01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 14
"Hem," geram Ken Arok, "untunglah anak itu menjadi pingsan."
"Kenapa?" bertanya seorang perwira yang berdiri di sampingnya.
Ketika Ken Arok berpaling dan dilihatnya perwira itu bertolak pinggang, segera Ken Arok membungkukkan dadanya sambil berkata, "Tidak apa-apa, Tuan."
Namun di dalam hatinya ia berkata, "Kalau saja Kuda Sempana tidak pingsan, mungkin aku sudah membunuhnya. Hem, alangkah jahatnya hati ini. Kenapa aku masih saja mudah menjadi kehilangan penguasaan diri?"
Ternyata apa yang terjadi itu telah menyudutkan Kuda Sempana sendiri dalam keadaan yang sulit. Beberapa orang yang berdiri di sekitar arena, dan yang kemudian mencoba menolong mereka yang seakan-akan hampir pingsan kedua-duanya itu, menjadi tidak senang melihat sikap Kuda Sempana. Mereka mendapat kesan yang sangat buruk terhadap sifat anak muda yang sebenarnya memiliki beberapa kelebihan dari kawan-kawannya, bahkan dari beberapa orang prajurit.
Karena itu, ketika tiba-tiba terdengar Akuwu bertanya kepada mereka siapakah yang menang dalam perang tanding itu, maka jawab mereka mbata rubuh, "Witantra! Witantra telah menang!"
Suara itu bergema terus menerus beberapa lama. Hampir setiap orang mengulang-ulang kalimat itu, "Witantralah yang menang! Witantralah yang menang!"
Suara yang bergemuruh itu seakan-akan telah membangunkan Kuda Sempana dari pingsannya. Lamat-lamat ia mendengar suara itu, yang semula disangkanya suara Gunung Kawi yang runtuh menimpanya. Namun ketika kesadarannya telah hampir pulih kembali maka semakin jelaslah apa yang didengarnya itu. Bahkan akhirnya dapat didengarnya dengan pasti kalimat-kalimat yang telah diulang-ulang diucapkan oleh beberapa orang meskipun tinggal satu dua kali, "Witantralah yang menang!"
Bunyi dan makna kata-kata itu ternyata bagi Kuda Sempana jauh lebih dahsyat daripada seandainya Gunung Kawi runtuh menimpanya. Karena itu, maka tiba-tiba terasa darahnya mengalir semakin cepat dan semakin panas, sehingga seakan-akan terhimpunlah kembali segenap kekuatan di dalam tubuhnya. Dengan serta-merta ia bangkit berdiri sambil berteriak lantang, "Tidak! Witantra belum menang! Kuda Sempana masih hidup!"
Namun kembali ia dihinggapi oleh keadaannya yang wajar. Lemah dan hampir-hampir tak berdaya. Seperti orang yang kehilangan segenap tulang belulangnya, Kuda Sempana terhuyung-huyung. Untunglah beberapa orang lain cepat menangkapnya sehingga Kuda Sempana tidak lagi terbanting jatuh.
Ketika mata Kuda Sempana yang menjadi liar itu menatap berkeliling maka dilihatnya Witantra dengan lemahnya duduk di tanah sambil meraba-raba dadanya. Dan apa yang dilihatnya itu telah membangkitkan kembali harapannya, sehingga Kuda Sempana itu berteriak pula dengan suara gemetar, "Lihat! Lihat Witantra hampir mati. Mungkin dadanya pecah, atau bagian dalam dadanya remuk berkeping-keping."
Namun kembali mata Kuda Sempana menjadi gelap ketika ia mendengar akuwu mengulangi pertanyaannya kepada orang-orang yang berdiri di sekitar dan di dalam arena. "Siapakah yang menang?"
Tetapi kali ini tidak semua orang menyahut seperti pertanyaan itu diucapkan untuk yang pertama kali. Hanya beberapa orang yang yakin akan dirinya menjawab, "Witantralah yang menang."
Dan di antara suara mereka terdengar suara Ken Arok paling keras, "Witantralah yang menang!"
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya mereka yang kini menundukkan kepalanya tanpa berani menyebut nama Witantra, apalagi menjawab pertanyaannya. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahu pasti, apakah dirinya dapat menyamai kesaktian Kuda Sempana. Mereka tidak mau menjawab ketika diketahuinya Kuda Sempana telah sadar akan dirinya dan sadar tentang apa yang dihadapinya. Mereka tidak mau mendapatkan dendam dari anak muda itu. Tetapi mereka heran tidak habis-habisnya, bahwa seorang pelayan dalam yang baru, dengan beraninya menyatakan kemenangan Witantra di hadapan Kuda Sempana. Apakah ia tidak takut seandainya Kuda Sempana mendendamnya. Namun mereka tidak tahu bahwa Ken Arok sama sekali tidak takut kepada Kuda Sempana. Ken Arok sama sekali tidak heran, melihat Kala Bama, dan bahkan sama sekali tidak tercengang melihat tandang Kuda Sempana.
Beberapa orang yang belum mengenal Ken Arok merasa kasihan kepadanya, bahwa apa yang telah dilakukan itu akan dapat membuat Kuda Sempana marah kepadanya.
"Mungkin anak itu tidak tahu akan bahaya yang setiap saat dapat menerkamnya," gumam mereka di dalam hati, "atau mungkin ia sedang berusaha mendapatkan nama di hadapan Akuwu Tunggul Ametung. Dan bukankah anak itu pula yang tadi telah dipanggil untuk duduk di samping Akuwu."
Dalam pada itu terdengar Akuwu Tunggul Ametung berkata, "Nah, Kuda Sempana semua orang menjadi saksi. Witantra telah memenangkan perang tanding ini."
Terdengar gigi Kuda Sempana gemeretak. Dengan terbata-bata ia menjawab, "Tidak adil! Siapakah yang telah mengambil keputusan itu" Bukankah Tuanku lihat, alangkah lemahnya Kakang Witantra kini" Hamba telah mampu untuk berdiri tegak sendiri tanpa bersandar kepada orang lain namun apakah Kakang Witantra mampu berbuat demikian."
"Tetapi kau berbuat curang atasnya," bantah Tunggul Ametung, "ketika Witantra mencoba mendekatimu, pada saat kau terbanting karena kekuatan Aji Kala Bama itu sendiri, kau telah menyerangnya tanpa disangka-sangka."
"Itu adalah salahnya sendiri," sahut Kuda Sempana, "hamba belum dinyatakan kalah. Sehingga perkelahian itu belum berhenti. Apapun yang hamba lakukan masih dapat dianggap syah."
"Tidak!" potong Akuwu Tunggul Ametung, "Semua orang melihat itu sebagai suatu kecurangan."
"Siapa" Ayo siapa yang berani menjadi saksi bahwa aku telah berbuat curang," teriak Kuda Sempana tiba-tiba. Matanya dengan nanar memandangi setiap orang yang berdiri di sekitarnya. Kini ia telah tidak lagi memerlukan bantuan orang lain. Ia telah dapat berdiri sendiri betapapun lemahnya.
"Ayo siapa" Siapa yang berani menyatakan dirinya menjadi saksi?"
Tak seorang pun yang segera menjawab. Beberapa orang perwira prajurit sekalipun yang menjadi ngeri melihat Aji Kala Bama menjadi ragu-ragu. Namun ada pula di antaranya yang sudah siap untuk menerima akibat apapun dalam menyatakan kesaksiannya dengan jujur. Namun yang mula-mula menjawab adalah Ken Arok, "Aku! Aku adalah salah seorang saksi yang melihat kecuranganmu, Kakang Kuda Sempana. Kau menyerang bukan pada saatnya. Nah, apa katamu?"
Bukan main marahnya Kuda Sempana mendengar jawaban itu, sehingga tanpa sesadarnya ia melangkah maju. Meskipun langkahnya masih belum tegak benar, namun ia berkata, "Berkatalah sekali lagi Ken Arok. Mungkin aku masih mampu menyobek mulutmu itu."
Beberapa orang tergetar hatinya melihat kemarahan Kuda Sempana kepada Ken Arok. Beberapa orang menyesalkan anak muda yang lancang mulut itu. Sebaiknya ia berdiam diri saja. Biarlah orang lain yang menjawab pertanyaan Akuwu Tumapel. Sebab dengan demikian, maka jawaban itu akan membahayakan dirinya. Dan kini ternyata Kuda Sempana itu menjadi sangat marahnya kepada Ken Arok. Mungkin saat ini Kuda Sempana yang lemah itu tidak akan mampu berbuat apa-apa, tetapi nanti atau besok atau lusa, maka dendam yang tersimpan di dalam dadanya akan dapat meledak setiap saat.
Dengan cemas mereka melihat Kuda Sempana melangkah tertatih-tatih mendekati Ken Arok yang tidak bergerak dari tempatnya. Tetapi ada beberapa orang di antara mereka yang sama sekali tidak menjadi cemas melihat peristiwa itu. Akuwu Tunggul Ametung sendiri, Witantra dan kawan Ken Arok yang melihat anak muda itu memecahkan batu dengan jarinya.
"Ken Arok!" desis Kuda Sempana dengan marahnya, "Jangan membuat persoalan dengan Kuda Sempana. Apa kau sudah jemu hidup?"
Ken Arok masih tegak di tempatnya. Ketika Kuda Sempana menjadi semakin dekat, maka orang-orang yang melihatnya menjadi semakin cemas.
Di antara para perwira terdengar salah seorang berkata, "Kuda Sempana. Anak muda itu berkata sebenarnya. Witantralah yang menang. Apakah kau tidak mengakui kemenangannya?"
Kuda Sempana berpaling ke arah suara itu. Seorang perwira yang bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang. Ia mencoba menarik perhatian Kuda Sempana kepadanya, sebab ia sendiri merasa bahwa betapa saktinya Kuda Sempana, namun ia akan dapat mengimbanginya seandainya Kuda Sempana kelak mendendamnya.
Tetapi terdengar Kuda Sempana berdesis, "Bagus! Ada dua orang yang harus aku ingat di dalam arena ini. Pertama Ken Arok, dan kedua adalah seorang perwira yang perkasa itu."
Namun semua orang tiba-tiba terkejut mendengar Ken Arok tertawa. Sangat menyakitkan hati. Katanya, "Jangan ribut Kuda Sempana! Kalau kau ingin membuat soal-soal baru, aku tidak akan ingkar. Namun kali ini kau dikalahkan oleh Kakang Witantra."
"Diam!" teriak Kuda Sempana, "Diam, atau wajahmu aku hancurkan!"
"Kakang Kuda Sempana," sahut Ken Arok, "keadaanmu sekarang lemah sekali. Apakah yang dapat kau lakukan dalam keadaan itu. Nah. Biarlah tubuhmu menjadi kuat kembali. Marahlah kepada Ken Arok. Besok atau lusa. Tetapi sekarang sadarilah keadaanmu."
Tubuh Kuda Sempana bergetar karena kemarahan yang memuncak. Tetapi ia tidak dapat mengingkari keadaannya. Dikenangnya pada saat Ken Arok memukul mati seorang prajurit di perjalanan kembali dari Panawijen dengan satu kali pukulan. Dikenangnya apa yang dapat dilakukan anak muda itu ketika ia bertempur melawan Mahisa Agni. Karena itu, maka Kuda Sempana hanya dapat menggeretakkan giginya. Namun ia tidak berbuat apa-apa atas anak muda itu.
Meskipun demikian banyak di antara mereka yang semakin menyesalkan sikap Ken Arok itu, di samping mereka menjadi semakin muak melihat kesombongan Kuda Sempana. Namun di antara mereka tumbuh juga di dalam hatinya pertanyaan, "Apakah yang dapat dilakukan oleh Ken Arok itu sehingga ia berani menentang Kuda Sempana yang sudah dilihatnya memiliki ilmu yang sedahsyat itu?"
Demikianlah maka ketegangan itu dipecahkan oleh suara Akuwu Tunggul Ametung, "Kuda Sempana. Jangan mengingkari kenyataan. Witantra telah memenangkan perkelahian ini. Apakah kau tidak mengakuinya?"
Alangkah Kuda Sempana mendengar keputusan itu. ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya segenap mata memandang kepadanya dengan penuh tekanan, seakan-akan mereka itu telah bersekutu untuk menyatakan kekalahannya. Ketika sinar matanya sampai pada Witantra, maka dilihatnya orang itu telah berdiri tegak dan memandanginya pula dengan tajamnya.
Terasa dada Kuda Sempana berdesir. Di antara sekian banyak orang, ia merasa seorang diri. Semua orang seolah-olah telah memihak kepada Akuwu Tunggul Ametung. Bahkan beberapa orang kawan-kawannya pelayan dalam pun sama sekali tidak menunjukkan kesetiakawanan mereka. Apalagi pelayan dalam yang bernama Ken Arok itu. Karena itu maka hatinya serasa terbakar oleh kemarahan yang meluap-luap. Marah kepada Witantra, kepada Akuwu Tunggul Ametung, kepada semua orang yang berada di sekitarnya. Tetapi ia tidak segera dapat berbuat apa-apa.
Tiba-tiba otak Kuda Sempana yang licik itu mulai berputar. Ia kini mulai berpikir, apakah sebaiknya yang dilakukan. Disadarinya bahwa dalam keadaan yang demikian, ia tidak akan dapat menuruti perasaannya saja. Lambat laun disadarinya, bahwa para perwira yang berdiri di sekitarnya itu pun bukanlah anak-anak yang dapat ditakut-takutinya. Karena itu, maka tiba-tiba Kuda Sempana menganggukkan kepalanya sambil berkata lirih, "Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, hamba mengakui kekalahan hamba kali ini."
Beberapa orang menjadi lega mendengar pengakuan itu. Namun Witantra dan Ken Arok mengerutkan keningnya tinggi-tinggi seakan-akan, tersirat di dalam hati mereka bahwa Kuda Sempana tidak berkata sejujur hatinya. Dan ternyata mereka kemudian mendengar Akuwu Tunggul Ametung bertanya, "Kenapa kali ini" Apakah pada saat yang lain kau merasa bahwa kekalahan ini tidak wajar?"
Kuda Sempana menarik dahinya tinggi-tinggi. Sekali lagi ia mengangguk hormat sambil menjawab, "Ampun Tuanku. Hamba merasa kekalahan hamba."
Tetapi Akuwu Tunggul Ametung itu merasakan pula sesuatu yang tidak wajar pada Kuda Sempana, yang hanya dimiliki oleh akuwu itu sendiri. Jauh lebih tajam dari yang dirasakan oleh Witantra dan Ken Arok. Sehingga karena itu maka Akuwu itu berkata, "Kuda Sempana, kalau suatu ketika kau merasa bahwa kekalahanmu kali ini tidak adil maka biarlah kau mencoba untuk lain kali. Aku sendirilah yang akan turun ke arena."
Kuda Sempana tidak segera menjawab. Namun dari kedua matanya memacar sinar yang aneh. Sudah tentu ia tidak akan dapat berkata apapun di hadapan Tunggul Ametung saat ini. Tetapi amat banyaklah kata-kata yang tersimpan di hatinya. Amat banyaklah janji yang diucapkan di dalam hati itu. Janji untuk menuntut dendam.
"Biarlah kali ini aku melepaskan keinginanku untuk sesaat," geramnya di dalam hati, "bagiku hanya ada dua kemungkinan. Memiliki bunga dari lereng Gunung Kawi itu meskipun aku harus melenyapkan akuwu, atau memusnahkannya."
Tetapi Tunggul Ametung ternyata berprasangka pula atas sinar mata Kuda Sempana itu, sehingga sekali lagi ia berkata, "Kuda Sempana, dendammu kau simpan di dalam hati. Tetapi jangan kau sangka bahwa aku akan memusnahkanmu dengan kekuasaanku. Tidak. Dalam persoalan ini kita berhadapan sebagai laki-laki. Bukan sebagai orang yang berkuasa dan bawahannya. Yakinkanlah ini. Karena itu aku, Tunggul Ametung akan siap menghadapi setiap persoalan yang akan timbul karenanya."
Kuda Sempana menundukkan kepalanya. Tetapi terdengar giginya gemeretak. Sedang beberapa orang lain menjadi bingung. Bagaimana mungkin orang dapat memisahkan dirinya sendiri apabila akan dihadapinya kesulitan. Bagaimana mungkin Tunggul Ametung melepaskan hak dan kekuasaannya untuk mempertahankan keinginannya. Dan bagaimana mungkin Kuda Sempana sebagai seorang pelayan dalam masih harus keras kepala bersaing dengan Akuwunya.
"Gila!" desah beberapa orang di antara mereka, "Kenapa di istana ini timbul persoalan yang sedemikian anehnya, sehingga membuat beberapa orang pemimpin terpenting di Tumapel menjadi seakan-akan gila. Mereka telah melupakan adat dan tata cara. Mungkin mereka masing-masing ingin mempertahankan harga diri mereka sebagai seorang laki-laki. Atau gadis itu benar-benar memiliki daya yang dapat membuat orang-orang menjadi gila?"
Dalam pada itu Akuwu Tunggul Ametung pun segera bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu. Sesaat ia memandang berkeliling kemudian katanya, "Sayembara tanding ini telah selesai. Witantra memenangkan pertandingan sehingga ia mempunyai wewenang atas kemenangannya."
Kemudian kepada Witantra ia berkata, "Kau boleh beristirahat dahulu Witantra, nanti malam datanglah ke istana bersama Ken Arok. Sekarang biarlah Ken Arok mengantarmu pulang."
Sekali lagi para perwira dan para pemimpin pelayan dalam yang lain, kecuali Kuda Sempana terkejut. Ken Arok sekali lagi mendapat kehormatan untuk menghadap akuwu. Sehingga mau tidak mau mereka terpaksa mengaitkan anak muda itu dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di saat-saat terakhir. Mungkin karena Ken Arok pada saat itu ikut serta dalam rombongan akuwu ke Panawijen sehingga anak muda itu dianggap banyak mengetahui persoalan-persoalan yang telah timbul. Mungkin akuwu melihat beberapa kelebihan pada anak muda itu. Namun ada juga yang sedang berpikir, "Mungkin Akuwu sedang menyuap Ken Arok, supaya ia tidak mengatakan apa yang diketahuinya tentang gadis Panawijen itu."
Tetapi orang-orang itu kemudian melepaskan semua kesibukan angan-angan serta pikirannya. Sambil menggelengkan kepala, seakan-akan mengusir persoalan-persoalan yang tak mereka ketahui dengan pasti itu, mereka pergi meninggalkan halaman belakang istana setelah akuwu pun kemudian berjalan kembali ke istana diantar oleh beberapa orang pelayan dalam dan beberapa orang.
Beberapa orang masih bercakap-cakap mempercakapkan apa yang telah mereka lihat. Namun beberapa orang lagi menganggap persoalan itu telah selesai. Berkata di antara mereka, "Ah, biarlah persoalan itu berlaku. Aku tidak berkepentingan sama sekali. Bukankah dengan perang tanding ini semuanya telah selesai?"
Kawannya yang berjalan-jalan di samping tersenyum sambil menjawab, "Barangkali kau tidak mau dipusingkan oleh soal-soal yang tak berarti. Tetapi kami lupa bahwa Kuda Sempana masih menyimpan dendam di dalam hatinya. Nah, bukankah itu bagaikan api disimpan dalam sekam."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, "He, apakah kau telah melihat gadis itu?"
Kawannya menggeleng lemah.
"Kalau sudah, mungkin kau akan turut serta dalam sayembara tanding itu," berkata kawan itu lagi.
Orang yang berjalan di samping tertawa. Ketika disadarinya beberapa orang berpaling kepadanya, maka dengan serta-merta suara tertawanya terputus. "Jangan main-main," gumamnya, "kalau istriku mendengarnya, maka ia akan berontak."
Kedua orang itu tersenyum, tetapi mereka tidak berkata-kata lagi. Mereka melihat kemudian Kuda Sempana berjalan tergesa-gesa melampaui mereka, meskipun masih nampak betapa ia sangat lemah. Beberapa orang menarik nafas dalam melihat anak muda yang keras kepala itu. Namun yang lain memalingkan wajahnya.
Sesaat kemudian arena itu telah menjadi sunyi kembali. Semua orang telah pergi. Yang tinggal hanyalah Witantra dan Ken Arok. Mereka berdiri saja mengawasi punggung-punggung yang membelakangi mereka, semakin lama semakin jauh.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa Kuda Sempana tidak akan tinggal diam untuk seterusnya. Namun Ken Arok pun mengetahui pula, bahwa Kuda Sempana mendendamnya.
"Anak yang keras kepala," gumam Witantra.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, "Ya. Sungguh-sungguh keras kepala."
Sesaat mereka terdiam. Di regol halaman belakang masih dilihat oleh mereka, punggung-punggung yang terakhir meninggalkan halaman itu.
"Marilah Adi, kita pulang."
"Aku mendapat perintah untuk mengantar Kakang."
Witantra tersenyum. Namun ia menjawab, "Marilah antarkan aku."
Ketika keduanya mulai melangkah meninggalkan tempat itu, tiba-tiba langkah mereka terhenti. Lamat-lamat mereka mendengar suara Daksina.
"Hem," gumam Ken Arok, "anak itu sama sekali tidak memedulikan apa saja."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Suara Daksina memang baik, seperti desir angin yang kadang-kadang lembut, namun kadang-kadang deras menyentak, bahkan kadang-kadang bagaikan prahara yang melanda pepohonan dan menghentak gelombang di lautan. Namun kemudian kembali terdengar suaranya yang lembut, selembut gemeresik angin pagi mengusap ujung dedaunan.
"Smaradahana," gumam Witantra.
Ken Arok hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia telah banyak pula belajar tentang banyak hal mengenai kitab-kitab dan pengetahuan dari seorang pendeta yang memungutnya dari padang rumput Karautan, tetapi pengetahuan itu masih jauh dari cukup. Meskipun demikian, ternyata jiwanya mampu pula menerima sentuhan yang halus dari suara Daksina.
"Apakah kau pernah membaca kakawin itu?" bertanya Witantra.
Ken Arok menggeleng, "Belum."
"Cerita tentang Dewa Cinta, Kama dan istrinya Ratih."
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sama sekali belum pernah membaca cerita itu, meskipun sedikit ia pernah juga mendengar tentang Dewa Kama yang terbakar oleh sinar mata Siwa yang sedang tiwikrama menjadi Rudra.
"Cerita yang amat menarik," Witantra meneruskan, "terutama bagi anak-anak muda. Sindiran terhadap Baginda Kameswara dari Kediri beberapa puluh tahun hampir seabad yang lampau."
Kembali Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Daksina memilih cerita itu," Witantra melanjutkan, "karena ia tahu, bahwa di arena ini menyala persoalan yang langsung menjangkiti cinta anak-anak muda. Meskipun aku yang harus maju ke arena, namun aku hampir tidak berkepentingan selain aku ingin melihat kesewenang-wenangan Kuda Sempana dibatasi."
Ken Arok masih belum menjawab selain mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia senang pula mendengar suara Daksina yang bening bersih.
"Sebaiknya anak itu berhenti membaca," tiba-tiba Witantra bergumam.
"Kenapa?" bertanya Ken Arok.
"Apabila Akuwu mendengar, maka ia marah. Ia merasa bahwa anak itu menyindir."
"Tidak. Bukankah Akuwu bersungguh-sungguh dengan alasannya itu. Bukankah kemudian gadis itu akan dikembalikan ke Panawijen?"
Witantra tersenyum, jawabnya, "Kalau gadis itu bersedia, maka apakah halangannya seandainya Akuwu pun benar-benar menghendakinya, bukankah dengan demikian Ken Dedes akan merasa sedikit terhibur karenanya?"
Ken Arok mengerutkan keningnya. Gumamnya, "Tidak baik. Sebaiknya Akuwu menyerahkannya kembali kepada ayahnya."
"Kecuali kalau gadis itu menolak Akuwu. Seharusnya Akuwu menyerahkannya kembali kepada ayahnya. Tetapi kalau gadis itu bersedia, apakah salahnya?"
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak menjawab, tetapi hatinya berkata, "Tidak. Seharusnya Akuwu benar-benar bersih dari segenap pamrih mengenai gadis itu. Kalau Akuwu bersedia mengembalikan Ken Dedes kepada ayahnya, maka Akuwu benar seorang yang berhati jantan. Seorang yang bersedia mengakui kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Meskipun Wiraprana tak akan mungkin dihidupkan lagi, tetapi setidak-tidaknya di dalam lingkungan keluarganya Ken Dedes akan mendapatkan hiburan."
Tetapi tiba-tiba terdengar suara yang lain di dalam lubuk hatinya, "Bagaimanakah kalau Ken Dedes merasa terhibur, apabila ia menjadi permaisuri akuwu."
Tiba-tiba wajah Ken Arok menjadi tegang, ia tidak tahu apakah sebabnya ia menjadi risau mengenai nasib gadis itu seterusnya. "Persetan!" geramnya di dalam hati.
Ken Arok itu kemudian terkejut ketika Witantra berkata, "Marilah Adi, apakah kau akan mengantarkan aku pulang?"
"Oh," sahut Ken Arok tergagap, "Ya, aku akan mengantarkan Kakang pulang. Sebaiknya aku tidak kembali ke barak. Kalau Kuda Sempana datang ke bilikku, dan aku kehilangan kesabaran, maka kami pasti akan bertengkar."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, "Tinggallah sehari ini di rumahku. Mudah-mudahan besok atau lusa Kuda Sempana telah dapat berpikir bening, sehingga ia akan dapat melupakan segala peristiwa yang telah terjadi atasnya."
"Mudah-mudahan," desis Ken Arok. Namun kemudian ia berkata, "Sebentar, aku akan menyuruh Daksina berhenti membaca."
Witantra tersenyum. Dibiarkannya Ken Arok melangkah ke gubuk di sudut dibalik dinding halaman belakang istana. Sesaat setelah Ken Arok itu menghilang dibalik dinding, maka suara Daksina pun berhenti.
Keduanya itu pun kemudian pergi meninggalkan halaman belakang istana itu pergi ke rumah Witantra. Kuda-kuda mereka masih tertambat di tempatnya. Dan sejenak kemudian terdengarlah kaki-kaki sepasang kuda berlari meninggalkan istana Tumapel.
Dalam pada itu, Akuwu Tunggul Ametung berjalan tergesa-gesa kembali ke istana. Tetapi ia sama sekali tidak langsung menuju ke biliknya. Dengan tergesa-gesa seakan-akan ia akan kehilangan kesempatan, akuwu itu berjalan masuk ke ruang dalam, dan langsung menuju ke sentong tengen.
Sejenak Tunggul Ametung berdiri diam di muka bilik itu. Ia tidak mendengar sesuatu kecuali nafas yang memburu. Namun sesaat kemudian terdengar langkah seorang keluar dari bilik itu.
Demikian melampaui warana, emban yang ikut merawat Ken Dedes terkejut melihat Akuwu Tunggul Ametung berdiri tegak di muka pintu, sehingga dengan tergesa-gesa ia bersimpuh sambil menyembah, "Ampun Tuanku."
Akuwu Tunggul Ametung menggeleng lemah, jawabnya, "Tidak apa-apa. Aku ingin menengok gadis itu."
Emban itu masih bersimpuh sambil menundukkan wajahnya. Perlahan-lahan ia berkata, "Gadis itu masih belum tenang benar, Tuanku."
Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya, "Apakah sekarang gadis itu tertidur?"
Emban itu menggeleng, "Tidak Tuanku."
"Apakah aku boleh masuk?" bertanya akuwu itu.
Emban itu heran mendengar pertanyaan Tunggul Ametung. Tunggul Ametung adalah Akuwu Tumapel. Tunggul Ametung adalah pemilik istana ini, dan semua orang akan tunduk pada perintahnya. Tetapi tiba-tiba akuwu itu bertanya kepadanya, apakah ia boleh masuk ke dalam bilik ini. Karena itu, maka emban itu pun menjadi bingung, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu.
"Bagaimana, apakah boleh masuk?" desak Tunggul Ametung.
"Ya. Ya." emban itu tergagap, "sekehendak Tuankulah."
Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, "Terima kasih. Aku akan masuk ke sentong tengen."
Emban itu menjadi semakin tidak mengerti. Kenapa Akuwu berterima kasih kepadanya. Namun Akuwu itu tidak berkata apa-apa lagi. Perlahan-lahan ia melangkah maju. Melampaui tlundak pintu, kemudian melingkari warana memasuki ruang tidur Ken Dedes yang masih saja ditunggui oleh Nyai Puroni.
Tetapi demikian Tunggul Ametung masuk, akuwu itu terkejut bukan buatan. Tiba-tiba saja, ketika Ken Dedes melihatnya, dengan serta-merta gadis itu bangkit dan menunjuk wajahnya. Sambil berkata lantang, "Nah, kaulah Tunggul Ametung. Kaulah sumber dari bencana yang menimpa keluargaku. Ayo kembalikan aku ke Panawijen, atau bunuh aku sama sekali."
Sesaat akuwu berdiri mematung. Ia adalah akuwu yang memegang seluruh kekuasaan Tumapel di tangannya. Ia adalah orang yang paling berkuasa di dalam dan di luar istana. Juga di Panawijen. Tiba-tiba gadis itu menudingnya sambil membentaknya tanpa takut.
Yang terdengar kemudian adalah suara Nyai Puroni cemas, "Nini, tenanglah Ngger. Tenanglah. Tidurlah, biarlah nanti aku memberitahukan kepadamu, apa yang telah terjadi, Jangan risau anakku dan jangan menjadi bingung. Tuanku Tunggul Ametung adalah Akuwu Tumapel."
"Apa peduliku, apakah Tunggul Ametung menjadi Akuwu, apakah ia menjadi Maharaja sekalipun, namun ia tidak lebih dari seorang perampok yang keji. Ayo, Tunggul Ametung. Bunuhlah aku."
Tunggul Ametung adalah seorang yang aneh. Seorang yang mudah tersinggung, dan seorang yang mudah pula menjadi sangat cemas apabila tiba-tiba akuwu itu kehilangan kesabaran. Ia tidak tahu, apakah yang telah terjadi, namun mengumpati Tunggul Ametung adalah berbahaya sekali bagi keselamatannya.
Tetapi Nyai Puroni itu benar-benar menjadi heran. Ia melihat akuwu yang garang itu, berdiri kaku di tempatnya. Kepalanya terkulai tunduk dalam-dalam. Sepatah kata pun ia tidak menyahut dan bahkan akuwu itu sama sekali tidak berani menatap wajah gadis yang sedang marah itu.
Sekali-kali Tunggul Ametung mencoba mengangkat wajahnya, namun kembali ia tertunduk. Bahkan kemudian tubuhnya menjadi gemetar dan terasa seakan-akan dadanya bergetaran.
"Apakah aku benar-benar sudah gila," desahnya di dalam hati. Karena ketika ia mencoba memandang gadis itu, ia dikejutkan oleh cahaya yang berkilat cerah. Namun setiap kali ia berusaha memandang cahaya itu tak dapat tertangkap oleh wadagnya.
Sementara itu masih terdengar suara Ken Dedes lantang, "Ayo Tunggul Ametung. Kenapa kau berdiri saja seperti patung" Bukankah kau mempunyai seribu pusaka di istanamu. Ayo, ayo, bukankah di lambungmu itu tergantung senjata sipat kandel Tumapel" Kenapa kau diam saja seperti patung?"
Desir di dada Tunggul Ametung menjadi semakin tajam. Baru kini disadarinya, bahwa pusakanya masih tergantung pada ikat pinggangnya. Pusaka yang tidak setiap orang pernah melihatnya.
Nyai Puroni menjadi semakin cemas. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Usahanya untuk meluluhkan hati Ken Dedes selalu sia-sia.
Tetapi kembali Nyai Puroni terkejut ketika mendengar sendiri mulut Akuwu Tunggul Ametung itu berdesis, "Maafkan aku Ken Dedes. Aku sama sekali tidak sengaja membuat kau mengalami nasib yang sedemikian jeleknya."
Mata Ken Dedes itu pun menjadi semakin menyala karenanya. Dan terdengar suaranya lantang, "Jangan bersembunyi Tunggul Ametung! Kau datang membawa bencana di padepokan ayahku. Kau telah membawa bencana bagi keluargaku, bagi hidupku. Kenapa kau tidak saja membunuh aku" Kenapa kau lindungi Kuda Sempana yang biadab itu" Kenapa?"
Akuwu masih menundukkan kepalanya. Suatu hal yang hampir tidak pernah dilakukan. Di hadapan setiap utusan maharaja di Kediri sekalipun Tunggul Ametung selalu menengadahkan wajahnya. Namun kini, di hadapan seorang gadis pedesaan Tunggul Ametung itu tunduk tumungkul seperti seorang tawanan.
Dan terdengar kemudian Tunggul Ametung itu menjawab perlahan-lahan, "Ken Dedes. Aku telah mencoba memperbaiki kesalahanku. Kuda Sempana tidak akan dapat mengganggumu lagi."
Ken Dedes itu terhenyak sejenak. Tampaklah kerut-kerut di wajahnya yang pucat.
"Apa katamu?" terdengar ia bertanya untuk meyakinkan.
"Kuda Sempana tidak akan dapat mengganggumu lagi," sahut Akuwu.
"Kenapa?" Seperti anak-anak yang mendapat pertanyaan-pertanyaan dari ibunya yang sedang marah, Tunggul Ametung menjawab dengan jujur. "Kuda Sempana telah dikalahkan dalam perang tanding, dengan perjanjian, untuk seterusnya ia harus melepaskan tuntutannya atas dirimu."
Ken Dedes tidak segera mengerti keterangan Akuwu Tunggul Ametung itu. Apakah yang dimaksud dengan perang tanding yang dapat melepaskan tuntutan Kuda Sempana atas dirinya" Karena itu maka untuk sejenak Ken Dedes terdiam. Tanpa mengenal takut, ditatapnya wajah Tunggul Ametung, yang tunduk. Tetapi Akuwu itu tidak meneruskan kata-katanya sebagai penjelasan.
Karena itu, maka terdengarlah suara Ken Dedes, "Apakah maksudmu Tunggul Ametung?"
Alangkah janggalnya panggilan itu di telinga Nyai Puroni serta emban yang duduk di pintu. Ken Dedes langsung menyebut nama Akuwu Tunggul Ametung tanpa sebutan apapun.
Kalau Akuwu itu kemudian menyadarinya, maka ia pasti akan sangat marah. Bahkan seandainya dirinya sendiri, atau emban yang duduk di pintu itu, bahkan seorang senapati pun, apabila berani mengucapkan nama akuwu itu tanpa sebutan apapun maka adalah suatu pertanda bahwa hidupnya akan mendapat kesulitan.
Tetapi sekarang, gadis pedesaan itu dengan beraninya bahkan dengan menuding wajah akuwu itu. Aneh. Apakah yang sebenarnya telah terjadi"
Tunggul Ametung sendiri tidak segera menjawab pertanyaan Ken Dedes itu. Sekali ia mengangkat wajahnya namun ketika dilihatnya mata gadis itu, kembali ia menunduk. Mata yang memancarkan tuntutan atas kesalahan yang pernah dilakukannya. Mata yang memancarkan jeritan hatinya yang duka. Dan mata yang memancar itu adalah mata seorang gadis yang aneh. Seorang gadis yang seakan-akan memiliki cahaya yang bersinar dari tubuhnya. Cahaya yang membuat Akuwu Tunggul Ametung itu merasa dirinya hampir menjadi gila. "Gadis itu bukan gadis kebanyakan," desis Akuwu Tunggul Ametung di dalam hatinya.
Karena Tunggul Ametung tidak segera menjawab, maka terdengar Ken Dedes mengulangi pertanyaannya, "He Tunggul Ametung, apakah yang kau maksud dengan perang tanding" Dan apakah hubungannya dengan Kuda Sempana?"
Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ia ingin mencoba menyampaikan beberapa penjelasan mengenai perang tanding itu. Mencoba mengatakan kepada Ken Dedes bahwa dengan kekalahan Kuda Sempana dalam perang tanding itu, maka tuntutannya atas Ken Dedes telah digugurkan. Ia mengambil gadis itu dengan kekerasan, maka dengan kekerasan pula usaha itu telah digagalkan.
"Gila!" teriak Ken Dedes. Napasnya tiba-tiba menjadi sesak dan dengan terbata-bata ia berkata, "Kenapa aku, kau perlakukan seperti itu Tunggul Ametung. Kenapa aku kalian perlakukan seperti barang yang dapat kalian perebutkan dengan berkelahi dan saling membunuh sekalipun. Tunggul Ametung, Akuwu yang memiliki kekuasaan tertinggi di Tumapel, kenapa kau berbuat demikian" Kenapa kau menganggap bahwa aku tidak lebih daripada barang yang seandainya paling berharga sekalipun, sehingga dipertaruhkan dengan nyawa" Tidak. Aku mempunyai pendirianku sendiri. Aku mempunyai kehendak, akal dan penilaian atas persoalanku. Bukan kalian yang akan menentukan jalan hidupku. Tetapi aku. Aku sendiri."
Peristiwa itu adalah peristiwa yang benar-benar aneh bagi Nyai Puroni. Aneh, karena semang gadis pedesaan dengan beraninya menentang Akuwu, membaluti kata-katanya kata dengan kata, kalimat dengan kalimat. Tak pernah dijumpai sepanjang umurnya seorang gadis yang sedemikian beraninya. Setiap perempuan di Tumapel, setiap gadis, pada umumnya selalu menundukkan kepalanya, menerima nasib yang diletakkan oleh orang Tuanya, oleh suaminya apalagi seorang akuwu atasnya. Tetapi gadis ini tidak berbuat demikian.
Namun, Akuwu Tunggul Ametung adalah orang yang benar-benar aneh. Semakin banyak Ken Dedes berbicara, semakin tajam Ken Dedes mengumpat-umpatinya, hatinya menjadi semakin tertarik kepada gadis itu. Gadis itu baginya menjadi seakan-akan sebuah mutiara yang bercahaya dengan sinarnya. yang tajam menusuk langsung ke ulu hatinya.
Gadis yang berani itu pasti memiliki kekhususannya dari gadis-gadis yang lain. bahkan gadis kota sekalipun. Meskipun gadis itu gadis pedesaan, namun tanda-tanda yang dirasakan oleh Akuwu Tunggul Ametung menjadikannya semakin yakin, bahwa gadis itu adalah gadis yang memiliki kelebihan-kelebihan.
Karena itulah maka sekali lagi Akuwu ingin menjelaskan persoalan yang dikehendakinya dengan perang tanding itu. Katanya, "Ken Dedes. Karena aku mempunyai penilaian yang demikian atasmu, bahwa kau memiliki pendirian, penilaian dan lebih-lebih lagi adalah hak atas dirimu sendiri dan jalan hidupmu, maka aku telah melepaskan kau dari Kuda Sempana."
"Apakah artinya itu?" bertanya Ken Dedes.
"Kau kini dapat menentukan hidupmu sendiri. Tidak ada keharusan bagimu untuk tunduk pada setiap kehendak orang lain kecuali atas kerelaan hatimu."
"Tetapi apa artinya kedatangan kalian ke Panawijen. Kau tidak mencegah perbuatan Kuda Sempana, dan bahkan kau melindunginya."
"Aku terdorong dalam kekhilafan, Ken Dedes. Kuda Sempana telah menipuku."
"Kau dapat menghukumnya, bahkan menghukum mati sekalipun."
"Ya. Tetapi aku sendiri telah melakukan kesalahan pula. Karena itu aku tidak dapat menghukumnya karena alasan itu, sebab ia berbuat dalam perlindunganku. Satu-satunya cara untuk menebus kesalahanku itu adalah membebaskan kau dari tangannya dengan cara yang sama seperti yang dilakukannya atas keluargamu."
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Ia merasakan di dalam hatinya bahwa Akuwu Tunggul Ametung itu berkata dengan jujur. Ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam dadanya, seakan-akan semua kemarahan dan luapan perasaannya perlahan-lahan menjadi tenang.
Meskipun demikian, hati Ken Dedes itu masih juga gelap. Apakah yang akan terjadi atas dirinya selanjutnya. Apabila seseorang telah berhasil melepaskannya dari Kuda Sempana, lalu apakah hak orang itu atas dirinya" Apakah dengan demikian ia hanya akan berpindah tangan kepada orang yang bahkan sama-sama sekali tak dikenalnya" Bagaimana kalau ada orang lain yang berbuat demikian pula atas orang yang kedua itu"
Tiba-tiba teringatlah Ken Dedes itu kepada Mahisa Agni. Kenapa kakaknya itu membiarkannya dilarikan oleh Kuda Sempana" Apakah Mahisa Agni tidak tahu apa yang terjadi atasnya" Kalau saja Mahisa mengetahui, bahwa dengan perang tanding dirinya akan dapat dibebaskan, ia mengharap, bahwa pada waktu ketika Mahisa Agni datang ke Tumapel dan melepaskannya. Tetapi kapan" Sehari, seminggu atau sebulan. Atau sesudah ia kehilangan harapan untuk dapat kembali ke padepokan"
Dalam pada itu, maka kembali terdengar Ken Dedes bertanya, "Akuwu Tunggul Ametung. Setelah perang tanding ini berlangsung, dan menurut katamu, setelah aku dapat dibebaskan dari Kuda Sempana, lalu apakah aku akan dapat segera pulang?"
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan Tunggul Ametung. Tiba-tiba ia dihadapkan pula suatu masalah yang sangat berat baginya. Seharusnya, menurut rencananya semula, ia hanya ingin membebaskan Ken Dedes dari tangan Kuda Sempana sebagai tebusan atas kesalahannya. Tetapi tiba-tiba alangkah beratnya untuk melepaskan gadis itu pulang kembali ke Panawijen. Alangkah sulitnya untuk memenuhi rencananya. Setelah ia melihat Ken Dedes dari dekat, setelah ia mendengar Ken Dedes menangis, dan setelah ia sendiri melihat Ken Dedes dengan beraninya mempertahankan kebebasannya untuk menentukan jalan hidupnya, serta setelah ia melihat gadis itu dengan tabahnya mengumpat-umpatinya, maka tiba-tiba Tunggul Ametung benar-benar telah terpesona. Ken Dedes telah benar-benar menarik hatinya. Karena itu, ketika ia mendengar pertanyaan Ken Dedes itu, hatinya seolah-olah membeku. Tak ada jawaban yang dapat diberikannya.
"Akuwu," Ken Dedes mengulang," bagaimana?"
Tunggul Ametung tergagap. Ia harus menjawab. Tetapi ia tidak segera mendapatkan jawaban itu. Sehingga kembali terdengar Ken Dedes mendesaknya, "Akuwu Tunggul Ametung, apakah aku segera dapat kembali pulang?"
Tiba-tiba dalam kebingungan Tunggul Ametung bertanya, "Ken Dedes. Kalau kau ingin segera pulang, apakah yang menarik bagimu di Panawijen?"
Ken Dedes merasa aneh mendengar pertanyaan itu sehingga sahutnya, "Panawijen adalah tempat kelahiranku. Panawijen adalah padepokan ayahku. Panawijen adalah tempat aku bermain bersama kakakku Mahisa Agni, dan Panawijen adalah tempat aku menyongsong masa depanku."
Tunggul Ametung menjadi semakin bingung. Dan dalam kebingungan itu ia menjawab, "Ya. Ken Dedes. Sebenarnya kau akan segera dapat pulang ke kampung halaman, tetapi aku takut, apabila dengan demikian luka di hatimu akan menjadi semakin parah,"
Mendengar jawaban itu, maka kegelisahan di hati Ken Dedes menjadi menyala kembali. Dengan penuh ketegangan ia memandang Akuwu Tunggul Ametung.
Terdengarlah kemudian suaranya gemetar, "Kenapa Akuwu?"
Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi ragu-ragu sesaat. Tetapi ia telah terdorong menyatakan tentang luka di hati gadis itu. Karena itu ia menjawab, "Ken Dedes, Terserahlah kepadamu seandainya kelak kau ingin kembali ke Panawijen. Tetapi jangan segera."
"Kenapa" Ya, kenapa?"
Tunggul Ametung terdiam sesaat. Dicobanya menatap wajah gadis itu. Namun kembali ia menundukkan kepalanya. Di dalam mata Ken Dedes itu seakan-akan tercermin segenap kesalahan, kekhilafan dan ketergesa-gesaan yang pernah dilakukannya. Seakan-akan dilihatnya kembali bagaimana Kuda Sempana datang kepadanya, dan mengusulkan untuk pergi berburu ke arah lain daripada arah Panawijen. Diingatnya bagaimana Kuda Sempana merajuknya, mengatakan kepadanya bahwa ia ditolak karena seorang pelayan dalam Akuwu Tumapel.
"Gila!" geramnya di dalam hati. Ia menyesal bahwa ia terlalu cepat mengambil keputusan. Namun itu adalah sifat-sifatnya yang dibawanya sejak ia dilahirkan. Tergesa-gesa, lekas marah dan kadang-kadang kurang pertimbangan.
Sekarang ia mengalami keguncangan akibat sifat-sifatnya itu. Sifat-sifatnya yang kurang menguntungkannya. Baik sebagai seorang akuwu, maupun sebagai manusia yang bergaul di antara sesama.
Dan sekarang ia harus menjawab pertanyaan Ken Dedes yang mendesak itu, "Kenapa?"
"Ken Dedes," jawab Tunggul Ametung, "tinggallah di sini beberapa saat. Kemudian kau akan dapat mengambil keputusan menurut kehendakmu. Tetapi jangan tergesa-gesa kembali. Biarlah kelak aku sendiri akan mengantarkanmu."
"Tetapi aku ingin tahu, kenapa luka hatiku akan menjadi semakin parah?"
Ketika Akuwu tidak segera menjawab, maka angan-angan Ken Dedes sendiri telah beredar, mencoba mencari jawabnya. Tiba-tiba dikenangnya, bahwa pada saat Kuda Sempana mengambilnya, Wiraprana telah dijatuhkannya. Apakah yang terjadi atas anak muda itu seterusnya" Dalam kegelisahan, kebingungan dan ketakutan pada saat itu ia melihat Wiraprana terbanting jatuh. Ia masih dapat mengingat kembali, ketika tiba-tiba ia menjatuhkan dirinya. pada anak muda itu. Dikenangnya betapa pucat wajah Wiraprana saat itu. Dan apakah saat itu Wiraprana masih bernafas" Tiba-tiba Ken Dedes yang duduk dengan tegangnya itu memekik kecil. Ditutupinya wajahnya dengan kedua tangannya seakan-akan ingin menghilangkan bayangan-bayangan yang hilir mudik di dalam rongga mata hatinya.
"Wiraprana," desisnya, "bagaimana dengan Wiraprana?"
Tunggul Ametung terkejut mendengar Ken Dedes memekik dan kemudian menyebut nama anak muda yang ternyata telah terbunuh itu.
Sentong tengen itu sesaat dicengkam oleh kesepian yang tegang. Ken Dedes mencoba menunggu apakah Akuwu Tunggul Ametung dapat memberinya keterangan tentang Wiraprana. Namun Akuwu Tunggul Ametung itu menjadi terpaku diam, keragu-raguan dan kecemasan merayap-rayap di dalam dadanya. Apakah akibatnya seandainya diberitahukannya tentang nasib Wiraprana itu"
Tetapi Ken Dedes itu kemudian mendesaknya, "Akuwu, bagaimanakah dengan Wiraprana itu?"
Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dicobanya mengingkari, katanya, "Aku tidak tahu apa yang terjadi kemudian Ken Dedes. Aku pergi bersama Kuda Sempana meninggalkan Panawijen. Aku melihat Wiraprana terjatuh, tetapi aku tidak tahu apa yang terjadi kemudian. Bukankah kau juga melihatnya."
"Ya. Aku melihat. Tetapi aku segera menjadi tak sadar lagi. Nah, apakah yang telah terjadi?"
"Aku tidak tahu."
"Bohong!" Sekali lagi Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam. Ia kini benar-benar menjadi bingung. Nyai Puroni yang melihat percakapan itu dengan penuh keheranan, melihat, seakan-akan yang berdiri dengan gelisah dan cemas itu bukan Akuwu Tunggul Ametung yang dikenalnya sehari-hari. Bukan seorang yang keras hati, yang membentak-bentak dan berteriak-teriak. Bukan seorang yang aneh seperti yang sering dilakonkannya atas hamba-hambanya. Sekali waktu dipukulnya seorang pelayan dalam, namun tiba-tiba orang itu dipanggilnya, dan diberinya ia hadiah sepotong kain panjang. Atau pernah seorang emban disiramnya dengan air jahe yang terlalu pedas, tetapi ketika ia melihat emban itu menangis, maka segera diberinya emban itu uang.
Sekarang Tunggul Ametung benar-benar seperti seorang anak yang merasa dirinya berdosa terhadap orang Tuanya. Seperti seorang anak yang menghadapi ibunya yang sangat diseganinya. Tunduk dan gelisah.
Yang terdengar kemudian adalah suara Ken Dedes serak, "Akuwu, bagaimanakah nasib Wiraprana itu?"
Tiba-tiba pecahlah ketahanan Tunggul Ametung mendengar pertanyaan itu. Seperti orang yang berbuat tidak atas kehendaknya sediri ia berkata, "Wiraprana terbunuh."
Alangkah dahsyatnya suara itu terdengar di telinga Ken Dedes, seperti petir yang langsung menyambar dinding-dinding hatinya. Meledak dan seakan-akan memecahkan jantungnya. Sesaat Ken Dedes terpaku seperti patung. Namun tiba-tiba gadis itu menjatuhkan dirinya di pembaringan sambil menelungkupkan wajahnya. Sekali ia memekik, menyebut nama Wiraprana, kemudian ia tenggelam dalam tangisnya yang sedih.
"Hem," Akuwu Tunggul Ametung berdesah. Ditatapnya gadis yang malang itu. Ketika terdengar olehnya tangis itu semakin keras, maka kembali penyesalan menghentak-hentak dada Akuwu Tunggul Ametung. Dan sejalan dengan itu, maka keinginannya untuk menebus kesalahannya pun menjadi semakin besar.
Tiba-tiba terdengarlah suara Tunggul Ametung itu dalam nada yang rendah, "Maafkan aku, Ken Dedes."
Ken Dedes masih menangis terus, seakan-akan ia tidak mendengar kata-kata itu. Tetapi akuwu itu kemudian melangkah maju, benar-benar seperti tidak atas kehendak sendiri. Dua langkah dari pembaringan Ken Dedes, Tunggul Ametung berhenti. Dari antara bibirnya itu kemudian terloncat kata-kata, "Ken Dedes. aku minta maaf kepadamu. Aku telah berusaha berbuat apa saja untuk mengurangi kesalahanku. Kalau apa yang sudah aku lakukan itu masih belum cukup bagimu Ken Dedes, maka apa saja yang kau ingini seterusnya pasti akan aku penuhi. Aku adalah Akuwu Tumapel. Kekuasaanku atas tanah ini berada di tanganku."
"Tuanku," potong Nyai Puroni yang menyangka bahwa Tunggul Ametung benar-benar telah kehilangan segala pengamatan diri. Ia ingin memperingatkan kepadanya, supaya setiap kata dan perbuatannya benar-benar dipertimbangkan sebaik-baiknya. Tetapi sebelum ia berkata lebih lanjut, Akuwu Tunggul Ametung telah berkata, "Ken Dedes. Berkatalah. Apakah yang kau kehendaki dariku untuk menebus kesalahan itu. Aku serahkan semua yang ada padaku kepadamu. Aku sendiri, tanah ini dan segenap kekuasaan atas Tumapel."
"Tuanku," sekali lagi Nyai Puroni memotong.
Namun Tunggul Ametung seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan Akuwu itu berkata, "Ken Dedes. Tak ada yang lebih berharga yang ada padaku daripada itu. Sehingga dengan sejujur-jujurnya aku berkata, bahwa apa yang ada padaku telah aku sediakan untuk menebus kesalahanku. Karena itu Ken Dedes, jangan kau sedihkan yang telah terlanjur terjadi. Akulah orang yang paling menyesal atas peristiwa yang menyedihkan itu. Tinggallah untuk sementara di sini. Tenangkan hatimu, dan barulah kau berpikir apakah yang akan kau lakukan kemudian. Namun ada harapanku yang akan dapat kau pertimbangkan. Menyerahkan istana ini kepadamu dengan segenap isinya."
Ken Dedes mendengar kata-kata itu dengan jelas. Kalimat demi kalimat. Namun ia tidak memperhatikannya. Kepalanya yang tertelungkup itu masih saja tersentak-sentak oleh isaknya. Sehingga karena itu, ia sama sekali tidak menjawab, apalagi mengangkat wajahnya. Dibiarkannya Akuwu Tunggul Ametung berdiri mematung di samping pembaringannya.
Tunggul Ametung itu terkejut ketika ia merasa Nyai Puroni menggamit ujung kakinya. Ketika ia berpaling dilihatnya wajah Nyai Puroni yang tegang.
Tunggul Ametung segera menyadari apa yang terkandung di dalam hati orang tua itu. Tetapi seakan-akan ia telah terbenam dalam tekad yang bulat. Menebus kesalahannya dengan apa saja yang ada padanya. Tetapi dalam penilaian Nyai Puroni, Tunggul Ametung itu tidak saja menyesal atas kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan dan yang tidak diketahui oleh perempuan tua itu, namun Tunggul Ametung itu benar-benar sedang jatuh cinta. Cinta bagi seorang yang masih semuda Tunggul Ametung adalah bagaikan kekuatan yang tersimpan di dalam perut Gunung Semeru. Setiap saat akan meledak dengan dahsyat, sedahsyat ledakan yang terjadi saat ini. Menyerahkan apa saja yang ada padanya kepada gadis Panawijen itu.
Tetapi Nyai Puroni itu sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Ia sudah tidak mungkin lagi mencegah perbuatan Akuwu Tunggul Ametung itu, atau setidak-tidaknya memberinya peringatan. Semuanya sudah dikatakan oleh akuwu dan perkataan seorang akuwu adalah janji yang sulit untuk dicabut kembali tanpa alasan-alasan yang terlalu kuat.
Namun di samping itu, dukun tua itu benar-benar merasa kecewa, bahwa Akuwu Tunggul Ametung telah benar-benar tenggelam dalam arus perasaannya. Bukankah dengan demikian berarti bahwa Ken Dedes akan dapat menjadi permaisurinya dan langsung dapat mencampuri tata pemerintahan. Bukankah dengan demikian maka gadis pedesaan itu dapat membuat putih hitam atas tanah Tumapel"
Nyai Puroni, yang telah mengabdikan diri sejak bertahun-tahun itu menjadi sangat menyesalkan keadaan itu. Kenapa Akuwu tidak dapat mengendalikan perasaannya"
Tetapi bukan saja ia menyesalkan sikap Tunggul Ametung, namun tiba-tiba ia menjadi sangat kecewa pula kepada Ken Dedes. Gadis itu seakan-akan telah melanggar segala adat dan kebiasaan istana Tumapel. Gadis itu sama sekali tidak tunduk pada setiap peraturan yang berlaku bahkan ia telah berani menyebut nama Tunggul Ametung begitu saja. Betapapun juga kemarahan seseorang, namun kepada akuwu ia tidak akan dapat berbuat demikian. Tetapi Ken Dedes itu telah melakukannya. Namun dukun tua itu menyimpan kekecewaan itu di dalam dadanya. Ia tidak berani mengatakannya di muka Tunggul Ametung yang sedang jatuh cinta itu.
Sesaat kemudian bilik itu menjadi sepi, yang terdengar adalah suara isak Ken Dedes yang pedih. Nyai Puroni yang telah menjadi kecewa itu, sama sekali tidak bernafsu lagi untuk menghiburnya. Bahkan ia menjadi jemu menunggui gadis itu di sentong tengen. Telah hampir satu hari satu malam ia berada dalam bilik itu, dan hanya keluar sesaat apabila ia pergi ke belakang dan makan, berganti-gantian dengan emban yang sekarang duduk di luar. Namun ternyata bahwa ia menemui kekecewaan. Ketika Akuwu Tunggul Ametung kemarin mengucapkan janjinya, Nyai Puroni telah merasa aneh dan heran. Tetapi ia mengharap bahwa Akuwu akan berubah pendirian selagi janji itu belum didengar oleh orang lain, apalagi Ken Dedes sendiri. Tetapi kini janji itu langsung telah diberikan kepada gadis Panawijen itu. Gadis pedesaan yang terlalu kecil dibandingkan dengan kebesaran Akuwu Tumapel.
Tetapi Tunggul Ametung sendiri memandang Ken Dedes tidak terlampau kecil. Bahkan akuwu itu melihat kebesaran yang memancar dari diri gadis itu. Dari sikapnya dan dari balik kewadagannya.
Sejenak kemudian, ketika Ken Dedes masih juga menangis, berkatalah Tunggul Ametung, "Ken Dedes, aku tidak ingin kau mengambil sikap dengan tergesa-gesa. Pikirkanlah semua kata-kataku. Aku sama sekali tidak bermaksud buruk. Semuanya aku katakan dengan jujur. Seperti aku dengan jujur mengakui segenap kesalahanku. Sekarang cobalah tenangkan hatimu. Apa yang sudah terjadi tak akan dapat diulang kembali. Namun pertimbangan apa yang aku katakan, menjelang hari depanmu yang masih panjang."
Kali ini pun Ken Dedes seolah-olah tidak mendengar kata-kata Akuwu Tunggul Ametung. Ia masih saja terbenam dalam isak tangisnya, kekecewaan dan penyesalan yang tiada taranya.
"Baiklah aku pergi dulu Ken Dedes," berkata Tunggul Ametung itu. Namun kata-kata lenyap tiada jawaban. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Tunggul Ametung melangkah surut, kemudian kepada Nyai Puroni ia berkata, "Nyai, rawatlah gadis ini baik-baik."
Nyai Puroni menganggukkan kepalanya, tetapi betapa hambar perasaannya. Jawabnya, "Hamba Tuanku."
Tunggul Ametung kemudian tidak berkata apapun lagi. Segera ia melangkah meninggalkan ruang itu. Di muka pintu dilihatnya seorang emban duduk bersimpuh dan menyembahnya ketika ia lewat.
"Layani gadis itu seperti kau melayani aku," perintah Tunggul Ametung.
Emban itu menjadi heran. Dipandanginya wajah Akuwu sesaat, namun kemudian jawabnya, "Hamba Tuanku."
Tunggul Ametung itu pun kemudian pergi ke biliknya, kepada seorang pelayan diperintahkannya memanggil Daksina.
"Hamba Tuanku," sahut pelayan itu.
"Cepat. Ia harus datang sekarang membawa kitab yang paling baik yang dikenalnya."
"Hamba Tuanku," sahut pelayan itu yang kemudian berlari-lari pergi ke rumah Daksina di halaman belakang istana.
Sejenak kemudian Daksina datang sambil membawa Kidung yang lagi dibacanya di rumahnya, Smaradahana.
"Ya, bacalah!" perintah Akuwu.
Dengan suaranya yang lembut Daksina kemudian membaca lontar kidung Smaradahana.
Akuwu yang sedang dilanda oleh berbagai perasaan itu merasa betapa hatinya menjadi penat. Suara Daksina itu seolah-olah langsung menyentuh membelai seisi dadanya. perlahan-lahan akuwu dapat mengendapkan kesibukan perasaannya, sehingga sesaat kemudian Tunggul Ametung itu tertidur.
Ken Dedes yang kemudian ditinggalkan oleh Akuwu Tunggul Ametung, masih saja meratapi nasibnya yang pahit. Ia tidak dapat mengerti kenapa hal itu harus menimpa pada dirinya. Namun sekejap-sekejap terngiang juga kata-kata Akuwu Tunggul Ametung di telinganya. Terasa bahwa Tunggul Ametung telah mencoba berkata setulus hatinya. Terasa bahwa Akuwu itu benar-benar telah menumpahkan segenap perasaan yang tersimpan di dalam dadanya. Bahkan kadang-kadang di telinga Ken Dedes itu masih juga terulang-ulang kata-kata Tunggul Ametung, "Ken Dedes, berkatalah. Apakah yang kau kehendaki dariku untuk menebus kesalahan itu. Aku serahkan semua yang ada padaku kepadamu. Aku sendiri, tanah ini dan segenap kekuasaan atas Tumapel."
Kemudian Tunggul Ametung itu berkata pula, "Ken Dedes, tak ada yang lebih berharga yang ada padaku daripada itu. Sehingga dengan sejujur-jujurnya aku berkata, bahwa yang ada padaku telah aku sediakan untuk menebus kesalahanku."
Ketika Ken Dedes kemudian mengangkat wajahnya, dilihatnya Nyai Puroni duduk tepekur di sisi pembaringannya. Karena tidak ada orang lain, maka kepada Nyai Puroni itulah Ken Dedes ingin menceritakan dan menumpahkan segenap tekanan yang menghimpit dadanya selama ini. Ketika dilihatnya Nyai Puroni masih saja menundukkan wajahnya, maka perlahan-lahan terdengar Ken Dedes itu memanggil, "Nyai."
Nyai Puroni mengangkat wajahnya. Tetapi wajah itu sudah tidak sebening ketika ia pertama-tama memasuki ruangan itu.
"Apa Ngger?" sahutnya.
"Apakah Nyai mengetahui maksud Akuwu Tunggu Ametung dengan segenap kata-katanya itu?"
Nyai Puroni mengangkat keningnya. Kemudian sambil mencibirkan bibirnya ia berkata, "Perkataan seorang laki-laki biasa."
"Kenapa Nyai?" bertanya Ken Dedes.
Nyai Puroni tidak segera menjawab. Sekali dipandangnya wajah gadis pedesaan itu.
"Memang cantik," gumamnya di dalam hati. Tetapi tiba-tiba pula merayap pada dinding jantungnya, perasaan iri hati atas nasib Ken Dedes yang sangat baik itu. Telah berapa tahun ia mengabdikan diri pada Akuwu Tunggul Ametung, namun tidak pernah ia menerima limpahan kebaikan hati sepersepuluh dari yang diterima oleh Ken Dedes. Sebagai seorang dukun, ia masih saja harus melakukan pekerjaannya dengan keadaan yang sama seperti dua tiga tahun yang lampau.
Kemenakannya, seorang gadis yang cantiknya menyamai bidadari dan diabdikannya pula di istana ini, sejak ia menginjak gerbang istana dua tahun yang lampau sampai saat ini masih saja tidak lebih dari seorang emban juru makanan. Sekali-kali Akuwu Tunggul Ametung memuji kepandaiannya memasak. Namun besok Akuwu telah melupakannya pula. Sekarang tiba-tiba di istana itu hadir seorang gadis desa, berkain lurik kasar, berkulit kehitam-hitaman dibakar oleh terik matahari, namun langsung di tempatkan oleh Akuwu di sentong tengen. Dan bahkan telinganya sendiri mendengar betapa Tunggul Ametung telah mengucapkan suatu janji yang tak ternilai.
Ketika dukun tua itu tidak segera menjawab, maka kembali Ken Dedes bertanya, "Kenapa Nyai" Kenapa dengan seorang laki-laki biasa?"
Nyai Puroni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, "Kau masih terlalu muda Ngger. Kau belum tahu apa yang dikatakan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan. Bukankah kau mendengar bahwa Tunggul Ametung itu akan menyerahkan apa saja yang ada padanya kepadamu" Nah, itulah suatu pertanda bahwa Akuwu Tunggul Ametung itu sedang mencoba merayumu. Tetapi jangan kau harap bahwa kau akan dapat menjadi seorang permaisuri yang benar-benar memiliki kekuasaan di Tumapel melampaui kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung."
Ken Dedes memandang Nyai Puroni dengan heran. Ia mendengar Akuwu berkata demikian kepadanya. Tetapi ia melihat perubahan sikap, nada dan tekanan kata-kata Nyai Puroni.
Dan sebelum Ken Dedes berkata apapun, maka kembali Nyai Puroni itu berkata, "Nah, karena itu jangan terlalu berbangga dengan dirimu Ngger. Kau kini berani menyebut nama Akuwu Tunggul Ametung tanpa sebutan apapun. Mungkin kini Akuwu masih dapat menahan kemarahannya karena keinginannya untuk mendapat kesediaanmu. Tetapi nanti, apabila ibarat bunga, madumu telah habis dihisapnya, maka kau akan dilemparkan ke dalam parit."
"Nyai," potong Ken Dedes.
Nyai Puroni, dukun tua yang berwajah bening dan lembut itu tiba-tiba tertawa. Suaranya bernada tinggi meskipun perlahan-lahan. Katanya, "Jangan takut. Itu adalah akibat biasa bagi seorang gadis yang diingini oleh Tunggul Ametung. Pembaringan ini dapat menjadi saksi. Berapa banyak gadis seperti Angger ini, yang mula-mula berbaring di sentong tengen akhirnya berkeliaran di sepanjang jalan Tumapel. Ada di antara mereka yang menjadi gila dan ada pula yang membunuh dirinya sendiri."
"Nyai terlalu mengerikan."
"Ya. Aku berkata sebenarnya."
"Tetapi, aku sama sekali tidak berkeinginan untuk menjadi apapun di sini, apalagi seorang permaisuri."
Nyai Puroni tersenyum. Senyumnya menjadi semakin menakutkan. Wajahnya kini sama sekali berubah. Sinar matanya yang lembut tiba-tiba kini seakan-akan membakar jantung Ken Dedes. Katanya, "Oh, oh. Jangan mengelabui orang tua Ngger. Adakah di dunia ini seseorang yang menolak kebahagiaan itu tanpa mengetahui akibatnya?"
"Nyai," bantah Ken Dedes, "bukankah Nyai melihat keadaanku pada saat aku datang" Kalau aku benar-benar berkeinginan seperti yang Nyai katakan, maka aku sekarang akan terbakar oleh kegirangan tiada bandingnya."
"Aku orang tua Ngger. Aku memang pernah melihat, seorang gadis tanpa diminta pendapatnya, langsung dibawa oleh Akuwu. Gadis itu menjadi ketakutan seperti Angger ini. Tetapi ketika diketahuinya bahwa yang akan didapatnya adalah istana dan kekuasaan atas Tumapel, maka dengan serta-merta ia menerimanya. Tetapi akibatnya?"
"Oh," Ken Dedes menutup wajahnya. Tetapi bagaimanapun juga Ken Dedes bukan seorang yang sangat bodoh. Ia melihat pada saat-saat Akuwu Tunggul Ametung datang bersama Kuda Sempana. Ia melihat, bahwa Akuwu belum mengenal dirinya. Dan ia mengetahui apa yang pernah dilakukan oleh Kuda Sempana atasnya. Karena itu ia menjadi bimbang atas keterangan Nyai Puroni itu. Mungkin Akuwu pernah berbuat demikian, namun kehadiran dirinya di Tumapel bukan atas kehendak Tunggul Ametung, tetapi atas kehendak Kuda Sempana. Meskipun demikian, Ken Dedes tidak membantah lagi. Dibiarkannya Nyai Puroni berkata terus.
" Nah Ngger. Terserah kepada Angger. Apakah Angger akan menerima nasib seperti itu" Seperti gadis-gadis yang kemudian membunuh diri atau berkeliaran sepanjang jalan karena terganggu ingatannya."
Ken Dedes menutupi wajahnya semakin rapat. Suara itu benar-benar seperti suara hantu di tengah-tengah tanah perkuburan.
Nyai Puroni yang melihat Ken Dedes ketakutan, menjadi gembira. Ia mengharap gadis itu menolak. Dengan demikian ia tidak harus menyembah seorang gadis desa apabila ia benar diangkat menjadi seorang permaisuri. Mungkin Nyai Puroni dapat mencari gadis-gadis terhormat atau bahkan seorang gadis dari istana Kediri untuk permaisuri Akuwu Tunggul Ametung. Bukan hanya seorang gadis dari Panawijen.
Sebelum Akuwu berhasil mendapatkan seorang permaisuri, dapat saja Tunggul Ametung mengambil satu atau dua orang selir. Kalau berkenan di hati Akuwu, maka kemenakannya yang kini menjadi juru makanan dapat juga diambilnya. Tetapi jangan gadis desa ini. Gadis yang menjadi seorang selir pun kurang pantas meskipun cantik.
Ketika kemudian Nyai Puroni masih saja menakut-nakuti, maka akhirnya hati Ken Dedes menjadi tidak tahan lagi. Sahutnya, "Nyai, bukankah Nyai telah mendengarnya sendiri, bahwa yang membawa aku kemari adalah Kuda Sempana. Sama sekali bukan Akuwu Tunggul Ametung. Apalagi atas persetujuanku."
Nyai Puroni terdiam sesaat, sejak semula memang ia telah menyangka bahwa semua itu adalah pokal Kuda Sempana. Bahkan semula menaruh belas yang dalam kepada gadis yang malang itu.
Tetapi tiba-tiba perataan iri dan dengki telah menyala di dalam hatinya, seolah-olah telah membakar hangus segala sifatnya. Sifat seorang dukun yang pengasih dan berhati lembut. Harga dirinya sebagai seorang perempuan istana menghadapi seorang gadis desa, mendorongnya untuk menolak kehadiran Ken Dedes di dalam istana Tumapel.
Setelah berdiam diri sejenak maka Nyai Puroni itu kemudian menjawab, "Apapun sebabnya Ngger, namun kau sekarang telah berada di sentong tengen ini. Kalau kau mau mendengar nasihatku, jangan kau penuhi permintaan Akuwu. Meskipun dikatakannya untuk menebus kesalahan dan apa saja. Kau harus dapat membedakan. Seorang laki-laki berkata sungguh-sungguh atau seorang laki-laki sedang merayu. Kalau benar Tunggul Ametung akan menebus kesalahannya, dan segenap permintaanmu akan dipenuhi, cobalah, mintalah kau dikembalikan ke rumahmu. Mintalah tanah yang luas dan mintalah ternak dan iwen untuk bekal hidupmu kelak. Mudah-mudahan kau akan menemukan suami yang baik kelak dan kau akan dapat hidup dengan baik pula Ngger."
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Kata-kata Nyai Puroni mempunyai pengaruh yang sangat aneh di dalam dirinya. Ken Dedes, gadis desa yang manja, yang kurang sekali memiliki pengalaman itu, ternyata dapat membedakan nada dan tekanan kata-kata yang diucapkan oleh Tunggul Ametung dan Nyai Puroni. Ia melihat kejujuran membayang di wajah akuwu yang suram dan dalam. Tetapi di balik kata-kata Nyai Puroni terasa ada yang kurang wajar. Orang tua yang baik dan lembut itu tiba-tiba saja berubah menjadi seorang yang berlidah tajam. Tetapi Ken Dedes sama sekali tidak segera dapat menarik kesimpulan dari semua pembicaraan yang didengarnya.
Tetapi karena itu, maka ia terpaksa berpikir. Dengan demikian maka ia tidak lagi tenggelam dalam arus perasaannya. Perasaan duka dan hampir putus asa. Justru karena itu, maka tiba-tiba ia mulai dengan pertimbangan-pertimbangan yang semakin lama menjadi semakin bening. Ia mulai berpikir dan mempertimbangkan semua peristiwa-peristiwa yang telah terjadi atas dirinya, atas keluarganya dan atas Wiraprana yang malang.
Ketika kemudian tebersit di dalam hatinya. bahwa segala akhir dari peristiwa adalah terletak di tangan Yang Maha Agung, maka Ken Dedes benar-benar dapat mengendapkan hatinya. Adalah wewenang dari setiap orang untuk mempertimbangkan, merencanakan dan mengusahakan jalan dan arah hidupnya. Namun kadang-kadang yang Maha Agung berkehendak lain dari kehendak orang itu sendiri. Namun yang berlaku itulah keadilan yang sebenarnya yang dianugerahkan oleh Sumber Hidup manusia kepada manusia. Sedang Yang Maha Agung itu pun pasti akan mendengar setiap permohonan dari makhluk terkasihnya, sepanjang permohonannya itu wajar menurut penilaian tertinggi, bukan penilaian manusia. Itulah sebabnya maka manusia diwajibkan berusaha, sebagai ungkapan kesungguhan atas permohonannya.
01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa saat kemudian Nyai Puroni masih saja memberikan beberapa pendapat kepada Ken Dedes. Berbagai-bagai hal dikemukakan dan diberikannya beberapa contoh yang dapat menambah kecemasan hati gadis Panawijen itu. Namun kini Ken Dedes sama sekali tidak menjawab. Satu patah kata pun tidak. Sehingga akhirnya Nyai Puroni itu berhenti dengan sendirinya.
Namun dukun tua itu, sama sekali tidak dapat menangkap kesan wajah Ken Dedes. Ia mengharap gadis itu ketakutan, dan nanti apabila Tunggul Ametung datang kembali, maka ia akan minta dikembalikan ke Panawijen, sesuai dengan janji akuwu, akan memberi apa saja yang dimintanya.
Karena Ken Dedes sama sekali tidak menjawab semua kata-katanya, dan tidak segera dapat memberinya kesan atas semua kata-katanya, maka Nyai Puroni itu menjadi kecewa. Meskipun demikian ia mengharap bahwa gadis desa itu akan menuruti kata-katanya. Untuk memberinya waktu, maka Nyai Puroni itu pun kemudian berkata, "Pikirkan nasihatku Ngger. Aku ingin Akuwu tidak membuat korban-korban baru. Aku akan pergi ke belakang sebentar. Biarlah emban di luar itu mengawasimu di sini. Tetapi ingat, jangan kau katakan nasihatku kepada siapa pun, supaya kau tidak terancam oleh kekerasan. Sebab Akuwu dapat merayumu dengan kata-kata, namun dapat juga memaksamu dengan senjata. Bukankah kau seorang gadis yang lemah" Nah, simpanlah nasihatku dan pertimbangkanlah seorang diri."
Kali ini Ken Dedes mengangguk sambil berkata, "Baik Nyai."
Nyai Puroni itu pun kemudian berdiri dan melangkah keluar. Di luar dijumpainya seorang emban duduk sambil mengantuk.
"He," desis Nyai Puroni sambil menyentuh pundaknya.
Emban itu terkejut. "Ada apa Nyai," sahutnya tergagap.
"Aku akan pergi sejenak. Tungguilah gadis itu. Jangan kau ganggu dengan cerita-cerita yang aneh-aneh. Ia masih saja mengigau. Mungkin ia masih dibayangi oleh ketakutan, sehingga pertanyaannya sangat aneh."
Emban yang masih menguap sekali dua kali itu mengangguk sambil menjawab, "Baik Nyai. Dan sekarang Nyai akan pergi ke mana?"
"Aku akan ke belakang sebentar."
"Bukankah Nyai tidak pergi terlalu lama" Aku takut menunggui gadis itu seorang diri. Kalau tiba-tiba ia pingsan kembali, maka aku akan menjadi pingsan pula."
"Tidak, aku tidak terlalu lama. Tetapi ingat. Gadis itu masih dipengaruhi oleh ketakutan. Karena itu, jangan membantah pertanyaannya. Biarkan saja apa yang dikatakan. Kau dengar?"
Meskipun emban itu tidak mengerti maksud Nyai Puroni namun ia menganggukkan kepalanya, "Baik Nyai," jawabnya.
"Pertanyaannya sangat aneh," Nyai Puroni meneruskan, "tetapi ingat-ingat, jangan dibantah, sebab ia akan menjadi kecewa dan pingsan kembali. Ia mendendam Akuwu, sehingga ia menganggap Akuwu terlalu jahat. Tetapi ingat, jangan dibantah."
"Ya, ya," sahut emban itu.
Nyai Puroni itu pun kemudian melangkah pergi. Menuruni tangga di ruang dalam dan kemudian menyeberang serambi dan sampailah ia ke halaman belakang.
Sepeninggal Nyai Puroni, emban yang ditinggalkan di muka pintu pun segera melangkah masuk. Ditemuinya Ken Dedes berbaring di pembaringan sambil mengusapi air matanya, namun gadis itu sudah tidak menangis lagi.
Ketika dilihatnya seorang emban berjalan masuk ke bilik itu, Ken Dedes bangkit dan menganggukkan kepalanya.
"Silakan berbaring, putri " eh ?"
"Jangan panggil aku demikian. Aku adalah seorang gadis desa, gadis Panawijen."
"Bagaimana aku harus memanggil?"
"Panggil namaku, Ken Dedes. Siapakah namamu?"
"Oh," emban itu menjadi gelisah. Katanya selanjutnya, "Namaku Madri."
"Madri," ulang Ken Dedes, "nama yang bagus."
Emban itu menjadi heran mendengar Ken Dedes memuji namanya. Kesan yang dikatakan oleh Nyai Puroni sama sekali tak ditemuinya pada wajah gadis Panawijen itu. Bahkan gadis itu sempat menanyakan namanya dan memuji nama itu. Meskipun demikian emban itu tidak berkata-kata untuk sejenak. Diletakkannya tubuhnya di samping pembaringan Ken Dedes.
"Duduklah di sini Madri," ajak Ken Dedes.
"Oh. Jangan. Jangan. Aku adalah seorang emban meskipun namaku bagus."
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Gadis emban ini menarik perhatiannya. Agaknya gadis ini, gadis yang cukup jujur.
"Apakah emban tidak boleh di pembaringan ini?" bertanya Ken Dedes.
"Tidak. Emban hanya boleh duduk di lantai."
Kembali Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah emban yang menunduk itu. Kemudian dipandanginya tubuhnya sendiri. Ternyata emban itu tampak lebih bersih daripadanya. Kulitnya, pakaiannya dan rambutnya. Tetapi kini Ken Dedes tidak mau lagi hanyut dalam arus perasaannya. Ia mencoba untuk menghadapi setiap persoalan dengan akal pikirannya.
Karena itu, meskipun ia melihat kekurangannya, namun ia tidak segera merasa betapa kecil dirinya.
Setelah mereka terdiam sesaat, maka timbullah keinginan Ken Dedes untuk mengetahui kebenaran kata-kata Nyai Puroni. Meskipun semula ia menjadi ragu-ragu, namun kemudian terdengar ia bertanya, "Emban, siapakah yang pernah berbaring di pembaringan ini?"
Emban itu mengangkat wajahnya. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Teringat pula olehnya pesan Nyai Puroni untuk tidak membantah setiap kata-kata gadis itu. Namun pertanyaan ini tidak berkesan apa-apa baginya, bukan pertanyaan seorang yang ketakutan dan akan jatuh pingsan. Karena itu maka dijawabnya. "Belum ada. Belum pernah ada seorang pun yang dibaringkan di pembaringan ini."
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Pada pertanyaannya yang pertama ia telah semakin meragukan kebenaran keterangan Nyai Puroni. Karena itu, maka ia bertanya pula, "Madri, sentong apakah ini namanya. Begitu baiknya, penuh dengan ukiran dan perhiasan-perhiasan."
"Sentong ini adalah sentong yang selama ini selalu kosong. Sentong ini disediakan untuk permaisuri."
Dada Ken Dedes berdesir mendengar jawaban itu. Kalau demikian apakah maksud Tunggul Ametung sebenarnya" Kenapa ia di tempatkan di sentong ini sejak permulaan"
Kembali Ken Dedes bertanya kepada emban yang muda itu, "Kenapa bukan kau Madri" Kenapa bukan kau yang cantik itu dibaringkan di pembaringan ini?"
"Ah," desah Madri sambil menggigit ujung kainnya. Tetapi ia tidak menjawab.
"Jadi Akuwu Tunggul Ametung belum pernah bepermaisuri?"
"Belum. Belum," jawab emban itu.
"Belum berselir?"
"Belum, belum."
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia ingin mencoba bertanya. Kali ini Ken Dedes ingin mengetahui, kenapa Nyai Puroni tidak memberi gadis itu pesan, agar ia berbohong pula kepadanya. Katanya, "Tetapi Madri. Aku pernah mendengar bahwa Akuwu Tunggul Ametung pernah beberapa kali mengambil gadis-gadis dan kemudian segeralah tidak dipakainya lagi, maka gadis-gadis itu dibuangkannya ke tepi-tepi jalan" Begitu?"
Madri terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun kemudian teringatlah ia akan pesan Nyai Puroni supaya ia mengiakan semua pertanyaan gadis yang sedang mendendam itu, supaya gadis itu tidak gusar dan pingsan kembali. Tetapi sebenarnya Madri bukanlah gadis yang terlalu bodoh. Bahkan ia mempunyai otak yang cukup baik, apalagi emban itu adalah emban yang jujur. Meskipun demikian ia tidak berani menolak pesan Nyai Puroni. Seandainya terjadi hal-hal yang tak diinginkan pada gadis itu, maka pasti dirinyalah yang akan dipersalahkan. Namun emban itu masih ingin bertanya kepada Ken Dedes katanya, "Dari manakah berita itu?"
Ken Dedes menggeleng, "Tidak dari seorang pun di sini."
Emban itu mengerutkan keningnya. Sekali ditatapnya wajah Ken Dedes. Namun pada wajah itu sama sekali tidak dilihatnya kesan yang dikatakan oleh Nyai Puroni kepadanya, kesan bahwa gadis itu sedang dalam ketakutan dan mendendam.
"Bagaimana Madri?" bertanya Ken Dedes itu pula.
Madri menjadi ragu-ragu. Ia tidak dapat menduga maksud Nyai Puroni yang sebenarnya. Tetapi kembali ia merasa takut untuk melanggar pesan itu. Karena itu, meskipun sama sekali tidak memancar dari lubuk hatinya ia menjawab ragu-ragu, "Ya. ya Tuan ?"
"Panggil namaku, Ken Dedes," sahut Ken Dedes.
"Ya, demikianlah."
"Jadi pendengaranku itu benar?"
Emban itu mengangguk penuh kebimbangan, "Ya. Ya benar."
Tetapi Ken Dedes menjadi semakin tidak yakin akan jawaban itu. Maka desaknya, "Jadi, adakah seandainya pembaringan ini dapat mendengar, maka ia akan mendengar banyak sekali keluhan gadis-gadis korban Akuwu Tunggul Ametung itu, dan seandainya ia dapat bercerita maka akan banyak sekali cerita sedih yang dapat diberikan kepada kita, Madri."
Madri menjadi semakin bimbang. Namun kembali ia mengangguk, tetapi sama sekali tidak meyakinkan, "Ya. Demikianlah."
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Kini ia telah menemukan keyakinan, bahwa Nyai Puroni tidak berkata sebenarnya, dan emban yang jujur itu pun telah mencoba untuk membohonginya.
Meskipun demikian Ken Dedes tidak menanyakan kepada Madri, manakah yang benar menurut kata-kata emban itu sendiri, bahwa pembaringan ini masih belum pernah dipergunakan, atau pembaringan ini telah menyimpan banyak sekali kisah pahit dari gadisi yang kemudian dilemparkan begitu saja di tepi-tepi jalan.
Namun emban itu agaknya telah merasa kejanggalan jawabnya sendiri. Berkali-kali ia menelan ludahnya. Ingin ia, memberikan beberapa penjelasan. Tetapi suaranya seakan-akan tersumbat di kerongkongan. Sehingga karena itu, maka tubuhnya menjadi basah oleh keringat dingin yang mengalir dari seluruh lubang-lubang kulitnya. Dadanya terasa seolah-olah bergelora, karena detik jantungnya yang semakin cepat, namun di dalam kepalanya sempat ia membuat perhitungan-perhitungan.
"Tak seorang pun pernah mengatakan seperti berita yang pernah didengar gadis itu," desisnya di dalam hati, "sanak kadang ku yang tinggal di desa-desa dan yang tinggal di dalam kota ini sekalipun, tidak pernah ada yang menyebut-nyebut tentang cerita semacam itu. Dan tidak pernah pula mendengar dari seorang pun bahwa Akuwu pernah mengambil seorang gadis dan mengorbankan gadis itu dengan amat kejinya. Apalagi melihat. Tidak, Akuwu tidak pernah berbuat demikian, dan tak ada seorang pun yang pernah memfitnahkan demikian."
Tetapi emban itu tiba-tiba mengerutkan lehernya. Serasa seluruh bulu-bulunya tegak berdiri, ketika ia sampai pada kesimpulan yang ditemui oleh gadis ini pertama-tama adalah Nyai Puroni. Apakah orang tua itulah yang telah membuat cerita yang mengerikan itu" Emban itu menggelengkan kepalanya, "Tidak. Bukan Nyai Puroni. Orang itu tidak mempunyai kepentingan apapun dengan Ken Dedes maupun Akuwu Tunggul Ametung," desisnya di dalam hati, "tetapi siapa" Atau benar seperti yang dikatakan oleh Nyai Puroni, bahwa Ken Dedes selalu dikejar-kejar oleh perasaan takut dan dendam, sehingga dikarangnya sendiri cerita semacam itu atau dibayangkannya, bahwa sebelum dirinya sendiri, banyak gadis-gadis yang mengalami bencana semacam itu" Tetapi wajah gadis itu sedemikian tenangnya."
Emban itu menjadi bingung sendiri. Tetapi kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, "Ah, apa peduliku" Dengan berpusing-pusing tentang gadis ini gajiku belum pasti akan mendapat kenaikan. Biarlah aku melakukan pekerjaanku seperti yang diperintahkan."
Tetapi emban itu terkejut ketika Ken Dedes berkata, "Jadi cerita itu benar-benar telah terjadi, Madri?"
"Ya," jawab emban itu singkat.
"Tetapi kenapa kau tidak takut menghambakan dirimu di istana ini" Kau terlalu cantik Madri. Jauh lebih cantik dari setiap gadis yang pernah aku jumpai. Apalagi kau masih muda dan sehat. Apakah senyummu itu tidak sangat berbahaya bagimu?"
Pertanyaan itu sama sekali tidak diduganya. Karena itu maka emban itu pun menundukkan wajahnya yang menjadi kemerah-merahan. Ia menjadi bingung, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu, namun ia menjadi malu atas pujian yang berlebih-lebihan. karena itu, maka Madri itu pun sama sekali tidak menjawab.
Ken Dedes pun tidak mendesaknya pula. Ia telah menemukan keyakinan. Dan karena ini ia menjadi senang. Gadis Panawijen itu ternyata menjadi heran sendiri atas ketenangan yang menyelimuti jiwanya. Pasrah diri pada sumber hidupnya, dan agaknya peristiwa yang telah mengguncangkan jiwa dan raganya ini, benar-benar telah mengguncangkan segala macam sifat kekanak-kanakan dan kemanjaannya. Dalam beberapa hari, Ken Dedes telah benar-benar berubah menjadi seorang gadis dewasa. Kejutan atas perasaannya telah mempercepat dan mematangkan jiwanya. Sehingga karena itu pula, ia mampu kini berpikir dalam alam kedewasaannya.
Karena itulah, maka ia tidak ingin membuat emban itu bertambah bingung. Dikisarkannya pembicaraannya ke segi-segi yang sama sekali jauh menghindar dari persoalan-persoalan dirinya.
"Madri, emban yang manis," berkata Ken Dedes, "sudah berapa lamakah kau berada di dalam istana ini?"
Mendengar pertanyaan itu dada Madri berdesir. Dijawabnya sambil menundukkan kepalanya, "Hampir dua tahun, Tuan."
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sambungnya, "Jadi kau sudah melihat hampir segenap sudut istana bukan?"
Madri mengangguk. "Kau pernah melihat, di mana seisi istana ini harus mandi?"
Madri kini mengangkat wajahnya, "Ya," sahutnya.
"Madri, sudah dua hari aku tidak menyentuh air."
Emban itu menarik keningnya. Dua hari terpisah dengan air bagi seorang perempuan adalah cukup lama. Seandainya Ken Dedes dalam dua hari itu tidak sedang dilanda oleh berbagai keguncangan maka yang dua hari itu pasti benar-benar memusingkan kepalanya untuk menyentuh air.
"Jadi apakah Tuan akan mandi?" bertanya emban itu.
"Panggil namaku, Ken Dedes."
"Ya," sahut Madri dengan kaku, "apakah Tuan akan mandi?"
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya kehadirannya di ruangan ini sangat berpengaruh baginya sehingga emban itu tidak berani menyebut namanya. Tetapi Ken Dedes tidak ingin memperbincangkannya lebih banyak. Karena itu jawabnya, "Aku ingin mencuci muka dan tanganku."
Madri dapat mengerti, bahwa Ken Dedes benar-benar memerlukan air. Tetapi apakah ia dapat mengantarkan gadis itu ke belakang" Apakah dengan demikian ia tidak bersalah, dan bagaimanakah seandainya gadis itu melarikan diri"
Madri benar-benar menjadi bingung, sehingga untuk sejenak ia tidak dapat menjawab.
"Bagaimana Madri?"
"Ya Tuan, tetapi apakah Tuan dapat menunggu Nyai Puroni?"
"Kenapa aku harus menunggu?"
Kembali emban itu menjadi bingung. Sekali-kali dijenguknya bilik pintu itu, dan sambil berdesis ia menunggu Nyai Puroni.
"Siapa yang kau tunggu?" bertanya Ken Dedes itu tiba-tiba.
"Nyai Puroni, Tuan," sahut Madri.
"Aku tidak perlu menunggunya. Marilah antarkan aku ke belakang."
"Ya, ya. Tetapi ". " emban itu tidak meneruskan kata-katanya.
Ken Dedes melihat keragu-raguan itu. Akhirnya ia pun dapat memahami kesulitan Madri. Karena itu maka kemudian katanya, "Baiklah aku menunggu Nyai Puroni."
Madri menganggukkan kepalanya. Tetapi ia menjadi gelisah. Demikian gelisahnya, sehingga ia berkata, "Aku akan keluar sebentar Tuan, menjenguk apakah Nyai Puroni ada di emper belakang."
Ken Dedes mengangguk, "Pergilah. Cepat kembali, aku tidak tahan lagi."
Emban itu berlari-lari keluar. Ketika ia menjenguk ke serambi belakang, alangkah terkejutnya. Yang mondar-mandir di serambi adalah Akuwu Tunggul Ametung. Karena itu segera berjongkok sujud menyembah.
"Apa?" bertanya Akuwu Tunggul Ametung.
Pertanyaan itu benar-benar membingungkan. Sehingga emban itu menjadi tergagap karenanya.
"Mau ke mana?" bertanya Akuwu itu pula.
"Ampun Tuanku, hamba akan mencari Nyai Puroni."
Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. "Ke mana Nyai Puroni."
"Ke belakang Tuanku."
"Kau tinggalkan gadis itu sendiri?"
"Ampun Tuanku, gadis itu akan pergi ke belakang. Hamba takut mengantarkannya sebelum hamba minta izin dahulu kepada Nyai Puroni."
"Kenapa minta izin Nyai Puroni?"
Kembali emban itu menjadi bingung. Ia tidak tahu, bagaimana menjawab pertanyaan akuwu itu, sehingga emban itu pun menundukkan wajahnya yang pucat.
"Nah, antarkan gadis itu sekarang."
"Hamba Tuanku," sahut emban itu sambil menyembah. Kemudian sambil berjongkok ia beringsut kembali masuk ke dalam bilik kanan di ruang dalam.
Ken Dedes itu pun segera diberitahukannya, bahwa akuwu sendiri telah mengizinkannya untuk pergi.
"Apakah aku seorang tawanan Madri?" bertanya Ken Dedes.
Pertanyaan itu sama sekali tidak diduga-duga. Sekali lagi ia dibingungkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak dimengerti jawabnya. Kali ini Madri itu menjawab dengan jujur, "Tuan, aku adalah seorang emban, sehingga tidak banyaklah yang aku ketahui tentang diri Tuan. Bahkan tentang diriku sendiri di dalam istana ini."
Ken Dedes tersenyum. Ditepuknya bahu emban itu sambil berkata, "Kau jujur Madri."
Ken Dedes itu pun kemudian mengikuti Madri berjalan lewat pintu samping, menyeberangi serambi jauh di ujung untuk menghindari Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar tepuk tangan. Ketika mereka berpaling, mereka melihat akuwu berjalan bergegas-gegas kepada mereka, sehingga dengan serta-merta emban itu pun menjatuhkan diri berjongkok sambil menyembah. Ken Dedes yang sudah menemukan ketenangannya pun segera berjongkok pula di belakang Madri.
Tetapi terdengar Tunggul Ametung berkata dari tempat yang masih agak jauh, "Berdirilah. Berdirilah."
Madri menjadi bingung. Kenapa ia harus berdiri. Ketika ia mencoba memandang Akuwu, dilihatnya tangannya memberi isyarat untuk berdiri.
Dengan ketakutan Madri perlahan-lahan berdiri. Terasa kakinya menjadi gemetar. Tetapi kembali ia membanting dirinya ketika ia mendengar Akuwu berkata lantang, "Bukan kau emban yang bodoh! Bukan kau yang harus berdiri!"
Madri menjadi semakin gemetar. Terasa seolah-olah ubun-ubunnya telah terbuka. Karena itu, segera ia menyembah sambil berkata gemetar, "Ampun Tuanku. Ampun. Hamba menjadi sangat bingung."
Ternyata Akuwu sama sekali tidak memedulikannya. Sekali lagi ia berkata kepada Ken Dedes, "Berdirilah."
"Terima kasih Tuanku," sembah Ken Dedes, "hamba tidak dapat melakukannya di hadapan Tuanku."
"Hem," Tunggul Ametung menggeram. Perubahan sikap Ken Dedes itu menjadikan kepalanya semakin pening, dan wajah Ken Dedes itu baginya semakin mempesona.
Karena itu, maka untuk sesaat Akuwu Tunggul Ametung terpaku diam seperti patung. Sedang Madri masih saja duduk dengan gemetar. Pandangan matanya menghunjam dalam-dalam ke ujung kaki Tunggul Ametung yang kemudian berdiri di mukanya.
Baru sejenak kemudian Akuwu itu berkata, "Nah, antarkanlah Ken Dedes ke pakiwan."
"Hamba Tuanku," sembah Madri.
Maka setelah menyembah keduanya pun lalu bergeser surut, dan kemudian menuruni tangga serambi istana menuju halaman belakang.
Tiba-tiba mereka terhenti ketika mereka mendengar Akuwu bertanya, "He, mau ke mana?"
Madri benar-benar tidak mengerti. Akuwu Tunggul Ametung itu kini benar-benar seperti orang yang tidak punya pekerjaan lain daripada mengawasi mereka. Apakah akuwu itu sekarang memang sudah kehilangan semua gairahnya untuk melakukan pekerjaannya yang lain daripada mengurusi pakiwan"
Namun Madri menyembah, "Hamba akan mengantarkan gadis ini ke pakiwan."
"Kenapa ke sana?"
Madri benar-benar menjadi bingung. Hampir dua tahun ia menghambakan diri di istana. Tetapi ia belum pernah mengalami kebingungan seperti ini. Sehingga karena itu ia tidak mampu untuk menjawab.
"Emban," teriak Tunggul Ametung keras-keras.
Tetapi emban itu sudah terlalu biasa mendengarnya. Meskipun ia masih juga gemetar tetapi ia tidak sedemikian terkejut seperti Ken Dedes.
"Hamba Tuanku," sahut emban itu.
"Apakah kau gila. Bukankah pakiwan dalam ada di ujung serambi ini. Kenapa kau bawa gadis itu ke halaman belakang?"
Sekali ini dada Madri berdesir kembali. Pakiwan dalam adalah bilik mandi khusus untuk Akuwu Tunggul Ametung. Sekarang ia mendapat perintah untuk membawa Ken Dedes ke bilik itu. Dengan demikian maka kepala emban itu seakan-akan benar-benar akan terlepas dari lehernya.
Tetapi ia tidak dapat berbuat lain dari menurut perintah itu.
Setelah ia menyembah sambil membungkuk dalam-dalam, maka berbisiklah emban itu kepada Ken Dedes, "Marilah Tuan, Tuan diperkenankan mempergunakan bilik mandi di ujung serambi itu."
Ken Dedes tidak menjawab. Ia tidak tahu bedanya pakiwan yang manapun. Karena itu ia mengikuti Madri di belakangnya menyusur serambi belakang menuju ke pakiwan yang disebut pakiwan dalam. Sekali dua kali Madri ini berpaling ketika tidak dilihatnya lagi Akuwu Tunggul Ametung, maka ia menarik nafas dalam-dalam.
"Kenapa Akuwu marah?" bertanya Ken Dedes.
"Tidak," sahut Madri, "Akuwu tidak marah. Adalah menjadi kebiasaannya untuk berteriak-teriak dan memaki."
Ken Dedes menarik nafas pula. Ia sejak saat itu harus membinasakan diri mendengar Akuwu Tunggul Ametung berteriak-teriak dan memaki-maki.
Mereka sekali lagi terhenti ketika mereka mendengar seseorang memanggil, "Madri! Madri!"
Serentak mereka berpaling, dan mereka melihat Nyai Puroni berjalan tergesa-gesa ke arah mereka.
"Akan ke manakah kalian?" bertanya Nyai Puroni itu.
"Aku akan mengantarnya ke pakiwan, Nyai."
"Kenapa ke sana?"
"Ke pakiwan dalam."
"He?" Nyai Puroni terkejut sehingga wajahnya menjadi merah, "apakah kau sudah gila emban?"
Emban itu memandangi wajah Nyai Puroni yang kemerah-merahan. Sekali lagi ia dihadapkan pada persoalan yang dapat merontokkan rambutnya. Namun demikian emban itu menjawab, "Nyai, Akuwu sendiri memerintahkan aku mengantarkannya ke sana."
"Bohong!" sahut Nyai Puroni, yang kemudian berkata kepada Ken Dedes, "Jangan berbuat hal-hal yang dapat merugikan dirimu sendiri Ngger. Seharusnya kau tidak berbuat demikian. Aku kasihan kepadamu. Betapa kau mengalami guncangan-guncangan yang dahsyat. Mungkin kau sedang ketakutan dan mendendam, atau mungkin kau ingin menunjukkan bahwa kau tidak mau dihinakan, namun jangan melampaui batas-batas kesopanan. Betapapun buruk perangainya, namun Akuwu Tunggul Ametung memiliki kekuasaan yang tiada taranya di Tumapel."
Ken Dedes pun kemudian menjadi bingung. Ia belum pernah tinggal di dalam istana. Bahkan melihat bagian dalamnya pun baru kali ini. Alangkah sulitnya hidup di istana. Soal pakiwan saja telah membuatnya pening. Dalam kebingungannya Ken Dedes itu bertanya kepada Madri, "Madri, aku sama sekali tidak mengerti apa yang sebaiknya aku lakukan."
Emban itu menggeleng lemah, "Jangankan Tuan. Aku pun rasa-rasanya benar-benar menjadi gila."
"Kalau kau tidak berbuat aneh-aneh emban, maka kau tidak akan menjumpai persoalan-persoalan yang membuatmu menjadi bingung. Nah, antarkan Angger Ken Dedes ini ke belakang, ke halaman belakang."
"Aku sudah akan membawanya ke sana, Nyai, tetapi Akuwu Tunggul Ametung membuat perintah lain. Aku harus membawanya kemari."
Nyai Puroni tertawa. Katanya, "Kau benar-benar telah menjadi gila emban. Kau merasakan hal-hal yang tidak pernah dan tidak mungkin terjadi."
"Ah," desah Ken Dedes kemudian, "aku hanya ingin mendapatkan air. Ke manapun aku dibawa, bukan soal bagiku. Janganlah terlalu dirisaukan ke mana aku dibawa. Aku perlu air."
Tetapi Ken Dedes itu pun terkejut ketika ia melihat Madri menangis. Betapa ia menahan diri, namun air matanya meleleh juga di pipinya. Desahnya, "Aku tidak tahu apa yang harus aku kerjakan. Aku tidak berani melawan perintah Akuwu. Kepalaku akan dipancungnya nanti."
Nyai Puroni memandangi wajah Madri dengan kemarahan yang memancar dari kedua matanya. Ketika ia melihat Madri menangis maka katanya, "He, emban cengeng! Kenapa kau menangis?"
Madri tidak menjawab. Bahkan air matanya semakin banyak meleleh di pipinya.
Namun yang menjawab adalah Ken Dedes, "Nyai, aku pun mendengar pula perintah Akuwu itu. Aku diperintahkannya dibawa ke pakiwan dalam."
"He?" Nyai Puroni menjadi semakin marah, "Ngger kau belum seorang permaisuri. Kau masih harus mengikuti adat dan peraturan yang berlaku di sini."
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Apakah hubungan antara permaisuri dan pakiwan itu?"
"Hem," geram dukun tua itu. Namun di dalam hatinya ia mengumpat, "pantaslah gadis desa yang bodoh. Kau tidak tahu perbedaan penggunaan bangunan-bangunan di dalam istana ini."
"Nini," jawab Nyai Puroni itu kemudian, "pakiwan itu adalah pakiwan khusus untuk Akuwu dan sudah tentu permaisurinya kelak."
"Oh," Ken Dedes berdesah, "kalau demikian Madri, bawa aku ke belakang."
"Akuwu akan murka kepadaku."
"Biarlah aku menanggung kesalahan itu," sahut Ken Dedes.
Madri tidak menjawab. Dengan ragu-ragu ia berjalan ke belakang. Ketika mereka berpaling dilihatnya Nyai Puroni berdiri mengawasi mereka sambil tertawa. Suara tertawanya sedemikian anehnya sehingga emban itu hampir-hampir tak mengenal bahwa suara itu adalah suara Nyai Puroni.
Ken Dedes berjalan sambil menundukkan kepalanya. Mudah-mudahan Akuwu tidak melihat mereka lagi. Sehingga Madri akan mengalami kesulitan pula.
Dan ternyata kemudian, bahwa Akuwu benar-benar tidak melihat mereka lagi di halaman belakang. Karena Akuwu kemudian masuk ke dalam biliknya.
Yang kemudian terpancang di dalam hati Ken Dedes, bukanlah tentang pakiwan itu lagi. Meskipun soalnya adalah soal pakiwan, namun gadis itu ternyata mampu mengurangi persoalannya lebih jauh. Apakah keberatan Nyai Puroni tentang kesempatan yang diberikan oleh Akuwu kepadanya" Ken Dedes yang telah didorong ke dalam suatu dunia yang lain dari dunianya, dunia kekanak-kanakan, kemanjaan dan lingkungan padepokan yang sepi ke dalam dunia yang penuh dengan keguncangan, dunia yang memerlukan akal dan pikirannya untuk mengimbangi perasaannya, maka mulailah ia mencoba menghubung-hubungkan. Semua keterangan-keterangan yang didengarnya dari Akuwu Tunggul Ametung dari Nyai Puroni dan dari Madri. perlahan-lahan ia mulai menemukan beberapa kesimpulan yang mantap. Dirasakannya nada penyesalan yang terungkapkan dalam setiap kata Akuwu Tumapel, perubahan sikap dan kekasaran Nyai Puroni dan kejujuran Madri yang selalu diliputi oleh kebingungan, ketakutan dan kecemasan.
Ketika Ken Dedes telah kembali ke biliknya, maka segera ia membaringkan dirinya di pembaringan sentong tengen, seakan-akan pembaringan itu adalah pembaringan yang memang tersedia untuknya. Dengan tenang ia berkata kepada Madri dan Nyai Puroni, "Nyai, aku akan beristirahat."
Nyai Puroni mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Dibiarkannya Ken Dedes berbaring dan dibiarkannya emban yang mengawaninya pergi keluar. Ia sendiri duduk bersimpuh di lantai bersandar dinding.
Dalam pada itu, Ken Dedes masih juga menganyam angan-angannya. Hilir mudik kembali ke dalam rongga kenangannya. Kuda Sempana, Wiraprana yang malang, Mahisa Agni, kemudian Tunggul Ametung, Nyai Puroni, Madri dan seorang emban tua yang merawatnya sejak ia masih kecil dan kini ditinggalkannya di Panawijen.
Tetapi Ken Dedes kini berada di dalam bilik itu seorang diri. Ia tidak dapat minta pertimbangan kepada siapa pun setelah ia menyadari, bahwa Nyai Puroni ternyata tidak jujur menghadapinya.
Namun terasa sesuatu merayapi dinding hatinya. Terasa seolah-olah Nyai Puroni telah menghinakannya. Ia hanya seorang gadis desa. Terngiang kembali bentakan orang tua itu dalam nada penghinaan, "Ngger, kau belum seorang permaisuri."
Alangkah sakit hatinya. Ia sendiri tidak pernah bermimpi untuk menjadi permaisuri. Ia sudah puas apabila ia dapat hidup rukun dengan pemuda sedesanya, Wiraprana. Namun Wiraprana itu telah mati. Dan akalnya mengatakan kepadanya, bahwa yang mati itu tak akan hidup kembali.
"Alangkah pahit hidupku ini," desahnya di dalam hati. Namun terasa sesuatu yang merayap di dinding hatinya itu datang kembali. Lamat-lamat, namun semakin lama semakin kuat. Ken Dedes menggeleng lemah. Ia mencoba membunuh perasaan itu. Tetapi setiap kali ia menyingkirkannya dari dinding hatinya, setiap kali perasaan itu datang kembali. Dan perasaan itu berkata kepadanya, "Ken Dedes, apakah kau menerima hinaan itu" Tidakkah kau ingin membuktikan bahwa kau bukan seorang gadis yang hina-dina. Bahwa kau benar-benar mampu menjadi seorang permaisuri. Ken Dedes, kau akan dapat melawan hinaan itu tanpa membantah kata-kata itu, dan kau dapat menunjukkan kepada Kuda Sempana, bahwa anak yang kasar itu tidak cukup bernilai bagimu."
Ken Dedes memejamkan matanya. Ia ngeri mendengar suara perasaannya sendiri. Kembali ia mencoba memutar nalarnya. Apakah hal itu dapat dilakukannya. Namun ternyata nalarnya memperkuat perasaan itu. Harga diri dan kemarahannya yang tiada taranya kepada Kuda Sempana, sehingga tanpa disadarinya, tumbuhlah dendam di dalam hatinya. Dan dendamnya itu pun merupakan salah satu unsur yang mendorongnya untuk mengambil sikap untuk menempatkan dirinya, tidak lagi sebagai seorang gadis yang malang, yang mengeluh akan nasibnya, yang selalu disaput oleh kepedihan. Ken Dedes itu kemudian menelungkupkan wajahnya ketika ia mendengar lagi hatinya berkata, "Wiraprana telah mati. Karena itu maka aku tidak mengkhianatinya. Sebab yang mati tidak akan hidup kembali."
Beberapa lama Ken Dedes bergulat dengan perasaan sendiri. Berbagai pertimbangan datang dan pergi. Berbagai masalah hilir mudik di dalam rongga dadanya.
Dada Ken Dedes itu pun seakan-akan hampir meledak karenanya. Ia tidak dapat melupakan Wiraprana. Cintanya kepada pemuda itu adalah cinta yang kudus. Namun ia tahu pasti bahwa Wiraprana itu sudah tidak ada lagi.
Nyai Puroni yang duduk bersandar dinding, memandangi Ken Dedes dengan senyum di bibirnya. Terasa bahwa ia akan berhasil mengurungkan niat Akuwu Tunggul Ametung dengan menakut-nakuti gadis ini. Karena itu maka dibiarkannya Ken Dedes bergulat dengan angan-angannya sendiri. Tetapi sama sekali tidak disangka-sangka bahwa Ken Dedes sama sekali tidak berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan yang pedih bagi dirinya. Ia sudah menemukan keyakinan, bahwa cerita Nyai Puroni, sama sekali tidak dapat dipercaya. Dan karena itu maka cerita itu tidak perlu dipikirkannya. Yang menjadi persoalan di dalam diri Ken Dedes kini adalah, bagaimana ia dapat membebaskan dirinya dari himpitan perasaan yang selalu mengejarnya. Sebenarnyalah bahwa hilangnya Wiraprana benar-benar telah mengguncangkan perasaannya. Bahwa cintanya yang tumbuh telah direnggut patah dari dahannya.
Tanpa mereka sadari, maka waktu pun berjalan terus. Lambat-lambat namun pasti, merayap dari saat ke saat. Di langit matahari mengapung dengan lambatnya, seperti seorang perantau yang lesu menghadapi hari-hari mendatang yang kelam. Namun ia berjalan terus. Beredar menurut garis edarnya. Seperti saat-saat yang pernah dilampauinya. Dari timur ke barat, dan bergeser dari utara ke selatan dan dari selatan ke utara dalam lintasan tahun ke tahun.
Ketika ruangan sentong tengen itu kemudian berangsur menjadi gelap, maka seorang emban telah memasang lampu minyak dan menggantungkannya pada sebuah gantungan yang indah. Nyalanya yang kemerah-merahan memancar menerangi seluruh ruangan.
Ketika emban itu pergi, maka Nyai Puroni berkata kepada Ken Dedes yang masih terbaring di pembaringan itu dengan kepala yang semakin pening.
"Nini, baiklah aku pergi ke belakang. Tinggallah bersama emban yang bernama Madri itu sebentar. Kalau kau ingin membersihkan dirimu pula Nini, pergilah ke pakiwan belakang. Jangan terlalu bangga bahwa kau telah dibaringkan di sentong ini."
Ken Dedes mengangkat wajahnya. Sesaat ia memandangi wajah orang tua. Wajah yang telah berubah tidak lagi seperti saat ia pertama-tama melihatnya. Senyumnya kini tidak lagi sesejuk senyumnya kemarin. Tetapi senyumnya kini terasa menusuk sampai ke pusat jantung. Alangkah pedihnya. Meskipun demikian Ken Dedes menjawab, "Baik Nyai. Aku tidak ingin pergi ke pakiwan."
Nyai Puroni tidak menjawab. Tetapi ia tertawa dengan nada yang tinggi. Perlahan-lahan ia berjalan keluar dan sekali lagi ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Madri duduk terkantuk-kantuk di muka pintu.
"Madri," tegurnya, "tak ada yang pernah kau lakukan selain menguap dan mengantuk."
Jilid 12 EMBAN ITU TERKEJUT. Tersentak ia mengangkat wajahnya dan dilihatnya Nyai Puroni berdiri di sampingnya.
"Aku akan ke belakang sebentar emban," berkata Nyai Puroni, "tunggulah kau di dalam, mengawani Angger Ken Dedes. Tetapi ingat semua pesan-pesanku."
"Baik Nyai," sahut Madri yang kemudian melangkah memasuki sentong tengen mengawani Ken Dedes.
Dalam pada itu, di ruang yang lain Akuwu Tunggul Ametung sudah siap menerima Witantra dan Ken Arok. Ketika kemudian seorang pelayan menyampaikan kepada Tunggul Ametung bahwa kedua orang itu telah berada di halaman belakang, maka segera mereka berdua dipanggilnya menghadap.
Setelah ditanyakan oleh Akuwu Tunggul Ametung berbagai hal mengenai keselamatan mereka sebagai adat kebiasaan, maka kemudian bertanyalah Tunggul Ametung kepada Witantra, "Witantra bagaimanakah keadaanmu" Apakah kau tidak mendapat cedera apapun mengalami benturan kekuatan aji Kuda Sempana?"
"Tidak Akuwu. Hamba tidak mengalami sesuatu, Meskipun hamba kemudian menjadi lemah. Apalagi ketika Adi Kuda Sempana menghantam dada hamba dengan sebuah tendangan yang keras, di mana hamba sama sekali tidak menyangka."
Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Aji Kala Bama adalah aji yang dahsyat. Tetapi kau berhasil memunahkannya."
Witantra mengerutkan keningnya. Ternyata aji yang dipergunakan oleh Kuda Sempana itulah aji Kala Bama yang pernah didengar namanya. Untunglah bahwa ia telah memiliki perisai untuk melawannya. Aji Bajra Pati.
Yang terdengar kemudian Akuwu Tunggul Ametung meneruskan, "Aku sangat berterima kasih kepadamu Witantra. Kau tentu akan menerima hadiah yang pantas untuk segenap jasa-jasa itu."
Witantra menundukkan wajahnya, jawabnya perlahan, "Tuanku. Adalah jauh dari pamrih tentang hadiah atau kesempatan apapun yang akan Tuanku limpahkan kepada hamba. Tetapi hamba hanya sekedar melakukan tugas hamba."
"Kau telah berbuat melampaui tugas keprajuritanmu Witantra."
"Mungkin Tuanku, tetapi belum memadai tugas kemanusiaanku."
Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Ia menjadi bertambah kagumnya kepada perwiranya yang satu ini. Dan kepada orang yang demikianlah kemudian Tunggul Ametung telah melimpahkan kepercayaan untuk memperbincangkan masalah-masalah yang akan menentukan jalan hidupnya kemudian.
Maka berkata Akuwu Tunggul Ametung itu, "Witantra, aku telah melihat kesetiaanmu yang tiada taranya. Kesetiaanmu kepadaku, namun lebih tinggi lagi adalah kesetiaanmu kepada kemanusiaan, sehingga kau berani menolak perintahku di Panawijen. Karena itu, maka biarlah kepadamu berdua aku ingin menyatakan perasaanku untuk mendapatkan pertimbangan-pertimbangan."
Witantra dan Ken Arok sama sekali tidak menjawab. Mereka menundukkan wajah mereka sambil menunggu, apakah yang akan diberitahukan oleh akuwu itu kepada mereka.
"Witantra dan Ken Arok. Dengarlah. Demikian mendalam kesan yang menusuk hatiku atas kesalahan yang telah aku lakukan itu, maka aku ingin menebus kesalahan itu dengan kemungkinan yang paling bernilai yang ada padaku. Witantra, bagaimanakah pertimbanganmu seandainya gadis itu tidak usah dikembalikan ke Panawijen?"
Witantra mengangkat wajahnya. Sedang Ken Arok tergeser beberapa jari. Dengan dada yang berdebar-debar mereka menunggu akuwu memberi penjelasan lebih jauh.
Maka berkatalah Tunggul Ametung, "Aku ingin gadis itu tetap berada di istana seandainya itu dapat menyenangkannya. Tetapi sudah tentu bahwa apabila ia menolak, aku tidak akan memaksanya."
Witantra menarik keningnya. Kemudian ia kembali menundukkan wajahnya. Namun membayang di antara bibirnya sebuah senyum tertahan.
Tetapi berbeda benar dengan perasaan Ken Arok pada saat itu. Kata-kata Akuwu Tunggul Ametung benar-benar memukul jantungnya. Sekali ia mengangkat wajahnya, memandang wajah akuwu yang tampak suram, namun bersungguh-sungguh. Tetapi kemudian wajah itu kembali terbanting di atas anyaman tikar pandan di muka lipatan kakinya. Ken Arok hampir tidak percaya mendengar kata-kata akuwu itu meskipun ia sudah menduga sebelumnya. Ia mengharap bahwa dugaannya salah sehingga ia masih tetap pada anggapannya atas Akuwu Tunggul Ametung itu. Tetapi kini, tiba-tiba kebanggaannya terhadap Akuwu Tunggul Ametung langsung surut seribu kali. Meskipun beberapa saat yang lalu, ia merasa kecewa pula terhadap Tunggul Ametung, tetapi kekecewaannya kali ini terasa semakin memuncak.
Terdengar hatinya berteriak lantang, "O, jadi apa yang Tuanku katakan itu semata-mata hanya rangkaian kalimat penghias bibir. Ternyata Tuanku sendiri mempunyai pamrih atas gadis Panawijen itu. Kalau Kakang Witantra, Tuanku dorong terjun ke arena, bukan semata-mata sekedar untuk membebaskannya dari Kuda Sempana, namun sekaligus untuk membuka kesempatan kepada akuwu sendiri. Hem. Alangkah kisruhnya perasaanku sekarang ini."
Namun demikian tak sepatah kata pun yang dapat diucapkannya di hadapan Akuwu Tunggul Ametung yang memiliki kekuasaan tertinggi di Tumapel.
"Witantra," terdengar Akuwu Tunggul Ametung itu berkata lirih, "Bagaimana pertimbanganmu?"
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Hamba adalah seorang yang sama sekali tidak mempunyai wewenang untuk memberikan pertimbangan tentang hal yang sangat penting dalam perjalanan hidup Akuwu pribadi. Mungkin Tuanku dapat memanggil beberapa orang tua-tua untuk mendapat pertimbangan daripada mereka itu."
Tunggul Ametung menggelengkan kepalanya. "Tidak," katanya, "mereka tidak berkepentingan apa-apa bagi masa depanku."
"Tetapi mereka memiliki pandangan yang luas, dan pengalaman serta pengetahuan yang cukup. Mereka memiliki pertimbangan-pertimbangan dan nasihat-nasihat yang pasti akan sangat berguna bagi Tuanku. Mungkin Tuanku dapat memanggil beberapa orang pendeta, atau orang-orang tua yang lain."
"Tidak perlu Witantra," sahut Akuwu Tunggul Ametung, "aku akan menemukan jalan hidupku sendiri."
Witantra terdiam sejenak. Ia tidak dapat memberikan pertimbangan apapun karena keseganannya. Namun sekali ia berpaling kepada Ken Arok, tetapi dilihatnya Ken Arok itu duduk diam sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam.
"Kau tidak memberikan pendapatmu Witantra," desak Akuwu Tunggul Ametung.
Witantra menjawab sambil membungkukkan badannya dalam-dalam, "Ampun Tuanku. Hamba sama sekali tidak cukup pengetahuan untuk menjawab pertanyaan Tuanku."
Tunggul Ametung mengerutkan keningnya, perlahan-lahan ia berkata, "Tetapi kau tidak akan menolak bukan Witantra?"
"Apakah hakku untuk menolak Tuanku?"
"Aku tidak berbicara tentang apakah kau berhak atau tidak, tetapi aku ingin tahu, bagaimana perasaanmu terhadap maksud ini. Perasaanmu. Berhak atau tidak berhak."
Witantra tidak dapat mengelak lagi. Sebenarnya sejak semula, ia tidak berkeberatan atas maksud akuwu itu untuk memberi tempat yang agak baik bagi Ken Dedes. Karena itu maka jawabnya, "Ampun Akuwu. Perasaan hamba sama sekali tidak menentang maksud Akuwu itu."
"Terima kasih Witantra. Kaulah sebenarnya yang telah membebaskan gadis itu. Menurut perjanjian, yang menang dapat berbuat atas dasar kemenangannya."
"Tetapi Tuanku," sela Witantra tambahnya, "bukanlah benda mati, sehingga yang berkepentinganlah yang paling berhak untuk menentukan sikapnya."
"Tentu, tentu Witantra. Aku tidak akan berbuat kesalahan untuk kedua kalinya."
Witantra pun kemudian berdiam diri untuk sejenak. Sekali-sekali ia berpaling kepada Ken Arok yang masih saja menundukkan wajahnya dalam-dalam. Terasa sesuatu yang kurang wajar pada anak muda itu. Dan Witantra telah dapat menduganya. Seperti yang dikatakannya siang tadi, anak muda kecewa atas maksud Tunggul Ametung itu. Namun apabila hal itu dikehendaki oleh yang berkepentingan, maka apakah salahnya"
Dendam Asmara 7 Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan Mushasi 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama