Meraba Matahari Karya S H. Mintarja Bagian 2
tinggal di Dalem Kadipaten, jika mungkin untuk mengatasi persoalan yang gawat
yang dapat terjadi disini"
"Guru" Wignyana itupun memohon "Jika saja guru dan ayahanda berkenan, aku ingin
ikut bersama kakang Madyasta"
"Wignyana" berkata Kangjeng Adipati kemudian "Aku setuju dengan gurumu, salah
seorang dari kalian tetap tinggal disini, mungkin aku akan sangat memerlukannya"
Wignyana tidak dapat memaksa, betapapun ia ingin pergi bersama Madyasta untuk
mengatasi kerusuhan yang terjadi di Paranganom, namun ayahandanya menahannya
agar ia tetap berada di istana.
"Wignyana" berkata Kangjeng Adipati "Bukannya aku tidak percaya akan
kemampuanmu, menurut gurumu, kau dan Madyasta telah bersama-sama menuntaskan
ilmu yang kalian pelajari di padepokan, karena itu, menurut gurumu, kau dan
Madyasta memiliki ilmu yang sama tinggi. Namun justru karena itu, maka aku ingin
kau tetap tinggal berasamaku di Kadipaten"
Wignyana sebagai seorang putera Adipati, harus mampu menempatkan diri, maka
iapun berkata "Hamba menjunjung tinggi titah ayahanda Adipati"
"Bagus Wignyana, kau tetap bersamaku dalam keadaan yang gawat ini"
"Hamba, ayahanda"
"Nah, dengan demikian, maka aku akan memerintahkan Madyasta untuk pergi
mengatasi kerusuhan ini"
"Kangjeng" berkata Ki Tumenggung Sanggayuda "Apakah tidak sebaiknya Kangjeng
memerintahkan saja beberapa orang senapati untuk pergi melakukan tugas itu"
"Kakang Tumenggung. Aku memang mempunyai keingingn untuk menguji anakku. Selama
ini anak-anakku tidak pernah turun kedalam tugas-tugas penting. karena mereka
tidak berada di Kadipaten. Biarlah angger Adipati Yudapati mengetahui, bahwa
anak-anak Paranganom itu tidak saja pandai menabuh siter dan gender saja. Tetapi
dalam keadaan gawat, merekapun bisa terjun ke gelanggang pertempuran"
Ki Tumenggung Sanggayuda tidak mengatakan apa-apa lagi, sementara Kangjeng
Adipati segera menjatuhkan perintah "Madyasta, berdasarkan perintahku, pergilah
untuk memberantas kerusuhan itu, kau aku beri hak dan wewenang untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan. Tetapi kau tidak boleh lepas dari kebijaksanaan
untuk mengatasi setiap keadaan"
"Hamba ayahanda"
"Pamanmu Tumenggung Wiradapa akan menunjuk, siapakah yang akan pergi bersamamu.
Dengar nasehatnya serta nasehat pamanmu Tumenggung Sanggayuda"
"Hamba junjung tinggi perintha ayahanda. Hamba akan mengikuti segala petunjuk
paman Tumenggung bedua"
"Nah, kakang Tumenggung Wiradapa dan kakang Tumenggung Sanggayuda. Aku serahkan
anakku kepada kalian berdua. Biarlah ia melakukan kewajibannya sebagai seorang
prajurit juga sebagai putera seorang Adipati Paranganom. Semoga anakku dapat
memberantas kerusuhan yang timbul di wilayah paranganom"
"Hamba Kangjeng Adipati" sahut Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung
Sanggayuda hampir bersamaan.
Meraba Matahari 07 Wignyana memang merasa sangat kecewa. Tetapi ia dapat mengerti, kenapa jika
salah seorang diantara mereka, dua orang putera Kangjeng Adipati, justru
Madyasta yang harus dikenal oleh tentu bukan saja oleh Adipati Yudapati di
Kateguhan, tetapi juga oleh rakyat Paranganom sendiri, karena Madyasta adalah
putera Kangjeng Adipati. Madyasta yang kelak berhak untuk menggantikan kedudukan
Kangjeng Adipati Prangkusuma di Paranganom, kakrena itu adalah wajar, bahwa
Madyastalah yang harus lebih banyak dikenal oleh rakyat Paranganom.
Hari itu juga Madyasta telah meninggalkan Kadipaten bersama Ki Tumenggung
Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda. Kedua orang Tumenggung itu akan membawa
Madyasta kepada beberapa orang senapati terpilih yang akan mendampinginya,
mengatasi kerusuhan di Paranganom.
Bab 05 " Tiga Senapati Pilih Tanding
Jilid ke 2 Hari itu juga Madyasta telah meninggalkan Kadipaten bersama Ki Tumenggung
Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda. Kedua orang Tumenggung itu akan membawa
Madyasta kepada beberapa orang senapati terpilih yang akan mendampinginya,
mengatasi kerusuhan di Paranganom.
Dalam pada itu, Ki Ajar yang merasa sudah terlalu lama berada di Kadipaten
segera minta diri pula, ia sudah terlalu lama meninggalkan padepokannya.
"Aku minta kakang dapat menunggu sampai kerusuhan di Kadipaten ini dapat
diatasi" "Aku akan datang pada kesempatan lain, Kangjeng. Kasihan anak-anak di padepokan
yang sudah terlalu lama aku tinggalkan"
Kangjeng Adipati tidak dapat menahan Ki Ajar, sehingga akhirnya Kangjeng Adipati
melepasnya meninggalkan Kadipaten pada keesokan harinya"
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Wiradapa serta Ki Tumenggung Sanggayuda sepakat
untuk menunjuk tiga orang senapati muda terpilih untuk menyertai Raden Madyasta
memberantas kerusuhan di Paranganom, ketiga senapati itu berasal dari kesatuan
yang berbeda-beda. Bersama Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda, Madyasta pergi ke
barak ketiga orang senapati yang terpisah itu.
"Apakah aku sudah mengenal mereka, paman?" bertanya Madyasta.
"Raden sudah lama meninggalkan Kadipaten, mungkin Raden belum mengenal mereka,
tetapi dalam dua tahun ini, nama mereka banyak disebut-sebut di lingkungan
keprajuritan Paranganom, mereka bertiga pula yang memimpin pasukan yang diminta
oleh Kangjeng Sultan Tegallangkap. Ketika terjadi benturan kekuatan anara
Tegallangkap dengan kekuatan yang datang dari seberang Bengawan Rahina.
Maka beberapa Kadipaten yang berada di bawah ikatan kesatuan dengan Tegallangkap
telah mengirimkan pasukannya untuk bersama-sama menghadapi tekanan kekuatan yang
besar yang datang dari seberang Bengawan Rahina itu. Ternyata pasukan dari
Paranganom yang dipimpin ketiga orang senapati muda itu telah mendapat pujian
khusus dari Kangjeng Sultan di Tegallangkap" jawab Ki Tumenggung Wiradapa.
Siapakah nama-nama mereka, paman?"
"Nama-nama mereka adalah Sasangka, Rembana dan Wismaya"
Madyasta menganggung-angguk, seolah-olah kepada diri sendiri iapun bergumam
"Nama yang baik, agaknya mereka memang meyakinkan"
"Sebentar lagi angger akan segera bertemu dengan mereka, kita akan pergi ke
barak terdekat, angger akan berjumpa dengan Sasangka"
"Sasangka ya, rasa-rasanya aku pernah mendengar nama itu, mungkin aku pernah
mengenalnya" "Sukurlah jika Raden pernah mengenalnya"
Madyasta mencoba mengingatnya, namun nama Sasangka memang pernah dikenalnya
empat tahun yang lalu, bahkan mungkin sebelumnya.
Beberapa saat kemudian, maka mereka sampai di sebuah barak yang berpagar kayu
rapat dan cukup tinggi. Ketika mereka bertiga memasuki gerbang barak itu, maka prajurit yang bertugas
segera memberi hormat, meskipun secara pribadi prajurit itu tidak mengenal
langsung ketiga orang yang memasuki barak mereka, namun mereka dapat mengenal
kedua orang diantara mereka adalah dua orang Tumenggung, sedangkan yang seorang
lagi tentu orang penting pula. Bahkan kedua orang Tumenggung itupun agaknya
menghormatinya pula. "Apakah Ki Lurah Sasangka ada ?" bertanya Ki Tumenggung Wiradapa.
"Ada Ki Tumenggung, silahkan"
Ki Tumenggung Wiradapa bersama dengan Raden Madyasta dan Ki Tumenggung
Sanggayuda segera memasuki halaman barak yang terhitung luas itu.
Sementara itu dua orang prajurit yang berada di gardu sebelah telah
menyongsongnya pula. "Silahkan Ki Tumenggung" Salah seorang dari kedua orang prajurit itu telah
mempersilahkan mereka untuk naik ke bangunan utama barak itu.
"Dimana Ki Lurahmu?" bertanya Ki Tumenggung pula.
"Ki Lurah sedang berlatih di halaman belakang , silahkan, biar aku
menyampaikannya" "Tidak, tidak usah, biarlah kami pergi ke halaman belakang saja"
Prajurit itu tidak berkata apa-apa lagi, tetapi ia melangkah mendahului kedua
orang Tumenggung serta Madyasta ke halaman belakang, kawannyapun telah
mengikutinya pula. Di halaman belakang yang cukup luas itu, Ki Tumenggung dan Madyasta melihat para
prajurit sedang berkumpul, Ki Lurah Sasangka sendiri berada di punggung kuda
sambil membawa sebilah pedang telanjang.
Sejenak kemudian, maka kudanya itupun berlari dengan kencang mengitari halaman
belakang barak itu, setiap kali pedangnya terayun menyambar orang-orangan yang
dibuat dari jerami yang berdiri berjajar beberapa langkah.
Demikian kepala orang-orangan yang terakhir itu jatuh, maka prajuritpun bersorak
sambil bertepuk tangan. Kuda Sasangka masih berlari berputar-putar di halaman, ketika para prajurit itu
sudah berhenti bertepuk tangan dan bersorak, maka Sasangkapun telah meloncat
turun dari kudanya. Namun Sasangka terkejut, bahkan para prajuritpun ikut berpaling pula ketika
mereka medengar tepuk tangan yang bukan berasal dari mereka.
"Ki Tumenggung" Sasangkapun mengagguk hormat, dengan tergesa-gesa ia melangkah
mendekat. Namun ketika Sasangka itu berhenti beberapa langkah di depan kedua Ki
Tumenggung. Ki Tumenggung Wiradapapun bertanya "Kau mengenal anak muda ini?"
Sasangka mengerutkan dahinya, namun iapun kemudian menyahut "Tentu, tentu Ki
Tumenggung, bukankah anak muda ini Raden Madyasta, putera Kangjeng Adipati
Prangkusuma?" "Ya, ternyata kau sudah mengenalnya"
"Sekitar empat tahun atau lima tahun yang lalu, pada saat itu aku masih menjadi
menjadi seorang prajurit, aku sudah mengenal Raden Madyasta yang sering berada
di tengah-tengah para prajurit, bahkan kadang-kadang ikut berlatih bersama kami,
waktu itu Raden Madyasta masih sangat muda diantara prajurit-prajurit yang
lain". "Nah, apakah Raden masih ingat akan anak muda yang sekarang menjadi seorang
Lurah prajurit, yang termasuk dalam hitungan senapati muda terpandang di
Paranganom?" "Ki Tumenggung terlalu memuji, terima kasih" sahut Sasangka.
"Ya, sekarang aku ingat, waktu itu aku memang sering berada diantara para
prajurit muda. Beberapa kali aku mendapat peringatan karena kehadiranku yang
kadang-kadang justru menganggu. Tetapi aku ingin mempunyai banyak kawan, sampai
pada suatu saat, ayahanda mengirim aku dan adimas Wignyana ke padepokan
Panambangan". "Sekarang, Raden sudah kembali lagi ke kadipaten Paranganom atau hanya sekedar
melepas kerinduan?" "Aku telah kembali pulang, kakang"
"Raden dapat bermain lagi bersama kami, aku tidak akan pernah merasa terganggu
jika Raden sering datang kemari dan berlatih bersama kami"
"Tetapi kakang Sasangka bukan lagi kakang Sasangka yang dahulu. Seorang prajurit
yang dengan gigih menempa diri di lingkungan keprajuritan"
"Raden Madyastapun bukan Raden Madyasta yang dahulu"
Mereka berdua tersenyum. Sementara itu, Ki Lurah Sasangkah telah mempersilahkan ketiga orang tamunya
duduk di pringgitan bangunan induk baraknya.
"Silahkan Raden, silahkan Ki Tumenggung, aku akan mencuci kaki dan tanganku
sebentar" Kedua orang prajurit yang mengantar Madyasta dan kedua orang Ki Tumenggung itu
ke belakang, telah mempersilahkan ketiga orang tamu itu untuk pergi ke pendapa
bangunan induk barak itu.
Beberapa saat kemudian, Sasangka sempat melaporkan perkembangan barak serta
pasukan yang dipimpinnya.
Namun kemudian Sasangka itu bertanya "Ki Tumenggung, sebenarnyalah kehadiran Ki
Tumenggung berdua, apalagi bersama Raden Madyasta, memang agak mengejutkan kami,
penghuni barak ini, mungkin kami telah melakukan kesalahan yang tidak kami
sadari, sehingga kehadiran Ki Tumenggung berdua serta Raden Madyasta akan
mengetrapkan hukuman bagi kami seisi barak ini"
Ketiga orang tamunya tertawa, Ki Tumenggung Wiradapalah yang menjawab "Jika
kalian bersalah, maka bukan aku yang datang ke barakmu, tetapi kami akan
memanggilmu atau mengirimkan tiga orang prajurit khusus untuk menangkapmu"
Sasangkapun mengangguk hormat, katanya "Seandainya Ki Tumenggung berdua dan
Raden Madyasta akan memberikan perintah, akupun dapat dipanggil menghadap"
"Memang" sahut Ki Tumenggung Wiradapa "Tetapi sekali ini Raden Madyasta ingin
melihat barakmu, ingin melihat ujudnya, namun juga ingin melihat isinya"
"Terima kasih atas kesediaan datang mengunjungi barak ini. Mungkin keadaan kami
tidak sebagaimana Raden kehendaki. Banyak sekali kekurangan yang terdapat di
barak ini" :Aku tidak akan membuat penilaian kakang. Tetapi aku datang justru untuk
mengganggu ketenanganmu"
Sasangkan mengerutkan dahinya, dipandanginya kedua Ki Tumenggung yang datang
bersama Madyasta itu berganti-ganti
Kedua Ki Tumenggung itu tersenyum. Ki Tumenggung Sanggayudapun berkata "Kau
dengar istilah yang dipergunakan oleh Raden Madyasta" Raden Madyasta tidak
mengatakan bahwa ia datang untuk memberikan perintah kepadamu. Tetapi Raden
Madyasta merasa dirinya justru datang mengganggumu"
Madyasta tertawa, namun iapun bertanya "Apakah aku berhak memberikan perintah
kepada para senapati?"
"Raden" berkata Ki Tumenggung Sanggayuda "Sejak Raden mendapat perintah untuk
menumpas para perampok itu, maka Raden telah madeg Senapati Agung. Bukankah
ayahanda telah memberi wewenang kepada Raden untuk mengambil langkah-langkah
yang perlu untuk mengatasi para perampok itu?"
Tetapi aku belum terbiasa melakukannya, paman. Di Padepokan, kedudukan para
cantrik, semuanya sama. Adalah kebetulan bahwa aku termasuk cantrik yang sudah
terhitung tua di padepokan Panambangan. Sehingga para cantrik yang sebagian
besar masih muda-muda itu menaruh hormat kepadaku, bukan karana aku anak seorang
Adipati. Tetapi aku adalah kakak seperguruan mereka, namun sebaliknya, kepada
beberapa orang cantrik yang lebih tua daripadaku, yang masih tinggal di
padepokan, akupun harus menghormati mereka, karena mereka adalah kakak
seperguruaku" "Disini, kedudukan Raden mempunyai kekhususan, karena Raden adalah putera
Kangjeng Adipati, apalagi Raden adalah putera tertua, yang menurut tatanan akan
dapat menggantikan kedudukan ayahandamu kelak. Di Paranganom ini, hanya ada
seorang Adipati, sedangkan puteranya yang tertua juga hanya seorang"
Madyasta tertawam katanya "Tetapi itu bukan berarti bahwa aku adalah orang yang
mempunyai kedudukan khusus di kadipaten ini, aku rasa aku tidak ada bedanya
dengan anak-anak muda yang lain, yang harus mengabdi kepada kadipaten ini"
"Mau tidak mau, Raden" berkata Sasangka "Mau tidak mau Raden mempunyai kedudukan
yang khusus, justru karena hanya ada seoroang di seluruh kadipaten"
Madyasta masih tertawa, katanya "Bukankah itu menjadi beban bagiku?"
"Ya" sahut Ki Tumenggung Wiradapa "Yang kemudian ada di pundak Raden adalah
kewajiban, kewajiban sebagai seorang putera Adipati, tetapi disamping kewajiban
yang Raden pikul, Radenpun mempunyai hak dalam kedudukan Raden sebagai putera
seorang Adipati dan sebagai seorang anak muda dari kadipaten Paranganom.
"Baiklah" berkata Madyasta "Aku akan berusaha untuk menyesuaikan diriku dengan
hak dan kewajibanku"
"Nah, sekarang aku menunggu perintah Raden Madyasta" berkata Sasangka.
Madyasta memandang Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda sekilas.
Namun kemudian iapun berkata kepada Sasangka "Kakang, aku mendapat perintah dari
ayahanda untuk menangani keresahan di beberapa kademangan karena tindak
kejahatan. Perampok, penyamun dan penjahat-penjahat yang lain telah mengganggu
ketenangan penduduk beberapa kademangan itu. Bahkan ketika aku pulang dari
padepokan bersana Wignyana dan Ki Ajar Wihangga, kamipun telah diganggu oleh
perampok di perjalanan. Sayang bahwa kami tidak dapat menangkap mereka, meskipun
kami berhasil menggagalkan usaha mereka"
Sasangkapun segera tanggap, dengan serta merta ia berkata "Raden akan memberikan
perintah kepadaku untuk ikut bersama Raden menangani kejahatan itu?"
"Ya, para Demang tidak lagi mampu membendung arus kejahatan itu, beberapa orang
korban telah jatuh. Bukan hanya korban harta benda, tetapi juga korban jiwa"
"Sendika, Raden. Aku siap untuk melaksanakan segala perintah"
"Tetapi kita tidak hanya berdua. Menurut paman Tumenggung Wiradapa dan paman
Tumenggung Sanggayuda, kita akan menghubungi kakang Rembana dan kakang Wismaya"
"Aku sudah siap kapanpun aku harus berangkat, demikian pula pasukanku yang ada
di barak ini, kami akan siap dalam waktu yang singkat"
"Terima kasih kakang, tetapi kita tidak akan berangkat segera, kita masih akan
berbicara dengan kakang Rembana dan kakang Wismaya. Apa yang sebaknya kita
lakukan" "Jadi?" "Kita akan ke barak kakang Rembana dan kakang Wismaya lebih dahulu"
Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik, Raden. Aku akan mengantar Raden menemui Rembana dan Wismaya di barak
mereka" Dalam pada itu, Raden Madyasta berkata kepada Ki Tumenggung Wiradapa berkata dan
Ki Tumenggung Sanggayuda "Paman berdua, agaknya paman tidak usah mengantar aku
selanjutnya, aku akan pergi bersama kakang Sasangka saja, paman Tumenggung
berdua akan dapat segera beristirahat."
"Jadi Raden akan pergi bersama Sasangka saja?"
"Ya, paman. Jika hari ini aku tidak kembali ke Kadipaten, sampaikan kepada
ayahanda, bahwa aku berada disalah satu barak dari ketiga orang senapati muda
ini. Kami akan membicarakan langkah-langkah yang akan kami ambil. Karena kami
harus segera berbuat sesuatu sebelum kejahatan itu menjalar keseluruh kadipaten
Paranganom" "Baiklah, Raden. Agaknya Raden akan berbicara dengan anak-anak muda yang sebaya
dengan Raden. Tetapi jika Raden perlu pendapat orang-orang tua ini, silahkan
Raden memanggil kami berdua" berkata Ki Tumenggung Wiradapa.
"Tentu paman, setidak-tidaknya sebelum kami berangkat, kami akan menghadap
ayahanda serta bertemu dengan paman berdua"
"Baik, Raden. Sekarang, kami berdua minta diri" lalu katanya kepada Sasangka
"Hati-hati mengambil keputusan Sasangka, persoalannya ini tidak sederhana"
"Baik, Ki Tumenggung, pada saatnya kami akan memberikan lapoaran kepada Ki
Tumenggung" Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda meninggalkan barak prajurit
yang dipimpin oleh lurah Sasangka itu. Sementara itu Ki Lurahpun segera bersiap
untuk mengantar Raden Madyasta menemui Rembana dan Wismaya.
Beberapa saat kemudian, kedua orang anak muda itu telah mengenderai kuda mereka
menuju ke barak prajurit yang lain, yang letaknya tidak terlalu jauh.
Ketika keduanya sampai di barak prajurit yang dipimpin oleh Rembana, kebetulan
Rembana sedang berlatih bersama beberapa orang pemimpin kelompok di barak itu.
Rembana tengah memberikan petunjuk-petunjuk kepada para pemimpin kelompok yang
kemudian harus disampaikan kepada prajurit. Rembana telah menyampaikan beberapa
gagasan kepada prajurit-prajuritnya untuk membuat gelar perang yang sudah ada
menjadi semakin hidup serta gerakan-gerakan yang dapat menghancurkan lawan.
Kedatangan Sasangka telah menghentikan latihan itu. Diserahkannya latihan itu
kepada pemimpin kelompok yang tertua untuk melanjutkan latihan-latihan itu.
"Teruskan latihan ini, aku akan menerima tamu"
"Baik, Ki Lurah: jawab pemimpin kelompok yang tertua itu.
Rembanapun kemudian mempersilahkan kedua tamunya untuk duduk di pringgitan
bangunan utama barak itu.
Ternyata Rembanapun telah dikenal oleh Madyasta, antara empat atau lima tahun
yang lalu, sebagaimana Sasangka. Rembana waktu itu masih seorang prajurit.
Madyasta yang agak nakal pada waktu itu, memang sering berada diantara prajurit
muda serta berlatih bersama mereka, meskipun yang dilakukannya itu tidak
dibenarkan oleh ayahanda, sehingga akhirnya, Madyasta dan Wignyana sekaligus
dikirim ke padepokan Panambangan agar keduanya dapat berlatih dengan cara yang
lebih baik dan teratur, memiliki bekal secara pribadi, sehingga yang benar-benar
sepadan dengan kedudukan mereka.
"Kedatangan Raden yang tiba-tiba memang agak mengejutkan kami, sesisi barak ini"
berkata Rembana kemudian.
Madyasta tersenyum, katanya "Kami mengemban perintah ayahanda Adipati kakang"
Wajah Rembana menegang, dipandanginya Sasangka sekilas, kemudian iapun bertanya
"Apakah ada perintah dari Kangjeng Adipati?"
"Ya, kakang" jawab Madyasta "Ada hubungannya dengan meningkatnya kerusuhan di
Kadipaten ini." "Apakah aku diperintahkan untuk mengatasi masalah tersebut?"
"Kita akan bersama-sama melakukannya"
"Maksud Raden?"
Madyasta kemudian menjelaskan perintah ayahandanya yang diembannya, serta
niatnya untuk membawa Sasangka, Rembana dan Wismaya menyertainya.
"Rembana dengan serta-merta menyahut "Aku siap menerima perintah, Raden.
Kapanpun dan dimanapun aku ditempatkan"
"Tidak hari ini, kakang. Nanti kita bersama-sama akan berbicara serta menyusun
rencana, apa yang akan harus kita lakukan, agar langkah kita dapat sampai ke
sasaran dengan pasti"
"Baik, Raden. Aku siap menerima perintah"
"Raden Madyasta masih akan menghubungi Wismaya dahulu, Rembana"
"Apakah kau akan menyertainya?"
"Ya, aku akan mengantarkan Raden Madyasta untuk menemuinya"
"Kalau begitu, aku juga ikut bersamamu, jika Raden mengijinkan"
"Aku tidak keberatan, kakang. Kita akan pergi bertiga menemui kakang Wismaya"
Rembanapun kemudian telah memberitahukan kepada orang kepercayaannya, bahwa ia
akan pergi bersama Raden Masyasta, putera kangjeng Adipati Prangkusuma serta
Sasangka. Ketika mereka sampai di barak Wismaya, ternyata Wismaya sedang berada di
sanggarnya, seorang prajurit telah memberitahukan kepadanya, bahwa ada tiga
orang tamu yang mencarinya.
"Siapa?" "Ki Lurah Sasangka, Ki Lurah Rembana dan Raden Madyasta, putera Kangjeng Adipati
Prangkusuma" "Raden Madyasta?" ulang Wismaya
"Ya, Ki Lurah" "Baiklah, persilahkan mereka duduk di pringgitan, aku akan segera menemui
mereka" "Baik Ki Lurah"
Wismaya dengan pakaian yang masih basah dengan keringat, menemui ketiga orang
tamunya yang sudah duduk di pringgitan.
Seperti Sasangka dan Rembana, Raden Masyastapun telah mengenal Wismaya seperti
ia mengenal Sasangka dan Rembana. Yang dalam empat tahun mereka sudah menjadi
Lurah prajurit. Bahkan telah memimpin pasukan kadipaten Paranganom bersama-sama
dengan pasukan Tegallangkap menghadapi pasukan yang datang dari seberang
Bengawan Rahina. Meraba Matahari 08 "Jadi kita akan bertugas untuk mengatasi kerusuhan itu, Raden?" bertanya
Wismaya. "Ya, kakang" "Kapan kita akan berangkat?"
"Nanti malam kita akan membicarakan rancara itu sebaik-baiknya"
"Apakah aku harus menghadap Raden ke dalam Kadipaten?"
"Tidak, kakang. Aku tidak pulang malam ini, kita akan bertemu an berbicara di
barak kakang Sasangka. Malam ini aku akan bermalam di barak itu. Besok setelah
rencana kita susun sebaik-baiknya, baru kita menghadap ayahanda untuk minta diri
serta melaporkan rencana kita"
"Baiklah Raden, nanti aku akan datang ke barak Sasangka"
"Kita akan bertemu dan berbicara lepas maghrib"
"Baik Raden" Demikianlah, setelah berbicara beberapa saat, maka Madyasta minta diri. Demikian
pula Rembana dan Sasangka.
"Sasangka, jangan lupa, nanti setelah maghrib" Rembana mengingatkan, ketika
mereka berada di regol halaman barak.
"Tentu aku tidak akan lupa" jawab Wismaya.
"Kau seringkali lupa, Wismaya. Kau masih muda, tetapi kau sudah pikun seperti
kakek-kakek" "Tetapi aku tidak pernah lupa dengan tugas yang penting"
Sasangka tersenyum sambil menyahut "Wismaya dapat saja lupa tidak membawa kaki
atau kepalanya. Tetapi ia tidak akan lupa tugas-tugas keprajuritannya"
"Terima kasih atas pujuanmu, Sasangka"
"Yang mendengarnya tertawa, sementara Rembana berkata "Sasangka, kau memuji
Wismaya ya, mungkin kau berharap bahwa nanti malam Wismaya akan datang ke
barakmu sambil membawa oleh-oleh jajanan pasar?"
Mereka semua tertawa berkepanjangan.
Seorang prajurit yang bertugas jaga di regol mengerutkan keningnya, di dalam
hatinya iapun berkata Ki Lurah Wismaya itu dapat juga tertawa, jarang sekali aku
melihat suasana yang begitu gembira seperti saat ini bagi Ki Lurah Wismaya yang
sehari-hari kelihatan selalu bersunggung-sungguh itu.
Sepeninggal Sasangka dan Rembana serta Raden Madyasta, serta setelah masuk
kembali ke dalam barak, prajurit yang bertugas tadi berbicara kepada kawannya
yang juga sedang bertugas "Apakah kau pernah melihat Ku Kurah Wismaya tertawa?"
"Ya, pernah. Bukankah kau akan mengatakan bahwa tadi kau melihat Ki Lurah
Wismaya berkelakar dengan Ki Lurah Sasangka dan Rembana" Bahkan dengan Raden
Madyasta?" "Ya. Bukankah Ki Lurah Wismaya selalu kelihatan bersungguh-sungguh sehingga
memandang wajahnya saja rasa-rasanya aku segan"
"Tetapi Ki Lurah Wismaya itu orang baik, kau pernah melihat salah seorang dari
kita yang berada di barak ini diperlakukan tidak adil", Ki Lurah memang seorang
yang tegas. Tetapi sebenarnya hatinya lembut. Ketika dua orang prajuritnya gugur
di peperangan dekat Bengawan Rahina, yang pada waktu itu aku juga terluka, kau
tahu bahwa semalam suntuk Ki Lurah menunggu kedua sosok mayat itu?"
"Ya, aku juga berada di medan pada waktu itu"
"Nampaknya Ki Lurah juga telah mendapat perintah dari Raden Madyasta"
Kawannya mengangguk-angguk, katanya "Kita tunggu saja, malam ini Ki Lurah akan
membicarakan rencananya di barak Ki Lurah Sasangka, tetapi aku tidak mendengar
lebih banyak lagi" Keduanyapun terdiam. *** Seperti yang direncanakan, maka ketika senja menjadi semakin buram, di barak
masing-masing. Rembana dan Wismaya segera mempersiapkan diri, mereka akan pergi
ke barak Sasangka untuk membicarakan tugas yang akan mereka pikul untuk
mengatasi kerusuhan yang menjadi semakin meningkat di Paranganom.
Sementara itu, Madyasta memang tidak pulang ke Kadipaten, ia ingin berada di
lingkungan kehidupan para prajurit. Madyasta ingin mengalami, makan, tidur dan
bahkan kehidupan para prajurit seutuhnya, sebagaimana pernah dilakukannya pada
masa-masa yang lalu. Ketika malam turun, maka ketiga orang lurah prajurit itu sudah berkumpul bersama
Raden Masyasta. Sebelum mereka mulai menentukan sikap, maka merekapun lebih dahulu mempelajari
semua laporan yang pernah disampaikan tentang kerusuhan yang terjadi di
Paranganom. Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda sudah
memberi-tahukan semua laporan tugas untuk mengatasi kerusuhan itu.
Bahkan merekapun telah merencanakan pula kehadiran Raden Ayu Prawirayuda di
Kadipaten Paranganom. "Kenapa Raden Ayu Prawirayuda itu diusir dari Kadipaten Kateguhan" bertanya
Wismaya. "Ayahanda belum mendapat keterangan yang jelas, yang disampaikan oleh bibi hanya
sekedar dugaan-dugaan dan kata orang, tetapi kakangmas Adipati di Kateguhan
sendiri tidak pernah menjatuhkan tuduhan apa-apa.
"Apakah kesalahan Raden Ayu Prawirayuda itu sedemikian besarnya sehingga jusutru
harus dirahasiakan", atau mungkin akan menyentuh harga diri dan kewibawaan
Kangjeng Adipati di Kateguhan?"
"Itulah yang tidak jelas, padahal bibi adalah seorang perempuan yang berilmu
tinggi. Bibi Prawirayuda yang pada waktu paman Prawirayuda masih menjadi Adipati
di Kateguhan telah menyusun satu kekuatan yang belum pernah ada sebelumnya,
pasukan yang terdiri dari perempuan-perempuan muda yang dilatih khusus langsung
oleh bibi sendiri dibantu oleh beberapa senapati laki-laki. Sehingga pada waktu
itu bibi pernah disebut sebagai Srikandi Kateguhan"
"Rasa-rasanya tentu ada sesuatu yang dirahasiakan" berkata Sasangka.
"Sementara itu, bersamaan dengan kehadiran Raden Ayu Prawirayuda di Paranganom,
kerusuhan di Paranganom menjadi semakin meningkat pula" sahut Rembana.
"Mungkin hanya satu kebetulan, kakang" berkata Madyasta kemudian "Meskipun
demikian, kita akan melihat perkembangan keadaan"
"Mudah-mudahan memang hanya satu kebetulan, Raden. Tetapi menelusuri arah
perluasan kerusuhan itu, memang dapat menumbuhkan satu pertanyaan tentang
keterlibatan orang-orang Kateguhan, mungkin memang tidak ada kesengajaan dari
para pemimpin di Kateguhan untuk menimbulkan kerusuhan di Paranganom. Mungkin
yang terjadi adalah turunnya dengan tajam kesejahteraan hidup rakyat kateguhan,
sehingga ada beberapa orang yang terpaksa mencari jalan pintas untuk mendapatkan
sarana kesejahteraan bagi hidup mereka. Tetapi mereka tidak mau melakukannya di
lingkungan mereka sendiri, sehingga mereka harus menyeberangi perbatasan antara
kadipaten Kateguhan dan Kadipaten paranganom.
"Memang ada beberapa kemungkinan, kakang" jawab Madyasta "Bahkan mungkin mereka
adalah orang-orang yang datang dari jauh. Mereka bahkan mungkin juga membuat
kerusuhan di kadipaten Kateguhan sebagaimana mereka lakukan di Paranganom."
Ketiga orang Lurah prajurit itu mengangguk-angguk. Meskipun demikian, Wismaya
bertanya "Apakah ada laporan bahwa kerusuhan itu juga terjadi di Kateghan?"
"Belum kakang, beberapa orang prajurit sandi yang bertugas untuk mengamati
kemungkinan itu belum memberikan laporan "Raden Madyasta berhenti sejenak, lalu
katanya "Tetapi kita tidak usah menunggu laporan itu. Semakin lamban kerusuhan
ini ditangani, maka keresahan akan menjadi semakin tersebar luas di Paranganom.
"Ya Raden" jawab Sasangka "Sekarang, kami menunggu perintah Raden, apakah kami
masing-masing harus menyiapkan kelompok prajurit dan kami tempatkan di daerah
yang rawan?" "Kakang, apakah kita dapat mempergunakan cara lain" Jika kita membawa prajurit
ke daerah rawan, maka hal itu tentu akan segera didengar oleh para perampok.
Mereka akan dapat merubah medan yang akan mereka masuki. Atau bahkan mereka
untuk sementara akan menghentikan kegiatannya, sehingga dengan demikian,
kepergian kita akan sia-sia. Namun demikian, jika kita menarik diri, maka mereka
akan segera datang kembali"
"Jadi bagaimana menurut Raden?" bertanya Wismaya.
"Kita akan pergi berempat saja, mungkin kita memerlukan empat atau atau lima
orang kawan lagi" "Jadi kita akan datang berempat saja?" bertanya Rembana.
"Ya" "Bagus, aku sependapat Raden"
"Selebihnya kita akan menyiapkan anak-anak muda dari kademangan setempat. Para
perampok tentu akan meremehkan anak-anak muda itu. Tetapi kita akan dapat
memberikan latihan-latihan khusus kepada mereka. Meskipun sekedar dasar-dasarnya
saja. Tetapi bersama-sama dengan kita berempat, mereka akan dapat berbuat
sesuatu bagi kademangan mereka"
Rembana termangu-mangu sejenak, sementara Sasangka kemudian berkata "Tetapi
apakah tidak akan terlalu banyak korban jika benar-benar terjadi benturan
kekuatan antara kita dan para perampok itu jika kita menyertakan anak-anak muda
kademangan yang belum pernah mempergunakan senjata"
"Kita akan selalu bersama mereka, jika perlu, seperti yang aku katakan tadi,
kita akan membawa empat atau lima orang terpilih bersama kita. Tetapi tentu
mereka tidak perlu berjalan seiring dengan kita"
"Maksud Raden?"
Bab 06 " Kademangan Panjer
"Maksud Raden?"
:Kita akan pergi berempat, mudah-mudahan kedatangan kita tidak mereka ketahui.
Tetapi seandainya mereka tahu, maka merekapun tidak merasa perlu untuk
menghindar, karena kita hanya berempat. Selebihnya, beberapa orang prajurit akan
datang berurutan dalam pakaian para petani sehari-hari. Seakan-akan mereka
sedang melakukan tugas sandi"
"Aku mengerti maksud Raden" berkata Rembana.
"Nah jika demikian, maka aku minta kakang masing-masing memilih dua prajurit
terbaik, perintahkan mereka untuk menyusul kita, tetapi seperti yang aku katakan
tadi, mereka berada dalam tugas sandi, agar para perampok itu tidak merubah
rencana mereka" "Baik Raden, kami mengerti maksud Raden"
"Kapan kita akan berangkat Raden?"
"Besok pagi saat matahari terbit, kita akan pergi menghadap ayahanda memberikan
laporan tentang rencana kita, kita akan langsung berangkat menuju ke kademangan
Panjer. Bukankah menurut perhitungan kita, para perampok itu akan merambat
sampai ke kademangan Panjer?"
"Ya, Raden. Sementara itu, kedua orang prajurit dari barak kami masing-masing
harus langsung pergi ke Panjer"
"Ya, biarlah mereka berjalan kaki, tetapi mereka tidak boleh berjalan
bersama-sama" "Baik, baik, aku akan memerintahkan dua orangku yang terbaik untuk berangkat
esok pagi, berkata Rembana.
"Mereka harus langsung pergi ke rumah Ki Demang sementara kita sudah berada di
kademangan itu."
Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, Raden" Demikianklah, malam itu itu mereka telah mendapatkan kesepakatan, esok pagi,
pada saat matahari terbit, mereka akan bersama-sama menghadap Kangjeng Adipati
Prangkusuma. Malam itu, Sasangka, Rembana, Wismaya telah menunjuk masing-masing dua orangnya
yang terbaik. Mereka mendapat perintah khusus untuk menjalankan tugas mereka
yang khusus pula. Demikianlah, maka ketika matahari terbit di keesokan harinya. Madyasta bersama
Sasangka, Rembana dan Wismaya telah menghadap Kangjeng Adipati Prangkusuma,
meskipun Kangjeng Adipati baru saja bangun dan bersiap-siap untuk mandi, namun
kedatangan Madyasta dan ketiga orang senapati itu telah mendapat perhatiannya,
sehingga Kangjeng Adipati telah menerima puteranya sebelum Kangjeng Adipati
sempat mandi. "Apa rencanamu Madyasta?"
Madyastapun telah menyampaikan rencananya yang telah disusun semalam bersama
Sasangka, Rembana dan Wismaya.
Kangjeng Adipatipun mendengarkan laporan serta rencana Madyasta itu dengan
sungguh-sungguh, sekali-sekali Kangjeng Adipati mengangguk-angguk, namun
kadang-kadang nampak dahinya berkerut.
"Aku percaya padamu, Madyasta" berkata Kangjeng Adipati.
"Kami mohon doa restu ayahanda" berkata Madyasta kemudian.
"Berangkatlah, kau mengemban tugas sebagai seorang putera Adipati Paranganom"
Ketika matahari naik sepenggalah, maka Madyasta dan ketiga senapati muda itupun
meninggalkan dalem kadipaten menuju ke kademangan Panjer yang tidak jauh dari
perbatasan dengan Kadipaten Kateguhan.
Berkuda mereka berempat keluar dari pintu gerbang kota, menyusuri jalan-jalan
bulak, kuda mereka itupun berlari di bawah panasnya sianr matahari yang semakin
terasa menyengat kulit. Sekali-sekali keempat orang itupun berhenti untuk memberi kesempatan kuda-kuda
mereka beristirahat. Namun kemudian keempat orang itupun segera melanjuntukan perjalanan, dibawah
teriknya sinar matahari, mereka melarikan kuda mereka di jalan berbatu-batu,
diantara jalur-jalur jejak roda pedati. Sekali-sekali keempat orang itu melewati
jalan tidak begitu jauh dari hutan yang lebat. Namun kemudian jalan itu
melingkar dan menurun tajam. Tetapi kemudian memanjat naik lereng pegunungan,
menyeberangi sungai yang tidak mempunyai jembatan.
Perjalanan mereka memang cukup panjang.
"Kita tidak mendahului prahurit-prajurit yang pergi ke Panjer" berkata Madyasta
"Atau mungkin mereka berada di pasar ketika kita melewati pasar di padukuhan
seberang sungai itu?"
"Padukuhan Karangwetan, Raden. Pasar itu adalah pasar Karangwetan"
Namun Wismayapun menyahut "Agaknya mereka tidak mengambil jalan ini, Raden.
Mereka akan mengambil jalan pintas yang lebih dekat"
Madyasta mengangguk-angguk
"Meskipun jalan itu agak rumit, tetapi mereka akan cepat sampai di Panjer"
"Barangkali esok pagi mereka baru akan memasuki kademangan Panjer, Raden"
berkata Wismaya. "Jadi mereka harus bermalam di perjalanan?"
"Mereka tentu akan menghentikan perjalanan mereka dan bermalam di mana saja.
Jika mereka berjalan terus di malam hari, pada saat kerusuhan sedang menghantui
padukuhan-padukuhan, akan dapat timbul salah paham"
Madyasta mengangguk-angguk.
Di sore hari, ketika mereka berempat singgah di sebuah kedai, merekapun
mendengar pembicaraan tentang kerusuhan itu, agaknya rakyat Paranganom, terutama
di daerah rawan, benar-benar menjadi gelisah.
"Kalian akan pergi kemana anak muda?" bertanya seorang tua yang juga sedang
berada di kedai itu. Orang itu tidak menyadari bahwa ia berbicara dengan putera Kangjeng Adipati
serta tiga senapati terpilih di Kadipaten Paranganom, karena mereka sama sekali
tidak mengenakan ciri-ciri keprajuritan.
Yang menjawab pertanyaan orang tua itu adalah Wismaya, jawabnya "Kami akan pergi
ke Tegal Gumelar, Ki Sanak"
Orang tua itu mengeruntukan keningnya, lalu katanya "Hati-hatilah anak muda,
bukankah Tegal Gumelar itu letaknya di sebelah kademangan Panjer?"
"Ya, Ki Sanak?"
"Kami, di lingkungan ini sedang digelisahkan oleh kerusuhan-kerusuhan yang
semakin meningkat" "Apa yang telah terjadi disini, Ki Sanak?" bertanya Rembana.
"Perampokan, tidak hanya di jalan-jalan sepi, tetapi para perampok itu dengan
berani mendatangi kademangan-kademangan, mereka tidak melakukan kejahatan itu
dengan diam-diam, tetapi mereka seakan-akan sengaja menantang para penghuni
kademangan yang di datanginya"
"Nampaknya keadaan sudah parah, Ki Sanak"
"Ya. Kerana itu, pertimbangkan perjalanan kalian. Apakah keperluan kalian ke
Tegal Gumelar anak muda?"
"Kami adalah pedang wesi aji dan bebatuan, Ki Sanak"
"Apalagi jika kalian pedang" berkata orang tua itu "Sebaiknya kalian menunda
perjalanan kalian" "Tetapi kami tidak mau kehilangan kesempatan terbaik, Ki Sanak. Kami berjanji
untuk membawa barang-barang yang mereka pesan itu hari ini"
"Kau akan kemalaman di jalan"
"Tidak akan terlalu malam"
"Anak muda" berkata orang tua itu, "Mungkin kau belum mendengar apa yang pernah
terjadi di daerah ini, kerusuhan dan kejahatan semakin menjadi-jadi. Sementara
itu, Kangjeng Adipati Prangkusuma nampaknya acuh tak acuh saja,
kademangan-kademangan sudah menyampaikan laporan, bahwa mereka sudah tidak mampu
menanggulangi kejahatan yang semakin tersebar di daerah ini. tetapi tidak ada
tindakan apapun yang telah diambil oleh Kangjeng Adipati, menurut ceritanya,
para prajurit telah mendapat pujian ketika mereka turun ke medan perang di
sebelah bengawan Rahina, tetapi sekarang, di kadipaten itu sendiri, prajurit itu
tidak mengambil tindakan apa-apa"
"Tentu bukan begitu, Ki Sanak" berkata Sasangka "Pada saatnya Kangjeng Adipati
tentu akan memerintahkan prajurit-prajurit untuk mengatasinya"
"Tetapi kapan", apa pula yang ditunggu", lihat ngger, meskipun hanya
berseberangan perbatasan, di Kadipaten Kateguhan tidak terjadi apa-apa. Tetapi
hampir di sepanjang perbatasan, terutama yang menghadap ke daerah rawan,
prajurit meronda hampir setiap saat, sehingga para perampok itu tidak berani
menyeberang. Mereka tidak berani melakukan kejahatan di daerah Kateguhan..
"Mungkin Kangjeng Adipati sedan mengumpulkan keterangan-keterangan yang akan
sangat berani bagi langkah-langkah yang akan diambilnya"
"Itulah yang kami sesalkan, lamban sekali"
Madyasta menarik nafas panjang, tetapi ia tidak menyahut sama sekali agar
lidahnya tidak salah ucap.
"Nah, dengar nasehatku, aku adalah penghuni daerah ini sejak lahir, aku tahu
benar apa yang sedang bergejolak di daerah ini dan sekitarnya"
"Tetapi bukankah Tegal Gumelar masih agak jauh dari sini?"
"Ya, tetapi kau akan melintasi daerah rawan itu"
Sasangkapun tersenyum sambil berkata "Terima kasih atas peringatan ini, Ki
Sanak. Tetapi jangan cemaskan kami, kami akan berhati-hati"
Jadi kalian tetap akan pergi ke Tegal Gumelar?"
"Ya, Ki Sanak. Doakan kami agar kami tidak menemui hambatan yang berarti"
"Aku doakan kalian meskipun kalian atidak mau mendengarkan nasehatku"
"Bukannya kami tidak mau mendengarkan nasehat Ki Sanak, tetapi kami sudah
berjanji kepada seseorang yang sangat baik kepada kami"
Orang tua itu memandang ke empat anak muda itu dengan kerut di dahi. Tetapi
iapun kemudian tidak berbicara lagi, diangkaktnya mangkuknya, kemudian
dihirupnya minuman yang ada di dalamnya.
Sementara itu, beberapa orang yang lain, yang agak lama berada di kedai itu,
telah meninggalkan tempat itu, setelah mereka membayar harga makanan dan minuman
mereka. Madyasta dan ketiga orang senapati itu sudah merasa cukup beristirahat, demikian
juga kuda-kuda mereka, maka merekapun minta diri kepada orang tua itu.
"Hati-hati ngger, sebenarnyalah aku merasa sedih bahwa angger ternyata akan
meneruskan perjalanan angger"
"Terima kasih atas perhatian Ki Sanak, tetapi jangan cemas. Dalam beberapa hari
aku akan kembali lewat jalan ini pula, sekali lagi, doakan kami, Ki Sanak"
Ketika Madyasta membayar makanan serta minuman mereka, pemilik kedai itupun
berkata "Aku sependapat dengan orang tua itu, Ki Sanak"
"Tetapi kami tidak dapat berbuat lain, kami sudah berjanji untuk untuk datang
hari ini meskipun kami akan sampai Tegal Gumelar agak malam"
"Hati-hatilah anak-anak muda" pemilik kedai itupun berpesan.
Sejenak kemudian, maka empat ekor kuda berlari di jalan-jalan bulak menuju ke
kademangan Panjer. Namun Madyastapun kemudian memperlambat kudanya, kepada Wismaya yang berkuda
disebelahnya, Madyastapun berkata "Rakyat benar-benar sudah menjadi gelisah,
ayahanda memang agak terlambat mengambil tindakan"
"Ayahanda agaknya tidak mau tergesa-gesa menanggapi peristiwa yang bagi
Paranganom agak mengejuntukan dan menimbulkan banyak pertanyaan itu"
"Tetapi seharusnya ayahanda tidak usah menunggu jawaban dari perptanyan itu,
ternyata rakyat sudah menjadi sangat gelisah. Karena itu, kita memang harus
bertindak segera" Meraba Matahari 09 "Mungkin kita memang agak lamban, Raden, tetapi kita ingin penyelesaian yang
tuntas, jika kita melakukannya sebagaimana dilakukan oleh Kadipaten Kateguhan
sebagaimana dikatakan oleh orang tua itu, maka penyelesaiannyapun akan
mengambang. Waktunya akan menjadi panjang. Tetapi seperti yang Raden kehendaki,
cara yang kita tempuh ini agaknya memang lebih baik"
Madyasta mengangguk-angguk, namun rasa-rasanya ia ingin lebih cepat sampai di
Kademangan Panjer. Namun dalam pada itu, setiap keempat ekor kuda itu berlari tidak terlalu
kencang, Madyasta dan para prajurit itu mendengar derap kaki kuda di belakang
mereka. Ketika mereka berpaling, mereka melihat beberapa orang berkuda berusaha untuk
menyusul mereka. "Kita akan menunggu mereka" berkata Rembana, "Jika memreka orang-orang jahat,
kita akan menyelesaikan mereka disini"
Tetapi Madyasta berkata "Sebaiknya kita melarikan diri saja, aku yakin,
kuda-kuda kita tentu lebih baik dari kuda mereka"
"Kenapa melarikan diri, Raden. Bukankah jumlah mereka tidak terlalu banyak,
mungkin hanya lima orang atau enam orang saja"
"Bukan itu soalnya, jika mereka itu bagian dari orang-orang yang sering
menimbulkan kerusuhan di daerah ini, jangan mendapat kesan bahwa ada orang-orang
yang dapat mengalahkan mereka, biarkan mereka tetap dalam keadaan seperti biasa.
Kita harus menghadapi mereka jika mereka datang dalam jumlah yang utuh, sehingga
kerja kita akan dapat selesai dengan tuntas"
"Tetapi, aku belum pernah melarikan diri dari pertempuran, apalagi hanya sekedar
sekelompok perampok" berkata Rembana.
"Sekarang saatnya untuk mencoba" sahut Madyasta sambil tersenyum.
Rembana termangu-mangu sejenak, namun ketika Madyasta, Sasangka dan Wismaya
melarikan kuda mereka semakin kencang, maka Rembana telah menghentakkan kudanya
pula. Keempat ekor kuda itu berlari semakin kencang, beberapa puluh langkah dibelakang
mereka, enam orang penunggang kuda mencoba untuk mengejar mereka.
Beberapa lama kedua kelompok orang berkuda itu saling berkejaran di jalan-jalan
bulak yang tidak terlalu lebar, bahkan jalan yang telah digores oleh jalur roda
pedati yang agak dalam. Namun para penunggang kuda itu cukup terampil mengendalikan kuda mereka.
Beberapa saat kemudian, jalanpun mulai mendaki dan berbelok-belok, mereka
melintasi jalan yang tidak terlalu jauh dari hutan.
Ternyata perhitungan Madyasta benar, jarak mereka dengan orang-orang berkuda
yang memburu mereka semakin lama menjadi semakin jauh, kuda-kuda para prajurit
Pajang itu memang lebh baik dari kuda yang dipergunakan oleh orang-orang yang
memburu mereka. Beberapa saat kemudian, maka orang-orang yang memburu Madyasta dan ketiga
senapati itu menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat berhasil memburu
sekelompok orang yang akan mereka jadikan korban perampokan itu.
"Kuda-kuda itu berlari seperti anak panah" geram orang tertua diantara para
perampok itu. "Kuda-kuda mereka tergolong kuda-kuda yang baik, sehingga kuda-kuda kita tidak
berhasil mengejarnya"
"Satu sasaran yang sangat baik" berkata seseorang yang lain.
Ternyata mereka adalah orang-orang yang mendengar pembicaraan ketiga orang
senapti Paranganom dengan orang-orang yang ada di kedai tadi. Orang-orang itulah
yang meninggalkan kedai terlebih dahulu untuk mempersiapkan perampokan.
Namun ternyata mereka tidak berhasil mengejar keempat orang yang mengaku
pedagang wesi aji dan bebatuan itu.
"Kita akan menghadang mereka pulang kelak" geram orang tertua diantara mereka.
"Kapan mereka pulang" Jika mereka pulang, mereka sudah tidak membawa benda-benda
berharga itu lagi" "Tetapi mereka akan membawa uang"
"Ya, ya, mereka akan membawa uang"
"Kita akan mengamati jalan ini, bukankah mereka mengatakan bahwa mereka akan
kembali lewat jalan ini beberapa hari lagi?"
"Ya, ya, beberapa hari lagi. Tetapi yang beberapa hari lagi itulah yang tidak
pasti" "Sejak tiga hari mendatang, kita akan berada di daerah ini"
"Jika Ki Lurah memanggil dan menghendaki kita pergi bersamanya?"
"Apaboleh buat, kita akan kehilangan mereka, kecuali kita dapat meyakinkan Ki
Lurah, bahwa sebaiknya kita tetap berada disini"
"Mustahil, kita tahu watak dan sifat Ki Lurah Sura Branggah yang berhati batu
itu" Orang tertua diantara mereka itu mengangguk-angguk, katanya "Sudahlah, marilah
kita kembali, kita memang harus melepaskan mereka. Betapapun kita berusaha, kita
tidak akan mempu mengejar mereka, jika saja kita mempunyai kuda yang lebih baik"
Para penyamun itupun kemudian dengan kecewa berbalik arah, mereka tidak
mempunyai kesempatan untuk memburu calon korban mereka.
Dalam pada itu Madyasta yang sudah meyakini bahwa orang-orang yang mengejar
mereka berhenti, memperlambat kudanya, kepada para senapati itu iapun berkata
"Nah, bukankah lebih baik demikian?"
"Tetapi rasa-rasanya hatiku masih belum mau menerima kenyataan, bahwa kita harus
melarikan diri dari kejaran para penyamun itu"
"Kita harus memperhitungkan segala kemungkinan dalam keutuhan tugas kita,
kakang" berkata Madyasta. "Memang, jika kita berpijak pada harga diri kita, maka
kita tidak akan melarikan menghadapi mereka. Bahkan jika jumlah mereka lebih
banyak sekalipun. Jika kita sekedar berpijak pada harga diri yang berlebihan,
tetapi tugas kita tidak terselesaikan, maka itu akan berarti kita lebih
mementingkan diri sendiri daripada tugas kita"
Rembana mengangguk-angguk sambil berdesis "Ya, Raden"
"Nah, para penyamun itu agaknya orang-orang yang tadi juga berada di kedai.
Agaknya mereka mendengar pembicaraan kita, sehingga mereka benar-benar
menganggap kita pedagang wesi aji dan bebatuan yang bernilai tinggi. Dengan
demikian, maka mereka tidak akan membuat pertimbangan-pertimbangan baru untuk
melanjuntukan rencana-rencana mereka, merampok dan menyamun"
"Ya, Raden" Rembana masih mengangguk-angguk.
Demikianlah kuda-kuda itu mamsih berlari terus, sementara itu, mataharipun
menjadi semakin rendah. "Kita akan memasuki Kademangan Panjer setelah gelap" berkata Madyasta.
"Ya, Raden" jawan Madyasta, "Kita harus bersiap-siap untuk mengatasi
kemungkinan-kemungkinan terjadinya salah paham"
"Kita akan langsung pergi menemui Ki Demang Panjer."
Wismaya mengangguk-angguk.
Langit sudah menjadi buram ketika mereka semakin mendekati Kademangan Panjer.
kuda-kuda yang sudah nampak menjadi lelah itu, tidak lagi berlari terlalu
kencang. "Sudah tidak terlalu jauh lagi, Raden" berkata Sasangka.
"Kuda-kuda kita sudah letih" Madyasta
"Beberapa saat lagi kita akan sampai"
Madyasta tidak menjawab, sementara itu senjapun menjadi semakin gelap.
Ketika malam turun, mereka sudah berada di bulak panjang, di lingkungan
Kademangan Panjer. Sasangkalah yang kemudian berkuda paling depan, dibelakangnya
Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Madyasta, kemudian Wismaya lalu Rembana.
Dalam apda itu, selagi empat orang berkuda itu masih dalam perjalanan, maka di
tempat tinggal Ki Demang di Panjer, beberapa orang bebahu sedang berkumpul.
Dengan cemas mereka membicarakan perkembangan keadaan yang menurut pendapat
mereka menjadi semakin gawat.
"Para Perampok itu semakin lama semakin bergeser ke selatan" berkata Ki
Jagabaya. "Apa maksudmu Ki Jagabaya?" berkata Ki Demang.
"Coba perhatikan Ki Demang, mereka telah merampok kademangan Rara Bandang.
Merekapun bergeser lagi lebih ke selatan, merekapun merampok kademangan
Sanakeling. Kademangan yang terkenal dihuni oleh orang-orang yang berani, karena
sebagian dari mereka senang berburu di hutan, namun kademangan Sanakeling tidak
dapat memberikan perlawanan yang berarti. Dua orang diantara mereka yang mencoba
memberikan perlawanan telah terbunuh. Setelah itu, Salam menjadi sasaran
berikutnya, Karangtengah telah mereka rambah pula, terakhir, beberapa hari yang
lalu, mereka memasuki sebuah padukuhan di kademangan tetangga kita. Mereka telah
membakar rumah. Hampir saja penghuninya ikut terpanggang, untunglah bahwa jiwa
mereka dapat diselamatkan meskipun mereka mengalami luka-luka bakar yang agak
parah" "Ya, agaknya memang demikian, sasaran berikutnya ada dua pilihan, kademangan
Kayulegi atau kademangan kita, Kademangan Panjer."
"Menilik kesejahteraan hidup rakyat Panjer yang lebih baik, maka para perampok
itu akan memasuki kademangan kita. Ki Demang, mereka akam merampok di Kademangan
Panjer" Ki Demang menarik nafas dalam-dalam, namun dalam pada itu, Ki Kamituwapun
bertanya "Lalu, apa yang harus kita lakukan?"
"Itulah pertanyaannya" desis Ki Jagabaya.
"Apakah kita akan berdiam diri saja dan membiarkan para perampok itu mengambil
apa saja yang mereka senangi dari kademangan kita ini" Ki Jagabaya. menurut
kabar yang dibawa oleh para pedagang di pasar, para perampok itu tidak saja
merampok harta benda"
"Selain harta benda, lalu apa?"
"Di Karangtengah para perampok itu telah menyeret seorang perempuan yang telah
mempunyai dua orang anak"
"Perempuan juga?"
"Ya, memang untuk yang pertama kali mereka lakukan, justru di Karangtengah,
tetapi itu akan dapat menjadi kebiasaan mereka, ditempat lain mereka akan dapat
merampok sambil mencari korban keliaran mereka, perempuan dan gadis-gadis"
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam, katanya "Ya, aku juga mendengarnya"
"Jika demikian, apakah kita tidak dapat berbuat apa-apa?"
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam, katanya "Pilihan yang rumit, jika diam
saja, maka mereka akan dengan leluasa berbuat apa saja sesuka hati mereka.
Tetapi jika kita mencoba melawan, yang terjadi mungkin lebih buruk lagi dari
yang pernah terjadi di Sanakeling. Di Sanakeling dua orang terbunuh, disini
mungkin korbannya akan lebih banyak lagi"
"Tetapi adalah kewajiban kita untuk mempertahankan hak dan milik kita"
"Ki Kebayan, yang terjadi di Sanakeling adalah bencana ganda, setelah dua orang
mati terbunuh, para perampok itu justru menjadi garang karena mereka merasa
mendapat perlawanan. Beberapa rumah yang malam itu di bongkar oleh para
perampok, beberapa orang terluka, tetapi mereka waktu itu masih belum sempat
berpikir tentang perempuan"
"Kita memang tidak dapat berbuat apa-apa" desis Ki Kamituwa "Kita hanya dapat
menunggu perlindungan para prajurit Paranganom yang konon gagah perkasa itu"
"Kitapun hanya dapat melihat, siapakah yang datang lebih dahulu, para prajurit
atau para perampok" Namun selagi mereka berbincang, dua orang anak muda dengan tergesa-gesa naik ke
pendapa langsung mengetuk pintu pringgitan.
Ki Demang dan para bebahu yang berbicara di ruang dalam terkejut, dengan nada
rendah Ki Demang bertanya "Siapa?"
"Kami Ki Demang, Ija dan Tanaya, kami termasuk diantara mereka yang bertugas
mengawasi lingkungan kademangan ini"
Ki Demang kemudian bangkit berdiri dan membuka pintu pringgitan. Ija dan Tanaya
berdiri termangu-mangu di depan pintu.
"Ada apa?" bertanya Ki Demang, sementara itu Ki Jagabaya mendekatinya pula
sambil bertanya "Apakah ada tanda-tanda buruk yang kalian jumpai?"
"Ada empat orang berkuda memasuki kademangan ini, Ki Demang"
"Empat orang berkuda", siapakah mereka" Apakah kau tidak bertanya apakah maksud
mereka?" "Mereka mengatakan, bahwa mereka ingin bertemu dengan Ki Demang"
"Nampaknya mereka seperti orang baik-baik Ki Demang, sikap merekapun baik pula"
"Antar mereka kemari"
"Baik, Ki Demang"
Kedua orang anak muda itupun dengan tergesa-gesa turun dari pendapa untuk
memanggil keempat orang yang akan bertemu dengan Ki Demang, keempat orang itu
masih tertahan di regol padukuhan induk Kademangan Panjer.
Beberapa saat kemudian, empat orang itupun sudah menuntun kudanya memasuki
halaman rumah Ki Demang, sementara itu, Ki Demang dan para bebahu telah turun
pula ke halaman untuk menyongsong mereka.
Ki Kamituwa telah memutar kerisnya ke lambung sebelah kiri.
"Kau mau apa", Ki Kamituwa" desis Ki Kebayan
"Kenapa apa?" "Ki Kamituwa memutar keris"
"Ah, tidak apa-apa, rasa-rasanya punggung ini agak kaku"
"Aku kira Ki Kamituwa akan mengamuk dengan keris pusakanya itu"
"Jika aku mengamuk, kaulah sasaran yg pertama"
Ki Kebayan itupun tertawa tertahan, katanya "Jangan cepat marah"
Merekapun terdiam, kedua-duanya melangkah semakin dekat, sementara salah seorang
diantara keempat orang yg datang sambil menuntun kudanya itu berkata setelah
mengangguk hormat "Kami ingin menghadap Ki Demang di Panjer"
"Aku Demang di Panjer, Ki Sanak. Apakah maksud Ki Sanak datang di kademangan
ini?" "Jika Ki Demang berkenan, kami ingin menghadap untuk menyampaikan beberapa pesan
kepada Ki Demang" "Pesan dari siapa?" bertanya Ki Jagabaya dengan serta merta.
Seorang diantara keempat orang itupun menjawab "Nanti, kami akan menjelaskan"
Ki Demang termangu-mangu sejenak, namun kemudian katanya "Baiklah, marilah, aku
persilahkan kalian naik"
Keempat orang itupun kemudian dipersilahkan naik ke pendapa, sementara itu Ki
Jagabaya sempat mendekati Ija dan Tanaya yg mengantar keempat orang berkuda itu
"Jangan lengah, meskipun ujud dan sikapnya tidak mencurigakan, kita tidak tahu
siapakah mereka sebenarnya. Dimana kawan-kawanmu?"
"Dua orang ada di gardu sebelah, yang lain di pintu regol halaman induk"
"Baik, kalian berdua jangan pergi dahulu"
"Baik Ki Jagabaya"
Dalam pada itu, para tamu, Ki Demang dan para bebahu sudah duduk di pringgitan.
Agaknya Ki Demang ingin segera mengetahui siapakah mereka berempat yang
malam-malam datang ke Kademangan Panjer.
"Maaf, Ki Sanak, tetapi suasana kademangan ini sekarang memang agak keruh,
sehingga kami harus berhati-hati"
"Kami mengerti Ki Demang"
"Siapakah Ki Sanak berempat ini, dan apa pula maksud kedatangan kalian kemari?"
"Ki Demang, kami adalah prajurit dari Paranganom"
"Prajurit dari Paranganom?"
"Ya, Ki Demang"
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam, katanya "Ki Sanak, keadaan sudah demikian
mencemaskan, Paranganom masih juga belum tanggap, Paranganom sempat mengirimkan
prajurit yang agaknya untuk melihat apa yg telah terjadi disini. Kemudian
kembali menghadap Kangjeng Adipati untuk memberikan laporan. Laporan itu masih
akan dibicarakan dalam pertemuan para pemimpin di Paranganom. setelah itu,
Kangjeng Adipati memerintahkan seorang senapati untuk membawa prajuritnya ke
Panjer, senapati itu masih harus mengadakan persiapan selama tiga hari. Nah,
ketika para prajurit itu sampai kemari, maka Panjer telah menjadi debu"
Ketika Rembana beringsut setapak, Wismaya menggamitnya, sementara itu
Madyastalah yang menjawab dengan sareh "Kami mengerti, Ki Demang. tetapi kami
datang bukannya untuk sekedar melihat keadaan. Kami minta maaf, bahwa penanganan
kami memang agak lamban, tetapi kami bermaksud untuk menyelesaikan dengan
tuntas" "Apa yang tuntas", di Sanakeling dua orang sudah terbunuh, di Karangtengah,
mereka mulai mengganggu perempuan"
"Kami minta maaf atas keterlambatan kami, Ki Demang, tetapi kami datang tidak
untuk sekedar melihat dan mengamati keadaan, kami datang dengan membawa perintah
Kangjeng Adipati untuk mengatasinya"
"Jadi Ki Sanak datang untuk menghadapi para perampok itu?"
"Ki Demang, menurut laporan yg kami terima, serta menurut perhitungan kami, ada
kemungkinan para perampok itu akan memasuki Kademangan Panjer, karena itu kami
datang untuk memberi peringatan kepada kademangan ini, sekaligus untuk membantu
mengatasinya" "Ki Sanak, barangkali Kangjeng Adipati mendapat laporan yang salah, atau
barangkali telaj terjadi salah paham, sehingga Kangjeng Adipati mengirimkan
empat orang prajurit untuk mengatasi para perampok itu"
"Kami tidak hanya berempat, Ki Demang. mungkin esok pagi kawan-kawan kami akan
memasuki kademangan ini"
"Segelar sepapan?"
"Tidak, Ki Demang. kawan kami itu berjumlah enam orang sehingga kami seluruhnya
sepuluh orang" "Hanya sepuluh orang?"
"Ya, Ki Demang"
"Berapakah jumlah prajurit Paranganom", aku dengar prajurit Paranganom telah
terjun dalam kancah pertempuran untuk melawan pasukan yang datang dari seberang
Bengawan Rahina. Tetapi kenapa Paranganom hanya mengirimkan sepuluh orang
prajurit untuk mengatasi kekacauan yg terjadi didaerah ini"
"Dengan sepuluh orang kami kami akan melakukan tugas kami sebaik-baiknya Ki
Demang" "Ki Sanak, dengar baik-baik, para perampok yang sering mengganggu daerah ini
tidak hanya terdiri dari dua atau tiga orang, tetapi mereka lebih dari duapuluh
lima orang" "Kami tahu, Ki Demang. tidak ada salah paham, Kangjeng Adipati tahu, bahwa
jumlah para perampok itu lebih dari duapuluh lima orang. kadang-kadang mereka
datang bersama-sama memasuki sebuah padukuhan. merekapun diperhitungkan akan
memasuki padukuhan Panjer dengan kekuatan penuh"
"Jika demikian, kenapa Ki Sanak datang hanya dengan sepuluh orang?"
"Bukankah di Kadipaten ini terdapat tidak hanya dua puluh lima orang, tetapi
berpuluh-puluh anak muda"
"O, jadi kalian datang hanya untuk melihat bagaimana anak-anak muda kami
dibantai oleh para perampok itu", jika kami mengerahkan anak-anak muda kami,
maka korban yg akan jatuh tentu lebih dari dua puluh lima orang, jika seorang
perampok membunuh dua orang anak muda atau lebih, apa jadinya dengan Kadipaten
Panjer" Madyasta tersenyum, katanya kemudian "Ki Demang, apakah kami boleh menjelaskan
rencana kami?" Bab 07 " Rara Menur "Rencana apa?" Agaknya Rembana tidak dapat menahan diri lagi, tiba-tiba saja iapun berkata "Ki
Demang, kau dengar dahulu apa yang akan dikatakan Raden Madyasta, baru kau
berceloteh tentang nalarmu yang pendek itu"
Wajah Ki Demang menjadi merah, sementara itu dengan cepat Madyasta
menyambung "Maaf Ki Demang, aku minta Ki Demang mendengarkan dahulu dan
kemudian mempertimbangkan rencanaku dengan seksama agar Ki Demang dapat
melihat dengan jelas, apa yang mungkin terjadi di kademangan ini"
"Tetapi, siapakah yang dimaksud dengan Raden Madyasta?"
"Aku Ki Demang"
"Tunggu, apakah aku berbicara dengan Raden Madyasta?"
"Ya" "Nanti dulu, bukankah Raden Madyasta tidak berada di Kadipaten Paranganom,
sudah beberapa tahun lalu Raden Madyasta berada di sebuah padepokan"
"Darimana Ki Demang tahu?" bertanya Madyasta
"Aku mendengar dari seorang saudara sepupuku yang mengabdi di Kadipaten
Paranganom" "Ki Demang benar, sudah empat tahun aku meninggalkan Kadipaten dan tinggal
di Padepokan Panambangan"
"Jadi Raden adalah Raden Madyasta itu", aku pernah melihat Raden beberapa
tahun yang lalu, aku sungguh-sungguh tidak dapat mengenali Raden lagi, Raden
sekarang rasa-rasanya bukan Raden Madyasta yang pernah aku lihat pada suatu
pertemuan di Kadipaten sekitar empat tahun yang lalu"
"Aku sekarang sudah kembali, Ki Demang"
"Raden, aku mohon maaf atas segala kesalahanku, karena aku tidak tahu bahwa
kau adalah Raden Madyasta putera Kangjeng Adipati Prangkusuma"
"Tidak apa-apa, Ki Demang. Apa yang Ki Demang katakan itu benar, ayahanda
memang agak terlambat mengambil sikap, tetapi maskud ayahanda agar persoalan
ini dapat diselesaikan dengan tuntas"
"Ya, Raden" "mungkin, Ki Demang kurang memahami rancana ayahanda itu"
Ki Demang tidak menjawab, ia hanya dapat menundukkan kepalanya saja.
Raden Madyasta kemudian telah menjelaskan rencana di hadapan Ki Demang
dan Para Bebahu. "Kebetulan, aku dapat bertemu dengan para bebahu malam ini juga"
Para Bebahu itupun mendengarkan keterangan Raden Madyasta dengan segenap
perhatian, Ki Demang sekali-sekali mengangguk-angguk, namun kemudian
mengerutkan keningnya, demikian pula Para Bebahu yang lain, ada yang segera
dapat mereka pahami, tetapi ada pula yang masih memerlukan banyak penjelasan.
"Kami sengaja datang dalam tugas yang harus Ki Demang rahasiakan" berkata
Madyasta kemudian "Setidak-tidaknya jangan sempat membuat para perampok itu
merubah rencananya" Ki Jagabaya yang masih belum paham benar langkah-langkah yang akan diambil
oleh Raden Madyasta itupun bertanya "bagaimanapun juga, bukankah Raden
Madyasta berniat bertumpu pada kekuatan anak-anak muda kademangan ini", itulah
yang kami khawatirkan Raden, korban akan berjatuhan"
"Ki Jagabaya, bukannya kami merasa diri kami memiliki kamampuan yang tinggi,
tetapi sepuluh orang prajurit akan sangat berarti bagi anak-anak muda kademangan
ini, sementara itu, kita tidak akan menebarkan anak-anak muda itu begitu saja,
mereka harus mendapatkan petujnjuk-petunjuk yang dapat setidak-tidaknya
mengurangi kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas mereka"
"Tetapi menurut pendapatku, Paranganom lebih baik mengirimkan prajurit lebih
banyak lagi lagi" "Itu tidak akan menyelesaikan persoalannya dengan tuntas, bahkan mungkin kita
tidak akan pernah dapat bertemu lagi apalagi bertempur dengan para perampok itu,
mereka akan menyingkir, merubah rencana mereka dan membuat mereka semakin
berhati-hati" Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam.
"Ki Jagabaya" berkata Rembana "Kita diam-diam harus menyelenggarakan
latihan, kita pergunakan waktu yang pendek itu untuk sekedar menunjukkan kepada
anak-anak muda, apa yang harus mereka lakukan dengan senjata-senjata mereka
untuk melindungi diri mereka"
"Waktu kita hanya terhitung hari" sahut Ki Jagabaya.
"Ya, mungkin sepekan, mungkin dua pekan, kita manfaatkan waktu itu sebaikbaiknya,
Ki Jagabaya dapat membuat gelar, mengadakan latihan terbuka di halaman
banjar atau di padang perdu di lereng perbukitan, sementara itu, yang lain
mengadakan latihan-latihan kepada lima orang di tempat tertutup, bukankah sudah
ada lima puluh orang yang serba sedikit mendapatkan bimbingan apa yang
sebaiknya mereka lakukan jika mereka benar-benar harus menghadapi para
perampok" Ki Demang mengangguk-angguk, katanya "Aku dapat mengerti rencana Raden"
"Jika para perampok itu benar-benar datang ke Panjer, maka yang akan ikut
bersama kami menangani para perampok itu adalah anak-anak muda yang ikut
berlatih bersama para prajurit, sementara itu, anak-anak muda yang berlatih
bersama Ki Jagabaya dan barangkali bersama Para Bebahu yang lain atau Ki
Demang sendiri, akan memagari arena agar tidak seorangpunpun diantara para
perampok itu yang sempat melarikan diri"
Ki Jagabaya itupun mengangguk-angguk.
"Jika telah jatuh korban di kademangan lain, maka agaknya anak-anak mudanya
Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak dipersiapkan sama sekali untuk menghadapi kemungkinan yang buruk itu,
mereka tidak siap turun ke arena pertempuran melawan dua puluh lima orang
perampok. Meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak, tetapi tanpa petunjuk sama
sekali, mereka memang akan mengalami kesulitan, bahkan dua orang telah terbunuh
dan beberapa orang yang lain terluka"
"Ya, Raden" Ki Jagabaya masih mengangguk-angguk.
"Nah, sebaiknya Ki Jagabaya memberikan petunjuk-petunjuk kepada mereka, apa
yang harus mereka lakukan menghadapi para perampok, demikian pula para prajurit
akan melatih anak-anak muda yang akan ditunjuk oleh Ki Jagabaya"
"Baik Raden" berkata Ki Demang "Jika demikian, maka kamipun dapat berharap
akan dapat mengatasi jika para perampok itu, juka benar-benar mereka akan datang
kemari" "Nah, jika Ki Demang sependapat, maka aku minta Ki Demang , Ki Jagabaya dan
Para Bebahu segera mengatur, dimana latihan-latihan khusus itu akan diadakan,
masing-masing untuk lima orang anak muda terpilih, memiliki keberanian, kesediaan
mengabdi dan berkorban jika perlu, serta unsur kewadagan yang memadai"
"Baik Raden" jawab Ki Demang "malam ini juga Para Bebahu akan
melakukannya" "Tetapi semuanya harus dilakukan dengan hati-hati, kita akan berusaha
merahasiakannya, jika para perampok mengetahuinya, mereka akan dapat merubah
sasaran mereka" "Tetapi bagaimana dengan latihan-latihan di tempat terbuka itu?"
"Latihan-latihan yang dipimpin sendiri oleh Ki Demang, Ki Jagabaya dan Para
Bebahu itu justru akan memancing mereka untuk datang, mereka akan merasa
ditantang oleh anak-anak muda kademangan ini"
"Baik, baik, aku mengerti"
Pembicaraan merekapun kemudian terputus, seorangpun gadis keluar lewat pintu
pringgitan sambil membawa nampan untuk menghidangkan minuman kepada
keempat orang tamu yang datang di rumah Ki Demang itu.
ketika dengan tidak sengaja Raden Madyasta memandang wajah gadis itu, maka
jantungnya tergetar, gadis yang memanjat ke usia dewasa itu, adalah gadis yang
sederhana, tetapi dalam kesederhanaannya, wajahnya yang cerah bagaikan
memancarkan kepribadiannya yang terang.
Namun Raden Madyasta segera menyadari, bahwa ia datang sebagai seorang
tamu yang baru pertama kalinya mengunjungi keluarga Ki Demang Panjer.
Madyastapun belum tahu siapakah gadis itu, atau bahkan mungkin ia bukan
seorangpun gadis, mungkin ia justru menantu Ki Demang Panjer"
karena itu, maka Raden Madyastapun berusaha untuk tidak memperhatikannya
lagi, namun diluar sadarnya, sekali-sekali anak muda itu memandang wajah gadis
yang menghidangkan mangkuk-mangkuk minuman hangat itu.
Ketika kemudian gadis itu meninggalkan pringgitan dan masuk ke ruang dalam,
maka Ki Demangpun mempersilahkan tamu-tamunya "Marilah angger, para senapati,
minumlah, mumpung masih hangat"
"Terima kasih Ki Demang" sahut Madyasta yang berusaha mengusai dirinya.
Namun sejenak kemudian, gadis itu telah keluar lagi dari ruang dalam sambil
membawa minuman pula bagi Para Bebahu.
"Aku tidak tahu, yang manakah minuman paman masing-masing, aku bawakan
yang baru bagi paman"
Kata-kata gadis itupun terdengar bagaikan sebuah lagu yang lembut.
Sejenak kemudian, ketika gadis itu sudah hilang dibalik pintu pringgitan, sekali
lagi Ki Demang mempersilahkan tamu-tamunya untuk minum.
Sambil minum, maka Raden Madyasta dan Ki Demang telah mematangkan
kesepakatan mereka, apa yang sebaiknya mereka lakukan di kademangan itu.
"Kita harus manfaatkan waktu sebaik-baiknya, Ki Demang" berkata Raden
Madyasta. "Baik, Raden, mulai malam ini juga, Para Bebahu akan mulai dengan kerja
mereka sebagaimana kita sepakati bersama"
Demikianlah sejenak kemudian, maka Ki Demang mempersilahkan tamu-tamu
mereka dari Paranganom itu makan malam.
"Aku sudah makan sebelum berangkat kemari" desis Ki Kebayan.
Tetapi Ki Demangpun menyahut "Aku tadi juga sudah makan, tetapi biarlah kita
menemani tamu-tamu kita untuk makan malam.
Setelah makan, maka para tamu itupun dipersilahkan untuk beristirahat di
gandok sebelah kanan. kepada para tamu Ki Demang itu berkata "Silahkan Raden
dan para senapati, tetapi inilah rumah di padesaan, sederhana dan barangkali kotor,
kami sediakan dua buah bilik di gandok sebelah kanan"
"Terima kasih Ki Demang, tetapi ini sudah terlalu baik bagi kami. Kami para
prajurit sudah terbiasa tidur disembarangn tempat, bahkan ditempat-tempat terbuka,
di pategalan atau di hutan sekalipun"
"Itu bila para prajurit berada dalam keadaan terpaksa"
Raden Madyasta tersenyum, katanya "Terima kasih atas sambutan yang baik dari
Ki Demang dan Para Bebahu. Besok masih ada enam orang prajurit yang akan
datang, tetapi mereka tidak datang bersama-sama, mereka akan langsung menuju
kemari dan mnta untuk dapat dipertemukan dengan Ki Demang"
"Baik, Raden. besok atau kapanpun mereka datang, aku akan terima dengan
senang hati, bahkan dengan harapan-harapan sebagaimana kedatang Raden dan
ketiga senapati itu"
"Kami akan berusaha sebaik-baiknya, Ki Demang"
Demikianlah Raden Madyasta dan ketiga senapati itupun telah dibawa ke gandok
sebelah selatan, dua bilik telah disediakan bagi mereka.
Namun ternyata bahwa ketiga senapati itu lebih senang berada di dalam satu
bilik, sedangkan bilik yang lain dipergunakan oleh Madyasta sendiri"
Sebenarnya salah seorang dari kakang bertiga beristirahat di bilik ini bersama
aku" ajak Raden Madyasta.
Tetapi ketiga senapati itu agaknya merasa segan, sehingga mereka memilih tidur
diatas sebuah amben bambu yang mereka rasa cukup besar bagi mereka bertiga.
Namun mereka berempat tidak segera berbaring, mereka bergantian pringgitan
ke pakiwan" "Biasanya aku mandi dahulu baru makan, sekarang aku terpaksa makan dahulu"
"Kita tunggu sebentar sampai nasi ini turun ke dalam perut, baru kita mandi,
mudah-mudahan para perampok itu tidak datang malam ini"
Setelah mandi maka tubuh merekapun merasa segar, namun dengan demikian,
ketika kentongan di gardu di sebelah rumah Ki Demang itu mengisyaratkan bahwa
malam telah sampai ke pertengahannya, merekapun membaringkan tubuh mereka di
pembaringan. Raden Madyasta yang tidur sendiri di dalam bilik yang terpisah, justru segera
dapat tertidur. "Anak-anak muda yang meronda itu tentu akan berjaga-jaga sampai dini hari"
berkata Raden Madyasta di dalam hatinya" dengan demikian, maka iapun menjadi
tenang, sehingga beberapa saat kemudian, Raden Madyasta itupun telah tertidur
nyenyak. Ketiga senapati yang tidur di dalam satu bilik, justru tidak dapat segera tertidur,
mereka masih saja berbicara diantara mereka, tentang kemungkinan yang dapat
terjadi di Kademangan Panjer.
:Jika yang kemudian didatangi oleh para perampok itu bukan Kademangan
Panjer?" desis Rembana.
"Jika kita mendengar isyarat kentongan, kemanapun kita akan pergi, tetapi
menurut perhitungan kita dan bahkan juga perhitungan Para Bebahu, para perampok
itu akan datang ke Panjer" sahut Wismaya.
Rembana terdiam. Baru lewat tengah malam mereka tertidur nynyak. Pagi-pagi sekali ketiganya
telah bangun, bergantian mereka menimba air mengisi jambangan pakiwan,
terdengar senggot timba berderit tidak henti-hentinya.
Ketika pembantu di rumah Ki Demang itu mempersilahkan mereka untuk mandi
saja, sementara pembantu itu yang akan mengisi jambangan, Sasangkapun berkata
"Sudahlah, kami sudah terbiasa melakukannya"
Ketika matahari terbit, maka ketiga orang senapati itu serta Raden Madyasta
telah selesai berbenah diri, merekapun kemudian duduk di serambi gandok.
Jantung Madyasta terasa berdegup kencang ketika ia melihat gadis yang
semalam menghidangkan minuman, datang kepadanya serta ketiga orang senapati
itu sambil membawa mangkuk minuman hangat.
Sambil meletakkan mangkuk-mangkuk minuman itu di lincak bambu di serambi,
gadis itupun berkata "Silahkan Raden, marilah Ki Sanak"
Madyasta yang menjadi agak gagap itupun menjawab "Terima kasih"
Ketika gadis itu pergi, tanpa sadarnya Raden Madyasta memperhatikan gadis dari
arah belakang, gadis yang berjalan turun ke halaman dan menuju pintu seketheng.
Raden Madyasta menarik nafas dalam-dalam, gadis itu benar-benar menarik
perhatiannya, justru karena kesederhanaannya serta kepribadiannya.
Tetapi sekali lagi, Madyasta harus mengekang diri, ia masih belum tahu pasti,
siapakah gadis itu, jika ia menantu Ki Demang, maka perhatiannya harus berhenti
sampai sekian. Demikian gadis itu hilang di balik pintu seketheng, maka Rembanalah yang
mempersilahkan "Marilah Raden, mumpung masih panas, hari masih pagi, tetapi aku
sudah haus" Keempat orang tamu Ki Demang itupun kemudian telah menghirup minuman
hangat wedang sere gula kelapa.
Namun dalam pada itu, dua orang melangkah memasuki halaman rumah Ki
Demang, sebelum orang itu bertanya sesuatu, Wismaya mengangkat wajahnya
sambil berdesis "Dua orang prajuritku sudah datang"
Wismayapun kemudian bangkit berdiri menyongsong kedua orang prajuritnya.
dibawanya kedua orang itu duduk di serambi. Wismayapun memperkenalkan kedua
prajuritnya itu kepada Raden Madyasta.
Keduanya mengangguk hormat.
"Raden Madyasta adalah putera Kangjeng Adipati Prangkusuma di Paranganom"
Kedua prajurit itupun mengangguk semakin dalam.
"Marilah, duduklah"
Kedua prajurit itupun kemudian duduk di serambi itu pula.
"Aku akan melaporkan kepada Ki Demang" berkata Wismaya.
Sementara itu, di ruang dalam Nyi Demang serta gadis yang telah
menghidangkan minuman bagi Raden Madyasta itupun telah sibuk menyiapkan
makan pagi, mereka tidak menyiapkan sekedar untuk empat orang tamunya, tetapi
karena pagi itu diduga akan datang lagi enam orang tamu, maka makan pagi yang
disedikakan oleh Nyi Demang adalah untuk sepuluh orang tamu, serta Ki Demang
sendiri. Sebenarnyalah sebelum wayah pasar temawon, enam orang prajurit dari
Paranganom telah ada di rumah Ki Demang, pagi itu Ki Demang juga sudah
memerintahkan Ki Jagabaya dan Para Bebahu yang lain untuk datang sedikit lewat
pasar temawon. Ki Demang menerima keenam prajurit yang datang berurutan itu di ruang dalam,
sekaligus mempersilahkan mereka makan pagi.
"Tetapi kami baru saja datang, Ki Demang. Kami belum mandi"
"Nanti saja mandi, sekarang makan saja dahulu" sahut Ki Demang sambil
tersenyum. Kenam prajurit itu tidak dapat menolak, merekapun segera makan pagi di ruang
dalam, sementara itu, merekapun berbincang untuk menegaskan kesepakatan
mereka semalam, terutama kepada para prajurit yang baru saja datang itu.
"Dalam waktu yang singkat dan pendek, kalian harus menyiapkan masing-masing
lima orang anak muda, setidak-tidaknya mereka tahu, bagaimana mereka harus
melindungi dirinya sendiri" berkata Raden Madyasta kepada para prajurit itu.
"Ya, Raden" salah seorangpun dari mereka menjawab "Kami akan berusaha
sejauh kemampuan kami"
"Aku percaya kepada kalian, itu adalah satu-satunya jalan untuk menjebak para
perampok itu" "Kami mengerti Raden"
Demikianlah, maka ketika Ki Jagabaya dan Para Bebahu datang, segala
sesuatunya sudah dapat ditentukan, Ki Jagabaya telah menentukan, dimana para
prajurit itu harus melatih masing-masing lima orang anak muda, sedangkan anakanak
muda itupun telah ditentukan pula, siapa-siapa mereka dan dmn mereka harus
berlatih. "Jika para prajurit telah siap dan tidak lagi merasa letih, anak-anak muda itu
sudah dapat memulainya, nanti sedikit lewat senja, anak-anak muda itu sudah akan
berada di tempat yang telah ditentukan bagi mereka"
"Baik, kita memang tidak boleh menyia-nyiakan waktu di setiap kejap"
Setelah para prajurit itu makan pagi, beristirahat sejenak, serta kemudian mandi
dan membebahi diri, maka merekapun segera dibawa ke tempat yang telah
ditentukan bagi masing-masing prajurit, tmasuk Raden Madyasta, namun Raden
Madyasta telah ditentukan untuk memberikan latihan kepada lima orang anak muda
di rumah Ki Demang itu sendiri.
Di halaman belakang rumah Ki Demang terdapat sebuah sanggar terbuka yang
sederhana, sekedar tempat untuk mempertahankan kemampuan serta ketahanan
tubuh Ki Demang, tidak ada alalt-alat yang rumit, yang dapat dipergunakan untuk
dengan sungguh-sungguh meningkatkan kemampuan olah kanuragan.
Namun tempat itu sudah memenuhi kebutuhan bagi anak-anak muda yang akan
berlatih bersama Raden Madyasta, yang jumlahnya tidak hanya lima orang, tetapi
ternyata yang akan berlatih di kademangan itu terdapat tujuh orang anak muda.
"Biar saja" berkata Raden Madyasta ketika Ki Jagabaya bertanya, apakah yang
dua harus dikurangi. Sementara itu, para prajurit yang lainpun ternyata juga tidak hanya berlatih
bersama lima orang, ada yang enam dan ada pula yang tujuh.
Tetapi seperti Raden Madyasta, mereka sama sekali tidak berkeberatan asal tidak
lebih dari tujuh orang saja.
Para prajurit Paranganom itu tidak membuang-buang waktu, hari itu juga, maka
latihan-latihan itupun sudah dimulai.
Demikian malam turun, maka sepuluh orang prajurit itupun sudah berpencar di
rumah Para Bebahu, mereka mulai memberikan latihan-latihan kepada anak-anak
muda Panjer untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Jika kami, para prajurit datang dengan kekuatan penuh untuk menghadapi para
perampok tanpa meningkatkan kemampuan anak-anak muda kademanganan ini
sendiri, maka jika pada suatu saat kami meninggalkan padukuhan ini akan menjadi
sasaran dendam mereka" berkata salah seorangpun prajurit kepada enam orang
anak muda yang berlatih kepadanya "tetapi jika kalian sendiri mempunyai bekal yang
memadai, maka kalian tidak akan cemas sedikitpun pada suatu saat kami
meninggalkan kademangan ini"
Anak-anak muda itupun mengangguk-angguk, mereka menyadari sepenuhnya,
apa yang sedang dihadapi oleh kademangannya serta kewajib yang akan dipikulnya.
Kesadaran itu telah mendorong anak-anak muda kademangan Panjer berlatih
dengan sungguh-sungguh, mereka bekerja keras menempa diri dibawah bimbingan
para prajurit pilihan, mereka mempergunakan waktu yang singkat itu dengan sebaikbaiknya.
Karena itu, anak-anak muda yang berlatih secara khusus itu tidak menghitung
waktu lagi, mereka tidak lagi melakukan pekerjaan mereka sehari-hari atas ijin orang
tua mereka, karena orang mereka juga mengerti, untuk apa anaknya berlatih dengan
tekun setiap hari. Selain mereka, maka Ki Demang, Ki Jagabaya dan Para Bebahu telah memanggil
anak-anak muda kademangan itu untuk melakukan latihan terbuka, mereka berlatih
di halaman banjar kademangan. Di padukuhan-padukuhan mereka berlatih di
halaman banjar padukuhan atau di halaman rumah Ki Bekel.
Para bekel di padukuhan-padukuhan tidak tinggal diam, mereka telah
memberikan latihan-latihan sejauh dapat mereka lakukan, karena papda umunnya
Para Bebahu adalah orang-orang yang mempunyai kelebihan.
Namun selain Ki Bekel, tidak ada yang tahu bahwa di padukuhan induk telah
dilakukan latihan-latihan khusus bagi beberapa orang anak muda terpilih, anak-anak
muda itu sendiri juga tidak bercerita kepada kawan-kawannya. Bahwa mereka telah
melakukan latihan-latihan khusus yang berat dibawah bimbingan prajurit pilihan.
Tetapi dalam pada itu, disamping mereka yang dengan sukarela berlatih di
tempat-tempat ternuka, ada pula mereka yang dengan berterus-terang menolak
untuk ikut serta. "Aku tidak mau menyurukkan kepalaku ke dalam api" berkata seorangpun anak
muda yang dalam khdnya sehari-hari dikenal sebagai seorangpun anak muda yang
penakut. "Siapakah yang menyuruhmu menyurukkan kepalamu ke dalam api?"
"Jika kita harus melawan para perampok itu, apakah itu tidak berarti bahwa kita
bersama-sama membunuh diri?"
"Karena itu kita mengikuti latihan yang diselenggarakan di banjar, Ki Bekel
mengajari kita, bagaimana kita memegang tombak, atau pedang atau jenis-jenis
senjata yang lain" "Perampok itu akan datang besok atau lusa atau sepekan lagi, apa yang kita
dapatkan dengan latihan hanya sepekan itu"
"Banyak" jawab kawannya.
"Apa saja?" "Kita tahu bahwa kita jangan melawan seorangpun melawan seorangpun, kita
Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu, bahwa kita harus melawan mereka dalam kelompok-kelompok, empat atau
lima orang bersama-sama melawan seorangpun perampok, jika kita bersama-sama
mengacungkan senjata dari arah yang berbeda, maka perampok itu tentu akan
kebingungan, tetapi kita jangan ragu-ragu, jika ada diantara kita yang ragu-ragu,
maka akibatnya akan menjadi sangat buruk bagi kita"
"Apapun yang kau katakan, tetapi aku tidak mau melakukan kerja yang sia-sia"
"Ini bukan kerja yang sia-sia, mempertahankan hak adalah kewajiban kita, semua
di kademangan ini, tetapi yang terutama adalah kita, anak-anak mudanya.
"Kau engar, bahwa di kademangan seberang sungai yang terkenal dengan
beberapa orang pemburu yang berani, tidak mampu membendung arus perampok
itu, malah ada diantara mereka yang terbunuh, sedangkan perampok itu tetap saja
merampok. Nah. Bukankah itu sia-sia"
"Tidak, orang yang terbunuh itu telah mengorbankan nyawanya seharusnya yang
masih hidup itu mewarisi jiwa pengorbanannya, jika kita, maksudku aku, kawankawan
dan kau, menyerah saja. Maka kedua orang yang mati itu memang sia-sia.
tetapi jika kematiannya itu mendorong kita semuanya untuk melakukan perlawanan
seperti yang telah mereka lakukan, maka kematian keduanya bukan kematian yang
sia-sia, kitalah yang harus memberikan arti bagi kematian mereka"
"Kau berbicara dengan gelora perasaanmu yang telah dibakar oleh Ki Bekel. Kau
tahu, kenapa Ki Bekel menganjurkan kita untuk berlatih dan jika perlu berkorban
untuk melawan para perampok yang ganas itu?"
"Ya, Ki Bekel menghendaki kita semuanya bangkit melawan mereka"
"Omong kosong, Ki Bekel menganjurkan agar kalian semuanya bersedia berlatih
untuk melawan para perampok itu, karena Ki Bekel adalah seorangpun yang kaya,
dengan kesediaan kalian berkorban, maka Ki Bekel akan merasa aman. Harta
bendanya terlindungi tanpa memperdulikan bahwa ada diantara kita akan mati
terbunuh" "Betapa kerdilnya jiwamu, kau sama sekali tidak mengikat diri ke dalam satu
kesatuan diantara penghuni padukuhan ini"
"Terserahla, apa saja penilaianmu, tetapi aku tidak mau mati sia-sia"
"Sudahlah, jika kau memang ketakutan mendengar sebutan perampok itu, jangan
ikut campur, kami akan melaksanakan tugas kami dengan baik, kami akan
membantu mempertahankan kekayaan yang terdapat di kampung halaman kami"
Anak muda yang penakut itu terdiam, tetapi ia tidak berbicara apa-apa lagi"
Dalam pada itu, ternyata hanya seorangpun anak muda yang berusaha
menghindar karena ketakutan, tetapi para Bekel tidak memaksa mereka, para bekel
justru selalu bertanya kepada anak-anak muda yang berlatih di rumahnya, siapakah
diantara mereka yang memang tidak berani menghadapi langsung para perampok
bersenjata itu. "Sebaiknya kalian minggir, tidak apa-apa, kami tidak akan mendendam kalian.
Jika kalian memang merasa ketakutan dan terpaksa harus turun ke gelanggang,
maka kalian hanya akan menjadi beban kawan-kawanmu yang memang benar-benar
berani menghadapi lawan yang meskipun tidak seimbang, tetapi aku selalu
memperingatkan, jangan hadapi mereka seorangpun lawan seorangpun, aku dan
barangkali Ki Jagabaya kademangan dan bahkan Ki Demang sendiri, tidak akan
menghadapi para perampok itu dalam perang tanding"
Beberapa orang memang minggir, tetapi sebaliknya, orang-orang yang sudah
tidak tergolong anak-anak muda lagi, bahkan mereka yang sudah mempunyai satu
dua orang anak, telah menyatakan kesediaan mereka untuk ikut berlatih bersama Ki
Bekel dan Para Bebahu kademangan Panjer. bahkan Ki Jagabaya sering datang pula
untuk melihat latihan-latihan itu.
Sementara itu, anak-anak muda yang terpilih, berlatih dengan sungguh-sungguh
dibawah bimbingan para prajurit, mereka kerja keras tanpa mengenal lelah. Dari hari
kehari mereka mendapat petunjuk yang penting, namun juga melakukan latihanlatihan
langsung untuk memahami dan membiasakan diri mempergunakan berbagai
macam senjata. Sementara itu, pengawasan dilakukan dengan sebaik-baiknya oleh anak-anak
muda kademangan Panjer, dengan petunjuk para prajurit Paranganom mereka dapat
melakukan tugas mereka dengan baik.
Dua pekan telah berlalu, ternyata masih belum ada tanda-tanda bahwa para
perampok akan memasuki Kademangan Panjer, tetapi para perampok itu juga tidak
memasuki kademangan lain disekitar padukuhan Panjer, mereka juga tidak
mendatangi kademangan Kayulegi.
Sebenarnyalah para perampok juga sedang mengadakan pengamatan atas
sasaran yang akan mereka pilih, ada diantara mereka yang memilih untuk pergi ke
Kayulegi. Baru kemudian ke Panjer, tetapi beberapa orang perampok ternyata telah
tersinggung dengan sikap anak-anak muda Panjer yang telah mengadakan latihanlatihan
dibawah bimbingan Ki Demang, Para Bebahu dan para bekel.
"Apakah latihan-latihan itu mempunyai pengaruh?" bertanya salah seorangpun
perampok yang kepalanya botak.
"Ki Lurah minta kita melihat, sejauh mana latihan-latihan itu diadakan, apakah
anak-anak muda itu benar-benar dapat ditempa untuk menjadi pahlawan bagi
kademangan mereka, atau hanya sekedar omong kosong untuk menggertak kita"
sahut kawannya. "Aku setuju, kita akan melihat, apa saja yang dilakukan oleh anak-anak muda itu"
Sebenarnyalah dua orang diantara para perampok itu telah ditugaskan untuk
pergi ke Panjer melihat latihan-latihan yang diselenggarakan di halaman banjar atau
di halaman rumah Para Bebahu dan Para Bekel.
Namun ketika keduanya kembali ke sarang mereka, maka keduanyapun tertawa
berkepanjangan, katanya "Rupanya Ki Demang Panjer itu sudah gila, ketika aku
lewat di depan banjar padukuhan induk, Ki Demang sendirilah yang sedang
memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda, tidak ada yang perlu
dicemaskan, mereka memang belajar menggenggam senjata, tetapi senjata itu akan
dapat membunuh diri mereka sendiri."
"Apakah mereka sekedar menggertak agar kia tidak berani memasuki
kademangan itu?" "Ya, mereka mencoba untuk menggetarkan jantung kita"
"Jika demikian, kita putuskan, bahwa kita akan pergi ke Panjer, ada empat orang
saudagar kaya di kademangan induk, disamping Ki Demang, tetapi Ki Jagabaya juga
terhitung kaya karena peninggalan orang tuanya."
"Disamping beberapa orang kaya di kademangan induk, di beberapa
padukuhanpun terdapat orang-orang kaya pula"
"Ya, kita akan kembali beberapa kali ke kademangan Panjer, biarlah orang-orang
Panjer menyesali kesombongan mereka, jika mereka melawan dengan kekuatan
yang mereka kira sudah mereka persiapkan dengan baik itu, maka kita tidak akan
segan-segan membunuh beberapa orang diantara mereka, agar seluruh kademangan
meratapi ulah mereka sendiri"
Namun agaknya pemimpin perampok itu cukup berhati-hati, ia tidak segera
memerintahkan orang-orangnya untuk berangkat merampok di Kademangan Panjer,
namun pimpinan perampok itu masih mengirimkan dua orangnya sekali lagi untuk
membuktikan, apakah pengamatan dua orang sebelumnya tidak keliru.
Ternyata dua orang yang mengamati keadaan untuk yang kedua kalinya itu juga
melihat, bahwa anak-anak muda yang berlatih di banjar hanya sekedar
membesarkan hati anak-anak muda itu saja.
"Pengaruhnya tidak ada peningkatan kemampuan mereka" berkata perampok
yang lebih tua "Tetapi latihan-latihan itu membuat Kademangan Panjer menjadi
semakin berani, mereka tentu merasa memiliki kemampuan lebih untuk menghadapi
kita, Ki Demang dan Para Bebahu yang melatih mereka tentu akan mengatakan
bahwa latihan-latihan yang diselenggarakan itu sudah meningkatkan kemampuan
orang-orang yang bakal datang merampok"
Bab 08 " Rumah Ki Wiratenaya
Para perampok yang lebih muda yang mendengar keterangan itu tertawa, namun
perampok yang lebih tua itu berkata "Kalian boleh tertawa, tetapi kalianpun harus
tahu, bahwa pengaruh gejolak jiwa seseorang itu benar sekali, meskipun mereka
tetap tidak memiliki kemampuan yang cukup, tetapi keberanian mereka akan dapat
membuat kita terkejut karenanya"
"Aku setuju dengan pendapatnya" sahut pemimpin perampok yang dikenal
bernama Sura Branggah itu "Kalian jangan meremehkan lawan kalian, tetapi
kalianpun jangan menjadi cengeng. Ingat kalian adalah perampok yang sudah teruji,
kalian terdiri dari tiga kelompok kecu yang paling ditakuti, sekelompok penyamun
dan orang-orang yang diyakini memiliki ilmu yang tinggi"
"Ya, Ki Lurah" anak buah Ki Sura Branggah itu hampir berbareng menyahut.
Namun pembicaraan, pengamatan dan untuk meyakinkan diri, Ki Sura Branggah
memerlukan waktu hampir satu bulan"
Sementara itu Raden Madyasta, Rembana, Sasangka dam Wismaya justru sudah
mulai menjadi cemas, bahwa para perampok dapat mencium kehadiran mereka di
Kademangan Panjer, sehingga mereka merubah sasaran mereka atau bahkan untuk
sementara menghentikan kegiatan mereka.
Namun mereka masih saja bersabar, mereka masih akan menunggu beberapa
hari lagi. Selagi mereka menunggu di Kademangan Panjer, maka Raden Madyastapun telah
dapat berkenalan dengan gadis yang telah menggetarkan jantungnya. ternyata gadis
itu adalah anak Ki Demang Panjer. ia memang masih seorangpun gadis yang sedang
meningkat dewasa, seorangpun gadis yang terbiasa hidup pedesaan.
Ketika Rara Menur, anak Ki Demang Panjer itu sedang menumbuk padi, maka
iapun terkejut, Rara Menur yang sedang sibuk itu tidak mendengar langkah kaki
Raden Madyasta, namun tiba-tiba saja anak muda itu sudah berdiri bersandar tiang
lumbung. "Ah, Raden, kenapa Raden berdiri disitu?" desis Rara Menur, diluar sadarnya,
tangannyapun berhenti pula bekerja, ia tidak lagi mengangkat penumbuk padinya.
"Keringatmu Rara"
"Kerja ini sudah terbiasa aku lakukan, Raden" sahut Rara Menur.
"Apakah tanganmu tidak menjadi terkelupas karenanya?"
"Tidak Raden, ini pekerjaan yang harus aku lakukan sehari-hari?"
"Bukankah kau anak seorang Demang", aku lihat ada beberapa orang perempuan
pembantu di rumah ini, kenapa kau sendiri harus menumbuk padi?"
"Siapa yang sempat saja Raden, ibuku juga sering menumbuk padi, kadangkadang
seorang pembantu, kadang-kadang aku, tetapi kali ini ibu menginginkan
beras yang putih, seorang pembantu kadang-kadang tidak telaten, berbeda jika aku
sendiri yang menumbuknya"
"Kenapa Nyi Demang kali ini ingin beras yang putih, sehingga yang harus
menumbuk padinya harus kau sendiri?"
"Bukankah sejak hampir sebulan, di kademangan ini ada tamu dari
Paranganom?" "O"." Raden Madyasta mengangguk-angguk "Jadi kau menumbuk padi untuk
menjamu kami yang datang dari Paranganom?"
"Ah, sudahlah Raden, sebenarnya Raden tidak boleh berada disini"
"Jadi yang menumbuk padi kemarin, kemarin dulu sepekan yang lalu, juga kau,
Rara?" "Tidak, baru kali ini aku menumbuk padi"
Raden Madyasta tertawa. "Jika saja kakang Rembana, kakang Sasangka dan kakang Wismaya juga berada
di kademangan, mereka tentu akan memuji, nasinya putih agak wangi, ternyata
yang wangi, bukan jenis padinya, tetapi karena tangan gadis yang menumbuknya"
"Ah, Raden, silahkan Raden duduk di pendapa saja. Mungkin lurah Rembana atau
yang lain datang mencari Raden, sementara Raden bersembunyi disini"
"Mereka tidak akan kemari pada wayah begini, Rara. Mereka sedang sibuk
berlatih bersama anak-anak muda di rumah Para Bebahu itu"
"Apakah latihan-latihan yang mereka selenggarakan itu tidak berhenti untuk
beristirahat", Raden sekarang juga tidak sedang berlatih?"
"Aku sudah berlatih sejak matahari belum terbit, Rara"
"Mungkin lurah Rembana dan yang lain juga sudah berlatih sejak matahari terbit"
Raden Madyasta tertawa. Namun tiba-tiba saja Rara Menur itu mengerutkan keningnya, kemudian dengan
nada rendah iapun berkata "Lihat Raden, bukankah aku benar?"
"Apanya yang benar, Rara"
"Lurah Rembana"
Raden Madyasta berpaling, dilihatnya lurah Rembana berdiri bersandar sebatang
pohon bangka sambil menyilangkan tangannya di dadanya.
"Kau kakang?" "Apakah aku mengganggu, Raden" bertanya lurah Rembana.
"Tentu kakang, kakang sudah mengganggu ketenanganku"
"Tidak" yang menyahut justru Rara Menur "lurah sama sekali tidak mengganggu,
Raden Madyasta yang sejak tadi mengganggu aku yang sedang menumbuk padi"
"Aku sama sekali tidak bermaksud mengganggu, Rara. sebenarnya aku justru
ingin membantu" "Sudahlah Raden. lurah Rembana tentu mempunyai keperluan penting jika ia
datang kemari" Raden Madyasta tersenyum, katanya "Baiklah, aku akan menemui lurah
Rembana. Tetapi aku harus berpesan kepadanya, agar lain kali kakang Rembana
jangan mengganggu aku jika aku sedang beristirahat"
"Ah, bukankah lurah tidak mengganggu, sejak ia datang, ia berdiri saja disana
tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ia baru berbicara sejak Raden bertanya
kepadanya" "Kau benar, Rara. tetapi aku tidak akan mengulanginya lain kali"
Rara Menur tidak menjawab, sementara itu, Raden Madyastapun melangkah
mendekati lurah Rembana. Raden Madyasta tertawa, katanya "Tidak, kakang sama sekali tidak, aku sedang
menggoda anak Panjer itu"
"Aku tahu Raden" Rembanapun tertawa pula.
"Bagaimana menurut pendapatmu", bukankah ia seorang gadis yang cantik?"
"Ya, Raden. gadis itu memang cantik"
"Bukan hanya itu, tetapi juga kepribadiannya menarik, ia anak seorang Demang,
tetapi ia melakukan kerja apapun juga sebagaimana seorang gadis padesan, dan
ternyata gadis itu cukup cerdas, aku pernah mendengar gadis itu berbicara dengan
ayahnya tentang jalannya pemerintahan di kademangan ini, ternyata cukup banyak
yang diketahuinya, bahkan terlalu banyak bagi seorang gadis seperti Rara Menur."
"Nampaknya ia juga seorang gadis penurut"
"Ya, ia bukan anak manja meskipun ia anak satu-satunya"
keduanyapun kemudian melangkah ke halaman depan rumah Ki Demang Panjer,
ternyata di pringgitan Sasangka dan Wismaya telah duduk bersama Ki Demang.
"Kapan kalian datang?" bertanya Rembana
"Baru saja" Ki Demanglah yang menjawab.
"Kau malah sudah ada disini" desis Sasangka.
"Aku mencari Raden Madyasta di belakang, nampaknya".."
Rembana tidak meneruskan kata-katanya, tetapi ia berpaling memandang Raden
Madyasta sambil tersenyum.
"Sudahlah" berkata Raden Madyasta "Marilah kita naik"
Sejenak kemudian, Raden Madyasta dan ketiga orang senapati muda itu serta Ki
Demang telah duduk melingkar di pringgitan.
"Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan Raden" berkata Rembana kemudian.
"Ada apa Kakang?"
"dalam hubungannya dengan para perampok itu"
Raden Madyasta mengangguk-angguk.
"Dua orang pengawas telah melihat dua orang yang mencurigakan lewat di jalan
utama kademangan ini, sedang di hari berikutnya dua orang pengawas yang lain
melihat dua orang lagi melakukan hal yang sama seperti kedua orang yang
terdahulu, mereka berjalan menyusuri jalan di padukuhan induk, berhenti melihat
latihan di halaman banjar, namun ternyata bahwa kedua orang itu, baik yang
pertama maupun yang kemudian, telah pergi ke padukuhan-padukuhan lain pula,
para pengawas di padukuhan juga melihat mereka memperhatikan anak-anak muda
yang berkumpul dan berlatih di halaman banjar atau di halaman rumah Ki Bekel"
Raden Madyasta mengangguk-angguk, katanya kemudian "Nampaknya mereka
sedang mengamati keadaan, mereka baru akan menentukan sikap setelah mereka
melihat langsung gejolak di kademangan ini"
"Ya, Raden, dengan demikian, maka tanda-tanda bahwa mereka akan mulai
bergerak telah nampak"
"Kita harus lebih berhati-hati, Kakang, pengawasan harus ditingkatkan,
sementara itu, para prajuritpun harus mempersiakan anak-anak muda yang
dibimbingnya untuk dalam waktu singkat terjun dalam tugas mereka yang
sebenarnya" "Ya, Raden" Raden Madyastapun kemudian berkata pula kepada Ki Demang "Ki Demang, para
Bebahupun harus bersiap, perintah-perintah mereka kepada anak-anak muda yang
berlatih kepada merekapun harus jelas, mereka jangan turun ke dalam arena
pertempuran, tetapi mereka diperintahkan untuk mengepung lingkungan
pertempuran, menjaga agar tidak ada seorang perampokpun yang berhasil melarikan
diri, namun bukan berarti bahwa tugas mereka tidak berbahaya, para perampok
yang berusaha melarikan diri itu umumnya adalah orang-orang yang berputus asa,
sehingga mereka justru akan menjadi orang-orang yang nekad dan kehilangan akal,
Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali lagi aku peringatkan, anak-anak muda itu jangan mencoba menghadapi
mereka seorang melawan seorang"
"Ya, Raden" "Kita tidak tahu, kapan, para perampok itu akan datang, tetapi tentu dalam
waktu yang dekat, jika mereka sudah mengirimkan orang-orangnya untuk
mengamati keadaan, itu berarti bahwa mereka sudah mengambil ancang-ancang"
"Ya, Raden, aku akan memanggil para Bebahu dan para Bekel hari ini juga, untuk
memberikan peringatan-peringatan kepada mereka"
"Kitapun harus memberi peringatan pula kepada keluarga yang mungkin akan
menjadi sasaran, tentu orang-orang terkaya di kademangan ini"
"Ya, Raden, jika Raden dan para senapati berkenan, aku harap Raden dan para
senapati bersedia bertemu dengan para Bebahu dan para bekel disini sebentar lagi"
"Baik Ki Demang, kami akan menunggu" berkata Raden Madyasta yang kemudian
bertanya kepada para senapati "Bukankah latihan-latihan itu dapat kalian tinggalkan
sebentar untuk berbicara dengan para Bebahu?"
"Tentu Raden" jawab Wismaya "latihan-latihan itu sudah dapat berjalan, anakanak
muda itu ternyata mempunyai ketrampilan yang tinggi, sehingga kami tinggal
mengarahkannya" "Mudah-mudahan latihan-latihan yang berlangsung hampir sebulan ini akan
berarti bagi mereka" sambung Sasangka.
"Meskipun demikian, merekapun jangan mencoba untuk bertempur seorang
melawan seorang, mereka adalah anak-anak muda yang belum berpengalaman"
sahut Raden Madyasta. "Ya, Raden, kami setiap kali memperingatkan mereka, agar mereka tidak terlibat
dalam perang tanding, kamipun sudah menunjuk pasangan-pasangan diantara
mereka jika mereka benar-benar harus terjun ke medan"
"Agaknya cara itu pulalah yang harus kami lakukan" berkata Ki Demang
"kelompok-kelompok kecil itu harus sudah ditunjuk sebelumnya, agar mereka tidak
bingung dengan siapa mereka harus bekerja sama"
"Ya" berkata Rembana kemudian, "Apakah hal itu belum Ki Demang lakukan?"
"Belum ngger, kami baru memerintahkan agar mereka bertempur dalam
kelompok-kelompok kecil, tetapi kami belum menunjuk kelompok kecil itu"
"Nanti hal itu dapat Ki Demang sampaikan kepada para Bebahu dan para bekel"
Dalam pada itu, beberapa orang anak-anak muda telah menyebar memanggil
para Bebahu dan para Bekel untuk berkumpul di rumah Ki Demang.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, mereka mulai berdatangan, mereka
menyadari, bahwa mereka telah sampai pada persiapan terakhir untuk benar-benar
menghadapi para perampok yang mereka perhitungkan akan segera datang ke
kademangan Panjer" Ki Demang dan Raden Madyasta berganti-ganti memberikan petunjuk-petunjuk,
apakah yang seharusnya mereka lakukan.
Sementara itu, belum lagi pembicaraan mereka selesai, dua orang pengawas
telah datang untuk menemui Ki Demang Panjer.
"Marilah, naiklah" berkata Ki Demang.
Kedua orang pengawas itupun segera naik ke pendapa, di wajah mereka
membayang kegelisahan, baju mereka basah oleh keringat yang megemban dari
tubuh mereka. "Ada apa?" bertanya Ki Demang.
Seorang diantara kedua pengawas itupun berkata dengan suara yang agak
bergetar "Ki Demang, aku melihat mereka"
"Mereka siapa?" bertanya Ki Demang.
"Kedua orang itu lagi, mereka berjalan menyusuri jalan utama padukuhan induk
ini" "Apa yang mereka lakukan?"
"Mereka berhenti beberapa lama di depan rumah Ki Wiratenaya, namun
kemudian mereka berjalan terus ke selatan, kami mencoba mengawasi mereka dari
jarak yang cukup jauh"
"Apalagi yang mereka lakukan?"
"Mereka juga berhenti di depan rumah Ki Semanggi"
Ki Demang mengangguk-angguk, kedua orang yang disebut itu adalah orangorang
terkaya di kademangan Panjer.
"Lalu kemana lagi mereka pergi?"
"Kami tidak dapat mengikutinya lagi, jalan kearah selatan di depan rumah Ki
Semanggi adalah jalan yang lurus, jika kami mengikuti mereka, maka mereka tentu
akan melihat kami, karena keduanya kadang-kadang juga melihat ke belakang"
"Apa yang kau lakukan kemudian?"
"Kami mencari jalan lain, kami melingkari rumah Ki Semanggi, namun tiba-tiba
saja kami berpapasan dengan kedua orang itu. kami memang terkejut ketika melihat
mereka muncul dari simpang tiga, tetapi kami berjalan terus, kami berpura-pura
tidak menghiraukannya"
"Kau tahu mereka pergi kemana?"
"Keduanya justru menegur kami berdua"
"Menegur kalian?"
"Ya, Ki Demang, mereka bertanya kepada kami, apakah kami tinggal di
padukuhan induk ini"
"Apa jawabmu" "Kami mengiakannya, keduanya tertawa. seorang diantara mereka justru
berpesan kepada kami agar malam nanti kami berhati-hati, agar semua anak-anak
muda yang sudah berlatih olah kanuragan dibawah bimbingan Ki Demang itu keluar
rumah untuk meronda"
"Untuk apa menurut mereka?"
"Mereka tidak mengatakannya, namun mereka pergi sambil tertawa
berkepanjangan" "Nampaknya sudah jelas, Ki Demang" berkata Raden Madyasta "Mereka akan
datang malam nanti, kedua orang itu tentu berusaha meyakinkan sasaran mereka,
agaknya kedua rumah itulah yang akan mereka datangi malam nanti"
"Ya, Raden" "Waktu kita tidak banyak lagi Ki Demang, kita harus segera mempersiapkan
segala-galanya, terutama di padukuhan induk ini"
"Jika demikian Raden, apakah anak-anak muda dari padukuhanku harus datang
ke padukuhan induk ini pula malam nanti?"
"Belum sekarang Ki Bekel" jawab Raden Madyasta "Kita masih belum tahu pasti,
kemana para perampok itu akan pergi, biarlah anak-anak muda itu menjaga
padukuhan mereka masing-masing, kami sendiri malam nanti akan mengawasi
mereka, jika perlu, maka biarlah kami memberikan isyarat, tetapi sebaliknya, jika
para perampok itu datang ke padukuhan yang manapun, maka isyarat kentongan
akan memanggil kami untuk datang"
"Baik Raden, kami akan menunggu"
"Marilah Ki Demang, kita akan mulai dengan tugas berat kita, kita akan memikul
bersama. mudah-mudahan kita akan berhasil, sehingga keberadaan kami yang
hampir sebulan disini tidak sia-sia"
Demikianlah, maka pertemuan itupun segera dibubarkan, Ki Demang telah
membagi tugas kepada para Bebahu, mereka harus segera menghubungi anak-anak
muda terutama di padukuhan induk untuk segera bersiap-siap. Sebentar lagi
matahari akan turun disisi barat. Langit akan menjadi buram, sesaat kemudian senja
akan datang dan malampun akan menyelimuti kademangan Panjer.
Raden Madyastapun telah memberikan printah-perintah kepada para senapati
dan para prajurit yang ada di kademangan Panjer, bahkan Raden Madyasta telah
memerintahkan para prajurit itu untuk datang mengunjungi kedua buah rumah yang
agaknya akan menjadi sasaran para perampok.
"Jangan bersama-sama, datanglah berdua, seorang bebahu atau anak muda
yang ditugaskan oleh Ki Demang akan mengantarkan kalian, kalian harus tahu pasti,
apa yang akan kalian lakukan malam nanti, jika mereka benar-benar datang"
Para prajurit dan para senapati itupun menjalankan printah Raden Madyasta
dengan sebaik-baiknya, sementara Ki Demang telah minta agar pemilik rumah itu
justru meninggalkan rumah mereka.
"Sebaiknya kalian berada di rumahku atau rumah Ki Jagabaya atau rumah para
Bebahu yang lain. Mungkin keadaan akan menjadi gawat, meskipun kami masih
berharap, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa malam ini nanti di rumah kalian"
berkata Ki Demang kepada kelaurga Ki Wiratenaya dan Ki Semanggi.
Ternyata kedua keluarga itu tidak berkebaratan, mereka percayakan rumah
mereka dibawah pengawasan para Bebahu kademangan Panjer serta para prajurit
Paranganom yang berada di kademangan mereka.
Ketika kemudian senja turun, maka segala sesuatunya sudah siap, meskipun
tidak nampak gejolak dipermukaan, namun kademangan Panjer sudah berada dalam
kesiagaan penuh. "Jangan membuat kademangan ini menjadi resah dan ketakutan" berkata Raden
Madyasta kepada para prajurit, sementara Ki Demangpun berusaha agar
kademangan Panjer tetap tenang.
Namun bagaimanapun juga Ki Demang berusaha, masih juga terasa ketegangan
yang mencengkam para penghuninya.
Malampun perlahan-lahan turun menyelimuti kademangan Panjer, langit nampak
cerah dan bintang-bintangpun bergayutan.
Beberapa orang anak muda yang terpilih diantara mereka yang berlatih dibawah
bimbingan para prajurit, mendapat tugas untuk mengawasi jalan-jalan utama
menuju ke padukuhan induk, sementara itu anak-anak muda di padukuhanpadukuhan
yang lain telah mendapat perintah untuk tidak mengganggu jika mereka
melihat iring-iringan sekelompok orang yang menuju ke padukuhan induk.
"Biarlah para perampok itu sampai itu sampai ke padukuhan induk, kecuali jika
mereka merampok di padukuhan-padukuhan lain, maka padukuhan itu harus
membunyikan isyarat agar para prajurit segera datang" pesan Ki Demang kepada
para Bekel. Sebenarnyalah, malam ini para perampok itu dibawah pimpinan Sura Branggah
telah mempersiapkan orang-orangnya untuk memasuki padukuhan induk
kademangan Panjer, mereka sudah menentukan untuk memasuki dua buah rumah
orang terkaya di padukuhan induk kademangan Panjer, rumah Ki Wiratenaya dan
rumah Ki Semanggi, keduanya adalah saudagar yang berhasil.
"Aku telah mempermainkan anak-anak muda kademangan Panjer" berkata salah
seorang dari para perampok itu.
"Apa yang kau lakukan?"
"Jka anak-anak muda itu menantang kita dengan berlatih olah kanuragan
dibawah bimbingan Demang Panjer dan para Bebahu, maka aku berkata kepada
anak muda Panjer yang aku temui di jalan, agar mereka mempersiakan diri malam
nanti" "Kau memang gila" geram Sura Branggah seakan-akan mereka akan dapat
menandingi kita?" "Bukankah kita tersinggung dengan latihan-latihan yang mereka lakukan?"
"Jika anak-anak muda itu benar-benar berusaha melawan, kita akan menjadi
pening juga" "Kenapa", kita akan membantai mereka seperti menebas batang ilalang"
"Itulah yang membuat kepala kita pening, apakah kita akan membunuh anakanak
muda itu?" "Jika satu dua orang diantara mereka sudah terbunuh, maka yang lain akan
melarikan diri" berkata seorang perampok yang lain.
Namun seorang yang sudah lebih tua dari mereka berkata "Kita akan berusaha
untuk menemukan Ki Demang Panjer yang tentu akan memimpin anak-anak muda
itu, kita paksa Ki Demang untuk memerintahkan anak-anak muda itu menyingkir, jika
Ki Demang Panjer yang sombong itu keras kepala dan mungkin juga Ki Jagabaya
Panjer telah mati, maka anak-anak muda itu akan lari dengan sendirinya"
"Yang akan membuat jantung kita menjadi sangat tegang, jika anak-anak muda
itu tidak mau menyingkir"
"Apaboleh buat" berkata seorang yang bertubuh agak pendek, tetapi otot-ototnya
menjorok di permukaan kulitnya, wajahnya yang cacat membuatnya menjadi sangat
menyeramkan. "Ya" sahut orang yang bertubuh raksasa "Bukan salah kami"
Ki Sura Branggah termangu-mangu sejenak, namun iapun kemudian berkata
"Kita adalah sekelompok berandal terkenal, sebenarnyanya aku agak malu jika kita
harus membunuh anak-anak"
"Tetapi itu karena salah mereka sendiri, kesombongan merekalah yang telah
membunuh mereka "Aku setuju untuk menemukan Ki Demang dan Ki Jagabaya, mereka harus akan
mati, jika mereka mati, kita memang dapat berharap anak-anak muda itu akan
berhenti dengan sendirinya"
Namun orang yang bertubuh raksasa itu masih menyahut "Jika mereka tidak mau
menyingkir, kita harus bertindak tegas.Panjer akan menjadi ajang pembantaian yang
pertama sejak kita melakukan gerakan beruntun di Paranganom. pada saatnya
kitapun akan bergerak ke Kateguhan"
"Ladang di Kateguhan tidak sesubur ladang di Paranganom, bukankah aku sudah
pernah mengatakannya" sahut Ki Sura Branggah.
Orang bertubuh raksasa itu masih juga menyahut "Jika lahan di Paranganom
sudah habis dituai?"
"Kita akan memikirkannya kelak, tetapi lahan di Paranganom tidak akan habis
dalam beberapa tahun"
Orang yang bertubuh pendek itulah yang menyahut "Mungkin, tetapi pada suatu
saat kita harus berhenti, para prajurit Paranganom tentu akan turun ke gelanggang
jika kita bergerak semakin ketengah, apalagi mendekati pusat pemerintahan di
Paranganom" "Kita akan memikirkannya kelak, jangan sekarang, sekarang kita siap memasuki
padukuhan induk kademangan Panjer" potong Ki Sura Branggah.
Yang lainpun terdiam Ketika malam menjadi semakin gelap, para perampok itu sudah berada di
pategalan di perbatasan kademangan Panjer, mereka masih sempat beristirahat
sejenak, baru kemudian, setelah lewat wayah sepi bocah, Ki Sura Branggah
Han Bu Kong 9 Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama