Lupus Idiih Udah Gede Bagian 1
LUPUS - IDIIH, UDAH GEDE Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
Bab 1 ""YIHAAA!"
Hampir berbarengan suara itu meledak di pelataran SMA Merah Putih. Pagi yang dingin, tapi sekejap berubah semarak oleh sorak-sorai anak-anak kelas 3 yang berkerumun di papan pengumuman lulus ujian anak-anak SMA Merah Putih. Sekumpulan burung gereja yang sejak lama membuat sarang di atas cerobong air, berhamburan terbang saking kagetnya. Seiring lonjakan gembira anak-anak yang sudah memastikan diri lulus.
Ya, sepanjang pagi tadi mereka udah tegang banget nungguin papan keramat itu dibawa keluar. Mereka bergerombol, ngerumpi, deg-degan, dorong-dorongan, jambak-jambakan, senggol-senggolan, pokoknya kanibal banget! Itu karena, konon tersebar isu bahwa tahun ini murid tidak lulus seratus persen. Nah, jadi wajar dong kalo mereka tegaang banget. Makanya setelah tau bahwa ternyata mereka bukan termasuk yang gak lulus, mereka girang setengah mati. "Melonjak-lonjak mengekspresikan perasaan mereka yang sukar dilukiskan.
Lupus, begitu tau namanya tertera sebagai murid yang lulus, kontan mengepalkan kedua tangannya di udara, menari-nari kegirangan sambil berlari keliling lapangan. Disusul Anto, Gito, Aji, Ruri, lalu temen-temen lainnya. Gak ketinggalan si artis kapiran, Fifi Alone.
Lupus malah sempet buka baju segala, dan melemparkan ke udara. Sebelum jatuh, Gito yang tangkas udah keburu menjambretnya. Lalu membawa lari keliling lapangan. Tinggal Lupus yang kelabakan. Mokal bodinya yang ceking mekingking jadi tontonan orang. Ia pun setengah mati mengejar-ngejar Gito.
"Hei, Dodol, kembaliin baju gue!" teriak Lupus.
Gito malah ketawa cekikikan. Kemudian melontarkan baju itu ke arah Anto. Anto menyambutnya, sebelum akhirnya membawa lari baju itu ke sudut lapangan.
Lupus makin keki. "Ayo kejar, Pus!" ejek Anto dari kejauhan.
"Hei, kembaliin, dong. Pada ngocol nih!" Lupus menjerit setengah putus asa.
Meta, Ita, Utari yang sempet ngeliat Lupus ber'bugil-ria' menjerit tertahan sambil menutup muka, "Aiiih, syereeeem!" Tapi matanya pada mengintip dari sela-sela jari mereka.
"Bodi apa papan penggilesan, tuh!"
"Ih, tega lo. Masa segitu kerennya dibilang papan penggilesan" Bukan dong, itu kan gergaji! Hihihi..."
"Badan kok selembar""
"Yeee, bolehnya pada sirik! Biar kurus tapi kan seksi!" tangkis Lupus, sambil kembali mengejar Anto. Diem-diem dia mokal berat telanjang dada begitu.
Sementara Anto udah mengoper baju ke arah Aji, dan Aji langsung menyembunyikannya di semak-semak.
"Hei, mo' dikemanain baju gue"" tanya Lupus sekonyong-konyong, setelah sadar bahwa bajunya udah gak dipegang Anto lagi.
"Cari aja, ntar juga ketemu."
"Sompret kalian!" Lupus terus memaki-maki. Anak-anak malah makin ketawa riang ngeliat tingkah Lupus yang jadi lucu. BiI1gung, kayak orang kebakaran jenggot. Sibuk sendiri nyariin bajunya di antara semak-semak. Untung ketemu. Tapi pas dipake, mendadak terasa sesuatu yang menggigit-gigit sekujur badannya, dan...
"Yaaaaiiii!!!" Lupus menjerit kesakitan sambil buru-buru melepas kembali bajunya. Ya, ternyata banyak semut-semut nakal menempel di bajunya.
Lupus makin misuh-misuh sama anak-anak yang tertawa terpingkal-pingkal.
*** Tapi suasana ceria itu tentu gak terganggu
hanya karena peristiwa konyol tadi. Buktinya beberapa saat kemudian, Lupus sudah kembali bergabung dengan anak-anak lainnya yang juga lulus. Saling menandatangani baju. Ada yang pake spidol, ada yang pake pylox, dan ada juga yang pake lipstick. Yang pake lipstick, siapa lagi kalo bukan artis kita Fifi Alone" Tapi, emangnya Fifi lulus" Nah, dia emang patut dicurigai kalo lulus. Anak yang punya penyakit aphasia alias salah ngomong melulu itu, nilai-nilai ujiannya kan banyak yang amblas"
Wah-tapi gak tau, deh. Kita gak bisa berkomentar banyak mengenai hal ini. Soalnya, ada yang bilang Fifi Alone itu nyogok biar bisa lulus. Dia kan orang kaya. Bapaknya, denger-denger, termasuk konglomerat. Jadi gak ada yang sulit buat dia.
"Fifi, sini rambut kamu kita cat biar kayak orang bule," ujar Lupus sambil langsung menyemprotkan pylox mer
ahnya ke kepala Fifi, srrrttttt!
"AAAW!" Fifi Alone menjerit tertahan. Tapi sedetik kemudian, sebagian anak lainnya juga menyemprot dengan warna-warna centil lainnya. Jadilah warna rambut Fifi Alone berwarna-warni centil.
Lalu sekejap kemudian, semua anak pun saling menyemprotkan pylox ke rambut dan baju teman-temannya. Semua kena, semua pasrah. Rasanya begitu bebas, lepas, dari beban kurikulum yang selama ini mengimpit. Beban aturan-aturan sekolah yang menjemukan; gak boleh ngeluarin baju seragam, gak boleh bawa makanan ke dalam kelas, gak boleh melompat pagar, gak boleh bermain voli di dalam kelas, gak boleh tidur saat guru menerangkan, gak boleh nyontek saat ulangan, gak boleh mengganti baju olahraga di depan kelas, gak boleh mencorat-coret dinding, gak boleh masuk ke kamar kecil cewek bagi cowok-cowoknya, gak boleh menyanyikan lagu Guns n' Roses saat upacara bendera, dan seabrek peraturan lainnya. Makanya hari ini, hari hancurnya belenggu itu, dirayakan semeriah mungkin oleh anak-anak.
Tapi, di mana Boim" Anak itu tak nampak ikut bersenang-senang dengan Lupus dan kawan-kawannya. Apa dia gak lulus"
Ya, wajar juga sih kalo tu' anak' kagak lulus. Waktu ujian aja, dia yang paling sibuk banget nyari bocoran dan contekan dari temen-temennya. Pernah sekali dikerjain sama Lupus. Pas ujian fisika, baru sepuluh menit berlangsung, wajah Boim sudah nampak pasrah. Ia bersuit-suit memanggil Lupus yang duduk gak jauh dari dia. "Pus, tulisin gue nomor satu, dong!" desah Boim.
"Berapa" Nomor satu""
Boim mengangguk penuh harap-harap cemas.
"0, itu sih gampang," tulis Lupus sambil menulis sesuatu di secarik kertas. Gak berapa lama, kertas itu langsung ditimpukkan ke arah Boim. Tepat kena idungnya. Boim serta-merta memungut, dan membuka dengan perlahan. Tapi betapa bengongnya ia ketika tau yang tertulis di situ cuma angka 'satu' aja.
"Pus, kok yang ada cuma tulisan angka 'satu' aja" Mana jawaban soalnya"" Boim protes.
"Lho, elo kan tadi cuma minta ditulisin nomor 'satu' aja. Itu apa bukan angka 'satu' yang gue tulis""
Boim bengong. Makanya anak-anak curiga kalo Boim itu gak lulus.
Tapi, apa iya" Ya, kita liat aja. Ternyata sejak pagi tadi, si Boim udah menghadap Ibu Biologi yang jadi wali kelasnya. Ia memang dipanggil, karena ada tanda-tanda gak lulus.
Boim jelas panik. Dengan akal kadalnya, ia berusaha meyakinkan Ibu Biologi, "Wah, gawat deh, Bu, kalo saya sampe gak lulus. Gawat. Ngeri. Syerem. Seru. Tegang."
"Apanya yang gawat"" tanya Ibu Biologi acuh tak acuh sambil membenahi kertas-kertas ijazah yang baru ia periksa.
"Anu, Bu. Kalo saya gak lulus, orangtua saya bisa setep. Soalnya sayalah satu-satunya yang diharapkan bisa gak mengikuti jejak Babe yang jadi tukang ketupat, Bu. Mereka ngarepin betul saya jadi dokter, Bu. Lha, gimana saya bisa jadi dokter kalo lulus SMA aja enggak" Tolong, deh, Bu. Mau kan, Bu" Mau deh...," bujuk Boim.
"Ibu Biologi jadi kesel juga digerundelin Boim kayak gitu. "Kamu ini apa-apaan, sih. Makanya kalo di sekolah itu belajar yang rajin. Jangan main melulu!" bentak Ibu Biologi hilang kesabarannya.
"Ya, Ibu. Masa ngelulusin saya aja gak mau. Lulusin, deh!" Boim pantang'menyerah.
"Lulus dengkulmu!" akhirnya ia gak tahan juga menghadapi anak gokil yang satu ini. "Sana urus sama Pak Jumadi! Ibu ada perlu dengan Bapak Kepala Sekolah...." Serta-merta Ibu Biologi meninggalkan Boim.
Tinggal Boim melongo sendirian. Tapi dasar tu' anak muka badak, ia pun melanjutkan serangan ke Pak Jumadi, guru matematik yang ngomongnya cempreng banget. Mungkin mau niru-niru pengajar matematika yang di tipi.
"Halo, Pak Jumadi, kawan baik saya. Lagi sibuk, ya" Kok nampaknya serius sekali," sapa Boim memasang muka ramah.
"Udah, langsung aja bilang apa maumu. Tak usah merayu," ketus jawaban Pak Jumadi.
"Aduh, Bapak jangan galak begitu, dong. Saya cuma mau tanya, apa saya lulus""
"Kamu Boim, kan""
"Iya. Gimana" Lulus""
"Kamu gak usah khawatir...," suara Pak Jumadi me1embut.
"Jadi, maksud Bapak saya lulus"" Mata Boim berbinar. "Cihuuui!"
"Lulus congormu! Maksud Bapak, selama "guru-guru di sini belon pada gila,
pokoknya kamu jangan khawatir lulus, deh!"
"Aduh, jelasnya gimana, Pak""
"Lha, kamu sendiri kan tau guru-guru di sini belum pada gila......
"Jadi... saya..." Boim ragu-ragu ngomong.
"Nggak lulus!" serobot Pak Jumadi.
"Aduh, Maaak, mati gue! Mati saya, Pak Jumadi. Wah, Pak Jumadi tega bener. Masa saya gak lulus, sih" Kasihan saya dong, Pak. Lulusin saya, dong. Aduh, Bapak ini gimana, sih"" Boim jadi ribut bener.
"Tak bisa. Soalnya nilai kamu tak mendukung, sih!"
"Tapi kalo saya gak lulus, Bapak tau apa yang bakal terjadi""
"Lho, kenapa dipikirin amat" Itu bukan urusan saya, tho""
"Wah, gawat dong kalo begitu...."
"Gawat buat situ, kan" Buat saya tidak."
Mendengar Pak Jumadi berkata begitu, Boim kontan menangis menggerung-gerung. Tinggal Pak Jumadi yang ganti kelimpungan menenangkan.
"Ada apa ini"" Ibu Biologi yang telah kembali dari kantor Kep-Sek tergopoh-gopoh menghampiri.
"Ini, Bu, Boim kesurupan."
"Sudahlah, Boim. Ibu dan Bapak Kepala Sekolah sudah memutuskan, kamu lulus. Tapi lulus percobaan. Nanti kalo di perguruan tinggi kamu tetap malu-maluin, saya bakal tarik kamu ke SMA lagi," putus Ibu Biologi.
"Ha"" Boim menyeka air mata buayanya. "Jadi saya lulus""
"Iya. Tapi katrolan."
"Cihuuuiii!" Boim melonjak kegirangan. Lalu berlarian keluar. Berbaur dengan teman-temannya yang lain.
Sebuah semprotan pylox hitam mampir ke mukanya, langsung menyambut kehadiran Boim di lapangan.
Sang Kep-Sek yang ikut memantau kegiatan anak-anak dari balik jendela kantornya bergumam sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Seperti hancurnya tembok Berlin di Jerman!"
"Betul, Pak. Tepatnya, sekolah kita lama-lama bakal ikut "ancur juga!" komentar Guru Kesenian yang ikut mendampingi Kep-Sek.
Tiba-tiba terdengar suara sirene meraung-raung.
"Apa itu, Pak"" Kep-Sek menatap Guru Kesenian. Guru Kesenian ganti menatap Kep-Sek.
Mereka berdua saling tatap-menatap.
"Seperti suara mobil pemadam kebakaran!"
"Apa yang terbakar""
"Jangan-jangan sekolah kita!"
"Mari kita keluar!" Kep-Sek panik berlarian keluar. Ia hanya sempat menyelamatkan naskah pidatonya yang baru disiapkan di meja tugas.
Pas sampe di luar, mereka berdua bengong melihat mobil pemadam kebakaran itu parkir di halaman sekolah, sibuk mengguyur anak-anak yang kegirangan. Ya, ternyata anak-anak itulah yang menyewa mobil pemadam kebakaran buat memeriahkan suasana.
Tapi, satu lagi teman Lupus yang dari tadi belum kelihatan. Gusur. Ya, di mana anak itu"
Asal kamu tau aja, ternyata seniman sableng itu emang bener-bener sableng. Waktu pengumuman ujian ini berlangsung, dia malah asyik ikut mancing sama engkongnya di pantai. Cuek pada situasi. Pasalnya tadi pagi-pagi sekali dia udah dibangunin engkongnya untuk pergi mancing. Dan karena dua keturunan itu emang hobi banget mancing, ya mau aja.
Dan dia gak tau kalo ternyata dialah satu-satunya siswa SMA Merah Putih yang gak lulus. Abis gimana mau lulus, waktu yang lain pada ujian aja dia malah ikut engkongnya pulang kampung ke Solo. Lengkaplah sudah kesalahannya.
Eh, tapi jangan mikirin Gusur dulu, kita liat aja Kep-Sek yang dari tadi sibuk menenangkan murid-muridnya yang masih dalam luapan emosi gembira. "Perhatian! Perhatian!" Kep-Sek bersuara lewat mimbar melalui mikropon.
Anak-anak tetap berisik. Lupus malah lagi sibuk menandatangani baju anak-anak cewek yang berdiri berjejer sambil bergandengan tangan.
"Hoi! Perhatian! Perhatian!" Kep-Sek berteriak lagi.
"Anak-anak menoleh. "Eh, ngapain tuh Kep-Sek""
"Mau pidato, kali. Kita dengerin, yuk. Kasihan. Ini kan pidato terakhir dari dia yang bakal kita denger."
"Ya, Kep-Sek emang hobi banget pidato. Dan dan tadi pagi dia udah ngebela-belain bikin konsep yang ia tulis di secarik kertas.
Anak-anak mulai merubung, hendak mendengar.
Kep-Sek tersenyum puas memandang mereka. Dan langsung membacakan pidatonya
"Terus terang, terus gelap...
"Bapak ucapkan selamat dengan tulus kepada yang lulus. Semoga jalan ke depan makin mulus, dan kalian dapat nilai plus.
"Dan Bapak sih setuju-setuju saja kalian merayakan kegembiraan seperti ini. Ini memang sudah menjadi tradisi di setiap t
ahun. Tapi diharap setiap murid harus kontrol diri. Karena ada perintah dari PDK bahwa sebetulnya kalian tak boleh merayakan aksi gila-gilaan seperti ini, supaya tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
"Karena terus-terang, sebetulnya kalian harus bersedih lepas dari SMA. Karena kata orang, masa SMA adalah masa yang paling indah. Karena jalan yang bakal kalian lalui setelah lulus SMA akan semakin sulit dan berbelit serta bisa bikin mata bintit karena hobinya ngintip.
"Banyak lulusan SMA yang tak tau harus meneruskan ke mana. Mau ke Perguruan Tinggi Negeri, tes masuk bersaing ketat. Mau ke Perguruan Tinggi Swasta, biayanya terlalu mencekik. Mau langsung kerja, zaman sekarang dengan modal ijazah SMA, apa yang bisa diharapkan"
"Bukan. Bukannya Bapak mau mengurangi rasa gembira kalian dengan membeberkan fakta ini. Hanya perlu diingat bahwa kalian justru baru mulai masuk ke dunia yang sesungguhnya. yang.....
Dor! Dor! Dor! Tiba-tiba keheningan dipecahkan oleh suara petasan yang disulut oleh anak-anak A3. Semua kaget, terutama Kep-Sek. Dan akhirnya suasana kembali rame. Murid-murid seperti tersadar kembali, ngapain sih dengerin pidato di saat hura-hura begini"
"Ah, pidatonya gak seru. Kita konvoi keliling Jakarta aja, yuk"" ajak Gito. Anak-anak lain pun kontan setuju. Mereka berlarian ke mobil-mobil yang emang udah disiapkan untuk konvoi.
"Hoii, pada mau ke mana" Pidato saya belum selesai. Tinggal beberapa bab lagi!" teriakan Kep-Sek tak digubris.
Akhirnya dengan bak terbuka dan CJ-7 yang kapnya juga dibuka, mereka mulai konvoi keliling kota dengan dandanan ala punk.
Cewek-cewek ikut di mobil sedan yang nguntit di belakang. Wah, seru. Setiap ketemu anak-anak dari sekolah lain, mereka saling berteriak dan ber-toast.
"HOOII, SELAMAT LULUS, YA""
"Bab 2 "SETELAH lelah main pawai-pawaian, Lupus gak langsung pulang. Tapi malah terus ke kantor majalah tempat ia magang jadi wartawan freelance. Dia mau nunjukin sama orang-orang di sana, para wartawan dan satpam, kalo dia itu sekarang udah gede. Udah lulus SMA. Jadinya awas aja kalo masih pada minta dijajanin sembarangan lagi.
Ya, selama ini kalo Lupus nongol di kantor HAI, orang-orang di sana, termasuk red pel-redaktur pelaksana-dan satpam, langsung pada minta ditraktir. Mending kalo basa-basi dulu. Biasanya mereka langsung main pesen makanan aja. Ada yang mesen siomai, mie pangsit, rujak buah atau sate. Dan dengan tanpa dosa, mereka menunjuk Lupus sebagai penyumbang dana.
"Alaaa, kamu kan masih kecil, Pus. Biaya hidup kamu belon seberapa. Sekali-sekali ntraktir begini kan gak apa-apa," komentar Mas Iwan.
"Iya, Pus. Honor dari tulisanmu paling-paling kan gak abis buat jajan di sekolahan. Di sana kan jajannya murah-murah. Mending kamu jajan di sini. Sekali jajan, honor tulisanmu langsung habis. Kan praktis, tuh. Gak cape-cape mikir mau nabung, mau beli ini-itu," Mbak Retno ikut menimpali.
Tapi hari ini gak ada lagi traktir-traktiran!
Dulu-dulu bolehlah. Karena Lupus masih kecil, masih belum lulus SMA. Sekarang" Hohoho, Lupus sudah besoar!
Waktu melewati warung-warung tegal dan warung tenda di depan kantor majalah, Lupus sempat jadi buah bibir. Dia jadi bahan omongan orang-orang sewarung lantaran dandanannya yang kelewat ajaib.
"Iya, pasti itu orang planet. Aye yakin banget, deh," tukas Mpok Ijah tukang gado-gado yang asbet. Asli Betawi.
"Ah, masa sih orang planet keren begitu" Pasti orang gila!" timpal seorang pengunjung warung.
Lupus sebenernya gak enak juga diomongin begitu. Tapi demi pengakuan, Lupus emang sengaja gak ganti baju. Dia kan mau ngasih tau sama orang-orang se-majalah kalo dia itu lulus. Nah, baju yang penuh coretan tanda tangan ini tentu jadi barang bukti yang otentik. Juga rambut warna-warni yang disemprot pylox. Sayang, orang sewarung itu gak tau misi yang sedang Lupus emban.
"Aye yakin deh, pasti dia orang planet. Sebab aye pernah liat di komik anak aye kalo orang planet tuh rambutnya bekelir begitu. Eh, Jo, mending lo ikutin tu orang. Lo liat di mana dia parkirin piring terbangnya." Orang-orang sewarung pada berjubel-jubel mengintip dari balik
jendela yang kordennya lusuh.
Ya, demi pengakuan mau dibilang orang planet, orang gila, terserah!
Lupus terus mengayunkan kakinya dengan mantap. Meski di belakang puluhan mata dan mulut terheran-heran. Juga dua anak kecil yang dipapasinya.
"Kak, lulus, ya""
Lupus mengangguk. "Emangnya kenapa kalo saya lulus""
"Gini, Kak, saya kan udah kelas enam. Dikit lagi saya juga lulus. Saya pengen deh baju saya ditanda-tangan seperti Kakak. Tapi temen-temen saya belum bisa bikin tanda-tangan, Kak. Bisa nggak, Kak, minta tolong sama temen-temen Kakak untuk menandatangani baju saya nanti kalo saya lulus""
Lupus bengong. "Bisa kan, Kak""
"B-bisa." Anak kecil itu pun tersenyum senang. Sambil meninggalkan Lupus yang terbengong-bengong, kedua anak kecil itu bersalaman.
Sedetik kemudian Lupus ingat sama misinya untuk menunjukkan ke-gede-annya. Segera ia menerobos pintu depan yang pinggirnya selalu dijaga satpam.
""Halo, Mas Satpam," sapa Lupus pada satpam yang juga sering minta traktir Lupus.
"Hei, Lupus! Wah, abis dari mana, nih" Ikut lomba lukis kontemporer, ya""
"Saya bukan abis ikut lomba lukis, Mas. Saya sekarang sudah lulus. Ini baju penuh tanda-tangan temen-temen saya. Buat kenang-kenangan."
"Lulus" Wah, hebat. Saya boleh ikut nanda-tangan, dong."
"Wah, gak boleh, Mas. Ini khusus temen-temen saya aja."
"Lho, apa saya bukan temen kamu, Pus" Saya kan orang yang sering kamu traktir. Apa ini belum belum membuktikan kalo saya ini temen kamu""
"Tapi..." "Ah, sudahlah, Pus. Masa gak boleh, sih" Jangan pilih kasih begitu, dong. Kebetulan saya juga punya spidol nih!"
"Eh, ja..... "Di mana tanda-tangannya""
"Eh, kecil aja, ya""
"Jangan khawatir, Pus. Di sini aja, ya""
Mas Satpam siap-siap membubuhkan tanda-tangannya. Ia mencari-cari tempat yang agak kosong. Sudah tak ada. Tapi Mas Satpam bukan tipe orang yang putus asa. Dengan yakinnya dia menandatangani baju Lupus pas di atas tanda tangan Poppi, yang oleh Lupus amat dijaga agar jangan tercampur dengan tanda-tangan lain. Sekarang" Ah-sialan!
"Sudah, Pus. Dulu waktu saya lulus gak ada coret-coretan model begini. Apalagi saya sekolah di kampung yang anak-anaknya paling banyak punya baju putih dua biji. Itu juga dipakai selama tiga tahun, dan kalo tamat langsung diwariskan ke adiknya. Jadi kalo dicorat-coret seperti ini kan gak bisa dipake sekolah lagi. Makanya sekarang saya puas bisa ikut menandatangani baju kamu, Pus. Makasih banyak, ya" O ya, tadi sebelum kamu datang, saya udah pesen mie pangsit. Ntar tolong bayarin ya, Pus" Kamu kan udah gede...."
Udah gede" Lupus hampir berteriak girang, karena pengakuannya mulai diakui. Selama ini, meski udah 17 tahun, Lupus masih sering dianggap anak bawang di kantor majalah situ. Itu lantaran kelakuannya yang tetap minus.
"Tapi, Mas Satpam, saya kan udah gede, kenapa masih disuruh bayarin""
"Lho, justru karena udah gede kamu jadi bisa ngebedain mana yang baik dan mana yang buruk. Nah, mentraktir orang kan berarti membuat orang lain senang. Itu perbuatan baik...."
Dasar kadal! Lupus memaki dalam hati. Dan langsung meninggalkan Mas satpam yang tersenyum kesenangan.
Lupus melangkah masuk ke gedung majalah. Di ruang bawah, Lupus kepergok resepsionis yang kece. Lupus segera memberi senyum, seperti biasanya. Tapi si resepsionis bukannya ngebales senyum Lupus, malah cekikikan. Dia geli banget ngeliat tampang Lupus yang amburadul. Apalagi rambutnya yang dicat warna-warni mulai luntur kena keringat. Jadi jidat dan pipi Lupus ikut berwarna juga.
"Mau ikutan topeng monyet di mana, Pus"" goda resepsionis.
Lupus ketawa. "Eh, emangnya saya mirip topeng monyet, Ta""
Si resepsionis cekikikan lagi. Tapi itu lebih baik daripada minta traktir, kan" Lupus pun buru-buru memencet tombol lift.
"Pus, kok buru-buru sih"" ujar resepsionis.
"Mau ikutan tanda-tangan boleh, kan""
"Enggak!" "Kalo gak boleh ya gak apa-apa. Tapi jangan lupa bayarin siomai ya, Pus" Kamu kan udah lulus sekolah...."
Lupus tercekat. Dia mau protes, tapi pintu lift keburu terbuka. Sial!
Sampai di lantai 5, Mas Dharmawan, Mas Kibro, dan para wartawan dan redaktur kontan
bengong ngeliat penampilan Lupus yang rada lain.
"Kenapa lo, Pus"" tanya Mas Agus yang lagi menurunkan berita lomba balap karung.
"Saya lulus, Mas," Lupus bangga.
"Wah, traktir, dong!"
"Eh, justru..."
"Telat. Mas Agus keburu teriak, "Hoii, Lupus lulus! Dan dia mau traktir kita-kita!"
Para wartawan dan redaktur yang tadinya keliatan lemes itu berubah jadi beringas. Langsung berhamburan keluar untuk memesan makanan di kantin. Tinggal Lupus yang bengong sendiri.
Untung Mas Iwan yang red-pel itu gak ikutan mabur pesen makanan. "Ya, saya duitnya aja ya, Pus"" tukas Mas Iwan kalem.
Sialan. Dikira gak mau! "Pus, boleh aja kamu lulus di sekolah. Tapi di sini status kamu masih tetap magang. Belum lulus jadi pembantu khusus. Kecuali kamu bisa bikin tulisan dahsyat buat majalah kita. Gimana, mau" Kamu kan udah gede," pancing Mas Iwan.
Lupus merasa ditantang. "Boleh, Mas." Lupus nerima tawaran itu. Dan ia langsung spontan mengajukan satu tema tulisan yang tiba-tiba terlintas dalam benaknya.
"Tulisan tentang apa, Pus"" tanya Mas RedPel lagi.
"Anu, Mas. Tentang remaja cewek yang pulang pagi."
"Pulang pagi" Apa istimewanya""
"Gini. Banyak remaja sekarang yang hobi banget ke diskotek. Pulangnya lewat jam dua pagi. Padahal sebetulnya dia itu belum diizinkan orangtuanya untuk ke disko. Tapi mereka nyo"long-nyolong waktu pergi. Nah, setelah jojing sepuasnya, giliran mereka kelimpungan gimana cara pulang ke rumah tanpa ketauan atau dimarahi orangtua. Dari sini kan banyak yang bisa kita gali, Mas. Mereka kadang punya akal kadal untuk nipu orangtuanya. Coba itu, sampai segitu dibela-belain!"
Mas Iwan mikir sejenak. "Gimana, Mas"" tanya Lupus.
"Apanya"" "Itu. Tema tulisan yang saya ajukan."
Mas Iwan memandang ke arah seorang cowok yang kayaknya baru Lupus lihat. Yang ternyata dari tadi duduk di meja kosong di balik lemari buku. "Menurut kamu gimana, Rez" O ya, Pus. Kenalkan, ini Reza, calon wartawan kita juga. Dia baru datang dari Australia. Lagi magang di sini.
"Menurut kamu gimana, Rez""
"Menarik," ujar Reza singkat. Ada nada tak acuh.
"Oke. Kamu garap aja, Pus. Kamu langsung aja terjun ke dunia mereka. Ikut ngerasain langsung. Kalo bagus, bisa kita turunkan sebagai laporan utama. Tapi, apa kamu bisa bikin tulisan kayak gitu""
"Bisa, Mas." "Yang bener""
"Bener." "Traktir dulu, dong."
"Katanya Mas mau duitnya aja."
""0, iya. Saya lupa, Pus."
"Saya yakin bisa, Mas."
"Oke, kapan nyerahinnya""
"Wah, jangan pada waktu dekat ini. Saya mau refreshing dulu abis ujian. Masih stres. Mau liburan. Setelah itu, saya juga harus ngedaptar masuk kuliah."
"Ooo, kamu mau kuliah juga""
"Iya, dong." "Jadi kapan""
"Ntar, kalo udah dapet sekolah."
"Kalo gak dapet sekolah""
"Pasti dapet." "Dan tulisan itu pasti bisa""
"Pasti. " "Oke, saya tunggu."
Sementara itu para wartawan dan redaktur yang abis berpesta-pora muncul sambil teriak-teriak terima kasih ke Lupus.
"Terima kasih, ya, Pus. Moga-moga aja kamu sering-sering lulus, gitu."
Hihihi... . "Bab 3 "MENJELANG magrib, Lupus baru ingin pulang. Dari kantor HAI tadi, Lupus sengaja jalan-jalan sore dulu dengan beberapa teman-temannya. Ia mau ngerasain pake baju sekolah terakhir kalinya seharian penuh.
Sementara Mami dan Lulu waswas nunggu di rumah. Mami takut Lupus gak lulus. Dan juga Lulu udah dijanjiin mo' ditraktir kalo Lupus lulus. Dari siang Lulu sengaja belum makan. Dia yakin kalo Lupus pasti lulus. Bukan lantaran Lupus pinter, tapi rasanya aneh kalo ada anak sekarang yang gak' lulus SMA. Rata-rata mereka lulus semua. Lulu aja yang naik ke kelas 3, gak mau ngotot belajar lagi. Santai aja. Soalnya pasti lulus, kok.
"Si Lupus lulus gak ya, Lu"" ungkap Mami.
"Lulus, Mi. Pasti."
"Kok sampe sore begini belum pulang, ya""
"Paling jalan-jalan ke Ancol."
"Ngapain""
"Kalo gak berenang ya mancing."
"Kok lulus-lulusan pake mancing segala, sih""
""Di Ancol tuh pada jalan-jalan, Mi. Pake mobil keliling-keliling. Supaya orang pada tau kalo Lupus lulus, gitu. Ntar juga kalo Lulu lulus mau ngiter-ngiter."
"Ngiter-ngiter ke mana""
"Ngiter-ngiter di dalam kamar aja."
Mam i tiba-tiba ngeliat bayangan di jendela depan. Lupus" Mami memburunya.
"Lupus, ya"" panggil Mami.
Tak ada sahutan. Mami membuka jendela pelan-pelan. Lupus emang suka bikin kejutan. Pasti ini Lupus, tebak Mami.
"Pus, masuk, dong! Tak usah ngumpet-ngumpet segala. Mami udah gak sabar pengen ngasih selamat sama kamu, Pus."
Masih tak ada jawaban. "Puuus..." Diem-diem Mami meraih gagang sapu. Kalo udah kesel, Mami emang suka nekat.
"Kalo gak mau masuk, Mami timpuk, nih! Ayo, masuk!" ancam Mami.
Bayangan di balik jendela itu mulai bersuara.
"Ayo masuk!" Terdengar suara batuk. "Alaaa, gak usah pake batuk-batukan, deh." Mami membuka kunci jendela untuk siap menggetok batok kepala Lupus. Tapi bayangan itu bukan milik Lupus. Melainkan milik seorang pemuda dengan raut wajah ketakutan.
"Hei, siapa kamu"" si Mami kaget.
"S-saya mau numpang tanya, Tante. Tapi baru jendela ini mau saya ketok, ee kok malah saya sudah diancam mau ditimpuk. Saya jadi gak jadi. Mana saya dikira kucing, lagi. Pus, pus... huh. Mendingan saya tanya sama yang lain aja. Permisi, Tante."
Lulu cekikikan. Geli ngeliat Mami yang mau ngemplang pake gagang sapu tapi gak jadi. Sampe orang itu pergi, Mami masih stop motion.
Gak lama pemuda tadi menghilang di ujung jalan. Di kejauhan, Mami kembali menangkap bayangan Lupus yang tengah bersiul-siul. Mami takut salah lagi. Ia pun menajamkan pandangannya. Ah, rasanya kali ini pasti benar!
"Lu, Lupus, Lu," teriak Mami pada Lulu yang kelihatan udah mulai lemes lantaran menahan lapar.
Lulu beranjak menghampiri Mami. Lupus dari kejauhan melambaikan tangan.
"Kita sambut, yuk"" ajak Mami.
"Ayo." Mami dan Lulu keluar ke jalan. Lulu kemudian berlari-lari kecil menghampiri Lupus. Kedua tangan direntangkan ke depan. Larinya slow motion.
Lupus yang tau dirinya disambut, jadi berbalik arah berlari slow motion membelakangi mereka.
Lupus Idiih Udah Gede di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Harapan Lupus, Lulu akan terus mengejar.
Tapi Lulu udah keburu kesel, dan mengajak Mami masuk. Apa-apaan sih si Lupus ini!
Sementara Lupus terus berlari. Disangkanya Mami dan Lulu terus mengejar. Pas Lupus menoleh, ternyata Lupus gak ngeliat siapa-siapa di belakangnya.
"Lho, pada ke mana""
Akhirnya Lupus balik lagi. Ah, kenapa mesti main lari-larian sih" Di rumah Mami dan Lulu jadi gak mood menyambut kedatangan Lupus.
"Halo, Mami, Lupus lulus, Mi," ujar Lupus masih bersemangat.
"Udah tau." "Kok gak ngasih selamat""
"Salah sendiri. Tadi mau dikasih selamat malah lari."
Lupus masuk ke dalam. Di meja makan ia ngeliat Lulu yang kelemesan.
"Eh, Lu, saya lulus, Lu."
"Udah tau." "Kok gak ngasih selamat""
"Kamu kan janji mau nraktir saya kalo lulus. Apa kamu kira saya lupa, ya" Gak zaman deh kasih selamat-selamat segala. Cepetan traktir saya sekarang juga. Traktir apa aja. Saya udah gak tahan, tau!"
"Lu, duit saya abis buat nraktir orang-orang di kantor majalah."
"Masa bodo. Yang penting traktir. Apa kamu tega ngeliat adikmu mati lemes""
"Tega." "Hah"" *** "Besok malamnya Lupus kembali kasak-kusuk nyari sepatu, kaos kaki, dasi, slampe, sampai ke gel yang bisa bikin rambut kaku kayak ijuk. Gara-gara udah lulus, tu barang emang jadi pada gak keurus. Ya, malam ini Lupus mesti hadir di acara perpisahan kelas. Bagi Lupus itu sama aja artinya pisah dari Poppi. Makanya Lupus punya niat tampil keren. Sayang, barang-barang yang dibutuhkan pada ngumpet semua.
Lupus terus mencari. Sekarang tinggal kaos kakinya yang belum ketemu.
"Lu, liat kaos kaki saya, nggak"" tanya Lupus sambil terus mengorek-ngorek celengannya. Kali-kali aja dia pernah lupa ngemasukin kaos kakinya ke situ.
"Lu, liat kaos kaki, nggak"" jerit Lupus lagi.
"Liaaat," Lulu membalas menjerit.
"Kaos kaki saya""
"Bukan. Kaos kaki saya."
"Yang saya maksud kaos kaki saya."
"Saya liatnya kaos kaki saya."
"Kalo kaos kaki saya liat, nggak""
"Kalo liat juga gak bakal gue bilangin. Abis kemaren lo nggak jadi traktir!"
"Lu, tolongin saya, dong. Saya mau ada perpisahan kelas, sekaligus perpisahan sama Poppi."
"Pisah sama Poppi""
"Iya. Dia mau nerusin ke Australia."
"Australia yang luar negeri itu""
""Emangnya ada Austral
ia di dalam"" "Hebat ya si Poppi. Pus, kamu kok gak sedih, sih""
"Lho, apa saya dari tadi gak keliatan sedih" Ini jelas-jelasan lagi sedih. Apalagi kaos kakinya belum ketemu. Makanya kamu bantuin saya nyari kaos kaki, dong."
"Wah, saya nggak nyangka, Pus, kalo kamu malam ini mesti menghadapi saat yang paling gak enak."
"Apanya yang gak enak""
"Berpisah sama Poppi."
"Kata siapa" Kan saya jadi punya alasan buat mencium pipinya, Lu."
Karena usahanya yang gigih dalam mencari, akhirnya kaos kaki itu diketemukan. Yang satu ada di dalam rak kaset, satunya lagi di dalam lampu petromaks. Lho kok di dalam lampu petromaks" Ya, ini ulah si Mami. Gara-gara mati lampu kemarin. Mami pengen nyalain petromaks tapi gak ada kaos lampunya. Terpaksa kaos kaki Lupus jadi pengganti.
Kini Lupus rapi sudah. Memakai kemeja kotak-kotak biru, pake jins, dan rambut sengaja dibikin mengkilap dengan gel. Sepatu pun mengkilap.
"Wah, mau ke mana anak Mami, nih" Tumben rapi betul."
"Mo perpisahan kelas, Mi."
"Di mana""
"Di rumah Poppi."
*** "Di rumah Poppi udah rame sama anak-anak Ya, mereka memang sepakat mau ngadain perpisahan kelas di rumah Poppi. selain rumahnya gede, bisa buat jojing (ini pasti usulnya Boim!) juga ortunya Poppi udah bersedia membuat masakan yang enak tanpa minta uang iuran. Soalnya sekalian selamatan berangkatnya Poppi ke Australia.
Pas Lupus sampe di ujung gang rumah Poppi, ketemu Boim yang nampak sedih banget. Boim lagi nongkrong di pos hansip.
"Hei, Im." Boim kaget. "Im, kok nongkrong di sini" Lo kebagian seksi keamanan, ya""
"Gue males, Pus."
"Males kenapa" Ini kan malam perpisahan sama anak-anak."
"Justru itu, Pus. Gue takut."
"Takut kenapa""
"Takut berpisah sama Nyit-nyit. Selama sekolah, gue kan selalu ngejar-ngejar dia. Belon keburu dapet, eee, udah harus berpisah. Ah, coba sekolah kita gak usah pake aeara lulus-lulusan..."
""Udah deh, Im. Gak usah terlalu dipikirin. Gimana kalo lo justru mempergunakan malam ini untuk menyatakan cinta lo sama Nyit-nyit""
"Emang bisa""
""Kenapa gak bisa" Tinggal ngomong seneng doang. "
"Oke, deh!" .. Lupus dan Boim menuju rumah Poppi yang isinya udah penuh dengan tawa anak-anak. Ke- hadiran Lupus dan Boim sendiri tidak begitu jadi perhatian. Karena tiap anak lagi sibuk memilih-milih makanan yang enak. Apalagi tiap anak asyik ngobrol tentang cita-cita mereka selanjutnya. Seperti Fifi Alone yang punya rencana mau ngelanjutin sekolah ke Hollywood, ngambil jurusan artis film.
"Beneran, Git. Ikke sih gak tanggung-tanggung. Kalo mau maju, mendingan sekalian daripada sekolah artis sini. Di sini paling-paling kalo lulus cuma dipake main buat drama remaja TVRI, atau paling tinggi main sinetron Jendela Rumah Kita. Ih, amit-amit, deh, main-main di jendela. Emangnya ikke rayap""
Boim agaknya sudah lupa dengan niatnya untuk menyatakan hasrat hatinya, karena kini ia sudah begitu asyik memilih-milih satu pizza dan puding yang pakai vla.
Suasananya memang meriah. Di dinding ditempelkan banner bertuliskan "Perpisahan Itu Bukanlah Suatu Pertemuan". Belum lagi balon-balon yang berwarna-warni, kertas kristal yang terjulur-julur. Tapi yang paling meriah memang makanannya. Hampir segalanya ada. Dari jenis siomai, bakso, makaroni, yakiniku sampai ke jenis makanan pembuka seperti sup kepiting yang lezat. Hidangan penutup, di samping buah-buahan, juga tersedia puding, dan makanan ringan lainnya. Belum lagi es krimnya yang komplet banget.
Semua itu terhidang sampai ke pinggir kolam renang rumah Poppi yang juga dihias. Ceritanya pesta by the pool. Lampu taman yang berwarna-warni juga membuat semarak suasana.
Bulan bersinar terang di langit.
Acara perpisahan ini emang lain. Kalo yang lain, acara perpisahan dulu baru makan, tapi di sini acara makan dulu baru acara utamanya. Alasannya biar kalo mau pada nangis-nangisan nanti bisa lebih semangat.
Acara pun berlangsung hangat. Ada renungan bersama, ada hiburan nyanyi-nyanyi lagu perpisahan Auld Lang Syne. Ada juga yang diem-diem menitikkan air mata. Mereka baru ngerasain bahwa perpisahan adalah kepedihan yang paling nikmat. Bahwa masa SMA
yang baru mereka lalui adalah masa terindah yang akan terpatri kuat dalam lembaran hidup mereka. Dan masa itu tak akan pernah kembali.
Sementara anak-anak yang lain sibuk, Lupus mencari-cari Poppi yang tiba-tiba ngilang. Lupus pengen ngasih selamat. Sayang Poppi gak keliatan.
"Ut, Poppi mana"" tanya Lupus ke Utari yang lagi asyik makan black forest.
"Wah, tadi ada. Tau sekarang. Lo cari aja dulu."
"Gak lama Lupus muter-muter, tau-tau Poppi menepuk pundaknya.
Lupus kaget. "Hei, Pop!" "Halo, Pus." Lupus menatap Poppi lama-lama. Poppi jadi tersipu-sipu.
"Kamu jadi ke Australia, Pop""
Poppi mengangguk. "Kapan berangkat""
"Mungkin besok."
"Wah, kita bisa ketemu lagi gak, ya""
"Ya, bisa, dong, Pus."
"Kalo di sana kamu ketemu Jason Donovan, ntar naksir, lagi!"
"Gak mungkin, Pus. Malah saya kuatir kalo kamu yang naksir cewek lain setelah saya berangkat."
"Kalo naksir sih enggak, Pop. Tapi kalo ditaksir pasti, tuh!"
Poppi tak melanjutkan pembicaraannya. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Kamu nangis, Pop""
"Saya sedih harus berpisah sama kamu, Pus, meski buat sementara. saya takut di sana kangen sama kamu terus."
"Udahlah, Pop, demi masa depan kok takut ngalamin perpisahan kayak gito. Saya aja udah beberapa kali ngalamin perpisahan gak sedih-sedih amat."
Air mata Poppi mulai men"tes.
""Kamu harus bales surat-surat saya ya, Pus""
"Tapi disisipi perangko balasannya, ya, Pop""
Tangis Poppi mulai kenceng. Membuat beberapa anak berpaling padanya.
Lupus diliatin puluhan pasang mata begitu jadi kikuk.
Tapi untung acara slow dance udah dimulai. Sinead O'Connor mulai melantunkan lagu manisnya yang menyayat: Nothing Compares 2 U.
Pasangan demi pasangan mulai turun. Termasuk Boim dengan Nyit-nyit.
Mereka hanyut dalam melodi lirih.
Poppi menangis di pundak Lupus.
Lupus menghibur, "Sudahlah, Pop. Gak usah terlalu dipikirin. Ingat kata pepatah ini: setiap ada pertemuan, selalu ada makan-makan...."
"Bab 4 "HARI itu Gusur begitu kelimis penampilannya. Baunya wangi banget. Sebelumnya Gusur emang sempet berendam di bak mandinya selama dua jam lebih. Mandi ala orang barat. Tentu saja bikin engkongnya khawatir. Jangan-jangan Gusur mati kelelep. Ya, mana ada gantinya cucu kayak gitu. Dibeli di toko juga gak ada. Makanya si Engkong khawatir betul, dan berusaha ngintip ke kamar mandi.
Lewat celah-celah pintu, si Engkong mengintip dengan saksama. Ah, lega juga hatinya. Ternyata Gusur gak mati tenggelam seperti bayangannya. Malah tu anak asyik menyelimuti tubuhnya dengan sabun cuci, sambil bersiul-siul lagu Kalangkang. Kadang-kadang sabunnya diselipkan di ketiak. Si Engkong sempat tersenyum bahagia. Tapi akhirnya kecewa. Kok tu anak tega-teganya berendam di bak. Padahal tadi yang sibuk ngisi bak mandi Engkong sendiri.
Tapi si Engkong gak berani protes. Gak mau ngusik kebahagiaan Gusur. Takut tu anak nangis dan kabur dari rumah. Belakangan ini sifat si Gusur memang sering aneh. Sering manjat genteng di malam hari. Sering nangkap kucing, lalu menghitung bulu-bulunya. Gara-gara sebulan yang lalu Gusur jatuh dari motor. Panasnya naik sampai 60 derajat. Telor aja bisa mateng kalo dideketin ke Gusur. Kini setelah sembuh sembuhnya tidak seratus persen normal. Tem"po-tempo suka kumat. Berendem di bak mandi boleh dibilang termasuk salah satu kumatnya.
Makanya si Engkong tabah aja, walau sebenarnya hatinya kesal. Toh si Engkong bisa berbahagia juga melihat cucu kesayangannya bisa seneng. Satu lagi kegembiraan si Engkong, dengan mandinya Gusur berarti si Engkong gak bakal terganggu lagi tidurnya. Pasalnya kemaren seharian tu' anak gak mau mandi.
Dan dengan diam-diam, si Engkong berusaha mengintip lagi. Kali ini ke kamar Gusur. Lewat lubang kunci, si Engkong tengah melihat Gusur mematut-matut dirinya di cermin. Kadang tersenyum. Kadang merengut. Persis orang yang sedang latihan akting.
Mau apa sih tu anak" engkongnya membatin. Gak berani keras-keras, takut ketahuan Gusur. Kasihan, nanti mungkin Gusur bisa malu kalo ketahuan diintip. Soalnya tingkahnya emang lagi gokil banget. Sambil menarik napas dalam-dalam, si Engkong terus mengamat
i tingkah laku Gusur dari lubang kunci. Ngeliat Gusur yang kebingungan. Mencari-cari sesuatu. Nyari apa sih, dia" Wah, gak taunya nyari gel buat rambut. Pantes tadi bingung, masa naruh gel di bawah kasur.
Setelah ketemu, Gusur buru-buru memencet tube gel itu. Mengeluarkan isinya ke telapak tangan sebelah kiri. Busyet, dasar gokil, tu anak kalo make apa-apa emang nggak kira-kira. Tube gel habis setengah botol dipencet ke tangannya.
Lalu dengan santainya diucek-ucek ke rambut. Walhasil, rambutnya penuh dengan cairan-cairan kental. Persis kayak tikus kejebur got. Tapi Gusur santai aja. Dia menyisir rambutnya pelan-pelan, sambil ngejilatin gel yang tersisa di telapak tangannya. Hihihi....
Setelah rapi menyisir, dia mengikat rambutnya yang gondrong orkes' itu ke belakang. Wah, keren juga. Penampilannya Kayak DJ. Dedemit Jalanan, maksudnya.
"Kamu mau ke mana, Sur, kok tumben rapi banget"" sambut engkongnya sambil mencium jidat Gusur, ketika anak itu keluar kamar.
"Wah, Engkong belum tahu ya, hari ini daku diajak Lupus pergi. Katanya mau ngedaptar ke perguruan tinggi. Lupus mau sekolah di sana," jawab Gusur sambil merapikan rambutnya.
"Apa itu perguruan tinggi" Engkong baru denger."
"Perguruan tinggi adalah sekolah di mana guru-gurunya pada tinggi, 'kali," Gusur menerangkan sekenanya.
Dan si Engkong pun manggut-manggut bego. Wah, rupanya antara Engkong dan cucu itu setali tiga uang. Sama-sama daya pikirnya cekak.
"Eh, tapi, Kong," tiba-tiba Gusur ngoceh lagi, "berhubung untuk masuk perguruan tinggi perlu biaya, daku akan minta subsidi dari Engkong, nih. Sebagai langkah pertama biaya transportasi. Lalu biaya pendaftaran..."
"Lho, kok jelek buntutnya"" si Engkong menggerutu.
"Wah, tapi ini harus, Kong," Gusur mulai merajuk.
"Tau gitu Engkong nggak nyium kamu tadi."
"Tapi Engkong akan tetap kena wajib pajak."
"Ya, ya, jadi semuanya berapa""
Gusur langsung semangat. "Tranportasi dua ribu. .Trus pendaftaran dua puluh ribu."
"Ha" Jadi Dua puluh dua ribu semuanya""
"Wah, tapi daku belon sarapan, Kong."
"Masya Allah, kamu minta apa meres, Sur""
"Dua-duanya, Kong. O ya, biaya santapannya seribu lima ratus, tak boleh ditawar. Harga ketan udah naik kan, Kong""
"Duh, sebenarnya Engkong males punya cucu kaya kamu. Gede tongkrongannya doang. Kuat makan. Kuat tidur. Tapi kemampuan gak ada sama sekali. Cuma kalo kamu dibuang, siapa yang mau pungut kamu, Sur," gerutu si Engkong sambil membuka pundi-pundi tempat ia menabung uang.
Gusur mengamati dengan silap-silap.
""Nih!" akhirnya si Engkong mengangsurkan uang yang langsung disamber oleh Gusur. Ber!
"Yihuuu!" jerit Gusur sambil mencium pipi engkongnya kiri dan kanan. "Makasih, Kong, makasih. Semoga Engkong diterima di sisi Yang Maha Esa."
Gusur lalu ngacir menjemput Boim.
*** "Lupus lagi uring-uringan di rumahnya. Matanya tiap sebentar ngelongok ke ujung gang.
"Mana sih dua kunyuk itu. Kok nggak dateng-dateng."
Lupus melihat jam dinding. Udah pukul sebelas siang. Sebentar lagi pendaftaran tutup. Tapi Gusur dan Boim belum nongol-nongol juga. Wah, emang susah deh kalo janji sama landak. Lupus ngedumel sendirian. Lalu duduk di teras sambil baca-baca majalah.
Tapi nggak betah. Lupus pun berniat mau nongkrongin di depan gang. Siapa tau tu anak pada kecelakaan. Pas membuka pintu pagar, Suli, sobat Lulu, turun dari becak. Mau ngejemput Lulu latihan drumband. Sambil membayar becak, Suli menegur Lupus.
"Halo, Pus." "Halo." "Denger-denger kamu lulus, ya""
"Saya denger juga begitu."
"Selamat, ya" Mau nerusin ke mana, Pus""
""Ke depan," ujar Lupus sambil menunjuk ke depan, dan berjalan ngeloyor menuju tukang rokok.
Suli cuma geleng-geleng kepala. Heran, udah lulus SMA tu anak masih nggak bisa diajak ngomong serius juga. Suli pun masuk ke rumah Lupus- sambil mengucapkan, "Assalamualaikum!"
" Di tukang rokok, Gusur dan Boim tetap belum keliatan. Lupus pun balik lagi ke rumah dengan sebel.
Mami yang menjenguk ke depan, memperingatkan berkali-kali agar Lupus lekas berangkat, "Nanti kamu telat, lho."
"Tapi saya nunggu Boim sama Gusur, Mi."
"Udah tinggal aja. Nanti Mami
bilang sudah berangkat duluan. Abis ditunggu lama bener."
"Ah, kasihan, Mi. Soalnya hanya Lupus yang tau tempat pendaftarannya."
Untungnya tak lama kemudian di ujung jalan terdengar motor meraung-raung dari ujung jalan. Lupus segera bangkit, dan melongo. Betul aja, Boim dan Gusur sedang menuju ke rumah Lupus dengan motor buntut yang setia.
"He, Kadal, pada ke mana lo. Ditungguin lama banget," Lupus kontan menyambut dengan makian, begitu Gusur dan Boim menjejakkan kaki di beranda.
"Abis Gusurnya ditungguin lama bener," Boim ngasih alasan.
""Alah, daku datang, kau pun masih ngorok. Jangan daku, dong, yang disalahkan. Untung daku datang. Kalau tidak, kau masih tertidur pulas," Gusur nggak mau kalah.
"Ah, kalian berdua emang sama. Ayo lekas berangkat. Ntar keburu telat."
"Ayo!" jawab Gusur dan Boim serentak.
"Motornya tinggal di sini aja, Im. Malu-maluin bawa motor gituan ke kampus."
*** "Sesampainya di tempat tujuan ternyata suasana udah rame. Orang-orang berkerumun di loket pendaftaran. Termasuk cewek dan cowok. Baju mereka bagus-bagus. Rata-rata mereka emang anak orang kaya. Maklum aja universitas yang mau dimasuki Lupus ini, walaupun swasta, tetapi termasuk univesitas favorit. Itu ditandai oleh uang kuliah yang mahal, uang pendaftaran yang nggak kira-kira, dan uang pembangunan yang ngujubile.
Sebetulnya Lupus ogah masuk sekolah mahal-mahal kayak gini. Tapi, ya-gimana. Mau masuk Perguruan Tinggi Negeri, saingannya banyak banget. Gak bisa terlalu banyak diharapkan. Apalagi pas ujian UMPTN, Lupus ngerasa nilai-nilainya bakal amburadul.
Tapi emang kalo dilihat dari kejauhan, gedung universitas yang mau didaftarin Lupus ini emang canggih banget. Bangunan berbentuk pendopo. Terdiri dari lima belas tingkat. Dari tingkat satu sampai tingkat lima belas kebanyakan kantinnya. Hihihi... emang gitu kok, habis motto universitas ini kan: 'Dengan jajan kita tingkatkan perekonomian negara.'
Eh iya, nama universitas ini adalah Universitas Cafetariasakti. Wah, kan cocok banget nama dan misinya. Itu makanya para mahasiswa di situ pada buka usaha sampingan jadi pedagang. Ada yang jual siomai, soto mie, atau toge goreng. Ini karena fakultas-fakultas yang ada di situ beragam. Selain fakultas sospol, ada juga fakultas pramuniaga, dan semacamnya. Pokoknya alumni Cafetariasakti mau jadi orang bisnis. Wiraswasta supaya bisa menghasilkan duit. Rasanya itu lebih baik. Daripada universitas hebat, fakultas yang disediakan serem-serem, tapi begitu lulus dari situ jadi penganggur. Nggak bisa dimanfaatkan ilmunya.
Sejenak kemudian Lupus mengamati kerumunan orang yang mendaftar. Mereka saling berebutan mengambil formulir, yang nantinya akan diisi dengan data-data dan fakultas apa yang dimasuki. Lupus sendiri masuk sastra Inggris. Biasanya yang lulus dari situ pinter ngomong Inggris. Lupus memasuki fakultas itu, bukan lantaran udah niat. Tapi karena dia liat yang ngedaftar ke Sastra Inggris kebanyakan cewek dan kece-kece.
Ya, sebetulnya dia bingung harus masuk fakultas mana. Abis fakultas yang lain tidak cocok "dengan jiwanya. Bangsanya dagang-dagang gitu, apalagi ke fakultas ekonomi. Lupus sama sekali nggak niat. Mendingan masuk sospol aja. Ya, sospol juga enak. Jadi Lupus coba daftar dua-duanya.
Sedang Boim juga ikut-ikutan Lupus. Dia juga memilih sastra Inggris. Padahal Boim paling nggak bisa Bahasa Inggris.
"Why do you choose this faculty"" tanya gadis panitia penerima pendaftaran sastra Inggris sambil tersenyum manis pada Boim.
Boim yang gak ngerti Inggris sama sekali, jadi "gelagapan, "Apa" siapa yang gak becus""
Gadis itu ngikik. "You don't understand that" It's very simple English..."
"Eh-, n-no no understand, teng-kyu!"
Selagi Boim dan Lupus berebut minta formulir, Gusur yang sejak tadi memandangi cewek-cewek kece, cepet-cepet menghampiri Lupus. Gusur juga sebenarnya gak begitu ngerti untuk apa diajak Lupus ke situ.
"Orang-orang ini pada ngapain sih, Pus. Kamu dan Boim kok malah ikut-ikutan"" tanya Gusur bego.
Lupus tertawa kecil. "Ah, memangnya kamu nggak tau, kita-kita ini kan lagi ngantri buat beli formulir pendaftaran.
Kamu mau beli juga kan"" Lupus menerangkan dengan susah payah ke Gusur.
"O...," Gusur melongo.
""Kalau begitu, daku mau ikutan antri, ah!" sambung Gusur lagi.
Lalu seniman sableng itu pun ikut-ikutan mengantri di belakang Lupus untuk mengambil formulir pendaftaran. sesudah susah payah sampai di muka loket, Gusur buru-buru menyambar formulir pendaftaran yang numpuk di mukanya. Tetapi buru-buru ditahan oleh cewek manis yang melayani pendaftaran.
"Salinan ijazah kamu mana""
"Apa, ijazah""
"Kalo mau mendaftar masuk harus menyerahkan salinan ijazah. Itu adalah persyaratan. Mana salinan ijazah kamu"" tanya cewek panitia pendaftaran itu.
Gusur kebingungan. Lalu seniman sableng itu buru-buru menoleh ke Lupus.
"Pus, ijazah saya mana""
"Lho, gak tau," Lupus juga bingung.
"Lha, kamu bawa nggak"" tanya Boim dari samping.
"Nggak. Aku nggak punya. Lha, kalian kok pada punya. Dari mana sih dapatnya""
"Lha, kamu emang gak dapat dari sekolah"" Lupus mulai heran dengan Gusur.
"Nggak." "Lha, kamu ini sebenarnya lulus nggak, sih""
Gusur mikir. "Gusur kan waktu pengumuman ujian gak datang, Pus. Dia gak tau, 'kali," ujar Boim baru sadar.
""Ya, daku waktu itu diajak mancing di laut sama engkongku," tambah Gusur.
"Tapi waktu ujian terakhir kamu ikut, kan""
"Ujian apa itu" Rasanya aku gak pernah ikut ujian."
"Wah, berarti kamu nggak lulus, Sur."
"Apa"" "Nggak lulus." "Jadi nggak bisa mendaftar""
"Ya, enggak." Gusur bengong. Cewek panitia itu apalagi.
"Bab 5 "Lupus sedang asyik beres-beresin brosur pendaftaran perguruan tinggi di kamarnya, waktu Lulu dengan tiba-tiba menimpuknya dengan segumpal kertas. Ini memang kebiasaan Lulu kalo ada surat buat Lupus dari tukang pos.
"Lu, lain kali gak usah pake diselipin batu segala!" teriak Lupus sambil ngusap-usap jidatnya yang bento eh, benjol, gara-gara dijailin Lulu.
Lulu memang belakangan jarang digodain, setelah Lupus sibuk ngurus masuk sekolah di perguruan tinggi. Lulu jadi kesepian. Gak ada lagi yang ngumpetin apusannya, atau nyampur teh manisnya pake cuka. Nah, timpukan itu adalah pancingan Lulu agar mengembalikan canda-ria Lupus. Sayangnya, Lupus lebih rela benjol daripada harus ngejar-ngejar Lulu.
Dan bukan Lulu namanya kalau baru begitu aja udah nyerah. Karena sekarang Lulu mulai mempersiapkan pandangannya dengan umpan yang lebih besar. Sebuah bantal yang ujungnya diganduli sepatu basket siap mendarat di jidat Lupus.
Buk...! Ya, lemparan yang tepat. Lupus sudah mempunyai dua benjol sekarang. Tapi Lulu masih belon puas karena Lupus masih asyik ngebaca-baca tu brosur. Lupus emang tipe anak yang ulet. Tahan cobaan. Meski benjolnya mulai terasa nyeri, dia tetap memperhatikan brosur-brosur itu. Tentu Lulu kesal.
Lulu diam-diam menyeret meja rias Mami. Mo ngapain" Ya, meja itu mau ditibanin ke jidat Lupus. Apa iya gak ada reaksi, batin Lulu.
Meja rias itu tidak begitu berat. Tapi kalo nibanin jidat lumayan-lah! Dan ketika Lulu lagi sibuk nyeret, maminya ngeliat. Kontan doi membentak dan menyuruh Lulu mengembalikan meja itu. Yaaaa, batal, deh.
Lulu makin keki dan memaki-maki dalam hati. Diam-diam diintipnya Lupus yang lebih rela menahan sakit ketimbang meladeni ulahnya itu.
Taunya .Lupus emang masih terus asyik ngebaca brosur-brosur keparat itu. Wah, bener-bener tahan cobaan tu anak!
Kalo Lupus tahan cobaan, Lulu tahan jailan. Artinya, dia tidak berhenti sampai di situ, walau jelas-jelas lawannya tampak gak berminat.
Lulu mulai mengatur strategi lagi. Gimana supaya Lupus mau diajak becanda. Ditimpuk batu, bantal, dia gak bereaksi apa-apa. Hei, kenapa tidak dicoba dengan tebak-tebakan"
""Pus, lagi sibuk, ya"" tanya Lulu coba-coba
akrab. Belum ada jawaban. Karena brosur perguruan tinggi itu masih terus dibaca Lupus.
"Ada yang bisa Lulu bantu, Pus" Misalnya menggeser lemari ini atau itu, atau..." Lulu keabisan basa-basi.
"Eh, atau perlu Lulu ambilin minum" Perlu" Sebentar, ya""
Tapi Lupus tetap asyik dengan brosur. Padahal kali ini Lulu bela-belain bikin lemon-tea rasa coklat!
"Emangnya kamu gak aus, Pus""
Atau mendingan langsung disodorin tebak-tebakan "
"O y a, Pus, kamu tau gak, orang apa yang kalo dipanggil gak nengok-nengok"" Lulu berdebar-debar nunggu reaksi Lupus. Sebab kalo gak bereaksi juga, Lulu udah gak tau lagi harus berbuat apa. "Tau gak, Pus"" tanya Lulu lagi sambil dengan pelan-pelan menyembunyikan sebagian brosur yang tergeletak di kasur ke dekat kakinya.
"Saya ulang ya, Pus," kata Lulu setelah menyepak kertas-kertas itu ke kolong tempat tidur. "Orang apa yang kalo dipanggil gak nengok-nengok" Bisa gak" Atau sebelum kamu jawab, benjol kamu Lulu olesin remason dulu, ya""
Benjol-benjol di jidat Lupus memang sudah gak begitu menimbulkan rasa nyeri lagi. Tapi bukan berarti Lupus sudah bisa meninggalkan "brosur-brosur tentang perguruan tinggi yang akan dimasukinya itu.
"Masa gak bisa sih, Pus," Lulu mulai penasaran. "Dulu waktu kamu masih SMA paling jago soal tebak-tebakan. Masa sekarang sudah mau kuliah malah gak bisa. Apa setiap orang yang mau kuliah berubah jadi bego, ya, Pus""
"A-apa"" Wah, pancingan Lulu kali ini berhasil.
"Anu, Pus, apa setiap orang yang mau kuliah gak bisa main tebak-tebakan lagi""
"Kata siapa""
"Buktinya kamu kok gak jawab pertanyaan saya""
"Pertanyaan apa""
"Orang yang kalo dipanggil gak nengok"" Lulu mulai girang karena Lupus sudah mau diajak becanda-ria-jenaka.
"Emang ada orang yang dipanggil gak nengok""
"Ada!" "Orang apa""
"Lho, Lulu justru nanya sama kamu."
"Orang apa, ya""
"Mikir dong, Pus."
"Orang budek!" "Salah." "Abis orang apa, dong""
"Orang yang gak ada kepalanya! Hihihi," Lulu girang banget. Dia ngerasa Lupus sudah kembali ke sediakala.
""Saya juga ada tebakan," ujar Lupus.
"Tebakan apa, Pus"" Lulu antusias banget. Karena suasana kayak begini sudah lama ia dirindukan.
"Ada ayam jago. Dia punya sayap di Inggris, buntutnya di Arab, lehernya di Jerman, kakinya di Uganda, perutnya di Iran. Nah, telurnya ada di mana, Lu""
Lupus Idiih Udah Gede di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lulu agak terperangah juga mendengar tebakan itu. Bukan! Bukannya dia gak bisa jawab. Tapi, terus terang aja tebakan ini bukan levelnya Lupus. Karena anak-anak kecil tau jawabannya. Ah, Lupus telah berubah. Dia tidak secerdik dulu. Gak sejenius dan sekocak dulu lagi. Mana ada ayam jago yang bertelur" Ah, Lupus, Lupus, gampang banget tebakan kamu itu, batin Lulu sedih. Tapi demi menjaga sesuatu yang enak ini, Lulu pura-pura gak tau.
"Pertanyaan tadi gimana, Pus""
"Telurnya ada di mana""
"Di penggorengan!"
"Salah." "Di kandang!" "Salah." "Abis di mana dong, Pus""
"Kamu bego, Lu! Ayam jago mana ada telurnya. Hahaha, taunya anak yang masih SMA itu lebih bego dari anak yang mau kuliah. Hahaha!"
"Iya, saya bego, Pus," batin Lulu sedih. Lulu sebenarnya gak perlu sedih. Ini wajar aja. Lupus tengah dilanda banyak masalah. "
Perpindahan seorang anak dari bangku SLTA ke bangku perguruan tinggi memang perlu adaptasi. Karena dunianya berubah. Jadi gak bisa santai-santai lagi. Itu paling tidak bisa ditangkap Lupus waktu dia mulai mendaftar ke perguruan tinggi. Kesannya mesti serius. Dan ini dilakukan sejak mulai mendaftar. Karena Lupus gak menyangka kalo biaya yang perlu dikeluarkan agar namanya tercatat sebagai mahasiswa itu gak kira-kira. Hampir satu juta lebih! Deposito Mami yang sedianya dipersiapkan bakal jaga-jaga perekonomian keluarga, terpaksa dikeluarkan secara paksa. Ini yang membuat Lupus mengelus-elus dada. Bahwa ilmu itu di sini masih teramat mahal harganya. Jadi jangan heran kalo belakangan ini Lupus sering ngurung diri di kamar. Dia sengaja mengurangi kegiatannya menjaili Lulu!
Dan kalo tebakan Lupus kali ini gak bonafid juga jangan salahkan Lupus. Apalagi setelah pendaftaran ini Lupus diancam wajib ikut penataran P-4 pola seratus jam. Dan kalo saja Lupus tau bahwa surat yang tadi dilempar Lulu itu adalah surat tagihan dari majalah HAI untuk janjinya membuat tulisan tentang Anak-Anak Malam, Lupus bakalan tambah bingung lagi. Ah, kasian Lupus.
Lulu memandangi wajah kakaknya dengan sedih. Meski upayanya mengajak Lupus main berhasil, tapi hasilnya gak memuaskan baginya.
"Makanya kamu mesti banyak belajar lagi, Lu," saran Lupus tiba-tiba. "Gak usah bengong begitu. Kamu masih bego. M
asa ada ayam jago bertelur, sih"" .
Lulu pun benar-benar meninggalkan Lupus yang masih terus mencari-cari brosur yang tadi disembunyikan Lulu. Yang di dalamnya tercantum berbagai macam acara 'seremonial' memasuki perguruan tinggi. Lulu jadi kasihan. Pelan-pelan kakinya dijulurkan ke kolong, menarik brosur itu keluar. "Tuh, Pus, brosurnya pada tercecer di lantai."
Lupus melihat, dan memungut.
Kemudian membaca. "Wah, minggu depan mulai penataran, nih," ujar Lupus pelan. Artinya lagi, Lulu masih akan lama menunggu kapan Lupus jenius lagi dalam hal tebak-tebakan.
*** "Esok adalah hari pertama Lupus mengikuti penataran. Lupus sudah siap. Walau penataran itu mulai pukul 8.00 sampai 17.00. Sementara Lupus pada saat itu juga dituntut menyelesaikan tulisannya tentang Anak-Anak Malam.
Dua-duanya sama penting. Yang satu adalah kewajiban sebagai seorang calon mahasiswa-lagian selama ini Lupus kan belum pernah ditatar. Satunya lagi kewajiban sebagai calon wartawan. Karena, janji majalah tempat Lupus magang, kalo dia berhasil menyelesaikan tulisan yang direncanakan untuk laporan utama itu, Lupus akan diangkat sebagai pembantu khusus yang diberi gaji tiap bulannya. Belon lagi fasilitas-fasilitas yang bakal Lupus peroleh dengan pengangkatan itu. Dan honor itu rencananya untuk bantu-bantu Mami membiayai kuliahnya.
Lupus berjanji menyelesaikan tulisannya minggu depan. Tapi jadwal itu bertepatan dengan acara OSPEK di kampusnya. Setelah penataran akan disusul dengan kegiatan OSPEK itu. Wah, kebayang deh kesibukan yang kayak apa yang bakal Lupus terima.
Dan Lulu makin jauh saja mengharapkan keceriaan dan kejeniusan Lupus. Makin kesepian dia.
*** "Padahal Kiai Haji Zainudin MZ masih belon menyelesaikan ceramahnya di radio, waktu Lupus bengak-bengok minta bantuan Mami untuk menyeterika baju dan celana putih-putihnya. Mami yang belakangan emang doyan banget dengerin dakwah kiai yang lagi naik daun ini, jadi kesel.
"Kan masih pagi, Pus. Ntar-ntaran napa, sih""
"Bukannya gitu, Mi, ini kan hari pertama Lupus ikut penataran. Kalo telat kan gak enak."
"Iya, tapi ini masih jam setengah enam, Pus. Kasihan Pak Zainudin cape-cape ceramah gak didengerin. "
"Ya, dengerin sambil nyeterika kan bisa, Mi."
"Wah, gak bagus itu, Pus. Kita kalo dengerin ceramah tuh gak boleh disambil-sambil. Gak afdol."
"Tapi kalo udah ntar tolong seterikain ya, Mi. Lupus mo' beres-beresin bahan-bahan penatarannya dulu."
Ya, hari ini emang terasa istimewa bagi Lupus. Karena ini adalah awal dari perjuangannya masuk ke perguruan tinggi. Tentu Lupus bakal ngedapetin sistem atau cara yang lain yang diberlakukan kepadanya. Gak santai-santai lagi kayak di SMA dulu. Makanya gak salah kalo Lupus siap-siap sejak pagi.
Sebenarnya sejak malam pun Lupus udah ngebenahin bahan-bahan penataran yang berupa buku tebal-tebal itu. Tapi lantaran kuatir ada yang ketinggalan Lupus memeriksa kembali semuanya. Dan, alhamdulillah, ilang atu!
"Mi, liat buku GBHN, gak"" tanya Lupus waswas.
Mami yang udah mulai nyeterika mengaku gak tau-menau.
"GBHN apaan, sih""
"Itu, buku buat penataran. Bukunya tebel, Mi!"
"Ooo, yang tebel itu, tho. Semalem kayaknya dipegang-pegang Lulu, deh. Tapi kata Lulu itu buku novel Sidney Sheldon. Coba kamu liat di kamar Lulu, Pus."
Lupus memburu pintu kamar Lulu. Tanpa ba atau bu digedornya pintu kamar. Sebab Lulu suka memberlakukan benda tidak pada tempatnya. Pasti buku GBHN ini di...
Bener, kan" Buku GBHN itu dijadiin bantal oleh Lulu. Dasar anak gak tau diri. Lupus mencabut buku itu dari bawah kepala Lulu dengan paksa. sleeep! Anehnya Lulu tetep ngorok.
"Pus, celananya udah, nih!" panggilan Mami mengagetkan Lupus yang tadinya hendak menjitak ubun-ubun Lulu.
Soal celana sebenarnya problem juga buat Lupus. Karena Lupus cuma punya celana putih atu. Waktu SMA dulu celana putih itu hanya dipake di hari Senin aja. Sekarang harus dipake tiap hari selama seminggu. Wah, berarti Lupus mesti ati-ati menjaga kebersihan si celana supaya keliatan bersih terus selama seminggu.
Jam enam lewat dikit, setelah meneguk kopi susu dan mencaplok roti sumbu, Lupus berangk
at menuju kampusnya yang biru. Guna menimba ilmu tentang moral dan lainnya biar dia jadi manusia Pancasila sejati.
"Mi, doain Lupus, ya" Doain supaya Lupus bisa jadi anak yang baik setelah ikutan penataran," pamit Lupus sambil mencium kening Mami. Mami mengangguk. Ada titik air mata haru memandang Lupus berjalan ke luar pintu pagar. Ah, anak Mami udah gede.
"Ati-ati celananya, Pus!" pesen Mami pas Lupus naik ke goncengan tukang ojek payung eh, ojek motor.
"Bener aja, pas Lupus sampe kampus di sana udah banyak calon mahasiswa berkumpul di lapangan. Sebelon penataran rencananya ada acara pembukaan oleh Rektor.
Semenit berikutnya semua calon mahasiswa disuruh berbaris rapi. Lupus jadi inget upacara hari Senin. Taunya mahasiswa tuh masih doyan baris-barisan juga, ya.
"Selamat datang, Sodara-sodara, di kampus tercinta ini. Semoga Sodara-sodara betah dan kerasan menimba ilmu di sini!" Sambutan yang pertama datang dari Ketua Senat. Sang Ketua Senat juga membeberkan cara dan tata tertib yang berlaku dalam mengikuti penataran P4 ini. Setiap peserta penataran harus sopan dan gak boleh becanda-canda. Karena tiap materi yang diberikan harus dibahas bersama lewat diskusi dan seminar. Ketua Senat juga mengumumkan bahwa setelah penataran ini semua calon mahasiswa diwajibkan membuat sebuah karya tulis yang temanya berkaitan dengan aspek kehidupan sosial masyarakat kita. Karya tulis ini akan dilombakan. Pemenangnya selain dapat hadiah menggiurkan, berupa Tabanas dan beasiswa selama satu semester, dia juga dinobatkan sebagai peserta terbaik alias teladan!
Lupus diam-diam mencari-cari masalah yang asyik yang bisa diikutsertakan dalam lomba karya tulis itu. Dan, alhamdulillah, langsung dapet!
"Ya, sambutan berikutnya adalah sepotek dua "potek kata dari Bapak Rektor kita. silakan tepuk tangan buat... saya yang mempersilakan!"
Plok, plok, plok. "Bab 6 ""AH... uh... ah... uh!" suara Lupus terengah-engah. Badannya turun-naik, turun-naik. Napasnya ngos-ngosan. Keringat membanjiri sekujur wajahnya. Matanya sesekali terpejam, sesekali melek. Sesekali melek, sesekali terpejam. Persis seperti orang ayan. Cuma saja dari mulutnya gak keluar busa.
Sementara di dekatnya seorang cewek juga sedang ber-ah, uh, ah, uh. Seirama dengan ah, uh, ah, uh Lupus. Keringat membanjiri jidatnya yang bagus.
Lupus menoleh ke cewek itu. Si cewek meringis.
"Capek, ya"" Lupus membuka suara.
"Iya," si cewek menjawab.
"Udahan, yuk""
"Hus, kamu mau kena setrap emangnya""
Dan Lupus memang mengurungkan niatnya. Lalu tetap ber-ah, uh, ah, uh terus. si cewek yang rambutnya dikuncir dua pake pita warna biru dan merah, juga ber-ah, uh, ah, uh. Sesekali ia menyeka keringat yang mengucur dari ujung idungnya.
Sementara itu di kejauhan seorang cewek yang juga manis, tapi judes, semangat memberi komando.
"Yak, terus! Satu-dua-satu-dua, jangan ada yang ngaso, ya" Awas kalo ketauan ada yang ngaso, tau sendiri akibatnya!" bentak si cewek lewat mikropon.
Hari ini memang hari pertama Lupus ikutan OSPEK. Orientasi Pengenalan Kampus, setelah sehari sebelumnya selesai penataran. Dan acara OSPEK hari itu sungguh menarik. Semua calon mahasiswa dan mahasiswi--cama dan cami" disuruh pus-ap. Acara yang bener-bener bikin cama cami suntuk dan mengeluh. soalnya bener-bener gak berperasaan deh para senioren itu. Masa di udara yang bisa bikin telur mentah jadi setengah mateng begini, di saat lebih enak tiduran di ruang ber-AC ini, para senioren itu dengan seenaknya menyuruh orang ber-olahraga-ria. Lupus tentu keki banget. Bukan cuma lantaran pus-ap yang bikin capek, tapi juga karena tingkah para senioren itu yang pada tengil. Membentak-bentak seenaknya kayak dia aja yang punya kuasa. Nyuruh-nyuruh orang semaunya, kadang-kadang malah perintahnya gak rasional sama keadaan.
Malah ada seorang senioren bernama Burhan yang letak matanya gak sejajar antara kiri dan kanan, dari tadi kerjaannya cuma membentak-bentak melulu. Tugasnya mengawasi Regu Mawar, regu di mana Lupus ngegabung. Lupus sering banget kena bentak Burhan. soalnya Lupus dianggap paling bandel. Suka ngelawan. Padahal di Regu M
awar itu Lupus kepala regunya. Biasanya kepala regu patuh-patuh. Tapi Lupus emang lain. Bukan cuma ngelawan, malah tu anak sering ngerjain Burhan. Misalnya pas disuruh lari keliling lapangan, Lupus dengan sengaja malah membawa regunya membawa lari ke jalanan. Hingga si Burhan kelabakan mengejar sambil memaki-maki dari belakang. Walhasil, doi juga jadi keringetan seperti cama-cami.
Dan siang itu, di saat anak-anak lagi melakukan tugas pus-ap-nya, Burhan keliatan paling tengil. Didampingi rekan sejawatnya bernama Abraham (yang ini punya ciri-ciri: idung pesek, dengan perut gendut yang miring sebelah), Burhan mondar-mandir melulu di depan Lupus. Sesekali nyengir penuh kemenangan. Sesekali nglirik cami kece yang pus-ap di sebelah Lupus. Tapi karena letak matanya yang gak kompak, gaya Burhan jadi kelihatan lucu banget. Abraham ternyata juga gak kalah tengilnya. Dengan gaya yang diwibawa-wibawain, dia terus memelintir-melintir kumisnya yang cuma panjang di sudut bibir doang.
Lupus tentu keki ban get ngeliat gaya mereka berdua. Juga Lusi yang dipanggil Lusiyem, cami yang pus-ap di samping Lupus. Sebenernya ratusan cama-cami yang lain juga keki dengan ulah para senioren yang pada sok jago. Mereka mengu"pat-umpat, dan menyumpah supaya para sen"oren c"at-cepat dipanggil yang berwajib, eh dipanggil Yang Maha Esa. Biar tau rasa. Abis tingkah laku mereka udah di luar batas.
Sering Lupus nyolong-nyolong ngelirik ke arah Burhan. Memperhatikan tingkahnya yang sering kali over. Tapi Burhan orangnya cukup peka. Kalo Lupus terlalu lama memperhatikannya, Burhan sering berasa. Dan membentak Lupus. "Ngapain liat-liat!" bentaknya.
Dan Lupus buru-buru mengalihkan perhatian. Di saat pus-ap itu Lupus juga masih sering memperhatikan tingkah Burhan. Terkadang tersenyum sendiri. Abis Burhan sering salah tingkah. Apalagi kalo yang diperhatiin adalah letak matanya yang gak sejajar itu.
Sementara itu udara siang makin panas membakar. Pokoknya kalah deh kompor. Maksudnya kompor yang belum dinyalain. Lima belas menit udah berlalu, tapi para senioren itu kayaknya belum ada niatan buat membubarkan acara pus-ap. Jadinya cama-cami masih naik-turun naik-turun. Padahal mereka udah keliatan capek banget. Ud"ah keliatan gerah. Keringat mengucur di leher, jidat, dan idungnya. Malah idung Lusi yang mirip es-krim itu kelihatan seperti mau meleleh. Lupus jadi kumat jailnya. - "Eh, Lus, ati-ati tu idung," Lupus mencoba memperingatkan.
"Lusi tentu aja bingung.
"Emangnya kenapa idung gue"" tanya Lusi.
"Ati-ati aja lumer jadi keringet, hihihi," ujar Lupus sambil ngikik.
Tapi Lusi gak marah diledekin Lupus. Malah suka, bisa buat sekadar hiburan. Cuma Abraham dan Burhan yang entah kenapa jadi marah.
"Hei, kamu! Kok dari tadi ngoceh melulu. Gak bisa diem, ya" Apa mau dijemur"" bentak Burhan galak.
Lupus kontan diem. Tapi ia sempat berbisik pelan ke Lusi, "Emangnya gue ikan asin, pake dijemur segala""
Lusi jadi cekikikan. "Siapa suruh -kamu ketawa" Naksir ya sama saya"" bentak Burhan lagi. Yeee, kok gak ada hubungannya banget sih bentakan tadi. Dari marah-marah, kok malah dituduh naksir. Ke-ge-er-an, ah!
Lupus ngedumel sendiri. Sementara Burhan dan Abraham melotot kayak sipir penjara.
Sementara itu senioren judes yang ngasih aba-aba lewat mikropon, menyuruh cama-cami menghentikan kegiatan pus-ap-nya.
"Alhamdulillah, akhirnya berakhir juga siksaan ini," ujar Lupus sambil terengah-engah. Cama-cami yang lain juga ikut lega. Merasa lepas dari penderitaan. Mereka buru-buru mengubah posisi. Tapi belum lagi sempat mereka melemaskan urat-urat tubuhnya, tiba-tiba si senioren judes langsung berteriak lagi.
""Yak, sekarang kalian lari-larian keliling lapangan sambil jongkok-berdiri jongkok-berdiri!" perintahnya.
Cama-cami pada melongo, sebelum akhirnya mengumpat, "Senior biadab!"
*** "Dari SMA Merah Putih yang berhasil masuk di Universitas Cafetariasakti ini sebenernya bukan cuma Lupus. Selain Lupus ada seorang lagi.
Anaknya manis, berkulit gelap, berambut keriting, dan ujung idungnya suka berkeringat. Namanya Boim. Udah tau, kan" Dia akhirnya yang masuk sospol. J
urusan yang pas banget buat dia, karena Boim hobi banget ngocol ngalor-ngidul. Sedang Lupus masuk Sastra Inggris.
Si Boim ini, meski udah banyak yang tau, sebetulnya masih menyimpan rahasia. Ya, tu anak paling demen ngeliat sesuatu yang berbulu. Ih, kok gitu" Ya, ini gara-gara waktu ngidam dulu, emaknya demen banget ngeliat bulu kaki suaminya. Sering tengah malam si emak terjaga dari tidurnya, dan segera menghampiri kaki suaminya. Langsung aja doi mencabuti bulu-bulunya. Kontan si suami jadi terperanjat bangun sambil menjerit, "Iiiiiii!!!"
Tapi karena sudah paham tabiat orang ngidam yang memang suka aneh-aneh itu, si suami gak marah. Malah makin sayang sama istrinya. Soalnya, konon yang bakal lahir menurut mimpi "adalah seorang bocah ajaib pembawa berkah.
Gak taunya Boim. Wah, nyesel deh!
Konon nama Boim kependekan dari bocah import. Ya, dia emang keturunan Jerman. Bapak jereng, emak preman. Atau ada yang bilang indo-Hong Kong. Bapak tukang bohong, emak tukang ngongkong. Tapi kata Boim, nama itu kependekan dari bocah impian.
Dan sebagaimana halnya Lupus, Boim pun wajib kena OSPEK. Padahal konon OSPEK udah dilarang. Tapi tradisi warisan turun-temurun itu selalu jadi arena balas dendam senior ke bawahannya. Boim bergabung dengan grup Kenanga. Bunga kenanga adalah bunga yang harum menyengat, tapi kesannya nyeremin. Karena sering dipakai buat ziarah. Biasanya bunga itu ditaburkan di atas kuburan.
Rupanya ada maksud juga panitia OSPEK ngasih nama Kenanga. Sebab ternyata mereka yang tergabung dalam grup Kenanga adalah cama-cami hasil seleksi ketat. Bukan seleksi dalam hal kece, tentu saja. Tapi yang sejenis Boim-lah! Pokoknya baik cama maupun cami yang gak enak diliat, masuk ke situ. Maka regu Kenanga ini paling dicuekin. Paling dianaktirikan. Dan sering diperlakukan secara lebih kejam dibanding regu lainnya. Udah gitu, biasanya, jarang banget ada senior yang mau ngeceng ke situ.
Dan Boim jadi ketua regu di situ. Makanya dia nampak tengil banget. Salah satu ketengilan Boim adalah naksir salah satu senior cewek yang jadi pengawasnya. Gila banget, kan"
Emang sih senioren cewek itu lumayan kece. Bibirnya bagus, berbentuk tomat gondol. Matanya sebulat lobi-lobi. Giginya biji ketimun. Rata dan mungil-mungil. Idungnya juga imut-imut, kayak melinjo. Wah, pokoknya kalo diliat bener menimbulkan selera. Makanya Boim naksir. Tapi, gile, Cing. Judesnya minta ampun!
Dasar Boim, kalo naksir, ia suka gak liat situasi. Setiap bentakan senior itu, dirasakan rayuan yang membuai. Setiap pelototan senior itu, dirasakan sebagai lirikan genit buat si Boim. Dan Boim kontan mengajaknya kencan. "Gimana kalo ntar malam selesai OSPEK saya antar kamu pulang""
Senioren itu kontan mendelik.
"Sip. Ntar, ya" Saya seneng banget kamu mau nerima tawaran saya. Kamu pasti gak nyesel ngebonceng di motor saya...."
Pendekar Patung Emas 3 Pendekar Slebor 15 Permainan Tiga Dewa Hamukti Palapa 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama