01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 6
Mahisa Agni berusaha secepat-cepatnya untuk menjauhi Buyut Ing Wangon " yang masih terkapar sambil merintih-rintih " seakan-akan takut dikejarnya. Namun sebenarnya Mahisa Agni tidak merasa takut sedikit pun seandainya Buyut Wangon itu mengejarnya dan berusaha melawannya. Sejak semula ia sudah siap untuk bertempur. Tetapi ia takut terhadap perasaannya sendiri. Keluhan orang bongkok itu ternyata selalu menimbulkan getaran-getaran di dalam dadanya. Dan ia tidak mau perasaannya menjadi runtuh karenanya.
Sekali-kali kaki Mahisa Agni terperosok pada lubang-lubang di lantai gua. Bahkan beberapa kali Mahisa Agni itu jatuh terjerembab, namun kemudian ia bangkit lagi dan berlari kembali sambil meraba-raba dinding. Meskipun ia tidak dapat lari secepat-cepatnya, namun semakin lama ia menjadi semakin jauh dari Buyut Wangon. Dan ketika ia sudah tidak mendengar suara rintihan orang bongkok itu, Mahisa Agni pun berhenti Perlahan-lahan Mahisa Agni berpaling. Namun yang dilihatnya adalah sebuah takbir yang kelam di belakangnya. Kini barulah ia sadar, bahwa dirinya berada di dalam cengkaman dinding-dinding gua yang hitam pekat.
Nafas Mahisa Agni itu pun terdengar berkejar-kejaran dari lubang hidungnya. Terasa betapa cepatnya. Dengan susah payah Agni mencoba menenangkan dirinya.
Buyut dari Wangon itu ternyata mempunyai kesan yang aneh di dalam hati Mahisa Agni. Setelah ia menempuh perjalanan yang berat, dan mengalami banyak rintangan-rintangan, orang-orang jahat dan orang-orang yang mencoba mencegahnya tanpa menimbulkan kecemasan di dalam dirinya, namun kini tiba-tiba ditemui seorang yang lemah, sakit, bahkan hampir mati. Namun orang itu benar-benar mengganggu perasaannya
"Persetan dengan orang itu!" tiba-tiba Mahisa Agni menggeram. Ia ingin mencoba menekan perasaannya. Akar wregu putih itu baginya adalah benda yang akan menjadi sangat berharga.
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Sekali lagi ia berjuang untuk tidak terpengaruh oleh setiap perasaan yang mengganggu pekerjaannya. Tiba-tiba Mahisa Agni itu pun melangkahkan kakinya. Ia harus segera menemukan akar wregu putih itu.
Ternyata Mahisa Agni sudah tidak begitu jauh lagi dari pusat gua. Ketika sekali lagi menemui lubang udara, maka segera ia pun mengetahui, bahwa matahari telah tinggi di langit yang biru. Dari lubang itu Mahisa Agni melihat betapa cerahnya udara, dan cerahnya sinar matahari. Namun ia masih harus berada di dalam gua yang hitam kelam itu.
Mahisa Agni berjalan kembali beberapa langkah, kemudian terasa kakinya menyentuh tangga-tangga yang membawanya mendaki. Namun tangga-tangga itu tidak begitu tinggi, sehingga, segera ia sampai di ujungnya. Sekali ia membelok ke kiri, kemudian sekali lagi Mahisa Agni melihat seberkas sinar jatuh di lantai gua.
Mahisa Agni masih melangkah maju. Bahkan ia masih tetap berjalan dengan penuh kewaspadaan. Ternyata beberapa orang telah ditemuinya. Dan di antara mereka telah mengetahui pula adanya akar wregu putih itu sehingga tidak mustahil bahwa ada orang-orang lain lagi yang telah mengetahuinya pula, selain Buyut dari Wangon, Empu Pedek, orang dari Gunung Merapi yang tak diketahui namanya, dan gurunya.
Dada Mahisa Agni itu pun menjadi semakin berdebar-debar pula. Tiba-tiba ia cemas. Tidak pula mustahil, bahwa akar itu telah diambil pula oleh seseorang yang datang lebih dahulu daripadanya beberapa hari atau beberapa bulan dan bahkan beberapa tahun yang lalu, setelah gurunya mengunjungi gua ini.
"Hem," gumamnya, "kenapa guru tidak mengambilnya saja pada waktu itu?"
Namun Mahisa Agni menyadarinya kembali, bahwa pasti ada alasan-alasan tertentu, sehingga gurunya berbuat demikian. Alasan-alasan yang tak diketahuinya dan tak diberitahukannya kepadanya.
Tiba-tiba debar jantung Mahisa Agni itu pun menjadi semakin cepat. Terasa sesuatu menyentuh perasaannya. Firasatnya mengatakan kepadanya, bahwa perjalanannya hampir sampai ke tujuannya.
Ketika sekali lagi Mahisa Agni menikung ke kanan, dilihatnya kembali semakin terang. Dan ternyata lubang ini agak lebih besar daripada yang pernah ditemuinya.
Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah maju. Dengan penuh kewaspadaan dipandangnya setiap sudut gua yang terbentang di hadapannya. Tiba-tiba langkah Mahisa Agni itu pun terhenti. Di bawah berkas sinar yang jatuh itu dilihatnya dinding gua itu terputus. Ia tidak melihat lagi sebuah lubang pun pada dinding-dinding itu, sehingga tiba-tiba ia bergumam, "Apakah aku sudah sampai ke ujung gua ini?"
Debar dada Mahisa Agni menjadi kian cepat. Dan darahnya terasa seakan-akan membeku ketika matanya terbentur pada sebuah lubang kecil di dinding gua. Di dalam lubang itu dilihatnya, apa yang dicarinya selama ini. Kain yang berwarna merah, namun karena tuanya, maka warna itu telah hampir lenyap dan bertapikan kain putih yang sudah kekuning-kuningan.
Tiba-tiba tubuh Mahisa Agni menjadi gemetar karenanya. Terasa sesuatu melonjak di dalam ruang dadanya. Sesaat ia diam mematung, seolah-olah ia menjadi kehilangan kesadaran
Namun sesaat kemudian dengan serta-merta ia meloncat untuk meraih benda yang akan dapat ikut serta menentukan perjalanan hidupnya. Tetapi karena ia sedemikian tergesa-gesa sehingga Agni itu pun terpeleset dan jatuh terbanting di lantai gua yang berbatu-batu padas. Terdengar ia mengeluh pendek. Namun perasaan sakit di lututnya sama sekali tak dihiraukannya. Sekali lagi ia bangkit, dan sekali lagi ia meloncat. Kali ini ia berhasil. Digenggamnya benda itu erat-erat, dan kemudian dengan tangan yang gemetar diurainya kain pembalutnya. Sekali lagi dadanya berdesir. Kini digenggamnya sepotong akar wregu yang panjangnya kira-kira dua cengkang. Dengan tangan yang gemetar diciumnya akar wregu itu sambil bergumam dengan suara parau, "Terpujilah Namamu, Yang Maha Agung."
Betapa besar hati Mahisa Agni setelah ia memegang benda yang selama ini dicarinya dengan banyak pengorbanan. Benda yang akan menjadikan manusia jantan yang pilih tanding. Benda yang dapat menjadikannya manusia yang sukar dicari bandingnya. Karena itu untuk sesaat Mahisa Agni seakan-akan tenggelam dalam sebuah mimpi yang indah. Mimpi tentang masa depannya yang cerah. Terngianglah di sudut hatinya kata-katanya sendiri, "Ayo, siapakah yang akan berani melawan kehendak Mahisa Agni" Apapun yang akan aku lakukan tak seorang pun yang dapat mencegahnya. Dengan benda ini dan trisula yang sakti itu, akan dapat aku gulung dunia ini."
Tiba-tiba Mahisa Agni itu pun tertawa sendiri. Dan tiba-tiba ia berdiri bertolak pinggang sambil berkata lantang, "Inilah Mahisa Agni. Manusia tersakti di muka bumi."
Dan seperti orang yang kehilangan ingatan, sekali lagi akar wregu putih itu diciuminya.
Namun semakin lama, Mahisa Agni itu pun menjadi semakin tenang. Seolah-olah anak muda itu tersadar dari tidurnya yang ditandu dengan mimpi yang mengagumkan. Perlahan-lahan segenap ingatan yang terang kembali merayapi hati Mahisa Agni kemudian berhasil kembali menguasai dirinya, menguasai luapan perasaannya. Bahkan tiba-tiba ia menjadi malu sendiri, setelah disadarinya, Apa yang baru saja dilakukannya
Maka Mahisa Agni itu kemudian dengan langkah satu-satu berjalan menepi. Kemudian perlahan-lahan pula ia meletakkan dirinya duduk bersandar dinding gua. Diambilnya sebuah tarikan nafas yang panjang sekali. Dan baru kemudian ia mengamat-amati akar wregu di tangannya.
Akar wregu itu adalah akar wregu seperti yang pernah dilihatnya. Tidak ada kekhususannya, selain warnanya yang memang agak keputih-putihan. Bahkan warna putih itu pun tidak memberikan kesan apa pun pada penglihatan Mahisa Agni. Namun bagaimana pun juga, gurunya telah berkata kepadanya bahwa benda itu akan dapat menjadi rangkapan pusakanya, sehingga kedua pusaka itu akan merupakan sepasang pusaka yang tak ada bandingnya.
Sekali-kali terasa juga keragu-raguan di dalam dada Mahisa Agni itu. Apakah tidak mustahil bahwa seseorang telah datang mendahuluinya dan menukar akar wregu ini dengan akar wregu yang lain" Ketika sekali lagi Mahisa Agni memandang akar wregu dalam cahaya yang jatuh lewat lubang-lubang di atas gua itu, sekali lagi tergores suatu pertanyaan di dalam dadanya. Apakah benar akar yang dicarinya itu, adalah yang kini digenggamnya"
"Ah, tentu," gumamnya tiba-tiba. Ia telah berjalan sampai ke ujung gua ini. Dan benda inilah satu-satunya yang ditemukannya. Apabila seseorang telah datang lebih dahulu daripadanya, apakah perlunya orang itu menukarnya" Kenapa tidak saja benda itu pun diambilnya"
Dalam pada itu, Mahisa Agni pun segera teringat kepada orang timpang di kaki lereng gundul ini. Empu Pedek. Beberapa keanehan telah mengganggu otaknya. Kenapa Empu Pedek itu tidak mendahuluinya mengambili pusaka ini. Seandainya demikian, bukankah akibatnya akan sama saja baginya. Ia masih akan tetap pada keadaannya, dan kemungkinan untuk mengetahui orang-orang lain yang akan mengambil akar itu, dengan harapan untuk menemukan trisulanya. Sebab sebelum seseorang memiliki kedua-duanya, maka ia belum seorang yang sakti tanpa tanding. Sehingga betapapun saktinya Empu Pendek, namun tak semua orang di bawah kolong langit ini dapat dikalahkannya. Juga belum pasti orang yang memiliki trisula itu pun dapat dikalahkannya pula.
Dalam pada itu timbul pula dugaannya, bahwa sebenarnya seseorang telah mengambil akar wregu yang sebenarnya. Namun telah ditukarkannya dengan benda yang lain, sehingga dengan demikian, tak ada orang yang akan mengejarnya. Orang yang menemukan akar itu kemudian akan menyangka bahwa akar itu adalah akar yang sebenarnya, dan tidak dicarinya pula akar wregu putih itu, sehingga sampai pada saatnya, ditemukannya rangkapannya. Trisula.
Berbagai-bagai persoalan datang hilir mudik di kepala Mahisa Agni. Namun akhirnya ia mengambil suatu kesimpulan, "Biarlah apa yang ada ini aku bawa kembali. Guru telah pernah melihatnya dahulu, sehingga Empu Purwa itu pasti akan dapat mengetahuinya, apakah akar wregu inilah yang sebenarnya harus aku cari. Apabila ternyata keliru, maka betapapun beratnya, aku harus berjalan kembali untuk menemukan akar yang sebenarnya itu. Yang pertama-tama harus ditemukan adalah orang timpang yang menamakan diri Empu Pedek itu."
Kini Mahisa Agni telah benar-benar menjadi tenang. Bahkan kini terasa olehnya, betapa tubuhnya menjadi penat. Telah sehari semalam, bahkan lebih, ia berada dalam ketegangan lahir batin. Apalagi setelah ia berjuang memeras tenaga melawan rintangan-rintangan yang dihadapinya. Karena itu, maka baru kini terasa, persendiannya sakit-sakit dan pedih-pedih menjalari di seluruh telapak tangan dan kakinya. Bahkan dilihatnya pula beberapa goresan merah pada lutut dan lengannya.
"Aku harus beristirahat," gumamnya. Sebab Mahisa Agni itu pun sadar bahwa perjalanan pulang ke Panawijen itu pun akan mempunyai persoalan-persoalannya sendiri. Tidak terlalu jauh. Di bawah lereng ini, Empu Pedek masih menunggunya. Orang itu pasti belum akan melepaskan niatnya untuk memiliki trisulanya dan sekaligus akar wregu putih ini.
"Sayang," desah Agni tiba-tiba, "Kalau trisula itu aku bawa serta maka aku akan keluar dari gua ini dengan pasti, bahwa tak seorang pun akan dapat mengalahkan aku."
Tetapi tiba-tiba pikiran itu terdorong pula oleh sebuah pikiran yang lain, "Bagaimana kalau aku binasa sebelum sampai ke gua ini, atau akar ini bukanlah akar wregu putih yang sebenarnya?"
Tiba-tiba Mahisa Agni itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tidak mau berpikir lagi. Ia hanya ingin beristirahat, untuk kemudian keluar dari gua ini dengan tenaga yang cukup untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Demikianlah kemudian Mahisa Agni itu duduk sambil menjulurkan kedua kakinya lurus-lurus sambil bersandar ke dinding. Dicobanya untuk benar-benar dapat beristirahat dan mengumpulkan segenap kekuatannya kembali.
Meskipun perlahan-lahan namun pasti, Mahisa Agni telah menemukan kesegaran tenaganya kembali, sekali-kali dipijitnya kakinya dan direntangkannya tangannya.
Sesaat kemudian Mahisa Agni itu berdiri. Ketika kantuknya tiba-tiba menyerang, dicobanya pula untuk melawannya. Ia tidak mau tertidur dan ia tidak mau seseorang datang kepadanya, membunuhnya selagi ia tidur dan mengambil akar wregu yang sudah di tangannya itu.
Setelah beberapa kali menggeliat, serta telah digerak-gerakkannya tangan serta kakinya, maka Mahisa Agni merasa, bahwa sebagian besar tenaganya telah pulih kembali. Meskipun hampir dua hari ia tidak makan apapun, namun Mahisa Agni telah menjadi biasa dengan keadaan itu. Di padepokannya pun ia sering melakukannya. Tidak makan dan tidak minum sebagai laku prihatinnya. Dan kini, ternyata apa yang sejak lama telah dilakukannya itu sangat bermanfaat baginya. Apalagi pada saat-saat ia mempertaruhkan benda yang dianggapnya sangat berharga itu, maka Mahisa Agni itu pun sama sekali tidak merasakan lapar.
Kini Mahisa Agni telah bersiap untuk keluar kembali dari gua. Diaturnya perasaannya serta diaturnya tenaganya. Se".. (hilang beberapa paragraph)
Jilid 5 SEKALI LAGI MAHISA AGNI MEMANDANGI AKAR WREGU itu, dan kemudian dibalutnya dengan rapi. Diselipkannya akar itu di ikat pinggangnya di bawah bajunya. Kini tangannya sekali-kali meraba hulu kerisnya. Seakan-akan ia berkata kepada pusaka itu. Kita akan menghadapi setiap kemungkinan bersama-sama untuk melindungi akar wregu putih ini.
Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah keluar dari ujung gua itu. Setelah sekali ia membelok maka ia sampai pada daerah yang gelap. Sekali ia masih menemui lubang udara lagi, namun sesaat kembali ia terlempar ke daerah yang kelam.
Dengan sangat hati-hati dan penuh kewaspadaan Mahisa Agni berjalan sambil meraba-raba dinding. Dengan hati-hati pula ia menuruni tangga dan kemudian menyusur daerah yang lembab. Di kejauhan Mahisa Agni melihat remang-remang sinar jatuh ke dalam gua. Sinar yang masuk lewat lubang-lubang seperti yang beberapa kali telah dilihatnya.
Namun tiba-tiba langkah Mahisa Agni terhenti. Di muka sinar yang samar-samar itu ia telah melemparkan Buyut Ing Wangon. Karena ini tiba-tiba ia menjadi berdebar-debar. Apakah orang itu masih di sana" Pertanyaan itu timbul di dalam hatinya. Namun dijawabnya sendiri, "Aku telah memiliki akar ini. Biarlah aku tidak menghiraukannya lagi."
Kemudian Mahisa Agni itu pun bahkan mempercepat langkahnya. Ia ingin segera melampaui orang bongkok dari Wangon itu. Karena itu, maka Mahisa Agni itu pun kemudian berjalan semakin cepat pula.
Tetapi sekali lagi langkahnya terhenti. Lamat-lamat ia telah mendengar suara orang itu merintih.
"Gila!" desahnya, "Kenapa orang itu masih belum pergi juga?"
Ketika sekali lagi Mahisa Agni mendengar rintihan itu terasa dadanya berdesir. Namun sambil mengatupkan giginya rapat-rapat sambil menggeram ia melangkah maju. Ia ingin melompati orang itu untuk kemudian dengan cepat meninggalkannya. Namun, desir di dadanya itu semakin lama menjadi semakin tajam. Bahkan kemudian Mahisa Agni itu terpaku di tempatnya. Ia tidak dapat maju lagi.
Kini Mahisa Agni harus berjuang melawan perasaannya. Suara orang dari Wangon itu terdengar sangat memelas. Tetapi apakah yang dapat dilakukan"
Tiba-tiba Mahisa Agni itu pun berteriak sekeras-kerasnya untuk menindas perasaan yang semakin menggelora di dalam dadanya. Katanya, "He, Buyut Ing Wangon. Menepilah! Aku akan lewat, supaya kau tidak terinjak karenanya."
"Oh," terdengar orang itu berdesis. Tidak terlalu keras, namun Mahisa Agni dapat mendengarnya, "kaukah Empu dari Gunung Merapi itu?"
"Ya," sahut Mahisa Agni pendek. Tetapi kemudian ia berteriak, "Aku akan membunuh siapa saja yang menghalangi aku!"
"Apakah kau sudah berhasil menemukan akar wreguitu?" terdengar Buyut itu bertanya.
"Sudah!" jawab Agni kasar, "Apakah maumu?"
"Syukur. Syukur," gumam orang itu.
Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir. Dan sekali lagi ia berusaha menindas perbuatannya. Ia berteriak-teriak untuk mengusir setiap bisikan di dalam hatinya, "Pergilah supaya aku tidak membunuhmu!"
"Kau tak usah melakukannya, Ki Sanak," terdengar suara itu semakin lemah, "sebentar lagi aku akan mati dengan sendirinya. Tidak hanya aku, tetapi beribu-ribu orang lain."
"Persetan! Persetan!" Mahisa Agni itu berteriak-teriak seperti orang gila. Katanya seterusnya, "Pusaka ini sangat penting bagiku. Matilah orang Wangon. Matilah bersama segenap keluarga dan orang-orangmu."
"Ya," jawab Buyut Ing Wangon itu, "aku memang akan mati. Dan sebelum mati aku akan mengucapkan selamat kepadamu, Ki Sanak. Namun, apakah aku boleh mendengar kegunaan akar itu padamu" Biarlah aku mengetahuinya. Mungkin pengetahuan itu akan mempermudah perjalananku ke alam yang langgeng."
Terasa dada Mahisa Agni itu bergelora. Namun seperti orang gila ia berteriak-teriak pula, "Ketahuilah, he, Buyut Ing Wangon. Pusaka ini akan menjadikan aku seseorang yang sakti pilih tanding."
"Oh," desah orang itu, "hanya itu?"
"Kenapa hanya itu?" ulang Mahisa Agni, "dengan kesaktianku aku akan dapat berbuat apa saja. Aku akan berbuat kebajikan dan menjunjung kebenaran. Kau dengar?"
"Ya, ya. Aku dengar. Syukurlah apabila demikian. Mudah-mudahan kau akan dapat mengamalkannya," sahut Buyut dari Wangon. Dan perlahan-lahan orang itu berkata pula, "Tetapi Ki Sanak, apakah aku dapat menitipkan satu pesan kepadamu?"
Gelora di dalam dada Mahisa Agni semakin lama menjadi semakin keras. Setiap kata yang terpancar dari mulut orang bongkok itu serasa sebuah tusukan yang menghunjam dadanya. Meskipun demikian Mahisa Agni menyahut juga, "Apakah pesan itu?"
"Ki Sanak," berkata Buyut Ing Wangon yang sudah menjadi semakin lemah, "terima kasih."
"Jangan berterima kasih kepadaku!" bentak Mahisa Agni, "aku belum menyatakan kesediaanku. Aku ingin mendengar dulu pesan itu."
"Oh," desah Buyut Wangon, "baiklah. Aku ingin kau menyampaikan pesanku. Katakanlah kepada orang-orang Wangon, bahwa Buyut Ing Wangon telah berusaha untuk mendapatkan obat itu. Namun ia tidak berhasil. Sampaikan permintaan maafku yang sebesar-besarnya kepada mereka, bahwa aku mati di dalam gua di mana akar wregu itu disimpan. Dengan demikian.."
"Cukup!" bentak Agni semakin keras, "jangan lanjutkan supaya aku tidak menjadi semakin marah."
"Oh," sekali lagi Buyut Wangon itu berdesah, "kenapa Ki Sanak menjadi marah. Atau barangkali Ki Sanak berkeberatan untuk singgah di Wangon."
"Aku belum pernah mendengar nama padukuhan Wangon," jawab Mahisa Agni.
"Aku dapat memberimu ancar-ancar."
"Tidak! Tidak!" dan tiba-tiba Mahisa Agni tersandar di dinding gua. Dan tiba-tiba pula kedua telunjuk tangannya menyumbat telinganya. Teriaknya, "Jangan berbicara lagi! Jangan berbicara lagi! Aku harus memenuhi perintah guruku. Akar wregu ini harus aku bawa pulang."
Terdengar Buyut Wangon itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berkata. Meskipun Mahisa Agni telah menyumbat kedua lubang telinganya namun suara itu masih terdengar, "Ya. Ya. Bawalah Ki Sanak bawalah akar itu pulang."
Mahisa Agni tiba-tiba terbungkam. Tubuhnya pun kemudian bergetar secepat getaran di dadanya. Tanpa sesadarnya Mahisa Agni itu berkata, "Bagaimanakah caramu mempergunakan akar ini untuk mengobati sakitmu itu?"
"Tak ada gunanya," jawab orang bongkok itu. Mahisa Agni dapat mendengar kata-katanya dengan jelas. Meskipun kedua ujung telunjuknya masih melekat di telinganya, namun ia berusaha untuk mendengar jawaban Buyut Wangon itu.
"Bukankah Ki Sanak ingin menolongku dengan mempergunakan akar itu dahulu kemudian akar itu tetap kau miliki" Tidak bisa. Tidak bisa Ki Sanak. Sebab kami harus menyayat akar itu lumat-lumat. Kemudian setiap orang yang sakit harus menelan meskipun hanya sebagian kecil dari akar itu. Akar itu akan kami lumatkan dan kami aduk dengan air sebanyak-banyaknya sehingga setiap orang dapat minum air itu sebagai obat penyakitnya."
"Gila!" teriak Mahisa Agni, "Jadi kau ingin merampas akar ini?"
"Tidak," sahut orang itu cepat-cepat, "aku hanya mengatakan demikian."
"Jangan berbicara lagi!" perintah Mahisa Agni.
"Tidak. Aku tidak akan berbicara lagi. Tetapi aku ingin menjelaskan. Aku sama sekali sudah tidak bernafsu lagi memiliki akar wregu itu. Milikilah, karena padamu pun wregu itu memiliki nilai kegunaan yang tinggi. Dengan kesaktian yang akan kau peroleh, kau akan dapat melakukan pengabdian pada kemanusiaan. Kau akan dapat menolong sesama yang mengalami kesulitan-kesulitan dan kau akan melakukan tindakan perikemanusiaan. Karena itu aku sekali lagi mengucapkan selamat padamu. Kalau kau tak mau pergi ke Wangon pun tak apa pula. Sebab di sana kau mungkin juga tinggal akan menemui mayat-mayat mereka."
Kembali Mahisa Agni terdiam. Dan tiba-tiba perjuangan di dalam dadanya menjadi dahsyat. Mahisa Agni telah mengalami berbagai rintangan dalam perjalanannya. Ia harus bertempur dengan orang-orang jahat, dengan binatang-binatang buas sampai yang terakhir dengan Empu Pedek. Semuanya dapat di atasi dengan penuh tekad dan hasrat untuk melaksanakan perintah gurunya dan demi masa depannya.
Namun ketika ia harus berhadapan dengan lawan yang terakhir maka Mahisa Agni menjadi seakan-akan lumpuh. Kini ia tidak bertempur melawan orang-orang sakti dan binatang-binatang buas. Tetapi ia harus bertempur melawan perasaan sendiri. Sebagai seorang anak yang prihatin sejak masa kecilnya, yang merasakan duka derita manusia-manusia yang sedang mengalami kesulitan-kesulitan, yang telah menerima banyak pelajaran dan pendidikan mengenai manusia dan kemanusiaan dari gurunya, yang pernah mendengar cerita tentang ibunya yang membuang diri karena tekanan perasaan yang menghimpit hati, maka kini Mahisa Agni tidak dapat mengelak lagi dari cengkeraman perasaannya.
Dengan akar wregu putih itu ia masih harus melakukan pengabdian. Ia masih harus mencari persoalan. ia masih harus menemukan ketidak adilan dan pelanggaran atas sendi-sendi kemanusiaan untuk ditegakkan dan dibelanya. Ia masih harus mencari lawan, betapa lawan yang dicarinya itu adalah orang-orang jahat. Dan sekarang kesempatan pengabdian yang nyata telah ada di hadapannya. Bukankah dengan memberikan akar wregu putih itu ia telah melakukan pengabdian kepada kemanusiaan dalam bentuk yang nyata dan langsung. Beribu-ribu orang akan terbebas dari kematian yang mengerikan. Sakit, semakin lama menjadi semakin lemah, dan akhirnya kematian menerkamnya. Apakah dengan memiliki akar wregu putih itu kelak ia akan mendapat kesempatan untuk membela, melindungi atau tindak apapun yang dapat menyelamatkan jiwa sampai lebih dari seribu orang" Atau malahan dengan akar wregu itu ia akan menjadi takabur dan menyombongkan diri?"
Pertempuran di dada Mahisa Agni itu pun menjadi semakin dahsyat. Sekali-kali terbayang wajah gurunya yang tenang sejuk dan dalam, namun sekali-kali terbayang mayat yang membujur lintang di antara pekik anak-anak dan bayi yang mencari susu ibunya. Namun ibunya telah mati, dan perlahan-lahan bayi itu akan mati pula.
Gambaran-gambaran yang mengerikan semakin lama semakin jelas hilir mudik di kepala Mahisa Agni. Dan kini ia benar-benar tidak mampu lagi untuk mengelakkan diri dari terkaman-terkaman peristiwa-peristiwa yang membayanginya.
Mahisa Agni yang perkasa, yang mampu bertempur melawan orang-orang sakti dan binatang-binatang buas itu kini terduduk dengan lemahnya bersandar dinding. Sekali-sekali ia menggelengkan kepalanya untuk mengusir perasaannya yang telah melumpuhkannya. Namun perasaan itu telah melekat dengan eratnya pada dinding hatinya.
Ketika terngiang kembali pesan Buyut Ing Wangon itu kepadanya supaya disampaikan permintaan maafnya kepada orang-orang Wangon, maka Mahisa Agni menundukkan kepalanya, bahkan tiba-tiba sepasang tangannya yang kokoh seperti baja itu menutupi wajahnya. Sebab di dalam dadanya, pesan itu diperpanjangnya sendiri, katanya kepada diri sendiri di dalam hati, "Buyut Ing Wangon itu gagal dalam usahanya, dan beribu-ribu orang mengalami bencana, karena seorang anak muda yang bernama Mahisa Agni telah merampas akar wregu itu untuk membuat dirinya sakti tiada bandingnya."
"Oh," Mahisa Agni mengeluh. Kini ia tidak tahan lagi melawan perasaannya, sehingga tiba-tiba dari mulutnya terdengar kata-katanya gemetar, "Ki Buyut Wangon, apakah kau yakin bahwa akar wregu ini akan dapat menyembuhkan orang-orangmu yang sakit itu?"
"He," Buyut Wangon itu terkejut. Namun kemudian terdengar suaranya lemahnya, "aku yakin."
Sekali lagi mereka berdua berdiam diri. Dan kembali gua itu dicengkam oleh kesepian yang mengerikan.
"Ki Buyut," berkata Mahisa Agni kemudian, "apakah Ki Buyut ingin membuktikannya, bahwa akar wregu ini akan bermanfaat bagi penyakitmu itu?"
"Tidak Ki Sanak," jawab Buyut Wangon itu.
"Kenapa tidak?" Mahisa Agni menjadi heran.
"Ki Sanak," jawab orang bongkok itu, "aku bukan mencari akar wregu itu untukku sendiri. Tak ada gunanya seandainya aku dapat sembuh karenanya, namun beribu-ribu orang lain akan mati juga. Karena itu biarkanlah aku di sini."
Tiba-tiba Mahisa Agni itu menggeleng. Dan terloncatlah dari bibirnya, "Tidak. Aku tidak dapat membiarkan kematian-kematian itu."
"He," sekali lagi Buyut Wangon itu terkejut, "apa maksudmu. Ki Sanak?"
Mahisa Agni menarik nafas panjang. Terdengarlah ia berkata lirih, "Ki Sanak. Bawalah akar ini kembali ke Wangon. Mudah-mudahan kalian akan benar-benar sembuh karenanya."
"Apa katamu" Apa katamu?" orang bongkok itu tiba-tiba bergeser dan dengan susah payah ia berteriak terbata-bata, "Kau ingin memberikan akar itu kepadaku?"
"Ya," sahut Agni pendek.
"Oh," tiba-tiba orang itu menjadi lemah kembali. "Jangan!" katanya, "jangan. Aku ternyata terlalu mementingkan kepentinganku sendiri. Milikilah, masa depanmu masih panjang. Mudah-mudahan jagat yang gumelar ini akan dapat kau miliki dengan kesaktian itu."
Tetapi hati Mahisa Agni menjadi semakin pedih mendengar kata-kata Buyut Wangon itu, jawabnya, "Tidak Ki Buyut. Betapapun aku akan dapat menggulung dunia seisinya, namun aku tidak akan dapat melupakan, bahwa aku telah berdiri di atas beribu-ribu mayat yang seharusnya dapat diselamatkan. Aku akan selalu ingat, bahwa kematian-kematian itu disebabkan karena keinginanku untuk menjadi seorang yang paling sakti di dunia. Dan bagiku tebusan itu terlalu mahal, sedangkan manfaatnya masih belum dapat dipastikan."
"Oh," orang itu pun terdengar menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Apabila demikian Ki Sanak, maka aku akan mengucapkan terima kasih yang tak ada batasnya. Juga orang-orang Wangon dan sekitarnya akan berterima kasih pula kepadamu. Karena itu, apabila benar kau ingin menyerahkan akar wregu itu. Marilah. Aku antarkan kepadanya. Serahkanlah sendiri akar wregu milikmu itu. Dan kau akan diangkat menjadi pelindung mereka, atau tetua mereka atau apa saja yang dapat diberikan kepadamu."
Mahisa Agni menggeleng lemah. Jawabnya, "Tidak Ki Sanak. Kau adalah tetua di daerahmu. Bawalah akar ini kepada mereka."
"Kenapa kau tak mau singgah ke Wangon?"
"Tidak. Bawalah. Marilah, terimalah akar ini."
Mahisa Agni dengan lemahnya merangkak maju. Dan dengan tangan yang gemetar dicabutnya akar wregu itu dari dalam bajunya. Ketika teraba benda itu, kembali ia menjadi ragu-ragu. Namun ketika kembali bayangan mayat-mayat yang bergelimpangan hadir di dalam rongga matanya, maka betapapun beratnya, akar wregu putih itu diserahkannya pula.
"Inilah," katanya.
Ternyata Buyut Ing Wangon itu telah benar-benar menjadi sedemikian lemahnya. Tidak saja karena ia terbanting di lantai gua dan membentur batu-batu padas, namun katanya, "Penyakitku telah hampir sampai ke otakku. Sesaat lagi aku sudah akan mati."
"Tidak!" sahut Agni, "Karena itu cepat, terimalah akar ini. Dan kaulah yang pertama-tama akan tahu khasiatnya, apakah akar ini benar-benar bermanfaat bagi penyakitmu."
"Oh," jawab Buyut bongkok itu, "kau benar. Marilah, aku terima akar itu dengan mengucap syukur kepada Yang Maha Agung."
Tangan Buyut Wangon yang sangat lemah itu pun bergerak-gerak menggapai akar yang diberikan Mahisa Agni kepadanya. Demikian ia menyentuh benda itu, maka katanya, "Tolong Ki Sanak, uraikan pembalutnya."
Mahisa Agni pun memenuhi permintaan itu. Dan diberikannya kemudian akar wregu putih itu kepada Buyut Wangon yang sudah sedemikian lemahnya.
Dengan serta-merta, tangan yang lemah dan gemetar itu telah membawa akar wregu putih itu ke mulutnya. Digigitnya ujung akar itu sedikit. Dan bergumamlah Buyut Ing Wangon itu, "Alangkah pahitnya."
Mahisa Agni tidak menyahut sepatah kata pun. Dibiarkannya Buyut Ing Wangon itu mengunyah sepotong serat yang kecil, sekecil sebutir beras. Dengan berdebar-debar ia menunggu, apakah akar itu benar-benar akan berpengaruh bagi penyakit yang aneh itu.
Sesaat kemudian Mahisa Agni dicengkam oleh ketegangan. Kali ini bukan karena ia takut kehilangan akar wregu putih itu, namun ia ingin menyaksikan, apa yang akan terjadi dengan Ki Buyut Wangon itu.
Perlahan-lahan Mahisa Agni mendengar Buyut Ing Wangon itu berdesis, kemudian terdengar ia bergumam, "Perutku dan seluruh tubuhku terasa dijalari oleh arus yang panas."
Mahisa Agni tidak menyahut. Ia tidak tahu, apakah arus panas di dalam tubuh Buyut Wangon itu menguntungkan atau bahkan sebaliknya. Karena itu ia masih berdiam diri dan memandangi bayangan Buyut Ing Wangon itu dengan wajah yang tegang.
Sesaat kemudian terdengar Buyut Wangon itu berdesis. Tetapi kemudian, kembali ia mengeluh, "Alangkah panasnya."
Mahisa Agni ikut menjadi gelisah karenanya. Namun ia ikut pula berdoa di dalam hatinya, "Mudah-mudahan akar wregu itu benar-benar dapat menolongnya."
Gua itu kemudian seakan-akan telah tenggelam ke dalam kesepian yang tegang. Hanya kadang-kadang Mahisa Agni melihat Buyut Ing Wangon itu menggeliat, namun kemudian diam kembali. Hanya nafasnya sajalah yang terdengar berkejaran dari lubang hidungnya. Dengan demikian Mahisa Agni itu pun menjadi bertambah cemas. Jangan-jangan akar wregu putih itu telah menambah sakit Buyut dari Wangon menjadi bertambah parah.
Tetapi kemudian Mahisa Agni terkejut, ketika terdengar Buyut itu menarik nafas dalam-dalam. Dan terdengarlah ia berkata, "Alangkah segarnya tubuhku kini."
Mahisa Agni menggeser maju. Terdengar ia bertanya, "Apakah keadaan Ki Buyut menjadi berangsur baik?"
"Ya," jawab Ki Buyut, "aku menjadi baik kembali. Setidak-tidaknya sakitku tidak menjadi bertambah parah. Tetapi aku rasa bahwa sebagian kekuatanku justru telah pulih kembali."
"Syukurlah," desis Mahisa Agni, "mudah-mudahan akar itu bermanfaat bagi Ki Buyut. Nah, selagi masih ada kesempatan. Pulanglah ke Wangon dan selamatkanlah orang-orang di daerah itu."
"Terima kasih," sahut Ki Buyut, "terima kasih. Namamu akan tetap kami kenangkan, Empu Pedek dari Gunung Merapi."
"Oh," Mahisa Agni menggeleng, "Aku bukan Empu Pedek dan Gunung Merapi."
Buyut Ing Wangon itu terkejut. Katanya, "Bukankah kau sebut namamu Empu Pedek" Dan bukankah kau katakan kau datang dari kaki Gunung Merapi?"
"Bukan Ki Buyut," sahut Mahisa Agni, "aku adalah Mahisa Agni dari kaki Gunung Kawi."
"Oh," orang yang bongkok itu menjadi heran, "jadi siapakah Empu Pedek dari kaki Gunung Merapi?"
"Aku tidak tahu, " jawab Mahisa Agni. Namun dengan demikian teringatlah olehnya seorang yang timpang yang mungkin telah menunggunya di kaki lereng gundul ini. Karena itu maka katanya, "Ki Buyut, yang kuketahui dengan Empu Pedek itu adalah, bahwa ia telah berusaha untuk menahan perjalananku. Aku bertempur dengan orang itu di bawah lereng gua ini."
"Jadi kau bahkan telah bertempur dengan orang itu?"
"Ya." "Kalau demikian, maka nama Mahisa Agni akan tetap terpatri di dalam setiap hati penduduk Wangon. Seorang tukang yang paling cakap akan menulis nama itu di gapura-gapura padukuhan dan seorang pujangga yang paling baik akan menulis nama itu di lontar-lontar yang akan disimpan di pura-pura di seluruh daerah Wangon dan sekitarnya."
"Jangan!" jawab Mahisa Agni, "Aku akan bergembira apabila beribu-ribu orang itu akan sembuh. Dan aku akan bergembira apabila mereka dapat melangsungkan hidup keturunan mereka seterusnya."
"Mengagumkan," desah Buyut dari Wangon itu.
Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar Buyut Wangon itu tiba-tiba berkata dengan gemetar, "Sungguh tak ada duanya. Kau benar-benar manusia yang terpuji."
"Jangan memuji," sahut Mahisa Agni, dan kemudian dilanjutkannya, "Nah, sebaiknya, apabila Ki Buyut telah dapat menempuh perjalanan pulang, pulanglah sebelum terlambat."
"Baik," jawab Buyut itu, "aku akan segera pulang. Mudah-mudahan aku tidak terlambat. Apabila aku terlambat, maka aku akan mengembalikan akar wregu putih ini kepadamu. Aku cari kau ke kaki Gunung Kawi. Apakah nama padukuhanmu?"
"Panawijen," jawab Mahisa Agni tanpa sesadarnya.
Buyut Wangon itu pun perlahan-lahan mencoba untuk berdiri. Dan ternyata ia berhasil. Bahkan kemudian katanya, "Aku telah dapat berjalan seperti pada saat aku datang kemari."
"Syukurlah," sahut Mahisa Agni.
Buyut dari Wangon itu pun kemudian berjalan terbongkok-bongkok ke arah mulut gua. Seperti orang yang kehilangan kesadaran, Mahisa Agni mengikutinya dari belakang. Mereka berjalan-jalan menyusur jalan yang mereka lalui semula. Namun kini perlahan-lahan sekali. Sebab orang bongkok itu benar-benar tak dapat berjalan lebih cepat dari seekor siput. Meskipun demikian Mahisa Agni dengan telatennya berjalan saja di belakangnya.
Perjalanan itu benar-benar makan waktu yang panjang sekali. Ketika mereka telah sampai di mulut gua, maka yang mereka lihat hanyalah warna-warna hitam melulu. Hari telah malam.
Ketika Mahisa Agni melihat orang bongkok itu akan menuruni tebing, maka dicobanya untuk mencegahnya, "Ki Buyut, adalah lebih baik Ki Buyut menuruni lereng ini besok pagi, apabila hari telah menjadi terang Adalah berbahaya untuk melakukannya sekarang."
Ki Buyut itu menggeleng. "Tidak," jawabnya, "aku tidak mau terlambat. Biarlah aku menuruni tebing ini perlahan-lahan, namun aku tidak banyak kehilangan waktu."
Buyut itu benar-benar tak mau dicegah lagi. Karena itu, justru Mahisa Agni tidak sampai hati membiarkannya turun sendiri. Betapapun sulitnya, maka Agni itu pun turut serta menuruni lereng yang curam itu pada saat itu juga.
Apalagi perjalanan menuruni tebing ini. Buyut Ing Wangon itu dengan hati-hatinya merayap setapak demi setapak. Tubuhnya yang bongkok itu ternyata menambah perjalanannya menjadi semakin sulit. Mahisa Agni yang merayap di belakangnya kadang-kadang sangat cemas, dan seakan-akan ingin ia mendukungnya. Tetapi Mahisa Agni itu terperanjat ketika dengan gembiranya Buyut dari Wangon itu berkata, "Ki Sanak, tubuhku benar-benar telah pulih kembali. Perjalananku menjadi sangat menggembirakan. Aku tidak menemui kesulitan-kesulitan apapun."
"Syukurlah, "sahut Mahisa Agni.
Namun ternyata perjalanan itu tidak bertambah cepat. Dalam kegelapan mereka hanya dapat mengenal jalan dengan meraba-raba dan kadang-kadang mereka terpaksa berhenti untuk beberapa lama.
Menuruni tebing yang curam di malam hari adalah pekerjaan yang cukup berbahaya. Namun untunglah mata Mahisa Agni yang terlatih itu cukup tajam untuk melihat batu-batu padas yang menjorok di sekitarnya sehingga betapapun sulitnya, tetapi ia dapat juga mempergunakan setiap keadaan untuk mempermudah penurunan itu. Meskipun demikian, Mahisa Agni tidak dapat turun lebih cepat lagi. Buyut Ing Wangon itu benar-benar merayap lambat sekali. Tetapi Mahisa Agni pun dapat menyadari keadaannya. Seorang yang telah lanjut usia, bertubuh bongkok dan baru saja ia kehilangan hampir segenap kekuatannya. Apalagi orang itu sama sekali tidak memiliki kelebihan apapun dari manusia biasa. Ia tidak mempelajari apapun tentang keterampilan jasmaniah, sehingga untuk melakukan pekerjaannya itu, ia harus bekerja, dengan penuh ketekunan dan tekad. Inilah yang mengagumkan Mahisa Agni. Ternyata tekad yang tersimpan di dalam dada orang Wangon itu pun tidak kalah bulatnya dari tekad yang tersimpan di dalam dadanya. Sehingga betapapun sulitnya perjalanan, namun Buyut dari Wangon itu sampai juga ke dalam gua. Dan tekad itu ternyata juga pada saat mereka menuruni tebing itu. Perjalanan itu pun memerlukan waktu yang sangat panjang. Tetapi Buyut dari Wangon itu berjalan terus, seakan-akan ia tidak mengenal lelah dan tidak menemui kesulitan-kesulitan apapun.
Demikian, meskipun lambat, akhirnya mereka sampai juga di bawah lereng gundul itu. Mengagumkan sekali. Bahkan hampir-hampir Mahisa Agni tidak percaya, bahwa orang bongkok itu telah berhasil melampaui perjalanan yang sedemikian sulitnya di malam hari. Sehingga dengan demikian Mahisa Agni bergumam, "Luar biasa, Ki Buyut. Ternyata Ki Buyut memiliki tenaga yang luar biasa pula."
"Tidak Ki Sanak. Untunglah bahwa aku mencoba memperhatikan setiap lekuk dan batu-batu padas yang menjorok, sehingga aku dapat memilih jalan meskipun malam begini gelap."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian terdengar ia berkata, "Nah, apakah yang akan Ki Buyut lakukan?"
"Aku akan berjalan kembali ke Wangon," jawab orang bongkok itu, "Dan sekali lagi aku ingin mempersilakan Ki Sanak untuk datang ke padukuhan itu. Mudah-mudahan kedatangan Ki Sanak akan sangat menggembirakan kami."
Kembali terasa debar jantung Mahisa Agni bertambah cepat. Sebenarnya betapa ia ingin melihat, orang-orang sakit di Wangon menjadi sembuh kembali. Ia hanya ingin melihatnya, dan sama sekali ia tidak ingin mendapat penghormatan apapun dari mereka. Namun ketika kemudian terbayang wajah gurunya yang sayu seperti pada saat gurunya itu melepaskannya pergi, maka segera ia mengurungkan niatnya. Katanya, "Ki Buyut. Sayang aku tak dapat memenuhi permintaan Ki Buyut. Aku harus segera kembali kepada guruku. Melaporkan apa yang terjadi, dan menunggu apa yang akan ditentukan bagiku karena aku tidak berhasil membawa akar wregu putih itu untuknya."
"Oh," desis Buyut Ing Wangon, "kalau demikian, biarlah akar ini aku serahkan kembali kepadamu."
"Tidak. Tidak!" sahut Agni cepat-cepat, "bukan maksudku demikian. Biarlah orang-orangmu menjadi sembuh dan aku pun akan ikut berbahagia karenanya."
"Terima kasih," terdengar suara Buyut Wangon itu bergetar, "kalau demikian, biarlah Ki Sanak pergi ke Wangon setiap saat yang kau kehendaki."
"Biarlah demikian," jawab Agni, "suatu saat apabila ada kesempatan, aku akan mengunjungi Wangon."
"Baiklah aku memberimu beberapa petunjuk."
"Jangan sekarang," pinta Agni.
Buyut Wangon itu menjadi heran. Namun terdengar Agni berkata, "Setiap saat pendirianku dapat berubah-ubah. Karena itu biarlah aku tidak tahu, di manakah letak padukuhan itu, supaya apabila kelak hatiku digelapkan oleh persoalan-persoalan yang timbul kemudian, aku tidak pergi ke padukuhan itu untuk merampas kembali akar wregu itu dari tanganmu. Seandainya aku akan berbuat demikian, maka aku akan memerlukan waktu yang panjang untuk menemukan padukuhan itu, sehingga aku akan terlambat karenanya."
"Jangan berpikir begitu," sahut Buyut Ing Wangon, "Ki Sanak seharusnya mempunyai kepercayaan kepada diri. Dan Ki Sanak sebenarnya seorang yang sebaik-baiknya yang pernah aku temui."
"Pergilah Ki Buyut!" potong Mahisa Agni, "Pergilah! Supaya aku tidak mengubah pendirianku."
Buyut Wangon itu mengerutkan keningnya. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, "Baiklah Ki Sanak, baiklah. Sebentar lagi akan datang fajar. Tetapi biarlah aku pergi meninggalkan tempat ini dengan penuh kekaguman di dalam hati. Aku tak akan melupakan kau."
Mahisa Agni tidak menjawab. Namun terasa kepalanya menjadi pening dan tubuhnya seakan-akan menjadi lemah sekali. Betapa pikirannya menjadi bergolak. Akar wregu itu ternyata tidak berhasil dimilikinya. Meskipun demikian ketika Buyut Wangon itu berjalan ke arah timur sempat juga ia berkata, "Jangan tempuh perjalanan itu. Kau akan bertemu dengan Empu Pedek. Biarlah aku lewat jalan itu. Dan biarlah Empu Pedek mencegatku. Dengan demikian kau akan selamat dari tangannya."
Buyut Wangon itu berhenti sesaat, kemudian ia berpaling. Dari matanya memancar sebuah pertanyaan. Namun sebelum pertanyaan itu terucapkan berkatalah Mahisa Agni, "Ki Buyut, carilah jalan yang lain. Di jalan itulah kemarin aku bertempur dengan Empu Pedek. Adalah suatu kemungkinan bahwa ia mencoba mencegat aku pula untuk merampas akar wregu itu. Karena itu, ambillah jalan yang lain."
Buyut dari Wangon itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi Mahisa Agni mendengar suara Buyut tua itu bergetar, "Luar biasa. Apakah Angger masih akan mengorbankan diri sekali lagi untuk kepentinganku" Ki Sanak, kenapa kita tidak ber-sama-sama saja mencari jalan lain?"
"Tidak," sahut Mahisa Agni, "kalau Empu Pedek itu tidak melihat aku lewat, maka ia pasti akan mencari aku di segenap sudut hutan ini. Tetapi apabila sudah ditemukannya aku, maka ia tidak akan mencari orang lain."
"Terima kasih. Terima kasih Ki Sanak," desis Buyuti ng Wangon yang kemudian dengan tersuruk-suruk ia membelok menyelinap di antara batang alang-alang sambil berkata, "Biarlah aku menempuh jalan ini. Mudah-mudahan aku tidak akan tersesat. Besok kalau matahari sudah terbit aku akan tahu dengan pasti, ke mana aku harus pergi. Sebab Wangon terletak tepat pada garis antara matahari terbit dan ujung Gunung Semeru itu pada bulan ini."
Mahisa Agni tidak menjawab. Ia melihat Buyut Ing Wangon itu hilang di antara batang-batang ilalang dan gerumbul-gerumbul perdu. Namun pada saat itu pula terasa dadanya bergelora. Akar wregu putih itu pun lenyap pula bersama lenyapnya Buyut Ing Wangon.
Mahisa Agni itu pun kemudian dengan lemahnya duduk di atas batu padas di kaki lereng gundul itu. Kembali kedua tangannya yang kokoh kuat itu menutupi wajahnya. Perlahan-lahan terdengar anak muda itu menggeram, "Maafkan aku, Guru. Aku tidak dapat membawa akar wregu itu kembali, karena aku tidak berhasil dalam perjuanganku melawan perasaanku."
Angin yang basah bertiup di antara daun-daun perdu dan batang-batang ilalang yang liar. Terdengar di kejauhan suara-suara burung malam bersahut-sahutan.
Namun Mahisa Agni masih duduk tepekur di atas batu padas itu. Berbagai persoalan datang pergi di dalam kepalanya. Riuh seperti angin yang kencang bertiup berputaran. Sekali-kali tampak kabut yang lebat bergulung-gulung, namun di kali lain beterbanganlah daun-daun yang berguguran dari batang-batangnya. Semakin lama semakin kencang, semakin kencang. Dan Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba di kejauhan terdengar aum harimau lapar.
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. "Hem," ia menarik nafas dalam-dalam, "Bagaimanakah kalau Buyut Ing Wangon itu bertemu dengan harimau itu?"
"Ah," pertanyaan itu dijawabnya sendiri, "ia sudah selamat sampai ke tempat ini. Ia pun akan selamat juga sampai ke padukuhannya kembali"
Dan kini kembali Mahisa Agni merenungi dirinya sendiri. Terasalah kini betapa penat dan lelahnya setelah ia menempuh pendakian dan kemudian turun kembali dalam ketinggian yang cukup besar. Juga kini mulai terasa, betapa lapar dan hausnya.
Perlahan-lahan Mahisa Agni berdiri dan berjalan ke tempat ia menyimpan bungkusannya. Ia menarik nafas lega, ketika bungkusannya masih ditemukannya utuh seperti pada saat ditinggalkan. Ketika bungkusan itu dibukanya, maka masih didapatinya beberapa macam buah-buahan. Tetapi sebagian besar di antaranya telah tidak dapat dimakannya lagi. Meskipun demikian, satu dua ia masih juga menemukan di antaranya, yang masih baik untuk mengurangi hausnya.
Ketika Mahisa Agni kemudian menengadahkan wajahnya, dilihatnya warna merah telah membayang di wajah langit. Tanpa sesadarnya, tiba-tiba saja ia mengharap supaya fajar lekas menyingsing. Namun agaknya ia tidak sabar lagi menunggu di tempat yang sesepi itu. Setelah selesai dengan membenahi bungkusannya, kembali Mahisa Agni menyangkutkan bungkusannya itu di ujung tongkat kayunya. Dan kembali Mahisa Agni melangkahkan kakinya. Namun kini ia berjalan dengan lesunya. Menempuh perjalanan yang berlawanan dengan jalan yang telah dilaluinya dengan gairah dan tekad yang bulat untuk menemukan akar wregu putih sebagai pelengkap pusakanya, untuk menjadikannya seorang manusia yang sakti pilih tanding. Tetapi kini ia berjalan kembali masih seperti pada saat ia berangkat. Ia sama sekali tidak akan menjadi seorang yang sakti. Apalagi maha sakti.
Namun apabila diingatnya, bahwa dengan demikian ia telah berusaha untuk menegakkan kemanusiaan, maka hatinya menjadi tenteram. Biarlah ia melepaskan cita-citanya untuk menjadi seorang yang pilih tanding, namun keseimbangan dari kegagalannya itu pun cukup memadainya.
Demikian maka Mahisa Agni berjalan terus. Kini kerisnya tidak lagi dimasukkan ke dalam bungkusannya. Bahkan sekali-sekali tangannya melekat di hulu kerisnya itu sambil berbisik, "Akhirnya aku mempercayakan diriku kepada tuntunan Yang Maha Agung, kepada karunia yang telah aku miliki sampai kini. Biarlah dimiliki yang menjadi hak orang lain, dan biarlah aku miliki yang menjadi hakku."
Tetapi Kini Mahisa Agni harus berhati-hati. Ia hampir sampai ke tempat di mana Empu Pedek kemarin mencegatnya. Mungkin orang timpang itu kini telah bergeser maju dari tempatnya semula. Mungkin pula ia telah pergi. Namun sebagai seorang yang telah berbulan-bulan menunggu, pasti ia sampai saat ini menunggunya pula. Mungkin tidak sendiri.
Dan tiba-tiba langkah Mahisa Agni itu pun terhenti. Ia mendengar suara gemeresik daun di sekitarnya. Karena itu segera ia mempertajam telinganya. Dan ternyata pendengarannya itu telah meyakinkannya, bahwa seseorang berada dibalik daun-daunan yang rimbun. Mahisa Agni itu pun segera mempersiapkan dirinya. Diletakkannya bungkusan serta tongkat kayunya, dan ditengadahkannya dadanya. Meskipun tempatnya berbeda, namun yang pertama-tama terlintas di otak adalah Empu Pedek.
Beberapa saat Mahisa Agni menanti. Dengan penuh kewaspadaan diamat-amatinya setiap gerumbul yang ada di sekitarnya. Tetapi suara itu pun lenyap, seolah-olah hanyut dibawa angin malam.
Meskipun demikian, namun telah diketahuinya, bahwa seseorang telah mengintip perjalaannya. Karena itu ia harus sangat ber-hati-hati. Timbul niatnya untuk menunggu sampai matahari memancarkan wajahnya di pagi yang cerah nanti. Namun Mahisa Agni justru menjadi gelisah. Karena itu, meskipun lambat dan penuh dengan kewaspadaan ia berjalan juga. Namun firasatnya telah menuntunnya untuk menjauhi setiap daun-daun yang rimbun dan setiap pohon-pohon yang besar.
Kini Mahisa Agni tidak membawa bungkusannya di ujung tongkatnya, namun disangkutkannya bungkusan itu di pundak kirinya, sedang tangan kanannya memegangi tongkatnya. Setiap saat tongkat kayu itu dapat diayunkannya untuk mempertahankan diri apabila seseorang dengan tiba-tiba menyerangnya.
Tetapi untuk beberapa saat Mahisa Agni tidak mendengar suara apapun lagi. Betapa ia mempertajam pendengarannya yang telah terlatih baik, namun yang didengarnya hanyalah gemeresik angin. Meskipun demikian Mahisa Agni sama sekali tidak lengah seandainya bahaya dengan tiba-tiba datang menerkamnya.
Anak muda itu menerik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya samar-samar warna-warna yang cerah di balik dedaunan. Ketika ia berpaling, alangkah cerahnya ujung Gunung Semeru itu. Hijau kemerah-merahan oleh sinar-sinar yang pertama dari matahari yang bangkit dari tidurnya.
Langkah Mahisa Agni pun terhenti. Dipandanginya puncak Gunung Semeru itu dengan penuh kekaguman. Dan terasa pula kesegaran pagi mengusap tubuhnya yang letih.
Kini Mahisa Agni itu pun benar-benar ingin beristirahat. Hutan itu sudah tidak terlalu sepi. Hampir di setiap dahan Mahisa Agni melihat burung-burung bermain dan bernyanyi. Betapa riangnya. Tetapi apabila diingat akan dirinya, maka Mahisa Agni itu pun mengeluh di dalam hatinya. Namun dicobanya juga melupakan segala-galanya dan dicobanya menikmati kecerahan pagi yang segar itu.
Sesaat lagi ia akan sampai ke sebuah dataran yang agak luas. Namun hatinya berdesir ketika sekali lagi diingatnya orang timpang yang bernama Empu Pedek.
Dan dada Mahisa Agni itu pun berdesir ketika sekali lagi ia mendengar gemeresik halus di sampingnya. cepat-cepat ia tegak berdiri di atas kedua kakinya yang kokoh kuat. Diletakkannya bungkusannya dan tongkatnya sekali. Dengan cermat diamatinya setiap lebar daun di sekitarnya. Dan sekali lagi desir di dadanya itu menyentuh jantungnya, ketika dilihatnya daun-daun yang bergoyang-goyang dengan kerasnya. Kini Mahisa Agni menjadi pasti, di balik daun itulah seseorang telah mengintipnya. Karena itu ia tidak mau berteka-teki lagi. Ia ingin segera menyelesaikan persoalannya. Mungkin dengan Empu Pedek, mungkin dengan orang lain. Maka terdengarlah anak muda itu berkata lantang, "He, siapakah kau. Marilah, aku telah menunggumu."
Suara Mahisa Agni itu pun kemudian terpantul oleh dinding-dinding batu padas di lereng gunung dan oleh batang-batang pohon yang rapat, seakan-akan melingkar-lingkar di dalam hutan. Namun sesaat kemudian suara gemanya berangsur-angsur lenyap.
Namun tak seorang pun yang menjawab.
Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni itu pun terkejut bukan buatan. Hampir ia tidak percaya akan telinganya. Didengarnya dari balik gerumbul itu suara batuk-batuk beberapa kali. Suara yang telah dikenalnya baik-baik. Sehingga dengan demikian dada Mahisa Agni itu pun menjadi berdebar-debar.
Dan apa yang disangkanya itu ternyata benar-benar terjadi. Dari balik gerumbul itu muncullah seorang tua dengan wajah dalam yang bening. Dari bibirnya terbayanglah senyumnya yang segar.
Sesaat Mahisa Agni terpaku, di tempatnya. Sama sekali tak disangka-sangkanya bahwa akan dijumpainya orang itu di tempat itu. Terasa seakan-akan seluruh isi dadanya bergelora, dan hampir segenap tubuhnya bergetar.
Ketika orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya, Mahisa Agni segera meloncat maju sambil berlutut di hadapannya. Desahnya, "Guru."
Orang itu adalah Empu Purwa. Diangkatnya Mahisa Agni untuk berdiri. Katanya, "Ya Agni. Bagaimana dengan keadaanmu?"
"Baik Empu," jawab Agni, "aku selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung."
Empu Purwa itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dituntunnya Mahisa Agni seperti anak-anak yang sedang belajar berjalan. Diajaknya ia duduk di atas batu padas.
"Kau tampak letih sekali Agni," berkata gurunya.
Mahisa Agni mengangguk, jawabnya, "Ya, Guru."
"Tetapi aku bergembira bahwa kau selamat. Aku ingin melihatmu ke dalam gua. Sebab aku menjadi cemas, ketika kau terlalu lama belum juga kembali. Tetapi ternyata aku berpapasan denganmu hampir sampai di kaki lereng gundul itu. Dan aku mengikutimu sampai di sini."
Perkataan gurunya itu telah menggores jantung Mahisa Agni. Segera disadarinya, bahwa ia tidak berhasil membawa kembali akar wregu putih itu. Karena itu, kini segenap tubuhnya menjadi basah oleh peluh yang dingin. Namun ia masih belum dapat mengatakan sesuatu.
"Agni," berkata gurunya kemudian, "aku menjadi lebih bergembira lagi ketika aku melihat bahwa kau telah pergi meninggalkan gua itu. Bukankah dengan demikian aku akan dapat membanggakanmu?"
Kini wajah Mahisa Agni tertunduk lesu. Dikenangnya segalanya yang pernah terjadi dalam perjalanannya. Ditentangnya jurang dan ngarai. Dilawannya alam yang keras dan dilawannya pula semua rintangan yang menghalanginya. Orang-orang jahat dan binatang buas. Semuanya berhasil diatasinya. Namun, lawan yang tak dapat ditundukkan adalah perasaannya sendiri. Karena itu, maka gelora di dalam dadanya itu pun menjadi semakin gemuruh.
Apakah yang akan dapat dikatakan kepada gurunya" Ternyata ia lebih mementingkan perasaan sendiri daripada perintah gurunya itu. Namun kemudian timbul pula niatnya untuk berkata berterus terang. Gurunya adalah seorang manusia yang baik, seperti apa yang selalu diajarkan kepadanya. Apa yang harus dilakukan dalam hidupnya. Kasih mengasihi antara sesama, sebagai pancaran kasih dari Yang Maha Agung. Meskipun demikian getaran di dadanya menjadi semakin deras, ketika ia mendengar gurunya itu bertanya, "Agni, apakah benar dugaanku bahwa kau telah berhasil mendaki gua itu?"
Sesaat Agni memandang wajah gurunya. Wajah yang dalam dan bening. Karena itu timbullah harapannya, bahwa gurunya tidak akan marah kepadanya.
Perlahan-lahan Mahisa Agni menundukkan wajahnya kembali, dan dengan lemahnya ia mengangguk sambil menjawab lirih, "Ya, Guru."
"Syukur, Syukurlah kalau kau telah berhasil mendaki gua itu," gumam gurunya sambil menepuk pundak muridnya. Namun dada Mahisa Agni itu pun menjadi semakin tegang. Dan berdesirlah dadanya seolah-olah sebuah goresan sembilu menyentuh hatinya, ketika ia mendengar gurunya itu bertanya, "Apakah akar wregu putih itu masih kau temukan?"
Mulut Mahisa Agni itu serasa terbungkam oleh gelora yang berkecamuk di dalam dadanya. Dan karena itu maka tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar. Wajah yang tunduk menjadi semakin dalam menekuri batu-batu di bawah kakinya. Karena itu ia tidak segera menjawab, sehingga Empu Purwa mengulanginya, "Bagaimanakah anakku. Apakah kau masih menemukan akar wregu itu?"
Gemuruh di dada Mahisa Agni serasa akan memecahkan jantungnya. Hampir saja Mahisa Agni berdusta. Ingin ia mengatakan bahwa akar wregu putih itu sudah tidak ada di tempatnya. Namun kejujurannya telah melawannya sehingga betapapun beratnya, ia harus mengatakan apa yang dilihat dan dialaminya. Maka dengan tegangnya ia menjawab, "Ya, Guru."
"Oh," sahut gurunya, "Syukurlah, Syukurlah. Jadi kau masih menemukan akar wregu itu di dalam gua?"
Mahisa Agni mengangguk. "Pasti!" berkata gurunya, "Akar itu pasti masih di sana. Sebab tak seorang pun yang mengetahui, selain aku, bahwa akar itu ada di dalam gua."
Empu Purwa itu terkejut ketika Mahisa Agni menjawab, "Tidak, Guru. Ternyata ada orang lain yang mengetahuinya pula."
"Orang lain?" ulang Empu Purwa.
"Ya," jawab Agni, "seorang dari Gunung Merapi, seorang bernama Empu Pedek dan seorang Buyut dari Wangon."
Empu Purwa itu mengangkat keningnya. Tampaklah beberapa kerut di dahinya semakin nyata. Namun agaknya ia tidak ingin mempersoalkan orang-orang yang juga mengetahui akar wregu putih itu. Karena itu katanya, "Ah, biarlah orang-orang itu mengetahuinya. Namun asal kau masih sempat menemukan akar wregu putih itu."
Kata-kata itu benar-benar menampar dada Mahisa Agni. Sebuah getaran yang keras telah mengguncangkan jantungnya. Kini ia harus mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
Mahisa Agni itu pun kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya di muka dadanya. Sambil membungkukkan badannya ia berkata dengan suara yang gemetar, "Maafkan Guru. Aku ternyata tidak dapat memenuhi perintah guru. Membawa akar wregu putih itu kembali ke padepokan Panawijen."
Sesaat mereka berdua tenggelam dalam kesepian. Mahisa Agni masih menundukkan wajahnya. Ia menunggu apa yang akan dikatakan oleh gurunya. Apa saja. Ia akan menerima keputusan itu dengan ikhlas. Baru kemudian akan dikatakannya, alasan-alasan yang telah memaksanya untuk menyerahkan akar wregu itu kepada orang lain. Bukan karena kekerasan, dan bukan pula karena ketakutannya menghadapi bahaya. Ia telah mengalahkan semua rintangan, kecuali satu yang justru datang dari dirinya sendiri.
Perlahan-lahan ia mendengar gurunya bertanya, "Kenapa Agni?"
Mahisa Agni menjadi heran. Ketika ia mencoba mencuri pandang wajah gurunya, ia pun menjadi semakin heran. Wajah itu masih saja dalam dan bening. Ia tidak mendapat kesan bahwa gurunya terkejut dan marah kepadanya. Dan ia tidak tahu, keadaan apakah yang sebenarnya sedang dihadapinya. Apakah gurunya sedang mempertimbangkan alasan-alasan yang harus dikemukakan, ataukah gurunya sedang mencoba menahan diri. Namun kini gurunya itu bertanya, kenapa.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengatur perasaannya supaya ia dapat mengatakan segala sesuatu dengan teratur dan dimengerti. Baru kemudian setelah hatinya menjadi tenang, maka diceritakannya kepada gurunya itu, apa yang dialaminya sejak ia meninggalkan padukuhan Panawijen. Perjalanan yang berat, namun penuh dengan gairah untuk menyelesaikannya. Ditantangnya kekerasan alam dan ditantangnya kekerasan manusia. Akhirnya sampailah cerita Mahisa Agni kepada seseorang yang datang dari Wangon, yang menyebut dirinya Buyut dari Wangon. Seorang tua yang bongkok dan berjalan tersuruk-suruk. Namun tekadnya jauh melalui keadaan jasmaniahnya. Betapa teguhnya kemauan yang tersimpan di dalam dada orang itu, sehingga betapapun ia merasa dirinya tidak mampu melawan dalam tindak kekerasan, namun orang itu dengan beraninya telah memeluk kakinya untuk mencoba menahannya.
"Aku mengaguminya," berkata Mahisa Agni, "mengagumi tekadnya dan hasrat kemanusiaannya, di samping tanggung jawabnya atas kewajibannya. Hidup dan mati beribu-ribu orang tergantung kepadanya. Kepada akar wregu putih itu. Dan ternyata orang itu telah memasuki gua tempat penyimpanan akar itu. Beberapa langkah lagi ia akan berhasil menyelamatkan beribu-ribu orang itu. Pada saat harapannya telah memenuhi dadanya, bukan saja harapan baginya, namun harapan bagi beribu-ribu orang itu, maka datanglah Mahisa Agni itu. Aku. Guru, aku tidak sampai hati merampas harapan itu. Merampas harapan beribu-ribu orang untuk memperpanjang hidupnya.
Mahisa Agni berhenti sesaat. Terasa seluruh tubuhnya menjadi basah, dan detak jantungnya menjadi semakin cepat. Namun ia tidak dapat meraba, bagaimanakah tanggapan gurunya atas peristiwa itu. Ketika sekali lagi ia mencoba memandang wajah gurunya, wajah itu masih saja sebening semula.
Dengan nafas yang terengah-engah Mahisa Agni meneruskan, "Itulah, Bapa. Buyut Ing Wangon telah berhasil merampas akar wregu putih itu tidak dengan kekerasan. Hatiku luluh ketika aku mendengar ia bertanya, apakah kekerasan yang dapat menentukan segala-galanya. Apakah hanya dengan kekerasan kita harus menilai semoa persoalan?"
"Bapa, Buyut Ing Wangon itu bertanya, apakah kepentinganku dengan akar wregu putih itu" Seandainya akar itu mempunyai nilai yang lebih besar padaku, maka dengan ikhlas Buyut Ing Wangon itu akan menyerahkannya, namun apabila nilai akar itu lebih bermanfaat padanya, maka ia minta akar itu untuk dibawanya. Aku diajaknya untuk menilainya dengan wajar. Manfaatnya bagi manusia dan kemanusiaan. Dan manfaat itulah yang akan menentukan. Bukan kekerasan, bukan kemenangan jasmaniah. Bukan perkelahian dan pertempuran."
Kembali Mahisa Agni berhenti. Dan peluh yang dingin masih saja mengalir membasahi tubuhnya, pakaiannya dan batu padas tempat duduknya. Angin yang lembut masih juga mengalir perlahan-lahan. Dan jauh di sebelah selatan dilihatnya awan yang putih seputih kapas terbang di atas kehijauan hutan dan lembah.
Yang terdengar kemudian adalah kata-kata lembut Empu Purwa, selembut angin dari lembah, "Agni, jadi kau tidak berhasil mendapatkan akar wregu itu?"
"Ampun, Guru," jawab Agni, "aku gagal menjalankan tugasku kali ini. Aku tidak sampai hati."
Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya awan yang bertebaran di langit dan di pandangnya puncak Gunung Semeru yang menjadi semakin cerah. Kemudian terdengarlah ia bertanya, "Apakah kau masih akan dapat mengenal Empu Pedek dan Buyut Ing Wangon itu apabila kau bertemu?"
Mahisa Agni berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, "Kedua-duanya memiliki kekhususannya, Bapa. Empu Pedek itu ternyata timpang dan Buyut Ing Wangon itu bongkok."
"Apakah kau tahu letak padukuhan Wangon?"
Mahisa Agni menggeleng. Namun hatinya menjadi berdebat. Apakah gurunya akan pergi sendiri mengambil akar itu dari Wangon" Maka terdengar ia menjawab, "Tidak guru. Aku menghindari petunjuk tentang padukuhan itu. Aku takut kalau pendirianku akan berubah. Dan beribu-ribu orang itu tidak tertolong lagi karenanya."
Kembali mereka berdua terdiam. Dan kembali suara burung-burung di dahan-dahan menjadi semakin nyata. Melengking dengan riangnya. Seriang daun-daun yang menari-nari ditiup angin pagi. Namun hati Mahisa Agni tidak ikut serta menari-nari bersama angin pagi.
"Agni," berkata Empu Purwa kemudian, "apakah kausangka Empu Pedek itu masih belum melepaskan keinginannya untuk mendapatkan akar wregu putih itu?"
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya, maka jawabnya, "Ya Empu, aku menyangka demikian."
"Dan bagaimanakah dengan Buyut dari Wangon itu?"
Mahisa Agni tidak segera dapat mengetahui maksud gurunya. Buyut dari Wangon itu telah membawa serta akar wregu putih itu pulang ke padukuhannya. Karena itu ia bertanya, "Apakah maksud guru dengan Ki Buyut Ing Wangon?"
Mahisa Agni menjadi bingung ketika dilihatnya gurunya itu tersenyum. Dan terjadilah kemudian hal yang sama sekali tak disangka-sangka, sehingga Mahisa Agni itu pun terkejut bukan kepalang. Sejengkal ia bergeser surut, dan dengan sinar mata yang penuh dengan berbagai persoalan bercampur baur dipandanginya wajah gurunya seolah-olah baru dikenalnya saat itu. Dan tebersitlah kata-katanya, "Guru, apakah guru telah mendapatkannya?"
Empu Purwa masih tersenyum. Katanya kemudian masih sesareh semula, "Agni, bukankah akar wregu ini yang kaucari?"
Kini pandangan mata Agni tertancap kepada sebuah benda di tangan gurunya. Akar wregu putih yang diperebutkannya dengan Buyut Ing Wangon. Dan ternyata akar itu kini berada di tangan gurunya. Aneh. Apakah gurunya telah berhasil mencegat Buyut Ing Wangon dan merampas dari tangannya" Demikianlah beribu-ribu persoalan bergulat di dalam dada Mahisa Agni. Namun karena itu, maka tak sepatah kata pun yang dapat diucapkannya.
Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Empu Purwa pula mendesaknya, "Benarkah pengamatanku ini Agni. Apakah benda ini pula yang kau lihat di dalam gua itu?"
"Ya. Ya Empu," sahut Agni terbata-bata. Namun terloncat pula pertanyaannya, "Tetapi bagaimanakah benda itu dapat sampai di tangan Empu?"
Empu Purwa tersenyum. Katanya, "Kepada siapa benda ini kau berikan?"
"Kepada orang bongkok dari Wangon. Buyut Ing Wangon," sahut Mahisa Agni.
01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Sudahlah, jangan kau risaukan orang lain. Kau sekarang akan berhasil memiliki benda ini. Akar wregu putih. Rangkapan pusakamu yang kecil itu. Bukankah dengan akar ini kau dapat membuta tangkai trisula kecil itu?"
Mahisa Agni itu pun menjadi semakin bingung. Bagaimanakah jadinya dengan Buyut dari Wangon" Apakah yang akan dilakukannya seandainya akar wregu itu lenyap dari tangannya" Dan bagaimanakah dengan beribu-ribu orang yang hampir mati karena penyakitnya" Dan kini tiba-tiba tubuh Mahisa Agni itu pun bergetar kembali. Betapa ia menjadi gelisah. Ia tidak tahu apakah sebenarnya yang terjadi. Tetapi yang dilihatnya akar wregu putih itu sudah di tangan gurunya.
"Guru," terdengar Mahisa Agni bertanya dengan suara yang gemetar, "Di manakah Buyut Ing Wangon itu sekarang?"
Empu Purwa itu tidak segera menjawab. Namun ditatapnya Mahisa Agni itu dengan pandangan yang sejuk. Dan kediamannya itu telah membuat hati Mahisa Agni menjadi semakin tegang. Sehingga diulanginya pertanyaannya, "Guru, apakah guru bertemu dengan Buyut Ing Wangon dan mendapatkan akar wregu itu daripadanya?"
Dan jantung Mahisa Agni menjadi semakin bergolak ketika ia melihat gurunya tersenyum. Timbullah berbagai sangkaan di dalam hatinya. Apakah gurunya telah mencederai Buyut dari Wangon itu" Tak mungkin. Buyut dari Wangon bukan seorang yang mampu untuk berkelahi, apalagi melawan gurunya. Sehingga dengan mudahnya akar itu akan dapat diambilnya.
Mahisa Agni menjadi semakin tidak mengerti ketika kemudian gurunya itu menepuk bahunya, dan dengan lembut berkata, "Kenapa kau prihatin atas Buyut yang bongkok itu?"
"Ya, kenapa?" Mahisa Agni mengulang pertanyaan itu di dalam hatinya. Namun ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Karena itu maka dengan lemahnya ia menggeleng. Jawabnya, "Entahlah, Bapa. Mungkin aku menjadi iba kepadanya, kepada orang-orangnya yang menantinya dengan penuh kecemasan dan penderitaan."
"Buyut Ing Wangon itu kini telah tidak ada lagi."
"He?" Agni terkejut sehingga ia bergeser. Ditatapnya wajah gurunya dengan pancaran pertanyaan dari bola matanya.
Ketika ia melihat gurunya memandangnya dengan iba, maka desahnya di dalam hati, "Betapa aneh persoalan yang aku hadapi."
"Agni," berkata gurunya, "Buyut Ing Wangon itu benar-benar sudah tidak ada lagi. Yang ada kini adalah aku gurumu."
Nafas Mahisa Agni menjadi semakin terengah-engah, melampaui pada saat ia mendaki lereng yang gundul itu. Dan ketika ia mendengar gurunya menjelaskan, serasa ia sedang dibuai oleh mimpi yang aneh. Didengarnya gurunya itu berkata, "Kauserahkan akar ini kepada orang yang menamakan diri Buyut Ing Wangon, Agni. Dan sekarang kau lihat akar wregu ini berada di tanganku. Tak ada perjuangan yang terjadi, tak ada perampasan dan pemerkosaan. Aku terima akar ini langsung dari tanganmu."
"He?" kini Mahisa Agni benar-benar terkejut bukan buatan. Ia mendengar kata demi kata dengan jelas. Ia mendengar dan mengerti maksud gurunya. Meskipun demikian dengan wajah yang tegang ia bertanya, "Jadi, apakah mataku yang kurang wajar, atau apa akukah yang tidak pada tempatnya. Apakah maksud guru mengatakan, bahwa yang bertemu dengan aku di dalam gua itu guru sendiri?"
Empu Purwa mengangguk. Tampaklah kebeningan matanya memancarkan keibaan hatinya. Karena itu ia berkata seterang-terangnya, "Agni. Sadarilah. Akulah yang menamakan diri Buyut Ing Wangon."
Sekali lagi Mahisa menangkupkan kedua telapak tangannya, di muka dadanya sambil membungkukkan badannya dalam-dalam sehingga wajahnya hampir menyentuh tanah. Dengan suara gemetar ia berkata, "Ampun, Bapa. Aku tidak tahu, apakah yang sudah aku lakukan. Aku tidak tahu, bagaimana Bapa menilai diriku."
Seterusnya Mahisa Agni itu menekurkan wajahnya. Ia tidak berani memandang gurunya. Bahkan ujung kakinya pun tidak. Ditatapnya tanah padas yang berlapis-lapis di bawah kakinya. Namun hatinya sibuk dengan persoalan yang tak dapat dimengertinya. Ia melihat seorang bongkok yang berjalan tersuruk-suruk di dalam gua itu. Namun betapa gelapnya. Ia hanya melihat bayangan yang hitam dan garis-garis tubuh yang bongkok itu. Tetapi apakah ia pernah melihat wajah orang itu dengan jelas" Tidak. Ia tidak melihatnya. Dan bagaimanakah dengan pakaiannya" Pakaian ini pun tak jelas diketahuinya. Tetapi yang dilihatnya sekarang, gurunya tidak mengenakan jubah putih dan tidak pula mengenakan kain kelengan seperti kalau gurunya itu sedang bepergian, tidak dalam kedudukannya sebagai seorang pendeta. Tetapi gurunya itu mengenakan kain lurik yang dibalutkan di tubuhnya.
Mahisa kemudian memejamkan matanya. Dicobanya untuk mengingat-ingat bentuk tubuh orang yang ditemuinya di dalam gua itu. Namun ia tidak berhasil.
Dalam pada itu terdengarlah gurunya berkata, "Agni, jangan menyesal. Kau telah berbuat sesuatu yang sebenarnya aku harapkan. Kau dihadapkan pada persoalan yang tak mudah kau pecahkan. Di sinilah watak seseorang yang sebenarnya dapat dilihat. Apabila ia dihadapkan pada kepentingan diri dan kepentingan manusia, namun di luar dirinya. Betapa ia harus melihat kepentingan-kepentingan itu dengan wajar. Apakah seseorang akan mementingkan dirinya sendiri, apakah ia akan mementingkan manusia dan kemanusiaan di luar dirinya, namun kepentingan itu jauh lebih besar. Dan ternyata kau berhasil melihatnya dengan mata hatimu yang bersih. Kau berhasil menyingkirkan nafsu diri sendiri untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan di luar dirimu. Bahkan kau telah sanggup mengorbankan kepentinganmu itu, namun kepentingan sendiri, seorang Mahisa Agni, untuk kepentingan yang lebih besar. Meskipun ternyata kepentingan yang lebih besar itu sebenarnya tidak ada, namun itu tidak akan mengurangi nilai pribadimu. Tidak akan mengurangi kejernihan mata hatimu. Sebenarnyalah bahwa Yang Maha Agung telah berkuasa di dalam hatimu dengan cinta kasihnya, sehingga dari dalam hatimu itu pun memancar pula cinta kasih itu."
Kini dada Mahisa Agni itu pun bergelora. Namun dalam bentuknya yang lain. Setelah sekian lama ia ditegangkan oleh teka-teki tentang orang bongkok itu, tiba-tiba kini ia mendengar kata-kata gurunya itu. Jelas dan hatinya pun menjadi terang. Gurunnya itu ternyata membenarkan sikapnya. Dan karenanya, maka ia pun menjadi terharu. Betapa ia bersyukur di dalam hatinya, bahwa Tangan Yang Maha Besar telah menuntunnya untuk memilih sikap yang dibenarkan oleh gurunya dan benar pula menurut keyakinannya.
Dan didengarnya gurunya itu berkata seterusnya, "Meskipun demikian Mahisa Agni. Apa yang terpuji pada saat ini bukan berarti untuk seterusnya tak akan terkena salah. Jangan menjadi lupa diri. Akar wregu itu akan dapat menjadi alat untuk mengenangkan masa ini. Sebenarnyalah hanya itu manfaat yang dapat kau ambil daripadanya."
Sekali lagi Mahisa Agni dikejutkan oleh kata-kata gurunya itu. Akar wregu putih itu hanya akan bermanfaat baginya untuk mengenangkan masa ini. Suatu masa di mana ia harus berjuang untuk menumbangkan nafsu yang menyala-nyala untuk menjadikan dirinya orang pilih tanding, karena suatu pengabdian pada kemanusiaan memanggilnya. Meskipun kemudian ternyata, bahwa perjuangan yang terjadi di dalam dirinya itu adalah hasil ciptaan gurunya untuk mengetahui kematangan sifat dan wataknya sebagai manusia, namun apakah itu mempunyai suatu pengaruh yang langsung atas khasiat akar wregu putih itu"
Karena itu maka Mahisa Agni itu memberanikan diri untuk bertanya, "Guru, apakah maksud guru dengan mengecilkan arti akar wregu putih itu?"
Empu Purwa tertawa pendek. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Agni, aku sama sekali tidak mengecilkan arti akar wregu putih ini. Sebab sebenarnyalah demikian. Lihatlah. Akar ini tidak lebih dari sebuah akar wregu biasa. Apakah bedanya" Kau melihat akar ini agak keputih-putihan. Demikianlah sebenarnya warna akar wregu itu apabila kau sayat kulit arinya."
Mahisa Agni menjadi semakin bingung. Jadi apakah artinya perjuangan yang selama ini dilakukan, sejak ia meninggalkan padepokan Panawijen dan menempuh perjalanan yang sedemikian jauh, melawan kegarangan alam dan melawan berbagai kejahatan manusia dan kebuasan binatang-binatang?"
Empu Purwa melihat beribu-ribu persoalan bergelut di dalam dada Mahisa Agni. Karena itu maka katanya kemudian, "Mahisa Agni. Jangan menilai akar wregu ini ber-lebih-lebihan. Meskipun demikian itu bukan salahmu. Aku memang mengatakan kepadamu, bahwa akar ini akan mampu menjadikan kau seorang yang pilih tanding. Dan ternyatalah demikian. Kau telah berjuang dengan tekad yang membara di dalam hatimu. Kau telah melakukan apa saja yang jarang dapat dilakukan oleh orang lain. Dan yang jarang dapat aku temui pada masa kini, masa-masa yang lampau dan bahkan mungkin masa-masa yang akan datang, adalah kesediaanmu berkorban. Bukankah dengan demikian kau telah menemukan nilai-nilai yang sangat berharga bagi dirimu. Bukankah perjalanan yang kau lakukan itu adalah suatu penempaan jasmaniah yang tak ada taranya dan bukankah penyerahan akar ini kepada orang lain itu pun akan merupakan penempaan rohaniah yang tak kalah nilainya dari seluruh perjalananmu itu, sebab hasil perjalananmu itulah yang telah kau korbankan bahkan masa depan yang panjang telah kau serahkan pula. Karena itu ketahuilah anakku, akar wregu ini sebagai suatu benda tak memiliki nilai apapun."
Bergetarlah dada Mahisa Agni mendengar keterangan gurunya itu. Benar-benar persoalan yang tak disangka-sangkanya. Apakah ini yang dimaksud oleh gurunya suatu ujian baginya" Dan gurunya sendiri telah hadir untuk mengujinya" Dan inilah sebabnya, maka pada saat gurunya memerintahkannya pergi mencari akar wregu itu terasa beberapa kejanggalan pada pesannya. Gurunya yang dalam masa-masa yang lewat, selalu memandang hampir setiap persoalan dari segala segi, keseimbangan antara lahir dan batinnya, namun pada saat-saat ia berangkat meninggalkan Panawijen, gurunya seolah-olah sama sekali tak menghiraukan masalah- masalah yang lebih dalam dari masalah- masalah lahiriah. Yang disebut-sebut oleh gurunya itu tidak lebih dari akar wregu putih yang akan mampu menjadikannya manusia yang sakti. Lebih dari itu tidak. Namun gurunya itu kemudian berkata bahwa "Hitam putih namamu, tergantung kepadamu sendiri".
Kini ternyata, bahwa gurunya dengan sengaja berbuat demikian. Gurunya sengaja memberinya persoalan, dan diserahkannya kepada dirinya, bagaimana ia akan memecahkannya.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Terasalah sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni itu menyadari, bahwa tidak hanya seorang gurunya sajalah yang menginginkan akar itu, meskipun dengan maksud yang berbeda-beda. Apakah orang lain percaya bahwa akar itu memiliki nilai yang dapat mempengaruhi seseorang. Karena itu maka dengan serta-merta ia bertanya kepada gurunya, "Bapa, seandainya akar itu dalam ujudnya sebagai benda tak memiliki nilaianya yang khusus. Apakah artinya perjuangan Empu Pedek untuk mendapatkannya. Berbulan-bulan ia berada di tempat ini untuk menunggu seseorang yang akan lewat dengan membawa sebuah trisula rangkapan dari akar wregu itu."
Empu Purwa itu tertawa, namun dari sepasang matanya memancarlah keibaan hatinya kepada muridnya itu. Sekali lagi Empu Purwa menepuk bahu Mahisa Agni. Dengan lembut ia berkata, "Anakku. Tak seorang pun di dunia ini yang pernah mendengar tentang akar wregu putih itu. Bukankah sudah aku katakan."
"Tetapi Bapa," bantah Agni, "Empu Pedek itu menyebut-nyebutnya pula. Tepat diketahui nama dan kegunaan dari akar wregu itu."
"Agni," sahut gurunya, "ada dua kemungkinan. Aku yang salah sangka tentang akar itu bahwa tak seorang pun yang mengetahuinya, atau akar itu benar-benar hanya diketahui oleh seseorang saja. Sehingga setiap orang yang menyebut nama akar wregu putih itu adalah orang yang sama."
"Guru," potong Agni, "jadi juga yang menamakan diri Empu Pedek dan Buyut Ing Wangon itu guru sendiri?"
Empu Purwa mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata, "Benar Agni. Dan telah aku korbankan sebagian janggutku tersayang untuk kepentingan itu."
"Oh," Agni itu pun tertunduk kembali. Berbagai masalah yang simpang siur, hilir mudik di dalam di kepalanya. Sehingga kemudian ia berkata, "Jadi bagaimanakah dengan orang dari Gunung Merapi yang datang tiga hari sebelum kedatanganku."
"Itulah aku," jawab gurunya.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini semuanya menjadi jelas. Itu pulalah sebabnya gurunya berpesan kepadanya supaya ia berjalan dari batu karang itu pada malam hari, supaya gurunya dapat mengganggunya.
Sesaat mereka berdua itu pun berdiam diri. Matahari yang cerah telah semakin tinggi memanjat di kaki langit,dan pagi itu pun menjadi semakin bening.
Namun masih ada satu soal yang ingin diketahui oleh Mahisa Agni, bagaimanakah akar wregu itu berada di dalam gua.
Maka kemudian diberanikannya pula untuk bertanya kepada gurunya, "Bapa, bagaimanakah maka akar wregu putih itu berada di dalam gua ini. Apakah guru telah meletakkannya tiga tahun yang lampau?"
Kembali Empu Purwa tersenyum. Jawabnya, "Bukankah Buyut dari Wangon itu telah memasuki gua lebih dahulu" Alangkah mudahnya meletakkan akar wregu itu di sana, kemudian berbaring kembali di tikungan dalam gua itu."
Mahisa menggigit bibirnya. "Sederhana sekali," pikirnya. Sehingga anak muda itu tanpa sesadarnya telah mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kini semuanya sudah jelas bagi Mahisa Agni Apa yang dilakukan gurunya sebelum ia berangkat sampai saat ini. Ternyata gurunya telah menjajaki kebulatan tekadnya dengan orang timpang yang menamakan dirinya Empu Pedek. Apakah ia benar-benar pantang surut dalam perjuangannya mencapai masa depannya dengan cita-cita yang diletakkan di hatinya. Namun dengan Buyut Ing Wangon gurunya ingin mengetahui, apakah ia mampu memandang kepentingan kemanusiaan yang lebih besar dengan mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Dalam pada itu kembali Empu Purwa itu bertanya, "Mahisa Agni, apakah kau menjadi kecewa, setelah kau mengetahui bahwa akar wregu putih itu sama sekali tak berarti bagimu dalam olah kanuragan?"
Sebenarnya, di dalam hati Mahisa Agni walau pun betapa kecilnya, ada juga rasa kecewa itu. Namun demikian, dapat juga ia mengurangi keadaan, sehingga kemudian ia menjawab, "Tidak guru. Kalau ada maka kekecewaan itu tak akan berarti, dibandingkan dengan kebanggaan yang aku dapatkan karena Bapa telah membenarkan sikap dan tanggapanku atas persoalan-persoalan yang Guru berikan."
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya pula, "Nah, meskipun demikian simpanlah akar wregu ini. Sudah aku katakan, bahwa akar ini akan bermanfaat pula bagimu. Akan selalu memberimu peringatan, bahwa menurut pendapat gurumu, kau telah melakukan sesuatu yang terpuji. Karena itu, setiap kau menghadapi persoalan yang serupa, maka akar wregu ini akan membantumu memecahkan persoalanmu. Namun, kau adalah manusia biasa Agni. Suatu ketika kau akan menghadapi persoalan-persoalan yang lebih sulit dan suatu ketika kau akan mungkin melakukan pilihan yang salah. Namun kau harus berusaha mengurangi kesalahan-kesalahan itu. Sadarilah ini, supaya untuk seterusnya kau tidak menganggap bahwa pilihanmu selalu benar, dan apabila ada perbedaan pikiran dan pendapat dengan orang lain, kau selalu merasa bahwa kau sendirilah yang benar."
Mahisa Agni kini menundukkan wajahnya. Kata-kata gurunya itu menyentuh hatinya dan menumbuhkan suatu pengertian yang mendalam. Mahisa Agni itu pun kemudian menjadi sadar akan keadaannya. Manusia yang lemah, jasmaniah maupun rohaniah. Manusia yang selalu diliputi oleh kesalahan-kesalahan dan kebodohan- kebodohan.
"Marilah Agni," berkata gurunya pula, "terimalah akar wregu ini. Jangan kau nilai benda itu berlebih-lebihan. Namun jangan kau abaikan pula hikmah yang telah kau letakkan sendiri pada benda itu."
Mahisa Agni itu pun mengangkat wajahnya. Dipandangnya akar wregu itu dengan perasaan yang aneh. Namun dimengertinya pula nasihat gurunya. Karena itu, maka akar itu pun diterimanya dengan hasrat yang mantap untuk mencoba memenuhinya. Meskipun demikian terasa juga kehambaran di dalam dadanya.
Kembali mereka berdua terlempar dalam kesenyapan. Dan kembali mereka membiarkan tubuh mereka dibelai angin yang mengalir dari lembah. Namun angan-angan Mahisa Agni terbang melambung ke daerah-daerah yang aneh. Ke masa-masa yang lewat dan ke masa-masa yang akan datang.
Seperti orang tersentak diri mimpinya ia mendengar gurunya berkata kepadanya, "Mahisa Agni. Aku tahu, bahwa kau dengan peristiwa ini merasa kehilangan sesuatu, meskipun kau dapat mengerti dan memahami artinya. Karena itu Anakku, sebenarnyalah bahwa kau akan mendapatkannya sesuatu yang bermanfaat bagi hidupmu kelak. Bukan dari akar wregu itu, tetapi dari dirimu sendiri."
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Terasa debar yang halus menyentuh hatinya. Dan didengarnya gurunya berkata, "Agni, ada sesuatu yang ingin aku beri tahukan kepadamu. Bahwa aku telah mendapat ilmu yang turun temurun mengalir dari guru ke muridnya yang tepercaya. Itulah sebabnya, setiap guru yang akan memberikan kepada muridnya, maka guru itu harus yakin akan sifat dan watak muridnya itu. Itulah yang memaksa aku membuat cerita tentang akar wregu putih, karena aku ingin mengetahui, apakah sudah masanya aku menurunkan ilmu itu kepadamu. Apakah ilmu itu akan bermanfaat bagimu dan bagi bebrayan manusia. Sebab seandainya ilmu itu kau terima, namun penggunaannya tidak seperti yang diharapkan, maka ilmu itu akan kehilangan artinya, bahkan akan menjadi sangat berbahaya. Namun kini aku telah menemukan suatu keyakinan, bahwa ilmu itu padamu akan menemukan sasaran pengamalan seperti yang diharapkan."
Debar yang halus di dalam dada Mahisa Agni itu pun menjadi semakin tajam. Bahkan kemudian terasa tubuhnya bergetar. Kata-kata gurunya itu seperti tetesan embun yang menyentuh ubun-ubunnya. Namun kemudian seperti menyalanya bara harapan di dalam hatinya.
Dan didengarnya gurunya itu berkata seterusnya, "Mahisa Agni. Ilmu itu adalah ilmu yang didasari pada kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam dirimu sendiri. Karena itu kau harus selalu ingat kepada sumbernya. Setiap penggunaan ilmu itu pun harus diperuntukkan bagi sumber itu sendiri. Sumber kekuatan- kekuatan di tubuhmu itu, dan lebih jelas lagi, adalah sumber hidupmu itu, Yang Menciptakanmu. Yang Menciptakan manusia."
Semuanya kini menjadi semakin terang bagi Mahisa Agni. Dengan cepat ia dapat menghubungkan setiap peristiwa yang pernah dialami dengan kata-kata gurunya itu. Sekali lagi terucapkan puji dan sukur di dalam hati Mahisa Agni. Dan apa yang dikecewakannya atas akar wregu putih itu, seakan-akan telah larut dihanyutkan oleh harapan-harapan baru yang tumbuh di dalam hatinya. Harapan baru tentang ilmu yang disebut oleh gurunya, namun dilandasi oleh semua penjelasan dan nasihat-nasihat gurunya itu.
Maka kini ternyatalah baginya, bahwa gurunya telah menganggapnya lulus dari ujian yang dibebankan di atas pundaknya.
Sesaat kemudian gurunya meneruskan pula, "Agni. Untuk menerima ilmu itu, maka kau tidak cukup memerlukan waktu sehari dua hari. Namun sebenarnya sebagian besar dari dasar-dasarnya, dan persiapan- persiapan jasmaniah telah kau miliki. Karena itu, kau tinggal harus bekerja tidak lebih dari sebulan dua bulan."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Waktu itu tidak terlalu lama. Perjalanan yang ditempuhnya itu pun telah memakan waktu lebih dari sebulan. Dan kalau ia harus bekerja keras sebulan dua bulan lagi, maka waktu itu tak akan berarti baginya dibandingkan dengan waktu yang panjang yang terbentang di hadapannya.
Dan berkata pulalah gurunya, "Agni. Ilmu yang akan kauterima adalah ilmu yang harus kau tekuni untuk seterusnya. Ilmu itu tidak sekaligus menjadi sempurna. Aku hanya akan memberikan beberapa petunjuk dan membuka pintu saja bagimu. Seterusnya terserah kepadamu sendiri."
Gurunya berhenti sebentar, seakan-akan menunggu kata-kata itu dicernakan oleh muridnya. Kemudian sambungnya, "Anakku. Ilmu itu aku terima dari guruku dengan sebuah nama yang dibuat oleh guruku sendiri. Nama ilmu itu tidak penting bagimu. Yang penting adalah isi dan pengamalannya. Aku terima ilmu itu dengan nama Gundala Sasra. Nah, sebaiknya kau sebut juga nama ilmu itu dengan nama Gundala Sasra."
Dada Mahisa menjadi berdebar-debar mendengar nama itu. Gundala Sasra. Nama itu tidak, segarang nama-nama ilmu yang pernah didengarnya. Bajra Pati, Guntur Geni, Sapu jagat, dan lain-lainnya. Nama-nama yang pernah didengarnya dari gurunya itu pula, sebagai senjata-senjata pamungkas dari beberapa orang sakti. Memang sejak ia mendengar nama-nama ilmu itu, terbelit pula pertanyaan di dalam dadanya, apakah gurunya sendiri tidak memiliki aji yang dapat dibanggakan" Namun ia tidak pernah berani menanyakannya. Mungkin gurunya tidak akan senang mendengar pertanyaan itu. Apalagi seandainya gurunya itu benar-benar tidak memilikinya. Tetapi kini ternyata pertanyaan itu telah terjawab. Gurunya pun memiliki ilmu yang disimpannya baik-baik. Dan ilmu itu bernama Gundala Sasra, yang kini akan diturunkannya kepadanya. Karena itu dengan penuh harapan ia menyambut kata-kata gurunya itu. Bahkan telah dibayangkannya, bahwa ia harus memeras tenaga, mesu diri untuk mendapatkan jalan menerima kesaktian gurunya.
Yang didengarnya kemudian gurunya itu berkata, "Mahisa Agni, namun ilmu harus kau terima dengan kerja dan usaha. Aku tidak dapat meniup tengkukmu, dan kemudian ilmu ini telah meresap dengan sendirinya ke dalam tubuhmu. Atau mengusap ubun-ubunmu atau menghembus hidungmu. Namun aku sendirilah yang harus menempatkan dirimu dalam keadaan yang memungkinkan bagimu untuk menerima ilmu ini."
Kembali gurunya itu berhenti sesaat. Sedang dada Mahisa Agni pun menjadi semakin berdebar-debar. Dan didengarnya gurunya itu berkata pula, "Agni. Marilah kita hidup di tengah-tengah hutan ini untuk beberapa lama, supaya kau leluasa memperkembangkan dirimu dalam ilmu yang akan kau terima. Prihatin dan mesu diri, menguasai tindak tanduk dan angan-angan adalah sumber dari kekuatan ilmu ini. Namun kita manusia hanya dapat berusaha, sedang ketentuan terakhir adalah di tangan Yang Maha Agung. Karena itu jangan menyesal apabila kekuatan ilmu itu tidak seperti apa yang kau harapkan, namun jangan sombong dan takabur apabila ilmumu akan berkembang menjadi ilmu yang dahsyat. Sedahsyat seribu guntur yang menyala di langit."
Debar di dada Mahisa Agni menjadi semakin bergelora. Kini titik-titik keringatnya menetes satu-satu dari keningnya. Apa yang harus dihadapinya ternyata tidak lebih ringan dari perjalanannya yang telah dilakukannya. Meskipun demikian, dihadapinya masa-masa yang berat itu dengan penuh tekad. Dengan penuh gairah, segairah pada saat ia berangkat untuk menemukan akar wregu putih itu. Ternyata yang akan didapatnya bukan khasiat dari akar wregu itu, namun ilmu yang tak akan kalah dahsyatnya.
Ternyata Empu Purwa tidak menyia-nyiakan waktu. Setelah ia memberi kesempatan Mahisa Agni berburu sesaat dan mendapatkan makanan secukupnya setelah berhari-hari ia menahan lapar, maka Empu Purwa segera mulai dengan pekerjaannya, mengolah Mahisa Agni untuk dapat mewarisi ilmunya.
Yang dilakukan oleh Empu Purwa adalah membuka setiap kemungkinan pada setiap urat dan syaraf di dalam tubuh Mahisa Agni. Dihilangkannya setiap simpul-simpul yang dapat mengganggu mengalirnya kekuatan-kekuatan di dalam tubuhnya. Kekuatan-kekuatan yang tersimpan dan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi.
Dan sejak hari itu, mulailah Agni melewati hari-hari yang maha berat. Setiap hari, bahkan siang dan malam. Dipelajarinya beberapa unsur-unsur gerak pokok. Dan dilatihnya untuk dapat menguasai tubuhnya dengan baik. Dilatihnya untuk dapat mengenal, memerintah menurut kehendak setiap gumpal daging di dalam tubuhnya. Dilatihnya untuk dapat merasakan setiap titik darah yang mengalir di dalam nadinya dan dilatihnya untuk mengatur setiap tarikan nafas di dalam dadanya. Dan ternyatalah bahwa sejak lama Empu Purwa telah menyiapkannya untuk pada suatu saat akan mengalami masa-masa yang amat berat ini. Karena itu, maka betapapun beratnya, namun jasmaniah dan rohaniah Mahisa Agni telah masak untuk melakukannya.
Namun bukan masalah lahiriah yang paling berat harus diatasinya. Sebagai seorang manusia yang mendapatkan kekuatan-kekuatan dari sumbernya, maka setiap hasrat dan angan-angannya pun harus dikuasainya pula. Ditekuninya dirinya dalam setiap tindak tanduk dan perbuatan, ditekuninya pula setiap pikiran, perasaan dan angan-angan. Dipanjatkannya setiap hakikat dari gerak rohaniahnya, melambung tinggi mencapai inti dari hidup dan kehidupan. Terpisahnya dan terpadunya dunia yang besar di luar dirinya dengan dunia yang sempit di dalam dirinya. Sehingga terbenamlah Mahisa Agni dalam suatu perjuangan, untuk menemukan keserasian gerak timbal balik dalam hubungan antara dirinya dan sumbernya, antara dirinya dengan wadaknya dan wadak yang tergelar di sekitarnya.
Sebenarnya apa yang dilakukan Mahisa Agni sangat beratnya. Namun Mahisa Agni mampu untuk melakukannya. Menerima ilmu gurunya itu ternyata tidak semudah seperti dongeng-dongeng yang pernah didengarnya. Seorang murid menundukkan kepalanya, kemudian dengan meniup ubun-ubunannya maka menjalarlah ilmu itu lewat hembusan gurunya dan hadir di dalam diri murid itu. Ternyata yang dilakukan adalah jauh lebih berat daripada itu. Ia harus bekerja keras siang dan malam. Menirukan unsur-unsur gerak yang baru dan memahami sampai ke tujuan dan alasan-alasan gerak itu. Mempelajari segenap guratan-guratan di dalam tubuhnya, urat darah dan nadi, urat-urat daging dan segala macam unsur penggerak, unsur penguat dan unsur perangsangnya.
Dan ternyata pula apa yang pernah dimiliki, kekuatan-kekuatan di sisi-sisi telapak tangannya, hanyalah sekedar kekuatan lahiriah yang sangat kecil dibandingkan dengan ungkapan-ungkapan kekuatan yang tersimpan dalam-dalam di dalam dirinya.
Demikianlah, maka di dalam hutan di kaki Gunung Semeru itu telah terjadi suatu peristiwa yang penting bagi perguruan Panawijen. Di balik dinding-dinding yang seakan-akan membatasi daerah itu, dengan pohon-pohonnya yang lebat, Mahisa Agni sedang berjuang untuk menampakkan dirinya pada keadaan yang memungkinkan baginya, untuk menerima ilmu gurunya.
Sehari dua hari, seminggu dua minggu dan lambat laun, terasalah beberapa perubahan di dalam diri Mahisa Agni itu. Setelah dengan penuh tekad ia berusaha di bawah tuntunan gurunya, maka akhirnya ditemukannya juga dasar-dasar yang dalam dari ilmu itu. Gundala Sasra.
Pada taraf terakhir dari masa penempaannya itu, Mahisa Agni benar-benar memeras segenap tenaga yang mungkin di dalam tubuhnya. Setelah segenap petunjuk, tuntunan dan latihan-latihan dengan gurunya dilakukan, maka akhirnya Mahisa Agni pun sampai pada taraf menunjukkan hasil perjuangannya. Hasil perjuangan yang memiliki nilai kembar yang saling bersangkut paut. Apa yang dicapainya adalah hasil hubungannya timbal balik dengan sumbernya. Cinta kasih yang memancar dari Sumbernya yang telah dapat dihayatinya, dan kemudian terpancarlah cinta kasih dari dalam dirinya, dalam kesetiaan dan pengabdiannya, maka Yang Maha Agung telah mengizinkannya, mengungkapkan semua kekuatan-kekuatan yang memang dianugerahkan dalam dirinya untuk melakukan hubungan timbal balik yang kedua dengan sesamanya. Hubungan cinta kasih antara sesama titah dalam pengamalan ilmunya.
Sehingga akhirnya sampailah saatnya kini Mahisa Agni diliputi oleh getaran-getaran yang terakhir dari penerapan ilmunya itu. Getaran-getaran yang seakan-akan menusuk-nusuk tubuhnya dari segenap arah. Seakan-akan dunia ini pun kemudian ikut bergetar pula dalam suatu gerak yang beraneka warna. Getaran-getaran yang kasar, yang halus, yang tajam dan dalam segala bentuk. Kemudian menyusullah getaran-getaran yang seakan-akan mengguncang-guncang tubuhnya. Seperti gempa yang melandanya bertubi-tubi. Namun Mahisa Agni sadar, bahwa ia harus menyelesaikan taraf yang terakhir ini. Karena itu dengan memejamkan matanya ia duduk bersila. Kedua tangannya bersilang dan telapak-telapak tangannya terletak di kedua pundaknya yang berlawanan. Dengan sepenuh tenaga lahir dan batin Mahisa Agni menghayati masa-masa terakhir itu.
Getaran-getaran itu pun semakin lama menjadi semakin terasa, dan bahkan kemudian, meskipun Agni telah memejamkan matanya, namun seolah-olah dilihatnya dunia ini dengan jelasnya. Semua warna yang ada, berputar-putar di dalam rongga matanya. Hijau, merah, hitam, kuning, ungu, biru dan segala macam warna. Namun itu sendiri tidak membawa arti apapun bagi Mahisa Agni. Yang kemudian dilihatnya adalah watak dari warna-warna seakan-akan wajah-wajah yang bengis, pucat, licik, suram dan segala macam. Namun akhirnya warna-warna itu berputaran dalam satu pusat. Bercampur baur menjadi satu. Segala macam warna dengan wataknya masing-masing. Semakin lama semakin cepat semakin cepat. Dan akhirnya luluhlah segala warna itu menjadi warna yang tunggal. Putih.
Warna putih itu pun berputar dengan cepatnya, Semakin lama menjadi semakin cepat. Dan seakan-akan dari pusat warna itu memancarlah cahaya yang terang semakin terang semakin terang. Akhirnya warna itu pun menjadi gemerlapan. Di dalam warna yang terang itulah Mahisa Agni seolah-olah melihat dirinya sendiri. Betapa lemahnya dirinya. Hanyut dalam pusaran warna yang putih dan gemerlap itu. Semakin cepat semakin cepat. Namun Agni yang berputar itu pun telah berusaha untuk menahan dirinya. Dengan segala usaha akhirnya gambaran dirinya yang berputar itu pun semakin dapat menguasai keadaannya. Sehingga akhirnya Agni itu pun kemudian berhasil tegak di atas kedua kakinya. Tegak dalam pancaran cahaya yang putih. Sehingga putaran cahaya yang putih itu pun menjadi semakin lambat, semakin lambat. Namun demikian cahaya itu berhenti, kembali tampak segala macam warna seolah-olah melanda warna yang putih itu. Namun cahaya yang memancar dari dalam diri Agni itu pun kemudian berhasil mengusirnya.
Kini dilihatnya bayangan dirinya itu membentangkan tangannya. Kemudian bersilang di muka dadanya sudut menyudut, kedua telapak tangannya terbuka dengan keempat jarinya merapat tegak. Dan dengan satu loncatan maju bayangan itu telah mengayunkan tangannya. Betapa dahsyat akibatnya. Seolah-olah angin Yang Maha Dahsyat melanda dirinya. Demikian dahsyatnya sehingga kepala Mahisa Agni itu serasa berputar dalam saat-saat yang terakhir itu, dunia telah menjadi gelap semakin gelap. Dan tubuh Mahisa Agni yang lemah itu pun kemudian terjatuh di tanah.
Gurunya, yang duduk di belakang Mahisa Agni, melihat perkembangan keadaan muridnya dengan tegang. Namun terasa olehnya, bahwa muridnya telah berhasil memusatkan segenap panca inderanya dalam satu karya. Bergabungnya segenap kekuatan, dan terungkitnya kekuatan-kekuatan itu, telah membebani muridnya dengan keadaan yang sangat berat. Demikian beratnya, sehingga akhirnya Mahisa Agni itu menjadi seolah-olah pingsan. Namun itu adalah pertanda, bahwa muridnya telah berhasil membuka hatinya dalam satu pemusatan pikiran yang akan dapat melandasi ilmu Gundala Sasra dalam pelaksanaannya.
Ketika Matahari menjenguk dari punggung cakrawala di timur, maka warna-warna yang kelam di dalam hutan di kaki Gunung Semeru itu pun menjadi cair pula karenanya.
Mahisa Agni perlahan-lahan menggeliat. Kemudian memandang berkeliling. Dilihatnya gurunya duduk menunggunya seperti seorang yang sedang bersemadi. Namun ketika dilihatnya Mahisa Agni terbangun maka orang tua itu pun kemudian tersenyum.
"Tidur yang nyenyak, Agni. Apakah kau bermimpi?"
Mahisa Agni pun tersenyum pula. Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di muka gurunya. Diamat-amatinya tubuhnya seperti ada sesuatu yang tidak dikenalnya pada dirinya. Namun demikian, sebelum ia bertanya kepada gurunya, dicobanya untuk mengetahuinya sendiri, perubahan-perubahan apakah yang telah terjadi pada dirinya itu. Tubuhnya kini terasa betapa segar dan ringan. Darahnya yang hangat serta detak jantungnya, tarikan nafasnya dan simpul-simpul sarafnya seakan-akan menjadi semakin teratur dan dikenalnya dengan sempurna.
Ketika kemudian dikenangnya apa yang telah terjadi kemarin, maka segera disadarinya, bahwa pasti ada perubahan di dalam dirinya itu.
Empu Purwa itu melihat betapa muridnya menjadi heran atas keadaan diri. Karena itu maka katanya, "Agni, adakah sesuatu yang lain kau rasakan dalam dirimu?"
"Ya, Guru," jawab Mahisa Agni.
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dirabanya tubuh muridnya. Dipijatnya setiap simpul-simpul syaraf dan nadinya pada punggung dan tengkuk muridnya. Sebagai seorang yang telah mengenal setiap simpul-simpul tubuh manusia, maka segera Empu Purwa mengetahui, bahwa tubuh Mahisa Agni pun telah terbuka. Maka katanya, "Agni, apakah yang terjadi pada dirimu?"
Mahisa Agni mencoba mengingat semua peristiwa yang tampak olehnya dalam pemusatan pikiran, perasaan dan angan-angannya. Satu demi satu, sehingga akhirnya semuanya menjadi gelap.
"Mahisa Agni," berkata gurunya, "peristiwa yang terjadi dalam dunia yang tak kasatmata itu, tidak sama bagi setiap orang yang menjalani pemusatan pikiran, perasaan dan angan-angan seperti yang kau lakukan. Semuanya itu tergantung atas tanggapannya terhadap dunia besar dari dunia kecilnya. Juga sikap yang kau lihat itu pun tergantung pada unsur-unsur gerak yang paling merangsang dalam dirimu. Namun, adalah satu persamaan, bahwa kau telah diizinkan oleh Yang Maha Agung, untuk menguasai cara-cara yang sebaik-baiknya untuk mengungkapkan setiap kekuatan di dalam tubuhmu."
Terasa dada Mahisa Agni berdesir halus. Sekali lagi ia mengucap syukur di dalam hatinya atas karunia itu Dan karena itu maka betapa ia menjadi terharu. Dengan demikian, maka tak sepatah pun yang dapat diucapkannya, karena kerongkongannya tiba-tiba serasa tersumbat.
Apalagi ketika kemudian gurunya itu berkata kepadanya, "Agni. Berdirilah. Lihatlah ke sekelilingmu. Dan cobalah, apakah kau benar-benar mampu menyalurkan kekuatan-kekuatan di dalam tubuhmu."
Dada Mahisa Agni kini menjadi berdebar-debar. Ditatapnya wajah gurunya seakan-akan minta penjelasan. Sehingga kemudian gurunya itu pun berkata, "Berdirilah. Bersikaplah menurut ungkapan indramu dalam unsur-unsur gerak yang paling merangsang dalam dirimu. Salurkanlah kekuatan di dalam tubuhmu ke bagian-bagian tubuh yang kau kehendaki. Niscaya kau akan berhasil."
Perlahan-lahan Mahisa Agni itu pun berdiri. Meskipun dengan agak ragu-ragu, namun ia melangkah pula agak menjauh. Dipandangnya keadaan di sekelilingnya. Yang ada hanyalah pokok-pokok kayu dan gumpalan-gumpalan batu padas yang berbongkah-bongkah.
"Mulailah Agni," berkata gurunya.
Mahisa Agni mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, "Akan aku coba, Guru."
Mahisa Agni itu pun kemudian berdiri tegak. Dipusatkannya segenap kekuatan batinnya, diaturnya jalan pernafasannya seperti yang telah dipelajarinya. Ketika terasa di dalam dadanya getaran-getaran yang bergerak-gerak, maka dicobanya untuk mengaturnya dan menyalurkannya ke telapak tangannya.
Tiba-tiba seakan-akan digerakkan oleh tenaga yang tak dikenalnya, Mahisa Agni itu pun mengangkat kedua tangannya, kemudian disilangkannya kedua tangannya itu di muka dadanya, sedang keempat jari-jarinya tegak merapat. Satu kakinya pun kemudian terangkat ke depan. Dan ketika getaran yang mengalir dari pusat dadanya dan dari bagian-bagian tubuhnya yang lain seakan-akan telah mengendap di telapak tangannya, maka Mahisa Agni itu pun meloncat maju. Dengan telapak tangannya ia memukul sebongkah batu padas yang telah menjadi kehitam-hitaman. Betapa dahsyat tenaganya. Batu itu pun seolah-olah meledak dan pecah berserakan.
Mahisa Agni sendiri terkejut melihat akibat dari pukulannya. Namun ketika ia berpaling kepada gurunya, dilihatnya gurunya tersenyum.
"Bagus Agni," berkata gurunya, "sekarang lepaskanlah kekuatan-kekuatan itu dan salurkan kembali ke tempatnya."
Mahisa Agni menarik nafas. Diangkatnya kedua tangannya merentang. Dan terasa otot-ototnya seakan-akan mengendur kembali.
"Kau harus melatihnya setiap kali Agni," berkata gurunya, "namun ingatlah bahwa ilmu itu, yang kau sebut untuk seterusnya aji Gundala Sasra, bukan seperti permainan kanak-kanak yang dapat kau pamerkan setiap saat. Tekunilah dan dalamilah. Namun aku akan bergembira kalau kau tidak perlu mempergunakannya."
Gurunya itu berhenti sesaat, kemudian katanya pula, "Agni, kelak apabila ilmu itu telah mapan di dalam tubuhmu, maka kau tidak akan memerlukan waktu lagi untuk melepaskannya. Sesaat saja, setiap kau kehendaki. Namun mudah-mudahan itu tidak akan terjadi."
Mahisa Agni itu pun perlahan-lahan duduk kembali. Betapa dadanya seakan-akan bergolak. Berbagai perasaan merayap-rayap tak menentu. Bangga, gembira namun disadarinya pula tanggung jawabnya atas ilmunya itu. Dan wajah Mahisa Agni pun tertunduk karenanya.
Namun pekerjaannya yang berat kini telah lampau. Masa pengasingan di hutan yang sepi itu pun telah lampau pula. Karena itu, maka akan datang masa berikutnya, kembali ke Panawijen dalam pergaulan antar manusia untuk mendapatkan kesempatan mengamalkan ilmunya dengan wajar dan bertanggung jawab.
Matahari yang merayap di kaki langit itu semakin lama menjadi semakin tinggi pula. Empu Purwa yang masih saja duduk di atas batu padas itu pun kemudian berdiri. Diamatinya beberapa coretan pisau di sebatang pokok kayu. Dihitungnya setiap goresan dan kemudian katanya, "Empat puluh dua. Ya, kau telah tinggal di dalam hutan ini selama empat puluh dua hari Agni, selain hari-hari yang pernah kau tempuh untuk sampai ke tempat ini. Hari ini adalah hari yang keempat puluh tiga."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Telah cukup lama ia meninggalkan padepokan Panawijen. Meninggalkan sahabatnya Wiraprana. Ibunya dan gadis momongan ibunya, Ken Dedes. Dan tiba-tiba tumbuhlah perasaan rindu kepada padukuhannya itu. Meskipun demikian, Mahisa Agni menunggu apa yang akan dikatakan oleh gurunya. Ia mengharap bahwa gurunya itu akan membawanya pulang ke padepokan.
Ternyata gurunya itu pun kemudian berkata, "Mahisa Agni. Kita telah terlalu lama meninggalkan padepokan. Karena itu, apabila telah memungkinkan, pulanglah kau ke Panawijen. Padepokan itu telah hampir tiga bulan kesepian."
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya, jawabnya, "Guru. Aku sebenarnya memang telah rindu pada padukuhan itu. Tetapi bukankah kita akan kembali bersama-sama?"
Empu Purwa menggeleng lemah. Katanya, "Berjalanlah dahulu Agni. Aku masih akan singgah beberapa hari di tempat sahabat-sahabatku yang telah lama tak pernah aku kunjungi. Mumpung aku sampai di tempat ini pula. Namun tak ada soal yang penting. Aku hanya akan sekedar mengunjunginya. Bukankah kau berani berjalan sendiri?"
Mahisa Agni tersenyum mendengar pertanyaan gurunya. Empu Purwa itu tersenyum pula.
Hari itu adalah hari terakhir. Mahisa Agni seolah-olah berada di dalam pengasingan. Bersama gurunya mereka berdua pergi meninggalkan tempat itu. Tempat yang tak akan terlupakan bagi Mahisa Agni. Tempat ia menerima anugerah yang tak ternilai harganya bagi masa depannya.
Tetapi mereka berdua tidak seterusnya berjalan bersama-sama. Gurunya itu pun kemudian memisahkan diri. Ia masih ingin mengunjungi sahabat-sahabatnya yang telah lama tidak pernah ditemuinya.
Pendekar Sadis 22 Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna Neraka Pulau Biru 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama