Ceritasilat Novel Online

Pelangi Dilangit Singosari 25

02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 25


"Aku akan segera mulai" geram Panji Bawuk. Matanya menjadi semakin merah, dan bahkan kini parangnya menjadi gemetar.
Ken Arok pun telah mempersiapkan dirinya sepenuhnya. Meskipun ia belum membenturkan senjatanya, tetapi ia telah mendapat penilaian, betapa kuatnya tangan Panji Bawuk yang dengan sekali ayunan parangnya, mampu merobohkan sebatang pohon kemiri.
Selangkah demi selangkah Panji Bawuk mendekati lawannya dengan pandangan matanya yang memancarkan kebencian. Kini parangnya telah bergerak-gerak dan sejenak kemudian ia tegak sambil berkata, "Lihatlah sekali legi betapa cerahnya sinar matahari. Sebentar lagi kau akan kehilangan kesempatan untuk menikmatinya. Kau akan segera terjun ke dalam daerah maut yang gelap pekat. Dan bangkaimu akan ditarang di atas pohon di belakang rumah ini".
Ken Arok masih tetap berdiam diri. Tetapi ia sudah tidak lagi melangkah surut.
Kini jarak mereka tinggal tidak lebih dari tiga langkah. Panji Bawuk memandangi parangnya sejenak, kemudian merendahkan lututnya sambil berkata "Jangan mimpi. Hadapi hari matimu dengan jantan".
Ken Arok sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia menyadari keadaannya sepenuhnya. Karena ia tidak ingin berkelahi seperti orang-orang yang kehilangan akal, maka ia harus berbuat dengan tepat.
Itulah sebabnya, maka ketika kemudian ia mendengar Panji Bawuk berteriak nyaring sambil meloncat seperti loncatan harimau lapar sambil mengembangkan kuku-kukunya, Ken Arok sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Ia bertekad untuk membuat Panji Bawuk menyadari keadaan, dengan siapa ia berhadapan. Meskipun Ken Arok tidak dapat meyakinkan dirinya, bahwa ia akan dapat menguasai keadaan, namun dengan demikian, maka Panji Bawuk akan terpaksa membuat pertimbangan-pertimbangan yang baru.
Panji Bawuk yang matanya menjadi semakin liar itu, melihat Ken Arok tidak bergerak dari tempatnya.Sekilas ia mencoba menebak, kenapa anak itu terpaku saja di tempatnya. Namun oleh kepercayaan kepada diri sendiri yang berlebih-lebihan, maka Panji Bawuk menyangka, bahwa Ken Arok tidak sempat untuk mengelakkan dirinya. Karena itu, ketika ia melihat pedang Ken Arok bersilang di dadanya, maka ia berteriak semakin keras lagi.
"Pedang itu harus aku patahkan" ia menggeram di dalam hatinya, "Atau kalau pedang prajurit Tumapel itu terlampau baik, maka tangannyalah yang akan patah. Kemudian aku akan dapat berbuat sesuka hatiku atasnya. Anak itu akan dapat menjadi permainan yang menyenangkan bagi Kuncang, Kunal dan Kenengkung".
Sebenarnyalah bahwa Ken Arok memang tidak menghindari serangan itu, ia melihat ayunan parang Panji Bawuk menyambar dirinya. Ia sadar, bahwa Panji Bawuk telah mengerahkan segenap tenaganya. Dan tenaga Panji Bawuk itu mampu merobohkan sebatang pohon kemiri yang telah berbuah dengan lebatnya.Itulah sebabnya, maka ia pun harus bertahan dengan sekuat tenaganya.
Sejenak kemudian, ketika parang Panji Bawuk terayun ke leher Ken Arok, maka Ken Arok segera mengayunkan pedangnya pula, menyambar ayunan parang Panji Bawuk.
Sejenak kemudian terdengarlah benturan yang dahsyat sekali antara kedua senjata itu.Parang Panji Bawuk yang besar dan pedang keprajuritan Ken Arok. Sepercik bunga api meloncat ke udara. Namun bukan saja bunga api yang berloncatan, tetapi ternyata bahwa parang Panji Bawuk pun terloncat dari tangannya. Terasa seolah-olah tangannya yang menggenggam hulu pedangnya tersengat bara. Kemudian menjalar sepanjang urat darahnya, membakar jantungnya.
Ken Arok pun merasa tangannya bergetar.Tetapi kekuatannya yang ajaib mampu menahan benturan itu tanpa akibat apapun. Namun dengan sepenuh kesadaran, ia pun melepaskan pedangnya, sehingga pedangnya itupun terloncat beberapa langkah dari padanya.
Mereka yang menyaksikan benturan itu merasakan, seolah-olah dadanya ikut bergetar pula. Kedua senjata yang terloncat dari tangan kedua orang yang berkelahi itu membuat mereka terpaku dengan tegangnya. Apalagi Panji Bawuk sendiri, yang sama sekali tidak menduga, bahwa justru parangnya pun terloncat dari tangannya pula. Ia tidak menyangka, bahwa sebenarnya di dalam tubuh Ken Arok itu pun tersimpan kekuatan yang tiada taranya. Apalagi sengatan kesakitan yang membakar telapak tangannya dan seakan-akan telah menjalari seluruh tubuhnya.
"Anak setan" ia menggeram. Dan di dalam hatinya ia berkata, "Aku terlampau memandangnya rendah, sehingga aku kurang mantap menggengam parangku".
Kemudian dengan sigapnya Panji Bawuk meloncat memungut parangnya, sementara Ken Arok pun telah mengambil pedangnya pula.
"Agaknya nasibmu memang terlampau baik" Panji Bawuk menggeram, "Aku menganggap kau terlampau lemah, sehingga justru parangku sendiri yang terlepas dari tanganku. Tetapi tidak seterusnya nasibmu akan tetap baik. Sebentar lagi kau akan menyadari bahwa hari ini adalah harimu yang paling jelek".
Panji Bawuk yang telah menggenggam parangnya kembali, selangkah demi selangkah mendekati Ken Arok. Meskipun tangannya masih terasa nyeri, namun ia sudah bertekat untuk membinasakan lawannya.Ia kini bertekat untuk benar-benar bertempur tanpa mengabaikan kekuatan lawan.
Meskipun demikian, otaknya telah pula dijalari oleh berbagai macam pertimbangan. Ternyata Ken Arok memiliki kekuatan yang luar biasa. Tetapi kenapa ia tidak berbuat sesuatu untuk mencelakakan adik-adiknya.Kenapa ia sama sekali tidak melukai Kunal, atau melumpuhkan Kenengkung dan bahkan Panji Kuncang"
Pertanyaan itu betapapun lirihnya, namun terasa mulai mengganggunya. Panji Bawuk adalah seorang yang kasar, hampir sekasar ayahnya. Ia berjudi dan berkelahi dimanapun. Apalagi karena ia terlampau mempercayakan diri kepada kekuatannya yang memang melampaui kekuatan orang-orang kebiasaan. Namun menghadapi sikap Ken Arok yang aneh itu, ia sama sekali tidak dapat mengerti.
Ia tidak pernah bertempur melawan seseorang yang menumbuhkan teka-teki dan membuat kepalanya menjadi pening seperti saat ini. Lawannya itu mampu membunuh adik-adiknya kalau ia mau, tetapi kenapa tidak"
Sementara itu Panji Bawuk kini telah berdiri berhadapan dengan Ken Arok. Keduanya telah menggenggam senjatanya kembali dan keduanya pun telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi Panji Bawuk masih saja diganggu oleh teka-teki di dalam benaknya.
Namun tiba-tiba anak muda itu mengeram sambil berkata, "Persetan, apa saja yang ku lakukan. Kau harus mati hari ini".
Ken Arok mengerutkan keningnya. Disilargkannya pedangnya di muka dadanya, seperti ketika ia siap melawan ayunan parang Panji Bawuk.
"Kau jangan merasa berbesar hati, bahwa kau mampu melepaskan senjataku dari tanganku. Itu hanya sekedar suatu kelengahan. Bukan suatu keunggulan dari padamu. Kalau aku mengerti, bahwa kau mampu juga memamerkan kekuatanmu, maka untuk seterusnya kau akan menyesal".
Tetapi Ken Arok tidak menunggu Panji Bawuk selesai berbicara.Kini ialah yang meloncat menyerang dengan garangnya. Pedangnya diangkatnya tinggi-tinggi ke udara, kemudian terayun deras sekali mengarah kepundak lawannya.
Panji Bawuk terkejut bukan kepalang. Gerakan itu terlampau cepat, sehingga tidak ada jalan lain kecuali menangkis serangan itu. Namun kini Panji Bawuk telah dapat melilai kekuatan tangan Ken Arok, sehingga untuk melawan ayunan pedang itu ia harus mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada padanya.
Kali ini Ken Arok tidak ingin memberi gambaran yang salah lagi buat Panji Bawuk. Ia ingin anak muda itu segera menyadari dirinya dan memikirkan lagi sikapnya.Karena itu, maka Ken Arok ingin untuk sekali melepaskan senjata Panji Bawuk dari tangannya, tanpa melepaskan senjatanya sendiri.
Sekejap kemudian, maka sekali lagi terjadi benturan yang dahsyat antara pedang Ken Arok dan parang Panji Bawuk.Sekali lagi bunga api memercik ke udara dari titik benturan dari kedua senjata itu.
Dan sekali lagi Panji Bawuk terperanjat bukan alang kepalang. Tangannya bergetar dan seakan-akan tergenggam olehnya segumpal bara. Dengan demikian, maka dengan dada yang berguncang ia menyaksikan parangnya terlepas dari tangannya dan terlempar beberapa langkah dari padanya.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah, bahwa kini Ken Arok berdiri tegak di hadapannya dengan pedang masih tetap tergenggam di tangannya.
Sejenak ia tegak membeku di tempatnya. Dipandanginya wajah Ken Arok dengan sorot mata yang menyala-nyala. Ternyata ia tidak segera mengakui kenyataan yang dihadapinya. Bahkan jantungnya serasa dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap.
Ken Arok yang berdiri dihadapannya memandanginya dengan cemas. Ia mengharap Panji Bawuk mengerti tentang dirinya, tentang orang yang dihadapinya dan segera merubah sikapnya. Tetapi agaknya yang terjadi adalah di luar dugaan Ken Arok. Sikap Ken Arok itu telah benar menyinggung harga diri Panji Bawuk yang sombong. Di hadapan adik-adiknya ia merasa benar-benar terhina. Apalagi ayahnya, ibunya dan ibu tirinya melihat pula apa yang terjadi. Karena itu, maka kemarahan di dalam dadanya menjadi semakin membakar jantungnya.
Sesaat kemudian, tiba-tiba ia memungut pedangnya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun segera ia meloncat menyerang Ken Arok dengan tangkasnya. Kini ia tidak ingin membenturkan senjatanya beradu tenaga.
Ken Arok berdesah di dalam hatinya. Panji Bawuk benar-benar keras kepala. Karena itu, maka ia pun bertekat untuk melayaninya, menundukannya dan memaksa anak itu mengakui, bahwa ia bukan orang yang paling mumpuni di muka bumi.
Sejenak kemudian terjadilah perkelahian yang sengit diantara keduanya. Panji Bawuk memang mempunyai bekal yang cukup. Tenaganya cukup kuat, dan geraknya cukup tangkas dan lincah. Sehingga dengan demikian, ia mampu memberikan perlawanan yang baik terhadap Ken Arok.
"Sayang" gumam Ken Arok di dalam hatinya, "kalau ia mendapat penyaluran yang baik. Kemampuanya tidak kalah dengan prajurit kebanyakan. Prajurit Tumapel dan bahkan prajurit Kediri. Tatapi, agaknya ia sudah terlanjur terperosok ke dalam daerah yang kelam seperti ayahnya".
Sementara itu tandang Panji Bawuk menjadi semakin lama semakin garang. Parangnya terayun-ayun mengerikan, ia sudah tidak dapat lagi berpikir bening lagi.Satu-satunya tujuan saat itu adalah membunuh Ken Arok dan melumatkan tubuhnya.
Tetapi ternyata bahwa Ken Arok adalah lawan yang tangguh.Bahkan kadang-kadang terlampau membingungkannya. Setiap kali ia kehilangan keseimbangan dan kadang-kadang hampir saja ia terbanting jatuh oleh geraknya sendiri.
Semakin lama Ken Arok pun harus menjadi semakin hati-hati. Pada saatnya Panji Bawuk pasti akan kehilangan perihitungan dan berkelahi membabi buta. Ia harus cukup berwaspada dan mampu menempatkan diri tanpa kehilangan akal.
Sampai saat itu, Ken Arok masih cukup sadar, bahwa ia datang ke rumah itu tidak untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan. Karena itu, maka ia masih tetap berusaha untuk tidak langsung mengenai lawannya ditempat-tempat yang dapat membahayakan jiwanya.
Karena sikap hati-hati Ken Arok, agar tidak menumbuhkan bencana itulah, maka Panji Bawuk menganggap, bahwa ia masih mempunyai peluang untuk memenangkannya, apapun caranya.
Tetapi bagaimanapun juga Ken Arok masih harus tetap mengendalikan diri. Setelah sekian lama bertempur, maka ternyata bahwa Panji Bawuk yang mampu merobohkan sebatang pohon kemiri yang sedang berbuah itu, tidaklah harus disegani. Karena ternyata bahwa cara berkelahi Panji Bawuk itu semakin lama menjadi semakin kehilangan pegangan dan tata kesopanan. Geraknya menjadi semakin kasar, sekasar serigala kelaparan menemukan bangkai anak domba ditepitepi pategalan, namun tiba-tiba bangkai itu terlepas dari mulutnya.
Semakin lama mereka berkelahi, maka Panji Bawuk semakin kehilangan pengamatan diri.Tandangnya menjadi buas dan liar. Senjatanya terayun-ayun tanpa terkendali lagi.
Dengan demikian, kesempatan bagi Ken Arok untuk berbuat sesuatu atas lawannya menjadi semakin banyak. Kesempatan-kesempatan yang terbuka diantara tandang lawannya yang menjadi semakin gila dipertimbangkannya masak-masak. Apakah yang dilakukan terhadap anak sulung Bango Samparan itu"
Tetapi setiap kali Ken Arok harus mempertahankan kesadarannya bahwa ia datang ke rumah itu tidak untuk membunuh.
Namun ia terkejut ketika tiba-tiba Panji Bawuk yang sudah menjadi semakin payah itu meraung, "He, Kuncang, Kunal dan Kenengkung. Kenapa kalian berdiri saja seperti orang kehilangan ingatan. Aku sudah berusaha melemahkannya. Sekarang datanglah giliran kalian ikut bermain-main dengan kambing yang bodoh ini".
Kuncang, Kunal dan Kenengkung , yang berdiri dengan cemasnya melihat perkelahian itu, terkejut mendengar suara kakaknya menggelepar di udara. Sejenak mereka terpukau ditempatnya, namun sejenak kemudian mereka pun menyadari keadaannya dan keadaan Panji Bawuk yang sulit itu.
Karena itu, maka tanpa diulang lagi, Kunal dan Kenangkung segera meloncat dengan senjata masing-masing, bersama-sama dengan kakaknya yang sulung berkelahi melawan Ken Arok.
Sementara itu Panji Kuncang masih belum beranjak dari tempatnya. Berbagai pertanyaan telah membelit hatinya tentang lawannya yang aneh. Setiap kali ia menggeretakkan giginya sambil mengeram di dalam hati, "Anak itu memang ingin menghina aku. Menghina keluargaku". Namun setiap kali pula pertanyaan itu menggelepar di dadanya, "Kenapa ia sama sekali tidak melukai apalagi membunuh aku?"
Karena pertanyaan-pertanyaan itulah, maka untuk sejenak Kuncang tidak segera terjun ke dalam arena perkelahian. Tanpa sesadarnya ia menyaksikan ketiga saudaranya bertempur melawan Ken Arok.
Kuncang tersandar ketika ia mendengar Panji Bawuk berteriak, "He Kuncang, apakah yang kau tunggu?"
Kuncang mengerutkan keningnya. Dikatubkannya mulutnya rapat-rapat. Sambil menggeretakkan giginya ia melangkah maju. Dengan sekuat tenaganya ia mencoba mengusir semua kebimbangan dan keragu-raguan yang mencengkam dadanya.
Sejenak kemudian terdengar anak muda itu berteriak nyaring. Kemudian, dengan menghentakkan diri ia meloncat masuk ke dalam lingkaran pertempuran.
"Sebaiknya Ken Arok meninggalkan tempat ini" terdengar suara yang lain dari sudut rumah, suara isteri tua Bango Samparan.
Kini Ken Arok harus berkelahi melawan keempat saudara anak Bango Samparan itu. Dalam sekilas terkenanglah masa-masa lalunya yang pedih. Keadaan serupa ini kini terulang kembali. Ia harus berkelahi melawan keempatnya.
Pada saat ia berada di rumah itu, memang ia sering bertengkar dengan keempat anak laki-laki Bango Samparan itu. Bahkan kadang-kadang ia memang harus berkelahi melawan keempatnya. Tetapi ia belum pernah merasa dikalahkan. Kalau kemudian ia berlari terbirit-birit adalah karena ibu keempat anak laki-laki itu ikut campur sambil membawa sepotong kayu.
Dan keadaan itu kini terulang kembali. Tetapi kini mereka membawa senjata di tangan masing-masing. Mereka tidak sekedar memperebutkan buah jambu yang masak, atau bertengkar karena adu jengkerik atau berebut telur gemak di kebun. Tetapi kini mereka telah siap untuk membunuh. Bayangan tentang permata dan seikat perhiasan melintas di kepala Ken Arok. Seperti sebuah permainan yang menyenangkan sekali disaat mereka masih kanak-kanak.
Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit.Isteri muda Bango Samparan menyaksikan dengan mata tak berkedip. Semula ia yakin bahwa anak-anaknya akan menang Tetapi kemudian, meskipun ia tidak dapat mengerti apa yang sebenarnya terjadi, namun setiap kali ia melihat salah seorang dari keempat anaknya lagi-lagi terdorong dan bahkan terlempar jatuh.
Bango Samparan pun kemudian menjadi terlampau cemas. Tetapi kini ia tidak lagi mencemaskan Ken Arok. Yang dicemaskan justru anak-anaknya sendiri, karena ia yakin, bahwa sebentar lagi Ken Arok pasti akan segera menguasai keadaan. Jika ia menjadi kehilangan kesabaran, maka pasti akan terlampau sulit bagi anak-anaknya.
Meskipun demikian, Bango Samparan masih saja berdiri di ambang pintu, di belakang isteri mudanya sambil berpegangan uger-uger pintu. Seolah-olah ia sudah tidak mampu lagi untuk berdiri tegak di atas kedua kakinya.
Sementara itu Ken Arok benar-benar semakin banyak menguasai keadaan. Keempat lawan-lawannya hampir tidak mendapat kesempatan lagi untuk berbuat sesuatu. Mereka hanya dapat berputar-putar, menghindar dan berloncatan surut, karena tiba-tiba saja Ken Arok itu seakan-akan telah berubah menjadi seekor burung sikatan raksasa yang bertaji pedang.
Setiap kali, ujung pedang Ken Arok itu berdesing di telinga anak-anak Bango Samparan itu, seakan-akan telah menyentuh daun telinga mereka. Tetapi setiap kali mereka meraba, mereka tidak menyentuh setetes darah sama sekali.
"Apakah kakang Ken Arok memang tidak ingin melukai kami?" pertanyaan itu sekali lagi merentul dihati Panji Kuncang. Namun meskipun demikian, ia masih juga mencoba berkelahi sebaik-baiknya.
Kunal dan Kenengkung pun merasa heran pula. Mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya dapat meloncat-loncat di seputar Ken Arok atau bahkan sama sekali di luar arena. Setiap kali mereka mencoba mendekat, maka setiap kali pula, ujung pedang lawannya terayun-ayun di muka hidungnya. Kalau sekali-kali mereka memberanikan diri mencoba menyerang dengan senjata, maka seresa dari pangkal Senjata-senjata mereka menjalar api yang membakar telapak tangan. Sehingga dengan demikian, mereka menjadi bingung dan tidak tahu, apa yang sebaiknya dilakukan.
Tetapi Ken Arok yang sekarang adalah berbeda dengan Ken Arok di masa kanak-kanaknya. Ken Arok kini tidak legi sekasar dan sebuas Ken Arok di masa lampau. Pertemuannya dengan Empu Purwa, kemudian dengan Lohgawe telah benar-benar mencuci dunianya yang kelam, dan membuatnya sebening air pancuran di lereng-lereng gunung. Tetapi apakah yang terkandung di jantung sumber air itu, pada suatu ketika masih akan dapat mewarnainya dengan tanpa disadarinya.
Namun, menghadapi keempat anak-anak muda ini, Ken Arok ternyata telah berhasil menahan perasaannya. Semakin yakin ia akan kemenangannya, maka hatinya menjadi semakin lunak. Ia sudah tidak dicemaskan lagi oleh akibat dari perkelahian itu. Kini yang dilakukan adalah, membuat keempat lawannya itu mengakui, bahwa mereka tidak dapat berbuat apa saja menurut selera mereka sendiri.
Kuncang yang sejak semula sudah ragu-ragu, menjadi semakin bingung menghadapi Ken Arok. Bersama kakaknya yang selama ini dibangga-banggakannya, mereka sama sekali tidak dapat menyentuh kulit lawannya Namun sampai sekian lamanya ia bertempur, kulitnya pun seakan-akan hampir tidak pernah tersentuh ujung senjata lawannya, meskipun terasa olehnya, bahwa kesempatan itu sebenarnya dimiliki oleh Ken Arok.
Dengan demikian, maka hatinya semakin dicengkam oleh kebimbangan. Sehingga karena itu, maka tandaugnya pun menjadi semakin lamban pula. Senjatanya sudah tidak lagi segarang gigi serigala kelaparan. Bahkan kemudian, Kuncang tidak lebih dari pada berputar-putar tanpa berbuat sesuatu yang dapat membantu kakaknya lagi.
Sementara itu, Kunal dan Kenengkung yang berlari-lari berputaran di sekitar arena menjadi semakin lelah. Meskipun seakan-akan Ken Arok acuh tidak acuh saja kepada mereka, tetapi mereka sendirilah yang telah memeras tenaga mereka tanpa arti, sehingga apabila sekali-kali pedang Ken Arok berdesing di telinga mereka, dengan gugup mereka berloncatan surut, sehingga kadang-kadang mereka terdorong oleh loncatan mereka sendiri, jatuh terlentang. Namun dalam saat-saat yang demikian Ken Arok sama sekali tidak berbuat apa-apa atas keduanya. Hanya sekali saja, Ken Arok menyentuh tubuh mereka dengan ujung jari kakinya. Tetapi ternyata bahwa sentuhan itu benar-benar telah menyakiti kedua anak-anak muda itu. Sehingga ketika sekali Ken Arok menyentuh lambung Kunal agak keras dan kemudian mendorong Kenengkung dengan ujung telunjuknya, maka keduanya terbanting jatuh berguling-guling di tanah sambil mengerang kesakitan.
Meskipun Panji Bawuk masih juga bertempur dengan garangnya, namun kecemasan telah mulai merayapi dadanya. Ia melihat satu-satu adiknya telah kehilangan kemampuan untuk membuat perlawanan yang berarti. Dan seperti semula, ia melihat bahwa Ken Arok tidak ingin mempergunakan kesempatan-kesempatan yang terbuka baginya untuk melakukan suatu serangan yang berbahaya terhadap adik-adiknya dan bahkan terhadap dirinya sendiri.
Namun setiap kali ia menggeretakkan giginya. Kesombongan yang bersarang di dadanya telah memaksanya untuk bertempur terus. Dengan memeras segenap tenaganya ia memutar parangnya, menghantam dan mematuk tidak henti-hentinya. Semakin lama semakin kasar dan bahkan membabi buta.
Kemungkinan itu memang telah diperhitungkan oleh Ken Arok. Suatu saat ia akan menghadapi Panji Bawuk yang telah kehilangan akal. Dan suatu saat ia akan menghentikan perlawatan ketiga adik-adiknya.
Sejenak kemudian Ken Arok sampai pada akhir rencananya. la harus berbuat cepat dan tiba-tiba, sehingga anak-anak muda itu tidak sempat berpikir. Mereka harus digerakkan oleh kejutan perasaan dan tunduk tanpa perlawanan dan cidera apapun.
Ketika saat itu tiba-tiba, maka sambil berteriak nyaring Ken Arok meloncat memutar pedangnya. Begitu cepat sehingga tidak seorang pun dari anak-anak Bango Samparan itu yang sempat berbuat sesuatu. Mereka hanya merasakan getaran yang dahsyat di tangan mereka, dan ketika mereka menyadari diri mereka masing-masing, maka Senjata-senjata mereka telah tidak ada ditangan, selain parang Panji Bawuk. Ken Arok sengaja membiarkan parang itu masih tetap ditangannya. Tetapi untuk anak sulung Bango Samparan ini, Ken Arok telah mempunyai rencana tersendiri.
Kuncang, Kunal dan Kenengkung terperanjat sekali mengalami peristiwa itu sehingga sejenak mereka berdiri terpaku ditempatnya sambil ternganga-nganga. Sekilas mereka melihat senjata-senjata mereka yang terletak di tanah beberapa langkah dari mereka masing-masing, dan sekilas mereka melihat Ken Arok yang berdiri dengan garangnya. Namun mereka pun masih juga berharap-harap cemas karena senjata Panji Bawuk masih tetap ditangannya.
Tetapi ternyata Panji Bawuk itu tidak sempat berbuat terlampau banyak dengan senjatanya. Karena sesaat kemudian, selagi kesadarannya dalam menanggapi keadaan itu masih belum seutuhnya, serangan Ken Arok tiba-tiba saja datang membadai. Pedangnya berputar seperti baling-baling memutari tubuh lawannya. Suaranya berdesing-desing dengan dahsyatnya. Seolah-olah ribuan lebah sedang mengerumuninya.
Ternyata bahwa ujung pedang Ken Arok itu tidak hanya sekadar berputaran dan berdesing-desing mengitari tubuh Panji Bawuk. Tidak hanya sekedar seperti ribuan lebah yang berterbangan diseputar tubuhnya, tetapi ternyata bahwa lebah-lebah itu sempat menyentuh kulitnya dan bahkan menyengatnya di segenap penjuru.
Demikianlah ujung pedang Ken Arok itu telah mematuk dari segenap arah, menyentuh tubuh Panji Bawuk. Tidak terlampau keras sehingga tidak menumbuhkan luka yang dalam pada tubuh itu. Tetapi sentuhan-sentuhan ujung pedang Ken Arok itu telah menyobek pakaiannya disegala tempat dan bahkan telah memutuskan ikat pinggangnya.
"Setan" Panji Bawuk mengumpat-umpat.
Namun Ken Arok tidak mau berhenti. Serangannya semakin lama semakin membingungkan. Bukan saja pakaian Panji Bawuk yang kini menjadi terkoyak-koyak, tetapi sentuhan-sentuhan itu telah merambat kekulitnya. Meskipun sentuhan-sentuhan itu tidak terlampau dalam, namun dibeberapa tempat, darahnya yang merah telah mengembun seperti titik-titik air didedaunan pada pagi-pagi yang dingin.
"He" teriak Panji Bawuk yang menjadi semakin kebingungan, "Kenapa kalian hanya menonton saja?"
Ketiga adiknya tersedar dari keadaannya. Mereka melihat warna-warna merah yang memulasi kulit kakaknya dibeberapa tempat. Meskipun mereka mengerti bahwa luka-luka itu tidak parah, namun kecemasan telah mencengkam hati mereka.
"He Kuncang, Kunal dan Kenengkung" teriak ibu nya tiba-tiba, "Cepat, berbuatlah sesuatu".
Secepat suara ibunya itu lenyap di udara, secepat itulah ketiga anak-anak muda itu berloncatan memungut senjata-senjata mereka. Namun kini perkelahian itu sudah bergeser menjauhi mereka. Panji Bawuk seakan-akan telah didorong ketengah-tengah halaman yang kotor itu tanpa dapat berbuat sesuatu. Meskipun ia berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk melawan, namun perlawanannya itu seolah-olah sama sekali tidak berarti bagi Ken Arok.
Sejenak kemudian, Kuncang, Kunal dan Kenengkung pun segera berlari-lari mendekati titik pertempuran. Namun mereka tidak segera dapat berbuat sesuatu.
Sajenak mereka memandangi perkelahian itu dan sejenak kemudian mereka berputar-putar. Namun setiap kali mereka tegak seperti tonggak sambil mengagumi gerak Ken Arok yang semakin lama semakin cepat.
Panji Bawuk pun menjadi bingung. Sekali lagi ia berteriak, "He, apakah kalian sudah menjadi pengecut".
Suara itu telah membangunkan ketiga adiknya dari kekaguman mereka terhadap Ken Arok.Tetapi mereka tidak akan dapat membiarkan kakak mereka tertua mengalami bencana. Karena itu, betapa hati mereka berkeriput sekecil biji mentimun, namun mereka mencoba juga melangkah maju mendekati perkelahian itu dengan senjata teracung.
Namun sekali mereka dikejutkan oleh sambaran senjata Ken Arok yang sama sekali tidak terduga-duga dan bahkan sama sekali tidak dapat dibayangkan, bagaimana hal itu terjadi. Mereka menyadari diri ketika Senjata-senjata mereka telah terlepas lagi dari tangan mereka dan berjatuhan di atas tanah beberapa langkah dari mereka.
Melihat hal itu maka terdengar gigi Panji Bawnk menjadi gemeretak. Kemarahan dan kecemasan bercampur baur di dalam hatinya. Sementara itu tumbuh pula di dalam dadanya suatu pengakuan bahwa sebenarnya ia tidak akan mampu melawan Ken Arok. Apalagi seorang diri.
Meskipun demikian, terdorong oleh keterlanjuran dan kesombongannya, maka masih juga Panji Bawuk berteriak "Setan alas. Kau memang terlampau sombong Ken Arok. Aku menjadi semakin yakin bahwa kau tidak akan dapat ampun".
Namun mata Panji Bawuk itu terbelalak, dan darahnya serasa terhenti mengalir. Baru saja ia mengatupkan mulutnya, maka terasa tangannya bergetar dahsyat sekali.
Tangannya yang kokoh kuat, yang mampu merobohkan sebatang pohon kemiri yang sudah berbuah dengan satu kali ayunan itu, terasa seakan-akan sama sakali tidak berdaya. Telapak tangannya merasakan getaran yang luar biasa, seakan-akan tulang-tulangnya berpatahan. Perasaan sakit yang sangat menjalar di tangannya menusuk pusat dadanya.
Panji Bawuk itu terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh di tanah setelah parang telontar dari genggamannya. Kepalanya menjadi pening dan matanya berkunang-kunang. Sejenak ia kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu karena kesadarsnnya terganggu. Namun ketika ia benar-benar telah menyadari keadaan dirinya dan berusaha untuk bangkit, ia merasa seakan ujung Gunung Kawi telah menindih dadanya.
Ketika Panji Bawuk menengadah wajahnya, maka dilihatnya Ken Arok berdiri tegak disampingnya. Satu telapak kakinya telah menekan dadanya, sedang ujung pedangnya tepat menunjuk ke biji mata.
Sejenak Panji Bawuk terpukau dalam keadaannya. Tubuhnya menjadi gemetar dan dadanya serasa pecah karenanya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Yang diketahuinya saat itu adalah tekanan kaki Ken Arok yang semakin lama menjadi semakin menyesakkan nafasnya, sedang ujung pedang Ken Arok pun menjadi semakin dekat ke matanya.
Tiba-tiba terdengar suara Ken Arok seperti guruh yang meledak di atas kepalanya, "Panji Bawuk.Permusuhan kita sejak kita masih terlampau muda kini akan sampai kepuncaknya.Karena kau sudah benar-benar ingin membunuh aku, maka aku pun akan berbuat serupa. Jangan kau sangka bahwa aku tidak dapat berbuat sekasar dan seliar kau. Kalau kau tumbuh menjadi seorang penjudi dan seorang penjahat yang keji, maka aku pun akan dapat berbuat lebih keji lagi. Aku adalah seorang penjahat sejak dilahirkan. Aku mempunyai kebuasan dan keliaran alami yang aku bawa sejak aku ada. Nah, sekarang kau dapat menghayati, betapa aku mampu berbuat kejam melampaui kalian di sini".
"Ken Arok" tiba-tiba Bango Samparan berteriak "Apa yang akan kau lakukan atasnya".
Ken Arok tertawa rendah. Jawabnya, "Kalau Panji Bawuk ingin membunuhku dan menggantungkan tubuhku untuk menjadi makanan burung-burung liar, dan kelak membuat kerangkaku menjadi perhiasan, maka aku akan berbuat lain. Aku ingin membuat Panji Bawuk mati dalam hidupnya. Aku ingin mengambil kedua biji matanya".
"Ken Arok" tiba-tiba isteri muda Bango Samparan, ibu Panji Bawuk itu berteriak.
"Jangan halangi aku. Siapa yang mencoba mencegahnya akan mengalami nasib serupa" sahut Ken Arok tegas. "Bukankah kalian telah melihat, bahwa tidak seorang pun dapat mengalahkan aku, bahkan anak-anak gila ini berkelahi bersama pun tidak berarti sama sekali bagiku, meskipun seandainya ayah Bango Samparan ikut serta" Nah. biarlah aku berbuat sekehendakku".
Suasana di halaman itu kini dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Wajah-wajah mereka telah basah oleh keringat. Sadang tubuh isteri muda Bango Samparan menggigil seperti orang kedinginan.
Tiba-tiba dalam ketegangan itu terdengar suara Panji Bawuk gemetar, "Ampun, aku minta ampun Ken Arok. Aku tidak benar-benar ingin membuatmu celaka. Aku hanya mengertak saja. Sekarang aku minta ampun".
Ken Arok mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Panji Bawuk yang masih terbaring di tanah. Kakinya masih menginjak dada anak muda yang sombong itu, sedang ujung pedangnya masih juga teracung ke biji mata.
"Ampun Ken Arok, ampun".
Tetapi Ken Arok menggelengkan kepalanya, "Aku akan menyelesaikan setiap persoalan sampai tuntas.Kalau tidak, maka kita akan tetap mempunyai persoalan yang tidak terselesaikan. Setiap kali kita akan kembali kepada persoalan ini. Tetapi apabila kau sudah mati dalam hidupmu, maka kau tidak akan mampu menuntut apapun lagi dari padaku".
Wajah Panji Bawuk yang garang, buas dan liar itu tiba-tiba berubah menjadi pucat seperti kapas. Nafasnya yang terengah-engah seolah-olah, telah putus ditengah kerongkongannya.Semakin keras telapak kaki Ken Arok menekan dadanya, maka seakan-akan jantungnya semakin lambat berdenyut.
Dengan penuh ketakutan dan kecemasan ia merengek seperti anak-anak yang cengeng, "Ampun Ken Arok. Aku minta ampun. Aku bersumpah bahwa akn tidak akan mengganggu gugat apapun lagi.Tetapi aku minta kau hidupi aku".
Ken Arok tidak segera menjawab. Sepercik keheranan menjalar di dadanya. Orang yang dapat bersikap segarang Panji Bawuk itu, dapat juga merengek seperti kanak-kanak. Tanpa malu-malu merendahkan dirinya minta diampuni kesalahannya.
Tetapi menilik pandangan matanya yang licik, memang pada suatu saat, apabila ia mendapat kesulitan yang tak teratasi, orang-orang seperti Panji Bawuk, yang sombong dan garang tetapi licik itu, akan dan dapat berbuat apa saja meskipun merendahkan harga dirinya.
Namun kali ini Ken Arok masih tetap menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Aku telah berguru kepadamu dan kepada ayah Bango Samparan, yang agaknya mendidik anak-anaknya untuk berbuat demikian. Merampungkan semua persoalan sampai tuntas. Agaknya bagi ayah Bango Samparan dan anak-anaknya sama sekali tidak berlaku kebijaksanaan dan pertimbangan tentang perkembangan persoalan dan pikiran seseorang. Persoalan hari ini pasti akan berlangsung terus. Seorang yang kau anggap bersalah hari ini, untuk seterusnya akan melakukan kesalahan yang serupa. Kau tidak dapat mengerti bahwa mungkin sekali seseorang menyesali kesalahan di masa lampau dan merubah pendirian serta sikapnya. Kau tidak dapat membayangkan bahwa seorang penjahat yang paling keji akan dapat berubah menjadi seorang yang pantas digurui. Bahkan kau pun berdiri pada pendirian, siapa yang tidak sejalan dengan kau, orang itu harus disingkirkan, disingkirkan untuk tidak mungkin datang kembali. Disingkirkan ke daerah yang paling jauh". Ken Arok berhenti sejenak. Dipandanginya wajah Panji Bawuk yang semakin pucat, wajah Kuncang yang tegang membeku, wajah Kunal dan Kenengkung yang ketakutan. Kemudian ditatapnya wajah isteri muda Bango Samparan yang sudah menjadi seputih mayat dan Bango Samparan sendiri yang menggigil di belakang isterinya. Tetapi Ken Arok tidak dapat melihat wajah isteri tua Bango Samparan.
Dalam pada itu ia berkata seterusnya, "Karena itu Panji Bawuk. Baik kau maupun ayah Bango Samparan menganggap bahwa persoalan akan selesai apabila pihak yang lain telah disingkirkan, menurut pengertianmu harus dibunuh. Bagimu tidak ada cara lain untuk membuat penyelesaian selain mematikan pihak yang lain. Penyelesaian yang tuntas dan mutlak. Nah, aku akan berbuat serupa. Aku akan membunuh semua orang di rumah ini yang mencoba menghalangi aku berbuat apa saja di sini".
Panji Bawuk menjadi semakin pucat.Darahnya serasa benar-benar sudah tidak mengalir lagi. Dengan suara gemetar ia meminta ngasih-asih, "Ampun Ken Arok. Aku minta belai kasihanmu. Aku minta kau menghidupi aku. Aku akan tunduk kepadamu apapun yang akan kau kehendaki".
"Tetapi dengan demikian persoalan tidak akan selesai.Pada suatu saat persoalan akan tumbuh lagi. Kalau seberkas perhiasan itu nanti jatuh ketanganku, maka kau pasti akan mencari jalan untuk merebutnya. Kalau kalian di sini mencemaskan bahwa aku akan membawa kawan-kawanku Prajurit Tumapel untuk menangkap kalian, maka aku pun mencemaskan kalian, bahwa kalian akan memanggil semua penjahat dari ujung sampai ke ujung Karuman, dan akan merampokku".
"Tidak. Tidak. Aku bersumpah" rintih Panji Bawuk.
Ken Arok tidak segera menyahut. Sekali lagi ditatapnya wajah Bango Samparan yang pucat dan gemetar.
"Bagaimana ayah?" bertanya Ken Arok, "Apakah aku harus menyelesaikannya sampai tuntas seperti apa yang ayah lakukan terhadap bekas prajurit Kediri itu?"
Bango Samparan terbungkam. Tetapi bibirnya bergetar. Berkali-kali ia menelan ludahnya namun tidak sepatah kata pun yang terloncat dari bibirnya.
"He, kenapa ayah tidak menjawab?" desak Ken Arok.
Bango Samparan masih terdiam. Dengan kaki gemetar ia maju selangkah. Tangannya diangkatnya ke dadanya untuk menahan gelora yang seakan-akan memecahkan dadanya itu. Perlahan-lahan ia menggeleng.
Ken Arok menarik nafas dalam. Katanya, "Pendirian seseorang akan berobah apabila arah persoalan juga berobah.Kita tidak akan sampai tuntas apabila kita memegang kendali kemenangan. Tetapi pihak yang lemah pasti akan berpendirian lain. Pendirian ini tidak pernah kalian pikirkan. Nah, sekarang kalian menghayati. Kalian akan tahu, betapa tersiksanya perasaan kalian. Betapa kalian merasakan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Betapa kalian akan mengumpat dan mengutuk di dalam hati, meskipun mulut kalian berkata lain, karena kalian dicengkam oleh ketakutan. Tetapi apabila ada kekuatan lain yang datang menolong kalian saat ini, maka kalian akan bersikap lain".
"Tidak, tidak" teriak Panji Bawuk "Aku sudah menyerah. Tetapi aku ingin hidup".
"Sumber penyerahanmu pada persoalan yang kau hadapi adalah persoalan hidup. Tetapi itu wajar. Persoalan yang demikian ada juga pada orang lain. Dorongan naluriah memaksa seseorang untuk mempertahankan hidupnya dengan cara apapun. Berkelahi, merengek-rengek dan apapun. Sadarilah. Orang lain pun ingin tetap hidup. Pertimbangkan dalam setiap perbuatan. Jangan menengadahkan dada ketika kau lagi menang dan mampu berbuat apa saja atas orang lain. Kini kau tahu, bahwa orang lain itu mempunyai perasaan seperti yang kau rasakan sekarang. Dikatakan atau tidak dikatakan. Cemas, takut dan unsur-unsur badaniah, sakit, pedih, nyeri dan perasaan manusiawi seutuhnya".
Panji Bawuk menjadi semakin gemetar. Matanya yang selama berkelahi memancarkan keliaran sikapnya, kini tampak padam sama sekali pada wajahnya yang pucat.
Yang terdengar kemudian adalah suara isteri muda Bango Samparan yang gemetar pula, "Jagan Ken Arok. Jangan kau bunuh anakku itu".
Ken Arok berpaling. Dilihatnya ibu Panji Bawuk itu melangkah perlahan-lahan ke arahnya. Kemudian berjongkok sambil membungkukkan kepalanya hampir menyentuh tanah.
"Aku mohonkan ampun kepadamu Ken Arok, seperti anakku pun telah mohon ampun pula kepadamu".
"Aku juga Ken Arok" sahut suara yang lain, suara Bango Samparan sendiri, "Aku juga minta ampun untuknya".
Ken Arok mengerutkan keningnya. Betapa liarnya Bango Samparan dan betapa ia menganggap nyawa seseorang seperti nyawa ayam saja, namun terhadap anaknya ia tidak sampai hati untuk membiarkannya mati atau tersiksa sepanjang hidupnya.
Sambil memandang orang-orang yang berada di sekitarnya Ken Arok bertanya, "Jadi bagaimana dengan Panji Bawuk ini" Apakah harus aku ambil biji matanya, atau aku bunuh saja sama sekali".
Hampir berbareng ayah dan ibunya meayahut, "Jangan, jangan".
"Ayah Bango Samparan" berkata Ken Arok pula "Bukankah anak ini sama sekali tidak mau mendengarkan kata-katamu lagi" Bahkan dengan sepenuh hinaan ia dan ibunya bersama dengan adik-adiknya telah sengaja melanggar harapan ayah atas orang-orang yang dibawanya masuk ke dalam lingkungan halaman rumahnya" Di sini ayah Bango Samparan adalah pimpinan keluarga. Tetapi seandainya aku orang lain, aku adalah tamu pimpinan keluarga itu. Penghinaan atas tamunya maka itu berarti penghinaan atas ayah sendiri. Apalagi sikap bibi sungguh menyakitkan hati".
"Ya, ya" Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya, "Tetapi ia adalah anakku".
"Bagaimana ajaran ayah tentang menyelesaikan persoalan sampai tuntas seperti yang telah meresap pula di dalam hati Panji Bawuk dan seperti yang ayah lakukan atas bekas prajurit itu?"
"Itu suatu kesalahan. Suatu kesalahan" sahut Bango Samparan, "Sekarang kami semuanya minta maaf".
Ken Arok tidak segera menjawab. Tetapi kini ditebarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya, sedang satu telapak kakinya masih berada di dada Panji Bawuk yang terlentang. Ujung pedangnya masih juga berada di depan mata Panji Bawuk yang ketakutan itu.
"Bukankah kau mendengarkan permohonan kami Ken Arok" bertanya Bango Samparan.
Ken Arok tidak segera menjawab, tetapi ia masih mencari sesuatu di halaman itu.
Dan tiba-tiba saja, tanpa diduga-duga oleh semua orang di halaman itu Ken Arok memanggil, "Biyung, kemarilah biyung".
Semua berpaling, memandang kearah pandangan mata Ken Arok. Dada mereka berdebaran ketika mereka melihat seorang perempuan tua yang berdiri termangu-mangu di samping rumah.
"Kemarilah" sekali lagi Ken Arok memanggil.Dengan ragu-ragu orang itu melangkah maju. Tetapi kemudian ia berhenti. Sorot matanya memancarkan berbagai pertanyaan yang bergelora di dadanya.
"Aku memerlukan pertolonganmu ibu" berkata Ken Arok kepada perempuan tua kurus itu "Kemarilah".
Perempuan itu maju lagi beberapa langkah.
"Nah" Ken Arok berkata seterusnya, "Sejak aku pertama-tama menginjakkan kakiku di halaman ini di masa aku masih terlampau muda, maka perempuan tua itulah yang memelihara aku. Sejak semula aku mengerti, dan kini semakin ternyata, bahwa hidupnya terlampau kering, ia sendiri tidak mempunyai seorang anak pun dari ayah Bango Samparan, dan agaknya bibi terlampau mementingkan dirinya sendiri. Apalagi anak-anak gila ini". Ken Arok berhenti sejenak. Ditatapnya mata perempuan tua yang sayu tetapi melontarkan keragu-raguan dan kebimbangan, teka-teki dan kecemasan. Isteri tua Bango Samparan itu agaknya telah terlampau lama mengalami masa-masa yang pahit. Sejenak kemudian Ken Arok melanjutkan, "Sekarang dengarlah keputusanku. Bertanyalah kepada ibu. Kalau biyungku itu bersedia memberi kalian maaf, maka aku pun akan memberi maaf kepada kalian. Tetapi kalau tidak, aku pun tidak akan memaafkan kalian. Aku akan melakukan apa saja atas perintah biyungku itu".
Sesaat kemudian halaman itu disambar oleh kesenyapan yang tegang. Bahkan Ken Arok sendiri menjadi tegang. Sepercik penyesalan merayap di hatinya. Ia telah berbuat terlampau tergesa-gesa diluar pertimbangan nalarnya. Apakah kira-kira yang akan dilakukan, seandainya perempuan tua yang kurus dan kering itu telah dipenuhi oleh dendam dan kebencian. Apakah ia akan melakukan seandainya perempuan tua yang selama ini tertekan itu, melonjak oleh ledakan kebencian yang selama ini terhimpit didasar perasaannya"
Dalam ketegangan itu, dada Ken Arok sendiri menjadi berdebar-debar. Agaknya ia tidak kalah cemasnya dari orang-orang lain yang berada di halaman itu. Namun ia mencoba berdoa. Semoga yang terjadi, seperti yeng diharapkannya.
Perempuan tua, isteri tua Bango Samparan itu tidak segera berkata sepatah katapun. Ditatapnya setiap wajah berganti-ganti. Ken Arok, madunya, suaminya dan anak-anak tirinya. Secercah warna merah menyambar sepasang mata yang suram itu. Orang-orang yang selama ini bertolak pinggang dihadapannya, membentak-bentak dan memakinya, kini terpaku diam menunggu keputusan yang akan meloncat dari mulut perempuan tua itu.
Sejenak kemudian, semua orang telah dikejutkan oleh sikapnya. Perempuan tua yang lemah itu tiba-tiba menggeretak kan giginya. Wajahnya yang suram itu seolah-olah menyala. Menyalakan dendam yang selama ini tersimpan di dalam dadanya.Dada yang tipis dan kering.
Dengan sorot mata yang mengerikan, perempuan itu melangkah maju. Selangkah demi selangkah semakin lana semakin dekat dengan tubuh Panji Bawuk yang terlentang di tanah, di bawah telapak kaki Ken Arok.
Sebuah desir yang tajam tergores di dada Ken Arok. Kemudian terasa darahnya menjadi semakin cepat mengalir. Yang dilihatnya kini bukanlah seorarg perempuan tua yang lemah dan kering, tetapi seolah-olah ia sedang berhadapan dengan hantu betina yang haus darah.
"Sekian tahun ia mengalami penderitaan" desis Ken Arok di dalam hatinya, "Sekarang tiba-tiba semuanya itu akan meledak".
Penyesalan yang tajam telah tergurat di dinding jantung Ken Arok. Ia telah bermain dengan api, dan yang kini api itu telah menyala, membakar hati perempuan tua itu.
Sejenak kemudian isteri tua Bango Samparan itu berhenti. Ditatapnya wajah Panji Bawuk dengan tajamnya. Kemudian berganti-ganti dipandanginya keempat anak-anak Bango Samparan dari isteri mudanya, lalu Bango Samparan sendiri dan yang terakhir adalah isteri mudanya. Seorang perempuan yang terlampau keras hati, tamak dan dengki.
Perempuan itulah sumber dari segala macam kepahitan hidupnya. Perempuan itulah yang menyebabkan ia menjadi kurus kering. Perempuan itulah yang menyebabkan ia mati di dalam hidupnya. Dan kini ia mendapat kesempatan untuk berbuat apapun. Ternyata anak angkatnya telah memberinya jalan untuk melepaskan dendamnya.
Tetapi untuk sesaat perempuan itu masih berdiri membeku di tempatnya.Hanya sorot matanya sajalah yang seakan-akan menjilat setiap hati.
Bango Samparan, isterinya yang muda, dan keempat anak-anaknya pun menjadi ngeri melihat sikap perempuan itu. Wajahnya, matanya dan gemeretak giginya.
Dada mereka berdentangan ketika mereka mendengar perempuan itu tiba-tiba saja tertawa. Perlahan-lahan, tetapi suaranya seperti lengking hantu yang melagukan dendang kematian.
"Apakah yang harus aku lakukan Ken Arok?" bertanya perempuan itu tiba-tiba dengan nada yang datar.
Dada Ken Arok berdesir mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia berdiri mematung. Kakinya yang masih menginjak dada Panji Bawuk itu menjadi gemetar, dan ujung pedangnya pun justru telah berkisar dari depan mata Panji Bawuk.
"Apa yang harus aku lakukan he?" desak perempuan itu, "Apakah aku yang harus menghunjamkan pedangmu, atau aku tinggal mengucapkan keinginanku, lalu kau yang akan membantai setiap orang di halaman ini, atau apa?"
Pertanyaan itu telah menggetarkan setiap dada mereka yang berada di halaman itu. Terlebih-lebih isteri muda Bango Samparan. Bahkan Ken Arok sendiri menjadi cemas dan bingung. Ia tidak mengerti, apa yang harus diucapkannya untuk menjawab pertanyaan yang mengerikan itu.
Namun dalam pada itu, selagi halaman itu dicengkam oleh ketegangan yang semakin memuncak, tiba-tiba terdengar dikejauhan suara dendang seorang gadis kecil.Semakin lama semakin dekat. Tetapi tiba-tiba suara itu terputus. Sejenak keheningan telah menerkam suasana.
Keheningan yang tegang itu kemudian dipecahkan oleh langkah gadis kecil berlari-lari masuk kehalaman. Begitu ia melangkahi regol, maka langkahnya pun segera terhenti. Hampir terpekik ia menyaksikan apa yang terjadi. Dilihatnya kakaknya yang tertua terlantang di halaman, sedang seorang telah menginjak dada kakaknya itu dengan telapak kakinya. Ayahnya berdiri gemetar dan ibunya bersimpuh sambil membungkuk-bungkuk. Ketiga kakaknya yang lain berdiri bagaikan patung. Dan yang terakhir dilihatnya isteri tua ayahnya berdiri tegak dengan wajah yang mengerikan.
Ketakutan dan kebingungan telah menerkam hati gadis kecil itu. Namun ia tidak lari meninggalkan halaman rumah itu, tetapi justru ia melangkah mendekat perlahan-lahan.
Dan tiba-tiba saja ia berlari-lari kecil, justru mendekati isteri tua Bango Samparan yang sedang dicengkam oleh luapan perasaannya yang selama ini dihimpitnya rapat-rapat.
"Ibu, apakah yang terjadi?"
Mata perempuan itu telah menjadi merah. Sejenak ia berpaling kepada gadis kecil, anak Bungsu Bango Samparan dari isteri mudanya.
Gadis kecil itu kini berhenti beberapa langkah di hadapannya. Matanya yang jernih sama sekali tidak membayangkan perasaan dan prasangka apapun. Bahkan selangkah ia maju dan bertanya, "Ibu, apa yang telah terjadi dengan kakang Panji Bawuk, ibu muda, dan ayah serta kakak-kakak yang lain?"
"Minggir kau" isteri tua Bango Samparan itu menggeram, "Aku akan berbuat sesuka hatiku atas mereka. Kalau kau tidak pergi, maka kau akan mengalami nasib serupa".
Gadis itu menjadi heran. Ketakutan semakin mencengkam di hatinya. Tetapi ia masih juga tidak berprasangka apapun atas isteri tua Bango Samparan itu.
"Kenapa aku harus pergi ibu?" bertanya anak itu, "Siapakah laki-laki yang telah berbuat jahat terhadap kakang Panji Bawuk itu, dan kenapa ayah dan kakang-kakang yang lain tidak berbuat sesuatu?"
Isteri tua Bango Samparan itu tidak segera menjawab. Ditatatapnya saja wajah gadis kecil itu, seolah-olah anak itu belum pernah dikenalnya selama ini.
"Pergilah, pergilah" desis perempuan itu.
"Kenapa ibu, kenapa aku harus pergi"Aku baru saja pulang dari belumbang".
"Pergilah bermain-main bersama kawan-kawanmu".
"Tidak ada ibu.Aku tidak mempunyai kawan. Anak-anak yang berada di belumbang berlari-larian pergi ketika aku datang kesana. Mereka tidak mau berkawan dengan aku. Aku tidak tahu, kenapa" Aku kira aku tidak pernah nakal. Tetapi mereka tidak mau berkawan dengan aku. Katanya, aku anak Bango Samparan. Kenapa dengan anak ayah Bango Samparan?"
Perempuan tua itu tidak segera menyahut. Dipandanginya saja wajah gadis kecil itu semakin tajam.
Tetapi gadis kecil itu sama sekali tidak berprasangka apapun.Sorot matanya memancarkan kebeningan hatinya yang masih bersih. Dengan tanpa dibuat-buat ia berkata selanjutnya, "Aku sudah berusaha ibu. Setiap hari aku berusaha mendekati mereka. Tetapi mereka tetap bersikap demikian kepadaku. Apakah itu salahku ibu?"
Perempuan tua itu tidak menyahut. Ia masih tetap memandangi anak itu dengan tajamnya. Dan anak itu masih berbicara lagi, "Kenapa ibu memandang aku demikian" Apakah ibu marah kepadaku?"
Karena perempuan tua itu masih belum menjawab, maka gadis kecil itu berpaling kepada ibunya sendiri yang masih borjongkok dihadapan Ken Arok, "Kemarilah Puranti, kemarilah" panggil isteri muda Bango Samparan, "Berjongkoklah dan mintalah maaf kepada kakangmu Ken Arok".
Gadis kecil itu menjadi bingung. Dengan setulus hatinya ia bertanya, "Kenapa ibu" Apakah aku bersalah" Dan apakah ibu atau kakang Panji Bawuk atau ayah Bango Samparan bersalah?"
Ibunya tertegun sejenak dengan penuh kebimbangan.Tetapi kemudian perlahan-lahan ia mengangguk, "Ya Ngger. Ibu bersalah. Kakangmu Panji Bawuk bersalah, ayah bersalah dan kita semua bersalah. Karena itu, mintalah maaf".
"Apakah ibu tua juga bersalah?"
Pertanyaan itu telah membingungkan ibunya. Tanpa sesadarnya ia memandang kepada isteri tua Bango Samparan. Tetapi isteri tua Bango Samparan itu tidak sedang memandanginya. Matanya yang menyala masih hinggap pada gadis kecil yang tidak mengerti keadaan yang sebenarnya terjadi di halaman itu.
Kini semua mata terpancang pada isteri tua Bango Samparan. Ia memegang seluruh persoalan. Kepadanya harapan ditumpahkan, tetapi terhadap sikapnya jugalah semua orang dicengkam kecemasan. Apakah yang akan dikatakannya dan apakah yang diingininya atas semua orang itu.
Bahkan Ken Arok sendiri telah tegak mematung dipukau oleh sikap perempuan tua itu. Semakin lama dadanya semakin berdebaran.
Karena perempuan tua itu tidak segera menjawab, maka gadis kecil itu mengulang pertanyaannya, "Apakah ibu tua juga bersalah kepada orang itu?"
Perempuan tua itu tidak menjawab. Matanya masih memancarkan kebencian yang menyala-nyala.
Tetapi tiba-tiba halaman itu seakan-akan tergetar oleh kata gadis kecil yang masih bersikap terlampau wajar, tanpa dibuat-buat itu, "Tuan" katanya kepada Ken Arok "Kalau ibu tua ini juga bersalah, aku minta maaf untuknya. Kasihan, selama ini ibu tua selalu menderita. Sepengetahuanku, ibu tua belum pernah tersenyum apalagi tertawa karena perasaannya. Ia tertawa sekedar untuk menyenangkan hatiku apabila ibu tua berceritera tentang burung yang hinggap di bulan bersama seekor kuda bersayap dan kucing candramawa. Tetapi, apabila tuan berkenan, aku minta maaf untuk semua orang yang bersalah kepada tuan, eh, kepada kakang Ken Arok".
Kata-kata gadis kecil itu serasa alun yang berguncang karena taufan yang dahsyat menghantam dada perempuan tua itu. Sejenak serasa ia melayang-layang dalam ketiada ketentuan. Namun kemudian terlampar pada suatu kesadaran diri, dalam hubunganya dengan gadis kecil itu. Gadis kecil yang bernama Puranti itu, anak bungsu Bango Samparan dari isteri mudanya, adalah orang yang paling baik di dalam rumah ini. Gadis kecil itulah kawan satu-satunya bagi isteri tua Bango Samparan. Tidak Seperti kakak-kakaknya, gadis kecil itu bersikap baik kepadanya. Mungkin sikap itu didorong oleh keadaan gadis kecil itu sendiri. Gadis kecil yang juga tidak mempunyai seorang kawan pun di luar halaman rumahnya karena ia adalah anak Bango Samparan. Sedang kakak-kakaknya dan ibunya, apalagi ayahnya terlampau sibuk dengan persoalan mereka sendiri-sendiri, sehingga setiap kali, gadis itu hanya dapat berbicara, bermain-main dan berkawan dengan isteri tua Bango Samparan.
Kehadiran gadis kecil di rumah Bango Samparan itulah yang menahan isteri tuanya tidak membunuh dirinya. Bersama gadis kecil itu ia masih melanjutkan sisa hidupnya betapapun pahitnya.
Tiba-tiba mata perempuan tua yang menyalakan dendam dan kebencian itu perlahan-lahan menjadi pudar. Di dalam pandangan matanya, tampaklah kelembutan dan harapan di wajah anak itu. Bahkan tiba-tiba terbayanglah di wajah itu, wajah yang lain, yang dimasa kecilnya hampir tepat seperti wajah gadis kecil itu, yaitu wajah ibunya, isteri muda Bango Samparan. Perempuan itu dikenalnya baik-baik sejak masa kecilnya, bahkan didukungnya dan dimandikannya setiap pagi. Isteri muda Bango Samparan yang tidak lain adalah adiknya sendiri itu, terbayang jelas di wajah anak gadisnya. Namun anak ini mempunyai jauh lebih banyak kelebihan dari ibunya. Gadis ini adalah gadis yang baik. Terlampau baik.
"Tuan, eh, kakang" terdengar suara kecil itu melengking, "Bukankah tuan ingin memaafkannya, terutama ibu tua" Ibu tua selalu menangis. Hampir setiap hari. Kalau tuan marah pula kepadanya, maka ia akan semakin menangis sehingga air matanya akan terperas habis dan dengan demikian ibu tua akan menjadi semakin kering dan kurus".
Anak itu tidak dapat menyelesaikan katanya. Tiba-tiba ia terkejut karena tiba-tiba perempuan tua itu berjongkok memeluknya sambil berkata, "Ya, ya Puranti. Ken Arok akan memaafkan aku. Ken Arok tidak akan menghukum aku, dan tidak akan menghukum kau".
Gadis itu memandang wajah perempuan tua itu dengan mata yang bertanya-tanya. Sejenak kemudian ia berpaling kepada Ken Arok dan bertanya pula, "Benarkah begitu kakang" Kakang tidak akan menghukum ibu tua dan aku?"
Ken Arok telah terpukau oleh suatu pesona yang tidak dimengertinya sendiri. Perlahan-lahan ia menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Tentu Puranti. Aku tidak akan menghukum ibu tua dan kau".
"Lalu bagaimana dengan kakak-kakak yang lain, ibu muda dan ayah?" bertanya gadis itu pula.
Sekali lagi halaman rumah Bango Samparan itu dicengkam oleh kediaman. Tetapi getar yang tersirat disetiap hati kini bernada jauh berbeda dengan ketegangan yang sudah terjadi.
Ujung pedang Ken Arok kini telah terkulai hampir menyentuh tanah, sedang telapak kakinya pun telah kehilangan daya tekanannya. Bahkan kemudian kaki itu perlahan-lahan ditariknya dan diletakkannya di atas tanah.
Kini seluruh perhatian terpancang kepada gadis kecil dan perempuan tua itu.Hampir setiap mata tidak berkedip memandang mereka dengan penuh kecemasan dan teka-teki di dalam diri masing-masing.
Jantung mereka serasa berhenti bergetar ketika mereka mendengar gadis kecil itu tiba-tiba bertanya, "Ibu, kenapa ibu menangis?"
Isteri tua Bango Samparan mengusap matanya. Mata itu kini sama sekali telah pudar. Dendam yang memancar dari padanya, telah padam seperti api yang tersiram air.
"Kenapa?" desak gadis kecil itu.
Perempuan tua itu tidak menjawab.Dengan mata yang buram dipandanginya setiap orang yang berada di halaman itu. Bango Samparan, adiknya yang menjadi isteri muda Bango Samparan, Panji Bawuk, Kuncang, Kunal, Kenengkung dan kemudian Ken Arok.
Tiba-tiba perempuan tua itu berdiri. Nafasnya menjadi tertahan-tahan oleh perasaannya yang bergejolak di dalam dirinya. Dibimbingnya gadis kecil itu melangkah meninggalkan mereka yang masih membeku di tempatnya.
"Kemana kita ibu?" bertanya gadis kecil itu.
"Marilah kita masuk Puranti. Aku mempunyai beberapa buah sawo kecik untukmu".
"Dari mana ibu dapatkan?"
"Aku dapatkan pagi-pagi tadi, anakku. Di bawah pohonnya".
Puranti tersenyum. Tetapi tiba-tiba langkahnya tertegun. Katanya, "Lalu bagaimana dengan ibu muda, ayah dan kakak-kakak itu?"
Isteri tua Bango Samparan itupun terhenti pula. Dipalingkannya wajahnya. Dipandanginya Ken Arok dengan wajah yang sayu. Dan tiba-tiba saja ia berkata dalam nada yang datar, "Tidak ada yang harus kau lakukan Ken Arok. Sebaiknya kita tidak membiarkan dendam membakar hati kita. Anak ini telah mengajari aku, dan sokurlah bahwa aku belum menjadi hangus dijilat oleh api kebencian dan dendam yang selama ini tersimpan di dalam dada". Perempuan tua itu berhenti sejenak. Sekali lagi dipandanginya adiknya yang menjadi isteri muda Bango Samparan, lalu, "Bukan kuwajiban kita untuk menentukan jalan hidup seseorang. Kita memang harus berusaha. Tetapi yang terakhir adalah Yang Maha Agung. Mudah-mudahan Yang Maha Agung berkenan merubah segala macam sifat yang ada pada diri adikku dan anak-anaknya. Semoga. Tetapi sudah tentu bukan jalan yang paling parah. Kematian. Tidak. Aku masih ingin melihat kesempatan bagi mereka untuk menyesali segala kekeliruan yang telah mereka perbuat".
Perempuan itu terdiam. Kemudian kaki-kakinya yang lemah melangkah kembali sambil membimbing Puranti masuk ke dalam rumah lewat pintu samping.
Mereka yang ditinggalkan di halaman masih juga membeku di tempat masing-masing. Mereka tidak segera tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan. Bango Samparan sama sekali tidak bergerak ditempatnya, sedang isterinya masih juga berlutut di tanah. Panji Bawuk masih terbaring diam, sedang Ken Arok kini berdiri di sisinya dengan penuh kebimbangan.
Angin yang silir telah mengusap wajah Ken Arok yang dengan bintik-bintik keringat dinginnya. Bahkan seluruh tubuhnya seolah-olah telah tersiram dengan air hujan. Basah oleh keringat.
Sejuknya angin yang berhembus lambat agaknya telah menyegarkan ingatan Ken Arok. Segera menyadari, bahwa ia harus mengambil keputusan. Karena itu, maka dicobanya untuk menenangkan hatinya sambil menarik nafas dalam-dalam.
Sikap Puranti benar-benar berkesan di hatinya. Gadis kecil itu benar-benar berhati bersih meskipun ia hidup diantara serigala-serigala liar yang buas.
"Masih juga dapat diketemukan sebutir mutiara di dalam lumpur yang paling kotor", berkata Ken Arok di dalam hatinya, "Sikap biyung Bango Samparan terhadap anak itu pasti bukan tanpa sebab. Agaknya anak itu adalah satu-satunya manusia yang masih memperhatikannya".
Tanpa sesadarnya Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditatapinya wajah Panji Bawuk dan adiknya berganti-ganti. Wajah yang tiba-tiba telah dicengkam kembali oleh ketegangan dan ketakutan.
Tetapi mereka menjadi terheran-heran. Ken Atok tiba-tiba saja menyarungkan pedangnya sambil berkata, "Ibu tua sudah menentukan keputusannya. Itu adalah ucapan hati seorang yang berbudi. Kalian telah mendengar apa yang dikatakannya. Ibu tua itu masih ingin melihat kalian mendapat kesempatan untuk menyesali kesalahan kalian selama ini. Karena itu tidak sepantasnya kalian dibunuh. Kalian harus dimaafkan, dan diberi kesempatan untuk menentukan sikap dan memaksa diri sendiri untuk meneliti, manakah yang benar dan manakah yang salah menurut penilaian yang wajar. Bukan menurut penilaian demi kepentingan kalian sendiri".
Isteri muda Bango Samparan menundukkan kepalanya. Sama sekali tidak diduganya, bahwa suatu ketika ia akan terbentur pada keadaan yang aneh baginya, tetapi serasa mengorek sampai kepusat jantungnya. Masih juga ada orang yang betapapun alasannya, memaafkan kesalahan yang telah diperbuatnya Meskipun orang itu dapat berbuat sekehendak hati atasnya dan anak-anaknya. Masih juga ada orang yang terpengaruh oleh kebeningan hati gadis kecilnya.Hal yang serupa itu tidak akan pernah terlintas di kepalanya dan kepala anak-anaknya. Mereka akan dengan bangga membunuh atau lebih jahat lagi dari padanya, dengan penuh kebengisan memperlakukan korbannya sewenang-wenang. Dera dan siksa.
Penuh dengan kebencian kepada sesama didorong oleh ketamakan dan kedengkian hati.
Dan kini tiba-tiba isteri muda Bango Samparan itu mendapat perlakuan yang berlawanan dari seseorang yang hampir saja menjadi korban kebenciannya. Hampir saja Ken Arok mereka perlakukan semena-mena seandainya tidak secara kebetulan Ken Arok mempunyai kelebihan dari mereka seluruhnya. Seandainya Ken Arok itu tidak mampu melawan senjata anak-anak Bango Samparan itu, maka Ken Arok akan menjadi makanan burung-burung gagak di atas anjang-anjang yang akan mereka buat di atas sebatang pohon.
Isteri muda Bango Samparan itu terperanjat ketika ia mendengarkan Ken Arok berkata, "Sekarang pergilah kalian. Aku tidak akan berbuat sesuatu. Aku akan segera meninggalkan tempat ini. Mudah-mudahan semuanya akan berubah. Terutama hati yang tersimpan di dalam dada kalian", Ken Arok berhenti sejenak sambil menatap wajah Panji Bawuk. Kemudian ia melanjutkan, "Aku dahulu adalah seorang penjahat yang paling liar dan buas. Yang sama sekali tidak mengenal peradaban, karena sejak aku dilahirkan aku sudah terbuang dari lingkungan peradaban manusia yang baik.Aku hidup diantara pencuri, penjudi dan kejahatan-kejahatan yang lain. Tetapi pada suatu saat aku menemukan kesadaran baru di dalam diriku, sehingga aku mendapat jalan untuk menempuh hidup dengan cara yang sekarang ini".
Tidak seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Dengan ragu-ragu mereka mendengar Ken Arok berkata selanjutnya, "Pergilah. Kenapa kalian diam membeku?" Lalu kepada Bango Samparan ia berkata, "Aku minta diri ayah".
Bango Samparan tergagap. Namun kemudian ia menyahut terbata-bata, "Jangan pergi dahulu Ken Arok. Baiklah kau singgah sebentar. Kau akan dapat lebih banyak memberikan jalan kepada kami. Mudah-mudahan kedatanganmu berpengaruh atas kami sekeluarga".
"Pikirkan saja kata-kataku. Kalau kalian dapat membuat membuat pertimbangan, maka kalian akan menemukan kesimpulan itu. Di rumah ini ada juga seorang yang berbudi dan seorang gadis kecil yang terlampau baik. Kepada mereka kalian dapat mencari percikan-percikan sinar yang dapat kau pakai untuk mencari jalan keluar dari kegelapan. Selebihnya, kalian harus selalu berusaha mendekatkan diri kepada sumber hidup kalian".
"Ya, ya", sahut Bango Samparan "Tetapi kau tidak boleh segera pergi. Kau harus tinggal di sini meskipun hanya semalam".
Ken Arok tidak segera menyahut. Tetapi terbayang keragu-raguan di wajahnya. Sekali ditatapnya wajah isteri muda Bango Samparan yang kini tertunduk lesu. Kemudian wajah anak-anaknya dan wajah Bango Samparan sendiri.
"Apakah kau masih ragu-ragu?" bertanya Bango Samparan, "Kami sudah benar-benar menyesali perbuatan kami. Kami tidak akan membuat jebakan atau pengkhianatan di malam hari seandainya kau bermalam di sini".
"Aku percaya" jawab Ken Arok "Tetapi aku ingin berjalan mengikuti langkah kakiku. Aku ingin melihat daerah-daerah yang terbuka untuk menyegarkan nalar dan perasaanku".
"Tetapi kau sudah sampai ke rumah ini. Aku memang bermaksud memintamu bermalam di rumah yang jelek ini. Mungkin ada kenangan yang dapat menumbuhkan ikatan baru di antara kita setelah selama ini kita seakan-akan tidak berhubungan lagi".
Ken Arok mengerutkan keningnya. Seakan-akan sesuatu telah mendesaknya untuk meninggalkan saja halaman rumah itu. Tetapi ia mendengar Bango Samparan berkata seterusnya "Atau kau anggap bahwa kau sudah tidak pantas lagi masuk ke rumah yang kotor ini?"
Ken Arok berdesah. Tetapi ia tidak dapat lagi menolak permintaan Bango Samparan untuk bermalam barang semalam di rumahnya. Karena itu, maka dengan ragu-ragu ia menjawab "Baiklah ayah, aku akan bermalam di rumah ini semalam".
"Terima kasih, terima kasih" Bango Samparan hampir berteriak. Kemudian dengan serta-merta ia meloncat menarik tangan Ken Arok masuk ke dalam rumahnya.
"Nanti dulu", Ken Arok pun hampir berteriak "Pakaianku".
"O", lalu Bango Samparan berteriak, "Kunal, bawalah bungkusan itu masuk".
"Biarlah aku sendiri yang membawanya" sahut Ken Arok.
Tampak wajah Bango Samparan berkerut sesaat. Namun kemudian ia berkata, "Baiklah Ken Arok. Memang sudah tidak ada seorang pun diantara kami yang dapat kau percaya".
"Bukan itu maksudku" berkata Ken Arok, "Aku hanya ingin tidak membuatnya repot".
Tetapi Bango Samparan tersenyum. Katanya, "Baiklah, apapun alasanmu, namun aku dapat meraba perasaanmu. Tetapi ini sama sekali bukan salahmu atau bahwa kau terlampau berprasangka atas kami. Memang salah kami sendirilah, bahwa kami telah membuat orang lain kehilangan kepercayaan kepada kami".
"Kau menangkap sikapku terlampau jauh".
Bango Samparan tidak menjawab lagi. Dibiarkannya Ken Arok melangkah mengambil sebuah bungkusan. Bungkusan pakaian yang dibawanya.
Ketika Ken Arok dan Bango Samparan telah hampir melangkahi tlundak pintu, tiba-tiba Bango Samparan berhenti sejenak sambil berpaling, "He, anak-anak. Tangkap dua ekor ayam kita yang paling gemuk. Kita merayakan hari yang baik ini".
Panji Bawuk yang sudah bangkit dan duduk di tanah memandang ayahnya dengan heran. Kemudian ditatapnya wajah ibunya yang termangu-mangu.
"He, kenapa kalian menjadi bingung" teriak Bango Samparan "Tangkap dua ekor ayam yang paling gemuk".
Namun anak-anaknya dan isteri mudanya masih juga kebingungan. Sehingga mereka sejenak hanya saling memandang sambil bertanya-tanya di dalam hati.
Tetapi Ken Arok yang pernah tinggal di rumah itu, dapat mengerti maksud Bango Samparan. Karena itu maka segera ia menyahut, "Kalian tidak usah bingung. Bukankah kalian telah berjanji untuk memperbaiki semua kesalahan dan tingkah laku?"
Sepercik warna merah menyambar wajah Bango Samparan. Sejenak ia diam mematung sambil memandang wajah Ken Arok. Sedang anak-anaknya dan isteri mudanya masih saja tidak beranjak dari tempatnya.


02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan tiba-tiba Bango Samparan tersenyum sambil bertanya, "Kenapa dengan ayam yang dua ekor itu" Aku kira tidak ada hubungan apapun dengan janji kami untuk memperbaiki tingkah laku kami".
"Aku tahu ayah" sahut Ken Arok, "Kalian tidak mempunyai dua ekor ayam itu. Ayah masih juga mempunyai kebiasaan itu. Kebiasaan yang mengasingkan ayah dari pergaulan".
"Tetapi, tetapi ?" Bango Samparan tergagap.
"Adalah kebiasaan ayah dan anak-anak ayah yang sudah mulai liar itu dengan menangkap ayam siapapun yang berkeliaran di jalan-jalan. Kebiasaan itu pun harus ditinggalkan. Kalian harus menyadari akibat dari kebiasaan itu. Puranti tidak dapat berkawan dengan siapapun. Itu sama sekali bukan salah Puranti. Tetapi salah kalian. Sedang Puranti hanya menerima akibat dari perbuatan kalian".
"Oh, tidak. Tidak Ken Arok. Maksudku, aku mempunyai beberapa ekor ayam sendiri".
Ken Arok menggeleng-geleng, "Seandainya ada, pasti ayam-ayam itu sudah habis kalian makan sendiri".
Bango Samparan menundukkan kepalanya. Agaknya Ken Arok yang memang sudah mengenal keadaannya itu tidak dapat dikelabuinya, sehingga suara Bango Samparan itu merendah, "Kau benar Ken Arok. Tetapi jika tidak demikian, kami tidak mempunyai apapun untuk menjamumu" Bango Samparan berhenti sejenak. Lalu kepada isteri mudanya ia bertanya, "Apakah kita mempunyai sesuatu di rumah sepeninggalku?"
Isterinya menggelengkan kepalanya perlahan-lahan. Jawabnya, "Tidak. Tetapi aku masih mempunyai beberapa mangkuk beras".
"Bagus" tiba-tiba Bango Samparan berteriak, "Kau menanak nasi.Aku akan mencari lauk di tegalan".
"Apa yang akan kau cari?" bertanya Ken Arok.
"Kijang atau kancil".
"Sampai besok kau tidak akan dapat".
"Kalau begitu ayam alas".
"Terlalu sukar dicari disiang hari".
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia ber bisik, "Bagaimana kalau kelinci?"
Ken Arok menggelengkan kepalanya. Hampir saja ia tidak berhasil menahan tertawanya. Sambil menunjuk buah kelapa yang bergayutan ditangkainya ia berkata, "Bukankah dengan kelapa muda kita dapat membuat bermacam-macam lauk".
"O, ya, ya. Kau masih seperti dulu Ken Arek. Kalau tergesa-gesa, kau makan saja nasi dengan kelapa parut".
"Itu lebih baik dari pada kita makan ayam panggang milik tetangga".
"Eh" kembali wajah Bango Sambaran dijalari oleh warna-warna merah. Katanya kemudian, "Baiklah. Baiklah kita makan dengan kelapa parut".
Sebelum Ken Arok menyahut, maka sekali lagi Bango Samparan menyeretnya masuk ke dalam rumah yang kotor itu.
Ketika Ken Arok telah hilang dibalik pintu, maka perlahan-lahan Panji Bawuk bangkit berdiri tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia berjalan dengan kepala tunduk kebelakang rumahnya. Kemudian melepaskan pakaiannya yang kotor. Dibantingnya dirinya dibelakang kandang yang kosong.Sambil berbaring hanya dengan celananya yang kumal, ia memandangi langit yang biru.
Dilihatnya segumpal awan yang putih terbang seperti kapas tertiup angin. Hanyut perlahan-lahan ke utara. Sedang burung-burung yang berterbangan seakan-akan telah mengisi kekosongan langit yang tiada bertepi.
"Alangkah luasnya" tanpa sesadarnya ia berdesis, "Jauh lebih luas dari kenungkinan yang pernah aku angan-angankan".
Panji Bawuk menarik nafas dalam-dalam. Peristiwa yang baru saja terjadi telah menumbuhkan persoalan yang panas di dalam dirinya. Ia tidak dapat lagi membutakan mata hatinya, bahwa sebenarnyalah ia telah sesat memilih jalan. Lingkungannya dan tuntunan yang diterimanya sejak kanak-kanak. Pertengkaran dan perselisihan. Kegelapan den ketiadaan jalan yang lain. Kini tiba-tiba seperti terbangun dari mimpinya yang dahsyat, ia melihat bentangan langit yang biru bersih.
"Dibawah langit ini ada berjuta-juta macam persoalan peristiwa dan berjuta-juta cara penyelesaiannya. Tetapi di bawah langit ini ada berjuta-juta manusia dalam kediriannya masing-masing, dalam pendiriannya masing-masing dan dalam keutuhannya masing-masing", Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Kemudian ia berdesah pula "Sebenarnyalah kata Ken Arok. Kalau semua pihak berbuat menurut kehendak dan kesenangan sendiri, maka alangkah ngerinya hidup di dalam dunia ini. Sebenarnyalah kata Ken Arok bahwa kita masing-masing hurus berusaha mendekatkan diri kepada sumber hidup ini. Apabila setiap orang berusaha demikian, maka dunia akan menjadi sebuah taman raksasa yang paling indah".
Sekali lagi Panji Bawuk menarik nafas dalam-dalam. Angin yang lembut mengusap tubuhnya yang kotor dan berkeringat. Meskipun masih juga terjadi benturan-benturan yang tegang di dalam dirinya, tetapi ia berusaha untuk mengerti, apa yang baru saja didengarnya dari Ken Arok.
Dalam pada itu, isteri muda Bango Samparan sibuk mengumpulkan kayu. Kuncang dengan penuh pertanyaan di dalam dirinya tentang peristiwa yang baru saja dialami, duduk tepekur di sudut rumahnya. Sedang Kunal dengan tangkasnya memanjat sebatang pohon kelapa. Seperti Kenengkung, ia tidak mempunyai perasaan apapun selain kegembiraan yang meluap. Ia merasa beruntung bahwa Ken Arok tidak menghukumnya. Itu saja.
Sambil menunggu jamuannya, Ken Arok berbicara tentang berbagai persoalan dengan Bango Samparan berbicara seperti gerojogan.Tanpa henti-hentinya. Dari satu soal ke soal yang lain. Tentang kedua isterinya dan tentang anak-anaknya.
Sementara itu nasi pun menjadi masak dan dengan kelapa parut dihidangkan untuk menjamu Ken Arok yang menanggapinya dengan baik, seperti pada masa-masa ia berada di rumah itu.Makan dengan kelapa parut dan garam. Terlebih enak lagi adalah keraknya yang tidak terlampau keras.
Pada malam harinya Ken Arok benar-benar bermalam di rumah itu. Namun sampai jauh malam ia tidak sempat beristirahat. Di seputar lampu minyak ia duduk bersama-sama dengan Bango Samparan, kedua isterinya dan anak perempuannya Puranti.
Menilik percakapan itu, maka Ken Arok mempunyai harapan yang baik, bahwa keluarga Bango Samparan akan dapat mengubah cara hidupnya. Isteri mudanya telah banyak merasa bersalah. Demikian pula Bango Samparan sendiri. Sedang keempat anak laki-lakinya agaknya masih belum merasa bebas untuk duduk bersamanya.
Jilid 45 BERBAGAI MACAMpertanyaan dari Bango Sandaran dan kedua isterinya harus dijawab. Tentang keadaan dirinya, keadaan istana Tumapel dan bahkan tentang Akuwu Tunggul Ametung dan Perniaisurinya Ken Dedes.
"Apakah Permaisuri Akuwu Tumapel itu cantik sekali ibu"," tiba-tiba Puranti bertanya kepada isteri tua Bango Samparan.
"Aku belum pernah melihatnya" jawab perempuan tua itu, "bertanyalah kepada kakakmu."
Puranti ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia bertanya, "Apakah Permaisuri itu terlampau cantik kakang?"
Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang mengetahui bahwa dada anak muda itu bergeletar dahsyat sekali. Pertanyaan itu benar-benar telah menyentuh jantungnya yang berdenyut semakin keras.
"Benarkah begitu kakang?"
Ken Arok mengangguk perlahan-laban.Jawabnya, "ya Puranti. Permaisuri itu cantik sekali."
Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sesuatu maksud ia berkata, "Kalau kakang kelak menjadi seorang Akuwu, maka sudah tentu isteri kakang pun akan cantik sekali seperti Ken Dedes."
Ken Arok tahu benar, bahwa gadis kecil itu tidak menyadari apa yang diucapkannya. Karena itu, maka betapa hatinya bergetar karenanya, namun ia mencoba tersenyum dan menjawab, "Ah, bagaimana mungkin kakang menjadi seorang Akuwu. Akuwu adalah pangkat turun-temurun seperti seorang raja. Seperti juga Maharaja dari Kediri. Kalau lebih kecil dari padanya adalah seperti Ki Buyut di Karuman ini."
Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan terdengar lagi pertanyaan kekanak-kanakannya, "Jadi kalau bukan anak Akuwu, tidak akan mungkin seseorang menjadi Akuwu, atau Maharaja atau bahkan Buyut sekalipun?"
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya, "Memang tidak mungkin."
Puranti masih mengangguk-angguk. Namun terdengar suara Bango Samparan, "Tidak selalu Puranti. Meskipun ia bukan keturunan Akuwu, seseorang mungkin saja menjadi seorang Akuwu."
"Ah" desah Ken Arok, "itu tidak mungkin."
"Kau memperkecil peranan nasib, Ken Arok" sahut Bango Samparan, "seseorang yang bernasib baik, akan mungkin sekali meloncat pada suatu jabatan yang tidak terduga-duga. Seperti Ken Dedes misalnya. Seorang gadis padesan yang selama masa hidupnya ia tidak akan pernah bermimpi menjadi seorang Permaisuri kalau nasib tidak merenggutnya dari dunianya yang lama itu, melemparkannya ke singgasana seorang Permaisuri di Tumapel.
"Tetapi ia tidak menjadi seorang Akuwu.Adalah mungkin sekali ia menjadi seorang Permaisuri, karena jabatan seorang Permaisuri bukan jabatan turun-temurun."
"O" seru Bango Samparan, "kau adalah seorang prajurit Tumapel. Kau pasti tahu, bahwa seandainya seorang Akuwu mempunyai anak perempuan dan tidak mempunyai anak laki-laki. Kemudian anak perempuannya kawin dengan seseorang yang bukan keturunan Akuwu, maka ia akan menjadi Akuwu."
"Tidak ayah" jawab Ken Arok, "ia tidak akan menjadi seorang Akuwu selama tidak ada penyerahan secara resmi dari isterinya. Kalau suami itu meninggal, maka jabatan itu akan berpindah dengan sendirinya kepada suaminya yang baru apabila ia kawin lagi."
Bango Samparan mengerutkan keningnya, Lalu perlahan-lahan ia bergumam, "Kecuali dengan pemberontakan."
"Itu, persoalan lain ayah. Pemberontakan mempunyai akibat yang lain. Memang mungkin seseorang akan dapat merebut kekuasaan. Tetapi ia harus berdiri di atas timbunan mayat-mayat korban pemberontakannya di kedua belah pihak."
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata lirih, "Jadi, jalan menuju ke jabatan itu memang sudah buntu. Bagaimanapun juga."
"Apakah kepentingan kita dengan jabatan-jabatan serupa itu" desis Ken Arok, "marilah kita berbicara tentang hal-hal yang lain, yang lebih menarik tentang diri kita sendiri"
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia masih juga berkata, "Tidak selamanya pemberontakan itu salah."
"Bagaimanapun juga jalan itu adalah jalan yang paling mengerikan, kebencian akan meledak bercampur baur dengan dendam dan pamrih pribadi."
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya Namun tiba-tiba seperti orang terbangun dari tidurnya ia berkata lirih, "He, bukankah kekuasaan Tumapel kini ada di tangan Ken Dedes?"
Pertanyaan itu menyambar dada Ken Arok seperti hentakan guruh di dalam dadanya. Sejenak ia diam mematung namun terasa nafasnya menjadi tersengal-sengal.
"Mustahil kalau kau tidak mendengarnya. Akuwu Tunggul Ametung telah menyerahkan apa saja kepada Permaisurinya. Kekuasaan atas Tumapel termasuk di dalamnya. Bukankah begitu" Apakah pendengaranku ini salah?"
Kini, Darah Ken Arok serasa semakin cepat mengalir. Dadanya berdebaran dan kepalanya menjadi pening, Ia sendiri tidak tahu, kenapa kata-kata Bango Samparan itu membuatnya terlampau gelisah.
"Bukankah begitu Ken Arok?" bertanya Bango Samparan pula.
"Aku tidak tahu, aku tidak tahu" jawab Ken Arok sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tetapi Bango Samparan justru tertawa. Katanya, "Hal itu bukan merupakan rahasia lagi, Ken Arok."
Ken Arok mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sejenak ia diam mematung memandangi lampu minyak yang bergetar oleh angin yang menyusup dari sela-sela dinding.
"Hampir setiap orang mempersoalkannya dahulu" Bango Samparan meneruskan, "tetapi sekarang orang telah melupakannya."
"Apa saja yang akab dilakukan oleh Akuwu, bukanlah persoalan kita" sahut Ken Arok tiba-tiba.
Bango Samparan tertawa. Katanya, "Seandainya, ya, seandainya Akuwu Tunggul Ametung tidak ada lagi, dan Ken Dedes kemudian kawin lagi, apakah suaminya juga berhak menjadi Akuwu apabila Ken Dedes bersedia menyerahkan kekuasaan itu dengan resmi."
"Aku tidak tahu" suara Ken Arok mengeras, "itu bukan urusanku."
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih berkata, "Aku hanya ingin tahu, Ken Arok. Aku hanya ingin menjawab pertanyaan Puranti, apakah kalau seseorang bukan keturunan Akuwu untuk selamanya tidak akan dapat menjabat jabatan itu. Seandainya suami Ken Dedes kelak setelah Akuwu Tunggul Ametung meninggal dapat menggantikannya, maka ternyata bahwa seseorang dari lingkungan yang lain, mungkin seorang dari lingkungan pidak pedarakan akan mampu menjadi seorang Akuwu."
"Tidak ada gunanya kita berbicara tentang hal itu. Tidak ada gunanya. Marilah kita berbicara tentang yang lain?"
"Ya, ya. Kita akan berbicara tentang yang lain. Namun aku hanya akan sekedar mengatakan, bahwa seseorang dapat saja dikendalikan oleh nasib menjadi seorang Akuwu. Nasib yang terlampau baik, seperti kau misalnya. Tidak mustahil bahwa suatu ketika kau menjadi seorang Akuwu karena sebab-sebab yang tidak langsung. Kau masih muda dan cukup tampan."
"Cukup, cukup," tiba-tiba Ken Arok itu berteriak sehingga Puranti menjadi terkejut dan meloncat memeluk ibu tirinya. Dengan dada yang gementar dipandanginya Ken Arok dengan wajah yang bertanya-tanya.
Ken Arok yang melihat wajah Puranti menjadi pucat, tiba-tiba menyadari keadaannya. Dengan kepala tunduk ia berkata perlahan-lahan, "Maafkan aku."
Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Ya, ya. Aku maafkan kau. Eh, maksudku, aku juga minta maaf. Mungkin kata-kataku tidak menyenangkan hatimu, atau barangkali kau memang belum pernah mempertimbangkannya, sehingga kau masih saja menganggap hal yang demikian itu mustahil."
Kalau Ken Arok tidak berusaha sekuat tenaganya, maka ia pasti akan berteriak lagi. Tetapi ditahankannya kejengkelannya di dalam dadanya, sehingga dada itu serasa menjadi sesak.
"Baiklah" berkata Bango Samparan kemudian, "kau benar-benar tidak ingin mengetahui tentang nasibmu yang teramat baik. Aku tidak akan membuatmu kecewa. Sebagai tuan rumah aku akan berusaha membuat tamuku menjadi senang. Nah, sekarang, apakah yang akan kita bicarakan."
Pertanyaan itu justru membuat Ken Arok terdiam. Tiba-tiba saja ia menjadi kaku dan setiep kali dadanya menjadi berdebar-debar tanpa sebab.
Karena Ken Arok tidak segera menyahut, maka Bango Samparan bertanya pula, "Apakah kau mempunyai kesenangan berbicara tentang sesuatu hal" Tentang kuda misalnya, atau tentang pusaka atau tentang kukila " Heh, bukankah seorang laki-laki harus memiliki beberapa kelengkapan kejantanannya" Kuda, pusaka, kukila , dan diantaranya wanita. Mana yang paling kau sukai di antara sembilan unsur yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki jantan. Seorang satria?"
Ken Arok menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak ada satu pun. Kejantanan seseorang tidak terletak pada kelengkapan kesembilan unsur-unsur itu. Tetapi di sini, di dalam dada ini."
Bango Samparan tertawa terkekeh-kekeh, "O, kau memang masih terlampau hijau. Apakah kau kira bahwa kesembilan unsur itu berbentuk wadag seperti namanya. Kuda misalnya. Apakah kau kira unsur ini benar-benar seekor kuda yang betapa pun baiknya" Tidak Ken Arok. Unsur ini adalah unsur gerak, dari seorang laki-laki. Tangkas dan lincah dalam menanggapi segala persoalan. Demikian juga unsur-unsur yang lain. Wanita misalnya. Bukan berarti seorang perempuan yang cantik seperti Permaisuri itu. Tidak, meskipun hal itu juga penting bagi seseorang. Tetapi eh, barangkali, aku sendiri kurang mengerti, maksudnya adalah sifat melayani, memelihara dan menjaga. Bukankah begitu?"
Ken Arok mengerutkan keningnya. Ternyata Bango Samparan mengerti juga serba sedikit tentang berbagai macam sifat, yang pernah juga didengarnya. Tetapi terlampau banyak untuk mengingat-ingat sembilan macam kelengkapan seorang ksatria. Sehingga Ken Arok itu pun menjawab, "Ayah, aku tidak ingat lagi, apa saja kesembilan sifat yang harus dimiliki oleh seorang ksatria dengan melambangkannya atas berbagai macam ujud itu. Aku memang pernah mendengarnya pula dengan berbagai macam uraiannya. Tetapi bagiku, yang terlebih penting, bukanlah sifat-sifat yang dapat dilambangkan dengan berbagai macam ujud itu. Yang terpenting menurut seseorang yang paling aku percaya yang selama ini telah mem bimbing aku, sifat seorang ksatria adalah sifat yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang. Tidak ada bedanya. Yaitu kasih. Kasih setulus bati kepada Sumber Hidupnya dengan segala macam penyerahan yang murni, dan kasih kepada sesama hidupnya. Itu saja. Tetapi yang dua itu adalah keseluruhan dari hidup ini. Hidup kita, hidup semesta sebagaimana ia dilahirkan."
Bango Samparan mendengarkan kata-kata Ken Arok itu dengan mata tanpa berkedip. Sekali-sekali ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan sekali dahinya berkerut-merut. Ketika ia berpaling kepada isteri mudanya dan kemudian istri tuanya, tampaklah kesan kesungguhan di wajah mereka. Sedangkan Puranti yang kecil itu pun agaknya telah mencoba untuk mengerti kata-kata Ken Arok. Tetapi justru karena hatinya yang bening, maka agaknya ia cepat menangkap maksudnya meskipun secara naluriah.
Perlahan-lahan ia bertanya dengan ragu-ragu, "Kalau begitu, bukankah kita tidak boleh saling membenci?"
"Tepat" sahut Ken Arok, "kita tidak boleh saling membenci."
"Aku juga tidak membenci" anak itu seolah-olah bergumam untuk dirinya sendiri, "tetapi kawankulah yang membenci aku karena aku anak ayah Bango Samparan. Kalau begitu mereka kurang baik menurut penilaian kakang Ken Arok. Bukankah begitu?"
"Ya, ya" Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sulitlah baginya untuk berkata lebih panjang lagi dihadapan gadis kecil itu. Ken Arok tahu bahwa anak-anak kawan Puranti itu pasti mendapat pesan dari orang tua masing-masing, supaya anak-anaknya tidak bermain-main dengan anak Bango Samparan. Ken Arok dapat mengerti sikap dan pendirian itu. Tetapi, tidak seharusnya mereka membenci pula Puranti.
Namun kecemasan mereka adalah wajar sekali, meskipun bukan itulah yang paling benar. Sebab dengan demikian. Di dalam hati mereka telah tumbuh pula kebencian Kebencian terhadap sesamanya yang sedang tersesat. Tetapi, adalah terlampau sulit untuk dapat menempatkan diri pada landasan yang benar seluruhnya, benar mutlak. Sebagaimana seharusnya mereka sama sekali tidak boleh membenci orang semacam Bango Samparan seperti tidak boleh membenci sesamanya. Justru mereka harus berbelas kasihan kepada mereka yang telah menempuh jalan sesat.
Dengan demikian bukan berarti bahwa kebenaran itu harus dilepaskan. Bukan berarti bahwa ada pengecualian dalam mengetrapkan kasih antara sesama. Apakah sesama itu seorang yang mulus seputih kapas, ataukah sesama itu telah berlumuran noda yang seolah-olah tidak terhapuskan.Kepada mereka yang telah tersesat itulah kita justru harus menunjukkan rasa kasih kita. Kita harus menumpahkan belas kasihan dan berusaha membimbing mereka. Bukan justru kita asingkan.
Namun disadari, itu adalah warna tertinggi dari hidup yang sulit ini.
Ken Arok tersadar ketika ia mendengar Puranti berkata, "Kalau begitu, aku harus memberitahukan kepada mereka, bahwa mereka tidak boleh membenci aku, sebab aku pun tidak boleh membenci mereka. Selebihnya kita tidak boleh saling membenci.
"Ah" tiba-tiba isteri tua Bango Samparan berdesah, "bukan kau yang wajib memberi tahukan kepada mereka, Puranti. Mereka pasti tidak akan mendengarkannya.
"Bukan salahku ibu. Kalau mereka tidak mau mendengarkan, itu adalah salah mereka sendiri. Mereka tidak mau menerima petunjuk arah dari jalan mereka yang salah. Tetapi aku sudah mencoba."
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Pikiran itu adalah pikiran anak-anak yang menarik garis lurus langsung dari kata-katanya tanpa mempertimbangkan pengaruh dan keadaan.
"Itu baik Puranti" berkata Ken Arok, "tetapi kau tidak boleh kecewa kalau kata-katamu itu tidak mereka dengar, dan bahkan mungkin akan mereka tertawakan."
"Tentu tidak" sahut gadis kecil itu, "tetapi itu akan lebih baik dari pada aku tidak mengatakan apapun kepada mereka."
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya perlahan-lahan seperti ditujukan kepada diri sendiri, "Tetapi ada jalan lain yang lebih baik dari itu, lebih bermanfaat dan akan lebih cepat berhasil."
Puranti mengerutkan keningnya, "Apakah jalan itu"Aku akan melakukannya apabila aku dapat."
Ken Arok menggeleng, jawabnya, "Bukan kau yang harus melakukannya Puranti, tetapi ayah dan ibu."
Sepercik pertanyaan membayang di wajah anak itu. Tanpa ditadarinya ditatapnya wajah ayahnya, ibunya dan ibu tuanya, seolah-olah ia ingin mendapat penjelasan dari orang tuanya.
Bango Samparan menundukkan kepalanya, terlebih-lebih lagi isteri mudanya, yang seolah-olah ingin menyembunyikan wajahnya dari sentuhan lampu minyak yang berkeredipan dibelai angin."
"Apa yang harus dilakukan oleh ayah dan ibu-ibuku?" bertanya gadis kecil itu.
"Ayah dan ibu-ibumu sudah tahu Puranti" jawab Ken Arok.
Puranti menjadi semakin tidak mengerti. Dengan jujur ia bertanya, "Apakah ayah dan ibu sudah tahu?"
Bango Samparan mengangguk lemah.
"Kalau demikian kenapa ayah dan ibu tidak melakukannya sejak dahulu" Jika demikian aku pasti sudah mempunyai kawan. Aku tidak akan selalu bermain-main sendiri atau dengan ibu tua saja."
Dada Bango Samparan terasa berdentang keras sekali. Sejenak ia diam membisu. Namun ia berpaling ketika di dengarnya isteri mudanya terisak.
"Ibu menangis?" bertanya Puranti.
Ibunya menggeleng, "Tidak Puranti."
Puranti mengerutkan keningnya. Gadis kecil itu melihat setitik air mata di pelupuk mata ibunya yang tunduk. Ia mendengar isak yang tertahan. Tetapi ibunya berkata bahwa ia tidak menangis. Memang Puranti belum pernah melihat ibunya itu menangis. Perempuan itu terlampau garang baginya. Yang sering dilihatnya menangis adalah ibu tuanya. Tetapi kali ini ibu tua itu malah tidak menangis. Yang menangis adalah ibu mudanya, ibunya sendiri.
Sejenak ruangan dalam rumah Bango Samparan yang kotor itu menjadi sepi. Yang terdengar adalah isak dan nafas isteri muda Bango Samparan yang serasa memburu di dadanya.
Ken Arok sendiri duduk sambil menundukkan kepalanya. Tetapi ia merasakan pergolakan yang terjadi di setiap dada mereka yang berada di dalam ruangan itu.
Diam-diam ia merasa syukur, bahwa kedatangannya dapat menumbuhkan suatu perkembangan yang baik di dalam rumah ini. Menilik sikap mereka saat ini, maka sepercik penyesalan telah melonjak di dalam setiap dada mereka yang merasa bersalah. Bahkan Ken Arok yakin, bahwa anak-anak Bango Samparan yang lain pun pasti akan mempertimbangkan peristiwa yang siang tadi telah terjadi.
Sementara itu, maka malam pun merambat semakin dalam. Di kejauhan terdengar suara burung hantu seolah-olah memekik-mekik disela-sela derik cengkerik yang berkepanjangan.
Kediaman di dalam rumah Bango Samparan itu pun kemudian dipecahkan oleh Puranti yang menguap sambil berkata kepada isteri tua Bango Samparan, "Aku sudah mengantuk ibu."
"O" sahut ibu tua, "baiklah kau tidur Puranti."
"Apakah ibu akan berceritera seperti kemarin tentang seorang pangeran yang berpura-pura dungu?"
Isteri tua Bango Samparan tersenyum. Jawabnya, "Tidak Puranti. Hari telah larut malam. Sebaiknya kau segera tidur saja. Kalau aku berceritera, kau selalu bertanya-tanya, sehingga dengan demikian kau tidak tidur-tidur juga."
"Tetapi aku senang mendengar ceritera itu ibu, atau barangkali ceritera yang lain"Seorang gembala yang kawin dengan puteri raja dan kemudian menjadi raja meskipun ia bukan keturunan raja?"
"Ah" sahut ibunya. Sedang Ken Arok pun menarik nafas dalam-dalam.
"Bukankah gembala itu membunuh seorang raja muda yang seharusnya menjadi suami puteri raja itu?"
"Tidurlah" potong ibu tua.
Puranti sejenak memandang berkeliling. Ketika dipandanginya ayahnya, maka Bango Samparan itu pun berkata, "Tidurlah."
"Ya tidurlah" sambung ibu muda.
Puranti menguap sekali lagi, lalu katanya, "Aku akan tidur."
Perlahan-lahan Puranti berdiri, kemudian melangkah ke dalam biliknya. Direbahkannya dirinya di atas pembaringannya, sebuah amben bambu yang dialasi dengan sebuah tikar yang telah lusuh dan sobek. Tetapi Puranti tidak memperhatikannya lagi. Setiap malam ia tidur di amben itu. Kadang-kadang bersama isteri tua Bango Samparan. Tetapi kadang-kadang ibu tuanya itu tidak berani masuk dan tidur di serambi belakang. Purantilah yang kadang-kadang mencari ibu tua itu dan tidur bersamanya di serambi belakang, apabila ibunya sendiri sedang marah-marah.
Sepeninggal Puranti, maka yang lain-lain pun telah mulai dirayapi kantuk pula! Ken Arok yang agak lelah telah tidak bernafsu lagi bercakap-cakap lebih lanjut. Karena itu, maka katanya, "Aku minta diri untuk beristirahat ayah. Aku sudah terlalu lelah."
"O, baik, baiklah" tetapi kemudian Bango Sampar an itu mengerutkan keningnya, "dimana kau akan tidur?"
Sudah tentu Ken Arok tidak dapat menjawab pertanyaan itu sehingga untuk sejenak ia terdiam, bahkan menjadi agak bingung.
"O, seharusnya akulah yang menunjukkan tempat untukmu" dengan tergesa-gesa Bango Samparan menyambung, "tetapi aku juga tidak tahu, apakah ada tempat untukmu."
"Ah" Ken Arok menyahut, "jangan ribut. Aku dapat tidur dimana saja."
"Tetapi kau tamu disini."
"Aku pernah menjadi penghuni rumah ini. Aku da pat tidur disini."
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baiklah" katanya, "tidurlah disini."
Sesaat kemudian Ken Arok telah ditinggalkan sendiri di tempatnya. Bango Samparan sendiri pergi keluar rumah dan tidur di emper depan di atas jerami kering, setelah menyingkirkan lampu minyak dan meletakkannya pada ajuk-ajuk di sudut ruangan.
Ken Arok membaringkan dirinya ketika ayam jantan terdengar berkokok untuk yang pertama kalinya.
"Tengah malam" desisnya. Namun justru setelah ia berbaring maka kantuknya seolah terusir dari dirinya.
Tetapi, dalam pada itu, kenangan dan angan-angannyalah yang membubung tinggi menyelusuri bintang-bintang dilangit.
Tiba-tiba ia menggeretakkan giginya ketika terbayang wajah Permaisuri Tumapel yang pernah dilihatnya memancarkan nyala dari tubuhnya.
"Hem" ia berdesah. Tetapi bayangan itu justru menjadi semakin nyata di pelupuk matanya. Bahkan seolah-olah mencengkamnya dalam satu pesona yang tidak mungkin dihindarinya lagi.
Ketika Ken Arok mencoba memejamkan matanya, maka bayangan itu menjadi semakin jelas. Wajahnya semakin nyata dalam warna yang cemerlang. Dan tiba-tiba seperti di dalam mimpi ia mendengar Permaisuri itu bertanya kepadanya, "Apakah kau akan berceritera tentang seorang pangeran yang berpura-pura dungu?"
Ken Arok menjadi bingung. Namun bayangan itu berkata pula sejelas ia mendengar suara kokok ayam di kejauhan, "Atau barangkali ceritera yang lain" Ceritera tentang seorang gembala yang kawin dengan puteri raja dan kemudian menjadi raja meskipun ia bukan keturunan raja."
Ken Arok menggeram. Tiba-tiba ia berbalik menelungkup kan dirinya dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Tetapi bayangan itu masih jelas dilihatnya.
Tetapi kini yang didengar adalah suara yang lain. Suara yang seolah-olah bergema di langit yang luas, "Nasibmu terlampau baik Ken Arok. Nasibmu memang terlampau baik."
Kegelisahan dihati Ken Arok tiba-tiba mcmanjat sampai keubun-ubun.Dikatubkannya bibirnya rapat-rapat dan ditutupnya telinganya dengan kedua ujung jari telunjuknya. Namun suara itu kini serasa melingkar-lingkar di dalam dadanya, "Nasibmu memang terlampau baik. Nasibmu memang terlampau baik."
Dan menggema pulalah suara kecil, "Apakah hanya keturunan raja saja yang dapat menjadi seorang raja?"
"Oh, gila, gila" Ken Arok menggeram. Tiba-tiba ia bangkit dan duduk sambil menggeretakkan giginya.
Ketika ia memutar pandangan matanya, maka ruangan itu seolah-olah ditabiri oleh warna hitam yang kelam. Dari dalam bilik di samping ruangan itu membayang warna lampu minyak yang kemerah-merahan. Agaknya lampu di dalam ruangan itu telah padam.
"Hem" Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia telah terlempar ke dalam suatu keadaan yang tidak dapat dihindarinya. Ia tidak akan dapat ingkar lagi. Bahwa sebenarnyalah ia telah jatuh hati kepada Permaisuri Ken Dedes.
Perasaan itu telah mencengkam perasaannya tanpa dapat dilawannya lagi. Kepergiannya dari Tumapel adalah suatu usaha untuk menghindarkan diri dari perasaan yang akan berlarut-larut memukau hatinya. Tetapi agaknya ia tidak dapat lagi menghindar kemana saja ia pergi.
"O, kenapa ujung-ujung senjata Panji Bawuk tidak me robek dadaku saja, sehingga aku akan terlepas dari perasa an ini" Aku akan terlepas dari pengkhianatan meskipun baru di dalam angan-angan. Karena Ken Dedes adalah isteri Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, isteri junjunganku. Aku tidak akan dapat berbuat apapun seandainya Ken Dedes itu sekedar isteri seorang kawanku, bahkan isteri bawahanku sekalipun, karena perbuatan demikian adalah perbuatan yang terkutuk. Apalagi ia adalah seorang Permaisuri tempat aku menghambakan diri. Lebih dari pada itu, Tunggul Ametung lah yang telah mengambil aku dari dalam lumpur kehinaan dan hitam pekat, yang seakan-akan telah memindah aku dari rumah semacam ini keistana Tumapel yang megah. Bahkan Tunggul Ametung telah pernah pula menyelamatkan nyawaku, ketika aku membuka susukan induk di Padang Karautan, ketika bendungannya sedang dihantam banjir.
Hampir-hampir Ken Arok tidak dapat menahan diri lagi untuk tetap berada di tempatnya. Seakan-akan sesuatu telah mendorongnya untuk pergi meninggalkan rumah itu, mengembara menyelusuri jalan-jalan padesan yang gelap. Mencari-cari persoalan untuk melupakan Ken Dedes dari angan-angannya.
Ternyata pertanyaan1 Puranti yang kecil itu telah menuntunnya ke dalam angan-angan yang semakin menakutkan baginya, Meskipun Ken Arok sadar, bahwa gadis itu sama sekali tidak bersalah, karena tanpa kesengajaan ia mengucapkan pertanyaan yang tersimpan di dalam hatinya dengan kejujurannya yang bersih.
"Aku harus dapat melawan perasaan ini", sekali lagi Ken Arok menggeram sambil membantingkan dirinya berbaring di lantai beralaskan sebuah tikar yang kumal.
Dengan sekuat tenaganya ia telah melawan perasaan yang tiba-tiba saja tumbuh. Tetapi betapa sulitnya. Bahkan tiba-tiba terngiang di kepalanya suara itu lagi, "Seandainya Tunggul Ametung sudah tidak ada."
Ken Arok hampir saja berteriak. Untunglah tangannya secara naluriah telah membungkam mulutnya sendiri, sehingga ia tidak mengejutkan seisi rumah di malam yang larut itu.
Tetapi tiba-tiba Ken Arok mendengar sesuatu berderik di pintu ruangan itu. Semakin lama semakin jelas. Dengan matanya yang tajam yang seakan-akan mampu menembus kegelapan ia melihat daun pintu lereg itu bergerak-gerak.
"Ada seseorang di pintu itu" desisnya.
Tetapi sejenak kemudian suara itu diam.Daun pintu itu pun diam pula.
Sesaat Ken Arok dapat melupakan angan-angannya tentang Ken Dedes. Sepercik kecurigaan telah melonjak di dalam dadanya. Seolah-olah seseorang telah berusaha membuka pintu dan berusaha masuk dengan diam-diam.
Dengan demikian mika Ken Arok pun justru berdiam diri pula. Ia sama sekali tidak bergerak. Hanya tangannya sajalah yang dituntun eleh naluri keprajuritannya, meraba hulu pedangnya yang terletak di sisinya.
Ketika sekali lagi pintu itu berderik-derik lambat, maka Ken Arok pun menjadi semakin diam. Diaturnya jalan nafas mya, sehingga seolah ia telah tidur nyenyak.
Perlahan-lahan pintu itu bergerak-gerak.Semakin lama semakin nyata bahwa pintu itu sudah mulai terbuka.
"Pintu itu memang tidak diselarak, karena Bango Samparan tidur di luar." desis Ken Arok di dalam hatinya, "tetapi siapakah yang akan masuk dengan diam-diam ini?"
Daun pintu itu semakin lama menjadi semakin terbuka lebar. Bayangan gelap malam yang hitam, telah memulas sesoyok tubuh yang berdiri di muka pintu yang kini telah terbuka itu. Hitam. Hitam seperti bayangan hantu yang perlahan-lahan hendak menerkamnya
Tetapi ternyata mata Ken Arok benar-benar bermata yang tajam. Meskipun ia tidak membuka matanya sepenuhnya, tetapi segera ia mengenal orang yang kini telah melangkah masuk seperti seorang pencuri itu, Panji Bawuk.
Kecurigaan di dalam dada Ken Arok menjadi semakin melonjak. Hampir saja ia meloncat dan memilin leher Panji Bawuk. Namun tiba-tiba niat itu diurungkannya. Dibiarkannya Panji Bawuk melangkahi tlundak pintu.
Suatu pergolakan yang dahsyat telah terjadi di dalam dada Ken Arok. Tiba-tiba ia terdorong kedalam suatu pikiran Sang aneh. Seandainya Panji Bawuk berniat buruk, maka tanggapan Ken Arok atas hal itu dipengaruhi oleh kegelapan pikirannya.
"Apakah Panji Bawuk akan menjadi lantaran, membebaskan aku dari pengkhianatan ini?"
Dengan demikian maka Ken Arok tidak segera dapat mengambil sikap. Meskipun tangan kanannya telah menggenggam hulu pedang di bawah kain panjangnya, namun ia tidak segera dapat bertindak.
Keragu-raguan yang membayangi perasaannya telah membuatnya diam tanpa dapat berbuat sesuatu. Sementara Panji Bawuk melangkah semakin lama semakin dekat.
Tetapi nalar Ken Arok ternyata benar-benar telah dikaburkan oleh kebingungan yang mencekam dadanya. Di dalam hatinya ia berkata, "Agaknya akan lebih baik bagiku, apabila aku sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melakukan, bahkan berangan-angan tentang pengkhianatan itu.", Namun tiba-tiba pertanyaan yang lain tumbuh di hatinya, "Tetapi apakah cara ini adalah cara yang sebaik-baiknya?"
Selagi Ken Arok dilanda oleh kebimbangan, sebelum ia menemukan keputusan terakhir, Panji Bawuk telah berdiri disisinya. Perlahan-lahan anak sulung Bango Samparan itu berjongkok di samping Ken Arok.
Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar. Begitu dahsyat pergolakan terjadi di dalam hatinya, sehingga tubuhnya menjadi gemetar. Tetapi betapapun juga, ternyata bahwa ia tidak akan dapat membiarkan sesuatu atas dirinya. Nalurinyalah yang memaksanya untuk bersiaga meskipun tampaknya ia masih saja berbaring diam. Tetapi apabila ia memerlukan untuk menyelamatkan dirinya, maka dengan melentingkan tubuhnya ia pasti akan terhindar dari bahaya.
Tetapi setelah sesaat Ken Arok menunggu, Panji Bawuk tidak melakukan sesuatu. Dilihatnya anak muda itu berjongkok di dalam kegelapan sambil menekurkan kepalanya. Dan tanpa diduga-duga oleh Ken Arok Panji Bawuk itu kemudian duduk di lantai di samping tempatnya berbaring.
Keheranan yang tajam telah melanda dinding jantung Ken Arok. Ia masih berpura-pura memejamkan matanya, meskipun ia dapat melihat dari sela-sela pelupuk matanya, Panji Bawuk yang duduk tepekur di sampingnya.
Akhirnya Ken Arok lah yang tidak sabar menunggu. Dengan dada yang berdebar-debar ia bertanya dalam nada yang dalam sambil berpura-pura menggeliat, "He, siapakah kau?"
Panji Bawuk terkejut sehingga ia bergeser surut.
"Maafkan aku kakang, apakah aku mengejutkan kau?".
Perlahan-lahan Ken Arok bangkit. Namun ia cukup waspada untuk menghadapi setiap kemungkinan yang tiba-tiba sekalipun.
"Kenapa kau berada disitu?"
"Ya, aku sudah lama duduk di sini" jawab Panji Bawuk.
Hampir saja Ken Arok membatahnya. Tetapi segera di urungkannya niatnya. Bahkan ia bertanya, "Apakah maksudmu menunggui aku tidur disini?"
Panji Bawuk menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia ragu-ragu, namun kemudian ia berkata perlahan-lahan, "Kakang. Aku melihat betapa nyenyaknya kau tidur. Tetapi aku sama sekali tidak dapat memejamkan mata barang sekejappun."
Ken Arok memandangi wajah Panji Bawuk dengan sorot mata keheranan. Ia tidak segera menangkap maksud anak Bingo Samparan itu. Tetapi ia melihat bahwa mata Panji Bawuk yang liar itu kini telah menjadi padam.
"Agaknya perasaan kakang telah semeleh, sehingga semuanya telah menjadi bersih seperti air yang memancar dari sumbernya."
Ken Arok masih belum tahu benar maksud Panji Bawuk. Namun yang jelas baginya adalah, bahwa Panji Bawuk itu sama sekali tidak bermaksud jahat kepadanya.
"Aku ternyata masih juga dikuasai oleh prasangka yang berlebih-lebihan" berkata Ken Arok di dalam hatinya, "tetapi terhadap anak sebuas Panji Bawuk, sudahlah sepantasnya aku selalu berhati-hati."
Namun yang ditanyakannya adalah, "Apakah maksudmu Panji Bawuk?"
Panji Bawuk tidak segera menjawab.Namun tatapan matanya serasa menjadi semakin dalam.
"Apakah kau mendendam?" bertanya Ken Arok kemudian.
Panji Bawuk menggelengkan kepalanya, katanya, "Tidak. Tiba-tiba saja aku kehilangan segala macam nafsu dendamku. Aku berterima kasih kepadamu kakang." Panji Bawuk berhenti sejenak, lalu, "Tetapi dengan demikian aku melihat betapa kotornya diriku. Apakah aku masih sempat untuk menikmati ketenteraman hati dan tidur nyenyak seperti kau" Aku tahu, bahwa kau pun pernah mengalami masa-masa penuh dengan noda-noda hitam. Tetapi kini kau menjadi seolah-olah tanpa cacad. Kau menjadi seputih warna kapas. Itulah sebabnya kau dapat tidur nyenyak. Tetapi aku tidak. Aku merasa diburu oleh semua kesalahan yang pernah aku lakukan. Serasa setiap wajah mereka yang pernah aku lukai apalagi yang terbunuh dalam pertengkaran-pertengkaran selalu membayangiku malam ini."
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata-kata Panji Bawuk itu. Sehingga dengan serta-merta ia menyahut, "Itu pertanda baik buat hari depanmu Panji Bawuk. Penyesalan memang menumbuhkah persoalan di dalam dirimu. Kalau kau dapat menanggapi dengan baik, maka kau akan terdorong kembali ke jalan yang lurus."
"Tetapi aku tidak dapat meletakkan diri seperti kau. Kau dapat tidur nyenyak dan menyingkirkan segala macam dendam dan nafsu. Kau dapat mengekang dirimu untuk tidak membunuh aku dan adik-adikku. Kau dapat mengekang segala macam nafsu lahiriahmu dan bahkan seolah-olah dari dalam dirimu memancar cahaya terang, yeng menerangi jalanku, adik-adikku dan mungkin juga ibu dan ayahku. Apakah aku juga dapat melakukannya?"
Terasa dada Ken Arok bergetar semakin dahsyat. Justru kini ia merasa, bahwa kebersihan hatinya selama ini telah berhasil dicapainya sedikit demi sedikit sedang teruji. Justru ketika ia berhasil mengangkat keluarga Bango Samparan ke tempat yang bersih, ia sendiri mulai terseret kedalam arus nafsu lahiriah akan dapat menodai hidupnya.
Dan seperti guruh di langit ia mendengar Panji Bawuk berkata, "Kesempatan untuk membersihkan dirimu itulah ciri dari nasibmu yang paling baik kakang."
Tokoh Buronan 2 Pendekar Riang Karya Khu Lung Rahasia Kampung Garuda 6

Cari Blog Ini