Ceritasilat Novel Online

Topi Topi Centil 2

Lupus Topi Topi Centil Bagian 2


Mas Wendo kembali ngamuk-ngamuk.
6. Mobil Boim Butut Sekali
DI KAWASAN selatan Ibukota ini, ada sekolah yang lumayan bagus. SMA Merah Putih namanya. Di mana semua murid-muridnya nampak ramah-ramah, kecuali yang tidak ramah. Semua muridnya manis-manis, kecuali Boim dan Gusur.
Dan, dari yang ramah-ramah dan manis-manis ini, ada salah satunya yang tampak ramah kemanis-manisan. Namanya Lupus. Anak inilah yang kini nampak asyik bergabung sama anak-anak kecil di depan gerbang sekolah. Ngeliatin tukang jualan berjejer-jejer. Ada yang jualan sagon, opak, manisan, asinan, pahitan dan lain-lainnya. Di sebelah sekolah Lupus memang ada SD Inpres. Jadi suka rame sama tukang jualan.
"Jualan apa, Mas"" tanya Lupus iseng kepada tukang jualan ikan hias. Tukang yang tadinya cuek, langsung semangat 45 ngejelasin, "Ikan hias, Dik. Bagus-bagus. Ada ikan maskoki, ikan cupang. Mau beli""
"Ikan ayam ada""
Tukang jualan itu bengong. Lupus dengan tanpa dosa, kembali sibuk melihat-lihat tukang yang jualan keong. Terkagum-kagum dengan kakinya yang gede-gede.
"Bisa gigit nggak, Bang"" tanya Lupus.
"Oh, enggak, Dik. Dia baik hati kok. Coba aja pegang."
"Bisa dimakan""
"Ya, enggak dong!"
"Lantas, buat apa dijual" Ada-ada aja Abang ini. Mending jualan semut aja. Meski nggak bisa dimakan, tapi masih bisa gigit," ujar Lupus seraya membetulkan letak tali tasnya yang melorot turun.
Lonceng sekolah berdentang di kejauhan. Lupus pun bangkit, dan bergegas membeli beberapa biji permen karet. Namun sebelum memasuki gerbang sekolah, di kejauhan terdengar suara yang menderu-deru, bagai tank perang. Lupus menghentikan langkah dan menoleh ke arah sumber suara. Makhluk apa itu"
Ternyata cuma sebuah kendaraan kecil dengan bak terbuka. Dari jendela kendaraan itu, muncul seraut wajah yang sangat Lupus kenal. Siapa lagi kalo bukan Boim leBon, playboy kesohor itu"
"Oiii... kaukah itu, Lupus" Sini dong. Saya punya sesuatu yang menarik."
Lupus langsung tertarik. Setengah berlari dia nyamperin Boim.
"Busyet, apaan nih, Im" Kok butut amat" Gerobak sampah Pak Erte, ya""
"Sialan. Ini mobil baru saya. Gres dari tukang loak. Hebat, ya" Nah, dengan modal gerobak begini, tentu citra saya sebagai playboy yang tengah naik daun bakal terus melambung. Sebagai sahabat yang baik, tolong dong bantuin dorong dikit. Mesinnya ngadat lagi, nih!" ujar Boim.
"Enak aja! Emang gue apaan"" ucap Lupus sambil melangkah pergi. Nyesel dia nyamperin tadi.
"Eh, tunggu... Aduh, Pus. Tolong dong. Sekaliiiii aja," rengek Boim.
Lupus memandang Boim kesal.
"Lagian, barang rongsokkan begini, pake dibeli segala. Ketauan mending naik delman sekalian!"
Tapi setelah dirayu-rayu pake duti gocapan, akhirnya Lupus mau juga bantuin dorong.
"Itung-itung olahraga, Pus. Kan seger."
"Diem lu!" Satu, dua... uh... gerobak Boim tak bergerak.
Lupus mencoba lagi dengan sekuat tenaga. Satu, dua... uh!
Tetap tak bergeming. Kepala Boim melongok ke belakang, "Hei, kok nggak jalan-jalan""
"Berat banget, Im. Giginya kamu masukin kali, ya""
"Giginya siapa""
"Giginya mobil. Goblok!"
"Oh, iya. sori. Sekarang coba lagi deh!" ujar Boim seraya memindahkan gigi.
Lupus mencoba. Nah, sekarang mulai bergerak. Meluncur perlahan dan... grung-grung-grung.. mesinnya nyala. Boim pun berteriak-teriak girang. Mobilnya langsung meluncur mulus ke pekarangan sekolah. Tinggal Lupus yang berlari-lari dengan keringat bercucuran.
Akibatnya, keduanya memang agak telat masuk pelajaran pertama. Fisika lagi!
"Kamu deh yang masuk duluan, Pus," suruh Boim.
"Nggak ah. Saya ini p
emalu sekali, Im. Kamu aja deh," ujar Lupus sambil mendorong tubuh Boim kuat-kuat, sehingga membentur pintu kelas. Mau nggak mau dengan nyengir kuda, Boim menundukkan kepala kepada Mr. Punk, guru fisika. Karena pintu kelas sudah terlanjur terbuka.
Untuk saja mereka baru terlambat beberapa menit, sehingga diperbolehkan masuk.
*** Ternyata naik mobil yang hobi mogok kayak punya si Boim ini lebih menyebalkan daripada naik BMW. Bayangin aja, baru jalan beberapa kilo, sudah minta macem-macem. Yang pintunya nggak bisa ditutuplah, yang klaksonnya korset jadi bunyi terus, yang lampunya tiba-tiba nyalalah, pokoknya macem-macem. Overakting banget tu mobil. Belum lagi kalo lampu merah, suka nggak bisa distarter. Walhasil, Lupus dan Anto-yang ketiban sial nebeng di mobil Boim-dapat tugas dorong mobil. Duh, malu-maluin banget. Mana diliati cewek-cewek manis, lagi!
Waktu dibawa ke bengkel, tukang bengkelnya malah bikin sebel, "Udah aja pintunya dipakein gembok. Pasti nggak kebuka-buka lagi, deh," ujar tukang bengkel.
Boim ngamuk-ngamuk. "Dikata pintu gerbang apa mobil gue!" makinya.
"Terus lampunya juga, Mas. Suka tiba-tiba nyala sendiri, dan sulit dimatikan. Gimana tuh"" tanya Boim
"Oto, kalo gitu. Mobil anda punya inisiatif yang rada gede juga. Kreatif, gitu. Nggak dinyalai, lampunya bisa nyala sendiri. Kalo uda begitu, matiannya pake karung basa aja. Kali-kali bisa..."
Boim dongkol setengah mati.
Tapi bukan Cuma Boim. Lupus dan Anto yang hari itu ngikut di mobil Boim, sempet dongkol juga. Mana si Boim nyetirnya belum jago, sehingga nggak jarang tu mobil jadi mendadak jaipongan gila-gilaan kalo melewati jalan berlubang.
Mobil jenis carry dengan bak terbuka ini memang harusnya untuk dua orang aja. Tapi mereka nekat duduk bertiga. Nggak apa-apa. Kecil-kecil ini. Dan ketika di tikungan jalan mereka distop polisi, Lupus yang hobi ngocol nggak nampak ketakutan.
"Saudara-saudara ini bagaimana. Kenapa duduk bertiga di depan"" hardik Pak Polisi.
"Lho, bapak ini gimana sih" Kalo kami duduk berempat yang nggak muat dong!" sahut Lupus tenang.
Polisi itu mengangguk-angguk. Mereka pun bebas.
Tapi sebab-musabab kenapa Lupus dan Anto begitu bela-belain ikut di mobil Boim tentu saja ada. Sepulang sekolah tadi, mereka janjian mau ke rumah Astri, anak manis yang baru mereka kenal beberapa hari yang lalu di ulang tahun Svida. Tapi berhubung sepanjang siang itu mobil Boim sibuk bermogok-ria di sepanjang jalan, terpaksa lewat magrib mereka baru bisa jalan.
Rumah Astri sendiri lumayan jauh. Di ujung Ibukota, dekat perbatasan Bogor. Katanya, pake keluar masuk kampung dulu. Tapi dasar mereka bertiga berjiwa baja, ya cuek aja. Tetap ingin disamperin. Abis Astrinya sendiri manis banget.
"Busyet jalanannya gelap amat"" ujar Boim cemas. Soalnya sinar lampu mobilnya nampak menyala dengan malu-malu. Kadang terang, kadang redup. Saat itu mobil telah jauh meninggalkan keramaian kota. Yang tinggal cuma jalan tanah yang berbukit-bukit dengan semak belukar di kanan-kiri.
"Kamu yakin arahnya benar" Kamu tau daerah rumah Astri"" tanya Anto cemas.
"Kayaknya tau. Tapi... ah sudah. Tenang aja."
Dan perlahan-lahan, hujan mulai turun. Membuat jalanan jadi becek. Di jalan yang agak menurun, mobil Boim meluncur agak cepat. Tapi... dor! Malapetaka terjadi. Sebuah batu tajam dihantam roda mobil Boim yang gundul. Tanpa ampun, ban pun pecah.
"Inilah yang saya takutkan, Pus. Saya nggak bawa ban serep," keluh Boim lemas.
Lupus dan Anto saling berpandangan. Mereka jadi ingat kejadian serupa dahulu, waktu mau ke Puncak nonton terang bulan. Kejadian itu seolah berulang. Terjebak di daerah yang jauh dari peradaban dengan hujan yang mulai turun di luar sana.
"Jangan taku, kawan," ujar Boim setelah memeriksa ban mobil. "Masih bisa dibetuli. Tadi saya lihat ada tukang ban sekitar satu kilo dari sini. Siapa yang mau menemani saya membawa ban""
"Saya!" "Saya!" Lupus dan Anto berebut mau ikut.
"Salah satu aja. Yang seorang lagi harus menunggu mobil. Gimana" Anto aja deh yang ikut, Lupus jaga mobil."
Anto langsung menyambut hangat. Melompat dari kursi dan langsung b
erpayungan dengan Boim. Lupus memandang bengong ke arah mereka berdua.
"Kamu berani, kan, Pus" Cuma sebentar, kok. Kamu tutup aja semua jendela, jadi kan nggak ada setan yang masuk," ledek Boim.
"Jangan nakut-nakutin dong!"
Boim dan Anto cekikikan. Lalu mereka pun pergi membawa ban yang pecah itu ke tukang tambal ban.
"Jangan lama-lama, ya"" teriak Lupus di antara deras hujan.
*** Rasanya sudah berabad-abad menunggu, dua makhluk itu tidak muncul-muncul juga. Keparat. Ke mana saja mereka" Apa nggak tau Lupus lagi ketakutan" Bagaimana nggak takut" Sendirian di tengah alam buas yang nampak belum tersentuh peradaban" Siapa tau penduduk sini termasuk jenis pemakan manusia" Hiii, Lupus langsung membuang angan-angan buruk itu.
Tiba-tiba, tok-tok-tok. Dari kaca samping, seorang yang nampak mengerikan mengetuk-ngetuk kaca jendela. Lupus kaget setengah mati. Siapa itu" Pikiran Lupus mulai kacau. Keringat dingin keluar, membasahi seluruh tubuh.
Tok-tok-tok! Orang itu mengetok lagi. Sambil menunjuk ke arah mulutnya yang jelek dan bau itu. Lupus makin bergidik. Inikah jenis pemakan manusia itu" Bagaimana kalau dia bisa mendobrak pintu" Lupus pun mengutuki Boim dan Anto yang tak kunjung datang.
Tapi untung akal sehat Lupus kembali jalan. Orang yang mengerikan itu nampak kedinginan di luar. Mukanya pucat. Jangan-jangan dia hanya pengemis seperti biasa" Berangkat dari dugaan itu, Lupus pun memberanikan diri membuka jendela, "Ada apa, Pak"" katanya tenang. Padahal ujung kelingkingnya udah gemetaran.
"Saya lapar sekali, Dik," suara yang bergetar dari orang tua itu membuat Lupus jadi kasihan. Orang ini benar-benar hanya pengemis.
Lupus menghela napas lega, lalu memberikan beberapa potong roti yang dibawa dari sekolah. Roti itu langsung dilahap rakus oleh sang pengemis.
Beberapa saat mereka saling membisu.
"Bapak mau ke mana"" tanya Lupus.
Seperti diingatkan sesuatu, orang itu lantas bangkit. Mengucapkan terima kasih, dan hendak melanjutkan perjalanan.
"Bapak tak menunggu hujan reda""
Orang itu menggeleng. Tapi sebelum pergi, dia memberikan sebongkah bungkusan kepada Lupus, "Mungkin berguna untukmu, Nak. Terima kasih buat segalanya."
Beberapa saat kemudian orang itu pergi, Lupus sempat menatap kepergiannya dengan rasa iba. Orang itu sudah sangat ringkih. Mau ke mana berkeliaran dalam hujan begini"
Karena lelah, Lupus pun tertidur di dalam mobi. Lupa segalanya.
*** Lupus terbangun ketika Boim dan Anto ribut-ribut di luar.
"Dari mana aja kalian" Lama bener!" maki Lupus.
"Buka, Pus. Buruan. Kita lagi bingung nih. Kunci mobil yang kita bawa jatuh. Jadi dari tadi kita-kita sibuk nyariin tu kunci. Makanya lama banget. Ban mobilnya sih udah dibetulin!" jelas Anto.
"Bagus, ya. Kenapa nggak sekalian bannya aja yang ilang"" ujar Lupus dongkol.
"Di mobil nggak ada"" tanya Boim.
"Enggak. Kan kamu yang bawa, Im."
Wajah Boim nampak lesu, lelah, letih, lemah. Tak bersemangat. Apa yang bisa dilakukan sekarang"
"Bagaimana kalo kita cek sekali lagi" Kita telusuri jalan yang kita lalui sekali lagi"" saran Anto. Boim mengangguk lemas.
"Saya ikut!" cetus Lupus, lalu sibuk mencari sepatu ketsnya yang dilepas di mobil. Di dekat bungkusan. Eh, ini kan bungkusan yang tadi diberi pengemis itu" Apa ya isinya" Lupus pun memungut, dan membuka. Siapa tau jimat agar bisa enteng jodoh.
Sesuatu gemerencing muncul dari bongkahan kertas.
"Lho, ini kunci apaan"" Lupus membelalak ketika tau isi bungkusan itu.
Boim langsung memeriksa. "Bego! Itu kunci yang kita cari-cari. Kamu ngumpetin di mana"" teriak Boim riang.
Lupus cuma bengong. Ngumpetin" Itu kan dari bungkusan yang diberikan si pengemis" Apa orang itu yang menemukan"
Lupus tak tau. Boim dan Anto pun tak pernah peduli. Yang pasti, mereka kini cukup gembira bisa melanjutkan perjalanan.
Seseorang yang tampak mengerikan, kadang bisa jadi malaikat penolong bagi diri kita.
7. Gusur, Masih Ada Becak yang Bakal Mangkal...
MELOMPAT-LOMPAT di atas kasur empuk adalah kebiasaan Lupus yang baru. Ya, sejak ibunya mau berbaik hati mengganti kasur lama dengan kasur pegas ini. Lupus jadi doyan bang
et berbalet-ria di atasnya. Kayak pemain sirkus. Akibatnya sering terjadi hujan kapuk tidak merata di kamarnya. Kalo sudah begini, maminya sering ngamuk-ngamuk karena bantal-bantal pada dobol. Tapi Lupus emang bangga banget punya kasur baru itu. Nggak ada kutunya. Nggak kayak rambut Boim yang kutuan.
Dan siang itu, jam tigaan sepulang latihan aubade di Senayan, Lupus langsung menuju kamarnya. Penget cepat-cepat melompat-lompat lagi. Tapi ketika siap ambil ancang-ancang untuk terjun ke arena permainan balita itu, wajah ibunya tiba-tiba nongol dari balik pintu. Memergoki. Lupus jadi cengar-cengir.
"Ayo, Lupus. Kamu sudah cukup uzur untuk kembali menjadi balita...," tegur ibunya.
"Ya, Bu," sahut Lupus patuh.
"Itu tadi teman kamu kemari. Nunggu lama. Terus ninggal pesan di whiteboard-mu. Katanya lumayan penting."
Lupus menoleh ke arah whiteboard. Di situ ada secarik kertas yang menempel. Lupus memungut dan membaca.
Lupus temanku, Tadi Adit, ketua teater itu, titip pesan. Katanya sore ini kamu harap datang di acara anak-anak teater. Ditunggu selewat senja. Katanya penting. Dan, katanya lagi, kemungkinan besar ada acara makan-makan.
Jangan lupa ajak daku, kalau jadi.
Dan jangan ajak-ajak daku, kalau tak jadi.
Tapi lepas dari masalah makan-memakan itu, masalahnya sendiri amatlah penting. Maka, kata Adit, usahakan datang. Yah, sesial-sialnya jemputlah daku dulu.
Kasihanilah daku, Pus. Tadi pagi, daku merana betul tak dapat ikut aubade. Tak kebagian jatah teh kotak dan kue geplak.
Rasanya, daku Cuma bisa bilang
Selamat menjemputku. Kutunggu kau selalu. Mudah-mudahan pesan ini bisa komunikatif. Walau sedikit, yang penting legit.
Cuma, jangan sampai digigit.
Yang paling kece, Gusur. *** Maminya lagi sibuk bikin kue sama Lulu, ketika Lupus keluar kamar lengkat dengan tasnya yang berisi baju.
"Mau ke mana lagi, Pus" Minggat" Gi dah jauh-jauh," ujar Lulu sambil mengolesi kue dengan putih telur.
Lupus tak menanggapi. "Bu, saya mau ke acaranya anak-anak teater di Cibubur. Saya emang sudah janji mau ikutan acara Jurit Malam buat ngerjain anggota teater yang baru. Boleh ya, Bu""
"Baju hangatnya sudah dibawa""
"Udah. Di tas."
"Kasurnya nggak dibawa sekalian"" ledek Lulu.
Lupus menjulingkan matanya kepada Lulu. Lulu berteriak sambil menutup matanya. Dia emang paling takut geliat orang juling. Takut matanya ikut-ikutan juling dan tak kembali lagi.
"Dadaaaah!" Lupus pun bersepeda ke rumah Gusur.
Meski Lupus bukan anak teater, tapi dia emang minta ke Adit untuk jangan malu-malu mengundangnya kalo ada acara Jurit Malam. Soalnya Lupus mau ikutan nyamar jadi hantu buat nakut-nakutin anggota teater yang baru. Sekalian ngeceng.
*** Hari sudah hampir mitnait keetika anak-anak anggota baru itu dikumpuli di lapangan Cibubur. Wajah mereka rata-rata tegang. Maklumlah satu persatu mereka akan dilepas jalan-jalan ke daerah-daerah sepi buat tes mental. Suasana yang sejak awal dibikin seram, membuat anak-anak pada ketakutan. Malah ada yang mendadak pingsan ketika Gusur iseng cerita-cerita tentang pengalamannya ketemu jin irit.
Lupus yang nantinya dapat tugas nakut-nakutin mereka, sibuk membayangkan, betapa asyiknya melihat anak-anak cewek menjerit-jerit histeris.
Di lain pihak, Gusur sibuk ngecengin anak-anak cewek yang manis-manis. Rupanya dia punya misi tertentu di sini.
"Kadang walau rasanya mustahil, tapi suatu kali dalam hidup kita, kita akan bertemu dengan hal-hal yang ganjil. Ada kehidupan lain selain ini. Tapi cuek aja. Acara Jurit Malam ini adalah untuk mengetes mental kalian. Kalo sudah ketakutan setengah mati, silakan pingsan. Nanti kami jemput...," ujar Adit sebelum melepas anak-anak pergi. Setiap anak harus berangkat selang beberapa saat setelah anak sebelumnya berangkat dengan membawa sebatang lilin yang harus dijaga jangan sampai apinya mati. "Kalo apinya koit, silakan merangkak sampai pos berikutnya untuk minta api lagi," jelas Adit. "Rutenya telah ditentukan. Ada rambu-rambunya, seperti yang telah dijelaskan. Di sana ada empat pos dan di setiap pos ada panitia yang bakal mengetes pengetahuan kalian tenta
ng teater. Oke, selamat berjurit-malam. Sampai ketemu di pos terakhir, atau tidak sama sekali."
"Waaaaa...," seorang cewek jatuh pingsan lagi. Ketakutan.
Setelah itu, Lupus bersama Gusur, Anto dan Dian berangkat duluan ke arena pembantaian. Dian yang rambutnya panjang itu cocok banget jadi kuntilanak. Sedang Gusur, jadi jin irit. Jin kesayangannya. Lupus sama Anto milih jadi pocong.
Mereka berempat berjalan sambil bersiul-siul tenang. Menelusuri jalan setapak menuju tempat gelap. Gusur yang paling terdengar nyaring siulannya. Soalnya Lupus tau, doi lagi suka sama seseorang. Bukan Fifi Alone, Gusur udah bosen, meski belum tentu sampe sekarang cintanya terbalas. Tapi Gusur lagi suka sama anak baru yang punya wajah bulat. Namanya Wulan. Makanya dia semangat banget. Bisa-bisa malam ini juga lahir berpuluh-puluh puisi cinta untuk Wulan.
Lewat dari pos ketiga, mereka mengatur strategi. Gusur di dekat pos, Anto sama dian curang, maunya berduaan saja di dekat kuburan. Sedang Lupus di ujung jalan setapak.
"Yaaa... saya jangan dibiarkan sendirian doooong!" rengek Lupus.
"Ih, penakut amat! Masak ada hantu takut sih" Sana gih cepetan, keburu anak-anak lewat!" ujar Dian.
Dengan langkah gontai, Lupus pun menuju ke ujung jalan setapak.
"Pokoknya sip deh, Pus. Kita bikin mereka menjerit-jerit ketakutan. Hahahaha...," seru Anto semangat.
Suasana pun kembali sepi dan tegang.
*** Rasanya Lupus sudah jongkok berjam-jam di bawah pohon dengan segala perlengkapannya, tapi belum ada tanda-tanda bakal munculnya anak-anak baru itu. Kok lama sekali, ya" Padahal Lupus diem-diem udah merasa takut juga. Takut tiba-tiba ada kembarannya lagi asyik berjongkok di sampingnya dan menyapa dengan ramah, "Halo, pocong, kenalan dong. Kamu baru mati ya"" Hiiiiiy!!!
Maka Lupus pun melongok-longok ke jalan setapak. Di mana anak-anak yang lain" Ah, mungkin memang belum sampai ke sini. Lupus pun menunggu lagi. Tapi, aduh sialan! Sumut-semut nakal dari tadi menggigit-gigit terus. Nggak tau ya, kalo saya ini hantu" Ntar tak cekik tau rasa! Maki Lupus pada semut-semut itu.
Tiba-tiba Lupus melihat ada nyala lilin di kejauhan. Nah, ini dia korban pertamanya. Maka, Lupus siap ambil ancang-ancang. Bakalan seru nih! Bakal ada acara jerit-jeritan.
Lupus pun siap-siap tarik napas.
Satu menit, dua menit. Kok nggak lewat-lewat.
Lupus penasaran. Kembali melongokkan kepalanya dari balik semak. Lho, ke mana orang yang tadi itu" Jangan-jangan... Hiiiy, Lupus mulai ketakutan. Apalagi suasana di sekitar gelap sekali. Cuma samar-samar aja Lupus bisa geliat lewat senter kecilnya.
Tiba-tiba... krosak! Ada sekelibat bayangan putih di belakang Lupus. Lupus menoleh dan menjerit, "Hiyaaa..." Lupus pun berlari terbirit-birit menerjang semak belukar. Bayangan putih itu seakan mengikuti terus.
"Tolooooong... ada hantuuuuuuu...," Lupus menjerit-jerit.
"Lupus... Lupuuuuuus... ini saya... Anto...," seru suara di belakangnya.
Setengah tak percaya, Lupus berhenti dan menoleh.
"Ini saya, Pus, Anto," ujar Anto sambil membuka kain putihnya.
"Sial lu. Bikin panik orang aja...," suara Lupus masih terdengar bergetar ketakutan. Lutunya serasa mau copot.
"Sori. Saya lagi cari-cari kamu dari tadi. Abis nggak ada anak yang lewat. Saya jadi ketakutan sendiri."
"Saya juga. Aneh ya. Kok nggak ada yang lewat sini"" ujar Lupus dan Anto ketakutan di bawah pohon rindang.
"Barangkali kita salah jalan. Rutenya bukan lewat sini."
"Dian ke mana""
"Tadi katanya mau balik ke pos sebentar. Tapi kok nggak balik-balik lagi. Saya jadi kuatir. Eh, kamu denger suara bayi nangis nggak""
Lupus merapatkan diri ke Anto. "Jangan nakutin, To. Gue jitak lu!"
"Ee, denger aja sendiri, tuh. Hm.. bau apa ya ini""
Lupus menajamkan pendengaran dan penciumannya. Iya, ya. Bau apa, nih" Seperti...
"Kak..." Sepotong tangan halus menjawil pundak Lupus. "Hiyaaaa..." Lupus pun menjerit tertahan dan lari terbirit-birit. Anto nggak kalah cepat larinya. Mereka berlarian dengan ribut sekali. Tanpa sadar mereka sudah sampai di pos terakhir. Di situ anak-anak senior dan anak baru udah pada ngumpul.
"Tolooooong... tolooo
ong... ada hantuuuuu...," jerit Lupus. Anak-anak di pos panik. Menyambut Lupus dan Anto yang pucat kayak mayat.
"Ada hantu di mana"" tanya Adit.
"Itu... di.. deket kuburan. Menjawil pundak saya...," ujar Lupus sambil jongkok ketakutan. Anto ikut-ikutan. Mereka berdua kayak anak ilang. Ketakutan, merana, sekaligus lapar.
Belum sempat Adit bertanya lagi, seorang gadis datang berlarian sambil menangis. "Kak Lupus jahat. Saya ditinggali," ujarnya. Oo, rupanya anak tersesat itu yang tadi menjawil pundak Lupus.
Anak-anak di pos pun pada tertawa terbahak-bahak. Termasuk anak barunya. Huahahahaha... ada hantu penakut... hahahaha...
Beberapa saat kemudian, suasana tegang itu berakhir. Mereka kembali ke perkemahan untuk bernyanyi-nyanyi. Semua anak yang tersesat sudah dijemput. Tinggal Gusur yang dicari-cari nggak ketemu.
"Gusur mana, Dit" Jangan sampai ilang makhluk langka itu. Soalnya saya harus bertanggung jawab sama engkongnya. Saya yang ngajak tadi," ujar Lupus.
"Tadi sih ada," sahut Adit sambil celingukan. "Nah, itu dia. Di dekat kubangan."
Lupus menatap ke arah yang ditunjuk Adit.
"Ngapain dia sendirian di situ""
"Ah, biasa. Mungkin lagi bikin puisi patah hati. Abis dia tadi ngamuk-ngamuk gara-gara ada anak cewek yang pingsan ketika melihat dia di jalan setapak. Padahal dia belum pake apa-apa. Apa wajahnya sudah cukup menakutkan tanpa nyamar jadi hantu, ya""
Lupus tertawa. "Siapa sih cewek yang pingsan itu""
"Wulan. Dia ada di P3K. Nggak sadar-sadar. Mungkin shock berat. Beberapa menit yang lalu si sempet sadar, tapi begitu geliat Gusur langsung pingsan lagi. Trauma, kali!"
Lupus terpingkal-pingkal.
*** Anak-anak asyik bernyanyi-nyanyi di lingkaran api unggun, ketika Lupus sibuk merayu-rayu Gusur untuk bergabung.
"Sudahlah. Lupakan Wulan. Kan masih ada gadis lain. Seperti Brook Shield, Yanti Issoedibyo, atau sesial-sialnya Fifi Alone juga boleh."
"Huh, rasanya hidupku tiada berarti lagi. Tiada harapan untuk masa depanku," ucap Gusur lirih.
"Hei, jangan pesimis begitu dong."
Pandangan Gusur kosong menatap ke cakrawala nan gelap. Segelap masa depannya"
"Tidak, Sur. Selama masih ada becak yang bakal mangkal, kamu masih selalu punya harapan untuk masa depanmu..."
Gusur menatap Lupus. "... sebagai tukang becak."
Hahahahaha... 8. Vita lagi ke Salon SORE yang cerah. Lupus nampak ngos-ngosan berdiri di depen pintu rumah Aji yang baru. Napasnya senen-kemis. Keringatnya mengucur satu-satu membasahi muka. Sial, sepanjang sore itu dia emang keki banget dikerjai abis-abisan sama si Aji. Anak gokil itu pindah rumah nggak bilang-bilang. Walhasil, sepanjang sore Lupus udah kayak salesman aja. Nyari alamat Aji dari satu rumah ke rumah lain. Door to door, cost to cost. Sambil mengulang-ulang kalimat yang sama, "Spadaaa" Di sini rumah Aji"" Untung aja Lupus naik sepeda balapnya. Coba kalo jalan kaki"
Tapi walau begitu, hatinya lega juga ketika rumah yang dicari-cari akhirnya ketemu. Lupus pun turun dari sepedanya dan langsung mencari bel. Tiba-tiba, guk-guk-guk! Ada suara anjing kecil yang menyambutnya hangat. Lupus kaget, langsung mundur beberapa langkah.
Guk-guk-guk! Anjing jelek itu terus menggonggong.
"Siapa itu, ya"" terdengar suara ibu-ibu dari dalam. "Tukang susu atau tukang koran""
Busyet, pilihannya kok nggak ada yang enakan dikit" Maki Lupus dalam hati. Abis mau jawab gimana" Dibilang tukang susu bukan, dibilang tukang koran juga bukan.
Guk-guk-guk! Anjing itu makin hot menggonggong.
"Siapa, ya"" suara itu terdengar lagi. "Lupus, ayo masuk! Ayo masuk, Lupus!"
Lupus kaget. Eh, kok ternyata dia ngetop juga di sini" Sampe-sampe ibunya Aji tau. Padahal ketemu aja nggak pernah.
"Eng... iya, Tante. Terima kasih!" jawab Lupus sopan.
Tapi tantenya nggak muncul-muncul.
Guk-guk-guk! "Jangan nakal, Lupus, ayo masuk!" ibunya Aji muncul di pintu. Langsung tersenyum pada Lupus. "Eh, ada tamu. Cari siapa" Temannya Aji atau Vita"" sahut ibu itu sopan. Lalu melotot lagi kepada anjing jelek yang masih napsu sama Lupus. "Ayo, Lupus! Jangan nakal! Ayo masuk, Lupus! Kamu tidak boleh menjilat-jilat begitu, ya" Eng..
eh, iya, Nak. Silahkan masuk. Maaf, anjing tante nakal sekali. Nak tak takut, kan" Namanya siapa" Biar tante panggilkan anak tante..."
Lupus bengong. Jadi, tadi yang dipanggil Lupus,Lupus itu anjingnya" Dasar Aji keparat. Ini pasti kerjaan dia, seenaknya ngasih nama keren ke seekor anjing. Awas aja kalo muncul nanti...
"Eh, maaf..." Tante yang udah masuk tadi, kini keluar lagi. "Eng... Tante lupa. Anak ini namanya siapa tadi" Aji atau Vita" Ayo, Lupus! Jangan nyalak lagi!!!"
Lupus tersenyum kecut. "Saya temannya Aji, Tante..."
"Oh, silahkan duduk. Biar tante panggilkan..." ibunya aji tersenyum ramah. "Ajiiiii... ini lho ada temanmu satu lagi!"
Lupus duduk di sofa. Melepas napas lega. Kalo nggak ada gosip bahwa adiknya si Aji ini kece, nggak bakalan deh Lupus bela-belain nyari rumah si kunyuk ini. Pasalnya, tadi pagi Lupus emang disuruh ke rumah Aji. Mau ada acara. Tapi aji nggak bilang-bilang kalo rumahnya bergeser beberapa kilo dari tempat yang dulu. Maklum, rumah yang dulu itu ternyata kena Gusur pelebaran jalan. Jadi pindah ke pedalaman. Tapi rumah barunya ini cukup keren juga kok, dibanding kandang bebeknya si Boim.
"Halo, udah lama"" suara riang Aji terdengar. "Ditunggui dari tadi nggak muncul-muncul. Kayak orang penting aja! Padahal nggak!"
"He, jelek! Harusnya gue yang marah,tau! Nggak tau ya, kalo sepanjang sore ini gue udah kayak salesman aja. Door to door, nyariin rumah kamu. Pindah rumah nggak bilang-bilang!"
Aji ketawa. "Sori, kirain udah tau. Abis nggak tanya-tanya sih. Gusur sama Boim aja tau. Ayo deh, langsung aja ke belakang. Nyapu-nyapu halaman atau ngapain gitu, kek."
"Keparat!" Lupus langsung mengikuti langkah Aji ke belakang. Sempet ketemu juga sama anjing jelek Aji yang bernama...
"Hei, Kunyuk! Siapa yang ngasih nama anjing kecil jelek sialan itu" Pasti kamu, ya"" ucap Lupus tiba-tiba sambil mencengkeram kerah baju Aji. Aji bengong sejenak. Lalu tawanya meledak, Lupus semakin jengkel.
"Sori... sori... maksud saya kan baik. Supaya teringat terus sama kamu... hahahaha."
"Nggak lucu. Jangan ketawa. Emang gitu caranya supaya inget sama saya"" Lupus ngamuk-ngamuk.
"Abis gimana lagi"" ujar Aji di tengah tawanya. Lupus langsung mencekik lehernya supaya berhenti ketawa. "Ampun, Pus, ampun! Jangan marah-marah gitu dong! Ntar nggak jadi saya kenalin sama adik saya lho!"
Lupus mendengus. Tapi diem-diem cemas juga kalo sampe nggak jadi kenalan sama adik Aji yang cakep. Yeah, dia harusnya bermanis-manis sama Aji. Soalnya ada pepatah, kalo mau sama adiknya, bermanis-manislah sama kakaknya dulu. Siapa tau ditolak.
Sampai di belakang, ternyata dua makhluk jelek lainnya, Gusur dan Boim, udah ngejogrok duduk dekat kolam kecil. Langsung ber-haha-hehe sama Lupus. Wah, makhluk-makhluk ini kalo ada barang bagus pasti paling duluan deh. dikirai Lupus doang yang bakal dikenali.
"Nah, ini peserta ketiga. Teman-teman silakan membereskan urusan administrasinya dulu ke saya. Uang pendaftaran seribu perak," ujar Aji.
"Pendaftaran apa"" Lupus kurang paham.
"Lho-katanya pengena kenal sama adik saya. Daftar dulu dong."
Lupus mencibir. "Kualat lho-adik sendiri dikomersilin. Materialistis lu!"
Tapi ternyata Aji tega juga. Meski udah tau misi ketiga cowok datang ke rumah Aji mau minta dikenalkan sama Vita, tapi sampe lewat magrib, nggak ada tanda-tanda bakal dimunculkannya cewek manis itu. Aji malah asyik mengajak anak-anak main kartu dan gaplek. Sambil sesekali keluar-masuk rumah membawa makanan kecil dan minuman. Gusur yang punya tampang waduk Jatiluhur (singkatan dari : wajah dukun namun jiwa dan hatinya luhur), nampak nggak bernafsu main. Boim apalagi. Cuma Lupus yang bisa menyembunyikan perasaannya. Pura-pura konsentrasi ke permainan kartu truf. Padahal dari tadi kalah melulu. Ngocok melulu. Dia emang paling enggak berbakat pada jenis-jenis permainan yang menjurus ke kuli-kulian gitu (Soalnya hanya kuli dan para tukang becak yang paling jago main kartu dan gaplek. Itu kata Lupus lho!)
"Kok belum ada tanda-tanda, ya"" bisik Boim ke Lupus.
"Tanda-tanda apa""
"Tepatnya, kita semua menanti pertanda," tamb
ah Gusur. "Pertanda apa""
"Jangan berlagak bego, Pus! Itu si Vita!"
"Oooo..." Aji menoleh ke arah Boim. Sempet denger juga. "Vitanya lagi ke salon."
"Ke salon"" Boim terpekik. Gusur ikut-ikutan. "Jadi dia tau saya bakal datang kemari" Wah-seharusnya nggak usah serepot itu, Ji. Nggak usah ke salon segala kalo mau ketemu saya, Ji. Ah, saya jadi nggak enak..."
"Begitu juga dengan daku...," ujar Gusur ikut-ikutan.
"Apa sih lu, Sur! Ikut-ikutan aja!" bentak Boim.


Lupus Topi Topi Centil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maksudnya, daku juga merasakan seperti yang dirasakan olehmu, Im," ujar Gusur membela diri.
"Tapi..." "Kalem, Im. Kalem. Adik saya ke salon bukan lantaran kamu mau dateng. Jangan ge-er dulu dong. Dia toh nggak bakal buang duit ke salon kalo cuma pengen ketemu preman pasar macam kamu. Dia ke salon karena hari ini dia ulang tahun. Malam ini. Makanya kalian saya suruh datang. Nemenin saya," jelas Aji.
"SETUJU!" pekik Gusur.
"Jadi, malam ini kita bisa ngecengin temen-temennya Vita" Wah, wah, bakalan seru nih. Tapi biar sejuta bidadari yang bakal dateng diundang, saya tetap setia sampai mati dengan adikmu, Ji!" mata Boim berbinar-binar.
"SETUJU!" "Diem lu,Sur! Nanti pas Vita pulang dari salon, saya yang bakal kasih sun selamat ulang tahun yang pertama kali!" lanjut Boim.
"SETUJU! Daku juga..."
"Kamu kok diem aja, Pus. Nggak suka ya ikutan ngeceng nanti malam"" tegur Boim.
Lupus cuma tersenyum. Ya, dia emang kali ini jago banget menyembunyikan perasaannya. Padahal hatinya berbunga-bunga. Jempol kakinya aja kelihatan bahagia banget.
Sementara Aji tetap konsentrasi pada permainan kartu.
"Eh, tapi ngeceng itu ngapain sih"" bisik Gusur ke Lupus.
Lupus kaget. Duile, ni anak udah gedek nggak tau ngeceng!
"Ssst... tapi kamu diem-diem aja, ya"" Lupus ikut-ikutan berbisik. Gusur mengangguk-angguk setuju. "Ngeceng itu ngelamun sambil cengengesan. Ngerti""
Gusur mengangguk. Tapi tampangnya menunjukkan kalo dia nggak ngerti seratus persen.
Lupus pun tertawa terpingkal-pingkal.
*** Sudah lewat isya. Tapi tetap belum ada tanda-tanda. Anak-anak mulai nggak tenang. Mulai curiga. Soalnya, masak Vita belum dateng-dateng juga dari salon" Sementara di rumah Aji kayaknya nggak ada kegiatan yang menjurus ke persiapan sebuah pesta ulang tahun. Adem ayem aja. Cuma, memang, dari tadi Aji sibuk bawa-bawa makanan kecil buat anak-anak yang langsung lenyap seketika di perut Gusur.
Tapi meski begitu, anak-anak masih tetap berharap. Siapa tau rada maleman dikit. Mereka pun kembali main kartu dengan sedikit terpaksa.
"Hayooo, Lupus ngocok lagi!" teriak Aji.
Lupus pun memberesi kartu-kartu yang berserakan. Mulai mengocok. Dan membagi-bagi lagi.
Sampai beberapa menit berikutnya.
"Kok belum ada tanda-tanda, ya"" sindir Boim lagi.
"Tanda-tanda apa"" ujar Aji.
"Emang ke salonnya berapa jam sih""
"Ah, sebentar. Paling setengah jam. Emangnya kenapa""
"Kalo Cuma setengah jam, masak hari gini belum pulang juga"" kejar Boim.
"Pulang" Mungkin si Vita langsung...," sahut Aji kalem.
"Langsung ke mana"" Boim, Gusur, dan Lupus secara nggak sadar bertanya hampir serentak.
"Ya langsung ke tempat pesta ulang tahunnya. Katanya, si Vita minta dirayai di kafetaria deket-deket Blok M. Fried Chicken atau apa gitu..."
"HA"" "Iya. kolokan ya, tu anak! Dasar anak muda...."
"Jadi, pesta ulang tahunnya nggak di ruman"" Boim bertanya hampir menangis.
"Enggak. Kenapa sih""
"Jadi apa artinya kami semua menunggu di sini"" teriak Boim histeris.
"Lho, tadi kan saya udah bilang. Adik saya mau ulang tahun. Jadi kamu-kamu saya suruh dateng untuk menemani saya di rumah. Soalnya nyokap sama bokap mau ikutan ke pesta Vita. Saya sendirian di Rumah. Emang kenapa"" Aji menjelaskan tanpa merasa bersalah.
Boim langsung melemparkan kartunya dengan kesal. Gusur ikut-ikutan. Cuma Lupus yang tertawa keras. Tertawa dalam duka.
*** Malam itu juga Lupus, Boim, dan Gusur minta dipulangkan ke rumah orang tua masing-masing. Ceritanya pada keki abis kena tipu. Aji yang merengek-rengek minta supaya pada nginap, nggak digubris.
"Ayo dong, Pus. Kamu nginep deh. masakan tega ninggalin saya sendirian...," rayu Aji.
"Sori ya. Lain kali aja. Saya belum bilang Mami...," tolak Lupus.
"Alaaaah, denger-denger kan kamu udah diasuransikan oleh mami kamu. Jadi nggak pulang juga nggak apa-apa. Malah katanya sukur-sukur cepet mati, biar dapet gantinya, berupa uang..."
"Sialan lu!" Lupus melotot. Dan dengan susah payah mulai mengayuh sepeda balapnya. Soalnya Gusur sama Boim mau nebeng sampe jalan raya. Gusur di boncengan belakang, sedang Boim nangkring di stang depan.
"Daaaag, Aji... sampe ketemu dalam acara dan gelombang yang sama..." teriak Lupus, Boim dan Gusur.
Aji Cuma diam. Menatap sedih ke arah mereka yang mulai jauh menuruni jalan. Lupus nampak setengah mati mengatur keseimbangan tubuh dan mengayuh pedal. Abis dua makhluk jelek itu goyang-goyang terus sih.
"Hei, pada nggak bisa diam, ya"" teriak Lupus sambil menguasai sepedanya yang meluncur di turunan dengan gaya zig-zag. Sementara di jok belakang, Gusur memeluk mesra punggung Lupus.
"Ati-ati, Pus, ada nenek-nenek nyeberang...," teriak Boim.
Lupus yang pandangan ke depannya tertutup tubuh begeng Boim, mulai kecimpungan. "Mana, mana""
Dan terjadilah hal yang tak diinginkan itu. Sepeda yang lagi meluncur labil, nyerempet nenek-nenek yang hendak nyebrang. Walhasil sepeda Lupus nyusup ke semak-semak. Boim sama Gusur nyempung ke got gede. Cuma Lupus yang selamat. Mendarat manis di antara belukar.
Nenek itu tidak terluka. Cuma kesenggol dikit. Tapi doi sempet shock berat.
"Anak muda kurang ajar. Apa kalian tidak bisa mengendarai sepeda"" maki nenek-nenek itu sambil memegang pinggulnya.
"Bisa kok, Nek. Cuma kita nggak tau gimana cara membunyikan bel..."
Nenek-nenek itu pun ngamuk-ngamuk. Begitu juga dengan Gusur dan Boim yang nyemplung ke got.
9. Nyontek Itu Usaha KALO ngedengerin Lupus ngocol di warung, mungkin kamu udah pada bosen. Abis tiap menit, tiap ada kesempatan, anak yang ngakunya pendiem itu hobi banget ngegosip. kalo bibir belum item, jangan harap dia mau duduk berdiam diri dengan manisnya di sampingmu. Tapi kalo ngedengerin Lupus ceramah" Wah, pasti pada belum! Padahal seru juga kalo anak itu ceramah. Pake acara cekakak-cekikik, nangis di tempat, atau ngambek nggak mau nongol lagi di podium. Ini semua bisa terjadi kalo ada penonton yang menyerang dengan pertanyaan sulit. Seperti kabar santer yang sampai di setiap telinga anak SMA Merah Putih, bahwa Lupus pernah nekat ngasih ceramah tentang perkawinan remaja di gelanggang. Hasilnya" Luar biasa, sukses berat! Sebab banyak remaja-remaja yang menikah setelah denger Lupus ceramah.... (he he he!) Dasar tu anak emang gokil banget.
Tapi efek lain dari kesuksesan Lupus itu ternyata bikin nggak enak. Teman-teman Lupus dengan enteng menunjuk untuk ikutan lomba ceramah pendidikan yang diadakan di SMA Merah Putih. Lupus yang pada dasarnya nggak hobi ceramah, tapi rajin menjamah (lho!), jelas kecimpungan.
"Aaah, pada norak. Suruh yang lain aja!" gerutu Lupus ketika dipaksa-paksa ikut.
"Siapa lagi yang bisa" Boim" Wah, nanti dia malah ngegosip yang enggak-enggak!" desak Meta, Ita, Utari, Ruri, semua ikut mendukung, "Lagian kan kamu pernah punya pengalaman ceramah waktu di gelanggang remaja, Pus. Ayolah. Kita harus membuktiin bahwa kelas kita yang terhebat. Ayolah, Pus. Kita semua mendukung. Mendorong-dorong dari belakang."
Dengan ucapan ini langsung dibuktikan oleh Fifi Alone, yang langsung mendorong-dorong tubuh Lupus. Lupus belingsatan. Permen karetnya hampir ketelen.
"Ayo dong, Pus."
Lupus malah membenamkan kepalanya di balik buku gambar. Sambil menutup kedua telinganya.
"Pus, ayo dong, Pus."
"Rayu dulu dong," sahut Lupus sambil mengintip dari balik buku. Tangannya tetap terlipat di bangku.
"Lho, ini kan lagi merayu."
"Kurang mesra."
"Oke, kalo gitu kita suruh Poppi aja. Poppiii... sini sebentar. Tolong dirayu anak kucing kurus ini..."
Lupus mengongakkan kepalanya dan mengomel abis-abisan. Misi mereka jelas gagal total.
*** Tapi rupanya anak-anak itu bukan tipe yang mudah putus asa. Besok paginya, ketika Lupus masuk kelas, sudah langsung diteror lagi. Dibujuk-bujuk supaya mau ikut lomba ceramah. "Asyik, Pus. Nan
ti bisa dapat jatah konsumsi," ujar Anto.
"Sial lu, kalo Cuma dapet teh kotak sama lemper, gue masih mampu jajan di kantin tanpa ngebon," hardik Lupus.
Tapi anak-anak lain malah ngebantuin Anto. Ikut merayu-rayu. Lupus jadi terpojok. Dan kalo sudah terpojok begitu, sifat jeleknya suka keluar. Yaitu, sulit menolak permintaan orang lain. Padahal hatinya nggak rela. Merasa jadi beban. Tapi dasar teman-temannya nggak berperikemanusiaan semua, mereka malah jejingrakan. Tinggal Lupus yang harus berjuang mati-matian menyiapkan segala sesuatunya untuk persiapan. Ke sana kemari nyari data buat bikin makalah. Yang jadi bahan penyelidikan adalah Gusur dan Boim.
Dasar Lupus anak yang kurang rajin, sehari sebelum lomba dimulai, dia masih belum selesai menyusun makalahnya. Terpaksalah semalaman dia kerja keras. Sampe menjelang dini hari, dia masih mengetik-ngetik di kamar. Sambil sesekali memaki-maki teman-temannya yang telah sukses memaksa dia. Coba kalo Lupus nggak ikut lomba pidato, pasti malam ini dia bisa tertidur dengan nyenyaknya.
*** Matahari mulai tinggi ketika Lupus masih terhuyung-huyung berjalan ke pintu kamar. Matanya masih kayak bulan sabit, belum terbuka sempurna. Sementara kepalanya terasa berat.
Lulu yang hampir selesai berdandan, terpingkal-pingkal melihat ekspresi wajah Lupus yang begitu merana, sedih, pilu, prihatin, dan nyaris tak ada tanda-tanda kehidupan. Ya, Lupus begitu capek setelah semalaman menjalani kerja paksa.
"Ini sudah jam tujuh lho, Pus," ujar Lulu sambil melempar handuk ke Lupus. Lupus tak menjawab. Langsung menuju kamar mandi dengan langkah gontai. Sebentar kemudian terdengar suara cibang-cibung. Air pagi yang segar mengembalikan semangat juang Lupus. Meski nggak seratus persen.
Selesai mandi, Lulu yang baik hati itu sudah siap dengan cokelat susu segar untuknya. "Minumlah, Pus. Sumpah mati, kali ini rasanya nggak kayak air sabun lagi. Ibu sudah dipaksa untuk mencicipi."
"Trims, Lulu sayang," ujar Lupus yang langsung nyeruput cangkir yang disuguhkan Lulu. "Hm, bolehlah. Beli bajigur dari mana""
Lulu cemberut. "Ini cokelat susu, Pus."
"Oto, ta kira bajigur. Sori,abis rasanya sama," sahut Lupus sambil tersenyum. Lulu sebetulnya emang adik yang baik. Yang penuh perhatian. Dia juga rajin. Bayangin aja, padahal hari ini dia dapat giliran masuk sekolah siang, tapi pagi-pagi udah mandi.
Jam tujuh seperempat Lupus siap berangkat. Memeriksa tasnya sebentar, dan langsung menyambar roti. Tapi... eh, pulpennya pada ke mana ya" Kok nggak ada barang satu juga" Rasanya males sekali kalo harus bongkar-bongkar kamar. Maka ketika dia melihat sebuah kotak pensil tergeletak di meja makan, tanpa pikir panjang,langsung disambar.
"Buuu... saya pergi, yaaa...," jerit Lupus sambil berlari keluar. Ibunya yang lagi sibuk dengan rantangan, tak sempat menjawab.
*** Begitu Lupus sampai di sekolah, sambutan anak-anak kelas IIA2 ternyata cukup hangat. Lupus langsung digiring ke aula sekolah. "Udah hampir mulai, Pus. Kamu giliran pertama," ujar Meta riang. Jantung Lupus langsung berpacu kencang. Biar cuek, tu anak ternyata grogian juga. Apalagi kalo harus bicara di depan orang-orang tua macam guru-guru dan kepala sekolah. Wuih!
Dan tepat. Ketika Lupus masuk aula, namanya langsung disebut untuk segera naik ke atas podium. Lupus nyaris pingsan kalau tidak didukung oleh teman-temannya.
"Hidup Lupus! Hidup Lupus! Hidup kelas IIA2!" teriak para suporter.
Sesaat kemudian suasana hening. Lupus lagi sibuk komat-kamit berdoa di depan. Lalu mengucapkan salam. Suaranya terdengar aneh sekali. Mungkin karena grogi. "Terus terang saya minta maaf kalo ceramah saya ini berantakan. Persiapan saya kuran. Baik mental maupun spiritual. Tapi karena saya nggak mau ngecewain, maka saya kini nekat berada di sini untuk ikut memberikan ceramah. Sesuai dengan tema yang telah ditentukan, yaitu tentang pendidikan, maka saya mengambil satu permasalahan dalam dunia pendidikan. Yaitu nyontek."
"Hore...!!!" anak-anak berteriak-teriak gembira.
Nyontek itu suatu kebanggaan, " ujar Lupus memulai ceramahnya. "Bentuk kebanggaan yang bagaimana" Ngga
k tau, ya. Yang jelas anak-anak sekolah suka punya rasa bangga kalo dia berhasil nyontek dan nggak ketahuan. Seperti juga kebanggaan bisa masuk bioskop tanpa beli karcis. Rasanya bangga. Hebat. Untuk contoh konkretnya, saya telah meneliti dua makhluk ajaib, yaitu Boim dan Gusur, untuk bahan tesis saya.
"Coba lihat Boim itu. Dia begitu bangga ketika masuk pekarangan sekolah dengan memanjat pagar tembok sekolah. Iya dong. Kalo masuk lewat pintu gerbang sih, semua anak juga bisa. Gusur juga bisa. Apalagi guru-guru yang udah pada uzur. Jadi apa istimewanya" begitu, saudara-saudara jawaban yang diberikan si Boim ketika saya interviu."
Boim yang lagi terkantuk-kantuk ngedengerin ceramah di pojok ruangan, jadi belingsatkan. Merasa rahasia perusahaannya dibeberkan dengan semena-mena di muka umum. Dia ingin mengajukan protes, tapi tak berdaya. Merana sekali. Gusur yang duduk di dekatnya, terpingkal-pingkal. Huahahaha...
"Nah itu," lanjut Lupus. "Jadi jelas, di dunia remaja memang ada kecenderungan bahwa mereka kadang punya kebanggaan semu. Kebanggaan yang nggak jelas bentuknya, meski bukan sejenis makhluk halus. Mereka bangga kalo bisa melakukan hal yang nyerempet-nyerempet bahaya. Seperti nyontek itu, kan bahaya. Kalo ketauan gawa. Bisa dapet nilai kosong. Tapi mereka yang nggak ketauan, merasa bangga. Apalagi kalo pas pelajaran Mr. Punk. Teman-temannya jadi pada kagum, Kok kamu bisa nggak ketauan sih" Kan gurunya galak" Nekat, ih! "
Sampai di sini Lupus break dulu. Sibuk nyari-nyari minum. Soalnya dia emang haus banget abis lari-larian dari rumah ke sekolah. Sementara anak-anak yang mendengar ceramahnya makin banyak. Makin memenuhi aula. Ada yang serius, ada yang terkantuk-kantuk, ada yang numpang ngeceng, ada yang sok sibuk ngurus ini-itu. Di deretan depan, para guru dan kepala sekolah turut hadir.
Dan Lupus dengan gaya prof, melanjutkan ceramahnya. Groginya udah ngilang.
"Jadi Bapak Kepala Sekolah, para guru, dan teman-teman yang saya cintai, menurut penelitian saya, bukan cuma anak-anak bodoh yang suka nyontek. Tapi anak pintar juga sering. Sebab motivasi orang menyontek memang berbeda-beda. Tidak berarti setiap orang menyontek berarti bodoh. Kalo Boim mah iya, tapi saya misalnya, belum tentu. Bisa jadi karena si guru kurang perhatian. Karena, ada guru yang Cuma menghargai hasil akhir. Ada guru yang menyebabkan siswa merasa bangga dapat nilai bagus, tanpa peduli kalo itu hasil contekan. Mungkin seperti apa yang sebutkan tadi. Mereka sering merasa, ah guru si anu ini. Gampang, nyontek aja. Beres. Ngapain capek-capek belajar" Soalnya, ngapain. Udah capek-capek belajar, hasil ulangannya sama aja dengan teman yang nggak belajar, tapi nyontek.
"Dan kalo itu jadi kebiasaan, emang jelek. Mereka jadi terbiasa mengambil jalan pintas. Kurang usaha. Mereka nggak mau tahu kalo mau ke rumah Gusur itu penuh perjuangan. Harus nyebrang kali, jalanannya jeblok, banyak ranjau (alias kotoran bebek!). mereka nggak mau tahu itu. Maunya, tiba-tiba nyampe ke rumah Gusur. Ini kan gawat. Iya, nggak, Sur" Paling enggak, si Gusur belum sempat berbenah atau masak air buat suguhan."
"Saudara pembicara, gua mau tanya!" tiba-tiba terdengar suara cempreng dari pojok ruangan semua pandangan terarah ke sumber suara. Di sana, berdiri Boim dengan tangan mengacung.
"Sori, ya" Belum waktunya bertanya. Saya belum selesai bicara," tolak Lupus.
"Tapi, ini kan bentuk diskusi bebas. Saya mau tanya." Boim langsung menuju mikrofon tempat bertanya. "Saudara tadi bilang, kalo dengan menyontek berartik kita tidak berusaha. Tapi, apakah saudara tak tahu bawah nyontek juga termasuk usaha" Soalnya ada guru yang ngebiarin anak didiknya menyontek. Soalnya belau eh, belagu eh, apa sih namanya...""
"Beliau maksudmu""
"Ya, beliau. Beliau itu menganggap bahwa nyontek itu termasuk usaha. Dan yang namanya orang usaha kan harus dihargai. Iya nggak, penonton""
Anak-anak berseru-seru riuh. Ada yang kontra dan pro. Lupus langsung memaki-maki Boim. Sial, ternyata yang membantai temen sendiri juga. Biadab. Kalo sudah begini, biasanya penyakit Lupus kumat. Ngambek, nggak ma
u ngomong lagi. Atau pergi ke sudut ruangan sambil menangis menggerung-gerung.
"Yaaa... kok nanyanya susah amat!" rengek Lupus.
Anak-anak pada ketawa. Tapi Meta, Ita, Utari, Anto, Aji, Gito, terus membakar semangat Lupus.
Mendapat dukungan yang simpatik dari teman-temannya, Lupus jadi bersemangat lagi. Langsung menyeka air mata yang menggenang. Ih, cengeng, ya"
"Saudara Boim yang malang, anda jangan tersinggung kalo ternyata anda doyan nyontek. Memang, nyontek juga termasuk usaha. Tapi usaha yang ilegal. Yang nggak sah. Kita ambil contoh Gusur. Dia suatu ketika pernah disuruh engkongnya beli karcis kereta. Tapi dasar Gusur, kalo hari minggu bangunnya siang banget. Jam delapan pagi masih cuek. Masih dianggap subuh. Jadi sekitar jam dua belasan baru bisa ke stasiun. Padahal yang antre udah dari pagi. Jelas dong keabisan karcis. Maka Gusur pun usaha. Nyari calo. Mondar-mandir ke sana kemari. Akhirnya dapat juga tuh karcis, meski agak mahal. Tapi, apakah beli karcis di calo itu baik"
"Nah, jadi kembali pada makalah saya, saya rasa ada jalan keluar dari semua permasalahan ini. Yaitu, guru-guru harus menerapkan didikan yang mandiri. Harus bisa menanamkan kepercayaan terhadap diri sendiri kepada murid-muridnya. Soalnya ada anak yang meski nyontek, tapi suka ragu. Apa iya teman yang disontek benar" Jadi yang begini-begini masih bisa diluruskan.
"Temen-temen juga harus menyadari, bahwa yang pantas dibanggakan itu sebetulnya kemandirian, bukan dapat nilai bagus. Nilai pas-pasan juga kalo itu usaha sendiri, rasanya puas banget. Ini yang harus diterapkan.
"Saya tidak melarang teman-teman menyontek. Nggak apa-apa. Memang harus begitu kok. Setiap anak memang harusnya pernah nyontek. Supaya kita bisa menghargai kejujuran. Sebab, seseorang akan kurang menghargai kebenaran kalo tidak pernah melakukan kesalahan.
Wassalam." Tepuk tangan riuh menyambut usainya pembacaan makalah oleh Lupus. Dan saat yang paling menegangkan tiba. Penonton diperbolehkan bertanya. Lupus pun pura-pura sibuk cari minum.
Seorang maju, mengajukan pertanyaan. Untung nggak begitu sulit. "Gimana menurut anda, persiapan yang baik kalo mau ulangan supaya nggak nyontek""
"Itu mudah, kawan," ujar sok tau, "Belajarlah yang rajin siang malam. Pasti berhasil. Dan satu lagi, hilangkan budaya meminjam pulpen, tipp-ex, penggaris, penghapus milik teman saat ulangan atau pada saat apapun. Soalnya itu menandakan kalo kita nggak siap. Dan bisa mengganggu konsentrasi teman yang lagi mengerjakan soal. Jadi siapkan semuanya dari rumah, jangan suka pinjam-pinjam."
Tepat ketika Lupus mengakhiri kalimatnya, tiba-tiba muncul seraut wajah milik Lulu dari jendela aula. Tanpa malu-malu dia berteriak nyaring,
"Lupuuuus!!! Kamu ngambil kotak pinsil saya yang di meja" Ayo balikin!! Saya ada ulangan nanti siang! Buruan dong, udah telat nih!"
Lupus terperanjat. Sementara anak-anak tertawa riuh. Lupus langsung lari keluar aula. Ingin rasanya menjitak batok kepala Lulu sialan itu.
Tawa anak-anak makin gila-gilaan. Menggema di setiap ruangan. Lupus jadi merasa malu. Tapi nggak apa-apa kok, Pus. Wajar. Nasihatin orang itu memang lebih gampang daripada ngejalanin sendiri.
10. Penyeludup Kecil TUMBEN, kelakuan Lupus seharian ini manis sekali. Duduk di kursi tengah sambil baca koran, atau mengelus-ngelus si Gegi, anjing kecil milik Lulu. Tak ada tanda-tanda bahwa dia mau ngisengin orang. Padahal tau sendiri, biasanya tu anak paling nggak bisa diem. Nggak bisa geliat orang lain tenang. Selalu aja bikin keki.
Lulu yang saban harinya diusilin, jadi ngerasa ada yang kurang geliat Lupus bisa bersikap manis begitu. Merasa kehilangan sesuatu. Badan rasanya pegal-pegal nggak diajaki berantem sama si Lupus.
"Lupus, halo, halo, kamu masih idup"" Lulu akhirnya tak tahan untuk tidak menegur. Lupus yang lagi asyik baca buku di ruang tengah, tak peduli. Malah bangkit dan beranjak ke kamarnya.
"Jailin kita dong, Pus..."
Lupus tak menanggapi. Lulu kesal. Dia membanting majalahnya sambil menggerutu panjang-pendek. Ih, disuruh ngejailin orang aja nggak mau. Apalagi disuruh kerja" Dasar pemalas!
Dan menurut Lulu, si pemalas itu belakangan ini tingkahnya suka aneh-aneh aja. Kalo pas malam minggu, suka berpakaian kelewat rapi. Kadang malah berjas-ria. Kan aneh. Padahal biasanya, boro-boro berpakaian rapi, kemeja aja nggak pernah dimasukin.
"Lu, kamu ngeliat jas saya, nggak""
Nah, tuh. Baru aja diomongi, si pemalas itu sudah sibuk nyari-nyari jasnya lagi. Lulu mengingat-ingat, hari apa ini" Tepat, hari Sabtu. Berarti si pemalas itu...
"Lulu!!! Kamu liat jas saya, nggak"""" jerit Lupus tepat di telinga Lulu. Lulu kaget setengah mati. Lalu menyahut kesal, "ENGGAK!!! Emang saya tukang binatu, apa""
Dengan bersungut, Lupus berjalan ke tempat setrikaan baju. Lalu kembali ribut-ribut mencari jasnya.
Lulu iseng menggoda lagi.
"Pus... Pus, ada tebakan. Jas apa yang nggak bisa dipakai tapi enak didengar""
"Enggak tau!" "Just the wah you are."
Lupus menlengos. Mengaduk-aduk baju kering dalam keranjang besar. Kaus kaki Lulu, celemek bibi, serbet, sapu tangan, semua beterbangan di udara. Diaduk-aduk Lupus. Serasa ada angin puyuh. Lima menit kemudian, dia baru menemukan jasnya, terselip dengan pasrahnya di tumpukan lap dan gombal-gombal yang dekil. Sial, siapa nih yang tega-tegaan mengklasifikasikan jas tersayangnya dengan gombal-gombal yang maha dekil itu"
Sebel! "Luluuuu...," Lupus berteriak lagi.
Lulu muncul sambil asyik menjilati es krim cokelatnya.
"Kamu ya yang naro jas saya di tumpukan gombal dekil ini""
"Ooo... itu jas kamu, ya" Dikira kain buat ngelap kompor..."
Lulu langsung kena sambit kaus kaki.
*** Setengah tujuh malam, ketika Lulu mengintip dari balik jendela, Lupus nampak gaya sekali dengan jas hitamnya. Jas model anak muda, yang tangannya digulung sebatas siku. Lupus lagi asyik bercakap-cakap dengan Gusur dan Boim yang juga nampak rapi jali. Apalagi Boim, rambutnya diminyaki, disisir ke belakang. Sedang Gusur, nampak sedikit kecean dengan baju putih berkembang-kembang merah-kuning-ijo. Ih, centil juga tu anak!
Lulu sempat nguping pembicaraan mereka.
"Jadi si Anto juga mau ikut""
"Iya, katanya. Tapi kok belum datang, ya""
"Biar. Yang penting kamu udah dapat pinjaman mobil, Im. Kita jemput aja si Anto. Tapi bilangin, dia juga harus dandan rapi."
Selagi asyik ngobrol, ibunya Lupus keluar. Agak suprise juga melihat dandanan anak-anak yang centil itu.
"Lho, mau pada ke mana nih""
"Anu, tante, ada yang mau kawinan. Kita-kita diundang," jawab Boim kalem.
Ibu Lupus jadi menatap Boim
"Wah, Nak Boim ganteng juga kalo begini..."
Boim yang nggak nangka bakal dapat pujian dari calon mertua (Eh, si Boim emang menganggap ibunya Lupus sebagai calon mertua-nya. Soalnya dia kan dari dulu naksir berat sama si Lulu), langsung kege-eran. Tapi Lupus cepat menyambar, "Terang aja, Bu. Dia kan emang anak kembar. Kembarannya besek. Yang buat tahlilan tuh. Hahaha..."
Lulu yang mengintip dari jendela, ikut tertawa. Gusur juga. Tinggal Boim yang memaki-maki. "Daripada Lupus, tante. Kembarannya sama ketumbar. Hahaha..."
"Kalo Gusur"" Lulu ikut-ikutan memancing.
"O, Gusur ini lain. Rada mendingan. Kembaran sama karung beras. Hihihi..."
*** Dengan stil yakin, Boim memarkir mobil di pelataran parkir gedung pertemuan. Di depan pintu itu, nampak umbul-umbul yang terbuat dari janur. Lalu berturut-turut Boim, Lupus, Gusur, dan Anto turun. Memasuki gedung itu. Ikut ngantri di barisan tamu.
Setelah berebut mengisi buku tamu (Maklum, yang jadi penerima tamu tipe cewek yang bisa dikecengin) dan mendapat kipas mungil sebagai kenang-kenangan, mereka langsung menuju ke tempat hidangan makanan. Wajah Gusur dan Boim sudah menunjukkan tanda-tanda lapar berat. Langsung aja dia mengambil piring dan memunguti semua yang bisa dipungut. Termasuk tisu kecil yang mereka kira kue lapis.
Anto agak terheran-heran.
"Eh, Pus. Apa nggak lebih baik salaman dulu sama pengantinnya"" ujar Anto.
"Nanti aja, Nto. Antrean masih panjang. Daripada nggak dapat makan, lebih baik nggak dapat salaman."
Anto pun nurut. Anak itu memang penurut sekali. Jarang protes, kecuali kalo duitnya dicolong.
Setelah masing-masing berhasil mendapatkan makanan, mere
ka segera nyari tempat yang aman untuk menghabiskannya. Sekaligus tempat yang strategis untuk nambah-nambah. Gusur yang paling gila-gilaan. Sudah empat kali bolak-balik ngambil makanan. Terakhir, dia tampil dengan martabak telurnya. Para tamu yang lain sampai menatap sirik kepadanya. Anak ini emang punya tembolok yang gede banget. Kagak pernah kenyang kalo makan.
Sedang Lupus, setelah mencomot buah-buahan, dia tampil dengan es krim strawberry.
Anto cukup puas dengan cemilan-cemilan ringan berupa taplak meja, sendok teh, garpu...
"Wah, pestanya benar-benar bonafide. Semua makanan ada," ujar Boim seraya melahap puding.
Tapi beberapa saat kemudian, Gusur mulai menunjukkan gejala-gejala aneh. Bengong, kayak ayam yang dikit lagi koit. Agaknya dia mabuk. Soalnya terdengar bunyi-bunyi aneh. Hik-hik-hik. Begitu.
"Kamu minum apa tadi, Sur" Mabok AO, ya"" tanya Lupus cemas.
"Enggak tau... hik, saya tadi cari-cari minum... hik, dapat ginian... hik..."
Anto, Lupus, Boim segera meneliti air minum Gusur yang berwarna butek. Semua pada curiga. Jangan-jangan bekas kobokan orang yang Gusur minum. Hahaha.
*** Rada maleman dikit, mereka sudah agak tenang. Sudah pada kenyang. Mulai deh ngiter-ngiter ruangan cari kecengan baru. Boim sempet kenalan sama cewek yang jadi pagar ayu. Sedang Lupus dan Anto asyik mengobrol dengan yang jadi penerima tamu. Cuma Gusur yang nggak laku. Padahal dia sudah pasang korting dua puluh persen.
Setengah sepuluh, Gusur mulai ribut-ribut ngajakin pulang. Begitulah adatnya kalo lagi nggak laku. Suka sirik geliat orang lain senang.
Dengan tak rela, anak-anak lain pun terpaksa pulang. Di pintu depan, Anto seperti teringat sesuatu.
"Lho, Pus, kok kita belum salaman sama pengantinnya""
"Kamu kenapa sih. Ngotot amat mau salaman""
"Tapi kan nggak enak, kita udah diundang, dikasih makan, kok ya nggak mau ngasihselamat."
"Kamu aja deh, Nto. Saya titip sama kamu. Abis saya kan nggak kenal pengantinnya."
Anto bengong. "Nggak kenal" Kok dia ngundang kamu""
"Siapa yang diundang" Kita-kita nggak diundang kok."
Anto tambah bengong. "Aduh, Anak Mami, gini lho. Kamu baru tau ya kalo kita-kita ini tiap malam minggu selalu rame-rame cari makan gratis. Caranya mudah aja, To. Kita dandan yang rapi, terus cari-cari ke gedung yang lagi ada pesta perkawinan. Masuk aja. Nggak ketauan ini. Kalo terpaksa kita harus ngasih selamat, ya kita salaman. Nggak apa-apa. Paling pengantin yang pria mikir, ooo... ini mungkin teman pengantin wanita. Dan pengantin wanita berpikir sebaliknya. Jadi aman, kan" Yang penting kita-kita kenyang. Iya nggak, Sur, Im""
Gusur dan Boim mengangguk.
Anto mengumpat-umpat. Dia kurang suka. Dia nyesel ikut pergi sama anak-anak nakal ini. Katanya, dosa.
Tapi seminggu kemudian, ternyata Anto yang paling rajin menjemput Lupus untuk jadi penyeludup kecil lagi. Berjas, sisiran rapi, celana licin...
"Setelah dipikir-pikir, ternyata nggak dosa juga, Pus. Soalnya, itung-itung kan kita ngebantuin ngabisin makanan orang-orang kaya itu. Daripada dibuang" Kan lumayan ngirit-ngirit uang jajan."
Lupus mengangguk-angguk. "Bener, To. Kan kasihan, orang udah capek-capek nyediain makanan nggak ada yang makan..."
Mereka tertawa-tawa sambil menunggu Gusur dan Boim yang janji mau datang.
tamat Akhenaten Adventure 3 Pendekar Rajawali Sakti 108 Harga Sebuah Kepala Menuntut Balas 19

Cari Blog Ini