Ceritasilat Novel Online

Pelangi Dilangit Singosari 29

02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 29


"Siapakah yang tinggal di dalam padepokan itu?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, "Tidak ada bibi. Selain para emban dan cantrik".
"Kau?" Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.Tetapi, kemudian ia berkata, "Aku tinggal di sini. Namun setiap kali aku juga berada di padepokan itu. Aku kira belum waktunya aku tinggal di dalam padepokan dalam suasana yang terlampau tenang. Aku masih harus mengikuti gejolak perkembangan pedukuhan ini. Aku masih harus melihat banjir yang melanda bendungan itu, dan aku masih harus berpikir, untuk memperbaiki jalan-jalan padukuhan ini, memperbaiki saluran air dan jalan-jalan. Kami masih belum berpindah dalam arti keseluruhan".
Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, "Ya, aku mengerti. Kau merasa belum waktunya menempuh kehidupan seperti gurumu. Bukankah begitu?"
"Bukan saja belum waktunya bibi, tetapi apakah aku dapat menempuh cara hidup seperti itu?"
Perempuan itu tidak menjawab. Ditatapnya mata Mahisa Agni tajam-tajam, seolah-olah ia ingin melihat langsung ke dalam hatinya. Tetapi, sejenak kemudian perempuan itu menundukkan kepalanya. Berbagai macam perasaan bercampur-baur di dalam dadanya. Apalagi apabila dikenangnya, bahwa anaknya itu, Mahisa Agni, pernah menyangkutkan hatinya kepada gadis puteri gurunya itu. Namun perasaan itu direndamnya di dalam lubuk hatinya, sehingga Ken Dedes sama sekali tidak mengetahuinya. Yang diketahui oleh gadis itu adalah, bahwa Mahisa Agni adalah kakak angkatnya, yang dikasihinya seperti kakaknya sendiri dan yang mengasihinya seperti adiknya sendiri.
Tetapi, emban tua itu tidak mengucapkannya. Bahkan kemudian, apa yang terendam di dalam hatinya seperti merendam duri di dalam daging, sama sekali tidak terucapkan pula.
Bukan karena kedua prajurit itu ikut pula mendengar, tetapi pada kesempatan-kesempatan berikutnya, ketika ia berada berdua saja bersama anaknya itu, semuanya yang dibawanya dari Tumapel, tetap disimpannya di dalam hati.
Kadang-kadang memang terasa dadanya seakan-akan hendak retak menahan semuanya itu di dalam diri. Kadang-kadang memang tumbuh suatu keinginan untuk memuntahkannya keluar dan mengatakannya kepada Mahisa Agni untuk mengurangi kepepatan di dalam dadanya itu. Namun setiap kali mulutnya serasa terbungkam. Tidak sepatah katapun yang dapat diucapkannya tentang Ken Dedes dan tentang Ken Arok.
Dengan demikian, maka beban itu masih tetap disimpannya rapat-rapat. Rahasia yang seakan-akan tidak dapat merembes barang setitik pun.
"Aku harus mendapat saluran yang lain," desis perempuan itu, "Aku tidak mungkin mengatakannya kepada Mahisa Agni, yang terlibat langsung dalam persoalan ini.Kalau ia tahu apa yang terjadi, maka sakit hatinya pasti akan terangkat kembali".
Sehingga akhirnya perempuan tua itu mengambil keputusan untuk tidak mengatakannya kepada Mahisa Agni.
Tetapi, ia masih tetap memerlukan saluran untuk menumpahkan segala macam kepepatan di dalam hatinya. Karena itu, maka pada suatu ketika ia berkata kepada Mahisa Agni, "Mahisa Agni. Apakah kau bersedia membawaku kepada pamanmu Empu Gandring?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Permintaan ibunya itu bukan suatu permintaan yang berlebih-lebihanan. Adalah wajar sekali bahwa keduanya itu saling merindukannya. Sehingga Mahisa Agni pun ternyata tidak berkeberatan sama sekali.
"Kapan bibi akan pergi?"
"Secepatnya Agni. Waktuku tidak terlampau panjang. Aku harus segera kembali ke Tumapel".
"Baiklah bibi, aku akan meyediakan sebuah pedati. Kita pergi bersama-sama di dalam pedati itu, sehingga kita akan dapat membawa bekal pula secukupnya".
Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baiklah, dengan pedati aku tidak akan kelelahan. Tetapi, bagaimana dengan kedua orang prajurit itu?"
"Biarlah mereka menunggu bibi di sini".
Perempuan tua itu menggelengkan kepalanya, "Tidak Agni. Biarlah mereka pergi bersama kita. Dari Lulumbang aku akan terus pergi ke Tumapel. Aku tidak dapat terlampau lama meninggalkan Tuan Puteri sendiri".
"Bukankah ada berpuluh-puluh emban di istana, dan bukankah ada suaminya, Tunggul Ametung".
Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berdesah, "Ya. Tetapi, kadang-kadang Permaisuri itu memerlukan aku. Aku adalah pemomongnya sejak kanak-kanak".
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, "Sokurlah kalau Ken Dedes masih selalu mengingat masa kecilnya. Mudahkan ia tidak menjadi mabuk dibuai oleh kebahagiaan hidup di dalam istana yang mewah".
Dada emban tua itu berdesir. Serasa sebuah goresan telah menambah luka di dinding jantungnya. Tetapi, ia tidak berkata apapun juga.
Mahisa Agni pun kemudian mempersiapkan sebuah padati yang dilengkapinya dengan bekal di perjalanan. Ia sendiri membawa seekor kuda. Kelak, apabila sampai saatnya ibunya kembali ke Tumapel, ia akan mengantarkannya pula bersama salah seorang cantrik pamannya. Pedati itu akan ditinggalkannya di Lulumbang. Sehingga cantrik itulah yang akan membawanya kembali ke padepokan pamannya. Dan ia akan kembali ke Padang Karautan dengan kudanya. Pamannya pasti memerlukannya. Sebuah pedati dengan sepasang, lembu yang baik.
Pada pagi hari berikutnya, Ki Buyut Panawijen, beberapa orang perempuan tua dan bebahu padukuhan itu, telah mengantarkan ibu Mahisa Agni sampai kepinggir desa. Mereka melepaskan emban tua itu dengan lambaian tangan dan senyum yang tulus. Sedang Ki Buyut Panawijen berpesan kepada Mahisa Agni, "Jangan terlampau lama di perjalanan Ngger. Tanah yang baru ini masih memerlukan kau".
Mahisa Agni tersenyum sambil berkata, "Aku hanya akan meninggalkan tempat ini dalam beberapa hari saja Kiai".
"Sokurlah. Aku sendiri masih harus mondar-mandir antara padang yang telah menjadi hijau ini dan Panawijen lama.Apabila kelak semuanya telah berpindah kemari, maka pekerjaan kita akan menjadi semakin ringan".
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sekali lagi ia minta diri untuk mengantarkan emban tua itu ke Lulumbang.
Sementara itu, Ken Arok telah berada pula di perjalanan.Dengan seekor kuda yang besar dan tegar ia berpacu ke Lulumbang. Kali ini ia tidak memakai kain panjang yang kumal dan kusut, apalagi berbekas darah. Tetapi, ia datang dalam pakaian yang lengkap sebagai seorang hamba istana.
Namun satu hal yang masih akan diulanginya. Ia ingin datang ke rumah Empu Gandring pada malam hari, dimana sudah tidak terlampau banyak orang yang melihatnya.
Dengan dada yang berdebar-debar Ken Arok termenung di atas punggung kudanya. Sekali-kali diamatinya pakaiannya.Pakaian seorang hamba istana. Tetapi, sama sekali bukan pakaian seorang pelayan dalam. Yang dipakainya adalah pakaian yang lain, pakaian seorang prajurit pengawal.
Setiap kali Ken Arok masih harus menggeretakkan giginya untuk mengusir keragu-raguannya. Ia sudah hampir sampai pada tujuannya. Karena itu ia sudah tidak ada pilihan lain daripada berjalan terus. Menyingkirkan semua hambatan dan menghilangkan jejak yang mungkin akan timbul.
Ternyata perhitungan Ken Arok cukup baik. Ia harus sampai di padepokan Empu Gandring pada malam hari. Dan sebenarnya ia telah memasuki padukuhan Lulumbang ketika matahari telah tenggelam.
Dalam kegelapan malam Ken Arok memperlambat langkah kudanya. Bahkan beberapa lama ia berhenti di tikungan. Sekali lagi ia berusaha untuk meyakinkan dirinya, bahwa tidak mungkin ia melangkah surut. Ia harus berjalan terus.
Sambil menggeretakkan giginya Ken Arok maju lagi mendekati regol padepokan Empu Gandring. Ketika ia sudah berada di depan regol maka segera ia meloncat turun. Ken Arok menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seorang cantrik berdiri di samping regol yang masih terbuka beberapa cengkang.
"Apakah regol itu memang dijaga?" ia bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi, belum lagi ia sempat menemukan jawabnya, cantrik itu telah melangkah mendekatinya sambil bertanya, "Apakah tuan akan singgah di padepokan ini?"
Ken Arok mengangguk, "Ya. Aku akan singgah di padepokan ini. Apakah Empu Gandring ada?"
"Ada tuan. Empu Gandring ada di sanggarnya. Baiklah aku memberitahukan kepadanya".
"Jangan" cegah Ken Arok, "aku akan datang ke sanggarnya saja. Dimanakah letak sanggar itu?"
Cantrik itu menjadi heran. Tetapi, ia menjawab juga "Di situ tuan, di sebelah kiri pendapa".
"Di gandok?" "Di ujung gandok, tuan akan menjumpai sebuah rumah kecil menghadap ke Timur. Itulah sanggar Empu".
"Terima kasih. Tolong jaga kudaku. Aku hanya sebentar. Aku adalah utusan Akuwu Tunggul Ametung. Aku seorang prajurit pengawal istana".
Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Selempang tali berwarna kuning yang menyilang di dada anak muda itu sangat menarik perhatiannya. Tali itu berjuntai di arah lambung, kemudian ujungnya terikat pada ikat pinggang di bawah keris yang tersisip di punggung.Tali itu adalah salah satu ciri pakaian seorang prajurit pengawal istana.
Cantrik itu sama sekali tidak membayangkan bahwa prajurit yang gagah itu adalah seorang yang pernah datang ke padepokan ini lima bulan yang lalu dengan pakaian yang kumal dan kotor.
Seperti orang yang kehilangan kesadaran cantrik itu menerima kendali kuda Ken Arok. Dengan mulut ternganga ia melihat Ken Arok melingkari melintasi halaman langsung menuju ke ujung gandok. Seperti kata cantrik yang berdiri di regol sambil memegang kendali kudanya, Ken Arok melihat sebuah ruangan di ujung gandok dengan pintu tersendiri menghadap ke Timur.Itulah sanggar Empu Gandring.
Dengan hati-hati Ken Arok mendekat. Kemudian menyelinap dalam kegelapan. Dari celah-celah dinding ia mengintip ke dalam. Dilihatnya Empu Gandring duduk tepekur sambil memejamkan matanya.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa Empu Gandring adalah seorang yang sakti. Namun, rencananya harus berjalan seperti yang dikehendakinya.
Sekali lagi Ken Arok mencoba mengintip. Selain Empu Gandring di dalam sanggar itu dilihatnya sebuah perapian yang padam. Sebuah paron dan beberapa perlengkapan yang lain. Agaknya di dalam sanggar itulah Empu Gandring bekerja membuat keris.
Dada Ken Arok berdesir ketika tiba-tiba saja ia mendengar Empu Gadring itu berkata perlahan-lahan, "Siapa di luar" Masuklah. Aku masih belum tidur".
Ken Arok justru tertegun sejenak. Dengan hati-hati sekali ia mendekati sanggar itu, bahkan dengan kaki berjingkat. Ditahankannya jalan pernafasannya, dan dicobanya untuk tidak menimbulkan suara apapun. Ternyata Empu Gandring dapat mendengar desir yang betapapun lembutnya.
"Marilah, pintu masih terbuka".
Ken Arok tidak dapat berbuat lain daripada berjalan ke pintu yang meskipun sudah tertutup namun tidak terkancing.
Perlahan-lahan Ken Arok mendorong pintu lereg itu ke samping. Sambil menjengukkan kepalanya ia berkata lirih, "Aku Empu. Aku Ken Arok".
"Oh" Empu Gandring terkejut. Dengan serta-merta ia berdiri menyongsong tamunya, "Marilah Ngger, marilah".
Ken Arok pun kemudian melangkah masuk sambil berjalan terbungkuk-bungkuk. Dengan senyum yang membayang dibibirnya ia berkata, "Maaf Empu. Aku datang tidak pada waktu yang sepantasnya".
"Marilah Ngger. Pintuku selalu terbuka kapan saja ada seorang tamu. Apalagi Angger Ken Arok".
"Terima kasih Empu".
Ken Arok pun kemudian duduk menghadap Empu Gandring yang mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ramahnya orang tua itu bertanya tentang keselamatan tamunya selama ini dan sebaliknya. Ternyata ujung dari pertemuan itu telah memberikan kesan kepada Empu Gandring, bahwa Ken Arok yang sekarang agaknya telah berada dalam keadaannya yang wajar. Ramah, berwajah jernih dan rendah hati.
Memang Ken Arok telah berusaha sejauh-jauhnya untuk tidak merubah sifat dan kebiasaannya. Empu Gandring harus mendapat kesan, bahwa ia tidak sedang diburu-buru oleh suatu pekerjaan yang menegangkan syarafnya. Karena itulah, maka Ken Arok justru telah berada dalam kewajarannya kembali setelah lima bulan yang lalu datang kepadanya dengan sikap yang aneh.
"Apakah Angger datang dari Tumapel?" bertanya Empu tua itu, "Atau telah singgah kemanapun juga?"
"Tidak Empu. Aku sengaja datang kemari dari Tumapel".
"Angger datang terlampau malam, sehingga aku tidak dapat segera menjamunya. Tetapi, baiklah aku lihat, barangkali para endang masih belum tidur".
"Terima kasih Empu, terima kasih. Aku hanya sebentar saja".
"Ah" Empu Gandring terkejut, "Angger selalu membuat aku bertanya-tanya seperti lima bulan yang lalu".
Ken Arok tertawa, katanya, "Tidak Empu. Kedatanganku kali ini berbeda dengan kedatanganku lima bulan yang lampau. Saat itu aku sedang diburu oleh ketegangan syaraf setelah aku bertempur menghadapi beberapa orang perampok. Aku merasa bahwa aku benar-benar tidak berdaya menghadapi salah seorang dari mereka. Seolah-olah kulitnya kebal dan tidak mampu dilukai oleh senjata biasa. Pedangku sama sekali tidak mampu menyobek kulitnya, apalagi tulang-tulangnya. Karena itulah, dengan meninggalkan sopan santun aku telah berani memesan sebilah keris kepada Empu Gandring, didorong oleh ketegangan syaraf yang tidak teratasi".
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa prasangka apapun ia mendengarkan ceritera yang memang masuk akal itu.
"Kemudian, kedatanganku kali ini Empu" Ken Arok meneruskan, "Sekedar memenuhi janjiku saat itu untuk datang lima bulan lagi. Sebenarnya aku sudah tidak begitu memerlukannya sekarang Empu. Meskipun demikian, aku masih tetap ingin memilikinya, seandainya pada suatu ketika aku bertemu dengan orang itu, aku tidak perlu lagi lari tunggang langgang. Sudah tentu sebagai seorang prajurit aku akan malu sekali, kalau ada seseorang yang melihatnya saat itu. Lari terbirit-birit seperti dikejar hantu".
Empu Gandring tersenyum mendengar ceritera Ken Arok itu, dan bahkan Ken Arok sendiri tertawa.
"Angger Ken Arok telah berhasil mengendapkan perasaannya" berkata Empu Gandring di dalam hatinya, "Karena itu, aku kira ia sudah tidak berbahaya lagi. Meskipun demikian, aku harus melihat, apakah dalam waktu yang dekat ia tidak dirangsang lagi oleh ketegangan syaraf seperti lima bulan yang lalu. Karena itu, sebaiknya Ken Arok masih harus menunggu lagi beberapa hari".
"Tetapi," Empu Gandring kemudian berkata, "kenapa Angger sekarang begitu tergesa-gesa".
"Aku tidak mendapat istirahat kali ini Empu. Karena itu, aku mempergunakan waktu yang sedikit itu untuk datang. Aku berangkat hari ini, dan besok aku harus sudah berada dalam tugasku lagi, supaya Tuanku Akuwu tidak marah kepadaku".
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Jadi Angger datang kemari sekedar mengambil pesanan Angger itu?"
"Ya Empu. Meskipun aku tidak begitu memerlukannya lagi, tetapi adalah menjadi kewajibanku untuk datang lagi memenuhi waktu yang sudah aku katakan, meski dalam keadaan apapun juga aku pada saat itu".
Empu Gandring tertawa. Katanya, "Angger benar seorang yang bertanggung jawab atas segala kata-kata yang telah terucapkan".
Ken Arok pun tertawa pula, "Tetapi, aku memang ingin mempunyai kenang-kenangan yang berkesan dari Empu Gandring".
"Baiklah Ngger. Aku akan memenuhinya". Empu Gandring menjadi ragu-ragu sejenak. Di dalam hatinya ia berkata, "Agaknya Ken Arok telah membuang waktu yang baginya pasti sangat berharga untuk mengambil keris itu sekedar karena ia sudah mengatakan untuk kembali dalam waktu lima bulan lagi. Tetapi, ternyata bahwa keris itu sengaja belum aku siapkan karena kecurigaan itu. Tetapi, apaboleh buat".
Betapapun beratnya akhirnya Empu Gandring terpaksa berkata terus terang, "Tetapi, maaf Ngger. Sebenarnya keris itu masih belum siap".
Seleret ketegangan menyambar wajah Ken Arok, bahkan rasa-rasanya darahnya pun telah berhenti mengalir. Namun sesaat kemudian kesan itu pun segera dapat dikuasainya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Sayang Empu. Aku ragu-ragu apakah aku pada suatu saat yang dekat akan dapat datang lagi kemari. Mungkin aku akan segera mendapat tugas yang lain".
"Aku minta maaf Ngger. Biarlah aku berterus terang. Sebenarnya aku memang meragukan Angger pada saat itu. Sebenarnya membuat keris tidak memperlukan waktu terlampau lama. Tetapi, aku sengaja membuat jarak vang cukup panjang. Menurut perhitunganku waktu itu, seandainya Angger sedang bingung, maka dalam waktu lima bulan Angger telah mendapatkan ketenangan. Dan ternyata harapanku itu terjadi".
"Tetapi, bukankah yang lima bulan telah lampau?" bertanya Ken Arok sambil tersenyum.
Empu Gandring pun tersenyum pula, "Ya, Ngger. Yang lima bulan memang telah lampau. Tetapi, aku belum melihat keadaan Angger. Kalau aku tahu Angger telah mendapatkan ketenangan itu, maka keris itu pasti sudah aku siapkan. Karena aku masih ragu-ragu, maka aku memang ingin bertemu dengan Angger dahulu. Kalau aku yakin bahwa Angger sudah tidak berbahaya, maka keris itu akan segera aku siapkan dalam sehari dua hari. Paling lama sepekan sesudah ini".
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.Seolah-olah ia tidak kecewa sama sekali karena keris itu belum jadi. Sambil tersenyum ia kemudian berkata, "Tetapi, apakah aku boleh melihat keris itu Empu. Meskipun masih belum siap".
"O, tentu-tentu. Keris itu sendiri sudah siap, tetapi aku belum memberinya, hulu yang baik. Aku baru sekedar memberinya untuk sementara".
"Apabila Kiai tidak berkeberatan, aku minta ijin untuk melihatnya sebentar Kiai".
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya.Meskipun demikian ia tampaknya masih juga ragu-ragu. Karena itu ia tidak segera beranjak dari tempatnya.
Ken Arok melihat keragu-raguan yang membayang di wajah Empu Gandring. Maka katanya sambil tersenyum pula, "Mungkin ada pantangan Empu, bahwa keris yang masih belum siap benar, tidak boleh dilihat oleh calon pemiliknya".
"Ah tidak Ngger, tidak" jawab Empu Gandring dengan serta merta, "sudah aku katakan sebenarnya keris itu sudah siap. Aku tinggal menghaluskannya sedikit dan membuat hulunya".
Empu Gandring pun kemudian berdiri dan melangkah ke sudut sanggarnya. Dari dalam geledeg bambu diambilnya sebilah keris yang masih belum diberinya wrangka . Tangkainya masih sangat sederhana karena hulu yang sebenarnya masih belum dipasangnya juga.
Melihat keris itu hati Ken Arok menjadi berdebar-debar. Meskipun ia belum merabanya, namun kilatan wilahannya telah membuatnya yakin, bahwa keris itu adalah keris yang pilih tanding.
Perlahan-lahan Empu Gandring berjalan ke tempatnya kembali. Diamat-amatinya keris itu. Kemudian katanya, "Aku masih harus memandikannya sekali lagi. Kemudian memberinya hulu yang sesuai dengan nilai keris ini. Aku telah memilih baja yang paling baik yang ada padaku".
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun tampaknya ia masih duduk saja dengan tenang, namun keringat dingin telah mengaliri seluruh punggungnya. Tangannya yang gemetar seolah-olah ingin segera merebut keris itu dari tangan Empu Gandring yang masih asyik mengamat-amatinya.
"Mudah-mudahan keris ini sesuai dengan kau Ngger. Seorang prajurit yang gagah berani, yang tidak mengenal takut menghadapi kesulitan apapun".
"Ya Kiai" jawab Ken Arok pendek.
"Sudah lama aku ingin membuat keris serupa ini. Dan sekarang aku telah berhasil. Seandainya yang datang sekarang ini Angger Ken Arok lima bulan yang lalu, maka aku kira keris ini tidak akan aku tunjukkan. Bahkan mungkin pada saatnya aku akan memberikan keris yang lain lagi. Tetapi, Angger kini telah meyakinkan aku. Karena itu maka keris ini akan aku serahkan kelak apabila sudah siap sekali".
Ken Arok mengumpat-umpat di dalam hati. Seakan-akan ia ingin meloncat menerkam keris itu.
Tetapi, ia masih tetap harus bersikap tenang dan tidak mencurigakan. Selama keris itu masih di tangan Empu Gandring, maka ia masih harus menahan dirinya sejauh-jauh dapat dilakukan. Ia tidak boleh menimbulkan kecurigaan pada orang tua itu, supaya Empu Gandring tidak mengurungkan niatnya, menunjukkan keris itu kepadanya. Karena itu, betapa dadanya berguncang-guncang, namun ia masih saja duduk dengan tenangnya sambil tersenyum-senyum.
Dalam pada itu Empu Gandring masih saja mengamat-amati kerisnya dengan saksama. Kepuasan terbayang di wajahnya yang telah dihiasi dengan garis ketuaannya. Seakan-akan begitu sayangnya ia kepada keris itu untuk menyerahkannya ke tangan Ken Arok.
Sementara Ken Arok dicengkam oleh kegelisahan yang hampir-hampir tidak tertanggungkan, di jalan yang menuju Lulumbang, dari arah Padang Karautan, sebuah pedati berjalan perlahan-lahan seperti seekor siput raksasa yang merayap mendekati padepokan Empu Gandring.
Seorang perempuan tua duduk bersandar tiang pedati itu sambil terkantuk-kantuk, sedang dua orang prajurit yang duduk bersamanya di dalam pedati itu sudah lama tertidur sambil bersandar dinding pedati. Dipaling depan duduk Mahisa Agni memegang tali kendali sepasang lembu yang besar. Di belakang pedati itu terikat seekor kuda yang berjalan dengan malasnya.
Gemetaran roda pedati di atas tanah berbatu-batu kadang-kadang telah membangunkan orang-orang yang sedang tidur di dalamnya. Kadang-kadang tubuh mereka terguncang-guncang untuk beberapa saat. Namun kedua prajurit itu segera tertidur kembali.
"Apakah bibi perlu beristirahat?" bertanya Mahisa Agni.
Emban tua yang duduk di dalam pedati itu menggelengkan kepalanya, "tidak usah Agni. Aku ingin segera sampai ke Lulumbang. Entahlah, aku tidak pernah dicengkam oleh perasaan rindu serupa ini. Aku ingin segera bertemu dengan pamanmu Empu Gandring".
"Ya, bibi sudah terlampau lama tidak bertemu".
"Bukan itu saja soalnya. Entahlah.Aku ingin segera sampai. Kalau saja pedati ini dapat berjalan lebih cepat".
Mahisa Agni tersenyum. Dicobanya melecut lembunya yang malas. tegapi lembu itu hanya sekedar berpaling, dan Manisa Agni pun tidak melecutnya lagi.
Malam yang gelap terbentang dihadapan pedati itu, sebuah obor yang kecil terpancang di sisi. Cahayanya yang terayun-ayun diguncang-guncang oleh angin malam kadang-kadang membuat obor itu hampir padam.
Bagi Mahisa Agni, perjalanan itu memang terasa menjemukan.Ia akan lebih senang berpacu dengan kudanya. Tetapi, sudah tentu ibunya tidak akan mungkin berkuda untuk jarak yang cukup jauh.Dari Padang Karautan ke Lulumbang, kemudian kembali lagi ke Tumapel.Apalagi ibunya bukannya seorang yang memang dapat berkuda dengan baik.
Betapa lambatnya, maka pedati itu merayap juga semakin dekat dengan Lulumbang. Dalam pada itu, hati perempuan tua itu menjadi semakin berdebar-debar. Serasa ada sesuatu yang tidak wajar bakal terjadi.
Kadang-kadang perempuan tua itu menjadi cemas, kalau-kalau ada gangguan di perjalanan. Tetapi, apabila dilihatnya Mahisa Agni duduk di depan, kemudian dua orang prajurit yang meskipun saat itu baru tidur mendekur, hatinya menjadi tenang.
Sekali-sekali perempuan tua itu mencoba untuk tidur barang sejenak, di dalam pedati itu. Tetapi, matanya terlampau sulit di pejamkan. Bukan karena roda pedati yang bergemeretak dan mengguncang-guncang pedati itu, tetapi juga karena kegelisahan yang mencengkam jantung tanpa diketahui sebab-sebabnya.
Tiba-tiba perempuan itu tersentak.Dengan kedua tangannya dipeganginya dadanya yang berdebar-debar.
"Agni" berkata perempuan tua itu, "Aku kira memang terjadi sesuatu dengan pamanmu. Hatiku menjadi sangat berdebar-debar. Jantungku serasa berhenti mengalir".
"Ibu membayangkan yang bukan-bukan" sahut Mahisa Agni.
"Tidak Agni. Aku tidak membayangkan apapun" jawab ibunya, "apakah aku telah mendapat suatu firasat yang kurang baik tentang pamanmu?"
"Bukankah hari telah jauh malam bibi" Aku kira bibi telah mengantuk dan bermimpi dalam sekejap".
"Tidak Agni. Aku yakin". Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
"Agni" berkata ibunya, "Apakah kau mau mendahului perjalanan pedati yang terlampau lambat ini?"
"Maksud bibi?" "Pergilah berkuda. Kau akan cepat mencapai Lulumbang. Hatiku menjadi semakin tidak enak".
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, ia tidak ingin mengecewakan ibunya, sehingga karena itu ia menjawab, "Baik ibu. Aku akan mendahului".
Mahisa Agni pun kemudian membangunkan kedua prajurit yang sedang tidur itu. Katanya, "Aku akan mendahului. Terserahlah kepada kalian keselamatan bibi sampai ke Lulumbang".
Kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya meskipun sambil bersungut-sungut. Mereka lebih senang tidur dari pada mengemudikan pedati itu.
"Kalau kalian masih mengantuk" berkata Mahisa Agni, "Kalian dapat bergantian. Yang seorang tidur, yang seorang memegang tali kemudi".
"Baiklah" sahut salah seorang dari kedua prajurit itu. Kemudian katanya kepada kawannya yang seorang lagi, "Peganglah tali itu lebih dahulu, aku akan tidur. Nanti segera bergantian, aku tidur dan kau memegang tali itu".
"Hus" desis yang lain.
"Terserahlah kepada kalian" Mahisa Agni terpaksa tersenyum, "Sekarang aku akan mendahului perjalanan ini".
Mahisa Agni pun segera melepaskan kudanya dan meloncat naik ke punggungnya. Sejenak kemudian suara derap kaki-kaki kuda itu gemeretak di sepanjang jalan, mendahului perjalanan pedati yang sedang merayap.
Sebenarnya mula Mahisa Agni tidak mempunyai perasaan apapun tentang pamannya di Lulumbang. Namun desakan ibunya telah membuatnya mulai berpikir. Apakah sebabnya"
"Memang kadang-kadang sentuhan yang sangat halus telah menggerakkan hati seseorang untuk menangkap persoalan yang tidak kasat mata. Tetapi, tali yang menghubungkan getaran yang bersamaan, yang memancar dari dalam diri, akan dapat saling mempengaruhi" desis Mahisa Agni itu sambil berpacu, sehingga tiba-tiba saja Mahisa Agni pun menjadi cemas. Katanya, "Mungkin benar-benar telah terjadi sesuatu atas paman di Lulumbang".
Dengan demikian maka Mahisa Agni pun segera melecut kudanya dan berpacu semakin cepat.
Dalam pada itu sambil tersenyum Empu Gandring masih memandangi kerisnya. Berkali-kali diusapnya janggutnya yang telah memutih.
"Apakah ada yang masih belum sempurna Empu?" bertanya Ken Arok. Betapapun kegelisahan melanda dinding jantungnya namun ia masih tetap duduk sambil tersenyum.
"Tidak Ngger" Empu Gandring menggelengkan kepalanya, "Aku kira keris ini telah siap. Kekurangan kecil itu sama sekali tidak akan berpengaruh apa-apa. Hanya bentuknya sajalah yang masih akan aku sempurnakan. Tetapi, isi dari keris ini telah penuh. Aku telah menganggap keris ini keris yang telah jadi".
Ken Arok bergeser setapak maju. Ditunjukkannyalah sikap ingin tahunya. Bahkan kadang-kadang ia telah mengangkat tangannya untuk menerima keris itu.
Tetapi, Empu Gandring tidak segera memberikannya. Serasa ada sesuatu yang menahannya.
Ketika terpandang oleh Empu tua itu ujung kerisnya yang runcing, seruncing taring Naga Taksaka, hatinya berdesir. Tanpa diketahuinya, apakah sebabnya, tangannya tiba-tiba menjadi gemetar.
Dilihatnya di sela-sela pamor yang memang dikehendaki, tiga buah bintik kecil berwarna kekuning-kuningan. Sekilas melintas di dalam angan-angannya ujung keris yang pernah dilihatnya, keris sakti yang bernama Kiai Naga Singkik buatan Empu Sekadi. Keris yang maksudnya disiapkan untuk membasmi kejahatan, namun jatuh ke tangan orang yang tidak dikehendakinya, sehingga keris itu telah menelan terlampau banyak korban yang sia-sia.
Hati Empu Gandring menjadi berdebar-debar.Ia adalah seorang ahli membuat keris.Bahkan seorang Empu yang seakan-akan hidup matinya ada di dalam sanggar kerisnya. Namun sekali ini ia telah membuat suatu kesalahan.
"Aku tidak dapat menyebutnya lagi bahwa keris ini berpamor Manggada" berkata Empu Gandring di dalam hatinya, "Aku rasa aku telah mengulangi kesalahan Empu Sekadi". Namun sejenak kemudian Empu Gandring mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk menenangkan hatinya sambil bergumam di dalam dadanya, "Aku terlampau terpengaruh oleh keris Naga Singkik. Setiap orang dapat saja membuat kesalahan. Tetapi, kalau aku mencemaskan akibat kesalahan itu tanpa dasar, agaknya aku keliru". Tetapi, kemudian di relung hatinya terdengar suara, "Bukanlah sesuatu kebetulan, persamaan yang jarang sekali dapat terjadi".
Dengan demikian Empu Gandring masih saja memegangi kerisnya dengan dada yang berdebar-debar. Sementara Ken Arok mengumpat-umpat di dalam hatinya meskipun ia masih juga tampak tersenyum-senyum.
"Apakah ada sesuatu yang membuat Empu menyesal atas keris itu?" bertanya Ken Arok ketika dilihatnya wajah Empu Gandring menjadi berkerut-merut.
"Oh, tidak, tidak Ngger. Aku sudah puas sama sekali dengan keris ini".
"Sokurlah" sahut Ken Arok, "keris itu akan menjadi kenang-kenangan yang paling baik bagiku". Tetapi, Ken Arok berhenti sejenak, "Tetapi, apakah aku dapat melihatnya sejenak?"
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah Angger tidak menunggu kelak apabila keris ini telah siap sama sekali" Nanti Angger kecewa melihat ukiran yang masih belum siap. Sebab menurut rencana kami ukirannya masih harus diganti dengan hulu yang lebih baik".
Ken Arok tersenyum. Jawabnya, "Tidak Empu. Aku tidak akan kecewa, sebab aku sudah tahu bahwa keris itu memang belum siap. Seandainya ada kekurangannya, maka dalam lima atau enam hari, keris itu sudah akan siap".
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah Ken Arok dengan tajamnya, keragu-raguan di dalam hatinya semakin lama menjadi semakin dalam.
"Tetapi, aku tidak melihat kesan apapun di wajah anak muda ini" berkata Empu Gandring di dalam hatinya, "wajahnya jauh lebih cerah dari pada lima bulan yang lalu. Agaknya Angger Ken Arok benar-benar telah berhasil mengendapkan diri". Dengan demikian maka Empu Gandring menganggap bahwa keragu-raguan di dalam hatinya itu sama sekali tidak beralasan. Desisnya di dalam hati, "Aku sangat terpengaruh oleh kedatangan Angger Ken Arok lima bulan yang lampau serta bintik-bintik di ujung keris, di sela-sela pamornya". Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian, "Tidak baik aku terlampau berprasangka. Hal itu justru akan menimbulkan kesan yang jelek pada Angger Ken Arok".
Karena itu, maka Empu Gandring pun kemudian memutuskan untuk memberikan kerisnya kepada Ken Arok, "Anak ini agaknya sudah baik".
"Baiklah Ngger" berkata Empu Gandring selanjutnya, "Marilah. Tetapi, jangan kecewa lebih dahulu, karena aku masih akan memperbaikinya nanti".
Ken Arok bergeser maju. Diangkatnya kedua tangannya untuk menerima keris itu. Dengan hati-hati Empu Gandring menyerahkan kerisnya. Ketika keris itu menyentuh tangan Ken Arok, Empu Gandring merasa bahwa tangan itu gemetar, sehingga tiba-tiba dadanya pun menjadi gemetar pula.
Kini keris itu telah berpindah ke tangan Ken Arok. Sebenarnyalah bahwa tangan Ken Arok menjadi gemetar. Diamat-amatinya keris itu dengan saksama, seolah-olah setiap garis dan lekuk pamornya dinilainya dengan saksama. Meskipun ia bukan ahli keris, tetapi terasa bahwa keris yang sedang dipegangnya itu adalah keris yang jarang ada bandingnya.
"Rencanaku tidak boleh tertunda" Ken Arok itu menggeram di dalam hatinya. Namun tiba-tiba dadanya seolah-olah bergejolak dengan dahsyatnya. Sekali-kali dipandanginya wajah Empu Gandring yang sejuk lunak, seperti sejuknya embun di pagi hari. Di wajah itu sama sekali tidak terbayang permusuhan yang bagaimanapun bentuknya. Di wajah itu sama sekali tidak terbayang sama sekali sifat-sifat yang dapat memperkuat niat Ken Arok melakukan rencananya. Dengan demikian maka dada Ken Arok seolah-olah telah dibakar oleh benturan yang semakin lama menjadi semakin dahsyat. Benturan antara rencana yang sudah matang tersusun, dengan tanggapannya atas orang yang kini sedang dihadapi.
"Apakah aku sampai hati melakukannya" ia bertanya kepada diri sendiri dengan penuh keragu-raguan.
Tangan Ken Arok yang gemetar itu menjadi semakin gemetar. Bahkan ujung keris itu kemudian seolah-olah terkulai menunduk.
Empu Gandring melihat keadaan Ken Arok dengan heran. Apakah yang sebenarnya terjadi atas anak muda itu. Keragu-raguan yang sejak semula mencengkamnya, tiba-tiba menjadi semakin mengganggu perasaannya.
Tetapi, tiba-tiba ia mendengar Ken Arok berkata, "Empu, keris ini terlampau baik. Terlampau baik buatku. Seandainya Empu benar-benar akan memberikan keris ini kepadaku, maka aku akan mengucapkan beribu terima kasih".
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ah, kau terlampau memuji Ngger. Mudah-mudahan kau puas dengan keris itu".
"Tentu Empu. Aku terlampau puas. Keris itu terlampau baik".
Ketika Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sebuah senyum yang tergores di bibirnya, hati Ken Arok seakan-akan menjadi runtuh.
"Tidak. Aku tidak dapat berbuat gila atas orang tua yang terlampau baik ini".
Ketika Ken Arok menggeleng-gelengkan kepalanya Empu Gandring bertanya, "Apakah ada yang tidak berkenan dihatimu Ngger?"
"Tidak Empu. Keris ini terlampau sempurna" jawab Ken Arok, "memang hulunya masih harus diganti, disesuaikan dengan kerisnya itu sendiri. Tetapi, hulu keris sebenarnya tidak begitu penting dibandingkan dengan nilai keris itu sendiri".
Empu Gandring tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara dada Ken Arok menjadi semakin bergemuruh oleh kebimbangan yang hampir tidak tertahankan.
Sementara itu gemuruh derap kaki-kaki kuda yang dipacu oleh Mahisa Agni menjadi semakin bergemeretakan. Semakin cepat kuda itu berpacu, hati anak muda itu menjadi semakin bergetar. Bahkan kini seakan-akan ia sendiri merasakan, betapa pamannya itu sedang terancam bahaya.
Karena itu, maka Mahisa Agni pun semakin mempercepat lari kudanya, beberapa kali ia menyentuh perut kuda itu. Namun langkahnya serasa masih terlampau malas.
Di dalam dinginnya malam terasa keringat mengalir di punggung Mahisa Agni, sehinga punggungnya menjadi basah seperti sedang kehujanan.
Punggung Ken Arok pun menjadi basah seperti sedang kehujanan. Berbagai macam pikiran berbenturan dan bergolak di dalam dadanya. Sekali-kali dipandanginya ujung keris yang runcing tajam, kemudian wajah Empu tua yang berkerut-merut.
Empu Gandring melihat kegelisahan yang sangat membayang di wajah Ken Arok. Ia melihat tangan yang menggenggam keris itu menjadi semakin gemetar dan ujung keris itu pun menjadi semakin menunduk.
Hati Ken Arok yang semakin luluh itu pun seakan-akan meronta-ronta di dalam dadanya. Apakah ia harus melaksanakan rencananya atau mengurungkannya.
Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba Ken Arok menggeretakkan giginya. Ia seakan-akan sedang mencari kekuatan. Dengan kekuatan terakhir ia mencoba menggeram di dalam dadanya, "Harus. Aku harus melakukannya sekarang. Kalau aku melepaskan kesempatan ini, maka aku tidak akan pernah menemukan kesempatan yang lain", sehingga semua rencana yang telah disusunnya dan yang sebagian telah berjalan itu akan gagal. Gagal sama sekali. Dengan demikian berarti bahwa ia tidak akan dapat mencapai cita-citanya. Tidak akan ada perubahan yang akan terjadi pada dirinya.
Terbayang sekilas wajah Permaisuri Ken Dedes yang cantik yang memancarkan cahaya yang cemerlang. Kemudian terbayang wajah Akuwu Tunggul Ametung yang terlampau mementingkan dirinya sendiri dari pada kepentingan Tumapel.
"Tidak. Aku tidak boleh mundur. Betapapun banyaknya korban yang harus jatuh. Tetapi, aku harus melaksanakan. Korban-korban itu adalah rabuk bagi kesuburan Tanah Tumapel. Memang mungkin korban-korban itu tidak bersalah. Dan korban yang demikian itulah yang akan membuat Tumapel menjadi besar" ia menggeram di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka dada Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar. Benturan yang dahsyat seolah-olah akan memecahkan jantungnya, sehingga tangannya menjadi semakin bergetar pula.
Empu Gandring akhirnya tidak dapat melihat sambil berdiam diri. Dengan herannya ia bertanya, "Kau kenapa Ngger" Apakah kau menjadi kecewa melihat keris itu, atau kau mempunyai sesuatu pendapat atau apapun?"
Ken Arok tidak tahu, bagaimana menjawab pertanyaan itu.. Namun sekenanya saja ia berkata, "Empu, aku melihat tiga buah bintik yang membuat aku menjadi berdebar-debar. Bintik yang mempunyai warna dan ciri yang lain dari keseluruhan pamor keris ini".
Jawaban itu membuat dada Empu Gandring berdesir. Ia tidak menyangka bahwa Ken Arok akan memperhatikan ketiga bintik yang dilihatnya itu. Memang sebenarnya bahwa bintik itu mempunyai warna yang berbeda dari warna keseluruhan dari pamor keris itu.
"Empu" berkata Ken Arok kemudian, "Lihatlah, betapa bintik-bintik ini membuat keseluruhan pamor keris ini menjadi sebuah teka-teki yang aneh. Aku tidak mampu menebak, apakah maksud Empu dengan ketiga bintik-bintik ini, dan memberinya warna yang lain dari keseluruhan pamor keris ini, sehingga ketiga bintik ini seakan-akan terlepas dari hubungannya dengan bentuk keseluruhan".
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Kenapa baru kali ini ia sendiri melihat bintik-bintik itu" Sejak keris itu berbentuk, ia selalu mengamat-amatinya. Hampir setiap saat ia duduk, di dalam sanggar ini, ia selalu menimang-nimang keris itu. Tetapi, kemarin ia masih belum melihat ketiga bintik-bintik itu. Sehingga bintik-bintik itu seolah-olah timbul begitu saja dengan tiba-tiba.
"Memang aneh" ia berdesis di dalam hatinya.
"Empu" berkata Ken Arok kemudian, "Apakah dengan sengaja Empu memberikan bintik-bintik ini" Seandainya demikian apakah maksudnya?"
Empu Gandring menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak Ngger. Aku sama sekali tidak sengaja menempatkan ketiga bintik-bintik kecil itu".
"Ah" desis Ken Arok, "Adalah mustahil sekali, Empu adalah seorang ahli membuat keris. Karena itu, Empu menguasai segala macam bentuk dan watak dari setiap keris yang Empu buat".
"Kau benar Ngger. Tetapi, tidak mustahil bahwa seseorang membuat kesalahan.Selama aku adalah manusia biasa, maka aku pasti masih akan membuat kesalahan-kesalahan".
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Keringatnya semakin banyak mengalir di seluruh tubuhnya. Desakan di dalam dadanya sudah tidak tertahankan lagi untuk melakukan rencananya, tetapi perasaannya masih dibayangi oleh gambaran-gambaran yang aneh.
"Harus, harus. Lakukanlah sekarang" terdengar perintah itu di dalam dadanya.
Sekali lagi Ken Arok mencari kekuatan sambil mengepalkan tangannya, menggenggam hulu keris itu keras-keras. Dan tiba-tiba saja ia berkata, "Lihat Empu, aneh. Bintik-bintik ini dapat bergerak".
Empu Gandring terkejut mendengarnya. Tiba-tiba saja ia bergeser maju tanpa prasangka apapun. Dengan mata terbelalak ia mengamat-amati ujung kerisnya.
Namun tiba-tiba uiung keris itu bergetar dan bergerak cepat sekali, melampaui kecepatan tatit yang menyambar di langit. Ujung keris itu tiba-tiba saja telah menghujam memecahkan dadanya.
Sejenak Empu Gandring membeku di tempatnya. Seakan-akan ia tidak percaya, bahwa hal itu telah terjadi dan dialaminya sendiri.
Tetapi, sejenak kemudian, Empu tua itu menyadari keadaannva. Ternyata keris buatannya sendiri itu telah tertancap di dadanya. Ketika tangannya meraba hulu keris yang masih melekat di dada itu, terasa tangannya menjadi hangat oleh darah yang memerah.
Terasa dada itu menjadi pedih bukan kepalang. Kerisnya adalah keris yang benar-benar pilih tanding. Keris yang jarang dicari duanya di dunia.
Empu Gandring bukan saja seorang Empu yang terpilih di antara golongannya. Tetapi, ia adalah seorang yang pilih tanding dalam oleh kanuragan. Empu Gandring adalah seseorang yang dapat melawan Kebo Sindet dan dapat disejajarkan dengan Empu Purwa dan Panji Bojong Santi. Namun menghadapi keadaan yang tidak disangka-sangkanya itu, ia tidak dapat mengelakkan diri.
Tubuh orang tua itu pun segera menjadi gemetar. Ternyata ujung keris yang telah dibuatnya sendiri itu telah menyentuh jantungnya. Dengan demikian, maka kekuatannya dan segenap kemampuan yang sukar dicari bandingnya itu pun segera susut dengan cepatnya.Karena betapapun juga, kemampuan manusia pasti pada suatu ketika akan sampai pada batasnya. Demikian juga Empu tua yang sakti itu.
Sesaat ia masih dapat duduk di tempatnya tanpa bergerak sama sekali. Kedua tangannya masih menggenggam hulu kerisnya, sedang tatapan matanya yang menyorotkan beribu macam pertanyaan lelah menghunjam langsung ke dada Ken Arok.
Ken Arok, yang telah mengerahkan segenap kekuatan lahir dan batinnya untuk menaikkan keris itu ke dada Empu Gandring, menjadi gemetar pula. Dengan tajam dipandanginya Empu tua yang masih saja duduk di tempatnya menahan pedih di dadanya. Sekali-kali terdengar Empu Gandring berdesis. Namun yang paling tajam merobek-robek perasaannya adalah kejapan matanya yang semakin lama menjadi semakin sayu.
Tiba-tiba Ken Arok itu bertiarap di depan Empu Gandring yang telah menenggang nafas itu.Dengan suara tertahan-taham ia berkata, "Tidak. Tidak. Itu tidak boleh terjadi".
Empu Gandring mencoba menarik nafas dalam-dalam. Setiap hembusan nafasnya telah mendorong darahnya untuk melelah dari lukanya.
"Ampunkan aku Empu, ampun" Ken Arok merengek seperti kanak-kanak yang ditinggal ayahnya pergi merantau, "Aku tidak menginginkannya. Itu bukan maksudku".
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Dengan sisa tenaganya ia menghentakkan keris itu dari dadanya. Demikian ia berhasil mencabut keris itu, maka darahnya pun menjadi semakin banyak mengalir dari lukanya.
Sejenak diamat-amatinya keris yang sudah berlumuran darah itu. Tetapi, matanya yang menjadi semakin kabur telah tidak lagi dapat melihat tiga buah bintik yang asing baginya, meskipun ialah yang telah membuat keris itu.
Ketika Ken Arok melihat Empu Gandring telah berhasil menarik keris itu, tiba-tiba ia berkata setengah meratap, "Empu, bunuhlah aku sebelum aku benar-benar menjadi semakin gila. Tolonglah aku Empu. Bunuhlah aku".
Tetapi, tubuh Empu Gandring sudah menjadi semakin lemah. Ketika terlihat olehnya kilasan mata Ken Arok, maka Empu tua itu mencoba untuk berkata, "Kau telah membuat suatu kesalahan Ngger?" nafas Empu Gandring mengalir semakin cepat, "Selama ini kau adalah seorang prajurit yang baik. Tetapi, Ken Arok sebagai seorang prajurit yang baik, agaknya telah mati bersama kematianku".
Terasa dada, Ken Arok tergores oleh kata-kata itu demikian parahnya. Terngiang kembali kata-kata Lohgawe yang serupa dengan kata-kata yang diucapkan oleh Empu Gandring itu.
"Aku menyesal Empu. Karena itu, bunuhlah aku supaya nafsu ini tidak menjalar ke seluruh Tumapel".
Empu Gandring menggelengkan kepalanya.
"Aku telah mencoba membunuh Empu, adalah wajar apabila Empu membunuhku".
Sekali lagi Empu Gandring menggelengkan kepalanya, "Sudah saatnya aku kembali kepada Yang Maha Agung, Ngger".
"Tetapi, Empu harus membunuh aku lebih dahulu. Dengan demikian Empu telah mebuat kebaikan di saat terakhir Empu. Ketahuilah Empu, dengan keris itu aku akan membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Aku akan memperisteri Ken Dedes, dan aku ingin menjadi seorang Akuwu, bahkan seorang Maharaja. Karena itu, sebelum nafsu itu membakar Tumapel, sebaiknya Empu membunuhku".
Wajah Empu Gandring meniadi semakin pucat. Tenaganya memadi semakin lemah, sehingga keris ditangannya itu pun terkulai di atas tikar yang meniadi kemerah-merahan oleh darahnya.
"Angger Ken Arok" suara Empu tua itu menjadi semakin lemah, "Kalau kau menyesal, maka aku berpesan kepadamu, hancurkan sajalah keris itu, karena keris itu akan meminta korban dan korban. Akan datang saatnya keris itu membunuh Akuwu Tunggul Ametung, tetapi juga orang-orang lain. Karena itu, sebaiknya keris itu, kau tiadakan saja, ternyata aku telah mengulangi kesalahan Empu Sekadi".
"Empu" hampir saga Ken Arok memekik. Dengan gerak naluriah kedua tangannya menutup mulutnya, ketika ia melihat Empu Gandring itu menunduk. Semakin lama semakin dalam, meskipun ia masih tetap duduk. Akhirnya tubuh itu diam. Diam sama sekali.
"Empu" bisik Ken Arok. Dengan tangan gemetar ia merayap maju. Ketika dirabanya tangan Empu Gandring, tangan itu seakan-akan telah membeku.
Dada Ken Arok hampir meledak karenanya. Tiba-tiba dengan penyesalan yang luar biasa ia mengambil keris itu perlahan-lahan dari tangan Empu Gandring. Kemudian ia meloncat berdiri sambil menggeram, "Keris ini harus aku hancurkan. Harus".
Mata Ken Arok menjadi nanar. Dipandanginya setiap benda yang ada di dalam sanggar itu.
Dalam kegelapan hati, hampir saja ia membunuh dirinya. Tetapi, dengan demikian ia tidak mungkin dapat memenuhi pesan Empu Gandring. Kalau keris itu ditusukkannya ke dadanya sendiri, maka keris itu masih akan tetap utuh. Sehingga orang lain akan dapat mempergunakannya untuk membunuh sesamanya.
"Tidak" ia menggeram, "Aku harus memusnakan keris itu lebih dahulu".
Ketika terlihat olehnya sebuah paron, maka hatinya berdesir.
"Dengan paron itulah agaknya Empu Gandring menempa keris-kerisnya" katanya di dalam hati, "Karena itu, di atas paron itu pula keris ini akan aku hancurkan".
Dengan hati yang berdebar-debar Ken Arok mendekati paron itu. Kemudian dikerahkannya segenap kekuatan dan kemampuan yang ada padanya. Diangkatnya keris itu tinggi-tinggi. Sekejap kemudian dengan cepatnya keris itu terayun. Seperti lidah api yang meloncat di langit, keris itu menyambar paron.
Ken Arok merasakan tangannya menjadi pedih. Terdengar benturan yang dahsyat, dan ia melihat bunga api memercik. Tetapi, tiba-tiba matanya terbelalak. Keris yang digenggamnya ternyata masih utuh. Dan yang lebih mengherankan; sehingga hampir ia tidak percaya kepada penglihatannya, ternyata bahwa paron itulah yang menjadi hancur.
"Luar biasa. Keris ini memang luar biasa" desisnya.
"Bukan keris ini yang luluh tetapi paron itulah yang hancur".
Ken Arok berhenti sejenak. Matanya menjadi nyalang. Sekejap dipandanginya keris di dalam genggamannya, dan sekejap ditatapnya paron yang sudah pecah berserakan itu.
"Keris ini tidak ada duanya di dunia". Dan tiba-tiba Ken Arok itu menggeram, "Sayang, kalau keris sesakti ini harus aku hancurkan. Hanya dengan keris yang demikian inilah Tunggul Ametung dapat aku binasakan".
Tiba-tiba saja Ken Arok itu meloncat menghambur keluar sanggar setelah mengganti kerisnya sendiri dengan keris Empu Gandring itu. Ia sudah tidak ingat lagi Empu Gandring yang meninggal di dalam sanggarnya. Ia sudah tidak ingat lagi untuk menghancurkan keris itu, dan apalagi untuk membunuh diri. Ditutupnya pintu sanggar itu rapat-rapat, kemudian seperti tidak pernah terjadi sesuatu ia berjalan ke pintu regol.
Ia masih melihat cantrik yang memegangi kendali kudanya. Bahkan ia duduk di pinggir regol bersama seorang kawannya. Seorang cantrik yang lain.
Ketika terlihat oleh mereka prajurit yang menitipkan kuda itu, maka merekapun segera berdiri.
Ken Arok tersenyum. Diterimanya kendali kudanya. Katanya, "Aku akan segera kembali ke Tumapel. Tugasku masih cukup berat. Terima kasih kalian telah menjaga kudaku".
"Terima kasih kembali" jawab cantrik ini, "Apakah tuan sudah bertemu dengan Empu?"
"Sudah, aku sudah bertemu. Persoalanku sudah selesai".
Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih bertanya, "Tetapi, kenapa tuan begitu tergesa-gesa".
Ken Arok tertawa, "Sudah aku katakan, tugasku masih banyak. Terlampau banyak. Sebagai seorang prajurit pengawal istana dan pengawal Akuwu, aku harus selalu berada di samping Akuwu hampir dalam segala hal".
"Oh" cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sudahlah. Aku minta diri".
"Silahkan". Ken Arok menuntun kudanya keluar regol. Namun belum lagi ia meloncat naik, tiba-tiba ia mendengar lamat-lamat derap seekor kuda berlari kencang semakin lama semakin dekat.
"Siapa?" dadanya berdesir. Namun ia tidak mau terlambat. Siapapun yang datang, ia tidak boleh lengah. Kalau orang yang datang itu sudah mengenalnya, maka semua rencananya akan rusak. Apalagi kalau orang yang datang itu tidak mampu dibinasakannya.
Dengan demikian, maka segera ia meloncat ke punggung kudanya. Tanpa berkata sepatah katapun lagi, maka kudanya pun segera berpacu menjauh. Ken Arok menyadari, bahwa ia harus memilih jalan sehingga ia tidak akan berpapasan dengan kuda yang mendatang itu.
Sejenak kemudian kuda Ken Arok pun telah keluar dari padukuhan Lulumbang. Semakin lama kudanya berpacu semakin cepat. Seandainya kuda yang datang itu kemudian memasuki padepokan Empu Gandring dan mengetahui apa yang telah terjadi, maka kudanya sendiri sudah menjadi sedemikian jauhnya, sehingga tidak mungkin akan terkejar.
Dalam pada itu, kuda yang mendatang itu pun menjadi semakin dekat pula. Cantrik yang baru saja menyerahkan kuda Ken Arok masih berdiri di samping regol.Sejenak mereka saling berpandangan, dan sejenak kemudian salah seorang dari mereka berkata, "Siapa lagi yang akan datang"Bukankah kita di sini tidak biasa menerima tamu di malam hari?"
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, mereka menunggu saja di muka regol, kalau-kalau kuda itu benar-benar mendatangi pedepokan Empu Gandring.
Ternyata dugaan mereka benar. Sejenak kemudian mereka melihat seseorang berhenti di depan regol. Kemudian menuntun kudanya memasuki halaman.
"Siapa?" bertanya Cantrik yang masih berdiri di sisi regol.
Orang itu agaknya terkejut. Jawabnya, "He, kalian masih berada di halaman" Karena itu aku melihat regol itu masih terbuka".
"Ya, baru saja aku mengantarkan seorang tamu.Tetapi, siapakah tuan?"


02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mahisa Agni. Kemanakan Empu Gandring".
"O,. mari, marilah. Baru saja Empu menerima tamu dari Tumapel. Baru saja".
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah cantrik itu, seolah-olah ia tidak percaya pada keterangannya, bahwa di malam hari begini tamu Empu Gandring itu baru saja meninggalkan padepokan.
"Berapa orangkah tamu itu?" bertanya Mahisa Agni.
"Satu orang". "Siapakah namanya?"
Cantrik itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia menggeleng, "Aku tidak tahu, dan aku tidak bertanya siapakah namanya. Tetapi, ia adalah seorang prajurit".
"Prajurit?" "Ya, seorang prajurit".
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, katanya, "Baiklah, aku akan bertanya kepada paman, siapakah tamunya itu".
"Silahkanlah". Mahisa Agni pun kemudian menuntun kudanya melintasi pendapa. Kemudian mengikatkannya pada sebatang pohon di depan gandok.
"Empu berada di sanggarnya" berkata salah seorang cantrik yang mengikutinya dibelakang, "di sanggar itu pula Empu menerima tamunya".
"Baiklah" sahut Mahisa Agni, yang segera pergi ke pintu sanggar. Beberapa saat yang lampau, ketika ia mengunjungi pamannya, ia sering juga melihat pamannya bekerja di sanggar itu.
Perlahan-lahan Mahisa Agni mengetuk pintu. Tetapi, tidak ada jawaban.
"Apakah paman sudah tidur?" desisnya.
Sekali lagi ia mengetuk pintunya.Sekali lagi dan sekali lagi. Namun sama sekali tidak terdengar jawaban.
Mahisa Agni menjadi heran. Seandainya Empu Gandring sudah tidur sekalipun, ia pasti akan terbangun. Apalagi ketukan pada daun pintu yang sedemikian kerasnya. Sedangkan desir langkahnya pun pasti sudah didengarnya.
Karena itu, dadanya pun menjadi berdebar-debar. Ia mencoba melihat ke dalam lewat lubang-lubang dinding, tetapi ia sama sekali tidak dapat melihat sesuatu.
Dalam kegelisahan Mahisa Agni mengetuk sekali lagi. Lebih keras. Tetapi, masih juga tidak terjawab.
"Paman telah masuk ke dalam" gumamnya. Namun tanpa disadarinya tangannya mendorong pintu lereg itu ke samping. Hatinya berdesir ketika ternyata bahwa pintu itu tidak dikancing.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sanggar itu tampaknya terlampau sepi. Perlahan-lahan Mahisa Agni naik ke tangga dan melangkahi tlundak .
Tiba-tiba, serasa darahnya berhenti mengalir. Ia melihat Empu Gandring duduk sambil menundukkan punggungnya seakan-akan sedang mencium lututnya.
"Paman" hampir saja ia berteriak. Dengan sekali loncat Mahisa Agni telah berjongkok di samping pamannya. Ketika dengan serta-merta ia meraba tubuh pamannya, maka tubuh itu pun telah membeku.
Sejenak Mahisa Agni serasa kehilangan nalar. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan, sehingga karena itu, Mahisa Agni masih saja berjongkok di samping pamannya tanpa berbuat sesuatu.
Baru sejenak kemudian anak muda itu tersadar akan keadaannya. Perlahan-lahan ia berdiri. Kemudian dipandanginya setiap sudut sanggar itu. Matanya seolah-olah tanpa berkedip mengamat-amati setiap benda yang ada di sekitarnya.
Tatapan matanya itu pun kemudian membentur kepingan-kepingan paron yang tergolek di lantai. Dengan tegangnya diamatinya kepingan itu sambil bergumam, "Apakah yang telah memecahkan paron ini" Hanya senjata yang pilih tanding sajalah yang dapat membelah bungkalan baja pilihan ini. Dan senjata yang demikian itu tidak akan banyak jumlahnya".
Nafas Mahisa Agni menjadi terengah-engah. Kembali ia berjongkok di samping pamannya. Terlihatlah kini olehnya darah yang sudah membeku di tikar di arah bawah dada pamannya. Darah itu tidak begitu banyak sebagaimana luka-luka yang lazim menembus dada.
"Senjata yang dahsyat. Pasti senjata ini pulalah yang telah membelah paron itu. Senjata ini pasti senjata yang luar biasa. Benar-benar luar biasa. Tetapi, juga senjata yang sangat berbahaya".
Debar jantung Mahisa Agni pun menjadi kian bertambah cepat. Ia tiba-tiba meloncat ketika ia melihat sebilah keris terkapar di lantai sanggar. Tatapi ia segera menjadi kecewa. Keris, itu pasti bukan keris yang dipakai untuk menusuk dada Empu Gandring karena keris itu sama sekali tidak membekas darah dan menurut pengamatan Mahisa Agni, keris itu bukanlah keris yang dapat dibanggakan. Apalagi untuk membelah paron di dalam sanggar keris Empu Gandring.
Meskipun demikian keris itu disimpannya juga di dalam geledeg Empu Gandring, "Mungkin suatu saat keris ini diperlukan". Setelah menyimpan keris itu, Mahisa Agni pun segera pergi keluar mencari cantrik yang ditemuinya di regol halaman. Kemudian digandengnya cantrik itu pergi ke sanggar Empu Gandring.
"Kenapa aku ini?" bertanya cantrik itu.
Mahisa Agni tidak menjawab. Dituntunnya cantrik itia menaiki tangga sanggar kemudian melangkah masuk.
"Lihat, apa yang terjadi dengan Empu Gandring!"
Cantrik itu sejenak berdiri membeku, kemudian terpekik keras-keras, "Empu, Empu. Empu Gandring". Dan cantrik itu pun terduduk dengan lemahnya di samping mayat Empu Gandring.
Mahisa Agni yang berdiri di sampingnya kemudian memegangi pundaknya sambil bertanya, "Katakan, bagaimanakah ujud prajurit itu menurut ingatanmu".
Cantrik itu mencoba mengingat-ingat. Kemudian dengan suara gemetar ia berkata, "Seorang yang bertubuh sedang, tampan dan memakai pakaian seorang prajurit".
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ada lebih dari seratus orang prajurit yang bertubuh sedang dan berwajah tampan. Memang terlampau sukar untuk dapat memilih salah seorang dari sekian banyak prajurit Tumapel.
Namun tiba-tiba Mahisa Agni bertanya, "Apakah ciri pakaiannya yang paling kau ingat?"
Cantrik itu mengingat-ingat sebentar, kemudian jawabnya, "Sebuah selempang tali yang berwarna kuning keemasan".
"Pasukan pengawal" tanpa sesadarnya Mahisa Agni berdesis.
"Ya, pasukan pengawal istana. Demikian ia menyebut dirinya sendiri".
"Ia dapat menyebut dirinya dengan sebutan apapun. Tetapi, pakaian itu telah mengatakan, bahwa ia sebenarnya dari pasukan pengawal" geram Mahisa Agni.
Kalau saja ia tidak ingin menunggu ibunya datang dan memberi keseimbangan apabila terjadi goncangan perasaan, maka Mahisa Agni pasti sudah berpacu ke Tumapel. Demikian ia menyadari keadaan pamannya, maka segera ia teringat pada derap kaki-kaki kuda yang menjauh pada saat ia datang.
"Belum terlampau jauh" ia menggeram, "Tetapi, untuk menyusulnya sudah tidak mungkin lagi. Yang dapat dilakukan adalah mencarinya di seluruh bagian Tumapel. Di barak-barak dan rumah-rumah prajurit Pengawal Istana".
Namun, Mahisa Agni tidak dapat segera pergi. Ia tidak sampai hati membiarkan ibunya sendiri menghadapi keadaan pamannya. Karena itu, maka betapapun desakan di dalam dirinya untuk segera berpacu ke Tumapel, terpaksa ditahankannya sampai keadaan ibunya menjadi bertambah baik.
Karena itu, dengan gelisah Mahisa Agni menunggu ibunya di dalam hirup pikuk para cantrik dan endang. Keluarga terdekat Empu Gandring dan orang-orang yang bergaul setiap hari. Mereka menyesal tiada taranya bahwa hal itu terjadi. Apalagi cantrik-cantrik yang terdekat. Cantrik yang memegangi kuda Ken Arok merasa, bahwa ialah orang yang paling bersalah. Kenapa ia tidak bertanya siapakah nama tamu itu, dan kenapa dibiarkannya Empu Gandring menemuinya seorang diri" Padahal kehadiran tamu yang tidak pada waktunya itu sudah harus menumbuhkan kecurigaan padanya.
Tetapi, semua sudah terjadi. Mereka hanya dapat menyesal dan menyalahkan diri sendiri.
Kehadiran sebuah pedati yang membawa ibu Mahisa Agni menambah pedepokan Empu Gandring menjadi kian basah oleh air mata.Seperti terperas dari pelupuk matanya, perempuan tua itu menangis sejadi-jadinya. Sekian lama mereka berpisah, dan kesempatan yang terakhir, perempuan tua itu hanya dapat melihat mayatnya yang telah terbujur tidak bergerak.
Padepokan Lulumbang benar-benar sedang disaput oleh kepedihan.
Ketika orang-orang Lulumbang sudah dapat mengatur perasaan mereka dan jenazah Empu Gandring telah mulai dibersihkan, untuk diselenggarakan sebagaimana seharusnya, maka Mahisa Agni tidak dapat menahan diri lagi. Setelah minta diri kepada ibunya, dan menyerahkan perempuan tua itu kepada dua orang prajurit yang bertugas mengantarkannya, maka Mahisa Agni pun segera berpacu ke Tumapel tanpa menunggu pagi.
Dalam remang-remang cahaya kemerahan fajar, Mahisa Agni dengan dada yang berdebar-debar berusaha untuk secepat-cepatnya sampai ke Tumapel. Apapun yang akan dihadapinya tidak dihiraukannya. Bahkan dipunggungnya pun telah terselip sebilah keris yang diambilnya dari sekian banyak perbendaharaan keris pamannya. Dan keris itu adalah keris yang sering dipakai langsung oleh pamannya sendiri, sebilah keris yang besar yang bersilang di punggungnya.
Terasa oleh Mahisa Agni, betapa kudanya berlari terlampau lambat, seolah-olah sengaja bermalas-malasan, sehingga berkali-kali Mahisa terpaksa mencambuknya.Namun bagaimanapun juga ia berusaha, kecepatan lari kudanya itu pun sangat terbatas.
Tetapi, betapapun lambatnya, namun Tumapel semakin lama menjadi semakin dekat. Sehingga dada Mahisa Agni pun menjadi semakin berdebar-debar. Ia hanya berhenti beberapa kali untuk memberi kesempatan kudanya minum air dan beristirahat sejenak. Tetapi, ia sendiri sama sekali tidak bernafsu untuk makan dan minum. Yang menyesak di dadanya hanyalah kemungkinan-kemungkinan, untuk dapat menemukan orang yang membunuh pamannya.
"Paman pasti dibunuh dengan cara yang paling curang Agaknya paman sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membela diri. Betapapun saktinya seseorang, tetapi paman Empu Gandring adalah seorang yang pilih tanding. Seandainya beberapa orang sekaligus datang kepadanya, tidak mungkin mereka dapat membunuh paman dengan begitu mudahnya apabila paman memang menyadari bahwa ia sedang diancam bahaya".
Karena itulah, maka kemarahan di dada Mahisa Agni menjadi semakin mendidih. Seandainya pamannya terbunuh dalam perang tanding yang jujur, ia tidak akan berbuat apapun juga. Tetapi, yang dijumpainya adalah lain. Pamannya dibunuh dengan cara yang sangat licik.
Beberapa saat setelah matahari melampaui puncak langit, Mahisa Agni telah memasuki telatah kota Tumapel. Sejenak ia menjadi ragu-ragu, namun kemudian dengan bulat ia bertekad untuk menemui pemimpin tertinggi pasukan pengawal istana. Witantra.
Witantra yang saat itu ada dirumahnya menjadi terkejut bukan buatan melihat kehadiran Mahisa Agni yang agaknya begitu tergesa-gesa. Karena itu, setelah mereka duduk di atas sehelai tikar, Witantra segera bertanya, "Aku melihat sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Benarkah?"
"Ya" sahut Agni, "Paman Empu Gandring terbunuh?"
"He?" Witantra pun terkejut mendengarnya, dan bahkan hampir ia tidak percaya, "benarkah begitu?"
"Aku baru datang dari padepokannya" jawab Mahisa Agni.
Sejenak Witantra terdiam. Tetapi, terjadilah pergolakan yang dahsyat di dalam dirinya. Meskipun Empu Gandring tinggal jauh dari Tumapel, namun persoalannya agaknya memang bersangkut-maut dengan kekisruhan yang dilihatnya di istana Tumapel kini.
"Apakah kau tahu siapa yang membunuhnya?" bertanya Witantra kemudian.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu ia menjawab, "Aku tidak mengetahui dengan pasti. Tetapi, para cantrik yang melihatnya, dapat menyebutkan orang yang baru saja datang ke padepokan itu sesaat sebelum Empu Gandring terbunuh. Ketika orang itu pergi, maka Empu Gandring terdapat telah tebunuh di dalam sanggarnya".
"Siapa?" "Seorang prajurit Tumapel".
"Hanya begitu?"
"Prajurit itu memakai ciri khusus. Sebuah selempang tali yang berwarna kuning keemasan".
"He" mata Witantra terbelalak, "Pengawal istana".
"Begitulah menurut para cantrik yang melihatnya".
Witantra merenung sejenak. Pergolakan di dalam dadanya menjadi semakin ribut.Kalau yang terbunuh itu bukan seorang Empu Gandring, maka persoalannya tidak akan begitu berat baginya. Tetapi, kali ini yang terbunuh adalah seorang Empu yang tidak ada duanya di Tumapel.
"Kalau benar penglihatan cantrik itu, siapakah diantara praiurit pengawal yang mampu membunuh Empu Gandring?" berkata Witantra.
"Paman Empu Gandring dibunuh dengan curang. Paman sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melawan, bahkan paman pasti sama sekali tidak menaruh kecurigaan apapun" lalu diceriterakannya keadaan pamannya seperti saat diketemukannya di dalam sanggar itu.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya" desisnya, "Apabila demikian, maka pembunuhan itu adalah pembunuhan yang sudah direncanakan sebelumnya dengan teliti".
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, "Di dalam sanggar itu aku menemukah sebilah keris. Tetapi, keris itu sama sekali tidak mempunyai cirri-ciri yang menarik. Keris itu adalah keris kebanyakan".
"Apakah keris itu juga yang dipergunakannya".
"Tentu bukan. Keris itu sama sekali tidak membekas darah".
"Pembunuhan yang keji dan curang". Lalu Witantra menggeram, "Aku akan mencari diantaran para pengawal, siapakah yang baru saja meninggalkan Tumapel".
Mahisa Agni menatap wajah Witantra sejenak. Kemudian katanya, "Aku mengucapkan terima kasih, kalau kau bersedia menolong aku membantu mencari pembunuh itu".
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, "Aku memang berkepentingan. Tumapel sendiri memang sedang dihangatkan oleh keadaan yang belum diketahui ujung pangkalnya. Namun tiba-tiba saja semuanya telah berubah".
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Katanya, "Apakah persoalan yang kita hadapi ini memang bersangkut paut?"
"Mungkin" jawab Witantra, "Sekarang, tinggallah disini. Aku akan mencari siapakah orang itu, selagi belum terlampau kasip".
"Terima kasih. Mudah-mudahan kau berhasil". Witantra pun segera pergi meninggalkan rumahnya untuk mencoba menemukan seorang prajuritnya yang baru saja datang ke Lulumbang. Seandainya tidak seorang pun yang akan mengaku telah pergi ke padepokan Empu Gandring, maka diantara sekian banyak prajuritnya, ia harus memisahkan, siapakah yang semalam tidak ada di rumah atau di dalam baraknya.
Sepeninggal Witantra, Mahisa Agni duduk merenung seorang diri. Isteri Witantra mengawaninya sejenak, namun kemudian ditinggalkannya Mahisa Agni duduk di pendapa rumahnya.
Ketika Mahisa Agni sedang asyik merenung, tiba-tiba ia terkejut ketika terdengar suara seorang perempuan yang lembut dari balik pintu, "Kenapa kau ributkan kematian Empu Gandring itu?"
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Dilihatnya seorang gadis muncul dari balik pintu dan bersandar pada sisi pintu itu.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu adalah Ken Umang.
"Kenapa, Mahisa Agni?" bertanya Ken Umang itu pula. Kini ia tidak lagi berdiri bersandar sisi pintu, tetapi ia melangkah mendekat, lalu duduk di samping anak muda itu.
Mahisa Agni bergeser setapak tanpa dikehendakinya sendiri. Dan tiba-tiba saja ia terkejut ketika ia mendengar Ken Umang tertawa, "Kenapa kau takut duduk di dekat seorang gadis, he?" suara tertawanya mengeras, "Memang anak-anak padesan terlampau tebal dicengkam oleh perasaannya".
Mahisa Agni tidak menjawab.
"Tetapi, berbeda dengan perempuan yang kini menjadi Permaisuri itu. He, bukankah ia adikmu" Perempuan itu sama sekali tidak usah malu-malu untuk langsung tinggal di istana" berkata gadis itu seterusnya.
Dada Mahisa Agni berdesir, tetapi ia tidak menyahut.
"Seharusnya kau tinggal di kota Tumapel, Agni" berkata Ken Umang selanjutnya, "Kau tidak pantas untuk seterusnya tinggal di Padang Karautan. Aku kira kau akan lebih menarik apabila kau mengenakan pakaian seorang prajurit._Apalagi seorang pengawal seperti kakang Witantra. Kau akan menjadi seorang anak muda yang gagah. Dan kau akan digilai oleh gadis-gadis di seluruh Tumapel", suara tertawa Ken Umang meninggi, sehingga tiba-tiba tubuh Mahisa Agni menjadi meremang, seolah-olah ia mendengar suara hantu betina yang menemukan mangsanya.
Dengan demikian maka Mahisa Agni itu pun seakan-akan justru terbungkam. Yang diharapkannya adalah agar Witantra segera pulang, berhasil atau tidak berhasil. Apabila ia terlampau lama duduk berdua saja dengan Ken Umang, maka ia akan kehilangan keseimbangan, sehingga mungkin ia akan berbuat atau berkata sesuatu yang dapat menyakitkan hati gadis itu.
"Kau terlampau pendiam Agni" berkata Ken Umang seterusnya, "Jawablah, bagaimana pendapatku" Kau tinggal saja di Tumapel. Kakang Witantra akan dapat menolongmu, sehingga dengan mudah kau akan diterima menjadi seorang prajurit".
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia tetap mencoba untuk tidak menyakiti hati gadis itu. Sebab, menurut penilaiannya, Ken Umang akan dapat berbuat apa saja apabila hatinya terluka. Ia akan dapat menjadi sangat marah dan bahkan mungkin dapat mengatakan hitam menjadi putih dan putih menjadi hitam. Karena itu, sekuat-kuat hatinya, ia berusaha untuk tidak melukai hati gadis itu.
"Bagaimana Agni" Apakah kau setuju?"
"Aku belum dapat menjawab Ken Umang. Sampai saat ini Padang Karautan masih sangat memerlukan aku. Apalagi aku sama sekali tidak berkepandaian apapun selain memelihara sawah dan ladang. Untuk menjadi seorang prajurit, aku harus mampu olah senjata atau mempunyai kecakapan khusus yang lain. Dan itu sama sekali tidak aku miliki".
"Bohong" Ken Umang memotong, "Kakang Witantra sering menyebut-nyebut namamu. Namun seandainya benar-benar kau tidak memiliki kemampuan khusus, biarlah kakang Witantra mengajarimu. Kemudian kau diterima menjadi seorang prajurit pengawal". Ken Umang berhenti sejenak, lalu, "Kau tidak usah bingung, dimana kau akan bertempat tinggal. Kau dapat tinggal saja di rumah ini. Setuju" Akulah yang akan mengatakannya kepada kakang Witantra".
"Entahlah untuk lain kali Ken Umang, tetapi sekarang aku belum mempunyai keputusan begitu".
Suara tertawa Ken Umang menggeletar lagi. Semakin meninggi. Katanya, "Memang anak-anak padesan sering merasa terlampau rendah diri. Tetapi, sebenarnya kau tidak perlu merasa sedemikian tidak berharga".
"Aku sekarang sedang dibingungkan oleh kematian pamanku" desah Mahisa Agni kemudian.
"Kenapa mesti dirisaukan" Aku mendengar ceriteramu tentang Empu Gandring. Biarlah yang mati sudah terlanjur mati. Tetapi, hiruk pikuk dunia ini tidak akan berhenti karenanya. Tumapel akan berkembang terus, dengan atau tidak dengan seorang penghuni yang bernama Empu Gandring. Dan kau harus menyesuaikan dirimu dengan arus perputaran jaman. Jangan berhenti karena pamanmu meninggal dunia".
"Kau benar Ken Umang. Tetapi, aku yang tidak dapat membuat arak di dalam diriku sendiri, tidak semudah itu untuk melakukannya.Aku dapat menasehatkannya kepada orang lain, seperti pada saat tetangga kematian orang tuanya. Tetapi, untuk melakukannya sendiri, agaknya terlampau sulit".
Suara tertawa Ken Umang tiba-tiba saja meledak tidak tertahankan, diantara derai tertawanya ia berkata, "Oh, kau adalah searang perasa.Melampaui lembutnya perasaan seorang gadis. Kau memang tidak pantas untuk menjadi seorang prajurit. Tetapi, kau dapat mencari jabatan yang sesuai dengan sifat dan kebiasaanmu itu".
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ia telah benar-benar dicengkam oleh kejemuan. Tetapi, ia tidak berdaya untuk mengusir gadis itu.
Namun tiba-tiba Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia mendengar suara Nyai Witantra memanggil adiknya, "Dimana kau Umang?". Ken Umang mengangkat wajahnya, kemudian desisnya, "Aku telah dipanggil. Jangan pergi dahulu sebelum kakang Witantra kembali. Aku akan segera mengawani kau lagi".
Mahisa Agni tidak menjawab. Dipandanginya saja gadis itu kemudian berdiri dan berjalan meninggalkannya menyusup ke balik pintu.
Sepeninggal Ken Umang, kembali Mahisa Agni merenung. Dengan gelisah ia menunggu kedatangan Witantra yang berusaha untuk membantunya mencari seorang prajurit pengawal jang datang ke Lulumbang semalam.
Dengan cepat Witantra berhasil mengumpulkan para perwira di dalam lingkungannya, yang sebagian besar melihat perkembangan Tumapel dengan cemasnya. Ketika mereka mendengar berita kematian Empu Gandring dan cara yang dilakukan oleh pembunuhnya, mereka menarik nafas dalam-dalam.
"Aku harus segera mendapat laporan" berkata Witantra, "Semua prajurit pengawal harus dilihat, apakah mereka pada saat terakhir tidak ada di Tumapel. Setiap orang yang meragukan, harus segera dibawa kepadaku".
Para perwira itu pun segera bertindak ke dalam lingkungan masing-masing. Prajurit pengawal istana memang tidak terlampau banyak, sehingga penyelidikan itu dapat dilakukan dengan saksama. Setiap perwira telah .menyebarkan bawahannya di dalam lingkungannya untuk menghubungi langsung setiap prajurit tanpa ada kecualinya.Merekapun harus melaporkan apabila mereka melihat salah seorang kawan mereka yang baru saja kembali dari perjalanan kemana pun.
Sambil menunggu laporan Witantra pun kemudian kembali ke rumahnya.Kepada para perwiranya ia berpesan, agar hal ini untuk sementara harus dirahasiakannya.
Dengan berdebar-debar Mahisa Agni menunggu keterangan terakhir dari usaha itu di rumah Witantra. Meskipun mereka mencoba untuk mengisi waktu mereka, namun terasa betapa lamanya meeka harus menunggu.
Waktu serasa berjalan begitu lambat, meskipun mereka telah berusaha untuk melupakannya.
Namun akhirnya, seorang demi seorang, para perwira itu pun datang ke rumah Witantra. Tetapi, tidak seorang pun dari mereka yang dapat berkata dengan pasti, "Aku telah menemukan orangnya".
Hampir semuanya mengatakan kepada Witantra bahwa tidak seorang pun yang diketemukan baru saja datang dari Lulumbang. Bahkan tidak seorang pun yang baru saja datang dari mana saja. Ketika seorang perwira melaporkan bahwa dua orang prajuritnya baru saja datang dari sebuah perjalanan. Mahisa Agni tergeser maju. Tetapi, perwira itu kemudian melanjutkan, "Namun kedua orang itu masing-masing mempunyai saksi bahwa mereka berada di rumah orang tua masing-masing yang jauh dari Lulumbang pada saat-saat yang menentukan itu".
"Dan menurut pengamatan saja, keduanya tidak akan mempunyai kepentingan apapun dengan Empu Gandring, "berkata perwira itu.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Mahisa Agni yang kecewa. Katanya, "Agni, aku kira, memang tidak seorang pun dari prajuritku yang akan berbuat demikian. Aku yakin".
"Tetapi, para cantrik itu, pasti bahwa yang membunuh Empu Gandring adalah seorang prajurit yang memakai selempang kuning keemasan".
Jilid 48 WITANTRA mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Baiklah. Aku tidak akan ingkar. Kalau benar katamu, itu adalah tanggung jawabku. Untuk seterusnya, sampai pembunuhnya itu diketemukan, aku akan selalu berusaha. Bahkan apabila perlu, kau dapat membawa cantrik itu kemari, untuk melihat sendiri, siapakah orang yang dicurigainya. Aku atau perwira-perwira yang aku percaya akan membawanya berkunjung ke setiap orang, terutama yang pantas dicurigai. Apabila pada suatu saat ia bertemu dengan orangnya, maka ia akan segera mengenalnya".
"Terima kasih Witantra".
"Untuk sementara, aku kira lebih baik kau tinggal di Tumapel. Aku akan mengadakan penyelidikan terus-menerus. Mudah-mudahan aku dapat membantumu dalam waktu yang singkat. Aku harus segera membersihkan nama baik pasukanku. Kalau benar aku dapat menemukan di dalam lingkunganku, maka ia harus menerima hukuman yang seberat-beratnya".
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Sebenarnya ia senang sekali mendapat tawaran Witantra untuk tinggal di Tumapel. Tetapi apabila sekilas terbayang wajah adik ipar Witantra itu, terasa bulu-bulu tengkuk Mahisa Agni meremang.
"Bagaimana Agni" Apakah kau bersedia" Pada suatu saat aku mungkin akan memerlukanmu untuk menghubungi cantrik yang melihat sendiri wajah prajurit itu".
Mahisa Agni tidak segera menyahut, ia berdiri di antara dua masalah yang sama-sama berat baginya, ia memang ingin tinggal di Tumapel untuk sementara. Dengan demikian, ia akan ikut membantu menemukan pembunuh pamannya. Tetapi rumah itu serasa didiami oleh sesosok hantu betina.
"Bagaimana?" desak Witantra.
Namun bagaimanapun juga akhirnya Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Ia menganggap kematian pamannya adalah masalah yang penting yang harus dapat dipecahkannya. Apabila ternyata ia tidak dapat tinggal di rumah Witantra, ia akan mencari tempat yang lain, yang mungkin dapat ditempatinya untuk sementara.
Dalam pada itu, tiba-tiba sekilas meloncat di dalam angan-angannya seorang yang bernama Ken Arok. Seorang yang pernah dikenalnya dengan baik, yang menurut pendengarannya, telah membantunya dan membantu pamannya pada saat-saat ia berada di dalam kekuasaan Kebo Sindet. Bahkan Ken Arok saat itu tidak memperhitungkan keselamatannya sendiri.
"Tetapi anak muda itu tidak tinggal di rumahnya.Ia tinggal di dalam barak. Sudah tentu aku tidak dapat tinggal bersamanya" katanya di dalam hati.
"Nah, apabila demikian" terdengar suara Witantra, "Kau akan tinggal di gandok kanan. Setiap saat kau dapat keluar dan memasukinya tanpa terganggu, karena gandok kanan mempunyai pintu masuk ke dalam bilik-biliknya tersendiri".
"Terima kasih Witantra" sahut Mahisa Agni.Witantra kemudian membawa Mahisa Agni ke dalam bilik yang diperuntukkannya. Tetapi begitu Witantra meninggalkannya di dalam bilik itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Dimuka pintu bilik itu berdiri seorang gadis sambil tersenyum, "Bukankah kakang Witantra cukup baik terhadapmu?"
"Mudah-mudahan kau kerasan tinggal di sini".
"Mudah-mudahan".
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya, "Ya, aku sangat berterima kasih".
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar suara tertawa gadis itu menjauh. Kemudian, hilang perlahan-lahan.
Atas persetujuan Witantra, Mahisa Agni pada suatu kesempatan telah pergi menemui Ken Arok di baraknya. Dengan penuh harapan Mahisa Agni ingin menyampaikan persoalannya kepada anak muda yang baik itu. Ia yakin, bahwa Ken Arok pasti tidak akan berkeberatan untuk membantunya.
Ternyata kedatangan Mahisa Agni telah sangat mengejutkan anak muda itu, sehingga sejenak ia berdiri dengan tegangnya seperti melihat hantu yang sangat menakutkan.
"Apakah kedatanganku terasa aneh bagimu Ken Arok?" bertanya Mahisa Agni tanpa prasangka apapun.
"Tidak, tidak" Ken Arok tergagap, "Aku senang sekali mendapat kunjunganmu.Apakah kau baru saja datang dari Karautan atau Panawijen lama?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, "Tidak Ken Arok. Aku baru saja datang dari Lulumbang".
Terasa darah Ken Arok berguncang di dalam jantungnya. Sejenak ia membeku di tempatnya. Namun sejenak kemudian terasa dadanya menjadi seakan-akan pepat. Berbagai prasangka telah timbul di dalam hatinya. Hampir saja ia kehilangan pengamatan diri dan berbuat sesuatu di luar sadarnya. Untunglah bahwa ia masih berhasil mengekang dirinya. Ia masih berhasil menahan hati, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dengan dirinya, betapapun berat tekanan di dadanya.
Bahkan kemudian Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan tenangnya ia bertanya, "Apakah kau baru mengunjungi pamanmu" Dan apakah Empu Gandring baik-baik saja?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berdesah, "Pamanku bernasib kurang baik".
"Kenapa?" Ken Arok tampak terkejut.
"Pamanku telah mati terbunuh".
"He" Ken Arok menjadi tegang sejenak. Namun dadanya menjadi semakin lapang. Dengan demikian, jelas baginya bahwa Mahisa Agni sama sekali tidak menaruh prasangka apapun terhadapnya.
"Aku datang kerumahnya di malam hari, tetapi aku tinggal menemukan mayatnya di dalam sanggarnya".
"Aneh" jawab Ken Arok, "Empu Gandring adalah seorang yang pilih tanding dalam olah kanuragan".
"Ya, tetapi ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melawan".
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Mahisa Agni menceriterakan apa yang dilihatnya.
"Pengecut" Ken Arok menggeram, "Apakah pamrih orang itu dengan membunuh Empu Gandring?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu.Dan tidak seorang pun yang tahu".
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, "Apakah tidak ada ciri-ciri yang dapat menunjukkan siapakah pembunuh itu?"
"Ada" sahut Mahisa Agni, "Seorang prajurit dengan selempang tali berwarna kuning keemasan".
"Prajurit pengawal istana" ia berseru.
"Ya, pengawal istana".
"Apakah kau sudah bertemu dengan Witantra?"
"Aku tinggal di rumahnya, sementara aku mencari siapakah pembunuh pamanku itu. Witantra sedang menyelidiki semua anak buahnya. Mudah-mudahan akan segera diketemukan".
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Aku akan membantumu Mahisa Agni. Aku akan berusaha untulk ikut mencari siapakah orangnya di dalam lingkungan prajurit pengawal. Meskipun aku bukan dari lingkungan itu, tetapi karena aku seorang pelayan dalam, maka tugas-tugasku hampir bersamaan dengan para pengawal. Dengan demikian aku banyak mengenal mereka bahkan seperti lingkungan sendiri. Dengan tidak langsung aku akan berusaha menemukan orang-orang yang pada saat terbunuhnya Empu Gandring tidak berada di tempatnya".
"Terima kasih Ken Arok. Aku memang mengharapkan bantuanmu dan bantuan segala pihak. Mudah-mudahan segera berhasil".
"Baiklah. Tetapi, sampai kapan kau berada di Tumapel?"
"Aku tidak tahu".
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dengan sungguh-sungguh ia berkata, "Tetapi hati-hatilah Mahisa Agni. Agaknya pembunuhan itu telah direncanakan untuk maksud tertentu. Kehadiranmu di sini pasti akan menjadi perhatian prajurit itu".
"Aku sudah memperhitungkan" jawab Mahisa Agni, "Tetapi aku tidak mempunyai jalan lain".
"Sebenarnya kau tidak perlu berada di Tumapel.Kau dapat kembali ke Karautan atau ke Lulumbang. Serahkan persoalanmu di sini kepadaku dan kepada Witantra. Setiap saat aku atau Witantra akan menghubungimu di mana kau tinggal".
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab, "Sementara aku akan tinggal di Tumapel. Tetapi sudah tentu tidak terlampau lama, karena pekerjaanku sendiri. Apabila orang itu masih belum dapat kita ketemukan, maka pada suatu saat aku harus meninggalkan kota ini. Aku berterima kasih sebelumnya kepadamu dan kepada Witantra atas semua bantuan yang akan kalian berikan kepadaku".
"Itu sudah menjadi kuwajibanku. Juga menjadi kuwajiban Witantra. Ia harus bertanggung jawab atas orang-orangnya, meskipun seandainya orang itu masih mempunyai sangkut paut dengannya".
"Ya, Witantra memang tidak ingkar".
"Aku percaya. Bukan watak Witantra untuk mengingkari tanggung jawabnya. Tetapi, aku pesan kepadamu Agni. Sungguh. Agar kau berhati-hati. Pembunuh pamanmu adalah seorang yang kejam dan yang paling berbahaya, ia seorang yang licik".
"Aku menyadari. Karena itu aku akan tetap berhati-hati. Dan atas perhitungan semacam itu pulalah, aku mempersiapkan diriku sebaik-baiknya. Aku membawa senjata paman yang paling terpercaya. Mungkin sewaktu-waktu berguna bagiku".
Dada Ken Arok berdesir mendengar keterangan itu. Senjata Empu Gandring yang terpercaya. Senjata itu pasti senjata yang paling baik yang pernah dibuatnya, karena senjata itu dipergunakannya sendiri. Ia tidak akan membuat senjata yang lain yang akan melampaui senjatanya sendiri.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Agni pun segera minta diri untuk segera kembali ke rumah Witantra. Setelah sekali lagi ia mengucapkan terima kasih, maka ia pun meninggalkan barak anak muda anggauta pelayan dalam Istana Tumapel itu.
Ken Arok yang masih berdiri di regol halaman memandangi Mahisa Agni sampai hilang di tikungan. Namun sesaat kemudian ia menggeretakkan giginya, "Kenapa kau ikut campur persoalan pamanmu Agni. Dengan demikian, maka kau pun harus dimusnahkan. Sayang, kau masih terlampau muda untuk mati.Tetapi apa boleh buat".
Ken Arok menghentakkan kakinya. Kemudian menggeram. Ia merasa sangat terganggu atas kehadiran Mahisa Agni di Tumapel. Ia pasti akan bekerja sama dengan Witantra, dan apalagi apabila Mahisa Agni kemudian berhubungan dengan Ken Dedes. Mungkin Permaisuri itu tidak akan dapat menahan hatinya untuk mengatakan rahasianya kepada kakaknya, satu-satunya keluarganya. Apabila demikian, maka Mahisa Agni pasti akan mencari hubungan atas segala peristiwa yang telah terjadi. Kepergiannya, sikap dan tindak tanduknya, pasti akan dapat mengarahkan kecurigaan Mahisa Agni dan Witantra.
"Adalah salahmu sendiri anak yang malang, apabila suatu ketika mayatnya terkapar di tengah jalan di kota Tumapel tanpa ada seorang pun yang mengetahui sebab-sebabnya" gumam Ken Arok kepada diri sendiri.
Sejenak kemudian Ken Arok pun segera masuk ke dalam biliknya. Dijatuhkannya dirinya di pembaringannya sambil mereka-reka apakah yang seharusnya dilakukan.
Dihari-hari berikutnya, selama Mahisa Agni masih berada di Tumapel, ia selalu menghubungi Witantra dan Ken Arok dalam segala tindakannya. Sehingga kedua orang itu jelas mengetahui, apakah yang sedang dilakukan oleh Mahisa Agni pada suatu saat.
"Aku sama sekali belum dapat mengatakan tentang kemungkinan untuk menemukan pembunuh itu" berkata Witantra pada suatu ketika.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, "Pada suatu ketika, kita harus melihat keluar lingkungan pasukan pengawal. Siapa saja yang pada saat-saat itu tidak berada di Tumapel dan di rumah masing-masing".
Tetapi Witantra menggeleng, "Tidak mungkin Agni. Terlampau, banyak orang yang harus dihubungi. Dan waktu pun sudah melangkah semakin jauh dari peristiwa itu".
Mahisa Agni menyadarinya, tetapi ia masih belum berputus asa. Katanya kemudian, "Aku akan minta tolong kepada Ken Arok, untuk melakukan penyelidikan di luar lingkungan Pengawal Istana".
"Memang hal itu dapat diusahakan. Tetapi hasilnya sangat kecil untuk diharapkan. Meskipun demikian, aku akan membantumu mengusahakannya".
"Terima kasih".
Dengan demikian Mahisa Agni masih akan tinggal beberapa hari lagi di Tumapel.Ia masih belum puas dan masih merasa belum selesai, apabila ia harus meninggalkan kota pada saat itu. Karena itu, maka ia masih tetap berusaha untuk berbuat sesuatu.
Dalam kepepatan hati, kadang-kadang Mahisa Agni berjalan saja tanpa tujuan di malam hari di sepanjang jalan Tumapel. Kadang-kadang sendiri dan kadang-kadang bersama Witantra. Bahkan kadang-kadang juga di siang hari. Menyusuri jalan tanpa tujuan.
Kadang-kadang ia singgah di barak Ken Arok untuk berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Tetapi Mahisa Agni tidak pernah mendapatkan petunjuk yang dapat memberinya jalan terang.
"Kita akan berusaha terus Agni" berkata Ken Arok, "Tetapi sampai kapan, dan sampai sejauh mana, aku tidak dapat mengatakan. Karena itu, apa tidak lebih baik bagimu untuk menyerahkan persoalan ini kepada Witantra. Aku akan embantunya sekuat-kuat tenagaku".
Mahisa Agni yang merasa sudah terlampau lama tinggal di Tumapel mengerutkan keningnya.
"Aku akan mempertimbangkannya" jawabnya.
Sepeninggal Mahisa Agni, Ken Arok menjadi gelisah. Tiba-tiba ia mengenakan pakaian seorang prajurit. Dibawah kainnya disembunyikannya sebuah tali berwarna kuning keemasan. Kemudian dengan diam-diam ia meninggalkan baraknya, melalui pintu butulan lewat saat matahari terbenam.
Sementara itu Mahisa Agni berjalan sambil merenung, menyusuri jalan yang telah menjadi semakin sepi, karena malam menjadi semakin dalam. Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak menghiraukannya. Hanya sekali-kali dikerlingnya lampu-lampu yang dipasang di regol-regol halaman, dan di sudut-sudut simpang jalan.Tetapi tidak ada yang menarik perhatiannya. Karena itu, maka ia berjalan saja dengan kepala menunduk.
Sementara itu sapasang mata yang jalang, selalu mengawasinya. Diikutinya saja langkah anak muda itu dengan hati-hati. Dengan kemampuan yang tinggi, orang itu mengikuti langkah Mahisa Agni pada jarak yang tidak terlampau jauh.
Namun ternyata Mahisa Agni memiliki ketajaman indera di luar dugaan orang yang mengikutinya. Orang itu sama sekali tidak tahu, bahwa justru di dalam tangan Kebo Sindet, Mahisa Agni telah menemukan inti dari ilmunya, bahkan bergabung dengan ilmu yang didapatinya dari Empu Sada dan kekerasan jasmaniah yang disadapnya dari tata gerak Kebo Sindet.
Dengan demikian, maka ketajaman inderanya yang terlatih itu segera mengetahui, bahwa seseorang telah mengikutinya. Desir dedaunan, gemerisik rumput-rumput kering tersentuh kaki, telah menyentuh telinganya.
Tetapi Mahisa Agni tidak segera memberikan tanggapan. Meskipun dadanya menjadi berdebar-debar, namun ia tidak merubah sikapnya. Bahkan ia mengharap, mudah-mudahan terjadi sesuatu, ia pasti bahwa yang akan terjadi itu ada hubungannya dengan kehadirannya di Tumapel seperti yang dikatakan oleh Keri Arok.
Langkah Mahisa Agni pun semakin lama menjadi semakin mendekati rumah Witantra. Sebelum sampai ke rumah itu, ia akan melewat suatu halaman yang masih belum digarap, meskipun sudah dipagari.
"Aku harus berhati-hati" desisnya, "Mungkin orang itu akan berbuat sesuatu, apabila aku lewat di dekat halaman yang masih kosong itu.Ia pasti menghindari agar tidak seorang pun yang akan ikut campur dalam persoalan ini".
Dengan demikian maka Mahisa Agni pun menjadi semakin berhati-hati. Dipasangnya pendengarannya baik-baik untuk mengetahui, apakah desir lembut yang didengarnya itu masih saja mengikutinya.
Sejenak Mahisa Agni sempat memandang bintang-bintang yang bergayutan di langit. Selembar mega yang putih hanyut dibawa oleh arus angin ke Utara.
Sejenak kemudian dadanya berdesir. Gemersik di pinggir halaman menjadi semakin jelas baginya. Dan apalagi ketika ia telah sampai di depan halaman yang masih kosong itu.
Ternyata bayangan yang mengikuti Mahisa Agni itu un telah siap untuk menerkam korbannya. Agaknya ia tidak akan bekerja tanggung-tanggung. Ditangannya telah tergenggam sehelai keris yang luar biasa, yang seakan-akan bercahaya kebiru-biruan di dalam gelapnya malam. Namun diantara cahayanya yang biru itu terdapat beberapa bintik warna kekuning-kuningan.
Dengan susah payah orang itu menahan nafasnya. Ia memang menunggu Mahisa Agni sampai di depan halaman kosong itu, supaya apabila timbul beberapa keributan, suaranya tidak segera didengar oleh rumah di sebelah jalan.
"Aku harus membunuhnya pada tikaman yang pertama" desis bayangan itu di dalam hatinya. Karena itu, maka ia berusaha untuk semakin dekat dengan Mahisa Agni, "Ia tidak boleh mendapat kesempatan untuk melawan".
Ketika saat yang ditunggunya itu tiba, maka dengan serta-merta sosok tubuh yang mengikuti Mahisa Agni itu pun meloncat dari dalam kegelapan. Demikian cepatnya, seakan-akan meluncur dari langit yang kehitam-hitaman. Sebelah tangannya mengembang, sedang tangannya yang lain, siap menghujamkan senjatanya ke dada Mahisa Agni.
Namun agaknya Mahisa Agni pun telah menunggu saat itu pula.Ia mengerti dan menyadari sepenuhnya apa yang akan terjadi. Karena itu, maka ia tidak terkejut ketika ia mendengar desir loncatan seseorang menerkamnya.
Mahisa Agni ternyata tidak kalah tangkasnya dari bayangan yang menerkamnya itu. Sebagai seorang anak muda yang menyimpan ilmu yang matang, maka Mahisa Agni sama sekali tidak menjadi bingung. Dengan sigapnya ia meloncat sambil merendahkan dirinya, sehingga tangan bayangan yang mengembang itu tidak sempat menyentuhnya. Namun dengan demikian, maka tiba-tiba tangannya yang lain terayun deras sekali, dalam usahanya menyentuh Mahisa Agni dengan senjatanya yang mengerikan itu.
Sekali lagi Mahisa Agni harus bergeser. Kali inipun ia berhasil menghindari sambaran senjata itu. Namun ketika senjata itu meluncur beberapa cengkang dari kulitnya, hatinya berdesir tajam. Terasa udara yang panas menyambarnya, dan dilihatnya cahaya kebiru-biruan di dalam gelapnya malam. Dan dilihatnya pula, bintik-bintik yang kekuning-kuningan itu.
"Bukan main" ia berdesis, "Senjata ini bukan senjata kebanyakan. Senjata ini adalah senjata yang luar biasa. Pasti buatan seorang Empu yang nggegirisi".
Dan Mahisa Agni seterusnya tidak sempat untuk merenungi kedahsyatan lawannya. Gabungan antara gerak yang demikian cepatnya dan senjata yang pilih tanding. Karena sejenak kemudian ia mendengar geram yang berat dan serangan yang mengejutkan.
Untunglah, bahwa Mahisa Agni telah berhasil menguasai ilmu gurunya hampir sempurna. Dalam olah kanuragan Mahisa Agni sudah tidak kalah lagi dari Empu Purwa, Empu Sada, Panji Bojong Santi dan orang-orang sejajarnya. Itulah sebabnya, maka meskipun ia harus melawan seseorang yang luar biasa dengan senjata yang luar biasa pula, ia masih mampu untuk bertahan.
Sementara itu, bayangan yang menerkam Mahisa Agni itu pun ternyata terkejut bukan buatan melihat tata gerak Mahisa Agni. Ia tidak menyangka, bahwa Mahisa Agni mampu menghindar dan untuk kemudian menghindari pula ayunan senjatanya yang nggegirisi itu, sehingga dengan demikian usahanya untuk membunuh Mahisa Agni pada serangannya yang pertama ternyata telah gagal.
"Untunglah aku mengenakan pakaian ini" desis bayangan itu di dalam hatinya.
Dan ternyata Mahisa Agni yang kini telah siap menghadapi setiap kemungkinan itu melihat, bahwa lawannya adalah seorang prajurit yang memakai selempang tali berwarna kuning keemasan.
Dengan segera Mahisa Agni menemukan hubungan yang hampir pasti, bahwa orang inilah yang telah membunuh pamannya. Namun yang dihadapinya itu ternyata tidak mau menampakkan wajahnya yang sebenarnya. Orang itu ternyata telah menutup sebagian besar wajahnya dengan selembar kain berwarna gelap.
Dengan demikian maka nafsu Mahisa Agni untuk menemukan pembunuh pamannya seolah-olah seperti api dihembus angin. Ia yakin bahwa orang ini harus ditangkap. Seandainya bukan orang ini yang melakukannya, namun pasti ada hubungan yang erat antara orang ini dan pembunuh pamannya. Tetapi menilik kelengkapan yang ada pada orang itu, maka hampir dapat dipastikan, orang ini sendirilah yang telah membunuh pamannya. Keris yang berwarna kebiru-biruan itu, selempang berwarna kuning keemasan, adalah tanda yang meyakinkan. Apalagi usaha orang itu untuk membunuhnya. Kalau tidak ada sangkut paut apapun maka sudah tentu tidak akan ada usaha pembunuhan ini.
"Benar juga peringatan Ken Arok itu" berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, "Tetapi adalah kebetulan sekali aku dapat bertemu. Dengan senjata yang demikian inilah agaknya ia berhasil membunuh Empu Gandring, dan senjata ini pulalah agaknya yang telah dipakainya untuk memecah paron itu".
Sedang orang yang merasa gagal untuk membunuh Mahisa Agni pada serangannya yang pertama itu pun menjadi semakin bernafsu pula untuk segera menyelesaikan pekerjaannya.
Dengan demikian maka keduanya segera terlibat dalam perkelahian yang sengit. Orang yang menyerang Mahisa Agni itu mempergunakan sebilah keris yang berwarna kebiru-biruan berbintik kuning, sedang Mahisa Agni pun segera mencabut kerisnya pula. Keris pamannya yang besar, yang menyilang di punggungnya.
Namun ternyata kedua keris itu telah membuat keduanya terkejut. Keris Mahisa Agni pun ternyata berwarna kebiru-biruan di dalam gelapnya malam.
"Oh" desis orang itu di dalam hatinya, "Keris itu pun berwarna kebiru-biruan".
Keduanya pun kemudian menjadi sadar, bahwa di tangan lawannya tergenggam senjata-senjata yang luar biasa. Kelengahan yang paling kecil pun dapat membuat mereka kehilangan kesempatan untuk mempertahankan hidup mereka.
Meskipun, perkelahian itu menjadi semakin lama semakin sengit, tetapi ternyata keduanya tidak dapat berkelahi pada puncak kemampuan masing-masing.
Orang yang ingin membunuh Mahisa Agni itu harus bertempur sambil berusaha menyembunyikan kediriannya. ia harus berbuat dan bersuara sedemikian, sehingga Mahisa Agni tidak akan segera dapat mengenalnya. Ia harus menyembunyikan tata gerak perkelahian yang dimilikinya, kebiasaannya dan berbagai macam ciri yang ada padanya. Ia harus berkelahi dengan tata gerak yang disaputnya dengan tata gerak yang dibuat-buat. Kadang-kadang ia hampir kehilangan kendali apabila nafsunya telah membakar jantungnya. Tetapi setiap kali ia berusaha untuk menjaga dirinya. Pada dasarnya tata-gerak yang dimilikinya adalah tata-gerak yang kasar dan keras. Dalam keadaan yang memaksa ia menjadi buas dan liar, sebuas binatang di dalam hutan dan seliar hantu di Padang Karautan. Tetapi ia tidak dapat berbuat demikian melawan Mahisa Agni. Itulah sebabnya, maka ia tidak berada di puncak kemampuannya.
Sedang Mahisa Agni pun harus berhati-hati. Ia sadar, bahwa keris pamannya itu adalah sebilah keris yang dahsyat. Kalau ia menyentuh tubuh lawannya, maka sulit baginya untuk mengharapkan lawannya itu dapat bertahan untuk hidup. Padahal ia ingin menangkap lawannya itu hidup-hidup. Ia ingin mendengar keterangan tentang pamannya. Apakah latar belakang dari pembunuhan yang keji dan licik itu.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni pun harus menjaga dirinya. Ia ingin mengalahkan lawannya, tetapi tidak membunuhnya.
Padahal keduanya adalah orang-orang yang aneh. Mahisa Agni, dalam umurnya yang semuda itu, ternyata telah memiliki ilmu yang sukar dicari tandingnya. Sama sekali tidak diduga oleh lawannya itu, bahwa Mahisa Agni ternyata adalah seorang yang pilih tanding. Tetapi. lawannya itu pun adalah orang yang aneh. Ia memiliki ketahanan tubuh dan kecepatan bergerak yang luar biasa. Meskipun kadang-kadang ia menjadi bingung dan tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Apabila demikian, maka ia pun segera meloncat dengan loncatan yang aneh, mengambil jarak dari lawannya.
Meskipun, Mahisa Agni mempunyai kelebihan dari lawannya, bahwa senjatanya lebih panjang, namun ia kurang dapat memanfaatkannya, karena ia tidak ingin mambunuh lawannya. Yang bergetar di dalam dadanya, ialah suatu keinginan untuk menangkapnya hidup-hidup. Ia akan membawanya kepada Witantra dan menuntut diadilinya sesuai dengan keharusan seorang prajurit. Namun disamping itu, maka latar belakang pembunuhan itu pun pasti akan segera dapat diungkapkannya.
Tetapi untuk menangkap orang itu sama sulitnya seperti menangkap angin. Apalagi di tangan orang itu pun tergenggam sebilah keris yang mengerikan.
Meskipun demikian, tetapi Mahisa Agni berusaha sekuat tenaga dan kemampuannya. Dikerahkannya ilmunya, untuk memungkinkannya menangkap orang itu hidup-hidup. Sedangkan, orang itu pun mengerahkan segenap kemampuannya, untuk bertahan dengan tetap menyembunyikan kediriannya.
Justru dengan demikian maka keduanya pun menjadi terlampau tegang. Keduanya berusaha menahan diri agar mereka tidak terlanjur melakukan kesalahan yang akibatnya akan sangat merugikan diri masing-masing. Apabia orang yang menyerang Mahisa Agni itu terbunuh, maka Mahisa Agni akan merasa kehilangan jalur pengamatannya untuk seterusnya. Sedang orang yang menyerangnya itu pun harus tetap bertahan untuk tidak melepaskan kemampuannya yang sebenarnya. Sebab dengan demikian maka Mahisa Agni pasti akan segera mengenalnya sebagai hantu yang pernah berkeliaran di Padang Karautan.
Tetapi betapapun juga, keduanya pasti tidak mau terkalahkan. Itulah sebabnya maka mareka masih saja berkelahi semakin seru, sehingga keringat merekapun seakan-akan telah terperas dari dalam tubuh mereka. Sedang debu yang berhamburan oleh kaki-kaki merekapun telah melekat pula pada tubuh yang basah itu.
Ternyata kedua-duanya telah dihinggapi oleh perasaan heran tiada taranya. Lawan Mahisa Agni menjadi heran, bahwa anak muda itu kini mempunyai kemampuan yang luar biasa, sedang Mahisa Agni menjadi heran, bahwa ia pun tidak segera dapat menangkap orang itu.
"Aku pernah bertempur melawan Kebo Sindet, dan akupun masih tetap hidup" desis Mahisa Agni di dalam hatinya, "Tetapi sekarang aku tidak dapat menangkap prajurit pengawal ini. Adalah aneh sekali bahwa seorang prajurit pengawal memiliki kemampuan yang sedemikian tinggi dalam tata-gerak yang kurang dikenal, dan bahkan agak kabur. Apabila setiap prajurit pengawai memiliki kemampuan setinggi prajurit ini, maka Tumapel pasti akan menjadi sangat kuat".
"Tetapi menurut pengamatanku, kemampuan Witantra sendiri pun tidak akan setinggi prajurit ini, kecuali apabila disaat-saat terakhir ia sempat menempa dirinya".
Tetapi Mahisa Agni telah memutuskan di dalam hatinya, bahwa ia harus menangkap orang itu hidup-hidup.Ia harus mendengar dari mulutnya sebuah pengakuan, kenapa Empu Gandring dibunuhnya. Sedang orang yang menyerangnya itu pun telah memutuskan di dalam hatinya, bahwa Mahisa Agni harus dibunuh.
Namun bahwa orang itu mempergunakan menutup wajah, telah sangat menarik perhatian Mahisa Agni. Ia menjadi semakin bernafsu untuk mengetahui, siapakah orang yang tiba-tiba saja telah menyerangnya dan yang menurut dugaannya, telah membunuh Empu Gandring itu pula.
Semakin sengit keduanya bertempur, maka semakin terasa oleh orang yang bertutup muka itu, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Mahisa Agni. Seandainya ia tidak harus menyembunyikan dirinya dalam tata gerak sekalipun, belum pasti ia dapat menang, apalagi selama ia masih belum dapat mencurahkan segenap kemampuannya.
"Kenapa aku harus merahasiakan diri" kadang-kadang tumbuh pertanyaan itu di dalam hatinya, "Bukankah aku akan membunuhnya" Meskipun ia mengerti siapa aku, namun ia tidak akan dapat berkata lagi kepada siapapun, karena ia akan segera terkapar di tanah. Mati". Tetapi ternyata ia manjadi ragu-ragu sendiri, "Apakah aku dapat melakukannya?"
Ternyata kemudian bahwa Mahisa Agni memang seorang yang luar biasa. Apalagi di tangannya tergenggam senjata yang dahsyat pula. Sehingga akhirnya lawannya pun harus mengakui, bahwa tidak akan mungkin untuk memenangkan perkelahian itu.
"Aku memang harus tetap merahasiakan diriku" gumam orang itu.
Mahisa Agni pun semakin lama menjadi semakin bernafsu. Bahkan terbersit pertanyaan di dalam hatinya, "Bagaimana kalau aku tidak dapat menangkapnya hidup-hidup?"
"Tidak ada pilihan lain" gumam Mahisa Agni di dalam hatinya, "Kalau aku tidak dapat menangkapnya hidup, aku akan menangkapnya mati. Meskipun aku tidak akan mendapat keterangan apapun tentang pembunuhan itu, tetapi aku akan dapat membuktikan, bahwa pembunuhan itu memang seorang pengawal istana. Dan Witantra pasti akan mengenalnya. Bahkan mungkin akupun dapat mengenalnya apabila tutup wajahya itu dapat aku singkapkan".
Dengan demikian, maka tata gerak Mahisa Agni pun menjadi semakin mantap. Bahkan kadang-kadang ia tidak lagi mengendalikan dirinya. Apalagi katika semakin lama tangannya menjadi semakin basah oleh keringat, dan hatinya menjadi semakin terbakar oleh kemarahannya.
Tetapi, sejalan dengan itu, maka orang yang menyerangnya dengan tiba-tiba itu pun menjadi semakin menyadari dirinya.
Sehingga kemudian berkembang pendirian di dalam hatinya, "Gila.Aku tidak akan berhasil membunuhnya. Bahkan apabila aku tidak segera berbuat sesuatu, akulah yang pasti akan mati terbunuh. Bukan saja semua rencanaku gagal, tetapi setiap orang akan mengatakan, bahwa akulah pembunuh Empu Gandring yang telah menyamar memakai pakaian seorang prajurit pengawal".
Memang orang itu sama sekali tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa Mahisa Agni tidak dapat dibunuh semudah ia sangka. Bahkan setelah barkelahi beberapa lama, menjadi semakin nyata bahwa Mahisa Agni memang memiliki kemampuan yang luar biasa.
"Pantaslah, bahwa Mahisa Agni telah bertekat untuk mencari pembunuh pamannya. Ternyata ia memang seorang yang luar biasa. Yang barangkali sudah setingkat dengan pamannya itu" berkata orang itu di dalam hatinya. Yang akhirnya, ia mengambil kesimpulan untuk mengurungkan niatnya betapapun beratnya.
"Aku harus menghindar. Kalau tidak aku akan mati, namaku akan menjadi sama sekali tidak bernilai, melampaui kotornya sampah di pinggir jalan".


02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka setelah keputusan itu tidak berubah lagi, maka dengan serta-merta, ia pun segera meloncat surut. Kemudian dengan cepatnya ditinggalkannya arena parkelahian itu.
Mahisa Agni terkejut. Tetapi ia sudah bertekat untuk tidak melepaskan lawannya, sehingga karena itu, maka ia pun melompat pula mengejarnya.
Ketika orang itu menyusup ke dalam halaman yang kosong itu, maka Mahisa Agni pun mengejarnya pula. Pandangan matanya serta pandengarannya yang tajam, telah menuntunnya kemana arah buruannya berlari.
Tetapi ternyata buruannya, adalah buruan yang paling liar. Buruannya adalah orang yang memiliki pengalaman luar biasa dalam hal itu. Apalagi yang mengejarnya hanya seorang diri. Ia pernah dikejar oleh orang-orang sepadukuhan sekaligus. Dan ia pernah pula dikejar oleh prajurit Tumapel selagi ia berkeliaran di Padang Karautan. Apalagi kini ia mempunyai keuntungan. Ia mengenal medan jauh lebih baik dari Mahisa Agni, sehingga dengan demikian, ia mampu membuat Mahisa Agni kebingungan, dan betapapun tajam pendengaran dan pengamatan matanya, namun pada suatu saat ia menjadi bingung dan kehilangan buruannya.
Mahisa Agni menggeram. Sejenak ia berdiri mematung sambil berusaha menangkap setiap bunyi yang paling lembut sekalipun. Tetapi usahanya ternyata sia-sia. Lawannya yang menyadari dengan siapa ia berhadapan, berusaha untuk menghilangkan segala macam jejak. Dipergunakannya segala kemampuannya, untuk manghindarkan dirinya dari pengamatan lawannya.
"Apakah ia mampu melenyapkan dirinya seperti asap" geram Mahisa Agni, "Tidak mungkin ia lari. Aku tidak mendengar langkah itu, namun aku tidak mendengar desah nafasnya".
Samurai Pengembara 10 1 Dewa Arak 90 Iblis Berkabung Hidung Belang Berkipas Sakti 2

Cari Blog Ini