Ceritasilat Novel Online

Pendekar Seratus Hari 5

Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong Bagian 5


dari tujuh hari lagi Pek-kut-im-hong-ciang artinya pukulan Angin yang mengandung phospor tulang mayat. Ilmu pukulan itu
berasal dari daerah Biau di pedalaman Sin-kiang.
Mendengar itu Pek Wan Taysu segera berpaling dan mengamati Siau Lo-seng. Tampak pada dahi pemuda
itu terdapat segurat warna merah tua. Dan saat itu tengah pejamkan mata untuk menyalurkan tenaga
dalam. "Celaka, Lo-seng benar-benar telah terkena pukulan beracun......," Pek Wan Taysu mangeluh.
Rupanya orang aneh itu tahu akan kecemasan Pek Wan Taysu. Maka diapun berseru pula,
"Apabila menghendaki dia hidup, itu mudah saja. Asal minum obatku, racun dalam tubuhnya tentu hilang
seketika." "Ciong Pek-to," seru Pek Wan Taysu dengan sarat, "empatpuluh tahun yang lalu engkau telah murtad dari
Siau-lim-si, apakah sampai saat ini engkau belum bertobat?"
Orang aneh itu tengadahkan kepala dan tertawa gelak-gelak.
"Pek Wan suheng, sungguh tak kira kalau engkau masih kenal padaku. Ha, ha, ha bagus, bagus sekali.
Dengan begitu suheng lebih jelas akan maksudku untuk memiliki ilmu sakti Hwat-lun-it-coan (roda berputar).
Apabila suheng menghendaki pemuda itu hidup, akan kuberinya obat penawar racun tetapi pun suheng
harus memberikan kitab pusaka ilmu Hwat-lun-it-coan itu kepadaku."
Kiranya orang aneh itu adalah murid dari Siau-lim-si, namanya Ciong Pek-to. Empatpuluh tahun yang lalu,
karena dia diam-diam telah mencuri belajar ilmu pukulan Hwat-lun-it-coan. Akhirnya ketahuan dan
dimasukkan dalam ruang Hui-ko-si atau ruang bertobat. Tetapi ternyata dia malah makin gila. Melukai
beberapa paderi Siau-lim dan melarikan diri. Siau-lim-si pernah memerintahkan beberapa tokoh saktinya
untuk mencari murid hianat itu tetapi tak berhasil. Dia menghilang tanpa bekas. Maka sungguh tak
disangka-sangka bahwa saat itu dia muncul lagi.
"Murid murtad, ternyata engkau masih belum insyaf!" bentak Pek Wan Taysu.
Orang aneh itu atau Ciong Pek-to tertawa hina: "Pek Wan suheng, mengingat hubungan kita dahulu begitu
baik maka aku masih berlaku sungkan kepadamu. Sekarang aku sudah mengatakan keinginanku, terserah
saja engkau setuju atau tidak."
Habis berkata ia terus berpaling dan ayunkan langkah. Tetapi beberapa tindak kemudian, ia berpaling lagi.
"Pek Wan suheng," serunya, "terus terang kuberitahu kepadamu. Tak sampai satu tahun lagi, gereja Siaulim-si tentu akan terjadi peristiwa besar. Pada saat itu seluruh paderi Siau-lim-si tentu akan tunduk
kepadaku......." Mendengar itu Pek Wan Taysu terkejut. Jelas kata-kata orang aneh itu mengandung suatu ancaman hebat.
Seketika berobahlah wajah Pek Wan Taysu.
"Ciong Pek-to, berhenti dulu!" serunya.
Ciong Pek-to tertawa dingin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek Wan Taysu menyadari bahwa bekas sutenya itu memang seorang yang cerdik sekali. Pada waktu
berumur duapuluhan tahun, Ciong Pek-to itu sudah menonjol dan melampaui murid-murid Siau-lim-si yang
lain. Apalagi kini sudah berselang empatputuh tahun lagi, entah sampai berapakah tingginya kepandaian Ciong
Pek-to itu. Kalau menilik beberapa jurus yang di dimainkan tadi, jelas dia telah mencapai tingkat yang sukar
dinilai tingginya. Dalam penilaian itu terhentilah Pek Wan Taysu pada suatu kekuatiran bahwa jangan-jangan ia tak mampu
mengalahkan bekas sutenya itu.
"Ada beberapa soal yang hendak kutanyakan kepadamu," kata paderi Siau-lim itu dengan serius.
"Katakanlah!" "Bahwa dunia persilatan telah timbul gelombang tanpa angin, kekacauan yang tak diketahui siapa
pengacaunya. Adakah engkau juga terlibat di dalamnya?"
"Ya," sahut Ciong Pek-to tanpa tedeng aling-aling, "tetapi aku hanya salah satu saja?""
Habis berkata ia berpaling memandang ke arah Siau Lo-seng yang masih duduk bersila di tanah.
Pek Wan Taysu pun juga ikut berpaling. Dilihatnya tak ada suatu perobahan pada diri pemuda itu.
Sekonyong-konyong mulut Ciong Pek-to mendesis dan terus loncat ke tempat Siau Lo-seng.
"Murtad!" bentak Pek Wan Taysu seraya menampar.
Namun Ciong Pek-to tetap menerjang maju. Tangan kanannya bergerak dan segulung angin yang
mengandung tenaga dahsyat segera menyongsong ke arah Pek Wan Taysu.
Ketika kedua tenaga sakti saling beradu maka di udara segera terdengar gelombang angin prahara yang
keras. Jubah Pek Wan Taysu bertebar-tebar dan kakinya surut ke belakang setengah langkah.
Tetapi Ciong Pek-to bahkan secepat kilat menyerbu Siau Lo-seng. Melihat itu Cu-ing melengking kaget dan
terus taburkan pedangnya. Sekali gus nona itu menusuk tiga buah jalan darah Ciong Pek-to.
Jurus itu luar biasa anehnya. Walaupun Ciong Pek-to memiliki kepandaian sakti tetapi ia tetap tak mampu
memecahkan serangan itu. Buru-buru ia hentikan gerakannya dan berputar ke samping.
Tetapi ia tak berhenti melainkan tetap berputar-putar menghampiri ke tempat Siau Lo-seng.
Melihat Ciong Pek-to begitu ngotot hendak menyerbu Siau Lo-seng, heranlah Pek Wan Taysu. Cepat ia
berpaling ke arah pemuda itu. Apa yang disaksikan, benar-benar membuat hatinya tergetar.
Ternyata pemuda itu masih tetap duduk pejamkan mata. Guratan merah tua pada dahinya sudah tak
tampak. Tetapi sebagai gantinya, ubun-ubun kepala pemuda itu seperti mengeluarkan asap warna merah.
Serentak teringatlah Pek Wan Taysu akan suatu hal. Suhunya pernah bilang kepadanya bahwa ilmu silat itu
seperti laut yang sukar diduga dalamnya. Jurus gerakannya menitik-beratkan pada perobahan yang sukar
diduga orang. Demikian pula dengan ilmu lwekang atau tenaga-dalam. Bahkan ilmu lwekang itu lebih
banyak perobahannya lagi.
Ilmu lwekang terbagi dalam tiga aliran pelajaran. Kesatu, ilmu lwekang aliran Ceng-pay yang
mengutamakan penyaluran tenaga murni menurut peraturan yang layak. Kedua, ilmu lwekang yang terbalik
cara penyalurannya. Dan ketiga yalah jenis aliran yang aneh. Yalah dapat menyalurkan tenaga dalam
keluar dari tubuh untuk melindungi diri.
Tengah dia berpikir sampai di situ, Ciong Pek-to dan Cu-ing sudah melangsungkan dua jurus pertempuran.
Dan kini Ciong Pek-to mulai mengadakan serbuan yang kedua kalinya. Dia lepaskan sebuah pukulan
Membelah gunung Hoa-san ke arah nona itu.
Menderita dua kali serangan dari Ciong Pek-to, Cu-ing terdesak dan mundur di muka Siau Lo-seng. Saat itu
ia mainkan pedangnya dalam jurus Menyongsong angin-membabat rumput untuk menabas lengan kiri
Ciong Pek-to. dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi tiba-tiba Ciong Pek-to menarik kembali tangannya seraya menyiak pedang si nona. Kemudian kaki
kanannya maju setengah langkah dan secepat kilat tangannya kanan menyambar lengan sekali pijat,
terlepaslah pedangnya si nona.
Gerakan Ciong Pek-to itu memang luar biasa anehnya sehingga Cu-ing tak berdaya menjaga diri lagi.
Ciong Pek-to tidak berhenti sampai di situ saja. Setelah dapat memaksa Cu-ing lepaskan pedangnya, kaki
kanan orang itu diulurkan untuk mencongkel pedang yang menggeletak di tanah. Begitu pedang
melambung ke atas, cepat ia sambuti dengan tangan kiri. Dan secepat mencekal pedang, ia terus menusuk
dada Siau Lo-seng. "Jahanam, jangan mengumbar keganasanmu!" Pek Wan Taysu terkejut dan terus maju menendang bekas
sutenya itu. Tetapi serempak pada saat itu, tiba-tiba Siau Lo-seng yang duduk diam seperti patung tiba-tiba berteriak:
"Nona Nyo, paman, silahkan mundur!"
Menghadapi tendangan Pek Wan Taysu, Ciong Pek-to hanya mengendapkan tubuh, berputar setengah
lingkaran untuk menghindari. Sedang tusukannya tadi tetap tak berobah.
"Ah......." karena tak berdaya menolong, Cu-ing menjerit kaget.
Tetapi tiba-tiba Siau Lo-seng julurkan sebuah jari tangannya. "Tring?"," tepat sekali ujung jarinya menutuk
batang pedang dan seiring dengan bunyi mendering itu, batang pedang pun putus menjadi dua?"
Dan entah bagaimana, Ciong Pek-to terhuyung-huyung mundur beberapa langkah, berputar tubuh lalu
loncat pergi. Gerakan Ciong Pek-to itu memang cepat sekali sehingga Pek Wan Taysu dan Cu-ing tak keburu lagi untuk
menghadangnya. Sambil memandang bayangan Ciong Pek-to, Siau Lo-seng menghela napas panjang.
"Ah, jika dia nekad menyerang aku beberapa jurus lagi, aku tentu celaka di tangannya......" habis berkata
pemuda itu terus pejamkan mata seperti orang yang kehabisan tenaga.
Pek Wan Taysu maupun Cu-ing mengetahui bahwa tutukan jari pemuda itu telah menghabiskan tenaga
dalamnya. Paling tidak pemuda itu harus beristirahat memulangkan tenaga selama satu jam.
Pek Wan pun juga ikut duduk bersemedhi di samping Siau Lo-seng. Wajahnya tampak sarat. Ternyata
paderi itu sedang gelisah menampung bermacam persoalan.
Cu-ing tegak terlongong-longong seperti orang yang kehilangan semangat. Kesedihan dan kehancuran
hatinya sukar dilukiskan.
Entah berapa lama kemudian tiba-tiba terdengar seorang anak buah Naga Hijau berteriak kaget: "Hai, Tan
Than-cu meninggal?"!"
Teriakan itu mengejutkan Cu-ing dan Pek Wan Taysu. Memandang ke muka mereka melihat Tan Gun-ki,
Than-cu Naga Hijau duduk bersila di tanah tak bergerak lagi. Setelah menderita pukulan dari Ciong Pek-to,
ketua bagian dari Naga Hijau itu duduk di bawah pohon siong untuk menyalurkan tenaga dalam.
Pek Wan Taysu dan Cu-ing bergegas menghampiri.
"Tan Than-cu, Tan Than-cu?"" teriak Cu-ing pelahan.
Tetapi Tan Gun-ki tak menyahut.
Tiba-tiba Pek Wan Taysu melihat punggung ketua bagian dari Naga Hijau itu tertancap sebatang pedang
pandak. Buru-buru ia hendak mencabutnya.
"Paman, jangan terburu-buru mengambilnya dulu," dari arah belakang terdengar suara Siau Lo-seng. Dan
serentak pemuda itupun sudah melesat tiba. Lebih dulu ia mengerling pandang ke sekeliling penjuru
kemudian baru memeriksa pedang yang tertancap pada punggung Tan Gun-ki.
Ah, pedang itu ternyata pedang Ular Emas. Pedang yang serupa terdapat pada dada Nyo Jong-ho dan Han
Ceng-jiang. Setelah sejenak memeriksa, berkatalah Siau Lo-seng: "Jangan menjamahnya dulu?""
dunia-kangouw.blogspot.com
Habis berkata pemuda itu terus lari ke dalam pondok dan pada lain kejap ia keluar lagi.
Tiba-tiba Cu-ing mengertak gigi dan berseru dengan geram: "Hm, ternyata pembunuh itu masih tak pergi
dari sini. Bangsat, keluarlah engkau! Aku Nyo Cu-ing akan mengadu jiwa dengan engkau!"
Melihat nona itu menumpahkan kemarahannya begitu tegang, Siau Lo-seng menghela napas.
"Nona Nyo, pembunuh ayahmu dengan pembunuh Tan Than-cu ini tidak sama orangnya," katanya.
Mendengar itu Cu-ing dan Pek Wan Taysu terbeliak.
"Lo-seng, bagaimana engkau dapat mengatakan begitu?" seru Pek Wan Taysu.
"Cobalah paman renungkan," kata Siau Lo-seng, "betapapun saktinya orang itu, tetapi kalau dia mampu
membunuh Tan Than-cu di depan hidung kita tanpa kita ketahui sama sekali, rasanya hal itu mustahil
sekali." Mendengar itu diam-diam Cu-ing teringat akan kematian Pedang siput rawa Cu Kong-ti yang juga dibunuh
di depan para tetamu-tetamu yang berada di villa Merah Delima gedung keluarga Nyo.
Teringat peristiwa itu, Cu-ing dapat menyetujui kata-kata Siau Lo-seng.
"Hasil penyelidikan yang kulakukan," kata Siau Lo-seng pula, "walaupun Pedang Ular Emas yang menancap
di tubuh Nyo bengcu dan Han Ceng-jiang sama dengan yang menancap di punggung Tan Than-cu ini.
Tetapi caranya membunuh berlainan. Pembunuh Nyo bengcu dan Han Ceng-jiang jelas berkepandaian
sakti. Tetapi pembunuh Tan Than-cu ini masih kalah sakti dengan pembunuh Nyo bengcu."
Memang Tan Gun-ki itu bukan tokoh sembarangan. Walaupun menderita luka tetapi tak mudahlah orang
hendak mencelakainya secara menggelap.
Tiba-tiba Siau Lo-seng menyalangkan mata dan memandang ke arah rombongan anak buah Naga Hijau.
"Kuberani memastikan bahwa sebelum punggungnya ditusuk pedang, Tan Than-cu tentu sudah
menghembuskan napas karena menderita luka parah. Inilah sebabnya maka ia tak melawan ataupun
mengerang kesakitan," kata Siau Lo-seng dengan tenang.
"Kalau begitu Tan Than-cu mati karena pukulan Ciong Pek-to," seru Cu-ing.
Siau Lo-seng mengangguk. "Benar, pukulan beracun dari orang itu, cukup dapat menghancurkan jiwa Tan Than-cu," katanya.
Pek Wan Taysu pun membenarkan: "Menilik darah yang mengalir dari punggung Tan Than-cu, keterangan
Lo-seng memang tepat."
"Kalau begitu pembunuhnya?"" belum habis Cu-ing berkata tiba-tiba Siau Lo-seng menyambar tubuh
seorang anak buah Naga Hijau yang berada di belakangnya.
"Hm, memang sudah lama kuperhatikan gerak gerikmu?"" katanya seraya menguasai pergelangan
tangan orang itu. Tetapi orang itu mengerang tertahan dan tahu-tahu sudah tak bernyawa. Sebatang pedang Ular Emas yang
berkilat-kilat telah menancap di dada orang itu.
Peristiwa itu sungguh mengejutkan sekali dan mendenguslah Siau Lo-seng dengan geram.
"Hm, sungguh tak kira kalau mereka begitu memandang enteng jiwanya!"
Ternyata anak buah Naga Hijau yang berdiri di belakang Siau Lo-seng itu diam-diam sudah mengeluarkan
pedang Ular Emas. Maksudnya selagi Siau Lo-seng asyik bicara, ia hendak menikamnya dari belakang.
Tetapi ternyata punggung pemuda itu seperti tumbuh mata. Sebelum orang bertindak dengan kecepatan
yang tak terduga-duga ia menyambar ke belakang dan menyiak pedang itu hingga menusuk ke dada
orangnya. "Eh, kalau menilik luka di dadanya itu, kiranya tak mungkin secepat itu dia bisa mati," kata Pek Wan Taysu.
06.29. Pesona Im-kian-li dunia-kangouw.blogspot.com
"Sebelumnya dia memang sudah mengulum obat racun," kata Siau Lo-seng, "sekali kulit pembungkus obat
itu digigit pecah, racun segera mencabut nyawanya. Sambaran yang kulakukan secara tiba-tiba tadi
sebenarnya untuk mencegah jangan sampai ia keburu bunuh diri. Ah, tetapi racun itu memang cepat sekali
kerjanya." Setitik pun Cu-ing tak menyangka bahwa dalam kalangan anak buah Naga Hijau ternyata terdapat matamata musuh. Tiba-tiba ia teringat akan kematian Cu Kong-ti dan......,
"Ih, apakah suami isteri itu!" tanpa disadari mulut nona itu mendesuh.
Mendengar itu Pek Wan Taysu dan Siau Lo-seng menatapnya.
"Nona Nyo, soal apa yang engkau curigai?" tegur Siau Lo-seng.
"Di dalam rumahku pernah terjadi peristiwa begini......." Cu-ing lalu menuturkan tentang peristiwa kematian
Cu Kong-ti, salah seorang dari Tiga Jago Kang-lam. Tokoh itupun mati dengan punggung tertancap
sebatang pedang Ular Emas.
"Ah, apabila tak keluar dari gereja, aku tentu tak tahu tentang peristiwa-peristiwa ini," Pek Wan Taysu
menghela napas. Siau Lo-seng kerutkan sepasang alis. Rupanya dia tengah berpikir keras. Beberapa saat kemudian ia
berkata seorang diri: "Ah, urusan menjadi makin lama makin ruwet."
"Lo-seng," kata Pek Wan Taysu, "menilik gejolak kekacauan dalam dunia persilatan dewasa ini, biang
keladinya bukanlah hanya pihak Lembah Kumandang saja."
Siau Lo-seng mengiakan. "Memang disamping itu masih terdapat perkumpulan yang mempunyai lambang Pedang Ular Emas.
Kekuatan, pengaruh dan rapinya perkumpulan itu, jauh lebih hebat dari Lembah Kumandang. Tetapi entah
siapakah pemimpinnya. Dan mengapa menggunakan pedang Ular Emas untuk membunuh orang."
Tiba-tiba Cu-ing memandang Siau Lo-seng, serunya: "Huru hara dalam dunia parsilatan itu, timbulnya sejak
Pendekar Ular Emas muncul. Mungkinkah perkumpulan itu dipimpin oleh Pendekar Ular Emas itu?"
Pek Wan Taysu menghela napas.
"Anakku Lo-seng, engkau seharusnya memberi penjelasan kepada nona Nyo."
Cu-ing pun ikut menghela napas rawan, ujarnya pula: "Siau Mo memang kukenal padanya. Tetapi tindakan
adat dan perangainya tetap belum kuketahui jelas. Betapapun dia hendak memberi penjelasan
kepadaku......." Mendengar itu Pek Wan Taysu cepat menarik kesimpulan bahwa nona itu memang sudah tahu bahwa Siau
Lo-seng itu bukan lain adalah Siau Mo si Pendekar Ular Emas.
"Nona Nyo," cepat paderi itu berkata, "engkau harus dapat memaafkan kesulitan Lo-seng. Apa yang nona
alami hari ini, Lo-seng pun pernah menderita begitu ketika dia berumur tujuh tahun. Karena itulah maka
wataknya berobah aneh. Padahal sebenarnya dia seorang yang berbudi lemah lembut. Dia seorang yang
berhati perwira." Mendengar itu terkejutlah Cu-ing.
"Dia?" dia sungguh Siau Mo?" serunya tegang sekali.
Walaupun dia tahu bahwa Siau Lo-seng itu Siau Mo si Pendekar Ular Emas. Tetapi ia masih belum berani
yakin akan hal itu, itulah sebabnya maka ia kaget sekali.
Siau Lo-seng menghela napas.
"Nona Nyo," ujarnya, "namaku yang sesungguhnya yalah Lo-seng. Siau Mo itu adalah nama pamanku yang
telah membunuh seluruh keluargaku. Dengan menggunakan nama itu, aku bermaksud hendak memancing
dia keluar dari persembunyiannya."
"Siau sauhiap," kata Cu-ing dengan rawan, "ada sebuah hal yang hendak kutanyakan kepadamu."
"Silahkan." dunia-kangouw.blogspot.com
"Apakah maksudmu menyelundup ke dalam rumahku. Yang kuketahui, sejak kedatanganmu itu, timbullah
bermacam peristiwa yang menyedihkan ini. Ayahkupun meninggal. Tetapi aku tak tahu apa sebab ayah
terlibat dalam peristiwa itu?"
"Nona Nyo," kata Siau Lo-seng dengan penuh sesal, "tujuanku menyelundup ke dalam rumah keluarga Nyo,
tak lain karena hendak menyelidiki pembunuh dari ayahku. Dalam hal itu, maaf, memang ayahmu yang tahu
paling jelas. Soal kematian ayahmu, walaupun dapat dikata memang ada sedikit hubungannya dengan
dendam kematian ayahku. Tetapi tujuan dari si pembunuh itu yang terutama tentu karena hendak merebut
Keng-hun-pit (Pena Penggoncang Jiwa) milik ayahmu. Karena senjata itu merupakan salah satu dari Tiga
Pusaka dunia persilatan yang diburu oleh kaum persilatan."
"Nona Nyo," Pek Wan Taysu menyelutuk, "tentang pembunuh Nyo loenghiong, walaupun belum mendapat
bukti-bukti yang jelas, tetapi kita telah mencurigai seseorang. Dan orang itu rasanya engkau dan Lo-ni
sudah kenal." "Siapa?" tanya Cu-ing, "apakah suami isteri Hong-hu Hoa?"
"Bukan," Pek Wan Taysu gelengkan kepala.
"Nona, dimanakah ibu dan adik nona sekarang ini?" tiba-tiba Siau Lo-seng bertanya.
Mendangar itu bercucuran airmata Cu-ing, sahutnya: "Mereka entah berada dimana, aku tak tahu. Siau
sauhiap, siapa sesungguhnya yang membunuh ayahku itu?"
"Nona Nyo," kata Siau Lo-seng dengan tenang, "pembunuhnya itu mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan keluargamu. Apabila kukatakan namanya, engkau pasti tak percaya. Tetapi saat ini akupun belum
berani memastikan kalau dia pembunuhnya. Harap nona suka memaklumi kesukaranku."
Ternyata selama tiga bulan menjadi guru pada keluarga Nyo, Siau Lo-seng tahu bahwa Nyo Jong-ho telah
memperjodohkan puterinya itu dengan Li Giok-hou. Apabila saat itu ia mengatakan nama Li Giok-hou
sebagai pembunuhnya, ia kuatir nona itu akan menderita kegoncangan hebat dalam hatinya. Dan pula, Siau
Lo-seng memang belum mempunyai bukti yang kuat.
Mendengar jawaban itu, Cu-ing kerutkan alis dan merenung dalam-dalam.
Kedengaran Siau Lo-seng menghela napas pula,
"Nona Nyo," katanya, "dalam kehidupan di dunia ini tiada seorang manusia yang tak tertimpah peristiwa.
Yang penting kita harus dapat menerimanya dengan segala kesabaran dan jiwa yang besar."
Berhenti sejenak ia melanjutkan: "Nona Nyo, engkau pasti belum tahu bahwa nona Ui Hun-ing (Mo-seng-li)
telah diculik orang. Saat ini masih banyak pekerjaan yang harus kulakukan maka terpaksa aku tak dapat
ikut menyelesaikan urusan ayahmu?""
Mendengar Hun-ing ditangkap orang, terkejutlah Cu-ing.


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa" Ketua itu ditangkap orang?" serunya.
"Juga saudaraku Bok-yong Kang itupun ditawan musuh," sahut Siau Lo-seng, "harap nona selekasnya
mengurus jenazah ayah nona dan segera mengerahkan jago-jago dari Naga Hijau untuk mencari jejak
ketua Ui itu. Maaf, aku terpaksa pergi dulu."
"Seng-ji, kemanakah engkau hendak mencari di dunia yang begini luas?" seru Pek Wan Taysu.
Merenung sejenak, Siau Lo-seng berkata: "Pada saat ini segenap tokoh-tokoh silat sama berkumpul di Lokyang. Rasanya sebelum mendapat apa yang diinginkan, mereka tentu takkan pergi dari Lok-yang."
"Siau sauhiap, setelah selesai mengurus jenazah ayah, bagaimana aku dapat menghubungi engkau?" tibatiba Cu-ing berteriak.
"Di manakah markas Naga Hijau dalam kota Lok-yang itu?" tanya Siau Lo-seng.
"Tempo hari Ui Pangcu telah merencanakan bertempat di rumahku."
"Baiklah," kata Siau Lo-seng, "karena nona tentu akan membawa jenazah ayah nona pulang, maka paling
lambat dalam tiga hari lagi, syukur malam ini, kita dapat berjumpa di rumah nona."
Demikianlah setelah selesai bersepakat, Siau Lo-seng dan Pek Wan Taysu segera berpisah dengan nona
itu. Kedua orang itu gunakan ilmu lari cepat menuju ke arah timur.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Rupanya ada orang yang mengikuti kita dari belakang," tiba-tiba Pek Wan Taysu berkata.
"Memang telah kuduga dia tentu akan mengikuti kita," sahut Siau Lo-seng.
Pek Wan Taysu terkejut, tanyanya: "Siapakah orang itu?"
"Seorang wanita cantik berpakaian biru. Pada saat Ciong Pek-to bersuit aneh sebelum muncul, wanita itu
sudah mendahului kita bersembunyi di atas sebatang pohon siong......"
Pek Wan Taysu terkejut. Pikirnya: "Mengapa sama sekali aku tak tahu hal itu" Adakah kepandaian Seng-ji
(anak Seng) itu sudah mencapai tataran yang sempurna?""
Kembali Siau Lo-seng berbisik: "Wanita itu pun menyaksikan pertempuran kita dengan Ciong Pek-to.
Karena kuatir dia lebih sakti dari kita maka akupun tak mau mengutik-ngutik persembunyiannya."
"Dia kawan atau lawan kita?" kata Pek Wan Taysu.
"Menurut dugaanku. Kalau bukan Jin Kian Pah-cu, tentulah wanita itu yalah orang menjadi pemimpin
gerombolan Pedang Ular Emas," kata Siau Lo-seng.
"Lalu bagaimana kita akan menghadapinya?"
"Kepandaian wanita itu memang hebat sekali," kata Siau Lo-seng, "Mungkin paman dan aku maju berdua,
belum tentu dapat menang."
Mendengar itu, Pek Wan Taysu merenung, Keduanya segera mempercepat larinya tetapi sosok tubuh
berpakaian biru itu tetap mengikuti di belakang pada jarak sepuluh tombak.
"Sebaiknya kita cari daya untuk menghindari wanita itu," kata Pek Wan Taysu beberapa saat kemudian.
"Kalau wanita itu benar Jin Kian Pah-cu atau pemimpin gerombolan Pedang Ular Emas, lambat atau cepat
kita tentu akan berhadapan dengan dia. Apalagi hilangnya Hun-ing (Mo-seng-li) dan Bok-yong Kang itu
kemungkinan tentu ada hubungannya dengan wanita itu. Dari pada besok lebih baik kita hadapi dia
sekarang saja." Pek Wan Taysu menghela napas.
"Ilmu ginkangnya, hampir sama dengan kita. Menilik hal itu kemungkinan kepandaiannya pun tak terlalu
terpaut jauh dari engkau."
"Paman," kata Siau Lo-seng, "paman tak memperhatikan ilmu ginkang wanita itu. Dia dapat berlari seperti
tak menginjak tanah. Ilmu ginkang semacam ini di dunia persilatan rasanya tiada terdapat keduanya lagi "
Pek Wan Taysu terkejut dan berpaling ke arah wanita itu. Tetapi alangkah kejutnya ketika melihat wanita itu
makin dekat. "Seng-ji, dia akan menyerang kita," serunya terkejut.
Memang wanita yang terpisah pada jarak sepuluhan tombak itu, melayang ke udara dan meluncur turun ke
arah kedua orang itu. Walaupun kecepatan lari Pek Wan Taysu dan Siau Lo-seng tak berkurang tetapi
gerakan melambung ke udara dan meluncur turun dari wanita itu jauh lebih cepat. Saat itu jarak mereka
hanya terpisah tujuh tombak.
"Paman, menyingkirlah!" seru Siau Lo-seng seraya enjot tubuhnya melambung ke udara, menyongsong
kepada wanita itu. Gerakan Siau Lo-seng itu dilakukan luar biasa cepatnya. Tetapi pada lain saat terdengar mulutnya
mengerang tertahan dan tubuhnya berjumpalitan sampai dua kali di udara lalu melayang turun empat
tombak jauhnya. Pek Wan Taysu cepat loncat ke tempat Siau Lo-seng. Wanita itupun berhenti.
"Seng-ji, apakah engkau terluka?" tanya Pek Wan Taysu cemas.
Setelah menenangkan semangat, Siau Lo-seng menyahut: "Hm, sungguh tenaga- membal yang lihay
sekali. Ilmu apakah itu?"
Ternyata Siau Lo-seng dan wanita baju biru tak beradu pukulan. Tetapi Siau Lo-seng telah dilanda oleh
suatu tenaga membal yang luar biasa kuatnya sehingga ia jungkir balik di udara.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di bawah sinar matahari yang gemilang tampak wanita baju biru itu tegak berdiri terlongong-longong
memandang Siau Lo-seng. Dan ketika Siau Lo-seng sempat memandang wajah wanita itu, hatinyapun tergetar keras, mulut tak hentihentinya mendesis kekaguman.
Wanita itu ternyata seorang nona yang masih muda. Usianya di sekitar duapuluhan tahun. Mengenakan
pakaian warna biru. Kulitnya putih seperti salju dan wajahnya secantik bidadari.
Karena terpesona, di luar kesadarannya, pandang mata Siau Lo-seng menyusuri segenap indera wajah
nona itu. Sepasang alisnya melengkung bagai bulan tanggal satu. Hidungnya ramping menaungi sepasang bibir yang
merah basah. Gundu matanya berkilau laksana bintang kejora, dipagari dengan bulu mata yang lebat.
Kulitnya yang putih memancarkan warna merah muda dari kesegaran. Ah, benar-benar seperti seorang
bidadari yang turun dari kahyangan.
Apabila Nyo Cu-ing itu dikatakan cantik dan Ui Hun-ing itu jelita. Maka nona baju biru ini mempunyai keduaduanya, cantik dan jelita.
Hanya satu yang agak mengecewakan orang. Wajah nona itu seperti tak pernah tersenyum.
Melihat Siau Lo-seng kesima, Pek Wan Taysu pun tanpa disadar ikut mengangkat muka dan memandang
ke arah nona itu. Berdebarlah jantung paderi itu demi menyaksikan kecantikan si nona. Cepat ia mengucap
doa dan menundukkan kepalanya lagi, tak berani memandang.
Disamping kecantikannya yang gilang gemilang itu ternyata nona yang baru berumur duapuluhan tahun itu
memiliki ilmu ginkang yang sedemikian hebatnya.
Nona cantik itupun termangu-mangu memandang Siau Lo-seng. Sampai beberapa jenak ia tak bicara apaapa.
Rupanya Siau Lo-seng cepat menyadari keadaan itu. Segera ia memberi hormat.
"Entah siapakah gerangan nama nona yang mulia?" tanyanya dengan tenang.
Nona itu kedipkan mata dan berseru dengan pelahan, "Siau Mo."
Ah, seruan itu bernada lembut dan mesra. Pek Wan Taysu merasakan nada suara nona itu mengandung
pesona yang memikat jiwa orang. Ketika memperhatikan Siau Lo-seng seperti terbuai semangatnya, cepatcepat paderi itu meneriakinya:
"Seng-ji?"!"
Tersentaklah semangat Siau Lo-seng mendengar teriakan paderi itu. Seketika pulihlah kesadaran
pikirannya. "Siapa engkau?" bentaknya kepada nona itu. Bahkan ia mengiring bentakannya itu dengan sebuah
hantaman. Tetapi tampaknya nona itu tak jerih menghadapi pukulan yang sedahsyat gelombang raksasa itu. Ia
gerakan tangan kanan, memutar dalam gerak lingkaran dan tahu-tahu tenaga pukulan Siau Lo-seng pun
sirna. "Paman, mundurlah!" seru Siau Lo-seng kepada Pek Wan Taysu lalu enjot tubuhnya melambung ke udara.
Pek Wan Taysu mendengar teriakan Siau Lo-seng itu tetapi ia tak mengerti apa maksudnya. Tiba-tiba ia
merasa seperti dilanda oleh segelombang tenaga raksasa. Dalam kejut, iapun cepat loncat ke udara.
"Wut," sebuah gelombang angin menderu keras di bawah kaki paderi itu dan sesaat kemudian terdengarlah
letupan yang keras, "brak?"" Sebatang pohon besar yang tumbuh dua tiga tombak dari tempat mereka
telah patah dan rubuh. Batang pohon besar itu menimpah tanah, debu muncrat dan daunnya berhamburan
keempat penjuru. Ketika melayang turun di samping Siau Lo-seng, bertanyalah paderi itu: "Seng-ji, kapankah tadi ia
melepaskan pukulan itu?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Paman," sahut Lo-seng gopoh, "hari ini rasanya kita sukar lolos dari bahaya. Kalau dugaan tak salah, nona
itu sudah berhasil mempelajari ilmu Mo-thian-ciang, sebuah ilmu yang sudah lenyap beratus tahun. Kita tak
mungkin dapat melukainya."
Dari kitab pusaka seluruh partai persilatan yang dicuri oleh Ban Li-hong dapatlah Siau Lo-seng mempelajari
berbagai ilmu kepandaian, baik ilmu pusaka yang sudah lenyap maupun yang masih terdapat dalam dunia
persilatan. Itulah sebabnya maka ia kenal akan ilmu pukulan Mo-thian-ciang yang dilancarkan si nona.
Mo-thian-ciang atau pukulan Iblis langit merupakan sebuah ilmu pukulan sakti yang dapat memiliki daya
membal untuk mengembalikan segala macam pukulan tenaga dalam.
Jelita baju biru itu termangu memandang Siau Lo-seng. Tiba-tiba mulutnya berbisik "Siau Mo......"
Siau Lo-seng bersuit keras untuk menghapus pengaruh gaib dari suara merdu nona itu yang mengandung
daya pesona. Sekonyong-konyong berobahlah wajah nona cantik itu. Wajahnya tegang dan berkabut dengan hawa
pembunuhan. Dan mulailah ia ayunkan langkah menghampiri Lo-seng.
06.30. Lingkaran Setan "Paman, awas! Dia hendak menurunkan tangan ganas," seru Siau Lo-seng seraya loncat mundur.
Tetapi jelita itu bagai sesosok bayangan telah memburu pemuda itu. Tangan kiri mencengkeram bahu orang
dengan gerak Yu-leng-co-hun atau Roh gentayangan menangkap jiwa. Pukulan itu sama sekali tak
mengeluarkan suara. Sedang tangan kanan menampar kepala dengan pukulan Hun-soh-ngo-gak atau
Awan-menutup lima-gunung.
Dengan pengetahuan tentang ilmu silat yang luas, dapatlah Siau Lo-seng menilai kepandaian nona itu.
Bukan saja jurus-jurus yang dimainkan itu luar biasa dan sakti serta sukar ditangkis, pun pemuda itu merasa
seperti dihambur oleh beberapa macam tenaga. Muka, belakang, atas dan bawah serasa seperti dikurung
oleh semacam tenaga dahsyat.
Melihat Lo-seng terancam bahaya, Pek Wan Taysu cepat loncat lalu dorongkan kedua tangan ke muka.
Paderi tua dari Siau-lim-si itu memang jarang keluar dari gereja dan jarang berkelahi. Tetapi sekali ia turun
tangan, hebatnya seperti gunung rubuh. Pukulan itu ditujukan pada punggung si nona.
Serempak pada saat paderi itu memukul, Siau Lo-seng pun telah lancarkan sebuah pukulan yang dilambari
dengan tenaga dalam sepenuhnya.
Dua buah pukulan yang sedahsyat gunung rubuh telah menjepit nona itu dari muka dan belakang. Andai
tubuh nona itu terbuat dari baja pun, tetap tak tahan menerima kedua pukulan dahsyat itu.
Tetapi ketika melihat Pek Wan Taysu juga memukul, berobahlah wajah Siau Lo-seng.
"Paman, mengapa engkau turun tangan?" serunya cemas.
Tetapi teriakan itu kalah cepat dengan tindakan si nona baju biru yang saat itu sudah rentangan kedua
tangannya ke belakang dan muka.
Seketika Siau Lo-seng rasakan pukulannya itu tersedot oleh segulung tenaga kuat, sedang dari muka
sebuah tenaga tekanan kuat sedang melanda kepadanya. Ia terkejut dan hendak menyurut mundur tetapi
terlambat. Tubuh Siau Lo-seng seperti disambar petir. Dia terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah. Pandang
matanya berkunang-kunang dan telinganya pun mengiang-ngiang. Tetapi ia masih sempat mendengar
suara erang tertahan. Buru-buru ia tenangkan semangat dan memandang ke muka.
Jelita baju biru tegak dengan tenang mengawasi Siau Lo-seng.
"Siapakah engkau ini?" bentak Siau Lo-seng dengan marah.
Wanita itu gelengkan kepala dan menyahut seperti orang tak sadar: "Aku hendak mencari Siau Mo, akan
kubunuhnya......" Sambil berkata ia maju menghampiri ke tempat anak muda itu lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng termangu heran mendengar kata-kata jelita itu.
Beberapa langkah ke muka, berserulah nona itu: "Engkau Pendekar Ular Emas Siau Mo atau bukan" Yang
hendak kubunuh yalah Siau Mo......"
Pada saat itu barulah Siau Lo-seng tahu apa yang dihadapi saat itu. Dia pernah membaca dalam buku
bahwa dalam dunia persilatan memang terdapat semacam ilmu yang disebut Memerintah mayat. Orang
yang akan meninggal diberi minum obat racun untuk membius kesadaran pikirannya. Apabila orang itu
hidup kembali, dia akan menjadi manusia tanpa mempunyai kesadaran otak dan dapat diperintah
melakukan apa saja. Teringat akan hal itu, tergetarlah hati Siau Lo-seng. Jika demikian, adakah nona cantik itu seorang mayat
hidup" Jika benar, dia tentu diperalat orang untuk membunuhnya. Lalu siapakah yang memerintah itu" Dan siapa
pula nona cantik itu"
Tengah Siau Lo-seng termangu memikir hal itu, si jelita baju birupun sudah tiba dihadapannya dan tanpa
bersuara apa-apa ulurkan jari tangannya yang runcing untuk menutuk jalan darah di ubun-ubun kepala Siau
Lo-seng. Siau Lo-seng terbelalak kaget. Secepat kilat iapun menutuk telapak tangan si nona.
Nona itu menjerit kaget, mundur tiga-empat langkah dan memandang pemuda itu.
Siau Lo-seng telah gunakan ilmu tutukan Han-sim-ci atau Jari hati dingin. Walaupun ia berhasil dapat
mengundurkan si nona tetapi ia telah kehabisan tenaga. Wajahnya mengucur keringat deras dan napas
terengah-engah keras. Darah dalam tubuhnya bergolak, kepala pening mata pudar.
Tetapi pemuda itu tetap pertahankan diri untuk tegak berdiri. Tangan kanan diangkat ke muka kelima jarinya
menjulur ke langit. Tangan kiri melindungi dada. Suatu sikap dari sebuah jurus yang amat sakti.
Rupanya nona itu kenal akan pembukaan dari jurus yang diambil Siau Lo-seng itu. Dia tampak terkejut,
tegak termangu-mangu. Selagi kedua orang muda itu sama-sama tegak beradu pandang adalah saat itu Pek Wan Taysu tengah
pejamkan mata untuk menyalurkan tenaga dalam menenangkan darah dalam tubuhnya yang bergolak
keras. Ia merasa aneh mengapa tak mendengar apa-apa. Buru-buru ia membuka mata dan demi melihat
sikap pembukaan yang diunjuk Siau Lo-seng, ia terkejut juga.
Jurus yang dipertunjukkan Siau Lo-seng itu mengandung penuh bahaya maut. Tiada suatu jurus manapun
yang mampu menyerang anak muda itu.
Diam-diam Pek Wan Taysu menghela napas, pikirnya, "Saudara angkatku sungguh beruntung mempunyai
seorang putera yang sedemikian hebat. Dendam darah keluarganya, tentu dapat terhimpas."
Tetapi demi pandang mata paderi itu tertumbuk pada butir-butir keringat yang mengucur dari kepala Siau
Lo-seng, terkejutlah sekali paderi itu. Jelas diketahuinya bahwa Siau Lo-seng sebenarnya sudah tak kuat
bertahan lagi. "Huak......" karena gelisah dan cemas, darah dalam tubuh Pek Wan Taysu yang sudah mulai mengendap
itu, tiba-tiba bergolak lagi lalu meluap keluar dari mulutnya.
Siau Lo-seng pun terkejut dan berpaling.
Pada saat perhatiannya terlengah itu, sesosok bayangan setan, nona baju biru itupun sudah menyelinap
maju dan menampar dada Lo-seng, "plak......"
Tubuh pemuda itu terlempar sampai tujuh-delapan tombak jauhnya dan "bum".," jatuhlah ia terduduk di
tanah. Mulutnya mengucur darah. Namun dalam keadaan bagaimanapun buruknya, Lo-seng tetap duduk
dalam sikap jurus pembukaan yang aneh tadi.
Nona baju biru memburu dan hendak menyusuli sebuah pukulan lagi tetapi demi melihat sikap yang
dipertahankan Lo-seng untuk menjaga diri, nona itupun terpaksa menarik pulang tangannya.
"Seng-ji......" Pek Wan Taysu herteriak kaget ketika melihat Lo-seng, terdampar ke udara. Tetapi ketika
melihat pemuda itu jatuh dengan masih tetap duduk, paderi itupun hentikan teriakannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Saat itu tenaga murni Siau Lo-seng dapat dikata sudah habis. Kalau nona itu memukulnya lagi, betapapun
ringannya pukulan itu, tetap Siau Lo-seng tentu akan rubuh dan habis riwayatnya.
Timbul pikiran Siau Lo-seng untuk mempertahankan jiwanya maka dengan menahan luka dalam yang
parah, ia tetap mempertahankan sikap tangannya dalam jurus aneh tadi.
Tampak nona itu heran atas ilmu kepandaian yang dimiliki Siau Lo-seng, tinggi dan luar biasa. Seberapa
kali pemuda itu dapat lolos dan menerima pukulan mautnya. Mau tak mau nona itu kagum dan terlongonglongong memandang si pemuda.
Detik-detik berlangsung penuh ketegangan. Bayang-bayang maut bertebaran untuk setiap detik menca?but
jiwa. Sekonyong konyong terdengar teriakan yang melengking tinggi: "Im-kian-li?" Im-kian-li?" Im-kianli?"!"
Mendengar teriakan itu, nona baju biru seperti tersentak kaget dan balas bersuit lalu seperti sesosok
bayangan terus melesat pergi dan lenyap.
Im-kian-li artinya Puteri Neraka.
Seiring dengan lenyap nona itu, tubuh Siau Lo-seng berguncang-guncang seperti tertiup angin.
"Seng-ji, Seng-ji!" teriak Pek Wan Taysu gopoh,
Dengan paksakan diri Siau Lo-seng loncat bangun dan menghampiri ke tempat paderi itu.
Dengan nada suara yang lemah lunglai, ia berseru, "Paman lekas, ambilkan botol kumala dalam bajuku......"
Pek Wan Taysu cepat melakukan permintaan pemuda itu, ia mengambil keluar empat botol berwarna ungu,
merah, putih dan hitam. Setiap botol berisi yok-wan atau pil.
"Yang ungu dan merah ambilkan masing-masing sebutir, yang putih tiga butir dan yang hitam empat?""
berkata sampai di situ tampaknya Siau Lo-seng sudah lunglai kehabisan tenaga.
Pek Wan Taysu cepat melakukan perintah. Setelah menyusupkan butir pil itu ke mulut Lo-seng, ia
mengambil bekal botol minum dan suruh Lo-seng meneguk.
Aneh, tak berapa lama setelah minum keempat macam pil itu, tampak wajah Siau Lo-seng yang pucat lesi
berobah merah pula. Dan ketika membuka mata, sinar mata pemuda itupun tampak berkilat-kilat penuh
semangat. Pek Wan Taysu terkejut dan heran melihat kehebatan pil itu. Dipandangnya Lo-seng dengan pandang
keheranan. Siau Lo-seng menghela napas, ujarnya: "Setelah pil-pil dalam empat botol itu habis, jiwakupun ikut habis
juga." Sudah tentu hal itu mengejutkan Pek Wan, serunya: "Seng-ji, engkau memiliki kepandaian sakti. Setelah
minum pil mujijat itu, engkau sudah sembuh kembali. Mengapa engkau mengatakan kata-kata yang
menyedihkan begitu?"
Siau Lo-seng gelengkan kepala.
"Paman, mana pil itu obat yang mujijat. Pil yang kutelan tadi adalah obat racun yang amat ganas. Apabila
orang lain makan sebutir saja, dia tentu mati seketika."
"Apa?" Pek Wan Taysu berteriak kaget, "yang engkau minum itu pil beracun?"
Mimpipun tidak paderi itu kalau pil yang ditelan Lo-seng itu racun. Sebutir saja orang tentu akan mati. Tetapi
menggapa pemuda itu telah menelan sembilan butir dan bahkan malah segar semangatnya"
"Benar, paman," kata Siau Lo-seng, "keempat botol pil itu, dahulu adalah suhuku Ban Li-hong yang mencuri
dari Ui Se-cu si Raja racun. Pil ungu itu yalah ramuan Jiok-ting-kwan, yang merah Peh-poh-wan, yang putih
Kim-hiang dan yang hitam Toan-jong-oh.
Pek Wan Taysu terlongong. Keempat macam jenis obat itu, merupakan racun yang hebat.
"Seng-ji, mengapa engkau harus menelan racun yang seganas itu?" serunya sesaat kemudian.
dunia-kangouw.blogspot.com
Raja racun Ui Se-cu memang termasyhur sebagai tokoh yang ahli dalam racun. Dahulu pernah terjadi
sebuah peristiwa yang menggemparkan dunia persilatan. Ssorang tokoh silat golongan hitam, diam-diam
telah berhasil mencuri sebutir pil Toan-jong-oh (pil penghancur usus). Peristiwa itu terjadi pada empatpuluh
tahun yang lalu ketika sedang diselenggarakan sebuah rapat besar seluruh kaum persilatan. Tokoh
golongan hitam itu lalu diam-diam mencampurkan Toan-jong-oh ke dalam minuman dan akibatnya sungguh
ngeri sekali. Enampuluh tokoh silat yang ternama mati seketika.
"Paman," ujar Siau Lo-seng, "ada suatu kesulitan yang tak dapat kukatakan. Harap paman jangan
menanyakan dahulu soal itu. Pada saatnya paman tentu akan mengetahui sendiri. Saat ini semangat dan
tenagaku sudah pulih kembali. Ah, marilah kita kejar nona itu!"
Melihat wajah pemuda itu sudah segar kembali, Pek Wan Taysu pun tak mau mendesak lebih lanjut. Ia


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setuju tetapi menghela napas.
"Seng-ji, memang kata-kata nona Nyo itu benar, engkau memang seorang yang aneh."
"Paman?"" tiba-tiba Siau Lo-seng menjerit dan bercucuran airmata. Saat itu ia teringat akan nasibnya
yang celaka. Ia hendak menceritakan hal itu kepada Pek Wan Taysu tetapi pada lain kilas, ia tak
melanjutkan kata-katanya. Ia kuatir paderi itu akan sedih kalau mendengar keadaannya. Dan ia tak ingin
pamannya itu ikut berduka.
"Seng-ji, bukan aku hendak mendamprat engkau, hanya?""
"Paman," tukas Siau Lo-seng, "harap jangan membicarakan dulu. Aku ingin tahu, apakah sewaktu nona
baju biru itu pergi, ada orang yang memanggilnya?"
Ternyata pada saat tadi, perhatian Siau Lo-seng hanya tercurah seluruhnya pada gerak gerik si nona baju
biru. Ia tetap menjaga setiap kemungkinan nona itu hendak menyerangnya. Oleh karena itu ia tak
mendengar suara orang memanggil nona itu.
Pek Wan Taysu mengangguk.
"Benar," katanya, "memang ada suara orang memanggil Im-kian-li kepadanya dan setelah itu ia terus
melesat pergi. Rupanya suara itu mempunyai pengaruh yang gaib terhadap si nona...... aneh, mengapa
nona yang begitu sakti dapat dikuasai orang?"
Siau Lo-seng kerutkan dahi merenung dalam-dalam.
"Im-kian-li?" katanya sesaat kemudian, "Ah, nama itu jelas bukan nama manusia di dunia. Siapakah dia"
Kasihan, seorang nona yang begitu cantik telah menjadi korban dari keganasan orang."
"Seng-ji, kulihat gerak gerik nona itu memang agak aneh dan tak wajar. Dia seperti orang yang tolol dan tak
mempunyai kesadaran pikiran," kata Pek Wan Taysu.
Siau Lo-seng menghela napas.
"Paman, pernah paman mendengar tentang ilmu Memerintah mayat?"
Serentak Pek Wan Taysu teringat memang dahulu, gurunya pernah menceritakan tentang ilmu semacam
itu. Ia terkejut. "Apakah wanita itu sebuah mayat hidup?" seru paderi itu.
Siau Lo-seng mengangguk: "Benar, dia seorang wanita yang tiada mempunyai roh lagi."
Sesaat itu terasalah pada Pek Wan Taysu bahwa dunia persilatan sedang dilanda oleh awan yang
menyeramkan. Awan yang berkabut hawa pembunuhan dan akan turun menjadi hujan darah.
Seperti si nona baju biru itu, seorang nona yang memiliki kepandaian sakti tetapi kehilangan kesadaran
pikirannya karena telah dikuasai oleh seorang durjana jahat. Nona itu tentu merupakan salah satu dari alat
yang akan menimbulkan banjir darah di dunia persilatan nanti.
"Paman, mari cepat kita berangkat," seru Lo-seng. "Kita harus menyelidiki siapakah yang menguasai nona
itu dan dengan cara bagaimana dapat menjalankan kekuasaannya itu. Kalau terlambat, akibatnya tentu
hebat bagi dunia persilatan nanti."
Mengingat betapa gawatnya hal itu tanpa menghiraukan lukanya yang parah, Pek Wan Taysu pun segera
paksakan diri bangun. dunia-kangouw.blogspot.com
"Mari kita kejar, dia menuju ke arah tenggara," seru paderi itu.
Keduanya segera gunakan ilmu lari cepat.
Dalam beberapa kejap saja keduanya telah menempuh enam-tujuh buah puncak gunung. Tiba-tiba Pek
Wan Taysu mengerang dan rubuh.
Siau Lo-seng terkejut. Cepat ia menolong paderi tua itu. Tampak wajah Pek Wan Taysu pucat lesi seperti
mayat tak berdarah. "Paman, bagaimana engkau?" seru Lo-seng cemas.
Dengan terengah-engah paderi itu menjawab: "Ah, aku sudah tua, tak berguna lagi."
Nada ucapannya penuh kerawanan dan kedukaan.
Berpuluh puluh tahun lamanya Pek Wan Taysu tinggal di gereja membenam diri dalam kesucian ajaran
agama dan tekun untuk meyakinkan pelajaran ilmu silat. Setitikpun tak pernah ia mengira bahwa sekali
turun dari gunung, ia harus menderita kekalahan dari seorang nona cantik yang masih muda. Inilah yang
menyebabkan paderi itu terpukul semangatnya.
Rupanya Lo-seng tahu juga isi hati paderi itu. Diam-diam ia heran dan tak menyangka bahwa seorang
paderi yang sudah setua itu dan tinggi pula derajat kedudukannya dalam gereja Siau-lim, ternyata masih
memiliki hati yang ingin menang. Suatu hal yang menandakan bahwa paderi tua itu masih belum dapat
melepaskan diri dari rasa ke-Aku-an.
"Paman, baiklah kita beristirahat di sini dulu," kata Siau Lo-seng
Pek Wan Taysu gelengkan kepala: "Tidak, setelah memulangkan napas sebentar, nanti kita lanjutkan
perjalanan lagi......"
"Huak?"," belum habis berkata, tiba-tiba paderi itu muntah darah, tubuhnya gemetar dan wajahnya makin
pucat. Siau Lo-seng terkejut. Ia tahu bahwa paderi itu telah menderita pukulan dahsyat sehingga menderita luka
dalam yang parah. Dan karena paderi itu paksakan diri untuk menggunakan tenaga lari menempuh
perjalanan sekian jauh maka habislah tenaganya. Dan karena dia tetap berkeras hendak menyalurkan
pernapasan maka darahnya meluap keluar.
Buru-buru Siau Lo-seng menutuk jalan darah paderi itu supaya darahnya tenang kembali. Kemudian sambil
memapahnya bangun, ia mengajak paderi itu mencari tempat beristirahat.
"Paman, mari kita cari sebuah tempat yang sesuai untuk mengobati luka paman......"
07.31. Si Cantik Manusia Mumi
Siau Lo-seng berhasil mendapatkan tempat yang sesuai. Ia membawa Pek Wan Taysu ke dalam sebuah
guha dari sebuah karang tinggi yang di kelilingi pegunungan.
Luka dalam yang diderita paderi Siau-lim itu memang parah dan saat itu keadaannya memang sudah payah
sekali. Buru-buru Siau Lo-seng meletakkan tubuh paderi itu lalu mulai mengurut seluruh jalan darah di tubuhnya
untuk melancarkan darahnya.
Tak berapa lama paderi itupun dapat menghela napas dan membuka mata.
"Ah, sungguh tak kira kalau pukulan nona itu begitu sakti sekali," katanya.
"Bukan pukulannya, paman," Siau Lo-seng menerangkan, "tetapi pukulan yang paman derita itu sebenarnya
berasal dari tenaga pukulanku yang disedot lalu dipancarkan oleh tenaga balik dari nona itu!"
Mendengar keterangan itu Pek Wan Taysu tertawa rawan.
"O, kiranya begitu," katanya, "jika demikian matipun aku sudah puas."
dunia-kangouw.blogspot.com
Berkata Siau Lo-seng dengan serius: "Tidak paman. Sekalipun lukamu parah tetapi sekarang sudah tak
berbahaya. Asal sudah menyalurkan tenaga dalam beberapa waktu. tentu sudah sembuh kembali."
Memang setelah diurut oleh Lo-seng, Pek Wan Taysu rasakan dadanya tenang dan longgar napasnya. Ia
segera duduk bersila untuk menyalurkan ilmu pernapasan.
"Lo-seng," katanya beberapa saat kemudian "walaupun usiamu masih muda tetapi engkau telah memiliki
ilmu pengobatan yang tinggi. Kuyakin, arwah ayahmu tentu akan gembira di alam baka."
Teringat akan keadaan dirinya yang takkan dapat hidup lama, merahlah muka Lo-seng.
"Lo-seng," kata Pek Wan Taysu pula, "engkau tentu letih juga. Baiklah engkau juga bersemedhi
memulangkan tenaga."
Setelah paderi itu pejamkan mata melakukan ilmu pernapasan.
Lo-seng tak dapat menahan luapan kesedihannya. Butir-butir air matanya pun menitik keluar.
Bayangan maut yang segera akan menimpah dirinya, mulai menghantui pikirannya. Bukan karena ia
bersedih harus mati tetapi karena ia merasa belum dapat menghimpaskan dendam darah keluarganya,
Jangankan membalas, sedang siapa pembunuh dari keluarganya itu, tetap ia belum dapat mengetahui
jelas. Perlombaan itulah yang menindih perasaan hatinya. Kalau, ia telah membalas sakit hati dan mati, ia puas.
Tetapi bagaimana kalau ia sudah harus mati sebelum dapat menghimpaskan dendam darah itu" Ah......
Adalah karena tekadnya sudah bulat untuk menuntut balas maka ia sampai meminum obat racun yang
paling ganas. Empat obat racun yang tergolong jenis racun paling ganas di dunia telah diminumnya. Tak
lain sekedar supaya ia dapat bertahan hidup sampai ia menyelesaikan dendam darah keluarganya itu.
Ia pun menyadari pula bahwa racun yang diminumnya itu hanya dapat mempertahankan hidupnya sampai
waktu yang tertentu saja. Pun ia menyadari pula bahwa racun itu apabila salah jalan tentu akan menjadikan
dia seorang momok pembunuh yang amat ganas. Seorang pembunuh yang haus darah!
Kemungkinan ia akan menjadi semacam manusia hidup yang tak berjiwa dan mati perasaannya, seperti
nona cantik baju biru itu.
Demikian pikiran Lo-seng melayang-layang mengembara sehingga tak terasa ia telah jatuh lelah?"
Matahari mulai condong ke barat dan merayap di punggung gunung. Tak lama lagi malam tentu akan
segera tiba. Entah sampai berapa lama, tiba-tiba Siau Lo-seng mendesis, membuka mata dan memandang ke
sekeliling. Rupanya Pek Wan Taysu terkejut juga mendengar desis mulut Lo-seng. Iapun segera membuka mata dan
menegur: "Mengapa engkau Lo-seng?"
"Pada waktu bersemedhi tadi, agaknya aku mendengar suara adik angkatku berseru memanggil namaku,"
kata Lo-seng. Pek Wan Taysu mempertajam pendengarannya. Pada lain saat ia berkata, "Ah, di sekeliling pegunungan
yang sepi ini, mana terdapat suara orang."
Lo-seng juga memasang telinganya. Tetapi iapun tak mendengar suara apa-apa lagi.
Tiba-tiba setiup angin berhembus ke arah dirinya. Ia terkejut, serunya: "Aneh, mengapa angin meniup dari
dalam guha ini?" Ternyata angin itu memang berasal dari dalam sebuah guha di belakang. Dan ketika Pek Wan Taysu
memeriksa memang benar begitu.
"Paman, mari kita masuk ke dalam guha itu," kata Lo-seng seraya berbangkit.
Pek Wan Taysu mengiakan. Guha itu gelap dan menyeramkan. Hampir setengah jam lamanya masuk, belum juga mereka mencapai
ujung guha. Diam-diam merekapun heran, mengapa lorong guha sedemikian panjangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kita sudah menyusup sampai tigaratus tombak lebih," kata Pek Wan Taysu.
"Rupanya di sebelah depan tampak terang, mungkin sudah hampir tiba di ujung guha," sahut Lo-seng yang
berjalan di sebelah muka.
Benar juga setelah membiluk sebuah tikungan, sepuluhan tombak jauhnya di sebelah muka tampak
sepercik penerangan yang samar-samar.
Tetapi lorong guha yang hendak mendekati ujung jalan keluar, makin lama makin sempit menyerupai
pecahan dari cela-cela batu karang yang merekah lebar.
"Aneh," gumam Lo-seng.
Lebih kurang sepuluh tombak lagi, Pek Wan Taysu yang bertubuh lebih gemuk, tak dapat menyusup lorong
guha lagi. Lorong itu amat sempit.
Melihat keadaan itu Lo-seng tertawa rawan: "Ah, hanya kurang dua tombak lagi dari jalan keluar mengapa
lorong begini sempit. Apakah paman harus kembali dan menyusur lorong guha sepanjang tiga-empat ratus
tombak?" Sahut Pek Wan Taysu: "Tak apa, engkau boleh menyusup keluar lebih dulu. Sedikit-sedikit aku mengerti
ilmu Sat-kut-kang (menyurutkan tulang). Aku hendak......"
Tiba-tiba Lo-seng mendesuhkan isyarat supaya pendeta itu jangan bicara. Dari lorong guha di sebelah
muka tiba-tiba terdengar suara orang mengingau. Dan jelas dapat ditangkap Lo-seng bahwa suara orang
tidur mengingau itu suara seorang perempuan.
Lo-seng dan Pek Wan Taysu heran sekali mengapa di pegunungan yang sedemikian sepi, terdapat seorang
perempuan yang sedang tidur"
Setelah memberi isyarat tangan kepada Pek Wan Taysu, Lo-seng pun segera maju pelahan-lahan.
Ternyata ujung dari guha itu merupakan sebuah ruang batu. Siapakah wanita yang berada dalam ruang itu.
Lo-seng tak berani gegabah masuk melainkan menunggu perkembangan lebih lanjut.
Tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki seseorang. Lo-seng makin terkejut, pikirnya: "Ha, hebat sekali
ilmu meringankan tubuh orang ini."
Memandang ke muka, Siau Lo-seng makin terkejut. Dua sosok tubuh manusia, pelahan-lahan bergerak
menghampiri ke ruang batu itu.
"Ha, siapakah mereka" Rupanya mereka itu, tiada hubungannya dengan wanita dalam ruang batu,"
pikirnya. Karena memiliki ilmu tenaga dalam yang tinggi maka mata Lo-seng pun luar biasa tajamnya. Saat itu ia
dapat melihat jelas bahwa kedua pendatang itu kaum lelaki. Dan serentak iapun mulai menduga cemas:
"Hm, jangan-jangan kedua orang itu hendak berbuat tak senonoh terhadap wanita yang berada dalam ruang
itu." Baru ia menduga begitu, kedua orang itupun sudah tiba dan herhenti pada jarak dua-tiga meter dari ruang
batu. Salah seorang yang berdiri di sisi kanan, kedengaran membuka suara: "Apakah wanita itu?"
Siau Lo-seng terkesiap. Ia merasa tak asing dengan nada suara orang itu.
Orang yang berada di sebelah kirinya, memberi hormat dan menyahut: "Benar Sau-kiongcu."
Kiong-cu artinya pemilik gedung besar semacam istana. Dan Sau artinya muda. Jadi tuan muda pemilik
istana disebut Sau-kiongcu.
Orang yang berdiri di sebelah kanan itu mendengus dingin: "Ha, jangan panggil aku Sau-kiongcu. Gedung
kediamanku saat ini belum mengangkat nama di dunia persilatan."
Siau Lo-seng makin kejut dan makin jelas bahwa nada suara itu adalah suara Li Giok-hou murid
kesayangan dari Nyo Jong-ho.
"Baik, baik," kata orang itu dengan hormat.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Nyalakan korek, biar kuperiksanya," kata Giok-hou pula.
Mendengar itu Siau Lo-seng terkejut. Buru-buru ia lekatkan tubuhnya lekat-lekat pada karang.
Tepat pada saat itu korekpun menyala dan teranglah ruang batu itu. Tetapi aneh, sampai beberapa saat tak
kedengaran suara apa-apa.
Karena kuatir Gok-hou tahu maka terpaksa Lo-seng tak berani melongok ke dalam ruang. Tetapi dengan
begitu, ia tercengkam dalam kegelisahan. Apakah yang telah terjadi dalam ruang batu" Apakah Giok-hou
sudah pergi" Kalau sudah mengapa sama sekali ia tak mendengar suara langkah kakinya" Apakah yang
mereka lakukan" Karena tak kuat menahan hati maka Lo-seng pun melongok ke dalam ruang.
Seorang lelaki berpakaian biru tengah memegang korek api yang diangkat tinggi ke atas kepalanya untuk
menyuluhi keadaan dalam ruang itu. Sedang di sisinya tampak Li Giok-hou sedang memandang ke arah
sebuah balai-balai batu. Di atas balai-balai batu itulah seorang gadis sedang tidur.
Tampak sepasang mata Li Giok-hou bersinar terang dan wajahnya tampak tegang ketika memandang tubuh
gadis itu. Siau Lo-seng seorang pemuda yang berhati bersih. Sekalipun ia dapat menatapkan pandang matanya dan
mengetahui siapa gadis di atas tempat tidur batu itu, namun ia tak mau.
"Hm, kiranya Li Giok-hou itu seorang manusia berhati binatang," dengusnya dalam hati.
"Rupanya dia tidur pulas seperti orang mati," kata lelaki yang memegang korek, "jika tidak dibangunikan
oleh orang yang menguasainya, dia tentu akan takkan mampu bangun. Silahkan Sau-kiongcu melihatnya,
tak perlu kuatir." Rupanya saat itu Giok-hou masih seperti orang yang kehilangan semangat. Dia tegak terlongong
memandang gadis itu. Siau Lo-seng terkejut mendengar keterangan orang itu. Serentak timbullah pertanyaan dalam hatinya:
"Siapakah gadis itu?"
Berkata orang yang mencekal korek itu pula: "Dia seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Sekalipun orang
yang berhati dingin, tentu akan terpikat......"
Rupanya Giok-hou tersadar mendengar ucapan orang itu. Ia mendesuh: "Ah, ternyata di dunia ini memang
terdapat seorang jelita yang menyerupai bidadari...... ha, ha......"
Lelaki baju biru itu cepat menambah minyak ke dalam api, serunya: "Bukankah Sau-kiongcu memiliki tenaga
dalam yang hebat" Mengapa hanya memandang saja kepadanya" Ah, kalau aku jadi Sau-kiongcu, tentu
sudah tadi-tadi...... ha, ha."
Siau Lo-seng heran. Ia memperhatikan orang itu. Ternyata sambil memegang korek, orang itu tak
memandang langsung ke arah tempat tidur batu melainkan berpaling memandang ke arah lain.
Siau Lo-seng makin meluap keinginan tahunya. Serentak iapun berpaling ke arah tempat tidur si gadis. Dan
begitu matanya tertumbuk pada gadis yang tidur di tempat itu, hampir saja ia berteriak kaget.
Gadis yang dipuji setinggi langit sebagai jelita nomor satu di dunia oleh Giok-hou itu, tak lain dan tak bukan
yalah si nona cantik baju biru tadi.
Dalam keadaan tidur telentang di atas ranjang batu makin jelaslah kecantikan nona itu. Wajahnya yang
cantik jelita dan potongan tubuhnya yang menggiurkan, benar-benar membuat seorang paderi harus
menelan air liurnya. Siau Lo-seng cepat membuang muka. Ia tak berani memandang lebih lama.
"Wajah nona itu agak aneh," tiba-tiba Giok-hou menggumam.
"Dia bukan orang hidup melainkan seorang siluman. Setiap anggauta tubuhnya pun berlainan dengan
manusia biasa," kata lelaki baju biru.
"Bangsat, siapa suruh engkau mengoceh tak keruan!" bentak Giok-hou.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng pun makin menjadi-jadi keheranannya. Bagaimana mungkin wanita cantik itu tidur seorang diri
dalam ruang guha di situ" Dan kalau menurut nada pembicaraan Giok-hou dengan lelaki baju biru itu, jelas
wanita cantik itu bukanlah orang golongannya.
"Bagaimana cara membangunkannya," tegur Giok-hou.
"Kita belum tahu bagaimana cara menguasainya, lebih baik jangan membangunkannya dulu," kata lelaki
baju biru. Giok-hou mendengus dingin.
"Aku tak percaya omonganmu," seru Giok-hou, "untuk membuktikan apakah dia benar seorang mayat hidup
atau manusia biasa, engkau bangunkan dia dulu!"
"Sau-kiongcu," seru lelaki baju biru terkejut, "ini bukan sendau gurau. Sekali dia bangun berbahaya
sekali......" "Sau-kiongcu," seru lelaki itu pula, "Hiat Sat Mo-li segera datang, baiklah tuan menyelinap ke dalam celahcelah batu itu."
Ia menunjuk ke arah cela batu karang tempat Lo-seng bersembunyi.
"Apakah...... Puteri Neraka itu telah dikuasai Hiat Sat Mo-li?" tanya Giok-hou.
"Di kolong dunia ini hanya Jin Kian Pah-cu yang dapat menguasai Puteri Neraka," kata lelaki baju biru, "Hiat
Sat Mo-li hanya mampu membangunkan dan memanggilnya saja."
Mendengar keterangan itu, bukan kepalang kejut Siau Lo-seng. Kiranya wanita cantik Puteri Neraka itu
anak buah Lembah Kumandang.
Pengaruh Lembah Kumandang besar sekali. Masih pula ditambah dengan seorang Puteri Neraka yang sakti
kepandaiannya. Sekarang Im-kian-li atau Puteri Neraka tengah terbaring di atas balai-balai batu. Jika ia segera turun tangan
menghancurkannya, bukankah dunia persilatan akan terbebas dari malapetaka"
Demikian Lo-seng menimang-nimang dalam hati. Tetapi sebelum ia sempat mengambil keputusan, dari luar
guha terdengar langkah kaki orang mendatangi......
Giok-hou cepat menyelinap masuk ke dalam celah karang. Tetapi secepat kilat, Lo-seng sudah menerkam
pergelangan tangan kanan Giok-hou.
Giok-hou terkejut. Setitikpun ia tak mengira bahwa di celah karang terdapat seseorang Karena cepatnya Loseng bergerak, Giok-hou tidak mau melepaskan diri lagi. Tetapi diapun juga lihay. Kelima jari tangan
ditebarkan lalu menerkam tangan Lo-seng.
Kali ini Lo-seng lah yang terkejut bukan kepalang. Ia tak menyangka bahwa setelah dicekal pergelangan
tangannya, Giok-hou masih mampu bergerak. Karena tak menyangka, Lo-seng pun kena tercengkeram
tangannya.

Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika itu keduanya rasakan pergelangan tangan masing-masing telah dicengkeram oleh tangan besi.
Giok-hou menggeram. Secepat kilat ia gerakkan tangan kiri untuk menabas lengan orang.
Lo-seng hanya mendengus dingin dan menyambut dengan tusukkan jari kirinya.
Tusukan itu memaksa Giok-hou menarik pulang tangannya. Tetapi serempak dengan penarikan itu, diamdiam ia kerahkan tenaga-dalam dan melingkarkan tangan kanannya.
Gerakan Giok-hou itu bukan kepalang dahsyatnya sehingga kuda-kuda kaki Lo-seng tergempur goncang
dan tubuhnyapun ikut menjorok dua langkah ke muka.
Saat itu langkah kaki pendatang baru itupun makin dekat dan tiba di ambang pintu.
"Hm, siapakah yang berani datang ke tempat terlarang sini?" bentak lelaki baju biru.
Tetapi serempak dengan itu, beberapa sosok tubuh segera berhamburan menerobos masuk.
Setelah berhasil melingkarkan Lo-seng ke muka, Giok-hou berteriak kaget: "Engkau!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Wut," ia terus menghantamnya.
"Hm, Li Giok-hou," dengus Lo-seng. "tak kira kita akan berjumpa lagi." Habis berkata iapun dorongkan
tangan kiri ke muka. Memang tak terperikan kejut Giok-hou setelah mengetahui siapa penyerangnya itu. Tangan kanannya
dikuasai Lo-seng, tetapi iapun dapat mencengkeram tangan kanan Lo-seng. Yang masih bebas digerakkan,
hanya tangan kiri. Segera ia menekuk siku lengan kirinya ke bawah dan lancarkan tiga buah pukulan.
07.32. Sau-kiongcu Dari Ban-jin-kiong
Tetapi Lo-seng pun gunakan tangan kirinya untuk balas menyerang.
"Berhenti kalian ini!" tiba-tiba terdengar lengking suara seorang wanita. Dan serempak dengan itu pula maka
ruanganpun terang benderang.
Ternyata yang mengepalai rombongan pendatang itu seorang nona yang cantik tetapi dingin wajahnya.
Umurnya sekitar duapuluhan tahun. Dia bukan lain yalah Hiat Sat Mo-li, toa-suci atau kakak seperguruan
yang nomor satu dari nona Ui Hun-ing.
Dia membawa pengikut sembilan lelaki berbaju biru dan bersenjata pedang.
Saat itu Lo Seng dan Giok-hou sedang melangsungkan pertempuran jarak dekat yang seru. Tangan kanan
masing-masing masih saling berlekatan, sedang tangan kiri saling berserabutan melancarkan pukulan dan
tutukan. Sedikit lengah, jalan darah tentu tertutuk. Kalau tidak mati tentu akan terluka parah.
Pertempuran semacam itu memang amat berbahaya sekali. Selain menggunakan ilmu kepandaian pun juga
kecerdasan otak. Siapa lambat tentu kalah.
Hiat Sat Mo-li terkejut menyaksikan mereka bertempur sedemikian dahsyatnya.
Dalam beberapa kejap saja kedua anak muda itu telah berhantam sampai duapuluh jurus lebih.
Tiba-tiba terdengar suara mengerang tertahan. Giok-hou terhuyung-huyung tiga-empat langkah. Wajahnya
pucat lesi. Tetapi secepat kilat pemuda itupun sudah mencabut pedangnya.
"Giok-hou, hari ini jangan harap engkau mampu lolos dari tanganku," Lo-seng tertawa dingin.
Giok-hou tertawa sinis. "Hm, akupun sudah dapat mengetahui siapa engkau ini sebenarnya. Hm, hm...... sungguh tak kira ternyata
engkau seorang manusia seribu muka."
Lo-seng terkejut dalam hati, pikirnya: "Apakah dia benar sudah tahu siapa diriku ini" Hm, dia seorang yang
cerdik dan ganas sekali. Kalau tak dilenyapkan mungkin kelak tentu menimbulkan banyak kesulitan......."
"Siapa engkau!" tiba-tiba Hiat Sat Mo-li menegur Lo-seng.
Karena sudah tahu siapa Hiat Sat Mo-li itu maka Lo-seng pun tertawa hambar: "Aku Siau Lo-seng."
Tampak wajah nona itu berobah. Pikirnya: "Siau Lo-seng" Ah, rasanya nama itu belum pernah terdengar di
dunia persilatan......."
"Kalian berdua berani mati menyelundup ke tempat ini," sesaat kemudian nona itu berseru, "jangan harap
kalian dapat keluar dengan masih bernyawa."
Lo-seng picingkan mata melirik ke arah Puteri Neraka yang masih terbaring di atas ranjang batu.
"Puteri Neraka itu," sahutnya, "tentulah kalian yang menguasainya, bukan?"
Sambil berkata, diam-diam Lo-seng teringat akan Pek Wan Taysu. Ia heran mengapa sampai sekian lama
belum juga paderi Siau-lim itu muncul"
"Siapakah di antara kedua musuh ini yang harus kuselesaikan dulu?" pikirnya.
Menunjuk pada Siau Lo-seng, Giok-hou berseru pelahan kepada Hiat Sat Mo-li:
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dia bukan lain yalah Pendekar Ular Emas yang termasyhur itu. Harap nona segera menyadarkan Puteri
Neraka dan selekasnya membereskan orang itu!"
Seketika berobahlah wajah Hiat Sat Mo-li. Serentak ia menudingkan kebut pertapaannya ke arah seorang
anak buahnya dan berseru: "Lekas ringkus dulu penghianat itu!"
Yang dimaksud penghianat oleh Hiat Sat Mo-li yalah lelaki baju biru yang menyertai Giok-hou tadi.
Perintah itu mengejutkan Giok-hou. Dan lelaki baju biru yang datang bersamanya tadi pun pucat seketika.
Delapan lelaki baju biru pengawal Hiat Sat Mo-li serempak berhamburan menyerbu dan pada lain saat leher
lelaki baju biru tadi sudah dilekati empat batang pedang.
Hiat Sat Mo-li pelahan-lahan goyangkan kebut pertapaannya dan tertawa genit: "Li Giok-hou, lain orang
mungkin tak tahu riwayatmu. Tetapi aku tahu jelas. Pihak Ban-jin-kiong hanya mengandalkan engkau,
seorang Li Giok-hou. Jangan harap engkau mampu menandingi kekuatan Lembah Kumandang. Dan karena
hari ini engkau sendiri telah masuk ke dalam jaring maka jangan harap engkau dapat tinggalkan tempat ini."
Terkejut hati Siau Lo-seng. Ia tak pernah mendengar nama Ban-jin-kiong atau Istana Selaksa manusia. Apa
dan bagaimana gerombolan Ban-jin-kiong itu"
Giok-hou tertawa mengekeh.
"Ah, terima kasih, terima kasih," serunya, "tetapi sampai dimanakah kekuatan dari Puteri Neraka yang
engkau peralat itu" Aku sih sedikit?""
Tiba-tiba Lo-seng meluncur ke arah Puteri Neraka yang rebah di atas ranjang batu. Ia telah mengambil
keputusan. Lebih dulu menghancurkan Puteri Neraka, kemudian menangkap Giok-hou memaksanya
supaya memberi keterangan tentang perkumpulan Ban-jin-kiong itu.
"Hai. engkau hendak cari mati" Berhenti!" teriak Hiat Sat Mo-li. Dan secepat itupun terus memburu Lo-seng.
Melihat Hiat Sat Mo-li, turun tangan, Giok-hou pun menyerempaki dengan memukulkan tangan kanannya
dalam jurus Menabas gunung Hoa-san ke arah Lo-seng.
Memang pemuda itu licin sekali. Kedatangannya kesitu tak lain karena ia ingin tahu dengan cara bagaimana
Hiat Sat Mo-li dapat menguasai Puteri Neraka. Maka ia membantu Hiat Sat Mo-li untuk menghalangi Loseng.
Tetapi Siau Lo-seng memang sakti. Walaupun menghadapi dua musuh yang tangguh, ia tetap tak gentar.
Dengan tenang ia menghindari kebut pertapaan dan pedang lalu terus meluncur ke arah ranjang batu.
Saat itu ia sudah hampir terpisah dua meter dari ranjang batu. Sekonyong-konyong terdengar suara orang
berseru memberi peringatan.
"Siau toako, lekas mundur. Dua meter sekeliling ranjang batu itu, dipasangi alat perkakas rahasia........"
Kaki Siau Lo-seng yang sudah akan dilangkahkan ke muka, karena mendengar peringatan itu cepat-cepat
dihentikan dan terus loncat mundur lalu berpaling ke belakang.
Dari empat penjuru batu karang yang tertutup rapat itu tiba-tiba merekah sebuah pintu. Seorang gadis
berpakaian hitam pelahan-lahan melangkah keluar, diikuti oleh seorang paderi tua.
Melihat kedua orang itu, bukan kepalang girang Lo-seng. Gadis berpakaian hitam itu bukan lain yalah Ui
Hun-ing yang sejak beberapa lama telah menghilang. Sedang paderi tua yang berjalan di belakangnya tak
lain yalah Pek Wan Taysu sendiri.
Kebalikannya, begitu melihat Hun-ing, wajah Hiat Sat Mo-li serentak berobah.
"Bagus," serunya sinis, "ji-sumoay, nyata engkau telah menghianati Lembah Kumandang."
Saat itu Hun-ing sudah berada di sisi Lo-seng. Dengan tertawa dingin ia menyahut teguran Hiat Sat Mo-li .
"Bahwa Jin Kian Pah-cu memanggil Puteri Neraka untuk menghadapi aku, tentulah karena kalian sudah
mengetahui aku telah berhianat. Perlu apa kalian banyak mulut lagi?"
Seketika itu sadarlah pikiran Lo-seng. Siapa lagi yang menawan Hun-ing dan Bok-yong Kang ketika di tanah
kuburan tempo hari kalau bukan Im-kian-li atau Puteri Neraka itu" Kini Hun-ing sudah lolos tetapi mengapa
Bok-yong Kang tak ikut serta"
dunia-kangouw.blogspot.com
Belum Lo-seng bertanya, Hun-ing pun sudah mendahului menegurnya: "Siau toako, bagaimana luka Bokyong Kang?"
Lo-seng terbeliak. "Apa" Bok-yong Kang terluka" Engkau?""
Hun-ing kerutkan alis dan balas berseru.
"Ih, dia dilukai Puteri Neraka sampai pingsan, masakan engkau tak tahu?"
Lo-seng makin terkejut, serunya: "Tidak tahu! Begitu mendengar engkau memanggil, aku cepat memburu
tetapi tak dapat melihat Bokyong-te......."
"Lalu siapa yang menangkapnya?" seru Hun-ing. Kemudian ia alihkan pandang mata ke arah kakak
seperguruannya, Hiat Sat Mo-li.
"Toa-suci," serunya, "apakah engkau telah menawan Bok-yong Kang di tempat ini?"
Kemunculan Hun-ing di guha itu, telah memberi kesan kepada Hiat Sat Mo-li bahwa jago-jago sakti dan
alat-alat rahasia dalam lorong guha, telah dihancurkan oleh Hun-ing.
Diam-diam Hiat Sat Mo-li menimang dalam hati. Ia menyadari bahwa kekuatan anak buahnya yang
berjumlah beberapa orang itu, tentu tak dapat melawan Siau Lo-seng.
Jalan satu-satunya yalah membangunkan Puteri Neraka. Tetapi iapun tak paham bagaimana cara untuk
memerintahkan Puteri Neraka menyerang musuh. Kalau salah perintah, ia sendiri tentu takkan terluput dari
keganasan Puteri Neraka. Namun kalau ia mengeluarkan pusaka Ki-hun-kim-teng atau Bejana emas pengusir arwah untuk menguasai
Puteri Neraka, ia kuatir Hun-ing tahu dia akan merebutnya.
Kalau ia sibuk mengambil keputusan, tiba-tiba Hun-ing menanyakan soal Bok-yong Kang. Serentak ia
menyahut: "Ji-sumoay, engkau tentu maklum apa hukuman seorang murid yang berani menghianati
gurunya itu?" Hun-ing tertawa hambar. "Ketahuilah," serunya. "walaupun Jin Kian Pah-cu itu amat ganas tetapi aku tak peduli. Dan sekalipun aku
berhianat tetapi tak perlu engkau banyak mulut lagi. Sekarang jawablah pertanyaanku tadi. Apakah Bokyong Kang engkau tawan di tempat ini?"
Ternyata ketika diringkus oleh Puteri Neraka, Hun-ing pingsan sehingga tak tahu apakah wanita itu juga
membawa Bok-yong Kang. Baru setelah mendengar keterangan Lo-seng tadi, ia segera menduga tentulah
Bok-yong Kang telah ditawan oleh Puteri Neraka.
Hiat Sat Mo-li menekan kemarahannya. Ia menjawab dengan tawar: "Benar, dia memang berada di sini."
Mendengar keterangan itu, segera Lo-seng berkata kepada Hun-ing, "Pangcu, tolong pinjam pedangmu."
Hun-ing segera mencabut pedangnya dan diserahkan kepada anak muda itu, katanya: "Tetapi Siau toako,
mungkin mereka memasang siasat. Kalau saudara Bok-yong berada di sini, mengapa tak......
Selekas menerima pedang, Lo-seng segera mengerahkan tenaga dalam dan "sring......" ia segera lontarkan
pedang ke arah ranjang batu tempat Puteri Neraka tidur.
Mendengar Lo-seng hendak meminjam pedang, semula Hiat Sat Mo-li mengira kalau pemuda itu akan
menyerangnya. Maka betapalah kejutnya ketika Lo-seng melemparkan pedang itu ke arah Puteri Neraka.
"Im-kian-li?"" segera Hiat Sat Mo-li berteriak nyaring.
Teriakan Hiat Sat Mo-li itu mengandung tenaga sihir yang kuat sehingga sekalian orang meregang bulu
romanya. Tetapi teriakan itu memberi pengaruh atas diri Puteri Neraka. Wanita cantik itu bergeliatan bangun
dan duduk. Lontaran pedang Lo-seng itu seperti kilat cepatnya. Jago silat yang bagaimanapun saktinya tentu sukar
untuk menghindari. Tetapi entah bagaimana, Puteri Neraka memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa
anehnya. Sekali tangan kiri menampar ke muka, tangan kanannya pun secepat kilat menyusur maju.
"Cret......." pedang itupun telah terjepit di sela jarinya yang melentik indah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekalian orang yang menyaksikan kepandaian Puteri Neraka itu, sama terlongong-longong.
"Siau toako," buru-buru Hun-ing berseru, "ilmu kepandaiannya tiada yang mampu menandingi."
Tetapi setelah menjepit pedang, Puteri Neraka itu tetap berdiri termangu-mangu.
Siau Lo-seng menyadari bahwa ia tentu tak mampu melawan serangan Puteri Neraka. Tetapi iapun tahu
bahwa kalau hari itu ia tak membunuh wanita cantik itu kelak dunia persilatan tentu akan dilanda oleh hanjir
darah pembunuhan besar-besaran.
"Paman Pek Wan, silahkan pergi dulu bersama Ui Pangcu," serunya sesaat kemudian.
Rupanya Giok-hou tak tahu keganasan Puteri Neraka maka ia tetap berdiri pada tempatnya hendak
menyaksikan apa yang akan terjadi.
Ternyata setelah membangunkan Puteri Neraka, Hiat Sat Mo-li tak memberi perintah lagi. Rupanya ia
menghadapi kesulitan. Kalau mengeluarkan pusaka Ki-hun-kim-teng untuk memberi perintah kepada Puteri
Neraka, ia kuatir orang akan tahu dan akan merebutnya.
Setelah beberapa saat berdiri di ranjang batu rupanya Puteri Neraka makin sadar Sepasang matanya yang
berkilat-kilat memancarkan sinar biru mulai memandang ke sekeliling.
"Siau toako," teriak Hun-ing cemas. "mari kita lekas pergi. Dia mulai akan menyerang."
Hiat Sat Mo-li sendiri juga bingung. Kalau saat itu ia tak lekas mengeluarkan pusaka Ki-hun-kim-teng, ia
kuatir Puteri Neraka akan menyerang dengan membabi buta, Mungkin juga akan menyerang dirinya.
"Lo-seng," Pek Wan Taysu pun berseru pula, "wanita itu bukan manusia biasa. Kita pernah menderita luka
di tangannya. Kurasa lebih baik kita menyingkir saja."
"Mengapa Siau toako pernah bertempur dengan wanita itu?" seru Hun-ing terkejut.
"Siang tadi hampir saja aku kehilangan jiwa karena pukulan wanita itu," menerangkan Lo-seng, "tetapi
sekarang aku hendak menghadapinya. Mungkin aku dapat mengatasi serangannya......"
Hun-ing tahu jelas bahwa Puteri Neraka itu seorang mayat hidup yang telah diolah oleh ]in Kian Pah-cu
menjadi jago yang tiada tandingannya di dunia. Setiap menyerang tentu akan menghabiskan jiwa orang.
Hun-ing tak percaya kalau Lo-seng mampu melawan wanita itu.
Tiba-tiba dari luar terdengar suara orang tertawa seram dan dingin. Seketika tergetarlah hati Lo Seng.
Hun-ing pun berobah wajahnya, serunya. "Siau toako, bukankah suara tertawa itu pernah terdengar di tanah
kuburan?" Ternyata suara tertawa itu mirip sekali dengan nada tertawa dari gerombolan manusia aneh yang muncul di
tanah kuburan. Mendengar suara tertawa itu, wajah Hiat Sat Mo-li berobah membesi dan berseru kepada Giok-hou yang
berdiri di samping: "Hm, tak kira engkaupun membawa anakbuahmu kemari!"
Giok-hou tertawa meloroh.
"Tentu akan menarik sekali nanti," serunya dengan bangga, "mana yang lebih lihay antara Puteri Neraka
dari Lembah Kumandang atau Manusia tanpa nyawa dari istana Ban-jin-kiong?"
Habis berkata pemuda itu menengadahkan kepala dan bersuit panjang sampai dua kali. Nadanya berpadu
dengan suara tertawa seram itu.
Makin lama suara tertawa setan itupun makin dekat dan pada lain kejap sudah berada di luar guha.
Dan ketika sekalian orang berpaling ternyata guha itu sudah tambah dengan tigabelas manusia aneh
berpakaian hitam. Dan di belakang mereka terdapat seorang tua bungkuk yang bertubuh kekar.
Kejut Lo-seng bukan kepalang. Ketigabelas manusia aneh itu bukan lain yalah gerombolan yang pernah
muncul di tanah kuburan. Orang tua bungkuk itu cepat maju kehadapan Giok-hou dan memberi hormat,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Melaksanakan perintah Kiong-cu (tuan), hamba telah membawa ketigabelas Sip-hun-jin datang membantu
Sau-kiongcu," katanya.
Rupanya Giok-hou pun mengindahkan orang bungkuk itu Cepat ia balas memberi hormat, "Kalau kepala
paseban Lian-gak-tian yang datang sendiri, itulah sungguh bagus. Sekarang kita bersikap diam dulu untuk
mengatur barisan dan menunggu bagaimana perkembangannya."
Siau Lo-seng, Hun-ing dan Pek Wan Taysu kerutkan dahi. Mereka benar-benar tak pernah mendengar
tentang istana Ban-jin-kiong itu.
Dan yang lebih mengejutkan hati ketiga orang itu yalah bahwa seorang tokoh muda yang kelak akan
menjadi pewaris Go-bi-pay, yakni Pedang racun pembasmi iblis Li Giok-hou ternyata pun masuk menjadi
anggauta perkumpulan itu. Bahkan diangkat menjadi Sau-kiongcu.
Siau Lo-seng cerdas tetapi saat itu benar-benar ia tak mampu memecahkan teka teki yang aneh itu.
Demi pandang matanya tertumbuk kepada Lo-seng, orang tua bungkuk itu terkesiap dan berpaling ke arah
Giok-hou. 07.33. Pertempuran Manusia Mumi
"Sau-kiongcu, orang itu......"
"Long Tian-cu," tukas Giok-hou tertawa, "aku sudah tahu siapa dia."
Dalam pada mereka bicara itu, bola mata Puteri Neraka tampak makin memancar. Pedang di tangannya
pun pelahan-lahan diangkat dan ujungnya ditujukan ke arah Lo-seng bertiga.
Hun-ing terkejut. Gerakan Puteri Neraka itu menyatakan bahwa ia hendak membunuh Siau Lo-seng lebih
dahulu. Kiranya walaupun wanita cantik itu tiada memiliki kesadaran pikiran tetapi samar-samar ia melihat bahwa di
antara beberapa orang yang berada dalam ruang itu, hanya Siau Lo-seng yang berkesan dalam hatinya.
Karena pemuda itu pernah menempurnya dengan gigih.
"Paman, Ui Pangcu, silahkan menyingkir ke samping," segera Lo-seng pun bersiap dan meminta kedua
kawannya menyingkir. Tepat pada saat ia berkata, Puteri Neraka itupun sudah apungkan tubuh dan melayang ke arahnya.
Sepercik sinar tajam segera menyambar Lo-seng.
Sambaran sinar pedang itu luar biasa cepatnya sehingga tak ubah seperti sebuah bianglala menggagah di
angkasa. Hun- ing dan Pek Wan Taysu terkejut. Tetapi sebelum kedua orang itu sempat bergerak untuk menghalau,
sinar pedangpun sudah mengarah ke dada Siau Lo-seng. Karena terkejut, menjeritlah kedua orang itu......
"Tring......" Tiba-tiba terdengar lengking suara yang nyaring sekali dan pedang Puteri Neraka itupun kutung menjadi
dua. Siau Lo-seng mengerang tertahan, bahunya bergetar dan tubuhnyapun terhuyung mundur tiga langkah.
"Huak......" ia muntahkan segumpal darah segar.
Terkejutlah sekalian orang. Mereka tak tahu dengan ilmu apakah Siau Lo-seng dapat mematahkan pedang
Puteri Neraka itu. Jelas ketika ujung pedang itu sudah tiba tiga dim di dada Siau Lo-seng pemuda itu masih
tak bergerak. Tetapi tahu-tahu pedang Puteri Neraka telah kutung menjadi dua.
Sebenarnya Siau Lo-seng memang menggunakan ilmu yang sakti. Walaupun dia tak mau menyingkir
ataupun menangkis tetapi diam-diam ia sudah bersiap dalam sikap Pay-koan-im atau Menyembah dewi
Koan Im. Kedua tangannya menjepit batang pedang, sekali kerahkan tenaga dalam maka putuslah pedang
itu. Memang dia berhasil menghancurkan pedang lawan. Tetapi tenaga dalam dari Puteri Neraka yang
disalurkan ke arah pedangnya itu masih mampu melukai perkakas dalam dada Lo-seng sehingga pemuda
itu terhuyung dan muntah darah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika pedangnya putus, Puteri Neraka tertegun kaget. Cepat ia lemparkan kutungan pedangnya dan terus
melayang ke arah Siau Lo-seng.
Melihat itu Pek Wan Taysu yang sejak tadi sudah kerahkan tenaga dalam, segera menyambutnya.
Tetapi Puteri Neraka tak gentar. Ia balikkan tangannya untuk menangkis. Seketika Pek Wan Taysu rasakan
pukulannya tadi seperti tersedot ke dalam gelombang tenaga-dalam.
Pek Wan Taysu terkejut, serunya: "Lo-seng, Ui Pangcu awas dia akan menyerang!"
Paderi Siau-lim-si itu sudah mengetahui bahwa Puteri Neraka memiliki semacam ilmu yang luar biasa
saktinya. Wanita itu dapat menyedot pukulan orang lalu disalurkan untuk menyerang lain orang. Itulah
sebabnya maka Pek Wan Taysu bergegas memberi peringatan kepada Lo-seng dan Hun-ing.
Tetapi ternyata Puteri Neraka tak menyerang Siau Lo-seng melainkan kepada orang tua bungkuk. Seketika
terdengarlah desus angin pukulan yang dahsyat ke arah orang bungkuk itu.
Orang tua bungkuk itu ternyata seorang tokoh persilatan yang kaya akan pengalaman. Berpuluh tahun
berkelana di dunia persilatan, ia pernah bertemu dengan tokoh-tokoh sakti dari berbagai aliran cabang


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan. Dengan pengalaman yang luas itu ia dapat mengenal ilmu silat berbagai perguruan.
Tetapi ilmu luar biasa yang dimiliki Puteri Neraka itu benar-benar belum pernah dilihat sepanjang hidupnya.
Menerima dan menyedot tenaga pukulan orang untuk disalurkan menyerang lain orang.
Tetapi orang bungkuk itu tak mempunyai kesempatan untuk merenung lagi. Segera ia kerahkan hawa murni
dan terus enjot tubuhnya melambung ke atas. Pukulan Puteri Neraka itupun menyambar lewat di bawah
kakinya. Dilain pihak ?" Giok-hou tertawa dingin, serunya: "Ho, kiranya engkau menggunakan Kim-teng (bejana emas) itu untuk
memberi perintah kepada Im-kian-li."
Hun-ing terkejut. Mengangkat muka, ia melihat memang toa-sucinya, Hiat Sat Mo-li sedang memegang
sebuah Kim-teng yang indah. Tetapi sebelum Hun-ing sempat bertindak, ternyata Giok-hou sudah
mendahului menyerang Hiat Sat Mo-li dengan pedang.
"Im-kian-li, lekas bunuh orang itu!" teriak Hiat Sat Mo-li.
Saat itu Puteri Neraka sedang melangkah ke arah Siau Lo-seng. tetapi demi mendengar teriakan Hiat Sat
Mo-li, cepat ia berputar tubuh dan meluncur ke arah Giok-hou.
Giok-hou terkejut sekali. Dalam sekejap mata saja, tubuh Puteri Neraka itu sudah tiba di hadapannya.
Gerakannya cepat dan terjangannya dahsyat sekali.
Cepat Giok-hou pun tebarkan pedangnya dalam jurus Tok-coa-jut-tong atau Ular berbisa keluar guha. Ia
menutuk tiga buah jalan darah di dada wanita cantik itu.
Di luar dugaan. Puteri Neraka tak mau menghindar dan tak mau menangkis pula. Ia hanya tamparkan
tangannya. "Huh?"" Sambil membawa pedang, Li Giok-hou loncat mundur tujuh-delapan langkah. Kepalanya basah dengan
keringat, wajahnya menampil kerut kengerian.
Ilmu kepandaian Puteri Neraka itu benar-benar menakjubkan sekali. Jika dua tokoh muda yang sakti seperti
Siau Lo-seng dan Li Giok-hou tak mampu menyambut sejurus serangannya, apalagi orang-orang yang hadir
di ruang situ. Melihat Giok-hou menderita luka, orang tua bungkuk itupun segera mengangkat muka dan bersuit nyaring
yang aneh....... Ketigabelas orang aneh berpakaian hitam seperti menerima perintah, terus berhamburan menyerbu Puteri
Neraka. "Long Tian-cu, barisan Manusia tanpa nyawa kita itu, mungkin tak dapat menangkap Im-kian-li," teriak Giokhou, "lebih baik kita berusaha mundur dulu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Walaupun tak mampu menangkap tetapi barisan Manusia tanpa nyawa itu akan dapat menahan
keganasannya," jawab si Bungkuk.
"Kalian hendak meloloskan diri" Heh, heh, heh,......." terdengar Puteri Neraka tertawa mengikik.
Ketigabelas Manusia tanpa nyawa atau Sip-hun-jin telah mengurung Puteri Neraka. Tampaknya Puteri
Neraka agak jeri terhadap ke tigabelas barisan Sip-hun-jin. Dia tak menyerang, melainkan hanya
bergeliatan dengan gerak pelahan.
Saat itu Lo-seng mengambil tigabelas butir pil dan menelannya.
"Lo-seng, apakah yang engkau makan itu pil beracun?" tanya Pek Wan Taysu dengan bisik-bisik.
Lo-seng tertawa rawan. "Benar, paman," sahutnya, "karena hanya pil itulah yang dapat menimbulkan tenagaku."
Mendengar itu tergetarlah hati Hun-ing. Serentak ia teringat akan kata-kata Siau Lo-seng kepada Bok-yong
Kang ketika berada di lembah gunung dahulu.
"Apakah keterangannya itu benar?" pikirnya. Dan serentak berlinang-linanglah airmata nona itu. Ia menatap
Lo-seng dengan pandang penuh kerawanan.
"Siau toako, apakah engkau tak dapat sembuh dari kelumpuhan?" ia menghela napas. Ia masih belum
percaya dan bertanya. "Masakan aku bohong?" sahut Lo-seng.
Tiba-tiba Pek Wan Taysu berseru: "Lo-seng, baiklah kita gunakan kesempatan ini untuk lolos."
"Paman Pek Wan," jawab Lo-seng, "rasanya paman tentu memaklumi, bahwa apabila kesempatan iai
sampai hilang, entah berapa banyak jiwa orang persilatan yang akan mati di tangan Puteri Neraka yang
ganas itu." Pek Wan Taysu menghela napas.
"Walaupun kita ingin melenyapkan bahaya itu tetapi tenaga kita tak sampai. Maka lebih baik kita lolos dulu
dan baru pelahan-lahan berusaha untuk mengatur rencana lagi," kata paderi tua itu.
"Ah, paman," Lo-seng menghela napas, "aku percaya dalam waktu singkat semalam ini, dapat
meningkatkan tenagaku sedemikian rupa hingga dapat menghancurkan Puteri Neraka. Tetapi......."
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya.
"....... tetapi, jiwa Siau toako juga akan lenyap.......," tiba-tiba Hun-ing menyelutuk. Ia pernah mendengar
pembicaraan Siau Lo-seng di lembah gunung maka tahulah ia apa yang dimaksudkan pemuda itu.
Lo-seng tertawa rawan. "Benar, apabila dalam malam ini aku dapat membasmi Puteri Neraka, matipun aku sudah puas."
"Siau toako," teriak Hun-ing. "jalan pikiran itu salah. Walaupun yang berada di sini, orang-orang penting dari
Lembah Kumandang dan Ban-jin-kiong, tetapi mereka bukanlah tokoh pimpinannya. Taruh kata malam ini
mereka dapat engkau hancurkan tetapi Jin Kian Pah-cu dan ketua istana Ban-jin-kiong itu tetap masih
hidup. Dalam sepuluh tahun kemudian mereka akan mampu menempa manusia-manusia tanpa nyawa
seperti sekarang ini. Maka yang penting kalau mau membasmi gerombolan itu, basmilah pemimpinnya.
Hancurkanlah Jin Kian Pah-cu dan kepala istana Ban-jin-kiong. Kurasa lebih baik Siau toako jangan
sembarangan mengorbankan jiwa secara sia-sia."
Uraian nona itu telah membuat wajah Lo-seng berobah. Diam-diam ia menimang: "Kata-kata Hun-ing itu
memang benar. Apabila dalam malam ini kutelan habis semua pil beracun itu, walaupun dapat
menghancurkan Puteri Neraka dan barisan Sip-hun-jin, tetapi akupun tentu akan kehilangan kesadaran.
Mungkin juga akan menderita putus urat nadi dan mati. Apakah aku bukan?""
Belum selesai ia merenung, tiba-tiba Hiat Sat Mo-li kedengaran berseru: "Im-kiam-li, mengapa engkau tak
balas menyerang" Hendak menunggu sampai kapan?"
Rupanya karena jemu melihat Puteri Neraka hanya bergeliatan menghindari serangan ia berseru memberi
perintah. dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba bola mata Puteri Neraka berkilat-kilat tajam sekali. Secepat kitat ia terus menyerang lingkaran
pertama dari barisan Sip-hun-jin yang terdiri dari empat orang.
Keempat orang aneh yang mengenakan kerudung muka hitam itu, berdiri pada empat jurusan. Jago silat
yang bagaimanapun saktinya tak mungkin sekali gus dapat menghancurkan mereka berempat. Tetapi
ternyata serangan Puteri Neraka itu memang sekali gus dilontarkan serempak ke arah empat penjuru.
Sesaat terdengar jeritan ngeri dan keempat orang aneh itu terlempar ke udara.......
Bagaikan ular menari, maka Puteri Neraka pun berputar-putar tubuh dan menghamburkan pukulan maut ke
arah ketigabelas barisan Sip-hun-jin.
Terdengar susul menyusul jeritan ngeri tetapi suatu peristiwa anehpun telah muncul. Setelah berhamburan
terlempar ke udara, ketigabelas barisan Sip-hun-jin itupun meluncur dan menempati kembali tempatnya
semula. Mereka tetap mengepung Puteri Neraka.
Siau Lo-seng dan Hun-ing terkejut menyaksikan kejadian yang luar biasa itu.
"Siau toako, betapakah kekuatan dari pukulan Im-kian-li itu," tanya Hun-ing.
"Berpuluh ribu kati beratnya dan mampu menghancurkan karang," sahut Lo-seng.
"Aneh," gumam Hun-ing, "apakah mereka terbuat dari baja?"
Lo-seng menghela napas. "Memang di dunia ini penuh dengan hal yang aneh. Ketika di pekuburan akupun juga telah menggunakan
duabelas bagian tenaga dalam untuk menempurnya. Tetapi tak mampu menghancurkannya, ah......"
"Ya, memang lebih baik kita mundur dulu," kata Lo-seng pula, "silahkan paman Pek Wan dan Ui Pangcu
berjalan di muka dan aku yang di belakang untuk menahan serangan Puteri Neraka apabila dia mengejar."
Pek Wan Taysu dan Hun-ing segera melesat ke pintu guha. Di pintu itu ke delapan pengawal baju biru dari
Hiat Sat Mo-li masih menjaga. Cepat mereka berhamburan menghadang jalan.
"Yang menghadang, pasti hancur. Yang menyisih tentu selamat," seru Hun-ing.
Sambil berkata Hun-ing menyelinap ke dalam pedang lawan. Sekali menyambar ia berhasil merebut
sebatang pedang dan "sring......" terdengarlah jeritan ngeri...... dua orang pengawal baju biru rubuh dalam
genangan darah. Sekali Pek Wan Taysu kebutkan lengan jubah, dua orang pengawal yang hendak menyerangnya pun
terlempar keluar. Melihat Pek Wan Taysu dan Hun-ing segera akan dapat menerobos keluar, dengan melengking tinggi Hiat
Sat Mo-li enjot tubuh dalam gerak Bintang jatuh mengejar bulan, melambung terus meluncur menghadang
Hun-ing. Tetapi serempak saat itu. Lo-seng tertawa dingin dan loncat memburu. Hiat Sat Mo-li terkejut.
"Im-kian-li......" serentak ia berteriak keras.
"Hm, rupanya engkau ingin menjadi semacam Im-kian-li. Akan kupenuhi keinginanmu," dengus Lo-seng.
Ia menutup kata-katanya dengan melontarkan sebuah hantaman ke arah nona itu. Tetapi pada saat itu juga,
dari arah belakang Lo-seng terdengar desir angin menyambar.
Tanpa berpaling muka, Lo-seng sudah dapat menduga bahwa yang datang itu tentu Puteri Neraka.
Terpaksa ia tarik pulang pukulannya dan terus loncat ke muka sembari menghantam dengan kedua
tangannya. Tetapi kembali Puteri Neraka itu mengangkat tangan untuk menyedot tenaga pukulan Lo-seng.
Lo-seng terkejut dan cepat hendak menarik pukulannya tetapi terlambat. Saat itu ia rasakan suatu
gelombang tenaga membalik yang menuju ke arahnya.
Lo-seng menyadari bahwa apabila ia berkeras hendak adu pukulan, tentu akan menderita luka lagi. Cepat ia
lepaskan pengerahan tenaga dalam dan membiarkan dirinya dibawa terbang oleh arus tenaga yang
dipentalkan oleh Puteri Neraka. "Wut......" ia terlempar sampai tujuh-delapan tombak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekalian orang terkejut tetapi pemuda itu yang paling terkejut sendiri. Karena begitu ia menginjak bumi,
Puteri Neraka sudah berada beberapa langkah dihadapannya. Sepasang bola mata wanita itu berkilat-kilat
ngeri memandang Lo-seng. Pelahan-lahan wanita itupun mengangkat tangan kanannya......
Lo-seng marah sekali. Sebelum wanita itu melancarkan pukulan, iapun cepat mendahului memukul dada
wanita itu. Dan tangan kanannya melentikkan ilmu tutukan jari Han-sim-ci, menutuk dua buah jalan darah
Puteri Neraka. Tetapi serempak pada saat Lo-seng bergerak Puteri Neraka pun juga bergerak, mencengkeram lengan kiri
Lo-seng yang hendak memukul dadanya.
Seketika Lo-seng rasakan lengan kirinya kesemutan. Ia terkejut. pikirnya: "Huh, ilmu apakah yang
digunakan itu, mengapa belum pernah kulihat?"
Dalam berpikir itu Lo-seng tetap melanjutkan tutukan jarinya. Kedua jarinya pun sudah menyentuh kulit
Puteri Neraka. Tetapi tiba-tiba wanita itu melengking nyaring dan menyurut ke belakang sampai empat
langkah. Memang jari Lo-seng berhasil menyentuh kulit si wanita tetapi seketika itu ia rasakan tuhuh wansia itu
memancarkan tenaga balik yang kuat. Pemuda itu terkejut terus menyurut mundur
"Ui Pangcu, paman Pek Wan, lekas lari," kata Lo-seng. Ternyata kedua orang itu masih berada di situ
karena kuatir Lo-seng menderita luka.
Sejenak tertegun karena menderita tutukan jari Lo-seng, Puteri Neraka pun terus menyerbu lagi.
Untunglah pada saat itu Lo-seng sudah mendapat daya untuk menghadapi wanita ganas itu. Ia menyadari
bahwa Puteri Neraka itu memiliki daya tahan dan tenaga yang luar biasa. Jauh melebihi orang biasa.
Betapapun dihantam dengan pukulan sakti, tetap tak dapat melukai wanita itu. Satu-satunya jalan hanyalah
menggunakan jurus-jurus istimewa dari ilmu silat tinggi. Wanita itu sudah kehilangan kesadaran pikirannya.
Dalam menghadapi serangan, dia tentu kurang cepat dapat menanggapi.
Demikian setelah menentukan rencana, Lo-seng pun segera gunakan jurus-jurus serangan cepat. Dalam
beberapa kejap saja ia sudah lancarkan sepuluh jurus serangan dan menggunakan berpuluh macam aliran
ilmu silat yang istimewa.
Tepat juga perhitungan Lo-seng. Menghadapi serangan yang aneh itu. Puteri Neraka memang tak mampu
balas menyerang. Dan pada suatu kesempatan, Lo-seng pun berhasil sekali melancarkan tiga buah pukulan. Selain luar biasa
cepatnya pun serangan itu serempak dilancarkan dari tiga arah. Puteri Neraka kewalahan dan terpaksa
menyurut mundur beberapa langkah.
"Im-kian-li, kemarilah!" tiba-tiba Hiat Sat Mo-li memanggil.
Dalam pada itu terdengar pula suara tertawa dingin dari Giok-hou yang berkata kepada si orang tua
bungkuk: "Long Tian-cu, asal dapat merampas Kim-teng di tangan nona itu, kita tentu dapat memberi
perintah kepada Im-kian-li!"
Im-kian-li pun cepat berputar tubuh dan terus meluncur pergi. Gerakan tubuhnya yang mirip dengan ilmu
meringankan tubuh Teng-gong-hui-heng (berjalan di udara) itu, menyebabkan Lo-seng menghela napas
panjang. 07.34. Keputusan Minum Pil Racun Terakhir
"Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki wanita itu, cepatnya seperti burung terbang. Sukar untuk
menandinginya......"
"Siau toako, mari cepat pergi. Kalau tidak Hiat Sat Mo-li tentu akan menyuruhnya mengejar kita lagi," seru
Hun-ing. Kali ini Lo-seng menurut. Demikian dengan gunakan ilmu gin-kang atau meringankan tubuh, mereka bertiga
segera menerobos lari keluar.
Setengah jam kemudian mereka pun tiba di pegunungan yang lebat puncaknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Siau toako, apakah engkau sudah bertemu dengan Nyo Jong-ho?" tiba-tiba Hun-ing bertanya.
Pek Wan Taysu menghela napas: "Ah, Nyo loenghiong sudah meninggal......."
Paderi Siau-lim itu segera menuturkan apa yang telah terjadi.
"Apakah nona Nyo sudah mengetahui kalau pembunuh ayahnya itu Giok-hou sendiri?" tanya Hun-ing.
"Karena Lo-seng kuatir nona itu akan bersedih, dan karena belum berani memastikan bahwa Giok-hou itu
pembunuhnya maka Lo-seng pun belum memberitahu kepada nona Nyo," jawab Pek-wan.
Kemudian paderi itu berpaling ke arah Lo-seng: "Lo-seng, baiklah engkau bersama Ui Pang-cu kembali ke
Lok-yang. Aku sendiri segera akan kembali ke gereja Siau-lim-si untuk melaporkan peristiwa ini kepada
Ciang-bun-jin." Lo-seng menghela napas. "Paman, tak perlu paman pulang. Dalam beberapa hari ini banyak persoalan yang ingin kurundingkan
dengan paman," katanya.
"Soal apa"' "Soal setelah aku mati," kata Lo-seng.
Mendengar itu Pek Wan Taysu seperti dipagut ular kejutnya: "Seng-ji, benarkah engkau tak kan hidup
lama?" Lo-seng tertawa hambar. "Paman Pek Wan," katanya, "kalau saat ini tak kukatakan, tentu kalian masih belum percaya."
"Benar, memang kita takkan percaya di dunia terdapat keanehan semacam ini. Minum racun tetapi tidak
mati." Hun-ing menyeletuk, "maaf, Siau toako, aku memang menyangsikan bahwa yang engkau minum itu bukan
obat racun." "Akupun juga tak pernah mendengar bahwa racun dapat mengembangkan daya kekuatan," Pek Wan Taysu
ikut menambahi. "Memang tak salah kalau kalian tak percaya," kata Lo-seng, "tetapi hal itu memang nyata. Cobalah
renungkan, andaikan kata kalian belum menyaksikan sendiri seorang mayat hidup seperti Puteri Neraka dan
barisan manusia tanpa nyawa dari istana Ban- jiu-kiong itu, tentulah kalian tak percaya bahwa di dunia
terdapat keanehan semacam itu......."
Diam-diam Hun-ing teringat bahwa suhunya pernah mengatakan hendak menempa seorang Puteri Neraka.
Tetapi kala itu ia tak percaya.
"Soal aku meminum racun untuk melawan penyakitku samalah halnya dengan cara-cara untuk melatih
seorang Puteri Neraka yang disebut mumi itu," kata Lo-seng pula, "memang mencipta sebuah mumi itu
sukar sekali. Tetapi racun untuk mengembangkan tenaga, memang terdapat juga dalam ilmu pengobatan."
"Benar," akhirnya Hun-ing berkata, "memang kurasa Puteri Neraka itu berumur sekitar duapuluh enam
tahun......" "Menilik kepandaian Puteri Neraka itu, dahulu dia tentu sudah memiliki ilmu silat yang sakti," kata Lo-seng.
"Mengapa?" tanya Hun-ing.
"Menciptakan seorang mumi, termasuk suatu ilmu Hitam. Seorang mumi dapat ditempa menjadi semacam
mayat hidup yang tak punya kesadaran pikiran dan bertubuh baja. Tetapi sukar untuk membentuk tenaga
dalam pada mumi itu. Memang barisan Sip-hun-jin itu kalah sakti dengan Puteri Neraka. Tetapi mereka pun
bertubuh sekeras baja seperti Puteri Neraka itu. Maka kupastikan, sewaktu masih menjadi wanita biasa,
Puteri Neraka itu tentu seorang tokoh sakti."
"Kalau benar begitu mengapa kita tak tahu siapa dia?" tanya Hun-ing.
Lo-seng menghela napas. dunia-kangouw.blogspot.com
"Puteri Neraka itu bukan tokoh silat jaman sekarang," katanya.
Hun-ing heran. Puteri Neraka itu lebih kurang baru berumur duapuluh enam. Mengapa dikatakan bukan
manusia jaman sekarang"
Tiba-tiba Lo-seng berpaling kepada Pek Wan Taysu: "Paman, kurasa soal ini mempunyai sangkut paut
dengan soal obat racun yang kuminum."
"Soal apa yang engkau maksudkan?"
"Kurasa ilmu aneh yang dimiliki Jin Kian Pah-cu dan kepala istana Ban-jin-kiong, dengan pengetahuanku
tentang ilmu Mumi itu, rasanya berasal dari satu sumber," kata Lo-seng.
"Apa?" Hun-ing terkejut, "obat racun yang Siau toako minum itu juga semacam obat untuk merobah diri
menjadi mumi......" Lo-seng tertawa rawan: "Benar, aku hendak menjadi mumi kalian. Ketika di lembah gunung pernah
kukatakan kepada Bok-yong Kang bahwa begitu obat racun itu habis kuminum semua, aku tentu akan
menjadi seorang manusia yang tak punya kesadaran pikiran lagi
"Siau toako, mengapa engkau lakukan hal itu"..," Hun-ing berseru dengan nada sedih.
"Terpaksa, pangcu," sahut Lo-seng, "hanya dengan cara itu aku takkan lenyap. Walaupun aku menjadi
seorang mumi yang tak punya kesadaran pikiran, tetapi aku tetap dapat hidup dan menyelesaikan dendam
darah keluargaku." "Siau toako," kata Hun-ing penuh haru, "cara yang engkau tempuh itu berarti merusak jiwamu sendiri. Aku
tak percaya di dunia ini tiada terdapat obat yang dapat menyembuhkan penyakitmu."
"Ui Pangcu," sahut Lo-seng," engkau mungkin tak tahu siapakah guruku itu" Karena itu engkaupun tak tahu
bagaimana keadaan penyakitku. Ya, penyakitku itu tak mungkin diobati lagi. Kalau bisa, masakan guruku
Pemburu jejak Ban Li-hong tak mampu mengobati?"
"Apa" Suhu toako itu Ban Li-hong locianpwe?" seru Hun-ing terkejut.
Ban Li-hong itu seorang pencuri sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan pada masa
empatpuluh tahun berselang. llmusilatnya, tiada yang mampu menandingi. Dan lagi diapun pandai dalam
ilmu pengobatan. "Guruku itu telah mengumpulkan kitab-kitab pusaka ilmu silat dari berbagai aliran, ilmu pengobatan, ilmu
perbintangan dan lain-lain ilmu yang hebat. Dia sudah mempelajari, semua kitab, tetapi tak ada satupun
yang memuat tentang resep obat untuk mengobati penyakitku?" Hanya dalam kitab yang berjudul Lianhun-cin-keng (Kitab menempa roh), dia menemukan ilmu membuat mumi dan mencobakan pada diriku?""
Berhenti sejenak Lo-seng melanjutkan pula:
"Tadi kukatakan bahwa ilmu yang dimiliki Jin Kian Pah-cu dan kepala Ban-jin-kiong itu berasal dari sumber
yang sama dengan ilmu yang kumiliki. Kuduga mereka masing-masing tentu mempunyai kitab Lian-hun-cinkeng."


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa begitu?" tanya Hun-ing.
"Pada halaman pertama dari kitab Lian-hun-cin-keng, suhuku menulis bahwa kitab itu sebenarnya terdiri
dari tiga jilid. Yang di tangan suhu hanya satu jilid. Suhupun menulis bahwa ia penasaran karena tak dapat
memperoleh kedua jilid itu. Demikian catatan pada kitab peninggalan suhu. Menilik hal itu jelas kitab Lianhun-cin-keng itu dahulu pernah menimbulkan pertumpahan darah besar di dunia persilatan."
Tiba-tiba Pek Wan Taysu berseru: "Kalau begitu kematian ayahmu itupun tentu dicelakai orang karena
peristiwa kitab Lian-hun-cin-keng."
"Apa?" Lo-seng terkejut.
"Seng-ji," kata Pek Wan Taysu, "kalau engkau tak menceritakan tentang kitab Lian-hun-cin-keng itu, akupun
hampir lupa akan sebuah peristiwa."
"Kuingat dahulu ayahmu pernah berkata kepadaku," kata paderi itu lebih lanjut, "bahwa dia telah berhasil
mendapatkan sebuah kitab pusaka yang berjudul Lian-hun-cin-keng. Tetapi kala itu aku tak menanyakan
lebih lanjut. Dan berpuluh tahun kemudian akupun lupa akan peristiwa itu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Jika demikian jelas yang membunuh ayah itu tentulah orang-orang Lembah Kumandang atau istana Banjin-kiong," pikir Lo-seng.
"Menurut kesimpulan," kata Pek Wan Taysu pula, "pembunuhan ayahmu itu tentu akibat dari kitab Lian-huncin-keng juga."
Lo-seng menghela napas rawan.
"Hidupku tak lama lagi," kata anak muda itu dengan nada rawan, "soal menuntut balas dendam keluargaku
terpaksa kuserahkan kepada paman."
"Siau toako, sampai kapankah pil beracun yang ada padamu itu akan habis?" tiba Hun-ing menyelutuk.
"Memang sekarang ini aku hendak memberitahukan tentang hal itu," kata Lo-seng, "mungkin dalam tujuh
hari lagi sisa persedian pil itu akan kutelan habis."
"Mengapa begitu cepat!" teriak Pek Wan Taysu terkejut.
Lo-seng memandang kepada kedua orang itu, katanya: "Sekarangpun kalau mau aku dapat menelan habis
semua pil itu......"
"Siau toako, bukankah engkau dapat bertahan hidup sampai berpuluh hari lagi sebelum pil itu habis?" tanya
Hun-ing. "Ui Pangcu," kata Lo-seng dengan senyum hambar, "lambat atau cepat akhirnya pil itu harus kutelan habis.
Perlu apa aku harus memperpanjang hidup apabila hanya untuk menderita saja?"
Kata-kata pemuda itu bagaikan sembilu yang menyayat hati si nona.
"Ah, Siau toako, mengapa engkau tak tahu isi hatiku kepadamu. Aku tak ingin engkau menjadi seorang
mumi?" karena aku cinta kepadamu......" Hun-ing meratap dalam hati.
"Ui Pangcu, aku telah mengambil keputusan untuk menghabiskan pil itu dalam waktu tujuh hari lagi," kata
Lo-seng. "Setelah pil itu habis, lalu bagaimanakah keadaanmu?" tanya Hun-ing dengan nada penuh kecemasan. Ia
sudah tahu namun masih ingin mencari penegasan lagi.
"Setelah pil itu kutelan habis, kesadaran pikiranku pun lenyap. Pada saat itu, kalian harus membuat aku
mencurahkan pandang kepada sebuah alat untuk menguasai diriku. Panggillah terus namaku sampai aku
nanti rubuh. Setelah itu masukkanlah mayatku ke dalam sebuah peti mati. Tunggulah peti mati itu sampai
tujuh hari tujuh malam. Kemudian panggillah namaku. Kalau aku bangun, saat itu aku sudah menjadi
seorang mumi." Mendengar keterangan itu bercucuranlah air mata Hun-ing.
"Ah, betapa mengenaskan hal itu......"
Namun Lo-seng tak menghiraukan dan terus melanjutkan keterangan lagi.
"Saat itu walaupun kesadaran pikiranku hilang tetapi tubuhku masih hidup. Dan hanya dengan cara itu
barulah kita dapat menghadapi pihak Lembah Kumandang dan istana Ban-jin-kiong. Tanpa pengorbanan
itu, kaum persilatan aliran Putih tentu akan hancur binasa di tangan Puteri Neraka. Untuk menolong dunia
persilatan dari kehancuran, Siau Lo-seng rela berkorban......"
Airmata Hun-ing makin berderai-derai mencurah deras. Demikian pula dengan Pek Wan Taysu.
"Dan pesanku yang terakhir," kata Lo-seng lagi, "setelah kawanan durjana itu terbasmi, kalian harus lekaslekas hancurkan diriku. Kalau tidak, aku tentu akan menjadi momok pembunuh yang ganas!"
"Sungguh seperti sebuah impian yang tak mungkin orang mau percaya," akhirnya Hun-ing berkata dengan
rawan. "Waktu tujuh hari itu dengan cepat segera akan tiba," kata Lo-seng, "maka lebih baik sebelumnya kita sudah
mengadakan persiapan. Mari kita cari sebuah tempat yang sepi."
"Siau toako, mengapa engkau tak mau memperpanjang hidupmu?" seru Hun-ing dengan haru.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sehari memperpanjang hidup, berarti sehari akan menambah jumlah korban kaum persilatan di tangan
Puteri Neraka," jawab Lo-seng, "sekarang sebelum Jin Kian Pah-cu mulai bergerak lebih baik kita
mendahului bersiap."
Baik Pek Wan Taysu maupun Hun-ing tak ingin melihat seorang pemuda yang berbakat seperti Siau Loseng akan mengalami nasib yang begitu mengenaskan. Tetapi kedua orang itu tak berdaya mencari lain
cara untuk menyelamatkan Lo-seng dan dunia persilatan.
Diam-diam Pek Wan Taysu berdoa mohon ampun kepada arwah ayah Lo-seng bahwa ia telah tak berhasil
menyelamatkan puteranya. Hun-ing pun berdoa dalam hati: "Siau toako pengorbananmu yang perwira itu, tentu akan hidup abadi dalam
kenangan kaum persilatan. Jangan kuatir Siau toako. Pada saat dunia persilatan sudah aman dan kaum
durjana sudah terbasmi, pada hari itulah aku tentu akan menemani engkau bersama-sama menuju ke
gerbang Nirwana......"
"Sudahlah Ui Pangcu, janganlah engkau bersedih untuk diriku," kata Lo-seng, "soal itu memang sudah lama
kurencanakan. Semula aku hendak minta kepada saudara Bok-yong Kang untuk melaksanakan pesanku
ini. Tetapi sampai saat ini ternyata dia tak ketahuan dimana jejaknya. Maka kuminta engkaulah Ui Pangcu,
yang melaksanakan hal itu. Apakah Ui Pangcu mau meluluskan?"
Mendengar pertanyaan Lo-seng, girang-girang sedihlah hati Hun-ing. Sedih karena pemuda yang
dicintainya itu akan mati. Girang karena ia mendapat kepercayaan untuk melaksanakan pesan Lo-seng.
Dengan airmata berlinang-linang, Hun-ing pun mengangguk.
"Siau toako, di bawah kesaksian langit dan bumi, aku Ui Hun-ing akan tetap mendampingi Siau toako untuk
membasmi kaum iblis durjana. Apabila hatiku sampai bercabang, biarlah aku ditumpas Thian!"
Lo-seng tersenyum. "Jika demikian, akan kubawa budi kebaikan nona itu sampai akhir hayatku. Ui Pangcu, lalu dimanakah
engkau hendak memilih tempat untuk mempersiapkan rencana kita itu?"
"Soal ini menyangkut nasib dunia persilatan," kata Hun-ing, "seharusnya kita memilih tempat yang aman
dan rahasia untuk melaksanakan hal itu. Tetapi mengingat bahaya yang mengancam dunia persilatan
sudah di depan mata maka kita tak boleh mengulur waktu lebih panjang lagi. Bagaimana kalau kita
mengambil tempat di kuil tua sebelah muka itu?"
"Baik, mari kita ke sana," kata Lo-seng.
Maka dengan gunakan ilmu berlari cepat, mereka bertiga segera menuju ke arah barat laut. Hanya dalam
sepeminum teh lamanya, merekapun sudah tiba di kuil tua itu.
Sambil melangkah ke dalam ruang kuil, Lo-seng berkata: "Ui Pangcu, tempat ini harus dijaga dengan ketat!"
Hun-ing memang menyadari hal itu. Kalau dalam waktu tujuh hari tujuh malam sampai timbul gangguan dari
orang luar, pastilah rencana itu akan gagal.
"Kalau rahasia ini dapat dijaga dengan rapat, tentu takkan menimbulkan hal yang tak diinginkan. Dan oleh
karena menyangkut kepentingan dunia persilatan maka kitapun terpaksa harus berusaha sekuat tenaga,"
Lo-seng memberi peringatan pula.
Berkata Hun-ing: "Jika mengerahkan tokoh-tokoh persilatan untuk menjaga tempat ini, tentu akan
menimbulkan kecurigaan, mengundang perhatian musuh. Tetapi kalau hal ini dilakukan secara diam-diam,
apabila pihak Lembah Kumandang dan istana Ban-jin-kiong mengetahui lalu menyerang sudah jelas aku
dan Pek Wan Taysu tentu tak mampu melindungi......"
"Lalu bagaimana baiknya menurut pendapat Ui Pangcu," kata Lo-seng.
Nona itu balas memandang Lo-seng, katanya: "Kurasa Siau toako tentu sudah menemukan suatu jalan
yang baik......" Tiba-tiba wajah Lo-seng berobah tegang dan berseru bisik-bisik: "Ada orang datang. lekas kita
bersembunyi." Hun-ing dan Pek Wan Taysu terkejut. Ketika mengerahkan pendengaran, memang benar di luar kuil
terdengar derap langkah orang berjalan cepat ke arah kuil.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cepat ketiga orang itu melayang ke atas tiang penglari di ruang belakang. Dari tempat itu mereka dapat
melihat ke dalam ruang besar.
Sesaat kemudian muncullah seorang kakek bungkuk diiring oleh tigabelas orang lelaki berpakaian dan
berkerudung muka kain hitam. Kemudian yang terakhir yalah Li Giok-hou. Menilik keadaannya mereka
seperti habis bertempur. Begitu masuk kakek bungkuk dan Giok-hou kedengaran menghela napas longgar
dan terus duduk di lantai.
Kemudian kedengaran si kakek bungkuk mengangkat muka, menghela napas dan berkata: "Aku Long Wi,
telah mendapat penghargaan besar dari Kiong-cu (kepala istana) dan diangkat sebagai kepala paseban
Lian-gak-tian dari istana Ban-jin-kiong. Tetapi sungguh tak terduga begitu datang di Lok-yang aku telah
Darah Dan Cinta Di Kota Medang 17 Perempuan Paris Karya Motinggo Busye Darah Monster 2

Cari Blog Ini