Ceritasilat Novel Online

Pelangi Dilangit Singosari 12

01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 12


Apalagi ketika tiba-tiba ia melihat suaminya itu berada di dalam kesulitan-kesulitan. Kesulitan-kesulitan yang mungkin membahayakan ketenteraman rumah tangganya itu. Ia, Nyai Witantra itu kini sama sekali bukan seorang istri yang melihat bulan yang selalu bersinar terang. Ternyata ia sama sekali bukan seorang pengecut yang lari di kala kesulitan-kesulitan datang. Sifatnya yang berkembang itu bahkan telah mendorongnya untuk ikut serta menanggung apa saja yang akan terjadi atas suaminya. Karena itu tiba-tiba ia berkata, "Ibu, biarlah aku pergi juga ke istana."
"He," ibu Witantra terkejut, "apa yang akan kau lakukan?"
"Aku mempunyai kepentingan dengan Kakang Witantra. Aku ingin melihat apa yang terjadi."
"Jangan. Kau tidak mendapat perintah untuk menghadap. Mungkin kedatanganmu akan menambah murka Akuwu."
"Apapun yang akan terjadi. Aku ingin melihat penyelesaian atas Kakang Witantra."
Ken Umang tiba-tiba memandang wajah kakak perempuannya dengan pandangan penuh penyesalan. Katanya, "Buat apa sebenarnya kau pergi ke sana?"
"Ken Umang. Aku sekarang berpendapat lain daripada masa-masa kanak-kanakku. Aku tidak dapat menerima pikiranmu. Mungkin kau akan mengatakan kepadaku, bahwa biar saja apa yang terjadi dengan Kakang Witantra. Mungkin kau akan mengatakan bahwa aku masih muda. Masih mungkin untuk mendapatkan suami yang lebih baik dari Kakang Witantra. Begitu" Sekarang biarlah Kakang Witantra menerima hukuman atas kesalahannya" Umang, mungkin aku dahulu akan berkata begitu. Tetapi sekarang tidak Umang. Karena itu aku akan pergi."
"Jangan Nyai," cegah ibu Witantra, "para penjaga tidak akan mengizinkan kau masuk ke regol dalam halaman istana."
"Aku istri Kakang Witantra. Para penjaga mengenal siapa aku. Dan karenanya mereka akan mengizinkan aku masuk. Sudah beberapa kali aku masuk ke istana. Akuwu sering benar minta aku masak untuknya."
"Ya. Tetapi sekarang suamimu sedang dalam persoalan."
"Justru karena itu ibu. Biarlah aku pergi."
Ken Umang menjadi semakin heran. Ia tidak dapat mengerti apa yang akan dilakukan oleh kakak perempuannya. Meskipun tuduhan kakaknya atas pikirannya itu terlampau jauh, namun ia tidak membantahnya, sebab sebagian adalah benar. Namun kemudian ia berkata, "Urusan itu sebenarnya bukan urusanmu. Tunggulah di rumah. Aku tidak menganjurkan kau berkhianat atas suamimu. Namun jangan mengorbankan dirimu tanpa arti."
"Umang," wajah Nyai Witantra menjadi merah. Ia menjadi sedemikian marahnya kepada adiknya itu. Tetapi ibu Witantra segera berkata tenang kepadanya, "Biarkan adikmu itu. Ia adalah seorang gadis yang sedang berkembang. Angan-angannya akan jauh terbang melampaui setiap kenyataan yang dihadapinya. Itulah sebabnya maka kadang gadis yang seumur itu kehilangan keseimbangan."
"Ah," desah Ken Umang. Namun ia tidak berani berbantah dengan ibu iparnya. Namun hatinya berteriak lantang, "Ah, orang tua-tua selalu menganggap anak-anak muda sebagai seorang yang sedang menempuh masa pancaroba. Mereka menganggap bahwa kami anak-anak muda selalu tidak waras. Tetapi mereka sendiri telah menenggelamkan dirinya dalam wawasan yang usang."
Namun ternyata bahwa istri Witantra itu keras hati untuk pergi ke istana . Ia menjadi gelisah benar apabila dikenangnya kata-kata suaminya dan cerita perempuan tua yang dibawa suaminya dari Panawijen. Karena itu maka akhirnya ia tidak dapat ditahan-tahan lagi.
"Kalau kau bersikeras untuk pergi Ngger. Hati-hatilah."
"Ya, Ibu. Aku akan berusaha untuk menjaga diriku dan mengetahui apa yang akan terjadi dengan Kakang Witantra.
"Nyai," tiba-tiba perempuan tua yang sejak tadi berdiam diri mendengarkan setiap pembicaraan itu berkata, "apakah aku diizinkan untuk turut serta masuk ke dalam istana?"
Nyai Witantra dan ibunya terkejut mendengar permintaan itu. Sehingga karena itu mereka bertanya, "Untuk apa Bibi ikut masuk ke dalam istana."
"Ken Dedes adalah momonganku. Mudah-mudahan aku dapat bertemu dengan gadis itu."
"Apakah gadis itu dibawa ke istana?"
Pemomong Ken Dedes menjadi bingung. Ia tidak tahu ke mana Ken Dedes dibawa. Tetapi Nyai Witantra itulah yang menjawab, "Ya. Mungkin di istana kau akan mendengar, ke mana gadis itu dibawa. Karena itu, marilah, biarlah Bibi ikut dengan aku."
Kedua Perempuan itu pun kemudian turun ke halaman dan dalam keremangan ujung malam, mereka berjalan ke istana Akuwu Tumapel.
Dalam pada itu, maka Witantra dan Ken Arok pun telah sampai pula di istana. Di halaman luar mereka menambatkan kuda-kuda mereka. Dengan berjalan kaki memasuki halaman dalam istana Tunggul Ametung.
Dada Witantra dan Ken Arok pun menjadi berdebar-debar. Di regol mereka melihat beberapa orang prajurit berjaga-jaga. Ketika mereka melihat Witantra lewat di hadapan mereka, segera mereka membungkukkan badan mereka memberikan hormat.
Dengan langkah yang ragu Witantra kemudian naik ke ruang belakang. Mereka menunggu sesaat sehingga dilihatnya seorang emban lewat di samping mereka. Perlahan-lahan dipanggilnya emban itu dan dengan perlahan-lahan pula Witantra bertanya, "Apakah Akuwu sudah siap menerima kedatanganku dan Adi Ken Arok."
Emban itu memandangi Witantra dengan herannya. Kemudian katanya, "Apakah Akuwu akan mengadakan pertemuan malam ini?"
Witantra mengerutkan keningnya, katanya, "Di mana Akuwu sekarang?"
"Di dalam biliknya," sahut emban itu.
"Jangan asal menjawab saja, Akuwu memanggil aku dan Adi Ken Arok."
Emban itu menggeleng, "Aku tidak tahu."
"Siapakah pelayan dalam yang sedang bertugas hari ini?" bertanya Ken Arok.
Emban itu menggeleng, "Aku belum tahu namanya."
"Tolong. Panggilkan sebentar kemari."
Emban itu memandang Witantra dengan penuh keheranan. Ia tidak mendapat perintah untuk membersihkan ruang pertemuan kecil di dalam istana di saat-saat khusus. Dan ternyata Akuwu pun tidak berada di ruang palenggahan. Tetapi sejak mandi, Akuwu langsung masuk kembali ke dalam biliknya. Sehingga para pelayan yang menunggu perintahnya menjadi bingung. Sebab bukanlah kebiasaan Akuwu berbuat demikian.
Sesaat kemudian datanglah seorang pelayan dalam mendekati Witantra. Dengan hormatnya ia membungkukkan ke palanya sambil bertanya, "Adakah sesuatu yang dapat aku kerjakan, Kakang Witantra."
"Kami berdua dipanggil Akuwu."
"Oh," sahut orang itu, "marilah silakan masuk. Tetapi Akuwu tampaknya tidak sedang menunggu seseorang Bahkan Akuwu agaknya menjadi sangat lelah sehabis berburu sehari ini."
"Terima kasih," Witantra tidak menunggu lebih lama. Langsung ia masuk ke ruang dalam istana dan duduk di ruang dalam, yang biasa dipakai oleh Akuwu untuk mengadakan pertemuan-pertemuan khusus.
Tetapi Witantra benar-benar menjadi heran. Ruangan itu masih terlalu gelap dan tidak sehelai tikar pun yang telah terbentang.
Bahkan batu hitam, yang biasa dipakai duduk Akuwu pun masih dikerukup dengan sebuah kain putih.
"Aku tidak tahu, apakah yang terjadi dengan Akuwu," desis Witantra.
"Akuwu telah berbuat di luar sadarnya," sahut Ken Arok, "hari ini Akuwu benar-benar seperti orang yang sedang kebingungan."
Witantra mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Ternyata bukan Akuwu saja. Kita semua telah menjadi bingung pula karenanya."
"Itu adalah akibat perbuatan Akuwu Tunggul Ametung. Kalau kita bersama-sama ini merupakan tubuh dari seekor ular, maka Akuwu adalah kepala ular itu. Apabila kepalanya menjadi bingung, maka seluruh tubuhnya akan kebingungan pula.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya," sahutnya pendek.
Mereka pun kemudian terdiam. Namun di dalam kepala mereka seakan-akan terdapat sebuah baling-baling yang berputar. Bingung. Mereka tidak tahu apakah yang sebenarnya terjadi dan akan terjadi. Mereka semula menyangka, bahwa mereka akan datang ke istana dan akan ditemuinya para prajurit telah bersiap di setiap sudut halaman dan ruangan. Mereka menyangka bahwa Akuwu telah siap pula menunggu mereka dengan murkanya dan langsung memerintahkan menangkap mereka. Tetapi yang mereka jumpai adalah ruangan yang kosong, gelap dan benar-benar membingungkannya. Para pengawal pun tidak lebih dari para pengawal yang biasa bertugas di tempat masing-masing.
Ketika mereka menunggu beberapa lama, Akuwu masih belum juga keluar ke ruangan itu, dan bahkan pelita yang menyala itu pun tidak ditambah, maka Witantra akhirnya tidak sabar lagi. Kemudian ia berdiri dan memanggil seorang juru panebah. Katanya, "Sampaikanlah kepada Akuwu, bahwa Witantra dan Ken Arok telah siap menghadap di balai dalam."
Juru panebah itu menjadi bingung. Jawabnya, "Akuwu sedang tidur. Apakah tuan berdua tidak saja menghadap besok pagi?"
"Jangan ribut! Sampaikan kepada Akuwu. Akuwu memanggil kami berdua."
Panebah itu mengangguk hormat, kemudian tanpa berkata sepatah kata pun ia berjalan ke bilik Akuwu. Tetapi sampai di muka pintu ia sama sekali tidak berani masuk ke dalamnya. Hilir mudik ia berjalan. Mudah-mudahan Akuwu mendengarnya dan memanggilnya. Dan ternyata harapannya itu benar-benar terjadi. Dengan suara serak terdengar Akuwu bertanya, "He, siapa itu?"
"Hamba Tuanku," sahut juru panebah itu.
Perlahan-lahan ia menghampiri pintu dan kemudian duduk bersila di luar tirai.
"Ada apa?" bertanya Tunggul Ametung.
"Ada yang ingin menghadap Tuanku."
"He" Gila. Suruh dia pergi. Cepat! Aku tidak mau menerima seorang pun. Apa disangkanya besok sudah akan kiamat?" teriak Tunggul Ametung itu.
Juru panebah itu menjadi ragu-ragu. Namun dengan tergagap ia berkata, "Ampun Tuanku. Menurut mereka, ternyata mereka telah Tuanku panggil menghadap."
"He?" suara Akuwu itu pun menjadi lunak, "Siapa mereka?"
"Tuan Witantra dan Ken Arok."
"Oh. Ya. Ya. Hampir aku lupa. Aku memang telah memanggil mereka itu," sahut Tunggul Ametung.
Juru panebah itu menarik nafas lega. Ia surut ke belakang ketika didengarnya Akuwu bangkit dari pembaringannya dan berjalan keluar.
"Di manakah mereka sekarang?" bertanya Akuwu itu.
Juru panebah itu menyembah. Jawabnya "Di balai paseban dalam, Tuanku."
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi keningnya kemudian berkerut, "Apakah tempat itu sudah kau sediakan?"
"Belum Tuanku. Hamba belum menerima perintah Tuanku."
Akuwu itu pun berpikir sejenak. Kemudian katanya, "Panggil mereka kemari! Aku akan menerima mereka di ruang dalam."
Panebah itu menjadi heran. Adalah bukan kebiasaan akuwu menerima seseorang di ruang itu. Tetapi ia tidak berani bertanya apapun. Perlahan-lahan ia berkisar, dan setelah menyembah, maka segera ia pergi ke balai dalam untuk memanggil Witantra dan Ken Arok ke ruangan di muka bilik Akuwu itu."
Witantra dan Ken Arok pun menjadi heran. Kembali mereka menjadi curiga. Apakah di ruangan itu telah bersedia beberapa orang prajurit yang akan menangkap mereka" Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain daripada datang menghadap Akuwu.
Kembali mereka terkejut, ketika ruangan itu benar-benar kosong. Tak seorang pun yang dilihatnya berada di tempat itu. Karena itu maka segera mereka pun pergi ke sudut ruangan dan duduk di atas sehelai tikar yang telah direntangkan.
Sesaat kemudian mereka mendengar suara akuwu terbatuk-batuk. Dan kemudian mereka melihat Akuwu Tunggul Ametung keluar dari dalam biliknya.
Witantra dan Ken Arok segera menundukkan wajah mereka dengan hormat menyembah akuwunya.
"Apakah kalian telah lama menunggu?" bertanya akuwu itu.
"Belum Tuanku," sahut Witantra.
Akuwu Tunggul Ametung berjalan perlahan-lahan mendekati mereka, dan di luar dugaan Witantra dan Ken Arok, maka Akuwu itu duduk di tikar yang sehelai itu pula.
Witantra dan Ken Arok menjadi bingung. Mereka segera beringsut ke belakang sehingga mereka tidak lagi duduk di atas tikar itu.
"Jangan menjadi segan. Duduklah sebaik-baiknya."
"Tetapi ?" "Tidak apa-apa," potong Tunggul Ametung.
Witantra dan Ken Arok benar-benar menjadi heran melihat sikap akuwu itu. Demikian juga juru penebah yang duduk di kejauhan, di tangga ruangan itu untuk menunggu perintah akuwu. Tetapi juru panebah itu tiba-tiba terkejut ketika akuwu itu berteriak "Pergi! Pergi! Kau mau apa duduk di situ?"
Juru panebah itu menjadi semakin heran. Meskipun demikian ia pergi juga. Ia tidak tahu, kenapa ia harus pergi, sebab setiap hari ia sendiri atau kawannya yang sedang bertugas, selalu duduk di tangga itu untuk menanti perintah akuwu setiap saat. Namun ia tidak mau memikirkan lagi. Dengan lesu ia melangkah ke sudut istana.
Dua orang pelayan dalam yang bertugas di tempat itu segera bertanya, "He, kenapa kau datang kemari?"
Juru panebah itu kemudian duduk pula di antara mereka sambil bersungut-sungut, "Akuwu sedang menjadi bingung Aku diusirnya dari tempat itu."
"Dari mana?" "Dari tangga ruang dalam."
Kedua pelayan dalam itu tertawa, "Apakah kau tidak dapat mencari tangga yang lain, dan duduk di sana?"
Juru panebah itu memandang kedua pelayan dalam itu dengan wajah yang gelap. Jawabnya, "Kau sangka hidupku hanya berurusan dengan tangga-tangga saja?"
Kembali kedua pelayan dalam itu tertawa. Tetapi mereka tidak mau mengganggu juru panebah itu lagi.
Di ruangan dalam, di hadapan bilik Akuwu Tunggul Ametung, Witantra dan Ken Arok duduk bersila sambil menundukkan wajah mereka dalam-dalam. Akuwu Tunggul Ametung sendiri duduk beberapa jengkal saja di hadapan mereka.
"Witantra," berkata Tunggul Ametung itu kemudian, "kenapa kau tadi siang tidak mau melakukan perintahku?"
Witantra menjadi berdebar-debar. Ia sudah menyangka bahwa ia akan menerima pertanyaan itu. Namun ia tidak menyangka bahwa nada pertanyaan itu sedemikian lunaknya. Disangkanya Akuwu Tunggul Ametung akan membentaknya dan menuding hidungnya sambil memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menangkapnya.
Kini ia harus menjawab pertanyaan itu. Dan ia tidak dapat berkata melingkar-lingkar. Ia harus mengemukakan alasan sebenarnya. Kenapa ia tidak dapat turut saja melakukan penculikan itu. Maka katanya kemudian, "Tuanku. Hamba tidak sampai hati untuk ikut serta berbuat sedemikian terhadap seorang gadis."
"Kenapa?" "Tuanku. Bukankah dengan demikian berarti bahwa kita sudah tidak lagi menghargai sesama" Dan bukankah dengan demikian kita sudah merusakkan kemanusiaan?"
"Tetapi, bukankah menjadi kewajibanmu untuk melakukan setiap perintahku?"
"Hamba Tuanku. Hamba dihadapkan pada kewajiban yang bertentangan dengan perasaan hamba. Dan bukankah hamba juga mempunyai kewajiban yang lain" Kewajiban untuk menegakkan kemanusiaan dan melindungi sesama" Tuanku. Hari ini hamba benar-benar merasa bahwa hidup hama benar-benar tak berarti."
"Kenapa?" "Hamba sama sekali tidak dapat melakukan kewajiban hamba keduanya. Tidak dapat melakukan kewajiban hamba sebagai seorang prajurit, karena hamba tidak melakukan perintah Akuwu, namun hamba juga tidak dapat melakukan kewajiban kemanusiaan itu."
Akuwu tidak segera menyahut. Direnungkannya kata-kata Witantra itu dan dicernakannya di dalam hatinya.
Ruangan itu sesaat menjadi sepi. Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalannya, sedang Witantra dan Ken Arok menundukkan wajahnya, menatap anyaman tikar pandan yang bersilang-silang.
Tunggul Ametung mencoba sebali lagi membayangkan apa saja yang sudah terjadi hari itu atasnya. Pagi-pagi Kuda Sempana datang menghadap kepadanya. Memberitahukan bahwa ia tidak sependapat apabila mereka pergi berburu ke barat. Sebab ia tidak berani melewati padukuhan Panawijen setelah hatinya dilukai oleh Empu Purwa, ayah Ken Dedes. Kuda Sempana ditolak karena ia seorang pelayan dalam. Bukan karena ia seorang pelayan dalam, tetapi karena pelayan dalam seorang akuwu saja.
"Hem," Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam. Ia telah dengan tergesa-gesa menelan saja kata-kata Kuda Sempana itu. Tetapi apakah yang dilihatnya di Panawijen sama sekali bukannya seperti yang dikatakan oleh Kuda Sempana. Bukan seperti yang dikatakan bahwa ia sama sekali tidak ingin lagi memiliki gadis itu. Bukankah Ken Dedes hanya seorang gadis desa saja" Tetapi yang dilihat oleh Akuwu adalah, gadis itu sama sekali tidak senang melihat kehadiran Kuda Sempana. Dan bahwa seorang anak muda telah mempertahankan dengan sekuat tenaganya meskipun di hadapannya berdiri beberapa orang prajurit yang melingkari mereka. Bukan itu saja. Di sepanjang jalan pulang pun mereka bertemu dengan seorang anak muda pula, yang menurut Kuda Sempana adalah kakak gadis itu.
Gambaran-gambaran itu hilir mudik kembali di dalam kepala. Dicobanya untuk mencari kesimpulan, apakah Kuda Sempana berkata sebenarnya, atau telah menjebaknya dalam tindak kekerasan yang memalukan.
Akuwu itu pun kemudian menarik nafasnya dan berkata "Ken Arok, bagaimana pendapatmu tentang peristiwa yang terjadi itu?"
"Hamba menyesal Tuanku."
"Apakah yang kau sesalkan?"
"Bahwa peristiwa itu telah terjadi."
Akuwu mengernyitkan alisnya. Kemudian kepada Witantra dan Ken Arok itu diceritakan olehnya, apa yang didengarnya dari Kuda Sempana dan apa yang telah mendorongnya untuk melakukan perbuatan itu.
Witantra menggigit bibirnya untuk menahan gejolak hatinya sedang Ken Arok tergeser surut. Diangkatnya wajahnya dan ditatapnya wajah Akuwu sesaat. Namun kembali Ken Arok menundukkan wajahnya. Terasa sesuatu bergetar di dalam hatinya dan dengan tiba-tiba saja ia merasa menjadi semakin kecewa terhadap Tunggul Ametung. Akuwu itu benar-benar seorang yang aneh. Sekarang semuanya telah terjadi. Setiap orang di Panawijen dan seterusnya setiap orang di Tumapel akan menyebut namanya sebagai seorang yang telah merusakkan hidup sepasang anak muda dan melukai hati segenap penduduk Panawijen.
Tetapi Tunggul Ametung itu pun ternyata menyesal pula di dalam hatinya. Disesalinya pula wataknya yang agak terlalu tergesa-gesa menentukan suatu sikap. Ia dapat berbuat demikian di dalam istananya tanpa akibat yang dapat mencelakakan orang lain. Ia dapat berbuat demikian untuk hal-hal yang kecil. Tetapi untuk hal yang penting seperti peristiwa ini adalah benar-benar menyesatkan.
Dengan suara parau maka Akuwu itu berkata, "Witantra dan Ken Arok. Bagaimanakah pendapatmu tentang gadis itu?"
Mereka menggelengkan kepala mereka. Dan Witantra menjawab, "Apakah yang akan Tuanku perbuat?"
Akuwu memandang Witantra dengan tajamnya. Tetapi ia tidak segera dapat menjawab. Sekali-kali dipandanginya tubuh Witantra yang tegap kuat. Seorang prajurit yang mengagumkan. Seorang prajurit yang baik, yang tidak pernah mengabaikan tugasnya. Namun ia terpaksa menolak perintahnya, karena ia tidak dapat dipaksa untuk mengkhianati kemanusiaan. Tetapi sebagaimana dikatakannya sendiri ia telah gagal melakukan kewajibannya. Kewajibannya sebagai seorang prajurit dan kewajiban kemanusiaan.
Sedang di sampingnya duduk seorang pelayan dalam yang belum lama berada di dalam istana. Namun orang itu benar telah mengejutkan akuwu. Ketika dilihatnya ia bertempur melawan Mahisa Agni, maka tampaklah betapa ia mampu berbuat sebagai seorang prajurit yang baik. Melampaui Kuda Sempana. Bahkan tangannya telah membunuh seorang prajurit dengan sebuah pukulan. Meskipun mula-mula Ken Arek tidak melawan perintahnya, bahkan mencoba melakukannya namun ternyata bahwa desakan hatinya telah membuatnya berbuat sebaliknya. Bahkan telah dibunuhnya seorang prajurit di hadapannya. Di hadapan seorang akuwu.
Tetapi Mahisa Agni itu pun telah menarik perhatiannya. Ia adalah seorang anak pedesaan. Namun memilik caranya berkelahi, maka ia bukanlah anak pedesaan kebanyakan.
Dalam berbagai perasaan dan angan-angan itu, maka terluncurlah kata-kata Akuwu, "Witantra, apakah kau melihat seseorang yang telah dilukai Kuda Sempana?"
"Ya," jawab Witantra pendek.
"Siapakah dia?"
"Anak muda itulah bakal suami Ken Dedes."
Akuwu Tumapel menganggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Besok panggillah dia kemari!"
Witantra dan Ken Arok mengangkat wajahnya bersama-sama. Mereka saling berpandangan dan di dalam hati mereka terdengarlah sebuah pertanyaan, "Apakah Akuwu belum tahu bahwa anak muda itu telah mati?"
Akuwu memandang kedua orang itu dengan heran. Karena itu maka katanya, "Kenapa?"
"Tuanku," jawab Witantra dengan nada yang rendah, "anak muda bakal suami Ken Dedes yang bernama Wiraprana, putra Buyut Panawijen itu telah meninggal dunia."
"He?" akuwu ternyata terkejut mendengar berita itu, "Jadi anak itu mati?"
Witantra menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Ya, Tuanku. Anak itu mati."
"Jadi Kuda Sempana telah membunuhnya?"
"Ya." "Setan Kuda Sempana itu!" desis Akuwu Tunggul Ametung.
"Tetapi ia sendiri pasti tidak akan berani berbuat begitu Tuanku."
"Oh," Tunggul Ametung menundukkan wajahnya. Perlahan-lahan terdengar ia berkata, "Ya. Aku tahu maksudmu. Bukankah kau ingin mengatakan bahwa kesalahan itu terletak padaku. Bukankah aku telah melindunginya untuk melakukan kejahatan itu."
Witantra dan Ken Arok tidak menyahut. Sesaat mereka berdiam diri, dan dibiarkan Akuwu Tunggul Ametung tenggelam dalam penyesalan.
Kemudian terdengar Akuwu itu berkata, "Witantra dan Ken Arok. Aku maafkan segala kesalahanmu. Aku lupakan katakku dan ancamanku. Meskipun telah terucapkan oleh seorang akuwu untuk menghukum kau Witantra, namun ucapan itu meluncur dalam ketidakwajaran ingatanku."
Witantra dan Ken Arok menundukkan wajahnya dalam-dalam sambil menjawab "Terima kasih Tuanku."
Namun di dalam hati mereka tebersitlah suatu pertanyaan "Bagaimanakah kalau hukuman itu telah terlanjur jatuh atas Witantra?"
"Dan sekarang Witantra, apakah yang harus aku lakukan atas Kuda Sempana?"
Witantra mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Tuanku, semua ini adalah akibat dari kelicikannya, sehingga Akuwu Tunggul Ametung terseret dalam perbuatan tercela. Karena itu, maka hukuman yang diberikan kepadanya adalah hukuman yang harus sesuai dengan perbuatannya. Karena perbuatannya pula maka sebuah jiwa yang melayang, dan sebuah hati telah pecah berkeping-keping. Apakah yang dapat ditemukan kembali dalam hidup seorang gadis seperti Ken Dedes itu?"
"Ya. ya," jawab Tunggul Ametung terbata-bata, "Aku sependapat. Tetapi Witantra. Aku adalah seorang Akuwu. Sudah tentu aku tidak dapat menjilat ludah kembali tanpa alasan. Aku telah menyetujui, bahkan mengantar Kuda Sempana sendiri mengambil gadis itu ke Panawijen. Sekarang, apakah aku dapat menghukum Kuda Sempana karena perbuatannya itu. Bukankah dengan demikian hukuman itu pun pantas jatuh atasku pula?"
Witantra dan Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Kata-kata akuwu itu dapat dimengertinya. Apakah dengan demikian, maka orang akan semakin menjadi kecewa atas perbuatan-perbuatan akuwu yang seakan-akan sama sekali tidak bertanggung jawab. Namun sudah tentu bahwa mereka tidak akan membiarkan Kuda Sempana mengambil Ken Dedes. Sebab dengan demikian mereka akan membiarkan sebuah kebiadaban berlangsung. Bukankah dengan demikian maka Ken Dedes akan menjadi bertambah parah. Dan bukankah Ken Dedes akan kehilangan segala-galanya. Bahkan tubuhnya sendiri seakan-akan tak dimilikinya, karena tubuhnya itu harus diserahkannya kepada Kuda Sempana tanpa kehendaknya.
Ruangan itu menjadi sepi sesaat. Masing-masing mencoba mencari kemungkinan yang sebaik-baiknya ditempuh.
Angin malam di luar istana terdengar gemeresik mengusap dinding dan dedaunan. Di kejauhan terdengar jangkrik memekik-mekik seolah-olah memanggil-manggil. Sekali-kali angin yang kencang menolak daun-daun pintu yang sudah terkatup.
Dalam keheningan itu kemudian terdengar suara Witantra, "Tuanku. Hukuman yang pertama yang harus dijatuhkan kepada Kuda Sempana adalah melepaskan Ken Dedes dari tangannya."
"Ya. ya," sahut Akuwu Tumapel, "Aku sependapat. Tetapi kepada siapa gadis itu harus di serahkan. Ia telah kehilangan seseorang yang akan dapat dijadikannya pegangan buat masa-masa depannya. Bakal suaminya itu telah mati."
"Bukankah ia masih mempunyai ayah dan ibu?" bertanya Ken Arok.
Witantra menggeleng. Katanya, "Dari Mahisa Agni aku pernah mendengar, bahwa gadis itu tidak beribu lagi."
"Oh," sahut Ken Arok, "kalau demikian kepada ayahnya."
"Ayahnya adalah seorang pendeta," berkata Witantra.
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Tiba-tiba terbayanglah kembali wajah gadis itu. Putih pucat dan ketakutan, sehingga tiba-tiba ia menjadi pingsan. Terbayang kembali betapa lekuk-lekuk di wajahnya telah memahatkan sebuah bentuk yang seindah-indahnya yang pernah dilihatnya. Dan betapa ia terpesona oleh cahaya yang seakan-akan memancar dari tubuh gadis itu. Namun cahaya itu sama sekali tidak pernah dapat dipandangnya. Cahaya itu seakan-akan lenyap apabila ia berusaha melihatnya.
Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam. Apakah yang dapat dilakukannya kemudian" Mengembalikan gadis itu" Atau apa"
Tunggul Ametung tiba-tiba menjadi pening. Dan karena itu ia berkata, "Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan. Tetapi gadis itu pasti tidak akan aku serahkan kepada Kuda Sempana."
Namun kemudian perlahan-lahan Akuwu Tumapel itu berkata, "Tetapi apakah alasanku?"
"Tuanku," berbisik Witantra kemudian, "Kuda Sempana mengambil gadis itu dengan kekerasan. Sehingga menuntut penilaiannya, maka kekerasan akan menentukan segalanya atas gadis itu. Karena itu, maka harus terpancang pula di dalam dadanya, bahwa ia harus dapat mempertahankan gadis itu. Itu pula atas kekerasan."
"Maksudmu?" bertanya Tunggul Ametung cepat-cepat.
"Ken Dedes akan aku ambil dengan kekerasan."
"He?" Akuwu itu pun terbelalak, "bagaimana dengan istrimu?"
Witantra tersenyum, "Bukan untuk aku sendiri. Istriku tidak kalah cantiknya dari gadis itu. Tetapi barangkali aku akan dapat membuat alasan lain."
Ken Arok menarik alisnya tinggi-tinggi. Ia belum melihat gadis itu dengan jelas. Ia baru melihat Ken Dedes sepintas, dalam kekisruhan yang tidak menentu. Karena itu ia belum dapat menilai kecantikannya. Namun tak diingkarinya bahwa gadis itu memang cantik sekali.
Dalam pada itu Witantra berkata pula, "Akuwu. Ternyata apa yang terjadi telah menghancurkan hari depan gadis itu. Karena itu maka sebaiknya Akuwu mempertimbangkan, apakah Akuwu dapat berbuat sesuatu yang dapat sedikit menghiburnya buat masa yang akan datang."
Akuwu Tunggul Ametung mengangkat wajahnya. Tiba-tiba nafasnya menjadi berangsur cepat dan keringatnya mengalir dari segenap lubang-lubang kulitnya. Dengan nada yang rendah dan ragu-ragu ia bertanya, "Bagaimana maksudmu Witantra?"
"Maksudku Akuwu, apabila mungkin maka Akuwu akan dapat memberi sedikit hiburan kepada gadis itu. Kalau dikehendaki oleh gadis itu, biarlah Akuwu mengambilnya menjadi menantu. Akuwu dapat memandang salah seorang hamba Akuwu yang dapat Akuwu timbang, sesuai dengan gadis itu. Sudah tentu atas kerelaan Ken Dedes sendiri. Dengan demikian maka apabila Akuwu berhasil, maka sedikit banyak Akuwu akan dapat meringankan penderitaannya meskipun tidak akan dapat ganti seperti yang hilang itu baginya. Dalam hal ini biarlah Ken Dedes memilih sendiri atas orang-orang yang Akuwu tunjukkan kepadanya. Mungkin dengan demikian maka penderitaan hatinya akan dapat diringankan, karena bakal suaminya terbunuh oleh Kuda Sempana itu."
"Kalau demikian Witantra, dalam waktu yang pendek kau masih belum menemukan alasan untuk itu. Untuk mengambilnya dengan kekerasan. Sedang dalam waktu yang singkat Kuda Sempana pasti sudah akan datang mengambilnya. Mungkin besok, lusa atau bahkan nanti malam."
"Bukan soal yang sulit bagi Akuwu. Biarlah Akuwu memerintahkan kepadanya, supaya gadis itu tetap di istana."
Akuwu mengerutkan keningnya. Alasan itu akan dapat dikemukakan. Tetapi harus dicarinya seorang laki-laki yang berkenan d hati Ken Dedes. Baru Witantra akan merebut gadis itu atas namanya.
Akuwu itu menggelengkan kepalanya, "Terlalu lama Witantra. Terlalu lama. Belum pasti nama itu akan disetujui oleh Ken Dedes. Baru setelah mendapat nama yang tepat dan disetujui oleh gadis itu kau berbuat untuknya."
Witantra tidak menjawab. Tetapi ia memandang Ken Arok dengan sudut matanya. Kalau Ken Arok mau menyebut dirinya, bahkan mau berbuat untuk dirinya, maka dalam takaran Witantra maka Ken Arok pun memiliki kemampuan yang dahsyat. Sebab dengan tangannya ia mampu membunuh seorang prajuritnya dalam satu ayuna n.
Ken Arok masih saja menundukkan wajahnya. Ia tidak berani berkata apapun juga, sebab ia pun belum juga beristri. Kalau Akuwu nanti menunjuknya maka akan kisruhlah hatinya. Ia sama sekali belum ingin berumah tangga mengingat keadaan dirinya dan hidupnya yang baru saja dibinanya. Ketika terasa olehnya Witantra dan Akuwu Tunggul Ametung memandanginya, maka Ken Arok segera menunduk dalam-dalam.
Dalam pada itu tiba-tiba Witantra berkata "Akuwu sekarang biarlah aku berbuat untuk siapa saja. Apabila ternyata nanti Ken Dedes tidak bersedia maka biarlah Ken Dedes menentukan nasibnya sendiri, tetapi ia sudah bukan milik Kuda Sempana lagi."
Akuwu Tunggul Ametung menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Sekehendakmulah Witantra. Asal gadis itu dapat kau bebaskan dari Kuda Sempana dengan alasan yang dapat dimengerti oleh beberapa orang yang mengetahui persoalannya, terutama para prajurit yang ikut serta ke Panawijen pada saat Kuda Sempana mengambilnya."
"Baik Tuanku," wajah Witantra itu menjadi merah karena perasaan yang aneh di dalam dadanya. Meskipun gadis itu bukan sanak bukan kadang, tetapi ia merasa bahagia apa bila ia akan dapat melepaskannya dari tangan Kuda Sempana. Ia sudah sedikit mendengar apa saja yang pernah dilakukan Kuda Sempana atas Ken Dedes dari Mahisa Agni, yang dahulu disangkanya Wiraprana. Dalam pada itu Witantra meneruskan, "Mungkin akan dapat meminjam nama Adi Ken Arok. Bukankah Adi masih belum berkeluarga pula?"
"Jangan. Jangan," seperti disengat lebah Ken Arok menolak, "Jangan Kakang."
"Tidak. Adi tidak harus bersungguh-sungguh."
"Aku takut." Witantra memandang Ken Arok itu tajam-tajam. Kenapa ia takut" Tetapi Witantra kemudian tersenyum. Disangkanya Ken Arok takut apabila namanya dihubungkan dengan seorang gadis, dan apabila pada saat yang dekat ia benar-benar harus berumah tangga. Karena itu Witantra menjelaskan, "Adi tidak perlu takut untuk melaksanakannya. Aku hanya akan berkata kepada Kuda Sempana. Atas nama Adi Ken Arok yang juga menginginkan gadis itu, maka aku rebut Ken Dedes dengan kekerasan, seperti pada saat Kuda Sempana mengambilnya. Tetapi kemudian bukankah dapat diumumkan pula, misalnya, karena Ken Dedes tidak bersedia kawin dengan Ken Arok, maka gadis itu dikembalikan ke rumahnya kepada kakak dan ayahnya."
"Jangan. Jangan hubungkan namaku dengan gadis itu."
Sekali lagi Witantra tersenyum. Tetapi ia tidak melihat, apakah sebenarnya yang bergolak di hati Ken Arok. Setiap ia mendengar nama seorang gadis, maka dadanya menjadi berdebar-debar. Ia merasa dikejar-kejar oleh kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Sebagai hantu di padang-padang rumput dan di hutan-hutan. Bahkan di mana saja daerah-daerah yang pernah dijelajahi, maka ia telah berbuat hal-hal yang mengerikan atas gadis-gadis yang ditemuinya. Karena itulah, maka setiap kali ia mengingatnya, maka setiap kali ia menjadi ketakutan. Apalagi ketika ia melihat bagaimana Kuda Sempana melarikan gadis Panawijen itu. Maka hampir kepercayaannya kepada semua orang menjadi pudar. Apa yang dilakukan Kuda Sempana mirip dengan apa yang pernah dilakukan. Namun caranyalah yang berbeda. Cara yang ditempuh adalah cara hantu ladang dan padang.
Penolakan Ken Arok itu ternyata mendorong Akuwu untuk berbuat di luar dugaan. Di luar dugaan Witantra dan di luar dugaan Ken Arok, tiba-tiba saja dalam kegelapan nalar, Akuwu itu berkata, "Baiklah, kalau tak ada nama yang kau pergunakan, pergunakanlah namaku. Akuwu Tunggul Ametung."
Kata-kata Akuwu Tunggul Ametung itu benar-benar mengejutkan Witantra dan Ken Arok. Sehingga dengan serta-merta Witantra berkata, "Jangan Tuanku. Adalah kurang baik apa bila Akuwu sendiri yang akan mengambilnya. Meskipun hanya sekedar untuk menyingkirkan Kuda Sempana. Gadis itu adalah gadis pedesaan, dan kurang sepantasnyalah apabila nama Akuwu dihubungkan dengan namanya."
"Biarlah. Biarlah kau pakai namaku. Aku telah merusakkan masa depan gadis itu. Seandainya dengan demikian namaku menjadi susut, bukankah itu hukuman yang harus aku alami karena perbuatan yang terkutuk itu. Biarlah orang menyangka bahwa Tunggul Ametung telah menculik gadis dari padukuhan Panawijen. Biarlah orang yang tidak melihat dan mengetahui apa yang terjadi menuduhku berbuat demikian. Adalah lebih baik bagiku daripada aku telah melindungi orang untuk menculik seorang tanpa pertimbangan. Kalau orang menyebutkan langsung menculik gadis itu, maka orang akan mengutukku sebagai seorang laki-laki yang tidak berperasaan dan sebagai seorang Akuwu yang sewenang-wenang. Namun adalah menjadi tanggung jawabku pula apabila seseorang berkata, Kuda Sempana telah menculik seorang gadis atas perlindungan Akuwu."
"Adalah lebih baik, apabila aku berbuat sewenang-wenang karena terdorong oleh kebutuhanku sendiri. Kebutuhan hidup seorang Akuwu, daripada aku berbuat hal yang sama, sewenang-wenang untuk melindungi orang-orangku. Dengan menyebut bahwa Ken Dedes telah aku perlukan sendiri, adalah memperkuat alasanku untuk berbuat sewenang-wenang. Adalah lebih mungkin aku lakukan daripada sekedar melindungi Kuda Sempana."
Witantra menggeleng-gelengkan kepalanya. Ternyata Akuwu Tunggul Ametung telah benar-benar kebingungan oleh kejaran penyesalannya. Sehingga karena itu maka Witantra berkata, "Tuanku, alasan itu hanya diberikan kepada Kuda Sempana. Tidak kepada siapa pun juga. Sehingga apa yang terjadi kemudian hanyalah Kuda Sempana yang akan tahu."
"Tidak. Tidak," berkata Akuwu itu lantang, "tidak hanya untuk Kuda Sempana. Besok semua orang Tumapel harus tahu, bahwa Akuwu Tunggul Ametung telah merampas seorang gadis putri seorang pendeta di Panawijen, karena Akuwu jatuh cinta kepada gadis itu. Biarlah semua orang mengutukku, dan biarlah semua orang membenci aku."
"Akuwu," potong Witantra.
"Perintah! Kau dengar?" teriak Akuwu Tunggul Ametung, "Ini perintahku. Apakah kau akan mengingkari perintahku lagi?"
Witantra dan Ken Arok mengusap dadanya. Apabila sudah demikian maka Akuwu telah kehilangan nalarnya yang bening. Sulitlah untuk mencoba memperbincangkan suatu keputusan. Karena itu, maka mereka hanya dapat berdiam diri. Persoalan itu telah bergeser dari maksud Witantra semula. Namun Witantra dapat juga mengerti jalan pikiran Akuwu Tunggul Ametung. Akuwu akan mengangkat persoalan itu dengan menengadahkan dadanya, meskipun dengan demikian telah dikorbankan namanya. Bukankah Akuwu dapat mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa Kuda Sempana telah menipunya dan memberikan laporan palsu" Tetapi rupa-rupanya Akuwu benar-benar telah disiksa oleh penyesalan yang tak berhingga, sehingga dengan demikian ia bermaksud menghukum diri sendiri.
Dalam pada itu Akuwu itu berkata pula, kali ini perlahan-lahan, "Witantra, pergilah kepada Kuda Sempana. Katakan kepadanya, bahwa Ken Dedes dikehendaki sendiri oleh Akuwu Tunggul Ametung. Kalau ia tidak rela, berbuatlah atas namaku. Kali ini aku tidak akan mempergunakan kekuasaan. Tetapi aku minta kepadamu sebagai seorang sahabat untuk mewakili aku. Kalau Kuda Sempana menghendaki, biarlah kau mengadakan sayembara tanding dengannya. Kalau kau tidak bersedia, aku tidak memaksa. Ini bukan perintah seorang Akuwu. Sudah aku katakan, aku tidak akan mempergunakan kekuasaan. Kalau tak ada seorang pun yang akan mewakili Tunggul Ametung, biarlah Tunggul Ametung sendiri yang maju ke arena."
"Jangan Tuanku. Jangan Tuanku sendiri. Biarlah hamba yang melakukannya. Tidak perlu di muka umum. Dapat hamba lakukan di tempat tertutup. Kecuali Kuda Sempana menghendaki."
"Terima kasih. Nah, pergilah. Sampaikan maksud itu kepada Kuda Sempana."
"Hamba Tuanku."
Kemudian perintahnya kepada Ken Arok, "Arok, kau pergi bersama Witantra. Kau pun harus berusaha supaya semua orang Tumapel mendengar, bahwa Akuwu Tunggul Ametung telah menculik seorang gadis untuk permaisurinya."
"Hamba Tuanku," sahut Ken Arok.
"Nah sebelum pergi, panggilkan Daksina."
Ken Arok heran mendengar perintah itu. Apakah hubungannya peristiwa ini dengan Daksina. Anak-anak yang belum genap berumur lima belas tahun itu.
Ketika Ken Arok masih memandanginya saja dengan heran, maka Akuwu itu pun membentak, "Panggil Daksina! Kau dengar?"
"Ya, ya Tuanku," sembah Ken Arok. Namun kepalanya menjadi pening memikirkan tingkah laku Akuwu itu. Setelah bergeser beberapa langkah, maka Ken Arok pun kemudian sambil berjongkok meninggalkan ruangan itu dan turun lewat tangga samping memanggil seorang anak muda yang bernama Daksina
Daksina, seorang anak dari seorang pelayan istana, seorang juru dang, terkejut mendengar panggilan Akuwu di malam hari itu. Karena itu ia menjadi pucat, dan dengan terbata-bata bertanya, "Apakah yang akan diperintahkan kepadaku, Paman?"
Ken Arok menggelengkan kepalanya, "Entahlah."
Dengan tergesa-gesa Daksina pergi menghadap Tunggul Ametung. Matanya masih merah karena kantuknya. Sekali ia menguap, dan kemudian dengan wajah yang pucat ia merayapi tangga ruang dalam.
"Daksina," panggil Tunggul Ametung, "ambil rontal Kakawin Arjuna Wiwaha. Bacakan rontal untukku malam ini. Aku jemu memikirkan semua persoalan yang memusingkan kepalaku."
Anak itu menarik nafas panjang. "Oh," katanya di dalam hatinya, "hampir aku pingsan dibuatnya."
Daksina itu pun segara mengundurkan dirinya dengan tergesa-gesa. Sekali-sekali ia masih menguap dan mengumpat di dalam hati. Malam-malam begini Akuwu ingin mendengarkan aku membaca rontal. Bukan main. Kenapa tidak sejak sore tadi atau besok malam.
Tetapi anak itu tidak berani membantah. Langsung pergi ke ruang penyimpanan rontal. Dari berbagai-bagai rontal yang bersusun dalam sebuah rak-rakan, Daksina mencari rontal yang dikehendaki oleh Akuwu Tunggul Ametung.
Ketika ia keluar dari ruang itu, pelayan dalam yang melihatnya menyapa, "He, Daksina, apa kerjamu malam-malam di sini?"
"Tuanku Akuwu Tunggul Ametung inginkan aku membaca untuknya malam ini."
"Malam sudah terlampau jauh."
"Ya." "Kenapa Akuwu minta kau membaca rontal itu?"
"Tidak tahu." "He" Jangan main-main. Kenapa?"
Daksina berhenti. Lalu memandangi wajah pelayan dalam itu dengan heran. Katanya, "Kenapa kau bertanya kepadaku" Bertanyalah kepada Akuwu, kenapa malam-malam begini Akuwu minta aku membaca rontal. Kalau Akuwu mengurungkan niatnya, aku akan berterima kasih kepadamu. Besok ransumku boleh kau ambil.
"Hus, jangan gila, anak mabuk. Kau kira kau dapat menipu aku" Ayo kembalikan rontal itu."
"Baik," sahut Daksina, lalu Daksina itu pun memutar tubuhnya dan melangkah kembali ke ruang penyimpanan rontal, sambil bergumam, "Rontal ini akan aku kembalikan. Besok ransumku boleh kau ambil, sebab aku besok sudah digantung di alun-alun karena aku tidak mematuhi perintah Akuwu malam ini."
"Persetan! Jangan menggerutu!"
"Tidak. Besok aku sudah tidak dapat menggerutu lagi, dan kau tidak akan dapat membentak-bentak lagi. Sebab kau pun akan dipancung di tengah-tengah pasar."
"Kenapa?" "Karena kau menghalangi aku mematuhi perintah Akuwu."
"He" Jadi benar, Akuwu memerintahkan kau mengambil rontal itu?"
"Kau sangka aku berbohong?"
"Jadi bukan karena kau sendiri yang ingin membaca?"
"Sudah aku katakan."
"Oh, anak gila. Kenapa kau tidak membantah" Malahan kau akan mengembalikan rontal itu."
"Aku atau kau yang gila. Kau tidak mau mendengar aku menjelaskan. Kau ingin aku mematuhi perintahmu."
"Pergi! Pergi! Bawa rontal itu kepada Akuwu. cepat sebelum kau digantung."
"Tidak mau!" "Kenapa?" "Aku takut kepadamu."
"Gila!" "Kau yang gila."
"Ayo pergi! Cepat! Bawa rontal itu!" bentak pelayan dalam itu sambil mengacungkan tombaknya, "Atau aku lubangi perutmu?"
"Supaya ransumku dapat kau ambil besok?"
"Tutup mulutmu! Ayo pergi! Kenapa kau mengigau tentang ransum saja sejak tadi. Apakah kau sekarang sedang lapar?"
Tiba-tiba Daksina mengangguk. "Ya. Aku lapar."
"Setan kecil! Pergi ke garduku. Aku mempunyai sepotong jenang alot."
Daksina betul pergi ke gardu pelayan dalam itu, dan dimakannya sepotong jenang alot. Namun dengan demikian ia sudah tidak terkantuk-kantuk lagi. Kini matanya telah terbuka lebar-lebar setelah ia mengganggu pelayan dalam itu. Apalagi setelah mulutnya mengunyah sepotong jenang alot, maka Daksina benar-benar sudah tidak mengantuk lagi. Setelah minum semangkuk air jahe, maka segara ia berjalan cepat-cepat ke bilik Akuwu Tunggul Ametung.
Dalam pada itu Witantra dan Ken Arok pun segera minta diri. Witantra mengharap Akuwu Tunggul Ametung memberinya wewenang dan wewenang itu telah benar-benar diberikannya. Meskipun demikian maka Witantra berkata, "Akuwu. Hamba akan mencoba untuk berbuat sebaik-baiknya. Namun Kuda Sempana bukanlah anak-anak lagi. Ia mampu membunuh Wiraprana dalam perkelahian itu di hadapan Akuwu, sehingga ia dapat membebaskan dirinya dari segenap tuntutan. Namun apabila aku tidak berhasil, aku minta maaf sebesar-besarnya."
"Jangan cemas. Aku mengharap kau berhasil."
Witantra dan Ken Arok pun segera mohon diri meninggalkan ruangan itu, dan Akuwu Tunggul Ametung pun segera masuk kembali ke dalam biliknya. Setelah sesaat ia terbaring, maka ia mendengar langkah di muka biliknya.
Jilid 10 DAKSINA BERJALAN PERLAHAN-LAHAN MENDEKATI pintu. Ruangan itu telah kosong. Kedua orang yang menghadap akuwu telah pergi.
"He, siapa itu?" teriak akuwu dari dalam biliknya.
"Hamba Tuanku, Daksina."
"Kenapa kau pergi terlalu lama?"
"Hamba masih harus mencari lontar yang Tuanku kehendaki."
"Bukankah kau juga yang dahulu menyimpannya, he?"
"Hamba Akuwu." "Kenapa terlalu lama?"
"Hamba, hamba lupa di deretan yang mana hamba dahulu meletakkan Tuanku," sahut Daksina tergagap.
"Sekarang kau mau apa?"
"Hamba akan membaca."
"Pergi! Pergi! Aku tidak mau mendengar kau membaca di malam begini. Apakah kau sangka besok sudah tidak ada waktu" Dan apakah sengaja kau cari berlama-lama sehingga aku mengantuk dan menjadi jemu menunggu?"
"Tidak Tuanku. Tidak. Perintah Tuanku pun telah terlalu malam."
"Apa. Kau menyalahkan aku?"


01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan Tuanku. Bukan maksud hamba."
"Sekarang kau pergi. Pergi!"
Daksina menjadi ketakutan. Tersuruk-suruk ia berjalan cepat-cepat menjauhi bilik Tunggul Ametung sambil bersungut-sungut akuwu benar-benar aneh. Tetapi kemudian ia menyesal karena ia terlalu lama pergi mengambil lontar itu. "Pelayan dalam itu benar-benar gila, ia memberi aku jenang alot, sehingga aku menjadi terlalu lama," gumamnya sambil berjalan ke biliknya sendiri. Beberapa orang pelayan yang sedang bertugas memandanginya dengan malas sambil sekali-sekali menguap. Apa saja yang dilakukan anak itu malam-malam begini.
Tetapi tiba-tiba anak itu terkejut ketika lengannya ditangkap oleh sebuah tangan yang kuat. Ketika ia berpaling di lihatnya pelayan dalam yang tadi mencegahnya di muka bilik penyimpanan lontar.
"He. Mau ke mana kau?"
"Tidur." "Jadi kau benar-benar berbohong ya?"
"Kenapa?" "Akuwu tidak memerintahkanmu membaca lontar itu."
" Oh," Daksina menjadi tergagap. Namun ia berhasil juga menjelaskan, "Aku sudah mulai membaca. Tetapi karena jenang alotmu itu maka suaraku menjadi serak tidak seperti biasanya, sehingga akuwu marah, dari aku diusirnya. Nah, sekarang kau harus menebus kesalahanmu itu. Kalau aku tidak makan jenang alotmu, maka aku tidak akan mendapat marah."
"Anak setan! Bukankah itu salahmu sendiri?"
"Besok ransum pagimu harus kau berikan kepadaku. Kalau tidak, maka aku akan menyampaikan kepada Akuwu, bahwa kau menyimpan makanan di gardumu."
"Apa salahnya" Tidak ada larangan berbuat demikian.
"Tetapi karena makananmu itu suaraku menjadi parau."
"Pergi! Pergi, jangan mengigau!" bentak pelayan dalam itu sambil mendorong Daksina pergi.
Suasana halaman istana itu menjadi sepi. Tiga orang perempuan duduk diam di samping regol halaman dalam. Dalam keremangan cahaya obor di kejauhan, mereka tampaknya seperti bayang-bayang hitam yang duduk mematung.
Dengan gelisah mereka menunggu. Bahkan hampir tidak sabar salah seorang berkata, "Bibi emban. Tolong tengoklah ke ruang dalam apakah Kakang Witantra masih berada di sana?"
"Masih Ngger. Masih. Baru saja aku melihat mereka turun dari ruangan itu. Tetapi mereka tidak segera berjalan keluar."
"Ke mana mereka itu?"
"Mungkin Anakmas Witantra perlu melihat-lihat beberapa buah gardu penjagaan. Penjagaan di halaman belakang yang dilakukan oleh para prajurit pengawal.
Orang yang bertanya itu, yang tidak lain adalah Nyai Witantra menarik nafas panjang. Ingin ia berlari masuk ke dalam istana, namun ia menjadi ragu-ragu.
Untuk melepaskan kejemuannya, maka ia bertanya, "Bibi emban. Apakah kau melihat Akuwu membawa seorang gadis dari pedesaan?"
Emban itu mengerutkan keningnya Kemudian jawabnya ragu-ragu, "Aku kira demikian Nyai. Apakah ada hubungannya dengan Anakmas Witantra?"
Perempuan yang lain, yang sejak semula selalu berdiam diri mendengarkan percakapan mereka tersentak mendengar jawaban itu, dan tiba-tiba bertanya, "Apakah gadis itu berada di dalam istana ini pula?"
Kembali emban itu menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu, dari mana dan kenapa akuwu membawa gadis itu. Sehingga karena itu maka jawabnya, "Entahlah. Aku tidak tahu."
Pemomong Ken Dedes menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat mendesaknya lagi. Sehingga kembali mereka berdiam diri. Duduk mematung dalam kegelisahan hati masing-masing.
Mereka tersentak ketika tiba-tiba mereka melihat dua sosok tubuh yang berjalan ke arah mereka. Ketika mereka sudah dapat melihat dengan jelas, maka berbisiklah emban itu, "Nah. Itulah. Baiklah aku meninggalkan kalian di sini."
"Tunggu!" cegah Nyai Witantra.
"Apa yang harus aku tunggu?"
Nyai Witantra tidak menjawab. Tetapi ujung kain emban itu dipeganginya, sehingga emban itu tidak dapat meninggalkannya.
Witantra pun terkejut melihat tiga orang perempuan duduk di samping regol. Ia menjadi semakin terkejut lagi ketika diketahuinya bahwa salah seorang dari mereka adalah istrinya.
"He. Kaukah itu Nyai?"
"Ya Kakang ," jawab Nyai Witantra.
"Apakah kerjamu di sini?"
Nyai Witantra menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia tidak tahu benar apa yang sudah terjadi, namun kini ia melihat suaminya berjalan berdua dengan Ken Arok tanpa pengawalan. Menurut tangkapan perasaannya, maka suaminya tidak sedang dalam kesulitan-kesulitan. Namun meskipun demikian ia menjawab, "Aku mencemaskan kau Kakang. Aku ingin tahu, apakah yang terjadi denganmu dan Adi Ken Arok."
"Oh," Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia tersenyum "Marilah pulang Nyai.
"Tetapi bagaimana dengan Kakang dan Adi Ken Arok
"Tidak apa-apa. Marilah pulang. Biarlah aku nanti bercerita tentang diriku, tentang Adi Ken Arok dan tentang yang lain-lain.
Nyai Witantra sekali lagi menarik nafas lega. Katanya, "Syukurlah kalau tidak ada apa-apa dengan Kakang dan Adi Ken Arok."
"Nah. Marilah kita pulang," ajak Witantra.
"Tetapi," suara Nyai Witantra terputus. Di palingkannya wajahnya dan ditatapnya wajah pemomong Ken Dedes yang menjadi semakin gelisah.
"Tetapi?" ulang Witantra,"Adakah soal lain yang akan kau kerjakan pula?"
"Bukan aku Kakang, tetapi Bibi ini."
"Oh, apakah yang akan dilakukan?"
"Ia mencari momongannya Ken Dedes. Apakah gadis itu berada di dalam istana ini?"
Witantra diam sejenak. Ia tahu benar bahwa Ken Dedes berada di dalam istana. Tetapi ia tidak tahu, apakah ke hadiran pemomongnya itu akan berkenan di hati akuwu. Karena itu maka katanya berterus terang, "Ya. Gadis itu berada di dalam istana. Tetapi aku tidak tahu, apakah dengan demikian, maka akuwu akan mengizinkan orang lain masuk ke dalamnya. Karena itu, baiklah besok aku bawa Bibi itu menghadap.
Pemomong Ken Dedes menjadi tidak bersabar menunggu hari esok. Namun ia tidak dapat memaksa. Ia tidak mau kehilangan kesempatan. Apabila akuwu menjadi marah dan kecewa, maka kesempatan baginya akan tertutup rapat-rapat. Karena itu, ia tidak membantah. Namun dengan demikian, pemomong Ken Dedes itu menjadi sedikit tenang. Ia kini sudah tahu, di mana momongannya berada.
Kemudian Witantra dan istrinya beserta pemomong Ken Dedes itu pun kembali ke rumahnya. Kepada emban yang mengawani Nyai Witantra menunggu suaminya, Witantra berpesan
"Emban. Kalau kau dapat masuk ke sentong tengen, sampaikanlah kepada gadis itu, bahwa pemomongnya telah berada di Tumapel. Besuk ia akan dapat bertemu. Mudah-mudahan dengan demikian ia menjadi agak tenang.
Emban itu mengangguk hormat.
Malam telah menjadi semakin larut. Bintang-bintang di langit bergayutan pada dataran yang biru pekat. Satu-satu tampak bintang-bintang yang seakan-akan lepas dari tangkainya, meluncur jauh ke arah barat dan hilang meresap di dalam kelam.
Malam itu Witantra menceritakan segala yang diketahuinya dengan berterus terang. Dari yang paling awal, hingga yang paling akhir.
Nyai Witantra mengangkat wajahnya memandang asap pelita yang menggapai-gapai kepanasan. Ditahankannya perasaan yang bergolak di dalam dirinya. Meskipun suaminya terlepas dari segenap hukuman, namun ia akan menghadapi pekerjaan yang berbahaya Witantra telah pula menceritakan, bahwa ia harus memisahkan Kuda Sempana dari gadis itu dengan cara yang sudah ditempuh oleh Kuda Sempana sendiri. Kekerasan.
Persoalan itu akan menjadi persoalan yang aneh sekali. Persoalan yang tidak lazim terjadi di antara manusia-manusia yang menghargai kemanusiaannya. Persoalan yang seakan-akan dapat dipecahkan dengan kekerasan oleh satu pihak tanpa menghiraukan pihak yang berkepentingan. Dalam persoalan yang sulit itu, Ken Dedes sendiri tidak dapat turut menentukan sikapnya.
Tetapi suaminya akan merebut gadis itu bukan karena nafsu seperti apa yang dilakukan oleh Kuda Sempana. Bahkan sebaliknya. Ia ingin melepaskan gadis itu dari penderitaan yang akan dialaminya sepanjang hidupnya. Meskipun Witantra pada suatu saat akan bertempur, namun kini ia akan melakukannya dengan hati yang terang, untuk tujuan yang terang pula. Sehingga meskipun Nyai Witantra tidak dapat menekan kecemasan hatinya, tetapi suaminya berbuat di atas lindasan yang kuat. Sebagai seorang prajurit maka adalah menjadi kewajiban Witantra untuk melepaskan perbuatan-perbuatan yang dapat membahayakan jiwanya. Bertempur. Namun bukanlah untuk melakukan perbuatan sewenang-wenang. Tetapi sebaliknya.
Dan kini Witantra itu telah dihadapkan pada kemungkinan itu. Perang tanding, melawan Kuda Sempana.
Ken Arok malam itu tidak ikut kembali ke rumah Witantra. Anak muda itu langsung kembali ke baraknya sendiri. Di perjalanan itu kepalanya selalu dipenuhi oleh berbagai persoalan yang bercampur baur. Heran, kecewa, ngeri dan cemas. Seakan-akan terbayang kembali di muka wajahnya, apa yang pernah dilakukannya dan disusul kemudian oleh apa yang telah dilakukan oleh Kuda Sempana dan Tunggul Ametung. Apapun yang akan dilakukan oleh Tunggul Ametung, namun Ken Dedes itu hatinya telah terluka. Dan luka itu amat parahnya. Tak mungkin seseorang akan dapat menyembuhkan luka itu, bahkan seandainya Ken Dedes itu dijadikannya permaisuri sekalipun.
"Kasihan gadis itu," desisnya di dalam hati, dan diteruskannya, "untunglah Witantra bersedia untuk melepaskannya. Setidak-tidaknya akan mengurangi penderitaan yang akan dialaminya."
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. "Kasihan," desahnya berulang-ulang. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia sendiri takut melibatkan dirinya dalam persoalan itu. Ia takut apabila ia benar-benar harus mengalami akibat dari persoalan-persoalan itu. Bukan takut seandainya ia harus bertempur melawan siapa pun, tetapi ia takut apabila ia harus menjadi pengganti orang yang telah hilang dari hati Ken Dedes. "Aku adalah orang yang paling kotor di dunia ini," gumamnya, "Lebih kotor dari Kuda Sempana. Mungkin Kuda Sempana baru melakukan hal ini untuk pertama kalinya, sedang aku telah melakukannya berulang-ulang. Meskipun ada beberapa perbedaan, namun pada hakikatnya adalah sama saja."
Ken Arok itu terkejut, ketika tiba-tiba seseorang meloncat ke tengah-tengah jalan yang dilewatinya. Dengan isyarat tangannya orang itu menghentikannya.
Ken Arok menarik kekang kudanya yang memang berjalan perlahan-lahan. Ketika diamatinya orang itu maka kemudian diketahuinya, bahwa orang itu adalah Kuda Sempana.
"Adi Ken Arokkah itu?"
"Ya," sahut Ken Arok pendek.
"Kau datang dari istana bersama Witantra?"
"Ya." Kuda Sempana berjalan perlahan-lahan mendekati Ken Arok yang masih duduk di punggung kudanya. Dengan suara parau Kuda Sempana bertanya, "Apa kerjamu di istana?"
Ken Arok mengerutkan keningnya Kemudian jawabnya, "Dari mana kau tahu aku dari istana?"
"Kau sendiri mengatakannya."
"Aku menjawab pertanyaanmu."
"Beberapa orang melihat kau masuk ke istana. Beberapa orang pelayan dalam dan para emban. Aku telah datang ke istana. Namun kalian baru menghadap akuwu, sehingga aku membatalkan niatku."
"Oh. Jadi kau sudah tahu."
Kuda Sempana mengangkat alisnya. Dengan tajamnya ia mencoba melihat wajah Ken Arok dalam kegelapan malam. Namun Kuda Sempana tidak menemukan kesan apa-apa pada wajah itu.
"Apa yang kalian bicarakan?" bertanya Kuda Sempana kemudian.
"Bukan apa-apa."
"Mustahil! Akuwu memanggil kalian pada saat-saat yang tidak sewajarnya. Pasti ada yang penting kalian bicarakan dengan Akuwu Tunggul Ametung."
"Ya." "Apa?" "Akuwu marah kepada Kakang Witantra dan kepadaku atas sikap kami berdua."
"Hanya marah?" Ken Arok mengerutkan keningnya. Kemudian dijawabnya, "Ya. Hanya marah. Apakah kau ingin tindakan lebih dari itu?"
"Telah terucapkan oleh Akuwu Tunggul Ametung, bahwa Witantra akan digantung di alun-alun. Apakah ucapan itu telah dicabut?"
"Ya." "Akh. Gila! Dengan demikian maka setiap keputusan akan dapat dicabut tanpa alasan. itu tidak bijaksana. Seorang Akuwu harus tetap pada pendiriannya. Sekali ia menjatuhkan keputusan, maka keputusan itu harus dilaksanakan."
Ken Arok tidak menjawab. Ia sudah sedemikian lelahnya, sehingga segera ia ingin kembali ke biliknya, menjatuhkan diri dan kalau mungkin tidur. Karena itu dibiarkannya Kuda Sempana melepaskan perasaannya, tanpa diganggunya.
Namun Kuda Sempana menjadi jengkel karenanya. Seakan-akan Ken Arok itu telah tidak mengacuhkannya. Karena itu maka ia berkata lebih keras, "He, Adi Ken Arok. Bukankah aku berkata sebenarnya. Bukankah Akuwu harus menepati keputusannya menghukum Witantra di alun-alun?"
"Itu terserah kepada Akuwu," sahut Ken Arok yang menjadi semakin jemu mendengar kata-kata Kuda Sempana.
"Tetapi adalah tidak bijaksana dan menurunkan kewibawaannya apabila seorang Akuwu mencabut keputusan tanpa alasan. Akuwu sudah mengucapkan perintah untuk menggantung Witantra karena menentang perintah Akuwu dalam saat yang sulit. itu adalah suatu pemberontakan. Dan hukuman bagi seorang pemberontak adalah hukum gantung di alun-alun. Kenapa tiba-tiba Akuwu mengubah keputusan itu, hanya dengan memarahinya. itu tidak Adil! itu tidak Adil!"
Ken Arok masih duduk terkantuk-kantuk di atas punggung kudanya. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan Kuda Sempana. Ia tidak mau menyinggung perasaannya. Tetapi kata-katanya semakin lama semakin menjemukan, sehingga kemudian dengan suara parau ia menjawab, "Kakang. Sebaiknya pertanyaan itu Kakang sampaikan saja kepada Akuwu. Tidak kepadaku."
Kuda Sempana memandang Ken Arok seperti hendak di telannya bulat-bulat. Dengan wajah tegang ia berkata, "He, Adi Ken Arok. Apakah sebenarnya yang telah kalian bicarakan sehingga akuwu membatalkan hukumannya?"
"Itulah. Akuwu marah kepada kami. Dan tanpa kami duga- duga, Akuwu telah membatalkan hukumannya."
"Bohong!" bentak Kuda Sempana, "kalian mesti membuat rencana- rencana yang lain, yang memberikan kemungkinan- kemungkinan untuk melepaskan kalian dari hukuman."
"Ken Arok mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Pelupuk matanya hampir-hampir tak dapat lagi ditariknya. Sekali ia menguap, dan telapak tangannya menutup mulutnya yang terbuka itu. Dengan malasnya ia menjawab, "Kakang. Bertanyalah kepada Kakang Witantra. Hari ini telah terlampau malam untuk berbicara. Biarlah aku beristirahat. Bukankah sebentar lagi kami sudah di bangunkan oleh kokok ayam. Marilah kita pergunakan kesempatan yang tinggal sesaat ini sebaik-baiknya."
"Aku juga belum beristirahat. Tetapi aku tidak lelah. Aku tidak mengantuk. Dan aku akan berbicara sampai aku mendapat penjelasan yang memuaskan."
"Silakan Kakang. Kalau Kakang tidak mengantuk, kalau Kakang tidak lelah, dan kalau Kakang mau bangun sampai fajar, silakan. Tetapi aku lelah dan mengantuk. Aku ingin beristirahat."
"Tidak. Sebelum kau menjelaskan apa yang telah kalian bicarakan."
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Di langit dilihatnya bintang berhamburan. Sekali-kali kelelawar terbang di atas kepalanya. Kelelawar yang sedang mencari mangsanya. Ketika dilihatnya beberapa kelelawar yang beterbangan itu. Ken Arok tersenyum di dalam hati. Ia sendiri tidak tahu, kenapa pendeta di Sagenggeng pernah berkata kepadanya, bahwa dari kepalanya telah keluar berbondong-bondong kelelawar yang merusak buah jambunya.
"Lucu," gumam Ken Arek di dalam hatinya, "apakah kepalaku ini sarang kelelawar?"
Namun Ken Arok terkejut ketika Kuda Sempana membentaknya, "He, Adi. Kenapa kau berdiam diri?"
"Ah," desah Ken Arok, "aku benar-benar mengantuk."
"Jawab pertanyaanku ini! Kenapa akuwu membatalkan hukumannya kepada Witantra?"
"Hanya Akuwulah yang dapat menjawab. Bertanyalah kepada Akuwu. Jangan kepadaku."
Kuda Sempana menjadi marah mendengar jawaban Ken Arok itu. Karena itu ia melangkah semakin dekat. Dengan dada tengadah ia berkata, "Adi. Kau adalah seorang hamba yang belum lama berada di lingkungan istana. Sedang aku, dapatlah dikatakan sejak bayi aku berada di sini. Karena itu jangan mencoba menghina aku."
Ken Arok mengerutkan keningnya. Dengan serta-merta ia menjawab, "Tidak Kakang. Aku sama sekali tidak menghina. Aku berkata sebenarnya. Karena itu biarkan aku pergi supaya Kakang tidak tersinggung melihat sikapku. Sebenarnyalah karena aku tidak dapat mencegah kantukku."
Tetapi jawaban Ken Arok itu benar-benar tidak menyenangkan Kuda Sempana, karena itu ia berkata pula, "Adi. Sekarang turunlah dari kudamu. Beri aku penjelasan. Semakin cepat itu kau lakukan, maka semakin cepat kau dapat beristirahat.
Ken Arok memandang Kuda Sempana dengan penuh keragu-raguan. Tetapi bukan kewajibannyalah untuk memberitahukan persoalan yang terjadi di istana. Biarlah besok atau kapan saja Witantra yang menemui Kuda Sempana dan mengatakan persoalan itu. Bukan dirinya, sebab ia tidak mau terlibat semakin jauh.
Karena itulah maka ia menjawab, "Kakang Kuda Sempana. Sekali lagi aku beri tahukan, bertanyalah kepada Akuwu Tumapel atau kepada Kakang Witantra."
"Jangan keras kepala!" bentak Kuda Sempana semakin marah.
Namun Ken Arok pun menjawab tegas, "Jangan memaksa!"
Selangkah Kuda Sempana maju mendekati Ken Arok sambil berkata, "Turunlah! Jangan membuat aku marah!"
"Kau yang membuat aku marah," sahut Ken Arok, "sebab bukan hanya Kuda Sempana saja yang dapat menjadi marah."
Kuda Sempana mengerutkan keningnya, namun hatinya menjadi semakin menyala. Dengan gigi gemeretak ia berkata, "Adi Ken Arok. Apakah kau membanggakan tanganmu yang mampu membunuh seorang prajurit dengan tangan itu" jangan sombong karenanya. Kau lihat, aku juga mampu membunuh Wiraprana dengan tanganku. Kau lihat dengan kedua belah matamu yang bulat itu bukan" Nah, sekarang katakan kepadaku, apa yang kalian bicarakan dengan Akuwu, atau aku terpaksa memaksamu?"
Tubuh Ken Arok tiba-tiba menjadi gemetar. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Kuda Sempana dapat berlaku sekasar itu. Tetapi ia sendiri adalah bekas seorang penyamun, pembunuh, perampok dan bahkan seorang hantu di padang rumput Karautan. Kini ia telah mendapat tuntunan yang dapat mengatur segala gerak dan tingkah lakunya, sehingga kekuatan-kekuatan yang dianugerahkan kepadanya, telah dapat disusunnya menjadi suatu kekuatan yang dahsyat. Karena itu, maka ia sama sekali tidak takut menghadapi Kuda Sempana seandainya terpaksa ia harus berkelahi. Tetapi kembali ia menjadi ragu-ragu. Ketika ia hampir saja meloncat dari punggung kudanya, maka diingatnya kembali kata-kata Akuwu Tumapel kepada Witantra, bahwa ia harus merebut Ken Dedes dengan kekerasan. Bukan untuk dirinya atau untuk Witantra, namun perbuatan itu dilakukan asal saja dapat membebaskan Ken Dedes dari Kuda Sempana. Karena itu, maka kali ini Ken Arok menjadi bimbang. Kalau sampai dirinya terlibat dalam perkelahian dengan Kuda Sempana, maka apa yang akan di lakukan oleh Witantra akan menjadi hambar. Mungkin Witantra dan Akuwu Tunggul Ametung akan marah kepadanya. Karena itu, maka biarlah Witantra kelak berhadapan dengan Kuda Sempana dalam persoalan itu. Ia tidak akan mendahului.
Dengan demikian, ketika Ken Arok itu melihat Kuda Sempana selangkah lagi maju. maka dengan serta-merta ditariknya kendali kudanya dan dengan ujung kendali dilecutnya kuda itu.
Kuda itu terkejut bukan kepalang. Dengan kerasnya kuda itu meringkik sambil mengangkat kedua kaki depannya. Namun sejenak kemudian kuda itu meloncat dan menghambur ke dalam kelamnya malam.
Kuda Sempana pun terkejut melihat kuda itu meloncat. Dengan tangkasnya ia meloncat ke samping dan dengan marahnya ia melihat kuda itu berlari menjauhinya.
"Pengecut!" umpatnya, "aku sangka kau seorang jantan."
Dari kejauhan Ken Arok menjawab, "Aku menghindar kali ini Kakang. Kalau kau tidak puas, buatlah persoalan yang lain pada kesempatan yang lain. Aku akan mencoba melayani."
"Setan! Berhenti kalau kau laki-laki!"
Tetapi Ken Arok telah semakin jauh. Derap kudanya gemeretak di atas batu-batu di jalanan. Semakin lama semakin lambat dan akhirnya lenyap dalam keheningan malam.
"Pengecut!" gumamnya.
Kuda Sempana itu terkejut ketika ia mendengar gerit pintu di belakangnya. Agaknya penghuninya mencoba melihat apa yang terjadi di jalan. Ketika ia mendengar suara ribut-ribut, ia mencoba mengintip dari lubang-lubang dinding, namun ketika ia tidak melihat apa-apa, maka terpaksa dibukanya pintu rumahnya. Seberkas sinar pelita yang lemah meluncur dari secercah pintu yang terbuka itu. Namun hanya sebentar, kemudian pintu itu telah tertutup kembali.
Kuda Sempana mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Kemudian dengan tergesa-gesa ia berjalan ke barak Ken Arok. Ia tidak puas dengan pertemuan yang menyakitkan hati itu. Anak itu akan dicarinya dan dipaksanya untuk berkata. Tetapi kemudian ia menjadi ragu-ragu. Ken Arok berhasil melawan Mahisa Agni dengan baik. Bahkan belum dapat dilihat apakah ia akan dikalahkan. Kuda Sempana melihat bahwa dalam perkelahian itu, Mahisa Agni itu telah berusaha melepaskan kekuatan tertinggi yang disimpan dalam dirinya. Ah, mungkin Mahisa Agni menjadi bingung menghadapi persoalan itu. Kalau ia masih senang, maka aku sangka Ken Arok itu akan dengan mudah dikalahkan. Kalau ia berani melawan aku, maka aku kira ia akan luluh menjadi debu, apabila tersentuh kekuatan aji Kala Bama.
Kuda Sempana itu pun semakin mempercepat langkahnya. ia hampir tidak sabar lagi ketika tampak olehnya barak Ken Arok yang membujur di belakang sebuah halaman yang luas.
Seorang penjaga yang bertugas di pintu gerbang tiba-tiba merundukkan tombaknya sambil bertanya, "Siapa?"
"Minggir! Aku pecahkan kepalamu nanti," sahut Kuda Sempana kasar.
"Oh. Kau Kakang Kuda Sempana?"
"Apakah Ken Arok sudah pulang?"
Penjaga itu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Belum Kakang."
"Jangan bohong. Kau mau mencoba melindunginya?"
Penjaga itu menjadi bingung. Ia tidak tahu persoalan apakah yang sudah terjadi. Karena itu sekali lagi ia menjawab, "Belum. Aku tahu pasti, Ken Arok belum kembali ke barak."
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Ken Arok yang mendahuluinya berkuda itu pasti sudah sampai di sini. Karena itu ia menjadi jengkel mendengar jawaban itu. Sehingga sekali lagi ia membentak, "Jangan bohong! Atau kau tertidur dalam tugasmu?"
"Tidak," jawab penjaga itu.
"Apa yang tidak?"
"Tidak bohong dan tidak tertidur."
"Kalau begitu kau sengaja melindunginya. Minggir! Biarlah aku cari sendiri anak itu di dalam biliknya."
Penjaga itu sudah kenal betul siapakah Kuda Sempana. Ia adalah anggota yang lebih tua daripadanya. Karena itu maka dibiarkannya Kuda Sempana itu masuk.
Dengan langkah yang panjang-panjang Kuda Sempana langsung menuju ke bilik Ken Arok. Dengan serta-merta ditariknya daun pintu leregan yang terkatup.
Ketika pintu itu bergerit, maka terkejutlah tiga orang penghuni bilik itu. Dengan tangkasnya mereka berloncatan dari pembaringan mereka. Tetapi ketika mereka melihat Kuda Sempana berdiri di muka pintu, maka terdengarlah mereka berdesah dan mengumpat di dalam hati mereka.
"Kau mengejutkan kami Kakang," berkata salah seorang daripadanya.
Kuda Sempana sama sekali tak acuh mendengar perkataan itu. Dengan nanar ditebarkannya pandangan matanya ke segenap sudut ruang itu. Namun Ken Arok benar tidak ada di dalam biliknya itu.
"Siapakah yang kau cari?" bertanya yang lain.
"Ken Arok," jawab Kuda Sempana singkat.
"Bukankah Ken Arok pergi bersamamu berburu sejak pagi tadi?"
Kuda Sempana tidak menjawab, bahkan berpaling ke pada orang yang berkata itu pun tidak. Segera ia melangkah meninggalkan bilik itu sambil mengumpat di dalam hatinya, "Ke mana anak setan ini pergi?"
Tetapi Kuda Sempana sudah kehilangan nafsu untuk mencarinya. Karena itu, maka ia pun segera meninggalkan barak itu untuk kembali ke baraknya sendiri. Namun kepalanya selalu diganggu oleh persoalan-persoalan yang tidak menentu. Tentang Akuwu Tunggul Ametung, tentang Witantra dan tentang Ken Dedes. Kalau akuwu melepaskan perlindungannya kepadanya, maka dikhawatirkan bahwa Mahisa Agni akan segera datang menyusul Adiknya. Atau ". Kuda Sempana menghentakkan giginya.
"Akuwu itu pun tidak ubahnya seperti hantu-hantu yang berkeliaran di kuburan. Setiap saat ia dapat menerkam dan mencelakakan. Kenapa gadis itu aku biarkan tinggal di dalam istana?"
Tetapi Kuda Sempana tidak pergi ke istana. Di regol masih dilihatnya penjaga yang berdiri terkantuk-kantuk.
"He, kau kantuk lagi?"
"Tidak," sahut penjaga itu. Dan dilihatnya Kuda Sempana berjalan tergesa-gesa meninggalkan halaman itu.
Ketika Kuda Sempana telah hilang di dalam kegelapan malam, maka barulah penjaga itu teringat bahwa baru saja dilihatnya seekor kuda yang berlari kencang dan membelok di ujung jalan sebelum melampaui penjagaannya.
"Kalau Ken Arok masih membawa kudanya, maka pasti kuda yang membelok itu tadi," gumam penjaga itu kepada diri sendiri.
Dan sebenarnyalah Ken Arok mengurungkan niatnya kembali ke pondoknya. Ia merasa tidak tenang di dalam barak itu. Menurut perhitungannya. Kuda Sempana pasti akan menyusulnya dan mengganggunya lagi, sehingga ia tidak akan sempat untuk beristirahat. Karena itu Ken Arok memacu kudanya ke rumah Witantra. Ia mengharap dapat beristirahat di rumah itu. Dan seandainya Kuda Sempana mencarinya ke sana, biarlah Witantra yang memberinya jawaban
Ketika ia memasuki halaman rumah Witantra, ternyata Witantra pun baru saja sampai. Sebab ia terpaksa menuntun kudanya dan berjalan bersama istri dan pemomong Ken -Dedes.
Kehadiran Ken Arok itu benar-benar mengejutkannya, tetapi ketika Ken Arok telah menceritakan apa yang terjadi, maka Witantra itu pun tersenyum. Katanya, "Nah, kalau Adi mau tidur, tidurlah, meskipun hanya di atas sehelai tikar."
"Biarlah. Aku ingin beristirahat tampak diganggu oleh siapa pun. Karena itu aku berlari kemari."
Ken Arok itu pun segera dipersilakan tidur di ruang tengah, namun Ken Arok itu berkata, "Biarlah aku tidur di luar Kakang, udara terlalu panas."
"Di luar terlalu dingin," sahut Witantra.
"Tidak. Di luar udara segar dan sejuk."
Sambil menjinjing sehelai tikar Ken Arok pergi ke samping rumah. Seperti pada masa-masanya yang telah lampau segera ia memanjat ke atas kedogan kuda dan tidur dengan nyenyaknya beralaskan tikar dan jerami.
Tetapi di dalam rumah itu, Witantra tidak segera dapat memejamkan matanya. Ia sedang membuat gambaran-gambaran tentang usahanya untuk menolong Ken Dedes dari ketakutan dan derita sepanjang umurnya.
"Besok aku harus menemui Kuda Sempana," desisnya. Dan dipaksanya dirinya melupakan sejenak apa saja yang akan terjadi. Ketika malam sudah hampir menjelang pagi, barulah Witantra dapat tertidur sesaat.
Namun seisi rumah itu pun segera terkejut ketika terdengar derap kaki-kaki kuda memasuki halaman rumah itu. Sebelum mereka menjadi sadar benar, maka terdengarlah ketokan yang keras pada pintu depan.
Witantra meloncat dari pembaringannya. Namun ia tidak segera beralih membuka pintu rumahnya. Sesaat ia memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Ketika ketokan itu masih saja berulang berkali-kali maka terdengar Witantra bertanya, "Siapa?"
"Aku," terdengar jawaban di luar pintu, "Kuda Sempana."
"Oh," Witantra menarik nafas panjang, dan gumamnya di dalam hati, "Ternyata anak ini tidak bersabar sampai matahari memancar kembali."
Perlahan-lahan Witantra pergi ke pintu rumahnya. Istrinya yang terbangun pula, berdiri dengan tegang di muka sentongnya. Ketika Witantra lewat di sampingnya, maka terdengar istrinya berbisik, "Hati-hatilah Kakang."
"Anak itu tidak akan apa-apa. Ia belum tahu segenap persoalan yang harus dilakukannya. Kedatangannya pasti hanya di dorong oleh kegelisahan yang tak dapat ditundanya.
Istrinya tidak menjawab. Namun wajahnya masih saja tegang seperti hatinya yang tegang pula.
Di muka pintu Witantra masih bertanya, "Adi Kuda Sempana, kenapa Adi datang di pagi-pagi buta ini?"
"Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan Kakang," jawab Kuda Sempana.
Sesaat kemudian terdengar pintu bergerit terbuka. Di muka pintu berdiri Kuda Sempana dengan nafas terengah-engah. Dipandanginya wajah Witantra dengan penuh kecurigaan.
"Marilah," Witantra mempersilakan.
Kuda Sempana menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak Kakang. Aku hanya ingin tahu, apakah yang Kakang perbincangkan dengan Akuwu bersama Adi Ken Arok?"
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kenapa Adi tidak menunggu sampai besok siang?"
"Aku tidak tahan. Hatiku seakan-akan selalu diganggu oleh pertemuan kalian.
"Kenapa?" bertanya Witantra.
Kuda Sempana tidak segera menjawab. Hatinya menjadi berdebar-debar dan kata-katanya seakan-akan tersangkut di kerongkongan.
Di samping rumah itu, di atas kandang kuda, Ken Arok mendengar pula kehadiran Kuda Sempana. Namun dengan malasnya ia menggeliat dan berusaha untuk tidur kembali.
Tetapi percakapan antara Witantra dan Kuda Sempana ternyata menarik perhatiannya, sehingga justru ia mencoba menangkap setiap kata yang meluncur dari sela-sela Bibir mereka.
Sejenak kemudian terdengar Kuda Sempana menjawab, "Kakang, pertemuan yang terjadi di istana malam tadi adalah tidak wajar."
"Apa yang tidak wajar?"
"Akuwu tidak biasa memanggil seseorang di malam hari apabila tidak terlalu penting."
"Ya. Memang Akuwu memanggil pada sore hari. Namun aku masih harus mandi dan makan dahulu, sehingga aku datang terlambat."
"Kalau Kakang yang terlambat, tidak mungkin Akuwu akan menerima Kakang. Bahkan mungkin Kakang telah diusirnya."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sesaat ia menjadi ragu-ragu Apakah ia akan mengatakan apa yang didengarnya dari Akuwu saat itu juga. Tetapi tebersit di dalam hatinya, apabila mungkiri biarlah ditemuinya saja Kuda Sempana pada kesempatan yang lebih baik. Tidak di pagi-pagi buta dan apabila ia tidak sedang dibakar oleh kebingungan.
Karena itu, maka sekali lagi Witantra itu berkata, "Adi Kuda Sempana. Duduklah. Dan marilah kita berbicara dengan tenang. Apabila Adi tidak juga mau duduk, maka setiap pembicaraan pasti akan tergesa-gesa."
"Tidak Kakang. Aku hanya perlu sepatah dua patah kata dari Kakang. Apakah yang dibicarakan akuwu malam tadi?"
Witantra mengerutkan keningnya. Sambil menebarkan pandangan matanya ke seluruh halaman ia berkata, "Apakah Adi Kuda Sempana belum mendengarnya dari Adi Ken Arok."
Kuda Sempana menggeleng. "Belum," jawabnya.
"Kenapa Adi tidak bertanya saja kepadanya?"
Anak muda yang bernama Kuda Sempana itu mengernyitkan alisnya. Dengan jengkel ia menjawab, "Aku sudah bertanya kepadanya, tetapi ia minta kepadaku untuk menanyakan saja kepada Kakang Witantra."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih mencoba menunggu sampai siang. Katanya, "Baiklah, nanti aku akan datang ke barakmu. Aku akan minta Adi Ken Arok menceritakan apa yang telah didengarnya dari akuwu.
"Kenapa nanti" Dan kenapa Ken Arok?" sahut Kuda Sempana semakin jengkel, "Ken Arok minta kepadaku untuk menghubungi Kakang. Kakang sekarang berkata, akan membawa Ken Arok. Apakah aku ini kalian sangka seperti sebuah balok permainan yang dapat dilemparkan ke sana kemari."
"Bukan itu maksudku Adi. Tetapi kali ini adalah bukan waktu yang tepat untuk berbincang. Biarlah istri dan ibuku tidur sampai fajar. Kedatangan Adi benar-benar mengejutkan mereka."
"Kalian selalu mementingkan kepentingan diri. Ken Arok juga berkata demikian. Ia ingin segera tidur. Kakang juga hanya berpikir tentang keluarga Kakang. Tetapi Kakang tidak mau mengerti perasaanku. Semalam aku tidak dapat tidur. Semalam aku selalu diburu oleh kegelisahan."
"Bukankah itu juga suatu perbuatan yang hanya mementingkan kepentinganmu sendiri" Kalau kita berbuat dengan memperhatikan kepentingan orang lain, maka kau tidak akan datang kemari di pagi buta ini. Kau pasti akan menunggu sampai hari besok."
Kuda Sempana terdiam. Namun kemudian ia menjawab, "Nah. Sekarang aku minta Kakang mengatakan. Dua tiga patah kata saja. Bagaimana sikap Akuwu terhadap gadis itu?"
"Gadis itu menjadi sakit karenanya."
"Aku bertanya tentang sikap Akuwu terhadap gadis itu.
"Oh. Akuwu mencoba mengobatinya. Telah dipanggil olehnya seorang dukun yang baik."
"Bukan itu!" Kuda Sempana tiba-tiba membentak, "Sikap perasaan Akuwu sebagai laki-laki terhadap perempuan."
Witantra menarik alisnya tinggi-tinggi. Kemudian katanya, "Kuda Sempana tinggalkan tempat ini. Kau tahu siapa aku" Perwira prajurit pengawal istana dan akuwu. Kau dengar perintah ini, hai pelayan dalam?"
Telinga Kuda Sempana seakan-akan seperti tersentuh api mendengar kata-kata itu.
Sesaat ia terpaku, namun giginya gemeretak menekan kemarahan yang melonjak-lonjak di hatinya. Hampir-hampir ia kehilangan pengamatan diri. Sebagai seorang laki-laki yang telah berani melakukan perbuatan yang berbahaya, melarikan seorang gadis, maka apapun yang akan menghalanginya, pasti akan diterjangnya. Tetapi kali ini ia berhadapan dengan seorang perwira pengawal istana dan akuwu. Karena itu ia menjadi ragu-ragu. Bukan karena ia takut untuk berkelahi melawannya, tetapi apakah dengan demikian ia tidak melanggar ketentuan sebagai seorang hamba istana.
Sejenak Kuda Sempana berdiri tegang. Dipandanginya mata Witantra yang seakan-akan menyala membakar jantungnya Namun kemudian pandangan matanya itu terlempar jauh ke sudut halaman.
Yang terdengar kemudian adalah suara Witantra, "Tinggalkan tempat ini!"
Dada Kuda Sempana berdebar-debar keras sekali. Selangkah ia surut namun kemudian jawabnya, "Kakang Witantra, ternyata Kakang tidak mau menolong meringankan perasaanku. Baik. Selagi aku terikat pada ketentuan dan peraturan, aku menaati perintahmu. Tetapi pada suatu ketika kita akan berdiri di luar garis jabatan kita masing-masing. Dalam kesempatan itu kita akan bertemu sebagai dua orang laki-laki. Kali ini kau masih dapat mempergunakan kekuasaanmu untuk mengusir aku. Namun pada saatnya kau akan terbungkam."
"Kuda Sempana!" geram Witantra, "Saat itu tidak akan lama lagi datang. Di mana kita akan berhadapan sebagai dua orang laki-laki tanpa tanda- tanda jabatan masing-masing."
Kuda Sempana membelalakkan matanya. Timbullah kecurigaan yang semakin besar di dalam dirinya. Sehingga karena itu ia berkata, "Aku tidak sabar lagi menunggu saat itu datang."
"Pergilah!" hardik Witantra, "Kau tidak akan menunggu sampai matahari terbenam di hari yang akan datang nanti."
Sekali lagi Kuda Sempana menggeretakkan giginya. Dipandangnya wajah Witantra sekali lagi. Kemudian cepat-cepat ia memutar tubuhnya. dan berjalan tergesa-gesa ke kudanya. Sesaat kemudian terdengarlah langkah kudanya menderu di keremangan fajar yang sudah mulai membayang di timur.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ditengadahkan wajahnya, dan dilihatnya bintang pagi berkilauan di tenggara. Cahaya yang kemerah-merahan sudah mulai membayangi langit. Dan di kejauhan ayam jantan riuh berkokok bersahutan.
Ketika Witantra akan melangkah memasuki rumahnya, dilihatnya Ken Arok berjalan dari samping rumahnya. Sekali ia menggeliat kemudian katanya, "Kakang Kuda Sempana benar-benar diombang-ambingkan oleh perasaannya sendiri.
"Itu adalah hukumannya yang pertama," sahut Witantra.
"Ya. Hukuman itu masih akan bertambah-tambah."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya pula, "Perbuatan-perbuatan yang demikian tidak akan mendatangkan ketenteraman di dalam hati. Nah, marilah, Masuklah. Apakah kau dapat tidur pagi ini?"
"Sebentar. Derap kaki kuda Kakang Kuda Sempana telah membangunkan aku."
Kembali Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kembali Witantra itu berkata, "Marilah. Masuklah."
"Terima kasih. Biarlah aku mandi dahulu."
Setelah mereka membersihkan diri masing-masing, barulah mereka duduk di ruang depan rumah Witantra itu sambil menghangatkan diri dengan air daun sere. Meskipun demikian, angan-angan mereka sama sekali tidak melekat pada keadaan mereka saat itu. Mereka sedang sibuk membayangkan, apa yang akan terjadi seterusnya.
"Apakah kita akan menghadap Akuwu?" bertanya Ken Arok.
"Tidak, Akuwu telah mengeluarkan perintah. Aku akan langsung datang kepada Kuda Sempana. Hari ini persoalan harus selesai. Sehingga besok, gadis itu sudah tidak lagi terlibat dalam arus ketakutan dan kecemasan."
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Kalau demikian apakah kita langsung pergi ke barak Kakang Kuda Sempana."
"Ya," jawab Witantra, "marilah kita pergi ke sana."
Keduanya segera berdiri. Ketika Ken Arok berjalan ke luar, Witantra masuk ke dalam mencari istrinya.
"Aku akan pergi Nyai," pamitnya.
Nyai Witantra sudah tahu, apa yang akan dilakukan oleh suaminya. Karena itu mau tidak mau, maka hatinya pun menjadi cemas.
"Hati-hatilah Kakang," suaranya lirih, hampir tidak dapat meloncat dari Bibirnya yang tipis.
"Aku akan mencoba menjaga diriku baik-baik," sahut Witantra.
Ibunya, yang kemudian datang pula, menepuk pundak anaknya sambil berkata, "Kau adalah seorang prajurit."
"Ya. Dan kali ini aku tidak sedang menghadapi musuh-musuh Tumapel, tetapi aku sedang berjuang untuk mencoba menyelamatkan sesama."
"Itu juga pekerjaan seorang kesatria," bisik ibunya.
Namun mereka terkejut ketika mereka mendengar suara yang bernada tinggi, "Kakang Witantra selalu mencari kesulitan."
Witantra berpaling. Dilihatnya Ken Umang bersandar tiang pintu sentongnya. Dengan mengangkat dadanya ia berkata, "Kalau Kakang tidak mencampuri persoalan itu, maka Kakang tidak akan dihadapkan pada persoalan-persoalan yang rumit. Kalau Kakang pergi berperang pedang di tangan, menghadapi musuh-musuh Tumapel, maka akan berbanggalah seluruh rakyat Tumapel. Tetapi kali ini" Kakang berkelahi untuk seorang perempuan yang tak tahu diri. Perempuan pedesaan apa yang dicita-citakan" Menjadi istri Akuwu barangkali" Istri Tunggul Ametung?"
"Umang!" potong Nyai Witantra, "Jangan berkata lagi tentang persoalan yang tidak kau ketahui."
"Aku tahu seluruh persoalannya."
"Tidak!" potong Witantra, "Persoalan ini tidak terlalu sederhana. Bukan sekedar persoalan merebut perempuan. Tetapi persoalan ini adalah persoalan kemanusiaan. Persoalan yang lebih berharga dari segenap persoalan."
Ken Umang mencibirkan Bibirnya sambil mengangkat wajahnya. Hidungnya yang kecil, runcing seakan-akan membayangkan hatinya yang runcing pula.
Kemudian sambil tersenyum Ken Umang itu berkata, "Kakang Witantra ingin menjadi pahlawan kemanusiaan."
Wajah Witantra menjadi semburat merah. Tetapi ia tidak mau melayani anak-anak sebaya Ken Umang. Seorang anak yang sedang dilanda oleh arus pancaroba. Seorang anak gadis yang belum menemukan alas berpijak. Karena itu maka bisiknya kepada istrinya, "Awasi Adikmu. Ia sedang berada di daerah yang paling berbahaya di sepanjang perjalanan hidupnya. Ia memandang dunia dari dirinya dan berpusar pada dirinya pula. Dalam usia yang demikian, maka berkecamuklah di dalam dadanya, iri, cemburu, cita-cita dan nafsu. Kalau sekali ia salah berpijak maka ia akan tersesat untuk seterusnya."
"Alangkah sulitnya menguasai anak itu," desak kakak perempuannya.
"Mudah-mudahan kau berhasil," sahut Witantra, yang kemudian sekali lagi ia minta diri.
Istrinya, ibunya dan Ken Umang mengantar Witantra dan Ken Arok sampai ke muka regol. Wajah Nyai Witantra masih saja disaput oleh kecemasan hatinya. Ia tahu benar, apa yang akan dilakukan oleh suaminya. Mengemban tugas kemanusiaan, memisahkan gadis yang malang dari Panawijen itu dari Kuda Sempana.
Agak jauh dari mereka, berdirilah emban pemomong Ken Dedes dengan penuh kebimbangan. Sekali ia melangkah maju, dan langkah itu terhenti ketika Ken Umang berpaling kepadanya.
"He, Nini tua," bertanya Ken Umang, "Apakah momonganmu itu terlalu amat cantik, sehingga seisi istana menjadi bingung karenanya?"
Pemomong Ken Dedes mengerutkan keningnya. Namun kata-kata itu dijawabnya, "Tidak Ngger. Momonganku adalah seorang gadis pedesaan yang sederhana."
"Nah, bukankah kau ikut berbangga karenanya" Lihat, semua orang di dalam Istana Akuwu Tumapel memperbincangkannya. Ken Dedes. Ken Dedes. Kau lihat, Kakang Witantra, perwira pengawal istana dan pengawal akuwu itu pun menjadi sangat sibuknya. Seorang anak muda pelayan dalam yang tidur di sini semalam pun menjadi ribut. Belum lagi pelayan dalam yang bernama Kuda Sempana yang hampir gila dibuatnya."
Emban tua itu tidak menjawab Bahkan ditundukkannya wajahnya. Banyak kata-kata yang bergolak di dalam dadanya. Namun ditahannya kata-kata itu kuat-kuat, dan disimpannya baik-baik, Tetapi ternyata terloncat jawaban dari Nyai Witantra, kakak perempuan Ken Umang itu sendiri.
"Umang, Bibi tua tidak tahu apa-apa. Dan apakah salah Ken Dedes, apabila seluruh isi istana menjadi ribut. Bahkan seandainya seluruh laki-laki di Tumapel terbakar pula hatinya melihat kehadirannya di istana serta melihat kecantikannya. Umang, kau juga seorang gadis yang cantik. Namun beruntunglah nasibmu, bahwa kau tidak usah mengalami bencana seperti Ken Dedes. Sebentar lagi kau juga akan meningkat dewasa sepenuhnya. Hati-hatilah."
Sekali lagi Ken Umang mengangkat dagunya. Kedua matanya yang redup memandang emban tua itu dengan pancaran yang aneh. Namun ia tidak membantah kata-kata kakaknya. Di dalam hatinya tebersitlah kebanggaannya atas kecantikannya. Seperti yang didengarnya dari kakaknya perempuan itu, dari mertua kakaknya dan dari beberapa orang lagi. Sekali-kali ia becermin juga di wajah air yang tenang. Dan memang wajahnya pun tidak kurang cantiknya. Sebentarlah lagi, seandainya bunga, maka bunga itu akan berkembang.


01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi kenapa kecantikannya itu tidak mampu menggetarkan istana seperti Ken Dedes" Ia akan berbangga seandainya laki-laki datang bersimpuh kepadanya. Ia akan dapat berbuat banyak dengan kesempatan seperti yang didapatkan oleh Ken Dedes itu. Tetapi ternyata Ken Dedes menyesali nasibnya itu.
"Alangkah bodohnya," geram Ken Umang di dalam hatinya, "Kalau aku, maka aku akan dapat memilih di antara mereka. Dengan berbagai sayembara, maka akhirnya aku mendapatkan yang paling baik di antara mereka. Mungkin sayembara tanding. Mungkin sayembara pilih. Mungkin sayembara bebana atau apapun yang menyenangkan. Ah. Dasar gadis pedesaan. Gadis yang dikungkung oleh perasaan yang sempit. Yang menilai cinta sebagai nyawanya sendiri. Bagiku, cinta adalah kehidupan ini. Kehidupan yang memberi aku kepuasan. Yang memberi aku apa yang aku inginkan kini. Itulah cinta yang bijaksana. Cinta yang terasa segarnya sebagai meneguk air kelapa ketika kita sedang kehausan. Bukan cinta yang selalu dirundung malang. Cinta yang dibungai oleh air mata dan penyesalan."
Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Disimpannya penilaiannya atas cinta itu di dalam hatinya. Tetapi seolah-olah ia berjanji kepada diri sendiri, bahwa ia akan dapat menemukan cinta seperti yang diharapkannya itu.
Dengan langkah yang pendek-pendek Ken Umang berjalan kembali masuk ke dalam rumah. Sekali ia berpaling dan dilihatnya ketiga orang perempuan masih berdiri di tempatnya. Nyai Witantra memandanginya sampai ia hilang masuk ke balik pintu.
"Anak itu anak yang terlalu bengal," desisnya.
"Sabarlah Nyai," sahut ibu Witantra, "mudah-mudahan semakin banyak umurnya, ia akan menjadi semakin menyadari arti hidupnya. Hidup seorang gadis, yang kelak akan menjadi seorang perempuan dan syukurlah menjadi seorang ibu."
Nyai Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Mudah-mudahan. Tetapi tidak semua gadis mengalami masa yang tajam setajam pergolakan yang terjadi dalam diri Ken Umang. Aku juga pernah merasakan ketidaktentuan dalam hidup dan cita-cita. Namun segera aku dapat menemukan keseimbangan. Namun anak itu tidak.
"Ajarilah perlahan-lahan," berkata mertuanya.
Nyai Witantra pun kemudian terdiam. Dipandanginya pintu rumahnya yang masih terbuka. Namun Adiknya sudah tidak tampak lagi. Karena itu maka segera ia mempersilakan ibunya masuk dan mempersilakan emban tua pemomong Ken Dedes itu pula beserta mereka.
Malam itu, Akuwu Tunggul Ametung hampir tidak dapat tertidur pula. Sekali-kali ia bangkit berjalan hilir mudik di dalam biliknya. Namun ketika terasa udara terlalu panas, maka akuwu itu pun berjalan keluar ruangan dengan sebuah kepet di tangannya. Di serambi, di luar ruangan dalam dilihatnya seorang pelayan duduk terkantuk-kantuk menunggu seandainya ada perintah daripadanya Sedang di sudut halaman dilihatnya pelita yang suram dalam gardu penjagaan para prajurit.
Tetapi di serambi itu pun terasa panasnya masih menyengat tubuhnya. Keringatnya mengalir membasmi seluruh wajah kulitnya. Tetapi Tunggul Ametung tidak menyadari, bahwa sebenarnya yang paling panas malam itu adalah nyala kegelisahan di dalam dadanya sendiri. Karena itu, ke manapun ia pergi, dan bahkan seandainya ia berendam di dalam air dingin sekalipun, maka tubuhnya pasti masih akan terasa panas.
Tanpa disengajanya, maka akuwu itu kemudian berjalan ke samping, menembus pintu dan sampailah ia di ruangan pusat istana Tumapel. Di belakang ruangan itulah berjajar tiga buah ruangan yang disebut sentong kiwa, sentong tengah dan sentong tengen. Kakinya seolah-olah bergerak saja dengan sendiri, sehingga akuwu itu terkejut ketika dilihatnya seorang emban tidur mendengkur beralaskan selendangnya di muka pintu sentong tengen.
Hampir-hampir Tunggul Ametung membentaknya. Tetapi untunglah segera ia teringat kepada gadis yang pingsan di dalam bilik kanan itu. Karena itu maka niatnya diurungkan Bahkan perlahan-lahan sambil berjingkat Tunggul Ametung berjalan mendekati sentong tengen itu. Ketika ia menjenguk ke dalam dilihatnya Nyai Puroni pun tertidur sambil meletakkan kepalanya di pembaringan Ken Dedes.
Akuwu menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya gadis yang pingsan itu kini telah tertidur pula, meskipun tampak gelisah. Sekali-kali dilihatnya gadis itu menggeliat, kemudian terdengar suara keluhan perlahan-lahan. Namun gadis itu tertidur kembali.
"Gadis itu tertidur karena kelelahan. Lelah lahir dan batinnya," gumam Tunggul Ametung kepada diri sendiri.
Tetapi Tunggul Ametung itu tidak segera beranjak dari tempatnya. Tiba-tiba ia terpaku kepada wajah gadis yang sedang tidur di pembaringan itu. Wajahnya yang pedih menahan sakit hati, matanya yang bendul karena menangis dan bibinya yang tipis bergerak-gerak melontarkan keluhan yang sedih. Namun semuanya itu benar-benar telah memukau hatinya. Baru kini ia sempat memandang wajah itu dengan seksama. Wajah yang wajar bersih tanpa selapis pulasan apapun. Bahkan tampaklah air matanya masih juga membasahi ujung-ujung rambut dan bantalnya.
"Hem," akuwu itu menarik nafas dalam-dalam, "Kasihan. Gadis yang bersih itu kini kehilangan kegemitangan masa depannya. Kehitangan kekasih yang dicintainya. Kehitangan kemerdekaan dirinya dan kehilangan apapun yang dimilikinya apa bila ia benar-benar jatuh ke tangan Kuda Sempana.
"Hem, setan itu benar-benar telah menjebak aku."
Tetapi desah itu pun terputus. Akuwu menggelengkan kepalanya. Ia telah berbuat di hadapan saksi-saksi. Ia tidak akan dapat melemparkan tanggung jawab kepada orang lain. Ia tidak akan berkata bahwa perbuatan itu dilakukan oleh Kuda Sempana. Ia tidak akan bisa menghukum orang lain karena perkosaan atas kemanusiaan. Semua telah terjadi di hadapan hidungnya.
"Hem," sekali lagi Tunggul Ametung itu menggeram. Dan sekali dipandanginya wajah gadis yang sedang tertidur itu. Wajah yang wajar bersin tanpa selapis pulasan apapun.
"Kalau aku dapat mencarikan ganti yang hilang dari gadis itu," katanya di dalam hati, "Seandainya aku memiliki seseorang yang bernama Wiraprana. Seandainya aku dapat menghidupkannya kembali. Seandainya, ya seandainya semua itu belum terjadi Tetapi itu adalah angan-angan yang mustahil terjadi. Sekarang, ya, apa yang dapat dilakukannya?"
Hati Tunggul Ametung berdesir ketika Ken Dedes itu bergerak. Namun kembali gadis itu diam. Namun tampaklah wajah itu berkerut seakan-akan menahan pedih yang menggores-gores hatinya.
"Kasihan," desis akuwu.
Dan tiba-tiba saja melonjaklah sesuatu di dalam hati akuwu itu. Darahnya yang gelisah. seakan-akan mendidih karenanya. Matanya itu tajam-tajam memandangi wajah Ken Dedes yang wajar, bersih dan muram ia tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja tebersitlah suara di dalam hatinya, "Tunggul Ametung, kesalahan ini terletak di pundakmu. Karena itu kaulah yang harus menebusnya. Semua milikmu tidak akan cukup banyak untuk mengganti kepedihan hati gadis itu. Gadis yang sebenarnya bukan gadis pedesaan kebanyakan seperti yang kau saksikan sendiri. Dari tubuh gadis memancar cahaya yang tidak dapat kau lihat dengan mata wadagmu. Namun sekali-sekali tampak oleh mata hatimu."
Tunggul Ametung itu menjadi berdebar-debar suara itu terngiang di dalam rongga hatinya. Semakin lama semakin keras. Sehingga Akuwu Tumapel itu menjadi bingung karenanya.
Dalam kebingungan itu sekali lagi mata hatinya melihat keganjilan itu. Tubuh Ken Dedes tiba-tiba menjadi bercahaya. Hanya sekilas saja, sekilas pada saat Tunggul Ametung seakan-akan kehilangan kesadarannya. Namun ketika ia mencoba membuka matanya lebar-lebar kembali ia melihat gadis itu terbujur diam. Gadis pedesaan, dengan kain lurik kasar dan rambut yang terurai lepas.
Tunggul Ametung itu menjadi gemetar. Ia mengalami suat u peristiwa yang tidak dimengertinya. Sedang suara yang terngiang di telinga hatinya menjadi semakin keras Dan seolah-olah mengguntur tidak henti-hentinya.
Akuwu itu benar-benar diganggu oleh indera halusnya. Meskipun wadagnya sama sekali tidak mengalami rangsang apapun, namun telinga hatinya telah mendengar suara itu, dan mata hatinya telah melihat cahaya ini. Perpaduan dari penghayatan hatinya itu, menumbuhkan akibat yang luar biasa pada dirinya. Dan tiba-tiba pula, di luar kemauannya. terdengar akuwu itu bergumam perlahan-lahan, "Akan aku tebus semua kesalahan ini. Akan aku ganti yang hilang dari gadis itu dengan semua yang aku miliki, termasuk tanah Tumapel."
Kata-kata janji itu seakan-akan disambut oleh suara guruh yang menggelegar dan guntur yang bersahut-sahutan di antara kilat yang bersambung. Suaranya bergelora seolah-olah menggugurkan Gunung Kawi, Gunung Arjuna dan Gunung Semeru.
Akuwu itu pun kemudian menjadi gemetar. Hampir-hampir ia tidak dapat lagi berdiri tegak pada kedua kakinya. Dengan tangan yang menggigil dicobanya untuk berpegangan pada tiang-tiang pintu sentong tengen sambil memejamkan matanya. Seandainya istana ini roboh karena petir dan guntur, biarlah ia tidak menyaksikannya.
Namun tiang-tiang itu masih tegak di tempatnya. Istana itu sama sekali tidak bergoyang. Sehingga sesaat kemudian, ketika gemuruh itu telah mereda, terasa dada Tunggul Ametung menjadi sesak. Kini disadarinya, bahwa guruh yang bergelora dan kilat yang bersambung di antara gemuruhnya guntur adalah bergolaknya dadanya sendiri. Dadanya yang pepat dan seakan-akan sebuah waduk raksasa yang dilanda banjir empat puluh malam. Dadal, jebol tanpa dapat ditahankan lagi. Gulung gemulungnya air bah itu ternyata telah melanda segenap dinding hatinya.
Tunggul Ametung itu perlahan-lahan membuka matanya. Masih dilihatnya pelita yang tersangkut di thundaknya. Masih dilihatnya perhiasan-perhiasan dinding ukiran masih berada di tempatnya. Dan ketika ia meraba tubuhnya, terasa alangkah dinginnya.
Namun sekali lagi Tunggul Ametung terkejut, sehingga ia terlonjak di tempatnya. Tepat ia berpaling dan kembali didengarnya suara itu. Perlahan-lahan menghantam dadanya seperti runtuhnya Gunung Semeru, "Tuanku, Akuwu Tunggul Ametung. Apakah kata-kata Tuanku telah Tuanku pertimbangkan sebaik-baiknya?"
Kembali rubuh Tunggul Ametung menjadi gemetar. Keringat dinginnya mengalir membasahi segenap tubuhnya. Kini diketahuinya dengan pasti, bahwa Nyai Puroni, dukun tua itulah yang berkata kepadanya. Dukun tua yang telah terbangun dari tidurnya.
Dengan terbata-bata Tunggul Ametung bertanya, "Nyai, apakah yang kau dengar?"
"Kata-kata Tuanku?"
"Apa yang aku katakan?"
Nyai Puroni menarik nafas dalam-dalam. Sambil menyembah ia berkata, "Tuanku telah mengucapkan sebuah janji."
Tubuh Tunggul Ametung menjadi semakin gemetar. Dengan nada parau ia bertanya, "Apakah yang aku ucapkan?"
"Janji," sahut Nyai Puroni, "dan janji itu terlampau berat untuk dapat dipenuhi."
Kini Tunggul Ametung tidak saja berpegangan tiang-tiang pintu bilik itu, tetapi kini ia terpaksa menyandarkan seluruh tubuhnya pada tiang itu. Ya, kini semuanya jelas baginya. Ia telah mengucapkan janji, dan janji itu benar-benar sangat berat untuk dipenuhi. Namun ia tidak dapat mengingkarinya. Janji itu telah terucapkan dan seseorang telah mendengarnya. Meskipun orang itu akan dapat menyimpan rahasia apa bila dimintanya, namun ia tidak dapat mengingkari pendengarannya sendiri. Telinga hatinya yang dengan pasti telah mendengar janji itu. Dan bahkan janji itu seakan-akan telah terngiang kembali di telinganya. Semakin jelas, kata demi kata, Akan aku tebus semua kesalahan ini. Akan aku ganti yang hilang dari gadis itu dengan semua yang aku miliki, termasuk Tanah Tumapel ini.
Tunggul Ametung memejamkan matanya.
Ruangan itu untuk sesaat dilanda oleh kesepian. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas mereka yang semakin cepat mengalir. Di luar pintu terdengar emban itu masih tidur mendengkur. Seakan-akan tidak pernah terpikir olehnya apa saja yang pernah terjadi dan apa saja yang akan terjadi.
Namun sejenak kemudian terdengarlah suara Nyai Puroni perlahan-lahan, "Tuanku. Meskipun janji itu telah Tuanku ucapkan, tetapi belum seorang pun yang mendengarnya selain aku. Karena itu, Tuanku, seandainya pertimbangan Tuanku kemudian berkata lain, sebaliknya Tuanku menyadari keadaan Tuanku sebagai seorang akuwu."
Tunggul Ametung masih memejamkan matanya. Kata-kata itu didengarnya dengan baik. Sehingga terjadilah suatu per golakan yang dahsyat di dalam hatinya. Ketika ia membuka matanya dilihatnya Ken Dedes terbaring diam di pembaringan. Sebuah kain lurik yang kasar dan kesederhanaan wajahnya benar-benar telah mengungkapkan kesederhanaannya sebagai gadis pedesaan.
Kini hati akuwu itu menjadi ragu-ragu. Gadis itu adalah gadis pedesaan. Apakah pedulinya seandainya ia menjadi sengsara dan kehilangan masa depannya. Ia adalah satu dari ribuan gadis desa. Gadis yang tidak akan berarti apa-apa bagi tanah ini, bagi Tumapel. Kenapa selama ini ia dipusingkan olehnya. Hanya oleh seorang gadis desa. Kalau ia ingin menolongnya, maka dapatlah ia menolong dengan cara yang semudah-mudahnya. Mengembalikan gadis itu ke kampungnya. Mengancam Kuda Sempana untuk tidak mengganggunya lagi. Dan selesailah pekerjaannya.
Tetapi bagaimana dengan Wiraprana yang telah mati itu. Dan bagaimana dengan masa depan gadis itu.
"Ah," terdengar sebuah keluhan di dalam hati Tunggul Ametung, "ada beribu-ribu anak muda di pedesaan itu. Biarlah ia memilih. Nanti biarlah aku yang membawa anak muda itu kepadanya sebagai ganti Wiraprana."
Dalam keragu-raguan itu tiba-tiba mata Tunggul Ametung menjadi terbelalak. Sekali lagi ia melihat cahaya yang memancar dari tubuh Ken Dedes, seakan-akan memancar dari dalam tubuh itu. Namun kembali cahaya itu tidak tertangkap oleh matanya.
"Oh," akuwu itu mengeluh, "Nyai. Nyai Puroni. Apakah aku sudah menjadi gila he?"
Nyai Puroni menjadi cemas melihat Tunggal Ametung kemudian menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya.
"Tuanku," desis Nyai Puroni.
"Nyai, aku melihat lagi cahaya itu. Aku melihat lagi. Namun mataku tidak kuasa untuk menangkap."
"Apa Tuanku. Apakah yang Tuanku lihat?"
Akuwu Tunggul Ametung masih menutupi kedua belah matanya dengan tangannya sambil bersandar di uger-uger pintu. Ia kini benar-benar menjadi pening, dan dengan terbata-bata mencoba menjawab pertanyaan Nyai Puroni, "Aku melihat cahaya itu Nyai. Cahaya yang seakan-akan memancar dari tubuh gadis Panawijen itu. Namun aku tidak kuasa menatap cahaya itu. Demikian akan mencoba memandangnya, maka cahaya itu pun lenyaplah."
Nyai Puroni menjadi bingung pula. Ia tidak melihat apa-apa pada gadis itu. Tidak melihat cahaya dan tidak melihat sesuatu sama sekali. Namun demikian dibiarkannya saja Akuwu meratapi dirinya, sebab Nyai Puroni itu pun tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab.
Tiba-tiba Tunggul Ametung itu mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan ia berkata kepada Nyai Puroni, "Nyai. Bagaimana pendapatmu tentang aku" Apakah aku sudah gila atau aku masih cukup sehat?"
"Tuanku," jawab Nyai Puroni, "pertanyaan Tuanku masih menyatakan bahwa Tuanku sehat sesehat-sehatnya. Mungkin Tuanku lelah atau bingung. Namun setelah Tuanku tenang kembali, maka Tuanku pasti akan menemukan kesegaran pikiran. Juga tentang janji yang Tuanku ucapkan."
"Ya. Mungkin kau benar Nyai," berkata Tunggul Ametung, "tetapi janji itu sudah terlanjur aku ucapkan. Aku wajib untuk memenuhinya."
Nyai Puroni tidak segera menjawab. Ketika ia mencoba memandang wajah Tunggul Ametung, maka dilihatnya cahaya mata Akuwu Tumapel itu melekat pada wajah Ken Dedes, sehingga karena itu maka Nyai Puroni bergumam di dalam hatinya, "Hem. ternyata Akuwu Tunggul Ametung sedang jatuh cinta. Bagi orang yang sedang jatuh cinta, maka semuanya pasti akan direlakan. Bahkan nyawanya sekalipun. Apalagi miliknya yang lain."
Kesimpulan itu telah menenangkan Nyai Puroni sendiri. Ia tidak lagi heran melihat sikap Tunggul Ametung. Sebagai seorang yang telah lanjut usia, telah banyak yang dilihatnya tentang seorang yang jatuh cinta. Bahkan dalam cerita-cerita pun banyak yang telah didengarnya, seorang raja yang jatuh cinta pada seorang gadis padepokan, gadis seorang pendeta. Meskipun gadis itu melontarkan permintaan yang hampir tak masuk di akal, namun raja itu memenuhinya dengan janji, apabila kelak mereka berputra, maka kerajaan harus diserahkan kepada putra itu. Dan kini Akuwu Tunggul Ametung pun sedang dalam keadaan demikian. Tumapel telah dipertaruhkan, meskipun istilah yang dipergunakannya berbeda.
Sejenak mereka saling berdiam diri dengan angan-angan di kepala masing-masing. Akuwu Tunggul Ametung yang menjadi semakin gelisah dan Nyai Puroni yang telah menemukan sebab dari kegelisahan itu. Di luar pintu seorang emban masih saja tidur dengan nyenyaknya tanpa menghiraukan apa yang telah terjadi di dalam bilik itu. Bahkan seandainya Gunung Kawi itu runtuh, maka seakan-akan ia tidak akan dapat mendengarnya.
Baru sesaat kemudian, Tunggul Ametung menjadi seolah-olah menyadari dirinya sepenuhnya. Tertatih-tatih ia berjalan beberapa langkah, kemudian kepada Nyai Puroni ia berkata, "Rawat gadis itu baik-baik Nyai. Gadis itu adalah gadis yang sangat malang."
Nyai Puroni menyembah sambil menjawab, "Ya Tuanku. Akan hamba coba."
Akuwu itu pun kemudian berjalan keluar bilik sebelah kanan Di muka pintu masih dilihatnya seorang emban yang tidur nyenyak. Tiba-tiba timbullah iri di hatinya. Emban itu saja dapat tidur sedemikian nyenyaknya di lantai serta hanya beralaskan selembar selendang yang tipis. Kenapa ia, seorang Akuwu yang telah disediakan pembaringan yang hangat dan baik untuknya, masih juga tidak dapat tidur senyenyak itu" Karena itu, maka ketika Akuwu berjalan di samping emban yang tidur, dengan sengaja kakinya menginjak tangan emban itu, sehingga emban itu terkejut bukan main. Dengan serta-merta ia memekik kecil dan hampir saja ia mengumpat-umpat sejadinya. Untunglah segera ia membuka matanya, dan ketika dilihatnya akuwu berjalan menjauh segera ia bangkit sambil berkata tersendat-sendat, "Ampun Tuanku. Ampun."
Tetapi Tunggul Ametung sama sekali tidak berpaling ia berjalan terus meninggalkan ruangan pusat istananya dan masuk ke ruangan dalam. Langsung ia masuk ke dalam biliknya serta menjatuhkan dirinya di atas pembaringannya.
Ketika didengarnya langkah di luar pintu, ia membentak keras-keras, "Siapa itu?"
"Hamba Tuanku. Pelayan dalam yang sedang bertugas."
"Gila! Pergi! Aku mau tidur, mengerti?"
"Hamba Tuanku," sahut pelayan dalam itu sambil berjalan menjauh.
Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin jauh menuju ke ujung pagi. Di kejauhan terdengar ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Semakin lama semakin riuh seperti suara hati Tunggul Ametung. Namun dengan demikian akuwu itu menjadi jengkel bukan buatan. Ia ingin tidur sepulas-pulasnya, namun suara ayam jantan itu sangat mengganggunya. Bahkan ayam-ayamnya sendiri yang jumlahnya belasan itu pun berkokok pula bergantian.
Membaca Pikiran Orang 1 Sherlock Holmes - Noda Kedua Pohon Kramat 3

Cari Blog Ini