Ceritasilat Novel Online

Misteri Merpati Berjari Dua 3

Trio Detektif 37 Misteri Merpati Berjari Dua Bagian 3


jelas. Baju bergaris-garis, jas gelap, jenggot, dan kumis tebal. Parker Frisbee! Pete yakin sekali. Bahkan dalam cahaya
yang remang-remang ia yakin tidak salah lihat.
Frisbee saat itu tidak memakai kaca mata gelap. Ia membawa sebuah paket besar berbentuk kotak. Paket itu terlihat
keabu-abuan dalam keremangan cahaya, seperti terbungkus kertas koran. Frisbee membuka pintu belakang mobil
boks, lalu menaruh paket itu di dalamnya.
Lampu taman rumah Kyoto padam.
Frisbee menutup pintu belakang mobil boks. Ia lalu masuk kembali ke sedannya, dan mengendarainya pergi.
Pete bersandar pada sebatang pohon, menunggu. Sepuluh menit kemudian seorang Jepang keluar rumah. Ia
mendatangi mobil boks. Pete sukar untuk memastikan. Itu Kyoto atau penerjemahnya"
Kemudian ia baru ingat pada apa yang dikatakan Jupe tentang ciri-ciri si penerjemah. Orang yang dilihatnya kini
tidak memiliki ciri-ciri itu. Jadi itu Kyoto. Ia membawa sebuah tempat makan dari logam. Pakaiannya terbuat dari
semacam kain drill. Pete menyiapkan sepedanya. Ia duduk pada sadelnya, siap untuk berangkat sewaktu-waktu.
Kyoto tidak membuka pintu belakang mobil boks. Bahkan ia tidak melihat ke dalamnya lewat jendela belakang. Ia
langsung masuk ke depan dengan membawa tempat makanannya. Dikendarainya mobil boks hijau itu.
Di ujung jalan, mobil boks itu berputar, lalu melaju ke arah Pete. Cepat-cepat Pete bersembunyi di balik sebuah
pohon bersama sepedanya. Mobil boks itu melewatinya. Pete menghitung sampai sepuluh. Baru setelah itu ia mulai mengayuh sepedanya.
Ia tidak menjumpai masalah dalam mengikuti mobil boks hijau, karena jalan menurun menuju kota. Sesampainya di
Main Street ia menjaga jarak sampai mobil boks berbelok masuk ke jalan menuju pantai.
Mobil boks mempercepat lajunya. Dengan bersemangat Pete mengayuh pedal lebih kuat. Sepedanya meluncur
makin cepat. Tiga puluh, tiga puluh lima, empat puluh mil per jam. Persneling sudah terpasang paling tinggi. Angin
menerpa mukanya dengan kencang, sehingga seluruh rambutnya tersibak ke belakang. Ia memindahkan persneling
ketika menanjak menuju Kedai Kuda Laut. Setelah itu jalan turun lagi. Tanpa mengayuh Pete sudah mencapai
kecepatan maksimal. Beberapa menit kemudian ia melewati Wills Beach. Berkemah diizinkan di sana, asalkan tidak membuat api
unggun. Ada beberapa tenda di pantai. Seorang gadis keluar dari tenda. Gadis itu melambai pada Pete ketika Pete
ngebut melintasi jalan di pinggir pantai. Pete balas melambai. Ia makin bersemangat memacu sepedanya.
Dua mil dari Wills Beach jalan berbelok menjauhi pantai. Pete melihat ke arah laut. Pagi itu cerah, dan ombak laut
terlihat sangat menggiurkan baginya. Ah, kalau saja tidak harus membayangi mobil boks hijau, Pete berangan-angan,
aku akan langsung terjun ke laut.
Tiba-tiba lampu rem mobil boks menyala.
Pete mengerem sepedanya. Ia duduk di sadelnya sambil memperhatikan mobil boks yang berhenti.
Ia ingat betapa liatnya tubuh Kyoto. Kelihatannya ia jago kara
te. Pete merasa ciut ketika memikirkan hal ini. Ingin
rasanya ia membiarkan mobil boks itu pergi, daripada kepergok oleh orang Jepang yang bertubuh liat itu.
Mobil boks hijau jalan lagi. Mobil itu membelok ke kiri pada suatu pertigaan.
Pete tidak mengira di situ ada jalan sempit menuju laut lagi. Dengan hati-hati dikayuhnya sepeda mendekati
pertigaan. Jalan sempit itu berakhir pada sebuah pelataran parkir, tiga puluh meter dari pertigaan. Di belakangnya
terpancang pagar berjeruji besi yang tinggi dan sebuah gerbang yang kokoh. Sekelompok pondok kayu berdiri di balik
pagar besi itu. Mobil boks hijau berhenti di pelataran parkir. Pete bersembunyi di balik tetumbuhan di pinggir jalan. Dari situ ia
mengawasi gerak-gerik Kyoto. Kyoto keluar membawa kotak makannya. Ia berjalan ke belakang mobil boks.
Orang Jepang itu membuka pintu belakang, masuk ke dalam, lalu menutup kembali pintu itu dari dalam.
Beberapa menit lamanya ia tidak keluar-keluar lagi. Pete heran. Apa yang dilakukannya di dalam mobil boks itu"
Berganti pakaian" Tidak. Sewaktu keluar lagi Kyoto masih mengenakan pakaian yang sama. Kyoto membawa kotak makanannya. Ia
berjalan ke arah gerbang.
Seseorang berpakaian seragam muncul dari salah satu pondok kayu. Orang itu menyimpan senjata di pinggangnya.
Tapi ia bukan polisi. Mungkin petugas keamanan, pikir Pete. Orang itu membuka gerbang. Kyoto melangkah masuk.
Si penjaga gerbang menutup dan mengunci gerbang kembali.
Pete bertiarap ketika ia mendengar suara dari belakangnya. Sebuah truk datang dan membelok pada pertigaan itu,
memasuki jalan sempit. Ada dua orang Jepang di depan. Dua orang lagi turun dari bak belakang ketika truk itu
berhenti di tempat parkir. Mereka semua membawa kotak makanan. Keempat orang Jepang itu berjalan ke gerbang.
Mereka diperbolehkan masuk oleh penjaga gerbang.
Tempat apa ini" Pete tidak dapat membayangkan. Selain pondok-pondok kayu itu, tidak ada lagi yang terlihat di
dalam. Di balik pagar hanya terlihat tanah datar yang membentang sampai ke laut. Dan tanah itu kosong, tidak
ditumbuhi tanaman apa pun.
Baru kemudian Pete melihat sesuatu yang lain. Bukan hanya tanah yang terdapat di sana, tetapi juga air. Ada
semacam danau buatan yang terpisah dari laut. Danau itu dipetak-petaki dengan papan-papan kayu yang berada
beberapa sentimeter dari permukaan air.
Pete melihat orang-orang Jepang itu berpencar pada papan-papan kayu. Mereka berjongkok di sana, lalu mulai
menarik sesuatu seperti kandang dari kawat. Pete tidak dapat melihat jelas apa isi kandang itu. Yang terlihat cuma
orang-orang Jepang yang memeriksa isi kandang dengan teliti.
Pete sudah tidak tahu lagi yang mana Kyoto. Namun ia menghitung ada lima orang Jepang. Jadi Kyoto mestinya
salah satu dari kelima orang itu.
Ia tetap bersembunyi di balik tetumbuhan selama setengah jam. Tidak ada apa-apa yang terjadi. Tidak ada yang
berubah. Penjaga-penjaga gerbang mondar-mandir memeriksa pagar. Paling sedikit ada tiga orang penjaga, Pete dapat
melihat mereka sekarang. Sementara itu para pekerja masih melakukan tugas mereka, sibuk dengan kandang kawat. Yang mereka kerjakan
hanyalah menarik kandang kawat dari danau buatan, memeriksa isinya, mengembalikannya ke danau, lalu mengambil
kandang kawat lainnya. Begitu seterusnya.
Burung camar dan merpati beterbangan di atas daerah itu. Tapi tidak ada yang luar biasa. Memang banyak burung
camar dan merpati di sepanjang pantai itu.
Sudah cukup sekarang, Pete akhirnya memutuskan. Tadi dalam perjalanan, tak jauh dari situ ia melihat sebuah
pompa bensin. Ia menegakkan sepedanya, lalu mengayuh sekencang-kencangnya.
Jupe segera mengangkat telepon di kantor Trio Detektif. Pete menjelaskan di mana ia berada sekarang, yaitu sekitar
satu mil dari Wills Beach. Ia mengajak kedua kawannya untuk bergabung di situ.
Mereka akan sampai di sini satu jam lagi, pikir Pete ketika meletakkan gagang telepon. Ia membeli minuman dan
sebatang coklat, lalu duduk santai menunggu kedua kawannya.
"Sepedamu bagus sekali." Penjaga pompa bensin mendatanginya, ia mengagumi sepeda balap Pete.
Pete cuma nyengir saja. Orang itu hanya beberapa tahu
n lebih tua dari Pete. Rupanya ia pecinta sepeda. Ia dan Pete
berbincang-bincang panjang lebar tentang macam-macam sepeda dengan perlengkapannya. Tiba-tiba terlintas dalam
benak Pete bahwa mungkin orang itu bisa memberi informasi yang berguna.
"Aku tadi berjalan-jalan ke sana," kata Pete sambil menunjuk. "Di sana kulihat ada sebuah tempat yang dipagari
dan dijaga oleh orang-orang bersenjata. Tempat apa itu, ya""
"Oh, aku malah belum pernah ke sana," orang itu menjawab. "Tapi kudengar tempat itu dijadikan tempat
peternakan tiram. Seorang Jepang yang kaya membangunnya beberapa tahun yang lalu. Ia menggali tanah di situ dan
mengisinya dengan air laut. Kudengar mereka beternak tiram di sana."
Saat itu Jupe dan Bob sampai di pompa bensin.
Jupe terengah-engah. Tubuhnya bersimbah peluh. Ia langsung memesan minuman. "Air jeruk dingin," katanya.
Kemudian Pete mulai menceritakan semua yang dilihatnya. Sejak ia mengawasi rumah Kyoto di Little Tokyo sampai
ia mengintai tempat yang dibatasi pagar tinggi berjeruji besi.
"Peternakan tiram," Jupe mengulangi sambil berpikir keras setelah Pete selesai melapor. "Petugas keamanan.
Parker Frisbee. Paket kotak besar. Bagus kerjamu, Pete."
"Oh, ya"" Hidung Pete kembang kempis mendapat pujian dari pimpinan Trio Detektif. "Tapi apa artinya semua
ini"" Penyelidik Satu tidak menjawab. "Kita kembali ke sana untuk mengamati apa yang terjadi kemudian," usul Jupe.
Trio Detektif bersepeda ke tempat peternakan tiram. Pete memimpin di depan sebagai penunjuk jalan. Di balik
tetumbuhan di pertigaan itu mereka menyembunyikan sepeda. Mereka sendiri mencari tempat yang strategis sehingga
dapat mengamati apa yang terjadi di balik pagar dengan jelas.
Jupe telah membawa teropongnya. Difokuskannya teropong itu pada pekerja Jepang yang sedang sibuk memeriksa
kandang-kandang kawat. "Benar, itu tiram," katanya. "Dalam kandang-kandang. Sulit untuk melihat apa yang mereka lakukan terhadap
tiram-tiram itu. Tapi kelihatannya mereka membuka beberapa tiram."
Matahari sudah tinggi saat itu. Teriknya menyengat anak-anak yang sedang bertiarap di rerumputan. Dalam hatinya
Pete menyesal, mengapa ia tidak membawa minuman dingin untuk cadangan dari kantin di pompa bensin tadi. Ia
memakai kaca mata hitam yang dibawanya. Lalu ia bertelentang dengan kedua tangannya dilipat di belakang
kepalanya. Kedua matanya dipejamkan.
Tidak lama kemudian salah seorang dari penjaga meniup peluit. Para pekerja Jepang berhenti untuk beristirahat
makan siang. Mereka duduk di papan-papan di atas danau. Dalam terik matahari mereka membuka bekal dalam kotak
makanan mereka. Burung camar dan merpati berkerumun mencari sisa-sisa makanan. Para pekerja mengusirnya dengan mengibasngibaskan tangan mereka. Sebagian burung ada yang pergi. Tetapi sisanya tidak putus asa. Dengan sabar mereka
menanti para pekerja itu selesai makan. Burung camar dan merpati tetap berkerumun dekat para pekerja Jepang itu.
Jupe menurunkan teropongnya. Menonton orang makan membuat perutnya sendiri berkeriuk-keriuk. Ia baru sadar
bahwa saat itu sudah waktunya makan. Perutnya sudah protes minta diisi. Tapi dipaksanya untuk memusatkan pikiran
pada kasus yang sedang dihadapinya. Misteri merpati berjari dua dan pembunuhan burung-burung. Tanpa sadar, ia
menarik-narik bibir bawahnya.
Paket abu-abu yang ditaruh Parker Frisbee di bagian belakang mobil boks hijau. Apa isinya" Menurut laporan Pete,
Kyoto tidak membawa paket itu ketika memasuki gerbang yang dijaga petugas keamanan. Ia cuma membawa kotak
makanannya. Jupe menyentuh bahu Pete. Pete diam tak bereaksi.
Jupe mengguncang-guncangnya.
Pete gelagapan terbangun.
"Kyoto tadi mengunci pintu belakang mobil boksnya"" tanyanya ketika Pete mengangkat kepalanya. Jupe tidak
dapat melihat apakah mata Pete terbuka atau tertutup karena terhalang oleh kaca mata gelap yang dipakainya. Tapi
kelihatannya ia sudah agak sadar sekarang.
"Tidak," gumam Pete. "Aku yakin tidak dikunci." Ia merebahkan kepalanya kembali. Sekejap ia sudah tertidur lagi.
Jupe memikirkan langkah yang akan diambilnya. Dapatkah dia merayap ke belakang mobil boks, lalu masuk dan
meneli ti isi paket abu-abu itu" Namun dengan terpaksa ia mengakui bahwa ia tidak dapat melakukan hal itu. Penjaga
yang bersenjata belum ikut makan. Mereka mengawasi daerah sekitar situ dengan waspada. Secara teratur mereka
berpatroli memeriksa pagar dan gerbang.
Beberapa menit kemudian terdengar lagi suara peluit. Para pekerja Jepang membereskan kotak makan mereka, lalu
kembali bekerja, memeriksa tiram-tiram yang dipelihara dalam kandang-kandang kawat.
Jupe berupaya menjaga matanya agar tetap terbuka. Padahal tidak ada sesuatu yang baru yang dapat dilihatnya
dengan teropongnya. Semua sama saja seperti yang dilihat sebelumnya. Panas semakin menyengat. Pemandangan
tidak lagi menarik. Perutnya keroncongan. Jupe merasa kelopak matanya menjadi berat. Tak terasa kepalanya terkulai.
Ia bermimpi makan pizza dengan salad segar. Kemudian datang seporsi besar es krim. Jupe baru mulai menyendok
santapan lezat di hadapannya...
Nyaringnya suara peluit membangunkannya. Hampir jam tiga, ia melihat jam tangannya. Orang-orang Jepang
menurunkan kandang-kandang kawat ke dalam danau. Mereka berdiri dan mulai berjalan ke arah pintu gerbang.
Pikiran Jupe tiba-tiba menjadi jernih setelah tidur singkat tadi. Kaca mata gelap, pikirnya, dan itu sebuah penemuan
besar! Parker Frisbee memakai kaca mata gelap di hutan kecil Miss Melody dan di pelataran parkir dekat Bank Amco.
Keduanya pada malam hari. Tapi kaca mata gelap bukan hanya untuk melindungi mata dari teriknya sinar matahari.
Kaca mata gelap dapat menutupi mata orang yang memakainya. Seperti yang tadi dialami Pete. Ia tidak dapat
memastikan apakah mata Pete terbuka atau tertutup ketika memakai kaca mata gelap.
Jupe memandang ke balik pagar besi. Orang-orang Jepang itu belum keluar dari gerbang. Mereka menghilang di
dalam salah satu pondok kayu. Dan para penjaga juga tidak tampak lagi.
Ia berjongkok dan mengambil ancang-ancang. Lalu berlarilah ia sekencang-kencangnya ke jalan sempit menuju
pelataran parkir. Bob membuka matanya. Tidak ada siapa-siapa di sampingnya. Di mana Jupe" Ke mana ia menghilang" Bob
melihat ke pelataran parkir. Dilihatnya Penyelidik Satu membuka pintu belakang mobil boks Kyoto. Jupe masuk ke
dalamnya! Pintu belakang tertutup lagi.
"Oh, cari gara-gara dia!" Pete mengangkat kepalanya.
"Menurutmu apa yang diinginkannya"" Bob bertanya pada Pete. "Maksudku, Jupe berharap kita melakukan apa"
Mungkinkah ia mau bersembunyi di belakang mobil boks Kyoto lalu ikut pergi bersamanya" Atau apa""
"Tak tahu, ya." Pete sama bingungnya dengan Bob. "Harusnya kalau mau berbuat sesuatu, bilang-bilang dulu,
dong." "Ya. Mestinya begitu. Tapi mungkin ia cuma menyelidiki mobil boks itu. Kita tunggu saja. Kuharap ia bisa keluar
sebelum Kyoto..." Ia akan mengatakan, "Sebelum Kyoto memergokinya." Tapi tidak nampak siapa pun. Ke mana
orang Jepang itu" Ke mana para penjaga"
Bob memungut teropong. Diteropongnya daerah di balik pagar besi itu. Ia berhenti pada sebuah jendela di salah
satu pondok kayu. Agak sukar untuk melihat semuanya dengan jelas. Tapi Bob dapat melihat bahwa pondok itu penuh dengan orang
Jepang dan penjaga. Para penjaga memeriksa pekerja Jepang dengan teliti, dari kepala sampai kaki. Baju dan celana
mereka digeledah. Bahkan kotak makanan dan sepatu tidak luput dari perhatian penjaga.
Bob menurunkan teropongnya. Jupe nampak berlari ke arahnya. Penyelidik Satu menyelusup ke sampingnya di
balik tetumbuhan yang cukup rimbun. Wajah Jupe kemerahan dan agak lesu, tapi matanya bersinar-sinar.
"Para penjaga sedang menggeledah mereka, kan"" tanya Jupe begitu napasnya mulai teratur.
Bob mengangguk. "Sepertinya begitu. Apa yang mereka cari pada pekerja-pekerja itu, Jupe""
Jupe tidak langsung menjawab. "Aku baru saja melakukan suatu penyelidikan," katanya beberapa saat kemudian.
"Aku menemukan apa yang berada dalam paket di mobil boks Kyoto. Ternyata bukan koran pembungkusnya, Pete.
Kurasa dari jauh dalam cahaya yang remang-remang memang terlihat seperti koran. Padahal itu kain katun tipis."
"Katun tipis"" kata Pete. "Maksudmu seperti penutup kotak yang dibawa Blinky""
"Persis," jawab Jupiter. "Kain itu
telah terbuka. Dan paket itu adalah sebuah sangkar. Sangkar itu kosong. Tapi aku
yakin tadi pagi pasti ada isinya sewaktu Frisbee menaruhnya di belakang mobil boks. Karena aku menemukan ini."
Ia membuka genggaman tangannya. Kedua temannya melihatnya. Segenggam jagung.
"Merpati," desis Pete. "Kyoto membawa merpati dalam sangkar itu..."
"Dan ia menyelundupkannya dalam kotak makanannya," Jupe melanjutkan. "Itu mudah sekali. Penjaga kan tidak
mengecek para pekerja ketika mereka masuk. Hanya ketika mereka keluar."
Bob mengernyit. "Tapi, apa yang mereka geledah"" ia bertanya lagi.
"Mutiara," Jupe menerangkan dengan sabar. "Itulah yang mereka harapkan dari tiram-tiram itu. Di tempat ini
diproduksi mutiara buatan!"
Bab 12 RENCANAJUPE "MUTIARA," kata Jupe lagi. "Mutiara dan merpati pos."
Trio Detektif telah berkumpul kembali di kantor mereka setelah meninggalkan tempat peternakan tiram. Mereka
sedang menikmati roti keju buatan Bibi Mathilda. Jupe membagi dua rotinya. Ia berniat untuk makan separuhnya saja.
Sebelum ke kantor, Bob menyempatkan diri untuk mampir di perpustakaan. Ia meminjam dua buku yang dipesan
Jupe. "Apa kata buku itu tentang mutiara buatan"" tanya Jupe padanya.
Bob membuka salah satu buku, berjudul Keindahan Mutiara. Dikeluarkannya sehelai kertas tempat ia menulis
beberapa catatan tentang buku itu.
"Mutiara buatan." Ia membetulkan posisi kaca matanya. "Caranya, ambil bayi tiram dan kumpulkan dalam kandang
di bawah air. Setelah tiram berumur tiga tahun, buka tiram itu lalu taruh sebutir pecahan kulit tiram di dalamnya.
Taruh benda itu pada tempat yang dinamakan mantel tiram. Lalu turunkan kembali kandang ke dalam air. Biarkan
tiram itu selama tiga sampai enam tahun. Sejak saat itu tiram mesti dicek secara rutin. Tiram yang dimasuki sebutir
pecahan kulit tiram tadi akan terluka. Tiram akan membalut luka tadi sehingga terbentuklah mutiara."
"Oo, seperti perban, ya," kata Pete.
"Ya, semacam sistem pertahanan tubuh." Bob membaca catatannya kembali. "Setelah enam tahun, mutiara sudah
terbentuk secara sempurna. Mutiara itu sudah dapat diambil untuk dijual. Peternakan mutiara menjadi industri besar di
Jepang. Beberapa mutiara buatan harganya mencapai ratusan dolar."
"Mengapa disebut buatan"" tanya Pete. "Kan mutiara itu sendiri yang membuatnya""
"Ya, tapi kan dengan campur tangan manusia," sahut Bob. "Manusia yang memulainya dengan memasukkan
sebutir pecahan kulit tiram. Kalau menunggu sampai sebutir pasir atau sembarang benda keras masuk sendiri, wah
lama sekali baru terbentuk mutiara. Dan itu jadi untung-untungan sifatnya."
"Jadi itulah sebabnya penjaga menggeledah para pekerja sebelum mereka pulang," kata Pete sambil mengelus bulu
Caesar dalam kandangnya yang besar. "Supaya mereka tidak mencuri mutiara. Begitu kan, Jupe""
"Ya." Penyelidik Satu itu duduk santai di kursi goyangnya. "Tapi ingat, pekerja tidak diperiksa ketika masuk. Itu
memunculkan ide di kepala Parker Frisbee dan Kyoto. Ide yang sangat sederhana. Di situlah letak persoalannya.
Parker Frisbee menaruh seekor merpati pos di belakang mobil boks Kyoto. Ketika sampai di peternakan tiram, Kyoto
menyelundupkan merpati itu dalam kotak makanannya."
Jupe membisu sejenak. Ia memandangi rotinya yang separuh lagi. Didorongnya roti itu menjauh darinya.
"Kalau Kyoto menemukan mutiara yang indah dalam salah satu tiram hari itu, ia menunggu sampai waktu makan
siang. Ketika waktu makan siang tiba, ia mengeluarkan merpati dari kotak makanannya, lalu mengikatkan mutiara itu
di kaki si merpati. Ada banyak merpati beterbangan di sekitar tempat itu. Tambahan satu merpati tidak akan ketahuan
oleh penjaga. Merpati pos itu akan terbang kembali ke tempat Parker Frisbee, sambil membawa mutiara baginya."
"Dan kalau Kyoto kebetulan tidak menemukan mutiara hari itu," kata Bob, "ia mengirim pesan pada Parker Frisbee
dalam bahasa Jepang bertuliskan, 'Tidak ada mutiara hari ini.' Seperti pesan yang kita temukan pada merpati berjari
dua yang telah mati diserang rajawali Miss Melody. Tapi..."
Ia terdiam. Bob mencoba membayangkan apa yang terjadi. "Tapi..." ia mengulangi dengan nada yang
mengandung keragu-raguan. "Tapi merpati berjari dua itu bukan milik Parker Frisbee," Jupe menyelesaikan kalimat Bob, "melainkan milik
Blinky. Paling tidak Blinky-lah yang membawa-bawanya di Kedai Kuda Laut waktu itu. Dalam sebuah sangkar yang
mirip, dan juga dengan bungkus kain katun yang sejenis."
Tanpa sadar, Jupe mencoel secomot rotinya yang tinggal separuh. "Coba lihat dalam buku yang satunya lagi, Bob,"
ujarnya. Buku kedua yang dipinjam Bob dari perpustakaan adalah sebuah atlas California bagian selatan. Jupe memasukkan
comotan roti ke dalam mulutnya, lalu membuka atlas yang menggambarkan peta Rocky Beach dan Santa Monica.
Kedua kawannya melongok dari belakang Jupe.
"Di sini Wills Beach." Jupe meletakkan telunjuknya yang gemuk pada sebuah titik pada garis pantai yang
membujur dari timur ke barat. "Jadi peternakan tiram berada di sini. Dan Parker Frisbee tinggal..." Ia menggerakkan
jarinya ke bawah mendekati Rocky Beach. "Di sini. Di sisi barat kota. Aku tahu karena aku melihat alamatnya di buku
telepon." Ia mengambil sebuah penggaris dari laci mejanya. Diletakkannya penggaris itu di antara dua titik tadi. "Nah, apa
artinya ini bagi kita"" tanyanya.
"Artinya jelas, dong," kata Pete. "Merpati harus terbang melintasi laut menuju rumah Frisbee, kalau ia memelihara
merpati itu di rumahnya. Merpati itu menempuh jarak sekitar enam mil."
"Jadi akan memakan waktu sekitar enam menit," tambah Bob. "Jadi yang harus dilakukan Frisbee hanyalah
menunggu di rumah pada siang hari. Ia cuma sebentar menunggu, lalu datang merpati membawa mutiara. Enak
benar!" "Kalau begitu bagaimana mungkin merpati berjari dua terbunuh di hutan kecil Miss Melody"" Pete keberatan.
"Maureen Melody tinggal di bagian timur kota." Ia menunjuk pada sebuah tempat di peta. "Itu jauh dari tempat
Frisbee. Kenapa merpati berjari dua itu melenceng begitu jauh dari rutenya""
"Memang, tempat itu memang di luar jalur penerbangan si merpati, dari peternakan ke rumah Frisbee." Jupe


Trio Detektif 37 Misteri Merpati Berjari Dua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggeser penggaris, sehingga membentuk garis antara peternakan tiram dengan rumah Miss Melody. "Tapi kalau
merpati itu tidak menuju rumah Frisbee..." Ia menunjuk ke suatu tempat beberapa mil dari Rocky Beach.
"Santa Monica," kata Bob.
"Blinky"" ujar Pete bertanya-tanya.
"Blinky tinggal di Santa Monica," Bob mengingatkan. "Ia mengatakannya sendiri waktu itu..."
"Jadi kalau merpati berjari dua itu milik Blinky," Jupe melanjutkan, "dan terbang kembali ke rumah Blinky di
Santa Monica, jelas si merpati akan melalui hutan kecil Maureen Melody. Begitulah kejadiannya sampai merpati itu
terbunuh oleh salah satu rajawali Miss Melody."
Ia tidak berkata-kata beberapa saat. Jari-jarinya meremas-remas sisa rotinya yang tinggal sedikit.
"Dan jelas itu bukan pertama kalinya merpati Blinky terbunuh dengan cara seperti itu," ia melanjutkan. "Miss
Melody bilang bahwa Edgar Allan Poe sudah tiga kali membawakan mutiara baginya. Jadi mungkin Edgar Allan Poelah yang menemukan mutiara itu terikat pada kaki merpati yang mati di hutan kecil Miss Melody."
"Nah, itu baru cocok," kata Pete menyetujui.
Jupe mengernyit. Ia menutup atlas.
"Mungkin cocok," ujarnya, "kalau Frisbee dan Blinky berkawan. Yaitu, kalau mereka memakai merpati bergantian
dari hari ke hari. Hari ini merpati Frisbee, besoknya merpati Blinky, begitu seterusnya. Inilah satu-satunya penjelasan
terhadap kelakuan Frisbee. Ia khawatir burung Blinky terbunuh. Jadi ia menyelinap ke dalam hutan kecil Miss Melody
pada malam hari. Ia tak sengaja bertemu aku di sana. Mungkin dia pikir akulah pembunuhnya, sehingga dia
menyerangku dengan tongkat kayu."
Jupe mencoel lagi secomot roti.
"Kemudian ia mendengar dari Maureen Melody bahwa kita mencoba menolongnya. Maka ia lalu bersikap ramah.
Diberinya kita hadiah dan dijanjikannya hadiah lagi kalau kita bisa menemukan pembunuh merpati Blinky."
Ia menggeleng. Matanya memandangi roti dan keju yang dipegangnya dengan telunjuk dan jempolnya. Ditelannya
potongan roti itu. "Tapi mereka tidak mungkin berkawan," katanya.
"Kenapa tidak"" tanya Bob. "Apa yang membuat kau berpikiran begitu""
Jupe menggumamkan sesuatu yang tidak
jelas. "Kalau mereka berkawan," ujarnya kemudian, "maka Blinky dan Kyoto juga berkawan." Kini Jupe memainkan
potongan roti yang terakhir. "Dan Blinky pasti sudah tahu di mana Kyoto tinggal. Tidak perlu ia menunggu di Kedai
Kuda Laut untuk menguntit Kyoto dalam mobil boks hijaunya."
Jupe berdiri. Ditelannya potongan roti terakhir, ia memandang Bob dan Pete berganti-ganti. "Usulku, kita semua
minta izin pada orang tua untuk berkemah semalam di Wills Beach."
Ia tahu mereka tidak akan sulit mendapatkan izin itu. Trio Detektif sudah sering berkemah di musim panas. Mereka
berjanji untuk berkumpul di pangkalan dua jam lagi. Jupe akan meminta Hans, salah seorang pekerja yang membantu
Paman Titus, untuk mengantar mereka ke Wills Beach dengan truknya. Sepeda dan kantung tidur mereka akan
diangkut di bak belakang truk.
"Besok pagi-pagi benar," kata Jupiter, "waktu Kyoto pergi ke peternakan tiram dengan mobil boks hijaunya, kita
sudah siap." "Siap apa"" tanya Pete. "Siap membuntutinya lagi""
"Tidak, tidak," sahut Jupe cepat. "Sekali ini kita akan memecahkan kasus ini, membuka misteri yang
menyelubunginya dengan cara yang sederhana dan praktis... tapi jitu!"
Matanya menjelajahi seluruh permukaan meja itu. Ia mencari separuh roti yang disisakannya tadi. Tidak ada lagi
roti yang tersisa. Piringnya bersih licin. Ia tersentak ketika menyadari bahwa sisa roti telah dihabiskannya tanpa
sengaja. "Akan kita gunakan Caesar untuk menjebak Blinky!" serunya.
Bab 13 PENUKARAN BERBAHAYA AKU tidak cocok untuk tidur di alam terbuka, Jupe menilai dirinya sendiri ketika ia terbangun dalam kantung
tidurnya esok paginya. Tubuhnya pegal-pegal. Lidah dan mulutnya terasa asin.
Ia melihat jam tangannya. Jam enam. Sudah waktunya untuk bersiap-siap. Ia membuka ritsleting kantung tidurnya.
Sambil menggeliat ia bangun.
Kedua kawannya sudah bangun. Pete berlutut di dekat sangkar kecil Caesar. Ia memberi jagung pada Caesar. Bob
menawarkan kue donat dan sekotak susu.
Jupe bimbang sejenak. Mengapa tidak, pikirnya. Sebuah donat tidak akan membuatnya gemuk. Dan saat itu ia
membutuhkan tenaga. Diminumnya susu perlahan-lahan. Minuman itu membantu menghilangkan rasa asin dari
mulutnya. Sepuluh menit kemudian anak-anak sudah membereskan perlengkapan mereka. Jupe membantu Pete membungkus
sangkar Caesar dengan kain katun tipis. Kemudian mereka mengikatkannya pada boncengan sepeda Jupe. Pete
menggantungkan tas wisata pada setang sepedanya.
Dengan membawa perlengkapan mereka di setang dan boncengan sepeda, anak-anak bersepeda sambil menjaga
keseimbangan. Perlahan-lahan mereka menyusuri jalan menanjak menuju pompa bensin. Di tempat itu mereka
menitipkan kantung tidur agar memudahkan perjalanan selanjutnya.
Setelah mengurangi muatan di pompa bensin, anak-anak dapat lebih cepat mengayuh sepeda mereka ke arah
peternakan tiram. Jupe ingat ada suatu tempat yang cocok untuk melaksanakan rencananya. Di pinggir jalan,
sepanjang sisi yang berlawanan dengan pantai, terdapat tumbuhan semak yang lebat. Tumbuhan semak itu masih lebat
sampai pada sebuah tikungan yang menuju peternakan tiram. Sedangkan pada sisi yang satu lagi terdapat sebuah
selokan lebar. Dengan demikian mobil tidak dapat berjalan menepi.
Anak-anak meminggirkan sepeda mereka, dan menyembunyikannya di balik semak belukar. Jupe membuka ikatan
sangkar Caesar. Bob mengambil tas wisatanya dari setang sepedanya sendiri. Mereka bertiga masing-masing
membawa pompa sepeda ke pinggir jalan. Segala peralatan itu ditaruh di pinggir jalan.
Bob membuka tasnya. Ia mengeluarkan sebungkus balon besar berwarna-warni dan dengan berbagai bentuk. Balonbalon itu dibagi tiga sama rata, masing-masing mendapat dua puluh. Mereka mulai bekerja. Dengan pompa sepeda,
mereka mengisi balon dengan udara. Dalam sekejap terkumpul enam puluh balon besar yang satu sama lain diikatkan
sehingga membentuk sebuah menara di pinggir jalan itu.
Untungnya tidak ada mobil yang lewat pagi itu. Dan juga angin hanya bertiup perlahan saja. Jupe bersyukur dengan
kondisi yang memudahkan mereka menyelesaikan pekerjaan itu.
Bob mengeluarkan lagi segulung kain putih yang d
isiapkannya tadi malam atas petunjuk Jupe. Anak-anak
membuka dan memasang gulungan itu di pinggir jalan. Dalam huruf-huruf merah tertulis pada kain itu:
SUMBANGKAN DANA ANDA UNTUK PERKUMPULAN PENYAYANG UNGGAS.
BELILAH BALON KAMI. Jupe melihat ke kiri kanan jalan. Tidak tampak satu kendaraan pun lewat.
"Kau sembunyi di sini, Bob," katanya. "Kau bisa melihat Pete dan aku. Kau bawa sapu tangan""
"Ya." Bob mengambilnya dari kantung celana jeansnya. "Akan kulambaikan seperti ini, Pete," kata Bob. "Ke
depan dan ke belakang. Ini artinya kau boleh membiarkan dia pergi."
Pete mengangguk ragu-ragu. Ia merasa canggung dengan tugas yang dipikulnya. Ia cuma berharap agar Kyoto tidak
menjadi gusar. Ingatan bahwa Kyoto seorang jagoan karate membuat hatinya ciut kembali. Kalau sampai Kyoto
mengenalinya sebagai anak yang dijumpainya di pangkalan barang bekas... Kalau sampai Kyoto tahu bahwa Pete
mencoba mengelabuinya... Pete tidak dapat membayangkan apa yang bakal terjadi.
Ia memakai kaca mata gelapnya. Dengan memakai itu ia merasa lebih aman. "Bagaimana aku tahu kalau dia
datang"" tanyanya dengan suara agak bergetar.
"Tiga suitan berarti mobil itu terlihat," kata Jupe memberi tahu. "Dua suitan lagi berarti mobil boks hijau sudah
melewatiku. Oke""
"Oke." Jupe menangkap ada keraguan dalam suara Pete. Ia tahu bahwa Pete memainkan peran yang paling berat. Jupe
sebenarnya ingin agar peran itu dipegangnya sendiri. Namun ia sudah dikenal oleh Kyoto. Waktu itu Jupiter-lah yang
berbicara dengan Kyoto melalui penerjemah. Kecil sekali kemungkinannya bahwa Kyoto akan melupakan Jupe,
karena baru beberapa hari yang lalu mereka bertemu.
"Jangan lupa pasang senyum, Pete," katanya, mencoba membesarkan hati kawannya. "Pasang senyum semanis
mungkin, dan banyak berbicara."
"Bicara apa""
"Apa saja," sahut Jupe. "Tidak ada pengaruhnya. Ia tidak bisa bahasa Inggris. Kalau kau ngomong ngaco sekalipun
ia tak akan tahu." "Oke," ujar Pete. Tapi ia masih merasa canggung.
Jupe melirik jam tangannya. Waktunya hampir tiba. "Siap siaga sekarang!" katanya memberi aba-aba.
Bob memanjat bukit kecil. Ia bertiarap di balik semak-semak sambil memegang sapu tangannya.
Jupe kembali ke tempat mereka menyembunyikan sepeda. Ia berlindung di balik semak-semak dekat tikungan.
Sambil membawa sangkar, ia dapat merasakan Caesar bergerak-gerak di dalamnya.
Pete berdiri di pinggir jalan sembari memegangi menara balon. "Sumbangkanlah dana Anda," gumamnya sambil
melihat spanduk bertuliskan huruf merah. "Dengan membeli balon ini berarti Anda telah menolong binatangbinatang." Ia mencari kata-kata yang enak didengar. Lalu ia mendesah. "Hhh... justru sekarang aku yang butuh
pertolongan. Sebentar lagi aku berhadapan dengan jagoan karate bersabuk hitam..."
Meskipun pagi itu cukup dingin, keringat dingin Jupe keluar membasahi pipi dan hidungnya. Ia khawatir
memikirkan keselamatan Pete. Dalam hati ia berdoa agar Pete tidak grogi sewaktu menjalankan tugasnya. Jupe lalu
memusatkan pandangannya ke jalan. Ia menunggu munculnya mobil boks hijau.
Lima menit. Sepuluh menit. Ia mulai cemas. Jangan-jangan Kyoto tidak bekerja hari ini. Jangan-jangan ada suatu
halangan yang membuatnya tidak pergi ke tempat peternakan tiram. Kalau ingat pada Pete, Jupe berharap mobil boks
hijau itu tidak muncul. Tiba-tiba yang ditunggu-tunggu muncul. Jupe memasukkan jari telunjuk dan jempolnya ke mulut. Ia bersuit tiga
kali. Mobil boks melewatinya. Jupe bersuit lagi, dua kali.
Begitu mobil boks membelok di tikungan, Jupe berlari kencang sambil membawa sangkar Caesar.
Pete mendengar tiga suitan. Ia membawa menara balon itu ke tengah jalan. Setelah mendengar lagi suitan dua kali,
direbahkannya menara balon itu melintang menutupi jalan. Dengan susah-payah ditahannya balon-balon itu supaya
tetap berada dalam posisi rebah.
Kini ia mendengar suara mobil mendekat. Mobil boks itu memperlambat kecepatannya. Lima meter dari tempat
Pete merebahkan menara balon itu, mobil boks berhenti.
Kyoto melongok ke luar jendela. Ia berteriak pada Pete dalam bahasa Jepang. Pete acuh tak acuh saja. Ia berlagak
ingin menyingkirkan balon-balon itu da
ri jalan. Padahal sebenarnya ia malah mau menjaga agar tidak ada celah yang
dapat dilewati mobil tanpa menabrak kumpulan balon itu.
Kyoto turun dari mobil boksnya. Ia mendatangi Pete. Di muka Pete, ia berhenti. Ditatapnya Pete dengan pandangan
bertanya-tanya. Ia lalu menendang balon yang terdekat dengannya. Balon itu berwarna hijau dan berbentuk panjang
seperti sosis. Balon itu mental kembali mengenai hidung Kyoto. Kyoto mengomel dengan kata-kata yang tidak
dimengerti Pete. Pete membuka kedua tangannya. Ia mencoba tersenyum, tapi yang muncul adalah cengiran. "Sumbangkanlah dana
Anda," katanya. "Dengan membeli balon ini berarti Anda menolong binatang."
Kyoto menggumamkan sesuatu dalam bahasa Jepang.
Pete seolah tidak menghiraukannya. Ia tetap saja nyengir. Banyak-banyak berbicara, pesan Jupe padanya.
Masalahnya sekarang ia tidak tahu mau bicara apa. Bicara apa saja, ia teringat pesan Jupe lagi. Tiba-tiba terlintas
sesuatu di benaknya. Syair lagu yang sering dinyanyikan ayahnya di rumah, pikirnya.
"Kokoh, bagai batu karang," kata Pete pada Kyoto. "Kokoh bagai batu karang." Ia berdehem. "Tidak goyah
diterjang ombak. Tidak lapuk dibakar terik mentari. Kokoh bagai batu karang. "
Pete tetap mempertahankan cengirannya. Ia terus nyerocos meski kata-katanya ngaco dan tidak ada hubungannya
dengan situasi saat itu. Toh Kyoto tidak mengerti, pikirnya.
Kyoto menendang lagi sebuah balon, kali ini balon bulat kuning. Balon itu mengambang, lalu mendarat di atas
balon-balon lainnya. "Kita akan terus bertahan," kata Pete sambil menunjuk pada spanduk putih bertuliskan huruf merah. "Kita akan
berjuang bersama. Bahu-membahu selamanya. Sekokoh batu karang... "
Jupe tinggal sepuluh meter lagi dari belakang mobil boks. Ia terus berlari kencang sambil membungkuk agar tidak
terlihat. Sepatu karetnya membuat suara langkahnya tidak terdengar. Bagian yang paling sulit adalah membuka pintu
belakang mobil boks tanpa terdengar. Dalam hati Jupe merasa beruntung karena Kyoto membiarkan mesin mobilnya
hidup. "... Bertempur bersama. Setegar batu karang. " Pete setengah berlagu dengan suara tinggi. Tidak apa-apalah sedikit
sumbang, dalam hati ia berkata. Yang penting bisa menyita perhatian Kyoto. Sehingga Jupe punya cukup waktu untuk
melakukan tugasnya. Kyoto merogoh kantungnya. Mau mengambil dompet" Ia mau membeli balon atau apa" Jantung Pete berdegup
kencang. Jupe perlahan-lahan memutar gagang pintu belakang mobil boks. Timbul suara berderak. Derakan itu tidak keras,
tapi seakan terdengar sekeras jeritan di telinga Jupe. Ia membuka pintu itu.
Dari tempat persembunyiannya di bukit, Bob melihat Jupe melongok ke dalam mobil boks. Bob menggenggam
sapu tangannya makin erat.
Kini Jupe duduk di belakang mobil boks. Ada kotak terbungkus kain katun tipis di dalam. Jupe meletakkan sangkar
Caesar di sebelah kotak itu. Diletakkan berdampingan, kedua kotak itu sukar dibedakan. Bahkan kain katun tipisnya
pun sama persis. Perlahan-lahan Jupe mengangkat kotak Kyoto. Sambil mendekap kotak Kyoto di dadanya, Jupe
menggeser sangkar Caesar ke tempat kotak Kyoto semula berada.
"Kokoh bagai batu karang..." Pete terdiam. Tenggorokannya serasa tersumbat.
Kyoto tidak mengeluarkan dompetnya. Ia mengeluarkan sebilah pisau lipat! Terkena sinar matahari pagi, pisau itu
nampak berkilat-kilat dan mengancam.
Pete meneguk ludah. Jupe meraih pintu belakang mobil boks. Tiba-tiba terdengar suara letusan. Jupe terlompat. Seolah-olah ada sebuah
bom meledak di kakinya. Merpati dalam kotak yang didekapnya bersuara. Jupe berdiri mematung, menunggu.
Terdengar suara letusan lagi.
"Kokoh bagai balonku..." Pete mulai ngawur. Ia betul-betul kebingungan.
Kyoto menusukkan pisaunya pada setiap balon di dekatnya. Setelah balon di sekitarnya meletus semua, ia menarik
tali pengikat seluruh balon itu. Balon-balon yang lain tertarik mendekat ke arahnya. Lagi-lagi dipecahkannya balon
demi balon yang dekat dengannya.
Pete cuma bisa melongo melihat tindakan Kyoto.
Jupe menutup pintu belakang. Ia menekan pintu itu, untuk meyakinkan dirinya bahwa pintu sudah tertutup rapat.
Sambil mendekap kotak Kyoto, ia mundur m
enjauhi mobil boks. Pete melihat ke tempat Bob bersembunyi. Tidak sabar ia menanti isyarat yang diberikan Bob. Makin lama
menunggu makin gemetar dia.
Kyoto masih menusuki balon-balon Pete. Sudah hampir setengahnya pecah sekarang.
Bob melihat Jupe mundur menjauhi mobil boks. Ia melihat pula Jupe berputar, lalu berlari kencang. Sesaat
kemudian Jupe sudah lenyap di balik semak-semak di tepi jalan.
Bob berdiri, ia melambai-lambaikan sapu tangannya ke depan dan ke belakang.
"Kita akan terus bertahan," kata Pete dengan suara serak. Ia hampir putus asa. Kyoto sudah memecahkan balonnya
yang terakhir. Kemudian ia melihat isyarat Bob. Bergegas Pete kabur. Ia menyelusup ke balik semak-semak terdekat.
Tidak dipedulikannya lagi Kyoto.
Kyoto dengan gusar kembali ke mobil boksnya. Ia masuk sambil mengumpat-umpat dalam bahasa Jepang.
Pete terduduk di balik semak-semak. Ia tidak menggubris lagi suara mobil boks Kyoto yang berlalu dari situ. Yang
penting tugasnya sudah beres. Beberapa kali ia menarik napas panjang. Kepalanya ditelungkupkan di antara kedua
lututnya. Jupe keluar dari tumbuhan semak tempatnya bersembunyi. Ia mencari-cari Pete.
"Pete, Pete. Di mana kau""
Bob berlari-lari menuruni bukit kecil ke arah Jupe. Ia menunjuk-nunjuk ke suatu tempat di tepi jalan.
Jupe melihat ke arah yang ditunjuk Bob. Ia menguak semak-semak di situ. Tampaklah olehnya Pete sedang duduk,
lemas. Jupe tahu betapa berbahayanya tugas yang dipikul Pete. Menghentikan mobil boks Kyoto serta menahannya
cukup lama, agar Jupe bisa menukar sangkar burung merpati itu, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah.
"Kau tidak kenapa-kenapa, kan"" tanyanya. Ia menepuk pundak Pete. "Kau menyelesaikan tugasmu dengan
sempurna, Pete. Kau baik-baik saja, kan""
Pete menggeleng lambat-lambat. "Hhh," desahnya. "Waktu dia mengeluarkan pisaunya... jantungku serasa mau
copot!" Ia menatap Jupe ketika Bob sampai dan bergabung dengan mereka. "Cukup sekali saja ini terjadi. Tidak berani lagi
aku begini. Amit-amit!"
Bab 14 NALURI CAESAR JUPITER membimbing Pete keluar dari semak. Ia merasa tidak enak karena telah memberikan pekerjaan yang
menegangkan pada Pete. Demikian pula perasaan Bob. Tetapi pada saat itu pula ia merasa bahwa mereka menang.
"Paling tidak langkah pertama kita berhasil," katanya kemudian. "Kyoto meneruskan perjalanannya ke peternakan
tiram tanpa sadar bahwa merpati yang dibawanya adalah Caesar."
"Oke," desah Pete. "Langkah pertama berhasil. Lalu apa berikutnya""
Jupe sudah membuka kain katun tipis dari kotak milik Kyoto. Di baliknya terdapat sangkar berisi seekor merpati,
sesuai dugaan mereka. "Tolong bantu aku, Bob," pintanya.
Bersama-sama mereka membuka pintu sangkar. Dengan hati-hati mereka mengeluarkan merpati pos dari sangkar
itu. Bob memegang merpati itu dengan kedua tangannya. Sementara Jupe mengeluarkan sepotong pita aluminium dan
kartu Trio Detektif dari kantungnya. Ia melipat kartu dan membungkusnya dengan pita aluminium. Kemudian
diikatkannya pita aluminium itu pada kaki si merpati.
"Kau mau melepaskannya, Pete"" tanya Jupe. Sengaja ia minta Pete untuk melakukannya. Ia berharap, dengan
begitu Pete dapat pulih dari perasaan terguncang tadi.
Penyelidik Dua mengiakan. Bob menyerahkan merpati itu padanya. Pete memegang si merpati dengan tangan
kirinya. Tangan kanannya mengelus-elus merpati itu. "Sudah waktunya kau kembali," katanya pada si merpati. Ia
mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi. Dibebaskannya merpati itu. Merpati itu langsung terbang tinggi.
"He, lihat," seru Pete. "Merpati itu langsung tahu jalan pulang ke tempatnya."
Pete benar. Bagaikan roket, merpati itu melesat ke arah selatan.
Hampir dua jam kemudian Trio Detektif tiba di pangkalan barang bekas. Mereka sempat mampir di pompa bensin
untuk mengambil kantung tidur mereka. Dengan membawa muatan kantung tidur, perjalanan mereka bersepeda
menjadi lambat. "Aduuh, dari mana saja kalian"" Begitu Bibi Mathilda menyambut mereka. "Aku khawatir kalian seharian main di
pantai. Ini, Paman Titus beli sesuatu tadi..."
Paman Titus membeli sekotak besar sekrup bekas dalam berbagai ukuran. Sekrup-sekrup itu harus di
pilih dan dipisahkan sesuai dengan ukurannya.
Jupe menghela napas. Tapi ia tidak kesal karena harus bekerja. Malah ini suatu keuntungan baginya. Masih dua jam
sebelum tengah hari. Sambil memisahkan sekrup, mereka dapat menghabiskan waktu tanpa terasa.
Anak-anak mulai bekerja dengan tidak sabar. Bukan tidak sabar bekerja, tapi tidak sabar menunggu. Bolak-balik
mereka melihat ke langit. Kuping mereka terpasang, kalau-kalau ada suara kepakan sayap burung.
Jam sebelas tiga puluh Paman Titus dan Bibi Mathilda pergi belanja. Jupe tahu, biasanya mereka baru kembali
setelah jam dua. Anak-anak bebas berbuat apa saja di pangkalan itu.
Mereka mulai bekerja dengan santai, sesekali diselingi dengan bercanda. Makin siang mereka makin santai bekerja.
Lewat tengah hari mereka duduk-duduk saja di meja kerja Jupe yang terletak di bengkelnya. Kepala mereka
tertengadah. Menunggu. Jupe sebentar-sebentar melihat jam tangannya.
Pete terlompat ketika mendengar suara kepakan sayap burung.
Seekor burung gereja lewat. Sambil tersipu-sipu Pete duduk kembali.
"Tentu saja, kita tidak tahu kapan tepatnya Kyoto melepas Caesar." Jupe berbicara pada dirinya sendiri. "Mungkin
dia makan siang dulu, baru..."
Ia terhenti. Pete sudah berdiri lagi. Begitu pula Bob. Terlihat kini. Seekor burung yang ramping dengan bulu abuabu mengkilat terbang di atas pangkalan.
"Caesar!" seru Pete sambil melambai pada merpati itu. "Caesar," panggilnya. "Caesar."


Trio Detektif 37 Misteri Merpati Berjari Dua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Caesar melihatnya. Burung itu menukik ke arah Pete. Sambil mengepak-ngepak Caesar mendarat di tengah-tengah
meja kerja Jupe. Pete yang pertama kali meraihnya. Ia mengangkat Caesar dengan kedua tangannya. Ditempelkan merpati itu ke
pipinya. "Caesar," bisiknya. "Kau pintar sekali, Caesar. Kau bisa pulang sendiri ke sini."
Jupe meneliti kaki Caesar. "Wah," serunya kegirangan. "Lihat! Lihat!" Dengan hati-hati ia melepas pita aluminium
dari kaki Caesar. Dibukanya lipatan pita aluminium itu. Ia mengambil isinya. Ditunjukkannya apa yang diperolehnya
dari lipatan pita logam itu.
Sebutir mutiara besar berkilau-kilau.
"Ini dia buktinya!" seru Jupe lagi. Ia memegang mutiara itu dengan jempol dan telunjuknya. "Teori kita tentang
Kyoto, Parker Frisbee dan merpati berjari dua ternyata benar dan..."
"Serahkan itu padaku!"
Suara itu datang dari suatu tempat di dalam pangkalan.
Trio Detektif menengok ke arah datangnya suara. Wajah mereka pucat pasi.
Seorang laki-laki berdiri di antara tumpukan barang rongsokan. Ia memakai kaca mata gelap serta jaket kulit hitam.
Sulit melihat wajahnya karena tertutup brewok serta kumis yang lebat.
Orang itu mendatangi anak-anak perlahan-lahan. Tangan kanannya terangkat setinggi pinggangnya. Di tangan itu
tergenggam sebuah pistol berlapiskan nikel.
Pete merasa pistol itu dibidikkan ke arahnya. Untuk kedua kalinya ia merasa jantungnya mau copot hari itu. Tanpa
disadarinya, ia melangkah mundur.
Orang itu terus melangkah. Ia mendekati Jupe. "Serahkan itu padaku!" bentaknya. "Mutiara itu!"
Kali ini Jupe dapat mengendalikan dirinya. Ia tidak melihat ke arah pistol. Tapi ia memperhatikan kaki orang itu.
Tanpa ragu-ragu ia memasukkan mutiara ke mulutnya. Dengan lidahnya, mutiara itu diletakkannya di pinggir
mulutnya, seperti orang mengulum permen.
"Kalau kau berani mendekat, akan kutelan mutiara ini," kata Penyelidik Satu. Suaranya terdengar seperti agak
menggumam. Tapi kali itu Jupe luar biasa tenangnya.
Tangan orang itu bergetar. Mendadak diterjangnya Jupe. Ia mencengkeram leher Jupe. Seakan-akan ia ingin
mencegah agar Jupe tidak menelan mutiara itu.
Bob bergerak cepat. Ditariknya bahu orang itu. Ia berusaha melepaskan cengkeraman orang itu dari leher Jupe.
Pete belum sadar apa yang terjadi. Ia masih mundur selangkah. Hampir saja ia terjerembap karena tersandung
ember. Sambil mencengkeram leher Jupe dengan satu tangan, orang itu memukul Bob dengan tangannya yang satu lagi.
Dada Bob terasa sesak karena terpukul gagang pistol itu. Bob surut ke belakang, kesakitan. Tapi ia maju lagi.
Ditariknya kerah jaket orang itu.
Jupe memberontak mencoba melepaskan cengkeraman di lehernya. Ia menutup mulutnya rapat-rapat. M
utiara masih tersimpan aman dalam mulutnya.
"Menunduk, Bob!" teriak Pete.
Penyelidik Dua baru sadar dari rasa terkejutnya. Bob menunduk mengikuti petunjuknya. Pete melemparkan ember
sekuat tenaganya. Ember itu melesat dan mendarat tepat di tengkuk orang itu.
Pistol terlepas dari tangan orang itu. Ia menggeloyor lemas hingga berlutut. Kaca matanya terlepas.
"Hhh, sial nasibku," katanya pada diri sendiri. Setelah berkata begitu ia berkedip. (Kedip.) Dan ia terus berkedipkedip sampai Jupe memungut pistolnya.
"Pistol ini ada pelurunya"" tanya Penyelidik Satu.
"Tidak. Tidak. Pistol itu kosong. Aku sendiri takut memegang senjata berpeluru."
Mata kanan orang itu sebentar-sebentar berkedip. (Kedip. Kedip.) Nyata sekarang bahwa ia tidak bisa
mengendalikan mata kanannya. Kedipan-kedipan itu terjadi karena gangguan saraf mata kanannya. Dengan lemas ia
bangkit. Didatanginya Jupe. Pete sudah siaga melempar embernya lagi.
"Tidak perlu begitu," katanya melihat gelagat Pete. "Aku mengaku salah. Aku sedang butuh sekali uang. Ini garagara aku ikut judi di pacuan kuda. Aku jadi berutang banyak. Karena itu aku harus bisa menghasilkan uang dalam
waktu singkat." "Ternyata rajawali piaraan Maureen Melody menghalangi rencanamu," kata Jupe menambahkan. "Kami sedang
beruntung. Merpati yang kami lepas dari mobil boks Kyoto tadi sampai dengan selamat ke tempatmu. Berarti kau
memperoleh kartu yang kami ikatkan di kakinya."
Penyelidik Satu itu mengeluarkan mutiara dari mulutnya. Ia menyimpannya dengan hati-hati dalam kantungnya.
Sebenarnya ia merasa kasihan pada orang itu, yang terlihat sangat gugup. Brewoknya yang lebat basah oleh keringat.
"Kenapa tidak kau lepas saja itu"" tanya Jupe padanya. "Maksudku brewok palsu itu."
"Baiklah," Blinky menyetujui.
Ia terlihat lugu dan polos tanpa memakai brewok palsu itu. Sekarang ia tidak lagi mirip Parker Frisbee. Apalagi
setelah Jupe membantunya melepas jaket hitamnya. Tubuhnya jauh lebih kurus dari tubuh Parker Frisbee.
Blinky berdiri dengan pasrah sambil berkedip-kedip. Bob dan Pete mengawasinya. Sementara Jupe masuk ke
kantor untuk menelepon Chief Reynolds di kantor polisi.
Bab 15 LAPORAN PADA MR. SEBASTIAN
"BLINKY mengakui segala perbuatannya, dan Chief Reynolds menahan ketiga orang itu," ujar Jupe. "Chief
Reynolds menahan Parker Frisbee, Kyoto, dan Blinky. Frisbee dan Kyoto sudah keluar dengan uang jaminan. Tapi
Blinky lebih suka tinggal dalam penjara untuk sementara ini. Katanya, dengan mendekam di penjara, ia tidak tergoda
lagi untuk berjudi. Kuduga ia juga takut pada balasan Frisbee dan Kyoto karena ia ikut nimbrung tanpa diundang
dalam pencurian mutiara dari peternakan tiram itu."
Trio Detektif sedang duduk mengelilingi meja bundar besar di ruang tamu Hector Sebastian. Mereka menceritakan
kisah tentang mutiara dan merpati. Mr. Sebastian mendengarkan sambil mengisap pipanya. Sesekali ia mengajukan
pertanyaan yang dianggapnya perlu.
"Bagaimana Blinky bisa tahu kegiatan yang dilakukan Frisbee dan Kyoto"" tanya Mr. Sebastian.
"Dulunya ia bekerja untuk Parker Frisbee," Bob menjelaskan. "Blinky-lah yang mengurusi merpati-merpati Frisbee
serta membantu-bantu di tokonya. Ia dipecat karena ketahuan tidak jujur dalam mengatur uang. Saat itu Blinky sudah
mencium kecurangan Frisbee. Ia tahu bahwa Frisbee memperoleh mutiara itu dengan cara yang tidak halal."
"Jadi sesudah Frisbee memecatnya," Pete menambahkan, "Blinky membayang-bayanginya terus sampai ia paham
betul bagaimana Frisbee melakukan pencurian itu."
"Ya, dengan menaruh merpati pos di belakang mobil boks Kyoto." Hector Sebastian mengeluarkan pipa dari
mulutnya. Ia batuk-batuk kecil. "Dan Blinky punya ide, yaitu dia sendiri bisa memanfaatkan cara itu. Untuk itu ia
perlu memiliki beberapa ekor merpati. Begitu kan, Jupe""
Penyelidik Satu mengiakan. "Ada dua hal yang menguntungkan Blinky. Pertama, Parker Frisbee seorang pedagang
yang cekatan dan tidak terlalu serakah. Tidak setiap hari ia menitipkan merpatinya di belakang mobil boks Kyoto.
Hanya pada hari-hari tertentu saja ia menaruh merpatinya di mobil boks itu. Kadang-kadang di pagi hari. Kadangkadang
di malam hari. Blinky memanfaatkan kesempatan itu dengan menyamar sebagai Frisbee dan meletakkan
merpatinya sendiri di mobil boks Kyoto.
"Dan setiap hari Kyoto mengecek mobil boksnya untuk meyakinkan dirinya. Frisbee sangat berhati-hati. Ia
berusaha agar sesedikit mungkin bertemu muka dengan Kyoto. Ia membayarnya sebulan sekali dengan meletakkan
amplop berisi uang di bawah kain katun tipis pembungkus sangkar merpati. Dengan begitu ia tidak harus bertemu
langsung dengan Kyoto..."
"Kecuali jika ada masalah," sela Bob. "Seperti yang terjadi ketika kami datang membawa Caesar ke toko
perhiasannya. Frisbee harus bicara langsung dengan Kyoto tentang masalah itu. Itulah sebabnya kami berjumpa
dengan Parker Frisbee yang baru keluar dari rumah Kyoto waktu itu."
"Dan ia mentraktir kalian makan masakan Jepang." Penulis kisah misteri itu memasukkan lagi pipa ke mulutnya. Ia
mengepulkan asap sambil memandang langit-langit. "Lalu apa hal kedua yang menguntungkannya, Jupe""
"Kyoto berkebangsaan Jepang," sahut Jupe. "Bagi Kyoto, semua orang Amerika bertubuh pendek, gemuk, dengan
brewok lebat nampak sama saja. Apalagi kalau ia cuma melihat dari jauh di bawah sinar lampu tamannya yang redup.
Dengan memakai brewok palsu, Blinky dapat mengelabui Kyoto. Blinky menaruh merpatinya di mobil boks Kyoto.
Dan Kyoto akan mengira dia Frisbee."
"Tetapi Blinky harus tahu persis jadwal Frisbee menaruh merpatinya di mobil boks Kyoto, kan"" Mr. Sebastian
batuk lagi. Ia meletakkan pipanya di pinggir asbak.
"Tepat," Jupe menyetujui. "Untuk beberapa lama semuanya berjalan lancar. Blinky tidak menjumpai masalah apa
pun. Merpati-merpatinya membawakan mutiara untuknya. Itu terus berlangsung sampai rajawali Maureen Melody
mulai membunuhi merpati-merpati Blinky."
"Hmm, kurasa Blinky kenal dengan Miss Melody, atau yah, tahu tentang dia." Mr. Sebastian mengambil lagi
pipanya. "Blinky kan pernah bekerja pada Frisbee. Dari situ Blinky menemukan merpatinya terbang melalui hutan
kecil Miss Melody dalam perjalanan kembali ke Santa Monica. Akibatnya, Blinky meracuni rajawali Miss Melody."
"Kemudian ada persoalan bagi Blinky." Jupe menoleh pada Bob. "Kau saja yang menceritakan ini, Bob. Kau kan
yang menemukan cat baru di kotak pos Kyoto di Little Tokyo."
"Blinky mendapat kesulitan besar waktu kami bertemu dengannya di Kedai Kuda Laut." Bob mengambil alih
pembicaraan, "Ia berutang pada bandar judi. Ia mulai putus asa. Dalam kepanikan ia pergi ke rumah Kyoto untuk
menaruh merpatinya di mobil boks orang Jepang itu. Ternyata mobil boks Kyoto tidak dijumpainya. Rumah itu
kosong. Kyoto sudah pindah. Blinky makin panik. Satu-satunya jalan ialah dengan membuntuti Kyoto sewaktu ia
pulang dari bekerja. Waktu itu Blinky membawa merpati berjari dua. Tapi ia begitu gugupnya sehingga merpati itu
tertinggal sewaktu ia membuntuti mobil boks hijau Kyoto."
"Itulah yang membuatku heran." Mr. Sebastian menyulut lagi pipanya. Hidungnya berkerut ketika mencium bau
asap tembakau yang tidak sedap itu. "Apa yang dilakukan Blinky kemudian" Buat apa ia menukar merpati berjari dua
dengan Caesar di pangkalan barang bekas""
"Kami pun bingung," kata Jupe berterus terang. "Jawabannya baru kami peroleh setelah Blinky
mengungkapkannya pada Chief Reynolds. Blinky mengikuti Kyoto ke rumah barunya. Untuk lebih meyakinkan
dirinya, ia mengamat-amati rumah itu sampai malam. Tak lama kemudian ia melihat Frisbee datang dan meletakkan
sangkar merpatinya di mobil boks Kyoto. Itu sama sekali di luar dugaan Blinky. Tidak biasanya Frisbee menaruh
merpatinya pada hari itu. Dan itu memang suatu kebetulan, karena sehari sebelumnya Kyoto mengambil cuti kerja.
"Padahal Blinky saat itu benar-benar panik. Ia butuh uang. Dan waktunya mendesak. Karena itu ia nekat. Ia
menunggu sampai lampu rumah Kyoto padam. Lalu dicurinya merpati Frisbee dari mobil boks. Sebelumnya ia sudah
menelepon pelayan Kedai Kuda Laut. Pelayan itu memberi tahu bahwa kami membawa kotak yang ditinggalkannya.
Jadi Blinky pergi ke pangkalan barang bekas untuk mengambilnya."
"Dan ia tahu tempat tinggalmu dengan bertanya pada seseorang di sekitar sini. Itu mu
dah sekali," kata Hector
Sebastian sambil mengepulkan asap dari mulutnya.
"Waktu itu Blinky kebingungan lagi," ujar Pete. "Dalam sangkar besar di pangkalan ditemuinya merpati berjari
dua. Tapi, Caesar, merpati Frisbee, harus diapakan""
"Ia tidak dapat membebaskannya," kata Jupe. "Sebab kalau dibebaskan, Caesar akan kembali ke rumah Frisbee
malam itu. Tentu Frisbee akan curiga."
"Jadi karena itu ia tinggalkan Caesar dalam sangkar buatanmu, Jupe," ujar penulis kisah misteri itu. "Dan
membawa merpati berjari dua dalam sangkar milik Frisbee. Baru kemudian ia kembali lagi ke Little Tokyo untuk
menaruh sangkar berisi merpati berjari dua di dalam mobil boks Kyoto. Hmm, rumit juga."
"Oh, tidak terlalu rumit kukira, Mr. Sebastian," sanggah Jupe dengan penuh percaya diri. "Sebaliknya, itu
sederhana sekali kalau kita sudah paham persoalannya. Mula-mula Blinky membuntuti Kyoto sampai di rumah Kyoto.
Ia melihat Frisbee menaruh merpati milik pedagang permata itu, yaitu Caesar, di mobil boks Kyoto. Blinky mencuri
Caesar, lalu menukarnya dengan merpati berjari dua di pangkalan. Dan kemudian ia kembali ke Little Tokyo untuk
menaruh merpati berjari dua di mobil boks Kyoto. Sederhana, kan"
"Esoknya Blinky menunggu merpati berjari dua kembali ke rumahnya. Tapi yang ditunggu-tunggu tidak muncul.
Merpatinya telah dibunuh oleh rajawali Miss Melody."
"Sial nasibnya," komentar Pete.
"Saking kesalnya, Blinky meracuni rajawali Maureen Melody," Bob melanjutkan. "Ia melakukannya sewaktu
pertama kali kami mengunjungi rumah Miss Melody. Ia melihat kami membawa Caesar. Pasti waktu itu juga
dilihatnya Edgar Allan Poe membawa sebutir mutiara di paruhnya."
"Tentu darahnya naik ke kepala melihat itu semua." Hector Sebastian tertawa serak. Tawanya berubah menjadi
batuk. Ditaruhnya lagi pipa di pinggir asbak. "Kasihan Blinky. Ia begitu sebalnya pada burung murai itu sehingga
dipukulnya sampai mati."
"Blinky masih di dalam hutan kecil itu ketika kami pergi," kata Jupe. "Ia melihat kami masih membawa Caesar.
Dan ketika mengikuti kami, ia menjadi ketakutan sekali. Karena kami langsung menuju toko perhiasan Parker
Frisbee." "Aku ingat, mobil hitam Blinky diparkir di tepi jalan waktu kami keluar dari toko," kata Pete. "Waktu itu kami
masih tetap membawa Caesar."
"Blinky yang malang," komentar Mr. Sebastian. "Ia pasti kebingungan sekali. Caesar adalah merpati milik Frisbee.
Tetapi kenapa kalian masih membawa-bawanya, pasti ia berpikir begitu."
"Frisbee tidak mengatakan apa-apa pada kami," kata Jupe. "Ia terlalu cerdik untuk memberi tahu bahwa Caesar
adalah miliknya. Ia berpura-pura tidak tahu siapa pemilik Caesar. Dan bahkan ia mencoba mengelabui kami dengan
mengatakan bahwa Caesar merpati betina dan merpati betina tidak diikutsertakan dalam perlombaan."
"Ah, kalau saja Blinky secerdik itu," kata Mr. Sebastian, "ia akan mampu bersandiwara dengan kepala dingin. Dan
itu akan membuat kasus ini lebih sulit untuk dipecahkan."
"Ia tidak dapat bersandiwara dengan baik. Terlalu gugup orangnya," kata Bob. "Ia ingin membuat kita curiga pada
Frisbee. Tapi di lain pihak ia ingin menenangkan Frisbee. Jadi ia menyamar sebagai Frisbee lalu menodong Jupe di
Bank Amco. Caesar diambilnya dari Jupe dengan paksa. Blinky lalu membebaskan Caesar dengan harapan Caesar
kembali sendiri ke tempat Frisbee. Jadi Frisbee tidak khawatir karena kehilangan merpatinya."
"Ya. Blinky waktu itu mengelabuiku," Jupe mengakui. "Tapi itu wajar saja. Bayangkan, pada jam sembilan malam
di tempat parkir Bank Amco yang gelap. Dan aku seorang diri. Aku benar-benar mengira ia adalah Frisbee.
Brewoknya yang lebat membuatku tidak ragu lagi. Cuma Frisbee yang punya brewok selebat itu. Begitu pula waktu
aku diserang di hutan kecil Miss Melody."
"Namun ternyata Blinky salah perhitungan," Bob mengingatkan. "Caesar adalah burung merpati yang terlatih.
Caesar cepat menyesuaikan diri. Jadi setelah dilepas Blinky, Caesar bukan kembali ke tempat Frisbee. Tetapi kembali
ke pangkalan barang bekas."
"Ya, aku sendiri tidak menduga bahwa Caesar secepat itu menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru,"
komentar Mr. Sebas tian. "Lalu, kapan kau sadar bahwa itu bukan Frisbee, Jupe"" tanya penulis kisah misteri itu. "Apa yang
menyebabkanmu berpikiran bahwa itu mungkin Blinky yang sedang menyamar""
"Waktu kami menemukan jejak yang mirip dengan kaki Blinky di kediaman Miss Melody kami sudah mulai
curiga," ujar Jupe. "Tapi aku harus berterima kasih pada Pete yang memberikan ilham padaku. Ketika kami
mengamat-amati peternakan tiram siang itu, Pete memakai kaca mata gelap. Tiba-tiba aku sadar. Aku tidak dapat
melihat mata Pete di balik kaca mata gelap itu. Itulah satu-satunya yang tidak dapat disembunyikan Blinky. Matanya
yang selalu berkedip. Karena itu ia harus memakai kaca mata gelap untuk menyembunyikannya. Sekalipun pada
malam hari." Hector Sebastian mengambil pipanya. Hidungnya mengendus-endus. "Dan bagaimana kabar Maureen Melody
sekarang"" tanyanya. "Ceria seperti murai, kuharap."
Pete tersenyum. "Ya. Sekarang tidak ada lagi yang meracuni rajawalinya. Tapi ia benar-benar kehilangan Edgar
Allan Poe. Kini tidak ada lagi yang membawakan oleh-oleh mutiara baginya. Miss Melody tidak mau tahu bahwa itu
cuma suatu kebetulan. Tampaknya kasus pencurian mutiara ini sama sekali tidak menarik perhatiannya. Ia masih saja
mengomel karena Ralph Waldo Emerson tidak membawakan mutiara baginya."
Hector Sebastian mengepulkan asap dari hidungnya. Langsung ia terbatuk-batuk. "Aku benci pipa ini," katanya.
"Tapi mau tak mau aku harus mengisapnya."
"Kenapa"" Jupe terheran-heran.
"Karena tadi pagi aku makan petai masakan Don," kata Mr. Sebastian. "Kali ini Don sedang bereksperimen dengan
masakan Melayu dari daerah Asia sana. Aku sendiri tidak tahu dari mana Don memperoleh bahan-bahannya. Rasanya
lumayan. Tapi baunya minta ampun. Sampai sekarang aku masih merasakan baunya. Karena itu aku terus mengisap
pipa yang tidak enak ini."
Pete menghirup udara dalam-dalam. Tercium aroma masakan yang sedap dari dapur. "Bau yang mana"" tanya Pete.
"Oh, bukan yang ini," sahut Hector Sebastian. "Sudah kularang Don memasak petai lagi. Katanya dia akan
membuat masakan Melayu yang lain lagi. Bukan petai."
Hoang Van Don muncul beberapa menit kemudian. Ia membawa sebuah nampan dengan tangan kanannya. Asap
mengepul-ngepul dari piring besar berisi makanan.
"Jagung rebus," kata Van Don dengan bangga. "Dipreteli dari bonggolnya, lalu dicampur dengan kelapa dan gula.
Sederhana tapi sehat dan nikmat."
"Apa ini juga membuat mulut menjadi bau"" tanya Mr. Sebastian.
"Kujamin tidak!" sahut Van Don cepat. "Seratus persen tidak."
"Oke, silakan Anak-anak," Mr. Sebastian menawarkan.
Pete yang nomor satu mencicipi. "He, rasanya tidak kalah dengan popcorn, " serunya. Ia mengambil dua sendok
besar jagung dan segera makan dengan lahap.
Bob mengikuti jejak Pete. Disendoknya jagung ke dalam piringnya.
Melihat kedua kawannya, air liur Jupe mengalir juga. Tapi ia ingat berat badannya.
"Apa jagung ini membuat gemuk"" ia bertanya pada Van Don.
Hoang Van Don tertawa. "Sama sekali tidak, sekalipun kau makan banyak. Tidak mengandung lemak. Pokoknya
sangat menyehatkan. Makanan asli selalu menyehatkan."
"Menyehatkan bagaimana"" tanya Jupe lagi. "Tampaknya makanan ini sederhana sekali."
"Tidak percaya"" Van Don balas bertanya pada Jupe. "Lihat saja burung-burung merpati itu. Mereka makan
jagung. Tidak ada yang kegemukan. Malah mereka kuat sekali terbang jauh."
Jupe langsung mengisi piringnya penuh-penuh.
TAMAT Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Manusia Serigala Rawa Demam 2 Candika Dewi Penyebar Maut X I Pedang Langit Dan Golok Naga 39

Cari Blog Ini