoa, agar ia dia mpuni oleh sumber hidupnya. Bukan karena
ia takut dice kik, tetapi agar ia mendapat keringanan apabila api neraka kelak akan menjilatnya. Sindangsari menahan nafasnya ketika desir langkah Ki Demang berhenti di sisi pe mbaringannya. Meskipun ia ingin me lihat, apa yang sedang dilakukan oleh laki-laki itu, tetapi Sindangsari t idak berani me mbuka matanya. Sejenak ruangan itu menjadi sepi senyap. Yang terdengar adalah suara nafas Ki Demang yang me mburu. Dengan tajamnya ia berdiri di sa mping pe mbaringan isterinya. Dipandanginya tubuh Sindangsari yang me mbujur menelentang sa mbil me meja mkan matanya. Terasa sesuatu telah bergetar di dala m dada laki-laki itu. Darahnyapun semakin la ma menjadi semakin cepat mengalir. Sindangsari adalah seorang gadis yang cantik. Kulitnya yang kuning langsat, disaput oleh cahaya lampu minyak yang ke merah-merahan, me mbuatnya seakan-akan me mbara. Ki De mang menarik nafas dalam-dala m. Seperti patung ia berdiri tegak di sa mping pe mbaringan Sindangsari. Ketika hatinya serasa akan meledak, maka perlahan-lahan ia me mbungkukkan badannya. Disentuhnya tangan gadis itu perlahan-lahan dengan tangannya yang kasar. Sindangsari merasakan sentuhan itu. Tiba-tiba saja terasa seluruh tubuhnya mere mang. Ha mpir saja ia meloncat dan berlari meningga lkan bilik itu. Untunglah bahwa ia masih berhasil menguasai dirinya. Namun dengan de mikian matanyapun menjadi se makin terpejam. Tetapi alangkah kagetnya, ketika tiba-tiba ia mendengar Ki Demang menghentakkan kakinya sambil menggera m, sehingga tanpa sesadarnya Sindangsari me mbuka matanya. Ia me lihat Ki De mang itu me mutar tubuhnya sambil mere mas jari-jari tangannya sendiri.
Sepercik keheranan melonja k di dada Sindangsari. Ia t idak mengerti perasaan apakah yang membersit di hati Ki De mang. Namun ke mudian ia me lihat Ki De mang me langkah menjauhinya. Dengan desah nafas yang panjang laki-laki itu me mbanting dirinya pada sebuah dingklik kayu di sudut ruangan. Dada Sindangsari menjadi berdebar-debar. Bahkan rasarasanya seluruh tulang-tulangnya telah dilolosi. "Apakah Ki De mang sudah mengetahui, bahwa aku bukan perawan lagi?" pertanyaan itu me mbelit hatinya se makin kuat. "Tentu bukan karena itu" ia me mbantah "ia belum berbuat apa-apa. Ia baru berdiri saja di sa mping pe mbaringan ini" Namun ia me mbantah sendiri "Tetapi mungkin pengawas pengawasnya telah melihatnya" Kini tubuh Sindangsari benar-benar telah menggigil. Meskipun demikian ia masih mencoba me mbe la diri terhadap dirinya sendiri "Tetapi sikap Ki De mang ini begitu tiba-tiba. Kalau ia sudah mengetahui sebelumnya, maka sikapnyapun tidak akan sebaik ke marin dan ke marin dulu. Ia mungkin akan me mbatalkan perkawinan ini sa mbil menjatuhkan hukuman yang paling berat kepadaku dan kepada Pa mot" Selagi goncangan-goncangan perasaan itu menga muk di dadanya, Sindangsari mendengar Ki De mang beberapa kali menge luh sambil menundukkan kepalanya. Bahkan ke mudian iapun berdiri dengan tergesa-gesa. Dengan langkah yang panjang ia tiba-tiba saja meningga lkan Sindangsari di dala m bilik itu sendiri. Heran, cemas, takut dan berbagai perasaan berkecamuk di dalam dada Sindangsari. Bahkan tanpa sesadarnya ia bangkit dan duduk ditepi pe mbaringannya. "Apakah yang telah mendorong Ki De mang me ningga lkan bilik ini?" ia bertanya kepada diri sendiri "apakah aku
dianggapnya kurang sopan karena aku tidak menyapanya" Atau barangkali aku dianggap telah menghinanya" Atau, atau .." tetapi Sindangsari tidak dapat me milih manakah yang paling mendekati kebenaran. Ki De mang yang meninggalkan bilik Sindangsari itupun segera melangkah keluar. Tanpa berpaling ia turun ke halaman dan berjalan ke dala m gelap mala m. Di bawah sebatang pohon mlandingan ia berhenti Sa mbil menggeretakkan giginya ia mengusap dadanya, seolah-olah hendak menenangkan jantungnya yang sedang bergelora. Kakek Sindangsari yang melihat Ki De mang itu berjalan dengan tergesa-gesa menjadi terkejut karenanya. Ia tahu bahwa Ki De mang me masuki bilik cucunya. Karena itu, tumbuhlah berbagai maca m pertanyaan di kepa lanya. Bahkan ke mudian ia berkata kepada dirinya sendiri di da la m hati "Bukan salah gadis itu kalau ia menolak. Sejak se mula ia sudah menyatakan sikapnya" Namun sejenak ke mudian ia melihat Ki De mang berjalan perlahan-lahan mende kati serambi depan yang selama berlangsung peralatan dindingnya telah dibuka. Perlahanlahan ia naik dan sa mbil menarik nafas dala m-dala m ia ikut serta duduk diantara orang tua-tua. "He Ki De mang" bertanya kakek Sindangsari "dari manakah Ki De mang ini tadi?" Ki De mang t idak me njawab. Dipa ksakannya bibirnya untuk tersenyum "Dari ha la man ke k" jawabnya. Kakek Sindangsari mengerut kan keningnya. Tetapi iapun ke mudian tersenyum pula "Dari kegelapan?" "Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. "Apakah Ki De mang tidak beristirahat saja dahulu" Mungkin Ki De mang sudah terlampau le lah. Apalagi Ki Demang akan tidak se mpat tidur dala m t iga ma la m mendatang.
"Terima kasih ke k. Aku terlampau biasa tidak tidur Dala m keadaan yang wajar sekalipun, tanpa peralatan, aku juga hampir tidak pernah tidur nyenyak. Aku selalu meronda berkeliling Kade mangan dengan Ki Jagabaya, atau dengan anak-anak yang sedang bertugas di Kade mangan" Kakek Sindangsari mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi heran bahwa Ki De mang mala m itu lebih senang duduk bersama orang-orang tua daripada berada di dalam bilik isterinya yang baru saja melangsungkan perkawinannya itu. Sindangsari yang duduk di pinggir pe mbaringannya masih saja diamuk oleh berbagai maca m perasaan. Kebingungan yang sangat telah melanda dinding hatinya, sehingga tanpa disadarinya, air matanya telah membayang dipelupuk matanya. Apa yang dialaminya ini sa ma sekali jauh berbeda dari ceritera neneknya tentang seorang pengantin baru. Apalagi apabila pengantin la ki-laki bukan lagi seorang jejaka, tetapi seorang duda seperti Ki Demang yang sudah terlampau sering kawin. "Mungkin aku adalah seorang pengantin yang paling ma lang" desis Sindangsari sa mbil mengusap air matanya. Bahkan ke mudian ia berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa apabila Ki De mang nanti masuk ke mba li ke dala m bilik ini ia akan bersikap baik, Ia akan menyapanya sebagai seorang isteri terhadap sua minya. Tetapi Ki De mang tidak masuk ke dala m bilik itu ke mbali. Betapa ia menunggu dengan hati yang berdebar-debar, namun sa mpa i terdengar kokok ayam jantan untuk yang terakhir kalinya, tidak seorangpun yang menyentuh daun pintu biliknya. Ketika sinar matahari pagi mulai me mbayang diatas atap rumahnya, Sindangsari yakin, bahwa Ki De mang tidak akan
datang lagi sampai saatnya ia diboyong ke Kademangan sore nanti. Dengan hati yang kesal, bingung dan tidak berketentuan Sindangsari keluar dari biliknya, langsung pergi ke pa kiwan untuk mencuci mukanya. Namun bagaimanapun juga, ibunya dapat mengetahuinya bahwa puterinya itu menangis se mala m. Hati Nyai Wiratapapun terasa seolah-olah tersayat. Hati seorang ibu yang mengetahui penderitaan batin puterinya, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika Sindangsari melangkah ke mbali ke dala m biliknya, ia berpapasan Ki Demang di muka pintu. Tetapi ketika ia berhasrat untuk menegurnya, mulutnya menjadi seakan akan terbungkam. Ia menjadi bingung ketika justru Ki De mang yang bertanya kepadanya "Apakah kau se ma la m dapat tidur Sari?" Sindangsari me nggelengkan kepa lanya "Tidak" "Kenapa?" Sindangsari t idak dapat menjawab. Hanya kepalanya sajalah yang tertunduk dala m-da la m. "Di Kade mangan mala m-ma la m yang sibuk akan terulang lagi. Kau harus berusaha beristirahat sebelum ma la m nanti dan dua mala m berikutnya, kita harus menemui tamu-ta mu yang akan datang bergantian" Sindangsari me nganggukkan kepalanya. "Beristirahatlah dan tidurlah siang ini kalau mungkin" berkata Ki De mang. Sekali lagi Sindangsari menganggukkan kepa lanya. Ki Demangpun ke mudian melangkah pergi. Beberapa saat kemudian Sindangsari berpaling. Tetapi Ki Demang sudah t idak ta mpak.
Dala m pe mbicaraan-pembicaraan singkat, ternyata Ki Demang bukanlah orang yang mena kutkan seperti yang dibayangkannya. Ia sama sekali bukan orang yang rakus sedang kelaparan. Kata-katanya cukup sopan dan matang, sebagai seorang yang telah tidak muda lagi. Bahkan kadangkadang seperti kata-kata seorang ayah kepada anaknya. Tetapi Sindangsari tetap tidak mengerti, dengan orang maca m apakah ia sedang berhadapan. Bagaimanapun juga yang ada di dalam hatinya hanyalah kece masan, kebingungan dan penyesalan. Tetapi mala m terakhir ia tinggal di rumah itu sudah la mpau. Nanti ma la m ia sudah tida k akan berada di rumah itu lagi. Nanti ma la m ia harus me ngulangi upacara-upacara perkawinan yang melelahkan. Tamu-ta mu akan berdatangan untuk mengucapkan sela mat kepadanya dan kepada suaminya. Ki De mang di Kepandak. Dala m kesibukan itu, suaminya pasti tidak akan sempat beranjak dari pendapa Kademangan yang besar. Tamutamunya pasti jauh labih banyak dari ta mu-ta mu yang datang di rumahnya sela ma tiga hari tiga ma la m. Terbayang di dalam angan-angannya bahwa ia pasti akan merasa kesepian. Tidak ada ibunya kakek dan neneknya di rumah yang besar itu. Tetapi yang me mbuatnya terlampau cemas adalah keadaan dirinya sendiri. Tiga mala m ia pasti akan disiksa oleh kegelisahan yang pahit. Kalau hal itu terjadi di mala m berikutnya, selagi Ki De mang sedang lelah dan kesal, maka ia tidak dapat me mbayangkan apa yang terjadi atas dirinya. Jika Ki De mang ke mudian mengetahui bahwa ia bukan lagi seorang gadis seperti yang dibayangkan oleh Ki Demang di Kepandak itu. Sedangkan apabila terjadi sesuatu atas dirinya, ia tidak lagi berada di rumahnya. Tetapi Sindangsari tidak dapat berbuat lain. Ia hanya dapat duduk sa mbil merenung di dala m biliknya.
Suasana rumah itu sema kin la ma menjadi se ma kin ra ma i. Persiapan untuk upacara boyong penganten sudah mulai dipersiapkan. Para tetangga telah mulai berdatangan pula untuk me mbantu menyiapkan ma kan mere ka yang nanti sore akan ikut serta mengantarkan penganten ke Kade mangan. Semakin siang rumah itu menjadi se makin sibuk, meskipun tidak sesibuk dua tiga hari yang la mpau. Na mun dengan demikian hati Sindangsari menjadi se makin ge lisah. Ki De mang sendiripun ta mpaknya menjadi ge lisah pula. Ketika ia melihat Ki Reksatani datang maka segera ia bertanya "Bagaimana persiapan-persiapan yang ada di Kade mangan?" "Se muanya sudah beres kakang. Semuanya berlangsung dengan baik seperti rencana ka kang De mang se mula" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. "Dima na Ki Jagabaya sekarang?" "Di Kade mangan. Ia harus me mimpin segala persiapan" "Tetapi apakah ia tidak a kan ke mari?" "Tentu ka kang. Ia akan ikut mengiring ka kang nanti sore dari rumah ini ke mbali ke Kade mangan" "Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya "Bagus. Aku berterima kasih kepada mu, kepada Ki Jagabaya dan kepada semua perabot yang lain. Ki Re ksatani tidak menyahut Tetapi dengan lesu iapun ke mudian duduk diatas tikar yang sudah terentang. "Aku lesu sekali" Ki De mang tidak me nyahut, Itu adalah wajar sekali setelah beberapa mala m Ki Reksatani itu se lalu sibuk. Bahkan disiang haripun kadang-kadang ia ikut sibuk me mpersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan ma la m berikutnya.
"Apakah kau akan tidur dahulu?" bertanya Ki Demang kepada adiknya. Ki Reksatani ragu-ragu sejenak. Tetapi ia mengge lengkan kepalanya "Terima kasih kakang. Aku akan duduk-duduk saja Aku sudah tidur meskipun hanya sekejap" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya "Terserahlah kepadamu. Kalau kau mau makan, ma kanlah. Disini banyak makanan yang tersedia untukmu" "Baiklah ka kang. Nanti aku akan ke dapur. Barangkali aku masih mene mukan jeroan aya m" Ki De mang tersenyum. Lalu ditingga lkannya adiknya duduk bersandar tiang sambil me nyilangkan tangannya di dadanya. Sejenak matanya menjadi terpejam oleh kantuk yang tidak tertahankan lagi. Sementara itu, di rumah Manguri, anak muda itu duduk di hadapan ibunya yang gelisah. Sambil me mpermainkan ujung jarinya anak muda itu bertanya "Tetapi bukankah ibu sudah mengatakan kepadanya?" "Manguri" sahut ibunya "kau telah menyiksaku" "Tida k ibu. Itu adalah permintaan wajar dari seorang anak. Bukankah la ki-laki itu datang sema la m" "Darimana kau tahu?" "Aku mendengar suara ketukan pada dinding luar bilik ibu, lima kali berturut-turut. Semala m agaknya laki-laki itu harus mengulang t iga ka li karena ibu tida k segera terbangun" "Gila, gila kau Manguri" "Aku sama sekali tidak sengaja ibu. Bukan salahku kalau aku dapat mendengarnya. Ayah menyuruh aku melatih inderaku. Pendengaran, peraba pencium dan yang la in-lain"
"Tetapi, kau sudah menyiksaku. Kau me mbuat hatiku sakit Manguri" suara ibunya menurun "aku tida k dapat menolaknya. Semua sudah terjadi bertahun-tahun" "Aku tidak me mpersoalkan itu lagi ibu. Aku sudah tahu bahwa itu sudah terjadi sejak bertahun-tahun seperti ayahpun bukan seorang la ki-laki yang jujur. Dan itupun sudah terjadi bertahun-tahun. Aku juga bukan anak muda yang baik sejak aku meningkat remaja" Manguri berhenti sejenak lalu "tetapi bukan itu yang aku persoalkan. Aku adalah putera ibu yang ibu lahirkan. Itu pasti. Aku tidak dapat mengatakan bahwa ibuku adalah orang lain. Berbeda tentang ayah" "Manguri" ibunya me mbentak keras-keras. Manguri menarik nafas dalam-dala m "Maaf ibu. Sekali lagi aku katakan, bahwa aku tidak me mpersoalkan itu lagi" ia berhenti sejenak, lalu "yang akan aku sampaikan kepada ibu adalah permintaan seorang anak. Aku datang kepada ibu sebagai seorang anak yang datang kepada orang tuanya. Ibu, seperti anak kecil yang melihat buah yang masak di cabang sebatang pohon. Aku tahu. ibu me mpunyai ga lah. Aku tidak me mpersoalkan lagi darimana ibu mendapatkan galah itu Tetapi aku adalah anak-anak yang merengek kepada ibu minta agar ibu menga mbil buah itu untukku" Ibunya menarik nafas dala m-dala m. Dipandanginya wajah Manguri sejenak, lalu "Kenapa kau masih saja mengganggu ketenteramanku Manguri. Aku sudah menjadi se makin tua. Aku ingin hidup tenteram. Tanpa persoalan-persoalan yang tidak dapat aku pecahkan seperti yang kau berikan itu" "Tetapi kepada siapa aku harus mengajukan segala kesulitanku kalau tidak kepada ibu dan ayah. Agaknya dalam hal ini ayah sudah tidak me mpunyai ja lan lagi, Sedang jalan yang ada pada ibu masih dapat dicoba" "Tida k Manguri. Aku tidak dapat. Dan aku tidak akan bertemu lagi dengan la ki-laki itu"
"Bukankah ia baru datang mengunjungi ibu?" tiba-tiba suara Manguri merendah "darimana ia tahu ka lau ayah pergi. Bukankah orang itu sekarang lagi sibuk?" "Gila. Gila kau Manguri" Mata ibunya mulai basah "kau adalah anak yang paling durhaka terhadap ibunya. Kau tahu kele mahan yang ada padaku. Dan kau telah me mperguna kannya untuk me ma ksakan kehendakmu" "Tida k ibu. Tida k. Ibu selalu salah sangka. Karena ibu merasa bersalah, maka setiap persoalan yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan masalah itu, selalu saja ibu hubungkan dengan kesalahan ibu itu" Ibunya mengerutkan keningnya, dan mengusap air setit ik dipelupuknya. "Sudah aku katakan. Aku tidak me mpersoalkan hubungan itu. Tetapi apakah aku tidak dapat minta kepada ibu sesuatu yang ibu mungkin dapat me lakukannya?" Ibunya menarik nafas dalam-da la m. Dan kemudian ia menjawab la mbat "Manguri, sebenarnya akupun sudah mengatakannya. "Nah "Manguri mengangkat wajahnya sa mbil tersenyum "bukankah ibu me lihat ke mungkinan itu pula" "Ibunya menganggukkan kepalanya. "Apa katanya?" "Sulit Manguri. Untuk saat-saat ini pasti tidak akan ada jalan untuk me misahkan keduanya. Kali ini Ki De mang agaknya berhasrat untuk beristeri sungguh-sungguh" Manguri mengerutkan keningnya "Lalu apa nasehatnya?" "Tida k ada yang dapat dikatakannya. Tetapi ia sendiri berhasrat pula untuk memecah perkawinan itu pada suatu saat" "Pada suatu saat. Kapan saat itu datang?"
"Aku tida k tahu Manguri" "O" Manguri me megang keningnya "saat itu akan datang kelak apabila aku sudah ubanan. Apabila aku sudah tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Bahkan kelak itu adalah waktu yang labih dari setiap batasan tertentu" "Siapapun tidak a kan dapat berbuat dengan tergesa-gesa. Semuanya harus diatur sebaik-ba iknya. Manguri t idak segera menjawab. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan mondar mandir di hadapan ibunya. "Aku tida k dapat menunggu lagi" "Itu tidak mungkin. Kalau kau me mang benar-benar tidak dapat melepaskan niatmu untuk mendapatkannya, maka kau harus me mperhitungkan setiap ke mungkinan. Setiap langkah harus kau pikir masa k-masak. Bukankah kau pernah terperosok ke dala m kesulitan karena kau berhubungan dengan Suro Sapi" Itu adalah suatu contoh bahwa ketergesagesaan itu tidak akan menguntungkan" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ke mudian sambil menegangkan lehernya ia berkata "Tetapi masalahnya bukan masalah yang dapat ditunda-tunda ibu. Kalau aku berselisih tentang tanah, tentang pategalan atau tentang ternak sekalipun, aku tidak akan de mikian tergesagesa. Tetapi masalahnya adalah masa lah seorang gadis" "Manguri" berkata ibunya "Sindangsari sudah menjadi isteri Ki De mang. Apakah kau masih juga berbicara tentang seorang gadis?" Wajah Manguri menjadi merah. Tetapi kemudian ia menjawab "Aku mencintainya ibu. Kali ini berbeda dengan perempuan-pere mpuan yang pernah aku sebut namanya. Semakin jauh Sindangsari daripadaku, aku menjadi sema kin merasa kehilangan meskipun a ku be lum pernah me milikinya" "Apakah kau benar-benar jatuh cinta?"
Manguri mengangguk "Perasaanku la in dari yang pernah tumbuh di hatiku terhadap gadis-gadis yang lain. Karena itu, meskipun Sindangsari bukan lagi seorang gadis, aku akan tetap berusaha untuk menga mbilnya" "Kau benar-benar menjadi gila. Tetapi jangan tergesa-gesa" Manguri menganggukkan kepalanya. Sekali ia menarik nafas dalam-dala m, kemudian katanya "Baiklah ibu. Aku percaya bahwa ibu akan dapat menolong aku. Aku tidak me mpersoalkan cara yang dapat ibu te mpuh" Ibunya tidak menyahut. Tetapi iapun merasa kasihan me lihat anaknya yang seakan-akan kehilangan segenap gairah masa mendatang. Bagaimanapun juga Manguri adalah anaknya. Anak yang dilahirkannya setelah dikandungnya sembilan bulan. "Mudah-mudahan dari hari kehari ia akan melupakannya" guma m ibunya sepeninggal Manguri "itu adalah penyelesaian yang paling baik. Menga mbil gadis itu dari Ki De mang adalah pekerjaan yang sulit sekali, kecuali kalau dala m sebulan atau dua bulan anak itu tidak diperlukan lagi, dan dicerai oleh Ki Demang seperti isteri-isterinya yang lain" Ibu Manguri itu mengerutkan keningnya ketika terngiang kata-kata laki-laki yang datang kepadanya itu "Sindangsari tidak boleh melahirkan anak" Tetapi Nyai Sukerta, ibu Manguri itu mencibirkan bibirnya "Kalau ia melahirkan anak sekalipun, bukan anakkulah yang akan dirugikannya" Dan tiba-tiba saja me lonjaklah sifat wanitanya "Persetan dengan isterinya. Mudah-mudahan Sindangsari me mpunyai banyak anak, sehingga pere mpuan itu tidak me mberi kesempatan orang lain menguasai jabatan De mang di Kepandak"
Nyai Sukerta ke mudian bangkit berdiri. Tetapi ia masih berguma m "Aku tidak peduli apapun yang akan terjadi. Tetapi aku berharap mudah-mudahan Manguri dapat melupa kannya, meskipun aku harus menukarnya dengan sepuluh gadis sekalipun" Sementara ibu Manguri dibingungkan oleh anaknya laki-laki dan Kade mangan Kepandak mula i riuh dengan persiapan untuk menerima sepasang Penganten dari Ge mulung yang akan datang sore hari, maka seorang Perwira yang sudah agak lanjut usianya, sedang mencari-cari seseorang diantara anak-anak muda yang datang dari beberapa daerah Kademangan di sekitar kota Kerajaan Mataram. "Dima na anak-anak dari Kepandak di tempatkan?" bertanya perwira itu kepada bawahannya yang bertugas mengurusi anak-anak muda yang akan mendapat latihan-latihan keprajuritan. "Di sana Tuan. Mereka di te mpatkan digandok rumah Ki Derpanala. Di sana ada tiga kesatuan. Satu diantaranya dari Kepandak" Perwira itu me ngangguk-anggukkan kepalanya. "Apakah tuan me merlukan menganggukkan kepalanya. seseorang?" Perwira itu
"Apakah aku dapat me manggilnya?" "Aku akan datang sendiri ke tempat itu?" Perwira itupun ke mudian pergi ke rumah Ki Derpanala untuk mencari te mpat penampungan anak-anak muda dari Kepanda k. "Aku mencari anak Ge mulung. Na manya Pamot" berkata perwira itu. Sejenak ke mudian ma ka Punta, tetua anak Gemulung telah me mbawa Pa mot menghadap perwira yang mencarinya. Dengan hati yang berdebar-debar mereka, selangkah demi selangkah mende kati perwira yang masih berdiri di hala man
bersama perwira yang mendapat tugas me mimpin katiga pasukan anak-anak muda dari tiga Kade mangan itu. "Tuan me manggil ka mi?" bertanya Punta. "Apakah kau bernama Pa mot?" "Bukan aku tuan. Tetapi kawanku ini. Aku adalah tetua anak muda Ge mulung. Barangkali tuan me merlukan ka mi berdua" Perwira itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya "Terima kasih. Tetapi ini adalah persoalan pribadi. Aku hanya me merlukan Pa mot" "O" Punta menganggukkan kepalanya diperkenankan ke mbali ke te mpat ka mi?" "Ya. Terima kasih" Puntapun ke mudian meningga lkan Pa mot sendiri dengan termangu-mangu. Ia sa ma se kali belum pernah melihat perwira itu, apalagi mengenalnya. "Aku me merlukannya sebentar" berkata perwira yang sudah agak lanjut usia itu kepada perwira yang bertanggung jawab atas anak-anak muda yang berada di ha la man itu. "Silahkan" jawabnya. Pamotpun ke mudian diajak duduk di tangga pendapa rumah yang besar itu. Dan tanpa me mbantah, Pamot hanya dapat mengikut inya dan kemudian duduk dengan kepala tunduk. "Kau datang dari Ge mulung?" bertanya perwira itu. "Ya tuan" "Panggil aku Ki Dipajaya" "Ya Ki Dipajaya" "Aku baru saja me ngunjungi bibimu" "apakah aku
"Bibi?" Pa mot maksud?"
menjadi heran "siapakah yang tuan "Di Ge mulung. Bukankah bibimu baru sibuk mengadakan peralatan pengantin?" Pamot menjadi bingung. "Aku adalah sahabat pamanmu. Di medan perang aku selalu bersama-sa ma. Pamanmu adalah prajuritku yang paling aku percaya" "Tetapi siapakah pa man itu?" Ki Dipajaya menjadi heran "Coba ingat-ingatlah. Ada berapa orang pamanmu yang menjadi prajurit Mataram?" Sejenak Pa mot mencoba mengingat-ingat. Na mun ke mudian ia me nggelengkan kepalanya "Tidak seorangpun dari pa man-pa manku yang menjadi prajurit" "Eh, kau masih se muda itu sudah menjadi pelupa. Aku baru saja mengunjungi bibimu. Bibimulah yang me mberitahu kepadaku, bahwa kau ada disini" Pamot menjadi se makin bingung. "Baiklah kalau kau benar-benar sudah pikun. Aku baru datang mengunjungi bibimu meskipun aku dan beberapa orang kawan yang lain tidak diundang da la m peralatan perkawinan puterinya yang diperisteri oleh Ki De mang di Kepandak" Dada Pa mot tiba-tiba berdesir. "Apakah kau ingat?" "Tetapi, tetapi" Pa mot tergagap "isteri Ki De mang itu bernama Sindangsari" "Nah, kau akhirnya teringat juga. Ibu Sindangsarilah yang berkata kepadaku, bahwa seorang ke manakannya ada di
dalam kelompok pengawal khusus dari Kepandak yang dibawa ke Mataram dala m persiapan perlawanan ka mi ke Barat" "O" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. hatinya masih saja bergola k. Tetapi
"Kenapa ibu Sindangsari itu menyebutku sebagai ke manakannya laki-laki?" pertanyaan itu melonja k-lonja k di dadanya. "Bibimu berkata kepadaku, bahwa ia menitipkan kau kepada bekas sahabat-sahabat pamanmu" perwira itu berkata selanjutnya "apakah kau tahu apa yang sudah dikerjakan oleh pamanmu?" Pamot yang menjadi sema kin bingung itu tiba-tiba saja mengge lengkan kepalanya sambil menjawab "Tidak tuan. Aku tidak tahu yang sudah dikerjakannya" "Pamanmu adalah prajurit yang luar biasa. Berani, tangguh dan tidak me me ntingkan kesela matan sendiri di peperangan" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tetapi karena itulah maka ia gugur di peperangan" Pamot masih mengangguk-angguk. Tetapi di dadanyapun menjadi se makin berdebar-debar. "Sekarang ternyata kau mengikuti jeja knya. Agaknya karena Ki Wiratapa sendiri t idak me mpunyai anak laki-la ki Anaknya hanya seorang. Perempuan lagi" Pamot masih saja mengangguk-angguk. "Sayang, ia harus kawin dengan Ki Demang di Kepandak yang sudah pernah kawin untuk yang kesekian kalinya" "Kalau tidak sa lah, keena m ka linya" tanpa sesadarnya Pamot menyela. "Sayang sekali. Apakah kau, atau orang tuamu tidak diajak berbicara mengenai perkawinan itu?"
Kini Pa mot benar-benar kebingungan. Tetapi ia berusaha untuk menyesuaikan dirinya, sehingga jawabnya "Tetapi pembicaraan dengan keluarga yang lain itu sama sekali tidak menentukan" "Kenapa" "Kakek, nenek dan ibu Sindangsari sendiri sebenarnya tidak setuju atas perkawinan itu" "Apakah laki-la ki itu pilihan Sindangsari sendiri?" "Juga bukan tuan" terasa kata-katanya menjadi se makin sendat "tetapi, bukankah Ki De mang di Kepanda k me mpunyai kekuasaan" Ki Dipajaya menarik nafas dala m-dala m. "Ya, kita me mang pernah mendengar bahwa Ki De mang di Kepandak kakak beradik me mpunyai ilmu yang tinggi. Dengan demikian, selain kekuasaanya sebagai seorang Demang, maka sudah tentu tidak seorangpun yang berani melawan kehendaknya sebagai orang yang tidak terkalahkan di Kepandak" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi di dala m hati ia bertanya Apakah seandainya ada orang yang menga lahkannya, secara pribadi, hal itu akan dapat menolong Sindangsari?" Na mun ke mudian dijawabnya sendiri "Itupun tidak. Ayah Manguri me mpunyai apa saja. La mat pasti tidak akan dapat dikalahkan oleh Ki De mang. Selain itu uang. Tetapi Manguri tetap tidak dapat merebut Sindangsari" "Tetapi bagaimanapun juga, perkawinan itu kini sudah berlangsung, desis Ki Dipajaya. "Ya" sahut Painot dengan suara parau. Sekilas terkenang olehnya, peristiwa yang telah me mbebani perasaannya sampai saat ini, bahkan mungkin tidak a kan terhapus dari hatinya. Saat-saat ia lupa akan dirinya, sehingga terjadilah perbuatan
yang terkutuk itu. Dan kini Sindangsari telah me njadi isteri Ki Demang di Kepanda k. "Apakah yang akan diala mi oleh anak itu, apabila Ki Demang dengan cara apapun dapat mengetahui, bahwa hal itu sudah terjadi" Apakah mungkin Sindangsari akan dicekik sampai mati?" Hati Pa motpun ke mudian menjadi gelisah karenanya. Tetapi ia kini tidak a kan dapat berbuat apa-apa lagi. "Seandainya hal itu terjadi, itu adalah karena salahku" katanya di dala m hati. Pamot terkejut ketika ia mendengar Ki Dipajaya berkata kepadanya "Nah Pa mot, biarlah perkawinan yang sudah terjadi itu berlangsung terus. Mudah-mudahan anak pa manmu itu mene mukan kebahagiaannya" Ki Dipajaya berhenti sejenak, lalu "se karang, bagaimana dengan kau" Apakah kau ingin menjadi seorang prajurit seperti pamanmu, atau kau ingin tetap dalam keadaanmu sekarang, Pasukan sukarela dari anak-anak muda Kade mangan Kepandak di samping anakanak muda dari Kade mangan-Kade mangan yang la in?" Pamot menjadi bingung mendapat pertanyaan itu. Ia tidak sempat me mbuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan, sehingga jawabnya "Tuan, aku menjadi bingung dengan pertanyaan itu". Ki Dipajaya tersenyum. Katanya kemudian "Tentu, karena kau tidak bersedia menerima pertanyaan itu. Tetapi jawabnya tidak tergesa-gesa kau ucapkan sekarang. Kau masih me mpunyai waktu. Aku akan tetap berada diantara kelompokkelompok anak-anak muda yang akan bertugas sebagai prajurit-prajurit yang akan melawat ke Barat, karena aku adalah sebagian dari prajurit-prajurit Mataram yang ditugaskan untuk itu" Pamot menundukkan kepalanya. Jawabnya lirih "Ya tuan Aku akan mencoba berpikir untuk beberapa saat"
"Baiklah. Tetapi aku berharap bahwa aku dapat me mbantumu. Tentu saja untuk kebaikanmu. Sebagai seorang prajurit seseorang me mang harus me miliki beka l yang cukup" Ki Dipajaya berhenti sejenak, lalu "di dala m latihan-latihan yang akan segera diadakan aku akan segera melihat, apakah kau me mpunyai bekal jasmaniah dan rokhaniah untuk menjadi seorang prajurit apabila kau kehendaki" "Ya tuan" jawah Pa mot "Tetapi, sebagai sahabat Ki Wiratapa, aku ingin melihat ke ma mpuanmu dala m saat-saat yang khusus. Untuk tidak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan pada kawan-kawanmu dan juga anak-anak muda dari Kade mangan yang la in, sebaiknya kita mencari te mpat yang la in" "Maksud tuan?" Perwira itu tersenyum "Sebenarnya aku merasa berhutang budi kepada pa manmu. Bukan a ku saja, tetapi beberapa orang yang saat itu bersama-sa ma bertempur dala m suatu arena yang sempit yang merupakan bagian kecil dari seluruh pertempuran yang terjadi" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. "Hanya dengan cara itulah aku dapat me mbalas budi pamanmu yang telah mendahului ka mi itu. Selanjutnya apabila kau kehendaki a ku a kan berusaha mene mpatkan kau sebagai seorang prajurit. Sudah tentu melalui cara-cara yang dimungkinkan, dan dengan syarat-syarat yang dapat kau penuhi" Pamot tidak dapat menyahut untuk sesaat. Ia belum me mpunyai ga mbaran yang jelas, apakah yang sebenarnya sudah terjadi atasnya dan kesempatan yang terbuka baginya. Pamot mengangkat wajahnya ketika ia merasa punggungnya ditepuk oleh perwira yang bernama Dipajaya
itu. Sambil berdiri ia kesempatan berpikir"
berkata "Kau masih me mpunyai "Ya Tuan" jawab Pa mot terbata-bata. "Nah, cobalah me mpertimbangkan" Dipajaya berhenti sejenak lalu "se karang, aku me mpunyai keperluan yang la in. Kalau pada suatu saat kau mendapat keputusan, katakanlah kepadaku" "Ya tuan. Sebelumnya aku me ngucapkan terima kasih atas perhatian tuan" Dipajaya tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata "Kalau kau bersungguh-sungguh, aku me lihat ke mungkinan-ke mungkinan yang baik buat hari depanmu" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sekali lagi ia hanya dapat berkata "Terima kasih tuan" Ketika Dipajaya ke mudian meninggalkannya. Pamot tanpa sesadarnya terduduk ke mbali di te mpatnya. Ia terperanjat ketika seseorang dengan tiba-tiba saja telah duduk di sampingnya. "Kau Punta" Punta mengangguk "Siapakah perwira itu?" ia bertanya. "Ki Dipajaya" "Dima na kau mengenalnya?" "Aku belum pernah mengenalnya. Baru kali ini aku me lihatnya" "Apa perlunya ia mencari kau?" "Itulah yang aneh bagiku. Agaknya ia baru saja menghadiri perkawinan Sindangsari" "O"
"Tetapi itu tida k penting. Yang aneh bagiku, kenapa ibu Sindangsari berkata kepada Ki Dipajaya, bahwa aku, salah seorang pengawal khusus dari Kepanda k, adalah ke menakannya" "He?" Punta mengerutkan keningnya. "Aku tidak tahu maksud ibu Sindangsari. Na mun dengan demikian, aku mendapatkan perhatian khusus dari Ki Dipajaya, karena Ki Wiratapa, ayah Sindangsari adalah kawan Ki Dipajaya di peperangan ketika pasukan Mataram dan pasukan dari pantai Utara me lakukan serangan pertama gelombang kedua ditahun yang lalu" Punta mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa bahwa sebenarnya Pamot telah berhasil mengadakan hubungan batin dengan keluarga Sindangsari. Hanya karena kekuasaan Ki Demang sajalah, maka hubungan antara Pamot dan Sindangsari itu harus dipisahkan. "Lalu, apa saja yang dikatakannya?" bertanya Punta pula. Dengan singkat Pamot mengatakan, tawaran yang sudah diberikan oleh Ki Dipajaya seandainya, ia ingin me masuki lapangan keprajuritan seperti ayah Sindangsari. Punta masih saja mengangguk-anggukkan kepa lanya. Perlahan-lahan ia berkata "Kau me mpunyai kese mpatan Pamot. Pikirkanlah baik-baik. Ternyata bahwa hari depan masih menyimpan banyak ke mungkinan. Kegagalan pada satu segi, akan dapat diimbangi dengan ke mungkinan lain yang mungkin lebih baik" Pamot tida k menjawab. Tetapi kepalanya teranggukangguk kecil. Sejenak kemudian maka keduanyapun segera kembali ke tempat mereka, diantara anak-anak Kepandak yang lain. Kepada kawan-kawannya Pamot dan Punta hanya mengatakan, bahwa perwira itu adalah seorang yang pernah
mengenal ke luarga Pamot. Mereka tidak mengatakan tentang ibu Sindangsari dan tawaran-tawaran yang telah diterimanya. Namun ketika matahari terbenam di ujung Barat, dan anakanak muda itu ke mudian telah terbaring di tempat masingmasing diatas tikar yang begitu saja dibentangkan diatas lantai. Pamot mulai dibayangi oleh berbagai angan-angan tentang dirinya sendiri. Tentang hari depannya, tentang pesan ibu Sindangsari kepada Ki Dipajaya dan terkilas pula bayangan Sindangsari yang duduk bersanding dengan Ki De mang di Kepandak. Pamot yang menjadi gelisah itu mencoba untuk menghapus bayangan-bayangan itu. Sekali ia miring kekanan, ke mudian miring ke kiri. Bahkan kemudian ia mene lungkupkan tubuhnya sambil menye mbunyikan wajahnya diantara tangannya yang bersilang. Tetapi bayangan itu tidak juga dapat hilang dari kepalanya. Akhirnya Pamot tidak dapat lari lagi. Ia terpaksa menelusuri dunia yang lain, yang hanya ada di dalam angan-angannya itu. Sehingga perlahan-lahan ia justru mene lentangkan dirinya sambil me natap langit-langit. Pada ma la m itu juga, di Kade mangan Kepandak me mang sedang berlangsung upacara ngunduh penganten. Penganten perempuan telah dibawa oleh sua minya, ke rumahnya. Penganten perempuan dengan demikian akan terpisah dari keluarganya sendiri, mengikuti sua minya sebagai seorang isteri. Sebagai seorang yang sepenuhnya akan mengurusi rumah tangga sendiri. Ketika iring-iringan penganten mulai bergerak meninggalkan rumah Sindangsari, maka ia tidak dapat menahan lagi titik-titik air yang menga mbang di pelupuknya me mbasahi pipinya. Bagaimanapun juga ia mencoba pasrah diri, tetapi terasa hatinya meronta.
"Jangan menangis Sari" bisik ibunya "kau adalah orang yang sedang berbahagia hari ini. Lihatlah, beberapa hari sebelum berlangsung perkawinan ini, berapa orang yang telah bekerja dengan sibuknya. Berapa ratus orang yang sudah tergerak untuk mengunjungi peralatan ini, di hari-hari perkawinan dan di hari-hari yang akan datang di rumah Kademangan. Semuanya itu sekedar menghormati kau. Menghormati hari-hari bahagia mu" Sindangsari tidak menjawab. Dengan ujung jarinya ia mengusap titik air di sudut matanya. "Senyumlah. Se mua ta mu a kan tersenyum pula" Sindangsari mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak tersenyum. Ketika tanpa sesadarnya ibu Sindangsari me mandang wajah menantunya, tampaklah wajah itupun menjadi sura m. Bukan wajah seorang lalaki yang meskipun dengan cara apapun, berhasil mengawini seorang pere mpuan yang dikehendaki. Akhirnya, dengan luka-luka di dala m hati, Sindangsaripun berjalan di samping Ki De mang di Kepandak, meninggalkan halaman rumahnya menuju ke Kade mangan. Sorak sorai anak-anak Ge mulung yang melihat iring iringan itu serasa air yang tersira m pada luka di hati. Se makin pedih. Dala m kesuraman senja, arak-arakan penganten itu menyelusuri jalan di Ge mulung menuju ke Kade mangan Kepandak. Ki De mang sengaja merencana kan iring iringan itu berjalan kaki disenja hari, sesuai dengan saat yang telah dipilih oleh orang-orang tua. Tetapi juga suatu cara dari Ki Demang untuk me mbuat Kade ma-ngannya menjadi sangat meriah. Jalan-jalan yang akan dilewati oleh sepasang penganten itu menjadi ra mai seperti hari-hari merti desa. Bahkan
me la mpaui. Di setiap regol terpasang obor-obor yang besar untuk menerangi jalan. Di simpang-simpang t iga dan simpang empat. Setiap tikungan dan bahkan ha mpir di setiap jengka l. Ikut dala m iring-iringan itu, selain orang-orang tua yang mewakili ke luarga dari kedua be lah pihak, ikut pula Ki Reksatani, Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu Kademangan yang lain. Namun de mikian beberapa orang sempat me mperhatikan wajah kedua pengantin yang berjalan perlahan-lahan itu. Seorang perempuan muda mengga mit kawannya sambil berbisik "He, wajah-wajah kedua pengantin itu begitu sura m seperti suramnya senja ini" "Sudah tentu, Bukankah Sindangsari tidak mencintai Ki Demang di Kepandak. Gadis itu mencintai kawan se padukuhannya. Kau kenal Pa mot bukan?" Jangan sebut gadis. Ia bukan gadis lagi. Ia sudah bersuami sejak lima hari yang lalu" "Ah kau" desis kawannya, kemudian "dan sekarang Pamot itu sudah pergi. Ia ikut bersama anak-anak muda yang lain ke Mataram" "Ya, aku sudah tahu. Tetapi lihat, wajah Ki De mangpun tampak begitu sura m" "Tentu ia kecewa, isterinya tidak menjadi ge mbira dala m hari-hari perkawinan" "Bukankah ha l itu sudah diketahuinya" "Kalian salah na k" terdengar suara perempuan tua yang berdiri di bela kang mereka. Kedua perempuan yang sedang berbincang itu terkejut, sehingga serentak merekapun berpaling. "Ah bibi" desis pere mpuan muda itu.
"Setiap kali Ki De mang kawin, wajahnya selalu mura m. Aku pernah me lihat ia kawin beberapa kali. Seperti kalian, akupun selalu me mperhatikan wajahnya. Dan wajah itu selalu mura m" perempuan tua itu berhenti sejenak, lalu "ketika ia kawin untuk yang kee mpat dan kelima kalinya, wajah isterinya berseri-seri seperti anak-anak yang akan mendapat berbahagia, bahwa mereka akan menjadi Nyai De mang di Kepandak. Tetapi pada saat itu wajah Ki De mangpun semura m wajahnya kini" Kedua perempuan yang mendengarkannya menganggukanggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak se mpat menjawab, karena iring-iringan penganten itu sudah lawat sampai orang yang terakhir sehingga orang-orang yang berdiri di pinggir jalanpun telah mulai bubar, meninggalkan te mpatnya, masingmasing. Hanya beberapa orang anak-anak sajalah yang mengikut i iring-iringan itu sambil berteriak-teriak. Demikianlah, maka setelah mereka berjalan beberapa saat, me la mpaui beberapa padukuhan, akhirnya merekapun me masuki padukuhan Kepandak. Padukuhan ini tampak lebih meriah dan ra mai dari padukuhan-padukuhan lainnya. Apalagi senja telah disabut oleh gelapnya mala m yang menjadi semakin kela m. Maka cahaya obor yang kemerah-merahan me mbuat suasana menjadi se makin hidup. Bukan saja orang-orang yang akan menyaksikan penganten yang sedang diarak itu sajalah me menuhi jalan: tetapi orangorang yang berjualanpun telah berderet berjajar di sekitar halaman Kade mangan. Di pendapa Kade mangan me mang sudah dipersiapkan upacara penyambutan penganten, yang akan segera diteruskan dengan kera maian dan pertunjukan se mala m suntuk tiga mala m berturut-turut Tetapi semuanya itu sama sekali tida k me mpengaruhi hati Sindangsari yang ge lap. Disepanjang ja lan, ia hanya se mpat merenungi dirinya sendiri. Ia tidak melihat sama sekali,
kawan-kawannya me la mbai-la mbaikan tangannya kepadanya. Dan ia tidak melihat orang-orang tua tersenyum sambil berguma m "Sindangsari me mang gadis yang cantik seka li" Demikianlah maka upacara yang diselenggarakan di Kademanganpun sama sekali tidak menggerakkan hatinya. Ia berbuat apa saja yang harus dilakukan dengan hati yang kosong. Kemudian dengan hati yang kosong pula ia duduk di tengah-tengah ruang dalam bersanding dengan Ki De mang. Sejak ia me masuki hala man, kepalanya selalu tertunduk dalam-da la m, sehingga ia tida k me lihat siapa saja yang berada di pendapa menghormati kehadirannya. Upacara yang berlangsungpun sama sekali tidak menarik perhatiannya. Ia tidak mendengar jelas kalimat de mi ka limat, bagaimana wakil dari orang tuanya menyerahkannya kepada keluarga sua minya yang diterima oleh seorang yang telah ubanan dan berkumis putih pula. Debar dijantungnya menjadi se makin keras berdentang ketika upacara-upacara semuanya telah lalu. Oleh dua orang perempuan setengah baya ia digandeng memasuki bilik yang sudah disediakan. Ke mudian masuklah seseorang yang tadi telah meriasnya. "Kau terla mpau lelah na k" katanya "karena itu segeralah beristirahat. Tetapi sebaiknya kau bertukar pa kaian dan me lepas pakaian pengantenmu" Sindangsari tida k menyahut. Seperti golek kayu ia menurut saja apa yang harus dila kukannya dan diperla kukan atasnya oleh juru riasnya. Ketika juru riasnya itu sudah selesai melepas perhiasanperhiasan pengantinnya, dan kini ia sudah berpakaian yang lebih sederhana, maka perempuan setengah baya yang me mbawanya berkata "Nah, sekarang kau boleh beristirahat. Kau dapat berbuat sesuka hatimu disini ngger. Rumah ini adalah rumahmu.
Dada Sindangsari berdesir mendengar kata-kata itu. Rumah ini adalah rumahnya. Dan ia dapat berbuat sekehendaknya di rumah ini. "Nah, kalau kau ingin beristirahat, beristirahatlah. Tetapi kalau kau ingin melihat tontonan di pendapa, itupun akan lebih ba ik, karena kau akan segera berkenalan dengan orangorang terdekat dari Ki Demang, dan perempuan-pere mpuan yang akan menjadi tetanggamu nanti" Semuanya itu terdengar aneh ditehnga Sindangsari Ia akan berkenalan dengan perempuan yang dekat dengan Ki Demang. Mungkin dengan keluarga dan saudara-saudaranya. Juga dengan perempuan-perempuan yang akan menjadi tetangganya. Belum lagi ia mene mukan ketenangannya, tiba-tiba seorang perempuan masuk sa mbil menggendong seorang bayi dan menggandeng seorang anak laki-laki. Perempuan-pere mpuan yang sudah ada di dala m ruangan itu segera berdiri dan me mpersilahkannya dengan hormat. Tanpa sesadarnya Sindangsaripun berdiri pula dan me mbungkukkan kepalanya seperti perempuan-pere mpuan yang lain. "Ah mBok Ayu" pere mpuan itu berkata "aku adalah adikmu" Sindangsari menjadi terheran-heran. Perempuan itu pasti sudah labih tua daripadanya. Apalagi ia sudah mempunyai beberapa orang anak. Tetapi ia menyebut dirinya sebagai adiknya. Selagi Sindangsari terheran-heran, perempuan itu tertawa "Aku me mang ingin me mperkenalkan diriku. Kita a kan segera menjadi keluarga terdekat. Aku adalah isteri Ki reksatani adik Ki De mang di Kepandak. Bukankah aku harus menyebut mBok Ayu kepadamu"
Sejenak Sindangsari tidak dapat mengatakan sesuatu. Dipandanginya Nyai Reksatani itu sejenak, ke mudian perempuan-pere mpuan lain yang ada di dala m bilik itu. "Kau adalah mBok Ayuku yang paling cantik yang pernah aku kenal" berkata Nyai Reksatani kemudian "Aku sudah mengenal lima, dan kini menjadi ena m orang isteri kakang Demang. Tetapi kau adalah isteri yang paling cantik dan muda. Mungkin karena kau sudah la ma hidup di kota, sehingga kau me mpunyai beberapa kelebihan dari perempuan-pere mpuan desa. Sindangsari menjadi se makin bingung. Hanya karena keinginannnya untuk menanggapinya ia mengangguk kecil sambil berkata "Ah, akupun seorang gadis desa" "He" sahut Nyai Reksatani "kau bukan seorang gadis lagi" Dada Sindangsari berguncang mendengar jawaban itu. Tetapi Nyai Reksatani melanjut kan "Kau sekarang menjadi Nyai De mang di Kepandak. Biasakan dengan sebutan itu Nyai Demang" Sindangsari tida k segera dapat menyahut. Apalagi ketika ia me lihat Nyai Reksatani itu ke mudian tertawa berkepanjangan. Katanya kemudian "Apakah sebutan itu janggal di telingamu" Me mang mula-mula kau akan merasa janggal. Mungkin kau labih senang disebut Rara Sindangsari. Tetapi na ma itu harus kau simpan. Na ma mu ke mudian adalah Nyai De mang di Kepandak" Bukan saja Nyai Reksatani yang ke mudian tertawa, tetapi kedua pere mpuan separo baya itupun tersenyum pula. "Nah mBok Ayu. Biasakan dengan ruma h ini. Rumah ini me mang pernah dihuni oleh lima orang perempuan isteri kakang De mang berganti-ganti. Aku mengenal mereka semuanya dengan ba ik. Tetapi me mang tidak seorangpun yang secantik itu" Nyai Reksatani terdiam sejenak lalu "Na mun demikian mereka adalah perempuan-pere mpuan yang baik.
Mereka segera kenal dengan seisi rumah ini tanpa malu-ma lu. Meskipun ke mudian menjadi Nyai De mang di Kepanda k, tetapi mereka tetap rendah hati. Dengan senang hati mereka pergi ke dapur. Me mbantu para pe mbantu dan para tetangga yang sibuk menyiapkan hidangan bagi tamu seperti mala m ini Mereka tidak perlu dilayani secara khusus di dala m bilik seoerti seorang permaisuri. Tiba " tiba saja dada Sindangsari bergejolak. Ia tidak mengerti maksud Nyai Reksatani Sekilas me mang terasa semua itu sebagai suatu sindiran. Kedua perempuan separo baya itu kini sudah tidak tersenyum lagi. Bahkan juru rias yang masih ada di dalam bilik itupun mengerutkan keningnya. "Eh, agaknya aku terla mpau banyak berbicara" berkata perempuan yang mendukung anaknya itu "kalau mbok Ayu me mang belum selesai silahkanlah. Aku akan me lanjutkan kerjaku" ia berhenti sejenak, lalu "t idak, akupun tida k berbuat apa-apa. Aku hanya sekedar mempersilahkan para tamu untuk duduk di pendapa " Sindangsari masih berdiri seperti patung. "Sela ma ini aku tidak se mpat ikut kakang Reksatani ke Gemulung. Aku terpaksa mengurusi rumah ini sela ma persiapan hari-hari yang meriah ini. Sindangsari masih tetap berdia m diri. Bahkan mulutnya kini serasa terbungkam. Sambil tertawa pendek Nyi Reksatani segera melangkah keluar. Namun ia masih sempat berkata "Kali ini kakang Demang mendapatkan seorang isteri yang lain. Isteri yang berasal dari kota. Tetapi barangkali me mang isteri se maca m inilah yang dicarinya sela ma ini. Dan Kade mangan ini akan segera menjadi segar oleh sekuntum bunga yang indah. Bunga perhiasan" Hati Sindangsari serasa tergores oleh tajamnya sembilu. Ia tidak menyangka bahwa di hari perta ma ia tinggal di rumah
suaminya ia telah mengala mi perlakuan yang menyakitkan hati. Tetapi sepeninggal Nyai Reksatani, perempuan yang sudah separo baya itu berkata lirih "Jangan hiraukan. Aku tidak mengerti kenapa Nyai Reksatani tiba-tiba saja berubah. Sebenarnya ia adalah perempuan yang baik. Ia tidak pernah bersikap sekasar itu kepada siapapun juga. Apalagi kepada orang yang baru saja dikenalnya" Dan perempuan yang la in menyambung "Mengherankan sekali. Tetapi sebagai seorang pere mpuan ia mungkin seka li menjadi iri me lihat kau ngger. Bukan maksudku menyindir seperti Nyai Reksatani, tetapi kau me mang cantik seka li. Jauh lebih cantik dari Nyai Reksatani itu sendiri" "Ah" Sindangsari hanya dapat berdesah. "Aku berkata sesungguhnya. Bertanyalah kepada juru paes yang sudah beratus kali merias penganten di Kepandak ini. Aku yakin bahwa ia belum pernah menjumpai penganten secantik kau" "Jangan me muji bibi" jawab Sindangsari ke mudian "tetapi aku kira sikapku me mang telah me muakkan bagi Nyi Reksatani. Sebaiknya aku me mang pergi ke dapur" "O. tentu tidak. Jangan pergi ke dapur. Itu tidak perlu sama sekali. Bukan hanya Nyai Reksatani saja yang pernah melayani penganten disini sa mpai enam ka li. Akupun selalu ada di rumah ini ka lau Ki De mang kawin. Bahkan Nyai Reksatani termasuk orang baru pula di dala m ke luarga Ki De mang. Ia termasuk ke luarga Ki De mang setelah ia kawin dengan Ki Reksatani" "Tetapi, tetapi apakah aku tidak menjadi terlampau manja dengan sikapku sekarang ini?" "Tida k, tidak. Kau terla mpau baik. Percayalah. Bukan seharusnya kau pergi ke dapur. Kalau kau mau keluar dari
dalam bilik ini, pergilah ke pendapa. Kau akan segera mengenal pere mpuan-pere mpuan di se kitarmu" "Tetapi.." Sindangsari menjadi ragu-ragu. "Jangan hiraukan Nyai Reksatani. Kaulah yang mempunyai wewenang disini. Kau dapat berbuat sesuka hatimu. Tidak ada orang lain yang lebih berkuasa daripada kau disini, selain Ki Demang itu sendiri. Dan Ki De mang itu adalah sua mimu. Sadari ini" Sindangsari mengangguk-anggukkan kepa lanya. Beruntunglah ia bahwa di rumah ini ada perempuan yang sudah agak lanjut usia yang baik hati. "Jadi. Apakah kau akan pergi ke pendapa?" bertanya salah seorang dari mereka. Tanpa sesadarnya Sindangsari menganggukkan kepalanya. "Marilah, aku akan mengantarmu. Aku akan berbuat sesuatu kalau Nyai Reksatani masih saja menyindir-nyindir kau" Sindangsari mengangguk pula. Karena itu, maka diantar oleh kedua perempuan itu Sindangsari ke luar dari dala m biliknya. Sedang juru paesnya masih me mbenahi beberapa maca m perhiasan dan pakaian penganten yang baru saja dilepasnya. Ketika Sindangsari melangkahi pintu pendapa, semua orang berpaling ke arahnya. Di sebelah kiri beberapa orang laki-laki me mandangnya dengan penuh perhatian. Sekali-sekali mereka berpaling kepada Ki De mang yang duduk diantara mereka. Kemudian kepada me mpe lai pere mpuan itu. Tetapi sejenak ke mudian Sindangsaripun dibawa masuk ke mbali. Di pringgitan Sindangsari duduk diantara beberapa orang perempuan. Diantara mereka terdapat beberapa orang yang
masih ada sangkut-paut kekeluargaan dengan Ki De mang, sedang yang lain adalah isteri para bebahu Kademangan dan beberapa orang tetangga. Kehadiran Sindangsari mereka sa mbut dengan riuhnya. Beberapa orang yang masih termasuk muda. segera menyapanya dan me mperkena lkan diri mendahului orang tuatua. "Ka mi merasa senang seka li bahwa di rumah Kade mangan ini akan segera menjadi segar ke mbali. Manguri t idak segera menjawab. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan mondar-mandir di hadapan ibunya. Beberapa saat Kademangan ini terasa sepi, karena tidak ada seseorang yang mendampingi Ki De mang di Kepandak. "Sebentar lagi rumah ini pasti a kan bercahaya, karena di dalamnya akan tinggal seorang isteri yang cantik" berkata seseorang. Kawan-kawannyapun mengangguk-anggukkan mereka sa mbil menya mbung "Ya, tentu. Tentu" kepala
Sindangsari tahu benar, bahwa mereka hanya sekedar berkelakar. Nadanya agak berlainan dengan nada ucapan Nyai Reksatani. Itulah sebabnya ia mencoba untuk tersenyum menanggapi kata-kata itu. Namun betapa hatinya yang pedih menjadi berta mbah pedih. Orang-orang tuapun kemudian menyebut dirinya masingmasing. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang tampaknya baik hati dan bersikap jujur terhadapnya. "Mudah-mudahan kau kerasan tinggal di rumah ini" berkata seorang tua yang sudah tidak bergigi lagi. "Mudah-mudahan" terdengar. suara Sindangsari ha mpir t idak
"Aku adalah tetanggamu yang terdekat" orang tua itu me lanjutkan "ruma hku adalah rumah di sebelah rumah Ki Demang ini. Memang masih ada hubungan keluarga meskipun sudah agak jauh. Kalau kau memerlukan sesuatu panggillah aku" "Terima kasih" jawab Sindangsari "a ku akan selalu minta pertolongan dan petunjuk" Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepa lanya. Tampaknya ia masih akan berbicara, na mun ke mudian diurungkannya. Dala m pada itu di luar suara ga melan telah menggelagar diantara suara riuh anak-anak di sekitar pendapa. Mereka menunggu pertunjukan yang akan diselenggarakan di pendapa. Beberapa orang penari terbaik dari Kademangan kepandak akan me mpertunjukkan beberapa jenis tari-tarian, yang dia mbil dari la kon Panji Asmarabangun. Pertunjukan itu tidak akan diselenggarakan di pendapa tetapi justru di halaman, mengitari la mpu obor yang terpancang pada sebuah ajug-ajug. Halaman rumah Ki Demang itu se makin ma la m menjadi se makin riuh. Anak-anak yang berlari-larian sambil berteriak-teriak tidak henti-hentinya bersimpang-siur silang menyilang. Para penjual makanan duduk terkantuk-kantuk sa mbil me nunggui dagangan mereka. Sekali-seka li mereka terkejut oleh anak-anak yang menyodorkan uang mereka untuk me mbeli beberapa jenis makanan. Riuhnya anak-anak di hala man. Serasa membuat hati Sindangsari se makin kisruh. Tetapi diantara perempuanperempuan yang ada di pringgitan Sindangsari merasakan sikap-sikap yang baik dan hormat kepadanya, sebagai seorang isteri De mang. Meskipun Sindangsari tida k tahu, apa yang tersimpan di hati mereka, namun menilik sikap dan kata-kata mereka, mereka sa ma se kali tidak berpura-pura.
"Agaknya hanya Nyai Reksatani sajalah yang bersikap lain terhadapku" desis Sindangsari di dala m hatinya. Ketika pertunjukan di luar ke mudian dimula i, tamu-ta mu perempuan di pringgitan seorang de mi seorang mulai meninggalkan pertemuan. Mereka sebagian adalah orangorang yang sehari-harian sudah menunggui rumah Ki De mang dan menyiapkan peralatan perkawinan itu. "Kita akan selalu berhubungan di setiap hari" orang tua yang sudah tidak bergigi itu berkata kepada Sindangsari sambil minta diri. "Ya, aku mengucapkan diperbanyak terima kasih" "Jangan malu-ma lu dan jangan segan. Aku senang sekali me mpunyai seorang tetangga yang cantik sekali" Ke mudian ia berbisik "Belum pernah ada seorang perempuan secantik kau tinggal di rumah ini. Meskipun kelima puteri Ki De mang yang terdahulu, termasuk pere mpuan-pere mpuan yang cantik di Kademangan ini, tetapi mereka adalah orang-orang desa ini pula. Sebagian dari mereka me njadi mabuk karena kesempatan mereka menjadi Puteri seorang Demang. Mereka bersikap aneh dan berlebih-lebihan. Tetapi kau adalah perempuan yang cant ik dan luruh" "Ah" Sindangsari berdesah. "Umurku menjelang tiga pere mpat abad. Aku sudah mengenal banyak sekali orang-orang dengan segala maca m wataknya. Pertemuan ini menunjukkan kepadaku, bahwa kau seorang yang baik meskipun kau me mpunyai banyak kelebihan. Bukankah sudah la ma kau tingga l di kota" Wajah Sindangsari menjadi merah. Tetapi ia berterima kasih kepada Tuhan, bahwa di dala m kepahitan hidupnya, ia telah dipertemukan dengan orang-orang tua yang baik. Di rumah ini ia berada jauh dari orang-orang tuanya. Ibu, kakek dan neneknya yang kadang-kadang masih menganggapnya
sebagai seorang gadis kecil. Yang kadang-kadang masih me mbe lai keningnya dan ra mbutnya. "Aku harus mendapatkan ganti orang-orang tuaku" katanya di dala m hati. Maka sejenak ke mudian pringgitan itu menjadi se makin sepi. Mereka yang tidak minta diri untuk pulang ke rumah masing-masing, telah pergi ke dapur untuk menyiapkan hidangan bagi para ta mu dan para penari. Akhirnya Sindangsaripun bertanya kepada kedua orangorang tua yang mengawaninya "Apakah aku sudah boleh beristirahat?" "Tentu. Tentu. Kau dapat berbuat sesuka hatimu. Orangorang lainlah yang harus menyesuaikan dirinya. Seandainya kau masih menghendaki orang-orang lain duduk di pringgitan, kau berhak me manggilnya. Bahkan kau dapat menentukan apa yang harus mereka la kukan di rumah ini" Sindangsari menarik nafas dalam-da la m. Tetapi ia me mpercayai mereka. Tetapi belum lagi Sindangsari meninggalkan tempat itu, Nyai Reksatani tiba-tiba telah masuk ke pringgitan. Kali ini ia sudah tidak lagi menggendong anaknya. "Ah lelahnya" ia berdesah sa mbil duduk di sebelah Sindangsari yang justru sudah hampir berdiri "berapa hari aku bekerja keras di rumah ini. Akulah yang seolah-olah menjadi penanggung jawab dari peralatan ini, atau bahkan seolah-olah akulah yang telah menyelenggarakan peralatan" Sindangsari tida k menyahut. Dipandanginya wajah kedua orang tua yang mengawaninya itu sejenak, namun ke mudian ia menundukkan kepalanya. "Mala m ini barulah mala m yang pertama" desis Nyai Reksatani kemudian "masih ada dua mala m lagi. Oh, tanganku sudah serasa patah" tiba-tiba ia berpaling kepada Sindangsari
"mBok Ayu. Semuanya ini sekedar untuk merayakan hari perkawinanmu. Se mua orang yang sibuk tanpa henti hentinya selama beberapa hari ini se mata-mata karena kau" Sindangsari mengerutkan keningnya. Tetapi ia sama sekali tidak dapat menjawab. Mulutnya serasa terbungkam dan hatinya menjadi se makin bergejolak. "Nyai Reksatani" orang tua yang mengawani Sindangsari itulah yang menyahut "bukankah sudah sewajarnya demikian" Aku misalnya, Aku adalah seorang anggauta keluarga besar dari Ki De mang di Kepandak, meskipun hubungan darah itu sudah jauh. Aku berbuat seperti apa yang aku lakukan sekarang ini oleh kehendakku sendiri" Nyai Reksatani mengerutkan keningnya. Katanya "O, tentu. Tentu. Semuanya melakukannya atas kehendak mereka masing-masing. Ma ksudku, agar mBok Ayu itu mengetahui, apa saja yang sudah dila kukan orang untuknya. Apakah dengan demikian ia a kan dapat menutup mata dan tinggal saja duduk merenung?" "Maksudmu Nyai?" bertanya perempuan yang lain. Nyai Reksatani tidak segera menjawab. Ditatapnya perempuan itu sejenak, lalu "Tida k. Aku tidak berma ksud apaapa" Sindangsari menjadi se makin tida k senang mengala mi perlakuan itu. Tetapi ia tidak perlu mengucapkan sendiri, karena seakan-akan mengetahui apa yang terkandung di dalam hatinya, perempuan tua yang mengawaninya itu berkata "Bukan salah Nyai Demang. Ia tidak mengharapkan apa-apa. Bukankah ia orang baru disini". Kalau hal ini perlu disinggung-singgung maka katakanlah saja kepada Ki Demang, atau Ki Reksatanilah yang harus mengatakan, bahwa Ki De mang harus berterima kasih kepada se mua orang yang menjadi sangat lelah karenanya, sehingga ia tidak akan dapat menutup mata"
"Ah kau" potong Nyai Reksatani "bukan itu maksudku. Kau salah menangkap ma ksud kata-kataku" Perempuan tua itu mengerutkan keningnya. "Aku hanya ingin mengatakan bahwa orang-orang di sekitar ini me mang orang-orang yang baik. Mereka dengan senang hati me mbantu peralatan ini" Perempuan-pere mpuan tua itu tidak me njawab lagi. Salah seorang dari mereka berkata "Marilah. Kau perlu beristirahat" "Beristirahatlah" Nyai Reksatani menyahut "biarlah aku sendiri yang menyelesaikan urusan dapur dan para ta mu itu" Sindangsari me njadi bingung. Tetapi pere mpuanperempuan itu ke mudian me mbimbingnya dan me mbawanya masuk ke ruang da la m, ke mudian langsung ke biliknya. Nyai Reksatani me mandang langkah Sindangsari sa mbil mencibirkan bibirnya. Iapun kemudian pergi meninggalkan pringgitan. Di depan pintu ia berpapasan dengan suaminya. Ki Rekstani. "Apakah perempuan itu na mpaknya akan kerasan tinggal disini?" bertanya laki-laki itu. "Aku belum tahu" jawab isterinya. "Usahakan, agar ia mendapat kesan yang jelek untuk pertama kali ia tinggal disini. Buatlah anak itu marah, atau sakit hati atau menangis atau apapun. Kesan yang pertama kali bagi seseorang di te mpat tingga lnya yang baru sangat berpengaruh baginya untuk seterusnya" Sekali isterinya mengangguk. Ki Reksatanipun ke mudian me langkah pergi sa mbil berkata "Aku masih harus mengawasi orang-orang yang menyediakan minuman"
"Kenapa kakang sendiri yang mela kukannya" Apa tidak ada orang lain" "Itu lebih baik bagiku daripada aku harus duduk di pendapa terus-menerus. Aku menjadi sangat le lah. Biarlah Ki Jagabaya mene mani ka kang De mang disana. Aku akan menunggui orang-orang di belakang sa mbil tidur" ia berhenti sejenak, lalu "he, apakah nasi sudah masak" Isterinya mengangguk. "Aku lapar. Sediakan ma kanku. Aku akan ma kan di belakang. Aku tidak tahan menunggu ma kan bersa ma para tamu nanti tengah mala m. Jangan lupa. brutu ayam" Ki Reksatani itupun ke mudian meninggalkan isterinya berdiri termangu-mangu. Ternyata tugas yang dibebankan sua minya kepadanya itu cukup berat baginya. Apalagi ketika ada orang-orang lain yang menca mpuri persoalannya. Kedua perempuan tua itu telah mengganggu usahanya untuk membuat Sindangsari gelisah dan sakit hati. Untunglah bahwa Nyai Reksatani tidak menyadari, bahwa sebenarnya hati Sindangsari telah tersayat sejak lama. Kalau ia dapat menguasai masalah perasaan seseorang, maka ia akan dapat mene mpuh ja lan yang paling pendek, untuk me mbuat Sindangsari se ma kin kehilangan gairah masa depannya. Kalau Nyai Reksatani itu menunjukkan perasaan iba dan terharu, serta sedikit menyinggung masalah Pa mot dan isteriisteri Ki De mang yang lain yang pernah menghuni rumah ini dengan cara yang sebaliknya dari cara yang ditempuhnya sekarang, maka hati Sindangsaripun pasti a kan se makin pedih. Luka itu pasti akan terkorek semakin dala m, sehingga akan menjadi se makin parah pula karenanya.
Justru karena sikapnya yang kasar itu, maka Nyai Reksatani tidak segera mencapai sasarannya. Kedua orang yang mengawani Sindangsari itu selalu berusaha untuk me mantapkan hati isteri baru Ki De mang itu. Dan di dalam hati Sindangsaripun sebenarnya telah tumbuh pula semaca m perlawanan atas perlakuan yang menyakitkan hati itu. "Meskipun aku sa ma seka li tida k menghendaki, tetapi aku adalah isteri Ki De mang disini" katanya di dalam hati "seperti kata kedua perempuan itu. akulah yang paling berkuasa disini, selain Ki De mang sendiri" Dala m pada itu mala mpun menjadi semakin mala m. Juru paes yang telah merias Sindangsaripun telah pulang ke rumahnya, dije mput oleh sua minya. "Beristirahatlah" berkata perempuan yang mengawani Sindangsari "ka mi berdua a kan pergi ke dapur. Kalau Nyai Reksatani itu datang kemari, jangan hiraukan kata-katanya "ia berhenti sejenak, lalu "sebenarnya aku tidak sampai hati mengatakannya, tetapi apaboleh buat. Ia sebenarnya menjadi iri-hati kepada mu Karena itu anggaplah semua kata-katanya itu sebagai angin saja" Sindangsari menganggukkan kepalanya "Baiklah. Aku akan mencobanya " "Kau harus percaya kepadaku. Aku mengenal se mua isteri Ki De mang. Dan kaulah isteri yang agaknya akan menjadi paling baik" "Ah" "Yakini. Dan jangan hiraukan ipar Ki De mang itu" Kedua perempuan itupun ke mudian me ningga lkan Sindangsari di da la m biliknya. Perlahan-lahan ia me mbaringkan dirinya sa mbil menyelusuri ja lan hidupnya yang berliku-liku.
Sekali Sindangsari menarik nafas dala m-dala m. Tetapi ketika terasa matanya menjadi panas, ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat. "Aku tida k boleh menangis" katanya di dala m hati. Dan iapun ternyata berhasil. Di luar suara gamelan menjadi sema kin la ma se makin keras dan cepat. Iramanyapun menjadi se makin panas pula. Sedangkan teriakan kanak-kanak sudah menjadi jauh berkurang. Sebagian dari mereka duduk di seputar arena sambil me lihat tari-tarian yang semakin ra mai pula. Mereka menjadi terharu melihat Kleting Kuning yang tersia-sia, dan mereka menjadi benci kepada Keleting Abang yang kejam terhadap adik angkatnya. Sedang anak-anak yang lebih kecil ternyata telah banyak yang jatuh tertidur di tangga pendapa, di emper gandok dan di gardu regol hala man, sehingga para peronda tidak mendapat te mpat lagi untuk duduk. Tetapi anak-anak itupun ke mudian tersentak ketika gamelan t iba-tiba mengejut keras sekali. Merekapun segera bangkit dan berlari-larian kearena pertunjukan. Ternyata di tengah-tengah lingkaran penonton di muka rancakan ga melan, seorang raksasa berambut gimbal sedang menari-nari. "He, raksasa itu buas sekali" desis perempuan yang berdiri di dekat ga melan. "Itu bukan raksasa" jawab yang lain. "Apa?" "Gendruwo. Lihat matanya merah dan bulat sebesar biji benda" Anak perempuan yang pertama-tama menyebutnya sebagai raksasa itupun terdia m. seorang anak
Tetapi seorang yang lebih besar lagi dari mereka berkata "Kalian salah. Yang menari me lonjak-lonjak itu bukan raksasa dan bukan pula gendruwo. Tetapi itu adalah Yuyu Kangkang" "Yuyu" Yuyu sebesar itu?" "Tentu bukan yuyu biasa. Tetapi Yuyu Kangkang" "Apakah binatang?" artinya Yuyu Kangkang" Nama atau jenis
"Yuyu. Memang itu Yuyu Raksasa bernama Yuyu Kangkang. Ia dapat berbicara seperti manusia " Kedua anak-anak yang berbicara tentang yuyu dan menyangkanya sebagai raksasa dan gendruwo itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak dapat me mbayangkan, betapa seekor yuyu dapat berbicara dan menari. Sejenak ke mudian para penontonpun menjadi se makin mendesak maju. Mereka kini me lihat Kleting Abang. Keleting Biru. Kleting Ijo dan Kleting Ireng mengha mpiri Yuyu Kangkang itu. Mereka minta tolong agar mereka diseberangkan sungai yang sedang banjir, yang merintangi jalan mereka menuju ke rumah Ande-Ande Lumut, seorang pemuda yang tampan. Lamat-la mat Sindangsari mendengar para penari itu bersenandung dengan suara yang merdu, diselingi oleh senggakan yang kadang-kadang agak miring dan bahkan lekoh. Tanpa disadarinya lewat diangan-angannya bayangan seorang anak muda yang semakin la ma menjadi sema kin je las Pamot. "Dima nakah ia sekarang" suara itu berdesis di hatinya. Tetapi harapannya untuk dapat bertemu ke mba li dengan anak muda itupun menjadi se ma kin la ma sema kin pudar
meskipun ada sesuatu yang kini tidak akan dapat hilang dari dirinya. Sindangsari itu terperanjat ketika ia mendengar gerit pintu biliknya terbuka. Ketika ia berpaling, dilihatnya Ki De mang berdiri di muka pintu. Tiba-tiba saja Sindangsari bangkit dari pe mbaringannya. Ia tidak mau me lukai hati la ki-laki itu, seperti di saat-saat ia datang ke biliknya semala m, ketika masih berada di rumahnya. Tetapi sebelum ia se mpat berbicara apapun. Ki De mang itupun berkata "Tidurlah. Kau me mang lelah se kali" Dengan mengerahkan segenap keberanian yang ada di dalam dirinya Sindangsari menjawab "Aku tida k akan tidur Ki Demang" "Kenapa?" Ki De mang bertanya dengan herannya "apakah suara gamelan itu mengganggumu?" "Tida k. Tetapi aku me mang hanya akan beristirahat sejenak. Aku masih akan mene mui para tetangga yang me mbantu di dapur" "O" Ki De mang me ngangguk-anggukkan kepa lanya. Selangkah ia maju. Ditatapnya Sindangsari yang masih dilapisi dengan atal yang berwarna kekuning-kuningan itu dan me mbuatnya seolah-olah menjadi se makin cantik. Ki De mang menarik nafas dalam. Dala m seka li. Na mun ke mudian ia berkata "Tetapi kalau kau me ma ng ingin beristirahat, beristirahatlah. Di belakang sudah ada Nyai Reksatani yang mewa kili kau" "Tetapi agaknya lebih baik aku berkenalan dengan mereka" "Kau tadi sudah ada di pringgitan" "Ya. Dan aku memang sudah berkenalan dengan sebagian dari para tetangga yang datang"
Ki De mang mengangguk-angguk. Tetapi matanya kini seolah-olah telah lekat pada tubuh Sindangsari. Dari ujung kaki sa mpai ke ujung ra mbutnya anak itu t idak bercacat. Di dalam hati Ki De mang mengakui, bahwa perempuan ini adalah isterinya yang paling cantik dari kelima isterinya yang lain. Sindangsari yang merasakan tatapan mata yang tajam itu hanya dapat menundukkan kepalanya. Na mun de mikian terasa bahwa kulitnya meremang. Meskipun de mikian, ia me mang mengharapkan sesuatu dari Ki De mang. Bukan karena ia benar-benar telah pasrah dan menerima keadaannya dengan ikhlas. Tetapi ia ingin me lindungi noda yang telah mele kat pada dirinya. Dan seandainya noda itu akan tampak pada suaminya, biarlah segera ia melihatnya dan menghukumnya apabila dikehendaki. Tetapi Ki De mang itupun ke mudian me langkah pergi sa mbil berkata "Beristirahatlah. Jangan hiraukan para tetangga yang bekerja di dapur" Sindangsari tida k menjawab. Tetapi ia menjadi kecewa. Seandainya ia mempunyai cukup keberanian, dan seandainya ia tidak terikat oleh tata susila sebagai seorang pere mpuan, maka ia pasti sudah menarik Ki De mang yang sedang me langkahi pintu itu. Namun Ki De mang itu ke mudian ternyata dibiarkannya pergi. Meskipun de mikian, sepeninggal Ki De mang, ke mbali kegelisahan yang sangat telah menerka m jantungnya. Noda yang mele kat pada dirinya itu ternyata telah me mbebaninya terlampau berat, sehingga ia seakan-akan me lupakan, betapa pahitnya perpisahan yang diala minya dari Pa mot. Ternyata kegelisahan itu telah mendorong Sindangsari meninggalkan biliknya. Dengan ragu-ragu ia pergi ke dapur untuk sekedar mengisi waktunya. Dengan berbaring dibiliknya, maka perasaannya dapat dipengaruhi oleh angan-angannya
yang selalu hilir mudik t idak berketentuan, menge mbara di sepanjang daerah yang gersang. Kedatangannya di dapur telah mengejutkan pere mpuranperempuan yang sedang bekerja. Salah seorang dari orang tua yang mengawaninya, segera mendatangi sambil bertanya "He, kenapa kau pergi ke dapur?" "Aku tidak dapat tidur. Aku menjadi ge lisah dan kesepian sendiri" Tiba-tiba beberapa perempuan muda tertawa kecil tertahan-tahan. Salah seorang dari mereka berbisik "Apakah Ki Demang tidak mengawaninya?" Sementara itu, perempuan tua itupun me mpersilahkannya duduk Katanya "Tetapi te mpatnya tidak pantas untuk seorang yang lagi dipersandingkan. Terla mpau kotor" "Aku biasa berada di dapur. Akulah yang melayani ibu apabila ibu sedang masak" "Tetapi kau sekarang sedang menjadi permaisuri sehari, eh, tiga hari" sahut seorang perempuan yang lain "silahkan duduk di ruang dala m saja" "Terima kasih. Biarlah aku disini" berkata Sindangsari. Akhirnya mereka terpaksa me mbiarkan Sindangsari duduk diantara mereka yang sedang mengatur makanan yang akan dihidangkan kepada para tamu yang duduk menonton di pendapa, yang seolah-olah mengalir tidak henti-hentinya. Setiap ada seorang tamu, maka beberapa ancak makanan harus dihidangkan. Se mangkuk air panas dengan beberapa potonggula kepala. Dala m pada itu, ketika Nyai Reksatani melangkahi pintu dapur, ia terkejut melihat Sindangsari benar-benar berada di dapur. Karena itu, maka diurungkannya niatnya, dan segera ia berbalik pergi.
"Anak bodoh" ia menggerutu "tetapi aku harus me mbuatnya tidak kerasan di rumah ini. Aku masih me mpunyai kese mpatan beberapa hari lagi. Sela ma tiga hari ini aku masih akan tetap tinggal di Kade mangan. Mungkin satu dua hari lagi, selama rumah ini diatur ke mbali seperti semula, dan me mbenahi se mua perkakas yang sedang dipergunakan ini" Demikianlah selagi Sindangsari mencari pengisi waktunya di dapur, dan selagi Ki Reksatani sua mi isteri mengumpat-umpat maka para tamu di pendapapun menjadi se makin sedikit. Satu-satu mereka minta diri, sedang yang lain, masih menyaksikan pertunjukan yang me metik lakon Panji yang setelah digubah menjadi lakon Ande-ande lumut itu. Selagi lakon Ande-ande Lumut itu menjadi se makin rama i, karena Yuyu Kangkang menolak menyeberangkan Kleting Kuning yang jelek, setelah Yuyu Kangkang itu bersedia menyeberangkan kakak-kakak angkatnya, Kleting Abang dan ketiga saudaranya, maka dua orang berjalan dengan kepala tunduk di ja lan yang me mbujur di muka hala man Kademangan. Seorang yang bertubuh raksasa berkata perlahan-lahan "Apakah kita akan singgah me lihat kera maian itu" "Bodoh kau" jawab yang lain "aku tida k ingin menonton apapun" O0oodwoo0O
Matahari Esok Pagi Karya : SH Mintardja Jilid 5 ORANG yang bertubuh raksasa dan berkepala botak itu mengerutkan keningnya dan bertanya "Lalu, kenapa kita datang kemari ma la m ini?" Kawannya, Manguri hampir saja berteriak mengumpatinya kalau ia tidak segera menyadari, bahwa di sekitarnya banyak terdapat para penjual dan anak-anak yang menghilangkan kantuknya dengan me mbe li makanan. "La mat" desisnya ke mudian "kau me mang orang yang paling bodoh yang pernah aku kena l. Kau sangka aku berkepentingan dengan tontonan yang tidak bermutu itu" Buat apa aku melihatnya" Ande-ande Lumut yang menje mukan" Manguri berhenti sejenak, la lu "seharusnya kau mengerti, bahwa kepentinganku bukanlah sa ma dengan kepentingan anak-anak ingusan itu" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya "Ya" desisnya "maksudku, apakah kita akan me lihat suasana perkawinan itu dari dekat, diantara para penonton pertunjukan di hala man itu?" "Ah, kau me mang benar-benar gila. Apakah kau kira tidak ada yang segera dapat mengenal kau dan aku" Disini keadaan cukup ge lap. Tetapi di hala man itu?" Lamat tidak menjawab lagi. Ia melangkah mengikuti langkah Manguri se makin la ma se makin menjauhi hala man Ki Demang di Kepanda k. Ketika mereka sudah berada di tempat yang kela m, maka Manguripun segera berhenti dan La mat yang termangu-mangu berdiri di sa mpingnya. "Perkawinan itu benar-benar telah berlangsung" desis Manguri.
"Tida k mala m ini" sahut La mat "sudah lima hari yang la mpau. Mala m ini ada lah sekedar upacara ngunduh penganten" "Gila. Laki-laki itu tida k segera dapat me mberikan jalan" Lamat menarik nafas dalam-dala m. Iapun mengerti bahwa laki-laki itu telah datang ke rumah Manguri selagi ayahnya tidak ada di rumah. "Apa katanya?" bertanya Lamat dengan suara yang da la m. Manguri mengge leng-gelengkan kepalanya "Aku tidak tahu, apakah aku masih dapat mengharap bantuannya" Lamat tidak bertanya apapun lagi. Kini ia berdiri saja bersandar dinding batu di pinggir ja lan, sedang Manguri berdiri termangu-ma ngu. Ia sendiri tidak mengerti, kenapa ia pergi juga ke rumah Ki De mang ma la m ini. "Kita pulang" gera mnya ke mudian. Dan La matpun mengangguk kosong. Dengan tergesa-gesa mereka ke mudian berjalan menyusuri lorong-lorong yang gelap pulang ke rumah Manguri. Anak muda itu tidak henti-hentinya mengumpatumpat di sepanjang jalan. Tetapi suaranya tidak begitu jelas terdengar. Sedang Lamat berjalan saja dengan kepala tertunduk dala m-dala m. Sementara itu mala mpun menjadi se ma kin da la m. Perlahan-lahan cahaya kemerah-merahan mulai me mbayang di ujung Timur, disa mbut oleh kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan. Di arena kini terjadi pertemuan yang mengharukan antara Ande-Ande Lumut dan Kleting Kuning, yang sebenarnya adalah suami isteri Panji Asmarabangun dan Dewi Candrakirana. Sedang mBok Randa nDadapan berdiri termangu-mangu menyaksikan anak angkatnya laki-laki, yang dikenalnya berna ma Ande-ande Lumut itu kini telah berubah menjadi seorang kesatria dan Kleting Kuning yang je lek dan berpakaian kuma l itu menjadi seorang Puteri secantik bidadari"
Di sekitar arena pertunjukan itupun ternyata sudah menjadi semakin sepi. Anak-anak sudah tidak telaten lagi melihat adegan-adegan berikutnya. "Perangnya sudah habis" teriak sa lah seorang dari mereka. "Pulang saja. Aku sudah kantuk" teriak yang lain tanpa menghiraukan, bahwa suaranya itu dapat mengganggu tembang para pe ma in di arena. Beberapa orang perempuan sibuk me ncari anak-ana knya yang terpisah, sedang ibu-ibu yang menunggui rumah, bangkit dari pe mbaringannya dan pergi ke hala man Kade mangan untuk mencari anaknya yang belum pulang. Seorang ibu yang kebingungan mencari anaknya hampir saja menangis. Pertunjukan itupun akhirnya selesai juga. Hala man itu menjadi kian sepi. Tetapi anak la ki-lakinya yang berumur tujuh tahun belum diketemukan. Tetapi ketika penabuh gong berdiri dari te mpatnya, ia terkejut. Hampir saja ia jatuh terlentang ketika kakinya menyentuh tubuh seorang anak yang tertidur tepat di belakangnya. "He, anak siapa yang tidur disini?" ia berteriak. Ibu yang kebingungan dan ha mpir menangis itu berlari-lari mende katinya. Ternyata anak itu adalah anaknya yang dicaricarinya. "O ngger, ngger. Hampir pingsan aku mencarimu" desah ibu itu, yang dengan serta-merta telah mengangkat anaknya yang tertidur itu sehingga anak itu terkejut bukan buatan. Tetapi ketika anak itu sudah terbangun, maka tiba-tiba ibunya me mbentak "He, semala m suntuk kau tidak pulang he" Sampa i pertujukan sudah selesai, dan semua orang sudah pulang, kau masih saja tidur mende kur disini" Anak itu tidak menjawab. Diusapknya matanya, kemudian tertatih-tatih ia berjalan pulang diikuti oleh ibunya.
Ketika suara gamelan sudah tida k terdengar lagi, maka suara burung-burung yang berkicaupun segera menghias pagi yang mulai merekah. Sa mbil berloncatan dari dahan yang besar oleh embun kedahan yang lain, suaranya memancar seperti pancaran cahaya merah di Timur. Se makin la ma semakin meriah. Sindangsari yang ternyata semala m suntuk hanya dapat tidur sekejab, segera pergi ke pakiwan uhtuk me mbersihkan dirinya. Dengan air wayu, ia mandi untuk menghapus warna kuning atal di kulitnya. Terasa betapa segarnya air wayu. Tetapi kemudian ternyata bahwa tubuhnya terasa meriang. Keningnya menjadi pening, sehingga ia terpaksa untuk berbaring sejenak di pembaringannya. Sindangsari terkejut ketika tiba-tiba saja pintu biliknya terbuka. Dilihatnya Nyai Reksatani melangkah masuk. Namun langkahnyapun ke mudian tertegun ketika ia melihat Sindangsari di pe mbaringan. "He, sepagi ini kau berbaring mBok ayu?" ia bertanya. Sindangsari bangkit dan duduk di pinggir pe mbaringan. Jawabnya "Kepalaku pening" Tetapi Nyai Reksatanipun tertawa berkepanjangan. Katanya "Ah, sudah menjadi kebiasaan penganten baru. Pening, panas dingin, sakit perut dan maca m-maca m lagi" ia berhenti sejenak, lalu "kau masih kantuk mBok Ayu?" "Ah?" "Tentu. Akupun begitu juga waktu itu. Lihat, kakang Demang masih juga t idur di gandok kulon" Dada Sindangsari berdesir. Ternyata Ki Demang sempat juga tidur. Tidak di bilik ini, tetapi di gandok kulon.
"Kenapa?" ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi jawaban yang diucapkan "Se mala m suntuk ia t idak masuk ke bilik ini" Suara tertawa Nyai Reksatani seakan-akan meledak. "He, kenapa kau seperti malu begitu" Jangan berpura-pura. Itu sudah biasa. Tidak apa-apa" Sindangsari mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjawab lagi. "Silahkan" berkata Nyai Reksatani ke mudian "kau tentu kantuk, lelah dan lungkrah. Memang sebaiknya kau beristirahat. Penganten baru memang harus banyak beristirahat" Kata-kata itu benar-benar telah menyentuh perasaan Sindangsari. Tetapi ia masih bertanya pula "Apakah sudah lajimnya penganten baru me ndapat ejekan dari kawan-kawan dan saudara-saudaranya" Tetapi maksudnya tentu hanya sekedar bergurau. Tidak lebih" "Lebih baik aku pergi ke dapur" berkata Nyai Reksatani seterusnya "tugasku, penganten yang sudah hampir lapuk ini, bekerja di dapur, sedang penganten baru, sebaiknya berada di pembaringan" Nyai Reksatani tidak menunggu jawaban. Iapun segera me langkah pergi. Terdengar ke mudian pintu bergerit, dan perempuan itupun hilang di ba lik daunnya yang tertutup. Sejenak Sindangsari merenung. Ia tidak tahu pasti, maksud kata-kata Nyai Reksatani Apakah ia menyindir, atau sekedar bergurau. "Ah, baik juga aku mendengarkan nasehat orang-orang tua itu. Sebaiknya kata-katanya aku anggap angin lalu. Ka lau aku menghiraukannya, hatiku a kan menjadi se makin sa kit"
Maka Sindangsaripun ke mudian berbaring ke mbali, Dipijitpijitnya keningnya yang sakit, sementara angan-angannya hanyut ke dunia yang asing. Namun Sindangsari tidak dapat la ma berbaring. Ketika matahari menjadi se makin tinggi, di Kade mangan itu telah terjadi kesibukan-kesibukan baru. Tamu-tamu dari te mpat yang jauh berdatangan. Seorang demi seorang, tidak putusputusnya. Sindangsari, sebaga. penganten puteri, maupun sebagai isteri Ki De mang terpaksa mene mui mereka, sehingga ha mpir sehari penuh ia duduk di pringgitan tanpa dapat bergeser Sedang di pendapa, Ki De mangpun mene mui ta munya berganti-ganti. Sejak ia terbangun dari tidurnya dan me mbesihkan dirinya, ia sama sekali t idak se mpat meninggalkan te mpatnya. Demikianlah ketika mala m datang, dan pertunjukan yang lain berlangsung, semuanya seolah-olah telah terulang ke mbali. Duduk di pringgitan, mene mui ta mu-ta mu dan ke mudian mengisi waktunya duduk di dapur meskipun hanya sekejap beristirahat menjelang pagi. Maka betapa lelahnya Sindangsari sela ma tiga hari tiga ma la m di rumah Ki De mang, setelah di rumahnya sendiri iapun ha mpir t idak pernah beristirahat, sejak hari perkawinannya. Namun yang lebih mengganggu bagi Sindangsari, sama sekali bukanlah kelelahannya, tetapi sikap Nyai Reksatani yang kadang-kadang sangat menyakitkan hati. Untuk mengatakannya ha! itu kepada Ki De mang, Sindangsari masih be lum terucapkan. Tetapi untuk me mbiarkannya berkepanjangan, hatinya serasa menjadi semakin pedih. Di hari-hari terakhir dari kerja yang panjang itu. Nyai Reksatani me mang ta mpak menjadi terla mpau sibuk. Ia harus
mengetahui dari orang la in, maka biarlah ia sendiri yang mengatakannya. Tiba-tiba Sindangsari yang sela ma ini dicengka m oleh kecemasan, keragu-raguan dan ketakutan, kini seakan-akan mene mukan suatu sikap yang mantap. "Tida k ada pilihan la in daripada mengatakannya sendiri langsung kepadanya" katanya di dalam hati, na mun ke mudian ia mencoba untuk menenangkan hatinya "Tetapi tidak sekarang. Biarlah Ki De mang beristirahat, supaya hatinya menjadi agak bening" Karena Sindangsari tidak segera menjawab, maka Ki Demang mengulanginya "Apakah kau sakit Sari" Sindangsari me ncoba bangkit dari pe mbaringannya. Wajahnya menjadi se makin pucat dan perutnya masih merasa mua l. Tetapi ia tidak muntah-muntah lagi. "Ki De mang" katanya "sebaiknya Ki Demang beristirahat dahulu. Bukankah Ki De mang baru saja pulang" Agaknya Ki Demang masih lelah dan barangkali lapar. Biarlah aku sediakan makan Ki De mang lebih dahulu" "Jangan bangun Sari. Kalau kau me mang sakit, berbaring sajalah. Biarlah orang la in menyediakan makanku" Ki De mang sa ma sekali t idak menyangka bahwa sindangsari justru tersenyum. Aneh sekali. Dan isterinya itu berkata "Itu adalah kewajiban Ki De mang. Aku sudah tidak sakit lagi. Aku hanya sekedar pening sedikit " Ki De mang berdiri termangu-mangu. Perempuan ini me mang lain dari isteri-isterinya yang terdahulu. Betapapun ia tersiksa oleh kesepian, namun ia tetap berusaha bersikap manis. "Silahkan Ki De mang, silahkan me mbersihkan diri. Mungkin Ki De mang a kan mandi lebih dahulu, kemudian makan dan
beristirahat sebentar. Barulah aku a kan berceritera tentang diriku" Ki De mang masih tetap berdiri di tempatnya. Seperti patung ia melihat Sindangsari me mbenahi paka iannya dan rambutnya yang kusut. "Silahkan Ki De mang" berkata Sindangsari seperti kepada adiknya "jangan mandi terla mpau ma la m. Nanti Ki De mang menjadi pening" Ki De mang menarik nafas dalam-dala m. Ke mudian dengan kepala tunduk ia berjalan meninggalkan bilik itu, langsung pergi ke pakiwan untuk me mbersihkan dirinya. Sejenak ke mudian Ki De mang telah duduk di ruang da la m, diatas sebuah amben yang besar. Di hadapannya terhidang makan mala mnya serta air panas semangkuk. "Silahkan Ki De mang" berkata Sindangsari "tetapi hari ini bukan akulah yang masak, karena aku sedang sakit" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya "Aku sudah biasa makan seperti ini. Lauk yang di masak oleh para pelayan" "O" sindangsari mengangguk-anggukkan kepalanya "Aku hanya mencoba untuk me mberikan suasana baru sela ma ini, karena aku adalah isteri Ki De mang " "O, ya, ya. Begitulah. Maksudku, bukan karena aku lebih senang ma kan masakan mere ka, tetapi kalau kau sedang sakit, ma ka sebaiknya kau beristirahat" Sindangsari tidak menjawab. Dipandanginya saja Ki Demang yang sedang mengangkat mangkuknya dan meneguknya. Digigitnya segumpal gula kelapa, dan diteguknya air hangatnya sekali lagi. "Silahkan Ki De mang makan" berkata Sindangsari.
"Apakah kau tida k makan?" bertanya Ki De mang. Sindangsari tidak menyahut. Tiba-tiba saja bau masakan itu seperti mengaduk isi perutnya. Betapa ia bertahan, namun seolah-olah tubuhnya telah diombang-a mbingkan oleh banjir sungai Praga. "Kenapa kau Sari?" bertanya Ki De mang. Sindangsari t idak dapat menjawab. Namun karena ia tidak dapat menahan diri lagi, iapun segera berlari masuk ke dala m biliknya. Sebelum ia me letakkan tubuhnya di pe mbaringannya, maka iapun telah muntah-muntah lagi. Karena hampir sepanjang hari ia tidak mengisi perutnya sama sekali maka hanya air sajalah yang dapat dimuntahkannya. "Sari" Sindangsari mendengar suara Ki Demang belakangnya "kau benar-benar sakit. Berbaringlah. di
Ketika mua l perutnya agak mereda, ma ka Sindangsaripun ke mudian duduk di pinggir pembaringannya. Tetapi perasaannyalah kini yang bergejolak dengan dahsyatnya, sehingga ia tidak lagi dapat menahan diri. Air matanya mulai menga lir dan menitik satu-satu dipangkuannya. Ki De mangpun menjadi bingung karenanya. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Yang dapat dikatakannya hanyalah kata-kata yang paling cepat dikete mukannya saja "Tidurlah Sari" Tetapi Sindangsari mengge lengkan kepalanya. Katanya "Aku tida k sakit Ki De mang" Ki De mang menjadi heran "Kau muntah-muntah dan pucat" Sindangsari tidak segera menyahut. Ia mencoba menilai keadaan. Apakah sudah tepat waktunya untuk mengatakan kenyataan tentang dirinya". Tanpa disadarinya air matanya menitik se makin la ma se makin deras. "Kau sakit" berkata Ki De mang yang masih berdiri "kau sakit"
Sekali lagi Sindangsari me nggeleng "Tidak Ki De mang" Ki De mang menjadi se makin heran. Dan Sindangsari berkata selanjutnya "Ki De mang, silahkan duduk. Aku ingin mengatakan sesuatu tentang diriku" Ki De mang masih terpaku di te mpatnya. Dipandanginya wajah Sindangsari yang pucat. Meskipun dari kedua matanya masih menit ik a ir mata, tetapi wajah itu tampaknya menjadi bersungguh-sungguh. Sindangsari seolah-olah telah mene mukan suatu ke kuatan dan keberanian untuk berterus-terang apapun yang akan terjadi. "Ki De mang" suara Sindangsari ge metar "silahkan duduk" Ki De mang masih termangu-ma ngu. Bahkan ke mudian ia berkata "Tetapi, bagaimana dengan ma kanan di a mben itu?" "Kalau Ki de mang belum terla mpau lapar, aku persilahkan Ki De mang mendengakan ceriteraku saja dahulu" Seperti dihisap oleh sebuah pesona yang kuat, Ki Demangpun ke mudian me mungut sebuah dingklik kayu di sudut ruangan, dan iapun kemudian duduk sa mbil menundukkan kepalanya, seperti seseorang yang akan diadili oleh sidang sesepuh padukuhan. "Ki De mang" berkata Sindangsari yang telah menemukan dirinya sebagai suatu kenyataan "sebenarnya selama ini aku tidak mengerti, bagaimana kah tanggapan Ki De mang terhadapku" Pertanyaan itu telah mendebarkan dada Ki De mang Ia tidak mengerti, kenapa justru di hadapan isterinya yang sekarang ia tidak dapat berbuat seperti isteri-tererinya yang dahulu. Bahkan sekali ia pernah mena mpar pipi isterinya, dan terhadap isterinya yang lain, ia pernah mendorongnya sehingga isterinya itu terjatuh dan kepalanya me mbentur tiang.
Terhadap Sindangsari ia tidak dapat berbuat demikian. Ia hanya dapat menghentak-hentakkan kakinya dan berteriakteriak. Kemudian pergi meninggalkan rumahnya. Seolah-olah ia ingin lari dari perasaannya sendiri yang menyiksanya. Tetapi celakanya, bahwa perasaannya itu selalu ikut, ke manapun ia pergi. "Ki De mang" berkata Sindangsari "menurut anggapanku, aku adalah isteri Ki De mang" Tiba-tiba Ki De mang mengangkat wajahnya yang merah padam "Cukup. Bukankah kau ingin mengatakan bahwa aku terlampau banyak pergi dan meninggalkan kau seorang diri dalam kesepian" Bukankah kau ingin mengulangi pertanyaanmu, apakah maksudku me mbawa mu ke mari" Apakah aku hanya sekedar akan menyiksamu" Dan kau akan mengatakan bahwa seandainya kau menjadi isteri Pamot, maka kau tidak a kan kesepian seperti sekarang" Begitu?" Jawaban Sindangsari benar-benar telah mengejutkannya. Dengan dada yang seakan-akan me njadi sesak ia mendengarkan isterinya itu menjawab "Ya. Begitulah. Dan aku belum pernah mendengar jawaban" "O, gila. Gila. Itukah yang kau maksud dengan ceritera tentang dirimu itu?" Tetapi kini Sindangsari menggeleng, sehingga Ki De mang benar-benar menjadi bingung. "Bukan itu Ki De mang" jawab Sindangsari "ada yang lain yang ingin aku katakan. Mungkin a kan mengejutkan Ki Demang, karena ceritera tentang diriku itu a kan lebih dala m dari pertanyaan-pertanyaan yang telah pernah aku katakan, dan kini Ki De mang telah mengulanginya" "Apa maksudmu?" bertanya Ki De mang. "Ki De mang" suara Sindangsari merendah.
Tetapi ia sudah bertekad untuk mengatakannya, seperti Pamot yang sudah bertekad bulat pula untuk pergi ke medan perang mengusir orang-orang asing yang mula i menancapkan kuku-kukunya di bumi ini" Ke mudian katanya lebih lanjut "aku akan pasrah diri kepada Ki Demang. Ki De manglah yang berhak mengadili aku, apapun yang akan Ki De mang lakukan" Ki De mang menjadi se makin heran. Titik-titik air mata Sindangsari yang semula telah kering, kini me mbasah lagi pelupuk matanya. "Ki De mang. Lebih dahulu aku mohon maaf. Aku tidak tahu, betapa besar dosaku dan betapa dalam aku telah menyakit i hati Ki De mang. Sebenarnyalah aku tida k pantas lagi untuk duduk berhadapan dengan Ki De mang se karang ini" Ki De mang menjadi bingung. Sindangsari berbicara terus. Tetapi dibiarkannya
"Aku mohon maaf bukan karena a ku ingin me lepaskan diri dari hukuman apapun. Tetapi aku ingin bahwa aku tida k lagi menanggung dosa yang tida k terlukiskan" "Aku tida k mengerti" Ki De mang a khirnya berguma m Sindangsari terhenti sejenak. Terasa lehernya menjadi panas, dan kerongkongannya seolah-olah tersumbat. Tetapi ia telah me maksa dirinya untuk berkata terus "Ki De mang. Kini aku akan berterus-terang. Betapa aku mengharap Ki De mang sebagai seorang suami yang tidak meninggalkan aku di dala m kesepian, yang setiap saat dapat me mberikan ketenteraman lahir dan batin, na mun sebenarnyalah bahwa aku me mang sudah tidak berhak lagi" Ki De mang menjadi se makin bingung "Katakan, katakan supaya aku segera menjadi jelas. Kau telah menyiksa aku dengan teka-teki yang tidak kunjung selesai itu" "Ampun Ki De mang" suara Sindangsari menjadi se makin la mbat. Betapapun tekadnya sudah bulat, namun untuk
mengatakannya" ia masih harus berjuang sekuat tenaganya "aku sebenarnya sudah lama ingin berterus terang. Tetapi aku tidak me mpunyai keberanian untuk mengatakannya" perempuan itu berhenti, sejenak, lalu "Na mun kini aku tidak akan dapat ingkar lari. Berani atau tidak berani aku harus mengatakannya" Dahi Ki De mang menjadi se makin berkerut-kerut. Hampir ia tidak sabar lagi menunggu. Tetapi ia masih tetap bertahan duduk di te mpatnya. Ki De mang menjadi se ma kin heran ketika ia me lihat Sindangsari kini terisak-isak. Na mun betapa sulitnya, ia berkata "Sekarang, agaknya sudah sampai saatnya aku berkata Ki Demang. Hukumlah aku kalau Ki De mang ingin menghukumnya. Bunuhlah a ku kalau Ki De mang me mang ingin me mbunuhku" "Apakah sebenarnya yang sudah terjadi, apa?" Ki Demang semakin tidak bersabar. "Kini a ku mengerti Ki De mang. Kenapa Ki De mang se lalu berusaha menghindar dari isterinya, dari aku. Agaknya Ki Demang me mang sedang menunggu beberapa waktu untuk me mbuktikan bahwa a ku tida k pantas lagi menjadi isterimu. Dan kini Ki De mang akan dapat melihat bukti itu. Ki Demang telah menang di dala m persoalan ini. Betapa aku berusaha untuk menga mbil hati Ki De mang, untuk menundukkan kekerasaan hati Ki De mang, tetapi aku tidak berhasil. Dan kini Ki De mang akan dapat menikmati ke menangan itu. Aku kini me mang harus menyerah" "Aku tidak mengerti, aku tidak mengerti" Ki De mang tibatiba menghentakkan kakinya. Sindangsari. me mandang Ki De mang dengan mata yang basah oleh titik air mata yang masih mele leh. Tiba-tiba saja ia bersimpuh di hadapan sua minya. Sambil menangis tersedu Petaka Patung Kamasutra 1 Sherlock Holmes - Silver Blaze Kisah Tiga Kerajaan 25

Cari Blog Ini